khazanah ekoleksikal guyub tutur bahasa lio, …
TRANSCRIPT
1
Laporan Penelitian
KHAZANAH EKOLEKSIKAL
GUYUB TUTUR BAHASA LIO, FLORES
Tim Peneliti:
Aron Meko Mbete
Anak Agung Putu Putra
Ida Bagus Putra Yadnya
I Wayan Simpen
Veronika Genua
Gek Wulan Novi Utami
Didanai oleh
Program Doktor Linguistik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
2015
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Lio, Flores, adalah salah satu bahasa lokal, atau bahasa daerah, atau juga
bahasa etnik Lio yang ada di Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Selain bahasa Lio,
di Kabupaten Ende ada juga dialek Ende dan dialek Nage. Oleh masyarakat di
Kabupaten Ende, ketiga dialek itu dikenal sebagai logat Aku untuk bahasa Lio, logat
Ja’o untuk dialek Ende, dan logat Nga’o dialek Nage. Ketiga bentuk persona pertama
(tunggal) yang mengandung makna aku atau saya itu menjadi nama bahasa atau dialek-
dialek. Kesalingpahaman dalam komunikasi verbal antardialek itu masih memadai atau
cukup baik kendati disadari pula oleh para guyub tuturnya sebagai bahasa atau dialek
yang berbeda. Pranasalisasi merepresentasikan dialek-dialek Ja’o dan Nga’o dan bahasa
Lio. Selain bahasa Lio dan kedua dialek itu, di Kabupaten Ende, sebagai bagian NKRI,
hidup pula Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai mata
pembelajaran di sekolah-sekolah (SMP, SMA, dan SMK) dan di perguruan tinggi,
sejumlah bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, juga hidup dan berkembang walau
tidaklah menjadi bahasa sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat di Kabupaten Ende,
seperti juga banyak masyarakat Indonesia lainnya, telah berkembang menjadi
masyarakat dwibahasa (bilingualism) dalam arti lebih dari dua bahasa (lihat Romaine,
1995).
Bahasa Lio juga mengenal dan memiliki dialek yang berkorespondensi antara k-
h. Dialek /k/ ada di kawasan barat dan utara Lio, sedangkan dialek /h/ ada di wilayah
timur khususnya daerah Lise. Sebagai contoh dapat dilihat pada korespondensi berikut
ini.
Dialek k Dialek h
ki hi ‘ilalang’
kasa hasa ‘pagat’
kea hea ‘sej. labu’
kolo holo ‘kepala’
kubu hubu ‘atap’
koro horo ‘lombok’
3
Dari segi daya dukung penuturnya, bahasa Lio dikuasai dan digunakan oleh
sebagian besar masyarakat di Kabupaten Ende. Bahasa Lio juga memiliki beberapa
dialek dengan ciri-ciri fonologis dan leksikal, di samping ciri-ciri suprasegmental yang
sangat jelas pula. Jumlah penutur bahasa Lio diperkirakan lebih dari 100 ribu orang jika
penutur bahasa Lio di wilayah Kabupaten Sikka pun dimasukkan ke dalamnya. Dialek
Ende didukung oleh sekitar empat puluh ribu penutur sedangkan dialek Nag’o didukung
oleh sekitar tiga puluh ribu penutur. Perlu diinformasikan kembali bahasa Lio digunakan
oleh masyarakat di Kabupaten Sikka khususnya di dua kecamatan yakni Kecamatan
Paga dan Kecamatan Mego. Kedua kecamatan itu berbatasan langsung dengan wilayah
Kabupaten Ende, termasuk Kecamatan Kotabaru di bagian Utara. Sungai Nangabolo di
Kabupaten Sikka menjadi pembatas wilayah pakai bahasa Lio dan Bahasa Sikka.
Masyarakat di kedua kecamatan itu juga berkembang menjadi masyarakat multibahasa,
bahasa Lio, bahasa Sikka, dan bahasa Indonesia. Adat, budaya, dan tradisi Lio masih
cukup kuat terpelihara di kedua kecamatan itu, Paga dan Mego kendati adat, budaya, dan
tradisi Sikka juga kuat menyatu dalam masyarakat di kawasan itu.
Sebagai turunan Proto-Austronesia, bahasa Lio berkerabat erat (closed
relationship) dengan bahasa Ngadha dan bahasa Palu’e (Fernandes, 1986; Mbete 1981).
Bahasa Palu’e terdapat di Pulau Palu’e, utara Kabupaten Ende dan secara adinistratif
termasuk wilayah Kabupaten Sikka. Secara administratif, dalam hubungan kekerabatan
yang besar, bahasa Lio termasuk kelompok bahasa Flores Barat dengan bahasa
Manggarai sebagai anggota kelompok yang lebih besar jumlah penuturnya. Pada jenjang
lebih tinggi bahasa Lio berkerabat erat pula dengan subkelompok bahasa Flores Timur
(termasuk bahasa Sikka dan Lamaholot). Bahasa-bahasa kerabat di Flores, termasuk
bahasa Lio mewariskan ciri-ciri fonologis, morfologis, leksikal, gramatikal, dan
semantik asali dari bahasa asalnya. Selain kadar dan ciri-ciri divergensi kelinguistikan
yang genetis, unsur-unsur serapan dari Proto-Papua juga ada dalam bahasa itu.
Sebagai bahasa lokal yang menyatu dengan dan menjadi ciri jati diri guyub tutur
pemilik dan para pewarisnya yakni para anggota guyub tutur bahasa Lio, bahasa Lio
mengemban fungsi-fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Lio. Bahasa Lio adalah
perekat persatuan sebagai Orang Lio, sarana komunikasi dan interaksi verbal antarwarga
4
etnik Lio, perekam dan pengalih (transmisi) kebudayaan Lio antargenerasi; kebudayaan
Lio dalam pelbagai seginya. Bahasa Lio juga menjadi sarana pengungkap senisasatra
dan budaya Lio, dan menjadi ciri pembeda jati diri Orang Lio dengan etnik-etnik lainnya
di Flores dan Indonesia umumnya. Bahasa Lio pula yang membedakan Orang Lio
dengan Orang Sikka, Orang Ende, Orang Nagekeo, Orang Ngada, Orang Manggarai,
Orang Lamaholot, dan Orang Riung. Sebagaimana telah disinggung di atas,
diinformasikan bahwa sesungguhnya secara linguistis, guyub tutur dan penutur bahasa
Lio terdapat pula di bagian barat Kapupaten Sikka, khususnya di Kecamatan Paga dan
Mego. Penduduk Kabupaten Sikka di kedua kecamatan itu, menguasai bahasa Lio dialek
Paga-Mbengu dengan ciri suprasegmentalnya yang khas. Selain itu di antara mereka
juga ada yang menguasai dan menggunakan bahaaa Sikka, dan tentunya bahasa
Indonesia.
Sebagai warisan sejarah dan elemen budaya masa lalu, bahasa Lio telah hidup
dan berfungsi bagi guyub tuturnya sejak ratusan bahkan ribuan tahuan silam. Adat
istiadat, tradisi, dan kebudayaan Lio diungkapkan dan diwadahi dalam bahasa Lio.
Lagu-lagu Lio yang cukup terkenal itu bersyairkan bahasa Lio, demikian juga teks-teks
sastra lisan dengan paralelisme semantik sebagai pilar estetik berekspresi secara verbal,
merupakan produk-produk seni-budaya bernilai tinggi. Karya sastra lisan yang bernlai
tinggi dan tertuang dalam mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’, merupakan pusat dan puncak
adicita (ideology) etnik Lio yang hingga kini masih terawat kuat dalam bahasa dan
budaya agraris komunitas etnik Lio. Mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’ adalah sastra suci bagi
masyarakat Lio terutama dalam konteks perladangan asli.
Peredaran waktu dan dinamika ruang telah pula mengubah banyak segi
kebudayaan Lio. Jikalau sebelum masa Kemerdekaan (1940an hanya ada sara Lio
(bahasa Lio) dan sara Melaju (bahasa Melayu), pasca Kemerdekaan Indonesia memang
mengubah lingkungan kebahasaan bahasa Lio. Masyarakat etnik Lio yang semula
umumnya ekabahasa (yang secara terbatas didampingi sara Melaju ‘bahasa Melayu’ di
kalangan tertentu khususnya kaum terdidik kala itu, perubahan lingkungan kebahasaan
pun semakin meluas dan mendalam. Meluas, karena semakin banyak pembelajar dan
pengguna bahasa Indonesia khususnya etnik Lio, dan semakin mendalam karena banyak
5
segi kehidupan diwahanai oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional,
dan bahasa Negara. Pembelajaran, penggunaan, pemerluasan bahasa nasional, bahasa
resmi bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa Indonesia dan posisi itu jelas menggeser
kedudukan bahasa Lio. Jikalau pada masa lalu bahasa Lio menjadi bahasa ibu sebagian
besar etnik Lio di kota, terutama di pedesaan, setakat ini, bahasa Indonesia sudah
menjadi bahasa ibu bagi sebagian etnik Lio. Seiring dengan itu, semakin terpinggir pula
kedudukan dan semakin menyusut pula fungsi sosiokultural bahasa Lio (lihat Mbete,
1994).
Kehadiran bahasa Indonesia juga menandai masuknya kebudayaan Indonesia
dalam pelbagai aspeknya. Pola pikir, cara dan gaya hidup, mata pencaharian, pola
konsumsi berubah dan berkembang. Budaya agraris dengan mengandalkan pengolahan
lading berpindah mulai menipis mengiringi pola pengihidupan dengan tanaman
perdagangan yang lebih menjanjikan seperti kakao, cengkeh, vanili, kemiri, dan
sebagainya. Mata pencaharian baru di bidang jasa lebih dipilih oleh generasi muda.
Berladang dengan aneka tanaman tumpangsari asli dengan padi lokal sebagai primadona
budaya agraris etnik Lio semakin terdesak. Seiring dengan itu, lahan untuk padi lokal
dengan aneka tanaman pangan asli, semakin sempit. Kerajinan dan budaya tenun ikat
semakin kurang dipilih oleh generasi muda putri. Demikian pula kerajinan keramik
yatau gerabah yang mengolah sumber daya tanah liat semakin ditinggalkan pula, hanya
ditekuni oleh segelintir perempuan tua, sedangkan kaum wanita muda sudah
meninggalkan profesi itu.
Bahasa adalah gambaran atau representasi lingkungan tempat bahasa hidup,
dalam arti hidup dalam manusia. Dengan demikian, bahasa Lio dalam subsistem
leksikon, teks, dan wacana mengambarkan pula kenyataan yang ada di sekitarnya.
Kekayaan leksikon khusus, merepresentasikan lingkungan alam dan budaya yang
beragam pula. Khazanah leksikon bahasa Lio tentang keberagaman jenis, ukuran, bentuk
ikan-ikan laut dapat ditemukan di lingkungan pesisir atau daerah pantai, baik di pantai
selatan Kabupaten Ende dan Nage maupun di Pantai Utara Kabupaten Ende.
Berdasarkan sifat laut selatan yang “garang”, oleh guyub tutur bahasa Lio dan dialek
6
Ende, pantai selatan disebut Ma’u Haki ‘laut jantan’, sedangkan pantai utara yang relatif
lebih tenang ombaknya disebut Ma’u Fai, ‘laut betina’.
Seperti halnya bahasa-bahasa lokal dengan kandungan lokalitasnya di pelbagai
guyub tutur dan guyub etnik di Indonesia, bahasa Lio yang hidup sejak berabad-abad
hingga dewasa ini, merepresentasikan hubungan timbal balik bahasa itu dengan
lingkungan, baik dalam skala (buana) agung, mikrokosmos, maupun dalam skala
(buana) alit, mikrokosmos. Ikhwal adanya hubungan timbal balik itu sesungguhnya
terekam dan terwadahkan dalam bahasa Lio karena pada hakikatnya bahasa adalah
“wadah atau sarang kebudayaan”. Termasuk ke dalamnya adalah kategori produk
budaya material yang bersumber pada alam di lingkungannya. Budaya bahari berbasis
laut tentu berbeda dengan budaya perladangan berbasis lahan atau tanah garapan dengan
aneka tumbuhan. Dalam bahasalah tersimpan kekayaan makna dan nilai kehidupan
insani tersimpan. Akan tetapi, perjalanan waktu, dinamika kebudayaan, perubahan
lingkungan alami dan sosial, telah berdampak pada perubahan bahasa Lio sebagai
wahana budaya etnik Lio. Generasi muda guyub etnik dan guyub tutur bahasa Lio
sebagai ahli waris sudah “meninggalkan” bahasa lokal warisan leluhur mereka. Generasi
muda bahkan sudah mulai meninggalkan tradisi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas berikut dirumuskan masalah
yang dikaji dalam penelitian ini.
a. Bagaimanakah gambaran tentang khazanah leksikon dengan kategorinya
spesifik tentang kegerabahan?
b. Bagaimanakah gambaran tentang kekayaan leksikon tentang tumbuhan dan
tanaman dalam bahasa Lio?
c. Bagaimanakah gambaran tentang khazanah leksikon tentang binatang dan
hewan umumnya dalam konteks budaya sebagai kekayaan bahasa Lio?
d. Leksikon-leksikon spesifik tentang tenun ikat berbasis lingkungan dalam
bahasa Lio?
7
e. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan tergusurnya pengetahuan
leksikon-leksikon lingkungan spesifik dalam bahasa Lio?
f. Apa sajakah dampak perubahan pengetahuan leksikon-leksikon spesifik
tersebut dalam kaitan dengan keberlanjutan unsur-unsur bahasa, budaya
lokal, dan lingkungan hidup etnik Lio?
Khazanah leksikon yang makna referensial eksternalnya merujuk pada aneka
tumbuhan pangan, obat-obatan tradisi, gerabah, tenun ikat, dan dunia kebaharian, secara
linguistik mencakupi kategori nomina, verba, dan ajektiva. Kategori nomina dalam
konteks ekoleksikal ini berkaitan dengan pengetahuan tentang kekayaan lingkungan,
baik karegori biotik atau yang bernyawa, maupun abiotic atau yang tidak bernyawa.
Taksonomi tentang tumbuhan dan hewan yang menjadi khazanah budaya kuliner lokal,
dilengkapi pula dengan heronimi sebagai hasil olahan. Semuanya mengambarkan
kekayaan leksikon, bahasa, dan budaya guyub tutur bahasa Lio. Termasuk di dalamnya
adalah perangkat nomina turunan yang merepresentasikan hasil olahan tradisonal atas
tumbuh-tumbuhan yang menjadi tanaman budaya itu.
Kategori adjektiva adalah kelompok leksikon merepresntasikan pengetahuan
guyub tutur bahasa Lio tentang kualitas dan sifat-sifat aneka entitas yang dikenali dan
dimanfaatkan oleh warga guyub tuitur bahasa Lio. Dengan demikian, gambaran tentang
sifat, karakter, dan kualitas biotik sejumlah tumbuhan dan hewan yang diakrabi, juga
entitas-entitas abiotic khususnya tanah, air, pasir, dan bebatuan, terekam dan
terwadahkan dalam perangkat leksikon bahsasa Lio.
Kategori verba yang dijangkau dalam kajian ekoleksikal ini berkaitan dengan
aktivoitas manusia dalam mengolah sumber daya yang ada di lingkungan. Verba
tindakan dan verba proses, tercakup di dalamnya. Atas dasar kategori verba itu,
subkategori verba tindakan berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas mengolah entitas
tertentu, misalnya menebang dan mengolah batang pohon atau bagian tangkai pohon
aren untuk dijadikan nira atau tuak manis misalnya, membeiikan informasi penting
tentang keberagaman dan lingkungan. Selain keberagaman tanbaman, keberagaman atau
kekayaan leksikon yang menandai aktivitas dan atau proses khusus di lingkungan yang
8
khusus menggambarkan interaksi, interelasi, dan interdependensi warga guyun tutur
tertentu di lingkungan tertenu dengan jenis tumbuhan tertentu pula.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fakta dan informasi
tentang bahasa dan hubungannya dengan lingkungan. Hubungan itu secara khusus dapat
ditemukan dalam kata-kata dan ungkapan ekologis tentang sumber daya alam yang ada
di Lio, Flores. Khazanah lekikon yang berdimensi ekologis itu mencakup perangkat
leksikon pangan atau kuliner lokal dan obatan-obatan, gerabah asli dan tenun ikat.
Leksikon-seksikon yang diupayakan ditemukan itu berkaitan dengan kode-kode lingual
aneka tanaman dan unsur-unsur ekologis yang didayagunakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan yang telah menjadi tradisi dan sumber daya budaya lokal.
Sselain perangkat leksikon dan ungkapan, fakta dan informasi tentang ketergusuran atau
penyusutan pengetahuan tentang khazanah leksikon dan ungkapan itu, faktor-faktor
penyebabnya dan dampaknya akan diupayakan pula digali dan dideskripsikan.
1.3.2 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini juga diupayakan untuk memperoleh pemahaman
tentang dinamika lingkungan dan dinamika budaya serta tradisi berkaitan dengan
kekayaan sumber daya alam masyarakat etnik LIo, Flores. Selain itu, penelitian ini juga
ditujukan untuk memperoleh fakta dan informasi tentang dampak-dampak perubahan,
baik yang berdimensi positif maupun yang negatif.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis jelas terkandung di dalam penelitian ini. Sebagaimana
diketahui, sebagai pendekatan dan kerangka kaji teoretik linguistik terapan (applied
linguistics) yang bersifat lintas bidang (interdisipliner), adalah bidang keilmuan yang
relatif baru. Dengan demikian, fakta-fakta baru yang khas dan mutakhir diharapkan
9
bermanfaat untuk memperkuat dan mengembangkan konsep-konsep penguat kerangka
teoretik ekolinguistik. Kajian kritis juga bermanfaat untuk itu.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini juga sangat diharapkan. Kesenjangan pengetahuan
dan persepsi tentang sumber daya alam antara generasi tua dan muda mengandung
makna bahwa telah terjadi perubahan kebudayaan, padahal sumber daya budaya berbasis
lingkungan alam dengan keanekaragamannya sangat penting. Berdasarkan pengetahuan
yang dikembangkan atau diberdayakannya kembali dalam proses pembelajaran dan
pendidikan, kesenjangan pengetahuan dan pemahaman tentang sumber daya alam dan
budaya antargenerasi dapat dijembatani, apalagi dalam kaitan pengembangan
keterampilan mengolah keanekaragaman sumber daya bertautan dengan ekononomi
kreatif berbasis sumber daya lokal.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Ada sejumlah karya ilmiah ekolinguistik yang secara substansial dan ontologis
berkaitan dengan penelitian ini. Kaitan substansial, kesamaan, dan perbedaannya dengan
kajian ini dipaparkan secara singkat. Upaya penjelajahan atas beberapa penelitian yang
telah dilakukan oleh para pengembang ekolinguistik, khususnya ekoleksikal, bertujuan
pula untuk memaknai dan memosisikan penelitian ekoleksikal bahasa Lio, Flores.
