efek antioksidan sirup kombinasi dari ekstrak bunga …
TRANSCRIPT
EFEK ANTIOKSIDAN SIRUP KOMBINASI DARI EKSTRAK
BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DAN EKSTRAK
DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L.) PADA TIKUS PUTIH
YANG DIINDUKSI MINYAK JELANTAH
THE ANTIOXIDANT EFFECT OF SYRUP OF COMBINATION
OF ROSELLE (Hibiscus sabdariffa L.) FLOWER EXTRACT
AND BASIL (Ocimum sanctum L.) LEAF EXTRACT ON WHITE
RATS INDUCED BY USED COOKING OIL
MUHAMMAD IQBAL
P2501213003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
EFEK ANTIOKSIDAN SIRUP KOMBINASI DARI EKSTRAK
BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DAN EKSTRAK
DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L.) PADA TIKUS PUTIH
YANG DIINDUKSI MINYAK JELANTAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar magister
Program Studi
Megister Ilmu Farmasi
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD IQBAL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Iqbal
Nomor Mahasiswa : P2501213003
Program Studi : Megister Ilmu Farmasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain, apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar,10 Agustus 2017
Yang menyatakan,
Muhammad Iqbal
PRAKATA
Bismillahi Arrahmani Arrahim
Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu
wata’ala atas segala rahmat, hidayah, nikmat kesehatan dan kesempatan
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat merampungkan
penyusunan tesis ini.
Penyusunan tesis ini mengalami banyak kendala dan hambatan,
namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tesis
ini dapat dirampungkan. Penulis tulus menghaturkan terima kasih atas
arahan, bimbingan, saran dan motivasi dari Ibu Dr. Aliyah, M.S., Apt. dan
Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. selaku komisi penasehat dalam
penelitian dan penyusunan tesis ini, semoga diberi keberkahan atas
segala ilmu yang telah dianugerahkan.
Pada kesempatan ini pula penulis ucapkan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Latifah Rahman, DESS, Apt., Ibu Yulia Yusrini Djabir, M.Si.,
MBM.Sc., Ph.D., Apt., Ibu Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt selaku
komisi penguji atas segala masukan serta ilmu yang diberikan selama
proses penyelesaian hingga ujian akhir tesis ini.
2. Dekan Fakultas Farmasi, Ketua Program Pascasarjana Famasi,
beserta seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi UNHAS; atas segala
ilmu, nasehat, saran dan motivasi yang telah diberikan selama penulis
menjalani perkuliahan.
3. Orang tua tercinta, H. Hamjang dg. Taba dan Hj. Hismiati dg. Sunggu,
yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis.
4. Istri tersayang, Suraedah, S.Pd yang tidak bosan-bosannya memberi
semangat dan cinta untuk menyelesaikan tesis ini.
5. Keluarga penulis, H. M. Hasbullah Passrah, Mardiyah Tanjengan
Passrah, Annisa Khusnul Khatimah Passrah, Anta Mu’min Passrah,
Siti Naat Passrah, Tasmawati Tahir, Fahruddin Achmad, dan Masyita
Hista yang tidak ragu memberikan pendapat dan pendapatannya.
6. Laboran dan tim asisten Laboratorium Biofarmaka, Farmasetika,
Biofarmasi dan Kimia Farmasi, atas bantuan dan sumbangsinya
selama melakukan penelitian ini.
7. Keluarga besar farmasi UNHAS khususnya Pascasarjana angkatan
2013 dan 2014, keluarga besar MAPALA UIM yang siap membantu
penulis kapan saja, dan keluarga besar F-MIPA UIM yang selalu
mengingatkan penulis akan penyelesaian tesis ini.
Besar harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak demi pengembangan ilmu dan kesehatan di masa
mendatang.
Makassar, Agustus 2017
Muhammad Iqbal
ABSTRAK
MUHAMMAD IQBAL. Efek Antioksidan Sirup Kombinasi dari Ekstrak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dan Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) pada Tikus Putih yang Diinduksi Minyak Jelantah (dibimbing oleh Aliyah dan Gemini Alam)
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak bunga rosella, ekstrak daun kemangi dan kombinasinya.
Tahapan metode penelitian ini, yaitu: (1) bunga rosela dan daun
kemangi masing-masing diekstraksi dengan etanol 70% menggunakan metode maserasi; (2) ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi diuji aktivitas antioksidannya secara in vitro menggunakan pereaksi DPPH; dan (3) ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi diformulasi dalam enam formula sediaan sirup, yaitu: F1 mengandung 1 g ekstrak bunga rosella; F2 mengandung 1 g ekstrak bunga rosela dan 0,4 g ekstrak daun kemangi; F3 mengandung 0,8 g ekstrak bunga rosela dan 0,6 g ekstrak daun kemangi; F4 mengandung 1,2 g ekstrak bunga rosela dan 0,2 g ekstrak daun kemangi; F5 mengandung 0,4 g ekstrak daun kemangi; dan F6 sebagai kontrol negatif tidak mengandung ekstrak. Kemudian, diuji efektivitasnya terhadap tikus putih yang diinduksi minyak jelantah selama 14 hari dan ditandai kenaikan kadar malondialdehid (MDA) plasma darah.
Hasil penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa ekstrak bunga
rosela memiliki aktivitas antioksidan lemah dengan nilai IC50 212,1 µg/ml; ekstrak daun kemangi memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 31,63 µg/ml; dan ekstrak kombinasi bunga rosela dan daun kemangi dengan perbandingan 1:1, 1:2 dan 2:1 memiliki aktivitas antioksidan kuat dengan nilai IC50 70,33 µg/ml, 56,92 µg/ml, dan 57,90 µg/ml. Adapun, hasil uji secara in vivo menunjukkan sirup ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi dan memiliki efektivitas menurunkan kadar MDA tikus pada F1, F2, F3, F4 dan F5 yang berbeda nyata dengan F6 (p<0,05).
Kata kunci: bunga rosela, daun kemangi, sediaan sirup, antioksidan, DPPH, malondialdehid.
ABSTRACT
MUHAMMAD IQBAL. The Antioxidant Effect of Syrup of Combination of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) Flower Extract and Basil (Ocimum sanctum L.) Leaf Extract on White Rats Induced by Used Cooking Oil (supervised by Aliyah and Gemini Alam).
The research aimed at investigating the antioxidant activity of roselle flower extract, basil leaf extract and their combination.
The research stages were: (1) each of the roselle flowers and basil
leaves was extracted with the ethanol 70% using the maceration method, (2) the roselle flower extract and basil leaf extract were tested their antioxidant activity by in vitro method using DPPH reagent, and (3) the roselle flower extract and basil leaf extract were formulated in six syrup preparation formulas, such as: F1 containing 1 g of the roselle flower extract; F2 containing 1 g of the roselle flower extract and 0.4 g of the basil leaf extract; F3 containing 0.8 g of the roselle flower extract and 0.6 g of the basil leaf extract; F4 containing 1.2 g of the roselle flower extract and 0.2 g of the basil leaf extract; F5 containing 0.4 g of the basil leaf extract; and F6 as the negative control not containing any extract. They were then tested their effectiveness on to white rats induced with used cooking oil for 14 days and marked the increase of malondialdehyde (MDA) content in blood plasma.
The research results indicates that the in vitro method the roselle
flower extract has the weak antioxidant activity with the value IC50 212.1 μg/ml; the basil leaf extract has the very strong antioxidant activity with the value IC50 31.63 μg/ml; and the combination of the of the roselle flower and basil leaf exstracts with the comparison of 1:1, 1:2 and 2:1 have the strong antioxidant activity with the value of IC50 70.33 μg/ml, 56.92 μg/ml and 57.90 μg/ml. Whereas the in vivo test indicates that the syrup of the roselle flower extract and basil leaf extract have the effectiveness to decrease the rats MDA content on F1, F2, F3, F4 and F5 which are significantly different from F6 (p <0.05).
