PENGARUH BEDA WAKTU PEMINDAHAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys
imbricata) TERHDAP DAYA TETAS TELUR
EFFECT OF DIFFERENT TIME CHANGE OF EGGS hawksbill
turtle(Eretmochelysimbricata) terhdap EGG hatchability
Sabrantas, Arief Pratomo, S.T, M.Si,2 Ita Karlina, S.Pi, M.Si.2
Mahasiswa1, Dosen Pembimbing2
Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
e-mail : [email protected]
Abstrak
Secara alami, reproduksi penyu di mulai dari fase perkawinan, dimana peristiwa
perkawinan, Secara non alami, penyu memiliki masa kritis yang menentukan keberhasilan
penetasan telur saat dilakukan pemindahan dari sarang alami ke sarang semi alami, Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pemindahan yang sesuai untuk pemindahan telur penyu sisik dalam
proses inkubasi semi alami.Penelitian ini dilakukan pecobaan pengambilan telur dalam selang
waktu berbeda,dimana saat umur telur 1-2 jam dilakukan pengambilan telur sebanyak 250 butir
pada yang akhirnya ditempatkan masing 50 butir pada 5 sarang yang berbeda.Masing – masing telur
dipindahkan kembali pada sarang baru dengn urutan 2 hari,5 hari,10 hari,15 hari,20 hari dan
dilakukan pengudian untuk pemilihan sarang penepatan.Hingga akhirnya telur mentas dari
penelitian ini ditemukan nilai keberhasilan tertinggi pada pemindahan umur telur 20 hari dimana
telur berhasil menetas 100% dan terendah pada umur 10 hari dengan nilai 68%, Bahkan telur
banyak mengalami kondisi embrio yang tidak jadi.
Kata Kunci : Pengaruh Beda Waktu Pemidahan Telur Penyu Sisik (Eretomochelys imbricate)
Terhdap daya Tetas Telur.
Abstract
Naturally turtle reproduction at the start of the phase of marriage, in which event the
marriage, In non-natural , turtles have a critical mass that determines the success of the current
displacement hatching eggs from nest to nest naturally semi-natural, this study aims to determine
the appropriate removal to removal hawksbill eggs in a semi-natural incubation process. This study
was conducted experimental egg collection in a different time interval, where the age of the eggs for
1-2 hours to do egg retrieval as many as 250 items were eventually placed on each of the 50 rounds
on five different nests. each nest eggs are transferred back to the new order of 2 days, 5 days, 10
days, 15 days, 20 days and conducted the draw for the selection of nest placement. Until finally the
eggs mentas of this study found the success rate is the highest in the removal of the age of the eggs
20 days where the eggs hatched 100% and the lowest at the age of 10 days with a value of 68%,
even many eggs have the condition embryos so.
Keywords: Effects of Different Time Transfer Eggs Hawksbill (Eretomochelys imbricate) to
the Power Hatching Eggs.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara alami, reproduksi penyu
dimulai dari fase perkawinan, antar penyu
jantan dengan penyu betina perkawinan
penyu terjadi di laut. Setelah fase perkawinan
penyu betina akan naik ke pantai untuk
melakukan peneluran, setelah proses
peneluran selesai induk penyu akan membuat
penyamar jejak untuk menghilangkan lokasi
bertelurnya. Lama pengeraman telur alami
hingga menetas menjadi tukik biasa yang
berkisar antara 50 – 60 hari. Namun
demikian, tidak semua telur bisa menetas,
pengaruh suhu serta kadar air sarang juga
sarang mempengaruhi perkembangan telur
(Pedoman Teknis Konservasi Penyu, 2009)
Secara non alami, penyu memiliki
masa kritis yang menentukan keberhasilan
penetasan telur saat dilakukan pemindahan
dari sarang alami ke sarang semi alami atau
kawasan penangkaran. Penelitian di Pantai
Pulau Pengumbahan menunjukkan
pemindahan telur penyu khususnya penyu
hijau (Chelonia mydas) dapat dilakukan 24
jam dan 20 hari setelah peletakkan telur pada
posisi dan habitat yang cocok, sehingga dapat
dicapai tingkat keberhasilan penetasan yang
lebih tinggi (Rudiana, 2004).
