erfan soebahar- respon muhadditsun

98
RESPONS MUHADDITSUN MENGHADAPI TANTANGAN KEHIDUPAN UMAT Studi Tentang Hadis Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, Dan Informasi Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Hadis Disampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Walisongo Semarang Rabu, 31 Agustus 2005 oleh : Prof. DR. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag.

Upload: wahono-kafabillahi-syahida

Post on 25-Jun-2015

296 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

RESPONS MUHADDITSUNMENGHADAPI TANTANGAN KEHIDUPAN UMAT

Studi Tentang Hadis Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, Dan Informasi

Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu HadisDisampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka

IAIN Walisongo SemarangRabu, 31 Agustus 2005

oleh :Prof. DR. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag.

Institut Agama Islam Negeri WalisongoS E M A R A N G

2 0 0 5

Page 2: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun
Page 3: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb,

Yang saya hormati:Bapak Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Tengah,Bapak Rektor/Ketua Senat IAIN Walisongo Semarang,Para Anggota Senat/Guru Besar IAIN Walisongo Semarang,Bapak Rektor, Pimpinan PTN dan PTS di Jateng dan DIY,Bapak-bapak Pejabat Instansi di Jawa Tengah,Bapak Ketua Umum MUI Jawa Tengah dan Kota Semarang,Bapak Ketua PWNU, Ketua PWMuhammadiyah, dan Segenap Ketua Organisasi Sosial-Keagamaaan di Jawa Tengah,Bapak Ketua BAZ Provinsi Jawa Tengah dan Kota Semarang,Para Pejabat di Lmgkungan IAIN Walisongo, Para Dosen, Asisten Dosen, para Karyawan, serta Para Perwakilan Mahasiswa1AIN Walisongo,Bapak dan Ibu dari Persaudaran Haji dan Pengurus Forum Jalasda Kota Semarang,Ibunda tercinta, para guru, saudara-saudara, segenap kolega,serta para tamu undangan yang berbahagia yang tidak mampu saya sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.

Mengawali pidato pengukuhan ini, puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah Swt, yang berkat rahmat dan karunia-Nya kita pada pagi ini dapat hadir bersama di ruangan ini dalam keadaan sehat wal'afiat. Pada saat ini segenap anggota senat institut hadir dan duduk khidmat, para pejabat pemerintah, pimpinan PTN, pimpinan PTS, dan undangan institusi hadir de-ngan tenang serta khidmat. Juga terlihat undangan dari keluarga, handai tolan, kenalan, dapat ikut serta di forum mi. Ini adalah salah satu bentuk rahmat dan karunia AlJah yang bisa dnvujudkan di forum lain.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang berkat perjuangannya, ajaran Islam dan kebenaran tetap

Page 4: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

tegak di dunia ini, sunnah-sunnahnya menjadi amalan di ka-langan umat yang taat dan setia, betapa pun guncangan zaman datang dan pergi. Keyakinannya, akan tetap mantap di dada, karena cahaya Allah Swt tetap ada dan tarnpak jelas, utamanya dalam kehidupan hamba yang peduli merawat wahyu yang dibisikkan nuraninya dalam kenyataan keseharian. Dari situ pula, kemauan mewujudkan kehidupan yang maslahat terus mewujud, di antaranya melalui solusi-solusi responsip para ahli hadis (muhadditsun) menghadapi tantangan kehidupan umat, terutama berke-naan dengan penerapan hadis sebagai sumber ajaran baik para era Nabi, era kodifikasi, dan era informasi sekarang.

Selanjutnya kepada seluruh hadirin, saya mengucapkan teri-ma kasih yang setulus-tulusnya atas kehadirannya memenuhi un-dangan kami. Saya yakin, kehadiran bapak-ibu dan saudara-saudara di samping memeriahkan majelis ini juga memberi doa restu sehingga acara ini dapat berjalan lancar.

Khusus kepada Ketua, Sekretaris, dan semua anggota senat IAIN Walisongo, saya mengucapkan terima kasih atas kesem-patan yang diberikan kepada saya untuk membacakan orasi ini, dengan harapan semoga isinya bermanfaat bagi aknamater ter-cinta. Dan walaupun ibarat setetes air di permukaan laut yang luas, buah jerih payah ini mudah-mudahan merupakan sum-bangan pemikiran dalam bidang ilrau hadis. Dalam kaitan ini, maka judul orasi yang saya pilih adalah "Respons Muhadditsun da-lam Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang Sumber Ajaran Keagamaan pada Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi".

Page 5: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

DAFTAR ISI

Pengantar1. Pendahuluan2. Hadis, Muhadditsun, dan Kedudukan Hadis

HadisMuhadditsunKedudukan Hadis

3. Kondisi Tantangan Sumber Ajaran Keagamaan pada Era Nabi, Kodifikasi dan InformasiPada Era NabiPada Era Kodifikasi HadisPada Era Informasi

4. Kontribusi bagi Kehidupan UmatAgenda Kodifikasi HadisPandangan di Sekitar Kodifikasi HadisAgenda Keilmuan dan Pengamalan Ajaran Keagamaan Klasik dan Kontemporer

Khazanah Klasik1. Tokok Periwayat2. Ilmu-ilmu HadisKhazanan Kontemporer1. Epistemologi Ilmu Hadis2. Kontekstualisasi Pemahaman Hadis3. Penelitian yang Sambung dengan Kenyataan4. Porsi Hadis-Hadis Pendidikan5. Aspek Pengamalan Hadis

5. PenutupDaftar PustakaRiwayat Hidup

Page 6: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

RESPONS MUHADDITSUNMENGHADAPI TANTANGAN KEHIDUPAN UMAT

Studi Tentang Hadis Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, Dan Informasi Oleh Moh. Erfan Soebahar

BAB 1PENDAHULUAN

Kehidupan adalah “universitas pengalaman” yang mesti dihadapi dengan berpegangan pada prinsip-prinsip esensial untuk memberi jawaban yang diperlukan, guna mewujudkan kehidupan maslahat bagi semua makhluk, terutama umat penghuni jagat ini. Untuk maksud itu, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt telah menegaskan ajaran pronsip yang juga mengait dengan tugas muhadditsun mengadapi tantangan kehidupan umat terutama mengenai hadis sebagai sumber ajaran keagamaan Islam.1 Yang dilaksanakan dalam kehidupan nyata pada masa Nabi Saw namun diragukan kedudukan dan pengamalannya pada masa kehidupan sesudahnya.

Allah Swt dalam penetasan itu menyatakan : bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna ajarannya; Allah Swt telah melimpahkan karunia nikmat-nya secara tuntans ke dalam agama itu; dan Allah Swt rela atas Islam dijadikan sebaga agama yang berlaku bagi seirma umat manusia.2 Penegasan penting Allah Swt demikian meraberi petunjuk bahwa agama Islam itu selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia da-lam pelbagai era dan ras di dalam kehidupan.

Penegasan di atas tidak mengecualikan sumber ajaran agama-Nya

1 Untuk mempermudah sebutan, maka istilah “hadis sebagai sumber ajaran keagamaan Islam” akan disebut dengan hadis sebagai sumber ajaran keagamaan. Hal itu disamping mempermudah posisi konteks keilmuan, juga untuk mempermudah hadis dalam bingkai ajaran Islam adalah rahmat li al-‘amin, yang substansi ajarannya juga memberi rahmat bagi pemeluk agama lain.

2 Q.S. Al-Maidah (5): 3.

Page 7: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

yang juga penting, yaitu Al-Quran dan hadis, yang disepa-kati menjadi sumber ajaran hukum dan petunjuk bagi kehidupan umat. Pendek kata, itu berlaku juga pada sumber ajaran AJ-Quran dan hadis. Jika pada masa Nabi saw sumber ajaran dalam kenyataan berlangsung demikian, maka pada masa-masa sesu-dahnya, mestinya tinggal melanjutkan. Dengan ungkapan lain, posisi sumber ajaran tersebut sesuai di segala waktu dan tempat serta berlaku untuk semua umat di pelbagai era dan ras dalam kehidupan. Dari sudut posisi, Al-Quran menjadi sumber utama, sedangkan hadis3 menjadi sumber pendampingnya yang menje-laskan Al-Quran.

Masyarakat (manusia) pada setiap zaman4 hingga di era informasi atau era global sekarang, pada dasarnya sudah dituruni pegangan al-Kitab, yang isinya bisa dipahami secara jernih dan utuh melalui penjelasan para Rasul, yang pada masa umat Nabi Muhammad saw dituangkan di dalam kitab-kitab hadis. Dua sumber ajaran tersebut disepakari oleh umat Islam hingga akhir zaman Nabi saw.5

Namun sesudah Nabi Muhammad Saw wafat, yang menutut Al-Quran zaman Nabi akhir zaman juga berakhir,6 pemahaman me-ngenai

3 Sesuai dengan fokus pembicaraan, maka uraian mengenai sumber ajaran ke-agamaan hanya dibatasi pada hadis, sebagai disiplin ilmu yang paling banyak saya tekuni dalam pengabdian diri di almamater IAIN Walisongo.

4 Istilah zaman, era, dan masa dalam penulisan ini dipergunakan dalam arti yang sama; dipakai sesuai dengan nuansa kebahasaannya; khusus istilah era lang-sung dipergunakan dalam hubungan dengari waktu yang berlangsung sekarang.

5 Lihat Ahmad Amm, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishny-yah, 1975); Lihat juga, misalnya, Moh. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsaban ai-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 4.

6 Q.S. Al-Ahzab (22): 40. Dengan penegasan Surat ini, maka tak ada ruang lagi bagi kernunculan Nabi lain di akhir zaman setelah Nabi Muhammad saw. Jika dalam kenyataan masih ada aliran yang mengaku punya Nabi lain lagi, sedang ia kini sedang beragama Islam, maka pengakuannya itu meragukan dan mesti diluruskan, karena bertentangan dengan pokok ajaran. Dalam konteks ini, adalah sesuai dengan kebenaran nash jika MUI dalam fatwa pertama, 27 Juni 1983 dan fatwa kedua, tahun 2005 ini menetapkan bahwa aliran yang tidak mcmpercayai hadis Nabi saw sebagai sumber hukum syan'at Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. lihat, Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimas Isiam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 108.

Page 8: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

eksistensi dua sumber ajaran dijumpai perbedaan. Tampaknva, itu disebabkan perbedaan asumsi, paradigma, dan realisasi kemampuan umat dalam melaksanakan ajaran keagamaan.

Kalau dua sumber ajaran Islam di atas dihubungkan dengan adanya kesamaan dan perbedaan konseptual para ilmuwan dari hasil mereka dalam merespons ajaran, itu berarti bahwa Islam juga mentolerir adanya "pluralitas" pemahaman. Itu dibolehkan pada tingkat wacana dalam kehidupan sepanjang tidak menyeret kepada peraguan pengamalan dan pelestarian ajaran dan mengarah ke penghancuran lima sendi pokok (dlaruri) esensial dalam kehidupan. Yakni pemeliharaan ajaran Agama (Hifzh al-Din), pemeliharaan akal (Hifzh al-'Aql), pemeliharaan jiwa (Hifzh al-Nafs), pemeliharaan keturunan (Hifzh al-Nashl), dan pemeli-haraan kepemilikan harta benda (Hifzh al-Mal). Jadi, toleransinya hingga ke hal-hal sebatas yang mengarah ke upaya mewujudkan kemaslahatan umat; tidak kepada hal-hal yang mudlarat.

Maka dalam kerangka menemukan ajaran ideal keagamaan, sektlas menyinggung toleransinya., dan terutama melakukan upaya gigih menghadapi gerak destruktif yang bisa terjadi dalarn kehidupan, maka pembicaraan pada kesempatan ini akan dimanfaatkan untuk melihat respons muhadditsun, terutama menghadapi tantangan kehidupan umat dalarn aspek hadis sebagai sumber ajaran. Selain menuangkan hal asumtif di muka, uraian tentang hal ideal juga didahulukan di dalam pemahaman hadis.

Hal yang dimaksud di atas tidak melewatkan kenyataan bahwa tantangan yang dihadapi muhadditsun mengenai hadis sebagai sumber ajaran keagamaan, hadir pada setiap zaman: dari zaman Nabi saw, kodifikasi hadis, hingga era global sekarang. Wujud tantangannya terbagi atas dua macam; kalangan muslim dan non muslim. Di kalangan umat Islam sendiri, tantangannya mewujud dua versi: pertama, di kalangan umat Islam yang setia dan taat serta mampu menyaring secara jernih cahaya kebenaran, mereka tetap mengikuti dan berpegang teguh kepada apa-apa yang berasal dari Nabi saw. Namun kedua, di kalangan mereka yang juga taat beragama berikut sumber ajarannya tetapi

Page 9: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

kemudian membaca tulisan-tulisan bermisi menempatkan hadis di posisi yang tidak menguntungkan, lalu tidak kritis dengan propaganda mempergagah image daripada fakta. Bagi yang kedua ini, terlihat dua dampak.. Dampak pertama, menjadikan mereka mengabulkan hadis secara kognitif tetapi tidak demikian secara afektif dan psikomotorik. Dampak kedua, aparis dengan hadis; serta yang tidak kalah serunya, mereka memusuhi hadis yang memprofil sebagai golongan ingkar sunnah, dan golongan ekstrim lainnya yang dilarang oleh ajaran agama.

Di tengah kondisi tantangan zaman seperti di atas, saya pada kesempatan ini tidak berdiri sebagai penghipnotis yang akan mengubah umat ini melalui sebuah pidato pengukuhan. Akan tetapi, sebagai ilmuwan yang pernah dibuat resah secara intelektual menghadapinya, pada kesempatan ini saya menawarkan analisis historis-teologis-fenomenologis atas hadis dan kepedulian muhadditsun dalam menghadapi persoalan zaman terutama: hadis sebagai sumber ajaran keagamaan bagi terwujudnya kehidupan umat yang maslahat. Hal ini sejalan dcngan tujuan direalisasikannya ajaran Islam dalam kehidupan yaitu unluk mewujudkan kemaslahatan hidup bagi segenap makluk. Untuk itu, permasalahan yang mcnjadi fokus yang ingin dijawab dalam konteks ini, yaitu: Apa yang di-maksud hadis serta muhadditsun dan bagaimana hadis mesti didudukkan dalam hubungan dengan Al-Quran? Apa respons konseptual muhadditsun menghadapi tantangan kehidupan umat, terutama pada era Nabi saw, era kodifikasi hadis dan era informasi? Bagaimana wujud konstribusinya bagi kehidupan umat?

