hukum bencana dan - erepo.unud.ac.id

133

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id
Page 2: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

HUKUM BENCANA DAN BENCANA HUKUM

PENULIS :

Putu Sudarma Sumadi

Buku Ini Didedikasikan Untuk Kejayaan FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Yang Berulang Tahun Ke 55 (1964 - 2019)

Page 3: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

Hukum Bencana dan Bencana Hukum

Penulis : Putu Sudarma Sumadi

© 2019

Diterbitkan Oleh:

Cetakan Pertama, Juli 2019Ukuran/ Jumlah hal: 155 x 230 mm / 132 hlmLayout : EmjyCover: Emjy

ISBN : 978-602-5815-65-2

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 4: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

iiiHukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

KATA PENGANTAR

Topik Hukum Bencana (disaster law) yang diangkat dalam buku yang sangat bersahaja ini juga terhitung masih sangat jarang digarap apabila tidak boleh dikatakan tidak atau belum ada khususnya di Indonesia. Padahal negeri yang sering disebut nusantara ini memiliki ratusan gunung api, sungai besar, area dan perilaku yang menempatkan Indonesia sebagai kawasan rawan bencana dengan risiko tingkat tinggi.

Kenyataan tersebut merupakan motivasi untuk menghasilkan kerajinan tangan dengan judul “Hukum Bencana dan Bencana Hukum”. Kerajinan ini dikerjakan di tengah-tengah kelangkaan bahan untuk kelengkapannya agar mendekati kelayakan sebuah buku menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Ungkapan “bencana hukum” hanya dipergunakan untuk menggambarkan kondisi dan akibat karena absennya hukum bencana.

Di samping itu penulisan buku ini juga dilatarbelakangi sebuah cita-cita yaitu mendirikan Nerdvana. Perihal yang disebut dengan Nervana itu pada intinya merupakan suatu kondisi atau sarana dan apabila memungkinkan suatu tempat yang berfungsi untuk membangkitkan kegairahan membaca dan mencintai buku-buku baik yang dicetak maupun elektronik.

Namun demikian yang tak boleh dilupakan adalah amanat dari Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang pada pokoknya menentukan, Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Kewajiban inilah yang selalu menjadi motivasi utama untuk menulis dan menulis.

Page 5: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

iv Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Menutup pengantar ini akhirnya harus disampaikan bahwa “kerajinan tangan” ini masih sangat jauh dari sempurna. Semoga bantuan penyempurnaan berdatangan dari semua pihak. Untuk itu disampaikan terimakasih yang tak terhingga juga kepada semuanya yang telah membantu sesuai cara masing-masing hingga tulisan ini rampung dan dipublikasikan.

Denpasar, 9 Juli 2019Penulis,

Putu Sudarma Sumadi

Page 6: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

vHukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... iiiDAFTAR ISI ......................................................................... vI. POKOK-POKOK TINJAUAN ....................................... 1

1. Konsep dan Pengetian ................................................ 32. Paradigma Pemahaman Bencana ............................. 14

a. God/Divinity ............................................................ 16b. Nature/Contingency ............................................... 18c. The Social/Vulnerability ......................................... 21d. Paradigma Perubahan ............................................ 22

3. Bencana Dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan ............................................................... 28

4. Perspektif Sosial Dalam Bencana .............................. 72a. Dimensi kemanusiaan ............................................ 72b. Ko-dependensi ........................................................ 79

II. DIMENSI YURIDIS ...................................................... 871. Sistem Hukum ............................................................. 892. Kinerja .......................................................................... 983. Pertangunganjawab Akibat Bencana ........................ 110

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 123RIWAYAT PENULIS ........................................................... 125

Page 7: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

vi Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Page 8: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

1Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

BAB IPOKOK-POKOK TINJAUAN

Page 9: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

2 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Page 10: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

3Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

1. Konsep dan Pengertian

Ketika suatu kawasan dilanda angin puting beliung, tanah longsor, tsunami, dan gunung meletus yang menimbulkan penderitaan umat manusia dan kerugian materiil yang tidak sedikit bahkan korban jiwa itu dapat diungkapkan dengan berbagai konsep. Setiap bangsa dari berbagai belahan bumi memiliki sebutan tersendiri sesuai dengan bahasa ibunya. Orang Indonesia menyebutnya dengan bencana alam, Orang Belanda dengan natuurrampen dan yang berbahasa Inggris dengan act of God atau disaster.

Bencana alam, natuurramp, acts of God atau disaster merupakan konsep dari peristiwa-peristiwa alam seperti banjir, angin puting beliung, badai, topan, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, gunung meletus, dan lain-lain fenomena alam. Dalam hubungan ini konsep itu menggeneralisasikan unsur-unsur yang umum dan memiliki ciri yang sama untuk dirangkum sehingga dapat dikomunikasikan.

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Terlepas dari setuju atau tidak ternyata undang-undang memasukkan “kekeringan” sebagai salah satu bentuk bencana alam.

Wet rampen en sware ongenvallen 1985 atau Undang-Undang Belanda 1985 tentang Bencana yang mendefinisikan bencana sebagai sebuah peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada keselamatan dan keamanan umum, yang membahayakan kehidupan

Page 11: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

4 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dan kesehatan sejumlah besar orang atau sangat mengancam kepentingan material, dan memerlukan usaha terkoordinasikan dari layanan dan organisasi dari berbagai disiplin ilmu untuk menghilangkan ancaman atau membatasi efek yang membahayakan, pada dasarnya merupakan suatu pernyataan dasar yang menjadi landasan untuk sampai pada pengertian bencana alam yang sudah tentu mengandung unsur dominan berupa proses alamiah yang maha dahsyat.

Pemaparan Henry Campbell Black1 mengenai apa yang dituliskannya dengan konsep common disaster….situation in which the insured and beneficiary appear to die stimulaneously with no clear indication or evidence of died first…, sesungguhnya sudah memberi pelajaran untuk juga mempertanyakan apakah bencana alam dapat diperjanjikan sebagaimana layaknya common disaster dalam perjanjian asuransi. Elizabeth A. Martin2 mendefinisikan acts of God ….an event due to natural causes (storms, earthquake, flood, etc) exceptionally severe that no one could reasonably be expected to anticipate or guard against it. Selanjutnya penulis kamus ini menghubungan act of God dengan force majeure. Oleh Karena itu dipandang layak untuk mengetengahkan seberapa perlu tentang konsep yang disebutkan terakhir itu.

Force Majeure (Franc) irresistible compulsion or coercion. The phrase is used and that are completely outside the parties control. Such events are normally listed in full to ensure their enforceability; they may include “act of God, fires, failure of suppliers or subcontractors to supply the supplier under the agreement, and strikes and other labor

1 Henry Campbell Black, 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Co., St. Paul Minn. Hal. 250.

2 Elizabeth A.Martin, 1997, Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press. Oxford, New York. Hal. 8.

Page 12: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

5Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

disputes that interfere with the supplier’s performance of an agreement. An express clause would normally excuse both delay and a total failurs to performs the agreement.3

Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah diungkapkan bahwa konsep force majeure berasal dari Bahasa Perancis yang pada satu sisi merupakan padanan dari konsep disaster dan lebih mengandung nilai hukum, dan pada sisi lain mencakup aspek-aspek yang lebih luas. Konsep force amun mencakup juga bencana bencana yang disebabkan karena perbuatan dan campur tangan manusia.

Sementara itu Black membedakan antara force majeure pada satu sisi dengan force majesture pada sisi lain. Force majesture including lightnings, earthquake, storms, flood, sunstrokes, freezing, etc.where in later two can be considered hazards in contemplation of employer within compensation acts. Sedangkan force majeure…the law of insurance, superior or irresistible force. Such clauses is common in construction contracts to protect the parties in the event that a part of contract cannot be due causes are outside the control of the parties and could no be avoided by exercise of due care.4

Intinya, kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat dari sambaran petir, gempa bumi, badai, banjir, sengatan panas matahari, kedinginan, dll. termasuk dalam kategori force majesture. Menurut undang-undang Kompensasi (ganti rugi) dua item yang disebutkan terakhir itu dapat dipandang sebagai jenis-jenis bahaya yang melekat pada para pekerja, dalam pengertian dalam hal para pekerja mengalami bencana seperti itu, korban dapat menuntut ganti rugi.

3 Ibid. hal. 193.

4 Black., Op.cit. hal. 581.

Page 13: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

6 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Sementara itu berkenaan dengan force majeur pada dasarnya merupakan suatu klausul atau suatu ketentuan khusus yang dapat dicantumkan dalam berbagai hubungan hukum. Dalam hukum asuransi misalnya, force majeur memiliki fungsi yang sangat penting dalam rangka melindungi para pihak. Bagaimana pelaksanaaan hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung dalam suatu perjanjian asuransi berkenaan dengan terjadinya bencana alam.

Sampai sejauh ini dapatlah dikemukakan bahwa dalam hukum kebencanaan sangat sulit mengidentifikasi subyek hukumnya, dalam pengertian siapakah yang menyebabkan terjadinya bencana sehingga kepadanya dapat dituntut pertanggunganjawabnya. Namun demikian ada yang mengemukakan bahwa dalam hukum kebencanaan terdapat hanya dan semata-mata subyek hukum tunggal, yaitu korban.

Konsep korban pada dasarnya adalah mereka yang menderita jasmaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.5 Sedangkan “korban bencana” merupakan perorangan, keluarga, atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental, maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana yang menyebabkan mereka undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 angka 22 menentukan bahwa korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.

Pengertian atau definisi yang dikemukakan pertama tampaknya mengacu pada hukum pidana. Dalam bidang hukum ini konsep korban atau victim sangat dibutuhkan dan bahkan

5 Pengertian korban, https://www.dictio.id

Page 14: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

7Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

menjadikannya sebagai bidang kajian tersendiri yang disebut dengan victimology. Intinya, tanpa konsep tentang korban, hukum pidana tidak dapat diterapkan. Hal ini terjadi pada jenis tindak pidana materiil; tindakan pidana yang harus memenuhi adanya unsur akibat yaitu korban.

Dalam pengertian korban menurut hukum pidana tampak dengan jelas ditetapkannya bahwa ihwal subyek hukum menderita itu adalah sebagai akibat dari tindakan subyek hukum yang lainnya. Berdasarkan sistem hukum pidana, subyek hukum yang menyebabkan subyek hukum lainnya menjadi korban dapat dituntut untuk memberikan pertanggunganjawab pidana, kecuali terdapat alasan pemaaf dan atau dalam keadaan darurat seperti noodweer exces. Dalam hukum perdata boleh jadi sistem pertanggunganjawab tersebut dapat disetarakan dengan ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akan tetapi hukum perdata tidak mengenal noodweer exces melainkan force majeure atau dalam keadaan normal sistem pembuktianlah yang berperan untuk menentukan apakah suatu subyek hukum dapat dipersalahkan menyebabkan timbulnya kerugian pada subyek hukum lain atau sebaliknya.

Pengertian yang kedua bahwa korban bencana merupakan orang perseorang atau masyarakat yang mengalami penderitaan dalam pengertian yang seluas-luasnya itu bukan karena dilakukannya …., melainkan sebagai akibat dari terjadinya bencana alam. Pengertian ini secara jelas tidak melibatkan subyek hukum sebagai kausa atau sebab timbulnya penderitaan. Seolah-olah pengertian ini ingin mengemukakan, apabila hendak meminta ganti kerugian, mintalah pada alam yang menyebabkan terjadinya bencana.

Page 15: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

8 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Pada pengertian yang ketiga yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tampaknya masih diberikan kemungkinan untuk menuntut ganti kerugian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa undang-undang tersebut tidak mengenal konsep korban bencana alam melainkan korban bencana. Sementara itu di samping terjadi karena faktor alam, suatu bencana dapat pula disebabkan oleh faktor manusia. Artinya dalam kaitan ini apabila hendak menuntut ganti kerugian mintalah kepada subyek hukum yang menyebabkan kerugian tersebut.

Sepanjang penyebab terjadinya bencana yang menimbulkan kerugian pada orang atau masyarakat itu dapat diidentifikasi identitasnya, dapat diketahui alamat atau tempat kedudukannya, maka tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan. Hal ini berlaku juga terutama untuk kerugian karena bencana yang dibebabkan oleh faktor non alam. Kesulitan serupa akan muncul lagi manakala suatu penderitaan dan atau kerugian dihadapkan pada konsep acts of god.

Acts of god pada dasarnya merupakan suatu kejadian yang secara eksklusif disebabkan oleh kekuatan alam tanpa campur tangan manusia mana pun. Hal ini mengandung pengertian bahwa kejadian tersebut berlangsung sebagai suatu keharusan yang bersifat alami (natural necessity). Dengan demikian dapatlah dikemukakan, acts of god adalah tindakan, peristiwa dan keharusan yang tak terhindarkan yang tidak disebabkan oleh manusia tetapi faktor-faktor alam semata-mata.6

6 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 31 Mengenai acts of God dikemukakan….an act occasioned exsclusively by violence of nature without the interference of any human agency. It means a natural necessity proceeding from physical causes alone without the intervention of man. It is an act, event and inevitable necessity which implies entire exclusion of all human agency which operate

Page 16: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

9Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Pada pengertian berkenaan dengan konsep acts of god seperti yang sudah disampaikan itu, konsep god dipersamakan pengertiannya dengan konsep nature. Dalam Bahasa Indonesia, God adalah Tuhan, sementara nature adalah alam. Jadi kedua konsep tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Namun demikian dalam kaitannya dengan kerugian-kerugian yang disebabkan oleh bencana alam, kedua konsep tersebut tidak dapat dimintai pertanggunganjawab.

Di samping itu agak riskan juga apabila memandang bahwa berbagai bencana alam yang dahsyat dengan akibat-akibat berupa penderitaan dan kerugian yang tidak kalah dahsyatnya itu disebabkan oleh Tuhan (God). Bagaimana menjelaskannya Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pengasih itu melakukan tindakan yang menyebabkan orang dan/atau masyarakat kehilangan harta benda, sanak-saudara, handai-taulan, dan bahkan nyawa.

Oleh karena itu untuk peristiwa-peristiwa yang menimbulkan akibat-akibat seperti yang sudah disebutkan itu haruslah dicarikan konsep yang lebih tepat, konsep yang tidak mengandung kontradiksi di dalamnya. Selama masa pencarian ini pertama-tama dalam Bahasa Indonesia sudah dijumpai konsep “bencana” dan “bencana alam”. Kedua konsep ini sudah diuraikan pengertiannya secara pokok. Sementara itu dalam Bahasa Inggris di samping konsep acts of God pada akhirnya didapatkan konsep disaster.

Daniel Farber, dkk mengawali uraianya yang panjang dengan mengemukakan…. disaster can, of course, be understood in many different ways. In this book we focus on disaster triggered mainly by natural forces such as hurricanes, earthquakes, or wildfires`. This

without interference to human agency. It is an accident which could not have been occasioned by human agency but proceeded from physical causes alone.

Page 17: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

10 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

is similar to the approach taken by many federal disaster laws, which emphasize events tied to geological or meteorological systems. Such calamities are often called “natural disasters”, but strictly speaking, that is a misnomer (even though we will occasionally use the term ourselves as a shorthand). Nearly all “Natural Disasters” feature some human contribution, whether it be poor construction standards (as in Lisbon), the Channeling of mighty river (as in the 1927 flood), or shoddy levees and urban sprawl (as in New Orleans). As mentioned earlier, human-induced climate change has also changed the game, making it harder to distinguish “Acts of God” and ”Acts of Man”.7

Pada intinya penulis tersebut mengemukakan bahwa bencana (disaster) dapat dipahami dalam berbagai macam cara. Namun demikian berkenaan dengan keperluannya maka bahasannya dipusatkan pada bencana yang terjadi karena kekuatan alam seperti penderitaan dan kerugian yang timbul akibat badai, gempabumi atau kebakaran. Kebijaksanaan penulis itu juga mengacu pada banyak ketentuan yang tertuang dalam hukum federal yang meletakkan bencana sebagai peristiwa yang berkaitan dengan sistem geologi dan meteorologi. Perisitiwa-peristiwa seperti inilah yang disebut dengan bencana alam (natural disasters). Namun demikian diingatkan juga bahwa istilah tersebut merupakan konsep yang keliru. Hampir pada semua bencana terdapat kandungan kontribusi dari manusia. Ambruknya bangunan yang tinggi dan besar boleh jadi juga disebabkan oleh faktor penggunaan teknologi konstruksi yang buruk. Tidak sedikit contoh lain yang dapat dikemukakan sebagai andil manusia yang menimbulkan bencana. Hal inilah yang membuat kesulitan semakin bertambah untuk membedakan antara “tindakan Tuhan”

7 Daniel A Farber, et.al., 2015, Disaster Law and Policy. Wolters Kluwer, New York. Hal. 3

Page 18: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

11Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dan “tindakan Manusia” Dalam pandangan Farber dan kawan-kawan, fenomena yang disebut dengan bencana (disaster) tidaklah semata-mata disebabkan oleh kekuatan alam yang maha dahsyat, akan tetapi seringkali tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan faktor manusia yang juga turut berkontribusi bagi timbulnya suatu bencana. Penebangan hutan secara besar-besaran dan yang ditambah lagi dengan pembalakkan hutan secara liar dan tidak terkendali dapat dibuktikan secara ilmiah akan dapat menyebabkan terjadinya banjir dan perubahan iklim global. Oleh karena itu dikemukakannya juga bahwa tindakan manusia juga dapat menyebabkan bencana alam.

Kiranya pihak yang terhindarkan dari stigma sebagai penyebab bencana meluapnya lumpur di Sidoarjo Jawa Timur, yang sebelumnya diduga demikian patut bersyukur. Hal ini disebabkan karena berdasarkan putusan dari pemegang kekuasaan kehakiman yang tertinggi di Indonesia, meluapnya lumpur di kawasan tersebut dinyatakan sebagai bencana alam. Patut juga dimaklumi putusan tersebut dibuat sebelum diundangkannya UU. Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Bencana alam bukanlah peristiwa hukum apalagi hubungan hukum, akan tetapi suatu bencana alam dapat menimbulkan akibat-akibat seperti yang lazim timbul dari peristiwa hukum, tindakan hukum dan hubungan-hubungan hukum. Penyelesaian terhadap akibat hukum membutuhkan identifikasi berkenaan berkenaan dengan pertanyaan siapa yang melakukan dan bagaimana melakukannya. Bahasan mengenai pengertian bencana alam semakin penting artinya dalam rangka menentukan siapa yang bertanggungjawab dan bagaimana menanggulanginya.

Page 19: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

12 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Namun demikian dan terlepas dari persoalan apakah suatu bencana secara murni disebabkan oleh faktor-faktor alam atau terdapat campur tangan (kebodohan, kemalasan, keserakahan, kemarahan, kebencian manusia), kiranya konsep disaster (bencana) lebih dapat diterima daripada acts of God (sebaiknya dibiarkan tidak diterjemahkan) yang terkesan memberi makna bahwa bencana merupakan tindakan Tuhan.

Seperti sudah menjadi bagian yang sangat melekat dalam sistem insting naluriah sehingga hampir pada setiap terjadinya bencana, hampir selalu pula berhasil ditokohkan sesuatu sebagai penyebab kendati pun sesesuatu yang dimaksudkan itu bersifat transcendental bahkan yang dalam kesehariannya merupakan tujuan dari Devine Worshipnya. Penokohan tersebut diungkapkan dalam berbagai idiom seperti; “umat manusia sedang memperoleh cobaan”, atau “sedang diuji kesabarannya”.

Kristian Cedervall Lauta mengungkapkan…. althought easily forgoten in the modern welfare state, human interaction with ecological system is an essential condition for the quality of life and remaons a structural element in social interactions. The most violent manifestation of this co-dependecy is the natural disaster.  Disasters cause not only physical destruction, but also personal devastation of losing all possessions, family pictures or even loved ones. It is a phenomenon that affects the most fundamental themes of human life and thus the nerve of society as such.8

Salah satu dari keadaan manusia yang juga bersifat alami adalah lupa. Namun demikian pada zaman modern ini semakin dapat diungkap bahwa jumlah orang lupa sangat banyak dan hal-hal yang dilupakan itu semakin banyak pula dan dapat dikemukakan 8 Kristian Cedervall Lauta, 2015, Disaster Law, Routledge, Abingdon, Oxon.

Hal.1

Page 20: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

13Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

berbanding sejajar dengan hal-hal yang harus diingat. Salah satu diantaranya yang dilupakan dan berkaitan dengan topik ini menurut Lauta adalah suatu konsep yang disebut dengan co-dependency.

Orang-orang dari sejak zaman dahulu kala tidak memilih bertempat tinggal di bibir pantai, di tebing-tebing yang curam, kendati pun pantai dan tebing curam itu menyajikan pemandangan yang indah, di lereng gunung berapi yang subur. Rupanya preferensi orang tua dahulu itu sudah merupakan hasil dari pengamatan, perenungan dan pemahaman yang diperoleh dari proses interaksi dengan alam. Namun local genius tersebut dalam beberapa puluh tahun belakangan ini dijungkirbalikkan. Orang-orang dengan bekal kemampuan yang ada justru banyak memilih bertempat tinggal di pinggir pantai yang rawan abrasi, tinggal dan membangun tempat usaha di tebing-tebing yang curam.

Namun demikian konsep abrasi atau pengikisan daratan oleh ombak dan gelombang laut baik secara seketika maupun perlahan itu tampaknya tidak selalu harus dipahami sebagai akibat dari perilaku alam yang tidak dapat dihindarkan. Banyak garis pantai yang semakin menjorok ke daratan akibat abrasi yang merupakan dampak negatif dari perilaku manusia yang tidak berhasil berinteraksi dengan alam.

Abrasi yang terjadi pada hampir sepanjang pantai di pesisir Pulau Bali bagian selatan, mulai dari kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung dan Karangasem dapat dikemukakan sebagai suatu contoh bencana karena abrasi yang terjadi akibat campur tangan manusia. Homo sapien yang dimaksudkan disini baik swasta yang memohon perkenan melakukan suatu kegiatan mengurug laut misalnya maupun

Page 21: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

14 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

penguasa yang memberi izin. Uraian dengan cara seperti ini ternyata dapat mengidentifikasi perbedaan antara bencana alam pada satu sisi dengan bencana (saja) pada sisi lain. Bencana alam pada dasarnya merupakan peristiwa alam yang timbul karena faktor-faktor alam secara murni seperti gempa bumi, tsunami, likuifasi atau penurunan permukaan tanah pada suatu area. Sementara itu dalam bencana (saja) terdapat kandungan unsur campur tangan manusia. Berlangsungnya bencana alam tidak membutuhkan izin apalagi permohonan, sebaliknya dalam bencana (saja) didahului dengan izin yang didalilkan sudah mempertimbangkan berbagai dasar hukum, persetujuan masyarakat dan kajian ilmiah sehingga ketetapan mengenai izin dapat diterbitkan.

Berdasarkan perbedaan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa abrasi yang sedang berlangsung pada hampir sepanjang pantai Bali selatan maupun yang akan berlangsung – karena sampai dengan saat tulisan ini dikerjakan sedang diproses permohonan izin dalam rangkaian kegiatan usaha swasta mengurug laut seluas lebih dari 700 Ha. Dapat pula dikemukakan bahwa penderitaan dan kerugian yang timbul dari abrasi tersebut merupakan akibat dari bencana yang berizin (bencana yang dizinkan manusia yang memegang kekuasaan ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan).

2. Paradigma Pemahaman Bencana

Definisi bencana yang dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan yang menentukan bahwa Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga

Page 22: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

15Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, tampaknya belum dapat memusakan semua kalangan.

Definisi tersebut sesungguhnya sudah dengan jelas menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bencana. Namun bagi yang bertekun dengan latar belakang pemikiran yang bersifat determinatif, artinya yang bersangkutan selalu berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini karena adanya “sebab awal”, yaitu sebab yang pertama, sebab yang menimbulkan segalanya. Latar belakang ini dapat menumbuhkan pandangan bahwa bencana diciptakan dan hanya dapat dihentikan oleh suatu kekuatan yang menciptakannya di luar kemampuan manusia. Kendati pun sudah dijelaskan bahwa suatu bencana disebabkan oleh alam, pandangan ini akan melanjutkannya dengan pertanyaan ; “siapa yang menggerakkan alam hingga menimbulkan bencana”.

Sebaliknya terdapat pula pandangan yang bersifat indeterminatif9 yang pada pokoknya menempatkan manusia dan lingkungannya merupakan titik sentral dari segalanya. Manusia memiliki kehendak dan dapat melaksanakan secara bebas pula. Latar belakang pandangan ini mengandung pengertian bahwa manusia dan lingkungannya juga dapat menciptakan atau mendorong terjadinya dalam hal ini suatu bencana.

Dalam beberapa lakon kesenian tradisional Nusantara misalnya di Jawa, Bali dan beberapa daerah yang lainnya seringkali 9 Istilah “determinatif ” dan “indeterminatif ” masing-masing dikembangkan

dari istilah “determinisme” dan “indeterminisme”. Dalam buku yang berjudul Sistematika Filsafat, 1981, Hasbullah Bakry, hal. 72 dikemukakan, bahwa determinisme merupakan aliran yang berpendapat….semua amal- perbuatan manusia telah ditentukan begitu rupa oleh sebab-musabab terdahulu sehingga praktis manusia itu sendiri tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan atas dasar kehendaknya sendiri yang bebas.

