hubungan status gizi (tb/u) dengan status … · penelitian kohort pada anak balita di kenya...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN STATUS GIZI (TB/U) DENGAN STATUS
KESEHATAN DAN PRESTASI AKADEMIK
ANAK USIA SEKOLAH
DIMAS BAGUS ARIEF FIKRI AZIZ
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Status Gizi
(TB/U) dengan Status Kesehatan dan Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Dimas Bagus A.F.A.
NIM I14110010
ABSTRAK
DIMAS BAGUS A.F.A. Hubungan Status Gizi (TB/U) dengan Status Kesehatan
dan Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara status gizi
(TB/U) dengan status kesehatan dan prestasi akademik siswa kelas 4, 5, dan 6 SD
di Desa Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study, dengan subjek penelitian berjumlah 76 orang yang
terdiri atas 38 contoh berstatus gizi normal dan 38 contoh berstatus gizi stunting.
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan, status gizi (TB/U),
tinggi badan ibu, pendapatan keluarga, tingkat kecukupan zat gizi (energi dan zat
gizi), dan status kesehatan (frekuensi dan lama sakit) pada contoh dengan status
gizi stunting signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal (p <
0.1). Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan tingkat
kecukupan energi dan protein; pendapatan keluarga dengan tingkat kecukupan zat
gizi (energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan seng); besar keluarga
dengan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan
seng); tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan zat gizi (energi dan zat gizi)
dengan status gizi (TB/U); serta status gizi (TB/U) dengan status kesehatan
(frekuensi dan lama sakit). Semakin baik status gizi (TB/U), maka semakin baik
pula status kesehatan (semakin rendah frekuensi dan lama sakit) contoh.
Kata kunci: anak usia sekolah, prestasi akademik, status gizi, dan status
kesehatan.
ABSTRACT
DIMAS BAGUS A.F.A. The Association between Nutritional Status (H/A) and
Health Status and Academic Achievement in School-Aged Children. Supervised
by SITI MADANIJAH.
The aims of this study was to determine the association between nutritional
status (H/A) and health status and also between nutritional status (H/A) and
academic achievement of student in 4th, 5th, and 6th grade in Sukamakmur
Village, Bogor district. The design was a cross sectional study with 76 subjects,
consisting of 38 normal subjects and 38 stunting subjects. The result showed that
average subject’s height; subject’s nutritional status (H/A); mother’s height;
family income; nutritional adequacy level (energy and nutrients); and health status
(frequency and period of illness) in stunting subjects were significantly lower than
normal subjects (p < 0.1). There was a significant correlation between mother’s
education and nutritional adequacy level (energy and protein); family income and
nutritional adequacy level (energy, protein, iron, vitamin A, vitamin C, and zinc);
household size and nutritional adequacy level (energy, protein, vitamin A, vitamin
C, and zinc); mother’s height and nutritional status (H/A) and also nutritional
adequacy level (energy and nutrients) and nutritional status (H/A); and also
nutritional status (H/A) and health status (frequency and period of illness).
viii
Therefore, subjects with higher nutritional status (H/A) tend to have better health
status (lower frequency and period of illness).
Key words: academic achievement, health status, nutritional status, and school-
age children.
HUBUNGAN STATUS GIZI (TB/U) DENGAN STATUS
KESEHATAN DAN PRESTASI AKADEMIK
ANAK USIA SEKOLAH
DIMAS BAGUS ARIEF FIKRI AZIZ
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
x
Judul : Hubungan Status Gizi (TB/U) dengan Status Kesehatan dan
Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah
Nama : Dimas Bagus Arief Fikri Aziz
NIM : I14110010
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
xii
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 ini
adalah stunting, dengan judul Hubungan Status Gizi (TB/U) dengan Status
Kesehatan dan Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing dan memberi
saran kepada penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS, atas
kesediaannya sebagai dosen pemandu seminar dan penguji pada ujian skripsi.
Terima kasih kepada rekan-rekan penelitian, pihak Sekolah SD Sukamakmur 01
dan 02, dan pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Supangat dan Ibu Asiqatul Alwiyah
selaku orang tua penulis yang telah memberikan doa dan dukungan kepada
penulis selama penyelesaian karya ilmiah ini. Selain itu, ucapan terima kasih
disampaikan kepada teman-teman Departemen Gizi Masyarakat angkatan 48 dan
pihak-pihak yang telah memberikan doa serta dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Dimas Bagus A.F.A.
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 2
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3
Hipotesis...............................................................................................................3
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 4
KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................................4
METODE PENELITIAN.........................................................................................7
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................................... 7
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh................................................................ 7
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................................... 8
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................. 9
Definisi Operasional ......................................................................................... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 11
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................. 11
Karakteristik Contoh ......................................................................................... 13
Status Gizi ......................................................................................................... 15
Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 16
Konsumsi Pangan...............................................................................................20
Status Kesehatan.................................................................................................26
Prestasi Akademik..............................................................................................27
Hubungan antar Variabel....................................................................................29
SIMPULAN DAN SARAN...................................................................................32
Simpulan.............................................................................................................32
Saran .................................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33
x
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan cara pengumpulan data 9
2 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi 13
3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi 14
4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku dan status gizi 14
5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi 15
6 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi 16
7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dan status gizi 17
8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi 18
9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi 19
10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua dan status gizi 19
11 Sebaran contoh berdasarkan tinggi badan ibu dan status gizi 20
12 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi 21
13 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh 21
14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 23
15 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan contoh 25
16 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi 26
17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit, dan status gizi 27
18 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi 28
19 Sebaran contoh berdasarkan metode belajar dan status gizi 28
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 6
2 Kerangka pengambilan contoh 8
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kesehatan
merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia. Faktor gizi
memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Meningkatnya derajat kesehatan akan meningkatkan kualitas SDM menjadi SDM
yang sehat, cerdas, dan produktivitas kerja tinggi.
Indonesia yang merupakan negara berkembang masih menghadapi masalah,
yaitu rendahnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Masalah gizi di Indonesia
bukan hanya masalah gizi kurang, namun masalah gizi lebih pun juga melanda
Indonesia. Salah satu masalah gizi kurang yaitu kependekan (stunting). Stunting
merupakan gangguan pertumbuhan linear yang disebabkan oleh masalah gizi
kurang kronis yang terjadi pada anak-anak di negara berkembang. Stunting dapat
menjadi suatu indikasi terjadinya masalah kesehatan masyarakat karena
berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. Stunting
(kurang gizi kronis) dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi suatu negara
sebesar 8%. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan produktivitas kerja,
kemampuan kognitif, dan penurunan masa pendidikan (Horton dan Steckel 2013).
Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak
umur 5–12 tahun adalah 30.7 % (12.3 % sangat pendek dan 18.4 % pendek).
Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (14.9 %) dan tertinggi di
Papua (34.5%). Persentase anak laki-laki pendek usia 6 tahun sebesar 27.7% dan
perempuan sebesar 25.5% dan angka tersebut semakin meningkat sampai usia 12
tahun sebesar 37.7% (laki-laki) dan 34.9% (perempuan) (Balitbangkes 2013).
Prevalensi anak stunting usia sekolah (6-12 tahun) di Jawa Barat mencapai 34.2%
yang terdiri atas13.9% sangat pendek dan 20.3% pendek (Balitbangkes 2010). Stunting erat kaitannya dengan status sosial ekonomi (Supariasa et al.
2001). Menurut data Riskesdas 2010, prevalensi stunting di daerah pedesaan lebih
tinggi dibanding di perkotaan dengan selisih 8.5%. Hasil kajian Sandjaja et al.
(2013) berdasarkan survei pada 7211 anak 0.5-12 tahun di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi stunting di wilayah perkotaan sebesar 25.2% dan
39.2% di wilayah pedesaan. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi
stunting menurut pekerjaan paling tinggi pada petani/nelayan/buruh sebesar 40%.
Tingkat kesejahteraan di Kabupaten Bogor masih tergolong rendah, hal ini dapat
dilihat dari jumlah keluarga miskin yang ada di pedesaan maupun di perkotaan.
Keluarga miskin yang ada di pedesaan sebesar 38,7%, sedangkan dikawasan
perkotaan jumlah keluarga miskin mencapai 28,8%. Jumlah keluarga miskin di
Kabupaten Bogor lebih banyak tinggal di pedesaan yang erat kaitannya dengan
sektor pertanian (Balitbangkes 2010). Menurut Khuwaja et al. (2005), pekerjaan
ayah sebagai petani menjadi faktor risiko stunting anak sekolah dasar di Pakistan.
Terdapat hubungan kuat antara kemiskinan rumah tangga dan pendapatan per
kapita dengan tinggi badan anak sekolah dasar di Afrika Selatan (Tinnaeus dan
Ngidi 2011).
2
Masalah stunting dapat menghambat perkembangan anak dengan dampak
negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Kerusakan yang
diakibatkan oleh anak pendek tidak dapat dirubah (Horton dan Steckel 2013).
Anak stunting berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama
pendidikan yang menurun, dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa.
Anak-anak stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh
menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat, dan
lebih rentan terhadap penyakit (Horton dan Steckel 2013). Victora et al. (2008)
menyimpulkan dari hasil studi kohort The Maternal and Child Undernutrition
Study Group bahwa ukuran bayi lahir yang kecil dan stunting pada masa anak-
anak berhubungan dengan tinggi badan dewasa yang rendah, penurunan massa
tubuh tanpa lemak, rendahnya masa sekolah, berkurangnya fungsi intelektual,
berkurangnya pendapatan, dan berat bayi lahir yang rendah dari ibu yang stunting
pada masa anak-anak.
Penelitian pada anak usia sekolah yang mengalami stunting menunjukkan
buruknya tes perhatian, memori kerja, belajar, dan kemampuan visuospasial.
Stunting mempengaruhi proses perkembangan kognitif yang sedang berlangsung
pada masa usia sekolah (Kar et al. 2008). Hasil penelitian di Kabupaten
Bengkayang Bidayuh, Kalimantan Barat pada anak sekolah yang berusia 7-8
tahun menunjukan bahwa anak yang stunting berat memiliki skor IQ yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak yang mengalami stunting ringan (Webb dan
Block 2005). Hasil penelitian Mukudi (2003) yang meneliti pengaruh status gizi
pada pencapaian skor akademik di sekolah dasar di Kenya menunjukkan bahwa
anak perempuan yang kurang gizi mencapai skor tes yang lebih rendah.
Stunting memiliki konsekuensi negatif jangka panjang pada kesehatan.
Prevalensi stunting yang cukup tinggi banyak ditemui di lingkungan yang
dikarakteristikkan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi (de Onis dan
Blossner 2003). Stunting mengurangi daya tahan tubuh sehingga dapat
meningkatkan derajat keparahan penyakit infeksi, misalnya malaria (Verhoef et
al. 2002). Hubungan signifikan antara malaria dan stunting ditemukan dari hasil
penelitian kohort pada anak balita di Kenya (Nyakeriga et al. 2004). Oleh karena
itu, berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan
stunting dengan status kesehatan dan prestasi akademik anak usia sekolah.
Perumusan Masalah
Stunting (kurang gizi kronis) dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi suatu
negara sebesar 8%. Anak stunting berhubungan dengan prestasi pendidikan yang
buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang
dewasa. Anak-anak stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk
tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat
dan lebih rentan terhadap penyakit (Horton dan Steckel 2013). Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik anak yang stunting dan normal (umur, jenis kelamin,
dan uang saku) dan karakteristik keluarga (umur orang tua, besar keluarga,
pendidikan dan pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita, serta tinggi ibu)?
3
2. Bagaimana perilaku konsumsi (jenis, frekuensi, dan jumlah) pangan anak
sekolah dasar yang stunting dan normal?
3. Bagaimana perbedaan antara prestasi akademik anak sekolah dasar yang
stunting dengan anak yang normal?
4. Bagaimana hubungan antara status gizi (TB/U) dan prestasi akademik anak
usia sekolah?
5. Apa saja penyakit yang pernah diderita oleh anak sekolah dasar yang stunting
dan normal?
6. Bagaimana perbedaan status kesehatan (lama dan frekuensi) anak sekolah
dasar yang stunting dengan anak yang normal?
7. Bagaimana hubungan antara status gizi (TB/U) dan status kesehatan anak usia
sekolah?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan mengkaji status kesehatan dan prestasi
akademik anak usia sekolah yang stunting dan normal.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan membedakan karakteristik anak yang stunting dan
normal (usia, jenis kelamin, dan uang saku) dan karakteristik keluarga (umur
orang tua, besar keluarga, pendidikan dan pekerjaan orang tua, pendapatan per
kapita, serta tinggi badan ibu).
2. Mengidentifikasi dan membedakan perilaku konsumsi (jenis, frekuensi, dan
jumlah) anak sekolah dasar yang stunting dengan anak yang normal.
3. Mengidentifikasi dan membedakan status kesehatan dan prestasi akademik
anak yang stunting dengan anak yang normal.
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak (uang saku) dan karakteristik
keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan per kapita, dan besar keluarga)
dengan konsumsi pangan anak.
5. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga (tinggi badan ibu) dan
konsumsi pangan anak dengan status gizi.
6. Menganalisis hubungan antara status gizi (TB/U) dengan status kesehatan dan
prestasi akademik anak.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan antara karakteristik anak, karakteristik keluarga, perilaku
konsumsi, status kesehatan, dan prestasi akademik anak yang stunting dengan
anak yang normal.
2. Terdapat hubungan antara karakteristik anak (uang saku) dan karakteristik
keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan per kapita, dan besar keluarga)
dengan konsumsi pangan anak.
3. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga (tinggi badan ibu) dan
konsumsi pangan anak dengan status gizi.
4
4. Terdapat hubungan antara status gizi (TB/U) dengan status kesehatan dan
prestasi akademik anak.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi
bahwa masalah stunting pada anak sebaiknya menjadi perhatian baik di kalangan
pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun pihak swasta dan masyarakat
terutama orang tua. Gambaran dari penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya
pemberian stimulus yang tepat untuk perkembangan anak, baik pada prestasi
pendidikan dan status kesehatannya. Selain itu, dukungan gizi serta pola asuh
makan yang tepat sangat dibutuhkan oleh anak guna menciptakan pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal sehingga terwujudnya sumber daya manusia
yang berkualitas di masa mendatang.
KERANGKA PEMIKIRAN
Anak-anak lebih sering terlihat seperti anak yang hiperaktif dan susah untuk
dikontrol. Penelitian ini menggunakan subjek anak-anak Sekolah Dasar (SD)
karena anak SD masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan khususnya
perkembangan kognitif. Selain itu, anak SD juga terlihat sangat aktif bermain
dengan teman-temannya dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sehingga
dikhawatirkan anak-anak akan lebih sering terkena penyakit, seperti diare.
Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan
berlanjut setelah lahir. Pada masa anak-anak, lingkungan juga memiliki pengaruh
yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sistem saraf pusat.
Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius pada perkembangan
otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan perilaku seperti kesulitan
belajar dan retardasi mental (UNICEF 2001). Kekurangan gizi yang
menggambarkan keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan
berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita adalah status gizi TB/U
(stunting), hal ini memberikan gambaran fungsi pertumbuhan atau tinggi badan
yang dilihat dari keadaan pendek (stunting).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi, khusunya status
gizi TB/U, yaitu karakteristik keluarga dan karakteristik anak. Karakteristik
keluarga meliputi umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua,
pendapatan keluarga, dan tinggi badan ibu. Karakteristik orang tua, seperti umur
orang tua terutama ibu berpengaruh kepada kualitas pengasuhan serta pengalaman
dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak. Menurut
Senbanjo et al. (2011), besar keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan
makanan. Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah,
semakin kecil jumlah pangan yang diperoleh anak. Shi et al. (2005) juga
menyatakan bahwa karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan)
memiliki hubungan yang signifikan positif dengan asupan dan tingkat kecukupan
energi. Selain itu, menurut Suharjo (2003), tingkat pendapatan juga akan
5
mempengaruhi riwayat pemberian ASI pada anak dan kecukupan konsumsi
pangan pada suatu rumah tangga yang akan mempengaruhi asupan dan status gizi
anak. Status gizi anak akan berdampak pada perkembangan anak, khususnya
prestasi akademik.
Prestasi akademik adalah hasil pendidik terhadap proses belajar dan hasil
belajar siswa (Atkinson et al. 2000). Effendi (2012) menyatakan bahwa ada
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik, di antaranya status
gizi, faktor psikologi (minat, bakat, motivasi), faktor sosial, dan pendekatan
belajar (metode dan strategi belajar). Menurut Agustini et al. (2013), selain status
gizi, faktor genetik, dan lingkungan bisa menjadi faktor yang mempengaruhi
prestasi akademik. Namun, faktor lingkungan yang paling banyak berpengaruh
pada prestasi akademik.
Faktor sosial yang mempengaruhi prestasi akademik anak meliputi umur
orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga
yang dimasukkan dalam karakteristik keluarga. Pendapatan per kapita keluarga
menggambarkan tingkat sosial ekonomi keluarga. Kemiskinan akan menyebabkan
keterbatasan keluarga dalam menyediakan berbagai fasilitas bermain sehingga
dapat menyebabkan otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat
menghambat perkembangannya. Menurut Puspitasari (2008) bahwa semakin
tinggi pendapatan keluarga, maka pola asuh belajar yang diberikan orang tua
semakin baik sehingga prestasi akademik anak semakin baik pula.
Anak-anak stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk
tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat
dan lebih rentan terhadap penyakit (Horton dan Steckel 2013). Kemungkinan hal
yang diteliti adalah riwayat status kesehatan. Anak-anak biasanya aktif bermain
dan berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah. Hal itu membuat anak-anak
menjadi mudah untuk terkena penyakit, misalnya diare. Karakteristik anak yang
terdiri atas usia dan jenis kelamin mempengaruhi kekebalan tubuh anak. Pada
aspek usia, semakin bertambahnya usia anak, daya tahan tubuh anak biasanya
semakin meningkat. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki
biasanya memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat daripada anak perempuan.
Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
6
Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel tidak diteliti
= Hubungan antar variabel yang dianalisis
= Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan status gizi dengan status kesehatan
Riwayat
pemberian
ASI pada anak
Asupan
- TKE & zat gizi
lain
Status Kesehatan
Status Gizi (TB/U)
Karakteristik keluarga:
- Besar keluarga
- Umur orang tua
- Pendidikan orang tua
- Pekerjaan orang tua
- Pendapatan orang tua
Prestasi
Akademik
Karakteristik
anak:
- Jenis kelamin
- Umur
- Urutan Lahir
- Uang Saku
Faktor genetik:
- Tinggi badan ibu
Konsumsi
Pangan:
- Jenis Pangan
- Frekuensi
- Jumlah
7
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian
dilakukan di SD Sukamakmur 01 dan 02, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten
Bogor yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan cukup banyaknya
kejadian anak sekolah dasar yang stunting di daerah tersebut. Penelitian
berlangsung di bulan Januari-Februari 2015.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Teknik pemilihan SD dilakukan secara purposive. Populasi dalam penelitian
ini adalah anak SD kelas 4, 5, dan 6. Penentuan contoh dilakukan dengan
penerapan kriteria inklusi, yaitu contoh memiliki ibu yang tinggal dalam satu
rumah, tinggal di Desa Sukamakmur, serta ibu dan contoh bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Jumlah minimal contoh yang digunakan
berdasarkan perhitungan dari rumus Lemeshow dan David (1997).
n = (Z2
1-α/2 x p x q x N) / (d2 (N-1)+ Z
21-α/2 x p x q)
n = [1.962 x 0.342 x (0.658) x 261] / [0.15
2 x (261-1)+(1.96
2 x 0.342 x 0.658)]
n = 33.60
Keterangan:
n = besar contoh yang akan diteliti
Z21-α/2 = nilai z skor pada 1-α/2 dengan tingkat kepercayaan 95% (1.96)
p = estimasi prevalensi stunting di Jawa Barat, yaitu sebesar 34.2% (Riskesdas 2010)
N = total populasi contoh
d = ketelitian atau presisi, yaitu 15%.
Berdasarkan perhitungan, maka contoh minimal yang dibutuhkan adalah 34
contoh untuk masing-masing kelompok anak stunting dan normal. Untuk
mengantisipasi jika terjadi drop out pada masing-masing kelompok, maka jumlah
minimal contoh ditambah sebanyak 10%. Jadi, jumlah minimal untuk masing-
masing kelompok adalah 38 contoh sehingga total contoh dalam penelitian ini
adalah 76 contoh. Kerangka pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 2.
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan siswa kelas 4, 5, dan 6
sebagai contoh adalah pada kelas 4, 5, dan 6 anak berada pada tahap kemampuan
komunikasi, penggunaan bahasa dan pengembangan pemikiran logis, sedangkan
pada tahap sebelumnya, yakni kelas 1, 2 dan 3 anak berada pada tahap
pengembangan membaca, menulis dan kemampuan matematik. Berdasarkan hal
tersebut, diharapkan pada tahap kedua yakni ketika berada di kelas 4, 5, dan 6,
siswa telah menguasai tugas perkembangan di tahap pertama sekolah dasar
sehingga memudahkan pelaksanaan penelitian. Selain itu, siswa kelas 4, 5, dan 6
sudah mulai aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan sehingga hal tersebut dapat
dijadikan sebagai acuan yang berkaitan dengan status kesehatan anak.
8
drop out (n=28) drop out (n=25)
Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
mencakup karakteristik keluarga, karakteristik anak, status gizi anak, status
kesehatan anak/riwayat penyakit anak, dan frekuensi konsumsi pangan anak.
Pengambilan data dilakukan melalui metode pengamatan langsung dan
wawancara menggunakan kuesioner kepada anak dan ibu anak, serta pengukuran
langsung kepada anak-anak. Data sekunder adalah prestasi akademik, data
mengenai kondisi umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi
masyarakat yang diperoleh dari data sekolah dan kantor desa setempat.
Karakteristik keluarga terdiri atas besar keluarga, umur orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita keluarga, besar
keluarga, dan tinggi badan ibu. Karakteristik anak meliputi usia, jenis kelamin
anak, urutan lahir anak, dan uang saku.
Total populasi kelas 4, 5, 6
N = 261
SD Sukamakmur 01
n = 131
SD Sukamakmur 02
n = 130
Normal
n = 74
Stunting
n = 29
Normal
n = 70
Stunting
n = 35
Pemilihan sampel berdasarkan
kriteria inklusi dan Simple
Randomized Sampling
Normal
n = 19
Kelas 4 = 8
Kelas 5 = 7
Kelas 6 = 4
Stunting
n = 19
Kelas 4 = 6
Kelas 5 = 7
Kelas 6 = 6
Normal
n = 19
Kelas 4 = 5
Kelas 5 = 8
Kelas 6 = 6
Stunting
n = 19
Kelas 4 = 6
Kelas 5 = 9
Kelas 6 = 4
SD Sukamakmur 01 SD Sukamakmur 02
9
Status kesehatan anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak
dalam satu bulan terakhir, serta lama dan frekuensi sakitnya. Data pola asuh
makan anak meliputi riwayat pemberian ASI pada anak. Sedangkan frekuensi
konsumsi pangan menggambarkan kebiasaan konsumsi pangan yang penting bagi
tumbuh kembang anak, dalam satu bulan terakhir. Data status gizi anak
dikumpulkan menggunakan data antropometri melalui pengukuran tinggi badan.
Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Variabel Indikator Cara pengumpulan
data
Primer
Karakteristik
Keluarga
- umur orang tua
- pendidikan orang tua
- pekerjaan orang tua
- pendapatan per kapita
keluarga
Wawancara
dan
Antropometri
- besar keluarga
- tinggi badan ibu
Karakteristik Anak - usia
- jenis kelamin anak
- uang saku
Wawancara
Status Kesehatan
Anak
- jenis penyakit yang dialami
anak dalam satu bulan
terakhir
- lama sakit
- frekuensi sakit
Wawancara
Pola Asuh Makan Riwayat Pemberian ASI pada anak Wawancara
Konsumsi Pangan Food Recall 2x24 jam Wawancara
Kebiasaan konsumsi pangan dalam
satu bulan
Wawancara
Antropometri - TB/U Antropometri
Sekunder
Prestasi Akademik Nilai ujian enam bulan terakhir Data Sekolah
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan Microsoft
Excel 2007 dan Statistical Packages for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0 for
windows. Berat badan dan tinggi badan anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai
terstandar (z-skor) dengan menggunakan software WHO Anthro plus. Kemudian
dibandingkan menurut indeks TB/U dan IMT/U untuk anak usia 5-19 tahun.
Status gizi berdasarkan indeks TB/U adalah sangat pendek (z-skor < -3 SD),
pendek (-3SD ≤ z-skor < -2SD), normal (z-skor ≥ -2SD). Status gizi berdasarkan
indeks IMT/U adalah sangat kurus (z-skor < -3SD), kurus (-3 SD ≤ z-skor < -2
SD), normal (-2 SD ≤ z-skor < +2 SD), dan gemuk (z-skor ≥ +2 SD) (WHO
10
2007). Data uang saku per hari dikategorikan menjadi kecil (≤ Rp4 000) dan besar
(> Rp4 000) sesuai dengan rataan dari seluruh contoh.
Karakteristik keluarga meliputi usia orang tua, tinggi badan ibu, besar
keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua, serta pendapatan per kapita
keluarga. Usia orang tua dikelompokkan dewasa muda (20-29 tahun), madya (30-
49 tahun), dan lanjut (≥ 50 tahun) (WNPG 2004). Tinggi badan ibu dikategorikan
menjadi < 145 cm dan ≥ 145 cm (ACC/SCN 1992). Besar keluarga
dikelompokkan berdasarkan kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), besar (≥ 8
orang) (BKKBN 1997). Pendidikan dan pekerjaan orang tua dikelompokkan
berdasarkan jenjang pendidikan dan pekerjaan. Pendapatan keluarga
dikelompokkan menjadi miskin (≤ Rp285 076) dan tidak miskin (> Rp285 076)
(BPS 2014).
