instrumen berbasis pasar - pmr indonesia · bakar fosil sebagai sumber energi pasca revolusi indus-...
TRANSCRIPT
1
BRIEFING PAPER - VOL. 1 APRIL 2017
Perubahan iklim boleh jadi adalah ancaman terbesar
bagi kehidupan generasi mendatang, karena dampak-
nya yang massif dan lintas batas wilayah negara. Indo-
nesia sebagai negara agraris dan kepulauan termasuk
dalam kelompok yang rentan akan dampak perubahan
iklim. Kita sudah saksikan dan alami berbagai kejadian
alam yang beberapa waktu lalu jarang kita alami na-
mun sekarang semakin menjadi bagian dari keseharian
kita. Pergeseran saat mulai musim, perubahan inten-
sitas curah hujan, peningkatan muka air laut, adalah
beberapa indikator terjadinya perubahan iklim. Para
ahli di dunia telah sepakat dengan keyakinan sampai
95 persen bahwa perubahan iklim ini disebabkan oleh
pemanasan global yang dipicu oleh semakin banyaknya
gas rumahkaca di atmosfer bumi. Penumpukan gas
rumahkaca ini terjadi karena meningkatnya kegiatan
ekonomi modern, utamanya dari pembakaran bahan
bakar fosil sebagai sumber energi pasca revolusi indus-
tri.
Demi keberlanjutan perikehidupan generasi menda-
tang, Indonesia dan hampir seluruh negara-negara lain
di dunia telah sepakat dan berkomitmen untuk
menurunkan tingkat emisi gas rumahkacanya guna
menjaga pemanasan global tidak melebihi 2 derajat
diatas rata-rata temperatur saat masa pra revolusi in-
dustri. Hal ini tertuang dalam Paris Agreement
dibawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Peru-
bahan Iklim (UNFCCC). Sampai saat ini, Paris Agree-
ment sudah ditandatangani oleh 194 negara dan dirati-
fikasi oleh 132 negara termasuk Indonesia melalui Un-
dang-undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Paris Agreement.
Kontribusi Indonesia dalam pelaksanaan Paris Agree-
ment adalah komitmen untuk menurunkan jumlah
emisi gas rumahkaca (GRK) sebanyak 29 persen di
bawah tingkat Bussiness-As-Usual (BAU) pada tahun
2030 sebagaimana disebutkan dalam dokumen Nation-
ally Determined Contribution (NDC) yang sudah disam-
paikan Indonesia kepada PBB bulan November 2016.
Diperkirakan emisi GRK Indonesia pada tahun 2030
akan mencapai 2869 MtCO2eq (juta-ton-setara-
karbondioksida) sehingga kita harus mengupayakan
agar emisi nasional tidak melebihi 2035 juta-ton-setara
-karbondioksida pada tahun tersebut (penurunan
sebanyak 834 juta-ton-setara-karbondioksida). Lebih
jauh, Indonesia percaya bahwa dengan bantuan inter-
nasional yang tepat maka kita dapat menurunkan emisi
lebih banyak lagi yaitu sampai dengan 41 persen atau
1081 juta-ton-setara-karbondioksida.
Upaya penanganan perubahan iklim bagi Indonesia
bukan sekedar kontribusi untuk dunia tetapi juga bagi-
an dari upaya peningkatan ketahananan nasional.
Penurunan emisi di sektor energi, contohnya, adalah
bagian dari pengelolaan sumber daya alam dan kuali-
tas lingkungan. Kita semua tahu bahwa walaupun Indo-
nesia punya beragam sumber daya energi tetapi
jumlahnya sangat terbatas sehingga sesungguhnya su-
dah tidak ada ruang bagi kita untuk berperilaku boros
energi. Beradaptasi dengan perubahan iklim juga
penting untuk dilakukan supaya perikehidupan
penduduk dan ketahanan pangan nasional dapat terus
dijaga.
Tantangan besar dalam melaksanakan komitmen ini
adalah pendanaan. Anggaran pemerintah saja tidak
akan mencukupi ataupun memungkinkan untuk ini.
Peran serta aktif dari masyarakat dan swasta sangat
dibutuhkan dan pemerintah akan menjadi penyedia
daya ungkit untuk meningkatkan peran serta tersebut.
Halaman 1
Instrumen Berbasis Pasar: Pendanaan Inovatif untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Paper ini dipersiapkan oleh: Kerjasama:
2
BRIEFING PAPER - VOL. 1 APRIL 2017
Tantangan ini bukan milik Indonesia saja, banyak nega-
ra mengalaminya dan banyak pula yang mencoba
mengatasinya dengan menyediakan pengungkit atau
alat kebijakan berupa instrumen berbasis-pasar.
