early goal directed therapy

27
LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI Early Goal Directed Therapy (EGDT) Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Disusun oleh : Orieza Sativa N. 22010113210117 Pembimbing : dr. Haris Lutfi KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014

Upload: oriezasn

Post on 22-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

egdt

TRANSCRIPT

Page 1: Early Goal Directed Therapy

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

Early Goal Directed Therapy (EGDT)

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Orieza Sativa N. 22010113210117

Pembimbing :

dr. Haris Lutfi

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2014

Page 2: Early Goal Directed Therapy

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Orieza Sativa N.

NIM : 22010113210117

Bagian : Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas

Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang

Pembimbing : dr. Haris Lutfi

Semarang, 16 Juli 2014

Pembimbing,

dr. Haris Lutfi

Page 3: Early Goal Directed Therapy

Rivers (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa metode resusitasi yang

berorientasi pada perbaikan oksigenasi jaringan sebagai tujuan akhir (end point) di unit gawat

darurat, telah berhasil menurunkan angka mortalitas syok sepsis menjadi 16%. Resusitasi

yang dikembangkan oleh Rivers dkk ini lebih kita kenal dengan metode resusitasi Early Goal

Directed Therapy (EGDT). Kelompok studi The Surviving Sepsis Compaign (SSC) sejak

tahun 2003 telah mengembangkan pedoman pengelolaan pasien dengan sepsis dalam bentuk

rekomendasi. Pada edisi revisi tahun 2008 kelompok studi sepsis ini merekomendasikan

EGDT sebagai metode resusitasi pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis 6 jam pertama

pasien datang.1

Penilaian awal hemodinamik pada temuan pemeriksaan klinis, tanda vital, central venous

pressure /CVP, dan jumlah urin (urinary output) gagal mendeteksi keadaan hipoksia jaringan

sistemik. Strategi resusitasi definitif yang berorientasi sasaran (Goal Directed Therapy)

dengan memanipulasi cardiac preload, afterload, dan kontraktilitas untuk mencapai

keseimbangan systemic oxygen delivery/DO2 dan kebutuhan oksigen (oxygen demand).

Hasil akhir yang diharapkan adalah tercapainya nilai normal dari saturasi oksigen vena

sentral (central venous oxygen saturation/ScvO2.), konsentrasi laktat, base deficit, dan

pH. Saturasi oksigen vena sentral adalah petunjuk yang mewakili nilai kardiak indeks yang

merupakan target terapi homodinamik. Pada beberapa kasus pemasangan kateter arteri

pulmonalis (pulmonary-artery catheter) dinilai tidak praktis, pengukuran saturasi oksigen

vena (venous oxygen saturation) dapat diukur di sirkulasi sentral.1

Dalam perkembangannya protokol untuk penatalaksanaan sepsis berat dan syok sepsis

pemeriksaan nilai serum laktat sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah pasien masuk

ke IGD walau pun pada pasien tidak dijumpai adanya hipotensi, peningkatan nilai serum

laktat ≥ 4 mmol/L merupakan indikasi terjadinya hipoksia dan perlu tindakan EGDT segera

untuk optimalisasi pasien.1

Page 4: Early Goal Directed Therapy

Resusitasi metode Early Goal Directed Therapy (EGDT) adalah2 :

Page 5: Early Goal Directed Therapy

1 Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama3

Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi pasien dengan sepsis  berat

dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan

mortalitas kasus sepsis berat dan syok septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula

secara simultan dilakukan manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta

pemasangan akses intravena (circulation).

1.1       Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik

Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada pasien dengan tanda-tanda

infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis bila trias di atas ditemukan,

disertai dengan perubahan status mental yang bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung,

mengantuk, hingga penurunan kesadaran yang lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik

diketahui berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada susunan saraf

pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan kesadaran.

Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan perfusi jaringan

yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis. Syok septik dibedakan ke dalam

2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang

tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai

oleh curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah. Stadium

awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta

gangguan kesadaran. Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih

lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir ditandai dengan

hipotensi.

Page 6: Early Goal Directed Therapy

1.2       Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen

Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan mengacu pada Pediatric

Advanced Life Support (PALS), di antaranya dengan memposisikan kepala, serta pemberian

terapi oksigen.

1.3       Memasang akses intravaskular

Setelah terpasang akses intravena segera diambil sampel darah untuk pemeriksaan penunjang.

