eksistensi tokoh nyai dalam dua novel sastra …
TRANSCRIPT
EKSISTENSI TOKOH NYAI
DALAM DUA NOVEL SASTRA PERANAKAN CINA
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Fransiska Firlana Laksitasari
NIM : 034114023
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Untuk Yesus yang Esa, karena cinta-Mu aku berada
Untuk almarhum Bapak yang di surga, meski Kau tak sempat
menjadi teman untuk mencurahkan hati ketika kudewasa.
Ibuku yang setia mendampingi dan memperjuangkan masa
depanku, wajahmu selalu meluluhkan airmataku. Dan aku
menjadi kuat karenamu.
Dimas Rizky yang senantiasa ada, sayap ini semakin kuat
mengepak karena sudah menemukan sarang untuk pulang.
Diterbangkan takdir aku (kan) sampai…..begitu syair Sapardi
lembut kaulagukan untukku.
Skripsi ini juga kupersembahkan bagi siapa saja yang
membutuhkan pembuktian dalam keberadaannya.
v
MOTTO
Sabar dan sadar dalam keterbatasan akan membuatmu
mampu menentukan pilihan. Dan Biarlah sakitmu menjadi
kekuatanmu.
Angin adalah tanda dan waktu adalah kerja rasa.
Gerakku adalah keberadaanku.
Ketika membaca tanda di bawah rumpun bambu, Firlana
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya, mahasiswa Sanata Dharma:
Nama : Fransiska Firlana Laksitasari
Nomor Mahasiswa : 034114023
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA
PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA:”, beserta
perangkat yang diperlukan.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 30 Juni 2008
Yang menyatakan
Fransiska Firlana Laksitasari
vii
ABSTRAK Laksitasari, Fransiska Firlana. 2008. Eksistensi Tokoh Nyai dalam Dua Novel
Sastra Peranakan Cina. Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Kisah pernyaian menjadi motif paling dominan dalam Sastra Peranakan Cina. Hubungan antara nyai dengan lelaki berkebangsaan Cina menjadi alat pengarang untuk menyampaikan ideologinya dalam menanggapi kondisi sosial masyarakat pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Penelitian ini memusatkan kajian pada novel Cerita Nyai Soemirah dan novel Kota Medan Penu dengen Impian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan eksistensi tokoh nyai dalam dua novel tersebut. Metode penelitian deskripsi analisis digunakan dalam penulisan ini, sedangkan pendekatan yang diterapkan adalah struktural dan Sosiologi Sastra.
Politik rasial yang diberlakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda mempengaruhi keharmonisan hubungan antarbangsa. Untuk itu, keberadaan nyai ditanggapi dengan pro dan kontra. Situasi ini tidak menghalangi nyai dalam memerdekakan pilihannya, tetapi justru mendorong para nyai untuk mengaktualisasi keberadaannya. Sistem lama yang mengikat justru mendukung nilai baru yang dipertentangkan. Menjadi nyai bukanlah suatu paksaan, melainkan suatu pilihan untuk mewujudkan kehendak. Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina dengan rela dan sadar menjadi nyai dari lelaki berkebangsaan Cina.
Eksistensi tokoh nyai dapat dilihat dari segi motivasi, peran, dan pandangan masyarakat. Aktualisasi ketiga unsur tersebut dipengaruhi oleh proses sosialisasi, idealisme, dan loyalitas. Motivasi dominan seorang perempuan menjadi nyai adalah faktor lingkungan yang didukung oleh ambisi pribadi. Seorang nyai yang berlatar belakang bangsawan hanya memiliki peran di wilayah domestik. Nyai dari golongan golongan ini cenderung setia dan bermartabat. Nyai yang berasal dari keluarga miskin berperan di wilayah domestik dan di bidang ekonomi. Menurut pandangan masyarakat pribumi yang kontra, nyai merupakan wujud penghinaan dan pengkhianatan terhadap rasa kebangsaan. Pernyaian dianggap menentang dan menjauhkan diri dari ajaran agama Islam. Namun, bagi masyarakat yang pro, nyai dipandang hanya sebagai gelar. Selain itu, nyai dianggap sebagai jalan untuk mewujudkan keinginan. Sosok nyai bagi masyarakat Cina tetaplah seorang perempuan yang memiliki hak dan patut dicinta selayaknya istri sah. Di sisi lain, nyai adalah istri sementara yang bisa diperoleh dengan uang dan bisa dibuang kapan saja.
viii
ABSTRACT
Laksitasari, Fransiska Firlana. 2008. The Existence of Nyai in Two Novels of the Peranakan Chinese Literature. A Literary Sociological Approach. A Thesis. Indonesian Letters Study Programme, Indonesia Letters Department, Faculty of Letters. Sanata Dharma University. Yogyakarta. The story of nyai becomes the most dominant motive in Peranakan
Chinese Literature. The relation between nyai with a man Chinesse nationality becomes the author is tool to convey his ideology to read the society social condition in the era of Netherland Colonial government. This study focuses its discussion to the novels entitled Cerita Nyai Soemirah and Kota Medan Penu dengen Impian. The objective of this study is to analyse and to describe the existence of nyai in those two novels. The method used in this study is an analysis descriptive method, while the approach applied is a structural and literally Sociology Approach. Racial politic practiced by Netherland Colonial government influences the harmonization of the relation among nation. Therefore, the existence of nyai has a pro and contra. This situation does not abstruct nyai to free her choice, but it encourages her actualize her choice. The old system which bind exactly agree with the new value which is contradictory. Becoming a nyai is not a force, but a choice to realize her will. Nyai Soemirah dan Nyai ros Mina are in favour and conciously become nyai of a man with Chinesse nationality. The existence of nyai can be seen through motivational aspect, role, and society’s perspective. The actualization of those three is influenced by the process of socialization, idealism, and loyality. The dominant mitivation of a women to become nyai is the environt mental factor which is supported by her personal ambition. A nyai who has a noble background only gets a role in domestic area. Nyai from this class is tend to be loyal and more prestigious. Nyai who comes from a poor family has a role in domestic and economic area. Based on the perspective of native people who are contra, nyai is a kind of disdain and deceit to nationalism. The practice of nyai is considered in conflict and goes beyond the Moslem is belief. In the other hand, the society which is pro perceives nyai merely as a title. The other say that nyai becomes a way to realize the will. The character of nyai for Chinesse society is still a woman who has a right and fair to love as a legal wife. Otherwise, nyai is only a temporary wife who can be bought with money and can be threw away anytime.
ix
Kata Pengantar
Hasil sebuah kerja bukanlah suatu kesudahan. Untuk mencapai hasil,
suatu proses harus dilampaui. Penelitian ini merupakan hasil dari sebuah proses
yang tidak berkesudahan. Terima kasih untuk Gusti Allah yang setia dan
senantiasa memberi hawa penyegaran dalam proses hidup ini. Dukungan dari
banyak pihak telah membantu penyelesaian penelitian ini, untuk itu saya
ucapkan terima kasih kepada:
1. S.E. Peni Adji, S. S., M. Hum dosen pembimbing yang membuatku
melakukan harmonisasi kodrati perempuan.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, dosen pembimbingku. Hal yang selalu kuingat
dan kupegang dari perkataan Bapak “Kalian harus tahan banting!”.
3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum, dosen penguji, terima kasih peluangnya.
4. Serta segenap dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M. Hum,
Drs. P. Ary Subagyo, M. Hum, Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum,
Drs.Yosef Yapi Taum, M. Hum, Drs. F.X. Santoso.
Penelitian ini sudah tentu masih banyak kekurangan, untuk itu kritik
dan saran dari para pembaca akan sangat membantu kesempurnaan penelitian
ini. Penulis berharap semakin banyak orang yang peduli dengan Sastra
Peranakan Cina, meski sekadar membacanya. Semoga setiap manusia memiliki
semangat kesadaran akan eksistensinya di dunia ini. Terima kasih.
Penulis
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
PERSEMBAHAN.............................................................................................
MOTTO …………………………………………………………………...
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT .......................................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1. 1 Latar Belakang ............................................................................
1. 2 Rumusan Masalah .......................................................................
1. 3 Tujuan Penelitian.........................................................................
1. 4 Manfaat Penelitian.......................................................................
1. 5 Tinjauan Pustaka ........................................................................
1. 6 Landasan Teori ……………………………………………...
1. 7 Metodologi Penelitian ……………………………………….
1.7.1 Pendekatan ..................................................................
1.7.1 Metode ........................................................................
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data .........................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
1
1
6
7
7
8
9
15
15
15
15
xi
1.7.4 Sumber Data ...............................................................
1. 8 Sistematika Penyajian ………………………………………
BAB II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN SASTRA
PERANAKAN CINA ......................................................................
2.1 Kondisi Sosial Masyarakat Cina .................................................
2. 2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina .......................................
2. 3 Perkawinan Campur dan Tradisi Nyai ........................................
BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN NYAI SOEMIRAH DALAM
NOVEL CERITA NYAI SOEMIRAH DAN NYAI ROS MINA
DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN......
3. 1 Tokoh dan Penokohan Nyai Soemirah .......................................
3. 2 Tokoh dan Penokohan Nyai Ros Mina .......................................
3. 3 Rangkuman..................................................................................
BAB IV EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM NOVEL CERITA NYAI
SOEMIRAH DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU
DENGEN IMPIAN ...........................................................................
4. 1 Pengantar ....................................................................................
4. 2 Motivasi Tokoh menjadi Nyai.....................................................
4. 2. 1 Motivasi Nyai Soemirah...................................................
4. 2. 2 Motivasi Nyai Ros Mina .................................................
4. 3 Peran Nyai dalam Keluarga .........................................................
4. 3. 1 Peran Nyai Soemirah ………………………………….
4. 3. 2 Peran Nyai Ros Mina ………………………………….
16
17
18
19
24
30
34
35
51
72
76
76
77
77
81
88
89
93
xii
4. 4 Nyai dalam Pandangan Pribumi dan Cina ……………………
4. 4. 1 Nyai dalam Novel Cerita Nyai Soemirah ……………
4. 4. 1. 1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi ……
4. 4. 1. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ………..
4. 4. 2 Nyai dalam Novel Kota Medan Penu dengen Impian ….
4. 4. 2. 1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi ……
4. 4. 2. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ………..
4. 5 Rangkuman ………………………………………………….
BAB V PENUTUP ..........................................................................................
5. 1 Kesimpulan .................................................................................
5. 2 Saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
BIODATA PENULIS ……………………………………………………..
98
98
98
113
118
118
123
131
135
135
141
143
146
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Soemirah dan Ros Mina merupakan tokoh perempuan dalam dua
novel Sastra Peranakan Cina. Kedua tokoh tersebut merupakan sosok
perempuan pribumi yang memiliki hubungan khusus dengan lelaki etnis Cina.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, hubungan antara perempuan
pribumi dengan lelaki lain bangsa diharamkan oleh sebagian masyarakat
pribumi. Politik rasial yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda
memunculkan kecemburuan pihak pribumi. Politik tersebut memutus proses
asimilasi antarbangsa di Nusantara. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai
stereotipe negatif antarbangsa. Faktor tradisi dan agama semakin
mempersempit pandangan mengenai kekerabatan antarbangsa. Misalnya,
problematika yang dihadapi Soemirah dalam novel karya Thio Tjin Boen yang
berjudul Cerita Nyai Soemirah (1917). Soemirah dilarang memiliki hubungan
khusus dengan lelaki Cina karena sang pujaan tidak beragama Islam. Soemirah
pun harus memperjuangkan cintanya itu dan tidak peduli berstatus nyai.
Juvenile Kuo dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai
Tertabur dengen Mas (1928) menghadirkan Ros Mina yang diusir ayahnya
karena menjadi istri muda orang asing. Ros Mina dianggap melanggar ajaran
agama Islam dan karena itu ayahnya sangat malu. Ros Mina yang merasa
2
sudah kepalang tanggung, akhirnya dengan sengaja menjadi nyai dari lelaki-
lelaki Cina supaya bisa hidup bersenang-senang.
Hubungan dengan lelaki lain bangsa ini membuat Soemirah dan Ros
Mina berstatus nyai. Sosok nyai hanya berstatus sebagai istri sementara dan
tidak resmi. Menjadi nyai dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap bangsa.
Namun demikian, Soemirah dan Ros Mina memiliki pandangan yang berbeda
dalam menyikapi pendapat masyarakat terhadap sosok nyai. Mereka memiliki
perjuangan dan pemikiran sendiri dalam menghadapi nilai-nilai sosial yang
sangat membatasi hak serta eksistensi mereka. Sebagai manusia, Soemirah dan
Ros Mina menyadari bahwa kehadiran mereka di dunia bukan sekadar ‘berada’
seperti benda mati. Bagi mereka yang terpenting adalah soal baga imana
menyadari keberadaan tersebut serta mempertanyakan makna keberadaan itu
sendiri. Pengakuan dan perhatian eksistensi personal mereka juga dibutuhkan.
Keberadaan Soemirah dan Ros Mina melibatkan lingkungan serta
tradisi kolot masa itu (kolonial). Misalnya saja ketika Soemirah memiliki
perasaan khusus terhadap lelaki Cina. Menurut pandangan sang ibu, hubungan
itu diharamkan karena orang Cina kafir (tidak beragama Islam). Selain itu,
sebagai keturunan bangsawan, sang ibu merasa perlu untuk menjaga martabat
keluarga.
Keterlibatan lingkungan dalam kehidupan seseorang memperlihatkan
bahwa eksistensi nyai sangat erat hubungannya dengan konteks sosio-
masyarakat. Oleh karena itu, eksistensi tokoh nyai tersebut dikaji dari segi
Sosiologi Sastra. Sosiologi Sastra adalah suatu telaah sastra yang objektif dan
3
ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, situasi sosial, serta proses sosialnya
(Semi 1989: 52). Berkiblat dari pendapat Lukacs dalam Taum (1997: 50,51)
yakni sastra sebagai cermin masyarakat, penelitian ini mendeskripsikan dan
menganalisis peristiwa yang hadir dalam novel yang dianggap sebagai gejala
masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi, pencerminan tersebut bukanlah
pengekspresian gejala masyarakat secara konkret dan menyeluruh. Fokus
penelitian ini adalah perempuan berstatus nyai yang diwakili oleh Soemirah
dan Ros Mina terkait dengan eksistensinya. Kedua nyai tersebut mempunyai
cara berbeda dalam mengaktualisasikan diri di tengah zaman yang mengikat
pada masa itu.
Kedua novel ini sengaja dipilih karena tokohnya memiliki kesamaan
status sebagai nyai dari lelaki Cina. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan
dalam menyikapi tradisi dan nilai pada kondisi serta situasi yang hampir sama
(masa pemerintahan kolonial). Bagi Soemirah, apa yang dilakukan
berlandaskan rasa cinta. Ia merasa bahwa mencintai dan berhubungan dengan
lelaki dari bangsa manapun sah-sah saja dan tidak menganggap sebagai suatu
kesalahan. Meskipun demikian, ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan
suaminya, dikucilkan dari keluarga. Berbeda dengan Ros Mina, semua yang
dijalaninya demi kesenangan semata. Meski awalnya tersiksa, namun pada
akhirnya ia menikmati karena alasan materi.
Berdasarkan periodisasi Sumarjo (1989: 91) novel Cerita Nyai
Soemirah (1917) masuk dalam masa pengembangan (1912-1924) yakni masa
surutnya penulis berkebangsaan Belanda dan pribumi, sedangkan penulis
4
Peranakan semakin menonjol. Novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa
Nyai Tertabur dengen Mas (1928) masuk dalam masa keemasan (1925-1942)
yakni puncak perkembangan sastra Melayu-Rendah. Novel merupakan salah
satu jenis sastra yang banyak ditulis dan diterbitkan oleh kaum Peranakan.
Perbedaan periodisasi ini ternyata tidak mempengaruhi tema-tema yang
muncul, terutama dominasi tema pernyaian. Para pengarang memiliki sudut
pandang yang berbeda dalam mengemas tema nyai pada sebuah cerita.
Kesamaan tema tersebut membuktikan bahwa problematika seorang nyai masih
berlangsung. Nyai seolah menjadi motif sastra yang terus mendapat perhatian
bahkan menjadi subjek utama dalam cerita berbahasa Melayu Rendah.
Lan (1962: 7) berpendapat bahwa Sastra Indonesia-Cina merupakan
hasil karya segolongan penduduk Cina yang pada waktu itu disebut Tionghoa-
Peranakan. Menurut Salmon (1985: xv), ditemukan 3005 judul karya yang
1398 diantaranya berupa novel dan cerpen asli. Menurut Watson dalam Faruk
dkk (2000: 35) salah satu ciri Sastra Peranakan Cina adalah bercerita tentang
nyai. Hal tersebut tidak mengherankan karena pada masa kolonial sosok nyai
cukup menjadi sorotan masyarakat. Sosok nyai begitu dekat dengan penguasa-
penguasa, kondisi sosial politik yang tidak memihak pribumi membuat status
nyai dianggap sebagai kehinaan dan pengkhianatan.
Thio Tjin Boen dan Juvenile Kuo merupakan kaum Peranakan yang
mengangkat kisah para nyai dalam karya sastra. Mereka menampilkan
perempuan-perempuan pribumi yang memilih dengan tulus, terpaksa, bahkan
rela menjual diri menjadi nyai demi kelangsungan hidup. Bisa dibayangkan
5
memang seperti itulah hidup dan kehidupan perempuan pribumi yang menjadi
nyai. Terlebih mengingat pengarang-pengarang tersebut hidup pada masa
‘larisnya’ para nyai. Sebagai pengarang, mereka ingin menggambarkan situasi
dan kondisi suatu masa di mana mereka hidup terkait dengan problematika
nyai. Sosok nyai dihadirkan untuk membalut ideologi- ideologi yang sedang
berkembang saat itu, misalnya soal nasionalisme. Kisah dan kiprah para nyai
menjadi cerminan perempuan pribumi pada masa itu. Hal ini diyakinkan
dengan pendapat dari tokoh dan pemerhati Sastra Peranakan Cina berikut.
(1) “Dalam sastera sesuatu bangsa dalam sesuatu masa jang tertentu
tertjerminlah keadaan kemasjarakatan bangsa itu selama kala itu terbajang perkembangan kemasjarakatan bangsa itu”. (Lan, 1962: 33)
Karya sastra yang lahir pada suatu masa tertentu merupakan cerminan kondisi
masyarakat, akan tetapi kenyataan-kenyataan yang ada sudah dipantulkan oleh
pengarang. Cerita Soemirah dan Ros Mina yang muncul era 1800-an hingga
1900-an diciptakan untuk mewakili situasi kemasyarakatan pada saat itu.
Situasi sosial maupun politik yang tersirat dalam novel merupakan gambaran
perkembangan sejarah masa itu.
Soemirah dan Ros Mina merupakan gambaran perempuan pribumi
pada masa kolonial Belanda yang memiliki cara dalam mewujudkan eksistensi
personal mereka. Untuk mengungkapkan eksistensi dan cermin perempuan
berstatus nyai pada masa tersebut perlu dibahas tokoh serta penokohan mereka.
Hal ini mengingat bahwa eksistensi dalam penelitian ini berobjek pada tokoh.
Penelitian ini hanya memusatkan pembahasan pada Soemirah dan Ros Mina.
6
Keduanya merupakan tokoh utama yang berstatus nyai dan paling dominan
dalam penceritaan. Namun sebelumnya, akan dibahas kondisi sosial
masyarakat dan Sastra Peranakan Cina. Pembahasan ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran bahwa kondisi sosial masyarakat memiliki pengaruh
dalam penciptaan karakter tokoh. Selain itu, pembahasan tersebut memiliki
fungsi sebagai cerminan dalam perwujudan eksistensi tokoh.
1.2 Rumusan Masalah
Fokus permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan
Cina?
1.2.2 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan Nyai Soemirah
dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan
Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian
atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo?
1.2.3 Bagaimanakah eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai
Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel
Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen
Mas karya Jovenile Kuo dalam kajian Sosiologi Sastra?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul berdasarkan uraian dalam
latar belakang yang memperlihatkan beberapa permasalahan sehingga
diperlukan pengkajian secara mendalam.
7
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan
Cina.
1.3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Nyai Soemirah dalam
novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros
Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai
Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo.
1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan eksistensi Nyai Soemirah
dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan
Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian
atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo dalam
kajian Sosiologi Sastra.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain :
1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.1.l Melengkapi perkembangan khazanah sastra dalam hal
penelitian sastra mengingat belum banyak yang meneliti
novel-novel Sastra Peranakan Cina.
1.4.1.2 Menjadi media pengungkap fakta dalam realitas yang
dianggap mewakili gejala kemasyarakatan masa tertentu.
8
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Memperkenalkan Sastra Peranakan Cina khususnya novel
bagi masyarakat yang belum mengenal Sastra Peranakan
Cina. Sampai sekarang keberadaan sastra ini belum
mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia.
1.4.2.2 Memperkenalkan tokoh-tokoh nyai dari lelaki Cina yang
muncul dalam karya sastra karangan kaum Peranakan.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sumarjo dalam buku Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal
(2004) mengulas novel Cerita Nyai Soemirah dengan judul yang sama dengan
tokohnya. Pembahasan ini seturut alur cerita, namun kurang detail dari segi
tokoh dan penokohan. Dominasi pembahasannya adalah perihal pendidikan
Barat dan Timur; tidak secara khusus membahas tokoh perempuannya
(Soemirah). Sepanjang penulusuran peneliti, novel Kota Medan Penu dengen
Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas belum pernah dibahas, namun
seringkali dicantumkan dalam penggolongan jenis novel Sastra Peranakan
Cina.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa topik penelitian
mengenai eksistensi nyai belum pernah ada yang meneliti.
9
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori struktural dan Sosiologi Sastra.
Teori struktural untuk membahas tokoh dan penokohan, sedangkan teori
Sosiologi Sastra untuk mengkaji eksistensi tokoh.
1.6.1 Teori Struktural
Teori struktural merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji unsur-
unsur pembangun karya sastra. Mursal Esten (1990: 18) menyebutkan bahwa
struktur karya sastra terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik
karya sastra meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya. Faktor
politik, ekonomi, sosial, dan psikologi merupakan unsur-unsur ekstrinsik dalam
karya sastra. Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas unsur tokoh dan
penokohan mengingat kajian utama penelitian ini adalah sosok nyai terkait
dengan eksistensinya.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan
menunjuk pada sifat dan sikap tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca.
(Nurgiyantoro, 2002: 165). Menurut perannya, tokoh dapat dibagi menjadi dua
yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan dalam penceritaan dan yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Keutamaan tokoh
ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap
plot secara keseluruhan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit muncul
10
dan kurang penting dalam perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002:
176,177).
Penokohan adalah arti yang membedakan antara satu tokoh dengan
tokoh lain. Tokoh dapat diamati dari segi fisik, sosial, psikologis, dan moral.
Unsur-unsur segi fisik antara lain terlihat dari jenis kelamin, umur, bentuk
tubuh, dan warna kulit. Segi sosial dapat dilihat dari status ekonomi, profesi,
agama, dan hubungan keluarga. Unsur kebiasaan, sifat, minat, motivasi, suka
atau tidak suka seorang tokoh tergolong dalam psikologis. Segi psikologis
menunjukkan pula kerja batin gabungan antara emosi dan intelektual yang
menuntun perjalanan laku. Segi moral selalu ada dalam teks sastra. Sebuah
keputusan berdasarkan moral akan membedakan pilihan para tokoh ketika
dalam kondisi krisis moral. Keputusan tersebut menunjukkan apakah sang
tokoh berwatak tidak mementingkan diri sendiri, hipokrit, atau kompromis
(Yudiaryani, 2005).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sastra dipandang sebagai suatu lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai media pengungkapan permasalahan sosial (Wellek dan Warren,
1990: 109). Hubungan antara sastra dan masyarakat dalam ilmu sastra disebut
Sosiologi Sastra. Sosiologi Sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu
karya sastra. Sosiologi Sastra merupakan satu telaah sastra yang objektif dan
ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta tentang
proses sosialnya (Semi, 1989: 52). Menurut Damono, Sosiologi Sastra
merupakan sebuah pendekatan yang menganggap sastra sebagai lembaga sosial
11
yang diciptakan oleh sastrawan yang juga bagian dari anggota masyarakat
(2002: 2). Pengarang adalah anggota masyarakat yang hidup dan berelasi
dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada proses kreatif pengarang.
Masyarakat, pengarang, dan karya sastra memiliki hubungan yang erat
sehingga karya sastra menjadi pencerminan pengalaman pengarang (Sumarjo,
1979: 15).
George Lukas seorang krtitikus Marxis menggunakan istilah “cermin”
dalam keseluruhan karyanya. Novel tidak sekadar menampilkan realitas, tetapi
lebih menampakkan sebuah permenungan atau refleksi realitas yang lebih
lengkap dan luas. Sebuah karya sastra diartikan sebagai proses yang hidup.
Karya sastra tidak sekadar memberikan bentuk cloning dunia nyata, tetapi lebih
pada koreksi diri (Taum, 1997: 50,51).
1.6.2.1 Eksistensi
Eksistensi berasal dari kata Latin existere (ex ‘keluar’ dan istere
‘membuat sendiri’). Hal itu berarti bahwa apa yang ada adalah apa yang
memiliki aktualitas dan apa yang dia lami. Eksistensi menekankan ‘apanya’
sesuatu yang sempurna. Dengan kesempurnaan inilah sesuatu itu menjadi suatu
eksisten. Eksistensi manusia adalah cara manusia berada di dunia ini.
Eksistensialisme beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang merdeka
sehingga ia bebas bertindak tetapi bertanggung jawab atas pilihannya (Sugono,
2003: 104). Eksistensi berarti adanya; keberadaan. Eksistensialisme merupakan
aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahuai mana yang
12
benar dan mana yang tidak benar (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1999: 253). Dalam penelitian ini yang dimaksud eksistensi adalah
keberadaan manusia yang memiliki aktualitas yang merdeka tanpa memandang
benar salah, namun bertanggung jawab dengan pilihannya.
Hakikat eksistensi adalah gabungan dari unsur-unsur subjektif, seperti
etos, moral, kemampuan, kompetensi, kecakapan, dsb. Eksistensi bukanlah
suatu kondisi personal yang ajeg (tidak berubah). Eksistensi identik dengan
proses kehidupan manusia. Proses kehidupan tersebut antara lain meliputi
sosialisasi, idealisme, dan loyalitas (Panuju, 1996: 8).
Sosialisasi merupakan proses pengenalan terhadap simbol-simbol,
nilai-nilai, perilaku dari lingkungan yang kemudian direduksi menjadi sistem
nilai. Sosialisasi bukanlah suatu proses yang terjadi begitu saja, melainkan
menuntut keaktifan dari subjek individu. Jadi, karakter seseorang bukan saja
dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, melainkan proses sosialisasi
yang mereka lakukan. Dari situ dapat dilihat bahwa eksistensi seseorang
ditentukan oleh usaha, kerja, perbuataan, dan lingkungan pergaulan. Eksistensi
juga sangat dipengaruhi faktor bagaimana seseorang merumuskan tujuan hidup
atau idealisme. Idealisme tersebut dirumuskan secara rasional dan menjadi
orientasi dominan dalam kehidupan seseorang. Tujuan hidup yang kuat
mendorong seseorang menghalalkan sumber daya yang tersedia dan memiliki
prinsip yang kuat dalam menggunakan “cara” dan argumen sebagai landasan
filosofi sikap. Di sisi lain, loyalitas diartikan sebagai pengabdian. Dalam hal ini
13
manusia dituntut untuk bertanggung jawab dan jujur dalam menjalankan
pilihannya (Panuju, 1996: 9-12).
Seorang manusia tidak cukup hanya dianggap ‘berada’ karena mereka
bukanlah ‘benda’ (mati). Manusia mampu bergerak dan bukan sekadar
digerakkan oleh dorongan dari luar. Seorang manusia memiliki daya dalam
dirinya untuk bergerak. Menurut Irwanto, daya penggerak ini disebut motivasi.
Motivasi bisa muncul dari lingkungan (desakan, situasi lingkungan), individu
(instink, emosi, nafsu), dan dari tujuan atau nilai suatu objek (kepuasan atas
pekerjaan, status, dan tanggung jawab) (2002: 193). Selain itu, keberadaan
akan lebih bermakna bila seseorang memiliki peran dalam lingkungannya.
Peran merupakan perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1999:751). Untuk mendukung peran tersebut tidak lepas dari
pandangan masyarakat sebagai wujud pengakuan eksistensi seseorang.
1.6.2.2 Nyai
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘nyai’ memiliki tiga
pengertian yakni (i) panggilan untuk orang perempuan yang sudah kawin atau
sudah tua, (ii) panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua
daripada orang perempuan yang memanggilnya, (iii) gundik orang asing
(terutama orang Eropa), sebutan kepada wanita piaraan orang asing (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 695). Selain pengertian di atas,
menurut sastra lama ‘nyai’ mempunyai arti ’adinda’ (Poerwadarminta, 1989:
679).
14
’Nyahi’ adalah sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah
tangga yang dimiliki oleh seorang pria Eropa (Suyono, 2005: 16). Di dalam
Kamus Moderen Bahasa Indonesia disebutkan pengertian ’nyai’ (ejaan lama:
’njai’) sebagai berikut, (i) adinda, kekasih, isteri: kakanda sekalian, pengantin,
tunanganku, bakal isteriku, (ii) (Djw) nji, nyonya besar, (iii) perempuan
piaraan bangsa Eropa yang tidak dikawini; (iv) (Sunda) upik, genduk (Zain,
517). ’Nyai’ memiliki empat pengertian, (i) sebutan perempuan muda
kebanyakan, (ii) istri pejabat rendah, (iii) sebutan untuk perempuan pribumi
yang menikah dengan orang asing yang beragama Islam, seperti Arab, Keling,
dan Turki, (iv) bila menikah atau ’kumpul kebo’ dengan orang asing yang tidak
beragama Islam disebut ’nyai-nyai’ (Rosidi, 2000: 455).
Pengertian-pengertian ’nyai’ dalam referensi di atas mengalami
perkembangan. Semula ’nyai’ digunakan untuk menyebut perempuan yang
dikasihi, namun pada akhirnya pengertian ’gundik’ yang bertahan hingga
sekarang. Pengertian awal ’nyai’ pun sudah tidak pernah dipakai lagi.
Pengertian ’nyai’ sebagai sebutan gundik juga tercantum dalam Kamus
Indonesia Jawa (Sudaryanto, 1991: 218) dan Bausastra Jawa Indonesia jilid 2
(Prawiroatmojo, 1981: 18).
Kenyataan dalam sastra adalah fakta-fakta dalam realita sebagai
gejala-gejala masyarakat yang terungkap dalam teks. Sastra adalah cermin
dalam realitas. Soemirah dan Ros Mina adalah tokoh teks yang dimunculkan
pengarang karena gejala masyarakat. Mereka merupakan bagian dari
masyarakat yang berstatus nyai dan bukan sekadar ‘ada’ atau ‘berada’. Akan
15
tetapi, mereka mampu memaknai keberadaan tersebut sehingga muncul
pengakuan dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan cara dan sikap dalam
mengaktualisasi diri sebagai wujud eksistensi personal. Teori eksistensi dalam
penelitian ini digunakan sebagai kerangka berpikir dalam analisis.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan Sosiologi
Sastra. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri pada
penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik meliputi tema,
alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Semi, 1989: 44,45). Penelitian ini
hanya membahas unsur tokoh dan penokohan. Pendekatan sosiologis adalah
pendekatan yang bertolak bahwa sastra merupakan percerminan kehidupan
masyarakat (Semi, 1989: 46).
1.7.2 Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Secara
etimologis, deskripsi dan analisis mempunyai arti menguraikan. Namun
demikian, metode analisis tidak hanya menguraikan tetapi memberi
pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2004: 53). Penelitian ini dilakukan dengan
cara memaparkan fakta-fakta yang disusul dengan penjelasan.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
studi pustaka. Data-data tersebut diperoleh dari buku-buku yang berkaitan
16
dengan permasalahan penelitian. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan
dan dikaji berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban
permasalahan. Tahap akhir adalah penyajian hasil analisis data.
1.7.4 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data berupa novel dalam
buku seri terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Cerita Nyai Soemirah
atawa Peruntungan Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah Pembalasan
yang Luput (jilid 2) yang terbit awal pada tahun 1917 terdapat dalam buku
Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 2 yang terbit
tahun 2001 dan disunting oleh Marcus A.S dan Pax Benedanto. Kota Medan
Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas terbit awal tahun 1928
terdapat dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
Jilid 7 yang terbit pada tahun 2003 dan disunting oleh Marcus A.S danYul
Halmiyati. Demikian data novel secara rinci.
1.7.4.1 Judul Novel : Cerita Nyai Soemirah atawa Peruntungan
Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah
Pembalasan yang Luput (jilid 2)
Pengarang : Thio Tjin Boen
Penerbit Awal : Drukkerij Kho Tjeng be dan Co
Tahun Terbit Awal : 1917
Tebal Novel : 156 hlm (hlm 1 sampai hlm 156)
17
1.7.4.2 Judul Novel : Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai
Tertabur dengen Mas
Pengarang : Jovenile Kuo
Penerbit Awal : -
Tahun Terbit Awal : 1928
Tebal Novel : 136 hlm (hlm 262 sampai hlm 398)
Dalam pembahasan selanjutnya, novel yang pertama hanya disingkat
dengan Cerita Nyai Soemirah dan novel yang kedua hanya disebut dengan
Kota Medan Penu dengen Impian.
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama pendahuluan
yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
penyajian. Bab dua menyajikan kondisi sosial masyarakat dan Sastra
Peranakan Cina. Bab tiga pembahasan struktural yakni tokoh dan penokohan.
