isi sejarah hukum indnesia

40
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebelum membicarakan politik hukum Indonesia dalam catatan sejarah atas keberlakuannya, terlebih dahulu untuk mendeskripsikn pengertian sejarah itu sendiri, sebelum menjelaskan tentang penerapan tata hukum Indonesia dalam kehidupan politik hukum sejak zaman pra kemerdekaan sampai zaman kemerdekaan. Kalau dilihat dari Bahasa Latin, “sejarah” berasal dari kata “historis” dan dalam Bahasa Jermannya disebut “geschichte” yang berasal dari kata “geschehen”, yang berarti suatu yang terjadi. Sedangkan istilah “historis” yang berarti kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia. Di kawasan orang – orang yang berbahasa Melayu (termasuk Indonesia) secara sederhana kata “sejarah” itu diartikan sebagai suatu cerita dan kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan legenda, babad, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu tanpa bukti – bukti sebagai hasil suatu penelitian. 1 Oleh sebab itu, sejarah juga diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian masa lalu. Atau dapat juga dikatakan sejarah adalah suatu pencatatan dari kejadian – kejadian penting masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan 1 Abdoel Djamali, hlm 8 1

Upload: iqbalulloh

Post on 27-Sep-2015

276 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Isi Sejarah Hukum Indnesia

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG

Sebelum membicarakan politik hukum Indonesia dalam catatan sejarah atas keberlakuannya, terlebih dahulu untuk mendeskripsikn pengertian sejarah itu sendiri, sebelum menjelaskan tentang penerapan tata hukum Indonesia dalam kehidupan politik hukum sejak zaman pra kemerdekaan sampai zaman kemerdekaan. Kalau dilihat dari Bahasa Latin, sejarah berasal dari kata historis dan dalam Bahasa Jermannya disebut geschichte yang berasal dari kata geschehen, yang berarti suatu yang terjadi. Sedangkan istilah historis yang berarti kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia. Di kawasan orang orang yang berbahasa Melayu (termasuk Indonesia) secara sederhana kata sejarah itu diartikan sebagai suatu cerita dan kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan legenda, babad, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu tanpa bukti bukti sebagai hasil suatu penelitian.[footnoteRef:2] [2: Abdoel Djamali, hlm 8]

Oleh sebab itu, sejarah juga diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian masa lalu. Atau dapat juga dikatakan sejarah adalah suatu pencatatan dari kejadian kejadian penting masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau bangsa masa kini. Jadi kalau dikatakan sejarah politik hukum dalam penerapan tata hukum Indonesia adalah suatu pencatatan dari kejadian kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau bangsa Indonesia generasi masa kini yang dijadikan sebagai kebijakan politik hukum Indonesia. Perlu diketahui dalam pengungkapan sejarah tata hukum dan politik hukum Indonesia sejak zaman perjuangan sampai zaman kemerdekaan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu fase pra kolonial, fase kolonial, dan fase kemerdekaan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dari tiap tiap fase sejarah hukum Indonesia berikut ini.RUMUSAN MASALAHBagaimana fase pra kolonial hukum Indonesia ?Bagaimana fase kolonial hukum Indonesia ?Bagaimana fase kemerdekaan hukum Indonesia ?TUJUANMengetahui fase pra kolonial hukum IndonesiaMengetahui fase kolonial hukum IndonesiaMengetahui fase kemerdekaan hukum Indonesia

BAB IIPEMBAHASANA. Fase Pra Kolonial

Membicarakan tata hukum khususnya yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa mempelajari sejarahnya di samping politik hukum yamg digunakan sebagai pelaksanaan berlakunya aturan hukum itu. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia memilki sejarah bangsa yang luhur dan tidak ternilai harganya di dunia ini, juga adanya perkembangan pelaksanaan hukum yang dialami sebagai tingkah laku bangsa Indonesia di dalam pergaulan hidupnya. Hal ini ketika Bangsa Indonesia masih dalam wilayah Nusantara. Sejak zaman Tandu di Kepulauan Nusantara ini telah ada kehidupan manusia dalam perkembangan sejarah hidup manusia. Tetapi pencatatan dari kejadian kejadian penting terhadap kehidupan Bangsa Indonesia di masa lalu baru ada sejak memasuki abad 1, dan ini pun diketahui setelah adanya penelitian penelitian dari adanya peninggalan peninggalan sejarah yang bersifat arkeologis.Kemudian setelah kehidupan manusia berkembang dan masuknya kebudayaan dari luar, hubungan antar pulau mulai terjalin. Maka terjadilah kehidupan kelompok sosial yang mulai teratur di bawah kekuasaan seseorang atau beberapa orang yang dianggap kuat dan mampu untuk menjalankan pengawasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Pengawasan dilakukan pada tiap tiap wilayah masing masing kelompok sosial masyarakat yang masing masing tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Terhadap fenomena kehidupan ini akan ada bukti ketika kebenaran yang ditulis agak sistematis, seperti yang terjadi pada masa kekuasaan raja raja nusantara dari perkembangan kelompok sosial masyarakat nusantara yang tersebar luas di seluruh kepulauan nusantara pada kejayaan kejayaan sistem kerajaan nusantara, yang meliputi : Sriwijaya, Padjajaran, Singosari, Majapahit, Mataram, Kutai, dan lain sebagainya.Di bawah penguasaan kerajaan kerajaan nusantara yang tersebar di wilayah nusantara itu, masa tata hukum bangsa Indonesia saat itu pula masih bersifat kewilayahan berdasarkan batas wilayah kekuasaan dari masing masing kerajaan. Sehingga tata hukum sebagai aturan hukum yang merupakan salah satu pengaturan di bidang politik hukum di antara masing masing kerajaan berbeda beda satu sama lainnya. Kemudian bangsa Indonesia, dalam bidang hukum mulai jelas dan tampak sebagai embrio tata hukum nasional, yaitu setelah kedatangan bangsa Eropa yang bertujuan melakukan penjajahan kepada bangsa Indonesia yang tersebar pada wilayah Nusantara.Kedatangan Bangsa Eropa dengan tujuan penjajahan terutama orang orang Belanda dengan usaha menanamkan pengaruhnya melalui penjajahan tersebut.B) Fase KolonialProf. Mr. Dr. Cornelis van Volenhoven, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia mengatakan bahwa Wanner in 1596 ht eerte schip cde driekleur aan den mast in den Indischen archipel binnenvalt, is dad land staatsrechtelijk geen woest en ledig land. Het is boendevol instituten van volksen gezagsordening : bewind door en ove stammen, dorpen, bonden, republieken, vorstenrijken ( Ketika pada tahun 1956 kapal Belanda yang pertama kali tiba di Indonesia, maka terdapatlah pada suatu negeri yang ditinjau dari sudut hukum negara bukan negeri yang tandus dan kosong. Negeri tersebut penuh sesak dengan lembaga Tata Negara dan lembaga Tata Kuasa. Kekuasaan oleh dan atas suku, desa, perserikatan, republik, kerajaan).Memang, ketika Belanda datang ke Indonesia, Indonesia sudah mempunyai suatu tata hukum ( rechtsorde ) sendiri, yaitu tata hukum asli yang berlainan daripada tata hukum Belanda. Pada masa ini (kolonialisme), berlangsung sekitar tiga setengah abad sejak masa Verenigdeenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada akhir abad XVII, tatanan hukumnya dapat di kualifikasikan sebagai tatanan hukum represif in optima forma. Keseluruhan tatanan hukum di maksudkan untuk menjamin preservasi rysh and orde dan konservasi kekuasaan kolonial demi kepentingan ekonomi negara dan bangsa Belanda, dan sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat yang terhadapnya tatanan hukum untuk di berlakukan. Juga ketika menjalankan politik hukum secara sadar dan menerapkannya dengan menetapkan bahwa bangsa Indonesia dalam bidang hukum perdata berlaku hukum adatnya.[footnoteRef:3] politiknya terhadap hukum adat adalah wet verwachten wij Eorupanen van het adatrecht voor onze regering soogmerken en onze economisce oogmerken ? Tampak jelas bahwa pengakuan persamaan derajat dan nilai budaya dengan hukumnya akan diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sepanjang diperlukan untuk menjamin kepentingan dagang orang Belanda.[footnoteRef:4] Pertimbangan rush and orde itu pula yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menganut dan menerapkan univikasi hukum. Karakter tatanan hukum yang represif ini tampak jelas dalam ketentuan perundang - undangan pada masa Hindia Belanda meliputi ketentuan aturan hukum pada masa berikut ini. [3: Ibid, hlm 10] [4: B.Arief Sidharta, op.cit hlm 53]