Walaupun demikian pada penyu sisik
(Ertomochelys imbricate) belum banyak
informasi terkait masa kritis tersebut. Pada
penelitian Muslim (2015), tingkat
keberhasilan penetasan pada waktu
pemindahan telur penyu sisik pada umur telur
yang ke 25 hari mencapai 68,5%, namun
untuk waktu yang kurang dari 25 hari belum
diketahui. Informasi ini sangat diperlukan
untuk meperkecil risiko kegagalan tingkat
penetasan telur penyu sisik bila diinginkan
pemindahan telur penyu sisik dari kawasan
penangkaran penyu Pulau Durai ke lokasi
lain. Peneliti ingin mengetahui tingkat kritis
pada pengambilan atau pemindahan telur.
Jadi perlu pengkajian lebih lanjut untuk
mengetahui pengaruh beda waktu
pemindahan telur terhadap daya tetas telur
penyu sisik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka masalah yang akan dibahas
adalah :
1. Bagaimana tingkat keberhasilan
penetasan telur penyu sisik
(Eretmochelys imbricata)
berdasarkan waktu pemindahan yang
berbeda?.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini,
yaitu :
1. Mengetahui waktu pemindahan yang
sesuai untuk pemindahan telur penyu
sisik dalam proses inkubasi semi
alami.
D. Manfaat Penelitian
Adapun maanfaat dari penelitian ini,
yaitu :
1. Memberi informasi awal mengenai
tingkat penetasan telur penyu sisik
berdasarkan waktu pemindahan yang
berbeda.
2. Memperoleh informasi mengenai
waktu kritis pemindahan telur penyu
sisik.
3. Diharapkan informasi ini dapat
dijadikan dasar pertimbangan bagi
pemerintah untuk melakukan
pengelolaan berkelanjutan.
4. Serta dapat menjadi bahan kajian
lebih lanjut mengenai sistem
pengelolaan keberhasilan peneluran.
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan
pada bulan April hingga Juni 2016, dan
tempat penelitian yaitu pada Pantai Pulau
Durai Kabupaten Anambas Kepulauan Riau.
Untuk lebih jelas mengenai gambaran lokasi
dapat di lihat pada Gambar 3.
(Sumber: Peta Base Map KEPRI, Lab SIG
FIKP UMRAH)
Gambar 5. Lokasi Penelitian
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
survey yaitu penelitian yang dilakukan untuk
mengumpulkan informasi mengenai variabel
yang diambil dari sekelompok obyek atau
sampel yang ingin diteliti dan dilakukan
secara langsung di lapangan. Pada penelitian
ini sampel yang diambil disesuaikan dengan
kriteria yang juga merupakan variabel dalam
penelitian.
Data yang digunakan pada penelitian
ini yaitu data primer dan data sekunder.
Pengambilan data primer dilakukan
pengamatan secara langsung melalui
pengukuran komponen biofisik. Data
sekunder merupakan data pendukung
penelitian seperti studi literatur yang
berkaitan dengan penelitian dan kondisi
umum lokasi penelitian yang diperoleh dari
instansi terkait.
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Table
1.
Tabel 1. Bahan
No. Bahan Kegunaan
1. Telur Penyu Sebagai sampel yang akan di
inkubasi
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian
ini dapat dilihat pada Table 2
Tabel 2. Alat
No Alat Kegunaan
1. Meteran Saku Mengukur
kedalaman sarang
2. Termometer
Raksa
Mengukur Suhu
Sarang
3. Ember Wadah
Pemindahan Telur
4. Alat Tulis Mencatat Hasil
Pengukuran
5. Kamera Dokumentasi
Penelitian
6. GPS Menentukan
Lokasi
7. Lempu Senter Penerangan
8. Pipa Paralon
¾ inc
Alat Bantu
Pengukuran Suhu
E. Prosedur Penelitian
1. Prosedur Pengambilan Data
a. Pengamatan Penyu Saat Bertelur
Di Pulau Durai
Pengamatan Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricata) yang naik ke pantai
untuk bertelur akan dimulai dari pukul 17.00
WIB. Pengamatan ini dilakukan untuk
melihat dari awal proses penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) naik ke pantai
untuk mencari lokasi bertelur, menggali
sarang dan melakukan peneluran.
b. Perancangan Sarang Penangkaran
Pengukuran kedalaman sarang
dilakukan untuk melihat kedalaman sarang
alami yang di buat induk penyu untuk
menginkubasi telurnya. Hal ini bertujuan
untuk membuat sarang baru untuk inkubasi
semi alami yang sama dengan aslinya. Cara
pengukuran sarang dapat dilihat pada Gambar
6.