Keywords: Roselle flower, basil leaf, syrup preparation, antioxidant, DPPH, malondialdehyde.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA iv
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 6
D. Kegunaan Penilitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
A. Uraian Tanaman 8
1. Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) 8
2. Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) 12
B. Tinjauan Tentang Ekstraksi 16
1. Pengertian ekstrak 16
2. Ekstraksi 17
3. Metode ekstraksi maserasi 18
C. Tinjauan Tentang Sirup 19
1. Pengertian sirup 19
2. Bahan tambahan dalam sediaan sirup obat 20
3. Pembuatan sirup 21
4. Stabilitas sediaan sirup 21
D. Uraian Tentang Bahan Tambahan 22
1. Natrium benzoat 22
2. Gliserin 23
E. Tinjauan Tentang Antioksidan 24
1. Radikal bebas 24
2. Antioksidan 25
3. Sumber-sumber antioksidan 26
4. Uji aktivitas antioksidan dengan pereaksi DPPH 27
5. Stres oksidatif 30
6. Malondialdehid (MDA) 31
F. Uraian Tentang Minyak Jelantah 32
1. Minyak goreng jelantah 32
2. Dampak minyak jelantah terhadap kesehatan 33
G. Uraian Tentang Tikus Putih (Rattus novergicus L.) 35
H. Kerangka Teori 37
I. Kerangka Konsep 38
J. Hipotesis 38
BAB III METODE PENELITIAN 39
A. Desain Penelitian 39
B. Waktu dan Tempat Penelitian 39
C. Alat dan Bahan Penelitian 39
1. Alat-alat yang digunakan 39
2. Bahan-bahan yang digunakan 40
D. Prosedur Penelitian 40
1. Penyiapan sampel penelitian 40
2. Pengujian in vitro: metode uji dengan pereaksi DPPH 41
3. Rancangan formula 44
4. Pengujian in vivo: uji efektivitas sirup ekstrak 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 51
A. Ekstraksi 51
B. Pengujian Secara In Vitro 51
1. Penentuan panjang gelombang maksimum larutan DPPH 0,4 mM 51
2. Uji aktivitas antioksidan sampel dengan pereaksi DPPH 52
C. Formulasi Sediaan Sirup Ekstrak 54
D. Pengujian Secara In Vivo 55
1. Penentuan panjang gelombang maksimum kurva baku 55
2. Penetapan kadar MDA plasma darah hewan coba 55
3. Uji normalitas dan uji homogenitas data kadar MDA darah hewan coba 57
4. Uji komparabilitas data kadar MDA darah hewan coba sebelum dan setelah diinduksi minyak jelantah serta setelah pemberian sirup ekstrak 59
5. Uji lanjutan aktivitas antioksidan setelah pemberian sirup ekstrak pada kadar MDA darah hewan coba 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 66
A. Kesimpulan 66
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 67
LAMPIRAN 73
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Data biologis tikus 36
2. Rancangan formulasi sirup antioksidan ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi 44
3. Hasil uji aktivitas antioksidan sampel dengan pereaksi DPPH 52
4. Data kadar MDA plasma darah hewan coba 56
5. Hasil uji normalitas dan uji homogenitas data kadar MDA darah hewan coba 58
6. Hasil uji komparabilitas data kadar MDA darah hewan coba sebelum dan setelah diinduksi minyak jelantah serta setelah pemberian sirup ekstrak 60
7. Hasil uji lanjutan dengan Tukey test 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) 9
2. Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) 13
3. Struktur kimia natrium benzoat 22
4. Struktur kimia gliserin 23
5. Reduksi DPPH dari senyawa peredam radikal bebas 29
6. Bagan kerangka teori 37
7. Bagan kerangka konsep 38
8. Diagram penurunan kadar MDA darah pada setiap kelompok hewan coba 63
9. Pengambilan simplisia segar 97
10. Sediaan sirup antioksidan ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi serta berbagai kombinasinya 97
11. Adaptasi dan pemeliharaan hewan coba tikus putih di Laboratorium Biofarmasi Farmasi UNHAS 98
12. Perlakuan hewan coba: pemberian minyak jelantah dan sirup antioksidan ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi serta kombinasinya 98
13. Pengambilan darah melalui ekor tikus menggunakan Spoit 99
14. Penyimpanan darah dalam tabung vacumtainer dan proses sentrifuge untuk mendapatkan plasma darah 99
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Skema kerja penelitian 73
2. Perhitungan dosis ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi dalam sediaan sirup yang akan dibuat pada larutan uji 74
3. Perhitungan bahan pembuatan sediaan sirup ekstrak 75
4. Penetapan penghambatan DPPH terhadap asam askorbat (vitamin C) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 76
5. Penetapan penghambatan DPPH terhadap ekstrak bunga rosela menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 78
6. Penetapan penghambatan DPPH terhadap ekstrak daun kemangi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 80
7. Penetapan penghambatan DPPH terhadap kombinasi ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi (1:1) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 82
8. Penetapan penghambatan DPPH terhadap kombinasi ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi (1:2) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 84
9. Penetapan penghambatan DPPH terhadap kombinasi ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi (2:1) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 515,5 nm 86
10. Hasil serapan dan pengukuran larutan MDA baku 88
11. Hasil serapan plasma darah dan kadar MDA darah hewan coba sebelum diinduksi minyak jelantah 89
12. Hasil serapan plasma darah dan kadar MDA darah hewan coba sebelum diinduksi minyak jelantah 90
13. Hasil serapan plasma darah dan kadar MDA darah hewan coba sebelum diinduksi minyak jelantah 91
14. Hasil analisis data secara deskriptif menggunakan program SPSS versi 20.0 92
15. Daftar volume maksimal larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada berbagai hewan 96
16. Dokumentasi penelitian 97
17. Rekomendasi persetujuan etik (Exempted) 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tubuh manusia secara terus-menerus terpapar radikal bebas
melalui polusi lingkungan, sinar ultraviolet, asap rokok, kesalahan pola
makan dan gaya hidup, sehingga mengganggu metabolisme sel normal
dan dapat merusak tubuh manusia. Radikal bebas adalah molekul yang
kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan
selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain
(Amelia, 2011).
Radikal bebas dapat berasal dari dalam maupun dari luar tubuh.
Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, misalnya akibat proses
respirasi sel, proses metabolisme, proses inflamasi; sedangkan yang
berasal dari luar tubuh dapat disebabkan oleh paparan asap rokok, asap
kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi,
alkohol, obat, minyak jelantah, bahan racun pestisida dan masih banyak
lagi yang lainnya. Selain itu radikal bebas juga dapat dipicu oleh stres atau
olah raga yang berlebihan (Pham-Huy et al., 2008).
Penggunaaan minyak jelantah, khususnya yang digunakan
dengan cara deep frying dapat terbentuk radikal bebas. Minyak jelantah
adalah minyak goreng yang berasal dari berbagai jenis minyak goreng
dan minyak goreng bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng
makanan pada temperatur 150 – 200C atau ditambahkan dengan minyak
goreng yang sudah digunakan untuk menggoreng sebanyak 3 kali atau
lebih (Lestari, 2010).
Deep frying adalah cara menggoreng yang menggunakan minyak
goreng dalam jumlah banyak, dengan pemanasan berulang dan pada
suhu yang tinggi (Sartika, 2009). Pemanasan yang lama atau berulang
akan mempercepat terjadinya destruksi minyak akibat meningkatnya
kadar peroksida. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemanasan akan
terjadi proses destruksi berupa degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari
minyak goreng. Proses ini dapat meningkatkan kadar peroksida dan
pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik, sehingga
membahayakan bagi tubuh (Oktaviani, 2009).
