etika bisnis dalam islam kritik marxis dan non-marxis terhadap kapitalisme di amerika

Upload: adiep-alliece-natsugaya

Post on 20-Jul-2015

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

http://mbegedut.blogspot.com/2011/01/etika-bisnis-dalam-islam-kritikmarxis.html Etika Bisnis Dalam Islam: Kritik Marxis dan Non-Marxis Terhadap Kapitalisme di AmerikaEtika Bisnis Dalam Islam: Kritik Marxis dan Non-Marxis Terhadap Kapitalisme di Amerika Oleh: Marpuji Ali (Dosen Fakultas Agama Islam UMS) sebelumnya | Etika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di Indonesia Kritik Marxis terhadap Kapitalisme Amerika Karl Marx adalah pelopor dari The Marxian Paradigm menjadi The Neo-Classical Paradigm. Paradigma ini menekankan pada mikro ekonomi dalam konteks pasar ekonomi bebas[1]. Selain itu Karl Marx adalah orang yang menolak pandangan Adam Smith dan para pengikutnya yang menganggap bahwa kapitalisme sebagai suatu yang permanen bagi kehidupan masyarakat. Marx melihat bahwa kapitalisme hanyalah sebagai tahap transisi menuju pada suatu masyarakat dimana hak kepemlikan kekayaan tidak ada. Marx percaya bahwa kapitalisme menyembah kesucian self-interest tanpa mempunyai kepedulian terhadap self-respect manusia. Cita-cita Marx adalah meniadakan kapitalisme dengan menciptakan negara sosialis dimana hak kepemilikan pribadi tidak ada, dengan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Berpijak dari cita-cita Karl Marx tersebut, dapat dipahami kalau ia mengkritik praktek kapitalisme di Amerika Serikat. Kritik Marxis adalah;

Sistim kapitalisme mengeksploitasi buruh, karena buruh (tenaga kerja) dibayar dengan murah, jauh dari nilai produksi yang dihasilkan. Hal ini tidak bermoral, karena hanya memeras tenaga orang lain untuk memperkaya diri sendiri, karenanya kapitalisme harus diganti dengan sosialisme, yang pada akhirnya nanti menjadi komunisme penuh[2]. Untuk memeras tenaga kerja tersebut, para kapitalis mengatur sistem upah kepada buruh, selain serendah mungkin upah yang diterima, buruh disuruh bekerja 12 jam perhari, bukan 10 jam. Kalau menggunakan perhitungan produk, tiap satu jam buruh harus dapat menghasilkan barang 5 atau 4 buah, dan kalau biasanya hanya dapat menghasilkan 3 buah barang maka harus ditingkatkan menjadi 4 buah barang. Ciri lain dalam kapitalisme yang dikritik oleh Marx adalah mengeksploitasi tenaga kerja wanita bahkan anak-anak, dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarganya. Sistim kapitalisme membuat orang terasing dari proses sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan produk yang mereka buat, dari proses produksi yang utuh dan lain sebagainya. Bahkan mereka tidak perlu mengatahui tujuan dari produk yang dikerjakan. Manusia hanyalah bagian kecil dari sebuah sistem[3]. Dalam sistem kapitalis menurut Marx, benda atau barang-barang produksi mendominasi manusia. Hal ini dapat diilihat dalam praktek kapitalisme misalnya di industri otomotif, dan elektronik, manusia hanya mengetahui sedikit dari proses produksi secara utuh. Kalau mereka dipekerjakan di bagian perakitan televisi, radio atau motor misalnya, hanya mengerjakan sesuai dengan job yang diberikan, sehingga mereka tidak mengetahui pekerjaan yang lain. Dalam sistem kapitalisme, ekonomi dan politik negara hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat orang-orang tertentu, yakni para kapitalis/vested interest[4]. Orang kaya dan para kapitalis akan semakin kaya dan terus memupuk kapitalnya semakin

besar, sementara rakyat tetap saja miskin, penghasilannya rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Richard menggambarkan perbedaan penghasilan, ada yang berpenghasilan 1.000,000 US $ pertahun, sementara yang lain berpenghasilan 10.000 US $ pertahun. Menurut Rawls, keadilan akan menjadi kenyataan kalau kesempatan berusaha terbuka untuk semuanya. Padahal dalam sistem kapitalisme, membuka lubang yang besar untuk menjadi konglomerat. Mereka dapat menguasai suatu produk dari hulu sampai hilir, dan dapat leluasa mengambil alih perusahaan lain yang sedang kolap. Tidaklah heran dalam sistem ini seorang kapitalis menguasai saham mayoritas dalam beberapa jenis usaha, misalnya properti, agrobisnis, perhotelan, transportasi, perbankan, perkapalan dan teknologi informasi.

2. Kritik Non-Marxis terhadap Kapitalisme Amerika Walaupun Marxis sangat vokal dalam mengkritik praktek kapitalisme di Amerika, namun bukanlah satu-satunya pengkritik. Ada gelombang non-Marxis yang memberikan kritik kepada kapitalisme Amerika, paling tidak ada tiga titik fokus kritik, yakni:[5]

Kapitalisme menciptakan kebutuhan hidup yang sia-sia, boros dan salah tidak sesuai sasaran hidup manusia. Pola dan gaya hidup mewah serta standart hidup yang tinggi mengakibatkan muncul kekhawatiran berkurangnya sumber daya alam dan sumber daya lain yang tidak dapat dibeli dari negara lain. Kapitalisme menyokong tumbuh suburnya industri militer, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dengan negara-negara lain. Tujuan akhir dari industri militer dalam perspektif ekonomi adalah terjualnya produk-produk senjata. Senjata akan terjual kalau ada ketegangan dan perang, tanpa ada peperangan senjata tidak akan laku. Sehubungan dengan ini banyak tuduhan negatif yang dialamatkan kepada pemerintah; (1) karena pemerintah menarik pajak dari rakyat hanya untuk memproduksi alat-alat perang; (2) industri militer akan berkembang kalau ada perang; dan (3) industri militer telah mengambil alih kedaulatan rakyat dan pemerintah dalam kendali industri militer, yang sesungguhnya adalah milik kapitalis. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan, karena hanya akan memberikan peluang kepada para kapitalis dan menindas rakyat umum sebagai tenaga kerja. Pola hubungan industrial diarahkan pada pola hubungan borjuis dan proletar, majikan dan budak, manajer dan buruh. Akibatnya yang kaya akan semakin kaya, yang miskin terus berada dalam lembah kemiskinan.

Kritikan dari kalangan Marxis dan Non-Marxis tersebut tidaklah seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Buktinya, para penganut madzhab kapitalisme memberikan bantahan atau jawaban balik terhadap kritikan tentang praktek kapitalisme di Amerika. Ada tiga bantahan, yaitu:[6]

Kapitalisme itu memberikan kebebasan dan efisiensi. Kebebasan bersaing kepada pelaku bisnis tentang kualitas produk yang dipasarkan, dan mendorong pemerintah untuk bersikap adil, tidak korup dalam melihat realitas yang berlangsung dalam kebebasan bersaing di pasar. Kapitalisme di Amerika menggairahkan dunia perekonomian dengan mendorong meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan produktifitas kerja, dan memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat. Mereka yang bekerja keras akan mendapatkan upah yang banyak, sementara yang malas bekerja tidak akan mendapatkan upah

sesuai dengan produktifitas kerja. Persaingan dalam dunia kerja semakin ketat, maka orang akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya. Kapitalisme di Amerika memberikan tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih baik, dibandingkan dengan sistem sosialis.

Ada kritik yang pedas dari Marxis dan non-Marxis, ada bantahan dari pengikut kapitalisme, namun ada juga bersikap moderat, yakni kelompok yang berani keluar dari kapitalisme dan sosialisme dengan menawarkan solusi baru. Kapitalisme yang dipraktekkan di Amerika adalah kapitalis klasik yang tidak lepas dari intervensi pemerintah dan menciptakan kapitalis-kapitalis yang semakin menggurita dalam berbisnis, namun juga tidak dapat menerika praktek sosialisme yang hanya berada dalam alam gagasan saja. Kelompok moderat ini adalah;

Libertarianisme. Paham ini menginginkan adanya sebuah kekebasan murni dalam berbisnis, dengan cara pemerintah tidak perlu melakukan intervensi. Kebebasan yang murni akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Workers Democracy. Paham ini hampir sama dengan libertarianisme yakni pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dalam bidang ekonomi, sehingga akan tercipta keadilan dalam persaingan bebas di pasar. Selain itu dunia usaha tidak dimonopoli oleh para kapitalis, para pekerja yang ikut membesarkan perusahaan diikutsertakan memiliki perusahaan tersebut[7]. Dalam kapitalisme pekerja tidak mungkin dapat memiliki saham di perusahaan, maka alternatif ini memberikan peluang kepada pekerja untuk dapat memiliki perusahaan dengan cara membeli saham secara bebas dan transparan.

