ii. tinjauan pustaka 2.1 susu 2.1 -...
TRANSCRIPT
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu
2.1.1 Pengertian Susu
Susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air (o/w). Susu adalah cairan
identik berwarna putih serta mengandung gizi yang dipergunakan oleh manusia
untuk memenuhi gizinya. Susu adalah suatu sekresi kelenjar dari ternak yang
sedang laktasi, yang diperoleh dari pemerahan secara sempurna (tidak termasuk
kolostrum), dengan tanpa penambahan atau pengurangan suatu komponen
(Suardana dan Swacita, 2009). Kadar air susu sangat tinggi yaitu rata-rata 87,5%
dan didalamnya teremulsi berbagai zat gizi penting seperti protein, lemak, laktosa,
vitamin dan mineral (Koswara, 2009).
2.1.2 Komposisi Susu
Padatan susu mengandung senyawa kimia, termasuk zat gizi makro atau
makronutrien seperti lemak, karbohidrat, dan protein, juga zat gizi mikro atau
mikronutrien seperti vitamin, mineral, dan senyawa lainnya (Legowo, 2002).
Menurut Saleh (2004), susu memiliki komposisi yang bermanfaat
diantaranya adalah :
Air
Susu mengandung air sebanyak 87,90%, yang berfungsi sebagai bahan
pelarut pada bahan kering. Air di dalam susu sebagian besar dihasilkan dari air
yang diminum ternak sapi.
8
Lemak
Susu merupakan suspensi alam antara air dan bahan terlarut didalamnya.
Salah satu diantaranya adalah lemak. Kadar lemak di dalam air susu adalah
3,45%. kadar lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Bahan
makanan hasil olahan dari bahan baku susu seperti mentega, keju, krim, susu
kental, dan susu bubuk mengandung banyak lemak. Besar kecilnya lemak
ditentukan oleh kadar air yang ada di dalamnya, makin banyak air maka makin
besar globular, keadaan ini yang memungkinkan akan terjadi pecahan, sehingga
susu tidak dapat dipisahkan krimnya dan tidak dapat digunakan pada bahan
pangan.
Lemak susu merupakan komponen yang memiliki kontribusi yang besar
terhadap tekstur, flavor, dan sifat-sifat fisikokimia produk susu. Lemak di dalam
susu berbentuk globula dengan ukuran antara 0,1 sampai 15 µm dengan diameter
rata-rata 4 µm dan diselimuti oleh membran atau milk fat globule membrane
(MFGM) (Marie-Caroline Michalski, 2004). MFGM berfungsi sebagai
pengemulsi dengan mereduksi tegangan interfarcial di dalam sistem matriks
protein. Oleh karena itu tidak akan terjadi pemisahan fase lemak dan air. Lemak
susu terdiri dari 60-75% lemak yang bersifat jenuh, 25-30% lemak yang bersifat
tidak jenuh dan sekitar 4% merupakan asam lemak tak jenuh ganda. Komponen
mikro lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E),
karoten, serta vitamin A dan D.
9
Protein
Kadar protein di dalam susu rata-rata 3,20% yang terdiri dari : 2,70%
casein (bahan keju), dan 0,50% albumen. Berarti 26,50% dari bahan kering
susu adalah protein. Didalam susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit.
Protein di dalam susu juga merupakan penentu kualitas susu sebagai bahan
konsumsi.
Laktosa
Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat didalam air susu. Bentuk
ini tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di
dalam air susu adalah 4,60% dan ditemukan dalam keadaan larut. Adanya
laktosa pada susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan
perut bagi orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan
kurangnya enzim laktase dalam mukosa usus.
Vitamin dan Enzim :
Kadar vitamin di dalam susu tergantung dari jenis makanan yang
diperoleh ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin yang terdapat di dalam
lemak disebut A, D, E, K, sedangkan vitamin yang larut didalam susu,
tergolong vitamin B komplek, vitamin C, Vitamin A, provitamin A dan
vitamin D. Vitamin yang larut didalam susu yang terpenting ialah vitamin
B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat. Vitamin yang tinggi terdapat
dalam susu adalah niasin dan riboflavin. Tingginya kandungan riboflavin, susu
tampak berwarna kehijau-hijauan. Sedangkan enzim berfungsi untuk
mengolah suatu bahan menjadi bahan lain dengan jalan autolyse. Enzim
10
yang terkenal adalah peroxydase, reductase, katalase dan phospatase. Enzim
tersebut tidak akan berfungsi lagi ketika ada pemanasan.
