Transcript
  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    1/82

    ED

    ISI27/2010

    FREE

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    2/82

    2 EDISI XXVII / 2010

    THEEDITORIAL

    EDISI XXVII / 2010 3

    THEEDITORIAL

    PT Imajinasia Indonesia,www.thelightmagz.com

    PEMIMPIN PERUSAHAAN:Ignatius Untung,

    PEMIMPIN REDAKSI:Siddhartha Sutrisno,

    KONTRIBUTOR:Thomas Herbrich, Rama Surya,

    Agus Pande, Deanna Ng,

    Siddhartha Sutrisno, Ignatius

    Untung

    WEBMASTER:Gatot Suryanto

    LAYOUT & GRAPHIC:Imagine Asia Indonesia

    Hak cipta semua oto dalam majalah ini milik otograer yang bersangkutan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya, serta dilindungi oleh Undang-undang. Penggunaan oto-oto dalam

    majalah ini sudah seijin otograernya. Dilarang menggunakan oto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa ijin tertulis pemiliknya.

    COVER BY:

    THOMAS HERBRICH

    KETIDAKMUNGKINAN YANG MUNGKIN

    Dalam konsep ubermensch (manusia ultra atau manusia super), terkandung kemauan bagi manusia untuk mengatasi keterba-

    tasan dirinya, baik mental, pikiran, maupun tubuh. Lalu bagaimana mungkin manusia yang dirinya inerior itu mampu menjelma

    menjadi manusia superior? Dalam ajaran lsaat yaitu dengan melakukan penciptaan. Penciptaan akan sesuatu yang melampaui

    dirinya.

    Misalnya, pandangan Baudrillard mengenai konsep hyper (baca: melampaui) mungkin koheren dengan konsep ultra/super

    dalam pemikiran Nietzsche. Perkembangan teknologi inormasi terkini seperti cyberspace merupakan contoh dari apa yang dise-

    but hyper-mind dimana prinsip cyberspace sebagai suatu jaringan-jaringan pikiran manusia yang bersatu membentuk pikiran-

    pikiran lebih tinggi. Di masa lalu, itu adalah ketidakmungkinan, tetapi sekarang apa yang dinyatakan dalam pemikiran-pemikiran

    mereka adalah keniscayaan yang menjadi keseharian kita.

    Mewujudkan mimpi menjadi sesuatu yang nyata adalah keinginan manusia sejak masa purba, mesk ipun mimpi juga kenyataan

    itu sendiri karena setiap manusia bermimpi. Rama Surya, menjelmakan mimpi kanak-kanak dan masa remajanya dalam otogra-

    otogra hitam putihnya. Penciptaan dunia baru dalam mengatasi ketidakmungkinan pengabadian momen yang menentukan

    sebelum otogra lahir.

    Agus Pande adalah otograer dari Bali yang membalikkan ketidakmungkinan persaingan otograer lokal dengan otograer bule

    yang selalu mendapatkan bayaran lebih tinggi. Kualitas dan sikap yang berani mendidik klien adalah metodenya. Ada pula oto-

    graer Singapura, Deanna Ng yang tertarik membuat otogra-otogra tentang pasar kemanapun ia pergi, satu lagi kemungkinan

    yang sebagian dari kita mengatakan tidak mungkin.

    Memiliki sikap otentik, pada banyak otograer, pemula sampai proesional selalu dianggap ketidakmungkinan dengan argumen-

    tasi tak mengikuti trend berarti bunuh diri. Sikap otentik adalah seumpama silent road yang jika tidak pernah dijalani sebena-

    rnya tak berhak atas klaim bunuh diri tadi. Selalu ada kemungkinan menarik di jalan sunyi.

    Kemunculan messiah otogra Indonesia dalam pandangan skeptis jangka pendek adalah ketidakmungkinan. Tetapi uber-

    mensch selalu dirundung keinginan mewujudkannya dalam keniscayaan. The Light bersama-sama mencoba mewujudkannyadalam event yang akan segera hadir di bulan Maret. Perjuangkan takdirmu!

    Selamat membaca

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    3/82

    4 EDISI XXVII / 2010

    WHERETOFIND

    EDISI XXVII / 2010 5

    WHERETOFIND

    tukang bajaj

    tukang sol sepatu

    pemulung

    tukang loak tukang baksotukang patritukang kayu

    tukang batu

    kuli pangulsatpam

    polisipramuka

    tentara

    menteri

    politikus

    tokoh agama

    bankir

    kasirsopir

    pilot

    masinis

    nahkoda

    manager

    direktur

    mahasiswa

    pengangguran

    make up artist tukang kain

    dosen

    produser

    sutradara

    aktor aktris

    musisidukun

    koki

    pelayan

    akuntan

    pengacara

    jaksa

    DJpublic relation

    wartawan

    filsuf

    designerdokter

    perawat

    mantri

    bartender

    tukang ojeg

    guru

    tukang becak

    presidenmodel

    bisa menjadi...

    good talent deserves chances

    www.indonesiasnexttopphotographer.com

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    4/82

    6 EDISI XXVII / 2010

    MASTERTOM

    EDISI XXVII / 2010 7

    MASTERTOM

    The Bank CrisisAt the moment everyones talking about the bank crisis, so I made a picture to

    go with it. I chose downtown Frankurt as the location, as Frankur t is Germanys

    nancial centre.

    I love spectacular scenes and Ive already made quite a number o catastrophe

    photos. As long as one is not in the middle o the real scenario, thats easy to do ...

    My idea this time was to show the demise o the banking world, as it gets washed

    away by a huge storm ood..

    The bank buildings are very well-

    known in Germany, so it was easy to

    use them as symbolic objects. When

    standing directly in ront o them

    though, one can only photograph

    them with a very wide angle lens andslightly distorted, which makes it di-

    cult to portray a group o buildings. So

    I had to take the photos rom a greater

    distance and height, i.e. rom a high-

    rise building. We drove to Frankurt on

    a Sunday. Rather than going through

    the tedious rituals o gaining approval

    to take photos rom various property

    administration oces, I preer to look

    around or tower buildings under

    construction. We were in luck: one was

    just being built directly on the riverMain, and already had all thirty storeys

    nished. Yes, o course the obligatory

    KEEP OUT! PARENTS ARE RESPONSIBLE

    FOR THEIR CHILDREN! sign was clearly

    posted on the site ence, but I didnt

    have my mother with me ...

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    5/82

    8 EDISI XXVII / 2010

    MASTERTOM

    EDISI XXVII / 2010 9

    MASTERTOM

    Unortunate, though, that we had to carry our equipment right up to the rootop

    on oot. And up there on the windy, unsecured rootop, I realised why this was

    absolutely no place or children! Anyway, I got good pic tures o all the important

    banks. Citizens o Frankurt: please orgive me or not positioning them properly

    within the nished picture, but in this case the directive was story beore truth.

    Now to the oreground: to give the picture more depth and to prevent it rom

    looking merely like a dramatised landscape, I needed a person in there. The story-

    line required a victim: the banker. I could have made that really spooky, but I pre-

    erred a bizarre setting. A man ho lding on to a street lamp certainly looks weird.

    Hes looking into the camera and seems to be on the p oint o slipping away. This

    nal, surprised look I copied rom Laurel & Hardy.

    My brother Markus (you know: my universal studio genius) built a huge copper

    pipe as the lamppost. Our riend Andreas gave his all in my studio to represent

    the drowning banker in wet clothing. Its hard to imagine just how dicult it is to

    hang on to a smooth pipe in soaking wet gear!

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    6/82

    10 EDISI XXVII / 2010

    MASTERTOM

    EDISI XXVII / 2010 11

    MASTERTOM

    For the water efects, I only

    had to search in my large ar-

    chives where I have plenty o

    photos o wateralls, wild wa-

    ters etc. There I ound ample

    storm ood material or thisairly complex photo composi-

    tion (I actually combined more

    than 20 water photos here).

    It took me 11/2 days to create the ood wave and include the buildings all in

    all, the composition contains 35 pictures. Have you noticed that I assembled all

    the buildings slightly crookedly? Not one o them is straight. That may not really

    be logical, but its important or the atmosphere. And because the press is always

    present in such situations, theres a helicopter hovering in the background ...

    My archive also contains various rain

    photos, so I put one o those over the

    entire scenery. For the lamp head Iused my daughters braces box. That

    was much quicker than trying to nd

    a real lantern we simply didnt have

    time or that. So ... hang a lamp here,

    do a bit o retouching there, and it

    already looks pretty real.

    This playul way o working is so typical

    or me. It arouses the little boy in me

    and turns my studio into the best pro-

    essional playground o the world!

    Let there be light!

    MasterTOM

    (Thomas Herbrich)

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    7/82

    12 EDISI XXVII / 2010

    MASTERTOM

    EDISI XXVII / 2010 13

    MASTERTOM

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    8/82

    14 EDISI XXVII / 2010

    MASTERTOM

    EDISI XXVII / 2010 15

    MASTERTOM

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    9/82

    16 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 17

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    Deanna Ng,

    Berburumomen,keluar

    masuk pasarBeberapa tahun yang lalu seorang otograer kenamaan Indonesia yang tinggal dijerman mengaku melewati masa di mana selama ber tahun-tahun ia hanya mau

    memotret satu obyek saja yaitu besi. Kapanpun dan kemanapun ia pergi hanya

    besi lah yang membuatnya berhenti dan memotret.

    Beberapa otograer memang berkeyakinan bahwa konsistensi dan keuletan

    dalam menekuni suatu bidang dan b ahkan satu object saja dalam satu periode

    waktu akan mengasah kita untuk menemukan hal-hal yang tidak ditemui orang

    lain. Untuk itu pada kesempatan kali ini kami mendatangkan seorang otograer

    wanita yang berdomisili di Singapore yang begitu tertarik membuat oto-ototentang pasar ke manapun ia pergi. Deanna Ng sudah pergi ke beberapa Negara

    untuk memotret gambaran pasar melalui kameranya. Beberapa pasar di I ndo-

    nesia pun tidak luput dari sasarannya. Dan mudah-mudahan kesempatan untuk

    menimba pemikiran dan pengalaman darinya bisa mengajarkan kita banyak hal

    yang baik akan kesabaran dan konsistensi.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    10/82

    18 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 19

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    How did you know photography? Tell

    us rom the beginning please.

    In 1999, I went on a holiday travel-

    ing around Greece or a month with a

    riend. I saw how beautiul the pictures

    rom my riend turned out to be. So i

    decided that when i go back to Singa-

    pore, I was going to pick up photog-

    raphy. I started with a basic class in

    Photography. I learnt Photography on

    lm and i remembered the days when

    we had to write down our aperture and

    shutter speed ater each picture so that

    we can nd out what went wrong with

    our pictures.

    My rst camera was an old rollei SLR

    rom my ather with a 50 mm lens and

    that was my only lens or about 2 years.