Tubuh manusia memerlukan suatu substansi penting yakni
antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh dari serangan radikal
bebas dengan meredam dampak negatif senyawa tersebut, namun hal itu
tergantung terhadap pola hidup dan pola makan yang harus benar
(Mega, 2010).
Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa-senyawa
pemberi elektron, sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan
merupakan molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal
bebas dengan mencegah oksidasi sel. Sumber antioksidan alami
umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian
tumbuhan. Senyawa fenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid.
Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti, dimana
flavonoid memiliki kemampuan untuk meredam atau mereduksi radikal
bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Zuhra et al, 2008).
Rosela merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan
sebagai sumber antioksidan. Di beberapa daerah, masyarakat
memanfaatkan bunga rosela sebagai teh, disebut dengan teh merah.
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) adalah tanaman dari keluarga kembang
sepatu. Bunga dan bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
minuman kesehatan. Bunga rosela mengandung senyawa kimia
gossypetin, antosianin, dan glukosida hibiscin. Antioksidan yang
terkandung dalam bunga rosela dapat dimanfaatkan dengan cara
mengolahnya menjadi suatu produk. (Hartiati et al, 2009). Flavonoid
dalam bunga rosela bermanfaat untuk mencegah kanker, terutama yang
dikarenakan radikal bebas, seperti kanker lambung dan leukemia. Hasil
penelitian Formagio et al (2013), menunjukkan bahwa ekstrak metanol
kelopak bunga rosela memiliki aktivitas antioksidan terhadap radikal
DPPH dengan nilai IC50 sebesar 37,15 µg/mL. Selanjutnya penelitian
Suwandi (2012) yang menggunakan ekstrak etanol air bunga rosela pada
dosis 250 dan 500 mg/kg BB untuk menurunkan malondialdehid pada
tikus yang telah diinduksi minyak jelantah menunjukkan hasil signifikan
sampai 28,1 % dan 50,2 %.
Daun kemangi berpotensi sebagai anti mikroba, anti inflamasi,
antioksidan dan analgetik (Joseph, 2013). Kemangi (Ocimum sanctum L),
ditemukan di seluruh daerah semi tropis dan tropis. Kemangi merupakan
salah satu tumbuhan alam yang mudah diperoleh di Indonesia. Kemangi
mengandung tanin, flavonoid, terpenoid, minyak atsiri, asam heksauronat,
pentosa, xilosa, asam metil homoanisat, molludistin dan asam ursolat
(Sudarsono et al, 2002). Flavonoid dari daun kemangi mempunyai efek
antioksidan, membersihkan radikal bebas dan mencegah pertumbuhan
dan penyebaran kanker dengan cara memblok suplai oksigen dan nutrien
(Siddique et al, 2007). Hasil penelitian Venuprasad et al, (2013)
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% daun kemangi memiliki aktivitas
antioksidan yang kuat terhadap DPPH, dengan nilai IC50 16,2 µg/ml.
Selanjutnya penelitian Ramesh dan Satakopan (2009), dengan pemberian
ekstrak etanol 50% daun kemangi dengan dosis 100 dan 200 mg/kg BB
secara oral pada tikus sebelum dan setelah diinduksi kadmium
menunjukkan efek antioksidan dengan penurunan yang signifikan pada
tingkat Lipid Peroxidation (LPO) dan peningkatan yang signifikan pada
tingkat Superoxide dismutases (SOD), Katalase (CAT), Glutathione (GSH)
dan askorbat.
Pengembangan formulasi minuman kesehatan menjadi penting
untuk menghasilkan pangan fungsional bagi masyarakat. Pencampuran
rempah-rempah dalam formulasi minuman kesehatan dapat dilakukan
untuk memperoleh aktivitas yang lebih baik dibandingkan jika hanya
menggunakan secara terpisah/tunggal (Sun et al, 2002).
Untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu zat, dapat dilakukan
beberapa uji, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengujian secara in vitro
dapat dilakukan dengan salah satu metode uji yang menggunakan
pereaksi DPPH (1,1-diphenil-2-pikrilhidrazil). Metode uji dengan pereaksi
DPPH ini dipilih karena pelaksanaannya mudah, sederhana, cepat, peka,
serta hanya membutuhkan sedikit pereaksi DPPH dan sampel (Moluneux,
2004). Pengujian secara in vivo dilakukan dengan mengukur kadar
malondialdehid (MDA) darah. Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh
dapat ditunjukkan oleh rendahnya akitivitas antioksidan dan tingginya
kadar MDA (Dagli et al, 2003). Pemberian minyak jelantah pada tikus
menyebabkan kenaikan kadar MDA mencapai konsentrasi 0,285 mg/ml.
Sedangkan pada keadaan normal konsentrasi MDA tikus adalah
0,1 mg/ml, sehingga antioksidan dalam tubuh tikus tidak mencukupi untuk
menangkal radikal bebas yang disebabkan pemberian minyak jelantah
(Suwandi, 2012).
Dari uraian di atas dapat dilihat adanya kesamaan antara bunga
rosela dan daun kemangi yakni memiliki efek antioksidan, akan tetapi
selama ini pengujian bunga rosela maupun daun kemangi masih
merupakan pengujian dalam sediaan tunggal. Oleh karena itu timbul
pemikiran untuk memformulasikan dalam bentuk sirup yang mengandung
ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi. Dengan mengkombinasi
keduanya, diharapkan memiliki efek antioksidan yang lebih baik dari
sediaan yang dibuat secara tunggal.
Selanjutnya dilakukan pengujian in vitro terhadap ekstrak bunga
rosela dan ekstrak daun kemangi menggunakan pereaksi DPPH, dan
pengujian in vivo terhadap sediaan sirup dari ekstrak bunga rosela dan
ekstrak daun kemangi menggunakan tikus putih (Rattus novergicus L.)
yang diinduksi minyak jelantah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah ekstrak tunggal maupun kombinasi dari bunga rosela dan
daun kemangi memiliki aktivitas antioksidan.
2. Apakah sirup ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun kemangi serta
ekstrak kombinasi keduanya memiliki efektivitas antioksidan pada
tikus putih yang diinduksi minyak jelantah.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Aktivitas antioksidan dari ekstrak tunggal maupun kombinasi dari
bunga rosela dan daun kemangi melalui metode uji dengan pereaksi
DPPH.
2. Efektivitas antioksidan sirup ekstrak bunga rosela dan ekstrak daun
kemangi serta kombinasi keduanya pada tikus putih yang diinduksi
minyak jelantah yang ditandai dengan kadar malondialdehid (MDA)
pada plasma darah.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang efek antioksidan sirup dari ekstrak bunga rosela dan
ekstrak daun kemangi serta ekstrak kombinasi keduanya, serta
diharapkan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tanaman
1. Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Tumbuhan rosela (Hibiscus sabdariffa variates sabdariffa Linn.)
merupakan tanaman asli Afrika tropis. Habitat aslinya berasal dari Nigeria,
tetapi tumbuh berkembang di seluruh dunia, terutama daerah tropis.
Tanaman ini banyak dibudidayakan di Eropa. Rosela di Indonesia
dikenal dengan nama gamet walanda di Sunda dan kasturi roriha di
Ternate (Badan POM RI, 2010)
Serat batang rosela secara tradisional digunakan sebagai bahan
pembuatan karung goni, daun digunakan untuk kosmetik dan
makanan, sedangkan bijinya untuk peluruh air seni, gangguan
pencernaan dan makanan. Kelopak bunga rosela berkhasiat sebagai
obat mual. Bagian tanaman yang berkhasiat adalah bunga. Seduhan
bunga rosela memiliki efek memperlancar buang air besar. Bunga
rosela banyak digunakan untuk mengurangi nafsu makan, gangguan
pernafasan yang disebabkan flu, dan rasa tidak enak di perut
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 2000)
Gambar 1. Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Sumber: Koleksi pribadi
a. Klasifikasi tanaman (Badan POM RI, 2008).
