kata pengantar - web viewi. pendahuluan ... stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara...
TRANSCRIPT
MAKALAH ANTOPOLOGI
2009
Pengaruh Modernisasi Terhadap Budaya Nenek Moyang Masyarakat TorajaKELOMPOK 3BNgurah A. Pranata / 12206012 Gusriansyah / 12206060Maximillian Eureka / 12205039Fitaria Setioso / 10605074Wahyu Hendro / 13205126
DAFTAR ISI
KATA PENGHANTAR.......................................................1
I. PENDAHULUAN.............................................................3
1.1 Latar belakang.................................................................3
1.2 Tujun...............................................................................4
1.3 Metode Penelitian...........................................................5
II. ANALISIS DATA...........................................................7
2.1 Sistem Pengetahuan dan Teknologi................................7
2.2 Sistem Masyarakat.........................................................10
2.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi....................................11
2.4 Sistem Religi..................................................................13
2.4.1.............................................................................17
2.5 Kesenian.........................................................................18
2.6 Bahasa............................................................................22
III.KESIMPULAN & SOLUSI............................................25
3.1 Kesimpulan.....................................................................25
3.2 Solusi..............................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................27
1 | P a g e
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Taala, sholawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Tanpa karunia dan rahmat
Allah Subhanahu wa Taala, tidak mungkin laporan Penelitian Antropologi ini dapat
diselesaikan.
Laporan Penelitian Antropologi yang berjudul “PENGARUH MODERNISASI
TERHADAP BUDAYA NENEK MOYANG MASYARAKAT TORAJA” dibuat
dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan kelulusan mata kuliah KU4184
Antropologi di Institut Teknologi Bandung.
Pada kesempatan kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Chairil N. Siregar, M.Sc selaku dosen mata kuliah KU4184
Antropologi.
2. Asisten mata kuliah KU4184 Antopologi kelas 02.
3. Teman-teman peserta kuliah Antropologi kelas 02.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan Penelitian Antropologi ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan
senang hati. Kami berharap agar Tugas Akhir ini menjadi karya yang dapat
memberikan manfaat bagi kampus ITB serta bangsa Indonesia pada umumnya.
Januari 2010
Kelompok 3B
2 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masyarakat toraja adalah salah satu suku di Sulawesi selatan yang memiliki
budaya yang berbeda secara spesifik berbeda dengan suku lain di Sulawesi Selatan. Nama
Toraja awalnya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng. Orang Sidenreng menamakan
penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang berarti “Orang yang berdiam di negeri
atas atau pegunungan”. Terdapat juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang),
Raya = dari kata Maraya (besar), yang berarti orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja. Kata Tana yang juga berarti negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja
Kebudayaan yang telah berkembang sangat lama ini di Tana Toraja telah mengalami
modernisasi di berbagai aspek hingga berubah menjadi kebudayaan toraja yang dikenal saat
ini. Berbagai motif dan factor pendorong terjadinya pergeseran pola pikir individu yang
berkembang menjadi pergeseran pola pikir masyarakat yang menyebabkan modernisasi ini
diteliti secara detail dalam makalah ini. Penelitian ini tidak mendalami tentang bagaimana
mensikapi modernisasi tersebut tetapi mengkaji fakta-fakta yang terjadi berdasar analisis
kualitatif berdasar teori.
.Secara kronologis, dengan kondisi alam yang kurang mendukung dan tingkat
ekonomi yang rendah, remaja toraja cenderung untuk mencari penghasilan di kota dan
kembali dengan membawa kebudayaan tempatnya bekerja. Kebudayaan lama warisan nenek
moyang suku toraja berubah sedikit demi sedikit melalui berbagai proses modernisasi yang
dibawa oleh kaum perantau tersebut. Sebagian masyarakat tetap memegang teguh prinsip
budaya yang lama dan sebagian memilih beradaptasi dengan perubahan yang ada, hal inilah
yang memicu pertentangan antara golongan masyarakat. Proses modernisasi ini mampu
merubah kebudayaan masyarakat toraja dari segi budaya, kesenian, ekomomi, mata
pencaharian, sistem religi, bahasa hingga sistem masyarakat.