Menjawab tiga permasalahan hadis atau sunnah di atas, saya percaya itu bisa dilakukan melalui usaha keras kita sendiri-sendiri pada kesempatan lain. Namun, pada kesempatan yang baik ini, saya akan coba memanfaatkan waktu untuk bersama menelusuri jejak para ahli hadis (muhadditsun) dalam menjawab tantangan kehidupan umat untuk menciptakan suatu atmosfir kehi-dupan umat yang maslahat.

Di dalamnya, uraian banyak menyebut dimensi kependidikan disamping dimensi lain, seperti dimensi hukum. Karena di posisi itu, yakni Fakultas Tarbiyah sejauh im saya "berlayar" dalam suka dan duka;

Page 10: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

mencoba memberi dengan apa yang saya miliki dan terus dioptimalkan menurut kemampuan. Dan ke arah itu juga kemudian insya Allah saya "berlabuh," dalam mempelajari dan mengajarkan studi hadis, memahami, serta beramal dalam dunia pendidikan setidaknya di almamater tercinta.

Page 11: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Allah menegaskah bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna ajarannya; Allah telah

melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama itu; dan Allah rela atas Islam

menjadikan sebagai agama yang berlaku bagi semua umat manusia. Penegasan penting Allah

demikian memberi pentunjuk bahwa agama Islam itu selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia dalam pelbagai era dan ras dalam kehidupan. Penegasan di atas tidak mengecualikan sumber ajaran agama-Nya

yang juga penting, yaitu Al-Quran dan hadis, yang disepakati menjadi sumber ajaran hukum dan

petunjuk bagi kehidupan umat. Pendek kata, itu berlaku juga pada sumber ajaran Al-Quran dan hadis. Jika pada era Nabi Saw sumber ajaran

dalam kenyataan berlangsung demikian, maka pada era-era sesudahnya, mestinya tinggal

melanjutkan. Dengan ungkapan lain, posisi sumber ajaran tersebut sesuai di segala waktu dan tempat serta berlaku untuk semua umat di pelbagai era dan ras dalam kehidupan. Dari sudut posisi, Al-Quran sumber utama, hadis sumber pendamping

menjelaskan Al-Quran.

Page 12: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Bab 2HADIS, MUHADDITSUN DAN KEDUDUKAN HADIS

Pada bagian ini, uraian lebih dahulu akan memahami hadis, sketsa muhadditsun, dan dilanjutkan dengan mendudukkan hadis.

HadisUntuk memahami hadis, uraian dimulai dengan menyimak ke

kondisi hadis pada masa Nabi saw. Karena umat yang hidup pada masa itu merupakan orang beruntung, sehingga generasinya (shahabat) tidak boleh dilewatkan untuk maksud mereguk menu segar pemahaman ajaran keagamaan di dalam kehidupan.

Dalam kehidupan nyata para sahabat, yang kemudian di antaranya menjadi periwayat hadis7 disaksikan bagaimana Nabi saw itu bertutur efektif; suka menyapa akrap pihak yang dihadapi; selalu menyelingi tuturnya dengan senyum-senyum ramah;8 menyampaikan ajaran keagamaan sesuai dengan jangkauan pikiran yang dihadapi; dalam menyampaikan salam atau pernyataan di mana perlu diulanginya hingga tiga kali sehingga mudah dipaham; namun pada momentum lain Nabi saw menyatakan dengan serius tapi mengena dalam menyikapi kasus pelanggaran hukum guna mewujudkan kemaslahatan hidup bersama. Ketika melaksanakan ajaran, umat tidak dipersukar menerima ajaran dengan memberi contoh praktis seperti bagaimana "mendirikan shalat" di awal waktunya: tepat pelaksanaan, menyatu dalam bahasa dan

7 Dikatakan diantaranya, karena tidak semua sahabat atau orang yang hidup pada masa Nabi, meriwayatkan hadis. Umumnya dimaklumi, bahwa menjadi periwayat hadis, tidak sekedar karena biasa bicara lantas disebut periwayat hadis. Di situ diisyaratkan memiliki komitmen kuat keislaman, untuk menyandang predikat periwayat. Diantara mereka yang tidak digolongkan sahabat, juga tidak layak disebut periwayat adalah Abu Lahab, Abu Jahal, dan segenap musyrikin yang memusuhi Islam. Sekalipun mereka “pernah hidup semasa dengan Nabi,” namun tidak termasuk orang yang meninggal dalam keadaan beragama Islam. Jadi, disamping bukan sahabat mereka juga bukan muslim, sehingga otomatis tidak bisa disebut periwayat.

8 Sunggingan "senyum ramah" yang menampakkan deretan gigi ke samping itu, disebut oleh Nabi sebagai "sedekah" (tabassumuka 'ala wajhi akhika bihi shadaqah) yang kemudian ternyata dikenal: menjadi obat ampuh penangkal stress pada masa sekarang, tak lain adalah ajaran Nabi saw juga.

Page 13: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

ucapan, sehingga kompak; mengeluakan "zakat" seperti yang dicontohkannya; "berpuasa" dengan berniat yang diberi contoh patokan melakukannya; "berhaji" seperti dicontohkan Nabi saw di dalam praktek manasik hajinya. Menghadapi kehidupan kolektif bersama sahabat, Nabi saw bersikap aktif hingga penghormatan selalu berbalas hormat. Misalkan, ketika hidangan di suatu pertemuan sudah siap disantap, Nabi saw dimohon bersama menyantap hidangan berlauk dlab yang sangat disuka kebanyakan sahabat. Untuk menyataan keengganan karena tidak biasa menyantap bersama lauk dlab yang secara hukum "halal" dimakan, ajakan makan itu tidak serta merta ditolak Nabi saw, melainkan dijawab dengan tidak ikut menyantap bersama, karena Nabi saw tidak biasa menyantap ikan itu. Artinya, itu berisi isyarat silakan hidangan disantap-nikmati; tidak usah rikuh [walau Nabi ada di situ], pertanda dari persetujuan (taqrir) nya. Sudah biasa dipahami, kalau dalam hadis akhirnya terlukis jelas: bagaimana sahabat me-nyandarkan sesuatu kepada Nabi saw dari apa yang dilihat atau diamatai sendiri mengenai ketampanan Nabi, gaya bertutur, sosok fisiknya, kebiasaan mengajarnya di berbagai forum, yang membuat orang betah duduk berlama-lama menyimak ajaran Nabi. Ini yang kemudian dikenal dengan persifatan, cita-cita, dan karakter (shifat dan hammiyah) Nabi saw.

Oleh karena itu, terlalu bagus bagi peminat kebenaran untuk melewatkan zaman Nabi saw atau generasi sahabat dalam memahami ajaran Islam yang utuh dan aplikatif. Sebab sahabat pada masa itu, bukan saja menyaksikan sendiri pernyataan Nabi saw, pengamalan, persetujuan dan sifat-sifatnya, melainkan juga mengaplikasikan yang dilihatnya itu langsung di sekitar Nabi saw.

Wujud konkritnya, kehidupan mereka dalam beragama semakin lama semakin membaik dan aktivitasnya benar-benar eksis dan berdaya. Nabi saw sendiri menamakan zaman itu khar al-qurun (kurun terbaik); 'sebaik baik masa adalah masa dimana orang bisa hidup bersamaku, generasiku itu dalam upaya mereguk ajaran berkualitas, yakni al-Quran dan hadis. Karena pada masa itu, semua yang mengait dengan wahyu kenabian bisa ditimba langsung dalam pengalaman bersama Nabi saw. Data sejarahnya tergolong valid, yang sangat tinggi nilainya, layak dikutip, diikuti, dan direalisasikan bagi kehidupan nyata sesudah masa

Page 14: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Nabi saw. Fakta itulah yang dicatat menjadi data emas sejarah umat manusia, yang berisi goresan tinta emas ajaran yang dialami oleh sahabat Nabi saw.

Itu pula masa Nabi saw, dimana para sahabat memperoleh penerang langsung dan penjelas keagamaan melalui hadis di samping Al-Quran sendiri dan hadapan Nabi, sehingga menjadi sumber ajaran dan pedoman bagi menghadapi kehidupan. Tak satu pun fakta terpercaya meragukan kelaikan generasi sahabat.

Kondisi kehidupan zaman Nabi saw di atas, mudah dipahami jika dibawa dalam dimensi pendidikan. Pengajar umat pada masa Nabi itu tak lain adalah Nabi saw sendiri, yang menerima ilmu dari sang Maha Guru (Allah Swt), melalui wahyu yang tu-run disaksikan oleh para murid. Kurikulumny adalah ajaran Islam yang bermisi rahmat bagi seluruh alam (rahmat li al-alamin), yang dirujuk dari sumber Al-Quran dan penjelasan Nabi (hadits), yang substansinya selalu seimbang antara yang qauli dan kauni. Metodenya variatif sesuai kebutuhan seperti: soal-jawab, dialog, kasus, ceramah, dan evaluasi. Sementara muridnya. adalah para sahabat, yang rata-rata berdaya ingatan kuat (dlabit); banyak di antara mereka yang sudah mampu menulis, sehingga untuk memperoleh materi keilmuan mengenainya di masa sekarang, bahan keterangan tertulis di masanya layak dijadikan sumber data. Mereka tidak layak dinafikan sebagai murid Nabi saw9 pada saat itu. Jika ada kekurangan, terutama yang sekarang dikenal sebagai periwayat hadis, hal itu tidak sampai mengurangi martabat sebagai periwayat hadis. Semua keterangan yang memuat data di sekitar Nabi saw, yang diungkap para sahabat yang pernah hidup bersama Nabi saw dan para pengikutnya, dikategorikan sebagai laporan yang disandarkan kepada Nabi (hadits).

Dalam istilah teknis, hadis itu menurut arti bahasa al-Jadid (yang baru; suatu yang baru wujud sekitar masa Nabi saw); al-Qarib (yang dekat; suatu yang dekat dengan kehidupan Nabi saw), dan al-Khabar (berita atau laporan). Dengan arti terakhir, hadis kemudian dikenal dengan laporan seputar kehidupan Nabi saw.

Dalam rumusan istilah, para ahli hadis menyebut hadis dengan 9 Temuan hasil penelitian Syekh al-A'zhami, menyebutkan bahwa jumlah sahabat

yang memiliki rekaman hadis 58 orang; jumlah yang rak bisa dibilang sedikit.

Page 15: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

suatu laporan, misalnya mereka menyatakan, hadis adalah:

(dalil)10

Segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi saw berupa pernyataan, perbuatan, penetapan, atau sifat perangai alau perilaku, atau perjalanan hidup, baik sebelum masa kenabian seperti bersemedi Nabi saw di Gua Hira atau sesudabnya.

Dengan rumusan teknis lain yang mirip dengan arti di atas, para ahli hadis mengatakan bahwa hadis adalah:

11(dalil)

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, penelapan atau yang semisalnya.

Dari rumusan di atas terlihat bahwa arti hadis itu dapat dipahami baik dari kata sesuatu atau segala sesuatu yang disandarkan atau dibubungkan (ma udlifa; ma utsira) kepada Nabi saw. Di situ, ada fakta historis yang dengan kesadaran periwayat hadis harus dihubungkan kepada Nabi. Artinya, melalui "data yang diperoleh" periwayat hadis menyampaikan suatu riwayat yang berasal dari Nabi saw, dan apa yang dinyatakan Nabi, dilakukannya, yang disetujuinya serta pengamatannya12 sendiri atau periwayat lain.

Dari arti di atas, maka menyandarkan dan menghubungkan sesuatu kepada Nabi saw itu bukan berarti bahwa periwayat me-

10 Lihat misalnya, Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, al-Snnnah Qabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401/1981), hlm. 16; Mushthafa al-Siba'i, al-Sunnah ma Makanatuha fi al-Tasjri'i d-Islami, Beirut: al-Maktab al-Islami, hlm. 47.

11 "Muhammad Mahfiazh al-Tirmisi, Manhaj Dzaw al-Nazhar, (Surabaya: Maktabah al-Nabhaniyyah, [tth]), hlm. 7.

12 Yang terakhir ini (terkesan tak layak Nabi saw menyuguhkan data tentang akunya kepada lainnya), maka bisa dipahami jika itu disarnpaikan oleh periwayat dari hasil pengarnatannya tentang pribadi Nabi saw. Jadi, jika pada data qauliyah fi’liyah, dan taqririyah itu Nabi saw langsung direkam oleh para periwayat seperti apa adanya secara langsung, retapi untuk yang terakhir adalah berdasarkan rekonstruksi sahabat dari data hasil pengamatannya berkaitan dengan persifatan dan cita-cita Nabi saw.

Page 16: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

rekonstruksi sesuatu persis seperti sejarawan merekonstruksi se-suatu dari yang asalnya belum ada menjadi ada, sebagai analog dengan peristiwa kesejarahan pada umumnya.13 'Akan tetapi, dalam konteks itu, periwayat hadis menyandarkan sesuatu ke-pada Nabi saw, memang karena Nabi saw pernah menyatakan demikian dalam sabda (qauliyah)nya, pernah melakukan dalam perilaku ('ama/iyah)-nya, pernah menyetujui begitu di hadapan sahabatnya (taqrir)-nya, serta pernah terlihat demikian dalam sifat atau perilaku Nabi (shifat, nahwaha)-nya. Jadi, semua merupakan sesuatu yang jelas sandaran atau penghubungan kepada Nabi saw, yang lazim disebut laporan yaitu "sesuatu yang dibawa kembali sebagai data yang benar mcngenai diri Nabi saw".14

Hal di atas sekaligus menepis pernyataan yang pernah terlontar di antara pengamat hadis. Misalkan, dia menyatakan bahwa hadis itu adalah barang yang keterucut ada dan diadakan oleh seseorang kemudian disandarkan atas nama Nabi saw, dalam memahami makna kata ma udlifa.

Dalam studi kritis, pernyataan yang bersifat menilai layak diberi tempat, karena berguna untuk melatih keberanian berpendapat secara akademik. Namun dalam hubungan dengan pengamalan ajaran di kakngan umum, tak semua pernyataan layak dilontar, karena bisa kontraproduktif dan menimbulkan keraguan, sehingga perlu dibatasi. Terkesan dari pernyataan di atas, bahwa semua posisi hadis seakan begitu, karena memiliki redaksi yang tidak sekukuh atau berbeda dengan Al-Quran, dan karena hadis dibukukan jauh setelah AJ-Quran. Ucapan demikian, pada satu sisi terkesan bercanda, namun dalam pengamatan yang cermat, hal itu bernuansa peraguan atau adanya keidakyakinan terhadap data yang pernah ada yang dijadikan bahan laporan sekitar Nabi saw. Padahal, hadis itu dalam kenyataan identik dengan naskah laporan berisi data di sekitar Nabi saw yang himpunan

13 Kecuali mengenai persifatan Nabi saw (aw nahwaha); karena untuk mengetahui data yang demikian tidak mungkin Nabi saw sendiri yang mengatakan. Maka datanya, dapat diperoleh dari orang-orang yang pernah mengetahui Nabi saw dan benman serta wafat di dalam Islam, yang dikenal dengan sahabat (shahabat).