Penelitian Mbete dkk. (2007) bertajuk “Ungkapan-Ungkapan Verbal Etnik Lio
yang Berfunsi Melestarikan Lingkungan”, harus diakui sebagai salah satu sumber
inspirasi untuk melanjutkan penelitian ini. Demikian pula penelitian Mbete (1992)
tentang “Fungsi Bahasa Lio, Flores” membuka ruang peduli akademis yang mendair dan
sumber daya air, orong peneliti ihwal pentingnya penelitian ini. Ungkapan-ungkapan
verbal, baik berupa tuturan-turan parsial dalam kaitan dengan prinsip-prinsip hidup dan
praktek hidup sehari-hari, mengandung makna, nilai, dan pesan-pesan adicita (ideology).
Di antaranya adalah ungkapan verbal yang menekankan pentingnya kebersamaan,
kekompakan, dan kesatuan dalam kehidupan sosial. Selain demi keserasian hidup
dengan sesama, keharmonisan hidup dengan sesama makhluk yang digolongkan sebagai
lingkungan alam, secara khusus amanat pelestarian mata air, adalah fungsi-fungsi
ekologis yang sangat penting. Akan tetapi, hasil kajian tersebut juga merampatkan
bahwa daya makna ungkapan-ungkapan tersebut sudah tidak kuat lagi. Pemahaman dan
kepatuhan sikap untuk menjaga lingkungan telah menyusut. Meskipun tidak
menggunakan teori dan metode ekolinguistik, secara tematik penelitian tersebut
memiliki kaitan pula dengan penelitian ini.
Merosotnya fungsi-fungsi sosial bahasa Lio dalam sejumlah ranah juga telah
dideskripsikan oleh Mbete (1992). Dalam penelitiannya ditemukan menurunnya
penggunaan bahasa Lio dalam sejumlah ranah pakai bahasa. Kendati telah dilakukan 23
tahun silam, generasi muda dalam guyub tutur bahasa Lio, memang sudah enggan
menggunakan bahasa Lio, sudah beralih ke bahasa Indonesia.
11
2.2 Kerangka Teori, Pendekatan, dan Metode
Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik sebagaimana telah dikembangkan
oleh Sapir (1912; 2001) dan Haugen (1992; 2001), serta Bang and Door (2000). Eratnya
hubungan timbal-balik antara manusia, lewat fungsi simbolik verbal, dalam wujud
bahasa karena di dalamnya bentuk-bentuk lingual itu tidak hanya bentuk tetapi juga
kandungan makna konseptual (lihat de Saussure, 1985). Bahasa lingkungan atau
leksikon-leksikon lingkungan adalah gambaran tentang realitas lingkungan, sekaligus
juga representasi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur dalam berinteraksi,
berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas yang ada di lingkungan.
Dalam konteks itu pula sarana kelinguistikan berperan. Proses leksikalisasi, yang diikuti
pula dengan gramatikalisasi, misalnya ungkapan-ungkapan yang metaforik, juga proses
kulturalisasi terjadi di dalamnya, di sisi sosialisasi. Yang dimaksudkan dengan
kulturalisasi dalam konteks ekolinguistik ini adalah adanya pengetahuan dan proses
pemahaman secara simbollik-verbal, kemudian bersasarkan pemahaman itu terjadi
proses pemeliharaan dan pengolahan sumber daya alam itu sebagai produk budaya.
Pengolahan atas padi atau kelapa menjadi produk kuliner yang khas, dengan cara-cara
atau teknik yang khas, tentu direkam secara verbal dalam bahasa lokal itu, itulah yang
merupakan proses pembudayaan atau kulturalisasi. Pemahaman makna simbolik,
misalnya padi tidaklah hanya demi perut dan kebutuhan hidup ragawi, melainkan juga
adanya makna adicita yang menuntun hidup manusia, itulah proses kultural berbasis
sumber daya alam.
Seiring dengan bahasa dan leksikon-leksikon lingkungan itu, fenomena bahasa
lingkungan sebagai praktik sosial dikembangkan juga oleh Bang dan Door (2000).
Dimensi ideologikal berkaitan dengan bangunan pengetahunan kognitif guyub tutur
tentang lingkungannya, dimensi sosiologikal bertautan dengan hubungan timbal balik
dan kesalingtergantungan antarwarga guyub tutur. Di dalamnya dapat pula
dispesifikasikan adanya kasih-sayang, cinta, atau sebaliknya benci, dendam, tidak saling
kenal; sednagkan dimensi biologikal menggambarkan kesalingtergantungan dan
kesalingterhubungan manusia dengan aneka entitas yang ada di lingkungan utamanya
tetumbuhan, hewan, tanah, bahkan udara.
12
Haugen (1992; 2001) menegaskan pula bahwa bahasa yang hidup itu hanya ada
dalam otak dan pikiran manusia, dan secara nyata terwujudkan dalam interaksi sosail
antaranggota guyub tutur saja. Dimensi ruang atau lingkungan ragawi menjadi penting
bagi Haugen, dengan demikian lingkungan-lingkungan khusus (bioregion dan
ecoregion), secara khusus lingkungan-lingkungan tertentu berbasiskan kekayaan khusus
lingkungan alam itulah yang menghasiilkan bahasa, ungkapan, dan kata-kata yang khas.
Fenomena subtetnik, atau juga subkultur berbasiskan kekayaan lingkungan, merupakan
gejala adanya hubungan antara bahasa, budaya, dan lingkungan (lihat Cassirer, 1999).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditunjang pula dengan
pendekatan lapangan dengan human instrument sebagai alat penjaring data. Penggalian
pengalaman-pengalaman probadi (personal experience) diandalkan dalam penelitian ini.
Khazanah leksikon dan ungkapan dalam dinamikanya lintas generasi, khususnya
generasi tua dan muda di lingkungan-lingkungan khusus subkultur, di antaranya dapat
diangkakan dan dihitung (dikuantifikasi), khususnya berkaitan dengan penyusutan
fungsi kulturalnya.
Sebagai penelitian kelinguistikan, sejumlah anggota guyub tutur yang berusia tua
di atas 50 tahun (dengan memilih 5-7 orang) dan berusia muda di atas 25 tahun (5-7
orang) dijadikan nara sumber atau informan penghasil data. Anggota guyub tutur bahasa
Lio, dengan mengutamakan mereka yang jarang meninggalkan lokasi dalam waktu
lama, baik pria maupun wanita menjadi pilihan informan. Wawancara mendalam (depth
interview) secara terstruktur dilakukan berdasarkan pedoman wawancara digunakan
dalam pengumpulan data utama. Wawancara terstruktur untuk menggali data berkaitan
dengan sejumlah subtopic ekolinguistik. Data-data tentang pengetahuan khazanah
leksikon dan praktik kegerabahan diperoleh dari kaum perempuan pengrajin gerabah dan
parktik kegerabahan. Data-data tentang tanaman dan tumbuhan serta hewan yang
berkaitan dengandunia perladangan dalam arti luas, sedangkan khazanah bahasa
kebaharian diperoleh dari para nelayan. Yang terakhir, data tentang tenun ikat juga
diperoleh dari perempuan erajin tenun ikat Lio. Data sekunder diperoleh dari sejumlah
pustaka yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian ini.
13
BAB III
GUYUB TUTUR BAHASA LIO, DINAMIKA BUDAYA
DAN LINGKUNGAN
3.1 Guyub Tutur Bahasa Lio
Sebelum menguiraikan ihwal guyub tutur, paparan singkat tentang bahasa Lio
disajikan dalam tulisan ini. Bahasa Lio tergolong bahasa vokalis setelah mengalami
perubahan atau penanggalan konsonan protobahasa Flores (lihat Fernandes, 1995;
Mbete, 1999) pada posisi akhir. Gejala apokope atau penghilangan konsonan pada akhir
kata itu, secara genetis menjadi evidensi atau bukti kualitatif yang memperkuat
hubungan kekerabatan erat bahasa-baahsa di Flores. BAhasa Manggarai, bahasa
Ngadha, bahasa Nagekeo, bahasa Riung, bahasa Lio, bahasa Sikka, bahasa Lamaholot di
Flores adalah bahasa-bahasa vokalis. Kendati ada konsonan pada akhir kata, konsonan-
konsonan sengau /n, ng, r/ saja. Selanjutya, korespondensi bunyi antara bahasa Lio dan
Dialek Ende tampak pada hadirnya pranasal (sebagai contoh: bahasa Lio: bebo, dialek
Ende mbembo ‘tidak tahu’).
Sebagaimana telah disinggung pada bab pendahuluan, khususnya pada uraian latar
belakang, penelitian ini menjadikan guyub tutur bahasa Lio, menjadi sasaran utama
sekaligus sumber informasi dan sumber data primer penelitian yamg ebrtajuk
ekolinguistik bahasa Lio. Penutur bahasa Lio memang lebih banyak daripada bahasa
atau dialek Ended dan Nage di bagian barat wilayah Kabupaten Ende. Wilayah pakai
bahasa Lio pun melampau batas-batas administrasi Kabupaten Ende karena meluas
hingga di dua kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Sikka, Flores yakni
Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Tuturan Lio dan batas wilayah pakainya dengan
bahasa Sikka bahkan “dibelah” secara ekologis oleh bentaran Sungai dan wilayah
Nangablo di Sikka Barat.
Bahasa Lio memang tidak mengenal dan tidak memiliki tingkat-tingkat penggunaan
bahasa yang diglosik yang berkontras sebagai ragam halus atau ragam tinggi dan kasar
atau sosiolek dalam menata penggunaan bahasa dalam konteks hubungan social yang
berjenjang atau hirarkis. Kendatipun demikian, bentuk hormat dengan orangtua, orang-
14
orang tua, pemimpin, dan pejabat, termasuk tetua-tetua adat diwarnai secara
suprasegmental dan sikap ragawi kinestik yang juga honorifik.
Variasi atau ragam bahasa Lio bersifat fungsional-kontekstual. Fungsi untuk
menandai dan memaknai pelbagai kegiatan adat dan tradisi dalam sejumlah lini
kehidupan tradisional berbasis keetnikan mengahsilkan ragam bahasa Lio yang disebut
sebagai sara waga. Dalam guyub tutur bahasa Lio, juga dalam dialek Ende, dan dialek
Nage di Kabupaten Ende, kata ‘bahasa’ dipadankan dengan sara. Bahasa Lio
dipadankan dengan sara Lio, bahasa/dialek Ende sara Ende, bahasa/dialek Nage, sara
Nage, bahasa Sikka, sara Sikka, dan seterusnya. Ini berarti konsep bahasa yang hakiki
bagi guyub tutur bahasa Lio adalah makna, nilai, dan fungsi penggunaannya, atau cara
berkomunikasi. Secara etnografik konsep bahasa menjadi pangkal kebermaknaannya.
Secara morfologik, sara waga dapat dijelaskan kembali dalam konteks masyarakat
dan kebudayaan Lio, Flores. Ragam bahasa sehari-hari memang berbeda dengan ragam
sara waga. Sara waga sebagai salah satu ragam atau variasi fungsional berakarkan kata
wangka ‘perahu’. Leksikon wangka ‘perahu’ (PAN) adalah butir bahasa dan budaya
kebaharian para penutur bahasa-bahasa Austronesia. Sebagai elemen budaya kebaharian
leksikon wangka ‘perahu’ atau sejenisnya memang menuntut keseimbangan agar tidak
tenggelam. Keseimbangan itu secara verbal diungkapkan dalam sara waga yang
memang berpakemkan kesepadanan makna, pengualangan yang pada hakikatnya
bermakna maksud yang sama. Sebagai contoh dapat disimak sara waga berikut ini.
Boka ngere (k)hi ‘merebah bagai ilalang’
bere ngere ae ‘mengalir bagai air’
Ungkapan tersebut bermakna budaya yakni warga guyub tutur bahasa Lio harus
serempak “jatuh merebah bersama atau kompak ibarat alang-alang yang diterpa angin
kencang puting beliung. Kekompakan itu juga ibarat air yang cepat mengalir begitu saja,
lancer dan tanoa dalih bagaikan air yang cepat mengalir kencang di kali yang terjal
sebagaimana tersirat dalam bere ngere ae. Ungkapan verbal yang padat dan sarat makna
dan nilai tradisi etnik Lio itu, adalah ccontoh bentuk paralelisme semantic sebagai varian
atau ragam fungsional dalam adat dan budaya etnik Lio.
15
Sesuai dengan pola strukturnya yang menggunalan pakem kesepadanan makna
(semantic parallelism) sebagaimana pola penggunaan bahasa dalam konteks vudaya dan
aneka ritual yang ada di sejumlah guyub etnik di Nusa Tenggara Timur khususnya (Fox,
2000), dan Indonesia bagian tengah dan timur umumnya. Hal ini dapat dibandinglan
dengan pola dan pakem berpantun pada etnik-etnik Melayu, Minang, Aceh, Lampung,
dan sebagainya. Sara waga masih hidup dan berfungsi. Dikaitkan dengan seni
berbahasa atau sastra, dapat dikatakan bahwa sara waga adalah sastra lisan atau tradisi
lisan yang indah dalam konteks penggunaan bahasa Lio dalam kehidupan sosialbudaya
sebagai “rumah atau istana tempat bahasa Lio hidup”. Sara waga memang menjadikan
semua ritual adat dalam siklus hidup manusia dan perladangan sebagai basis dan rumah
makna kultural bahasa Lio, sebagaimana juga bahasa-bahasa lokal lainnya.
Seni berbicara atau cara berkomunikasi verbal dengan pola kesepadanan makna
maksud itu dtemukan secara kontekstual dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam
kegiatan adat dan budaya. Dalam rangkaian pernikahan, sejak pranikah dengan tahapan
tu ngawu ‘belis’ dan wuru mana ‘ikatan kekerabatan’ sara waga selalu digunakan secara
fungsional. Patut dijelaskan pula bahwa tidak banyak orang atau warga guyub tutur
bahasa Lio berusia tua yang mahir berbahasa sara waga. Hanya segelintir penutur tua
tertentu, yang karena bakat berbahasa Lo sara waga sajalah yang mahir
menggunakannya. Keterampilan itu dimiliki secara otodidak. Penutur yang mahir
berbahasa sara waga itulah yang umumnya dijadikan sebagai juru bicara dalam pelbagai
upacara adat dan tradisi yang dicontohkan di atas.
3.2 Lingkungan Hidup yang Natural dan Kultural
Bahasa, budaya, masyarakat, dan tentunya ruang atau tempat bahasa, budaya,
masyarakat memanfaatkannya untuk hidup, mengalami perubahan mengiringi perjalanan
waktu. Dimensi ruang dengan segala isinya, termasuk manusia dengan kebudayaan dan
bahasanya, semuanya mengalami perubahan kendati dengan irama dan cakupan yang
sangat beragam. Sudah tentu perubahan ruang atau lingkungan alam, yang di dalamnya
juga bersisi manusia, masyarakat, dan kebudayaannya itu, senantiasa berubah.
Perubahan lingkungan hidup yang alamiah yang dikarenakan oleh bencana alam (gempa
16
bumi vulkanis dan tekntonis, tsunami, longsor, kekeringan, berdampak pada kondisi
lingkungan dan manusia di dalamnya.
Sebagaimana halnya di belahan Bumi dan di pelbagai pelosok Tanah Air, Pulau
Flores umumnya dan daerah Kabupaten Ende khususnya adalah lingkungan ragawi yang
secara nisbih memiliki kesamaan topografi. Gunung-gemunung dan bukit-bebukitan
dengan lembah yang curam adalah wajah yang sangat menonjol wilayah negeri ini.
Sebagai pembanding, Pulau Sumba dan Pulau Timor memang bergunung-gunung dan
berbukit-bukit namun tidaklah “sekaya dan sepadat” alam Pulau Flores, dan Kabupaten
Endeh khususnya. Dataran rendah sangat sedikit. Bebukitan dan gemunung yang kaya
itu pula ruang (space) untuk hidup manusia khususnya menjadi lebih banyak. Folres saja
memiliki lebih dari tujuh gunung berapi selain puluhah gunung tidak berapi.
Sebagai wilayah dengan kekayaan gunung berapi yang cukup banyak, ada di
setiap kabupaten, daratan Flores dengan curah hujan selama empat bulan, Desember-
Maret, secara umum cukup subur. Aneka jenis atau spesies tumbuhan dan hewan ada di
wilayah ini. Demikian pula, Flores yang dikelilingi dengan laut dan selat, perairan yang
ada di sekitarnya menyimpak kekayaan ikan dan binatang laut. Baik darat maupun
lautan, Pulau Flores, termasuk wilayah Kabupaten Ende yang menjadi tempat hidup
bahasa Lio dengan kebudayaan dan masyarakatnya, memiliki kekayaan sumber daya
alam darat dan laut yang memadai. Dengan demikian, relasi para warga guyub tutur
bahasa-bahasa lokal di Flores berinteraksi dan berelasi dengan aneka fauna dang flora,
selain dengan segi-segi topografi Flores. Pemahaman dan pengetahuan mereka tentang
pelbagai entitas yang da di sekitar mereka diberi nama. Secara khusus nama-nama
gunung dan lembah-lembah yang unik, demikian juga nama pantai dan muara, diberi
nama. Tidaklah hanya alam dan lingkungan darat yang diakrabi melainkan juga
lingkungan kelautan.
Sebagai bangsa yang pada mula dan muasalnya adalah bangsa pelaut, budaya
kebaharian sesungguhnya cukup kuat melekat dan masih tetap hidup hingga setakat ini
khususnya di kalangan masyarakat pesisir. Pada umumnya masyarakat pesisir adalam
nelayan-nelayan handal. Sebagai contoh betapa hebantnya masyarakat LAmalera,
17
Lembata menguasa alam laut dengan dominsi dan budaya kebaharian mereka yang
sudah etrkenal di seluruh dunia. Ketangkasan menangka sang raja laut, Ikan Paus,
adalah prestasi yang menjadi ikon para guyub tutur bahsa dan budaya Lamalera. Ritual
yang mengantar dan menopang kekuatan adalah kekuatan untuk “menguasai” Ikan Paus
dan lingkungan lautan yang ganas.
3.3 Dinamika Lingkungan Alam, Budaya, dan Bahasa
Perubahan lingkungan, baik alam maupun kebudayaan, termasuk situasi
kebahasaan memang menandai dinamika kehidupan yang ada di Indonesia, di Pulau
Flores, dan di Kabupaten Ende. Secara umum, alam yang pada beebrapa tahun silam
lebih didominasi oleh kehijauan alamiah, di sisi kegersangan yang alamiah pula, kini
mulai berubah. Jikalau masa lalu kehijauan didominasi oleh tumbuhan tropis dengan
vegetasinya yang beraneka ragam dan yang endemis, sejak beberpa puluh tahun silam
sudah mengalami perubahan yang cukup bermakna. Tanaman kemiri adalah tanaman
yang terwaris sejak lama, pada era tahun 70an ebrtambah banyak melalui budidaya
masala masyarakat. Lebih “dahsyat” lagi,. Tanaman perdagangan cengkeh dan kakao
telah mengubah banyak lahan, yang semula dihuni oleh tanaman padai lading, jagung,
umbi-umbian, dan sebagainya, kini justru telah didominasi oleh cengeh dan kakao, di
sisi tanaman baru seperti durian, salak, dan sebagainya.