Proses modernisasi yang terjadi pada masyarakat toraja ini sesuai dengan teori
Ferdinand Toennies yang membedakan kelompok social menjadi 2 tipe Gemeinschaft dan
3 | P a g e
Gesellschaft, dimana masyarakat toraja lama yang berinteraksi berdasar kebutuhan
(Gemeinschaft) beruah menjadi berorientasi keuntungan (Gesellschaft). Analisis kualitatif ini
ditunjang dengan ferifikasi oleh narasumber native toraja yang terpercaya dengan metoda
wawancara.
Berbagai fenomena kebudayaan seperti perubahan system masyarakat adat menjadi
masyarakat formal dengan birokrasi tertentu, komersialisasi upacara adat, dualism dalam
memeluk kepercayaan, gengsi dalam berbahasa toraja, teknologi bangunan yang berbasis
alam berubah menjadi teknologi konstruksi modern, dan akulturasi kesenian modern pada
kesenian daerah.
1.2 TUJUAN
Mengetahui pengaruh modernisasi terhadap masyarakat Toraja dalam aspek:
Sistem Pengetahuan dan Teknologi
Masyarakat tana Toraja terkenal dengan kemampuan mereka untuk
menghasilkan rumah-rumah adat (tongkonan) yang sangat indah dan besar. Hal ini
mampu mereka lakukan dengan menggunakan pengetahuan mereka mengenai
beragam jenis kayu yang sebaiknya digunakan untuk menghasilkan rumah-rumah adat
tersebut. Namun setelah masuknya modernisasi proses pembuatan serta bahan baku
untuk rumah adat masyarakat tana Toraja telah banyak berubah.
Sistem Masyarakat dan religi
Dahulu masyarakat tana Toraja mengenal dengan adanya kasta-kasta. Hal ini
dipengaruhi oleh budaya nenek moyang mereka zama dahulu, yang juga mempercayai
dengan adanya satu dewa yakni Puang Matua. Pada zaman tersebut perbudakan di
tana Toraja masih berlaku. Moderniasasi terjadi ketika agama kristen mulai masuk ke
tana Toraja.
Mata Pencaharian dan Ekonomi
Kondisi geografis daerah toraja yang meruyapakan pgunungan tandus dengan
masyarakat yang rata-rata bekerja sebagai petani dan pedagang menyebabkan kondisi
masyarakat menjadi relatif miskin dengan pendapatan Rp.2.490.279/kk/tahun
4 | P a g e
(Kabupaten termiskin ke-2 di sulawesi selatan). Karena motif ekonomi ini sebagian
besar golongan remaja di toraja melakukan urbanisasi ke kota-kota besar untuk
bekerja kebanyakan sebagai karyawan instansi pemerintah. Para perantau inilah yang
kembali ke toraja dengan membawa modernisasi terutama melalui komersialisasi
upacara adat.
Kesenian
Salah satu perubahan yang significan dengan masuknya modernisasi di tana
Toraja adalah pada saat upacara pemakaman. Dahulu pada upacara ini masyarakat
Toraja beramai-ramai mengumpulkan kerbau untuk dipersembahkan pada saat ada
salah satu saudara mereka meninggal. Namun kini karena unsur ekonomi dan
beberapa perubahan dalam adat kesenian mereka, kerbau yang disediakan sekarang
hanya seadanya.
Bahasa
Bahasa yang digunakan untuk komunikasi oleh masyarakat tana Toraja adalah
Austronesia Barat. Bahasa ini umum digunakan oleh masyarakat setempat mulai dari
zaman nenek moyang mereka hingga pada saat modernisasi masuk ke dalam tana
Toraja. Hanya saja dengan masuknya moderniasasi bahasa asli mereka mulai
bercampur dengan bahasa Indonesia. Dan intensitas penggunaan bahasa asli mereka
mulai menurun.