1. Masa Vereenidge Ost Indische CompagnieHukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat pusat VOC yang pertama tama adalah hukum yang dijalankan di atas kapal kapal VOC. Hukum kapal tersebut terdiri atas, yaitu Hukum Belanda Kuno ( Out Nederlands atau Outvederlands recht ) ditambah dengan asas asas Romawi. Bagian terbesar hukum yang dipakai di kapal itu berupa tuchrecht ( hukum disiplin ). Sejak kedatangannya di Indonesia, maka yang merupakan dasar tata hukum bagi orang Belanda adalah asas konkordansi.Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikian oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antar para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi dengan tujuan dapat memperoleh keuntungan yang besar dari pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintah Belanda kemudian hak-hak istimewa (octrooi), seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, menggumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang.[footnoteRef:5] Dengan hak Octrooi itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah-daerah kepulauan nusantara yang di datangi terutama kepulauan Maluku- dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksanakan aturan-aturan hukumnya yang di bawa. Di Kepulauan Maluku aturan aturan hukum yang dipaksakan pentataannya bagi orang orang pribumi , ketentuan ketentuannya merupakan hukum positif orang Belanda di daerah perdagangan, yaitu ketentuan ketentuan hukum yang dijalankan di atas kapal kapal dagang itu sama dengan ( konkordan ) hukum Belanda Kuno ( Out Nederlandsrecht ) yang sebagian besar merupakan hukum disiplin (tuchrecht). [5: Abdoel Djamali, op.cit hlm 10]

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pieter Both untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang di kuasai, di samping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturan yang di buat oleh Gubernur Jendral itu kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama Hereen Zeventieen. Setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 di umumkan di Batavia dengan nama Statuta van Batavia. Sejak Gubernur diberi wewenang dapat membuat peraturan yang diperlukan untuk kepentingan VOC di daerah daerah yang dikuasai, maka setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan melalui plakat. Plakat itu yang memuat setiap peraturan, setelah dimumkan tidak pernah dikumpulkan dengan tataan yang baik. Dalam perkembangannya, maka pada tahun 1635 tidak diketahui lagi plakat mana yang masih berlaku dan plakat mana yang sudah dicabut atau dirubah. Kemudian selama 7 tahun sejak itu semua plakat yang pernah diumumkan dikumpulkan lagi, dan bagi plakat yang masih berlaku disusun secara sistematis. Setelah penyususnannya selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia dengan nama Statuta van Batavia. Usaha semacam ini dilakukan lagi yang selesai pada tahun 1766 dan dibari nama Nieuwe Bataviase Statuten ( Statuta Batavia Baru).Peraturan Statue yang berlaku di daerah daerah kekuasaan VOC berdampingan berlakunya dengan aturan aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum tersendiri dari orang orang pribumi dan pendatang di luar orang Eropa. Terhadap aturan-aturan hukum itu pernah dicoba suatu penelitian antara lain di lakukan oleh Freijer dan menghasilkan suatu kitab hukum pada tahun 1760, kitab hukum (kompendium) Freijer itu ternyata hanya berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Sampai masa berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, karena banyak menanggung hutang, tidak ada aturan-aturan hukum lainnya lagi yang berlaku, kecuali yang di sebutkan tadi di masa VOC.2. Masa Pemerintah Hindia Belanda 1800 - 1942Sejak tanggal 1 januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Bataafsche Republiek yang kemudian di ubah menjadi Konflijk Holand. Kepulauan nusantara sejak itu menggalami masa-masa penjajahan pemerintah Belanda dengan melaksanakan pedoman pemerintahan dan aturan-aturan hukumnya negeri Belanda. untuk mengurus daerah jajahan raja Belanda yang monarki Absolut waktu itu menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jendral. Ia ditugaskan mempertahankan tanah jajahan Nusantara dalam menghadapi kemungkinan serangan Inggris. Pelaksanaan tugas ini banyak memimbulkan korban terutama bagi orang orang di pulau Jawa yang dipaksa sebagai pekerja rodi. Misalnya, dalam pembuatan jalan dari Anyar Panarukan, Sumedang Bandung dan pembuatan pangkalan pangkatan Laut dengan bentengnya di daerah Banten. Dalam bidang pemerintahan, Daendels membagi pulau jawa menjadi 9 keresidenan (prevektur).[footnoteRef:6] Sedangkan para Bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan di angkat oleh pemerintah di Batavia dan menerima gaji. Untuk menambah keuangan, maka pelaksanaan pertanian diperketat dengan pajak, bahkan tanah pemerintah banyak yang dijual kepada partikelir. Dalam bidang hukum, Deandles tidak mau mengganti hukum hukum yang berlaku di dalam pergaulan hidup pribumi dengan memberelakukan aturan atauran hukum Eropa. Hanya saja dalam penetapanya dikatakan bahwa hukum pribumi tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan perintah yang diberikan ataupun bertentangan dengan dasar dasar umum dari keadilan dan kepatutan demi keamanan umum. Pada tahun 1811 Daendels di ganti oleh Jansens yang tidak lama memerintah, karena tahun itu juga kepulauan nusantara di kuasai oleh Inggris, pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur. Dalam pemerintah Rafless, prefektur di jawa di ubah menjadi 19 dan kekuasaan para Bupati di kurangi. Seluruh rakyat di bebani landrente (pajak bumi). Dalam Bidang hukum Rafless menggutamakan mengenai susunan pengadilan yang di-konkordansi-kan susunanya seperti penggadilan di India terdiri dari:a) Divisions Court [6: Ibid, hlm 12-13]

