TOLERANSI BERAGAMA PERSPEKTIF SAYYID QUṮB
(Analisis terhadap QS Al-Mumtahanah[60]:8-9
dalam Tafsir Fi Ẕilalil al-Quran)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
LAILI FITRIANI
NIM: 11140340000172
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
iv
Transliterasi
Translitasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Kata Arab Kata Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
v
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik diatas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Ki ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut :
vi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
_ A Fathah
_ I Kasrah
_ U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i _م
Au a dan u _ك
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf yaitu:
Tanda
Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ا/ل Â a dengan topi
di atas
م Î i dengan topi
di atas
ك Û u dengan topi
di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti huruf
vii
syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâlbukanar-rijâl, al-
dîwânbukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyah. Misalnya, kata ( لضركرةا ) tidak ditulis ad-darûrah melainkan
al-darurah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1). Hal ini sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
اإلسالمية اجلامعة 2 al-jâmî‟ah al-
islâmiyyah
الوجود كحدة 3 Waẖdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal
viii
nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak„Abd al-Samad al-Palimbânî,:
Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (isim), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih
aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
tsabata al-ajru ثػبت األجر
العصر يةاحلركة al-ẖarakah al-„aṣriyyah
asyhadu an lâilâhaillâAllâh أشهد أف آلإله إالاهلل
Maulânâ Malik al-Ṣâliẖ موالنا مل ك الصال ح
ix
yu‟atstsirukumAllâh يػ ؤث ر ك م اهلل
ظاه ر العقل ية al-maẕâhir al-„aqliyyah امل
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukanNûr Khâlis Majîd:
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm: Fazlur Rahman, bukan Fadl
al-Rahmân.
x
ABSTRAK
LAILI FITRIANI
TOLERANSI BERAGAMA PERSPEKTIF SAYYID QUṮB
(ANALISIS TERHADAP QS AL-MUMTAHANAH[60[:8-9
DALAM TAFSIR FI ẔILALIL AL-QURAN)
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat
Indonesia, seyogianya mampu berperan sebagai pemersatu dalam
membangun perdamaian dan kerjasama antar sesama manusia. Namun
pada kenyataannya dalam hal hubungannya antar agama, Islam justru
memperlihatkan sikap intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Sehingga memunculkan anggapan bahwa kekerasan atau konflik
agama yang terjadi merupakan ajaran Islam yang Intoleran. Anggapan
tersebut muncul karena masih terdapat sebagian orang Islam yang
hanya memahami al-Quran dengan melihat isi teks tanpa menelususri
sejauh mana pesan teks tersebut dimaksudkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam
bangunan toleransi dengan penafsiran Sayyid Quṯb. Berusaha
menjawab persoalan antar umat beragama yang berangkat dari QS Al-
Mumtahanah, khususnya dalam kitab tafsir Fi Ẕilalil al-Quran.
Dengan menggunakan metode penafsiran Sayyid Quṯb untuk
menganalisis ayat-ayat yang dikaji. Dengan menggunakan penafsiran
Sayyid Quṯb yang memiliki tiga prinsip dalam tafsir nya yaitu Fi
Ẕilalil al-Quran, mawwaḏdah, tabarrû dan tuqsiṯtu, tawallâ dan zalim.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kepustakaan.
Berdasarkan hasil akhirnya, dari beberapa persoalan tentang
Toleransi Beragama dalam QS Al-Mumtahanah, penelitian ini
menemukan beberapa analisis yang dikemukakan oleh Sayyid Quṯb
berdasarkan Tafsir Fi Ẕilalil al-Quran yaitu mawwaḏdah, tabarrû dan
tuqsittû, tawallâ dan zalim. Dari beberapa kata kunci pada setiap
pembahasan tersebut menunjukkan: Pertama, dalam kata mawwaḏdah
menganjurkan kita untuk saling cinta dan menyayangi pada sesama
umat manusia baik muslim maupun non muslim, seperti yang sudah
terbina sebelumnya yaitu orang tua yang non muslim. Kedua, pada
kata tabarrû dan tuqsitu mengajarkan kita untuk berbuat baik dalam
kewajibannya sebagai anak kepada kedua orang tuanya, serta perintah
berbuat adil kepada kedua orang tua yang non muslim seperti
menerima hadiah yang dibawakan orang tua non Muslim terhadap
anaknya yang Muslim dalam kunjungannya, terlepas dari hal itu juga
bahwa kita juga harus berbuat baik terhadap sesama. Ketiga, pada kata
tawallâ dan zalim juga larangan kaum Muslimin bertolong menolong
dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia
dijalan Allah dan memurtadkan kaum Muslimin sehingga berpindah
kepada agama lain yang memerangi, mengusir dan membantu
pengusiran kaum Muslimin dari negeri mereka.
KATA KUNCI: TOLERANSI, SAYYID QUTHB, FI ẔILALIL AL-
QURAN
xi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah penulis ucapkan pada kehadirat Allah Swt, segala
puji bagi Allah yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta nikmat yang tak
terhingga yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat
menyusun skripsi yang berjudul “TOLERANSI BERAGAMA PRESPEKTIF
SAYYID QUṮB (ANALISIS TERHADAP QS. AL-MUMTAHANAH[60]:8-9
DALAM TAFSIR FI-ẔILALIL AL-QURAN”ini. Sholawat serta salam semoga
tercurah atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya,
serta semoga semua umatnya senantiasa dapat menjalankan syari‟at-syariatnya,
amin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini
banyak sekali kekurangan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, kegalauan
penulis namun berkat rahmat Allah SWT, serta pengarahan dan bantuan dari
berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Harapan penulis semoga
skripsi ini dapat bermanfaat untuk kepentingan bersama. Maka sepatutnya penulis
mengucapkan banyak terimakasih sedalam-dalamnya secara khusus kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA, selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku ketua program studi Ilmu
Al-Quran dan Tafsir, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku
sekretaris program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir.
4. Seluruh jajaran dosen fakultas Ushuluddin dan civitas academica,
khususnya prodi ilmu al-Quran dan Tafsir yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, yang telah
mengajarkan dan memberi ilmu dengan tulus, ikhlas dan sabar
membimbing kami menjadi manusia yang berakhlak mulia dan
berguna.
5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, MA, selaku pembimbing penulis,
terimakasih banyak bapak yang telah memberikan waktu, ilmu,
xii
nasehat, bimbingan, koreksian terhadap skripsi ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
6. Kedua orang tuaku tercinta (Sholechul Hadi dan Istiqomah) yang tak
pernah henti menyayangi dan memberi semangat kepada penulis dalam
suka maupun duka, Terimakasih untuk doa yang telah dipanjatkan
mamah dan ayah dalam sholat malam, doamu adalah pemeran penting
dalam segala keberhasilanku, semoga dengan skripsi ini bisa menjadi
sebuah kebanggaanmu terhadap anakmu.
7. Saudara-saudaraku, adiku tersayang Afif Athoillah dan Muhammad
Ziyaur Rahman yang telah menyemangati penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan pada program Ilmu al-Quran dan Tafsir
angkatan 2014, terkhusus sahabat-sahabatku dan orang-orang yang
kusayangi Ubaidillah, Isni Laila, Anzah Muhimmatul I, Nurul Chusna,
Syifa Dzihni H, Inana Syarifah yang telah menyemangati penulis
dalam hal apapun itu.
9. Sahabat-sahabati PMII Komfuspertum yang telah memberikan wadah
dan banyak pengalaman terhadap penulis selama menuntut ilmu di
kampus tercinta, dan teman- teman KKN Bambusa Melifera
khususnya eva, rubi, dian yang menemani penulis selama sebulan
penuh mengabdi dan mencari pengalaman bersama.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan doa semoga
segala kebaikan semua pihak yang terkait membantu penulis dalam
berjuang selama ini diterima disisi Allah Swt dan mendapatkan pahala
yang dilipat gandakan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membaca khususnya bagi penulis sendiri.
Ciputat, 24 April 2019
Laili Fitriani
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................................... x
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... xiii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 10
E. Metodologi Penelitian ....................................................................................... 12
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 13
G. Sistematika Penelitian ....................................................................................... 16
BAB II: SEKILAS TENTANG TAFSIR FI ẔILALIL QURAN
A. Biografi Sayyid Quṯb ........................................................................................ 18
B. Karya-karya Sayyid Quṯb .................................................................................. 24
C. Metode dan Corak Tafsir Fi Ẕilalil al-Quran .................................................... 29
D. Latar Belakang Penulisan Tafsir Fi Ẕilalil al-Quran ......................................... 31
BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA
DALAM AL-QURAN
A. Definisi Toleransi antar Umat Beragama .......................................................... 39
B. Prinsip-Prinsip Toleransi Beragama dalam Prespektif al-Quran ...................... 44
C. Pemikiran Sayyid Quṯb tentang Keberagamaan Umat Manusia ....................... 55
xiv
BAB IV: PENAFSIRAN SAYYID QUṮB TERHADAP QS. AL-
MUMTAHANAH (60): 8-9
A. QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9 beserta Terjemahannya ..................................... 68
B. Azbabul Nuzul Ayat .......................................................................................... 68
C. Toleransi Islam Terhadap Kaum Dzimmi ......................................................... 74
D. Sikap Kaum Muslim Terhadap Mereka yang Memerangi Islam ...................... 83
BAB V: PENUTUPAN
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 88
B. Saran-saran ........................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang selalu menekankan adanya kehidupan yang
harmonis terhadap sesama manusia yang diharapkan mampu membangun
masyarakat yang beradab dengan mempunyai sikap yang terbuka, demokratik,
toleran dan damai. Oleh sebab itu, dalam kehidupan bermasyarakat kiranya dapat
menegakkan prinsip-prinsip persaudaraan dan mengikis segala bentuk fanatisme
golongan ataupun kelompok, karna pada dasarnya setiap agama berfungsi
menciptakan kesatuan sosial agar manusia tetap utuh dibawah semangat
ketuhanan.1
Namun dalam tradisi beragama, sangat sering ditemukan adanya klaim
kebenaran, setiap pemeluk merasa bahwa agamanyalah yang benar, sedangkan
agama-agama lain salah, bahkan tidak jarang seseorang merasa pahamnya dalam
beragama adalah paham yang paling benar.2 Salah satu penyebab utama
pemahamannya seperti ini juga bermula dari sikap interaksi sesama, yang mana
masing-masing penganut agama mengklaim sebagai pengikut agama yang lebih
unggul dan beranggapan bahwa agama mereka adalah satu-satunya agama yang
diterima dalam mengantarkan kejalan keselamatan.
1Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 148.
2Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1994), h. 92.
2
Salah satu hal yang biasa terdengar ditengah masyarakat adalah ada
sebagian orang yang tidak adil dalam menyikapi sesuatu atas sikap bertoleransi
dengan agama lain. Misalnya yang terdapat pada Q.S.al-Mumtahanah ini:
م وك ل ت ا ق ي ل ن ي لذ ا ن ع لو ل ا م اك ه ن ي ن ل أ م رك ا ي د ن م م وك يرج ول ن ي د ل ا ف ي ط س ق م ل ا ب ي لو ل ا ن إ م ه ي ل إ وا ط س ق وت م وى ر ب ت
”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.(8)”
Karena agama merupakan fitrah yang menyertai jiwa manusia, maka ia
tidak dapat dipisahkan dari manusia, hanya tingkatnya berbeda-beda.3
ين القي فأقم وجهك لك الد ها ل ت بديل للق اللو ذ ين حنيفا فطرت اللو الت فطر الناس علي م للدكن أكث ر الناس ل ي علمون ول
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Agama Islam merupakan satu sistem akidah dan tata akidah yang
mengatur segala kehidupan dan penghidupan manusia dalam pelbagai hubungan,
baik hubungan antara manusia dan Tuhannya, sesama manusia, dan hubungan
antara manusia dan alam lainnya4. Adapun menurut Muhammad Syaltut islam
dalam agama Allah yang diperintahkan untuk mengajarkan pokok-pokok dan
peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad Saw. Dan menugaskan untuk
menyampaikan agama itu kepada seluruh manusia, lalu mengajak mereka untuk
3Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta:Noura Books, 2012), h.8.
4Endang Saifuddin Anshari, H. Wawasan Islam, Pokok-pokok pikiran tentang paradigma
dan sistem islam, (Jakarta:Gema Inshani Press, 2004), h. 39.
3
memeluknya. Agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan
kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.5
Perbincangan agama tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ketuhanan
karena Tuhan adalah hakikat yang mutlak. Perbincangan tentang Tuhan telah
menjadi kajian bagi kalangan filosof dengan mengemukakan berbagai argumen
untuk membuktikannya. Diantara berbagai argumen itu, argumen etika atau moral
merupakan pemikiran yang paling mendasar. Kehidupan didunia hanya mampu
menghasilkan keadilan relatif sementara manusia membutuhkan keadilan yang
absolut. Dan hal itu hanya bisa diperoleh dari zat maha absolut dan itulah Tuhan.6
Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang
sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan
meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara sesama anak bangsa. Bahkan
rasa individual semakin melekat dalam kehidupan sosial dan cenderung menutup
diri dari orang lain. Hegemoni mayoritas atas minoritas pun semakin menebal,
mengganti kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Intoleransi
muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan
keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Kita
semua tau bahwa setiap agama, baik islam, Kristen dan agama-agama lain
mengajarkan kebaikan dan hidup toleransi, namun pada kenyataannya justru
konflik dan pertikaian sering terjadi yang mengatasnamakan harga diri karena
5M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (fungsi dan peran wahyu dalam
masyarakat), (Bandung:Mizan 1997), h.324. 6Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian (Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2017), h. 10.
4
untuk mempertahankan agama. Padahal agama seharusnya bisa menjadi
energiposistif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang
adil dan sejahtera serta hidup berdampingan dalam perbedaan.7
Untuk itu kita perlu menyadari walaupun setiap agama tidak sama, tetapi
agama selalu mengajarkan toleransi, baik dalam beragama maupun hidup dalam
dunia majemuk dan diperlukan kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam
masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda.
Keanekaragaman itu indah bila kita menyadari dan mensyukuri setiap perbedaan
yang ada dan menjadikan perbedaan itu sebagai warna-warni kehidupan seperti
halnya pelangi yang terdiri dari warna-warna yang berbeda namun menyatu untuk
memancarkan keindahan.
Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya.
Karenanya akan amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang
sudah beragama. Memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk suatu agama
untuk menjalankan agamanya secara patut adalah sikap demokratis di dalam
beragama. Dan memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk
agama lain agar saling memaklumi dan menghormati adalah langkah arif dalam
membina hubungan antar umat beragama.
Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu
dipandang mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan
mana yang salah. Manusia dianggap sudah dewasa, dan mengerti akan risiko dari
7Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕilalil Quran (dibawah naungan quran), (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), h 849, jilid 11.
5
pilihannya. Maka dari itu pilihan ditetapkan, adalah menjadi hak manusia untuk
menjalankan ritual-ritual agamanya tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lain.
Inilah yang dinamakan dengan pluralisme positif di dalam beragama.
Di mana pertama, adanya pengakuan akan selain agama sendiri, bahwa ada
agama lain yang harus dihormati (pluralisme). Kedua, bahwa masing-masing
pemeluk agama harus tetap memegang teguh agama yang dipeluknya (positif).
Pluralisme ini akan menjadi negatif kalau orang berpandangan bahwa seluruh
agama itu sama, sehingga dengan mudah bergonta-ganti agama, seolah-olah
beragama itu bukan suatu urusan besar. Atau dengan adanya pandangan bahwa
tidak ada keselamatan, kecuali pada agama yang diyakininya. Sehingga misi
utamanya adalah mengajak orang yang sudah beragama untuk berpindah agama.8
Problem seperti ini kiranya dapat dieliminasi sedikit demi sedikit dengan
mengupas nalar agama dan nalar al-Quran, yakni dengan menghadirkan pebacaan
yang objektif, kritis dan dihadapkan dengan realitas sosial. Karena salah satu
peran agama adalah untuk membebaskan umat manusia dari segala bentuk
penindasan, baik itu dalam bentuk fisik maupun struktur kesadaran yang
menghinggapi pikiran manusia.
Oleh karena itu al-Quran sebagai kitab rujukan terpenting dalam Islam,
dan makna serta pembahasannya juga dilihat atas kondisi yang terlihat nyata
dalam kehidupan, agar pesan kemanusiaan dalam al-Quran pun dapat dihidupkan
dalam keberagamaan didunia modern sekarang ini, maka dari itu dibutuhkan
8Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (dibawah naungan quran), (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), h 849, jilid 11.
6
sebuah metode penafsiran dalam menjawab sebuah problem kehidupan kekinian,
sehingga tidak memahami ayat-ayat al-Quran hanya berdasarkan literaturnya saja.
Salah satu tokoh muslim yang kerap kali dianggap sebagai rujukan
gerakan gerakan radikal dan sekaligus menjadi salah satu tokoh ulama yang akan
penulis tunjuk adalah Sayyid Quṯb. Ia dianggap tokoh yang sangat berpengaruh
dan mengilhami banyak gerakan di dunia Islam. Pikiran-pikirannya menjadi
rujukan berbagai kelompok-kelompok Islam militan, terutama di Mesir. Bahkan,
pemikiran-pemikiran Quṯb ini menjadi perpanjangan dan perkembangangan dari
pemikiran Hasan al-Banna.9 Selain itu, Ia juga memiliki karya tafsir secara utuh
menafsirkan tiga puluh juz. Dia menggugah kesadaran kaum muslimin akan
ketertindasannya atas Barat serta penolakannya terhadap modernisasi, sekularisasi
dan Westernisasi yang dianggapnya sebagai jahiliyyah modern. Pemikiran itu
didasarkan atas pemahaman dan penafsirannya terhadap ajaran agama, sehingga
tafsir Sayyid Quṯb penting untuk dikaji secara mendalam, terutama isu tentang
toleransi.
Toleransi beragama dalam prespektif Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran
menegaskan bahwa konsep toleransi yang ditawarkan oleh Sayyid Quṯb memiliki
batasan yang ketat. Quṯb memandang toleransi sebagai karakter agama Islam
berdasarkan ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hubungan antara umat Islam
dengan penganut agama lain. Walaupun Sayyid Quṯb menjadi salah satu rujukan
gerakan radikal keagamaan, ia juga sangat keras terhadap Barat dan orang kafir
dalam hal-hal tertentu. Tetapi disisi lain yang jarang digali dari sosok Sayyid Quṯb
9M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengahke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 44-46.
7
adalah pandangannya terkait Toleransi. Menurutnya, siapa saja diantara Yahudi,
Nasrani yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, mereka
akan mendapatkan pahala disisi Tuhannya dan tidak merasa khawatir dan tidak
bersedih hati. Akidah bukan fanatisme golongan atau bangsa dn tidak melarang
interaksi sosial dengan penganut agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani, karena
merupakan bagian dari pluralitas agama dan suku manusia.10
Pilihan terhadap Tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an karya Sayyid Quṯb karena
kitab tafsir ini kontemporer, ditulis pada abad modern, yaitu antara 1952‒1965
dan mengalami cetak ulang ke-17 pada 1992.11
Sayyid Quṯb termasuk pribadi
yang ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya dengan menggunakan kata
yang tajam, terutama ketika menggambarkan ancaman yangdihadapi Islam. Ia
juga memiliki ciri khas penafsiran dan susunan yang indah, melebihi kitab-kiab
tafsir lain yang terkenal, dari segi bahasa, hukum, tauhid, filsafat, dan dalam
memberikan interpretasi tentang sistem ekonomi, sosial, dan politik.12
Sayyid
Quṯb sangat piawai dalam melukiskan suatu keadaan atau kondisi dengan bahasa
yang ilustratif dan komunikatif ketika menafsirkan suatu ayat. Selain itu, ia juga
menggunakan berbagai bentuk pendekatan penafsiran dari aspek bahasa, merujuk
kepada ahli sejarah, keadaan masa kini, dan dengan pengalamannya sendiri.