Gambar 6. Pengukuran Kedalaman
Sarang Awal (A) dan Sarang Akhir
(B)
c. Cara Pengambilan Telur Penyu
Cara pengambilan telur penyu
menggunakan sarung tangan yang sudah
dilumuri dengan pasir hal ini guna agar sehu
telur tidak terkontaminasi oleh suhu tubuh
peneliti selaku pengambil sampel.
d. Penggalian Dan Pemindahan Telur
Dari Sarang Alami ke Sarang
Buatan di Pulau Durai
Penggalian sarang alami akan
dilakuka setelah penyu selesai bertelur dan
meninggalkan sarang. Penggalian sarang
bertujuan untuk mengeluarkan telur satu
persatu dan dimasukkan ke dalam ember
(wadah pemindahan telur) yang telah
disediakan dan kemudia di pindahkan ke
sarang semi alami. Jumlah telur yang diambil
sebanyak 250 butir yang masing masing akan
ditanam kembali pada lima sarang yang
berbeda. Proses pengambilan dilakukan pada
umur telur 1 – 2 jam dimana menurut Limpus
et al., (1989) dalam Mardiana (2013) telur
yang diletakkan oleh induk dalam rending
waktu 2 jam masih dalam keadaan toleran
terhadap perubahan posisi, karena mata tunas
masih mampu menuju ke permukaan
.
20 cm
60 cm
e. Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan melihat
persentase penetasan telur penyu dengan beda
waktu pengambilan telur dengan jumlah telur
yang diambil sebanyak 250 butir, Setelah
Pengambambilana telur sebanyak 250 butir
dari sarang alami dan pengukuran sarang.
Lalu pada lokasi penangkarang dibuat lima
sarang baru yang masing – masing akan
ditempatkan 50 butir telur penyu sisik.
Mekanisme penanaman dapat dilihat pada
gambar 7.
Gambar 7. Mekanisme Penanaman Telur
Pada Sarang Awal
Langkah – langkah penanaman telur
adalaham sebagai berikut :
1) Gali sarang baru sedalam sarang
asli yang telah di ukur
2) Pindahkan telur kedalam sarang
baru.
3) Posisi telur harus sama dengan
posisi awal.
4) Tutup Sarang Dengan Pasir
5) Beri tanda sarang baru.
6) Jangan menginjak sarang.
7) Jarak antara sarang minimal 15
cm.
8) Catat data
Setelah itu dilakukan percobaan
dimana telur yang telah ditanam tadi
dipindahkkan kembali ke lima sarang baru
yang telah dibuat. Proses pemindahan juga
dilakukan dengan sistem pengundian dimana
telur yang ada di sarang pertama bisa jadi
menjadi telur yang akan dipidahkan terakhir
pada sarang kelima sesuai perlakuan. contoh
perlakuan dapat dilihat pada tabel 3 dan
Gambar 8.
Tabel 3. Perlakuan Beda Waktu
Pemindahan Telur Penyu
f. Pengukuran Suhu
Pengukuran suhu dilakukan pada
suhu udara dan suhu pada dalam sarang. Suhu
udara maupun pada bagian sarang di ukur
dengan menggunakan thermometer raksa.
Dimana thermometer dimasukkan ke dalam
lubag sarang menggunakan alat bantu pipa
paralon. Suhu sarang akan di ukur setiap hari
pada pagi, siang dan sore mengacu pada
Mulyono (2000), dan pada setiap pengukuran
akan dilakukan ulangan pada pagi, siang dan
sore. Mekanisme pengukuran dapat dilihat
pada gambar 8.
