imah panggung sebagai ide-gagasan wisata rumah …
TRANSCRIPT
e-isssn : 2655- 0865
Email : [email protected] Online: https://ranahresearch.com.
78
IMAH PANGGUNG SEBAGAI IDE-GAGASAN WISATA RUMAH
MITIGASI BENCANA DI KAMPUNG CIEUNTEUNG KAB. BANDUNG
Nuryanto 1, Syamsul Alam Paturusi2, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra3, I Made Adhika4
1)Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia 2,3,4) Universitas Udayana, Indonesia
KATA KUNCI A B S T R A K
Unik, Panggung, Model, Wisata,
Mitigasi, Bencana
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia sejak era Presiden Susilo Yodhoyono sampai
Presiden Joko Widodo gencar merealisasikan program desa
wisata di seluruh Nusantara. Program ini banyak
melahirkan desa-desa wisata dengan mengangkat lokalitas
masing-masing daerahnya. Diantara banyak jenis wisata
yang ditawarkan, peneliti menawarkan ide-gagasan berbeda
berupa wisata mitigasi bencana yang belum sepenuhnya
diketahui dan populer dikalangan masyarakat. Hal inilah
yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian tentang imah panggung sebagai ide-gagasan wisata rumah mitigasi
bencana di Kampung Cieunteung Kab. Bandung, Jawa
Barat. Tujuan penelitian ini untuk membuat rumah ramah
banjir sebagai wisata berbasis mitigasi bencana banjir di
Kampung Cieunteung. Metode penelitian menggunakan
deskriptif-kualitatif dengan studi kasus. Penelitian ini
menghasilkan dua hal penting: (1) Konsep imah panggung
dengan tinggi kolong 150-175 cm mampu memberikan
kenyamanan saat banjir; (2) Tipologi atap yang khas, proses
perakitan yang relatif mudah, dan terkesan ringan
menjadikan biaya rumah mampu dijangkau seluruh lapisan
masyarakat. Sebagai kesimpulan, bahwa imah panggung sebagai model wisata bangunan mitigasi bencana banjir
sangat cocok diterapkan di Kampung Cieunteung, karena
sangat unik.
KORESPONDEN
No. Telepon:
Mobilephone: +628157151243
E-mail:
PENDAHULUAN
Jawa Barat atau yang sering disebut Tatar Sunda adalah satu dari sekian banyak wilayah
di Nusantara yang sering dilanda banjir. Nurulliah (2020) dalam harian umum Pikiran Rakyat
(10/02/2020) mencatat bahwa di awal tahun 2020 provinsi dengan penduduk terbesar kedua
setelah Jakarta itu menduduki urutan kedua bencana terbanyak di Indonesia. Kurniawan et al.
(2013) dalam BNPB menyebutkan seluruh wilayah di Jawa Barat berada pada kategori risiko
tinggi dengan skor 102 sampai dengan 250, dan Cianjur berada pada urutan pertama nasional
(skor 250). Selain itu, selama tahun 2020 Jawa Barat dominasi bencana hidrometeorologi,
seperti banjir, banjir bandang, dan angin kencang yang terjadi di beberapa daerah seperti:
Bandung, Sukabumi, Bogor, dan Cianjur. Kondisi geografis Jawa Barat yang banyak dilintasi
sungai-sungai besar, seperti Citarum, Cisangkuy, Cisanggarung, dan Cisadane sangat
berpotensi terjadinya banjir akibat volume air yang berlebihan atau karena perilaku buruk
masyarakat yang membuang sampah ke sungai. Musim penghujan sekitar bulan September
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
79
hingga akhir Februari mengakibatkan permukaan air sungai semakin naik, tidak terkontrol, dan
masuk ke permukiman penduduk di sekitar sungai karena saluran air tersumbat atau sistem
drainase yang tidak baik, akhirnya banjir besar. Air hujan yang berlimpah seharusnya menjadi
berkah bagi kehidupan manusia untuk kebutuhan hidup dan kehidupannya. Kenyataannya tidak
demikian, bagi beberapa wilayah di Jawa Barat yang menjadi langganan banjir, air hujan yang
melimpah justru menjadi masalah, karena sungai yang idealnya mampu menampung volume
air dan mengalirkannya hingga ke hilir ternyata menjadi pasang (Nuryanto et al., 2020).
