hipertiroid kongenital
DESCRIPTION
hipotiroid kongenitalTRANSCRIPT
HIPOTIROID KONGENITAL
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4)
di sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini
diketahui sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada
anak- anak. Produksi hormon tiroid yang berkurang disebabkan karena berbagai hal
antara lain: kelainan pada kelenjar pituitari, hipotalamus atau tiroid, yang menyebabkan
proses metabolism karbohidrat di dalam tubuh mengalami keterlambatan. Telah
diketahui bahwa hormon tiroid merupakan salah satu hormon yang sangat dibutuhkan
dalam proses metabolisme yang bcrperan pada pertumbuhan dan perkembangan,
termasuk perkembangan otak dan kematangan organ seks. Kebutuhan hormon tiroid
pada segala tingkat usia sangat diperlukan, terutama sangat berperan pada masa bayi
dan anak- anak yaitu masa dimana tumbuh kernbang sedang terjadi pada diri seseorang.
Hipotiroid kongenital di dapat 1: 2500 sampai 4000 bayi baru lahir dan merupakan
salah satu penyebab gangguan pertumbuhan fisik maupun psikis dan bila tidak diobati
secara dini akan menjadi kelainan yang menetap. Kelainan ini dapat berupa kretinism
atau cebol yang disertai dengan gangguan keterbelakangan mental. Pengobatan dini
pada kasus hipotiroid kongenital, sampai usia bayi mencapai 3 bulan, dapat
meningkatkan nilai IQ diatas 85% pada saat anak sudah mencapai dewasa.
Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah
non endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital
endemis di daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan
angka kejadian 1 : 1500 hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita
hipotiroid transien karena kekurangan iodium (endemis). Kekurangan hormon tiroid
atau hipotiroid pada awal masa kehidupan anak, baik permanen maupun transien akan
mngakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi mental. Angka kejadian hipotiroid
kongenital di Indonesia belum diketahui, namun apabila mengacu pada angka kejadian
di Asia dan di Yogyakarta, maka di Indonesia, dengan angka kelahiran sekitar 5 juta per
tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai 3200 bayi dengan hipotiroid kongenital dan
966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital transien karena kekurangan
iodium, lahir setiap tahunnya.
A. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis. Di
dalam ruang yang sama terletak trakea, esofagus, pembuluh darah besar, dan saraf.
Kelenjar tiroid melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Arteri karotis komunis, arteri jugularis interna, dan nervus
vagus terletak bersama di dalam sarung tertutup do laterodorsal tiroid. Nervus
rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan
trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan
prevertebralis.
B. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Biosintesis hormone tiroid merupakan suatu urutan langkah-langkah proses yang
diatur oleh enzim-enzim tertentu. Langkah-langkah terbut adalah:
1. Penangkapan yodida
2. Oksidasi yodida menjadi yodium
3. Organifikasi yodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin
4. Proses penggabungan prekusor yang teryodinasi
5. Penyimpanan
6. Pelepasan hormon
Penangkapan yodida oleh sel-sel foikel tiroid merupakan suatu proses aktif dan
membutuhkan energi. Energi ini didapatkan dari metabolisme oksidatif dalam
kelenjar. Yodida yang teredia untuk tiroid berasal dari yodida dalam makanan atau
air, atau yang dilepaskan pada deyodinasi hormone tiroid atau bahan-bahan yang
mengalami yodinasi. Tiroid mengambil dan mengonsentrasikan yodida 20 hingga
30 kali kadarnya dalam plasma. Yodiada diubah menjadi yodium, dikatalis oleh
enzim yodida peroksida. Yodium kemudian digambungkan dengan molekul tirosin,
yaiitu proses yang disebut organifikasi yodium. Proses ini terjadi pada interfase sel-
koloid. Senyawa yang terbentuk, monoyodotirosin dan diyodotirosin, kemudian
digabungkan sebagai berikut: dua molekul diyodotirosin membentuk tiroksin (T4),
satu molekul diyodotirosin dan satu molekul monoyodotirosin membentuk
triyodotirosin (T3). Penggabungan senyawa-senyawa ini dan penyimpanan hormone
yang dihasilkan berlangsung dalam tiroglobulin. Pelepasan hormone dari tempat
penyimpanan terjadi dengan masuknya tetes-tetes koloid ke dalam sel-sel folikel
dengan proses yang disebut pinositosis. Didalam sel-sel ini tiroglobulin dihidrolisis
dan hormone dilepaskan ke dalam sirkulasi. Berbagai langkah yang dijelaskan
tersebut dirangsang oleh tirotropin (thyroid stimulating hormone [TSH]).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin. Bentuk aktif
hormon ini adalah triiodotironin yang sebagian besar berasal dari konversi hormon
tiroksin di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid.