Asupan energi dan zat gizi diperoleh dari metode food recall 2x24 jam dan
dibandingkan dengan AKG 2013 untuk mendapatkan tingkat kecukupan energi
dan zat gizi. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan
zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah (Hardinsyah dan Briawan 1994):
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:
KGij = Penjumlahan energi dan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan
yang dikonsumsi
Bj = Berat bahan makanan j (gram)
Gij = Kandungan energi dan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan
Tingkat kecukupan merupakan persentase konsumsi aktual anak dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Secara umum tingkat kecukupan
zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):
TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi i
AKGi = Kecukupan energi dan zat gizi i yang dianjurkan
Ki = Konsumsi energi dan zat gizi i
Kategori tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi
defisit (< 90%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥ 120%) (Depkes 2003).
Kategori vitamin dan mineral dikelompokkan menjadi kurang (< 77%) dan cukup
(≥ 77%) (Gibson 2005). Selain itu, frekuensi konsumsi pangan diperoleh dari
metode Food Frequency Questionaires (FFQ) melalui pengisian kuesioner oleh
contoh yang mendapat penjelasan dan bimbingan dalam pengisiannya.
Status kesehatan diperoleh dari data frekuensi dan lama sakit yang
dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung. Kategori tingkat
morbiditas (frekuensi dan lama sakit) dapat dikelompokkan menjadi rendah (≤
nilai median) dan tinggi (> nilai median) (Untoro et al. 2005). Frekuensi sakit
dikategorikan rendah jika ≤ 2x/bulan sedangkan lama sakit ≤ 7 hari. Prestasi
akademik dilihat dari rata-rata nilai ujian mata pelajaran pada semester ganjil
tahun ajaran 2014/2015, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.
Rata-rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang (< 60), cukup
(60-69), lebih dari cukup (70-79), dan baik (≥ 80) (Depdiknas 2008).
11
Analisis univariat (deskriptif) dilakukan terhadap semua variabel. Uji beda
dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney untuk data yang tidak tersebar
normal sedangkan uji T-test untuk data yang tersebar normal. Analisis bivariat,
yaitu menganalisis keberadaan hubungan yang dilakukan dengan uji korelasi.
Data yang tersebar normal menggunakan uji hubungan Pearson, sedangkan data
yang tidak tersebar normal menggunakan uji hubungan Spearman.
Definisi Operasional
Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun. Contoh dalam penelitian
berada pada kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar.
Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh
hubungan pernikahan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri atas ayah,
ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap.
Pekerjaan Orang Tua adalah pekerjaan utama orang tua (ayah dan ibu) yang
memberikan penghasilan bagi keluarga.
Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah
diikuti ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat
belajar/ijazah, tanpa memperhitungkan lama tinggal kelas. Pendidikan orang
tua dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan
Perguruan Tinggi.
Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari
pendapatan utama dan tambahan orang tua.
Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri atas keluarga kecil
(<4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang).
Status Kesehatan Anak adalah ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita
oleh anak dalam satu bulan terakhir serta lama dan frekuensi sakitnya.
Pola Asuh Makan Anak adalah kemampuan orang tua (pengasuh) dalam
pemberian ASI pada anak.
Frekuensi Konsumsi Pangan adalah kebiasaan konsumsi masing-masing jenis
pangan sumber protein hewan dalam satu bulan terakhir.
Prestasi Akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi
pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai ujian
enam bulan terakhir dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika,
IPA, dan IPS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Sukamakmur merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan sebagai ibu kota
Kecamatan Sukamakmur. Desa Sukamakmur di sebelah utara berbatasan dengan
dengan Desa Sukajaya, Kecamatan Jonggol, di sebelah timur Desa Sukamakmur
berbatasan dengan Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, di sebelah selatan
12
Desa Sukamakmur berbatasan dengan Kecamatan Cisarua dan Kecamatan
Megamendung sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibadak dan
Desa Pabuaran. Jarak tempuh dari desa Sukamakmur ke pusat fasilitas terdekat
adalah ± 12 Km, jarak ke kantor kecamatan adalah ± 0.5 Km, jarak ke ibu kota
kabupaten ± 31 Km, sedangkan jarak ke ibu kota propinsi ± 120 Km, dan jarak ke
ibu kota negara ± 64 Km.
Luas wilayah Desa Sukamakmur adalah ± 1 643.61 ha2. Wilayah Desa
Sukamakmur terdiri atas perumahan/pemukiman dan pekarangan, persawahan,
ladang/ hutan, perkebunan rakyat, kehutanan, kolam/tambak, sungai, pasar,
lapangan olah raga, perbukitan, tempat pemakanan umum, dan lain-lain. Desa
Sukamakmur terbagi menjadi 4 dusun yang terdiri atas 8 RW (Rukun Warga) dan
18 RT (Rukun Tetangga). Struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa
terdiri atas pemerintahan Desa Sukamakmur, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
dan kependudukan. Pemerintahan Desa Sukamakmur terdiri atas kepala desa,
sekertaris desa, kepala dusun, P3N, dan anggota BPD. Sedangkan lembaga
kemasyarakatannya ada anggota LPM, TP PKK, LINMAS, ketua RT dan RW.
Data kependudukan sampai dengan akhir bulan Maret 2014 meliputi jumlah
penduduk di Desa Sukamakmur adalah 6 458 orang yang terdiri atas penduduk
laki-laki sebanyak 3 223 dan penduduk perempuan sebanyak 3 235. Kepala
Keluarga di desa ini berjumlah 2 029 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk
desa Sukamakmur beragama islam dan hanya beberapa orang yang beragama
khatolik. Mata pencaharian penduduk Desa Sukamakmur umumnya adalah petani
baik petani padi, kopi, pisang, cengkeh, palawija, petani serabutan, dan petani
perikanan. Selain petani, mata pencaharian lain di Desa Sukamakmur antara lain
pedagang seperti pedagang sembako, nasi, kelontong, alat bangunan, dan lain-
lain. Kemudian, ada peternak di antaranya peternak sapi, kambing, dan ikan.
Selain itu, pekerjaan lainnya adalah wiraswasta, pengrajin, tukang bagunan,
penjahit, tukang ojek, sopir, bengkel, dan buruh pabrik. Data pemerintahan Desa
Sukamakmur tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk berdasarkan
pendidikan yang ditamatkan yaitu sebanyak 670 orang tidak tamat SD, 563 orang
tamat SD, 502 orang tamat SMP, 405 orang tamat SMA, 3 orang tamat akademi, 9
orang sarjana muda, dan 7 orang tamat perguruan tinggi. Data tersebut
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Desa Sukamakmur cukup rendah.
Beberapa sarana telah ada di Desa Sukamakmur, di antaranya sarana
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, sarana
umum, dan fasilitas perekonomian/perdagangan. Sarana kesehatan yang ada di
Desa Sukamakmur adalah puskesmas sebanyak 1 buah, posyandu 6 buah, tenaga
bidan 1 orang, bidan desa 1 orang, dan 3 dokter termasuk di antaranya dokter
puskesmas dan dokter gigi. Puskesmas yang terdekat merupakan UPT Puskesmas
kecamatan Sukamakmur. Jumlah posyandu di Desa Sukamakmur adalah 6 buah
posyandu yang terdiri atas posyandu Mawar 1 sampai dengan Mawar 6.
Posyandu ini terlaksana berkat bantuan para kader yang berjumlah sekitar 34
orang dan 1 orang bidan desa. Sarana pendidikan di Desa Sukamakmur terdiri atas
3 TK/ PAUD, 5 SD/ MI, 5 Madrasah Diniah, 2 SLTP/ MTS, dan 8 Pondok
Pesantren. Sarana pemerintahan terdiri atas 1 unit gedung kantor desa, 1 unit
gedung kantor BPD, 5 Pos Kamling, dan 1 Pos Kamdes. Fasilitas perekonomian
di Desa Sukamakmur terdiri atas pasar desa, terminal bayangan, toko, kios pupuk,
toko material, warung/kios, dan sebagainya.
13
Menurut data kesehatan Desa Sukamakmur tahun 2013, cakupan
pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di Desa Sukamakmur adalah K/S
(58.8%), D/S (58.1%), N/S (52.6%) dan N/D (94.4%). Artinya banyaknya bayi
yang datang ke posyandu dan ditimbang serta tingkat partisipasi kegiatan
posyandu masih rendah. Berdasarkan data BPB (Bulan Penimbangan Balita)
tahun 2013 diketahui balita gizi sangat kurang sebesar 1.3%, balita gizi kurang
sebesar 5.7%, gizi normal 90.7%, dan gizi lebih sebesar 2.3%.
Masalah kesehatan lain di Desa Sukamakmur adalah masalah kesehatan
lingkungan, terutama dalam rumah sehat, sarana air bersih (SAB), jamban
keluarga (JAGA), dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Berdasarkan data
tahun 2013, cakupan rumah sehat hanya mencapai 18%, saluran air besih sebesar
80%, jamban keluarga sebesar 25%, dan saluran pembuangan air limbah sebesar
18%. Artinya, di Desa Sukamakmur masih perlu adanya sosialisasi terkait dengan
kesehatan lingkungan terutama lingkungan keluarga.
Karakteristik Contoh
Subjek dalam penelitian ini adalah anak SD kelas 4, 5, dan 6. Karakteristik
contoh yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, dan uang
saku. Subjek yang diamati sebanyak 76 orang yang berasal dari dua sekolah yang
berbeda, yaitu SD Sukamakmur 01 dan SD Sukamakmur 02.
Usia
Rata-rata usia baik pada contoh stunting dan normal adalah 11 tahun.
Proporsi usia 12-14 tahun pada contoh stunting (42%) lebih banyak daripada
contoh normal (31%). Hasil menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
prevalensi stunting akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan usia,
walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia kedua kelompok
contoh (p > 0.1) (Tabel 3). Hasil ini sejalan dengan penelitian Arifin (2015)
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia kelompok stunting dan
normal. Akan tetapi, hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Yasmin et al.
(2014) dan Friedman et al. (2005) bahwa peningkatan prevalensi kejadian
stunting berbanding lurus dengan peningkatan usia. Hasil analisis Yasmin et al.
(2014) menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, maka rata-rata nilai z-skor
TB/U akan semakin menjauh dari nilai mediannya. Sebaran usia contoh dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi
Karakteristik Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
8-9 tahun 1 2.6 4 10.5 5 6.6
0.140 10-12 tahun 28 73.7 30 79.0 58 76.3
13-14 tahun 9 23.7 4 10.5 13 17.1
Total 38 100 38 100 76 100
Median (Min, Max) 11 (9,14) 11 (8,14) 11 (8,14) 1)
uji Mann-Whitney
14
Usia pada contoh stunting lebih dewasa dibandingkan dengan contoh
normal. Hal ini dapat menunjukkan bahwa terdapat contoh stunting yang
mengalami keterlambatan usia masuk sekolah dan tidak naik kelas. Hal tersebut
sesuai dengan analisis Daniels dan Adair (2004) bahwa anak stunting
berhubungan dengan keterlambatan usia masuk sekolah, tidak naik kelas, prestasi
belajar rendah, dan drop out.
Jenis Kelamin
Presentase jumlah anak perempuan dan laki-laki pada analisis ini hampir
sama, yaitu perempuan sebesar 48.7% dan laki-laki sebesar 51.3%. Proporsi
perempuan pada contoh normal (47.4%) lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki
(52.6%). Berbeda dengan contoh stunting, proporsi perempuan dan laki-laki sama
besar, yaitu 50%. Sebaran jenis kelamin contoh dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi
Karakteristik Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
Laki-laki 19 50 20 52.6 39 51.3 0.818
Perempuan 19 50 18 47.4 37 48.7
Total 38 100 38 100 76 100 1)
uji chi-square
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antar jenis kelamin kedua kelompok (p > 0.1). Hal ini sejalan dengan hasil analisis
Arifin (2015) dan Dekker et al. (2010) bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara stunting dengan jenis kelamin anak. Namun, berbeda dengan
Yasmin et al. (2014) dan El Hioui et al. (2011) di mana prevalensi stunting lebih
tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dan memiliki perbedaan
yang signifikan.
