indone psikologi sia

65
MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN Perlunya mengembangkan kurikulum yang mengarah kepada produksi pengetahuan psikologi yang lebih relevan bagi kehidupan bangsa secara luas. (HALAMAN 8) Menimbang sikap etis psikolog terhadap hasil asesmen kandidat politik/tokoh publik. (HALAMAN 14) VS INFORMASI PRIVAT PERNYATAAN PUBLIK Pendidikan nan Kita Berbeda NEOLIBERAL Kita Berteman INDONESIA PSIKOLOGI volume 1 no. 1, Juli 2019 (HALAMAN 32) (HALAMAN 49)

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INDONE PSIKOLOGI SIA

MENJADIPSIKOLOGIYANG RELEVANPerlunya mengembangkan kurikulumyang mengarah kepada produksi pengetahuan psikologi yang lebih relevan bagi kehidupan bangsa secara luas.(HALAMAN 8)

Menimbang sikap etis psikolog terhadap hasil asesmen kandidat politik/tokoh publik.(HALAMAN 14)

VS

INFORMASI

PRIVAT

PERNYATAAN

PUBLIK

Pendidikan nan

Kita Berbeda

NEOLIBERAL

Kita Berteman

INDONESIAP S I K O L O G I

volume 1 no. 1, Juli 2019

(HALAMAN 32)

(HALAMAN 49)

Page 2: INDONE PSIKOLOGI SIA

INDONESIAP S I K O L O G I

REDAKSI

PEMIMPIN UMUM Seger Handoyo

PEMIMPIN REDAKSIAugustinus Supratiknya

WAKIL PEMIMPIN REDAKSIJuneman Abraham

REDAKTUR PELAKSANATjipto Susana Rahkman Ardi

REPORTERAhmad Fauzan Iswahyudi

Diah Budiarti

DESAIN DAN LAYOUTBivita Brata Prabawa Riko

HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIAJl. Kebayoran Baru No. 85BKebayoran Lama, VelbakJakarta Selatan DKI Jakarta 12240Indonesia, 021 72801625, +62 821-1435-0101Alamat surel: [email protected]

ALAMAT REDAKSI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 3: INDONE PSIKOLOGI SIA

PAGEScontents

contents

Editorial

Kata Pengantar

ISU PSIKOLOGI TERKINIMenjadi Psikologi yang RelevanInformasi Privat vs Pernyataan Publik: Menimbang-nimbang Sikap Etis Psikolog terhadap Hasil Asesmen Kandidat Politik/Tokoh Publik

WAWANCARAAsesmen Tokoh Politik Beda dengan Medical Report!

LIPUTAN KHUSUSHIMPSI Perlu Membangun Epistemic CommunityLSP Psikologi Indonesia: Pengakuan Kompetensi Bidang Psikologi

ARTIKEL ILMIAH POPULERPendidikan nan Neoliberal

ULASAN TOKOHFuad Hassan: Memahami Manusia dengan Psikologi KitaBelajar dari Pak Nim, Ayah yang Melindungi

TOPIK PSIKOLOGI TERKINIKita Berbeda, Kita Berteman

Psikologi untuk Pendidikan, Pengajaran, dan Belajar Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang

RESENSI BUKUMerentas Jalan Kajian Sejarah Psikologi di Indonesia

1

7

814

21

2730

32

3844

49

54

56

DAFTAR ISI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 4: INDONE PSIKOLOGI SIA

Tanggal 11 Juli 2019 ini Himpunan Psikologi Indonesia atau HIMPSI menginjak usia 60 tahun. Didirikan pada

tanggal 11 Juli 1959 di Jakarta dengan nama Ikatan Sarjana Psikologi (ISPsi), organisasi profesi Psikologi ini berganti nama menjadi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) melalui Kongres Luar Biasa pada tahun 1998 di Jakarta. HIMPSI merupakan induk dari organisasi profesi tingkat wilayah di 32 provinsi di Indonesia dan 16 organisasi ikatan minat/asosiasi serta memiliki anggota berjumlah lebih dari 12.000 orang. HIMPSI memiliki mitra 93 Fakultas Psikologi penyelenggara pendidikan tinggi akademik, profesi dan terapan psikologi terdiri dari 18 fakultas di lingkungan perguruan tinggi negeri (PTN) baik yang bernaung di bawah Kemenristekdikti maupun di bawah Kemenag; serta 75 fakultas di lingkungan perguruan tinggi swasta (PTS) yang bernaung di bawah Kemenristekdikti dan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Fakultas-fakultas Psikologi mitra HIMPSI ini berhimpun di tingkat nasional dan wilayah dalam wadah Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi (AP2TPI) dan menyelenggarakan total 151 program studi meliputi jenjang S1 Psikologi, S2 Ilmu Psikologi, S2 Profesi Psikologi, S2 Psikologi Terapan, serta S3 Ilmu Psikologi.

Sebagai sebuah organisasi profesi komunitas terdidik atau terpelajar di bidang Psikologi, baik sebagai akademisi-ilmuwan maupun sebagai praktisi, sangat wajar diharapkan HIMPSI memiliki rekaman tertulis tentang keberadaan dan kiprahnya: sejarah berdirinya, perdebatan tentang berbagai isu

Editorial

baik menyangkut keberadaannya sendiri maupun menyangkut nasib masyarakat dan bangsa yang dilayaninya, prestasi-prestasi yang dicapainya, dan mungkin juga masalah bahkan kegagalan yang pernah dialami dan belum mampu diatasinya, dan sebagainya. Sepanjang yang kita ketahui, selain berbagai dokumen dan rekaman kejadian-gagasan lain yang terunggah di website HIMPSI, hanya tersedia enam dokumen berupa buku dan satu jurnal ilmiah yang bisa dijadikan jendela untuk mengintip keberadaan dan kiprah HIMPSI sejak berdirinya hingga kini. Enam buku yang dimaksud diurutkan secara kronologis berdasarkan tahun penerbitannya meliputi Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini dan Esok (Himpsi Jaya, 2007); 50 Tahun Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI): Rede�nisi Psikologi Indonesia dalam Keberagaman (HIMPSI, 2010); Integritas, Keberbedaan & Kesejahteraan Psikologis. Kontribusi Psikologi dalam Menjawab Tantangan Bangsa Masa Kini (HIMPSI, 2014); Revolusi Mental: Makna dan Realisasi (HIMPSI, 2015); Psikologi dan Teknologi Informasi (HIMPSI, 2016); dan Psikologi dan Pendidikan dalam Konteks Kebangsaan (HIMPSI, 2018). Tiga buku terakhir merupakan Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa yang merupakan salah satu program kerja Pengurus Pusat HIMPSI

1 |PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 5: INDONE PSIKOLOGI SIA

2

periode 2014-2018. Jurnal Psikologi Indonesia (JPI) merupakan jurnal ilmiah menyajikan laporan penelitian orisinal warga komunitas Psikologi di Indonesia yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia. JPI diterbitkan melalui permohonan ISSN tahun 2007 ( ), di mana ISSN yang http://issn.pdii.lipi.go.id/tercantum di LIPI adalah 0853-3059.

Berkala dengan ISSN tersebut terbit pertama kali pada tahun 2008 dan selanjutnya terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Terbitan terbaru dan terakhir yang tersedia adalah Volume 12, Nomor 1 yang terbit dalam bulan Juni 2017. Jika boleh memasukkan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh berbagai lembaga pendidikan tinggi Psikologi sebagai jendela untuk mengintip denyut kehidupan ilmu dan profesi psikologi di Indonesia, ada paling sedikit 79 jurnal ilmiah Psikologi yang diterbitkan oleh fakultas atau program studi Psikologi atau disiplin ilmu serumpun di lingkungan PTN dan PTS di Indonesia (“Daftar jurnal”, 2018).

Dokumen-dokumen itu mungkin cukup memberikan gambaran tentang perkembangan ilmu dan profesi Psikologi hingga state of the arts atau status keberadaannya di Indonesia hingga kini, namun diduga kurang memberikan informasi tentang dinamika keberadaan HIMPSI sebagai organisasi baik di tingkat nasional, wilayah maupun dalam berbagai ikatan minat/asosiasi yang bernaung di bawahnya sejak kelahirannya enam puluh tahun lalu, status keberadaannya saat ini, serta masa depan yang diimajinasikannya dalam rangka merespon perkembangan baik dunia keilmuan dan profesi Psikologi sendiri maupun perkembangan masyarakat yang dilayaninya baik pada tingkat nasional, regional, maupun global.

Tanpa terjebak dalam mentalitas paska-kolonial sebagai negara dan bangsa yang pernah dijajah bangsa Barat terus mereproduksi sikap dan pandangan kolonial Barat yang melihat bangsa jajahan Timur sebagai inferior dibandingkan bangsa Barat penjajahnya yang superior, kiranya

baik kita menengok sekilas perkembangan American Psychological Association sebagai organisasi profesi Psikologi di Amerika Serikat. Didirikan oleh G. Stanley Hall pada tahun 1892 dengan anggota perdana sebanyak 31 orang, pada tahun 2017 organisasi profesi Psikologi terbesar di dunia ini menginjak usianya yang ke-125. Saat ini organisasi ini memiliki lebih dari 118.000 anggota terdiri dari peneliti, pendidik, praktisi dan mahasiswa yang tersebar ke dalam 56 divisi setara dengan asosiasi/ikatan minat mulai dari divisi 1 Society for General Psychology sampai dengan divisi 56 Trauma Psychology. Organisasi ini menerbitkan 88 jurnal ilmiah yang dikelompokkan ke dalam 10 bidang mulai dari General Psychology (11 jurnal, termasuk American Psychologist) sampai dengan Social Psychology (17 jurnal) serta dua majalah (Monitor on Psychology dan Good Practice) serta 16 online newsletters.

Dalam edisi khusus menyambut ulang tahun APA yang ke-125, jurnal American Psychologist (volume 72, nomor 8, November 2017), menurunkan 10 artikel berisi ulasan re�ektif tentang perkembangan organisasi itu sendiri serta perkembangan ilmu dan praktik Psikologi beserta sistem pendidikannya di Amerika Serikat di masa lalu, masa kini, dan prospeknya di masa mendatang. Dari salah satu artikel (Green & Cautin, 2017) terungkap bahwa organisasi yang awalnya didirikan dengan misi memajukan Psikologi sebagai science atau disiplin ilmu ini tak pernah lepas dari ketegangan di antara para anggota sebagai bagian dari dinamika perkembangannya. Ketegangan pertama muncul tak lama sesudah berdiri karena anggota yang berlatar belakang pendidikan Psikologi merasa gerah dengan kehadiran anggota yang berlatar belakang pendidikan disiplin ilmu lain, khususnya Filsafat. Ketegangan ini sirna sesudah para �lsuf praktis mundur dari APA dan berhimpun bersama �lsuf lain untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Ketegangan kedua muncul paska Perang Dunia I antara anggota yang berstatus academics atau academic purists dan mereka yang berstatus professionals atau professional psychologists terkait misi organisasi. Sampai tahun 1945, misi

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 6: INDONE PSIKOLOGI SIA

3

APA masih sama seperti misi awalnya, yaitu memajukan Psikologi sebagai disiplin ilmu. Artinya, arah dan kiprah APA didominasi oleh kaum akademisi. Namun sesudah 1945 misi itu dirumuskan ulang menjadi “memajukan Psikologi sebagai ilmu, sebagai profesi, dan sebagai sarana mempromosikan kesejahteraan manusia”. Dengan berlakunya rumusan misi organisasi yang baru, terjadi keseimbangan kekuatan antara kelompok akademisi dan kelompok profesi, namun bukan berarti ketegangan berhasil dihilangkan. Ketegangan ketiga muncul terkait model pendidikan profesi, khususnya profesi Psikologi Klinis. Model yang semula diterima adalah scientist-practitioner model hasil rancangan David Shakow pada tahun 1941 berupa program empat tahun yang mengintegrasikan pendidikan metodologi ilmiah dan pendidikan klinis meliputi diagnosis dan psikoterapi. Model ini selanjutnya disebut “Boulder Model” yang lebih tegas mengarahkan pendidikan (profesi) Psikologi Klinis untuk menghasilkan peneliti dan clinician atau praktisi Psikologi Klinis sekaligus. Dengan alasan bahwa banyak mahasiswa yang menempuh pendidikan profesi Psikologi Klinis sesungguhnya hanya ingin menekuni profesi sebagai pemberi layanan tritmen psikologis, dibentuklah sebuah komisi untuk merancang program pendidikan the Doctor of Psychology atau PsyD yang menekankan pendidikan yang berorientasi praktik. Sebelum rincian program baru itu disahkan oleh APA, ternyata ada perguruan tinggi yang segera mulai menerapkannya pada tahun 1965. Ketegangan keempat merupakan sejenis reinkarnasi ketegangan antara kaum akademisi dan kaum praktisi. Dimotori oleh sejumlah scientists dan scientist-practitioners yang

tergabung dalam the Assembly of Scienti�c and Applied Psychologists (ASAP) dilakukanlah referendum atau pengumpulan pendapat untuk melakukan reorganisasi APA. Karena tidak memperoleh dukungan yang diperlukan, kelompok ASAP mundur dari APA dan membentuk organisasi baru, the American Psychological Society, pada akhir tahun 1987. Selanjutnya organisasi ini berganti nama menjadi the Association for Psychological Science hingga kini (Green & Cautin, 2017). Ketegangan kelima berlangsung selama dasawarsa 2000-an yang berdampak pada penurunan jumlah anggota. Konon ketegangan ini dipicu oleh dua peristiwa terkait keuangan dan etika. Ketegangan terkait keuangan muncul akibat penolakan sebagian

anggota praktisi terhadap kebijakan APA yang mengutip iuran tambahan (additional fee) selain iuran rutin (regular membership dues) bagi anggota yang berstatus praktisi berlisensi. Ketegangan ini

berhasil diselesaikan lewat pengadilan pada tahun 2015. Ketegangan terkait etika muncul akibat keberatan banyak anggota terhadap keterlibatan APA dalam pengembangan tehnik-tehnik interogasi disertai kekerasan oleh dinas rahasia CIA dan Departemen Pertahanan AS. Ketegangan ini berakhir dengan larangan bagi para psychologists berpartisipasi dalam berbagai interogasi terkait keamanan nasional yang dikeluarkan oleh Komisi Etik maupun tekad Presiden APA mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki aneka kekurangan yang dilakukan oleh organisasi di masa lalu, pada tahun 2015.

Dinamika yang kurang lebih serupa kiranya juga dialami oleh HIMPSI dalam perjalanan sejarahnya. Dari Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini dan

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 7: INDONE PSIKOLOGI SIA

4

Menanggapi kenyataan itu, Pimpinan HIMPSI sepakat dan mendukung gagasan dan/atau prakarsa sebagai berikut. Pertama, HIMPSI memutuskan tidak melanjutkan penerbitan Jurnal Psikologi Indonesia. Menyadari bahwa HIMPSI memiliki anggota lebih dari 12.000 orang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan dengan latar belakang profesi yang beraneka ragam mulai dari akademisi, peneliti riset tindakan, guru, terapis dan sebagainya, maka sebagai ganti JPI Pimpinan HIMPSI memutuskan menerbitkan buletin Psikologi Indonesia. Buletin ini dimaksudkan sebagai media populer berkala yang dapat dijadikan sarana pertukaran informasi dan komunikasi terkait perkembangan ilmu beserta dinamikanya pada semua komunitas psikologi di Tanah Air. Informasi keilmuan yang dapat dibaca oleh semua komunitas psikologi yang majemuk ini diharapkan dapat berdampak langsung sehingga setiap anggota yang berlatar berlakang keilmuan psikologi dapat menjadi agen-agen perubahan dalam lingkungan masyarakatnya dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Secara lebih spesi�k, tujuan penerbitan buletin Psikologi Indonesia adalah: (1) mempopulerkan hasil riset psikologi yang dilakukan oleh ilmuwan psikologi Indonesia anggota HIMPSI secara umum yang terpublikasi melalui telaah sejawat di jurnal-jurnal terbitan dalam maupun luar negeri; (2) memberikan wawasan ilmiah atas isu-isu terkait keilmuan, praktik-terapan, maupun pendidikan psikologi terkini di Indonesia; (3) mempopulerkan pemikiran tokoh-tokoh psikologi Indonesia yang telah memberikan sumbangsih dalam memperkuat fondasi keilmuan dan praktik psikologi di Indonesia; dan (4) mensosialisasikan kredibilitas program studi penyelenggara pendidikan psikologi di Indonesia. Untuk itu, setiap terbitan buletin Psikologi Indonesia akan terdiri dari beberapa rubrik: (1) rubrik artikel ilmiah populer; (2) rubrik isu psikologi terkini; (3) rubrik pro�l program studi penyelenggaraan pendidikan tinggi Psikologi; (4) rubrik ulasan tokoh; dan (5) rubrik resensi buku.

Esok (Himpsi Jaya, 2007), kita tahu bahwa tidak sedikit anggota awal ISPsi bahkan para perintis pendidikan tinggi Psikologi di Indonesia adalah tokoh-tokoh yang tidak berpendidikan sarjana Psikologi. Bisa diduga bahwa pada masa awal perkembangannya muncul ketegangan atau paling tidak kekikukan di kalangan ISPsi-HIMPSI manakala dalam anggaran rumah tangga organisasi dinyatakan bahwa “Anggota biasa adalah Psikolog, Sarjana, Magister dan Doktor dalam Psikologi” (HIMPSI, 2001). Situasi ini hanya bisa kita duga, sebab tidak ada sumber tulisan yang melukiskannya. Beruntung bahwa dalam dua buku lainnya, bisa ditemukan tulisan berisi sketsa ringkas sejarah HIMPSI maupun pendidikan Psikologi di Indonesia serta aneka capaian, tantangan dan peluangnya (Suhapti, 2010; 2014). Tentang perkembangan state of the arts HIMPSI dan pendidikan Psikologi di Indonesia di masa kini serta prospeknya ke depan kita hanya bisa memperoleh serpihan-serpihan informasi yang harus kita simpulkan sendiri menjadi pengetahuan berdasarkan sumber-sumber berupa buku-buku, jurnal-jurnal, unggahan dalam websites, bahkan selebaran-selebaran dalam rangka promosi kegiatan ilmiah atau profesi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga atau komunitas Psikologi.

Dengan semua hal yang dikemukakan di atas hendak digaris-bawahi pentingnya HIMPSI khususnya dan komunitas Psikologi di Indonesia umumnya memiliki media untuk memperbincangkan aneka isu dan persoalan baik terkait ilmu maupun profesi Psikologi dalam bentuk tulisan. Psikologi Indonesia hadir untuk memenuhi kebutuhan dan ruang kosong yang dimaksud. Bersamaan dengan itu PP HIMPSI mengambil kebijakan untuk menggeser penerbitan dan pengembangan jurnal agar dilakukan oleh asosiasi/ikatan minat keilmuan dan atau praktik spesialisasi Psikologi bekerjasama dengan program studi atau fakultas Psikologi. Kebijakan ini diambil untuk mendorong kecepatan perkembangan pengetahuan dan ilmu Psikologi di berbagai spesialisasi dan kajian spesi�knya.

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 8: INDONE PSIKOLOGI SIA

5

Kedua, HIMPSI mendorong ikatan-ikatan minat/asosiasi menerbitkan berkala keilmuan yang menjadi minat-spesialisasi masing-masing untuk melengkapi berbagai jurnal dan/atau buletin yang sudah diterbitkan oleh berbagai Fakultas/program studi. Ketiga, HIMPSI mendorong semua pemangku kepentingan internalnya, khususnya ikatan minat/asosiasi dan organisasi wilayah, untuk mulai mengembangkan tradisi penulisan dengan cara melakukan re�eksi kritis tertulis atas semua aktivitas keilmuan dan/atau profesionalnya, antara lain dengan memanfaatkan Psikologi Indonesia sebagai media diseminasinya.

Nomor perdana Psikologi Indonesia ini menyajikan tujuh artikel undangan, dua liputan khusus, satu wawancara, dan satu advertorial. Artikel undangan tersebut terdiri dari tulisan: (1) Abdul Malik Gismar yang mengulas bagaimana psikologi dapat lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan nasional; (2) Nani Nurrachman yang secara jernih mere�eksikan sikap etis psikolog terhadap hasil asesmen kandidat politik; (3) Teguh Wijaya Mulya yang secara tajam mengkritisi wacana neoliberal dalam pendidikan tinggi Psikologi di Indonesia; (4) Bagus Takwin yang mengulas tentang peran Prof Dr. Fuad Hassan dalam membangun pemikiran psikologi di Indonesia; (5) Ahmad Gimmy Prathama dan Achmad Djunaidi yang memberikan kesaksian atas karakter salah satu tokoh dalam sejarah perjalanan psikologi Indonesia yaitu Prof. Dr. John S. Nimpoeno; (6) Whinda Yustisia yang membahas bagaimana kelompok yang berbeda keyakinan atau cara pandang masih dapat berteman dan berjalan beriringan; serta (7) Iwan Wahyu Widayat yang meresensi buku yang berjudul Sejarah Psikologi: Perkembangan perspektif teoretis yang ditulis oleh Irwanto. Dua liputan khusus berjudul “HIMPSI perlu membangun epistemic community” dan “LSP dorong dukungan Asosiasi dan Universitas” diambil dari Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial ke-9 2019 yang diselenggarakan tanggal 5-7 April 2019 di Solo. Yang pertama menyajikan ringkasan pokok-pokok pikiran empat pembicara meliputi Yanuar

Nugroho, Ph.D., Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si., Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si., dan Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si. Yang kedua menyajikan ringkasan paparan Prof. Dr. Fendy Suhariyadi, Direktur LSP Psikologi, tentang Lembaga Serti�kasi Profesi Psikologi (LSPPsi). Dalam advertorial, Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang memaparkan seluk-beluk Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan yang mereka kelola. Akhirul kalam, selamat membaca dan sekaligus kami undang sidang pembaca menyumbangkan tulisan pada edisi-edisi berikut.

Salam Psikologi Indonesia!

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 9: INDONE PSIKOLOGI SIA

6

Daftar Acuan

Green, C.D., & Cautin, R.L. (2017). 125 years of the American Psychological Association. American Psychologist, 72(8), 722-736. http://dx.doi.org/10.1037/amp0000208

HIMPSI. (2001). Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Jakarta: Pengarang.

HIMPSI. (2010). Rede�nisi Psikologi Indonesia dalam Keberagaman. Jakarta: Pengarang.

HIMPSI. (2014). Integritas, keberbedaan, & kesejahteraan psikologis. Kontribusi Psikologi dalam menjawab tantangan bangsa masa kini. Jakarrta: Pengarang.

HIMPSI. (2015). Revolusi mental: Makna dan realisasi. Jakarta: Pengarang.

HIMPSI. (2016). Psikologi dan teknologi informasi. Jakarta: Pengarang.

HIMPSI. (2018). Psikologi dan pendidikan dalam konteks kebangsaan. Jakarta: Pengarang.

HIMPSI Jaya. (2007). Dialog Psikologi Indonesia. Doeloe, kini dan esok. Jakarta: Pengarang.

Suhapti, Retno. (2010). Sejarah Himpunan Psikologi Indonesia. Dalam HIMPSI, Rede�nisi Psikologi Indonesia dalam Keberagaman (h. 487-496). Jakarta: HIMPSI.

Suhapti, Retno. (2014). HIMPSI: Capaian, tantangan dan peluang. Dalam HIMPSI, Integritas, keberbedaan, & kesejahteraan psikologis. Kontribusi Psikologi dalam menjawab tantangan bangsa masa kini (h. 309-316). Jakarta: HIMPSI.

Surat Pembaca Anda dipersilakan mengirim surat pembaca atau komentar kepada redaksi.

Surat pembaca atau komentar dikirim kepada alamat redaksi, dengan menuliskan nama lengkap, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi, disertai dengan fotokopi atau scan identitas diri.