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid (Thyroid
Stimulating Hormon) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon
tiroid dalam sirkulasi, yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus
anterior hipofisis dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin dari hipothalamus.
Hormon tiroid mempunyai pangaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan
tubuh yang berhubungan dengan metabolisme sel.
Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin dari sel parafolikuler. Kalsitonin
adalah polipeptida yang menurunkan kadar kalsium serum, mungkin melalui
pengaruhnya terhadap tulang. Hormon tiroid memang suatu hormon yang
dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme,
sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa.
Efek metaboliknya antara lain adalah termoregulasi, metabolisme protein,
metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak, dan vitamin A.
Status tiroid seseorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan
kadar normal hormon tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faal dasar yang
perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormon yang aktif adalah free-hormon.
Kedua bahwa metabolisme sel didasarkan adanya free T3 bukan free T4. ketiga
bahwa distribusi enzim deyodinasi I, II, dan III (DI, DII, DIII) di berbagai organ
tubuh berbeda, dimana DI banyak ditemukan di hepar, ginjal, dan tiroid. DII
utamanya di otak, hipofisis dan DIII hampir seluruhnya di jaringan fetal (otak,
plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU.
TSH adalah hormon yang terdiri dari glikoprotein yang diproduksi oleh kelenjar
hipofise anterior, dan merupakan hormon primer yang bertanggung jawab untuk
menstimulasi sintesa dan sekresi hormon- hormon tiroid antara lain T3 dan T4.
Sekresi hormon TSH dipengaruhi oleh hormon Thyrotropin Releasing Hormone
(TRH) yang diproduksi oleh kelenjar hipotalamus. Hormon TRH, TSH, T3 maupun
T4 bekerja dalam suatu mekanisme umpan balik pada kelenjar hipotalamus,
hipofise anterior dan kelenjar tiroid. Pada keadaan kadar honnon T3 dan T4 yang
meningkat maka akan terjadi mekanisme umpan balik secara negatif terhadap
kelenjar hipotalamus dan hipofise sehingga akan menurunkan produksi dari hormon
TRH dan TSH. Hal ini akan terjadi pada keadaan sebaliknya dimana kadar T3 dan
T4 rendah maka akan terjadi mekanisme umpan balik positif terhadap kelenjar
hipotalamus dan hipofise sehingga akan menaikan produksi hormon TRH dan TSH.
Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah:
1. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan
metabolisme karena peningkatan komsumsi oksigen dan produksi panas. Efek
ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan testes.
2. Kedua hormon ini tidak berbeda dalam fungsi namun berbeda dalam intensitas
dan cepatnya reaksi. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya
lebih singkat dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4
dapat dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.
3. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya pertumbuhan
saraf dan tulang.
4. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin
5. Efek kronotropik dan Inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan
kontraksi otot dan menambah irama jantung.
6. Merangsang pembentukan sel darah merah
7. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh
terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolism
8. Bereaksi sebagai antagonis insulinTirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran
tulang dengan fungsi utama menurunkan kadar kalsium serum dengan
menghambat reabsorpsi kalsium di tulang. Faktor utama yang mempengaruhi
sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang
rendah akan menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan
kalsium serum akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan
adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung.
C. Epidemiologi
Hipotiroid kongenital merupakan kelainan endokrin kongenital yang paling sering,
dapat terjadi pada 1 dari 3000 sampai 4000 bayi baru lahir. Penyakit ini dapat
terjadi secara transient, namun lebih sering terjadi secara permanen. Hipotiroid,
termasuk yang kongenital, paling sering terjadi karena defisiensi iodine. Hipotiroid
neonatal disebabkan oleh disgenesis pada 80-85%, karena dishormogenesis pada
10-15%, dan antibodi TSH-R pada 5% populasi. Kelainan ini terjadi dua kali lebih
sering pada anak perempuan. Hipotiroid kongenital biasanya bersifat sporadik,
namun sampai 2% dari disgenesis tiroid bersifat familial, dan hipotiroid kongenital
yang disebabkan oleh defek organifikasi biasanya diturunkan resesif. Mutasi yang
menyebabkan hipotiroid kongenital semakin banyak ditemukan, namun penyebab
dari sebagian besar populasi masih tidak diketahui.
D. Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital yang
permanen. Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik (tapi
bukan genetik) dapat menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat
sembuh secara spontan dalam bulan pertama kehidupan. Penyebab dari hipotiroid
kongenital dihubungkan dengan terjadainya defek pada protein-protein yang
berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada faktor transkripsi yang
berperan dalam pembentukan/perkembangan kelenjar tiroid. Namun, kasus yang
demikian hanya terjadi pada persentasi yang kecil dari populasi hipotiroid
kogenital, penyebab dari sebagian besar populasinya masih tidak diketahui.