    What interest you on photography?

    Like most amateur photographers,

    I spent my weekends going to the

    Singapore Botanical Gardens to pho-

    tograph nature or to beach to photog-

    raphy landscape. Ater a while, i got

    bored and wanted to do more with my

    photographer. I took a course, called

    Shooting Home in 2004 with objec-

    tives, a centre or lmmaking and pho-

    tography in Singapore. The course was

    meant to challenge the participants

    to nd their own story in Singapore. It

    opened my eyes to what photography

    could do. As a medium or story telling

    and not just pretty pictures.

    I think by nature, photography is very

    voyageristic. It allows you to peek into

    other peoples lives. Its almost a privi-

    lege. I could be documenting end o

    lie issues in Singapore or documenting

    women in micro nancing in Indonesia

    or hanging out with Arican American

    kids on their ront porch in Missouri.

    By doing so, I learn a little more about

    lie and the world around me.

    How do you nd photography on

    inuencing us to see hows lie. Do

    you think by doing a human interest

    photography a photographer become

    more sensitive to humanity, or in

    contrary photographer should be more

    sensitive to humanity in order to have

    good capability doing human interest

    photography? Please explain.

    I think a photographer has to be sensi-

    tive rst because you need to be able

    to relate to your subjects to tell their

    story. Its not your story but theirs, so

    I learnt Pho-

    tography onlm and i re-membered thedays when we

    had to writedown our aper-

    ture and shut-ter speed ater

    each picture sothat we can ndout what went

    wrong with ourpictures.

    I could be doc-umenting endo lie issuesin Singaporeor document-ing women inmicro nanc-ing in Indone-sia or hangingout with Ari-can Americankids on their

    ront porch inMissouri. Bydoing so,I learn alittle moreabout

    lie andthe worldaroundme.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    11/82

    20 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 21

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    12/82

    22 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 23

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    13/82

    24 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 25

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    14/82

    26 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 27

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    we need to understand their lives be-

    ore we even begin to photograph. Its

    a two way street, When the people that

    you are photographing open up their

    lives to you, you need to be open with

    them too. In the process, I nd that i

    learn more about lie.

    You teach youth photography. How didyou do that, what thought you share to

    them except technical.

    I started photography late in lie and

    i discovered what Photography could

    do even later in lie. I want to teach

    Photography so that youth could start

    earlier in lie than i did. I started teach-

    ing in my own alma master secondary

    school. I grew up thinking that I had to

    get good grades in school, go to the

    university and get a stable 9-5 jobs. I

    did all that but i wasnt happy.

    Maybe its the way that we were

    brought up in Singapore and it seemed

    like a mainstream process in lie. Like

    a manuacturing line. I wanted an

    alternative and it turned out to be

    photography. I wanted to share with

    my students that there are alternatives

    in lie.

    Do you think is it good or youth to

    learn photography and to be inu-

    enced by the photography art o

    seeing? Please explain how they can be

    inuence in term o humanity sensibil-

    ity.

    Photography ofers them a diferent

    way o looking at lie. Sometimes, they

    might not realize it but by expressing

    their ideas that they have, I think they

    are actually reecting on their sur-

    roundings. For example, a student o

    mine wanted to photograph a series

    o pictures o how everyone is always

    plugged into their ear phones and lost

    in the their own world. It was interest-

    ing to see how she saw the world and

    maybe that sense o disconnectionwith the people around her. In this era when digital photography

    grows rapidly, so many people start to

    buy a DSLR camera and start shooting.

    But most o them interest more to ash-

    ion & sexy kind o photography rather

    than the essence o photography itsel.

    What do you think about that?

    Hahaha.... when i rst started photogra-

    phy, i also shot the standard stuf such

    as owers in the park and landscapes

    so i dont think i should judge others.

    Each to their own.

    Its a double edged sword. With DSLR

    becoming cheaper and cheaper, most

    people are getting into the medium

    I think a photographer has to besensitive rst because you need tobe able to relate to your subjectsto tell their story. Its not your sto-

    ry but theirs, so we need to under-stand their lives beore we evenbegin to photograph.

    I wantedto share

    with mystudentsthat thereare alter-

    natives inlie.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    15/82

    28 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 29

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    16/82

    30 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 31

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    17/82

    32 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 33

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    18/82

    34 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 35

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    o photography. It raises interest or

    photography which is actually good or

    photographers as it creates awareness.

    I think most o my students realize how

    hard it is to get a good picture and its

    not always about the camera. It makes

    them appreciate photography bet-

    ter. Its not just point and shoot. The

    camera is just a piece o equipment.

    Whats more important is the idea o

    the photographer.

    Shooting in crowded place like pasar/

    dirty market is more dicult than in

    the studio since everything are uncon-

    trollable. How did you do it?

    Im actually more comortable in the

    market than in a studio where every-

    thing is controlled! I guess its my na-

    ture. I like to walk around and obser ve.

    I have ull respect or photographers

    who can work in the studio and come

    up with amazing pictures but its just

    not or me. I work best in chaos and like

    the energy in the markets. The people

    are unpretentious and real. Theres

    no bullshit about it. No slick tourism

    marketing. What you see is what you

    get. Its as close to the lives o the locals

    as you can be beore we start dig in

    deeper.

    The cam-era is just

    a pieceo equip-ment.Whatsmore im-portant isthe idea othe pho-tographer.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    19/82

    36 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 37

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    When shooting documentary, portrai-

    ture what points you try to achieve?

    I try to look or a moment or something

    that tells their story. I language is not

    a barrier, i talk to the person to get a

    sense o the personality. Sometimes,

    when i travel and i cant speak the

    language, i will just sit and observe. The

    person could be pensive or shy and

    I will try to portray it as close to their

    nature as possible.

    Mention one word that describes your

    photos.

    Oh dear..... I cant describe it. Maybe,Real? I try to keep it real.

    What kind o pic ture deserves labeledas the great one.

    I wanted to give you a diplomatic

    answer that there are so many great

    photos and its hard to choose rom. I

    do like the works o Sebastian Salgado

    and Eugene Richards. I dont think

    people realize how hard a documen-

    tary photographers job is but i have

    total respect or the work that Salgado

    and Eugene Richards do and the stories

    that they tell.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    20/82

    38 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 39

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    21/82

    40 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 41

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    22/82

    42 EDISI XXVII / 2010

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 43

    DOCUMENTARYPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    23/82

    44 EDISI XXVII / 2010

    LIPUTANUTAMA

    EDISI XXVII / 2010 45

    LIPUTANUTAMA

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    24/82

    46 EDISI XXVII / 2010

    LIPUTANUTAMA

    EDISI XXVII / 2010 47

    LIPUTANUTAMA

    Indonesias Next Top PhotographerPertumbuhan peminat otogra di tanah air meningkat pesat dari tahun ke tahun.

    Semakin terjangkaunya ongkos teknologi menjadi salah satu alasan kuat yangmendorong pertumbuhan sporadis ini. Jika 10 tahun yang lalu kamera SLR masih

    menjadi monopoli mereka yang serius menggeluti otogra secara super serius,

    kini kita mendapati banyak orang yang memiliki dan menggunakan kamera

    DSLR sebagai alat untuk merekam potongan kisah hidup kita. Di acara-acara

    pernikahan, kini DSLR bukan hanya menjadi monopoli otograer yang ditugasi

    dan dibayar untuk meliput momen penting itu, tapi juga tamu dan sanak amili

    dari pasangan yang menikah juga menggunakan DSLR. Hal serupa juga dapat

    kita temui di ajang pameran komersi l, tempat wisata, acara kantor, begitu ban-

    yak orang-orang menggunakan DSLR yang dulu seolah-olah menjadi identitas

    seorang serious photographer.

    Kaum positisme mungkin akan melihat hal ini sebagai sesuatu yang menggem-

    birakan. Semakin banyak orang yang memotret semakin banyak orang yang

    mengetahui standar apresiasi otogra yang lebih layak dan manusiawi. Bahwa

    oto bagus bukan menjadi monopoli kamera DSLR mungkin kita setujui bersama,

    namun enomena tumbuhnya pengguna berbagai jenis kamera dan khususnya

    DSLR menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan manaat dan akibatnya.

    Apakah benar pertumbuhan jumlah orang yang menggunakan kamera DSLR

    secara otomatis akan mendongkrak standar apresiasi otogra Indonesia baik dari

    sisi kualitas maupun kuantitas?

    Jika kita berkaca ke masa lalu sedikit untuk sejenak melihat lahirnya otograer

    proessional yang seringkali dianggap sebagai benchmark dan tolak ukur maju-

    nya kualitas otogra sebuah peradaban maka dapat kita temui hal yang seba-

    liknya. Pada era tahun 80an akhir jumlah otograer proessional tidak terlalu ban-

    yak. Kemunculan nama-nama baru ke dalam jajaran title otograer proessional

    yang mampu eksis dan mengejutkan pemain-pemain lama pun tidak dilakukan

    setiap tahun. Namun angka ini menin-

    gkat pada era tahun 90an. Setidaknyasatu otograer proessional yang

    mampu eksis dan menunjukkan deter-

    minasinya dalam berotogra muncul

    setiap tahunnya. Bahkan di beberapa

    tahun muncul lebih dari satu nama

    dalam setiap tahunnya. Era ini pun

    terus bertahan hingga awal 2000an.

    Entah apa penyebabnya, era keemasan

    ini (jika boleh dikatakan demikian)

    sepertinya harus berakhir dan mulaimenunjukan downtrending antikli-

    maks. Setelah setiap tahun Indonesia

    menelorkan satu orang otograer

    proessional yang layak diberi title the

    real contender rekuensi kelahiran

    otograer-otograer proessional yang

    bertaji pun mulai jarang. Ini terlihat

    dari hanya 1 nama yang layak diang-

    gap sebagai the real contender dalam

    kurun waktu 3 tahun dari 2004 hingga

    2007. Dan angka ini pun sepertinya

    belum menunjukkan sentimen positi

    ketika lagi-lagi tidak ada satu nama

    baru yang muncul dengan tajinya yang

    cukup menggemparkan dari kurun

    2007 hingga awal 2010 ini.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    25/82

    48 EDISI XXVII / 2010

    LIPUTANUTAMA

    EDISI XXVII / 2010 49

    LIPUTANUTAMA

    Jika kita menggunakan otograer pro-

    essional sebagai cerminan pertumbu-

    han kualitas otogra secara keseluru-

    han, maka regenerasi yang melambat

    dari otorgaer proessional yang baik

    sepertinya menjadi sinyal utama yang

    menginormasikan bahwa walaupun

    secara kuantitas otogra Indonesia

    mengalami kemajuan, namun secara

    kualitas belum menunjukan trend

    positi. Segala upaya untuk mencari,

    mencetak dan mengorbitkan bakat-

    bakat otogra baru pun harus segera

    dimulai.