Bab empat membahas eksistensi tokoh nyai dalam kajian Sosiologi Sastra. Bab
lima penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian terakhir adalah daftar
pustaka.
BAB II
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
DAN SASTRA PERANAKAN CINA
Pembahasan eksistensi nyai tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial
masyarakat bangsa Indonesia yang pada waktu itu di bawah pemerintahan
kolonial Belanda. Kehadiran para nyai dirasa penting bagi lelaki- lelaki lain
bangsa yang datang ke Nusantara. Keberadaan seorang nyai terkait erat dengan
kekuasaan seorang pejabat pemerintahan. Para nyai hadir sebagai bukti
kekuasaan sekaligus pemuas kejantanan penguasa. Akan tetapi, tidak semua
lelaki menganggap seorang nyai hanya sebagai ‘gundik’. Perempuan-
perempuan pribumi yang mendampingi lelaki bangsa asing memiliki
penghayatan tersendiri dalam memandang sosok nyai. Kaum Peranakan
mengangkat kisah para nyai ke dalam karya sastra yang berbentuk novel.
Antara lain novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota
Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo yang menjadi objek penelitian
ini.
Kedua novel tersebut muncul pada tahun yang berbeda, Cerita Nyai
Soemirah muncul pada tahun 1917 dan berlatar cerita tahun 1800-an hingga
1900-an. Novel Kota Medan Penu dengen Impian muncul pada tahun 1928.
Namun pada dasarnya, kehadiran tokoh nyai dalam Sastra Peranakan Cina
memiliki manfaat yang berarti bagi sejarah Indonesia. Hal itu dikarenakan
secara tidak langsung tokoh nyai mencerminkan keberadaan sosok perempuan
19
Indonesia pada suatu masa tertentu. Menurut Lan, sastra tidak bisa lepas dari
pengalaman pengarang yang hidup pada masa tertentu. Pengalaman itulah yang
menghidupi karya pengarang. Oleh sebab itu, sastra suatu bangsa merupakan
cermin jiwa suatu bangsa (1962: 33-28).
Pembahasan pada bab ini diperlukan untuk menunjang analisis bab
selanjutnya yakni karakterisasi tokoh dan eksistensi nyai dalam novel Cerita
Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota Medan Penu dengen Impian
karya Jovenile Kuo. Penulis menyadari bahwa sekalipun karya sastra bersifat
otonom, lingkungan tetap memiliki pengaruh dalam proses penciptaan.
Deskripsi pada bab ini menunjukkan adanya gambaran gejala kemasyarakatan
yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi seorang nyai. Para nyai hadir
dengan cara tersendiri untuk mengaktualisasikan diri dalam menanggapi
kondisi zaman dan tradisi yang mengikat pada era kolonial.
2.1 Kondisi Sosial Masyarakat Cina di Indonesia
Pada mulanya merantau selalu dianggap hanya untuk sementara,
padahal tidak sedikit perantau yang tinggal lama dan akhirnya menetap.
Perantau yang notabene adalah kaum pedagang dan kuli upah seringkali tidak
kembali ke negeri leluhur karena situasi politik yang tidak menentu. Misalnya
ketika Dinasti Ming runtuh (1644). Banyak orang Cina tidak berpihak pada
orang-orang Mancu sehingga memilih ke pengasingan dan melarikan diri.
Masyarakat Cina pun terbentuk di kepulauan Nusantara terutama Jawa dan
Sumatera (Salmon, 1985: 1).
20
Sebelum abad ke-19 terjalin hubungan yang harmonis antara
masyarakat Cina dengan pribumi. Pada masa itu, golongan tertinggi -golongan
elite- adalah orang-orang pribumi. Oleh karena itulah, orang-orang Cina
mendekati dan melebur ke dalam masyarakat pribumi. Hubungan harmonis
tersebut terlihat dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dengan
perempuan pribumi. Mereka juga mengawini perempuan dari golongan
bangsawan pribumi. Perkawinan tersebut dilakukan untuk mempermudah
pergerakan dan perluasan kekuasaan. Dengan status bangsawan, orang-orang
Cina ini pun memperoleh kemudahan, misalnya dalam hal perniagaan. Namun,
sejak abad ke-19 yang menjadi golongan elite di negeri ini adalah orang-orang
Belanda. Pendekatan pun mengarah ke penguasa yang menjadi golongan elite
baru. Mereka mencoba melebur dalam pergaulan bangsa Barat yang saat itu
menguasai Hindia Belanda. Akan tetapi, orang-orang Cina tidak diterima dan
tidak berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan golongan gubernur
jenderal. Hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi golongan tersendiri
dan menjadi minoritas (Ham, 2005: 1,2,3).
Pada abad ke-19 hubungan erat antara Jawa dengan Cina dibelokkan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan bangsa dipisahkan. Hal
ini didasari oleh ketidaksukaan pemerintah Hindia Belanda akan
kecenderungan percampuran berbagai bangsa seperti Timur Asing, Cina,
Bugis, dan lain- lain. Pemerintah ingin bangsa-bangsa itu dipisahkan dan tidak
dicampuradukkan (Ham, 2005: 12,13). Pengaruh politik devide et impera
pemerintah Hindia Belanda membuat adanya pemisahan golongan rasial.
21
Orang-orang Belanda secara politik dan ekonomis menduduki tempat teratas,
Cina dan Arab masuk golongan kedua, dan pribumi masuk dalam golongan
terbawah. Orang Cina dan Arab menduduki tempat khusus dalam kota-kota
kolonial karena mereka tidak berperan dalam birokrasi kolonial tetapi
berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Penggolongan tersebut
menimbulkan kecemburuan masyarakat pribumi karena orang-orang Cina
tampak dianakemaskan oleh pemerintah. Kebencian pribumi terhadap orang
Cina pun mulai terpupuk.
Selain adanya pembagian golongan bangsa-bangsa secara rasial,
pemerintah kolonial juga memberlakukan wijkenstelsel dan passenstelsel.
Wijkenstelsel merupakan sistem perkampungan berdasarkan kelompok etnik,
dalam konteks ini orang Cina diharuskan tinggal terpisah dengan penduduk
pribumi. Passenstelsel adalah sistem izin jalan yang diberlakukan terhadap
orang Cina yang akan pergi keluar dari kampung Cina (Ham, 2005: 37).
Aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda tersebut dibuat untuk menghindari
persatuan antarbangsa yang akan menentang pemerintahan. Peraturan ini
menghambat proses asimilasi antarbangsa sehingga kekerabatan sulit terjalin.
Stereotipe-stereotipe negatif pun muncul. Hal itu dikarenakan tidak adanya
komunikasi secara teratur sehingga tidak saling mengerti adat dan budaya
masing-masing. Masyarakat pribumi yang notabene beragama Islam
menganggap orang Cina kafir karena kebiasaan makan daging babi.
Orang-orang Cina yang merantau ke Nusantara tidak semuanya dari
golongan berada. Banyak di antara mereka yang menjadi kuli. Menurut
22
Suyono, para buruh atau kuli dari Cina menjadi pilihan para kolonial karena
dikenal sebagai pekerja yang rajin (2005: 102). Alasan itu juga yang membuat
orang-orang Cina terjebak dalam ’perbudakan’ kolonial. Selain mendatangkan
kuli dari Cina, pemerintah kolonial juga mencari tenaga buruh dari penduduk
Jawa. Menutur Ham, Di Sumatera Timur, penduduknya tidak banyak dan tidak
menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan (1983: 33). Oleh karena itu,
pemerintah banyak mendatangkan buruh dari Jawa dan Cina.
Kemelaratan dan kemiskinan yang melanda Pulau Jawa mendorong
penduduknya untuk merantau ke Deli. Melalui janji-janji manis mudahnya
mendapatkan uang, adanya wanita-wanita muda di tanah Deli, dan kebebasan
berjudi membuat banyak orang tertarik bekerja di Deli. Namun sebenarnya,
mereka hanya dijadikan kuli perkebunan oleh kolonial (Suyono, 2005: 103).
Para kuli dari Cina bekerja dalam pengawasan seorang Tandil dan Tandil
Kepala yang berasal dari negeri yang sama. Dalam melaksanakan
pekerjaannya, mereka mengadakan pelaksanaan dan pengawasan atas perintah-
perintah yang dilakukan oleh asisten pengawas (Suyono, 2005: 107). Para Tuan
Tandil adalah orang Cina yang kehidupannya lebih layak dibanding para kuli
Cina . Para Tandil menetap di Indonesia. Sebagai seorang laki- laki, mereka
membutuhkan kehadiran seorang pendamping. Baik sebagai pengurus rumah
tangga maupun pemuas kebutuhan biologis. Oleh karena hukum perkawinan,
para tandil ini tidak diijinkan untuk menikah. Pelarangan ini terkait dengan
tugas-tugas mereka di perkebunan.
23
Perkawinan antarbangsa pribumi dengan Eropa (juga Cina tentunya)
sampai dengan tahun 1930 masih belum bisa diterima. Memelihara wanita
simpanan menjadi suatu pilihan yang tidak bisa dihindari. Bagi kalangan
pekerja perkebunan, memelihara gundik merupakan suatu kewajaran (Suyono,
2005: 278). Tidak adanya keterikatan yang resmi membuat lelaki- lelaki bebas
’membuang’ nyainya bila sudah bosan. Seorang nyai harus rela menerima
perlakuan demikain apabila status mereka secara ekonomi lebih rendah. Hal itu
menunjukkan salah satu contoh perlakuan orang Cina terhadap perempuan
pribumi. Namun, tidak sedikit pula orang Cina yang benar-benar
memperlakukan perempuan pribumi selayaknya istri sah. Perkawinan
antarbangsa dianggap tidak resmi, akan tetapi dengan kehadiran keturunan
menunjukkan sebuah keseriusan hubungan. Menurut Salmon hal itu bisa
dimaklumi karena hingga akhir abad ke-19 sedikit sekali wanita Cina yang
merantau ke Nusantara. Tidak ada pilihan lain, para perantau laki- laki ini pun
akhirnya ’mengawini’ perempuan pribumi (1985: 1). Lamanya mereka tinggal
di Nusantara membuat lupa dengan tradisi asal. Hal ini menyebabkan
keturunan mereka tidak mengenal negeri leluhurnya. Misalnya saja dalam
penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, mereka cenderung menggunakan
bahasa Melayu dibanding dengan bahasa Cina.
Kedatangan orang Cina ternyata mendapat tanggapan pro kontra.
Mereka hadir sebagai etnis yang termarginalkan dalam pergaulan masyarakat.
Namun, keminoran warga Cina tersebut justru memperlihatkan “arti”.
Keberartian itu tampak jelas dalam dunia perdagangan. Sejak awal kedatangan,
24
mereka sangat dikenal dengan kepiawaiannya berdagang. Strategi dagang
mereka sangat mempengaruhi perekonomian kaum pribumi. Hal itu juga yang
membuat pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Cina pada posisi
kedua dalam pembagian golongan ras (Soekisman, 1975: 24).
Keberartian orang Cina juga tampak dalam karya sastra yang lahir
dari para sastrawan Peranakan. Karya sastra muncul karena lamanya mereka
menetap di Indonesia dan timbulnya kebutuhan hiburan yang dekat dengan
identitas pribadi mereka. Karya sastra hadir sebagai wujud pembauran warga
keturunan dengan bangsa Indonesia. Pembauran ini tampak dalam latar cerita,
pemakaian tokoh-tokoh pribumi, dan yang jelas adalah penggunaan bahasa
Melayu Rendah dalam penulisan karya mereka.
2.2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina
Hampir satu abad, antara tahun 1870 hingga 1960, telah dihasilkan
3005 karya sastra produksi sastrawan Peranakan. Karya sastra tersebut berupa
sandiwara, syair, terjemahan-terjemahan karya-karya Barat dan Cina, serta
novel dan cerpen asli (Salmon, 1985: xv). Sastra Peranakan Cina merupakan
sastra yang dihasilkan oleh segolongan penduduk Peranakan yang pada masa
itu (berdasarkan masuknya tentara Jepang ke Indonesia, Maret 1942) disebut
Tionghoa-Peranakan. Tionghoa-Peranakan merupakan sebutan bagi orang Cina
yang sudah beberapa keturunan menetap di Indonesia. Umumnya, mereka
sudah tidak berkomunikasi dalam bahasa asli. Hubungan kekeluargaan dengan
negeri asal juga sudah terputus. Bagi mereka, Indonesia merupakan tanah air
25
satu-satunya (Lan, 1962: 7,8). Menurut Skinner (dalam Tan, 1979: x), orang
Peranakan adalah mereka yang sudah mengalami proses akulturasi yang
mendalam dengan kebudayaan tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Para sastrawan Peranakan seringkali memasukkan ideologi, adat, atau
filsafat Tiongkok dalam karya mereka meskipun sudah menganggap Indonesia
sebagai tanah air. Akulturasi budaya yang mereka lakukan bukan berarti
menghapuskan kebudayaan asal leluhur. Misalnya dalam novel Cerita Nyai
Soemirah karya Thio Tjin Boen. Sang pengarang memunculkan tokoh Cina
totok, Tan Bi Liang, dan perempuan pribumi, Soemirah, yang akhirnya hidup
bersama. Pengarang menampilkan latar tempat yang detail dalam cerita, yakni
Sumedang dan Bandung. Sejarah kota Sumedang juga digambarkan. Pengarang
tahu betul dengan tempat-tempat yang menjadi latar cerita novel. Hal tersebut
memperlihatkan kedekatan emosional pengarang dengan lingkungan bangsa
Indonesia.
Pengaruh Cina tampak dalam pemikiran tokoh Tan Bi Liang yang
dimunculkan pengarang. Pemikiran itu pun akhirnya mempengaruhi tokoh
pribumi, Soemirah, sebut saja pandangan dalam ha l pergaulan. Misalnya saja
antara laki- laki dan perempuan meskipun masih saudara tidak diizinkan untuk
terlalu dekat atau akrab. Selain itu, bukti bahwa masih adanya pengaruh Cina
dalam pemikiran pengarang tampak dalam peristiwa pindahnya Tan Bi Liang
dan keluarga ke Tiongkok. Peristiwa tersebut menunjukkan masih adanya
hubungan emosional kaum Peranakan dengan tanah leluhur. Hal ini
26
membuktikan bahwa proses akulturasi kaum Peranakan tidak sepenuhnya
menghapuskan hubungan kekerabatan dengan tanah asal mereka.
Kemunculan kaum Peranakan di bumi Indonesia bukanlah tanpa
disengaja. Menurut Soekisman sampai saat ini belum ada yang tahu pasti kapan
permulaan perantauan orang Cina ke Indonesia. Akan tetapi, sejak dahulu kala
manusia memiliki naluri untuk cenderung berpindah dari daerah yang lebih
sulit ke daerah yang lebih mudah untuk mempertahankan hidupnya. Begitu
juga yang dialami orang Cina. Para perantau ini datang tidak bersama anggota
keluarga mereka. Awal kedatangan mereka hanyalah untuk berdagang, namun
seiring waktu atas dasar pertimbangan-pertimbangan praktis, mereka pun
mengawini perempuan-perempuan pribumi. Mereka memanfaatkan para “istri”
ini sebagai penjaga dan pengurus usaha dagangnya selama mereka pulang ke
Cina. Dari perkawinan campur ini, anak laki- laki dibawa ke negeri leluhur
untuk mendapat pendidikan asli Cina (1975: 3,5). Selain untuk urusan
ekonomi, sisi praktis lainnya tentu saja urusan biologis maka tidak heran bila
perkawinan itu menghasilkan keturunan. Menurut Suryadinata (1996: 6,7)
masyarakat perantau harus berbaur dengan masyarakat lokal karena jumlah
mereka yang sedikit. Keturunannya pun tidak lagi menguasai bahasa leluhur
dan memakai bahasa Melayu untuk berkomunikasi.
Pada akhir abad 19, percetakan dan surat kabar berbahasa Melayu
muncul. Masyarakat Peranakan sudah tidak menguasai bahasa asal dan juga
bahasa Barat (Belanda dan Inggris) tetapi mereka memiliki minat baca yang
besar terutama tulisan dengan bahasa yang mereka pahami. Terlebih lagi
27
mereka ingin mengetahui keadaan dan kebudayaan Cina. Hal itu menjadi
peluang usaha bagi orang Cina yang pandai berbisnis. Mereka pun mulai
menerjemahkan cerita-cerita Tiongkok ke dalam bahasa Melayu (Suryadinata,
1996: 7).
Karya kreatif penulis Peranakan muncul pada awal abad ke-20 lebih
dini dari awal kemunculan sastra Balai Pustaka yang dinyatakan hadir tahun
1920. Novel-novel modern ini kebanyakan ditulis oleh wartawan. Oleh
karenanya, cerita-cerita yang muncul didasarkan pada berita-berita koran pada
waktu itu yang tentu saja sudah ‘dibumbui’ (Suryadinata, 1996: 10). Bisa
disimpulkan bahwa permasalahan yang ada dalam karya sastrawan Peranakan
mencerminkan kejadian pada zaman itu. Permasalahan yang sering muncul
antara lain soal perkawinan campur, hubungan antar etnik, pendidikan Barat,
dan juga ‘pernyaian’. Hal tersebut juga tampak dalam novel Cerita Nyai
Soemirah karya Thio Tjin Boen dan novel karya Jovenile Kou yang berjudul
Kota Medan Penu dengen Impian yakni novel yang menjadi objek penelitian
ini.
Karya sastra tersebut dikarang oleh kaum Peranakan dengan
menggunakan bahasa Melayu Rendah. Penggunaan bahasa tersebut disesuaikan
dengan sasaran pembaca yang notabene adalah kaum Peranakan yang tidak
bisa berbahasa Cina maupun bahasa Inggris atau Belanda. Menurut Steinhauer
(dalam Faruk dkk, 2000: 25), bahasa Melayu Rendah merupakan bahasa yang
umum digunakan dalam surat-surat kabar (media awal Sastra Peranakan
Tionghoa). Selain itu, bahasa ini adalah bahasa percakapan sehari-sehari yang
28
digunakan secara nyata dalam pergaulan masyarakat luas dan kurang
terstandarisasi. Bahasa Melayu jenis ini sering disebut dengan bahasa Melayu
Pasar. Penggunaan bahasa Melayu Rendah menjadi alasan mengapa Sastra
Peranakan Tionghoa termarginalkan dari kesusastraan Indonesia. Pemakaian
bahasa ini dianggap tidak layak digunakan sebagai alat ekspresi sastra.
Karya sastra pada masa itu tidak selalu membicarakan kisah
romantika saja. Namun, lebih banyak mengungkap fakta sosial keseharian
mereka. Tema-tema nyai cukup mendominasi Sastra Peranakan Cina.
Keberadaan nyai dalam kenyataan digunakan pengarang untuk
mengungkapkan ideologi pengarang ketika dalam masa pergolakan. Kehadiran
para nyai dalam dunia sastra memiliki pengaruh dalam konflik yang mewakili
suatu zaman. Karakter yang muncul dalam tokoh nyai sangat dipengaruhi oleh
latar sosial yang melingkupi mereka. Rupa-rupa tentang nyai menjadi motif
sastra yang selalu mendapat perhatian dan selalu menjadi subjek utama cerita
berbahasa Melayu Rendah.
Setiap tokoh memiliki image sendiri di mata para tokoh pendukung
lainnya (dalam masing-masing novel). ‘Kenyaian’ mereka pun dilekatkan
karena faktor- faktor yang berbeda. Kehadiran para nyai dalam kancah sastra
yang muncul di Indonesia kiranya memiliki peran penting dalam sejarah
bangsa maupun sejarah sastra. Hal itu dikarenakan keberadaan mereka
memiliki pengaruh terhadap kekuasaan yang dimiliki seseorang. Kehadiran
para nyai dalam novel Sastra Peranakan Cina setidaknya memberi gambaran
sejarah eksistensi perempuan Indonesia.
29
Menurut Salmon, periodisasi Sastra Peranakan Cina dibagi menjadi 4
yakni (i) dari awal mula hingga tahun 1910, (ii) dari 1911-1923, (iii) dari 1924-
1942, dan (iv) dari 1945-1960-an. Menurutnya, novel Kota Medan Penu
dengen Impian muncul kurang lebih pada tahun 1922 dan tidak diketahui nama
pengarangnya atau anonim. Novel itu pun masuk dalam periodisasi tahun
1911-1923 (1985: 58). Akan tetapi, sesuai dengan buku Kesastraan Melayu
Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (jilid 7) tertera bahwa novel tersebut
karya Jovenile Kuo dan terbit pada tahun 1928. Dalam hal ini, peneliti
menggunakan data berdasarkan buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (jilid 7) karena lebih up to date. Oleh karena itu,
peneliti memasukkan novel Kota Medan Penu dengen Impian dalam
periodisasi dari tahun 1924-1942. Novel Cerita Nyai Soemirah yang terbit pada
tahun 1917 masuk dalam periodisasi 1911-1923. Hal ini kiranya perlu
diluruskan karena kemunculan novel tersebut berdampak pada situasi sosial
masyarakat yang melatarbelakangi ideologi pengarang.
Pada periode 1911-1923 tingkatan sosial politik yang menonjol
adalah perubahan-perubahan yang mempengaruhi susunan masyarakat Cina.
Nasionalisme Cina semakin meningkat. Orang Cina totok dan Peranakan harus
mempertahankan dan mempromosikan kebudayaan Cina dan bersikap anti-
penjajah. Pada waktu yang sama nasionalisme Indonesia juga sedang
digalakkan. Berbagai kebijakan pun dilakukan pemerintah kolonial untuk
melawan pengaruh tersebut (Salmon, 1985: 52). Kondisi ini mempengaruhi
proses penulisan karya sastra. Tema-tema yang muncul berhubungan dengan
30
perubahan masyarakat Peranakan. Selain itu, benturan antara nilai-nilai tradisi
Cina (sekaligus Jawa) dengan nilai-nilai Barat juga dimunculkan. Pengertian
perkawinan yang diatur orangtua (pribumi) bertentangan dengan pengertian
Barat. Misalnya, dalam hal cinta dan pengaruhnya pada kehidupan keluarga.
Para gadis terutama yang disalahkan atas pengaruh buruk dari pendidikan
Eropa. Mereka dianggap seenaknya mematuhi adat istiadat yang sudah mapan.
Emansipasi perempuan dipandang sebagai kesempatan kepada perempuan
untuk terhanyut oleh hawa nafsu dan digambarkan dengan negatif (Salmon
1985: 59,60).
Sosok nyai dipandang sebagai tokoh pembawa gaya modern
perempuan Indonesia. Tema itu juga yang sering ditemui dalam karya sastra
Peranakan Cina. Modernitas yang dialami seorang nyai memunculkan
dorongan untuk melakukan segala cara demi terwujudnya suatu keinginan.
Modernitas seringkali lekat dengan perempuan Indonesia karena perempuan
dirasa paling dekat dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, nyai
dianggap memiliki hubungan paling dekat dengan modernitas. Perempuan-
perempuan seperti merekalah yang memiliki kekerabatan dengan penguasa
asing dan karenanyalah mereka dengan mudah merasakan pembaharuan-
pembaharuan yang berkiblat Barat.
2.3 Perkawinan Campur dan Tradisi Nyai
Seorang nyai merupakan pengurus rumah tangga yang bergerak
antara batas pembantu, ibu rumah tangga, istri, dan pelacur. Apabila majikan
31
nyai kurang peduli dengan fungsi hubungan tersebut maka nyai akan jatuh ke
arah kedudukan sebagai pelacur. Seorang nyai dapat dipulangkan ke kampung
setiap waktu, apabila majikannya sudah tidak menghendaki dan tidak peduli
apakah ada keturunan atau tidak (Suyono, 2005: 33). Kenyataan ini
menunjukkan bahwa seorang nyai harus siap menerima kesewenang-wenangan
majikan.
Pada umumnya, istilah “nyai” dipandang sebagai perempuan lacur,
gundik orang asing, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Julukan-julukan dan
image negatif istilah “nyai” tampak pada tokoh Nyai Ros Mina dalam novel
Kota Medan Penu dengen Impian. Akan tetapi, “nyai” juga memiliki
pengertian sapaan penghormatan bagi perempuan seperti dalam novel Cerita
Nyai Soemirah. Tokoh Soemirah yang keturunan bangsawan memiliki sebutan
Nyai Raden Soemirah, padahal waktu itu ia belum berhubungan dengan lelaki
lain bangsa. Lelaki lain bangsa dan lelaki pribumi juga menyebutnya nyai saat
Soemirah masih lajang. Namun, setelah Soemirah mempunyai anak dengan
Tan Bi Liang, lelaki Cina itu memanggilnya dengan menyebut nama saja.
Pernyaian atau pergundikan adalah lembaga perkawinan tanpa
pengesahan agama atau kantor, pihak pria bertindak sebagai kepala keluarga
dan sekaligus pencari nafkah, pihak perempuan berlaku sebagai ibu rumah
tangga dan ibu bagi anak-anak mereka berdua. Lembaga perkawinan demikian
bisa terjadi karena pihak pria berada pada jenjang sosial-ekonomi yang jauh
lebih tinggi. Bila jenjang itu sama tinggi orang menyebutnya ‘kumpul kebo’.
Pergundikan terjadi bukan karena rendahnya susila. Pada masa itu perkawinan
32
bisa terjadi apabila orangtua pihak perempuan menyetujui, merestui dan
meresmikannya di depan umum melalui berbagai cara misalnya, kenduri atau
pesta. Perkawinan menjadi sah sepenuhnya bila dua sejoli telah tinggal untuk
jangka waktu tertentu di rumah para besan (Toer, 1987: 51-53).
Kondisi pernyaian di kalangan masyarakat bangsa asing di Nusantara
ini dilatarbelakangi oleh faktor simbiosis mutualisme. Keluarga miskin rela
menjual anak perempuannya pada lelaki bangsa lain untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi. Lelaki- lelaki bangsa lain membutuhkan kehadiran
perempuan karena tuntutan biologis, mengingat perantauan yang mereka
lakukan tidak disertai istri. Keberadaan perempuan sebangsa pun sangat
minim. Namun seiring waktu, kerelaan menjadi nyai tidak datang karena
paksaan orangtua lagi, tetapi karena keinginan pribadi. Hal ini tergambar pada
tokoh Soemirah dalam Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan tokoh
Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo,
objek penelitian ini.
Menurut hukum pernikahan kolonial, perkawinan resmi antara asisten
perkebunan dengan gundiknya tidak akan pernah terjadi. Masyarakat juga tidak
akan menerima perkawinan demikian. Hal ini dikarenakan adanya faktor
perbedaan pendapat, kebiasaan, kebudayaan, dan nilai-nilai antara kedua belah
pihak terlalu besar sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkawinan yang
bahagia (Suyono, 2005: 29). Hal tersebut tercermin dalam pandangan ibu
Soemirah mengenai pernikahan campur. Banyaknya perbedaan membuat
sulitnya mewujudkan keluarga yang bahagia. Aturan pemerintah kolonial
33
mengenai perkawinan campur tersebut mendorong menjamurnya pergundikan
di kalangan pejabat pemerintahan maupun perkebunan.
BAB III
TOKOH DAN PENOKOHAN NYAI SOEMIRAH
DALAM NOVEL CERITA NYAI SOEMIRAH DAN NYAI ROS MINA
DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN
Pada bab ini hanya dibahas unsur tokoh dan penokohan untuk
mempersempit kajian. Unsur tokoh dan penokohan sangat berpengaruh pada
pembahasan selanjutnya yakni eksistensi nyai. Eksistensi nyai terkait erat
dengan personality atau individu. Pembahasan ini dipersempit lagi dengan
hanya membahas tokoh utamanya saja dan masing-masing hanya diambil satu
tokoh perempuan yang berstatus sebagai nyai. Nyai Soemirah merupakan
tokoh utama dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan
Nyai Ros Mina merupakan tokoh utama dalam novel Kota Medan Penu dengen
Impian karya Jovenile Kuo. Kedua tokoh ini senantiasa hadir dalam
penceritaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Nyai-nyai tersebut
mendominasi pengkisahan. Oleh karena itu, kedua nyai tersebut tergo long
sebagai tokoh utama. Tokoh-tokoh pendukung juga terlibat dalam pembahasan,
karena watak tokoh utama sangat dipengarui tokoh lain.
Thio Tjin Boen dan Jovenile Kuo selaku pengarang berperan sebagai
pencerita yang serba tahu akan tokoh-tokoh yang mereka ciptakan. Keberadaan
pengarang dalam kedua novel ini seringkali berpeluang untuk memberikan
nasihat kepada para tokoh maupun pembaca. Dalam penceritaan tokoh,
khususnya tokoh utama, pengarang menggunakan teknik analitik. Kondisi
35
jasmani, sosial, psikologis, dan moral tokoh dilukiskan secara langsung oleh
pengarang. Keberadaan para pengarang dalam cerita sangat jelas dan seringkali
menyapa pembaca secara langsung. Misalnya seperti pada kutipan di bawah
ini.
(2) “Baeklah sampe di sini saja, kita tunda dulu perjalanannya itu tiga
orang. Kerna ini cerita ada tersangkut dengen laen riwayat, yang pembaca harus tau lebi dulu”. (Kuo, 2003: 328)
Pengarang seringkali memberikan penilaian terhadap tokoh sehingga
mempengaruhi opini pembaca untuk menjadikan tokoh tertentu sebagai sosok
yang patut diberi simpati atau tidak. Nyai Ros Mina oleh pengarangnya sering
disebut dengan perempuan jalang, bunga raya, setan kuntilanak, dan
perempuan geladak. Secara langsung julukan-julukan tersebut menimbulkan
penilaian negatif terhadap Nyai Ros Mina.
3.1 Tokoh dan Penokohan Nyai Soemirah
Soemirah adalah gadis belasan tahun, puteri seorang pangeran
Surakarta. Ibu Soemirah seorang selir yang berdarah Sumedang. Ketika
ayahnya masih hidup, Soemirah tinggal di Surakarta. Namun, setelah ayahnya
meninggal ia dibawa ibunya ke Pawenang, Sumedang. Rolia, saudara
sepupunya, juga tinggal bersamanya setelah menjadi yatim piatu. Keluarga
Soemirah juga memiliki beberapa pembantu. Secara ekonomi keluarga
Soemirah tergolong mampu karena memiliki status bangsawan. Soemirah dan
ibunya sering mendapat undangan-undangan pesta dari pejabat pemerintahan.
Hal ini menunjukkan bahwa Soemirah masuk dalam golongan kelas atas.
36
Soemirah gadis terpelajar, ia memiliki guru les berkebangsaan Belanda yang
bernama Juffrow Herling. Keberadaan Juffrow Herling tidak hanya membuat
Soemirah mahir berbahasa Belanda, akan tetapi juga mempengaruhi pola pikir
Soemirah dalam beberapa hal. Misalnya saja dalam menyikapi ajaran agama
Islam yang diterapkan ibunya dengan kolot. Seperti perempuan pada umumnya
di masa itu, Soemirah juga bisa menjahit.
Sebagai keturunan keluarga bangsawan (Keraton Surakarta),
Soemirah memiliki sifat yang halus. Akan tetapi, Soemirah memiliki watak
dasar yang keras. Misalnya saja ketika menghadapi Ardiwinata, seorang
buronan polisi yang sudah berkali-kali ditampiknya. Soemirah begitu berani
melawan Ardiwinata yang terus memaksanya. Soemirah seringkali
mengeluarkan kata-kata pedas dan lugas sehingga memancing amarah Ardi.
(3) Soemirah angkat matanya memandang sesaat pada sudara misan itu,
kemudian ia kata: “Angkau sala, ‘kang. Sekalipun angkau tida tersangkut itu perkara, aku tida bisa trima angkau punya lamaran. Apa bole buat, dihadapan ini dua tetamu aku musti terangken lagi itu perkara, yang tentu bikin angkau tidak enak, tetapi apa aku bisa tulung?” “Kalu begitu, tida sala dugaanku, tentu ada orang lain yang suda angkau pilih?” kata Ardi dengen senyum sindir. “Itu ada aku punya perkara, ‘kang, kalu aku pili lain orang, siapa mau larang?” bales Soemirah dengen suara menyataken hilang sabar (Boen, 2001: 22).
Perdebatan di atas memperlihatkan sosok Soemirah yang tidak lembut
seperti perempuan keraton pada umumnya. Sikap tersebut menunjukkan
keberanian Soemirah dalam menghadapi bahaya (Ardiwinata tidak segan-segan
membunuh). Keberanian Soemirah muncul didorong oleh sikap Ardiwinata
37
yang tidak bisa mengerti dan seringkali memaksa. Hal itu membuat Soemirah
hilang kesabaran hingga memunculkan amarah dalam dirinya.
Ardiwinata masih misan Soemirah dan sangat menginginkan
Soemirah menjadi istrinya. Ardiwinata sering bertindak kasar terhadap
Soemirah. Soemirah tidak menyukai Ardiwinata dan hal itu membuat
Ardiwinata mencoba bertindak tidak senonoh. Suatu ketika Ardiwinata datang
ke rumah Soemirah bersama dua orang tukang pukul. Penolakan Soemirah
membuat Ardiwinata marah dan mencoba menculik paksa Soemirah. Soemirah
diselamatkan Tan Bi Liang, seorang Cina totok. Tan Bi Liang berhasil
melumpuhkan Ardiwinata dan anak buahnya. Soemirah meminta Tan Bi Liang
untuk melepaskan Ardiwinata dan tukang pukulnya. Soemirah tidak ingin
memperpanjang masalah dan ia tidak ingin keluarganya mendapat malu.