14 Lihat misalnya, M. Erfan Soebahar, op. cit. (Menguak Fakta), hlm. 216-217.

Page 17: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

rnengenainya dijilid dalam format buku. Kebenaran muatanya tidak sukar dicerna akal sehat. Kalau redaksinya ada yang keliru, hal itu ddak sukar diuji, baik dengan redaksi Al-Quran sebagai sumber ajaran pertama maupun kenyataan yang berkembang di dalam kehidupan. Karena itu, hadis identik dengan penjelasan ayat Tuhan yang Qur'ani serta yang kauni di dalam kehidupan. Adapun jika ditemukan fakta bahwa redaksinya berbeda dengan Al-Quran, dan pembukuannya dilakukan pada beberapa dekade belakangan dari Al-Quran, itu sebenarnya masih bisa dipertegas. Bahwa bukankah sesuatu yang menjadi penjelas ajaran itu mesti mempunyai bahasa yang variatif dan memiliki banyak pola, sehingga pada tingkat kerumitan atau kemusykilan seperti apapun ayat-ayat Al-Qur-an banyak bersifat global itu, tetap bisa dijelaskan dengan hadis yang bergaya kasuistik, bertutur, tanya jawab, dialog, yang pendek namun bernas, juga yang panjang, untuk penjelas persoalan yang menghendaki penjelasan dengan jawaban mumpuni. Kalau saja ada kebohongan yang terjadi mengenai hadis, bukankah sekarang sudah ada studi kritis yang mudah dilakukan untuk mengecek validitas suatu hadis.

Jelasnya, sebagai naskah laporan di seputar Nabi saw, hadis dari sudut pandang periwayat, merupakan dokumen data pernyataan (qauliyab), perbuatan (fi'liyah}, persetujuan (taqririyah), dan persifatan atau perilaku (shifat; nahwaha). Semua data yang lolos seleksi merupakan laporan otentik di sekitar Nabi saw yang bermanfaat, mengenai sesuatu yang terhubung dan disandarkan

Page 18: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

sebagai naskah laporan di seputar Nabi saw,

hadis dari sudut pandang periwayat, merupakan

dokumen data pernyataan (qauliyah), perbuatan

(fi'tiyah), persetujuan (taqririyah), dan persifatan atau

cita-cita (nahwaha; hammiyah). Semua data yang lolos

seleksi merupakan laporan otentik di sekitar Nabi saw

yang bermanfaat, mengenai suatu yang terhubung dan

disandarkan kepada Nabi saw. Isinya, yang disebut

sunnah, memuat ajaran keagamaan, Artinya, sunnah

itu suatu ajaran keagamaan yang faktanya termuat

secara detail dalam hadis, yang mencakup pe-san

keagamaan untuk menjalani kehidupan,

Jika sunnah dibedakan dengan hadis, esensinya

mengarah kepada arti bahwa sunnah adaiah isi hadis,

sementara hadis meru-pakan rumusan naskah yang

merekam, dan melaporkan sunnah itu. Jadi melalui

hadis, segala sesuatu dari Nabi saw- sebagai laporan

pernyatakan, perilaku, persetujuan, tampilan fisiknya -

dapat kita ketahui.

Page 19: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

kepada Nabi saw. Isinya, yang disebut sunnah, memuat ajaran keagamaan. Artinya, sunnah itu suatu ajaran keagamaan yang faktanya termuat secara detail dalam hadis, yang mencakup pe-san keagamaan untuk menjalani kehidupan.

Jika sunnah dibedakan dengan hadis, esensinya mengarah kepada arti bahwa sunnah adalah isi hadis, sementara hadis meru-pakan rumusan naskah yang merekam, dan melaporkan sunnah itu. Jadi melalui hadis, segala sesuatu dari Nabi saw - sebagai laporan pernyatakan, perilaku, persetujuan, tampilan fisiknya - dapat kita ketahui.

Muhadditsun

Menyebutkan muhadditsun, maka itu seperti disebut di muka dimaksudkan mereka yang banyak menekuni secara detail tugas-tugas yang mengait dengan laporan (hadis). Maka dari muhaditsun, hadis-hadis menyebar ke tengah-tengah masyarakat untuk kehi-dupan umat, tak terkecuali zaman Nabi saw, zaman ketika hadis dibukukan, juga zaman kita sekarang. Karena hadis, seperti halnya Al-Quran adalah untuk dijadikan sumber ajaran dan pegangan umat bagi mcnghadapi kehidupan.

Dari penghadapan itu terlihat hadis menjadi "fungsional," yakni diaktualkan atau diterapkan di dalam kehidupan umat. Bahkan, ada yang "tidak fungsional," tidak difungsikan karena maudlu’ (buatan); atau yang dalam kenyataan berhadapan dengan internal atau pihak ikternal, sedang yang dominan dalam pengha-dapan itu faktor peraguan terhadap hadis. Namun, yang pasti hadis itu tetap menjadi naskah yang mewujud di antara kita; ber-dialog dengan zaman, baik sebelum menjadi naskah dalam kitab-kitab hadis atau pun sesudah menjadi kitab hadis induk yang sembilan (Kutub al-Tis'ah).

Dalam wujud laporan, hadis diterima dan mudah menjadi amalan umat pada masanya. Pada masa Nabi saw, hadis tinggal menjalankan dalam kehidupan, karena disamping banyak dihafal ia juga ditulis di kalangan sebagian sahabat, hingga tidak sulit diamalkan dalam kehidupan. Di samping itu, umum dipahami kalangan pendidik, bahwa syarat menjadi pengajar yang baik, harus mampu menjelaskan materi

Page 20: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

yang disampaikan.Aktivitas menjelaskan yang menggunakan ungkapan hadis

variatif, mempermudah pemahaman dan pengamalan Al-Quran. Dari sudut redaksional, hadis yang diungkap dalam banyak bentuk: tanya jawab,15 kasuistik,16 dialog,17 pernyataan prediktif,18 pernyataan hipotesis,19 bentuk evaluatif,20 dan lain-lain, membuat nya mudah dijalankan dalam hubungan dengan al-Quran.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami posisi muhadditsun dalam menjalankan tugas menyebarkan hadis di tengah-tengah kehidupan. Dalam menghadapi hidup di tengah-tengah umat, mubadditsun tidak berjalan sendirian. Mereka, banyak bersifat sebagai "pengawal" umat dalam beramal dengan hadis - sebagai ajaran dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Di dalam kehidupan itu, mereka berinteraksi dengan umat yang berpemerintahan; yang selalu mendekat dan membimbing secara moral melalui penyampaian segi-segi konseptual ajaran hadis, juga meluruskan hal-hal yang dilihat bengkok dalam

15 Misalnya, hadis riwayat Ibnu Mas'ud yang menjelaskan kapan tepatnya shalat dilakukan. Ketika dia menanya amal apa yang palmg disuka oleh Allah. Nabi saw menjawab. "Shalat pada awal waktunya'' (Shahih al-Bukhari, Bab Kitab al-Adab)

16 Bagaimana cara Nabi saw mandi besar (jinabah). Dalam hadis riwayat 'Ai-syah ra dinyatakan, "Bahwa Nabi saw apabila mandi jenabat mulai dengan membasuh kedua tangannya, lalu berwudu seperti akan melakukan salat, lalu memasukkan jemarinya ke dalam air, lalu menyeka rambutnya, kemudian menuangkan air ke kepala baru ke sekujur badannya" (Sbabib al-Bukhari, Kitab al-Ghusl), dll.

17 Misalnya, hadis yang menyuruh menolong orang yang "menzhalimi." Hadis itu menantang persoalan, yang layak ditanyakan oleh sahabat, karena mengandung informasi dialogis baik didiskusikan lebih lanjut. Sejauh ini yang mesti ditolong dalam pemahaman urnutn, bagi yang dizhalimi, sedang yang menzhalimi bagaimana menolongnya? Jawab Nabi saw, "Cegah ia melakukan perbuatan menzhalimi itu." Tegas Nabi saw : (dalil)

18 Ketika kepada Nabi ditanyakan tanda-tanda akan datangnya Hari Kiamat, Nabi memprediksi, "Apabila budak wanita telah melahirkan anak tuannya, dan Anda menyaksikan orang-orang gembel mampu membangun singgasana bertingkat" (dalil)

19 Hadis riwayat Harisah bin Wahab, Nabi menyuruh bersadaqah karena akan terjadi masa orang-orang menolak sadaqah, karena tak diperlukan pada masa itu (dalil)

20 Misalnya hadis riwayat 'Umar ibn al-Khattab, soal jawab "evaluatif' antara Malaikat Jibril yang datang menyerupai laki-laki dengan Nabi yang berada di tengah para sahabat; menanyakan apa itu iman, Islam, dan ihsan, dsb. Hadis tersebut memperjelas detail rukun Islatn, rukun iman, ihsan, hingga ke Hari Kemudian yang tidak disebut detailnya dalam Al-Quran. Lihat Shabib Muslim, Kitab al-lman.

Page 21: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

kehidupan. Sub-stansinya, laksana guru bangsa yang mengawal ajaran berjalan lurus; mengarahkan umat yang berada di jalan yang sesat sesuai dengan budaya nash (hadlarat al-nash) untuk kembali ke hal-hal yang baku sesuai dengan maksud asalnya di masa Nabi saw, namun tetap dipahami secara lurus dalam konteks sekarang; di situlah asumsi-asumsi berjalan di sekitar pemahaman ajaran, paradigmanya menjadi penguak pemahamannya, dan kemampuannya menjalan kan ajaran dihargai sesuai kemampuannya. Namun, tujuannya tetap satu yaitu melakukan ikhtiar untuk memperoleh ridla Allah Swt. Di situ stempel aliran umat juga dikenal, tetapi pemahaman Islam sebagai rabmat li al-'alamin tetap berjalan, sehingga solusi bagi kehidupan tetap diberikan hingga ke akhir zaman. Para umat di mata muhadditsun itu bermartabat sama, sedang yang membedakannya adalah taqwa seperti dite-gaskan Penciptanya. Dalam gambaran sosok ideal seperti itu, rumusan muhaddits, dengan jamak muhadditsun, akhirnya dikenal.

Dalam bahasa teknis, studi hadis memperkenalkan siapa muhadditsun itu. Muhadditsun, jama' dari Muhaddits, dalam pengertian sekarang adalah: orang [orang-orang] yang melaksanakan aktivitas periwayatan hadis, yang memiliki penguasaan luas dan detail mengenai studi hadis, seperti bidang riwayah dan dirayah, mampu membedakan dengan benar hadis yang shahib, hasan, dlaif, serta maudlu’, mampu mengetahui yang mu'talij dan mukhtalifnya, dan juga mampu menguasai minimal 1.000 hadis baik sanad, matan, maupun perawinya yang digali di kitab-kitab hadis dan program lain seperti CD dan yang semisalnya. 21Mereka tetap memiliki posisi penting di dalam kehidupan ini, yang dengannya hadis tetap menjadi jelas dalam berhadapan dengan tanganan kehidupan.

Dalam melakukan tugas di bidang hadis, muhadditsun merupakan personal-personal yang peduli terhadap pelestarian hadis. Penguasaan yang luas dalam referensi hadis, menjadikannya tidak mudah goyah dalam mendudukkan posisi hadis dalam kehidupan. Karena hadis, sejak awal kehadirannya di masa Nabi saw hingga sekarang, tatap di posisi yang tak bisa dipisah dengan Al-Quran. Di belakang posisi itu, hadis

21 Lihat, misalnya, Moh. Erfan Soebahar, “Muhadditsun dan Tanggung Jawab Moral Penulisan Kitab-kitab Hadis”, Orasi Ilmiah dalam Rangka Dies Natalis IAIN Walisongo XXXIV, tanggal 7 April 2004, hlm. 4.

Page 22: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

tetap dikawalnya, hingga tetap sesuai penegasan nash Al-Quran dan hadis itu sendiri.

Posisinya dalam disiplin hadis, tetap mendudukkan ilmu hadis dijalurnya. Mereka tegak berdiri di hadapan peradaban yang dihadapinya, baik selaku muhaddis atau muhadditsun yang bisa menyumbangkan pandangan kepada peradaban. Menghadapi peradaban teks (hadlarat al-nash), bidangnya, dikuaklah pemahaman tekstual dan kontekstual, mereka tampil diri di situ berbicara sehingga dapatlah diputuskanan misalnya diktum suatu fatwa; ketika menghadapi peradaban dialog (hadlarat al-kalam) yang mendialogkan teks bagi kehidupan yang melahirkan pemahaman teologis muhadditsun tahu posisinya dan bisa menyumbangkan pandangan keahlian dalam sorotan bidangnya; begitu ketika menghadapi peradaban falsafah (hadlarat al-falsafah) yang mendudukan nash dalam konteks kehidupan dunia luas, mereka tidak memborong pembicaraan. Mereka tahu posisi, bahwa itu wewenang lebih leluasa bagi bidang lain membicarakannya. Jadi, membicarakan persoalan yang mengait dengan teks atau nash perlu memegang etik peradaban nash, alam, dan falsafah. Menghormati etika ini membawa pelakunya tetap memiliki gesah keilmuan, tidak khawatir “kehilangan muka” karena pernyataan tetap diaris keahlian yang dibinanya dalam kehidupan.

Kedudukan HadisDalam hubungan dengan Al-Quran sebagai sumber ajaran

keagamaan, hadis itu dilihat dari sudut materi yang dimuatnya, paling tidak memiliki tiga peran, yaitu:1. Menguatkan (muakkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan

di dalam Al-Quran. Dengan demikian, hukum pe-ristiwa tersebut ditetapkan oleh dua sumber sekaligus, yakni Al-Quran sebagai sumber penetap hukum, sementara hadis sebagai sumber penguat hukumnya. Misalnya, ketentuan shalat dan zakat, dikuatkan hukumnya dalam hadis. Misalnya, mengenai shalat disebutkan dalam Al-Quran:

(dalil)

Page 23: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Dan dirikanlah shalat serta keluarkanlah zakat (Q.S. al-Nisa': 77)

Di dalam banyak hadis, ketentuan di atas diperkokoh ketentuan-ketentuannya; tak ada ketentuan yang bertentangan satu dengan yang lain.