    Proses pencarian bakat-bakat oto-

    graer muda seharusnya semakin tidakmenjadi kendala mengingat secara

    kuantitas pelaku otogra bertambah.

    Aksi yang diperlukan selanjutnya

    adalah mengerahkan segenap ke-

    mampuan dan pikiran serta memberi

    kesempatan seluas-luasnya kepada

    berbagai kemungkinan yang mungkin

    dan bahkan yang tidak mungkin untuk

    menyiapkan jalan kepada diproduksin-

    ya kembali otograer-otograer yang

    baik yang diharapkan bisa menjadidongkrak yang mampu membakar

    kembali semangat berotogra setiap

    orang dari sekedar ramai-ramai men-

    jadi ramai dan berkualitas.

    The Light sebagai salah satu media

    yang selalu mengambil posisi kritis

    dalam dunia otogra akhirnya men-

    gambil inisiati untuk mengadakan

    sebuah event otogra terbesar yang

    belum pernah ada di Indonesia. Event

    ini berupa pencarian bakat dalam

    bidang otogra untuk nantinya di-

    arahkan melalui serangkaian pelatihan

    intensi yang melibatkan orang-orang

    yang dianggap mampu mengarahkan

    dan mendidik benih-benih otogra

    masa depan untuk menjadi Indonesias

    Next Top Photographer.

    Indonesias Next Top Photographer

    akan memulai debutnya melalui se-rangkaian promo roadshow ke empat

    kota, yaitu Jakar ta, Bandung, Yogya-

    karta dan Surabaya pada bulan maret

    2010 untuk membangunkan pelaku

    otogra Indonesia untuk memper-

    juangkan kesempatan mereka menjadi

    Indonesias Next Top Photographer.

    Mereka yang tidak berada di empat

    kota tersebut bisa mendatarkan diri

    dan mengirimkan persyaratan berupa

    10 buah oto portolio mereka (apapunbidangnya) dan juga sebuah tulisan es-

    say mengenai alasan mengapa mereka

    layak untuk diterima dalam program

    ini. Peserta hanya diminta membayar

    uang pendataran sebesar maksi-

    Sosok StephenChow dalamlm KunguHustle yang

    berubah darinothing men-jadi something

    tanpa dugaandan tanpa sen-

    gaja juga bisaterjadi di oto-gra. Di mana

    jangan-jangansosok otograerterbaik Indo-

    nesia nantinyajuga akan lahir

    secara tidak ter-duga dan tidak

    sengaja dari so-

    sok-sosok yangsangat amatjauh dari oto-

    gra.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    26/82

    50 EDISI XXVII / 2010

    LIPUTANUTAMA

    EDISI XXVII / 2010 51

    LIPUTANUTAMA

    mal Rp.125.000 dan minimal Rp.50.000 untuk kelas-kelas dan kondisi tertentu.

    Ini jauh sangat murah jika mereka terpilih menjadi 5 orang yang akan mengi-

    kuti pelatihan intensi selama 6 bulan penuh tanpa libur yang meliputi bidang

    otogra baik teknis maupun artistic, apresiasi seni, bisnis, dan bidang-bidang

    lain yang terkait dengan otogra seperti digital im aging, ashion & ood styling,

    make up dan bidang-bidang lainnya. Ungkap Ignatius Untung, ounder The Light

    magazine yang juga menjadi penggagas ide program social ini .

    Program ini akan melibatkan beberapa nama yang sudah dikenal dalam bidang

    otorga, bisnis dan seni dan hebatnya mereka semua mengajar tanpa dibayar

    karena misi sosial yang diemban program ini.

    Tema yang diusung dalam pelaksanaan Indonesias Next Top Photographer yang

    pertama ini menyinggung tentang memberi kesempatan kepada semua orang.

    Di lm Kungu Hustle kita melihat bahwa seorang jago silat nomor satu dilahir-

    kan secara tidak sengaja dalam sosok Stephen Chow yang tidak terduga sebel-

    umnya. Stephen Chow memerankan tokoh pemuda pengangguran yang inginmenunjukkan eksistensinya sebagai orang yang dihormati. Tiga perempat dari

    cerita tersebut sama sekali membuat

    kita tidak menduga bahwa Stephen

    Chow itulah yang akhirnya menjadi

    seorang jago silat nomor satu di dunia

    setelah terkena pukulan maha dah-

    syat dari lawannya. Cerita yang sama

    bisa kita temui pada bidang otogra.

    Menganggap bahwa otograer terbaik

    Indonesia masih belum dilahirkan

    (karena selalu ada yang lebih baik)

    membuat Indonesias Next Top Photog-

    rapher membuka berbagai kemungki-

    nan untuk mencari dan menemukan

    sosok Indonesias Next Top Photogra-

    pher. Jelas Untung. Sosok Stephen

    Chow dalam lm Kungu Hustle yang berubah dari nothing menjadi something

    tanpa dugaan dan tanpa sengaja juga bisa terjadi di otogra. Di mana jangan-

    jangan sosok otograer terbaik Indonesia nantinya juga akan lahir secara tidakterduga dan tidak sengaja dari sosok-sosok yang sangat amat jauh dari otogra.

    Sambungnya. Tukang becak, dosen lsaat, polisi, tukang sampah, pengacara,

    bankir, pekerja pelabuhan, pemulung bisa saja menjadi soso k-sosok yang jangan-

    jangan sudah digariskan untuk menjadi Indonesias Next Top Photographer. Dan

    dengan mengabaikan sosok-sosok yang sangat jauh dari otogra seperti mereka

    sama saja dengan mencegah lahirnya sosok Indonesias Next Top Photographer.

    Lanjutnya lagi.

    Maka dari itu, materi visual promosi yang digunakan untuk mengkampanyekan

    program ini mengobarkan spirit keterbukaan terhadap berbagai kemungkinan.

    Spirit memberikan kesempatan bahkan kepada setiap ketidakmungkinan inilahyang dirasa mampu membangkitkan takdir yang jangan-jangan hampir terbatal-

    kan mengenai kelahiran sosok otograer proessional terbaik Indonesia.

    Tertarik untuk mencoba memberikan diri anda kesempatan untuk menyingkap

    kebenaran mengenai sosok otograer terbaik Indonesia yang jangan-jangan bisa

    saja anda? Kungjungi ww w.indonesiasnexttopphotographer.com

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    27/82

    52 EDISI XXVII / 2010

    LIPUTANUTAMA

    EDISI XXVII / 2010 53

    LIPUTANUTAMA

    tukang bajaj

    tukang sol sepatu

    pemulung

    tukang loak tukang baksotukang patritukang kayu

    tukang batu

    kuli pangulsatpam

    polisi

    pramuka

    tentara

    menteri

    politikus

    tokoh agama

    bankir

    kasir

    sopir

    pilot

    masinis

    nahkoda

    manager

    direktur

    mahasiswa

    pengangguran

    make up artist tukang kain

    dosen

    produser

    sutradara

    aktor aktris

    musisidukun

    koki

    pelayan

    akuntan

    pengacara

    jaksa

    DJpublic relation

    wartawan

    filsuf

    designerdokter

    perawat

    mantri

    bartender

    tukang ojeg

    guru

    tukang becak

    presidenmodel

    bisa menjadi...

    good talent deserves chances

    www.indonesiasnexttopphotographer.com

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    28/82

    54 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 55

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    Agus Pande, Melejit berkat

    satu box kartu namaBali dikenal dengan budaya dan alam-

    nya yang indah. Dan hal itu pulalah

    yang seolah-olah membuat Bali keban-

    jiran otograer budaya dan landscape.

    Dari 100 orang otograer bali mungkin

    sekitar 80 orang diantaranya meru-

    pakan gabungan keduanya. Sementara

    di bidang komersil Bali masih menye-

    diakan tempat bagi otograer komer-

    sil untuk eksis. Salah satu otograer

    komersil terkemuka yang berdomisili di

    Bali adalah Agus Pande.

    Lelaki yang mengenal otogra dari

    pamannya yang membawa sebuah

    kamera sepulangnya dari Jepang ini

    melalui proses perjalanan yang pan-

    jang hingga akhirnya berlabuh menjadi

    seorang otograer. Berawal dari iseng-iseng mencoba kamera pamannya itu,

    Agus mulai lebih serius mendalami

    otogra. Kamera-kamera temannya

    pun dijadikan bahan percobaannya.

    Untuk menambah pengetahuan ia juga

    banyak membaca buku-buku tentang

    otogra. Tekadnya untuk nyemplung

    secara lebih serius ke dunia otogra

    semakin bulat ketika pada suatu saat

    ia berpacaran dengan seorang model

    dan harus mengantarkan sang kekasih

    ke sebuah sesi pemotretan. Ia menyak-

    sikan daya tarik tersendiri dari peker-

    jaan memotret.

    Tahun 1990 Agus tinggal di Singapore

    untuk mempersiapkan diri untuk

    belajar otogra di Brooks Institute,

    Amerika Serikat. Di sana ia sudah mem-

    persiapkan diri dengan lebih banyak

    lagi mengakses media-media otogra

    yang jauh lebih mudah didapatkan di

    Singapore dibandingkan dengan di

    Indonesia.Selama berkuliah di Brooks, Agus untuk

    pertama kalinya merasakan kondisi

    di mana ia begitu bersemangat untuk

    belajar. Sebelumnya saya sangat ma-

    las. Saya suka bolos dan malas belajar.

    Tapi ketika saya belajar di Brooks, saya

    rajin. Saya tidak pernah bolos. Ke-

    nangnya. Selama bersekolah di Brooks,

    Agus merasa perkembangan yang

    pesat akan kemampuan otogranya,

    namun di sisi lain ia merasa mengalami

    kemunduran. Saya bisa memotret

    dengan teknik yang lebih bagus tapi

    saya merasa kreatitas saya mandek.

    Ungkapnya. Akhirnya, tanpa menyele-

    saikan sekolahnya, Agus pun memu-

    tuskan untuk kembali ke Indonesia dan

    setelah sempat bekerja selama 1 tahun

    di Jakarta ia kembali ke Bali.

    Agus pun memulai karirnya sebagai

    otograer proessional di Bali. Waktu

    itu industri oto di Bali belum jalan.