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 10: INDONE PSIKOLOGI SIA

Buletin Psikologi Indonesia ini lahir dari gagasan Prof. Dr. A. Supratiknya (biasa kami panggil Pak Pratik) yang

memimpikan agar HIMPSI dapat membuat sebuah media komunikasi yang memberikan ruang diseminasi pemikiran tentang berbagai persoalan bangsa yang ditinjau dari perspektif Psikologi, baik yang berasal dari hasil riset maupun gagasan logis para ahli dan tokoh Psikologi di Indonesia. Selain itu, media komunikasi tersebut secara luas juga dapat menampung informasi tentang perkembangan pendidikan Psikologi di Indonesia, perkembangan program studi, resensi buku, serta perkembangan kegiatan seluruh perangkat organisasi HIMPSI. Gagasan tersebut disampaikan oleh Pak Pratik dalam beberapa kali kesempatan bertemu saya. Saya mendengarkan dengan saksama dan menyampaikan bahwa itu adalah gagasan yang sangat baik, saya akan membantu merealisasikannya. Pada rapat perdana Pengurus Pusat HIMPSI periode 2018 – 2022, gagasan tersebut dibahas lebih mendalam dan disepakati menjadi salah satu program kerja PP HIMPSI. Realisasi penerbitan Psikologi Indonesia dilaksanakan secara kolektif para personil Kompartemen 5 dan Kompartemen 6 PP

HIMPSI. Puji syukur alhamdulillah, akhirnya Psikologi Indonesia berhasil untuk diterbitkan perdana tepat pada saat HIMPSI merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Sebuah kado ulang tahun yang tak ternilai harganya.

Apresiasi dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada para tokoh dan ahli Psikologi yang telah bersedia memberikan pemikirannya dengan menuliskannya untuk buletin perdana ini. Apresiasi dan ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada dewan redaksi yang terdiri Prof. Dr. A. Supratiknya, Psikolog, Dr. Juneman Abraham, M.Si., Dr. Tjipto Susana, M.Si, Psikolog, serta Dr. Rahkman Ardi, M.Psych. Secara khusus terimakasih kepada Dr. Rahkman Ardi, M.Psych dan tim reporter serta Bivita Brata yang menjadi Team in Charge penerbitan perdana buletin ini. Sebuah kerja dan karya perdana yang luar biasa.

Buletin ini direncanakan terbit secara reguler dan diharapkan dapat menambah rekaman pemikiran gagasan dan pemikiran ahli dan tokoh Psikologi Indonesia, bersama dengan buku seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa. Buletin perdana ini HIMPSI persembahkan untuk bangsa Indonesia sebagai tanda syukur di usia HIMPSI yang ke-60 tahun. HIMPSI mengambil tema ulang tahun kali ini "Psikologi Bersinergi untuk Integrasi Bangsa". HIMPSI akan terus menerus berkarya bagi bangsa Indonesia dengan berbagai kegiatan dan programnya.

7

HIMPSI Berkarya untuk BangsaJakarta, 29 Juni 2019

Kata PengantarDr. Seger Handoyo, Psikolog - KETUA UMUM PP HIMPSI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 11: INDONE PSIKOLOGI SIA

8

MENJADI PSIKOLOGIYANG RELEVAN

Abdul Malik GismarUniversitas Paramadina

Dalam Kongres Psikologi ke XV 2018 di Bandung topik yang diajukan kepada saya sebagai keynote speaker adalah bagaimana psikologi dapat lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan nasional. Pada

tahun 1980, dalam Kongres HIMPSI di Bandung (ketika itu saya anggota delegasi mahasiswa UI) salah satu butir keprihatinan mahasiswa adalah ketidakmampuan psikologi untuk ikut berperan dalam pembangunan nasional. Pertanyaan dan keprihatinan yang terpisah 40 tahun di atas pada dasarnya mempersoalkan hal yang sama: relevansi psikologi di dalam mengurus persoalan-persoalan sosial dan kebangsaan negeri ini.

Relevansi psikologi untuk terlibat dalam mengurus masalah-masalah sosial selalu dipertanyakan sejak awal perkembangan psikologi sebagai disiplin ilmu. Secara sederhana, bila kita lihat akarnya pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita bedakan antara pertanyaan yang terkait dengan epistemologis, kompetensi, dan kompatibilitas. Ketiganya bisa saling terkait dan tidak sepenuhnya eksklusif satu dengan yang lain.

Pertanyaan pertama berakar dari keraguan epistemologis apakah metode dalam psikologi yang fokusnya adalah kesadaran individu (individual consciousness) bisa berbicara mengenai fenomena sosial. Sejak awal perkembangannya psikologi berhadapan dengan sikap skeptik, bahkan sinis, dari ilmu sosial pada umumnya terkait persoalan epistemologis ini. Sikap ini sangat dipengaruhi

oleh prinsip (sosiologi) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim pada tahun 1895 yang membuat dikotomi fenomena individual – sosial yang kaku, dengan kesimpulan bahwa fenomena sosial tidak bisa dijelaskan melalui faktor-faktor psikologis. Persisnya, Durkheim mengatakan bahwa the determining cause of a social fact must be sought among antecedent social facts and not among the states of the individual consciousness. , Implikasinyabila kita mencoba menjelaskan peristiwa sosial dengan penjelasan psikologis maka kita akan terjerembab ke dalam psikologisme yang bukan saja keliru tapi juga sangat tidak bertanggung jawab karena justru akan mengaburkan persoalan sesungguhnya. Sikap skeptis atau sinis di atas untuk waktu yang cukup lama sangat dominan dan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis antara psikologi dan ilmu sosial lainnya serta menempatkan psikologi dalam posisi yang sulit untuk berinteraksi dengan ilmu sosial lainnya.

Relevansi: Persoalan yangSelalu Membayangi Psikologi

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 12: INDONE PSIKOLOGI SIA

8

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

Residu dari doktrin ini masih cukup berpengaruh hingga tahun 80an sebagaimana dapat dirasakan dalam artikel berjudul e Role of Psychology in National Development: Wishful inking and Reality dalam International Journal of Psychology pada tahun 1984 yang dengan sinis mengatakan: …psychology as a science or profession has not played a signi�cant role in the historical evolution of industrialized countries. It is further argued that the problems of developing countries are basically political and economic and to psychologize them might be both unproductive and immoral. It is suggested that psychologists might do a better service by studying ways and means of changing the behavior of people who control the material resources of the world.

Pertanyaan kedua berakar pada keraguan apakah psikologi memiliki kompetensi untuk ikut berperan dalam pemecahan persoalan sosial. Barangkali disumbang oleh posisi psikologi yang relatif terisolasi dari ilmu sosial lainnya (yang muncul karena sinisisme epistemologis di atas) ada masa di mana psikologi begitu terobsesi pada proses-proses psikologis dasar untuk menjelaskan perilaku. Fokus penelitianpun menjadi sangat mikro, dengan rancangan penelitian terutama eksperimen, dan metode yang dipakai terutama kuantitatif. Manusia sebagai spesies kultural dan hidup dalam matriks sosial yang kompleks menjadi terabaikan. Produktivitas penelitian memang sangat tinggi dalam atmosfer ini namun, sebagaimana dikatakan Moscovici (1972), di bawah derasnya “small scale theories and methodological sophistications” psikologi kehilangan

fokus tentang apa yang seharusnya menjadi inti dari upayanya, yaitu memahami “nature of man (sic) and the phenomenon that is uniquely human.” Pada masa-masa ini, sebagaimana digambarkan oleh Ring (1967, p. 120), psikologi merupakan:… a �eld of many frontiersmen, but few settlers…..we can expect our �eld to continue its

erratic and yet curiously stagnant course, saturated with “cute” experiments and petty quarrels between theorists…” ³

Senada dengan Ring, Tajfel (1972) mengatakan bahwa psikologi “has studied the wrong kind of homo in its attempt to derive general laws of human social behaviour from the presumed 'universal' and 'pre-social' laws of individual motivation” (Tajfel, 1972; p. 4). Atau, menurut Moscovici (1972; p. 63) psikologi tidak lagi mempelajari perilaku sosial sebagai interaksi antara individu dan masyarakat ataupun mempelajari individu dalam masyarakat:

¹ Lihat Durkheim, E. (1982). e rules of sociological method. New York, NY. Free Press.

² Durkheim juga menunjukkan bahwa faktor sosial dapat menjelaskan fenomena psikologis. Contohnya, bunuh diri yang sekilas merupakan keputusan yang sangat individual, ternyata dipengaruhi oleh faktor sosial: Dalam studinya, tingkat bunuh diri di kalangan protestan lebih tinggi daripada di kalangan katolik. Lihat Durkheim, E. (1951). Suicide. New York, NY: Free Press.

³ Ring, K. (1967) Experimental social psychology: Some sober questions about some frivolous values. Journal of Experimental Psychology, 3, 113-23.

⁴ Tajfel, H. (1972). Introduction. In J. Israel and H. Tajfel (Eds), e context of social psychology (pp. 1-13). London, UK: Academic Press.

“Implikasinya, bila kita mencoba menjelaskan peristiwa sosial dengan penjelasan psikologis

maka kita akan terjerembab ke dalam psikologisme yang bukan saja keliru tapi juga sangat tidak bertanggung jawab karena justru

akan mengaburkan persoalan sesungguhnya. Sikap skeptis atau

sinis di atas untuk waktu yang cukup lama sangat dominan dan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis antara psikologi

dan ilmu sosial lainnya serta menempatkan psikologi dalam

posisi yang sulit untuk berinteraksi dengan ilmu sosial

lainnya.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 13: INDONE PSIKOLOGI SIA

9

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

….psychology has become a psychology of private life, and at the same time it has managed to transform its practitioners into members of a private club. ….It certainly cannot be said that there is a dearth of important problems: war, profound social change, race and international relations, individual alienation, struggle for political freedom, and technology. One might add the problems created by science, technology and the change of scale in the evolution of our world - and yet there is no trace of any of this in our journals and our textbooks; it is as if the very existence of all these problems was being

denied.⁵ Keadaan di atas bertentangan dengan harapan-harapan yang ada pada awal perkembangan psikologi yang, menurut Moscovici, diharapkan dapat menyumbang pemahaman mengenai the conditions which underlie the functioning of a society and the constitution of a culture. Dengan kecenderungan di atas psikologi telah menarik diri dari diskursus bareng dengan disiplin ilmu sosial lainnya terkait isu-isu sosial, politik, dan ideologis. Psikologi, di antara ilmu-ilmu sosial lainnya telah menjadi secondary science. Pendeknya, dengan hilangnya kompetensi untuk memahami manusia dalam kompleksitas sosialnya ini maka psikologi juga kehilangan relevansinya untuk bicara masalah-masalah sosial.

Pertanyaan ketiga berakar dari keraguan apakah teori, konsep, dan metodologi psikologi yang dikembangkan di suatu tempat memiliki makna dan dapat digunakan atau kompatibel di tempat yang lain. Pertanyaan ini hadir sepanjang masa. Di penghujung abad 19 para mahasiswa AS yang pulang belajar dari Wilhelm Wundt di Jerman ditanya mengenai kegunaan experimental instrospection bagi Era Progresif Amerika Serikat yang sangat pragmatis dan sangat menekankan upaya-upaya membangun masyarakat yang tertib, terkendali, dan teratur. Fungsionalisme (William James) dan Behaviorisme (J.B. Watson) lebih cocok dengan semangat zaman ketika itu. Di sini psikologi dituntut untuk tidak saja memiliki relevansi teoretis, tapi juga relevansi sosial.

Lalu, ketika psikologi menyebar ke luar dunia Barat, maka ia pun dituntut untuk memiliki relevansi kultural.⁶ Diskusi mengenai emic vs etic, culture free vs culture fair, dan berbagai persoalan bias metodologis adalah cerminan dari tantangan untuk menjadi kompatibel di dalam matriks sosial yang berbeda. Lebih jauh lagi, bentuk lain dari upaya menjawab persoalan relevansi ini adalah upaya indigenisasi psikologi yang bermunculan di India, Cina, Filipina, Korea Selatan, dan juga Indonesia.⁷ Pertanyaan tentang kompatibilitas psikologi ini mengakui bahwa mungkin saja pengetahuan psikologi yang berkembang di suatu

⁵ Moscovici, S. (1972). Introduction. Dalam J. Israel and H. Tajfel (Eds), e context of social psychology (pp. 1-13). London, UK.: Academic Press.

⁶ Di Afrika Selatan, misalnya, ada tuntutan bahwa psikologi yang dikembangkan di sana memilki social relevance, cultural relevance, market relevance, dan theoretical relevance. Lihat Wahbie Long (2016)

⁷ Lihat Wahbie Long (2016), A history of “relevance” in psychology untuk diskusi menarik mengenai persoalan relevansi dalam psikologi dalam berbagai konteks dan lapisannya.

“Psikologi telah menarik diri dari diskursus bareng dengan disiplin ilmu

sosial lainnya terkait isu-isu sosial, politik, dan ideologis. Psikologi, diantara

ilmu-ilmu sosial lainnya telah menjadi secondary science. Pendeknya, dengan

hilangnya kompetensi untuk memahami manusia dalam kompleksitas sosialnya ini

maka psikologi juga kehilangan relevansinya untuk bicara masalah-

masalah sosial.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 14: INDONE PSIKOLOGI SIA

10

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

Lebih dari itu, hubungan antara psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya kini diformalkan dalam program-program studi yang menggabungkan keduanya. Program studi semacam itu dapat kita temukan, misalnya, pada program “Human Development and Public Policy” di Georgetown University, Washington DC yang tujuannya melahirkan lulusan yang “well versed in basic processes of human development; highly skilled in research methods, statistics, and policy analysis; and well prepared to apply their knowledge and skills to real public policy issues affecting human development.”

Karya-karya banyak penulis seperti Malcolm Gladwell (jurnalis, bukan psikolog) membuat hasil-hasil penelitian psikologi dikenal masyarakat luas.¹⁰ Penelitian-penelitian psikologi, menurut Brian Hughes (2018):…..affects our lives in so many ways. It is consulted in the design of everything from road safety campaigns, to anti-litter initiatives, to health promotion programmes, to educational curricula, to psychometric test, to household products, to advertising. Politicians cite psychology research when debating policies about childcare, or poverty, or social

tempat berlaku dan sangat relevan untuk tempat tersebut, namun penerapannya di dalam matriks sosial lain belum tentu relevan.

Uraian di atas adalah gambaran sangat ringkas dan generik sifatnya mengenai persoalan relevansi psikologi. Yang ingin ditekankan adalah bahwa pertanyaan mengenai relevansi psikologi bagi masyarakat sudah ada sejak awal psikologi berdiri sebagai disiplin ilmu, dan akan selalu ada, meskipun bentuk dan ragam pertanyaannya bisa berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat lain dan dari satu masa ke masa lain.

Status Psikologi Kini

Dari ketiga pertanyaan terkait relevansi psikologi di atas, masalah epistemologis kini tidak lagi menjadi perhatian. Justru, di kalangan ilmu-ilmu sosial, ada kecenderungan konvergensi, bahkan sinergi teoretis dan metodologis, untuk memahami fenomena manusia yang kompleks. Ada perkembangan yang menarik dalam hal ini di mana cognition, mind, mental model – konsep-konsep yang secara tradisional menjadi domain psikologi – kini menjadi topik penting dalam studi-studi antropologi dan sosiologi.⁸ Bertolak belakang dengan doktrin Durkheim, sebagian antropolog hari ini percaya bahwa makna kultural selalu lahir dua kali, secara internal (dalam pikiran individu) dan eksternal (dalam interaksi antar individu).⁹

“Pertanyaan tentang kompatibilitas psikologi ini mengakui bahwa mungkin

saja pengetahuan psikologi yang berkembang di suatu tempat berlaku dan

sangat relevan untuk tempat tersebut, namun penerapannya di dalam matriks

sosial lain belum tentu relevan.”

“Masalah epistemologis kini tidak lagi menjadi perhatian. Justru, di kalangan ilmu-ilmu sosial, ada kecenderungan

konvergensi, bahkan sinergi teoretis dan metodologis, untuk memahami fenomena

manusia yang kompleks. Ada perkembangan yang menarik dalam hal ini di mana cognition, mind, mental model –

konsep-konsep yang secara tradisional menjadi domain psikologi – kini menjadi

topik penting dalam studi-studi antropologi dan sosiologi.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 15: INDONE PSIKOLOGI SIA

11

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

exclusion, or environmental protection. Even disputes about major constitutional issues such as whether to extend access to abortion or to lower the voting age, will be in�uenced by what psychology research has revealed about the lesson.¹¹

Lebih dari itu, psikolog dan penelitian-penelitian psikologis juga mendapatkan rekognisi tertinggi. Misalnya, dianugerahkannya hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2002 kepada psikolog sosial Daniel Kahneman untuk studi-studinya mengenai pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu pada tahun 2017 Richard aler, seorang behavioral economist, mendapatkan hadiah Nobel di bidang ekonomi untuk studi-studinya dalam bidang perilaku ekonomi.¹² Bukan hanya relevan, psikologi hari ini mempunyai pengaruh yang signi�kan.

⁸ Lihat D'Andrade, R.( 2003). e development of cognitive anthropology. Cambridge, UK: Cambridge University Press.; Zerubavel, E. (1997). Social mindscape: an inivation to cognitive sociology. Cambridge, MA: Harvard University Press.

⁹ Shore, B. (1996). Culture in the mind; cognition, culture, and problem of meaning. Oxford, UK: Oxford University Press.

¹⁰ Lihat misalnya karya-karya Malcolm Gladwell seperti e tipping point; blink; outliers.

¹¹ Hughes, B. (2018). Psychology in crisis. London: Palgrave.¹² Pemenang hadiah Nobel untuk ekonomi tahun 2017

adalah Richard aler, seorang Behavioral Economist yang menulis banyak hal mengenai bagaimana faktor-faktor psikologis menentukan perilaku ekonomi.

Menjadi Psikologi Indonesiayang Relevan dan Tantangannya

Kembali ke persoalan di awal artikel ini, secara generik tak perlu diragukan lagi bahwa psikologi dapat mengambil peran yang signi�kan dalam

mengurus persoalan-persoalan sosial di Indonesia. Sejak berdirinya, Indonesia adalah sebuah proyek psikologis besar. Hendak dicoba dalam mega project ini untuk menciptakan perasaan dalam diri populasi yang begitu besar dan beraneka ragam, yang tersebar ribuan kilometer dari Sabang sampai Merauke, bahwa mereka merupakan bagian dari suatu entitas abstrak bernama Indonesia. Proyek ini pada hakikatnya meminta, sebagai misal, seseorang di Sumatra untuk membayangkan bahwa mereka terikat dalam satu kebersamaan, bahkan persaudaraan (sebagai saudara sebangsa dan setanah air), dengan seseorang di Kalimantan, Jawa, Papua, dan pulau-pulau lain yang terpisah jarak ribuan kilometer, berbeda bahasa dan agama, serta tak pernah bertemu satu dengan yang lain. Indonesia dalam hal ini adalah sebaik-baik contoh dari, meminjam istilahnya Ben Anderson, the imagined community.¹³

Dari sudut kebangsaan, insight psikologis dibutuhkan untuk mengurus imagined community yang kompleks ini. Pengetahuan psikologi dapat membantu mengurus ruang-ruang publik di mana manusia Indonesia yang begitu beragam berinteraksi dan menegosiasikan identitasnya, mengkonstruksi diri, dan mengaktualisasikannya secara individual maupun kelompok. Manifestasi

“Insight psikologis dibutuhkan untuk mengurus imagined community yang kompleks ini. Pengetahuan psikologi dapat membantu mengurus ruang-

ruang publik di mana manusia Indonesia yang begitu beragam

berinteraksi dan menegosiasikan identitasnya, mengkonstruksi diri, dan

mengaktualisasikannya secara individual maupun kelompok.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 16: INDONE PSIKOLOGI SIA

12

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

negatif dari interaksi ini bisa bermunculan dalam bentuk prasangka, ujaran kebencian, kekerasan, dan banyak lagi persoalan kebangsaan lainnya.Lebih dari itu, secara umum insight psikologis dibutuhkan pula untuk memformulasikan kebijakan serta merancang program dan kegiatan pembangunan manusia (human development) Indonesia. Dalam hal ini psikologi yang fokus studinya adalah manusia sejak konsepsi hingga lansia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menyumbang kepada pembuatan kebijakan yang paling efektif dan e�sien untuk memastikan pembangunan manusia yang optimal pada setiap tahapannya.

Untuk memainkan peran-peran di atas, psikologi di Indonesia harus memastikan diri sebagai disiplin yang kompeten dan kompatibel menjawab persoalan Indonesia. Untuk itu menjadi keharusan bagi psikologi di Indonesia untuk memproduksi pengetahuan psikologis yang didasarkan (grounded) pada penelitian-penelitian dengan manusia Indonesia dan menjawab persoalan-persoalan manusia Indonesia. Perlu dicatat bahwa sukses psikologi hari ini bukan tanpa masalah. Brian Hughes (2018), bahkan mengatakan ada krisis dalam psikologi. Sementara semua orang sepertinya mencari jawab atas berbagai persoalan kepada psikologi, riset-riset dalam psikologi mengalami apa yang disebut reproducibility crisis; hanya 36% riset dalam psikologi dapat direproduksi dengan hasil yang sama.

Persoalan reproducibility di atas di Indonesia menjadi lebih parah mengingat hubungan psikologi Indonesia vis a vis psikologi Barat yang harus diakui sampai hari ini masih bersifat hubungan center – periphery yang tidak imbang. Dalam hubungan ini psikologi di Indonesia lebih merupakan pengguna konsep, teori, dan metode yang berkembang di Barat, tanpa ada jarak kritis

(critical distance) yang cukup bermakna. Pertanyaannya, bila konsep dan teori yang dipakai tadi di dalam budaya yang sama saja tidak dapat direproduksi, bisakah konsep dan teori itu dipakai begitu saja di sini?

Persoalan reproducibility sangat terkait dengan database psikologi yang, menurut Henrich et al, sebagian sangat besar datang dari masyarakat WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, Democratic).¹⁴ Analisa yang ia lakukan terhadap jurnal-jurnal utama dalam enam sub-disiplin psikologi menunjukkan bahwa 68% partisipan studi adalah orang Amerika dan 96% datang dari negara-negara industri/maju barat.¹⁵Lebih problematik lagi, partisipan ini pun tidak representatif masyarakat Barat pada umumnya, karena biasanya partisipan yang direkrut dalam studi ini adalah mahasiswa S1 yang ikut dalam studi untuk mendapat poin kredit suatu mata kuliah.

Untuk dapat menjawab persoalan di atas, psikologi dan psikolog di Indonesia harus berbenah diri, dimulai dengan institusi pendidikan psikologi. Fakultas psikologi perlu mengembangkan kurikulum yang mengarah kepada produksi pengetahuan psikologi yang lebih relevan bagi kehidupan bangsa secara luas.Untuk ini diperlukan kemerdekaan berpikir, kreativitas, inovasi, dan eksperimentasi baik di tingkat individu pengajar/peneliti psikologi

¹³ Ben Anderson (1991). e imagined community. New York: Verso.

¹⁴ Henrich, J., Heine, S.J., & Norenzayan, A. (2010). Beyond WEIRD: Towards a broad based behavioral science. Behavioral and Brain Science, 33.

¹⁵ Arnett, J. J. (2008). e Neglected 95%: Why American psychology needs to become less American. e American Psychologists, 63(7), 602-614.

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 17: INDONE PSIKOLOGI SIA

13

MENJADI PSIKOLOGI YANG RELEVAN

maupun di tingkat institusi pendidikan psikologi dalam mende�nisikan dan merumuskan program-programnya. Tantangan paling besar barangkali datang dari birokrasi pendidikan yang sentralistik dan hegemonik yang mendikte hampir semua aspek dan seluruh langkah dalam proses belajar – mengajar psikologi di perguruan tinggi. Mungkin sudah saatnya persoalan de�nisi pendidikan psikologi ini dibicarakan secara tuntas oleh para penyelenggara pendidikan psikologi sehingga ada front bersama (united front) dalam menegosiasikannya dengan regim birokrasi pendidikan tinggi di Indonesia.