Perilaku manusia yang tidak memperhatikan lingkungan, membuang sampah sembarangan,
dan mendirikan bangunan di tepi sungai tanpa memperhatikan garis sempadan sungai (GSS)
atau right of way (ROW) menjadi masalah besar terjadinya banjir (Rosyidie, 2013).
Kampung Cieunteung di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, Jawa Barat
dipilih sebagai lokus dan fokus penelitian dengan pertimbangan daerah ini menjadi terdampak
dan paling parah akibat banjir dalam setiap tahunnya. Fokus dan lokus penelitian berada di RT
01 RW 28 dengan luas area ± 5 Ha, jumlah kepala keluarga 332 KK dan jumlah penduduk ±
780 jiwa. Posisi kampung ini berada tepat disisi aliran anak sungai Citarum dengan rumah-
rumah yang sangat padat. Kampung Cieunteung atau Babakan Mekarsari memiliki batas
sebelah Barat dengan jalan Siliwangi, sebelah Timur berbatasan dengan gang Cikarees, sebelah
Utara berbatasan dengan kolam retensi, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan
permukiman penduduk (Nuryanto et al., 2019). Selain Cieunteung, terdapat beberapa kampung
yang terdampak akibat banjir seperti Kampung Jambatan, Uwak, Muara, Cigosol, dan Ciputat
di Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah. Ketinggian air antara 20-250 cm dengan lama
genangan 1-3 hari merendam sebanyak 5.242 rumah, 8 sekolah, 35 tempat ibadah, dan 9 KK
harus mengungsi. Kerugian dampak akibat banjir tersebut dianggap menurun dari tahun
sebelumnya oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan sebagian masyarakat sejak
dibangunnya kolam retensi (2017-2018) dan dilaksanakannya program Citarum Harum,
meskipun belum sepenuhnya menjadi solusi mengatasi banjir. Masyarakat di sekitar aliran
anak sungai Citarum harus tetap waspada, karena banjir bisa datang tiba-tiba.
Arsitektur imah panggung masyarakat tradisional Sunda menjadi ide-gagasan rumah
ramah banjir yang bentuknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat terdampak di
Kampung Cieunteung. Rumah tersebut dapat diusulkan kepada pemerintah Provinsi Jawa
Barat dan Kabupaten Bandung sebagai model rumah yang ramah terhadap banjir. Untuk
program jangka panjang, sistem panggung dapat dikembangkan menjadi model rumah ramah
banjir di seluruh Nusantara sesuai dengan kearifan lokal arsitektur tradisionalnya masing-
masing. Program ini sangat menjanjikan, karena tidak hanya menjadi bangunan yang adaptif
terhadap bencana tetapi juga memiliki potensi wisata mitigasi bencana, sehingga wisatawan
yang berkunjung dapat melihat dan belajar langsung tentang konstruksi, struktur, dan
arsitekturnya. Hal ini sesuai dengan renstranas pemerintah sejak Presiden Susilo Yudhoyono
sampai Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang
gencar merealisasikan program desa wisata di seluruh Nusantara. Diantara banyak jenis wisata
yang ditawarkan, peneliti menawarkan ide-gagasan berbeda berupa wisata mitigasi bencana
yang belum sepenuhnya diketahui dan populer dikalangan masyarakat. Hal inilah yang
melatarbelakangi dilakukannya penelitian tentang imah panggung sebagai ide-gagasan wisata
rumah mitigasi bencana, khususnya banjir. Penelitian ini bertujuan untuk membuat rumah
ramah banjir sebagai wisata berbasis mitigasi bencana banjir di Kampung Cieunteung. Wisata
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
80
mitigasi bencana ini dapat menjadi media belajar bagi wisatawan untuk melihat dan
mempelajari arsitektur, struktur, dan konstruksi rumahnya secara langsung.