Maka dari uraian tersebut penulis mencoba mengaplikasikannya dalam
Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8-9 untuk melakukan penelitian lebih mendalam
10
Sayyid Quṯb, Tafsir FiẔilalilal-Quran (dibawah naungan quran), (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), h. 849, jilid 11 11
Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis vs Fundamentalis,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2006), h. 125 12
Leonard Binder, Islam Liberal: Kritik terhadap Idologi-ideologi Pembangunan, terj.
Ikhsan Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 256
8
mengenai metode atau karakteristik penafsiran Sayyid Quṯb, dimana surah ini
membicarakan tentang persoalan hubungan antarumat beragama, yakni bagaimana
sikap seharusnya dibangun oleh seorang Muslim terhadap non Muslim, baik itu
sikap terhadap keluarga, kerabat ataupun yang lainnya. Hubungan antar umat
beragama ini sangatlah penting mengingat hingga saat ini masih sering
memunculkan konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama. Salah satunya
pengrusakan rumah ibadah yang mengatasnamakan Islam sebagai agamanya
padahal perilakunya justru tidak mencerminkan ajaran agama Islam.
Hal ini justru melahirkan pandangan tentang Islam sebagai agama yang
intoleran, agama kekerasan, dan seringkali menghadapi sebagian orang dari luar
Islam. Mereka beranggapan kekerasan yang dilakukan sebagian orang Islam
terhadap kelompok diluar mereka dan terhadap penganut diluar Islam yang
muncul dari ajaran Islam yang intoleran. Oleh sebab itu sangat penting untuk
mengungkap pemahaman orang-orang Islam sendiri, maupun orang-orang diluar
Islam. Penulis tertarik untuk membahas permasalahan seputar “Toleransi
Beragama dalam Penafsiran Sayyid Quṯb terhadap QS. Al-Mumtahanah Ayat 8-9
dalam Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran.” Dengan demikian hubungan antarumat
beragama dalam Q.S. Al-Mumtahanah yang penulis kaji dengan menggunakan
penafsiran Sayyid Quṯb diharapkan dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang
mencerminkan Islam yang progresif.
B. Pembatasan dan Perumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
9
Supaya pembahasan lebih terarah melihat banyaknya ayat al-Quran yang
membahas tentang toleransi beragama, penulis hanya membatasi masalah pada
QS Al-Mumtahanah[60] dan hanya terfokus pada ayat 8-9 saja dan tidak semua
tafsir yang diambil untuk membandingkan pendapat para ulama, Namun hanya
pandangan Sayyid Quṯb dalam tafsirnya Fi Ẕhilalil al-Quran.
Alasan penulis menentukan ayat-ayat tersebut untuk dijadikan acuan
adalah untuk memudahkan peneliti dan melihat ayat-ayat diatas dalam segi
pandang Sayyid Quṯb, maka penulis sangat perlu untuk menjelaskan menurut
pandangan beliau.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran Sayyid Quṯb
tentang toleransi beragama dalam al-Quran QS. Al-Mumtahanah[60]: 8-9 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian yaitu:
Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan yang diharapkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk membantu memberikan kontribusi pemahaman toleransi
beragama menurut Sayyid Quṯb dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8-
9.
b. Untuk mengetahui latar belakang penafsiran Sayyid Quṯb tentang
toleransi.
2. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
10
a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
b. Diharapkan mampu menggali konsepsi toleransi beragama dalam
Q.S. Al-Mumtahanah dalam pandangan Sayyid Quṯb.
c. Memperluas khazanah pemikiran khususnya dalam bidang tafsir al-
Qur‟an yang sangat penting guna menjawab persoalan-persoalan
kekinian yang muncul.
Kegunaan dari Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pemahaman
tentang bagaimana suatu al-Quran dan hadits dapat dipahami dengan benar.
Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengalaman al-Quran dan hadits yang menjadi
pedoman kita.
D. Metodologi Penelitian
Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan enam aspek metodologi
yaitu :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian karya ilmiah ini penulis menggunakan metode
kualitatif. metode kualitatifyaitu sebuah pemahaman ilmu pengetahuan
dan filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan yang benar adalah
11
pengetahuan yang didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh
melalui pengindraan.13
2. Teknik Pengumpulan Data:
Data yang tersaji dalam penelitian ini dikumpulkan berdasarkan teknik
kepustakaan (library research), yakni dengan mengumpulkan informasi
dari buku-buku, literatur-literatur, ensiklopedi, catatan-catatan, dan
laporan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.14
Karena yang
menjadi sumber peneliti penulis adalah bahan pustaka dan tanpa
melakukan survei atau observasi lainnya. Maka data yang digunakan
hanya data yang tersedia diruang perpustakaan.
3. Sumber Data
Adapun data-data yang hendak diteliti yaitu atas dasar:
a. Data Primer
Yaitu data langsung dari tangan pertama seperti kitab-kitab tafsir,
dan salah satu kitab tafsir yang digunakan penulis sebagai acuan
yaitu Tafsir Fi Zhilalilal-Quran.
b. Data Sekunder
Yaitu buku-buku atau jurnal yang dapat menunjang pembahasan
serta lebih memperkuat penganalisaan penulis seperti buku-buku
yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitiaan.
13
Lihat Eliys Lestari Pambayun, One Stop QualitativeResearch Methodology In
Comunication, (Jakarta:Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 5. 14
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.
12
4. Metode Pendekatan
Dalam melakukan penelitian diperlukan metode pendekataan yang
tepat dan jelas. Penulis menggunakan metode penafsiran tokoh yaitu
dengan menggunakan penafsiran salah satu tokoh yaitu Sayyid Quṯb
5. Metode Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini sepenuhnya mengacu pada buku pedoman
akademik yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.Rujukan yang dipakai dalam penelitian
ini menggunakan kitab tafsir Fi Ẕhilalilal-Quran edisi terjemahan bahasa
Indonesia. Dan agar lebih memudahkannya, beberapa nama dan istilah
tidak menggunakan pedoman bahasa Arab.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa kajian akademis yang membahas tentang toleransi beragama
seperti jurnal, skripsi, tesis, dan buku. Namun hanya terdapat pada agama antar
daerah tertentu saja dan mengulas tentang terjemahan ayat-ayat toleransi
beragama.
Sebelum penulis mengkaji penelitian ini. Kaitanya dengan toleransi dalam
surat al-mumtahanah memang masih belum banyak yang membahas, tapi berikut
adalah beberapa penelitian yang cukup bersangkutan dengan itu, Diantaranya:
1. Skripsi yang ditulis oleh Rahmalia, yang berjudul Toleransi Beragama
Dalam Perspektif Tafsir Fi Zhilalil Quran. Skripsi ini membahas tentang
toleransi menurut Sayyid Quthb dengan mengumpulkan berbagai macam
13
ayat serta cara nya bertoleransi menurut syariat dalam al-Quran. Dan
berbeda dengan penulis yang hanya fokus kepada surat al-Mumtahanah
ayat 8 dan 9.15
2. Skripsi yang ditulis oleh Moh. Suhendra, yang berjudul Kerukunan Hidup
Antar Umat Beragama dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam:
Studi Tafsir al-Azhar Q.S. al-Mumtahanah ayat 8-9, dalam pemaparan
skripsi ini ia hanya menjelaskan bagaimana pembinaan kerukunan antar
umat beragama agar perbedaan kepercayaan tidak menjadi penghalang
dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai sesuai dengan
petunjuk Al-Quran yang dijelaskan dalam Q.S. al-Mumtahanah.16
3. Buku Fiqih Hubungan Antar Agama, karya Sayyid Aqil Husain al-
Munawwar. Buku ini membahas tentang beberapa hal pokok mengenai
kerukunan umat beragama dapat tersebar pada semua lapisan masyarakat,
dan baagaimana menciptakan kemesraan agama. Buku ini menjadi salah
satu acuan bagi penulis untuk mengungkapkan dan mewujudkaan nilai
toleransi beragama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang
kaya akan kebhinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, suku dll.17
4. Skripsi yang ditulis oleh Muh. Yasir Shidiq, yang berjudul Toleransi Antar
Umat Beragama (Studi Tematik Ayat-ayat Toleransi dalam al-Quran).
Skripsi ini dari penuturannya, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
15
Rahmalia, Toleransi Beragama Dalam Prespektif Tafsir Fi Zhilalil Quran, Skripsi UIN
Raden Intan Lampung, 2017. 16
Moh. Suhendra, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama dalam Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Studi Tafsir al-Azhar Q.S. al-Mumtahanah ayat 8-9,Skripsi Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2004. 17
Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antaragama, (Jakarta:Ciputat Press,
2003).
14
adalah, pertama, menjelaskan tentang prinsip toleransi dalam umat
beragama, kedua, menjelaskan tentang batasan-batasan toleransi dalam
umat beragama. Dan kemudian ia mendapatkan data tentang beberapa
prinsip dan batasan toleransi yaitu dengan mengutip dari beberapa ulama.18
5. Tesis yang ditulis oleh Rahmat Nurdin, yang berjudul Hubungan antar
Umat Beragama dalam surah Al-Mumtahanah. Tesis ini menjelaskan
tentang beberapa pokok permasalahan dalam surat al-Mumtahanah dengan
penafsiran Abdullah saeeed menggunakan tahapan-tahapan mulai dari
analisis linguistik, konteks sosio-historis masa pewahyuan dan makna
otentik ayat serta relevansi makna otentik ayat dalam konteks Indonesia.19
6. Tesis yang ditulis oleh Alifah Ritajuddiroyah, yang berjudul Toleransi
Beragama dalam Al-Quran Menurut Penafsiran Sayyid Quthb, dalam
Tesis ini berisi konsep toleransi terhadap ayat-ayat hubungan dengan
penganut agama lain dan implikasinya terhadap toleransi beragama
menurut penafsiran Sayyid Quthb serta hakikat toleransi dalam
membangun masyarakat yang plural. Dan yang membedakan dengan
penulis bahwa penulis hanya tertuju dengan surat al-Mumtahanah ayat 8
dan 9.20
7. Dalam sebuah karya Jurnal Suhuf yang ditulis oleh Muchlis M. Hanafi ,
dengan judul Hubungan Antar agama. Tulisan ini membahas beberapa
18
Yasir Shidiq, Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik Ayat-ayat Toleransi
dalam al-Quran), Skripsi IAIN Ponorogo, 2017. 19
Rahmat Nurdin, Hubungan antar Umat Beragama dalam surat Al-Mumtahanah, Tesis
Paascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2016. 20
Alifah Ritajuddiroyah, Toleransi Beragama dalam Al-Quran Menurut Penafsiran
Sayyid Quthb, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2015.
15
pokok permasalahan diantaranya tentang toleransi Islam terhadap agama
lain dan bagaimana merajut hubungan dengan jalan dialog. Dan tulisan ini
memberi sedikit gambaran bagaimana membangun sikap toleran antar
sesama pemeluk agama.21
8. Disertasi yang ditulis oleh Karman, yang berjudul Hubungan Antaragama
dalam Tafsir Al-Quran (Studi Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab),
dalam isi disertasi ini menjelaskan bahwa ia memaparkan enam tema
hubungan antarumat beragama yang ditafsirkan M. Quraish Shihab yang
berkaitan dengan agama, pluralitas agama, keimanan, kebebasan
beragama, dialog dan kerjasama antarumat beragama, serta perkawinan
beda agama, dan dalam kesimpulannya bahwasannya penafsiran M.
Quraish Shihab belum sepenuhnya dapat mentranformasikan kehidupan
keagamaan di Indonesia.22
9. Tesis yang ditulis oleh Kusnadi, yang berjudul Hubungan Antaragama
(Studi komparatif Tafsir at-Thabari dan Tafsir Fahkr al-Razi), dalam tesis
ini ia menjelaskan bahwa seorang muslim boleh melakukan hubungan
politik, persahabatan, dan kerja sama dengan non muslim. Maka dari itu
tesis ini dapat membantu penulis untuk menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan apa yang penulis kaji selain dalam Q.S. al-
Mumtahanah.23
21
Muhclis M. Hanafi , Hubungan Antaragama, SUHUF: Jurnal Kajian al-Quran, Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Quran Badan Diklat dan Kementrian Agama RI, No. 1, juli 2008. 22
Karman, Hubungan Antaragama dalam Tafsir al-Quran: Studi Tafsir al-Misbah karya
M. Quraish Shihab, Disertasi Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2012. 23
Kusnadi, Hubungan Antarumat Beragama (Studi Komparatif Tafsir at-Thabari dan
Tafsir Fahkr al-Razi ), Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2011.
16
10. Skripsi yang ditulis oleh Arlan, yang berjudul Kerukunan Hidup Antar
Umat Beragama (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Q.S. al-Mumtahanah).
Dari penuturannya ia mempunyai beberaapa tujuan dalam skripsi ini yaitu,
pertama, menjelaskan esensi kerukunan beragama. Kedua, menjelaskan
tentang wujud kerukunan beragama dalam surat al-Mumtahanah ayat 8
dan 9. Ketiga, menjelaskan tentang syarat dan urgensi kerukunan
beragama dalam surah tersebut. Dan dengan menggunakan metode tahlili,
ia kurang menghiraukan ayat-ayat lain dalam surah yang sama yang
mempunyai indikasi masalah yang sama.24
Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi di atas, karena dilihat dari
judul yaitu membahas Adapun Kitab yang dijadikan acuan penulis dalam meneliti
skripsi ini yakni Kitab Fi Zhilalil al-Quran karya Sayyid Quthb.
F. Sistematika Penulisan
Agar mencapai pembahasan yang sistematis, maka dalam penelitian ini
perlu ada gambaran singkat tentang bagaimana sistematika pembahasan yang akan
dipaparkan, penyusunan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab dan sub babnya.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama, yaitu pendahuluan, dalam bab ini berisi uraian tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metodologi masalah, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.
24
Arlan, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Studi Kajian Tahlili Terhadap Q.S. al-
Mumtahanah:8-9), Skripsi UIN Alaudin Makassar, 2017.
17
Bab kedua, Sekilas tentang Tafsir FiẔhilalilal-Quran, yang membahas
tentang biografi pengarang, karya-karya pengarang, metode dan corak Tafsir Fi
Ẕhilalilal-Quran, latar belakang penulisan Tafsir Fi Ẕhilalilal-Quran.
Bab ketiga, Tinjauan Umun tentang Toleransi Beragama dalam Al-Quran,
yang membahas tentang pengertian Toleransi, Prinsip-prinsip Toleransi Beragama
dalam Perspektif al-Quran dan pendapat Sayyid Quṯb tentang keberagamaan
manusia.
Bab keempat, Penafsiran Sayyid Quṯb terhadap QS Al-Mumtahanah
[60]:8-9, berisi tentang QS. Al-Mumtahanah[60]:8-9 beserta Terjemahannya,
Asbabul Nuzul QS. Al-mumtahanah[60]:8-9, Toleransi terhadap kaum dzimmi
yang tidak memerangi dalam ayat 8, Sikap kaum muslim terhadap kaum yang
memerangi dalam ayat 9.
Bab kelima, merupakan pembahasan penutup yang mencakup pokok-
pokok penelitian yang sekaligus menjadi jawaban bagi permasalahan yang
menjadi inti dari kajian ini. Yaitu berisi kesimpulan dan saran-saran yang
diperlukan dan setelah bab ini peneiti menyajikan daftar pustaka sebagai
pertanggung jawaban referensi atas penelitian ini.
18
BAB II
SEKILAS TENTANG TAFSIR FI ẔILALIL AL-QURAN
Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang biografi pengarang kitab
tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran yaitu Sayyid Quṯb, seperti riwayat kehidupan Sayyid
Quṯb, karya-karya yang ditulis oleh Sayyid Quṯb dan latar belakang penulisan tafsir
Fi Ẕhilalil Quran.
A. Biografi Sayyid Quṯb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quṯb Ibrahim Husain Ṣadzili. Ia lahir di
perkampungan Musha dekat kota Asyut Mesir.1 Pada tanggal 9 Oktober 1906M/
21 Rajab 1324 H. Sayyid Quṯb adalah seorang kritikus sastra, novelis, pujangga,
pemikir Islam, dan aktivis Islam Mesir paling masyhur pada abad kedua puluh.
Bahkan kemashurannya melebihi pendiri al-Ikhwan al-muslimin, Hasan al-Banna
(1906-1949 M).
Dilihat dari silsilah jalur ayahnya, dalam dirinya mengalir darah India
karena kakek buyutnya yang keenam (jadduh al-sadis) yang bernama al-
faqir2Abdullah memang berasal dari India yang menetap di dataran Mesir saat
1Asyut yaitu nama dataran tinggi Mesir (+325 km dari Kairo) dan antara desa bandar
terbesar di Mesir yang mempunyai sebuah University terkenal disana. Lihat Zainuddin Hasim dan
Ridwan Mohammad Nor, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Abad Modern, (Kuala Lumpur, Jundi
Resources, 2009), cet. Ke-1, h. 186. 2al-faqir yaitu nama yang dilekatkan sebelum nama Abdullah sengaja diberikan oleh
orang-orang didesa tersebut sebagai bentuk kecintaan kepadanya karena kesalehan dan
ketaqwaannya, dan bukan karena kekafirannya dalam harta benda, . Lihat Zainuddin Hasim dan
Ridwan Mohammad Nor, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Abad Modern, (Kuala Lumpur, Jundi
Resources, 2009), cet. Ke-1, h.49.
19
setelah menunaikan ibadah haji.3 Ayahnya bernama al-Hajj Quṯb Ibrahim. Ia
seorang anggota al-Hizb al-Watan (Partai Nasional) yang dipimpin oleh Mustafa
Kamil dan juga pengelola majalah al-Liwa. Ibunya bernama Fatimah, Ia berasal
dari keluarga terhormat dan kaya di desanya. Rumahnya sering di jadikan markas
bagi kegiatan politik, dan juga sering dijadikan pusat informasi yang selalu
didatangi oleh orang- orang yang ingin mengikuti berita- berita nasional dan
internasional dengan diskusi-diskusi para aktivis partai yang sering berkumpul di
situ, atau tempat membaca Koran.4
Ayahnya wafat ketika ia masih kuliah. Tidak lama kemudian ibunya pun
menyusul kepergian ayahnya. Wafatnya dua orang yang dicintainya itu
membuatnya sangat kesepian. Tetapi di sisi lain keadaan ini justru memberikan
pengaruh positif dalam karya tulis dan pemikirannya. Ia merupakan anak dari lima
bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan.5 Yang pertama adalah Nafisah yang
berusia lebih tua tiga tahun darinya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang
lain sebagai penulis. Nafisah tidak, tetapi ia menjadi aktivis islam dan menjadi
syahidah. Kedua, Aminah, ia juga aktivis islam dan aktif menulis buku-buku
sastra. Ketiga, Hamidah. Ia adalah adik perempuan Quṯb yang bungsu. Ia juga
seorang penulis buku. Keempat Muhammad (Quṯb), adik Quṯb dengan selisih umur
sekitar 13 tahun. Ia mengikuti jejak Sayyid Quṯb dengan menjadi aktifis pergerakan
Islam dan penulis tentang masalah Islam dan berbagai aspeknya.
3Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Sayyid Quṯbal-Adib al-Naqid wa Da‟iyah al-Mujahid
wa al-Mufakkir al-Mufassir al-Raid”, h. 50. 4John L, Espocito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Penerjemah: Eva Y. N dkk,
(Bandung: Mizan, 2001), cet. Ke-1, vol 4, h. 69. 5 Nuim Hidayat,Sayyid Quṯb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h. 15-16.
