Download - DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri
RESPONSI
Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Malnutrisi pada
Pasien Geriatri
Oleh :
Achmad Zainudin A 0510710001
Siti Nurlaela 0510710133
Pembimbing :
dr. Sri Sunarti, Sp.PD
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2010
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular
yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan
jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar
133 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7%
dan daerah rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12
juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural
(Soegondo dkk, 2006).
Menurut WHO kasus DM di Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4
juta orang berada pada rangking 4 dunia setelah India (31,7 juta), Cina
(20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta), dan WHO memperkirakan
akan 2 meningkat pada tahun 2030, India (79,4 juta), Cina (42,3 juta),
Amerika Serikat (30,3 juta), dan Indonesia (21,3 juta) (Soegondo dkk,
2006).
Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk
Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006
diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam
menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya
dan di antara mereka baru sekitar 30 persen yang datang berobat teratur.
Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes yang tidak
menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit
gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya
pengetahuan masyarakat tentang diabetes terutama gejala-gejalanya
sehingga kemudian banyak orang jatuh pada komplikasi diabetes
(Soegondo dkk, 2006).
Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal
yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada
35-45% penderita diabetes melitus terutama pada DM tipe I. Pada tahun
1981 Nefropati diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di
Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani
dialisis disebabkan oleh karena diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh
karena DM tipe ini lebih sering dijumpai. Dibandingkan DM tipe II maka
Nefropati Diabetika pada DM tipe I jauh lebih progresif dan dramatis.
Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa berkomplikasi ke Nefropati
diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir
60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati
diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria
dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria (Wild et al, 2004).
Telah disebutkan bahwa diabetes mellitus menyerang hingga 18%
populasi berusia 65 tahun dan lebih. Diketahui bahwa pasien dengan
diabetes mellitus memiliki resiko penurunan fungsi seiring dengan
berjalannya waktu karena beberapa faktor, yaitu karena komplikasi dari
penyakitnya sendiri dan karena penurunan fungsi tubuh akibat
penambahan usia. Disamping apapun yang diketahui tentang diabetes,
masih sedikit diketahui tentang status nutrisi dari pasien geriatric dengan
kondisi gangguan metabolic disertai dengan penurunan fungsi tubuh
(Setiati dkk, 2006).
Keseimbangan cairan dan elektrolit juga menjadi masalah yang
perlu diperhatikan pada pasien geriatric. Salah satu elektrolit yang penting
dalam tubuh manusia adalah natrium. Hiponatremia berat berhubungan
dengan angka kematian lebih dari 50%, terutama disebabkan oleh edema
otak dan disfungsi system syaraf pusat (Sanjay et al, 2003).
Keseimbangan natrium dapat dipertahankan dalam rentang yang luas
karena ginjal normal dapat mengatur ekskresi natrium sesuai kebutuhan.
Namun, pada pasien geriatric, terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga
terdapat gangguan dalam mengatur ekskresi natrium (Norma et al, 2000).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah penatalaksanaan dari hiponatremia pada pasien tersebut telah
sesuai dengan teori?
Apakah penatalaksanaan dari diabetes mellitus pada pasien tersebut
telah sesuai dengan teori?
Apakah penatalaksanaan dari nefropati diabetic pada pasien tersebut
telah sesuai dengan teori?
Apa saja masalah nutrisi pada pasien tersebut?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari hiponatremia pada
pasien tersebut telah sesuai dengan teori
Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari diabetes mellitus pada
pasien tersebut telah sesuai dengan teori
Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari nefropati diabetic pada
pasien tersebut telah sesuai dengan teori
Untuk mengetahui masalah nutrisi pada pasien tersebut.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Hiponatremia
A. Definisi
Natrium merupakan elektrolit yang terutama terdapat pada cairan
ekstraseluler, dengan konsentrasi antara 135-145 mEq/L. Lebih dari 95% natrium
berada di dalam cairan ekstraseluler, sedangkan hanya sedikit natrium yang
terdapat di dalam cairan intraseluler. Distribusi yang tidak simetris ini memerlukan
transport sodium untuk dipompa keluar sel melawan gradient elektrokemikal
melalui pompa adenosine trifosfat (pompa ATP). Natrium penting dalam mengatur
distribusi cairan tubuh terutama volume cairan ekstraseluler (ECF). Kadar natrium
yang rendah (hiponatremi) mengakibatkan cairan masuk ke dalam sel sehingga
terjadi edema sel. Sebaliknya, kadar natrium yang tinggi (hipernatremi)
mengakibatkan cairan keluar dari sel (Norma et al, 2000).
Gambar 2.1 Natrium dan distribusi cairan tubuh (Norma et al, 2000)
Kebutuhan natrium harian pada individu normal berkisar antara 50 hingga
90 mEq (3-5 g) dalam bentuk NaCl. Keseimbangan natrium dapat dipertahankan
dalam rentang yang luas karena ginjal normal dapat mengatur ekskresi natrium
sesuai kebutuhan (Norma et al, 2000). Hiponatremia didefinisikan sebagai
konsentrasi natrium serum < 130 mEq/L (Stephen et al, 2007).
B. Patofisiologi
Secara umum, patofisiologi hiponatremi dapat terjadi dalam 4 cara, yaitu :
(Norma et al, 2000)
1. Kehilangan natrium, baik melalui ginjal, saluran cerna, maupun kulit
2. Cairan yang berlebih, misalnya pada sekresi ADH yang terlalu tinggi
3. Perpindahan natrium menuju intraseluler, mislanya pada defisiensi kalium
4. Perpindahan cairan dari intraseluler menuju ekstraseluler, misalnya pada
hiperglikemia atau infuse manitol.
Hiponatremia terbagi atas hypotonic hypontremia (osmolaritas
darah < 280 mosm/kg), isotonic hyponatremia (osmolaritas darah 280-295
mosm/kg), dan hypertonic hyponatremia (osmolaritas darah > 295
mosm/kg). Adapun faktor etiologi yang menyebabkan hiponatremia antara
lain : (Norma et al, 2000)
Kehilangan cairan lambung baik akibat muntah maupun gastric
suction dapat mengakibatkan hiponatremia akibat kehilangan natrium
secara langsung. Asupan air lebih lanjut lagi akan mendilusi level natrium
serum. Rasa mual merupakan stimulus yang poten terhadap
pengelauaran hormone ADH, yang mengakibatkan hiponatremia akibat
retensi cairan. Namun, hiponatremia jarang menjadi parah tanpa adanya
intake cairan yang berlebihan. Ketika muntah terjadi di rumah,
kebanyakan pasien akan mengkonsumsi cairan bebas dalam jumlah
banyak sehingga memperparah hiponatremia. Sebuah kasus telah
dilaporkan mengenai pasien wanita muda dengan muntah dan diare yang
hebat disertai intake cairan bebas yang berlebihan mengakibatkan kadar
natrium dalam serum turun hingga mencapai 106 mEq/L hingga
mengakibatkan kematian. Di rumah sakit, kesalahan pemberian cairan
bebas elektrolit (misalnya D5% dalam air) dapat mendilusi konsentrasi
natrium (Norma et al, 2000).
Hiponatremia berat berhubungan dengan angka kematian lebih dari
50%, terutama disebabkan oleh edema otak dan disfungsi system syaraf
pusat (Sanjay et al, 2003). Gejala dan tanda dari hiponatremia sangat
dipengaruhi oleh kadar natrium, onset dan penyebab. Semakin rendah
kadar natrium serum, semakin parah gejala dan tanda yang tampak.
Factor lain yang mempengaruhi adalah onset terjadinya hiponatremia,
dimana onset yang akut lebih parah dibanding kronik. Keparahan
hiponatremi juga dipengaruhi oleh penyebabnya, misalnya intoksikasi air
akut lebih parah dibanding akibat kehilangan natrium kronik (Norma et al,
2000).
Pasien dengan kadar natrium serum <135mEq/L sering tidak
menunjukkan gejala. Gejala terutama muncul pada hiponatremia berat
(kadar natrium serum <120mEq/L). Gejala awal akibat hiponatremia
antara lain gangguan saluran cerna seperti mual dan nyeri perut.
Perhatian utama dari hiponatremia adalah edema otak, yang dapat
bermanifestasi sebagai nyeri kepala, bingung (confusion), letargi, kejang
atau koma. Gejala yang lain termasuk hemiparese, ataksia, nistagmus,
tremor, rigiditas, afasia, kram otot, dan fasikulasi. Namun, sulit ditemukan
gambaran edema otak dari pemeriksaan radiologi. Selain edema otak,
hiponatremia berat juga berhubungan dengan terjadinya disfungsi
kardiovaskuler tremasuk aritmia, hipotensi, hipoksemia, dan edema paru
(Sanjay et al, 2003).
C. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis hypotonic hyponatremia ditegakkan, determinasi
akurat mengenai status hidrasi pasien penting dalam penanganan
selanjutnya. Pada hypovolemic hypotonic hyponatremia, penatalaksanaan
termasuk penggantian cairan yang hilang dengan cairan NaCl 0,9% atau
NaCl 0,45% atau Ringer Laktat (Stephen et al, 2007).
Kecepatan koreksi natrium harus disesuaikan untuk mencegah
kerusakan otak permanen. Koreksi hiponatremia yang terlalu cepat dapat
mengakibatkan kondisi serius yang disebut “osmotic demyelination” atau
“certral pontine myelinosis”. Pada situasi ini, peningkatan kadar natrium
serum mengakibatkan air keluar melewati blood brain barrier, sehingga
terjadi dehidrasi otak dan kerusakan otak (Sanjay et al, 2003).
