komparasi model inquiry training berbasis …
TRANSCRIPT
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
939
KOMPARASI MODEL INQUIRY TRAINING BERBASIS MULTIMEDIA
DENGAN PBL PADA KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH IPA
Lilis Suryani1), Nizar Alam Hamdani2) , 3)Yuniar Purwanty, Mega Achdisty4)
1,2,3,4Magister Teknologi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Institut Pendidikan Indonesia Garut
Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Komparasi model Inquiry Training berbasis Multimedia dengan PBL
pada kemampuan pemecahan masalah IPA 2) aspek identifikasi masalah , 3) aspek rumusan masalah , 4) aspek
membuat hipotesis , 5) aspek membuat kesimpulan . Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen. Populasi
penelitiannya di gugus VIII kecamatan Bayongbong Garut dengan sampel SDN 1 Cikedokan sebayak 19 siswa dan
SDN 3 Cikedokan sebayak 27 siswa . Dari hasil gain pembelajaran Inquiry Training berbasis multimedia diperoleh 0,4
dengan kategori sedang dan pembelajaran Problem Based Learning sebesar 0,17 dengan kategori rendah. Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh dua hipotesis yang diterima yaitu kemampuan pemecahan masalah pada aspek identifikasi
masalah dan aspek rumusan masalah, sedangkan tiga hipotesis yang ditolak yaitu komparasi kemampuan pemecahan
masalah pada model Inquiry Training berbasis multimedia dengan PBL , pada aspek membuat hipotesis dan aspek
membuat kesimpulan. Disimpulkan bahwa model pembelajaran Inquiry Training berbasis multimedia lebih baik
diterapkan dalam kemampuan pemecahan masalah IPA sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar yang optimal.
Kata kunci: Model Inquiry Training Berbasis Multimedia, Model Problem Based Learning (PBL) , Kemampuan
Pemecahan Masalah.
Abstract
This study aims to find out 1) Comparison of Multimedia-based Inquiry Training models with PBL on science problem
solving ability 2) aspects of problem identification, 3) aspects of problem formulation, 4) aspects of making hypotheses,
5) aspects of making conclusions. This research uses quasi experiment. The research population in the VIII group
Bayongbong Garut sub-district with a sample of SDN 1 Cikedokan as much as 19 students and SDN 3 Cikedokan as
much as 27 students. From the results of learning gain multimedia-based Inquiry Training obtained 0.4 with the medium
category and Problem Based Learning learning by 0.17 with the low category. Based on the results of the study, two
hypotheses were accepted, namely the ability to solve problems in the identification aspects of the problem and aspects
of the problem formulation, while the three hypotheses were rejected, namely the comparison of problem solving
abilities in the multimedia-based Inquiry Training model with PBL, the aspects of making hypotheses and aspects of
making conclusions. It was concluded that the Inquiry Training learning model based on multimedia is better applied in
the problem solving ability of science as an alternative to improve the quality of the process and optimal learning
outcomes.
Keywords: Multimedia Based Inquiry Training Model, Problem Based Learning (PBL) Model, Problem Solving
Ability.
A. PENDAHULUAN
Proses pembelajaran merupakan suatu
sistem yang tidak terpisahkan satu dengan
lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh
Sanjaya (2010) bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kegiatan proses sistem
pembelajaran di antaranya: 1) Guru; 2)
Siswa; 3) Sarana; 4) Alat dan media; 5)
lingkungan. Namun yang terjadi dilapangan
tidak sesuai dengan harapan. Berdasarkan
pengamatan sementara di SDN 1 Cikedokan,
ditemukan permasalahan utama dalam
pembelajaran diantaranya adalah
dominannya pembelajaran konvensional dan
kurang variatifnya model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru sehingga hanya terjadi
komunikasi satu arah dan ilmu di transfer
secara cepat dari guru kepada siswa .
Sementara itu, pengamatan di SDN 3
Cikedokan selain pembalajaran yang bersifat
sederhana, juga saat pembelajaran
berlangsung siswa hanya menghafal konsep
yang ada di buku dan kemudian
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
940
mengerjakan latihan soal. Jawaban yang
diberikan oleh siswa masih terfokus pada
jawaban singkat saja. Terlebih jika
dihadapkan dengan tantangan ujian berbasis
computer atau dikenal CBT (Darmawan, D.,
Harahap, E. (2016).
Dari kedua sekolah tersebut diketahui
rendahnya kemampuan pemecahan masalah
yaitu pada saat siswa diberikan soal IPA
tentang pemecahan masalah siswa
berkesulitan dalam mengerjakan dan
menerjemahkan soal menjadi lebih
sederhana. Karena kurangnya pengenalan
proses pemecahan masalah mereka terlihat
kaku dan kesusahan mulai dari proses
identifikasi masalah sampai pada proses
menarik atau membuat kesimpulan. Dengan
terbiasanya mengerjakan soal yang mudah
ketika dihadapkan pada soal yang HOT
(higher order thinking) membuat mereka
kebingungan dan mengerjakan soal secara
asal – asalan dan hasilnyapun sangat rendah
jauh dari KKM. Kajian ini mendukung dari
pendapat Darmawan, Kartawinata dan
Astorina dalam kajiannya tentang Web-
Based Electronic Learning System (WELS).