Terminologi banjir menurut Suripin (2004) yaitu suatu keadaan dimana tidak
tertampungnya air dalam saluran pembuang (kali) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran
pembuang. Poerwadarminta (1990) menjelaskan istilah banjir memiliki tiga dimensi arti, yaitu
(1) Dimensi kata kerja; Banjir artinya [v] berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tt
kali dsb); (2) Dimensi kata benda; Banjir adalah [n] air yg banyak dan mengalir deras; air
bah, atau geo yaitu peristiwa terbenamnya daratan (yg biasanya kering) karena volume air yg
meningkat; (3) Dimensi kata sifat; Banjir mengandung arti datang (ada) banyak sekali.
Menurut Schwab et al. (1981) banjir merupakan luapan atau genangan dari sungai atau badan
air lainnya yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi (berlebihan), salju yang mencair atau
disebabkan adanya gelombang pasang yang membanjiri kebanyakan pada wilayah dataran.
Sedangkan Hewlett (1982) menyebutkan banjir yaitu aliran berupa genangan air yang dapat
berdampak pada kerugian ekonomi, bahkan kehilangan nyawa. Dalam hal ini, aliran air sungai
yang mengalir melebihi batas normal (daya tampung sungai), sehingga aliran air tersebut
melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya. Berdasarkan keempat definisi
di atas, maka terminologi banjir diartikan sebagai suatu fenomena alam akibat intensitas hujan
yang tinggi sehingga menyebabkan tempat-tempat penampungan air yang massal seperti
sungai tidak mampu menerima dan menampung volume air yang banyak (berlebihan) yang
disebabkan terganggunya saluran air sehingga naik ke permukaan tanah dan permukiman.
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2001) banjir dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Secara
umum, faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua penyebab, yaitu: (1) Akibat kondisi alam
atau karena sebab-sebab alami; (2) Akibat perilaku manusia atau karena perbuatan merusak
lingkungan. Di Kampung Cieunteung, banjir diakibatkan oleh perilaku masyarakatnya yang
membuang sampah ke sungai dan ke selokan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan case study
(studi kasus). Metode ini dilakukan melalui prosedur 3M, yaitu: mendeskripsikan,
menggambarkan, dan menceritakan dalam bentuk tulisan (tertulis) berdasarkan hasil survey
atau observasi lapangan mengenai situasi daerah yang berpotensi bencana banjir sekaligus
rencana pengembangan sebagai daerah wisata berbasis mitigasi bencana (tourism base on
disaster mitigation). Untuk mengamati rumah yang diteliti dilakukan dengan cara observing
physical traces, melalui tiga cara: product use, adaption for use, dan display self and public
message (Ziesel, 1978).
Lokasi penelitian di Kampung Cieunteung yang posisinya berada pada bantaran anak
sungai Citarum, Baleendah, Kab. Bandung Provinsi Jawa Barat. Alasan memilih kampung
tersebut adalah karena: (1) Wilayah paling rawan banjir di Kec. Baleendah; (2) Berdampingan
dengan aliran anak sungai Citarum; (3) Zona merah dalam daftar BNPBD Kab. Bandung dan
Provinsi Jawa Barat; dan (4) Tidak memiliki garis sempadan sungai (GSS). Sampel penelitian
berupa rumah-rumah terdampak banjir yang dipilih berdasarkan bobot tingkat kerusakannya
(ringan, sedang, berat) di RT 01 RW 28 sebanyak 12 rumah. Penelitian dilakukan selama lima
bulan, dari Mei sampai dengan September 2019. Instrumen penelitian menggunakan teknik
wawancara (terstruktur/tidak terstruktur), observasi lapangan (survey), dan dokumentasi
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
81
(foto/sketsa). Prosedur penelitian dibagi ke dalam dua bagian: (1) Metode kepustakaan melalui
penelusuran teori-teori yang relevan tentang banjir dan arsitektur tradisional Sunda; (2) Metode
lapangan dengan cara mengamati rumah-rumah terdampak banjir pada 12 sampel untuk
dianalisis dan dibahas dengan teori.
