hasil dan pembahasan gambaran obyek penelitian kondisi … · pnpm mandiri perdesaan yang disebut...
TRANSCRIPT
59
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Obyek Penelitian
Kondisi Geografis dan Administrasi
Kelurahan Kenanga terletak di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Jarak dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kurang
lebih 2 km. Jarak dengan ibu kota provinsi kurang lebih 120 km dan jarak dengan
ibu kota negara mencapai 220 km. Dilihat dari batas wilayah Kelurahan Kenanga
berbatasan dengan desa atau kelurahan sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Desa Kejuden Kecamatan Depok
• Sebelah Timur : Kelurahan Tukmudal Kecamatan Sumber
• Sebelah Selatan : Desa Sindang Jawa Kecamatan Dukuhpuntang
• Sebelah Barat : Desa Karang Wangi Kecamatan Depok
Luas wilayah Kelurahan Kenanga mencapai 186,65 ha. Dilihat dari
peruntukkan lahan, terdiri dari berbagai peruntukkan yaitu sebagai berikut:
• Jalan : 9,33 ha
• Sawah dan Ladang : 139,98 ha
• Bangunan Umum : 1,86 ha
• Pemukiman/perumahan : 31,75 ha
• Pemakaman : 3,73 ha
Secara administratif pembagian wilayah, Kelurahan Kenanga terdiri dari
tujuh RW dan 25 RT. Setiap RT terbagi menjadi beberapa blok atau kampung.
Pembagian wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Pembagian wilayah RW Jumlah RT Blok yang Tergabung 01 4 RT Karang Gayam dan Blok Desa 02 3 RT Pesantren, Lebak Jambu dan Karang Mingkrik 03 4 RT Tengah dan Jorogan 04 3 RT Lebak dan Kedung Mara 05 3 RT Kenanga Sari, Tuan Rante dan Tanjung Sari 06 5 RT Palsanga, Kranten, Jamsari dan Pontas 07 3 RT Cigugur dan Warung Kidul
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
60
Kondisi Demografis
Kondisi demografis terdiri dari jumlah penduduk, jumlah penduduk
menurut jenis kelamin, tingkat pendidikan masyarakat, dan mata pencaharian
masyarakat.
Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga pada tahun 2010 mencapai 7.809
jiwa dengan 1.561 kepala keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin penduduk
laki-laki 3.946 jiwa dan perempuan mencapai 3.863 jiwa. Adapun tingkat
penyebaran penduduk berdasarkan rukun warga (RW), dapat dilihat pada Tabel 3
berikut ini.
Tabel 3. Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW
Lokasi Jumlah
Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (jiwa)
RW 01 684 708 1392 RW 02 683 491 1174 RW 03 527 572 1099 RW 04 410 402 812 RW 05 517 526 1043 RW 06 713 720 1433 RW 07 412 444 856 Jumlah 3946 3863 7809
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
Berdasarkan tingkat pendidikan sebagaian besar penduduk Kelurahan
Kenanga berpendidikan sekolah dasar yang mencapai 2.985 orang. Hal ini
menunjukkan bahwa sumberdaya manusia di Kelurahan Kenanga masih rendah.
Sedangkan masyarakat yang pernah mengecap pendidikan tinggi sampai tahun
2010 mencapai 69 orang.
Berdasarkan sebaran tingkat rukun warga dilihat dari tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW
Lokasi Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Pendidikan Tinggi
RW 01 532 331 177 13 RW 02 449 279 149 9 RW 03 420 261 140 8 RW 04 310 193 103 6 RW 05 399 248 133 8 RW 06 548 341 182 12 RW 07 327 203 109 7 Jumlah 2985 1856 933 69
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
61
Dilihat dari jenis mata pencaharian, sebagian besar penduduk Kelurahan
Kenanga berprofesi sebagai buruh yang mencapai 2.244 orang. Sebagaian besar
diserap pada sektor usaha atau industri rotan. Keadaan ini disebabkan tingkat
pertumbuhan industri yang sangat tinggi di wilayah sekitar Kelurahan Kenanga
pada era 90an. Pada tahun tersebut pembangunan pabrik-pabrik di sekitar
Kelurahan Kenanga begitu pesat dengan konsep padat karya.
Perubahan mata pencaharian masyarakat, berimplikasi terhadap kegiatan
ekonomi lainnya seperti halnya di bidang pertanian. Usaha pertanian sekarang ini
hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dari golongan tua hanya sebagian
kecil saja kelompok muda menjadi petani. Rendahnya masyarakat menggeluti
usaha pertanian dikarenakan tawaran usaha di sekor industri lebih menjanjikan
dan lebih praktis.
Dilihat dalam kajian gender, jumlah masyarakat yang bekerja tidak
didominasi oleh kaum laki-laki. Industrialisasi di bidang usaha rotan, telah
membuka peluang yang sangat luas bagi kaum perempuan untuk bekerja pada
sektor publik. Sebagaian besar mereka bekerja sebagai buruh kasar seperti bagian
ampelas (proses penghalusan produk hasil rotan), packing (mengemas produk
rotan yang sudah jadi).
Adapun tingkat penyebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian atau
pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian
Lokasi
Jenis Mata Pencaharian atau Pekerjaan
PNS / BUMN Petani Pedagang /
Wiraswasta / Jasa
Buruh
RW 01 11 259 295 355 RW 02 9 237 275 332 RW 03 9 247 287 347 RW 04 8 200 232 280 RW 05 7 187 217 262 RW 06 11 282 327 395 RW 07 7 194 225 273 Jumlah 62 1606 1858 2244
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
62
Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri
Pelapisan masyarakat adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan
kelas-kelas rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai
sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. (Sorokin dalam
Soekanto 1990).
Pelapisan masyarakat menunjukkan adanya diferensiasi masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Kelurahan Kenanga, dipetakan menjadi beberapa
diferensiasi, antara lain; (1). Kelompok alim ulama. (2). Kelompok kaya (3).
Kelompok masyarakat berpendidikan (4). Kelompok masyarakat biasa. Peran dan
kontribusi setiap kelompok bersifat khas dan memiliki keajegan. Artinya setiap
kelas ini memiliki job area tersendiri, khususnya dalam pembangunan
masyarakat.
Dari kelompok yang ada, alim ulama merupakan kelompok yang paling
dihormati dan paling banyak didengar suaranya. Karakter alim ulama di
Kelurahan Kenanga, dibangun sistem trah keluarga. Artinya kelompok ini hanya
muncul dari keluarga tertentu. Di Kelurahan Kenanga terdapat empat keluarga
besar alim ulama dan dominasi simbol-simbol ulama masih dipegang oleh
masyarakat dari empat keluarga tersebut.
Peran ulama di masyarakat cenderung memposisikan diri untuk bidang
pendidikan terutama pendidikan agama baik formal atau informal. Kegiatan
pendidikan lazimnya diselenggarakan di madrasah atau mushola. Mereka
mengelola majelis taklim dan kelompok jam’iyah yang telah eksis sangat lama.
Peran mereka telah menciptakan kultur beragama masyarakat Kelurahan Kenanga
dalam kultur beragama nahdliyin.
Peran alim ulama pada bidang lainnya masih sangat terbatas. Hal ini dapat
dilihat kiprah mereka pada lembaga formal seperti Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan (LPMK) masih sangat rendah, termasuk dalam kegiatan
PNPM Mandiri.
Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat kaya. Mereka terdiri dari
petani dan pedagang. Kelompok ini memiliki simbol atau ciri gelar keagamaan
63
seperti haji. Karakter mereka dalam pembangunan bersifat reaktif. Bahkan ada
kecenderungan kepedulian mereka terhadap refleksi kemiskinan sangat rendah.
Dalam konteks PNPM Mandiri, peran mereka masih sebatas sebagai
penyedia dana (donatur) dan tidak tidak terlibat secara teknis di lapangan. Salah
satu alasan yang pokok adalah kesibukan. Hal ini menunjukkan kesadaran
kelompok ini, masih bersifat kesadaran naif. Artinya kiprah mereka tidak didasari
atas kepedulian terhadap refleksi kemiskinan masyarakat melainkan akibat
stimuli-stimuli oleh relawan.
Kelompok ketiga adalah masyarakat berpendidikan tinggi. Mereka
memiliki kriteria yaitu gelar akademik yang dimilikinya. Kelompok masyarakat
pendidikan tinggi terpilah dalam dua kelompok yaitu kelompok tua dan muda.
Pembagian kelompok masyarakat pendidikan ini akan memiliki korelasi terhadap
peran mereka dalam pembangunan.
Sementara ini, kelompok masyarakat berpendidikan tinggi memiliki citra
positif dari masyarakat sebagai agen pembangunan. Masyarakat memiliki harapan
yang besar pada kelompok ini, karena mereka diyakini mampu untuk mengelola
berbagai program termasuk PNPM Mandiri. Dalam kegiatan PNPM Mandiri
kelompok masyarakat berpendidikan tinggi terutama dari kalangan muda,
memiliki peran yang sangat besar. Mereka terdistribusi di berbagai elemen yang
menggerakkan PNPM Mandiri salah satunya Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM). Dari 13 anggota BKM enam di antaranya memiliki jenjang pendidikan
tinggi. Selain itu, peran mereka banyak terdistribusi pada Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM). Namun dalam tinjauan kritis, peran mereka masih sebatas
dalam catatan administrasi. Dalam langkah praktis, kelompok masyarakat
pendidikan tinggi belum menunjukkan kinerja sebagai agen pembangunan. Hal ini
bisa terlihat dari kiprah mereka di BKM. Dari enam orang hanya seorang yang
memiliki kiprah yang aktif dalam kegiatan PNPM Mandiri.
Kelompok keempat adalah masyarakat umum yang terdiri dari kelompok
masyarakat yang tidak masuk dalam kriteria ketiga kelompok tadi. Secara
kuantitas, jumlah mereka dalam kegiatan PNPM Mandiri sangat signifikan.
Bahkan peran mereka dalam menggerakkan masyarakat sangat baik, termasuk
64
kontribusi mereka dalam pembuatan dasar-dasar pelaksanaan kegiatan PNPM
Mandiri.
Peran mereka terdistribusi dalam job area yang bervariatif, di antaranya
sebagai relawan yang terlibat dalam berbagai kegiatan PNPM Mandiri. Kegiatan
tersebut antara lain, pemetaan swadaya satu (PS1), pemetaan swadaya dua (PS2),
simpul komunikasi dan rembug-rembug warga. Alasan yang paling mendasar
tingginya peran serta mereka disebabkan ada sebuah harapan besar pada PNPM
Mandiri yaitu perubahan pada diri mereka. Hal ini disebabkan mereka dijadikan
sebagai prioritas pemanfaat pada kegiatan PNPM mandiri.
Diferensiasi masyarakat yang ada, tidak serta merta menimbulkan
polarisasi. Pada pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri, sudah memunculkan
kerangka yang sinergi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang
lainnya. Kondisi ini merupakan sebuah cerminan munculnya tapak-tapak
pembangunan yang berbasis masyarakat (bottom up) di Kelurahan Kenanga.
Sistem Komunikasi Masyarakat
Memaknai sistem komunikasi masyarakat memiliki peubah yang sangat
kompleks. Dalam kajian Lasswell, sebuah sistem komunikasi dapat ditelusuri dari
aspek komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek yang
ditimbulkan. Dalam kajian ini, pemaknaan sistem komunikasi dibatasi pada kajian
komunikasi yang bersifat internal masyarakat dan komunikasi dengan unsur
eksternal masyarakat.
Komunikasi internal antar masyarakat lebih banyak dilakukan dengan
komunikasi primer. Hal ini disebabkan sarana-sarana interaksi sosial masyarakat
baik dalam suasana formal maupun informal masih tetap terpelihara. Misalnya
mushola yang tidak hanya difungsikan sebatas tempat beribadah, tapi juga
dijadikan sebagai sarana interaksi sosial antar masyarakat. Begitupun dengan
majelis-majelis taklim, acara-acara keagamaan yang eksistensinya tetap
terpelihara. Ini menunjukkan interaksi sosial antar masyarakat masih kuat yang
menjadikan tingkat kekerabatan masyarakat masih sangat tinggi.
Tingkat kekerabatan yang masih tinggi menjadikan corak saling tolong-
menolong dan gotong-royong masih menjadi warna dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat pada budaya sambatan (meminta bantuan) dalam acara
65
hajatan keluarga, kematian yang masih tetap terpelihara dengan baik. Meski
kekerabatannya masih sangat tinggi bukan berarti tidak ada konflik dalam
masyarakat.
Konflik yang ada dalam masyarakat memiliki dua bentuk yaitu konflik
yang bersifat domestik dan publik. Untuk konflik yang bersifat publik, biasanya
banyak bersentuhan dengan bantuan-bantuan program pemerintah, seperti
penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk miskin (Raskin),
program yang dilaksanakan oleh LPMK dan termasuk kegiatan dalam PNPM
Mandiri. Dari pemetaan dapat disimpulkan bahwa konflik yang bersifat publik
disebabkan distribusi keadilan yang tidak proporsional dan budaya saling
ketidakpercayaan antar komponen masyarakat.
Penajaman tentang komunikasi dengan dunia luar dapat dilihat pada aspek,
media atau gatekeeper, dan tingkat kosmopolitan masyarakat. Media untuk
berinteraksi dengan dunia luar banyak menggunakan sarana media elektronik.
Dalam kaitan ini budaya tutur lebih kuat dibandingkan dengan budaya literasi
dalam akses informasi dengan dunia luar. Hasil pengamatan menunjukkan di RT
01/02 (Blok Pesantren) hanya seorang kepala keluarga yang rutin berlangganan
surat kabar. Begitupun di RT 03/01 (Blok Karang Gayam Selatan), hanya satu
kepala keluarga yang berlangganan surat kabar.
Peran opinion leader atau gatekeeper sebagai penyambung pesan kepada
masyarakat sudah tidak berfungsi. Masyarakat secara mandiri telah mampu
mengakses sumber-sumber informasi.