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 18: INDONE PSIKOLOGI SIA

14

INFORMASI PRIVAT vs PERNYATAAN PUBLIK:Menimbang-nimbang Sikap Etis Psikolog

terhadap Hasil Asesmen Kandidat Politik/Tokoh Publik

Nani Nurrachman - Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya

Artikel ini ingin memberikan perhatian terhadap masalah boleh tidaknya memublikasikan hasil asesmen psikologis kandidat politik, tokoh publik terutama pada masa-masa pemilihan umum maupun pemilihan kepala

daerah. Perhatian ini diberikan mengingat adanya sikap pro-kontra khususnya di kalangan komunitas psikolog itu sendiri. Di satu pihak menganggap masyarakat berhak mengetahui hasil asesmen tersebut mengingat gaya kepemimpinan serta berbagai kebijakan yang akan dibuat oleh kandidat akan memengaruhi banyak aspek kehidupan dari masyarakatnya. Di lain pihak terdapat permasalahan etis terkait pelanggaran etika dengan memublikasikan hasil asesmen tersebut yang secara prinsip bersifat personal dan rahasia.

Secara ringkas bolehlah kita membicarakan isu-isu masalah psikologis di ranah publik, tetapi bukan sesuatu yang etis untuk memberikan asesmen terhadap seseorang yang bukan (pernah menjadi) kliennya. Hal ini belum termasuk kemungkinan digunakannya hasil asesmen yang dipublikasikan oleh para kandidat yang bersaing untuk saling 'menjatuhkan' lawannya. Kita boleh ingat ungkapan dalam dunia politik yang terkenal '.....tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan bersama (sesaat)'. Yang lebih esensial lagi adalah pandangan umum tentang seseorang yang terpilih untuk diberikan kekuasaan memerintah secara historis adalah seseorang yang dianggap mampu bersikap adil dan demi kepentingan banyak orang. Artinya perilaku

kepemimpinannya merupakan model berperilaku etis dan dengan demikian pula memiliki otoritas moral. Namun apa yang telah kita saksikan, baca serta dengar secara langsung selama kampanye pemilihan umum dan legislatif kemarin ini sempat menunjukkan gejala-gejala yang mengarah melampaui batas-batas kepantasan umum. Mengapa? Marilah kita tengok dan cermati bebarapa hal dalam meletakkan permasalahan ini secara proporsional sesuai dengan profesi kita sebagai psikolog. Pertama, asal mula aturan melarang memublikasikan hasil asesmen psikologis seorang kandidat dan perkembangannya hingga saat ini. Sejatinya untuk melakukan asesmen terhadap

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 19: INDONE PSIKOLOGI SIA

15

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

seseorang yang belum pernah kita temui dan kenal akan sarat dengan masalah etis dan kualitas keilmiahannya. Kita akan menghadapi risiko melakukan kesalahan yang fatal dan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Contoh kasus yang terkenal adalah ketika Senator Barry Goldwater maju dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1964. Ketika itu terdapat artikel di surat kabar dengan judul “Fact : 1,189 psychiatrists say Goldwater is psychologically un�t to be president”. Tindakan ini kemudian dinilai sebagai langkah yang tidak etis oleh American Psychiatric Association ketika itu karena bisa dipandang sebagai menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi psikiater. Senator Goldwater sendiri akhirnya menuntut surat kabar tersebut ke pengadilan yang kemudian memenangkan tuntutannya. Lebih runyam lagi, kondisi sosial politik apapun yang terjadi setelah publikasi ini muncul akibat rumor dan spekulasi yang ditimbulkan olehnya akan menjadi santapan media dan para politisi lainnya. Bukan manfaat dan tujuan pemuatan hasil asesmen tersebut secara publik. Kasus ini pada akhirnya memunculkan apa yang kemudian disebut sebagai Goldwater Rule - yakni psikiater tidak diperbolehkan memberikan asesmen psikologis dengan data sekunder atau opini diagnostik terhadap kandidat politik ataupun tokoh publik lainnya yang masih hidup dan yang bersangkutan tidak pernah diperiksa oleh psikiater tersebut - yang berlaku di kalangan profesi psikiater (Blake, 2016).

Beberapa tahun terakhir ini Goldwater Rule mengalami tentangan dari sejumlah praktisi psikolog bergelar Ph.D dengan mengatakan bahwa Goldwater Rule ini tidak berlaku sepenuhnya bagi profesi mereka dengan memberikan argumentasi bahwa memberikan asesmen dari tokoh-tokoh publik dapat bermanfaat demi kepentingan nasional. Beberapa psikolog bahkan membuat ranking terhadap sifat narsistik sejumlah mantan

“Sejatinya untuk melakukan asesmen terhadap seseorang

yang belum pernah kita temui dan kenal akan sarat

dengan masalah etis dan kualitas keilmiahannya.

Kita akan menghadapi risiko melakukan kesalahan

yang fatal dan menimbulkan kebingungan bagi

masyarakat.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 20: INDONE PSIKOLOGI SIA

16

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

“...not a psychiatric expert opinion” tetapi merupakan

“...a political psychology pro�le”. Bagaimanapun juga setiap orang, tokoh publik, lebih-lebih kandidat politik

memiliki sejumlah aspek psikologis yang dapat dijadikan isu. Untuk inilah maka dalam melakukan asesmen terhadap kandidat politik para profesi

kesehatan jiwa perlu perlu menimbang untung rugi serta dampaknya bagi masyarakat.”

presiden dan berargumen bahwa sifat ini telah memersuasi publik dalam memperjuangkan kebijakan dan legislasi. Kasus mutakhir yang terjadi pada tahun 1990 menyangkut Dr. Jerrold Post seorang psikiater yang melakukan wawancara terhadap sejumlah orang yang mengenal Saddam Hussein secara dekat. Pro�l hasil wawancara ini kemudian disampaikan ke Kongres. Namun muncul beberapa keberatan mengenal pro�l ini mengingat Dr. Post tidak mewawancarai Saddam Hussein sendiri sehingga akurasi analisisnya dipertanyakan. Hal ini dianggap menyalahi aturan yang telah ditentukan. Hak jawab yang diberikan oleh Dr. Post mengatakan bahwa apa yang telah dia lakukan bukanlah “...not a psychiatric expert opinion” tetapi merupakan “...a political psychology pro�le”. Bagaimanapun juga setiap orang, tokoh publik, lebih-lebih kandidat politik memiliki sejumlah aspek psikologis yang dapat dijadikan isu. Untuk inilah maka dalam melakukan asesmen terhadap kandidat politik para profesi kesehatan jiwa perlu menimbang untung rugi serta dampaknya bagi masyarakat (Klitzman, 2016).

Kedua, pemahaman tentang kaitan antara dunia politik dengan psikologi secara umum. Sejauh ini psikologi dipandang sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia sepanjang rentang kehidupannya. Oleh karena perilaku manusia itu luas menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia, baik secara individual maupun kelompok hingga bangsa, maka pemahaman akan titik singgung antara politik dengan psikologi kiranya perlu diketahui oleh mereka yang mengembangkan minat serta melakukan penelitian dalam bidang psikologi politik. Dalam artikelnya yang dimuat di jurnal Political Psychology, Bar-Tal (2001) memberikan uraian pengertiannya tentang psikologi sebagai politik. Sebagai titik tolak apa itu politik ia merujuk kepada empat de�nisi tentang politik yang berasal dari Kamus Oxford Inggris (OED, 1973, Vol 7, h.

1074): "Political actions or practise; policy"; "Political affairs or business; political life"; “e political principles, convictions, opinions, or sympathies of a person or party"; "Conduct of private affairs; politic management, scheming, planning". Ia kemudian membagi uraiannya ke dalam dua fokus besar. Fokus pertama menitikberatkan pada pengertian psikologi: psikologi sebagai pengetahuan tentang politik; psikologi sebagai cerminan politik; psikologi sebagai pengetahuan yang dibatasi oleh politik; psikologi sebagai re�eksi dari politik pribadi seseorang; politik psikologi dan menerapkan psikologi sebagai politik. Singkat kata beberapa pengertian psikologi dalam hubungannya dengan politik ini membicarakan dimensi politik dalam kognisi dan persepsi manusia: pengetahuan, opini, keyakinan, simpati, tindakan dan keterlibatannya dalam kehidupan politik. Fokus kedua menitikberatkan pada psikologi politik yang mencakup: psikologi politik

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 21: INDONE PSIKOLOGI SIA

17

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

sebagai suatu disiplin ilmu guna mempelajari politik secara umum; psikologi politik yang mempelajari proses-proses, peristiwa serta perilaku politik yang spesi�k; psikologi politik sebagai praktik untuk diterapkan dalam kehidupan nyata para praktisi politik. Berbeda dengan psychological pro�ling yang dilakukan pada tahun 1990 terhadap Saddam Hussein, Dr. Jerrold Post sebelumnya telah melakukan pro�l kepemimpinan dari sejumlah pemimpin dunia ketika bergabung dengan CIA. Selama beberapa waktu Dr Post memimpin suatu unit analisis pro�l para pemimpin dunia dengan melibatkan ilmuwan yang berasal dari berbagai latar belakang keilmuan: psikiater, ahli penyakit dalam, psikolog, antropolog, sejarawan dan analis intelijen yang diperuntukkan bagi komunitas intelijen dan pembuat kebijakan tingkat tinggi pemerintahan. Salah satu analisis yang dilakukannya terhadap Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat ketika itu telah membantu Presiden Jimmy Carter untuk menyusun strategi perundingan yang akhirnya membuahkan Perjanjian Perdamaian Camp David pada tahun 1979 (Dekleva, 2018).

Ketiga, menimbang kedudukan psikolog sebagai profesi dengan kode etiknya dalam dunia politik. Hal utama dalam konteks ini adalah kompetensi psikolog ketika melakukan analisis kepemimpinan para kandidat politik ataupun tokoh publik lainnya. Salah satunya adalah metodologi yang dipakai untuk menganalisis yang bukan saja mencakup kemampuan tetapi juga mencakup sifat-sifat atau kepribadian tokoh. Analisis terhadap kemampuan dan kepribadian tokoh pada saat ini cenderung dilakukan dengan memakai pendekatan psikobiogra� secara deskriptif. Data yang dipakai sebagai rujukan biasanya berasal dari berbagai sumber antara lain biogra�, ucapan, liputan media, tampilan dalam berbagai acara, serta informasi dari relasi, teman sejawat tokoh

yang bisa menimbulkan interpretasi bahkan bias yang berbeda-beda. Psikolognya sendiri bahkan besar kemungkinan tidak mengenal ataupun belum pernah berjumpa dengan tokoh yang dianalisisnya. Di sisi lain pemakaian istilah-istilah kejiwaan seperti delusi, narsistik, megaloman dan sejenisnya untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian tokoh akan mudah dirancukan dengan orang lain dengan gejala yang sama yang memang mengalami masalah kejiwaan dan sedang menjalani terapi di mata orang awam. Gejala-gejala yang menggambarkan kesehatan mental orang merupakan isu yang sensitif, baik bagi masyarakat umum maupun bagi kandidat politik atau tokoh publik. Jangan lupa bahwa istilah-istilah kejiwaan ketika membicarakan kesehatan mental mengandung dan mengundang stigma tertentu. Dari perspektif yang berbeda membuat dan memublikasikan analisis psikologis terhadap kandidat politik atau tokoh publik dapat memiliki nilai manfaat bagi masyarakat pemilih. Mereka dapat memilih kandidat ataupun tokoh yang mereka nilai dan rasakan dapat dipercaya memimpin masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik, khususnya bila masyarakat masih terpengaruh oleh kon�ik dan kekerasan sosial masa lalu yang masih dirasakan dampaknya. Situasi ini merupakan problema dilema etik yang seyogyanya disadari oleh psikolog, sebab kepada siapakah tanggung jawab utama psikolog tersebut layak diberikan: kandidat atau masyarakat? Lilienfeld, seorang penulis utama dalam masalah analisis tokoh dan profesor psikologi dari Emory University mengatakan “We reviewed a large body of published scienti�c literature and it clearly showed that examining someone directly is often not necessary if you compile other valid sources of information. Even though it is possible to make reasonably valid psychiatric diagnosis at a distance that doesn't necessarily mean that mental health professional should. Such a diagnosis should only be made with great discretion and after a thorough investigation”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 22: INDONE PSIKOLOGI SIA

18

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

sebagaimana dikutip oleh Aaron Blake dalam surat kabar Washington Post (2016).

Kembali kepada ide pokok dalam tulisan ini serta meletakan uraian di atas secara kontekstual pada masa pemilihan presiden dan pemilihan calon legislatif 2019 Indonesia yang baru saja kita lakukan. Menurut hemat penulis ada satu hal yang perlu dipahami tetapi selama ini terasa terabaikan yaitu tingkat literasi politik dan kedewasaan masyarakat Indonesia dalam berpolitik. Apa yang dimaksudkan di sini adalah perhatian terhadap ikatan psikologis antara kandidat politik, tokoh publik dengan massa pengikutnya. Pertikaian hingga bentrokan massa antar kelompok pendukung kandidat atau tokoh masih terjadi. Budaya masyarakat Indonesia yang memiliki ciri kolektivitas dengan power distance tinggi mengisyaratkan sulitnya tokoh pemimpin, apalagi yang diidolakan, untuk melepaskan diri bilamana secara politik perlu bersikap dan mengambil tindakan yang berbeda dari harapan pengikutnya (Setiadi, 2008).

Selain itu Indonesia masih dalam proses belajar berdemokrasi yang bukan hanya ditandai dalam bentuk penyelenggaran pemilihan presiden dan pemilihan calon legislatif belaka. Demokrasi juga ditandai dengan pembangunan institusi pelayanan publik yang mengakui, memperlakukan dan melayani warganya sebagai sesama manusia. Masih cukup banyak berbagai kebijakan publik yang bersifat diskriminatif. Permasalahan dalam mengimplementasikannya pun di sana-sini masih bersifat tebang pilih. Belum ditambah dengan kesenjangan sosial yang semakin dirasakan meski pertumbuhan ekonomi menggambarkan kemajuan secara positif. Kesemuanya ini meletakkan kondisi kehidupan keseharian masyarakat dalam keadaan yang mudah terpicu berbagai isu, baik yang benar maupun yang hoax. Dikaitkan dengan uraian tentang problema dilema

“Pemakaian istilah-istilah kejiwaan seperti delusi,

narsistik, megaloman dan sejenisnya… mudah

dirancukan dengan orang lain dengan gejala yang sama yang memang mengalami masalah

kejiwaan… Istilah-istilah kejiwaan… mengandung dan mengundang stigma tertentu. Dari perspektif yang berbeda

membuat dan memublikasikan analisis psikologis terhadap kandidat politik atau tokoh publik dapat memiliki nilai

manfaat bagi masyarakat pemilih. Situasi ini merupakan

problema dilema etik yang seyogyanya disadari oleh

psikolog.”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 23: INDONE PSIKOLOGI SIA

19

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

dilakukan. Apalagi pada saat ini Kode Etik Psikologi Indonesia (2010) sedang direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan komunitas psikolog dan masyarakat umum. Pilihan serta keputusan etis pada hakekatnya adalah sikap moral pribadi yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun. Apa yang ingin disampaikan di sini adalah apakah dalam melakukan suatu tindakan yang mengandung dilema etis psikolog sudah mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait, karena pelanggaran etik meski belum tentu terkait dengan aspek hukum tetapi jelas mengandung sanksi moral yang bersumber pada hati nurani masing-masing orang, termasuk psikolog. Bagaimana perubahan Kode Etik Psikologi Indonesia akan dilakukan serta berbekal pengetahuan serta pengalaman perihal isu yang diangkat dalam tulisan ini ada satu hal yang pasti tidak akan berubah yakni apa yang tertuang dalam Pasal 2 Prinsip Umum Kode Etik Psikologi Indonesia yang pada intinya mengakui adanya shared human values antara psikolog dengan para pengguna jasa layanan psikolognya.

etika antara informasi privat dengan pernyataan publik tentang pro�l kandidat politik tokoh publik di atas maka gambaran masyarakat Indonesia kiranya patut dimasukkan dalam pertimbangan etis ketika psikolog hendak memberikan pernyataan terkait pro�l kandidat politik, tokoh publik. Untuk kepentingan apakah dan siapakah pernyataan publik itu diberikan? Apakah untuk masyarakat Indonesia yang beragam, plural tetapi tingkat literasinya masih tergolong rendah agar bisa memilih pemimpin yang kompeten, berintegritas dan dapat dipercaya? Apakah untuk kandidat politik ataupun tokoh publik sebagai upaya penggambaran citra diri positif guna meraih suara pemilih? Apakah untuk psikolog-nya sendiri sebagai pemaparan hasil penelitian di bidang psikologi dan politik yang menjadi minatnya dan atau karena rasa tanggung jawab profesionalnya? Jika ingin dicari landasan etis untuk memikirkan opsi sikap yang akan diambil maka kiranya ethics of care dari Gilligan lebih relevan dipakai sebagai rujukan daripada ethics of justice dari Kohlberg. Bagaimana kita bisa adil jika tidak memiliki kepedulian?

Tulisan ini tidak memiliki intensi untuk memberi penilaian boleh tidaknya atau etis tidaknya pernyataan publik terhadap pro�l kandidat politik

“Untuk kepentingan apakah dan siapakah pernyataan publik itu diberikan? … Jika

ingin dicari landasan etis untuk memikirkan opsi sikap yang akan diambil maka kiranya

ethics of care dari Gilligan lebih relevan dipakai sebagai rujukan daripada ethics of justice dari Kohlberg. Bagaimana kita bisa

adil jika tidak memiliki kepedulian?”

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 24: INDONE PSIKOLOGI SIA

20

INFORMASI PRIVAT VS PERNYATAAN PUBLIK

Bar-Tal, D. (2001): Foreword: Meanings of “Psychology as politics'. Political Psychology, 22, 219-226

Blake, A.(2016): the American Psychiatric Association issues a warning: No psychoanalyzing Donald Trump. e Washington Post, August 7. Diunduh dari: https://www.washingtonpost.com/news/the-�x/wp/2016/08/07/the-american-psychiatric-association-reminds-its-doctors-no-psychoanalyzing-donald-trump/?nodirect-on&utm.term=.8876ade62a42

Dekleva, K.B.(2018). Leadership analysis and political psychology in the 21st Century. e Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, 46(3), 359-363. DOI: https://doi.org/10.29158/JAAPL.003771-18

Klitzman, R. (2016). Should therapist analyze presidential candidates ?. New York Times, March 7. Diunduh dari: https://www.nytimes.com/2016/03/07/opinion/campaign-stops/should-therapist-analyze-presidential-candidates.html

Oxford University Press. (1973). Oxford English Dictionary (OED) 1973. United Kingdom: Oxford University Press.

Himpunan Psikologi Indonesia (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia Himpsi. Jakarta: HIMPSI

Setiadi, B. (2008, 31 Oktober). Relevansi psikologi lintas-budaya dalam memahami kepemimpinan global. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Psikologi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Daftar Pustaka

ISU PSIKOLOGI TERKINI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 25: INDONE PSIKOLOGI SIA

21

Hamdi Muluk:

Asesmen tokohpolitik itubeda denganmedical report!

Wawancara khususdengan Prof. Dr. Hamdi Muluk

Prof. Dr. Hamdi Muluk. Dokumentasi Temilnas IPS 2019, Prodi Psikologi UNS

Psikologi Indonesia, Solo - Asesmen psikologi terkait kandidat calon presiden dan wakil presiden yang pernah dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia tak jarang menuai pro dan kontra.

Sabtu malam, tanggal 6 April 2019 di sela-sela Musyawarah Nasional Ikatan Psikologi Sosial di Grand Hap Hotel, Solo, reporter psikologi Indonesia,

Rahkman Ardi, melakukan wawancara dengan Prof. Dr. Hamdi Muluk. Dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Hamdi Muluk menjelaskan bagaimana silang pendapat atas hal tersebut dapat terjadi dan juga bagaimana secara metodologis penelitian tersebut dikerjakan. Berikut ini kutipannya.

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 26: INDONE PSIKOLOGI SIA

22

men-tracking, si pejabat itu nggak boleh lagi berlindung, “Tidak ada itu!” Terus bilang, “saya tidak pernah direhabilitasi!” Padahal dia cuma perlu menjelaskan saja, “Saya waktu itu direhabilitasi sekian tahun,” gitu lho. Jadi, nggak perlu lagi dia tanya, “kok dibuka? kan sudah ada di consent saya.” Itu ga ada urusan. Keterbukaan itu dianggap relevan. Penting. Untuk kepentingan publik yang harus terlindungi. Untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi kalo orang ini punya catatan-catatan yang tidak bagus, kita boleh tahu, nggak boleh disembunyikan.

Soal persoalan etik dimana pihak yang dipublikasikan seharusnya ada informed consent terlebih dahulu dan jika memang dipublikasikan seharusnya anonim. Bagaimana Pak?

Nggak. Nggak bisa. Karena percuma. Misalnya begini, saya melakukan analisis terhadap tokoh publik bernama A, terus saya umumkan hasil analisis terhadap tokoh yang berinisial A tersebut, siapa yang mau baca? Aneh saja. Kok tokoh X gitu. Siapa itu tokoh X? Harusnya dibuka karena dia mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Logika itu ngawur banget itu. Anonim itu Ngawur...

Ok, saya mempertegas bahwa logika medis itu sebenarnya tidak bisa digunakan dalam Psikologi Politik karena pertanggungjawaban publik?

Ya, karena kepentingan publik itu lebih besar. Satu lagi, kalau orang berobat ke dokter maka dia harus melakukan serangkaian pemeriksaan medis dan hasilnya di medical report itu harus di-preferential-kan. Nah, sama juga dengan di Psikologi. Orang yang melakukan asesmen Psikologi, mendatangi psikolog, minta dites, interview, diassess segala macem, itu tetep tidak boleh dibuka. Sama dengan KPU. KPU meminta RSPAD melakukan asesmen catatan kesehatan jiwa. Itu asesmen nggak

Apa sih yang membuat bapak tertarik dengan asesmen tokoh politik?

Di luar negeri itu memang lazim publik diberikan informasi segala hal yang berkaitan dengan tokoh-tokoh politik. Nah ini harus dipahami oleh politisi. Nanti saya bahas soal yang dikait-kaitkan dengan kerahasiaan pemeriksaan, termasuk juga terkait ke dokter, dimana kalau orang diperiksa itu harus di apa…

Itu salah satunya tentang aspek kerahasiaan klien, bagaimana Pak jika di Psikologi?

Kalau di kedokteran itu hasil medical report itu nggak boleh dibuka karena kerahasiaan medis. Psikologi kan mau mengambil analogi yang seperti itu. Itu salah assumption. Orang-orang Psikologi harus disadarkan juga. Sementara hak publik juga untuk mendapatkan informasi tentang calon pejabat publik, political leader, calon bupati. Jadi jangan anda tarik analogi medis. Itu logika yang keliru. Nangkap ya? Di semua negara dengan iklim demokratis itu hal yang biasa, ketika orang berani menjadi pejabat publik, menjadi senator, legislator, menjadi walikota, presiden dan segala macamnya, dia harus rela bahwa hal-hal yang mungkin ada implikasinya terhadap kepentingan publik boleh dibuka.

Tanpa ada informed consent tidak masalah?

Tidak masalah, karena dia sudah akan menjadi pejabat publik. Misalnya, kalau ada orang yang tahu dia pernah masuk panti rehabilitasi narkoba ketika waktu di SMA, which is waktu itu dia mungkin pergi ke dokter untuk mendapat terapi. Itu ada informed consent di situ kan.

Lantas?

Tapi, ketika record itu ada dan ternyata orang bisa

HAMDI MULUKWAWANCARA

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 27: INDONE PSIKOLOGI SIA

23

Tidak ada batasan sama sekali yang bisa disampaikan pada publik?