Perkembangan teknologi
dimanfaatkan dalam dunia pendidikan
sebagai alat bantu pengajar atau pendidik
sebagai sarana pembantu dalam
mempermudah penyampaian materi kepada
peserta didiknya. Menurut Darmawan
(2016) teknologi pendidikan ini masih
tertuju pada upaya melahirkan prosedur –
prosedur pemecahan masalah manusia,
namun salah satu pemecahan tersebut
dewasa ini telah ditemukan, yaitu inovasi
dalam model pembelajaran berbasisi
teknlogi informasi. Salah satu produk
teknologi pendidikan yang dapat
dimanfaatkan untuk memecahhkan
permasalahan dalam pembelajaran adalah
multimedia, yang menurut Hoftsteter
(Rusman dkk:2015) multimedia adalah
pemanfaatan komputer untuk membuat dan
menggabungkan teks, grafik, audio, video
dan animasi dengan menggabungkan link
dan tool yang memungkinkan pemakai
melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi
dan berkomunikasi.
Alternatif lain dalam memecahkan
permasalahan dalam pembelajaran IPA
adalah dengan menerapkan model
pembelajaran untuk menyelesaikan masalah
yang ada di lapangan, yaitu dengan
menggunakan model pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) dan Inquiry Training.
Model pembelajaran yang efektif memiliki
keterkaitan dengan tingkat pemahaman guru
terhadap perkembangan dan kondisi siswa di
kelas. Model ini dapat menjadi penguat dari
prinsip pengembangan simulator
pembelajaran, sebagaimana dijelaskan oleh
Darmawan, D. (2019); (2020) dalam
risetnya tentang Development of ICMLS
Version 2 (Integrated Communication and
Mobile Laboratory Simulator).
Menumbuhkan dan meningkatkan motivasi
dalam belajar serta memberikan kemudahan
bagi siswa mencapai hasil belajar yang lebih
baik.
Pendekatan pemecahan masalah (force
field approach) menurut Meyer (Sapriati:
2018) merupakan suatu pendekatan yang
penting. Oleh sebab itu dalam pemecahan
masalah perlu dilakukan identifikasi daya
pendorong positif yang dapat digunakan dan
identifikasi daya penghambat untuk
diminimalkan pengaruhnya. Menurut Joyce
(2009) model pembelajaran Inquiry Training
dirancang untuk membawa siswa secara
langsung ke dalam proses ilmiah melalui
latihan-latihan yang dapat memadatkan
proses ilmiah tersebut ke dalam periode
waktu yang singkat. PBL menurut Asra
(2007) merupakan model pembelajaran yang
diawali dengan pemberian masalah yang
kemudian dipecahkan dengan aturan-aturan
baru yang tarafnya lebih tinggi. Setiap kali
suatu masalah dapat dipecahkan berarti
mempelajari sesuatu yang baru dan dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang
baru. Belajar akan lebih bermakna jika anak
mengalami apa yang dipelajarinya, bukan
mengetahuinya.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka yang menjadi
masalah dalam penelitian ini adalah : 1)
bagaimana komparasi model Inquiry
Training berbasis multimedia dengan PBL
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
941
pada kemampuan pemecahan masalah IPA?
, 2) bagaimana pada aspek identifikasi
masalah?, 3) bagaimana pada aspek rumusan
masalah?, 4) bagaimana pada aspek
membuat hipotesis?, 5) bagaimana
kemampuan pemecahan masalah IPA aspek
membuat kesimpulan?
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui 1) Komparasi model Inquiry
Training berbasis Multimedia dengan PBL
pada kemampuan pemecahan masalah IPA
2) aspek identifikasi masalah , 3) aspek
rumusan masalah , 4) aspek membuat
hipotesis , 5) aspek membuat kesimpulan .
B. KAJIAN LITERATUR
a. Problem Based Learning (PBL)
Asih& Eka ( 2017) Esensi dari PBL
ini adalah menyajikan suatu masalah yang
sesuai kenyataan dan bermakna kepada
siswa untuk diselidiki secara terbuka dan
ditemukan solusi penyelesiannya.
Sedangkan menurut Moffit (dalam Rusman,
2015), model pembelajaran berbasis
masalah merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar tentang berpfikir kritis
dan keterampilan pemecahan masalah serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensi dari materi pelajaran. Tahapan
perolehan ini harus cepat sebagaimana
dalam kajian Bio-communication dalam
mendukung akselerasi belajara peserta didik
Darmawan, D.,(2012. Pembelajaran melalui
pendekatan PBM merupakan suatu
rangkaian pendekatan kegiatan belajar yang
diharapkan dapat memberdayakan siswa
untuk menjadi seorang individu yang
mandiri dan mampu menghadapi setiap
permasalahan dalam hidupnya dikemudian
hari. Tujuan PBL yang diungkapkan oleh
Trianto (2015) yaitu: a) Membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir dan
keterampilan pemecahan masalah, b) Belajar
peranan orang dewasa yang autentik, c)
Menjadi pembelajar yang mandiri.
b. Inqury Training
Latihan penelitian (Inquiry Training)
dikembangkan oleh Richard Suchman
(Joyce : 2009) untuk mengajarkan kepada
para siswa sebuah proses untuk meneliti dan
menerangkan fenomena yang tidak biasa.
Menurut Joyce (2009) model pembelajaran
Inquiry Training dirancang untuk membawa
siswa secara langsung ke dalam proses
ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat
memadatkan proses ilmiah tersebut ke
dalam periode waktu yang singkat. Hal ini
peneliti arahkan sebagai wujud bentuk
inovasi, walaupun sederhana, sebagaimana
dijelaskan oleh Darmawan, D. (2014).
Dalam kajiannya tentang Inovasi Pendidikan
pendekatan Praktek Multimedia dan
Pembelajaran Online. Tujuannya adalah
membantu siswa mengembangkan disiplin
dan mengembangkan keterampilan
intelektual yang diperlukan untuk
mengajukan pertanyaan dan menemukan
jawabannya.Melalui model pembelajaran ini
siswa diharapkan aktif mengajukan
pertanyaan mengapa sesuatu terjadi
kemudian mencari dan mengumpulkan serta
memproses data secara logis untuk
selanjutnya mengembangkan strategi
intelektual yang dapat digunakan untuk
dapat menemukan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Metode pembelajaran Inquiry
Training (Ishak:2014) didasarkan atas
terjadinya konfrontasi intelektual. Guru
memulainya dengan mengajukan teka-teki
kepada siswa untuk dipecahakan/ diselidiki.