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Muhammad Arif, 1985: 93 Richard T, De George. 1995. Business Ethics, Ed. 4. New Jersey: Printice Hall., hal. 174 Ibid., hal. 177-179 Ibid., hal. 179-180 Ibid., 180-183 Ibid., 183-187 Ibid., 188-191

Etika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di IndonesiaEtika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di Indonesia sebelumnya | Etika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di Amerika Apakah Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme? Jawabannya pasti tidak. Sistem ekonomi yang dibangun Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila, yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi. Koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia, yang diabadikan dalam undang-undang. Namun rupanya idealitas, ya tinggal idealitas, tidak dapat diwujudkan dalam suatu kenyataan yang kuat. Prakteknya ternyata tetap menggunakan sistem kapitalisme, yang oleh Yoshihara Kunio dikatakan dengan kapitalisme semu atau Ersazt Capitalism. Salah satu ciri sistem kapitalisme adalah upah rendah dan proteksi dari pemerintah. Tenaga kerja Indonesia termasuk yang paling murah di Asia Tenggara, sementara waktu atau jam kerjanya tergolong tinggi dengan tingkat kesejahteraan kurang dari cukup. UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimun Profinsi) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat memberikan jaminan kesejahteraan buruh. Buktinya demontrasi buruh sering terjadi di perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi. Praktek kapitalisme kedua adalah proteksi pemerintah kepada pada pengusaha. Artinya pemerintah melakukan intervensi ke dalam dunia usaha dengan membuat undang-undang atau peraturan-peraturan. Maksud dari setiap peraturan adalah baik, karena ingin melindungi dunai usaha dari praktek-praktek usaha yang tidak adil. Namun kadang justru memberikan keleluasaan para pengusaha untuk mengembangkan usahanya, bahkan sampai pada tingkat monopoli usaha dari hulu sampai hilir. Di bawah ini beberapa pengusaha besar Indonesia yang mendapat lisensi atau fasilitas dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya, antara lain: 1. Arnold Baramuli. Kelompok Poleko yang dibangun bersama pengusaha lain memproduksi serat sintesis. Departemen Dalam Negeri adalah pemilik kelompok usaha ini, dan Baramuli hanyalah pengelolanya. Menurut Yoshihara (1990: 245), yang pasti tanpa kaitan dengan Departemen Dalam Negeri, Baramuli tidak akan berhasil dalam bisnis[1]. 2. Probosutedjo. Ia menjadi pengusaha besar karena pada awalnya mendapatkan lisensi dari pemerintah Orde Baru untuk mengimpor cengkeh, kayu gelondongan, dan mendapatkan preferensi khusus proyek-proyek pemerintah. Bendera Mertju Buana yang dikerek untuk mewadahi bisnis dalam bidang perakitan mobil, manfaktur barang pecah belah, perkebunan, real estate dan agribisnis semakin besar pada masa Orde Baru, mengingat ia saudara laki-laki dari Soeharto. 3. Sudwikatmono. Ia bersama Liem Sioe Liong membangun kerajaan bisnis dalam tepung terigu dan semen. Melalui PT Subentra Multi Petrokimia memperoleh kontrak dari pemerintah untuk membangun sebuah komplek petrokimia. 4. Putera-puteri Soeharto. Semua menjadi pengusaha papan atas di Indonesia karena mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbisnis. Tomy dengan Sirkuit Sentul, BPPC dan Mobil Timornya. Mbak Tutut dengan Jalan Tol dan BCA-nya, begitu juga Bambang Triatmojo dengan berbagai macam usahanya.

5. Bob Hasan. Ayah angkat Bob Hasan adalah Gatot Subroto, yang sejak dahulu kenal dekat dengan Soeharto. Ia mendapat konsesi-konsesi kayu gelondongan dari pemerintah. Bisnisnya menjadi besar karena mendapatkan kemudahan-kemudahan dari pemerintah. Ia juga disebut raja hutan karena memonopoli perdagangan kayu gelondongan. 6. Sudono Salim atau Liem Sioe Liong. Hubungannya erat dengan Soeharto, sehingga mendapatkan berbagai macam fasilitas dari pemertintah, monopoli cengkeh, tepung dan lain-lain. Usahanya merambah ke dunia perbankan, semen, tekstil, baja dan mobil.

Nama-nama kapitalis Indonesia di atas baru sebagian saja yang disebutkan. Mereka menjadi besar karena keterlibatan pemerintah dalam memberikan kemudahan-kemudahan, sehingga mereka dalam kendali penguasa. Kebijakan ekonomi pemerintah dapat berjalan lancar karena di back up oleh mereka. Pemerintah dan para kapitalis saling membutuhkan dan saling menarik manfaat. Kapitalis dapat hancur karena pemerintah, dan pemerintah juga dapat hancur karena kapitalis.

Etika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di AmerikaEtika Bisnis Dalam Islam: Praktek Kapitalisme di Amerika oleh: Oleh Marpuji Ali (Dosen Fakultas Agama Islam UMS) sebelumnya | Pengembangan E-learning dengan Pendekatan KM (kowledge management) Kapitalisme, diperkenalkan oleh Karl Marx (lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel keturunan para rabi[1]) sekitar abad 19 (sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus)[2] adalah suatu sistem produksi yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan tenaga kerja. Pemilik modal (kapital) memiliki hak penuh terhadap apa yang dimiliki. Maka dalam kapitalisme ada individual ownership, market economy, competition, and profit[3]. Kepemilikan pribadi (misalnya alat-alat produksi, tanah, perusahaan, dan sumber daya alam), sistem pasar adalah sistem yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan di pasar dalam kapitalisme. Sedangkan kapitalisme menurut para ahli didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi.[4] Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal bisa menguasai pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan yang besar. Industrialisasi bisa berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme. Fernand Braudel pernah menyatakan bahwa kaum kapitalis merupakan spekulator dan pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan besar tanpa menanggung banyak resiko[5].

Bagaimana sistem ekonomi Amerika Serikat? Amerika menganut sistem perusahaan bebas, sebagaimana model kapitalisme klasik, yakni kebebasan berusaha dan kebebasan pasar. Kapitalisme menghendaki peranan pemerintah dalam mengatur dunia usaha dapat diminimalkan. Akan tetapi Amerika dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru pemerintah melakukan campur tangan dalam ekonomi. Intervensi pemerintah dalam rangka untuk menciptakan stabilitas keamanan merupakan bagian dari sistem perekonomiannya[6]. Roda ekonomi nasional dapat berjalan dengan baik kalau ada jaminan keamanan dari pemerintah. Rasa aman adalah hak yang paling mendasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Dalam masyarakat yang mengakut sistem kapitalisme, persaingan yang bebas dalam menjajakan produksi adalah sesuatu yang sangat prinsip. Pemerintah berkewajiban menjaga prinsip ini, dengan menciptakan suasana yang kondusif bagi persaingan bebas. Maka intervensi pemerintah dalam rangka menjaga sistem ekonomi yang berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak adanya kekerasan pada hak-hak dasar. Kalau suatu usaha bisnis hanya menguntungkan dan memperkaya pemimpin negara, dan birokrat pemerintah, sementara rakyatnya tidak sejahtera maka hal itu tidaklah bermoral. Bentuk intervensi pemerintah Amerika Serikat adalah dalam hal: (a) memberikan tunjangan bagi orang-orang yang tidak mampu bersaing di pasar bebas karena sakit, dan tidak memiliki ketrampilan; (b) menyediakan barang-barang dan jasa yang diperlukan untuk masyarakat umum, misalnya jalan untuk memperlancar arus transportasi barang dagangan, kereta api untuk mengangkut barang dagangan dalam jumlah yang besar, kemudian polisi untuk memberikan rasa aman bagi pelaku bisnis; ( c ) mengontrol siklus ekonomi, dengan cara jika ekonomi melemah pemerintah melakukan penguatan permintaan, dan jika ekonomi menguat pemerintah melakukan pengereman; (d) melakukan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan dengan cara menegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar dalam melakukan usaha ekonomi; dan (e) meminta pajak usaha dari para pelaku ekonomi. Pajak ini nantinya dikembalikan lagi kepada masyarakat umum dalam bentuk pelayanan dan jasa[7] .

Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik ribb; Ashkenazi modern dan Israel rabb) dalam Yudaisme, berarti "guru", atau arti harafiahnya "yang agung". Kata "Rabi" berasal dari akar kata bahasa Ibrani RaV, yang dalam bahasa Ibrani alkitabiah berarti "besar" atau "terkemuka, (dalam pengetahuan)". Dalam aliran-aliran Yudea kuno, kaum bijaksana disapa sebagai (Ribbi atau Rebbi) dalam abad-abad belakangan ini diubah ucapannya menjadi Rabi (guruku). Istilah sapaan penghormatan ini lambat laun dipergunakan sebagai gelar, dan akhiran pronomina "i" (-ku) kehilangan maknanya karena seringnya kata ini digunakan. Di Eropa Timur, Rabi diucapkan sebagai Ravin, [2] Jonathan H. Turner. The Emergence of sociological theory. 1981. Illinois: The Dorsey Press. Hlm. 165-190 [3] W. Ebenstein, 1980: 148-151 [4] wikipedi [5] Yoshihara Kunio, 1990: 3 [6] Richard, 1995: 168-170 [7] Ibid., hal. 170-173[1]