Mineral
Mineral yang banyak terdapat dalam susu adalah kalsium dan posfor
yang berfungsi untuk pertumbuhan tulang. Sehingga bagi bayi dan anak-anak
yang sedang tumbuh dan berkembang, susu merupakan sumber mineral yang
penting. Mineral lain seperti klorida, kalsium, magnesium dan natrium terlarut
dalam air. Sedangkan sebagian kalsium posfat dan protein tidak berada dalam
larutan murni, tetapi dalam bentuk dispersi koloid (kalsium Posfat kaseinat) yang
menyebabkan susu terkesan berwarna putih opaque. (Koswara, 2009)
2.2 Whey Protein
2.2.1 Komponen Whey Protein
Whey adalah hasil dari pembuatan keju secara tradisional ataupun modern
dalam jumlah banyak yaitu ± 83% dari volume susu yang digunakan. Pembuatan
semihard cheese dan soft cheese menghasilkan whey 5 liter untuk tiap satu kg
keju, sedangkan pembuatan hard cheese (keju tipe keras) seperti keju cheedar
yang mempergunakan 100 liter susu untuk setiap pembuatan 10 kg keju,
menghasilkan whey sebanyak 90 liter (Scott, 1986).
Whey banyak digunakan dalam produk pangan seperti susu bayi, susu
bubuk, permen, makanan bayi dan juga pada flavor. Komponen utama whey
berupa laktosa (4-7%) dan protein (0,6-1,0%). Pada tabel 1 berikut ini :
11
Tabel 1. Komposisi Whey
Komposisi Whey (%)
Air 93,5
Protein 1
Lemak 0,4
Laktosa 5
Abu 0,65
(Sumber : de Wit 2001)
Menurut (Marshal, 2004) komposisi whey terdiri atas α- Laktalbumin dan
β-laktoglobulin, laktosa dan mineral. Beberapa jenis whey yang ada dibedakan
berdasarkan pada jenis asam atau enzim yang digunakan dalam pembuatan keju.
Whey manis (Sweet whey) diperoleh dari metode koagulasi menggunakan enzim,
sedangkan whey asam diperoleh dari metode koagulasi yang menggunakan asam.
Berikut dibawah ini tabel komposisi kimia susu, Sweet whey, dan acid whey.
Tabel 2. Komposisi Susu, Sweet whey, dan Acid Whey
Komposisi Susu Sweet whey Acid Whey
Total Padatan (%) 12,5 6,5 6,5
Protein (%) 3,5 0,8 0,7
Laktosa (%) 4,8 4,8 4,4
Abu (%) 0,7 0,5 0,6
Lemak (%) 3,5 0,3 0,3
Asam Laktat (%) - 0,1 0,5
(Smith, 2008)
Whey protein mengandung komponen protein yang memiliki bentuk
globular, dengan komponen utamanya adalah β-Laktoglobulin dan α- Laktalbumin
dengan beberapa jenis protein lainnya berupa BSA (bovine serum albumin), Igs
(immunoglobulins), LF (Laktoferrin), dan enzim protease-pepton (Zhang, 2000).
Karakteristik dan fungsi bioaktif dari komponen whey protein dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4.
12
Tabel 3. Karakteristik Komponen Whey Protein
Komponen Jumlah dalam
Whey Protein (%)
Berat Molekul Titik Isoelektrik
β-Laktoglobulin 48 18.400 – 36.800 5,13
α- Laktalbumin 19 14.200 4,2 – 4,5
Protease-peptone 20 4.000 – 80.000 -
Serum albumin 5 69.000 4,7 – 4,9
Immunoglobulin 8 160.000 5,5 – 8,3
(Sumber : Whey Lactose Reference Manual, 1995)
Tabel 4. Fungsi Bioaktif Utama Beberapa Jenis Protein Whey Susu
Jenis protein Fungsi
β-Laktoglobulin Transfer (pro) vitamin A
α- Laktalbumin Sintesis Laktosa
BSA Transfer Asam Lemak
Immunoglobulin Reaksi antigen-antibodi
(Sumber : Zhang, 2000)
(a) (b) (c)
Gambar 1. Jenis Protein Whey Susu (a) α-laktalbumin, (b) β-laktoglobulin,
(c) Bovine Serum Albumin
β-Laktoglobulin terdapat dalam jumlah melimpah dalam whey. Kandungan
β-Laktoglobulin dalam protein total susu mencapai 10% dan dalam whey
mencapai 58%. β-Laktoglobulin terdiri dari 162 asam amino dengan berat
molekul sekitar 18.300 (Chandan et al., 2008 dalam Putri, 2012). β-Laktoglobulin
mendominasi sifat-sifat dari whey protein terutama saat reaksi yang terjadi selama
pemanasan. Kelarutannya bergantung pada kondisi lingkungannya, seperti pH dan
ionic strength. β-Laktoglobulin tidak mengendap saat susu diasamkan, sama
13
seperti whey protein lainnya, namun dapat terdenaturasi akibat pemanasan
(Walstra et al, 2006).