20
Sayyid Quṯb terkenal sebagai anak yang cerdas. Ia mampu menghafal al-
Quran pada usia sepuluh tahun.6 Saat umur enam tahun, Ia masuk ke sekolah
Awwaliyah (Pra Sekolah Dasar) di desanya selama empat tahun. Di Madrasah
tersebut, dia menghafal al-Qur‟an. Lalu, ia pindah ke sekolah pemerintah, dan
lulus pada tahun 1918. Setelah terjadi Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919
melawan pendudukan Inggris, ia berangkat dari desanya menuju Kairo untuk
melanjutkan studi di Al-Halwan (di pinggir kota Kairo). Di Kairo, ia tinggal di
rumah pamannya dari pihak ibu bernama Ahmad Husain Ustman, seorang
wartawan. Pada tahun 1921 M, dia pindah ke Kairo untuk meneruskan belajarnya
hingga tahun 1925. Dari pamannya tersebut ia berkenalan dengan seorang
sastrawan terkenal bernama Abbas Mahmud al-Aqqad.7 Di sini ia memperoleh
pelajaran berharga dalam bidang sastra, kritik, dan kehidupan lewat Aqqad dan
perpustakan pribadinya. Melalui Aqqad pula ia dapat berkenalan dengan Partai
Wafd8 sekaligus menjadi aktivis. Dari kesibukan di partai tersebut, Ia mulai
menulis sajak-sajak, essai-essai sastra, politik dan sebagainya. Di antara artikel
yang diterbitkan di dalam Koran adalah “Turuq al-Tadris” (terj. metode
6Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, “Pengantar Memahami Tafsir Fi Zilalil al-Quran”,
Terjemah: Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), h. 24. 7Ia dikenal sebagai seorang jurnalis, kritikus, dan sastrawan kenamaan yang lahir di
Aswan, Mesir pada tanggal 28 Juni 1889, dan wafat di Cairo, Mesir, pada tanggal 12 Maret 1964.
Lihat detail biografinya pada, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,(Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 1, cet ke-4, h. 2. 8Partai ini merupakan salah satu partai yang ada di Mesir semasa Sayyid Qutb, yang
berideologi sekuler. Dalam sejarah, partai tersebut tercatat pernah mengalami bentrok fisik dengan
Ikhwanul Muslimin dimana Sayyid Qutb di kemudian hari bergabung dengan jama‟ah ini. Partai
tersebut dibubarkan oleh Pemerintah Kerajaan Mesir pada tahun 1944. Setelah 39 tahun vakum,
tepatnya tahun 1983, partai tersebut kembali dengan nama baru, “The Neo Wafd” yang saat ini
diketuai oleh Mr. Mohammad Fouad Seraguldin dengan media massa, “AlWafd”. Lihat Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid 2., hal. 196.
21
pengajaran) di Koran al-Balagh yang merupakan koran harian milik Partai Wafd
(1921).
Pada tahun 1925, Sayyid Quṯb mengikuti pendidikan keguruan, dan lulus
pada tahun 1928. lalu ia mengikuti kuliah secara informal di tingkat tsanawiyyah
(menengah) pada tahun 1928 hingga tahun 1929 di Dar al-Ulum. Pada tahun
1930, ia kuliah secara formal di Universitas Tajhisziyah Darul Ulum (didirikan
tahun 1872 sebagai universitas Mesir modern model Barat) dan lulus pada tahun
1933 dengan gelar sarjana muda (Lc) dalam bidang sastra dan diploma dalam
bidang pendidikan. Sebagai pengakuan atas prestasinya, ia ditunjuk sebagai dosen
di almamaternya.
Sejak tahun 1933 ia bekerja di Departement Pendidikan dengan tugas
menjadi tenaga pengajar selama enam tahun, setahun di Suwaif, setahun di
Dimyat, dua tahun di Kairo, dua tahun di Madrasah Ibtidaiyyah Halwan. Setelah
itu Ia berpindah kerja sebagai pegawai kantor Departemen Pendidikan untuk
beberapa waktu lamanya. Kemudian dia pindah tugas lagi ke Lembaga
Pengawasan Pendidikan Umum yang terus berlangsung selama delapan tahun
sampai akhirnya kementerian mengirimnya berangkat ke Amerika pada tahun
1948.
Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quṯb adalah seorang
pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia. Sifat-sifat ini
akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quṯb mendapat berbagai kesulitan dan
sesudah itu akhirnya Sayyid Quṯb pun melepaskan pekerjaannya. Sayyid
22
Quṯbmengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya sekembalinya dari
Amerika, karena pada tahap ini beliau lebih memfokuskan pikiran beliau untuk
dakwah dan pergerakan serta untuk studi dan mengarang.9
Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan ke Amerika untuk mengkaji
kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di Amerika selama dua tahun, lalu
ia pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950 M. Setelah itu ia diangkat sebagai
Asisten Pengawas Riset Kesenian di kantor Mentri Pendidikan. Tanggal 18
Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri. Dalam masa
tugasnya di Amerika, ia membagi waktu studinya antara Wilson‟s Theacher‟s
College di Washington, Greeley College do Colorado, dan Stanford University di
California.
Setelah kembali ke Mesir, Sayyid Quṯb menolak promosi menjadi
penasehat di Kementrian Pendidikan dan mulai menulis artikel untuk berbagai
surat kabar dengan tema sosial dan politik.10
Pada awal karir politik, Sayyid
Quṯbbergabung pada Partai Wafd hingga tahun 1942. Ia keluar dari partai ini
karena partai tersebut berkhianat demi kepentingan Inggris. Setelah itu ia
bergabung dengan Partai Sa‟diyyin selama 2 tahun lalu keluar. Setelah itu ia
meninggalkan partai–partai politik secara total. Pada tahun 1953 ia secara
resminya bergabung dengan Islam Ikhwanul Muslimin11
. Dan menjadi salah
9Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, “Pengantar Memahami Tafsir Fi-Zilalil al-Quran”,
Terjemah: Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Era Intermedia), h. 228-229. 10
John L, Espocito, ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Penerjemah: Eva Y.N dkk,
(Bandung: Mizan, 2001), cet ke-1, vol 4, h. 69. 11
Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan islam terbesar di zaman modern ini.
Seruannya ialah kembali kepada islam sebagaimana termaktub didalam al-Quran dan al-Sunnah
serta mengajak kepada penerapan syariat islam dalam kehidupan nyata. Dengan tegar gerakan ini
23
seorang tokohnya yang berpengaruh, disamping Hasan al-Hudabi dan „Abdul
Qadir Audah.12
Waktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut 1951, ia
terpilih sebagai anggora panitia pelaksana, dan memimpin bagian dakwah. Selama
tahun 1953 ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering
memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan
umat. Juli 1954 ia memimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin, tetapi baru dua
bulan usianya, harian itu ditutup atas perintah Kolonel Gamal Abdul Nasser
(Presiden Mesir), karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1954.13
Sekitar Mei 1955 Sayyid Quṯbtermasuk salah seorang pemimpin Ikhwanul
Muslimin yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasser
dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada tanggal 13 Juli
1955 Pengadilan Rakyat menghukumnya 15 tahun kerja berat. Ia ditahan di
beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia dibebaskan pada
tahun itu atas permintaan Abdul Salam Arif, presiden Irak, yang mengadakan
kunjungan muhibah ke Mesir. Akan tetapi baru setahun ia menikmati kebebasan,
Ia kembali ditangkap bersama tiga orang saudaranya: MuhammadQuṯb, Hamidah
dan Aminah; juga ikut serta ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya, di antaranya
700 wanita. Presiden Nasser lebih menguatkan tuduhannya bahwa Ikhwanul
Muslimin berkomplot untuk membunuhnya. Di Mesir berdasarkan Undang-
Undang Nomor 911 Tahun 1966, presiden mempunyai kekuasaan untuk menahan
telah mampu membendung arus sekularisasi di dunia Arab dan Islam. Lihat Lembaga Pengkajian
dan Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologi dan Penyebarannya,
Penerjemah: A. Najiyulloh, (Jakarta: al-I‟tishom Cahaya Umat, 2008), cet ke-6, h. 7. 12
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.
289. 13
John L, Espocito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Penerjemah: Eva Y. N dkk,
(Bandung; Mizan, 2001), cet. Ke-1, vol. 4, h. 145-146.
24
tanpa proses, siapa pun yang dianggap bersalah, dan mengambil alih
kekuasaannya, serta melakukan langkah-langkah yang serupa itu.14
Pada Ahad Sore, 28 Agustus 1966, seminggu setelah dikeluarkannya
putusan hukuman eksekusi, seluruh pimpinan redaksi media massa dihubungi
melalui sambungan telepon Dari Kantor Sami Syaraf, Sekretaris Abdun Nasher
untuk bidang penerangan, lalu mereka didekte untuk mempublikasikan berita pada
halaman pertama di kantor-kantor mereka yang diterbitkan pada Senin pagi, 29
Agusrtus 1966. Teks berita yang didektekan itu adalah sebagai berikut: ”Pagi ini
telah selesai pelaksanaan eksekusi terhadap Sayyid Quṯb, Abdul Fatah Ismail,
dan Muhammad Yusuf Hawwasy!”.15
Sayyid Quṯb banyak meninggalkan warisan
keilmuan yang tertuang dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisannya terkait dalam
berbagai bidang, di antaranya adalah tafsir al-Qur‟an, sastra, politik, dan kajian
keislaman. Karya-karya tersebut banyak yang diterbitkan dan diterjemahkan dari
bahasa Arab ke dalam berbagai bahasa Persia16
, Turki, Urdu, Inggris dan
Indonesia. Salah satu karya yang monumental adalah Tafsir al-Qur‟an 30 juz Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an.
B. Karya-Karya Sayyid Quṯb
Sayyid Quṯb memulai penulisan karya momentalnya, yaitu Tafsir Fi Ẕhilalil
al-Quran dimulai dengan artikel-artikelnya pada akhir tahun 1951 di majalah al-
14
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami al-Quran, h. 34. 15
Sholah Abd. al-Fattah al-Khalidi, Madkhal ila Zilal al-Qur‟an, (Cet. III; AlArdun: Dar
Ammar, 2000), h. 28. Lihat, Charles Tripp, “Sayyid Qutb: The Political Vision”, h. 50. 16
Di Iran, Ali Khomeini seseorang pemimpin revolusi pengganti Khomeini
menerjemahkan beberapa bagian dari tafsir Fi Zilalil al-Quran dalam bahasa Perisa, Lihat Lihat,
Charles Tripp, “Sayyid Qutb: The Political Vision”, h. 50.
25
Muslimun yang diterbitkan secara bulanan, di bawah pimpinan Said Ramadhan.
Setelah tujuh edisi, dia menghentikan kegiatan itu dan mengatakan bahwa dia
akan mempublikasikan tafsirnya secara tersendiri dalam bentuk beberapa jilid.
Dan juz pertama dari tafsir tersebut kemudian diterbitkan pada Oktober 1952,
yang diikuti oleh juz-juz berikutnya.17
Karya- karya Sayyid Quṯb selain beredar di Negara- negara Islam, juga
beredar di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Di mana terdapat pengikut-
pengikut Ikhwanul Muslimin, hampir dipastikan di sana ada buku-bukunya,
karena ia merupakan tokoh Ikhwan terkemuka.
Sayyid Quṯb dalam menulis buku dengan berbagai judul, baik sastra, sosial,
pendidikan, politik, filsafat ataupun agama. Karya-karyanya telah terkenal luas di
Arab dan dunia Islam. Jumlah karangannya sendiri telah mencapai lebih dari dua
puluh buku dan tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran dalam tiga puluh juz adalah salah satu
karya terbesarnya.
Buku-buku tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:18
1. At-Taswīr Al-Fanni fī al-Qur‟an (Kairo:Dar al-Ma‟arif, 1945) atau Seni
Penggambaran dalam al-Qur‟an, diterjemahkan oleh Khadijah Nasution
(Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981).
17
K. Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb: Menuju Pembaruan Gerakan
Islam, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet ke-2, h. 17. 18
Nuim Hidayat, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h.22
26
2. Masyāhid al-Qiyāmah fī al-Qur‟ān (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1947) atau Hari
Akhir Menurut al-Qur‟an, diterjemahkan oleh Abdul Aziz (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994).
3. Al-Adalah al-Ijtimā‟iyyah fī al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, Dar al-
Maarif, 1948) atau Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan oleh Afif
Mohammad (Bandung: Pustaka, 1994).
4. Fī Ẓilāl al-Qur‟ān (Kairo: Dar al-Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah, tanpa tahun)
atau Tafsir di Bawah Naungan al-Qur‟ān, Juz I di terjemahkan oleh Bey
Arifin dan Jamaluddin Kafie (Surabaya: Bina Ilmu, 1982). Manhaj Hubungan
Sosial Muslim Non-Muslim, fī Ẓilāl, Juz IX, diterjemahkan oleh Abu Fahmi,
(Jakarta: Gema Insan Press, 1993). Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Sosial
dalam Kitab Tafsir fī Ẓilāl al-Qur‟ān, diterjemahkan oleh Muhammad Abbas
Aula, (Jakarta: Litera Antarnusa, 1987). Pada tahun 1996 Afif Mohammad
telah menyelesaikan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.
5. Al-Salām al-Alamī wa al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1951) atau
Jalan Pembebasan: Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia, diterjemahkan
oleh Bedril Saleh (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985).
6. Al-Mustaqbāl lī Haża al-Din (Kairo: Maktabah Wahbah, tanpa tahun) atau
Islam Menyongsong Masa Depan, diterjemahkan oleh Tim Shalahuddin Press,
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987).
7. Hadża ad-Din (Kairo: Dar al-Qalam, 1955) yang menjelaskan tentang Hakikat
Agama Islam, diterjemahkan oleh Anwar Wahdi Hasi, (Surabaya: Bina Ilmu,
1986).
27
8. Al-Islām wa Musykilāt al-Ḥādharah (Kairo: Dar al-Ihya‟ al-Kutub al-
Arabiyyah, 1962) atau Islam dan Problema-Problema Kebudayaan.
9. Khaṣaiṣut at-Taṣawwuril Islāmī wa Muqawwīmatuhu (Kairo:Daru al-Ihya al-
Kutub al-Arabiyah, 1962) atau Karakteristik Konsepsi Islam, diterjemahkan
oleh Muzakir, (Bandung: Pustaka, 1990).
10. Ma‟ālim fiṭ-Ṭāriq (Kairo: Maktabah Wahbah, 1964) atau Petunjuk Jalan,
diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Media Dakwah, 1994).
11. Ma‟rākatūna Ma‟al Yahūd, (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1978) atau Perbenturan
Kita dengan Yahudi.
12. Dirāsat Islāmiyyah, (Kairo: Maktabah Lajtani asy-Syabab al-Muslim, 1953)
atau Beberapa Studi Tentang Islam, diterjemahkan oleh A. Rahman
Zainuddin, (Jakarta: Media Dakwah, 1982).
13. Nahwa Mujtāma Islāmi dalam al-Muslimun, tahun 1953-1954 atau
Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh H.A. Muthi‟ Nurdin (Bandung: Al-
Ma‟arif, 1978).
14. An- Naqdul Adābi: Ushuluhu wa Manāhijuhu (Kairo: Daru al-Fikr al-Arabi,
tanpa tahun) atau Kritik Sastra: Prinsip Dasar dan Metode-Metode.
15. Marākah al-Islām wa ar-Rasumaliyah (Kairo: Dar al-Kitab alArabi, 1951)
atau Perbenturan Islam dan Kapitalisme.
16. Fitāri: Fikrah wa Manāhij (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1974) atau Teori dan
Metode dalam Sejarah.
17. Muhīmmah Asy-Syāir fī al-Hāyat (Kairo: Lajnatun AL-Nasyr li al-Jami‟iyyin,
tanpa tahun), atau Urgensi Penyair dalam Kehidupan.
28
18. Naqdu al-Kitāb Mustaqbal aqāfah fī al-Misr (Jeddah: Ad-Dar as-Suudiyyah
li-Nasyr wa-Tauzi, tanpa tahun) atau Kritik Terhadap Buku Masa Depan
Peradaban di Mesir.
19. Thifl min al-Qaryāh (Kairo: Lajnatun Al-Nasyr li al-Jamiiyyah, 1946) atau
Seorang Anak dari Desa. Buku ini merupakan refleksi dari biografi Sayyid
Quthb.
20. Al-Asywak (Kairo: Daru Sa‟d Mishr Bi al-Fuja‟ah, 1947) yang berarti Duri
Duri.
Sedangkan studinya yang bersifat keislaman, yang menyebabkan ia
dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut:19
1. Ma‟ alim fith-Thariq.
2. Fi- Zhilal as-Sirah.
3. Mûqawwimat at-Tashawwur al-Islami.
4. Fi Maukib al-Iman.
5. Nahwu Mujtama‟ Islami.
6. Hadza al-Qur‟an.
7. Awwaliyat li Hadza ad-Din.
8. Tashwibat fi al-Fikri al-Islami al-Mu‟ashir.
Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa jilid buku al-Taswir al-
Fanni Fi al-Quran (Disiplin Ilmu dalam al-Quran) pada tahun 1939.20
Tulisannya
19
Nuim Hidayat,Sayyid Quṯb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h.24.
29
tersebut menggambarkan keindahan seni yang terdapat didalam ayat-ayat al-
Quran. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk Masyahidul Qiyamah fi
al-Quran (Kesaksian Hari Kiamat) yang isinya menggambarkan peristiwa hari
kiamat dalam al-Quran. Dan pada tahun 1948, Sayyid Quṯb menghasilkan sebuah
buku berjudul al-„Adalah al-Ijtima‟iyyah Fi al-Islam (Keadilan sosial dalam
islam). Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati
hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.21
Di samping itu, Sayyid Quṯbjuga menulis beberapa studi dalam bentuk
makalah pada akhirnya ia tarik kembali peredarannya. Dari ini semua, tampak
jelas bahwa karya-karya Quṯbdapat menimbulkan gejolak besar di dunia Islam
khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, terutama sekali buku-buku yang
bertemakan pergerakan Islam.
C. Metode dan Corak Penulisan Tafsir Fi Zhilalil al-Quran
Metode serta sumber dalam penafsiran Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran, Sayyid
Quṯb mengambil metode penafsiran tahlili, sedangkan sumbernya terdiri dari dua
tahapan yaitu: mengambil sumber penafsiran bil ma‟tsur kemudian setelah itu
menggunakan pemikirannya, kutipan atau pendapat untuk memperjelas
argumentasinya. Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ini tidak menggunakan metode tafsir
tradisional, yakni metode yang selalu merujuk keulasan sebelumnya yang sudah
20
Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul, Keindahan Al-
Quran yang Menakjubkan: Buku Bantu Memahami Tafsir Fi Zilalil al-Quran, Penerjemah: Bahrun
Abu Bakar (Jakarta:Robbani Press, 2004 ). 21
Abu Hasan dalam kata pengantar bukuSayyid Quṯb, Fiqih Dakwah (Maudhu‟at Fi al-
Da‟wah wa al-Harakah), Penerjemah: Suwardi Effendi, Rosyid Asyrofi (Jakarta: Pustaka Amani,
1995), h. 2.
30
diterima, tetapi Sayyid Quṯb sering kali mengemukakan tanggapan pribadi dan
spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Quran. Dan secara garis besar tafsir yang
ditulis Sayyid Quṯb bersumber pada bil ra‟yi karena memuat pemikiraan sosial
masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak. Dan selain itu juga kedua
sumber diatas juga mengambil referensi dari berbagai ilmu, yakni sejarah,
biografi, fiqh, bahkan sosial, filsafat dll.22
Dalam upaya untuk memperkaya metode penafsirannya, Sayyid Quṯb
selalu mengutip penafsiran ulama lainnya yang sejalan dengan alur pemikirannya.
Adapun ia mengutip dalam pendapat ulama lain adalah merujuk pada beberapa
karya tafsir ulama yang diklain sebagai karya tafsir bil ma‟tsur dan tafsir bil ra‟yi.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa metode penafsiran Sayyid Quṯb ini juga tidak
terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.
Penafsiran Sayyid Quṯb memiliki keistimewaan yang berbeda dari tafsir
yang lainnya yaitu dengan menggunakan lirik dalam penyampaiannya, dan karna
itu tafsir ini mudah dibaca dan dipahami. Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ini
mengandung unsur corak adaby ijtima‟i yakni sastra dan sosial kemasyarakatan.
Sifat dari tafsir ini adalah pemaparan yang jelas sehingga dengan mudah
dapat dicurigai sebagai provokatif, bahkan tidak jarang orang menamainya dengan
tafsir corak haraki. Tafsir ini termasuk dalam penafsiran corak baru yang khas dan
unik dan memuat banyak tema penting.