Kajian khusus imah panggung Sunda dilakukan di Kampung Naga (Tasikmalaya)
sebagai studi banding arsitektur rumahnya. Studi banding ini sangat penting untuk mengetahui
kearifan lokal arsitektur tradisional Sunda berupa: (1) Site plan (bentuk tapak/tata ruang)
kampung; (2) Bentuk imah panggung sebagai karakteristik rumah masyarakat Sunda; (3)
Organisasi ruang (denah rumah); (4) Komponen pondasi, lantai, dan dinding; (5) Model-model
atap yang digunakan; (6) Struktur dan konstruksi, termasuk sistem kekuatannya; (7) Material
atau bahan yang digunakan; (8) Proses membangun; (9) Tradisi adat yang masih dipakai; dan
(10) Perilaku masyarakatnya dalam memelihara lingkungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Filosofi dan Prinsip dasar Rumah Ramah Banjir
Filosofi rumah ramah banjir dapat diperoleh dari makna istilah “ramah”.
Poerwadarminta (1990), menyebutkan bahwa istilah “ramah” (kata sifat) artinya baik hati,
menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sifatnya, suka bergaul, bersahabat, dan hangat.
Dari pengertian tersebut, maka yang paling tepat untuk memberikan penjelasan pengertian
“ramah” dalam konteks banjir adalah bersahabat. Dalam Bahasa Inggris, bersahabat disebut
dengan istilah friendly; “able to understand and follow and not damage”, artinya mampu
memahami dan mengikuti serta tidak merusak (Echols dan Shadily, 2014). Filosofi “friendly”
adalah rumah yang didesain secara khusus, mampu menjadi sahabat, mampu memahami
kebutuhan penghuni, serta tidak merusak lingkungan. Rumah ramah banjir memiliki fungsi
ganda, pada saat musim hujan penghuni beraktivitas di lantai atas, sedangkan pada saat musim
kemarau penghuni dapat melakukan kegiatan di lantai atas dan bawah (Nuryanto et al., 2019).
Prinsip dasar rumah ramah banjir sampai saat ini belum ada yang baku. Sebagai dasar
pemahaman dapat menggunakan terminologi bangunan ekologis yang maknanya sangat dekat
dengan “ramah banjir”. Menurut Frick dan Suskiyatno (2007), terdapat enam prinsip dasar
bangunan ekologis, yaitu mampu: (1) Menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat;
(2) Menyesuaikan dan mengirit sumber energi alam yang tidak dapat diperbaharui serta
penggunaan energi; (3) Merawat potensi sumber daya alam sekitar, seperti udara, tanah, dan
air; (4) Menyedikitkan ketergantungan terhadap sistem pusat energi (listrik, air) serta limbah
(air limbah, sampah); (5) Memproduksi secara mandiri kebutuhan sehari-hari bagi
penghuninya; (6) Mengelola secara baik sumber daya alam sekitar wilayah perencanaan untuk
sistem bangunan, baik yang berhubungan dengan bahan maupun utilitas bangunan (sumber
energi, penyediaan air). Berdasarkan pendapat Frick di atas, maka inti rumah ramah banjir
adalah “ecological”, artinya sangat dekat dengan lingkungan sekitar.
