highlow context culture

22
Pengaruh-Pengaruh Variabel Budaya terhadap Komunikasi High/ Low Context terhadap Pengelolaan Kecemasan/ Ketidakpastian (Anxiety/ Uncertainty Management) Collectivism/ Individualism terhadap Perilaku Pengelolaan Wajah/ Citra (Face Negotiation) High/ Low Power Distance terhadap Perilaku Pengelolaan Wajah/ Citra (Face Negotiation)

Upload: fahri-ahmad-baihaqi

Post on 18-Nov-2015

254 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

communication

TRANSCRIPT

  • Pengaruh-Pengaruh Variabel Budaya terhadap KomunikasiHigh/ Low Context terhadap Pengelolaan Kecemasan/ Ketidakpastian (Anxiety/ Uncertainty Management)Collectivism/ Individualism terhadap Perilaku Pengelolaan Wajah/ Citra (Face Negotiation)High/ Low Power Distance terhadap Perilaku Pengelolaan Wajah/ Citra (Face Negotiation)

  • High/Low-Context CultureHigh-context dan low-context culture merupakan kategori budaya yang dibuat Edward Hall berdasarkan bagaimana orang-orang dalam budaya tersebut memberikan makna pada sesuatu : menekankan pada kata-kata atau konteksnyaHal ini, dikatakan Hall, karena orang pada masing-masing budaya memiliki tingkat perhatian yang berbeda terhadap sesuatu. Bahkan, menurut Hall, salah satu fungsi utama budaya adalah menjadi penyaring yang selektif antara seseorang dengan dunia di sekitarnya. Dalam berbagai bentuknya, budaya menentukan apa yang perlu kita perhatikan dan apa yang dapat kita abaikan

  • Context didefinisikan sebagai the information that surrounds an event (segala macam informasi yang melatari sebuah peristiwa)Context membangun kesatuan makna bersama-sama dengan peristiwa itu sendiriMenurut Hall: Low-context communication adalah situasi komunikasi dimana sebagian besar informasi terletak pada kata-kata yang diucapkan; Sedangkan high-context communication adalah situasi komunikasi dimana sebagian besar informasi justru melekat pada diri orangnya (terutama statusnya);

    High/Low-Context Culture

  • High-Context CultureDalam budaya high-context, sebagian besar makna tidak dikomunikasikan melalui kata-kata Budaya ini relatif terdiri dari orang-orang yang berperilaku homogenhidup dengan latar belakang pengalaman yang sangat serupamembuat dan merespon pesan dengan cara yang senantiasa konsistensehingga, dalam perilaku komunikasi sehari-hari, tidak diperlukan terlalu banyak informasi dalam bentuk kata-kataMenurut Hofstede, budaya ini cenderung ditemui dalam budaya-budaya tradisionalDalam budaya high-context, informasi disajikan dalam bentuk gerak tubuh (gestur), penggunaan jarak, dan bahkan diam

  • High-Context CultureOrang-orang dalam budaya high-context cenderung lebih sensitif terhadap keadaan lingkungan mereka, dan lebih mampu mengekspresikan serta menafsirkan perasaan tanpa kata-kata Makna dalam budaya high-context culture banyak disampaikan melalui status seseorang: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, gelar, afiliasiOrang-orang dalam budaya ini cenderung berkomunikasi secara tersirat dan tidak langsung

  • Low-Context CultureDalam budaya ini, orang-orangnya relatif heterogen dan masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda (hanya sedikit memiliki kesamaan pengalaman)Sedikitnya kesamaan pengalaman ini membuat mereka membutuhkan informasi yang lebih detil ketika saling berinteraksi satu sama lainDalam budaya ini, sebagian besar informasi dikandung dalam pesan verbalOrang-orang dalam budaya low-context culture cenderung berkomunikasi dengan cara yang eksplisitOrang-orang dalam budaya ini juga cenderung berbicara lebih banyak, lebih cepat, dan dengan nada suara yang lebih tinggi

  • Perbedaan High-Context dan Low-Context CulturePersepsi tentang kredibilitas komunikator: Dalam budaya high-context, orang-orang yang banyak mengandalkan pesan verbal akan dipandang kurang kredibelDiam lebih banyak mengandung makna dibanding banyak berbicara. Bahkan di Indonesia diibaratkan, tong kosong nyaring bunyinyaSedangkan sebaliknya, dalam budaya low-context, dipentingkan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi secara verbalMisalnya, di AS, yang lebih dihargai adalah mereka yang mampu speak up (berbicara lantang) dan mengekspresikan diri mereka secara baik