22
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan,(Jakarta: Yayasan
Bunga Karang, 1995), h. 19.
31
D. Latar Belakang Penulisan Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran
Sayyid Quṯb adalah salah satu ulama kontemporer yang sangatpeduli
terhadap penafsiran al-Qur‟an. ia membuktikan dengan menulis kitab tafsir Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an yang kemudian menjadi masterpiece di antara karya-karya
lainnya yang dihasilkannya. Para intelektual sangat meminati karyanya karena
memiliki tempat spesial didalam pemikiran sosial kemasyarakatan yang sangat
dibutuhkan oleh generasi muslim kontemporer.23
Di dalam tafsirnya ia
menggunakan metode pemikiran yang bercorak tahlili, yang artinya ia
menafsirkan al-Qur‟an ayat demi ayat, surat demi surat, dari juz pertama hingga
juz terakhir. Di mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas.24
Sayyid Quṯb menulis tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an dalam rentang waktu
antara tahun 1952-1962. Ia sempat merevisi ketiga belas juz pertama semasa
penahanannya yang panjang. Kitab tafsir ini merupakan sebuah kitab tafsir al-
Qur‟an yang tidak memakai metode tafsir tradisional, yaitu metode yang selalu
merujuk ke ulasan sebelumnya yang sudah diterima, dan merujuk ke otoritas lain
yang mapan. Sebagai gantinya, ia mengemukakan tanggapan pribadi dan
spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur‟an.25
Tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an merupakan salah satu tafsir yang menjadi
kajian para aktifis Islam. Tafsir ini terbentuk dari perenungan dan pengalaman
23
Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya tafsir Al-Misbah banyak mengutip
pendapat-pendapat Sayyid Quṯbdalam menjelaskan arti kata dan maksud ayat-ayat yang
terkandung dalam Al-Quran. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (jakarta: Lentera Hati,
2002). 24
Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h.24 25
Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Quṯb dalam Tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an
(Solo: Era Intermedia, 2001), h. 134.
32
Sayyid Quṯb yang memuat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam
menerapkan meode penafsirannya Sayyid Quṯb mempunyai pandangan Universal
dan komperhensif terhadap al-Qur‟an. Sayyid Quṯb mulai mempelajari al-Qur‟an
sejak kecil, sebuah kewajaran bagi seorang anak yang hidup pada lingkungan
keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Ibunya seorang perempuan
yang memiliki andil besar pada lahirnya karya-karya besar Sayyid Quṯb terutama
Tafsir Fi Ẕhilalilal-Qur‟an. ia menjadi motivator dan sumber inspirasi terbesar
bagi Sayyid Quṯb dalam berkarya.
Sebelum menulis Tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an, buku pertama terfokus pada
at-Tashwir al-Fanniy Fi al-Qur‟an, yang ditulisnya pada tahun 1945 M. Dalam
buku tersebut Sayyid Quṯb mendeskripsikan bagaimana al-Qur‟an berkisah
dengan begitu indahnya. Bagaimana al-Qur‟an mengilustrasikan sejarah para
Nabi, keingkaran suatu kaum dan azabnya, sampai berbagai karakter manusia
dengan terperinci serta begitu jelas. Kisah-kisah yang dipaparkan akan menyentuh
jiwa. Alur-alur tiap surat sampai ayat per ayat, ia bahas secara luas dan ia
tafsirkan secara unik dan komprehensif. Ia menjadikan buku al-Tashwir al-Fanniy
Fi al-Qur‟an sebagai tolak ukur dalam kitab-kitabnya yang membahas al-Qur‟an
dari aspek Bayan, Adab dan keindahannya.26
Beberapa aspek yang menjadi tujuan yang dituliskan Tafsir Fi Ẕhilalil al-
Qur‟an oleh Sayyid Quṯb menurut al- Khalidi adalah sebagai berikut :
Pertama, menghilangkan jurang antara kaum Muslimin sekarang dengan
al-Qur‟an. Sayyid Quṯb menyatakan “Sesungguhnya saya serukan kepada
26
Salafudin Abu Sayyid, Pengantar Memahami Tafsir Fi Ẕhilalilal-Qur‟an Sayyid Quṯb,
Era Intermedia, Surakarta, cet. 1, 2001., h. 55.
33
pembaca Zhilal, jangan sampai Zhilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi
hendaklah mereka membaca Zhilal agar bias dekat kepada al-Qur‟an. Selanjutnya
agar mereka mengambil al-Qur‟an secara hakiki dan membuang Zhilal ini.
Kedua, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah
tertulis menuju ciri- ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri- ciri
Islami yang Qur‟ani.
Ketiga, mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur‟ani yang integral,
membangun kepibadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-
cirinya, factor-factor pembentukan dan kehidupannya.
Keempat, menjelaskan ciri-ciri masyarakat Islami yang dibentuk oleh al-
Qur‟an, mengenalkan asas-asas yang menjadi panutan masyarakat Islami, Dakwah
secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktivis untuk
meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat Islami
pertama yang didirikan oleh Rasulullah SAW. Di atas nash-nash al-Qur‟an,
arahan-arahan dan manhaj- manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan
teladan atau contoh bagi para aktivis27
Sayyid Quṯb sengaja memilih media keadilan sosial untuk ditulis serta
menjelaskan metode al-Qur‟an di dalam menegakkan keadilan dan kaidah-kaidah
dalam mewujudkannya karena mesir ketika itu sedang melalui fase sosial yang
sulit setelah Perang Dunia II. Di dalam Negara Mesir muncul fenomena-fenomena
sosial yang menyimpang serta kelas-kelas sosial yang saling berlawanan.
27
Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h.28.
34
Sementara itu mayoritas masyarakat Mesir hidup dalam kemelaratan dan berada
dibawah tekanan ke zhaliman sosial yang sengaja dibuat oleh para tokoh istana
dan kaum feodal dari kalangan para bangsawan dan para tuan tanah. Tapi
kelompok borjuis, para pengusaha dan keluarga istana dalam keadaan hidup yang
berlebihan dan berfoya-foya dalam kemewahan dengan penuh kemaksiatan. Oleh
karena itu, beliau menulis bukunya untuk menjelaskan kepada masyarakat Mesir
bahwa keadilan sosial yang mereka inginkan itu hanya ada di dalam Islam.28
Ketika kembali ke Mesir, Sayyid Quṯb mendapatkan pergolakan pemikiran
yang lebih dasyat lagi antara islam dan jahiliyah. Maka beliau ingin
menyumbangkan pemikiran islam untuk mengalahkan musuhnya dan
menginginkan adanya kekuatan islam yang besar untuk mendapatkan
kemenangan dalam alam pemikiran dan kajian, dalam dunia da‟wah dan informasi
serta dalam dunia jihad dan pergerakan. Dalam fase ini Sayyid Quṯb mempunyai
kepedulian dalam pemikiran yang didapatkan dari inspirasi al-Qur‟an dan hidup
dibawah naungan al-Qur‟an. Beliau ingin menampilkan isi al-Qur‟an seluruhnya
serta ingin menjelaskan karakteristik-karakteristik dan ciri-ciri yang ada di
dalamnya.29
Sayyid Quṯbmemahami lafaldz-lafaldz al-Qur‟an dengan sangat jelas dan
tajam, hingga ia mampu mengeluarkan isi kandungannya dari aspek pemikiran
dan pembaharuan. Adapun bukunya yang berbicara tentang pemikiran Islam
28
Salafudin Abu Sayyid, Pengantar Memahami Tafsir Fi Ẕhilalilal-Qur‟an Sayyid Quṯb,
Era Intermedia, Surakarta, cet. 1, 2001., h. 51-52. 29
Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi pergerakan, terj. Asmuni Solihan
Zamakhsyari, Yayasan Bunga Karang, Jakarta, cet. I, 1995, h. 18.
35
adalah al-Adalah al-Ijtimâ‟iyah Fi Islam. Dalam penulisan Tafsir Fi Ẕhilalil al-
Qur‟an dapat dibagi kepada tiga tahap:
a. Tahap pertama Fi Zhilal al-Qur‟an dalam majalah al-Muslimun. Pada
penghujung tahun 1951, Sa‟id Ramadhan menerbitkan majalah al-Muslimun,
sebuah majalah pemikiran Islam yang terbit bulanan. Di dalam majalah ini
pemikir Islam menuangkan tulisannya. Pemilik majalah ini memohon kepada
Sayyid Quṯbagar ikut berpartisipasi menulis artikel bulanan, serta
mengemukakan keinginannya bahwa sebaiknya artikel ini ditulis dalam
sebuah serial atau majalah tetap. Episode pertamanya dimuat dalam majalah
al-Muslimun edisi ketiga yang terbit bulan Februari 1952, dimulai dari surat
al-Fatihah, dan di teruskan dengan surat al-Baqarah dalam episode-episode
berikutnya. Sayyid Quṯb mempublikasikan tulisannya dalam majalah ini
sebanyak tujuh episode secara berurutan. Tafsir ini sampai pada surat al-
Baqarah ayat 103.
b. Tahap kedua, Fi Ẕhilalilal-Qur‟an menjelang ditangkapnya Sayyid Quṯb pada
akhir episode ke tujuh dari episode-episode Fi al-Qur‟an dalam majalah al-
Muslimun mengumumkan pemberhentian episode ini dalam majalah, karena ia
akan menafsirkan al-Qur‟an secara utuh dan dalam kitab (tafsir) tersendiri,
yang akan ia luncurkan dalam juz-juz secara bersambung. Dalam
pengumumannya tersebut Sayyid Quṯb mengatakan dengan kajian (episode
ketujuh) ini, maka berakhirlah serial dalam majalah al-Muslimun.
Tafsir Fi Ẕhilalil al-Qur‟an akan dipublikasikan tersendiri dalam tiga
puluh juz secara bersambung dan masing-masing episode akan diluncurkan pada
36
awal setiap dua bulan, diterbitkan oleh DârIhya‟ al-Kutub al-Arabîyah milik Isa
al-Halabi dan Co. Sedangkan majalah al-Muslimun mengambil tema lain dengan
judul Nahwa Mujatama‟ Islami (Menuju Masyarakat Islami). Juz pertama dari Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an terbit bulan Oktober 1952. Sayyid Quṯb memenuhi janjinya
kepada para pembaca, sehingga ia meluncurkan satu juz dan Fi Ẕhilalil al-Qur‟an
setiap dua bulan. Bahkan terkadang lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Pada
periode antara Oktober 1952 dan Januari 1954, ia telah meluncurkan enam belas
juz dari Fi Ẕhilalilal-Qur‟an.30
c. Tahap ketiga, Sayyid Quṯb menyempurnakan Fi Ẕhilalil al-Qur‟an di penjara.
Sayyid Quṯbberhasil menerbitkan enam belas juz sebelum ia dipenjara.
Kemudian ia dijebloskan ke penjara untuk pertama kalinya, dan tinggal dalam
penjara itu selama tiga bulan, tehitung dari bulan Januari hingga Maret 1954.
Ketika di dalam penjara itu, ia menerbitkan dua juz Fi Ẕhilalil al-Qur‟an.
Setelah ia keluar dari penjara, ia tidak meluncurkan juz-juz yang baru karena
banyaknya kesibukan yang tidak menyisakan waktu sedikitpun untuk ia. Di
samping itu, ia belum sempat tinggal agak lama di luar penjara bersama
puluhan ribu jamaah Ikhwan al-Muslimin pada bulan November 1954 setelah
“Sandiwara” Insiden al-Mansyiyah di Iskandariyah, yang jamaah Ikhwan al-
Muslimin di tuduh berusaha melakukan pembunuhan terhadap pemimpin
Mesir Jamal Abdun Nashir.
30
Salafudin Abu Sayyid, Pengantar Memahami Tafsir Fi Ẕhilalilal-Qur‟anSayyid Quṯb,
(Surakarta, Era Intermedia, 2001), cet. 1, h. 53.
37
Tahap pertama di penjara, ia tidak menerbitkan juz-juz baru dari Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an, karena ia dijatuhi berbagai siksaan yang tidak bisa di
bayangkan pedihnya tanpa henti siang dan malam. Hal itu sangat berdampak pada
tubuh dan kesehatan Sayyid Quṯb. Setelah ia dihadapkan ke pengadilan, akhirnya
ia dijatuhi hukuman lima belas tahun. Penyiksaan terhadap ia pun berhenti, dan ia
tinggal di penjara Liman Thurrah serta berdaptasi dengan Militer yang baru, Ia
mengkonsentrasikan untuk menyempurnakan tafsirnya dan menulis juz-juz Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an berikutnya.
Peraturan penjara sebenarnya telah menetapkan bahwa orang yang di
hukum tidak boleh menulis (mengarang) bila sampai ketahuan melakukan hal itu,
maka ia akan disiksa lebih keras lagi. Akan tetapi, Allah SWT, menghendaki Fi
Ẕhilalil al-Qur‟an itu ditulis dan dari dalam penjara sekalipun. Maka Allah pun
melenyapkan segala rintangan itu, membuat kesulitan yang dihadapi Sayyid Quṯb
tersingkir, serta membukakan jalan di hadapannya menuju dunia publikasi.
Kisahnya adalah bahwa Sayyid Quṯb sebelumnya telah membuat kontrak atau
kesepakatan dengan Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah Milik Isa al-Bahi al-Halabi
& CO.31
Untuk menulis Fi Ẕhilalil al-Qur‟an sebagai sebuah kitab tafsir al-Qur‟an
yang utuh. Ketika pemerintah melarang Sayyid Quṯb untuk menulis di dalam
penjara, maka pihak penerbit ini mengajukan tuntutannya terhadap pemerintah
dengan meminta ganti rugi dari nilai Fi Ẕhilalil al-Qur‟an itu sebanyak sepuluh
31
Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), cet. Ke 1-, h.. 252.
38
Ribu Pound, karena pihak penerbit mengalami kerugian material dan immaterial
dari larangan tersebut. Akhirnya pemerintah memilih untuk mengizinkan Sayyid
Quṯb untuk menyempurnakan Fi Ẕhilalil al-Qur‟an dan menulis di dalam penjara
sebagai ganti rugi terhadap penerbit.
Demikian sedikit penjelasan tentang profil Sayyid Quṯb beserta latar
belakang Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran, sebagai awal bahasan dalam isi bab
selanjutnya.
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA DALAM AL-
QURAN
A. Definisi Toleransi Beragama
Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang artinya menahan.
Ketika seseorang memiliki “toleransi yang tinggi pada rasa sakit” berarti dia bisa
menahan rasa sakit yang dirasakannya. Dengan demikian toleransi adalah istilah
untuk sebuah sikap menahan dari hal-hal yang dinilai negatif, khususnya dalam
hal perbedaan sikap dan tingkah laku dalam suatu intraksi dalam kehidupan
bermasyarakat.1
Dalam bahasa Arab biasanya dikatakan tasâmuh yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada, pengampunan, menyetujui dan memudahkan.2 Bahkan
ada juga yang memberi arti toleransi dengan kesabaran atau membiarkan.3Atau
juga toleran yang selalu menghargai perbedaan cara pandangan dan kemajemukan
identitas budaya masyarakat.
Dalam bahasa Inggris, toleransi berasal dari kata tolerance atau
tolerantion yaitu kesabaran, kelapangan dada, atau suatu sikap membiarkan,
mengakui, dan menghormati terhadap perbedaan orang lain, baik pada masalah
1Abd Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-
Quran (Depok:Katakita, 2009), h. 5. 2Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir (Yogjakarta: Balai
Pustaka Progresif, 2005), h. 1098. 3Djohan Efendi & Ismet Nastir, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad
Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 55.
40
pendapat (opinion), agama/kepercayaan maupun dalam segi ekonomi,
sosial, politik.59
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa toleransi adalah
sifat atau sikap toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri,
misalnya toleransi beragama (ideologi, ras, dan sebagainya.).60
Agar lebih menguatkan pengertian di atas, penulis merujuk Ensiklopedi
Lintas Agama (2009), yang mendefinisikan toleransi dengan arti bertenggang
rasa, sama artinya dengan seseorang menahan dari apa yang ia deritakan: baik
derita mengenai fisik maupun derita mengenai perasaan atau kejiwaan. “Jika saya
membiarkan hak saya diganggu orang lain, tapi saya mampu menekan perasaan
amarah saya terhadap kejadian tersebut, atau saya biarkan karena menenngang
perasaan oranglain, walau sebenarnya saya tidak suka, itulah toleransi.”61
Menurut Soerjono Soekanto, seorang sarjana sosiologi, mendefinisikan
toleransi sebagai salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal.
Toleransi ini bisa timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan. Hal ini
disebabkan karena adanya watak orang perorang atau kelompok manusia untuk
sebisa mungkin menghindari diri dari suatu perselisihan.62
Sementara itu, menurut
Sullivian, Pierson, Marcus, sebagaimana dikutip Saiful Mujani toleransi
59
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia,
2007), h. 595. 60
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
h. 1204. 61
Abujamin Rohan, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta:Emerld, 2009), h.692. 62
Sorjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:Rajawali,1982), h. 65.
41
didefinisikan sebagai a willingnes to “put up with” those things one reject or
opposes, yang artinya kesediaan untuk menghargai, menerima, atau menghormati
segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang.63
Dalam pengertian lain Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa toleransi
berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Dapat dipahami
bahwa toleransi adalah sikap terbuka untuk mengakui keberadaan orang lain dan
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan gagasannya sekalipun
berbeda dan salah di mata orang lain.64
Dalam percakapan sehari-hari, kata toleransi juga dipakai dengan kata
“tolerer”. Kata ini adalah bahasa Belanda yang artinya membolehkan,
membiarkan, maksudnya adalah memboleh atau membiarkan pada prinsipnya
tidak perlu terjadi. Jadi toleransi mengandung konsensi, artinya konsensi adalah
pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan hati, dan
bukan didasarkan kepada hak. Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena
terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain itu
tanpa mengorbankan prinsip sendiri.65
Yusuf al-Qarḏhawi berpendapat bahwa toleransi sebenarnya tidaklah
bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan hal tersebut, al-Qarḏhawi
mengategorikan toleransi dalam tiga tingkatan: Pertama, toleransi dalam bentuk
hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama
63
Saiful Mujani, Muslim demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2007), h. 162. 64
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme,
Multikulturalisme (Jakarta :Fitrah, 2007), h. 181. 65
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: PT Ciputat
Press, 2005), h. 12 .
42
yang diyakininya, tetapi tidak memberinya kesempatan untuk melaksanakan
tugas-tugas keagamaan yang diwajibkan atas dirinya,Keduamemberinya hak
untuk memeluk agama yang diyakinya, kemudian tidak memaksanya
mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam agamanya, Ketigatidak
mempersempit gerak mereka dalam melakukan hal-hal yang menurut agamanya
halal, meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.66
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi
merupakan sikap saling menghormati, menghargai dengan memberi kebebasan,
membiarkan seseorang melakukan apa yang ia kehendaki dengan tidak
mengkorbankan prinsip-prinsip yang ada.
Dalam kehidupan bersama umat antar agama-agama di Indonesia,
toleransi merupakan salah satu nilai yang diajarkan para pengikutnya, begitu pula
dengan Islam. Dalam ajaran agama Islam, toleransi merupakan salah satu nilai
yang diajarkan kepada kaum muslim. Dalam ajaran agama Islam, toleransi sejajar
dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang, kebijaksanaan,
kemaslahatan dan keadilan67
Toleransi dalam pergaulan antar umat beragama didasarkan kepada setiap
agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai
bentuk ibadah dengan sistem dan cara tersendiri yang ditaklifkan (dibebankan),
serta menjadi tanggung jawab orang yang memeluk dasar itu, maka toleransi
dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-
66
Bahari, Toleransi Bertagama Mahasiswa, (Jakarta: Maloho Abadi Press, 2010), h. 53-
59. 67
Amirulloh Syarbini dkk, Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Bandung:
Quanta, 2011), h. 20-21.