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Subclass : Dialypetalae
Ordo : Malvales
Familia : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Species : Hibiscus sabdariffa L.
b. Morfologi tanaman.
Rosela merupakan tumbuhan semak umur satu tahun, tinggi
tumbuhan mencapai 2,4 m. Batang berwarna merah, berbentuk bulat
dan berbulu; daun berseling 3 – 5 helai dengan panjang 7,5 – 12,5 cm
berwarna hijau, ibu tulang daun kemerahan, tangkai daun pendek. Bentuk
helaian daun bersifat anisofilik, helaian daun yang terletak di bagian
pangkal batang tidak berbagi, bentuk daun bulat telur, tangkai daun
pendek. Daun-daun di bagian cabang dan ujung batang berbagi,
menjadi 3 toreh, lebar toreh daun 2,5 cm, tepi daun beringgit, daun
penumpu bentuk benang; panjang tangkai daun 0,3 – 12 cm, hijau
hingga merah; pangkal daun meruncing, tepi daun beringgit, pangkal
daun tumpul hingga meruncing, sedikit berambut. Bunga tunggal,
kuncup bunga tumbuh dari bagian ketiak daun, tangkai bunga
berukuran 5 – 20 mm; kelopak bunga berlekatan, tetap mendukung
buah, berbentuk lonceng, mahkota bunga berlepasan berjumlah 5,
mahkota bunga berbentuk bulat telur terbalik berwarna kuning
kemerahan; benang sari terletak pada suatu kolom pendukung benang
sari, panjang kolom sampai 20 mm, kepala sari berwarna merah,
panjang tangkai sari 1 mm, tangkai putik berada di dalam kolom
pendukung benang sari, jumlah kepala putik 5 buah. Buah kapsul,
berbentuk bulat telur, ukuran buah 13 – 22 mm x 11-20 mm, tiap
buah berisi 30 – 40 biji. Ukuran biji 3 – 5 mm x 2 – 4 mm, warna
coklat kemerahan (Backer et al, 1963)
c. Kandungan kimia tanaman.
Kandungan kimia bunga rosela adalah alohidroksi asam sitrat,
lakton, asam malat dan asam tartrat. Antosianin yang menyebabkan
warna merah pada tanaman ini mengandung delfinidin-3-
sambubiosida, sianidin-3-sambubiosida sedangkan flavonoidnya
mengandung gosipitrin dan mucilago (rhamnogalakturonan,
arabinogalaktan, arabinan) (Badan POM RI, 2010).
Sterol minyak biji rosela terdiri atas 61,3% β-sitosterol, 16,5%
kampasterol, 5,1% kolesterol, dan 3,2% ergosterol. Karkade (bunga
kering tanpa ovari) mengandung 13% campuran asam sitrat dan
asam malat, 2 antosianin; gosipitr in (hidroksiflavon) dan hibiskin,
asam askorbat 0,004-0,005%. Mahkota bunga mengandung glikosida-
flavon hibiskritin, yang mengandung aglikon hibisketin. Bunga rosela
juga mengandung fitosterol. Bunga kering mengandung 15,3% asam
hibiskat (Essa et al, 2007).
d. Kegunaan Tanaman
Di berbagai Negara telah memanfaatkan bunga rosela untuk
mengatasi berbagai penyakit dan masalah kesehatan. Pemanfaatan
tanaman Rosela ini diantaranya sebagai antiseptik, aprodisiaka, astrigen,
demulsent, digesif, diuretik, purgatif, enthelmentik, refrigerant, resolvent,
sedative, stomahik, tonik, serta mengobati kanker, batuk, dyspepsia,
dysuria, demam, hangover, heart ailmen, hipertensi, neurosis, sariawan,
dan mencegah penyakit hati (Mardiah et al, 2009).
Kandungan theaflavins dan cathecins dalam kelopak bunga rosela
membantu mengontrol kadar kolesterol dalam darah, dengan cara
membatasi penyerapan kolesterol dan meningkatkan pembuangan
kolesterol LDL dari hati. (Arellano et al, 2004).
Flavonoid dalam kelopak bunga rosela bermanfaat untuk
mencegah kanker, terutama yang dikarenakan radikal bebas, seperti
kanker lambung dan leukemia. Selain itu flavonoid juga mempunyai efek
protektif terhadap penyakit-penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi
(Suwandi, 2012). Senyawa flavonoid pada bunga rosela dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme, karena mampu membentuk
senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Polifenol atau
fenol bekerja sebagai antibakteri dengan cara mendenaturasi protein sel
dan merusak membran plasma (Suwandi, 2012).
Berdasarkan penelitian Formagio et al (2013), bahwa ekstrak
metanol kelopak bunga rosela menunjukkan aktivitas yang signifikan
terhadap sel leukemia (K-562), dengan nilai IC50 0,12 mg/L dan 1,16 mg/L.
Pada penelitian Dahiru et al. (2003) yang menggunakan ekstrak etanol air
(1:1) bunga rosela pada dosis 250 dan 500 mg/kg BB untuk penyembuhan
kerusakan hati pada tikus yang telah diinduksi CCl4 menunjukkan hasil
signifikan sampai 67,6 % dan 83,1 %.
2. Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Tumbuhan kemangi (Ocimum sanctum L.) telah dikenal sebagai
ramuan kuliner India dan memiliki manfaat terapeutik yang baik. Dalam
buku Ayurveda, telah digunakan sebagai obat preventif dan kuratif yang
dihasilkan dari interaksi sinergis berbagai sifat fitokimia. Beberapa
penelitian in vitro menggunakan cara kimia untuk membuktikan bahwa
ekstrak daun kemangi sangat kuat menangani efek negatif radikal bebas
pada konsentrasi yang sangat rendah. Studi telah melaporkan efek
perlindungan yang kuat dari ekstrak daun kemangi pada berbagai model
hepatotoxin (etanol, karbon tetraklorida, parasetamol) yang menyebabkan
kerusakan. Ekstrak daun kemangi terpilih untuk melawan keracunan hati
oleh butilparaben (Komal et al, 2012).
Gambar 2. Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Sumber: Koleksi pribadi
a. Klasifikasi tanaman (Badan POM RI, 2008).
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Lamiales
Familia : Lamiaceae
Genus : Ocimum
Species : Ocimum sanctum L.
b. Morfologi tanaman.
Habitus berupa semak semusim, tinggi 30 – 150 cm. Batang
berkayu, segi empat, beralur, bercabang, berbulu, hijau. Helaian daun
berbentuk jorong memanjang, bundar telur atau bundar telur memanjang,
ujung runcing, pangkal daun runcing atau tumpul sampai membundar,
tulang-tulang daun menyirip, tepi bergerigi dangkal atau rata dan
bergelombang, daging daun tipis, permukaan berambut halus, panjang
daun 2,5 cm sampai 7,5 cm, lebar 1 cm sampai 2,5 cm, tangkai daun
berpenampang bundar, panjang 1 cm sampai 2 cm, berambut halus.
Bunga: susunan majemuk berkarang atau tandan, terminal, 2,5 – 14 cm,
di ketiak daun ujung, daun pelindung elip, panjang 0,5-1 cm. Kelopak:
berlekatan berbentuk bibir, 1 membentuk bibir atas, bentuk bulat telur 2-
3,5 mm, 1 bibir bawah membentuk 4 gigi, sisi luar berambut kelenjar, ungu
atau hijau. Mahkota: berbibir; 3 bibir atas, 2 bibir bawah, panjang tabung
1,5-2 mm, cuping mahkota 3-5 mm, putih. Benang sari: 4, tersisip di dasar
mahkota, 2 panjang. Putik: kepala putik bercabang dua, tidak sama. Buah:
kelopak ikut menyusun buah, buah tegak dan tertekan, ujung bentuk kait
melingkar, panjang kelopak buah 6-9 mm. Buah kotak, coklat tua. Biji
kecil, tiap buah terdiri 4 biji, hitam. Akar tunggang, putih kotor (Badan
POM RI, 2008 dan DepKes RI, 1995).
c. Kandungan kimia tanaman.