    Kecuali untuk interior. Sayangnyaketika ada bom Bali, bisnis hotel pun

    ambruk. Satu-satunya bidang oto-

    gra yang masih bisa jalan adalah

    dengan memotret ashion dan jew-

    elry. Kenangnya. Agus pun m enjalani

    Saya bisamemotret

    dengan

    teknikyang lebihbagus tapisaya mera-

    sa kreati-tas saya

    mandek.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    29/82

    56 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 57

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    30/82

    58 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 59

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    31/82

    60 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 61

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    32/82

    62 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 63

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    karirnya di bidang otogra walaupun

    tanpa ada jaminan masa depan yang

    jelas. Hingga pada suatu saat sebuah

    kejadian merubah peruntungan Agus

    di bidang otogra. Waktu itu saya

    dapat kerjaan untuk memotret restoran

    yang tidak besar. Saya pikir, kenapa

    tidak saya kerjakan saja. Dan benar saja

    setelah saya kerjakan ternyata klien

    saya puas dan ia mau memberikan

    pekerjaan memotret untuk bisnisnya

    yang lain. Ungkapnya. Suatu saat saya

    dimintai kartu nama. Dan karena saya

    belum punya maka saya bilang apa

    adanya. Klien saya itu pun menyuruh

    saya untuk membuat kartu nama dan

    memberikan kepadanya. Saya punpulang dan membuat kartu nama. Es-

    oknya saya kembali dan menyerahkan

    selembar kartu nama seperti yang dim-

    inta. Klien saya pun tertawa dan bilang.

    Jangan bikin cuma satu. Bikin satu box

    dan kasih ke saya semuanya. Nanti saya

    bagi-bagikan ke teman-teman saya.

    Dan mulai saat itu secara perlahan tapi

    pasti saya mendapat banyak pekerjaan

    komersil. Lanjutnya. Berkaca dari pen-

    galaman tersebut Agus teringat akanpesan seorang gurunya, bahwa untuk

    mau maju harus mau berkorban juga

    termasuk keluar uang.

    Walaupun sudah eksis menjalani pro-

    Janganbikincumasatu. Bikinsatu boxdan kasihke sayasemuan-ya. Nantisaya bagi-bagikan keteman-te-man saya.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    33/82

    64 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 65

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    esi sebagai otograer komersil, Agus

    masih merasakan persaingan yang

    terkadang kurang air dengan otor-

    gaer lain terutama bule. Beberapa kali

    ada klien ngomong ke saya, kok harga

    kamu lebih mahal dari bule. Saya jadi

    bingung, kenapa seolah-olah jadi saya

    yang salah? Saya yang kemahalan atau

    si bule yang kemurahan? kenangnya.

    Menghadapi diskriminasi terhadap

    otograer-otograer bule, Agus

    mengedepankan rasa percaya diri dan

    kemauan yang keras untuk membuk-

    tikannya. Kalau dianggap remeh, jan-

    gan kecil hati. Tetaplah percaya diri dan

    yang paling penting buktikan bahwa

    percaya diri kita berdasar, supaya ng-gak cuma dianggap blung. Tegasnya.

    Agus berpendapat ketika kita bisa

    membuktikan diri walaupun sebelum-

    nya disepelekan maka biasanya klien

    malah berbalik mengidolakan kita

    dan mereerensikan kepada teman-

    temannya. Dan untungnya di Bali klien

    relati lebih loyal. Lanjutnya.

    Walau begitu Agus berpendapat

    bahwa otorgaer bule memiliki satukeuntungan yang dijadikan keung-

    gulan dalam mencari nakah di Bali.

    Menangnya orang asing adalah begitu

    mereka lihat bali mereka melihat ses-

    uatu yang menarik karena tidak setiap

    Kalau di-anggapremeh,jangankecil hati.

    Tetaplahpercayadiri dan

    yang pal-ing pent-ing bukti-

    kan bahwapercayadiri kita

    berdasar,

    supaya ng-gak cumadianggapblung.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    34/82

    66 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 67

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    35/82

    68 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 69

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    36/82

    70 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 71

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    37/82

    72 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 73

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    hari mereka jumpai. Tidak seperti

    orang Bali sendiri yang sudah kehilan-

    gan kepekaan dalam melihat Bali, ini

    karena mereka menyaksikan dan hidup

    di tengah-tengahnya setiap harinya.

    Ungkapnya.

    Agus melihat otogra di Bali belum

    mendapat respek yang cukup baik dari

    pendatang, berbeda dengan bidang

    lain seperti surng. Di Bali, hanya sur-

    inglah yang mendapat penghormatan

    yang luar biasa. Ketika juara dunia sur-

    ing ke Bali, walaupun lebih hebat dari

    surer Bali tapi mereka tetap hormat

    dengan surer lokal. Dan itu belum

    terjadi di otogra. Ungkapnya.

    Berada di barisan papan atas otograer

    komersil Bali tidak membuat Agus

    puas dan berhenti untuk menjadi lebih

    baik lagi. Agus pun mengaku bahwa

    ia masih lemah dalam pengetahuan

    bisnis. Saya suka ikut seminar bisnis.

    Saya merasa masih sangat lemah di

    situ. Akunya. Seringkali saya merasa

    sering menang perang ketika menang

    pitching, tapi kok masih struggle

    hidupnya. Artinya masih ada yangsalah. Lanjutnya. Untuk itulah Agus

    berusaha memperkaya pengetahuan-

    nya mengenai bisnis. Bisnis is about

    how much you can aford to loose.

    Tegasnya. Untuk itu sebelum memu-

    Seringkalisaya mera-sa seringmenangperangketikamenangpitch-ing, tapikok masihstrugglehidupnya.Artinyamasihada yang

    salah.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    38/82

    74 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 75

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    39/82

    76 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 77

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    40/82

    78 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 79

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    41/82

    80 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 81

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    lai bisnis kita harus siap untuk kalah

    dulu. Kalau kita tidak siap untuk kalah

    akhirnya bisnis yang dijalankan adalah

    bisnis asal menang. Menang tapi tidak

    merasakan kemenangan yang sesung-

    guhnya. Sambungnya lagi. Dalam

    menjalani bisnis otogranya Agus

    pantang untuk bergantung pada satu

    klien. Jangan bergantung hanya pada

    satu klien yang dominan. Karena kalau

    klien tersebut memutuskan untuk tidak

    memakai jasa kita lagi, maka selesailah

    kita. Tegasnya.

    Tergolong cukup sukses dalam bisnis

    otogra komersilnya di Bali ternyata ti-

    dak membuat Agus tertarik untuk me-

    lebarkan sayapnya ke Jakarta. Jakarta

    terlalu keras persaingannya. Belum lagi

    ada unsur politik yang bermain. Saya

    malah lebih tertarik ke Malaysia, Singa-

    pore atau Bangkok. Ungkapnya.

    Berbicara mengenai otograer-oto-

    graer muda, Agus berpendapat bahwa

    pada umumnya otograer muda me-

    miliki 3 kelemahan. Kelemahan yang

    pertama adalah inginnya cepat-cepat.Kalau motret maunya buru-buru dan

    cepat puas. Ada hal-hal yang sebena-

    rnya masih bisa diperbaiki malah dit-

    inggalkan dengan alasan bisa diperbai-

    ki di komputer. Padahal mengerjakan

    Bisnis isabout howmuch youcan afordto loose?

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    42/82

    82 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 83

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    43/82

    84 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 85

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    44/82

    86 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 87

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY COMMERCIALPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    45/82

    88 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 89

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY THEEVENT

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    46/82

    90 EDISI XXVII / 2010

    COMMERCIALPHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 91

    THEEVENT

    di komputer juga memakan waktu, jadi

    kalau bisa selesai di lapangan ya har-

    usnya dioptimalkan di situ. Tegasnya.

    Kelemahan kedua adalah maunya

    instan. Banyak yang mau ngerjain

    sesuatu yang maunya langsung jadi.

    Kalau dia tidak melihat ada gunanya yasudah langsung ditinggalkan, padahal

    nggak semua yang terlihat nggak ada

    gunanya benar nggak ada gunanya.

    Lanjutnya. Dan kelemahan ketiga

    adalah tidak ocus. yang muda-muda

    maunya masih ke sana ke mari. Belum

    ocus. Mungkin sebagian masih nggak

    yakin bahwa otogra bisa menghidu-

    pi, padahal memang bisa kalau mereka

    mau ocus. Dan ini pulalah mengapa

    seringkali kita tertinggal dengan orang

    asing. Bule-bule itu walaupun di nega-

    ranya bukan otograer, tapi karena

    mereka melihat peluang di sini, mereka

    ocus, dan total maka akhirnya jadi.

    Ungkapnya. Kalau kita ocus dan total,

    apapun yang kita lakukan pasti kita

    bisa lakukan. Dan jangan takut akan

    tekanan. Justru tekananlah yang bikin

    kita kreati. Tutupnya.

    Banyak yangmau ngerjainsesuatu yang

    maunya lang-

    sung jadi. Ka-lau dia tidakmelihat ada

    gunanya ya su-dah langsungditinggalkan,

    padahal nggaksemua yang ter-

    lihat nggak adagunanya benarnggak ada gu-

    nanya.

    THEINSPIRATION THEINSPIRATION

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    47/82

    92 EDISI XXVII / 2010

    THEINSPIRATION

    EDISI XXVII / 2010 93

    THEINSPIRATION

    THEINSPIRATION THEINSPIRATION

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    48/82

    94 EDISI XXVII / 2010

    THEINSPIRATION

    EDISI XXVII / 2010 95

    THEINSPIRATION

    Generasi Budak OpiniDi awal masa-masa reormasi, ketika

    saya masih duduk di bangku kuliah,

    sebuah semboyan baru muncul, suara

    rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin

    saja kalimat tersebut bukan kali-

    mat baru, tapi mungkin saja karena

    kekurang tahuan saya kepada dunia

    politik dan sejarahnya maka kalimat

    tersebut menjadi baru. Setelah kalimat

    tersebut didengung-dengungkan ber-

    ulangkali kalimat tersebut makin jadipopuler dan makin digjaya karena seo-

    lah-olah berhasil menjadi senjata yang

    ampuh untuk menghadapi penguasa

    atau lawan debat. Gerakan-gerakan

    demonstrasi pun menjadikan kalimat

    tersebut sebagai senjata utama, dan

    sekonyong-konyong gerakan demon-

    strasi apapun waktu itu membawa

    suara rakyat sehingga harus dituruti.

    Beberapa bulan yang lalu ketika bang-

    sa yang baru saja melewati kondisi

    gonjang-ganjing politik akibat pemilu,

    gejolak politik dan keamanan kembali

    terjadi ketika dua pimpinan KPK di-

    tahan oleh polisi dengan dugaan pem-

    erasan. KPK yang sudah berulangkali

    hadir sebagai pemeran utama dalam

    cerita negeri ini dengan aksi heroiknya

    menangkap koruptor-koruptor kakap

    dengan bukti-bukti yang meyakinkan

    untuk sekali lagi seolah-olah tampil se-

    bagai pemeran utama yang membuat

    semua penonton (baca: masyarakat) ti-

    dak rela jika sang pemeran utama dizo-

    limi. Akhirnya gerakan-gerakan moral

    mulai dari penjaminan dari beberapatokoh politik dan kemasyarakatan atas

    diri kedua pimpinan KPK yang ditahan

    hingga pada pembentukan groups

    atau pages di situs jejaring social yang

    berisi dukungan untuk pembebasar

    kedua pimpinan KPK pun dibanjiri oleh

    jutaan pendukung.