Terdiri dari beberapa pegawai pribumi, Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepada Bupaties Court.b) Districts Court atau Bupatis CourtTerdiri dari Bupati sebagai ketua, penghulu, Jaksa dan beberapa pegawai bumi putra dibawah pemerintah Bupati yang Wewenangnya menggadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Jika tidak ada persesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada residentt court.c) Residents CourtTerdiri dari Residen, para Bupati, Hooft Jaksa Hooft Penghulu.Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan mengadili ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.d) Coourt of circuitTerdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai penggadilan keliling dalam menangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini di anut sistem juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumi putra.Raffles tidak melakukan perubahan terhadap hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat bumi putera. Anggapannya, hukum hukum yang berlaku itu identik dengan hukum Islam. Bahkan bagi hakim diperintahkan untuk tetap memberlakukan ketentuan ketentuan hukum bumiputera dalam menyelesaikan perkara. Walaupun demikian, hukum bumiputera dianggap lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa. Setelah inggris menyerahkan nusantara kepada Belanda pada tahun 1816 sebagai hasil Konvensi London 1814, maka seluruh tata pemerintahannya mulai di atur dengan baik . Sejak saat itu sejarah perundang undangan membagi tiga masa yang berjalan sebagai berikut :

i. Masa Besluiten Regerings 1814 1855Dalam melaksanakan kekuasaannnya, hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan Algemene Verordening ( peraturan pusat ). Karena peraturan pusat itu dibuat oleh raja , maka dinamakan juga Koninklijk Besluit (Besluit Raja ). Untuk melaksanakan pemerintahan di Nusantara yang oleh Belanda disebut Nederlands Indie , raja mengankat komisaris Jendral yang terdiri dari Elout, Buys Kes, dan Van der Capellen. Dalam bidang hukum, peraturan peraturan yang berlaku bagi orang Belanda sejak VOC ,tidak diganti, dan tidak dicabut atau tidak mengalami perubahan karena menunggu rencana peng-kodofikasi-an hukum Nasional Belanda.Kemudian untuk Hindia Belanda dikehendaki juga adanya kodifikasi hukum perdata yang akan diberlakukan bagi orang orang Belanda sesuai dengan keadaan daerah jajahan. Untuk maksud itu pada tanggal 18 Agustus 1839 Menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scolten van Oud Harlem sebagai ketua, Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H.van Nes masing masing sebagai anggota. Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh Mr. H.L. Wicher disempurnakan yaitu meliputi :a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie ( RO ) atau peraturan Organisasi Pengadilanb) Algemene Bapalingen ven Wetgeving (AB) atau ketentuan Umum tentang Perundang undanganc) Burgerlijk Wetbook (BW) atau Kitab Undang Undang Hukum Perdatad) Wetbook ven Koophandel (WvK) atau Kitab Undang Undang Hukum Dagange) Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata )ii. Masa Regerings Reglement 1855 1926Pada tahun 1848 di Belanda terjadi perubahan terhadap Grondwetnya sebagai akibat dari pertentangan de Staten General (parlemen) dan Raja yang berakhir dengan kemenangan parlemen dalam bidang mengelola kehidupan bernegara. Kemenangan itu mengubah sistem pelaksanaan pemerintahan dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional parlementer. Adanya perubahan Grondwet itu mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan dan perundang undangan jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini terutama dengan dicantumkannya ketentuan pasal 59 ayat (I,II, dan IV) Grondwet yang menyatakan bahwa :Ayat I : Raja mempunyai kekusaan tertinggi atas daerah daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia .Ayat II: Aturan aturan tentang kebijaksanaan pemerintahan ditetapkan melalui undang undang , Sistem keuangan ditentukan melalui undang undang.Ayat IV: Hal hal yang menyangkut mengenai daerah daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur melalui undang undang.Implikasi dari peraturan tersebut, dalam peraturan dasar pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan di Indonesia dan berbentuk undang undang (wet) itu dinamakan Regering Reglement (RR). RR ini diundangkan pada tanggal 1 Januari 1854, tetapi mulai berlaku pada tahun 1855. RR ini dalam ketentuan materi peraturannya dari 130 padal dalam 8 bab yang mengatur tentang tata pemerintahan di Hindia Belanda, maka RR itu danggap sebagai undang undang Dasar pemerintahan jajahan Belanda. Politik hukum pemerintahan jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR.Pada tahun 1920 , RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengan sebutan RR( baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum daam pasal 75 RR baru mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi pendatang dan yang didatangi, dan golongannya dibagi menjadi 3 golongan , yaitu :a) Golongan Eropab) Golongan Pribumic) Golongan Timur Asing Pada prinsipnya, masing masing golongan itu mempunyai stelsel hukumnya sendiri. Dengan demikian, terdapatlah beberapa stelsel hukum yang sama sama berlaku pada waktu dan tempat yang sama. Inilah yang dinamakan Dualisme atau pluralisme hukum Indonesia.iii. Masa Indische Staatsregeling 1926 1942Pada tahun 1918, oleh pemerintah Belanda dibentuk sebuahVolksraad ( wakil rakyat ) sebagai hasil dari perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki ikut menentukan nasib bangsanya. Sebenarnya dengan dibentuknya wakil rakyat tahun 1918 itu, maka pemerintahan jajahan Belanda merencanakan untuk merubah Regerings Reglement. Rencana itu baru terlaksana beberapa tahun kemudian setelah Grondwet Belanda mengalami perubahan lagi pada tahun 1922, perubahan tersebut menyangkut tata pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini terutama yang berkenaan dengan wewenang raja terhadap daerah jajahan. Dalam Grondwet Belanda tahun 1922 , disebutkan dalam pasal 61 ayat II dinyatakan bahwa :Menyatakan tanpa mengurangi ketentuan dari ayat I pasal ini, maka pengaturan tentang hal lainnya di Hindia Belanda diserahkan kepada alat alat perlengkapan yang telah ada , sebagaimana caranya telah ditentukan oleh udang undang, kecuali kalau undang undang menentukan bahwa hak untuk mengatur hal hal atau peristiwa tertentu ada di tangan raja.Akibat dari perubahan Grondwet terutama pada ketentuan pasal tersebut, maka tata pemerintahan Hindia Belanda mengalami perubahan juga. RR yaang berlaku tahun 1855 diubah dan diganti menjadi Indische Staatregeling (IS) , mulai berlaku pada 1 Januari 1926 melaui S. 1925 :415. Indische Staatregeling mencantumkan politik hukumnya dalam pasal 131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari pasal 75 RR baru. Pasal itu terdiri dari 6 ayat yang menyatakan :Ayat 1 : Hukum perdata dan pidana material dan formal akan ditulis dan ditetapkan dalam ordonansi.Ayat 2a: Memberi pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum perdaata material yng harus diatur bagi orang Eropa.Ayat 2b: Material pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum perdata material yang harus diatur bagi orang Indonesia dan orang Timur AsingAyat 3 : Untuk hukum acara perdata dan hukum acara pidana ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidanaAyat 4 : Orang orang Indonesia dan Timur Asing , sepanjang mereka belum tunduk kepada aturan aturan bersama orang orang Eropa, berhak untuk menundukkan dirinya secara sukarela yang diatur dengan ordonansiAyat 5 : Menyatakan tidak berlakunya ordonansi berdasarkan pasal ini di daerah daerah yang berlaku hukum adatAyat 6 : Tetap berlakunya hukum adat bagi orang Indonesia dan Timur Asing sepanjang tidak ditentukan lain oleh kordonansi.Dengan adanya ketentuan peraturan yang dicantumkan dalam S. 1925 : 415 ini, maka bagi orang orang yang disamakan dengan orang Indonesia lainnya yang kemudian dikenal dengan sebutan Golongan Timur Asing setelah berlakunya Regerings Reglement baru tahun 1920, tetap berlaku hukum adatnya, kecuali mereka tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa.