Page 23: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

16 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dikisahkan bahwa suatu bencana seperti wabah penyakit berbahaya pada dasarnya digambarkan sebagai hasil kutukan yang timbul dari suatu kekuatan yang sulit dijelaskan. Dalam lakon demikian, terjadinya suatu bencana dapat dipandangan seolah-olah sebagai hukuman bahkan tindakan balas dendam. Akan tetapi dalam lakon tersebut juga diceritakan setelah yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang dilandasi kebaikan dan ketulusan maka bencana yang dialaminya berlaku dengan seketika. Intinya yang melatarbelakangi lakon tersebut sesungguhnya memandang bencana itu sebagai suatu bentuk kutukan, hukuman dan sarana balas dendam.

Dalam perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan berhasil menelorkan teori yang bertujuan menjelaskan sebab-sebab terjadinya bencana. Teori tersebut banyak memberikan manfaat dalam rangka penyusunan langkah dan kebijakan hukum yang berkenaan dengan manajemen bencana. Ada pun teori yang dimaksudkan itu adalah; teori paradigma. Di samping itu untuk melengkapi pengetahuan dipandang bermanfaat juga apabila diketengahkan pula tentang konsep paradigma perubahan.

a. God/divinity

Paradigma bencana yang pertama adalah “paradigma KeTuhanan”. Dalam paradigma ini banyak bencana dipandang sebagai campur tangan Tuhan (as interventions by God(s)) dalam tulisan Kristian Cedervall Lauta10 dikemukakan bahwa apa yang dinarasikannya dengan “campur tangan Tuhan” tersebut dapat dijumpai baik dalam kitab suci Alkitab maupun mitologi dari peradaban besar dari beberapa suku bangsa seperti Mesopotamia, Yunani, India dan suku Maya.

10 Kristian Cedervall Lauta, Op.cit. hal. 15-16

Page 24: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

17Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Penggambaran yang paling menonjol mengenai campur tangan tersebut dapat dijumpai dalam Alkitab (Genesis Chapter 6-8). Menurut bab tersebut (6:7), Tuhan bersabda kepada Nabi Nuh: “Aku akan menghapus manusia dari muka bumi, manusia, ciptaanku sendiri dan juga binatang-binatang, dan makhluk-makhluk yang merangkak di tanah, serta burung-burung di udara ; karena aku menyesal telah menciptakannya.

Campur tangan Tuhan berkenaan dengan terjadinya bencana tidaklah terbatas seperti yang tertuang dalam Alkitab saja. Campur tangan seperti itu dapat juga dijumpai dalam mitos banjir tertua di dunia menurut mitologi Mesopotamia. Menurut mitologi ini manusia diciptakan oleh para dewa untuk melakukan kerja keras; namun karena kegaduhan yang dihasilkan oleh manusia yang berkerja itu membuat para dewa mengubah pikiran mereka dan menghancurkan umat manusia dengan banjir selama tujuh hari.

Kisah Deucalion dan Pyrrha dalam mitologi Yunani menggambar tindakan Zeus yang menciptakan banjir besar dengan tujuan untuk menghukum umat manusia. Kendati pun tidak dijelaskan secara rinci, kiranya dapat diduga hukuman tersebut dijatuhkan karena sifat manusia juga yang rakus dan serakah. Dalam mitologi India juga terdapat kisah tentang sepak terjang Manu sebagai raja pertama di Bumi. Setelah diperingatkan akan datangnya Matsya (sebagai awatara pertama dari Dewa Wisnu yang menitis ke dunia dalam bentuk seekor ikan besar) berhasil menyelamatkan umat manusia dari bencana banjir yang mengerikan. Dalam deretan ini tidak ketinggalan suku Maya juga turut serta berkontribusi. Dikisahkan….in Mayan mythology, a tribe of men made of wood was eliminated through a flood initiated

Page 25: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

18 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

by the Gods and replaced by the presnt tribe of men (made of corn). Uraian ini tidak menutup kemungkinan kisah serupa juga terdapat pada bagian-bagian lain dunia ini.

Paradigma KeTuhanan kiranya sangat lekat dengan nuansa “indeterminisme” yang menempatkan God/Dinity sebagai sebab awal. Dengan kekuatan yang digambarkan sangat dahsyat dan lengkap, sebab awal yang dimaksudkan itu mempu melakukan tindakan dua arah yaitu menciptakan dan menghancurkan segala sesuatunya. Namun demikian paradigma ini masih mengakui dan menghargai ikhtiar serta perbuatan baik.

Pengakuan tersebut dapat dijumpai ketika dalam Alkitab dikemukakan bahwa hanya Nabi Nuh yang selamat karena beliau seorang nabi yang sudah tentu memiliki timbunan amal kebaikan yang tak terhingga. Demikian juga Atrahasis dalam banjir menurut mitologi Mesopotamia yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Prometheus dan istrinya juga selamat dari banjir besar karena memiliki ikhtiar yang brilian. Inilah yang merupakan salah satu penjelasan di luar perspektif Buddha dan Hindutentang “kebaikan dan kebijaksanaan yang melindungi” (dharmo rakshati rakshitah). Intinya, paradigma KeTuhanan tidak sekadar “memperlakukan” Tuhan sebagai suatu konsep semata-mata, melainkan merupakan sesuatu yang aktif dalam segala hal. Tuhan tidak hanya bersemayam dalam pikiran dan hati sanubari manusia, akan tetapi juga menjadi perencana, intervensi dan sudah tentu melakukan pengawasan yang abadi. Tidak ada sesuatu pun yang sudah, sedang dan yang akan terjadi termasuk dalam bencana tanpa kehadiranNya.

b. Nature/Contingency

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan kehadiran yang disebut dengan Paradigma Kontingensi. Dengan menyimak

Page 26: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

19Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

kemunculannya setelah paradigma KeTuhanan, wajarlah timbul pertanyaan; apakah paradigma ini secara progresif menjungkirbalikkan paradigma yang pertama. Menurut paradigma kontingensi ....disaster is a product of an unorderly and unforeseeable nature or, rather, the disaster is an inherent part of a fundamentally contingent nature.11

Apabila menurut kembali perkembangannya ternyata kemunculan para kontingensi tersebut menyusul setelah terjadinya bencana gempa bumi besar yang melanda Portugis tepatnya Lisbon pada 1775. Angka tahun ini berlangsung lebih dari dua ratus tahun setelah Portugis menjajah beberapa bagian dari wilayah Indonesia sekarang. Namun demikian bencana itu tampaknya bukanlah suatu bentuk hukuman karena pernah menjajah bangsa lain. Lantas ? Seorang pencerah (aufklarung) bernama Francois-Marie Arouet yang lebih dikenal dengan Voltaire berupaya menjelaskan bagaimana ihwalnya sehingga dalam planet yang sama, di Lisbon ratusan ribu orang kehilangan nyawa, kehilangan tempat tinggal dan kehidupannya sementara di tempat-tempat lain seperti Paris dan London pesta-pesta dan segela bentuk kehidupan yang menyenangkan terus berlanjut.

Voltaire berusaha menjawab persoalan tersebut dengan menulis sebuah puisi dan sudah tentu menggunakan Bahasa Perancis. Namun demikian Lauta12 kemudian menjelaskannya dalam Bahasa Inggris….for Voltaire the answer seems to be that the world is not orderly or for that matter just; rather, it is chaotic and contingent. There is no (orderly and just) will or destiny behind (the wickedness of the world, and Voltaire urges us to see the world as it is. With specific regard to disasters (nature), these are considered 11 Kristian Cedervall Lauta, Op.cit. hal.18. 12 Kristian Cedervall Lauta, Op.cit. hal. 18

Page 27: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

20 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

unorderly, unforeseeable and chaotic (and thereby potentially unjust and evil, although those terms bear no greater meaning for the understanding of disasters).

Ringkasnya Voltaire sesungguhnya ingin mengemukakan, dunia ini penuh dengan ketidakteraturan yang mengandung ketidakadilan. Dalam pandangannya, teratur sama dengan adil Segala sesuatu yang tidak teratur adalah tidak adil. Pada suatu tempat, manusia mengalami penderitaan yang teramat sangat, tetapi di tempat lain di bumi ini manusia justru menikmati segala bentuk kesenangan. Voltaire tidak mengemukakan bahwa dunia ini lekat dengan ketidakpastian, melainkan penuh dengan berbagai kemungkinan yang seharusnya mengarahkan agar umat manusia siap menghadapinya.

Paradigma kontingensi pada dasarnya memandang alam semesta yang tidak teratur dan penuh dengan berbagai kemungkinan itu merupakan penyebab terjadinya segala bencana di dunia. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa paradigma kontingensi mengejawantahkan perkembangan yang revolusioner berkenaan dengan penyebab bencana dari Tuhan ke alam. Namun demikian paradigma kontingensi diakui telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebencanaan. Faktor inilah yang membedakannya dengan paradigma yang pertama.

….the paradigm of God left the disaster in the hands of the theologians, poets and philosophers, the paradigm of contingency or nature calls for investigation aimed at systemizing our ways of dealing with contingent events. Paradigma kontingensi pada pokoknya menghendaki dan mengarahkan pandangannya tentang perlunya dilakukan penelitian-penelitian yang bertujuan untuk dapatnya

Page 28: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

21Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

mengaransemen sistem dan upaya menghadapi peristiwa-peristiwa yang tak terduga.

c. The Social/Vulnerability

Sepanjang yang dapat diamati kiranya belum ada sumber yang mengemukakan pengertian konsep paradigma sosial/kerentanan. Namun apabila yang dimaksudkan itu adalah social vulnerability atau kerentanan sosial maka untuk konsep yang disebutkan belakangan ini tersedia beberapa pengertian dari berbagai kalangan dan ahli. Dengan mempertimbangkan relevansinya, uraian pada sub ini akan diawali dengan pemaparan pengertian social vulnerability.

Jurgen Weichselgarther mengemukakan ….the concept of social vulnerability emerged most recently within the discourse on natural hazards and disasters. To date no one definition has been agreed upon. Similarly, multiple theories of social vulnerability exist.13 Salah satunya menguraikan bahwa kerentanan sosial merupakan suatu dimensi kerentanan terhadap berbagai bentuk tekanan dan guncangan, termasuk penyalahgunaan, pengucilan sosial dan bencana. Kerentanan social mengacu pada ketidakmampuan orang, organisasi, dan masyarakat untuk menahan dampak negative dari berbagai pemicu yang mereka hadapi. Dampak ini sebagian disebabkan oleh karakteristik yang melekat dalam interaksi sosial, lembaga, dan system nilai budaya. Betapa pun juga social vulnerability tetap merupakan bagian dari bencana seperti halnya bencana alam. Dua paradigma terdahulu menekankan pada faktor yang bersifat transcendental dan alam, sedangkan paradigm social/kerentanan menekankan pada faktor manusia

13 Jurgen Weichslgarther, 1 May 2001. Disaster Mitigation: the concept of vulnerability revisited. Disaster Prevention and Management: An International Journal. 10(2) : 85-95 seperti dikutip oleh Wikipedia.

Page 29: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

22 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dan lingkungan sosialnya.

Konsep-konsep yang digunakan untuk memahami bencana dalam paradigma sosial berakar pada sistem sosial, dan oleh karena itu ilmu-ilmu sosial memiliki relevansi dan posisi yang penting dalam hubungan ini. Peran tersebut diwujudkan dalam rangka pengembangan konsep dan dalam memahami bencana modern. Mengingat karena bencana bersifat sosial, teori sosiologis tampaknya penting untuk membangun inventarisnya. Untuk memeriksa perkembangan krisis dalam memahami bencana alam, penyelidikan karena itu berangkat dari teori sosiologis yang ada. Diskusi tentang posisi sosiologis dalam paradigma sosial akan mengikuti. Tujuannya adalah untuk menguji konsep-konsep utama, latar belakang teoritis untuk paradigma bencana sosial, serta konsep-konsep risiko dan kerentanan yang lebih luas.14

Dari uraian yang ringkas tersebut apabila diringkas lagi diharapkan akan dijumpai inti dari pokok persoalan yang dibahas. Ada pun inti dari social/vulnerability paradigm memperlihatkan bahwa ketidaksiapan, ketidakberdayaan, kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan masyarakat dalam memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan dampaknya sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.

d. Paradigma Perubahan

Betapa pun juga social vulnerability tetap merupakan bagian dari bencana seperti halnya bencana alam. Dua paradigma terdahulu menekankan pada faktor yang bersifat transcendental dan alam, sedangkan paradigm social/kerentanan menekankan pada faktor manusia dan lingkungan sosialnya. Pada kesempatan yang sangat baik ini, uraian berkenaan dengan paradigma

14 Kristian Cedervall Lauta. Loc.cit. hal. 22.

Page 30: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

23Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

pemahaman bencana akan dilengkapi lagi dengan “paradigma” yang agak berbeda dari hal yang sudah diuraikan.

Ada pun paradigma yang dimaksudkan itu dapat dikomunikasikan dengan konsep paradigma perubahan. Paradigma ini dideduksi dari sebuah artikel yang ditulis oleh seorang bhikkhu (orang yang sudah ditahbiskan untuk menjalani kehidupan sebagai sammana (kesucian) menurut agama Buddha, tidak berkeluarga, tidak memiliki kekayaan, tidak berutang, melakukan kegiatan pelayanan terhadap umat dan meningkatkan kualitas kesammanaannya). Bhikkhu yang tersebut adalah Venerable Dr. K. Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera. Artikel yang berjudul The Anatomy of Disaster 15 akan disajikan secara relatif lengkap, dan dijelaskan sehingga dapat dipahami bahwa Bhikkhu Sri Dhammananda menulis mengenai salah satu paradigma pemahaman bencana.

Perlu diketengahkan bahwa Sri Dhammananda tentunya adalah seorang pemeluk agama Buddha dari sekte Theravada – sebuah sekte dalam agama Buddha yang berusaha mempertahankan dan menjalankan buddhisme secara murni sebagaimana diajarkan oleh Buddha Gautama - yang sudah menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu selama puluhan tahun, sudah tentu pula menguraikannya berdasarkan perspektif buddhis. Namun demikian penjelasannya akan dupayakan agar dapat dipahami secara umum.

Yang Arya (sebutan untuk bhikkhu yang sudah meninggal) pertama mengemukakan bahwa tsunami Asia (di Indonesia dikenal dengan tsunami Aceh) yang melanda negara-negara yang berbatasan dengan Samudra Hindia merupakan suatu tragedi yang telah menunjukkan kekuatan alam yang dahsyat. Tidak 15 Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005 . The Anatomy Of Disaster. The

Buddhist Channel. https://www.buddhistchannel.tv. 24-2-2005

Page 31: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

24 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

sedikit yang mempertanyakan penyebabnya;…..whether it was a sign of “God displeasure” to punish humankind for all the wrong doing wrought on earth. Hal yang hampir sama pernah ditanyakan oleh Penyanyi Ebiet G. Ade lewat lagu yang berjudul “Berita Kepada Kawan”. Berikut adalah cuplikan liriknya ; kawan coba dengar apa jawabnya, ketika kutanya mengapa, bapak ibunya telah lama mati, ditelan bencana tanah ini….barangkali disana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana, mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang sellu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada, rumput yang bergoyang.

Tampak pada satu sisi pertanyaan-pertanyaan tersebut dilatarbelakangi baik oleh paradigma KeTuhanan maupun paradigm Kontinjensi dan juga faktor manusia. Kecuali yang disebutkan terakhir ini, semua penyebab bencana yang tersirat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut timbul dari beberapa kekuatan eksternal. Akan tetapi sebelum membuat-asumsi-asumsi yang lebih jauh, maka akan sangat bermanfaat apabila memahami kembali tentang sifat hakiki dari kehidupan, khususnya yang berkenaan dengan keberadaan manusia.

Dengan melakukan penelusuran secara etimologis (studi tentang asal-usul kata), Bhikkhu Sri Dhammananda sampai pada suatu yang sangat mendasar bahwa terma manusia mengandung makna sebagai mana atau batin. Selanjutnya dijelaskan dari semua makhluk dari berbagai alam kehidupan, hanya manusia yang memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas batinnya untuk menjadi “Yang tersadarkan”. Kesempatan tersebut diperoleh karena manusia memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan untuk mempertanyakan keberadaan mereka, mengapa mereka

Page 32: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

25Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dilahirkan, dan tentang makna kehidupan itu sendiri.

Kecerdasan (intelligence) atau yang dalam Bahasa Pali disebut dengan nanasatti pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat vital, karena dengan kecerdasan itulah dapat mengembangkan pengetahuan tentang hakikat kehidupan, faktor-faktor yang membentuk kehidupan, dan sifat makhluk. Melalui penelusuran seperti itu Sang Buddha mengajarkan bahwa keberadaan semua makhluk dan alam semesta sesungguhnya merupakan gabungan dari elemen-elemen dan energi.

Elemen-elemen tersebut terdiri dari tanah, angin, air dan api. Dapat dikemukakan, tanah terdiri dari unsur-unsur yang tercakup dalam ruang lingkup tanah, sedangkan angin, air serta api merupakan energi. Elemen-elemen dan energi tersebut tunduk pada dan diatur oleh hukum alam yang bekerja dalam siklus abadi (perpetual cycle); lahir, tumbuh, hancur dan lenyap….this universe of animate and inanimate objects exists on a basis of conditioning and the occurrence of mental and physical events that are governed by natural laws (Dhamma Niyama).

Terma Dhamma Niyama dalam hubungan ini dipergunakan sebagai suatu konsep tentang hukum alam menurut perspektif Buddhisme, yaitu aturan-aturan yang berlaku terhadap siapa dan apa pun yang terkondisi, dimana serta kapan pun secara alami. Buddhisme mengajarkan bahwa alam dan seluruh isinya diatur serta tunduk pada Dhamma Niyama yang secara harfiah mengandung pengertian sebagai hukum dhamma atau hukum alam. Disimak dari aspek sistematika terutama pembagiannya, Dhamma Niyama terdiri dari (1) Utu Niyama, hukum kodrati yang mengatur tentang perubahan musim dan fenomena yang berkaitan dengan iklim dan cuaca. Di samping itu juga menjelaskan sifat panas dan api,

Page 33: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

26 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

tanah dan gas, air dan angin. Bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan yang lainnya termasuk ruang lingkup pengaturan dalam niyama ini. (2) Bija Niyama, hukum kodrati yang mengatur perihal hayati pada umumnya seperti benih, tetumbuhan hingga kuman. (3) Kamma Niyama, hukum kodrati tentang sebab-akibat moral. Seluruh pikiran, perkataan dan perbuatan kehendak menciptakan energi yang menghasilkan efek dan proses. (4) Dhamma Niyama, hukum kodrati tentang anatta atau ketidakkekalan. (5) Citta Niyama, hukum kodrati tentang kegiatan mental yang menyangkut kesadaran, pikiran, dan persepsi. Inilah lima jenis faktor – sehingga disebut Panca Niyama Dhamma – yang berkerja di alam semesta yang menyebabkan sesuatu terjadi.

Dalam kosakata Bhikkhu Sri Dhammananda16, Utu Niyama itu adalah hukum energi…. Energy, in its two forms of heat and cold, causes many changes within the body and the environment. It is always in a state of flux, of continuous change and always seeking a balance. It is the law that govern changes in body, such a old age and illness, or in an ecological context, with respect to such things as climates, seasons and earth movements.

Dari pernyataan tersebut dapatlah diangkat sebuah kata kunci yaitu “perubahan” yang berlangsung secara terus-menerus. Perubahan tidak hanya terjadi di dunia fisik, akan tetapi juga pada alam metafisika, baik yang berupa benda beruwujud mau pun tidak berwujud. Seluruh elemen ini dapat mengalami perubahan. Energi yang berubah secara terus-meneru dapat dikemukakan sebagai suatu contoh. Panas dan dingin yang merupakan bentuk-bentuk energi telah banyak menimbulkan perubahan pada manusia dan lingkungannya. Penyakit, ketuaan, cuaca, musim dan pergerakan-pergerakan bumi semuanya berkenaan dengan perubahan.16 Ibid.

Page 34: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

27Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Perihal yang disebut dengan perubahan itu paling relevan dengan Buddhisme terutama yang mengajarkan tentang annica atau ketidakkekalan, segala sesuatu yang terkondisi tidak kekal. Abhidhamma Manavibhasa – bagian dari Tipitaka, kitab suci Agama Buddha yang mengajarkan filsafat - mendeskripsikan betapa beragam dan cepatnya perubahan berlangsung. Dikemukakan bahwa 1 hari terdiri dari 24 jam dan dalam kurun waktu ini terdapat 6.400.099.988 saat atau momen yang berbeda. Segalanya muncul dan lenyap secara terus menerus. Alam semesta bukanlah sebuah kolam yang tenang, melainkan arus yang mengalir dengan sangat cepat.

Buddhisme yang berintikan Empat Kesunyataan Mulia sangat intens mengajarkan tentang dukkha atau penderitaan. Menurut paham Buddhis, kehidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan. Namun hendaknya hal ini tidak dipandang sebagai pesimisme, melainkan objektivitas yang harus dihadapi. Di antara berbagai penderitaan yang dihadapi manusia terdapat satu yang disebut dengan viparinama dukkha yaitu penderitaan yang diakibatkan oleh perubahan.

Sehubungan dengan uraian ringkas tersebut mungkin timbul pertanyaan; mengapa perubahan itu sampai menimbulkan bencana. Dalam kerangka berpikir buddhis, perubahan terjadi tidaklah karena viruddha atau permusuhan – alam tidak lagi bersahabat dengan manusia - , tidak juga karena kammakarana atau hukuman terutama fisik, melainkan lebih mengarahkan pada sesuatu yang disebut dengan tula yaitu keseimbangan.

Page 35: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

28 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

3. Bencana Dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Dari uraian singkat terutama yang berkenaan dengan pengertian bencana dapat dipahami bahwa bencana baik alam maupun non-alam pada dasarnya bersifat destruktif. Jikalau misalnya bencana itu berupa gunung meletus yang mengalirkan milyaran meter kubik lava pijak dan menghancurkan segala sesuatu baik fisik maupun non-fisik yang dilaluinya. Setiap benda bahkan mental manusia yang mengalami dan melihatnya akan merasakan dampak psikologis yang berkepanjangan.

Sementara itu pembangunan berkelanjutan menurut Brundtland Commission17 (World Commission on Environment and Development yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland pada 1984 sehingga komisi yang dipimpinnya sering disebut Brundtland Commission) yang merumuskan dan mendefinisikan konsep tersebut pada pokoknya mengemukakan prinsip pembangunan berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Dari deskripsi-deskripsi tersebut tampak dua fenomena yang kontras; bencana baik alam maupun non-alam dengan destruksinya yang dahsyat pada satu sisi, dan pembangunan berkelanjutan yang bersifat konstruktif pada sisi lain. Di antara kedua fenomena tersebut berdirilah segenap insan pembangunan mulai dari bapak pembangunan (kalau predikat itu masih diberikan sekarang), para pejabat yang berkompeten sebagai policy maker dan sudah tentu korban bencana yang sesunguhnya adalah rakyat yang sekaligus merupakan pendukung pembangunan.

Tentunya mereka tidak sebatas hanya berdiri atau

17 Meidia Pratama, 2014. Pembangunan Berkelanjutan, Gagasan, Implementasi dan Kecenderungan Realitas Di Indonesia. Bandung Magazine, https://www.bandungmagazine.com

Page 36: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

29Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

mendatangi lokasi bencana dalam konvoi rombongan yang panjangditambah mobil pengawal dengan seperangkat sirene yang meraung-raung, bersalaman dan berupaya menguatkan para korban yang beristirahat bergelimpangan atau lesehan di lantai tenda atau tempat pengungsian lain. Mereka adalah figur-figur yang “bertanggungjawab” di samping melaksanakan kebijaksanaan publik penanggulangan dan mitigasi bencana, juga dituntut harus tetap melaksanakan pembangunan berkelanjutan di tengah bencana yang destruktif.

Tentunya juga hal tersebut merupakan pekerjaan yang sangat tidak gampang terutama bagi negara atau kawasan-kawasan yang memiliki alam, kondisi dan sifat yang sama seperti yang dimiliki Indonesia yang sejak awal sudah memancangkan tekad untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Indonesia dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah sekalian dengan potensi bencana alam pada satu sisi, Indonesia juga dalam mengentaskan rakyatnya ke gerbang kemakmuran dan kesejahteraan harus merancang dan melaksanakan pembangunan pada sisi lainnya.

Boleh jadi akan dirasakan semakin bertambat rumit karena semuanya harus dilakukan secara simultan, serentak, bersamaan. Tentunya semua komponen bangsa sangat menyadari kondisi bumi nusantara yang seperti itu. Semuanya seperti sudah terlatih dan penuh persiapan menghadapi bencana. Pemegang otoritas tidak “grusa-grusu”; begitu terjadi gempa lantas dengan segera menyatakan “keadaan tanggap darurat” selanjutnya mohon ditetapkan sebagai bencana nasional yang disertai harapan agar perhatian dan bantuan lebih banyak lagi yang datang. Intinya, suatu paradigm dalam pembangunan yang seutuhnya, berkelanjutan

Page 37: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

30 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dan simultan itu sangat penting.