    Masih dalam kurun waktu yang kurang

    lebih sama, sebuah perselisihan antara

    seorang ibu dengan sebuah rumah

    sakit yang berujung pada ditahannya

    sang ibu yang kecewa akan pelayanan

    rumah sakit tersebut yang didistribusi-

    kan melalui email ke beberapa orang

    teman. Kisah perselisihan murni ini pun

    Saya dalamposisi tidakmemperma-salahkan kepu-tusan mendu-kung atau tidakmendukung,

    namun men-gapa anda men-dukung, men-gapa anda tidakmendukungdan sejauh apapengetahuananda mengenaiduduk perma-salahan itulahyang penting

    THEINSPIRATION THEINSPIRATION

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    49/82

    96 EDISI XXVII / 2010

    THEINSPIRATION

    EDISI XXVII / 2010 97

    THEINSPIRATION

    berlanjut dengan mulai dimunculkan

    dramanya ketika media mengangkat

    latar belakang kehidupan sang ibu

    yang sedang memiliki anak di bawah

    6 bulan. Dalam waktu singkat dukun-

    gan masyarakat luas kepada ibu yang

    dianggap dizolimi ini pun mengalirmelalui situs jejaring social Facebook.

    Begitu juga ketika sang ibu dijatuhi hu-

    kuman perdata untuk membayar ganti

    rugi sebesar 204 juta rupiah. Ribuan

    orang atau bahkan jutaan menyisihkan

    koin mereka untuk disumbangkan

    kepada ibu muda ini.

    Masih hangat dalam pembicaraan

    bagaimana Negara ini masih disibuk-

    kan oleh dugaan skandal century yang

    dianggap merugikan Negara hingga

    6,7 triliun rupiah. Pada suatu hari di

    saat mantan gubernur Bank Indone-

    sia yang disangka menjadi salah satu

    pihak yang harus bertanggung jawab

    datang memenuhi panggilan tim pan-

    sus Angket DPR, seorang mahasiswa

    berhasil menyelinap dan meneriak-

    kan tuduhan keras. Sehari setelahnya

    ketika saya sedang dalam perjalananke sebuah meeting, saya bertemu den-

    gan rombongan massa yang sedang

    menuju ke gedung DPR/MPR untuk

    mendemo menteri keungan yang saat

    itu juga dituduh bertanggung jawab

    atas kerugian tersebut. Rombongan

    pendemo ini terdiri dari lebih dari 10

    bis dengan penumpang penuh bahkan

    sampai berdiri di atas. Terlihat pula be-

    berapa buah truk pengangkut sound

    system dengan daya yang sangat besar

    sehingga sepanjang jalan pendemobisa melakukan orasi melalui pengeras

    suara yang dibawa oleh truk-truk terse-

    but dan didengar oleh seluruh orang

    yang melewati jalan itu. Lagi-lagi situs

    jejaring social Facebook pun digu-

    nakan untuk mengkomunikasikan apa

    yang ingin mereka sampaikan.

    Dalam kesempatan kali ini saya tidak

    tertarik untuk mengomentari apalagi

    membahas keempat kasus di atas.

    Salah satunya karena hingga detik di

    mana tulisan ini dibuat, majalah ini

    masih majalah otogra dan bukan

    majalah politik apalagi gossip. Na-

    mun (tanpa perlu membahas mana

    yang benar dan mana yang salah dari

    setiap kasus itu), tren perang persepsi

    melalui pembentukan opini menjadi

    menarik bagi saya. Dalam keempat

    kasus tersebut dukungan masyarakatsangat besar kepada setidaknya salah

    satu pihak yang berselisih. Salah satu

    penyebabnya adalah karena dikam-

    panyekan melalui situs jejaring social.

    Groups dan halaman yang berisi

    Groups-groups dukunganterhadap salah satu pihakyang akhirnya mendapatdukungan banyak orangseolah-olah mencobamembentuk opini bahwainilah suara Tuhan, kare-na ini suara rakyat. Lalusaya berpikir lagi, kalau

    memang itu suara Tuhan,mengapa banyak Tuhan-Tuhan (baca: rakyat) yangtidak berpikir dan tahu per-masalahannya terlebih da-hulu sebelum memberikan

    atau menolak untuk mem-berikan dukungan?

    THEINSPIRATION THEINSPIRATION

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    50/82

    98 EDISI XXVII / 2010

    THEINSPIRATION

    EDISI XXVII / 2010 99

    THEINSPIRATION

    dukungan terhadap salah satu pihak yang berselisih pada keempat kasus di atas

    mengalir dengan sangat deras. Permasalahannya, dari sekian banyak orang yang

    mendukung groups/halaman-halaman tersebut berapa persen yang memang

    menyetujui dengan modal pengetahuan yang cukup akan duduk persoalan dan

    aturan hukum yang berlaku?

    Jujur saja, banyak dari teman saya yang mendukung hal-hal tersebut hanyakarena diundang oleh temannya, kenalannya, kliennya, pacarnya, keluarganya, dll

    tanpa mengetahui detail permasalahannya. Akhirnya dukungan yang mengalir

    pun dukungan yang asal banyak. Saya dalam posisi tidak mempermasalahkan

    keputusan mendukung atau tidak mendukung, namun mengapa anda men-

    dukung, mengapa anda tidak mendukung dan sejauh apa pengetahuan anda

    mengenai duduk permasalahan itulah yang penting.

    Di awal-awal majalah ini terbit, seorang teman yang kin i sudah bergabung

    bersama kami sebagai pemimpin redaksi pernah memperkenalkan kepada saya

    istilah mental kerumu nan. Mental

    kerumunan yang saya tangkap adalah

    sikap yang selalu mendukung keru-

    munan, gerombolan, mayoritas, siapa

    yang banyak, tanpa bisa menjelaskan

    dengan jelas dan detail mengapa ia

    memilih untuk bergabung dengankerumunan itu. Groups-groups dukun-

    gan terhadap salah satu pihak yang

    akhirnya mendapat dukungan banyak

    orang seolah-olah mencoba memben-

    tuk opini bahwa inilah suara Tuhan,

    karena ini suara rakyat. Lalu saya

    berpikir lagi, kalau memang itu suara

    Tuhan, mengapa banyak Tuhan-Tuhan

    (baca: rakyat) yang tidak berpikir dan

    tahu permasalahannya terlebih dahulu

    sebelum memberikan atau menolak

    untuk memberikan dukungan?

    Baiklah, supaya kita tidak terlalu dibuat

    jengah oleh topik-topik politik terse-

    but, mari kita bicarakan korelasinya

    dengan dunia otogra.

    Saya melihat seringkali seseorang me-

    milih kamera tertentu karena banyak

    penggunanya. Seringkali saya melihat

    pelaku otogra memilih bergabungdengan satu komunitas dan menjadi

    FANATIK pada komunitas itu tanpa

    tahu komunitas di luar itu. Seringkali

    saya melihat pelaku otogra mengelu-

    elukan satu atau beberapa nama di bi-

    ...bahwa akan

    banyak hal-hal baik tidakmuncul ke per-mukaan danberkembangserta meng-hasilkan halyang baik bagi

    semua hanyakarena dibunuholeh gerakankerumunan dankeroyokan.

    THEINSPIRATION FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    51/82

    100 EDISI XXVII / 2010

    THEINSPIRATION

    EDISI XXVII / 2010 101

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

    dang otogra Indonesia/dunia sebagaiidolanya tanpa tahu betul mengenai

    otogra yang benar.

    Tanpa bermaksud menyinggung

    nama/sosok tertentu (karena beberapa

    kali tulisan-tulisan sejenis berdampak

    pada tersinggungnya beberapa pihak),

    saya ingin sekali lagi menegaskan

    bahwa apa pilihan anda masing-mas-

    ing bukanlah masalah bagi saya. Tapi

    alasan mengapa anda memilih pilhan

    andalah yang harusnya bisa dipertang-

    gung jawabkan, dan bukan sekedar

    ikut-ikutan. Lebih parah lagi, ada yang

    bahkan tidak memiliki alasan atas

    pilihannya. Hahahahaha, benar-benar

    mental keroyokan.

    Pembentukan opini dan persepsi

    memang seringkali menjebak kita

    kepada suatu keputusan yang ternyata

    tidak terlalu tepat, terutama ketika kita

    memilih hanya atas dasar ikut-ikutan,solidaritas, dll. Mengutip perkataan

    seorang kontributor di edisi lalu,

    bahwa akan banyak hal-hal baik tidak

    muncul ke permukaan dan berkem-

    bang serta menghasilkan hal yang baik

    bagi semua hanya karena dibunuh oleh

    gerakan kerumunan dan keroyokan.

    Mungkin sudah saatnya bagi saya,

    anda dan kita semua untuk kem-

    bali bertanya lagi akan alasan atas

    pilihan-pilihan kita. Atas dasar apa kita

    melakukan otogra, atas dasar apa

    kita membeli kamera tipe dan merk itu,

    atas dasar apa kita mempelajari oto-

    gra dengan cara itu, atas dasar apa

    kita memilih mengidolakan sosok itu

    sebagai panutan dalam bidang oto-

    gra, atas dasar apa kita memilih untuk

    berguru otogra pada kursus/sekolah

    tertentu, dan ratusan atau bahkan ri-buan pertanyaan sejenis lainnya. Bukan

    pilihannya yang menjadi masalah, tapi

    mudah-mudahan kita memilih bukan

    sebagai korban mental kerumunan.

    Rama Surya,

    Mengejarmimpi kenegeri CinaApresiasi dan peminat terhadap dunia ne art atau yang juga biasa disebut seni

    murni di Indonesia memang masih jauh tertinggal dibandingkan Negara-negaradi Eropa. Ini bisa kita lihat dari masih harus dengan susah payahnya para seniman

    mendapat tempat dan apresiasi yang cukup di ruang umum. Seni murni seolah-

    olah masih menjadi konsumsi segelintir orang saja. Walaupun di bidang otogra

    banyak sekali pengguna kamera yang berani mengklaim dirinya sebagai seniman.

    Dari jumlah otograer yang tertarik untuk menggeluti atau setidaknya mengko-

    laborasikan unsur seni ke dalam karya otonya muncul nama Rama Surya. Rama

    Surya pernah cukup dikenal oleh mereka yang dengan serius menekuni otogra

    terutama yang berhubungan dengan jurnalistik, dan dokumenter. Fotograer

    yang sejak tahun 1991 banyak melakukan sparing dengan Erik Prasetya ini pun

    kami anggap cukup sukses mengkolaborasikan sentuhan seni ke dalam oto-oto

    dokumenternya.

