farmakodinamik dan famakokinetik

23
Nasib Obat Dalam Tubuh A. Bentuk Sediaan Obat dan Aplikasinya Menurut Ansel (2010), Klasifikasi bentuk sediaan obat berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Bentuk sediaan obat padat: pulvis, pulveres, tabet, kapsul, pil dan suppositoria. a. Pulvis (Serbuk): Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. b. Pulveres: Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum. c. Tablet (Compressi): Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. d. Kapsulae (Kapsul): Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu: 1) Menutupi bau dan rasa yang tidak enak 2) Menghindari kontak langsung dengan udara dan

Upload: jamie-alvarado

Post on 16-Feb-2016

56 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

farmakodinamik dan famakokinetik

TRANSCRIPT

Page 1: farmakodinamik dan famakokinetik

Nasib Obat Dalam Tubuh

A. Bentuk Sediaan Obat dan Aplikasinya

Menurut Ansel (2010), Klasifikasi bentuk sediaan obat berdasarkan

konsistensinya dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Bentuk sediaan obat padat: pulvis, pulveres, tabet, kapsul, pil dan

suppositoria.

a. Pulvis (Serbuk): Merupakan campuran kering bahan obat atau zat

kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk

pemakaian luar.

b. Pulveres: Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih

kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok

untuk sekali minum.

c. Tablet (Compressi): Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara

kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua

permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih

dengan atau tanpa bahan tambahan.

d. Kapsulae (Kapsul): Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat

dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut.

Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu:

1) Menutupi bau dan rasa yang tidak enak

2) Menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari

3) Lebih enak dipandang

4) Dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income

fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain

yang lebih kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke

dalam kapsul yang lebih besar.

5) Mudah ditelan.

e. Pilulae (PIL): Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil

mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral.

Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul.

Page 2: farmakodinamik dan famakokinetik

Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu.

f. Suppositoria: Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan

bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya

meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh.

2. Bentuk sediaan obat setengah padat: salep, krim, dan pasta.

a. Unguenta (Salep): Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk

pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga

dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan

digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi

homogen dalam dasar salep yang cocok.

b. Krim: Sediaan setengah padat yang berupa emulsi mengandung air.

Terdapat dua tipe krim yaitu: tipe emulsi minyak dalam air(sesuai

untuk daerah lipatan), dan tipe emulsi air dalam minyak (efek

lubrikasi lebih baik).

c. Pasta: Sediaan setengah padat berupa msa lembek, lebih kenyal dari

salep/ keuntungannya adalah mengikat cairan sekret (eksudat),

mengurangi rasa gatal lokal, dam lebih melekat pada kulit

3. Bentuk sediaan obat cair:

a. Solutiones (Larutan): Merupakan sediaan cair yang mengandung satu

atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air,

yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya,

tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya (Ansel). Dapat

juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat

kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam

pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur.

Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan

topikal (kulit).

b. Suspensi: Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat

tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara

lain: suspensi oral.

Page 3: farmakodinamik dan famakokinetik

(juga termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada

kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi

optalmik, suspensi sirup kering.

c. Emulsi: Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan

dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus

dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat

pengemulsi.

d. Guttae (Obat Tetes): Merupakan sediaan cairan berupa larutan,

emulsi, atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat

luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes

yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan

penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat

tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tets

mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes

hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata).

e. Injectiones (Injeksi): Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi

atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan

lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara

merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput

lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada

pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.

B. Rute Pemberian Obat dan Mekanismenya Hingga Memiliki Efek Farmakokinetik

dan Farmakodinamik

Menurut Mycek, dkk., (2001), menjelaskan bahwa rute pemberian obat ditentukan

oleh dua hal yaitu sifat obat (kelarutannya dalam air), dan tujuan terapi yang

dilakukan (apakah terapi tersebut diperlukan berefek dalam jangka pendek,

jangka panjang, dan ataukah hanya terlokalisir ditempat tertentu saja. Oleh karena

itu, terdapat dua rute pemberian obat yang utama. Diantaranya adalah:

