dm tipe 2 underweight pada geriatri

88
RESPONSI Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Malnutrisi pada Pasien Geriatri Oleh : Achmad Zainudin A 0510710001 Siti Nurlaela 0510710133 Pembimbing : dr. Sri Sunarti, Sp.PD LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: achmad-zainudin

Post on 24-Jun-2015

645 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

RESPONSI

Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Malnutrisi pada

Pasien Geriatri

Oleh :

Achmad Zainudin A 0510710001

Siti Nurlaela 0510710133

Pembimbing :

dr. Sri Sunarti, Sp.PD

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2010

Page 2: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular

yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO

memprediksi kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta

pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan

jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar

133 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7%

dan daerah rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12

juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural

(Soegondo dkk, 2006).

Menurut WHO kasus DM di Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4

juta orang berada pada rangking 4 dunia setelah India (31,7 juta), Cina

(20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta), dan WHO memperkirakan

akan 2 meningkat pada tahun 2030, India (79,4 juta), Cina (42,3 juta),

Amerika Serikat (30,3 juta), dan Indonesia (21,3 juta) (Soegondo dkk,

2006).

Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk

Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006

diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam

menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya

dan di antara mereka baru sekitar 30 persen yang datang berobat teratur.

Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes yang tidak

menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit

gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya

pengetahuan masyarakat tentang diabetes terutama gejala-gejalanya

sehingga kemudian banyak orang jatuh pada komplikasi diabetes

(Soegondo dkk, 2006). 

Page 3: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal

yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada

35-45% penderita diabetes melitus terutama pada DM tipe I. Pada tahun

1981 Nefropati diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di

Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani

dialisis disebabkan oleh karena diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh

karena DM tipe ini lebih sering dijumpai. Dibandingkan DM tipe II maka

Nefropati Diabetika pada DM tipe I jauh lebih progresif dan dramatis.

Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa berkomplikasi ke Nefropati

diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir

60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati

diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria

dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria (Wild et al, 2004).

Telah disebutkan bahwa diabetes mellitus menyerang hingga 18%

populasi berusia 65 tahun dan lebih. Diketahui bahwa pasien dengan

diabetes mellitus memiliki resiko penurunan fungsi seiring dengan

berjalannya waktu karena beberapa faktor, yaitu karena komplikasi dari

penyakitnya sendiri dan karena penurunan fungsi tubuh akibat

penambahan usia. Disamping apapun yang diketahui tentang diabetes,

masih sedikit diketahui tentang status nutrisi dari pasien geriatric dengan

kondisi gangguan metabolic disertai dengan penurunan fungsi tubuh

(Setiati dkk, 2006).

Keseimbangan cairan dan elektrolit juga menjadi masalah yang

perlu diperhatikan pada pasien geriatric. Salah satu elektrolit yang penting

dalam tubuh manusia adalah natrium. Hiponatremia berat berhubungan

dengan angka kematian lebih dari 50%, terutama disebabkan oleh edema

otak dan disfungsi system syaraf pusat (Sanjay et al, 2003).

Keseimbangan natrium dapat dipertahankan dalam rentang yang luas

karena ginjal normal dapat mengatur ekskresi natrium sesuai kebutuhan.

Namun, pada pasien geriatric, terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga

terdapat gangguan dalam mengatur ekskresi natrium (Norma et al, 2000).

Page 4: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

1.2 Rumusan Masalah

Apakah penatalaksanaan dari hiponatremia pada pasien tersebut telah

sesuai dengan teori?

Apakah penatalaksanaan dari diabetes mellitus pada pasien tersebut

telah sesuai dengan teori?

Apakah penatalaksanaan dari nefropati diabetic pada pasien tersebut

telah sesuai dengan teori?

Apa saja masalah nutrisi pada pasien tersebut?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari hiponatremia pada

pasien tersebut telah sesuai dengan teori

Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari diabetes mellitus pada

pasien tersebut telah sesuai dengan teori

Untuk mengetahui apakah penatalaksanaan dari nefropati diabetic pada

pasien tersebut telah sesuai dengan teori

Untuk mengetahui masalah nutrisi pada pasien tersebut.

Page 5: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Hiponatremia

A. Definisi

Natrium merupakan elektrolit yang terutama terdapat pada cairan

ekstraseluler, dengan konsentrasi antara 135-145 mEq/L. Lebih dari 95% natrium

berada di dalam cairan ekstraseluler, sedangkan hanya sedikit natrium yang

terdapat di dalam cairan intraseluler. Distribusi yang tidak simetris ini memerlukan

transport sodium untuk dipompa keluar sel melawan gradient elektrokemikal

melalui pompa adenosine trifosfat (pompa ATP). Natrium penting dalam mengatur

distribusi cairan tubuh terutama volume cairan ekstraseluler (ECF). Kadar natrium

yang rendah (hiponatremi) mengakibatkan cairan masuk ke dalam sel sehingga

terjadi edema sel. Sebaliknya, kadar natrium yang tinggi (hipernatremi)

mengakibatkan cairan keluar dari sel (Norma et al, 2000).

Gambar 2.1 Natrium dan distribusi cairan tubuh (Norma et al, 2000)

Kebutuhan natrium harian pada individu normal berkisar antara 50 hingga

90 mEq (3-5 g) dalam bentuk NaCl. Keseimbangan natrium dapat dipertahankan

dalam rentang yang luas karena ginjal normal dapat mengatur ekskresi natrium

sesuai kebutuhan (Norma et al, 2000). Hiponatremia didefinisikan sebagai

konsentrasi natrium serum < 130 mEq/L (Stephen et al, 2007).

Page 6: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

B. Patofisiologi

Secara umum, patofisiologi hiponatremi dapat terjadi dalam 4 cara, yaitu :

(Norma et al, 2000)

1. Kehilangan natrium, baik melalui ginjal, saluran cerna, maupun kulit

2. Cairan yang berlebih, misalnya pada sekresi ADH yang terlalu tinggi

3. Perpindahan natrium menuju intraseluler, mislanya pada defisiensi kalium

4. Perpindahan cairan dari intraseluler menuju ekstraseluler, misalnya pada

hiperglikemia atau infuse manitol.

Hiponatremia terbagi atas hypotonic hypontremia (osmolaritas

darah < 280 mosm/kg), isotonic hyponatremia (osmolaritas darah 280-295

mosm/kg), dan hypertonic hyponatremia (osmolaritas darah > 295

mosm/kg). Adapun faktor etiologi yang menyebabkan hiponatremia antara

lain : (Norma et al, 2000)

Page 7: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Kehilangan cairan lambung baik akibat muntah maupun gastric

suction dapat mengakibatkan hiponatremia akibat kehilangan natrium

secara langsung. Asupan air lebih lanjut lagi akan mendilusi level natrium

serum. Rasa mual merupakan stimulus yang poten terhadap

pengelauaran hormone ADH, yang mengakibatkan hiponatremia akibat

retensi cairan. Namun, hiponatremia jarang menjadi parah tanpa adanya

intake cairan yang berlebihan. Ketika muntah terjadi di rumah,

kebanyakan pasien akan mengkonsumsi cairan bebas dalam jumlah

banyak sehingga memperparah hiponatremia. Sebuah kasus telah

dilaporkan mengenai pasien wanita muda dengan muntah dan diare yang

hebat disertai intake cairan bebas yang berlebihan mengakibatkan kadar

natrium dalam serum turun hingga mencapai 106 mEq/L hingga

mengakibatkan kematian. Di rumah sakit, kesalahan pemberian cairan

bebas elektrolit (misalnya D5% dalam air) dapat mendilusi konsentrasi

natrium (Norma et al, 2000).

Hiponatremia berat berhubungan dengan angka kematian lebih dari

50%, terutama disebabkan oleh edema otak dan disfungsi system syaraf

pusat (Sanjay et al, 2003). Gejala dan tanda dari hiponatremia sangat

dipengaruhi oleh kadar natrium, onset dan penyebab. Semakin rendah

kadar natrium serum, semakin parah gejala dan tanda yang tampak.

Factor lain yang mempengaruhi adalah onset terjadinya hiponatremia,

dimana onset yang akut lebih parah dibanding kronik. Keparahan

hiponatremi juga dipengaruhi oleh penyebabnya, misalnya intoksikasi air

akut lebih parah dibanding akibat kehilangan natrium kronik (Norma et al,

2000).

Pasien dengan kadar natrium serum <135mEq/L sering tidak

menunjukkan gejala. Gejala terutama muncul pada hiponatremia berat

(kadar natrium serum <120mEq/L). Gejala awal akibat hiponatremia

antara lain gangguan saluran cerna seperti mual dan nyeri perut.

Perhatian utama dari hiponatremia adalah edema otak, yang dapat

bermanifestasi sebagai nyeri kepala, bingung (confusion), letargi, kejang

Page 8: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

atau koma. Gejala yang lain termasuk hemiparese, ataksia, nistagmus,

tremor, rigiditas, afasia, kram otot, dan fasikulasi. Namun, sulit ditemukan

gambaran edema otak dari pemeriksaan radiologi. Selain edema otak,

hiponatremia berat juga berhubungan dengan terjadinya disfungsi

kardiovaskuler tremasuk aritmia, hipotensi, hipoksemia, dan edema paru

(Sanjay et al, 2003).

C. Penatalaksanaan

Setelah diagnosis hypotonic hyponatremia ditegakkan, determinasi

akurat mengenai status hidrasi pasien penting dalam penanganan

selanjutnya. Pada hypovolemic hypotonic hyponatremia, penatalaksanaan

termasuk penggantian cairan yang hilang dengan cairan NaCl 0,9% atau

NaCl 0,45% atau Ringer Laktat (Stephen et al, 2007).

Kecepatan koreksi natrium harus disesuaikan untuk mencegah

kerusakan otak permanen. Koreksi hiponatremia yang terlalu cepat dapat

mengakibatkan kondisi serius yang disebut “osmotic demyelination” atau

“certral pontine myelinosis”. Pada situasi ini, peningkatan kadar natrium

serum mengakibatkan air keluar melewati blood brain barrier, sehingga

terjadi dehidrasi otak dan kerusakan otak (Sanjay et al, 2003).