Sebagai bekalnya adalah kemampua analisis
dan sintesis, (Darmawan, et.al, 2017).
c. Mutimedia Pembelajaran
Pengertian multimedia menurut
Rusman dkk (2015) Multimedia adalah
media presentasi dengn menggunakan teks,
audio dan visual sekaligus. Darmawan
(2011) multimedia dipandang sebagai suatu
pemanfaatan “banyak” media yang
digunakan dalam suatu proses interaksi
penyampaian pesan dari sumber pesan
kepada penerima pesan, salah satunya dalam
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
942
konteks pembelajaraan antara guru dan
siswa.
Menurut Darmawan (2011) sebuah
pembelajaran dapat dikatakan menggunakan
multimedia, jika didalamnya memiliki
karakteristik yaitu : a) Content
representation, b) Full color and high
resolution, c) Melalui media elektronik, d)
Tipe pembelajaran yang bervariasi, e)
Respons pembelajaran dan penguatan, f)
Mengembangkan prinsip self evaluation, g)
Dapat digunakan secara klasikal atau
individual. Kelebihan multimedia (Sanjaya
:2011) dapat menggabungkan semua unsur
media, seperti teks, video, animasi, image,
grafik dan sound menjadi satu kesatuan
penyajian, sehingga mengakomodasi sesuai
dengan modalitas belajar siswa. Program ini
dapat mengakomodasi siswa yang memiliki
tipe visual, auditif, maupun kinestetis.
Multimedia ini termasuk ke dalam
klasifikasi pembelajaran e-learning
(Darmawan, D. (2016). Lebih lanjut
dijelaskan oleh Darmawan (2017), bahwa
unsur-unsur pembelajaran tersebut di atas
dapat menjadi kekayaan konten
pembelajaran sebagaimana dijelaskan dalam
kajiannya tentang Architecture Fedena Open
Source ERP” For Educational
Communication.
d. Kemampuan Pemecahan Masalah IPA
Menurut Gagne (Asih& Eka : 2017)
Science should be viewed as a way of
thinking in the pursuit of understanding
nature, as a way of investigating clains
about phenomena, and as a body of
knowledge that has resulted from inquiry.
IPA dipandang sebagai cara penyelidikan
terhadap gejala alam, dan sebagai batang
tubuh pengetahuan yang dihasilkan dari
inkuiri. Menurut Samatowa (2016)
pembelajaran IPA di SD menggunakan
perasaan keingintahuan siswa sebagai titik
awal dalam melaksanakan kegiatan -
kegiatan penyelidikan atau percobaan.
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan untuk
menemukan dan menanamkan pemahaman
konsep-konsep baru dan
mengaplikasikannya untuk memecahkan
masalah-masalah yang ditemui oleh siswa
SD dalam kehidupan sehari-hari.
Pemecahan masalah (Surya : 2016)
merupakan satu strategi kognitif yang
diperlukan dalam kehidupan sehari – hari
termasuk para siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Menurut Sapriati (2018)
keterampilan memecahkan masalah
merupakan keterampilan dasar yang
dikembangkan melalui serangkaian latihan.
Salah satu cara untuk melatih siswa adalah
mengupayakan agar siswa beraksi secara
aktif, mengumpulkan dan menanggapi
pertanyaan, dan mengorganisasikan
informasi yang diperolehnya.
Pemecahan masalah menurut John
Dewey (Surya : 2016) mencakup lima
langkah dasar yang berupa keterampilan
yang dapat diajarkan, yaitu :
1) Pernyataan masalah sebagai refleksi
kesadaran adanya masalah yang
dihadapi
2) Merumuskan masalah sebagai
identifikasi hakikat masalah dan
hambatan yang penting dalam
solusinya
3) Mengembangkan hipotesis, yaitu
mengembangkan satu atau lebih
alternatif solusi yang diusulkan
untuk memcahkan masalah.
4) Menguji hipotesis untuk
menetapkan solusi yang dipandang
paling tepat
5) Memilih hipotesis yang terbaik,
yaitu menetapkan alternatif yang
paling tepat untuk diterapkan
dengan mempertimbangkan
kekuatan dan kelemahannya.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Menurut Darmawan (2013)
pendekatan kuantitatif adalah suatu prooses
menemukan pengetahuan yang
menggunakan data berupa angka sebagai
alat menemukan keterangan mengenai apa
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
943
yang ingin kita ketahui. Bentuk desain
eksperimen yang akan diterapakan dalam
penelitian adalah quasi experimental.
Populasi Gugus VIII Cikedokan Kecamatan
Bayongbong Garut. Dengan menggunakan
Purposiv Sampling maka diambillah dua SD
dari lima yaitu SDN 1 Cikedokan sebayak
19 siswa dan SDN 3 Cikedokan sebayak 27
siswa. Dalam penelitian ini terdapat tiga
variabel yang terdiri dari dua variabel
independen yaitu model inquiry training
berbasis multimedia (x1) dan model problem
based learning (x2) satu variabel
dependen(Y) yaitu kemampuan pemecahan
masalah. Adapun desain penelitiannya
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Desain penelitian
Kelompok Pretes Perlakuan
(X) Postes
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O3 O4
X1 Y1
X2 Y1
D. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Hasil
Untuk mengetahui komparasi model
Inquiry Training berbasis multimedia
dengan PBL pada kemampuan pemecahan
masalah IPA terlebih dahulu menyiapkan
seperangkat RPP agar proses belajar
mengajarnya efektif dan lebih terarahnya
tujuan yang ingin dicapai . Data yang
diperoleh menggunakan tes objektif baik
pretest maupun postest . Lalu dianalisis
dengan uji Independent Sample Test dan uji
Mann Whitney melalui SPSS versi 24.0.