Paradigma merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Latin yaitu paradeigmna dan selanjutnya oleh Paul J. Sampley18

pada pokoknya dikemukakan suatu paradigma pada dasarnya dapat digeneralisasikan sebagai semacam upaya memperjelas, menguatkan dan meyakinkan yang semuanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu yang “diparadigmakan”. Kewajiban seorang akuntan pribadi adalah merupakan contoh yang representatif untuk menjelaskan tentang fungsi paradigm. Seorang akuntan tidak akan mengarahkan kliennya membelanjakan setiap lembar uang dimilikinya selain yang didasarkan pada financial goals. Istilah paradigm semakin berkembang setelah para ahli seperti Thomas Kuhn, Robert Friedrichs, George Ritzer, dll. menuangkan dan menganalisisnya dalam karya masing-masing. Kuhn memandang paradogma itu sebagai terminology kunci bagi model pengembangan ilmu pengetahuan. Friederichs merumuskan paradigm sebagai suatu pandangan mendasar dan suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapatlah dirangkum bahwa paradigm merupakan suatu kerangka konseptual termasuk nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan 18 Paul J. Sampley, 2003, Paul in the Greco RomanWorld: A Handbook. Trinity

Press Intrnational. Hal.. 228-229) seperti dikutip Enwikipedia, pada pokoknya mengemukakan…. paradeigme is known as a type of proof. The purpose of paradeigma is to provide an audience with an illustration of similar occurrences. This illustration is not meant to take the audience to a conclusion, however it is used to help guide them there. One analogy of how a paradeigma is meant to guide an audience would be a personal accountant. It is not the job a a personal accountan to tell their client axactly what ( and what not) to spend their money on, but to aid in guiding their client as to how money should be spend based on their financial goals. Anaximenes defined paradeigma as “actions that have occurred previously and are similar to, or the opposite of, those which we are we are discussing”.

Page 38: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

31Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

oleh suatu komunitas dalam memahami atau mengapresiasi segala sesuatu. Dengan demikian dapat dikemukakan, fungsi utama paradigma adalah sebagai acuan dalam mengarahkan kegiatan, baik yang sehari-hari maupun yang bersifat ilmiah.

Dengan perkataan lain, paradigm dapat diartikan sebagai cara berpikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Seorang pribadi dapat mempunyai sebuah cara pandang yang spesifik, tetapi cara pandang itu bukanlah paradigma. Dalam hal kiranya cara pandang itu lebih dekat ke arah apa yang disebut dengan wawasan. Paradigma harus dianut oleh sebuah komunitas. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa paradigma itu bukanlah keputusan pribadi melainkan suatu hasil dari kesepakatan individu-individu dari suatu kelompok masyarakat.

Di samping membutuhkan kesepakatan, suatu paradigma juga memerlukan komitmen publik dalam pelaksanaannya. Inilah ciri yang paling karakteristik dari paradigm; dihasilkan dari kesepakatan publik dan dipertanggungjawabkan pelaksanaannya secara publik. Disimak dari dari aspek demikian kiranya tidaklah terlalu berlebihan apabila dikemukakan bahwa undang-undang – bukan hukum secara umum – pada dasarnya merupakan salah satu bentuk representasi dari paradigma.

Dalam Bahasa yang masih perlu disesuaikan, suatu undang-undang sesungguhnya dapat memperlihatkan cara pandang negara sebagai suatu komunitas hukum dan kekuasaan berkenaan dengan suatu subyek. Undang-undang di Indonesia misalnya dihasilkan dari kesepakatan-kesepakatan politik dari berbagai kekuasaan dalam komunitas kenegaraan dan dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.

Page 39: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

32 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Sementara itu pembangunan berkelanjutan tidaklah sekadar mengurug laut untuk dijadikan daratan kemudian di atasnya dibanguni hunian dengan segala fasilitasnya, terus dijual entah kepada siapa, yang penting mendatangkan uang bagi yang menjualnya. Pembangunan berkelanjutan tidaklah sedangkal itu, pembangunan berkelanjutan tidaklah semata-mata dinikmati oleh generasi yang membangunnya, melainkan bahkan terutama bagi kemanfaatan generasi mendatang sebagai penerus peradaban. Oleh karena itu laut harus dilestarikan untuk kepentingan generasi mendatang.

Fungsi paradigma tersebut sangat strategis terlebih-lebih dalam pembangunan yang dilaksanakan pada negara atau kawasan yang rawan bencana, yang pada pada satu sisi terdapat upaya-upaya untuk mempertahankan, melanjutkan dan meningkatkan pri kehidupan-peradaban, serta yang pada sisi lain terdapat atau sering terjadi kondisi atau peristiwa yang dapat menghambat, mengurangi bahkan meniadakan hasil-hasil pembangunan itu mutlak membutuhkan paradigm; “paradigma pembangunan.”

Dengan bertumpu pada pengertian paradigma dan kemudian dikaitkan dengan pemahaman mengenai pembangunan maka seecara umum dapat dikemukakan bahwa konsep paradigma pembangunan dapat merujuk pad acara berpikir dalam proses merancang, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan. Paradigma tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik, pertahanan, teknologi, pendidikan, budaya dan lain-lainnya.

Paradigma pembangunan Indonesia sebagai negara yang sedang melaksanakan pembangunan yang meliputi segala aspek seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, sudah tentu dan

Page 40: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

33Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

sangat tepat apabila paradigma tersebut tidak berorientasi pada pragmatisme yang semata-mata mengutamakan manfaat praktis. Pembangunan nasional Indonesia pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya lengkap dengan harkat dan martabatnya. Pembangunan itu bukan untuk pembangunan, melainkan untuk menusia dan lingkungannya baik alam maupun sosial. Daripada mengikuti hedonism yang mengajarkan pandangan hidup yang diformulasikan dengan life style yang bertumpu pada tujuan mengejar kesenangan dan kenikmatan pribadi tanpa memperhatikan apalagi bersimpati pada penderitaan orang lain, maka untuk aspek ini dapatlah dikemukakan bahwa pandangan-pandangan berkenaan dengan efisiensi baik dari Jeremy Bentham maupun Vilfredo Pareto dapat diharapkan relevansinya.

Dalam berbagai kajian antara lain seperti yang diedit oleh Julia Driver19 dikemukakan, pernyataan Jeremy Bentham ; the greatest happiness for the greatest numbers. Apabila diperhatikan, ujaran yang tampak seperti kata-kata mutiara tersebut sesungguhnya merupakan ajaran tentang efisiensi. Dikemukakan demikian karena dengan ungkapannya itu Bentham mengajarkan perihal “ketepatgunaan” – presisi – antara tindakan dan hasil, antara harapan dan pencapaian. Sangat besar kemungkinanannya – artinya masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam – ungkapan Bentham itu mengandung relevansi dalam rangka menjelaskan salah satu anak kalimat yang terdapat dalam salah satu ayat dari Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ada pun anak kalimat yang dimaksudkan itu adalah ; “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

19 Julia Driver, 2014, The History Of Utilitarianism. Stanford Encyclopedia of Philosophy. htpps://plato.stanford.edu.

Page 41: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

34 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Berkenaan dengan efisiensi, selain Bentham, maka seorang ahli mesin; Vilfredo Pareto juga berkenan mendefinisikan efisiensi yang kemudian lebih dikenal dengan Pareto’s Efficiency. Pareto pada pokoknya mengemukakan ...as the economic  situation when the circumstances of one indivudual cannot be made better without making situation worse for another individual. Pareto’ s efficiency takes places when the resources are most optimally used.20

Penekanan pada faktor efisiensi menyebabkan pembangunan ekonomi menjadi tidak mudah pelaksanaannya kendatipun modal finansial tersedia tanpa batas. Sepanjang tidak memenuhi kriteria efisiensi maka pelaksanaan pembangunan dikatakan masih jauh dari berhasil. Efisiensi yang sesungguhnya merupakan konsep «engineering», dewasa telah menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi.21

Sedapat mungkin paradigma pembangunan itu dirumuskan dengan memperhatikan seluruh obyek pembangunan. Namun demikian dan dalam kaitannya dengan kebencanaan,  hal ini sama sekali tidak mengandung pengertian bahwa upaya dan segala sesuatu yang tercakup dalam konsep pembangunan itu harus juga membangun bencana. Lalu, bagian apanya yang harus dibangun dari suatu bencana selain bagian atau pun fasilitas yang mengalami kerusakan fisik yang harus dibangun kembali?

Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang sangat kaya dengan kekuatan ekonomi potensial  berupa kekayaan alam yang melimpah ruah mulai dari Sabang sampai Merauke. Menurut iklan layanan masyarakat terutama yang disiarkan oleh radio siaran swasta niaga,  ibu pertiwi dengan kekayaan alamnya itu siap

20 definition of pareto’s efficiency. https://economictimes.indiatimes.com21 Putu Sudarma Sumadi, 2018, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi.

Paramita, Surabaya. Hal.46

Page 42: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

35Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

menopang kehidupan rakyatnya. Iklan tersebut bukanlah isapan jempol belaka, melainkan suatu ujaran yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Dari segi geografis Indonesia memiliki sekitar 139 gunung api aktif yang pada pokoknya tersebar pula secara merata pada hampir seluruh provinsi.22 Ini merupakan jumlah yang sangat banyak dan selain itu terdapat beberapa daerah memiliki lebih dari satu gunung api, misalnya Bali, sebuah pulau yang relatif kecil dengan Gunung Agung (sesekali erupsi dan masih berada dalam status siaga) dan Gunung Batur.

Di samping gunung api yang dapat menimbulkan bencana melalui letusannya, bumi Nusantara ini juga mencatatkan banyak daerah yang rawan banjir dan tanah longsor. Pada 2012 yang lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan 240  kabupaten/kota di Indonesia rawan banjir dan longsor.23

Erupsi gunung api, banjir dan tanah longsor dapat dikemukakan sebagai bencana yang dapat atau pernah dialami oleh banyak negara, di Indonesia selain bencana-bencana yang «lumrah» juga memiliki potensi bencana yang lain dan agak spesifik. Saking khasnya bahkan sampai berhasil diciptakan konsep yang khas pula yaitu «Karhutla». Konsep ini merupakan singkatan dari «kebakaran hutan dan lahan». Yang dimaksudkan «lahan» disini adalah «lahan gambut» dan lahan seperti ini bisa mengalami kebakaran.

Intinya, disamping memiliki lahan yang subur, laut yang penuh dengan ragam ikan, hutan yang lebat (dahulu) dan berbagai

22 Ralf Gertisser, Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com

23 2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com

Page 43: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

36 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

bentuk properti yang masih tersimpan di perut bumi pertiwi (sekarang sudah berkurang) dan lain-lain yang pada pokoknya berhasil mengantarkan predikat sebagai negara yang berlimpah dengan kekayaan alam, pada dasarnya juga Indonesia itu juga kaya dengan potensi bencana.

Dengan posisi seperti itu ditambah lagi dengan tekad bangsa ini melaksanakan pembangunan dalam berbagai dimensi, maka merupakan suatu kewajiban untuk memiliki paradigma pembangunan dalam kaitannya dengan potensi bencana yang terjadinya tidak dapat diramalkan sebelumnya. Pembangunan dapat direncanakan dan diprediksi, sedangkan bencana terutama gempa bumi adalah sebaliknya; tidak dapat diramalkan kapan terjadinya. Dapatlah dibayangkan betapa riskan dan sulitnya merancang, melaksanakan serta mengevaluasi suatu kegiatan yang bersifat predictable untuk sesuatu yang sebaliknya. Namun demikian tuntutan untuk adanya paradigma pembangunan tetap harus dipenuhi. Intinya konsep paradigma pembanguan mengacu pada pemahaman tentang bagaimana pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan itu menaruh perhatian serta bersikap terhadap atau memperlakukan bencana.

Dr. Asep Karsidi24, Deputi Menko Kesra Bidang Kerawanan Sosial mengemukakan, Indonesia tak pernah absen dari bencana. Setiap saat kita dikejutkan oleh berbagai bencana yang datang silih berganti. Bencana itu telah banyak menelan korban, baik harta-benda maupun jiwa manusia.Berdasarkan pengalaman dalam menangani bencana di Indonesia, sudah saatnya kita mengubah paradigma lama menjadi paradigma baru. Perubahan paradigma itu dimaksudkan agar dampak dari bencana tersebut

24 Asep Karsidi, 2018, Paradigma Baru Tangani Bencana Di Indonesia. https://www.republika.co.id

Page 44: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

37Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

bisa diminimalkan. Dengan demikian jumlah korban bisa ditekan serendah mungkin.

Paradigma lama yang dimaksudkannya itu pada dasarnya merupakan suatu cara pandang, sikap, strategi dan kebijakan yang bersifat konvensional. Dengan paradigma ini, orang tidak sempat berpikir, tapi bertindak langsung (sambil berpikir atau tidak berpikir sama sekali) dan cenderung nekad atau pasrah. Di antara para pakar dan pemerhati ada yang mengemukakan bahwa itu merupakan “paradigma tanggap-darurat”.

Dapat dikemukakan terdapat sekitar empat paradigma penanganan bencana yaitu; paradigma relief dan emergensi, paradigma mitigasi, paradigma pembangunan, dan paradigma pengurangan risiko. Paradigm relief pada dasarnya merupakan cara pandang dan sikap terhadap bencana dengan titik pusat yang yang ditekankan terutama pada akibat-akibat yang timbul dari suatu bencana. Di antara akibat-akibat tersebut yang terpenting adalah korban bencana itu sendiri. Puncak kegiatannya tercurah pada pemberian bantuan dan pelaksanaan langkah-langkah kedaruratan. Oleh karena itu wajarlah disebut paradigma bantuan dan kedaruratan (reflief and emergency).

Intinya paradigma reflief merupakan suatu bentuk tanggapan terhadap bencana; serangkaian langkah dan kebijakan yang dilaksanakan setelah terjadinya bencana; bagaimana menangani korban, menyediakan tempat yang aman bagi korban bencana untuk sementara waktu, menyalurkan bantuan baik yang bersumber dari Pemerintah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang tersedia maupun yang diberikan oleh warga masyarakat, dll. Dalam perkembangan terakhir dan sudah tentu ditunjang oleh pengalaman karena relatif seringkali mengalami

Page 45: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

38 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

bencana, maka ragam bentuk perlakuan terhadap korban juga mengalami perkembangan. Pada bencana-bencana sebelumnya, semua pihak sudah merasa tertanggulangi atau setidak-tidaknya diringankan penderitaannya misalnya yang kehilangan tempat tinggal dengan disediakan tempat penampungan. Selanjutnya berbagai fasilitas pada tempat penampungan dilengkapi secara bertahap hingga meliputi penyediaan suatu tempat khusus bagi pasangan suami-istri melaksanakan “hajat”nya sambil ngungsi.

Terlepas dari persoalan apakah penyediaan fasilitas seperti itu termasuk dalam ruang lingkup pengertian paradigma relief atau tidak, yang jelas kreativitas pemrakarsa menyediakan fasilitas tersebut disambut dengan sangat antusias oleh banyak pasangan suami-istri, kecuali mungkin yang karena baik bencana atau pun sebelumnya kehilangan pasangan masing-masing. Di Indonesia penyediaan fasilitas demikian tampak pada beberapa lokasi penampungan pengungsi korban erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah pada 2010.

Disimak lebih jauh ternyata penyediaan fasilitas dalam rangka penanggulangan korban bencana di Indonesia pada dasarnya sudah mencakup aspek fisik dan psikhologis. Terhadap korban tidak semata-mata diberikan bantuan sandang, pangan, papan, dan pengobatan yang merupakan kebutuhan fisik, tetapi lebih dari itu kepada mereka disediakan suatu lokasi untuk melaksanakan kehidupan sebagaimana layaknya suami-istri. Kiranya melaksanakan kehidupan demikian merupakan pemenuhan kebutuhan “ultra darurat”.

Peningkatan pemenuhan kebutuhan tidak hanya “dinikmati” oleh orang dewasa dalam hal ini pasangan suami-istri yang menjadi korban bencana, tetapi juga ditujukan untuk

Page 46: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

39Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

keluarga korban pada umumnya terutama anak-anak. Peningkatan ini meliputi pemenuhan kebutuhan belajar-sekolah bagi mereka yang berada di tempat pengungsian untuk waktu relatif lama. Di samping itu untuk anak-anak juga diselenggarakan berbagai acara yang pada pokoknya bertujuan menanggulangi trauma dan merawat kesehatan mental mereka.

Demikianlah yang dilakukan pada hampir setiap pasca bencana dan itu memang sangat diharapkan terutama oleh korban. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa Paradigma Relief bersifat sangat strategis, dibutuhkan dan memiliki relevansi yang tinggi dalam rangka penanggulangan bencana hingga sekarang. Di samping itu tidaklah terlalu berlebihan apabila dikemukakan, Paradigma Relief tidak boleh ditinggalkan, melainkan sangat perlu ditingkatkan ragam dan bentuknya hingga meliputi seluruh aspek kehidupan. Aspek yang disebutkan terakhir ini tidak semata-mata meliputi manusia (human being) dengan segala kebutuhannya, tetapi termasuk juga hewan dengan segala keberadaan dan peranannya.

Berkenaan dengan perlakuan terhadap non-manusia terutama hewan rupanya antisipasi dampak dan hubungan antara hewan peliharaan, ternak dengan pemiliknya dan terjadinya bencana tampak kurang memadai. Hal ini terlihat misalnya sehubungan dengan terjadinya erupsi Gunung Agung di Bali. Otoritas kebencanaan dan segenap komponen sudah melaksanakan kewajiban sesuai dengan prosedur antara lain mengungsikan warga yang bermukim di Kawasan Rawan Bencana yang paling terdampak, tetapi banyak warga seperti enggan meninggalkan desanya. Ternyata faktor yang menimbulkan keengganan tersebut tertuju pada hewan ternak yang dimilikinya dan tidak dapat

Page 47: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

40 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dibawa ikut serta ke tempat pengungsian. Bahkan warga yang sudah mengungsi pun juga tidak betah di tempat penampungan. Sesuai waktunya, mereka berusaha menyempatkan diri pulang ke desa untuk memberi makan hewan ternak yang ditinggalkan untuk jangka waktu yang belum dapat ditentukan.

Di samping itu banyak pula di antaranya yang membawa ternaknya ke tempat yang dipandang aman untuk dititip, dirawat dan dipelihara sesuai dengan biaya serta syarat dan ketentuan yang telah diperjanjikan. Banyak pula yang karena tidak mau direpotkan dibandingkan ketika masih bersama satu desa atau merasa tidak mampu lagi mengurus lantas dengan sangat terpaksa menjual ternaknya lebih murah daripada harga pasar.

Berdasarkan ilustrasi potret penanganan pasca bencana tampaklah bahwa paradigma bencana selama ini masih terfokus pada manusia. Sementara itu perhatian terhadap hewan ternak yang keberadaan dan peranannya tidak kecil dalam menunjang kehidupan manusia justru kurang memadai kalau tidak boleh dikatakan tidak adil. Seolah-olah apa pun yang dibuat oleh manusia selalu ditujukan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Dalam hal ini Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 41 Tahun 2014 dapat diajukan sebagai contoh; hewan ternak dibuat sehat pada akhirnya untuk manusia juga.

Mengingat paradigma relief tersebut peranannya tidak digantikan, maka segenap komponen penanggulangan bencana harus memiliki sejumlah persiapan dan standar langkah-langkah sehubungan dengan pelaksanaan kedaruratan. Diantara persiapan yang dimaksudkan, yang terpenting adalah kesiapan terutama negara dalam menyediakan sejumlah anggaran untuk membiayai langkah-langkah penanggulangan.

Page 48: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

41Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana yang merupakan implementasi dari Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada pokoknya ditentukan bahwa dana penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan atau pasca bencana.

Penganggaran dana untuk penanggulangan bencana pada dasarnya dapat dikemukakan sebagai suatu langkah maju. Kebijaksanaan tersebut mencerminkan bahwa pengalokasian anggaran pendapatan negara sesuai prinsip efisiensi yang diajarkan oleh Jeremy Bentham; the greatest happines for the greatest number of poeple. Maknanya, alokasi pendapatan negara tidak semata untuk «otonomous investment», tidak hanya untuk kegiatan yang mendatangkan «return» atau pun «revenue».

Belanja negara setelah sekitar 62 tahun Indonesia merdeka sesungguhnya sudah mengcover upaya-upaya dalam rangkaian memberikan perlindungan terhadap rakyat dalam menanggulangi akibat-akibat yang timbul dari suatu bencana. Patut diapresiasi bahwa dasar kebijaksanaan negara mengganggarkan dana penanggulangan bencana tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang sebagai wadah hukum yang kuat dan tepat mengingat persebaran bencana di Indonesia bersifat merata. Dibtuhkan penanganan yang bersifat nasional serta terpadu dan untuk ini undang-undangb bentuk produk hukum yang tepat.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menentukan tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi antara

Page 49: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

42 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

lain pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai (Pasal 6 huruf e), pengalokasian anggaran penanggulangaan bencana dalam bentuk dana siap pakai (Pasal 6 huruf f).

Pada satu sisi sangat patut diapresiasi bahwa negara ini berkenan mengalokasi dana untuk peristiwa yang tidak tentu kapan terjadinya dan bersifat destruktif. Bayangkanlah sebuah negara yang menyadari entitasnya dibangun di atas “tanah bencana”, kemudian dengan penuh tanggung jawab menyediakan sejumlah anggaran untuk menanggulangi segala dampak yang timbul. Akan tetapi pada sisi lain sangat patut pula berharap agar besaran dana yang dialokasikan itu memang memadai dan siap pakai.

Pemerintah Indonesia akan menaikkan lebih dari dua kali lipat anggaran tanggap bencana sehingga menjadi 15 triliun rupiah pada tahun 2019. “Pemerintah dan DPR mengalokasikan lebih banyak lagi anggaran untuk melakukan edukasi dan mitigasi bencana. Sebagai negara di tempat rawan bencana, ring of fire, kita harus siap, merespon, tanggung jawab menghadapi segala bencana alam. Ujar Presiden Jokowi di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.25

Sumber yang sama juga mengemukakan, APBN untuk mitigasi bencana ini naik dua kali lipat dari tahun lalu, di mana pemerintah menganggarkan dana tujuh triliun rupiah. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa anggaran tersebut merupakan dana on call atau dana siap pakai yang berasal dari anggaran Bendahara Umum Negara (BUN)….kita tambahkan selalu dalam bentuk pengeluaran untuk on call setiap kali ada

25 Anggaran Mitigasi Bencana 2019 Naik Dua Kali Lipat. https://dw.com 08.01.2019

Page 50: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

43Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

bencana.26

Demikianlah cara negara ini “membiayai” penanggulangan bencana yang destruktif itu. Di samping dana siap pakai (on call) dalam pengertian dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat keadaan darurat bencana sampai dengan batas waktu keadaan darurat berakhir. Perihal dana ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Keuangan Republik Indonesia Nomor 105/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bencana. Di samping dana on call yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat keadaan darurat bencana sampai dengan batas waktu keadaan darurat berakhir (Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri/Permen), peraturan tersebut juga menetapkan adanya berbagai macam dana bencana yang dirinci dari Anggaran Penanggulangan Bencana. Dana-dana itu dapat dipergunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, saat keadaan darurat bencana, dan/atau pascabencana (Pasal 1 angka 2 Permen).

Ada pun dana-dana yang dimaksudkan itu meliputi Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah yang pada pokoknya merupakan dana yang disediakan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagai bantuan penanganan untuk kegiatan tahap pascabencana (Pasal 1 angka 11 Permen), dan Dana Kontinjensi Bencana yaitu yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu. Semua dana ini dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ragam dana yang tersedia itu masih harus ditambahkan lagi dengan Bantuan Langsung Kepada Masyarakat/Kelompok Masyarakat. Bantuan ini berasal dari Pemerintah/Pemerintah Daerah yang diterima langsung oleh masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk 26 Ibid.

Page 51: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

44 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

didalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan (Pasal 1 angka 6 Permen).

Di antara ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan ragam dana tersebut terdapat sebuah proposisi yang sangat menarik keingintahuan. Proposisi yang dimaksud terdapat pada anak kalimat Pasal 1 angka 2 Permen yang berbunyi “dana dipergunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana). Ketentuan ini sesungguhnya mencerminkan semacam kesadaran bahwa Indonesia merupakan kawasan yang rawan bencana sehingga Pemerintah harus mengambil langkah yang perlu termasuk menyediakan sejumlah dana bagi penanggulangan apabila bencana benar-benar terjadi.

Dari pemaparan yang sangat ringkas ini dapatlah diketahui bahwa penyediaan dana untuk penanggulangan bencana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu terdiri dari tiga tahap; dana tahap prabencana, dana tahap keadaan darurat bencana, dan dana tahap pascabencana. Dana Kontinjensi Bencana dapat dipandang sebagai dana tahap prabencana karena fungsi dana ini memang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu. Sejalan dengan ruang lingkup dampak bencana yang bersifat tidak tetap, maka paradigm penananganannya juga mengalami perkembangan dan paradigma yang berkembang berikutnya adalah paradigma mitigasi. Paradigma ini lebih diarahkan pada identifikasi daerah-daerah rawan bencana, mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan kegiatan-kegiatan mitigasi yang bersifat struktural (seperti membangun konstruksi) maupun nonkonstruksi, seperti penataan ruang dan building code.27

27 Perihal yang disebut building code, Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 176. Menjelaskannya pada dasarnya sebagai berikut; building code merupakan

Page 52: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

45Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Sehubungan dengan paradigma mitigasi, Daniel A. Farber28 dan kawan-kawan pokoknya mengemukakan, in order to analyze the adequacy of our current legal framework for addressing disasters, and to understand how use best mitigate disaster risk, it is important to first understand the sources of disaster….and how those causal factors have changed over time. No disaster is completely “natural”; human exposure and vulnerability to risk is product of cultural patterns influenced heavily by law.

Kebutuhan untuk memahami sumber-sumber bencana pada dasarnya merupakan suatu prioritas. Hal ini dapat dipahami mengingat pengertian mengenai faktor yang menyebabkan terjadi bencana dapat menuntun ke arah manfaat yang terbaik yang dapat ditunjukkan oleh langkah mitigasi bencana. Sudah merupakan suatu takdir bahwa manusia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap risiko (dari bencana), akan tetapi bagaimana penjelasannya hingga Farber mengemukakan apabila kerentanan tersebut dihasilkan oleh pola-pola kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh hukum.

