makalah komunikasi massa
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Komunikasi Massa berawal dari Sidang Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1946 di gedung Perguruan Tinggi
Hunter New York Amerika Serikat. Agenda sidang organisasi terbesar di dunia itu
adalah membahas kelangsungan keamanan dunia paska Perang Dunia II. Dari
sidang itulah Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa di perkenalkan.
Ribuan pengamat politik, pers dan masyarakat biasa dapat menyaksikan sidang
penting itu melalui Televisi dari luar gedung yang di jaga ketat oleh aparat
keamanan Amerika.
Sejak saat itu, Televisi mulai berkembang ke seluruh penjuru dunia.
Amerika Serikat merupakan Negara pertama yang mengembangkan teknologi
Televisi secara besar-besaran. Bahkan pada tahun 2003 di Negara tersebut, tidak
kurang 750 stasiun siaran Televisi telah di dirikan. Jumlah ini pasti lebih di tahun
2007. Dewasa ini Televisi telah menjadi salah satu kebutuhan hidup masyarakat.
Hampir di seluruh rumah-rumah penduduk baik di Indonesia maupun di Negara
lainnya, telah terdapat Televisi. Ini menunjukkan televisi telah menjadi salah satu
kebutuhan hidup manusia.
Sedangkan di Indonesia sendiri, Televisi baru di perkenalkan pada tahun
1962. Sebagaimana pola komunikasi lainnya, komunikasi massa dari waktu ke
waktu terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan ini dapat di lihat
dari jumlah stasiun televisi dan program siaran yang di tawarkan ke publik.
Dahulu pada awalnya, Indonesia hanya memiliki satu stasiun Televisi, saat itu
hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang memancarkan siaran. Untuk
Indonesia, paska di cabutnya SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) tahun 1998,
negeri ini telah memiliki sepuluh stasiun siaran televisi baik swasta dan
pemerintah.
Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual juga di tampakkan
dengan semakin menariknya tayangan yang di sajikan. Bukan itu saja, program
siarannya pun kini semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran
pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan dan dari siaran yang
mengandung nilai humor sampai ke siaran yang mengandung kekerasa. Semuanya
di rangkum oleh televisi kita saat ini.
Semakin banyaknya stasiun Televisi yang bermunculan di Indonesia maka
seharusnya semakin maju pula negeri ini. Hal ini di karenakan, menurut R. Mar’at
dari Universitas Padjadjaran Bandung, acara televisi pada umumnya
mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan rasa penasaran para penonton.
Kemampuan media Televisi untuk “membius” penontonnya tidak dapat di
ragukan. Secara psikologi, jika ada seseorang yang terharu, menangis atau bahkan
menjerit saat menonton salah satu program televisi yang di siarkan adalah hal
yang wajar.
Persaingan antar stasiun televisi sendiri di Indonesia semakin ketat. Semua
stasiun Televisi berlomba-lomba untuk membuat program unggulan yang sedang
di minati oleh masyarakat. Tujuannya, agar para pemasang iklan juga
mengiklankan produk mereka di stasiun televisi tersebut. Stasiun Televisi jika
tidak memiliki penonton, alamat station tersebut tidak akan mendapatkan iklan.
Akibatnya, tidak akan ada pemasukan perusahaan. Bahkan tidak jarang, jika telah
mengalami penurunan jumlah pemasang iklan, perusahaan Televisi akan meniru
program yang di tayangkan oleh salah satu Televisi yang sedang naik daun. Inilah
wajah pertelevisian di Indonesia. Kantong perusahaan menjadi nomor satu.
Sedangkan program siaran dan efeknya menjadi samar dengan tujuan awal dari
perusahaan Televisi di negeri ini. Secara umum semua Televisi di negeri ini
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga terdapat dalam
batang tubuh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, fakta berbicara lain. Untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya
sebagaimana prinsip ekonomi, perusahaan Televisi mulai melupakan tujuan
utamanya. Tayangan kekerasan mulai marak di siarkan di Indonesia. Seluruh
stasiun Televisi memiliki program acara jenis ini. Misalnya, program siaran
PATROLI di Indosiar, Silet di RCTI dan lain sebagainya. Meningkatnya angka
kriminalitas dewasa ini cendrung di tuding televisilah sebagai biangkeroknya.
Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri
darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo.
Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya
sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggem-parkan dan banyak
pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan
internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.
Kasus lainnya adalah pengakuan produser PATROLI Indosiar, Indira Purnama
Hadi. Indira bertutur, suatu hari dirinya mewawancarai pelaku pencurian
kendaraan bermotor di Sleman, Yogyakarta. Usia pelaku kriminal itu masih
sangat muda, sekitar 17 tahun. Dalam sehari pria ini bisa mencuri satu sampai dua
kendaraan bermotor. Lalu, si pelaku tindak pencurian ini mengaku, untuk mencuri
dia mengikuti jejak dari tayangan Patroli Indosiar.
B. Tujuan Penulisan
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka tujuan yang di
hasilkan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis dan Mendeskripsikan peranan komunikasi massa dalam
prubahan social dan budaya masyarakat.
2. Mendeskripsikan, menganalisis dan memberi solusi dari efek tayangan
kekerasan yang di siarkan oleh stasiun televisi di Indonesia saat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Massa
A.1. Pengertian
Setiap manusia pada hakikatnya sangat membutuhkan komunikasi. Hal ini
di karenakan, manusia memiliki sifat untuk saling berhubungan antara satu
dengan yang lain. Jika tidak menggunakan komunikasi antar sesamanya, maka
manusia itu akan terisolasi dari dunia yang semakin canggih dan modern ini. Para
pakar komunikasi menyebutkan, kebutuhan manusia untuk berkomunikasi di
dasari atas dua kebutuhan, yaitu, kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan
kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan
teori dasar biologi.
Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar Ilmu Komunikasi
menyebutkan tiga hal, mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu sebagai
berikut:
1. Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi,
manusia dapat mengetahui hal-hal yang dapat di manfaatkan, di pelihara dan
di menghindar dari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya.
2. Upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Proses
kelanjutan hidup masyarakat pada dasarnya, tergantung masyarakat itu sendiri.
Bagaimana komunitas-komunitas masyarakat di suatu daerah tertentu
beradaptasi dengan lingkungannya.
3. Upaya untuk mentranspormasi warisan sosial. Suatu masyarakat yang
ingin melangsungkan hidupnya, maka akan melakukan upaya transpormasi
sosial terhadap generasi penerusnya. Misalnya, bagaimana seorang Ayah
mengajarkan tatakrama terhadap anaknya.
Secara sederhana, Onong Uchjana Efendi menyebutkan komunikasi adalah
suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui
media tertentu. Sementara itu, sebagai salah satu cabang ilmu sosial, Ilmu
Komunikasi juga terbagi ke dalam beberapa kajian ilmu lagi. Pembagian ini
mengingat keterbatasan manusia untuk menguasai seluruh bidang ilmu.
Komunikasi juga mengklasifikasikan diri kedalam Komunikasi Massa,
Komunikasi Politik, Komunikasi Antar Budaya dan lain sebagainya.
Komunikasi Massa sendiri menurut Tan dan Wright, merupakan salah satu bentuk
yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan
komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh
(terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Secara sederhana,
komunikasi massa adalah pesan yang di komunikasikan melalui media massa
kepada khalayak dalam jumlah besar.
Dari definisi di atas, dapat di simpulkan, bahwa komunikasi massa harus di
menggunakan media massa. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci di
rumuskan oleh Gerber (1967). Menurutnya, komunikasi massa adalah produksi
dan distribusi yang berlandaskan pada lembaga dan berkelanjutan serta di
sampaikan secara luas.
A.2. Ciri-ciri Utama Komunikasi Massa
Ciri utama komunikasi massa terletak pada beberapa hal sebagai berikut:
Sifat pesanya terbuka dengan khalayak yang berfariatif, baik dari segi usia,
agam, suku, pekerjaan maupun dari segi kebutuhan.
Sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang telah diproses
secara mekanik.
Pesan komunikasinya berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya
lambat dan sangat terbatas.
Sifat penyebaran pesan melalui media masa berlangsung cepat, serempak
dan luas.