Daun kemangi mengandung tanin (4,6%), flavonoid, steroid/
triterpenoid, minyak atsiri (2%), asam heksauronat, pentosa, xilosa, asam
metil homoanisat, molludistin serta asam ursolat. Flavonoidnya terdiri dari
flavon epigenin, luteolin, flavon-o-glikosida apigenin 7-o-glukoronida,
luteolin 7-o-glukoronida, flavon C-glukosida orientin, vicenin, cirsilineol,
cirsimaritin, isothymusin, isothymonin (Sudarsono et al, 2002 dan
DepKes RI, 1995).
d. Kegunaan tanaman.
Daun kemangi mempunyai beragam khasiat antara lain: analgetik,
antiamnestik dan nootropik, anthelmintik, antibakterial, antikatarak,
antifertilitas, antihiperlipidemi, antiinflamasi, antioksidan, antistress,
antithyroid, antitusif, antiulkus, kemoprotektif, imunomodulator,
radioprotektif, aktivitas hipoglikemik, aktivitas hipotensif, dan anti kanker.
(Geeta et al, 2011).
Mengkonsumsi ekstrak daun kemangi sejumlah 200 mg/kg BB
selama 30 hari secara oral dapat menurunkan kadar glukosa plasma
dalam darah tikus. Aksi antioksidan daun kemangi terjadi pada 5 level
yaitu: supresi formasi radikal, membersihkan radikal primer,
membersihkan radikal sekunder, meyusun kembali membran, dan
memperbaiki kerusakan. Eugenol dan flavonoid dari daun kemangi yang
larut dalam air mempunyai efek antioksidan, membersihkan radikal bebas
dan mencegah pertumbuhan dan penyebaran kanker dengan cara
memblok suplai oksigen dan nutrient (Ashok et al, 2007).
Berdasarkan penelitian Venuprasad et al, (2013) menyatakan
bahwa ekstrak etanol 70% daun kemangi memiliki aktivitas antioksidan
yang kuat terhadap DPPH, dengan nilai IC50 16,2 µg/ml. Pada penelitian
Ramesh dan Satakopan (2009), dengan pemberian ekstrak etanol 50%
daun kemangi dengan dosis 100 dan 200 mg/kg BB secara oral pada tikus
Wistar albino sebelum dan setelah diinduksi kadmium menunjukkan
penurunan yang signifikan (p<0,01) pada tingkat Lipid Peroxidation (LPO)
dan peningkatan yang signifikan pada tingkat Superoxide dismutases
(SOD), Katalase (CAT), Glutathione (GSH) dan askorbat.
B. Tinjauan Tentang Ekstraksi
1. Pengertian ekstrak
Ekstrak adalah sediaan galenik yang diperoleh dengan
mengektraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian pelarut di uapkan sehingga mencapai
konsistensi encer, kental sampai kering dan diperlakukan sedemikian
hingga memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan (DepKes RI, 1995).
2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair yang sesuai. Simplisia nabati atau hewani yang diekstraksi
mengandung senyawa aktif yang larut dan senyawa yang tidak larut
seperti serat, karbohidrat dan protein. Proses ekstraksi ini akan
menghasilkan produk berupa ekstrak (DepKes RI, 2000).
Proses terekstraksinya zat aktif dalam tanaman adalah pelarut
organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga akan terjadi
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut
organik di luar sel. Perbedaan konsentrasi ini akan menyebabkan larutan
pekat di dalam sel akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang
terus menerus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di
dalam dan di luar sel (DepKes RI, 2000).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut heksan, eter dan
kloroform ditujukan untuk mengambil senyawa dengan kepolaran rendah.
Pelarut alkohol dan etil asetat digunakan untuk mengambil senyawa yang
lebih polar. Pemilihan pelarut berdasarkan like dissolved like yang berarti
suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non
polar akan larut dalam pelarut non polar (DepKes RI, 1986).
Kriteria cairan penyari yang baik adalah mudah didapat dan
murah, stabil secara kimia dan fisika, bereaksi netral, tidak mudah
menguap, selektif, yaitu hanya menarik zat berkhasiat. Pelarut organik
yang paling sering digunakan dalam mengekstraksi zat aktif dari sel
tanaman adalah metanol, etanol, klorofrom, n-butanol, hexan, dietil eter,
aseton, benzen, dan etil asetat. (DepKes RI,1986).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdapat dua cara, yaitu
dengan cara dingin pada metode maserasi dan perkolasi; dan dengan
cara panas, yaitu pada metode refluks, soxhlet, digesti, infus atau dekokta
(DepKes RI, 2000).
3. Metode ekstraksi maserasi
Maserasi (maceration) berasal dari bahasa Latin macerare, yang
artinya “merendam” (Ansel, 1989). Maserasi dilakukan dengan cara
memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam
bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan
dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, diaduk sekali-sekali setiap
hari, lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan
penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi. Gunakan
pelarut yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder yang
terkandung dalam simplisia. Jika tidak dinyatakan lain gunakan etanol
70%. Kumpulkan semua hasil maserasi kemudian uapkan dengan
penguap vakum atau penguap tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak
kental (DepKes RI, 2000).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung
zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung
bahan mudah mengembang dalam cairan penyari. Keuntungan maserasi
adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan
mudah diusahakan, kerugiannya adalah proses pengerjaannya lama dan
penyariannya kurang sempurna. Pengadukan diperlukan untuk meratakan
konsentrasi larutan di luar butir simplisia, dengan pengadukan tersebut
tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya
antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel (DepKes RI, 2000).
C. Tinjauan Tentang Sirup
1. Pengertian Sirup
Sirup (Sirupi) adalah sediaan cair berupa larutan yang
mengandung sukrosa. Kadar sukrosa tidak kurang dari 64,0% dan tidak
lebih dari 66,9%, kecuali dinyatakan lain (Anief, 1997). Sirup merupakan
sediaan pekat dalam air gula atau pengganti gula dengan atau tanpa
penambahan bahan pewangi atau zat obat (Ansel, 1989).
Ada tiga macam sirup yaitu :
1) Sirup simpleks mengandung 65% b/b gula dalam larutan metil paraben
0,25%.
2) Sirup obat, mengandung satu atau lebih jenis obat dengan atau tanpa
zat tambahan dan digunakan untuk pengobatan.
3) Sirup pewangi, tidak mengandung obat tetapi mengandung zat pewangi
atau penyedap lain. Tujuan pengembangan sirup ini adalah untuk
menutupi rasa dan bau obat yang tidak enak.
2. Bahan tambahan dalam sediaan sirup obat
a. Zat pemanis.
Pemanis berfungsi untuk memperbaiki rasa dari sediaan. Pemanis
dibagi menjadi dua, yaitu berkalori tinggi dan berkalori rendah. Pemanis
berkalori tinggi misalnya sorbitol, sakarin, sukrosa. Pemanis berkalori
rendah misalnya laktosa. Sukrosa larut dalam media air, sukrosa tersedia
dalam bentuk murni dengan harga memadai, dan stabil secara kimia dan
fisika pada kisaran pH 4,0 sampai 8,0 (Lachman et al, 1994). Sakarin
digunakan untuk pengganti gula sebagai pemanis. Sakarin 250 atau 500
kali lebih manis dari gula, tetapi mempunyai rasa pahit jika tidak
digunakan dengan tepat dalam formulasi (Lachman et al, 1994).
Sukrosa adalah gula yang diperoleh dari Saccharum officinarum L.