    Keterceburan Rama di bidang otogra berawal dari ketidak sengajaan. Niatnya

    untuk bersekolah di Institut Kesenian Jakar ta selepasnya dari bangku SMA ditolak

    oleh orang tuanya. Kebetulan paman saya pelukis dan hidupnya susah. Jadi

    mungkin orang tua saya takut saya akan sama susahnya seperti paman saya itu.

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    52/82

    102 EDISI XXVII / 2010

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

    EDISI XXVII / 2010 103

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    53/82

    104 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 105

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    54/82

    106 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 107

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    55/82

    108 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 109

    Kenangnya. Rama pun tidak hilang

    akal, ia pun menimba ilmu di Institut

    Seni Fotogra dan Design Bandung.

    Ketertarikan Rama akan dunia otogra

    berawal dari hobby membaca buku-

    buku petualangan. Karena saya sukabepergian melihat tempat lain saya

    sempat keliling Sumatra Barat dengan

    sepeda ketika saya SMP. Kenangnya.

    Rama pun bertekad untuk pergi ke

    tempat lain yang belum pernah ia

    kunjungi setelah SMA dan di jenjang-

    jenjang berikutnya. Dari hobby

    bepergiannya itu Rama mendapati

    kenikmatan tersendiri dalam bepergian

    sambil berotogra.

    Tahun 1994, Rama bekerja di majalah

    otogra Fotomedia. Dan setelah em-

    pat tahun bekerja di Fotomedia Rama

    pun pindah ke Yogya untuk belajar ba-

    hasa Inggris. Waktu kerja di Fotomedia

    saya merasa bahasa Inggris saya sangat

    payah. Dan karena waktu itu saya baru

    saja terpilih sebagai otograer o the

    year di majalah Foto Magazin (Ger-

    man) yang berhadiah kamera Leicadan 6 buah lensanya, maka saya pun

    memutuskan untuk pindah ke Yogya

    dan menggunakan sebagian hadiah

    tersebut sebagai ongkos dan biaya

    hidup di Yogya.

    Selama menetap di Yogya, Rama

    banyak menghasilkan oto-oto yang

    akhirnya dipamerkan di Zurich. Dan

    dari pameran itu, Rama ditawari untuk

    membuat oto untuk buku tentang

    Bali. Rama pun menerimanya dan ia

    pun sekali lagi pindah ke Bali pada ta-hun 2001. Bali, Rediscover Paradise dan

    Eye O Bali, sebuah buku yang pengu-

    pas kehidupan masyarakan Bali pasca

    Bom Bali adalah dua buku yang su dah

    dihasilkan oleh Rama.

    Dalam berkarya, Rama banyak ter-

    inspirasi oleh berbagai hal mulai

    dari tulisan, puisi, oto, kejadian, dan

    juga adegan-adegan dalam lm. Dan

    sensititasnya dalam mencerna dan

    merekam hal-hal yang bisa menjadi

    trigger itu sendiri yang membuatnya

    selalu terinspirasi dalam berotogra.

    Dalam berotogra, kejelian dan

    kesiapan sangatlah perlu. Fotograer

    yang jeli seolah-olah bisa merasakan

    momen yang akan terjadi sehingga ia

    telah bersiap-siap sebelum momen itu

    terjadi. Ungkapnya. Dan ketika terjadi

    kita tinggal mengambilnya saja. Karenaseringkali momen-momen menarik

    sangat mirip dengan paragraph dari

    novel tertentu atau adegan dalam lm

    tertentu. Jadi secara imajinasi nyam-

    bung dan tertriger. Walaupun ini harus

    Kebetu-lan paman

    saya pe-lukis danhidupnya

    susah. Jadimungkin

    orang tuasaya ta-

    kut sayaakan samasusahnya

    seperti pa-man saya

    itu.

    Dalam beroto-gra, kejeliandan kesiapan

    sangatlah perlu.Fotograer yangjeli seolah-olahbisa merasakanmomen yangakan terjadi se-hingga ia telahbersiap-siap se-

    belum momenitu terjadi.

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    56/82

    110 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 111

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    57/82

    112 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 113

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    58/82

    114 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 115

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    59/82

    116 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 117

    dilatih. Lanjutnya.

    Mengenai hal ini Rama berpendapat,

    Dalam hidup manusia banyak momen

    berulang. Untuk itu kita harus selalu

    siap. Tegasnya. Rama berpendapat

    bahwa berotogra terutama sebagaiproesi tidak harus dalam posisi pasi

    menunggu assignment, tapi justru se-

    baliknya kitalah yang harus membuat.

    Intinya adalah tidak pernah berhenti

    berkarya dan memperkaya portolio.

    Tapi memang harus diakui di Indone-

    sia banyak yang hanya berpikir untuk

    bikin portolio jangka pendek, portolio

    jualan. Ungkapnya. Namun begitu

    Rama melihat hal ini terjadi karena

    proses pembuatan portolio yang besar

    dan jangka panjang memang sulit dan

    memakan waktu dan biaya yang tidak

    sedikit. Sehingga tidak banyak yang

    mau meluangkan waktu dan menjaga

    semangat serta mendapatkan dukun-

    gan untuk mewujudkannya.

    Sadar akan perlunya portolio besar

    jangka panjang, Rama pun menceri-

    takan project besarnya yang sudah

    dilakukan sejak tahun 2006. Sejak

    tahun 2006 hingga sekarang saya

    sering bolak-balik ke Cina. Di sana

    bisa tinggal berbulan-bulan untuk

    memotret. Akunya. Obyek yang dicari

    Dalamhidupmanusiabanyakmomenberulang.Untuk itukita ha-rus selalu

    siap.

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    60/82

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    61/82

    120 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 121

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    62/82

    122 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 123

    Rama di negeri tirai bambu itu adalah

    scenery-scenery yang ia dapatkan di

    lm-lm kungu klasik yang ia tonton

    ketika masih remaja. Dulu saya sering

    nonton lm-lm klasik mandarin. Dan

    adegan-adegan serta scenery-scenery

    dalam lm itu melekat erat di benaksaya dan menjadi kenangan tersendiri

    bagi saya. Dan saya berusaha meng-

    hadirkan kenangan-kenangan itu ke

    dalam oto-oto saya. Sambungnya.

    Niat Rama untuk membuat oto series

    mengenai Cina semakin diperkuat oleh

    hobbynya menonton lm-lm karya

    sutradara kondang Zhang Yimao yang

    secara otogra dan artistic sangat

    spektakuler.

    Proses pembuatan seri oto tentangCina itu pun tidak berjalan dengan

    mudah. Saya mulai ke sana tahun 2006

    dengan bermodalkan sebuah kamus

    praktis bahasa Mandarin. Saya tinggal

    di hostel untuk para backpacker su-

    paya saya bisa mengirit biaya dan bisa

    tinggal lebih lama di sana. Semuanya

    saya lakukan dengan biaya sendiri.

    Proses pencariannya pun panjang,

    walaupun mulai dari tahun 2006, baru

    tahun 2009 saya menemukan yang

    saya suka. Dan hingga hari ini saya ma-

    sih terus mencari. Ungkapnya. Setiap

    hari saya berkeliling ke kota-kota kecil

    untuk mencari scenery-scenery yang

    ada di benak saya. Lanjutnya.

    Perjalanan panjangnya tersebut

    menghasilkan banyak oto dan banyak

    sampah. kalau ditanya banyak nggak

    sampah (oto sampah red.) yang di-

    hasilkan, saya mengakui banyak sekali.

    Tapi untungnya masih ada yang bisa

    dipakai. Ungkapnya. Rama pun meya-

    kini hanya keuletan dalam berkarya

    yang bisa menuntunnya mendapat-

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    63/82

    124 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 125

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    64/82

    126 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 127

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    65/82

    128 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 129

    FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY FINEART & JURNALISM PHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    66/82

    130 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 131

    kan karya-karya otogra yang baik.

    Berkarya itu berhubungan dengan

    jam terbang. Makin diasah makin

    tajam. Jadi banyak latihan, start bikin

    banyak sampah. Tapi semakin lama

    harus semakin sedikit sampahnya.

    Ujarnya.Namun begitu Rama tidak pernah

    memotret menggunakan continous

    mode. saya tidak percaya keberuntun-

    gan. Yang saya percaya adalah kesia-

    pan dari otograernya. Artinya walau-

    pun pakai mode continous, kalau tidak

    dipersiapkan ya tidak akan bisa dapat

    oto yang diinginkan juga. Tegasnya.

    Dalam berotogra Rama tertarik untuk

    memanaatkan media black & white. Ia

    merasa bahwa keberbedaan dari dunia

    nyata yang ditemui dalam oto-oto

    black & white yang menarik. Black &

    white bukanlah realita. Dalam kehidu-

    pan sehari-hari kita melihat kehidupan

    dalam warna, tidak dalam black &

    white. Ungkapnya. Dan non realita itu-

    lah yang membuat oto-oto menjadi

    menarik buat saya karena seolah-olah

    seperti membuat dunia baru. Dunia

    mimpi, persis seperti mimpi kita yang

    tidak berwarna, hanya hitam putih .

    Tutupnya.

    saya tidak per-caya keberun-tungan. Yang

    saya percayaadalah kesia-pan dari oto-graernya. Arti-nya walaupunpakai modecontinous, ka-lau tidak diper-siapkan ya tidakakan bisa dapatoto yang di-inginkan juga.

    CULTUREPHOTOGRAPHY CULTUREPHOTOGRAPHY

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    67/82

    132 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 133

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    68/82

    THELEPASAN THELEPASAN

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    69/82

    136 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 137

    bahkan tukang becak, dapat mencip-

    takan oto-oto. Gairah memotret terus

    mengalir deras. Akan tetapi, tetap saja

    penemuan besar itu tak kunjung

    muncul.

    Bagaimana pun para pemotret yangkian banyak jumlahnya itu adalah

    produsen gambar dan pembaca

    adalah konsumennya. Azas supply-

    demand-lah yang menggerakkan.

    Fotogra menjadi kegiatan ekonomi

    biasa. Dalam konteks kegiatan situasi

    pasar semacam itu akan semakin ban-

    yak orang yang memotret, tetapi kian

    jarang yang dapat memotret dengan

    baik. Maksudnya, oto-oto mereka itu

    tak ubahnya hanya oto biasa yang

    dicetak dalam macam-macam bentuk

    dan disebarluaskan sebagai dagangan

    ataukoleksi pribadi. Maka, tak akan

    banyak yang benar-benar serius ber-

    gumul dengan kemungkinan-kemung-

    kinan yang disediakan oleh bahasa

    otogra. Bahkan mereka rata-rata tak

    menguasai tekniknya, bisnisnya (untuk

    komersial) bahasa ungkapnya, seninya.

    Keterampilan pengungkapan mereka

    rata-rata lemah. Itu juga terjadi pada

    otograer yang maa- berpengalaman

    sekalipun,yang kemampuan teknisnya

    maa lagi- selangit pun.