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
82
2. Cieunteung sebagai kampung ‘Langganan Banjir”
Kampung Cieunteung merupakan salah satu permukiman terpadat di Kecamatan
Baleendah (gbr. 1). Massa bangunan di kampung tersebut berderet sangat rapat hampir tidak
berjarak. Rumah-rumah dihubungkan melalui jalan kecil, bahkan berupa lorong atau gang yang
jaraknya 1-1.2 meter. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kenyamanan dan keamanan,
khususnya evakuasi saat terjadi banjir. Berdasarkan wawancara dengan ketua RT 01 dan RW
28, banjir besar di Kec. Baleendah terjadi mulai tahun 1986 sampai 2019 dengan intensitas
ketinggian air rata-rata 2 meter dengan lama genangan ± 2 minggu. Jumlah penduduk di
kecamatan tersebut 1.908 jiwa/km2 dengan total penduduk 3.142.198 jiwa dan luas wilayah
580,2 Ha. Tahun 2018-2020 banjir masih terjadi dengan intensitas ketinggian dan lama
genangan variatif. Meskipun telah dibuatkan kolam retensi, luapan air anak sungai Citarum
tetap masuk permukiman penduduk (gbr. 2-3).
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 1: Lokasi penelitian di Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah Kabupaten
Bandung
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 2: Persitiwa banjir di Kampung Cieunteung tahun 2005-2009
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
83
Sumber: Nuryanto, 2019
Foto 3: Peristiwa banjir di Kampung Cieunteung tahun 2010-2017 dan kondisi kolam retensi
tahun 2018-2020
3. Studi Banding Arsitektur Tradisional Masyarakat Sunda
a. Imah panggung di Kampung Naga-Tasikmalaya
Lokasi Kampung Naga berada di Desa Neglasari Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Rumah diharuskan berbentuk panggung (gbr. 4-5), yaitu rumah berkolong
dengan tinggi ± 35-50 cm dari muka tanah. Masyarakat Kampung Naga berpandangan, imah
panggung berhubungan erat dengan kosmologi alam semesta; (1) Ambu Handap (alam bawah)
diwujudkan berupa umpak sebagai pondasi; (2) Ambu Tengah (alam tengah) dimanifestasikan
kedalam bentuk dinding dan lantai; (3) Ambu Luhur (alam atas) diterapkan pada atap. Posisi
imah panggung diantara alam atas dan bawah (netral). Mereka meyakini bahwa imah panggung
sebagai inti keseimbangan kekuatan ketiga alam tersebut. Peristiwa gempa tahun 2009 (7.8 SR)
tidak berpengaruh terhadap kekuatan rumah, karena harmoni dan seimbang dengan alam.
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 4. Kampung dan imah panggung di Kampung Naga
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
84
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 5. Imah panggung di Kampung Naga
Secara struktural, imah panggung tersebut memiliki tiga komponen, yaitu: (1) Struktur
bawah sebagai dasar kekuatan berupa lelemahan atau lemah (tanah) dan umpak atau tatapakan
(pondasi); (2) Struktur tengah sebagai komponen isi terdiri dari talupuh (lantai) dan pangadeg
(dinding); (3) Struktur atas menunjukkan komponen pelindung berupa suhunan (atap). Di
Kampung Naga tidak pernah terjadi banjir, meskipun berdampingan dengan sungai Ciwulan
(gbr. 4) yang sering meluap airnya saat hujan deras.
b. Kesimpulan studi banding
Studi banding imah panggung di Kampung Naga menghasilkan beberapa hal penting,
yaitu: (1) Prinsip bangunan panggung dapat dijadikan inspirasi, ide-gagasan, konsep, dan
desain rumah yang ramah terhadap bencana banjir; (2) Potensi alam sekitar yang berlimpah
sebagai material ramah lingkungan; (3) Penggunaan bentuk-bentuk atap khas rumah seperti:
capit gunting, julang ngapak, dan jolopong; (4) Kontur tanah yang tidak datar sebagai
kekayaan tapak yang dapat diadaptasi; (5) Umpak atau tatapakan dari batu dan cadas sebagai
komponen struktur bawah sekaligus dasar kekuatan; (6) Tinggi kolong atau ruang kosong di
bawah lantai diadaptasi sesuai kebutuhan; (7) Klasifikasi ruang yang terdiri dari tiga: Hareup
(depan/teras) berfungsi sebagai muka bangunan; Tengah (ruang tengah) berfungsi sebagai
pusat aktivitas; Pawon (dapur) berfungsi sebagai ruang-ruang pelayanan.