43
masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu
agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-
masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar beragama berpangkal dari
penghayatan ajaran agama masing-masing bila toleransi dalam pergaulan hidup
ditinggalkan, berarti kebenaran ajaran agama tidak dimanfaatkan sehingga
pergaulan dipengaruhi oleh saling curiga mencurigai dan saling berprasangka.68
Toleransi agama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk
memeluk agama yang menjaga keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan
ibadahnya. Toleransi beragama meminta kejujuran. Kebesaran jiwa,
kebijaksanaan dan tanggung jawab, sehingga menumbuhkan solidaritas dan
mengeliminasi egoistis golongan. Toleransi hidup beragama itu bukan suatu
campur-aduk, melainkan terwujudnya ketenangan, saling menghargai bahkan
sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina gotong royong
didalam membangun masyarakat sendiri dan demi kebahagiaan bersama. Sikap
permusuhan, sikap prasangka harus dibuang jauh-jauh dan digantidengan saling
menghormati dan menghargai setiap menganut agama-agama.69
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa toleransi antar
umat beragama merupakan suatu bentuk atau perwujudan sikap penghormatan
dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan suatu agama lain dengan
membiarkan apa yang mereka lakukan sesuai dengan ajaran agama masing-
68
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: PT Ciputat
Press, 2005), h. 16. 69
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: PT Ciputat
Press, 2005), h. 17.
44
masing dan tidak mencampuri keyakinan mereka dalam rangka membangun
kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik. Dalam Islam toleransi
tidak diperbolehkan dalam dua hal, yaitu bidang akidah dan ibadah. Karena hal
tersebut menyangkut persoalan yang tidak boleh dikompromikan.
B. Prinsip-Prinsip Toleransi Beragama dalam Prespektif Al-Quran
Nabi sangat menghargai keyakinan dan agama orang lain. Sikap yang
sangat toleran ini merupakan gambaran pesan Islam terhadap umatnya. Oleh
karena itu, toleransi merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus
dikembangkan. al-Quran adalah kitab yang memberi petunjuk kepada umat islam
untuk bertoleransi kepada umat manusia dan agama lain melalui ayat-ayat Allah.
Allah memberikan petunjuk kepada seluruh umat beragama sebagai prinsip untuk
melaksanakannya. Toleransi dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip dasar
yang digariskan dalam al-Quran yaitu:
1. Tidak adanya pemaksaan dalam beragama
Agama Islam adalah agama yang menebarkan perdamaian, persaudaraan, dan
persamaan. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat menjadi pemicu lahirnya
ketidakstabilan dan permusuhan antar manusia harus dihindari. Salah satunya
yang tidak diperkenankan dalam ajaran Islam adalah pemaksaan satu kelompok
kepada kelompok yang lain.
الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن باللو ف قد استمسك بالعروة ين قد ت ب ي ل إكراه ف الديع عليم الوث قى ل انفصام لا واللو س
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
45
ingkar kepada Thaghut70
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)71
Ungkapan “tidak ada paksaan” yang terdapat dalam al-Quran harus
dipahami dalam konteks yang dalam dan luas. Bahwa cara-cara dakwah yang
dilakukan oleh umat islam harus tidak ada motif memaksa. Setiap bentuk
pemaksaan agama adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi dan
kebebasan beragama yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Menganut agama
dalam Islam adalah keyakinan yang harus datang dari kesadaran diri terhadap
eksistensi dan kekuasaan Tuhan. Apa yang baik dan buruk sudah sangat jelas
diperlihatkan Allah dalam ayat-ayat Nya, baik yang tersurat dalam Al-Quran
maupun yang tersirat dalam alam ciptaan Tuhan. Manusia tinggal melihat,
memahami, mempercayai dan meyakininya melalui proses berpikir secara benar.72
Quraish Shihab juga menambahkan “mengapa ada paksaan, padahal Dia
tidak membutuhkan sesuatu, mengapa ada paksaan, padahal sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), sebagaimana (Q.S al-
Maidah;48). Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian, agama-
Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak
damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan
dalam menganut keyakinan agama Islam.73
70
Thagut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. 71
Departemen Agama RI, Al-„Aliyy Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (cv. Diponegoro:
Bandung, 2006), h. 33. 72
Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, (Bandung: CV PustakaSetia, 2002), h. 87. 73
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 1,
h. 551-552.
46
Sayyid Quthb dalam Tafsirnya mengatakan sesungguhnya kebebasan
beraqidah merupakan hak pertama dan utama bagi manusia. Suatu hak yang
menegaskan kemanusiaan manusia. Bila kebebasan beraqidah seseorang dicabut,
maka berarti yang dicabut adalah kemanusiaannya sendiri. Kebebasan beraqidah
diiringi dengan kebebasan berdakwah menyebarkan aqidah itu. Kalau, kebebasan
hanya sebagai nama, tanpa makna dalam kehidupan nyata.74
Islam yang mempunyai pandangan termaju tentang hidup dan kehidupan
dan memiliki sistem terbaik untuk menata kehidupan manusia mengimbau untuk
tidak menggunakan kekerasan dalam meyakinkan seseorang untuk memeluknya.
Islam-lah yang pertama-tama menjelaskan kepada pengikutnya bahwa mereka
dilarang memaksa orang lain untuk memeluk agama ini. Lalu bagaimana dengan
berbagai mazhab dan sistem buatan manusia yang dangkal, yang dipaksakan
kepada masyarakat dengan menggunakan kekuasaan negara, dan melibas semua
orang yang menentangnya? Artinya paksaan ini betul-betul diitiadakan, bukan
sekedar melarang untuk melakukannya.75
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwasannya Allah SWT telah
memberikan banyak pelajaran kepada kaum manusia melalui surat Al-Baqarah:
256 ini yang menunjukan bahwa agama islam tidak boleh melakukan paksaan
atau menggunakannya dengan bentuk apapun itu, karena sudah jelas antara hak
dan batil. Dan hanya Allah lah yang maha engetahui dan lebih berkuasa daripada
manusia.
74
Sayyid Quṯb, TafsirFi-Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 2, h. 35 75
Sayyid Quṯb, TafsirFi-Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 2, h. 36
47
2. Saling memuliakan antar sesama
ولقد كرمنا بن آدم وحلناىم ف الب ر والبحر ورزق ناىم من الطيبات وفضلناىم على كثري من خلقنا ت فضيل
”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka didaratan dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah kami ciptakan.”(al-Isra:70)
Bahwasannya manusia satu sama lain dilahirkaan dengan permulaan yang
sama yaitu berasal dari air dan dari segumpal tanah dengan segumpal darah
dengan tulang-belulang yang dibungkus daging dan jadilah manusia yaang
sempurna, dan sebab itu antara manusia satu dengan yang lainnya sudah
sepatutnya harus saling memuliakan dan menghargai mengingat dengan asal usul
yang sama.
Hamka mengatakan bahwa banyak sekali kemuliaan yang diberikan
kepada anak Adam yang terutama ialah dia diberi akal dan fikiran, diberi khayal
untuk memikirkan zamannya yang lampau dan yang sekarang serta untuk masa
depan dan diberi ia ilham.76
Pada ayat terakhir ini Hamka berpendapat bahwa kelebihan manusia itu
sebenarnya bisa dilihat dari kemajuan manusia itu sendiri. Bertambah lama
bertambah maju. Dari gua batu, sampai bertani, menagkap ikan, berniaga kepulau-
pulau, kebenua-benua, menyelami lautan dan zaman modern ini bisa mencapai
bulan.
Manusia melupakan rezeki yang baik-baik yang dikaruniakan Allah
kepadanya, karena sudah lama akrab dengannya, sehingga manusia tidak
76
Hamka, Tafsir al-Azẖar juz 15 (Jakarta:PT Pustaka Panjaimas, 1984), h. 101.
48
mengingat sebagian besar dari rezeki yang baik-baik ini kecuali saat rezeki itu
tidak ada ditangan. Pada saat itulah ia mengetahui nilai rezeki yang selama ini
dinikmatinya, tetapi begitu rezeki kembali maka ia segera lupa. Matahari, udara,
air, kesehatan, kemampuan untuk bergerak, panca indera, akal, makanan,
minuman, pemandangan, alam yang luas dimana ia dijadikan khalifah didalam
kerajaan bumi yang luas, dan juga rezeki-rezeki yang baik yang tidak bisa
dihingganya.77
Jadi, ayat diatas menunjukkan betapa mulianya manusia dibandingkan
dengan makhluk Allah yang lainnya, maka tidak heran mengapa makhluk yang
akan merusak bumi ini harus diciptakan. Dan kemudian Allah menjawab ”Aku
maha tahu apa yang tidak kamu ketahui”, maksudnya bahwa Allahlah yang lebih
tau dari segala galanya tentang kemaslahatan yang timbul dari perbuatan manusia
yang tidak diketahui oleh para malaikat.
Ayat ini memberitahukan kepada umat manusia atas tugasnya yaitu
sebagai pengelola bumi, karna pada kata “Khalifah” bermakna yang
menggantikan , bahwa kata ini dapat dipahami sebagai pengganti Allah untuk
mengelola atau melindungi bumi dan menegakkan ketetapan-Nya dan bukan
berarti Allah tidak mampu untuk mengelolanya melainkan sebagai sarana ujian
dan penghormatan kepada manusia.78
Oleh karena itu degan apa yang telah Allah
berikan kepada manusia seperti kemuliaan yang digambarkan diatas maka
77
Sayyid Quṯb, TafsirFi-Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 8, h. 111 78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mîsbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 1,
h. 140.
49
diharapkan agar untuk saling memuliakan dan menghormati satu sama lain agar
tercipta keharmonisan dan kehidupan bahagia.
3. Kebebasan memilih dan menentukan keyakinan
Manusia dalam prespektif Islam adalah wakil Allah (khalifah) di muka
bumi yang bebas memilih atau menentukan pilihannya sesuai dengan keinginan
hati nuraninya. Firman Allah SWT:
م سرادق ها وقل الق من ربكم فمن شاء ف لي ؤمن ومن شاء ف ليكفر إنا أعتدنا للظالمي نارا أ حاراب وساءت مرت فقا وإن يستغيثو ا ي غاثوا باء كالمهل يشوي الوجوه بئس الش
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti
besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(QS Al-Kahfi:29)79
Ayat ini menceritakan semua makhluk (khususnya manusia) bebas
melakukan segala perbuatan yang dikehendaki baik maupun buruk karena
manusia mempunyai keistimewaan yaitu akal yang bisa digunakan untuk bebas
memilih, baik beriman ataukah kafir. Namun Allah memberitahukan bahwa
apapun yang akan dilakukan semuanya akan mendapat pahala masing-masing.
Al-Qurtẖuby menjelaskan bahwa pada ayat ini atas lafadz al-Hâqq, yaitu
katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang yang lupa mengingatkan kami:
Wahai manusia, dari Tuhanmu lah kebenaran dan pertolongan, dan dari kuasanya
lah petunjuk dan kesesatan, ia memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
79
Departemen Agama RI, Al-„âliyy Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (cv. Diponegoro:
Bandung, 2006), h. 237.
50
dikehendaki dan menjadi beriman dan menyesatkan siapapun yang dikehendaki
maka ia kafir. Dari penjelasan tersebut manusia diberi kesempatan untuk memilih
antara beriman ataukah kafir. Barang siapa yang menghendaki untuk beriman
maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki untuk kafir maka kafirlah,
karena semua perbuatan tersebut akan mendapatkan balasannya masing-masing.
Yang kafir Allah telah menjanjikan tempat yaitu neraka sedangkan yang beriman
Allah telah menjanjikan tempat pula yaitu surga80
. Oleh sebab itu dalam Islam
selalu menjamin kebebasan beragama, bukan hanya pada agama islam sendiri
melainkan juga terhadap kalangan non-muslim.
Barang siapa yang tidak tertarik dengan kebenaran, hendaklah ia
meninggalkannya. Barang siapa yang tidak menjadikan hawa nafsunya sebagai
panutan atas anjuran yang datang dari Allah maka tidak dibutuhkan lagi basa-basi
dan berpura-pura baik dengan mengorbankan akidah. Dan, barang siapa yang
kehendaknya belum tergerak dan kesombongan belum tunduk dihadapan
kemuliaan dan ketinggian Allah, maka akidah sama sekali tidak butuh kepadanya.
Sesungguhnya akidah itu bukanlah milik seseorang sehingga ia harus
berpura-pura baik di dalam menunjukkannya. Sesungguhnya akidah itu milik
Allah dan Allah Yang MahaKaya tidak membutuhkan apa pun dari semesta alam
ini. 81
Maka dari itu menurut penulis bahwa kebebasan itu sangat dijunjung tinggi
namun harus tetap pada tuntunan yang telah Allah berikan.
80
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtuby, Tafsir al-Qurthubi, (t.tp: Dar
al-Sha‟b, 2181), h. 4009-4010. 81
Sayyid Quṯb, TafsirFi-Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-8, jilid 8, h. 316
51
4. Mengaku adanya keragaman
Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi ini dengan bermacam
ragam suku bangsa, ras maupun bahasa, keragaman ini merupakan sunatullah
yang tidak mungkin dihindari dan harus disikapi sebagai sesuatu yang wajar. Oleh
karena itu, hak-hak hidup bagi orang dan pengikut agama yang berbeda harus
diberikan secara wajar dan proporsional. Firman Allah SWT:
يكونوا مؤمني يعا أفأنت تكره الناس حت ولو شاء ربك لم ن من ف الرض كلهم ج “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
(QS.Yunus: 99)”82
Ayat ini berisi tentang kisaah kaum Yunus yang tadinya enggan untuk
beriman, dengan kasih sayang-lah yang menghantarkan Allah SWT,
memperingatkan dan mengancam mereka, namun kaum Yunus yang tadinya
membangkang atas kehendak mereka sendiri, kini atas kehendak mereka pula
sadar dan beriman, sehingga Allah tidak menurunkan siksa bagi mereka.83
Beberapa mufasir berpendapat mengenai kebebasan yang berkaitan dengan
keimanan terhadap sebuah agama.
Ibnu Katṣir berkata dalam tafsirnya Allah SWT berfirman: “(Jika
Tuhanmu menghendaki) dalam lafadz ini mengandung makna bahwa, Allah
memberikan petunjuk kepada nabi jika Allah menghendaki bumi dan seluruh
isinya beriman dengan kedatangan Nabi Muhammad beserta ajaran yang
82
Departemen Agama RI, Al-„Aliyy Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (cv. Diponegoro:
Bandung, 2006), h. 175. 83
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 6,
h. 161-162.
52
dibawanya, maka sesungguhnya seluruh penduduk bumi akan beriman, tetapi
tidak dengan cara memaksa namun dengan cara berdakwah serta contoh amal
perbuatan tingkah laku yang baik. 84
Pengakuan terhadap keragaman tersebut semakin dikuatkan lagi oleh
berbagai ayat yang memerintahkan kepada umat Islam untuk menjalani hubungan
yang harmonis ditengah-tengah keragaman tersebut.85
Firman Allah SWT:
لو ل ا ل إ م ت ي د ت ى ا ا ذ إ ل ض ن م م رك ض ي ل م ك س ف ن أ م ك ي ل ع وا ن م آ ن ي لذ ا ا ه ي أ ا يون ل م ع ت م ت ن با ك م ك بئ ن ي ف ا ع ي ج م ك ع رج م
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang
sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk.86
hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan
menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah:
105)”87
Seandainya Tuhanmu menghendaki, maka diciptakan-Nya jenis manusia ini
sebagai makhluk lain, yang tidak mengetahui jalan lain selain satu jalan yaitu
jalan iman, malaikat misalnya, atau dijadikan untuk mereka satu potensi saja,
yaitu potensi untuk beriman. Demikian pula seandainya ia menghendaki,
niscaya dipaksa-Nya semua manusia terhadapnya. Sehingga, mereka tidak
mempunyai kehendak untuk melakukan pilihan. Dengan demikian urusan iman
dibiarkan oleh Allah untuk dipilih, dan Rasul tidak memaksakan-nya kepada
seorang pun. Karena tidak ada jalan untuk memaksakan ke dalam perasaan hati
84
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 434. 85
Novan Ardy Wijayani, Pendidikan Agama Islaam Berbasis Pendidikan Karakter,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h. 186. 86
Kesesatan orang lain itu tidak akan memberi mudharat kepadamu, Asal kamu telah
mendapat petunjuk. tapi tidaklah berarti bahwa orang tidak disuruh berbuat yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar. 87
Departemen Agama RI, Al-„Aliyy Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (cv. Diponegoro:
Bandung, 2006), h. 99.
53
dan jalan pikirannya.88
menurut penulis keragaman beragama dimuka bumi ini
memang harus diakui adanya, karna itu kita dapat menjalin silaturahmi dengan
umat yang lainnya serta menjalin hubungan baik selagi tidak melukai satu
sama lain dan memegang teguh apa prinsip yang sudah ditentukan dalam
agama masing-masing manusia.
5. Berdakwah dengan santun
ادع إل سبيل ربك بالكمة والموعظة السن ة وجادلم بالت ىي أحسن إن ربك ىو أعلم بن ضل عن سبيلو وىو أعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”(An-Nahl:125)
Diatas dasar asas-asas inilah al-Quran menancapkan kaidah-kaidah
dakwah dan prinsip-prinsipnya, menentukan wasilah-wasilah dan metode-
metodenya. Juga menggariskan manhaj kepada rasul yang mulia dan kepada para
dai setelahnya dengan agama yang lurus. Sesungguhnya dakwah ini adalah
dakwah kepada jalan Allah, bukan karena pribadi dai ataupun karena kaumnya.
Tidak ada yang harus dilakukan oleh seorang dai terhadap dakwahnya selain
hanya melaksanakan kewajibannya karena Allah. Tidak ada keutamaan bagi
dirinya ketika ia berdakwah karena dirinya atau orang yang mendapat petunjuk
karenanya, hanya saja pahalanya ada ditangan Allah.
88
Sayyid Quṯb, TafsirFiẔhilalilal-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah: M.
Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 5, h. 165
54
Berdakwah juga harus mendebat dengan cara yang lebih baik. Tanpa
bertindak zalim terhadap orang yang menentang ataupun sikap peremehan dan
pencelaan terhadapnya. Sehingga, seorang dai merasa tenang dan merasakan
bahwa tujuannya berdakwah bukanlah untuk mengalahkan orang lain dalam
berdebat.89
Dalam Tafsir al-Misbah disebutkan bahwa ayat ini dipahami oleh sebagian
ulama sebagai tiga macam metode dakwah yaitu cendekiawan yang memiliki
pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan
hikmah,maksudnya berdialog dengan kata-kata sesuai dengan tingkat kepandaian
mereka. Terhadap orang awam diperintahkaan untuk berdakwah dengan
maû‟izah, maksudnya memberikan nasihat atau perumpamaan yang menyentuh
jiwa sesuai dengan kemampuan pengetahuan mereka yang sederhana. Terhadap
Ahl-Kitab dan agama-agama lain diperintahkan untuk berdakwah dengan cara
yang terbaik yakni dengan logika yang halus dan lepas dari kekerasan dan
umpatan.90
Quraish Shihab juga menyebutkaan bahwa dakwah al-Quran dan Nabi
Muhammmad juga menggunakan ketiga mettode diatas dan diterapkan kepada
siapapun sesuai kondisi masing-masing sasaran. Tetapi berbeda hal nya dengan
Thabathaba‟i yang menolak penerapan metode dakwah tingkat kecerdasan,
menurutnya bisa saja dengan ketiga metode ini dipakai dalam satu situasi atau
89
Sayyid Quṯb, Tafsir FiẔhilalilal-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 13, h. 224 90
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 6, h.
774-775.
55
sasaran atau hanya dua cara atau satu cara, masing-masing sasaran yang dihadapi.
Dan bisa saja cendekiaan tersentuh oleh maû‟izah, dan tidak mustahil pula orang-
orang awam memperoleh dari cara yang baik tersebut.91
Dari ayat diatas, menurut penulis dalam berdakwah menyebarkan syariat
islam tidak asal berbicara dengan siapapun, harus melihat bagaimana sasaran
tersebut dahulu dan saya setuju dengan pendapat Quraish Shihab diatas
bahwasannya menggunakan tiga metode terebut kepada sasaran ketika berdakwah.