Terdapat beberapa kontroversi mengenai batasan kecepatan
koreksi hiponatremia. Ayus dan Arieff menyebutkan bahwa peningkatan
25 mEq/L dalam 48 jam pertama dapat mengakibatkan cerebral
demyelination. Sementara Rose berpendapat bahwa hipertonik salin
harus segera diberikan untuk meningkatkan kadar natrium serum lebih
cepat (1,5-2 mEq/L/hari dalam 3-4 jam atau hingga gejala neurologi
hilang) (Norma et al, 2000).
Kebutuhan koreksi natrium dapat dihitung menggunakan rumus
penatalaksanaan hiponatremia dan karakteristik infuse, yang disusun
untuk melihat perubahan natrium serum setelah penderita mendapatkan
1 liter infuse dengan menggunakan rumus berikut :
Jumlah koreksi natrium = (fraksi) x BBI x (125-Na)
dimana fraksinya adalah 0,6 dan 0,5 pada laki-laki dan wanita muda, serta
0,5 dan 0,45 pada laki-laki dan wanita tua,dengan kecepatan 0,5-1
mEq/jam (Sanjay et al, 2003).
2.2 Diabetes Mellitus
WHO (2006) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit
kronis yang terjadi akibat dari ketidak mampuan pankreas untuk
memproduksi insulin yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan
insulin yang diproduksinya dengan efektif. Menurut NDIC, diabetes
mellitus adalah kelainan metabolisme atau cara tubuh mencerna makanan
menjadi energi. Glukosa masuk ke dalam sel dapat melalui dua cara,
yaitu secara difusi pasif dan transport aktif. Secara difusi pasif, masuknya
glukosa tergantung padaperbedaan konsentrasi glukosa antara media
ekstraseluler dan di dalam sel.Secara transport aktif, insulin berperan
sebagai fasilitator pada jaringan jaringan tertentu. Insulin merupakan
hormon anabolik utama yang meningkatkan cadangan energi. Pada
semua sel, insulin meningkatkan kerja enzim yangmengubah glukosa
menjadi bentuk cadangan energi yang lebih stabil (glikogen).
Hiperglikemia pada diabetes mellitus merupakan hasil dari
ketidakcukupan sekresi insulin oleh sel beta Langerhans atau
ketidakmampuan sekresi insulin untuk menstimulasi pengambilan gula
darah seluler. Dengan demikian,diabetes mellitus merupakan hasil dari
ketidaksesuaian sekresi atau kerja insulin (Wheatley,1993).
Menurut Hartono (2006) kegagalan pengendalian gula darah terjadi
karena dua hal: (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau
tidak ada. (2) penurunan sensitivitas reseptor insulin akibat sekresi insulin
yang meningkat. Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon
insulin akan mengakibatkan diabetes tipe 1, sedangkan bertambahnya
penurunan sensitivitas reseptor insulin dengan penurunan kuantitas dan
kualitas insulin menyebabkan diabetes tipe 2.
2.2.1 Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin
untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn, 2001).
Diabetes tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas
guna mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi
insulin, yang mana menjadipenyebab menurunnya sensitivitas insulin
(Jacquie et al. 2004).
A. Patofisiologi
Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di
permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin, reseptor insulin
akan memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan
lewatnya gula (glukosa) yang dibawaoleh hormon insulin masuk ke dalam
sel. Di dalam mitokondria, gula tersebut kemudian akan digunakan untuk
menghasilkan energi atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan
fungsi setiap sel tubuh (Hartono, 2006).
Penyebab terjadinya penurunan sensitivitas insulin karena
peningkatan kebutuhan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar
glukosa darah. Meningkatnya sekresi insulin akan membawa pada
kegagalan dari sel beta pankreas dalam menghasilkan insulin, yang
merupakan inti dari ketidak normalan diabetes tipe 2 (Jacquie et al, 2004).
Orang yang obesitas dan kurang olah raga mempunyai resiko terhadap
penyakit diabetes tipe 2 dengan menunjukkan gejala penurunan
sensitivitas insulin yaitu (1) jumlah insulin di dalam darahnya meningkat
lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, (2) penyuntikan insulin
tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah pada keadaan menurunnya
sensitivitas insulin (Rubin, 2004).
Penurunan berat badan dapat meningkatkan sensitivitas insulin.
Efek penurunan berat badan terhadap sekresi insulin pada penderita
diabetes mellitus tergantung pada jumlah respon sekresi insulin yang
dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Sel beta pankreas pada awalnya
meningkatkan sekresi insulin dan C-peptida dengan jumlah yang cukup
tinggi pada penderita obesitas, sebab pankreas harus mengganti
bertambahnya penurunan sensitivitas insulin yangdisebabkan oleh
pengeluaran insulin yang berlebihan (Pi-Sunyer, 1996).
Pada penderita diabetes tipe 2, terdapat tiga kondisi abnormal yang
mungkin dimiliki. Pertama, mutlak kekurangan insulin dalam arti sekresi
hormon insulin berkurang karena kerusakan sel-sel beta pankreas. Kedua,
relative kekurangan insulin dimana sekresi insulin tidak mencukupi
dengan adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat (misalnya pada
pasien yang kelebihanberat badan). Ketiga, resisten terhadap insulin dan
hiperinsulinemia karena penggunaan insulin perifer yang kurang
sempurna (Kendall and Harmel, 2002).
Penurunan sensitivitas insulin adalah kelainan metabolik yang
dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall &
Harmel, 2002). Menurut NDIC (2006) penurunan sensitivitas insulin
adalah kondisi diam yang meningkatkan rantai perkembangan penyakit
diabetes mellitus dan penyakit jantung. Penurunan sensitivitas insulin
terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Diabetes tipe
2 sering disertai oleh penurunan sensitivitas insulin pada organ sasaran
yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin
endogenus maupun eksogenus. Penurunan sensitivitas insulin mungkin
terjadi pada banyak tahapan dalam aksi biologi insulin, dari awal telah
terjadi pengikatan permukaan sel reseptor pada proses phosphorilasi
yang dimulai oleh autophosphorilasi pada reseptor insulin. Penurunan
sensitivitas insulin biasanya , paling banyak ditemukan pada kegemukan
dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) pada wanita (65%), tetapi
dapat juga ditemukan pada 20 persen dari selain PCOS pada wanita
(Dale et al.1998).
Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada
Gambar 1. insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan
menempati reseptornya, yang kemudian akan memberikan signal
transduction pada glucose transporter untuk dapat melakukan penyerapan
glukosa, sehingga glukosa yang beredardalam darah akan masuk ke
dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita diabetes tipe 2
dapat disebabkan oleh kerusakan signal transduction. Kerusakan ini dapat
dimulai dari insulin abnormal sampai kerusakan penerima insulin pada
pengangkut glukosa.Hubungan langsung antara penurunan sensitivitas
insulin dan kegemukan telahdiketahui dengan baik, dan kegemukan
adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe 2.
Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, dan pola
tertentu dari penyimpanan lemak (misalnya penyimpanan lemak dalam
perut) lebih berhubungan dengan penurunan sensitivitas insulin. Meskipun
otot rangka biasanya dianggap sebagai jaringan utama yang
menggunakan glukosa, pengambilan glukosa juga berhubungan dengan
jaringan adipose (Dale et al, 1998).
Gambar 2.2 Mediasi insulin dalam prosesuptake glukosa (Cartailler,
2004)
B. Gambaran Klinis
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala
yang perlu mendapat perhatian dalam Soegondo dkk (2006) ialah :
a. Keluhan Klasik
Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah tanpa sebab yang jelas
Banyak kencing (poliuria)
Banyak minum (polidipsia)
Banyak makan (polifagia)
b. Keluhan Lain
Gangguan saraf tepi / kesemutan
Gangguan penglihatan (kabur)
Gatal / bisul yang hilang timbul
Gangguan Ereksi
Keputihan
Gatal daerah genital
Infeksi sulit sembuh
Cepat Lelah
Mudah mengantuk
C. Diagnosis
Penyakit ini mudah diketahui dengan cara memeriksakan kadar
glukosa darah. Yang sulit adalah bila tidak ada gejala. Diagnosis diabetes
dalam Soegondo dkk (2006) dipastikan bila :
1. Terdapat keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai
dengan satu nilai pemeriksaan glukosadarah tidak normal (glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa > 126mg/dl).
2. Terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak
khas (lemah,kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus
vulvae) disertai dengan dua nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal
(glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl dan glukosa darah puasa > 126
mg/dl yang diperiksa pada hari yang sarna atau pada hari yang berbeda).
Tabel 2.1 Penentuan diagnosis diabetes melitus menggunakan kadar
gula darah
Bukan DMBelum Pasti
DMPasti DM
Kadar glukosa
darah
sewaktu
(mg/dl)
Plasma vena< 100 100-199 > 200
Darah Kapiler < 90 90-99 >100
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 >126
Darah Kapiler < 90 90-99 >100
Dari tabel diatas untuk kelompok resiko tinggi yang tidak
menunjukkan kelainan hasil,dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun.
Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Adapun kriteria diagnostik WHO, adalah :
1. Gejala klasik DM + gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl.
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
2. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
Standard WHO,menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.
D. Penatalaksanaan
Kontrol kadar glukosa darah yang normal dapat menurunkan risiko
komplikasi diabetes mellitus. Target dari kadar glukosa darah (yang
ditunjukkan dari kadar A1C) sangatlah individual. Hal yang mempengaruhi
antara lain usia, keparahan komplikasi yang telah ada, dan pola hidup.
Secara umum, target A1C harus <7,0% (Powers, 2005).