Uang Saku
Uang saku merupakan uang yang diterima siswa setiap hari saat masuk
sekolah dari orang tua sebagai pegangan untuk jajan di sekolah. Rata-rata uang
saku pada contoh stunting sebesar Rp3 000 lebih kecil dibandingkan contoh
normal, yaitu sebesar Rp4 000. Uang saku contoh dibagi menjadi dua kategori,
yaitu kecil (≤ Rp4 000) dan besar (> Rp4 000). Pengkategorian uang saku contoh
dibuat berdasarkan rataan dari seluruh contoh. Sebaran uang saku contoh dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
Kecil (≤ Rp4 000) 26 68.4 21 55.3 47 61.8 0.228
Besar (> Rp4 000) 12 31.6 17 44.7 29 38.2
Total 38 100 38 100 76 100
Median (Min, Max) 3 000 (2
000, 10 000)
4 000 (2
000, 10 000)
3 000 (2
000, 10 000)
1) uji Mann-Whitney
15
Proporsi uang saku pada contoh stunting yang termasuk ke dalam kategori
kecil (68.4%) lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (55.3%). Hasil
analisis menunjukkan bahwa hasil uji beda Mann-Whitney tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan pada uang saku antar kedua kelompok (p >
0.1). Namun, terdapat kecenderungan bahwa pada contoh stunting memiliki uang
saku yang lebih kecil daripada contoh normal. Hal tersebut diperkuat oleh
kenyataan sebagian besar rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting
termasuk ke dalam kategori miskin (65.8%). Hasil ini sejalan dengan penelitian
Arifin (2015) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara dua kelompok dengan uang saku.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi (Almatsier 2006). Penilaian status gizi secara antropometri
dapat menggunakan tiga indikator status gizi, yaitu berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Stunting dapat dinyatakan dengan nilai z-skor tinggi badan
menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan WHO (2007). Sebaran kategori status gizi contoh dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
n % n % n %
Tinggi badan (cm) 0.000
1)
Rata-rata±SD 131.1±7.1 138.4±9.9 134.7±9.3
TB/U 0.000
2)
Median (Min, Max) -2.0 (-3,-2) -1.0 (-1,1) -1.5 (-3,1)
IMT/U
Sangat kurus 1 2.6 0 0 1 1.3
0.9132)
Kurus 2 5.3 1 2.6 3 4.0
Normal 35 92.1 37 97.4 72 94.7
Total 38 100 38 100 76 100
Median (Min, Max) 0.0 (-3.0,0.0) 0.0 (-2.0,1.0) 0.0 (-3.0,1.0) 1)
uji t; 2)
uji Mann-Whitney
Tabel 5 menunjukkan bahwa contoh stunting memiliki rata-rata tinggi badan
sebesar 131.1±7.1 cm adalah signifikan lebih rendah 7 (tujuh) cm dari rata-rata
tinggi badan contoh normal sebesar 138.4±9.9 cm (p < 0.1). Selain itu, rata-rata
nilai z-skor TB/U contoh stunting (-2.0 SD) signifikan lebih rendah daripada
contoh normal (-1.0 SD) (p < 0.1). Arifin (2015) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata tinggi badan contoh stunting dan
contoh normal serta terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai z-
skor TB/U contoh stunting dan contoh normal pada anak usia 10-13 tahun. Hasil
yang serupa diperoleh Yasmin et al. (2014) yang menunjukkan bahwa rata-rata
tinggi badan dan nilai z-skor TB/U contoh stunting signifikan lebih rendah
16
daripada contoh normal pada anak usia 6-12 tahun di delapan provinsi di
Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Barat, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali.
Pada indeks IMT/U, terdapat contoh stunting yang termasuk dalam kategori
sangat kurus sebesar 2.6% dan kurus sebesar 5.3%. Berbeda dengan contoh
normal, hanya sebesar 2.6% yang termasuk dalam kategori kurus dan sisanya
masuk dalam kategori normal (97.4%). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai z-
skor IMT/U contoh stunting tidak memiliki perbedaan yang signifikan (p > 0.1)
dengan contoh normal. Hasil ini sejalan dengan Jinabhai et al. (2003) yang
menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara stunting dengan overweight
pada anak usia 8-11 tahun di Afrika Selatan. Namun, berbeda halnya dengan
Arifin (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara status gizi IMT/U dengan stunting. Hal ini diduga karena sebagian besar
contoh stunting memiliki tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang masih
tergolong defisit sehingga tidak akan menyebabkan contoh menjadi overweight.
Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Karakteristik keluarga yang
diamati dalam penelitian ini adalah usia orang tua, pendidikan orang tua,
pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan per kapita, dan tinggi badan ibu.
Usia Orang Tua
Rata-rata usia ayah dan ibu keseluruhan contoh adalah 45 tahun dan 37
tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa usia ayah dan ibu pada contoh stunting
dan normal tidak terdapat perbedaan (p > 0.1). Usia orang tua dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu dewasa muda (20-29 tahun), madya (30-49 tahun), dan lanjut
(≥ 50 tahun). Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
n % n % n %
Usia ayah
0.1461)
Dewasa muda 2 5.3 1 2.6 3 4.0
Dewasa madya 23 60.5 30 79.0 53 69.7
Dewasa lanjut 13 34.2 7 18.4 20 26.3
Median (Min,
Max)
45.5(25,70) 41.5 (27,70) 45 (25,70)
Usia ibu
0.6342)
Dewasa muda 6 15.8 6 15.8 12 15.8
Dewasa madya 29 76.3 31 81.6 60 78.9
Dewasa lanjut 3 7.9 1 2.6 4 5.3
Rata-rata±SD 36.9±8.0 36.2±6.3 36.6±7.2
Total 38 100 38 100 76 100 1)
uji Mann-Whitney; 2)
uji t
17
Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata usia orang tua pada contoh stunting
lebih tua daripada contoh normal. Proporsi usia ayah pada contoh stunting yang
termasuk dalam kategori dewasa lanjut (34.2%) hampir 2 kali lipat lebih besar
daripada contoh normal (18.4%), walaupun hasil analisis uji Mann-Whitney tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar dua kelompok tersebut (p >
0.1). Begitu pula dengan usia ibu pada contoh stunting yang termasuk dalam
kategori dewasa lanjut (7.9%) lebih besar daripada contoh normal (2.6%),
walaupun hasil analisis uji T-test tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antar dua kelompok tersebut (p > 0.1).
Hasil analisis ini sejalan dengan Arifin (2015) dan Yasmin et al. (2014)
bahwa usia orang tua pada kelompok contoh stunting dan normal tidak memiliki
perbedaan yang signifikan. Dekker et al. (2010) juga menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan stunting pada anak usia sekolah
di Kolombia.
Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu karakteristik penting
yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga contoh. Tingkat
pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak. Pendidikan ayah dan
ibu pada contoh stunting maksimal berada pada jenjang SMA, sementara
pendidikan ayah dan ibu pada contoh normal maksimal berada pada jenjang
perguruan tinggi. Sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
Ayah
0.867
Tidak sekolah 6 15.8 8 21.1 14 18.4
SD 23 60.5 23 60.5 46 60.5
SMP 7 18.4 3 7.9 10 13.2
SMA 2 5.3 3 7.9 5 6.6
PT 0 0 1 2.6 1 1.3
Ibu
0.716
Tidak sekolah 4 10.5 7 18.4 11 14.5
SD 29 76.3 23 60.5 52 68.4
SMP 5 13.2 5 13.2 10 13.2
SMA 0 0 1 2.6 1 1.3
PT 0 0 2 5.3 2 2.6
Total 38 100 38 100 76 100 1)
uji Mann-Whitney
Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi ayah (21.1%) dan ibu (18.4%) pada
contoh normal yang tidak bersekolah lebih banyak daripada contoh stunting.
Selain itu, proporsi antara ayah dan ibu pada kedua kelompok yang berpendidikan
hanya sampai SD sama besar yaitu 60.5%, kecuali proporsi ibu pada contoh
stunting sebesar 76.3%. Hasil analisis uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tingkat pendidikan orang tua kedua
kelompok (p > 0.1). Hasil ini berbeda dengan kajian dari Arifin (2015) dan
18
Yasmin et al. (2014) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu
pada contoh stunting signifikan lebih rendah daripada contoh normal. Senbanjo et
al. (2011) juga mengatakan bahwa prevalensi stunting signifikan lebih tinggi pada
anak yang orang tuanya berpendidikan rendah.
Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi pendapatan keluarga yang akan
berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Pekerjaan ayah dan ibu tersebar di
berbagai bidang, yaitu tidak bekerja, buruh tani/petani, jasa (tukang ojek, tukang
cukur, tukang jahit, dsb), PNS/TNI, pegawai swasta, pedagang/wiraswasta, dan
lainnya (buruh bangunan). Sebagian besar pekerjaan ayah kedua kelompok
bekerja sebagai buruh tani/petani dengan proporsi sebesar 63.2% pada contoh
stunting dan 52.6% pada contoh normal. Lain halnya dengan ayah, sebagian besar
ibu dari kedua kelompok lebih memilih tidak bekerja atau lebih memilih menjadi
ibu rumah tangga saja dengan proporsi yang sama besar, yaitu 57.9%. Proporsi
ibu yang lebih banyak memilih tidak bekerja juga ditemui oleh Arifin (2015) dan
Yasmin et al. (2014). Proporsi ayah pada contoh stunting yang tidak bekerja
sebesar 10.5%, sedangkan pada contoh normal tidak terdapat ayah yang tidak
bekerja (0%). Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi
dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total
n % n % n %
Ayah
Tidak bekerja 4 10.5 0 0 4 5.3
Buruh tani/petani 24 63.2 20 52.6 44 57.9
Jasa 0 0 2 5.3 2 2.6
PNS/TNI 0 0 1 2.6 1 1.3
Karyawan 2 5.3 2 5.3 4 5.3
Pedagang/wiraswasta 8 21.0 9 23.7 17 22.3
Lainnya 0 0 4 10.5 4 5.3
Ibu
Tidak bekerja 22 57.9 22 57.9 44 57.9
Buruh tani/petani 10 26.3 9 23.7 19 25.0
Jasa 1 2.6 1 2.6 2 2.6
PNS/TNI 0 0 2 5.3 2 2.6
Karyawan 0 0 0 0 0 0
Pedagang/wiraswasta 5 13.2 4 10.5 9 11.9
Lainnya 0 0 0 0 0 0
Total 38 100 38 100 76 100
Hasil juga menunjukkan bahwa tingkat pekerjaan ayah cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat pekerjaan ibu. Hal tersebut diduga karena
proporsi pendidikan ibu pada jenjang ≤ SMP (96.1%) lebih banyak dibandingkan
ayah (92.1%). Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan ibu lebih rendah daripada
pendidikan ayah.
19
Besar Keluarga
Besar kelurga menggambarkan jumlah keseluruhan anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah dan tercatat dalam kartu keluarga. Besar keluarga
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga
sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Sebaran besar keluarga contoh
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
Kecil 11 29.0 16 42.1 27 35.5
0.232 Sedang 19 50.0 16 42.1 35 46.1
Besar 8 21.0 6 15.8 14 18.4
Total 38 100 38 100 76 100
Median (Min, Max) 6 (3,12) 5 (4,12) 5 (3,12) 1)
uji Mann-Whitney
Tabel 9 menunjukkan bahwa proporsi keluarga besar pada contoh stunting
(21.0%) lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (15.8%). Selain itu,
proporsi keluarga kecil pada contoh stunting (29.0%) lebih kecil daripada contoh
normal. Hal ini menggambarkan bahwa prevalensi stunting cenderung terdapat
pada keluarga yang berjumlah lebih dari 4 orang, walaupun hasil uji Mann-
Whitney tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar besar keluarga kedua
kelompok (p > 0.1). Hasil ini sejalan dengan Arifin (2015) bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar besar keluarga kedua kelompok contoh. Namun,
berbeda dengan Yasmin et al. (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata besar
keluarga contoh sunting signifikan lebih besar daripada contoh normal. Begitu
pula dengan hasil analisis Senbanjo et al. (2010) bahwa prevalensi stunting
signifikan lebih tinggi pada keluarga yang jumlah anggotanya banyak.
Pendapatan per Kapita
Pendapatan orang tua merupakan penghasilan yang didapatkan orang tua per
bulan untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Pendapatan orang tua yang didapat
selama sebulan dikonversi menjadi pendapatan per kapita per bulan. Pendapatan
orang tua dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu miskin (≤ Rp285 076) dan
tidak miskin (> Rp285 076). Sebaran pendapatan orang tua contoh dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-
value1)
n % n % n %
Miskin 25 65.8 18 47.4 43 56.6
0.075 Tidak
miskin
13 34.2 20 52.6 33 43.4
Total 38 100 38 100 76 100
Median
(Min, Max)
225 000 (71 429,
1 666 667)
300 000 (100
000, 1 500 000)
250 000 (71 429,
1 666 667)
1) uji Mann-Whitney
20
Tabel 10 menunjukkan bahwa proporsi keluarga yang tergolong miskin
pada kelompok stunting (65.8%) signifikan lebih besar dibandingkan pada contoh
normal (47.4%) (p < 0.1). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa prevalensi
stunting tertinggi pada keluarga yang memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Arifin (2015) bahwa rata-rata pendapatan keluarga pada
contoh stunting signifikan lebih rendah daripada contoh normal. Semba et al.
(2008) juga menemukan bahwa pendapatan yang rendah mengakibatkan keluarga
tidak dapat mengakses makanan yang dapat memenuhi kebutuhan anak.
Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor penting yang diketahui
memiliki hubungan dengan status gizi TB/U anak. Terdapat teori bahwa ibu yang
tergolong stunting akan cenderung untuk melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah. Anak yang lahir dengan berat badan rendah cenderung mengalami
gangguan pertumbuhan selama masa kanak-kanak. Perempuan dengan tinggi
badan kurang dari 145 cm dapat dikatakan mengalami stunting (ACC/SCN 1992).