Kandungan α-laktalbumin dalam total protein susu adalah 2%, sedangkan
dalam whey 13%. Molekulnya memiliki 123 asam amino dan berat molekul
sekitar 14,146. Struktur molekulnya mengandung 4 ikatan disulfida (Chandan et
al., 2008 dalam Putri, 2012). Protein ini berukuran kecil, berada dalam struktur
terlipat, dan kurang lebih memiliki bentuk molekul sphere. α-laktalbumin tidak
berada secara berdekatan satu sama lain, kecuali saat muatan ionnya rendah
(Walstra et al, 2006).
α-laktalbumin memiliki bagian yang berfungsi untuk mengikat ion
kalsium. Ion kalsium mengikat secara kuat dan menstabilkan konformasi protein.
Penghilangan ion kalsium atau penurunan pH menjadi sekitar 4, menyebabkan
pembukaan parsial struktur menjadi molten globule state. Pada keadaan ini,
protein mudah mengalami denaturasi irreversibel pada suhu relatif rendah. α-
laktalbumin secara alamiah menunjukkan renaturasi penuh ketika tidak ada
protein lain saat dilakukan pemanasan (Walstra et al, 2006).
Bovine Serum Albumin (BSA) merupakan protein berbentuk spiral/helix
yang terdiri dari 56-83% struktur α-helix (Mattison et al., 1998 dalam
Guyomarc’h et al., 2014). BSA memiliki sistein yang membentuk 17 ikatan
disulfida dan sebuah gugus tiol (Dissanayake 2011). BSA dapat mengikat ligan
seperti asam lemak (Perez et al,. 1989 dalam Guyomarc’h et al., 2014).
Immunoglobulin merupakan antibodi yang menjaga daya tahan tubuh
dengan cara menghentikan bahaya yang muncul akibat mikroorganisme patogen.
14
Immunoglobulin terdapat pada whey protein dengan konsentrasi 0,6-0,9 mg/ml.
Terdapat berbagai jenis immunoglobulin pada whey protein yaitu IgG, IgG2, IgM
dan IgA dimana masing-masing memiliki peran tertentu dalam fungsi kekebalan
tubuh (Bell, 2000 dalam Sitindaon).
2.2.3 Native Whey Protein
Native whey protein merupakan bentuk murni dari whey protein yang
dihasilkan bukan dari proses renneting atau pengasaman susu di bawah pH 5,
melainkan dihasilkan melalui teknik filtrasi membran (Walstra et al., 2006) yang
selanjutnya dikeringkan menggunakan spray drier. Teknik filtrasi membran
digunakan untuk menghasilkan whey protein dalam keadaan native karena tidak
adanya proses pemberian panas terhadap whey protein yang dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi protein (Bylund, 2003).
Produk native whey protein yang paling umum ditemui ialah WPC (Whey
protein Concentrate) dan WPI (Whey protein Isolate). WPC biasanya dihasilkan
melalui metode proses membran, seperti ultrafiltrasi, yang dapat juga
dikombinasikan dengan proses membran yang lain seperti mikrofiltrasi atau
nanofiltrasi. WPC mengandung sekitar 35% sampai 85% protein dan memiliki
kadar laktosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan WPI. WPI mengandung
protein sebanyak 88 – 95% yang diperoleh melalui beberapa proses yaitu proses
mikrofiltrasi untuk menghilangkan lemak dan teknik pertukaran ion atau
elektrodialisis untuk proses demineralisasi. WPI juga dapat diperoleh
menggunakan kromatografi pertukaran ion (ion exchange) dan dikombinasikan
dengan proses ultrafiltrasi (Tsakali et al., 2010).
15
Whey protein dalam keadaan native akan memiliki kelarutan atau
solubilitas yang tinggi. Selain itu, native whey protein juga memliki kelebihan
fungsi seperti kemampuan pembentukan busa, pengemulsi, pembentuk gel, dan
pengikat air bila di aplikasikan pada suatu produk (Zhu and Damodaran, 1994).
Whey protein dalam keadaan native memiliki daya larut yang tinggi karena
besarnya permukaan hidrofilik pada kondisi native, sehingga tidak menyebabkan
penggumpalan atau pengendapan pada sistem pangan (Walstra et al, 2006).
2.2.4 Whey Protein Terdenaturasi
Whey protein yang terdenaturasi diperoleh melalui proses pemanasan.
Whey protein memiliki komponen β-Lactoglobulin yang sangat sensitif terhadap
panas. Pemanasan pada suhu 62 – 65oC akan membuat whey protein terdenaturasi
secara parsial dan akan terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90oC (Fox et al,
1998). Berbeda halnya dengan proses pembuatan whey protein native, tahap awal
pembuatan whey protein terdenaturasi adalah pemisahan kasein dan whey pada
susu menggunakan enzin rennet, diikuti proses defatting, pemanasan pada suhu
tinggi, sentrifugasi, dan pengeringan menggunakan oven dalam keadaan vakum.