A.3. Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa awalnya di cetuskan oleh Laswell pada tahun
1948. Tokoh ilmu Komunikasi yang mendalami Komunikasi Politik ini
menyebutkan, fungsi komunikasi massa secara umum adalah untuk pengawasan
lingkungan hidup, pertalian dan transmisi warisan sosial.
Wright (1960) menyebutkan fungsi komunikasi massa berguna untuk
menghibur. Mandelson berpendapat lain, dia menyebutkan fungsi komunikasi
massa dalam hal untuk menghibur akan berpengaruh terhadap trasmisi budaya dan
menjauhkan kerapuhan masyarakat. Media massa memiliki nilai edukasi sebagai
salah satu fungsinya.
Dari dasar ide dan gagasan para ahli di atas, serangkaian fungsi komunikasi massa
untuk masyarakat terdiri sebagai berikut:
1. Informasi
Fungsi informasi terdiri dari sebagai berikut:
- Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam
amsyarakat dan dunia.
- Menunjukkan hubungan kekuasaan
- Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan.
2. Korelasi
Fungsi korelasi terdiri dari sebagai berikut:
- Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna dan informasi
- Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan
- Melakukan sosialisasi
- Mengkoordinasikan beberapa kegiatan
- Membentuk kesepakatan
- Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif
3. Kesinambungan
Diantaranya terdiri dari:
- Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan
kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru\
- Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai
4. Hiburan
Diantaranya terdiri dari:
- Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi
- Meredakan ketegangan sosial
5. Mobilisasi
Diantaranya terdiri dari:
- Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik,
perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam
bidang agama.
B. Teori Komunikasi Massa
Efek komunikasi massa telah lama di perbincangkan dalam khasanah
kajian Ilmu Komunikasi. Bahkan, efek ini di kaji secara ilmiah oleh para pemikir
atau ilmuan komunikasi. Salah satunya yang membahas tentang efek media adalah
wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic
needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau
teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang
sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-
pesan komunikasi massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen
dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama sekali. Artinya,
komunikan sangat terbius oleh suntikan pesan yang di sampaikan media massa.
Suntikan pesan ini masuk ke dalam saraf dan otak serta melakukan tindakan
sesuai dengan pesan komunikasi massa tersebut. Pendapatn Schramm di dukung
oleh Paul Lazarzfeld dan Raymond Bauer.
Teori lain yang berbicara tentang efek media massa terhadap publik atau
khayaknya adalah teori agenda setting (teori penataan agenda). Teori milik Mc.
Combs dan D.L. Shaw menyebutkan jika media memberikan tekanan pada suatu
peristiwa, maka media tersebut akan mempengaruhi khalayak untuk
menganggapnya penting. Jika melihat argumen yang di kemukakan oleh dua
pakar komunikasi ini maka, media cendrung membuat agenda tayangannya
terhadap publik. Ini yang kemudian di kenal sebagai istilah manajemen media
massa. Manajemen media massa sendiri terdiri dari bagaimana mengatur program
siaran, proses membuat program tersebut dan lain sebagainya. Media di Indonesia
tampaknya memang menganut teori yang satu ini. Dimana dalam kasus Tayangan
Kekerasan semua media memiliki tayangan jenis ini dengan nama yang berbeda.
Bukan hanya tayangan kekerasan berita yang di tampilkan seperti Patroli, Sergap,
Sidik dan lain sebagainya. Namun, tayangan kekerasan lainnya seperti Smack
Down dan tayangan sinetron berbau kekerasan turut mendapat tempat di hati
publik. Sinetron yang termasuk dalam tayangan kekerasan adalah Sinetron Anak
Ajaib yang di perankan oleh Joshua.
Menyangkut terhadap perubahan budaya, media juga berperan penting.