Pemerian sukrosa yaitu hablur putih tidak berwarna, massa hablur atau
berbentuk halus, atau serbuk hablur putih, tidak berbau. Kelarutan mudah
larut dalam air, lebih mudah larut dalam air mendidih, sangat sukar larut
dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan eter. (DepKes RI, 1995)
b. Bahan pengawet.
Diantara pengawet-pengawet yang umum digunakan sebagai
pengawet sirup dengan konsentrasi yang efektif adalah asam benzoat
(0,1 – 0,2%), natrium benzoat (0,1 – 0,2%) dan berbagai campuran metil-,
propil-, dan butil paraben (total kurang lebih 0,1%) (Ansel, 1989).
c. Pengaroma.
Hampir semua sirup menggunakan pengaroma buatan atau bahan
yang berasal dari alam seperti minyak menguap, vanili, dan lainnya untuk
membuat sirup terasa sedap. Sirup adalah sediaan air, pengaroma harus
mempunyai kelarutan dalam air yang cukup, tetapi terkadang sejumlah
kecil alkohol ditambahkan ke sirup untuk menjamin kelangsungan
kelarutan pengaroma yang kelarutannya dalam air buruk (Ansel, 1989).
3. Pembuatan sirup
Sirup sering dibuat dengan empat cara berdasarkan sifat kimia
fisika bahan-bahannya, yaitu: (1) larutan dari bahan-bahan dengan
bantuan panas, (2) larutan dari bahan-bahan dengan pengadukan tanpa
penggunaan panas, (3) penambahan sukrosa dengan cairan obat yang
dibuat atau yang diberi rasa, dan (4) dengan perkolasi dari sumber-
sumber bahan obat atau sukrosa (Ansel, 1989).
4. Stabilitas sediaan sirup
Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang
sangat penting untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan
sediaan farmasi dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai
dengan hilangnya khasiat sediaan (Martin, 1993).
D. Uraian Tentang Bahan Tambahan
1. Natrium benzoat
Jumlah pengawet yang dibutuhkan untuk menjaga sirup terhadap
pertumbuhan mikroba berbeda-beda sesuai dengan banyaknya air yang
tersedia, sifat dan aktivitas serta kemampuan pengawet. Pengawet yang
banyak dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan barbagai bahan
makanan adalah benzoat. Asam benzoat lebih banyak digunakan dalam
bentuk garamnya karena kelarutannya lebih baik daripada bentuk
asamnya. Bentuk garam dari asam benzoat yang banyak digunakan
adalah natrium benzoat yang lebih mudah larut. Benzoat dan turunannya
dapat menghancurkan sel-sel mikroba terutama kapang. Natrium benzoat
mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dan lebih mudah
larut dalam etanol 90% (DepKes RI, 1979 dan Ansel, 1989).
Natrium benzoat memiliki sifat bakteriostatik dan antijamur yang
berkaitan dengan asam benzoat, khasiat pengawet yang terbaik
didapatkan jika larutan bersifat asam (pH 2-5). Dalam kondisi basa hampir
tanpa efek. Konsentrasi yang digunakan untuk sediaan oral 0,02-0,5%
(Wade dan Raul, 1994).
Gambar 3. Struktur kimia natrium benzoat (Wade dan Raul, 1994)
2. Gliserin
Gliserin adalah cairan jernih dengan rasa manis. Sebagai suatu
pelarut dapat disamakan dengan alkohol, tapi karena kekentalannya, zat
terlarut dapat larut perlahan-lahan didalamnya kecuali dibuat kurang
kental dengan pemanasan. Digunakan dalam banyak preparat untuk obat
oral. Gliserin merupakan pelarut yang baik untuk banyak bahan tanaman
karena kemampuannya mengekstraksi dan mencegah zat-zat inert dari
pengendapan bila didiamkan. Gliserin dapat membantu kemantapan dari
ekstrak obat (Ansel, 1989).
Gliserin digunakan dalam berbagai formulasi farmasi seperti
sediaan oral, telinga, mata, topikal, dan parenteral. Dalam larutan oral,
gliserin digunakan sebagai pelarut, bahan pemanis, pengawet antibakteri
dan bahan peningkat viskositas ( Rowe et al, 2009).
Pencampuran langsung dari bahan-bahan tidak selalu dapat
dilaksanakan, penggabungan agen lain diperlukan untuk memastikan
partikel berukuran halus. Levigating agent berfungsi untuk mengurangi
ukuran partikel, contohnya minyak mineral dan gliserin (Madinah, 2008).
Gambar 4. Struktur kimia gliserin (Rowe et al, 2009)
E. Tinjauan Tentang Antioksidan
1. Radikal bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga
molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil
elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari
hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil
penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain.
Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu
dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata.
Untuk mencegah atau mengurangi penyakit kronis karena radikal bebas
diperlukan antioksidan (Amelia, 2011).
Radikal bebas dalam tubuh pada dasarnya berperan dalam
pemeliharaan kesehatan karena sifatnya yang reaktif untuk mengikat atau
bereaksi dengan molekul asing yang masuk ke dalam tubuh.
Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan dalam tubuh
dapat menyebabkan terganggunya sistem metabolisme, hal ini
diakibatkan karena sifat radikal bebas yang dapat menyerang lipid, DNA,
dan protein komponen sel dan jaringan. Radikal bebas merupakan
Reactive Oxygen Species (ROS) yang menyerang molekul disekitarnya
sehingga menyebabkan reaksi berantai terjadi dan menghasilkan radikal
bebas yang beragam, seperti anion superoksida dan hydrogen peroksida,
hidroksi bebas, asam hipoklorous dan peroksinitrat (Vimala et al, 2003).
2. Antioksidan
Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa
pemberi elektron, sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan
merupakan molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal
bebas dengan mencegah oksidasi sel (Dagli et al, 2003).
Antioksidan memiliki peran penting sebagai suatu substansi yang
berkhasiat untuk berbagai penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup
seperti kanker, diabetes, kardiovaskular dan penyakit degeneratif lainnya.
Hal ini berkaitan dengan gaya hidup dan tingkat stres yang terjadi secara
terus-menerus, efek negatif dari polusi dan paparan senyawa kimia
berbahaya. Semua hal tersebut dapat menyebabkan akumulasi radikal
bebas yang berbahaya (Amelia, 2011).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi
tiga kelompok (Suwandi, 2012), yaitu:
a. Antioksidan primer.
Antioksidan primer merupakan antioksidan yang bekerja dengan
cara mencegah terbentuknya radikal bebas yang baru dan mengubah
radikal bebas menjadi molekul yang tidak merugikan. Contohnya adalah
Butil Hidroksi Toluen, Tersier Butyl Hidro Quinon, tokoferol dan alkil galat.
b. Antioksidan sekunder.
Antioksidan sekunder adalah suatu senyawa yang dapat
mencegah kerja pro-oksidan yaitu faktor-faktor yang mempercepat
terjadinya reaksi oksidasi terutama logam-logam. Antioksidan sekunder
berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi
berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.
c. Antioksidan tersier.
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel
dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang
termasuk kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan
reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut
bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker.
3. Sumber-sumber antioksidan
a. Antioksidan alami.
Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari
tumbuhan dan hewan. Adapun contoh dari antioksidan alami adalah
tokoferol, asam askorbat, komponen fenolik, turunan senyawa hidroksinat,
kuramin (Purwaningsih, 2012).
Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber
antioksidan alami, misalnya rempah-rempah, teh, coklat, dedaunan, biji-
biji serelia, dan sayur-sayuran. Sumber antioksidan alami umumnya
merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan.
Senyawa fenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid.
Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti, dimana
flavonoid memiliki kemampuan untuk meredam atau mereduksi radikal
bebas dan juga sebagai anti radikal bebas. Senyawa kimia bahan alam
yang tergolong antioksidan adalah asam ellagik, proantosianidin, polifenol,
karotenoid, astaxantin, tokoferol, dan glutation (Zuhra et al, 2008).
b. Antioksidan sintetik.
Antioksidan sintetik sangat efektif dalam menghambat reaksi
oksidasi lemak, akan tetapi penggunaan antioksidan sintetik banyak
menimbulkan kekhawatiran akan efek sampingnya karena telah banyak
penelitian tentang efek patologis yang ditimbulkannya (Purwaningsih,
2012). Antioksidan sintetik yang diijinkan dan umum digunakan untuk
makanan yaitu BHA (Butylated Hydroxyanisole), BHT (Butylated
Hydroxytoluene), profil galat dan tokoferol (Purwaningsih, 2012).
Penggunaan antioksidan sintetik mulai dibatasi karena dari hasil
penelitian menyatakan bahwa antioksidan sintetik seperti BHT (Butylated
Hydroxy Toluena) dapat meracuni binatang percobaan dan bersifat
karsinogenik (Zuhra, 2008). Telah dilaporkan bahwa penggunaan
antioksidan sintetik seperti Butylated Hydroxyanisol (BHA) dapat
menimbulkan akibat buruk terhadap kesehatan manusia yaitu gangguan
fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan. (Panagan, 2011).
4. Uji aktivitas antioksidan dengan pereaksi DPPH
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari
kemampuannya menangkap radikal bebas. Radikal bebas yang biasa
digunakan sebagai model dalam mengukur daya penangkapan radikal
bebas adalah 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). DPPH merupakan
senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai
pereaksi dalam uji penangkapan radikal bebas cukup dilarutkan,
penyimpanan dalam wadah kering dan kondisi yang baik (Amelia, 2011).
DPPH adalah radikal bebas berbentuk kristal berwarna ungu yang
stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi
aktivitas antioksidan dari beberapa senyawa alami. DPPH menerima
radikal elektron atau radikal hidrogen sehingga akan membentuk molekul
diamagnetik stabil. Kemampuan pengurangan radikal DPPH ditentukan
oleh penurunan jumlah cahaya yang terserap pada panjang gelombang
yang disebabkan oleh antioksidan. Perubahan warna ungu DPPH menjadi
warna kemerahan dapat diukur secara stoikiometri sesuai dengan jumlah
elektron atau atom hydrogen yang ditangkap untuk mendapatkan
pasangan elektron, menjadi troloks, dan mengubahnya menjadi 1-difenil-
2-pikrilhidrazin oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Gurav
et al, 2007 dan Simanjuntak et al, 2004).
DPPH untuk skrining antioksidan merupakan molekul radikal
bebas yang stabil ditandai oleh delokalisasi dengan elektron disekeliling
molekulnya secara keseluruhan dengan baik sehingga tidak akan
membentuk dimer seperti yang terjadi pada kebanyakan radikal bebas
lainnya (Blois, 1958).
Adapun reaksi perubahan pereaksi DPPH dengan senyawa
antiradikal bebas dapat dilihat pada gambar berikut :
Difenilpikrihidrazil (ungu) Difenilpikrihidrazin (kuning)
Gambar 5. Reduksi DPPH dari senyawa peredam radikal bebas
(Simanjuntak et al, 2004)
Parameter daya antioksidan yang digunakan dalam uji DPPH
adalah nilai IC50. IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi
sampel yang mampu menghambat proses oksidasi sebesar 50%.
Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktvitas antioksidan.
Senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang
dari 50 bpj, kuat jika IC50 bernilai 50–100 bpj, sedang jika bernilai 100–150
bpj, dan lemah jika nilai IC50 bernilai 151–200 bpj (Blois, 1958).
Perhitungan kapasitas antiradikal bebas sebagai persen peredaman
DPPH menggunakan persamaan berikut ini:
% aktivitas penghambatan
x 100%
Keterangan : Ao merupakan absorban DPPH dan A1 merupakan
absorban sampel
Konsentrasi sampel dan persen inhibisi (aktivitas penghambatan)
yang diperoleh diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada
persamaan regresi linear. Persamaan tersebut digunakan untuk
menentukan nilai IC50 dari masing-masing sampel yang dinyatakan
dengan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50.
AAI (Antioxidant activity index) adalah nilai yang menunjukkan besarnya
aktivitas antioksidan yang dimiliki suatu ekstrak atau bahan uji. Nilai AAI
ditentukan dengan cara konsentrasi DPPH yang digunakan dalam uji
dibagi dengan nilai IC50 yang diperoleh. Penggolongan nilai AAI ini
dilakukan oleh Scherer dan Godoy. Nilai AAI kurang dari 0,5 menandakan
antioksidan lemah, nilai lebih dari 0,5 sampai 1 menandakan antioksidan
sedang. Nilai AAI lebih dari 1 sampai 2 menandakan antioksidan kuat, dan
nilai lebih dari 2 menandakan antioksidan sangat kuat (Vasic et al, 2012).
5. Stres oksidatif
Stres oksidatif secara terminology menunjukkan adanya produksi
radikal bebas yang berlebihan melebihi kapasitas perlindungan
antioksidan. Radikal bebas yang berasal dari oksigen diklasifikasikan
sebagai Reactive Oxigen Species (ROS). Di dalam tubuh, ROS secara
konstan diproduksi dan dieliminasi, selama sel masih memiliki pertahanan
endogen melawan zat oksidan tersebut. ROS dengan kadar yang rendah
berperanan dalam fisiologi signaling antar sel secara normal, atau penting
untuk memelihara homeostasis. Sedangkan produksi ROS yang
berlebihan atau terjadinya kerusakan perlindungan terhadap ROS
menimbulkan stress oksidasi, sehingga mengakibatkan terjadinya
beberapa kelainan patologis (Rush et al., 2005).
ROS dapat memicu proses peroksidasi terhadap lipid. Peroksida
lipid tidak saja bertanggung jawab atas perusakan makanan, tetapi lebih
penting adalah perusakan jaringan tubuh, sehingga dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit, seperti penyakit kanker, inflamasi,
aterosklerosis, dan proses penuaan. Peroksidasi terhadap lipid dalam
membran sel akan sangat mengganggu fungsi membran, menimbulkan
kerusakan yang ireversibel terhadap fluiditas dan elastisitas membran,
yang dapat menyebabkan ruptur membran sel (Szocs, 2004). Untuk
mengetahui terjadinya peroksida lipid salah satunya adalah dengan
mengukur kadar malondialdehid (MDA) (Suryohudoyo, 2000).
6. Malondialdehid (MDA)
Malondialdehid (MDA) terbentuk dari peroksidasi lipid pada
membran sel yaitu reaksi radikal bebas (radikal hidroksi) dengan Poly
Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Reaksi tersebut terjadi secara berantai,
yang mengakibatkan terbentuk hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida
tersebut menyebabkan dekomposisi beberapa produk aldehid yang
bersifat toksik terhadap sel dan berbeda panjang rantainya. Salah satu
aldehid utama yang terbentuk. antara lain MDA yang digunakan sebagai
biomarker biologis untuk menilai stres oksidatif (Suryohudoyo, 2000).
Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh ditunjukkan oleh rendahnya
akitivitas antioksidan dan tingginya kadar MDA. Pada penelitian Dagli et al
(2003), mengemukakan bahwa makin tinggi kadar radikal bebas, maka
makin tinggi kadar MDA dalam tubuh.
Pada proses peroksidasi lipid, selain MDA terbentuk juga radikal
bebas yang lain, tetapi radikal bebas tersebut mempunyai waktu paro
yang pendek sehingga sulit diperiksa dalam laboratorium. Pengukuran
MDA pada plasma darah karena sebagian besar MDA pada darah
terdapat di dalam plasma, selain pada serum dan jaringan. Pengukuran
dapat dilakukan dengan metode thiobarbituric acid reactive subtance
(TBARS) yang berdasar pemeriksaan reaksi spektrofotometrik (Konig dan
Berg, 2002).