Ah, ini yang nggak. Kalo di luar negeri ya, misalnya saya ngendap-ngendap masuk ke rumah orang, terus saya ketemu surat-surat cinta dengan pacarnya misalnya, ya ini ilegal. Nah, itu saya bisa kena pidana kalau itu saya jadikan dasar analisis kepada dia, karena itu urusan pribadi, privasi. Tapi selama statement-statement itu publik, seperti wawancara, biogra�, ataupun hal-hal yang menjadi domain publik lain yang dianalisis, itu tidak perlu minta persetujuan secara formal.

Asumsinya berarti segala sesuatu yang sudah menjadi domain publik itu bisa dianalisis?

Ya, itulah model dari Personality at-a-distance itu.

Jika penelitian yang Bapak lakukan rawan conflict of interest bagaimana? Misalnya, digunakan untuk kepentingan kandidat tertentu?

Di luar negeri ya, di Eropa, di Amerika, itu setelah orang publish sebenarnya berlaku asas equal.

Jadi?

Jadi misalnya kubu partai si A akan memakai hasil itu, silahkan. Kubu oposisi juga boleh memakai data itu. No problem. Itu temuan gitu lho. Itu termasuk domain kebebasan akademik. Jadi, orang boleh menolak karena kubu partai tertentu merasa dirugikan. Dia boleh juga membuat atau mencari analisis hal yang lain. Nggak masalah. Jadi itu equal. Hasil itu dilempar ke publik dan yang melakukan studi sudah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan, metodologi. Setelah itu dilihat bagaimana disposisi publik. Kita lihat komentar, kalau si A berkomentar tertentu sah-sah saja. Budaya itu saja yang belum kita munculkan di masyarakat. Sama saja dengan temuan di jurnal.

“Orang yang melakukan asesmen Psikologi,

mendatangi psikolog, minta dites, interview, diassess segala macem, itu tetep tidak boleh dibuka. Sama dengan KPU.

KPU meminta RSPAD melakukan asesmen catatan kesehatan jiwa. Itu asesmen

nggak dibuka ke publik. Cukup KPU yang tahu karena dasarnya yang meminta KPU.

Jadi, dia harus informed consent ke KPU. Tapi kalo

metode psychology at a distance yang menyangkut

data publik berbeda.”

dibuka ke publik. Cukup KPU yang tahu karena dasarnya yang meminta KPU. Jadi, dia harus informed consent ke KPU. Tapi kalo metode psychology at a distance yang menyangkut data publik berbeda. Demi kepentingan publik, publik bisa membuka apapun yang bisa dia buka tentang kandidat ini, masa lalunya, biogra�nya, ucap-ucapannya di publik, semua �le-�le, hal-hal informasi yang tentang orang ini bisa dicari.

Apapun itu?

Apapun itu.

HAMDI MULUKWAWANCARA

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 28: INDONE PSIKOLOGI SIA

24

Dalam bidang ilmu?

Psikologi. Psikologi Politik. Menurut saya yang mendalami bidang itu juga nggak banyak orangnya. Jadi latar belakang akademik dan kompetensi itu selalu ya. Idealnya berlatar belakang Psikologi. Psikologi Politik itu salah satu domain dalam bidang Psikologi. Psikolog politik itu salah satu domain yang areanya besar. Personality Politics itu juga kompetensi yang perlu dimiliki.

Jadi, Psikologi dan Psikologi Politik?

Ya, jadi kalo nggak punya rekam jejak di situ ya kita meragukan lah.

Lantas dari 200 orang yang Bapak pilih itu bagaimana kriterianya Pak?

Oh kalau yang saya sebut di atas itu penting bagi yang menginisiasi studi. Nah kalo studi survei itu bersama-sama dilakukan maka kita membuat consensual validation para pakar. Ya, kalo dalam konteks ini kan saya cuma perlu psikolog. Jadi kita random saja dari daftar yang saya dapatkan dari

“Itu termasuk domain kebebasan akademik. Jadi,

orang boleh menolak karena kubu partai tertentu merasa dirugikan. Dia boleh juga

membuat atau mencari analisis hal yang lain. Nggak

masalah. Jadi itu equal.”

Ada commentary, ada reply terhadap commentary, kan biasa.

Terkait dengan metode. Bapak menggunakan 200 orang psikolog untuk asesmen. Adakah benchmark-nya?

Ada di jurnal-jurnal itu. Tidak hanya psikolog, kadang-kadang juga dosen membuat atau memprediksikan ideologi kandidat.

Historian dan biographer juga terlibat?

Iya. Ada historian juga biographer juga menilai. Ada juga penelitian di Eropa yang menjumpai kalo anggota parlemen yang ditampilkan seperti ini, maka ideologinya apa. Ternyata setelah di cross-prediction itu sampai 0,8 tingkatnya.

Tingkat apa itu Pak?

Akurasinya. Jadi orang sudah bisa melihat dia memang politisi liberal, konservatif, atau politisi macam apa. Itu ada di Political Psychology. Ilmuwan merating itu hal yang biasa. Nah, saya mikirnya, kenapa saya perlu psikolog karena ini menebak personality type, jadi lebih pas itu ilmuwan behavioral. Begitu saja asumsi saya, ketimbang saya mencari ilmuwan politik.

Tidak ada keterlibatan historian atau biographer?

Nggak. Historian, biographer saya letakkan di depan untuk menemukan tata rater nya dulu. Tapi interpretasi personalitynya lebih pas psikolog lah.

Kalau menurut Bapak, ada tidak aturan jika seseorang mau melakukan asesmen terhadap kandidat politik? Ada batasan kompentensi atau kualifikasi yang harus dipunyai?

Iya, saya kira paling nggak dia punya track record dalam ilmu ini.

HAMDI MULUKWAWANCARA

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 29: INDONE PSIKOLOGI SIA

25

fair-fair aja menurut saya. Nah, saya perlu jumlah agak besar dari psikolog sebagai perater itu. Kalo cuma rating dari 10 orang itu bias, tapi kalau dari 204 orang bisa dapat hasil secara konsisten gitu lho. Dan itu sedikit outlayer nya.

Orang-orang yang menjadi kriteria psikolog yang bisa merater?

Sudah praktek, minimal 10 tahun. Jadi dia sudah terdaftar jadi psychology practitioners sudah 10 tahun. Ketika 200 psikolog itu sudah praktek rata-rata 10 tahun lantas diberikan protokol dan satu-satu merating, itu consensual validation-nya tinggi.

Oke, 204 itu dipilih secara acak? Apakah mereka dari latar belakang Psikologi klinis, perkembangan, pendidikan?

Acak itu. Pokoknya dia praktek dan ada di database HIMPSI. Waktu itu kita random 500 kalo ga salah. Cuma tidak semua orang sempat. Sampai terakhir itu, saya menunggui sampai 250. Sudahlah karena kalo saya menunggu sampe 250, momen pilpres sudah lewat. Waktu itu dibilang, “kenapa mempublish dan itu di suasana pilpres? kenapa nggak setelah pilpres itu setahun?” Ya, nggak ada gunanya lah. Hasilnya itu memang buat referensi publik, ada calon A, ada calon B. Kalau saya publish setelah pemilu setahun, hahaha, siapa juga yang berminat? Gunanya buat apa? Ini menunjukkan bahwa kita tidak punya social responsibility. Kita kan boleh melakukan dan mempublish itu ya, sepanjang ini semua punya pertanggungjawaban akademik. Yang nggak boleh itu menggadaikan kredibilitas, data kita rubah rubah dan segala macem. Ini justru bagian yang perlu dibangun bahwa kita sebagai ilmuwan tidak berada di menara gading.

HIMPSI Jaya. Waktu itu kita sampling 250an itu. Dan kami mendapatkan Respondennya 204. Itu sudah memadai sebetulnya kalo itu dari segi penelitian pakar. Beda dengan penelitian yang menggunakan rater masyarakat umum, seperti public opinion. Kalau yang penilaian masyarakat awam ya jumlahnya bisa 1200, 1500. Kalau ilmuwan, tenaga ahli, psikologi terbatas. Ini psikolog penilaian profesional.

Sebenarnya ini profiling atau persepsi psikolog Pak jadinya?

Ya bisa dibilang begitu. Jadi metodologinya, saya di tim punya 10 psikolog senior yang mempelajari seluruh data-data publik, seperti biogra�, pidato, wawancara. Setelah itu, kita mencari critical-critical event. Nah, psikolog disuruh membaca dan merating, dengan indikator-indikator yang sudah ada ini. Menurut mereka lebih tepat seperti apa. Kalo dari 200 responden itu skornya bisa tinggi, ya saya bisa con�dent bahwa orang (kandidat) ini personality nya lebih deket ke sini.

Ada kandidat yang dianggap lebih stabil dibanding kandidat lain, apa yang dimaksud stabil Pak?

Ya stabil saat momen-momen krusial.

Stabil emosi?

Ya, emosi. Ini emotional stability. Menurut psikolog atau perater, mereka membandingkan kandidat tersebut kira-kira sampai berapa. Kita kasih pro�l yang bisa dibuka dalam 20 tahun terakhir dan mereka menilai dalam momen tertentu mana yang lebih stabil dan ga stabil. Menurut saya sih fair-fair aja lah, ketika merating dia membuat perbandingan. Kalo dia mengatakan, saya memberikan skor 8 untuk kandidat 1, pada momen ini kandidat 2 cuma 6,

HAMDI MULUKWAWANCARA

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 30: INDONE PSIKOLOGI SIA

26

Bapak acuannya biasanya menggunakan siapa Pak kalo membuat Psychology at-a-distance?

Itu kan pelopornya Margareth Hermann, judul bukunya itu Personality Assesment. Selain itu, Jerrold Post, Peter Suedfeld, David Winter. Jerrold Post ini yang bikin Narcissism in Politics. Itu sama dia, Trump kan dibuka lagi. Kalau di luar negeri itu sesuatu yang aman. Kita aja yang ribut gitu lho. Ini Jerrold Post, 30 tahun, bekerja sembari menjadi profesor Psikologi/Psikiatri. Itu metodenya sama tapi dia plus data-data intelijen. Oh ya, yang terakhir anda baca nggak? Yang dari Amerika Serikat membuat buku e Dangerous Case of Donald Trump. Itu lebih keras lagi mereka bicara. Nanti kalo orang lain misalnya membuat buku tandingan ya buat aja.

“Ilmuwan merating itu hal yang biasa. Nah, saya

mikirnya, kenapa saya perlu psikolog karena ini menebak

personality type.”

Kemarin di awal tahun tulisan J. Kristiadi juga sempet rame ya Pak?

Oh, itu, Kristiadi itu cuma punya �le yang lama, terus dia kutip. Ya, sebagai ilmuwan politik dia merasa publik harus tahu. Ya dia kutip saja itu. Terus dia tanya ke saya, “Prof, nanya dong. Pertanyaan tunggal saja. Personality orang berubah tidak dalam 5 tahun?” Ya, tidak berubah lah saya bilang. Jadi dia merasa masih relevan.

Jadi, anggapannya personality nya masih stable?

Dia bilang, “Itu masih stable nggak?” Saya bilang stable lah. Ya sudah dikutip sama dia.

Berarti data penelitian Bapak ini sebenarnya bisa diakses ya Pak?

Bisa. Bisa kalau anda mau ke tempat saya. Datanya masih ada. Saya simpan. Boleh silahkan. Tapi kalau data kasar kita lempar ke publik, dia ga tau how to use it. Itu malah jadi kacau. Dimana-mana kan begitu, kalau anda minat, anda boleh datang, anda lihat.

HAMDI MULUKWAWANCARA

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 31: INDONE PSIKOLOGI SIA

27

HIMPSI Perlu MembangunEpistemic CommunityPsikologi Indonesia, Solo - Gelar acara “Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial ke-9 2019” bertajuk “Peran Psikologi Sosial dalam Pemecahan Masalah Sosial dan Perencanaan Publik” dilaksanakan 5-7 April 2019. Dalam acara tersebut, Yanuar Nugroho, Ph.D. selaku Kepala Deputi II Staff Kepresidenan Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas menyampaikan beberapa permasalahan di tingkat global yang tere�eksi di tingkat nasional dan bagaimana proses pembuatan kebijakan oleh Pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, Yanuar mengungkapkan harapan agar Psikologi dapat memberikan

kontribusi nyata dalam kebijakan publik yang diusung pemerintah. Harapan tersebut disampaikan pada sesi sesorah-nada-dasar (keynote speech) (6/4) berjudul “Memahami Pembangunan dan Kebijakan: Re�eksi tentang Manusia, Pembangunan, dan Kemajuan”.

“Kita memasuki zaman baru dimana pola produksi itu berubah. Sekarang mesin ke mesin, bukan manusia ke mesin. Hal yang penting dibahas untuk membuat kebijakan adalah mau kemana arah pembangunan manusia ini?,”ujarnya.

Dr. Arief Budiarto, DESS,Ketua IPS Periode 2014-2019 dalam

sambutannya pada Temilnas IPS ke-9.Dokumentasi Temilnas IPS 2019,

Prodi Psikologi UNS

LIPUTAN KHUSUS

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 32: INDONE PSIKOLOGI SIA

28

Ia melanjutkan, bahwa terdapat perbedaan logika yang digunakan antara akademisi dan pembuat kebijakan publik. “Dalam �lsafat, yang ada di ruang akademik itu bekerja dengan logika akademik. Jadi pembuatan riset, basic-nya academic logic. Sementara kebijakan itu base-nya logic of politic; dalam bahasa latin non-sikuitur (alias) tidak nyambung,” tuturnya. Hal ini, menurut Yanuar, berbeda dengan kondisi di negara maju. Di sana, pembuat kebijakan merupakan individu yang terdidik secara akademik sehingga terbiasa membaca kajian riset walaupun mereka masih mempertimbangkan aspek politik. Yanuar menambahkan bahwa permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ilusi bahwa dunia akademik akan memperbaiki kebijakan publik, padahal keduanya domain yang terpisah. Namun, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan membuat policy brief. “Ini ilmu baru ke depan, science communication dan policy communication; mengomunikasikan policy dan mengomunikasikan ilmu,” ungkapnya. Ia mengharapkan HIMPSI dapat menjadi mediator dalam mendekatkan

kedua dunia ini. Tantangan berikutnya yang harus dihadapi HIMPSI dan peneliti Psikologi Sosial adalah kenyataan bahwa ilmu sosial menjadi norma bagi pemerintah. Saat inilah, peran HIMPSI untuk membentuk epistemic community diperlukan dalam membuat kebijakan publik yang didasarkan pada bukti ilmiah. Epistemic community adalah pihak yang secara keilmuan bisa menjadi acuan pengambilan keputusan pada perumusan kebijakan publik. Contoh kasus yang disampaikan Yanuar yaitu ketika gunung api meletus, peneliti asing sudah berada di lokasi dan mendapat publikasi ilmiah sementara Indonesia hanya mendapat abu. “Ini area research yang luar biasa tapi epistemic community-nya tidak cukup,” ucapnya. Yanuar juga menekankan adanya persoalan inheren ketika psikologi turun untuk menjadi program pembangunan lewat kebijakan tanpa adanya epistemic community. Dalam sesi panel (6/4), Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si (Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS) dan Prof. Dr. Hamdi Muluk,

Dr. Yanuar Nugrohodalam sesi keynote Temilnas IPS 2019.Dokumentasi Temilnas IPS 2019,Prodi Psikologi UNS

HIMPSI Perlu MembangunEpistemic CommunityLIPUTAN KHUSUS

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 33: INDONE PSIKOLOGI SIA

29

HIMPSI Perlu MembangunEpistemic CommunityLIPUTAN KHUSUS

“Policymaker itu tidak memiliki pengetahuan terkait dengan persoalan yang Bapak Ibu teliti. Tapi karena kedudukannya, ia punya tanggung jawab membuat kebijakan terkait persoalan itu,” terang Ismi. Hamdi menambahkan bahwa kolaborasi lintas akademik sangat penting dalam dunia publik. “Kita harus punya kemampuan bridging karena kita ketemu ekonom, ahli hukum, dan sosiolog. Kita harus paham bahasa mereka karena penting dunia publik kita ini diurus oleh kolaborasi banyak ilmu,” kata Hamdi. Hal serupa, juga disampaikan Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si (Dosen Fakultas Psikologi UGM) pada sesi panelnya (7/4). Avin menyampaikan bahwa tantangan global yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa berkontribusi terhadap diversity science; atau mengembangkan diri sebagai sains yang mengakui pluralitas dan multikulturalisme. Avin juga menekankan pentingnya menyoroti perubahan sosial yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan inovasi guna membangun sustainable society. Perkembangan zaman yang ada saat ini tidak bisa lepas dari perhatian peneliti psikologi sosial. Yanuar berharap HIMPSI dan psikologi sosial dapat berkontribusi dalam perumusan sebuah kebijakan publik. “Jumlah handphone di Indonesia 9 kali lipat jumlah penduduk Indonesia. Paling banyak digunakan (untuk) media sosial. Kenapa tidak misalnya HIMPSI membuat podcast channel berisi kuliah singkat tentang psikologi sosial? Ini zamannya, ini zaman baru,” kata Yanuar. Menurutnya, penting bagi HIMPSI dan psikologi sosial untuk menginternalisasikan kemajuan zaman untuk membuat kebijakan publik. “Zaman berubah, orangnya berubah, cara kerjanya berubah, konteks masalahnya berubah, tapi esensinya sama,” pungkas Yanuar. (Fauzan, Diah, Ardi)

M.Si (Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) menjelaskan bagaimana menjembatani antara dunia akademik dan dunia kebijakan publik. Ismi menyampaikan problem kontribusi ilmu pengetahuan dalam pembuatan kebijakan. Problem tersebut, menurut Ismi, adalah keengganan pembuat kebijakan menggunakan hasil riset peneliti. Di sisi lain, peneliti terjebak pada persoalan metodologis yang kering dari persoalan yang ada di kebijakan publik. Hamdi menyampaikan hal senada terkait potensi psikologi untuk terlibat dalam kebijakan publik. “Semua bidang Psikologi bisa di lingkungan publik asal anda ngerti bagaimana membuat implikasi dari semua riset anda. Setiap isu itu kita cari basis-basis Psikologinya, behavioral assumption,” ujarnya. Dalam usaha menjembatani dunia akademik dengan kebijakan publik, Ismi menjelaskan bahwa peneliti perlu mengetahui proses perumusan sebuah kebijakan publik. “Salah satu hal yang harus dilakukan (peneliti) adalah analisis kebijakan publik,” ujarnya. Proses analisis kebijakan publik tidak harus rumit, melainkan bisa dilakukan dengan berjejaring dengan banyak pihak untuk mengidenti�kasi ada tidaknya persoalan. “Mekanisme pembuatan kebijakan harus diawali ada tidaknya masalah, dan identi�kasi ini harus didukung riset sehingga dapat dilihat hasil pelaksanaan kebijakan selama ini,” terang Ismi. Selain itu, analisis kebijakan perlu memperhatikan beberapa aspek dari kebijakan. “Kebijakan yang akan diidenti�kasi itu, (termasuk yang) sifatnya top-down atau bottom up? Di ranah presiden atau daerah? Beda caranya. Banyak yang bisa kita identi�kasi sebagai sumber problem sosial,” lanjut Ismi. Terkait dengan pembuatan policy brief sebagai langkah komunikasi hasil riset kepada pembuat kebijakan, Ismi menyarankan policy brief disusun singkat (2-4 halaman) dengan sasaran yang jelas.

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 34: INDONE PSIKOLOGI SIA

30

Psikologi Indonesia, Solo - Prof. Dr. Fendy Suhariadi, Psikolog sebagai Direktur Utama LSP Psikologi Indonesia berkesempatan menyampaikan informasi tentang keberadaan lembaga baru pada sesi panel Temu Ilmiah Nasional IPS 2019 (7/4). Prof. Fendy mengatakan bahwa setelah melalui proses yang sangat panjang, lembaga serti�kasi profesi yang memberikan serti�kasi kompetensi bidang kerja profesi Psikologi akhirnya berdiri secara sah dan diakui oleh negara melalui Badan Nasional Serti�kasi Profesi (BNSP). Lembaga itu diberi nama Lembaga Serti�kasi Profesi Psikologi Indonesia (LSP-PSI) dan telah mendapatkan lisensi dari BNSP melalui Keputusan Ketua BNSP Nomor KEP.1174/BNSP/XI/2018. Pendirian lembaga ini sudah digagas sejak 12 tahun yang lalu oleh Dr. Rahmat Ismail, Psikolog, yang waktu itu menjadi Ketua Umum PP HIMPSI. Proses untuk merealisasikannya juga sudah dilakukan oleh HIMPSI periode kepemimpinan Dra. Retno Suhapti, S.U., M.A., Psikolog.

Tidak mudah mendirikan lembaga serti�kasi profesi di bidang Psikologi, karena setidaknya dua alasan sebagaimana disampaikan oleh Dr. Seger Handoyo, Psikolog, Ketua Umum PP HIMPSI saat ini, “Alasan pertama, bervariasinya layanan profesi Psikologi sehingga tidak mudah untuk menyusun skema kompetensi. Banyak pilihan

skema yang dapat dipilih dan hal itu terkadang membingungkan. Alasan kedua, ada beberapa perubahan dalam regulasi, baik di BNSP maupun di Kementerian Tenaga Kerja, yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian yang terkadang tidak mudah.” Beliau menambahkan, “Berkat komitmen dan konsistensi para penyusun skema kompetensi dari lima asosiasi/ikatan minat di bawah HIMPSI, maka skema kompetensi berhasil diselesaikan. Kelima asosiasi/ikatan minat tersebut adalah Ikatan Psikologi Sosial (IPS), Asosiasi Psikologi Industri dan Organsisasi (APIO), Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI), Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI), dan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR).”

Dr. Seger Handoyo, Psikolog selanjutnya juga menjelaskan bahwa LSP Psikologi Indonesia yang didirikan oleh HIMPSI tergolong LSP P3. LSP P3 adalah LSP umum yang dapat dibentuk oleh asosiasi industri atau asosiasi profesi. Skema kompetensi yang dipergunakan oleh LSP Psikologi Indonesia dibuat berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh HIMPSI dan diregistrasi oleh Kemenaker melalui Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Nomor KEP.303/LATTAS/IX/2018 tentang Registrasi Standar Khusus Bidang Penelitian dan Pengembangan Psikologi pada Himpunan Psikologi Indonesia. Dengan demikian, standar

LSP Psikologi Indonesia:Pengakuan KompetensiBidang Psikologi

LIPUTAN KHUSUS

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 35: INDONE PSIKOLOGI SIA

31

Manusia, (4) Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas, (5) Psikolog Industri dan Organisasi, (6) Psikolog Forensik, dan (7) Psikolog Sekolah. Empat skema kompetensi yang pertama dapat

diambil oleh lulusan Pendidikan Sarjana Psikologi (S1), sedangkan tiga skema lainnya mensyaratkan Psikolog, yang dibuktikan dengan kepemilikan Serti�kat Sebutan Psikolog (SSP). Prof. Fendy Suhariadi mengajak asosiasi/ikatan minat lain untuk membuat skema kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya skema yang terkait dengan kebencanaan, kesehatan, olahraga, dan sebagainya.

Selanjutnya Prof. Fendy Suhariadi, Psikolog juga mengajak berbagai lembaga seperti HIMPSI Wilayah, Asosiasi/Ikatan minat keilmuan dan/atau praktik spesialisasi Psikologi, fakultas, jurusan atau program studi Psikologi, lembaga psikologi, dan sebagainya untuk bekerjasama dan memberikan dukungan bagi perkembangan profesi Psikologi di Indonesia melalui LSP Psikologi Indonesia. Bentuk kerjasama dan dukungan tersebut antara lain, fakultas atau program studi bekerjasama agar lulusannya dapat mengikuti uji kompetensi dan terserti�kasi, menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK). Informasi lebih lanjut dapat dilihat di web lsppsi.co.id atau menghubungi pengurus LSP Psikologi Indonesia melalui email [email protected]. (Fauzan, Diah, Ardi)

Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni (kiri) dan Prof. Dr. Fendy Suhariadi (kanan) dalam sesi panel Temilnas IPS 2019.