Secara keseluruhan, terdapat 13.2% ibu yang tergolong pendek (TB < 145 cm).
Rata-rata tinggi badan ibu pada contoh stunting (149.8±4.9 cm) signifikan lebih
rendah 2 cm dari contoh normal (151.9±5.2 cm) (p < 0.1).
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan tinggi badan ibu dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
< 145 cm 7 18.4 3 7.9 10 13.2 0.025
≥ 145 cm 31 81.6 35 92.1 66 86.8
Total 38 100 38 100 76 100
Rata-rata±SD 149.8±4.9 151.9±5.2 150.8±5.1 1)
uji Mann-Whitney
Tabel 11 menunjukkan bahwa proporsi ibu dengan tinggi badan < 145 cm
pada contoh stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan contoh normal. Hal ini
mengindikasikan bahwa kejadian stunting dapat ditemui pada ibu dengan tinggi
badan < 145 cm. Hasil analisis ini sesuai dengan Yasmin et al. (2014) yang
menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan ibu contoh stunting signifikan lebih
rendah 1 cm daripada contoh normal. Dekker et al. (2010) dan Rona et al. (2003)
juga membuktikan bahwa prevalensi anak stunting signifikan lebih tinggi pada ibu
yang pendek.
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi
status gizi contoh. Pada penelitian ini, konsumsi pangan yang dianalisis dari segi
kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari rata-rata asupan
serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi, sedangkan kualitas konsumsi pangan
dilihat dari skor Food Frequency Questionaires (FFQ).
21
Kuantitas Konsumsi Pangan
Keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh stunting lebih
rendah daripada contoh normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antar asupan energi dan zat gizi kedua kelompok (p <
0.1). Sebaran asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi
Energi dan zat gizi Asupan
p-value Stunting Normal
Energi (kkal/hari) 1 216±168 1 633±265 0.0001)
Protein (g/hari) 30.6±5.9 41.1±6.6 0.0001)
Kalsium (mg/hari) 207.0 (56.0, 688.0) 384.3±152.2 0.0002)
Fosfor (mg/hari) 272.5 (127.0, 871.0) 535.84±186.3 0.0002)
Zat Besi (mg/hari) 8.2±2.4 10.5 (5.0, 14.0) 0.0002)
Vit A (RE/hari) 1 558.0±607.5 2 229.1±561.9 0.0001)
Vit C (mg/hari) 6.5 (0.0, 38.0) 14.0 (3.0, 31.0) 0.0002)
Zn (mg/hari) 3.0 (1.0, 7.0) 4.0 (2.0, 7.0) 0.0002)
1)
uji t; 2)
uji Mann-Whitney
Tabel 13 menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi.
Secara keseluruhan, rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh
stunting signifikan lebih rendah daripada contoh normal (p < 0.1). Hal ini sejalan
dengan penelitian Arifin (2015) dan Yasmin et al. (2014) yang menyatakan bahwa
rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh stunting
signifikan lebih rendah dibandingkan contoh normal.
Tabel 13 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan
status gizi
Energi dan
zat gizi
Tingkat kecukupan (%) p-value
Stunting Normal Rata-rata
Energi 76.5±7.5 91.0 (66.0, 103) 82.5±10.5 0.0001)
Protein 67.5 (50.0, 108.0) 80.2±12.9 74.1±14.2 0.0001)
Kalsium 16.5 (4.0, 57.0) 31.8±12.8 25.2±13.9 0.0001)
Fosfor 22.5 (13.0, 72.0) 42.5 (18.0, 109.0) 32.5 (13.0, 19.0) 0.0001)
Zat Besi 47.0 (26.0, 95.0) 66.1±19.9 57.9±19.6 0.0001)
Vit A 260.3±100.8 373.2±94.7 316.8±112.5 0.0002)
Vit C 12.0 (0.0, 77.0) 26.0 (7.0, 62.0) 21 (0.0, 77.0) 0.0001)
Zn 21.0 (12.0, 46.0) 34.5±8.5 29.2±9.8 0.0001)
1) uji Mann-Whitney;
2) uji t
Rata-rata tingkat kecukupan energi pada contoh stunting sebesar 76.5%
yang berarti termasuk kategori defisit sedang, sedangkan rata-rata tingkat
kecukupan energi pada contoh normal masuk dalam kategori normal (91.0%).
Berbeda halnya dengan tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan protein
pada contoh stunting masuk dalam kategori defisit berat (67.5%), sedangkan
tingkat kecukupan pada contoh normal masuk dalam kategori defisit ringan
(80.2%). Hal ini didukung dengan hasil analisis bahwa konsumsi lauk hewani
22
sebagai pangan sumber protein hewani signifikan lebih tinggi (p < 0.1) pada
contoh normal dibandingkan contoh stunting.
Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dan mineral kedua kelompok masih
tergolong defisit (< 77%) bahkan nilainya masih banyak yang kurang dari 50%,
kecuali vitamin A pada kedua kelompok dan zat besi pada contoh normal. Rata-
rata tingkat kecukupan vitamin A tergolong cukup (≥ 77%) bahkan nilainya
melebihi dari 100%. Hal tersebut diduga karena kedua kelompok mengonsumsi
sayuran sebagai pangan sumber vitamin A, meliputi bayam, kangkung, dan wortel
dengan frekuensi hampir 2 kali/hari. Selain itu, asupan vitamin A pada contoh
juga banyak bersumber dari minyak kelapa sawit disebabkan kedua kelompok
sering mengonsumsi pangan dan jajanan gorengan (tahu goreng, tempe goreng,
dan bakwan) sebanyak 1 kali/hari.
Tabel 14 menunjukkan bahwa proporsi contoh stunting dengan tingkat
kecukupan energinya tergolong normal (5.3%) 10 kali lebih kecil daripada contoh
normal (57.9%). Begitu pula dengan tingkat kecukupan protein. Proporsi contoh
stunting dengan tingkat kecukupan proteinnya tergolong normal (7.9%) 3 kali
lebih kecil daripada contoh normal (23.7%). Sebagian dari contoh stunting
(55.3%) tingkat kecukupan proteinnya tergolong defisit berat. Tingkat kecukupan
vitamin dan mineral hampir keseluruhan dari kedua kelompok tergolong kurang,
kecuali tingkat kecukupan vitamin A. Pada tingkat kecukupan seng, seluruh
contoh pada kedua kelompok tergolong kurang (< 77%). Hal ini diduga
underestimate karena belum semua jenis pangan diketahui kandungan seng
sehingga perhitungan asupan dan tingkat kecukupan seng hanya berdasarkan
pangan yang dikonsumsi contoh yang telah diketahui nilai kandungan seng. Hal
ini ditemukan pula oleh Yasmin et al. (2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok contoh mengalami
defisiensi multi zat gizi mikro, yaitu defisiensi zat besi, kalsium, dan fosfor.
Defisiensi zat besi dan kalsium pada kedua kelompok terjadi diduga karena
sayuran yang sering dikonsumsi mengandung fitat dan serat yang dapat
menurunkan bioavailabilitas mineral, khususnya zat besi dan kalsium. Selain itu,
contoh stunting juga signifikan lebih sedikit mengonsumsi lauk hewani yang
diketahui merupakan pangan sumber zat besi heme dengan bioavailabilitas yang
lebih tinggi (p < 0.1). Hal itulah yang menyebabkan proporsi contoh stunting
dengan tingkat kecukupan besinya tergolong cukup (5.3%) hampir 7 kali lebih
sedikit dibandingkan dengan contoh normal (34.2%). Tidak hanya itu saja. Hal ini
terjadi diduga karena kedua kelompok contoh sering mengonsumsi teh kemasan 1
kali/hari yang mengandung tanin yang diduga dapat mengganggu penyerapan zat
besi dan kalsium. Hurrel et al. (1999) menyatakan bahwa penyerapan zat besi dan
kalsium dapat terganggu karena konsumsi teh yang mengandung tanin dalam
jumlah yang cukup sering.
Tingkat kecukupan fosfor pada seluruh contoh stunting tergolong kurang
(100%), sedangkan pada contoh normal terdapat 7.9% yang tergolong cukup. Hal
ini diduga karena contoh normal lebih banyak mengonsumsi lauk hewani, seperti
ikan tongkol, ikan mas, dan hati sapi yang merupakan pangan sumber fosfor (p <
0.1). Fosfor sangat penting dalam pertumbuhan tulang anak (Frongillo 1999).
Berbeda dengan tingkat kecukupan mineral, proporsi contoh stunting
dengan tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong cukup mencapai 97.4%,
sedangkan proporsi contoh normal mencapai 100%. Namun, proporsi contoh
23
stunting dengan tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong cukup (2.6%) lebih
besar daripada contoh normal (0%). Vitamin A dan C mempengaruhi fungsi
imunitas sehingga defisiensi vitamin A dan C dapat meningkatkan risiko stunting
(Eckhardt 2006). Berikut ini adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat
kecukupan energi, zat gizi, dan status gizi yang disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi
Variabel Stunting Normal Total
n % n % n %
Tk. kecukupan energi
Normal 2 5.3 22 57.9 24 31.6
Defisit tingkat ringan 12 31.6 10 26.3 22 28.9
Defisit tingkat sedang 16 42.1 4 10.5 20 26.3
Defisit tingkat berat 8 21.0 2 5.3 10 13.2
Tk. kecukupan protein
Normal 3 7.9 9 23.7 12 15.8
Defisit tingkat ringan 2 5.3 11 28.9 13 17.1
Defisit tingkat sedang 12 31.6 9 23.7 21 27.6
Defisit tingkat berat 21 55.2 9 23.7 30 39.5
Tk. kecukupan kalsium
Cukup 0 0 0 0 0 0
Kurang 38 100 38 100 76 100
Tk. kecukupan fosfor
Cukup 0 0 3 7.9 3 3.9
Kurang 38 100 35 92.1 73 96.1
Tk. kecukupan Fe
Cukup 2 5.3 13 34.2 15 19.7
Kurang 36 94.7 25 65.8 61 80.3
Tk. kecukupan vit A
Cukup 37 97.4 38 100 75 98.7
Kurang 1 2.6 0 0 1 1.3
Tk. kecukupan vit C
Cukup 1 2.6 0 0 1 1.3
Kurang 37 97.4 38 100 75 98.7
Tk. kecukupan Zn
Cukup 0 0 0 0 0 0
Kurang 38 100 38 100 76 100
Total 38 100 38 100 76 100
Hasil penelitian ini sesuai dengan kajian Gibson et al. (2007) yang
menganalisis 567 anak usia 6-13 tahun di Thailand. Gibson et al. (2007)
menyatakan bahwa anak laki-laki stunting memiliki rata-rata asupan energi,
protein, kalsium, fosfor, dan seng yang lebih rendah daripada anak laki-laki
normal. Lee et al. (2012) juga mengatakan bahwa asupan protein, lemak, kalsium,
dan zat besi anak pendek lebih sedikit daripada anak normal berdasarkan
penelitiannya pada 143 anak usia 2-14 tahun di Korea Selatan. Namun, hal ini
berbeda dengan Amare et al. (2012) yang menunjukkan bahwa anak usia sekolah
24
di Ethiopia pada kedua kelompok contoh tidak ada yang mengalami defisiensi
kalsium.
Kualitas Konsumsi Pangan
Kualitas konsumsi pangan pada penelitian ini dilihat dari skor Food
Frequency Questionaires (FFQ). Tabel 15 menunjukkan bahwa distribusi
kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi pada kedua
kelompok contoh adalah nasi, biskuit, roti, dan mie. Rata-rata frekuensi konsumsi
nasi pada kelompok contoh normal (3 kali/hari) signifikan lebih sering daripada
contoh stunting (2 kali/hari) (p < 0.1). Berbeda halnya dengan frekuensi konsumsi
nasi, frekuensi konsumsi mie pada kedua contoh adalah sama, yaitu 7
kali/minggu. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor pendapatan keluarga yang
rendah sehingga dapat menurunkan kuantitas dan kualitas makanan dalam
pemilihan pangan. Kedua kelompok contoh memiliki proporsi keluarga yang
tergolong miskin dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 65.8% pada contoh
stunting dan 47.4% pada contoh normal. Hal tersebutlah yang menyebabkan
kemungkinan terjadinya perilaku seringnya mengonsumsi mie instan. Secara
keseluruhan, frekuensi konsumsi makanan pokok tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antar kedua kelompok (p > 0.1).
Jenis protein nabati yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah
tahu dan tempe. Frekuensi konsumsi tahu (7 kali/minggu) pada contoh stunting
lebih rendah daripada contoh normal (10.5 kali/minggu), walaupun tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok (p > 0.1). Kelompok protein
hewani yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah sosis, ikan teri, dan
telur ayam dengan frekuensi konsumsi paling sering sebesar 7 kali/minggu.