Page 4: farmakodinamik dan famakokinetik

1. Enteral, berasal dari katanya adalah “enterol” artinya adalah pemberian obat

melalui saluran pencernaan. Pemberian obat secara enteral ini melibatkan

organ dari mulut hingga ke anus.

a. Oral

Pemberian obat secara oral adalah cara pemberian obat yang paling sering

dilakukan, dikarenakan caranya yang simple dapat dilakukan oleh pasien

sendiri, aman dilakukan, harganya ekonomis, serta tidak memerlukan alat

khusus. Namun, disamping keuntungan penggunaan obat oral ini juga

terdapat kekurangannya diantanya adalah memerlukan waktu yang lama

untuk mencapai organ target, sulit diberikan pada pasien yang tidak

kooperatif, dan tidak dapat diberikan pada pasien saat keadaan emergensi.

b. Sublingual

Pemberian obat dengan cara menempatkan dibawah lidah diharapkan obat

tersebut berdifusi dengan pembuluh kapiler dan dapatmasuk kedalam

sirkulasi sistemik. Pemberian obat dengan cara ini memiliki keuntungan

yaitu melakukan bypass melewati usus dan hati sehingga mencegah

penghancuran obat.

c. Rektal

Pemberian obat melewati dubur. Pemberian obat dengan cara ini memiliki

keuntungan yaitu mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH

rendah didalam lambung, dan berguna jika penderita mudah muntah jika

pemberian obat dilakukan melalui oral Mycek, dkk., 2001).

2. Parenteral, lain halnya dengan enteral yang merupakan pemberian obat

melalui saluran pencernaan, parenteral adalah pemberian obat yang digunakan

untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna. Keuntungan

pemberian obat secara parenteral digunakan untuk pengobatan pasien yang

tidak sadar dan dibutuhkan penanganan yang cepat. Terdapat 3 rute parenteral

yang utama, diantaranya adalah:

Page 5: farmakodinamik dan famakokinetik

a. Intravaskular

Pemberian obat secara intravaskular sering dilakukan dengan cara

intravena. Pemberian obat dengan cara ini menghindari saluran cerna dan

menghindari metabolisme pertama oleh hati. Keuntungan rute ini adalah

memberikan efek yang cepat dan kadar obat yang masuk kedalam sirkuasi

darah sama dengan kadar obat yang diinjeksikan. Namun, memiliki

kerugian yaitu apabila terdapat kelebihan dosis tidak dapat diambil

kembali seperti pemberian obat dengan cara oral yang dapat dilakukan

pengeluaran sebelum masuk kedalam usus atau lambung, selain itu juga

pemberian dengan suntikan intravena dapat memasukan beberapa bakteri

melalui kontaminasi dan dapat menyebabkan hemolisis.

b. Intramuskular

Pemberian obat secara intramuskular diberikan berupa larutan dalam air

atau preparat depo dalam bentuk suspensi obat (etilen glikol atau minyak

kacang). Absorbsi obat dalam bentuk larutan cepat sedangkan absorbsi

dalam bentuk preparat depo berlangsung lambat. Pemberian obat melalui

intramuskular tidak secepat seperti intravena sehingga dapat mengurangi

resiko.

c. Subkutan

Pemberian obat secara subkutan memerlukan absorpsi yang agak lebih

lambat dibandingkan dengan cara intravena, pemberian obat secara

subkutan hamper sama kecepatannya dengan pemberian obat dengan cara

intramuskular. Misal : pemberian insulin pada penderita diabetes mellitus,

pemberian epinefrin sebagai vasokonstriktor lokal serta mengurangi

pembuangan obat seperti lidokain.

Tedapat pula rute pemberian obat selain 3 rute utama tersebut, diantaranya

adalah:

1. Inhalasi

Pemberian obat dengan cara dihirup melibatkan sistem pernafasan. Pengiriman

obat ini terjadi cepat karena melewati permukaan luas dari saluran napas dan

Page 6: farmakodinamik dan famakokinetik

epitel paru yang memberikan efek yang sama cepatnya seperti pemberian obat

dengan intravena. Pemberian obat ini berupa gas atau obat yang dapat

didispersikan kedalam aerosol. Misalnya: penderita asma atau penyakit paru

obstruktif kronis.