    Gejala itu dapat diandaikan sebagai

    bentuk pelecehan bahasa visual,

    disengaja maupun tidak. Dalam tahun-

    tahun terakhir ini gejala tersebut kian

    merajalela dengan semakin canggih-

    nya alat otogra yang ternyata harga

    mahal itu tetap dapat terjangkau. Silah-kan pergi ke toko-toko alat otogra,

    dijamin ramai pembeli. Akan tetapi,

    tentu ada beberapa karya yang tidak

    terseret oleh bombardir pelecehan

    tersebut. Dalam karya-karya jenis ini

    saya melihat gejala yang menarik,

    yakni, terjadinya pergeseran atau per-

    luasan dari apa yang ingin saya sebut

    sebagai bobot kehadiran teks. Foto

    adalah teks, pertautan antar elemen

    yang konstruksinya diperhitungkan

    layaknya sebuah rangkaian kata, te-

    nunan, bangunan.

    Kritik

    Selama 2009, saya tak menemukan

    tulisan yang layak disebut sebagai

    kritik otogra. Yang banyak adalah

    ulasan ringkas di surat kabar tertentu

    mengenai suatu karya dan tulisan-

    tulisan pengantar pada buku otogra,

    pengantar pada pameran otogra

    dari para kurator yang tentu saja-

    memuji. Tulisan-tulisan tersebut tak

    jauh berbeda dengan yang terbit pada

    masa-masa sebelumnya. Barangkali

    Tiang-tiang pe-nyangga oto-

    gra Indone-sia tak pernah

    benar-benardidirikan den-gan niat yang

    lempeng.Yang jelek sela-lu lebih banyak.Atau barangkali

    ketidak menger-tian, ketidak

    mampuan pen-gelola. Pertan-

    yaannya, jikatidak mampu

    mengapa bukasekolah?

    Jika karyaotograadalah Ro-meo, kritikotograadalah Ju-liet, makasekolahotograadalahShake-speare.

    THELEPASAN THELEPASAN

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    70/82

    138 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 139

    lantaran tidak ada karya yang benar-

    benar menggugah maka tak muncul

    tulisan kritik yang menggugah pula.

    Jadi, pada 2009 ini dapat dikatakan tak

    ada perkembangan baru dalam kritik

    otogra Indonesia.

    Tahun-tahun belakangan, media cyber

    menjadi ruang baru untuk melaku-

    kan mediasi karya. Media cyber atau

    dunia maya memang dapat menjadi

    wahana penyebaran otogra secara

    lebih bebas dan mandiri. Akan tetapi,

    karya-karya penting di Eropa, Amerika,

    dan negara-negara maju lainnya, taklahir dari dunia maya. Para otograer

    dan kritikus penting di sana tetap

    muncul dari majalah cetak, jurnal, atau

    surat kabar-surat kabar yang menye-

    diakan rubrik otogra, juga melalui

    media penerbitan buku. Saya yakin hal

    itu juga berlaku dalam otogra kita,

    setidaknya sampai beberapa tahun

    ke depan. Majalah-majalah otogra

    semacam The Light sejujurnya masih

    dipandang sebelah mata, perbawa-

    nya banyak diragukan meski dirindu-kan. Barangkali karena dianggap dana

    produksinya rendah dan gratis. Pada-

    hal, kritik otogra dan karya otogra

    di era pos sosial tak lagi perlu media

    lama, walaupun khusus karya otogra

    seolah lebih bergengsi jika dipresen-

    tasikan dalam bentuk cetak.

    Perkembangan Fotogra Ke Depan

    Dalam hal otogra, dapat diduga

    gejala pergeseran bobot kehadiranseperti yang disebutkan tadi akan terus

    berlanjut pada tahun-tahun men-

    datang. Pada satu pihak mungkin akan

    semakin banyak muncul karya yang

    berani mencoba mengembangkan

    dimensi-dimensi lain tanpa harus men-

    egasi sepenuhnya teknik,estetika, atau

    bahasa ungkap. Di dalamnya termasuk

    kekuatan deksripsi terhadap peristiwa

    tanpa dibebani oleh berbagai tendensi

    moral yang berlebihan.

    Di lain pihak gejala pelecehan terha-

    dap bahasa visual barangkali akan kian

    menjadi-jadi. Akan tetapi di situlah

    terletak paradoksnya. Fotogra men-

    jadi medan tempur antara kekacauan

    dan eksperimentasi dengan daya-daya

    yang melekat padanya berupa kenis-

    cayaan untuk menata suatu dunia

    yang terkontrol dan dibayangkan

    utuh. Sementara itu, eksperimentasi

    membawa pada perluasan bobotkehadiran dan kekacauan membawa

    pada keteledoran, kesembronoan yang

    kelewatan dalam mengolah bahasa

    ungkap. Fotogra berjibaku pada garis

    tegangan antara kejelasan dan ketida-

    kjelasan. Dalam tahun 2009 ini yang

    tampak kuat adalah ketidakjelasan.

    Barangkali ini bukan hanya terjadi pada

    otogra, tetapi juga pada berbagai

    sektor kehidupan yang lain. Fotogra

    sebagai karya maupun kritik tak kan

    sanggup berdiri tanpa ketangguhan

    masyarakatnya, manusia-manusia yang

    terdidik. Sementara harus diakui pen-

    didikan otogra berupa kursus-kursus

    maupun yang menempel di perguruan

    tinggi banyak yang salah urus, mulaidari kurikulum sampai manajemen-

    nya. Prosentase sekolah otogra

    yang bobrok jauh lebih banyak dari

    yang benar-benar ingin memberikan

    sumbangan bagi sumber daya manu-

    sia otogra Indonesia, yang berarti

    kebobrokan itu akan melahirkan sum-

    ber daya yang tak mampu bersaing

    dengan cara yang tepat. Tiang-tiang

    penyangga otogra Indonesia tak

    pernah benar-benar didirikan denganniat yang lempeng. Yang jelek selalu

    lebih banyak. Atau barangkali ketidak

    mengertian, ketidak mampuan penge-

    lola. Pertanyaannya, jika tidak mampu

    mengapa buka sekolah?

    Jika karya otogra adalah Romeo,

    kritik otogra adalah Juliet, maka

    sekolah otogra adalah Shakespeare.

    Lalu siapa yang gemas dengan pertun-

    jukan ini? Diskusi ini menjadi tak layak

    dilanjutkan jika yang undamental saja

    belum dibenahi.

    WA

    WATCHERSANECDOTES WATCHERSANECDOTES

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    71/82

    140 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 141

    Aku menanak segala kemungkinan dalam kualiku. Dan setelah kemungkinan-

    kemungkinan itu benar-benar matang, barulah kuterima sebagai pengananku.

    Betul, suatu kemungkinan kadang datang dengan pongahnya, tapi kemudian

    ia akan bersimpuh meratap-ratap memohon perlindungan dan perkenan cinta

    dariku.

    (Also Sprach Zarathustra, Friedrich Nietzsche)

    DAVID LA CHAPELLE:

    GAMBAR-GAMBARBERSIMBAH DRAMA

    Patut dikatakan terlebih dahulu, tulisan

    ini bukanlah puja-puji kepada David

    La Chapelle, sang pencipta oto-oto

    dalam Hotel La Chapelle dan beber-

    apa buku lainnya. Dalam bahasa yang

    pura-pura serius ini hanyalah sekedar

    ikut meramaikan tasir kajian budayaakan kematian makna. Saya katakan

    pura-pura, bukankah rubrik saya hanya

    anekdot saja, asik-asik saja...

    Apa yang ada dalam pikiran dan

    perasaan Anda ketika melihat gam-

    bar kepala seorang Daniel Day-Lewis

    berada dalam kubus kaca, Leonardo

    Di Caprio memandangi pisau yang

    menancap di meja, ia dalam gambar

    lain berpakaian macam Marlon Brando

    atau Indiana Jones Junior, PamelaAnderson yang tetap dengan dada

    tumpah ruahnya tergeletak melongo

    di depan mercedes tua dengan kepala

    gundul pacul gembelengan, Madonna

    dengan lingkar cahaya malaikat seperti

    di komik-komik itu dengan sebelah

    tangan memegang sebentuk hati

    dengan mahkota duri, seorang lelaki

    yang kita kenali mungkin berdasarkan

    tasir Da Vinci akan sosok Yesus melalui

    Jacques de Molay berada di jalan raya

    di kelilingi belasan anak muda dari

    rapper sampai pemain skateboard,

    seorang lelaki berkulit hitam bertubuh

    kekar bak binaragawan nungging

    dari maa- pantatnya muncul seikat

    kembang dengan perempuan kauka-

    sia memunggunginya seolah meng-

    gambarkan rigiditas dalam hubungan

    seksual, Mark Wahlberg memegang

    sebatang rokok dihimpit ratusan buah

    dada perempuan. Wuihhh...

    Saya ingin membagi catatan-catatan

    pribadi saya ketika menjadi subyek

    pemandang oto-oto dalam buku-bu-

    ku David La Chapelle. Catatan-catatan

    ini siatnya potongan-potongan,

    kata kerennya adalah aorisma, yang

    mungkin saja antar paragra yang demi

    penyusunan tulisan untuk Anda seolah

    tak beraturan, tapi sebisa mungkin

    saya urutkan. Saya percaya dengan

    pencerapan Anda yang baik akan

    dapat melihat benang merahnya.

    Pertama, dalam salah satu pengertian-

    nya, seni adalah sebuah kosmos yang

    tercipta dari semacam khaos, penataan

    dari dunia yang tak teratur. Dalam

    kalimat Albert Camus, seni tak putus

    dirundung mimpi u ntuk menyem-

    purnakan dunia. Membaca kar ya seni

    WATCHERSANECDOTES WATCHERSANECDOTES

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    72/82

    142 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 143

    berarti mencoba memasuki sebuah

    kosmos tertentu, menyetubuhi

    sebuah dunia yang hendak disem-

    purnakan. Mungkin Anda langsung

    teringat Geometri Fraktalnya Benoit

    Mandelbrot. Apakah saya hendak

    mengatakan bahwa gambar-gambarDavid La Chapelle adalah otogra

    seni? Nanti dulu...Jika yang dimaksud

    dalam istilah-istilah umum, barangkali

    saya akan ditertawakan anak TK yang

    dengan senang hati saya terima, hanya

    saja saya tak punya keberanian untuk

    mengatakan bahwa pembuatnya tidak

    mengerti seni, juga dalam tataran yang

    disebut akademis dimana kita tahu

    bersama bahwa La Chapelle adalah

    anak sekolahan. Richard Avedon sayayakin nama ini akrab di telinga Anda-

    mengatakan bahwa karya-karya La

    Chapelle bisa dikategorikan dalam

    genre Magritte. Tentulah yang disebut

    Magritte itu seorang pelukis surealis

    termashyur, Rene Magritte. Lukisan-

    lukisan Magritte, misalnya The Son

    o Man mempengaruhi seniman

    kondang dalam seni populer bernama

    Andy Warholl dan Warholl inilah yang

    pertama kali memberi pekerjaan

    kepada David La Chapelle. Setidaknya

    dalam catatan saya untuk coba-coba

    mengaitkan, kira-kira demikian adanya.