4. Imah Panggung sebagai Ide-Gagasan Wisata Rumah Mitigasi Bencana
a. Ide-gagasan tapak dan garis sempadan sungai
Ide-gagasan tapak dan garis sempadan sungai (GSS) berkaitan dengan pemintakatan
atau zonasi (gbr. 6) meliputi: (1) Pengaturan massa bangunan seperti: rumah, tempat ibadah,
kantor, dan lain-lain harus berada pada radius garis sempadan sungai lebih dari 100 meter dari
tepi sungai; (2) Pengelompokkan fungsi-fungsi bangunan di tata secara teratur agar tidak
bercampur, mulai dari fungsi umum (public area), fungsi pribadi (private area), dan fungsi
pelayanan (service area). Fungsi pelayanan diposisikan paling belakang dengan GSS lebih dari
100 meter, terdiri dari: selokan air, septictank, jamban (toilet), dan lain sebagainya. Fungsi
umum diletakkan paling depan sebagai pintu masuk sekaligus etalase kampung, seperti:
sekolah, tempat ibadah, puskesmas, kantor, dan lain-lain. Sedangkan fungsi pribadi sebagai inti
permukiman berada di tengah-tengah antara fungsi umum dan pelayanan agar lebih terlindung
dari berbagai gangguan; (3) Tapak permukiman dan bangunan harus berada pada kontur lebih
tinggi dibandingkan permukaan air sungai, baik dalam keadaan normal maupun pasang; (4)
Perletakkan massa bangunan harus diberi jarak agar tidak saling berdempetan ± 150-200 cm
agar lebih leluasa beraktivitas.
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
85
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 6: Tapak Kampung Cieunteung sebagai pengembangan wisata mitigasi bencana
banjir
Aturan GSS telah ditetapkan oleh PP No. 38 tahun 2011 dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 sebagai salah satu upaya menghindari banjir dengan
membuat flood plan area pada kawasan terdampak dengan sistem flood proofing berdasarkan
radius banjir dari tepi sungai. Flood proofing didesain berupa penyesuaian tinggi bangunan
dari muka tanah. Tinggi lantai bangunan dari ± 0.00 (muka tanah) genangan air banjir harus
lebih dari 30-50 cm dari ketinggian banjir sebelumnya. Sedangkan menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI No: 28/PRT/M/2015 bahwa GSS = 15 meter untuk
sungai yang dalamnya lebih dari 3-20 meter.
b. Ide-gagasan denah rumah
Ide-gagasan denah (gbr. 7) harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang
dibagi ke dalam dua lantai: (1) Lantai I (bagian bawah) berfungsi untuk lalu lintas air pada saat
terjadi banjir. Lantai ini juga dapat digunakan untuk berjualan (warung/toko). Kolom atau tiang
diatur sesuai modul ruang dengan ketinggian 350 cm; (2) Lantai II (bagian atas) merupakan
area utama aktivitas, seperti tidur, masak, makan, dan bercengkrama. Lantai ini terdiri dari
kamar tidur, toilet, ruang bersama, dan dapur. Ketinggian lantai antara 350-400 cm, sedangkan
plafonnya terbuka sebagian. Plafon yang terbuka dimanfaatkan untuk mezanine atau lantai split
sebagai area santay. Akses dari lantai pertama ke lantai kedua menggunakan tangga yang dapat
ditutup dan dibuka (folding stairs). Modul ruang menggunakan dimensi 200 cm x 200 cm dan
dibuat tipikal. Pada salah satu sudut modulnya dimanfaatkan untuk verticultur atau tanaman
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
86
pot yang digantung untuk menetralisir udara agar tetap baik. Pada bagian depan sudut kirinya
disediakan lift manual untuk orangtua dan disabilitas yang digerakkan dengan tuas dan bandul.