Etika Bisnis Dalam Islam: Kritik Islam Terhadap KapitalismeEtika Bisnis Dalam Islam: Kritik Islam Terhadap Kapitalisme Oleh Marpuji Ali (Dosen Fakultas Agama Islam UMS) sebelumnya | Etika bisnis dalam Islam: kritik marxis dan non-marxis Kalau kelompok Marxis dan non-Marxis telah memberikan kritik bahwa praktek kapitalisme itu tidak bermoral, serta ada kelompok moderat yang memberikan solusi alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, lantas bagaimana dengan Islam? Kapitalisme mengakui adanya kepemilikan individual, dan sosialisme tidak mengakui adanya kepemilikan individual, lantas bagaimana dengan Islam? Di bawah ini akan dijelaskan beberapa point yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang dipercaya sebagai khalifah, yaitu mengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia (Q.S. alAnam/6: 175; Hud/11: 61). Untuk manusia diberi kemampuan lebih dibanding makhluk-makhluk lain. Amanat itu nantinya akan diminta pertanggungjawabannya (Q.S. al-Qiyamah/75: 36) di muka mahkamah Ilahi. Untuk dapat memakmurkan dunia, Allah menciptakan bumi, langit dan alam seisinya diperuntukkan kepada manusia (Q.S. Luqman/31: 20; al-Jasiyah/45: 13) untuk dinikmati secara baik dan merata sehingga manusia akan sejahtera secara ekonomi. Namun Islam melarang melakukan eksploitas sumber daya alam secara berlebihan, lebih-lebih hanya untuk diiinya sendiri, yang nantinya hanya akan mengakibatkan kerusakan alam semesta (Q.S. al-Syuara/26: 183). 2. Memanfaatkan potensi alam dan bekerja bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk mencari keridhaan Allah. Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dan beramal shaleh, hasil dari pekerjaan untuk dimanfaatkan sebaik-baik dalam kerangka ibadah kepada Allah (Q.S. al-Kahfi/18: 110). Maka harta benda yang dimiliki seseorang dari hasil kerja keras tersebut tidak akan menimbulkan hak-hak istimewa. Tidaklah tepat bahwa kekayaan berarti suatu kemuliaan dan kemiskinan merupakan kehinaan di mata Allah. Kemuliaan seseorang bukan terletak pada kekayaannya yang berlimpah ruah, dan kemiskinan yang papa melainkan terletak pada tingkat ketakwaannya. Oleh karenanya Allah adalah pemilik mutlak atas segala-galanya. Harta benda bukanlah milik pribadi (kapitalisme) dan bukan pula milik bersama (sosialisme) melainkan milik Allah. Manusia hanya dititipi atau diberi amanah untuk membelanjakan harta benda tersebut sesuai dengan aturan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemilik harta yaitu Allah. Harta benda adalah anugerah dari Allah kepada manusia untuk dinikmati dan diurus dengan baik, maka manusia hanya berhak untuk mengelola dan menikmati saja. Selain itu sifat kepemilikan harta benda atau kekayaan oleh manusia itu hanya sementara, sebatas usia manusia di dunia. Kalau manusia meninggal dunia maka harta benda tersebut harus segera dibagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Hal ini tidak ada dalam madzhab ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Islam melarang menumpuk-numpuk harta benda dan tidak menafkahkannya atau menelantarkannya. Islam tidak menginginkan adanya penumpukkan harta benda tanpa difungsikan sebagaimana mestinya, karena hal ini dapat mematikan roda perekonomian. Penumpukkan harta benda (barang dagangan) dengan maksud supaya terjadi kelangkaan barang di pasar, sehingga harga akan tinggi, dapat menimbulkan kesengsaraan,penderitaan rakyat sangat dilarang oleh Islam.

Barangsiapa yang menumpuk-numpuk suatu barang sedang dia bermaksud hendak menjualnya dengan mahal terhadap kaum muslimin, maka dia itu bersalah Rasa cinta yang berlebihan terhadap harta benda sangat dikutuk, karena itu dapat menjadi sumber yang menimbulkan rasa tamak dan kikir. Riba dilarang dalam Islam karena ia merupakan faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan. Terkonsentrasinya kekayaan pada orang-orang tertentu atau penimbunan barang merupakan sesuatu yang tidak adil dan merupakan kejahatan, karena menimbulkan kerugian produksi, konsumsi dan perdagangan (Mustaq Ahmad: 2001: 72). Dalam kapitalisme berlaku hukum mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan upah yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi equality antara laki-laki dan perempuan. Upah atau gaji yang diberikan kepada mereka bukan karena status kelaminnya, melainkan kualitas kerjanya. Manusia bekerja sesuai dengan kapasitas beban yang ada dalam diri manusia. Seluruh hidupnya tidak hanya untuk bekerja, melainkan juga untuk beribadah, istirahat dan bermasyarakat. Islam tidak hanya memperbolehkan dan mendorong segala bentuk kerja produktif, tetapi Islam menyatakan bahwa bekerja keras bagi seorang muslim adalah suatu kewajiban (Ibid.:18). Penghargaan kerja keras ini sebagaimana tertera dalam hadis yang artinya: Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak (H.R. Bukhari dan Muslim) Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka di waktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya (H.R. Thabrani dan Baihaqi) Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguhsungguh (urusan) yang lain. (Q.S. Alam Nasyrah/94: 7) Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian dia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan yang baru dinamai faragh (Quraish Shihab: 1997: 6). Kata fanshab dalam ayat tersebut berarti berat/letih, maka orang yang bekerja itu pasti letih dan pekerjaan itu sesuatu yang berat, namun kalau dikerjakan dalam rangka untuk mencari ridha dan ibadah kepada Allah, keletihan dan beratnya pekerjaan tidak menjadi persoalan prinsip. Kalau dalam kapitalisme yang dipraktekkan di Amerika itu menimbulkan pola dan gaya hidup yang mewah sehingga terjadi pemborosan, itu tidak dibenarkan dalam Islam. Islam menekankan keseimbangan dalam membelanjakan harta benda, tidak boleh boros tetapi tidak boleh kikir. Ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, kepentingan pribadi dan kepentingan umum, kebutuhan jasmani dan rohani. Selain itu dalam kapitalisme walaupun ada unsur keadilan, tetapi kenyataan tidak adil karena intervensi pemerintah yang begitu besar dalam mengarahkan roda perekonomiannya. Islam sangat menganjurkan bertindak adil, dengan memberikan kesempatan kepada umatnya untuk bekerja keras kemudian bertawakkal kepada Allah. Hasil dari kerja keras itu sebagian didermakan kepada orang lain yang membutuhkan. Dalam dunia bisnis, tenaga kerja harus diperhatikan kesejahteraannya, makannya, kesehatannya sebagaimana perhatian manajer kepada dirinya sendiri. Hal ini tidak terjadi dalam kapitalisme, karena tidak mungkin buruh akan makan sekualitas majikannya. Sampai-sampai Nabi Muhammad Saw menegaskan kewajiban majikan terhadap buruh-buruhnya atau karyawannya seperti yang diturukan oleh Ali bin Abi Thalib yang artinya:

Wahai sekalian manusia! Ingatlah Allah, Ingatlah Allah, dalam agamamu dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah, Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang-orang yang berada di bawah kekuasaanmu. Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai. Dan janganlah kamu bebani mereka dengan beban yang yang mereka tidak sanggup menanggungnya. Sebab sesungguhynya mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti halnya diri kamu sekalian sendiri. Awas barangsiapa bertindak dzalim kepada mereka, maka akulah musuhnya di hari kiamat, dan Allah adalah Hakimnya

Etika Bisnis Dalam Islam: Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam SyariahEtika Bisnis Dalam Islam: Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah sebelumnya | Etika Bisnis Dalam Islam: Kritik Islam Terhadap Kapitalisme Berikut ini adalah beberapa (sebagian) Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah: 1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-Araf;32. QS: Al Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan. 2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis ang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al araf;31). 3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al Baqarah: 188: Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela perbuatan tersebut : Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah, Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda : Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk

memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat. 4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Nabi bersabda Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.

Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar akhlaqul karimah, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan etika Islam sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syariah Islam secara menyeluruh, termasuk etika jual beli.

Bisnis Dalam Islam: Larangan Terhadap Kecurangan Dalam Takaran dan TimbanganCopas: Bisnis Dalam Islam: Larangan Terhadap Kecurangan Dalam Takaran dan Timbangan oleh: Akhmad Mujahidin Sebelumnya | copas: Pedoman Bisnis Dalam Islam Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus dalam al-Quran karena praktek seperti ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktek seperti ini juga menimbulkan dampak yang sangat vital dalam dunia perdagangan yaitu timbulnya ketidakpercayaan pembeli terhadap para pedagang yang curang. Oleh karena itu, pedagang yang curang pada saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa di akhirat. Allah berfirman: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?[1] Kata waylun diatas memiliki arti azab, kehancuran, atau sebuah lembah di neraka Jahannam.[2] Hal ini menunjukkan bahwa pedagang yang melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan azab sehingga ditempatkan di lembah neraka Jahannam. Oleh karena itu, setiap pedagang hendaknya berhati-hati dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari azab. A. Ilyas Ismail menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Madinah.[3] Setibanya di Yathrib (Madinah), Nabi Muhammad saw banyak mendapat laporan tentang para pedagang yang curang. Abu Juhaynah salah seorang dari mereka. Ia dikabarkan memiliki dua takaran yang berbeda, satu untuk membeli dan yang satu lagi untuk menjual. Lalu, kepada Abu Juhaynah dan penduduk Madinah yang lain, Rasulullah saw membacakan ayat di atas. Ayat ini memberi peringatan keras kepada para pedagang yang curang. Mereka dinamakan mutaffifin. Dalam bahasa Arab, mutaffifin berasal dari kata tatfif atau tafafah, yang berarti pinggir atau bibir sesuatu. Pedagang yang curang itu dinamai mutaffif, karena ia menimbang atau menakar sesuatu hanya sampai bibir timbangan, tidak sampai penuh hingga penuh ke permukaan. Dalam ayat di atas, perilaku curang dipandang sebagai pelanggaran moral yang sangat besar. Pelakunya diancam hukuman berat, yaitu masuk neraka wail. Ancaman ini pernah mengagetkan seorang Arab (Badui). Ia kemudian menemui Abdul Malik bin Marwan, khalifah dari Bani Umayyah. Kepada khalifah ia menyampaikan kegalauannya. Katanya, ''Kalau pencuri kecil-kecilan saja (korupsi timbangan) diancam hukuman berat, bagaimana dengan para penguasa yang suka mencuri dan makan uang rakyat dalam jumlah besar, bahkan tidak terhitung lagi jumlahnya alias tanpa takarannya?'' Khalifah menjawab bahwa korupsi timbangan itu dianggap sebagai kejahatan besar, karena ia menyangkut sosial ekonomi (muamalat) yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Korupsi semacam itu bisa terjadi sepanjang waktu.[4]