Penetrasi media massa, diyakini dapat mempersempit ruang interaksi
sosial yang akan menimbulkan perubahan sosial, namun kondisi ini tidak berlaku
secara mutlak pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Sementara ini perubahan-
perubahan sosial yang ada pada masyarakat masih dalam batas-batas kewajaran.
Hal ini dapat dilihat masih berfungsinya kontrol sosial antar masyarakat, budaya
saling menolong dan kepekaan sosial yang masih ada.
66
Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri
Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi
PNPM Mandiri pertama kali masuk ke Kelurahan Kenanga pada tahun
2006 dengan nama program program P2KP (program penanggulangan kemiskinan
perkotaan). Selanjutnya pada tahun 2009 program ini berganti nama dengan
PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut dengan PNPM MP, yang kemudian lebih
banyak disebut sebagai PNPM Mandiri.
PNPM Mandiri memiliki berbagai siklus yang setiap siklus memiliki
kekhasan terhadap aspek komunikasi. Siklus yang ada dalam kegiatan PNPM
Mandiri dapat gambarkan sebagai berikut.
Gambar 7. Siklus kegiatan PNPM Mandiri
Tahap pelaksanaan: • Pembentukan KSM • Pembuatan skala
prioritas • Pembuatan proposal
kegiatan • LPJ
Tahap persiapan: • PS 1 (refleksi
kemiskinan) • PS2 • Pembentukan
kelembagaan
Tahap perencanan: • Legalitas
kelembagaan • Pembuatan PJM
Renta
Tahap evaluasi: Rapat warga tahunan
(RWT)
Dukungan komunikasi
Keputusan RKM
67
Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa kegiatan PNPM Mandiri
memiliki mekanisme proses yang sirkular. Setiap proses terdapat indikator-
indikator kerja yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Untuk mencapai indikator
tersebut diadakan bimbingan oleh fasilitator kelurahan di setiap proses yang ada.
Selain itu, komunikasi antara masyarakat selalu dibangun baik dalam konteks
organisasi maupun individu. Oleh karena itu, komunikasi merupakan bagian
integral kegiatan PNPM Mandiri yang merupakan pilar penting dalam
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri.
Tahap awal kegiatan PNPM Mandiri adalah rapat kesiapan masyarakat
(RKM). Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada matriks berikut.
Tabel 6 Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Masyarakat
• Fasilitator • Aparat kelurahan
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif dalam hal ini masyarakat diberikan pilihan untuk menerima atau menolak kegiatan P2KP.
• Linier dalam hal ini masyarakat diberikan pelatihan untuk menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga • Rekruitmen relawan
4 Output • Adanya persetujuan masyarakat terhadap kegiatan P2KP
• Terbentuknya tim relawan yang akan menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri.
• Terbentuknya kesadaran dan refleksi kemiskinan.
• Terbentuknya kesetiakawanan sosial masyarakat.
Pada kegiatan RKM dilihat pada tingkat partisipasi dari sisi gender banyak
didominasi oleh kelompok perempuan. Hal ini dapat dilihat dari proporsi relawan
yang direkrut dalam RKM yang kebanyakan perempuan.
Dalam kegiatan RKM terdapat catatan penting mengenai sinergitas
hubungan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Kelurahan Kenanga. Pada
saat itu pihak Kelurahan Kenanga kurang merespon positif kegiatan P2KP yang
68
dapat dilihat dari dukungan fasilitas Pemerintah Kelurahan Kenanga, yang tidak
maksimal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR mantan koordinator
relawan berikut ini.
“Informasi yang saya dapatkan seolah-olah pihak kelurahan dalam hal ini Lurah Kenanga pada saat itu tidak merespon apa yang menjadi keinginan masyarakat. Namun untuk persoalan tersebut sudah menjadi ranah antara fasilitator kelurahan, koordinator kota, penanggung jawab operasional kecamatan (PJOK) dan satuan kerja kabupaten (Satker Kabupaten).”
Setelah adanya pakta integritas masyarakat terhadap kesiapan pelaksanaan
kegiatan, dan terbentuknya relawan, kegiatan PNPM Mandiri dilanjutkan dengan
siklus persiapan. Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus tahap persiapan
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 7. Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Relawan
• Fasilitator 2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada
kegiatan pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua. (PS2)
• Linier dalam hal ini relawan diberikan pelatihan dalam melaksanakan kegiatan PS1 dan PS2.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug warga dalam membuat batasan atau refleksi kemiskinan (kegiatan PS1)
• Kegiatan PS2 yaitu pembuatan data kuantitatif dan kualitatif dari hasil refleksi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Pembentukan kelembagaan masyarakat yang menjalankan kegiatan PNPM Mandiri.
4 Output • Adanya refleksi kemiskinan yang sesuai dengan situasi yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Adanya data-data kuantitatif dan kualitatif tentang kondisi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga.
• Terbentuknya Badan Keswadayaan Masyarakat.
Pada fase persiapan titik tolak kegiatan komunikasi pada lebih ditujukan
sebagai sarana untuk menstimuli kepekaan masyarakat terhadap kemiskinan yang
diharapkan munculnya sebuah langkah strategis yang bersifat swakelola, dan
swadaya dalam penanggulangan kemiskinan.
69
Kegaiatan yang dilakukan pada siklus tahap persiapan dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 8. Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan.
Pemetaan swadaya satu berupa refleksi kemiskinan dan pembuatan konsep
kemiskinan berdasarkan keadaan terkini masyarakat Kelurahan Kenanga.
Pemetaan swadaya dua yaitu mengimplementasikan PS1 yaitu dengan melakukan
pendataan kondisi-kondisi masyarakat, termasuk di dalamnya identifikasi
pemanfaat PNPM Mandiri.
Berdasarkan penelusuran lapangan data hasil PS2 tingkat akurasinya
sangat rendah terutama pada persoalan data pemanfaat program. Data-data yang
ada pada PS 2 banyak ketidakcocokan dengan kondisi yang ada. Salah satunya
banyak warga dari kelompok non miskin menjadi pemanfaat program.
Ketidakakurasian data ini dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, pemahaman
para relawan terhadap batas-batas kemiskinan (refleksi kemiskinan) yang tidak
dipahami dengan baik. Kedua, adanya persepsi bahwa kegiatan PS2 adalah
kegiatan pendataan masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Suasana ini bisa dipahami karena momen kegiatan PS2 berbarengan dengan
program-program pemerintah yang bersifat charity seperti halnya bantuan
langsung tunai dan kompensasi pemerintah kepada masyarakat berkaitan konversi
minyak ke gas.
Kegiatan PS 1
Kegiatan PS 2
Pembentukan Kelembagaan BKM
Hasil RKM
70
Ketidakakuratan data PS2 memiliki berbagai implikasi, di antaranya
pembuatan program jangka menengah (PJM), rencana tahunan (Renta) yang pada
akhirnya terdapat program-program yang tidak tepat sasaran.
Setelah kegiatan PS2 selesai, kegiatan dilanjutkan dengan pembentukkan
kelembagaan masyarakat dalam hal ini Badan Keswadyaan mayarakat (BKM).
BKM dipilih dengan mekanisme demokrasi. Setiap warga berhak mencalonkan
diri sebagai anggota BKM.
Kegiatan pembentukan kelembagaan dilakukan oleh panitia yang direkrut
dari para relawan. Sebelum pelaksanaan pemilihan, panitia diberikan pembekalan
dan diadakan sosialisasi kepada masyarakat.
Sosialisasi kepada masyarakat lebih cenderung dengan menggunakan
komunikasi sekunder dalam bentuk pamflet dan stiker yang dipasang pada
tempat-tempat strategis. Pendekatan komunikasi primer, dalam bentuk rembug
warga tidak dilaksanakan secara maksimal. Konsekuensi pendekatan sosialisasi
seperti ini menjadikan tingkat pemahaman masyarakat pada BKM menjadi tidak
terarah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kualitas pemahaman anggota-anggota
BKM priode 2007-2009 yang rendah terhadap tugas pokok fungsi BKM.
Secara teknis, pembentukan kelembagaan dapat digambarkan pada
Gambar 9 berikut ini.
Gambar 9. Alur pembentukan kelembagaan BKM
Pemilihan tingkat RT
Pemilihan tingkat kelurahan
Masyarakat pada tingkat RT, memilih perwakilan RT untuk dikompetisikan pada tingkat kelurahan.
Mekanisme pemilihan ini bisa dengan rembug warga atau pemilihan. Setiap warga berhak untuk
mencalonkan diri untuk menjadi perwakilan RT pada pemilihan tingkat kelurahan. Calon dari tiap RT yang
akan diikutkan dalam pemilihan tingkat kelurahan berjumlah minimal 7 orang.
Perwakilan dari tiap RT, akan dikompetisikan pada kegiatan pemilihan di tingkat kelurahan yang mengambil 13 orang sebagai anggota BKM. Pada kegiatan ini hak
pilih dan memilih adalah anggota perwakilan RT. Syarat sah pemilihan manakala dihadiri tiga perempat
perwakilan RT.
Berdirinya kelembagaan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
BKM membuat legal formal pendirian kelembagaan dan AD ART dan membentuk unit-unit kerja yang terdiri dari Unit Pengelola Lingkungan (UPK), Unit Pengelola Sosial
(UPS) dan Unit Pengelola Keuangan (UPK).
71
Secara anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggota BKM Pondok
Pari Bangkit dipilih untuk masa bakti dua tahun. Berdasarkan penggalian data di
lapangan, kualitas SDM anggota BKM sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari
berbagai sudut pandang dan yang paling sederhana adalah kiprah anggota dalam
organisasi yang masih rendah. Dari 13 anggota BKM di antara dua priode ini
maksimal hanya 3 orang setiap priodenya yang memiliki kiprah yang aktif.
Rendahnya kualitas SDM BKM Pondok Pari Bangkit disebabkan berbagi
faktor. Pertama mekanisme pemilihan yang memberikan peluang seluas-luasnya
bagi siapa saja untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota BKM. Pola
pemilihan seperti seperti hanya mendapatkan anggota-anggota BKM berdasarkan
ketokohan atau kefiguran. Hal ini menjadikan BKM hanyalah kumpulan para
tokoh-tokoh masyarakat yang tingkat kompetensi dalam melaksanakan program
masih diragukan. Kedua pola organisasi BKM yang sangat berbeda antara filosofi
organisasi dan teknis operasi organisasi. Secara filosofi BKM merupakan
organisasi sosial yang berbasis keswadayaan, tetapi pada pelaksanaan organisasi
harus dijalankan dengan profesionalisme yang menuntut waktu, tenaga, pikiran
dan biaya yang tidak sedikit.
Ketimpangan antara filosofi dan teknik operasi organisasi, menjadikan
suasana organisasi tidak dapat berjalan dengan baik. BKM hanya bekerja sesuai
siklus-siklus yang telah ditentukan oleh regulator. Keadaaan ini menjadikan
kegiatan di BKM bersifat stagnan. Keadaan ini juga berlaku pada unit-unit yang
ada pada BKM, terkecuali unit pengelola keuangan (UPK).
Setelah terbentuknya kelembagaan BKM siklus berikutnya adalah
pembuatan perencanaan dalam bentuk program jangka menengah (PJM) dan
rencana tahunan (Renta). Sumber dalam membuat perencanaan program kerja
adalah data dari PS2. Pada pelaksanaannya tim perumus PJM tetap harus
membuat verifikasi data PS2 berdasarkan input dari masyarakat.
72
Situasi komunikasi dalam tahap perencanaan dapat digambarkan pada
matriks berikut ini.
Tabel 8. Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku Komunikasi • Kelembagaan BKM
• Kelembagaan LPMK • Pemerintah Kelurahan
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada rembug BKM dalam menyususn dokumen PJM dan Renta.
• Linier dalam hal ini anggota BKM diberikan pelatihan dalam menyusun program jangka panjang (PJM) dan rencana tahunan (Renta)
3 Bentuk Kegiatan • Rembug BKM, LPMK dan pihak kelurahan. 4 Output • Dokumen PJM selama 3 tahun
• Dokumen Renta selama 1 tahun • Data pemanfaat program
Pokok pemikiran dalam pembuatan perencanaan kerja BKM adalah
penanggulangan kemiskinan yang meliputi tiga aspek, yaitu di bidang lingkungan
sosial dan ekonomi. Proses siklus pembuatan perencanaan kegiatan BKM dapat
dilihat pada Gambar 10 berikut ini.
Gambar 10. Kegiatan pada fase perencanaan PNPM Mandiri
Pembentukkan tim perumus PJM dan
Renta
Perumusan PJM dan Renta
Tim perumus terdiri dari gabungan lintas lembaga dalam hal ini Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Kelurahan (LPMK) Kenanga, Pemerintahan Kelurahan Kenanga dan Badan Keswadayaan
(BKM) Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
Memasukkan data-data di PS2 dan data tambahan dari masyarakat (validasi) dalam dokumen PJM dan
Renta yang dituangkan dalam aksi kegiatan
Pengesahan PJM dan Renta
Data-data yang sudah terdokumentasikan di PJM, selanjutnya ditandatangani oleh tim perumus dan
seluruh anggota BKM.
Pelaksanaan Program
73
Secara petunjuk teknis pembuatan PJM dan Renta harus melibatkan
berbagai elemen atau lembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di
Kelurahan Kenanga sebagai tim perumus. Hal ini ditujukan untuk menciptakan
sinergitas program antarelemen lembaga yang ada di Kelurahan Kenanga. Dalam
aplikasinya, perumusan PJM dan Renta hanya dilakukan oleh BKM, termasuk
untuk PJM 2010 sampai 2013.
Komunikasi antarlembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di
Kelurahan Kenanga, sementara ini tidak dibangun dengan baik. Hal ini
menimbulkan terjadinya tumpang tindih program, antara program dari pemerintah
kelurahan, LPMK dan BKM. Mensikapi keadaan ini BKM Pondok Pari bangkit
telah membangun rintisan komunikasi antarlembaga pemangku kepentingan
pembangunan, salah satunya membuka jalur komunikasi dengan forum
komunikasi RT dan RW Kelurahan Kenanga.