Perubahan lingkungan patut dijadikan pertimbangan dan kajian. Bahasa hanya
hidup dengan dan dalam lingkungan masyarakat pemilik bahasa, Bahasa juga hanya
hidup dalam kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu bahasa juga hidup
dengan dan dalam lingkungan alam kendati hanya dapat ditelusuri melalui leksikon
(haugen, 1992). Akan tetapi karena bahasa adalah represntasi tetang dunia yang terekam
secara verbal dan dalam sistem lekikon bahkan juga pengguanaan bahasa (green
grammar) merupakan representasi hubungan antra manusia dan lingkungan, baik
18
hubungan yang mendukung kelestarian lingkungan, maupun sebaliknya hubungan yang
justru merusak keharmonisan di suatu lingkungan alam dan manusia.
19
BAB IV
KHAZANAH LEKSIKON KEGERABAHAN GUYUB TUTUR BAHASA LIO
4.1 Sumber Daya Tanah dan Kerajinan Gerabah
Hubungan manusia dengan lingkungan sebagaimana terekam dalam khazanah leksikon
dan tuturan tentang gerabah merepresentasikan betapa tanah sangat bermakna dan berfungsi
bagi kehidupan manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Kebudayaan dalam arti cara dan hasil
olahan manusia memanfaatkan sumber daya tanah adalah bahwa kebudayaan dimaknai sebagai
proses (verba, kata kerja) dan kebudayaan sebagai nomina atau kata benda (lihat Kleden, 1997).
Produk budaya dapat berwujud material, benda-benda ciptaan manusia yang kasat mata seperti
aneka bentuk gerabah, jikalau sudah berproses secara sistematis. Dengan demikian, kebudayaan
dipahami sebagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah manusia
memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam, khususnya tanah liat.
Lebih daripada itu, tanah, ruang atau space adalah lokasi tempat manusia menginjakkan
kakinya. Hanya jikalau berada di atas tanahlah manusia dapat berdiri untuk hidup dan
melakukan apa saja. hanya dengan tanah yang disebut sebagai lahan pula manusia mengolahnya
untuk bercocok tanam dan mendirikan rumah tempat tinggalnya, dan hanya di atas tanah pula
manusia dapat melakukan segala usaha, termasuk mengolah gerabah dengan produknya yang
juga diberi nama, setelah manusia mengenal jenis tanah seperti tana taki ‘tanah liat’, bita
‘lumpur’, ta’i faka ‘ humus yang dihasilkan oleh kotoran dari cacing’. Ta’i faka adalah juga
fakta lingual-natural yang menandai entitas jenis tanah tertentu, betapa jenis cacing tanah sangat
penting dan berperan dalam menjaga kesuburan tanah garapan khususnya atau lahan. Ta’i faka
20
adalah salah satu faktor yang menjamin lahan menjadi sangat subur untuk ditanami apa saja
yang dikehendaki oleh manusia.
Hanya tanah garapan atau lahan untk ditanami yang menggambarkan pentingnya
lingkungan ragawi yang dipiujaki oleh manusia untuk hadir dan berdiri serta bergerak.
Pengenalan sifat atau karakter tanah, yang tentu pula direkam secara verbal dalam ingatan
mereka. Jenis tana taki ‘tanah liat’ digunakan oleh kaum perempuan Lio, khususnya di dua
kampong yakni Kampung Wolosoko di Kecamatan Wolowaru dan Kampung Wolotolo Tengah
di Kecamatan Wolotolo, Kabupaten Ende. Mengolah sumber daya tana taki ‘tanah liat’ atau
yang dalam guyub tutur Lio disebut ju podo kawa itu diwariskan secara turun temurun.
Kendatipun dewasa ini sudah kurang diminati lagi oleh generasi muda, tradisi ini masih
bertahan kuat.
Secara linguistik dan ekoleksikal khususnya, pengenalan, pengetahuan, dan pemaknaan
satuan-satuan atau entitas-entitas tanah secara spesifik dikodekan dalam bentuk leksikon dalam
bahasa Lio. Perlu diuraikan bahwa leksikon tanah berasal dari bentuk purba etymon PAN
*tanaq yang diturnkan menjadi bentuk tana, atau tanah dalam bahasa Indonesia. Bandinglan
dengan etmon *lemaq ‘tanah’ yang dalam beberapa bahasa lokal (lemah Abang atau Tanah
Abang, Jakarta) diturunkan sebagai bentuk lemah ‘tanah’ atau bentuk kompleks dalam bahasa
Bali palemahan yang meluas maknanya menjadi lingkungan ragawi umumnya.
Bahasa, secara khusus khazanah leksikon adalah representasi lingkungan, sekaligus juga
representasi pengetahuan, pengalaman, dan gambaran praksis sosial-kultural dalam
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dalam hal ini sumber daya tanah. Pengetahuan
dan pengalaman sebagai praktik sosial-budaya itu diturunkan dan diwariskan antargenerasi.
Kendati kadangkala merusak lingkungan namun perilaku menutup kembali lubang-luban yang
21
bermula dari pengambilan tanah liat, penutupan kembali lubang-lubang. Baik secara sadar
dilakukan maupun secara langsung oleh proses alamiah karena adanya tanaman-tanaman yang
tumbuh, kondisi tanah dan lingkungan itu tidaklah mengalami kerusakan yang berarti.
Pengambilan tanah liat dalam skala kecil dan terbatas, turut menjamin dan menjaga
keseimbangan ekosistem. Kategori linguistik berupa nomina dengan makna referensial eksternal
yang ada di sekitarnya berupa entitas-entitas tanah yang menggambarkan pengetahuan guyub
tutur itu, diikuti pula dengan leksikon-leksikon dengan makna referensial eksternal yang
menggambarkan produk budaya itu, diperkaya pula dengan khazanah leksikon verba konstatatif
dalam mengolah tanah liat khususnya sebagai praktik budaya. Berikut uraian tentang khazanah
leksikon gerabah dalam guyub tutur bahasa Lio.
4.2 Kategori Leksikon Kegerabahan Guyub Tutur Lio
Secara ekolinguistik khazanah leksikon memang merepresentasikan kekayaan budaya,
khususnya budaya material hasil pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya tanah
liat. Berdasarkan kategori ekoleksikal, berikut dirincikan tiga kategori leksikal kegerabahan
yakni: (1) khazanah leksikon kategori nomina awal; (2) khazanah lekaikon kelas adjektiva, (3)
khazanah leksikon kelas verba, dan leksikon kelas nomina olahan. Perlu dijelaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan leksikon kategori nomina awal adalah nomina-nomina yang menjadi nama
entitas tanah yang secara ekologis termasuk abiotic dan secara ekosemantik tergolong tak
bernyawa. Pengenalan, pengetahuan, dan tentunya pengalaman berinterelasi, bahkan
berinterdependensi dengan entitas tanah, pemahaman dan penyifatan atas karakter tanah
mendasari penamaan yang berkategori adjektiva. Selanjutnya, pengetahuan dan pengalaman
atas karakteristik liat yang diolah secara tradisional dan turun temurun itu diberi nama atau
22
dikodekan pula secara lingual-verba, yang tergolong verba kontatatif. Kelompok verba ini
mengacu pada proses atau perbuatan, atau tindakan dan aktivitas perajin gerabah. Hasil proses
verba kontatatatif itulah yang memunculkan nama-nama produk khusus gerabah dalam
masyarakat Lio dan guyub tutur kegerabahan khususnya.
(1) Khazanah Nomina Entitas Awal Tanah Liat
Sejumlah leksikon nomina yang secara semantik referensial eksternal meerujuk
langsung pada entitas-entitas yang kasat mata dan ada di lingkungan dapat disimak pada
uraian singkat di bawah ini. Penyajian data dalam tabel dilengkapi pula dengan
pemaparan dan pembahasan tentang bentukknya secara morfologis dan makna dan
fungsi sosialnya.
1) Tana taki ‘tanah liat’.
Secara morfologis, leksikon tersebut dikonstruksi oleh dua leksem tana
‘tanah’ dan taki ‘liat’ sehingga menjadi bentuk majemuk. Secara ekoleksikal
leksikon tana taki ‘tanah liat’ tergolong kelompok abiotic dan secara semantik
tergolong tak bernyawa dan tak terhitung.
Tana taki ‘tana liat’ adalah sunber daya tanah yang menjadi bahan dasar
untuk pembuatan aneka jenis dan ragam gerabah. Sumber daya tanah liat memang
ditemukan di tempat atau lokasi-lokasi tertentu saja seperti di kedua kampong yang
dijadikan lokasi penelitian ini yakni di Kampung Wolosoko dan Kampung Wolotolo
Tengah. Di beberapa lokasi memang ditemukan juga seperti di sekitar kawasan
Gunung Kelimutu, Akan tetapi, kerajinan rakyat ini hanya ditemukan di kedua
kampung itu. Itupun hanya terbatas pada sejumlah perempuan lanjut usia.
23
2) Tana mtaki ite
Leksikon tana mite ‘tanah hitam’ secara morfologis tergolong kata majemuk.
Secara ekologis tana mite ‘tanah hitam’ yang secara ekologis 2tergolong abiotic
adalah jenis tanah yang juga digunakan dalam pembuatan aneka gerabah sebagai
kerajian tradisional wanita perajin sejak dulu. Sebagai bentuk lingual yangs ecara
morfologis tergolong kata majemuk itu, tana mite digunakan untuk pembuatan podo
‘periuk’, kawa ‘belanga’, pane ‘piring makan’, juga paso ‘tempayan air’.
Kendatipun demikian, jenis tanah liat ini sesungguhnya krang diminati. Selain
karena warnanya yang juga agak menghitam, tanah ini kurang baik dan agak sulit
diolah atau dibentuk.
3) Tana Taki Kune ‘tanah liat kuning langsat’
Leksikon tana taki kune ‘tanah liat kuning langsat’ adalah salah satu jenis
tana yang sangat baik mutunya untuk diolah menjadi gerabah. Di Wolotolo dan di
Wolosoko, kedua jenis tanahlah yang digunakan untuk pembuatan aneka bentuk
gerabah tradisional. Kandungan pasirnya pun tidak terlalu banyak. Selain itu, jikalau
dicampur dengan tana taki mite ‘tanah liat hitam’ niscaya camuran itu doleh
perempuan perajin dianggap lebih empuk.
(2) Leksikon Turunan Hasil Proses Pembuatan Gerabah
Sebelum datangnya peralatan rumah tangga yang dikenal sekarang ini, guyub tutur
bahasa Lio telah memiliki peralatan rumah tangga asli dan tradisi seperti terlihat pada
tabel di bawah ini.
24
Tabel 1. Leksikon-leksikon Turunan Hasil Olahan
No Nama dalam
Bahasa Lio
Bahasa Indonesia Makna dan
Fungsi
Keterangan
1. Podo
Podo lo’o, Podo ria,
dan Podo mbama
Periuk
Peiuk kecil dan
periuk besar, dan
periuk ritua
Alat memasak
nasi
Podo mbama
adalah periuk
ukuran besar
yang digunakan
dalam ritual
mbama
2. Kawa
Kawa lo’o
Kawa ria
Belangabesar
Belanga kecil
Belanga
Alat untuk
memasak
sayur-lauk
Dipakai untuk
ritual mbama
dan ritual
lainnya
3. Pane
Pane ha’i boko
Pane ha’I bewa
Piring tanah
Piring berkaki pendek Pring berkaki tinggi seperti piala
Tempat nasi
saat Pati Ka
Ritual
pengehormatan
kepada leluhur
dan Penguasa
Alam
4. Pane ae Cangkir asli Tempat minum
5. Paso Tempat air Tempat air
khusus saat
ritual
Sumber: Toni-Mbelo-Antonia Daba (70 th) : Gerabah
Secara morfologis bentuk-bentuk leksikon di atas ada yang tergolong bentuk dasar
seperti: podo, kawa, pane, dan paso dan ada pula bentuk turinan yakni bentuk majemuk: podo
lo’o ‘periuk kecil’, podo ria ‘periku besar’, podo mbama ‘periuk mbama’, kawa lo’o ‘belanga
kecil’, kawa ria ‘belanga besar’, pane ha’i bewa ‘piring berkaki tinggi’, dan pane ha’i boko
‘piring berkaki pendek’, serta pane ha’i bewa ‘piring berkaki tinggi’. Secara semantik dan
ekoleksikal, entitas-entitas tersebut tergolong tak bernyawa dan abiotic.
Seperti tampak pada tabel di atas, peralatan rumah tangga khususnya dapur, guyub tutur
bahasa Lio mengenal leksikon-leksikon podo ‘periuk’, podo lo’o ‘periuk kecil, podo ria ‘periuk
besar’, kawa ‘belanga’, juga ada kawa lo’o ‘belangan kecil’ dan kawa ria ‘belanga besar’, pane
25
‘piring’, pane ha’i boko ‘piring berkaki pendek’, pane ha’i bewa ‘piring berkaki panjang, dan
paso ‘tempat air’. Peralatan dapur dan makan itu dibuat dari tanah liat seperti diuraikan di atas.
Guyub tutur bahasa Lio hingga setakat ini masih menggunakan peralatan tersebut.
Tatkala melakukan ritual Pati Ka yakni memberikan makanan khas yang terdiri atas nasi asli,
lauknya daging (babi, ayam, atau kerbau), juga minuman berupa air putih dan arak asli, tempat
yang dijadikan wadah nasi, lauk, dan air minum itu haruslah menggunakan pane ha’i bewa
ukuran besar dan pane ha’i bewa ukuran lebih kecil masing-masing untuk nasi dan lauk. Sudah
menjadi norma bahwa dalam melakukan ritual Pati Ka, masyarakat asli Etnik Lio harus
memanfaatkan bahan makanan lokal yakni beras asli dari hasil ladangnya, demikian juga
seharusnyalah daging dari hasil peliharaannya, di sisi sirih pinang bagi leluhur wanita dan rokok
asli (tembakau asli dengan daun lontar atau kulit buah jagung kering). Selain itu arak asli hasil
irikan dari enau dijadikan minuman wajib yang harus ditaruh dalam tempurung kecil. Piring,
gelas, dari keramik atau lainnya tidaklah diperkenankan.
Dinamika kebudayaan material khususnya telah mengubah pula khazanah bahasa dan
tentunya khazanah material yang dikodekan dalam bahasa Indonesia. Selain podo ‘periuk’,
kawa ‘belanga’, pane ‘piring asli’ dan paso ‘tempat air’ , masyarakat bahasa Lio sudah mulai
menggunakan panci, piring, dan gelas. Bahkan untuk menghidangkan makanan saat Pati Ka, di
antara mereka sudah pula menggunakan peralatan makana mutakhir itu, tidak lagi alat-alat yang
asli. Tradisi penggunaan peralatan asli sudah mulai tergeser. Meskipun demikian, sebagian
besar mulai menggunakan kembali.
26
4.3 Khazanah Verba Kegerabahan Guyub Tutur Bahasa Lio
Seperti diuraikan secara singkat di atas, interaksi dan interelasi warga guyub utur di
lingkungan tertentu dengan sumber daya tertentu khususnya dengan tekstur tanah liat
menjadikan tanah liat sebagai sumber daya. Sumber daya lingkungan itu diolah dengan
kemampuan otak dan keterampilan tangan yang menghasilkan verba konstatatif dasar dan
umum ju. Jadi, ju adalah bentuk dasar dan bersifat umum (generic) sebagai aktivitas
kebudayaan yang tergolong kata kerja atau verba.
Kekayaan leksikon kegerabahan di bawah ini menggambarkan kekayaan sumber daya
tanah liat, sekaligus pola budaya dalam guyub tutur bahasa Lio ketika tanah diolah sedemikian
rupa. Melalui keterampilan, kelenturan, serta keluwesan jemari dan ketangkasan tangan
mengolah tanah liat itulah yang mengubah tanah liat menjadi bahan-bahan baru yang diproduksi
dalam periode tertentu pula. Bahkan bahan-bahan olahan itu bernilai budaya instrumental
tersendiri.
Pengolahan berkaitan dengan proses dan atau tindakan sebagai bentuk aktivitas khusus
untuk mengolah sesuatu, dalam hal inu mengolah tanah dalam beberapa tahapan kerja. Dengan
demikian, muncullah kode-kode lingual yang menandai tindakan dan atau proses yang secara
leksikon digolongkan sebagai kata kerja atau verbal. Di bawah ini dipaparkan data dan uraian
serta pembahasannya.
Tabel 2. Khazanah Verba Kegerabahan Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Verba
Bahasa Lio
Verba Bahasa
Indonesia
Elaborasi Proses
Verba
Kategori Verba
Generik dan
Spesifik
1 Rero /rero/
atau gale
poke /e/
Menyerok Membuang
kerikil/batu kecil yang
ada di dalam
gumpalan tanah liat
Generik
27
2 Gale poke Menyeleksi Menyaring secara
khusus dengaan jari
tangan
Spesifik
3 Gale Memilah dan
memilih
Memisahkan dan
memilih
Generik
4 Poke Membuang Membuang kerikil
kecil atau bahan lain
Generik
5 Koe (tana) Menggali Mengangkat tanah
dari dalam untuk
digunakan
Generik
6 Wari (tana) Menjemur Menjemur di tempat
yang teduh terlebih
dahulu
Generik
7 Dhe /e/ Merendam Proses mencampur
tanah liat dengan air
Generik
8 Ru’bhu Didinginkan agar
suhunya pas
Membungkus tanah
dengan kain setelah
direndam
Generik
9 Dhu/ togi Menumbuk tanah
diolah jadi halus
Melumatkan tanah liat
hingga halus dan
lembut
Spesifik
10 Ju /ju/ Pembuatan gerabah
secara keseluruhan
Membuat periuk,
belanga, dan paso
belanga, pane, paso
Spesifik
11 Rewe/rəwe’/ Membentuknya
dengan jemari
Istilah khusus untuk
membentuk (dengan
menekan tanah yg
sudah halus) dalam
proses pembuatan
gerabah
Spesifik
12 Pese-reme
/pəse rəme/
Istilah lebih khusus
membentuk
13 Poru wiwi
(gego)
Istilah khusus
membentuk dengan
menekan atau memijat
tanah yang halus
dengan bantuan daun
nangka atau daun jita
agar permukaan halus
Spesifik
14 Wetinggri /ə/ Mengukir Membentuk secara
khusus sesuai matif
Spesifik
15 Foe Digaruk Menggaruk
permukaan dan
pinggiran gerabah
untuk meratakan
Spesifik
28
permukaan
16 Kuma Melicinkan
permukaan gerabah
Menghaluskan
permukaan dengan
menggunakan kima
atau rumah siput dan
watu moso /watu
mosɔ/ (batu bulat
halus)
Spesifik
17 Wari Menjemur Menjemur di panas
matahari
Generik
18 Ngga Mengangin-
anginkan
Mengeringkannya di
tempat yang teduh
Spesifik
19. Welu
/wəlu/
Memibiarkan kena
angina
Membiarkan di
tempat yang teduh
selama beberapa hari
Generik
20 Sui Mengeringkan Mengeringkannya
dengan panas dari
asap api dapur
Generik
21 Bui Membakar Membakar gerabah
dengan api berbahan
khusus
Generik
22 Tu’a Pengujian Pengetesan mutu
melalui memasak
perdana hingga air
mendidih dan meluap
dengan menggunakan
gerabah
(meluap pertanda
gerabah tersebut layak
dan bermutu
sempurna dan siap
digunakan)
Spesifik
Secara morfologis leksikon-leksikon verba di atas tergolong bentuk dasar seperti: koe
‘menggali’ , gale ‘memilih’, wari ‘menjemur’ togi ‘menumbuk’, rubhu ‘membungkus dan
mendinginkannya’, dhe ‘merendam dengan air’, sui ‘mengeringkannya dengan asap api dapur’,
bui ‘membakar hingga matang’, dan seterusnya. Di sisi itu gale poke ‘memilih dan
membuangkan’ tergolong deretan verba proses pula.