Kelompok bahan pangan susu dan olahannya juga termasuk ke dalam protein
hewani, yang meliputi frekuensi konsumsi keju pada kedua contoh adalah sama,
yaitu 7 kali/minggu dan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (p > 0.1). Selain itu, frekuensi konsumsi susu kental
manis sebagai sumber kalsium pada contoh stunting (1 kali/minggu) signifikan
lebih sedikit daripada contoh normal (6 kali/minggu) (p < 0.1). Secara
keseluruhan, frekuensi protein nabati tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p
> 0.1), sedangkan frekuensi protein hewani sebagai sumber zat besi, seng, dan
fosfor memiliki perbedaan yang cukup signifikan antar kedua kelompok (p < 0.1).
Hal ini ditemukan pula oleh Yasmin et al. (2014) bahwa konsumsi lauk hewani
pada contoh stunting signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal.
Jenis sayur yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah
bayam, kangkung, dan kacang panjang. Frekuensi konsumsi bayam pada contoh
stunting (7 kali/minggu) lebih sering daripada contoh normal (4 kali/minggu),
walaupun hasil analisis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p >
0.1). Begitu pula dengan frekuensi konsumsi kangkung pada contoh stunting (5
kali/minggu) lebih sering dibandingkan dengan contoh normal (3 kali/minggu) (p
> 0.1). Secara keseluruhan, frekuensi konsumsi sayur sebagai sumber vitamin A
pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.1).
Jenis buah yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah
pisang, mangga, dan jeruk. Frekuensi konsumsi pisang pada contoh stunting (3
kali/minggu) signifikan lebih sedikit daripada contoh normal (7 kali/minggu) (p <
0.1). Sama halnya dengan pisang, frekuensi konsumsi jeruk sebagai sumber
25
vitamin C pada contoh stunting (3 kali/minggu) signifikan lebih sedikit
dibandingkan contoh normal (4.5 kali/minggu) (p < 0.1). Secara keseluruhan,
frekuensi konsumsi buah terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0.1). Lee et al.
(2012) juga menunjukkan bahwa konsumsi buah signifikan lebih rendah pada
anak pendek dibandingkan anak normal. Frekuensi konsumsi buah juga terbukti
berhubungan positif dengan pertumbuhan linier (Ntab et al. 2005). Berikut ini
adalah Tabel 15 yang menunjukkan rata-rata frekuensi konsumsi pangan
berdasarkan status gizi.
Tabel 15 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan status gizi
Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu)
3)
p-value Stunting Normal
Makanan pokok
0.1851)
Nasi 14 (7, 14) 21 (0, 21)
Biskuit 7 (0, 14) 7 (0, 14)
Roti 7 (1, 14) 7 (0, 21)
Mie 7 (1, 14) 7 (2, 14)
Protein nabati
0.1412)
Tahu 7 (1, 14) 10.5 (0, 21)
Tempe 7 (1, 14) 7 (2, 14)
Protein hewani
0.0071)
Sosis 7 (0, 14) 7 (0, 14)
Ikan teri 7 (0, 21) 7 (0, 14)
Telur ayam 7 (1, 14) 7 (0, 14)
Sayur
0.8682)
Bayam 7 (0, 21) 4 (0, 21)
Kangkung 5 (0, 21) 3 (0, 14)
Kacang panjang 3 (0, 14) 4 (0, 14)
Buah
0.0001)
Pisang 3 (0, 14) 7 (2, 14)
Mangga 3 (0, 14) 7 (0, 14)
Jeruk 3 (0, 14) 4.5 (0, 14)
Susu dan hasil olahannya
0.1981)
Susu kental manis 1 (0, 14) 6 (0, 14)
Keju 7 (0, 14) 7 (0, 21)
Jajanan
0.3551)
Cilok 7 (0, 21) 7 (0, 14)
Cireng 7 (0, 14) 7 (0, 14)
Tahu goreng 7 (0, 21) 7 (1, 21)
Minuman
0.4841)
Minuman rasa 7 (0, 14) 7 (0, 14)
Teh kemasan 7 (0, 21) 7 (0, 14) 1)
uji t; 2)
uji Mann-Whitney; 3)
rata-rata(minimum, maksimum)
Jenis jajanan terdiri atas dua jenis, yaitu makanan dan minuman. Jenis
jajanan untuk makanan yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok
adalah cilok, cireng, dan tahu goreng. Frekuensi konsumsi cilok, cireng, dan tahu
goreng pada kedua kelompok adalah sama, yaitu 7 kali/minggu dan hasil analisis
26
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p > 0.1). Jenis jajanan untuk
minuman yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok adalah minuman
rasa dan teh kemasan. Frekuensi konsumsi minuman rasa dan teh kemasan pada
kedua kelompok sama banyak, yaitu 7 kali/minggu dan hasil analisis
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.1). Contoh
lebih sering membeli jajanan yang dibuktikan dengan frekuensi konsumsi jajanan
yang cukup sering. Menurut Madanijah et al. (2010) bahwa sebanyak 46% siswa
mengalokasikan uang saku yang diberikan oleh orang tua mereka untuk membeli
jajanan.
Status Kesehatan
Status kesehatan anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak
dalam satu bulan terakhir, serta lama dan frekuensi sakitnya. Kemudian, data
frekuensi dan lama sakit dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung.
Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi dapat dilihat pada Tabel
16.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total
n % n % n %
Sakit 33 86.8 24 63.2 57 75.0
Tidak sakit 5 13.2 14 36.8 19 25.0
Total 38 100 38 100 76 100
Tabel 16 menunjukkan bahwa selama 1 bulan terakhir sebagian besar
contoh mengalami sakit (75.0%). Kejadian sakit pada contoh stunting (86.8%)
lebih banyak dibandingkan dengan contoh normal (63.2%). UNICEF (2001)
menyatakan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu faktor langsung yang
mempengaruhi status gizi. Jenis penyakit yang paling sering diderita oleh kedua
kelompok contoh adalah batuk, pilek, dan demam. Proporsi contoh stunting yang
mengalami batuk demam, dan pilek (85.5%) lebih banyak dibandingkan dengan
contoh normal (73.5%). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa contoh stunting
lebih sering mengalami sakit selama 1 bulan terakhir daripada contoh normal.
Selain ketiga penyakit tersebut, ditemukan kejadian wabah penyakit cacar air yang
kebetulan terjadi saat penelitian. Proporsi contoh stunting yang mengalami cacar
air (6.0%) lebih besar daripada contoh normal (4.4%). Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa contoh stunting lebih rentan terhadap penyakit. Hal ini
juga dikemukakan oleh Verhoef et al. (2002) bahwa stunting dapat mengurangi
daya tahan tubuh sehingga dapat meningkatkan resiko menderita sakit.
Frekuensi dan lama sakit kedua kelompok contoh bervariasi dari jenis
penyakit yang diderita. Proporsi contoh stunting yang frekuensi sakitnya
tergolong kategori tinggi mengalami batuk (31.8%), pilek (44.0%), dan demam
(41.7%) lebih besar daripada contoh normal (11.1%, 22.2%, dan 21.4%). Begitu
pula dengan lama sakit pada kedua kelompok contoh. Proporsi contoh stunting
yang lama sakitnya tergolong kategori tinggi mengalami batuk (45.5%), pilek
(52.0%), dan demam (50.0%) lebih besar dibandingkan dengan contoh normal
27
(38.9%, 33.3%, dan 42.9%). Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa contoh
stunting mengalami lama dan frekuensi sakit dalam waktu yang cukup lama dan
sering pada penyakit infeksi (batuk, pilek, dan demam). Hal yang sama ditemukan
oleh Arifin (2015) bahwa sebagian besar contoh stunting lebih sering mengalami
sakit dan lama sakit yang cukup lama dibandingkan contoh normal. Hasil kajian
de Onis dan Blossner (2003) menyatakan bahwa prevalensi stunting yang cukup
tinggi ditemui di lingkungan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit, dan status gizi dapat dilihat
pada Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit, dan status gizi
Kategori
Stunting Normal p-value1)
Frekuensi
sakit
Lama
sakit
Frekuensi
sakit
Lama
sakit Frekuensi
sakit
Lama
sakit n % n % n % n %
Rendah 15 39.5 14 36.8 26 68.4 25 65.8
0.003
0.006 Tinggi 23 60.5 24 63.2 12 31.6 13 34.2
Total 38 100 38 100 38 100 38 100
Rata-
rata
2.9±1.9 11.5 (0.0,
42.0)
1.0 (0.0,
7.0)
5.5 (0.0,
36.0)
1) uji Mann-Whitney
Tabel 17 menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi sakit contoh stunting (3
kali/bulan) signifikan lebih tinggi daripada contoh normal (1 kali/bulan) (p < 0.1).
Sama halnya dengan lama sakit. Rata-rata lama sakit contoh stunting (11.5 hari)
signifikan lebih lama dibandingkan contoh normal (5.5 hari) (p < 0.1). Hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa frekuensi dan lama sakit pada contoh stunting
lebih tinggi daripada contoh normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifin
(2015) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar frekuensi dan lama sakit
pada contoh stunting dan normal. Scrimshaw (1980) juga mengatakan bahwa anak
yang memiliki status gizi yang buruk biasanya memiliki frekuensi penyakit
infeksi lebih sering dibandingkan anak dengan status gizi baik.
Prestasi Akademik
Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap
materi pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai ujian
dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Rata-rata nilai
tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang (< 60), cukup (60-69), lebih
dari cukup (70-79), dan baik (≥ 80).
Tabel 18 menunjukkan bahwa rata-rata nilai ujian pada contoh stunting
sebesar 70.2±11.4 lebih rendah daripada contoh normal sebesar 72.6±10.5.
Namun, hasil analisis uji T-test tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar kedua kelompok contoh (p > 0.1). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil
kajian Arifin (2015) bahwa rata-rata nilai ujian contoh stunting signifikan lebih
rendah dibandingkan contoh normal. Proporsi prestasi akademik contoh stunting
yang tergolong kurang (31.6%) hampir 2.5 lebih besar daripada contoh normal
28
(13.2%). Proporsi prestasi akademik contoh stunting yang tergolong lebih dari
cukup (34.2%) dan baik (23.7%) lebih rendah daripada contoh normal (42.1% dan
26.3%). Hal ini mengindikasikan bahwa contoh stunting memiliki prestasi
akademik yang lebih rendah dibandingkan contoh normal. Sebaran contoh
berdasarkan prestasi akademik dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total p-value
1)
n % n % n %
Kurang (< 60) 12 31.6 5 13.2 17 22.4
Cukup (60-69) 4 10.5 7 18.4 11 14.5
Lebih dari cukup (70-79) 13 34.2 16 42.1 29 38.1 0.360
Baik (≥ 80) 9 23.7 10 26.3 19 25.00
Total 38 100 38 100 76 100
Rata-rata±SD 70.2±11.4 72.6±10.5 73.0 (50.0, 93.0) 1)
uji t
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar misalnya
faktor psikologi (minat, bakat, dan motivasi), faktor sosial, dan pendekatan belajar
(metode dan strategi belajar) (Effendi 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mayoritas siswa belajar tiap malam. Namun, proporsi siswa yang belajar setiap
malam pada contoh stunting (63.2%) lebih rendah daripada contoh normal
(76.3%). Hal ini diduga dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa sehingga
rata-rata prestasi akademik contoh normal lebih tinggi daripada contoh stunting.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas siswa belajar sendiri sebesar
53.9% dan siswa belajar dibimbing oleh kakaknya sebesar 31.6%. Hal tersebut
diduga juga dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa. Sebaran contoh
berdasarkan metode belajar dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan metode belajar dan status gizi
Kategori Stunting Normal Total
n % n % n %
Waktu belajar
Belajar jika ada tugas/ujian 14 36.8 9 23.7 23 30.3
Belajar setiap malam 24 63.2 29 76.3 53 69.7
Pembimbing belajar
Kakak 12 31.6 12 31.6 24 31.6
Ayah 3 7.9 2 5.3 5 6.6
Ibu 3 7.9 3 7.9 6 7.9
Belajar sendiri 20 52.6 21 55.2 41 53.9
Total 38 100 38 100 76 100
Agustini et al. (2013) mengatakan bahwa faktor lingkungan adalah faktor
yang paling banyak berpengaruh pada prestasi belajar. Faktor lingkungan dapat
berupa lingkungan dalam (keluarga) dan lingkungan luar (teman bermain). Faktor
keluarga yang dapat mempengaruhi salah satunya adalah pendapatan keluarga.
Menurut Puspitasari (2008) bahwa semakin tinggi pendapatan ayah, maka pola
asuh belajar yang diberikan orang tua semakin baik sehingga menjadi prestasi
29
akademik anak semakin baik pula. Hal tersebut didukung dengan data pendapatan
keluarga pada contoh stunting yang tergolong tidak miskin sebesar 34.2%.
Hubungan antar Variabel
Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Konsumsi Pangan
Indikator karakteristik contoh yang diuji hubungannya adalah uang saku.