Instrumen berbasis-pasar untuk meningkatkan upaya
mitigasi perubahan iklim berfokus pada satu hal, yakni
memberikan nilai ekonomis bagi setiap unit penurunan
emisi alias carbon pricing. Pendekatan ini telah dil-
akukan dalam kesepakatan perubahan iklim sebelum
Paris Agreement yaitu Protokol Kyoto. Dalam Protokol
Kyoto, negara maju dapat mencapai target penurunan
emisinya dengan melakukan kegiatan penurunan emisi
di negara berkembang melalui Mekanisme Pem-
bangunan Bersih atau Clean Development Mechanism
(CDM). Dalam periode 2008-2014, Indonesia telah
mempunyai 147 kegiatan penurunan emisi yang ter-
daftar dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. Proyek
-proyek ini telah mengakumulasikan penurunan emisi
sebanyak lebih dari 31 juta-ton-setara-karbondioksida
dan diperkirakan telah membawa aliran dana insentif
hasil penjualan kredit karbon sebanyak USD 50 juta.
Pengalaman ini membuktikan bahwa instrumen ber-
basis-pasar dapat berfungsi dengan baik untuk mem-
berikan insentif bagi kegiatan penurunan emisi. Bagi
Indonesia, era CDM juga membuka mata bahwa se-
jatinya upaya penurunan emisi dapat layak secara
ekonomis, bahkan ketika insentif dari CDM sudah tidak
ada lagi. Namun perlu diingat bahwa era Paris Agree-
ment adalah era dimana negara berkembang juga di-
tuntut untuk berkontribusi pada penurunan emisi glob-
al sehingga instrumen berbasis-pasar akan lebih
ditekankan untuk bisa memfasilitasi pencapaian target
penurunan emisi di dalam negeri ketimbang menjual
hasil penurunan emisinya ke luar negeri. Dengan kata
lain, cakupannya adalah domestik. Beberapa negara
berkembang seperti China, Chile, Meksiko, dan Thai-
land tengah mengembangkan instrumen domestik ter-
sebut guna mendukung kebijakan penurunan emisi di
negaranya masing-masing. China bahkan tengah men-
gujicobakan sistem perdagangan emisi bagi industrinya
di tujuh provinsi.
Kecenderungan ini sebenarnya telah diidentifikasi se-
jak 7 tahun lalu. Pada tahun 2010, beberapa negara
maju bersama Bank Dunia membentuk suatu program
dana wali amanat yang bertajuk Partnership for Mar-
ket Readiness (PMR). Program ini bertujuan mem-
berikan dukungan bagi negara-negara berkembang
yang ingin meningkatkan kapasitasnya dalam
merancang dan menerapkan instrumen berbasis-pasar
untuk mitigasi perubahan iklim.
Indonesia sebagai salah satu negara mitra dalam PMR
telah mendapat alokasi pendanaan sebesar USD
3.000.000 dan dalam tahun 2017 ini telah memulai
pelaksanaan program-programnya dalam koordinasi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersa-
ma UNDP sebagai mitra pelaksana.
PMR Indonesia akan berfokus di sektor pembangkitan
listrik dan industri padat-energi untuk menyediakan
paling tidak dua hal, yaitu:
1. Dukungan untuk meningkatkan sistem
pemantauan, pelaporan dan verifikasi emisi atau
MRV (monitoring, reporting, verification) sesuai
norma dan standar internasional; serta
2. Analisa potensi penurunan emisi dan biayanya.
Sektor pembangkitan listrik dan industri padat-energi
dipilih mengingat jumlah emisi GRK-nya yang besar
dan signifikan dalam bauran emisi nasional serta
kondisinya yang sangat butuh dorongan insentif agar
bisa segera berpindah ke praktek-praktek yang rendah
emisi. Sedangkan dua keluaran yang diharapkan adalah
prasyarat untuk merancang dan menerapkan
instrumen berbasis-pasar yang handal dan efektif.
PMR Indonesia juga akan memberikan platform untuk
para pemangku kepentingan berdiskusi tentang
bagaimana kita bisa menggunakan kekuatan pasar
untuk meningkatkan kegiatan mitigasi perubahan iklim
di Indonesia serta bersama-sama melakukan exercise
dalam merancang instrumen berbasis-pasar yang
dapat diterapkan di Indonesia.