Setelah terbentuknya program kerja, baik jangka menengah dan rencana
tahunan siklus kegiatan PNPM Mandiri berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya
masyarakat (KSM).
Situasi komunikasi dalam tahap pelaksanaan dapat digambarkan pada
matriks berikut ini.
Tabel 9. Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan 1 Pelaku
Komunikasi • BKM • KSM • Masyarakat
2 Pola Komunikasi • Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada sosialisasi PJM dan Renta dan sosialisasi swadaya masyarakat
• Linier dalam hal ini KSM diberikan pelatihan dalam melaksanakan program dari tahap proposal sampai penyusunan laporan pertanggungjwaban.
3 Bentuk Kegiatan • Rembug masyarakat. • Pelatihan.
4 Output • Terlaksananya kegiatan sesuai dengan PJM dan Renta • Terlaksananya kegiatan PNPM Mandiri berdasarkan
aturan-aturan.
74
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri terdiri dari tiga kegiatan yang
meliputi kegiatan bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Pelaksanaan kegiatan
tersebut dapat digambarkan pada Gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Proses kegiatan dalam siklus pelaksanaan
Dari sisi teknis pelaksanaan, pola komunikasi organisasi tidak dibangun
dengan baik. Hal ini dapat dilihat peran-peran KSM yang hanya sebagai pelaksana
lapangan. Untuk pekerjaan pembuatan proposal dan LPJ dibebankan kepada
BKM. Muncul kesan hubungan komunikasi antara BKM dengan KSM adalah
komunikasi transaksional. Hubungan komunikasi terselenggara hanya pada saat
pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri setiap tahun harus diadakan review.
Kegiatan ini bertujuan untuk membuat evaluasi-evaluasi selama satu tahun
kegiatan. Aspek-aspek yang direview adalah keuangan, kelembagaan dan program
kerja. Untuk aspek keuangan, selain review internal dilakukan juga audit oleh
pihak auditor independen. Salah satu dasar pembuatan review adalah hasil rapat
warga tahunan (RWT).
Sosialisasi PJM Renta
Pembentukkan dan pengajuan KSM ke
BKM
BKM bersama unit-unit pelaksana melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Setelah sosialisasi diharapkan masyarakat dapat membentuk KSM, dan mengajukan ke BKM.
Pelatihan KSM BKM bersama fasilitator kelurahan memberikan
pelatihan beupa petunjuk teknis pelaksanaan program
Pembuatan proposal
Sosialisasi kepada masyarakat
Pelaksanaan kegiatan
Laporan pertanggungjawaban
(LPJ)
Sosialisasi dalam rangka untuk mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk partisipasi.
KSM mengajukan usulan program sesuai dengan berita acara penetapan prioritas kegiatan (BAPPUK)
Pelaksanaan kegiatan berbasis partispasi.
LPJ merupakan implementasi akuntabilitas, transparansi lembaga pengelola PNPM Mandiri.
75
RWT dilaksanakan sebagai bentuk komunikasi organisasi antara BKM
dengan masyarakat. Dalam kaitan ini BKM mempertanggungjawabkan kegiatan-
kegiatannya selama satu tahun. RWT juga bagian dari upaya untuk mendapatkan
input-input eksternal berkaitan peningkatan kinerja BKM.
Situasi komunikasi dalam tahap evaluasi dapat digambarkan pada matriks
berikut ini.
Tabel 10. Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri
No Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan
1 Pelaku Komunikasi
• BKM • Unit-unit kerja BKM • Masyarakat
2 Pola Komunikasi
• Komunikasi partisipatif dalam kaitan ini BKM memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka peningkatan kinerja BKM.
3 Bentuk Kegiatan
• Rembug masyarakat.
4 Output • Akuntabilitas dan transparansi kelembagaan BKM • Input masyarakat untuk penguatan kinerja BKM. • Input data kondisi terkini masyarakat (kondisi kemiskinan).
Dalam proses RWT, penyampaian pertanggungjawaban dilakukan oleh
BKM. Dalam hal ini unit-unit pelaksana memberikan progres kegiatan kepada
BKM yang kemudian BKM menyampaikan kepada masyarakat.
Kegiatan RWT dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.
Gambar 12. Proses pada evaluasi kegiatan PNPM Mandiri
Kinerja UPK
Kinerja UPL
Kinerja UPS
BKM Masyarakat
76
Telah disebutkan sebelumnya bentuk kegiatan evaluasi adalah Rapat
Warga Tahunan (RWT). Kegiatan ini merupakan momentum untuk melakukan
introspeksi bersama terhadap pelaksana kegiatan PNPM Mandiri.
Pada pelaksanaan RWT partisipasi masyarakat sangat rendah. Dari 150
undangan yang disebarkan, hanya terdapat kurang lebih 30 peserta untuk RWT
tahun 2010. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP sekretaris BKM Pondok
Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
“RWT merupakan momentum yang tepat khususnya bagi kami BKM tepat bagi kami (BKM) untuk memberikan akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat, namun partisipasi masyarakat untuk hadir masih sangat rendah.”
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam RWT, menunjukkan rendahnya
responsibilitas dan internalisasi terhadap kegiatan PNPM Mandiri. Masyarakat
masih belum memahami bahwa proses kegitan PNPM Mandiri memiliki siklus
kegiatan.
Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis
Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri mengisyaratkan proses
komunikasi dengan cakupan luas. Kondisi ini mengundang konsekuensi terhadap
pola komunikasi yang digunakan. Berdasarkan data di lapangan suasana aplikasi
pola komunikasi tingkat basis dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 11. Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis Obyek Amatan Deskripsi Hasil Amatan
Bentuk Komunikasi Bentuk komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenangadilakukan secara primer dan sekunder.
Pola komunikasi Banyak tahap dalam hal ini proses komunikasi antara sumber dan penerima seringkali tidak bisa dilakukan secara langsung (face to face).
Simpul komunikasi Dalam konteks komunikasi primer Ketua RT, tokoh masyarakat di posisikan sebagai simpul komunikasi.
Nuansa komunikasi Komunikasi primer dengan mengandalkan Ketua RT menjadi simpul komunikasi menjadikan kesan proses komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga bernuansa komunikasi birokrasi.
Kredibilitas simpul komunikasi Rendah, hal ini dilihat dari sering terjadinya miscommunication antara BKM dengan masyarakat.
77
Komunikasi tingkat basis (antarmasyarakat) kegiatan PNPM Mandiri
menggunakan berbagai model komunikasi, yaitu partisipatif dan linier. Dilihat
dari arus informasi atau pola komunikasi, khususnya antara BKM dan masyarakat
lebih banyak menggunakan komunikasi banyak tahap.
Pola ini didasarkan pada suatu fungsi sekuensial yang tampaknya bisa
terjadi dalam kebanyakan situasi komunikasi, yang tidak menentukan secara
khusus jumlah tahapan (Mugniesyah 2010). Model komunikasi ini bersumberkan
dari teori komunikasi massa. Dalam kaitan ini antara sumber pertama dengan
sasaran khalayak tidak berhubungan secara langsung. Komunikasi antara
kelompok satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh bridge. Menurut Rogers
dan Kincaid (1981) dalam Saleh (2010), bridge adalah individu yang berperan
sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik
Alasan penggunaan simpul-simpul komunikasi karena cover area atau
penetrasi komunikasi yang cukup luas. Kelurahan Kenanga terdiri dari 25 RT 7
RW dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 2.000 KK dengan jumlah
penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP
Sekretaris BKM Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
“Di Kelurahan Kenanga terdapat 7 RW, 25 RT dengan 2.000 kepala keluarga (KK). Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan masyarakat kami lakukan dengan cara membangun simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi adalah orang yang kita tunjuk sebagai perwakilan yang diharapkan dapat menyebarkan hasil keputusan rembug warga atau informasi kepada masyarakat. Simpul masyarakat diambil dari tiap perwakilan RT yang terdiri dari tokoh masyarakat yang berpengaruh, ketua RT atau relawan.”
Pola komunikasi sekuensial terutama antara BKM dan masyarakat dapat
digambarkan berikut ini.
Gambar 13. Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
BKM
Masyarakat
Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi Simpul Komunikasi
78
Dalam pelaksanaan komunikasi yang bersifat sekuensial ini, figur simpul
komunikasi adalah masyarakat yang bersifat bridge, yaitu individu yang berperan
sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik. Individu sentral yang
menjadi simpul komunikasi adalah ketua RT termasuk juga tokoh masyarakat atau
relawan.
Ketua RT sebagai simpul utama komunikasi menunjukkan bahwa
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri masih menggunakan jalur komunikasi
birokrasi. Sementara ini, jalur komunikasi birokrasi di Kelurahan Kenanga
dianggap yang efektif dalam distribusi pesan. Hal ini disebabkan stigma yang
melekat pada masyarakat bahwa pembangunan masih identik dengan birokrasi.
Selain menggunakan simpul-simpul komunikasi kegiatan PNPM Mandiri
di Kelurahan Kenanga menggunakan komunikasi bermedia. Media yang
digunakan adalah media warga dalam bentuk buletin. Nama buletin tersebut
adalah Gema Bangkit yang diterbitkan satu kali dalam satu bulan. Selama proses
penerbitan, kebijakan isi merupakan instruksi atau arahan dari fasilitator
kelurahan. Hal ini menunjukan komunikasi bottom up melalui media warga belum
terbangun.
Buletin Gema Bangkit lebih diarahkan sebagai sarana pencitraan
kelembagaan BKM. Independensi buletin ini belum terbangun dengan baik hal ini
dapat dilihat dari pembiayaan penerbitan buletin yang dibiayai oleh pihak
regulator. Muncul kesan buletin ini sebagai sarana komunikasi antara BKM
dengan regulator bukan sarana komunikasi antara BKM dengan masyarakat.
Buletin Gema Bangkit disebarkan kepada masyarakat dengan cara
dititipkan di tempat strategis seperti toko, kantor kelurahan dan mushola. Buletin
ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dengan jumlah 200 eksemplar
sekali terbit.
Selain buletin, BKM Pondok Pari Bangkit memasang enam buah papan
informasi di tempat-tempat strategis. Papan informasi dilengkapi dengan kotak
saran dan kritik sebagai sarana komunikasi timbal balik antara masyarakat dengan
BKM. Konten dari papan informasi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
BKM dan unit-unit kerja.
79
Hasil pengamatan menunjukkan papan informasi tidak dikelola secara
baik. Hal ini dapat dilihat dari updating informasi yang jarang dilakukan oleh
BKM. Updating konten papan informasi dilakukan jika ada instruksi dari
fasilitator.
Dilihat dari kontribusinya, keberadaan media warga di tengah masyarakat
belum memiliki kontribusi dalam diseminasi dan penguatan PNPM Mandiri. Hal
ini dapat dilihat dari respons masyarakat yang sangat rendah dan tidak
berfungsinya media warga sebagai media timbal balik komunikasi antara BKM
dan masyarakat.
Media warga masih belum dianggap penting sebagai sarana komunikasi
pembangunan. Hal ini dikarenakan pola-pola komunikasi dalam masyarakat
cenderung lebih banyak menggunakan pola-pola tutur daripada literasi.
Komunikasi word by mouth dianggap paling efektif dibandingkan dengan
komunikasi bermedia meskipun komunikasi seperti ini sangat rentan dengan
distorsi.
Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender
Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada
semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut
yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini
tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam partisipasi pembangunan,
termasuk di dalamnya adalah perempuan.
Dalam kaitan isu gender, terlihat berbagai keragaman situasi antara isu-isu
gender dengan fase-fase kegiatan. Pembahasan isu gender akan dibatasi pada
aspek akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol.
80
Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan rapat kesiapan masyarakat
(RKM). Berdasarkan data di lapangan komunikasi dalam isu gender pada kegiatan
rapat kesiapan masyarakat dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 12. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Rapat Kesiapan Masyarakat
Hasil Amatan
1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Berdasarkan catatan kegiatan RKM dilihat dari jumlah peserta tidak ada perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan.
3 Pemanfaatan RKM dijadikan sebagai sarana atau momentum masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam melakukan perubahan.
4 Kontrol Kontrol dalam kegiatan ini lebih cenderung dilakukan oleh laki-laki. Dalam RKM perempuan bersifat pasif.
Kegiatan RKM dilihat dari aspek komunikasi dalam isu gender tidak ada
perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Pada kegiatan ini pihak
Kelurahan Kenanga dan fasilitator kelurahan membuat jejaring kegiatan melalui
pendekatan kewilayahan. Dalam hal ini ketua RT dijadikan mobilisator RKM.
Suasana pada tahap kegiatan RKM akan berbeda dengan situasi fase
persiapan dilihat dari komunikasi dan isu gender. Situasi komunikasi dalam isu
gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 13. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Perempuan mendominasi. Peran mereka dalam fase persiapan sebagai relawan yang ditugasi untuk membuat pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua (PS2)
3 Pemanfaatan Perempuan memaksimalkan diri memanfaatkan saluran komunikasi baik yang terselenggara dalam pola partisipatif atau linier. Laki lebih cenderung bersifat pasif.
4 Kontrol Dilihat dari kontrol kegiatan pada tahap persiapan, laki-laki mememgang peranan yang penting dan strategis. Mereka (laki-laki) ditunjuk oleh para relawan (sebagian besar kaum perempuan) sebagai koordinator relawan dan mobilisator. Begitupun dalam kepanitiaan pembentukkan BKM banyak di dominasi oleh laki-laki.
81
Pada fase persiapan, akses komunikasi terbuka untuk semua pihak. Akses
ini pada akhirnya diimplemenasikan dalam bentuk partisipasi. Dari penelusuran di
lapangan partisipasi pada kegiatan ini banyak di dominasi oleh perempuan. Faktor
utamanya adalah perempuan memiliki keluangan waktu yang lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, ada kecenderungan kepekaan dan
kepedulian sosial perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Partisipasi perempuan dalam kegiatan perencanaan dibagi menjadi dua
kriteria, yaitu mereka yang partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi perempuan
dalam tahap persiapan mengalami pasang surut. Untuk tahap-tahap awal kegiatan
partisipasi mereka cukup tinggi, namun pada tahap kegiatan PS2 partisipasi
mereka semakin berkurang. Hal ini disebabkan kegiatan PS2 terlalu menyita
waktu mereka. Kondisi ini menjadikan perbenturan waktu mereka dalam ranah
domestik dan publik. Pada saat ini banyak sekali ditemukan percekcokan keluarga
disebebabkan kegitan ini.