C. PEMIKIRAN SAYYID QUṮB TENTANG KEBERAGAMAAN UMAT
MANUSIA
1. Fitrah manusia lahir dalam keadaan bertauhid
Aspek pertama yang menjadi wujud keberagamaan umat manusia yang
akan dibahas di sini dapat dikatakan sebagai fitrah kemanusiaan, bahwa pada
dasarnya manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang sempurna yang
diberikan berbagai kelebihan seperti dianugrahi aspek jasmani dan rohani. Istilah
fitrah sendiri dari sisi agama yaitu bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki
fitrah bertauhid, mengesakan Tuhan.92
Sayyid Quṯb memandang bahwa
sebenarnya manusia itu beriman, ini tercermin terhadap tafsirnya dibawah ini:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
91
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 6, h.
777.
92
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 148.
56
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Al-A‟raf:172)
Dalam tafsirnya ia menegaskan ayat ini adalah persoalan fitrah dan akidah
yang ditampilkan oleh al-Quran dalam bentuk pemandangan, sebagaimana
galibnya metode yang dipergunakan oleh al-Quran. Ini merupakan pemandangan
yang unik. Pemandangan tentang anak keturunan manusia yang masih di alam
ghaib yang sangat jauh, yang tersembunyi di dalam sulbi anak-anak adam
sebelum mereka lahir kealam nyata. Anak keturunan yang masih dalam
genggaman sang Maha Pencipta lagi Maha Pemelihara. Lalu, diambil perjanjian
dari mereka dengan mengatakan “Bukankah aku ini Tuhanmu?”
Maka, mereka mengakui rububiyah Allah, mengakui bahwa hanya Dia
yang berhak diibadahi. Mereka bersaksi bahwa Dia adalah Maha Esa mereka
bertebaran bagaikan butiran atom, namun dikumpulkan dalam genggaman Tuhan
Yang Maha Pencipta lagi Maha Agung.93
Ia mengutip sebuah riwayat yang dikutip dari Ibnu Jarir yang
meriwayatkannya dari Ibnu „Abbas, ia berkata:
“Tuhanmu mengusap punggung Adam, lalu keluarlah setiap ruh yang
diciptakan-Nya hingga hari kiamat. Lalu Allah mengambil sampah mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka:”Bukankah Aku ini
Tuhanmu?”mereka menjawab, Betul (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi.”
Riwayat ini diriwayatkan baik secara marfu‟ maupun mauqûf dari Ibnu
„Abbas, namun menurut Ibnu Katsir riwayat yang mauquf lebih banyak dan lebih
pasti.
93
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 5 h. 434-
435.
57
Mengenai bagaimana peristiwa ini terjadi, mengenai bagaimana Allah
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka, mengenai bagaimana Allah berbicara kepada
mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan bagaimana mereka menjawab,
“Betul (Engkau Tuhan kami)”, kami menjadi saksi” jawabannya, menuurutnya,
merupakan cara-cara tentang perbuatan Allah SWT merupakan perkara ghaib,
sama seperti Dzat-Nya. Nalar manusia tidak mampu mengetahui cara-cara
bagaimana perbuatan Allah. Karena persepsi tentang cara merupakan cabang dari
presepsi tentang esensi. Setiap perbuatan yang dinisbatkan kepada Allah seperti
yang dituturkan oleh firman Allah Ta‟ala: “kemudian Dia menuju langit dan
langit itu masih merupakan asap.” (Fushshilat:11)
Dan juga perbuatan-perbuatan Allah yang lain yang dituturkan nash-nash
shahih. Tidak ada pilihan kecuali harus mempercayai kejadiannya, tanpa berusaha
mengetahui caranya. Karena presepsi tentang cara merupakan cabang dari
presepsi tentang esensi seperti yang kami sebutkan, lagipula tidak ada sesuatu
yang serupa dengan Allah, sehingga tidak ada cara untuk mengetahui Dzat-Nya
dan mengetahui cara-cara perbuatan-Nya. Karena tidak ada jalan untuk
menyerupakan perbuatan-Nya dengan perbuatan sesuatu, selama tidak ada sesuatu
yang serupa dengannya. Setiap usaha untuk menggambarkan cara-cara
perbuatannya sama seperti cara-cara perbuatan makhluk-Nya adalah merupakan
usaha yang menyesatkan, karena esensi Allah berbeda dengan esensi ciptaan-Nya.
Perbedaan ini mengimplikasikan perbedaan cara-cara perbuatan-Nya dengan cara-
cara perbuatan ciptaan-Nya, begitu juga setiap filosuf atau ahli Kalam yang
58
berusaha menyifati cara-cara perbuatan Allah adalah bodoh, sesat dan melakukan
kesalahan yang parah.94
Sayyid Quṯb mengutip dari Ibnu Katṣir dalam tafsirnya mengatakan,
“Ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pengambilan
sumpah adalah Allah memberi mereka fitrah tauhid, seperti yang telah dijelaskan
dalam Hadits Abu Hurairah, Iyadh bin Hammar al-Mujasyi dan dari riwayat
Hassan al-Bashri dari Aswad bin Sari. Hasan al-Bashri menafsirkan ayat tersebut
demikian mereka mengatakan, “Karena itu Allah berfirman, Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan dari anak-anak Adam, bukan dari Adam, Dari sulbi
mereka, bukan dari sulbinya, keturunan mereka” maksudnya Allah menjadikan
keturunan mereka dari generasi ke generasi, dari abad ke abad, seperti firman
Allah: “Dialah yang telah menjadikan kamu sebagai khalifah dibumi ” (al-An‟am:
165).95
Sayyid Quṯb juga mengutip dari kitab Shahih Muslim yang diriwayatkan
dari „Iyadh bin Hammar, ia berkata,”Rasulullah bersabda, Allah berfirman:
“Sesungguhnya aku menciptakan hamba-hambaku dalam keadaan lurus.
Lalu datanglah syetan kepada mereka, lalu syetan itu memalingkan mereka dari
agama mereka dan mengharamkan bagi mereka apa yang aku halalkan bagi
mereka.”
Terlepas dari apa yang terjadi bahwa ada perjanjian dari Allah atas fitrah
manusia untuk mengesakan-Nya dan bahwa hakikat tauhid ini terpusat pada fitrah
94
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil al- Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 5 h. 437 95
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 5 h. 438.
59
ini. Setiap bayi yang muncul ke alam wujud membawa fitrah ini. Ia tidak
melenceng dari fitrah ini, kecuali setelah dirusak oleh faktor eksternal yaitu faktor
yang memanfaatkan kesiapan manusia tersembunyi dan bisa diaktualisasikan oleh
berbagai situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Hakikat tauhid tidak hanya terpusat pada fitrah manusia saja, tetapi juga
terpusat pada fitrah alam wujud di sekitarnya. Fitrah manusia hanyalah sepenggal
dari fitrah seluruh alam ini. Di saat yang sama fitrah manusia juga menerima
berbagai gema dan ketukan alam semesta yang mengekspresikan pengaruh dan
pengakuannya terhadap hakikat alam semesta yang besar tersebut. Di sini, fitrah
kemanusiaan mengantarkan kesempurnaan manusia dengan takwa di hadapan
Tuhannya.
2. Taqwa sebagai ukuran keberagamaan di hadapan Allah
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Ayat di atas memaparkan berbagai hakikat besar, yang nyaris mampu
dengan sendirinya melukiskan rambu-rambu dunia yang tinggi, mulia, bersih, dan
sehat ini. Setelah itu, surat ini menetapkan rambu-rambu iman, yang dengan
namanya orang-orang mukmin diajak untuk menegakkan dunia tersebut, dan
dengan namanya pula mereka diseru untuk merespon panggilan Allah yang
mengajak mereka kepada beban-beban kewajiban-Nya dengan gambaran yang
indah ini, yang mendorong untuk merespon dan menerimanya; “Wahai orang-
orang yang beriman....” Itulah panggilan penuh cinta yang karenanya orang yang
60
dipanggil merasa malu sekiranya tidak menjawab seruan itu, disamping
memudahkan setiap perintah, meringankan setiap beban berat, dan memancing
kerinduan hati, sehingga ia mendengar dan meresponnya. 96
Taqwa juga menjadi wujud bagi setiap pribadi manusia dalam meneguhi
fitrah keberagamaan, sebagaimana Allah memerintahkan manusia untuk
menghadapkan wajahnya dengan lurus meneguhi agama Allah.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah.97
(Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Al-Rum:30)
Arahan untuk meluruskan wajah kepada agama yang lurus ini disampaikan
tepat pada waktunya dan pada tempatnya, setelah berbagai putaran didalam esensi
alam semesta dan pemandangan-pemandangannya, serta didalam lubuk jiwa dan
fitrahnya, arahan tersebut disampaikan pada waktunya, saat hati yang fitrahnya
lurus itu siap untuk menerimanya, sebagaimana hati yang menyimpang telah
kehilangan setiap argumen dan dalilnya, serta berdiri dalam keadaan tanpa
perbekalan dan senjata. Inilah argumen kuat yang disuarakan al-Quran dengan
lantang. Argumen yang tidak bisa dibendung oleh hati, dan tidak bisa ditolak oleh
jiwa.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)”
Menghadaplah kepadanya dengan lurus, karena agama inilah yang melindungi
96
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 11 h. 256. 97
Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah
wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
61
dari hawa nafsu yang terpecah,tidak bersandar pada kebenaran, dan tidak
bersumber dari pengetahuan, melainkan mengikuti selera dan kecenderungan
tanpa pedoman dan argumen. Hadapkanla wajahmu dengan lurus kepada agama
ini, dengan mengabaikan setiap agama selainnya, dan dengan konsisten diatas
larangannya, bukan pada selainnya.98
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”
Dengan kalimat ini al-Quran menghubungkan antara fitrah jiwa manusia
dan watak agama ini. Allah yang menciptakan hati manusia, dan Dialah yang
menurunkan agama ini kepadanya untuk mengaturnya, mengobati penyakitnya,
dan meluruskannya dari penyimpangan. Allah Maha Mengetahui ciptaan-Nya,
dan Maha Lembut lagi Maha Mengenal. Fitrah bersifat konstan, dan agama juga
bersifat konstan. “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” Apabila jiwa telah
menyimpang dari fitrah, maka tidak ada yang bisa mengembalikan kepadanya
selain agama yang serasi dengan fitrah ini, yaitu fitrah manusia dan fitrah alam
semesta.
“(itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui...” Sehingga mereka mengikuti hawa nafsu tanpa didasari
pengetahuan dan tersesat dari jalan lurus yang mengantar sampai tujuan.
Meskipun arahan untuk menghadapkan wajah dengan lurus kepada agama
yang lurus ini ditunjukkan kepada Rasulullah SAW, namun yang dimaksud adalah
98
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 9 h.559.
62
semua orang mukmin. Karena itu, arahan kepada mereka itu dilanjutkan dengan
merinci makna menghadapkan wajah dengan lurus kepada agama ini.99
Fitrah berarti kembali kepada Allah dalam setiap urusan. Fitrah berarti
takwa, perasaan yang sensitif, perasaan diawasi oleh Allah diwaktu sendiri dan
ditengah keramaian, merasakan kehadiran Allah dalam setiap gerak dan diam.
Fitrah berarti mendirikan sholat untuk beribadah secara murni kepada Allah.
Fitrah juga berarti tauhid murni yang dapat membedakan orang-orang mukmin
dari orang-orang musyrik.
al-Quran menyebut orang-orang musyrik sebagai “orang-orang yang
memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.” Karena
kemusyrikan memiliki banyak warna dan corak. Diantara mereka ada yang
menyekutukan jin, menyekutukan malaikat, menyekutukan nenek moyang,
menyekutukan raja-raja, menyekutukan dukun dan pendeta, menyekutukan pohon
dan batu, menyekutukan bintang-bintang, menyekutukan api, menyekutukan siang
dan malam, menyekutukan nilai-nilai palsu dan ambisi. Bentuk dan corak
kemusyrikan tidak ada habis-habisnya. “Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada golongan mereka.” Sementara agama yang lurus itu
hanya satu, tidak berganti-ganti, tidak terpecah belah, dan tidak menuntun para
pemeluknya selain kepada Allah Yang Maha Esa, yang langit dan bumi adalah
milik-Nya, dan setiap dari mereka tunduk kepada-Nya.100
99
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah: M.
Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 9 h.660. 100
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah: M.
Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 9 h.61.
63
Sungguh, jika sampai ada pertanyaan mengapa manusia tidak menyembah
Tuhan yang satu, seperti firmannya:
“mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku dan
yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?QS. Yasin: 22”,
makaitu merupkan pertanyaan fitrah kemanusiaan yang benar-benar merasakan
adanya pencipta, yang menariknya kepada sumber eksistensi satu-satunya.
“mengapa aku tidak menyembah (Tuhan yang telah menciptakanku)” apa yang
memalingkanku dari jalan alami yang terdetik dalam jiwa pertama kali?
Sesungguhnya fitrah itu tertarik kepada yang menciptakannya, serta mengarah
kepadanya sejak semula. Fitrah tidak menyimpang darinya kecuali karna faktor
lain yang bersifat eksternal. Dan ia tidak melenceng kecuali lantaran pengaruh
lain yang bukan bagian dari wataknya. Orientasi kepada pencipta itulah yang
utama dan yang pertama. Dalam orientasinya itu ia tidak membutuhkan unsur
diluar watak jiwa dan ketertarikannya yang fitri. Laki-laki mukmin itu merasakan
hal ini dari lubuk hatinya, sehingga ia mengungkapkannya dengan ungkapan yang
jelas dan sederhana ini tanpa dibuat-buat, tanpa berputar-putar, dan tanpa berbelit-
belit.
Dengan fitrahnya yang benar dan jernih, ia juga merasakan bahwa pada
akhirnya makhluk pasti kembali kepada khaliq, sebagaimana setiap sesuatu
kembali kepada sumber orisinilnya. Maka, ia berkata: “dan yang hanya kepada-
nya lah kamu (semua) akan dikembalikan”
64
Ia bertanya-tanya: mengapa aku tidak menyebah tuhan yang
menciptakanku dan kepada-Nya segala sesuatu dikembalikan? Ia berbicara
tentang kembalinya mereka kepada Allah, karena Allah juga pencipta mereka, dan
sudah sepatutnya mereka menyembah-Nya.
Kemudian laki-laki itu memaparkan manhaj laain yang bertentangan
dengan manhaj fitrah yang lurus, sehingga ia melihat sebagai kesesatan yang
nyata.101
3. Tidak ada toleransi dalam ibadah
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku." (Al-Kafirun:1-6)
Sayyid Quṯb menafsirkan kata perintah “Katakanlah....” merupakan
perintah ilahi yang tegas dan mengisyaratkan bahwa perkara aqidah ini adalah
perintah Allah semata. Tidak ada campur tangan Muhammad sedikit pun di
dalamnya. Yang memerintahkannya hanyalah Allah yang tiada seorang pun
mampu menolak perintah-Nya, Yang Maha Menentukan hukum yang tiada
seorang pun mampu menolak hukum-Nya.
“Katakanlah, Hai orang-orang kafir.” Allah memanggil mereka dengan
hakikat yang ada pada diri mereka dan memberi sifat kepada mereka dengan sifat
yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya mereka bukan penganut agama dan
101
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 9 h.61.
65
mereka juga bukan orang-orang yang beriman. Mereka hanyalah orang-orang
kafir. Sehingga tidak ada titik temu antara kamu dan mereka disuatu jalan.
Demikianlah permulaan surat dan pembukaan pembicaraan ini
memberikan isyarat tentang hakikat pemutusan yang tidak dapat diharap bisa
tersambung, “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”
Karena ibadahku tidak sama dengan ibadahmu, dan Tuhan yang aku
sembah tidak sama dengan tuhan yang kamu sembah.102
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.”
Karena ibadahmu tidak sama dengan ibadahku dan Tuhan yang kamu
sembah tidak sama dengan Tuhan yang aku sembah.
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.”
Ayat ini menegaskan pernyataan yang pertama dalam bentuk jumlah
ismiyah (nominal clause) yang lebih kuat dalam memberikan kesan kelekatan dan
kelanggengan sifat.103
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah.”
Ini merupakan pengulangan untuk menegaskan pernyataan yang kedua,
agar tidak ada lagi keraguan dan prasangka. Setelah penegasan yang diulang
dengan menggunakan sarana pengulangan dan penegasan ini tidak ada lagi ruang
untuk ragu dan prasangka.
102
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalilal- Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 13 h. 645. 103
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah:
M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 13 h.645.
66
Kemudian di sampaikan secara global tentang hakikat perpisahan yang
tidak bisa dipertemukan, perbedaan yang tidak bisa disamakan, pemutusan yang
tidak bisa disambung, dan ciri khas yang tidak bisa dicampur aduk.104
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Saya disini dan kamu disana. Tidak ada seberangan, tidak ada jembatan
dan tidak ada jalan. Pemisahan total dan menyeluruh. Ciri khas yang jelas dan
detil.
Penulis menyimpulkan bahwa, hikmah yang dapat diambil dari kelima
ayat diatas yang menggambarkan tentang kefitrahan atau keberagamaan manusia
dalam penafsiran Sayyid Quṯb tersebut adalah bahwasannya manusia diciptakan
dengan acuan fitrah Allah yaitu agama yang lurus dan agama tauhid (agama yang
mengesakan Allah) yang menjadi kekuatan untuk membangun Islam, khususnya
bagi kehidupan dimasa modern seperti sekarang. Kekuatan Islam mengalami
kelemahan dalam segi menjaga kesatuan antar sesama muslim, dimana antar umat
Islam saja saling terjadi konflik. Maka, kondisi seperti ini perlu untuk diperbaiki,
mengingat Islam sebagai agama rahmatan lil „alamin. Dan oleh sebab itu
dijelaskan bahwa fitrah itu milik Allah yang diberikan manusia melalui proses
penciptaannya.
Di dalam menyikapi perbedaan agama, Sayyid Quṯbmenegaskan bahwa
tidak ada toleransi dalam ibadah, namun toleransi antar umat beragama
dibolehkan dalam hal lain yang menyangkut hubungan anak dan orang tuanya,
dalam rangka berbuat baik kepada kedua orang tua yang menjadi kewajiban anak.
104
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran ( Di Bawah Naungan al-Quran), penerjemah: M.
Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2006), cet ke-1, jilid 10 h.29-30.
67
Demikian juga dalam meneguhi prinsip-prinsip keadilan seperti yang akan
dibahas dalam bab selanjutnya.
68
BAB IV
Penafsiran Sayyid Quṯb terhadap QS. Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dalam
TafsirFi Ẕhilalil al-Quran.
A. Ayat dan Terjemahnya
ن أ م رك ا ي د ن م م وك يرج ول ن ي د ل ا ف م وك ل ت ا ق ي ل ن ي لذ ا ن ع لو ل ا م اك ه ن ي ل ب ي لو ل ا ن إ م ه ي ل إ وا ط س ق وت م وى ر ب ن ت ي لذ ا ن ع لو ل ا م اك ه ن ي نا إ ) ( ي ط س ق م ل ا
م ولوى ت ن أ م ك ج را خ إ ى ل ع روا ى ا وظ م رك ا ي د ن م م وك رج خ وأ ن ي د ل ا ف م وك ل ت ا ق) ( ون م ل ظا ل ا م ى ك ئ ول أ ف م ول ت ي ن م و
”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.(8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim”(9)
B. Munasabah Ayat dan Asbabul Nuzul
Surat Al-Mumtahanah ini termasuk surah madaniyah yang ayat-ayat yang
diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, walaupun
diturunkan dikota Mekkah dan sekitarnya, seperti di Badar, Uhud, Arafah, Dan
Mekah.
Dalam membahas munasabah serta asbabul nuzul dari ayat 8-9 ini tidak
ditemukan penjelasan tentang asbabul nuzul ayai ini dalam Tafsir Fi Zhilali al-
Quran, tetapi berdasarkan informasi sumber lain dikatakan bahwa ayat ini turun
69
berkenaan dengan cerita Asma‟ mengenai ibunya yang datang hendak
bersilaturahmi.