Dokumentasi Temilnas IPS 2019, Prodi Psikologi UNS

LSP Psikologi Dorong DukunganAsosiasi dan UniversitasLIPUTAN KHUSUS

kompetensi yang dipergunakan oleh LSP Psikologi Indonesia adalah Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3). Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) dalam registrasi tersebut berbeda dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Perbedaan pertama, standar kompetensi dalam SK3 berlaku khusus di lingkungan HIMPSI dan pemberlakukannya ditetapkan oleh Ketua Umum HIMPSI.

Oleh karena itu, Prof. Fendy Suhariadi, Psikolog menyatakan bahwa jika individu ingin mengambil serti�kat kompetensi di LSP Psikologi Indonesia, maka yang bersangkutan harus tercatat sebagai anggota HIMPSI dalam Sistem Informasi Keanggotaan (SIK HIMPSI). Ditekankan pula bahwa pihak lain yang ingin menggunakan SK3 yang telah diregistrasi oleh Kemenaker di atas, baik sepenuhnya atau sebagian untuk diadopsi, harus mendapatkan persetujuan penggunaan dari Ketua Umum PP HIMPSI.

LSP Psikologi Indonesia dibentuk oleh HIMPSI untuk menjawab tantangan akan kebutuhan competency based management system, serta untuk kebutuhan pendidikan berkelanjutan di bidang psikologi.

LSP Psikologi Indonesia saat ini mempunyai 7 (tujuh) skema kompetensi, yaitu (1) Asisten Psikolog, (2) Asisten Psikolog Forensik, (3) Konsultan Psikologi bidang Sumber Daya

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 36: INDONE PSIKOLOGI SIA

32

Pendidikan Psikologi nan NeoliberalTeguh Wijaya Mulya - Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Konferensi tingkat tinggi ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur 22 November 2015 menjadi saksi dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal. Sepanjang tahun 2015-2016, diskusi dan kekhawatiran

seputar MEA telah mewarnai media massa dan percakapan sehari-hari di Indonesia. Salah satu kekhawatiran itu adalah apakah produk, jasa, buruh, dan tenaga kerja profesional Indonesia dapat bersaing dengan negara ASEAN lain. Respon yang umum terhadap kekhawatiran ini adalah berusaha meningkatkan daya saing bangsa, terutama melalui pendidikan yang menjawab tuntutan ekonomi global. Berbeda dengan respon umum tersebut, artikel ini menawarkan analisis kritis seputar kesalinghubungan antara politik pasar bebas global dan pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu melalui konsep neoliberalisme.

Neoliberalisme adalah agenda transformasi ekonomi dan sosial menuju pasar bebas. Pemerintahan neoliberal cenderung mendukung perdagangan bebas, pengurangan pajak, dan privatisasi layanan publik. Neoliberalisme membatasi peran negara dalam regulasi ekonomi kapitalis dan menyerahkannya ke mekanisme pasar bebas, termasuk dalam aspek-aspek kehidupan sosial-politik-psikologis. Perluasan logika dan mekanisme pasar dapat dilihat misalnya dalam penggunaan istilah dan praktik jual-beli di bidang-bidang yang dulunya tidak diasosiasikan dengan laba dan komersialisasi seperti pendidikan dan kesehatan. Pada tataran psikologis, neoliberalisme mende�nisikan keberartian manusia melalui gaya hidup konsumtif dan komersial. Individu yang kompetitif, entrepreneurial, dan berfokus pada keuntungan sendiri menjadi cara utama

ARTIKEL ILMIAH POPULER

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 37: INDONE PSIKOLOGI SIA

33

ARTIKEL ILMIAH POPULER Pendidikan Psikologi nan Neoliberal

memahami diri dan relasi dengan orang lain. Pendidikan pun diarahkan untuk me(re)produksi cara pandang dan cara hidup neoliberal ini.

Dalam konteks pendidikan tinggi global, neoliberalisme bermanifestasi dalam ide-ide dan praktik-praktik yang kini dianggap lumrah seperti korporatisme, otonomi keuangan, kompetisi mendapatkan mahasiswa dan dana, serta akuntabilitas berbasis standardisasi/audit. Di Indonesia, salah satu momen utamanya adalah desentralisasi dan privatisasi lima universitas negeri di tahun 1999, yaitu UI, UGM, UnDip, ITB, dan IPB. Implikasinya, universitas-universitas ini harus bersaing menghasilkan laba sendiri karena subsidi pemerintah dikurangi. Bertambahnya otonomi keuangan ini diikuti dengan rezim audit, standardisasi, dan manajerialisme yang lebih kuat, dan yang juga diterapkan ke semua 3015 universitas swasta dan 88 universitas negeri di seluruh Indonesia. Rezim audit ini bertambah dominan seperti tercermin dalam meningkatnya peran dan otoritas Badan Akreditasi Nasional - Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang menetapkan standar-standar akademik dan manajerial, serta mengaudit semua program studi di Indonesia.

Artikel ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana neoliberalisme beroperasi di konteks pendidikan tinggi psikologi Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, setidaknya tujuh dokumen diunduh dan dianalisis: (a) borang akreditasi program studi sarjana dari BAN-PT 2009, (b) anggaran dasar AP2TPI 2011, (c) surat keputusan AP2TPI 2015 tentang kurikulum pendidikan tinggi psikologi, (d) dokumen keputusan rapat AP2TPI yang ke 20 tahun 2010, (e) landasan hukum KKNI 2015, (f ) panduan penelitian dan pengabdian pada masyarakat dari Dirjen DIKTI 2016, dan (g) panduan riset inovatif dan produktif dan LPDP 2016. Selain itu, metode re�ektif juga

digunakan, yaitu interpretasi dan re�eksi yang berhati-hati pada pengalaman peneliti sendiri sebagai dosen psikologi di Indonesia.

Hasil analisis menunjukkan ada setidaknya tiga wacana neoliberal yang beroperasi melalui kebijakan pendidikan tinggi psikologi di Indonesia, yaitu orientasi pasar, daya saing (competitiveness), dan audit/standardisasi. Wacana-wacana ini juga bermanifestasi dalam praktik pendidikan sehari-hari dalam 10 tahun pengalaman peneliti menjadi dosen psikologi di Indonesia.

Orientasi Pasar. Agar dapat “menjual dirinya” dan bertahan hidup di pasar bebas, universitas neoliberal harus menawarkan produk dan jasa yang cocok dengan keinginan “konsumen,” pemangku kepentingan, dan penyandang dana, yaitu orang tua, pemerintah, perusahaan, atau sumber pemasukan lain. Universitas juga harus mampu “menjual” lulusannya ke pasar tenaga kerja dan membangun reputasi sebagai penyedia angkatan kerja terampil. Orientasi yang kuat pada pasar tenaga kerja global ini telah mendasari berbagai kebijakan pendidikan tinggi psikologi seperti dalam dokumen AP2TPI dan KKNI. Dalam bagian pembukaan anggaran dasar AP2TPI 2011 misalnya, dinyatakan bahwa tujuan pendirian asosiasi ini adalah kebutuhan untuk “merumuskan sistem pendidikan psikologi di Indonesia yang antisipatif dengan perkembangan yang ada, khususnya dalam menghadapi pasar bebas” (p. 4). Hal ini menunjukkan bahwa sejak pendiriannya AP2TPI telah menjadikan pasar bebas global sebagai alasan utama merumuskan sistem pendidikan psikologi di Indonesia. Senada dengan hal tersebut, dokumen landasan hukum KKNI 2015 (p. 4) menjelaskan bahwa salah satu tujuan ditetapkannya KKNI adalah untuk “mendorong peningkatan mutu dan aksesibilitas

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 38: INDONE PSIKOLOGI SIA

34

ARTIKEL ILMIAH POPULER Pendidikan Psikologi nan Neoliberal

sumberdaya manusia Indonesia ke pasar kerja nasional dan internasional,“ sehingga universitas bertanggung jawab untuk “menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu bagi sektor-sektor industri, dunia usaha atau pemerintahan“ (p.3). Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa pola pikir para pembuat kebijakan pendidikan tinggi – termasuk psikologi – telah didominasi oleh orientasi bisnis dan industri. Pendidikan tinggi diposisikan semata-mata sebagai produsen pekerja-pekerja handal yang siap diserap ke pasar tenaga kerja. Hal ini terwujud pula dalam salah satu standar akreditasi BAN-PT 2009 (Standar 3.3.2) yaitu kecepatan lulusan terserap ke angkatan kerja. Makin pendek waktu tunggu lulusan mendapatkan pekerjaan, makin tinggi nilai akreditasinya.

Pada ranah kurikulum, kebijakan berorientasi pasar tenaga kerja ini terlihat dalam bagaimana prospek kerja lulusan menjadi titik awal dan titik akhir seluruh proses pembelajaran - dari capaian pembelajaran hingga penilaian. Surat keputusan AP2TPI 2015 tentang kurikulum pendidikan tinggi psikologi pasal 2 ayat 2, misalnya, memaparkan sepuluh prospek kerja sarjana psikologi sebagai dasar mengembangkan capaian pembelajaran yang terstandar. Di ujung yang lain, luaran pembelajaran juga dide�nisikan terkait prospek kerja lulusan. Sebagai contoh, standar akreditasi 3.3.3 BAN-PT 2009 mengevaluasi kualitas program studi berdasarkan banyaknya lulusan yang bekerja di bidang yang relevan. Kurikulum dianggap baik ketika menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja, dan seluruh usaha memperbaiki kurikulum diarahkan pada satu hal ini.

Wacana dominan orientasi pasar di pendidikan tinggi Indonesia membawa dampak positif dan negatif. Di sisi positif, studi-studi sebelumnya

telah menunjukkan bahwa pendidikan tinggi yang berorientasi pasar telah membuat universitas-universitas memperhatikan kebutuhan mahasiswa dan orang tua mereka, meningkatkan kualitas luaran bukan hanya mencari input berkualitas, dan menghasilkan penelitian atau produk yang bermanfaat praktis. Orientasi ini juga mendekatkan universitas-universitas dengan bisnis dan industri, sehingga lebih mudah bagi lulusannya untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi negatif, fokus yang kuat pada komersialisasi menghambat kreativitas dan pola pikir kritis para peneliti. Wacana orientasi pasar juga mendorong mahasiswa untuk “menjual dirinya” ke perusahaan-perusahaan pencari laba, sehingga pekerjaan penting lain yang lebih rendah gajinya, seperti aktivis LSM atau pekerja sosial, diposisikan sebagai kelas dua. Obsesi pada gaji tinggi dan orientasi pada keinginan pasar juga menghasilkan pengabaian terhadap praktik-praktik tidak etis di perusahaan, seperti pengupahan di bawah UMK atau diskriminasi berbasis etnis dan kemenarikan �sik. Sayangnya tujuan pendidikan tinggi psikologi ternyata bukan menciptakan manusia yang berani menentang ketidakadilan dan diskriminasi, tetapi mencetak individu-individu yang berfokus pada kepentingan diri sendiri dan siap bersaing di pasar bebas – demi uang, status, dan prestasi.

“Orientasi ini juga mendekatkan universitas-universitas dengan

bisnis dan industri, sehingga lebih mudah bagi lulusannya untuk

mendapatkan pekerjaan. Di sisi negatif, fokus yang kuat pada komersialisasi menghambat

kreativitas dan pola pikir kritis para peneliti...”

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 39: INDONE PSIKOLOGI SIA

35

ARTIKEL ILMIAH POPULER Pendidikan Psikologi nan Neoliberal

Daya saing (Competitiveness). Neoliberalisme mengagung-agungkan individu yang kompetitif dan organisasi yang agresif mengejar status dan laba di pasar bebas. Dalam konteks pendidikan tinggi, universitas dikompetisikan satu sama lain untuk mendapatkan mahasiswa dan dana. Persaingan dan daya saing telah diposisikan sebagai kualitas yang diinginkan dan mendasari kebijakan dan praktik pendidikan tinggi psikologi di Indonesia.

Sebagai contoh, Direktur Utama LPDP memulai paparannya di universitas saya dengan menunjukkan Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia yang rendah dibandingkan negara ASEAN lain sebagai alasan utama berinvestasi dan meningkatkan sistem pendidikan tinggi Indonesia. Retorika seperti ini lumrah dijumpai dalam dokumen-dokumen kebijakan pendidikan tinggi, seperti istilah “daya saing bangsa” yang mendominasi anggaran dasar AP2TPI 2011, landasan hukum KKNI 2015, dan panduan penelitian dan pengabdian pada masyarakat Dirjen DIKTI 2016. Dalam dokumen-dokumen ini kompetisi dan individu yang kompetitif diposisikan sebagai hal yang secara intrinsik baik bagi kemajuan pendidikan tinggi Indonesia.

Pada tataran universitas, wacana daya saing mendorong mahasiswa dan dosen ikut kompetisi atau perlombaan; dan ketika mereka menang, prestasi mereka dipamerkan untuk meningkatkan reputasi universitas. Laman universitas sering menunjukkan foto-foto mahasiswa dan dosen yang menjadi juara atau mendapatkan penghargaan. Di fakultas peneliti semua mahasiswa diwajibkan mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari DIKTI setidaknya dua kali selama masa studinya dengan harapan beberapa mungkin akan menang. Dekan dan pimpinan fakultas lain juga diharapkan untuk

secara rutin mengabarkan prestasi mahasiswa, dosen, fakultas, dan universitas pada setiap kesempatan atau pidato mereka. Di zaman neoliberal ini, manajemen impresi dan pameran prestasi telah menjadi strategi bertahan hidup yang wajar agar universitas dapat memenangkan kompetisi memperebutkan mahasiswa dan dana. BAN-PT pun senada dalam hal ini, yaitu menjadikan prestasi mahasiswa dan dosen bagian dari standar akreditasi (Standar 3.2.2 & 4.5.5 BAN-PT 2009).

Pada derajat tertentu kompetisi bukanlah hal yang destruktif, namun penekanan berlebihan pada persaingan mungkin akan mengalihkan perhatian dari nilai-nilai luhur dan peran sosial universitas. Kompetisi memberikan energi pada mahasiswa dan dosen untuk berinovasi, berkreasi, dan berprestasi; namun ada pula konsekuensi lain yang perlu dipertimbangkan, misalnya bagaimana universitas tidak lagi menghargai eksplorasi ide, praktik kolegialitas, dan perwujudan nilai-nilai demokratik. Prestasi yang tumbuh dari motivasi internal demi tujuan bersama yang lebih baik tidak lagi penting, karena prestasi adalah tentang membangun reputasi dan memberikan kesan pada pasar. Pendidikan kritis dan demokratis digantikan dengan pelatihan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar tenaga kerja demi mengejar status dan kekayaan. Energi kompetitif ini hanyalah me(re)produksi hirarki kelas dan peminggiran, yang bertentangan dengan semangat pendidikan yang inklusif dan egaliter. Sayangnya, kompetisi dan daya saing telah diposisikan dengan sangat terhormat dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

Audit/Standardisasi. Demi menjaga akuntabilitas di mata pemangku kepentingan dan penyandang dana, universitas neoliberal harus membuktikan kualitas kerjanya menggunakan kriteria atau

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 40: INDONE PSIKOLOGI SIA

36

ARTIKEL ILMIAH POPULER Pendidikan Psikologi nan Neoliberal

standar kinerja yang dapat diukur dan dibandingkan. Untuk itu sebuah budaya audit (audit culture) diciptakan untuk me(re)produksi individu-individu yang secara konsisten mengawasi dirinya sendiri demi mengikuti standar dan tujuan eksternal. Wacana standardisasi ini telah bersirkulasi dan – hingga derajat tertentu – telah mencapai status “common sense” dalam pendidikan tinggi psikologi di dekade terakhir ini. Di samping peran BAN-PT yang makin signi�kan, AP2TPI juga telah menjadi pembawa suluh standardisasi pendidikan tinggi psikologi Indonesia. Sebagai contoh, dalam rapat umum tahun 2010 AP2TPI mendeklarasikan bahwa tujuan jangka panjangnya adalah untuk “memastikan standar tiap perguruan tinggi di semua daerah di Indonesia merata” (p.1). Standar yang dimaksud meliputi kompetensi lulusan, capaian pembelajaran, dan bahan kajian yang dikembangkan oleh AP2TPI sendiri yang pengurusnya didominasi oleh universitas-universitas besar; standar-standar tersebut diasumsikan objektif dan baik untuk semua orang. Menolong semua fakultas psikologi di Indonesia mencapai standar tersebut berarti memaksakan keputusan kelompok yang dominan pada semua fakultas psikologi lain di Indonesia terlepas dari kontekstualitasnya.

Krusial bagi standardisasi pendidikan tinggi adalah penegakan budaya audit, yang juga telah menjadi wacana yang dominan dalam lingkup pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Mengingat pentingnya audit BAN-PT bagi seluruh program studi, visitasi asesor BAN-PT umumnya dipersiapkan dengan sangat mendetail, dari spanduk selamat datang hingga pajangan prestasi dan bukti �sik. Memperoleh status terakreditasi menjadi capaian yang sangat dibanggakan dan dirayakan. Untuk menginternalisasi budaya audit ini, standar akreditasi itu sendiri mengharuskan universitas

memiliki unit quality assurance internal yang memonitor dan mengaudit seluruh aktivitas akademik dan manajerial universitas, termasuk performa penelitian dosen, layanan kemahasiswaan, dan standardisasi proses belajar di kelas. Salah satunya adalah silabus mendetail yang harus diikuti oleh dosen, dan mahasiswa sebagai konsumen mengevaluasi dosennya berdasarkan silabus tersebut. Tujuan yang lebih besar adalah me(re)produksi individu-individu yang dengan sukacita mengawasi dan meletakkan dirinya di bawah rezim audit, serta mengerahkan semua usaha untuk mencapai tujuan yang ditetapkan pihak eksternal tersebut.

Rezim standardisasi dan audit ini telah mentransformasi sistem pendidikan tinggi Indonesia, baik secara positif maupun negatif. Pada derajat tertentu audit dan standardisasi telah membuat institusi pendidikan tinggi lebih akuntabel dan e�sien. Standardisasi juga memungkinkan institusi pendidikan tinggi mengelola dan mengendalikan produksi massal mahasiswa sebagai tenaga kerja, sehingga perusahaan lebih mudah mengevaluasi, menyortir, dan menyerap calon-calon pekerja. Namun demikian, pemaksaan standar-standar (yang ditetapkan oleh kelompok yang dominan) pada semua universitas lain sering berujung pada manipulasi data, khususnya oleh universitas yang minim sumber daya dan membutuhkan status terakreditasi untuk bertahan hidup. Secara pedagogis, standardisasi proses pembelajaran meminggirkan pendekatan pendidikan yang organik, kritis, dan re�ektif; digantikan oleh pembelajaran yang mekanistik dan technicised, yaitu melatih dengan keras (harsh-drilling) kompetensi-kompetensi tertentu saja. Dialog yang setara dan saling menghormati antara dosen dan mahasiswa menjadi kurang penting, berganti dengan transfer pengetahuan satu arah secara

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 41: INDONE PSIKOLOGI SIA

37

ARTIKEL ILMIAH POPULER Pendidikan Psikologi nan Neoliberal

instan dengan tujuan mencapai target-target kuantitatif. Beberapa mahasiswa saya, misalnya, lebih memusingkan kriteria penilaian daripada pemahaman konseptual yang mendalam ketika mengerjakan tugas. Alih-alih menciptakan individu-individu manusiawi dan etis yang menghargai kompleksitas kehidupan sosial, universitas berfokus me(re)produksi robot-robot pencentang kotak (box-ticking) kriteria penilaian.

Mengidenti�kasi bagaimana pendidikan tinggi psikologi di Indonesia telah didasari wacana neoliberal hanyalah satu langkah kecil untuk mendestabilisasi neoliberalisasi pendidikan tinggi Indonesia. Langkah selanjutnya yang mungkin perlu dilakukan adalah mengeksplorasi kemungkinan alternatif non-neoliberal bagi pendidikan tinggi, terutama dari konteks lokal Indonesia. Eksplorasi ini krusial karena, seperti yang telah dikatakan berulangkali oleh pendukung

neoliberalisme, saat ini tidak terlihat adanya alternatif selain pendidikan tinggi neoliberal. Saya percaya bahwa tidak ada jawaban yang mudah dan langsung untuk menjungkirbalikkan wacana neoliberalisme yang dominan di konteks pendidikan tinggi; namun, mengeksplorasi secara konsisten retakan-retakan dan celah-celah rezim regulatoris neoliberalisme mungkin akan memunculkan secercah kesadaran kritis, yang pada akhirnya melahirkan pemikiran baru dan pendidikan tinggi psikologi yang lebih memanusiakan.

*Versi asli/panjang artikel ini telah dimuat di jurnal ANIMA tahun 2016 volume 32 no 1 halaman 1-11dengan judul Neoliberalism Within Psychology Higher Education in Indonesia: A Critical Analysis

“pemaksaan standar-standar (yang ditetapkan oleh

kelompok yang dominan) pada semua universitas lain

sering berujung pada manipulasi data, khususnya oleh universitas yang minim

sumber daya dan membutuhkan status

terakreditasi untuk bertahan hidup...”

“Standardisasi proses pembelajaran meminggirkan pendekatan pendidikan yang organik, kritis, dan re�ektif;

digantikan oleh pembelajaran yang mekanistik dan

technicised, yaitu melatih dengan keras (harsh-drilling)

kompetensi-kompetensi tertentu saja.”

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 42: INDONE PSIKOLOGI SIA

Fuad Hassan:Memahami Manusia dengan Psikologi-Kita

Oleh: Bagus Takwin - Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Seorang menteri pendidikan Republik Indonesia menulis tentang

eksistensialisme, sebuah aliran yang sering diasosiasikan sebagai �lsafat anti-Tuhan. Tentu saja banyak orang yang mengomentarinya, termasuk rekan sesama menteri dalam Kabinet Pembangunan IV. Menteri itu adalah Fuad Hassan (1929-2007), Guru Besar Fakultas Psikologi UI (F.Psi-UI) yang diangkat jadi Menteri Pendidikan RI di akhir bulan Juli 1985. Ia juga adalah lulusan pertama dari pendidikan psikologi di Indonesia. Bisa dibilang Fuad Hassan adalah psikolog pertama yang dididik di Indonesia.

38

Prof. Dr. Fuad Hassan. Dokumentasi Fakultas Psikologi UI

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 43: INDONE PSIKOLOGI SIA

39

ULASAN TOKOH FUAD HASSAN

Judul bukunya Berkenalan dengan Eksistensialisme terbitan Pustaka Jaya. Buku itu sebenarnya sudah lama terbit, tahun 1972. Buku yang dikomentari adalah versi cetak ulang tahun 1985. Waktu terbitnya berdekatan dengan saat pengangkatan Fuad Hassan jadi menteri. Nilai bukunya lalu menjadi lain karena ditulis oleh seorang menteri, menteri pendidikan pula.

Ternyata, setelah dibaca oleh para koleganya, mereka paham bahwa buku itu bukanlah risalah yang memaparkan pemikiran anti-Tuhan. Benar ada �lsuf eksistensialis yang anti-Tuhan atau atheis, tetapi tidak sedikit dari para �lsuf itu yang sangat religius bahkan pemikiran mereka dijadikan sebagai dasar dari teologi agama tertentu.

Fuad Hassan menanggapi kecurigaan, kekhawatiran dan kritik orang-orang dengan sabar. Ia menyatakan bahwa dalam memahami manusia secara memadai, eksistensialisme memberikan banyak insight bagi psikologi, bahkan (waktu itu) memberikan jalan baru bagi psikologi untuk memahami manusia dengan berbagai dimensinya yang kompleks.