3. Masa Balatentara JepangPada bulan Maret 1942 Balatentara Jepang dengan mudah dapat menduduki seluruh daerah India Belanda. Dalam keadaan darurat waktu itu ( Perang Dunia II ) pemerintah Jepang di Indonesia dilakukan oleh Balatentara Jepang untuk melaksanakan tata pemerintahan Indonesia, pemerintahan Balatentara Jepang berpedoman kepada undang undangnya yang disebut Gunseirei. Setiap peraturan yang diperlukan demi kepentingan pemerintah di Jawa dan Madura dibuat dengan berpedomankan kepada Gunseirei melalui Osamu Seirei yang mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut Osamu Kanrei.Peraturan Osamu Senrei berlaku secara umum, Osamu Kenrei sebagai peraturan pelaksana isinya juga mengatur hal hal yang diperlukan untuk menjaga keamanan ketertiban umum. Bagi daerah daerah luar Jawa dan Madura ada sedikit perbedaan dalam membuat dan melaksanakan peraturan. Yang sejenis dengan Osamu Senrei dinamakan Tomi Kanrei , tetapi lebih tepat kalau dikatakan sebagai Undang undang darurat atau yang sekarang dikenal dengan sebutan PP Pengganti Undang Undang , karena tidak memerlukan peraturan pelaksana. Selain itu, bagi tiap tiap daerah secara otonomi dapat membuat dan melaksanakan peraturan daerah yang berlaku hanya untuk kepentingan dan keamanan daerahnya sendiri. Peraturan itu dibuat oleh Komandan Balatentara Jepang dalam Tomi Seirei.[footnoteRef:7] [7: Bid, hlm. 55 - 56]

Dalam masa interregnnum ini, penguasa Balatentara Jepang dengan peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942, yakni dalam pasal 3, menetapkan bahwa : Semua badan badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang undang pemerintah yang berlaku dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.[footnoteRef:8] Dengan demikian, pada masa interregnum itu tata hukum Hindia Belanda masih tetap berlaku sebagai hukum positif. Perubahan penting yang dilakukan oleh penguasa Balatentara Jepang tidak banyak, hanya terbatas pada susunan badan badan pengadilan dengan penyesuaian hukum acaranya serta menetapkan hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran di bidang hukum pidana. [8: Arief Sidharta,op.cit,54 - 55]

Wetbook van Strafrech Hindia Belanda tetap berlaku di samping peraturan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan lainnya dan peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Balatentara Jepang berdasarkan Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942, Gunseirei Nomor Istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei No.25 Tahun 1944, tentang Gunrei Keizirei yang memuat aturan aturan pidana mengenai peraturan umumdan peraturan khusus mengenai Lembaga Peradilan Hindia Belanda juga tetap digunakan, kecuali Resedentiegerecht yang dihapus. Adapun susunan lembaga peradilan berdasarkan Gunseirei No. 14 Tahun 1942 terdiri dari :a) Tihoo Hooin, berasal dari Landraad ( Pengadilan Negeri )b) Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht ( Hakim Kepolisian )c) Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht ( Pengadilan Kabupaten )d) Gun Hooin, berasal dari Districtsgerecht ( Pengadilan Kewedanan )e) Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor IslamietischeZaken Mahkamah Islam Tinggi )f) Soooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad ( Rapat Agama )g) Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko ( Kejaksaan Pengadilan Negeri ), berasal dari Paket voor de Landraden.[footnoteRef:9] [9: Abdoel Djamali, hlm. 57]