1.3 Metode Penelitian
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini kami lakukan pada akhir bulan september 2009 hingga waktu
presentasi pada 12 oktober 2009. Lokasi yang kami gunakan sebagai ruang lingkup
penelitian adalah kampus Institut Teknologi Bandung. Di kampus terdapat unit
kesenian Sulawesi Selatan yakni UKSS, disini kami melakukan diskusi dan
mendapatkan masukan mengenai budaya Toraja dari seorang mahasiswa yang berasal
dari tana Toraja.
5 | P a g e
B. Bahan dan Peralatan
Pada Penelitian kali ini kami tidak menggunakan kuesioner, hal tersebut
diputuskan karena ruang lingkup kampus yang tidak begitu besar. Berhubung juga
tidak banyak mahasiswa ITB yang berasal dari tana Toraja. Namun sebagai alternatif
kami menggunakan metode wawancara beberapa mahasiswa ITB yang berasal dari
tana Toraja. Hal ini dilakukan sebagai pembanding antara hasil data yang kami
peroleh dari studi literatur dengan analisis langsung dari lapangan.
Peralatan yang kami gunakan dalam perolehan bahan-bahan untuk makalah ini adalah
video kamera dan kamera digital. Keduanya digunakan untuk memperoleh
bahan serata sebagai dokumentasi penelitan dan presentasi.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang kami lakukan adalah dengan metode
wawancara dan studi literature melalui makalah-makalah yang berasal dari internet,
juga dengan menggunakan buku-buku literatur.
6 | P a g e
BAB II
ANALISIS DATA
2.1 Sistem Pengetahuan dan Teknologi
Sejak dulu masyarakat Tana Toraja sangat peduli dengan kelestrian hutan. Hal ini
dibuktikan dengan diadakannya upacara adat sebelum masuk hutan untuk menebang.
Upacara yang dilakukan dimaksudkan sebagai permohonan ijin kepada Dewa Pencipta. Bagi
masyarakat tana toraja Pola pengelolaan hutan adat merupakan pengetahuan lokal
(indigenous knowledge). Kayu yang mereka tebang juga tidak berlebihan, biasanya secara
tebang pilih dan selalu memperhatikan factor permudaan alam dan luas penutupan tajuk
pohon guna menajami kelestarianmnya.
Hutan adat (kombong) merupakan hutan yang dibangun secara swadaya, oleh
masyarakat Toraja yang terhimpun dalam suatu ikatan kekerabatan keluarga. Pengetahuan
masyarakat tana toraja mengenai pegelolaan hutan merupakan dorongan agar dapat
mencukupi kebutuhan mereka berupa kayu dan hasil lainnya bagi kegiatan ritual keagamaan
serta pembuatan rumah adat (Tongkonan). Vegetasi yang umumnya dapat ditemukan disana
seperti bambu-bambuan (bambusa Sp.), Cemara Gunung/Buangin (Casuarina junghniana),
Cemapaka/Uru (Elmerillia Sp.), dan Pinus (Pinus merkusii).
(Rumah adat “Tongkonan” masyarakat tana Toraja)
7 | P a g e
Disamping pembuatan rumah adat, masyarakat Tana Toraja juga menggunakan kayu
untuk membangun lumbung padi (Alang). Oleh sebab itu jika dalam suatu lokasi berdiri
rumah adat, umumnya terdapat juga satu buah atau lebih lumbung padi. Maka tidak pernah
tidak dijumpai adanya beberapa lumpung padi tanpa disertai oleh rumah adat.
(Rumah adat “Tongkonan” dengan beberapa lumbung padi didepannya)
Berikut adalah jenis-jenis kayu yang digunakan untuk membangun rumah adat serta
lumbung padi oleh masyarakat Tana Toraja.
Sebelum masuknya modernisasi, pada jaman sebelum tahun 1980-an hampir semua
bahan konstruksi bangunan adat diperoleh dari hutan baik itu hutan adat ataupun hutan alam.