Konsumsi pangan contoh dapat diketahui dengan tingkat kecukupan energi dan
zat gizi contoh. Hasil uji hubungan Spearman tidak menunjukkan adanya
hubungan antara uang saku contoh dengan tingkat kecukupan energi dan hampir
keseluruhan zat gizi (p > 0.1), kecuali tingkat kecukupan vitamin A. Hasil
menunjukkan bahwa hubungan antara uang saku contoh dengan tingkat
kecukupan vitamin A adalah signifikan positif dengan kekuatan yang lemah (p =
0.061, r = 0.216). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah uang saku contoh,
maka semakin tinggi pula tingkat kecukupan vitamin A contoh. Hasil ini sesuai
dengan Arifin (2015) bahwa terdapat hubungan signifikan positif dengan
kekuatan yang lemah antara uang saku contoh dengan tingkat kecukupan vitamin
A. Dengan tingginya uang saku yang diperoleh anak, maka anak akan memiliki
banyak peluang untuk membeli makanan/jajanan sehingga dapat memenuhi
tingkat kecukupan vitamin A. Hal tersebut didukung oleh data yang menunjukkan
bahwa contoh memiliki kebiasaan mengonsumsi jajanan gorengan (tahu goreng,
tempe goreng, dan bakwan) sebanyak 1 kali/hari. Selain itu, hal tersebut didukung
juga oleh data yang menunjukkan bahwa jumlah contoh stunting yang
memperoleh uang saku lebih dari Rp4 000 sebanyak 31.6%. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa uang saku contoh cenderung digunakan untuk membeli
jajanan, seperti gorengan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Andarwulan et al.
(2009) bahwa uang saku anak yang besar akan berpeluang untuk digunakan untuk
membeli jajanan baik di dalam maupun di luar sekolah.
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Konsumsi Pangan
Indikator karakteristik keluarga yang diuji hubungannya adalah pendidikan
orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Hasil uji hubungan Spearman
bahwa pendidikan ayah tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat
kecukupan energi dan seluruh zat gizi (p > 0.1). Hal tersebut diduga karena
variansi data yang homogen sehingga mengakibatkan hasil uji hubungan tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan ayah tidak dapat menjamin tingkat kecukupan energi
dan seluruh zat gizi semakin baik pula. Hal ini bertentangan dengan penelitian
Arifin (2015) bahwa pendidikan ayah berhubungan signifikan positif dengan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya.
Berbeda dengan pendidikan ayah, hasil analisis menunjukkan bahwa
pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan positif dengan tingkat
kecukupan energi (p = 0.002, r = 0.345) dan protein (p = 0.007, r = 0.306). Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, maka ibu akan dapat memilih
makanan yang lebih berkualitas untuk anak-anak mereka sehingga dapat
memenuhi asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein anak. Hasil ini tidak
sesuai dengan Arifin (2015) bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan secara
30
signifikan dengan tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi. Shi et al. (2005)
menyatakan bahwa karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan)
memiliki hubungan yang signifikan positif dengan asupan dan tingkat kecukupan
energi.
Pendapatan keluarga berhubungan signifikan positif dengan tingkat
kecukupan energi (p = 0.008, r = 0.301), protein (p = 0.017, r = 0.273), zat besi (p
= 0.007, r = 0.305), vitamin A (p = 0.094, r = 0.193), vitamin C (p = 0.007, r =
0.309), dan seng (p = 0.000, r = 0.396). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
pendapatan suatu keluarga, maka dapat membeli makanan dalam jumlah dan
kualitas yang lebih baik sehingga tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya
akan semakin baik pula. Hal ini sesuai dengan hasil analisis Arifin (2015) bahwa
terdapat hubungan yang signifikan positif antara pendapatan keluarga dengan
tingkat kecukupan vitamin A dan C.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan negatif antara besar keluarga dengan tingkat kecukupan energi (p =
0.032, r = -0.246), protein (p = 0.040, r = -0.236), vitamin A (p = 0.091, r = -
0.195), vitamin C (p = 0.025, r = -0.256), dan seng (p = 0.004, r = -0.329). Hal ini
berarti bahwa semakin banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah,
maka semakin kecil jumlah pangan yang dikonsumsi oleh anak sehingga dapat
mengakibatkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya akan semakin
rendah pula. Hal ini bertentangan dengan hasil analisis Arifin (2015) bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi. Senbanjo et al. (2011) menyatakan bahwa semakin
banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, semakin kecil jumlah
pangan yang diperoleh anak.
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi
Indikator karakteristik keluarga yang diuji hubungannya adalah tinggi badan
ibu. Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara tinggi badan ibu dengan status gizi (TB/U) (p = 0.087, r =
0.197). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi badan ibu, maka status gizi (TB/U)
anak akan semakin baik pula. Hal ini sejalan dengan Rona et al. (2003) bahwa
tinggi badan ibu berhubungan signifikan dengan tinggi badan anak usia 4-10
tahun. Menurut A&T Technical Brief (2010) bahwa perempuan stunting (< 145
cm) akan meningkatkan risiko terhadap kondisi kesehatan dan perkembangan
keturunannya.
Hubungan antara Konsumsi Pangan dengan Status Gizi
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan
energi (p = 0.000, r = 0.445), protein (p = 0.006, r = 0.310), kalsium (p = 0.000, r
= 0.467), fosfor (p = 0.000, r = 0.526), zat besi (p = 0.002, r = 0.356), vitamin A
(p = 0.000, r = 0.512), vitamin C (p = 0.000, r = 0.510), dan seng (p = 0.000, r =
0.572) berhubungan signifikan positif dengan status gizi (TB/U). Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya, maka nilai z-
skor TB/U contoh semakin baik pula. Hal tersebut sejalan dengan analisis Arifin
(2015) bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara tingkat kecukupan
energi, vitamin A, dan vitamin C dengan status gizi (TB/U). Yasmin et al. (2014)
juga membuktikan bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi berhubungan
31
signifikan positif dengan status gizi (TB/U). Amare et al. (2012) menyatakan
bahwa risiko terjadinya status gizi buruk dapat disebabkan oleh asupan zat gizi
yang kurang.
Zat gizi mikro yang berperan penting dalam pertumbuhan linier anak adalah
vitamin A, kalsium, fosfor, zat besi, dan seng. Sedgh et al. (2000) menyatakan
bahwa diit kaya akan vitamin A akan menurunkan gejala stunting pada anak yang
menderita gizi kurang. Kalsium dan fosfor merupakan faktor gizi yang penting
untuk proses pertumbuhan tulang anak (Frongillo 1999). Amare et al. (2012) juga
mengatakan bahwa zat besi memiliki peranan penting dalam pertumbuhan linier
anak. Seng secara langsung mempengaruhi hormon pertumbuhan, mempengaruhi
metabolisme tulang, dan terlibat dalam sintesis DNA, serta mempengaruhi fungsi
imunitas (Eckhardt 2006). Vitamin C tidak mempengaruhi status gizi secara
langsung. Vitamin C bersama dengan vitamin A dapat mempengaruhi fungsi
imunitas sehingga defisiensi vitamin A dan C dapat meningkatkan risiko stunting
(Eckhardt 2006). Oleh karena itu, pada kelompok usia anak-anak dan remaja
memerlukan pangan kaya vitamin dan mineral yang lebih banyak dibandingkan
dengan kelompok usia lainnya sehingga pertumbuhan pada periode tersebut dapat
berlangsung maksimal.
Hubungan antara Status Gizi dengan Status Kesehatan
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa status gizi (TB/U)
memiliki hubungan yang signifikan negatif dengan frekuensi sakit (p = 0.002, r =
-0.345) dan lama sakit (p = 0.006, r = -0.313). Hal ini mengindikasikan bahwa
semakin bagus status gizi (TB/U), maka frekuensi sakit dan lama sakit akan
semakin rendah/berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arifin (2015)
bahwa status gizi (TB/U) berhubungan signifikan negatif dengan frekuensi dan
lama sakit anak usia sekolah. Scrimshaw (1980) juga mengatakan bahwa anak
yang memiliki status gizi yang buruk biasanya memiliki frekuensi penyakit
infeksi lebih sering dibandingkan anak dengan status gizi baik.
Status kesehatan ditentukan berdasarkan frekuensi dan lama sakit. Frekuensi
dan lama sakit dapat dipengaruhi oleh status gizi (TB/U). Stunting dapat
meningkatkan risiko infeksi suatu penyakit. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan Verhoef et al. (2002) bahwa kondisi kekurangan gizi yang dapat
menyebabkan stunting dapat merusak daya tahan tubuh (imunitas) sehingga dapat
meningkatkan derajat keparahan malaria. Hasil penelitian Arinaitwe et al. (2012)
pada balita menunjukkan bahwa mild stunting dan severe stunting berhubungan
dengan peningkatan insiden malaria dibandingkan dengan balita yang normal.
Hubungan antara Status Gizi dengan Prestasi Akademik
Status gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
akademik siswa. Status gizi yang baik pada anak akan mendukung kemampuan
anak untuk belajar dengan baik sehingga prestasi akademik anak akan semakin
bagus. Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa status gizi (TB/U)
memiliki hubungan positif yang tidak signifikan dengan prestasi akademik (p =
0.213, r = 0.144). Hal tersebut diduga karena variansi data prestasi akademik
(nilai) yang homogen sehingga mengakibatkan hasil uji hubungan tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal tersebut bertentangan dengan
analisis Arifin (2015) yang membuktikan bahwa nilai z-skor TB/U berhubungan
32
signifikan positif dengan prestasi belajar. Namun, hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Simarmata (2014) dan Effendi (2012) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan tingkat prestasi
belajar.
Walaupun pada analisis ini status gizi (TB/U) belum terbukti berhubungan
signifikan dengan prestasi akademik, namun rata-rata nilai contoh stunting lebih
rendah daripada contoh normal. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin bagus
status gizi (TB/U), maka prestasi akademik siswa akan semakin baik pula. Hal ini
didukung oleh pernyataan Miniatun (2011) bahwa kekurangan gizi akibat
kurangnya konsumsi pangan dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan
energi dan zat gizi anak sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan terganggu,
badan lebih pendek, dan terjadi ketidakmatangan pertumbuhan sel-sel otak.
Gibson (2007) juga mengatakan hal yang sama bahwa kondisi stunting merupakan
akibat dari kekurangan gizi jangka panjang dan sering mengakibatkan
perkembangan mental tertunda, prestasi sekolah yang buruk, dan kapasitas
intelektual yang terbatas. Selain status gizi, ada faktor lain yang dapat
mempengaruhi prestasi akademik, di antaranya faktor psikologi (minat, bakat, dan
motivasi), faktor sosial, dan pendekatan belajar (metode dan strategi belajar)
(Effendi 2012). Menurut Agustini et al. (2013) status gizi bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi prestasi akademik, faktor lingkungan yang paling
banyak berpengaruh pada prestasi akademik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Usia contoh pada kedua kelompok adalah 11 tahun, dengan proporsi
perempuan dan laki-laki sama pada kelompok stunting, namun pada kelompok
normal, proporsi perempuan lebih kecil. Dengan uang saku yang lebih kecil, rata-
rata nilai z-skor IMT/U pada kelompok stunting juga lebih rendah, namun tidak
berbeda secara signifikan dengan kelompok normal.
Tingkat sosial ekonomi orangtua contoh kelompok stunting secara umum
lebih rendah dibanding kelompok normal, ditunjukkan dari tingkat pendidikan
(SMA dibanding PT) dan pendapatan yang lebih rendah. Namun pekerjaan
orangtua (umumnya buruh tani/petani dan ibu sebagai ibu ruma htangga), umur
dan besar keluarga relatif tidak berbeda. Contoh kelompok stunting mempunyai
ibu dengan tinggi badan signifikan lebih rendah 2 cm dari contoh normal.
Rata-rata asupan energi dan zat gizi (protein, kalsium, fosfor, zat besi,
vitamin A, vitamin C, dan seng) contoh stunting (1 216 kkal, 30.6 g, 207.0 mg,
272.5 mg, 8.2 mg, 1 558.0 RE, 6.5 mg, dan 3.0 mg) signifikan lebih rendah
daripada contoh normal (1 633 kkal, 41.1 g, 384.3 mg, 535.84 mg, 10.5 mg, 2
229.1 RE, 14.0 mg, dan 4.0 mg). Tingkat kecukupan energi dan zat gizi (protein,
kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan seng) contoh stunting (76.5%,
67.5%, 16.5%, 22.5%, 47.0%, 260.3%, 12.0%, dan 21.0%) signifikan lebih
rendah daripada contoh normal (91.0%, 80.2%, 31.8%, 42.5%, 66.1%, 373.2%,
26.0%, dan 34.5%).