Secara kuantitatif, peran perempuan mendominasi pada kegiatan
perencanaan, namun secara kontrol kegiatan banyak didominasi oleh kelompok
laki-laki. Kaum laki-laki memiliki peran-peran yang strategis seperti halnya
sebagai koordinator relawan dan panitia pemilihan anggota BKM.
Pada kegiatan perencanaan, peran perempuan sangat minim sekali. Hal ini
disebabkan pola pembuatan perencanaan melalui mekanisme organisasi yang
sebagian besar di dominasi oleh kaum laki-laki. Situasi komunikasi dalam isu
gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini.
Tabel 14. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Terbatas bagi laki-laki dan perempuan karena kegiatan ini menggunakan pola-pola organisasi.
2 Partisipasi Laki-laki mendominasi karena kelembagaan yang berwenang membuat perencanaan didominasi oleh laki-laki.
3 Pemanfaatan BKM paling banyak memanfaatkan kegiatan perencanaan.
4 Kontrol Kontrol kegiatan banyak didominasi oleh BKM
82
Pola pembuatan perencanaan kegiatan dalam kegiatan PNPM Mandiri
adalah menggunakan saluran komunikasi organisasi. Dalam hal ini BKM
merupakan leading sector dalam membuat perencanaan. Dalam isu gender,
lembaga BKM didominasi oleh kelompok laki-laki. Berdasarkan catatan yang ada
periode pertama (2007-2009) jumlah perempuan anggota BKM hanya berjumlah
dua orang dan periode kedua (2009-2011) jumlah perempuan anggota BKM
hanya berjumlah satu orang. Salah satu faktor dominan daya tawar politis
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Dilihat dari partisipasi perempuan di kelembagaan BKM sangat rendah hal
ini dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam rembug-rembug BKM. Hal ini
tentunya berkorelasi dengan minimnya peran mereka dalam pembuatan
perencanaan. Pemanfaatan lembaga BKM banyak didominasi oleh laki-laki
termasuk dalam kontrol organisasi.
Pada tingkat pelaksanaan kegiatan, telah mengkrucut kekhasan bidang
masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak mendominasi
untuk kegiatan lingkungan sedangkan perempuan untuk bidang sosial dan
keuangan.
Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat
pada matriks berikut ini.
Tabel 15. Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan
Hasil Amatan
1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Mengkrucut pada bidang kekhasan masing-masing. Laki-laki mendominasi pelaksanaan kegiatan bidang lingkungan, perempuan mendominasi bidang kegiatan sosial dan keuangan.
3 Pemanfaatan Bidang lingkungan dimanfaatkan oleh semua pihak, bidang sosial dan keuangan banyak dimanfaatkan oleh perempuan.
4 Kontrol Kontrol kegiatan lingkungan banyak dilakukan oleh laki-laki dan kegiatan sosial dan keuangan banyak dikontrol oleh perempuan.
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya
masyarakat (KSM). Dalam petunjuk teknis representasi jumlah perempuan dalam
KSM minimal 30%. Secara aturan, menunjukkan akses, partisipasi, pemanfaatan
83
dan kontrol memberikan peluang yang sangat positif bagi perempuan. Ditinjau
dari sisi administrasi, kuota perempuan ini sudah terpenuhi. Hampir semua KSM
baik di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi, memasukkan daftar perempuan
sebagai anggota KSM. Pada pelaksanaannya, kontrol kegiatan terbagi berdasarkan
kekhasan gender. Pada bidang lingkungan perempuan hanya diposisikan secara
administrasi belaka atau hanya dalam pelaporan, meskipun posisi mereka pada
posisi yang strategis, sebagai bendahara atau pengadministrasi kegiatan.
Kenyataan di lapangan kegiatan-kegiatan di bidang lingkungan banyak
dikendalikan oleh laki-laki baik secara keuangan dan administrasi.
Pada kegiatan sosial dan ekonomi akses, partisipasi, pemanfaatan dan
kontrol didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan relawan-relawan yang
berkiprah pada kegiatan PNPM Mandiri memiliki pengalaman dalam kegiatan-
kegiatan sosial, seperti kegiatan di pos yandu, kelompok majelis taklim, dan
kegiatan PKK.
Pada fase evaluasi, secara prinsipil membuka kesempatan bagi masyarakat
untuk memberikan kontribusi. Kegiatan evaluasi dimanisfestasikan dalam bentuk
rapat warga tahunan. Secara umum komunikasi dalam evaluasi belum diterapkan
secara proporsional oleh masyarakat. Artinya evaluasi melalui jalur komunikasi
organisasi belum berjalan maksimal. Dalam aspek gender persoalan evaluasi tidak
ubahnya seperti gambaran umum.
Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek evaluasi dapat dilihat
pada matriks berikut ini.
Tabel 16. Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
No Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Evaluasi
Hasil Amatan
1 Akses Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2 Partisipasi Dominasi laki-laki karena selama ini pelaksanaan kegiatan evaluasi belum mengakomodir suasana perempuan. Dalam kaitan ini kegiatan dilaksanakan pada malam hari.
3 Pemanfaatan Kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat
4 Kontrol Kontrol dalam forum lebih dominan laki-laki.
84
Secara umum pelaksanaan komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di
Kelurahan Kenanga banyak didominasi oleh kelompok laki-laki baik secara akses,
partisipasi, pemanfaatan dan kontrol. Keadaan ini disebabkan sistem yang
dibangun tidak mengakomodir suasana diri perempuan. Hal ini terlihat dari
penciptaan iklim komunikasi. Sementara ini, iklim komunikasi yang dibangun
dalam sistem komunikasi kegiatan PNPM Mandiri kurang memperhatikan budaya
waktu perempuan. Kegiatan komunikasi kegiatan PNPM Mandiri, lebih banyak
diselenggarakan pada malam hari. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
WTM mantan ketua unit pelaksana keuangan berikut ini.
“Pelaksanaan komunikasi pada malam hari sering menjadi hambatan bagi saya. Hal ini disebabkan keberatan suami saya untuk mengikuti rembug warga pada malam hari. Ini berdasarkan penglaman saya, kegiatan rembug warga biasanya memakan waktu sampai larut malam.”
Namun demikian, penciptaan iklim komunikasi bukan dalam rangka untuk
menghalangi kiprah perempuan untuk aktif dalam proses komunikasi kegiatan
PNPM Mandiri. Hal ini semata-mata disebabkan waktu malam hari, merupakan
waktu yang netral untuk semua pihak, karena pada siang atau sore hari terbentur
dari kesibukan masing-masing aktivis. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh ASP sekretaris BKM berikut ini.
“Sebenarnya waktu malam hari sudah kami pertimbangkan secara psikologis terutama untuk perempuan. Pensiasatanya adalah dengan mengatur waktu pertemuan warga pukul 19.30 (ba’da isya). Namun karena keterlambatan pelaksanaan yang mencapai satu jam menjadikan rembug warga selesai pada larut malam.”
Penciptaan iklim yang tidak mengakomodir keadaan perempuan secara
tidak langsung menciptakan image negatif masyarakat pada program PNPM Hal
ini sebagaimana pengalaman IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.
“Salah satu permasalahan dalam kegiatan ini adalah partisipasi perempuan. Hampir sebagian besar desa atau kelurahan yang pernah saya dampingi berkultur patriarki, sehingga banyak tentangan ketika perempuan memasuki ranah publik. Hal yang pernah saya rasakan, ada sebagian masyarakat yang menganggap saya, khususnya program PNPM Mandiri telah mengajak perempuan untuk meninggalkan kewajiban sebagai istri (melawan suami), karena mereka sering mengikuti pertemuan-pertemuan warga.”
85
Selain persoalan penciptaan iklim komunikasi, konstruksi sosial
masyarakat Kelurahan Kenanga, belum mengakomodir perempuan secara penuh
peran perempuan dalam ranah publik. Konstruksi sosial seperti ini merupakan
bagian ideologi dan keyakinan yang telah tertanam kuat pada masyarakat
Kelurahan Kenanga.
Meski terdapat hambatan dalam proses komunikasi, tetapi pelaksanaan
kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sudah menggunakan konsep
gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini dapat dilihat
dari kiprah perempuan baik sebagai pemanfaat program atau pengelola program.
Gambaran ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 17. Distribusi peran dan pemanfaatn program dalam aspek gender No. Kelembagan Kepengurusan Pemanfaatan
1 BKM Dominasi kepengurusan laki-laki
2 UPL Dominasi kepengurusan laki-laki
3 UPK Dominasi kepengurusan laki-laki
4 UPS Dominasi kepengurusan perempuan
5 KSM bidang lingkungan Dominasi kepengurusan laki-laki Laki-laki dan perempuan
6 KSM bidang pinjaman bergulir
Dominasi kepengurusan perempuan
Perempuan
7 KSM bidang sosial Dominasi kepengurusan laki-laki Perempuan
Dilihat dari kapasitas kehadiran perempuan cenderung bersifat pasif.
Kehadiran perempuan cenderung hanya menjadi pelengkap pertemuan. Ekspresi
perempuan terhadap pandangan pemikiran dan ketidaksetujuan dalam forum
komunikasi lebih banyak disalurkan melalui sarana lain-lain misalnya pertemuan
ibu-ibu PKK, arisan, dan obrolan antar tetangga. Imbas dari dari ekspresi ini
adalah multitafsir terhadap pesan komunikasi yang dapat menimbulkan suasana-
suasana yang tidak sehat.
Fenomena ini dapat ditelusuri dari pandangan Edwin dan Shirley Ardener
(antropolog) tahun 1975 (West & Turner 2008) yang menyatakan bahwa
kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem
komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah
seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk
86
bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok
dominan.
Dibalik rendahnya kapasitas perempuan dalam kegiatan PNPM Mandiri,
ternyata mereka memiliki kontribusi pada bidang lainnya seperti pembinaan umat.
Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu. Di
Kelurahan Kenanga terdapat 13 kelompok pengajian yang eksis dan terorganisasi
dengan baik.
Selain kelompok pengajian ibu-ibu, eksistensi lembaga-lembaga formal
seperti Fatayat dan Muslimat sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama
(NU) berjalan dengan baik. Namun kearifan lokal yang dibangun oleh perempuan
ini belum tergarap dengan baik sebagai sarana komunikasi pembangunan.
Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri
Internalisasi program menunjukkan keberhasilan komunikasi program.
Berdasarkan amatan di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program di
masyarakat belum menunjukkan gambaran yang memuaskan hal ini dapat
digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 18. Matriks gambaran internalisasi program No Obyek Amatan Deskripsi 1 Pencitraan PNPM
Mandiri Bias citra
2 Pemahaman terhadap program
Setiap karakteristik memiliki pemahaman yang berbeda. Data yang paling kontras adalah kelompok rumah tangga miskin (RTM) sebagai sasaran program sedikit sekali mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri.
3 Kesadaran masyarakat
Menuju proses transisi dari kesadaran magis menuju kesadaran naif. Dalam kaitan ini masyarakat sudah menunjukkan untuk merefleksikan keadaan dirinya tapi masih ada sifat fatalis.
4 Partisipasi Masih dalam tahap partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan dalam hal ini BKM dan fasilitator.
Pencitraan Kegiatan PNPM
Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri menunjukkan sejauh mana
pemahaman masyarakat terhadap filosofi, konsep dan aplikasi program.
Internalisasi program merupakan umpanbalik dari proses komunikasi. Sebagai
sebuah asumsi semakin tinggi tingkat pengkomunikasian program kepada
masyarakat akan menguatkan internalisasi program kepada masyarakat.
87
Data di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program dalam sudut
pengetahuan masih mengalami bias pencitraan. PNPM Mandiri bagi masyarakat
Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai program temporal yang tidak
ubahnya seperti program-program lainnya yang bersifat spontan dan dilaksanakan
dalam jangka pendek. Hal ini dapat terlihat dari wacana masyarakat Kelurahan
Kenanga yang mengalami pasang surut wacana Kegiatan PNPM Mandiri.
Implikasi dari stigma ini adalah rendahnya masyarakat dalam melakukan
pemberdayaan secara mandiri. Padahal, di Kelurahan Kenanga memiliki kearifan
lokal yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat.
Ini dapat dilihat dari budaya-budaya masyarakat Kelurahan Kenanga yang
bercirikan kebersamaan dan saling berbagi. Hal ini terlihat dari budaya sedekah
makaman, sebuah ritual budaya mendoakan orang-orang yang sudah meninggal
dengan saling berbagi makanan. Budaya ngapem (membuat kue apem) pada bulan
Safar (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), budaya suraan (membuat
bubur) pada bulan sura (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), peringatan
maulid nabi dengan acara pembacaan kitab barjanzi di rumah warga secara
bergiliran, yang semuanya biaya tersebut merupakan swadaya masyarakat.
Berikutnya PNPM Mandiri masih dicitrakan sebagai program parsial yang
hanya terfokus pada satu bidang kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan
infrastruktur lingkungan warga. Dalam uji petik pada masyarakat menunjukkan
sebagian besar masyarakat Kelurahan Kenanga mengidentikkan kegiatan PNPM
Mandiri dengan kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan KDR warga blok Kranten Kelurahan Kenanga
berikut ini.
“Saya hanya mengetahui PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sebatas pembuatan rabat beton di blok kami. Untuk program-program yang lain saya tidak tahu.”
88
Kondisi ini jelas merupakan kondisi yang kurang terarah kalau
dimasukkan dalam konteks pengentasan kemiskinan. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini.