Semua peraturan hukum dan proses peradilannya selama zaman penjajahan Balatentara Jepang berlaku sampai Indonesia merdeka.C . Fase Kemerdekaan Kemerdekaan bangsa Indonesia ditandai oleh kekalahan Balatentara Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya, yaitu ketika Balatentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, yang sebelumnya Negara Jepang telah diluluh lantahkan oleh pasukan Sekutu dibawah pimpinan Negara Inggris dan Amerika Serikat dengan menghancurkan kekuatan Negara Jepang di Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945. Momen penting atas kekalahan Balatentara Jepang dalam perang Asia Timur Raya itu, dimanfaatkan oleh kekuatan bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan Jepang dengan memproklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan adanya Proklamasi tersebut, berarti pula bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menetukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru yakni Tata Hukum Indonesia. Hal itu dinyatakan dalam :a) Proklamasi Kemerdekaan : Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakam kemerdekaan Indonesiab) Pembukaan UUD Dasar 1945: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu, ................................ disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang undang Dasar Negara Indonesia ................ Sebagai bangsa yang merdeka, untuk melaksanakan kemerdekaanya maka memerlukan wadah organisasi bangsanya dalam bernegara. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan sebuah UUD yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan lembaga yang dibuat oleh Balatentara Jepang sebagai janjinya umtuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia suatu saat dengan membentuk Lembaga bernama Dokuritsu Zyunbi Choosakai(BPUPKI) yang telah menghasilkan rumusan UUD Negara, yang kemudian hasil rumusan UUD Negara oleh BPUPKI itu, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia rumusan itu ditetapkan oleh PPKI menjadi UUD dasar Negara Republik Indonesia satu hari setelah kemerdekaanya. Dimana sejak saat itu mulailah dilaksanakan hasil perjuangan kemerdekaan bangsa tersebut dengan tata sususnan kenegaraan berpedomankan kepada UUD yang telah ditetapkan oleh PPKI yang kemudian dikenal dengan sebutan UUD 1945.Selama kemerdekaanya bangsa Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahanya sampai saat ini mengalami pasang surut yang di dalamnya memiliki dinamika politik hukum sebagai produk kebijakan-kebijakan Negara. Meskipun keadaan hukum di Indonesia pada waktu bangsa kita memproklamirkan kemerdekaanya, masih tidak memilik produk-produk hukum yang telah diciptakan bangsa sendiri. Dalam ketentuan UUD 1945 yang batang tubuhnya terdiri dari 16 bab bab dan 37 pasal itu telah memberikan rumusan politik hukum Indonesia merdeka. Namun untuk sementara, karena lembaga tingi Negara yang harus dibentuk sesuai amanat UUD 1945 waktu itu belum bisa menjalankan fungsinya dan jangan sampai terjadi kekosongan dalam bidang hukum, maka disebutkan dalam pasal II Aturan Peralihan menyatakan : segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar imi Dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ini kekosongan hukum dapat diatasi ;berarti bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman Balatentara Jepang masih tetap berlaku. Sedangkan pemerintahan jaman Balatentara Jepang memberlakukan aturan - aturan hukum yang berlaku sebelumnya, yakni pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk melihat perkembangan tata hukum Indonesia setelah kemerdekaanya dari belenggu penjajahan bangsa lain mendasar pada ketentuan normative UUD 1945 sampai sekarang; maka akan didapatkan masa penyelenggaraan pemerintahan Indonesia merdeka sebagai roda dan dinamikanya menerapkan tata hukum Indonesia sebagai kebijakan politik hukum yang akan terbagi menjadi 3 masa pemerontahan Indonesia merdeka ,yaitu 1) masa Orde Lama ; (2) masa Orde; dan (3) masa Orde Reformasi .1. Masa Orde LamaMasa pemerintahan Orde Lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh.Hatta sebagai wakil Presiden yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945 satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dipilih secara aklamasi oleh PPKI, Sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, subsistem hukum Islam dan subsistem hukum Barat.Yang dimaksud dengan subsistem hukum Islam disini adalah perangakat kaedah hukum Islam yang dalam tata hukum Hindia Bekanda berlaku sebagai hukum positif bagi golongan pribumi yang beragama Islam dan yang disamakan, baik melalui resepsi kedalam hukum adat maupun karena penetapan aturan perundang-undangan Hindia Belanda sedangkan yang dimaksud dengan subsistem hukum Barat adalah berbagai perangkat kaedah hukum yang berlaku bagi golongan Eropa dan yang disamakan, yakni sama peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang terbentuk pada masa interregnum pendudukan Balatentara Jepang masih berlaku berdasarkan Osamau seirei NO.1 Tahun 1942 dengan sejumlah perubahan yang terjadi pada masa interregnum itu .[footnoteRef:10] [10: Mohammad Najih ,op.cit.,hlm.36]

Dalam penerapan kehidupan bernegara pada masa ini mengalami sebuah dinamika politik yang selama pemerintahan presiden Soekarno pada masa Orde Lama dalam menjalankan UUD 1945 menemukan pasang surutnya. Dinamika politik itu yang berbentuk politik hukum pemerintahan dapat diklasifikasikan pada beberapa penerapan masa kebijakan politik hukum pemerintahan yang terbagi menjadi 3 peridoe yaitu : (i) periode 1945-1950 ; (ii) periode 1950-1959 ; dan (iii) periode 1959-1965. Dari pembagian politik hukum pemerintahan pada masa Orde Lama lebih lanjut dalam pembahasan berikut ini.

1. Periode 1945-1950 ( Masa UUD 1945 ke 1 )Perubahan penting dalam bidang penyelenggaraan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan ke dalam pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan UU No.7 Tahun 1947 tentang Organisasi dan Kekuasaan Mahkamah Agung yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU no 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan kehakiman dan kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah penduduk Balatentara Jepang ,dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.[footnoteRef:11] [11: Ibid.,hlm 37]

Disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) UU No.19 Tahun 1948 itu ditetapkan bahwa dalam Negara Republik Indonesia terdapat tiga lingkungan, yakni Peradilan umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Ketentaraan Disebutkan lebih lanjut dalam pasal 7 UU tersebut menetapkan bahwa Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh peradilan Negeri untuk pemeriksaan tingkat pertama, pengadilan Tinggi untuk pemeriksaan tingkat banding ,dan Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman tertinggi (Pasal 30 ayat (1)) untuk pemeriksaan tingkat kasasi.Undang-undang itu menetapkan bahwa dalam tiap Kabupaten sekurang-kurangyna terdapat satu pengadilan Negeri (pasal 31 ayat (1) ), dan sekurang-kurangnya satu pengadilan Tinggi dalam satu Provinsi Pasal 41). Dalam tiap wilayah hukum pengadilan Negeri terdapat satu kejaksaan Negeri (pasal 32 ayat (2) ) dan dalam tiap wilayah hukum pengadilan Tinggi terdapat satu kejaksaan Tinggi (pasal 42 ayat (2) ) dan di samping Mahkamah Agung terdapat kejaksaan Agung pasal 30 ayat (2) ).[footnoteRef:12] Dengan demikian tampaknya dalam peraturan Undang-undang ini mengungkapkan sikap dan kehendak untuk mengunifikasikan badan peradilan yang mencerminkan semangat persatuan nasional. Reorganisasi badan peradilan pada masa ini dapat di pandang sebagai strategi politik untuk mempersatukan Indonesia di bawah satu kekuasaan nasional. [12: Ibid.,hlm 37]