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine,
paparan terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan
pada fetus oleh thyriod-blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau
obat antitiroid yang dikonsumsi oleh wanita hamil dengan penyakit tiroid autoimun.
Disfungsi tiroid kongenital dapat juga merupakan akibat dari lahir yang prematur,
dishormogenesis tiroid ringan, atau kehilangan protein karena nefrosis (pada kasus
yang jarang). Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan
hipotiroidisme. Dapat juga terjadi pada pemberian litium karbonat pada pasien
psikosis. Hati-hatilah menggunakan fenitoin dan fenobarbital sebab meningkatkan
metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat
mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium
kronis menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut
menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang
menghambat sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol),
perklorat, sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan katabolisme atau
penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang menghambat jalur
enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil
(PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk
diberikan karena dapat langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian
mudah menimbulkan keadaan hipotiroid janin. Wanita hamil dapat mentolerir
keadaan hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis
OAT yang kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada janin ± 4
kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan
hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU
mula-mula diberikan 100-150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai
(biasanya 4-6 minggu setelah pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap
6 jam dan bila masih tetap eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi
2 kali 50 mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4
dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila
tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai 300
mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid.
Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada
bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang menyusui yang mendapat OAT,
OAT dapat keluar bersama ASI namun jumlah PTU kurang dibandingkan
carbamizole dan bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian
perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin.
Kelenjar tiroid bekerja di bawah pengaruh kelenjar hipofisis, tempat diproduksi
hormon tirotropik. Hormon ini mengatur produksi hormon tiroid yaitu tiroksin dan
tri-iodotironin. Kedua hormon tersebut dibentuk dari monoiodo-tirosin dan diiodo-
tirosin. Untuk ini diperlukan yodium. T3 dan T4 diperlukan dalam proses metabolik
di dalam badan, lebih-lebih pada pemakaian oksigen. Selain itu ia merangsang
sintesis protein dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan vitamin.
Hormon ini juga diperlukan untuk mengolah karoten menjadi vitamin A. Untuk
pertumbuhan badan, hormon ini sangat dibutuhkan, tetapi harus bekerja sama
dengan growth hormon.
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua kelompok utama
kelainan: yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid, dan yang menyebabkan
dishormogenesis. Gen yang terkait dengan disgenesis kelenjar tiroid antara lain
adalah reseptor TSH pada hipotiroid kongenital tanpa gejala, dan GSα serta faktor
transkripsi tiroid (TTF-1, TTF-2, dan Pax-8). Yang menyebabkan dishormogenesis
antara lain adalah defek pada gen thyroid peroxidase dan gen thyroglobulin, PDS
(pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter), dan THOX2 (thyroid oxidase
2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga dari hipotiroid
kongenital yang terkait dengan defek pada transposter iodothyronine yang terkait
dengan gangguan neurologik berat. Sedangkan menurut Genetics Home Reference
bahwa Mutasi di DUOX2 , PAX8 , SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen
menyebabkan hipotiroidisme kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya
fungsi tiroid dalam salah satu dari dua cara. Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa
mutasi pada gen TSHR mencegah atau mengganggu perkembangan normal dari
kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2, SLC5A5, TG, TPO, dan gen
TSHB mencegah atau mengurangi produksi hormon tiroid, meskipun kelenjar tiroid
hadir. Mutasi pada gen lain yang belum juga ditandai juga dapat menyebabkan
hipotiroidisme congenital.
E. Patofisiologi
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS).
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka
disebut hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di
hipothalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor
hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus,
sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih (ACTH
penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada
wanita dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan
tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis
lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP).
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi
kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari
hipotiroidisme kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program
skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena:
Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal
atau total. Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan
hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi
hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena
jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang
mendasarinya.
Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan
lebih dari 40-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi
pemberian RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme
sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia <20 tahun :
52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari
dosis radiasi.
Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi
antitiroid, yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-
antitiroglobulin, Atg-Ab). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan
hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon
(estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi
kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem imun dengan
neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya mencolok.
Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
Tiroiditis Subakut.
(De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu
virus. Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan
terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme). Penyembuhan didahului
dengan hipotiroidisme sepintas.
Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses
hormogenesis. Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek
berat maka kasus sudah dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme
neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut.
Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat
menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca
tiroidektomi subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40%
kasus mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah
setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa-gesa memberi
substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini
banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan perkembangan
saraf.
F. Tipe Hipotiroidism
Hipotiroidisme kongenital terdiri dari hipotiroidisme kongental primer dan
sekunder. Untuk hipotiroidisme kongenital primer, kerusakan terjadi pada bagian
tiroid. Untuk kondisi ini kita dapat membagi pasien dengan hipotiroidisme
kongenital primer ke dalam 4 kelompok sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Kelenjar Tiroid (Athyrosis)
Pada kelompok ini, kelenjar tiroid gagal terbentuk sebelum kelahiran. Kelenjar
tersebut absen dan tidak akan pernah dapat berkembang, sehingga sebagai
konsekuensinya tidak ada hormon tiroksin yang diproduksi. Kondisi ini disebut
Agenesis Tiroid atau Atirosis. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki-laki, sekitar 2:1. Kondisi ini ditemukan pada 1
dari 10.000 bayi lahir, dan merupakan 35% kasus yang ditemukan pada
Newborn Screening. Alasan mengapa hormon tiroid gagal berkembang belum
diketahui. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu kaskade
pada gen yang berperan dalam pembentukan kelenjar tiroid tidak teraktivasi
tepat pada waktunya.
2. Kelenjar Tiroid Ektopik
Pada bayi dengan kondisi ini, kelenjar tiroid berukuran kecil dan tidak terletak
secar normal pada posisinya di depan trakea. Seringkali kelenjar tiroid
ditemukan di bawah lidah di dekat lokasi di mana kelenjar pertama kali
terbentuk pada embrio. Tiroid ektopik memiliki derajat fungsi yang berbeda-
beda. Terkadang ukurannya sangat kecil dan tidak aktif, namun pada kondisi
tertentu masih dapat menghasilkan hormon tiroid yang jumlahnya hampir
mencapai normal, oleh karena itu ada derajat keparahan pada kondisi ini.
Setelah kelahiran, kelenjar tiroid ektopik tidak akan bertambah besar dan turun
pada posisi normalnya. Fungsinya pun akan semakin menurun seiring
perjalanan waktu. Kelenjar tiroid ektopik juga dua kali lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pria. Kondisi tersebut merupakan 50% dari yang
terdeteksi pada Newborn Screening dan sedikit lebih sering terjadi
dibandingkan atirosis. Penyebab pastinya juga tidak diketahui, namun
penyebab yang sama seperti pada atirosis dapat menimbulkan kondisi ini.
3. Malformasi Kelenjar Tiroid pada Posisi Normal (Hypoplasia)
Kondisi ini terkadang disebut sebagai Hipoplasia Thyroid dan hanya terjadi
dengan persentase yang sangat kecil pada total seluruh kasus. Pada hipoplasia
tiroid, kelenjar berukuran kecil, tidak terbentuk secara optimal dan terkadang
hanya memiliki satu lobus.
4. Kelenjar Tiroid Tumbuh dengan Normal Namun Tidak Dapat Berfungsi
Optimal (Dysmorphogenesis).
Kondisi ini merupakan 15% dari kasus yang ditemukan pada Neonatal
Screening. Dismorfogenesis seringkali terjadi akibat defek enzim tertentu, yang
dapat bersifat transien maupun permanen. Pada bayi dengan dismorfogenesis,
ukuran kelenjar tiroid mengalami pembesaran dan dapat dilihat atau diraba
pada bagian depan.
G. Manifestasi Klinis
Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak tampak dalam beberapa
minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru lahir hipotiroidisme yang
datang dengan manifestasi klinik mencurigakan, yang membuat dokter waspada
akan kemungkinan hipotiroidisme. Salah satu tanda yang paling khas dari
hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir adalah fontanela posterior terbuka
dengan sutura cranial yang terbuka lebar akibat keterlambatan maturasi skeletal
prenatal. Kelambatan maturasi tulang, dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologik
pada daerah femoral distal lutut, tidak hanya untuk kepentingan diagnostik, tetapi
juga menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya yang
paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik. Sebagian besar
pasien memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas 3,5 kg dengan periode
kehamilan lebih dari 40 minggu). Kurang dari separuh pasien didapatkan ikterus
berkepanjangan pada awal kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin
untuk terjadinya hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang
terlihat adalah konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan
sembelit), hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui, bradikardi
dan kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan hipotiroidisme kongenital
memiliki insiden anomaly kongenital lain lebih tinggi, namun kemaknaannya tidak
jelas. Berbagai anomali congenital pada bayi hipotiroidisme kongenital yang
diidentifikasi melalui program skrining hipotiroidisme, antara lain penyakit jantung
bawaan, penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom rambut terbelah.