Soemirah merasa perlu untuk menjaga nama baik keluarganya. Selain itu,
Soemirah juga menjaga perasaan Rolia, adik Ardiwinata yang ikut keluarga
Soemirah. Soemirah tidak terbawa emosi meski keselamatannya terancam. Ia
begitu baik sehingga melepaskan buronan yang hampir saja mencelakainya.
Soemirah mampu memilah emosinya. Ia sama sekali tidak berlaku kasar atau
bahkan mengusir Rolia meski Ardiwinata, kakak Rolia, menyakitinya. Hal ini
membuktikan kebaikan hati dan rasa belas kasih Soemirah yang besar.
Perkelahian antara Ardiwinata dan Tan Bi Liang di rumah Soemirah
akhirnya mempertemukan dua sejoli, Soemirah dan Tan Bi Liang. Mereka
saling menyukai sejak awal pertemuan di sebuah pesta seorang Kopral Inda.
Tan Bi Liang terpana dengan kecantikan Soemirah. Di pesta itu, Soemirah
38
berkebaya pendek warna biru langit sehingga kulit mukanya yang putih bersih
semakin nyata. Kain batik puger membalut rapat di bawah, tidak longgar
seperti perempuan Sunda pada umumnya. Kondenya tergantung di tengkuk
seperti orang Jawa. Kulitnya putih langsat, matanya sedikit besar, alisnya
kereng seperti digambar, hidungnya sedikit tinggi serasi dengan mulutnya yang
kecil dan bibirnya yang merah. Badannya tinggi langsing. Kecantikan dan
keanggunan Soemirah dilukiskan pengarang sebagai gadis pribumi yang tanpa
cacat. Penampilan Soemirah semakin mendukung kecantikannya yang alami.
Tidaklah heran bila Ardiwinata dan Tan Bi Liang tergila-gila pada gadis itu.
Soemirah merupakan sosok pujaan sehingga para lelaki rela
mengorbankan diri demi gadis itu. Ardiwinata yang seorang buronan rela
keluar persembunyian untuk mengejar Soemirah. Dengan tindakannya itu,
Ardiwinata bisa saja ditangkap polisi. Tan Bi Liang, lelaki berkebangsaan
Cina, dengan berani mempertaruhkan nyawanya, berkelahi melawan tiga orang
sekaligus. Tan Bi Liang juga berani melanggar peraturan passenstelsel demi
menolong Soemirah. Passenstelsel merupakan sistem izin jalan yang
diberlakukan terhadap orang Cina yang akan pergi keluar dari kampung Cina.
Dengan pelanggaran itu, Tan Bi Liang bisa saja ditangkap polisi dan
dimasukkan ke penjara. Sosok Soemirah membuat Tan Bi Liang dan
Ardiwinata tidak peduli dengan segala resiko yang dihadapi. Konflik ini
membuktikan bahwa Soemirah merupakan figur perempuan idaman
Soemirah mengagumi Tan Bi Liang. Di mata Soemirah, Tan Bi Liang
adalah pahlawan. Kesantunan Tan Bi Liang membuat Soemirah semakin jatuh
39
hati. Perasaan itu membuat Soemirah membiarkan Tan Bi Liang menggandeng
tangannya. Soemirah merasakan bahwa lelaki itu juga mencintainya. Perasaan
Soemirah semakin bahagia ketika Tan Bi Liang mengakui bahwa
kedatangannya di rumah Soemirah bukanlah kebetulan. Tan Bi Liang sengaja
datang untuk menyelamatkan Soemirah setelah mengetahui rencana
Ardiwinata dari seorang jongos hotel. Sebagai ucapan terima kasih Soemirah
menjabat tangan Tan Bi Liang. Hal ini menunjukkan kesantunan Soemirah.
Pengarang menggambarkan rona kekaguman gadis pribumi terhadap Tan Bi
Liang. Dalam hati Soemirah senantiasa memuji Tan Bi Liang. Lelaki itu begitu
sopan dan sangat menghormati sekaligus menghargai Soemirah. Perkataan Tan
Bi Liang seringkali membuat Soemirah tidak mampu berkata-kata. Kekaguman
ini menunjukkan salah satu kondisi psikologis Soemirah yang digambarkan
pengarang.
Ketika Soemirah sedang jatuh cinta pada Tan Bi Liang diceritakan
pengarang seperti perempuan pada umumnya. Soemirah seringkali bercermin
dan berdandan lebih rapi dari biasanya. Ia sering tersenyum-senyum di depan
cermin dan menyadari kecantikan yang dimilikinya. Dengan metode analitik
pengarang kembali melukiskan kecantikan dan penampilan Soemirah. Untuk
menyambut Tan Bi Liang, Soemirah memakai kain yang sudah dibang atau
dilipat. Kain itu berwarna kopi bercampur kuning tua, sehingga tampak nyata
tengkaknya (belakang telapak kaki) yang bersih dan halus sampai kelihatan
urat-uratnya. Bila kainnya tersingkap kelihatan sedikit betisnya bagian atas.
Mata kaki Soemirah bulat seperti padi bunting. Bajunya sedikit panjang
40
berwarna putih sehingga Soemirah kelihatan begitu teduh. Tan Bi Liang
terpana melihat Soemirah yang menyambutnya dengan malu-malu. Hal ini
menunjukkan bahwa ia juga memiliki stereotipe sifat perempuan yang malu-
malu kucing bila berhadapan dengan lelaki idaman hati.
Tan Bi Liang tidak merasa lancang dan terlampau berani mencintai
Soemirah yang berdarah bangsawan. Soemirah juga tidak mempedulikan
perbedaan ras dan derajat di antara mereka. Ia gadis pribumi dan bergelar
bangsawan, sedangkan Tan Bi Liang orang Cina dan hanya rakyat biasa. Sikap
Soemirah memperlihatkan sifatnya yang tidak membeda-bedakan. Hal ini
sekaligus menunjukkan kenekatan Soemirah. Soemirah menyadari bahwa
hubungan antara dirinya dengan Tan Bi Liang akan ditentang ibunya.
Kebangsawanan keluarga Soemirah tentu saja menjadi alasan utama penolakan
Ibu Soemirah. Derajat tersebut membuat ibu Soemirah tidak mau menyerahkan
Soemirah pada lelaki lain bangsa demi uang, seperti orangtua kebanyakan yang
rela melepaskan anaknya demi ekonomi keluarga. Kesadaran Soemirah ini
tidak membuatnya mundur tetapi tetap berusaha untuk menghadapi. Hal
tersebut menunjukkan kegigihan Soemirah dalam menghadapi pertentangan
yang sudah diduganya.
Soemirah yang sedang diliputi rasa cinta, meskipun baru mengenal
Tan Bi Liang tetapi sudah berani bermesraan dan ikhlas dicium lelaki itu.
Pengarang memperlihatkan bahwa gejolak emosi jiwa seseorang yang sedang
jatuh cinta terkadang kurang kontrol, sekalipun itu puteri keraton seperti
Soemirah. Dalam hal ini, Soemirah terbawa emosi karena tindakaannya itu
41
tampak seperti kurang pertimbangan. Soemirah telah melupakan etika puteri
keraton. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa Soemirah tetaplah
manusia biasa, kebangsawanan yang melekat dalam darahnya hanyalah status.
Soemirah merasa tidak ada yang salah dengan tindakannya, karena semua itu
dilandasi rasa cinta. Keberanian Soemirah menerima Tan Bi Liang di rumah
ketika tidak ada orang lain, membuat ibunya menaruh curiga. Ibu Soemirah
berpendapat bahwa kedatangan Tan Bi Liang hanyalah untuk menuntut balas
budi. Soemirah dianggap telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tan Bi
Liang sebagai ungkapan balas budi.
(4) “Masa ibu duga begitu dari saya? Ibu mau samaken diri saya dengen
ronggeng di Tegal Kalong…” (Boen, 2001: 49). Kutipan di atas merupakan ungkapan kekecewaan Soemirah kepada ibunya
yang telah menganggap dirinya serendah seorang ronggeng di hadapan laki-
laki.
Soemirah tidak menyembunyikan hubungannya dengan Tan Bi Liang.
Ia juga mengatakan telah bersumpah akan sehidup semati dengan lelaki Cina
itu. Peristiwa ini menunjukkan kejujuran Soemirah. Ia menghormati ibunya
dengan bersikap jujur meski hal itu beresiko pada hubungan dengan Tan Bi
Liang. Persis dengan dugaan Soemirah, kejujurannya ditanggapi sang ibu
dengan penolakan keras. Ibu Soemirah tidak merestui hubungan anaknya itu
dengan Tan Bi Liang. Menurut ibunya, Soemirah hanya mengikuti hawa iblis.
Soemirah telah membuang kesempatan memperoleh kehormatan untuk
42
menjadi istri seorang patih. Ia sudah menyia-nyiakan kedudukan yang
disembah-sembah banyak orang tersebut.
(5) “Dari satu patih kakek-kakek, yang saya tida bisa cinta? Dan lebi
jau saya musti mandah dicampur dengan bebrapa selir. Saya tidak pandang satu patih atau pangeran seperti ayahku kalu saya punya hati tida senang. Apa perlunya disembah-sembah orang kalu hati tida senang? Apa perlunya dapet titel Raden Ayu, kalu itu cuma buat tutupin hati yang berdarah....” (Boen, 2001: 52)
Soemirah tidak gila kedudukan dan merasa tidak mementingkan itu
semua karena hal itu tidak menjamin kebahagiaannya. Dalam hal jodoh dan
kedudukan, Soemirah senantiasa mengutamakan keinginan hatinya. Ia merasa
bahwa status dan kehormatan bukanlah suatu kenikmatan bila tidak didasari
oleh keikhlasan hati. Hal ini sekaligus menggambarkan Soemirah yang tidak
materialistis.
(6) “Ampun, ibu, saya tida melawan, hanya saya lawan ibu punya
pikiran dan pendapet yang tida mufakat dengen pendapet saya. Maafken saya suda berani berkata begini, kalu saya musti bersuami, saya mau menurut hati sendiri, saya tida mau dipandang seperti barang dagangan yang tida berjiwa atau tida berotak, yang orang bole jual dan beli. Waktu itu ibu kawin dengen Romo (ayah), apa ibu cuma sendirian saja, tida ada punya saingan? Apa ibu tida saban hari menipis air mata? Kalu ibu suda mengalami perkara cilaka, apa ibu tega mau saya pikul juga kesengsaraan serupa itu?” (Boen, 2001: 52)
(7) “Bole jadi, tapi sekarang angkau rupanya suda tida mengindahken
ibumu lagi?” “Maaf, ibu punya dugaan begitu ada sala.” “Kalu betul angkau masih mengindahken ibumu, tida nanti angkau melawan begitu rupa?” “Saya bukan melawan, tetapi membela hak saja. Betul orangtua ada kuasa, tetapi kuasa itu ada batasnya.” (Boen, 2001: 54)
43
Keberanian Soemirah dalam menghadapi pendapatan yang
bertentangan dengan pemikiranan tampak pada kutipan di atas. Sekalipun yang
menentang adalah ibunya sendirinya, bukanlah halangan untuk menunjukkan
kebenaran yang dianutnya. Bantahan-bantahan Soemirah merupakan wujud
ketidaksetujuannya terhadap pendapat sang ibu. Soemirah tidak sepaham
dengan segala pendapat ibunya yang dipandang terlampau sempit dan merasa
ibunya tidak berhak menguasai segala keputusannya. Ia tetap menyadari
kekuasaan orang tua, tetapi semua itu ada batasnya. Soemirah hanya membela
hak dan hal tersebut bukanlah bentuk perlawanan yang tanpa
mengesampingkan sikap hormat.
Di mata ibunya, Tan Bi Liang itu orang Cina, dia kafir karena tidak
beragama Islam, bukan keturunan bangsawan, dan dicintai seorang Cina tidak
membawa peruntungan. Soemirah hanya akan dijadikan gundik, tidak akan ada
pernikahan resmi. Hal tersebut tentunya akan mempermalukan keluarganya
yang masih berdarah bangsawan. Soemirah tidak mempedulikan semua itu.
Pandangannya mengenai pilihan hidup sudah sangat luas dan sangat
dipengaruhi pikiran Barat. Ia tidak peduli meski tidak dinikahi sebab ia
berkeyakinan bahwa dimana ada cinta disitu ada peruntungan.
(8) “Jadi menurut angkau punya pikiran, tida ada keberatan buat ikut
satu lelaki lain bangsa sekalipun tida kawin?” “Tida ada keberatan, sebab di mana ada cinta, di situlah ada beruntung.” (Boen, 2001: 53)
Sosok Soemirah yang keras terlihat jelas dalam peristiwa ini. Akan
tetapi, kekerasan itu juga yang meluluhkan hatinya sendiri. Ia merasa bersalah
44
karena telah membuat ibunya bersusah hati. Tetapi ia tetap menyesalkan
pandangan ibunya yang terlalu kolot. Hal itu membuatnya berkonflik dengan
batinnya. Ia terpikir untuk tidak membalas cinta Tan Bi Liang demi
menyenangkan hati ibunya. Namun, ia sangsi apa ia sanggup melupakan Tan
Bi Liang. Soemirah tidak mau mengingkari sumpah yang sudah dibuatnya
dengan Tan Bi Liang. Soemirah juga tidak ingin dianggap sebagai anak tidak
berbakti pada orang tua. Pilihan-pilihan ini membuat batin Soemirah
mengalami konflik karena ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Soemirah
tidak bisa memutuskan pilihannya secara tegas di hadapan ibunya. Akan tetapi
di dalam hatinya, ia bersikeras bahwa pendapat ibunya salah. Soemirah
mengikuti kehendak hatinya dan berharap pemikiran ibunya bisa lebih luas
lagi.
Soemirah kehilangan akal. Ia seolah tidak mempunyai pegangan. Ia
mencoba bunuh diri dengan cara menggantung di pohon jeruk. Hal itu
dilakukannya karena Tan Bi Liang memutuskan meninggalkan Soemirah
karena desakan ibu Soemirah. Dalam kondisi putus asa, Soemirah tidak mampu
menyelaraskan emosi dengan intelektualitasnya. Keputusannya untuk gantung
diri menunjukkan ketidaksadarannya akan keberadaan agama dan orangtua.
Soemirah merasa bahwa akan lebih baik mati bila hidup tanpa Tan Bi Liang.
Hal tersebut menunjukkan kesungguhan hati sekaligus kenekatan Soemirah.
Dengan kata lain, emosi Soemirah tidak sejalan dengan intelektualitasnya yang
selama ini terbangun dalam keluarganya. Sebagai seorang yang beragama ia
juga tidak mengingat bahwa apa yang dilakukan itu salah dan dosa.
45
Akhirnya, Soemirah tidak jadi bunuh diri karena seorang jongos hotel
memberitahukan bahwa Tan Bi Liang diserang Ardiwinata dan sekarang
sedang dirawat di rumah sakit. Soemirah tetap hormat kepada ibunya meski
pendapat dan keinginannya selalu ditentang. Dengan alasan balas budi,
Soemirah meminta izin ibunya untuk merawat Tan Bi Liang. Dalam peristiwa
ini, pengarang seolah menggambarkan watak para tokoh dari beberapa sudut.
Ibu Soemirah yang seorang pribumi dan masih memegang kuat tradisi
ketimuran, tidak mengizinkan keinginan Soemirah. Ibu Soemirah menganggap
kurang pantas seorang perempuan menginap di rumah lelaki tanpa ikatan.
Dokter (berkebangsaan Belanda) yang dimintai rekomendasi mengizinkan
Soemirah karena Tan Bi Liang memang membutuhkan seorang perawat untuk
kesembuhannya. Soemirah, gadis pribumi, merasa perlu merawat Tan Bi Liang
sebagai wujud balas budi. Sebagai gadis yang memperoleh pendidikan Barat,
Soemirah merasa tidak ada masalah bila harus menginap di rumah lelaki tanpa
ikatan demi rasa kemanusiaan. Soemirah, ibu Soemirah, dan dokter merupakan
tokoh yang digambarkan pengarang untuk mewakili pembentukan karakter
yang dipengaruhi oleh latar pendidikan kebangsaan yang berbeda. Ketiga tokoh
tersebut memiliki benturan nilai yang disebabkan oleh karakter masing-masing.
Di sisi lain, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Soemirah
merupakan sosok yang pantang menyerah dalam mewujudkan keinginannya.
Soemirah memiliki keyakinan yang kuat. Setiap pilihan yang ditempuh selalu
berjalan sesuai dengan harapan. Ibu Soemirah akhirnya menyerah, ia
mengizinkan Soemirah merawat Tan Bi Liang sekaligus dengan berat hati
46
merestui hubungan anaknya itu. Sifat keras kepala Soemirah mengalahkan
kekolotan ibunya. Akan tetapi, ibu Soemirah merasa bahwa semua itu aib
sehingga ia tidak mau tinggal di Sumedang.
Soemirah berhasil mewujudkan kebahagiaannya dengan Tan Bi
Liang. Selama dua puluh tahun bersama, mereka memiliki dua orang anak.
Anak lelakinya bernama Tan Hie Tjiak, berumur 18 tahun, dan anak
perempuannya yang berumur 6 tahun bernama Mience. Kebahagiaan keluarga
Soemirah terusik dengan keberadaan Rogaya di rumah Soemirah. Rogaya
merupakan anak Rolia, saudara Soemirah. Kehadiran Rogaya, membuat
Soemirah menjadi sosok yang kolot. Hal itu disebabkan Tan Hie Tjiak
menginginkan Rogaya menjadi istrinya. Soemirah menyesalkan keberadaan
Rogaya di tengah keluarganya. Akan tetapi, ia juga mengasihi Rogaya karena
masih keponakannya sehingga tidak tega mengusir Rogaya. Gadis itu telah
dianggapnya sebagai anak sendiri, oleh karena itu Soemirah memberikan
seorang guru les untuk Rogaya. Soemirah pun menyediakan diri untuk
dipanggil mama oleh Rogaya. Itulah wujud kebaikan Soemirah pada Rogaya.
Sebagai seorang ibu, Soemirah cukup bertanggung jawab dengan
pendidikan anaknya. Tan Hie Tjiak disekolahkan di Betawi dan diajar oleh
guru-guru kebangsangan Belanda. Hal itu menunjukkan bentuk kesadaran
orang tua akan pentingnya pendidikan formal bagi anaknya. Di sisi lain juga
memperlihatkan sosok Soemirah yang berpikiran maju. Akan tetapi, hal itu
jugalah yang membuat Soemirah bersikap ambivalen, tidak konsisten.
Soemirah menyesalkan telah mengirim anaknya sekolah di Betawi. Ia merasa
47
bahwa anaknya telah melupakan adat bangsanya. Ia tidak suka kedekatan Tan
Hie Tjiak dengan Rogaya. Soemirah memegang teguh adat Cina dan Jawa
dalam hal pergaulan. Ia mengingatkan sekaligus menegur putranya bahwa
sekalipun saudara sendiri antara lelaki dan perempuan tidak boleh terlalu dekat.
Hal ini menunjukkan kekolotan Soemirah. Ia seolah lupa dengan masa
mudanya yang begitu berani melawan kekolotan ibunya. Pendidikan Barat
yang diperolehnya dulu telah tergerus oleh nilai tradisi dan kasih sayang yang
berlebihan. Soemirah cukup egois dengan pandanganya dalam hal jodoh
putranya.
Keinginan Tan Hie Tjiak untuk menyunting Rogaya ditentang
Soemirah. Pengalaman masa lalu membuat Soemirah menolak bila anaknya
berhubungan dengan gadis pribumi. Ia tidak ingin nasib Tan Bi Liang menimpa
Tan Hie Tjiak, putranya. Ia tidak ingin kelak putranya dikucilkan dari keluarga
karena memperistri perempuan pribumi. Ia juga tidak ingin putranya mendapat
celaan dari orang-orang di sekitar mereka. Hal ini merupakan wujud kasih
sayang dan perhatian seorang ibu yang ditunjukkan Soemirah. Soemirah
mampu membuktikan bahwa hidup berumah tangga dengan lelaki bangsa lain
bisa membahagiakan. Akan tetapi, ia sendiri ragu atas kemungkinan yang akan
dihadapi putranya dan Rogaya.
Soemirah begitu setia dengan pendiriannya. Sebelum menikah, ia
berpegang teguh akan mengikuti adat suami. Oleh karena itu, Soemirah
menyadari status kebangsaan anak-anaknya mengikuti garis keturunan ayahnya
(Cina). Soemirah tidak menyetujui hubungan Tan Hie Tjiak dengan Rogaya
48
karena ia berpikiran bahwa putranya itu harus menikah dengan perempuan
sebangsa (Cina). Hal itu dimaksudkan supaya Tan Hie Tjiak tidak mengalami
pengalaman pahit seperti nasib Soemirah dan Tan Bi Liang. Penolakan
Soemirah tersebut menunjukkan sikap ambivalen, karena tindakannya tersebut
bertolak belakang dengan sikapnya dulu ketika memperjuangkannya cintanya
pada Tan Bi Liang. Soemirah mengalami konflik dalam batinnya. Ia tidak ingin
melihat anaknya sengsara karena mengawini gadis pribumi. Akan tetapi, ia
juga akan lebih merasa bersalah bila menghalangi kisah kasih antara putranya
dan Rohaya.
Sejak semula Soemirah menaruh curiga perihal kedatangan Rogaya di
rumahnya. Soemirah merasa keberadaan Rogaya ada hubungannya dengan
Ardiwinata. Bagi pembaca, kecurigaan Soemirah tidak mengandung kejutan.
Hal ini dikarenakan sebelumnya pengarang telah menceritakan rencana balas
dendam Ardiwinata dengan Rogaya. Pada bab sebelumnya, diceritakan bahwa
Ardiwinata kebetulan bertemu Rogaya, anak Rolia. Ardiwinata pun meracuni
pikiran Rogaya sehingga timbul kebencian dalam diri keponakannya itu pada
Soemirah. Melalui kedua tokoh ini Soemirah dipandang sebagai penjahat
karena telah menikah dengan lelaki bangsa lain. Soemirah dianggap sebagai
pengkhianat bangsa dan tindakan Soemirah dilihat sebagai penghinaan
terhadap bangsa. Karakter Soemirah dapat dilihat melalui pandangan tokoh
lain, seperti Ardiwinata dan Rogaya.
Segala firasat Soemirah digambarkan pengarang selalu tepat dengan
kejadian yang akan menimpa Soemirah. Kecurigaannya pada Rogaya tentu
49
benar adanya. Soemirah seringkali ketakutan dengan pikiran-pikirannya. Ia
menyesal telah menerima Rogaya di rumahnya. Akan tetapi, ia juga merasa
kurang adil bila harus mengusir Rogaya. Terlebih karena Rogaya anak
saudaranya sendiri dan lagi sudah yatim piatu. Meski takut akan keselamatan
keluarganya, Soemirah tidak bertindak gegabah. Ia masih memikirkan kondisi
Rogaya meski paman gadis itu sudah berbua t jahat padanya. Dalam
pengambilan keputusan di saat dilema semacam ini, Soemirah mampu
berkompromi dengan pikiran dan perasaannya. Kepercayaannya kepada Tuhan
membawa semua itu pada penyerahan. Ia berusaha menepis ketakutannya. Hal
ini merupakan wujud keimanannya.
Rogaya akhirnya mengakui tipu daya yang dilakukannya selama ini
pada keluarga Soemirah. Pada waktu mereka akan berpiknik ke Lembang,
Rogaya disuruh Ardiwinata meracuni keluarga Soemirah. Akan tetapi, dalam
perjalanan, mobil mereka mengalami kecelakaan. Rogaya tidak tega dengan
keluarga Soemirah yang ternyata sangat baik. Melalui tokoh Rogaya,
pengarang menunjukkan bahwa Soemirah itu sosok baik hati. Padahal melalui
tokoh Rogaya juga pengarang menunjukkan sosok Soemirah yang jahat. Akan
tetapi, karena sejak semula pengarang telah menggambarkan secara jelas tokoh
Soemirah dan Ardiwinata tentu saja mempengaruhi opini pembaca. Sejak awal
Soemirah digambarkan sebagai tokoh yang simpatik, sedangkan Ardiwinata
merupakan tokoh jahat. Tentu saja dibenak pembaca telah terpatri bahwa sosok
Soemirah adalah baik dan penilaian Rogaya bahwa Soemirah itu jahat tidak
mendapat simpati pembaca.
50
Rogaya menyadari kesalahannya, ia juga tidak tega melihat Tan Hie
Tjiak, lelaki yang dikasihinya, sekarat akibat kecelakan yang mereka alami.
Lantas Rogaya meminum racun yang sebenarnya untuk membunuh keluarga
Soemirah. Akan tetapi, Rogaya tidak mati karena racun itu ternyata hanya obat
tidur. Pengakuan Rogaya tidak lantas membuat Soemirah berkeinginan untuk
membalas dendam. Bahkan ia sama sekali tidak sakit hati pada Rogaya.
Tindakan Rogaya yang ingin bunuh diri dengan meminum racun menunjukkan
suatu penyesalan. Soemirah menyadari bahwa Rogaya hanya diperdaya oleh
Ardiwinata. Ia tetap mengasihi Rogaya. Pada akhirnya, iapun menerima
Rogaya sebagai menantu. Keras kepala Soemirah dikalahkan oleh cinta tulus
Rogaya dan Tan Hie Tjiak.
Soemirah begitu terpukul dengan kejadian yang menimpa
keluarganya. Keluarganya nyaris celaka akibat dendam Ardiwinata. Bila tidak
ada kecelakaan mobil itu, tentu ia bersama keluarganya akan mati karena
diracun Rogaya. Anak lelakinya pun sempat tidak sadarkan diri akibat
kecelakaan itu. Rogaya juga mencoba bunuh diri dengan meminum racun.
Soemirah terguncang dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Ia jatuh sakit dan
mengalami goncangan jiwa. Trauma yang dialami Soemirah mengharuskannya
untuk dirawat di Eropa untuk pemulihan jiwanya. Tan Bi Liang yang sudah
menjadi saudagar sukses tidak kesulitan mengobati Soemirah ke Eropa. Tan Bi
Liang berfikir bahwa di Eropa ia bisa mengawinkan putranya dengan Rogaya
sehingga tidak banyak menimbulkan pertentangan. Tan Bi Liang memutuskan
menetap di Tiongkok bila Soemirah sembuh. Di Tiongkok Tan Bi Liang bisa
51
mengembangkan kerajinan dan dengan modalnya ia bisa mengembangkan
tanah leluhurnya. Ia juga ingin menjadi perantara dagang antara saudagar yang
ada di Tiongkok dengan saudagar Tiongkok yang ada di Hindia Belanda.
Selain itu, ia tidak ingin anak perempuannya menikah dengan lelaki Eropa
karena ia tidak ingin hilang kebangsaannya.
Peristiwa akhir digambarkan sosok Tan Bi Liang yang begitu cinta
tanah airnya. Pengarang begitu jelas dan lugas menyampaikan ideologinya
melalui tokoh Tan Bi Liang. Keinginan Tan Bi Liang menetap di Tiongkok
tidak mendapat pertentangan Soemirah. Prinsip yang dipegang teguh tokoh
Soemirah yang akan selalu mengikuti adat suami digunakan pengarang untuk
mendukung ideologinya. Dari sisi kebangsaan sosok Soemirah tampak tidak
ada kepedulian. Sapan pengarang secara langsung dengan gaya orang pertama
bukan sertaan memberi peluang narator atau pengarang itu sendiri untuk
memberikan nasihat dan mempengaruhi pembaca agar seturut dengan tokoh
yang ia ciptakan, yang tak lain adalah ideologi pengarang itu sendiri. Misalnya
kutipan di bawah ini.
(9) “Siapa orang-orang Tionghoa hartawan suka meniru?” (Boen, 2001:
156).
3.2 Tokoh dan Penokohan Nyai Ros Mina
Secara analitik, pengarang menggambarkan Ros Mina sebagai
perempuan muda berparas cantik berusia kira-kira lima belas tahun. Bentuk
wajahnya seperti daun sirih berlapis kulit putih bersih. Bola matanya jeli
dengan dua alis yang kereng. Satu sujen yang manis akan tampak bila ia
52
tersenyum. Perawakannya kecil tetapi kencang serasi dengan pinggang yang
langsing. Baju renda Surabaya dan kain batik panjang menutupi tubuhnya yang
elok. Kondenya yang licin terbungkus selendang dadu. Meskipun tubuhnya
tidak berhias dengan emas intan, ia tetap tampak cantik hingga menggiurkan
mata lelaki. Keelokan wajah dan tubuh Ros Mina membuat lelaki- lelaki hidung
putih tertarik, namun Ros Mina tidak pernah peduli. Kecantikan Ros Mina
digambarkan pengarang begitu sempurna dan tanpa cacat.
Ros Mina anak semata wayang. Sampai dengan usia empat belas
tahun, Ros Mina tinggal bersama ayahnya di Gang Abu, Pecenongan, Betawi.
Ibunya yang mantan pelacur sudah lama meninggal. Ayahnya bekerja sebagai
jongos di toko Singer di Noordwijk. Bapak Ros Mina hanya bergaji f 15 per
bulan maka tidak heran bila keluarga itu hidup melarat. Sejak umur empat
belas tahun, Ros Mina terpaksa bekerja sebagai tukang jahit di salah satu toko
di Noordwijk, untuk membantu ekonomi keluarganya. Keadaan ini
menunjukkan bahwa Ros Mina termasuk keluarga golongan rendah.
Dalam urusan materi, Ros Mina terbilang sebagai pemboros. Gajinya
seringkali habis hanya untuk membeli baju dan kain. Ia sangat senang
berdandan dengan barang-barang baru. Ia selalu memoles wajahnya dengan
bedak Tiongkok. Kondenya senantiasa licin bergaya seperti gadis-gadis
Tiongkok. Ia seringkali membuat pakaian dengan potongan yang pas dengan
badannya hingga dadanya yang montok kelihatan timbul serta senantiasa
memamerkan pinggangnya yang langsing. Penampilannya seringkali
merangsang nafsu lelaki. Ros Mina sangat senang bila diperhatikan kaum
53
lelaki tetapi tidak peduli bila ada yang menggodanya. Sebagai perempuan Ros
Mina cukup genit dan senang mendapat atau mencari perhatian lawan jenisnya.
Kesukaannya memoles diri memperlihatkan sikapnya yang tidak menyadari
keadaan yang sesungguhnya yaitu kemiskinan keluarganya. Kegemarannya
bersolek membuat Ros Mina tidak lagi mempedulikan kondisi ekonomi
keluarganya.
Ros Mina sangat materialistis, misalnya ketika bertemu dengan lelaki
Cina totok yang mengendarai mobil Fiat dia langsung tertarik. Ros Mina
tertarik dengan materi lelaki itu sedangkan sang lelaki tertarik dengan keelokan
Ros Mina. Sifat materialistisnya membuatnya lupa diri. Tanpa pikir panjang ia
rela dipelihara menjadi istri muda lelaki totok itu (Baba hartawan). Ia
melakukan semua itu tanpa sepengetahuan ayahnya. Sikap Ros Mina
menunjukkan bahwa dalam dirinya tidak ada rasa hormat dan patuh pada
orangtua. Dia sangat mementingkan diri sendiri, semua demi kesenangannya
semata. Tanpa kompromi ia mengambil keputusan dan tanpa
mempertimbangkan perasaan ayahnya. Ros Mina sama sekali tidak
mengenyam bangku pendidikan karena keluarganya yang miskin. Dengan
keluguannya, tentu saja ia mudah terbujuk apalagi bila menyangkut dengan
segala kesenangan yang ia impikan.
Ketika ayah Ros Mina mengetahui anak gadisnya menjadi nyai
seorang baba hartawan, Ros Mina diusir dan ayahnya tidak ingin mengenalnya
lagi. Ayah Ros Mina penganut agama Islam yang setia. Perbuatan Ros Mina
menjadi istri muda baba hartawan telah membuatnya malu karena tidak sesuai
54
dengan ajaran agama Islam. Penolakan ayah Ros Mina dikarenakan anaknya
itu tidak menikah secara Islam, terlebih karena lelaki yang menjadi pilihan Ros
Mina tidak sebangsa dengannya.
Ros Mina tampak kebingungan mencari jalan lain ketika
keputusannya mengalami hambatan. Hal ini merupakan dampak dari sikap
praktis yang dilakukannya. Ros Mina tidak memikirkan segala resiko yang
harus ditanggung dari tindakannya. Keputusan yang dipilihnya hanya
bermuatan emosi sesaat. Misalnya ketika mendekati Lebaran, dengan tidak
diberi tenggang waktu, Ros Mina diusir karena baba hartawan sudah bosan
dengannya. Ros Mina harus pergi karena sudah ada calon penghuni baru (nyai
lain). Ros Mina baru menyadari bahwa nasib istri muda sangatlah celaka. Rasa
sesal Ros Mina bukan karena keputusannya menjadi istri muda, namun karena
dirinya tidak sempat mengeruk kekayaan baba hartawan. Niatan mencari
keuntungan seakan menjadi pertimbangan Ros Mina dalam segala keputusan
yang diambil. Akibat-akibat yang tidak diduga dari keputusan yang bersifat
emosi membuatnya bingung untuk menentukan langkah selanjutnya. Ros Mina
tidak mampu mempertimbangkan keputusannya.
Setelah diusir, Ros Mina kebingungan mencari tempat menumpang.
Ia terpikir untuk pulang dan minta ampun pada ayahnya. Akan tetapi, ia sadar,
ayahnya berwatak keras dan mustahil akan mengampuninya. Dalam hal ini Ros
Mina terpikir akan resiko yang akan terjadi dan ia tidak mengambil langkah
tersebut. Ros Mina mampu mempertimbangkan langkahnya, namun sikapnya
ini menunjukkan sebuah keraguan dalam dirinya. Sikap ini juga wujud
55
kepraktisannya dalam berpikir. Keputusannya untuk tidak kembali pada
ayahnya merupakan sikap keberanian dalam mengambil langkah kehidupan,
meskipun tanpa bekal ia berani melangkah sendiri.
Seorang tukang cuci memberi Ros Mina tumpangan. Keberuntungan
ini sekaligus merupakan kesialan bagi Ros Mina. Oleh tukang cuci tersebut,
Ros Mina dijadikan ladang uang. Ros Mina disuguhkan pada para baba, lelaki
hidung belang yang kaya. Ros Mina pun harus rela berpindah dari satu baba ke
baba ke yang lain. Ros Mina memang pendek akal. Ia merasa sudah kepalang
tanggung. Akhirnya ia memutuskan untuk melacurkan diri dan tinggal di hotel
Tiongkok. Hasil dari hotel sudah tentu berlipat ganda, namun semua itu dirasa
belum cukup juga. Tidak ada uang yang tersisih. Hal ini dikarenakan biaya
hidupnya bertambah besar, terlebih sebagian dari penghasilan haram tersebut
dihabiskannya untuk plesiran naik delman. Ros Mina tidak mampu menata
hidupnya. Ia merasa kepalang basah dan tidak mampu mawas diri. Ros Mina
terus kekurangan uang, meski hanya untuk sewa hotel dan makan ia masih
kesusahan.
Sikap boros Ros Mina membuatnya tidak lepas dari kemiskinan. Ia
tidak mampu mengendalikan diri. Segala tindakannya dilakukan tanpa pikir
panjang. Segala bentuk keputusan senantiasa menyusahkan dirinya send iri
hingga akhirnya ia jatuh pada hal yang sama. Melacurkan diri di hotel
Tiongkok tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia bosan karena semua itu
tidak membawa perubahan dalam hidupnya. Ia pun memutuskan untuk ikut
orang saja yakni menjadi nyai.
56
Segala keputusan Ros Mina dibuat dengan cepat. Apa yang ada di
depan mata selalu langsung diambilnya. Begitu juga ketika bertemu Kasmin
yang berhasil meyakinkan Ros Mina. Kegilaannya pada kekayaan dan
wawasannya yang tidak luas, menjadi faktor mengapa Ros Mina dengan
mudah percaya pada Kasmin. Ros Mina tidak mampu mengontrol emosinya.
Kepolosan Ros Mina membuatnya kembali terjerumus. Ia sangat mudah
percaya dengan orang dan karenanya ia mudah dibodohi. Setelah menikah
dengan Kasmin di depan penghulu, Ros Mina dibawa ke Medan. Semua
harapan Ros Mina sirna, ternyata Kasmin melacurkan dirinya. Kasmin seorang
pengeret dan pemadat. Oleh karena tidak tahan dengan kelakuan suaminya,
Ros Mina meninggalkan Kasmin tanpa membawa surat nikah. Ros Mina
menyadari penindasan Kasmin terhadap dirinya. Tindakan ini merupakan
wujud kesadaran dan keberanian Ros Mina.
Tidak ada pilihan lain, ia kemudian melacurkan diri lagi. Setelah
berpisah dengan Kasmin, Ros Mina mendapatkan Tuan Kebon yang hendak
memeliharanya. Namun, sebelum mimpinya menjadi nyai hartawan dan
terhormat terwujud, ia bertemu kembali dengan Kasmin di kereta. Ketika itu
Ros Mina sedang melakukan perjalanan dengan Tuan Kebon. Ros Mina tidak
duduk satu gerbong dengan tuannya karena perbedaan status antara mereka.
Ros Mina hanya seorang nyai pribumi berkelas rendah sehingga tidak layak
naik gerbong kelas satu seperti tuannya yang pejabat. Pada saat itu
diberlakukan pembagian golongan kelas rasial yang dibuat oleh pemerintah
kolonial.
57
Ros Mina merasa tidak berdaya menyingkirkan Kasmin dari
kehidupannya. Ia menyadari bahwa perjalanan hidupnya yang sedemikian rupa
pasti tidak akan terjadi bila ia tidak gemar plesiran. Ros Mina merasa hidupnya
tidak akan sehina bila memiliki pasangan yang didasari perasaan saling cinta.
Ros Mina menyesali dirinya. Ia berpikir lebih bahagia hidup miskin dan
mendapat upah cukup dari menjahit. Akhirnya, dengan terpaksa, ia kembali
masuk ke dalam permainan Kasmin. Ia takut pada Kasmin karena surat nikah
mereka masih di tangan suaminya dan hal itu bisa membuatnya masuk penjara.
Ros Mina menuruti segala apa kata suaminya itu. Pada Tuan Kebon,
Kasmin mengaku sebagai paman Ros Mina. Dengan begitu Kasmin bisa terus
tinggal dan mengawasi sekaligus memperdaya Ros Mina sambil mengeruk
kekayaan Tuan Kebon. Sikap patuh Ros Mina pada Kasmin awalnya dilandasi
rasa takut, namun Ros Mina akhirnya menikmati segala tipu daya suaminya.
Ros Mina terbuai dengan harapan-harapan yang dilukiskan Kasmin. Demi
menutupi kedoknya, Kasmin memberi uang pada Ros Mina. Bagi Ros Mina,
suaminya menunjukkan sikap baik karena mau berbagi uang dengannya. Ros
Mina tidak menyadari bahwa itu hanyalah politik Kasmin terhadapnya. Sikap
Kasmin ini membuat Ros Mina kembali suka pada suaminya itu. Ros Mina
juga rela bercinta lagi dengan Kasmin. Mereka sepakat untuk mengeruk
kekayaan Tuan Kebon. Perilaku ini menunjukkan bahwa dengan sifat
materialistisnya, Ros Mina mampu menikmati penindasan.
Kasmin ingin mengambil keuntungan lebih dari Ros Mina. Ia tidak
cukup mengeruk kekayaan dari Tuan kebon. Ros Mina pun ditawarkan pada
58
seorang Hoofdtandil, seorang totok yang sudah memiliki dua orang nyai
Singapura. Tidak cukup itu, anak tuan Hoofdtandil dari perkawinan resminya
di Tiongkok yang bernama Tjoe Keng, juga dijanjikan kemolekan Ros Mina.
Kecerdikan dan kelicikan Kasmin mampu memperdaya lelaki- lelaki
berkantung emas tersebut. Semula hal ini tanpa persetujuan Ros Mina sehingga
menunjukkan adanya pemanfaatan Ros Mina sebagai objek seksual dan
ekonomi. Pemanfaatan itu secara tidak langsung disadari Ros Mina, namun
juga tidak dipedulikannya. Apabila dijanjikan plesiran dan perhiasan oleh
Kasmin, Ros Mina rela melakukan apa saja. Melalui tokoh Kasmin, pengarang
menampilkan sosok Ros Mina yang mudah terbuai dengan janji manis dan
harta.
Ros Mina termasuk orang yang tidak pernah puas. Baru beberapa hari
dipelihara Tuan Kebon, ia mau saja melayani Hoofdtandil sekaligus anaknya,
Tjoe Keng. Semua itu demi keuntungan yang lebih banyak. Ketika bertemu
dengan Tjeo Keng, yang sengaja dibawa Kasmin ke rumah Tuan Kebon, Ros
Mina pun pandai berlagak. Hal tersebut dilakukannya supaya Tjoe Keng lebih
tertarik dan rela memberikan apa saja untuknya. Begitu juga ketika
Hoofdtandil datang, Ros Mina dengan mudah menaklukkan Tuan Besar ini.
Ros Mina bersikap malu-malu dan merendah di hadapan Tuan Besar.
(10) “Ach, mana iya, Tauwkeh blon tau liat prampuan yang lebi cantik
dari saia,” jawab Ros Mina dengen senyum manis. (Kuo, 2003: 308)
(11) “Ach barangkali, Tauwkeh cuma cinta di mulut saja, tetapi di hati
tida, apa bukan begitu?” “Kalu cuma begitu, masa saia misti jadi jato rindu pada Nyai!”
59
“Kalu betul Tauwkeh cinta saia minta dong tanda matanya!” “Tanda mata apa nyai mau, saia sekarang tida bawa barang apa-apa, nanti saja besok saia bliin barang-barang periasan buat Nyai!” “Kalu Tauwkeh tida bawa barang uwang pun tentu tida ada halangan, kalu Tauwkeh sudi kasi saia sebagai tanda cinta!” (Kuo, 2003: 308)
Sebagai perempuan lacur, demikian pengarang menyebutnya, uang
atau harta merupakan tujuan utama Ros Mina dalam bertindak. Kemanisan dan
kepandaian Ros Mina merayu membuat Tuan Besar rela memberikan apa saja
seperti dalam kutipan di atas. Ros Mina pandai berbicara manis hingga Tuan
Besar semakin ingin memilikinya secepatnya. Hal ini membuat sang tuan rela
mengeluarkan uang yang besar demi mendapatkan Ros Mina. Wajah Tuan
besar yang tidak tampan dan tua tidak dipedulikan Ros Mina, karena harta
yang dimiliki lebih banyak dibandingkan dengan Tuan Kebon apalagi Tjoe
Keng.
Tjoe Keng tidak kaya tetapi termasuk target Kasmin supaya terjerat
pada Ros Mina. Tjoe Keng anak Tuan Besar dan berselingkuh dengan salah
satu nyai ayahnya. Kasmin mengetahui hal tersebut dan merasa bisa
memanfaatkannya untuk mengeruk kekayaan Tuan Besar lebih banyak. Tjoe
Keng yang bodoh dengan mudah masuk perangkap. Awalnya, ia meminta uang
dari nyai kedua ayahnya sedikit demi sedikit. Nyai Singapura yang sudah tidak
dipedulikan Tuan Besar itu mau saja memberikan sejumlah uang karena sudah
jatuh hati pada Tjoe Keng. Uang itupun akhirnya jatuh ke tangan Kasmin.
Kasmin telah berjanji akan membawa Tjoe Keng ke seorang dukun di Siantar
untuk memperdaya nyai pertama ayahnya yang memegang kunci brangkas
60
Tuan Besar. Kasmin sengaja memberitahu Tjoe Keng bahwa ayahnya juga
menginginkan Ros Mina. Tentu saja Ros Mina akan memilih Tuan Besar. Tua
bangka itu lebih banyak akal, lebih pandai bicara sehingga bisa memikat hati
perempuan, dan yang pasti lebih banyak uang dibandingkan anaknya. Tjoe
Keng semakin panas dan itulah yang diharapkan Kasmin. Tjoe Keng harus
bersaing dengan ayahnya untuk mendapatkan Ros Mina. Oleh karenanya, ia
harus memiliki lebih banyak uang daripada ayahnya supaya bisa mendapatkan
Ros Mina. Namun, semua itu jelas hanya akal bulus Kasmin. Tokoh Kasmin
memanfaatkan Ros Mina untuk memperdaya para lelaki hidung belang.
Peristiwa ini, melalui pandangan tokoh lain, semakin menegaskan sifat
materialistis tokoh Ros Mina.
Ros Mina meminta izin Tuan Kebon untuk pergi plesiran ke Siantar
dan meminta uang sebesar f 300 untuk membeli perhiasan. Atas rayuan dan
rengekan Ros Mina, Tuan Kebon memberi apa yang diminta nyainya itu. Ros
Mina yang sudah berpengalaman di dunia hiburan lelaki tidak kesulitan untuk
meluluhkan Tuan Kebon. Ros Mina semakin pintar bicara dan semakin licik.
(12) “Tuan, saia pikiran mau bli gelang mas sama peniti dari mas, apa Tuan suka kasi uangnya?” tanya Ros Mina pada tuannya. “Brapa banyak Mina mau pake buat bli barang-barang?” “Kira-kira tiga ratus rupia, Tuan!” “Begitu banyak Ros lantes mau bli pakean?” “Ya, Tuan, kapan Ros tida pake barang sepotong yang berharga, toch Tuan juga yang jadi malu, kalu orang liat Tuan punya nyai ada terlalu miskin. Kalu saya pake banyak barang berharga, Tuan jadi dapet muka trang pada orang banyak, lagi itu barang-barang yang Tuan bli- in saia sama juga seperti Tuan punya barang kapan kita keputusan uwang, bole kasi kombali pada tukang mas, lantes kita bisa dapet kombali uwangnya.” (Kuo, 2003: 313)
61
Mulut manis Ros Mina mampu membuat Tuan Kebon percaya
sepenuhnya padanya. Dengan dalih menjaga gengsi sang tuan, Ros Mina pun
mampu meluluhkan hati tuannya. Dengan demikian Ros Mina mendapat
keuntungan berganda. Uang dari Tuan Kebon digunakan untuk membeli
perhiasaan dan ia juga bisa mendapatkan uang dari Tjoe Keng ketika plesiran.
Hal ini sudah diatur Kasmin. Pada suatu pagi Ros Mina, Kasmin dan Tjoe
Keng pergi ke Siantar. Kepergian Ros Mina bersama Tjoe Keng tanpa
sepengetahuan Tuan Kebon. Kebiasaan mencari keuntungan berganda memang
sering dilakukan oleh para nyai. Hal ini juga dilakukan Ros Mina sehingga
menunjukkan wataknya yang tamak dan tidak pernah puas.
(13) “Sebab saia sanget cinta pada Nyai, suda lama saia mau dapetken,
blon bisa juga kejadian!” “Ini Baba ada bawa brapa banyak uwang?” “Ach uwang si ada banyak, buat apa Nyai tanya-tanya lagi, sebentar di hotel saia serahkan pada Nyai!” “Kalu saia blon seraken saia punya diri pada Baba, suda tentu saia tida nanti dapet itu uwang dari baba, apa bukan begitu?” “Kalu Nyai mau kata begitu, bukan duluan saia suda persen pada Nyai sepulu rupia!” (Kuo, 2003: 315-316).
Materialistis Ros Mina juga tampak dalam kutipan di atas. Segala
perilakunya selalu diperhitungkan dengan uang. Perkataan Tjoe Keng semakin
menunjukkan bahwa Ros Mina sulit didapatkan dan untuk memilikinya
diperlukan isi kantong yang tebal. Dengan lugas dan tanpa malu-malu Ros
Mina juga berani menunjukkan sikap materialistisnya. Hal tersebut tidak
mengurangi rasa suka Tjoe Keng kepadanya. Keterbukaan Ros Mina dalam hal
uang justru membuat Tjoe Keng semakin ingin membuktikan cintanya.
62
Ketamakan Ros Mina tidak membuat Tjoe Keng mundur, hal ini menunjukkan
bahwa Ros Mina merupakan perempuan impian sekalipun dirinya pelacur.
Tjoe Keng jatuh cinta pada Ros Mina, ia juga menjanjikan akan
membelikan perhiasaan. Oleh karenanya, Ros Mina semakin mencari perhatian
anak Tuan Besar itu. Semua itu dilakukan berdasarkan perhitungan harta.
Misalnya saja ketika di hotel, Tjoe Keng menawarkan Ros Mina untuk minum
(anggur), tetapi Ros Mina berdalih tidak bisa minum. Ros Mina akan minum
apabila dibelikan perhiasan emas. Begitu juga ketika Tjoe Keng mengajak tidur
bersama, Ros Mina menolak dengan alasan takut pakaiannya lusuh. Namun,
setelah Tjoe Keng berjanji akan membelikan beberapa dosin kebaya Ros Mina
mau menyerahkan dirinya. Hal inilah yang memang diharapkan Ros Mina.
Awalnya, ketika Tjoe Keng mengajak bercinta, Ros Mina berlaku seperti
perawan. Dengan akalnya ia mengaku belum pernah melakukan perbuatan
seperti itu (berhubungan intim). Sikap ini ditunjukkan Ros Mina supaya dirinya
tampak berharga di depan Tjoe Keng. Padahal perempuan ini jelas-jelas sudah
berhadapan dengan banyak laki- laki. Tindakan-tindakan tersebut semakin
menunjukkan Ros Mina yang pandai berbohong dan berdalih. Perempuan yang
sudah malang melintang di dunia hiburan lelaki ini semakin cerdik
memperdaya lelaki. Ros Mina tampak cerdik dan lihai dalam peristiwa
tersebut. Pengalaman yang dialaminya tenyata mampu membuat karakternya
berkembang. Hal ini juga tampak dalam peristiwa dibawah ini.
Di Deli, zinah merupakan perkara lumrah maka tidak heran ketika
Ros Mina sedang sendiri di kamar datanglah jongos hotel yang
63
menginginkannya. Keberadaan setiap perempuan di hotel (di Deli) memiliki
image sebagai pelacur. Ros Mina mengetahui maksud jongos hotel tersebut dan
ia pun memperdayanya. Awalnya Ros Mina bersikap manis, dan jongos itupun
memberinya uang sebesar f 5. Namun, setelah uang diterima, Ros Mina
menghardik jongos hotel tersebut. Ros Mina yang awalnya begitu bodoh dan
mudah ditipu, kini justru bersifat sebaliknya. Di sisi lain ketamakan dan
kecintaannya pada uang semakin terlihat dalam kejadian tersebut.
Peristiwa-peristiwa selanjutnya semakin memperlihatkan sosok Ros
Mina yang benar-benar memandang keberuntungan dari harta semata. Hal
tersebut semakin membuatnya lebih berani bertindak. Keberanian itu membuat
cita-citanya terwujud. Tubuh Ros Mina berhias dengan gelang, anting-anting,
kalung, peniti, arloji, cincin, dan tusuk konde yang semuanya berbahan emas.
Total harga barang tersebut sebesar f 500. Ketika Ros Mina kekurangan uang,
tanpa malu-malu ia pun meminta pada Tjoe Keng. Ros Mina semakin cantik
dengan perhiasan-perhiasan tersebut. Dengan begitu juga, Ros Mina sudah
menjadi nyai yang kaya. Tingkah laku gadis itu mulai berubah. Ia tidak seperti
Ros Mina yang dulu sangat miskin. Sifat Ros Mina yang ambisius semakin
jelas terlihat. Meskipun semua sudah didapatnya, ia belum juga puas. Ia
memanfaatkan perasaan Tjoe Keng yang sungguh-sungguh menc intainya.
Lelaki itu dimintanya membelikan payung sutera seharga f 20. Payung sutra
bagi seorang nyai merupakan identitas kelas.
Dari awal penceritaan, pengarang tidak menggambarkan sifat belas
kasih Ros Mina. Gadis itu tidak memiliki toleransi dan kepedulian terhadap
64
sesamanya, termasuk sesama nyai. Dari Siantar, Ros Mina naik kendaraan
yang berbeda dengan Tjoe Keng. Ros Mina tidak langsung pulang melainkan
mampir ke rumah Hoofdtandil. Setelah melayani Hoofdtandil, ia diberi uang f
10. Sebelum Ros Mina sampai di rumah Hoofdtandil sebenarnya nyai pertama
Tuan Besar itu mati dan masih tergantung. Nyai itu gantung diri karena
cemburu pada Ros Mina dan merasa sudah tidak diperhatikan Tuan Besar. Ros
Mina tidak peduli dengan semua itu, begitu juga Tuan Besar. Kenyataan ini
memperlihatkan sosok Ros Mina yang tidak mempunyai rasa belas kasih.
Ros Mina begitu cinta pada uang, kecintaannya pada lelaki hanya
diukur dengan uang. Sikap ini dinyatakan Ros Mina sebagai wujud balas
dendam pada masa lalu. Hal itu tampak ketika Ros Mina sedang berbicara
dengan Tjoe Keng.
(14) “Baba kalu Baba ada banyak uang, masa saia tiada cinta pada Baba!”
jawab Ros Mina dengen mesem-mesem. “Kenapa Nyai, begitu suka sama uwang?” “Ya, kalu Baba mau tau, saia sekarang tida pandang kecintahan lelaki lagi, tetapi saia cuma pandang ia orang punya uwang, sebab tempo saia si Betawie, saia suda perna dibikin sakit hati oleh orang lelaki!” (Kuo, 2003: 327).
Peristiwa-peristiwa di Betawi sudah membuat Ros Mina lebih berpengalaman.
Ia tidak sebodoh ketika menjadi nyai pertama kali di Betawi. Dulu ia tidak
berpikir mengeruk uang dari tuannya tetapi kini ia mengambil setiap
kesempatan untuk mendapatkan uang. Dengan kata lain, Ros Mina semakin
pintar dan licik.
65
Sekian waktu menjadi nyai Tuan Kebon, membuat Ros Mina lupa
pada teman-teman pelacur semasa di hotel Singapor. Di mata teman-temannya,
Ros Mina sudah menjadi nyai yang kaya raya sehingga tidak mau lagi bergaul
dengan pelacur-pelacur. Ros Mina hanya mau bergaul dengan nyai-nyai yang
kaya. Kekayaan Ros Mina berupa perhiasan seharga f 1000 dan uang kontan di
bank sebanyak f 10000. Keberuntungan Ros Mina membuat iri dan kesal
teman-teman pelacurnya. Ketika Ros Mina masih di hotel (melacurkan diri)
hidupnya tidak senikmat sekarang, dia sangat melarat. Ia sering meminjam
uang teman-temannya dan setelah kekayaannya berlimpah ia melupakan
semuanya. Sikap tersebut wujud pembatasan diri Ros Mina akan pergaulan.
Hal ini dilakukan untuk menciptakan image positif di hadapan tuan yang
memeliharanya. Ros Mina mengalami perubahan kelas sosial karena
pengalamannya. Kerja kerasnya dalam dunia lelaki mampu mengubah
perekonomiannya sehingga kelas sosialnya meningkat.
Sifat gegabah dan lalai dalam bertindak begitu melekat dalam diri
Ros Mina. Hal tersebut ditampilkan pengarang melalui tokoh Tuan Kebon.
Lelaki itu cemburu dan mulai mencurigai Ros Mina dan Kasmin. Tuan Kebon
sering tidak tenang bila meninggalkan Ros Mina di rumah. Banyak prasangka
mengusiknya. Sikap manis Ros Mina seringkali diacuhkannya karena ia sudah
tidak percaya lagi pada nyainya itu. Tuan Kebon yang sudah curiga dengan
kecurangan Ros Mina mencoba menjebak nyainya itu. Ia juga mencari bukti-
bukti untuk menghakimi Kasmin dan Ros Mina.
66
Tuan Kebon menghibur diri ke sebuah hotel dan memesan seorang
pelacur. Ia menceritakan kegelisahannya. Kemudian ia pergi ke dukun untuk
mencari kejelasan tentang kelakuan Ros Mina. Kecurigaan itu berawal ketika
Ros Mina pulang dari Siantar. Ia hanya memberi uang f 300 tetapi nyainya
pulang dengan perhiasan yang harganya lebih dari itu. Tuan Kebon merasa Ros
Mina tidak setia dan memiliki kendak atau lelaki lain. Ternyata dukun tersebut
hanya ingin mengambil uang Tuan Kebon saja. Dukun itu hanya berpesan agar
Tuan Kebon jangan percaya lagi pada nyainya dan menganggap perhiasan itu
diperoleh karena penjualnya yang salah memberi harga.
Tindakan yang diambil Tuan Kebon di atas menunjukkan bahwa Ros
Mina kurang bisa melihat bahaya yang ada di depannya. Ros Mina terlena
dengan kenikmatan yang sudah didapatnya sehingga tidak menyadari
kecurigaan Tuan Kebon pada dirinya. Sikap manis Ros Mina tidak selamanya
dapat diterima begitu saja oleh Tuan Kebon. Ternyata, Ros Mina tidak
mengenal Tuan Kebon seutuhnya. Keberhasilannya mengeruk harta sang tuan
membuatnya tidak waspada sehingga ia tidak menyadari bahwa
ketidaksetiaannya sudah tercium. Ros Mina sama sekali tidak berpikir bahwa
pembelian perhiasan tersebut akan memunculkan kecurigaan Tuan Kebon. Hal
ini sekaligus memperlihatkan sifat Ros Mina yang tidak jeli dalam bersikap.
Tuan Kebon akhirnya mengetahui kebenaran perilaku Ros Mina dan
Kasmin melalui seorang nyai hotel. Tuan Kebon membayar seorang kuli
kontrak untuk membantunya mengawasi dan menjebak Soemirah dan Kasmin.
Sampai di rumah, ternyata Ros Mina sedang berduaan dengan Tuan Besar.
67
Tuan Kebon marah dan terkena peluru dari pistol Tuan Besar. Tuan Besar
akhirnya juga tertembak. Kedua tuan itupun mati. Peristiwa ini membuka
kesadaran Ros Mina bahwa perbuatan yang busuk pasti akan tercium juga.
Selain itu, demi perempuan serong seperti dirinya, para tuan itu mati sia-sia.
Akan tetapi, kesadaran itu tidak dibarengi dengan perubahan sikap. Peristiwa
mengerikan di depan mata itu tidak membuatnya berpikir ulang dalam
bertindak.
Konflik-konflik yang dialami Ros Mina menentukan pergerakan
tokoh lain. Misalnya peristiwa berikut ini. Setelah tahu Tuan Besar tewas,
Kasmin mengambil semua harta Hoofdtandil itu. Tjoe Keng yang melihat
peristiwa tersebut meneriaki Kasmin dengan sebutan maling. Tjoe Keng
menembak mati Kasmin sebagai pencuri. Ia menyadari bahwa selama ini
Kasmin telah memperdayanya. Tjoe Keng merasa menjadi hartawan karena
semua kekayaan ayahnya sudah dikuasainya. Ia mengajak Ros Mina tinggal
bersamanya. Merekapun terbebas dari segala tuduhan. Dengan rekayasa Tjoe
Keng, polisi menduga kematian Tuan Besar dan Tuan Kebon disebabkan
masalah pekerjaan. Peristiwa tersebut kembali menekankan bahwa Ros Mina
sama sekali tidak memilki rasa belas kasih. Ia hanya mementingkan dirinya
sendiri. Ia pun tidak merasa bersalah dengan kejadian itu. Hal ini menunjukkan
bahwa ia tidak jujur dalam bertindak.
Ros Mina mudah sekali lengah, ia tidak menyadari kecemburuan ibu
tiri Tjoe Keng, Bok Kwie Hoa. Nyai Singapor itu sudah tidak diperhatikan
Tjoe Keng sehingga ia pun kecewa dengan anak tirinya itu. Ia lalu
68
mengumpulkan barang bukti dan saksi untuk menyatakan bahwa Ros Mina
terlibat dalam kematian para tuan tersebut. Tjoe Keng membawa pergi Ros
Mina dan pelarian itu dilaporkan Bok Kwie Hoa ke polisi. Ros Mina dan Tjoe
Keng pun menjadi buronan polisi. Di tengah pelarian, mobil yang ditumpangi
Ros Mina dan Tjoe Keng mengalami becah ban. Mereka ditolong oleh
gerombolan pemuda bersama para pelacur. Para pemuda itu tahu bahwa ada
buronan laki- laki dan perempuan yang kabur. Ketiga pemuda itu bernama Tek,
Hin, dan Jong. Mereka berasal dari Betawi dan pergi ke Medan untuk mengadu
nasib. Pemuda yang bernama Tek berhasil melumpuhkan Tjoe Keng. Ros Mina
berlagak meminta tolong dan menyangkal dirinya bukanlah nyai Tjoe Keng.
Kecerdikan Ros Mina kembali tampak dalam peristiwa ini. Dengan tidak
mengakui Tjoe Keng sebagai tuannya maka iapun tidak akan dibawa serta ke
penjara. Ros Mina tidak memiliki rasa balas budi terhadap Tjoe Keng. Sifat
egois sangat mendominasi karakter Ros Mina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
memperlihatkan bahwa melalui tokoh Ros Mina dengan segala karakternya
mampu menimbulkan konflik yang semakin rumit.
Pemuda-pemuda itu pun membawa Tjoe Keng ke polisi dan Ros
Mina yang sekarang memegang banyak uang ada bersama mereka. Ros Mina
mencuri harta benda Tjoe Keng dan bisa dibilang sebagai nyai terkaya di tanah
Deli. Dengan memelas Ros Mina minta tinggal bersama para pemuda itu.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ia merasa tidak bisa hidup sendiri dan
merasa butuh perlindungan dari orang lain meskipun banyak uang. Di
pondokan para pemuda itu, Ros Mina merasa tidak beda hidup di penjara. Ia
69
pun menyewa sebuah estate. Hanya si Tek yang tinggal bersamanya sedangkan
Hin dan Jong memutuskan pulang ke Betawi. Lama kelamaan si Tek merasa
malu karena harus bergantung hidup pada nyainya. Akhirnya ia pun
meninggalkan Ros Mina dan kembali ke Betawi. Ros Mina pun sedih dan
semakin bingung karena perkara pembunuhan para tuan akan disidangkan dan
ia diminta menjadi saksi.
Ketika Ros Mina kebingungan, datanglah pemilik estate atau Ceti
yang menawarkan bantuan. Ros Mina tanpa pikir panjang menceritakan semua
kesusahannya. Ceti berjanji akan membantu mencarikan Ros Mina seorang
pengacara. Ros Mina pun sangat senang, ia pun mulai akrab dengan sang
pemilik rumah sewa itu. Ros Mina tidak menyadari bahwa ia sedang
berhadapan dengan seorang rentenir. Keakraban itu dimanfaatkan Ceti untuk
menipu Ros Mina. Dengan dalih kekurangan uang untuk membeli rumah sewa,
Ceti berkeluh dan meminjam uang pada Ros Mina. Seluruh kekayaan, uang
sejumlah f 25000 dan barang berharga yang dimiliki Ros Mina diserahkan pada
Ceti. Hal itu dilakukan Ros Mina karena ia merasa berhutang budi dan
menganggap keakrabannya dengan Ceti sudah selayaknya suami istri.
Ros Mina yang masih bingung dan ketakutan karena bayangan akan
masuk penjara berusaha mencari hiburan. Ia mendengar kabar bahwa di Gang
Buntu, di rumah seorang nyonya Belanda banyak perempuan berkumpul untuk
berjudi. Ros Mina pun bergabung dalam perjudian tersebut. Perempuan-
perempuan di perkumpulan itu mengetahui bahwa Ros Mina adalah nyai yang
kaya. Mereka pun bersengkokol mengeruk harta Ros Mina. Hari pertama Ros
70
Mina menang f 5 tetapi hari selanjutnya ia senantiasa tidak beruntung. Ia kalah
sampai f 100 dan uangnya pun habis. Hal tersebut dikarenakan perempuan-
perempuan di tempat itu berbuat curang pada Ros Mina. Keadaan kini berbalik,
dulu ia dengan mudah berlaku curang pada para tuan tetapi kini ia sendiri
mendapat kecurangan.
Keputusan Ros Mina masuk dalam perjudian menunjukkan dirinya
yang senantiasa mencari kesenangan meski dalam keadaan genting. Peristiwa-
peristiwa tersebut semakin menunjukkan sosok Ros Mina sebagai nyai yang
tidak mau mencari jalan yang lebih baik ketika menghadapi kebuntuan. Bahaya
di depan mata pun tidak disadarinya. Ros Mina menyuruh orang mengambil
uang pada Ceti. Uang sebesar f 500 diberikan Ceti pada Ros Mina. Penyerahan
uang itu disertai dengan kertas yang harus ditandatangani Ros Mina. Tanpa
membaca isi tulisan dalam kertas tersebut, Ros Mina dengan begitu saja
mencantumkan tanda tangannya. Kepercayaannya pada orang yang begitu
besar membuatnya lengah.
Di pengadilan, Tjoe Keng menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Tjoe Keng bebas dari hukuman dan Ros Mina akhirnya bebas dari dakwaan.
Tjoe Keng kembali ke rumahnya dan menggantikan pekerjaan ayahnya. Ia
sudah berubah dan menikahi gadis baik-baik. Mereka hidup senang. Ros Mina
harus menerima perlakuan Ceti yang sudah menipunya. Seluruh uang yang
dipinjamkannya pada Ceti tidak bersisa sama sekali. Hal ini dikarenakan
kelalaiannya saat mencantumkan tanda tangan. Ceti telah membuat catatan
pembukuan yang palsu, semua dilipatgandakan sehingga uang Ros Mina yang
71
ada padanya tidak ada lagi. Ros Mina yang dulu begitu cerdik memperdaya
para tuan kini lemas tidak berdaya. Sikap gegabahnya telah membuatnya
kembali jatuh miskin. Kemiskinan itupun yang akhirnya membawanya kembali
ke hotel Japan untuk melacurkan diri. Sementara itu Tjoe Keng meneruskan
pekerjaan ayahnya dan sukses. Harta dunianya pun bisa diperolehnya kembali.
Keputusan ini pun seolah tanpa pertimbangan. Ros Mina tidak yakin
akan kemampuannya di bidang lain. Ros Mina selalu menganggap persoalan
dengan mudah sehingga dengan mudah juga ia berlaku tanpa
mempertimbangkan resiko yang akan diterimanya. Impiannya yang sudah
terwujud tidak membuatnya berhenti dan mensyukuri tetapi ia justru semakin
buta karena rasa ingin lebih.
(15) “Semuwa manusia yang telah berbuat jahat, telah dapet balesannya
dengen sempurna.” “Cuma orang yang bisa roba ia punya perbuatan tersesat bisa dapet ampun dari Tuhan Allah, sebagimana pembaca bisa lihat pada Tjoe Keng, yang sasudanya kluar dari bui, lalu jadi satu orang pakerjahan, dengen gantiken ayahnya punya tempat.” (Kuo, 2003: 398)
Demikianlah pesan pengarang pada pembaca. Tokoh Ros Mina
ditampilkan sebagai tokoh yang tidak patut dicontoh sedangkan Tjoe Keng
sebaliknya. Peran pengarang sebagai narator dalam novel ini berpeluang untuk
menyapa pembaca secara langsung, baik untuk memberi nasehat ataupun opini
langsung.
72
3.3 Rangkuman
Pembahasan tokoh dan penokohan di atas menggambarkan
personality seorang tokoh perempuan yang berstatus nyai. Latar kehidupan
atau status sosial sangat mempengaruhi pola pikir para tokoh. Tokoh Soemirah
berasal dari keluarga bangsawan (keraton Surakarta), tetapi hal tersebut tidak
membuatnya ragu untuk menjadi pendamping lelaki bangsa asing. Soemirah
tidak memperhitungkan kelas seseorang yang akan menjadi pendampingnya.
Ketika menjalani kehidupan sebagai nyai, ia tidak mengorientasikan diri pada
uang. Hal ini menunjukkan sosoknya yang tidak materislistis seperti
perempuan kebanyakan yang menjadi nyai. Dengan sifat keras kepalanya,
Soemirah terus berjuang mendapatkan apa yang ia mau. Di balik itu semua, ia
memiliki sifat lemah lembut yang akhirnya meluluhkan pendirian orang-orang
yang menentangnya.
Ia tidak mempedulikan gelar Raden Ayu yang melekat dalam dirinya
ketika menentukan pendampingnya. Ia juga tidak gila hormat. Pikiran
Soemirah cukup terbuka dan rasional dalam menentukan kehendaknya.
Pendidikan Barat menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter
Soemirah. Kesadaran Soemirah terbuka sehingga ia mampu mengambil
keputusan sendiri. Soemirah dipandang tidak setia pada ajaran agama Islam,
namun ia begitu setia dan bertanggung jawab dengan segala pilihannya. Dia
juga tetap yakin akan keberadaan Tuhan sehingga ia bersikap pasrah
menghadapi ketakutannya pada Ardiwinata.
73
Sebagai seorang yang terpelajar, Soemirah sempat mengalami
ketimpangan intelektualitas, misalnya dalam pencobaan bunuh diri yang
dilakukannya. Di sisi lain, Soemirah juga mampu mengendalikan diri sehingga
apa yang dialami tidak membuatnya menjadi pendendam. Gadis yang masih
berdarah Sumedang ini mampu mempertimbangkan keputusannya. Ketika
kemauannya ditentang sang ibu, ia tidak lantas bersikap sepihak, ia mampu
berkompromi dengan lingkungannya. Sifat Soemirah yang keras justru
membuatnya cenderung bersikap kolot. Kasih sayangnya yang besar pada
keluarga mendorongnya bersikap ambivalen. Hal ini tampak ketika Soemirah
melarang hubungan putranya dengan Rogaya, seorang gadis pribumi.
Tokoh nyai yang kedua adalah Ros Mina. Nyai ini berasal dari
Betawi dan menjalani kenyaiannya di daerah Betawi dan Deli (Sumatra).
Keluargannya miskin, ayahnya seorang buruh menjahit dan ibunya mantan
pelacur. Ros Mina sempat menjadi penyokong perekonomian keluarga, namun
kegilaannya pada harta membuatnya lupa diri. Ia sangat lugu, wawasannya
tidak luas, dan tidak pernah menikmati pendidikan dari seorang guru (sekolah).
Hal itu membuatnya mudah dibodohi dan diperdaya oleh orang-orang yang
ingin memanfaatkannya.
Kesenangannya berdandan dan jalan-jalan serta kemiskinan yang
dialami membuat Ros Mina berambisi mengejar kekayaan. Sifat materialistis
inilah yang akhirnya menjerumuskan dirinya dalam pernyaian. Menjadi nyai
adalah pilihannya yang tanpa dilandasi paksaan. Ros Mina memiliki semangat
yang tinggi dalam memperjuangkan nasibnya menjadi nyai. Ia memang tidak
74
mampu mengendalikan diri tetapi ia mampu belajar dari pengalamannya
sehingga ia menjadi cerdik dan licik.
Nyai Ros Mina selalu mengorientasikan segala aktifitasnya pada
uang. Ia seorang nyai yang berani dalam menentukan keputusan. Namun,
segala keputusannya seringkali tanpa perhitungan sehingga ia jatuh pada
kesalahan yang sama. Ros Mina tidak memiliki kepedulian terhadap ajaran
agama Islam, ia melakukan segala hal dengan sesuka hatinya. Selain tidak setia
dengan agamanya, Ros Mina juga tidak setia pada tuannya. Kepraktisan Ros
Mina dalam bertindak mengakibatkan apa yang diperolehnya (kekayaan) tidak
bertahan lama. Perempuan ini juga tidak memiliki rasa belas kasih dan balas
budi. Ros Mina merupakan sosok egois, apa yang dilakukannya sekadar untuk
kepentingan sendiri.
Kehadiran Nyai Ros Mina dan Nyai Soemirah sebagai tokoh utama
sangat mempengaruhi jalan cerita. Segala konflik yang terjadi selalu
melibatkan tokoh-tokoh tersebut. Karakterisasi yang dimunculkan pengarang
sangat mempengaruhi perkembangan konflik. Sebagai tokoh nyai yang
diciptakan pengarang, keduanya memiliki persamaan watak dasar yakni
ambisius. Keduanya berusaha dengan keras untuk mewujudkan kehendak.
Uraian di atas menunjukkan adanya perbedaan antara Nyai Soemirah
dan Nyai Ros Mina. Perbedaan itu antara lain terletak pada kelas sosial, cara
menghadapi permasalan dan pengambilan keputusan, penyikapan terhadap
agama, dan image. Sebagai seorang pribumi yang hadir dalam novel karya
sastrawan Peranakan Cina, kedua tokoh tersebut digambarkan memiliki ambisi
75
yang kuat dalam mewujudkan keinginan meskipun berstatus nyai. Nyai
Soemirah berambisi untuk mendapatkan cintanya pada seorang Cina totok
tanpa peduli dijadikan nyai (tidak dinikah secara Islam), sedangkan Ros Mina
berambisi menjadi hartawan dengan segala cara.
BAB IV
EKSISTENSI TOKOH NYAI
DALAM NOVEL CERITA NYAI SOEMIRAH
DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN
4.1 Pengantar
Pengertian eksistensi adalah keberadaan manusia yang memiliki
aktualitas yang merdeka tanpa memandang benar salah, namun bertanggung
jawab dengan pilihannya. Unsur sosialisasi, idealisme, dan loyalitas akan
melingkupi pembahasan eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai
Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan
Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo yang terbagi dalam tiga subbab
berikut. Bagian pertama membahas sisi intern nyai mengenai motivasi
Soemirah dan Ros Mina menjadi nyai. Pada bagian kedua pembahasan peran
nyai di dalam keluarga. Nyai dalam pandangan masyarakat pribumi dan Cina
akan dibahas pada bagian terakhir. Judul subbab tersebut dipilih karena
disesuaikan dengan persoalan yang tampak dalam tokoh penokohan. Eksistensi
seorang nyai terlihat dalam aktualisasi daya-daya penggerak individu dan
dalam perannya sebagai nyai. Nyai dalam eksistensinya menuntut adanya
pengakuan dan perhatian dari pihak luar, oleh sebab itu diperlukan pembahasan
mengenai pandangan tokoh lain terhadap nyai.
77
4.2 Motivasi Tokoh Menjadi Nyai
Dengan motivasi, manusia mampu mengaktualisasi diri secara
merdeka, begitu pula dengan tokoh Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina. Kedua
perempuan pribumi tersebut mempunyai daya penggerak untuk memilih jalan
hidup sebagai nyai. Menjadi seorang nyai, secara sadar maupun tidak sadar
merupakan sebuah pilihan yang sudah diputuskan. Pilihan itu kemudian
memunculkan dorongan untuk sebuah pertanggungjawaban.
4.2.1 Motivasi Nyai Soemirah
Soemirah adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga bangsawan.
Ayahnya seorang pangeran Surakarta. Setelah ayahnya meninggal, Soemirah
tinggal bersama ibunya di Pawenang, Sumedang. Dengan status
kebangsawanannya, ia mampu mengenyam pendidikan. Peraturan pemerintah
kolonial Hindia Belanda menyatakan bahwa hanya Pribumi yang dianggap
kaya yang diperbolehkan mengeyam pendidikan (sekolah). Soemirah
beruntung karena ia memiliki guru berkebangsaan Eropa yang secara tidak
langsung mempengaruhi pola pikir Soemirah (pemikiran Barat). Hal ini
mempengaruhinya dalam memandang status nyai yang melekat pada dirinya.
Menurutnya, menjadi seorang nyai (pendamping lelaki lain bangsa) bukanlah
suatu masalah. Ia memiliki firasat bahwa hidupnya akan bahagia meskipun
banyak perbedaan antara dirinya dengan Tan Bi Liang, lelaki Cina totok yang
dicintainya. Soemirah tidak berkeberatan bila harus ikut lelaki lain bangsa
meskipun tidak menikah. Ia termotivasi karena firasatnya mengatakan bahwa
78
bila ada cinta, pasti akan ada peruntungan. Soemirah pun terus
memperjuangkan cintanya meski harus berstatus nyai. Keyakinan Soemirah
menunjukkan suatu penegasan bahwa status nyai bukanlah suatu penghambat
dalam menjalani kehidupan.
Motivasi paling kuat yang menyebabkan mengapa Soemirah tetap
ingin hidup bersama Tan Bi Liang adalah rasa tanggung jawab terhadap
sumpahnya. Sumpah sehidup semati antara Soemirah dan Tan Bi Liang harus
dipertanggungjawabkan. Ketika Soemirah merasa tidak bisa memenuhi sumpah
dan pengharapannya, ia berusaha bunuh diri. Setelah menjadi nyai dari Tan Bi
Liang dan memperoleh keturunan, ia pun mempertanggungjawabkannya. Ia
setia pada Tan Bi Liang dan (sebagai seorang ibu) bertanggung jawab atas
pendidikan anak-anaknya. Rasa tanggung jawabnya terlihat ketika ia
menasihati Tan Hie Tjiak perihal jodoh.
Lingkungan juga menjadi salah satu motivasi Soemirah rela
menyandang status nyai. Soemirah melihat bahwa pernikahan bagi bangsanya
seringkali dianggap sebagai perhiasan semata. Pemikiran ini muncul mengingat
banyaknya kasus perceraian yang terjadi padahal baru setengah bulan menikah.
Soemirah jarang sekali melihat satu pribumi bersuami satu kali seumur hidup.
Selain itu, pernyataan Soemirah pada kutipan (16) menegaskan jika lelaki
bangsa sendiri tidak lebih setia dari lelaki bangsa lain. Lelaki pribumi
cenderung memiliki selir dan memperlakukan perempuan dengan tidak adil.
Bila perempuan sudah dianggap tidak berguna lagi, maka para lelaki akan
membuangnya begitu saja. Soemirah memandang lelaki- lelaki pribumi terlalu
79
munafik dalam menjalankan hukum perkawinan, lelaki memperlakukan
perempuan dengan seenaknya.
(16) “Trima kasi buat ibu punya cinta hati kepada saya, selamanya saya
memang dijunjung di atas batu kepala. Tetapi coba ibu bisa bilang pria mana tida berselir? Orang siapa tida biasa sia-siaken bininya? Perampuan siapa dari bangsa kita yang begitu dijunjung oleh suaminya dari idup sampe mati? Betul ada aturan sarat perkara kawin begini dan begitu. Memang bagus kalu dijalanken tetapi ampir semua perampuan bangsa kita dibikin seumpama tebu saja oleh suami, abis air-sepah dibuang.” (Boen, 2001: 52)
Situasi lingkungan membuat Soemirah berpandangan dan
memutuskan bahwa meskipun tidak kawin, kesetiaan satu sama lain jauh lebih
berguna. Pandangan ini kembali menekankan bahwa lebih baik menjadi nyai
atas dasar cinta daripada menikah resmi tetapi diperlakukan tidak adil dan
bercerai kemudian.
Motivasi-motivasi dalam diri Soemirah mampu menunjukkan
eksistensinya. Ia berhasil menentukan pilihannya, berjodoh dengan Tan Bi
Liang, dan tidak termakan oleh kekolotan ibunya. Dengan pilihannya itu, ia
mampu mengaktualisasikan diri dan mempertanggungjawabkannya dengan
pembuktian bahwa ia mampu bertahan dan hidup bahagia dengan Tan Bi Liang
hingga dikaruniai dua orang anak. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat
yang menyatakan bahwa keberuntungan nyai bersifat sementara atau semu
(Christanty, 1994: 28). Dengan pertanggungjawabannya itu, Soemirah seolah
ingin menunjukkan bahwa meski berstatus nyai, ia mampu membentuk
keluarga bahagia dan sebagai perempuan berhasil menjaga martabatnya. Ia
tetap setia meskipun mendapat penilaian kurang baik dari masyarakat. Ia
80
mampu bertahan pada pilihannya, menunjukkan keberadaannya sekaligus
aktualisasinya.
Pengaruh pendidikan Barat membuat Soemirah mampu membangun
motivasi dalam dirinya. Pemikiran tersebut antara lain menyangkut persoalan
memilih jodoh berdasarkan keinginan sendiri, sekalipun harus berstatus nyai.
Pemikiran Barat dan perilaku lingkungan membawa nilai-nilai baru bagi
Soemirah. Oleh karena itu, proses sosialisasi Soemirah membuatnya mampu
menentukan pilihan dan mempertanggungjawabkannya. Keyakinan Soemirah
bahwa jika ada cinta di situ ada peruntungan, memunculkan idealisme
tersendiri. Keyakinan itu menjadi landasan filosofi sikapnya dalam
mewujudkan idealisme, yakni ia akan berjodoh dengan lelaki pilihannya
sekalipun lain bangsa dan tidak menikah secara Islam. Hidup dengan orang
asing adalah dosa karena menjauhkan dari agama Islam, namun idealisme
Soemirah tentang cinta mampu memupus pernyataan tersebut. Ia pun
melakukan pilihan itu dengan loyalitas yang tinggi, terbukti kehidupannya
dengan Tan Bi Liang mampu bertahan hingga puluhan tahun dan memiliki dua
orang keturunan. Perjalanan cinta Soemirah menyiratkan adanya arus yang
berkembang yang berorientasi pada nilai-nilai baru yang berasal dari
kebudayaan Barat (Esten, 1984: 57).
Kebanyakan perempuan yang menjadi nyai berasal dari keluarga
petani maupun keluarga kelas bawah lainnya. Mereka dijual oleh orangtuanya
untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Nyai yang berasal dari
keluarga priyayi biasanya diserahkan ayahnya pada penguasa asing untuk
81
mengamankan kedudukan dan jabatan sang ayah (Christanty, 1994: 26). Selain
itu, pada masa sebelum Perang Jawa, orang-orang istana menjodohkan anak
gadisnya pada lelaki Cina. Hal ini dikarenakan mereka membutuhkan sumber
pinjaman uang dan ahli perdagangan (Carey, 1986: 12). Namun, semua itu
bukanlah alasan Soemirah menjadi nyai. Soemirah berasal dari keluarga
bangsawan, jadi tidak ada alasan hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi, ia
menjadi nyai. Ibu Soemirah juga tidak perlu mengamankan kedudukan
keluarganya dengan menjodohkan anak gadisnya dengan lelaki bangsa lain.
Soemirah juga tidak dijodohnya ibunya dengan Tan Bi Liang hanya untuk
urusan pinjaman dana. Ibu Soemirah justru menentang kemauan Soemirah dan
tidak menginginkan anaknya itu menjadi nyai dengan alasan apapun.
Keputusan Soemirah menjadi nyai dilandasi rasa cinta bukan karena materi
atau kekuasaan. Soemirah dengan rela dan penuh kesadaran menyediakan diri
menjadi nyai bukan karena paksaan dan tuntutan siapapun.
4.2.2 Motivasi Nyai Ros Mina
Ros Mina gadis belasan tahun berasal dari Gang Abu, Betawi.
Ayahnya seorang kuli dan ibunya mantan pelacur yang sudah lama meninggal.
Ros Mina terpaksa menjadi buruh menjahit demi membantu perekonomian
keluarga. Kemiskinan Ros Mina membuat ia tidak mampu mengenyam
pendidikan formal. Ayahnya seorang penjahit, penghasilannya hanya cukup
untuk makan. Di sisi lain, pendapatan Ros Mina sebagai penjahit seringkali
habis hanya untuk memenuhi kegemarannya bersolek.
82
Lingkungan keluarga yang serba kekurangan membuat Ros Mina
menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekayaan. Hal itu menyebabkan
ia rela menjadi nyai dari seorang Cina totok. Kerelaan Ros Mina dipelihara
oleh baba hartawan tentu saja bukan karena cinta, melainkan persoalan materi.
Tanpa pikir panjang ia bersedia menjadi istri muda alias nyai baba hartawan
tersebut. Ia berpikir akan memperoleh kekayaan dari lelaki Cina yang kaya
raya dan semua akan bertahan lama. Namun, pada kenyataannya belum genap
dua bulan dipelihara, ia diusir karena sang baba sudah merasa bosan. Nyai bagi
penguasa hanya dianggap sebagai hiburan sementara sehingga bisa
ditinggalkan setiap saat. Hukum keluarga Cina tidak mengenal catatan sipil
sehingga perkawinan dengan nyai hanya berlandaskan hukum yang kabur
(Ham, 1983: 44-45). Oleh karena itu, seorang nyai harus menerima segala
perlakuan status dari tuannya.
Ros Mina pun tidak berani pulang ke rumah orang tuanya karena
telah diusir. Orang tua Ros Mina terhitung keluarga miskin, akan tetapi tidak
mempunyai niatan untuk menjual anak gadisnya demi uang. Ayah Ros Mina
justru memperlihatkan ketegasannya, meskipun miskin ia tidak rela anaknya
menjadi nyai. Untuk bertahan hidup Ros Mina rela dilacurkan oleh tukang cuci
yang menolongnya. Ia merasa sudah kepalang basah dan hanya mampu
mengaktualisasikan diri melalui cara melacurkan diri. Di tangan tukang cuci,
Ros Mina rela berpindah tangan dari satu baba ke baba yang lain. Kemudian
Ros Mina melacurkan diri ke Hotel Tiongkok. Ia merasa bahwa dengan cara
tersebut ia akan mendapat teman para baba lebih banyak. Selain itu, dengan
83
sendirinya ia akan menjadi terkenal di kalangan pelanggan hotel. Meskipun
demikian, Ros Mina menyadari bahwa cara ini tidak akan menyelesaikan
persoalannya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Ia tetap saja kekurangan
uang karena penghasilannya hanya cukup untuk membayar sewa hotel dan
tidak cukup untuk makan. Di saat masa sulit itu, ia bertemu Kasmin yang
kemudian mengajaknya menikah dan pindah ke Tanah Deli. Kasmin
menceritakan bahwa di Tanah Deli mereka akan cepat memperoleh kekayaan
karena segala sesuatu yang dikerjakan di Tanah Deli pasti akan membawa hasil
bagus, baik berkebun maupun berniaga. Keuntungan yang besar akan membuat
mereka menjadi kaya.
Rayuan Kasmin dalam realitasnya sesuai dengan politik yang
dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pulau Jawa pada saat itu memang
dilanda kemiskinan dan kemelaratan. Tanah Deli dipromosikan pemerintah
Hindia Belanda sebagai daerah perantauan yang menjanjikan. Di Tanah Deli
banyak “dijajakan” perempuan cantik, perjudian dilegalkan, dan mudah
mendapatkan uang (Suyono, 2005: 103). Kutipan berikut menunjukkan bahwa
isu kesenangan dan keberhasilan yang menjanjikan tergambar di kota Medan
sehingga tepatlah bila Medan dijadikan tempat merantau.
(17) “Lima belas taon yang telah berselang, bole di bilang Betawi ada
banyak sekali orang-orang omongken hal kota Medan, kerna ada terdenger kabar orang-orang yang suda pergi ka sana, kebanyakan dari marika itu mendapat pengidupan senang, serta di antara itu orang-orang. Ada juga yang dengen toko kecil, telah bruntung menjadi hartawan”. (Kuo, 2003: 328)
84
Namun dalam kenyataannya, semua itu hanyalah taktik kolonial
belaka, sebab para perantau hanya dijadikan budak atau kuli perkebunan.
Kehidupan mereka lebih sengsara karena tidak sedikit yang terjebak perjudian.
Ros Mina yang tidak tahu tentang negeri orang, akhirnya termakan janji-janji
manis Kasmin, ia pun pergi ke Tanah Deli. Mimpi-mimpi Ros Mina menjadi
nyai hartawan dan terhormat lenyap karena Kasmin melacurkannya. Ros Mina
yang sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya akhirnya pergi dan
melacurkan diri di Hotel Japan. Ia bertemu dengan Tuan Kebon yang ingin
memeliharanya, Ros Mina bersedia karena ia sudah merasa bosan berganti-
ganti lelaki. Desakan situasi orang-orang sekelilingnya membuat Ros Mina
terdorong atau termotivasi menjadi nyai. Selain faktor lingkungan yang
memotivasinya menjadi nyai, faktor tujuan juga menjadi alasan mendasar.
Faktor tujuan, jelas menjadi motivasi dominan Ros Mina rela menjadi
gadis lacur dan nyai. Tujuan utama Ros Mina adalah untuk memperoleh
kekayaan. Ia mengatur siasat dalam mengeruk harta babanya. Dulu ketika
pertama kali menjadi nyai, ia tidak terpikir mengeruk harta babanya sehingga
ketika diusir ia tidak memiliki apapun dan terpaksa melacurkan diri. Motivasi
lain yang muncul dari individu Ros Mina yakni nafsu untuk mempercantik diri
dan keinginan memiliki barang-barang mahal.
(18) “Tuan, saia pikiran mau bli gelang mas sama peniti dari mas, apa Tuan
suka kasi uwangnya?’ tanya Ros Mina pada Tuannya (Kuo, 2003: 313).
85
Kegemarannya plesiran juga menjadi faktor pendorong Ros Mina
menjadi seorang nyai, meskipun sebenarnya ia menyesali kegemarannya itu.
Hal itu dikarenakan, penghasilannya selalu habis untuk plesiran. Plesiran
jugalah yang membuat Ros Mina tunduk pada kemauan Kasmin.
(19) “Kaka mau kasi tau padamu, kapan hari gajian kau misti minta
permissie melancong, buat bli barang-barang mas, seperti glang, peneti, tusuk konde, tetapi dari sekarang kau misti mulai bicara-bicara itu hal, suapa ia suka kasi separo dari gajinya buat bli barang periasan kasi kau pake.” Ini perkatahan suda diucapken oleh itu jahanam cuma dengen maksud girangken hatinya itu prampuan (Kuo, 2003: 291).
Rayuan Kasmin tersebut mengandung maksud supaya Ros Mina mau melayani
haknya sebagai suami istri. Ros Mina yang senang melancong dan gila
perhiasan emas menuruti saja kemauan Kasmin. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk mendapatkan apa yang ia inginkan (kekayaan), Ros Mina lebih memilih
cara praktis.
Motivasi lain dari Ros Mina adalah tujuannya menjadi nyai terkaya di
Tanah Deli. Ia rela berganti nama demi mendapat image positif dari para baba.
Ros Mina terjun ke hotel-hotel dengan tujuan agar ia semakin terkenal di
kalangan para pelanggan hotel yang sebagian besar adalah lelaki Cina totok.
Ros Mina melakukan tipu daya dengan para lelaki dengan berlaku selayaknya
perempuan yang tidak kenal lelaki dan berlagak suci. Hal itu dilakukan agar ia
dianggap terhormat oleh lelaki- lelaki yang menginginkannya. Sikap Ros Mina
tampak dalam kutipan berikut ini.
(20) “Ach, saia takut Ba, sebab saia blon perna jalanin pakerjahan begini!”
kata Ros Mina, yang mau bikin lebi berharga dirinya, kutika lagi
86
masuk ka dalem kamar, maskipun itu pekerjahan keji, ia suda lakuken, lebi ratusan kali (Kuo, 2003: 319)
Dengan cara tersebut, Ros Mina menjadi nyai yang disayang dan dengan
sendirinya sang tuan rela memberikan apa saja untuknya. Selain berganti nama,
ia juga menipu Tuan Kebon yang setia memeliharanya. Sebagai perempuan
“berpengalaman” karena proses sosialisasi yang dilakukan, Ros Mina
memiliki kendak atau lelaki simpanan. Hal ini dilakukan Ros Mina untuk
mencari keuntungan berganda sehingga ia memperoleh kekayaan yang lebih
banyak.
Menurut Ham, golongan terdidik merupakan perkembangan baru
dalam sejarah Indonesia. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup
Barat, misalnya cara berpakaian dan ketergantuangan pada uang (1983: 16).
Namun, dalam kisah ini tercermin sosok Ros Mina yang bukan golongan
terdidik tetapi memiliki ambisi dalam pemenuhan materi dan
ketergantuangannya pada uang. Hal ini membuktikan bahwa kecenderungan
untuk berkiblat Barat dapat dialami oleh siapa saja, bukan hanya dari golongan
terdidik.
Ros Mina yang tidak berpendidikan, ia tidak mampu
mempertimbangkan segala persoalan yang dihadapi. Jika ada jalan untuk
memperoleh kesenangan dan kekayaan secara cepat, ia akan menempuh jalan
tersebut. Ia tidak mempedulikan harus menjadi nyai dari satu baba ke baba
yang lain demi materi. Ia seolah merasa tidak perlu menjaga martabatnya
sebagai perempuan, baginya yang lebih penting adalah menjaga nama baiknya
87
di mata para baba agar dianggap terhormat dan dipelihara dengan bergelimang
harta. Motivasi dari dirinya sendiri inilah yang melatarbelakangi segala
aktualitasnya sebagi nyai. Kesenangan terhadap harta kekayaan membuatnya
untuk menghalalkan segala cara demi kekayaan. Dari motivasi seperti itu
idealisme Ros Mina terealisasikan.
Idealisme Ros Mina yang berorientasi pada harta kekayaan jelas
mempengaruhi proses sosialisasi yang ia lakukan. Untuk meraih cita-cita itu, ia
rela melakukan apa saja. Pada mula, Ros Mina melacur karena loyalitas
terhadap suaminya yang sudah memperdayanya. Akan tetapi, lama kelamaan
tampak bahwa ia hanya loyal terhadap harta kekayaan semata, apa yang ia
lakukan selalu berdasar pada materi.
(21) Bahwa itu lelaki ada anaknya saorang hartawan, maka ia lalu
berkata:”Mana duit bagi saya dong Ba!” (Kuo, 2003: 303)
(22) “Ros Mina, yang memang bekas bunga raya, suda tentu tida merasa kebratan buat lulusken permintahannya itu Hooftandil. Maski betul rupanya itu lelaki ada buruk, aken tetapi ia punya uwang ada puti, begitulah kebanyakan bunga raya ada ambil itu anggepan “.(Kuo, 2003: 306)
(23) “Kalo betul Tauwkeh cinta saia minta dong tanda matanya!” (Kuo,
2003: 307)
Semula Ros Mina tidak menikmati perannya sebagai nyai karena
tekanan suaminya. Namun pada akhirnya, peran nyai menjadi jalan Ros Mina
menuju cita-citanya. Sebagai seorang nyai, Ros Mina berusaha mencari
kemapanan. Dalam proses sosialisasinya, Ros Mina mampu membuktikan
“kelarisannya” sebagai nyai. Para baba pun rela melakukan apa saja untuk
88
mendapatkannya. Misalnya saja, Tjoe Keng, ia rela pergi ke dukun dan masuk
dalam perangkap Kasmin demi Ros Mina. Tokoh lainmya, Tuan Besar yang
sudah memiliki dua orang nyai juga menginginkan Ros Mina karena
kecantikannya. Ia bahkan tidak peduli ketika salah satu nyainya gantung diri
dan meninggal. Dua hal terakhir ini membuktikan bahwa keberadaan Ros Mina
mendapat pengakuan dan perhatian dari lingkungannya.
Teman-temannya sesama pelacur pun merasa iri atas keberhasilan
Ros. Perlu diingat, meskipun Kasmin berperan dalam aktualisasi Ros Mina,
tetapi motivasi terbesar dan dominan tampak dalam diri Ros Mina. Hal ini
ditunjukkan pada keberaniannya terjun ke beberapa hotel. Tujuannya adalah
untuk mencari kepopuleran sehingga ia mendapat pelanggan lebih banyak.
Ketika Kamin, Tuan Kebon, dan Tuan Besar mati, Ros Mina secara langsung
menguasai harta mereka. Ia pun mendapat julukan sebagai nyai terkaya di
Tanah Deli. Pemberian julukan ini menunjukkan adanya pengakuan dari
masyarakat terhadap keberadaan Ros Mina sebagai nyai yang sukses (dalam
hal materi).
4.3 Peran Nyai dalam Keluarga
Eksistensi seseorang akan tampak dalam keterlibatanmya dalam suatu
lingkungan. Keterlibatan ini sering disebut dengan peran. Peran seseorang
dalam suatu kelompok tertentu menunjukkan adanya aktualisasi untuk
mendapatkan pengakuan. Dalam eksistensi, peran dijalani dengan bebas tetapi
dituntut adanya tanggung jawab. Begitu juga yang terjadi dengan perempuan
89
yang berkedudukan sebagai nyai. Seorang lelaki mengangkat seorang nyai
bukanlah tanpa maksud, tetapi pasti mengandung tujuan. Tan Bi Liang
mengangkat Soemirah sebagai pendamping bukan sekadar dijadikan objek,
melainkan karena ingin menjalin hubungan serius. Para baba hartawan
“memelihara” Ros Mina sebagai nya i hanya karena faktor seksual semata.
Dalam konteks ini, Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina memiliki peran yang
berbeda dalam mengaktualisasikan diri dalam kedudukannya sebagai nyai.
4.3.1 Peran Nyai Soemirah
Soemirah sebagai seorang anak (sebelum menikah) sangat berperan
menjaga nama baik keluarga bangsawannya. Ketika Ardiwinata, misannya,
berkali-kali melakukan tindakan tidak senonoh terhadap dirinya, ia tidak
melaporkan pada polisi. Ia juga tidak memberitahukan keberadaan Ardiwinata,
meskipun saudaranya itu buronan polisi. Hal itu dilakukannya demi menjaga
nama baik keluarga bangsawannya.
Sebagai seorang pendamping lelaki lain bangsa dan diberi gelar nyai
oleh orang sekelilingnya, Soemirah tidak berperan sebagai nyai pada
umumnya. Hal itu dikarenakan Soemirah bukan berasal dari keluarga miskin
melainkan dari keluarga bangsawan. Artinya, ia menjadi nyai bukan karena
alasan materi. Oleh karena itu, ia tidak memaknai segala sesuatu dengan uang.
Soemirah tidak berperan sebagai gundik, tetapi selayaknya seorang istri sah.
Dua orang keturunannya membuktikan kesungguhan hubungan kasih antara
dirinya dan Tan Bi Liang.
90
(24) “Orang perempuan musti turut lelaki, jadi kawin itu musti turut aturan kebangsaan laki....” (Boen, 2001: 53)
Perkataan Soemirah pada kutipan di atas menjadi prinsip Soemirah
dalam mengarungi rumah tangga bersama Tan Bi Liang. Menurut Mochtar
Naim, salah satu ciri pola kebudayaan Jawa bersifat paternalistis (Esten, 1984:
57). Dalam menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu, Soemirah
begitu patuh pada suaminya. Hal ini tampak ketika Tan Bi Liang memutuskan
meninggalkan Hindia Belanda dan menetap di Tiongkok, Soemirah
mengikutinya tanpa penolakan. Prinsip inilah yang dimanfaatkan pengarang
untuk memperlihatkan bahwa prinsip adat atau pola kebudayaan Jawa
sendirilah yang mengalahkan rasa nasionalisme. Hal itu tentu saja menjadi
celah bagi pengarang untuk memasukkan ideologi nasionalisnya. Tanpa
paksaan, tokoh pribumi mau mengikuti tokoh bangsa asing (Cina) karena
ajaran budaya yang melingkupinya yakni perihal patriarki.
Soemirah memang memutuskan untuk selalu mengikuti apa kata
suaminya. Akan tetapi, bukan berarti Soemirah tidak menggunakan haknya
untuk melakukan apanya yang ia mau bila ada ketidaksepahaman dengan
suaminya. Misalnya dalam hal jodoh putra mereka. Soemirah tidak
mengizinkan Tan Hie Tjiak berhubungan dengan Rogaya, gadis pribumi yang
juga keponakannya sendiri. Tan Bi Liang justru merestui dan tidak
menghalangi kemauannya anaknya, karena ia merasa sudah mengalami hal itu
dan segala persoalan bisa diatasi.
(25) “Bukan, aku sala bicara, aku tida mau yang anakku dicela orang.”
91
“Betul, bukan dia punya sala, tetapi kalu anak kita suda tejaring, tentu susa terlepas lagi, ia nanti belain perampuan pilihannya biar begimana juga, ia tida nanti mau kawin sama satu nona bangsanya.” (Boen, 2001:125)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Soemirah tidak menginginkan
nasib Tan Bi Liang menimpa Ta Hie Tjiak. Oleh karenanya, ia tidak
mengizinkan anak lelakinya berhubungan dengan Rogaya. Soemirah
menginginkan putranya menikah dengan perempuan sebangsa (Cina).
Soemirah menyadari kebangsaan Tan Hie Tjiak mengikuti garis keturunan
ayah. Hal ini menunjukkan peran Soemirah sebagai ibu, yaitu menjaga dan
mendidik anak. Soemirah menasihati putranya bahwa pergaulan antara lelaki
dan perempuan meskipun masih saudara tidak boleh terlalu akrab. Nasihat ini
dilandasi kekhawatiran Soemirah atas kedekatan putranya dengan Rogaya
(gadis pribumi).
Dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, terkadang Soemirah
berkompromi dengan orang lain meskipun ia juga sering mengambil keputusan
sendiri. Ketika ia tidak diizinkan ibunya berhubungan dengan Tan Bi Liang, ia
nekat bunuh diri. Ketika Rogaya datang ke rumahnya, tanpa persetujuan Tan
Bi Liang, Soemirah menyuruh Rogaya untuk tinggal bersamanya. Soemirah
memiliki kuasa akan dirinya dan menyadari ada hak dalam perannya.
Soemirah tidak memiliki peranan dalam ekonomi keluarga. Sebagai
putri bangsawan dan istri seorang ahli niaga yang sukses, tentu saja membuat
Soemirah tidak perlu susah payah mencari tambahan permasukan bagi
keluarga. Ia hanya menjalankan peran sebagai istri yang memberi perhatian
terhadap keluarga. Hal itu ditunjukkan dalam kepatuhan terhadap suami dan
92
kasih sayang pada anak-anaknya. Soemirah hadir sebagai perempuan, istri, dan
ibu yang peduli terhadap keluarga. Faktor utama ia mau menjadi nyai adalah
cinta, maka ia pun tidak bertingkah macam-macam, bahkan ia melindungi
keluarganya, terutama dari ancaman Ardiwinata. Peranan Soemirah ini tentu
dilatarbelakangi oleh status sosialnya. Puteri seorang bangsawan tidak terbiasa
dengan urusan uang. Perempuan bangsawan juga tidak lazim bersentuhan
dengan pekerjaan di luar rumah, namun memiliki kewajiban untuk melayani
suami dan merawat keturunan (Christanty,1994: 36). Demikian juga dengan
Soemirah, dirinya tidak pernah terlibat dan melibatkan diri dalam urusan
eksternal rumah tangga. Peran dominan Soemirah lebih pada urusan domestik
rumah tangga.
Oleh suaminya, meski Soemirah perempuan Jawa yang cantik, ia
tidak diperlakukan sebagai objek seksual dan kepentingan practice sosial.
Soemirah yang bangsawan juga tidak dimanfaatkan Tan Bi Liang untuk
meningkatkan kedudukan atau mempermudah usaha niaganya. Tan Bi Liang
benar-benar memperlakukan Soemirah sebagai perempuan yang seutuhnya dan
bermartabat, meski status nyai melekat pada istrinya.
Ada tiga sisi yang ditunjukkan Soemirah dalam menjalankan
aktualisasi perannya sebagai nyai yakni pendidikan anak, kepatuhan terhadap
suami, dan pengambilan keputusan. Dalam perkawinannya, suami Soemirah
bertindak sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, pihak Soemirah
berlaku sebagai istri dan ibu rumah tangga yang mendidik serta merawat anak.
Pembagian peran ini menunjukkan bahwa Soemirah memiliki fungsi sebagai
93
nyai pada umumnya yakni pengurus rumah tangga dan keluarga. Soemirah
tidak menjadi nyai yang menurut pandangan masyarakat adalah gadis lacur.
Sebagai nyai, Soemirah berperan sebagai istri sah.
4.3. 2 Peran Nyai Ros Mina
Ros Mina menjadi nyai karena ingin memperoleh harta kekayaan.
Oleh karena itu, ia melakukan segala upaya untuk mendapatkan kekayaan. Ros
Mina rela berpindah dari satu baba hartawan yang satu ke baba hartawan yang
lain. Ia juga sering keluar masuk hotel untuk memperbanyak relasi. Dalam
kedudukan sebagai nya i, baik di Jawa maupun Sumatera, Ros Mina hanya
berperan sebagai objek seksual. Setiap lelaki menginginkan Ros Mina karena
keelokan tubuh dan kecantikan parasnya. Dari sekian banyak tuan yang
memeliharanya, tidak satu pun yang menginginkan Ros Mina sebagai istri sah.
Seorang asisten perkebunan mempunyai tanggung jawab pekerjaan, bila
menikah akan bertambah beban untuk mengurus istri dan anak, untuk itu tidak
diijinkan menikah resmi sebelum ada ijin dari direksi perkebunan (Suyono,
2005: 27). Hal ini menjadikan pejabat-pejabat perkebunan hanya
menginginkan Ros Mina untuk dipelihara bukan dinikahi secara resmi. Kasmin
(lelaki pribumi) mau menikahi Ros Mina yang pelacur karena ia sendiri ingin
memanfaatkan Ros Mina sebagai “ladang uang”.
Perlakuan Kasmin menunjukkan bahwa Ros Mina tidak saja berperan
sebagai objek seksual, akan tetapi berperan pula sebagai objek ekonomis. Ros
Mina rela disuguhkan ke tuan-tuan Kebon disamping melayani Kasmin
94
selayaknya suami istri. Ros Mina dipaksa menyerahkan materi pada Kasmin.
Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Betawi, Ros Mina sudah berperan
sebagai penyandang dana keluarga. Pada waktu itu, ia mencari uang dengan
cara menjadi tukang jahit di toko kain. Ros Mina melakukan peran tersebut
tidak dengan paksaan, berbeda ketika ia berperan sebagai ”ladang uang”
Kasmin. Meskipun menikmati peranannya tersebut, akan tetapi pada awalnya
Ros Mina mengeluhkan perlakuan Kasmin.
(26) “Saia harep jangan kaka buat gusar dan kecil hati, lantaran sampe
sekarang barang mas barang sesuku tida ada melengket di badan saia, bagaimana saia ada itu muka buat pulang ka ruma!” kata itu prampuan......” “Kalu lu mau pulang toch tidak apa jahatnya, mustahil amat kita tida mau trima, apa lagi sekarang di Lubuk Pakam lantaran ada dateng Komedi Bangsawan dari Medan, bole dibilang saban malem tuan-tuan kebon ada turun nonton.” Begitulah itu jahanam mulai membujuk buat bikin lembek hatinya itu prampuan, kerna lantaran ia mata duitan, maka sering kali ia suda tida meras jiji buat dapet uwang haram dengen dagangken prampuan-prampuan yang ia baek-in (piara) para tuan-tuan kebon yang brani bayar mahal “ (Kuo, 2003: 270).
(27) “Sekarang saia hendak pergi jadi “Babu” di kebon Tebing nanti
sekiranya kalu saia suda bisa kumpul sedikit uwang, tentu saya kombali, ka ruma kaka, jangan buat slempang ka!” kata itu prampuan dengen hati yang merasa sanget pilu, kerna sampe di ini waktu ia masi rasaken dirinya seperti di Noraka, blon bisa terlepas juga dari gangguannya itu setan pemadatan” (Kuo, 2003: 271).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan peran awal
sebagai istri Kasmin, Ros Mina mengalami tekanan dan ketidakberdayaan.
Kasmin menjerumuskan Ros Mina pada perdagangan perempuan sehingga
memaksakan Ros Mina untuk berperan sebagai penanggung jawab pokok
ekonomi keluarga. Perlakuan ini menunjukkan bahwa perkawinan resmi tidak
95
menjanjikan kebahagiaan. Menikah dengan lelaki pribumi justru akan lebih
menyengsarakan. Perempuan (istri) cenderung menjadi objek sehingga harus
menerima segala perlakuan lelaki (suami). Dengan kata lain, pengarang seolah
ingin memperlihatkan bahwa menikah resmi dengan lelaki pribumi tidak
membawa keuntungan. Perempuan (istri) hanya berperan atas kemauan lelaki
(suami).
Berbeda halnya ketika Ros Mina menjadi nyai Tuan Kebon (lelaki
Cina), ia mampu berperan sesuai kehendaknya dan mendapat keuntungan.
Dengan status nyai tersebut, tentu saja ia tidak dinikah secara resmi, namun ia
mampu mengaktualisasi sehingga mampu mewujudkan keinginannya tanpa
tekanan. Sebagai nyai Tuan Kebon, Ros Mina memiliki tugas seperti nyai pada
umumnya. Ia berperan sebagai istri yang harus melayani urusan biologis sang
tuan dan juga mengurusi keperluan makan tuannya.
(28) “Bangun Mina, masak kopi, satu jem lagi aku misti pergi preksa
kuli-kuli kerja.” Kata itu Tuan totok sembari goyang-goyang badannya ia punya nyai. “Masi dingin Tuan!” jawab si Mina, sembari tutupken pulah tubunya dengen slimut, aken tetapi tida brapa lama ia suda sadar, kerna ia takut, yang Tuannya nanti jadi gusar maka ia lalu buru-buru ka dapur buat masak aer. Setenga jem telah berselang, di atas meja makan suda sedia semuwa barang santapan buat makan pagi. Ros Mina lalu panggil ia punya Tuan. Kutika itu Tuan Kebon suda duduk, sang nyai lalu ambil piso potongin rotinya, sembari menanya: “Apa Tuan mau taro mentega?” “Ya, lekasan,” jawab itu Tuan kebon dengen buru-buru ia lalu minum kopi susu dan makan brapa potong roti (Kuo, 2003: 289)
96
Melalui perannya sebagai pengurus kebutuhan majikannya, Ros Mina
mengenal modernitas. Ia yang semula gadis miskin, mulai mengenal makan
dengan mentega, roti, kopi susu, dan peralatan pisau. Ia memotong roti dengan
pisau dan melumuri roti dengan mentega. Kenyataan ini menggambarkan Ros
Mina mengenal tradisi Barat dan menunjukkan bahwa seorang nyai memiliki
peranan dalam modernitas. Ros Mina mengenal tradisi Barat dan ini
membuktikan bahwa untuk menjadi modern tidak harus melalui pendidikan
formal. Ros Mina tampak berani mengambil nilai-nilai baru yang sebelumnya
tidak dikenalnya. Ros Mina mencoba melangkah ke arah kehidupan yang baru.
Dinamika tersebut menunjukkan adanya suatu vitalitas kebudayaan (Ham,
1983: 17).
Ros Mina yang genit dan berlaku serong sangat menikmati
kedudukannya sebagai nyai. Ia tidak mempedulikan perlakuan para tuannya
karena yang penting bagi dirinya adalah apa yang dilakukan mendatangkan
uang. Sebagai seorang nyai, Ros Mina memiliki peran dalam menjaga nama
baik dan gengsi tuannya. Alasan itu membuat Ros Mina berani meminta
perhiasan pada Tuan Kebon.
(29) “Ya, tuan, kapan Ros tida pake barang sepotong yang berharga, toch
Tuan juga yang jadi malu, kalu orang liat Tuan punya Nyai ada terlalu miskin. Kalu saya pake banyak barang berharga, Tuan jadi dapet muka trang pada orang banyak, lagi itu barang-barang yang Tuan bli-in saia sama juga seperti Tuan punya barang kapan kita keputusan uwang, bole kasi kombali pada tukang mas, lantes kita bisa dapet kombali uwangnya.” “Baeklah, besok saia nanti kasi itu uwang!” kata itu Tuan Kebon dengen terpaksa misti lulusken permintahannya itu setan puntianak (Kuo, 2003: 313).
97
Harta benda yang menjadi orientasi Ros Mina tidak mempengaruhi
tuntutan perlakuan dari tuannya. Ros Mina tidak pernah peduli bila tuannya
tidak mau terlihat berdua dengan dirinya di depan umum. Hal ini tampak ketika
Ros Mina dan Tuan Kebon naik kereta menuju Tanah Tebing. Tuannya naik
Eerste klas (kelas satu), dan Ros Mina naik tweede klas (kelas dua). Mereka
juga jarang satu hotel dan satu kendaraan. Kutipan di bawah ini menunjukkan
tidak adanya kesetaraan antara seorang nyai seperti Ros Mina dengan tuannya.
(30) “........lantaran itu Tuan mau pegang tinggi derajadnya maka ia
terpaksa misti menginep di Hotel Europa, sedeng itu prampuan ada menumpang pada kenalannya di kampung Kling Petisah” (Kuo, 2003: 267-268)
(31) “Itu Tuan Totok tida mau naek satu sado dengen itu prampuan, kerna
ia masi merasa malu, jika ia punya kenalan dapet liat padanya, bahuwa ia ada duduk satu sado sama itu nyai!” (Kuo, 2003: 279)
Ros Mina tampak menyadari perannya sebagai nyai dari lelaki- lelaki
Cina, ia merasa hanya sebagai penghibur tuan-tuannya. Oleh karena itu, Ros
Mina menjaga perasaan tuannya hanya supaya ia terus dipelihara dan disayang,
dengan begitu ia bisa mendapat apa yang dia mau. Selain itu, Ros Mina
memiliki maksud agar perbuatan serongnya tidak tercium oleh tuannya.
Sebagai seorang nyai, Ros Mina menjalankan perannya sesuai tugas nyai pada
umumnya dengan baik. Ia menjalankan tugas rumah tangga dan urusan kasih
sayang pada tuannya. Meskipun ia serong, tindakan itu dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan ganda dari segi materi. Hal ini bisa dimaklumi
mengingat bahwa seorang nyai seperti Ros Mina harus bersiap-siap
menghadapi kemungkinan buruk, diusir sewaktu-waktu oleh tuannya. Untuk
98
itu, tidaklah heran bila Ros Mina melakukan berbagai cara demi kesejahteraan
hidupnya.
4.4 Nyai dalam Pandangan Pribumi dan Cina
Aktualisasi seorang nyai senantiasa mendapat perhatian dari
lingkungan tempatnya berada. Perhatian itu berupa pandangan-pandangan yang
memunculkan nilai-nilai tertentu. Sesuai dengan tokoh-tokoh yang hadir dalam
dua novel Sastra Peranakan Cina, yakni tokoh yang berlatar kebangsaan Cina
dan tokoh pribumi, maka pandangan yang dibahas adalah dua kebangsaan
tersebut.
4.4.1 Nyai dalam novel Cerita Nyai Soemirah
Pembahasan ini hanya mengambil beberapa pandangan tokoh yang
dianggap mewakili. Pandangan tersebut mengarah pada Soemirah yang
menjadi nyai. Pandangan terhadap Soemirah dilatarbelakangi adanya penilaian
para tokoh terhadap sosok nyai pada umumnya. Soemirah sebagai pelaku
memiliki penilaian tersendiri sehingga ia rela disebut nyai.
4.4.1.1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi
Ardiwinata, saudara misan Soemirah, berpandangan bahwa seorang
lelaki lain bangsa tidak pantas mencintai gadis pribumi (terlebih keturunan
bangsawan seperti Soemirah).
99
(32) “Saya rasa sobat percuma saja kalu musti turut hati akan gilain seorang perampuan Bumiputra yang masi gadis, apa lagi kalu ada darah bangsawan!” (Boen, 2001: 9)
Kutipan di atas merupakan percakapan antara Ardiwinata dengan Tan
Bi Liang. Ardiwinata merasa Tan Bi Liang sia-sia mencintai gadis pribumi
seperti Soemirah. Ardiwinata (bangsawan) merasa bahwa Tan Bi Liang tidak
akan mampu bersaing dengannya untuk mendapatkan Soemirah. Faktor lain
yang melatarbelakangi pendapat Ardiwinata tersebut adalah adanya
ketidakharmonisan antara orang pribumi dan Tionghoa karena politik rasial
kolonial. Ketika politik rasial belum berjalan, dimungkinkan seorang
Tionghoa, meskipun hanya pedagang, bisa menjadi pendamping puteri
bangsawan pribumi. Namun, setelah kolonial memerintah dan muncul politik
rasial, hubungan tersebut menjadi terputus dan melahirkan asumsi negatif satu
sama lain. Pengaruh politik devide et impera tersebut menumbuhkan beragam
stereotipe sehingga menjadi pendukung kebencian rasial.
Pemerintah Hindia Belanda yang menganakemaskan bangsa Cina
menimbulkan kebencian orang pribumi. Sikap Ardiwinata terhadap Tan Bi
Liang pada dasarnya dilatarbelakangi kondisi tersebut. Kebencian Ardiwinata
semakin meruncing dengan sifat cemburunya sebagai lelaki. Selain itu,
Ardiwinata ingin menunjukkan bahwa Soemirah sendiri pasti tidak mau
dengan Tan Bi Liang demi menjaga kehormatan keluarganya.
(33) “Sebab angkau pikir semua perampuan Bumiputra bole dibuat
permainan, bukan?” (Boen, 2001: 9)
100
Pernyataan Ardiwinata tersebut menyiratkan bahwa tidak semua
perempuan pribumi, termasuk Soemirah, mau menjadi pendamping lelaki lain
bangsa. Ardiwinata menyatakan bahwa seorang lelaki lain bangsa memiliki
kecenderungan suka mempermainkan perempuan pribumi. Pada masa itu
memang banyak perempuan pribumi yang menjadi “permainan” lelaki lain
bangsa. Pernyataan Ardiwinata di atas tersirat adanya keyakinan bahwa sosok
Soemirah merupakan gadis terhormat dan karenanya tidak mau bersanding
dengan lelaki lain bangsa. Ardiwinata memandang Soemirah berbeda dengan
perempuan pribumi pada umumnya yang demi uang rela menjadi permainan
lelaki lain bangsa, terlebih lagi lelaki itu hanya seorang Cina totok yang tidak
jauh lebih kaya dibandingkan keluarga Soemirah.
Pernyataan Ardiwinata di atas menggambarkan bahwa Tan Bi Liang
hanya akan menjadikan Soemirah sebagai nyai. Di mata Ardiwinata, nyai
dalam pernyataan tersebut memiliki pengertian nyai pada umumnya yakni
gundik. Dengan kata lain, pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa
seorang perempuan bangsawan pribumi selayaknya dihargai dan sepatutnya
dinikahi bukan sekadar dijadikan gundik. Nyai bukan saja memiliki pengertian
sebagai gundik, nyai juga merupakan predikat kehormatan bagi perempuan
bangsawan seperti yang diungkapkan jongos hotel sebagai berikut.
(34) “Nyai Raden Soemirah.”
“Begimana?” tanya Bi Liang dengen kaget. “Besok malam antara pukul sebelas, ia suruh Endjon bawa lagi teman pergi di rumanya Nyai Soemirah buat bawa lari itu orang perampuan.” (Boen, 2001: 18, 19)
101
Percakapan tersebut terjadi antara Tan Bi Liang dan jongos hotel.
Jongos hotel yang merasa kedudukannya lebih rendah dari Soemirah,
menggunakan istilah nyai setiap kali menyebut nama Soemirah. Selain predikat
kebangsawanan, kata nyai yang mengikuti nama Soemirah memiliki arti sapaan
penghormatan bagi seorang perempuan.
Kondisi sosial politik yang terjadi (pada masa itu) mempengaruhi
pengarang dalam memunculkan pandangan tokoh Ardiwinata terhadap
Soemirah, pribumi yang bersuamikan lelaki Cina. Menjadi pendamping tidak
resmi (nyai) di masa itu masih dianggap tidak wajar oleh masyarakat pribumi.
Berdampingan dengan lelaki bangsa lain sama saja dengan menjual diri dan
menghina bangsa sendiri. Ardiwinata merasa bahwa seharusnya Soemirah dan
ibunya merasa malu karena menjalin kerabat dengan lelaki Cina. Pernyataan
Ardiwinata tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini.
(35) “Apa bibi tida malu bermantu orang Cina?”
“Soemirah sendiri tida malu berlaki Cina?” (Boen, 2001: 51)
“.....dan bibi yaitu ibumu, rupanya suda lupa malu sampe menjual anaknya yang perampuan pada seorang Cina!Fuah!” “Ya, angkau suda dijual pada seorang kafir!...” (Boen, 2001: 80)
Seorang nyai dianggap sebagai bagian dari orang-orang kulit putih
(Eropa, Cina). Kebencian rakyat terhadap orang kulit (prasangka rasial)
membuat perempuan pribumi yang menjadi nyai terpaksa ikut menanggung
kebencian bangsanya. Perempuan-perempuan ini dianggap sebagai
pengkhianat bangsa (Christanty, 1994: 24). Saat itu sedang berkembang
102
nasionalisme Indonesia, jadi siapa saja yang berhubungan dengan orang asing
akan dianggap telah mengingkari bangsa ini.
Kaum Cina dianggap minoritas dan mempunyai nilai negatif di mata
pribumi, hal ini mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap siapapun yang
berhubungan dengan lain bangsa. Sikap inilah yang ditunjukkan Ardiwinata
pada Soemirah. Rasa malu yang muncul akibat berhubungan dengan lain
bangsa ini juga ditunjukkan oleh ibu Soemirah, meskipun ibu Soemirah pada
akhirnya merestui hubungan Soemirah dan Tan Bi Liang dengan mengajukan
syarat seperti kutipan di bawah ini.
(36) “Tapi ada juga aku punya mau yang angkau musti turut. Angkau
tida bole unjuk itu di hadapan orang banyak di sini, aku juga tida bisa tinggal lebi lama di Sumedang.” “Bi Liang nanti pulang ka Bandung, ka mana saya mengikut dan ibu juga turut, bukan?” “Ya, aku tida bisa lagi tinggal di Sumedang.” (Boen, 2001:76)
Ibu Soemirah merasa sangat malu sehingga ia meminta pindah atau
pergi dari kota Sumedang. Ia malu terhadap orang-orang Pawenang dan
karenanya ia tidak bisa hidup di kota leluhurnya itu. Karena rasa malunya, ia
tidak mau hubungan Soemirah da Tan Bi Liang diketahui banyak orang. Syarat
tersebut memperlihatkan situasi sosial yang sama sekali menolak hubungan
pribumi dengan orang asing. Sikap ibu Soemirah juga menunjukkan bahwa
antara Soemirah dan Tan Bi Liang tidak terjalin hubungan resmi. Menurut
pandangan masyarakat pribumi, pernikahan yang resmi terjadi bila disahkan
secara agama. Pada masa itu, perkawinan bisa terjadi apabila orang tua pihak
103
perempuan menyetujui, merestui, dan meresmikannya di depan umum melalui
berbagai cara, misalnya, kenduri atau pesta (Pram, 1987: 51-53).
Rasa malu ibu Soemirah muncul karena takut akan asumsi
masyarakat sekitar bahwa ia pasti dinilai tega telah menjual anak gadisnya
pada seorang kafir. Hal ini seperti yang dilontarkan Ardiwinata pada
Soemirah. Meskipun kenyataannya, ibu Soemirah tidak menjual anaknya
karena derajatnya lebih tinggi dibandingkan Tan Bi Liang. Jadi, ia
menyerahkan Soemirah pada totok itu bukan karena uang.
(37) “...saya, tida bisa kasi permisi anak saya jadi Baba punya bini, sebab
pertama kita orang ada berlainan bangsa dan kedua yang inilah paling berat, saya pandang satu gadis bangsa saya sampe jadi bininya seorang lain bangsa, itu perampan akan jadi penghinaan dari semua orang bangsa saya.” (Boen, 2001: 60)
Ibu Soemirah begitu kolot dalam pandangannya tentang pilihan jodoh
anaknya. Hal itu dilakukan demi menjaga nama baik keluarga dari penghinaan
orang-orang sebangsanya. Tindakan Soemirah dianggap sebagai sumber
penghinaan, ia meyangsikan Soemirah akan berbahagia dalam menentukan
pilihannya itu. Alasannya adalah banyak perbedaan antara Tan Bi Liang dan
Soemirah. Semangat nasionalisme tampak jelas dalam penolakan ibu Soemirah
dalam hal perkawinan. Ibu Soemirah juga memandang bahwa perkawinan
antarbangsa merupakan suatu penghinaan terhadap bangsa. Nasionalisme
Indonesia ditandai dengan adanya pergerakan misalnya berdirinya Sarekat
Dagang Islam (1911). SDI berdiri dilatarbelakangi oleh keprihatinan kaum
muda terhadap industri batik yang dikuasai pedagang Cina. Hal ini menjadi
104
faktor pendukung kebencian orang pribumi terhadap orang Cina. Sikap
Ardiwinata dan ibu Soemirah menunjukkan suatu kepedulian terhadap
pergerakan nasionalisme. Sikap Soemirah pun dipandang sebaliknya.
Secara personal, ibu Soemirah menyukai Tan Bi Liang karena
pembawaannya yang halus dan memiliki sopan santun. Akan tetapi, karena Tan
Bi Liang seorang Cina, tidak beragama Islam (oleh sebab itu disebut kafir),
makan babi, membuat ibu Soemirah tidak bisa menerima Tan Bi Liang sebagai
menantu. Penolakan Ibu Soemirah menunjukkan adanya benturan pemahaman
nilai agama Islam dengan tradisi Cina. Misalnya tradisi makan daging babi di
kalangan orang Cina tentu bertentangan dengan ajaran agama Islam yang
mengharamkan daging tersebut. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut dirasa ibu
Soemirah akan mempersulit kebahagiaan. Ketika tahu Soemirah telah jatuh
hati pada Tan Bi Liang, ia merasakan hal itu sebagai musibah. Dalam
pandangan ibu Soemirah, mencintai lelaki lain bangsa tidak dihalalkan
sekalipun dia penolong keluarga.
(38) “Angkau masih mau mendustai aku, ibumu? Inget orang yang mau
membersiken dirinya dengen jalan berdusta, dosanya jadi semingkin besar, apa lagi kalu satu anak berani mendustai ibunya.....Angkau punya hati rupanya suda lumer, angkau tidak lagi inget ibumu, angkau tida hargaken kebangsaanmu, angkau turunken sendiri kedudukanmu. Ini hari terang sekali ia dateng kemari di waktu aku tidak ada, dan angkau sembuniken perkara itu, terang sekali angkau suda bikin cemar nama ibumu...” (Boen, 2001: 48)
Ibu Soemirah merasa bahwa demi lelaki lain bangsa Soemirah rela
mendustai dirinya. Dengan alasan sakit, Soemirah tidak mau diajak ibunya ke
pesta, tetapi justru berduaan dengan Tan Bi Liang (di rumah). Bagi ibu
105
Soemirah anak perempuannya tidak bisa menghargai dirinya sendirinya
sekaligus kehormatan ibunya. Soemirah dianggap tidak menghargai bangsanya
karena telah menyerahkan dirinya pada Tan Bi Liang.
Di sisi lain, Soemirah merasa dianggap seperti ronggeng yang mau
digoda lalu menyerahkan diri pada lelaki lain bangsa demi uang. Soemirah
tersinggung, ia merasa masih menjaga kehormatan dan merasa tidak melanggar
batas meski Tan Bi Liang sudah menyatakan hatinya. Demikian kutipannya.
(39) “Saya pegang teguh saya punya kehormatan, meski betul ia dateng menyataken ia punya hati, tetapi tida melanggar batas.” (Boen, 2001: 50)
Kutipan di atas menegaskan bahwa Soemirah tidak sehina seperti yang
dituduhkan ibunya. Ibu Soemirah terlalu cepat menyimpulkan pandangannya
terhadap Soemirah. Soemirah sudah memutuskan untuk hidup bersama dengan
Tan Bi Liang. Ibu Soemirah marah dan menganggap Soemirah sudah gila
karena hanya mengikuti hawa nafsu sehingga mau saja menerima Tan Bi
Liang.
(40) “Soemirah, Soemirah, apa angkau suda gila, suda gendeng? Angkau
tida bilang dulu pada ibumu berani turut saja hawa nafsu iblis? Apa artinya darah bangsawan yang mengalir dari dirimu? Sedikitnya angkau bisa menjadi Raden Ayu Patih dan angkau buang itu kedudukan yang disembah oleh milliaran manusia cuma sebab seorang muda lain bangsa.” (Boen, 2001: 51)
Pernyataan ibu Soemirah itu seolah membenarkan adanya
penyimpangan tradisi priyayi yang dilakukan oleh Soemirah.
106
Guru Soemirah yang berkebangsaan Eropa dianggap telah
mempengaruhi pemikiran Soemirah. Soemirah dianggap telah berani melawan
ibunya karena sikap modernitas yang diterimanya. Nasionalisme ibu Soemirah
dibalut pengarang dengan nilai agama dan feodalisme Jawa yang berbenturan
dengan nilai-nilai Barat. Benturan-benturan nilai inilah yang sering terjadi
dalam masa pergerakan. Terlepas dari semangat nasionalisme, kesadaran
Soemirah mengenai haknya untuk memilih jodoh sendiri bukan saja
dikarenakan pendidikan Barat yang diperolehnya, namun karena faktor
lingkungan.
(41) “Dari satu patih kakek-kakek, yang saya tida bisa cinta? Dan lebi jau
saya musti mandah dicampur dengen bebrapa selir. Saya tida pandang satu patih atau pangeran seperti ayahku kalu saya punya hati tida senang. Apa perlunya disembah-sembah orang kalu hati tida senang? Apa perlunya dapet titel Raden Ayu, kalu itu cuma buat tutupin hati yang berdarah....” “Jadi angkau berani melawan ibu?” “Ampun, ibu, saya tida melawan, hanya saya lawan ibu punya pikiran dan pendapet yang tida mufakat dengen pendapet saya. Maafken saya suda berani berkata begini, kalu saya musti bersuami, saya mau menurut hati sendiri, saya tida mau dipandang seperti barang dagangan yang tida berjiwa atau tida berotak, yang orang bole jual dan beli. Waktu itu ibu kawin dengen Romo (ayah), apa ibu cuma sendirian saja, tida ada punya saingan? Apa ibu tida saban hari menipis air mata? Kalu ibu suda mengalami perkara cilaka, apa ibu tega mau saya pikul juga kesengsaraan serupa itu?” “Aku tida nanti membuat angkau cilaka begitu rupa, tetapi aku mau supaya angkau dapet suami yang setara betul dengan derajatmu.” “Trima kasi buat ibu punya cinta hati kepada saya, selamanya saya memang dijunjung di atas batu kepala. Tetapi coba ibu bisa bilang pria mana tida berselir? Orang siapa tida biasa sia-siaken bininya? Perampuan siapa dari bangsa kita yang begitu dijunjung oleh suaminya dari idup sampe mati? Betul ada aturan sarat perkara kawin begini dan begitu. Memang bagus kalu dijalanken tetapi ampir semua perampuan bangsa kita dibikin seumpama tebu saja oleh suami, abis air-sepah dibuang.” (Boen, 2001: 52)
107
Soemirah memandang bahwa tidak perlu bergelar Raden Ayu dan
mempertahankan martabat serta derajat hanya untuk menyakiti diri sendiri.
Soemirah merasa apa gunanya menikah dengan lelaki yang sederajat, tetapi
disia-siakan dan harus berbagi cinta dengan banyak selir. Pernyataan ini
memperlihatkan keyakinan Soemirah bahwa ia tidak akan dimadu Tan Bi
Liang meski tidak menikah secara agama.
Soemirah menyatakan bahwa lelaki pribumi, yang berstatus
bangsawanpun, pasti memiliki kecenderungan untuk berselir atau dengan kata
lain tidak lebih setia dari lelaki lain bangsa. Ibu Soemirah sendiri seorang selir
pangeran Surakarta yang tentu mengalami pengalaman yang tidak
mengenakkan. Dalam pengertian Jawa, selir diartikan sebagai perempuan yang
dijadikan istri tidak resmi atau gundik. Nyai dipandang hina karena hanya
dijadikan istri sementara dan tidak resmi lelaki lain bangsa. Status ini tentu
tidak jauh berbeda dengan selir, yang membedakan hanyalah kebangsaan
pasangan. Hal inilah yang tidak disadari ibu Soemirah mengenai statusnya.
Selir merupakan lambang tradisi raja-raja kraton. Melalui pengkisahan ini,
pengarang menunjukkan bahwa hal yang berhubungan dengan orang asing
adalah hina meskipun secara status memiliki pengertian yang sama.
Hal inilah yang mempengaruhinya Soemirah berpandangan bahwa
seorang gadis memiliki hak dalam menentukan jodohnya. Islam sendiri
memberi perempuan kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri.
Dalam hal perkawinan, orang tua tidak berhak mengawinkan anak
perempuannya dengan lelaki yang tidak dikehendaki sang anak (Muthahhari
108
dalam Suharto, 2005: 243). Melalui tokoh Soemirah, pengarang menyadarkan
bahwa setiap manusia memiliki hak menentukan pilihan dalam pertimbangan
nilai apapun. Nasionalisme, agama, dan adat istiadat bukanlah penghalang
untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Melalui peristiwa ini,
pengarang ingin menunjukkan adanya benturan nilai tradisi Timur dengan
Barat. Salmon menyatakan bahwa pengertian perkawinan yang diatur orangtua
(pribumi) bertentangan dengan pengertian Barat. Misalnya, dalam hal cinta
dan pengaruhnya pada kehidupan keluarga. Para gadis terutama yang
disalahkan atas pengaruh buruk dari pendidikan Eropa. Mereka dianggap
seenaknya mematuhi adat istiadat yang sudah mapan. Emansipasi perempuan
dipandang sebagai kesempatan kepada perempuan untuk terhanyut oleh hawa
nafsu dan digambarkan dengan negatif (1985: 59,60). Demikian yang
tergambar dalam perdebatan antara Nyai Soemirah dan ibunya.
(42) “Kawin ?Itu perkara ada orang tua punya urusan.”
“..............Baba pikir saja mama sama papa ada laen bangsa dan berpisa begitu jau, ketambahan mama ada anak satu pangeran dari kraton solo, toch bisa ketemu sampe sekarang?” “Na, papa sama mama toch menurut pilihannya sendiri.” “Itu laen perkara, sebab papa suda tida punya orang tua dan mama suda tida punya ayah, kalu masi ada, saya rasa tida bisa jadi ini juga menandaken jodo orang ada dalem tangan Allah.” (Boen, 2001:127)
Percakapan pada kutipan di atas terjadi antara Rogaya dan anak lelaki
Soemirah. Rogaya yang gadis pribumi, memandang bahwa perkawinan yang
terjadi antara Soemirah dan Tan Bi Liang karena faktor jodoh dari Tuhan. Pada
prinsipnya ia masih berpegang pada adat Jawa bahwa jodoh adalah urusan
109
orang tua. Pernyataan Rogaya menyiratkan bahwa selama ada orang tua,
seorang anak tidak memiliki hak memilih jodoh. Akan tetapi, ia juga tidak bisa
memungkiri bahwa pada kenyataannya Soemirah sebagai perempuan pribumi
mampu hidup bahagia dengan Tan Bi Liang meskipun berbeda bangsa.
(43) “Ya betul, tetapi barangkali sebab mama suda lama terpisa dari
bangsanya maka suda lupa itu adat, tetapi juga tida bole jadi lupa sama sekali. Jangan kata orang Jawa yang masi tetep di tana Jawa, sekalipun orang Jawa yang suda puluhan taon tinggal di laen negri, tida bisa lupa adatnya yang aseli, laen bicara kalu itu tempo dibawa pinda ke laen negri masi anak-anak sekali dan belon tau begimana cara adatnya ia punya bangsa.” (Boen, 2001: 126-127)
Sikap Soemirah dalam memilih jodoh dianggap telah melupakan adat
bangsanya. Soemirah dinilai sudah mengingkari bangsanya. Untuk itulah,
keputusannya itu dipandang hina. Sikap Soemirah tidak bisa dimaklumi oleh
Rogaya. Soemirah bertumbuh hingga besar di tanah Jawa, seharusnya mampu
berpegang teguh pada adat Jawa. Bagi Rogaya, sikap Soemirah dianggap
sebagai kejahatan. Rogaya berpikir bahwa Soemirah telah begitu tega
menjebloskan pamannya ke penjara demi membela orang kafir. Rogaya
menilai bahwa bibinya itu telah meninggalkan hukum agama karena telah
menjadi nyai dari seorang yang bukan Islam. Dia sendiri berpegang tidak akan
mau menjadi pendamping lelaki lain bangsa sekalipun dia kaya.
(44) “Jahat sekali, kenapa dia belain orang kapir? Kenapa dia mau berlaki
sama orang kapir makan babi? Kalu saya, biar kaya, kalu kapir, saya tida mau.” (Boen, 2001: 101)
Tokoh Rogaya diciptakan pengarang untuk mewakili tokoh pribumi
yang memiliki pandangan munafik terhadap lelaki lain bangsa dan nyai.
110
Keteguhan ajaran agama yang dipegangnya ternyata luluh oleh cinta, karena
pada akhirnya Rogaya mau menerima anak lelaki Soemirah. Alasan apa pun
untuk menghalalkan perkawinan antarbangsa tidak bisa diterima ibu Soemirah.
Bagi ibu Soemirah, anaknya itu hanya akan dijadikan gundik semata. Akan
tetapi, bagi Soemirah bila terpaksa tidak bisa menikah resmi di masjid
bukanlah halangan untuk meneruskan hubungannya dengan Tan Bi Liang.
Dalam benak Soemirah, menjadi seorang nyai bukanlah suatu penghinaan atau
bahkan dosa. Nyai hanyalah status yang diberikan orang, dia tidak akan
mempedulikan hal itu, yang terpenting adalah mewujudkan cintanya itu. Nyai
juga seorang perempuan yang mampu menjaga martabat sebagai perempuan.
Seorang nyai juga mampu menjadi seorang istri sepenuhnya. Demikian kutipan
percakapan antara Soemirah dan ibunya.
(45) “Betul ada begitu, tetapi jangan angkau serambian saja. Lain dari
itu apa namanya kalu satu gadis Bumiputera musti ikut jadi gundiknya seorang Cina?” (Boen, 2001: 52, 53)
“Gundik kalu dipiara saja, tetapi kalu dinikahken....” “Di mesjid?” “Orang perempuan musti turut lelaki, jadi kawin itu musti turut aturan kebangsaan laki. Tetapi saya punya tau, kawin itu buat bangsa kita lumrahnya cuma buat perhiasan saja. Apa namanya kalu kawin setenga bulan saja suda bercerai lagi? Jarang ada satu Bumiputera yang bersuami satu kali seumur idupnya. Sekalipun tida kawin, kalu memang setia satu sama lain, itulah yang paling berguna.” “Jadi menurut angkau punya pikiran, tida ada keberatan buat ikut satu lelaki lain bangsa sekalipun tida kawin?” “Tida ada keberatan, sebab di mana ada cinta, di situlah ada beruntung.” (Boen, 2001: 53)
Soemirah juga berpandangan bahwa bukanlah masalah bersuamikan
lelaki yang dianggap kafir seperti yang dilontarkan ibunya.
111
(46) “Angkau pikir tida ada halangannya satu perempuan Bumiputera
jadi bininya seorang kafir?” “Maaf, ibu, saya kepingin tau ibu punya pemandangan begimana dengen itu nama kafir?” “Orang yang tida Islam itulah kafir.” “Ibu tau artinya kafir dan bahasa apa itu?” “Aku tida mau lawan bicara seperti dihadapan satu hakim, tetapi aku pandang hina sekali kalu satu gadis Bumiputera musti ikut lelaki lain bangsa.” “Jadi ibu punya pendapet, orang Cina atau Belanda itu hina?” “Bukan hina, tetapi kafir.” “Saya tau, ibu dan begitu juga orang-orang lain punya pendapet, kafir itu lantaran bukan Islam dan makan daging babi. Tetapi kalu begitu, orang Belanda juga bilang siapa yang bukan Kristen, dia itu kafir alias kesasar. Juffrow Herling, saya punya guru (di Manonjaya) sering cerita begitu yaitu menurut kitab injil sekalipun ia sendiri tida ambil pusing sama itu perkara, sebab ia bukan ada seorang yang biasa memperhatiken perkara agama.” “Biar begitu, aku tetep bilang perampuan Bumiputra yang ikut lain bangsa, adalah orang yang tida baik.” “Itu ada ibu sendiri punya pendapet, tetapi saya punya tau tida kurang orang-orang cina kaya besar dan menjadi officer juga dan toh ibunya ada seorang bumiputra satu mustahil itu ada perempuan jahat juga?” (Boen, 2001: 53, 54)
Perdebatan tentang kafir dan hina meliputi Soemirah dan ibunya.
Istilah kafir dan hina mempengaruhi pandangan ibu Soemirah perihal
perempuan pribumi yang ikut lelaki lain bangsa. Soemirah memandang bahwa
manusia di bumi itu sama saja. Tidak perlu dipandang kafir atau hina. Seorang
perempuan pribumi yang menikah dengan lelaki lain bangsa dan melahirkan
seorang anak yang kemudian menjadi pejabat, baginya tidak selayaknya
dikatakan sebagai kejahatan. Bagi Soemirah, seorang perempuan bersuami
bangsa lain juga memiliki kemampuan untuk mendidik anak, tidak hanya
menjadi peliharaan yang bisa dibuang kapan saja. Soemirah mampu
menunjukkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang tidak terbatas pada
112
alam pemikiran tradisional. Pada abad ke 19, pemikiran-pemikiran rasional
memberi pengaruh pada pemisahan pendidikan yang bersifat keduniaan dari
pendidikan agama (Ham, 1983: 24).
Kekerasan sikap Soemirah dinilai ibunya sebagai hukum karma dari
Allah. Kutipan berikut menunjukkan keluhan ibu Soemirah terhadap nasib
yang menimpa dirinya dan Soemirah.
(47) “Soemirah, Soemirah! Sunggu aku tida beruntung! Apa bole buat, barangkali aku dulu punya dosa maka sekarang Allah menghukum aku begini rupa.” .” (Boen, 2001: 75)
Perlawanan sikap Soemirah membuat ibunya merasa menjadi orang
yang tidak beruntung. Ibu Soemirah menganggap yang terjadi sebagai kutukan
atau hukum karma dari dosanya di masa lalu. Sikap ibu Soemirah ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Soemirah benar-benar dianggap
sebagai kesalahan yang sangat besar. Soemirah yang keturunan bangsawan
dianggap hanya mengikuti nafsu saja sehingga rela menjadi nyai lelaki Cina
yang kafir.
Sebagai seorang perempuan, Soemirah tidak bersifat pasif dan tidak
menyerah begitu saja pada kemauan ibunya. Ia memperjuangkan pandangan
dan pilihannya. Proses sosial yang ia lampui mampu membuatnya berpikir
rasional. Sebagai keturunan bangsawan, Soemirah mampu menunjukkan
kebebasannya sebagai manusia. Ia mampu melakukan apa yang menjadi hak
dan kehendaknya. Soemirah mencoba membuktikan bahwa seorang nyai
bukanlah kehinaan. Soemirah membangun kesadaran bahwa antara nyai dan
113
selir tidaklah jauh berbeda. Bersuamikan seorang lelaki lain bangsa meski tidak
resmi dirasa jauh lebih membahagiakan.
Eksistensi Soemirah bisa dirasakan pembaca, bahwa ia mampu
membuktikan kebahagiaanya dengan lelaki lain bangsa. Menjadi seorang nyai
membutuhkan perjuangan dalam membangun kesadaran pandangan kaum
awam dalam melihat sosok nyai. Status kebangsawanan yang melekat dalam
dirinya sejak lahir, menjadi pendukung pandangan orang-orang di sekitarnya.
Namun, status tersebut juga memberi dampak dalam aktualisasi yang ia
lakukan.
4.4.1.2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina
Bagi Tan Bi Liang setiap manusia memiliki hak untuk memilih
jodohnya. Tan Bi Liang orang terpelajar, ia mengerti bahwa manusia yang ada
sekarang merupakan hasil percampuran pasangan antarbangsa. Ketika melihat
Soemirah untuk pertama kalinya, ia langsung jatuh cinta karena kecantikan
gadis itu. Meskipun demikian, tidak terbersit di benaknya untuk
mempermainkan Soemirah. Tan Bi Liang rela mempertaruhkan nyawa dan
membela Soemirah dari serangan Ardiwinata, meskipun pada waktu itu ia
belum mengenal Soemirah. Kecintaannya pada Soemirah dianggap sebagai
suatu kelancangan oleh Ardiwinata. Akan tetapi baginya, perbedaan status dan
bangsa bukanlah halangan untuk mencintai seseorang. Tan Bi Liang menyadari
bahwa kedudukannya lebih rendah dari keluarga Soemirah. Hal ini tentu akan
114
menghambat restu ibu Soemirah, ditambah lagi dengan kebangsaan yang
berbeda.
(48) Bi Liang bengong berpikir. Mana bisa jadi ibunya Soemirah trima
begitu saja. Kalu dia itu orang kampungan yang begitu miskin, barangkali juga kalu dikasi uang lima puluh atau seratus, lantas suka kasi permisi anaknya yang masih gadis ikut lain bangsa, tapi ibunya Soemirah yang ada turunan besar, ketambahan istri satu pangeran dan ada mampu suda tentu ia membantah keras. Dua-duanya jadi saling pandang....(Boen, 2001: 44)
Kutipan di atas, menegaskan bahwa sebuah keluarga miskin memang
lazim menjual anak gadisnya pada lelaki lain bangsa. Kehadiran lelaki lain
bangsa sudah tidak memiliki peran dalam keluarga bangsawan seperti masa
sebelum perang Jawa (1823-1825). Hubungan antara orang Cina dan Jawa
terjalin berdasarkan kepentingan bersama dan koperasi antar kelompok secara
timbal balik. Orang Cina berperan penting dalam kehidupan ekonomi dan
sosial bagi masyarakat Jawa (Carey, 1986: 11, 16). Namun, pernyataan Tan Bi
Liang pada kutipan di atas memperlihatkan adanya pergeseran kondisi.
Hubungan timbal balik antara Cina dan Jawa terputus sehingga hanya
menyisakan rasa benci dan saling mencurigai. Hal tersebut juga menunjukkan
kesadaran masyarakat pribumi dalam memperlakukan perempuan. Perempuan
bangsawan seperti Soemirah bukanlah alat bagi orang tuanya untuk
memperkuat ekonomi keluarga.
Tan Bi Liang memandang Soemirah sebagai gadis baik-baik. Lelaki
itu tidak terpikir untuk menjadikan Soemirah sebagai gundik semata.
Kesungguhan itu terlihat akan sumpah dan janjinya pada Soemirah dan ibu
115
Soemirah. Ia berjanji akan mencintai Soemirah seumur hidupnya dan rela
untuk tidak menikah bila cintanya pada Soemirah tidak terwujud. Sikap ini
berbeda dengan lelaki- lelaki Cina pada umumnya, yakni memandang
perempuan Jawa hanya sebagai objek seksual. Tan Bi Liang memandang
Soemirah sebagai gadis yang selayaknya mendapatkan cinta yang tulus, bukan
permainan semata.
Tan Bi Liang tidak mempedulikan perbedaan antara dirinya dengan
Soemirah. Perbedaan bangsa, agama, dan adat bukanlah benteng dalam dunia
percintaan. Ia melihat sosok Soemirah sebagai manusia pribadi yang memiliki
hak untuk menentukan jalan hidupnya.
(49) “Betul ada lain, tetapi perkara percintaan tida memandang bangsa. Pendek saja saya tida bisa mufakat dengen Mbok punya pengambilan, dan lantara Mbok begitu sangat mencega, saya bilang trus terang, saya punya hati jadi lebi tetep lagi, apalagi saya pikir Soemirah suda sampe umur, jadi dia ada hak buat turut sukanya sendiri. Kalu Soemirah sendiri yang tolak lamaran saya, itu ada lain perkara...” (Boen, 2001: 62)
“.......Apa Mbok sanggup bujuk Soemirah supaya ia bisa lupaken saya? Sunggu begitu, saya tida berani tanggung apa jadinya nanti dengen Mbok punya anak kemudian hari, sebab ia ada seorang terpelajar, maka kecintaannya bukan encer seperti biasanya Mbok sendiri punya bangsa yang kebanyaken, yang ini hari kawin besok juga bole bercerai...” (Boen, 2001: 63)
Di mata Tan Bi Liang, Soemirah gadis terpelajar sehingga
pendiriannya tidak tergoyahkan. Soemirah memiliki keteguhan hati dan Tan Bi
Liang pun menyangsikan apa ibu Soemirah sanggup membendung sikap
116
Soemirah. Karena adanya perbedaan tersebut, Soemirah dan dirinya sudah
memiliki keyakinan dalam menjalani kehidupan tersebut.
(50) “Mbok punya pengambilan begitu ada salahnya, di mana ada cinta, di situlah ada beruntung dan segala halangan lalusendirinya. Stu lelaki yang cinta betul bininya, tentu ia jaga supaya tida jadi tida senang lantaran dia, begitu juga satu bini pada lakinya.” (Boen, 2001: 61, 62)
Pernyataan Tan Bi Liang yang disampaikan pada ibu Soemirah
tersebut menunjukkan adanya keyakinan bahwa ia dan Soemirah akan
beruntung meski adanya perbedaan. Hal itu dikarenakan hubungan yang
dibangun dilandasi oleh cinta dan dengan begitu segala halangan akan berlalu
dengan sendirinya. Cinta itulah yang akan mendorongnya selalu saling
menjaga satu sama lain apabila kelak mereka menjadi suami istri. Pernyataan
ini menunjukkan bahwa sebagai seorang lelaki asing, Tan Bi Liang tidak
terlalu memusingkan resmi tidaknya hubungan di mata agama.
Tan Bi Liang menyadari bahwa kebanyakan orang Cina apabila
memiliki perempuan Jawa hanya untuk main-main saja. Baginya tindakan itu
merupakan kelakuan yang jelek. Secara tidak langsung Tan Bi Liang
menyatakan bahwa dirinya tidak akan memperlakukan Soemirah dengan
demikian. Ia merasa telah berani memelihara seorang perempuan dan oleh
sebab itu ia tidak akan menyianyikannya dan akan berlaku sepatutnya sebagai
suami. Hal itu tampak pada kutipan berikut.
(51) “Kebanyakan orang Tionghoa kalu piara perempuan Jawa cuma
dibuat maen-maen saja umpama tebu, abis sepah-ampas dibuang itu ada kelakuan jelek sekali. Kalu satu kali orang lelaki suda brani piara orang perampauan, piaralah sebagaimana patut dan jangan sia-
117
siaken perampuan itu. Kacuali piaraan yang dengen sembuni. Sebab kalu seandenya perampuan yang dipiara itu satu kali dilepas dan dari lantaran kurang pik ir itu perampuan suda lacurkaen dirinya, sengaja katanya buat bales pada bekas lakinya, tida urung si bekas laki itu namanya terbawa-bawa sampe di mana juga. Satu perampuan kalu tau yang suaminya ada berkelakuan jujur padanya, ia pun tentu suka seraken dir inya dengen penu kapercayaan, sekalipun idup umpama kata makan nasi dengen garem, tentu orang perampuan belain.” (Boen, 2001:105)
Kutipan di atas juga menunjukkan pendapat Tan Bi Liang bahwa seorang
perempuan yang diperlakukan tidak baik oleh suami maka perempuan itu
cenderung akan melacurkan diri. Hal itu dilakukan untuk membalas sakit
hatinya pada laki- laki. Hal itu pulalah yang dihindarkan Tan Bi Liang. Ia tidak
mau Soemirah berlaku demikian. Ia ingin berlaku jujur dan setia pada
Soemirah.
Tan Bi Liang menegaskan dan membuktikan bahwa meskipun beristri
seorang perempuan Jawa, ia bisa melewati perbedaan dan halangan. Ia juga
berpandangan bahwa tidak semua perempuan Jawa malu bersuami Cina seperti
dirinya. Perempuan Jawa juga tidak semuanya tidak setia. Soemirah yang di
mata orang lain telah mempermalukan bangsanya tetapi baginya, Soemirah
adalah perempuan yang patut diakui martabatnya. Meski ia sukses dalam
berdagang dan berniat pulang ke Tiongkok, ia mengajak serta Soemirah. Tan
Bi Liang tidak memperlakukan Soemirah seperti nyai pada umumnya, yang
cukup dipelihara di negeri perantauan saja kemudian pulang ke leluhur hanya
membawa keturunan saja.
Tan Bi Liang mengakui keberadaan Soemirah sebagai manusia. Oleh
karena itu, ia memperlakukan Soemirah dengan sepatutnya meskipun di mata
118
masyarakat status istrinya itu hanya nyai. Namun, kesetiaan yang diberikan
Soemirah padanya merupakan wujud pertanggungjawaban atas sebuah pilihan.
4.4.2 Nyai dalam Novel Kota Medan Penu dengen Impian
Sebagai nyai, Ros Mina selalu mengorientasikan diri pada uang
dalam menjalankan perannya. Peran Ros Mina dalam dunia laki- laki mendapat
sorotan tersendiri. Pandangan-pandangan terhadap sosok Ros Mina yang
muncul, menunjukkan adanya perhatian terhadap keberadaan Ros Mina. Ros
Mina menyadari hal itu, ia pun melakukan aktualisasi diri dengan pilihan-
pilihannya yang bebas. Gelar nyai yang disandangnya membutuhkan
pertanggungjawaban sehingga ia merasa perlu menggali potensi diri.
4.4.2.1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi
Ros Mina, gadis 14 tahun, diusir ayahnya karena kenekatannya
menjadi istri muda seorang Cina totok. Ros Mina yang materialistis mau saja
menjadi istri muda tanpa meminta izin ayahnya. Keluarga Ros mina memang
miskin, tetapi bukan berarti ayahnya tega menjual anak gadisnya demi uang.
Oleh ayahnya, Ros Mina dianggap kurang berpikir sehingga bertindak
mempermalukan si Min yang menganut agama Islam dengan setia. Sikap ini
menunjukkan bahwa agama yang dipegang teguh mampu menjadi benteng
sehingga tidak mudah tergoda dengan hal duniawi. Ros Mina tidak saja diusir,
tetapi si Min juga tidak mau mengenal anak gadis itu. Tindakan tersebut
menunjukkan bahwa menjadi nyai adalah hal yang memalukan. Ros Mina
119
dipandang sudah tidak mengindahkan ajaran agama. Menjadi istri muda dari
lelaki lain bangsa berarti menjauhkan diri dari ajaran agama Islam, oleh sebab
itu sanga ayah menentang. Sikap ayah Ros Mina memperlihatkan harga diri
seorang pribumi. Meskipun saat itu keluarganya dalam kemiskinan, ia tidak
serta merta menjadikan anaknya gundik orang asing.
Secara identitas, Ros Mina merupakan sosok nyai yang lugu dan
secara seksualitas dirinya memiliki keelokan tubuh. Hal ini membuat seorang
tukang cuci dan lelaki bernama Kasmin memandang Ros Mina sebagai
makhluk yang bisa dikuasai dan diperdaya. Setelah dua bulan menjadi nyai,
Ros Mina diusir karena tuannya sudah bosan. Ros Mina pun bingung karena
tidak ada tempat tinggal dan tidak berani pulang. Seorang tukang cuci yang
menolongnya justru melacurkannya. Ros Mina yang mantan nyai seorang Cina
totok, dipandang sebagai perempuan yang sudah lacur sehingga sudah
selayaknya diperdagangkan.
Pada mulanya Kasmin mengajak Ros Mina menikah, namun akhirnya
menjerumuskan Ros Mina ke dunia yang sama. Ros Mina menyadari tekanan
dalam kehidupan rumah tangganya, ia pun pergi meninggalkan Kasmin.
Tindakan Ros Mina ini dipicu oleh sikap Kasmin yang suka memeras. Kasmin
memandang Ros Mina sebagai lahan penghasilan. Ros Mina yang elok
parasnya, diperdagangkan pada baba hartawan seperti pada kutipan berikut.
Ros Mina merasa sudah kepalang tanggung sehingga ia menjerumuskan diri ke
hotel Japan untuk melacurkan diri.
(52) “Kalu lu mau pulang toch tidak apa jahatnya, mustahil amat kita tida
120
mau trima, apa lagi sekarang di Lubuk Pakam lantaran ada dateng Komedi Bangsawan dari Medan, bole dibilang saban malem tuan-tuan kebon ada turun nonton.” Begitulah itu jahanam mulai membujuk buat bikin lembek hatinya itu prampuan, kerna lantaran ia mata duitan, maka sering kali ia suda tida meras jiji buat dapet uwang haram dengen dagangken prampuan-prampuan yang ia baek-in (piara) para tuan-tuan kebon yang brani bayar mahal (Kuo, 2003: 270).
Kasmin memandang Ros Mina sebagai barang komoditi yang layak
jual sehingga ia melacurkan istrinya itu. Ketidakberdayaan Ros Mina
memperlihatkan posisi subordinat perempuan, sehingga laki- laki cenderung
memperlakukan istri sebagai benda yang dimiliki (Wahyuni dalam Suharto,
2005: 218). Dengan jelas dan sadar, Kasmin menjual diri Ros Mina dengan
berbagai cara. Tindakan Kasmin tanpa persetujuan Ros Mina, namun tetap
harus diterima karena ketidakberdayaan Ros Mina.
Kasmin yang mantan kuli kontrak memandang Ros Mina sebagai
gadis bodoh sehingga bisa diperlakukan dengan sewenang-wenang. Ros Mina
hanya dipandang sebagai perempuan bejat dari kelas rendah sehingga Kasmin
mengeksploitasi layanan seksual Ros Mina. Di sisi lain, Kasmin merasa masih
mempunyai kuasa dan hak atas Ros Mina karena mereka belum resmi bercerai.
Surat nikah mereka masih di tangan Kasmin. Hal ini membuat Ros Mina tidak
berdaya sehingga mau tidak mau ia harus menuruti kemauan Kasmin. Secara
total ia mengabdi untuk mendapatkan uang dan harta sehingga akhirnya Ros
Mina pun menikmati penindasan yang dilakukan Kasmin terhadapnya. Dalam
tekanan Kasmin, Ros Mina mengaktualisasi diri untuk mencapai keinginannya.
Meskipun sudah menjadi nyai dari seorang Cina totok yang baik hati
dan kaya, Ros Mina tetap menyadari bahwa Kasmin masih suaminya. Oleh
121
karena itu, ia dengan sembunyi-sembunyi mau melayani Kasmin selayaknya
suami istri.
(53) Sang istri tida melawan, hanya dengen mesem ia berkata: “Jangan
terlalu gegaba ka, nanti Tuan dapet liat, kita orang bole jadi cilaka!” (Kuo, 2003: 286)
Ros Mina merasa diri mampu melayani Kasmin dan Tuan Kebon, mengingat
dua-duanya akan memberikan uang sebagai jasa kasih sayangnya. Semakin
lama Ros Mina menilai dirinya dengan uang. Apa yang dilakukannya selalu
harus berbalas dengan uang.
(54) “Ada ubi tentu ada tales, ada budi tentu saia misti bales!” jawab Ros
Mina, yang lalu rebaken kepala di pundaknya itu Tandil besar (Kuo, 2003: 308)
Menurut Ros Mina, seorang perempuan (nyai) bisa dibeli dengan uang. Bila
seseorang memiliki banyak uang niscaya dengan mudah mendapatkan
perempuan yang dimau. Hal ini tampak dalam kutipan di bawah ini.
(55) “Ha-ha-ha, masa Tauwkeh besar kurang prampuan, sedeng Tauwkeh
ada begitu banyak uwang.” (Kuo, 2003: 307)
Pernyataan Ros Mina di atas bisa dimaklumi, sebab pengalamannya
selama menjadi bunga raya dan nyai sudah membuatnya lebih cerdik. Setiap
nyai atau bunga raya pasti mengejar kekayaan, jadi tidaklah heran bila untuk
mendapatkannya mereka mau melakukan apa saja. Begitu juga dengan Ros
Mina, meski ia sempat membenci dan mencoba melarikan diri dari suaminya,
ia tetap kembali pada suaminya karena alasan materi.
122
(56) Ros Mina lantes saja merasa suka kembali pada itu suwami jahanam, yang sekarang suda mulai jadi baek dan suka bagi saorang separo dari ia punya hasil yang tida halal (Kuo, 2003: 285).
Petualangan Ros Mina dengan lelaki- lelaki lain bangsa hanya
memperkenalkannya pada konsep harga diri yang bernilai uang. Kasmin pandai
bicara dan menyadari sifat materialistis istrinya, ia pun dengan mudah
memperdayanya. Kutipan di bawah ini menunjukkan bahwa Kasmin telah
mengetahui celah kelemahan Ros Mina.
(57) “Kaka mau kasi tau padamu, kapan hari gajian kau misti minta
permissie melancong, buat bli barang-barang mas, seperti glang, peneti, tusuk konde, tetapi sekarang kau misti mulai bicara-bicara itu hal, supaya ia suka kasi separo dari gajinya buat bli barang periasan kasi kau pake.” Ini perkatahan suda diucapken oleh itu jahanam Cuma dengen maksud buat girangken hatinya itu prampuan (Kuo, 2003: 291).
Baik Kasmin maupun Ros Mina memiliki pandangan yang sama
perihal nyai. Nyai merupakan perempuan yang bisa dibeli dengan uang sama
seperti barang. Setiap lelaki yang menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan seorang nyai bukanlah wujud penghormatan tetapi tidak lebih
hanya pertahanan nafsu dan gengsi semata. Bagi Ros Mina dan Kasmin, nyai
adalah jalan untuk mendapatkan kekayaan. Bagi orang-orang sekelilingnya,
Ros Mina hanya dianggap sebagai benda. Bagi Ros Mina, meskipun apa yang
ia lakukan demi uang (tidak lain dengan memperlakukan diri sebagai benda),
akan tetapi ia tetap mampu mengaktualisasi diri untuk mencapai apa yang ia
mau.
Meskipun seorang nyai dipelihara pejabat berkebangsaan asing,
bukan berarti statusnya akan setara. Ros Mina menyadari hal tersebut sehingga
123
ia tidak menuntut persamaan derajat pada tuannya. Baginya yang terpenting
adalah pemenuhan materi dari sang tuan. Ros Mina juga tidak berkeberatan
bila tuannya sering tidak mau memperlihatkan dirinya di depan umum. Ros
Mina menyadari statusnya, sebagai nyai, ia hanya bertugas menghibur tuannya.
Menjadi nyai adalah menjadi babu tuannya. Ros Mina harus bisa menjadi
pelayan seutuhnya, baik di dapur maupun di kasur.
4.4.2.2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina
Di Hindia Belanda, khususnya daerah Sumatra, para perantau dari
Cina banyak yang menjadi mandor atau tandil perkebunan milik pemerintah
kolonial. Pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda sedang giat
mengembangkan perkebunan tembakau. Daerah Sumatera Timur penduduknya
tidak banyak dan tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh bangunan (Ham,
1983: 33). Oleh karena itu, kuli kontrak pun didatangkan dari Pulau Jawa dan
Cina. Para mandor alias tandil bertugas untuk mengawasi para kuli kontrak.
Posisi mereka tentu saja lebih beruntung secara ekonomis sehingga
berpengaruh pada pola kehidupan. Dengan uang yang lebih dari cukup, para
tandil ini bisa melakukan apa saja termasuk menyewa perempuan-perempuan
hotel atau memelihara nyai. Hal ini memang sudah jamak dilakukan para
pejabat di Hindia Belanda, termasuk pejabat dari Cina.
Memelihara nyai memang dihalalkan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada masa itu. Perempuan tidak ikut merantau sehingga sedikitnya perempuan
sebangsa melatartarbelakangi pemeliharaan nyai di kalangan para pejabat. Nyai
124
bagi mereka berfungsi sebagai istri sementara. Lembaga perkawinan ini hanya
akan berlangsung selama sang tuan masih menginginkan nyai. Apabila sudah
bosan mereka punya hak untuk mengusir sang nyai. Hal inilah yang dilakukan
oleh baba hartawan yang mengangkat Ros Mina sebagai istri muda. Nyai juga
sering disamakan dengan istri muda, mengingat para tuan seringkali sudah
menikah sebelumnya di negeri asal atau sudah memiliki nyai lain. Nyai
berperan sebagai pengurus rumah tangga sekaligus pengurus kebutuhan
biologis majikan. Tugas yang kedua inilah yang paling dominan dilakukan
seorang nyai maka tidak heran bila seorang nyai disamakan dengan pelacur
(Suyono, 2005: 33). Baba hartawan juga memperlakukan Ros Mina demikian
sehingga ketika ada nyai lain, Ros Mina diusir.
Bagi Tuan Kebon, nyai mempunyai peranan di dapur dan di kasur.
Ros Mina, nyainya, mempunyai kewajiban antara lain mengurus keperluan
makan dan kebersihan rumah. Setiap kali sang tuan menginginkan, Ros Mina
harus siap. Dengan kata lain Ros Mina harus patuh pada tuannya. Nyai di mata
Tuan Kebon adalah seorang perempuan yang masih diragukan kesetiaannya.
Seorang nyai seringkali berbuat serong untuk mendapatkan penghasilan
tambahan. Ketika Ros Mina minta pergi plesiran ke Siantar, Tuan Kebon
sangat mengkhawatirkannya. Tuan Kebon takut apabila Ros Mina
mengkhianatinya. Rasa cemburu sang tuan menunjukkan bahwa sekalipun Ros
Mina hanya seorang nyai, istri untuk senang-senang, tetapi juga patut dicinta
dan dicemburui. Selain itu, sekalipun sudah diangkat menjadi nyai, Ros Mina
tetaplah seorang mantan bunga raya yang masih saja memiliki sifat
125
kepelacurannya. Kesetiaan seorang nyai tetap saja diragukan, karena nyai
seperti Ros Mina cenderung mencari keuntungan berganda.
Tuan Kebon begitu sayang pada nyainya sehingga apa yang diminta
selalu dikabulkan. Misalnya saja ketika Ros Mina meminta sejumlah uang
yang cukup besar untuk membeli perhiasan, ia pun memberikannya. Namun,
pemberian itu memiliki maksud lain, yakni untuk menjaga gengsinya sebagai
pejabat.
(58) “Kalu saya pake banyak barang berharga, Tuan jadi dapet muka trang
pada orang banyak, lagi itu barang-barang yang Tuan bli- in saia sama juga seperti Tuan punya barang kapan kita keputusan uwang, bole kasi kombali pada tukang mas, lantes kita bisa dapet kombali uwangnya.” “Baeklah, besok saia nanti kasi itu uwang!” kata itu Tuan Kebon dengen terpaksa misti lulusken permintahannya itu setan puntianak (Kuo, 2003: 313).
Tuan Kebon menyadari bahwa sekalipun Ros Mina hanya seorang nyai, tetapi
memiliki peranan dalam menjaga gengsinya. Bila Ros Mina memakai
perhiasan yang mahal dan banyak jumlahnya akan membawa pamornya
sebagai pejabat perkebunan. Meskipun demikian, ia juga cukup baik. Kasmin
yang mengaku sebagai paman Ros Mina, diijinkan tinggal bersamanya dan
bahkan diberi pekerjaan. Ketika mengambil Ros Mina dari Hotel Japan, ia juga
membayarkan hutang-hutang Ros Mina.
Tuan Kebon memang baik dan sangat membutuhkan kehadiran Ros
Mina. Akan tetapi, Tuan Kebon suka berlaku munafik di hadapan publik. Ia
malu bila harus berduaan dengan Ros Mina di depan umum. Terlebih ia tidak
mau terlihat bersama Ros Mina di hadapan teman-teman sekerjanya. Selain itu,
126
Tuan Kebon ingin memegang tinggi derajat. Misalnya saja sebelum membawa
Ros Mina ke Tebing Tinggi, ia tinggal di Hotel Europa sedangkan Ros Mina
menumpang pada kenalannya di kampung Kling Petisah. Sikap ini
menunjukkan bahwa seorang nyai memang tidak layak ditampilkan di depan
umum karena akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap derajat sang
tuan.
(59) Itu Tuan totok tida mau naek satu sado dengen itu prampuan, kerna ia
masi merasa malu, jika ia punya kenalan dapet liat padanya, bahuwa ia ada duduk satu sado sama satu nyai! (Ya! Memang kebiasannya manusia di depan mata orang banyak suka berlaga sopan dan malu-malu kucing, aken tetapi di blakang dia suka ngeong-ngeong. Lebi berbahaya lagi adanya orang-orang yang bertingka laku putsit-putsit aken dapet kepercayaannya orang, tetapi ikan di dapur kalu tida di jaga ia colong!) (Kuo, 2003: 279)
Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa memelihara seorang nyai
ternyata tidak sepenuhnya dianggap lumrah oleh sesama pejabat. Tuan Kebon
merasa malu bila ada temannya yang melihat dirinya dengan seorang nyai.
Sikap ini menunjukkan bahwa di mata sebagian masyarakat, kehadiran seorang
nyai dalam kehidupan pejabat dianggap sebagai sesuatu yang perlu ada dan
lumrah.
Sikap tersebut berbeda dengan Tuan Besar atau Tuan Tandil. Tuan
Besar beranggapan bahwa selama ada uang ia bisa memelihara nyai. Kutipan
berikut menegaskan hal tersebut.
(60) “Hm! Tentu asal prampuan hotel juga, itu Tuan Kecil (Assistant) dapet
piara, kalu dasar anjing maski dikasi makan di piring tentu dia masi mau makan najis juga! (Ach, terlalu sekali itu tandil, toch ada juga bekas prampuan jalang yang bisa jadi baek! Letter Zetter.) Aku ada banyak uwang, tentu bisa dapet kece (maen- in) padanya?” begitulah
127
itu Tandil besar telah berpikir, sembari awasin mukanya Ros Mina dengen rupa yang sanget bernapsu (Kuo, 2003: 279).
Pernyataan Tuan Tandil di atas menunjukkan bahwa dengan uang yang
dimilikinya, ia pasti bisa memiliki Ros Mina sebagai nyainya. Perkataan itu
muncul ketika melihat Ros Mina naik sado di belakang sado Tuan Kebon
ketika memasuki estate. Tuan Tandil mengagumi Ros Mina dan ingin
memilikinya. Ia sadar bahwa Ros Mina itu nyai Tuan Kebon. Ros Mina
merupakan perempuan hotel sehingga imagenya sama dengan pelacur. Tandil
Besar beranggapan bahwa setiap perempuan hotel pasti mau mencari
penghasilan tambahan meski sudah dipelihara seorang tuan.
Tandil Besar ini sebenarnya sudah memiliki seorang istri resmi di
Tiongkok dan sudah memiliki seorang putra, yang kemudiannya diajak ke
Hindia Belanda bernama Tjoe Keng. Ia juga sudah memiliki dua orang nyai
dari Singapura. Meskipun demikian, ia tetap saja menginginkan Ros Mina yang
elok parasnya. Banyaknya nyai yang dimiliki membuktikan bahwa Tuan Besar
tidak merasa malu memelihara nyai. Nyai baginya adalah kepuasan. Seorang
nyainya sudah tidak dipedulikan lagi, karena dirasa sudah tidak menarik lagi
dan wajahnya tidak begitu cantik. Nyai yang pertama bunuh diri karena Tuan
Besar sudah berpaling ke dalam pelukan Ros Mina.
(61) “Aduh, Allah, bagimana nanti jadinya aku punya diri!” berkata Keng
Hoa Bwee dengen suara di dalem leher (Kuo, 2003: 374).
“Saia siang hari malem buat pikiran, bagimana ada muka, kita orang Tionghoa misti dimadu dengen prampuan Bumiputra. Saia tau, tentu Enceknya Tjoe Keng sayang betul itu Nyai, dan kita misti tunduk dibawa kakinya. Hai, sunggu malu besar, lebi baek kita mati, tida dibuat ceritahan orang!” (Kuo, 2003: 374).
128
“Ya, Allah aku punya jiwa cuma bisa idup sampe di sini saja, maski betul begitu, aken tetapi aku punya orang tua yang lantaran ia orang terlalu miskin suda jual aku punya punya diri sedari kecil. Aku mati sebagi satu nyonya Tionghoa, yang tida mau menanggung malu. Aku tida mara pada siapa juga, maski pada aku punya suwami, kerna aku inget yang di dalem ini dunia ada penu dengen perbuatan-perbuatan yang keji.” Meratap Keng Hoa Bwee sembari menangis sengak-senguk (Kuo, 2003: 374).
“Ya, aku mati ini sekali, lantaran aku tida mau dimadu!” menangis Keng Hoa Bwee sebagi satu anak kecil (Kuo, 2003: 374).
“Ya, apa gunanya itu barang periasan yang dulu aku begitu gumbira, sekarang aku misti tinggalken dengen tida tau siapa yang aken nanti mempunyai aku punya barang. Ya mati, matilah aku ini sekali!” (Kuo, 2003: 375).
Pernyataan-pernyataan nyai pertama Tuan Besar di atas menunjukkan
bahwa setelah sekian lama seorang nyai dipelihara, sewaktu-waktu bisa saja
langsung disingkirkan. Seorang nyai bisa menaruh cemburu sehingga tidak
mau dimadu. Jangka waktu yang lama menjadi nyai, tidak selamanya bisa
bahagia karena uang. Uang atau perhiasan bukanlah apa-apa dibandingkan
dengan sakitnya dimadu. Seorang nyai Cina ternyata memiliki gengsi sehingga
merasa kalah dengan nyai pribumi. Keputusan bunuh diri tersebut
menunjukkan bahwa seorang nyai yang lacur juga bisa menjadi nyai yang setia.
Selain itu, juga mampu menjaga gengsi diri sendiri sehingga memilih mati
daripada posisinya direbut orang lain.
(62) “Maitnya itu Nyonya Tandil yang gantung diri telah diurus betul
dengen cara adat orang Tionghoa hartawan, kerna itu Hoofdtandil yang lagi gilain pada Ros Mina, suda seraken saja itu urusan buat mengubur jinazatnya itu Nyonya Tandil pada ia punya orang yan mengarti betul dalem urusan itu, serta ia bole pake ongkos sebrapa besar yang perlu dipake buat itu urusan.” (Kuo, 2003:379)
129
Perlakuan Tuan Besar seperti pada kutipan di atas semakin
menegaskan bahwa seorang nyai hanyalah hiburan yang bila bosan bisa
ditinggalkan begitu saja meskipun tanpa kesalahan. Selain itu, Tuan Besar
merasa bahwa seorang nyai haruslah siap bila ada nyai lain yang hadir dalam
kehidupan sang tuan. Nyai yang baru bisa membutakan mata sang tuan,
sekalipun nyai lama begitu cinta padanya dan sekalipun bunuh diri karena rasa
cemburu. Perempuan-perempuan yang menjadi pilihan Tuan Besar adalah
perempuan yang sudah lacur. Hal itu bisa dibuktikan pada kutipan (63). Tuan
Besar merasa bahwa perempuan lacur lebih mudah diajak zina dibanding
dengan perempuan baik-baik yang cantik. Tujuannya memelihara nyai
hanyalah untuk kepuasan seksual semata tanpa ada dasar yang lain.
(63) “Oh, kalu begitu dia bekas bini mudanya Tengku, patutlah rupanya
seperti bidadari,” kata si gila basa itu dengan kerutkan sedikit jidatnya, kerna ia mrasa lebi susa buat dapetken dirinya itu prampuan eilok dengen jalan serong (berjina) jika prampuan itu asal orang baek-baek (Kuo, 2003: 283).
Tjo Keng, anak Tuan Besar menganggap bahwa bila ingin memiliki
nyai hendaklah memiliki modal. Ia sendiri tampak kecewa karena selama ini
tidak mampu bersenang-senang dengan perempuan-perempuan cantik karena
tidak sekaya ayahnya. Ia menyadari bahwa bagi orang sekaya ayahnya tentu
saja mampu memelihara dua atau tiga perempuan sekaligus.
(64) “Tetapi, kawan tida piker, cara bagaimana saia bisa piara prampuan-
prampuan yang eilok, sedeng saia tida pegang banyak uwang!” (Kuo, 2003: 394).
130
Tjoe Keng berkeyakinan bahwa selama ia tidak mempunyai uang, dirinya tidak
bisa memelihara perempuan-perempuan cantik seperti ayahnya. Selama ini
Tjoe Keng hanya berhubungan dengan nyai kedua ayahnya yang bernama Bok
Kwie Hoa. Tanpa menggunakan uang, Tjoe Keng berhasil mendapatkan ibu
tirinya tersebut. Hal itu dikarenakan sang ibu sudah tidak dipedulikan oleh
ayahnya. Keduanya pun merasa saling cinta sebelum kehadiran Ros Mina
dalam bayang-bayang Tjoe Keng.
Seorang nyai bernama Ros Mina membuat Tjoe Keng tergila-gila
sehingga ia harus memperdaya ibu tiri yang selama ini sangat berharap bisa
hidup bersamanya. Tjoe Keng melupakan Bok Kwie Hoa yang selama ini
menjadi nyai gelapnya dan meninggalkan begitu saja setelah berhasil
mendapatkan Ros Mina.
(65) Surat-surat budek memaki kalang-kabutan atas dirinya si Tek, telah
sampe pada ia punya adres, hingga ia sendiri merasa malu, bahuwa ia sebagi satu anak laki- laki misti idup dengen uwangnya dari saorang prampuan jalang (Kuo, 2003: 390).
Si Tek adalah seorang Cina yang merantau dari Jawa ke Medan.
Dalam kesusahannya ia bertemu Ros Mina yang saat itu membutuhkan
pertolongannya. Si Tek yang memang mencari peruntungan di kota perantauan
merasa beruntung mendapatkan seorang nyai hartawan seperti Ros Mina.
Mulanya ia tidak merasa terganggu tinggal bersama Ros Mina. Namun, seperti
pada kutipan (65), Si Tek akhirnya tidak tahan juga mendengar ejekan teman-
temannya. Ia pun akhirnya merasa sadar dan malu karena harus hidup dari
uang seorang nyai seperti Ros Mina. Hal itu membuktikan bahwa seorang nyai
131
mampu memelihara lelaki lain, akan tetapi bagi lelaki yang dipeliharanya hal
itu sangatlah memalukan.
Sikap Si Tek, yang kebangsaan Cina, berkebalikan dengan Ros Mina
yang pribumi. Selama menjadi nyai, Ros Mina tidak pernah merasa malu
dipelihara oleh lelaki Cina yang kaya. Si Tek yang Cina memiliki rasa malu
karena harus hidup dengan kekayaan seorang nyai. Hal ini menyiratkan
pandangan etnisitas pengarang tentunya.
4.5 Rangkuman
Seorang perempuan mempunyai motivasi dalam keputusannya
menjadi nyai dari lelaki lain bangsa. Motivasi-motivasi ini menunjukkan
adanya aktualisasi diri karena setiap pergerakan individu dipengaruhi oleh
idealisme. Hal yang mendorong Soemirah rela menjadi nyai dari lelaki Cina
adalah kesetiaan akan sumpahnya serta keyakinannya akan cinta yang nantinya
membawa peruntungan. Keyakinan ini mendapat pengaruh dari pendidikan
Barat yang diperolehnya. Selain itu, kondisi lingkungan juga mendorong
Soemirah untuk tetap teguh pada pendiriannya. Banyak di sekitar Soemirah
yang menikah dengan lelaki sebangsa namun tidak bahagia sehingga
memungkinkan terjadinya perceraian.
Ros Mina menjadi nyai karena adanya dorongan kondisi ekonomi
keluarga. Kemiskinan yang membelit serta kecintaannya dengan barang
duniawi mendorongnya menjadi nyai yang mengorientasi diri pada uang.
Selain itu, adanya tekanan dari suami juga menjadi faktor yang tidak bisa
132
dipisahkan. Namun, hal yang mendasar adalah faktor tujuan, yakni cita-citanya
untuk memperoleh kekayaan.
Sebagai puteri bangsawan yang bergelar nyai, Soemirah hanya
berperan untuk menjaga serta mendidik anak-anak. Ia tidak memiliki peran di
bidang ekonomi atau publik. Namun, ia tetapi memiliki peran dalam
mengambil keputusan. Hal ini berbeda dengan peran yang dijalankan oleh Ros
Mina. Gadis Betawi ini memiliki peran ekonomi dalam keluarganya. Ketika
tinggal bersama ayahnya, karena kemiskinan yang dialami, ia harus bekerja
untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga. Ketika menjadi istri Kasmin,
ia diperdagangkan oleh suaminya itu. Namun, ketika menjadi nyai dari para
lelaki Cina, Ros Mina hanya berperan di sektor domestik yaitu mengurus
rumah tangga dan kebutuhan biologis sang tuan.
Keberadaan Soemirah dan Ros Mina sebagai nyai sudah pasti
mendapat tanggapan dan pandangan, baik dari masyarakat pribumi maupun
Cina. Menurut ibu Soemirah, Ardiwinata, dan Rogaya, menjadi nyai dari lelaki
Cina merupakan hal yang memalukan. Lelaki Cina dianggap sebagai orang
kafir karena tidak beragama Islam sehingga tidak sepatutnya Soemirah menjadi
nyai lelaki Cina. Selain itu, Soemirah dipandang sebagai pengkhianat bangsa
mengingat gerakan nasionalis pada masa itu. Soemirah memandang statusnya
sebagai nyai, bukanlah suatu hal yang salah atau dosa. Menurut pandangannya,
nyai juga mampu berlaku sebagai istri sah meski tidak dinikahi secara agama.
Nyai di mata Soemirah tetaplah seorang perempuan yang memiliki hak bicara
tetapi patuh pada suami, namun tidak berarti hanya sebagai objek seksual
133
semata. Hal ini juga dinyatakan dan dibuktikan oleh Tan Bi Liang, seorang
lelaki Cina. Bagi lelaki ini, Nyai Soemirah adalah seorang manusia yang
memiliki hak pilih yang tidak selamanya dikuasai orang tua, terlebih Soemirah
adalah gadis terpelajar. Tan Bi Liang memandang Soemirah sebagai istri yang
bermartabat karena mampu setia serta menunjukkan perannya sebagai ibu. Ia
juga memperlakukan Soemirah selayaknya istri sah meski tidak dinikahi secara
resmi.
Dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian, menurut tokoh ayah
Ros Mina, menjadi nyai merupakan hal yang memalukan. Kemiskinan tidak
mendorong ayah Ros Mina untuk menjual anak gadisnya itu demi memenuhi
kebutuhan keluarga. Ia justru mengusir Ros Mina karena kedapatan menjadi
istri muda, hal ini karena dirinya memegang teguh ajaran agama Islam.
Tindakan Ros Mina dipandang telah menjauhkan diri dari ajaran agama Islam.
Hal itu tentu berbeda dengan pandangan Kasmin. Meskipun telah menikahi
Ros Mina di hadapan penghulu (Islam), tetapi Kasmin justru melacurkan
istrinya itu pada lelaki- lelaki hidung belang. Kasmin memiliki pandangan yang
sama dengan tukang cuci yang menolong Ros Mina. Mereka memandang Ros
Mina yang cantik sebagai ladang uang. Selain itu, perilaku Kasmin terhadap
Ros Mina juga menunjukkan adanya orientasi seksual dalam memperlakukan
istrinya itu. Hal ini juga dilakukan para lelaki Cina. Baba hartawan, Tuan
Kebon, Tuan Besar, dan Tjoe Keng juga memandang nyai sebagai pelengkap
kehidupan di perantauan. Nyai hanya dipandang sebagai penghibur yang
berkecimpung antara dunia dapur dan kasur. Nyai adalah makhluk yang bisa
134
dibeli dengan uang. Namun demikian, bagi Tuan Kebon, seorang nyai juga
dipandang sebagai pembawa pamor sang tuan sehingga segala keinginannya -
khususnya dalam penampilan- harus dituruti. Ros Mina sendiri memandang
gelar nyai sebagai jalan untuk mewujudkan cita-citanya sehingga ia rela
melakukan apa saja, termasuk harus meninggalkan ayahnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kondisi sosial masyarakat sangat mempengaruhi kehidupan dan
konflik para tokoh. Politik rasial yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada
masa itu mempengaruhi keharmonisan hubungan antarbangsa. Manusia
antarbangsa sulit melebur atau berasimilasi sehingga timbul rasa saling
berprasangka dan curiga. Perkawinan campur pun sulit terjadi karena
perbedaan yang ada sulit untuk disatukan. Larangan pernikahan bagi pejabat
pemerintah Hindia Belanda menjadi salah satu pendorong kemunculan
perempuan-perempuan yang berstatus nyai. Lembaga perkawinan tidak resmi
ini bagi sebagian masyarakat dipandang sebagai penghinaan tetapi bagi pejabat
dianggap sebagai kelumrahan. Tidak semua nyai bisa diperoleh dari rumah
pelacuran atau dibeli dari orang tua-orang tua pribumi yang memiliki anak
gadis. Seorang perempuan mau menjadi nyai karena keinginan pribadi serta
motivasi dari lingkungan. Nyai pada umumnya bertugas sebagai pengurus
rumah tangga sekaligus menjadi pengurus kebutuhan biologis majikannya.
Tugas yang terakhir inilah yang paling dominan dilakukan seorang nyai. Hal
tersebut menyebabkan pandangan negatif terhadap perempuan yang berstatus
nyai atau istri lelaki lain bangsa, meskipun tidak semua nyai berperan
demikian.
136
Soemirah dan Ros Mina merupakan tokoh nyai dari lelaki
berkebangsaan Cina. Soemirah gadis yang cantik, ia keturunan bangsawan.
Kebangsawanan yang melekat dalam diri Soemirah ternyata tidak membuatnya
kolot dalam pemikiran. Pendidikan Barat sangat mempengaruhi dirinya.
Wataknya yang keras sangat mendukung pola pikirnya tentang kebebasan
menentukan pilihan. Kekerasan hati membuat Soemirah berani mendobrak
kekolotan ibunya. Akan tetapi, semua itu diingkari oleh Soemirah sendiri
ketika ia menghadapi putranya. Setelah menikah, Soemirah menjadi
perempuan sekaligus ibu, kasih sayangnya pada keluarga menimbulkan sikap
ambivalen atau ketidakkonsekuenan dalam pandangannya.
Ros Mina, gadis Betawi yang banyak digilai para lelaki. Kegilaannya
pada harta membuatnya gelap mata. Ia tidak mengeyam pendidikan formal,
karena kemiskinan keluarganya. Faktor itulah yang membuat Ros Mina
senantiasa berpikir praktis dan senantiasa menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan apa yang ia mau. Kecantikannya senantiasa menjadi senjata
ampuh untuk mengeruk harta laki- laki hidung belang. Pola pikir yang praktis
membuat Ros Mina tidak bisa menikmati hasil kerjanya dalam jangka waktu
lama. Kepolosannya membuat orang mudah memperdayanya. Ia selalu cepat
bertindak, tetapi kurang perhitungan.
Melalui tokoh penokohan yang telah diuraikan, ambisi-ambisi para
nyai digambarkan pengarang harus berakhir pada kekalahan tokoh pribumi.
Ros Mina berhasil mereguk kekayaan dan menjadi nyai hartawan tetapi ketika
jatuh miskin ia digambarkan pengarang kembali ke pelacuran. Tokoh Tjoe
137
Keng dikisahkan menikah dengan gadis baik-baik dan mampu mengubah
hidupnya dan berhasil dalam pekerjaan. Kisah akhir Ros Mina yang demikian
memperlihatkan adanya unsur kekalahan tokoh utama yang pribumi. Ibu
Soemirah harus merasa kalah dengan pola pikir modern Soemirah. Soemirah
yang tampak super women ternyata digerakkan pengarang untuk berkiblat jauh
dari ketimuran.
Eksistensi Nyai Soemirah dan Ros Mina dapat dilihat dari sisi
motivasi dan perannya selaku nyai dari lelaki berkebangsaan Cina. Eksistensi
seorang nyai membutuhkan perhatian dan pengakuan dari masyarakat serta
lingkungan. Pandangan masyarakat Cina maupun pribumi merupakan unsur
eksistensi nyai. Motivasi, peran, dan pandangan masyarakat dipengaruhi proses
kehidupan, yakni sosialisasi, idealisme, dan loyalitas.
Soemirah menjadi nyai terdorong oleh emosinya, yakni rasa cintanya
pada Tan Bi Liang. Kondisi lingkungan dalam memperlakukan hukum juga
menggerakkan Soemirah menjadi nyai. Pendidikan Barat menjadi pendorong
penting dalam pandangannya soal jodoh. Hal tersebut berbeda dengan motivasi
Nyai Ros Mina. Harta kekayaan dan desakan lingkungan merupakan faktor
pendorong Ros Mina menjadi nyai. Faktor- faktor tersebut didukung dengan
sifat materialistis Ros Mina. Situasi dan kondisi lingkungan berdampak pada
perkembangan karakter manusia sekaligus pergerakan hidupnya. Lingkungan
sangat berperan dalam eksistensi manusia karena tanpa semua itu, manusia
tidak bisa bersosialisasi dan loyalitasnya pada idealisme yang terbentuk tidak
terwujud.
138
Dalam kedua novel ini, eksistensi seorang nyai bisa kita lihat melalui
perannya dalam keluarga. Di dalam perannya kita bisa melihat bagaimana
perempuan yang sudah memutuskan menjadi nyai mampu mengaktualisasikan
diri di tengah pandangan masyarakat. Di dalam keluarga, seorang nyai tidak
sekadar digerakkan, tetapi mampu menjadi penggerak meskipun sebagai istri
tidak resmi. Terlepas dari penilaian baik dan buruk, seorang Ros Mina mampu
mengendalikan tuannya sehingga berhasil mendapat keuntungan berganda
dalam hal materi. Ia juga berperan sebagai pengurus rumah tangga
(menyediakan makanan dan minum) dan mengurus kebutuhan biologis
tuannya.
Antara Ros Mina dan para baba yang pernah memeliharanya terjalin
suatu simbiosis mutualisme. Tuannya memanfaatkan Ros Mina untuk
mengurusi keperluannya dan Ros Mina mendapat imbalan berupa materi. Hal
ini terjadi karena bukan cinta yang mendasari pergumulan tersebut, melainkan
hanya nafsu dan faktor kebutuhan sementara. Ketika menjalankan perannya, ia
merasa selaku pengurus rumah tangga dan penghibur bagi majikannya. Dalam
segala perannya, Ros Mina selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
atau imbalan. Dengan kata lain, bahwa seorang nyai telah menciptakan image
sendiri tanpa peduli dengan anggapan masyarakat yang berpenilaian baik
buruk. Di sisi lain, tokoh Nyai Soemirah mampu menunjukkan perannya
sebagai nyai yang setia. Ia mampu mempertahankan perkawinannya dan
dikaruniai dua orang anak. Sebagai seorang perempuan yang sudah
139
memutuskan hidup dengan lelaki lain bangsa, Soemirah berhasil membuktikan
bahwa ia tetap bisa eksis tanpa menjadi objek seksual semata.
Peranan para nyai tersebut menimbulkan pandangan masyarakat
sehingga menunjukkan adanya pengakuan keberadaan mereka sebagai
perempuan. Menurut pandangan pribumi, sosok nyai merupakan wujud
penghinaan terhadap rasa kebangsaan dan adat tradisi. Nyai tidak ada bedanya
dengan pelacur. Perkawinan antarbangsa tidak ada untungnya karena latar
belakang dan pola kehidupan yang berbeda. Keberadaan Ros Mina dinilai
tinggi secara ekonomis -mengenal modernitas, memiliki banyak harta benda
berupa perhiasan dan uang puluhan ribu-. Akan tetapi, pilihan Ros Mina
menjadi nyai dinilai rendah oleh ayahnya karena dianggap telah menyalahi
ajaran agama Islam. Namun, bagi sebagian orang, nyai merupakan jalan untuk
memperoleh tujuan dan kemakmuran. Selain itu, menjadi nyai bukanlah
masalah karena hanya status. Pola kehidupan yang berbeda bukanlah halangan
untuk hidup bersama karena persamaan antar individu juga tidak menjamin
kebahagiaan seseorang.
Sosok nyai bagi masyarakat Cina adalah perempuan yang patut
dicintai dan disayangi dengan tulus bukan hanya diperhitungkan dengan uang.
Akan tetapi, bagi para pejabat, nyai adalah istri sementara yang bisa dibuang
kapan saja. Selagi masih ada uang, seorang nyai bisa diperoleh kapan saja.
Pemeliharaan seorang nyai bukanlah dilihat dari kepiawaiannya mengurus
rumah tangga, akan tetapi dari keelokan parasnya.
140
Keberadaan perempuan berstatus nyai mendapat tanggapan pro kontra
dari masyarakat. Hal ini merupakan wujud perhatian bahwa eksistensi
Soemirah dan Ros Mina sebagai perempuan bergelar nyai diakui. Aktualisasi
yang mereka lakukan selalu bersinggungan dengan nilai tradisi. Kebiasaan atau
ajaran tradisional justru yang mengarah seorang pribumi untuk berkiblat Barat.
Misalnya, pola patriarkis yang dianut Soemirah (pola Timur), keikutsertaannya
pada Tan Bi Liang justru karena faktor tersebut. Selain itu, nilai-nilai lama
cenderung mengikat dan kurang rasional, berbeda dengan nilai Barat.
Misalnya, dalam memilih jodoh. Nilai lama kurang memperhatikan hak,
sedangkan pandangan Barat membebaskan seseorang memenuhi haknya.
Baik Nyai Ros Mina maupun Nyai Soemirah tidak mempedulikan
status yang melekat pada dirinya. Mereka sama-sama mengaktualisasikan diri
untuk mewujudkan keinginan. Segala cara dari sumber daya yang mereka
miliki digunakan untuk mewujudkan kehendak. Nyai Ros Mina yakin bahwa
dengan kecantikannya, ia bisa memperoleh kekayaan yang diimpikannya.
Dalam perwujudan kehendak tersebut Nyai Soemirah cenderung
mempertahankan dan menjaga martabatnya, sedangkan Nyai Ros Mina
mengacuhkan hal itu. Namun, nyai-nyai tersebut mampu menunjukkan
eksistensinya sehingga mampu mengalahkan sikap dan pandangan masyarakat
dengan nilai-nilai baru yang mereka peroleh dari proses sosialisasi.
Situasi sosial dan politik masyarakat era pemerintahan kolonial
Belanda digunakan pengarang sebagai latar peristiwa. Eksistensi nyai dalam
novel Cerita Nyai Soemirah dan novel Kota Medan Penu dengen Impian
141
sangat dipengaruhi kondisi tersebut. Kenyataan dalam novel cukup
mencerminkan fakta realita. Kehadiran para perantau Cina di negeri ini sangat
mendukung keberadaan nyai. Selain itu, politik rasial kolonial Hindia Belanda
memberikan pengaruh cukup besar dalam perge rakan pandangan terhadap
sosok nyai lelaki bangsa asing (Cina).
Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina lahir dari tangan seorang
sastrawan Peranakan yang meletakkan dasar kebangsaannya pada Indonesia.
Akan tetapi, identitas pribadi mereka (Cina) masih jelas bertahan dalam diri
atau keputusan yang diambil oleh tokoh yang mereka ciptakan. Selain itu, hal
ini memperlihatkan bahwa meski ada pengaruh pemikiran Barat dan
menentangnya bukan berarti seratus persen mereka pro bangsa Indonesia
perihal pemikiran. Pernyaian menjadi media pengarang untuk mengungkapkan
ideologi kebangsaan serta realita. Ambisi para tokoh nyai memberi corak yang
khas dalam Sastra Peranakan Cina. Ambisi tersebut menggambarkan semangat
seorang pribumi untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Akan tetapi ambisi
tersebut terkalahkan oleh filosofi pengarang (Peranakan Cina).
5.2 Saran
Penelitian ini hanya terbatas pada satu segi saja sehingga masih
banyak kekurangan. Selain itu, penelitian ini hanya mengkaji novel dari
pengarang yang memiliki garis keturunan kebangsaan yang sama yakni Cina
Peranakan. Oleh karenanya, bentuk ideologi kebangsaan yang terbangun dalam
karangan pun sama. Untuk itu, penulis berharap, penelitian selanjutnya
142
mengkajii karya sastra dengan bentuk dan motif cerita yang sama tetapi
berbeda dari sisi keturunan kebangsaan pengarang. Misalnya, perbandingan
karya antara pengarang Cina peranakan dengan pengarang Indonesia. Dengan
perbedaan ini tentu terasa lebih kompleks hasil perbandingan yang dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Carey, Peter. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1775-1825). Jakarta: Pustaka Azet.
Christanty, Linda. 1994. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda”. Prisma,
No.10, hlm. 21-36. Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: GPU.
Esten, Mursal. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung:
Penerbit Angkasa.
-----------------. 1990. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit Angkasa.
Faruk, dkk. 2000. Perlawanan Atas Diskriminasi Rasial-Etnik. Magelang:
Indonesia Tera. Ham, Ong Hok. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. ------------------. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta:
Komunitas Bambu. Irwanto, dkk. 2002. Psikologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT.
Prenhallindo. Lan, Nio Joe. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Penerbit Gunung
Agung. Marcus, A.S dan Pax Benedanto. 2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (jilid 2). Jakarta: KPG. Marcus, A.S. dan Yul Halmiyati. 2003. Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (jilid 7). Jakarta: KPG. Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Panuju, Redi. 1996. Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. Jakarta: PT. GPU.
144
Poerwadarminta, W.J. S. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapanya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia jilid 2. Jakarta: Gunung
Agung. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajib. 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terj.
Dede Oetomo. Jakarta: PN. Balai Pustaka. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung. Soekisman, W.D. 1975. Masalah Cina di Indonesia. Jakarta: Bangun Indah. Sudaryanto (ed). 1991. Kamus Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press. Sugono, Dendy (ed). 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta:
Pusat Bahasa. Suharto dan Sugihastuti. 2005. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumarjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: C.V.
Nur Cahaya. -------------------. 1989. “Kwee Tek Hoay Sebagai Sastrawan” dalam 100 Tahun
Kwee Tek Hoay (ed. Myra Sidharta). Jakarta: Sinar Harapan. --------------------. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta:
Galang Pres. Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Jakarta. Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia.
145
----------------------. 1996. “Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Suyono. R.P. 2005. Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial Penelusuran
Kepustakaan Sejarah. Jakarta: PT. Grasindo. Tan, Mely G (ed). 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Nusa Indah. Toer, Pramudya Ananta. 2003. “Persinggahan” dalam Hikayat Siti Mariah
(Haji Mukti). Jakarta: Lentera Dipantara. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj/sad. Melani
Budianta. Jakarta: GPU. Yudiaryani. 2005. “Struktur dan Tekstur Naskah Drama (Transformasi Tema,
Plot, Penokohan menjadi Dialog, Suasana, Spektakel). Makalah disampaikan dalam Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama kerjasama DKJ, Jurusan Teater ISI Yogyakarta, LP3Y di Studio Audio Visual Sinduharjo, Sleman, Yogyakarta, 13-15 Januari 2005.
Zain, Mohammad Sutan. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Djakarta:
Penerbit Grafica.
146
Biodata Penulis Fransiska Firlana Laksitasari atau biasa disapa Firla, lahir pada tanggal 4 Agustus 1984 di Sleman. Ia adalah anak kesembilan dari sembilan bersaudara, alias bontot. Mendewasakan diri dengan bimbingan ibu Maridjah dan (alm) bapak Paulus Selam. Saat ini, ia bertempat tinggal di Kalasan.
Mulai mengenyam bangku pendidikan sekolah di SD Kanisius Kalasan kemudian melanjutkan di SLTPN 1 Kalasan. Lalu melanjutkan di SMUN 1 Depok. Tahun 2003 meneruskan studi di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Univ. Sanata Dharma Yogyakarta.
Sedari SLTP aktif sebagai pembaca puisi dan sering menjuarai lomba baca puisi. Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta di bawah asuhan Balai Bahasa Yogyakarta merupakan tempat mengolah bakat berpuisinya. Dunia panggung sudah digelutinya sejak di bangku SD. Selain sebagai pemain dan sutradara pementasan drama, dramatisasi puisi, dan teater, ia juga beberapa kali terlibat dalam seni tradisi. Misalnya, pentas Ketoprak Sadhar Budoyo “Suminten Edan” sutradara St. Prigel ‘Dalijo Angkringan’ (2003) dan Pementasan Kethoprak berjudul Rasa Mangindra Jala (Ki Ageng Mangir), Paguyuban Prasetyo Budaya (Juli dan september 2007). Ia juga pernah menyutradarai drama kisah sengsara Yesus Kristus (2006) dan pementasan “Nurjanah” karya Jujur Prananto (2006). Ia pun menggeluti dunia sinematografi diantaranya sebagai assisten sutradara Film Indie “2x24 jam” karya Ernest (2006), pemain film indie “Naik Daun” garapan Giras Basuwondo, dan pemain pendukung film “Anak-anak Borobudur” (2006) garapan Arswendo Atmowiloto.
Tidak berhenti di situ, ia juga masih aktif sebagai pembawa acara (MC) di seminar-seminar. Selain itu, juga sering menjadi operator pameran buku dan moderator bedah buku. Sejak Januari 2008, ia freelance sebagai penyiar berita bahasa Jawa di Jogja TV.
Catatan karya yang pernah dipublikasikan yaitu puisi dan cerpen yang dimuat dalam majalah Primordia (2003), antologi bersama “Di Batas Langit” Balai Bahasa Yogyakarta (2002), Antologi Bersama “Setangkai Mawar untuk Abimanyu” Balai Bahasa Yogyakarta (2003), Antologi “Penyair Bersaksi” (2005) dan artikel yang pernah dimuat di “Warta Kampus” Univ. Sanata Dharma, Minggu Pagi (11/7/2005), SKH Kedaulatan Rakyat (18/9/2004), SKH Kompas (21/10/2005) dan Minggu Pagi (2007).