Pada masa lalu, masa Rasulullah, pedagang tradisional mencuri kecil-kecilan dengan korupsi timbangan. Pada masa sekarang, selain mengurangi takaran dan timbangan, para pedagang mencuri dengan teknik yang lebih canggih dan dalam skala yang lebih besar. Praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran, mark up, dan proyek-proyek fiktif, semuanya tergolong perilaku tercela yang dinamakan tatfif. Kecurangan pada dasarnya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tapi dalam semua bidang. Kecurangan adalah simbol kebohongan. Setiap pembohong berarti telah berbuat curang. Orang yang tidak suka melihat orang lain memperoleh kesuksesan, berarti ia curang. Orang yang hanya melihat aib saudaranya dan tidak pernah melihat aib dirinya, ia juga curang. Begitu pula, orang yang hanya menuntut haknya dan tidak pernah mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, ia juga dinilai curang. Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat, padahal keadilan diperlukan dalam setiap perbuatan agar tidak menimbulkan perselisihan. Pemilik timbangan senantiasa dalam keadaan terancam dengan azab yang pedih apabila ia bertindak curang dengan timbangannya itu. Pedagang beras yang mencampur beras kualitas bagus dengan beras kualitas rendah, penjual daging yang menimbang daging dengan campuran tulang yang menurut kebiasaan tidak disertakan dalam penjualan, pedagang kain yang ketika kulakan membiarkan kain dalam keadaan kendor, tetapi pada saat menjual ia menariknya cukup kuat sehingga ia memperoleh tambahan keuntungan dari cara pengukurannya itu, semua itu termasuk kecurangan yang akan mendatangkan azab bagi pelakunya. Penghargaan ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah bahwa perniagaan harus dilaksanakan secara baik atas dasar suka sama suka. Dalam al-Quran dinyatakan bahwa orang beriman dilarang memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil kecuali dengan cara perdagangan atas dasar suka sama suka. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[5] Hendaknya orang beriman menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah berfirman: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.[6] Karena menyempurnakan takaran dan timbangan dengan jujur merupakan cara terbaik dalam melakukan transaksi. Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[7] Sedangkan orang yang suka mengurangi takaran dan timbangan akan mendapatkan siksa neraka.[8] Dengan demikian seluruh ayat tersebut menekankan pada pentingnya kejujuran dalam menakar dan menimbang pada saat melakukan transaksi perdagangan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya bagi pedagang. Dusta itu sendiri dapat membawa kepada perbuatan

jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada neraka. Karena setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka adalah tempat yang tepat baginya. Selain itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, yaitu orang yang sombong, orang yang suka mengungkit-ungkit kembali pemberiannya, dan orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) dengan sumpah palsu.[9] Selain itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari lingkungan umat Islam. Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka.[10] Oleh karena itu, sikap kehatihatian dalam menakar dan menimbang ini perlu dilakukan karena kecurangan merupakan tindak kezaliman yang sulit ditebus dengan taubat. Hal ini disebabkan kesulitan mengumpulkan kembali para pembeli yang pernah dirugikan dengan mengembalikan hakhak mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan kepada pedagang[11] hendaknya bermurah hati untuk memberikan tambahan kepada pembeli, bukan malah mengurangi berat timbangannya. Selain kecurangan dalam penakaran dan penimbangan, pengawasan muhtasib juga diarahkan kepada praktek penipuan kualitas barang. Pedagang seharusnya menunjukkan cacat barang yang dijualnya. Jika ia menyembunyikan cacat barang yang dijualnya maka ia dapat dikategorikan sebagai penipu, sedangkan penipuan itu diharamkan. Kondisi seperti inilah yang disaksikan oleh Rasulullah saw ketika suatu hari menginspeksi pasar Madinah. Abu Hurairah menceritakan[12]: suatu hari Rasulullah berjalan ke pasar, kemudian beliau melihat pedagang menjual setumpuk kurma yang bagus, Rasulullah tertarik dengan kurma tersebut, tetapi ketika beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukan kurma itu ternyata di bagian bawahnya busuk, kemudian Rasulullah menanyakan kepada pedagangnya mengapa kurma yang dibawahnya basah. Pedagang menjawab bahwa kurma yang basah tersebut karena hujan. Kemudian Rasulullah bertanya lagi mengapa kurma yang basah tersebut tidak diletakkan di atas supaya orang bisa melihatnya. Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menipu dalam berdagang bukan umatnya. Inspeksi yang dilakukan Rasulullah menunjukkan bahwa dalam transaksi itu diperlukan kerelaan antara pedagang dan pembeli, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Perbuatan menyembunyikan cacat pada barang dagangan sebenarnya tidak akan menambah rizki, bahkan bias menghilangkan keberkahan sebab harta yang dikumpulkan dengan penipuan sangat dimurkai oleh Allah.[13] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harta tidak akan bertambah karena tindak kecurangan, sebagaimana harta tidak akan berkurang karena disedekahkan. Bagi orang yang yang tidak mengenal pertambahan dan pengurangan harta kecuali melalui ukuran material niscaya sulit menerima paham tentang keberkahan rizki. Sedangkan orang yang meyakini adanya keberkahan rizki niscaya akan dengan mudah meninggalkan tindak kecurangan karena bisa menghilangkan keberkahan rizkinya. Penipuan dalam perdagangan merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu tidak sepatutnya seorang pedagang bersikap kurang peduli dengan kualitas barang yang diperdagangkannya. Hal ini tentu saja dapat dikiaskan kepada pedagang sendiri, bagaimana apabila ditipu oleh pedagang lain, tentu saja ia tidak mau menerimanya. Pemberitahuan cacat suatu barang, dengan demikian, menjadi suatu keharusan bagi pedagang untuk menjaga kepercayaan pembeli demi kelangsungan usaha mereka sendiri.

Hal ini bisa dilakukan pedagang, apabila pada saat kulakan ia selalu memilih barang yang berkualitas baik yang ia sendiri menyukai barang itu dan tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan Allah akan menurunkan keberkahan dalam perdagangan, tanpa harus melakukan penipuan. Penipuan sulit dihindari oleh para pedagang karena mereka tidak mau mengambil sedikit keuntungan, sementara keuntungan yang besar jarang terhindar dari penipuan.

al-Qur'an, 83: 1-6. Al-Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Tafsir wa Bayan Kalimat al-Quran al-Karim (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 2001), 587. [3] A Ilyas Ismail, Perilaku Curang, Naver Indonesia (Kamis, 15 Juli 2004). [4] Ibid [5] al-Quran, 4: 29. [6] al-Quran, 6: 152 [7] al-Quran, 17: 35 [8] al-Quran 83: 1-6; 11: 84-85 [9] Muslim bin Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Riyad: Riasat Idarat al-Buhuth al-Ilmiyyah wa al-Ifta wa al-Dawah wa al-Irshad, 1400 H). 103 [10] Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidy (Surabaya: Bina Ilmu, 1993),37. [11] Lihat Sahih Muslim, nomor hadith 2556. [12] Al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh} al-Nawawi, Juz II (Mesir: Maktabat Ali Shubayh, t.t), 109. [13] Lihat Sahih Muslim nomor hadith 2825[1] [2]