Pada DM tipe 1, mutlak diperlukan terapi insulin. Replacement
insulin harus sesuai dengan asupan karbohidrat dan penggunaan serta
penyimpanan glukosa secara normal. Tujuan terapi DM tipe 2 mirip
dengan tujuan terapi pada DM tipe 1, ditambah perhatian terhadap kondisi
yang menyertai DM tipe 2 (obesitas, hipertensi, dislipidemi) serta
manajemen terhadap komplikasi yang ada (Powers, 2005).
Adapun pilar penatalaksanaan DM adalah : (Soegondo dkk, 2006)
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pada dasarnya pengelolaan DM tanpa dekompensasi metabolik
dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan kegiatan jasmani yang
cukup selama beberapa waktu (4 - 8 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum memenuhi kadar sasaran metabolik yang
diinginkan, baru diberikan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan
insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik,
misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, insulin/obat berkhasiat hipoglikemik dapat segera
diberikan. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat
dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu
(Soegondo dkk, 2006).
Intervensi Farmakologis
Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan kegiatan
jasmani yang teratur namun pengendalian kadar glukosa darahnya belum
tercapai (lihat sasaran pengendalian glukosa darah), dipertimbangkan
pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan).
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik
golongan sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus
diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk
memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati
atau ginjal. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan,
yaitu : (Soegondo dkk, 2006)
a. Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat
golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari.
2. Glinid
Obat ini merupakan obat yang bekerja sama dengan sulfonylurea,
dengan penekanan pada peningkatan insulin fase pertama.
b. Penambah sensitivitas insulin
1. Tiazolidindion
Obat ini beikatan dengan Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma(PPAR-∂), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak sehingga mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga ambilan glukosa perifer meningkat.
c. Penghambat glukoneogenesis
1. Biguanid (Metformin)
Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat
golongan ini terutama dianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada
pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro
kardiovaskular).
d. Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus
halus, sehingga menurunkan kadar glukosa sesudah makan.
2. Insulin
Indikasi penggunaan insulin pada DM - tipe 2 :
ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat
penurunan berat badan yang cepat
hiperglikemia berat yang disertai ketosis
ketoasidosis diabetic
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik
hiperglikemia dengan asidosis laktat
stres berat (infeksi sistemik, operasi berat, IMA, stroke)
kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan.
tidak berhasil dikelola dengan OHO dosis maksimal atau ada kontra
indikasi dengan OHO
gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau
metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik
oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea,
acarbose + metformin atau sulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil
dapat pula digunakan untuk menghindari efek samping masing-masing
kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO bila
belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinik di
mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai (soegondo dkk, 2006).
Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun
secara kombinasi sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan
adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat
dipakai kombinasi OHO dan insulin (Soegondo dkk, 2006).
Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja
cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin
kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat diperoleh
keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang
diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang
malam hari (Soegondo dkk, 2006).
Gambar 2.3 Tatalaksana DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolic
(Soegondo dkk, 2006)
Evaluasi
Evaluasi berkala pada pasien DM tipe 2 :
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah
makan sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
Setiap 1 (satu) tahun dilakukan pemeriksaan:
Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin
Albumin / globulin dan ALT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dantrigliserida
EKG
Foto sinar-X dada
Funduskop
E. Komplikasi
Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang
menyerang beberapaorgan dan yang lebih rumit lagi, penyakit diabetes
tidak menyerang satu alat saja, tetapi berbagaiorgan secara bersamaan.
Komplikasi ini dibagi menjadi dua kategori : (Powers, 2005)
a.Komplikasi metabolik akut : ketoasidosis dan hipoglikemia.
b.Komplikasi- komplikasi vaskular jangka panjang :
Mikroangiopati :
o retinopati, nefropati, neuropati.
Makroangiopati :
o Klaudikasio intermitten,
o gangren,
o infark
o miokardium dan angina
2.3 Nefropati Diabetik
A. Definisi
Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang
merupakan penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA.(5) Ada 5 fase
Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR,
AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi albumin
relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih
terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam
berkembang menjadi Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro
albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Dipstick positif proteinuria, ekresi
albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi
biasanya terdapat. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD),
dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt
(Hartono, 2006).
B. Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi
dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang
lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Hartono, 2006).
C. Faktor Resiko
Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati
Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa
factor resiko antara lain: (Carolyn, 2001).
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe
antigen HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita
diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose trasporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi
untuk mendapat Nefropati Diabetik.
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani
D. Patofisiologi
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan
dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM)
yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume
ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen,
lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole
aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada
diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada
hiperfiltrasi glomerus (Hartono, 2006).
E. Gambaran Klinik
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes melitus tipe I (IDDM)
dapat dibedakan dalam 5 tahap :
1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50%
diatas nilai normal menurut usia.
Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.
Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
2. Stadium II (Silent Stage)
Ditandai dengan:
Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus
ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara
dengan eksresi protein 30-300mg/24j.
Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
Proteinuria menetap(>0,5gr/24j), Hipertensi, Penurunan laju filtrasi
glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan
dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk
sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati
Diabetika antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM).
Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis
ditegakkan dan keadaan ini seringkali reversibel dengan perbaikan status
metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan
prognosis yang buruk.
F. Diagnosis
Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan
visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat criteria
diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan
sederhana. Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi
persyaratan seperti di bawah ini : (Hartono, 2006)
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang persisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum >2,5mg/dl .
Data yang didapatkan pada pasien antara lain : (Hartono, 2006)
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan
tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri,
polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa:
kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia,
impotensi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang
merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan
Funduskopi, berupa :
1. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam
kapiler retina.
2. Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler
vena.
3. Eksudat berupa :
Hard exudate : berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.
Cotton wool patches : berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina
4. Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena
obstruksi kapiler.
5. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan
permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6. Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau
CRF end stage, didapatkan perubahan berupa :
- cardiomegali
- oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan
interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau
proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
G. Penatalaksanaan
A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia
Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk
mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati.
a. Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &
Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan
obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat
individual tergantung dari penyakit
penyerta :
- Hiperkolesterolemia
- Urolitiasis (misal batu kalsium)
- Hiperurikemia dan artritis Gout
- Hipertensi esensial
b. Pengendalian hiperglikemia
1. Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin
seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)
b) Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein
d) glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan membran basal dan
hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus
(perm selectivity).
e) Memperbaiki faal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa
sebagai pencetus nefomegali.
f) Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai
petanda hipertensi esensial dan nefropati.
g) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-
like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.
h) Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
2. Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek
farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell
(ASMC).
d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.
3. Pengendalian hipertensi
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat
antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek
samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah
nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas
dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC)
a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)
Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat
mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).
b. Golongan antagonis kalsium
Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping) :
1) Efek inotrofik negatif
2) Efek pro-aritmia
3) Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau
nondihydropiridine.
c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus
memperhatikan kondisi setiap pasien :
Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik minimal
misal atenolol.
Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.
Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untnuk
pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.
B. Nefropati Diabetik Nyata
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk
mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan
efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.
2) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan
permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai
penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum
pemilihan obat antihipertensi antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
- Miokard iskemi/infark
- Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.
b. Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah
progresivitas penurunan faal ginjal.
2) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik,
tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk
mengurangi ekskresi proteinuria.
a) Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling
efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya.
b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium
golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada
nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.
c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT) kombinasi
penghambar EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine
mempunyai efek.
3) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat
antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis
lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan
mikroangiopati lainnya.
a) Retinopati diabetik
Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi
kolesterol-LDL.
C. Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage diabetic nephropathy)
Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual
tergantung dari umur, penyakit penyerta dan faktor indeks ko-morbiditas.
2. 4 Nutrisi pada Diabetes
A. Metabolisme Zat Gizi Pada Penderita Diabetes
Metabolisme basal (MB) pada diabetes mellitus biasanya tidak
banyak berbeda dari orang normal, kecuali pada keadaan yang parah dan
tak terkendali. Pada keadaan puasa kadar glucose darah yang normal
adalah 70 – 90 per 100 ml. Pada diabetes yang berat angka tersebut
dapat mencapai 400 mg per 100 ml atau lebih.
Sintesa asam lemak pada penderita DM akan menurun, sebaliknya
oksidasi akan meningkat. Hasil metabolisme asam lemak yang berlebihan
akan meningkatkan kadar acetone heta hydroxylic acid dan acetoacetic
acid yang selanjutnya menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai
acidosis.
Sebagai akibat ketidaknormalan metabolisme hidrat arang, protein
akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh melalui
proses deaminasi asam amino. Pemecahan protein tersebut akan
menyebabkan peningkatan glucosa darah dan pembakaran asam lemak
yang tidak lengkap (Hiswani, 2007).
B. Kebutuhan Zat Gizi Pada Penderita Diabetes
Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang
cukup dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh.
Pengetahuan porsi makanan sedemikian rupa sehingga supan zat gizi
tersebar sepanjang hari. Penurunan berat badan ringan atau sedang (5 –
10 kg), sudah terbukti dapat meningkatkan kontrol diabetes, walaupun
berat badan idaman tidak dicapai.
Penurunan berat badan dapat diusahakan dicapai dengan baik
dengan penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan
pengeluaran energi. Dianjurkan pembatasan kalori sedang yaitu 250-500
Kkal lebih rendah dari asupan rata-rata sehari (Hiswani, 2007).
Kebutuhan zat gizi dapat diuraikan di bawah ini : (Hiswani, 2007)
1. Protein.
Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang
asupan protein orang dengan diabetes. ADA pada saat ini menganjurkan
mengkonsumsi 10% sampai 20% energi dari protein total. Menurut
konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia kebutuhan protein untuk
orang dengan diabetes adalah 10 – 15% energi.
Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari atau 10%
dari kebutuhan energi dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa dan
65% hendaknya bernilai biologi tinggi.
2. Total Lemak.
Asupan lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih
10% energi dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60
– 70% total energi dari lemak tidak jenuh tunggak dan karbohidrat.
Distribusi energi dari lemak dan karbohidrat dapat berbeda-beda setiap
individu berdasarkan pengkajian gizi dan tujuan pengobatan. Anjuran
persentase energi dari lemak tergantung dari hasil pemeriksaan glukosa,
lipid, dan berat badan yang diinginkan.
Untuk individu yang mempunyai kadar lipid normal dan dapat
mempertahankan berat badan yang memadai (dan untuk pertumbuhan
dan perkembangan normal pada anak dan remaja) dapat dianjurkan tidak
lebih dari 30% asupan energi dari lemak total dan < 10% energy dari
lemak jenuh. Dalam hal ini anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20 –
25% energi.
Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama, dapat diikuti
anjuran diet dislipidemia tahap II yaitu < 7% energi total dari lemak jenuh,
tidak lebih dari 30% energi dari lemak total dan kandungan kolesterol 200
mg/hari.
Apabila peningkatan trigliserida dan VLDL merupakan masalah
utama, pendekatan yang mungkin menguntungkan selain menurunkan
berat badan dan peningkatan aktivitas adalah peningkatan sedang asupan
lemak tidak jenuh tunggal 20% energi dengan < 10% masing energy
masing-masing dari lemak jenuh dan tidak jenuh ganda sedangkan
asupan karbohidrat lebih rendah. Perencanaan makan tinggi lemak tidak
jenuh tunggal dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan nuts,
alpukat dan minyak zaitun. Namun demikian pada individu yang
kegemukan peningkatan asupan lemak dapat memperburuk
kegemukannya. Pasien dengan kadar trigliserida > 1000 mg/dl mungkin
perlu penurunan semua tipe lemak makanan untuk menurunkan kadar
lemak plasma dalam bentuk kilomikron.
3. Lemak Jenuh dan Kolesterol.
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolestrol
adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu
< 10% asupan energi sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan
makanan kolesterol makanan hendaknya dibatasi tidak lebih dari 300 mg
perhari. Namun demikian rekomendasi ini harus disesuaikan dengan latar
belakang budaya dan etnik.
4. Karbohidrat dan Pemanis.
Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah total
karbohidrat dari pada jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal,
menilai kembali fruktosa dan lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu
sudah terbukti mempunyai respon glikemik menyerupai roti, nasi dan
kentang. Walaupun berbagai tepung-tepungan mempunyai respon
glikemik yang berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah total
karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber karbohidrat. Anjuran
konsumsi karbohidrat untuk orang dengan diabetes di Indonesia adalah
60 – 70% energi.
5. Sukrosa.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa sebagai
bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah
pada individu dengan diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang
mengandung sukrosa harus diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat
makanan lain dan tidak hanya dengan menambahkannya pada
perencanaan makan. Dalam melakukan substitusi ini kandungan zat gizi
dari makanan-makanan manis yang pekat dan kandungan zat gizi
makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, demikian
juga adanya zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak
yang sering dimakan bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang
bervariasi memberikan lebih banyak zat gizi dari pada makanan dengan
sukrosa sebagai satu-satunya zat gizi.
6. Pemanis.
a. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil dari pada sukrosa dan
kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam hal ini fruktosa
dapat memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis pada diet
diabetes. Namun demikian, karena pengaruh penggunaan dalam jumlah
besar (20% energi) yang potensial merugikan pada kolesterol dan LDL,
fruktosa tidak seluruhnya menguntungkan sebagai bahan pemanis untuk
orang dengan diabetes. Penderita dislipidemia hendaknya menghindari
mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah besar, namun tidak ada alas an
untuk menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengnadung fruktosa alami ataupun konsumsi sejumlah sedang
makanan yang mengandung pemanis fruktosa.
b. Sorbitol, mannitol dan xylitol adalah gula alkohol biasa (polyols) yang
menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari pada sukrosa dan
karbohidrat lain. Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan dapat
mempunyai pengaruh laxatif.
c. Sakarin, aspartam, acesulfame adalah pemanis tak bergizi yang dapat
diterima
1. sebagai pemanis pada semua penderita DM.
7. Serat.
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama
dengan untuk orang yang tidak diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 20 –
35 g serat makanan dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia
anjurannya adalah kira-kira 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut.
8. Natrium.
Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan
penduduk biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi yang
menderita hipertensi ringan sampai sedang, dianjurkan 2400 mg natrium
perhari.
C. Prinsip Perencanaan makan orang dengan diabetes di Indonesia
1. Kebutuhan Kalori.
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal komposisi energi adalah 60 – 70% dari karbohidrat, 10 -
15% dari protein dan 20 – 25% dari lemak. Ada beberapa cara untuk
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan orang dengan diabetes.
Diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah dan
dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur,
aktifikasi, kehamilan/laktasi, adanya komplikasi dan berat badan. Cara lain
adalah seperti tabel 1. Sedangkan cara yang lebih mudah lagi adalah
dengan pegangan kasar, yaitu untuk pasien kurus 2300 – 2500 kalori,
normal 1700 – 2100 kalori dan gemuk 1300 - 1500 kalori (hiswani, 2007).
Tabel 2.2 Kebutuhan Kalori Orang Dengan Diabetes.
Perhitungan Berat Badan Idaman.
Dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Berat badan idaman = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, atau bagi mereka yang berumur lebih dari 40 tahun, rumus
dimodifikasi menjadi.
Berat badan ideal = (TB dalam cm – 100) x 1 kg.
Sedangkan menurut Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh
(IMT) yaitu berat badan (kg) TB2 sebagai berikut :
Berat ideal : BMI 21 untuk wanita, BMI 22,5 untuk pria.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori.
1. Jenis Kelamin.
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria, untuk ini
dapat dipakai angka 25 kal/kg BB untuk wanita dan angka 30 kal/kg BB
untuk pria.
2. Umur.
Pada bayi dan anak-anak kebutuhan kalori adalah jauh lebih tinggi
daripada orang dewasa, dalam tahun pertama bisa mencapai 112
kg/kg BB.
Umur 1 tahun membutuhkan lebih kurang 1000 kalori dan selanjutnya
pada anak-anak lebih daripada 1 tahun mendapat tambahan 100 kalori
untuk tiap tahunnya.
Penurunan kebutuhan kalori diatas 40 tahun harus dikurangi 5% untuk
tiap decade antara 40 dan 59 tahun, sedangkan antara 60 dan 69
tahun dikurangi 10%, diatas 70 tahun dikurangi 20%.
3. Aktifitas Fisik atau Pekerjaan.
Jenis aktifitas yang berbeda membutuhkan kalori yang berbeda
pula. Jenis aktifitas dikelompokan sebagai berikut :
Keadaan istirahat : kebutuhan kalori basal ditambah 10%.
Ringan : pegawai kantor, pegawai toko, guru, ahli hukum, ibu rumah
tangga, dan lain-lain kebutuhan harus ditambah 20% dari kebutuhan
basal.
Sedang : pegawai di insdustri ringan, mahasiswa, militer yang sedang
tidak perang, kebutuhan dinaikkan menjadi 30% dari basal.
Berat : petani, militer dalam keadaan latihan, penari, atlit, kebutuhan
ditambah 40%.
Sangat berat : tukang beca, tukang gali, pandai besi, kebutuhan harus
ditambah 50% dari basal.
4. Kehamilan/Laktasi.
Pada permulaan kehamilan diperlukan tambahan 150 kalori/hari
dan pada trimester II dan III 350 kalori/hari. Pada waktu laktasi diperlukan
tambahan sebanyak 550 kalori/hari.
5. Adanya komplikasi.
Infeksi, Trauma atau operasi yang menyebabkan kenaikan suhu
memerlukan tambahan kalori sebesar 13% untuk tiap kenaikkan 1 derajat
celcius.
6. Berat Badan.
Bila kegemukan/terlalu kurus, dikurangi/ditambah sekitar 20-30%
bergantung kepada tingkat/kekurusannya (HIswani, 2007).
2. Gula.
Gula dan produk-produk lain dari gula dikurangi, kecuali pada
keadaan tertentu, misalnya pasien dengan diet rendah protein dan yang
mendapat makanan cair, gula boleh diberikan untukmencukupi kebutuhan
kalori, dalam jumlah terbatas. Penggunaaan gula sedikit dalam bumbu
diperbolehkan sehingga memungkinkan pasien dapat makan makanan
keluarga. Penggunaaan gula untuk minuman dapat diberikan sesuai
petunjuk bila diperlukan.
2.4.1 Nutrisi Pada Geriatri dengan Diabetes Mellitus
Terapi gizi medis
Model empat-langkah terapi nutrisi medis dimulai dari penilaian,
diikuti dengan penetapan tujuan, institusi intervensi dan, akhirnya,
evaluasi dan problem-solving (Turnbull and Sinclair, 2002).