Secara umum kerentanan pada dasarnya merupakan suatu kondisi sebagai hasil pengaruh karakteristik-karakteristik biologis, geografis, social, ekonomi, politik, budaya, teknologi, dll, terhadap seluruh kegiatan masyarakat. Akan tetapi berkaitan dengan kebencanaan, maka kerentanan sudah tentu harus diletakkan dalam konteks bencana itu sendiri. Dengan demikian konsep vulnerability atau mengandung pengertian yang dapat dinarasikan dengan kalimat yang berbunyi “kualitas baik fisik maupun

….laws, ordinance, or government regulations concerning fitnessfor habitation setting forth standards and requirements for the construction, maintenance, operation, occupancy, use or appearance of buildings, premises , and dwelling units.

28 Daniel A. Farber, et.al. Op.cit. hal. 9

Page 53: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

46 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

emosional yang menggambarkan keadaan dari kemungkinan terkena bencana”.

Apakah karena itu lantas kerentanan dapat diartikan sebagai suatu sikap berkenaan dengan kemungkinan terjadinya bencana ?. Ini adalah persoalan lain yang kiranya masih memerlukan pembahasan tersendiri. Untuk saat ini perbincanangan masih fokus untuk menguraikan persoalan kerentanan dalam kedudukannya sebagai produk pola-pola kebudayaan. Berkenaan dengan the cultural patterns itu sendiri terdapat beberapa pendapat yang perlu diketengahkan. This universal culture-pattern may be expressed in terms of the following:

(i) All peoples have a family system,

(ii) All have a language,

(iii) All have developed some sort of a system relating to food, clothing, shelter, etc,

(iv) Every social group has some kind of government and patterns of social control,

(v) Property and inheritance rules are found in all lands,

(vi) People in all groups worship a Higher Power. We may suggest in this way still other universal patterns of culture.29

Untuk lengkapnya maka hal tersebut haruslah ditambahkan dengan pandangan yang mengemukakan…. Cultural pattern develops through a society’s perception, interpretation, response and expression to its surrounding environment….Clark Wissler, an American Anthropologis, specifically interested in the American Indian culture, suggested that certain cultural traits form pattern. These traits include language, materials such as food, dress, utensils and weapons,

29 Sonal Gautam, 2017. Culture: Defintions, Pattern and Elements. https://www.sociologydiscussion.com.

Page 54: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

47Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

science, religion, ecosystems, property, art, government and war.30

Secara umum Ruth Benedic31 yang menyebut pola-pola kebudayaan dengan kecorakragaman kebudayaan itu pada pokoknya menjelaskan “keanekaan“ tersebut bukan hanya disebabkan karena mudahnya masyarakat-masyarakat memperkembangkan atau membuang segi-segi kehidupan yang mungkin. Akan tetapi seringkali disebabkan juga oleh adanya proses jalin-menjalin antara berbagai unsur-unsur kebudayaan….secara kasarnya….kecorakragaman itu tergantung cara unsur-unsur yang bersangkutan itu berjalin dengan unsur-unsur dari lapangan-lapangan lainnya. Dengan bertumpu pada pandangan-pandangan tersebut dapatlah dikemukakan, sistem keluarga yang antara lain merupakan tempat bersemainya sub sistem informasi sederhana dan terbatas diantara individu anggota keluarga serta antar keluarga. Sub sistem yang ditunjang dengan ketersediaan bahasa sebagai sarana komunikasi pada masing-masing komunitas tentunya sangat relevan dalam rangka mitigasi bencana. Sistem dan sub sistem yang telah dikemukakan tadi dapat dikualifikasikan sebagai pola kebudayaan dari suatu komunitas masyarakat. Sudah tentu pola-pola tersebut tidak seragam sifatnya. Namun demikian suatu pola kebudayaan dapat berinterkasi dengan pola kebudayaan dari komunitas lainnya.

Masyarakat juga memiliki suatu pola kebudayaan dalam menata hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi ( people in all group worship a Higher Power). Sangat boleh jadi hal ini merupakan cikal-bakal dari ritual penyembahan yang dijumpai pada banyak kelompok masyarakat. Dalam ritual-ritual seperti itu

30 …..What Is a Example of a Cultural Pattern ?. https://www.reference.com31 Ruth Benedic, 1960, Pola-Pola Kebudayaan. Judul asli : Paterns Of Culture.

Terjmahan : Sumantri Mertodipuro. Penerbit Pustaka Rakyat. Hal, 43.

Page 55: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

48 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

para pengikutnya mempersembahkan sesuatu dan memohon di antaranya adalah agar terhindar dari bencana.

Sehubungan dengan semacam jaminan kelangsungan hidup dan kehidupan, setiap kelompok masyarakat juga memiliki pola kebudayaan yang berintikan sistem-sistem yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan. Mulai dari kegiatan berburu, memancing dan bercocok tanam, tinggal di gua-gua, membuat rumah di atas pohon sampai dengan yang sudah mampu “berekonomi” dalam mempertahankan serta mengembangkan kontinuitasnya. Suatu fenomena yang menarik terdapat juga dalam “pola kebudayaan sandang, pangan, dan papan” tersebut. Ada pun fenomena yang dimaksudkan itu adalah dijumpainya semacam local wisdom yang memanfaat bangunan rumah tradisional sebagai tempat berlindung (shelter) yang aman dari suatu jenis bencana. Namun patut disayangkan apa yang disebut dengan local wisdom tersebut cenderung mulai ditinggalkan. Boleh jadi hal ini terjadi karena ditemukannya wisdom yang lebih teknis, praktis, ekonomis dan secara yuridis memang diarahkan kesana.

Di Bali pada zaman dahulu orang membangun rumah tradional yang disebut bale daja, bale dangin, bale dauh32, dll dengan tiang atau saka kayu yang terpisah dari tembok, atap dari alang-alang dan dinding yang terbuat dari cetakan tanah. Menurut penuturan orang tua, dinding rumah sengaja dibuat agak sedikit miring keluar. Apabila terjadi gempa, bangunan akan bergoyang dan mungkin dinding akan roboh tetapi karena

32 Bale Dangin adalah bangunan tradisional Bali terletak di sebelah timur yang berfungsi sebagai tempat upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Bale Daja adalah bangunan tradisional Bali terletak di sebelah utara yang berfungsi sebagai rumah tinggal. Bale Dauh adalah bangunan tradisional Bali terletak di sebelah Barat yang berfungsi sebagai juga sebagai rumah tinggal.

Page 56: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

49Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dipasang miring keluar, maka robohnya tidak akan menimpa penghuni. Demikianlah pitutur orang tua yang tidak menampik kalau bangunan tersebut hanya aman dari satu jenis bencana saja, yaitu gempa.

Di samping itu sistem-sistem pemerintahan, berbagai bentuk pengendalian sosial, aturan-aturan hukum yang berkenaan harta kekayaan dan properti lainnya juga dapat dikualifikasi sebagai pola kebudayaan. Dengan demikian tampak bahwa sesungguhnya konsep pola kebudayaan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak masih dalam kandungan hingga akhir hayat, dengan sifat mulai dari yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks. Dalam kaitannya menciptakan vulnerability yang favourable bagi upaya mitigasi bencana pada dasarnya dibutuhkan bantuan dari hukum untuk mengarahkan pola kebudayaan yang bertujuan mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi korban bencana. Ritual worship to a higher power yang hendak diselenggarakan persis di bibir kaldera gunung api yang sedang erupsi dengan dahsyatnya harus disikapi secara bijaksana oleh semua pihak apabila memang tidak boleh dilarang. Inilah salah satu bentuk pengaruh hukum terhadap pola kebudayaan.

Mitigasi sesungguhnya  merupakan langkah yang penting dalam rangka penanggulangan bencana, dan seharusnya juga sehubungan dengan pencegahan. Oleh karena itu upaya mitigasi juga menjadi prioritas bagi banyak negara baik maju dan kaya maupun yang sedang berkembang.  Di Amerika Serikat misalnya, yang juga merupakan negara “langganan” bencana, pada dasarnya menempatkan upaya mitigasi sebagai langkah strategis dalam manajemen bencana.

Page 57: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

50 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Di negara yang sangat rajin membantu penanggulangan bencara di seluruh dunia tersebut, mitigasi bahaya (hazard mitigation) merupakan suatu konsep yang menggambarkan tindakan yang diambil untuk membantu mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang yang disebabkan oleh bahaya atau bencana, seperti banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, tanah longsor, atau bendungan yang jebol. Ketika biaya bencana terus meningkat, pemerintah dan warga negara harus menemukan cara untuk mengurangi risiko bahaya bagi masyarakat kita. Ketika masyarakat merencanakan pembangunan baru dan peningkatan infrastruktur yang ada, mitigasi dapat dan harus menjadi komponen penting dari upaya perencanaan.33

Ringkasnya, dalam perkembangan terakhir ini upaya mitigasi telah menjadi bagian penting dari manajemen (bencana). Artinya, pada satu sisi bencana yang menjadi obyek manajemen, dan pada sisi lain mitigasi setidak-tidaknya telah diperhitungkan dalam komponen perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian (controlling) terutama pada negara-negara atau kawasan-kawasan yang tingkat kerawanan bencana yang tinggi.

Selama ini upaya mitigasi hampir selalu dilaksanakan bahkan dengan skala yang maksimal setelah bencana terjadi. Upaya demikian tetap merupakan kebijakan yang penting dalam rangka memulihkan kondisi yang sempat luluh lantak ke kondisi sebelum bencana. Namun sesungguhnya kegiatan mitigasi juga dapat bahkan sangat baik dalam pengertian akan dapat memberikan dampak yang positif apabila dilakukan sebelum bencana terjadi.

Menurut analisis dari Emergency Management

33 What is Hazard Mitigation. Emergency Management Departement. https://emergency.lacity.org.

Page 58: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

51Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Departemment34, pola mitigasi seperti pemadam kebakaran mengandung kemungkinan yang membuat masyarakat kembali normal, akan tetapi replikasi kondisi pra-bencana dapat mengakibatkan siklus rekonstruksi berulang. Apa yang disebut dengan rekonstruksi berulang ini membutuhkan biaya yang lebih mahal seiring dengan berjalannya waktu.

Oleh karena itu pemikiran berkenaan dengan mitigasi pra bencana sangat perlu diimplementasikan. Hal ini dilandasi pertimbangan, kegiatan  mitigasi yang dilakukan sebelum terjadinya bencana memiliki tujuan yang mengarah pada pembangunan masyarakat yang lebih kuat,  tingkat keamanan yang lebih tinggi, cerdas dan lebih dapat mengurangi jumlah kerugian dan korban pada masa depan.

Berkenaan dengan mitigasi pra bencana, institusi manajemen kedaruratan bencana yang berpusat di Los Angeles  tersebut35 mengembangkan ragam jenis teknik mitigasi. Adapun jenis yang dimaksudkan itu pada pokoknya meliputi upaya-upaya pencegahan, perlindungan properti, pendidikan, peningkatan kesadaran publik, perlindungan sumber daya alam, dan pemberian layanan darurat.

Berkenaan dengan upaya pencegahan dipersyaratkan adanya aturan hukum dan kebijakan administratif pemerintah yang dapat mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat dalam hal mengembangkan tanah serta bangunannya. Adapun tujuan yang menjadi targetnya adalah mengurangi kerugian dan korban. Ruang lingkup tipe teknik mitigasi ini meliputi perencanaan dan zonasi,  pemberlakuan undang-undang daerah aliran sungai (DAS) dan bantaran sungai (floodplain area), dataran banjir, pelestarian 34 Ibid. 35 Ibid.

Page 59: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

52 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

ruang terbuka, dan peraturan pengelolaan air hujan. Intinya, dalam upaya mitigasi bencana terkandung pula upaya-upaya yang bersifat preventif. Upaya perlindungan terhadap properti pada pokoknya meliputi kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam rangka mempertahankan properti dari kemusnahan akibat bencana. Dalam hubungan ini pemerintah dengan dukungan semua pihak dapat menerapkan kebijakan misalnya modifikasi bangunan atau struktur yang lebih melindungi dari bahaya atau sekalian memindahkan struktur dari area bahaya. Termasuk pula dalam hal ini adalah langkah-langkah seperti akuisisi lahan (pengambilalihan lahan yang dilakukan dengan imbalan), pengaturan ketinggian bangunan, relokasi, penguatan struktural (structural retrofit), pembangunan bunker perlindungan dari bahaya badai, dan lain-lain yang lebih memberikan perlindungan.

Pendidikan dan peningkatan Kesadaran Publik dalam kaitan ini  pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk memberikan informasi yang terstruktur dan sistematis (idealnya) tentang bahaya dan cara-cara yang harus ditempuh untuk memitigasi mereka. Termasuk dalam upaya ini antara lain penyelenggaraan pusat informasi bahaya, outreach project , dan real estate disclosure. Outreach project pada pokoknya adalah program merekrut warga masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan karena tidak mampu datang sendiri meminta bantuan. Sementara itu yang dimaksudkan dengan real estate disclosure adalah pengungkapan oleh real estate berdasarkan hukum mengenai potensi bahaya yang dapat mengancam areal tersebut; apakah real estate berada pada zone gempa, kebakaran liar, likuifasi, dll.

Page 60: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

53Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Disimak dari ragam kegiatannya, Perlindungan Sumber Daya Alam pada dasarnya merupakan pengembangan dari mitigasi pencegahan. Perlindungan Sumber Daya Alam mengarah pada tindakan-tindakan yang bertujuan dalam rangka meminimalkan bahaya kehilangan dan melestarikan atau mengembalikan fungsi sistem-sistem yang alami. Termasuk dalam skema perlindungan ini antara lain  pengendalian sedimen dan erosi, restorasi koridor sungai, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan hutan dan vegetasi, serta restorasi dan pelestarian lahan basah. Layanan Darurat  secara umum merupakan tindakan yang bertujuan melindungi orang dan properti setelah dan selama bencana berlangsung. Tindakan ini dilaksanakan sesuai tahapan bencana sampai dengan pernyataan keadaan  aman. Termasuk dalam tindakan ini antara lain pengadaan dan pengoperasian sistem peringatan dini, layanan tanggap darurat, dan pengadaan fasilitas-fasilitas perlindungan yang vital.

Dalam Pembangunan Proyek yang bersifat Struktural terkandung tindakan-tindakan yang melibatkan pembangunan struktur untuk mengurangi dampak bahaya. Penekanan pada pembangunan ini terletak pada prioritasnya yang bersifat struktural. Dalam bahasa yang lebih sederhana, proyek struktural merupakan pembangunan fisik. Ruang lingkup proyek struktural antara lain meliputi pembangunan bendungan, tanggul penahan banjir, krib penahan abrasi, bunker-bunker yang aman, dll.

Langkah yang disebutkan terakhir tanpa menutup pengembangannya adalah  Tindakan Mitigasi Umum. Tindakan ini terdiri dari antara lain ; Penguatan aturan-aturan mengenai bangunan, berbagai aturan mengenai pengelolaan area banjir, dan hukum tata lingkungan. Tindakan-tindakan lain yang dilaksanakan

Page 61: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

54 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

demi  keselamatan publik seperti pemeliharaan jalan, gorong-gorong, dan bendungan yang berkelanjutan.

Dalam Bahasa hukum yang umum, mitigasi pada pokoknya memiliki dua makna, pertama, ….reduction in the severity of some penalty. Before *sentence is possed on someone convicted of a crime, the defence may make a plea in mitigation, putting forward reasons for making the sentence less serve than it might otherwise be. These might include personal or family circumstances of the offender, and the defence may also dispute facts raised by the presecution to indicate aggravating circumstances. In raising mitigating factors, *hersay evidence and documentary evidence of *character are accepted. Kedua, reduction in the loss or injury resulting from a tort or a breach of contract. The injured party is under a duty to take all reasonable steps to mitigate his loss when claiming *damages.36

Lawyer yang bijaksana yang memahami apabila kliennya tidak mungkin dibebaskan dari hukuman, tetap memiliki kewajiban untuk memohon putusan yang seadil-adilnya dan setidak-tidaknya hukuman yang paling ringan. Dalam hubungan ini sudah tentu lawyer akan berusaha mematahkan (bilamana perlu dengan sengit) fakta-fakta yang memberatkan dan sebaliknya mengeksplorasi secara habis-habisan segala kebaikan dan hal-hal yang meringankan dari klien. Ini merupakan makna mitigasi yang pertama. Selanjunya, mitigasi juga mengandung makna sebagai upaya mengurangi kerugian atau cedera yang diakibatkan oleh gugatan atau pelanggaran kontrak. Pihak yang mengalami kerugian memiliki kewajiban untuk mengambil segala langkah yang wajar untuk mengurangi kerugiannya.

36 Elizabeth A. Martin., Op.cit. hal. 296.

Page 62: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

55Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Dalam bidang hukum pada pokoknya terdapat dua jenis kebijakan mitigasi, pertama yang bersifat umum dan bertujuan melindungi fasilitas dan infrastruktur vital dari bahaya bencana pada masa depan. Jenis yang kedua bersifat khusus dan lebih merupakan implementasi dari visi-misi kebencanaan. Jenis ini difokuskan pada langkah-langkah konkret dalam bentuk penjabaran yang dituangkan dalam aturan hukum. Namun yang terpenting dari jenis-jenis tersebut adalah perencanaan, operasional dan sustainabilitas dari seluruh program mitigasi bencana. Dalam konteks demikian dapat terjadi kebijakan mitigasi yang dilakukan setelah bencana sekarang ini misalnya sangat bermanfaat untuk mengurangi akibat-akibat dari bencana yang akan timbul di kemudian hari.

Perencanaan kebijakan mitigasi sangat membutuhkan partisipasi dari semua pihak termasuk dari korban bencana itu sendiri. Dibutuhkan pengorbanan yang bertubi-tubi apabila ingin mengelola bencana demi keselamatan dan kesejahteraan. Dana bencana yang tersedia secara berlimpah tidak akan efisien pemanfaatannya apabila dicemari dengan kepentingan sesaat yang memanfaatkan bencana sebagai ajang meraih popularitas.

Belum ada yang memungkiri bahwa bencana itu senantiasa tidak pernah meninggalkan sifat destruktifnya. Namun demikian di balik sifatnya yang menimbulkan kehancuran ini sesungguhnya terkandung hikmah yang dalam; pemegang otoritas, pemerintah dalam hal ini dengan peran serta seluruh lapisan masyarakat termasuk korban dan warga yang terdampak memiliki kesempatan untuk melakukan penataan kembali. (sekali lagi) namun demikian penataan kembali tidak harus dilakukan sambil menunggu terjadinya bencana.

Page 63: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

56 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Terdapat satu hal lagi yang perlu diresapi bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang kebal terhadap bencana. Baik negara kaya, maju dan super modern, atau sebaliknya yang miskin, serta terkebelakang, rata-rata memiliki tingkat vulnerability atau kerentanan terhadap bahaya bencana. Negara-negara kecil (relatif) seperti Liechtenstein dan Brunei Darussalam juga tidak luput dari bencana. Namun demikian ragam bencana yang dihadapi sudah tentu berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Ada negara dengan ragam bencana yang sangat lengkap dan dalam hal ini Indonesia dapat dimasukkan sebagai salah satu diantaranya, sebaiknya terdapat beberapa negara yang harus siap menghadapi satu jenis bencana alam saja.

Liechtenstein merupakan salah satu negara kecil yang terletak di benua Eropa, berpenduduk relatif sedikit (38.000 jiwa) dan itu pun sepertiganya merupakan pendatang, tidak memiliki sumber daya alam seperti bahan tambang dan mineral, tetapi memiliki “produk domestik bruto” yang sebagian terbesarnya diperoleh dari sektor jasa (terutama jasa keuangan) dan industri. Pendapatan per kapita $ 143.000/tahun. Tidak ada penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Nah, negara super kaya yang juga dikatakan hidup dari prangko, gunung dan susu tersebut hanya memiliki satu jenis kerentanan yaitu earthquake vulnerability atau kerentanan terhadap bencana gempa bumi saja.

Dengan demikian Probabilistic Risk Assessment (PRA) yang pada dasarnya merupakan ….a systematic and comprehensive methodology to evaluate risk associated with a complex engineered technology (such as an airliner or a nuclear power plant ) or the effects of stressors on the environment37 pada negara tersebut hanya

37 Goussen, Benoit, et.al. 2016, Integrated Presentation On Ecological Risk From Multiple Stressors. Scientific Report. 6: 36004 seperti dikutip Wikipedia,

Page 64: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

57Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

mencatat average annual loss (AAL) yang disebabkan oleh gempa bumi saja.

Demikianlah “hitungan-hitungan” berkenaan dengan kerugian akibat bencana diselenggarakan bersamaan dengan berkembangnya manajemen kebencanaan. Dalam urusan manajemen seperti ini banyak institusi yang turut ambil bagian, misalnya The United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang walau pun belum memiliki badan khusus seperti World Health Organisation (WHO) terpanggil untuk melakukan pendataan dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Dalam laporannya pada 2009, PBB pada pokoknya mengemukakan bahwa risiko bencana mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam rentang waktu antara 1990 sampai dengan 2007, risiko kematian di seluruh dunia akibat banjir meningkat sebesar 13 %, dan risiko ekonomi yang ditimbulkan oleh banjir mengalami peningkatan 33 %. Setengah dari sepuluh bencana paling mematikan sejak 1975 terjadi antara 2003 dan 2008.38

Sebagian terbesar kematian akibat bencana alam terjadi di negara-negara berkembang, demikian ungkap Charles Perrow dalam tulisannya The Next Catastrophe: Reducing Our Vulnerabilities to Natural, Industrial, and Terrorist Dissasters pada 2007 seperti dikutip Farber.39 Data tersebut pada satu sisi mengingatkan bahwa gempa bumi dan tsunami Aceh ( Samudra Hindia) terjadi pada 26 Desember 2004 dan menewaskan 230.000 – 280.000 jiwa yang tersebar di 14 negara. Pada sisi lain merupakan suatu peringatan bagi seluruh negara untuk melakukan langkah mitigasi; tidak

https://en.m.wikipedia.org38 Daniel A Farber, et.al., Loc. cit. hal. 939 Daniel A. Farber, et.al. Op.cit. hal. 10.

Page 65: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

58 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

terbatas pada negara-negara berkembang, melainkan juga negara-negara kaya, maju dan modern, karena pada dasarnya tidak ada negara di dunia ini yang bebas dari bencana.

Laporan PBB dan segala analisis yang diberikan oleh para ahli tersebut menyisakan sebuah pertanyaan besar ; mengapa risiko dan biaya bencana mengalami peningkatan. Terhadap pertanyaan tersebut, Farber40 memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut; (1) modern economy conditions, including the just-in-time economy and the interdependence and privatization of our critical infrastructure; (2) population growth and demographic shifts that increase exposure to hazards; (3) land use planning that exacerbates, rather than mitigates, disaster risk; (4) failure to maintain green and built infrastructure; and (5) climate change.

Berikutnya akan diusaha menguraikan secara garis besarnya faktor-faktor yang diidentifikasi menyebabkan meningkatnya risiko dan biaya bencana tersebut. Pertama, terma just-in-time pada dasarnya merupakan suatu strategi yang diterapkan dalam inventory management atau manajemen persediaan. Berdasarkan strategi tersebut seluruh bahan, barang dan tenaga kerja dioptimalkan dari segi waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam proses produksi. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya dengan hanya menyimpan persediaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi yang bersifat segera.41

Nah kalau sudah seperti ini, lantas apa hubungannya dengan meningkatnya risiko dan biaya bencana. Sangat boleh jadi bahwa yang dimaksudkan, startegi just-in-time economy itu tidak diterapkan secara optimal dalam menajemen bencana. Alat perlengkapan yang seharusnya dapat menunjang tugas pokok 40 Daniel A. Farber, et.al. Op.cit. hal. 1041 Just-in-time definition. https://investinganswers.com.

Page 66: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

59Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

otoritas menangani bencana yang terjadi ternyata sudah berusia lebih dari setengah abad dan tidak berfungsi optimal. Oleh karena itu jumlah korban semakin meningkat dan tentunya biaya yang dibutuhkan meningkat pula. Sebaliknya, penyediaan sarana yang fungsional dan sesuai dengan jenis-ragam dan sifat bencana dapat dipandang sebagai penerapan strategi just-in-time economy yang tepat.

Berkenaan dengan privatization of our critical infrastructure sebuah artikel dari Universitas Louisvile42 mengemukakan, …. Infrastructure privatization involves transferring some degree of responsibility for the design, financing, construction, operation, and / or management of public infrastructure goods and services to the private sector (Segal & Moore 2003, 1). A great range of public infrastructure goods and services can be privatized, including transportation, solid waste management, drinking water supply and delivery, wastewater treatment, and facilities such as schools, prisons, and hospitals. In exchange for providing the good or service, the private company recoups its investment and realizes a profit through fees, tolls, leasing, financing, and other methods.

Artikel tersebut pada pokoknya menguraikan tentang cara kerja konsep privatization of infrastructure yang berintikan pada perencanaan, pelaksanaan dan seharusnya kontrol pemindahan tanggung jawab tertentu atas desain, pembiayaan, konstruksi, operasi, dan/atau pengelolaan barang dan jasa infrastruktur publik kepada sektor swasta. Di Indonesia konsep tersebut dapat diasosiasikan dengan “privatisasi” atau “swastanisasi”.

42 2012,Water Infrastructure CapacityBuilding Teram, Privatizing Infrastructure a Guide for Local Government. https://louisville.edu/cepm/projects/sustainable-community-capacity-building/privatizing-infrastructure-a-guide-for-local-governments. Hal. 3

Page 67: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

60 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Ruang lingkup privatisasi infrastruktur sangat luas hingga meliputi sejumlah besar barang dan jasa infrastruktur publik dalam pengertian berbanding sejajar dengan keluasan cakupan infrastruktur publik itu sendiri. Apabila transportasi, pengelolaan limbah padat, pengolahan air limbah, pasokan air minum dan pengiriman, pengolahan air limbah, dan fasilitas-fasilitas seperti sekolah, penjara, dan rumah sakit termasuk dalam ruang lingkup infrastruktur publik, maka pemindahan tanggung jawab atau privatization of infrastructure tersebut dapat meliputi atau menyasar obyek-obyek vital tersebut.

Di zaman yang lampau, rezim pemerintah Indonesia pernah melakukan swastanisasi dalam pemungutan iuran televisi. Pada masa itu orang yang memiliki pesawat televisi wajib membayar sejumlah uang sebagai iuran. Tanggung jawab dalam pemungutan iuran ini di seluruh Indonesia diserahkan kepada sebuah perusahaan swasta yaitu PT. Mekatama Raya. Semestinya tanggung jawab tersebut dipikul oleh pemerintah, tetapi dalam hal ini diserahkan kepada swasta.

Pernah juga pemungutan airport tax diserahkan kepada swasta kendati pun penyerahan tanggung jawab ini terbatas pada beberapa bandar udara di Indonesia dan dilakukan untuk penumpang yang akan berangkat ke luar negeri saja. Namun demikian sampai saat ini tidak berhasil diketahui secara jelas siapa swasta yang beruntung memperoleh durian runtuh tersebut. Dikatakan beruntung karena memperoleh konsesi mengumpulkan pungutan seperti airport tax itu setara dengan memperoleh monopoli yang menguntungkan.

Iuran televisi dan airport tax yang kini sudah tidak ada lagi sama sekali tidak mengandung pengertian bahwa privatization of

Page 68: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

61Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

infrastructure juga mengalami kepunahan. Konsep pelimpahan tanggungjawab tersebut berkembang terus hingga mencapai bentuk yang paling populer yaitu Public-Private Partnerships (PPPs)43. Konsep ini dapat tampil dalam banyak bentuk yang berbeda-beda menurut proyek dan/atau sector yang digarap. Akan tetapi baik pemerintah maupun swasta tetap menanggung risiko dan tanggung jawab masing-masing.

Betapa pun menguntungkannya privatization of infrastructure baik bagi pemerintah maupun swasta, dalam kaitannya dengan urusan memitigasi dampak bencana, hendaknya semua pihak berupaya secara maksimal mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah tersebut. Swasta dapat diberi izin mengelola penjara, akan tetapi swasta tidak boleh berusaha memasukkan sebanyak mungkin orang ke dalam penjara demi keuntungan perusahaannya. Swasta boleh mengelola limbah beracun dan berbahaya (B3) secara sah, layak, aman dan tidak menimbulkan bencana.

Kedua, secara umum dapat diuraikan bahwa terma demografi atau ilmu kependudukan sesungguhnya merujuk pada suatu disiplin yang menempatkan dinamika kependudukan sebagai pokok bahasannya. Secara spesifik demografi dapat meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta menjelaskan cara kerja tentang bagaimana jumlah penduduk berfluktuasi setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi, serta penuaan. Kajian mengenai kependudukan dapat menempatkan suatu masyarakat secara keseluruhan atau kelompok tertentu yang diamati berdasarkan faktor-faktor seperti pendidikan, kewarganegaraan, agama, atau etnisitas tertentu. Berkenaan dengan ini timbul suatu persoalan adakah korelasi antara aspek demografi dengan meningkatnya risiko dan biaya mitigasi bencana.43 Ibid.

Page 69: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

62 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Untuk ini terdapat sebuah kajian yang mengemukakan pada pokoknya bahwa perubahan demogrfis dapat menimbulkan desakan kebutuhan untuk melakukan penilaian kembali dampak sosial dan konsekuensi-konsekuensi lain dari suatu bencana alam. Penilaian tersebut secara spesifik dan serius harus dikaitkan atau dikombinasikan dengan meningkatnya kerugian yang dialami akibat bencana.44 Dari pemaparan yang ringkas tampak dengan sangat jelas keterkaitan aspek demographic dengan risiko dan ongkos mitigasi.

Bencana-bencana besar yang terjadi baru-baru ini seperti Tsunami Samudra Hindia (2004) – tsunami yang melanda Aceh – dan Badai Katrina (2005). telah menunjukkan dampak yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam menyikapi, menanggulangi dan memitigasi bencana.45 Sudah tentu pula termasuk perbedaan risiko serta biaya-biaya bencana yang ditanggung dan yang dialokasikan.

Peningkatan populasi yang disebabkan karena faktor migrasi penduduk baik seketika maupun bertahap sehingga menimbulkan  kongesti - meminjam istilah yang terdapat dunia kepabeanan yang menunjukkan berkumpulnya (penduduk) dalam jumlah besar pada suatu area, ditambahkan lagi dengan tidak memadainya upaya-upaya antisipasi dan/atau pencegahan, kiranya akan potensial menyebabkan meningkatnya ongkos mitigasi apabila terjadi bencana. Hal ini dapat diperbandingkan antara tsunami yang terjadi pada area dari suatu negara berkembang dan kurang

44 William Donner Havidán Rodríguez, 2008.Population Composition, Migration and Inequality: The Influence of Demographic Changes on Disaster Risk and Vulnerability. Social Forces, Volume 87, Issue 2, December 2008, Pages 1089–1114,https://doi.org/10.1353/sof.0.0141Published:01 December 2008, https://academic.oup.com).

45 Ibid.

Page 70: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

63Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

memperhatikan hal-hal seperti kodependensi dengan tsunami yang melanda negara seperti Jepang. Dalam hal risiko dan kerugian yang menyangkut nyawa manusia, dapatlah dipastikan bahwa Jepang menanggungnya dalam jumlah yang jauh lebih kecil.

Ketiga, ketika Farber, dkk menuliskan kalimat pendek land use planning that exacerbates, rather than mitigates, disaster risk, sesungguhnya mereka memandang perlunya aturan hukum tentang tataguna tanah yang akurat dan dilaksanakan secara konsisten. Oleh karena itu selain penting untuk mengetengahkan pengertian tataguna tanah itu sendiri, sangatlah penting pula memahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksudkan dengan “tanah”. Hal ini sejalan dengan sebuah kata arif yang berbunyi; “segalanya berawal dari tanah dan pasti akan kembali ke tanah”.

Pengertian tanah yang akan dijadikan pijakan dan bahan kajian dlam hal ini pada dasarnya berkisar pada pengertiannya yang bersifat umum. Dengan batasan seperti itu maka luas cakupan dari apa yang dimaksudkan dengan tanah tersebut akan terpusat pada “lapisan paling atas dari permukaan kulit bumi”. Lapisan ini dalam Bahasa teknis ilmiah dalam disiplin yang terkait disebut dengan top soil .

Lapisan top soil ini pada umumnya dihitung mulai dari permukaan sampai dengan beberapa meter ke arah bawah. Ketebalan lapisan top soil secara langsung memperlihatkan batas-batas yurisdiksi berlakunya aturan hukum mengenai tataguna tanah. Dari titik ini dapatlah ditampilkan sebagai contoh; peruntukan tanah untuk pertanian, perkebunan, perikanan, dan perumahan termasuk dalam ruang lingkup hukum tanah. Di luar batas yurisdiksi tersebut berlakulah (apabila ada aturannya) bagian lain dari Hukum Agraria.

Page 71: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

64 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Indonesia sebagai negara maritim, negara agraris juga di samping dan sesuai dengan konstitusi yang menentapkannya sebagai negara hukum, pada dasarnya memiliki aturan mengenai “land use planning”. Berdasarkan figur hukum inilah otoritas yang berkompeten kemudian berkenan memberikan izin mendirikan bangunan, dan segala izin yang berbasis pada pemanfaatan tanah untuk berbagai keperluan.

Namun demikian kiranya masih perlu dilakukan penelitian yang lebih intens apakah penetapan yang didasarkan pada land use planning yang berbasis pada perencanaan yang dikembangkan dari penelitian yang layak. Apakah suatu izin mendirikan bangunan (IMB) diterbitkan semata-mata karena yang bersangkutan tidak melanggar aturan sepadan jalan, dan arean lokasi tanah sesuai peruntukannya ataukah juga sudah bertumpu pada pertimbangan bahwa mendirikan bangunan di areal tersebut “aman” dari bencana.

Apabila pertimbangannya belum sampai menyentuh aspek keamanan dari bencana secara keseluruhan atau semata-mata dititikberatkan pada kualitas struktur bangunan misalnya gambar bangunan tampak depan, samping, belakang harus dibuat oleh ahli yang terakreditasi, ada rancangan pembesian, dan lain-lain maka kalimat Farber, dkk ; land use planning that exacerbates, rather than mitigates, boleh jadi mengandung kebenaran.

Keempat, failure to maintain green and built infrastructure. Terjemahan harfiah ungkapan tersebut pada pokoknya adalah “ kegagalan dalam membangun dan memelihara infrastruktur hijau”. Selain akan terbentur pada “istilah infrastruktur hijau” apakah itu setara dengan jalur hijau atau kegiatan penghijauan, maka sebelum tersesat lebih jauh lagi, sebaiknya diyakini saja bahwa itu merupakan konsep teknis dalam manajemen mitigasi bencana.

Page 72: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

65Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Berdasarkan penelusuran secara sederhana terbuktilah bahwa failure to maintain green and built infrastructure yang berinti pada green infrastructure memang merupakan konsep teknis dalam pengelolaan kegiatan yang terkait. Hal ini dapat disaksikan dengan adanya pemahaman khusus berkenaan dengan what is Green Infrastructure misalnya yang berhasil dijumpai pada situs Dalam situs tersebut pada intinya dikemukakan,….green infrastructure is an approach to water management that protects, restores, or mimics the natural water cycle. Green infrastructure is effective, economical, and enhances community safety and quality of life. It means planting trees and restoring wetlands, rather than building a costly new water treatment plant.46 Ini merupakan pengertian yang juga memberikan sedikit deskripsi tentang kegiatan-kegiatan dalam kerangka green infrastructure.

Situs yang apabila disimak dari namanya itu memberikan citra bahwa kegiatannya berkenaan dengan pengamatan dan pemeliharaan sungai-sungai di negeri Paman Sam tersebut juga secara ringkas menuliskan tentang kinerja green infrastructure ….green roofs improve air and water quality reducing energy cost. The plants and soil provide more green space and insulation on roofs. Green and blue roofs also help reducing city runoff by retaining rainfall providing a potential solution for the stormwater management in highly concentrated urban areas.47

Berdasarkan uraian-uraian yang walaupun ringkas mengenai pengertian, kegiatan dan kinerja dari konsep tersebut dapatlah dikemukakan bahwa unsur yang paling inti dari green infrastructure sesungguhnya adalah “efisiensi” sehubungan dengan upaya-upaya pencegahan dan penanganan bencana dengan paradigma mitigasi. 46 What is Green Infrastructure ?. https://www.americanrivers.org47 Ibid.

Page 73: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

66 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Kegagalan dalam membangun dan mempertahankan ruang hijau misalnya diprediksi akan dapat menimbulkan bencana seperti banjir besar, tanah longsor, kekeringan, dll. Kegagalan membangun dan mempertahankan green infrastructure dapat menyebabkan peningkatan ongkos mitigasi.

Kelima, climate change yang seringkali dipergunakan secara bergantian dengan global warming – kendati pun masing-masing memiliki pengertian yang berbeda – secara sederhana dapat dipadankan dengan “perubahan iklim”. Terma yang disebutkan terakhir ini dapat menyangkut perubahan cuaca dari yang biasanya ditemukan pada suatu tempat. Perubahan demikian juga dapat diamati pada fenomena berkurang atau bertambahnya curah hujan di suatu area dalam setahun. Selain itu perubahan iklim juga berkenaan dengan suhu di suatu tempat selama sebulan atau satu musim.48

Dalam visi keilmuan yang terkait, apa yang disebut dengan perubahan iklim sesungguhnya merupakan sesuatu yang biasa. Iklim memang selalu berubah; ada kalanya bumi ini menjadi lebih hangat, dan sebaliknya ada waktunya dalam kondisi lebih dingin. Kecuali yang merupakan anomaly, biasanya pula perubahan seperti itu akan berlangsung secara relatif konsisten seolah-olah seperti terjadwal sedemikian rupa.

Namun demikian para peneliti juga mencatat bahwa temperatur bumi telah naik satu derajat Fahrenheit dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Kenaikan ini mungkin tidak terlalu banyak, akan tetapi perubahan kecil pada suhu bumi dapat menimbulkan efek yang besar. Beberapa efek yang sudah terjadi ; pemanasan iklim bumi telah menyebabkan permukaan air laut

48 2015, What is Climate Change. https://www.nasa.gov).

Page 74: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

67Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

mengalami kenaikan yang dapat mengancam berbagai fasilitas yang dibangun di daerah pesisir.49

Dalam sebuah laporan yang disponsori oleh United Nations High Commission on Refugees (UNHCR)50 pada pokoknya dikemukakan bahwa penelitian menunjukkan iklim bumi mengalami perubahan pada tingkat yang telah melampui sebagian terbesar perkiraan ilmiah. Beberapa keluarga dan komunitas sudah mulai menderita akibat bencana dan konsekuensi perubahan iklim. Semua ini memaksa mereka untuk mencari pijakan sebagai tempat untuk memulai kehidupan yang baru. Selain dampak perubahan iklim yang tampak secara kasat mata, laporan dari salah satu badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tersebut sesungguhnya telah menjadi indikator untuk mengemukakan tentang betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Pada satu sisi perubahan yang pada awalnya dipandang biasa-biasa saja itu menimbulkan kehancuran dalam berbagai aspek, dan gelombang pengungsian dalam jumlah yang tidak sedikit pada sisi lain. Dikemukakan juga, iklim, degradasi lingkungan dan bencana alam semakin berinteraksi dengan pendorong pergerakan pengungsi.

….people are trying to adapt to the changing environment, but many are being forcibly displaced from their homes by the effects of climate change and disasters, or are relocating in order to survive. New displacement patterns, and competition over depleted natural resources can spark conflict between communities or compound pre-existing vulnerabilities….People displaced across borders in the context of climate change and disasters may in some circumstances be in need of international protection. Refugee law therefore has an important role

49 Ibid.50 UNHCR, 2018. Climate Change and Disasters Displacement. https://www.

unhcr.org/climate-change-and-disasters.html

Page 75: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

68 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

to play in this area.51

Laporan UNHCR tersebut pada dasarnya merupakan bahan untuk menjelaskan perihal bagaimana fenomena perubahan iklim dapat menimbulkan bencana dan menyebabkan peningkatan biaya mitigasinya. “Biaya” itu akan semakin meningkat apabila pengungsian yang terjadi bersifat lintas-batas negara. Selain membutuhkan kerjasama internasional yang intents, cross – border refugees juga memerlukan suatu landasan hukum yang disebut dengan Refugee Law. Pada titik inilah tampak lagi peranan hukum berkenaan dengan mitigasi bencana.

Idealnya, rufugee law (hukum tentang pengungsi) pada satu sisi memang dimaksudkan untuk memberi jalan bagi umat manusia untuk terhindar dari dampak bencana yang terjadi di tanah kelahirannya sendiri, akan tetapi pada sisi lain refugee law sangat diharapkan memiliki semacam legal device yang berfungsi untuk mencegah dan/atau mengelola agar para pengungsi tidak menjadi bagian dari bencana lain di tempatnya yang baru. Di sinilah letak arti pentingnya pemahaman terhadap disasters displacement yang sama sekali tidak dapat dipadankan dengan “pemindahan bencana”.

Sampai sejauh ini, paradigma mitigasi yang di Indonesia lebih diarahkan pada identifikasi daerah-daerah rawan bencana, pengenalan terhadap pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan tentunya melakukan kegiatan-kegiatan mitigasi yang bersifat struktural seperti membangun konstruksi maupun nonkonstruksi misalnya dalam bentuk penataan ruang dan building code, pada dasarnya merupakan paradigma yang sudah memadai. Hal ini terutama apabila dibandingkan dengan paradigma-

51 Ibid.

Page 76: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

69Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

paradigma yang melandasi langkah-langkah penanganan bencana di luar negeri.

Akan tetapi apabila menyimak kembali pandangan Asep Karsidi,52 Indonesia tampak seperti tidak puas dengan kinerja dari paradigma mitigasi. Berdasarkan sikap ini maka paradigma penanganan bencana dikembangkan lagi dan dirahkan kepada faktor-faktor kerentanan di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian disebut dengan Paradigma Pembangunan. Dalam paradigm demikian, upaya yang dilakukan itu lebih bersifat mengintegrasikan upaya penanganan bencana dengan program pembangunan, misalnya melalui penguatan ekonomi, penerapan teknologi dan pengentasan kemiskinan.

Paradigma yang terkahir adalah Paradigma Pengurangan Risiko. Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam perencanaan pengurangan risiko bencana. Dalam paradigm ini penanganan bencana bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekan risiko terjadinya bencana. Selanjutnya ditambahkan lagi oleh mantan Kepala Badan Informasi Geospasial tersebut bahwa hal terpenting dalam pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek dari penanganan bencana dalam proses pembangunan. Bencana pada dasarnya merupakan suatu masalah yang bersifat global mengingat penyebaran kejadiannya pada hampir seluruh belahan dunia. Faktor yang membedakannya adalah ragam atau bentuk bencana yang terjadi itu tidak sama, seolah-olah belahan dunia yang satu secara endemik memiliki potensi bencana yang khas. Dengan

52 Asep Karsidi, 2018. Paradigma Baru Tangani Bencana Di Indonesia. https://www.republica.co.id

Page 77: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

70 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

demikian patut kiranya memberikan apresiasi terhadap upaya PBB melalui salah satu badan yang dinaunginya yaitu The United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR).

UNDRR53 yang sebelumnya dikenal dengan UNISDR singkatan dari The United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction sangat berkepentingan untuk memberikan semacam arahan sehubungan dengan rancang bangun dan praktek manajemen bencana. Hal ini berkaitan dengan kedudukan UNDRR sebagai focal point – titik tumpuan - dari sistem Pengurangan Risiko Bencana PBB, yang kegiatan-kegiatannya dirancang untuk mereduksi secara substansial risiko dan kerugian-kerugian akibat bencana. Semuanya dilakukan untuk menjamin keberlangsungan masa depan.

Sehubungan dengan hal tersebut UNDRR juga memberikan definisinya mengenai Disaster Risk Reduction atau Pengurangan Risiko Bencana yang mulai dikenal dengan singkatan PRB dengan mengemukakan sebagai berikut ; The most cited definition of DRR is …..the conceptual framework of elements considered with the possibilities to minimize vulnerabilities and disaster risks throughout a society, to avoid (prevention) or to limit (mitigation and preparedness) the adverse impacts of hazards, within the broad context of sustainable development.54

Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa PRB itu sesungguhnya merupakan suatu kerangka kerja konseptual yang bersifat komprehensif – holistik. Dalam paradigma ini dimasukkan elemen-elemen manajemen dalam rangka mengurangi risiko korban jiwa, meningkatkan kesadaran

53 The United Nations Office for Disaster Risk Reduction,https://www.unisdr.org54 UNISDR, 2004Living With Risk: A Global Review of Disaster Reduction

Initiative. https://www.unisdr. Hal. 17

Page 78: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

71Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dan kesiapan masyarakat menghadapi risiko bencana, dan yang terpenting mencegah mencegah risiko. Elemen-elemen itu diletakkan dalam hubungannya dengan pembangunan yang berkelanjutan.

Di samping mempergunakan terma reduction yang secara harfiah berarti penurunan, potongan, dan pengurangan, sedangkan mitigation mengandung arti peringanan serta pelonggaran. Dalam paradigma PRB terkandung unsur mitigasi. Dari aspek ini tampak PRB memiliki jangkauan kerja yang lebih luas dan tentunya lebih berat. Oleh karena itu dapatlah diterima apabila PRB dikemukakan sebagai kelanjutan yang menyempurnakan paradigma-paradigma sebelumnya. Keluasan jangkauan paradigma PRB juga dapat disimak dari tujuannya. Dikemukakan bahwa PRB berorientasi pada tujuan untuk mencegah dampak bencana yang baru, mereduksi dampak yang telah terjadi, dan yang terpenting adalah meningkatkan vulnerabilitas masyarakat agar lebih sadar bencana, lebih siap dan lebih tanggap dalam menghadapinya. Hal ini sangat perlu ditekankan mengingat seperti ditulis oleh UNISDR; living with risk, yang sesungguhnya mengandung pengertian hampir seluruh umat manusia hidup di tanah yang mengandung bencana. Demikianlah paradigma berkembang terus sejalan dengan pemahaman bahwa bencana-bencana seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir lava, dan lain-lain tidaklah dapat dicegah terjadinya. Berbeda halnya dengan dampak atau akibat-akibat yang ditimbulkan seperti kerugian materi dan korban jiwa yang relatif dapat dicegah, ditanggulangi, dimitigasi, dan direduksi sepanjang terdapat ikhtiar kearah tersebut.

Page 79: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

72 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

4. Perspektif Sosial Dalam Bencana

a. Dimensi Kemanusiaan

Bencana pada umumnya dan kebanyakan dilihat dari aspek kedahsyatan proses serta akibat yang ditimbulkannya. Untuk itu berbagai tekonologi dan sains yang menyediakan teori-teori dan hipotesis berupaya menjelaskannya. Padahal setiap bencana juga mengandung dimensi sosial yang tidak kalah menonjolnya jikalau dibandingkan dengan kedahsyatan bencana itu sendiri. Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara bencana dengan faktor sosial. Hubungan tersebut dapat dikemukakan sebagai suatu relasi dua arah yang saling memengaruhi dalam pengertian pengaruh yang dimaksudkan itu tidak semata-mata datang dari arah bencana yang terjadi terhadap faktor sosial, akan tetapi faktor sosial pun juga dapat memberikan suatu efek terhadap bencana. Setiap bencana dapat dipastikan menimbulkan dampak berupa kehancuran atau memporakporandakan kehidupan sosial, namun sebaliknya suatu aspek dari peradaban sosial justru dapat mencegah dan/atau mengurangi dampak bencana.

Page 80: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

73Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Gambar yang diambil dari https://www.m.kumparan.com menunjukkan sebuah keluarga berjalan di antara genangan air laut yang masih tersisa akibat tsunami yang melanda Aceh pada 2004. Keluarga tersebut bergegas hendak mengunjungi sanak-famili yang menjadi korban bencana. Padahal tidak tertutup kemungkinannya, keluarga itu pun juga merupakan korban. Inilah suatu kebersamaan.

Suatu bencana yang terjadi juga dapat membangkitkan kebersamaan dan toleransi dalam masyarakat. Suatu kawasan bencana yang luluh lantak secara fisik berikut dengan segala peradabannya dalam waktu relatif singkat akan menimbulkan empati yang tak terhingga dari masyarakat kawasan yang tidak dilanda atau yang relatif selamat dari bencana. Empati tersebut tidak terbatas dalam bentuk spiritual tetapi juga berupa pemikiran, tenaga dan materi.

Bentuk visualisasi yang lengkap berkenaan dengan kebersamaan dan toleransi yang dimaksud tergambar ketika bencana tsunami melanda Aceh pada 2004. Untuk menanggulangi, meringankan dan memitigasi akibat bencana, di samping pemerintah dengan perlengkapan public policy yang tersedia, elemen-elemen masyarakat tidak saja dari Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara datang berbondong-bondong memberikan bantuan sesuai kapasitasnya.

Pada masyarakat di seluruh belahan dunia ini terdapat pola respon yang sama berkenaan dengan terjadinya bencana. Beberapa saat setelah bencana yang tak dapat dicegah itu terjadi, tanpa menunggu komando, warga masyarakat yang masih asli sekali pun merasa berkewajiban dan tergerak untuk memberikan bantuan kepada korban bencana. Tidak ada yang mempersoalkan suku, ras, agama dan golongan korban.

Page 81: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

74 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Dari perspektif ini tampak bencana itu seolah-olah mengalami transformasi dari suatu peristiwa alam atau pun non-alam yang dahsyat dengan akibat-akibat yang mengerikan peristiwa yang membangkitkan humanisme atau kemanusiaan. Kebangkitan tersebut tidak terbatas terjadinya pada masyarakat yang aman dari bencana yang memang memiliki peluang kemanusiaan, akan tetapi juga pada subyek-subyek yang sesungguhnya sama-sama menjadi korban.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), humanisme merupakan aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik dan menganggap manusia sebagai objek pembelajaran terpenting. Humanisme berasal dari kata humanitas yang berarti pendidikan manusia. Humanisme pertama kali lahir dan diterapkan di Italia yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Humanisme berawal dari aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan yang menempatkan manusia dalam kehidupan yang khusus.