2. Memberikan penjelasan (hayan) ayat-ayat Al-Quran, yakni dengan memberikan perincian ayat yang masih mujmal. Misalnya, perintah shalat dalam Al-Quran Surat al-Nisa': 103 masih mujmal:

Maka dirikankanlah shalat. Sesungguhtya shalat itu bagi orang-orang mukmin adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya (Q.S. al-Nisa': 103).

Kemudian shalat itu oleh Rasulullah saw diterangkan waktu-waktunya, jumlah rakaatnya, syarat-syarat dan rukunnya, dengan mempraktikkan shalat itu, yang setelahnya diikuti dengan sabdanya:

(dalil)

Shalatlah kamu yang seperti yang kamu lihat bagaimana aku melakukan shalat (H.R. al-Bukhari)

3. Menciptakan hukum baru yang tidak terdapat di dalam Al-Quran. Misalnya, hadis menetapkan hukum haram memakan daging binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat, scperti dalam hadis yang diriwayatkan olch Ibnu 'Abbas yang di-takhrij oleh Muslim sbb:

(dalil)

Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari binatang buas, dan setiap binatang yang dapat menyimpan kuku kuat dari golongan burung (H.R. Muslim dari Ibn Abbas)

Kedudukan hadis di atas jelas dipahami dengan diketahui dari

Page 24: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

teksnya yang variatif, yakni disamping ada yang pendek dan padat isi (jawami al-kalim), hadis juga yang lebih konkrit, sehingga mampu untuk memperjelas ketentuan Al-Quran. Dari situ, baik yang menyangkut bidang akidah, ibadah, mu'amalah, akhlak, yang termuat dalam Al-Quran dapat ditemukan pcnjelasan de-tailnya dalam hadis Nabi saw.

Kedudukan hadis di atas berlaku sepanjang zaman, sebagai sumber hukum dan sekaligus sumber ajaran keagamaan, bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan. Yaitu, kehidupan yang bertumpu ke pencapaian maslahat. Dcngan mendudukkan hadis pada posisinya, maka ajaran keagamaan akan berjalan mantap; tidak berjalan dalam keraguan. Karena keraguan melumpuhkan keyakinan, sehingga ia mesti ditinggal agar orang sukses berprestasi mengarungi kehidupan. Nabi saw bersabda,

(dalil)

Tinggalkan apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu (H.R. al-Turmudzi dari Hasan bin 'Ali)

Meninggalkan apapun yang meragukan baik daiam pernya-taan ataupun perilaku dan hanya mengerjakan yang diyakini, dapat membuat seseorang memiliki aura keberanian yang dihargai dalam kehidupan, karena itu sejalan dengan ajaran kebenaran.

Jadi, sudah waktunya ajaran atau pemahaman yang kcliru menurut pcdoman agama yang timbul dari pcmikkan keliru, scgera dikembalikkan ke jalan yang benar. Dan pada gilirannya, hadis sebagai sumber ajaran Islam yang benar, mesti didudukkan pada posisi yang layak bagi terwujudnya kehidupan yang drahmati Tuhan semesta alam.

Page 25: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Karena untuk kehidupan umat,maka tidak cukup jika dalam merespons hanya

untuk diwacanakan apalagi dipolemikkan, melainkanharus sampai menyentuh kehidupan nyata

pengamalan ajaran keagamaan. Itulah yang dihadapiMuhadditsun yang dalam pemecahannya perluberbekal disiplin ilmu hadis yang mendalam,

disamping juga kepedulian untuk tetapmendudukkan hadis pada proporsinya.

Pada setiap zaman dimana mereka berada,komitmennya tetap ditantang, baik

untuk mendudukkan hadis di hadapanmasyarakat plural, maupun menghadapipersoalan yang dijawab bagi pengamalan

ajaran dalam kehidupan di sekitarsumber ajaran keagamaan.

Page 26: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

BAB 3KONDISI TANTANGAN SUMBER AJARAN

KEAGAMAAN PADA ERA NABI, KODIFIKASI, DAN INFORMASI

Kehidupan merupakan universitas pengalaman yang memuat aneka persoalan minta dihadapi dengan respons yang bijaksana bagi kehidupan umat. Karena untuk kehidupan umat, maka tidak cukup jika dalam merespons hanya untuk diwacanakan apalagi dipolemikkan, melainkan harus sampai menyentuh kehidupan nyala pengamalan ajaran keagamaan. Ilulah yang dibadapi Muhadditsun yang dalam pemecahannya perlu berbekal disiplin ilmu hadis yang mendalam, disamping juga kepedulian untuk tetap mendudukkan hadis pada proporsinya. Pada setiap zaman dimana mereka berada, komitmennya tetap ditantang, baik untuk mendudukkan hadis di hadapan masyarakat plural, maupun menghadapi persoalan yang dijawab bagi pengamalan ajaran dalam kehidupan di sekitar sumber ajaran keagamaan.

Pada masa Nabi saw, di sekitar hadis bukan dengan sendirinya tanpa persoalan. Karena persoalan itu sendiri adalah sunnatullah yang jika berhasil dipecahkan dengan tepat, memiliki keberartian di hadapan zaman. Sumbcr ajaran Al-Quran dan Hadis, yang mestinya dibukukan bersamaan, tetapi diputuskan bahwa Al-Quran didahulukan kodifikasinya (al-jami'al-Qu'ran) atas kodifikasi hadis (Tadwin al-Hadits) pada kesempatan lain, sudah adalah persoalan. Keputusan itu di satu sisi merupakan pilihan zaman bahwa Al-Quran sejak awal harus ditulis untuk kemudian dikodifikasi, sedang pada sisi lain hadis yang juga sumber ajaran yang harus dipegangi umat masa Nabi saw, ditunda penulisan dan kodifikasinya ke masa lain. Padahal langkah itu sebenarnya juga persoalan, setidaknya di pundak pada sahabat dan generasi yang hidup sesudahnya.

Persoalan penundaan kodifikasi sumber ajaran keagamaan hadis dari masa Nabi saw ke masa yang sesudahnya, merupakan akar persoalan yang tidak mudah dijelaskan, dan itu menjadi tanggung jawab zaman yang relatif panjang. Kondisi-kondisi ke arah pemecahan

Page 27: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

prosesnya terlihat dari respons sedap era berikut ini.

Pada Era Nabi Saw

Pada zaman Nabi saw, hadis tak lain dari profil di sekitar Nabi saw, yang disebut laporan di sekitar Nabi saw. Tampilannya terdiri atas apa yang dinyatakan Nabi saw, yang dipraktekkan Nabi, yang disetujuinya, hingga persifatan dan cita-cita Nabi saw. Dalam kondisi umat berkonsentrasi penuh pada ba-gaimana Al-Quran itu diterima, ditulis lengkap kemudian dikodifikasi resmi, bisa dipahami apa yang layak dinyatakan Nabi saw, misalnya dengan menunjuk di antara sahabat untuk menulis wahyu Al-Quran, seperti Zait bin Tsabit, dan Ibnu Mas'ud.

Pada hadis, penunjukannya tidak demikian, sekalipun sama disadan dari petunjuk Al-Quran bahwa apa yang disampaikan Nabi saw (hadis), tak lain dari wahyu Allah Swt juga.22 Posisi Nabi saw dalam hubungan dengan Al-Quran, menjadikan hadis tak dapat dipisahkan dengan Al-Quran, sehingga dari kedudukan di atas peranan hadis terhadap Al-Quran ibarat dua sisi dari mata uang. Al-Suyuthi menyebut kedudukan hadis sebagai sumber ajaran di samping Al-Quran;23 sebagai sumber ajaran setelah Al-Quran; lainya menyebut sumber ajaran setelah Al-Quran. Jelasnya, kedudukan hadis dalam hubungan dengan Al-Quran, cukup jelas sehingga harus dipertahankan bagi kehidupan umat.

Dengan perbedaan proses penulisan dan kodiflkasi demi-kian, hadis ada dalam kondisi yang menuntut perhatian lebih konkrit dari mubadditsun. Paling tidak, menuntut jawaban ber-bentuk asumrif untuk dipegangi oleh generasi sahabat dan sesu-dahnya agar tugas antar generasi hadis dapat dijawab untuk dija-dikan pegangan bagi mendudukan hadis secara proporsional di samping AJ-Quran. Karena, tanpa asumsi yang benar, sulit bagi generasi kemudian melanjutkan

22 Lihat Q.S. Al-Najm (53): 3-4: Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahya yang diwahyukan (kepadanya).

23 Lihat al-Suyuthi, Muftah al-Jannah fi Ihtijaj bi al-Sunnah (Madinah al-Munawarah: Mathba’ah al-Rasyid, 1399/1979).

Page 28: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

perjuangan: menulis dan meng-kodifikasi hadis seperti yatig dilakukan umat Islam periode awal terhadap Al-Quran. Jadi, pada masa Nabi saw persoalan asumtif menjadi agenda zaman muhadditsun yang mesti dipecahkan di samping mengamalkan hadis itu bagi kehidupan.

Sementara itu, untuk asumsi tersebut, Nabi saw menyampaikan isyarat pemecahan melalui sejumlah pernyataan dengan pelarangan dan suruhan. Misalnya, ada hadis yang melarang sahabat menulis sesuatu selain Al-Quran. Tetapi, pada hadis dimaksud setelah dilacak, ternyata ada illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang di dalamnya bercampur antara Al-Quran dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi saw di hadis lain, Nabi saw justru menyuruh untuk, menuliskan hadis. Misalnya, hadis yang menyuruh sahabat menulis hadis kepada Abu Syah; juga menulis kepada Ayah si Fulan. Dalam kesempatan lain, Nabi saw menyuruh sahabat menuliskan suratnya kepada para Raja Persi, Najasi, dll. Logika kondisi di atas, kalau ada sesuatu yang pada awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu dalam hal ini penulisan dan pelestarian sumber ajaran kcagamaan dimaksud. Ini juga berarti bahwa Nabi saw mengiyaratkan perlunya penggunaan kecerdasan emosional dalam memahami pcrintah keagamaan. Bukankah pada tokoh sehebat Nabi Muhammad saw, juga layak dikodifikasi apa yang menjadi hadisnya, sedang hal itu sudah menjadi sunnah Rasul saw yang dituangkan dalam kitab suci (al-Najm 11).

Dari pengamatan dan perenungan mendalam terhadap pembacaan sejumlah literatur dapat dipahami apa asumsi yang dipetik oleh muhadditsun era Nabi saw (shahahaf) dari emperi batinnya24 dalam merespons persoalan apa yang menjadi agenda umat pada masa Nabi saw.

24 Istilah ini dipinjam dari penyampaian Prof Noeng Muhadjir, di sejumlah penataran, diskusi, dan pelatihan bahwa hal empirik itu bukan hanya yang kasat mata, melainkan juga yang tak tampak di pengliha mat terapi ada dalam kenyataan di yang bekasannya sudah tertulis dalam buku-buku dan kitab-kitab.

Page 29: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Dari pengamatan terhadap

banyak sumber, maka asumsi yang

dipegangi muhadditsun dan umat Islam

era Nabi saw dapatlah dirumuskan yaitu:

ada kesepakatan batin umat untuk menghadapi

tantangan sumber ajaran keagamaan, bahwa

selain membukukan Al-Quran

mereka juga sepakat membukukan hadis

pacfa waktu yang tidak sepakat dengan

pembukuan Al-Quran; mereka juga bertekad

menyelesaikan persoalan

kedua nash itu untuk menghadapi

tantangan kehidupan umat

masa kemudian.

Page 30: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Dari emperi batin terdalam sahabat disadari, bahwa dalam kondisi Al-Quran 6.000 ayat lebih itu diproses kodifikasi di masa perangkat tulis sukar belum seefektif sekarang, maka menyadari ridak pedunya bersamaan waktu kodifikasi hadis dengan al-Quran adalah sikap yang bijak. Sekalipun, disadarinya juga wa pengambilan langkah itu juga beresiko akan mendatangkan persoalan lain sesudahnya.

Karena, hanya persoalan kodifikasi massal bagi hadis yang tidak dilakukan, sementara penulisan secara individual tidak dilarang asal saja sudah dipenuhi persyaratannya. Itu berarti bahwa untuk kepcntingan pengamalan, sahabat-sahabat yang mampu menulis dibolehkan menulis hadis pada masa Nabi saw. Sehubungan dcngan itu, bisa dipahami bila cukup banyak sahabat yang melakukan penulisan hadis secara individual, yang di kemudian hari menjadi bahan berharga bagi penyempurnaan kodifikasi hadis secara massal.

Dari pengamatan terhadap banyak sumber, maka asumsi yang dipegangi muhaddttsun dan umat Islam era Nabi saw dapat lah dirumuskan yaitu: ada kesepakatan batin umat untuk menghadapi tantangan sumber ajaran keagamaan, bahvva selain mem-bukukan Al-Quran mereka juga sepakat membukukan hadis pada waktu yang tidak sepaket25 dengan pembukuan Al-Quran; mereka juga bertekad menyelesaikan persoalan kedua nash itu untuk menghadapi tantangan kehidupan umat masa kemudian.

Respons asumtif di atas tentu perlu aktualitas bagi pembuktikan signifikansinya di dalam kenyataan. Aktualisasinya ditemukan, setelah umat bersama muhadditsun bergelut aktif dengan teks-teks manusknp hadis, yang pada era kemudian diimbangi dengan prestasi gemilang dengan "membalik paradigma", seperti diuraikan dalam beberapa paragraf di subbab berikutnya.

Bagaimana respons muhadditsun pada era kodifikasi hadis? Persoalan ini menuntut jawaban muhadditsun tentang bagaimana kondisi hadis pasca wafat Nabi Muhammad saw. Karena tanpa kodifikasi hadis, hafalan kuat suatau ketika bisa diragukan untuk bertahan dalam waktu yang lama.

25 Lihat hal asumtif serupa dalam M.Erfan Soebahar "Cara Menemukan Lafal Matn Hadis dalam Kitab al-Mu'jam dan Kitab Syarh Hadis, jurnalPendidikan Islami. Volume 11, No. 1, Mei 2002, hlm. 128.

Page 31: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Pada Era Kodifikasi Hadis

Setelah wafat Nabi saw, yang kodifikasi Al-Quran sudah memasuki titik-titik ke arah penyelesaiannya, hadis sudah memiliki asumsi bagi ritik awal proses kodifikasi yang juga menuntut kesiapan muhadditsun. Disamping memegangi asumsi di atas, untuk mengakomodasi kebutuhan umat akan petunjuk Al-Quran dalam pemahaman yang utuh, mereka tidak pasif. Karena Al-Quran, hanya bisa dipahami secara utuh bila bergandengan dengan hadis sebagai pengukuh hukum; penjelas isi global; serta pembuat hukum yang menyempurnakan hukum Al-Quran.