Suatu penilaian gizi meliputi evaluasi diagnosa medis, pengukuran
parameter antropometrik dan indeks biokimia, dan peninjauan
pengobatan. Riwayat nutrisi menyeluruh akan mencakup evaluasi pilihan
makanan pasien dan pola makan, penggunaan alkohol atau suplemen
mikronutrien, riwayat berat badan, dan kebutuhan gizi. unsur lain dalam
penilaian gizi mencakup penilaian riwayat latihan dan masalah psikososial
yang ada dan dasar pengetahuan pasien yang berkaitan dengan diabetes
dan gizi, serta keinginan pasien dan kemampuan untuk berubah. Unsur-
unsur penilaian ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komponen Penilaian Nutrisi (Turnbull and Sinclair, 2002)
A. klinis data : diagnosa medis yang menyertai, pengukuran antropometri, indeks
biokimia, obat-obatan
B. Riwayat nutrisi
a) pilihan makanan biasa / pola makan
b) Penggunaan alkohol
c) Vitamin / mineral suplemen
d) Interaksi obat dan nutrisi
e) Riwayat berat badan
f) kalori asupan dan kebutuhan gizi
C. komponen lainnya
a) Kegiatan/ riwayat olahraga
b) masalah psikososial
c) Pengetahuan gizi / keterampilan manajemen diabetes
d) Sikap terhadap perubahan
Orang dewasa yang lebih tua, khususnya mereka dengan
hiperglikemia yang tidak terkendali, akan beresiko kekurangan
gizi. Perubahan terkait usia di berbagai fungsi fisiologis, termasuk
perubahan dalam rasa, bau, dan keasaman lambung, meningkatkan risiko
kekurangan gizi. Pasien diabetes yang lebih tua berisiko lebih besar untuk
vitamin B1, B12, C, D, dan defisiensi folat, serta kekurangan berbagai
mineral, termasuk kalsium, seng, dan magnesium (Turnbull and Sinclair,
2002).
Oleh karena itu, praktisi harus memperhatikan indikator klinis status
gizi buruk. Indikator yang paling penting adalah berat badan yang
berubah, misalnya, rentang berat di mana seseorang tampaknya telah
stabil selama beberapa tahun terakhir. Secara umum, penurunan atau
penambahan berat badan sebesar 4,5 kg atau lebih dalam 6 bulan
dianggap sebagai indikator status gizi buruk. Indikator lain status gizi
buruk yang tercantum dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Indikator Status Gizi Buruk, 52, 53
1. Berat perubahan signifikan
a) 10% dari berat tubuh dalam 6 bulan
b) Penurunan dan penambahan berat badan > dari 4,5 kg dalam 6 bulan
2. Data antropometri
a) Indeks massa tubuh <22 atau> 27
b) Mid-lingkar otot lengan <10 persentil
c) lipatan kulit triceps <10 atau >95 persentil
3. Laboratorium Data
a) prealbumin serum <15 mg / dl
b) transferin serum <200 mg / dl
c) albumin serum <3,5 g / dl
d) kolesterol serum <160 mg / dl
American Diabetes Association diet tidak lagi direkomendasikan,
terapi gizi subyek dengan diabetes harus individual. Secara umum,
persyaratan penurunan kalori sebesar 20-30% pada orang dewasa yang
lebih tua. Selain usia, sejumlah faktor menentukan kebutuhan kalori. Ini
termasuk jenis kelamin, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan pola
aktivitas.
Kebutuhan untuk menurunkan berat badan harus dievaluasi secara
cermat. Rendah berat badan telah dikaitkan dengan morbiditas dan
mortalitas yang lebih besar pada orang tua. Penderta diabetes subjek
yang lebih tua, terutama di rumah jompo, cenderung kurus daripada
overweight.
Kandungan protein diet harus merupakan 10-20% dari kalori, dan
dalam kondisi apapun harus itu <0,8 g / kg / hari. Peningkatan kebutuhan
protein dan kalori selama penyembuhan luka, infeksi, dan stressor lainnya
yang diketahui.
Persentase CHO dalam diet harus individual. Secara umum, jumlah
total CHO lebih penting daripada sumbernya. Sukrosa atau makanan yang
mengandung sukrosa dapat menggantikan CHO lain dalam rencana diet.
Kandungan lemak dari diet juga harus disesuaikan masing-masing
individu. Sebelum meresepkan rendah kolesterol, diet rendah lemak
jenuh, risiko risiko penyakit kardiovaskuler memberatkan harus
dipertimbangkan terhadap resiko kekurangan gizi. Jika diet rendah
kolesterol dimulai, pembatasan harus dibatasi.
Rekomendasi saat ini 20-35 g serat per hari mungkin terlalu tinggi
untuk beberapa pasien yang lebih tua. Asupan serat harus ditingkatkan
secara bertahap dan harus disertai dengan asupan cairan yang cukup
atau kegiatan fisik. Meningkatkan asupan serat dalam keadaan bedrest,
dehidrasi, mata pelajaran yang lebih tua dapat menimbulkan sindrom
reservoir terminal, suatu kondisi yang terjadi pada beberapa individu
dengan motilitas usus yang rendah dimana bahan tinja akan terakumulasi
di segmen terakhir dari kolon sigmoid.
Rekomendasi untuk membatasi minuman beralkohol untuk 2/day
mungkin juga berlebihan untuk orang dewasa yang lebih tua karena
seringkali telah mengalami penurunan toleransi terhadap alkohol. Tingkat
pembatasan natrium <2.400 mg / hari untuk pengobatan hipertensi atau
gagal jantung kongestif harus dievaluasi secara cermat. Persepsi rasa
menurun berkaitan dengan penuaan dalam kombinasi dengan
pembatasan natrium yang parah dapat menyebabkan asupan makanan
tidak memadai.
Suplementasi mikronutrien harus disesuaikan masing-masing
individu berdasarkan defisiensi mikronutrien yang diketahui. Bagi mereka
dengan asupan diet yang buruk, suplemen multivitamin setiap hari
mungkin tepat. Semua orang dewasa harus didorong untuk mengambil
sedikitnya 1.000 mg kalsium elemental sehari-hari.Secara umum, dosis
besar vitamin harus dihindari.
Pada rangkaian perawatan jangka panjang, kekurangan gizi
merupakan masalah serius, dan dehidrasi seringkali terjadi. Penyebab
umum malnutrisi terkait dengan layanan makanan dalam perawatan
jangka panjang termasuk pembatasan yang tidak pantas, rendahnya
kualitas makanan, kurangnya pilihan dan variasi, dan kurangnya
pertimbangan bagi preferensi etnis dan budaya.
Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi melalui pola
makan makanan normal padat, maka intervensi dukungan gizi
diindikasikan. Hal ini dapat sesederhana memodifikasi asupan makanan
yang biasa dengan mengubah kandungan gizi, kepadatan makanan, atau
tekstur, atau dapat menjadi regimen lebih kompleks menggunakan
suplementasi enteral dan parenteral. Diet ADA sebelumnya itu tidak
berpengaruh signifikan terhadap kontrol glisemik pada penduduk diabetes
dalam jangka panjang . Istilah " diet CHO konsisten " adalah sistem baru
yang direkomendasikan pada fasilitas perawatan jangka panjang.
Rencana tersebut mencakup prinsip-prinsip dasar memberitahukan diet
dan mendistribusikan CHO sepanjang hari. Ini mencakup porsi kecil
makanan penutup reguler, dan CHO diberikan pada saat makan dan
makanan ringan, selama mereka konsisten dari hari ke hari. Rencana ini
berfokus pada penyediaan makanan bagi pasien diabetes yang menarik
dan mirip dengan yang diberikan kepada warga lain pada fasilitas
perawatan jangka panjang, tetapi yang tidak memiliki efek buruk pada
kontrol glikemik (Turnbull and Sinclair, 2002).
BAB 3
Data Medis Pasien
3.1 Identitas
Nama Lengkap : Ny. Chunainah
Tanggal lahir : 1 Januari 1923
Umur : 87 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seduro Puro Rt 2 RW 3 Rejoso, Pasuruan
Telp : 0343-6215081
Pekerjaan : Sudah tidak bekerja
Status : Menikah
Pendidikan : Pesantren, setaraf Sekolah Menengah Atas
Etnis/suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 22 September 2010
Rekam Medis : 10925xxx
3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis dengan anak pasien)
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
Pasien dibawa ke RS Saiful Anwar (RSSA) pada tanggal 22
September 2010 karena tidak sadarkan diri. Pasien tiba-tiba tidak
sadarkan diri (jatuh pingsan) 4 hari sebelum masuk rumah sakit, siang hari
setelah solat dhuhur. Saat itu, pasien dibawa ke Puskesmas di Grati,
Pasuruan. Karena fasilitas tidak memadai, pasien dirujuk ke RS Purut
Pasuruan. Di RS Pasuruan, keluarga pasien diberitahu bahwa pasien
pingsan karena gula darah turun ( <50). Pasien dirawat selama 3 hari di
RS Pasuruan. Selama dirawat, kondisi pasien mengalami perbaikan.
Namun, pada hari ketiga dirawat pasien kembali tidak sadarkan diri. Saat
itu, badan pasien kaku dan mata melirik ke atas. Sehingga pasien dirujuk
ke RSSA untuk dilakukan CT scan kepala.
Pasien juga mengalami mual dan muntah 7 hari sebelum dibawa ke
rumah sakit. Muntah sebanyak 2 kali sehari, sebanyak ¼ gelas, berisi
cairan dan sisa makanan. Ketika dirawat di Pasuruan, mual dan muntah
yang dirasakan semakin parah. Pasien dapat muntah sebanyak 5 kali
sehari. Muntah tidak menyemprot. Nafsu makan menurun
Pasien mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis.
Satu tahun yang lalu berat pasien 63 kg, namun sekarang tinggal 45 kg.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menderita penyakit kencing manis lebih dari 20 tahun.