Metode TBARS mempunyai nilai kepekaan yang tinggi terhadap
radikal bebas dan mudah diaplikasikan untuk sampel dalam berbagai
tahap oksidasi. TBARS akan bereaksi dengan gugus karboksilat dari MDA
melalui penambahan nukleofilik membentuk kompleks MDA-TBA dalam
suasana asam dan menghasilkan produk yang berwarna sehingga dapat
dikuantifikasi dengan spektrofotometri. Panjang gelombang MDA teoritis
adalah 532 nm. Toleransi panjang gelombang yang diperbolehkan untuk
jangkauan 400 nm hingga 600 nm yaitu lebih kurang 3 nm, sehingga
panjang gelombang yang diperoleh dapat digunakan untuk mengukur
kadar MDA sampel (Adyttia et al, 2014).
F. Uraian Tentang Minyak Jelantah
1. Minyak goreng jelantah
Minyak goreng jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari
berbagi jenis minyak goreng, minyak jelantah ini merupakan minyak bekas
yang sudah dipakai untuk menggoreng berbagai jenis makanan dan
sudah mengalami perubahan pada komposisi kimianya (Lestari, 2010).
Sedangkan deep frying adalah cara menggoreng yang menggunakan
minyak goreng dalam jumlah banyak, dengan pemanasan berulang dan
pada suhu yang tinggi. Pemanasan yang lama atau berulang-ulang akan
mempercepat terjadinya destruksi minyak akibat meningkatnya kadar
peroksida. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemanasan akan terjadi
proses destruksi berupa degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak
goreng. Proses ini dapat meningkatkan kadar peroksida dan pembentukan
radikal bebas yang bersifat toksik, sehingga membahayakan tubuh
(Sartika, 2009).
Temperatur pada proses penggorengan sekitar 150 – 200C.
Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata memerlukan
waktu 8 menit untuk matang. Minyak goreng akan diganti atau
ditambahkan dengan minyak baru bila sudah digunakan untuk
menggoreng 3 kali atau lebih. Proses penggorengan di atas dapat
menyebabkan minyak goreng menjadi rusak karena proses oksidasi
(Lestari, 2010).
2. Dampak minyak jelantah terhadap kesehatan
Pada umumnya makanan hasil penggorengan mengandung 4 –
14% lemak dari total beratnya. Kualitas minyak goreng yang digunakan
mempengaruhi penyerapan minyak ke dalam makanan. Penggunaan
minyak jelantah akan meningkat polaritas minyak dan menurunkan
tegangan permukaan antara bahan pangan dan minyak sehingga
penyerapan lemak akan semakin meningkat (Ghidurus et al, 2010).
Makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah menyerap
produk degradasi seperti radikal bebas, keton, aldehid, polimer yang
menyebabkan perubahan pada organ misalnya bertambahnya berat organ
ginjal dan hati serta timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, disfungsi
endotelial, hipertensi dan obesitas (Castillo’n et al, 2011).
Proses deep frying yang kedua akan terbentuk asam lemak trans
dan kadarnya akan semakin meningkat sejalan dengan penggunaan
minyak. Akibat dari kenaikan asam lemak trans adalah peningkatan kadar
low density lipoprotein (LDL), trigliserol dan lipoprotein, penurunan high
density lipoprotein (HDL), dan mempengaruhi metabolisme asam lemak
bebas yang akan menyebabkan dislipidemia dan arterosklerosis
(Sartika,2009). Beberapa studi pada tikus menunjukkan bahwa pemberian
diet tinggi asam lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin,
peningkatan berat badan, akumulasi massa lemak terutama trigliserida
pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan
sintesis asam lemak. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom
metabolik dan hepatik steatosis dan lipotoksisitas (Dorfman et al, 2009).
Dampak berbahaya dari penggunaan minyak jelantah adalah
meningkatnya radikal bebas, substansi yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan. Radikal bebas yang berlebihan akan
menimbulkan stress oksidasi yang memicu proses peroksidasi terhadap
lipid, sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi,
aterosklerosis, dan mempercepat terjadinya proses penuaan (Ghidurus
et al, 2010).
Pemberian minyak jelantah pada tikus menyebabkan kenaikan
kadar MDA, dimana kadar MDA dapat mencapai konsentrasi 0,285 mg/ml.
Sedangkan pada keadaan normal konsentrasi MDA tikus adalah
0,1 mg/ml. Ini menunjukkan bahwa antioksidan yang ada di dalam hewan
coba tidak mencukupi untuk menangkal radikal bebas yang disebabkan
pemberian minyak jelantah (Suwandi, 2012).
G. Uraian Tentang Tikus Putih (Rattus novergicus L.)
Penggunaan tikus sebagai hewan coba sudah sering dilakukan,
dikarenakan tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan baik, mudah
dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai
macam penelitian. Terdapat beberapa galur tikus antara lain galur
Sprague-dawley yang berwarna albino berkepala kecil dengan ekor lebih
panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala
yang besar dan dengan ekor yang lebih pendek. Tikus galur Wistar lebih
besar daripada family tikus umumnya, dimana tikus galur Wistar ini dapat
mencapai ukuran 40 cm, yang diukur dari hidung sampai ujung ekor dan
berat berkisar antara 140–500 gram. (Kusumawati, 2004).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan.
Tikus dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan
mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus
ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan
makanan tikus lebih mahal daripada mencit tetapi tikus dapat berbiak
sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar daripada mencit, maka untuk
beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
Tabel 1. Data biologis tikus (Kusumawati, 2004)
Karakteristik Ukuran
Bobot badan
Jantan
Betina
Bobot lahir
Lama hidup
Temperatur tubuh
Kebutuhan air
Kebutuhan makanan
Frekuensi respirasi
Frekuensi denyut jantung
Volume tidal
Pubertas
Lama siklus birahi
Jumlah anak perkelahiran
300-400 gram
250-300 gram
5-6 gram
2,5-3 tahun
35,9-37,5°C
8-11 ml/100 g BB
5 g/kg BB
330-480/ menit
66-114/ menit
0,6-1,25 ml
50-60 hari
4-5 hari
6-12 ekor
H. Kerangka Teori
Gambar 6. Bagan kerangka teori
Bunga Rosela
(Hibiscus sabdariffa L.)
Daun Kemangi
(Ocimum Sanctum L.)
Senyawa dari ekstrak
masing-masing
dilaporkan memiliki efek
antioksidan
Senyawa flavonoid
Efek sinergis antioksidan
Pengukuran IC50 pada
ekstrak tunggal dan
kombinasi dengan
pereaksi DPPH
Pengukuran kadar
malondialdehid pada
plasma darah tikus putih
I. Kerangka Konsep
Gambar 7. Bagan kerangka konsep
Keterangan gambar:
Variabel Bebas : Ekstrak bunga Rosela, ekstrak daun Kemangi
Variabel Terkendali : Radikal DPPH dan Hewan coba tikus
Variabel Tergantung : IC50 dan Malondialdehid serum
J. Hipotesis
Ekstrak kombinasi dari bunga rosela dan daun kemangi memiliki
aktivitas antioksidan dan mampu menurunkan kadar malondialdehid yang
lebih baik dibandingkan ekstrak tunggal bunga rosela atau daun kemangi.
Ekstrak
Bunga Rosela
(Hibiscus sabdariffa L.)
Ekstrak
Daun Kemangi
(Ocimum sanctum L.)
Hewan coba tikus
(Varian, Jenis
kelamin, usia, bobot
badan)
Nilai IC50
Ekstrak kombinasi,
Sediaan sirup
Radikal DPPH
MDA serum