33
Jenis sakit yang paling sering dialami pada kedua kelompok contoh adalah
batuk, pilek, dan demam. Frekuensi dan lama sakit contoh stunting signifikan
lebih rendah daripada contoh normal, yaitu berturut-turut 3 kali dan 11.5 hari
dengan 1 kali dan 5.5 hari . Rata-rata prestasi akademik contoh stunting lebih
rendah daripada contoh normal, yaitu 70.2 dan 72.6, namun tidak berbeda secara
statistik.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan antara uang
saku contoh dengan tingkat kecukupan vitamin A, sedangkan hubungannya
dengan energi dan zat gizi lain tidak signifikan. Pendidikan ibu berhubungan
signifikan positif dengan tingkat kecukupan energi dan protein. Pendapatan
keluarga berhubungan signifikan positif dengan tingkat kecukupan energi dan zat
gizi, serta terdapat hubungan signifikan negatif antara besar keluarga dengan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Pendidikan ayah tidak berhubungan
signifikan dengan tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan positif antara tinggi badan ibu serta tingkat kecukupan energi dan zat
gizi dengan status gizi (TB/U). Demikian pula ada hubungan signifikan negatif
antara status gizi (TB/U) dengan frekuensi sakit dan lama sakit. Namun,
hubungan antara status gizi (TB/U) dengan prestasi akademik tidak signifikan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian bahwa masih terdapat prevalensi stunting di
daerah tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pencegahan-pencegahan,
salah satunya dengan memenuhi asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat-zat
gizi lainnya yang dapat mendukung proses pertumbuhan linier anak. Dengan
demikian, prevalensi stunting akan berkurang sehingga kualitas SDM nantinya
akan meningkat dan hal tersebut dapat menunjang keberhasilan pembangunan
nasional bangsa. Selain itu, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi prestasi akademik selain status gizi.
DAFTAR PUSTAKA
A&T Technical Brief. 2010. Insight why stunting matters. [Internet]. [diunduh
2014 Okt 10]. Tersedia pada: http://www.aliveandthrive.org/sites/default/
files/Brief%202%20Sept.%202010%20Why%20stunting%20matters_1.pdf.
[ACC/SCN] Administrative Committee on Coordination Sub-Committee on
Nutrition. 1992. Second Report on The World Nutrition Situation [Internet].
[diunduh 2015 Maret 31]. Tersedia pada: http://www.unscn.org/layout/
modules/resources/files/rwns2_1.pdf.
Agustini CC, Malonda NSH, Purba RB. 2013. Hubungan antara status gizi dengan
prestasi belajar anak kelas 4 dan 5 sekolah dasar di Kelurahan Maasing
Kecamatan Tuminting Kota Manado [skripsi]. Manado (ID): Universitas
Sam Ratulangi.
34
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Amare B, Moges B, Fantahun B, Tafess K, Woldeyohannes D, Yismaw G, Ayane
T, Yabutani T, Mulu A, Ota O et al. 2012. Micronutrient levels and
nutritional status of school children living in Northwest Ethiopia. Nutrition
Journal. 11:108.
Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2009. Monitoring dan verifikasi profil
keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008 [laporan
penelitian]. Bogor (ID): Southeast Asian Food and Agricultural Science and
Technology (SEAFAST) Center IPB dan Direktorat Surveilan Penyuluhan
Keamanan Pangan BPOM RI.
Arifin YN. 2015. Hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan
dengan status gizi dan prestasi belajar anak sekolah dasar stunting dan
normal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Arinaitwe E, Gasasira A, Verret W, Homsy J, Wanzira H, Kakuru A, Sandison
TG, Young S, Tappero JW, Kamya MR et al. 2012. The association
between malnutrition and the incidence of malaria among young HIV-
infected and –uninfected Ugandan children: a prospective study. Malaria
Journal. 11:90.
Atkinson RL, Atkinson RC, Smith EE, Bem DJ. 2000. Introduction to
Psychology. New York (USA): Harcourt College Publishers.
[Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian
dan Pengembangan.
. 2013. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2012. Jakarta (ID):
Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan
Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tingkat kemiskinan jawa barat september
2014. BPS [Internet]. [diunduh 2015 Maret 23]. Tersedia pada:
http://jabar.bps.go.id/
Daniels MC, Adair LS. 2004. Growth in young Filipino children predicts
schooling trajectories through high school. J Nutr. 134:1439-1446.
de Onis M, Blossner M. 2003. The World Health Organization global database on
child growth and malnutrition: methodology and applications. International
Journal of Epidemiology. 32:518-26.doi:10.1093/ije/dyg099.
Dekker LH, Mora-Plazas M, Marin C, Baylin A, Villamo E. 2010. Stunting
associated with poor socioeconomic and maternal nutrition status and
respiratory morbidity in Colombian school children. Food and Nutrition
Bulletin. 31(2):242-250.
35
[Depdiknas RI] Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2008.
Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta (ID):
Depdiknas RI.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Gizi dalam Angka.
Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta.
Eckhardt CL. 2006. FCND Discussion Paper 213 Micronutrient malnutrition,
obesity, and chronic disease in countries undergoing the nutrition transition:
potential links and program /policy implications [Internet]. [diunduh 2015
Maret 31]. Tersedia pada: http://www.ifpri.org.
Effendi F. 2012. Hubungan status gizi dengan tingkat prestasi belajar siswa kelas
X SMK Negeri 2 Indramayu [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri
Yogyakarta.
El Hioui M, Azzaoui FZ, Ahami OT, Aboussaleh Y. 2011. Nutritional status and
school achievements in rural area of Anti-Atlas, Morocco. Food and
Nutrition Sciences. 2:878-83.
Friedman JF, Phillips-Howard PA, Mirel LB, Terlouw DJ, Okello N, Vulule JM,
Hawley WA, Nahlen BL, ter Kuile F. 2005. Progression of stunting and its
predictors among school-aged children in western Kenya. European Journal
of Clinical Nutrition. 59:914-922.doi:10.1038/sj.ejcn.1602161.
Frongillo EA. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting: introduction.
Journal of Nutrition. 129:529S-30S.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York (US): Oxford
University Press.
, Manger MS, Krittaphol W, Pongcharoen T, Gowachirapant S, Bailey
KB, Winichagoon P. 2007. Does zinc deficiency play arole in stunting
among primary school children in NE Thailand? British Journal OF
Nutrition. 97:167-175.doi:10.1017/S0007114507250445.
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor (ID): Departemen GMSK, FAPERTA IPB.
Horton S, Steckel RH. 2013. Global Economic Losses Attributable to
Malnutrition 1990-2000 and Projections to 2050. Cambridge (UK):
Cambridge Univeristy Press.
Hurrell RF, Reddy M, D.Cook J. 1999. Inhibition of non-haem iron absorption in
man polyphenolic-containing beverages. British Journal of Nutrition.
81:289-295.
Jinabhai CC, Taylor M, Sullivan KR. 2003. Implications of the prevalence of
stunting, overweight, and obesity amongst South African primary school
children: a possible nutritional transition?. European Journal of Clinical
Nutrition. 57:358-365.doi:10.1038=sj.ejcn.1601534.
Kar BR, Rao SL, Chandramouli BA. 2008. Cognitive development in children
with chronic protein energy malnutrition. Behavioral and Brain Functions.
4:31.doi:10.1186/1744-9081-4-31.
36
Khuwaja S, Selwyn BJ, Shah SM. 2005. Prevalence and correlates of stunting
among primary school children in rural areas of southern Pakistan. Journal
Tropical Pediatric. 51(2):72-7
Lee EM, Park MJ, Ahn HS, Lee SM. 2012. Differences in dietary intakes between
normal and short stature Korean children visiting a growth clinic. Clinical
Nutrition Research. 1:23-29.
Lemeshow S, David WH. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
Madanijah S, Briawan D, Kusumaningrum HD, Zulaikhah. 2010. Pengembangan
model pendidikan makanan jajanan sehat berbasis sekolah untuk tingkat
sekolah dasar [laporan penelitian]. Bogor (ID): Southeast Asian Food and
Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center dan LPPM IPB.
Miniatun S. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan prestasi belajar siswa
kelas IV dan V MI Negeri 02 Cempaka Putih Ciputat Timur [skripsi].
Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Mukudi E. 2003. Nutrition status, education participation, and school achievement
among Kenyan middle school children. Nutrition. 19:612-616.
Ntab B, Simondon KB, Milet J, Cisse’ B, Sokhna C, Boulanger D, Simondon F.
2005. A young child feeding index is not associated with either height-for-
age or height velocity in rural Senegales children. Journal of Nutrition.
135:457-464.
Nyakeriga AM, Troye-Blomberg M, Chemtai AK, Marsh K, Williams TN. 2004.
Malaria and nutritional status in children living on the coast of Kenya.
American Journal of Clinical Nutrition. 80:1604 –10.
Puspitasari F. 2008. Pengaruh faktor individu, keluarga, dan sekolah terhadap
prestasi belajar siswa sekolah dasar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rona RJ, Mahabir D, Rocke B, Chinn S, Gulliford MC. 2003. Social inequalities
and children’s height in Trinidad and Tobago. European Journal of Clinical
Nutrition. 57:143-150.doi:10.1038=sj.ejcn.1601508.
Sandjaja S, Budiman B, Harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Widodo Y, Sumedi
E, Rustan E, Sofia G, Syarief SN et al. 2013. Food consumption and
nutritional and biochemical status of 5-12-years-old Indonesian children: the
SEANUTS study. British Journal of Nutrition. 110:S11-
S20.doi:10.1017/S0007114513002109.
Scrimshaw NS. 1980. Timely and appropiate complementary feeding of the
breastfed infant-an overview. Food Nutr Bull. 2(2).
Sedgh G, Guillermo H, Penelope N, Alawi el A, Wafaie WF. 2000. Dietary
vitamin A Intake and non dietary factors are associated with reversal of
stunting in children. American Society for Nutritional Science. 130:2520-
2526.
37
Semba RD, de Pee S, Sun Kai, Sari M, Akhter N, Bloem MW. 2008. Effect of
parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and
Bangladesh: a cross-sectional study. Lancet. 371:322-328.
Senbanjo IO, Oshikoya KA, Odusanya OO, Njokanma OF. 2011. Prevalence of
and risk factors for stunting among school children and adolescents in
Abeokuta, Southwest Nigeria. Journal Health Population Nutrition.
29(4):364-370.
Shi Z, Lien N, Kumar BN, Holmboe-Ottesen G. 2005. Socio-demographic
differences in food habits and preferences of school adolescent in Jiansu
Province, China. EJCN. 59:1439-1448.doi.10.1038/sj.ejcn.1602259.
Simamrmata RY. 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dengan status gizi dan
prestasi siswa SMA N 1 Pangururan Kabupaten Samosir [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Suharjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID):
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tinnaeus IM, Ngidi ND. 2011. Stunting and obesity in childhood a reassessment
using longitudinal data from South Africa. Policy Brief Sept No 1
[UNICEF]. United Nations Children's Fund. 2001. Early Chilhood Development.
New York (USA): Oxford University Press.
Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Erhardt MW, Gross R. 2005. Multiple
micronutrient supplements improve micronutrient status and anemia but not
growth and morbidity of Indonesian infants: a randomized, double- blind,
placebo-controlled trial. J-Nurt. 135:639–645.
Verhoef H, West CE, Veenemans J, Beguin Y, Kok FJ. 2002. Stunting may
determine the severity of malaria associated anemia in African children.
Pediatrics. 110(4).doi: 10.1542/peds.110.4.e48.
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.
2008. The Lancet series: maternal and child undernutrition 2: consequences
for adult health and human capital. doi:10.1016/S0140-6736(07)61692-4.
Webb P, Block S. 2005. Parental IQ and cognitive development of malnourished
Indonesia children. European Joernal of Clinical Nutrition. 59:618-620
[WHO] World Health Organization. 2007. WHO child growth standards; methods
and development length/(H/A), weight-for-age, weight-for-length, weight-
for-height, and body mass index-for-age. Geneva, Switzerland (CH):
Departement of Nutrition for Health and Development.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI.
Yasmin G, Kustiyah L, Dwiriani CM. 2014. Risk factors of stunting among
school-aged children from eight provinces in Indonesia. Pakistan Journal of
Nutrition. 13(10):557-566.
38
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 1993 dari ayah
Supangat Adhi Kusumo S dan ibu Asiqatul Alwiyah. Penulis adalah putra kedua
dari tiga bersaudara. Penulis lulus pendidikan dasar di SD Jaya Suti Abadi pada
tahun 2005 dan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Tambun Selatan
pada tahun 2008 serta menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2011
di SMA Negeri 01 Manyar. Penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur SNMPTN Undangan pada tahun 2011.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi staff pengajar Landasan
Matematika (LM) dan Ekonomi Umum Klub Tutor Sebaya Asrama TPB IPB.
Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum Analisis Zat Gizi Makro,
Analisis Zat Gizi Mikro, Pendidikan Gizi, dan Metodologi Penelitian Gizi pada
tahun ajaran 2014-2015. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Biro Fundrising
BEM FEMA IPB, staf Divisi Humas PSM IPB Agria Swara, dan Presidium PSM
IPB Agria Swara. Penulis juga melakukan Kuliah Kerja Profesi di Desa
Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor selama dua bulan dan
Internship Dietetic and Food Service di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo di Jakarta selama 5 minggu.
Selain kegiatan kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar kampus,
yaitu sebagai staf pengajar matematika SMA kelas X Bimbel Holistik. Penulis
juga merupakan bagian dari perkumpulan mahasiswa asal Gresik yang tergabung
dalam Himpunan Mahasiswa Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto
(HIMASURYA PLUS).