Apabila keadaan hipothyroid ini tidak ditangani selama masa neonatus dan bayi, maka
akan dapat menyebabkan kelainan yang lebih berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk pertembuhan sebelum
kelahiran, namun sangat esensial untuk pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika
seorang bayi memilki defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur
yang kecil pada masa bayi maupun kanak-kanak dan berujung pada postur yang
sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini mempengaruhi seluruh bagian
tubuh termasuk tulang.
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan tiroksin. Derajat
retardasi bergantung pada keparahan defisiensi hormon tiroid. Jika hanya ada
kekurangan parsial tiroksin, kelainan mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin
sepenuhnya tidak ada dan bayi tidak mendapatkan penanganan, retardasi mental
yang parah mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi jika
penatalaksanaan dilakukan sejak awal.
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat terjadi
pada neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi
hipotiroidisme yang tidak ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat
berlangsung lebih dari waktu yang normal.
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang mengkatatalisis proses
konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini menurun
sehingga terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam
usus. Hal ini menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi.
Peningkatan rasio klesterol-fosfolipid pada membran hepatosit dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak
terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena penningkatan rasio kolesterol
fosfolipid ini mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel
hepatosit, salah satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus
enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-ATPase
yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take bilirubin oleh hati yang
terjadi melalui suatu proses transport aktif.
H. Diagnosis
1. Anamnesis
Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat
dengan keluhan retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau
perawakan pendek. Pada beberapa kasus pasien datang dengan keluhan pucat.
Pada bayi baru lahir sampai usia 8 minggu keluhan tidak spesifik. Perlu ditanya
riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat anti tiorid
yang sedang diminum dan terapi sinar.
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid
kongenital seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan
kulit teraba dingin. Selain itu, didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas
pendek, fontanel anterior dan posterior terbuka lebih lebar, mata tampak
berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang tebal dan besar
menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar
dan jari-jari, pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis.
Perkembangan terganggu, otot hipotonik kadang dapat ditemukan hipertrofi
otot generalisata sehingga menghasilkan tampakan tubuh berotot. Perlu pula
digali adanya riwayat keluarga dengan hipothyroidisme, terutama kedua orang
tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan untuk mengetahui
pengobatan yang mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja
mempengaruhi sintesis dan kerja hormon thyroid atau kelainan lainnya.
2. Gejala Klinis
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang
paling sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya
hipotiroid bila skor indeks hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya
gejala atau tanda yang tampak tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid
kongenital.
Tabel : Skoring hipotiroid kongenital
3. Laboratorium
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang
dilakukan dengan pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari
atau minimal 36 jam atau 24 jam setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan
melalui pemeriksaan darah bayi. Darah bayi akan diambil sebelum ibu dan bayi
meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi dilahirkan di rumah, bayi
diharapkan dibawa ke rumah sakit / dokter sebelum usia 7 hari untuk dilakukan
pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit
bayi, lalu diteteskan beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan
Gejala Klinis
Hernia umbilicalis
Kromosom Y tidak ada (wanita)
Pucat, dingin, hipotermi
Tipe wajah khas edematus
Makroglosi
Hipotoni
Ikterus lebih dari 3 hari
Kulit kasar, kering
Fontanella posterior terbuka (>3cm)
Konstipasi
Berat badan lahir > 3,5 kg
Kehamilan > 40 minggu
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
Total 15
setelah mengering dikirim ke laboratorium. Adapun pemeriksaannya ada tiga
cara, yaitu:
a) Pemeriksaan primer TSH.
b) Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah
yang sama, bila hasil T4 rendah.
c) Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap
abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4
plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 mU/ml dan T4 rendah, Bayi dengan
kadar TSH diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3
minggu kemudian.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang penting dilakukan, antara lain:
a) Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.
b) T3, T4, TSH.
c) Radiologis :
USG atau CT scan tiroid
Tiroid scintigrafi.
Umur tulang (bone age).
X-foto tengkorak .
Selain untuk mendiagnosis keadaan hipothyroid, perlu juga dilakukan evaluasi
tambahan guna menentukan etiologi dasar penyakit. Hal ini perlu dilakukan
untuk menentukan apakah hipertiroid kongenital bersifat permanent atau
transient sehingga dapat diperkirakan lama terapi dan prognosis.
a. Pengukuran kadar hormon kelenjar gondok.