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 7: Denah rumah ramah banjir
c. Ide-gagasan tampak dan tipologi atap
Ide-gagasan tampak (gbr. 8) dan tipologi atap rumah mengadopsi arsitektur imah
panggung masyarakat Sunda yang ada di Kampung Naga. Pemilihan bentuk ini karena
arsitektur imah panggung memiliki potensi keindahan atap yang (mungkin) tidak ditemukan
pada arsitektur lain. Nama-mana unik atapnya memberikan karakter khusus pada rumah ramah
banjir sehingga akan menarik perhatian wisatawan. Bentuk dasar tampak adalah persegi empat
(pasagi) agar terlihat presisi dan kokoh, sedangkan tipologi atapnya menggunakan jenis julang
ngapak dengan tambahan sorondoy (tritisan) di kedua sisinya agar lebih luas (leluasa).
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 8: Tampak depan, samping, dan tipologi atap rumah ramah banjir
d. Ide-gagasan struktur dan konstruksi
Ide-gagasan struktur dan konstruksi (gbr. 9) berhubungan dengan sistem kekuatan dan
penggunaan material. Struktur dan konstruksi rumah disusun berdasarkan umpak (pondasi),
pangadeg (dinding-lantai), dan suhunan (atap). Material bangunan dapat dikombinasikan
dengan fabrikasi, sesuai kemampuan. Sambungan dapat menggunakan material fabrikasi,
seperti: paku, muur baut, atau kombinasi dengan paseuk (pasak) dan beungkeut (ikatan
ijuk/rotan). Di atas umpak diletakkan tiang dari kayu sebagai struktur utama penyangga lantai.
Kolom dihubungkan oleh balok dengan modul 200 x 200 cm, sedangkan dimensinya 20 x 20
cm. Dinding dan lantai rumah disusun oleh rangka kolom dan balok kayu kombinasi bambu
yang dibuat modular. Penutup dinding terbuat dari papan, bambu, multipleks, dan GRC (beton
ringan), sedangkan penutup lantai terbuat dari papan, bambu, plat boundex, dan lain-lain.
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
87
Sumber: Nuryanto, 2019
Gambar 9: Komponen dan rangka kuda-kuda atap rumah ramah banjir
KESIMPULAN
Teknologi canggih yang selama ini menjadi simbol peradaban dunia, termasuk
arsitektur moderen ternyata belum seluruhnya dapat dijadikan solusi rumah yang ramah banjir.
Sebagian masyarakat di perkotaan berpandangan arsitektur moderen (dianggap) lebih kuat dan
hebat, sedangkan arsitektur tradisional (dianggap) jadul dan ketinggalan zaman. Anggapan ini
tidak benar, karena ternyata arsitektur tradisional lebih adaptive dan sustainable dalam
menjawab permasalahan termasuk banjir. Imah panggung dengan sistem kolong menjadi
alternatif solusi yang ramah terhadap banjir. Penelitian ini menjawab permasalahan tentang
imah panggung sebagai ide-gagasan wisata rumah mitigasi bencana di Kampung Cieunteung
Kab. Bandung, Jawa Barat.