2 Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya

Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi cairan hingga

didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap tanda-

tanda overload cairan. Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik seperti

hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang mungkin ditemukan, dan

pemberian antibiotik empiris spektrum luas.

2.1       Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik3

2.1.1 Volume cairan resusitasi

Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan dengan sepsis berat,

didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah

jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari penelitian Han dkk (2003)

pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik, didapatkan pula bahwa kelompok non-

survivor menerima volume cairan resusitasi lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan

dilanjutkan dengan terapi inotropik.

Page 7: Early Goal Directed Therapy

Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan inisial diawali

dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan

pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung, produksi

urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar

sehingga awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb, namun dapat mencapai

hingga 200 mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan

memperhatikan adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya usaha nafas pasien,

ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya berat badan lebih dari

10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan lain untuk

mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila didapatkan oliguria,

atau continuous renal replacement therapy (CRRT) bila diperlukan.

Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland (2004) didapatkan

bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik perlunya

resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya

terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.

2.1.2Jenis cairan resusitasi

Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok septik bersifat liberal. Secara

umum, cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga

disarankan sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. Penelitian di India yang dilakukan

oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik

yang diresusitasi dengan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang

berlawanan didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi dengan

cairan koloid dapat menyebabkan efek samping berupa gangguan hemostasis. Pada saat ini

Page 8: Early Goal Directed Therapy

penelitian klinis banyak dilakukan untuk mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis

dalam resusitasi sepsis berat dan syok septik.

2.2       Koreksi hipoglikemia

Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan gangguan kesadaran. Keadaan

ini dapat dikoreksi dengan pemberian Dextrose-10% pada cairan rumatan dengan kecepatan 

8 mg/kg/menit pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada

remaja. Bila disertai dengan kegagalan fungsi hati, penderita mungkin membutuhkan

kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai 16 mg/kgbb/menit. Hiperglikemia

dapat pula menyertai keadaan sepsis, yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu >

140 mg/dL. Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan Dextrose-5%

dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin. Direkomendasikan untuk mempertahankan

kadar glukosa > 80 dan <150 mg/dL. Insulin reguler yang digunakan dalam bentuk bolus atau

infus kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 – 0,1 U/kgbb/jam (2,5

U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan kecepatan 0,5 – 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10

gram dextrose.

2.3       Koreksi hipokalsemia

Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5 –10,5 mg/dL untuk

kalsium total dan 4,0 – 5,0 g/dL ion kalsium dalam darah. Hipokalsemia dapat menyebabkan

gangguan kontraktilitas dan irama jantung, selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan

neuromuskuler lainnya. Koreksi hipokalsemia dapat diberikan peroral atau intravena. Pasien

dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb

dalam waktu 10-20 menit. Infus kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan

Page 9: Early Goal Directed Therapy

dengan dosis awal 10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran

serum kalsium selanjutnya.

2.4       Pemberian terapi antibiotik

Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis, dengan penggunaan antibiotik

empiris berspektrum luas di awal terapi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian

antibiotik cepat dan sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan

sepsis. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas dapat

menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.

Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang peranan penting. Dari

penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam 4 jam pertama berhubungan dengan

menurunnya mortalitas hingga 6,8% sejak pasien datang ke rumah sakit, dan menurunkan

mortalitas hingga 11,6% dalam 30 hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi

lama perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008, direkomendasikan pemberian

antibiotik dalam 1 jam pertama setelah dilakukan pengambilan kultur. Durasi terapi antibiotik

yang dianjurkan yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun pada

pasien dengan neutropenia, durasi terapi antibiotik dapat diperpanjang hingga 14 hari.

Keputusan untuk menghentikan pemberian antibiotik bergantung pada penilaian klinis.

Terapi kombinasi antimikroba dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan  monoterapi,

sebagaimana dilaporkan dari penelitian Micek dkk.

3 Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya

Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik responsif atau refrakter

terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter terhadap cairan bila belum menunjukkan

perbaikan hemodinamika setelah mendapat terapi cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah

Page 10: Early Goal Directed Therapy

selanjutnya pada pasien dengan syok septik yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan

secara simultan melakukan pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik dan

Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit berikutnya dijelaskan

sebagai berikut:

3.1       Memulai pemberian inotropik dan vasopresor

Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal merupakan ciri

dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium selain juga terdapat

gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan

pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta

mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus

dilakukan usaha secepat mungkin untuk mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu,

vasopresor diberikan segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif

direkomendasikan bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai dengan 40

mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi

dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin.

Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi meningkatkan tekanan darah dan curah

jantung. Dopamin lebih poten dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering menyebabkan

takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi sirkulasi renal dan

mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit, dopamin memiliki efek inotropik

positif dan kronotropik positif, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan

vasokonstriksi perifer. Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok septik

yang resisten dengan terapi dopamin meningkatkan risiko mortalitas. Bila syok refrakter

Page 11: Early Goal Directed Therapy

terhadap terapi dopamin, maka diberikan epinefrin. Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05-

0.3 mcg/kgbb/menit.

Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin. Norepinefrin pada dosis 1-20

mikrogram/menit baik untuk meningkatkan MAP, resistensi vaskuler sistemik, penghantaran

oksigen jaringan. Dobutamin dapat digunakan sebagai agen inotropik pada pasien dengan

curah jantung yang rendah, diberikan dengan dosis 2,5–20 mikrogram/kgbb/menit.

3.2       Mempertahankan jalan nafas

Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians paru. Keputusan untuk

melakukan intubasi bergantung pada penilaian klinis usaha nafas pasien, adanya

hipoventilasi, atau akibat penurunan kesadaran. Intubasi dipertimbangkan pada pasien dengan

syok refrakter disertai dengan tanda gagal nafas, penurunan kesadaran, serta untuk

pemantauan hemodinamik invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat membantu

mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40% curah jantung diperlukan untuk mendukung

fungsi pernafasan, sehingga ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paru-

paru. Meningkatnya tekanan intratorakal juga berperan menurunkan afterload ventrikel kiri,

sehingga dapat membantu pasien dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskuler perifer

yang tinggi.

Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-intubasi pada pasien dengan

syok septik. Ketamin bekerja dengan cara menghambat transkripsi factor-kappa B dan

mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik, namun mempertahankan fungsi adrenal,

sehingga mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler. Ketamin untuk fungsi sedasi

diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb i.v. Ketamin juga dapat berfungsi sebagai infus

Page 12: Early Goal Directed Therapy

analgesia dan atau sedasi untuk mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat

dilakukan pemasangan ventilasi mekanik.

Pasien dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome ditargetkan mendapat

volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau pressure < 30 cm H2O, strategi permissive

hypercapnia untuk meminimalkan plateau pressuredan volume tidal. Positive End Expiratory

Pressure (PEEP)  juga diterapkan untuk mencegah kolaps alveolar di akhir ekspirasi.

Posisi prone pada suatu penelitian multisenter didapatkan berguna untuk memperbaiki

hipoksemia.

4 Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan Intensif3

Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi katekolamin, maka

penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian hidrokortison. Bila jelas faktor

risikonya, maka disarankan pemberian hidrokortison secara intermiten atau infus kontinu

dengan dosis mulai 1-2 mg/kgbb/hari, dititrasi hingga 50 mg/kgbb/hari.

Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol basal < 18 µg/dL kadar

puncakACTH-stimulated cortisol < 18 µg/dL. Pemberian hidrokortison jangka panjang (6

mg/kgbb/hari selama 7 hari) telah dilaporkan pada pasien dewasa. Penelitian multisenter di

Eropa oleh CORTICUS (Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada 499 pasien dengan

syok septik, membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison dosis rendah dan

kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan

mortalitas di antara kedua kelompok.

Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis diseminata. Kortikosteroid

dapat bermanfaat pada stadium awal dari sepsis. Sebagai alternatif bila tidak tersedia

hidrokortison maka dapat diberikan metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis intravena atau

Page 13: Early Goal Directed Therapy

deksametason 3 mg/kgbb/dosis intravena. Pemberiannya dapat diulang 4 jam kemudian,

namun bila tidak memberikan respon maka pemberiannya dihentikan.