Gambar 2. Denaturasi Protein
16
Denaturasi dapat mengakibatkan perubahan sifat fungsional dan sifat fisik
dari whey protein (Walstra et al, 2006). Faktor yang dapat menyebabkan
denaturasi protein yaitu pH, temperatur, ionic strength, solubility. Whey protein
yang diberikan perlakuan panas tinggi akan mengalami pembukaan lipatan protein
(unfolding) dan dapat menyebabkan reaksi pertukaran tiol-disulfida (thiol-
disulphide exchange reaction) (Ryan, 2011). Hal ini dapat meningkatkan
kekeruhan dan viskositas, pemisahan fasa, pengendapan, dan pembentukan gel
(Burrington, 2006). Meskipun dalam keadaan terdenaturasi, protein dapat
diaplikasikan pada bahan pangan yang memerlukan fortifikasi protein tetapi tidak
memberikan dampak terhadap perubahan tekstur yang berlebihan (Tsakali et al,
2010).
2.3 Lemak
Lemak terdapat di dalam susu dalam bentuk jutaan bola kecil yang
bergaris tengah antara 1-20 mikron dengan rata-rata garis tengah 3 mikron
(Buckle et al, 2009). Biasanya terdapat sekitar 1000 x 10 6 butiran lemak dalam
setiap ml susu. Butiran inilah yang menyebabkan susu mudah menyerap flavor
asing. Persentase lemak susu bervariasi antara 2,4% – 5,5%. Lemak susu terdiri
atas trigliserida yang tersusun dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul
asam lemak (fatty acid) melalui ikatan-ikatan ester (ester bonds). Asam lemak
susu berasal dari aktivitas mikrobiologi dalam rumen (lambung ruminansia) atau
dari sintesis dalam sel sekretori. Asam lemak disusun rantai hidrokarbon dan
golongan karboksil (carboxyl group). Salah satu contoh dari asam lemak susu
adalah asam butirat (butyric acid) berbentuk asam lemak rantai pendek (short
17
chain fatty acid) yang akan menyebabkan aroma tengik (rancid flavour) pada susu
ketika asam butirat ini dipisahkan dari gliserol dengan enzim lipase.
Menurut (Winarno, 2008) Lemak termasuk dalam kelompok senyawa
lipida, yang umumnya tidak larut air. Asam lemak dibedakan menjadi dua
golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak tidak jenuh biasanya dalam bentuk cis. Asam - asam lemak
mempunyai jumlah atom C genap dari C2 sampai C30 dan dalam bentuk
bebas atau ester dengan gliserol. Asam lemak jenuh yang sering ditemukan
adalah palmitat berkisar 15% - 50% dari seluruh asam – asam lemak yang ada.
Asam lemak dengan atom C lebih dari dua belas tidak larut dalam air
dingin maupun air panas. Asam lemak dari C4 , C6 , C8 , dan C10 dapat
menguap dan asam lemak C12 dan C14 sedikit menguap. Asam oleat
merupakan asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam trigliserida dan
memiliki satu ikatan rangkap. Bila asam lemak mengandung dua atau lebih ikatan
rangkap seperti pada asam linoleat dan asam linolenat, asam lemak tersebut
disebut asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated) (Winarno, 2008).
Menurut Buckle et al (2009), kerusakan yang dapat terjadi pada
lemak susu merupakan sebab dari berbagai perkembangan flavor yang
menyimpang dalam produk-produk susu, seperti:
1. Ketengikan, yang disebabkan karena hidrolisa dan gliserida dan pelepasan
asam lemak seperti butirat dan kaproat, yang mempunyai bau yang keras,
khas dan tidak menyenangkan. Ketengikan terutama ditimbulkan oleh enzim
lipase yang terdapat secara alami di dalam susu.
18
2. Tallowiness yang disebabkan karena oksidasi asam lemak tak jenuh.
3. Flavor teroksidasi yang disebabkan karena oksidasi fosfolipid.
4. Amis/ bau seperti ikan yang disebabkan karena oksidasi dan reaksi hidrolisa
2.3.1 Komposisi lemak
Lemak susu berkontribusi terhadap 48% total kalori pada susu. Lemak
susu mengandung sekitar 66% lemak jenuh, 30% lemak tak jenuh rantai tunggal,
serta 4% lemak tak jenuh rantai banyak. (Chandan, 1997). Komponen mikro dari
lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol, (vitamin E), karoten,
vitamin A serta vitamin D. Susu mengandung kira kira 0,3% fosfolipid terutama
lesitin, sphingomielin dan sepalin. Pada waktu susu dipisahkan menjadi Skim milk
dan krim, sekitar 70% fosfolipid terdapat pada krim. Fosfolipid dapat dengan
cepat teroksidasi di dalam udara yang dapat menyebabkan penyimpangan cita
rasa susu (Buckle et al, 2009).