29
Pada kolom terakhir dalam tabel di atas disebutkan pula konsep verba-verba generic dan
spesifik. Kategori verba generic dimaksudkan verba-verba yang digunakan dalam ranah pakai
pada umumnya di luar aktivutas dan proses pembuatan gerabah. Verba wari ‘menjemur’ dan
verba dhe ‘merendam’ tergolong verba-verba generic karena dapat saja digunakan pada ranah
pakai lainnya. Akan tetapi yang dikategorikan sebagai verba-verba spesifik seperti togi
‘menumbuk’, rewe ‘meremas dan membentuk’, weti nggeri ‘mengukir’, kuma ‘menghalsukan
permukaan dengan kima dan batu halus’, tu’a ‘mengetes mutu gerabah agar siap pakai’
tergolong verba-verba yang sangat spesifik. Verba-verba itulah yang secara sangat khusus
hanya digunakan dalam peroses pembuatan gerabah, tidak ditemukan penggunaannya dalam
ranah-ranah pakai lainnya.
Seperti tampak pada tabel di atas, ada 22 verba kegerabahan yang tergolong verba
konstatatif dalam tindakan atau proses pembuatan gerabah atau kerajinan keramik dalam guyub
tutur bahasa Lio. Kekayaan verba konstatatif itu menggambarkan proses budaya gerabah dan
merupakan teknik tradisional. Tata urutnya yang menggambarkan prosedur pembuatannya sejak
awal hingga akhir dapat disimak di bawah ini.
30
Koe
Rero
Gale ngilo
Gale poke
Poke
Wari
Dhe
Rubhu
Dhu-Togi
Ju
Rewe
Pese-reme
Poru-wiwi
Wetinggeri
Foe
Kuma
Ngga
Wari
Welu
Sui
Bui
Tu’a
31
Seperti tertera pada tabel dan paparan di atas, verba koe ‘menggali’ merupakan
tahapan pekerjaan yang paling awal sebelum pengolahan gerabah yakni penyediaan bahan
dasar yakni tanah liat yang diperoleh melalui kegiatan koe. Secara semantik verba koe
‘menggali’ bersifat generic karena berlaku untuk menggali apa saja, dalam kegiatan
melubangi tanah. Pengetahuan tentang jenis dan lokasi tanah liat yang kemudian dijunjung
oleh kaum perempuan perajin gerabah. Pekerjaan ini hanya dilakuakn oleh perempuan
perajin gerabah. Pengetahuan tentang jenis tanah dengan sifat tanah yang liat dan lentur di
lokasi tertentu membuka dan memeprkaya pengatehuan dan pengaaman yang secara
akumulatif menandai kedekatan interelasi perajin gerabah dengan unsur abiotok ini.
Tabel 3. Jenis, Sifat Tanah Liat, dan Peralatan Pengelolaan Gerabah
No Leksikon nomina
dalam bahasa Lio
Bahasa Indonesia Tekstur dan
Warna
Mutu Tanah Liat
1 Tana taki Tanah liat
Tana taki bara Tanah liat putih
Tana taki mite Tanah liat hitam
Tana paba Tanah coklat
kemerahan
bertekstur
lembut, mudah
pecah
Tana bita Lumpur
2 Ae Air
3 Watu Batu
Watu wa Batu Batu ceper,
permukaan rata,
dan lebar
4 Alu Alu Biasanya sejenis
bambu/aur
5 Podo /pɔdɔ/ Periuk
Podo ria Periuk besar Biasanya untuk
memasak beras
merah asli saat
ritual adat besar
Podo lo’o Periuk kecil Biasanya untuk
memasak saat
ritual adat khusus
32
6 Kawa Belanga Untuk masak
sayur
7 Pane /e/ Piring dari tanah
liat
Podo sarangara Sejenis periuk
berukuran
sedang
Untuk memasak
dalam porsi
sedang
8 Lara Siput Untuk
melicinkan
permukaan
gerabah
10 Kima Siput Untuk
melicinkan
permukaan
gerabah
11 Watu moso Batu bulat sedah,
agak pipih
Digunakan untuk
12 Wasa Kayu pipih
Kaju oja Kayu pohon oja Jenis kayu yang
digunakan untuk
membuat wasa
dan kondisinya
kering
13 Kaju mage /e/ Kayu dari pohon
asam
Jenis kayu yang
digunakan untuk
membuat wasa
dan kondisinya
kering
14 Dabu Pelepah kelapa Untuk bahan
pembakaran
gerabah
15 Sumbu Daun kelapa
yang kering
Untuk bahan
pembakaran
gerabah
16 Ki Alang-alang Untuk bahan
pembakaran
gerabah
17 peri /ə/ Bamboo Bahan
pembakaran
18 Aufuro Sejenis bamboo Bahan
pembakaran
Tabel 4. Adjektiva Flora Guyub Tutur Lio
No Adjektiva bahasa
Lio
Bahasa Indonesia Kategori
Semantik
Keterangan
33
1 Mite Hitam Istilah umum
2 Bara Putih Istilah umum
3 Lo’o Kecil Istilah umum
4 Ria Besar Istilah umum
5 Taki Liat Istilah umum
6 Amo Licin (halus
permukaan)
Istilah umum
7 Tu’a Keras Istilah umum
8 Tu’a Keras karena
dijemur dan
dibakar
Produk yang
sudah siap
digunakan
9 Keku /ə/ Lembut Istilah umum
Tabel 5. Numeralia Flora dan Fauna Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Numeralia
bahasa Lio
Numeralia
bahasa Indonesia
Makna dan
Fungsi
Ekleksikal
Keternagan
1 Sa Satu
2 Sabu’a Sebongkah tanah
3 Sapodo Satu periuk
4 Sapane Satu piring tanah
liat
5 Sakawa Satu periuk
6 Sapaso Satu paso
34
BAB V
KHAZANAH LEKSIKON FLORA KEPANGANAN
PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO
5.1 Bahasa Lio sebagai Representasi Realitas Lingkungan Alam.
Meskipun tidaklah lengkap apalagi secara keseluruhan, bahasa Lio khususnya kekayaan
kata yang dimilikinya merekam realitas khususnya realitas yang kasat mata atau
pertampakannya dapat disimak dengan mata oleh guyub tutur. Realitas yang dimaksudkan itu
bersfat alami di jagad raya, alam semesta, atau makrokosmos. Leksiikon-leksikon uluela
‘cakrawala’, lirubewa ‘langit’, mesi ‘laut’, tanawatu ‘lingkungan ragawi dengan segala isinya’
dan sebagainya adalah realitas alam yang disadari dan dialami oleh manusia dengan mata
sebagai alat pengelihatan. Demikian juga keli wolo ‘gunung bukit’, birifila’ jurang’, deturia
‘dataran luas’, leja ‘matahari’, wula ‘bulan’, dala ‘bintang’, nipamoa ‘pelangi’, adalah benda-
benda di alam raya yang dikenal manusia dan diberi nama pada setiap bahasa, termasuk bahasa
Lio. Lebih khusus lagi sejumlah tumbuhan dan tanaman yang ada di sekitar manusia, di
antaranya dikenal baik dan bahkan sangat diakrabi oleh manusia.
Selain berinterelasi, berinteraksi, dan berinterdependensi dengan tanah, elemen dan
entitas abiotic tempat setiap warrga guyub tutur berpijak dan berdiri dalam arti harafia, aneka
tumbuhan yang ada di lingungan manapun, termasuk pada lingkungan guyub tutur bahasa Lio,
merepresntasikan semuanya itu. Aneka tumbuhan yang memang dikenal dan dimanfaatkan
ditemukan dalam wadah khazanah leksikon juga ditemukan cukup banyak. Kendati tidak semua
dipaparkan, khazanah leksikon tumbuhan di bawah ini mengonformasikan inetrelasi guyub tutur
bahasa Lio dengan lingkungan.
35
Dalam kenyataan, sesungguhnya sangat banyak tanaman yang ada dan hidup di sekiatr
guyub tutur bahasa Lio, Flores. Sebagai kawasan yang dikitari oleh gugung-gunung dan bukitt-
bukit yang cukup terjal ruang hidup tumbuhan dan tanaman cukup banyak. Sudah tentu
hanyalah tumbuhan yang berada di lingkunga hidup guyub tutur saja, dan yang bermanfaat bagi
manusia pula, sejumlah tumbuhan dan tanaman diberi nama dalam baahsa Lio. Sejumlah
tanaman pangan khususnya bahkan dirinci secara taksonomis dan meronimis pula.
5.2 Khazanah Leksikon Tumbuhan dan Tanaman pada Guyub Tutur Bahasa Lio
Guyub tutur bahasa Lio memiliki kekayaan kosa kata lingkungan tumbuhan dan
tanaman. Secara semantik referensial eksternal kosa kata yang dimaksudkan itu merujuk pada
sejumlah entitas yang dikategorikan sebagai tumbuh-tumbuhan yakni keberagaman tumbuhan
dan pepohonan dari pelbagai jenis yang ada di lingkungannya. Di antara tumbuh-tumbuhan itu,
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman generasi terdahulu diwariskan secara leksikal sebagai
pengetahuan dan diturunkan sebagai praktik budaya perladangan. Akumulasi pengetahuan,
pengalaman, dan teknik tradisional dalam membudidayakan aneka jenis tumbuhan tertentu
sehingga menjadi kelompok tanama. Kelompok tanaman itulah, yang memang karena ditanam,
dirawat, dipanen, disiapkan bibitnya, entah biji, entah, batang, entah akarnya, dalam siklus
hidup tahunan tertentu tanaman itu menjadi tanaman budaya. Di bawah ini ditabulasikan nama
jenis-jenis tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio, makna, dan fungsinya.
Tabel 6. Khazanah Nomina Tumbuhan dan Tanaman Guyub Tutur Lio
No Nama Tumbuhan
dalam bahasa Lio
Bahas Indonesia
dan Bahasa Latin
(ilmiah)
Fungsi dan
Makna Umum
Fungsi dan
Makna Sosial-
Budaya
1 Utandutu Jamur pohon Lauk
2 Busuperi Rebung Sayur di musim
hujan
36
3 Mbaka nipo Jenis rerumputan
yang tumbuh di
ladang
Sayur-sayuran
3 Lelu /ə/ Paku, pakis kali Sayur lalapan
4 Lada Selada Sayur-sayuran
5 Nggako Kangkung Sayur-sayuran
6 Ndora Ketela rambat Makanan pokok
7 Ndora mera Ketela rambat
merah
Makanan pokok
8 Ndora bara Ketela rambat
putih
Makanan pokok
9 Ndora kuni/telo Ketela rambat
kuning
Makanan pokok
10 Utaba’i Papaya Daunanya yang
dijadikan sayur
dan penyembuh
malaria
11 Wunu uwi kaju Daun ubi kayu Sayur-sayuran
12 Besi /e/ Labu (warna
kuning)
Sayur-sayuran Sayuran ritual
pascapanen
(Mbama)
13 Timu Mentimun Sayuran
14 Kea Labu bulat yang
dagingnya putih
(warna abu)
Sayur Sayuran ritual
pascapanen
(Mbama)
15 Mberi, toro Terung Sayur
16 Boti Bayam Sayur
17 Pusu muku Jantung pisang Sayur
18 Bue Kacang (daun) Sayur umum Sayur khusus
untuk ritual
Remba, Pesa Uta
di daerah Lise
19 Leba /e/ Pare Sayur
20 Besi tua labu siam Sayur
21 ki’i Jenis jamur Sayur
22 Fako Cendawan Sayur
23 Bue Nggoli Jenis kacang
merah
Mkanan pokok
yang dicampur
nasi
24 Bue mite Kacang hitam Makanan pokok
yang dicampur
dengan nasi
25 Bue bewa Kacang panjang Sayur Sayur khusus
dalam ritual Pesa
37
Uta
26 Bue brenebon Kacang brenebon
(pinjaman)
Sayuran dan
bahan campuran
dengan nasi
27 Bue mera Kacang merah Bahan makanan
pokok campuran
dengan nasi
28 Nggo’dho Kedelai Makanan Bahan dasar
temped an tahu
29 Bue tana Kacang tanah Bahan pembuat
kue kacang
30 Ke’o/mbape,
pega
Sejenis sorgum Bahan makanan
pokok
BAhan ritual
pendirian rumah
31 Dowe Sejenis kacang-
kacangan
Sayur (daun dan
biji)
Sayur wajib
dalam ritual Pesa
Uta
32 Fesa Sejenis kacang
yang batangnya
menjalar di pohon
Sayur
33 Wete /wəte/ Jewawut Sejenis makanan
pokok
BAhan pokok
ritual-ritual
perladangan
34 Lloo Sorgum Makanan pokok
35 Doba Wijen hitam Bahan bumbu Bahan sambal
utama ritual Pesa
Uta
36 Lenga Wijen putih Bahan bumbu Bahan bumbu
wajib ritual Pesa
Uta
37 Ura Sejenis biji-bijian
perdu
Makanan pokok
dan sayuran
38 Fako Cendawan Lauk-pauk
39 Fako manu Sej. Cendawan Lauk pauk
40 Fako relo /e/ Cendawan tanah
yang tumbuhnya
menyebar
Sayura
41 Fako kena /e/ Cendawan
berukuran besar
dan membulat
Lauk-pauki
42 Worumoke Jamur di pohon
aren
Sayur
43 Ndoro muku Jamur dalam
pohon pisang
Sayur
38
44 Kinga te’u Jamur kuping
hitam
Sayur
45 Uwi Ubi Makanan pokok Makanan wajib
dalam ritual
perladangan
46 Uwi manu Sej. Ubi merah Makanan pokok Bahan ritual Pesa
Uta
47 Uwi nio Jenis ubu
berbentuk buah
kelapa
Makanan pokok Bahan ritual pesa
uta
48 Uwi lea Sej. Ubi
berbentuk jahe
Makanan pokok
49 Uwi monda Sej. Umbi Makanan pokok
50 Uwi sepi /ə/ Bentuk seperti
siisir pisang
51 Uwi roar Warnanya ungu
52 Lolo telo leko /ə/ Sorgum Warnanya hitam
da nada bagian
yang seperti telur
katak
53 Lolo pega tea Sej. Sorgum Makanan pokok
54 Lolo nggela Sorgum merah Makanan pokok
55 Lolo poe Sorgum yang
mudah lepas dari
tangkai
Makanan pokok
56 Lolo mite Sorgum hitam Makanan pokok
57 Pare kea Sej. padi lokal Makanan pokok Makanan pokok
ritual; Pati Ka
58 Pare nggondo Sej. padi lokal Makanan pokok Idem
59 Pare sera Sej. padi lokal Makanan pokok Idem
60 Pare ndale Sej. padi lokal Makanan pokok Idem
61 Pare eko Sej. padi lokal Makanan pokok Idem
62 Pare maru Sej. padi lokal Makanan pokok Ditanam di
terasering
terbawah (pu’u
uma)
63 Pare laka Sej. padi lokal Makanan pokok
64 Pare gatarede Sej. padi lokal Makanan pokok
39
Sebagaimana dipaparkan dalam tabel di atas, khazanah leksikon berkategori nomina
tumbuhan dan tanaman pangan dalam guyub tutur Lio cukup banyak. Sudah tentu masih cukup
banyak yang tidak diidentifikasi dan dilabeli secara khusus dalam bahasa Lio. Sebelum
pemaknaannya secara ekolinguistik, identifikasi secara morfologis diuraikan pula secara singkat
dan sederhana. Bentuk-bentuk leksikon nomina tumbuh-tumbuhan dan tanaman dalam bahasa
Lio memang mencerminkan struktur kata dasar dan turunan sesuai dengan tata bunyi dan tata
pembentukan kata bahasa Lio yang sederhana. Sebagaimana diperikan oleh Mbete (1972;
2007), bahasa Lio mmeiliki struktur morfem dan kata yang sederhana berpola V, KV, V+KV,
KV+V, KV+KV, KV+KV+KV, dan KV+KV+KV+KV. Pola V misalnya kata e ’menuduh,
mengharap’. KV seperti Ka ‘makan’, V+KV misalnya aku ‘aku’, KV+V misalnya ‘miu’,
KV+KV misalnya poru ‘mengusap’, KV+KV+KV misalnya rubunu ‘kabut; KV+KV+KV+KV
misalnya gerugiwa ‘cecak’. Perlu diutarakan bahwa bahasa Lio seperti halnya bahasa Ngadha
dan Manggarai tergolong bahasa vokalis sebagai hasil proses apakope masa lalu. Pola
persukuan terbuka V, KVKVKVKV tergolong sedikit jumlahnya.
Pola morfologis leksksikon-leksikon tumbuhan dan anaman dalam bahasa Lio terdiri
atas bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk dasar leksikon nomina tumbuhan bahasa Lio
berpola bentuk dasar adalah: uta ‘sayur’, bue ‘kacang’, fako ‘cendawan, uwi ‘ubi’, lolo
‘sorgum’, pare ‘padi’, nggako ‘kangkung’ lelu ‘pakis’ dan sebagainya. Selanjutnya, seperti
yang ditemukan dalam data di atas, sejumlah leksikon tubuhan dan tanaman dalam bahasa Lio
tergolong bentuk majemuk. Sejumlah contoh misalnya: uta ndutu ‘jamur’, wora moke ‘jamur
dari pohon enau’, bue tana ‘kacang tanah’ lolo telo leko ‘sejenis sorgum’, pare maru ‘sejenis
padi gogo’, dan seterusnya.