Terdapat beberapa kontroversi mengenai batasan kecepatan

koreksi hiponatremia. Ayus dan Arieff menyebutkan bahwa peningkatan

25 mEq/L dalam 48 jam pertama dapat mengakibatkan cerebral

demyelination. Sementara Rose berpendapat bahwa hipertonik salin

harus segera diberikan untuk meningkatkan kadar natrium serum lebih

cepat (1,5-2 mEq/L/hari dalam 3-4 jam atau hingga gejala neurologi

hilang) (Norma et al, 2000).

Kebutuhan koreksi natrium dapat dihitung menggunakan rumus

penatalaksanaan hiponatremia dan karakteristik infuse, yang disusun

untuk melihat perubahan natrium serum setelah penderita mendapatkan

1 liter infuse dengan menggunakan rumus berikut :

Page 9: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Jumlah koreksi natrium = (fraksi) x BBI x (125-Na)

dimana fraksinya adalah 0,6 dan 0,5 pada laki-laki dan wanita muda, serta

0,5 dan 0,45 pada laki-laki dan wanita tua,dengan kecepatan 0,5-1

mEq/jam (Sanjay et al, 2003).

2.2 Diabetes Mellitus

WHO (2006) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit

kronis yang terjadi akibat dari ketidak mampuan pankreas untuk

memproduksi insulin yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan

insulin yang diproduksinya dengan efektif. Menurut NDIC, diabetes

mellitus adalah kelainan metabolisme atau cara tubuh mencerna makanan

menjadi energi. Glukosa masuk ke dalam sel dapat melalui dua cara,

yaitu secara difusi pasif dan transport aktif. Secara difusi pasif, masuknya

glukosa tergantung padaperbedaan konsentrasi glukosa antara media

ekstraseluler dan di dalam sel.Secara transport aktif, insulin berperan

sebagai fasilitator pada jaringan jaringan tertentu. Insulin merupakan

hormon anabolik utama yang meningkatkan cadangan energi. Pada

semua sel, insulin meningkatkan kerja enzim yangmengubah glukosa

menjadi bentuk cadangan energi yang lebih stabil (glikogen).

Hiperglikemia pada diabetes mellitus merupakan hasil dari

ketidakcukupan sekresi insulin oleh sel beta Langerhans atau

ketidakmampuan sekresi insulin untuk menstimulasi pengambilan gula

darah seluler. Dengan demikian,diabetes mellitus merupakan hasil dari

ketidaksesuaian sekresi atau kerja insulin (Wheatley,1993).

Menurut Hartono (2006) kegagalan pengendalian gula darah terjadi

karena dua hal: (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau

tidak ada. (2) penurunan sensitivitas reseptor insulin akibat sekresi insulin

yang meningkat. Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon

insulin akan mengakibatkan diabetes tipe 1, sedangkan bertambahnya

penurunan sensitivitas reseptor insulin dengan penurunan kuantitas dan

kualitas insulin menyebabkan diabetes tipe 2.

Page 10: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

2.2.1 Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes

mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin

untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn, 2001).

Diabetes tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas

guna mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi

insulin, yang mana menjadipenyebab menurunnya sensitivitas insulin

(Jacquie et al. 2004).

A. Patofisiologi

Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di

permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin, reseptor insulin

akan memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan

lewatnya gula (glukosa) yang dibawaoleh hormon insulin masuk ke dalam

sel. Di dalam mitokondria, gula tersebut kemudian akan digunakan untuk

menghasilkan energi atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan

fungsi setiap sel tubuh (Hartono, 2006).

Penyebab terjadinya penurunan sensitivitas insulin karena

peningkatan kebutuhan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar

glukosa darah. Meningkatnya sekresi insulin akan membawa pada

kegagalan dari sel beta pankreas dalam menghasilkan insulin, yang

merupakan inti dari ketidak normalan diabetes tipe 2 (Jacquie et al, 2004).

Orang yang obesitas dan kurang olah raga mempunyai resiko terhadap

penyakit diabetes tipe 2 dengan menunjukkan gejala penurunan

sensitivitas insulin yaitu (1) jumlah insulin di dalam darahnya meningkat

lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, (2) penyuntikan insulin

tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah pada keadaan menurunnya

sensitivitas insulin (Rubin, 2004).

Penurunan berat badan dapat meningkatkan sensitivitas insulin.

Efek penurunan berat badan terhadap sekresi insulin pada penderita

diabetes mellitus tergantung pada jumlah respon sekresi insulin yang

Page 11: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Sel beta pankreas pada awalnya

meningkatkan sekresi insulin dan C-peptida dengan jumlah yang cukup

tinggi pada penderita obesitas, sebab pankreas harus mengganti

bertambahnya penurunan sensitivitas insulin yangdisebabkan oleh

pengeluaran insulin yang berlebihan (Pi-Sunyer, 1996).

Pada penderita diabetes tipe 2, terdapat tiga kondisi abnormal yang

mungkin dimiliki. Pertama, mutlak kekurangan insulin dalam arti sekresi

hormon insulin berkurang karena kerusakan sel-sel beta pankreas. Kedua,

relative kekurangan insulin dimana sekresi insulin tidak mencukupi

dengan adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat (misalnya pada

pasien yang kelebihanberat badan). Ketiga, resisten terhadap insulin dan

hiperinsulinemia karena penggunaan insulin perifer yang kurang

sempurna (Kendall and Harmel, 2002).

Penurunan sensitivitas insulin adalah kelainan metabolik yang

dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall &

Harmel, 2002). Menurut NDIC (2006) penurunan sensitivitas insulin

adalah kondisi diam yang meningkatkan rantai perkembangan penyakit

diabetes mellitus dan penyakit jantung. Penurunan sensitivitas insulin

terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Diabetes tipe

2 sering disertai oleh penurunan sensitivitas insulin pada organ sasaran

yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin

endogenus maupun eksogenus. Penurunan sensitivitas insulin mungkin

terjadi pada banyak tahapan dalam aksi biologi insulin, dari awal telah

terjadi pengikatan permukaan sel reseptor pada proses phosphorilasi

yang dimulai oleh autophosphorilasi pada reseptor insulin. Penurunan

sensitivitas insulin biasanya , paling banyak ditemukan pada kegemukan

dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) pada wanita (65%), tetapi

dapat juga ditemukan pada 20 persen dari selain PCOS pada wanita

(Dale et al.1998).

Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada

Gambar 1. insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan

menempati reseptornya, yang kemudian akan memberikan signal

Page 12: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

transduction pada glucose transporter untuk dapat melakukan penyerapan

glukosa, sehingga glukosa yang beredardalam darah akan masuk ke

dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita diabetes tipe 2

dapat disebabkan oleh kerusakan signal transduction. Kerusakan ini dapat

dimulai dari insulin abnormal sampai kerusakan penerima insulin pada

pengangkut glukosa.Hubungan langsung antara penurunan sensitivitas

insulin dan kegemukan telahdiketahui dengan baik, dan kegemukan

adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe 2.

Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, dan pola

tertentu dari penyimpanan lemak (misalnya penyimpanan lemak dalam

perut) lebih berhubungan dengan penurunan sensitivitas insulin. Meskipun

otot rangka biasanya dianggap sebagai jaringan utama yang

menggunakan glukosa, pengambilan glukosa juga berhubungan dengan

jaringan adipose (Dale et al, 1998).

Gambar 2.2 Mediasi insulin dalam prosesuptake glukosa (Cartailler,

2004)

B. Gambaran Klinis

Page 13: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak

dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala

yang perlu mendapat perhatian dalam Soegondo dkk (2006) ialah :

a. Keluhan Klasik

Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah tanpa sebab yang jelas

Banyak kencing (poliuria)

Banyak minum (polidipsia)

Banyak makan (polifagia)

b. Keluhan Lain

Gangguan saraf tepi / kesemutan

Gangguan penglihatan (kabur)

Gatal / bisul yang hilang timbul

Gangguan Ereksi

Keputihan

Gatal daerah genital

Infeksi sulit sembuh

Cepat Lelah

Mudah mengantuk

C. Diagnosis

Penyakit ini mudah diketahui dengan cara memeriksakan kadar

glukosa darah. Yang sulit adalah bila tidak ada gejala. Diagnosis diabetes

dalam Soegondo dkk (2006) dipastikan bila :

1. Terdapat keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai

dengan satu nilai pemeriksaan glukosadarah tidak normal (glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa > 126mg/dl).

2. Terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak

khas (lemah,kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus

vulvae) disertai dengan dua nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal

(glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl dan glukosa darah puasa > 126

mg/dl yang diperiksa pada hari yang sarna atau pada hari yang berbeda).

Page 14: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Tabel 2.1 Penentuan diagnosis diabetes melitus menggunakan kadar

gula darah

Bukan DMBelum Pasti

DMPasti DM

Kadar glukosa

darah

sewaktu

(mg/dl)

Plasma vena< 100 100-199 > 200

Darah Kapiler < 90 90-99 >100

Kadar glukosa

darah puasa

(mg/dL)

Plasma vena <100 100-125 >126

Darah Kapiler < 90 90-99 >100

Dari tabel diatas untuk kelompok resiko tinggi yang tidak

menunjukkan kelainan hasil,dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun.

Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain,

pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Adapun kriteria diagnostik WHO, adalah :

1. Gejala klasik DM + gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memerhatikan waktu makan terakhir. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl.

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

2. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan

Standard WHO,menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.

D. Penatalaksanaan

Kontrol kadar glukosa darah yang normal dapat menurunkan risiko

komplikasi diabetes mellitus. Target dari kadar glukosa darah (yang

ditunjukkan dari kadar A1C) sangatlah individual. Hal yang mempengaruhi

Page 15: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

antara lain usia, keparahan komplikasi yang telah ada, dan pola hidup.

Secara umum, target A1C harus <7,0% (Powers, 2005).

Pada DM tipe 1, mutlak diperlukan terapi insulin. Replacement

insulin harus sesuai dengan asupan karbohidrat dan penggunaan serta

penyimpanan glukosa secara normal. Tujuan terapi DM tipe 2 mirip

dengan tujuan terapi pada DM tipe 1, ditambah perhatian terhadap kondisi

yang menyertai DM tipe 2 (obesitas, hipertensi, dislipidemi) serta

manajemen terhadap komplikasi yang ada (Powers, 2005).