  • Persepsi terhadap konflik dan cara penanganannyaBudaya high-context cenderung memandang konflik sebagai sesuatu yang merusak dan perlu ditangani secara diam-diam dan tanpa terlihatSedangkan budaya low-context justru cenderung menangani konflik secara terbuka dalam rangka mencari solusi pemecahan segera

    Perbedaan High-Context dan Low-Context Culture

  • Pengaruh High/Low Context terhadap Komunikasi : Anxiety/ Uncertainty Management

  • Uncertainty Reduction TheoryDikemukakan oleh Charles Berger, teori ini tertarik mengkaji bagaimana seseorang mencari informasi mengenai orang lain (atau situasi yang dihadapinya)Menurut Berger, orang mengalami masa-masa sulit dengan situasi ketidakpastian. Mereka ingin dapat memprediksi perilaku orang lain. Sehingga, orang pada umumnya akan termotivasi untuk mencari tahu informasi mengenai orang lain dalam rangka mengurangi ketidakpastian situasi yang mereka hadapi (melakukan uncertainty reduction)Berger juga mengatakan, kita senantiasa memiliki rencana dan tujuan dalam berkomunikasi dengan orang lainKetika kita sangat tidak pasti akan sesuatu, kita akan kurang percaya diri dengan rencana tindakan kita dan cenderung membuat rencana-rencana tindakan alternatif untuk memberi respon alternatif

  • Teori uncertainty reduction dikembangkan lebih jauh oleh William Gudykunst, menjadi teori anxiety/ uncertainty management Teori ini menambahkan pengaruh budaya terhadap gaya seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berhadapan dengan orang/ situasi yang asing bagi dirinyaMenurut Gudykunst, orang-orang pada setiap budaya cenderung melakukan upaya pengurangan ketidakpastian pada tahap-tahap awal hubungan mereka, namun dengan cara yang masing-masing berbeda

    Anxiety/ Uncertainty Management Theory

  • Dinyatakan oleh Gudykunst, proses pengurangan ketidakpastian dipengaruhi oleh berbagai variabel :Identifikasi kelompok : orang yang mengidentifikasikan diri secara kuat pada suatu kelompok, dan melihat orang lain berada pada kelompok yang berbeda dengan dirinya, akan memiliki uncertainty dan anxiety yang tinggi dalam berhadapan dengan orang/ situasi yang asingPengalaman pergaulan : orang yang memiliki banyak pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang yang berbeda budaya akan memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi dalam berhadapan dengan orang/ situasi yang asingMenurut Gudykunst, semakin sedikit pengetahuan seseorang dan semakin cemas dirinya menghadapi situasi ketidakpastian, akan semakin tidak efektif seseorang tersebut dalam melakukan interaksi antar budaya

    Anxiety/ Uncertainty Management Theory

  • Ambang batas uncertainty dan anxiety: Setiap individu memiliki batasan uncertainty dan anxiety yang berbeda Jika anxiety/ uncertainty seseorang terlalu tinggi: orang tersebut akan rendah percaya diri dan cenderung menghindari peristiwa komunikasiSedangkan jika anxiety/ uncertainty seseorang terlalu rendah : orang tersebut akan memiliki kurang motivasi untuk berkomunikasi (karena merasa sudah tahu)Secara ideal, tingkat anxiety/ uncertainty berada pada tataran moderat : yang cukup mendorong seseorang untuk memiliki rasa percaya diri sekaligus motivasi untuk berkomunikasi dengan orang lain (dengan melakukan upaya-upaya pengurangan ketidakpastian)

    Anxiety/ Uncertainty Management Theory

  • Pengaruh High/ Low Context Culture terhadap Anxiety/ Uncertainty Management Orang-orang pada budaya high-context berupaya menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan situasi secara keseluruhan Orang-orang Jepang mengandalkan petunjuk-petunjuk non verbal dan keterangan mengenai latar belakang seseorang dalam rangka mengurangi ketidakpastian;Sedangkan, orang-orang pada budaya low-context lebih mengandalkan pada pesan-pesan verbal yang dinyatakan secara eksplisitOrang-orang di AS cenderung bertanya secara langsung dalam rangka mengurangi ketidakpastian