40
Perlu diuraikan pula bahwa dalam kajian ini dibedakan antara tumbuh-tumbuhan dan
tanaman. Tumbuh-tumbuhan dalam kajian ekoleksikal ini mencakupi semua tumbuhan dari
perlbagai jenis, baik yang dibudidayakan maupun yang tidak dibudidayakan namun bermanfaat
bagi manusia. Lelu ‘pakis’ adalah tanaman di bantaran dungai yang tidak pernah
dibudidayakan. Para warga guyub tutur bahasa Lio hanya memetiknya kapan saja sesuai
kebutuhan sayur-sayuran. Demikian pula busuperi ‘rebung’ kendati ada bamboo yang ditanam
juga, namun pada umumnya busuperi ‘rebung’ tidaklah dibudidayakan. Di sisi lain, tanaman
adalah tumbuhan yang memang ditanam dalam arti dibudidayakan secara tradisional, khususnya
tanaman pangan. Tanaman budaya dengan posisi tertinggi adalah pare ‘padi’ khususnya padi
asli atau padi gogo. Secara khusus dalam telaah ini hanya tumbuhan dan tanaman yang
dijadikan bahan makanan tradisional sedangkan tumbuh-tumbuhan dan tanaman lainnya tidak
diinventarisasi dan diidentifikasikan secara verbal berupa leksikon-leksikon.
Dalam konteks ekologi dan guyub tutur bahasa Lio, tumbuh-tumbuhan dan tanaman
yang dikodekan secara lingual berupa leksikon-leksikon nomina itu menggambarkan
keberagaman variaetas tumbuhan pangan. Fungsi dasar sebagai makanan dalam arti luas dan
umum, sejumlah jenis tumbuhan serta tanaman memang pada umumnya bermanfaat bagi
manusia. Meskipun tidaklah semua leksikon nomina tumbuhan dan tanaman ditabulasikan,
dalam kajian ini hanyalah beberapa tanaman yang dibedah dan didalami makna dan fungsinya,
khususnya kategori tanaman-tanaman pangan dan minuman yang menjadi bagian kebudayaan
pangan sejak generasi terdahulu. Secara singkat tanaman pangan dan minuman yang didalami
kebermaknaan dan keberfungsiannya diuraikan di bawah ini.
41
1) Leksikon Pare ‘padi’
Pare ‘padi’ dalam kerangka kajian ini lebih difokuskan pada pare ‘padi’ asli
yang diwariskan dari budaya padi oleh para leluhur penutur bahasa Auastronesia purba
dengan bentuk asalinya (etymon) *pajey (Dempowollf, 1934-1938). Banyaknya varietas
pare ‘padi’ (lihat Mbete, 2007) menunjukkan bahwa mitos padi yang cukup terkenal di
Flores Tengah hingga Timur (lihat Sarengbao, 1992), memperkuat mitos kea rah fakta
lingual-kultural yang menarik dan menantang untuk dikaji lebih mendalam dan lebih
interdisipliner atas fenomena pare.
Secara biologis dan rangkaian budidaya padi lokal asli sebagai tanaman, pare
memang ditanam dan ditempatkan sebagai tanaman utama dan sangat sentral. Pola
perladangan guyub tutur Lio selalu menyiapkan lahan subur, sepanjang musim hujan
berlangsung secara tepat dan teratur, pare ‘padi’ memang sangat dilindungi. Penanaman
jawa ‘jagung’ pada awal musim tanam, selai untuk dipanen terlebih dahulu dalam
rangkaian ritual pesa uta, jawa ‘jagung’ pun berfungsi melindingi pare. Selain itu, lolo
‘sorgum’ yang ditanam bersama-sama dengan wini pare ‘benih padi’, justru untuk
melindungi gangguan hama burung-burung. Tidaklah hanya jawa ‘jagung’ dan lolo
‘sorgum’ sebagai pelindung dan predator. ‘Wete ‘jewawut’, lenga dan doba ‘wijen’
adalah benteng pelindung yang mengelilingi uma ‘ladang’ padi. Jikalau jawa ‘jagung’
dan lolo ‘sorgum’ hidup, melindungi, dan berposisi di antara tanaman utama pare ‘padi’,
berjarak sekitar dua-tiga meter, wete ‘jewawut, lenga, dan doba ‘wijen’ justru
membentengi di sekelilingnya.
Pola makan atau budaya makan guyub tutur Lio yang boleh dianggap asli juga
berkorespondensi dengan pola perladanganm dengan tetap menempatkan are ‘nasi’
42
sebagai pusat dan puncak kenikmatan. Di beberapa subkultur seperti di pedalaman Moni
dan Nuamuri misalnya, pola makan warga lokal sangat beragam. Bermula dari ubi kayu,
umbi-umbian, pisang, dan atau jagung dengan olahan tradisional, makan pagi, siang,
atau malam sebagai kerutinan ditutup dengan nasi dan lauk pauk serta sayur-sayuran.
Secara sosiologis, menyuguhkan are ‘nasi’, kepada tamu dan pejabat, terlebih lagi nasi
asli, adalah penghormatan kepada tamu dan kehormatan penerima tamu atau tuan rumah
dengan nilai tertinggi, kendati sikap sahaja dan rendah hati tamu disapa ka uwi kaju
‘makan ubi kayu’. Ini adalah nilai kearifan tradisi guyub tutur bahasa Lio yang patut
dipertahankan.
Daya cipta generasi terdahulu mengolah beras menjadi nasi dalam kemasan yng
beragam juga menjadi petanda dan penanda betapa sentral dan pentingnya pare, ‘padi’
dan are ‘beras atau nasi’. Tidalah hanya tampilan nasi merah atau nasi putih asli saja,
terutama jiga nasi asli itu dipersembahklan kepada para leluhur dan Sang Pencipta kala
Pati Ka. Guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio memiliki beberapa kemasan
nasi, juga dengan memanfaatkan sejumlah daun tumbuh-tmbuhan yang ada di
sekitarnya. Keberagaman kemasan yang dikenal dengan are gau ‘nasi kemasan khas’
yang disebut dengan are gau wunu nio ‘nasi bungkus janur kelapa’, are gau wunu fendo
‘nasi berbunghkus daun fendndo’, are gau wunu bake ‘nasi berbungkus daun bake’, are
gau wunu kore ‘nasi berbungkus daun pakis’, are gau wunu peri ‘nasi berbungkus daun
bambu’ dan setakat ini are gau wunu kakao ‘nasi berbungkus daun kakao’, menegaskan
sentral dan kuatnya budaya padi dalam guyub tutur bahasa Lio. Kemasan kreatif kuliner
lokal berbasis pare ‘padi’ atau are ‘bera‘ itulah yang menjadi sajian prestisius dalam
masayakat lokal tatkala menerima tamu dan pejabat pemerintah mauun para pemimpin
43
agama. Suguhan khas yang berbahandasarkan pare ‘padi’ adalah kuliner asli yang
disebut kibi atau hibi. Kibi ‘semacam emping beras yang memang diolah secara khusus’,
adalah makanan khusus dalam pelbagai ritual dan seremoni adat.
Daya cipta mengolah sumber daya pare ‘padi’ lalu ditumbuk menjadi are ‘beras’
sebelum berwujud are ‘nasi’ yang siap disantap, tidak sebatas berbungkus dedaunan
khusus yang dipaparkan di atas. Berbasiskan pare ‘padi’ yang ditumbuk lalu menjadi are
‘beras’, juga dikemas dalam campuran dengan jagung sehingga menjadi are-jawa ‘nasi
jagung’ dan are bue ‘nasi kacang’. Semua jenis kacang dapat dipadumasakkan dengan
are’beras’. Akan tetapi, tidak ditemukan campuran are ‘beras’ dengan lolo ‘sorgum’.
Kendati lolo ‘sorgum’ dapat saja dipadumasakkan dengan semua jenis kacang. Bagi
guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio, nasi campur jagung dan kacang
memberikan kelesatan dan kenikmatan “lidah” yang khas dan berkesan tersendiri.
Adanya rangkaian ritual khusus pada tahapan penanaman hingga pesta panen
padi atau mi are adalah petanda dan penanda betapa kedudukan pare ‘padi’, tidaklah
hanya demi memenuhi kebutuhan biologis padidan manusia, dalam hal ini warga guyub
tutur bahasa Lio. Sebagao makan pokok dengan kandungan karbohidrat tertinggi bagi
kebutuhan bilogis manusia, ritual sejak tedo ‘menanam’, saat ritual remba ‘panen
perdana jagung dan daun kacang panjang’, hingga keti ‘panen’ dan terakhir mi are
‘menyuguhkan nasi baru bagi leluhur dan sesama’, semuanya itu merepresntasikan
sentralnya pare ‘padi’ sebagai tanaman budaya dan kebudayaan yang sarat makna dan
kaya nilai adicita (ideology).
Bagi guyub tutur dan guyub kultur Lio, tanaman pare ‘padi asli’ memiliki mitos
tersendiri sebagai sastra suci yang hingga kini masih dipelihara dengan sangat baik.
44
Guyub tutur bahasa Lio memercayai pare ‘padi’ adalah simbol pengeorban gadis dalam
mitos Ine Pare ‘Dewi Padi” (band. Dewi Sri dalam masyarakat Jawa dan Bali). Baik
versi Bobi-Nombi maupun versi Ine Mbu’ ideology pengirbanan bagi sesame yang
kelaparan karena kemarau panjang, sehingga Sang Dewi Padi mengikhlaskan diri untuk
dicincang di Gunung Kelindota, Lio Utara demi tumbuhnya tanaman pare ‘padi’, adalah
pegangan hidup Orang Lio dalam berladang padi dan berperilaku kepda sesame di atas
landasan adicita Wuamesu ’belas kasihan’.
Meskipun pare uma ae, sudah mengimbangi kedudukan para uma maja ‘padi
gogo’ sebagai jenis padi asli, pare ‘padi’ asli tetap lestari. Kebertahanannya tak terlepas
dari konteks budaya perladangan yang menempatkan pare ‘padi’ asli sebagai yang
sentral dan terpenting.
2) Leksikon jawa ‘jagung’
Leksikon jawa ‘jagung’ juga tergolong tanaman tua. Dalam taksonomi makanan
pokok, jawa ‘jagung’ telah menyatu dengan masyarakat Lio, seperti juga masyarakat
lainnya di Nusa Tenggara Timur. Jagung adalah makanan pokok kedua setelah pare
‘padi’ dalam komposisi makanan pokok dan asli masyarakat lokal Lio, seperti juga
masyarakat lainnya di Indonesia.
Jawa ‘jagung’ asli Lio juga beragam kendati hanya dilabeli sebagai leksikon
jawa dengan rincian, ada jawa bara ‘jagung putih’ dan jawa kune ‘jagung kuning’,
dengan warna bijinya sebagai pembeda. Seperti diuraikan di atas, (lihat pare), padi
ditanam mendahului padi yakni pada awal musim tanam pada bulan November atau
45
awal Desember setiap tahunnya tergantung turunnya hujan secara teratur. Jikalau pada
bulan-bulan Juni atau Juli terjadi pula turun hujan yang agak teratur, guyub tutur
menanam kembali jagung yang dikenal dengan jawa leja ‘jagung musim kemarau’.
Jawa leja umumnya tidaklah memberikan hasil yang memadai.
Remba jawa ‘panen jagung muda perdana dalam ritual pesa uta dodan sayur-
sayuran kacang panjang dalam ritual Pesa Uta Dowe pada masyarakat Lise di Lio,
menjadikan jawa ngura ‘jagung muda’ sebagai sentral dalam ritual tersebut. Jawa
‘jagung’ pula yang menjadi syarat mutlak berlangsungnya ritual syukuran panen jagung
perdana tatkala tanaman pare ‘padi’ lading sedang tumbuh subur menghijau.
Olahan dari jawa ‘jagung’ juga ada beberapa jenis makanan khsa Lio. Hu’u
‘tepung jagung yang matang’ adalah kemasan tradisional yang lezat bagi lidah guyub
tutur Lio. Lebih popular lagi adalah jawa to ‘jagung titi’ yakni emping jagung yang lezat
pula dan telah menjadi komoditas baru dengan kemasan baru pula. Selain itu, pengaruh
budaya Kupang dan sekitarnya, jagung bose menjadi kemasan baru yang memperkaya
khazanah kuliner lokal berbasis jawa ‘jagung’.
3) Leksikon Bue ‘kacang’
Tanaman bue ‘kacang’ merupakan jenis tanaman yang juga sangat akrab dengan
guyub tutur bahasa Lio. Bue ‘kacang’ dengan sejumlah varietasnya: anatara lain bue tsns
‘kacang tanah’, bue kaju ‘kscsng hijsu’, bue mite ‘kacang hitam’ adalah contoh jenis
kacang yang dimakan. Selain untuk dicampurpadukan dengan beras khususnya, kacang
juga dijadikan sayur-sayuran, khususnya daunnyaan. Daun kacang yang mentah dan
bernas digunakan juga sebagai lalapan. Jenis kacang seperti nggoli, semakin langka
padahal mengandung protein nabati tinggi.
46
Sejumlah jenis bue ‘kacang’ juga dijadikan bahan-bahan ritual Remba, atau Pesa
Uta, ‘pesta panen perdana jagung’ sekitar bulan Maret. Selain jawa ‘jagung’ sebagai
tanaman sentral dalam ritual iti, panenan lainnya seperti buah kacang sayur dan daun
dowe ‘kemicir’, merupakan bahan-bahan ritual yang harus dipenuhi dan digenapi dalam
ritual Pesa Uta.
4) Leksikon Uwi kaju ‘ubi kayu’
Leksikon uwi kaju ‘ubi kayu, singkong’ adalah simbol verbal untuk tanaman
rakyat yang tergolong tua. Uwi kaju ‘ubi kayu’ adalah makan pokok guyub tutur Lio.
Tanaman ini sangat terkenal dan sangat merakyat karena memang menajdi bahan
makanan pokok masyarakat Lio Ende.
Secara morfologis uwi kaju ‘ubi kayu’ tergolong bentuk turunan atau kata
majemuk. Bentuk turunan itu lebih kompelks lagi karena sejumlah varietas uwi kaju ‘ubi
kayu’ tampak pada bentuk-bentuk atau konstruksi leksikon-leksikon berikut ini. Uwi
kaju mite, uwi kaju suja, uwi kaju kole; uwi kaju kune, uwi kaju fole’ uwi kaju bogo, dan
sebagainya. Varietas-varietas itu merupakan bentuk-bentuk-bentuk leksikon yang
menjadi kahazanah kata bahasa Lio.
Secara ekoleksikal, leksikon uwi kaju ‘ubi kayu’ sebagai tanaman budaya sangat
penting dalam kehidupan guyub tuttur bahasa Lio. Selain dengan pare ‘padi’ sebagai
makanan pokok berjenjang nilai kultral tertinggi, uwi kaju memiliki posisi yang sangat
strategis dan sangat “diplomatis”. Seperti disinggung di atas, sikap kerendahan hati dan
kesahajaan justru menggunakan ungkapan litotes dengan menggunakan kalimat Maisai
kit aka uwi kaju dengan makna harfiahnya ‘mari kita makan ubi kayu’. Bagi guyub tutur
bahasa Lio, ungkapan litotes ini sangat bermakna dan pada umumnya digunakan oleh
47
tuan rumah di kala menyambut, menyuguhkan, dan mengundang tamu untuk makan di
rumahnya. Baik dalam suasana resmi mauoun dalam situasi yang tidak resmi dan penuh
kekeluargaan, ungkapan itulah yang selalu dipakai.
Ada cukup banyak jensi uwi kaju ‘ubi kayu’ yang menjadi kebanggaan. Selain
uwi kaju nuabosi ‘ubi kayu nuabosi’ yang ada di dekat Kota Ende, sejumlah vaiettas uwi
kaju juga memiliki kelezatan, baik yang diolah secara khusus maupun secara umum
dikeringka. Khazanah leksikon ubi kayu adalah khazanah kuliner lokal yang sanagat
potensial untuk dikembangkan.
Dapat dirampatkan bahwa leksikon uwi kaju ’ubi kayu’ secara simbolik idak
hanya bernilai bilogis baik demi kehidupan tanaman itu mauoun demi kehidupan guyub
tuturnya. Selain itu ungkapan yang litotes itu jelas menjadi simbol jati diri guyub tutur
bahasa Lio yang tidak hanya merendahkan diri di hadapan tamu, tetapi juga merawat
keserasian hubungan dengan sesama manusia.
Uwi ‘ubi’ yang khas dan unik
48
BAB VI
KHAZANAH LEKSIKON FAUNA PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO
6. 1 Khazanah Leksikon Hewan sebagai Represntasi Hubungan Manusia dan Hewan
Keberagaman yang ada dalam lingkungan, yang hadir dan hidup harmonis bersama
dengan warga guyub tutur bahasa Lio telah berlangsung sejak ratusan bahkan ribuan tahun
silam telah pula berkembang secara akumulatif sejak zaman dahulu. Selain dengan keanekaan
fauna guyub tutur bahasa Lo dewasa ini juga diperkaya dan dilengkapi dengan aneka fauna
yang ada. Pengetahuan, pengenalan, dan pengalaman generasi terdahulu berinteraksi,
berinterelasi, dan berinterdependensi dengan aneka fauna itu, oleh generasi penutur terdahulu
dikodekan dan direkam dalam khazanah leksikon nama-nama binatang dan hewan dalam bahasa
Lio. Aneka fauna yang diberi nama dalam bahasa Lio itu, utamanya binatang dan hewan yang
hidup di darat dan di udara. Dalam kajian ini, binatang-binatang air yang hidup di laut
khususnya diuraikan secara terpisah berkaitan dengan bahasa dan budaya kebaharian guyub
tutur bahasa Lio. Di samping itu lingkungan hidup kelautan atau keairan umumnya memang
hidup di lingkungan yangberbeda. Air adalah kondisi kehidupan bagi binatang laut dan air,
khususnya air sungai dan danau yang sangat bebeda dengan lingkungan hidup di darat, kendati
ada pula yang hidup di kedua lingkungan itu. Lingkungan hidup kelautan dengan budaya
kebaharian yang tinggi adaalah Orang Bajo yang terpencan di pelbagai belahan bumi Nusantara
dan dunia.
Analog dengan klasifikasi flaura atas nama keanekaragaman tumbuh-tumbuhan dan di
sisi lain keanekaragaman tanaman yang memang lebih bersifat antropologis, klasifikasi fauna
pun dipilah atas label binatang dan hewan. Dari sisi konsep makna, label binatang lebih bersifat
49
alamiah (natural) karena menyangkut dan meliputi binatang apa saja yang hidup di lingkungan,
sedangkan label hewan dipersepsikan dan dikesani sebagai lebih kultural. Jadi, tanaman dan
hewan adalah label yang bersifat kultural, budidaya, pola usaha yang teratur, sedangkan
tumbuh-tumbuhan dan binatang bersifat natural atau alamiah. Bianatang hidup tanpa campur
tangan manusia sebagaimana juga tumbuh-tumbuhan juga hidup tanpa mesti dikelola dan diurus
oleh manusia.