Ada pemahaman umum dalam kesadaran umat, bahwa mereka merasa tercerahkan jika telah membaca sendiri hadis tentang bagaimana salat yang benar; mengeluarkan zakat yang sesuai; berpuasa dengan niat yang tepat; juga menunaikan haji dengan melakukan manasik yang telah dicontohkan Nabi; makan "bangkai" yang awalnya diharamkan kemudian menjadi boleh dalam jenis tertentu seperti ikan teri, yakni bangkainya ikan laut, dst. Kesadaran itu logis yang sesuai dengan pemikiran umat. Berpegang asumsi yang disepakari, namun dengan rcdaksi yang berbeda tetapi bermuara pada maksud yang sama, muhadditsun maju selangkah. Dalam kenyataan kemudian, langkah ini sangat membelalakkan penglihatan umat, yang hasilnya disaksikan hingga sekarang. Mereka merasa tidak cukup dengan hanya berpegangan pada asumsi, tetapi lalu mclangkah membuat suatu lompatan sejarah. Yaitu, merumuskan paradigma untuk mewujudkan kodifikasi, yang disertai gebrakan melakukan penelitian untuk mendapatkan naskah hadis dengan melintasi banyak ujian di lapangan dan menyingkirkan banyak rintangan-rintangan.

Page 32: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Dengan menggunakanparadigma dimaksud, cara pandang umat

dalam menatap hadis benar-benar berubah,sehingga aktualitasnya menemukan

bentuk yang sesuai,yaitu terkodifikasinya hadis

dalam kitab-kitab sesuai kemampuan.Paradigmanya yang dirumusan

muhadditsun adalah:"mengubah orientasi dari paradigma tulis yang berkisar kebolehan dan pelarangan penulisan hadis, ke paradigma riset yakni melakukan

penelitian-peneiitian bagi penulisan laporan kitab-kitab hadis untuk memenuhi kehidupan umat"

Page 33: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Memahami dan sekaligus mengantisipasi hadis dalam kondisi di atas, di bawah tema sentral penuiisan dan kodifikasi hadis, muhadditsun mengambil sikap tegas. Yaitu memberi jawaban dengan membalik paradigma, suatu sudut pandangan yang dipedomani bagi mengarahkan kegiatan menuju tujuan yang dikehendaki. Dengan menggunakan paradigma dimaksud, cara pandang umat dalam menatap hadis benar-benar berubah, sehingga aktualitasnya menemukan bentuk yang sesuai, yaitu terkodifikasinya hadis dalam kitab-kitab sesuai kemampuan. Paradigmanya dirumuskan rumuskan oleh muhadditsun adalah: "mengubah orientasi dari paradigma tulis yang berkisar kebolehan dan pelarangan penulisan hadis, ke paradigma riset yakni melakukan penelitian-penelitian bagi penulisan laporan kitab-kitab hadis untuk memenuhi kehidupan umat".26

Dengan paradigma itu muhadditsun menjadi makin proaktif. Geraknya dinamik, karena didukung dengan kenyataan kebijakan yang sangat kondusif di masanya, untuk bergerak cepat: dari kondisi yang mengesankan "bungkam" menghadapi semesta gundukan data27 di sekitar Nabi saw, yang dipermantap dengan melakukan kunjungan-kunjungan untuk mclakukan wawancara (lazim disebut berguru) dan memperoleh data melengkapi penelitian hadis dengan menghubungi sumber data penting para tokoh yang menguasai hadis. Al-Bukhari (w.256 H) misalnya, menggunakan masa 16 tahun melakukan penditian bagi penulisan Shahih al-Bukhari', setelah menyeleksi 600.000-an data yang siperoleh, ia berhasil mcndokumen 3.000-an hadis di dalam laporannya. Begitu pula al-Turmudzi, menempuh penelitian bertahun-tahun hingga membuahkan laporan yang mendokumentasi hampir 4.000 hadis, yang di dalamnya disertai komentar-komentar penting, tentang keshahiban, hasan, serta dlaifnya.

Pada Era Informasi

26 Lihat subbab "Paradigma Tulis ke Riset" dalam M. Erfan Soebahar, op. cit.(Orasi Ilmiah), hlm. 6-11.

27 Dikatakan semesta gundukan data, karena jika data itu dikumpulkan yang masih berupa tulisan manuskrip dalam lembaran-lembaran kulit, lempengan kayu tipis, batu-batu ripis, daun-daun lebar, pelepah kurma, dll.

Page 34: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Menghadapi pasca era kodifikasi hadis, muhadditsun tidak bercuti tugas. Sekalipun tantangan sebelumnya membuahkan hasil yang pembuktiannya di hadapan kehidupan makin menjawab persoalan, kini tantangan datang dalam bentuk lain yang tidak mudah. Tantangan era informasi, atau era global, mengait dengan konsep pembuktian autentisitas hadis yang dikodifikasi, metodalogi kritik hadis, dan sikap menghadapi ilmu dan teknologi.

Kodifikasi hadis selalu dipertanyaan di hadapan peminat studi sejarah. Bagaimana studi yang disebarkan melalui tradisi lisan ke lisan dengan hafalan, yang tidak ditulis pada masa Nabi saw itu menjadi karya terkodifikasi bebcrapa ratus tahun kemudian, dapatkah hal itu dipercaya? Pertanyaan ini tak mudah dijawab dcngan sekali pertemuan.

Menghadapi tantangan itu, tcrutama yang sudah mengkritiknya secara tegas muhadditsun tampil memberi jawaban. Syekh 'Ajjaj al-Khathib melakukan penelitian dan melaporkan hasilnya dalam al-Sunnah Qabi a/-Tadwinya, yang menggunakan bahan-bahan manuskrip di sejumlah perpustakaan di Siria dan negara-negara di Timur Tengah; Musthafa al-Siba'i, meneliti naskah-naskah kitab dan manuskrip daiam rentang masa panjang: dan era Nabi saw hingga era al-Nasa'i, yang diakhiri dengan penulisan disertasi yang terbit dalam judul buku: Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-lslami. Datang kemudian, dalam bentuk penelitian yang menggebuk penelitian sebelumnya yang berbau pe-raguan pada ajaran yang dibawa Nabi saw, yakni dari segi sum-ber ajaran hadis. Syekh al-A'zhami, meneliti scjumlah manuskrip dalam banyak sumber, termasuk sumber primer yang digunakan oleh para peneliti orientalis yang menurut pengakuannya dulu dilarang untuk dilakukan oleh para peneliti muslim sebelumnya. Pengalaman Mantan Kepala Perpustakaan Qatar dan Guru Besar Hadis di Fakultas Pendidikan Universitas Ibnu Saud im dari studi doktoralnya di Universiytas Cambridge, membuahkan laporan yang mengejutkan. Melalui pelacakan yang mantap dan analisis akurat, disertasinya yang kemudian terbit dalam bentuk buku Studies In Early Hadits Literature (1978), atau edisi arabnya Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadw'inih yang diterjemahkan ke tengah-tengah kita dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya membuahkan hasil. Oleh M. Erfan Soebahar, benang merah ketiga tokoh itu didudukkan, di samping

Page 35: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

pembahasannya memposisikan fakta hadis pada proporsinya, dengan menulis hasil penelitian yang kini terbit dalam buku berjudul, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah.

Kebenaran hadis sebagai tantangan yang mesti diselesaikan, pada masa kini sudah terpecahkan karena kitab-kitab hadis sudah selesai disusun.28 Sebanyak 9 kitab, hingga 15 kitab sudah dikenal di Indonesia. Kesembilan kitab dikenal sebagai Kutub al-Tis'ah; sedang yang enam (6) menyebar menjadi kitab yang juga dipergunakan sebagai rujukan yang membantu untuk menopang kepada sembilan kitab yang ada. Bahkan, untuk mengantisipasi keraguan, kitab-kitab yang memuat hadis yang dlojf dan maudlu', pun kini juga sudah disusun. Kesemuanya menjadi karya-karva penting yang menjawab tentang kodifikasi hadis yang kebenarannya boleh saja dipersoalkan, tetapi sudah ada jawaban.

Dalam rangka untuk menanamkan kemantapan pada kitab-kitab di atas, kini kitab-kitab hadis diiringi dengan perangkat lain, yang secara metodologik menyajikan metode penelitian dari hadis-hadis yang disusun. Dari situ, untuk membuktikan kebenaran hadis yang sudah disusun dalam kitab-kitab kita menemukan pembenaran, dari sudut sanad dan matan.

Bahkan, di era teknologi tinggi ini, hadis sudah mengantisi-pasi perkembangan modern dengan pembukuannya dalam CD-CD. Di pasar luas, kita sudah dengan mudah menemukan CD al-Mausu'ah, yang merekam 9 kelompok judul hadis secara detail; CD Maktabah Hadis yang di dalamnya merekam 1.300 kitab hadis; juga al-Bayan yang memuat hadis beserta terjemahnya, dll. Kesemuanya menyebabkan studi hadis masa sekarang mudah ditemukan dalam waktu yang sangat cepat dan mudah.

28 Pernyataan selesai disusun di sini, seridaknya berlaku hingga tanggal 31 Agustus 2005 ini. Karena jika ada data lain yang lebih meyakinkan bahwa masih ada kitab-kitab hadis lain yang datang kemudian setelah pernyataan ini - sedang itu berasal dari informasi yang oleh sementara sumber disebutkan bahwa di Iran masih ada manuskrip naskah hadis-hadis Nabi saw yang belum tergarap - jika itu benar, maka pernyataan selesai disusun berarti bias diralat.

Page 36: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Sebanyak 9 kitab hingga 15 kitabsudah dikenal di indonesia:

(1) Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w.256H),(2) Shahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H),

(3) Sunan Abi Daud karya Imam Abu Daud (w.275 H),(4) Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi (w.279 H),

(5)Sunan al-Nasa'i karya Imam al-Nasa'i (w.303 H),(6) Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah (w.274 H),

(7) Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi (w.255 H),(8) al-Mu-waththa' Malik karya Imam Malik (w. 179 H), (9)

MusnadAhmad karya Imam Ahmad (w. 241 H).Enam kitab lain,

yang juga beredar di Indonesia yaitu:(10) Sunan al-Shaghir karya Imam al-Baihaqi (w.458),

(11) Shahih Ibn Khuzaimah karya Abu BakarIbn Khuzaimah al-Naisaburi (w.311),

(12) al-Mustadrak 'ala al-Shahihain al-Hakim, karyaMuhammad al-Hakim al-Naisaburi (w.405H),

(13) Kitab al-Mu'jam al-Shaghir al-Thabrani karya Sulaimanbin Ahmad al-Thabrani (w. 360),

(14)Kitab al-Umm karya Imam Syafi'i (w.204 H)(15)Kitab al-Kafi karya Muhammad bin Yakkub

al-Kulaini al-Razi (w.328 H).

Page 37: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Bahkan dengan jawaban terakhir di atas, hadis yang semula sukar dikumpulkan lengkap karena menggunungnya data (tulang-tulang, pelepah kurma, potongan kulit-kulit. batu-batu tipis, daun-daun, kertas yang di masa Khalifat Utsman mulai dikenal), kini sudah menjadi karya hadis yang mudah dicerna dan dikenal. Jika diperlukan, dengan bantuan teknologi bisa cepat dan mudah ditampilkan: bisa lengkap dengan harakat (baris), tanpa harakat, dan bahkan dengan syarahnya sesuai kebutuhan. Jika kita tidak memiliki dana cukup untuk itu, kini sejumlah internet sudah menyiapkan jasa untuk di-download. Prestasi hadis, yang ditopang oleh muhadditsun di era ini sudah demikian rupa, jauh di atas prestasi yang dicapai dalam dua dekade sebelumnya.

Jadi, pada era informasi sekarang, agenda kerja muhatiditsun adalah: "bersama umat meyakinan autentisitas data hadis-hadis Nabi saw secara metodologik, dan menopangnya dengan sikap yang tepat dalam raemanfaatkan ilmu dan teknologi (IPTEK) bagi memperjelas jawaban Islam bagi mempermantap umat berpegang sumber ajaran hadis, sehingga pada gilirannya keraguan dalam beramal dengan hadis dapat diatasi." Jawaban ini, tentu masih dapat dikembangkan bersama menghadapi kehidupan umat para era yang semuanya berubah, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri.

Page 38: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

BAB 4KONTRIBUSI

BAGI KEHIDUPAN UMAT

Sebagai kornunitas yang peduli terhadap hadis dan perkembangannya, muhadditsun sejauh ini telah menampakkan konstribusinya berkenaan dengan hadis di tengah kehidupan umat. Dari asumsi yang disepakati, pembalikan paradigmanya, serta penghadapannya dengan sikap dalam kehidupan pada era ini, mereka tampak mclangkah dalam mcmberikan konstribusiaya di dalam kehidupan umat. Uraian berikut akan melihat konstribusi itu, mulai dari kodifikasi hadis baru ke lainnya.

Agenda Kodifikasi Hadis

Menjawab agenda kodifikasi hadis, yakni penulisan dan pembukuan naskah hadis di daiam kitab hadis, dalam pembahasan ini dikategorikan scbagai pemecahan central ke detail, karena soal kodifikasi termasuk persoalan central bcrkaitan dengan sumber ajaran keagamaan. Darinya, persoalan lain terhubung sebagai hal detail berkait dengan konsep keilmuan dan aliran-aliran yang timbul di tengah kehidupan umat.

Pandangan di Sekitar Kodifikasi Hadis

Setidaknya ada dua cara pandang dalam menyoroti kodifikasi hadis, yaitu: (1) memandang kodifikasi hadis sebagai produk abad kedua hijriyah yang prosesnya baru dimulai sejak al-Zuhri melaksanakan tugas berdasarkan Surat Perintah Khalifah Umar Ibn 'Abdul Aziz; dan (2) memandang bahwa kodifikasi sudah berproses sejak masa Nabi saw hingga hadis dibukukan di dalam kitab-kitab hadis.

Pertama, kodifikasi dipandang bermula sejak abad ke-2 hijriyah,

Page 39: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

sejak beredar perintah menulis hadis secara formal melalui Surat Perintah Khalifah Umar bin Ibn 'Abdil Aziz (99-101 H). Melalui surat resmi Khalifah, hadis rnendapat perhatian luas di kalangan muhadditsun, umat tidak sekedar merespons kebolehan atau pelarangan menulis hadis tetapi sudah tergugah semangat untuk melakukan penelitian guna mendapatkan naskah-naskah hadis, menyeleksi dan lalu menulisnya menjadi laporan tertulis yang kemudian dikenal dengan kitab hadis. Kodifikasi hadis dalam pandangan pertama ini, selain kcmudian menghasilkan naskah-naskah yang sebelumnya terpencar di tiap-tiap personal pemilik naskah, dapat terhimpun dengan baik, sekalipun untuk itu masih diuji dari segi otenrisitasnya. Karena sekuat apapun ingatan seseorang, jika itu berasal dari kumpulan naskah yang dihimpun dari hasil ingatan seratus tahun lebih, akan bisa dikeraguan. Jadi, pandangan ini diuji zaman segi otentisitasnya.