Sudah menjadi rahasia umum, media memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
merubah, menciptakan atau bahkan menghilangkan budaya. Budaya yang telah
berkembang di tengah komunitas tertentu secara perlahan akibat terjangan media
akan hilang dengan sendirinya. Ini yang tengah terjadi di Indonesia. Teori yang
membahas masalah ini yaitu Teori Norma Budaya (cultural norms theory). Dalam
teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini menyebutkan media massa
melalui program tertentu dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya media
massa menciptakan budaya baru dengan caranya sendiri. Penekanan media pada
program siaran tertentu akan membuat masyarakat menganggap penting dan
mengikuti tindakan-tindakan seperti yang di tampilkan di media tersebut. Contoh
yang terjadi di Indonesia adalah kasus Ny. Lia Marfiandi. Ibu muda ini terkejut
saat melihat anaknya yang berusia delapan tahun memecahkan piring dan gelas
secara tiba-tiba. Bahkan, sang anak tidak merajuk atau lain sebagainya. Sang anak
ini mengaku melihat tampilan Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Sehingga, dia
melakukan pemecahan piring, gelas dan pas bunga sambil tertawa terbahak-bahak.
C. Budaya
Budaya berasal dari kata budhi atau dalam bahasa sanksekerta buddayah
yang berarti budi atau akal. Sedangkan kebudayaan (culture) yang berarti
mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan terutama dalam
pengertian ini mengolah tanah atau bertani. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan
berarti keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh
tatakelakuan yang harus di dapatnya dengan belajardan yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Sidi Gazalba menyebutkan kebudayaan adalah cara berpikir
dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan
manusia yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang atau suatu waktu.
Pakar antropologi lainnya R. Linton dalam buku the cultural background of
personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku
dan perbuatan manusia, yang unsur-unsur pembentukannya dididukung serta di
teruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Hal yang paling mudah di pahami
tentang definisi kebudayaan di cetuskan oleh Melville J. Herkovits. Antropolog
Amerika mendefinisikan kebudayaan adalah bagian dari lingkungan buatan
manusia. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya dan
kebudayaan di tafsirkan dengan arti pikiran atau akal.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya
dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk
lebih jelas, dapat di rinci sebagai berikut:
1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang di lakukan dan di
hasilkan manusia. Karena itu meliputi :
a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-
benda ciptaan manusia, seperti alat-alat perlengkapan hidup.
b. Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang
tidak dapat di lihat dan di raba sperti religi, bahsa dan ilmu pengetahuan.
2. Bahwa kebudayaan itu tidak di wariskan secara generatif (biologis),
melainkan hanya mungkin di peroleh dengan cara belajar.
3. Bahwa kebudayaan itu di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Tanpa masyarakat akan sulit bagi manusia untuk membentuk kebudayaan.
Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara
individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kebudayaannya.
D. Pembahasan Masalah
D.1. Hubungan Media Massa dan Masyarakat
Hubungan media massa dengan masyarakat telah di bahas dengan berbagai
pendekatan yang berbeda. Pertama, hubungan tersebut merupakan bagian dari
sejarah perkembangan setiap media massa dalam masyarakat sendiri. Pola
hubungan tersebut merupakan hasil refleksi sejarah yang di perkirakan turut
berperan dalam perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya
persamaan dari beberapa institusi media pada semua masyarakat, pada awalnya
media juga menerapkan kegiatan dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh
institutasi nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun memenuhi
harapan khalayaknya. Media mencerminkan, menyajikan dan kadangkala
berperan serta secara aktif untuk memenuhi kepentingan nasional yang di
tentukan oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat.
Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan
para anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh
penguasa, merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi
setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang berkesinambungan. Ketiga,
sebagai suatu institusi yang di perlukan bagi kesinambungan sistem sosial
masyarakat industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan lainnya,
dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif ini di sebutkan harapan
masyarakat terhadap media dan peran yang seharusnya di mainkan oleh media.
Hal ini di karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media massa berperan
untuk membuat rasa nyaman terhdap publik atau komunikannya. Jika, masyarakat
mulai tidak suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi maka televisi
tersebut dengan sendirinya akan mengalami “miskin” pendapatan. Pendapatan
televisi terbesar di peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating
tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut. Sebut saja misalnya,
sebuah perusahaan akan mengiklankan produknya di salah satu stasiun televisi.
Jika rating program yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si
pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun televisi lainnya yang
memiliki penonton dengan jumlah besar.