Pasien dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan tampilan klinis curah jantung

rendah/resistensi vaskuler sistemik tinggi, curah jantung tinggi/resistensi vaskuler sistemik

rendah, atau curah jantung rendah dengan resistensi vaskuler sistemik rendah. Oleh karena

itu, pemantauan hemodinamik dapat dilakukan dengan pemasangan kateter vena sentral, serta

monitoring kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan CVP dengan target mencapai

MAP-CVP dan ScvO2 > 70%. Untuk mempertahankan saturasi tersebut juga dilakukan

dengan mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL. Saturasi vena sentral (ScvO2) akan

memberikan informasi keseimbangan antara kebutuhan dan pemenuhan oksigenasi di

jaringan, yang dilaporkan berhasil mengurangi mortalitas hingga 40% dibandingkan pada

pasien yang tidak dilakukan pemantauan ScvO2. Flow ScvO2 juga berguna untuk

memperkirakan aliran darah dari otak. Nilai > 40 mL/kgbb/menit berhubungan

dengan outcome neurologis yang lebih baik dan juga survival pasien.

Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan terhadap keberhasilan

penatalaksanaan syok, khususnya pada keadaan syok yang refrakter, yaitu karena titrasi

cairan, inotropik, dan vasopresor ataupun vasodilator dilakukan dengan memerhatikan

parameter-parameter di atas.

4.1Cold shock dengan tekanan darah normal

Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian epinefrin, untuk mencapai

ScvO2> 70%, dengan mempertahankan kadar hemoglobin > 10 g/dL. Bila kadar ScvO2 masih

di bawah 70%, kemungkinan didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah, tekanan

darah normal, dengan resistensi vaskuler sistemik yang tinggi. Hal ini serupa dengan pasien

Page 14: Early Goal Directed Therapy

yang mengalami syok kardiogenik, yang dalam penatalaksanaannya bertujuan untuk

mengurangi afterload untuk memperbaiki aliran darah dengan

berkurangnya afterload ventrikel, sehingga akan dapat meningkatkan pengosongan ventrikel.

Oleh karena itu, nitroprusside atau nitrogliserin menjadi vasodilator lini pertama pada syok

resisten epinefrin dengan tekanan darah normal. Vasodilator diberikan dengan sebelumnya

dilakukan loading cairan terlebih dahulu. Nitrogliserin pada dosis 10-60 µg/menit dapat

membantu menurunkan afterload. Vasodilator yang termasuk di dalamnya yaitu Milrinone,

yang pemberiannya dipertimbangkan bila masih didapatkan curah jantung yang

rendah. Milrinone (Primacor®) diberikan dengan dosis 50 mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit,

dilanjutkan dengan infus kontinu 0,5 – 0,75 mcg/kgbb/menit dan dititrasi hingga tercapai efek

yang diinginkan.

4.2 Cold shock dengan tekanan darah rendah

Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah, tekanan darah yang

rendah, serta resistensi vaskuler perifer yang rendah pula. Untuk penatalaksanaan selanjutnya

yaitu dilakukan titrasi cairan dan epinefrin untuk meningkatkan tekanan darah diastolik dan

meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Bila tekanan darah yang adekuat sudah tercapai,

maka untuk memperbaiki Cardiac Index dan mencapai ScvO2 > 70% dapat diberikan

dobutamin, selain itu kadar Hb juga dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien masih hipotensi,

pertimbangkan pemberian norepinefrin. Bila ScvO2 masih di bawah 70%, pertimbangkan

pemberian dobutamin, milrinone, enoximone, atau levosimendan. Levosimendan bekerja

dengan cara meningkatkan sensitivitas kalsium dari aparatus kontraktil miokardium, juga

berfungsi seperti halnya type III PDE inhibitor-activity lain. Enoximone juga merupakan type

III PDE inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang diproduksi β-1

Page 15: Early Goal Directed Therapy

aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat memperbaiki performa jantung dengan

lebih sedikit efek hipotensi.

4.3Warm shock dengan tekanan darah rendah

Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi, dan resistensi perifer yang

rendah. Maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian titrasi cairan dan

norepinefrin, untuk mempertahankan ScvO2 > 70%. Bila masih didapatkan hipotensi,

pertimbangkan vasopresin, terlipresin, atau angiotensin untuk memperbaiki tekanan darah;

namun perlu diperhatikan pula bahwa obat-obat vasokonstriktor di atas dapat menyebabkan

berkurangnya curah jantung, sehingga dalam penggunaan obat tersebut direkomendasikan

dengan pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila ScvO2 masih di bawah 70%

pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis rendah. Vasopresin (Vasopressin®,

Pitressin®) diberikan dalam infus kontinu  mulai dari 0.5 mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan

tiap 30 menit sesuai kebutuhan hingga maksimal 10 mili-unit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).

