konsep pendidikan tauhid dalam keluarga (studi...
TRANSCRIPT
i
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID DALAM KELUARGA
(STUDI TERHADAP SURAT AL- IKHLAS MENURUT TAFSIR
AL-MISHBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Disusun Oleh :
Tri Zunaenah
114-13-001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
ii
iii
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID DALAM KELUARGA
(STUDI TERHADAP SURAT AL- IKHLAS MENURUT TAFSIR
AL-MISHBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Disusun Oleh :
Tri Zunaenah
114-13-001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
iv
Dr. M. Gufron, M.Ag
DOSEN IAIN SALATIGA
Persetujuan Pembimbing
Lamp : 4 Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
Tri Zunaenah
Kepada :
Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga
di tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : TRI ZUNAENAH
NIM : 114 13 001
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul : KONSEP PENDIDIKAN TAUHID DALAM
KELUARGA
(STUDI TERHADAP SURAT AL-IKHLAS
MENURUT TAFSIR AL MISHBAH KARYA M.
QURAISH SHIHAB)
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera
dimunaqasahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 27 Maret 2018
Pembimbing
Dr. M. Gufron, M.Ag
NIP. 19720814200312 1 001
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DAN
KESEDIAAN DI PUBLIKASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : TRI ZUNAENAH
NIM : 114-13-001
Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan hasil jiplakan atau karya tulis orang lain. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah. Skirpsi ini diperbolehkan untuk di Publikasikan oleh
Perpustakaan IAIN Salatiga.
Salatiga, 22 Maret 2018
vii
MOTTO
“Setiap perjuangan pasti ada ujian dan
cobaannya,maka jalani dan lakukan dengan ikhlas
serta lillahita’ala untuk mencari berkah dari-Nya”
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya, skripsi ini
penulis persembahkan kepada:
1. Suamiku tercinta ( Muhammad Sayaful Choliq ) yang selalu menemani,
mendukung dan membimbingku
2. Ayahku tercinta (Muslimin) dan Ibuku tersayang (Ngatmi) sebagai wujud
baktiku kepadanya, yang telah bersusah payah membesarkanku,
memberikan dukungan ,mendo’akanku serta membiayai kebutuhanku
hingga aku lulus S1.
3. Ayah Mertuaku ( Ahmad Munir, Al-Hafidz ) dan Ibu Mertuaku ( Siti
Haniah ) yang telah mendoakan serta support dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Anakku tercinta ( Ahwalul Kautsar Muhammad ) yang menjadi
semangatku untuk menyelesaikan skripsi ini
5. Taman-temanku Pendidik PAUD SBB Pelangi Nusantara 04 yang selalu
memberikan kesempatan untuk saya menuntut ilmu di IAIN Salatiga
6. Teman – teman seperjuangan PAI Ekstensi angkatan 2013.
7. Saudara seiman dan setakwa yang telah member do’a agar mendapat ilmu
yang bermanfaat
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan rahmat, taufik serta hidayah
Nya skripsi dengan judul Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga (Studi
Terhadap Surat Al-Ikhlas menurut Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab)
bisa selesai.
Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepangkuan baginda Nabi
Muhammad SAW, semoga beliau senantiasa dirahmati Allah.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan, motivasi, dan
bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini selesai. Oleh karena itu, penulis
sampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Suwardi, M.Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Dr. M. Gufron, M.Ag selaku pembimbing yang telah membimbing,
memberi motivasi dan meluangkan waktunya dalam penulisan skripsi
ini.
5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu, bagian
akademik dan staf perpustakaan yang telah memberikan layanan serta
bantuan kepada penulis.
Atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis mengucapkan
terimakasih. Semoga amal yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak
kekurangan baik dalam hal isi maupun metodologis. Kritik serta saran yang
membangun penulis harapkan bagi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan
datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca yang budiman. Amin.
Salatiga, 9 Maret 2018
Penulis
x
ABSTRAK
Zunaenah, Tri. 2018. Konsep Pendidikan Tauhid ( Studi Terhadap Surat
Al-Ikhlas . Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Dr. M. Gufron, M.Ag.