“Memang diakui bahwa nuansa program PNPM Mandiri adalah pembangunan infrastruktur lingkungan warga karena leading sector-nya adalah instansi yang membidangi hal tersebut. Bagi saya pribadi hal ini kurang terarah, karena persoalan kemiskinan substansinya bukan mereka membutuhkan jalan, tapi bagaimana mereka bisa makan, bisa sekolah, bisa mengakses fasilitas kesehatan. Menurut hemat saya dalam kegiatan PNPM Mandiri harus dibentuk sebuah badan khusus setingkat kementerian, supaya pengentasan kemiskinan bersifat komprehensif.”
Terjadinya bias citra kegiatan PNPM Mandiri dalam aspek komunikasi,
disebabkan karena selama ini terpaan-terpaan komunikasi program lebih
memfokuskan pada muatan pesan pelaksanaan kegiatan pembangunan
infrastruktur lingkungan warga.
Hal ini dapat dipahami dalam ranah komunikasi massa yaitu teori agenda
setting. Disebutkan dalam teori ini jika media memberikan tekanan pada suatu
peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting (Combs & Shaw 1972 dalam Effendy 1993).
Teori ini memiliki relevansi dengan kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan
Kenanga karena fakta di lapangan intensitas komunikasi pada tingkat basis lebih
banyak ditujukan untuk keberhasilan kegiatan pembangunan lingkungan. Untuk
bidang kegiatan lainnya tidak dilakukan komunikasi secara intensif.
Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik
Selain persoalan pencitraan, yang menarik berkenaan dalam internalisasi
kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga adalah kelompok masyarakat
rumah tangga miskin sebagai sasaran program sebagian besar tidak tersentuh
informasi program. Ini mengindikasikan akses informasi program bagi kaum
miskin sangat rendah. Terdapat dua faktor dominan rendahnya akses informasi
program pada kelompok masyarakat miskin. Pertama adalah perlakuan
deskriminatif dalam distribusi informasi. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara
rembug warga. Biasanya daftar urut prioritas undangan rembug warga adalah dari
89
kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
STR anggota KSM Sakura berikut ini.
“Hampir sebagian besar dalam rembug warga di RT manapun pertama kali yang diajak bicara adalah tokoh masyarakat dan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Ini semata-mata untuk mendongkrak perolehan swadaya masyarakat, karena pola dalam pembiayaan kegiatan PNPM Mandiri adalah 30% dibiayai melalui swadaya masyarakat.”
Kedua, munculnya sifat fatalis dari kelompok masyarakat miskin itu
sendiri. Ada perasaan bagi masyarakat miskin bahwa program apapun tidak
memiliki efek yang signifikan terhadap perubahan nasib hidup mereka. Sifat
fatalis ini terdoktrinasi kuat dalam kelompok rumah tangga miskin. Fenomena ini
terjadi disebabkan mereka telah termarjinalkan dalam berbagai program-program
pemerintah. Hal ini sebagaimana yang disampaiakan oleh SBA warga blok
Pesantren Kelurahan Kenanga:
“Bagi saya program apa pun hampir tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan nasib saya. Selama ini saya jarang tersentuh (sebagai pemanfaat) program, misalnya bantuan tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan miskin (Askeskin), bahkan bedah rumah tidak layak huni (rutilahu) pun gagal, padahal rumah saya sudah dijanjikan untuk direhab.”
Hal ini menunjukkan simpul-simpul komunikasi dalam hal ini lembaga RT
belum membangun komunikasi dialogis pada tingkat basis. Lembaga RT belum
berfungsi sebagai agen perubahan, yang memperjuangkan kepentingan semua
pihak. Fungsi lembaga RT masih sebatas mengurus administratif kependudukan,
yang mendukung terlaksananya jalannya pemerintahan. Pihak Kelurahan Kenanga
tidak bisa menginstruksikan atau mengintervensi agar peran lembaga RT lebih
luas lagi dalam kaitan ini sebagai agen perubahan. Alasannya adalah tidak ada
dana operasional lembaga RT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
MSRKN sekretaris Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Kami dari pemerintahan Kelurahan Kenanga tidak bisa berharap banyak agar peran ketua RT lebih luas, terlebih lagi sebagai agen perubahan. Pijakan dasar menjadi ketua RT adalah kerja sosial. Pemerintah sendiri tidak memiliki dana taktis untuk kegiatan lembaga RT. Artinya dalam hal ini kami tidak bisa menuntut banyak dari ketua RT.”
90
Secara teoritis persoalan kemiskinan yang terjadi pada SBA menunjukkan
adanya strukturalisasi kemiskinan. Hal sebagaimana yang disampaikan oleh kaum
teori demokrasi sosial yang memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan
individual, melainkan struktural. (Suharto 2005). Hal ini senada dengan pendapat
yang disampaikan oleh Mariana dan Purnama (2005) yang menyebutkan bahwa
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk
dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan,
tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol.
Dari keragaman karakteristik, masyarakat ekonomi kelas menengah dan
tokoh masyarakat lebih mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri
dibandingkan dengan masyarakat dari rumah tangga miskin. Hal ini dikarenakan
mereka lebih banyak diajak berkomunikasi baik oleh simpul komunikasi maupun
oleh pengurus BKM. Dengan dibangunnya komunikasi diharapkan muncul
kepedulian mereka terhadap fenomena kemiskinan yang ada di masyarakat.
Kecenderungannya peran mereka sangat pragmatis, yaitu dengan
memposisikan diri mereka sebagai penyandang dana atau donatur Hal ini
sebagaimana yang disampaikan SKR seorang pengusaha dari blok Pesantren
Kelurahan Kenanga berikut ini.
“Secara langsung keterlibatan saya dalam rembug warga sangat jarang, karena kesibukan mengurus usaha. Informasi PNPM Mandiri saya terima dari KSM yang menyampaikan proposal permohonan bantuan swadaya. Selama ini kalau saya dapat membantu pasti saya akan membantu kegiatan kemasyarakatan, namun untuk mengurus sampai detail saya belum bisa meluangkan waktu untuk itu.”
Pada sisi tokoh masyarakat mereka lebih memainkan peran sebagai
motivator. Kebanyakan dari tokoh masyarakat memfungsikan dirinya sebagai
mobilisator masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan DMYT seorang ulama warga blok Pesantren Kelurahan Kenanga
berikut ini.
“Selama pelaksanaan PNPM secara teknis detail saya tidak terlibat, biarlah yang muda-muda saja yang bergerak, saya selaku orang tua, hanya bisa memberikan restu dan membantu panitia untuk menggerakan warga masyarakat.”
91
Dari sisi gender, kebanyakan mereka yang mengetahui dan memahami
PNPM Mandiri adalah perempuan pemanfaat dana pinjaman bergulir. Dari data
yang ada menunjukkan sebagian besar pemanfaat dana pinjaman bergulir adalah
perempuan atau sebesar 58 persen. Pengetahuan mereka terhadap PNPM Mandiri
muncul setelah mereka menjadi pemanfaat langsung kegiatan. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan IPH salah satu ketua KSM pinjaman dana bergulir
berikut ini.
“Sebelumnya saya tidak pernah mendengar adanya program PNPM Mandiri, karena selama pelaksanaan program wilayah di mana saya tinggal tidak pernah masuk kegiatan. Saya mengetahui adanya program PNPM setelah adanya informasi pinjaman bergulir dari ketua RT.”
Selain pemanfaat pinjaman bergulir, perempuan yang memiliki
pemahaman PNPM Mandiri adalah para aktivis perempuan yang langsung
bersentuhan dengan kegiatan PNPM Mandiri. Mereka terdiri dari para pengurus
baik di BKM, unit pelaksana, anggota KSM dan relawan.
Masyarakat Kelurahan Kenanga secara konseptual masih awam terhadap
PNPM Mandiri. Namun substansi pelaksanaan program sudah ada pencerahan
yang positif. Hal ini dilihat dari partisipasi yang antusias dari masyarakat yang
dibuktikan pencapaian program kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan
warga yang mengalami kenaikan volume yang signifikan dari target yang
diberikan oleh BKM.
Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir
Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga
Pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga pertama kali
digulirkan pada bulan Desember 2009. Sasaran utama pelaksanaan kegiatan
pinjaman bergulir adalah rumah tangga miskin di wilayah desa/kelurahan dimana
LKM/BKM berada, khususnya warga miskin yang sudah tercantum dalam daftar
warga miskin (hasil pemetaan swadaya atau PS2).
Sejak diluncurkan pada bulan Desember 2009 hingga Desember 2010 atau
dalam kurun waktu satu tahun telah tercatat 225 pemanfaat atau nasabah.
Pemanfaat ini tersebar di 23 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Adapun
92
dana yang telah digulirkan kepada masyarakat per Desember 2010 mencapai Rp.
114.350.000 (seratus empat belas juta tiga ratus lima puluh ribu).
Kegiatan pinjaman bergulir melibatkan beberapa elemen. Elemen-elemen
tersebut adalah:
1. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Tugas BKM pada pelaksanaan
kegiatan adalah membentuk unit sebagai pengelola dalam hal ini adalah Unit
Pengelola Keuangan (UPK). Perangkat kerja UPK diangkat dan diberhentikan
oleh BKM berdasarkan musyawarah. Selanjutnya BKM berdasarkan rembug
warga menentukan besaran jasa/bunga serta besaran insentif pengelola dan
aturan-aturan pelaksanaan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakat setempat termasuk memiliki kewenangan memberikan persetujuan
atau penolakan atas ajuan pinjaman Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
berdasarkan masukan dari UPK.
2. Unit Pengelola Keuangan (UPK). UPK adalah unit di bawah BKM yang
bertugas menjalankan kegiatan secara teknis, dimulai dari pengajuan usulan
KSM, sampai melakukan penerimaan setoran.
3. Dewan Pengawas Keuangan (DPK). DPK merupakan elemen yang
independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan secara
keseluruhan.
4. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), adalah kelompok pemanfaat
pinjaman bergulir.
Secara petunjuk teknis berdasarkan aturan-aturan regulator kegiatan
pinjman bergulir adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan pinjaman dilakukan secara kelompok yaitu KSM.
2. KSM mengajukan usulan pinjaman yang disertai dengan surat keterangan dari
ketua RT.
3. Setiap pinjaman tidak terdapat agunan.
4. Nominal pinjaman yang diberikan nilainya beragam. Untuk peminjam awal
jumlah pinjaman maksimal Rp. 500.000/orang. Peminjaman yang bersifat
repeat order maksimal diberikan pinjaman Rp. 1.000.000/ orang.
5. KSM dibebankan biaya swadaya untuk pengadaan sarana kegiatan
peminjaman, seperti untuk pengadaan kartu pinjaman, bukti setoran, dll.
93
6. Lamanya masa kredit adalah 10 bulan.
7. Uang jasa dari pinjaman ditetapkan sebesar 2% per bulan.
8. Setiap peminjam diwajibkan membuka tabungan awal sebesar Rp. 25.000
untuk pinjaman Rp. 500.000 dan Rp. 50.000 untuk pinjaman Rp. 1.000.000.
9. Setiap bulan peminjam wajib melakukan setoran dengan membayar hutang
pokok, uang jasa dan simpanan wajib bulanan. Untuk pinjaman Rp. 500.000,
hutang pokok yang dibayarkan Rp. 50.000, dengan uang jasa Rp. 10.000, serta
simpanan wajib bulanan Rp. 2.500. Total yang disetorkan adalah Rp. 62.500.
Sedangkan untuk pinjaman yang bernilai 1.000.000, hutang pokok yang
dibayarkan Rp. 100.000, dengan uang jasa Rp. 20.000, serta simpanan wajib
bulanan Rp. 5.000. Total yang disetorkan adalah Rp. 125.000.
10. Pada masa akhir kredit atau pinjaman setoran tabungan awal dan setoran wajib
bulanan akan dikembalikan lagi ke peminjam dengan melihat aspek besaran
tunggakan.
Beberapa catatan penting pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan
Kenanga adalah sebagai berikut:
1. Belum ada aturan tertulis di perjanjian akad kredit mengenai peminjam yang
meninggal selama masa pinjaman belum selesai. Apakah pinjaman akan
diputihkan atau diteruskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga peminjam
yang mengalami kecacatan permanen.
2. Belum ada aturan yang tertulis di perjanjian akad kredit berkenaan dengan
penambahan masa waktu pinjaman.
3. Tingkat selektivitas UPK terhadap calon peminjam tidak ada. Hal ini dapat
dilihat banyak sekali peminjam bukan dari kelompok rumah tangga miskin
(RTM) atau yang mereka terdata pada pemetaan swadaya tahap 2 (PS 2).
Kondisi ini menjadikan sasaran program tidak terarah dengan baik.
Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri
Untuk menganalisis kegiatan pembangunan dalam aspek gender, dapat
dianalisis konsep isu gender. Isu gender dalam pembangunan terdiri dari: akses,
partisipasi, manfaat dan kontrol (Depdagri dan LAN RI 2007). Untuk melihat isu
gender dalam kegiatan pinjaman bergulir program PNPM Mandiri di Kelurahan
Kenanga dapat dilihat pada tabel berikut ini.
94
Tabel 19. Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir No Isu Gender Hasil Amatan 1 Akses Pinjaman bergulir membuka peluang bagi kelompok manapun
terutama dari masyarakat miskin. 2 Partisipasi Partisipasi dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat dari peran
masyarakat ditinjau dari aspek gender. Dilihat dari peran pengelolaan pada awalnya kegiatan pinjaman bergulir didominasi oleh kelompok perempuan. Begitupun peran perempuan pada Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) didominasi oleh perempuan. Seiring dengan perjalanannya peran perempuan di kelembagaan kegiatan pinjaman bergulir (UPK) tidak lagi mendominasi.
3 Manfaat Pemanfaat kegiatan pinjaman bergulir sebagian besar adalah kelompok perempuan.
4 Kontrol Kontrol pemanfaat pinjaman bergulir dilihat dari aspek pertanggungjawaban pengembalian dana pinjaman bergulir, kelompok perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan kelompok laki-laki.
Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri
Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada
semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut
yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini
tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam di dalam pembangunan.
Salah satu peluang yang diberikan adalah kegiatan pinjaman bergulir.