2.3.2 Fungsi Lemak dalam Susu dan Produk Pangan
Menurut Eniza (2004), kadar lemak didalam air susu adalah 3,45%. kadar
lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Lemak susu merupakan
komponen yang memiliki kontribusi yang besar terhadap tekstur, flavour, dan
sifat-sifat fisikokimia produk susu. Bahan makanan hasil olahan dari bahan baku
susu seperti mentega, keju, krim, susu kental, dan susu bubuk mengandung
banyak lemak. Besar kecilnya lemak ditentukan oleh kadar air yang ada
didalamnya, makin banyak air maka makin besar globular, keadaan ini yang
19
memungkinakan terjadinya pecahan, sehingga susu tidak dapat dipisahkan
krimnya dan tidak dapat digunakan pada bahan pangan.
2.3.3 Keterkaitan antara Pemisahan Lemak dan Protein Susu
Lemak susu pada suhu ruang wujudnya padat, sedangkan minyak
berbentuk cair, sama halnya dengan minyak, lemak susu pun tidak dapat menyatu
dengan air. Meski susu tidak bisa menyatu (larut) dengan air, tetapi susu bisa
terlihat putih seragam dan tidak terpisah, hal tersebut berkaitan dengan komponen
lain di dalam susu yaitu protein. Sebagian protein memiliki sifat seperti perantara,
satu sisi dapat berikatan dengan air dan sisi lainnya dapat berikatan dengan lemak,
itu merupakan alasan lemak bisa terlihat menyatu dengan air di dalam susu.
Susu memiliki kadar lemak jauh lebih kecil dari air (4% berbanding 88%),
maka lemak yang tersebar merata dikelilingi air. Campuran air dalam lemak itu
bisa dikenal dengan istilah emulsi, jadi secara teknis susu adalah emulsi lemak
dalam air (oil in water emulsion). Sama hal nya dengan fenomena gelembung
udara atau buih di air sabun, globula lemak bisa bergantung dengan globula lain
dan menjadi besar. Proses penggabungan itu disebut koalesensi (coalescence) dan
terjadi secara alami pada lemak susu. Globula lemak yang lebih besar akan lebih
cepat terpisah dan mengambang sebab massa jenis susu lebih ringan dibanding
air. Peristiwa ini disebut creaming off, biasanya kita dapat melihatnya dalam
makanan bersantan.
Sebelumnya disebutkan bahwa protein bisa menjadi perantara antara
lemak dan air, selain itu protein juga dapat terpisah, berdasarkan kategorinya
protein yang sulit larut air disebut kasein, jumlahnya sekitar ± 80% dari protein
20
total dalam susu, sedangkan protein yang mudah larut air yaitu protein whey
jumlahnya sekitar 18% dari protein total dalam susu. Sebab tidak bisa larut, kasein
berbentuk bola bola dan tersebar merata dalam susu, mirip seperti lemak. Bila
butiran lemak disebut globula, maka butiran kasein disebut misel (micell).
Gambar 3. Struktur Penyusun Komponen Susu
Susu mengalami pemisahan ketika misel kasein saling menempel satu
sama lain. Bagian yang mengandung kasein berwarna putih disebut dadih (Curd),
bagian air yang kekuningan disebut whey, dan didalamnya terkandung protein
whey.
Lemak di dalam susu berbentuk globula dengan ukuran antara 0,1 sampai
15 µm dengan diameter rata-rata 4 µm dan diselimuti oleh membran atau milk fat
globule membrane (MFGM) (Marie-Caroline Michalski, 2004). MFGM berfungsi
sebagai pengemulsi dengan mereduksi tegangan interfarcial di dalam sistem
matriks protein.
2.3.4. Pemisahan Lemak dengan Menggunakan Cream Separator
Krim adalah bagian susu yang mengandung lemak tinggi, krim dapat
timbul ke bagian atas dari susu pada waktu didiamkan atau dipisahkan dengan alat
21
pemisah. Ada pula yang menyebutnya ‘kepala susu”. Susu Skim adalah bagian
susu yang banyak mengandung protein, sering disebut “serum susu”. Skim
mengandung komponen lengkap kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak. Pada susu Skim, kadar lemaknya dikurangi hingga hampir tidak ada
sama sekali (0,1%), namun residu dari lemak susunya boleh tersisa hingga
maksimum 0,5%. Krim dan susu Skim dapat dipisahkan dengan alat yang disebut
separator. Alat ini bekerja berdasarkan gaya sentrifuge. Pemisahan krim dan susu
Skim dapat terjadi karena kedua bahan tersebut mempunyai berat jenis yang
berbeda. Krim mempunyai berat jenis yang rendah karena banyak mengandung
lemak. Susu Skim mempunyai berat jenis yang tinggi karena banyak mengandung
protein, sehingga dalam sentrifugasi akan berada dibagian dalam.