SDN 1 Cikedokan sebagai kelas eksperimen
adalah dan SDN 3 Cikedokan sebagai kelas
kontrol.
Uji sebaran data atau uji normalitas data
dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-
Wilk. Dan nilai yang digunakan sebesar
0,05. Berikut uji homogenitas pretes kelas
ITBM dan PBL.
Uji Homogenitas Pretes Kelas ITBM dan
PBL
Secara ringkas, data hasil uji
homogenitas pretes kelas InquiryTraining
berbasis Multimedia dan PBL dapat dilihat di
bawah ini:
Tabel 4.0
Uji Homogenitas Pretes Kelas ITBM dan
PBL
Test of Homogeneity of Variances
PRE TEST ITBM_PBL
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,053 1 44 ,818
Berdasarkan tabel 4.0 di atas
diperoleh nilai pre test Sig. untuk kelas PBL
dan kelas ITBM yaitu sebesar 0,818. karena
nilai Sig lebih besar . Maka dapat
disimpulkan bahwa varians data pretest
pada siswa kelas ITBM dan siswa kelas PBL
adalah sama atau homogen.
a. Komparasi kemampuan pemecahan
masalah IPA siswa dengan menerapkan
model Inquiry Training berbasis
Multimedia Dan PBL
Tabel 4.1
Uji Normalitas Peningkatan Pemecahan Masalah
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
Gain Pemecahan
Masalah Kelas PBL
.943 27 .147
Gain Pemecahan
Masalah Kelas ITBM
.938 19 .244
Nilai Sig. untuk kelas PBL dan kelas
ITBM yaitu sebesar 0,147 dan 0,244.
Sehingga nilai Sig dari kelas PBL dan kelas
ITBM lebih besar . Maka sebaran data
peningkatan pemecahaman masalah siswa
kelas PBL dan kelas ITBM berdistribusi
normal. Dan pengujian hipotesis uji dua
rata-rata digunakan uji statistik parametrik,
dalam hal ini menggunakan uji Independent
Sample Test. Hasil pengujian disajikan pada
tabel berikut:
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
944
Tabel 4.2
Uji Perbedaan Peningkatan Pemecahan Masalah
Hasil pengujian uji T-Independent
diperoleh nilai Asymp. Sig. (2 tailed)
sebesar 0,001 sehingga nilai Sig. < . Dari
kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terima Ha dan tolak Ho, yang berarti bahwa:
Terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah siswa
dengan menerapkan model Inquiry Training
berbasis multimedia dan model Problem
Based Learning (PBL).
b. aspek identifikasi masalah
Tabel 4.3
Uji Normalitas Peningkatan Identifikasi
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
Peningkatan
Identifikasi Kelas
ITBM
.860 19 .010
Peningkatan
Identifikasi Kelas PLB
.886 27 .006
Nilai Sig. untuk kelas PBL dan kelas
ITBM berturut-turut sebesar 0,006 dan
0,010. Sehingga nilai Sig dari kelas PBL
dan kelas ITBM lebih kecil dari . Kedua
model pembelajaran tidak berdistribusi
normal. Selanjutnya pengujian hipotesis uji
statistik nonparametric menggunakan uji
Mann-Whitney. Tabel 4.4
Uji Perbedaan Peningkatan Identifikasi Masalah
Test Statisticsa
Peningkatan
Identifikasi
Mann-Whitney U 178.000
Wilcoxon W 556.000
Z -1.812
Asymp. Sig. (2-tailed) .070
a. Grouping Variable: Perlakuan
Pada tabel di atas diperoleh nilai
Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,070,
sehingga nilai Sig. > . Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terima
Ho dan tolak Ha, yang berarti bahwa: Tidak
terdapat perbedaan peningkatan identifikasi
masalah siswa dengan menerapkan model
Inquiry Training berbasis multimedia dan
model Problem Based Learning (PBL).
c. aspek rumusan masalah
Tabel 4.5 Uji Normalitas Peningkatan Aspek
Rumusan Masalah
Shapiro-Wilk
Statisti
c Df Sig.
Peningkatan Rumusan
Kelas PBL
.897 27 .012
Peningkatan Rumusan
Kelas ITBM
.942 19 .285
Nilai Sig. untuk kelas PBL dan kelas
ITBM berturut-turut sebesar 0,012 dan
0,285 sehingga nilai Sig dari kelas PBL
lebih kecil dari . Sedangkan nilai Sig. dari
kelas ITBM lebih besar dari α. Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebaran
data peningkatan rumusan masalah siswa
kelas PBL tidak berdistribusi normal dan
kelas ITBM berdistribusi normal. Tabel 4.6
Uji Perbedaan Peningkatan Aspek
rumusan masalah
Test Statisticsa
Peningkatan
Rumusan
Mann-Whitney U 194.500
Wilcoxon W 572.500
Z -1.403
Asymp. Sig. (2-tailed) .160
a. Grouping Variable: Perlakuan
Pada tabel di atas diperoleh nilai
Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,160,
sehingga nilai Sig. > . Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terima H0
dan tolak Ha, yang berarti bahwa: Tidak
terdapat perbedaan peningkatan aspek
rumusan masalah siswa dengan menerapkan
model Inquiry Training berbasis multimedia
dan model Problem Based Learning (PBL).
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Peningkata
n
Kemampu
an
Pemecahan
Masalah
Equal
variances
assumed
44 .001 -.22526
Equal
variances
not
assumed
40.39
8
.001 -.22526
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
945
d. aspek membuat hipotesis
Tabel 4.7
Uji Normalitas Peningkatan Aspek Hipotesis
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
Peningkatan Hipotesis
Kelas PBL
.806 27 .000
Peningkatan Hipotesis
Kelas ITBM
.928 19 .161
Nilai Sig. untuk kelas PBL dan kelas
ITBM berturut-turut sebesar 0,000 dan
0,161 sehingga nilai Sig dari kelas PBL
lebih kecil dari , sedangkan nilai Sig.
kelas ITBM lebih besar dari α. Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebaran
data peningkatan hipotesis siswa kelas PBL
tidak berdistribusi normal dan kelas ITBM
berdistribusi normal.
Tabel 4.8
Uji Perbedaan Peningkatan Aspek Hipotesis
Test Statisticsa
Peningkatan
Hipotesis
Mann-Whitney U 148.000
Wilcoxon W 526.000
Z -2.472
Asymp. Sig. (2-tailed) .013
a. Grouping Variable: Perlakuan
Pada tabel di atas diperoleh nilai
Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,013,
sehingga nilai Sig. < . Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terima
Ha dan tolak Ho, yang berarti bahwa:
Terdapat perbedaan peningkatan aspek
hipotesis siswa dengan menerapkan model
Inquiry Training berbasis multimedia dan
model Problem Based Learning (PBL).
f. aspek membuat kesimpulan
Tabel 4.9
Uji Normalitas Peningkatan Aspek Kesimpulan
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
Peningkatan
Kesimpulan Kelas PBL
.881 27 .005
Peningkatan
Kesimpulan Kelas
ITBM
.923 19 .127
Nilai Sig. untuk kelas PBL dan kelas
ITBM berturut-turut sebesar 0,005 dan
0,127 sehingga nilai Sig dari kelas PBL
lebih kecil dari α sedangkan nilai Sig. dari
kelas ITBM lebih besar dari . Dari kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebaran
data peningkatan kesimpulan siswa kelas
PBL tidak berdistribusi normal dan kelas
ITBM berdistribusi normal. Tabel 4.10
Uji Perbedaan Peningkatan Aspek Kesimpulan
Test Statisticsa
Peningkatan
Kesimpulan
Mann-Whitney U 154.500
Wilcoxon W 532.500
Z -2.323
Asymp. Sig. (2-tailed) .020
a. Grouping Variable: Perlakuan
Pada tabel di atas diperoleh nilai
Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,020sehingga
nilai Sig. < . Dari kondisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa terima Ha dan tolak Ho,
yang berarti bahwa: Terdapat perbedaan
peningkatan aspek kesimpulan siswa dengan
menerapkan model Inquiry Training
berbasis multimedia dan model Problem
Based Learning (PBL).
2. Pembahasan
1. Perbedaan kemampuan pemecahan
masalah IPA siswa dengan menerapkan
model Inquiry Training berbasis multimedia
dan PBL .
Dari hasil pengujian statistik,
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah IPA siswa
yang menerapkan model Inquiry Training
berbasis multimedia dengan PBL.
Penggunaan pemecahan masalah memang
tidaklah mudah,harus disesuaikan dengan
tingkat kemampuan siswa. Pendekatan yang
dipakai bersifat konstruktivisme dimana
siswa harus bisa membangun
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
946
pengetahuannya dari informasi yang
diperoleh melalui pancaindra dan juga
sumber – sember lainnya. Juga tak lupa
bimbingan guru untuk selalu membimbing
siswanya dalam memfasilitasi belajar
kemampuan pemecahan masalah dalam
proses pembelajaran.
Menurut Tan (Rusman :2016)
mengemukakan bahwa pembelajaran
berbasis masalah merupakan penggunaan
berbagai macam kecerdasan yang diperlukan
untuk melakukan konfrontasi terhadap
tantangan dunia nyata, kemampuan untuk
menghadapi segala sesuatu yang baru dan
kompleksitas yang ada. Penggunaan
berbagai macam kecerdasan yang diperlukan
ternyata “berbeda” hal ini tergambar jelas
dengan realita di lapangan saat proses
belajar berlangsung beberapa siswa tampak
kesusahan dan kesulitan dalam menangkap
dan merespon informasi yang diberikan.
Menurut Abbudin (2011) kekurangan PBL
antara lain:
a) Sering terjadi kesulitan dalam
menemukan permasalahan yang
sesuai dengan tingkat berpikir
siswa. Hal ini dapat terjadi karena
adanya perbedaan tingkat
kemampuan berpikir pada para
siswa.
b) Sering memerlukan waktu yang
lebih banyak dibandingkan dengan
penggunaan metode konvensional.
c) Sering mengalami kesulitan dalam
perubahan kebiasaan belajar dari
yang semula belajar mendengar,
mencatat dan menghafal informasi
yang disampaikan guru, menjadi
belajar dengan cara mencari data,
menganalisis, menyusun hipotesis,
dan memecahkannya sendiri.
Peningkatan kemampuan pemecahan
masalah pada pembelajaran Inquiry
Training berbasis multimedia. Merujuk dari
Joyce (2009) model pembelajaran Inquiry
Training dirancang untuk membawa siswa
secara langsung ke dalam proses ilmiah
melalui latihan-latihan yang dapat
memadatkan proses ilmiah tersebut ke
dalam periode waktu yang singkat.
Berdasarkan penelitian adanya kemudahan
siswa dalam merespon dan memahami
informasi yang disajikan. Menurut Kardi
(dalam Trianto:2014) Inquiry Training
mempunyai dua kelebihan, yaitu:
a) Penelitian dapat diselesaikan dalam
waktu satu periode pertemuan.
Waktu yang singkat ini
memungkinkan siswa dapat
mengalami siklus inkuiri dengan
cepat, dan dengan pelatihan mereka
akan terampil melakukan inkuiri.
b) Lebih efektif dalam semua bidang di
dalam kurikulum.
Kemudahan dalam belajar ilmiah
Inquiry Training memberikan hasil yang
berbeda dengan kelas kontrol. Selain
ketertarikan siswa dalam belajar juga
penunjang multimedia yang memeberikan
dampak yang luar biasa terhadap mental
siswa. Karena Penggunaan media dapat
menambah motivasi belajar siswa sehingga
perhatian siswa terhadap materi
pembelajaran dapat lebih meningkat. Hal
tersebut dikarenakan multimedia
memadukan berbagai jenis media, seperti
animasi. Animasi dalam multimedia dapat
membantu proses kognitif siswa. Selain itu,
multimedia dapat mengatasi keberagaman
gaya. Dan modalitas belajar siswa, yaitu tipe
visual, auditif dan kinestetik. Tipe dan gaya
belajar tersebut dapat diatasi dengan
multimedia yang di dalamnya mengandung
unsur audio dan visual (Dina Indriana,
2011).
2. aspek Identifikasi masalah
Identifikasi masalah merupakan
tahapan awal dalam metode ilmiah. Carin
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
947
(Sapriati:2018) mengemukakan bahwa
observasi adalah menjadi dasar akan suatu
objek atau kejadian dengan menggunakan
segenap pancaindera (atau alat bnatu dari
pancaindera) untuk mengidentifikasi sifat
dan karakteristik. Observasi yang
terorganisasi merupakan dasar bagi
penyelidikan yang lebih terarah. Kegiatan
mengamati merupakan keterampilan dasar
yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam
melakukan penyelidikan ilmiah (the basic of
all scientific inquiry is observation) . Jika
siswa sudah mampu mengidentifikasi suatu
objek atau kejadian maka siswa tersebut
telah menggunakan inderanya dengan baik
dan teliti. Kegiatan identifikasi tidak hanya
melakukan kegiatan fisik tetapi harus
ditunjang dengan kegiatan mentalnya.
Berdasarkan hasil pengujian statistik,
menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan identifikasi masalah siswa yang
menerapkan model Inquiry Training
berbasis multimedia dengan PBL
dikarenakan kemampuan siswa dalam
mengobservasi dan mengamati dengan
pancaindra mudah dikuasai oleh kedua
model tersebut. Anak – anak akan lebih
mudah memahami konsep – konsep yang
rumit dan abstrak jika disertai contoh
konkret, contoh yang sesuai situasi dan
kondisi yang dihadapi, dengan
mempraktikkan sendiri upaya penemuan
konsep melalui kegiatan fisik dan mental.
Siswa kelas 5 SD telah memahami
fase perkembangan operasional konkret.
Artinya suatu perkembangan kognitif yang
menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki
kemampuan berpikir tinggi atau berpikir
ilmiah. Kemampuan siswa dalam
identifikasi masalah berhungan dengan
kegiatan pancainderanya yang ditunjang
dengan media. Fungsi dan peran dari media
(Sanjaya:2011) yaitu:
a) Menangkap suatu objek atau
peristiwa – peristiwa tertentu
b) Memanipulasi keadaan, peristiwa,
atau objek tertentu
c) Menambah gairah dan motivasi
belajar siswa
d) Media pembelajaran memiliki nilai
praktis seperti media dapat
mengatasi keterbatasan pengalaman
yang dimiliki siswa, dapat mengatasi
batas ruang kelas,dapat memberikan
pengalaman yang menyeluruh dari
hal – hal yang konkret sampai yang
abstrak, dll.
Penjelasan di atas sudah sangat jelas
bahwa pentingnya peran dan fungsi media
dalam pembelajaran terutama pada aspek
identifikasi masalah memberikan kontribusi
yang positif. Dengan multimedia yang sudah
dirancang dan dipersiapkan akan
memberikan memudahkan pada siswa dalam
proses identifikasi masalah dan
menyamakan objek permasalahan yang
dimaksud. Sehingga informasi yang didapat
tidak kabur.
3. Aspek merumuskan masalah.
Menurut Amir (2015) merumuskan
masalah merupakan fenomena yang ada
dalam masalah menuntut penjelasan
hubungan- hubungan apa yang terjadi di
antara fenomena itu. Hal ini menegaskan
bahwa untuk membuat rumusan masalah
siswa harus mampu membuat hubungan –
hubungan yang terjadi dari suatu masalah .
Untuk mencapai hal itu maka siswa harus
menggunakan pikirannya agar proses
tersebut hasilnya tepat.
Melalui identifikasi masalah maka
siswa sudah dapat menemukan adanya
masalah. Untuk membuat pertanyaan yang
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
948
tepat maka siswa dituntut untuk
mengidentifikasi objek secara benar.
Pengembangan sikap ilmiah pada siswa
kelas tinggi di Sekolah Dasar dapat
dilakukan dengan cara menciptakan
pembelajaran yang memungkinkan siswa
berani berargumentasi dan mengajukan
pertanyaan - pertanyaan, mendorong siswa
supaya memiliki rasa ingin mengetahui,
memiliki sikap jujur terhadap dirinya dan
orang lain.
Kegiatan ilmiah tidak terlepas dari
kegiatan perkembangan teknologi.
Pemanfaatan teknologi mempunyai peran
penting terhadap keberhasilan siswa dalam
mengolah kognitifnya. Media audio visual
yang disajikan sangat membantu siswa
dalam memenuhi kebutuhan belajarnya.
Karena kebutuhan tiap siswa dalam belajar
itu berbeda. Maka dengan adanya teknologi
dapat mengantarkan keseragaman persepsi .
Apalagi didukung dengan animasi yang
memberikan penyegaran dalam belajar di
kelas.
Tidak terdapatnya perbedaan
kemampuan dalam rumusan masalah siswa
dengan menerapkan model Inquiry Training
berbasis multimedia dan model Problem
Based Learning (PBL) dikarenakan
dikuasainya kemampuan siswa dalam
identifikasi masalah memberikan
kemudahan dalam merumuskan masalah.
Penguasan rumusan masalah pada
konfrontasi kognitif merupakan kesiapan
siswa menuju tahapan selanjutnya dalam
metode ilmiah.
4. Aspek membuat hipotesis.
Menurut Sapriati (2018) hipotesis
adalah prediksi yang sangat khusus. Melalui
kegiatan hipotesis ini berarti kegiatan
berpikir siswa sudah meningkat. Karena
siswa diharuskan mencari jawaban
sementara walaupun masih bersifat mengira
–ngira. Untuk mendapat jawaban yang benar
maka siswa harus melakukan penelitian
lebih lanjut yaitu berupa pengumpulan dan
mengolah data. Pengembangan kognitif ini
harus didukung dengan motivasi belajar
yang tinggi.
Dari hasil pengujian statistik,
menunjukkan bahwa peningkatan aspek
hipotesis siswa yang dalam pembelajarannya
menggunakan ITBM nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan peserta didik yang
pembelajarannya menggunakan PBL, hal ini
dikarenakan kemampuan atau potensi siswa
untuk berpikir dalam menebak atau mengira
– ngira (berhipotesis) dari suatu
permasalahan. Manakala siswa dapat
membuktikan tebakannya, maka ia akan
sampai pada posisi yang mendorong untuk
berpikir lebih lanjut. Juga faktor multimedia
yang digunakan. Penggunaan multimedia
pada model Inquiry Training mampu
membuat siswa lebih paham dalam proses
penerimaan informasi. Sehingga dapat
meningkatkan mutu pembelajaran yang
disampaikan. Menurut Winn (Sapriati
:2018) fungsi media antara lain:
a) Menyampaikan pembelajaran,
dimana media digunakan untuk
menyampaikan materi pembelajaran
tertentu
b) Konstruksi dari lingkungan, di mana
media membantu siswa menggali
dan membangun pemahaman dari
pengetahuan.
c) Mengembangkan keterampilan
kognitif ,dimana media dignakan
sebagai model, kreasi atau
pengembangan dari keterampilan
mental.
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
949
Penggunaan multimedia pada model
Inquiry Training dengan hasil yang lebih
baik tentu sependapat dengan pernyataan
Winn di atas. Bahwa media dapat
mengembangkan keterampilan kognitif
dengan media maka kebutuhan siswa dalam
gaya belajar dapat terpenuhi.
5. Aspek membuat kesimpulan.
Menurut Sanjaya (2011) merumuskan
kesimpulan adalah proses mendeskripsiksn
temuan yang diperoleh berdasarkan hasil
pengujian hipotesis. Dapat dipahami bahwa
untuk dapat menarik kesimpulan seseorang
harus mampu dalam pengujian hipotesis.
Menyimpulkan berarti pula memberikan
keyakinan kepada siswa tentang kebenaran
suatu paparan. Kegiatan menyimpulkan
akan memberikan keyakinan kepada siswa
apa yang diobservai oleh panca indranya dan
dilanjutkan dengan kegiatan penelitian maka
siswa dapat membuat kebenaran dari
kejadian ataupun masalah yang dihadapinya.
Tahapan pada pemecahan masalah harus
kita lewati dengan baik agar hasilnya pun
memuaskan dengan kata lain kesimpulan
yang kita buat valid dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Dari hasil pengujian statistik,
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan siswa dalam membuat
kesimpulan antara siswa yang menerapkan
model Inquiry Training berbasis multimedia
dengan PBL . Saat penelitian terlihat pada
siswa PBL walaupun pembelajaran dengan
menyuguhkan permasalahan tetapi siswa
kurang fokus dalam memberikan apresiasi
kognitif terutama pada saat proses
pembelajaran. Keadaan ini berbanding
terbalik dengan siswa ITBM yang mana
proses pembelajaran Inquiry Training ini
sulit dan tidaklah mudah tapi antusias dan
respon siswa terhadap penerimaan informasi
lebih baik. Serta dukungan multimedia yang
memberikan penguatan terhadap aspek
kognitif maka siswa yang mendapat
perlakuan ITBM mampu berada diatas
model PBL.
E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas , maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil penelitian
Komparasi model Inquiry Training
berbasis multimedia lebih baik dari
model Problem Based Learning
(PBL) pada kemampuan pemecahan
masalah IPA.
2. Dua yang diterima dari lima
hipotesis hanya yaitu tidak terdapat
perbedaan pada kemampuan
pemecahan pada aspek identifikasi
masalah dan aspek rumusan masalah
siswa dengan menerapkan model
inquary training berbasis multimedia
dan model problem based learning
(PBL) .
3. Tiga hipotesis yang ditolak yaitu
terdapat perdedaan kemampuan
pemecahan masalah siswa dengan
menerapkan model Inquiry Training
berbasis Multimedia dengan PBL,
aspek membuat hipotesis dan aspek
membuat kesimpulan. Hal ini
mengindikasikan terdapatnya
komparasi model inquary training
berbasis multimedia dengan PBL
pada kemampuan pemecahan
masalah IPA.
b. Rekomendasi
Peneliti mengajukan rekomendasi
sebagai berikut.
1. Menggunakan model pembelajaran
yang menggunakan kegiatan ilmiah
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
950
salah satunya yaitu model
pembelajaran Inquiry Training agar
siswa tidak kaku dan tidak
kebingungan ketika berhadapan
dengan kegiatan pembelajaran
ilmiah. Sehingga proses belajar
lancar dan hasil belajarnyapun
meningkat.
2. Menggunakan model pembelajaran
yang bersifat kegiatan kognitif salah
satunya model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL),
dengan seringnya digunakan maka
proses belajar berdasarkan masalah
membuat siswa akan terbiasa
dihadapi dengan “masalah” .
Sehingga siswa tidak merasa
kesulitan dan juga tidak merasa
bosan dalam memperoleh informasi
3. Menggunakan multimedia dalam
pembelajaran dapat menambah
motivasi belajar siswa sehingga
perhatian siswa terhadap materi
pembelajaran dapat lebih optimal.
4. Menyediakan fasilitas sarana dan
prasarana multimedia pembelajaran
secara memadai, untuk mendukung
terwujudnya mutu proses dan hasil
pembelajaran yang optimal.
E. REFERENSI
Al-Tabany, Trianto . (2015). Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif, Progresif,
dan Kontekstual. Jakarta : Kencana.
Abuddin,N.(2011). Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana
Amir (2015). Inovasi Pendidikan melalui
PBL. Jakarta :PT.Adhitya Anrebina
Agung.
Asih & Eka.(2017). Metodologi
Pembelajaran IPA . Jakarta :Bumi Aksara
Asra, S. (2007). Metode Pembelajaran.
Bandung : CV. Wacana Prima.
Darmawan, D. (2016). Pengembangan E-
Learning: Teori dan Desain. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Darmawan, D. (2017). Architecture Fedena
Open Source ERP” For Educational
Communication. Germany: Lambert
Academic Publishing Germany.
Darmawan, D. (2014). Inovasi Pendidikan
pendekatan Praktek Multimedia dan
Pembelajaran Online. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Darmawan, D. (2014). Teknologi
Pembelajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Darmawan, D.(2013). Metode Penelitian
Kuantitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Darmawan, D. (2013). Pendidikan
Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Darmawan, D et al .(2019). ICMLS version
3.0 as a prototype of bio-
communication model for
revolutionary human numerical
competences on vocational education
practices. J. Phys.: Conf. Ser. 1402
077073.
Darmawan, D., et al .(2019). Development
of Automatic System ICMLS 2.0 for
Improving Educational Technology
Competences in Industrial Revolution
4.0. (2019). ICDTE 2019: Proceedings
of the 2019 The 3rd International
Conference on Digital Technology in
Education October 2019 Pages 241–
245
https://doi.org/10.1145/3369199.33
69234
Darmawan, D. (2020). Development of
ICMLS Version 2 (Integrated
Communication and Mobile
Laboratory Simulator) To Improve 4.0
Century Industry Skills in Vocational
Schools. International Journal:
Interactive Mobile Technologies.
Vol.14, No.8, 2020. p. 97-113.
https://doi.org/10.3991/ijim.
v14i08.12625
Darmawan, D., Ruyadi, Y., Abdu, W.J.,
Hufad, A., (2017). Efforts to Know the
Rate at which Students Analyze and
Synthesize Information in Science and
Social Science Disciplines: A
JTEP-Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 5, Nomor 1, Februari 2020
951
Multidisciplinary Bio-Communication
Study, OnLine Journal of Biological
Sciences, Volume 17, Number 3
(2017) pp 226-231.
Darmawan, D., Harahap, E. (2016).
Communication Strategy For
Enhancing Quality of Graduates
Nonformal Education Through
Computer Based Test (CBT) in West
Java Indonesia, International Journal
of Applied Engineering Research,
Volume 11, Number 15 (2016) pp
8641-8645.
Darmawan, D., Kartawinata, H., Astorina,
W. (2017). Development of Web-
Based Electronic Learning System
(WELS) in Improving the
Effectiveness of the Study at
Vocational High School “Dharma
Nusantara. Journal of Computer
Science 2018, 14 (4): 562.573. DOI:
10.3844/jcssp.2018. 562.573.
Darmawan, D.,(2012). Biological
Communication Behavior through
Information Technology
Implementation in Learning
Accelerated. Int. J. Communications,
Network and System Sciences, 2012, 5,
454-
462http://dx.doi.org/10.4236/ijcns.
2012.58056.
Darmawan, D. (2012). Biological
Communication Through ICT
Implementation: New Paradigm in
Communication and Information
Techn ology for Accelerated Learning.
Germany: Lambert Academic
Publishing Germany.
Hayati & Retno. 2013. Efek Model
Pembelajaran Inquiry Training
Berbasis Multimedia dan Motivasi
terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa.
Medan: Tesis pascasarjana UNIMED
prodi Dikfis. (diakses 2 oktober 2019)
Indriana,D. (2011). Ragam Alat Bantu
Media Pengajaran. Jogjakarta: Diva
Perss.
Ischak (2014). Pendidikan IPS di SD.
Jakarta :UT
Joyce, B.& Weil, M. (2009). Models of
Teaching. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rusman. (2016). Model-model
Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rusman,Kurniawan,D & Riyana,C (2015).
Pembelajaran Berbasis Teknologi
Informasi dan Komunikasi. Jakarta :
PT. RajaGrafindo.
Samatowa, U. (2016). Pembelajaran IPA di
Sekolah Dasar. Jakarta: PT indeks.
Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Prenada Media
Group
--------------------. (2011). Perencanaan dan
Desain Sistem pembelajaran. Jakarta:
Kencana.
Sapriati, A, (2018), Pembelajaran IPA di
SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Surya,M.(2016). Srategi Kongnitif.
Bandung: Alpabeta