PEDOMAN BISNIS DALAM ISLAMCopas: PEDOMAN BISNIS DALAM ISLAM oleh: Akhmad Mujahidin sebelumnya | Landasan bisnis dalam Islam Pedoman bisnis secara umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka hatinya dan dengan jalan apapun yang dimaksud, seperti penipuan, kecurangan, sumpah palsu, dan perbuatan batil lainnya. Tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga kepada masalah kemaslahatan umum, seperti suka sama suka sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan dizalimi dalam transaksi tersebut. Garis pemisah ini berdiri di atas landasan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mengatakan bahwa semua jalan untuk berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat kepada seseorang kecuali dengan menjatuhkan orang lain, adalah tidak dibenarkan. Semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil, adalah dibenarkan. Prinsip ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan sikap permusuhan dan penganiayaan, maka kelak akan Kami masukkan dia ke dalam api neraka.[1] Ayat ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal. Pertama, perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain. Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dengan demikian ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri (vested interest). Disinilah letak pedoman bisnis dalam islam sangat diperlukan, Sebab hal demikian, seolah-olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.Tetapi apabila sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama suka, maka syarat yang terpenting jangan kamu membunuh diri kamu itu tidak ada.[2] Dengan memahami ayat-ayat tersebut, maka ada bebarapa bentuk transaksi yang dapat dikategorikan terlarang: 1. Tidak jelasnya takaran dan spesifikasi barang yang dijual. 2. Tidak jelas bentuk barangnya. 3. Informasi yang diterima tidak jelas sehingga pembentukan harga tidak berjalan dengan mekanisme yang sehat. 4. Penjual dan pembeli tidak hadir di pasar sehingga perdagangan tidak berdasarkan harga pasar. Model-model transaksi di atas hendaknya menjadi perhatian serius dari pelaku pasar muslim. Penegakan nilai-nilai moral dalam kehidupan perdagangan di pasar harus disadari secara

personal oleh setiap pelaku pasar. Artinya, nilai-nilai moralitas merupakan nilai yang sudah tertanam dalam diri para pelaku pasar, karena ini merupakan refleksi dari keimanan kepada Allah. Dengan demikian seseorang boleh saja berdagang dengan tujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi dalam Islam, bukan sekedar mencari besarnya keuntungan melainkan dicari juga keberkahan. Keberkahan usaha merupakan kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridai oleh Allah swt. Untuk memperoleh keberkahan dalam jual-beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip moral sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Jujur dalam menakar dan menimbang. Menjual barang yang halal. Menjual barang yang baik mutunya. Tidak menyembunyikan cacat barang. Tidak melakukan sumpah palsu. Longgar dan murah hati. Tidak menyaingi penjual lain. Tidak melakukan riba. Mengeluarkan zakat bila telah sampai nisab dan haulnya.[3]

Prinsip-prinsip tersebut diajarkan Islam sebagai pedoman bisnis dalam islam untuk diterapkan dalam kehidupan di dunia perdagangan yang memungkinkan untuk memperoleh keberkahan usaha. Keberkahan usaha berarti memperoleh keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan di dunia berupa relasi yang baik dan menyenangkan, sedangkan keuntungan akhirat berupa nilai ibadah karena perdagangan yang dilakukan dengan jujur. Dalam Islam, pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal, karena secara teoretis maupun praktis, Islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai shariah, meskipun tetap dalam suasana bersaing. Artinya, konsep pasar dalam Islam adalah pasar yang ditumbuhi nilai-nilai shariah seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan persaingan sehat yang merupakan nilai-nilai universal, bukan hanya untuk muslim tetapi juga non-muslim. Hal ini tentu saja bukan hanya kewajiban personal pelaku pasar tetapi juga membutuhkan intervensi pemerintah. Untuk itulah maka pemerintah mempunyai peranan yang penting dan besar dalam menciptakan pasar yang islami, sebagaimana ditunjukkan oleh adanya hisbah pada masa Rasulullah dan sesudahnya. Islam menempatkan pasar sebagai tempat perniagaan yang sah dan halal, sehingga secara umum merupakan mekanisme perdagangan yang ideal. Penghargaan yang tinggi tidak hanya bersifat normatif tetapi juga telah dibuktikan dalam sejarah panjang kehidupan masyarakat muslim klasik. Rasulullah saw adalah seorang pelaku pasar yang aktif, demikian pula kebanyakan para sahabatnya. Pada masa ini peranan pasar dalam menentukan harga sangat menonjol. Intervensi pemerintah hanya dilakukan dalam kondisi tertentu. Gambaran pasar yang islami adalah pasar yang di dalamnya terdapat persaingan sehat yang dibingkai dengan nilai dan moralitas Islam. Nilai dan moralitas Islam itu secara garis besar terbagi dua: Pertama, norma yang bersifat khas yaitu hanya berlaku untuk muslim. Kedua, norma yang bersifat umum yaitu berlaku untuk seluruh mesyarakat. Islam mengajarkan bahwa tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi dan diproduksi. Seorang muslim hanya diperkenankan mengkonsumsi dan meproduksi barang yang baik dan halal, sehingga barang yang haram harus ditinggalkan. Seorang muslim juga terikat dengan nilai-nilai kesederhanaan dan konsistensi perioritas pemenuhannya. Norma khas ini tentu saja

harus diimplementasikan dalam kehidupan di pasar. Selain itu, Islam juga sangat memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat umum dan berlaku secara universal seperti persaingan sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan. Nilai-nilai ini sangat ditekankan dalam Islam bahkan selalu dikaitkan dengan keimanan kepada Allah. Keterikatan seorang muslim dengan norma-norma ini akan menjadi sistem pengendali yang bersifat otomatis bagi pelakunya dalam aktifitas pasar. Dengan mengacu kepada Alquran dan praktek kehidupan pasar pada masa Rasulullah dan para sahabatnya, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa ciri khas kehidupan pasar yang islami adalah : 1. Orang harus bebas untuk keluar dan masuk pasar. Memaksa orang untuk menjual barang dagangan tanpa ada kewajiban untuk menjual merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang. 2. Adanya informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan. Tugas muhtasib adalah mengawasi situasi pasar dan menjaga agar informasi secara sempurna diterima oleh para pelaku pasar. 3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Kolusi antara penjual dan pembeli harus dihilangkan. Pemerintah boleh melakukan intervensi apabila unsur monopolistik ini mulai muncul. 4. Adanya kenaikan dan penurunan harga yang disebabkan naik turunya tingkat permintaan dan penawaran. 5. Adanya homogenitas dan standarisasi produk agar terhindar dari pemalsuan produk, penipuan, dan kecurangan kualitas barang. 6. Terhindar dari penyimpangan terhadap kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, kecurangan dalam menakar, menimbang, dan mengukur, dan niat yang buruk dalam perdagangan. Pelaku pasar juga dilarang menjual barang-barang haram seperti minuman keras, alat perjudian dan pelacuran, dan lain-lain.[4]

Dengan memperhatikan kriteria pasar islami tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasar islami itu dibangun atas dasar terjaminnya persaingan yang sehat yang dibingkai dalam nilai dan moralitas Islam. Untuk menjamin agar kriteria ini tetap terjaga dengan baik diperlukan seorang muhtasib yang memiliki peranan aktif dan permanen dalam menjaga mekanisme pasar yang islami sehingga dapat dijadikan model bagi peran pemerintah terhadap pasar. Pengawasan secara cermat terhadap mekanisme pasar harus dilakukan demi tegaknya kepentingan sosial dan nilai-nilai akhlak islami yang diinginkan semua pihak. Mekanisme pasar dibangun atas dasar kebebasan yaitu kebebasan individu untuk melakukan transaksi barang dan jasa sebagaimana yang ia sukai. Ibn Taymiyah menempatkan kebebasan pada tempat yang tinggi bagi individu dalam kegiatan ekonomi, walaupun beliau juga memberikan batasan-batasannya. Batasan yang dimaksud adalah tidak bertentangan dengan shariah Islam dan tidak menimbulkan kerugian, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan. Selain itu juga diperlukan kerjasama saling membantu antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Segala sesuatu itu boleh dan sah dilakukan sampai ada larangan khusus yang bertentangan dengan shariah Islam, khususnya dalam hal penipuan dan hal-hal yang merugikan.[5]

Setiap individu memiliki kewajiban untuk ikut mensejahterakan lingkungan sosialnya yang dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu kerabat dan tetangga sampai masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. Secara alamiah manusia itu juga merupakan makhluk sosial, karenanya merupakan fitrah jika manusia saling bekerjasama antara satu dengan yang lain. Ibn Taymiyah juga menyatakan bahwa pemerintah harus melakukan intervensi ketika konflik antar anggota masyarakat dengan prinsip mencegah keburukan itu lebih didahulukan daripada berbuat kebaikan.[6] Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam memberikan tempat yang tinggi kepada kebebasan individu tetapi dibatasi oleh nilai-nilai shariah Islam. Batasan yang dimaksud di sini adalah shariah Islam dan harmoni kepentingan individu dan sosial. Islam juga menekankan pada aspek tolong-menolong dan bekerjasama antar sesama manusia. Oleh karena itu, konsepsi kebebasan dalam Islam lebih mengarah kepada kerjasama, bukan persaingan apalagi saling mematikan usaha antara satu dengan yang lain. Kalaupun ada persaingan dalam usaha maka itu berarti persaingan dalam hal berbuat kebaikan. Inilah yang disebut dalam al-Quran dengan fastabiq al-khayrat (berlomba-lomba dalam kebajikan).[7] Dengan demikian, kerjasama atau berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan mendapat perhatian serius dalam ajaran Islam.

al-Quran, 4 : 29-30. Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidy (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal, 38. [3] Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal, 23. [4] Ibn Taymiyah, Majmu Fatawa Shaykh al-Islam Ahmad Ibn Taymiyah (Riyad: Matbaat al-Riyad, 1387 H), hal, 78. [5] Islahi, Economic, hal. 225. [6] Ibid., hal. 226-227 [7] al-Quran, 2: 148.[1] [2]