Namun setelah modernisasi mulai masuk ke Tana Toraja, terjadi perubahan terhadap
8 | P a g e
beberapa bahan konstruksi utama untuk pembuatan rumah adat serta lumbung padi. Penyebab
utama terjadinya perubahan ini karena kebutuhan akan kayu yang semakin meningkat seiring
dengan perkembangan jaman, serta laju pertumbuhan tanaman pada hutan adat maupun hutan
alam cenderung lebih lamban apabila dibandingkan dengan penggunaan kayu. Bahkan
terdapat juga beberapa kasus dimana pertumbuhan hutan adat serta alam semkin menurun
dari waktu ke waktu.
Dengan munculnya masalah-masalah baru setelah masuknya modernisasi. Masyarakat
Tana Toraja mulai memikirkan solusi-solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Dan
beberapa hasil dari solusi yang mereka terapkan adalah :
1. Tiang rumah yang besar dan kokoh, dahulu diambil dari hutan adat sekarang
dibeli.
2. Atap rumah adat yang semula terbuat dari bambu disubstitusi dengan atap seng.
3. Diterapkan peraturan-peraturan baru untuk menjaga pelestarian hutan adat serta
hutan alam, supaya tidak ditebang muda atau tidak dicuri.
4. Memberikan tanda-tanda pada beberapa pohon tertentu, guna untuk memberitahu
masyarakat bahwa pohon tersebut boleh dan siap digunakan untuk pembangunan
ataupun perbaikan bangunan adat serta lumbung padi.
(Rumah adat “Tongkonan” dikelilingi oleh hutan adat dan lahan pertanian)
9 | P a g e
2.2 Sistem Masyarakat
Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup
menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa,
tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi
dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat
yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas);
tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan,
tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang
terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan
upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang
awam (to buda).
Kelembagaan masyarakat adat di kabupaten Tana Toraja dikenal dengan nama
Saroan. Saroan adalah suatu kumpulan orang-orang tertentu yang membentuk suatu
organisasi yang terpola dan terstruktur untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kumpulan
orang tertentu artinya anggota saroan adalah kerabat keluarga yang masih memiliki ikatan
garis keturunan, punya adat kebiasaan yang sama. Terpola dan terstruktur artinya saroan ini
sudah terbentuk dari sejak nenek moyang dan penentuan kedudukan/status anggotanya dari
tertinggi sampai terendah ditentukan berdasarkan musyawarah berdasarkan garis keturunan
terhormat, tertua dan terpandai/terbijak serta didukung oleh finansial yang cukup. Pada
umumnya kegiatan Saroan ini masih terfokus pada kegiatan ritual adat budaya masyarakat
seperti pesta adat, baik pesta adat sukacita (rambu tuka’) maupun pesta adat duka cita (rambu
solo’). Namun demikian kegiatan tolong-menolong dalam segala segi kehidupan masih kental
akibat adanya kebersamaan yang tercipta dalam setiap kegiatan ritual adat tersebut. Kegitan
tolong-menolong ini sering disebut Sisaro, artinya saling bergantian membantu dalam bekerja
tanpa diberi upah. Anggotanya pun adalah semua dari kalangan di dalam Saroan tersebut.
Setiap lembaga adat (saroan) dipimpin oleh To Parenge’(Pemimpin Masyarakat) dan To
Makaka (Pemimpin Adat). Penentuan To Parenge’ dan To Makaka ini sudah ada sejak nenek
moyang terdahulu dan akan terus diwariskan kepada nakan cucunya berdasarkan garis
keturunan tertua. Penentuan jumlah organisasi/lembaga adat (saroan) di Tana Toraja pada
umumnya ditentukan dengan dengan dua cara yaitu:
1) Di tiap dusun terdapat satu saroan.
10 | P a g e
2) Ditentukan berdasarkan kesepakatan beberapa rumpun keluarga untuk
membentuk saroan.