Selama itu, pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan berobat ke mantri
desa jika merasa tidak enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini pasien
kadang periksa ke dokter umum di Grati. Pasien diberi obat minum
(glibenklamid), sehari dua kali. Namun, oleh pasien obat ini hanya
diminum jika pasien merasa tidak enak badan.
Pasien sudah berkali-kali di rawat di rumah sakit karena penyakit
kencing manis. Dalam 1 tahun terakhir, pasien sudah dirawat lebih dari 5
kali. Terakhir pasien dirawat di RS Grati pada bulan Agustus (sebelum Idul
Fitri) selama 5 hari karena kadar gula darah yang tinggi dan mual muntah.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik terhadap makanan
maupun terhadap obat.
Riwayat Pribadi
Hobi : memasak
Olahraga : berjalan kaki, namun pasien tidak pernah olahraga
lagi selama 5 tahun terakhir
Kebiasaan makan : satu tahun terakhir, pasien hanya mau makan nasi
lunak dan kuah sayur. Pasien tidak mau makan lauk
apapun. Pasien makan sehari lima kali, 2 sendok
makan setiap makan.
Merokok : Tidak merokok
Minum alkohol : Tidak minum alkohol
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan sakit : berat
Gizi : kesan kurang
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 45 kg
BMI : 18,7 kg/m2
Kesadaran : delirium
GCS : 345
Tanda vital : Tensi 130/80 mmHg
Nadi 88 x/mnt, regular
RR 24 x/mnt
Tax 36,20C
Kulit : tekstur kulit kering
Kepala-Leher : JVP R+2 cmH2O pada posisi 30o
Telinga : tidak didapatkan kelainan
Hidung : tidak didapatkan kelainan
Mulut- Tenggorokan : tidak didapatkan kelainan
Mata : Conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Pengembangan dada simetris, nafas spontan
adekuat
Stem fremitus D = S
P s/s A v/v Rh - /- Wh -/-
s/s v/v -/- -/-
s/s v/v -/- -/-
Jantung :Iktus invisible, palpable pada 2 cm lateral MCL ICS
VI sinistra
RHM ~ SL dextra
LHM ~ iktus
S1 S2 single, murmur (-)
Abdomen : Flat, soefl, bising usus (+) N
Hepar: hepar tidak teraba, liver span 8 cm
Lien: lien tidak teraba, traube space tympani
Punggung : kelainan bentuk (-)
Ekstremitas : Edema -/-
-/-
Neurologi : tremor (-), kelemahan (-)
Bicara : lancar dengan orientasi buruk
3.4 Pemeriksaan Penunjang
22 September 2010
LabValue Lab Value
Leukocyte 9.300 3500-10000/µL Na 113 136-145 Mmol / L
Hemoglobin 10.2 11,0-16,5g/dl K 3.9 3,5-5,0 mmol / L
PCV 29.6 35-50% Cl 70 98-106 mmol / L
Thrombocyte 151,000 150000-390000 SGOT 28 11-41U/L
RBS 236 (<200)mg/dL SGPT 22 10-41U/L
Ureum 55,0 10-50mg/dL
Creatinin 1.97 0,7-1,5mg/dL
Albumin 3.10 3.5-5 g/dl
Urinalisis
Warna Jernih
SG/BJ 1,010 Glukosa +2
pH 6 Keton -
Lekosit +1 (5-10) Urobilinogen -
Nitrit - Bilirubin -
Protein/Alb +2 Eritrosit +1 (2-5)
Blood Gas Analysis
LabValue
Ph 7,47 7.35-7.45
PC02 24,1 35 – 45 mmHg
PO2 144.1 80-100 mmHg
HCO3 20.4 21-28 mmol/L
SaO2 99.1 >95 %
BE -4.9 (-3) – (+3) mmol/L
ECG :
Sinus Rhytm Heart Rate 88 bpm
Frontal Axis : Normal
Horisontal Axis : Normal
QRS complex : 0,04''
PR Interval : 0.12”
QT interval : 0,28''
Kesimpulan : Normal
Chest X Ray :
AP Position
Soft tissue ; normal
Bone ; Normal
Sinus Phrenicocostalis D/S ; Lancip /lancip
Hemidiafragma D/S : Domeshape / Domeshape
Trakea ; In the middle
Cor ;
Bentuk : Normal
Ukuran : CTR < 50%
Posisi : Normal
Pulmo ; Normal
Kesimpulan ; Normal
Status Geriatri :
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS
BARTHEL)
N
O
FUNGSI SKOR KETERANGAN NILAI
SKOR
1 Mengendalikan
rangsang
pembuangan tinja
0
1
2
Tak terkendali/tak teratur (perlu
pencahar)
Kadang-kadang tak terkendali (1x
seminggu)
Terkendali teratur
1
2 Mengendalikan
rangsang berkemih
0
1
2
Tak terkendali atau pakai kateter
Kadang-kadang tak terkendali (hanya
1x/24 jam)
Mandiri
1
3 Membersihkan diri
(seka muka, sisir
rambut, sikat gigi)
0
1
Butuh pertolongan orang lain
Mandiri
1
4 Penggunaan jamban,
masuk dan keluar
(melepaskan,
memakai celana,
membersihkan,
menyiram)
0
1
2
Tergantung pertolongan orang lain
Perlu pertolongan pada beberapa
kegiatan tetapi dapat mengerjakan
sendiri beberapa kegiatan yang lain
Mandiri
1
5 Makan 0
1
2
Tidak mampu
Perlu ditolong memotong makanan
Mandiri
1
6 Berubah sikap dari
berbaring ke duduk
0
1
2
3
Tidak mampu
Perlu banyak bantuan untuk bisa
duduk (2 orang)
Bantuan minimal 1 orang
Mandiri
2
7 Berpindah berjalan 0
1
2
Tidak mampu
Bisa (pindah) dengan kursi roda
Berjalan dengan bantuan 1 orang
2
3 Mandiri
8 Memakai baju 0
1
2
Tergantung orang lain
Sebagian dibantu (misalnya
mengancing baju)
Mandiri
2
9 Naik turun tangga 0
1
2
Tidak mampu
Butuh pertolongan
Mandiri
1
10 Mandi 0
1
Tergantung orang lain
Mandiri
0
Total Skor 12
Keterangan : Skor AKS BARTHEL
20 : mandiri
12-19 : ketergantungan ringan
9-11 : ketergantungan sedang
5-8 : ketergantungan berat
3.5 POMR
CUE AND CLUEPL I Dx P Dx P Tx P Mx
Wanita/83 th
Ax :
Penurunan
kesadaran
Mual/muntah
Intake cairan
kurang
PE :
Mulut kering
Produksi urine
< 0,5
cc/kgBB/jam
Lab :
Na : 113
Osm darah :
256 mosm/l
1. DOC 1.1
hypotonic
hyponatremi
a
1.1.1
vomiting
IVFD NaCl 0,9%
1L/1jam
Koreksi
hyponatremi 474 cc
NaCl 3% dalam 24
jam
Kesadaran.
VS
SE post
Koreksi
Wanita/ 83 th
Ax :
Penurunan
berat badan
Riwayat DM
GDA : 236 mg/dl
2. Diabetes
mellitus type
2
Insulatard 0 - 0 –
10 iu sc
Keluhan
Subyektif
GD I/II
Wanita/ 83 th
Ax :
Mual muntah
Penurunan
nafsu makan
Badan lemah
Riwayat DM 20
tahun
Lab :
Ur / Cr : 55.0 /
3. Azotemia 3.1 Diabetic
Kidney
disease
Funduskopi
Protein
esbach
Captopril 2 x 25 mg Keluhan
subyektif
Ur/Cr
1.97 mg/dl
GDA : 236
mg/dl
Urinalisis :
Glukosuria 2+
Proteinuria 2+
Wanita/ 83 th
Ax :
Penurunan
berat badan
Penurunan
nafsu makan
Mual muntah
Skor mini nutritional
assessment :10
4. malnutrisi Pasang NGT
Diet cair 6 x 200
kcal/hari
Diet DM 1900
kcal/hari (50%
karbohidrat)
-metoklopramid
3x10 mg
Keluhan
subyektif
Berat
badan
Wanita/ 83 th
Barthel index : 12
5.
Ketergantun
gan ringan
Care giver
BAB 4
Pembahasan
Terdapat 4 topik yang akan dibahas disini yaitu hiponatremia, diabetes
mellitus, diabetic kidney disease dan malnutrisi pada geriatri.
Hiponatremia
Tinjauan Pustaka Pada pasien
Hiponatremia didefinisikan sebagai
konsentrasi natrium serum < 130
mEq/L. Hiponatremia terbagi atas
hypotonic hyponatremia (osmolaritas
darah < 280 mosm/kg), isotonic
hyponatremia (osmolaritas darah 280-
295 mosm/kg), dan hypertonic
hyponatremia (osmolaritas darah >
295 mosm/kg).
Pasien dengan kadar natrium serum
<135mEq/L sering tidak menunjukkan
gejala. Gejala terutama muncul pada
hiponatremia berat (kadar natrium
serum <120mEq/L). Gejala awal
akibat hiponatremia antara lain
gangguan saluran cerna seperti mual
dan nyeri perut. Perhatian utama dari
hiponatremia adalah edema otak,
yang dapat bermanifestasi sebagai
nyeri kepala, bingung (confusion),
letargi, kejang atau koma. Gejala
yang lain termasuk hemiparese,
ataksia, nistagmus, tremor, rigiditas,
afasia, kram otot, dan fasikulasi.
Namun, sulit ditemukan gambaran
Pada anamnesis, pasien mengalami
penurunan kesadaran dengan badan
yang kaku dan mata melirik ke atas.