Kegiatan ini telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Tingginya
akses perempuan dalam pemanfaatan dana pinjaman bergulir dapat disebabkan
mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir yang sangat sederhana dan dipandang
lebih kooperatif dibandingkan dengan lembaga perbankkan konvensional. Syarat
menjadi pemanfaat pinjaman bergulir hanya menyerahkan photo copy KTP tanpa
memberikan agunan apapun. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh SNH
pemanfaat pinjaman bergulir Blok Jorogan.
“Dengan adanya kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga, setidaknya telah membawa angin segar bagi kami khususnya perempuan. Sementara ini, kami sering terhambat untuk mendapatkan permodalan dari bank seperti BRI atau BPR. Sedangkan apabila kami melakukan pinjaman melalui bank keliling, kami terkendala dengan persoalan pengembalian yang sangat berat.”
95
Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK
Kegiatan pinjaman bergulir dilihat dari partisipasi pengelolaan
kelembagaan berdasarkan aspek gender memiliki dua fase besar. Fase pertama,
pengeloaan dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka merupakan para aktivis
kegiatan kemasyarakatan seperti kader PKK, Posyandu dan ibu-ibu pengajian.
Pada fase ini telah menerapkan konsep pembangunan Gender and Devolopment.
Perempuan pada fase ini tidak hanya sebagai pemanfaat pembangunan tetapi
menjadi pengelola pembangunan.
Berkenaan dengan kesadaran kritis pengarusutamaan gender keadaan ini
menunjukkan sudah ada keterbukaan masyarakat untuk menerima perempuan
sebagai bagian pelaku pembangunan. Dari sisi kelembagaan keadaan ini
menunjukkan BKM telah membangun sikap yang positif dalam pengarusutamaan
gender.
Kepengurusan unit pengelola keuangan (UPK) oleh kaum perempuan
mengalami pasang surut yang sangat signifikan dalam kegiatan pinjaman bergulir.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman masyarakat. Selama dua
bulan setoran yaitu bulan Januri-Februari 2010 dinamika kegiatan UPK dinilai
positif. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian dana bergulir oleh
masyarakat yang cukup signifikan yaitu di angka 95 persen. Pada saat kegiatan
pinjaman bergulir memasuki bulan ke tiga persoalan-persoalan mulai
bermunculan. Salah satunya adalah semakin merosotnya tingkat pengembalian
dana bergulir oleh masyarakat. Bahkan setelah dilakukan pemetaan masalah
ternyata permasalahn UPK tidak sebatas kepada masalah-masalah kemacetan
pengembalian masyarakat. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh BKM terdapat
beberapa persoalan serius yaitu:
1. Tingkat pengembalian yang rendah kira-kira 50 persen.
2. Pengelolaan yang tidak profesional. Diantaranya persoalan pengadministrasian
yang tidak dilaksanakan dengan baik, laporan bulanan ke BKM yang tidak
dibuat, penarikan pungutan liar kepada pemanfaat, pemberian pinjaman di
bawah tangan yang non prosedural, dan pemanipulasian data.
3. Kapitalisasi dana oleh pengurus. Modus yang digunakan salah seorang
pengurus menggunakan atau meminjam nama orang untuk mendapatkan
96
pinjaman yang lebih besar (melebihi ambang kuota) yang menjadikan
pengurus ini tidak mampu untuk melakukan setoran bulanan.
4. Pudarnya integritas UPK dalam kaitan ini UPK masih dipandang atau
dianggap sama sebagai lembaga keuangan lainnya yang hanya berusia singkat
seperti halnya Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP), atau pinjaman
bergulir pada masa program Intensifikasi Desa Tertinggal (IDT)
5. Konflik internal antarpengurus. Hal ini diduga dipicu karena ketidakadilan
pemberian insentif hasil dari jasa perguliran.
Persoalan di atas secara umum dapat disebabkan beberapa hal yaitu:
Pertama, lemahnya kemampuan manajerial pengurus. Hal ini disebabkan
pembekalan kepada pengurus UPK sangat minim. Kedua, lemahnya pengawasan
BKM terhadap UPK. Pada kurun waktu Januari hingga Maret 2010 BKM belum
pernah diberikan laporan perkembangan kegiatan. Ketiga, tidak berfungsinya
dewan pengawas keuangan (DPK) dalam memantau pelaksanaan kegiatan
pinjaman bergulir. Keempat, persoalan karakter dan nilai-nilai moral dari setiap
individu pelaksana kegiatan pinjaman bergulir.
Menyikapi kondisi ini pada bulan Juni 2010, BKM melakukan
perombakan total di kepengurusan. Pada fase kedua ini dominasi perempuan
dalam mengelola UPK sudah tidak ada lagi. Komposisi pengelola pada aspek
gender sekarang ini lebih didominasi oleh laki-laki. Dari tiga pengurus hanya
terdapat satu orang pengurus perempuan yang ditugaskan sebagai tenaga teknis
lapangan (kolektor). Fase ini lebih tepat disebut sebagai fase pembenahan.
Pekerjaan yang berat yang dihadapi oleh kepengurusan baru yaitu menjaga
integritas lembaga. Sementara ini, lembaga keuangan yang dikelola masyarakat di
Kelurahan Kenanga memiliki integritas yang rendah. Dana pinjaman bergulir
masih dipandang dianggap sebagai dana yang tidak perlu di
pertanggungjawabkan. Selain itu, masalah sumberdaya manusia (SDM) menjadi
persoalan yang serius dalam pengelolaan pinjaman bergulir. Dalam kaitan ini
jarang sekali masyarakat yang mau terlibat dalam kepengurusan di UPK. Hal ini
disebabkan kontribusi dan penghargaan menjalankan kegiatan pinjaman bergulir
tidak seimbang. Sederhannya basis kegiatan UPK adalah kegiatan sosial yang
menitikberatkan pada jiwa kerelawanan sedangkan pelaksanaan harus bersifat
97
profesional sesuai standar baku pengelolaan perbankkan. Hal ini sebagaimana
yang dipertegas STR manajer UPK berikut ini:
“Persoalan UPK yang paling krusial adalah persoalan citra lembaga. Program apapun di masyarakat Kelurahan Kenanga dalam konteks keuangan semuanya gagal. Saya melihat persoalan tersebut dikarenakan integritas lembaga yang tidak dibangun dengan baik. Kondisi ini disebabkan persoalan SDM. Persoalan SDM yang paling krusial adalah minimnya relawan dari masyarakat yang mau menerjuni dunia sosial. Apalagi dalam kegiatan di UPK, landasan utamanya pekerjaan sosial tapi dilaksanakan secara profesional, artinya pekerjaannya berat, penghargaan atau insentif untuk pengelola sangat minim.”
Dengan berbagai macam pendekatan persoalan-persoalan sedikit demi
sedikit dibenahi. Pinjaman bergulir per Maret hingga Agustus 2010 pada bulan
September 2010, pinjaman bergulir kepada masyarakat kembali diputar.
Sementara ini tiap bulan UPK melakukan pencairan dana ke masyarakat yang
mencapai angka 5-10 juta rupiah per bulan, dengan pengembalian dana yang
sangat signifikan.
Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender
Seiring dengan digulirkannya program PNPM Mandiri setidaknya telah
membawa sebuah harapan bagi perempuan. Hal ini disebabkan program PNPM
Mandiri salah satu programnya adalah keuangan bergulir, yang dapat diakses oleh
semua pihak termasuk perempuan. Bahkan Ditjen Cipta Karya (2009) membuat
indikator keberhasilan kegiatan pinjaman bergulir manakala pemanfaat kegiatan
ini 30% adalah perempuan.
Komposisi pemanfaat dalam aspek gender, kaum perempuan lebih banyak
daripada kaum laki-laki. Dalam hal ini jumlah pemanfaat kaum perempuan
mencapai 129 pemanfaat atau 57 persen, sedangkan pemanfaat dari kaum laki-laki
mencapai 96 pemanfaat atau 43 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses
perempuan dalam kegiatan pinjaman bergulir sangat baik. Kondisi ini secara
teoretif telah membuka peluang gerakan pengarusutamaan gender dalam kegiatan
pinjaman.
Berdasarkan keragaman profil pemanfaat terdapat kondisi yang kontras
antara data administratif dan kondisi realitas. Berdasarkan data yang ada pada
UPK, menyebutkan bahwa pemanfaat masuk dalam kategori rumah tangga miskin
98
(RTM). Fakta riil di lapangan menunjukkan tidak semua pemanfaat tercantum
dalam data base kategori keluarga miskin yang tercantum dalam dokumen
Program Jangka Menengah (PJM) BKM Pondok Pari Bangkit atau kaum
perempuan dari keluarga RTM. Bahkan ada kecenderungan pemanfaat ini
sebagian besar bukan dari keluarga non RTM dengan indikasi kepemilikan rumah,
kepemilikan kendaraan dan tanggungan keluarga. Di antara mereka adalah WTM
warga blok Lebak Jambu, ASMR warga blok Desa, AMN warga blok Desa, AST
warga blok Tengah.
Persoalan RTM atau non RTM telah menjadi polemik sendiri bagi Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM). Pada satu sisi, pinjaman bergulir dikhususkan
untuk RTM namun pada sisi aturan teknis kegiatan pinjaman bergulir terlalu berat
bagi RTM dilihat dari sisi pengembalian yang mencapai 20% dari pokok hutang.
Dari sisi bentuk usaha, perempuan pemanfaat pinjaman bergulir sebagian
besar adalah pedagang dan pengusaha kecil, bahkan secara laporan administratif
100% peminjam adalah pelaku usaha kecil. Hal ini disebabkan penggunaan dana
pinjaman bergulir secara prosedur normatif diperuntukkan bagi usaha mikro kecil
menengah (UMKM). Artinya dana tersebut harus digunakan sebagai modal dan
pengembangan usaha. Keadaan ini tentunya berbeda dengan kondisi nyata di
lapangan. Berdasarkan penelusuran di lapangan ditemukan juga pemanfaat-
pemanfaat yang tidak memiliki usaha, seperti halnya KML warga blok Kenanga
Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya adalah ibu rumah tangga, RBH
warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya sebagai buruh
tani, UNSR warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya
adalah ibu rumah tangga dan masih banyak lainnya.
Secara data kuantitatif menunjukkan perempuan adalah pemanfaat
terbanyak kegiatan pinjaman bergulir, namun pada tingkat pemanfaatan secara
domestik, dana tersebut tidak serta merta dimanfaatkan oleh perempuan.
Penelusuran di lapangan dana pinjaman bergulir sebagian ada yang digunakan
oleh kaum laki-laki (suami). Salah satu contohnya pemanfaat atas nama SMYT
warga Jamsari Kelurahan Kenanga, yang memanfaatkan dana tersebut untuk
kepentingan suaminya berangkat ke Jakarta begitupun dengan MSN warga blok
Desa Kelurahan Kenanga.
99
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana secara domestik tidak
dibedakan berdasarkan aspek perbedaan gender. Dalam konteks masyarakat
Kelurahan Kenanga sistem ekonomi dibangun berdasarkan kemitraan antara
suami dan istri. Sederhananya harta istri adalah suami dan sebaliknya.
Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM
Tingginya pemanfaat dari kaum perempuan tidak selalu berkorelasi
dengan kesadaran kritis, partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan. Kondisi
ini cenderung sebagai bagian afirmasi terhadap perempuan. Untuk menelusuri hal
ini dapat dilihat dari kesadaran kritis perempuan dalam menginisiasi pembentukan
kelompok.
Pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) menunjukkan adanya
komitmen tanggung jawab dan menunjukkan adanya keberdayaan. Hal ini
disebabkan pembentukan kelompok merupakan kegiatan basis yang dilandasi dari
sebuah kesadaran kritis.
Proses pembentukan KSM mengalami dua histori yang keduanya memiliki
suasana dan keadaan yang berbeda. Histori pertama pada saat awal perguliran
yakni bulan Desember 2009 sampai bulan Maret 2010. KSM yang terbentuk pada
saat itu berjumlah 14 KSM yang tersebar di seluruh Kelurahan Kenanga dengan
jumlah pemanfaat 137 orang.
Komposisi pemanfaat dari aspek gender, menunjukkan bahwa jumlah
pemanfaat dari kelompok perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Pemanfaat
perempuan berjumlah 80 orang pemanfaat atau 58% sedangkan pemanfaat dari
kaum laki-laki berjumlah 57 orang atau 42 persen. Adapun nama-nama kelompok
tersebut dan komposisi pemanfaat dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 20. KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan
Nama KSM Jumlah anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)
Sekar Sari 4 8 Tanjung 9 1
Sumber Mulya 2 8 Sumber Sejati 2 3
Mangga 7 3 Jambu 0 10 Durian 4 6 Liwung 3 7
Sumber Toya 3 7
100
Nama KSM Jumlah Anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)
Melati 6 4 Mawar 7 3
Sumber Rezeki 2 8 Terate 6 4
Anggrek 2 8 Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010
Pola pembentukkan KSM pada histori pertama cenderung tidak sesuai
dengan pola-pola standar yang ditentukan. Pada saat itu, KSM dibentuk
berdasarkan mobilisasi pengurus, yang seharusnya KSM dibentuk dari ajuan
masyarakat (pemanfaat). KSM peminjam bergulir pada saat itu tidak dibentuk
berdasarkan realitas dan refleksi diri terhadap kebutuhan yang memiliki
konsekuensinya penyerapan dana kegiatan pinjaman bergulir menjadi tidak tepat
sasaran. Metode pembentukkan KSM yang dilakukan dapat digambarkan dalam
gambar berikut ini.
Gambar 14. Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan
Pola seperti itu menunjukkan tidak terbangunnya komunikasi pada tingkat
basis yang menciptakan kelommpok dengan keragaman yang tinggi, yang
berkecenderungan antara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak
saling mengenal.