Bila masyararakat menerapkan cara (1) maka setiap kepala keluarga otomatis menjadi
anggota salah satu saroan yang terdapat di dusun tempat tinggalnya. Tetapi jika masyarakat
menerapkan cara (2) maka seorang kepala keluarga memungkinkan menjadi 14 anggota
beberapa saroan oleh karena masing-masing orang berhak menentukan jumlah saroan yang
dikehendaki. Interval rata-rata jumlah anggota setiap saroan sebanyak 40–70 kepala keluarga.
Masing-masing saroan memiliki To Parenge’ sebanyak 10 – 20 orang. Urutan nomor To
Parenge’ dalam struktur organisasi menandakan tingkat kepimpinan dan penghargaan dalam
organisasi tersebut. Struktur organisasinya sebagai berikut:
2.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi
Adanya sistem kepercayaan yang kuat, membuat masyarakat toraja mempercayai
bahwa orang yang telah meninggal kembali berkumpul bersama para leluhur. Hal ini
menyebabkan adanya upacara rambu solo yaitu pesta adat suka cita yang didalamnya terdapat
Ma’tinggoro tedong (penyembelihan kerbau dalam jumlah besar).
11 | P a g e
Pada awalnya, kerbau yang disembelih tersebut berupa kerbau lumpur khas toraja yang
kebanyakan berasal dari sumbangan kerabat orang yang meninggal. Namun, adanya pengaruh
modernisasi dan juga masuknya agama baru menyebabkan banyak orang yang tidak lagi
melakukan acara Ma’tinggoro tedong ini, dan hal ini menyebabkan sedikit kerabat yang
menyumbangkan kerbau untuk melakukan acara tersebut.
Peluang ini dimanfaatkan oleh para peternak kerbau untuk dijadikan mata pencaharian, yaitu
dengan menjual kerbau kepada orang yang ingin melakukan acara ma’tinggoro tedong,
kerbau yang dijualpun bukan merupakan kerbau asli toraja, namun berasal dari sumbawa dan
biasanya lebih murah. Hal ini membuktikan bahwa acara yang kelihatannya menghabiskan
banyak biaya, dilain hal bisa menjadi sarana untuk saling berbagi antara orang kaya yang
melaksanakan acara tersebut dengan para pedagang. Selain itu, acara ini juga dapat
menambah pemasukan bagi daerah, karena upacara ini telah menjadi daya tarik bagi para
wisatawan domestik ataupun mancanegara untuk datang ke tana toraja.
( pelaksanaan upacara adat rambu solo)
Dalam hal pelaksanaan acara pun kini telah mengalami kemajuan, dari biasanya pelaksanaan
acara dengan bergotong royong seluruh masyarakat, dari mulai persiapan sampai ke hal-hal
yang kecil. Sekarang, semua hal itu telah dilakukan oleh sebuah event organizer (EO). Hal ini
menjadi sebuah peluang juga bagi para masyarakat untuk meningkatkan mata pencaharian
mereka.
12 | P a g e
Kemudian dari segi kehidupan sehari-hari, mata pencaharian masyarakat toraja juga telah
mengalami banyak perubahan. Kebanyakan penduduk toraja merupakan para petani dan
pedagang, namun dengan adanya modernisasi dan masuknya agama kristen dan islam
menjadikan masyarakat toraja lebih memikirkan berbagai kebutuhan hidup dan tidak lagi
terlalu memikirkan kegiatan acara kematian. Selain itu, semakin banyaknya pemuda yang
pergi merantau keluar daerah membawa perubahan yang cukup besar juga dalam sistem
ekonomi. Pemuda toraja yang pergi merantau umumnya pergi untuk memperoleh pendidikan
dan juga bekerja. Perantau yang pulang ke toraja membawa budaya baru yang diterapkan di
sistem perekonomian mereka. Hal ini juga menjadi bukti adanya pengaruh modernisasi
terhadap sistem mata pencaharian masyarakat toraja.