Pasien juga mengalami mual dan
muntah yang hebat sebelum tidak
sadarkan diri. Pasien dapat muntah 5
kali dalam sehari, tidak menyemprot,
dengan volume ¼ gelas, berisi cairan
dan sisa makanan
Pada pemeriksaan laboratorium,
didapatkan kadar Na yang rendah (113
mosm/kg)
edema otak dari pemeriksaan
radiologi. Selain edema otak,
hiponatremia berat juga berhubungan
dengan terjadinya disfungsi
kardiovaskuler termasuk aritmia,
hipotensi, hipoksemia, dan edema
paru (Sanjay et al, 2003).
Setelah diagnosis hypotonic
hyponatremia ditegakkan,
determinasi akurat mengenai status
hidrasi pasien penting dalam
penanganan selanjutnya.
Pada hypovolemic hypotonic
hyponatremia, penatalaksanaan
termasuk penggantian cairan yang
hilang dengan cairan NaCl 0,9% atau
NaCl 0,45% atau Ringer Laktat
(Stephen et al, 2007).
Kecepatan koreksi natrium harus
disesuaikan untuk mencegah
kerusakan otak permanen. Koreksi
Osmolaritas darah pada pasien ini :
¿2 (Na+K )+ glukosa18
+ ureum6
¿2 (113+3.9 )+ 23618
+ 556
¿233.8+13.1+9.16
¿256mosm / l
Sehingga pasien termasuk dalam
hiponatremia hipotonik.
Riwayat mual muntah, intake cairan
yang kurang, mulut kering, produksi
urine < 0,5 cc/kgBB/jam menunjukkan
pasien berada pada status hidrasi
hypovolemik
Sehingga, pasien termasuk dalam
hiponatremia hipotonik hipovolemik.
Pasien mendapat terapi resusitasi cairan
NaCl o,9 % 1 L/1 jam yang dilanjutkan
koreksi hiponatremia
hiponatremia yang terlalu cepat dapat
mengakibatkan kondisi serius yang
disebut “osmotic demyelination” atau
“certral pontine myelinosis”. Pada
situasi ini, peningkatan kadar natrium
serum mengakibatkan air keluar
melewati blood brain barrier,
sehingga terjadi dehidrasi otak dan
kerusakan otak (Sanjay et al, 2003).
Terdapat beberapa kontroversi
mengenai batasan kecepatan koreksi
hiponatremia. Ayus dan Arieff
menyebutkan bahwa peningkatan 25
mEq/L dalam 48 jam pertama dapat
mengakibatkan cerebral
demyelination. Sementara Rose
berpendapat bahwa hipertonik salin
harus segera diberikan untuk
meningkatkan kadar natrium serum
lebih cepat (1,5-2 mEq/L/hari dalam
3-4 jam atau hingga gejala neurologi
hilang) (Norma et al, 2000).
Kebutuhan koreksi natrium dapat
dihitung menggunakan rumus
penatalaksanaan hiponatremia dan
karakteristik infuse, yang disusun
untuk melihat perubahan natrium
serum setelah penderita
mendapatkan 1 liter infuse dengan
menggunakan rumus berikut :
(fraksi) x BBI x (125-Na)
dimana fraksinya adalah 0,6 dan 0,5
pada laki-laki dan wanita muda, serta
0,5 dan 0,45 pada laki-laki dan wanita
Kecepatan koreksi hiponatremia pada
pasien ini adalah :
Jumlah koreksi natrium :
= 0,45 x 45 x (125-113)
= 243 mEq
Waktu yang dibutuhkan untuk koreksi
natrium dengan kecepatan 0,5-1
mEq/jam adalah :
=12/0,5
=24 jam
Jika menggunakan NaCl 3%, dimana 1 L
tua, dengan kecepatan 0,5-1
mEq/jam (Sanjay et al, 2003).
NaCl 3% mengandung 513 mEq, maka
jumlah NaCl 3% yang dibutuhkan :
=243/513 x 1000 cc
=474 cc NaCl 3%
Maka kecepatan tetesan :
=474/24 cc/jam
=19 cc/jam
=0,4 cc/menit
=7 tpm (makro)
Diabetes Mellitus
WHO (2006) mendefinisikan diabetes
mellitus (DM) sebagai penyakit kronis
yang terjadi akibat dari ketidak
mampuan pankreas untuk
memproduksi insulin yang cukup,
atau tubuh tidak mampu
menggunakan insulin yang
diproduksinya dengan efektif.
Menurut NDIC, diabetes mellitus
adalah kelainan metabolisme atau
cara tubuh mencerna makanan
menjadi energi. DM terbagi menjadi
2, yaitu tipe 1 akibat defisiensi
produksi insulin yang terutama akibat
suatu proses autoimun, dan tipe 2
akibat resistensi insulin yang tidak
disertai kompensasi sekresi insulin
yang adekuat.
Adanya penyakit diabetes ini pada
awalnya seringkali tidak dirasakan
dan tidak disadari oleh penderita.
Beberapa keluhan dan gejala yang
Pada anamnesis, diketahui bahwa
pasien menderita penyakit kencing
manis lebih dari 20 tahun. Selama itu,
pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan
perlu mendapat perhatian dalam
Soegondo dkk (2006) ialah :
a. Keluhan Klasik
Penurunan berat badan (BB)
dan rasa lemah tanpa sebab
yang jelas
Banyak kencing (poliuria)
Banyak minum (polidipsia)
Banyak makan (polifagia)
b. Keluhan Lain
Gangguan saraf tepi /
kesemutan
Gangguan penglihatan
(kabur)
Gatal / bisul yang hilang
timbul
Gangguan Ereksi
Keputihan
Gatal daerah genital
Infeksi sulit sembuh
Cepat Lelah
Mudah mengantuk
Kriteria diagnostic WHO untuk
menegakkan diagnosis DM adalah:
3. Gejala klasik DM + gula darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl. Gula
darah sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan
terakhir. Atau kadar gula
darah puasa ≥ 126 mg/dl.
Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan
berobat ke mantri desa jika merasa tidak
enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini
pasien kadang periksa ke dokter umum
di Grati. Pasien diberi obat minum
(glibenklamid), sehari dua kali. Namun,
oleh pasien obat ini hanya diminum jika
pasien merasa tidak enak badan.
Pada pasien terdapat penurunan berat
badan.
Dari hasil pemeriksaan gula darah acak,
diketahui gula darah acak pasien 236
mg/dl
Pada pasien ini,diagnosis DM dapat
ditegakkan karena adanya riwayat DM,
penurunan berat badan, dan kadar gula
darah acak ≥200 mg/dl
sedikitnya 8 jam.
4. Kadar gula darah 2 jam pada
TTGO ≥ 200 mg/dl. TTGO
dilakukan dengan Standard
WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan
75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan dalam air.
Adapun pilar penatalaksanaan
DM adalah : (Soegondo dkk, 2006)
5. Edukasi
6. Terapi gizi medis
7. Latihan jasmani
8. Intervensi farmakologis
Pada dasarnya pengelolaan DM
tanpa dekompensasi metabolik
dimulai dengan pengaturan makan
disertai dengan kegiatan jasmani
yang cukup selama beberapa waktu
(4 - 8 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum
memenuhi kadar sasaran metabolik
yang diinginkan, baru diberikan obat
hipoglikemik oral (OHO) atau
suntikan insulin sesuai dengan
indikasi.
Adapun indikasi penggunaan insulin
pada DM - tipe 2 :
ketoasidosis, koma
hiperosmolar dan asidosis
laktat
penurunan berat badan yang
cepat
hiperglikemia berat yang
Pada pasien ini, diberikan terapi
insulatard 0-0-10 iu sc. Hal ini
dikarenakan pasien telah memiliki DM
selama 20 tahun yang gagal dengan
terapi OHO disertai penurunan berat
badan yang cepat serta adanya
gangguan pada fungsi ginjal yang
ditunjukkan oleh ureum/creatinin yang
meningkat.
disertai ketosis
ketoasidosis diabetic
hiperglikemia hiperosmolar
non-ketotik
hiperglikemia dengan asidosis
laktat
stres berat (infeksi sistemik,
operasi berat, IMA, stroke)
kehamilan/DM gestasional
yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan.
tidak berhasil dikelola dengan
OHO dosis maksimal atau
ada kontra indikasi dengan
OHO
gangguan fungsi ginjal atau
hati yang berat
Diabetic kidney disease
Diabetic nephropathy pada tahap
awal ditandai oleh proteinuria. Seiring
dengan penurunan fungsi ginjal, akan
terjadi pula akumulasi ureum dan
kreatinin dalam darah. Diabetic
nephropathy yang progresif akan
ditandai oleh proteinuria,
hipoalbuminemia, edema,
peningkatan LDL kolesterol dan
gejala azotemia seperti anoreksia,
penurunan berat badan, lelah,
pruritus, hingga ensefalopati. Pada
diabetic nephropathy, juga dapat
disertai dengan peningkatan tekanan Pada anamnesis, diketahui bahwa
pasien menderita penyakit kencing
darah.
Data yang didapatkan pada pasien
antara lain : (Hartono, 2006)
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan
gejala-gejala khas maupun keluhan
tidak khas dari gejala penyakit
diabetes. Keluhan khas berupa
poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan
berat badan. Keluhan tidak khas
berupa: kesemutan, luka sukar
sembuh, gatal-gatal pada kulit,
ginekomastia, impotensi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada Nefropati Diabetika
didapatkan kelainan pada retina yang
merupakan tanda retinopati yang
spesifik dengan pemeriksaan
Funduskopi, berupa :
7. Obstruksi kapiler, yang
menyebabkan berkurangnya
aliran darah dalam kapiler
retina.
8. Mikroaneusisma, berupa
tonjolan dinding kapiler,
terutama daerah kapiler vena.
9. Eksudat berupa :
Hard exudate : berwarna
kuning, karena eksudasi
plasma yang lama.
Cotton wool patches :
berwarna putih, tak
berbatas tegas,
manis lebih dari 20 tahun. Selama itu,
pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan
berobat ke mantri desa jika merasa tidak
enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini
pasien kadang periksa ke dokter umum
di Grati. Pasien diberi obat minum
(glibenklamid), sehari dua kali. Namun,
oleh pasien obat ini hanya diminum jika
pasien merasa tidak enak badan.
Pada pasien terdapat penurunan berat
badan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan dan badan menjadi lemah.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kulit
yang kering serta produksi urin yang
kurang dari o,5 cc/kbgBB/jam
Dari hasil pemeriksaan laboratorium,
didapatkan :
GDA 236 mg/dl
Ureum 55,0 mg/dl
Creatinin 1,97 mg/dl
Urinalisis :
o Glukosuria 2+
o Proteinuria 2+
dihubungkan dengan
iskhemia retina
10. Shunt artesi-vena, akibat
pengurangan aliran darah
arteri karena obstruksi kapiler.
11. Perdarahan bintik atau
perdarahan bercak, akibat
gangguan permeabilitas
mikroaneurisma atau
pecahnya kapiler.
12. Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end
stage (stadium IV-V) atau CRF end
stage,didapatkan perubahan berupa :
- cardiomegali
- oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2
kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab
proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan plus kadar
kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat
dibuat apabila dipenuhi persyaratan
seperti di bawah ini : (Hartono, 2006)
4. DM
5. Retinopati Diabetika
6. Proteinuri yang persisten
selama 2x pemeriksaan
interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang
lain, atau proteinuria 1x
pemeriksaan plus kadar
Untuk menegakkan diagnosis nefropati
diabetika, maka diusulkan untuk
pemeriksaan funduskopi
kreatinin serum >2,5mg/dl .
Penatalaksanaan diabetic
nephropathy termasuk diet rendah
protein (0,8 g/kgBB/hari) dan
pengaturan kadar gula darah. Obat
antihipertensi juga dapat menurunkan
mikroalbuminuria. Data dari beberapa
peneltian menunjukkan bahwa ACE
inhibitor dapat menurunkan tekanan
intraglomerular. Penggunaan ACE
inhibitor pada pasien diabetic
nephropathy dengan normotensi
dapat mengurangi progresi
proteinuria dan mencegah
peningkatan kecepatan ekskresi
mikroalbuminuria.
Pada pasien ini mendapat terapi
captopril 2x25 mg
Malnutrisi
Pasien geriatric dengan DM lebih
rentan mengalami masalah nutrisi
dibanding mereka yang tidak memiliki
DM, seperti halnya penyakit kronik
lainnya. Defisiensi insulin sangat
mirip dengan malnutrisi, dimana pada
keduanya merupakan status katabolik
dengan peningkatan turn over sel,
sehingga meningkatkan kebutuhan
nutrient, vitamin dan mineral. Selain
itu, adanya defisiensi Zinc memiliki
efek anoreksia sehingga
memperparah masalah nutrisi yang
ada. Perubahan terkait usia di
berbagai fungsi fisiologis, termasuk
perubahan dalam rasa, bau, dan
keasaman lambung, meningkatkan
risiko kekurangan gizi. Pasien
diabetes yang lebih tua berisiko lebih
besar untuk vitamin B1, B12, C, D,
dan defisiensi folat, serta kekurangan
berbagai mineral, termasuk kalsium,
seng, dan magnesium (Turnbull and
Sinclair, 2002).
Untuk mengetahui status nutrisi
pasien geriatric dapat menggunakan
Mini Nutritional Assessment. Jika
skor pada Mini Nutritional
Assessment 24 hingga 30 termasuk
status nutrisi normal, 17 hingga 23,5
termasuk risiko malnutrisi, dan jika
kurang dari 17 termasuk malnutrisi
Kebutuhan kalori sesuai untuk
mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal komposisi energi
adalah 60 – 70% dari karbohidrat, 10
- 15% dari protein dan 20 – 25% dari
lemak. Ada beberapa cara untuk
menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan orang dengan diabetes.
Diantaranya adalah dengan
memperhitungkan berdasarkan
kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal,
ditambah dan dikurangi bergantung
pada beberapa factor yaitu jenis
Pada pasien ini, terjadi penurunan berat
badan yang cukup drastis. Satu tahun
yang lalu berat pasien 63 kg, namun
sekarang tinggal 45 kg. Pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan dan
mual muntah
Berdasarkan hasil pemeriksaan Mini
Nutritional Assessment, diketahui pasien
memiliki skor total 11 sehingga pasien
termasuk dalam malnutrisi.
Selama tidak sadarkan diri, pasien
dipasang NGT dan diberi diet cair 6 x
200 kcal/hari
Kemudian secara bertahap setelah
pasien dapat makan, pasien diberikan
diet DM 1900 kcal/hari (50%
karbohidrat)
-metoklopramid 3x10 mg untuk
mengatasi rasa mual sehingga
mencegah muntah
kelamin, umur, aktifitas,
kehamilan/laktasi, adanya komplikasi
dan berat badan. Sedangkan cara
yang lebih mudah lagi adalah dengan
pegangan kasar, yaitu untuk pasien
kurus 2300 – 2500 kalori, normal
1700 – 2100 kalori dan gemuk 1300 -
1500 kalori (hiswani, 2007).
Pasien geriatric dengan DM, selain
rentan terhadap masalah nutrisi, juga
rentan terhadap gangguan
fungsional. Untuk mengetahui status
fungsional seseorang antara lain
dapat digunakan barthel index yang
terdiri atas 10 item. Jika barthel index
bernilai 20, seseorang dikatakan
bersifat independen. Jika 12-19
terdapat ketergantungan ringan, 9-11
ketergantungan sedang, dan 5-8
berarti terdapat ketergantungan
berat. Seseorang dengan barthel
index 20 berarti tidak memerlukan
pertolongan orang lain untuk
melaksanakan aktivitas harian
(activity daily living). Namun, jika
barthel index tidak mencapai 20,
diperlukan adanya care giver untuk
membantu pasien tersebut. Bahkan,
pada ketergantungan berat, pasien
perlu dirujuk ke rumah perawatan
(nursing home), selain juga
dipengaruhi oleh factor lain seperti
factor financial.
Pasien ini mendapat total skor 12, yang
berarti terdapat ketergantungan ringan.
Sehingga perlu adanya care giver yang
membantu pasien untuk melakukan
aktivitatas harian.
BAB 5
Penutup
5.1 Kesimpulan
1. Penatalaksanaan hiponatremia pada pasien sudah sesuai dengan teori
yaitu diberikan resusitasi cairan NaCl 0,9% 1 L/1 jam yang dilanjutkan
koreksi hyponatremi NaCl 3% 474 cc dalam 24 jam.
2. Penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 pada pasien sudah sesuai
dengan teori yaitu diberikan insulatard 0-0-10 iu sc..
3. Penatalaksanaan diabetic nephropathy pada pasien sudah sesuai
dengan teori yaitu diberikan captopril 2x25 mg.
4. Masalah geriatri yang dihadapi pasien adalah malnutrisi dengan
ketergantungan ringan.
Daftar Pustaka
American Diabetes Association. 2004. Hypertension Management in
adults with diabetes (position statement). Diabetes Care (Suppl 1):
S65-S67.
Carolyn DB. 2001.Diabetes and Nutrition: The Mitochondrial Part 1,2. J
Nutr. 131: 344S–353S.
Cartailler JP. 2004. Insulin - from secretion to action (online). http://
www.betace ll.org/content/articles/print.php?aid=1. diakses 4
Oktober 2010.
Dale PO, Tanbo T, Haug E, Abyholm T. 1998.The impact of insulin
resistance on the outcome of ovulation induction with low-dose
follicle stimulatinghormone in women with polycystic ovary
syndrome. Human Reproduction13:567–570
Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Hiswani. 2007. Peranan Gizi dalam Diabetes Mellitus (Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3720/1/fkm-
hiswani4.pdf. diakses tanggal 4 Oktober 2010
Jacquie SR, Linda MF, Heidi AF, Delisa JA, Rose L. 2004.Canine and
Feline Diabetes Mellitus: Nature or Nurture?. J. Nutr. 134:2072S-
2080S,
National Diabetes Information Clearinghouse. 2005. National Diabetes
Statistics (Online). http://diabetes.
Norma M. 2000. Fluid and Electrolyte Balance 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. Unite States
Pi-Sunyer FX. 1996.Weight and non-insulin-dependent diabetes
mellitus. Am J Clin Nutr63:426S-429S.
Soegondo S et. al. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia
Turnbull and Sinclair. 2002. Evaluation of Nutritional Status and Its
Relationship with Functional Status in Older Citizens with Diabetes
Mellitus Using The Mini Nutritional Assesment (MNA) Tool-A
Preliminary Investigation. The Journal of Nutrition, Helath, &Aging,
Vol 6, Number 3, 2002
Wheatley CH.1993. Human Physiology, fourth edition.Wm. C. Brown.
United States
Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. 2004. Global prevalence of
diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030.
Diabetes Care. May;27(5):1047-53
World Health Organization. 2006. Diabetes (Online). http:// www. who.int/
mediacentre/factsheets/fs312/en/. diakses 4 Oktober 2010