Namun sayangnya hal itu tidak berlangsung lama, karena adanya agresi militer Belanda I dan II yang membonceng dari pasukan Sekutu di bawah pimpinan tentara Inggris untuk mengembalikan roda pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia, yang menyebabkan pecahnya perang kemerdekaan. Perang kemerdekan berakhir pada bulan Desember 1949 dengan konferensi Meja Bundar yang dikenal dengan sebutan KMB di Den Haag, yang menyebabkan terjadinya perubahan ketata-negaraan di Indonesia, yakni dari Negara kesatuan menjadi Negara federal dengan diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS). Keberadaan Negara federal ini hanya berlangsung 8 bulan, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1950, melalui UU Faderal No. 7 Tahun 1950 ,Konstitusi RIS diganti dengan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang menghadirkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)2. Periode 1950-1959 (Masa UUDS 1950 15 Agustus 1950 5 Juli 1959 )Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melaksanakan berbagai usaha pembenahan penyelenggaraan kehidupan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap sebuah keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan juga pemerintah berhasil melaksanakan pemilihan umum dengan baik yang dilakukan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbentuknya Badan Komstituante. Dimana UUDS 1950 menetapkan bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis dan terbentuk Negara kesatuan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi (Pasal 1 jo. Pasal 35 dan Pasal 131 ), serta menganut sistem pemerintahan parlementer (pasal 83 jo.Pasal 84 dan 85 ) dan sistem multi partai yang liberalistik.Pada periode ini ,langkah penting pada bidang penyelenggaraan hukum adalah diperlakukanya UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan Sipil. Dalam UU ini, kedudukan hakim disertakan dengan kedudukan penuntut umum. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini ( yang dapat dipandang sebagai perumusan politik hukum), maka yang dikehendaki UUDS 1950 adalah kodifikasi untuk beberapa bidang hukum tertentu tanpa secara eksplisit mengharuskan unifikasi hukum. Sehubungan dengan hal ini, di kalangan para ahli hukum Indonesia mengalami perdebatan berkenaan dngan sistem kodifikasi dengan sistem unifikasi hukum yang ada.Dimana pada masa ini, hanya hukum proseduralnya saja yang sudah terunifikasi, sedangkan hukum subtantifnya masih tetap pluralistis seperti pada saat kemerdekaan diproklamasikan[footnoteRef:13]. Sehingga aturan hukum yang menunjukan pada proses seperti itu apabila dipandang dari sudut proses politiknya, dapat dikatakan bahwa tatanan hukumnya memperlihatkan ciri-ciri tatanan hukum otonomius. Tatanan hukum yang memperlihatkan ciri-ciri tatanan hukum otonomius yang dalam dinamikanya memunculkan tatanan poitik Demokrasi Terpimpin. Latar belakang konsepsi demokrasi terpimpin dimunculkan oleh presiden soekarno atas kekhawatiran terhadap masa depan bangsa Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahan yang mengalami kebuntukan politik yang waktu itu sulit untuk dipertemukan, terutama di antara kepentingan yang ada pada pengumpulan ideologi Nasionalis, Islamisme dan Konomisme. [13: Ibid.,hlm 38]

Pertentangan ideology yang sulit dikompromikan terutama yang berada pada Badan Konstituante ketika melakukan pembahasan sidang-sidangnya untuk melakukan perumusan dan pembahasan UUD Negara sebagai pengganti dari UUDS 1950 sebagai amanat dari pemilihan umum yang diselenggarakan pada tahun 1955, yang memang dipilih untuk menjalankan amanat itu (yakni membuat UUD untuk melakukan Negara yang tetap). Karena sulitnya untuk mempertemukan lumpuhnya Badan Konstituante. Melihat hal ini dengan anggapan stabilitas Negara sangat terancam, menciptakan peluang dan mendorong Presiden Soekarno, dengan dukungan Angkatan Darat, untuk melakukan Dekrit Presiden dengan memberlakukan kembali UUD1945 dan membubarkan Badan Konstituante pada tanggal 5 juli 1595.3. Periode 1959-1965Perkembangan politik hukum pada masa demokrasi terpimpin, setelah dikeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959, awal mula lahirnya gagasan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi terpimpin yang dimunculkan oleh presiden Soekarno. Produk perundang-undangan ada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam pertumbuhan tatanan hukum Indonesia adalah UU No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian (UUPA), yang sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH perdata tidak berlaku lagi.Pada tahun 1960 itu juga menteri kehakiman Sahardjo menerbitkan Kepurusan yang mengganti lambang hukum Dewi justisia dengan Pohon beringin dengan selokan Pengayoman . Kemudian pada tahun 1962, Sahardjo dalam suatu sidang badan perancang dari lembaga pembinaan hukum nasiona , yang dibentuk pada tahun 1958 dan dibentuk kembali pada tahun 1961 yang sebelumnya pernah lembaga ini dibubarkan oleh presiden , dimana Sahardjo mengusulkan untuk tidak memandang Burgelijk Weetboek dan Weetboek van koovandel sebagai kitab undang-undang lagi , melainkan hanya sebagai sumber hukum (Rechtsboek) yang memuat kaidah-kaidah hukum dan komentar terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku diseluruh pelosok bumi nusantara.Pandangan Sahardjo ini kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung atau (Wirjono Prodjodikoro) dengan mengeluarkan Surat Edaran Ketua MA tertanggal 5 September 1963 kepada semua ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia. Dalam Surat Edaran itu dikemukakan bahwa Burgelijk Weetboek dibuat oleh dan demi kepentingan Belanda dan sehingga dalam zaman kemerdekaan sudah tidak layak lagi dipandang sejajar dengan UU secara resmi berlaku di Indonesia. Karena itu, pandangan untuk memandang Bugerlijk Weetboek sebagai buku hukum saja seperti yang disarankan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo akan memberikan keleluasan kepada para hakim untuk mengesampingkan Pasal yang tercantum didalamnya yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Tanpa harus menunggu pencabutannya secara resmi, Surat Edaran itu ditutup dengan menyebutkan secara eksklisit beberapa Pasal yang oleh MA dianggap sudah tidak berlaku lagi, yakni Pasal-pasal : 108,110,184 ayat (3) . 1238.1460.1579,1603 x ayat (1 dan 2),serta 1682 [footnoteRef:14] [14: Ibid.,hlm 40]