Sebagaimana halnya pembedaan tumbuh-tumbuhan dan tanaman, sesungguhnya
pengetahuan dan pengalaman hidup dengan hewan-hewan itu di lingkungan, dikategorikan pula
atas dua yakni hewan-hewan yang dipelihara dan sebaliknya hewan atau fauna yang tidak
dipelihara namun tetap bermanfaat bagi manusia. Wawi ‘babi’ kamba ‘kerbau’, jara ‘kuda’,
manu ‘ayam’, dan rongo ‘kambing’ misalnya, adalah sejumlah contoh hewan yang diternakkan.
Dengan demikian, hewan-hewan itu menempati kededkatan, makna, dan fungsi, dan secara
khusus memiliki “kemesrahan” interelasi, bahkan kesalingtergantungan dengan manusia. Jara
‘kuda’ yang dipelihara, dikekang dengan tali, seperti juga kamba ‘kerbau’, rongo ‘kambing’,
lako, ‘anjing’, manu ‘ayam ‘, sapi ‘sapi, wawi ‘babi’ yang karena diikat dan atau dikandangkan,
niscaya ketergantungan bianatang-binatang yang berstatus sebagai hewan itu, menjadi sangat
serius. Seperti yang diungkapkan oleh Cassirer, 1994), manusia memberi nama bahkan
merawatnya karena manusia mempunyai ujuan dan kepentingan tersendiri. Banyak lako
‘anjing’, sapi ‘sapi’, nakanio, anangeo ‘kucing diberi nama ibaratnya manusia. Sejumlah hewan
bahkan sangat disayangi.
Sejumlah hewan, di samping keanekaan binatang yang hidup liar, menjadi hewan
budaya karena memiliki nilai-nilai sosialbudaya guyub tutur bahasa Lio khususnya. Perlakun
yang sama juga terhadap sejumlah jenis tanaman dan tumbuhan sebagaimana diuraikan di atas.
50
Ada sejumlah hewan budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan tentunya
memiliki kedekatan khusus yang kaya makna pula bagi manusia di balik leksikon kehewanan
itu. Kedekatan hubungan, bahkan interelasi, interaksi, dan interdependensi guyub tutur dan
tentunya guyub kultur dengan sejumlah jenis hewan tertentu itulah yang mendasari kerenikan
dan kelengakapan pengkodean secara lingual. Di antaranya, babi, kerbau, sapi, ayam, dan
sebagainya. Dalam bahasa Lio ditemukan seperangkat leksikon yang berkaitan dengan aneka
binatang dan hewan. Di bawah ini ditabulasikan nama-nama binatang dan hewan yang ada
dallam guyub tutur bahasa Lio.
Tabel 7. Khazanah Fauna dalam Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Hewan
Bahasa Lio
Bahasa Indonesia Makna, Nilai, dan Fungsi
1 Beku /ə/ Musang Lauk
2 dheke /e/ Tupai Lauk
3 Te’u Tikus Lauk asli (masa lalu)
4 Kutu Sejenis landak Lauk dan bulunya dijadikan
tusuk konde
5 Ro’a Kera Hama pengganggu
6 Manu Ayam Lauk
7 Khata/hata Bekisar (ayam hutan) Lauk, piaraan hoby
8 Anake /e/ Burung pipit Hama pengganggu padi
9 Kolondasi Merpati Lauk dan piaraan
10 Anakolo Sej. Burung Lauk
11 Wodo Sej. Burung Hiasan
12 Mbiri Nuri Hama
13 Weka /e/ Burung kakak tua Hama pengganggu
14 Niki Kelelawar Lauk dan hama
15 Koka Burung kuwau Suaranya menjadi penanda pagi
dan sore
16 Rawa Burung khusus di
pohon kenari
Penghias pohom kenari
17 Guru sese /e/ Sej. Burung Memiliki makna kultural:
burung penanda hal buruk akan
terjadi
18 Mbopo Sej. Burung Penjaga hutan
19 Mokeme /ə/ta Sej. Burung Penjaga hutan
20 Fengga /ə/ Burung enggang
51
21 Mberi mbesi /ə/ Sej. Burung Makna kultural: jika burung ini
berkicau dipercaya pertanda tdk
boleh keluar rumah
22 A Burung gagak Penanda berita duka
23 Iso Sej. Elang Pencuri ternak
24 Jataria Sej. Burung elang Pencuri anak babi dan anak
ayam
25 Mbira mera Sej. Elang berbulu
merah
Hama pencuri ternak
26 Wawi Babi Lauk dan hewan ritual adat
27 Wawi ndu’a Babi hutan (celeng) Hama dan lauk
28 Nipa sawa Ular sawah Hama
29 Nipa meta /ə/ Ular hijau Penanda dan peramal peristiwa
besar
30 Nipa tuu Ular yang warnanya
seperti daun kering
(tuu=kering)
Hama
31 Nipa koko Ular besar penangkap
tikus
Berbisa dan penggangu manusia
32 Pupu rupi Kobra Pengganggu
33 Degi /ə/ Biawak Hama
34 Naga Sej. Cecak yang besar Mitos keluarga
35 gərugiwa Sej. Cicak -
36 təke Tokek Suaranya penanda makna
tertentu
37 Fua Tawon Penyengat dan beracun
38 Ero-ani Lebah Penghasil madu
39 Kali-əmbəte Sej. Serangga beracun
40 Lako Anjing Penjaga dan pemburu hama
41 Anak eo Kucing Sahabat penjaga rumah
42 ləko Katak Lauk
43 Rongo Kambing Lauk dan hewan budaya
44 Jara Kuda Angkutan dan hewan budaya
45 Kamba Kerbau Lauk dan Hewan Budaya
46 Sapi Sapi Lauk dan hewan budaya
47 Ule /e/ Ulat Hama
48 Kati/hati Cacing Penyubur tanah
49 Mori Buaya Mitos dan legenda.
Fauna darat dan udara cukup banyak yang dikenal dan dikodekan sccara verbal sebagai
khazanah leksikon bahasa Lio. Pengetahuan dan pengalaman generasi terdahulu telah
52
mewariskan leksikon-leksikon dengan makna referensial eksternal yang merujuk pada fauna-
fauna itu. Sudah tentu popilasi fauna-fauna yang menjadi keharmonisan hidup di lingkungan
guyub tutur itu patut dicermati dan dilacak agar pengetahuan tentang sumber daya alam itu
menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Ada dua kategori penting leksikon-leksikon yang merujuk pada fauna-fauna itu.
Pertama, khazanah leksikon yang menandai fauna di darat. Kedua, leksikon-leksikon yang
secara semantik referensial eksternal mengacu kepada hewan-hewan yang hidup di udara dan di
pohon-pohon. Selain itu, dalam kajian ini, selain pemaparan makna ekoleksikal kefaunaan,
pemaknaan ekoleksikal tentang fauna itu lebih diutamakan fauna-fauna yang tergolong fauna
atau hewan budaya. Disebut hewan budaya karena secara sosiokultural, kehadirannya sangat
bermakna bagi guyub tutur bahasa Lio.
6.2 Fauna-fauna Heawan Budaya dalam Guyub Tutur Bahasa Lio
Proses dan hasil interelasi dengan aneka binatang yang ada di lingkungan melandasi
khazanah leksikon bahasa Lio yang secara semantik referensial eksternal mengacu pada entitas-
entitas fauna yang ada. Dalam kaitan itu dengan kebutuhan manusia, dalam hal ini guyub tutur
bahasa Lio pengetahuan dan pengalaman berinyteraksi dan berinerelasi, terlebih lagi
berinterdependensi dengan sejumlah jenis fauna, baik yang tergolong hewan besar maupun
unggas dikaji makna sosial-budayanya.
1) Leksikon kamba ‘kerbau’
Leksikon kamba ‘kerbau’ secara morfologis memang termasuk bentuk dasar.
Cuplikan fakta dan informasi diakronis, leksikon kamba diturunkan dari etimon proto-
Austronesia *kaRavau (Dempwolff, 1934-1938) yang secara evolutif, melalui proses
53
perubahan bunyi, terwariskan dengan inivasi menjadi kamba, bandingka pula dengan
kaba dalam bahasa Ngadha, Flores, bahasa yang ebrkerabat erat dengan bahasa Lio.
Bandingkan pula leksikon itu dengan kerbau dalam bahasa Indonesia.
Kajian diakronis sepintas lalu membuktikan bahwa leksikon kamba ‘kerbau’
adalah hewan budaya yang kaya makna bagi guyub tutur bahasa Lio. Demikian pula
halnya leksikon jara ‘kuda’ yang berasal dari etymon proto Austronesia *jaran ‘kuda
(Dempwolff, 1934-1938). Selain itu leksikon manu ‘ayam’ juga diturunkan dari etymon
proto Austronesia *manu ‘ayam’ (Dempwolff, 1934-1938). Selain ketiga leksikon itu,
hewan air yang tergolong tua dan universal kura ‘udang’ jadalah leksikon bahasa Lio
yang juga diturunkan dari Proto-Austronesia *quDang (Dempwollf, 1934-1938).
Sebagai hewan purba yang masih hidup dan dikodekan dengan leksikon kamba
‘kerbau’, hewan kaki empat yang berbdan besar ini sangat sentral dan sangat penting
kedudukannya dalam kebudayaan dan masyarakat Lio. Sebagai hewan yang sangat
dekat dengan manusia, dalam hal ini guyub tutur bahasa Lio sejak dahulu kala, leksikon
kamba digunakan dalam konteks makanan mewah, yakni dagingnya berserat banyak dan
cita rasa kelezatan tersendiri. Meskipun dewasa ini, daging berprotein tinggi itu sudah
semakin jarang dan langka karena digusur oleh sapi, daging kamba memiliki tempat
khusus, bahkan tempat tertinggi dalam konteks budaya kuliner lokal Lio. Harus diakui
bahwa daging kamba sudah sangat langka dijual di pasar jikalau dibandingkan dengan
daging sapi dan daging dan daging babi, serta daging ayam.
Secara sosial, kendati tidak setinggi dulu karena populasi kamba juga semakin
sedikit, pemilik kamba menempati posisi sosial yang tinggi. Dalam konteks adat dan
tradisi pendirian rumah adat atau wake laki ‘pelantikan kepala suku’, penyembelihan
54
hewan kamba untuk ritual-ritual tersebut juga sangat procedural keadatan dan sangat
khusus pula. Demikian pula pembagian daging, dengan tanduknya sebagai lambang
kekuasaan dan kekayaan, merepresntasikan struktur kekuasaan atas tanah dalam wilayah
ulayat tertentu. Mosalaki ‘tuan tanah’ dan Riabewa ‘Pengusa Tertinggi di antara
sejumlah Mosalaki’ sebagai penguasa tanah ulayat tampak nyata dalam urusan
penyembelian kamba. Seperti telah diutarakan, kamba memang bernilai sangat tinggi
dalam masyarakaat tradisional Lio. Rumah adat sebagai pusat kebudayaan dan politik
tradisional yang memajangkan tanduk kerbau yang semakin banyak menunjukkan
kedudukan sosial, kekayaan, prestise, dan prestasi masa lalu. Dalam urusan pernikahan
yang dikenal dengan terminology liwu eko ‘emas dan hewan’, kamba ‘kerbau’ adalah
hewan yang dianggap sangat layak dansangat berharga demi kelayakan dan kelancaran
pernikahan adat.
Selain sebagai simbul sosial yang kaya makna, kamba ‘kerbau’ juga sangat
bermanfaat bagi para petani khususnya setelah sawah diperkenalkan sejak awal 1990an.
Untuk membajak sawah, kamba pula yang sangat berperan dalam membantu dan
memudahkan manusia menyiapkan sawah untuk ditanami padi. Dengan demikian, selain
menjadi konsumsi bahan bergizi dan berprotein hewani yang tinggi, kamba menanadai
dan menegaskan kedudukan sosial seseorang dan memabntu manusia untuk mengolah
sawah. Kamba ‘kerbau’ adalah sarana yang hidup yang membantu dan menemani
manusia petani dalam bersawah. Hubungan yang sangat dekat ini mendasari sikap,
peilaku, dan relasi berwujud pemeliharaan, perilaku khusus dan bahkan “penghormatan”
tersendiri guyub tutur Lio terhadap fauna besar dan tua ini. Memandikan kamba,
55
menyiapkan makanan bergizi bagi hewan utama ini adalah contoh relasi dan interelasi,
tergantung dan kesalingtergantungan yang penuh makna.
2) Leksikon wawi ‘babi’
Leksikon hewan berkaki empat yang dikodekan secara leksikal dengan wawi ini
juga menempati posisi sosial-budaya yang tergolong tsentral dan tinggi. Sebagai hewan
tua, wawi juga diturunkan dari etymon Proto Austronesia *babuy sebagaimana
direkonstruksi oleh Dempwolff (1934-1938). Sebagai hewan tua yang diakrabi oleh
manusia, dalam hal guyub tutur bahasa Lio, sebagaimana juga banyak guyub tutur
Austroensia lainnya di Nusantara, wawi menempati pula kedudukan dan peranan sosial-
budaya yang sangat sentral dan berjenjang tinggi.
Selain sebagai pangan utama dalam sistem makanan asli guyub tutur dan guyub
kultur Lio, wawi ‘babi’ menghasilkan daging yang berprotein tinggi. Selain sesuai
dengan adat istiadat yang terwariskan, peralihan guyub tutur dari agama suku atau
agama besar ke agama Katolik Roma, nake wawi ‘daging babi’ tetap menjadi santapan
bernilai sosial tinggi. Sebelum digeser oleh sapi, wawi menempati posisi penting untuk
disembelih dan disajikan tatkala ada tamu, Secara lebih khusus pula dalam pelbagai
pesta adat, daging babilah yang harus disajikan.
Berkaitan dengan representasi struktur dan kekuasaan atas tanah ulayat, wawi
‘babi’ justru yang menjadi simbol utama. Pusu lema wawi ‘jantung, lidah, dan bagian
punggung wawi ‘babi’ adalah simbol dan struktur kekuasaan, pembagian kewenangan
dan tentunya pemertahanan kekuasaan adat Lio atas tanah dan lahan-lahan garapan.
Makna dan fungsi sosial wawi ‘babi’ tampak pada perhelatan sosial yang disebut
dengan perkawinan adat. Seperti kamba ‘kuda’, wawi adalah jewan yang tergolong
56
tinggi nilainya dalam konteks pemenuhan syarat pernikahan adat yang disebut dengan
istilah belis. Kendatipun dewasa ini lebih sering diuangkan senilai harga hewan itu,
pemberian belis dalam konteks liwu eko ‘emas dan hewan’, wawi berukuran besar
menjadi tanda prestasi dan prestise ssosial yang berterima dalam urusan pernikahan.
Sebagai masyarakat yang tetap memgang teguh kepercayaan, khususnya selalu
merawat keharmonisan hubungan dengan leluhur, Embu Mamo, Ku Kajo, dan Tana
Watu, wawi adalah “santapan utama” saat Pati Ka, selain nasi asli dari lading sendiri.
Hewan budaya yang tergolong tua dan terwaris antargenerasi ini menjadi pilihan utama.
Pilihan jatuh pada wawi untuk Pati Ka karena babi dapat dipelihara bahkan dapat dibeli
di mana saja. Dalam hal ini adalah babi asli atau babi kampong. Secara lebih spesifik
dan bernilai khusus pula jikalau wawi mera ‘babi berbulu merah’ menjadi persembahan
dan persajian bagi leluhur. Mkana apa saja yang terkandung di bali warna merah pada
babi, itu memerlukan penggalian lebih dalam lagi.
3) Leksikon Manu ‘ayam’
Selain kedua leksikon dengan makna referensial eksternal yang mengacu pada
hewan besar kamba ‘kerbau’ dan wawi ‘babi’, manu juga sangat penting dalam guyub
tutur dan guyub kultur masyarakat Lio. Manu ‘ayam’ asli yang dipeliahar dan
diwariskan oleh generasi guyub tutur Lio masa lalu, penghasil daging dengan protein
tinggi ini sangat penting dalam masyarakat tersebut.
Manu ‘ayam’ dipelihara dengan sangat baik oleh masyarakat. Selain untuk
disajikan kepada tamu dan pejabat yang dating, terutama dalam jumlah yang terbatas,
manu ‘ayam’ merupakan hewan jenis ungags yang sangat dekat denganmanusia. Itulah
sebabnya, selain menjadi daging berprotein tinggi, apalgi telutnya, manu ‘ayam’ bahkan
57
menjadi nama manusia pula. Seperti diuraikan di atas, selain wawi ‘babi’, manu ‘ayam’
dianggap layak juag menjadi bahan persembahan dalam Pati Ka para leluhur bahkan
juga kepada Sang Penguasa alam semesta.
4) Leksikon jara ‘kuda’
Leksikon jara ‘kuda’ yang secara morfologis berbentuk dasar tergolong hewan
berkaki empat. Secara semantik jara ‘kuda’ tergolong bernyawa dan secara ekleksikal
tergolong kelompok biotik, adalah hewan budaya pula. Jara ‘kuda banyak manfaatnya
bagi guyub tutur bahaa Lio. Jara ‘kuda’ memiliki interrelasi, interaksi, dan
interdependensi yang istimewa pula bagi guyub tutur bahasa Lio.
Nake jara ‘daging kuda’ yang berprotein tinggi dalam paket bahan konsumsi
masyarakat lokal memang tidak sepopuler nake kamba ‘daging kerbau’, nake wawi
‘daging babi’, dan nake manu ‘daging ayam’. Guyub tutur bahasa Lio memang agak
jarang taga jara ‘menyembeli kuda’ untuk dijadikan pangana upacara atau ritual-ritual
dalam kehidupan sosial. Seperti yang diuraikan di atas, ketiga jenis daging itulah yang
jauh lebih popular dalam perhajatan tradisional.
Jara ‘kuda’ adalah hewan yang menjadi sarana angkutan baik manusia maupun
barang-barang. Sebagai angkutan manusia masa lalu, jara disebut dengan farsa jara
saka ‘kuda tungganan’. Peralatan yang dikenal adalah sela ‘pelana’ yang diikatkan di
punggung kuda untuk ditunggangi, jelasnya diduduki di atas denga memegang kendali.