Instrumen berbasis pasar (IBP) untuk mitigasi
perubahan iklim cukup banyak ragamnya namun
semuanya dapat memberikan nilai (valuasi) bagi
penurunan emisi GRK. Ada tiga jenis IBP yang paling
umum diketahui yaitu mekanisme kredit karbon,
sistem perdagangan emisi dan pajak karbon (lihat
Jenis-jenis Instrumen Berbasis Pasar
Halaman 2
3
BRIEFING PAPER - VOL. 1 APRIL 2017
ilustrasi). Namun demikian, dimungkinkan pula
instrumen yang bersifat gabungan/hybrid, misalnya
perdagangan emisi plus kredit karbon, dan yang
menggunakan unit selain karbondioksida, misalnya
sertifikat energi terbarukan atau efisiensi energi.
Dalam mekanisme kredit karbon, suatu kegiatan
penurunan emisi direncanakan, dipantau, dilaporkan
dan diverifikasi hasilnya menurut aturan yang
ditetapkan mekanisme tersebut sehingga setiap ton-
setara-karbondioksida hasil penurunan emisi dapat
disertifikasi sebagai kredit karbon yang menjadi hak
pengusung kegiatan. Kredit karbon tersebut kemudian
dapat dijual kepada pihak yang membutuhkan,
biasanya adalah mereka yang ingin menggunakannya
untuk menghapus (offset) emisi, atau bahkan kepada
negara sebagai bentuk insentif berbasis kinerja.
Dalam sistem perdagangan emisi, diperlukan adanya
suatu kebijakan pembatasan emisi yang dikawinkan
dengan diizinkannya pemenuhan kewajiban tersebut
melalui perdagangan kuota. Dalam sistem ini, entitas
yang tidak dapat menjaga emisinya dibawah kuota
yang ditentukan dapat membeli kuota dari entitas yang
surplus kuota emisi. Sistem ini membutuhkan
penentuan kuota yang tepat dan tata kelola yang baik
agar dapat terjadi penurunan emisi secara optimal.
Pajak karbon banyak dipuji orang sebagai instrumen
yang paling mudah diterapkan. Biasanya, pajak karbon
diterapkan atas suatu komoditas yang menjadi sumber
emisi, misalnya bahan bakar atau alat transportasi.
Pendapatan dari pajak karbon ini kemudian digunakan
untuk meningkatkan kegiatan mitigasi perubahan
iklim.
Dari berbagai jenis IBP ini, apakah ada yang dapat
diterapkan di Indonesia guna mendukung pencapaian
NDC? Apa saja prasyarat (enabling condition) yang
sudah ada dan belum ada? Apa saja potensi dampak
terhadap anggaran negara dan/atau swasta? Apa saja
potensi hambatan yang harus dihadapi? Itu adalah
sebagian kecil pertanyaan yang mungkin timbul ketika
kita membuka diri terhadap opsi penerapan IBP di
dalam negeri.
Dalam Article 6 Paris Agreement terdapat aturan
tentang kerjasama penurunan emisi antar negara
dalam skema berbasis pasar maupun berbasis non-
pasar. Aturan berbasis pasar memungkinkan negara-
negara pihak dalam Paris Agreement untuk
bekerjasama menurunkan emisi baik secara bilateral
maupun dengan mengikuti mekanisme yang akan
dioperasikan oleh UNFCCC. Kerjasama berbasis pasar
ini bercirikan adanya hasil penurunan emisi yang
ditransfer oleh negara penghasil penurunan emisi ke
negara yang akan menggunakan hasil tersebut untuk
pencapaian NDC-nya (Internationally Transferred
Mitigation Outcomes atau ITMOs).
Aturan-aturan yang rinci tentang kerjasama berbasis
pasar ini masih dibahas dalam UNFCCC dan diharapkan
kerangka kerja kerjasama ini bisa beroperasi
secepatnya. Beberapa hal yang masih diperdebatkan
adalah tentang metode pencatatan penurunan emisi
dan modalitas operasi mekanisme di bawah UNFCCC.
Terlepas dari pembahasan yang sedang berjalan,
Article 6 Paris Agreement membuka peluang
pendanaan mitigasi perubahan iklim di negara
berkembang oleh negara maju. Pengalaman CDM
menunjukkan bahwa skema serupa dapat membantu
negara berkembang untuk menggulirkan upaya
pembangunan rendah karbon di dalam negeri.
Beberapa pertanyaan terkait yang mungkin timbul
adalah apakah Indonesia akan memanfaatkan peluang
ini? Bila iya, bagaimana dampaknya terhadap
pembuktian kontribusi Indonesia dalam Paris
Agreement (NDC)? Apakah mekanisme kerjasama
berbasis pasar yang paling memungkinkan bagi
Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat bersama-
sama didiskusikan dalam platform diskusi yang
didukung oleh kegiatan PMR Indonesia.
IBP dan Paris Agreement
Halaman 3
MITRA KERJA PMR INDONESIA: