empati as

Upload: abang-suprianto

Post on 07-Oct-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

e

TRANSCRIPT

Dokter dan ProfesionalismeKerjabeing a good doctor is listening (DR Barry Bub)Dokter, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di mata masyarakat. bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang. Tetapi, sepertinya kesan baik itu sudah mulai luntur dengan banyaknya tingkah laku dokter yang mulai menimbulkan rasa was-was kepada pasien. Faktanya, tidak jarang, dokter melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak lazim dalam menjalankan tugasnya. Hal ini diistilahkan dengan kata mal praktik, yang ironisnya tak jarang menyebabkan kerugian yang amat besar kepada pasien. kesalahan-kesalahan yang terjadi saat proses pelayanan seorang dokter tak jarang karena disebabkan oleh kelailaian si dokternya sendiri, padahal bisa jadi, kekurang telitian tersebut sebenarnya bisa dihindari. Mal praktik yang kian digaungkan di tengah pasar kesehatan negeri ini merupakan salah satu celah ketidakprofesionalan dokter dalam mengemban amanahnya.

gagal berkomunikasiSalah satu penyumbang factor yang terbesar terjadinya malpraktik adalah masalah komunikasi yang dibangun sewaktu dokter menggali informasi dari pasien. dalam praktik medis disebut dengan anamnesis. Beberapa fakta empiric yang sering diresahkan masyarakat adalah sikap dokter yang kurang ramah, kurang empati dan kurang mengayomi pasien-pasiennya. Pasien hanya didibaratkan sebagai sebuah mesin yang tunduk pada perintah dokter tanpa memperhatikan feedback langsung dari lawan bicaranya.

Ketidaksempurnaan dokter dalam membangun komunikasi terhadap pasien akan berakibat buruk terhadap proses terapeutik yang dikelolanya nanti. Karena tak jarang, dokter terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis. Seorang dokter, menurut sebuah penelitian di Amerika, umumnya menyela keluhan yang disampaikan pasiennya setelah 22 detik. Artinya, dokter sering tidak sabar menunggu Anda menyelesaikan semua keluhan, dan lebih suka menghentikannya di tengah-tengah pembicaraan. Padahal, kalau dokter mau bersikap lebih sabar sedikit saja terhadap pasiennya, dan mendengarkan semua penjelasan yang disampaikan, hal itu tidak memakan waktu lama. Penelitian yang dilakukan di Swiss, menyimpulkan: Pasien rata-rata hanya butuh waktu dua menit untuk menyelesaikan semua keluhan yang dirasakan. Menurut Dr. Wolf Langewitz dari University Hospital di Basle, gejala serupa hampir terjadi di semua negara. Diperkirakan dokter mengambil alih pembicaraan setelah 30 detik. Mereka akan segera bertanya, Bagaimana batuknya?, Merasakan demam nggak?, Suhunya berapa?. Begitulah dokter akan memulai dengan serangkaian pertanyaan dan jarang memberi kesempatan kepada pasien untuk bicara. Seringnya kebiasaan menyela pembicaraan yang dilakukan para dokter dapat mempengaruhi kualitas informasi yang diperolehnya nanti. Pasien mungkin ingat ketika dokter menyela pembicaraan mereka. Bisa jadi pasien beranggapan bahwa ada yang salah dari apa-apa yang mereka sampaikan, sementara dokter menghujani pertanyaan-pertanyaan tertutup di saat yang kurang tepat. Akibatnya, psikologis pasien bisa terganggu karena hal-hal yang kurang bijak ini. Krisis waktuKurangnya perhatian dalam hal komunikasi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh alokasi waktu yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dokter, terutama di negeri ini, cenderung bersikap kurang bijak antara kemampuan dan output pemeriksaan yang mereka lakukan. Para dokter lebih mengutamakan kuantitas pasien yang mereka periksa daripada kualitas hasil pemeriksaannya. Tak jarang, mereka memaksakan jam periksanya di luar batas endurance fisiknya. Tuntutan kejar tayang menyebabkan kurangnya fokus dokter sewaktu memeriksa pasien. Bayangkan kalau misalnya, dalam sehari ada 100 pasien yang ditangani, sementara jam praktiknya hanya sekitar 4 5jam. Otomatis, alokasi waktu anamnesis pasien sangat sedikit. Padahal, kunci keberhasilan pasien adalah pada anamnesis. Tanpa anamnesis yang baik, diagnosis pasien bisa meleset dan berakibat terjadinya mal praktik. Keberadaan undang-undang praktik kedokteran yang ada di negara kita sedikit banyak sudah mulai mengakomodasi penyelesaian masalah dari fenomena-fenomena di atas, baik dengan pembatasan tempat praktik maupun alokasi waktunya. Namun, sebuah peraturan saja tak akan mampu mengubah pola perilaku yang salah kecuali datang dari kesadaran pribadi-pribadi tenaga kesehatan ini. Tengok saja di beberapa negara maju, seperti amerika. Di negara ini, dokter yang melakukan tindakan (bedah, persalinan, kedaruratan medik) tidak diperkenankan lagi melakukan praktik harian. Dengan demikian tetap terjaga konsentrasinya dalam melakukan tugas profesinya. Namun, dengan pengetatan itu pun kasus malapraktik masih juga terjadi. Apalagi melihat sepak terjang praktik rata-rata dokter kita. Sepandai-pandai tupai melompat, akan terjatuh juga. Itulah maka kasus malapraktik di Indonesia tidak pernah berkurang. Beda dokter Indonesia dengan dokter asing adalah dalam hal waktu. Rata-rata dokter kita kelewat sempit waktunya untuk memeriksa pasien secara legal artis, secara ikut aturan medik. Tidak ada di dunia dokter yang dalam seharinya memeriksa ratusan pasien seperti di Indonesia. Oleh karena bobot kerja rata-rata dokter kita melebihi enduran fisiknya, kesabaran mentalnya, dan ketahanan batinnya, banyak pasien tidak puas bertemu doktennya. selain hasil terapinya bisa jadi dinilai gagal, kurang sempurna, atau mungkin malah berkomplikasi.Memang tidak semua kasus ketidakpuasan pasien akibat ulah dokter. Cara kerja minimalis, rendahnya penghargaan terhadap profesi, alitnya honorarium, adalah faktor-faktor yang menjadikan dokter kita seolah tidak profesional. Bahkan seorang profesor kita pun, pernah dibicarakan akibat bobot kerjanya melebihi kemampuan profesionalnya, sehingga bisa sampai kecolongan luput mendiagnosis yang selayaknya bila dalam kerja profesi normal bisa dilakukannya. Sekali lagi, penyebab tidak profesionalnya rata-rata dokter kita, sebagian besar lantaran waktunya sempit untuk mendiagnosis pasien. Anamnesis (wawancara) yang seharusnya khusuk, sabar, dan cermat diamati, baru beberapa detik saja pasien bicara, ada dokter yang sudah selesal menulis resepnya.Oleh karena itu, dengan melihat fakta yang meresahkan seperti itu,seharusnya ada gerakan untuk mengajarkan kembali dokter untuk cerdas mendengar pasien. Mengajarkan ulang bagaimana dokter menyimak riwayat penyakit pasiennya, bersikap penuh tenggang rasa terhadap pasien. Caranya, dengan kiat, dengan sebuah sikap seni narrative medicine, yaitu sebuah disiplin baru yang menekankan keterampilan mendengar dan menulis untuk membantu para pekerja medis memahami lebih baik kondisi pasiennya. Bagaimana pekerja medis menyediakan waktu cukup untuk sepenuhnya mendengar. Bagaimana membangun program percakapan dalam sebuah disiplin medis. Bagaimana tajam dokter membayangkan perasaan sakit pasien dan membangun rasa empati terhadap kesukaran-kesukaran yang pasien hadapi. Harapannya, dengan pemahaman bahwa profesi medis merupakan sebuah seni (medical is an art), para dokter mampu mengelola proses penanganan pasien dengan cara-cara yang empatik namun elegant, sehingga kombinasi penyampaian informasi ataupun keluhan yang nyaman oleh pasien dengan cara-cara penerimaan respon yang baik oleh dokter mampu menjadi pedekatan yang efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pasien dengan baik. ~ oleh sutarmanisme di/pada Mei 6, 2008.

Seorang dokter baru boleh merasa dirinya bermutu apabila paling tidak ia telah berperan sebagai seorang profesional, sebagai seorang manajer dan ia bisa berperan sebagai agen pembaharu dalam lingkungan ia mengabdi. Pertama, sebagai seorang profesional, dalam melaksanakan tugas profesinya ia harus memenuhi paling tidak empat syarat, yaitu 1). Memiliki keahlian/kompetensi sesuai standar profesi, 2). Melaksanakan tugas sesuai standar profesi, 3). Memiliki komitmen profesi dan 4). Mematuhi kode etik profesi.Untuk mempersiapkan dokter agar bisa bertindak profesional, sejak di bangku pendidikan seorang calon dokter dididik dan dibentuk pribadinya dalam tiga aspek yaitu 1). Pengetahuan (knowledge), 2). Sikap (attitude) dan 3). Ketrampilan (practice). Konsistensi untuk memenuhi standar minimal pengetahuan, sikap dan ketrampilan bagi seorang calon dokter merupakan prasyarat yang ketat dan komprehensif, oleh karena menjadi seorang dokter profesional tidak hanya dituntut mempunyai kemampuan ilmu dan ketrampilan yang andal, tetapi pengetahuan dan ketrampilan itu harus didukung sikap yang terpuji dan teruji.Kedua, sebagai manajer, seorang dokter harus bisa memimpin dirinya dan orang lain. Di daerah, kemampuan profesional seorang dokter tidaklah cukup. Dokter bukan hanya bertugas mengelola pasien semata, tetapi juga dituntut mampu memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk menciptakan suatu lingkungan terapeutik yang memuaskan baik bagi pasien dan masyarakat maupun bagi pihak dokter pribadi dan profesi kedokteran secara umum. Sebagai manajer seorang dokter harus mampu memberikan alternatif kepada pasien dan kliennya. Dalam memberikan alternatif kepada pasien/klien seorang dokter sangat dipengaruhi oleh semangat dan idealisme yang sangat jarang disamai.Pendidikannya yang bertahun-tahun lamanya telah memberikan pengetahuan dan ketrampilan guna menghadapi berbagai masalah yang dikemukakan para pasiennya. Para dokter juga telah berjanji kepada diri sendiri bahwa pelayanannya bagi pasien tidak akan diberikan pada prioritas rendah, tetapi bagi mereka kepentingan dan keselamatan merupakan prioritas utama. Mereka tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya sendiri dan tidak mau mengulangi kesalahan yang dibuat para seniornya. Walaupun seorang dokter selalu memilih cara terbaik untuk menyembuhkan pasiennya, namun seorang dokter yang bijaksana selalu memberikan alternatif kepada pasien agar dapat memilih cara dan pelayanan macam apa yang sesuai dengan kemampuan kantongnya.Alternatif pelayanan atau tindakan yang ditawarkan kepada pasien harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesi (lege artis). Di sini letaknya esensi peran dokter sebagai seorang manajer yang mampu memberikan alternatif kepada pasien dan kliennya. Pasien tentu akan memilih sesuai kemampuannya, bagi pasien yang berduit tentu dia mengharapkan kesembuhan dengan hasil sesempurna mungkin, tetapi bagi pasien yang tidak mampu, cukup sembuh saja itu sudah sangat disyukurinya.Ketiga, sebagai seorang motivator-inovator, seorang dokter harus dapat berperan sebagai agen pembaharu dalam lingkungan tempat ia mengabdi. Hal ini sangat terasa bagi seorang dokter yang bertugas di Puskesmas daerah terpencil. Aspek sosio-kultural sangat mempengaruhi nilai dan pemahaman masyarakat terhadap sakit dan masalah kesehatan lainnya.Perilaku masyarakat terhadap konsep sehat sering tidak sejalan dengan konsep sehat yang telah diterima secara umum di bidang kesehatan dan ilmu kedokteran. Untuk itu bagaimana seorang dokter dapat mengubah perilaku masyarakat menuju pada perilaku sehat. Perilaku sendiri dapat diartikan sebagai hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Sebagai seorang pembaharu, seorang dokter harus memahami bahwa perubahan perilaku manusia melalui beberapa tahap dan perubahannya merupakan suatu proses kejiwaan yang dialami oleh individu tersebut sejak pertama memperoleh informasi atau pengetahuan mengenai sesuatu hal yang baru sampai pada saat ia memutuskan apakah ia menerima atau menolak hal baru tersebut.Rogers membagi proses tersebut (adoption process) ke dalam lima tahapan yaitu: 1). Kesadaran (awareness), 2). Perhatian (interest). 3). Penilaian (evaluation). 4). Percobaan (trial), dan 5). Adopsi (adoption). Sedangkan Green menyebutkan bahwa kesehatan itu dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku, dijelaskan pula bahwa ada tiga faktor mempengaruhi perubahan perilaku yaitu : 1). Faktor predisposisi (predisposing factors) yang mencakup: sikap, nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma sosial, kebudayaan, tabu/pantangan, faktor demografi dan sebagainya; 2). Faktor pendukung (enabling factors) yaitu tersedianya sarana/sumber khususnya yang diperlukan dalam mendukung perilaku tersebut oleh sasaran dan 3). Faktor pendorong (reinforcing factor) yaitu petugas kesehatan (baca: dokter) atau petugas lain yang mempunyai tanggung jawab terhadap perubahan perilaku masyarakat.

Sebagai contoh, bagaimana masyarakat begitu merasa belum berobat apabila di Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan lainnya mereka hanya menerima obat minum dan tidak disuntik. Masalah tuntutan supaya disuntik setiap kali berobat sebenarnya merupakan kesalahan masa lalu yang tidak boleh diteruskan, apalagi saat ini telah diketahui banyak penyebaran penyakit melalui jarum suntik.

Namun ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit dihilangkan. Sebagai ilustrasi, seorang dokter memiliki pengalaman unik tentang permintaan pasien untuk disuntik . Seorang bapak yang paginya telah mendapat pelayanan (mendapat suntikan dan obat minum) kembali menemui sang dokter. Ternyata beliau minta kepada dokter agar suntik untuk besok kalau boleh disuntik memang sekarang. Sang dokter kaget sekaligus merasa lucu bercampur kasihan.

Ternyata setelah disuntik beliau merasa enak sehingga beliau berharap sore itu ia mendapat suntikan lagi, oleh karena besok sudah tidak ada lagi petugas kesehatan di desanya. Sang dokter lalu menjelaskan berulang-ulang kepada beliau bahwa obat suntik itu hanya membuat bapak merasa enak, tetapi yang menyembuhkan itu obat minum, jadi kalau bapak mau sembuh sudah cukup suntikan yang diberikan tadi dan harus teruskan telan obat pilnya sampai habis. Tentu penjelasan ini harus berkali-kali diberikan dengan jujur dan dengan bahasa yang dapat diterima masyarakat.Bermutu relevanBermutu secara profesional bagi seorang dokter merupakan tuntutan dan idealisme yang ingin diberikan oleh profesi kedokteran kepada pasien. Tuntutan pelayanan terbaik bagi pasien menyebabkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran maju begitu pesat pada dekade terakhir ini. Kemajuan ini terlihat dengan semakin canggihnya alat bantu diagnostik dan terapi saat ini.

Kemajuan yang positif ini, di lain pihak berakibat meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, sehingga seolah-olah peralatan medis yang canggih hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berduit dan yang bermukim di kota besar. Seorang dokter, terutama seorang dokter spesialis yang dididik di pusat pendidikan kedokteran dengan peralatan canggih diharapkan mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pasiennya dimanapun ia berada.

Keadaan negara kita dengan berbagai kesulitan yang dialami, menyebabkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tidak merata. Kendala ini tidak berarti terdapat diskriminasi pelayanan kesehatan antardaerah.

Penanganan terhadap pasien dilakukan secara berjenjang yang selama ini dikenal dengan sistem rujukan. Suatu sarana pelayanan kesehatan dapat merujuk pasiennya apabila ia tidak mampu (tenaga dan fasilitas) untuk mengatasi penyakit pasien tersebut. Satu hal yang penting bahwa setiap sarana pelayanan kesehatan harus mampu melayani dengan kemampuan pasien sesuai dengan hirarki kewenangannya secara optimal.Seorang dokter yang bertugas di daerah perifer dituntut untuk bisa relevan dengan situasi dan kondisi di mana ia bertugas. Seorang dokter di daerah perifer belum dikatakan bermutu apabila ia hanya bergantung kepada peralatan bantu yang canggih dan tidak bisa melakukan tindakan dengan peralatan seadanya yang tersedia di daerah perifer seperti NTT ini.Oleh karena itu mutu bagi seorang dokter di daerah perifer adalah mutu yang relevan dengan situasi dan kondisi dimana ia melaksanakan pelayanan. Dengan demikian seorang dokter yang bermutu relevan adalah dokter yang dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna yang ditunjang fasilitas dan peralatan canggih tetapi ia juga dapat menolong penderitaan pasiennya dengan peralatan seadanya di daerah terpencil seperti NTT ini. Di sini ungkapan Tak ada rotan akar pun jadi perlu diterapkan.Terakhir mungkin ungkapan tuan Oliver Holmes ini dapat menjadi pegangan bagi para dokter di daerah perifer. Adalah privilids bagi seorang dokter bahwa ia jarang menyembuhkan, sering dan selalu menghibur . Oliver Holmes mengharapkan agar seorang dokter tidak menjadi sombong oleh karena ia telah menyelamatkan jiwa seorang pasien, atau menjadi susah dan sedih oleh karena ia tidak dapat menyelamatkan jiwa pasiennya; karena memang di atas dokter ada Maha Penyembuh dan dokter hanyalah perantara bagi kesembuhan seorang pasien.Tetapi yang pasti seorang dokter haruslah sering membantu dan selalu menghibur pasien serta masyarakat di mana ia mengabdi. Kehadiran dokter selalu merupakan hiburan bagi pasien dan masyarakat, sehingga kehadirannya selalu diharap-harapkan oleh pasien dan masyarakatAplikasi Konsep Profesional Dokter dalam Pelayanan PrimerPelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care) adalah pelayanan kesehatan pokok yang bisa diakses oleh individu dan keluarga dalam masyarakat, yang diberikan dengan biaya yang terjangkau dengan partisipasi masyarakat; meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit, menjaga kesehatan, edukasi dan rehabilitasi; pendekatan pelayanan kesehatan primer yang komperhensif terdiri dari: paling tidak 8 elemen kesehatan individu dan masyarakat (penyediaan pelayanan kesehatan individu yang esensial, gizi, air bersih dan sanitasi, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, pelayanan kesehatan mental, dan penyediaan obat-obatan esensial.Konsep pelayanan Kesehatan primer ini nantinya akan dibekukan kedalam sebuah bentuk konsep yang disebut dokter keluarga. Bahkan seorang dokter nantinya diharapkan tidak hanya dapat memberikan pelayanan primer saja tetapi harus menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinyu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan.Berbagai karakteristik dokter keluarga telah dirumuskan, antara lain :Lynn P. Carmichael (1973) Mencegah penyakit dan memelihara kesehatan Pasien sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat Pelayanan menyeluruh, mempertimbangkan pasien dan keluarganya Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil menangani penyakit Tanggap saling-aruh faktor biologik-emosi-sosial, dan mewaspadai kemiripan penyakitDebra P. Hymovic & Martha Underwood Barnards (1973) Pelayanan