Cerita tadi saya peroleh dari Pak Fuad (begitu ia biasa dipanggil) dalam sebuah pertemuan di antara rangkaian kegiatan saya menimba ilmu darinya. Ceritanya tentang tanggapan miring banyak orang terhadap buku itu merupakan tanggapannya terhadap cerita saya bahwa saya dan banyak teman justru menggemari buku itu dan mendapat banyak pelajaran dari sana.

Buku Berkenalan dengan Eksistensialisme bercerita tentang lima tokoh eksistensialisme dan pemikirannya. Pemikiran yang sungguh baru, sungguh mengejutkan dan mengagumkan bagi saya waktu pertama kali membacanya di tahun 1986. Meskipun belum sungguh-sungguh paham keseluruhan isinya, saya terpikat oleh buku itu.

Setelah kuliah saya membaca lagi buku ini berkali-kali, apalagi buku ini menjadi teks wajib untuk kuliah Kapita Selekta Filsafat di Fakultas Psikologi UI. Saya masih menikmatinya dan mendapatkan pelajaran baru lagi setiap kali membacanya kembali.

Kekuatan dari tulisan-tulisan Fuad Hassan, selain pada isi pemikirannya, adalah daya tariknya bagi rentang pembaca yang luas karena bahasa dan cara bertuturnya yang lugas dan jernih. Buku-bukunya dapat menjangkau khalayak luas meski isi pemikirannya bukan ihwal yang mudah dimengerti. Ia dapat menampilkan sisi-sisi yang menarik dari topik yang dibahasnya sehingga membuat pembaca mendapatkan kesenangan dari tulisannya. Dengan tetap menjaga bobot substansi tulisannya; dalam arti tetap menjaga akurasi informasi, kredibilitas sumber rujukan, koherensi logis, dan analisis yang memadai, ia mampu menyajikan tuturan yang membuat pembacanya asyik menyusuri kisahnya. Kesimpulan ini saya buat setelah membaca buku-buku Fuad Hassan yang lain dan membandingkan pengalaman saya membaca dengan pengalaman banyak teman saya.

Pemikiran di Bidang Psikologi

Karya-karya Fuad Hassan di bidang psikologi menunjukkan posisi yang jelas: psikologi eksistensial. Latar belakang �lsafat eksistensialisme kental sekali terlihat dalam pemikiran-pemikirannya. Nama-nama seperti Friedrich Wilhelm Nietzsche, Søren Kierkegaard, Nikolai Alexandrovich Berdyaev, Martin Heidegger, Karl Jaspers, Jean Paul Sartre, dan Martin Buber banyak ditemukan di sana. Dalam beberapa kesempatan bahkan ia menempatkan para �lsuf eksistensialis itu dalam posisi sebagai pemikir di bidang psikologi. Selain itu, tentu saja para psikolog eksistensial juga menjadi bahan rujukannya. Kita temukan di antaranya pemikiran

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 44: INDONE PSIKOLOGI SIA

40

ULASAN TOKOH

Ludwig Binswanger, pelopor psikologi eksistensial dari Swiss, R.D. Laing, ahli psikologi eksistensial kelahiran Skotlandia, dan Paul Johannes Tillich yang berpengaruh besar terhadap kajian psikologi eksistensial tentang pengalaman religius. Filsuf-�lsuf tentang manusia yang memberikan banyak pengaruh terhadap psikologi eksistensial dan psikologi fenomenologis juga ikut berpengaruh terhadap pemikiran Fuad Hassan. Menurutnya, semua pemikir itu adalah pemikir psikologi.

Tampaknya Fuad Hassan agak lentur dalam membatasi pemikir-pemikir mana saja yang tergolong sebagai tokoh psikologi. Ia mengidenti�kasi mereka sebagai tokoh psikologi atau bukan dari isi pemikirannya, bukan dari latar belakang pendidikan atau alirannya. Ia tampaknya terbuka dengan berbagai pemikiran yang memiliki potensi untuk memberikan pemahaman baru bagi psikologi. Ini dilakukan olehnya sebagai satu bentuk usaha untuk mengembangkan satu pendekatan yang lebih holistik dan multi-dimensional dalam psikologi.

Menurut Fuad Hassan, sebagai suatu cabang ilmu yang menggunakan metode eksperimental, psikologi memang tergolong muda. Didirikannya laboratorium psikologi di Leipzig oleh Wilhelm Wundt di akhir abad ke-20 menandai kelahiran psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Namun, sebagai kajian tentang manusia, baik terhadap jiwa dan badannya, psikologi tergolong sudah tua. Sejak jaman Yunani Kuno gejala kejiwaan sudah dipikirkan oleh Demokritos (460-370 SM) yang menyatakan jiwa adalah hasil aktivitas atom-atom yang lebih ringan dan cepat geraknya. Tentang badan dan hubungannya dengan aktivitas mental dan kebahagiaan juga sudah dikaji oleh �lsuf Yunani seperti Epikurus. Lalu Aristoteles juga menegaskan bahwa di masa depan dibutuhkan sebuah ilmu tentang psyche manusia, psikologi. Kita juga dapat menemukan

pemikiran omas Aquinas tentang kesadaran di Abad Pertengahan.

Selama aktif sebagai dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fuad Hassan mendalami pemikiran-pemikiran tentang manusia sejak masa Yunani Kuno hingga era postmodern. Dari pemikiran dalam rentang waktu yang panjang itu, ia ingin menemukan sebuah sintesis dari pemikiran-pemikiran di bidang psikologi sehingga melahirkan pemahaman yang memadai untuk dipakai menganalisis dan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Dari pengenalannya terhadap sejarah psikologi, tepatnya kajian-kajian terhadap gejala psikologi, ia melihat berbagai pemikiran yang memiliki sudut pandang masing-masing. Lalu, ia sendiri ingin juga mengajukan sebuah kerangka pikir yang dapat digunakan untuk meneliti gejala-gejala psikologis, khususnya yang muncul di Indonesia.

Fuad Hassan tampaknya tidak ingin membatasi psikologi hanya sebagai ilmu empirik dalam pengertian hanya mengandalkan pengalaman indrawi. Ia juga menolak pendekatan positivistik yang cenderung naif dan memahami manusia dari aspek yang kasat mata saja. Meski tidak menentang metode eksperimental, ia menolak jika psikologi hanya mengandalkan metode ini saja karena menurutnya ada banyak metode untuk dapat digunakan untuk meneliti gejala psikologis. Salah satunya adalah fenomenologi yang dinilainya merupakan pendekatan dan metode yang memadai bagi psikologi. Menurutnya, fenomenologi dapat membantu psikolog untuk memahami gejala psikologis secara menyeluruh dari sudut pandang orang-orang yang mengalaminya. Seiring dengan penggunaan fenomenologi sebagai metode, ia juga mengenali eksistensialisme sebagai landasan �loso�s untuk memahami manusia sebagai penentu dari tindakan-tindakannya. Dengan dua pemikiran itu,

FUAD HASSAN

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 45: INDONE PSIKOLOGI SIA

41

ULASAN TOKOH

psikologi. Ia mende�nisikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antar-manusia. Dengan de�nisi ini, menurutnya, psikologi dapat memahami manusia secara holistik.

Dari situ kita dapat memahami bahwa Fuad Hassan tidak mau melihat manusia secara sepotong-sepotong. Kalaupun gejala yang diteliti adalah gejala tingkah laku khusus, tetap saja dibutuhkan pemahaman menyeluruh tentang manusia yang menampilkan tingkah laku itu.

Psikologi-Kita

Ikhtiar Fuad Hassan dalam memahami manusia, khususnya di Indonesia, melibatkan pemahaman �loso�s tentang manusia secara menyeluruh. Namun ia juga berusaha untuk membumikan psikologi yang kental dengan pemikiran �loso�s itu. Justru, menurutnya, usahanya memahami manusia secara �loso�s ditujukan untuk dapat menghasilkan pemahaman komprehensif tentang manusia agar dapat diperoleh kerangka tindakan yang memadai untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perilaku secara kongkret. Ia berusaha menerapkan psikologi dalam berbagai ranah kehidupan di Indonesia.

ia hendak melakukan pemahaman terhadap manusia secara menyeluruh.

Dari fenomenologi, Fuad Hassan mendapat pemahaman bahwa salah satu aspek yang amat penting dari tingkah laku manusia adalah keterarahan kesadarannnya (intensionalitas). Kesadaran manusia mengarahkan tingkah lakunya selalu bertujuan atau terarah kepada maksud tertentu. Tampilnya tingkah laku selalu dalam konteks interaksi dengan orang lain. Tingkah laku seseorang harus selalu dimaknai dalam keterkaitannya dengan kebersamaan dengan orang lain. Oleh karena itu, mengkaji tingkah laku sebagai sesuatu yang terisolasi seperti yang dilakukan pendekatan behavioristik tidak memadai karena menghilangkan makna interpersonal dan keterarahan dari tingkah laku.

Dari keseluruhan pemikiran Fuad Hassan, pemahaman bahwa tindakan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan menjadi tesis sentralnya. Lebih luas lagi, manusia tidak dapat dipahami secara terisolasi lepas dari kehidupan sosial dan budaya. Untuk memahami manusia secara menyeluruh berarti juga memahami manusia sebagai keberadaan di dunia bersama manusia lain beserta keterkaitannya dengan berbagai hal yang ada di lingkungannya. Tesis ini mengemuka dalam disertasinya yang berjudul Neurosis sebagai Sengketa Eksistensial yang kemudian dibukukan dengan judul Kita dan Kami: Sebuah Analisis Dasar Tentang Modus Dasar Kebersamaan. Di situ ia membahas konsep ”Kita” dan ”Kami” sebagai dua modus kebersamaan manusia. Analisis terhadap konsep ”Kita” dan ”Kami” merupakan wujud usaha Fuad Hassan melakukan reorientasi psikologi melalui pembahasan mengenai modus kebersamaan manusia. Dengan itu, ia hendak mengupayakan sebuah pendekatan psikologi yang menjadikan interaksi manusia sebagai gejala utama yang dikaji

“Dari situ kita dapat memahami bahwa Fuad Hassan tidak mau

melihat manusia secara sepotong-sepotong. Kalaupun gejala yang

diteliti adalah gejala tingkah laku khusus, tetap saja dibutuhkan

pemahaman menyeluruh tentang manusia yang menampilkan

tingkah laku itu.”

FUAD HASSAN

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 46: INDONE PSIKOLOGI SIA

42

ULASAN TOKOH

Fuad Hassan adalah psikolog pertama di Indonesia yang menggunakan psikologi untuk memahami perilaku politik dari aktor politik di Indonesia. Sebagai contoh, ia menganalisis kepribadian Suharto dan membuat pro�l kepribadiannya. Kita dapat membaca keterlibatannya dalam berbagai lembaga kajian strategis juga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang secara praktis membantu para pembuat kebijakan di Indonesia untuk membuat keputusan-keputusan penting di berbagai bidang, dari kependudukan sampai pertahanan. Usaha memahami Indonesia dengan seluk-beluk budayanya dilakukan oleh Fuad Hassan dalam rangka ikhtiarnya menghasilkan psikologi yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.

Dalam usaha menempatkan psikologi sebagai ilmu yang bermanfaat kongkret bagi Indonesia, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Psikologi UI, Fuad Hassan menyatakan perlunya ahli-ahli psikologi di Indonesia membantu para teknokrat dalam upaya mereka memajukan masyarakat Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan psikologi dalam proses pembuatan kebijakan publik dan itu dilakoninya juga dengan banyak terlibat dalam birokrasi serta sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang masa jabatannya terlama di Indonesia, 8 tahun. Kerangka pikir psikologi tidak dilepaskannya selama jadi menteri. Kita dapat membacanya dalam dokumen kebijakan dan program kerjanya. Pemikiran psikologi menyebar dalam berbagai konsep yang digunakannya dalam perumusan kebijakan; seperti pendidikan sebagai pembinaan watak, kapan suatu pelajaran dapat diberikan kepada anak dengan usia tertentu, dan teknik-tenik penyelenggaraan pembelajaran yang efektif.

Tulisan-tulisannya belakangan menunjukkan pencermatan-pencermatan terhadap peran budaya

dalam pembentukan perilaku. Menurut pencermatan saya, Fuad Hassan selalu berusaha untuk memanfaatkan psikologi dalam berbagai bidang yang ia geluti. Meski ia banyak menulis tentang �lsafat, saya menilai kerangka pikirnya adalah psikologi. Memang pendekatan psikologi yang digunakannya berbeda dengan pendekatan Amerika kontemporer yang didominasi oleh psikologi kognitif, setelah psikonalisis dan behaviorisme. Pemikiran psikologi Fuad Hassan lebih dekat dengan pemikiran psikologi Eropa yang menempatkan manusia sebagai makhluk budaya.

Lebih belakangan lagi, Fuad Hassan banyak mengemukakan argumentasi tentang pentingnya mengedepankan We-Psychology atau Psikologi-Kita sebagai pengganti dari kecenderungan ego-psychology atau psikologi individual. Menurutnya, pendekatan Psikologi-Kita lebih dapat memberi kontribusi kongkret kepada masyarakat Indonesia. Lepas dari kecenderungan masyarakat lebih kolektivistik atau individualistik, kebersamaan dengan manusia lain merupakan faktor penting dalam tindakan-tindakan manusia Indonesia. Untuk dapat memahami perilaku manusia Indonesia diperlukan pemahaman mengenai budaya Indonesia sebab kebudayaan niscaya ikut menentukan tindakan-tindakan manusia. Menurutnya, kebudayaan, selain dipahami sebagai 'apa yang kita miliki', juga menentukan 'siapa kita'. Kebudayaan menentukan identitas orang-orang yang hidup dalam sebuah wilayah budaya tertentu. Budaya adalah unsur pembentuk identitas individu. Oleh karena itu, Fuad Hassan juga menekankan pentingnya pengembangan kajian psikologi budaya dalam usaha memahami persoalan masyarakat Indonesia.

Dalam rangka ikhtiar menjadikan psikologi sebagai ilmu yang bermanfaat secara kongkret bagi masyarakat Indonesia, Fuad Hassan juga

FUAD HASSAN

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 47: INDONE PSIKOLOGI SIA

43

ULASAN TOKOH

menyarankan dilakukannya kajian-kajian tentang trend. Menurutnya, psikologi sebenarnya dapat juga menjadi ilmu yang dapat memprediksi masa depan. Selama ini psikologi lebih banyak dikenal sebagai ilmu yang hanya dapat menjelaskan gejala sesudah terjadinya. Padahal menurutnya lebih dari itu, potensi psikologi sangat besar untuk membantu orang mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin ada di masa depan sekaligus juga membantu menentukan cara-cara menghindari masalah yang mungkin datang. Psikologi juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kualitas-kualitas positif manusia di masa depan.

“Fuad Hassan banyak mengemukakan

argumentasi tentang pentingnya

mengedepankan We-Psychology atau

Psikologi-Kita sebagai pengganti dari kecenderungan

ego-psychology atau psikologi individual.”

Dengan mengenali persoalan masa depan dari masa kini, orang dapat mengembangkan diri agar siap hidup secara memadai dan berfungsi sepenuhnya di masa depan.

Dalam penafsiran saya, apa yang disarankan oleh Fuad Hassan adalah mengembangkan psikologi yang dapat membantu orang menghadapi kejadian-kejadian tak terduga, membantu orang untuk dapat hidup dalam berbagai situasi, dan mengikhtiarkan setiap orang untuk menjadi manusia seutuhnya.

FUAD HASSAN

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 48: INDONE PSIKOLOGI SIA

44

Belajar dariPak Nim,Ayah yang Melindungi

Prof. Dr. John Nimpoeno, Dipl. Psych.Dokumentasi Fakultas Psikologi UNPAD

Ahmad Gimmy Prathama Siswadidan Achmad Djunaidi

Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

JOHN S. NIMPOENO dilahirkan di Bandung pada tanggal 2 April 1926 sebagai anak kelima dari lima orang bersaudara.

Orang tua beliau, R.M. Soetojo Nimpoeno dan R.A. Poedji Hastoeti membina keluarganya dengan iklim penuh tanggung jawab dan pergaulan sosial yang tidak mengenal diskriminasi. Beliau beristrikan Diana Moeis, puteri tertua dari Pahlawan Nasional Abdul Moeis dan Ibu Sunarsih.

Setelah tamat Europese lagere School di Meester Cornelis, beliau meneruskan sekolah di Hogere Burger School di Solo. Pendidikan Pak Nim sempat terputus oleh pecahnya Perang Dunia kedua. Beliau kemudian melanjutkan pendidikan selama satu tahun di SMP di Bogor, lalu SMT bagian B di Solo. Pak Nim pernah diberi kesempatan untuk menempuh studi Technische Physica di Technische Hogeschool, Delft, Nederland, akan tetapi beliau pindah ke Jerman

Barat dan menyelesaikan studi Psikologi tahun 1959 dalam waktu empat tahun. Beliau dikirim kembali ke Jerman Barat pada tahun 1964 untuk mengikuti pelatihan spesialisasi di bidang Psikoterapi. Beliau kembali pada tahun 1967 setelah sempat mengepalai bagian Psikoterapi di Institut fuer Jugendpsychiatrie di kota Essen, Jerman Barat. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1967, beliau langsung diperbantukan di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran sebagai dosen tetap dengan tugas khusus (pada waktu itu) "mengamankan hari depan mahasiswa untuk mereka sendiri." Pada awalnya, beliau mengajar juga di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Akademi Militer Magelang dan Akademi Perawat di Bandung.

Peran Pak Nim lainnya, yaitu menjabat Ketua Konsorsium Psikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, anggota Bakolakda Inpres 6

RIWAYAT HIDUP

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 49: INDONE PSIKOLOGI SIA

45

ULASAN TOKOH JOHN NIMPOENO

/1973 dalam hal penanggulangan bahaya narkotik, anggota Tim Penyusunan Program Studi Lingkungan Fakultas Pasca Sarjana ITB, serta anggota Tim Pengembangan Kurikulum Bimbingan dan Penyuluhan di Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung. Beliau juga pernah tercatat sebagai tenaga pemikir di PPLH-ITB untuk permasalahan perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam rangka kerja sama dengan pihak luar negeri. Beliau pernah melakukan perlawatan ke Canada untuk membantu mewujudkan kerja sama akademik ITB dengan tiga universitas di negara tersebut.

Karier militer Pak Nim bermula di Pendidikan Menengah saat bergabung dengan Barisan Polisi Istimewa SMT dan Tentara Genie Pelajar Detasemen IV. Beliau masih aktif bergabung hingga Tentara Pelajar Detasemen II diintegrasikan ke dalam tubuh TNI. Sebagai Psikolog Angkatan Darat, beliau ditempatkan di Dinas Psikologi Angkatan Darat (AD) di Bandung. Pak Nim kemudian dipindahkan ke Divisi VI Siliwangi sebagai Psikolog dalam berbagai operasi militer di pulau Jawa dan Sulawesi. Setelah mengabdi pada negara di AD selama 36 tahun, beliau memasuki masa pensiun dengan pangkat akhir Kolonel di tahun 1981.

Pada tahun 1981, beliau berkesempatan untuk melakukan promosi dan menjadi Doktor di bidang Psikologi di Universitas Padjadjaran dengan judul disertasi "Keperantaraan dalam Konteks Budaya Indonesia" yang dihargai dengan judicium cum laude. Setahun setelahnya, beliau diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan Dosen Tetap di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Pak Nim pernah menyandang jabatan struktural sebagai Pembantu Dekan I, Dekan, Kepala Lembaga Psikologi Unpad, dan Ketua Jurusan. Beliau juga pernah menjabat

sebagai pembantu Dekan III di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran dan Ketua Program Studi Psikologi di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.

Pak Nim kemudian diangkat menjadi Guru Besar terhitung mulai 1 April 1988. Beliau pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Katolik Nijmegen di Nederland dan di Jerman Barat di tahun 1989. Selanjutnya, beliau memiliki pengalaman mengajar yang semakin luas, yakni di Fakultas Pasca Sarjana ITB Program Studi Arsitektur, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung untuk Program Studi S2 dan S3, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB untuk Program S1, tenaga pengajar non-organik pada SESKOAD, SESPIMPOL dan secara insidental di SESKOAU di Lembang.

Terhitung mulai tahun 1972, jumlah karya ilmiah Pak Nim meliputi 150 tulisan dalam beragam bentuk. Karya beliau meliputi bidang kesejahteraan masyarakat, kemasyarakatan, transmigrasi, kemahasiswaan dan generasi muda, kelembagaan ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi, pengembangan wilayah dan pembangunan, serta lingkungan hidup. Penelitian beliau berpusat pada lingkungan hidup dan pengembangan wilayah.

Dalam laporan yang ditulis oleh Weny Widyowati yang dimuat dalam portal daring unpad (http://news.unpad.ac.id/?p=19575)tercatat aktivitas lain yang pernah beliau tekuni adalah sebagai Sekretaris Eksekutif Konsorsium Psikologi Departemen P & K (1982); salah seorang pendiri Yayasan Kecelakaan Lalu Lintas (1982); dan menjadi anggota Dewan Kehormatan Ikatan Sarjana Psikologi. Adapun karyanya antara lain “Kepribadian dan Perubahannya” (co-author) terbitan Gramedia (1979); “Manajemen Kerugian

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 50: INDONE PSIKOLOGI SIA

46

ULASAN TOKOH JOHN NIMPOENO

Semesta” (co-author) terbitan LPMI (1984); “Penyakit-penyakit Akibat Kerja” (co-author) terbitan Hiperkes dan Gra�ndo Utama (1985).Perkembangan karier beliau dan kegiatan-kegiatan yang telah terlaksana hanya dimungkinkan karena tetap belajar dari orang lain.

-------------------------------------------------------------

Pak Nim adalah panggilan kami terhadap Prof. Dr. John Nimpoeno, Dipl. Psych. “Sering-sering datang ke sini, jangan khawatir, kalau mau tanya-tanya, boleh...”, begitulah kira-kira ungkapan Pak Nim. Pak Nim adalah sosok yang begitu teduh dan ramah. Beliau juga sosok yang penuh support pada mahasiswanya yang masih gamang dan ragu dalam mulai meniti kehidupan sebagai psikolog. Ruang kerja beliau, baik di kantor maupun di rumah, selalu terbuka untuk siapapun yang hendak bertanya.

Beliau memiliki perhatian yang luas pada berbagai permasalahan kehidupan. Waktu luangnya dimanfaatkan untuk menonton televisi seperti National Geographic hingga �lm Woody Woodpecker pun tidak luput dari perhatiannya. Pernah suatu saat, kami bertamu ke rumah beliau yang sedang menonton �lm kartun tersebut. Beliau bertanya, ”Coba kamu pikirkan, anak-anak yang menonton �lm seperti ini, kira-kira nanti besarnya kayak apa?”. Kami berpikir sejenak lalu menjawab, “Agresif pak, karena dalam �lm tersebut terdapat adegan seperti mematuk, memukul dan membuka pintu dengan keras hingga �gur yang bersembunyi di belakang pintu itu gepeng. Belum lagi gerakan-gerakan yang cenderung cepat dan keras. Hal ini dibarengi dengan solusi yang selalu bernuansa kekerasan mewarnai tiap episodenya.” Pak Nim membenarkan jawaban kami sembari menambahkan keterangan bagaimana pengalaman-pengalaman masa kecil yang

terpendam dalam pengalaman bawah sadar dimungkinkan akan menjadi ciri anak tersebut kelak di masa mendatang.

Ciri beliau yang sangat kami kagumi adalah kebiasaan mengamati suatu hal sambil merenung dan mencari hikmah terkait dengan psikologi, psikodiagnostik, dan psikodinamika dalam hal tersebut. Sikap Pak Nim menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang sangat aktif berpikir, menghayati, serta memberi arah dan pencerahan bagi individu, komunitas, masyarakat dan lingkungannya.