Kedua, kodifikasi itu sudah berproses sejak masa Nabi saw, karena Nabi pernah menyuruh hadis ditulis oleh sahabat untuk menghadapi kehidupan umat. Mula-mulai ia berbentuk respons kesadaran individu-individu sahabat, yang diwujudkan dalam pe-nulisan hadis demi hadis di dalam catatan pribadinya berwujud shahifah-shahifah atau nama-nama lain dari agenda menuskripnya. Sekalipun mulanya berupa kumpulan catatan agenda individual, namun akhirnya menjadi bahan-bahan yang tak ternilai harganya bagi kelengkapan proses kodifikasi hadis yang dibukukan pada masa kodifikasi hadis. Syekh al-A'zhami, yang mendukung pandangan kedua ini dari penelitiannya berhasil menemukan daftar jumlah sahabat yang menulis naskah-naskah hadis, 29dan bahkan berhasil meneliti hadis dan sekaligus sejarah kodifikasinya.30

Dari keterangan di atas terlihat bahwa kodifikasi itu berjalan

29 Lihat Muhammad Musthafa al-A'zhami, Kuttab al-Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1401/1981. Secara Abjadi, nama nama itu dinnulai dari Aban bin Sa'id bin al-'Ash hingga Yazid bin Abi Sufyan, yang berjumlah 61 orang penulis.

30 Bahkan dalam penelitian disertasmya, kelengkapan nama nama mereka yang punya catatan naskah hadis itu tidak kurang dari 450 orang. Lihat, al-A'zhami, op.cit. (Studies); juga misalnya, Soebahar, op. cit. (Al-Sunnah), hlm. 188.

Page 40: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

melalui proses mata rantai penulisan panjang sehingga kemudian mewujud kitab-kitab hadis yang berjumlah banyak.

Sembilan kitab yang naskah asli dan CDnya menyebar di tanah air adalah: (1) Shahih al-Bukhari karya al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari (w.256H), (2) Shahih Muslim karya al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj (w. 261 H), (3) Sunan Abi Daud karya al-Imam Abu Daud Sulaiman bin al-Asy'as al-Sijistani (w.275 H), (4) Sunan al-Turmudzi karya al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudzi (w.279 H), (5) Sunan al-Nasa'i karya al-Imam Abu 'Abdirrahman bin Ahmad bin Syu'aib al-Nasa'i (w.303 H), (6) Sunan Ibn Majah karya al-Imam Abu 'Abdillah Muhammad bin Yazid Ibni Majah (w.274 H), (7) Sunan al-Darimi karya al-Imam Abu Muhammad 'Abdullah bin 'Abdurrahman al-Darimi (w.255 H), (8) al-Muwathtba' Malik karya al-Imam 'Abdullah Malik bin Anas (w. 179 H), serta (9) Musnad Ahmad karya al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Mu-hammad al-Marwasi (w. 241 H). Enam kitab lain, yang juga mulai beredar di Indonesia yaitu (10) Kitab Sunan al-Shaghir al-Ba-haqi karya Abu Bakar Ahmad ibn Husain ibn 'Ali ibn 'Abdillah ibn Musa al-Baihaqi (w. 458), (11) Shahih Ibn Khuzaimah karya Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi (w.311), (12) al-Mustadrak 'ala al-Shahihain al-Hakim, karya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu'aim bin al-Bayyi' al-Dlabbi al-Tahmani al-Naisaburi (w. 405H), (13) Kitab al-Mu'jam al-Shaghir al-Thabrani karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthair al-Lakhmi al-Yamani al-Thabrani (w. 360), (14) Kitab al Umm al-Syafi'i karya Muhammad bin Idris bin 'Abbad bin Utsman bin Syafi'i (w. 204 H) serta (15) Kitab al-Kafi al-Kulaini karya Abu Jakfar Muhammad bin Yakkub bin lshaq al-Kulaini al-Razi (w.328 H).

Banyak metode digunakan untuk menyusun kitab hadis, yaitu metodey juz dan atraf, metode tahwib, metode muwaththa, metode mushannaf, metode musnad, metode jami', metode mustakhraj, metode mustadrak, metode sunan, metode mu'jam, metode majma', dan metode zawaid. Metode itu dijelaskan di bawah ini.

Metode juz dan athraf. Metode juz adalah menyusun matn hadis berdasarkan nama-nama guru yang meriwayatkan, seperti Shahifah Amr al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib dan Shahifah al-Shahihah tulisan

Page 41: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Hammam bin Munabbih (w.131 H); sedang metode athraf, menunjukkan pangkalnya saja bagi petunjuk matn hadis selengkapnya, seperti tulisan Auf bin Abu Jamilah al-'Abadi (w. 146 H) yang banyak dikenal abat ke-4 dan ke-5 hijriah.

Metode tahwih, mengklasifikasi penyusunan kitab hadis ber-dasarkan topik atau pembidangan tertentu dalam pembahasan. Isinya, memuat hadis-hadis sesuai dengan pembidangan topik yang dipilih, seperti yang dilakukan oleh Ibn Juraij (w. 150 H).

Metode muwaththa, yang berarti sesuatu yang memudahkan; dipakai dalam pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan jenis hadisnya-marfu' (berasal dari Nabi), mauquf (dari sahabat), serta maqthu' (berasal dari ta-bi'in), sehingga mempermudah orang yang mencarinya. Misalnya Muwaththa Malik karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H).

Metode Mushamaf, berarti sesuatu yang disusun; disamakan dengan muwaththa, yaitu metode pembukuan hadis berdasar klasifikasi hukum Islam dengan menggunakan atribut seperti di atas. Misal, Mushannaf karya Hammad bin Salamah (w. 167H).

Metode Musnad, dalam penyusunan menggunakan nama para sahabat yang meriwayatkan hadis. Misalnya, Kitab al-Musnad karya Abu Dawud al-Tayalisi (w. 204) dan Kitab al-Musnad karya al-Humaidi (w. 219 H).

Metode al-Jami’ berarti yang mengumpulkan afau mencakup; dalam disiplin ilmu hadis dikenal sebagai metode penyusunan kitab yang yang mencakup seluruh topik agama seperti akidah, hukum, adab, tafsir, dan manaqib. Kitab bermetode ini cukup banyak, seperti al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (w. 256 H), yang dikenal dengan Shahih al-Bukhari.

Metode Mustakhraf, disebut bagi kitab manakala penyusun kitab hadis berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang mendapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab pertama tadi mencantumkan sanad hadis dari dia sendiri; bukan dari kitab aslinya. Misalnya, Mustakhraj 'ala Shabih al-Bukhari, susunan al-Isma'ili (w.371 H).

Metode Mustadrak, jika penyusunan kitab hadis disertai menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain, tetapi dalam menuliskan hadis-hadis susulan itu penulis kitab

Page 42: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain. itu. Misalnya, Kitab al- Mustadrak 'ala al-Shahihain, karya Imam al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) dimana hadis-hadis yang tidak tercantum dalam Shahihain dicantumkan dalam kitabnya, namun tetap mengikuti kriteria yang ditetapkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.

Metode Sunan, dimaksudkan bagi penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih), dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi saw (marfu’), selain itu jumlah jenis lainnya sangat sedikit. Misalnya, Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (w.275) dan Sunan al-Nasa'i karya Imam al-Nasa'i (w. 303 H).

Metode Mu'jam, metode penulisan kitab hadis dimana hadis-hadis yang terdapat di dalamnya disusun berdasar nama para sahabat, guru-guru hadis, negeri-negeri atau lainnya, dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu'jam (alfabetis). Misalnya, kitab al-Mu'jam al-Kabir, dan al-Mu'jam al-Shaghir.

Metode Majma', digunakan bagi penyusunan kitab hadis yang menggunakan kombinasi dari kitab-kitab hadis yang ada, yang ditempuh untu mempermudah orang merujuk hadis. Misalnya, al-Jam' baina al-Shahihain karya al-Humaidi (w. 488 H) dan al-Jam' bain al-Ushul al-Sittah karya Ibn al-Atsir (w. 606 H).

Metode Zawaid, yang berarti tambahan-tambahan; digunakan dalam arti: satu kitab ada kalanya ditulis oleh sejumlah penulis secara kolektif; ada pula sebuah kitab hanya ditulis oleh seorang penulis tanpa penulis lain. Maka, kemudian kitab-kitab hadis yang kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadis yang datang kemudian. Misalnya, kitab Mishbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majab karya al-Bushairi (w. 840 H).

Demikian tantangan kodifikasi hadis, yang telah dihadapi dengan mengadakan penelitian dan penulisan kitab-kitab hadis, yang disusun dengan berbagai metode pilihan penyusunnya.

Page 43: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Agenda Keilmuan dan Pengamalan Ajaran Keagamaan: Klasik dan Kontemporer

Dimaksud agenda keilmuan dan pengamalan ajaran keagamaan, adalah agenda tantangan yang telah dihadapi muhadditsun yang kemudian membuahkan warisan. Yaitu, berupa khaiianah intelektual dan javvaban naqli serta aqli bagi pengamalan hadis dalam kehidupan umat, dalam rangka menciptakan kehidupan yang maslahah. Khazanah hingga 1960-an dikategorikan klasik, sedang pasca 1970-an dikategorikan kontemporer.

Khazanah Klasik

Khazanah klasik, sebagai warisan intclektual yang ditinggal-kan ke tengah-tengah kehidupan umat cukup banyak, terutama yang berkenaan dengan hadis-hadis yang dibukukan menggunakan metode-metode yang tepat sesuai pilihan penulisnya. Dalam konteks ini, selain yang telah dibahas dalam subbab kodifikasi sebelumnya, akan dicantumkan hal-hal berikut:

Tokoh Periwayat Hadis:1. Tarikh al-Rijal (Sejarah Para Periwayat Hadis) karya Yahya

bin Main (w. 234 H).2. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menulis al-‘llal wa Ma'rifat al-

Rijal (Cacat-cacat Madis dan Mengetahui Periwayatnya).3. Muhammad bin Sa'ad (w.230 H), menulis al-Tabaqat al-Kubra

(Generasi-Generasi Agung), terdiri dari 11 jilid, berisi biografi Nabi saw, para sahabat, tabi'in, dan tokoh-tokoh yanghidup sampai awal abad ketiga hijrah.

4. Ibnu Abi Hatim al-Razi (w.327 H), menulis buku al-]arb waal-Ta'dil (Evaluasi Negatif dan Positif Periwayat), 9 jilid, yangberisi kritik terhadap para periwayat hadis.

5. Ibn Hibban al-Busti (w.354 H) menulis al-Majruhin (orang-orang yang dilukai), mengkritik periwayat yang ditolak hadisnya.

6. Imam al-Bukhari (w. 256 H) menulis buku al-Tarikh al-Kabir(Sejarah yang Agung), yang berisi kritik periwayat hadis.

Page 44: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Ilmu-Ilmu Hadis:1. Al-Ramahurmuzi (w. 360 H), menulis ilmu hadis pertama

yang komprehensif berjudul al-Muhaddits al-Fashil bain al-Rawiwa al-Wa'ie (Ahli Hadis: Pemisah antara Periwayat dan Penerima),

2. Al-Hakim al-Naisaburi (w.405), menulis karya Ma'rifat Ulumal-Hadits,

3. al-Khatib al-Baghdadi (w. 464 H), dll.4. Ibn Shalah (w. 643 H),5. al-Nawawi (w. 676 H),6. al-Zhahabi (w. 748 H),7. Ibn Hajar al-'Asqalani (w. 852 H), dll.

Deretan di atas masih dapat diperpanjang, yang menulis kitab-kitab hadis, yang dilakukan dalam rangka kritik hadis, agar dapat diseleksi mana hadis yang otentik dan mana yang palsu.

Khazanah Kontemporer

Di samping khazanah klasik, muhodditsun juga meninggalkan warisan intelektual ke tengah-tengah kehidupan umat dengon khazanah kontemporernya. Yang tampak dari khazanah itu hingga sekarang, antara lain: epistemologi ilmu hadis, kontekstualisasi pemahaman hadis, penelitian yang sambung dengan kenyataan, porsi hadis-hadis pendidikan, pengamalan hadis: yakin, bukan meragukan.

1. Epistemologi Ilmu Hadis.

Ilmu hadis bukan ilmu yang lahir dengan serta-merta. Ilmu ini tumbuh seperti disiplin ilmu yang lain, semisal sosiologi yang timbul pasca Revolusi Prancis 1789. Embrionya muncul di zaman periwayatan, sedang perumusannya dilakukan kemudian. Penyelidikan berkaitan dengan hadis, bukan diarahkan kepada menyelidiki Nabi saw, melainkan ke arah: apakah benar hal itu berasal dari Nabi atau tidak benar. Fokusnya:bagaimana kebenaran itu sampai dicapai dan apa pula standar kebenaran-nya?

Dalam lintasan sejarah, penyampaian hadis oleh Nabi saw berjalan

Page 45: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

apa adanya secara alamiah. Nabi sebagai penyampai yang sekaligus sebagai figur sentral, dan sahabat sebagai penerima, tanpa syarat-syarat yang ketat.

Seiring faktor makin menyebarnya sahabat, yang menyebabkan kesempatan menimba ilmu dari Nabi saw tidak sama, sehingga pengetahuan mereka dalam mengikuti Nabi pun tidak sama: ada yang menerima riwayat banyak, ada yang sedikit, sesuai kemampuan masing-masing. Dari situ, Nabi mendorong minat sahabat agar menyampaikan apa yang diterima dari Nabi saw (hadis) dari yang hadir kepada yang tidak hadir di dalam pertemuan. Dari situ, lahir embrio cabang ilmu hadis, ilmu riwayah.

Sebagai bagian dan masyarakat, Nabi saw sebenarnya tidak mempunyai tempat khusus menyampaikan hadis.