D.2. Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat
Sebagaimana telah di singgung di atas, komunikasi massa merupakan
proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya tayangan
kekerasan di televisi dewasa ini seperti SERGAP di RCTI, PATROLI di Indosiar
dan SIDIK di TPI merupakan fenomena baru dalam tayangan televisi di
Indonesia. Dalam format tayangannya, program siaran berbau kekerasan tersebut
mewabah ke stasiun televisi lainnya. Bahkan TPI yang mengusung misi sebagai
televisi pendidikan juga turut membuat format tayangan ini. Awalnya menurut
Indira Hadi Purnama pemimpin redaksi Patroli Indosiar tujuan program Patroli
milik statsiun televisinya untuk menghilangkan jenuh masyarakat (komunikan).
Kejenuhan masyarakat selama ini yang selalu di sodorkan dengan berita-berita
politik ini yang di sebut Indira sebagai proses pembaharuan program tayangan dan
mencuri pasar media.
Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik membuat
masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiuntelevisi
kreative dan melahirkan program siaran yang baru. Maka, Indira memilih untuk
membuat tayangan Patroli dengan mengedepankan berita-berota kriminal.
Tayangan ini sendiri di liput secara langsung oleh wartawan stasiun televisi
tersebut. Hubungan antara aparat kepolisian dan wartawan yang di tempatkan
dalam desk berita kriminal sejauh ini sangat harmonis. Setiap kali akan
melakukan penangkapan, polisi akan memberitahukan kepada wartawan. Dalam
tayangannya, seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh Polisi.
Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan menembak pelaku
tersebut. Seluruh proses penggerebekan, pengejaran dan penembakan pelaku
kriminal ini di rekam oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan
tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak jarang bercak darah
bekas penembakan terlihat jelas oleh masyarakat sebagai penonton setia tayangan
tersebut. Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti ini
dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran.
Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal
12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar
kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Namun, pada kenyataannya,
tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Sedikitnya delapan program
televisi bertema kriminalitas, dengan berbagai nama program, ditayangkan setiap
hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit
hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan
umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas
menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton
televisi mencapai puncaknya. Bukan hanya itu, tayangan kekerasan lainnya seperti
Smack Down di LatiVi juga merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan
yang di tampilkan oleh media massa di Indonesia. Tayangan Smack Down sendiri
awalnya tahun 2000 telah di siarkan oleh stasiun televisi TPI.
Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang
memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas, di samping infotainment
dan tayangan bertema klenik-supranatural, menjadi primadona dengan menempati
ranking-ranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak.
Mencermati fenomena ini, jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia
sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa
informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan
berlakunya efek media pada masyarakat. Pengakuan seorang Pelaku Pencurian
Kendaraan bermotor di SelamanYigyakakarta kepada Indira Pemimpin Redaksi
Patroli Indosiar menyebutkan dirinya menggunakan motiv operandi yang di
siarkan oleh Patroli menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat di bantahkan oleh
siapapun. Kenyataan ini lah yang membuat risau masyarakat di seluruh Indonesia
terhadap tayangan kekerasan tersebut.
Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan
bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas
perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus
dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda.
Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas
memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak
mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara
sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan
informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita,
tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada yang
sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan
saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai
terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang
logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua) bertuliskan pembatasan
usia penonton pada acara-acara "keras".
Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol
pembatasan usia penonton. Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini
yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak
terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya,
dan tidak ada ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak mencerdaskan.
Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-banyaknya.
Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi
kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi
secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia kini baru sebatas
organisasi yang terdiri dari elite-elite media dan akademisi pemerhati media. Di
masa depan, organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal.
Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar rumput dengan melibatkan
partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme
global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya,
hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa
stasiun televisi menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau informasi apa
pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton.
D.3. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-anak
Tayangan kekerasan juga berpengaruh terhadap pola prilaku anak.
beberapa efek yang di timbulkan oleh tayangan ini di antaranya sebagai berikut:
a. Jadi Agresor dan Tak Pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan
terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa
tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih
simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak
menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah
survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap
1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan
seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab
amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi,
dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington
memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat
kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara
(Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih.
Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit
putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV
meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru
diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan,
tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 -
1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada
orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit
tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga
tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan
di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara
remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat
secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental
Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun.
"Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak
dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan
Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam
dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak.
Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua,
dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai
orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli
terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya
keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap
persoalan.
b. Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan
kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat
agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup.
Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang
mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku
perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan
kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi
lingkungan sekitar juga mendukung.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons
agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang
dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu
tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika
menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan
100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara
perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu
lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV.
"Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan
tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru
besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak
sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif
justru meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam
tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah
Singer.
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan
atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan
banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai
kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih
banyak menyerang anak lain," ujar Singer.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan
tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua
akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu,
apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu
bermain di luar rumah atau nonton TV.
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak
dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program
aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang
kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik,"
ungkap Singer.
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan
dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada
kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang
membunuh mereka.
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-
anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul
teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai,
dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan
di TV."
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV
berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris
menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku
anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada
keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur
ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu
terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak
membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua
untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti
yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia,
"Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan
fantasi."
d. Waktu Ideal Untuk Anak-Anak Menonton TV
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung
pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di
waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh
menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy
dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak
lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk
anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya
mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV
juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang
paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan
kebutuhan mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak
diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang
tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua
memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan
anak-anak," ujar Fawzia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya
jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan
kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara
produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri.
Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah
meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya,
mulai dari lingkungan keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tayangan berbau kekerasan yang marak di stasiun televisi di Indonesia saat
ini berpengaruh dalam merubah pola perilaku dan budaya masyarakat Indonesia.
Perubahan prilaku ini berlangsung dari hari ke hari, sehingga di khawatirkan akan
terjadi pergeseran moral di kalangan masyarakat Indonesia.
2. Tayangan kekerasan di Indonesia semakin hari semakin marak. Hal ini di
karenakan, televisi Indonesia belum mampu mendesain program yang lebih
memiliki nilai-nilai edukatif.
3. Televisi Indonesia belum menggunakan manajemen media dengan
menyesuaikan jam tayang program kekerasan tersebut.
B. Saran
Dari hasil pembahasan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Stasiun televisi Indonesia harus menyesuaikan jam tayang untuk program
tayangan kekerasan ini
2. Harus adanya mediawatc yang mengontrol tayangan kekerasan di Indonesia.
Lembaga ini tentunya bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat. KPI harus lebih ketat mengawasi program siaran di seluruh stasiun televisi
Indonesia.
Daftar Pustaka.
Ardianto, Elvinaro dan Komala Erdiyana, 2004. Lukiati. Komunikasi Massa
Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Cangara, Hafied.2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Rajawali Pers.
Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. Mitra Pelajar.
Indira Astuti, Santi. 7 Februari 2004.Kekerasan kriminalitas di Televisi. Opini.
Pikiran Rakyat.
Jamaluddin, Jajang dkk. 2005. Panduan Hukum Untuk Jurnalis. Jakarta. AJI
Jakarta.
Manan, Abdul. 2006. Profile AJI. Jakarta. AJI Indonesia.
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga.
Sopian, Agus dkk. 2005. Ontologi Liputan Mendalam dan Menarik Jurnalisme
Sastrawi. Jakarta. Pantau.
“TUGAS MAKALAH KOMUNIKASI”
KOMUNIKASI MASSA
DALAM MASYARAKAT
Disusun Oleh :
Arief kurnia s
NIM : P 27220008 081
D.IV- Keperawatan / Tingkat I
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan karunia-Nya maka telah tersusun sebuah makalah
tentang komunikasi massa ”Komunikasi Massa dalam Masyarakat”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas untuk mengikuti ujian akhir semester. Harapan
penulis adalah agar makalah ini berguna khususnya bagi mahasiswa Politeknik
Kesehatan Surakarta dan untuk siapa saja yang ingin mengetahui lebih lanjut
tentang komunikasi massa ”Komunikasi Massa dalam Masyarakat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini, semoga bantuan Bapak / Ibu /
Saudara dapat semakin meningkatkan manfaat dari penyusunan makalah ini.
Namun demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan penyusunan makalah ini di waktu
yang akan datang.
Akhir kata Penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi kita semua.
Surakarta, April 2009
Penulis