Dalam buku pedoman pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, nama beliau memang tidak tercatat sebagai pendiri atau perintis Fakultas Psikologi UNPAD sejak tahun 1961. Hal tersebut dimungkinkan karena beliau saat itu masih aktif di bidang militer dan baru bergabung di UNPAD tahun 1967. Namun, bukan berarti peran beliau di Fakultas Psikologi UNPAD tidak sepenting tokoh-tokoh pendiri yang membangun fakultas sejak awal. Pengalaman Pak Nim sebagai kepala Bagian Psikoterapi di Institut fuer Jugendpsychiatrie memberikan nuansa Psikologi sebagai praktisi penanganan kasus individual yang kuat.

Pada masa-masa beliau aktif mengajar, beliau senantiasa memberi inspirasi bagi para mahasiswa yang berminat menjadi psikolog klinis. Rumah beliau hanya berjarak sekitar 200 meter dari fakultas. Hal ini membuat mahasiswa sering melihat plang/papan nama yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang psikolog, grafolog, psikoterapis/psikoanalis praktek yang aktif. Buat kami mahasiswanya, sosok psikolog ideal itu salah satunya seperti Pak Nim. Sosok beliau kuat tertanam dan menjadi arah bagi pengembangan karier kami pada masa mendatang. Cerita-cerita

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 51: INDONE PSIKOLOGI SIA

47

ULASAN TOKOH JOHN NIMPOENO

Pak Nim banyak beredar tentang bagaimana ia menangani pasien, terutama dalam mengombinasikan pemikiran psikodiagnostik, psikodinamik dan logika pemecahan masalah yang kreatif. Hal ini membuat kami makin ingin seperti beliau; membuat beliau menjadi model psikolog 'scientist-professional' yang ideal. Salah satu gagasan beliau, misalnya memasang rekaman suara bayi untuk memancing gerombolan DI/TII untuk menyerah dan 'turun gunung' karena kerinduan mereka dengan keluarga.

Kedalaman dan keluasan berpikir beliau tidak hanya terbatas pada area klinis. Beliau memiliki kemampuan berpikir komprehensif yang mumpuni serta dapat mengemukakan gagasan-gagasan yang solutif untuk persoalan-persoalan makro. Beliau tampaknya ingin agar psikologi dapat memberikan sentuhan pada berbagai aspek kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional. Dengan demikian, meski latar belakang psikologi klinisnya kuat, beliau mampu memberikan warna bagi pemanfaatan psikologi untuk bidang-bidang yang lebih luas seperti arsitektur, seni rupa, pendidikan dan lingkungan hidup sebagai suatu yang sangat makro dan kompleks.

Kemampuan berpikir mendalam dan komprehensif ditunjukkan dengan kemampuan beliau dalam membuat kerangka berpikir psikologis bagi setiap persoalan kemanusiaan yang dihadapi. Mahasiswa yang sedang kebingungan dalam membuat kerangka ber�kir penelitian – mulai dari S1 sampai dengan S3 – dapat beliau arahkan dengan mudah melalui skema-skema alur berpikir yang jelas dan mencerahkan. Gambar dan alur berpikir yang Pak Nim buat seringkali menimbulkan insight pada mahasiswa tentang landasan penelitian, variabel apa saja yang mesti diperhatikan, bagaimana keterkaitan antar variabel

tersebut, serta bagaimana baiknya variabel-variabel tersebut dibahas sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Belakangan kami tahu bahwa kecanggihan tersebut antara lain karena keahlian beliau dalam memanfaatkan teori sistem (misalnya, Ludwig von Bertalanffy, dkk.). Hal itu membuat beliau mampu melihat berbagai permasalahan dari sistem yang berlaku. Beliau seperti melihat masalah dengan helicopter view yang detil, jelas, terintegrasi, dan menyeluruh.

Warisan Pak Nim yang lain yang masih terkait dengan kemampuan berpikirnya yang terstruktur dan jelas tercermin dari cara beliau mengajarkan kami (Tim Psikolog di Lembaga Psikologi UNPAD) mengenai pembuatan psikogram. Beliaulah yang mengajarkan sarjana-sarjana baru Psikologi (akhir dekade 1980an) tentang bagaimana melihat kepribadian sebagai suatu sistem dengan aspek dan fungsi-fungsi psikologis

“Gambar dan alur berpikir yang Pak Nim buat seringkali

menimbulkan insight pada mahasiswa tentang landasan penelitian, variabel apa saja

yang mesti diperhatikan, bagaimana keterkaitan antar

variabel tersebut, serta bagaimana baiknya variabel-

variabel tersebut dibahas sebagai suatu kesatuan yang

terintegrasi.”

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 52: INDONE PSIKOLOGI SIA

48

ULASAN TOKOH JOHN NIMPOENO

yang rinci dan terintegrasi. Psikogram menjadi bagian dari laporan hasil pemeriksaan psikologis yang sangat penting dan mudah dibaca pengguna jasa Psikologi karena memberikan gambaran awal yang jelas, sebelum pengguna jasa tersebut membaca dinamika kepribadian yang lebih detil dan lebih spesi�k.

Sepemahaman penulis, Pak Nim memang tidak menulis buku sebagai penulis tunggal. Kalaupun ada buku yang disebut atas nama/karya beliau, buku itu adalah kumpulan atau bunga rampai tulisan-tulisan beliau yang dikumpulkan oleh mahasiswanya yang tergabung dalam kelompok diskusi Dago Pojok (alamat kampus Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dari tahun 1964 s.d 1996, sebelum pindah ke kampus Unpad-Jatinangor). Namun dalam beberapa buku yang ditulis oleh tokoh lain, seperti MAW Brouwer, Pak Nim juga ikut menyumbangkan bab khusus atau chapter tertentu. Di luar karya tersebut, Penulis mengumpulkan hasil karya tulis yang disusun beliau yang jumlahnya sekitar 80 makalah untuk berbagai kepentingan seperti memberikan ceramah, kuliah, seminar, maupun event ilmiah populer lainnya. Dari berbagai tulisan tersebut, dapat terlihat luasnya minat beliau pada pemanfaatan psikologi untuk kesejahteraan

manusia dalam berbagai setting.

Dalam curiculum vitae-nya disebutkan bahwa terhitung sejak tahun 1972, jumlah karya ilmiah yang beliau hasilkan meliputi 150 tulisan yang mencakup bidang kesejahteraan masyarakat, kemasyarakatan, transmigrasi, kemahasiswaan dan generasi muda, kelembagaan ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi, pengembangan wilayah dan pembangunan, dan lingkungan hidup. Penelitian terutama dipusatkan pada lingkungan hidup dan pengembangan wilayah.

Meski aktif berpraktik sebagai Grafolog dan Psikolog/Psikoterapis, beliau memiliki perhatian pada masalah-masalah kemanusiaan yang luas dan tidak hanya terbatas pada masalah individual semata. Bagi Pak Nim (yang wafat di Bandung, pada tanggal 16 Januari 2010, menjelang usia 84 tahun), psikologi adalah ilmu yang mesti diamalkan bagi kesejahteraan individu serta masyarakat. Pemikiran-pemikiran Pak Nim menggugah komunitas psikologi untuk berperan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Beliau menekankan pentingnya seorang Psikolog/ahli Psikologi untuk mengamati berbagai fenomena dengan keakuratan tinggi dan menyeluruh sebagaimana seorang pilot helikopter, dan memahami hubungan antara sistem dengan subsistem, struktur, organisasi, dan dinamika. Tentu hal ini bukan berarti bahwa Psikolog hanya hidup di 'menara gading', Psikolog adalah bagian dari masyarakat yang seharusnya dapat memberikan solusi yang mencerahkan dan selaras dengan keunikan nilai-nilai budaya dan lingkungan/masyarakatnya.

“Kecanggihan tersebut karena keahlian beliau dalam

memanfaatkan teori sistem (e.g., Ludwig von Bertalanffy, dkk.),

sehingga… beliau seperti melihat masalah dengan helicopter view

yang detil, jelas, terintegrasi, dan menyeluruh.”

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 53: INDONE PSIKOLOGI SIA

49

Kita Berbeda, Kita Berteman

Whinda Yustisia - Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Pemilihan Presiden 2019 yang lalu kembali menjadi momen penanda polarisasi politik di

Indonesia. Sama halnya dengan lima tahun sebelumnya, tahun ini, pemilihan presiden diwarnai dengan pembelahan aspirasi politik kelompok yang dianggap menyuarakan kebhinekaan dan kelompok yang dianggap sebagai representasi kaum religius fundamentalis. Adanya media sosial semakin memperkuat polarisasi ide dua kelompok tersebut. Masing-masing pendukung kubu

TOPIK PSIKOLOGI TERKINI

politik ingin menunjukkan bahwa pandangan kelompoknya lah yang paling tepat, pandangan kelompok lain salah. Apa sebenarnya yang menyebabkan orang punya

kecenderungan untuk menilai keyakinan kelompoknya

lebih baik dari kelompok lain bahkan cenderung berpandangan negatif terhadap pandangan kelompok lain? Mungkinkah kelompok dengan beda

keyakinan atau cara pandang dapat berjalan

beriringan tanpa perlu saling

serang?

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 54: INDONE PSIKOLOGI SIA

50

TOPIK PSIKOLOGI TERKINI KITA BERBEDA, KITA BERTEMAN

Dalam memahami kecenderungan seseorang untuk menilai kelompoknya lebih baik daripada kelompok lain, teori identitas sosial merupakan salah satu teori klasik psikologi sosial yang paling relevan digunakan untuk menjelaskan. Ide dasar teori ini adalah ketika seseorang menjadikan sebuah kelompok adalah bagian penting dari konsep dirinya, baik-buruk kelompok akan mempengaruhi konsep dirinya juga. Misalnya, Anda adalah anggota kelompok X. Anda sangat bangga dengan X, lalu selalu memperkenalkan diri sebagai anggota kelompok X karena saking (terlalu) bangganya. Namun, suatu waktu, kelompok X dikaitkan dengan hal-hal negatif, misalnya pendukung kekerasan. Secara pribadi Anda tidak setuju dengan aksi kekerasan. Karena Anda sudah merasa bahwa kelompok X adalah bagian dari diri Anda, penilaian negatif terhadap kelompok X bisa mengganggu konsep diri Anda juga.

Identi�kasi kuat dengan kelompok kemudian melahirkan kecenderungan untuk bias dalam menilai kelompok sendiri maupun kelompok lain. Yaitu, kecenderungan untuk mengidolakan kelompok sendiri dibandingkan kelompok lain (ingroup favoritism) dan menjelekkan kelompok lain (outgroup derogation). Dalam teori-teori psikologi sosial, ingroup favoritism tidak selalu diikuti oleh outgroup derogation. Sederhananya, Anda bisa menilai kelompok Anda baik tetapi belum tentu Anda menilai kelompok lain buruk, bukan? Ada beberapa kondisi yang menyebabkan orang menilai buruk orang-orang dari kelompok berbeda. Salah satunya adalah karena minimnya kontak antar kelompok.

Kontak antar kelompok dapat diartikan sebagai interaksi yang dilakukan seseorang secara langsung maupun tidak langsung dengan orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda. Ketika orang memiliki kontak antar kelompok yang memadai

secara kuantitas maupun kualitas, harmonisasi hubungan antar kelompok bisa terwujud. Hipotesis kontak antar kelompok ini diperkenalkan oleh Allport (1954). Menurut Allport, prasangka dapat dikurangi dengan menciptakan kontak langsung melalui hubungan pertemanan yang menghadirkan kekariban dalam interaksi. Banyak penelitian telah menunjukkan efektivitas kontak antar kelompok ini dalam menciptakan outgroup attitude yang positif, seperti pada konteks hubungan pemeluk agama Katolik-Protestan di Irlandia Utara (Paolini, Hewstone, Cairns, & Voci, 2004; Hewstone, Cairns, Voci, Hamberger, & Niens 2006) dan konteks hubungan antar kelompok etnis di sekolah (Barlow, Louis, & Hewstone, 2009; Beelmann & Heinemann).

Beberapa penelitian menunjukkan ada beberapa karakteristik pertemanan antar kelompok yang dapat memberikan hasil optimum, seperti adanya kecocokan antara diri dengan orang teman interaksi (Aron, Aron, & Smollan, 1992), keterbukaan akan informasi diri atau self-disclosure (Turner, Hewstone, & Voci, 2007), empati antar kelompok (Batson, Early, & Salvarani, 1997), dan adanya kemampuan perspective taking (Galinsky & Moskowitz, 2000). Jika memiliki karakteristik tersebut, pertemanan diketahui dapat meningkatkan sikap terhadap kelompok lain yang lebih positif (mis., Paolini, Hewstone, Cairns, Voci, 2004). Bahkan, interaksi ini diketahui memiliki efek lanjutan, yaitu penilaian positif pada kelompok lain yang tidak terlibat langsung dalam interaksi antar kelompok (van Laar, Levin, Sinclair, & Sidanius, 2005). Misalnya, jika anda adalah seorang Muslim, lalu memiliki pengalaman interaksi yang positif dengan kelompok etnis minoritas seperti Tionghoa. Sikap positif terhadap orang beretnis Tionghoa tersebut juga cenderung akan menular pada sikap Anda terhadap kelompok etnis minoritas lainnya, misalnya orang

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 55: INDONE PSIKOLOGI SIA

51

TOPIK PSIKOLOGI TERKINI KITA BERBEDA, KITA BERTEMAN

beragama Kristen, Hindu, atau Budha.

Meskipun efektivitas kontak antar kelompok sudah seringkali ditemukan, namun bukan berarti hipotesis ini bebas dari kritik. Salah satu kritik utamanya adalah teori ini tidak mempertimbangkan adanya peran konteks. Kontak antar kelompok dianggap sebagai interaksi antar kelompok yang bebas dari pengaruh lingkungan sosial. Chris et al. (2014), misalnya, menemukan bahwa efektivitas kontak antar kelompok berbeda di wilayah yang lebih beragam dan kurang beragam. Mereka menemukan bahwa masyarakat di daerah dengan keberagaman tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih positif meski pengalaman kontak antar kelompoknya minim. Hal ini terjadi karena masyarakat di daerah tersebut lebih cenderung untuk mempersepsikan bahwa tetangga mereka memiliki hubungan yang positif dengan orang-orang yang berbeda identitas sosialnya. Pengetahuan tersebut menjadikan individu mempersepsikan bahwa hubungan antar kelompok di daerah tersebut baik. Dengan kata lain, tanpa pengalaman kontak antar kelompok secara langsung sekalipun, sikap positif terhadap orang beda kelompok dapat terbentuk. Lain halnya dengan orang-orang yang tinggal di daerah yang cenderung homogen. Pada daerah semacam ini, kontak antar kelompok secara langsung menjadi kunci terbentuknya harmoni antar kelompok.

Pada konteks Indonesia, saya juga telah mencoba melihat bagaimana konteks berperan dalam meningkatkan keberhasilan pertemanan antar kelompok bagi terciptanya sikap antar kelompok yang positif (Yustisia, 2016). Secara konseptual, saya mencoba melihat efek moderasi norma kelompok dalam hubungan pertemanan antar kelompok (cross-group friendship) dengan sikap pada kelompok lain (Yustisia, 2016). Saya menduga pertemanan antar kelompok dapat

memprediksi sikap positif terhadap kelompok lainnya hanya ketika norma kelompok juga mendukung pertemanan antar kelompok. Sebelum menjelaskan temuan penelitian ini, berikut saya jelaskan terlebih dahulu konsep-konsep dasar dan mekanisme psikologis ide penelitian ini.

Norma kelompok dapat diartikan sebagai aturan tidak tertulis yang mengatur tentang apa-apa yang perlu anggota kelompok lakukan dalam konteks tertentu. Di Indonesia, misalnya ada norma bahwa murid seharusnya mencium tangan gurunya. Studi-studi norma kelompok berawal dari penelitian-penelitian identitas sosial. Ide dasarnya adalah ketika individu teridenti�kasi kuat dengan sebuah kelompok, perilakunya akan banyak dipengaruhi oleh norma dan standar kelompok tersebut (Smith & Louis, 2009). Misalnya, jika Anda tergabung dalam kelompok aktivis lingkungan yang melarang menggunakan sedotan plastik, dan Anda merasa kelompok tersebut penting bagi identitas Anda, maka Anda akan mengikuti aturan tersebut: tidak menggunakan sedotan plastik.

Dalam penelitian ini saya menggunakan hubungan antar kelompok agama sebagai konteks penelitian. Hal ini bergerak dari fakta bahwa ketegangan sosial antar umat beragama di Indonesia masih dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Saya melihat bahwa meski keberagaman identitas sosial bisa dengan mudah ditemukan di Indonesia, tapi kenyataannya tidak semua kelompok bisa menerima bahkan mendorong adanya interaksi antar kelompok, terutama terkait kelompok agama. Dalam konteks hubungan Muslim dan Kristen di Indonesia, khususnya, hal ini dapat dikaitkan dengan rasa takut karena adanya sejarah pemimpin Islam yang secara eksplisit menyatakan perlawanan terhadap ekspansi Kristenisasi pada

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 56: INDONE PSIKOLOGI SIA

52

TOPIK PSIKOLOGI TERKINI KITA BERBEDA, KITA BERTEMAN

tahun 1964 (Mujiburrahman, 2006).

Untuk mengembangkan penelitian sebelumnya, norma kelompok dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu norma injungtif dan norma deskriptif. Norma injungtif berbicara tentang aturan-aturan yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan. Sementara itu, norma deskriptif berbicara tentang informasi tentang apa yang sebenarnya orang-orang lakukan. Beberapa penelitian menunjukkan norma injungtif lebih efektif mengubah sikap dan perilaku (mis., Savani, Morris, & Naidu, 2012). Namun penelitian lain menunjukkan norma deskriptif lebih efektif (Kobis, van Prooijen, Righetti, Van Lange, 2015).

Norma yang lebih efektif tergantung pada tujuan dari sikap atau perilaku itu sendiri. Jika tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang perilaku apa yang feasible dalam konteks tertentu, orang akan melihat norma deskriptif. Namun, jika tujuannya adalah untuk membina hubungan sosial, orang akan berfokus pada norma injungtif. Contohnya, seorang mahasiswa mempertimbangkan akan mencontek atau tidak dalam sebuah ujian. Jika ia melihat banyak mahasiswa lain yang mencontek, ia berarti melihat norma deskriptif perilaku mencontek. Namun, tentu ia sadar bahwa dosen, kampus, maupun sebagian mahasiswa lainnya mengharapkan tidak ada aktivitas mencontek saat ujian. Pengetahuan tentang harapan lingkungan ini disebut sebagai norma injungtif. Bergerak dari pembagian norma tersebut, saya menduga bahwa pertemanan antar kelompok dapat membentuk sikap positif terhadap orang beda agama jika norma injungtif mendukung pertemanan beda agama tersebut; namun tidak bergantung pada norma deskriptif yang berlaku.

Dengan menggunakan 110 partisipan mahasiswa, studi ini menemukan bahwa hipotesis utama

penelitian ini dapat diterima. Bahwa norma injungtif dapat memoderasi hubungan pertemanan antar kelompok dengan sikap terhadap orang beda agama. Namun, perlu dicatat bahwa norma injungtif berperan penting saat pertemanan antar kelompok diukur dalam frekuensi pertemanan. Saat pertemanan antar kelompok diukur terkait dengan kualitas, yaitu seberapa menyenangkan pertemanan antar kelompok tersebut, norma injungtif tidak menunjukkan peranan moderasi yang signi�kan. Artinya adalah, semakin sering pertemanan antar kelompok agama, semakin positif sikap terhadap orang beda agama, khususnya pada saat norma injungtif mendukung pertemanan tersebut. Jika norma injungtif tidak mendukung pertemanan tersebut, kuantitas pertemanan beda agama tidak cukup mampu menciptakan sikap positif terhadap orang beda agama. Sementara itu, sejalan dengan hipotesis, norma deskriptif tidak menunjukkan peran moderasi yang signi�kan baik ketika pertemanan antar kelompok diukur dalam hal kuantitas maupun kualitas.

Temuan-temuan ini mengindikasikan dua hal. Pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa norma injungtif memiliki peranan lebih penting ketimbang norma deskriptif dalam konteks hubungan antar kelompok agama. Seperti yang sudah dijelaskan, hal ini terkait dengan karakteristik dari konteks penelitian ini, yaitu hubungan antar kelompok, yang memang lebih menuntut penilaian moral tentang benar dan salah. Penilaian tentang benar dan salah tentunya erat kaitannya dengan norma injungtif daripada norma deskriptif. Kedua, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kualitas pertemanan lebih penting daripada kuantitas pertemanan.

Berdasarkan uraian di atas, lantas saran praktis apa yang bisa diberikan untuk mewujudkan harmoni antar kelompok sosial di Indonesia? Pertama, kita

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 57: INDONE PSIKOLOGI SIA

53

TOPIK PSIKOLOGI TERKINI KITA BERBEDA, KITA BERTEMAN

perlu menyadari bahwa kecenderungan bias adalah konsekuensi tak terelakkan dari proses kategorisasi sosial. Artinya adalah, ketika Anda sudah merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu dan orang lain masuk ke kelompok yang berbeda, maka Anda secara sadar atau tidak punya kecenderungan untuk menilai kelompok Anda lebih baik dari orang lain. Kesadaran ini diharapkan dapat sedikit menurunkan bias antar kelompok, jika tidak dapat menghilangkan.

Kedua, mengingat cara pandang politik maupun agama tidak dapat diseragamkan, toleransi atas keberagaman menjadi mutlak. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hubungan yang penuh toleransi tersebut adalah kontak antar kelompok. Bergerak dari temuan penelitian Yustisia (2016) soal pentingnya peranan norma injungtif, pihak-pihak yang punya kepentingan dengan terwujudnya harmoni

kelompok ini perlu memperhatikan apakah norma injungtif di berbagai kelompok masyarakat sudah mendukung pertemanan dengan orang-orang beda cara pandang atau tidak. Masyarakat perlu yakin bahwa berteman dengan orang-orang yang berbeda identitas sosialnya adalah hal yang wajar dan bahkan didukung oleh lingkungan sosial mereka. Terakhir, bergerak dari temuan pentingnya kualitas pertemanan, pihak-pihak terkait perlu memperhatikan aspek kuantitas sekaligus kualitas hubungan antar kelompok di Indonesia.

*Versi asli/panjang artikel ini telah dimuat di jurnal Makara Hubs Asia tahun 2016 volume 20 nomor 1 dengan judul Group Norms as Moderator in e Effect of Cross Group Friendship on Outgroup Attitude: A Study on Interreligious Group in Indonesia

“Semakin sering pertemanan antar kelompok agama,

semakin positif sikap terhadap orang beda agama, khususnya

pada saat norma injungtif mendukung pertemanan

tersebut. Jika norma injungtif tidak mendukung pertemanan sebut, kuantitas pertemanan

beda agama tidak cukup mampu menciptakan sikap positif terhadap orang beda

agama.”

“Mengingat cara pandang politik maupun agama tidak

dapat diseragamkan, toleransi atas keberagaman menjadi mutlak. Salah satu langkah

penting yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hubungan yang penuh toleransi tersebut

adalah kontak antar kelompok.”

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 58: INDONE PSIKOLOGI SIA

54

Psikologi untuk Pendidikan,Pengajaran, dan BelajarProgram Doktor (S3) Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang

Selain Program Studi S1 Psikologi, Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang juga mengelola Program Doktor

(S3) Psikologi Pendidikan. Secara historis, Program Doktor Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM) berkembang sejak tahun 1970-an semasa Universitas Negeri Malang masih memiliki status Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP Malang). Universitas Negeri Malang adalah sebuah perguruan tinggi yang pada tahun 2018 menempati peringkat 14 untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Peringkat tersebut adalah termasuk kluster 1 untuk perguruan tinggi di Indonesia versi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Visi Program Studi Psikologi Pendidikan adalah menjadi program studi unggul dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan tridharma

perguruan tinggi bidang psikologi pendidikan di Indonesia. Misi Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan adalah: Pertama, menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran program studi yang berpusat pada mahasiswa dengan menggunakan pendekatan yang efektif dan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk bidang ilmu psikologi pendidikan. Kedua, menyelenggarakan penelitian bidang psikologi pendidikan di berbagai setting lembaga pendidikan formal, dan pengembangan kurikulum. Ketiga, menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat bidang psikologi pendidikan. Keempat, menyelenggarakan tata pamong program studi yang akuntabel dan transparan untuk menjamin peningkatan kualitas berkelanjutan.