responsif dan bertanggung jawab Pelayanan primer dan lanjut Diagnosis dini, capai taraf kesehatan tinggi Memandang pasien dan keluarga Melayani secara maksimalIDI (1982) Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat Pelayanan menyeluruh dan maksimal Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannyaDari berbagai karakteristik seorang dokter keluarga yang disebutkan diatas, bisa disimpulkan bahwa seorang dokter keluarga bertanggung jawab terhadap kesehatan secara biologis, psikologis, sosial seorang pasien. Dalam melakukan upaya pengobatan secara biologis dan psikologis dibutuhkan keahlian, kompetensi dan dasar-dasar ilmu dan keterampilan medis yang telah dipelajari di masa pendidikan, dan dalam membantu dalam masalah sosial diperlukan sikap-sikap yang dapat memberikan rasa percaya dan aman dari pasien. Dan tentu dalam melaksanakan sebuah pelayanan kesehatan, seorang dokter tidak lepas dari etika profesi, karena dari situlah seorang dokter juga dapat dinilai apakah dia benar-benar seorang dokter yang profesional.Dengan melihat banyaknya harapan-harapan yang nantinya harus dipenuhi seorang dokter keluarga, sudah pasti dan mutlak diperlukan adanya komitmen yang kuat untuk selalu melaksanakan tugas profesinya. Selain itu juga dalam melakukan semua tugas profesinya harus sesuai dengan standar profesi yang sudah ditetapkan, agar menghindari berbagai kerugian-kerugian yang dapat menimpa doktyer itu sendiri maupun pasiennya. Sehingga sangat diperlukan pemahaman tentang makna profesional, seorang profesional dan sikap seorang profesional dalam menjalankan seluruh tugas dan kewajiban yang diemban oleh seorang dokter.Bagaimana seorang dokter bisa menjalankan tugas-tugas profesinya dengan lurus jika tidak didasari dengan sikap profesional. Karena pada dasarnya profesi seorang dokter adalah sebuah profesi yang bisa dianggap sebagai profesi yang sosial oriented. Dokter idealnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan dasar ingin membantu meringankan beban, bukan dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pasien. Sudah bukan rahasia lagi bahwa tidak sedikit dokter yang menyalahgunakan profesi sosial mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi.Karena sudah terlanjur dianggap sebagai profesi sosial inilah maka sangat rentan untuk seorang dokter jika melakukan sedikit kesalahan baik yang sengaja maupun tidak disengaja, baik yang beralasan maupun tidak beralasan jelas untuk divonis tidak profesional oleh orang-orang. Dokter juga manusia, membutuhkan kehidupan layak seperti profesi lainnya. Tetapi bila dokter memberikan tarif yang agak mahal, langsung divonis mata duitan. Tetapi masyarakat tidak akan pernah memvonis negatif bila profesi pengacara dengan tarifnya yang jutaan hingga ratusan juta.Hal-hal seperti diatas jika tidak disikapi secara profesional, akan membawa dampak buruk bagi dokter itu sendiri juga bagi profesi dokter. Walaupun pada kenyataanya tidak semua dokter melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar etika profesi itu, tetapi karena lazimnya, hal-hal negatif selalu menjadi sorotan dan berita besar dan lebih menarik perhatian dibandingkan hal-hal positif, sehingga perilaku ini berdampak pada persepsi masyarakat terhadap profesi seorang dokter.Jadi, sikap profesional tidak hanya harus diterapkan pada tingkat pelayanan primer saja, tetapi diseluruh aspek kehidupan seorang dokter. Untuk menciptakan sesosok dokter yang ideal, yang memiliki sikap profesional tidak bisa hanya dengan mengerti makna dari profesional, tetapi dengan memahami dan melaksakan konsep dari profesionalitas itu sendiri sejak dini. Dan hal ini bisa didapatkan dari usaha untuk terus belajar dan belajar dan tetap mengingat hakekat seorang dokter, siapa itu dokter dan apa sebenarnya tujuan dari seorang dokter,