2. Intranasal

Pemberian obat dengan cara intranasal dalam bentuj semprot hidung obat narkotik

kokain. Misalnya: pengobatan diabetes insipidus dengan menggunakan

desmopressin, pengobatan osteoporosis dengan menggunakan kalsitonin salmon.

3. Intratekal/intraventrikular

Pemberian obat dengan cara memberikan obat pada cairan serebrospinal untuk

penderita leukemia limfositik akut yaitu metotreksat.

4. Topikal

Peberian obat secara topikal adalah apabila diinginkan efek pengobatan terjadi

pada daerah tertentu saja ( lokal). Misal: krem klotrimazol diberikan pada kult

untuk pengobatan dermatofisis atau obat tetes mata untuk mendilatasi pupil pada

kelainan refraksi.

5. Transdermal

Pemberian obat secara transdermal mencapai efek sistemik (transdermal patch).

Kecepatan absorpsi tergantung dari sifat fisik kulit dalam menerima respon

tersebut. Misal: Obat antiangina, nitrogliserin.

Page 7: farmakodinamik dan famakokinetik

Rute Pemberian Obat Yang Sering Dilakukan

Sumber: Mycek, dkk., 2001

Rute pemberian obat terdapat berbagai macam disesuaikan dengan kebutuhan dan

keadaan penderita. Oleh karena itu, setelah obat masuk kedalam tubuh kita juga perlu

tahu bagaimana mekanisme obat tersebut sampai menimbulkan interaksi

farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik.

1. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik berkaitan dengan 4 tahap yaitu absorbsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi. Hal ini pula berkaitan dengan bertambah,

berkurangnya konsentrasi obat dari pertama masuk hingga bergabung dengan

sistem sirkulasi darah.

a. Absorbsi

Absorbsi adalah suatu transfer obat dari tempat pemberian ke dalam aliran

darah. Kecepatan dan efisiensi absorbsi obat tergantung pada cara

pemberiannya (Setiawati, 2007).

1) Pemberian oral

Absorbsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah luas permukaan tempat absorbsi, aliran darah ketempat

absorbsi, keadaan fisik obat (larutan, suspensi, atau padat). Absorbsi obat

yang bentuknya padat dibandingkan dengan obat dalam bentuk tidak

terionisasi lebih sulit diabsorbsi. Demikian pula obat dengan sifat asam

lemah akan lebih baik diabsorbsi didalam lambung dibandingkan di usus.

Sedangkan obat dengan sifat basa lemah akan lebih baik diabsorbsi

didalam usus dibandingkan di lambung.

Obat yang dirusak oleh cairan lambung atau menyebbaan iritasi lambung

terkadang disalut untuk mencegah terlarutnya sediaan dalam cairan

lambung yang bersifat asam, namun obat ini juga sulit untuk diabsorbsi di

usus.

2) Pemberian Sublingual

Page 8: farmakodinamik dan famakokinetik

Absorbsi obat dari mukosa oral tergantung dari jenis obatnya masing-

masing. Sebagai contoh adalah nitrogliserin yang memang efektif

dilakukan dengan cara sublingual. Selain itu absorbsi akan berlangsung

cepat dikarenakan bersifat non-ionik dan memiliki kelarutan lipid yang

tinggi. Keuntungan absorbsinya adalah terhindar dari metabolism tingkat

pertama dihati. Hal ini dikarenakan aliran vena dari mulut akan mengarah

ke vena cava superior.

3) Pemberian rektal

Pemberial obat secara rektal memungkinkan sekitar 50% obat yang

diabsorbsi melalui rektum tidak akan melalui hati. Dan memungkinkan

terhindarnya dari metabolisme lintas pertama dihati.

4) Intravena

Dikarenakan injeksi ini dilakukan langsung di intravena, maka tidak

mengalami absorbsi secara langsung. Larutan yang bersifat iritan akan

lebih baik dberikan pada rute intravena karena dinding pembuluh darah

relatif tidak sensitif dan obat kan terencerkan oleh darah.

5) Subkutan

Laju absorbsi setelah pemberian secara subkutan biasanya konstan dan

lambat sehingga menimbulkan efek yang tertunda. Obat-obat yang

diimplantasi dibawah kulit sebagai sediaan padat menunjukan absorbsi

yang lambat selama periode beberapa minggu.