Selain itu, produk perundang-undangan dalam periode demokrasi terpimpin yang penting dalam kaitan dengan penyelenggaraan hukum, secara tajam mengungkapkan sifat tatanan hukumnya adalah UU No.19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Disebutkan dalam Pasal 19 UU tersebut, menetapkan bahwa Demi kepentingan revolusi, kehormatan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal peradilan. ketentuan dalam UU ini berdampak besar terhadap proses penyelenggaraan peradilan dan merosotnya kehidupan hukum di Indonesia karena dengan ketentuan tersebut membuka jalan bagi eksekutif (terutama presiden) untuk mencampuri proses peradilan dengan alasan kepentingan revolusi , yang didalam praktik berdampak selain melemahkan posisi, juga mempercepat proses demoralisasi para halim dan penegak hukum lainya .Kondisi seperti ini sepanjang pelaksanaan demokrasi terpimpin yang dicanankan oleh presiden Soekarno, sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pertentangan ideology dan untuk menyelesaikan revolusi, dalam praktiknya menjurus pada pola kehidupan politik yang semakin otoriter. Konflik-konflik politik menjurus menjadi pertentangan tentang ideologis antara kekuatan komunis (yang bermuara pada PKI) melawan dengan kekuatan nasionalis dan agamis (yang bermuara pada PNI dan Masyumi) yang didukung oleh angkatan bersenjata (terutama angkatan daerah). Konflik antara kekuatan komunis dengan nonkomunis (terutama PKI dengan angkatan darat), akhirnya meletup dalam bentuk usaha kudeta PKI yang disebut dengan gerakan 30 September (G.30.S/PKI) yang gagal. Kegagalan kudeta G.30.S/PKI yang mengakhiri roda pemerintahan.Demokrasi terpimpin itu sejak 1959, sehingga menampilkan pemimpin-pemimpin baru dan kekuatan-kekuatan politik anti komunis yang dalam pernyataanya berkomitmen pada cita-cita pembaharuan seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.2. Masa Orde BaruSetelah Kudeta G.30.S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sering dikenal dengan sebutan supersemar, maka dimulailah suatu babak baru dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang kemudian menyebutkan diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru berkeinginan dengan semangat perjuangan untuk mewujudkan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk mewujudkan itu, pemerintah Orde Baru menyuarakan keinginan itu untuk mewujudkannyaa dalam negara hukum dengan rule of lawnya dan pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa. Sehingga dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tambuk pemerintahan dilaksanakan dengan mengacu pada kebijakan stabilisasi politik dan ekonomi.Dalam kerangka kabijakan itu, maka pemerintahan Orde Baru merumuskan kebijakannya dalam Pembangunan Jangka Panjang I pada tahun 1069 dengan rangkaian pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun ( Repelita ), setelah terlebih dahulu diundangkan UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 ( UU No. 1 Tahun 1967 ) dan Undang undang tentang penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968 ( UU No. 6 Tahun 1968 ). Kebijakan PJP I sangat menitik beratkan pada pembangunan Ekonomi, karena pada saat itu situasi ekonomi sangat buruk (inflasi angka mencapai 600%). Sehingga untuk kelancaran pembangunan dan stabilitas ekonomi itu mensyaratkan adanya stabilitas politik.Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa otoritas politik pada masa ini , terutama bertumpu pada tingkat legitimasi pembangunan/ stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, dengan pendekatan keamanan ( security approech) terhadap berbagai masalah kemasyarakatan. Kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru sebagaimana yang ditetapkan dalam GBHN ,yang sering dikenal dan sangat populer pada masa itu, yang disebut dengan Trilogi Pembangunan , yang terdiri atas :a) Pemerataan Pembangunan yang hasil hasilnya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi sekuruh rakyat Indonesia.b) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggic) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamisDengan mengacu pada Trilogi Pembangunan dengan prioritas pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, sejak GBHN 1973 sampai dengan GBHN 1993, sasaran pembangunan selalu dibagi ke dalam 4 bidang , yaitu :a) Bidang ekonomib) Bidang Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Ynag Maha Esa, dan sosial budayac) Politik, aparatur pemerintah, hukum, dan hubungan luar negerid) Pertahanan keamanan nasionalPola pembagian sasaran pembangunan dalam GBHN tersebut, yang menempatkan pembangunan hukum sebagai salah satu sektor dari pembangunan bidang politik, maka tampak bahwa tatanan hukum lebih dipandang sebagai subsistem dari tatanan politik., yang berarti bahwa tatanan hukum disubordinasikan dari tatanan politik. Hal ini juga berarti memandang hukum hanua sebagai instrumen saja.Semua itu menunjukkan bahwa tatanan hukum masih memperlihatkan sisa ciri tatanan hukum yang bersifat represif yang merupakan tatanan politik dari masa Demokrasi Terpimpin. Walaupun penempatannya disubordinasikan di bawah subsistem politik, namun dari sudut politik hukum, GBHN sejak 1973sampai dengan 1993 itu tetap menyandang makna penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai payung hukumnya. Sebab, dengan demikina berarti bahwa negara sudah meletakkan garis besar politik hukumnya secara eksplisit. Hal ini diwujudkan secara sistematis dengan diciptakan berbagai produk UU (organik) untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam uud 1945 sebagai dasar hukum yang tertinggi.Penuangan dalam bentuk perundang undangan organik ditentikan berdasarkan ketentuan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR.1973 tentang Tata Urutan Perundang Undangan sebagai pelaksana dari amanat UUD 1945 .Ketentuan tata urutan perundang undangan merupakan konsekuensi pemerintah Orde Baru yang berkeinginan memjalankan dan mewujudkan cita cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Hierarki tata urutan perundang undangan pada masa pemerintahan Orde Baru yaitu :1) Undang undang Dasar 19452) Ketetapan MPR3) Undang undang Perpu4) Peraturan Pemerintah5) Keputusan Presiden6) Peraturan Pelaksanaan lainnya:a) Intruksi Menterib) Dan lain lain.Kemudian dalam perkembangannya pada masa pemerintahan Orde Baru mulai terjadi perubahan paradigma politik hukum sejak tahun 1993 sampai 1997. Di mana pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan politik dan ditempatkan sebagai bidang tersendiri. Dengan itu sekaligus secara formal GBHN 1993 1998 itu membuka jalan bagi tampilnya pandangan yang tidak lagi melihat tatanan hukum sebagai subsistem dari tatanan politik dari sistem nasional Indonesia, melainkan pandangan yang melihat tatanan hukum sebagai subsistem dari sistem nasional.Namun dalam kenyataannya pemerintahan Orde Baru masih mencerminkan tatanan hukum yang masih bercirikan tatanan hukum yang represif dalam mengimplementasikan kebujakan kebijakan hukumnya.Hal itu dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, disebutkan sasaran pembangunan nasional dibagi ke dalam 7 bidang, yaitu :1) Bidang ekonomi2) Bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan3) Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa4) Bidang ilmu pengerahuan dan teknologi5) Bidang hukum6) Bidang polotik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media massa7) Bidang pertahanan keamananDalam pembidangan ini, terkait dengan perkembangan politik hukum sebagai kebijakan negara pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan bidang politik dan ditempatkan sebagai bidang tersendiri.Namun dalam perjalanan penerapan kebijakan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru untuk mewujudkan pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak dapat terimplementasikan dengan baik dan benar.Justru sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru menyalahgunakan ketentuan peraturan perundang undangan demi suatu kekuasaan. Penyimpangan rezim orde baru terhadap praktek praktek ketatanegaraan dengan melakukan penafsiran paradigma UUD 1945 melalui konsepsi integralistik sebagai acuan dasar dalam pemangunan politik. Di mana konsepsi negara integralistik dipahami sebagai kedaulatan negara yang sepenuhnya ada di tangan Presiden sebagai pemangku kekuasaan negara, untuk dipergunakan demi kesejahteraan dan kemekmuran rakyat. Tetapi yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan dalam menjalankan kebijakan politik hukumnya selama itu jauh dari cita cita negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yaitu munculnya kekuasaan negara yang sangat kuat dan tanpa kontrol, khususnya pada lembaga eksekutif.Keterpurukan kondisi sistem ketatanegaraan yang dibangun pada masa Orde Baru mencapai puncaknya ketika diiringi dengan munculnya krisis ekonomi yang melanda dunia perekonomian bangsa Indonesia dan negara negara Asia. Keterepurukan bangsa Indonesia menggugah komponen generasi anak bangsa untuk melakukan perbaikan sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, dengan melalui gerakan reformasi yang dipelopori oleh Gerakan Mahasiswa dan para cendekiawan Indonesia untuk menurunkan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Gerakan reformasi mencapai puncak keberhasilannya melaui tuntutannya itu, ketika Presiden Soeharto menyatakan diri untuk mundur dari jabatan Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998.3. Masa Orde ReformasiKeberhasilan gerakan reformasi ialah karena adanya semangat yang satu dari komponen anak bangsa untuk menuntut reformasi politik di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Reformasi politik suatu keniscayaan, ketika bangsa Indonesia berkeinginan untuk melakukan perbaikan sistem kehidupan bernegara. Karena hal ini bercermin dari sistem ketatanegaraan yang dibangun pada masa pemerintahan Orde Baru tidak mencerminkan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dengan keberhasilan tingkat reformasi politik, yang dibuktikan dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945) sebagai arah kebijakan hukum yang diambilnya, di mana selama pemerintahan Orde Baru sangat disakralkan. Maka politik hukum yang terpenting pada masa Orde Reformasi adalah diambilnya suatu keputusan politik untuk melakukan peubahan UUD 1945.Amandemen konstitusi yang dilakukan 4 kali perubahan (1999 2000 ) oleh MPR itu ialah dapat dikemukakan dalam perubahan UUD 1945 secara keseluruhan yang terdiri dari 16 bab dan 37 pasal sebelum dilakukan amandemen. Jika dihitung dalam bagian bagian terkecil terdiri dari 65 butir termasuk di dalamnya bab, pasal, dan ayat. Dari 37 pasal UUD 1945 yang asli hanya 5 pasal yang tidak disentuh perubahan, yakni Pasal 4 tentang Kekuasaan pemerintahan, Padal 10 tentang Presiden Memegang Kekuasaan Tertinggi atasAngkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Pasal 12 tentang Presiden menyatakan Keadaan Bahaya, Pasal 29 tentang Agama, dan Pasal 35 tentang Bendera. Sisanya, sebanyak 33 pasal, diubah dan ditambah.[footnoteRef:15] [15: Soimin & Sulardi, Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , UMM Press, Malang, 2004, hlm.23]