4.4       Syok resisten katekolamin yang persisten

Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan di atas, maka dikatakan

sebagai syok resisten katekolamin yang persisten. Untuk itu perlu disingkirkan dan diperbaiki

berbagai keadaan yang berkontribusi terhadap syok refrakter terapi cairan dan katekolamin,

di antaranya yaitu adanya efusi perikardial, pneumotoraks, peningkatan tekanan

intraabdomen lebih dari 12 mmHg. Pertimbangkan pula kemungkinan adanya perdarahan,

keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian kontrol pengendalian infeksi (misalnya jenis dan

dosis antibiotik yang diberikan belum memadai). Pada saat ini, dipertimbangkan untuk

memandu titrasi cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi hormonal dengan

pemasangan akses arteri pulmonalis, PICCO (pulse contour cardiac output), atau Femoral

Page 16: Early Goal Directed Therapy

Arterial Thermodilution  (FATD) Cathether, dan atau ultrasonografi doppler untuk

memantau curah jantung. Kateter arteri pulmonalis dapat mengukur tekanan penutupan arteri

pulmonaris sehingga dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel kiri, serta dapat digunakan

untuk menentukan kontribusi relatif fungsi ventrikel kanan dan kiri. PICCO berguna untuk

memperkirakan volume akhir diastolik keseluruhan ruang jantung serta mengukur cairan paru

ekstravaskuler, sehingga dapat membantu penilaian apakah preload sudah adekuat atau

belum. Monitoring non-invasif seperti penggunaan pulse oxymetri, saturasi oksigen vena per-

kutan, dan lainnya masih dalam tahap evaluasi. Tujuan terapi pada saat ini yaitu mencapai

dan mempertahankan Cardiac Index  3.3 – 6 L/menit/m2.

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan salah satu alternatif terapi yang

perlu dipertimbangkan, telah dilakukan secara terbatas pada syok yang refrakter dan atau

keadaan gagal nafas yang tidak bisa ditangani dengan terapi konvensional. ECMO telah

dilakukan pada pasien dengan syok septik, namun pengaruhnya sendiri masih belum jelas.

Penelitian yang menganalisis 12 pasien sepsis dengan ECMO, 8 orang di antaranya bertahan

hidup dan padafollow up rentang 4 bulan hingga 4 tahun, didapatkan bahwa rata-rata setelah

1 tahun mereka dapat menjalani kehidupan dengan normal.

4.5       Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-target terapeutik

Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi denyut jantung, waktu

pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas yang hangat, produksi urin yang cukup

(> 1mL/kgbb/jam), skala kesadaran yang normal, serta kadar glukosa dan kalsium yang

normal. Tujuan akhir lainnya yang juga digunakan pada populasi dewasa yaitu berkurangnya

kadar laktat serum serta defisit basa, ScvO2 > 70% atau SvO2 > 65%, CVP 8-12 mmHg atau

dengan metode lainnya untuk menilai fungsi pengisian jantung, yaitu mencapai dan

mempertahankan Cardiac Index  3,3 – 6 L/menit/m2. Target pencapaian ScvO2 > 70%,

Page 17: Early Goal Directed Therapy

didukung pula dengan transfusi PRC bila hematokrit kurang dari 30%, maupun dengan

pemberian inotropik. Untuk pemberian transfusi, sebuah penelitian multisenter terandomisasi

mendapatkan bahwa batas ambang transfusi Hb 7 g/dL dibandingkan dengan ambang batas

Hb 9,5 g/dL, ternyata memberikan outcome yang sama. Namun, dalam rangka memperbaiki

penghantaran oksigen ke jaringan, Hb dipertahankan di atas 10 g/dL. 

Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak pasien masuk unit gawat darurat

maupun pada tempat perawatan intensif, ternyata berhasil menurunkan morbiditas dan

mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok septik.

Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan dukungan mutlak institusi

dalam hal penyediaan sarana dan prasarana. Klinisi juga diharapkan meningkatkan

keterampilan dalam prosedur tindakan yang diperlukan dalam implementasi EGDT.

Page 18: Early Goal Directed Therapy

DAFTAR PUSTAKA

1. Diambil dari:

Rivers,2001 http://scalpel.stanford.edu/articles/Goal%20directed%20therapy.pdf

2. Diambil dari : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa010307

3. Diambil dari : http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Bundle-

6Hour-Step2a-CVP.pdf