Secara umum, terlihat apa yang menjadi dinamika masyarakat pada
kegiatan pinjaman bergulir pada saat itu menunjukkan tingkat partisipasi
masyarakat yang baik tetapi ditinjau secara teoretif partisipasi tersebut bukan
Calon pemanfaat menyerahkan sejumlah KTP kepada pengurus UPK
Penyeleksian calon peminjam oleh UPK: Aspek hubungan emosional menjadi bahan
pertimbangan utama
Pembuatan berkas pengajuan oleh UPK
Pembentukan kelompok oleh UPK
Akad kredit pinjaman
101
partisipasi sebenarnya. Secara teoretif partisipasi masyarakat seperti ini dikatakan
sebagai partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau
kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan
masyarakat hanya sekadar obyek.
Pada saat itu pembentukkan KSM lebih diarahkan sebagai media aspirasi
kepentingan beberapa pihak diantaranya:
1. BKM berkepentingan dengan persoalan penyerapan dana ke masyarakat,
karena pada saat itu dana kegiatan ekonomi bergulir sudah cukup lama
mengendap di rekening BKM.
2. Fasilitator Kelurahan (Faskel) mereka berkepentingan dengan persoalan
progres laporan ke konsultan.
3. Pengurus UPK berkepentingan dengan pengakomodasian kelompok-kelompok
mereka serta ada efek ekonomis dalam penyaluran dana UPK (pungutan liar).
Faktor dominan penyebab rendahnya kemampuan masyarakat khususnya
perempuan dalam menginisiasi pembentukan kelompok, disebabkan persiapan
yang kurang matang baik oleh BKM maupun UPK. Hal ini disebabkan surat
rekomendasi pencairan dana dari satuan kerja (Satker) PNPM Mandiri Kabupaten
Cirebon untuk kegiatan pinjaman bergulir bersifat mendadak. Hal ini sebagaimana
yang dipertegas oleh ASP Sekretaris BKM:
“Pelaksanaan kegiatan PNPM di Kelurahan Kenanga ada kecenderungan dilaksanakan secara mendadak. Keadaan ini hampir terjadi di semua program baik pinjaman bergulir, lingkungan dan program sosial. Kami yang ada di lapangan sering direpotkan dengan keadaan seperti ini.”
Selain itu, rendahnya kemampuan perempuan dalam menginisiasi
kelompok pinjaman bergulir dalam perspektif komunikasi disebabkan minimnya
sosialisasi pada tingkat basis dan rendahnya informasi program yang menerpa
kaum perempuan. Hal ini disebabkan penciptaan ruang komunikasi yang kurang
mengakomodir keadaan perempuan. Implikasinya hampir sebagian besar
perempuan tidak mengetahui mekanisme pelaksanaan program pinjaman bergulir.
Hal ini sebagimana yang terjadi pada ATN warga blok Kranten Kelurahan
Kenanga yang kebingungan untuk mendapat informasi tentang pinjaman bergulir.
102
Pola pembentukan KSM dengan dimobilisasi pengurus menimbulkan
beberapa masalah, salah satunya tidak berjalannya mekanisme kegiatan berbasis
kelompok. Pengumpulan uang setoran yang harusnya dilakukan secara
berkelompok pada pelaksanaannya dilakukan secara individu. Hal ini yang
menjadi pemicu kemacetan pinjaman bergulir. Langkah yang dilakukan BKM
pada saat itu menghentikan sementara pencairan dana ke masyarakat dan
melakukan pembenahan baik secara kelembagaan dan mengembalikan lagi proses
pengajuan pinjaman oleh KSM sesuai aturan-aturan yang berlaku.
Pasca pembenahan atau pada bulan September 2010 kegiatan pinjaman
bergulir kembali dijalankan. Kelompok-kelompok pemanfaat yang sebelumnya
merupakan hasil mobilisasi pengurus UPK, telah diarahkan berdasarkan
komunikasi tingkat basis. Mekanisme rembug warga dalam membentuk kelompok
merupakan syarat mutlak dalam pengajuan dana bergulir ke UPK.
Pendirian kelompok pasca pembenahan merupakan inisiasi murni
masyarakat. Karakter kelompok pada pasca pembenahan bercirikan jarak simbolik
antar anggota yang semakin sempit. Dalam kaitan ini sesama anggota cenderung
saling mengenal antara satu anggota dengan lainnya dan memiliki kesamaan
pandangan mengenai pelaksanaan pinjaman bergulir.
Mekanisme pembentukan kelompok dengan mengutamakan konsep
bottom up, merupakan upaya untuk terciptanya kegiatan pinjaman bergulir yang
lebih baik. Hal ini sebagaimana yang dipertegas oleh STR Manajer UPK berikut
ini:
“Belajar dari pengalaman, UPK sekarang ini lebih selektif dalam perekrutan kelompok peminjam. KSM yang mengajukan pinjaman harus dilakukan berdasarkan aturan terutama proses rembug warga. Inisiatif pendirian KSM bukan inisiatif pengelola tapi murni inisiatif masyarakat.”
Kelompok pasca pembenahan mulai dibentuk pada bulan September 2010.
Sampai bulan Desember 2010 kelompok dengan paradigma baru berjumlah 13
KSM dengan 88 orang pemanfaat. Komposisi pemanfaat dalam aspek gender
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah pemanfaat dari
kelompok perempuan berjumlah 46 pemanfaat atau 53% sedangkan kelompok
pemanfaat kaum laki-laki berjumlah 42 pemanfaat atau 47 persen.
103
Nama-nama KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 21. KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat
Nama KSM Jumlah Anggota (orang) Jumlah Anggota Perempuan (orang)
Sekar Wangi 7 4 Pancuran Gading 15 4
Tanjakan 9 5 Bunga Soka 10 6 Sekar Maju 5 5
Tiga 5 2 Empat 5 0
Bunga Kenanga 7 6 Adenium 4 4 Maribang 6 3 Mingkrik 5 4
Pandan Wangi 5 2 Pandan 5 3
Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010
Berdasarkan gambaran di atas pada kegiatan pinjaman bergulir,
menunjukkan bahwa perempuan di Kelurahan Kenanga masih di posisikan
sebagai obyek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan. Mengambil
konsep pembangunan dan gender, keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan
pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga masih menggunakan konsep women in
development (WID) bukan gender and development.
Konsep WID lebih mengarah kepada acuan-acuan teknis berdasarkan
standar operasional prosedur (SOP) yang telah digariskan oleh regulator, dalam
kaitan ini pemanfaat kegiatan adalah 30% dari kaum perempuan. Selain itu pula
kuatnya WID menunjukkan pendidikan untuk kesadaran kritis yang
diimplementasikan dengan keberdayaan dan partisipasi belum terbangun pada
kegiatan pinjaman bergulir.
Dalam perspektif kesadaran kritis kondisi ini dapat disimpulkan bahwa
perempuan di Kelurahan Kenanga belum terbangun kesadaran kritis yang ideal.
Idealnya sebuah kesadaran kritis memunculkan kedalaman menafsirkan masalah-
masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak.
Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan
melihat hubungan sebab-akibat. Dalam kaitan ini perempuan masih dalam taraf
104
kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan
dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif,
seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau
menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan
berdebat tetapi bukan dialog. Freire dalam Manggeng (2005)
Meski secara kuantitatif inisiasi pembentukkan kelompok banyak
didominasi oleh kaum laki-laki, namun geliat kesadaran perempuan sebagai agen
perubahan sudah menunjukkan tanda-tanda yang positif. Di antara kelompok yang
dibentuk pasca pembenahan, di antaranya dibentuk berdasarkan inisiasi kaum
perempuan. Kelompok tersebut adalah KSM Pandan yang diinisiasi oleh IPH,
KSM Adenium yang diinisiasi oleh WTM, KSM Mingkrik yang diinisiasi oleh
RMD, KSM Sekar Maju yang diinisiasi oleh SNH. Bahkan SNH telah
memfasilitasi pembentukan kelompok lainnya seperti KSM Tanjakan dan Pandan
Wangi.
Rendahnya perempuan dalam menginisiasi pembentukkan kelompok pada
kegiatan pinjaman bergulir, tidak serta merta menunjukkan rendahnya kapasitas
perempuan di Kelurahan Kenanga. Pada bidang lain perempuan di Kelurahan
Kenanga mampu menginisiasi kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Pada sisi lain
perempuan di Kelurahan Kenanga kemampuan berorganisasi yang baik. Hal ini
dapat dilihat pada lembaga-lembaga yang didirikan dan dikelola oleh perempuan,
memiliki eksistensi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi lembaga
pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar, majelis taklim yang sebagian besar
dikelola oleh perempuan.
Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir
Analisis mengenai kontrol atau tanggung jawab perempuan terhadap
pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dipetakan dalam beberapa aspek yaitu:
1. Pemanfaatan atau penggunaan dana
2. Kesadaran untuk melakukan pengembalian
3. Menjalankan konsep tanggung renteng
Dilihat dari sisi pemanfaatan atau penggunaan dana, kecenderungan dana
pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat
domestik (rumah tangga). Hanya sedikit pemanfaat yang menggunakan dana
105
pinjaman bergulir untuk kepentingan usaha. Bahkan, pemanfaat yang jelas-jelas
pelaku UMKM tidak serta merta memanfaatkan dana tersebut untuk modal atau
pengembangan UMKM. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh WKN warga
blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Dana yang saya dapatkan dari pinjaman bergulir saya gunakan untuk merehab dapur, sebagian lagi saya gunakan untuk menambah barang dagangan saya.”
Pengalihan pemanfaatan dana pinjaman bergulir dari dana pengembangan
usaha menjadi dana untuk kegiatan lainnya, disebabkan beberapa faktor yaitu:
Pertama, rendahnya dana pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Sementara
ini, dana yang diberikan kepada pemanfaat hanya sebesar Rp. 500.000 (lima ratus
ribu). Tentunya dengan dana yang relatif kecil, kurang signifikan sebagai sarana
peningkatan usaha, ditambah lagi dengan uang jasa yang melebihi suku bunga
pasar, sebesar dua persen per bulan dengan tenor (jangka waktu) pinjaman selama
sepuluh bulan. Artinya uang jasa pinjaman bergulir mencapai 20 persen.
Kedua, pengalihan pemanfaatan memang suatu keadaan yang disengaja
oleh masyarakat itu sendiri. Mereka yang terdesak dengan kebutuhan rumah
tangga sangat berharap banyak dari pinjaman bergulir karena mekanisme
pinjaman bergulir yang mudah.
Dianalisis dari aspek peningkatan taraf ekonomi masyarakat, pengalihan
pemanfaatan dana, jelas tidak akan mendongkrak perekonomian masyarakat,
karena dengan adanya pinjaman malah akan menjadi beban bagi masyarakat itu
sendiri, namun pada posisi lain dana pinjaman bergulir dapat dijadikan solusi
untuk memecahkan persoalan keuangan yang bersifat mendesak. Sementara ini
belum ditemukan penggunaan dana pinjaman bergulir oleh masyarakat khususnya
perempuan untuk kepentingan kebutuhan non primer.
Pada aspek tanggung jawab terhadap pengembalian secara umum memiliki
gambaran yang sangat kontras antara fase sebelum pembenahan dan pasca
pembenahan. Pada fase sebelum pembenahan, secara umum kegiatan pinjaman
bergulir mengalami berbagai hambatan, salah satunya adalah masalah
pengembalian dana. Dari 12 KSM yang memiliki masa akhir kredit per Oktober
2010, hanya 52 orang dari 127 orang atau hanya 42% yang sudah menyelesaikan
pinjaman. Sisanya yang berjumlah 75 orang atau 58% belum menyelesaikan
106
pinjaman meski sudah diberikan perpanjangan masa kredit sampai Desember
2010. Total tunggakan pada 12 KSM per desember 2010 mencapai Rp.
15.542.500 (lima belas juta lima ratus empat puluh dua ribu lima ratus).
Dalam aspek gender, pemanfaat yang mengalami tunggakan untuk
pinjaman jatuh tempo Oktober 2010 sebagian besar adalah dari kaum laki-laki
yang berjumlah 45 orang atau 60%. Sedangkan penunggak dari kaum perempuan
berjumlah 30 orang atau 40%. Meskipun dilihat dari sisi jumlah memiliki
perbedaan angka yang signifikan, namun dilihat dari nilai nominal tunggakan
antara laki-laki dan perempuan hampir tidak berbeda. Secara nominal tunggakan
pemanfaat dari kaum perempuan berjumlah Rp. 7.560.000 (tujuh juta lima ratus
enam puluh ribu).
Dua KSM yang dibentuk sebelum pembenahan kondisinya tidak jauh
berbeda dengan 12 KSM sebelumnya. Untuk kedua KSM ini tingkat
pengembaliannya hanya mencapai 67% per Desember 2010. Dari 20 pemanfaat
hanya dua pemanfaat yang tidak memiliki tunggakan, selebihnya memiliki
tunggakan dengan nominal yang bervariatif. Dari aspek gender penunggak
pinjaman bergulir banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki.
Pasca pembenahan UPK telah mencairkan dana pinjaman bergulir kepada
sembilan KSM. Tingkat pengembalian untuk sembilan KSM sementara ini dinilai
sangat baik. Data per Desember 2010 tingkat pengembalian mencapai 92%.
Tunggakan yang lebih cenderung pada aspek keterlambatan dari jatuh tempo
pembayaran. Adapun dari komposisi gender, laki-laki lebih banyak sebagai
penunggak dibandingkan perempuan.
Secara umum antara masa sebelum pembenahan dan pasca pembenahan,
tanggung jawab perempuan lebih baik daripada laki-laki. Meski demikian terdapat
kasus tunggakan yang paling mencuat yang dilakukan oleh perempuan. Dalam hal
ini nilai tunggakannya mencapai, Rp. 4.187.500 (Empat juta seratus delapan puluh
tujuh lima ratus). Besarnya tunggakan ini, disebabkan kapitalisasi pinjaman
bergulir. Adapun modusnya adalah dengan meminjam KTP orang lain, untuk
diajukan sebagai peminjam namun dana yang didapat digunakan sendiri.