Sedangkan dari butir butir perubahan UUD 1945 terdiri dari 65 butir yang kemudian bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya tetap, 43 butir diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru. Dengan demikian, komposisi UUD 1945 dengan 4 kali perubahan dalam satu rangkaian yang merupakan bentuk politik hukum pada masa era reformasi yang diakhiri dengan disahkannya perubahan keenpat UUD 1945 pada sidang tahunan MPR Tahun 2002 yang lau, maka susunan UUD 1945 memiliki susunan sebagaimana berikut ini :1) Undang Undang Dasar 1945 naskah asli2) Perubahan Pertama Undang Undang Dasar 19453) Perubahan Kedua Undang Undang Dasar 19454) Perubahan Krtiga Undang Undang Dasar 19455) Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945.Dalam amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR selama 4 kali perubahan dapat digolongkan menjadi dua bagian persidangan , yaitu :1) Sidang umum MPR tahun 1999 telah dirumuskan 9 pasal perubahan ( dalam amandemen pertama )yang semuanya menyangkut pembatasan kekuasaan presiden meliputi pasal 5,7,9,13,14, 15, 17, 20, dan 21.2) Sidang tahunan MPR yang terbagi dalam 3 persidangan , yaitu :a) tahun 2000 telah dirumuskan 25 pasal perubahan ( amandemen kedua ) yang kesemuanya menyangkut tentang Pemerintahan Daerah dan Hak Asasi Manusia, serta sedikit menyinggug kekuasaan dan Kewenangan DPR dan Masalh Kewarganegaraan, Pertahanan dan Keamanan, Bendera, Bahasa dan Lambang Negara yang meliputi : Pasal 18, 18A, 18 B, 19, 20, 20A, 22A, 22B, 25E, 26, 27, 28A, 28J, 30 dan 36A-36C.b) Sidang tahunan MPR tahun 2001 telah dirumuskan 23 pasal perubahan ( amandemen ketiga ) yang semuanya menyangkut tentng bentuk dan kedaulatan , serta sistem pemerintahan yang meliputi : Pasal 1, 3, 6, 6A, 7A-7C, 8,11,17, 22C-22E, 23, 23 A, 23 C, 23E, 23 G, 24, 24A-24C.c) Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah dirumuskan 13 pasal perubahan dengan 3 aturan peralihan dan pasal Aturan Tambahan ( dalam amandemen keempat ) yang semuanya menyangkut tentang lembaga Kepresidenan dan Lembaga Perwakilan yang belum terbahas dala amandemen ketiga , serta penghapusan lembaga negara DPA dan Pelembagaan Biyang diikuti dengan permasalahan pendidikan dan Kebudayaan serta Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang meliputi : Pasal 2, 6A, 8, 11, 16, 23B, 23D, 24, 31, 32, 33, 34, 37, I-IIIAP dan I-II AT

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANHukum di Indonesia sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan Indonesia, di mulai dari fase prakolonial, fase kolonial, hingga fase kemerdekaan. Proses terbentukmnya hukum terus berkembang dan mengalami perubahan pada tiap tiap fasenya.Pada fase prakolonial, Indonesia yang masih dikenal dengan wilayah Nusantara, manusia berkembang dan masuknya kebudayaan dari luar, hubungan antar pulau mulai terjalin. Maka terjadilah kehidupan kelompok sosial yang mulai teratur di bawah kekuasaan seseorang atau beberapa orang yang dianggap kuat dan mampu untuk menjalankan pengawasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Pengawasan dilakukan pada tiap tiap wilayah masing masing kelompok sosial masyarakat yang masing masing tersebar di seluruh kepulauan Nusantara.Masa ini adalah masa kekuasaan raja raja nusantara dari perkembangan kelompok sosial masyarakat nusantara yang tersebar luas di seluruh kepulauan nusantara pada kejayaan kejayaan sistem kerajaan nusantara, yang meliputi : Sriwijaya, Padjajaran, Singosari, Majapahit, Mataram, Kutai, dan lain sebagainya.Pada fase kolonial, kita ketahui dengan adanya Masa Vereenidge Ost Indische Compagnie yang dengan Octrooi, VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah-daerah kepulauan nusantara yang di datangi, terutama kepulauan Maluku dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksanakan aturan-aturan hukumnya yang dibawa.Setelah dikuasai oleh pemerintahan Belanda, Indonesia dikuasai oeh balatentara Jepang. Kemudian Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dibentuklah Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai berbagai macam perubahan hukum di Indonesia pada masing masing periode.B. SARANSaran kami, agar tugas makalah yang membahas tentang Sejarah Hukum Indonesia ini dapat diapahami dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pembaca. Sehingga pembaca dapat mengerti apa saja yang terkandung dalam peristiwa peristiwa yang terjadi pada sejarah hukum di Indonesia baik di fase prakolonial hingga pada fase kemedekaan.DAFTAR PUSTAKA

Najih, Muhammad dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Malang : Setara Press,2012Djamali , Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1996Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: CV. Armico, 1993Kansil, C.S.T, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1999Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989

23