Adapun pilar penatalaksanaan DM adalah : (Soegondo dkk, 2006)

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pada dasarnya pengelolaan DM tanpa dekompensasi metabolik

dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan kegiatan jasmani yang

cukup selama beberapa waktu (4 - 8 minggu). Bila setelah itu kadar

glukosa darah masih belum memenuhi kadar sasaran metabolik yang

diinginkan, baru diberikan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan

insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik,

misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun

dengan cepat, insulin/obat berkhasiat hipoglikemik dapat segera

diberikan. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat

dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu

(Soegondo dkk, 2006).

Intervensi Farmakologis

Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan kegiatan

jasmani yang teratur namun pengendalian kadar glukosa darahnya belum

tercapai (lihat sasaran pengendalian glukosa darah), dipertimbangkan

pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan).

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Page 16: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik

golongan sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus

diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk

memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati

atau ginjal. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan,

yaitu : (Soegondo dkk, 2006)

a. Pemicu sekresi insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk

pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh

diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari

risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat

golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari.

2. Glinid

Obat ini merupakan obat yang bekerja sama dengan sulfonylurea,

dengan penekanan pada peningkatan insulin fase pertama.

b. Penambah sensitivitas insulin

1. Tiazolidindion

Obat ini beikatan dengan Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma(PPAR-∂), suatu reseptor inti di sel otot dan sel

lemak sehingga mempunyai efek menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga ambilan glukosa perifer meningkat.

c. Penghambat glukoneogenesis

1. Biguanid (Metformin)

Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat

golongan ini terutama dianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada

pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro

kardiovaskular).

Page 17: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

d. Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus

halus, sehingga menurunkan kadar glukosa sesudah makan.

2. Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada DM - tipe 2 :

ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat

penurunan berat badan yang cepat

hiperglikemia berat yang disertai ketosis

ketoasidosis diabetic

hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik

hiperglikemia dengan asidosis laktat

stres berat (infeksi sistemik, operasi berat, IMA, stroke)

kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan

makan.

tidak berhasil dikelola dengan OHO dosis maksimal atau ada kontra

indikasi dengan OHO

gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

         Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai

dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai

dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau

metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah

belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik

oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea,

acarbose + metformin atau sulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil

dapat pula digunakan untuk menghindari efek samping masing-masing

kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO bila

belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinik di

mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai (soegondo dkk, 2006).

        Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun

secara kombinasi sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan

adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat

dipakai kombinasi OHO dan insulin (Soegondo dkk, 2006).

Page 18: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

        Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja

cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin

kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan adalah kombinasi

OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat diperoleh

keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang

diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang

malam hari (Soegondo dkk, 2006).

Gambar 2.3 Tatalaksana DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolic

(Soegondo dkk, 2006)

Page 19: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Evaluasi

Evaluasi berkala pada pasien DM tipe 2 :

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah

makan sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan

Setiap 1 (satu) tahun dilakukan pemeriksaan:

Jasmani lengkap

Mikroalbuminuria

 Kreatinin

 Albumin / globulin dan ALT

Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dantrigliserida

 EKG

 Foto sinar-X dada

Funduskop

E. Komplikasi

Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang

menyerang beberapaorgan dan yang lebih rumit lagi, penyakit diabetes

tidak menyerang satu alat saja, tetapi berbagaiorgan secara bersamaan.

Komplikasi ini dibagi menjadi dua kategori : (Powers, 2005)

a.Komplikasi metabolik akut : ketoasidosis dan hipoglikemia.

b.Komplikasi- komplikasi vaskular jangka panjang :

Mikroangiopati :

o retinopati, nefropati, neuropati.

Makroangiopati :

o Klaudikasio intermitten,

o gangren,

o infark

o miokardium dan angina

2.3 Nefropati Diabetik

A. Definisi

Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang

merupakan penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA.(5) Ada 5 fase

Page 20: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR,

AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi albumin

relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih

terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam

berkembang menjadi Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro

albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Dipstick positif proteinuria, ekresi

albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi

biasanya terdapat. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD),

dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt

(Hartono, 2006).

B. Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi

dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung

terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat

meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang

lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Hartono, 2006).

C. Faktor Resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati

Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa

factor resiko antara lain: (Carolyn, 2001).

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe

antigen HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita

diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9

b. Glukose trasporter (GLUT)

Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi

untuk mendapat Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia

Page 21: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

4. Konsumsi protein hewani

D. Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah

pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan

direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan

dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM)

yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume

ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen,

lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole

aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada

diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada

hiperfiltrasi glomerus (Hartono, 2006).

E. Gambaran Klinik

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes melitus tipe I (IDDM)

dapat dibedakan dalam 5 tahap :

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:

Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50%

diatas nilai normal menurut usia.

Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.

Glukosuria disertai poliuria.

Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.

2. Stadium II (Silent Stage)

Ditandai dengan:

Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).

Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus

ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

Page 22: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai

menurun Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara

dengan eksresi protein 30-300mg/24j.

Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

Proteinuria menetap(>0,5gr/24j), Hipertensi, Penurunan laju filtrasi

glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan

dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk

sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati

Diabetika antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM).

Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis

ditegakkan dan keadaan ini seringkali reversibel dengan perbaikan status

metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan

prognosis yang buruk.

F. Diagnosis

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan

visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat criteria

diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan

sederhana. Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi

persyaratan seperti di bawah ini : (Hartono, 2006)

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang persisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa

penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus

kadar kreatinin serum >2,5mg/dl .

Data yang didapatkan pada pasien antara lain : (Hartono, 2006)

1. Anamnesis

Page 23: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan

tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri,

polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa:

kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia,

impotensi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang

merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan

Funduskopi, berupa :

1. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam

kapiler retina.

2. Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler

vena.

3. Eksudat berupa :

Hard exudate : berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.

Cotton wool patches : berwarna putih, tak berbatas tegas,

dihubungkan dengan iskhemia retina

4. Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena

obstruksi kapiler.

5. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan

permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

6. Neovaskularisasi

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau

CRF end stage, didapatkan perubahan berupa :

- cardiomegali

- oedem pulmo

3. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan

interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau

proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

G. Penatalaksanaan

Page 24: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)

1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk

mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan

mikroangiopati.

a. Diet

Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &

Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan

obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat

individual tergantung dari penyakit

penyerta :

- Hiperkolesterolemia

- Urolitiasis (misal batu kalsium)

- Hiperurikemia dan artritis Gout

- Hipertensi esensial

b. Pengendalian hiperglikemia

1. Insulin

Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .

a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin

seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)

b) Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus

c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein

d) glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan membran basal dan

hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus

(perm selectivity).

e) Memperbaiki faal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa

sebagai pencetus nefomegali.

f) Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai

petanda hipertensi esensial dan nefropati.

g) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-

like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.

h) Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)

Page 25: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

2. Obat antidiabetik oral (OADO)

Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan

tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan

(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek

farmakologi dan farmakokinetik antara lain :

a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.

b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell

(ASMC).

d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

3. Pengendalian hipertensi

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan

berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat

antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek

samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.

Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka

morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah

nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas

dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC)

a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)

Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat

mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).

b. Golongan antagonis kalsium

Page 26: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping) :

1) Efek inotrofik negatif

2) Efek pro-aritmia

3) Efek pro-hemoragik

Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau

nondihydropiridine.

c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus

memperhatikan kondisi setiap pasien :

Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik minimal

misal atenolol.

Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.

Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untnuk

pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.

B. Nefropati Diabetik Nyata

1. Manajemen Utama (esensi)

a. Pengendalian hipertensi

1) Diet rendah garam (DRG)

Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk

mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan

efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.

2) Obat antihipertensi

Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan

permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai

penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.

Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum

pemilihan obat antihipertensi antara lain :

a) Efek samping misal efek metabolik

b) Status sistem kardiovaskuler.

- Miokard iskemi/infark

- Bencana serebrovaskuler

c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.

Page 27: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

b. Antiproteinuria

1) Diet rendah protein (DRP)

DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah

progresivitas penurunan faal ginjal.

2) Obat antihipertensi

Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik,

tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk

mengurangi ekskresi proteinuria.

a) Penghambat EAC

Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling

efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat

antihipertensi lainnya.

b) Antagonis kalsium

Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium

golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada

nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.

c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non

dihydropyridine.

Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT) kombinasi

penghambar EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine

mempunyai efek.

3) Optimalisasi terapi hiperglikemia

Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi

normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat

antidiabetik oral (OADO).

2. Managemen Substitusi

Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis

lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan

mikroangiopati lainnya.

a) Retinopati diabetik

Terapi fotokoagulasi

Page 28: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

b) Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit jantung kongestif

Penyakit jantung iskemik/infark

c) Bencana serebrovaskuler

Stroke emboli/hemoragik

d) Pengendalian hiperlipidemia

Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi

kolesterol-LDL.

C. Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage diabetic nephropathy)

Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual

tergantung dari umur, penyakit penyerta dan faktor indeks ko-morbiditas.

2. 4 Nutrisi pada Diabetes

A. Metabolisme Zat Gizi Pada Penderita Diabetes

Metabolisme basal (MB) pada diabetes mellitus biasanya tidak

banyak berbeda dari orang normal, kecuali pada keadaan yang parah dan

tak terkendali. Pada keadaan puasa kadar glucose darah yang normal

adalah 70 – 90 per 100 ml. Pada diabetes yang berat angka tersebut

dapat mencapai 400 mg per 100 ml atau lebih.

Sintesa asam lemak pada penderita DM akan menurun, sebaliknya

oksidasi akan meningkat. Hasil metabolisme asam lemak yang berlebihan

akan meningkatkan kadar acetone heta hydroxylic acid dan acetoacetic

acid yang selanjutnya menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai

acidosis.