Perlakuan Jumlah Sampel
(Butir)
Prosedur Pemindahan
2 hari 50 Antar Penangkaran
5 hari 50 Antar Penangkaran
10 hari 50 Antar Penangkaran
15 hari 50 Antar Penangkaran
20 hari 50 Antar Penangkaran
∑ 250
1 4 5 3 2
Gambar 8. Mekanisme Pengukuran Suhu
Sarang, A. Pipa paralon untuk memasukkan
termometer, B. Telur penyu sisik
F. Pengolahan Dan Analisis Data
1. Pengolahan Data Tingkat
Keberhasilan Penetasan
Pengolahan dan analisis data
menggunakan rumus Nuitja (1992) sebagai
berikut :
Ket : HS = Hatching Success
T1 = Jumlah telur yang menetas
50 = Jumlah total telur dalam
sarang
2. Meta Tabel
Tabel 4. Meta Data
3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan langsung di lapangan akan
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Hasil perhitungan dan tabulasi data tingkat
penetasan telur penyu sisik untuk tiap
percobaan akan disajikan dalam bentuk table
maupun grafik. Dan akan ditarik kesimpulan
mana waktu kritis pemindahan telur dan
perlakuan mana yang paling baik dilakukan.
HASIL PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Pulau Durai adalah salah
satu gugusan pulau di Kepulauan Anambas.
Pada kawasan tersebut memiliki karakteristik
pantai yang landai sehingga banyak penyu
yang naik ke pantai untuk melakukan
peneluran. Bukan hanya itu saja kawaan
pantai Pulau Durai awalnya dijadikan sebagai
kawasan penangkaran penyu, namun karena
Beda Waktu
Pengambilan
Pulau Durai Kepulauan
Anambas
T1 T2 T3 T4
2 hari
5 hari
10 hari
15 hari
20 hari
Total
Persentase
ketidak kestabilan dalam pemantauan
akhirnya kawasan tersebut kembali menjadi
kawasan pantai biasa yang sering dinaiki
penyu. Seringnya naiknya penyu pada
kawasan Pantai Pulau Durai dan tidak adanya
penjagaan khusus lagi terhadap pengambilan
telur penyu menyebabkan telur penyu banyak
di eksploitasi kembali namun masih ada
warga yang cukup mengerti akan keberadaan
penyu yang jumlahnya semakin lama
semakin sedikit ini, dengan cara melakukan
penetasan telur hingga menjadi tukik.
B. Tingkat Penetasan Telur Penyu
Sisik
Penetasan telur Penyu Sisik
dilakukan pada 5 sarang, pada masing –
masing sarang dilakukan perlakuan yang
berbeda yakni waktu pemindahan telur
dengan jumlah masing – masing telur pada
sarang sebanyak 50 butir. Namun tidak
semua telur yang ditetaskan akan menetas
sempurna sehingga juga akan ada calon benih
yang tidak jadi. Tingkat kondisi tukik penyu
dibedakan atas T1 (jumlah tukik yang
menetas),T2(jumlah tukik mati), T3 (jumlah
embrio gagal berkembang), serta T4 (jumlah
telur dengan kondisi embrio tidak jadi).
Berikut ini adalah hasil penetasan telur penyu
Sisik Pulau Durai dapat dilihat dan di
jelaskan pada tabel 5
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Butir Telur
yang Berhasil Menetas
Hari
Ke-
T0
(Butir)
T1(%) T2
(%)
T3
(%)
T4
(%)
Masa
Inkubasi
2 50 92 - 2 6 45 Hari
5 50 98 - 2 - 45 Hari
10 50 68 4 2 26 45 Hari
15 50 84 - 4 12 45 Hari
20 50 100 - - - 45 Hari
Sumber : Data Primer
Grafik 1. Pesentase Telur Yang Berhasil
Menetas
Persentase tertinggi menunjukkan
tingkat keberhasilan 100% dapat dilihat pada
sarang ke-5 dimana masa inkubasi awal
sebelum pemindahan kesarang baru selama
20 hari. Menurut penelitian Muslim (2015),
tingkat persentase yang tinggi terdapat pada
umur telur 25 hari karena pada fase itu telur
lebih toleran akan guncangan yang
mengakibatkan tidak berkembangnya embrio
pada telur. Namun pada hasil penelitian
persentase penetasan yang paling tinggi
terdapat pada umur telur 20 hari sedangkan
persentase terendah pada umr telur 10 hari.
Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor,
salah satunya adalah curah hujan dimana
kondisi saat pengamatan awal sering
0
100
2 5 10 15 20
Axi
s Ti
tle
2 5 10 15 20
T1 (%) 92 98 68 84 100
PersentasenTase Yang Berhasil Menetas
terjadinya hujan bukan hanya itu saja
penanganan saat pemindahan telur sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam penetasan
dan perubahan suhu pada sarang pemindahan
bisa jadi membuat telur menjadi tidak toleran
akan kondisi tersebut (Hatasura, 2004).
Dari hasil Rudiana dkk (2004), dapat
dilihat tingkat penetasan secara bertuut dalam
waktu 1 jam : 93,67%, 12 jam: 87,33% , 24
jam : 58,33%, 48 jam: 0%, 480 (20 hari)
85%, dan terakhir 600 jam : 93,33%. Dari
hasil tersebut dapat dilihat jika pada waktu
pengambilan 48 jam tidak menunjukan
keberhasilan penetasana ada di titik 0 dan
tertinggi pada pengambilan saat telur
berumur 1 jam hal ini karena keadaan telur
yang masih toleran.
Dari hasil perbandingan dapat dilihat
jika ada perbedaan tingkat toleransi
pemindahan telur penyu sisik dengan telur
penyu hijau. Namun hasil persentasi tidak
menunjukkan nilai yang terlalu jauh dimana
pada penelitian Rudiana dkk (2004),
menunjukkan nilai keberhasilan sebesar 85%
dalam selang waktu pemindahan 20 hari atau
480 jam sedangkan pada penyu sisik berhasil
menetas 100%.Sedangkan pada waktu 2 hari
atau 48 jam pada hasil penelitian Rudiana
dkk (2004), tidak adanya tingkat
keberhasilan penetasan hal ini di duga karena
telah melewati fase waktu 12 dan 24 jam
setelah oviposisi yang menyebabkan telur
penyu sensitive terhadap gerakan rotasi.
Jika dilihat dari seluruh hasil
pengamatan setiap perlakuan menunjukkan
hasil yang tidak terlalu signifikan. Pada
penelitian (Kushartono, et al., 2014),
pemindahan telur penyu hijau dilakukan pada
waktu 2 jam, 7 dan 12 jam menunjukkan
tingkat persentase penetasan yang tidak jauh
berbeda pula namun terdapat persentase
terendah yaitu pada fase pemindahan selama
7 jam inkubasi awal. Hal tersebut diduga
bahwa selama selang waktu tersebut
merupakan fase awal proses embriologi telur
sehingga dikhawatirkan karena adanya rotasi
dan guncangan secara berlebihan akan
mengganggu proses pembelahan yang sedang
terjadi. Hasil penelitian Miller et al. (2003)
menyebutkan bahwa pembelahan pertama
dimulai beberapa jam setelah pembuahan,
tetapi perkembangan terhenti sementara di
tengah gastrulasi sampai oviposisi.
Selanjutnya setelah oviposisi, perkembangan
dilanjutkan dalam beberapa jam (4 hingga 8
jam, tergantung suhu). Proses embriologi
yang terjadi pada telur penyu setelah
dikeluarkan adalah pembelahan morula,
blastula, gastrula dan organogenesis
(Hatasura, 2004).
Jadi jika dilihat dari hasil persentase
penetasan hal ini bukan hanya diakibatkan
oleh penanganan saat pemindahan namun
faktor kondisi alam seperti hujan, hujan
umumnya dapat menghambat kandungan
oksigen yang ada pada sarang yang akhirnya
menyebabkan kematian pada embrio, curah
hujan yang tinggu juga menurukkan suhu
inkubasi pada sarang (Pedoman Teknis
Konservasi Penyu, 2009).
Sedangkan banyaknya embrio yang
tidak berkembang diduga karena adanya
pengaruh gerakan berupa rotasi dan
guncangan pada tahap awal perkembangan
telur sehingga proses pembelahan terganggu
dan tidak ada embrio yang terbentuk
(Kushartono, et al., 2014). Gerakan yang
melibatkan rotasi dan atau mengguncang dari
telur setelah fase perkembangan dapat
menyebabkan pecahnya membran halus dan
kematian pada embrio (Miller, 2003).