Susu Skim cocok untuk orang yang menginginkan nilai kalori rendah
dalam bahan pangan yang akan dikonsumsi, karena susu Skim hanya mengandung
55% dari seluruh energi susu, dan susu Skim juga digunakan dalam pembuatan
keju dengan lemak rendah dan yoghurt. Susu Skim akan lebih baik tidak
digunakan untuk makanan bayi tanpa adanya pengawasan gizi karena tidak
adanya lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak.
2.3.5 Penambahan Lemak pada Whey dengan berbagai konsentrasi
Whey merupakan salah satu komponen susu dengan kadar protein tinggi
yang dapat diaplikasikan kedalam bahan pangan, dimana pada proses pemisahan
(kasein dan whey) memungkinkan masih ada lemak yang tersisa, sehingga ketika
whey dan lemak bertemu ada atau tidak pengaruhnya ketika diaplikasikan
kedalam bahan pangan, untuk itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
22
atau fungsi lemak di dalam whey sehingga dibuat konsentrasi tanpa penambahan
lemak 0% sedangkan konsentrasi lemak yang akan ditambahkan 0,4%, 0,6% dan
0,8% berdasarkan kajian fundamental.
2.4 Sifat Fungsional Whey Protein
Sifat fisikokimia yang menyebabkan protein berguna dalam makanan
disebut sifat fungsional (Chandan et al, 2008). Whey protein digunakan sebagai
komposisi dalam bahan pangan yang berbahan dasar susu ataupun non-susu
karena sifat fungsionalnya. Sifat fungsional yang dimiliki oleh whey protein
native ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 5. Sifat Fungsional Whey Protein
Sifat Fungsional Mekanisme Sistem Pangan
Solubilitas (Kelarutan) Pelarutan dengan
molekul ion larutan
Minuman dan larutan
lainnya
Viskositas (Kekentalan) Mengentalkan melalui
ikatan kovalen H2O
Sup
Pembentuk Gel Ikatan matriks protein Daging, keju
Emulsifikasi Pembentukan dan
stabilisasi
Daging, sup, cake
Pembentukan Busa Stabilisasi dengan
melalui pemerangkapan
gas
Whipped toppings,
chiffon, angel cakes
Sumber : (Allen, 2010)
2.4.1 Solubilitas (Kelarutan)
Sifat kelarutan yang rendah akan mengindikasikan sifat fungsional yang
kurang baik (Vojdani, 2006 dikutip Pelegrine and Gasparetto, 2004). Kelarutan
protein berhubungan dengan bagian hidrofobik (protein-protein) dan bagian
hidrofilik (protein-pelarut) (Pelegrine and Gasparetto, 2004).
23
Kelarutan protein paling rendah pada saat mencapai titik isoelektriknya.
Interaksi antar protein meningkat karena gaya elektrostatik molekul minimum dan
lebih sedikit air yang berinteraksi dengan protein. Hal ini dikarenakan molekul
protein saling berdekatan, membentuk agregat, dan selanjutnya mengendap. Saat
pHnya berada di atas atau di bawah titik isoelektriknya, protein memiliki muatan
positif atau negatif, sehingga lebih banyak air yang dapat berinteraksi dengan
protein (Pelegrine and Gasparetto, 2004).
Perhitungan solubilitas whey protein dapat dilakukan dengan melarutkan
whey protein bubuk dengan aquades disertai dengan pengadukan. Proses
selanjutnya dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan endapan.
Supernatan yang dihasilkan dikeringkan dengan menggunakan oven kemudian
ditimbang hasil akhirnya.
2.4.2 Viskositas (Kekentalan)
Viskositas atau kekentalan adalah suatu hambatan yang menahan aliran zat
cair secara molekuler yang disebabkan oleh gerakan acak dari molekul zat cair
tersebut (Susanto dan Yuwono, 2001). Viskositas merupakan parameter yang
penting untuk mengetahui cara pengolahan, perancangan, dan pengembangan
produk yang sesuai dengan kondisinya (Huang and Konsella, 1986 dalam
Dissanayake, 2011). Viskositas bahan pangan dapat diukur dengan menggunakan
viscometer.
Pengukuran viskositas whey protein bubuk dapat dilakukan dengan
melarutkan whey protein bubuk dengan konsentrasi tertentu, kemudian dilakukan
pemanasan pada suhu 900C selama 30 menit. Penelitian yang telah dilakukan
24
(Sağlam dkk. 2012) menunjukan bahwa whey protein powder yang dilarutkan
dengan konsentrasi protein 25% (w/w) pada pH 6,8 menunjukkan terjadinya
peningkatkan viskositas setelah dilakukan pemanasan.