Sebagai akibat ketidaknormalan metabolisme hidrat arang, protein

akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh melalui

proses deaminasi asam amino. Pemecahan protein tersebut akan

menyebabkan peningkatan glucosa darah dan pembakaran asam lemak

yang tidak lengkap (Hiswani, 2007).

B. Kebutuhan Zat Gizi Pada Penderita Diabetes

Page 29: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang

cukup dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh.

Pengetahuan porsi makanan sedemikian rupa sehingga supan zat gizi

tersebar sepanjang hari. Penurunan berat badan ringan atau sedang (5 –

10 kg), sudah terbukti dapat meningkatkan kontrol diabetes, walaupun

berat badan idaman tidak dicapai.

Penurunan berat badan dapat diusahakan dicapai dengan baik

dengan penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan

pengeluaran energi. Dianjurkan pembatasan kalori sedang yaitu 250-500

Kkal lebih rendah dari asupan rata-rata sehari (Hiswani, 2007).

Kebutuhan zat gizi dapat diuraikan di bawah ini : (Hiswani, 2007)

1. Protein.

Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang

asupan protein orang dengan diabetes. ADA pada saat ini menganjurkan

mengkonsumsi 10% sampai 20% energi dari protein total. Menurut

konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia kebutuhan protein untuk

orang dengan diabetes adalah 10 – 15% energi.

Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari atau 10%

dari kebutuhan energi dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa dan

65% hendaknya bernilai biologi tinggi.

2. Total Lemak.

Asupan lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih

10% energi dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60

– 70% total energi dari lemak tidak jenuh tunggak dan karbohidrat.

Distribusi energi dari lemak dan karbohidrat dapat berbeda-beda setiap

individu berdasarkan pengkajian gizi dan tujuan pengobatan. Anjuran

persentase energi dari lemak tergantung dari hasil pemeriksaan glukosa,

lipid, dan berat badan yang diinginkan.

Untuk individu yang mempunyai kadar lipid normal dan dapat

mempertahankan berat badan yang memadai (dan untuk pertumbuhan

dan perkembangan normal pada anak dan remaja) dapat dianjurkan tidak

Page 30: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

lebih dari 30% asupan energi dari lemak total dan < 10% energy dari

lemak jenuh. Dalam hal ini anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20 –

25% energi.

Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama, dapat diikuti

anjuran diet dislipidemia tahap II yaitu < 7% energi total dari lemak jenuh,

tidak lebih dari 30% energi dari lemak total dan kandungan kolesterol 200

mg/hari.

Apabila peningkatan trigliserida dan VLDL merupakan masalah

utama, pendekatan yang mungkin menguntungkan selain menurunkan

berat badan dan peningkatan aktivitas adalah peningkatan sedang asupan

lemak tidak jenuh tunggal 20% energi dengan < 10% masing energy

masing-masing dari lemak jenuh dan tidak jenuh ganda sedangkan

asupan karbohidrat lebih rendah. Perencanaan makan tinggi lemak tidak

jenuh tunggal dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan nuts,

alpukat dan minyak zaitun. Namun demikian pada individu yang

kegemukan peningkatan asupan lemak dapat memperburuk

kegemukannya. Pasien dengan kadar trigliserida > 1000 mg/dl mungkin

perlu penurunan semua tipe lemak makanan untuk menurunkan kadar

lemak plasma dalam bentuk kilomikron.

3. Lemak Jenuh dan Kolesterol.

Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolestrol

adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu

< 10% asupan energi sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan

makanan kolesterol makanan hendaknya dibatasi tidak lebih dari 300 mg

perhari. Namun demikian rekomendasi ini harus disesuaikan dengan latar

belakang budaya dan etnik.

4. Karbohidrat dan Pemanis.

Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah total

karbohidrat dari pada jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal,

menilai kembali fruktosa dan lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu

sudah terbukti mempunyai respon glikemik menyerupai roti, nasi dan

kentang. Walaupun berbagai tepung-tepungan mempunyai respon

Page 31: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

glikemik yang berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah total

karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber karbohidrat. Anjuran

konsumsi karbohidrat untuk orang dengan diabetes di Indonesia adalah

60 – 70% energi.

5. Sukrosa.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa sebagai

bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah

pada individu dengan diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang

mengandung sukrosa harus diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat

makanan lain dan tidak hanya dengan menambahkannya pada

perencanaan makan. Dalam melakukan substitusi ini kandungan zat gizi

dari makanan-makanan manis yang pekat dan kandungan zat gizi

makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, demikian

juga adanya zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak

yang sering dimakan bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang

bervariasi memberikan lebih banyak zat gizi dari pada makanan dengan

sukrosa sebagai satu-satunya zat gizi.

6. Pemanis.

a. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil dari pada sukrosa dan

kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam hal ini fruktosa

dapat memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis pada diet

diabetes. Namun demikian, karena pengaruh penggunaan dalam jumlah

besar (20% energi) yang potensial merugikan pada kolesterol dan LDL,

fruktosa tidak seluruhnya menguntungkan sebagai bahan pemanis untuk

orang dengan diabetes. Penderita dislipidemia hendaknya menghindari

mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah besar, namun tidak ada alas an

untuk menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang

mengnadung fruktosa alami ataupun konsumsi sejumlah sedang

makanan yang mengandung pemanis fruktosa.

b. Sorbitol, mannitol dan xylitol adalah gula alkohol biasa (polyols) yang

menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari pada sukrosa dan

karbohidrat lain. Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan dapat

mempunyai pengaruh laxatif.

Page 32: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

c. Sakarin, aspartam, acesulfame adalah pemanis tak bergizi yang dapat

diterima

1. sebagai pemanis pada semua penderita DM.

7. Serat.

Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama

dengan untuk orang yang tidak diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 20 –

35 g serat makanan dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia

anjurannya adalah kira-kira 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut.

8. Natrium.

Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan

penduduk biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi yang

menderita hipertensi ringan sampai sedang, dianjurkan 2400 mg natrium

perhari.

C. Prinsip Perencanaan makan orang dengan diabetes di Indonesia

1. Kebutuhan Kalori.

Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan

berat badan ideal komposisi energi adalah 60 – 70% dari karbohidrat, 10 -

15% dari protein dan 20 – 25% dari lemak. Ada beberapa cara untuk

menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan orang dengan diabetes.

Diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan

kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah dan

dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur,

aktifikasi, kehamilan/laktasi, adanya komplikasi dan berat badan. Cara lain

adalah seperti tabel 1. Sedangkan cara yang lebih mudah lagi adalah

dengan pegangan kasar, yaitu untuk pasien kurus 2300 – 2500 kalori,

normal 1700 – 2100 kalori dan gemuk 1300 - 1500 kalori (hiswani, 2007).

Tabel 2.2 Kebutuhan Kalori Orang Dengan Diabetes.

Page 33: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Perhitungan Berat Badan Idaman.

Dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut :

Berat badan idaman = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita di bawah 150

cm, atau bagi mereka yang berumur lebih dari 40 tahun, rumus

dimodifikasi menjadi.

Berat badan ideal = (TB dalam cm – 100) x 1 kg.

Sedangkan menurut Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh

(IMT) yaitu berat badan (kg) TB2 sebagai berikut :

Berat ideal : BMI 21 untuk wanita, BMI 22,5 untuk pria.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori.

1. Jenis Kelamin.

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria, untuk ini

dapat dipakai angka 25 kal/kg BB untuk wanita dan angka 30 kal/kg BB

untuk pria.

2. Umur.

Pada bayi dan anak-anak kebutuhan kalori adalah jauh lebih tinggi

daripada orang dewasa, dalam tahun pertama bisa mencapai 112

kg/kg BB.

Umur 1 tahun membutuhkan lebih kurang 1000 kalori dan selanjutnya

pada anak-anak lebih daripada 1 tahun mendapat tambahan 100 kalori

untuk tiap tahunnya.

Penurunan kebutuhan kalori diatas 40 tahun harus dikurangi 5% untuk

tiap decade antara 40 dan 59 tahun, sedangkan antara 60 dan 69

tahun dikurangi 10%, diatas 70 tahun dikurangi 20%.

3. Aktifitas Fisik atau Pekerjaan.

Jenis aktifitas yang berbeda membutuhkan kalori yang berbeda

pula. Jenis aktifitas dikelompokan sebagai berikut :

Keadaan istirahat : kebutuhan kalori basal ditambah 10%.

Page 34: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Ringan : pegawai kantor, pegawai toko, guru, ahli hukum, ibu rumah

tangga, dan lain-lain kebutuhan harus ditambah 20% dari kebutuhan

basal.

Sedang : pegawai di insdustri ringan, mahasiswa, militer yang sedang

tidak perang, kebutuhan dinaikkan menjadi 30% dari basal.

Berat : petani, militer dalam keadaan latihan, penari, atlit, kebutuhan

ditambah 40%.

Sangat berat : tukang beca, tukang gali, pandai besi, kebutuhan harus

ditambah 50% dari basal.

4. Kehamilan/Laktasi.

Pada permulaan kehamilan diperlukan tambahan 150 kalori/hari

dan pada trimester II dan III 350 kalori/hari. Pada waktu laktasi diperlukan

tambahan sebanyak 550 kalori/hari.

5. Adanya komplikasi.

Infeksi, Trauma atau operasi yang menyebabkan kenaikan suhu

memerlukan tambahan kalori sebesar 13% untuk tiap kenaikkan 1 derajat

celcius.

6. Berat Badan.

Bila kegemukan/terlalu kurus, dikurangi/ditambah sekitar 20-30%

bergantung kepada tingkat/kekurusannya (HIswani, 2007).

2. Gula.

Gula dan produk-produk lain dari gula dikurangi, kecuali pada

keadaan tertentu, misalnya pasien dengan diet rendah protein dan yang

mendapat makanan cair, gula boleh diberikan untukmencukupi kebutuhan

kalori, dalam jumlah terbatas. Penggunaaan gula sedikit dalam bumbu

diperbolehkan sehingga memungkinkan pasien dapat makan makanan

keluarga. Penggunaaan gula untuk minuman dapat diberikan sesuai

petunjuk bila diperlukan.

2.4.1 Nutrisi Pada Geriatri dengan Diabetes Mellitus

Terapi gizi medis 

Page 35: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Model empat-langkah terapi nutrisi medis dimulai dari penilaian,

diikuti dengan penetapan tujuan, institusi intervensi dan, akhirnya,

evaluasi dan problem-solving (Turnbull and Sinclair, 2002).

Suatu penilaian gizi meliputi evaluasi diagnosa medis, pengukuran

parameter antropometrik dan indeks biokimia, dan peninjauan

pengobatan. Riwayat nutrisi menyeluruh akan mencakup evaluasi pilihan

makanan pasien dan pola makan, penggunaan alkohol atau suplemen

mikronutrien, riwayat berat badan, dan kebutuhan gizi. unsur lain dalam

penilaian gizi mencakup penilaian riwayat latihan dan masalah psikososial

yang ada dan dasar pengetahuan pasien yang berkaitan dengan diabetes

dan gizi, serta keinginan pasien dan kemampuan untuk berubah. Unsur-

unsur penilaian ditunjukkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komponen Penilaian Nutrisi (Turnbull and Sinclair, 2002) 

A. klinis data : diagnosa medis yang menyertai, pengukuran antropometri, indeks

biokimia, obat-obatan

B. Riwayat nutrisi 

     a) pilihan makanan biasa / pola makan 

      b) Penggunaan alkohol 

      c) Vitamin / mineral suplemen 

      d) Interaksi obat dan nutrisi

      e) Riwayat berat badan

      f) kalori asupan dan kebutuhan gizi 

C. komponen lainnya 

      a) Kegiatan/ riwayat olahraga 

      b) masalah psikososial 

      c) Pengetahuan gizi / keterampilan manajemen diabetes

      d) Sikap terhadap perubahan 

Orang dewasa yang lebih tua, khususnya mereka dengan

hiperglikemia yang tidak terkendali, akan beresiko kekurangan

gizi. Perubahan terkait usia di berbagai fungsi fisiologis, termasuk

perubahan dalam rasa, bau, dan keasaman lambung, meningkatkan risiko

Page 36: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

kekurangan gizi. Pasien diabetes yang lebih tua berisiko lebih besar untuk

vitamin B1, B12, C, D, dan defisiensi folat, serta kekurangan berbagai

mineral, termasuk kalsium, seng, dan magnesium (Turnbull and Sinclair,

2002).

Oleh karena itu, praktisi harus memperhatikan indikator klinis status

gizi buruk. Indikator yang paling penting adalah berat badan yang

berubah, misalnya, rentang berat di mana seseorang tampaknya telah

stabil selama beberapa tahun terakhir. Secara umum, penurunan atau

penambahan berat badan sebesar 4,5 kg atau lebih dalam 6 bulan

dianggap sebagai indikator status gizi buruk. Indikator lain status gizi

buruk yang tercantum dalam Tabel 2.4. 

Tabel 2.4 Indikator Status Gizi Buruk, 52, 53 

1. Berat perubahan signifikan 

     a) 10% dari berat tubuh dalam 6 bulan 

    b) Penurunan dan penambahan berat badan > dari 4,5 kg dalam 6 bulan 

2. Data antropometri 

     a) Indeks massa tubuh <22 atau> 27 

      b) Mid-lingkar otot lengan <10 persentil 

     c) lipatan kulit triceps <10 atau >95 persentil 

3. Laboratorium Data 

     a) prealbumin serum <15 mg / dl 

     b) transferin serum <200 mg / dl 

     c) albumin serum <3,5 g / dl 

      d) kolesterol serum <160 mg / dl 

American Diabetes Association diet tidak lagi direkomendasikan,

terapi gizi subyek dengan diabetes harus individual. Secara umum,

persyaratan penurunan kalori sebesar 20-30% pada orang dewasa yang

lebih tua. Selain usia, sejumlah faktor menentukan kebutuhan kalori. Ini

termasuk jenis kelamin, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan pola

aktivitas. 

Page 37: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Kebutuhan untuk menurunkan berat badan harus dievaluasi secara

cermat. Rendah berat badan telah dikaitkan dengan morbiditas dan

mortalitas yang lebih besar pada orang tua. Penderta diabetes subjek

yang lebih tua, terutama di rumah jompo, cenderung kurus daripada

overweight. 

Kandungan protein diet harus merupakan 10-20% dari kalori, dan

dalam kondisi apapun harus itu <0,8 g / kg / hari. Peningkatan kebutuhan

protein dan kalori selama penyembuhan luka, infeksi, dan stressor lainnya

yang diketahui.

Persentase CHO dalam diet harus individual. Secara umum, jumlah

total CHO lebih penting daripada sumbernya. Sukrosa atau makanan yang

mengandung sukrosa dapat menggantikan CHO lain dalam rencana diet.

Kandungan lemak dari diet juga harus disesuaikan masing-masing

individu. Sebelum meresepkan rendah kolesterol, diet rendah lemak

jenuh, risiko risiko penyakit kardiovaskuler memberatkan harus

dipertimbangkan terhadap resiko kekurangan gizi. Jika diet rendah

kolesterol dimulai, pembatasan harus dibatasi.

Rekomendasi saat ini 20-35 g serat per hari mungkin terlalu tinggi

untuk beberapa pasien yang lebih tua. Asupan serat harus ditingkatkan

secara bertahap dan harus disertai dengan asupan cairan yang cukup

atau kegiatan fisik. Meningkatkan asupan serat dalam keadaan bedrest,

dehidrasi, mata pelajaran yang lebih tua dapat menimbulkan sindrom

reservoir terminal, suatu kondisi yang terjadi pada beberapa individu

dengan motilitas usus yang rendah dimana bahan tinja akan terakumulasi

di segmen terakhir dari kolon sigmoid. 

Rekomendasi untuk membatasi minuman beralkohol untuk 2/day

mungkin juga berlebihan untuk orang dewasa yang lebih tua karena

seringkali telah mengalami penurunan toleransi terhadap alkohol. Tingkat

pembatasan natrium <2.400 mg / hari untuk pengobatan hipertensi atau

gagal jantung kongestif harus dievaluasi secara cermat. Persepsi rasa

menurun berkaitan dengan penuaan dalam kombinasi dengan

Page 38: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

pembatasan natrium yang parah dapat menyebabkan asupan makanan

tidak memadai.

Suplementasi mikronutrien harus disesuaikan masing-masing

individu berdasarkan defisiensi mikronutrien yang diketahui. Bagi mereka

dengan asupan diet yang buruk, suplemen multivitamin setiap hari

mungkin tepat. Semua orang dewasa harus didorong untuk mengambil

sedikitnya 1.000 mg kalsium elemental sehari-hari.Secara umum, dosis

besar vitamin harus dihindari.

Pada rangkaian perawatan jangka panjang, kekurangan gizi

merupakan masalah serius, dan dehidrasi seringkali terjadi. Penyebab

umum malnutrisi terkait dengan layanan makanan dalam perawatan

jangka panjang termasuk pembatasan yang tidak pantas, rendahnya

kualitas makanan, kurangnya pilihan dan variasi, dan kurangnya

pertimbangan bagi preferensi etnis dan budaya. 

Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi melalui pola

makan makanan normal padat, maka intervensi dukungan gizi

diindikasikan. Hal ini dapat sesederhana memodifikasi asupan makanan

yang biasa dengan mengubah kandungan gizi, kepadatan makanan, atau

tekstur, atau dapat menjadi regimen lebih kompleks menggunakan

suplementasi enteral dan parenteral. Diet ADA sebelumnya itu tidak

berpengaruh signifikan terhadap kontrol glisemik pada penduduk diabetes

dalam jangka panjang . Istilah " diet CHO konsisten " adalah sistem baru

yang direkomendasikan pada fasilitas perawatan jangka panjang.

Rencana tersebut mencakup prinsip-prinsip dasar memberitahukan diet

dan mendistribusikan CHO sepanjang hari. Ini mencakup porsi kecil

makanan penutup reguler, dan CHO diberikan pada saat makan dan

makanan ringan, selama mereka konsisten dari hari ke hari. Rencana ini

berfokus pada penyediaan makanan bagi pasien diabetes yang menarik

dan mirip dengan yang diberikan kepada warga lain pada fasilitas

perawatan jangka panjang, tetapi yang tidak memiliki efek buruk pada

kontrol glikemik (Turnbull and Sinclair, 2002).

Page 39: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

BAB 3

Data Medis Pasien

3.1 Identitas

Nama Lengkap : Ny. Chunainah

Tanggal lahir : 1 Januari 1923

Umur : 87 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Seduro Puro Rt 2 RW 3 Rejoso, Pasuruan

Telp : 0343-6215081

Pekerjaan : Sudah tidak bekerja

Status : Menikah

Pendidikan : Pesantren, setaraf Sekolah Menengah Atas

Etnis/suku : Jawa

Agama : Islam

MRS : 22 September 2010

Rekam Medis : 10925xxx

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis dengan anak pasien)

Keluhan utama : Penurunan kesadaran

Pasien dibawa ke RS Saiful Anwar (RSSA) pada tanggal 22

September 2010 karena tidak sadarkan diri. Pasien tiba-tiba tidak

sadarkan diri (jatuh pingsan) 4 hari sebelum masuk rumah sakit, siang hari

setelah solat dhuhur. Saat itu, pasien dibawa ke Puskesmas di Grati,

Pasuruan. Karena fasilitas tidak memadai, pasien dirujuk ke RS Purut

Pasuruan. Di RS Pasuruan, keluarga pasien diberitahu bahwa pasien

pingsan karena gula darah turun ( <50). Pasien dirawat selama 3 hari di

RS Pasuruan. Selama dirawat, kondisi pasien mengalami perbaikan.

Namun, pada hari ketiga dirawat pasien kembali tidak sadarkan diri. Saat

itu, badan pasien kaku dan mata melirik ke atas. Sehingga pasien dirujuk

ke RSSA untuk dilakukan CT scan kepala.

Page 40: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Pasien juga mengalami mual dan muntah 7 hari sebelum dibawa ke

rumah sakit. Muntah sebanyak 2 kali sehari, sebanyak ¼ gelas, berisi

cairan dan sisa makanan. Ketika dirawat di Pasuruan, mual dan muntah

yang dirasakan semakin parah. Pasien dapat muntah sebanyak 5 kali

sehari. Muntah tidak menyemprot. Nafsu makan menurun

Pasien mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis.