Kesimpulan penelitian ini didasarkan pada analasis data lapangan, diperoleh beberapa
hal penting, bahwa ternyata imah panggung pada arsitektur tradisional Kampung Naga sangat
relevan dijadikan inspirasi ide-gagasan rumah ramah banjir sekaligus sebagai wisata mitigasi
bencana banjir. Keunikan imah panggung terlihat pada empat hal: (1) Kolong dengan
ketinggian yang dapat dimodifikasi; (2) Umpak atau tatapakan sebagai struktur utama yang
membentuk kolong; (3) Sistem kekuatan menggunakan material lokal berupa kayu, bambu,
ijuk, dan rotan atau bahkan dapat dikombinasikan dengan material fabrikasi sesuai selera dan
kemampuan masyarakatnya; (4) Tipologi atap imah panggung yang sangat unik antara lain:
julang ngapak, jolopong, dan capit gunting. Sebagai simpulan akhir, imah panggung tersebut
dapat dijadikan prototype rumah ramah banjir di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ranah Research : Journal of Multidicsiplinary Research and Development
Volume 3, Issue 2, Februari 2021
88
DAFTAR RUJUKAN
Echols, M. J., dan Shadily, H. (Eds.). [2014] Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta: PT Gramedia, Jakarta.
Frick, H., dan Suskiyatno, B. [2007]: Dasar-dasar Arsitektur Ekologis (Edisi Pertama ed. Vol.
1): Kanisius, Yogyakarta.
Hewlett, J. D. [1982]: Forests and Floods in the Light of Recent Investigation. Paper presented
at the Proceedings of the Canadian Hydrology Symposium-Associate Committee on
Hydrology.
Kodoatie, R. J., dan Sugiyanto. [2001]: Banjir dan Permasalahannya (Edisi Pertama ed.).
Semarang: Pustaka Pelajar, Semarang-Jawa Tengah.
Kurniawan, L., Triutomo, S., Yunus, R., Amri, M. R., dan Hantyanto, A. A. [2013]: Indeks
Risiko Bencana Indonesia (IRBI), Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB)
Indonesia (D. Ruswandi Ed. Edisi Pertama ed.). Citeureup, Sentul: Direktorat
Pengurangan Risiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
Nurulliah, N. [2020]: Jawa Barat Tempati Urutan Kedua Bencana Terbanyak Awal Tahun
2020. Harian Umum Pikiran Rakyat. Retrieved from https://www.pikiran-
rakyat.com/jawa-barat/pr-01338908/jawa-barat-tempati-urutan-kedua-bencana-
terbanyak-awal-tahun-2020
Nuryanto, Ahdiat, D., dan Surasetja, R. I. [2019]: Kajian Pembangunan Sosial Budaya:
Kearifan Lokal Rumah panggung Arsitektur Sunda sebagai Model Desain Rumah
Ramah Banjir di Jawa Barat (Studi Kasus: Kampung Cieunteung-Baleendah, Kab.
Bandung). Retrieved from Bandung: https://lppm.upi.edu/
Nuryanto, Ahdiat, D., dan Surasetja, R. I. [2020]: Innovation in Modelling of Flood-Friendly
Housing Design with Approaching of Sundanese Traditional Architecture (Case study:
Baleendah Sub-district, Bandung District, West Java-Indonesia). International Journal
of Engineering and Emerging Technology(2), 36-43%V 34.
Poerwadarminta, W. (Ed.) [1990] KBBI (Edisi Kedua ed.). Jakarta: Jakarta.
Rosyidie, A. [2013]: Banjir: Fakta dan Dampaknya, serta Pengaruh dari Perubahan Guna
Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi, Bandung, 24(4), 241-249.
Schwab, G. O., Frevert, R. K., Edminster, T. W., dan Barnes, K. K. [1981]: Soil and Water
Conservation Engineering (First Edition ed.): John Wiley and Sons.
Suripin. [2004]: Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan (Edisi Pertama ed.).
Yogyakarta: Andi Offset, Yogyakarta.
Ziesel, J. [1978]: Inquiry by Design: Tools for Environment-Behaviour Research (I. Altman
dan D. Stokols Eds. First Edition ed.). California: Cambridge University Press,
California.