Keberhasilan dalam penetasan dapat dilihat
dari faktor pengelolaan meliputi pemilihan
tempat penetasan, perlakuan terhadap telur
serta pengamanan tempat penetasan (Nuitja,
1983).
C. Hasil Pengukuran Suhu Sarang
Hasil pengukurang suhu pada
permukaan dan dalam sarang dapat dilihat
pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu
Pengukuran Suhu Dalam Sarang
45 Hari Pagi Siang Sore
Rata – rata 27.28 30.05 28.55
Nilai Max 28.50 31.00 29.80
Nilai Min 26.00 28.00 28.00
Pengukuran Suhu Permukaan Sarang
45 Hari Pagi Siang Sore
Rata – rata 28.72 31.13 30.19
Nilai Max 29.60 32.00 31.00
Nilai Min 27.00 28.00 27.00
Sumber : Data Primer
Pengukuran suhu dalam sarang tidk
menunjukan fluktuasi harian,ini
membuktikan bahwa proses etabolisme
disetiap sarang relative menghasilkan panas
yang samadengan kata lain tidak ada sarang
yang mengalami laju metabolisme lebih
tinggi atau lebih rendah. Hanya didapatkan
kisara suhu yang lebih tinggi saat telur
menetas terjadi peningkatan proses
metabolism.Nuija (1992), mengatakan
bahawa lima hari sebelum menetas suhu
dalam sarang akan naik beberapa derajat,ini
terjadi akibat proses metabolisme telur lebih
tinggi.
Dari hasil pengukuran suhu tidak
terjadi fluktuasi secara signifikan namun
menurut Mrosovsky, et al., (1992), suhu
sangat mempengaruhi dalam fase penetasan
penyu sisik terutama jika adanya penghalang
yang menghalangi penetrasi cahaya secara
sempurna, suhu yang diperlukan oleh telur
penyu sisik umumnya berkisar 290C agar
perkembangan embrio berjalan secara baik
sedangkan menurut Limpus (2009), peletakan
telur harus pada suhu 25 – 330C agar
memiliki tingkat keberhasilan yang baik
selama masa inkubasi. Namun menurut
Hatasura (2004) kenaikan suhu secara tiba –
tiba akan membuat kematian pada embrio
terlebih pada embrio yang belum melewati
masa termosensitifnya.
Suhu sangat mempengaruhi tingkat
penetasan telur,dimana suhu mempengaruhi
waktu ingkubasi telur.Suhu yang terlalu
tinggi ataupun rendah dapat menyebabkan
kematin pada telur.Bahkan suhu yang tinggi
dapat mengurangi tingkat kelembapan pada
sarang yang akhirnya menyebabkan
penarikan cairan dari dalam telur hingga
embrio mengalami kematian.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa telur Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricate) terdapat pada fase
pemindahan telur yang ke-10 hari dimana
tingkat persentase telur yang menetas
menunjukkan nilai terendah dengan nilai 68%
sedangkan yang tertinggi pada fase
pemindahan ke-20 hari.
B. Saran
Perlunya dilakukan kajian lebih
lanjut mengenai tingkat keberhasilan
penetasan serta metode pemindahan telur
yang stabil agar tidak mengalami guncangan.
Bukan hanya itu saja perlu juga dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai panas
metabolit pada inkubasi telur penyu sisik.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Deasy A. 2013. Status Keberlanjutan
Sumberdaya Penyu Di Pulau
Kapoposang Kabupaten Pangkep.
Tesis. Program Pascasarjana.
Universitas Hasanuddin
(UNHAS): Makassar..
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional
Laut. 2009. Pedoman Teknis
Pengelolaan Konservasi Penyu.
Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir Dan Pulau – Pulau Kecil:
Jakarta.
Harrison, Molly. 2005. The Kid’s Times :
Hawksbill Sea Turtle. NOAA’s
National Marine Fisheries Service
Office of Protected Resources
www.nmfs.noaa.gov/pr/
Hatasura, I. A. 2004. Pengaruh Karakteristik
Media Pasir Sarang Terhadap
Keberhasilan Penetasan Telur
Penyu Hijau (Chelonia mydas).