Satu tahun yang lalu berat pasien 63 kg, namun sekarang tinggal 45 kg.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien menderita penyakit kencing manis lebih dari 20 tahun.

Selama itu, pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan berobat ke mantri

desa jika merasa tidak enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini pasien

kadang periksa ke dokter umum di Grati. Pasien diberi obat minum

(glibenklamid), sehari dua kali. Namun, oleh pasien obat ini hanya

diminum jika pasien merasa tidak enak badan.

Pasien sudah berkali-kali di rawat di rumah sakit karena penyakit

kencing manis. Dalam 1 tahun terakhir, pasien sudah dirawat lebih dari 5

kali. Terakhir pasien dirawat di RS Grati pada bulan Agustus (sebelum Idul

Fitri) selama 5 hari karena kadar gula darah yang tinggi dan mual muntah.

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik terhadap makanan

maupun terhadap obat.

Riwayat Pribadi

Hobi : memasak

Olahraga : berjalan kaki, namun pasien tidak pernah olahraga

lagi selama 5 tahun terakhir

Kebiasaan makan : satu tahun terakhir, pasien hanya mau makan nasi

lunak dan kuah sayur. Pasien tidak mau makan lauk

apapun. Pasien makan sehari lima kali, 2 sendok

makan setiap makan.

Page 41: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Merokok : Tidak merokok

Minum alkohol : Tidak minum alkohol

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesan sakit : berat

Gizi : kesan kurang

Tinggi badan : 155 cm

Berat badan : 45 kg

BMI : 18,7 kg/m2

Kesadaran : delirium

GCS : 345

Tanda vital : Tensi 130/80 mmHg

Nadi 88 x/mnt, regular

RR 24 x/mnt

Tax 36,20C

Kulit : tekstur kulit kering

Kepala-Leher : JVP R+2 cmH2O pada posisi 30o

Telinga : tidak didapatkan kelainan

Hidung : tidak didapatkan kelainan

Mulut- Tenggorokan : tidak didapatkan kelainan

Mata : Conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Thoraks : Pengembangan dada simetris, nafas spontan

adekuat

Stem fremitus D = S

P s/s A v/v Rh - /- Wh -/-

s/s v/v -/- -/-

s/s v/v -/- -/-

Jantung :Iktus invisible, palpable pada 2 cm lateral MCL ICS

VI sinistra

RHM ~ SL dextra

LHM ~ iktus

S1 S2 single, murmur (-)

Page 42: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Abdomen : Flat, soefl, bising usus (+) N

Hepar: hepar tidak teraba, liver span 8 cm

Lien: lien tidak teraba, traube space tympani

Punggung : kelainan bentuk (-)

Ekstremitas : Edema -/-

-/-

Neurologi : tremor (-), kelemahan (-)

Bicara : lancar dengan orientasi buruk

3.4 Pemeriksaan Penunjang

22 September 2010

LabValue Lab Value

Leukocyte 9.300 3500-10000/µL Na 113 136-145 Mmol / L

Hemoglobin 10.2 11,0-16,5g/dl K 3.9 3,5-5,0 mmol / L

PCV 29.6 35-50% Cl 70 98-106 mmol / L

Thrombocyte 151,000 150000-390000 SGOT 28 11-41U/L

RBS 236 (<200)mg/dL SGPT 22 10-41U/L

Ureum 55,0 10-50mg/dL

Creatinin 1.97 0,7-1,5mg/dL

Albumin 3.10 3.5-5 g/dl

Urinalisis

Warna Jernih

SG/BJ 1,010 Glukosa +2

pH 6 Keton -

Lekosit +1 (5-10) Urobilinogen -

Nitrit - Bilirubin -

Protein/Alb +2 Eritrosit +1 (2-5)

Blood Gas Analysis

Page 43: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

LabValue

Ph 7,47 7.35-7.45

PC02 24,1 35 – 45 mmHg

PO2 144.1 80-100 mmHg

HCO3 20.4 21-28 mmol/L

SaO2 99.1 >95 %

BE -4.9 (-3) – (+3) mmol/L

ECG :

Sinus Rhytm Heart Rate 88 bpm

Frontal Axis : Normal

Horisontal Axis : Normal

QRS complex : 0,04''

PR Interval : 0.12”

QT interval : 0,28''

Kesimpulan : Normal

Chest X Ray :

AP Position

Soft tissue ; normal

Bone ; Normal

Sinus Phrenicocostalis D/S ; Lancip /lancip

Hemidiafragma D/S : Domeshape / Domeshape

Trakea ; In the middle

Cor ;

Bentuk : Normal

Ukuran : CTR < 50%

Posisi : Normal

Pulmo ; Normal

Kesimpulan ; Normal

Page 44: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Status Geriatri :

INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS

BARTHEL)

N

O

FUNGSI SKOR KETERANGAN NILAI

SKOR

1 Mengendalikan

rangsang

pembuangan tinja

0

1

2

Tak terkendali/tak teratur (perlu

pencahar)

Kadang-kadang tak terkendali (1x

seminggu)

Terkendali teratur

1

2 Mengendalikan

rangsang berkemih

0

1

2

Tak terkendali atau pakai kateter

Kadang-kadang tak terkendali (hanya

1x/24 jam)

Mandiri

1

3 Membersihkan diri

(seka muka, sisir

rambut, sikat gigi)

0

1

Butuh pertolongan orang lain

Mandiri

1

4 Penggunaan jamban,

masuk dan keluar

(melepaskan,

memakai celana,

membersihkan,

menyiram)

0

1

2

Tergantung pertolongan orang lain

Perlu pertolongan pada beberapa

kegiatan tetapi dapat mengerjakan

sendiri beberapa kegiatan yang lain

Mandiri

1

5 Makan 0

1

2

Tidak mampu

Perlu ditolong memotong makanan

Mandiri

1

6 Berubah sikap dari

berbaring ke duduk

0

1

2

3

Tidak mampu

Perlu banyak bantuan untuk bisa

duduk (2 orang)

Bantuan minimal 1 orang

Mandiri

2

7 Berpindah berjalan 0

1

2

Tidak mampu

Bisa (pindah) dengan kursi roda

Berjalan dengan bantuan 1 orang

2

Page 45: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

3 Mandiri

8 Memakai baju 0

1

2

Tergantung orang lain

Sebagian dibantu (misalnya

mengancing baju)

Mandiri

2

9 Naik turun tangga 0

1

2

Tidak mampu

Butuh pertolongan

Mandiri

1

10 Mandi 0

1

Tergantung orang lain

Mandiri

0

Total Skor 12

Keterangan : Skor AKS BARTHEL

20 : mandiri

12-19 : ketergantungan ringan

9-11 : ketergantungan sedang

5-8 : ketergantungan berat

Page 46: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

3.5 POMR

CUE AND CLUEPL I Dx P Dx P Tx P Mx

Wanita/83 th

Ax :

Penurunan

kesadaran

Mual/muntah

Intake cairan

kurang

PE :

Mulut kering

Produksi urine

< 0,5

cc/kgBB/jam

Lab :

Na : 113

Osm darah :

256 mosm/l

1. DOC 1.1

hypotonic

hyponatremi

a

1.1.1

vomiting

  IVFD NaCl 0,9%

1L/1jam

Koreksi

hyponatremi 474 cc

NaCl 3% dalam 24

jam

Kesadaran.

VS

SE post

Koreksi

Wanita/ 83 th

Ax :

Penurunan

berat badan

Riwayat DM

GDA : 236 mg/dl

2. Diabetes

mellitus type

2

Insulatard 0 - 0 –

10 iu sc

Keluhan

Subyektif

GD I/II

Wanita/ 83 th

Ax :

Mual muntah

Penurunan

nafsu makan

Badan lemah

Riwayat DM 20

tahun

Lab :

Ur / Cr : 55.0 /

3. Azotemia 3.1 Diabetic

Kidney

disease

Funduskopi

Protein

esbach

Captopril 2 x 25 mg Keluhan

subyektif

Ur/Cr

Page 47: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

1.97 mg/dl

GDA : 236

mg/dl

Urinalisis :

Glukosuria 2+

Proteinuria 2+

Wanita/ 83 th

Ax :

Penurunan

berat badan

Penurunan

nafsu makan

Mual muntah

Skor mini nutritional

assessment :10

4. malnutrisi Pasang NGT

Diet cair 6 x 200

kcal/hari

Diet DM 1900

kcal/hari (50%

karbohidrat)

-metoklopramid

3x10 mg

Keluhan

subyektif

Berat

badan

Wanita/ 83 th

Barthel index : 12

5.

Ketergantun

gan ringan

Care giver

BAB 4

Page 48: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Pembahasan

Terdapat 4 topik yang akan dibahas disini yaitu hiponatremia, diabetes

mellitus, diabetic kidney disease dan malnutrisi pada geriatri.

Hiponatremia

Tinjauan Pustaka Pada pasien

Hiponatremia didefinisikan sebagai

konsentrasi natrium serum < 130

mEq/L. Hiponatremia terbagi atas

hypotonic hyponatremia (osmolaritas

darah < 280 mosm/kg), isotonic

hyponatremia (osmolaritas darah 280-

295 mosm/kg), dan hypertonic

hyponatremia (osmolaritas darah >

295 mosm/kg).

Pasien dengan kadar natrium serum

<135mEq/L sering tidak menunjukkan

gejala. Gejala terutama muncul pada

hiponatremia berat (kadar natrium

serum <120mEq/L). Gejala awal

akibat hiponatremia antara lain

gangguan saluran cerna seperti mual

dan nyeri perut. Perhatian utama dari

hiponatremia adalah edema otak,

yang dapat bermanifestasi sebagai

nyeri kepala, bingung (confusion),

letargi, kejang atau koma. Gejala

yang lain termasuk hemiparese,

ataksia, nistagmus, tremor, rigiditas,

afasia, kram otot, dan fasikulasi.

Namun, sulit ditemukan gambaran

Pada anamnesis, pasien mengalami

penurunan kesadaran dengan badan

yang kaku dan mata melirik ke atas.