Modernisasi yang juga telah mempengaruhi pendidikan masyarakat toraja menyebabkan
adanya perubahan pemikiran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
2.4 Sistem Religi
Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem
religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah :
Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang
Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah.
Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat
mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.
Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku
bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral
mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia
dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan
dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan
ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan
faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan
inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang
melekat dengan begitu kuatnya.
Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam
sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang
13 | P a g e
bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini
sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan
yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan
agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan
makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.
Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang
bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai
berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja
Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif
terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan
yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam
budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak
cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara
yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek
moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang
sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya
etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan
pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami
perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk
perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori
psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos
dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam
dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak
orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar
itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja
dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat
Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman.
Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap
berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi
masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis.
Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
14 | P a g e
a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman
Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan
Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena
masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau
kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman
Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai
beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”.
(Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan
ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan
budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan
sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi,
agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan.
Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya)
ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama.
Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk.
Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup
menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa,
tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi
dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat
yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas);
tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan,
tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang
terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan
upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang
awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua
manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun
dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada.
Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau
pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan
serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan
15 | P a g e
antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran
agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya,
fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga
jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya
atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi
sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan
ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme
pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga
apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.
Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down.
Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan
dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian,
masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang
bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa
adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas
budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa
saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan
asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top
down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau
konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang
terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek
moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga
muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang
Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian”
Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan
untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka
berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka
“pakaian” Kristennya di pakai.
16 | P a g e
2.4.1 Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara
budaya dan agama
Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini –
entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari – sedang mengalami
kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek
moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang
dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika
diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.
Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas
dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama
sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang.
Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan
modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya
dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.
Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang
ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat
Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja
kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa
kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja
sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan
etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan
ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai
membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik
dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah
pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya
pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan
masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta
melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai
membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.
Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna
masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat
kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa’ kada di potuo pantan kada
di po mate (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh).
17 | P a g e
Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang
budaya.
Salah satu contohnya adalah dalam upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman
(rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini.
Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi)
disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati .
Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam
upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta
(yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan
kepada gereja.
Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan
menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata
masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak
mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga.
Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang
lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu
kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus
dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari
masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak
menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan
materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan
Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya
karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah
konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan
“modenitas yang berpakaian tradisional”. Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan
atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri
berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya,
atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di
Toraja.
(Christian Tanduk, 2007)
18 | P a g e
2.5 Kesenian
Tana Toraja memiliki kesenian daerah yang telah mendarah daging turun temurun pada
masyarakatnya. Berbagai macam objek yang menarik baik secara langsung diciptakan oleh-
Nya maupun secara sengaja dibuat oleh orang-orang yang memiliki cita rasa di bidang seni
yang tinggi tentang budayanya sendiri. Kesenian daerah yang ada di Toraja antara lain :
a. Tari – Tarian pa'gellu
Gellu' Pangala' adalah salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang
dipentaskan pada acara pesta "Rambu Tuka" juga tarian ini ditampilkan untuk
menyambut para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan
membawa kemenangan. Tetapi tarian ini tabu atau pamali dipentaskan pada acara
"Rambu Solo".
tarian ma'badong
19 | P a g e
Penari membuat lingkaran yang saling mengkaitkan jari-jari kelingking. Penari
bisa pria juga bisa wanita setengah baya atau tua. Biasanya mereka berpakaian
serba hitam namun terkadang berpakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk
umum. Tarian ini hanya diadakan pada upacara kematian ini bergerak dengan
gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu (Kadong Badong)
yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do'a,
agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam dialam baka.