Bagi Indonesia ihwal yang disebut dengan kemanusiaan itu sesungguhnya bukanlah merupakan barang baru. Bangsa dan negara ini dapat dikemukakan sudah mengenal konsep kemanusiaan sejak zaman dahulu kala. Kemanusiaan telah menjadi satu dengan darah dan daging komunitas maha besar yang kemudian dinamakan bangsa Indonesia. Selain memandang sebagai sifat-sifat yang layak dimiliki oleh manusia, kemanusiaan juga menjadi salah satu sila – dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di bawah bimbingan nilai-nilai etis Ketuhanan yang memimpin cita-cita negara kita, semua manusia dipandang

Page 82: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

75Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

setara dan bersaudara, yang mengandung keharusan untuk menghormati kamanusiaan universal serta mengembangkan tata pergaulan dunia yang adil dan beradab. Dalam ungkapan Hatta, “pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.55

Sampai sejauh ini perikemanusiaan atau humanity yang sedang mengalami perumusan untuk dasar negara tersebut pada dasarnya mengarah pada konsep Internasionalisme. Dalam kaitannya dengan internasionalisme, Barbara Ward56 mengemukakan, “paradoks besar abad sekarang ini ialah bahwa kita telah sampai pada puncak tertinggi perasaan nasional di seluruh dunia, tepat pada saat ketika, ditinjau dari setiap pandangan yang rasional, kita harus mencari jalan untuk maju melewati nasionalisme”.

Mengikuti alur berpikirnya Ward, kiranya dapat dipahami bahwa internasionalisme itu sesungguhnya tidak membutuhkan lagi nasionalisme. Akan tetapi Sang Penggali Pancasila, Bung Karno sendiri membantah pemahaman tersebut dengan mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme”57 Lalu bagaimana halnya dengan perikemanusiaan pada awal

55 Yudi Latif, 2002, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia. Jakarta. Hal. 125-126. Yudi Latif juga mengutip Pidato Mohammad Hatta pada 27 November 1956 di Universitas Gadjah Mada, “Revolusi Tidak Boleh Terlalu Lama”.

56 Barbara Ward, 1983, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia. Terjemahan : Mochtar Lubis. Pustaka Jaya, Jakarta. Hal. 149

57 Yudi Latif, Op.cit. hal. 126

Page 83: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

76 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

bahasan; bencana yang membangkitkan humanisme.

Bertumpu pada pandangan-pandangan yang dikutip dapatlah dipetik makna bahwa yang terpenting dalam perikemamusiaan tersebut terdapat atau terkandung karakter-karakter yang menempatkan seseorang layak disebut manusia. Dalam kaitan dengan manajemen bencana, karakter-karkter yang dimaksudkan antara lain adalah sifat penyayang, memiliki tenggang rasa dan yang paling vital; suka menolong.

Tanpa bermaksud membentuk pemahaman yang keliru seolah-olah rasa kemanusiaan itu baru bangkit dengan menunggu sampai bencana terjadi, akan tetapi yang tidak dapat dipungkiri antara bencana dan kemanusiaan itu memang terdapat hubungan yang erat, dan ini bukanlah hubungan sebab-akibat. Bencana baik alam mau pun non-alam hanya merupakan salah satu yang semakin membangkitkan humanism yang sudah dicanangkan menjadi salah satu sila Pancasila. Dengan demikian bagi bangsa Indonesia yang dalam way of life nya sudah mengandung humanity maka persoalan kemanusiaan sesungguhnya sudah selesai. Masyarakat nusantara sudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari baik disadari mau pun tidak. Namun dalam kaitannya bencana yang terjadinya tidak dapat diprediksi sebelumnya, dan yang membutuhkan bantuan materi disamping doa serta spirit, masyarakat seringkali dihadapkan pada kendala.

Kemampuan finansial masyarakat yang tidak merata pada dasarnya merupakan salah satu kendala dalam memberikan bantuan materi. Akan tetapi masyarakat juga tidak kehabisan akal; ketidakmampuan itu untuk sementara dapat diatasi dengan penggalangan dana dari para donatur. Seluruh dana yang terkumpul misalnya melalui kegiatan yang diberi label “pray

Page 84: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

77Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

for....” selanjutnya diserahkan kepada yang berhak.

Dikemukakan untuk sementara karena dari segi hukum kegiatan pengumpulan dana masyarakat harus dilakukan dengan izin khusus untuk itu. Selanjutnya harus pula dipertanggungjawabkan secara layak berdasarkan sistem pertanggungjawaban keuangan publik. Konsekuensi hukum pelanggaran ketentuan mengumpulkan dana masyarakat adalah pidana. Sementara itu para relawan bergiat atas dasar jiwa sosial yang ingin membantu meringankan beban penderitaan sesama.

Urusan finansial dalam kaitannya dengan bantuan untuk penanggulangan bencana kadangkala memang dapat menjadi urusan hukum. Hal ini terjadi terutama pada berbagai bentuk upaya pengumpulan dana masyarakat dengan mengatasnamakan kemanusiaan. Pengumpulan dana seperti ini ada yang dilakukan misalnya dengan “mewajibkan” konsumen menyerahkan sejumlah uang selain membayar harga barang yang dibeli. Selebihnya banyak yang mewujudkannya dengan memberitahukan konsumen bahwa uang kembaliannya didonasikan untuk kemanusiaan.

Salah satu diantaranya adalah menjadi pelanggan PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT) Tbk. yang mengelola Alfamart, gerai pasar modern serba ada yang jaringannya tersebar secara luas di seluruh Indonesia. Keberadaannya tidak terbatas pada kota-kota besar, melainkan merambah hingga ke desa-desa, yang akhirnya memunculkan yang media sosial disebut dengan sengketa donasi konsumen. Dalam sengketa tersebut Alfamart diputus oleh Komisi Informasi Publik (KIP) yang keberadaannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai Badan Publik.

Page 85: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

78 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Dalam kedudukan sebagai Badan Publik maka berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, Alfamart berkewajiban menyediakan informasi publik setiap saat, yang dalam kasus ini kewajiban menyediakan informasi dalam rangka transfaransi penggunaan dana dari donasi konsumen yang merupakan program yang dilaksanakan oleh Alfamart. PT.SAT pemilik Alfamart pada satu sisi pada dasarnya mengakui pentingnya transfaransi informasi penggunaan dana donasi konsumen, akan tetapi pada sisi lain memandang bahwa keputusan KIP yang menetapkan PT. SAT sebagai Badan Publik itu merupakan keputusan yang tidak tepat.58

Menurut Pasal 1 angka 3 UU. Keterbukaan Informasi Publik, Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Dengan bertumpu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU. Keterbukaan Informasi Publik dapatlah dikemukakan bahwa berkenaan dengan program donasi konsumen yang dilaksanakannya, PT SAT (Alfamart) memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan secara transfaran informasi kepada publik. Dalam kondisi demikian ketentuan Pasal 52 UU tersebut mengenai sanksi-sanksi pidana dan/atau denda akan berlaku apabila Alfamart tidak memenuhinya.

58 2017, Status “Badan Publik” untuk Alfamart dan Sengketa Donasi Konsumen. https://www.kompasiana.com

Page 86: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

79Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

b. Ko-dependensi

Di antara literatur-literatur mengenai Disaster Law yang ada – terutama yang ada pada oleksinya penulis – terdapat buku yang ditulis oleh Kristian Cedervall Lauta, - seorang penulis berkewarganegaraan Denmark, associated dean for education pada Fakultas Hukum University of Copenhagen, antara lain mengajar mata kuliah Disaster Law and Policy - yang berjudul Disaster Law. Dalam buku tersebut ia menulis …. The most violent manifestation of this co-dependency is the natural disaster59 (cetak tebal oleh penulis; pss).

Pernyataan tersebut terkesan muncul secara tiba-tiba selain karena dicantumkan pada halaman awal bab yang bertitel Introduction, pernyataan tadi apabila dikaitkan dengan kalimat sebelumnya yang berbunyi ….althought easily forgoten in the modern welfare state, human interaction with ecological system is an essential condition for the quality of life and emains a structural element in social interactions,60 tampaknya masih membutuhkan uraian lagi untuk dapat mengemukakannya sebagai kalimat yang utuh, sehingga dapat pula dipetik makna mengenai apa yang dimaksudkan dengan co-dependency.

Sebelum mengupayakan langkah menghubung-hubungkan antara terma yang satu dengan yang lainnya, antara kalimat berikut dengan kalimat sebelumnya, berkenaan dengan konsep co-dependency terlebih dahulu diidentifikasi pengertiannya dengan bertumpu pada sumber bahan hukum tertier yang dalam hal ini berupa kamus hukum. Upaya ini sia-sia karena ternyata kamus hukum yang paling lengkap sekalipun tidak memberikan definisinya terhadap terma tersebut.59 Kristian Cedervall Lauta, Loc.cit. hal. 160 Kristian Cedervall Lauta, Loc.cit. hal. 1.

Page 87: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

80 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Berdasarkan dugaan bahwa terma co-dependency tidak merupakan istilah teknis yuridis hukum, maka sudah sepatutnyalah apabila alat bantu memahaminya diupayakan menemukannya pada sumber-sumber non hukum. Dengan strategi demikian akhirnya dijumpai satu pengertian yang semoga setelah “ditarik-tarik” mengandung relevansi dalam rangka mitigation and reduction disaster risks.

Ada pun pengertian co-dependency yang dimaksudkan itu pada pokoknya adalah sebagai berikut :

Co-dependency is a learned behavior that can be passed down from one generation to another. It is an emotional and behavioral condition that affects an individual’s ability to have a healthy, mutually satisfying relationship. It is also known as “relationship addiction” because people with codependency often form or maintain relationships that are one-sided, emotionally destructive and/or abusive. The disorder was first identified about ten years ago as the result of years of studying interpersonal relationships in families of alcoholics. Co-dependent behavior is learned by watching and imitating other family members who display this type of behavior.61

Selanjutnya terdapat satu hal lagi yang harus dijelaskan yaitu berkenaan dengan adanya konsep codependency (tanpa garis hubung). Apakah keduanya memiliki pengertian yang berbeda sejalan dengan perbedaan dalam cara penulisannya. Dalam kamus online Merriam-Webster62 pada pokoknya diuraikan, codependency adalah suatu kondisi psikologis atau hubungan di mana seseorang dikendalikan atau dimanipulasi oleh orang lain yang dipengaruhi oleh kondisi patologis (seperti kecanduan alcohol atau heroin).

61 Www.mentalhealthamerica.net62 Codependency. https://www.merriam-webster.com

Page 88: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

81Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Dari pengertian yang dikemukakan belakangan tersebut tampak setidak-tidaknya bahwa codependency bukanlah co-dependency yang memiliki fungsi yang vital sehubungan dengan pemikiran, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam upaya-upaya mitigation dan reduction terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Oleh karena itu kiranya kajian sederhana ini harus tetap berpegang pada pengertian co-dependency yang mempergunakan garis hubung.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan terdahulu dapat dirumuskan secara ringkas bahwa co-dependency pada dasarnya merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakoni oleh orang-orang pada zaman lampau karena suatu sebab yang tak dapat dihindari. Perilaku tersebut dapat diwariskan atau diteruskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Di samping itu dapat juga disimak, dipelajari dan diteladani dengan jalan menyaksikan, mendengarkan dan membaca.

Ketika dikisahkan dalam Epos Mahabharata kaum Kurawa merencanakan hendak melenyapkan keluarga Pandawa melalui strategi menerapkan kecurangan dalam suatu permainan. Dirancanglah “aturan” bahwa yang kalah harus meninggalkan Puri Astina masuk hutan. Di tengah hutan sudah disediakan bale-bale yang mudah terbakar. Pelenyapan keluarga Pandawa akan dilakukan pada saat istirahat dengan cara membakar bale-bale tersebut. Arya Widura yang sangat bersimpati kepada Pandawa mengetahui rencana busuk tersebut dan segera memerintahkan orang-orangnya yang loyal untuk menggali terowongan. Benar saja ketika Pandawa diperkirakan sudah terlelap, bale-bale dibakar, dan benar juga Pandawa selamat setelah berhasil lolos melalui terowongan.

Page 89: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

82 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Dsimak dari suatu perspektif sesungguhnya Epos Mahabharata juga dapat memberi atau membangkitkan inspirasi. Dikemukakan demikian karena dari bagian episode epos yang mengisahkan kegiatan penggalian terowongan untuk menyelamatkan diri dari bencana itu, pada zaman modern seperti sekarang ini sudah dapat dipahami sebagai kegiatan membangun “bunker perlindungan”. Untuk menyebut satu diantaranya adalah Bunker Kaliadem sebagai tempat berlindung dari letusan - erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah.

Kendati pun tidak sama persis dengan kisah dalam Epos Mahabharata yang konstruksi terowongannya tembus hingga ke suatu tempat yang jauh dari pusat api, sementara Bunker Kaliadem itu menyerupai bangunan di bawah tanah atau goa buatan manusia. Akan tetapi setidak-tidaknya kisah tersebut dapat memberikan inspirasi bahwa bangunan semacam terowongan atau goa dapat dimanfaatkan sebagai tempat berlindung – menyelematkan diri dari bencana.

Bunker Kaliadem sudah pernah berfungsi menyusul erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang lalu. Terlepas dari persoalan efektivitas dalam fungsinya sebagai tempat berlindung, dapat dikemukakan bahwa bunker tersebut merupakan materialization – pengejawantahan co-dependency yang dapat diteruskan secara turun-temurun atau sustainable succession – penerusan secara berkelanjutan.

Selain Epos Mahabharata, cerita rakyat pun juga dapat mengandung co-dependency yang sangat bermanfaat bahkan dengan efektivitas dan efisiensinya tidak dapat diragukan lagi dalam mencegah dan/atau mengurangi dampak bencana. Hal ini sangat relevan dengan paradigma penanganan dampak bencana

Page 90: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

83Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

yang sedang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Paradigma tersebut menekankan mitigation and reduction dampak bencana. Ada pun cerita rakyat yang dimaksudkan itu adalah kisah seperti yang dituturkan Kepala Biro Humas Sekretariat Daerah Aceh, Frans Dellian, menyebut cerita rakyat dari Warga Simeulue dapat dijadikan inspirasi pada warga lain bagaimana menghadapi tsunami. Daerah Simeulue menjadi titik yang paling dekat dengan pusat gempa pada tahun 2004 lalu. Namun, justru korban di daerah sana bisa disebut kecil, hanya 7 orang meninggal. “Karena memang 100 tahun lalu di sana pernah tsunami juga, sehingga ada cerita rakyat seperti legenda, kalau seandainya melihat air laut surut, maka lari ke gunung. Nah akibat cerita rakyat yang sudah turun temurun itu yang membuat masyarakat selamat,” ungkap Frans. Menurut Frans, cerita rakyat Simeulue itu kemudian dijadikan bahan pembelajaran bagi yang lain sebagai pengetahuan dalam menghadapi bencana tsunami, termasuk kepada anak-anak sekolah.63

63 2014. Cerita Rakyat Jadi Penyelamat Warga Simeulue dari Tsunami Aceh. Https://www.m.kumparan.com

Page 91: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

84 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Gambar diambil dari www.google.com Bunker Kaliadem di Kinarejo, Hargobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bunker dibangun sebelum erupsi Gunung Merapi pada 2010.

Para leluhur, nenek-moyang dan orang-orang yang hidup pada zaman yang telah lampau sesungguhnya merupakan guru, instruktur atau setidak-tidaknya informan dalam kaitannya dengan upaya pencegahan dampak bencana. Hanya saja mereka melakukannya tidak seperti yang dilakoni oleh Dr. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si., APU, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat di BNPB.

”Civil servant” yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pengurangan Risiko Bencana tersebut melakukan tugasnya dengan tekun di tengah-tengah terpaan penyakit parah yang dideritanya. Hanya saja Sutopo PN melakakukannya setelah memperoleh input data dan informasi yang akurat atau setidak-tidaknya sangat mendekati akurat dari berbagai sumber yang dilengkapi berbagai peralatan modern dan canggih. Demikianlah “co-dependency” di bidang mitigasi bencana di zaman modern.

Para leluhur, nenek-moyang dan seterusnya yang juga melakukan “co-dependency” tidak melaksanakan seperti profesional tersebut. Para leluhur menarasikan “codependensi” dalam wujud berbagai bentuk “kearifan lokal” yang tersedia dalam sistem budaya masing-masing. Diantaranya banyak yang diwujudkan dalam bentuk mulai dari berbagai cerita, konsep, petuah-pepatah, hingga yang spektakuler (bedol desa).

Co-dependency dewasa ini sudah hampir menjadi subyek yang cenderung dilupakan. Seolah-olah yang bertempat tinggal di kawasan misalnya gunung berapi dalam radius 4 kilo meter itu

Page 92: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

85Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

lebih percaya beton yang dibangunnya, seolah-olah kawasan yang pernah dihuni kemudian ditinggalkan dan dihuni kembali oleh generasi berikutnya adalah karena kebodohan generasi terdahulu yang meninggalkan kawasan tersebut, dan seolah-olah lainnya. Co-dependency perlu dihidupkan lagi dalam rangka cegah-tanggul bencana.

Page 93: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

86 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Page 94: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

87Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

BAB IIDIMENSI YURIDIS

Page 95: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

88 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Page 96: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

89Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

1. Sistem Hukum

Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir ini wacana berkenaan dengan “sistem hukum” banyak dipengaruhi oleh pandangan Lawrence M Friedman. Dalam bukunya yang berjudul The Legal System. A Social Science Perspective, penulis tersebut mengawalinya dengan mengemukakan….A legal system is not a thing like a chair, a horse, or a book; it is not a well-defined concept in the social world like the Roman Catholic church or the nuclear family. In brief, there is no definition on which scholars-and the public-agree.64

Dari penelusuran kecil yang dilakukan bahkan belum dijumpai penulis yang memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan sistem hukum. Padahal buku-buku yang mereka tulis secara jelas mencantumkan titel sistem hukum. Kebanyakan diangkat dalam tulisannya adalah gambaran tentang kondisi sistem hukum misalnya yang berlaku di Indonesia atau uraian perihal berbagai bidang hukum.

Kondisi tersebut dapat dikemukakan bahwa penulis yang bersangkutan sesungguhnya sudah menguraikan perihal sistem hukum. Namun demikian uraiannya baru menggambarkan beberapa bagian dari apa yang kemudian disebut dengan konsep sistem hukum. Belum merupakan deskripsi yang komprehensif dan terutama sistematis karena betapa pun juga sistem hukum itu harus mengekspresikan karakteristik sistem pada umumnya.

Whatever character one assigns to the legal system, it will have features common to every system or process. First, there will be inputs, raw materials which enter at one end of the system….produces an input….in narrower sense, the inputs are pieces of paper and bits of

64 Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System. A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation, New York. Hal. 1

Page 97: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

90 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

behavior that set legal process in motion….The heart of the system is the way it turns input into output.65

Bertumpu pada pandangan tersebut, karakter sistem hukum pada dasarnya tidak boleh bertentangan dengan karakter sistem pada umumnya yang menggambarkan kinerja input, process dan output . Bahkan apabila menghendaki yang lebih sempurna, sistem hukum yang baik harus mengandung komponen feed back yang berfungsi mengevaluasi agar output tetap fungsional.

Friedman66 sendiri juga tidak memberikan definisi mengenai sistem hukum melainkan merinci komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum. Adapun komponen-komponen yang dimaksudkan itu adalah structure, substance, dan culture yang sudah tentu seluruhnya diuraikan dalam kaitannya dengan hukum. Komponen-komponen itulah yang mendukung konstruksi yang disebut sistem hukum.

Berkenaan dengan yang pertama dikemukakan ….the structure of the legal system, as a whole, is neither god or machine….the structure of a system is its skeletal framework; it is the permanen shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process following within bounds. We describe the structure of a judicial system when we talk about the number of judges, the jurisdiction of courts, how higher courts are stacked on top of a lower courts, what persons are attached to various courts, and what their roles consist of. Kedua, substance menurut Friedman ….is composed of substantive rules –diuraikan berdasarkan pengertian substantive law : the part of the law that deals with rights, duties, and all other matters are not purely of practice and procedure (Elizabeth A. Martin, 1977. Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press, Oxford. Hal. 65 Ibid. hal. 11-12.66 Ibid. hal. 13-16

Page 98: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

91Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

451) pada pokoknya merupakan hukum materiil - and rules about how institutions should behave …. Ketiga, culture, diuraikan dengan mengemukakan….it is the element of social attitude and value….The value and attitudes held by leaders and members are among these factors, since their behavior depends on their judgment about which options are useful or correct. Legal culture refers, then, to those parts of general culture – customs, opinions, ways of doing and thinking….selanjutnya Friedman mengakhiri uraian berkenaan dengan komponen-komponen sistem dengan pernyataan; a legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.

Friedman pada dasarnya tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan sistem hukum. Berbeda halnya H.L.A. Hart yang juga dikutip Friedman. Pandangan Hart67 sesungguhnya mengarah pada definisi bahwa sistem hukum….illuminatingly be characterized as a union of primary rules of obligation with secondary rules. Primary rules berkenaan dengan perilaku atau tindakan-tindakan baik yang harus dilakukan maupun tidak dilakukan, sedangkan secondary rules berkaitan dengan keseluruhan perihal primary rules itu sendiri. Secondary rules mengatur tentang tatacara agar primary rules dapat dipastikan – dipositifkan secara meyakinkan, dikembangkan, diperbarui, dll secara valid.

Mengakhiri bab dalam bukunya yang menguraikan perihal sistem hukum tersebut, Hart mengemukakan….we shall conclude this chapter with a warning: though the combination of primary and secondary rules merits, because it explains many aspects of law, the central place assigned to it, this cannot by itself illuminate every

67 H.L.A. Hart, 1986. The Concept of Law. Oxford University Press. Oxford. Hal. 91,92, 96

Page 99: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

92 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

problem. The union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system; but it is not the whole….

Demikianlah pandangan Hart yang pada zamannya dikenal sebagai Legal Philosopher di samping Hans Kelsen, pada satu sisi memberikan pandangannya tentang sistem hukum, akan tetapi pada sisi lain ia tidak menjadi besar kepala dengan pandangannya dengan menutup pendapat lain. Hart dengan rendah hati mengakui keterbatasan pandangannya.

Pengakuan akan keterbatasan tersebut pada gilirannya menimbulkan semacam desakan untuk mencari lagi pengertian sistem hukum. Upaya yang terkesan agak ngotot ini sesungguhnya bertumu pada fungsi sistem hukum itu sendiri yang oleh Friedman68 dikatakan terfokus pada output dari hukum atau yang secara sederhana dapat dilukiskan sebagai apa yang dihasilkan oleh sistem hukum dalam merespon permintaan masyarakat. ….setiap laporan kepada polisi adalah suatu permintaan atas berfungsinya sistem hukum….setiap keputusan, putusan, dan bentuk-bentuk sejenisnya merupakan suatu output atau respon….These general outputs are the overall functions of law, what society expects of the system.

Fungsi sistem hukum merupakan sesuatu yang sangat vital, akan tetapi persoalannya bagaimana ihwalnya sehingga dapat menaruh harapan pada sesuatu yang belum jelas sosoknya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan tempat bagi berlabuhnya berbagai harapan yang jumlahnya tak terhingga itu, maka upaya pencarian definisi sistem hukum masih harus dilanjutkan lagi.

Joseph Raz69 yang mengawali tulisannya yang berjudul The 68 Lawrenca M. Friedman. Op.cit. hal. 1769 Joseph Raz, 1980. The Concept Of A Legal System. An Introduction to the Theory

of Legal System. Clarendon Press, Oxford. Hal. 1

Page 100: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

93Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Concept Of A Legal System. An Introduction to the Theory of Legal System dengan mengemukakan….this work is an introduction to a general study of legal systems, that is to the study of the systematic nature of law, and the examination of the presuppositions and implications underlying the fact that every law necessarily belongs to a legal system ….pada dasarnya juga tidak memberikan definisi mengenai sistem hukum.

Namun demikian Raz menyatakan dengan tegas bahwa pada satu sisi ….legal systems as systems of norms dan pada sisi lain dikemukakan juga ….legal systems as systems of laws.70 Dari pandangan ini timbul persoalan bagaimanakah perbandingan antara norma dan hukum. Perbandingan tersebut akan diuraikan lebih jauh pada kesempatan yang lain. Berkenaan dengan tulisan sekarang ini, yang terpenting dari pandangan Raz diperoleh pemahaman ….setiap norma hukum dalam pengertian yang seluas-luasnya tercakup dalam suatu sistem hukum.

Inti dari sudut pandang tersebut merupakan suatu prinsip yang harus dipegang teguh khususnya dalam hal ini adalah dalam upaya menguraikan persoalan apakah hukum kebencanaan (disaster law) itu termasuk dalam sistem hukum. Uraian demikian tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pemahaman mengenai pengertian hukum kebencanaan itu sendiri dan sudah tentu dengan pengertian sistem hukum.

Penelusuran terhadap pengertian sistem hukum pada akhirnya merambah pada pandangan-pandangan yang dihasilkan oleh para ahli filsafat hukum (legal philosopher) yang berkiprah pada abad ke 20 seperti Emil Lask dan Gustav Radbruch.71 Akan tetapi

70 Ibid. hal. 121, 168.71 Emil Lask, 1950. Legal Philosophy. Dalam : The Legal Philosophes Of Lask,

Radbruch, And Dabin. Translated by: Kurt Wilk. Harvard University Press.

Page 101: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

94 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

penelusuran tersebut tidak berhasil menemukan pengertian yang dimaksudkan. Besar kemungkinannya hal itu berlatarbelakang pada perbedaan fokus kajian; sistem hukum tidak merupakan ranah filsafat hukum pada bidang mana kedua filosof hukum itu bertekun. Oleh karena demikian maka penelusuran akan diarahkan pada kepustakan-kepustakaan hukum yang mengetengahkan teori hukum atau sekalian dogmatik hukum.