Pasien juga mengalami mual dan

muntah yang hebat sebelum tidak

sadarkan diri. Pasien dapat muntah 5

kali dalam sehari, tidak menyemprot,

dengan volume ¼ gelas, berisi cairan

dan sisa makanan

Pada pemeriksaan laboratorium,

didapatkan kadar Na yang rendah (113

mosm/kg)

Page 49: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

edema otak dari pemeriksaan

radiologi. Selain edema otak,

hiponatremia berat juga berhubungan

dengan terjadinya disfungsi

kardiovaskuler termasuk aritmia,

hipotensi, hipoksemia, dan edema

paru (Sanjay et al, 2003).

Setelah diagnosis hypotonic

hyponatremia ditegakkan,

determinasi akurat mengenai status

hidrasi pasien penting dalam

penanganan selanjutnya.

Pada hypovolemic hypotonic

hyponatremia, penatalaksanaan

termasuk penggantian cairan yang

hilang dengan cairan NaCl 0,9% atau

NaCl 0,45% atau Ringer Laktat

(Stephen et al, 2007).

Kecepatan koreksi natrium harus

disesuaikan untuk mencegah

kerusakan otak permanen. Koreksi

Osmolaritas darah pada pasien ini :

¿2 (Na+K )+ glukosa18

+ ureum6

¿2 (113+3.9 )+ 23618

+ 556

¿233.8+13.1+9.16

¿256mosm / l

Sehingga pasien termasuk dalam

hiponatremia hipotonik.

Riwayat mual muntah, intake cairan

yang kurang, mulut kering, produksi

urine < 0,5 cc/kgBB/jam menunjukkan

pasien berada pada status hidrasi

hypovolemik

Sehingga, pasien termasuk dalam

hiponatremia hipotonik hipovolemik.

Pasien mendapat terapi resusitasi cairan

NaCl o,9 % 1 L/1 jam yang dilanjutkan

koreksi hiponatremia

Page 50: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

hiponatremia yang terlalu cepat dapat

mengakibatkan kondisi serius yang

disebut “osmotic demyelination” atau

“certral pontine myelinosis”. Pada

situasi ini, peningkatan kadar natrium

serum mengakibatkan air keluar

melewati blood brain barrier,

sehingga terjadi dehidrasi otak dan

kerusakan otak (Sanjay et al, 2003).

Terdapat beberapa kontroversi

mengenai batasan kecepatan koreksi

hiponatremia. Ayus dan Arieff

menyebutkan bahwa peningkatan 25

mEq/L dalam 48 jam pertama dapat

mengakibatkan cerebral

demyelination. Sementara Rose

berpendapat bahwa hipertonik salin

harus segera diberikan untuk

meningkatkan kadar natrium serum

lebih cepat (1,5-2 mEq/L/hari dalam

3-4 jam atau hingga gejala neurologi

hilang) (Norma et al, 2000).

Kebutuhan koreksi natrium dapat

dihitung menggunakan rumus

penatalaksanaan hiponatremia dan

karakteristik infuse, yang disusun

untuk melihat perubahan natrium

serum setelah penderita

mendapatkan 1 liter infuse dengan

menggunakan rumus berikut :

(fraksi) x BBI x (125-Na)

dimana fraksinya adalah 0,6 dan 0,5

pada laki-laki dan wanita muda, serta

0,5 dan 0,45 pada laki-laki dan wanita

Kecepatan koreksi hiponatremia pada

pasien ini adalah :

Jumlah koreksi natrium :

= 0,45 x 45 x (125-113)

= 243 mEq

Waktu yang dibutuhkan untuk koreksi

natrium dengan kecepatan 0,5-1

mEq/jam adalah :

=12/0,5

=24 jam

Jika menggunakan NaCl 3%, dimana 1 L

Page 51: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

tua, dengan kecepatan 0,5-1

mEq/jam (Sanjay et al, 2003).

NaCl 3% mengandung 513 mEq, maka

jumlah NaCl 3% yang dibutuhkan :

=243/513 x 1000 cc

=474 cc NaCl 3%

Maka kecepatan tetesan :

=474/24 cc/jam

=19 cc/jam

=0,4 cc/menit

=7 tpm (makro)

Diabetes Mellitus

WHO (2006) mendefinisikan diabetes

mellitus (DM) sebagai penyakit kronis

yang terjadi akibat dari ketidak

mampuan pankreas untuk

memproduksi insulin yang cukup,

atau tubuh tidak mampu

menggunakan insulin yang

diproduksinya dengan efektif.

Menurut NDIC, diabetes mellitus

adalah kelainan metabolisme atau

cara tubuh mencerna makanan

menjadi energi. DM terbagi menjadi

2, yaitu tipe 1 akibat defisiensi

produksi insulin yang terutama akibat

suatu proses autoimun, dan tipe 2

akibat resistensi insulin yang tidak

disertai kompensasi sekresi insulin

yang adekuat.

Adanya penyakit diabetes ini pada

awalnya seringkali tidak dirasakan

dan tidak disadari oleh penderita.

Beberapa keluhan dan gejala yang

Pada anamnesis, diketahui bahwa

pasien menderita penyakit kencing

manis lebih dari 20 tahun. Selama itu,

pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan

Page 52: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

perlu mendapat perhatian dalam

Soegondo dkk (2006) ialah :

a. Keluhan Klasik

Penurunan berat badan (BB)

dan rasa lemah tanpa sebab

yang jelas

Banyak kencing (poliuria)

Banyak minum (polidipsia)

Banyak makan (polifagia)

b. Keluhan Lain

Gangguan saraf tepi /

kesemutan

Gangguan penglihatan

(kabur)

Gatal / bisul yang hilang

timbul

Gangguan Ereksi

Keputihan

Gatal daerah genital

Infeksi sulit sembuh

Cepat Lelah

Mudah mengantuk

Kriteria diagnostic WHO untuk

menegakkan diagnosis DM adalah:

3. Gejala klasik DM + gula darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl. Gula

darah sewaktu merupakan

hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan

terakhir. Atau kadar gula

darah puasa ≥ 126 mg/dl.

Puasa diartikan pasien tidak

mendapat kalori tambahan

berobat ke mantri desa jika merasa tidak

enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini

pasien kadang periksa ke dokter umum

di Grati. Pasien diberi obat minum

(glibenklamid), sehari dua kali. Namun,

oleh pasien obat ini hanya diminum jika

pasien merasa tidak enak badan.

Pada pasien terdapat penurunan berat

badan.

Dari hasil pemeriksaan gula darah acak,

diketahui gula darah acak pasien 236

mg/dl

Pada pasien ini,diagnosis DM dapat

ditegakkan karena adanya riwayat DM,

penurunan berat badan, dan kadar gula

darah acak ≥200 mg/dl

Page 53: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

sedikitnya 8 jam.

4. Kadar gula darah 2 jam pada

TTGO ≥ 200 mg/dl. TTGO

dilakukan dengan Standard

WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan

75 g glukosa anhidrus yang

dilarutkan dalam air.

Adapun pilar penatalaksanaan

DM adalah : (Soegondo dkk, 2006)

5. Edukasi

6. Terapi gizi medis

7. Latihan jasmani

8. Intervensi farmakologis

Pada dasarnya pengelolaan DM

tanpa dekompensasi metabolik

dimulai dengan pengaturan makan

disertai dengan kegiatan jasmani

yang cukup selama beberapa waktu

(4 - 8 minggu). Bila setelah itu kadar

glukosa darah masih belum

memenuhi kadar sasaran metabolik

yang diinginkan, baru diberikan obat

hipoglikemik oral (OHO) atau

suntikan insulin sesuai dengan

indikasi.

Adapun indikasi penggunaan insulin

pada DM - tipe 2 :

ketoasidosis, koma

hiperosmolar dan asidosis

laktat

penurunan berat badan yang

cepat

hiperglikemia berat yang

Pada pasien ini, diberikan terapi

insulatard 0-0-10 iu sc. Hal ini

dikarenakan pasien telah memiliki DM

selama 20 tahun yang gagal dengan

terapi OHO disertai penurunan berat

badan yang cepat serta adanya

gangguan pada fungsi ginjal yang

ditunjukkan oleh ureum/creatinin yang

meningkat.

Page 54: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

disertai ketosis

ketoasidosis diabetic

hiperglikemia hiperosmolar

non-ketotik

hiperglikemia dengan asidosis

laktat

stres berat (infeksi sistemik,

operasi berat, IMA, stroke)

kehamilan/DM gestasional

yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan.

tidak berhasil dikelola dengan

OHO dosis maksimal atau

ada kontra indikasi dengan

OHO

gangguan fungsi ginjal atau

hati yang berat

Diabetic kidney disease

Diabetic nephropathy pada tahap

awal ditandai oleh proteinuria. Seiring

dengan penurunan fungsi ginjal, akan

terjadi pula akumulasi ureum dan

kreatinin dalam darah. Diabetic

nephropathy yang progresif akan

ditandai oleh proteinuria,

hipoalbuminemia, edema,

peningkatan LDL kolesterol dan

gejala azotemia seperti anoreksia,

penurunan berat badan, lelah,

pruritus, hingga ensefalopati. Pada

diabetic nephropathy, juga dapat

disertai dengan peningkatan tekanan Pada anamnesis, diketahui bahwa

pasien menderita penyakit kencing

Page 55: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

darah.

Data yang didapatkan pada pasien

antara lain : (Hartono, 2006)

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan

gejala-gejala khas maupun keluhan

tidak khas dari gejala penyakit

diabetes. Keluhan khas berupa

poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan

berat badan. Keluhan tidak khas

berupa: kesemutan, luka sukar

sembuh, gatal-gatal pada kulit,

ginekomastia, impotensi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada Nefropati Diabetika

didapatkan kelainan pada retina yang

merupakan tanda retinopati yang

spesifik dengan pemeriksaan

Funduskopi, berupa :

7. Obstruksi kapiler, yang

menyebabkan berkurangnya

aliran darah dalam kapiler

retina.

8. Mikroaneusisma, berupa

tonjolan dinding kapiler,

terutama daerah kapiler vena.