Skripsi. Program Stusi Ilmu
Kelautan. Fakultas Perikanan Dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor: Bogor.
Kushartono,E.W.,Susilo
Endang,S.,Fatchyyah,S.2014.Peng
aruh Selang Waktu Peletakan
Terhadap Keberhasilan Penetasan
Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) Jurnal Ilmu Kelautan Vol
19(3):159-164 Tahun 2014 ISSN
0853-7291
Limpus,C.J.2009.A biological review of
Australian marine turtle
species.6.Leatherback turtle,
Dermochelys coriacea. (Vandelli).
The State of Queensland.
Environmental Protection Agency.
28 pp.
Miller,J.D.,C.J. Limpus and M.H. Godfrey.
2003. Nest Sitel
Selecation,Ovotision Eggs,
Developemen, Hatching,and
Emeregence of Loggerhead
Turtles.In:A Bolten and B.
Witherington (Eds). Smithsonian
Institusion Press,Washington,
DC,125 p.
Mulyono, W. 2000. Studi Habitat Peneluran
Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricate) Di Pulau Gosong
Rengat Dan Kotak Kecil Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Jakarta. Skripsi. FIKP. Institut
Pertanian Bogor(IPB): Bogor.
Muslim. 2016. Tingkat Keberhasilan
Penetasan Telur Penyu Sisik
(Eretmochelys Imbricata) Pulau
Durai Kepulauan Anambas Di
Lagoi. Skripsi. Jurusan Ilmu
Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan
Perikanan. Universitas Maritim
Raja Ali Haji (Umrah):
Tanjungpinang.
Nontji, A., 2007. Laut Nusantara. Djambatan,
Jakarta.
Nuitja,I.N.S.1983. Studi Ekologi Peneluran
Penyu Daging,Chelonia mydas L.di
Pantai Sukamade Kabupaten
Bayuwangi.Falkultas Perikanan
IPB,Bogor, hal 72-74.
Nuitja.I.N.1992. Biologi Dan Ekologi
Pelestarian Penyu Laut. Institut
Pertanian Bogor: Bogor.
Nur, N. 2004. Sea Turtle Conservation in
Malaysia. www.wildasia.net.
Rianto, Ari A. A. 2012. Studi Kasus
Penangkaran Penyu Hijau
(Chelonia Mydas), Di Pantai
Pangumbahan, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi.
Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Jurusan
Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan
Dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin (UNHAS): Makassar.
Richayasa, A. 2015. Karakteristik Habitat
Peneluran Penyu Sisik
(Eretmachelys Imbricata) Di
Pulau Geleang, Karimunjawa.
Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas
Negeri Semarang.
Rudiana, E. dkk. 2004 Tingkat Keberhasilan
Penetasan dan Masa Inkubasi
Telur Penyu Hijau. Jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro (UNDIP): Semarang.
Setyawariningsih, S. C. 2011. Karakteristik
Biofisik Tempat Peneluran Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricate) Di
Pulau Anak Iieuh Kecil,
Kepulauan Riau. Jurnal
TEKNOLOGI, II (I) 2011:17 –22.
Sheavtyan.Setyawati,T.R dan Lovandi
Irwan.2014. Tingkat Keberhasilan
Penetasan Telur Penyu Hijau
(Chelonia mydas,Linnaeus 1758)
di Pantai Sebubus, Kabupaten
Sambas. Jurnal Protobionat,
Volume: 3(1): 46 – 54.
Suciwati, Ultah. 2012. Studi Beberapa Faktor
Lingkungan Di Tempat Peneluran
Penyu Sisik (Eretmochelys
Imbricata) Di Pantai Sumingi Dan
Pantai Pulo Pasi Kabupaten
Kepulauan Selayar. Skripsi.
Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Jurusan
Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan
Dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin (UNHAS): Makassar.
Witzell, W,N., 1983. Synopsis of biological
data on the hawksbill turtle,
Eretmochelys imbricate
(Linnaeus, 1766). FAO Fish.
Synop., (l37):78 p.