Tarian Badong ini biasanya berlangsung berjam-jam, sering juga berlangsung
semalam suntuk. Perlu diketahui bahwa hanya pada upacara pemakaman yang
lamanya tiga hari/malam ke atas yang boleh dilaksanakan tarian Badong ini atau
khusus bagi kaum bangsawan.
b. Musik
Di samping seni tari dan seni suara serta pantun juga diperkenalkan seni musik
tradisional Toraja antara lain :
Passuling
Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling tradisional Toraja
(Suling Lembang). Passuling ini dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi
lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut keluarga atau kerabat yang
menyatakan dukacitanya. Passuling ini dapat juga dimainkan di luar acara
20 | P a g e
kedukaan, bahkan boleh dimainkan untuk menghibur diri dalam keluarga di
pedesaan sambil menunggu padi menguning.
Pa'pelle/Pa'barrung
Semua lagu ini sangat digemari oleh anak-anak gembala menjelang menguningnya
padi di sawah. Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung sehingga
mirip terompet dengan daun enau yang besar. Pa'barrung ini merupakan musik
khusus pada upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok,
Mangara dan sejenisnya.
Pa'pompang/Pa'bas
Inilah musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra.
Dimainkan oleh banyak orang biasanya murid-murid sekolah di bawah pimpinan
seorang dirigen. Musik bambu jenis ini sering diperlombakan pada perayaan
bersejarah seperti hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Peringatan Hari
Jadi tana Toraja. Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah
Tana Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di seluruh Indonesia.
Pa'karobi
Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-
sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.
Pa'tulali'
Bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga menimbulkan bunyi/suara yang
lumayan untuk menjadi hiburan.
Pa'geso'geso'
Sejenis alat musik gesek. Terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi
dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan
tali akan menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan
tekanan jari si pemain pada dawai. Pa'geso'-geso' terkenal dari Kecamatan
Saluputti.
(Anonim 1, 2009)
21 | P a g e
Adanya globalisasi/modernisasi tidak sepenuhnya mengubah tatanan kesenian tana toraja.
Tari – tarian dan musik khas tana toraja masih tetap dilakukan hanya saja kesenian ini
dilakukan pada saat peristiwa atau kejadian tertentu, seperti upacara perkawinan, upacara
kematian, penyambut tamu dan lain sebagainya. Salah satu contohnya adalah pada
tongkongan. Aalaupun zaman semakin berkembang namun fungsi dan bentuk tongkonandi
Lembang Pangli dan Palawa tidak dapat lepas sepenuhnya dari pengaruh kosmologi Toraja
dan kepercayaan leluhur aluk todolo. Dari seluruh aspek yang diteliti, ternyata aspek material
yang paling mudah berubah. Sedangkan aspek fungsi spasial untuk kegiatan ritual adat
khususnya ritual rambu solo'dan orientasi bangunan tongkonan paling sulit mengalami
perubahan. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan terkait dengan perubahan keyakinan
pemilik tongkonan, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan
penghasilan keturunan pemilik tongkonan.
2.6 Bahasa
Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Tana Toraja adalah bahasa
Austronesia Barat. Bahasa Austronesia memiliki banyak famili dan melingkupi daerah yang
cukup luas, mulai dari Madagascar, New Zealand serta sampai ke Hawaii. Umumnya
masyarakat yang menggunakan bahasa ini tergolongkan dalam masyarakat Malayo –
Polynesian. Famili ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia, karena lebih dari 250 juta
orang menggunakannya untuk berkomunikasi. Bahasa Austronesia juga sangat bervariasi,
memiliki lebih dari lebih dari 1000 jenis bahasa.
22 | P a g e
(Peta penyebaran bahasa Austronesia di dunia)
Pada umumnya bahasa Austronesia dibagi menjadi 3 bahasa utama, yakni:
o The Westren Group
Memiliki lebih dari 400 jenis bahasa. Umumnya digunakan pada
daerah-daerah sekitar Madagascar, Malaysia, Indonesia, Philipina,
Taiwan, dan sebagian dari Vietnam.
o The Eastren Group
Memiliki kurang lebih 300 jenis bahasa yang berbeda. Umumnya
digunakan pada daerah-daerah sekitar Papua, Polynesia, serta negara-
negara Oceanic lainnya.
o The Transition Group
Memiliki lebih dari 300 jenis bahasa yang berbeda. Pada umumnya
digunakan pada daerah-daerah sekitar pulau Mollucas dan Nusa
Tenggara Timur.