Para pejabat, pemerintah dan pemuka agama, termasuk para mosalaki ‘tuan tanah’ masih
menggunakan pula ala angkutan pribadi yang bernyawa ini. Selain itu, untuk
kepentingan ekonomi mereka, jara ‘kuda’ pula yang menjadi sarana pergerakan barang-
barang seperti kopra ke tempat penjualan. Jara ‘kuda’ materi utama dalam urusan belis
58
atau mahar pernikahan. Oleh karena kedudukan dan peranan jara ‘kuda’ yang penting
itulah, interelasi dan interdependensi guyub tutur dengan hewan ini sangat bermakna
sehingga perawatan dalam wujud penyediaan makanan, tempat khusus, dan terutama
makanan bergizi dengan mencarukan lahan berumput hijau, menjadi fakta sosial
perlakuan khusus terhadap jara ‘kuda’.
59
BAB VII
KHAZANAH LEKSIKON KEBAHARIAN PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO
7. 1 Bahasa Lio sebagai Representasi Keberagaman Sumber Daya Kelautan
Seperti diuraikan pada bab-bab terdahulu, setiap bahasa termasuk bahasa Lio
menggambarkan, menyimpan, dan merekam pengetahuan dan pengalaman guyub tutur Lio
dengan keberagaman entitas yang ada di sekitarnya. Sudah tentu akumlasi pengetahuan dan
pengalaman hidup dalam arti luas dari guyub tutur dengan keberagaman itu telah berlangsung
lama, berabad-abad silam, bahlan telah melalui era millennium. Semuanya itu direkam karena
bahasa sebagai simbol bunyi yang mengandung dan mewadahi aneka konsep di baliknya itu
berkembang mengiringi evolusi manusia dengan budayanya, termasuk di dalamnya adalah
bahasa yang mengkodekannya (lihat Everett, 2013).
Selain lingkungan darat yang didominasi oleh tanah dan lahan garapan dengan aneka
tumbuhan dan tanaman, lingkungan kelautan telah pula menghasilkan budaya kebaharian bagi
masyarakat pesisir khususnya. Guyub tutur bahasa Lio juga mengenali adanya lingkungan
kelautan yang ada di belahan selatan dan di belahan utara Kabupaten Ende dengan wilayah
pakai bahasa Lio yang lebih luas. Pengenalan karakter gejaala alam kelautan di selatan dan di
utara yang sangat kontras, bermuara pada penamaan yang bermakna gender. Kultur penamaan
berbasis makna jender itulah yang menghadirkan laut selatan dengan nama mesi kaki ‘laut
jantan atau lelaki’ dan laut utara sebagai mesi fai ‘laut betina atau perempuan’. Sudah tentu, ada
makna interelasi tertentu antara guyub tutur dengan dunia kebaharian berbasis lat yang secara
historis perlu digali. Laut selatan memang lebih ganas ombak dan gelombang lautnya,
60
sedangkan laut utara lebih tenang, kendai sewaku-waktu diterjang oleh tsunami, sebagaimana
terjadi tahun 1992.
Sebagai warga guyub tutur dan guyub kultur bahasa Lio yang berbasikan kehidupan
mereka pada dunia kelautan dengan segala ulah dan isinya, guyub tutur bahasa Lio di pesisir
Kabupaten Ende memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan kelautan dan
kebaharian yang semuanya itu terekam dalam perangkat leksikon dan tuturan kelautan atau
kebaharian. Leksikon-leksikon yang menggambarkan konsep tentang laut dengan segala “ulah-
perilakunya”, dan terutama kandungan isinya yang sangat beragam dengan aneka sumber daya
itu, telah lama terkodekan, terekam, dan terwariskan secara verbal antargenerasi hingga dewasa
ini.
7.2 Khazanah Tumbuhan Laut
Pemuilahan kelompok leksikon yang makna referensial eksternal dan acuan konsep
tentang tumbuhan laut, binatang yang ada di laut, peralatan kenelayanann, dan karakter laut,
dipaparkan di bawah ini. Kendati tidaklah terjaring secara menyeluruh, khazanah leksikon
bahasa Lio di bawah ini cukup menggambarkan dunia kebaharian dan kelautan guyub tutur
bahasa Lio.
Tabel 8. Khazanah Leksikon Kelautan pada Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Tanaman laut Seperti
tampak pada
abe(bahasa Lio)
Bahasa Indonesia dan
bahasa Latin
Makna dan Fungsinya
1 gəlaməsi sej. rumput laut Dapat dimakan
2 utakəbu Sej. rumuput laut Dijadikan sayuran
3 utambəta Sej. tnaman laut Dijadikan sayuran
4 Utamera Sej. rumput laut yang
warnanya merah
DIjadikan sayuran
5 Hurukera Sej. tanaman laut yang
daunnya datar
61
Seperti terlihat pada tabel di atas, ada sejumlah tumbuhan laut yang dikodekan daam
kata-kata bahasa Lio. Pertama adalah gelamesi ‘sej.rumput laut’. Sesuai dengan nama yang
disandangnya, tumbuhan laut ini berbentuk gelang, tumbuh di laut dangkal. Tanaman ini
digunakan juga sebagai bahan makanan atau sayuran. Demikian juga tanaman laut utakebu,
utabeta, dan utamera adalah tumbuhan laut yang dapat dijadikan sayuran, kecuali hurukera.
Bentuk morfologis yang derivatif berpangkalkan uta- sudah menandai fungsi dan maknanya
sebagai bagian dari sayuran.
7.3 Khazanah Leksikon Kebaharian Jenis Binatang Kelautan
Selain tumbuhan-tumbuhan laut, sejumlah binatang laut dengan keberagamannya,
terkodekan, terekam, dan terwariskan dalam khazanah leksikon dalam bahasa Lio.
Tabel 9. Khazanah Leksikon Kebaharian Jenis Binatang Kelautan
No. Leksikon Nomina
Kelautan
Bahasa Indonesia Keterangan
1 Anambana Sej. Kepiting kecil Bisa dijadikan sambal
2 Ipu Sej. Cacing laut
(iput)
Bisa dimakan
3 Maliu Ikan hiu
4 Lobhu Lumba-lumba
5 Lelongali Ikan paus
6 Mboro Sej. Ikan paus yang
bermulut besar
7 Mbumbe Sej. Ikan paus
8 Ikawawi Ikan yang
moncongnya seperti
babi
9 Ulu mite Tuna (bagian depan
agak hitam)
10 Koli te’a Sej. Tuna (bagian
depannya agak
kuning)
11 Ikaraba Sej. Ikan Hidup di dasar laut
12 Anasuli Sej. Tongkol tanpa gigi
13 ngarotasi Sej. Ikan bergigi
62
14 Ika-awa Sej. Ikan terbang
15 Ikamana Sej. Ikan yang
moncongnya
panjang dan bergigi
16 Ikanibe /e/ Sej. Ikan tanpa gigi Biasanya bisa ditemukan
di permukaan laut
17 Ikama’a Sej. Ikan kombong
18 Ikabawo Ikan bawal
19 Ikakapu Ikan kerapu
20 Ika mite Sej. Ikan kerapu Berat sampai 200 kg,
mulut sangat besar dan
dijuluki dewa laut
21 Ikakawa Sej. Ikan kerapu
22 Ikambere (ikan batu) Sej. Ikan Warna merah, hidup
besembunyi di batu
23 Ikangaro Sej. Ikan lokal
24 ikafaiwalu Sejenis ikan (varietas
dari ikangaro)
Berbibir tebal
25 Pipi nggiku Sej. Ikan Pipi ikan berwarna warni
26 Ika kəta Sej. Ikan Ukuran sedang, berwarna
merah
27 Ngande koro Sej. Ikan Bermoncong merah
28 Ika ile Sej. Ikan jinak
29 Ika tego Sej. Ikan berkulit
tebal
30 anahassi Sej. Ikan kecil
31 tokosunu Sej. Ikan yang
memiliki tulang di
kulitnya
32 Ikənubu Sej. Ikan kecil
33 Kinggi Sej. Ikan kecil Varietas ikenubu
34 Kinggidheto Sej. Ikan kecil Varietas ikenubu
35 ikətəpe Sej. Ikan berbentuk
pipih
36 Ikendala Sej. Ikan Varietas iketepe
37 Ikabharawatu Sej. Ikan Varietas iketepe
38 Ika-ewe Sej. Ikan berukuran
kecil
39 ikalonggoməta Sej. Ikan Permukaan kulit kebiru-
biruan
40 Ika-anasiru Sej. Ikan bawal kecil
41 annambate Sej. Ikan kecil
42 jujuəna Sej. Ikan yang hidup
di dalam pasir
Juju (v) masuk ke pasir
əna=pasir
63
43 Ikaduku Sej. Ikan kecil
44 Ikalako Sej. Ikan yang
berenang cepat
seperti anjing lari
dan ekornya
bergoyang-goyang
45 ikatəke Sej. Ikan yang
bentuk kepalanya
seperti tokek
46 Ikaro Sej. Ikan berduri
tajam
Bentuknya seperti batu,
berwarna hitam
47 Sungga Sej. Ikan berduri
48 Ika-etu Sej. Ikan lele
49 Pari Ikan pari
50 Ika hupu Sej. Pari Ada pisau di ekornya yang
mirip gergaji
Makna kultural: ekornya
sering digunakan untuk
menangkal ilmu hitam
Sebagaimana tampak pada tabel di atas, setidak-tidaknya ada 50 jenis fauna laut terekam
dalam perangkat leksikon nomina. Secara morfologis leksikon-leksikon fauna berbasiskan
sumber daya kelautan itu terdiri atas bentuk dasar tunggal seperti ipu ‘iput’, maliu ‘ikan hiu’,
lobhu ‘lumba-lumba’, mboro ‘sej. ikan paus bermulut lebar, kinggi ‘sej. ikan bertubuh kecil’,’,
mbumbe ‘sejenis ikan paus’, dan pari ‘pari’. Selain berbentuk dasar tunggal, leksikon-leksikon
kelautan dalam bahasa Lio juga terdiri atas bentuk turunan yang dikategorikan sebagai bentuk
majemuk, paduan dua atau tiga kata atau bentuk dasar dan umumnya berdasarkan leksikon ika-
‘ikan’ label untuk semua jenis ikan. Sebagai contoh: ika wawi ‘sej. ikan’ yang karena bentuk
moncongnya seperti babi, ika bawo ‘ikan bawal’, ika mana ‘sej. ikan yang bermoncong
panjang’, yang dikaitkan dengan hidung yang mancung, dan seterusnya.
Pengenalan dan pengetahuan tentang nama-nama sejumlah jenis ikan, baik yang ada di
atas permukaan laut, di dalam permukaan laut, dan di dasar laut, yang kemudian dikodekan
64
secara lingual dalam baahsa Lio adalah petanda beta hubungan, interelasi, interaksi, dan
interdependensi warga guyub tutur bahasa Lio, khususnya sejumlah nelayan dengan lingkungan
kelautan dan secara khusus dengan sejumlah jenis ikan. Pengenalan dan pengetahuan tentang
ukuran dan perilaku ikan, jelas merepresentasikan kedekatan hubungan mereka dengan
binatang-binatang itu. Pemenuhan kebutuhan hidup secara biologis dan sosiologis pulalah yang
menjadi dorongan utama. Seperti diuraikan di atas, penamaan jenis-jenis ikan itu juga
berdasarkan pengenalan karakter, sifat, dan warna sehingga muncullan nama-nama berbentuk
kata majemuk yang memperkaya leksikon dan budaya kebaharian guyub tutur bahasa Lio.
Secara khusus pengetahuan tentang jenis-jenis ikan besar seperti paus juga mengandung
makna tersendiri. Mbumbe ‘sej. ikan paus’ pun juga koli te’a ‘sej. tuna’, atau ngarotasi ‘sej.
ikan bergigi besar’ dalam bahasa Lio, merepresntasikan pengetahuan dan pengalaman para
nelayan “bergaul dekat” dengan laneka jenis ikan di lingkungan kelautan yang luas sesuai
dengan daya jelajah mereka. Demikian pula pengenalan dan pengetahuan mereka tentang jenis
ikan yang kecil dan ikan yang terbang, adalah gambaran interaksi dan interelasi nelayan dengan
penghuni laut itu.
Dengan protein tinggi ikan dari segala jenisnya memang menjadi makanan bergizi yang
sangat diminati hamper oleh semua warga guyub tutur bahasa Lio, baik di daerah pesisir
maupun di daerah pedalaman. Demikian juga sejumlah jenis hewan laut seperti anambana
‘siput kecil’ ipu ‘iput’, mbarase ‘sej. ikan kecil berbentuk pipih’, terutama pari ‘pari’, adalah
aneka jenis lauk dari laut yang sangat favorit dalam guyub tutur bahasa Lio. Leksikon-leksikon
dengan makna konsep tentang entitas hewan laut itu, di sisi jenis-jenis ikan lainnya seperti ika
bawo ‘ikan bawal’, sangat intim dan sangat akrab dengan warga guyub dan dalam kehidupan
masyarakat Lio.
65
Tabel 10. Khazanah Leksikon Nama Ombak dan Lokasi-Lokasi Khusus
No. Nama ombak dalam
bahasa Lio
Bahasa Indonesia Ketetangan
1 Bata Ombak di tepi pantai yang dangkal
2 Embo Gelombang laut dalam
3 Rumagali Tornado
4 Olapire Tempat yang angker di laut dan
sering berpindah-pindah
5 Məsihaki Laut selatan məsi= laut, haki=
laki-laki
Seperti terulis dalam tabel di atas, ada nama-nama khusus ombak dalam bahasa Lio.
Guyub tutur bahasa Lio khususnya di pesisir mengenal bata ‘ombak’, khususnya ombak yang
memecah di pinggir pantai dan yang ada di laut yang dangkal. Selain itu, para nelayan
khususnya mengenal nama embo ‘gelombang laut dalam’ yang tentunya lokasinya ada di tengah
laut. Yang lebih bermakna lagi ikhwa pengetahuan dan pengenalam ekologi kelautan dalam
penjelajahan menjala ikan adalah leksikon rumagali ‘tornado’ yang merupakan fenomena alam
laut yang sangat dahsyat dan dapat mengancam nyawa nelayan.
Ekologi kelautan dalam cakrawala pebjelajahan para nelayan Lio juga dikenal baik
situasi dan kondisinya. Guyub tutur bkhususnya para nelayan mengenal leksikon olapire.
Secara etimologis dan morfologis olapire dikonstruksi dari bentuk ola ‘tempat’ dan pire ‘tabu’.
Secara harfila adalah tempat yang ditabukan. Dalammkonteks penjelajahan dan penangkapan
ikan di laut lepas, para nelayan menyadari ada lokasi-lokasi tertentu yang bersifat angker, tidak
boleh disentuh. Lokasi-lokasi yang berpindah-pindah mengiringi tornado atau pergerakan
makhluk laut tertentu itu ditabukan untuk diterjang atau diterobos oleh nelayan.
7.5 Khazanah Leksikon Peralatan Kenelayanan
Guyub tutur bahasa Lio juga memiliki seperangkat nama yang secara semantik
referensial dan konseptual merujuk pada perlatan kenelayanan. Peralatan yang dimasudkan itu
66
tentu berkaitan dengan dunia kenalayanan dan kelautan, khususnya dala upaya menangkap ikan
sebagai mata pencaharian mereka. Di bawah ini dipaparkan sejumlah nama peralatan yang
dimaksudkan itu. Ddalam kaitan dengan nama-nama peralatan itu, teknologi tradisional
penangkapan ikan diuapayakan untuk dideskripsikan secara sederhana.
Tabel 11. Khazanah Leksikon Peralatan Kenelayanan
No.
Nama peralatan
kenelayanan dalam
bahasa Lio
Bahasa Indonesia Keterangan
1 Kowa Perahu berukuran kecil dan sedang Sarana angkutan
2 Sape Perahu berukuran besar muatan 5
ton
Sarana angkutan
berukuran besar
3 wəsa Dayung Alat dari kayu
pipih
4 Laja Layar Kain yang tebal
dan lebar
5 Ndala Jaring yang dilempar Jejaring
penangkap ikan
6 Ramba Sej. jala Alat penjebak dan
penangkap ikan
7 Ngati/weke Pancing Alat penangkap
ikan
Dunia kelayanan yang mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya laut
menggunakan perlatan dan teknologi tradisi yang umumnya ramah lingkungan kelautan
khususnya. Kowa ‘perahu kecil dan sedang’ merupakan sarana angkutan laut. Selanjutnya ada
sape ‘perahu berukuran besar (5 ton) juga menjadi sarana angkutan hasil tangkapan pula.
Selanjutnya, perahu yang ramah lingkungan karena tanpa bahan bakar minyak yang juga
polutan, adalah adanya weaa ‘dayung’, sebuah alat sederhana yang menggunakan tenaga
manusia. Penjelajahan laut luas dan dalam jelas menggunakan perahu layar sehingga muncul
leksikon laja ‘layar’. Alat penangkap kan yang juga ramah lingkungan adalah ndala ‘jala’,
ramba ‘sej. jaring’, dan ngati ‘pancing’. Dengan menggunakan sarana transportasi laut
67
berukuran besar dan kecil, dan dengan menggunakan alat tangkap sederhana itulah kaum
nelayan dapat memanfaatkan sumber daya laut, khususnya sejumlah jenis ikan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Khazanah leksikon itu menggambarkan pekerjaan nelayan.
68
BAB VIII
KHAZANAH LEKSIKON TENUN IKAT PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO
8. 1 Leksikon Tenun Ikat sebagai Representasi Kerajinan Berbasis Lokal
Bahasa juga menggambarkan pekerjaan atau profesi yang ditekuni khususnya tenun ikat.
Tenun ikat tradisional pada dasarnya memanfaatkan seperangkat tumbuhan sebagai bahan dasar
khususnya yanga ada di lingkunagan. Sebagaioman diketahui, tenun ikat sebagai yang
produknya sudah mulai dikenal luas, produknya sangat ebrmakna bagi masyarakat Lio.
Leksikon ragi ‘sarung pria’, lawo ‘sarung perempuan’, dan luka ‘selendang’ adalah
perbednaharaan kata budaya yang akrab dengan busana asli Lio, sekaligus juga menandai Orang
Lio dengan jati dirinya.
Pengetahuan dan pengalaman generasi penutur terdahulu tentang aneka tumbuhan dan
memanfaatkan serta mengolah tumbuha-tumbuhan itu dikodekan dalam leksikon-leksikon
bahasa Lio, baik nomina bahan-bahan, peralatan, dan verba tentang tenun ikat dipaparkan dan
dijelaskan di bawah ini.
8.2 Khaznah Leksikon Bahan-bahan Tenun Ikat Guyub Tutur Bahasa Lio
Pengetahuan dan pengalaman tentang sumber daya alam, khususnya tumbuhan,
menginspirasi warga guyub tutur bahasa Lio sejak berabad-abad lalu meramu bahan-bahan
untuk menenun. Leksikon verba seda ‘menenun’ mewakili aktivitas yang khas dan memerlukan
ketekunan tersendiiri itu. Ada sejumlah leksikon yang tergolong nomina yang merupakan
bahan-bahan dasar untuk pembuatan tenun ikat, baik sarung perempuan, sarung pria, selendang,
dalam pembuatan tenun ikat.