Rendahnya tingkat pengembalian masyarakat terutama pada masa sebelum
pembenahan tidak selalu mengindikasikan rendahnya kesadaran warga terhadap
107
tanggung jawab pada pinjaman bergulir. Secara prinsip masyarakat siap untuk
mengembalikan dana pinjaman bergulir. Dari aspek gender, perempuan yang
mengalami tunggakan banyak disebabkan persoalan teknis domestik. Hal ini
seperti yang terjadi pada pemanfaat RBH warga blok Tanjung Sari Kelurahan
Kenanga, yang terlambat membayar dikarenakan untuk biaya pendidikan anaknya
yang melanjutkan ke sekolah tingkat menengah atas. Begitupun dengan UNSR
warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang terlambat membayar
dikarenakan suaminya terkena musibah, RN warga Karang Gayam Kelurahan
Kenanga yang belum mendapat kiriman dari suaminya yang bekerja di luar kota.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR Manajer UPK berikut ini.
“Pada umumnya masyarakat Kelurahan Kenanga secara prinsip adalah masyarakat yang bertanggung jawab. Ini terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan pengembalian dana pinjaman bergulir setelah pembenahan. Kemacetan yang ada sementara ini, masih dalam tahap yang wajar, meski kitapun punya catatan pemanfaat yang benar-benar tidak bertanggung jawab, tapi jumlahnya hanya satu atau dua orang.”
Selain dari ranah domestik, latar belakang kemacetan pinjaman bergulir
dapat ditelusuri dari aspek kelembagaan UPK. UPK pada fase sebelum
pembenahan dikelola tidak profesional yang menciptakan kesalahan-kesalahan
manajemen (mismanagement). Persoalan mismanagement berkorelasi dengan
persoalan pencitraan kelembagaan UPK. Adanya penggunaan dana setoran oleh
salah satu pengurus secara langsung akan berpengaruh terhadap tingkat
kepercayaan masyarakat. Wujud dari ketidakpercayaan ini, salah satunya
ditunjukkan oleh sikap KSM Mawar dan Melati yang seolah acuh tak acuh dengan
permasalahan tanggung jawab pengembalian dana pinjaman.
Secara aspek hubungan eksternal dengan pemanfaat, UPK pada saat itu
tidak mengedepankan prinsip-prinsip kekeluargaan. Pelaksanaan pinjaman
bergulir lebih mengedepankan aspek-aspek baku secara umum. Pendekatan
hubungan manusiawi, tidak diterapkan pada pelaksanaan pinjaman bergulir. Salah
satu bentuknya adalah cara penagihan kemacetan yang tidak mendatangkan
simpati. Seperti halnya yang dirasakan oleh SL pemanfaat warga Blok Desa
Kelurahan Kenanga yang ditagih di depan umum. Begitupun ASP pemanfaat
108
warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang ditagih di forum rembug
warga.
Selain persoalan simpati, terdapat kebijakan dari pengelola pada saat itu
yang tidak dikomunikasikan kepada masyarakat, seperti pencabutan insentif bagi
ketua KSM yang berfungsi sebagi juru tagih. Padahal kesepakatan awal yang
dibangun adalah adanya insentif bagi juru tagih. Implikasinya adalah tidak ada
juru tagih pada masyarakat pemanfaat.
Dalam tinjauan aspek komunikasi, kemacetan ini disebabkan pengendalian
informasi tidak dikontrol. Informasi tentang kemacetan selalu diceritakan oleh
pengelola kepada masyarakat. Keadaan ini menciptakan rumor yang negatif
tentang keberlanjutan kegiatan. Rumor ini secara langsung akan melunturkan
kesadaran warga yang memiliki itikad atau kemampuan untuk melakukan
pembayaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat blok Jamsari
Kelurahan Kenanga yang mengkuatirkan berhentinya program. Mereka secara
sepihak TRH tidak menyetorkan uang nasabah ke pengelola tetapi menggulirkan
kepada masyarakat yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan SMN
suami TRH warga blok Jamsari Kelurahan Kenanga berikut ini:
“Terus terang saya melakukan hal ini tanpa koordinasi dengan pengelola, hal ini semata-mata ada informasi bahwa kegiatan pinjaman bergulir akan berhenti. Sedangkan banyak warga yang mendesak saya untuk mendapatkan pinjaman. Dari pada warga saya tidak mendapatkan pinjaman, lebih baik dana ini saya gulirkan kepada warga. Dan saya bertanggung jawab penuh terhadap tindakan saya.”
Komunikasi antara pengelola dengan pemanfaat pada saat itu, lebih
diutamakan komunikasi yang bersifat linier. Padahal komunikasi yang terbuka
dan bersifat sirkular timbal balik sangat dibutuhkan. Harapan dari pemanfaat
adalah adanya pendampingan (komunikasi) sehingga kendala-kendala teknis
terutama dalam persoalan pengembalian dapat dipecahkan secara baik. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan ANWR Ketua KSM Sekar Sari berikut ini:
“Persoalan pinjaman bergulir bagi KSM kami bukan sebatas bagaimana meminjam dan mengembalikan, tapi yang lebih kami butuhkan adalah arahan atau rembug bersama antara UPK dengan pemanfaat. Saya sebagai ketua kadang tidak bisa menjawab pertanyaan dari masyarakat, seperti penangguhan setoran,
109
pelunasan dipercepat, pemanfaat yang meninggal, pemanfaat yang mengalami ketidakberdayaan permanen karena sakit, dll.” Dari data yang ada dapat dipetakan bahwa kemacetan pinjaman bergulir
bukan disebabkan oleh rendahnya kesadaran pemanfaat. Kemacetan setoran
pinjaman dana bergulir dapat dipetakan menjadi beberapa latar belakang yaitu:
(1) Kondisi internal pemanfaat atau suasana domestik. (2) Kredibilitas pengelola.
(3) Komunikasi yang tidak terbangun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
pembenahan adalah: (1) Pembenahan kelembagaan dalam hal ini pengangkatan
manajer UPK yang memiliki kredibilitas. (2) Menerapkan konsep kekeluargaan
dengan mengedepankan simpati, salah satunya memberikan perhatian khusus
dalam bentuk insentif kepada juru tagih tingkat kelompok. (3) Melakukan
pembelajaran masyarakat melalui pendampingan bagi peminjam atau calon
peminjam. (4). Membangun komunikasi dengan berbagai dengan unsur-unsur
yang ada di masyarakat.
Pembenahan yang dilakukan oleh kepengurusan yang baru, sedikit demi
sedikit menampakkan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat pada indikasi,
kepercayaan masyarakat terhadap UPK yang semakin kuat dan tingkat
pengembalian yang sangat baik.
Perubahan yang positif dalam pengembalian pinjaman merupakan suatu
bukti bahwa kesadaran dan tanggung jawab itu ada. Kesadaran akan tanggung
jawab merupakan modal sosial dalam pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir.
Aspek lain berkenaan dengan tanggung jawab perempuan terhadap
kegiatan adalah pelaksanaan konsep tanggung renteng. Sebagai gambaran
pinjaman yang diberikan kepada masyarakat bukan bersifat pribadi tetapi adalah
kelompok dengan sistem tanggung renteng. Pengertian sistem tanggung renteng
diartikan tanggung jawab bersama setiap orang anggota kelompok peminjam,
untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali kredit dari bank bilamana ada
salah satu anggota menunggak atau macet. Sistem tanggung renteng adalah
perwujudan paling tinggi dan kepercayaan serta merupakan rasa setia kawan antar
anggota dalam kelompok (Suharni 2003).
Prinsip tangung renteng, merupakan sarana menggairahkan kembali
kearifan lokal yang ada di masyarakat. Diharapkan dengan adanya tanggung
renteng bisa menumbuhkan rasa tolong menolong dan kesetiakawanan sosial.
110
Kegiatan pinjaman bergulir dengan sistem tanggung renteng merupakan standar
operasional yang ditetapkan oleh tim regulator PNPM Mandiri. Pada
pelaksanaannya konsep tanggung renteng pada kegiatan pinjaman bergulir di
Kelurahan Kenanga belum dilaksanakan.
Dari perjalanan kegiatan pinjaman bergulir baik pada fase sebelum
pembenahan dan dan pembenahan ternyata tidak ada satu kelompok pun yang
menerapkan sistem tanggung renteng. Alasan yang paling mendasar dari
masyarakat adalah beratnya setoran pribadi sehingga tidak mampu untuk
menanggung tunggakan setoran anggota kelompok lainnya.
Dalam kajian kritis alasan tersebut sebenarnya kurang mendasar. Dilihat
dari karakter ekonomi peminjam, sebenarnya pemanfaat mampu untuk melakukan
tanggung renteng. Persoalan yang paling mendasar adalah rasa kesetiakawanan
yang belum terbangun dengan baik.
Meski demikian kepengurusan UPK yang baru akan menerapkan sistem
tanggung renteng pada masa akhir kredit. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh STR Manajer UPK berikut ini:
“Sementara ini kita akui tanggung renteng belum bisa dilaksanakan oleh masyarakaat. Sehingga upaya yang kami lakukan adalah menerapkan tanggung renteng pada masa akhir kredit. Pada masa akhir kredit, setiap pemanfaat akan mendapatkan tabungan sesuai dengan besaran pinjaman. Tabungan ini dapat kita kembalikan ke masyarakat atau kelompok pemanfaat manakala kelompok tersebut tidak ada tanggungan ada tunggakan.”
Pembangunan Sistem Kontrol Kegiatan Pinjaman Bergulir
Kegiatan PNPM Mandiri adalah kegiatan yang berbasis masyarakat, yang
bercirikan asas-asas demokrasi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang
diterapkan harus berorientasi pada masyarakat. Keadaan ini, menunjukkan PNPM
Mandiri telah membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan program termasuk di dalamnya menjalankan fungsi kontrol. Elemen
yang terlibat adalah BKM, UPK, DPK dan masyarakat.
111
Gambaran fungsi kontrol kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat pada
matriks berikut ini.
Tabel 22. Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir No Fungsi Kontrol Hasil Amatan 1 BKM kepada UPK Pada awalnya fungsi ini tidak berjalan, namun setelah
pembenahan fungsi kontrol sudah berjalan. Setiap bulan UPK memberikan progres kegiatan pinjaman bergulir. Pola komunikasi organisasi antara UPK dengan BKM sudah dibangun dengan baik.
2 Dewan Pengawas Keuangan kepada UPK
Pada saat ini peran DPK dalam kegiatan pinjaman bergulir kembali di aktifkan, dan progres bulanan selalu dilaporkan kepada DPK, namun proses komunikasiorganisasi antara DPK dan UPK belum dilaksanakan dengan baik.
3 UPK kepada Pemanfaat
Kontrol UPK kepada pemanfaat dilakukan secara simultan, dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik secara tatap muka maupun dengan tertulis.
4 Pemanfaat kepada Pemanfaat
Sementara ini, kontrol yang dilakukan antarpemanfaat sudah menunjukkan gambaran yang positif, hal ini terlihat dari berfungsinya organisasi KSM pinjaman bergulir salah satunya diwujudkan dengan adanya juru tagih di KSM
Kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir dilakukan bulanan dan tahunan.
Kontrol yang bersifat bulanan adalah progres UPK kepada BKM dan DPK, UPK
kepada KSM. Kontrol yang bersifat tahunan adalah audit keuangan UPK yang
dilakukan oleh auditor independen.
Adanya progres laporan bulanan oleh UPK kepada BKM dan DPK serta
UPK kepada masyarakat menunjukkan pola komunikasi organisasi sudah berjalan
dengan baik. Hal ini tentunya berimplikasi positif kepada hasil audit. Selama dua
kali diaudit keuangan UPK dinyatakan wajar meski dengan catatan. Pola kontrol
dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat digambarkan pada Gambar 15 berikut ini.
Gambar 15. Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir
Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
Unit Pelaksana Keuangan (UPK)
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
Pembuatan Kebijakan Program
Pelaksana Program
Pemanfaat Program
Kontrol Internal
112
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan terdapat
siklus organisasi yang jelas terutama masalah pembagian wewenang dan fungsi
kontrol. Pada tingkat kelembagaan, BKM memberikan wewenang kepada UPK
untuk melaksanakan program pinjaman bergulir. Wewenang ini diantaranya
adalah melakukan persetujuan atau penolakkan atas usulan pinjaman bergulir
kelompok dan pengaturan mekanisme standar operasional prosedur pelaksanaan
pinjaman bergulir. Sedangkan kontrol yang dilakukan BKM adalah pemantauan
atas tingkat kemacetan atau keamanan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Persoalan utama mengenai sistem kontrol pinjaman bergulir adalah belum
terbangunnya kontrol di antara anggota kelompok dalam sebuah KSM. Padahal
fungsi kontrol tingkat basis inilah yang seharusnya menjadi pilar utama.
Dalam aspek gender, pelaksanaan kontrol lebih banyak dilakukan oleh
laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung lebih terbuka dalam
berkomunikasi, yang tentunya berbeda dengan perempuan yang cenderung pasif.
Selain itu, keadaan ini tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial masyarakat yang
berlaku. Kondisi norture perempuan dipandang oleh masyarakat adalah sebagai
kelompok yang dibungkam. Sehingga ekspresi perempuan dalam ranah publik
dianggap sebagai kondisi yang abnormal.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan WTM relawan blok Lebak Jambu
Kelurahan Kenanga berikut ini.
“Saya kalau di forum lebih memilih diam, karena saya malu untuk mengutarakan pendapat. Apalagi dalam rembug warga memunculkan perdebatan.”
Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki kontribusi pada
kontrol sosial, seperti halnya RMD, IPH, SNH yang berperan aktif menciptakan
kontrol pada tingkat kelompok.
Jawaban Hipotesis Pengarah
Berdasarkan kajian dan analisis hasil penelitian ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri tidak semuanya merupakan
bentuk komunikasi partisipatif, tetapi juga terdapat komunikasi linier. Hal
113
ini menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai apa
yang menjadi kondisi di lapangan.
2. Internalisasi program masih belum optimal hal ini dapat dilihat dari
pencitraan dan aktivasi masyarakat terhadap PNPM Mandiri. Hal ini
menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan.
3. Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir telah menggunakan konsep
keadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi hipotesis
pengarah. Namun dalam kajian kritis, keadilan ini masih tampak terihat di
permukaan.