Pada kepustakaan hukum yang disebutkan belakangan itu dijumpailah sebuah karya mengenai pandangan-pandangan Hans Kelsen yang dapat dikemukakan sangat fenomenal. Dikemukakan demikian karena karya tersebut banyak dikutip terutama pada bagian yang mengetengahkan tentang teori pertingkatan hukum atau Stufenbau Theory. Hampir seluruh orang terutama yang betekun dalam bidang Hukum Tata Negara dapat dipastikan mengenal dan pernah mengutip teori itu.

Ringkasnya, berkenaan dengan legal system Kelsen72 pertama-tama merujuk pada systems – sistem-sistem pada umumnya tentang kinerja hukum – dan uraian Kelsen mengenai systems tersebut adalah sebagai berikut : in close connection with the sphere of validity of the different national legal orders is the problem

Cambridge- Massachusetts. Hal. 39 berkenaan dengan sistem hukum mengemukakan,…general jurisprudence may command two complementary instruments; the comparative treatment of doctrines, which covers all historical legal systems…sedangkan Gustav Radbruch,1950. Legal Philosophy. Dalam : The Legal Philosophes Of Lask, Radbruch, And Dabin. Translated by: Kurt Wilk. Harvard University Press. Cambridge- Massachusetts. Hal. 66 mengemuakkan ….to a large extent, the legal concepts developed by that theory are not merely shown inductively to be common to all given legal orders; they concept that may be discerned a priori to be valid for any conceiveble legal order. It will be brought out later that concepts such as legal subject and legal object, legal relation and legal wrong, and indeed the very concept of the law itself, are not accidental possessions of several or all legal orders but are necessary prerequisites if any legal order is to understood at all as legal. Hal. 66

72 Hans Kelsen, 1961. General Theory Of Law And State. Translated by: Anders Wedberg. Russell & Russell, New York. Hal. 243.

Page 102: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

95Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

of so-called “conflict of laws” or “Private International Law” ….this concept is usually defined as that body of legal rules which are to be applied to a conflict between two systems of law in the decision of cases having contact with more than one territory.

Dari uraian tersebut dapatlah dipetik makna bahwa setiap teritori terutama yang memenuhi konsep sebuah negara memiliki body of legal rules masing-masing. Apabila dua body of legal rules berinteraksi misalnya karena dibuatnya suatu perjanjian oleh warga negara dari negara-negara yang berbeda, maka timbulah persoalan yang disebutk Kelsen sebagai a conflict between two systems of law. Sampai sejauh ini Kelsen juga tidak memberikan definisi selain sebuah contoh dari sistem hukum.

Selanjutnya harapan yang sangat besar kiranya dapat ditumpukan pada karya Samuel Mermin. Menyimak covernya yang mencantumkan titel Law And The Legal System. An Introduction, tak pelak lagi buku ini pasti memuat definisi sistem hukum. Ternyata perkiraan semula meleset ; buku tersebut tidak menguraikan pengertian sistem hukum secara definitif, melainkan uraian-uraian berkenaan dengan keberadaan dan berfungsinya hukum dalam masyarakat. Namun demikian sebegitu jauh uraian tersebut sangat bermanfaat untuk menjelaskan sistem hukum itu sendiri.

Berkenaan dengan sistem hukum, Mermin73 pada pokoknya mengemukakan….selain dirancang dalam rangka menyelesaikan perselisihan dan menjaga ketertiban, sistem hukum pada dasarnya juga merupakan suatu kerangka kerja dengan mana harapan-harapan tertentu yang wajar berkenaan dengan transaksi, hubungan hukum, kejadian yang direncanakan, dan kecelakaan kehidupan 73 Samuel Mermin, 1982. Law And The Legal System. An Introduction. Little,

Brown & Company Limited, Canada. Hal. 6

Page 103: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

96 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

sehari-hari dapat terpenuhi. Serangkaian dengan pandangan ini, Mermin juga mengutip Lon Fuller yang pada pokoknya mengemukakan bahwa hukum secara simultan merupakan control sosial dan sarana memfasilitasi interaksi manusia dan hubungan harapan yang bersifat timbal balik.

Pada bagian lain dari tulisannya dikemukakan juga bahwa Sistem hukum pada pokoknya menaruh perhatian untuk memberikan perlindungan terhadap orang dari penggunaan kekuatan orang lain yang berlebihan atau tidak adil. Dalam hubungan ini diberikan beberapa contoh selain undang-undang antimonopoli yang melindungi dari kekuatan monopoli swasta, terdapat juga praktek lain misalnya, kekuasaan majikan dibatasi oleh undang-undang seperti yang memaksakan pembayaran upah minimum, atau melarang diskriminasi dalam pekerjaan.74

Uraian Mermin tersebut pada dasarnya memang tidak mengetengahkan pengertian sistem hukum. Pandangan Mermin yang berkedudukan sebagai profesor ilmu hukum sejak 1947 itu terfokus pada fungsi-fungsi sistem hukum. Ada pun fungsi-fungsi sistem hukum yang diungkapkannya antara lain sebagai kerangka kerja pemenuhan ekspektasi, sarana perlindungan, mendorong inisiatif masyarakat, dan ….securing efficiency, harmony, and balance in the functioning of the government machinery.75

Kendati pun demikian secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa deskripsi sistem hukum yang diuraikan oleh Mermin dengan fungsi-fungsinya tersebut sesungguhnya memperlihatkan jangkauan yang terbatas. Fungsi sistem hukum yang diuraikannya itu tidak bergeser sedikit pun dari konsep baku peristiwa hukum dan hubungan hukum sebagai aktivator sistem 74 Ibid. hal. 775 Ibid. hal. 6.

Page 104: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

97Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

hukum. Artinya, apabila terjadi suatu peristiwa hukum dan/atau hubungan hukum barulah sistem hukum tersebut berfungsi.

Fungsi sistem hukum berdasarkan pandangan tersebut belum menyentuh kinerja hukum dalam hal terjadinya bencana alam yang tidak dapat dikualifikasikan sebagai peristiwa hukum apalagi hubungan hukum. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan persoalan apakah sistem hukum yang konvensional tidak memberikan perlindungan hukum terhadap subyek hukum atas akibat-akibat misalnya kerugian yang disebabkan bukan oleh subyek hukum.

Kiranya masa pencarian ini segera akan berakhir sehubungan dengan dijumpainya definisi sistem hukum. Temuan ini mengandung aspek yang sangat membanggakan justru karena definisi tersebut dikemukakan oleh seorang akademisi senior Indonesia, penulis dan mantan praktisi hukum Beliau adalah Prof. Sudikno Mertokusumo yang karya-karyanya banyak dikutip.

Sudikno Mertokusumo76 mengemukakan “hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum”.

Definisi tersebut tampaknya diformulasikan berdasarkan

76 Sudikno Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty, Yogyakarta. Hal. 100

Page 105: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

98 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

pemahaman terhadaop pandangan seorang penulis yang pada pokoknya mengemukakan…”ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules, tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole.77 Selanjutnya ditegaskan kembali bahwa pada hakekatnya sistem, termasuk sistem hukum merupakan suatu kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Jawaban itu terdapat di dalam sistem itu sendiri.

Dari uraian yang telah dipaparkan timbul suatu persoalan apakah konsep yang kemudian disebut dengan hukum kebencanaan (disaster law, natuuram rech) itu merupakan sistem hukum, dan apabila demikian bagaimanakah performance atau kinerja atau yang dalam Bahasa hukum; proses penegakan hukumnya. Persoalan tersebut perlu memperoleh penjelasan terutama yang berkenaan dengan bencana-bencana alam.

2. Kinerja

Dari pandangan A.M. Bos78 dapat dikemukakan bahwa sistem pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang membangun sistem itu sendiri. Berbagai elemen tersebut terbagi dan dapat dibagi-bagi serta membentuk sub-sub sistem. Di antara bagian-bagian atau sub-sub itu terjalin hubungan yang bersifat ajeg. Sistem yang memadai harus lengkap dan dapat dilengkapi oleh fasilitas yang tersedia dalam sistem yang bersangkutan. Agar sistem dapat bekerja maka sistem harus pula memiliki dan mampu mengembangkan konsep yang khas.

77 A.M. Bos. n.d. Methods For The Formation Of Legal Concepts And For Legal Research. Institute Of Sociology Rijksuniversiteit Te Groningen, Grote Markt. Hal. 2.

78 Ibid. hal. 1.

Page 106: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

99Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Elemen-elemen sistem hukum pada pokoknya terdiri dari hukum-hukum yang menurut Bos79 dapat dibedakan berdasarkan cara munculnya. Oleh karena itu terdapat elemen berupa hukum yang muncul secara by legislation. Elemen ini misalnya norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan kitab hukum. Institusi yang berwenang dan tatacara pembuatannya ditentukan oleh sistem hukum.

Selain itu ada hukum yang menjadi elemen sistem yang muncul by administration of justice.80 Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, hukum ini dapat dikemukakan mengambil bentuk yurisprudensi, yaitu aturan-aturan hukum yang bersumber dari proses pelaksanaan peradilan yang konvensional. Dalam common law system, elemen ini disebut dengan case law, hukum yang bersumber dari penyelesaian kasus hukum.

Jenis elemen terakhir dari sistem hukum menurut Bos81

adalah aturan hukum yang muncul by custom. Apabila dibandingkan dengan elemen-elemen yang disebutkan lebih awal yang memang sejatinya dibuat oleh institusi-institusi yang berwenang sebagai law makers, maka dalam kaitannya dengan hukum by custom, institusi-institusi tersebut tidak ada….customs come into being in a group of people ( for instance a village or a tribe) as the group follows always the same line of behavior in a certain situation.

Disimak dari perspektif elemen sistem hukum seperti yang telah diuraikan dapatlah dikemukakan bahwa aturan-aturan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 79 Ibid. hal. 280 Ibid. hal.481 Ibid. hal.4

Page 107: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

100 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

merupakan salah satu bentuk hukum kebencanaan (disaster law), dan karena itu merupakan pula sub dari sistem hukum nasional. Di antara elemen-elemen sistem hukum, Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana adalah sebuah sub sistem hukum, elemen yang paling representatif dikemukakan sebagai contoh hukum kebencanaan terutama di Indonesia.

Selanjutnya akan disimak juga ihwal keberadaan elemen hukum kebencanaan baik yang merupakan by administration of justice maupun by custom. Sehubungan dengan kehendak ini kiranya penting untuk disadari bahwa untuk memperoleh pemahaman berkenaan dengan elemen-elemen tersebut merupakan upaya yang tidak mudah. Dibutuhkan penelusuran yang komprehensif terutama untuk elemen hukum kebencanaan by custom.

Dalam tulisan ini penelusuran mengenai keberadaan elemen yang by custom tidak dilakukan. Di samping karena beberapa hal yang prinsip sudah diuraikan berkenaan dengan “Ko-dependensi” yang sangat relevan dengan momen munculnya suatu kebiasaan dalam masyarakat, juga bertumpu pada pemikiran tentang perlunya membuka dan memberikan kesempatan untuk bertumbuhnya penelitian dan penulisan hukum kebencanaan.

Dengan demikian kiranya dapatlah dimaklumi apabila dalam tulisan ini uraian hanya dipusatkan pada dua elemen; hukum kebencanaan by legislation dan yang by administration of justice. Elemen yang disebutkan belakangan ini diawali dan diperoleh dari penelusuran terhadap bahan hukum sekunder, bahan hukum yang diperoleh dari sumber kedua. Dalam hal ini sumber tersebut adalah CNN Indonesia, sebuah entitas yang bergerak pada bidang broadcasting berita.

Page 108: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

101Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

CNN Indonesia82 memberitakan….”Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk. Namun tak aka satu pun korporasi atau pengelola dari PT. Lapindo Brantas. Inc. yang terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI”.

Bagaimana ihwalnya hingga Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai dampak bencana alam, apakah pernyataan tersebut merupakan amar putusan dari badan peradilan tertinggi di Indonesia ataukah fatwa yang diikuti tak tanggung-tanggung oleh DPR RI. Persoalan ini kiranya perlu ditelusuri lebih dalam lagi mengingat semburan lumpur Lapindo yang dahsyat itu terjadinya pada 29 Mei 2006 sementara undang-undang yang paling relevan baru diundangkan pada 26 April 2007.

Apabila dirunut kembali rupanya pernyataan yang sangat fenomenal tersebut berawal dari sebuah gugatan yang diajukan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada intinya bahwa sehubungan dengan semburan lumpur Lapindo, pemerintah dan PT. Lapindo Brantas telah melakukan perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut untuk seluruhnya ditolak oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Oktober 2008.

Terhadap putusan tersebut sudah tentu WALHI mengajukan upaya hukum banding, akan tetapi Pengadilan Tinggi

82 Utami Diah Kusumawati, 2015. Bencana Lumpur Lapindo Sudah Ditetapkan DPR Bencana, Lapindo Tak Bisa Dipidana. https://m.cnnindonesia.com 29/05/2015.

Page 109: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

102 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Jakarta ternyata menguatkan Putusan PN Jakarta Selatan dengan menyatakan bahwa semburan lumpur panas Lapindo disebabkan karena bencana alam. Sampai disinilah upaya hukum yang ditempuh, WALHI tidak mengajukan kasasi hingga Putusan PT Jakarta dipandang memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Patut diberikan apresiasi yang tinggi karena sehubungan dengan terjadinya fenomena luar biasa yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian yang sangat besar itu serta dalam kondisi hukum yang belum memadai, selain WALHI, terdapat juga entitas lain yang sangat menaruh kepedulian dan berjuang dengan gigihnya menegakkan hak-hak rakyat atas lingkungan yang baik dan kelestarian alam. Entitas tersebut adalah YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

YLBHI juga mengajukan gugatan di PN Jakarta Pusat pada 27 Nopember 2007 dan terhadap gugatan tersebut PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa pemerintah dan PT Lapindo Brantas tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam rangkaian kasus ini YLBHI tidak saja mengajukan banding tetapi juga kasasi. Hanya saja putusan-putusannya masih tetap sama; pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak bersalah.

Persoalannya sekarang manakah Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu merupakan bencana alam. Setelah dilakukan penelusuran melalui jaringan internet ternyata situs website Mahkamah Agung Republik Indonesia yang beralamat pada https://putusan.mahkamahagung.go.id tidak dapat diakses. Jadi untuk mengetahui apakah memang benar badan peradilan tertinggi itu memutuskan demikian.

Kepastian mengenai status bencana semburan – ada

Page 110: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

103Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

juga yang menyebutnya dengan luapan – lumpur Lapindo itu sangat penting artinya terutama bagi pihak yang “diminta” untuk bertanggungjawab. Bagi pihak ini, apabila semburan tersebut dinyatakan sebagai bencana alam, maka pihak tersebut bebas dari kewajiban memberikan pertanggunganjawab, terlepas dari kewajibannya sebagai manusia yang berkeinginan membantu sesamanya.

Model logika tersebut tercermin dari pernyataan Aburizal Bakrie seperti yang tercantum pada uraian mengenai legal standing sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.83

Pada bagian ini diuraikan sebagai berikut;

bahwa adanya ketidakpastian hukum atas keberlakuan Perpres a quo sebagaimana diuraikan diatas, salah satunya disebabkan karena adanya pemahaman tentang konsep tanggung jawab hukum (TJH) yang dikenakan terhadap PT. Lapindo Brantas Inc dalam Bencana Lumpur Sidoarjo yang diatur dan ditegaskan dalam Perpres a quo sudah tidak dianggap lagi sebagai pertanggung jawaban hukum yang mengikat (mandatory responsible). Hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan Sdr. Aburizal Bakrie saat menjawab pertanyaan dari Dosen Fisip Unair Sdr.Airlangga Pribadi dalam Kuliah Umum Tamu di Aula FE Universitas Airlangga Surabaya dengan tema “Kepemimpinan dan Kebangsaan” pada tanggal 27 April 2011 yang diberitakan di Antaranews (vide bukti P-15). Dalam pernyataannya tersebut Sdr. Aburizal Bakrie menyatakan bahwa “kalau mengikuti ketetapan hukum, saya tidak bersalah, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu korban tanpa melihat apakah saya salah atau benar. Dan hingga kini pihaknya sudah menghabiskan

83 Putusan Nomor 83/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Page 111: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

104 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dana sebesar Rp. 8.000.000.000.000,- dari kantong pribadi untuk pembayaran ganti rugi tersebut, karena perusahaan PT. Lapindo Brantas memang tidak mampu membayar, sedangkan kemampuan perusahaann hanya Rp.100.000.000.000,-. Kalau dinyatakan pailit, maka urusan akan selesai, apalagi Mahkamah Tinggi sudah memutuskan bahwa luapan lumpur itu merupakan bencana alam, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu mereka tanpa melihat siapa yang benar.

Dari kutipan panjang tersebut dapat diketahui tentang adanya niat untuk melakukan transpormasi tanggung jawab hukum (TJH) yang tentunya membebankan kewajiban hukum menjadi sesuatu yang tampak seperti kewajiban moral. Intinya, pihak korporasi tidak menerima apabila dinyatakan sebagai pihak yang bersalah, dan semuanya ini timbul karena adanya putusan yang menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu merupakan bencana alam. Oleh karena itu sampai sejauh ini pencarian Putusan MA mengenai hal tersebut masih relevan.

Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa selain Putusan MA, terdapat pula Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, juncto Perpres nomor 48 tahun 2008 juncto Perpres nomor 40 tahun 2009 juncto Perpres nomor 68 Tahun 2011 juncto Perpres Nomor 37 Tahun 2012 yang pada pokoknya menetapkan Pola Penanganan untuk daerah yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT) menjadi tanggung jawab oleh PT Lapindo Brantas Inc, dan untuk daerah yang berada di luar Peta Area Terdampak menjadi tanggung jawab Pemerintah Republik Indonesia.

Penetapan Pola Penanganan yang mengintrodusir dua tanggung jawab yaitu dari korporasi dan pemerintah itu

Page 112: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

105Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

“didalilkan” sebagai suatu ketidakpastian hukum (uncertainty of law) seperti yang tampak pada Putusan MK No. 83/PUU-XI/2013 dan mengandung kontradiksi terhadap Putusan MA yang pada pokoknya menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo yang masih berlangsung hingga saat tulisan ini dikerjakan itu merupakan bencana alam.

Kepastian hukum merupakan suatu konsep hukum yang menekankan pertama-tama pada perkataan “kepastian” yang pada dasarnya mengandung pengertian yang mengarah pada sesuatu yang dapat memberikan keyakinan, ketelitian, ketepatan, dan pasti. Oleh karena itu kepastian hukum dapat dideskripsikan sebagai suatu kondisi hukum yang menyakinkan dan menjamin efisiensi dalam pengertian ketepatan.

Gustav Radbruch84 pada pokoknya mengemukakan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu elemen dari apa yang disebut dengan “cita Hukum atau the idea of law di samping elemen-elemen keadilan (justice) dan kepatutan (expediency). Kepastian hukum mempersyaratkan hukum menjadi positif (to be positive). Dalam kalimat yang lengkap dikemukakan sebagai berikut :

the certainty of the law requires law to be positive; if what is just cannot be settled, then what ought to be right must be laid down; and this must be done by an agency able to carry through what it lays down. So most oddly, the positivity of the law itself becomes a prerequisite of its rightness; to be positive is implicit in the concept of right law just as much as rightness of content is a task of positive law.

Dari pandangan tersebut dapat dikemukakan, pertama,

84 Gustav Radbruch, Legal Philosophy dalam :The Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin. Translated by: Kurt Wilk, Harvard Uniersity Press, Cambridge, Massachusetts, 1950. Hal. 108.

Page 113: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

106 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

kepastian hukum terdapat dalam hukum positif, yaitu pada dasarnya hukum yang secara nyata dan semata-mata disetujui serta lanjut diundangkan oleh suatu kewenangan yang patut, untuk dilaksanakan oleh pemerintah dari suatu masyarakat hukum yang terorganisasi atau yang disebut dengan organized jural society.85

Kedua, positivitas hukum itu sendiri merupakan suatu prasyarat bagi kebenarannya. Hal ini mengandung makna bahwa segala aturan, proses, tahapan hingga suatu hukum menjadi positif harus dipatuhi dan dilaksanakan. Ada pun tujuan dari kepatuhan tersebut adalah dalam rangka memenuhi persyaratan akan kebenaran hukum positif itu sendiri.

Keberadaan kepastian hukum dalam hukum positif sedemikian pentingnya, bahkan menentukan sahnya hukum itu sendiri sehingga dan bilamana perlu dapat mengesamping keadilan dan kepatutan; legal certainty demands positivity, yet positive law claims to be valid without regard to its justice or expediency….The law is valid not because it can be through effectively; rather,….because it is only then that it can afford legal vertainty.86

Berkenaan dengan wacana mengenai kepastian hukum kiranya tidaklah boleh dilupakan pandangan dari G.W. Paton87 yang pada intinya mengemukakan ….where certainty is necessary, detailed rules and definite concepts are needed. Some parts of the law, for example the law relating to property and to commercial transactions, demand certainty almost above all else.

Disimak dari perspektif sistem, hukum itu juga harus dilihat sebagai elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut. Seperti

85 Henry Campbell Black. Loc.cit. hal. 1046.86 Gustav Radbruch, Loc.cit. hal. 108, 11887 G.W. Paton, 1972. A Textbook Of Jurisprudence. The English Language Book

Society and Oxford University Press. Hal. 240.

Page 114: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

107Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

sudah dikemukakan, elemen sistem hukum itu terdiri dari berbagai aturan hukum yang muncul by, legislation, by administration of justice, dan by custom. Sampai dengan beberapa saat munculnya semburan lumpur Lapindo, hampir seluruh elemen yang telah disebutkan itu terwakili kecuali absennya produk hukum dalam bentuk undang-undang.

Terlepas dari persoalan bidang hukum mana yang membutuhkan kepastian hukum lebih tinggi jikalau dibandingkan dengan bidang lainnya seperti dikemukakan oleh Paton, ternyata Indonesia yang merupakan negara rawan bencana pada waktu itu (sebelum dan beberapa saat setelah luapan lumpur Lapindo 2006) tidak memiliki hukum positif yang mengatur mengenai kebencanaan (disaster law). Inilah yang dimaksudkan dengan “bencana hukum”.

Absennya undang-undang yang berkaitan dengan bencana pada negara yang sistem hukumnya mengandalkan undang-undang sebagai produk hukum utama adalah bencana hukum. Ketiadaan undang-undang bencana pada negara yang termasuk kawasan rawan bencana adalah bencana hukum. Hal ini akan semakin menjadi bencana hukum apabila seluruh ketiadaan tersebut mendorong terjadinya ketidakpastian hukum.

Menurut teori-teori terbentuknya bumi yang masing-masing memahamkan bahwa terbentuknya bumi tidak berlangsung dalam suasana yang berlangsung secara “smooth”, melainkan ada yang menggambarkan proses tersebut didahului dengan pusaran kabut yang super cepat dan membuat bagian-bagian tertentu dari pusaran itu terpelanting dan mengeras. Bahkan ada juga yang mengilustrasikan diawali dengan terjadi ledakan maha dahsyat.

Page 115: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

108 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Ringkasnya, kejadian atau fenomena yang mengawali dan mendorong proses terjadinya bumi itu berlangsung dan menimbulkan efek yang membahayakan, menghancurkan serta mematikan. Efek-efek seperti ini dapat dikemukakan setara dengan “performance” dan akibat-akibat yang timbul dari suatu bencana. Dengan demikian dapat pula dikemukakan, bahwa bencana itu sudah ada sejak terbentuknya bumi. Akan tetapi manusia yang muncul belakangan menyusul terbentuknya bumi ternyata kurang mampu merumuskan definisi  bencana.

Kekurangmampuan itu dapat diidentifikasikan dengan terdapatnya faktor kekurangsempurnaan. Kekurangan tersebut dapat dipolitisasi untuk kepentingan sesaat yang tidak sesuai  dengan tujuan mengelola bencana. Di samping itu kekurangan yang dimaksud dapat pula dimanfaatkan oleh sementara kalangan untuk menghindari misalnya stigma sebagai penyebab kerugian dan karenanya tidak perlu bertanggungjawab. Konsekuensi ini terjadi terutama pada teritori-teritori hukum yang tidak memiliki ketentuan hukum yang mendefinisikan bencana (alam).

Dalam kondisi seperti itu tidak tertutup kemungkinannya penentuan mengenai apakah memang terjadi suatu bencana alam ataukah bencana yang disebabkan karena campur tangan manusia - dapat berupa kelalaian yang terjadi berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan misalnya pengeboran lapisan bumi untuk menambang minyak, tetapi yang keluar bukan minyak melainkan lumpur yang meluber hingga menutup wilayah seluas hampir satu kabupaten - itu tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan produk hukum lain.

Kendati pun agak terlambat jikalau dibandingkan misalnya dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan

Page 116: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

109Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Jepang, Indonesia terutama masyarakat tentunya harus bersyukur karena sudah memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 dan Tambahan Lembaran  Negara Repulik Indonesia Nomor 4733).

Dengan adanya undang-undang tersebut dapatlah dikonstrusikan bahwa terjadinya bencana baik yang bersifat alam (bencana alam), nonalami (bencana alam), dan bencana sosial, secara tidak langsung fenomena itu memberikan semacam hak kepada korban untuk meminta kepada negara agar bertanggungjawab dalam penaggulangannya. Hak semacam itu dapat dikomunikasikan dengan konsep “hak derivatif ”.