  • Pengaruh Individualism/ Collectivism dan High/ Low Power Distance terhadap Komunikasi : Face Negotiation

  • Face Negotiation TheoryDikemukakan oleh Stella Ting-Toomey, mencoba memprediksi bagaimana seseorang pada berbagai budaya melakukan facework Face adalah penampilan wajah, yaitu citra diri seseorang dihadapan orang lainnya (termasuk didalamnya unsur rasa hormat, martabat, status, loyalitas, dsb)Facework adalah perilaku komunikasi yang dilakukan seseorang dalam membangun, menjaga dan memelihara wajahnya sendiri; atau dalam rangka membangun, memelihara, dan juga mengancam wajah orang lain

  • Locus of facework Diarahkan pada diri sendiri atau orang lainFace valence Positif (menjaga, memelihara, atau menghormati wajah orang lain) atau negatif (dengan menyerang wajah orang lain)Temporality Dilakukan dalam rangka mengantisipasi kehilangan muka di masa depan atau memperbaiki wajah pada situasi yang telah terjadiPreventive facework : communication is designed to protect a person from feelings of threat to personal or group face Restorative facework : rebuild ones face after loss has already occurred

    Face Negotiation Theory

  • Menurut Toomey, menjaga wajah merupakan kesadaran dan perhatian yang bersifat universal (semua budaya melakukannya), tapi bagaimana wajah didefinisikan dan facework dilakukan sangat bervariasi dari satu orang ke orang lainnya, dan dari satu budaya ke budaya lainnya2 variabel utama budaya yang mempengaruhi faceworkIndividualism-collectivism Power distance

    Face Negotiation Theory

  • Individualist Facework cenderung diarahkan untuk menghormati kapasitas seseorang sebagai individuKita membuat excuses atas diri sendiri, memuji orang lain atas prestasi yang diraihnya, menghibur kelemahan orang lain dengan memuji kelebihannya, dsbCollectivist facework cenderung tidak diarahkan pada diri pribadi; kehormatan justru terletak pada bagaimana seseorang mengalah pada nilai-nilai kelompokKita menerima kritik, berjanji untuk lebih menyesuaikan diri dengan standar nilai kelompok, memuji orang lain dengan memuji komitmennya dalam memenuhi standar nilai kelompok, memuji kelebihan yang dimiliki kelompoknya, dsb

    Face Negotiation Theory

  • Dalam manajemen konflik: Individualist : cenderung menggunakan direct personal attack dalam menyerang orang lain dan menunjukkan personal respect dalam memperbaiki hubungan dengan orang lainbertujuan mencari solusi atas masalah Collectivist : menghindari serangan personal secara langsung, menggunakan strategi berputar-putar, menekankan kepentingan-kepentingan kelompok bertujuan mengkonfirmasikan kemungkinan melanjutkan hubungan

    Face Negotiation Theory

  • Dalam manajemen konflik Low power distance : kunci penyelesaian konflik terletak pada konsultasi dan pelibatan individu dalam pembuatan keputusanorang-orang lebih terbuka menyampaikan pendapatnyaHigh power distance : keputusan dibuat oleh orang-orang yang memiliki status lebih tinggi di masyarakatkomunikasi dilakukan secara tidak langsung, karena para pembuat keputusan sudah memiliki kekuasaantujuan komunikasi adalah memelihara jarak kekuasaan dalam struktur masyarakat dengan menggunakan prosedur-prosedur yang bersifat formal

    Face Negotiation Theory

  • Ditambahkan pula oleh Toomey, bahwa dalam melakukan facework dan menyelesaikan konflik, selain faktor kultural yang telah disebutkan (individualism dan power distance), terdapat juga faktor individual yaitu self-construalSelf-construal adalah persepsi seseorang terhadap tingkat independensi atau ketergantungannya (interdependensi) dengan orang lainIndividu yang independent cenderung menggunakan cara-cara langsung dalam berkomunikasi dan menyelesaikan masalahSedangkan, individu yang interdependent cenderung berorientasi pada pemeliharaan hubungan dengan orang lain dalam menyelesaikan konflik

    Face Negotiation Theory