Namun, sekalipun demikian kegiatannya lebih sering dila-kukan di masjid yang memudahkan diikuti oleh orang banyak.31 Di tempat seperti itu, Nabi saw kemudian menyampaikan hadis-hadisnya dengan tiga cara: verbal, tertulis (minta ditiiliskan salah seorang sahabat), serta demontrasi secara praktis.32 Seiring dengan perjalanan dakwah Rasul, dengan segala peristiwa dan yang kejadian yang melingkupi, maka tersebarlah ajaran itu ke berbagai tempat, yang membuat hadis juga ikut tersebar. Akan tetapi, hingga wafat Rasul saw tidak ada yang menyebabkan persoalan berarti mengenai hadis. Kalaupun ada, itu bisa diselesaikan dengan menanyakan langsung kepada Nabi saw untuk memperoleh solusinya. Bahkan, di zaman Nabi saw tak ada hal-hal yang membawa diragukan hadis baik mengenai kesahisan atau lainnya.

Namun, karena kebijakan Nabi saw yang lebih mengutamakan Al-Quran, untuk menulis hingga membukukannya, menyebabkan hadis terlambat ditulis. Tetapi, seperti asumsi yang dipegangi di muka, itu sudah disepakati dalam "emperi batin" para sahabat, untuk juga dibukukan di lain waktu maupun untuk terus melestarikan pemeliharaannya. Maka itu, di samping penulisan Al-Quran yang Nabi saw menunjuk personal formal untuk itu seperti disebut, penulisan hadis

31 Muhammad Abu Zahw. Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984, hlm. 50.

32 Muhammad Musthafa al-A'zhami, Metodologi Kntik Hadis Nabi, Terj. A. Yamin, Jakarta: Pustaka al-Hidayah, 1992, hllm. 27.

Page 46: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

pada zaman Nabi saw, berlangsung dalam kegiatan pribadi-pribadi, sehingga naskah-naskah (shuhuf) berjumlah tidak; ada yang diberi nama ada yang tidak, seperti telah disinggung di muka.

Karena juga sudah ditulis di masa Nabi saw, walau oleh para personal sahabat, maka hadis yang beredar masa Nabi saw sudah tidak bisa dibilang sedikit. Menurut Prof. Quraish Syihab, yang mengutip pendapat Syekh Abdul Halim Mahmud, bahwa apabila dihimpun matn hadis dari seluruh kitab hadis yang muktabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 hadis.33

Dari uraian di atas dapat dipahami: pemalsuan hadis belum terjadi pada masa Nabi saw; pernyatannya pada masa Nabi saw berjalan alamiah, tanpa memakai persyaratan ketat; sampai wafat Nabi saw sudah ada tulisan-tulisan sahabat mengenai hadis.

Dari pengamatan terhadap sejumlah literatur dapat dicatat beberapa alasan mengapa hadis tidak ditulis resmi masa Nabi: (1) agar perhatian sahabat tertuju penuh kepada Al-Quran di samping tidak mengabaikan hadis sebagai penjelasnya; (2) agar otentisitas Al-Quran tetap dapat disangga dengan baik; (3) Al-Quran memang didahulukan oleh Nabi sedang hadis dijadikan pendampingnya.

Setelah Nabi saw wafat, hadis tetap dijaga periwayatannya, di masa sahabat hingga masa berikutnya. Mengingat berbagai faktor yang tidak sama penerimaannya terhadap hadis sebagaimana di atas, maka penjagaan itu berkelanjutan. Di situlah yang embrio timbulnya cabang-cabang imu hadis, seperri Jarh wa al-Ta'dil balik penerapan sistem isnad, yang dikembangkan dalam periwayatan, ilmu Gharib al-Hadits, hingga Tarikh al-Ruwat, dll.

IlmuHadits: Untuk Metawat TradisiMengakumudasi perlunya merawat suatu tradisi yakni hadis,

persoalan epistemologis juga perlu dilanjutkan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa epistemologi berkait apakah pengetahuan kita itu benar (valid) atau bagaimana kita membedakan antara yang benar dan yang salah. Praktiknya dalam hadis, apakah hadis itu valid (shahih) dan bagaimana membedakan hadis yang valid dengan yang tidak valid.

33 Quraish Shihab, "Membumikan" Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 130.

Page 47: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Bila diteliti bagaimana bekerjanya ilmu hadis, maka unruk mencapai kebenaran terlihat cukup jclas. Ilmu hadis memperlihatkan suatu langkah metodologis, sehmgga akurasi atau validitas sabda berkenaan dengan Nabi saw bisa ditetapkan dan dipastikan; standarnya ketat sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Untuk mendapatkan suatu kebenaran, ilmu hadis menempuh jalan yang pelik, yang menggunakan beberapa ilmu bantu, sehingga ilmu hadis itu merupakan kurnpulan beberapa ilmu, yang multi-disiplin. Dari situlah, kemudian dari ilmu hadis berkembang beragam seperti ilmu rijal al-hadits, ilmu tashif wa al-ta'rif, ilmu talfiq al-hadits, dan lain-lain yang berkembang seiring dengan masa pertumbuhan hadis.

Proses lahirnya ilmu hadis menurut penjelasan Nur al Din Itr dalam Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-hadits-nya sebagai berikut:

Pertama, masa pertumbuhan; terjadi sejak masa sahabat liingga abad ke-1 hijri, yang di dalamnya mclahirkan istilah: hadis ?maqbul dan mardud.

Kedua, masa penyempurnaan; sejak abad kedua sampai awal abad ketiga hijrah, yang di dalamnya dilakukan: kodifikasi hadis; perluasan cakupan jarah dan ta’dil, menunda menerima hadis dari orang yang kurang dikenal; dan membuat kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui hukum suatu hadis.

Ketiga, masa pembukuan ilmu hadis secara independen; mulai abad ke-3 sampai pertengahan abad ke-4 hijriah, yang di dalamnya satuan-satuan istilah dirumuskan: hadis mursal, hadis sahih, dll. Pada masa ini disusun Thabaqat Ibn Sa'ad.

Keempat, masa penyusunan (keilmuan) secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan hadis; sejak pertengahan abad ke-4 samapai ke-7 hijrah. Pada masa inilah muhadditsun melakukan penyusunan ilmu hadis, mengumpulkan apa yang berbeda ke dalam satu bidang dan menyisipkan apa yang belum diungkap. Kitab yang dihasilkan di masa ini: Ma'rifat Ulum al-Hadits, karya Hakim al-Naisaburi (w. 405 H).

Kelima, masa kematangan dan kesempurnaan kodifikasi ilmu hadis; mulai abad ke-7 sampai ke-10 hijrah, yang memunculkan kitab seperti al-Irsyad karya al-Nawawi (w. 676 H).

Page 48: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Keenam, masa statis; sejak abad ke-10 sampai ke-14, dimana kreativitas banyak terhenti. Kegiatannya sebatas peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang harfiyah, seperti Taudlih al-Afkar, karya al-Shan'ani (1182 H).

Ketujuh, masa kebangkitan dari kejumudan; sejak awal abad ke-14 hingga sekarang. Aktivitasnya banyak digunakan untuk membahas pendapat-pendapat yang banyak berkembang di Barat, seperti al-hadits wa al-Muhadditsun karya Muhammad Abu Zahw; al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-lslami karya Mushthafa al-Siba'i, dll.

Dari paparan di atas, tampak bahvva ilmu hadis merupakan ilmu terbuka, yang selalu siap diuji. Dan usaha-usaha penelitian dengan menggunakan iknu hadis akan memberikan manfaat ganda, baik segi keotentikannya yang terawat dan terjaga juga hadsinya yang dapat dijadikan pegangan dan petunjuk, Jelasnya, ilmu hadis telah menciptakan ilmu yang sistematis dan penjaga gudang informasi khazanah yang amat kaya bagi kehidupan.

Ilmu ini merupakan khazanah intelektual yang teruji epistemo loginya, yang bermanfaat bagi kehidupan ilmu-ilmu lain di dalam kehidupan umat.

2. Kontekstualisasi Pemahaman HadisAjaran yang dapat dikuak dari studi hadis, bukan hanya dari

pemahaman teksnya yang tersurat, melainkan juga apa yang tersirat. Hadis yang diterima sahabat, tabiin dan periwayar sesudahnya, yang kemudian diterimakan informasinya secara tertulis ke kehidupan umat sekarang, bukan hanya mengandung ajaran yang terkait dengan zaman Nabi saw dan bagi umat masa itu sa ja, melainkan juga bagi umat sekarang, untuk menguak substan-sinya bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang. Karena itu, ia menjadi bahan yang sangat kaya, yang keberlakuannya dapat dilacak secara tekstual dan kontekstual.

Prof. Syuhudi Isma'il (w. 1995 M) pada tahun 1994, telah mengutip 40 teks matan hadis yang sekaligus dikuak pemahamannya secara tekstual dan kontekstual dalam pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu hadis di Ujung Pandang. Pembahasan itu memperkaya pemahaman bahwa selain tahu teks dalam upaya memahami hadis, kita perlu memperkaya diri untuk menyelami pemahaman konteksnya.

Page 49: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Namun tidak sebaliknya, mendalami pemahaman teks hadis, sedang kita tidak tahu atau tidak pernah menyimak teks, bahkan meninggalkan teks hadisnya, lalu mengambil pemahaman lain yang diakuinya sebagai pemahaman hadis tekstual dan kontekstual. Yang terakhir ini, jika memang benar ada, tentu bukan yang dikehendaki.

Dalam dialog pemahaman lebih lanjut, dilakukan muhaddi-tsun muda dari UIN Yogyakarta, menampilkan kebenarian membahas detail pemahaman kontekstual itu yang menerbitkannya dalam bentuk buku Wacana Studi Hadis Kontemporer. Karya ini pada hemat saya layak dibaca untuk memperoleh bahan yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual ini. Kajiannya sudah cukup berani, dan layak diapresiasi bagi pemahaman kontekstual.

3. Penelitian yang Sambung dengan KenyataanSejauh ini tujuan penelitian hadis diarahkan untuk mengeta hui

apakah hadis yang diteliti itu maqbul diterima untuk menjadi hujjah pengamalan agama' atau mardud' ditolak untuk dijadikan hujjah agama. Penelitian demikian, dalam hubungannya dengan pemahaman agama yang luas yang sambung dengan kehidupan, belum sepenuhnya terwadai. Karena, pengamalan agama dalam pemahaman umum masih mengesankan hubungan yang vertikal, antara pemeluk dan sang Pencipta ansich, walaupun kandungannya jelas lebih dari itu.

Untuk menjembatani hal di atas, maka penelitian hadis yang biasanya didahului dengan melakukan takhrij dan i'tibar perlu dilengkapi dengan pembahasan pemahaman dan penjelasan hadis, dengan mencantumkan fiqh al-hadis serta syarah al-hadits. Keluasan pemahaman dan penjelasan itu pun bisa diperkaya dengan meminjam pendekatan dari ilmu-ilmu sosial serti sosiologi, sejarah, dao antropologi.34 Karena ilmu ilmu dimaksud memiliki teori yang dapat menjelaskan fenomena dengan lebih gamblang dan muda dipahami serta sambung dengan kenyataan.

4. Porsi Hadis-Hadis Pendidikan

34 Lihat misalnya, M. Erfan Soebahar, op. cit. (Menguak Fakta), hlm. 234-244.

Page 50: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Di dunia pendidikan, hadis didududukkan sebagai sumber nilai penting yang melandari tujuan pendidikan Islam. Kenyataan itu tegas dan berlaku hingga sekarang. Namun, pcnerapan hadis yang sudah dijadikan sumber nilai itu, di institusi pendidikan ini kita mengctahui bahwa hadis kadang masih disalah-mengerti. Hal itu misalnya: tradisi suka mengutip hadis maudlu masih tampil dalam mendukung pernyataan dosen; mahasiswa sulit membuat kutipan hadis yang searah dengan maksud paragraph; uraiannya dogmatis tidak empirik; jika hadis terus dikritik dan dijatuhkan: lama kelamaan kan bisa habis, dan hadis kependidikan sebagai obyek penelitian. Namun, kalau persoalan di atas ditatap dengan kepala dingin dan dikembalikan ke sejumlah rujukan standar hadis, jawabannya akan berdatangan dcngan baik. Ini dimasukkan dirkhazanah kontemporer, untuk sama kita tangani.

Pertama, di sekitar mengutip hadis. Dewasa mi kitab-kitab yang memuat hadis dlaif dan maudluk sudah ada, misalnya Silsilat al-Ahadits al-Dla 'ijah wa al-Mau'-dlu'ah wa Atsaruha ai-Sayyi’ fi al-Ummah karya Muhammad Nashir al-Din Al-Albani. Pembaca kitab ini tentu mudah memilih bahwa hadis yang dikutipnya termasuk hadis shahih, dlaif atau ma lah maudlu'. Kalau masih ragu, itu bisa dicek dalam hadis-hadis di dalam kitab tersebut. Kecermatan pembaca, akan sangat membantu dalam mencari penyelesaian terhadap apa yang dibahas.

Kedua, sulitnya membuat kuripan hadis yang searah dengan maksud paragraph; bisa diatasi kalau dalam mengutip tidak selalu harus menggunakan kutipan langsung yang diapit tanda kutip ganda. Atau dalam mengutip diarahkan kepada mengutip matn hadisnya saja, sehingga mempermudah rnengutip teks hadis dalam menyerasikan dengan uraian yang ditulis. Setelah cukup jelas dimana persambungan kontcksnya baru di belakang hadis [yang mungkin diambil potongan relevansinya] diberi catatan kaki dcngan mencantumkan hadis diriwikan oleh siapa dan diambil dari periwayat siapa.

Ketiga, tentang uraian dogmatik tidak empirik. Sebagai kalangan ilmuwan yang cendekia, selalu dituntut untuk menetapkan pilihan sebagai pendekatan kajiannya; kalau memang akan memilih pendekatan normatif, hadis tentu bisa dipilih. Dan harus juga dimaklumi, bahwa hadis yang sudah tcruji sanad dan matn-nya dapat dipastikan tidak bertentangan dengan ayat qur'ani (qauli) dan ayat kauni (alam semesta,

Page 51: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

termasuk yang empirik). Memilih yang lebih diyakini, dan meninggalkan yang diragukan, tentu merupakan jalan yang bijaksana. Dari situ, kita tidak terjebak di dalam kaum yang diben "predikat: suka ndalil atau karena tahu hadis maka haditsya asal bisa ngomong, yang kalau disimak dengan kepala dingin, karena kurang proporsional dalam menyelesaikan suatu persoalan. Yang jelas, ridak semua hal mesti dipikirkan apa bahasan empiriknya, karena pendekatan mesti melihat tentang materi apa yang sedang kita bahas dalam menyelesaikan persoalan.