2.4.3 Pembentuk Busa
Busa merupakan hasil dari sifat protein pada permukaan udara dan air. Hal
tersebut terjadi akibat adanya difusi cepat dari molekul ke permukaan diikuti oleh
pengaturan ulang molekular yang menyebabkan lapiasan ini mampu
memerangkap udara. Pemanasan merupakan syarat pada pembentukan busa whey
protein. Pemanasan whey protein pada suhu 55-600C menyebabkan peningkatan
kemampuan whey protein dalam membentuk busa, sedangkan penurunan suhu
larutan whey protein sampai dibawah suhu 40C dapat menurunkan sifat
pembentuk busa whey protein. Diperkirakan bahwa hal yang berkaitan dengan
suhu ini disebabkan oleh β-Lactoglobulin. Sifat pembentuk busa mempunyai
peran penting dalam proses pembuatan makanan panggang dan krim
konfeksionari (Chandan et al., 2008).
2.4.4 Pembentuk Gel
Pembentukan gel terjadi ketika ada sejumlah interaksi protein yang diikuti
dengan adanya pemanasan (Kinsella dan Whitthead, 1989). Gel mampu menahan
sejumlah besar air dan nutrien lain dalam jaringannya. Ion seperti kalsium,
sodium, dan magnesium dapat mempengaruhi pembentukan gel dari whey protein.
Kadar kalsium dan hidrofobisitas merupakan ukuran kekuatan gel (Kilara et al.,
2004).
25
2.4.5 Emulsifikasi
Emulsi terbentuk ketika energi digunakan untuk mendispersikan satu fase ke
fase lain yang secara normal tidak dapat bercampur. Jika fase terdisfersi
merupakan minyak dan fase kontinyunya adalah air maka menghasilkan emulsi
minyak dalam air begitupun sebaliknya jika fase terdispersinya air dan fase
kontinuenya minyak maka disebut emulsi air dalam minyak. Faktor yang
mempengaruhi kemampuan emulsifikasi whey protein adalah pH dan kekuatan
ion. Di sekitar pH isoelektriknya (pI), whey protein membentuk emulsi yang tak
stabil (Kilara et al., 2004).
2.5 Sifat Fungsional Lemak dalam Proses Produksi Whey Protein Bubuk
Terdenaturasi
Whey protein native diproduksi dengan menggunakan teknik pemisahan
membran termasuk mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan terkadang nanofiltrasi. Whey
protein juga dapat dimodifikasi dengan dibuat menjadi whey protein terdenaturasi
dengan menambahkan konsentrasi lemak pada tahap awal proses produksi setelah
pengondisian pada pH 4,6 yaitu titik isoelektrik kemudian dilakukan pemanasan
sehingga terbentuk agregat yang kemudian dipisahkan melalui proses sentrifugasi.
Proses tersebut memengaruhi sifat fisikokimia whey protein terdenaturasi yang
diperoleh (Wardani, 2016) yang berakibat pada perubahan sifat fungsional dalam
bahan pangan. Menurut Bowland dan Foegeding (1995); Lorenzen dan Schader
(2006), mekanisme pembentukan gel berkaitan dengan mekanisme pembentukan
tekstur pada bahan pangan. Sehingga, evaluasi sifat fungsional dapat dilakukan
melalui pengamatan terhadap sistem gel yang dibuat dari whey protein bubuk
26
yang diperoleh dari hasil denaturasi dalam penelitian (Wardani, 2016). Protein
dari berbagai sumber yang berbeda dapat membentuk gel yang memiliki tekstur
beragam. Gel protein terbentuk melalui proses pemanasan disebut sebagai cold-set
gel (Althing et al., 2004).
Sifat-sifat gel bergantung pada keseimbangan interaksi pada protein satu
dengan protein lainnya dan interaksi antara protein dengan pelarutnya. Interaksi
antar protein membentuk jaringan, sementara interaksi protein dengan pelarutnya
memungkinkan fase cair tertahan dalam sistem, kelebihan interaksi antar protein
menyebabkan rusaknya jaringan dan pengeluaran fase cair (sineresis)
(McSweeney dan O’Mahony, 2016).
Mekanisme pembentukan gel whey protein melalui pemanasan terdapat
dua tahapan proses yang terdiri atas pembukaan struktur globular protein dan
agregasi rantai protein menjadi jaringan tiga dimensi. Namun saat ini,
pembentukan gel whey protein terdapat empat tahap proses yang terdiri dari
pembukaan struktur native, agregasi molekul protein yang telah terbuka
strukturnya, pembentukan untaian dari agregat, dan penghubungan untaian ke
jaringan tiga dimensi. Pembentukan heat induced gel whey protein sebagian besar
disebabkan oleh jembatan disulfida dan interaksi hidrofobik yang irreversible
(Lorenzen dan Scharader, 2006).
Pembentukan cold set gel melalui proses dua tahap. Tahap pertama
melibatkan perlakuan yang menyebabkan molekul protein terbuka dan
mengekspos asam amino reaktif (residu non polar dan sistein). Hal ini dapat
dicapai melalui pemanasan, penggunaan tekanan, dan penggunaan enzim.
27
Keadaan pH yang jauh dari titik isoelektrik protein dan konsentrasi protein yang
rendah, protein yang telah terbuka cenderung tetap terpisah karena tolak menolak
elektrostasis antara protein satu dengan protein lainnya (Bryant dan McClements,
2000).