Turunnya ayat ke-8, al-Bukẖari meriwayatkan dari Asma‟ binti Abû Bakr
yang berkata, “Suatu hari, ibu saya mengunjungi saya. Ketika itu, ia terlihat dalam
kondisi telah cenderung (kepada Islam). Saya lalu bertanya kepada Rasulullah
tentang apakah saya boleh meneyambung silaturahmi dengannya? Nabi saw. lalu
menjawab, „Ya, boleh.‟ Berkenaan dengan kejadian inilah, Allah lalu menurunkan
ayat ini.1
Sebagai informasi, dapat dituliskan di sini bahwa Asma‟ lahir di Makkah
ketika ayahnya, Abû Bakr al-Shiddiq berusia dua puluh tahun lebih. Usia Asma‟
17 tahun lebih tua daripada Aisyah, saudarinya.2
Muhammad bin Ibraẖim al-Anmathi menceritakan kepadaku, dia berkata:
Harun bin Ma‟ruf menceritakan kepada kami, dia berkata: Bisyr bin As-Sirri
menceritakan kepada kami, dia berkata: Mush‟ab bin Tṣabit menceritakan kepada
kami dari pamannya Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, dari ayahnya, dia berkata,
“Ayat ini turun berkenaan dengan Asma binti Abu Bakr, dia punya ibu pada masa
Jahiliyah yang bernama Qatilah binti Abdul „Uzza. Ibunya ini datang ke Madinah
membawakan berbagai macam hadiah berupa aqith (roti), dan minyak samin.
Asma berkata, „aku tidak bisa menerima hadiah dari ibu dan memohonnya untuk
tidak masuk menemuiku sampai Rasulullah SAW mengizinkan.Hal itu
1Jalaluddin Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, Ter. dari
Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul oleh Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet.
2, h. 566. 2Abu Muhammad Abdul Malik bin Hishām, Sīrah al-Nabawiyah Ibnu Hishām , Terj.
Fadhli Bahri (Jakarta: Darul Falah, 2000), 214-215.
70
disampaikannya melalui Aiṣyah kepada Rasulullah SAW lalu turunlah ayat, Al-
Mumtahanah ayat 8.3
Dikemukakan bahwa Qatilah (ibu kandung Asma seorang kafir) datang
kepada Asma binti Abû Bakar (anaknya). Setelah itu Asma bertanya kepada
Rasulullah SAW: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya”? Rasulullah SAW.
menjawab: “Ya” (boleh).4
Mayoritas Ahli Takwil (ulama yang selalu melakukan interpetasi atas teks
ayat) menegaskan “ayat ini adalah ayat muhkamat.” Mereka berargumentasi
dengan menyatakan bahwa Asma binti Abû Bakar pernah bertanya kepada Nabi
SAW apakah dia boleh membina hubungan silaturrahim dengan ibunya yang
datang kepadanya dalam keadaan musyrik? Beliau kemudian menjawab, “Ya,
(boleh). Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukẖari dan Muslim.5
Imam Ahmad danal-Bazzar serta al-Hakim telah mengetengahkan sebuah
hadis yang dinilai sebagai hadis sahih oleh al-Hakim dengan melalui jalan
Abdûllah ibnu Zubair yang telah menceritakan bahwa Qatilah datang menemui
anak perempuannya, yaitu Asma binti Abu Bakar. Qatilah ini adalah bekas istri
Abu Bakar yang telah ditalak pada masa jahiliah. Qatilah datang menemui anak
perempuannya dengan membawa hadiah-hadiah, tetapi Asma menolak menerima
hadiah itu dan bahkan ia tidak mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Lalu
3Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Ter. dari Jami‟Al
Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Faturozi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet. 1, h. 944. 4A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 1, h. 809. 5Imam Al-Qurhtubi, Tafsir Al Qurthubi, Jil. 18, Ter. dari al- Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an
oleh Dedi Rosyadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), cet. 1, h. 361.
71
Asma mengirim utusan kepada Siti Aiṣyah RA. untuk menanyakan kepada
Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW kemudian memerintahkan supaya Asma
menerima hadiah-hadiah ibunya itu dan mempersilahkannya masuk ke dalam
rumah. Lalu Allah SWT. menurunkan firman-Nya:
ين ول يرجوك م من دياركم أن ت ب روىم وت قسطوا إليهم هاكم اللو عن الذين ل ي قاتلوكم ف الد ل ي ن ب المقسطي إن اللو ي
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
pula mengusirmu dari negerimu, Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adi.l”(Q.S. 60 Al-Mumtahanah, 8).6
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt membebaskan kota Mekkah
dengan tangan Rasul-Nya, kemudian para pendudukanya masuk Islam semunya
kecuali hanya beberapa orang saja yang menolak masuk Islam. Sesungguhnya
rasa cinta, sikap loyal dan persaudaraan di antara mereka adalah bukti kebenaran.
Firman Allah (ين ول يرجوكم من دياركم هاكم اللو عن الذين ل ي قاتلوكم ف الد (ل ي ن
bermakna bahwaAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir
kamu dari negerimu, dengan bermacam-macam tekanan maka kamu dibolehkan
berbuat baik kepada mereka, seperti memberi makanan, pakaian, dan kendaraan
serta berbuat adil kepada mereka.
6Jalaluddin Al-Suyutẖi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, Ter. dari
Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul oleh Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet.
2, h. 566.
72
Sementara sebagian ulama bermaksud membatasi ayat tersebut hanya
ditujukan kepada kaum musyrikin Mekah, tetapi ulama-ulama sejak masa Ibn
Jarir al-Tẖabari telah membantahnya. Thahir Ibn Asyur menulis bahwa pada masa
Nabi SAW. sekian banyak suku-suku Musyrik yang justru bekerjasama dengan
Nabi SAW. serta menginginkan kemenangan beliau menghadapi suku Quraiys di
Mekkah. Al-Hasan dan Abu Salih mengatakan bahwa mereka itu adalah
Khuza‟ah, Bani Al-Hârist, ibn Ka‟âb dan Muzainah. 7
Firman Allah, ( ب المقسطي ditafsirkan oleh Jabir al-Jaza‟iri (إن اللو ي
bahwa sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Potongan
ayat ini merupakan anjuran untuk kaum Muslimin untuk senantiasa berlaku adil
walaupun terhadap orang-orang kafir.
Allah Swt berfirman ( ا هاكم اللو إن ي ن ) Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu, yaitu Allah melarang kamu bersikap loyal terhadap orang-orang yang
memerangimu dan mengusirmu dari kampung halamanmu dan ikut berperan dan
membantu orang lain dalam mengusirmu. ( م فأولئك هالظالمون ومن ي ت ول ) barangsiapa
yang menjadikan mereka (orang-orang kafir) sebagai kawan, maka mereka itulah
termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri mereka sendiri dan menghadang
7Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 28, hal.
11.
73
siksa dan murka dari Allah karena telah meletakkan sikap loyal bukan pada
tempatnya setelah memahami dan mengetaui hukum-hukumnya.8
وأخرج البخاري عن أساء بنت أيب بكر قالت : أتتن أمي راغبة فسألت النيب صلى اهلل عليو و سلم : أأصلها ؟ قال : نعم فأنزل اهلل فيها : )ل ينهاكم اهلل عن الذين ل يقاتلوكم ف الدين(
Artinya: Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukẖari dari Asma binti Abu Bakar
berkata : saya dikunjungi oleh ibu kandungku (Siti Qutailah). Setelah itu
Asma bertanya kepada Rasulullah saw: bolehkah saya berbuat baik
kepadanya? Rasululah menjawab: ”ya” (boleh) Turunlah ayat ini yang
berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah tidak
melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. (HR.
Bukhari dari Asma binti Abu Bakar)”9
Setelah mendapat jawaban dengan turunnya ayat ke-8 dari surah al-
Mumtahanah ini maka Asma‟ mempersilahkan masuk ibu kandungnya yang tidak
masuk Islam ke dalam rumahnya, dan Asma pun juga bersedia menerima hadiah-
hadiah pemberiannya. Riwayat ini di dapatkan dari al-Hakim Abû Abdillah yang
meriwayatkan didalam kitab shahihnya, dari Abu al-Abbas as-Sayyari, dari
Abdullah al-Gẖazali, dari Ibnu Syaqiq, dari Ibnu al-Mubarak.10
Bahwasannya dari surah al-Mumtahanah ayat ke-8 ini dapat disimpulkan
bahwa ayat ini menjadi jawaban bagi persoalan yang dihadapi Asma binti Abu
Bakar yang meminta kejelasan tentang kebolehan menerima hadiah dan membawa
masuk ibundanya yang tidak beragama Islam ke dalam rumahnya, dalam arti
bahwa ia hendak menyenangkan ibu kandung yang bertamu ke rumahnya. Di sini,
8Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402. 9Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut: Darr al-Kitab al-Araby,
2011M/1432 H), hal. 234. 10
Al-Wahidin Al-Nisaburi, Penerjemah Moh. Syamsi, Asbabun Nuzul (sebab-sebab
turunnya ayat-ayat al-Quran), (Surabaya : Amelia Surabaya, 2014), Cet 1, h. 664-665.
74
toleransi dibolehkan sepanjang menyangkut persoalan social dan hubungan
kemanusiaan.
Di dalam ayat ke-9 juga dijelaskan bahwa Allah hanya melarang kaum
Muslimin tolong-menolong dengan orang-orang yang menghambat atau
menghalangi manusia beribadah di jalan Allah, dan memurtadkan kaum Muslimin
sehingga mengakibatkania berpindah kepada agama lain, yang memerangi,
mengusir, dan membantu pengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. Dengan
orang yang semacam itu, Allah dengan tegas melarang kaum Muslimin untuk
berteman dengan mereka.
Di akhir ayat ini, Allah mengingatkan kaum Muslimin yang menjadikan
musuh-musuh mereka sebagai teman dan tolong-menolong dengan mereka,
bahwa jika mereka melanggar larangan ini, maka mereka adalah orang-orang yang
zalim.11
C. Toleransi terhadap Kaum Dzimmi yang Tidak Memerangi Islam
Ada beberapa prinsip toleransi yang dapat diungkapkan dalam menggali
penafsiran terhadap ayat ke-8 dari surah al-Mumtahanah ini, secara khusus
menegaskan konteks bolehnya menjalani hubungan baik dengan kaum non
muslim yang termasuk dalam kategori kaum Dzimmi, mereka yang mendapat
perlindungan untuk hidup bersama sebagai bangsa dalam sebuah pemerintahan
Islam. Bahwa toleransi antar umat beragama dibolehkan bagi kaum muslimin
kepada kaum non muslim yang tidak memusuhi mereka. Di antara beberapa
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h.53.
75
prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar dari kebolehan toleransi ini adalah rasa
saling cinta (mawaḏdah) yang sudah terbina sebelumnya, seperti cinta kepada
kedua orang tua yang non muslim atau juga prinsip perintah untuk berbuat baik
(tabarrû) sebagai kewajiban anak kepada kedua orang tuanya, serta perintah
untuk berbuat adil (tuqṣitu) seperti menerima hadiah yang dibawakan orang tua
non Muslim kepada anaknya yang muslim dalam kunjungannya. Bahwasannya
dalam penafsiran Sayyid Quṯb terhadap Tafsir Fi Ẕhilalil Quran ini selaras
dengan ulama yang dicantumkan penulis pada isi skripsi dibawah ini, yang mana
untuk memperkuat penafsiran Sayyid Quṯb yang berpendapat sedemikian
1. Mawaḏdah
Islam adalah agama perdamaian, akidah yang berlandaskan kasih sayang
dan sistem yang bertujuan melindungi seluruh alam semesta didalam naungannya,
menegakkan manhaj-nya dalam lindungannya dan menghimpun seluruh manusia
dibawah panji Allah sebagai saudara yang saling mengenal dan mencintai. Tidak
ada penghalang yang merintangi orientasi ini, kecuali permusuhan para musuhnya
terhadap Islam dan terhadap para pemeluknya. Dan sedangkan apabila musuh-
musuh Islam mengajak untukberdamai, maka Islam tidak menyukai permusuhan
dan tidak pula menganjurkannya. Bahkan pada saat permusuhan, Islam masih
menjaga sebab-sebab kasih sayang dalam jiwa dan perilaku yang bersih serta
sikap adil dalam bermuamalah.12
12
Sayyid Quṯhb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, h, 849.
76
Ditegaskan di dalam ayat ke-7 surah al-Mumtahanah bahwa ور واهلل غف
Allah Maha Pengampun lagi Maha Peyayang”. Fasilah ayat ini ditafsirkan“رحيم
sebagai sifat pengampun segala kesalahan masa lalu seperti syirik dan dosa-dosa
lainnya. Hingga terwujudnya janji Allah seperti diindikasikan oleh lafazh harapan,
Allah membolehkan kasih sayang terhadap orang-orang yang tidak memerangi
mereka karna agama dan tidak mengusir mereka dari negeri mereka. Allah
mengangkat kesulitan dengan menganjurkan berbuat baik terhadap mereka dan
berperilaku adil dalam berinteraksi bersama mereka dengan tidak menodai sedikit
pun hak-hak mereka. Namun Allah juga melarang keras bersahabatan dengan
orang yang memusuhi mereka karena agama, mengeluarkan mereka dari negeri
mereka atau terhadap orang-orang yang membantu dalam mengusir
mereka.13
Sayyid Quṯb ketika menafsirkan ayat ini lebih lanjut menjelaskan bahwa
Islam adalah agama dan aqidah cinta yaitu sistem yang menaungi seluruh alam
dengan naungan cinta, tidak ada yang menghalangi kearah itu kecuali tindakan
agresi dari pihak musuh.14
Rasa cinta dan keterikatan dalam pertalian kerabat merupakan sesuatu
tidak dapat dipungkiri, seperti ditegaskan M. Yunan Yusuf, bahwa setiap orang
memiliki rasa kerinduan terhadap kaum kerabat untuk selalu berhubungan secara
persaudaraan hubungan darah. Suasana seperti itulah yang terdapat pada ayat ke-7
13
Sayyid Quṯb, Tafsir FiẔhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah Aunur
Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, h, 850. 14
Sayyid Quṯb, Tafsir FiẔhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah Aunur
Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 3544.
77
ini agar kaum Muslimin dapat mengendalikan perasaan mereka secara
proposional terhadap orang-orang kafir.15
Bahkan Ibn Katṣir juga merinci dengan
jelas dasar cinta yang menjadi kebolehan toleransi bermuaalah dengan kerabat
yang non-Muslim dengan menjelaskan, “Mudah-mudahan Allah menumbuhkan
kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara
mereka”, maksudnya adalah kasih sayang setelah kebencian, kasih sayang setelah
permusuhan dan kerukunan setelah pertikaian.16
Kalimat antara kamu dan antara mereka orang-orang yang telah kamu musuhi
dari mereka atas kata mawaḏdah/ kasih sayang adalah untuk menekankan
terjadinya kasih sayang diantara mereka. Hal ini karna mereka merasakan secara
langsung pahitnya pemutusan hubungan dengan sesama keluarga. Penyambutan
hati mereka akibat hubungan kasih yang terjadi antara mereka dengan orang lain,
tidak akan disambut semeriah dan segembira jika jalinan kasih itu terjadi antara
mereka dengan keluarga.17
Frase yang menjadi kalimat kunci dalam ayat ke-7 “Semoga Allah akan
menanamkan rasa kasih sayang dan persahabatannya”dijelaskan M. Yunan
Yusuf bahwa maksudnya bahwa kebencian agama, permusuhan atau
penganiayaan timbul karna kebodohan atau semangat yang berlebihan dalam jiwa
seseorang, yang oleh Allah akan diampuni dan yang akhirnya malah menjadi
15
M.Yunan Yusuf, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟Allah “Bun-yanun
MarshuhBangunan Kokoh Rapi,” (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014), cet. 1, h. 252. 16
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir,
Ter. Lubaabut Tafsiir Min Ibnu Katsiir oleh M. Abdul Ghoffar & Abu Ihsan al-Atsari, Jilid 8,
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2005), cet. 1, h. 141. 17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Voleme.
14,(Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007), cet . 13, hl. 167.
78
pembela-Nya, seperti halnya yang terjadi dengan Umar bin Kattab, antara kau
dengan mereka yang sekarang menjadi musuh kamu. Di antara alasannya ia
menjelaskan bahwa frase“Allah Maha kuat Allah Maha Pengampun dan Allah
Maha Pengasih” merupakan kemaha aslian ampunan Allah dan kemaha dalaman
kasih sayang-Nya mampu mengalahkan kemurkaan-Nya. Siapapun yang mau
bertaubat dari seluruh kesalahannya yang dilakukan, niscaya mendapatkan
ampunan dari Allah.18
Ketika penaklukan Mekkah orang-orang musyrik masuk ke dalam agama
Allah secara berbondong-bondong. Dan terjadi pula diantara mereka itu
perpaduan dan hubungan kekeluargaan karna ikatan perkawinan, serta hubungan
yang paling kuat sebagaimana difirmankan-Nya ;19
ب ي ق لوبكم يعا ول ت فرقوا واذكروا نعمت اللو عليكم إذ كنتم أعداء فأ ل واعتصموا ببل اللو ج اللو لكم آياتو لك ي ب ي ها كذ فأصبحتم بنعمتو إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأن قذكم من
لعلكم ت هتدون “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat
Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk(Al-Imran; 103)”20
18
M. Yunan Yusuf, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟Allah “Bun-yanun
MarshuhBangunan Kokoh Rapi,” (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014), cet. 1, h. 253. 19
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 28, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babial-Halabi wa Awladih, 1946), h. 113. 20
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h. 63.
79
) ( ي ن م ؤ م ل ا وب ره ص ن ب ك يد أ ي لذ ا و ى لو ل ا ك ب س ح ن إ ف وك ع يد ن أ وا د ري ي ن إ و
ن ك ول م و ل ق ي ب ت لف أ ا م ا ع ي ج رض ل ا ف ا م ت ق ف ن أ و ل م و ل ق ي ب ل وأم ي ك ح ز زي ع نو إ م ه ن ي ب ل أ لو ل ا
“Dan jika mereka bermaksud menipumu, Maka Sesungguhnya cukuplah
Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan
pertolongan-Nya dan dengan Para mukmin,dan yang mempersatukan hati
mereka (orang-orang yang beriman)21
. walaupun kamu membelanjakan
semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati
mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfal
:62-63)”22
Kemudian Allah memperbolehkan mereka berhubungan dengan orang-
orang kafir yang tidak memerangi mereka.23
2. Perintah Tabarrû dan Tuqṣitu
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa ia tidak melarang orang-
orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong
menolong dan bantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak
mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir dari
negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang
hendak mengusir itu.24
Allah mengangkat kesulitan dengan menganjurkan berbuat baik terhadap
mereka dan berperilaku adil dalam berinteraksi sesama mereka dengan tidak
21
Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum
Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke Medinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang. 22
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h. 185. 23
Ahmad Mustafa Al-Maragẖi, Tafsir al-Marghi, Juz 28, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babial-Halabi wa Awladih, 1946), h. 113. 24
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h. 110.
80
menodai sedikit pun hak-hak mereka. Namun Allah juga melarang keras
bersahabat dengan orang yang memusuhi mereka atau terhadap orang-orang yang
membantu dalam mengusir mereka.25
Kaidah interaksi dengan non muslim merupakan kaidah paling adil dan
sesuai dengan karakter agama ini, sesuai dengan arahan dan pandangannya
tentang kehidupan manusia, bahkan pandangannya secara menyeluruh terhadap
alam semesta yang bersumber dari tuhan yang satu dan saling membantu dalam
perencanaan dan takdir yang azali dibalik berbagai perbedaan dan perselisihan.26
Kaidah yang sesuai dengan presepsi Islam yang menjadikan permasalahan
antara orang mukmin dengan penentang mereka adalah permasalahan akidah
bukan yang lainnya dan nilai yang dipertahankan dan dibela hingga melalui
peperangan oleh seorang muslim hanyalah masalah akidah. Sehingga tidak ada
sesuatu yang menjadikan manusia saling bermusuhan dan saling menyerang
kecuali menyangkut masalah kebebasan berdakwah, kebebasan keyakinan,
realisasi manhaj Allah dimuka bumi dan penegakan kalimat Allah.27
Sesungguhnya seorang muslim hidup dibumi ini demi membela akidahnya
dan menjadikannya sebagai permasalahan antara dirinya dengan manusia
disekelilingnya. Jadi tidak ada permusuhan demi suatu kepentingan, dan tidak ada
jihad demi fanatisme apa pun, baik fanatisme ras, negeri, keluarga atau keturunan.