Thyroxine total (T4). Cara pemeriksaan T4 yang umum dilakukan
ialah cara competitive protein binding assay (CPBA), radioimmuno
assay (RIA) dan enzyme immuno assay (EIA). Cara CPBA
dikembangkan oleh Murphy dan Pattee (1964) dimana digunakan T4
— J125 dan thyroxine binding globulin (TBG) untuk mengukur kadar
T4 serum. Saat ini yang lebih sering digunakan adalah cara RIA
dimana digunakan antibodi spesifik terhadap T4 (anti—T4). T4
terlebih dulu dilepaskan dari ikatannya dengan TBG dengan
penambahan zat tertentu. T4 yang telah dibebaskan bersaing dengan
T4—J125 dalam berikatan dengan anti—T4. Ikatan T4-anti T4
kemudian dipisahkan dari T4 bebas dan salah satu fraksi diukur
radioaktivitasnya. Ukuran radioaktivitas ini digunakan untuk
mendapatkan kadar T4, dengan membandingkan dengan satu seri
standard yang dikerjakan bersama bahan pemeriksaan dari pasien.
Prinsip EIA sama seperti prinsip RIA, hanya disini digunakan label
ensim sebagai pengganti label zat radioaktif. T3 UPTAKE (T3U).
Pemeriksaan T3U bukanlah pemeriksaan mengukur kadar hormon T3.
Penamaan T 3 U disini hanyalah karena reagens yang dipakai adalah
T3—J125. T 3 U dipakai untuk menilai "unsaturated thyroxine
binding protein". T 3 — J 125 berlebihan ditambahkan kedalam serum
dimana ia akan mengisi unsaturated TBP. Sisa T3 —J125 diikat oleh
pengikat kedua yaitu resin atau arang. Yang dimaksud dengan T 3 U
adalah persentase radioaktivitas yang diikat oleh pengikat kedua.
Selain cara diatas, dapat pula dilaporkan sebagai thyrobinding index
(TBI) yaitu persentase radioaktivitas yang diikat oleh unsaturated
TBP. Kadar TBG dapat pula diukur secara langsung dengan cara RIA.
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung Free
Thyroxine Index (FTI) dengan rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI =
T4/TBG. T4 bebas (Free T4 = FT4)Idapat pula diulcur langsung. Cara
yang klasik adalah dengan cars dialysis ekuilibrium. Cara ini sulit dan
tidak praktis untuk digunakan secara rutin, sehingga seisms ini
perkiraan T4 bebas dengan menghitung FTI yang lebih banyak
digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik pemenksaan FT4
yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody
spesifilc terhadap T4 yang dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi
dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan T3-J'25 dan
antibodi spesifik terhadap T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti
pemeriksaan T4 dengan cara RIA. Seperti halnya T4 total, kadar T3
juga dipengaruhi kadar protein pengikatnya dalam darah. Untuk
mendapatkan gambaran kadar T3 bebas dalam darah dapat pula
diitung Free T3 Index (FT3I) dengan rumus l FT3I = T3 (ng/dl) x T3U
(%)/ 1000. Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar
neversed T3 (rT3) yang juga menggunakan carai RIA. Selain
pemeriksaan-pemeriksaan hormon kelenjar gondok diatas, dilcenal
pula pemeriksaan Protein bound iodine (PBI) dan Butanol extractable
iodine (BEI), akan tetapi pemeriksaan ini telah ditinggalkanehingga
tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
b. Penilaian jalur hipotalamus—hipofisis, kelenjar gondok Thyroid
Stimulating Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisis pars
anterior. Dulu kadar TSH diperiksa dengan cant bioassay, sekarang telah
dapat digunakan cara RIA yang sensitif untuk mengukurnya. Kadar normal
TSH adalah mulai dari tidak terdeteksi sampai 10uU/ml. Tes TRH.
Pengukuran kadar TSH dilakukan sebelum, 20 menit sesudah penyuntikan
S00ug TRH intravena.
c. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat
digunakan untuk menilai faal kelenjar gondok secara tidak langsung.
Padahipotiroidisme seringkali dijumpai adanya hiperlipidemia.
d. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok. Pada keadaan-keadaan
tertentu mungkin dijumpai adanya antibodi terhadap komponen-
komponen kelenjar gondok seperti thyroglobulin, komponen koloid,
mikrosom dan komponen nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat
diperiksa dengan cara imunologis seperti hemaglutinasi, presipitasi,
fiksasi komplemen dan imunofluoresens. Penyakit yang dihubungkan
dengan adanya autoantibodi ini antara lain thyroiditis Hashimoto dan
penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator (LATS). LATS adalah
IgG yang bersifat antibodi terhadap komponen kelenjar gondok yang
mampu merangsang fungsi kelenjar gondok. Sekarang ini dikenal
beberapa macam thyroid stimulating immunoglobulins (TSI). Zat-zat
ini dapat diukur dengan cara bioassay, akan tetapi cara ini sulit
dilakukan.
e. Penggunaan dan Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium.
Karena hampir seluruh T4 dalam sirkulasi darah terikat TBP, terutama
TBG, pengukuran kadar T4 total dipengaruhi oleh juinlah T4 yang dibuat
oleh kelenjar gondok dan kadar TBG. 14 bebas merupakan bentuk hormon
yang dapat mendifusi kedalam sel dan mempengaruhi metabolisme, karena
itu pengukuran FT4 lebih menggambarkan fungsi kelenjar gondok.
Pada hipertiroidisme, baik kadar T4 total maupun T3U akan bersama-sama
meningkat. Demikian pula pada hipotiroidisme, hasil kedua pemeriksaan
menurun. Pada perubahan kadar TBG, perubahan kadar T4 total dan T3 U
terjadi dalam arah yang berlawanan, sedangkan nilai FTI akan tetap
normal. Nilai FTI yang rendah sesuai dengan keadaan hipotiroid.
sebaliknya nilai FTI yang tinggi sesuai dengan hipertiroid. (lihat gambar
41 Nilai FTI yang jelas meninggi dijumpai pada penyakit Grave, struma
toksik, pengobatan hormon tiroid yang berlebihan dan fase awal thyroiditis
subakut.
Apabila nilai FTI meragukan (normal tinggi), sebaiknya dilakukan
pemeriksaan kadar T3 serum. Kadar T3 yang tinggi menunjukkan keadaan
hipertiroid. Bila kadar T3 juga meragukan (normal tinggi), status kelenjar
gondok dapat dinilai lebih lanjut dengan tes TRH. Kadar T3 yang normal
atau rendah menunjukkan keadaan eutiroid. Adanya sedikit peningkatan
FTI memang sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit-
penyakit sistemik akut maupun kronik seperti keganasan
Nilai FTI normal sesuai dengan keadaan eutiroid, akan tetapi apabila
gambaran klinis jelas hipertiroid sebaiknya diperiksa kadar T3. Sebagian
kecil (3—5%) keadaanhipertiroid disebabkan oleh peningkatan kadar T3
tanpa peningkatan kadar T4, keadaan ini disebut toksikosis T3. Begitu pula
apabila gambaran klinis hipotiroid, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
kadar TSH. Apabila didapat nilai FTI yang rendah, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan kadar TSH. Peningkatan kadar TSH yang nyata dijumpai
pada hipotiroidisme primer yaitu hipotiroidisme yang disebabkan oleh
kegagalan kelenjar gondok sendiri. Kurangnya sintesis hormon kelenjar
gondok menyebabkan berkurangnya umpan balik yang menghambat
pelepasan TSH. Peningkatan kadar TSH sangat sensitif untuk keadaan ini
dan bahkan sudah terjadi pada keadaan "prehipotiroid" dimana sintesis
hormone kelenjar gondok masih dapat dipertahankan normal oleh adanya
kadar TSH yang tinggi. Akan tetapi hipotiroidisme tidak selalu disebabkan
oleh gangguan kelenjar gondok itu sendiri. Hipofungsi kelenjar gondok
mungkin pula disebabkan oleh gangguan hipofisis atau hipotalamus. Pada
keadaan-keadaan ini kadar TSH rendah atau tidak terdeteksi. Umumnya
pasien akan memperlihatkan gejala kegagalan hipofisis lain seperti
gangguan fungsi kelenjar adrenal dan gonad. Tes TRH dapat membedakan
kedua sebab hipotiroidisme sekunder ini. Pemberian TRH sintetik akan
meningkatkan kadar TSH serum pada kelainan hipotalamus, sedangkan
respons negatif dijumpai pada kelainan hipofisis.
I. Diagnosis Banding
Sindrome Down
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
faal tiroid secara rutin. Gejala lainnya pada penyakit mongolisme ini antara lain
epikantus (+), makroglosi (+), miksedema (-), retardasi motorik dan mental,
Kariotyping (trisomi 21).
J. Penatalaksanaan
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak
memungkinkan, tretment awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan.
Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine adalah 10-15 μg/kgBB/hr yang
bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat. Pada pasien
dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela
mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15μg/kgBB/hr.
Selanjutnya, diikuti dengan terapi maintenence dimana besar dosis mentenence
disesuaikan kondisi pasien. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar
hormon tiroksin dan free T4 dalam batas normal, yaitu 10-16 μg/dL untuk hormon
tiroksin dan 1.4 - 2.3 ng/dl untuk free T4.
Untuk hipothyroidisme kongenital, satu-satunya terapi adalah dengan replacment
hormon. Dalam tatalaksananya, yang paling penting adalah follow up dan
montoring terapi untuk memepertahankan kadar TSH dan T4 plasma dalam ambang
normal.4,8 Untuk itu, perlu dilakukan follow up kadar TSH dan hormon T4 dlam
waktu-waktu yang ditentukan, yaitu:
Usia pasien Jadwal follow up
0-6 bulan Tiap 6 minggu
6 bln-3thn Tiap 3 bln
>3thn Tiap 6 bln
Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring 6-8 minggu setiap pergantian dosis. Hal
ini guna mengantisipasi terjadinya overtreatment yang dapat menyebabkan efek
samping seperti penutupan sutura yang premature, dan masalah temperament dan
perilaku.
Umur Dosis kg/kg BB/hari
0-3 bulan3-6 bulan6-12 bulan1-5 tahun2-12 tahun> 12 tahun
10-158-106-85-64-52-3
Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal. Bila fasilitas untuk
mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial sampai usia 3
tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu; bila ada perbaikan klinis,
dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 μg/m2/hari.
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4,
dan TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
K. Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening program.
Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat dari minggu pertama kehidupan
dapat memberikan pertumbuhan yang normal termasuk intelegensi dibandingkan
dengan lainnya yang tidak mendapatkannya. Sebelum berkembangnya skrining
bayi baru lahir, suatu penelitian di RS Anak Pittsburgh melaporkan bayi-bayi yang
diobati > 7 bulan IQ rata-rata 54.2. Prognosis juga bergantung pada etiologi yang
pasti. Infant yang megalami keadaan kadar T4 yang rendah dengan retardasi
pematangan skeletal, mengalami penurunan IQ 5-10m point, dan kelainan
neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hypotonic atau hypertonis, kurang
perhatian, dan kesulitan bicara. Pada 20% kasus terjadi kesulitan mendengar. Tanpa
pengobatan, infant yang mengalamianya akan ditemukan defisensi mental dan
retardasi pertumbuhan. Hormone thyroid sangat penting untuk pertumbuhan otak,
maka diperlukan diagnosis biokimia untuk mengetahuai apakah ada kelainan atau
tidak agar dapat segera di tatalaksana untuk mencegah kerusaka otak yang
irreversible. Keterlambatan diagnosis, kegagalan untuk menangani hypertyroxemia
secara cepat, pengobatanya yang tidak adekuat, dan pemenuhan yang kurang pada
2-3 tahun pertama kehidupan dapat menghasilkan derajat kerusakan otak yang
bervariasi.
Daftar Pustaka
Snell, Ricard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran, Edisi 6. EGC, Jakarta. Bagian: Leher.
Faizal, Frans. 2009. Brosur Prodia Laboratorium Klinik : Selamatkan Bayi Anda Sebelum Terlambat Dengan Melakukan Skrining Neonatus.
Crisostomacleo. 2008. Hipotiroidisme Kongenital: penyebab hambatan pertumbuhan dan retrdasi mental pada anak
Agarwal, Ramesh, Vandana Jain, Ashok Deorari, dan Vinod Paul. 2008. Congenital Hypothyroidism. Department of Pediatric: All India Institute of Medical Sciences (AIIMS). NICU: New Delhi India Downloaded from: www.newbornwhocc.org
Coakley, John C., dan John Connelly. 2007. Congenital Hypothyroidism: An Information Guide For Parents. Education Research Center of Royal Children’s Hospital: Victoria – Australia
Moreno JC, et al. Inactivating mutations in the gene for thyroid oxidase 2 (Thox2) and congenital hypothyroidism, N Engl J Med 2002; 347(2): 95-102.
Park SM, Chatterjee VKK. Genetics of congenital hypothyroidism, J Med Genet 2005; 42: 379-389.
Jameson, J Larry. Disorders of the Thyroid Glands. In: Braunwald, TR. et al. 2008, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Seventeenth Edition, McGraw Hill, New York.
LaFranci, Stpehen. Bherman, RE, Kliegman, RM, Jneson, HB (eds)2009. Nelson Testbook of Pediatry, 18thed. WB Saunders, Philadelphia. Chapter 24: Endocrine System.
Juliaty, Aidah dan Satriono. 2005. Laporan Kasus: Hipotiroidisme Kongenital pada Dua Saudara Kandung. SMF Anak FK UNHAS: Makassar.
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6. EGC, Jakarta. Bagian 10 : Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik.
Anonim, 2006. Hipotiroidisme Kongenital. www.genetics home reference.com
Silman, Erwin. Kusnandar Simon. Pemeriksaan Laboratorium untuk Menilai Faal Kelenjar Gondok, CDK 1983; 30: 46-48.
IDI, 2004. Standar Pelayanan Medik, Edisi 1. IDI, Jakarta. Bagian : Endokrinologi.
Haqiqi, Himan S. 2008 Biosintesis Hormon Tiroid dan Paratiroid. Fakultas Peternakan UNIBRAW: Malang.