Tahap kedua yaitu pembentukan gel pada suhu ruang terjadi karena
berkurangnya gaya tolak menolak elektrostatis baik itu oleh perubahan pH
mendekati titik isoelektrik maupun oleh penambahan mineral. Pengasaman pada
pembentukan gel asam dilakukan dengan menambahkan glukono-lactone (GDL).
GDL ini merupakan polyhydroxy acid (PHA) yang dapat ditemukan pada kondisi
alaminya yakni sebagai asam glukonik pada produk pangan seperti madu, royal
jelly, jus buah, dan produk fermentasi lainnya. Asam glukonik merupakan
molekul glukosa dimana gugus aldehid telah teroksidasi menjadi gugus asam.
GDL didalam air dapat terhidrolisis perlahan menjadi asam glukonik yang
menyebabkan penurunan pH dan menyebabkan terjadinya pembentukan gel pada
dispersi agregat mendekati titik isoelektriknya (Althing et al., 2004). Kurva
penurunan pH dengan menggunakan GDL dan perbandingannya antara
penurunan pH denagan starter kultur mikroorganisme dapat dilihat pada gambar
4.
28
Gambar 4. Perubahan pH selama Asidifikasi Susu Menggunakan GDL() dan
Perbandingan dengan Menggunakan Kultur Starter ()
(Lucey dan Singh, 1997)
Ketika pH diturunkan oleh hidrolisis GDL, muatan negatif protein
ternetralisasi secara progresif, mengurangi gaya tolak menolak elektrostatis
protein dan membantu interkasi antar protein. Sehingga hanya ada sedikit air
untuk berinteraksi dengan protein di dekat titik isoelektrik, menyebabkan
pengendapan protein (Cavallieri, et al 2007).
2.5.1 Sifat Makrostruktur
Tekstur dan whey drainage merupakan bagian dari sifat makrostruktur
yang dapat diamati melalui gel whey protein yang dimodifikasi dengan berbagai
konsentrasi lemak.
2.5.1.1 Tekstur
Bourne (2002) menyatakan bahwa tektur makanan merupakan kelompok
karakteristik fisik yang berasal dari elemen struktural makanan, dapat dirasakan
langsung dengan melalui sentuhan dan berhubungan dengan deformasi,
pH Konstan (titik
isoelektrik 4,6)
29
disintegrasi, dan aliran makanan karena diberikan gaya, dan diukur secara objektif
dengan fungsi massa, waktu, dan jarak.
Pengukuran tekstur gel dapat menggunakan puncture test. Puncture test
dapat mengukur gaya yang dibutuhkan untuk mendorong probe pada sampel
makanan. Tes ini dikarakterisasi dengan alat pengukur gaya, penetrasi probe ke
dalam makanan yang dapat menyebabkan makanan hancur atau mengalir, dan
kedalaman penentrasi yang biasanya dijaga konstan (Bourne, 2002).
Tekstur dan kekuatan gel protein dipengaruhi oleh faktor intrinsik berupa
komposisi dan konsentrasi protein, selain itu dipengaruhi juga oleh faktor
ekstrinsik seperti suhu pemanasan, pH, kekuatan ion, dan kehadiran komponen
lain seperti lipid, gula dan pati. Perlakuan pemanasan dapat menyebabkan
pembelahan struktur ikatan disulfida atau aktivasi grup sulfihidril melalui
pembukaan molekul protein. Hal ini menghasilkan pembentukan ikatan disulfida
intermolekul (jembatan disulfida) yang dibutuhkan untuk pembentukan struktur
gel dalam sitem protein (Boye et al, 1995).
2.5.1.2 Whey drainage
Whey drainage dikenal pula dengan wheying-off didefinisikan sebagai
pengeluaran air dari jaringan. Whey drainage mempengaruhi persepsi konsumen
mengenai hal yang berkaitan dengan mikrobiologis dalam produk. Whey drainage
dapat terjadi jika jaringan gel rusak, jaringan mengalami pengaturan ulang
struktural, ataupun apabila beberapa parameter fisikokimia mengubah interaksi
antar protein. Pada acid gel, whey drainage dapat terjadi selama pembentukan gel
ataupun sesaat setelah pembentukan gel terjadi (Lucey et al., 1998).
30
Lucey et al (1998) dalam studinya tentang whey drainage menyimpulkan
bahwa whey drainage meningkat seiring terjadi peningkatan suhu pemanasan dan
suhu pembentukan gel. Sejumlah besar whey drainage diamati pada gel yang
dibentuk pada suhu tinggi dari susu yang dipanaskan dengan suhu sangat tinggi,
namun hasilnya whey drainage terjadi lebih sedikit pada gel yang dibuat pada
suhu rendah dari susu yang dipanaskan pada suhu pemanasan normal.