Bisnis Dalam Islam: Larangan Terhadap Kecurangan Dalam Takaran dan TimbanganCopas: Bisnis Dalam Islam: Larangan Terhadap Kecurangan Dalam Takaran dan Timbangan oleh: Akhmad Mujahidin Sebelumnya | copas: Pedoman Bisnis Dalam Islam Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus dalam al-Quran karena praktek seperti ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktek seperti ini juga menimbulkan dampak yang sangat vital dalam dunia perdagangan yaitu timbulnya ketidakpercayaan pembeli terhadap para pedagang yang curang. Oleh karena itu, pedagang yang curang pada saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa di akhirat. Allah berfirman: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?[1] Kata waylun diatas memiliki arti azab, kehancuran, atau sebuah lembah di neraka Jahannam.[2] Hal ini menunjukkan bahwa pedagang yang melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan azab sehingga ditempatkan di lembah neraka Jahannam. Oleh karena itu, setiap pedagang hendaknya berhati-hati dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari azab. A. Ilyas Ismail menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Madinah.[3] Setibanya di Yathrib (Madinah), Nabi Muhammad saw banyak mendapat laporan tentang para pedagang yang curang. Abu Juhaynah salah seorang dari mereka. Ia dikabarkan memiliki dua takaran yang berbeda, satu untuk membeli dan yang satu lagi untuk menjual. Lalu, kepada Abu Juhaynah dan penduduk Madinah yang lain, Rasulullah saw membacakan ayat di atas. Ayat ini memberi peringatan keras kepada para pedagang yang curang. Mereka dinamakan mutaffifin. Dalam bahasa Arab, mutaffifin berasal dari kata tatfif atau tafafah, yang berarti pinggir atau bibir sesuatu. Pedagang yang curang itu dinamai mutaffif, karena ia menimbang atau menakar sesuatu hanya sampai bibir timbangan, tidak sampai penuh hingga penuh ke permukaan. Dalam ayat di atas, perilaku curang dipandang sebagai pelanggaran moral yang sangat besar. Pelakunya diancam hukuman berat, yaitu masuk neraka wail. Ancaman ini pernah mengagetkan seorang Arab (Badui). Ia kemudian menemui Abdul Malik bin Marwan, khalifah dari Bani Umayyah. Kepada khalifah ia menyampaikan kegalauannya. Katanya, ''Kalau pencuri kecil-kecilan saja (korupsi timbangan) diancam hukuman berat, bagaimana dengan para penguasa yang suka mencuri dan makan uang rakyat dalam jumlah besar, bahkan tidak terhitung lagi jumlahnya alias tanpa takarannya?'' Khalifah menjawab bahwa korupsi timbangan itu dianggap sebagai kejahatan besar, karena ia menyangkut sosial ekonomi (muamalat) yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Korupsi semacam itu bisa terjadi sepanjang waktu.[4]

Pada masa lalu, masa Rasulullah, pedagang tradisional mencuri kecil-kecilan dengan korupsi timbangan. Pada masa sekarang, selain mengurangi takaran dan timbangan, para pedagang mencuri dengan teknik yang lebih canggih dan dalam skala yang lebih besar. Praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran, mark up, dan proyek-proyek fiktif, semuanya tergolong perilaku tercela yang dinamakan tatfif. Kecurangan pada dasarnya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tapi dalam semua bidang. Kecurangan adalah simbol kebohongan. Setiap pembohong berarti telah berbuat curang. Orang yang tidak suka melihat orang lain memperoleh kesuksesan, berarti ia curang. Orang yang hanya melihat aib saudaranya dan tidak pernah melihat aib dirinya, ia juga curang. Begitu pula, orang yang hanya menuntut haknya dan tidak pernah mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, ia juga dinilai curang. Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat, padahal keadilan diperlukan dalam setiap perbuatan agar tidak menimbulkan perselisihan. Pemilik timbangan senantiasa dalam keadaan terancam dengan azab yang pedih apabila ia bertindak curang dengan timbangannya itu. Pedagang beras yang mencampur beras kualitas bagus dengan beras kualitas rendah, penjual daging yang menimbang daging dengan campuran tulang yang menurut kebiasaan tidak disertakan dalam penjualan, pedagang kain yang ketika kulakan membiarkan kain dalam keadaan kendor, tetapi pada saat menjual ia menariknya cukup kuat sehingga ia memperoleh tambahan keuntungan dari cara pengukurannya itu, semua itu termasuk kecurangan yang akan mendatangkan azab bagi pelakunya. Penghargaan ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah bahwa perniagaan harus dilaksanakan secara baik atas dasar suka sama suka. Dalam al-Quran dinyatakan bahwa orang beriman dilarang memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil kecuali dengan cara perdagangan atas dasar suka sama suka. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[5] Hendaknya orang beriman menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah berfirman: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.[6] Karena menyempurnakan takaran dan timbangan dengan jujur merupakan cara terbaik dalam melakukan transaksi. Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[7] Sedangkan orang yang suka mengurangi takaran dan timbangan akan mendapatkan siksa neraka.[8] Dengan demikian seluruh ayat tersebut menekankan pada pentingnya kejujuran dalam menakar dan menimbang pada saat melakukan transaksi perdagangan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya bagi pedagang. Dusta itu sendiri dapat membawa kepada perbuatan

jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada neraka. Karena setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka adalah tempat yang tepat baginya. Selain itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, yaitu orang yang sombong, orang yang suka mengungkit-ungkit kembali pemberiannya, dan orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) dengan sumpah palsu.[9] Selain itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari lingkungan umat Islam. Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka.[10] Oleh karena itu, sikap kehatihatian dalam menakar dan menimbang ini perlu dilakukan karena kecurangan merupakan tindak kezaliman yang sulit ditebus dengan taubat. Hal ini disebabkan kesulitan mengumpulkan kembali para pembeli yang pernah dirugikan dengan mengembalikan hakhak mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan kepada pedagang[11] hendaknya bermurah hati untuk memberikan tambahan kepada pembeli, bukan malah mengurangi berat timbangannya. Selain kecurangan dalam penakaran dan penimbangan, pengawasan muhtasib juga diarahkan kepada praktek penipuan kualitas barang. Pedagang seharusnya menunjukkan cacat barang yang dijualnya. Jika ia menyembunyikan cacat barang yang dijualnya maka ia dapat dikategorikan sebagai penipu, sedangkan penipuan itu diharamkan. Kondisi seperti inilah yang disaksikan oleh Rasulullah saw ketika suatu hari menginspeksi pasar Madinah. Abu Hurairah menceritakan[12]: suatu hari Rasulullah berjalan ke pasar, kemudian beliau melihat pedagang menjual setumpuk kurma yang bagus, Rasulullah tertarik dengan kurma tersebut, tetapi ketika beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukan kurma itu ternyata di bagian bawahnya busuk, kemudian Rasulullah menanyakan kepada pedagangnya mengapa kurma yang dibawahnya basah. Pedagang menjawab bahwa kurma yang basah tersebut karena hujan. Kemudian Rasulullah bertanya lagi mengapa kurma yang basah tersebut tidak diletakkan di atas supaya orang bisa melihatnya. Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menipu dalam berdagang bukan umatnya. Inspeksi yang dilakukan Rasulullah menunjukkan bahwa dalam transaksi itu diperlukan kerelaan antara pedagang dan pembeli, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Perbuatan menyembunyikan cacat pada barang dagangan sebenarnya tidak akan menambah rizki, bahkan bias menghilangkan keberkahan sebab harta yang dikumpulkan dengan penipuan sangat dimurkai oleh Allah.[13] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harta tidak akan bertambah karena tindak kecurangan, sebagaimana harta tidak akan berkurang karena disedekahkan. Bagi orang yang yang tidak mengenal pertambahan dan pengurangan harta kecuali melalui ukuran material niscaya sulit menerima paham tentang keberkahan rizki. Sedangkan orang yang meyakini adanya keberkahan rizki niscaya akan dengan mudah meninggalkan tindak kecurangan karena bisa menghilangkan keberkahan rizkinya. Penipuan dalam perdagangan merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu tidak sepatutnya seorang pedagang bersikap kurang peduli dengan kualitas barang yang diperdagangkannya. Hal ini tentu saja dapat dikiaskan kepada pedagang sendiri, bagaimana apabila ditipu oleh pedagang lain, tentu saja ia tidak mau menerimanya. Pemberitahuan cacat suatu barang, dengan demikian, menjadi suatu keharusan bagi pedagang untuk menjaga kepercayaan pembeli demi kelangsungan usaha mereka sendiri.

Hal ini bisa dilakukan pedagang, apabila pada saat kulakan ia selalu memilih barang yang berkualitas baik yang ia sendiri menyukai barang itu dan tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan Allah akan menurunkan keberkahan dalam perdagangan, tanpa harus melakukan penipuan. Penipuan sulit dihindari oleh para pedagang karena mereka tidak mau mengambil sedikit keuntungan, sementara keuntungan yang besar jarang terhindar dari penipuan.

al-Qur'an, 83: 1-6. Al-Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Tafsir wa Bayan Kalimat al-Quran al-Karim (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 2001), 587. [3] A Ilyas Ismail, Perilaku Curang, Naver Indonesia (Kamis, 15 Juli 2004). [4] Ibid [5] al-Quran, 4: 29. [6] al-Quran, 6: 152 [7] al-Quran, 17: 35 [8] al-Quran 83: 1-6; 11: 84-85 [9] Muslim bin Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Riyad: Riasat Idarat al-Buhuth al-Ilmiyyah wa al-Ifta wa al-Dawah wa al-Irshad, 1400 H). 103 [10] Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidy (Surabaya: Bina Ilmu, 1993),37. [11] Lihat Sahih Muslim, nomor hadith 2556. [12] Al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh} al-Nawawi, Juz II (Mesir: Maktabat Ali Shubayh, t.t), 109. [13] Lihat Sahih Muslim nomor hadith 2825[1] [2]

TUJUAN (Orientasi) BISNIS DALAM ISLAMOrientasi Bisnis dalam Islam Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama: (1) target hasil: profitmateri dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan.[1] Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya. Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimah insaniyah, qimah khuluqiyah, dan qimah ruhiyah. Dengan qimah insaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimah khuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilainilai akhlak mulian menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimah ruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.[2] Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama. Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan bernilai ibadah.[3]

[1] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) [2] Ibid., h. 19. [3] Ibid., h. 20.

Landasan Normatif Bisnis Dalam IslamCopas: Landasan Normatif Bisnis dalam Islam Sebelumnya | Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Pertama, tauhid (kesatuan). Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas.[1] Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal[2]: (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama[3]. (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai. (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.[4] Kedua, keseimbangan (Keadilan). Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan.[5] Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderenan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas landasan bisnis dalam islam.[6] Dalam al-Quran dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri[7]. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar[8]. Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.[9] Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.[10] Ketiga, Kehendak Bebas. Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis

manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada.[11] Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa.[12] Keempat, Pertanggungjawaban. Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusi tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Quran Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya[13]. Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebasbebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam alQuran dan Sunnah rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi, riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan.[14] Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economic return bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan istilah gharar.[15]

Syed Nawab Naqvi, Ethict and Economics: An Islamic Syntesis, telah diterjemahkan oleh Husin Anis: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, (Bandung: Mizan, 1993), h. 5051. [2] Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethict, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997), h. 20-23. [3] QS. Al-Hujurat (49): 13. [4] QS. Al-Anam (6): 163. [5] Muslich, Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif, (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004), h. 37 [6] Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Quran tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h.13 [7] QS. Al-Baqarah (2): 195. [8] QS. Al-Isra (17): 35 [9] QS. Al-Furqan (25): 67-68, 72-73. [10] Syed Nawab Naqvi, Op.Cit., h. 99 [11] Rafik Issa Beekun, Op.Cit., h. 24. [12] Muslich, Op.cit., h. 42, Lihat QS. An-Nisa (4): 85, QS. Al-Kahfi (18): 29[1]

[13] QS. Al Mudassir (74): 38 [14] Muslich, Op.cit., h. 43 [15] Syed Nawab Naqvi, Op.cit.,

h.103

Bisnis Dalam Islam: Larangan Praktek RibaCopas: Bisnis Dalam Islam: Larangan Praktek Riba oleh: Akhmad Mujahidin sebelumnya | Copas: Bisnis Dalam Islam: Larangan Terhadap Kecurangan Dalam Takaran dan Timbangan Rasulullah mengajarkan agar para pedagang senantiasa bersikap adil, baik, kerjasama, amanah, tawakkal, qanaah, sabar, dan tabah.[1] Sebaliknya beliau juga menasehati agar pedagang meninggalkan sifat kotor perdagangan yang hanya memberikan keuntungan sesaat, tetapi merugikan diri sendiri duniawi dan ukhrawi. Akibatnya kredibilitas hilang, pelanggan lari, dan kesempatan berikutnya sempit.[2] Rasulullah tidak saja meletakkan dasar tradisi penciptaan suatu lembaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan akhlak lembaga sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu sendiri. Misalnya, pasar tidak akan berjalan dengan baik tanpa akhlak yang baik. Beberapa langkah yang dilakukan Rasulullah adalah: Pertama, penghapusan riba. Keberadaan kaum Yahudi yang suka melakukan riba membuat penduduk Madinah resah, karena riba tersebut seringkali menyengsarakan mereka. Praktek riba Yahudi ini telah diketahui beliau sejak di Mekkah karena ayat-ayat yang turun di Mekkah ada yang menceritakan praktek kotor orang Yahudi tersebut. Allah berfirman: dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.[3] Opini umum menganggap bahwa dengan melakukan pinjaman uang kepada orang lain dan menetapkan riba pada pinjaman itu maka pinjaman tersebut akan tumbuh. Tetapi opini tersebut dijawab langsung oleh al-Quran bahwa opini tersebut tidak benar. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[4] Namun teguran al-Quran ini tidak dihiraukan oleh beberapa sahabat yang terlanjur terlibat dalam praktek tersebut. Kemudian datang teguran berikutnya agar dalam memberikan pinjaman jangan menetapkan riba yang berlipat ganda. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.[5] Dengan teguran yang kedua ini banyak para sahabat yang meninggalkan riba. Hanya orang Yahudi saja yang tetap melakukan praktek itu dengan alasan bahwa tidak ada bedanya antara

jual-beli dengan riba, sebab keduanya sama-sama merupakan praktek mencari selisih dari modal yang diputarkan. Tetapi al-Quran juga membantah alasan tersebut. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[6] Sementara para sahabat yang telah meninggalkan riba telah bertaubat sebelum sempat mengatakan agar mereka hanya mengambil modalnya saja.[7] Dengan demikian, penghapusan riba ini telah terbukti berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk tumbuhnya ekonomi secara tepat dan cepat. Jika pada masa hijrah, Madinah merupakan kota yang miskin, tetapi ketika Nabi meninggal, Madinah merupakan kota baru yang tumbuh dan berkembang menghidupi kota-kota di sekitarnya.[8] Kedua, keadilan. Dalam setiap kebijakan ekonomi Nabi mementingkan keadilan bukan saja berlaku untuk kaum muslim tetapi juga berlaku untuk kaum lainnya di sekitar Madinah. Hal ini terbukti ketika beliau diminta untuk menetapkan harga, beliau marah dan menolaknya. Ini membuktikan bahwa beliau menyerahkan penetapan harga itu pada kekuatan pasar yang alami.[9] Keadilan merupakan pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Misalnya, jika kita mengakui hak hidup maka kita juga berkewajiban untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain karena orang lain pun memiliki hak hidup yang sama dengan kita. Dengan demikian, keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban. Berdasarkan kesadaran etis, manusia dituntut untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban. Jika manusia hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban, maka sikap dan tindakannya akan cenderung mengarah kepada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya, jika manusia hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntuk haknya, maka akan mudah diperas atau diperbudak orang lain. Misalnya, hubungan antara majikan dan buruh, dosen dan mahasiswa, rakyat dan pejabat pemerintahan, pedagang dan pembeli, dan sebagainya perlu memahami pengertian adil tersebut, sehingga masing-masing tahu peranannya mana hak dan mana kewajiban. Dengan begitu, mereka dapat menempatkan dirinya masing-masing pada posisi yang benar. Jika hal itu dapat dipahami bersama, maka yang dinamakan keseimbangan dan keharmonisan akan tercipta. Setiap hari manusia selalu dihadapkan dengan masalah keadilan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masalah keadilan dan ketidakadilan tidak pernah surut mengilhami manusia untuk membela dan menegakkannya sampai saat ini. Islam telah memerintahkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan berdasarkan al-Quran dan dilarang untuk membela orang yang berkhianat dengan mengalahkan orang yang berbuat kebenaran. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.[10]

Keadilan merupakan hal yang universal, namun tidak menarik untuk diperbincangkan jika dibanding dengan masalah ketidakadilan. Karena dalam kenyataannya, keadilan menunjukkan keragaman dalam persepsi, implementasi, atau pun upaya pemenuhannya. Keragaman semacam itu bisa jadi tidak akan ditemukan dalam hal ketidakadilan. Ketidakadilan dalam suatu masyarakat seringkali dibiarkan begitu saja oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Walaupun banyak teori yang menyatakan bahwa ketidakadilan merupakan akibat logis dari suatu sistem yang berlaku baik ekonomi, sosial, ataupun politik dalam suatu masyarakat. Tetapi berbagai praktek ketidakadilan ini sering ditolak oleh anggota masyarakat yang merasakannya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa penolakan terhadap praktik-praktik ketidakadilan telah menjadi suatu nilai universal, yang berarti diikuti oleh hampir semua masyarakat yang ada di dunia ini. Selain keadilan, kejujuran juga merupakan tonggak dalam kehidupan masyarakat yang beradab. Kejujuran berarti apa yang dikatakan seseorang itu sesuai dengan hati nuraninya. Jujur dapat pula diartikan seseorang yang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Orang yang menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah terlahir dalam kata-kata maupun yang masih dalam hati dapat dikatakan jujur. Sedangkan bagi orang yang tidak menepati janji maka orang tersebut dikatakan tidak jujur. Setiap orang hendaknya dapat bersikap jujur karena kejujuran dapat mendatangkan ketenteraman hati, menghilangkan rasa takut, dan mendatangkan keadilan. Islam menyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil, dan tidak boleh menyuburkan kebencian sehingga berlaku diskriminatif.[11] Hal ini menunjukkan bahwa orang yang dapat berkata jujur dan bertindak sesuai dengan kenyataan berarti dapat berbuat adil dan benar. Sedangkan orang yang tidak dapat dipercaya tutur katanya dan tidak menepati janji dapat dikategorikan sebagai pendusta. Dengan demikian, kejujuran harus dilandasi dengan kesadaran moral yang tinggi, pengakuan terhadap persamaan hak dan kewajiban, perasaan takut berbuat kesalahan dan dosa. Berbagai faktor yang menyebabkan manusia tidak dapat berlaku jujur seperti faktor iri hati, lingkungan, sosial ekonomi, ingin populer, maupun faktor-faktor lainnya. Perilaku jujur dan tidak jujur tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Terjadinya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, plagiat, perselingkuhan, dan pembajakan hak cipta merupakan implementasi dari ketidakjujuran. Sifat-sifat kotor merupakan sifat umum yang dimiliki manusia ketika memasuki dunia bisnis. Mereka ini tidak terkait ruang dan waktu karena merupakan karakter mendasar manusia. Karena itu Islam memberikan jalan yang terbaik untuk menyelesaikannya yaitu dengan mengikuti pesan-pesan Nabi saw yakni sifat-sifat yang terpuji. Jika para pedagang menerapkan sifat terpuji maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya telah siap membangun dirinya sendiri dalam segala bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan sebagainya. Dalam praktek riba seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam harta, tetapi di saat yang sama ia mengharuskan kepada orang yang meminjam itu untuk memberi tambahan yang nanti akan diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa kerja dan tidak pula saling memikirkan. Sehingga di sini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang yang bekerja keras, sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Dengan demikian semakin lebar jurang pemisah di bidang

sosial ekonomi antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang sangat berat. Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.[12]

Muhammad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad (Islamabad: IIIE & IPS, 1989), 133. [2] Ibid., 136. [3] al-Quran, 4: 161. [4] al-Quran, 30: 39 [5] al-Quran, 3: 130 [6] al-Quran, 2: 275 [7] Afzalurrahman, Islamic Economic Doctrines, IV(Lahore: Yusuf Publication, tt), 5. [8] Ibid [9] Muhammad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad (Islamabad: IIIE & IPS, 1989), 126.5 [10] al-Quran, 4: 105 [11] al-Quran, 5: 8 [12] al-Quran, 2: 278-279[1]

Situs Kumpulan Ilmu, Artikel, Makalah dan Wacana PendidikanSelamat Datang di Situs Kumpulan Ilmu, Artikel, Makalah dan Wacana Pendidikan (mbegedut.blogspot.com) Semua Artikel, Makalah dan Wacana dalam situs ini boleh dilihat, disebar serta di copy/paste dan Semoga semua konten-konten dalam situs ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Bila mana mengenai Topik, Artikel ataupun Makalah yang dicari belum tercantum dalam daftar isi ini, bisa dicari di halaman pencarian. Terima kasih :-) PENDIDIKAN ============================== ~ Akuntabilitas Pendidikan ~ Akuntabilitas dan Kesempatan Belajar ~ Dibalik Agenda Ujian ~ Ketidak Adilan ditingkat Dasar ~ Hakikat Pendidikan dalam Al-quran ~ Perencanaan Pendidikan 1 ~ Perencanaan Pendidikan 2 ~ Perencanaan Pendidikan 3 ~ Tujuan Pendidikan Islam ~ Prinsip-prinsip Pendidikan Islam ~ Definisi Perencanaan Pendidikan ~ Definisi Ilmu ~ Syarat-Syarat Ilmu ~ Poligami Sunnah? ~ Quality Assurance Pendidikan ~ Dasar-Dasar Pendidikan Islam ~ Faktual Pendidikan Indonesia 2 ~ Mendalami Makna Pembelajaran Sebagai Proses Aktivitas Pendidikan ~ Pengertian Pendidikan Islam Menurut Para Ahli ~ Definisi Konsep & tujuan Jaminan Mutu pendidikan ~ Menilik Landasan Pendidikan Indonesia 2 ~ Menilik Landasan Pendidikan Indonesia 1 ~ Strategi butir dan proses jaminan mutu Pendidikan ~ Dasar Hukum dan Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pendidikan ~ Pengertian Konsep Pendidikan SEJARAH ============================= ~ Dinasti Turki Utsmani 2 ~ Sejarah Dan Filsafat Farmasi ~ Sejarah Peradaban Islam ~ Dinasti Turki Utsmani 1 ~ Sejarah Dinasti Abbasiyah ~ Sejarah Bani Umayyah ~ Pengertian Khulafaurrasyidiin ~ Biografi Imam Ghazali ~ Proses Masuknya Islam di RRC ~ Sejarah Masuknya Islam di India ~ Sejarah, Perkembangan dan Masuknya Islam di Andalusia ~ Beberapa Peperangan Yng Terjadi Pada Masa Nabi Muhammad SAW ~ Sejarah Masuknya dan Perkembangan Islam di Negaranegara ASEAN ~ Sebab-sebab Masuknya Islam di Afganistan ~ Sebab-sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah ~ Kelebihan dan kelemahan dinasti abaasiyah ~ Ilmu Sejarah Pada Masa Kejayaan Islam ~ Ilmu Astronomi dan Matematika Pada Masa Kejayaan Islam ~ Ilmu Geografi Pada Masa Kejayaan Islam ~ Masa Kemunduran Pendidikan islam 1 ~ Masa Kemunduran Pendidikan islam 2

Dalam Al-Quran ============================== FILSAFAT ============================== ~ Idealisme Dalam Filsafat Pendidikan dan Pengertiannya ~ Sejarah dan biografi ahli Filsafat ~ Pengertian Filsafat ~ Sejarah Dan Filsafat Farmasi ~ Aliran Idealisme ~ Naturalisme Dalam Filsafat ~ Pengertian Filsafat Ilmu ~ Aliran Filsafat Pendidikan ~ Filsafat Logika ~ Aliran Filsafat Matematika ~ Materialisme dalam Filsafat ~ Pembelajaran Kontruktivisme ~ Ruang lingkup Manfaat dan Metode dalam Filsafat Pendidikan ~ Pengertian Filasafat Pendidikan Islam ~ Naturalisme Dalam Filsafat Pendidikan ============================== PSIKOLOGI ============================== ~ Teori-Teori Motivasi ~ Abraham Harold Maslow ~ Metodologi Psikologi ~ Psikologi Humanistik ~ Tahap Perkembangan Manusia ============================== EKONOMI dan BISNIS ============================== ~ Hasil Kinerja Manajerial Dengan Penerapan Total Quality Management ~ Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen ~ Definisi, Fungsi dan Tingatan Brand Loyaty ~ Islam dan Ekonomi ~ Teori Pertumbuhan Ekonomi ~ Menuju Sistem Ekonomi Islam ~ Tujuan Bisnis Dalam Islam ~ Islam dan Ekonomi ~ Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali ~ Pengertian dan Jenis Valuta Asing - Contoh Anggaran Dasar Perkumpulan Keluarga

~ Masa Kemunduran Pendidikan Islam ~ Sejarah Pendidikan Pada Masa Khulafa Arrasyidin ~ Pendidikan dimasa Umar bin Khattab ============================= PENELITIAN ============================= ~ Metode Penelitian Pendidikan ~ Metode Penelitian Pendidikan ~ Hakikat Penelitian ~ Hakikat Pendidikan ~ Cara Memilih Pedekatan dalam Penelitian ~ PTK Kolaboratif ~ Mengetahui Keberhasilan Pendidikan karakter ~ Faktor Yang Mempengaruhi Perwujudan Pengelolaan Kelas ~ Cara Mengetahui Syarat-Syarat Apa saja Agar PTK anda Berhasil ~ Kriteria dalam Penelitian Pendidikan ============================= KEAGAMAAN ============================= ~ Ilmu Kedokteran pada masa kejayaan islam ~ Ilmu Tasawuf ~ Ilmu Fiqih ~ Puasa ~ Haji ~ Metode Qiraati ~ Makalah Definisi Zakat puasa & Haji ~ Islam dan sumber Pengetahuan ~ Hukum mengolok-olok orang yang teguh menjalankan ajaran agama ~ Pengertian, Tujuan dan Dasar Khilafah ~ Menengok Teknologi Menurut AlQuran ============================= WACANA ============================= ~ Faktual Pendidikan di Indonesia 1 ~ Permasalahan Dalam Pendidikan ~ Poligami Tak butuh dukungan teks

~ Dasar Hukum Al-Sharf ~ Hakikat dan Fungsi Uang ~ Sistem Ekonomi Islam dan Kesejateraan Umat ~ Jual Beli Valuta asing Dalam Prespektif Fiqih ~ Norma-norma Syariah dalam Pasar Valuta Asing ~ Peranan Negara dan Keuangan Publik ============================= PEMEBELAJARAN & PENGAJARAN ============================= ~ Motivasi dan Bimbingan Belajar 2 ~ Motivasi dan Bimbingan Belajar 1 ~ Mendalami Makna Spiritual ~ Metode Pembelajaran Kooperatif (Belajar Bersama) ~ Fungsi Teori Belajar Dalam Proses Belajar Mengajar ~ Aplikasi Teori-teori Belajar dalam Pendidikan ~ Pengertian Metode Mengajar QURDIS ~ Implikasi Pembelajaran Tematik ~ Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD ~ Hakekat Belajar Matematika ~ Tata