25
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 850. 26
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 851. 27
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 851.
81
Jihad hanya ada untuk menegakkan kalimat Allah dan menjadikan akidahnya
sebagai manhaj yang diterapkan dalam kehidupan.28
Sekalipun orang-orang kafir, kecuali jika mereka memusuhi dan hendak
menghancurkan kita dan agama kita, kita harus memperlakukan meraka dengan
baik dan adil, seperti diperlihatkan oleh Rasulullah sendiri.29
Allah tidak melarang
kamu berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang
kamu berlaku adil terhadap mereka. Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial
mereka berada di pihak yang benar, sedangkan salah seorang dari kamu berada
dipihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan meraka. 30
Firman Allah Ta‟ala م وى ر ب ت ن berada أن untuk berbuat baik.” Lafazh“ أ
pada posisi jarr karena menjadi Badal dari lafazh . الذين Maksudnya, Allah tidak
melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi
kalian, yaitu kabilah Khuza‟ah, dimana mereka telah berdamai dengan Nabi
dimana meraka tidak akan memerangi beliau dan tidak pula akan membantu
seseorang menantang beliau. 31
28
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 852. 29
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, Terjemahan dan Tafsir Qur‟an 30 Juz,
(Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), cet. 3, h. 1456. 30
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Voleme.
14,(Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007), cet . 13, h. 168. 31
Imam Al Qurhṯubi, Tafsir Al Qurthubi, Jil. 18, Ter. dari AL Jami‟ Li Ahkaam AL-
Qur‟an oleh Dedi Rosyadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet. 1, h. 362.
82
Firman-Nya م ه ي ل إ وا ط س ق ت Dan berlaku adil terhadap orang-orang yang“ و
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu.” Maksdunya adalah memberikan kepada sebagian dari harta kalian
sebagai upaya membina hubungan silaturrahim. Yang dimaksud oleh firman Allah
itu bukanlah bersikap adil. Sebab bersikap adil adalah sebuah keharusan, baik
terhadap orang yang memerangi maupun terhadap orang yang tidak memerangi.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Al Arabi sebagaimana yang dikutib oleh
Imam Qurtẖubi.32
Jadi ada suatu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam
dengan orang-orang kafir, yaitu : “Boleh mengadakan hubungan baik, selama
pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula”. Hal ini hanya dapat
dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak.
Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain
bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum
Muslimin.33
Ahli-ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah “muhkamah”,
artinya berlaku buat selama-lamanya, tidak dimansukhkan. Dalam segala zaman
hendaklah kita berbuat baik dan bersikap adil dan jujur kepada orang yang tidak
memusuhi kita dan tidak mengusir kita dari kampung halaman kita. Kita
32
Imam Al Qurhṯubi, Tafsir Al Qurthubi, Jil. 18, Ter. dari AL Jami‟ Li Ahkaam AL-
Qur‟an oleh Dedi Rosyadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet. 1, h. 363. 33
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h. 110.
83
diwajibkan menunjukkan budi Islam yang tinggi.34
Allah mentukan syarat-syarat
orang-orang kafir mana yang tidak boleh dimusuhi oleh Islam:
1. Orang-orang kafir itu tidak memusuhi kaum Muslimin. Mereka mau bekerja
sama dalam membangun masyarakat, hidup berdampingan secara damai,
serta saling bantu-membantu dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah
masyarakat. Dalam kondisi seperti ini kaum Muslimin hendaknya dapat
menyisihkan persoalan perbedaan agama dengan interaksi pergaulan sehari-
hari. Masalah keyakinan agama sudah jelas, yakni lakumdinukum wa liya diin
(bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
2. Orang-orang kafir itu tidak mengusir kaum Muslim dari negeri mereka
sendiri. Kaum Muslim merasa aman, tidak merasa cemas dan takut diusir
oleh orang-orang kafir itu. Rasa aman dari terusir ini dimanifestasikan dalam
bentuk kenangan berdiam di tempat kediaman sendiri, tanpa dibayangi rasa
takut sedikit pun dari keterusiran. Berbuat adil terhadap orang-orang kafir
tentulah dalam arti kemampuan membedakan mana orang kafir yang boleh
mendapatkan perlakuan baik dari kaum Muslim, dan mana orang kafir yang
tidak boleh memperoleh perlakuan baik dari kaum Muslimi.35
D. Sikap Kaum Muslim terhadap Mereka yang Memerangi
Apakah toleransi boleh menjadi sikap kaum muslim terhadap kaum non
muslim yang memerangi? Pada ayat ke-9 dari surah al-Mumtahanah ini
menjelaskan beberapa alasan terhadap sikap yang harus diambil terhadap mereka
34
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XXVIII, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), cet. 2, h. 106. 35
M. Yunan Yusuf, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟Allah “Bun-yanun
Marshuh Bangunan Kokoh Rapi,” (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014), cet. 1, h. 256-257.
84
yang memerangi kaum muslimin. Kata kunci yaang bisa diambil dari ayat ini
adalah tawâlla (berkawan) dengan mereka yang memusuhi dan berlaku zhalim.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT hanya melarang kaum
Muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau
menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum Muslimin, sehingga
ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu
pengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu
Allah melarang dengan sangat kaum Muslimin berteman dengan mereka. Pada
ayat sembilan ini Allah SWT mengancam kaum Muslimin yang menjadikan
musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika
mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang
zalim. ”.Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan“ومن يتولم36
Maksudnya, menjadikan mereka sebagai kawan, penolong dan kekasih. Maka,
kesimpulan akhirnya adalahفألئك ىم الظلموان “Maka mereka itulah orang-orang
yang zalim”37
Allah menetapkan orang-orang yang berteman dengan orang musyrik
sebagai orang yang zalim. Dan orang yang zalim bisa berarti syirik dengan
merujuk pada firman Allah:”Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar” ini adalah ancaman yang menakutkan dan
36
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid x,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 1990), h 111. 37
Imam Al Qurhtubi, Tafsir Al Qurthubi, Jil. 18, Ter. dari AL Jami‟ Li Ahkaam AL-
Qur‟an oleh Dedi Rosyadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet. 1, h. 364-365.
85
menggetarkan orang-orang yang beriman dan takut termasuk dalam indikasinya
yang menakutkan tersebut.38
Kaidah itu merupakan dasar syariat islam tentang kenegaraan yang
menjadikan kondisi damai antara seseorang Muslim dan seluruh manusia sebagai
keadaan yang permanen. Keadaan ini tidak ada berubah kecuali terjadi
penyerangan, atau ada keharusan untuk melawan serangan, atau ada kekhawatiran
terjadinya pengkhianatan terhadap perjanjian damai. Yaitu ancaman permusuhan
atau hambatan kebebasan berdakwah dan kebebasan berkeyakinan. Hal ini juga
merupakan suatu ancaman. Bila semua itu tidak ada, maka kaidah yang ditetapkan
adalah perdamaian, kasih sayang, kebajikan dan berbuat adil terhadap manusia.39
Pada saat itu meliputi Jazirah Arab dari ancaman para musuh yang
menunggu kesempatan untuk menyerang kaum Muslimin dan tinggal disekitaran
mereka baik dari golongan kaum musyrik maupun Ahli Kitab yang senantiasa
berulang kali mengkhianati dan membatalkan perjanjian mereka. Ini adalah
kondisi permusuhan yang sebenarnya.khususnya setelah dua imperium yang ada
disekitar bumi Islam telah menghimpun kekuatan untuk menghadapinya dan
merasakan ancamannya. Lalu kerajaan-kerajaan Arab yang berada dibawah
kekuasaan Romawi dan Persia itu mengerahkan pasukan untuk menghadapi Islam.
Sehingga tidak ada pilihan lain selain membersihkan front Islam dari sisa musuh-
38
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 851. 39
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 851.
86
musuhnya sebelum musuh-musuh itu bergabung dalam pertempuran-pertempuran
eksternal yang diprediksikan pada saat itu.40
Firman-Nya, ومن يتولم“Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai
kawan.” maksudnya adalah, mereka yang menjadikan pembelaselain yang
diperbolehkan Allah, atau menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat
seharusnya, berarti telah menyelisihi perintah Allah.41
Ayat ini sangat jelas mengatakan bahwa kaum Muslim tidak boleh menjalin
hubungan baik dengan orang-orang non-Muslim. “sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi
kamu dalam agama.” Memusuhi di sini dipahami dalam arti mengganggu
ketenteraman kaum Muslim secara fisik. Kata inna-ma mengandung arti tidak
memukul rata semua yang disebut kemudian. Kata tersebut hanya menegaskan
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yangdisebut saja, yakni bila
yang bersangkutan memerangi karenapertimbangan perbedaan agama tersebut.
Artinya kebencian dan permusuhan mereka kepada kaum Muslim disebabkan oleh
kebenaran ajaran agama yang dibawa oleh Islam itu sendiri.42
Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas
memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai megusir ataumembantu
40
Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran (dibawah naungan Al-Quran), pen: Misbah
Aunur Rfiq Shaleh (Jakarta:Rabbani Press, 2009), cet 1, vol 6, h, 853. 41
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Ter. dari Jami‟Al
Bayanan Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Faturrozi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet. 1, h.947. 42
M. Yunan Yusuf, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟Allah “Bun-yanun
Marshuh Bangunan Kokoh Rapi,” (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014), cet. 1, h. 259.
87
pengusiran, jelaslah dia itu orang yang aniaya. Sebab diatelah merusak strategi,
atau siasat perlawanan Islam terhadap musuh. Tandanya orang yang membuat
hubungan ini tidak teguh imannya,tidak ada ghairahnya dalam mempertahankan
agama. Sama juga halnya dengan orang yang mengaku dirinya seorang Islam
tetapi dia berkata:”Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-
sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama
yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam sejati, agama yang
sebenarnya itu hanya Islam.43
Dilihat dari pembahasan diatas penulis menyimpulkan toleransi menurut
Sayyid Quṯb adalah dibagi menjadi tiga bagian yaitu mawaḏdah, tabarrû dan
tuqṣittu, dan tawallâ dan zalim. Semua agama menghargai manusia dan karena
semua umat beragama juga wajib saling menghormati dan menghargai satu sama
lain serta ibadah agama dan kepercayaan yang dianut, Maka dari itu dalam
toleransi bukanlah hanya dari satu pihak saja tetapi hendaknya kedua belah pihak
yang saling mengisi dan memberi serta berbuat adil dengan sesama, jangan ada
yang mengkhianati antar satu sama lain karna akan ada resiko dalam agama satu
sama lain dan dalam agama islam akan disebut musyrik atau zalim.
43
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu XXVIII, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), cet. 2, h. 107.
88
BAB V
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Dari serangkaian bab-bab yang sudah dijelaskan diatas, penulis
menyimpulkan bahwa point-point diatas adalah jawaban dari rumusan
masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis mengenai toleransi beragama dalam QS. al-
Mumtahanah[60]:8-9 yang mana menggunakan penafsiran Sayyid Quṯb. Maka
akan didapati beberapa kesimpulan berikut:
- Dalam hal ini bahwa Sayyid Quṯb tidak condong menjelaskan
pendapatnya dalam kitab Tafsir Fi Ẕhilalil Quran tetapi lebih
menggunakan pendapat ulama-ulama yang memperkuat pendapat nya
dalam QS. al-Mumtahanah ini,
- Analisis dalam ayat 8 dan 9 surat al-Mumtahanah ini dilakukan atas
beberapa ayat, khususnya mengenai Toleransi Beragamadalam
memperkuat penafsiran Sayyid Quṯb.
- Dalam Tafsir Fi Ẕhilalil al-Quran disitu terdapat pendapat Sayyid Quṯb
yang terbagi menjadi beberapa prinsip yaitu Mawaḏdah (kasih sayang),
Tabarrû dan Tuqṣitu (bersikap adil dan baik ), Tawallâ dan Zalim
(berkawan dan zalim).
- Di antara beberapa prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar dari
kebolehan toleransi ini menurut Sayyid Quṯb adalah rasa saling cinta
89
(mawaḏdah) yang sudah terbina sebelumnya, seperti cinta kepada kedua
orang tua yang non muslim atau juga prinsip perintah untuk berbuat baik
(tabarrû) sebagai kewajiban anak kepada kedua orang tuanya, serta
perintah untuk berbuat adil (tuqṣitu) seperti menerima hadiah yang
dibawakan orang tua non Muslim kepada anaknya yang muslim dalam
kunjungannya. Dan juga larangan kaum Muslimin bertolong menolong
dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia dijalan
Allah dan memurtadkan kaum Muslimin (tawallâ) sehingga berpindah
kepada agama lain yang memerangi, mengusir dan membantu pengusiran
kaum Muslimin dari negeri mereka (zalim).
B. SARAN
Dari hasil penelitian ini semoga bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan khususnya penulis sendiri. Dan dari penelitian
ini pula semoga:
1. Dari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis semoga dengan
hasil penelitian ini menjadikan penulis semakin menambah khazanah
pengetahuan khususnya pengetahuan agama agar bisa menyikapi
kehidupan majemuk yang baik dan benar.
2. Hasil dari penerapannya tentu memiliki keterbatasan dan kekurangan
serta belum tentu benar- benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Sayyid Quṯb. Maka dari itu penelitian tentang ayat-ayat yang
berhubungan tentang Toleransi Beragama dalam al-quran masih perlu
dikembangkan ke depannya.
90
3. Bagi para pembaca khususnya yang berjuang dalam agama atau
sebagai panutan agama bisa lebih berhati-hati dalam membawa dan
membimbing umatnya agar tidak terjadi benturan dengan agama lain.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik, Abu Muhammad bin Hishām, Sīrah al-Nabawiyah Ibnu Hishām,
Terj. Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah, 2000
Abdurrahman, Moelim, Islam Transformatif . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Abu Sayyid, Salafudin, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an Sayyid
Quthb. Surakarta:Era Intermedia , 2001
Asmawi. Konseptualisasi Teori Maslahah, dalam jurnal salam: filsafat dan
budaya
Azra, Azyumardi dkk, Ensiklopedi Muslim. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994
Bahari, Toleransi Bertagama Mahasiswa. Jakarta: Maloho Abadi Press, 2010
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Bahnasawi, K. Salim Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb: Menuju Pembaruan
Gerakan Islam, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema
Insani, 2004
Baidan, Nasruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik terhadap Idologi-ideologi Pembangunan,
terj. Ikhsan Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama
RI, 2007
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 1997, jilid 1
Espocito, John L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Penerjemah: Eva Y.
N dkk,. Bandung: Mizan, 2001
Ghazali, Abd Muqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Quran. Depok: Katakita, 2009
Hamka, Tafsir al-Azhar juz 15. Jakarta:PT Pustaka Panjaimas, 1984
92
Hasan, Abu, dalam kata pengantar buku Sayyid Quthb, Fiqih Dakwah
(Maudhu‟at Fi al-Da‟wah wa al-Harakah), Penerjemah: Suwardi Effendi,
Rosyid Asyrofi. Jakarta: Pustaka Amani, 1995
Hasim, Zainuddin dan Ridwan Mohammad Nor, Tokoh-tokoh Gerakan Islam
Abad Modern. Kuala Lumpur, Jundi Resources, 2009
Hidayat, Komaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta:Noura Books, 2012
Hidayat, Nuim, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta:
Gema Insani, 2005
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, tt
Imdadun Rahmat, Muhammad, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2005
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia, 2007
Al-Kaṣshaf, Abi al-Qasim Jaranah Mahmud Ibn „Umar al-Zamakhshari al-
Khawarizmy, al-Kasshaf . Bairut:Dar al-Ma‟rifah
Al-Kẖalidi, Shalah Abdul Fatah , Pengantar Memahami Tafsir Fi-Zilalil al-
Quran, Terjemah: Salafuddin Abu Sayyid. Surakarta: Era Intermedia,
2001
_______, Shalah Abdul Fatah, Madkhal ila Zilal al-Qur‟an, Cet. III; Al-Ardun:
Dar Ammar, 2000
_______, Shalah Abdul Fatah, Tafsir Metodologi Pergerakan. Jakarta: Yayasan
Bunga Karang, 1995
_______, Shalah Abdul Fattah, Sayyid Quthb al-Adib al-Naqid wa Da‟iyah al-
Mujahid wa al-Mufakkir al-Mufassir al-Raid
Lubis, Ridwan, Agama dan Perdamaian (Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2017
Malik, Syekh Abdul bin Abdul Karim amrullah, Tafsir al-Azhar. Jakarta; Gema
Insani, 2015
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002
93
Al- Mâraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustafa al-Babi al-
Hilbi, 1946 M
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme,
Multikulturalisme. Jakarta :Fitrah, 2007
Mujani, Saiful, Muslim demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,
2007
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir. Yogjakarta:
Balai Pustaka Progresif, 2005
Al-Munawar, Said Agil Husain, Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: PT
Ciputat Press, 2005
Nazir, Muhammad, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003
Al-Nisaburi, Al-Wahidin, Penerjemah Moh. Syamsi, Asbabun Nuzul (sebab-
sebab turunnya ayat-ayat al-Quran). Surabaya : Amelia Surabaya, 2014
Pambayun, Eliys Lestari , One Stop Qualitative Research Methodology In
Comunication. Jakarta:Lentera Ilmu Cendekia, 2013
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka,
2005
Al-Qurẖtubi, Imam, Tafsir Al Qurthubi, Jil. 18, Ter. dari al- Jami‟ Li Ahkam al-
Qur‟an oleh Dedi Rosyadi, dkk. Jakarta: Pustaka Azam, 2009
_______, Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi. t.tp:
Dar al-Sha‟b, 2181
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran (dibawah naungan quran). Jakarta: Gema
Insani Press, 2004
Rohan, Abujamin, Ensiklopedi Lintas Agama. Jakarta:Emerld, 2009
Saifuddin Anshari, Endang, Wawasan Islam, Pokok-pokok pikiran tentang
paradigma dan sistem islam. Jakarta: Gema Inshani Press, 2004
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1994
_______, M. Quraish, al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati, 2002
_______, M. Quraish, Lentera al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan.
Bandung: Mizan, 2008
94
_______, M. Quraish, Membumikan Al-Quran (fungsi dan peran wahyu dalam
masyarakat). Bandung:Mizan 1997
Soekanto, Sorjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:Rajawali,1982
Al-Sheikh , Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu
Katsir, Ter. Lubaabut Tafsiir Min Ibnu Katsiir oleh M. Abdul Ghoffar &
Abu Ihsan al-Atsari, Jilid 8. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2005
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, Ter.
dari Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul oleh Tim Abdul Hayyie.
Jakarta: Gema Insani, 2009
Syarbini, Amirulloh dkk, Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
Bandung: Quanta, 2011
Ath-Tẖabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari, Ter. dari
Jami‟Al Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Faturozi. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009
Wijayani, Novan Ardy, Pendidikan Agama Islaam Berbasis Pendidikan Karakter.
Bandung: Alfabeta, 2013
Yasir, Muhammad. “Makna Toleransi dalam al-Quran,” Jurnal Ushuluddin, vol.
Xxii No.2 Juli, 2014
Yusuf Ali, Abdullah, Tafsir Yusuf Ali Teks, Terjemahan dan Tafsir Qur‟an 30 Juz.
Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Yusuf, Ali Anwar, Wawasan Islam. Bandung: CV PustakaSetia, 2002
Yusuf, M.Yunan, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟Allah “Bun-yanun
MarshuhBangunan Kokoh Rapi,”. Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014
Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj,
Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, 1991 M/1411H