9. Eksudat berupa :

Hard exudate : berwarna

kuning, karena eksudasi

plasma yang lama.

Cotton wool patches :

berwarna putih, tak

berbatas tegas,

manis lebih dari 20 tahun. Selama itu,

pasien tidak pernah kontrol. Pasien akan

berobat ke mantri desa jika merasa tidak

enak badan. Namun, 2 tahun terakhir ini

pasien kadang periksa ke dokter umum

di Grati. Pasien diberi obat minum

(glibenklamid), sehari dua kali. Namun,

oleh pasien obat ini hanya diminum jika

pasien merasa tidak enak badan.

Pada pasien terdapat penurunan berat

badan.

Pasien juga mengalami penurunan nafsu

makan dan badan menjadi lemah.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kulit

yang kering serta produksi urin yang

kurang dari o,5 cc/kbgBB/jam

Dari hasil pemeriksaan laboratorium,

didapatkan :

GDA 236 mg/dl

Ureum 55,0 mg/dl

Creatinin 1,97 mg/dl

Urinalisis :

o Glukosuria 2+

o Proteinuria 2+

Page 56: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

dihubungkan dengan

iskhemia retina

10. Shunt artesi-vena, akibat

pengurangan aliran darah

arteri karena obstruksi kapiler.

11. Perdarahan bintik atau

perdarahan bercak, akibat

gangguan permeabilitas

mikroaneurisma atau

pecahnya kapiler.

12. Neovaskularisasi

Bila penderita jatuh pada stadium end

stage (stadium IV-V) atau CRF end

stage,didapatkan perubahan berupa :

- cardiomegali

- oedem pulmo

3. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2

kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa ditemukan penyebab

proteinuria yang lain atau proteinuria

satu kali pemeriksaan plus kadar

kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

Diagnosis Nefropati Diabetika dapat

dibuat apabila dipenuhi persyaratan

seperti di bawah ini : (Hartono, 2006)

4. DM

5. Retinopati Diabetika

6. Proteinuri yang persisten

selama 2x pemeriksaan

interval 2 minggu tanpa

penyebab proteinuria yang

lain, atau proteinuria 1x

pemeriksaan plus kadar

Untuk menegakkan diagnosis nefropati

diabetika, maka diusulkan untuk

pemeriksaan funduskopi

Page 57: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

kreatinin serum >2,5mg/dl .

Penatalaksanaan diabetic

nephropathy termasuk diet rendah

protein (0,8 g/kgBB/hari) dan

pengaturan kadar gula darah. Obat

antihipertensi juga dapat menurunkan

mikroalbuminuria. Data dari beberapa

peneltian menunjukkan bahwa ACE

inhibitor dapat menurunkan tekanan

intraglomerular. Penggunaan ACE

inhibitor pada pasien diabetic

nephropathy dengan normotensi

dapat mengurangi progresi

proteinuria dan mencegah

peningkatan kecepatan ekskresi

mikroalbuminuria.

Pada pasien ini mendapat terapi

captopril 2x25 mg

Malnutrisi

Pasien geriatric dengan DM lebih

rentan mengalami masalah nutrisi

dibanding mereka yang tidak memiliki

DM, seperti halnya penyakit kronik

lainnya. Defisiensi insulin sangat

mirip dengan malnutrisi, dimana pada

keduanya merupakan status katabolik

dengan peningkatan turn over sel,

sehingga meningkatkan kebutuhan

nutrient, vitamin dan mineral. Selain

itu, adanya defisiensi Zinc memiliki

efek anoreksia sehingga

memperparah masalah nutrisi yang

ada. Perubahan terkait usia di

berbagai fungsi fisiologis, termasuk

Page 58: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

perubahan dalam rasa, bau, dan

keasaman lambung, meningkatkan

risiko kekurangan gizi. Pasien

diabetes yang lebih tua berisiko lebih

besar untuk vitamin B1, B12, C, D,

dan defisiensi folat, serta kekurangan

berbagai mineral, termasuk kalsium,

seng, dan magnesium (Turnbull and

Sinclair, 2002).

Untuk mengetahui status nutrisi

pasien geriatric dapat menggunakan

Mini Nutritional Assessment. Jika

skor pada Mini Nutritional

Assessment 24 hingga 30 termasuk

status nutrisi normal, 17 hingga 23,5

termasuk risiko malnutrisi, dan jika

kurang dari 17 termasuk malnutrisi

Kebutuhan kalori sesuai untuk

mencapai dan mempertahankan

berat badan ideal komposisi energi

adalah 60 – 70% dari karbohidrat, 10

- 15% dari protein dan 20 – 25% dari

lemak. Ada beberapa cara untuk

menentukan jumlah kalori yang

dibutuhkan orang dengan diabetes.

Diantaranya adalah dengan

memperhitungkan berdasarkan

kebutuhan kalori basal yang

besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal,

ditambah dan dikurangi bergantung

pada beberapa factor yaitu jenis

Pada pasien ini, terjadi penurunan berat

badan yang cukup drastis. Satu tahun

yang lalu berat pasien 63 kg, namun

sekarang tinggal 45 kg. Pasien juga

mengalami penurunan nafsu makan dan

mual muntah

Berdasarkan hasil pemeriksaan Mini

Nutritional Assessment, diketahui pasien

memiliki skor total 11 sehingga pasien

termasuk dalam malnutrisi.

Selama tidak sadarkan diri, pasien

dipasang NGT dan diberi diet cair 6 x

200 kcal/hari

Kemudian secara bertahap setelah

pasien dapat makan, pasien diberikan

diet DM 1900 kcal/hari (50%

karbohidrat)

-metoklopramid 3x10 mg untuk

mengatasi rasa mual sehingga

mencegah muntah

Page 59: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

kelamin, umur, aktifitas,

kehamilan/laktasi, adanya komplikasi

dan berat badan. Sedangkan cara

yang lebih mudah lagi adalah dengan

pegangan kasar, yaitu untuk pasien

kurus 2300 – 2500 kalori, normal

1700 – 2100 kalori dan gemuk 1300 -

1500 kalori (hiswani, 2007).

Pasien geriatric dengan DM, selain

rentan terhadap masalah nutrisi, juga

rentan terhadap gangguan

fungsional. Untuk mengetahui status

fungsional seseorang antara lain

dapat digunakan barthel index yang

terdiri atas 10 item. Jika barthel index

bernilai 20, seseorang dikatakan

bersifat independen. Jika 12-19

terdapat ketergantungan ringan, 9-11

ketergantungan sedang, dan 5-8

berarti terdapat ketergantungan

berat. Seseorang dengan barthel

index 20 berarti tidak memerlukan

pertolongan orang lain untuk

melaksanakan aktivitas harian

(activity daily living). Namun, jika

barthel index tidak mencapai 20,

diperlukan adanya care giver untuk

membantu pasien tersebut. Bahkan,

pada ketergantungan berat, pasien

perlu dirujuk ke rumah perawatan

(nursing home), selain juga

dipengaruhi oleh factor lain seperti

factor financial.

Pasien ini mendapat total skor 12, yang

berarti terdapat ketergantungan ringan.

Sehingga perlu adanya care giver yang

membantu pasien untuk melakukan

aktivitatas harian.

Page 60: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

BAB 5

Penutup

Page 61: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

5.1 Kesimpulan

1. Penatalaksanaan hiponatremia pada pasien sudah sesuai dengan teori

yaitu diberikan resusitasi cairan NaCl 0,9% 1 L/1 jam yang dilanjutkan

koreksi hyponatremi NaCl 3% 474 cc dalam 24 jam.

2. Penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 pada pasien sudah sesuai

dengan teori yaitu diberikan insulatard 0-0-10 iu sc..

3. Penatalaksanaan diabetic nephropathy pada pasien sudah sesuai

dengan teori yaitu diberikan captopril 2x25 mg.

4. Masalah geriatri yang dihadapi pasien adalah malnutrisi dengan

ketergantungan ringan.

Daftar Pustaka

Page 62: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

American Diabetes Association. 2004. Hypertension Management in

adults with diabetes (position statement). Diabetes Care (Suppl 1):

S65-S67.

Carolyn DB. 2001.Diabetes and Nutrition: The Mitochondrial Part 1,2. J

Nutr. 131: 344S–353S.

Cartailler JP. 2004. Insulin - from secretion to action (online). http://

www.betace ll.org/content/articles/print.php?aid=1. diakses 4

Oktober 2010.

Dale PO, Tanbo T, Haug E, Abyholm T. 1998.The impact of insulin

resistance on the outcome of ovulation induction with low-dose

follicle stimulatinghormone in women with polycystic ovary

syndrome. Human Reproduction13:567–570

Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

Hiswani. 2007. Peranan Gizi dalam Diabetes Mellitus (Online).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3720/1/fkm-

hiswani4.pdf. diakses tanggal 4 Oktober 2010

Jacquie SR, Linda MF, Heidi AF, Delisa JA, Rose L. 2004.Canine and

Feline Diabetes Mellitus: Nature or Nurture?. J. Nutr. 134:2072S-

2080S,

National Diabetes Information Clearinghouse. 2005. National Diabetes

Statistics (Online). http://diabetes.

Norma M. 2000. Fluid and Electrolyte Balance 4th Edition. Lippincott

Williams & Wilkins Publishers. Unite States

Pi-Sunyer FX. 1996.Weight and non-insulin-dependent diabetes

mellitus. Am J Clin Nutr63:426S-429S.

Soegondo S et. al. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan

Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia

Turnbull and Sinclair. 2002. Evaluation of Nutritional Status and Its

Relationship with Functional Status in Older Citizens with Diabetes

Mellitus Using The Mini Nutritional Assesment (MNA) Tool-A

Page 63: DM Tipe 2 Underweight Pada Geriatri

Preliminary Investigation. The Journal of Nutrition, Helath, &Aging,

Vol 6, Number 3, 2002

Wheatley CH.1993. Human Physiology, fourth edition.Wm. C. Brown.

United States

Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. 2004. Global prevalence of

diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030.

Diabetes Care. May;27(5):1047-53

World Health Organization. 2006. Diabetes (Online). http:// www. who.int/

mediacentre/factsheets/fs312/en/. diakses 4 Oktober 2010