Keempat, jika hadis terus dikririk dan dijatuhkan: lama kelamaan kan bisa habis. Bagaimana menjawab ini? Jumlah hadis itu sebenarnya adalah cukup banyak. Di depan disebutkan menurut Syekh Halim Mahmud, yang dikurip Prof Quraish Shihab, jumlah hadis yang shahih itu sekitar 50.000; delapan kali lipat jumlah ayat Al-Quran. Kalau dihitung sendiri dengan cermat, jika dalam masa 23 tahun Nabi bersama sahabat menyampaikan hadis, yang setahunnya terdiri dari 365 hari, sedang setiap harinya Nabi saw dapat menyampaikan atau dicatat sahabat mengemukakan tujuh teks hadis, maka jumlah hadis keseluruhan akan mencapai: 58.765 buah; sembilan kali lipat ayat Al-Quran, jika ayatnya dihitung 6236 ayat. Kririk hadis, pada dasarnya untuk memperoleh hadis yang otenrik (maqbul, bisa dijadikan hujah dalam beramal), yang maudlu' dan dlaif sudah tercantum dokumennya dalam kita, antara lain, yang sudah disebut di atas. Mungkin yang dimaksud dengan istilah kritik di atas, para pendidik atau muballigh itu jangan membuang waktu hanya membahas hadis-hadis yang sudah jelas statusnya sebagai dlaif atau maudlu’ lalu dikritiknya di depan umum, tanpa memberi solusi metodologis misalnya bagaimana: apa ada teori yang bisa dita-warkan sebagai argumen dia mengutip hadis dlaij misalnya, kalau saja hal itu dipandang layak dikutip menurut pandangannya.

Kelima, hadis-hadis kependidikan sebagai obyek penelidan. Pada daftar metode membukukan kitab-kitab hadis sebagai yang dipaparkan dalam uraian di muka, tidak dicantumkan secara eksplisit adanya metode atau pendekatan pendidikan dalam penulisan kitab hadis. Akan tetapi, ada satu metode yakni metode tabwib (topik, atau bagian), yang pcrnah digunakan muhadditsun dalam membukukan hadis. Tampaknya,

Page 52: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

satu mctode ini dapat digunakan dalam proses membukukan suatu hadis, dalarn hal ini hadis-hadis yang bernuansa pendidikan.

Namun, kaitannya dengan persoalan hadis-hadis kependi-dikan sebagai obyek peneiitian, beberapa upaya dapat diarahkan melakukan hal tersebut. Misalnya, sejauh ini belum banyak dila-kukan penggalian intensip terhadap hadis-hadis di dalam sembi-lan atau 15 kitab hadis yang disebutkan di muka padahal kitab tersebut merupakan sumber yang kaya dalam studi hadis; bisa juga diangkat hal-hal yang bersifat perbandingan dari kitab-kitab itu dalam menguak nuansa pendidikan dalam kitab hadis; lainnya bisa mencermati muatan hadis-hadis kependidikan di dalam kitab-kitab hadis induk (sembilan) atau kitab yang 15; bisa di-lanjutkan ke kitab-kitab hadis nukilan, seperti Riyadl al-Shalihin, dan lain-lain.

5. Aspek Pengamalan HadisMengamalkan hadis-hadis yang benar-benar termasuk yang

diterima dari Nabi saw (mutawatir, hasan, shahih) di dalam kehi-dupan adalah kevvajiban muslitn dalam kehidupan beragama. Ketentuan mengenai hal ini cukup jelas tertuang baik dalam Al-Quran maupun al-Hadis. Periksa misalnya: Al-Quran Surat al-Hasyr : 7; Surat Al-Nisa': 80; Surat Ali Imran: 31-32; Surat Al-Nisa: 65; Surat Al-Nisa: 105; Surat Al-Nisa: 150-151; Surat Al-Nahl 44; juga sejumlah hadis: tentang apa yang diharamkan Rasul sebenarnya juga diharamkan Allah (H.R. al-Hakim); tentang warisan Al-Quran dan al-Sunnah (H.R. al-Turmudzi); juga tentang Suruhan menyampaikan hadis kepada pihak lain (H.R. al-Bukhari). Kesemuanya terkait pertimbangan perlunya mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh termasuk yang dicantumkan dalam sumber hadis di dalam kehidupan, karena ketentuan itu sudah jelas-jelas disebutkan. Hal-hal yang halal dan yang haram, sudah tegas-tegas diatur dalam kchidupan beragama, begitu pula yang halal; beberapa kebolehan, sudah banyak produk ketentuannya dalatn ajaran agama. tercantum dalam nash-nash yang tegas.

Jelanya, hadis (yang merupakan sumber ajaran keagamaan di samping Al-Quran) itu diturunkan ke tengah-tengah kehidupan adalah untuk diamalkan. Namun, di sela-sela nash yang sudah jelas itu, manusia punya pilihan, termasuk bebas memilih untuk tetap mau

Page 53: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

diganggu syaitan. Sekedar diganggu dan dibi-arkan diganggu hingga di tahap detik-detik atau menit-menit awal suatu aktivitas — kalau mau demikian tetapi pada kelanjut annya kita tidak mau mentolerirnya — masih dikategorikan jauh lebih baik, daripada orang yang terus menerus mau digoda syaitan sedang dia terus saja mengingkari ajaran agamanya, dalam hal ini ketentuan hadis. Agaknya, kawan-kawan yang anti sunnah (ingkar al-sunnah) terrnasuk yang terakhir ini. Begitu juga, yang berpandangan bahwa hadis secara kognitif yes, sedangkan secara afektif dan psikomotorik no. Anehnya, orang yang terakhir ini lalu semaunya dalam beragama, hingga kadang sudah lupa bahwa di dalam dirinya ada kewajiban shalat yang mesti dikerjakannya, tetapi itu sudah ditinggalkan karena pada segi afektif dan segi motoriknya dipandangnya no terhadap hadis, Na'uzubillah.

Page 54: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Namun, di sela-sela nash yang sudah jelas itu, manusia punya pilihan, termasuk bebas

memilih untuk tetap mau diganggu syaitan. Sekedar diganggu dan dibi-arkan diganggu

hingga di tahap detik-detik atau menit-menit awal suatu aktivitas — kalau mau demikian

tetapi pada kelanjut annya kita tidak mau mentolerirnya — masih dikategorikan jauh

lebih baik, daripada orang yang terus menerus mau digoda syaitan sedang dia terus saja

mengingkari ajaran agamanya, dalam hal ini ketentuan hadis. Agaknya, kawan-kawan yang anti sunnah (ingkar al-sunnah) terrnasuk yang terakhir ini. Begitu juga, yang berpandangan bahwa hadis secara kognitif yes, sedangkan

secara afektif dan psikomotorik no. Anehnya, orang yang terakhir ini lalu semaunya dalam

beragama, hingga kadang sudah lupa bahwa di dalam dirinya ada kewajiban shalat yang mesti

dikerjakannya, tetapi itu sudah ditinggalkan karena pada segi afektif dan segi motoriknya

dipandangnya no terhadap hadis, Na'uzubillah.

Page 55: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Bab 5PENUTUP

Mengakhiri pidato pengukuhan ini perkenankanlah saya menyampaikan beberapa penegasan juga implikasi penting.

Hadis yang dapat diartikan sebagai laporan sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi saw berupa pernyataan, perbuatan, penetapan, dan persifatan atau perilaku Nabi, merupakan doku-men penting ajaran keagamaan dan sekaligus sumber ajaran ke-agamaan Islam bagi kehidupan.

Dalam perkembangannya di dalam kehidupan, umat yang sadar bersama muhadditsun mengkawal hadis itu selain sebagai tradisi yang dilestarikan, juga sebagai ajaran untuk dilaksanakan. Untuk itu, mendudukkannya secara benar di dalam kehidupan akan menjadikan umat dapat optimal dalam keyakinan dalam bcramal dengan ajaran dan menambah kemantapan dalam beragama.

Dalam tiga era dan masa beredamya hadis dalam Islam, muhadditsun memberikan respons bagi kehidupan umat. Respons nya berupa mengkawal autentika hadis, baik dalam starusnya sebagai sumber ajaran yang mesti dilestarikan maupun dari wacana yang dapat membuat umat meragukan autenrika hadis sehingga membuatnya surut dalam beramal. Dalam konteks tugas ini respons umat, terlihat cukup besar untuk berjuang bersama melestarikan hadis di dalam kehidupan, yang merupakan tugas yang berjalan hingga akhir zaman.

Respons konkrit yang merupakan jawaban konstributif muhadditsun bersama umat di dalam kehidupan, terlihat dengan hadirnya indikator tampilan karya-karya atau dialog yang memberi tawaran jawaban kepada umat dalam kehidupan. Kesemuanya merupakan tugas yang berlanjut sejalan dengan perkembangan zaman dalam kehidupan umat. Wallahu A'lam.

***

Sebagai akhir dari pidato pengukuhan ini, perkenankanlah saya juga keluarga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

Page 56: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

mengantarkan kami kepada kondisi sekarang, yang tak bisa kami balas dengan imbalan apapun. Pertama, kepada Bapak serta guru tercinta, Kiai Haji Soebahar (yang tidak sempat menyaksikan acara ini) serta Ibu tercinta Nyai Hajjah Sri Indiah yang sengaja hadir untuk menyaksikan puteranya dikukuhkan menjadi guru besar di kampus para wali ini.

Selanjutnya kepada saudaraku tercinta Mbak Muhassonah, Dinda Dr. H. Abd. Ilalim Soebahar, MA; Moh. Fadli Soebahar, M.H., Drs. Zarkasyi Soebahar, M.Ag; Bulik Hj. Wuryati Isnain, Pakde dan Bude A. Kadir Muchtar, serta semua keluarga Bondowoso dan Surabaya. Tak ketinggalan kepada semua famili dari Kudus, Lasem dan Solo, antara lain: Bapak Pribadi dan Ibu, Mbak Wardati sekalian, Dinda Drs. M. Taufiq, M.Ag. sekalian, Drs. A. Zaenuri sekalian, Kang Mas H. Nur Badri sekalian, KH.A.Falih sekalian, Kanda Drs. H. Ihsan Mudzakkir, serta Bulik Hj. Chadidjah.

Kemudian, istri yang menemani dalam duka dan suka, yang selalu siap ngeroki saat masuk angin dan lain-lain; anak-anakku yang semuanya menantang keluarga untuk tetap bisa hidup man diri dan berprestasi, yang waktunya banyak saya rampas untuk terus menambah iJmu untuk khidmat bagi sesama.

Guru-guru kami, yang banyak hadir di acara ini, yang dengan ketulusan telah membimbing tanpa kenal lelah. Para senior juga pembimbing kami, antara lain: Prof. PLA. Qodri A. Azizi MA dan Prof. H. Abdul Djamil, MA, yang suka memberi kritikan "mencubit" namun mampu membuat saya sadar dan mau bangkit untuk memberi konstribusi aktif bagi almamater tercinta. Para pejabat IAIN, Prof. H. Ibnu Hadjar, M.Ed., Drs. H.M. Nafis, MA, Drs. Machasin, Drs. H. Mustaqim, M.Pd., Drs. II. Satriyan Abd. Rahman, serta Drs. H. Suyari Muthalib dan segenap stafnya, juga kawan-kawan di UPMA yang bantuannya cukup berarti bagi terselenggaranya acara ini.

Para pejabat di lingkungan IAIN Walisongo, terutama dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo yang tidak kami sebutkan satu persatu; juga seluruh dosen dan karyawan, yang selama ini dalam kebersamaan membina IAIN tercinta.

Akhirnya, seluruh panitia dari mstitut, fakultas, maupun adik-adik mahasiswa, yang tak dapat saya sebutkan satu persatu. Hanya kepada Allah Swt saya berdoa, semoga mereka mendapat balasan dari seluruh

Page 57: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

amal salihnya, Amin. Sekian. Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Page 58: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Alm. Prof. Dr. Mustafa al-Siba’iTokoh Hadis yang Energik

Dari Damaskus, Siria

Page 59: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

DAFTAR PUSTAKA

Ibn al-Shalah, Abu 'Amr 'Utsman ibn 'Abd al-Rahman, Muqad-ditnah ibn ShalahftVlum al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-'llmiyyah, 1978.

Ibn Anas, Abu Abdillah Malik, al-Muwaththa\ fnaskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad FVad 'Abd al-Baqi], [ttp.]:Daral-Sya'b, [tth.J.

Ibn Faris bin Zakariyya, Abu al-Husain Ahmad, Mu'jam Maqa-yis al-Lughah, Jilid I-VI, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi waSyarikah, 1392/1972.

Ibn HanbaLAbu 'Abdillah Ahmad, Musnad al-lmam Ahtnad ibn Hanbal, Bcirut: Dar al-Fikr, [tth.].

Ibn Katsir, Abu al-Fida" Isma'il, Ikbtishar 'Vlum al-Hadits, [diberi syarah oleh Ahmad Muhammad Syakk dan diberi judul al-Ba'tis al-Hasis ft IkhtisharVlum al-Hadits\, Beirut: Dar al-Fikr, [tth.].

Ibn Khaldun,'Abd al-Rahman bin Muhammad, Muqaddimah Ibn Khal'dun,[wp]\ Dar al-F'ikr, ['tth.].

Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, [tth].

Ibn Sa'ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra, Juz IV danVII, Lei-den:EJ. Brill, 1322.

Page 60: Erfan Soebahar- Respon Muhadditsun

Ilyas, Yunahar dan M. Mas'udi (Ed.), Pengembangan Pemikiran Ter-badap Hadis, Yogyakarta: LPPI UniA^ersitas Muhamma-diyah, 1996.

Ismail, M. Syuhudi, Metodokgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bu-lanBintang, 1413/ 1992.

s "Pemahaman Fladis Nabi secara Tekstual dan Konteks-

tual (Telaah Ma'ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Uni-versal, Temporal, dan Lokal," Pidato Pengukuhan Gum Be-sar llmu Hadis, IAIN Alauddin, 1992.

Al-Jaburi, Abu al-Yaqdxhan 'Athiyyah, Mabahitsfi 'Tadwin al-Sun-nah al-Muthabharah, Beirut: Dar al-Nadwah al-Jadidah, [tth.]

Al-Jundi, Anwar, Tashhih al-Mafahimfi Dlan> ^al-Qur"an al-Karim n>a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Kairo: Maktabat al-Turats al-Isla~ mi, [tth.].

Al-Kliathib, Muhammad 'Ajjaj, al-Sunnab Qabla al-Tadmn, Kairo: Maktabah Wahbah, 1383/1963.

Al-Kirmani, Muhammad bin Yusuf bin 'Ali, Shahih Abi'Abdillah al-Bukhari bi Syarh al-Kirmani, Juz I, Kairo: 'Abd al-Rahman Muhammad, [tth.].

Mahmudunnasir, Syed, hlamic in Concept and Hisfory, New Dcl-hi: Nurat 'Ali Nasr for Kitab Bhavan, 1981.