Kurikulum yang dikembangkan Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi yang telah dikembangkan.

Rektor UM dalam konferensi internasional Asia Psychological Association Convention 2017yang diselenggarakan Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang. Dokumentasi FPPsi UM

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 59: INDONE PSIKOLOGI SIA

55

Matakuliah-matakuliah yang disajikan agar mahasiswa dapat lulus tepat waktu di antaranya adalah Psikologi Lintas Budaya dalam Bidang Pendidikan, Filsafat Ilmu Psikologi Pendidikan, Studi Mandiri 1, Studi Mandiri 2, Studi Mandiri 3, dan Metode Penelitian Tingkat Lanjut dalam Bidang Psikologi Pendidikan.

Secara khusus, dalam upaya untuk membantu percepatan penyelesaian disertasi, peserta program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan dapat menggunakan pendekatan penelitian yang sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Pendekatan-pendekatan penelitian yang sesuai yang dapat dipilih oleh peserta antara lain adalah: pendekatan kuantitatif, pendekatan kualitatif, pendekatan penelitian tindakan, dan pendekatan penelitian pengembangan.

Topik-topik disertasi yang ada dalam disertasi lulusan Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan sangat bervariasi. Topik-topik tersebut antara lain adalah: regulasi diri, agresi dalam konteks pendidikan, motivasi belajar, dan kebahagiaan siswa.

Terdapat berbagai fasilitas dalam Program Doktor (S3) Psikologi Pendidikan UM yang diberikan agar mampu menjamin produktivitas dan kesejahteraan psikologi peserta program. Fasilitas yang disediakan pada saat peserta mengikuti Program Doktor Psikologi Pendidikan, antara lain perpustakaan, laboratorium psikologi, workshop, seminar nasional, seminar internasional, kuliah tamu, e-journal, dan penelitian bersama dengan dosen.

Dosen pengampu matakuliah dan dosen pembimbing pada Program Doktor Psikologi Pendidikan adalah lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia dan perguruan tinggi luar

negeri (Amerika Serikat dan Australia). Ahli psikologi pendidikan lulusan Program Doktor Psikologi Pendidikan UM diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu dan teknologi dalam pendidikan, antara lain sebagai (1) peneliti mengenai aspek-aspek psikologis perkembangan peserta didik dan pembelajaran pada lembaga-lembaga penelitian dan lembaga pendidikan formal, dan pengembangan kurikulum; (2) tenaga ahli dalam penilaian dan testing pendidikan, diagnostik kesulitan belajar, perencanaan pendidikan dan pengembangan sistem terutama dari sudut pandang teori psikologi pendidikan; (3) tenaga ahli dalam tim kerja bersama dengan konselor sekolah dan tenaga terkait lainnya, dengan tugas membantu penanganan masalah belajar siswa di sekolah; serta (4) pendidik yang berkewenangan mengajar di bidang psikologi pendidikan di jenjang pendidikan tinggi.

Alumni Program Doktor Psikologi Pendidikan tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Salah satu alumni Program Doktor Psikologi Pendidikan UM yang terkenal adalah Prof. Dr. T. Raka Joni, M.Sc. Beliau adalah salah satu tokoh pendidikan Indonesia yang memiliki jasa dalam perjuangan untuk mengembangkan profesionalitas guru di Indonesia. Ikon untuk psikologi pendidikan di Universitas Negeri Malang adalah Ibu Prof. Dr. Soepartinah Pakasi. Sebagai ahli sekaligus praktisi psikologi pendidikan, beliau menerapkan teori dan konsep psikologi pendidikan dalam sekolah laboratorium yang disebut dengan SD Laboratorium IKIP Malang (1967-1974). SD Laboratorium tersebut memiliki peran besar dalam perjalanan pembaharuan pendidikan di Indonesia, seperti pengembangan kelas akselerasi, kelas berpindah, pembelajaran berpusat pada anak, dan pengembangan kreativitas siswa.

PROFIL PROGRAM STUDI DOKTORAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 60: INDONE PSIKOLOGI SIA

56

Irwanto & Gunawan, F.Y. (2018).Sejarah Psikologi: Perkembangan Perspektif Teoretis.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 368 hal. xxii.

RESENSI BUKU

Merentas Jalan Kajian SejarahPsikologi di Indonesia

Iwan W. Widayat - Fakultas Psikologi Universitas [email protected]

Buku sejarah psikologi yang ditulis oleh penulis Indonesia, khususnya para ilmuwan psikologi, masih tidak banyak

ditemui. Apalagi yang didalamnya mencakup bahasan tentang Psikologi di Indonesia. Sebenarnya, penulisan buku-buku sejarah psikologi oleh para ilmuwan psikologi, dan juga para psikopedagog, telah banyak dilakukan sejak tahun 50-60an. Beberapa buku merupakan saduran dari karya penulis luar, seperti karya Gardner Murphy, Historical Introduction to Modern Psychology, atau karya LCT. Bigot, Ph. Kohnstamm dan B.G. Palland, Leerboek der Psychologie (disadur khusus pada bagian sejarah psikologi). Beberapa buku merupakan karya dari para penulis Indonesia sendiri, seperti misalnya “Sedjarah Ilmu Djiwa dan Ilmu Watak” (Walujo, 1958), “Psikologi dari Zaman ke Zaman” (Said, 1965), “Ichtisar Sedjarah ilmu Djiwa” (Soerjabrata, 1969) atau “Aliran-Aliran Modern dalam Ilmu Jiwa” (Sahertian, 1983). Buku-buku tersebut pada umumnya lebih menekankan pada perspektif psikologi Barat, dan belum cukup mengelaborasi perkembangan psikologi di Timur, termasuk di Indonesia.

Di tengah kelangkaan referensi sejarah psikologi karya penulis Indonesia, beberapa buku sejarah psikologi barat justru kemudian diterjemahkan

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 61: INDONE PSIKOLOGI SIA

57

RESENSI BUKU SEJARAH PSIKOLOGI: PERKEMBANGAN PERSPEKTIF TEORETIS

kedalam bahasa Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Seperti misalnya, History of Psychology (Boeree, 2000), History and System of Psychology (Brennan, 2006), History of Psychology: a Sketch and an Interpretation (Baldwin, 2007), a History of Psychology (Klemm, 2017), atau a History of Modern Psychology (Schultz & Schultz, 2013). Hal inilah yang kemudian mendorong beberapa ilmuwan Psikologi Indonesia untuk menulis tentang Sejarah Psikologi. Ada beberapa alasan mengapa beberapa ilmuwan psikologi tersebut terdorong untuk menulis buku sejarah psikologi dalam bahasa Indonesia, meskipun telah banyak buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah, buku-buku sejarah psikologi yang ada masih kurang mengelaborasi perkembangan psikologi pada abad pertengahan, khususnya perkembangan psikologi di dunia Islam. Alasan lainnya adalah masih kurangnya buku sejarah psikologi yang menjelaskan perkembangan pemikiran psikologi yang paling mutakhir. Selain itu, hampir tidak ada buku sejarah psikologi yang memaparkan tentang perspektif ke-Indonesiaan. Pada waktu yang hanya berselang setahun, dua buku yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan diatas diterbitkan oleh dua ilmuwan psikologi Indonesia, yakni “Sejarah Psikologi: Dari klasik hingga modern” (Rahman, 2017) dan “Sejarah Psikologi: Perkembangan Perspektif Teoretis” (Irwanto & Gunawan, 2018).

Buku “Sejarah Psikologi: Perkembangan Perspektif Teoretis” karya Prof. Irwanto dan Felicia Gunawan (2018) ini adalah salah satu buku yang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan sebagaimana dijelaskan diatas. Buku ini hendak menyajikan suatu pemaparan yang tidak hanya bercerita tentang tokoh-tokoh utama dalam psikologi, namun lebih jauh memaparkan pemikiran-pemikiran mereka dan pertautan berbagai pemikiran tersebut menjadi suatu

perspektif teoretik. Selanjutnya menelisik bagaimana pemikiran-pemikiran tersebut berakar, tumbuh dan berkembang dalam pengaruh konteks sejarah jamannya. Melalui pendekatan ini penulis berharap dapat lebih leluasa dalam merambah berbagai pemikiran yang membangun pemahaman kita tentang manusia dan perilakunya, dari sudut pandang yang tidak selalu bernuansa barat, meski hal itu pada akhirnya tidak terelakkan.

Buku ini terdiri dari 11 Bab, dimana pada dua bab pertama penulis menjelaskan tentang awal kelahiran gagasan-gagasan yang mendasari perspektif teori psikologi. Bab pertama memaparkan tentang perjalanan gagasan-gagasan tentang alam dan manusia pada masa kuno, dari zaman Yunani hingga agama-agama samawi. Cukup menarik bahwa, meskipun pemikiran kontemplatif Oriental dan Timur (terutama India dan Tiongkok) sempat disinggung pada bagian pendahuluan (hal xiii), namun tidak ditemukan paparannya secara rinci dalam bahasan mengenai �lsafat tentang alam dan manusia di bab ini.

Selanjutnya, pada bab dua, penulis menjelaskan tentang berbagai gagasan dan penelitian awal dalam berbagai sub-disiplin ilmu yang menjadi cikal bakal lahirnya bidang ilmu psikologi. Pada bab tiga hingga sepuluh, dengan diawali paparan tentang kelahiran psikologi sebagai ilmu, penulis memaparkan berbagai perspektif teoretik utama dalam psikologi. Paparan diawali dengan perspektif strukturalisme hingga Behaviorisme pada bab tiga, kemudian dilanjutkan sampai perspektif Psikobiologi dan Psikologi Evolusioner pada bab sepuluh. Hal yang menarik adalah adanya paparan tentang Psikologi Positif pada bab tujuh, sebagai perkembangan gagasan dari �lsafat eksistensialisme dan Psikologi Humanistik, meskipun masih terbatas pada gagasan yang dikemukakan oleh Martin Seligman.

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 62: INDONE PSIKOLOGI SIA

58

RESENSI BUKU SEJARAH PSIKOLOGI: PERKEMBANGAN PERSPEKTIF TEORETIS

Pada bab terakhir, dipaparkan perspektif teori yang muncul dalam perkembangan gagasan tentang manusia dan perilakunya dalam konteks Indonesia. Pada awal bagian ini dikemukakan beberapa sudut pandang �lsafat timur yang sayangnya juga tidak dieksplorasi secara mendalam, terutama dalam kaitannya dengan cara pandang masyarakat yang disebut sebagai 'timur' (Timur Tengah, India, Tiongkok) terhadap manusia dan dunianya. Cara pandang tersebut tentu memiliki perbedaan dengan cara pandang psikologi barat, sebagaimana dicontohkan oleh penulis pada pengalaman Danziger di Jogja. Terkait hal ini, ada sedikit catatan kaki yang agak mengganggu terkait dengan masa tugas Kurt Danziger pada halaman 331 yang tertulis bahwa ia ditugaskan di Indonesia pada tahun 1954. Berdasarkan biogra� Danziger yang dimuat pada halaman belakang buku pidato pengukuhannya sebagai guru besar Ilmu Djiwa Sosial pada Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (Danziger, 1960), tertulis bahwa ia ditugaskan ke Indonesia pada permulaan tahun 1958. Pada bulan Oktober 1959 ia meninggalkan Indonesia dan kembali ke Afrika Selatan.

Pada bagian selanjutnya dari bab sebelas, dikemukakan hasil penelitian Pols (2015) tentang pemikiran psikologis yang muncul di kalangan para psikiater Belanda terhadap masyarakat jajahan dalam konteks kolonialisme. Selanjutnya pada akhir bab dipaparkan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram tentang ilmu bahagia (kawruh begja) yang dikembangkan pada masa kolonial dan bertahan serta dikembangkan lebih lanjut hingga saat ini. Kedua paparan tersebut dengan sendirinya mengisi ruang dalam historiogra� psikologi Indonesia, tentang pemikiran-pemikiran psikologis pada masa kolonial. Sejarah Psikologi di Indonesia sebagai disiplin ilmu dimulai pada tahun 1953 dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Asisten Psikologi di Universitas

Indonesia. Melalui pendekatan sejarah pemikiran ini, maka sejarah psikologi di Indonesia bisa ditarik lebih jauh ke belakang hingga ke masa kolonial.

Metode yang digunakan dalam penulisan sejarah pada buku ini, sebagaimana diklaim oleh penulisnya, adalah metode sejarah pemikiran (history of ideas). Melalui penggunaan metode ini penulis berupaya memaparkan bagaimana gagasan tentang manusia dan perilakunya diungkapkan, dipertahankan dan diubah dari waktu ke waktu. Penulis berusaha untuk memaparkan–meminjam istilah Danziger (2013)–'sejarah dalam psikologi' (historiography in psychology). Penulisan sejarah dengan pendekatan ini akan menghasilkan rangkaian historiogra� dari beragam topik yang luas dalam psikologi, yang membangun atau dianggap membangun psikologi modern. Untuk itu, gagasan-gagasan psikologi yang ditelaah bersumber dari dan berjalan seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan modern yang berakar pada jaman Yunani kuno, meskipun dalam evolusinya lebih lanjut, diakui adanya pengaruh dari pemikiran Timur. Pada titik inilah kemudian, terjadi persinggungan akar �loso�s antara barat dan timur yang memungkinkan terciptanya gagasan psikologi yang lebih komprehensif. Meskipun, sayang sekali penulis buku ini tidak secara spesi�k menarik persinggungan ini kedalam suatu perspektif teori yang lebih bernuansa budaya atau yang mengarah pada psikologi transpersonal.

Selain itu, dalam penulisan buku ini, para penulisnya berharap dapat memunculkan nuansa kontekstual yang bersifat sosial dan budaya dalam memahami gagasan-gagasan tentang manusia dan perilakunya. Hal ini diharapkan dapat membuka peluang bagi pengkajian tentang manusia dan perilaku yang terjadi di Indonesia, dimana selama ini, orientasi kesejarahan psikologi lebih mengacu

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 63: INDONE PSIKOLOGI SIA

59

RESENSI BUKU SEJARAH PSIKOLOGI: PERKEMBANGAN PERSPEKTIF TEORETIS

pada teks barat (hal ix-x). Untuk itu pendekatan penulisan yang digunakan tidak dimaksudkan untuk begitu saja menonjolkan sejarah pemikiran orang per orang, melainkan dengan melihat juga zeitgeist atau “the spirit of the time” nya. Pilihan ini sebenarnya mere�eksikan perdebatan klasik yang selalu ramai dalam penulisan sejarah ilmu, yakni antara internalisme dan eksternalisme. Hessenbruch (2013) menjelaskan, Internalisme dalam historiogra� ilmu pengetahuan mengklaim bahwa ilmu benar-benar terpisah dari pengaruh sosial, dan ilmu alam yang murni bisa saja ada di masyarakat manapun dan kapanpun yang memiliki kapasitas intelektual. Sebaliknya, Eksternalisme dalam historiogra� ilmu memandang bahwa sejarah ilmu berkaitan dengan konteks sosialnya, dimana iklim sosial-politik dan ekonomi di sekitarnya menentukan kemajuan ilmiah. Pendekatan penyelidikan dengan menelaah zeitgeist sebenarnya bisa juga dipadukan dengan metode penyelidikan lainnya, sehingga tidak harus memposisikan diri secara dikotomis. Hergenhahn dan Henley (2014) misalnya, yang merupakan acuan utama dalam penulisan buku ini, memposisikan diri secara eklektif dengan menggabungkan antar pendekatan dalam penulisan sejarah, yakni zeitgeist, tokoh utama (great person) dan perkembangan sejarah (historical development).

Kelebihan buku ini adalah bahasanya yang ringan dan mudah dipahami. Penjelasan-penjelasannya disertai dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari yang kadang juga dikaitkan dengan bidang profesi psikologi. Sebagaimana dikemukakan oleh para penulisnya, buku ini memang 'ditulis untuk tujuan yang sangat praktis, yaitu membantu mahasiswa mempelajari psikologi dalam konteks sejarah keilmuan dan perspektif para pemikirnya' (hal x). Sebagai buku pegangan untuk mahasiswa, buku ini dilengkapi dengan tabel Alur Sejarah Pemikiran dalam lampiran,

yang akan memudahkan pembaca dalam menelusuri setiap perspektif teoretik yang dipaparkan.

Kelebihan lainnya adalah, sebagaimana telah dipaparkan di muka, buku ini berupaya mengisi ruang kosong dalam historiogra� psikologi Indonesia. Hal ini terutama menyangkut pemikiran-pemikiran psikologis pada masa kolonial dan pemikiran-pemikiran psikologis yang bersifat indigenous. Melalui pendekatan sejarah pemikiran yang digunakan, penulis berupaya untuk menarik sejarah psikologi Indonesia lebih jauh ke belakang hingga ke masa sebelum kelahiran psikologi sebagai disiplin ilmu di Indonesia. Ini tentu diharapkan dapat memberikan inspirasi sekaligus tantangan bagi para ilmuwan psikologi yang berminat dalam kajian sejarah, untuk turut ambil bagian dalam mengisi ruang-ruang kosong yang dimaksudkan. Inspirasi dan tantangan untuk mengembangkan kajian sejarah pemikiran psikologi di Indonesia inilah justru yang menjadi kontribusi utama buku ini.

Selain kelebihan-kelebihan diatas, terdapat pula beberapa kekurangan yang dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam penyempurnaan buku ini. Pertama adalah kekurangan terkait substansi, yakni buku ini dalam pembabakan aliran atau perspektif teorinya masih mengikuti pembabakan pada buku yang menjadi acuan pokok, terutama Hergenhehn dan Henley (2014). Meskipun dengan jumlah pemaparan yang lebih sedikit karena pemangkasan pada berbagai pemikiran tokoh dan disisakan pada beberapa tokoh yang dianggap penting oleh penulis. Hal ini menyebabkan perkembangan perspektif teori yang diangkat dalam buku ini masih kurang mengelaborasi perkembangan pemikiran psikologi yang paling mutakhir. Meskipun telah sedikit memaparkan pemikiran Seligman yang mewakili

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 64: INDONE PSIKOLOGI SIA

60

RESENSI BUKU SEJARAH PSIKOLOGI: PERKEMBANGAN PERSPEKTIF TEORETIS

pendekatan Psikologi Positif, namun belum menyentuh perspektif teoretik yang ada dalam pendekatan Psikologi Transpersonal.

Kekurangan lainnya adalah adanya kegamangan metodologis dalam menggunakan metode sejarah. Kegamangan ini nampak dari penggunaan metode sejarah pemikiran (history of ideas) yang lazim berada pada tradisi historiogra� internalisme, namun berupaya menghadirkan konteks sosial budaya dari pemikiran tersebut, sehingga menjadi lebih mirip dengan sejarah intelektual (intellectual history) yang lazim berada pada tradisi historiogra� eksternalisme. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, karena latar belakang penulis adalah para ilmuwan psikologi dan bukan sejarawan. Ini justru menunjukkan adanya perkembangan yang cukup baik bahwa sebagian Ilmuwan Psikologi mengalami transformasi menjadi apa yang disebut oleh Desbury (2003) sebagai the Dabbler.

Desbury, sebagaimana dikutip oleh Vaughn-Blount dkk (2009) mengemukakan adanya 3 pro�l, yang mencirikan keterlibatan Ilmuwan Psikologi dalam kajian sejarah, yang pertama adalah yang disebut dengan the Dabbler, yaitu mereka yang merupakan ahli psikologi di bidang lain (non-sejarah), namun memiliki minat dalam sejarah psikologi, sebagai tambahan dari bidang psikologi yang mereka tekuni. Kedua adalah the Retread, yakni mereka yang semula merupakan the Dabbler, namun passion-nya terhadap sejarah semakin meningkat. Mereka mulai mempelajari metode sejarah dan menjadi lebih terlibat dalam dunia profesi sejarawan psikologi, lalu menyisihkan bidang minat sebelumnya utk berfokus secara khusus pada kajian sejarah psikologi. Ketiga adalah the Straight-liner, yakni mereka yang memang merupakan lulusan program studi sejarah psikologi. Mereka memiliki minat sejak awal dalam sejarah psikologi lalu mengambil kuliah pada jurusan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, dan sebagaimana telah dijelaskan mengenai kontribusi utama buku ini, kehadiran buku ini dapat meretas jalan terhadap kajian sejarah Psikologi di Indonesia. Inspirasi yang dibangun dengan upaya penulisan buku ini semoga dapat melahirkan the Dabblers dan the Retread, yakni mereka yang berminat dan antusias dalam mengeksplorasi aneka perspektif teoretik yang pernah ada dalam sejarah Psikologi Indonesia. Harapan lebih jauh adalah, semoga kehadiran buku ini menginspirasi terciptanya komunitas Sejarah Psikologi di Indonesia yang mungkin akan bermuara pada terbentuknya program peminatan Sejarah Psikologi di level Magister atau Doktoral, sehingga dapat menghasilkan the Straight-liner di masa depan. Semoga.

Referensi

Baldwin, J.M. 2007. History of psychology: A sketch and an interpretation (terjemahan Abdul Qodir Shaleh). Yogyakarta: Primasophie

Boeree, CG. (2005). Sejarah psikologi: Dari masa kelahiran sampai masa modern (terjemahan Abdul Qodir Shaleh). Yogyakarta: Prismasophie

Brennan, J.F. (2006). Sejarah dan sistem psikologi (terjemahan Nurmala Sari Fajar). Jakarta: PT. Rajagra�ndo Persada

Danziger, K. (1960). Psychologi dan masjarakat. Jogjakarta: Penerbitan Universitas.

Danziger, K. (2013). Psychology and its history. eory & Psychology, 23(6) 829–839.

Hergenhahn, B.R., & Henley, T. (2014). An introduction to the history of psychology, (7th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Press

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

Page 65: INDONE PSIKOLOGI SIA

61

RESENSI BUKU SEJARAH PSIKOLOGI: PERKEMBANGAN PERSPEKTIF TEORETIS

Hessenbruch, A. (ed.). (2013). Reader's guide to the history of science: "Internalism versus Externalism. Routledge

Irwanto & Gunawan, F.Y. (2018). Sejarah psikologi: perkembangan perspektif teoretis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Klemm, O. (2017). A history of psychology: Sejarah psikologi. Yogyakarta: IndoLiterasi

LCT. Bigot, Ph. Kohnstamm & B.G. Palland. (1984). Sejarah ilmu jiwa (saduran F.S. Juntak). Yogyakarta: Penerbit Jemmars.

Pols, H. (2007). Psychological knowledge in a colonial context: theories on the nature of the “native mind” in the former dutch east indies. History of psychology, 10(2), 111–131.

Rahman, AA. (2017). Sejarah psikologi: Dari klasik hingga modern. Depok: PT. Rajagra�ndo Persada.

Sahertian, PA. (1983). Aliran-aliran modern dalam ilmu jiwa. Surabaya: Usaha Nasional.

Said, M. (1965). Psikologi dari zaman ke zaman. Jakarta: Penerbit Dian Rakjat

Sarwono, SW. (1980). Berkenalan dengan tokoh-tokoh dan aliran-aliran psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Schultz, DP. & Schultz, SE. (2014). Sejarah psikologi modern: A history of modern psychology (terjemahan Lita Hardian). Bandung: Nusa Media.

Soerjabrata, S. (1969). Ichtisar sedjarah ilmu djiwa. Yogyakarta: UP. Sumbangsih.

Vaughn-Blount, K., Rutherford, A., Baker, D., & Johnson, D. (2009). History's mysteries, demysti�ed: Becoming a psychologist-historian. American Journal of Psychology, 122(1). 117-129.

Walujo, S. (1958). Sedjarah ilmu djiwa dan ilmu watak. Yogjakarta: UP. Spring

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019

|PSIKOLOGI INDONESIA VOL.1 NO.1, JULI 2019