69
Tabel 12. Khazanah Leksikon Nomina Tenun Ikat Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Leksikon nomina
tenun ikat
Bahasa Indonesia Keterangan
Lelu Kapas/benang Bahan dasar
Taru Tarum Bahan dasar
Oka Kapur (pamor) Bahan dasar
kəmbo Mengkudu Bahan dasar
Wunu nio Janur kelapa Bahan penunjang
Dala Bintang Motif
Wonga kaju Bunga Motif
Manu Ayam Motif
Ana ule Anak burung Motif
Ana geru Cecak Motif
Leko Katak Motf
Ata Manusia Motif
Jata Burung Elang Motif
Lawo Kain tenun ikat untuk perempuan Kaya motif dan garis
Nepa Jenis lawo
Manga Jenis lawo
Kelismara Jenis lawo
Deki nggera Jenis lawo
Daki (iwa go’a) Jenis lawo
Rapi pete
Rapi mite
Ae Air Bahan pencaair
Ae mage Air dari biji asam Bahan pengharum
Selo mera Pewarna kain merah
Selo kune Pewarna kain kuning
Selo mite Pewarna kain hitam
Tabel 13. Khazanah Leksikon Peralatan Tenun Ikat Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Leksikon nomina peralatan tenun ikat Bahasa Indonesia Keterangan
Kogo Penjepit
Kabhe Pengikat belakang
Laniholu Penahan terdepan
Ngewi Tau de-penenun
Kukuguru Wulu/bulu
Bela Dari wulu (tau pido)
8. 4 Khazanah Leksikon Verba Tenun Ikat Guyub Tutur Bahassa Lio
Guyub tutur bahasa Lio, khususnya para perajin atau para penenun yang semuanya
adalah kaum perempuan, melakukan kegiatan bertenuan sejak proses awal pengadaan bahasan,
70
secara khusus tahapan penenunan yang semuanya dikodekan dan dileksikalisaikan menjadi
sejumlah leksikon verba di bawah ini.
Tabel 14. Khazanah Verba Proses Tenun Ikat Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Verba tenun ikat dalam
bahasa Lio
Bahasa Indonesia Keterangan
Degade Memukul-mukul dgn kaju
Teki Mengangkat benang
Poke Melempar ke sisi kiri-kanan
Peso Meletakan benang
Soro Menyorong alat tenun
Pete Mengikat janur
Go’a Memilin
Rike Mengikat tali
Woe Menggulung benang
rədu Mencabut ikatan
Pepa Menaruh di tali
8. 5 Khazanah Adjektiva Tenun Ikat Guyub Tutur Lio
Bahasa Lio juga menggambarkan karakter atau sifat-sifat dasar tentang bahan-bahan
dasar ataupun produk tenun ikat. Karakter dan sifat dasar itu dikodekan dalam leksikon-
leksikon yang tergolong adjektiva di bawah ini.
Tabel 15. Khazanah Leksikon Adjektiva Tenun Ikat Guyub Tutur Bahasa Lio
No. Adjektiva bahasa Lio Bahasa Indonesia Ket.
1 Bewa Panjang
2 Ingga lebar Diameter
3 Bheri Bagus
4 Meno Keras
5 Heku
6 Maja
7 Modha
8 Kune Kuning
9 Mite Hitam
10 Mera Merah
71
BAB IX
KEBERLANJUTAN, KEBERTAHANAN, DAN PERUBAHAN
9.1 Pengantar Ringkas
Dalam perspektif ekolinguistik, keberlanjutan (sustainability), kebertahanan, dan
perubahan yang dikaitkan dengan sejumlah faktor, menjadi kepedulian demi menjaga
keseimbangan dan lam perubahan. Bahasa memang hidup dalam otak dan perilaku berinteraksi
verbal dengan sesama, namun bahasa juga merupakan sarana atau wadah tempat konsep dan isi
pengetahuan manusia diwadahkan. Akan tetapi, selain dimensi ruang yang menjamin
keberadaan segala yang ada, termasuk bahasa dengan isi konsep, sekaligus juga elemen-elemen
kebudayaan yang diwadahinya, bahkan juga lingkungan hidup sebagai sumber pengetahuan dan
pengalaman hidup guyub tutur dalam arti seluas-luasnya, senantiasa mengalami perubahan.
Perubahan bahasa berkorelasi dengan perubahan kebudayaan dan tentunya perubahan
lingkungan tempat bahasa itu hidup, baik lingkungan sosial maupun liungkungan alami.
Perubahan lingkungan alam dan lingkungan social dan budaya dapat etrcermin atau
tergambarkan pada perubahan bahasa dan perubahan lingkungan kebahasaan. Perubahan
lingkungan ragawi sebagai dampak pembangunan infrastruktur seperti jalan, bendungan
perumahan, dan sebagainya, jelas mengubah pola piker, pola perilaku manusia, dan tentunua
khazanah kebudayaan secara material dan nonmaterial. Jalan Negara yang melintasi Flores,
termasuk daratan Kabupaten Ende, jelas mengubah lingkungan di sekitarnya. Banyak ekosistem
yang berubah. Demikian pula perubahan struktur social karena kemajuan pendidikan dan
kemajuan ekonomi mengubah status social masyarakat dari yang tradisional menjadi yang lebih
modern atau lebih mutakhir. Dengan demikian perubahan tatanan social dan tatanan budaya
72
terjadi dalam perjalanan waktu secara khusus karena didorong oleh perubahan yang bermatra
ragawi (fisik).
Lingkungan kebahasaan di Indonesia telah berubah sangat cepat. Semula masyarakat
etnik Lio yang relative ekabahasa (monolingual) telah menjadi masyarakat yang anekabahasa
(multilingual). Dampak nyata adalah bahwa factor poliitk bahasa khususnya yang
menempaatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara, niscaya jenjang
nilai kebahasaan tertinggi ada pada bahasa Indonesia, sedangkan bahasa-bahasa daerah atau
bahasa-bahasa lokal (vernacular) tergusur dan menempati jenjang nilai lebih rendah. Perubahan
ekologi kebahasaan juga terjadi semakin menguat takala bahasa-bahasa asing mulai menguasai
masyarakat Indonesia. Bahasa-bahasa asing semaki mendesak kedudukan dan fungsi bahasa-
bahasa lokal. Pragmatisem mengalahkan idealisme kebahasaan pada masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, setelah bahasa Indonesia turut “menggeser” bahasa-bahasa lokal, sejumlah
bahasa asing, utamanya bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan bahasa Mandarin, semakin
memojokkan bahasa-bahasa lokal. Ini berarti tantangan keberlanjutan bahasa=bahasa lokal
sebagai kekayaan kebahasaan di Indonesia terancam pula.
9.2 Perubahan Bahasa sebagai Represntasi Perubahan Sosiokulturalekologi
Peradaban dan kebudayaan lokal etnik Lio tercermin pada peruabahn elemen-elemen
budaya material yang tentunya juga berkorelasi dan bermula dari perubahan kognisi guyub tutur
bahasa Lio, seperti juga perubahan pola piker (mindset), mengiringoi perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pola konsumsi secara material berubah. Demikian pula pola busana
yang sebelumnya bernuansa kelokalan, telah berkembang dan berubah. Pola makan, dalam arti
tatanan makanan yang sebelumnya memiliki komposisi yang lebih etnis, telah berubah sangat
73
cepat. “Lidah” yang sebelumnya mengolah ubi, jagungm dan kacang-kacangan telah mengubah
mengolah makanan asing dan terutama sudah dimanjakan oleh nasi.
Perubahan budaya material juga tampak pada penggunaan peralatan dapur dari keaslian
gerabah atau keramik, Gerabah asli yang dikenal dengan podo-kawa ‘periuk- belanga’ dan
pane paso ‘piring-baskom’, telah digeser oleh perabot import dari luar, hasil produksi Negara-
negara asing. Generasi muda sudah tidak mengetahui lagi nama dan benda-benda gerabah asli,
tidak juga menggunakannya lagi. Di dalam keluarga lebih didominasi oleh leksikon-leksikon
bahasa Indonesia yang merujuk pada peralatan rumahtangga yang diimport dari luar.
Perubahan ekologi juga telah mengibah pengetahuan generasi muda tentang sumber
daya alam lokal. Generasi muda sudah lebih akrab dengan nasi import, bukan dengan nasi asli,
denga jagung dan jagung titih. Masuknya tanaman-tanaman perdagangan baru di luar kemiri
asli, utamanya cengekh, kakao, vanili, mengubah terutama menggeser perbendaharaan
pengetahuan lokal yang diwadahi oleh leksikon-leksikon bahasa Lio, lebih akrab dengan
leksikon-leksikon tanaman komoditas baru yang tersebut di atas. Dengan kata lain, sejumlah
varietas padi lokal yang bermutu secara gizi tersingkir oleh aneka makanan dari luar.
Perbendaharaan leksikon yang maknanya merujuk apda tanaman pangan asli, semakin menipis
di kalangan penutur muda bahasa Lio. Demikian pula leksikon-leksikon tentang binatang dan
hewan lokal seperti kutu atau hutu ‘babi landak’ semakin hilang, mengiringi hilanganya hewan
itu karena ulah manusia yang berburu dan menghabisi binatang langka itum serta
menghilangkan habitat aslinya.
Perubahan budaya, lingkungan dan bahasa juga terjadi di ranah busana lokal. Busana
lokal adalah penanda jati diri keetnikan yang memebdakan Orang Lio dengan Orang Ngadha,
Orang Sikka, Orang Lamaholot, dan Orang Manggarai di Flores. Yang lebih menarik lagi
74
adalah busana penciri status jender. Jikalau pada masa lalu, ragi hanya dipakai oleh kaum laki-
laki saja, yang tentu menjadi pencccccciri jender sebagai laki-laki, kini ragi sudah digunakan
juga oleh kaum perempuan. Sebaliknya juga jikalau dulu, lawo ‘sarung perempuan; hanya
dikenakan oleh kaum perempuan, kini sudah disandang juga oleh kaum laki-laki.
Peruabahan lain yang nyata secara ekolinguistik adalah menghialngnya nama-nama
peralatan gerabah dan sebagian tenun ikat dalam bahasa Lio. Wasa sebagai alat pembuatan
gerabah sudah tidak diberi nama lagi oelh perajin gerabah. Demikian juga hilangnya varietas
padi lokal dengan kedudukan dan fungsi sosialnya, misalnya pare maru dan sejumlah varietas
lannya juga menjadi ancaman leksikon-leksikon dan elemen-elemen budaya pangan lainnya.
Penyempitan lahan untuk padi gogo atau padi asli yang sarat makna dan nilai budaya itu,
menjadi fakor dominan yang menggoyahkan keberadaan pare ‘padi’ asli. Demikian juga
tergusurnya nggoli ‘sej. kacang merah’ dan lolo ‘sorgum’ dari blantika kuliner lokal, telah
mendasari perubahan dan menggoyahkan ketahanan leksikon-leksikon budaya dan tanaman
asli/
75
BAB X
PENUTUP
10.1 Simpulan
Berdasarkan data, fakta, dan kajian atas masalah-masalah di atas berikut dipaparkan pula
simpulan penelitian ini.
1. Bahasa Lio memiliki khazanah leksikon yang secara kategori kelinguiskan mencakupi
nomina, adjektiva, dan verba, termasuk nomina “turunan” sebagai proses kultural
mengelola sumber daya alam, baik sumber daya tanah liat dalam konteks gerabah,
maupnn di bidang pengetahuan tentang tumbuhan dan tanaman, binatang dan hewan
budaya, tenun ikat, dan juga dunia kebaharian guyub tutur bahasa Lio. Kekayaan
leksikon itu menandai keberagaman lingkungan alam, budaya, dan bahasa Lio secar
terpadu.
2. Ada dinamika pengetahuan dan pemahaman guyub tur terhadap khazanah leksikon alam
dan budaya dalam sejumlah aspeknya. Sebagian besar penutur muda memang tidak
mengetahui lagi makna dan acuan sejumlah leksikon dan entitas nyata di lingkungan
hidup mereka.
3. Sejumlah factor memang mendasai perubahan itu. Perubahan lingkungan ragawi yang
mengusik tatanag ragawi asli dengan aneka bito dan abiota yang merupakan bagian dari
budaya material mereka, perubahan lingkungan ragawi dan pola piker erta pola
kebudayaan juga menjadi faktir yang memengaruhi perubahan pengetahuan generasi
tutur muda tentang kekayaan bahasa, budaya, dan lingkungan hidup kebahasaan dan
keanekaragaman hayati yang dikodekan secara verbal-lingual.
10.2 Saran
76
1. Penelitian lanjutan dengan pendekatan ekoleksikal yang lebih kritis dan menyeluruh sangat
penting dlakukan.
2. Pendokumentasi kahazanah leksikon secara lebih renik dan lengkap, berkaitan dengan
aspek-aspek budaya yang berbasis lingkungan alamiah dan kultuarl sangat penting
mengingat perubahan budaya dan lingkungan yang sangat cepat.
3. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk menggali kekayaan lokal yang terekan dalam
khazanah leksikon, ungkapan-ungkapan, dan teks-tes=ks tentang lingkungan.
4. Kebijakan bahasa secara nasiona yang berpihak pada hak-hak hidup bahasa-bahasa lokal
merupakan keniscayaan dan keutaman agar ancaman kematian bahasa-bahasa lokal dapat
dicegah,
5. Perlu ditumbuhkannya kesadaran, tanggungjawab, dan melek lingkungan (ecoliteracy)
yang ditunjang secara kelembagaan dalam wadah terralingua (pembela hak hidup bahasa
lokal), serta cinta terhadap bahasa, budaya, lingkungan yangasali dan alami demi
kebertahanan bahasa, budaya, dan lingkunga secara terpadu dan menyeluruh.
77
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputera, Abdurahman. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat:
Studi pada Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat” (disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana.
Bang, Jørgen Chr. and Jørgen Døør. 1993. “Eco-Linguistiks: A Framework.” (serial online).
Diakses 22 Desember 2012.Lewat situs:
URL:http:www.jcbang.dk/main/ecolinguistiks/Ecoling_AFramework1993.pdf.
Baru, Yosefin. 2012. “Penurunan Tingkat Pemahaman Sosial Ekologis Generasi Muda Karoon:
Suatu Kajian Ekolinguistik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Bili, Lukas Dairo. 2007. Pembentukan Kabupaten Sumba Barat daya Suatu Proses Panjang.
Jakarta: CV Tarsar Jaya.
Budasi, I Gede. 2007. “Relasi Kekerabatan Genetik Kuantitatif Isolek-isolek Sumba di NTT:
Sebuah Kajian Historis Komparatif” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Bundasgaard, Jeppe & Sune Steffensen. 2000. “The Dialectics of Ecological Morphology or the
Morphology of Dialectics” dalam: Ana Vibeke Lindø & Jeppe Bundasgaard, editor.
2000. Dialectical Ecolinguistiks. Odense: University of Udense. Hal. 8--35.
Djawa, Alex. 2000. “Rekonstruksi Protobahasa Kambera-Loli-Kodi-Lamboya di Sumba,
Provinsi NTT” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Døør, Jørgen and Jørgen Chr. Bang (1996b). “Language, Ecology and Truth -Dialogue and
Dialectics” dalam: Bang, Jørgen Chr. and Jørgen Døør. 1998. Sprogteori IX. Odense:
ELI Research Group, Odense University. Hal 1--12.
Downes, William, 1984. ‘Knowledge of Words and Knowledge of World’ dalam William
Downess 1984. Language and Society. London: Fontana paperback.
Dwisusilo, Rachmad K 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.
Fill, Alvin and Peter Mühlhaüsler (eds). 2001. The Ecolinguistiks Reader. Language, Ecology,
and Environment. London and New York: Continuum.
Gibbons, Michael. T. (ed). 2002. Tafsir Politik Interpretasi Hermeneutis Wacana Sosial-Politik
Kontemporer (Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam.
Graddol, David 2011 (Ed.) Applied Linguistiks for the 21st Century. AILA Review 14.E-book.
Copies from http://www.english.co.uk.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi.
78
Halliday, M.A.K 1978 ‘Language and Social Man, Language and Environment’ dalam
Halliday, M.A.K Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and
Meaning. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A. K 2001 ‘Ecocritisism of the Language System’ dalam Fill and Peter
Muhlhausler (eds) 2001. The Ecolinguistiks Reader. Language, Ecology, and Environment.
London and New York: Continuum.
Haugen, Einar 1972. The Ecology of Language. Stanford, CA: Standford University Press.
Lindo, Anna Vibeke & Jeppe Bundsgaard (eds), 2000. Dialectical Ecolinguistiks. Three Essays
for The Symposium 30 Years of Language and Eolology in Graz December 2000. Odense:
University of Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology Nurdin Institut.
Keraf, Sony 2002. Et ika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Keraf, Sonny 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. ALam sebagai Sebuah SIstem Kehidupan.
Yogyakarta: Kanisius.
Mbete, Aron Mbeko. 2002. “Ungkapan-ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam
Melestarikan Lingkungan”. Linguistika. Volume 9: No 17, September 2002.
Mbete, Aron Meko 2008. ‘Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif’. Bahan
Matrikulasi Program Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasarjana
Universitas Udayana 2008.
Mbete, Aron Meko. 2013 Penuntun Ringkas Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik.
Denpasar: Diva
Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: Cambridge
Universiy Press.
Phillipson, Robert & Tove Skutnabb-Kangas 2001. “A Human Rights Perspective on Language
Ecology” dalam Angela Creese, Peter Martin & Nancy Homberger (Eds.) in volume 9
Ecology of Language.
Preziosi, Donald 1984. ‘Relations between Environmental and Linguistik Structure’ dalam
Fawcett et. al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language. London: Frances
Pinter
Putra, Anak Agung Putu. 2007. “Segmentasi Dialektikal Bahasa Sumba di Pulau Sumba:
Sebuah Kajian Dialektologi” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
79
Rasna, I Wayan. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di
Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian
Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. Vol. 10: No. 2, Agustus 2010. 321--332.
Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. 2011. Sumba Barat Daya dalam Angka
2011. Sumba Barat: Gita Sarana Electrindo.
Simpen, I Wayan. 2008. “Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba
Timur” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Sudaryanto, 1988. Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukhrani, Dewi. “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar:
Kajian Ekolinguistik” (tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Swadesh, Morris dalam Sherzer, Joel (ed). 1972. The Origin and Diversification of Language.
London: Routledge & Kegan Paul.
Tulalessy, Quin Donspri. 2012. “Pengetahuan Khazanah Leksikon Kesaguan Bahasa Suabo
Masyarakat Inanwatan: Kajian Ekolinguistik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Tove Skutnabb-Kangas. 2012. “Konferensi Linguistik”. Kompas, 27 Juni
Verhaar, J. W. M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Volosinov, V. N 1973. Marxism and The Philosophy of Language. New York: Seminar Press.