6) Intramuskular

Obat dengan larutan berair diabsorbsi akan lebih cepat setelah diberikan,

namun pula tergantung pada laju aliran darah tempat pemberian injeksi.

Selain itu, dapat ditingkatkan dengan pemanasan local, pijat, atau

olahraga.

7) Pemberian Topikal Membran Mukosa

Absorbsi melalui membrane mukosa mudah terjadi. Pemberian ini

biasanya bertujuan untuk memberikan efek lokal. Absorbsi yang melalui

Page 9: farmakodinamik dan famakokinetik

kulit ini dipengaruhi oleh luas permukaan tempat yang dioleskan, dan

kelarutannya dalam lipid (Goodman dan Gilman, 2007).

b. Distribusi

1) Interaksi ikatan protein

Setelah melewati tahap absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke

seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam

cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi

molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma,

terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel,

kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang

tidak. (Stockley, 2008).

2) Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh

aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat

yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan

substrat obat ke dalam otak (Stockley, 2008).

c. Metabolisme

1) Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi

senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.

Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan

terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini

disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-

kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,

ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang

Page 10: farmakodinamik dan famakokinetik

ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis

reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan

oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih

polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat

lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)

untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I

dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

2) Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus

dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik

yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya

(Stockley, 2008).

3) Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga

obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang

mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk

berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2

sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur

metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh

isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi

enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika

serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara

klinis (Stockley, 2008).

d. Ekskresi

Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat dan

metabolitnya. Senyawa yang diekskresi melaui fases terutama adalah senyawa

yang tidak diabsorbsi dari pemberian oral, metabolit yang diekskresi melalui

empedu, diekresi langsung kedalam saluran usus dan tidak direabsorbsi.

Page 11: farmakodinamik dan famakokinetik

Ekskresi melalui paru-paru terutama eliminasi yang berupa gas dan zat yang

menguap.

1) Ekskresi ginjal

Ekskresi obat dan metabolitnya dalam ginjal melalui 3 tahap yaitu filtrasi

glomerulus, seleksi aktif tubulus, dan reabsorbsi pasif di tubulus ginjal.

2) Ekskresi empedu dan ginjal

3) Ekskesi melalui rute lainnya

Ekskresi lainnya dapat berupa keringat, air mata.

(Goodman dan Gillman, 2007).

2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara

obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama (Setiawati, 2007).

SKENARIO SGD 1

Lastri, 25 tahun datang ke dokter gigi karena sariawan di bibir bawah bagian

dalam yang tak kunjung sembuh sejak 3 hari yang lalu. Lastri merasakan rasa

sakit dan tidak nyaman dengan adanya sariawan itu. Setelah pemeriksaan, dokter

gigi membersihkan lesi dengan antiseptik dan meresepkan obat untuk Lastri.

Resep yang diberikan instruksinya cukup dioleskan saja pada lesi sariawan. Lastri

merasa bingung karena obat yang diberikan hanya dioleskan tidak untuk

diminum. Memang apa bedanya?

Diskusikan skenario di atas sehingga dapat menjawab pertanyaaan tersebut.

C. Pembahasan Kasus

Berdasarkan kasus terdapat pasien mengeluh terkena sariawan sudah 3 hari yang

lalu. Sariawan sering disebut dengan “Stomatitis Aftosa Reccurent”. Penyakit ini

Page 12: farmakodinamik dan famakokinetik

menyerang mukosa mulut. SAR ini ditandai dengan adanya gejala prodromal

dengan mengambarkan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam.

Menurut Zain (1999), tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR.

Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada

tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear

akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai berkembang.

2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR.

Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus.

Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.

3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada

tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh

lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang

berkurang.

4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan

ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak

meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi

SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.

Berdasarkan penjelasan diatas maka kita dapat menganalisis bahwa dalam

pemilihan obat kita harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya

kenyamanan pasien dan keparahan dari penyakit yang sedang dialami oleh pasien

tersebut.