23 | P a g e
Setelah masuknya modernisasi ke Tana Toraja, bahasa yang digunakan oleh
masyarakat setempat tidak banyak berubah. Hanya saja keaslian dan intensitasnya dalam
penggunaan bahasa yang cenderung berkurang, yaitu dengan mencampur bahasa asli Tana
Toraja dengan bahasa Indonesia dan umumnya hanya menggunakan bahasanya secara utuh
jika berada di dalam kelompok masyarakat Toraja (perantauan).
24 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN DAN SOLUSI
3.1 Kesimpulan
Modernisasi mempengaruhi kebudayaan dalam hal landasan berpikir, dimana manusia
menjadi lebih kritis dan individualis dalam menjalankan perannya dalam masyarakat.
Modernisasi yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat antara lain adalah
masuknya zaman kolonial Belanda, masuknya agama Kristen, hingga yang paling
dominan adalah modernisasi pola pikir yang dibawa oleh generasi muda Toraja yang
umumnya kaum perantau.
Signifikansi perubahan kebudayaan dan pergeseran nilai-nilainya ada pada
penghapusan perbudakan serta sistem kemasyarakatan, religi, mata pencaharian, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pada aspek kesenian dan bahasa, tidak
terlampau berubah jauh dibandingkan dengan pada masa nenek moyang.
Masyarakat Toraja masih menerapkan kebudayaannya namun sebatas tidak
berbenturan dengan nilai-nilai agama (Kristen pada umumnya) dan tuntutan ekonomi.
Modernisasi budaya toraja sangat unik dilihat dari berbagai aspek berbeda dengan
suku lain di Sulawesi selatan.
Aspek budaya seperti sistem pengetahuan dan teknologi, sistem masyarakat dan religi,
mata pencaharian dan ekonomi, kesenian, dan bahasa telah berubah seiring proses
modernisasi budaya yang dibawa kaum perantau.
Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap
dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda.
Modernisasi dan perubahan pola pikir tetap terus berjalan selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat dan respon masyarakat pun akan
semakin beragam
25 | P a g e
3.2 Solusi
Agar budaya asli masyarakat Tana Toraja tidak bergeser ataupun hilang akibat modernisasi,
maka mayarakat Toraja sebaiknya :
Dalam melakukan setiap kegiatan/peristiwa tetap berdasarkan budaya
nenek moyang. Karena pada dasarnya semua budaya dan ilmu
pengetahuan yang telah diturunkan oleh nenek moyang merupakan
harta tak ternilai harganya.
Melakukan korelasi terhadap budaya-budaya baru yang masuk dengan
budaya asli. Agar dapat lebih mudah menentukan dan mengontrol
modernisasi apa saja yang dapat diterima dan yang sebaiknya
dihindari.
Tetap mempraktekan budaya-budaya asli Tana Toraja, sebagai seni
ataupun hobby. Agar budaya tersebut masih dapat bertahan seiring
dengan perkembangan jaman.
26 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS Kabupaten Tana Toraja. (2001). “Kabupaten Tana Toraja Dalam Angka.” BPS Kabupaten Tana Toraja
2. Kusumah, Gunawan. (1992). “Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan." Tidak diterbitkan.
3. Mubyarto. (1989). “Pengantar Ekonomi Pertanian.” LP3ES. Jakarta.
4. Supriyanto, B. (2000). “Sekitar Hukum Adat dan Hutan : Isu Masyarakat Adat Tidak Populer?” Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi 2/XIII/1999-2000.
5. A., Gani. (1994). “Pengembangan Sistem Pertanian Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia Pertanian.” Prosiding Lokakarya Nasional. PERHEPI. Jakarta.
27 | P a g e