Dapat dikemukakan pada dasarnya hak derivatif merupakan suatu hak turunan atau ikutan. Apabila dikaitkan dengan pembagian hak klasik dan non-klasik, maka yang disebut dengan hak derivatif itu dapat dimasukkan  ke dalam kelompok hak-hak non-klasik yang merupakan hak generasi baru. Pelaksanaan hak yang demikian tergantung pada kemampuan  negara untuk mewujudkannya. Akan tetapi yang sangat jelas, undang-undang  menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab.

Kejelasan dalam hal pertanggungjawaban tersebut dapat dikemukakan sebagai suatu konsekuensi dipergunakannya konsep “bencana alam” dengan pemahaman yang hampir setara dengan pengertian dari konsep “natural disaster”, bukan dari konsep “acts of God”. Akan berbeda konsekuensinya apabila yang dikaryakan itu adalah konsep yang disebutkan terakhir itu.

Page 117: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

110 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

3. Pertanggunganjawab Akibat Bencana

Pada halaman terdahulu telah dikemukakan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Sementara itu Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Terlepas dari setuju atau tidak ternyata undang-undang memasukkan “kekeringan” sebagai salah satu bentuk bencana alam.

Bedasarkan tentuan-ketentuan tersebut dapatlah dipahami bahwa peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis itu, dapat dikomunikasikan dengan dua konsep; “bencana” dan “bencana alam.

Berdasarkan perspektif tersebut patutlah bersyukur dengan telah dirumuskan dan ditetapkannya pengertian mengenai “bencana” dan “bencana alam” dalam suatu undang-undang yang merupakan elemen utama sistem hukum. Dengan demikian “bencana hukum” yang menampakkan diri dalam salah satu

Page 118: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

111Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

wujudnya berupa ketidakpastian hukum seperti telah diuraikan secara ringkas juga dapat dihindari.

Setiap bencana alam (natuurramp, natural disaster) dapat dipastikan merupakan suatu bencana (ramp, disaster). Akan tetapi sebaliknya, tidak setiap bencana merupakan bencana alam. Ungkapan kata “alam” yang dicantumkan di belakang kata bencana pada dasarnya dimaksudkan untuk menunjukkan faktor alam sebagai penyebab secara umum terjadinya suatu bencana. Sementara itu bencana yang tidak memperoleh imbuhan kata “alam” di belakangnya merujuk baik pada faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sebagai penyebab.

Faktor alam pada umumnya meliputi seluruh fenomena alam dan sama sekali terlepas dari campur tangan manusia seperti hujan, angin, gelombang laut, sinar matahari. Sedangkan pengertian dan luas cakupan faktor non alam masih membutuhkan kajian sehubungan dengan adanya pandangan yang mengemukkan ruang lingkup faktor non alam tersebut meliputi kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kejadian luar biasa (KLB), dan konflik pada satu sisi dan yang memahaminya sebagai “metafisika”pada sisi lain.

Contoh-contoh seperti kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kejadian luar biasa (KLB), dan konflik yang dikemukakan sebagai faktor-faktor non alam tersebut, tampaknya peristiwa-peristiwa itu hampir tidak dapat dibedakan dengan bencana yang disebabkan oleh faktor manusia. Akan tetapi apabila disimak lebih dalam lagi maka kesimpulannya akan berbeda.

Pada peristiwa yang oleh media massa pada waktu itu disebut dengan Tragedi Bhopal dapatlah disimak apakah tragedi

Page 119: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

112 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

tersebut merupakan suatu bencana ataukah bencana alam. Tragedy Bhopal terjadi sebagai akibat kebocoran gas pada pabrik pestisida milik Union Carbide India Limited (Ucil) pada 2 – 3 Desember 1984. Pabrik tersebut berlokasi di Bhopal, Madhya Pradesh salah satu negara bagian di India. Kalangan yang berkompeten sendiri baik di India maupun internasional menyebut peristiwa yang menyebabkan 500.000 orang terpapar atau yang mungkin dalam istilah pada zaman sekarang terdampak dengan konsep The Bhopal Disaster atau bencana Bhopal.88

Kunci penjelasan atas pertanyaan apakah tragedi tersebut merupakan suatu bencana ataukah bencana alam terletak pada penjelasan mengenai penyebab terjadinya peristiwa yang menimbulkan akibat ribuan penduduk yang kehilangan nyawa, puluhan ribu yang mengalami cacat-cidera, dan belum lagi kalau harus ditambahkan dengan kerugian-kerugian materiil seperti kerusakan properti dan kehilangan penghasilan.

Sehubungan dengan identifikasi penyebab dikemukakan, the cause of the disaster remains under debate. The Indian government and local activist argue that slack management and deferred maintenance created a situation where routine pipe maintenance caused a backflow of water into a MIC tank, triggering the disaster. Union Carbide Corporation (UCC) argues water entered the tank through an act of sabotage.89

Sebagaimana biasanya terjadi dalam banyak kasus bencana 88 Cassels, J (1993), The Uncertain Promise of Law: Lesson From Bhopal.

University of Toronto Press. Seperti dikutip Wikipedia, Bhopal Disaster. https://en.m.wikipedia.org. Sekadar informasi, Wikipedia pada dasarnya merupakan suatu ensiklopedi yang dalam Metodologi Penelitian Hukum diakui sebagai sumber bahan hukum tertier. Oleh karena itu keraguan kiranya dapat dikurangi mengingat untuk menjelaskan satu subyek saja, media ini mendasarkannya pada puluhan referensi yang serius.

89 Ibid.

Page 120: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

113Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

yang hampir selalu melibatkan kalangan non-governmental, demikianlah yang berlangsung dalam kasus Bhopal Disaster. Dua pihak non-governmental bersikukuh dengan argumen masing-masing mengenai penyebab. Kalangan aktivis mengemukakan pada pokoknya bencana terjadi akibat lemahnya manajemen perusahaan dalam kebijakan pemeliharaan pipa sehingga air mengalir balik ke dalam tangki MIC. Kapasitas tangki tidak mampu menahan tekanan sehingga ledakan yang maha dahsyat terjadi.

Sementara itu pihak Union Carbide Corporation (UCC), pemagang saham UCIL menyampaikan pendapatnya bahwa air masuk ke dalam tangki MIC akibat sabotase. Dalih ini pada dasarnya hampir dapat diterima mengingat di negara sebesar India, sabotase sering terjadi. Beberapa perdana menteri yang tewas tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan faktor sabotase dari lawan sang korban.

Demikianlah kasus tersebut masih menjadi bahan perdebatan, namun sesuatu yang sudah jelas adalah dimana baik pihak aktivis maupun korporasi sama-sama mengakui bahwa ledakan terjadi akibat air yang masuk ke tangki MIC. Mereka tidak bisa bersepakat perihal siapa atau apa yang menyebabkan air masuk ke tempat yang tidak semestinya itu. Apakah itu disebabkan oleh kebijakan pemeliharaan yang tidak tepat ataukah faktor-faktor lain termasuk sabotase?

Sesuatu yang telah jelas, UCIL yang sebagaian terbesar sahamnya dimiliki oleh UCC bersama bank-bank yang dikendalikan oleh Pemerintah India, sementara Indian Public Holding memegang 49,1% saham tetap harus bertanggung jawa terhadap setiap gugatan sehubungan dengan terjadinya The Bhopal Disaster. Pada 1998 UCC membayar US $ 470 juta dan US $ 929

Page 121: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

114 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

juta pada 2017.90

Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus tersebut, sementara proses hukum untuk menentukan siapa yang seharusnya bertanggungjawab terhadap korban dengan segala bentuk kerugiannya itu sedang dan masih berlangsung, kewajiban untuk melakukan pemulihan baik terhadap kondisi fisik kawasan yang terdampak maupun kerugian-kerugian materiil yang dialami korban tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan. Mengingat peristiwa tersebut tidak merupakan bencana alam, maka pertanggunganjawab dipikul oleh pihak yang fasilitasnya paling menentukan terjadinya bencana.

Memang agak berbeda dengan yang terjadi di negara lain misalnya Indonesia yang menurut para akhli sangat rawan terhadap bencana. Tersendat-sendatnya pelaksanaan pemberian “ganti rugi” pada korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur ditengarai dengan pertanyaan; apakah itu disebabkan oleh faktor ketidakmampuan dan/atau ketidakmauan pihak korporasi yang bersangkutan untuk bertanggungjawab. Di samping itu terdapat satu pertanyaan lagi; apakah karena pihak korporasi bersikap masih berharap agar peristiwa meluapnya lumpur tersebut ditetapkan sebagai bencana alam.

Dengan status sebagai bencana alam, korporasi yang bersangkutan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab melakukan kewajiban pemulihan baik berupa pemberian ganti rugi maupun terhadap kerusakan lingkungan yang tak ternilai. Berkenaan dengan pemulihan terhadap akibat-akibat bencana alam, pemerintah harus tampil bukan sebagai pembina karena bencana alam tidak dapat dibina, melainkan melakukan berbagai

90 Ibid.

Page 122: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

115Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

kebijakan penanggulangan dalam rangka memitigasi berbagai bentuk kerugian yang terjadi. Dalam status seperti ini sesuatu yang ironis dapat terjadi; korporasi yang seharusnya bertanggungjawab justru tampil sebagai korban.

Dengan status sebagai korban, sudah tentu korporasi terlepas dari tanggung jawab; jangankan memberikan ganti rugi, untuk ikut melakukan corporate social responsibility pun, korporasi yang bersangkutan tidak bersedia apalagi disuruh ikut bermukim di penampungan pengungsi. Bahkan dalam kondisi seperti itu masih pula dimungkinkan korporasi yang benar-benar menjadi korban bencana alam itu dibantu keuangannya. Apabila korporasi memperoleh kredit bank, maka pengembalian kreditnya dapat diperlunak atau bahkan dihapus melalui suatu kebijaksanaan perbankan.

Dalam hal suatu korporasi yang seharusnya bertanggung jawab yang karena kelalaiannya dalam menerapkan teknologi, menyuruh orang lain melakukan suatu pekerjaan pada suatu areal yang berpotensi sangat tinggi untuk terjadinya suatu bencana, dan ternyata orang tersebut kurang memiliki keahlian hingga bencana tak dapat dihindarkan lagi, kemudian korporasi tersebut berupaya melepaskan diri dari tanggung jawab, kiranya korporasi demikian dapat dikemukakan telah memandang bencana yang terjadi itu berada dalam suatu kerangka yang disebut dengan konsep ultra vires.

Terhadap konsep yang merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan tersebut, D.J. Keenan dan L. Crabtree mengemukakan, ….here we have to distinguish between express and non-express authority. The corporation will not be liable if the servant engages in an ultra vires activity without express authority. Thus if a

Page 123: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

116 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

corporation has not got authority and has not given it, it cannot be inferred. On the other hand where a tortious action is ultra vires but has been expressly authorized, the courts have taken the view that the ultra vires doctrine is irrelevant, and the corporation is liable for it. The point may not be one of much practical importance, because the objects clauses of registered companies are usually so widely drawn in modern times that the likelihood of an activity being held to be ultra vires is rather remote.91

Dari pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa ultra vires itu berkaitan dengan atau memperoleh dasar pada konsep express authority atau yang dalam Bahasa hukum perdata adalah hak yang dinyatakan secara tegas, hak yang diberikan secara nyata. Dalam hubungan hukum korporasi, perihal yang disebut dengan vires, ungkapan yang berasal dari Bahasa Latin berarti kekuatan, kekuasaan dan secara yuridis dipadankan dengan konsep hak itu diberikan oleh korporasi dan dinyatakan secara tegas dalam anggaran dasar (the charter of the association) dan/atau dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan tenaga kerja atau pun pihak ketiga.

Dalam hal tenaga kerja melakukan tindakan yang bersifat ultra vires dalam pengertian melampaui hak yang secara nyata dan tegas telah diberikan kepadanya – ultra ungkapan dalam Bahasa Latin yang dipadankan dengan “sangat besar, meluber - melampaui – beyond – maka korporasi tidak bertanggungjawab terhadap segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tindakan yang bersifat ultra vires tersebut. Korporasi tidak dapat dilibatkan untuk konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ultra vires.

Intinya diktrin ultra vires dapat dimanfaatkan sebagai 91 D.J. Keenan, L.Crabtree, 1970, Essential of Industrial Law. Pitman Paperbacks,

London. Hal. 20.

Page 124: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

117Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

dalih bagi korporasi untuk menghindari kewajiban memberikan pertangunganjawab terhadap akibat-akibat dari tindakan tenaga kerja yang melakukannnya untuk dan atas nama korporasi. Kendati pun demikian sepanjang dapat dibuktikan adanya sesuatu yang disebut dengan tortious action – tortious merupakan bentuk ejektif (kata sifat) yang bermakna having the nature of a tort; wrongful92- artinya suatu tindakan yang mengandung kesalahan – baik karena lalai terlebih-lebih lagi sengaja-, maka doktrin ultra vires menjadi tidak relevan sehingga korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab atas kerugian-kerugian yang timbul meskipun hak yang mendasari tindakan tersebut merupakan expressive authority.

Dari uraian yang ringkas tersebut dapat dipahami bahwa doktrin ultra vires dapat disalahgunakan bagi korporasi untuk menghindari tanggung jawab, dan niat kea rah itu sudah dapat dirancang sejak awal berdirinya korporasi. Niat itu dapat diimplementasikan ketika menyusun akta pendirian – anggaran dasar bagi korporasi yang bersangkutan, yang kemudian diikuti dengan penuangannya dalam berbagai kontrak yang dibuat dengan pekerja. Maknanya, merancang ultra vires yang berkualifikasi expressive authority dapat dirancang secara relatif mudah.

Kemudahan tersebut akan semakin menjadi mudah ketika pejabat yang memiliki kompetensi membuatkan, memeriksa dan membenarkan dengan begitu mudahnya “meloloskan” charter itu. Untuk memitigasi kemungkinan berbagai kerugian timbul dari ketergesaan dalam componeren van acta, salah satu yang mungkin dilakukan pada dasarnya adalah mengoptimalkan kemampuan dan meningkatkan kepatuhannya terhadap etika profesi. Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat usaha korporasi dalam 92 Elizabeth Martin, Op.cit. hal. 467

Page 125: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

118 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

perkembangan terakhir ini dapat berdampak pada lingkungan baik alam maupun sosial yang luas.

Patut disyukuri praktek peradilan yang sudah maju berhasil memasukkan suatu unsur yang berfungsi membatasi “kebebasan” yang begitu tinggi dalam menentukan sendiri apakah suatu tindakan merupakan ultra vires atau bukan hanya dengan menempelkan label express authority atau non-authority sebagai syarat bahwa tindakan yang telah dilakukan itu ultra vires atau sebaliknya. Apabila expressive maka korporasi tidak bertanggungjawab. Sampai dengan tahap ini korporasi dapat menentukan sendiri apakah bertanggungjawab atau tidak atas suatu tindakan merugikan yang dilakukan oleh tenaga kerja yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Apakah berkenaan dengan langkah penanggulangan akibat bencana yang sangat membutuhkan partisipasi dari semua kalangan, doktrin pelepasan tanggung jawab yang ditentukan sendiri itu masih relevan untuk dipertahankan. ?

Dimasukannya aspek Tortious Action dapat dikemukakan sebagai faktor bahwa di zaman modern sekarang ini kemungkinan suatu kegiatan sampai dapat dinyatakan ultra vires yang menempatkan korporasi berada pada posisi tidak bertanggungjawab menjadi semakin jauh atau setidak-tidaknya korporasi tidak dapat lagi menentukan ultra vires atau bukan secara relative mudah, semata-mata dengan mengandalkan kualifikasi authority.

Sesuai dengan berbagai motivasi yang melatarbelajangi dapat dikemukakan, ultra vires pada dasarnya merupakan suatu “metode” ngeles (menghindar atau menampik sesuatu) dari tanggung jawab.  Ultra vires adalah doktrin tentang ketidakbertanggungjawaban”

Page 126: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

119Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

korporasi. Namun demikian sumber hukum dalam hal ini doktrin juga menyediakan dasar dengan mana korporasi harus bertanggungjawab. Dasar yang dimaksudkan ini disebut doktrin intra vires.

Berkenaan dengan intra vires D.J. Keenan93 dan L. Crabtree

pada pokoknya mengemukakan ...Intra vires activities. Where a servant of a corporation commits a tort while acting in the course of his employment in an intra vires activity, the corporation is liable. Thus is goff v. Great north raolway co., (1861), 3 e & e 673  the defendant company was held liable for wrongfully exercising a power of arrest which was actually vested in them, and was deemed to have been delegated by them to their servant who mistakenly exercised it. It has been said that any tort committed on behalf of a corporation must be ultra vires (since parliament does not authorise corporations to commit torts) but this view is fallacious since a corporations can have legal liability without legal capacity. The corporation is liable under the principles of master and servant for the torts of its servants committed in intra vires activities.

Uraian yang ringkas tersebut dapat diuraikan lagi dengan mengemukakan bahwa “intra vires” pada dasarnya dan terutama dari aspek etimologi - ilmu tentang asal-usul kata - merupakan kebalikan dari ultra vires. Kata intra berasalal dari bahasa Latin yang berarti “dalam” atau sesuatu yang tidak berada di luar. Dipasangkan dengan kata vires (kewenangan, kapasitas), maka konsep ultra vires berarti bahwa sesuatu berada dalam kewenangan atau kapasitas untuk sesuatu.

Disimak dari aspek yuridisnya, konsep intra vires seringkali diambil sebagai contoh, bahwa dalam suatu hubungan

93 D.J. Keenan dan L. Crabtree., Loc.cit. hal. 20

Page 127: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

120 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

ketenagakerjaan antara korporasi dan pekerja, kadang kala pekerja melakukan suatu kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian baik pada korporasi sendiri maupun pihak ketiga. Dengan mengaplikasikan doktrin intra vires, maka tanggung jawab atas tindakan pekerja tersebut berada dalam (intra) kewenangan atau kapasitas korporasi.

Sudah tentu harus diperhatikan adanya dasar yang paling relevan bagi pertanggunganjawab korporasi tersebut. Berkenaan dengan doktrin intra vires dasar aplikasinya bertumpu pada prinsip hubungan master and servant - yang sangat riskan diterjemahkan ke dalam bahasa hukum ketenagakerjaan positif yang tidak mengenal konsep-konsep tersebut - dalam kerangka perbuatan melawan hukum (tort).

Implementasi normatif doktrin intra vires  dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang pada pokoknya berbunyi ; Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah  pengawasannya. Dengan demikian korporasi juga tetap bertanggung atas kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain yang dipekerjakannya.

Dari uraian ringkas pada beberapa halaman terakhir ini terdapat makna bahwa sesungguhnya sistem pertanggungjawaban dalam pengertian bagaimana menanggulangi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana, siapa yang wajib melakukannya, dll mencakup aspek yang sangat luas. Tidak terbatas pada entitas negara-pemerintah yang memiliki instrument public policy yang relevan, tetapi juga tersirat dalam ranah hukum perdata terutama

Page 128: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

121Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

yang berkenaan dengan aspek perjanjian.

Semoga pada lain kesempatan segala sumber dan potensi memberikan kemungkinan serta kemudahan untuk menulis secara khusus sistem pertanggungjawaban bencana dalam berbagai aspek hukum. Tulisan yang dimaksud pada dasarnya merupakan kelanjutan dari yang sekarang. Oleh karena itu pada beberapa bagian dapat terjadi semacam pengulangan yang bersifat mempertegas.

-----pss-----

Page 129: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

122 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

DAFTAR PUSTAKA Buku

Benedic, Ruth., 1960, Pola-Pola Kebudayaan. Judul asli : Paterns Of Culture. Terjmahan : Sumantri Mertodipuro. Penerbit Pustaka Rakyat.

Black, Henry Campbell, 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Co., St. Paul Minn.

Bos, A.M., n.d. Methods For The Formation Of Legal Concepts And For Legal Research. Institute Of Sociology Rijksuniversiteit Te Groningen, Grote Markt.

Farber, Daniel A et.al., 2015, Disaster Law and Policy. Wolters Kluwer, New York.

Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System. A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation, New York.

Hart, H.L.A. 1986. The Concept of Law. Oxford University Press. Oxford.

Keenan, D.J., L.Crabtree, 1970, Essential of Industrial Law. Pitman Paperbacks, London.

Lauta,Kristian Cedervall, 2015, Disaster Law, Routledge, Abingdon, Oxon.

Lask, Emil., 1950. Legal Philosophy. Dalam : The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin. Translated by: Kurt Wilk. Harvard University Press. Cambridge- Massachusetts.

Martin, Elizabeth A., 1997, Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press. Oxford, New York.

Paton, G.W., 1972. A Textbook Of Jurisprudence. The English Language Book Society and Oxford University Press.

Putu Sudarma Sumadi, 2018, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Paramita, Surabaya.

Radbruch, Gustav., Legal Philosophy dalam :The Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin. Translated by: Kurt Wilk, Harvard Uniersity Press, Cambridge, Massachusetts, 1950.

Page 130: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

123Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Raz, Joseph., 1980. The Concept Of A Legal System. An Introduction to the Theory of Legal System. Clarendon Press, Oxford

Ward, Barbara 1983, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia. Terjemahan : Mochtar Lubis. Pustaka Jaya, Jakarta.

Yudi Latif, 2002, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia. Jakarta.

Sumber Online

Asep Karsidi, 2018, Paradigma Baru Tangani Bencana Di Indonesia. https://www.republika.co.id

Benoit, Goussen, et.al. 2016, Integrated Presentation On Ecological Risk From Multiple Stressors. Scientific Report. 6: 36004 seperti dikutip Wikipedia, https://en.m.wikipedia.org

Cassels, J (1993), The Uncertain Promise of Law: Lesson From Bhopal. University of Toronto Press. Seperti dikutip Wikipedia, Bhopal Disaster. https://en.m.wikipedia.org

Donner, William., Havidán Rodríguez, 2008. Population Composition, Migration and Inequality: The Influence of Demographic Changes on Disaster Risk and Vulnerability. Social Forces, Volume 87, Issue 2, December 2008, Pages 1089– 1 1 1 4 , h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 5 3 /sof.0.0141Published:01 December 2008, https://academic.oup.com).

Driver, Julia. 2014, The History Of Utilitarianism. Stanford Encyclopedia of Philosophy. htpps://plato.stanford.edu

Gautam, Sonal., 2017. Culture: Defintions, Pattern and Elements. https://www.sociologydiscussion.com.

Gertisser, Ralf, Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com

Meidia Pratama, 2014. Pembangunan Berkelanjutan, Gagasan, Implementasi dan Kecenderungan Realitas Di Indonesia. Bandung Magazine, https://www.bandungmagazine.com

Page 131: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

124 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

Sampley, Paul J., 2003, Paul in the Greco Roman World: A Handbook. Trinity Press Intrnational. seperti dikutip Enwikipedia,

Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005 . The Anatomy Of Disaster. The Buddhist Channel. https://www.buddhistchannel.tv. 24-2-2005

Utami Diah Kusumawati, 2015. Bencana Lumpur Lapindo Sudah Ditetapkan DPR Bencana, Lapindo Tak Bisa Dipidana. https://m.cnnindonesia.com 29/05/2015.

Weichslgarther,Jurgen, 1 May 2001. Disaster Mitigation: the concept of vulnerability revisited. Disaster Prevention and Management: An International Journal. 10(2) : 85-95 seperti dikutip oleh Wikipedia.

2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com

UNHCR, 2018. Climate Change and Disasters Displacement. https://www.unhcr.org/climate-change-and-disasters.html

UNISDR, 2004Living With Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiative. https://www.unisdr. Hal. 17

2014. Cerita Rakyat Jadi Penyelamat Warga Simeulue dari Tsunami Aceh. Https://www.m.kumparan.com

2017, Status “Badan Publik” untuk Alfamart dan Sengketa Donasi Konsumen. https://www.kompasiana.com

Undang-Undang :

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66

Page 132: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

125Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

RIWAYAT PENULIS

Putu Sudarma Sumadi lahir di Klungkung, Bali, tanggal 19 April 1956. Menyelesaikan pendidikan dasar di Desa Kusamba (1969), pendidikan menengah di Klungkung (SMPN; 1972, SMAN; 1975). Memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Udayana pada 1981, gelar Sarjana Utama (SU) – Magister Hukum dari Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada 1987 dan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Program S3 Program Pascasarjana Universitas Airlangga pada tahun 1999, dengan disertasi berjudul : “Pengaturan Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”.

Sejak 1983 menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, menjabat Sekretaris Bagian Hukum Perdata (1993), menjabat Ketua Pusat Kajian Hukum Bagian Timur Indonesia (1999-2002), Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana (2008-2012). Sejak 2009 diangkat menjadi Guru Besar Tetap Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Sampai saat ini masih bercita-cita menjadi Hakim Adhoc Peradilan Tindak Pidana Korupsi, dan tetap berkeinginan menerbitkan buku dengan pola seperti ini.

Buku-buku yang telah dihasilkan hingga saat ini;

1. Pengantar Hukum Investasi (2008)

2. Likuidasi Perseroan Terbatas Dalam Perspektif Perbandingan Hukum I (2008)

3. Hukum Olahraga Dalam Bingkai Hukum Bisnis (2016)

Page 133: HUKUM BENCANA DAN - erepo.unud.ac.id

126 Hukum Bencana Alam dan Bencana Hukum

4. Sejarah Hukum dan Hukum Masa Depan Properti serta Kontrak (2017)

5. Penegakan Hukum Persaingan Usaha (2017)

6. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi (2018)

7. Hukum tentang Overschuldigde Betaling, Konsinyasi, Actio Pauliana (2018)

8. Hukum Bencana (Disaster Law) dan Bencana Hukum (2019)

9. Hukum Dagang Nasional (draft)