    Kedua, teks visual dalam oto-otonya

    sering datang dan pergi seumpama

    keriuhan di pasar-pasar, memben-

    tuk semacam timbunan teks. Sering

    tidak terdapat kaitan logis di antara

    elemen-elemennya, berserakan seperti

    kain perca, tanpa ujung pangkal, tapiantastik. Saya menyebut teks, dengan

    pikiran saya yang sok nai, mohon jan-

    gan dibaca teks sebagi tulisan secara

    harah karena setiap rangkaian adalah

    teks, dalam pengertiannya yang pal-

    ing purba. Membacai oto-oto dalam

    buku-buku La Chapelle mengingatkan

    saya dengan karya sastra Le Diable

    Amoureux karya Cazotte tahun 1772.

    Le Diable Amoureux yang berkisah

    tentang setan yang jatuh cinta padamanusia adalah cikal bakal cerita

    genre antastik. Fantastik adalah genre

    yang lahir untuk melawan klasisisme

    yang penuh aturan dan rasionalistis di

    Perancis. Berbeda dengan cerita-cerita

    Marveillux dongeng negeri entah

    berantah- seperti Alice in Wonderland

    atau The Wizzard o Oz, genre antastik

    selain menakjubkan karena siatnya

    yang ekstra-natural, ia menggunakan

    sebagian tokoh, lokasi, waktu dan

    peristiwa yang kita kenal dalam ke-

    hidupan nyata. Pembaca akan bertanya

    apakah cerita-cerita itu benar-benar

    terjadi? Jadi, bagi saya, oto-oto La

    seni tak pu-tus dirundung

    mimpi untukmenyempur-

    nakan dunia.Membaca karyaseni berarti

    mencoba me-masuki sebuahkosmos terten-

    tu, menyetu-buhi sebuah

    dunia yang hen-dak disempur-

    nakan.- Albert Camus -

    WATCHERSANECDOTES WATCHERSANECDOTES

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    73/82

    144 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 145

    Chapelle menjadi semacam interteks

    yang dalam ajaran Julia Kristeva berarti

    menunjuk pada transposisi satu atau

    beberapa- sistem tanda ke dalam

    sistem tanda lainnya, yang di dalamnya

    tempat pengujaran dan obyek yang

    dirujuk tidak pernah tunggal, selesai,

    dan identik dengan dirinya sendiri;

    akan tetapi selalu plural, cerai berai bak

    kain perca tadi, meskipun bisa disatu-

    kan bagai tambalan-tambalan pakaian

    gembel. Foto-otonya adalah Interteks

    dari karya seni lain seperti sastra danlukisan, juga oto.Seperti yang saya

    tulis di atas, kita mengenali seorang

    Pamela Anderson yang mampu mem-

    buat mata Anda melotot, tak peduli

    jenis kelamin Anda, sekaligus mampu

    membuat mual. Di oto itu dia tergele-

    tak di depan mercedes tua yang seolah

    menabraknya, kepala Pamela gundul,

    meski kita tetap mengenalinya sebagai

    Pamela Anderson dengan ekspresi

    dungunya yang khas, di sampingnya

    seorang lelaki tampak syok meng-

    hadap ke kamera, entah syok karena

    Pamela tertabrak, atau syok karena

    paparazi lebih memilih memotret

    daripada menolong. Fantastik bukan?

    Foto itu hanyalah sebuah contoh dari

    cerita yang membangun cerita. Sepertidalam pembacaan terhadap karya La

    Chapelle, kali ini adalah suatu enom-

    ena opera aperta yakni teks sebagai

    karya terbuka. Terbuka untuk diper-

    lakukan sebebas-bebasnya yang tentu

    saja pembacaan cara saya tak akan

    sama dengan pembacaan cara Anda.

    Saya melihatnya sekaligus sebagai su-

    ara kata, ceracau dan kegelisahan, serta

    igauan. Dengan sengaja La Chapelle

    merusak logika plot sebagai strategi

    narasi. Walau begitu, patut diakui oto-

    otonya merupakan sebuah maniestasi

    kemampuan ungkap bahasa visual

    dalam mencipta mitos-mitos baru

    dari serpihan realita maupun sejarah,

    sejarah Yesus dengan belasan m urid-

    nya, misalnya. Sementara di sisi laindapat saya sebut sebagai oto puitis

    dengan siat puisi yang bebas bermain,

    kepala Day-Lewis di dalam kubus kaca

    atau Di Caprio hendak meyentuh ujung

    pisau yang menancap berdiri di meja.

    Fotogra adalah halaman permainan

    kebebasan La Chapelle, permainan me-

    mang mengasyikkan, bagi siapapun.

    Ketiga, oto-otonya datang

    seperti semburan, semprotan dan saya

    sempat tenggelam dalam pusaran

    ekstase visual. Saya tidak peduli lagi

    apakah di dalamnya terdapat semacam

    logika dan koherensi tertentu. Yang

    saya cari adalah semacam kenik-

    matan visual dari sesuatu yang acak,

    tanpa pola, suatu kilasan-kilasan imaji,sabetan-sabetan impresi, terasa seperti

    memahami penderita skizorenia. De-

    leuze dan Guattari menuliskan bahwa

    skizorenik melintas dari satu kode ke

    kode lainnya, bahwa ia dengan sengaja

    Meminjam istilah Seno Ajidarma dalam novel si-latnya yang berjudul Naga Bumi, ini adalah jurustanpa bentuk, ini antastik atau Jan Cornall mengi-dentikasi sebagai realisme magis baru, itu adalahpersoalan subyek pemandang oto.

    WATCHERSANECDOTES WATCHERSANECDOTES

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    74/82

    146 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 147

    mengaduk-aduk semua kode, yang

    dengan secara kilat berpindah dari satu

    kode ke kode yang lainnya, bergan-tung pada pertanyaan yang diajukan

    padanya, yang tidak pernah memberi-

    kan penjelasan yang sama dari satu

    hari ke hari berikutnya. Terdapat oto

    kaki perempuan mencuat dari permu-

    kaan laut yang memerah darah ber-

    campur air. Pertama melihatnya saya

    menasirkan si perempuan dihabisi dua

    ekor hiu yang terlihat hanya siripnya,

    kedua kali melihat semacam seseorang

    yang sedang berlatih renang indah,ketiga kali melihat seperti mimpi buruk

    di siang bolong, entah apa yang saya li-

    hat untuk keempat kalinya nanti. Itulah

    gelombang visual seolah tanpa jejak

    yang menyeret dalam sensasi-sensasi

    yang mengganja, melenakan, mema-

    bukkan.

    Neil Postman, menyebut

    gejala yang saya alami sebagai gelom-

    bang pasang ingar-bingar dunia tipo-

    gras di mana salah satu implikasinyaadalah suatu sikap yang cenderung

    tidak peduli terhadap kepaduan dan

    koherensi teks. Yang saya cari justru

    keterpecahan, ketercerai-beraian,

    ragmentasi, segregasi, benturan-ben-

    turan acak, suatu histeria yang diam-

    diam menghasilkan semacam sikap

    ogah struktur seperti dalam logika

    literer. Citra yang berkelindan dengan

    citra, gambar yang tumpah dalam

    buncahan, muncratan dan potongan-

    potongan gambar, cukuplah diterima

    sebagai geletar sensasi yang me-

    nyentuh indra penglihatan, tak perludiungkap hal ihwal di baliknya, tak

    penting benar apakah ada maknanya

    atau sekadar omong kosong. Sempat

    terpikir, David La Chapelle bermain-

    main serius dengan ini. Dalam hemat

    saya, sebagai anak sekolahan, dari

    sekolah bergengsi, bergaul dengan

    kaum intelektual dan pesohor, dia

    paham betul tentang karakter, alur,

    dan hal-hal yang membuat sebuah

    karya menjadi struktur narasi yangbenar dalam kacamata konvensional.

    Tapi, kalau sudah tahu segalanya itu

    mau ngapain? Tanya benak nai saya

    menjawab kritik saya sendiri tentang

    konstruksi oto-oto itu. Meminjam

    istilah Seno Ajidarma dalam novel

    silatnya yang berjudul Naga Bumi, ini

    adalah jurus tanpa bentuk, ini antas-

    tik atau Jan Cornall mengidentikasi

    sebagai realisme magis baru, itu adalah

    persoalan subyek pemandang oto.

    Barangkali, andai La Chapelle tetap

    setia pada struktur-struktur lama yang

    bahkan sudah dikuasainya, dia tak akan

    kemana-mana. Bandingkan dengan

    permainan anak-anak mengasah pisau

    WATCHERSANECDOTES WATCHERSANECDOTES

  • 8/8/2019 TheLight Photography Magazine #27

    75/82

    148 EDISI XXVII / 2010 EDISI XXVII / 2010 149

    yang sederhana itu. Apakah dia akan

    mengulang-ulang yang seperti itu? Se-

    bagai otograer dengan reputasi inter-

    nasional, rasa-rasanya tidak, entah jika

    dia sedang mabuk kecubung! Apakah

    permainan La Chapelle mencari bentuk

    yang kemudian melanggar batasan-batasan kaku itu sebagai pemberon-

    takan, penggoyahan, atau goncangan

    terhadap makna yang terlanjur mapan.

    Saya tak ragu untuk meng-iya-kan,

    tetapi semua terserah Anda.

    Lalu terasakan, yang saya cari adalah

    jouissance, yakni suatu kenikmatan

    yang dihasilkan dari permainan bentuk

    yang semata-mata indrawi, dangkal

    dan mentah, bukannya suatu plaisiryang dapat menghasilkan semacam

    kenikmatan intelektual. Suatu per-

    mainan visual untuk tujuan permainan

    itu sendiri, dan di situ tak diperlukan

    koherensi dalam bentuk apa pun,

    layaknya sebuah simulasi dalam

    arisan-arisan keluarga. Kemudian saya

    teringat dengan Jean Baudrillard yang

    mengatakan bahwa simulasi bukan lagi

    wilayah, sebuah wujud, atau substansi

    reerensial. Ia adalah penciptaan lewat

    model-model sesuatu yang real, yang

    tanpa asal-usul atau realitas: sebuah

    hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului

    peta, tidak juga mempertahankannya.

    Mulai kini, adalah peta yang menda-

    hului wilayah, precession o simulacra.

    Marylin Manson menjadi polisi lalu

    lintas, Naomi Campbell adalah mummi

    tanggung, Elton Jhon telah menjadi

    pawang macan sambil main piano den-

    gan kaki dan mendam


Top Related