Beberapa pertimbangan pemilihan obat secara topikal dibandingkan dengan oral

diantaranya adalah:

1. Berdasarkan keparahan SAR yang sedang dialami oleh pasien adalah dalam

tahap ulseratif, dikarenakan pasien sudah mengalami sariawan selama lebih

dari 3 hari. Dan dalam tahap ulsertif ini pula sudah memasuki dalam tahap

rasa intensitas nyeri sudah semakin berkurang.

Maka, pemilihan obat topikal lebih dipilih dibandingkan oral karena dari segi

keparahan penyakit penderita sudah dalam tahap nyeri yang berkurang serta

Page 13: farmakodinamik dan famakokinetik

sudah dibersihkan dengan antiseptik oleh karena itu apabila menggunakan

obat topikal tidak akan menyebabkan rasa sakit yang hebat pada penderita,

lebih mudah dilakukan oleh penderita sendiri dengan cara dioles yang

mempengaruhi kenyamanan pasien, dan juga lebih ekonomis dibandingkan

dengan penggunaan obat oral.

2. Berdasarkan absorbsi obatnya, jika topikal dioleskan pada membran mukosa

maka absorbsi akan mudah terjadi. Absorbsi pada kulit dipengaruhi oleh luas

permukaan kulit tempat obat dioleskan, serta kelarutannya dalam lipid.

Absorbsi sistemik obat lebih mudah terjadi melalui kulit atau membran

mukosa yang terkikis, terbakar, dan kulit terbuka. Keadaan peradangan dan

kondisi lain yang meningkatkan aliran darah didalam kulit ini akan

meningkatkan absorbsi. Dibandingkan dengan pemberian sediaan oral untuk

absorbsinya sendiri melalui proses yang lama. Dimulai dari mulut hingga

anus. Sehingga pula akan dibutuhkan waktu yang lama untuk menimbulkan

efek pada daerah yang luka. Dikarenakan obat tersebut memasuki beberapa

tahap. Sesuai dengan urutan saluran pencernaan “secara enteral” (Goodman

dan Gilman, 2007).

3. Berdasarkan waktunya, pemberian obat melalui topikal akan lebih cepat

karena hanya terlokalisir pada daerah yang dioleskan dan akan memberikan

efek pada daerah tersebut. Berbeda dengan halnya pemberian obat dengan oral

akan membutuhkan waktu yang lama.

4. Berdasarkan tahapan farmakokinetiknya, tahapan farmakokinetik dibagi

menjadi 4 yaitu : absorbsi, distibusi, metabolisme, dan ekskresi. Untuk

tahapan mekanisme kerja obat topikal sendiri adalah absorbsi, distribusi, dan

ekskresi. Dikarenakan kerja obat tidak mengalami tahap metabolisme maka

kerjanya berlangsung lebih cepat dengan keuntungan tidak melewati

metabolisme tingkat pertama yaitu hati ataupun usus. Sedangkan mekanisme

kerja obat oral sendiri adalah absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.

Pada kerja obat oral mengalami tahap metabolisme dikarenakan tahapannya

melalui seluruh organ pencernaan. Namun, penggunaan obat oral ini baik

Page 14: farmakodinamik dan famakokinetik

untuk maintenance apabila penyakit sariawannya semakin parah (Mycek,

dkk., 2001).

D. Referensi

Ansel, H., 2010, Pengantar Bentuk Sediaan Farmas, UI Press, Jakarta.

Hardman, J., Limbird, L., Gilman, A., 2007, Dasar Farmakologi Terapi Vol.1,

EGC, Jakarta.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C., 2001, Farmakologi : Ulasan Bergambar, Widya Medika, Jakarta.

Setiawati, A., 2007, Interaksi obat, dalam Farmakologi dan Terapi Ed.5 Departemen Goodman dan Gilman, 2007,Dasar Farmakologi Terapi Vol.1, EGC, Jakarta.

Stockley, I.H., 2008, Stockley’s Drug Interaction Ed.8, Pharmaceutical Press, Great Britain.

Zain, R.B., 1999, Classification, epidemiology and aetiology of oral recurrent ulceration/stomatitis, Malaya, Annal Dent Univ.