Kata Kunci: Konsep Pendidikan Tauhid, Al-Ikhlas
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kajian QS. Al-Ikhlas menurut
pendapat M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah kaitannya dengan
penanaman pendidikan tauhid dalam keluarga.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research),
sedangkan dalam pengumpulan datanya menggunakan metode dokumetasi
(documentation research methode),analisis data yang digunakan dalam skripsi ini
adalah pendekatan deduktif dan induktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: 1. M. Quraish Shihab merupakan
salah satu ulama tafsir di Indonesia. Beliau lahir di Lotassalo, Rappang, kabupaten
Sidenreng Rappang ( Sidrap ), Sulawesi Selatan pada hari Rabu, 16 Februari
1944, bertepatan dengan 22 Safar 1363 H. Quraish Shihab pernah menjadi santri
di al-Faqihiyah, Malang. Guru M.Quraish Shihab adalah Habib Abdul Qadir Bil
Faqih. Salah satu karya nya yaitu Tafsir al-Mishbah yang akan digunakan penulis
dalam skripsi ini. 2. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas terdapat konsep pendidikan
aqidah bahwasanya Dia adalah Maha Tunggal, tidak ada yang menyertai dalam
kesucian-Nya. Menurut Tafsir AL-Mishbah keesaan Allah dibagi menjadi empat
yaitu: keesaan zat, keesaan sifat, keesaan dalam perbuatan dan keesaan beribadah
kepada-Nya. Dan 4 keesaan Allah ada kaitannya dengan teori Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Keesaan zat memiliki makna sama
dengan Tauhid Rububiyah, keesaan perbuatan dan keesaan beribadah kepada-Nya
memiliki makna sama dengan Tauhid Uluhiyah, kemudian Asma’ wa Sifat
memiliki makna sama dengan keesaan sifat Allah. 3. Orang tua adalah unsur
utama bagi tegaknya tauhid dan nilai-nilai Islami dalam keluarga. Sejak dalam
kandungan orang tua sudah harus mengenalkan dan mengajarkan ketauhidan
kepada anak. Dengan bekal tauhid inilah anak akan berkembang sesuai batasan-
batasan yang telah ditetapkan. Agar menjadi manusia muslim yang benar-benar
meyakini keesaan Allah dan dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang ada demi
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Metode yang dapat diterapkan dalam
keluarga muslim metode pembiasaan, metode keteladanan, metode hukuman dan
metode ganjaran.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
GAMBAR BERLOGO
JUDUL……………………………………………………………………. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………….... iv
PENGESAHAN KELULUSAN………………………………………….. v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………………………………… vi
MOTTO……..……...……………...……………………………………… vii
PERSEMBAHAN…………...……..……………………………………... viii
KATA PENGANTAR ...….……………………………………………… ix
ABSTRAK……..………………………………………………………… x
DAFTAR ISI..…………………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………….…………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………… 9
C. Tujuan Penelitian……….…………………………… 9
D. Kegunaan Penelitian………………………………… 9
E. Metode Penelitian…………………………………… 10
F. Kajian Pustaka………………………………………. 12
G. Penjelasan Istilah….………………………………… 13
H. Sistematika Penulisan…..…………………………… 15
BAB II BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB
A. Riwayat M. Quraish Shihab…………………………. 16
1. Riwayat Keluarga…..……………………………. 16
2. Riwayat Pendidikan...……………………………. 17
3. Pengabdian M. Quraish Shihab…….……………. 18
4. Karya M. Quraish Shihab…..……………………. 18
B. Sistematika Penulisan Tafsir Al-Mishbah …………… 20
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Mishbah …… 20
2. Gambaran Umum Tafsir Al-Mishbah……………. 20
xii
3. Metode Tafsir Al-Mishbah…..…………………… 21
4. Corak Tafsir Al-Mishbah…….…………………… 21
BAB III KONSEP PENDIDIKAN TAUHID
A. Pengertian Pendidikan Islam…………………………. 23
B. Dasar Pendidikan Islam……………………………..... 25
C. Tujuan Pendidikan Islam……………………….…….. 27
D. Pengertian Tauhid…………………………………….. 28
1. Tauhid Rububiyah………………………………… 29
2. Tauhid Uluhiyah………………………………….. 31
3. Tauhid Asma wa Sifat……………………………. 32
E. Asbabun Nuzul surat Al-Ikhlas………………………. 32
F. Konsep Tauhid dalam surat Al-Ikhlas………………... 35
G. Konsep Tauhid Menurut Tafsir Al-Mishbah………..... 35
BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN TAUHID DENGAN KEHIDUPAN
SEKARANG SESUAI SURAT AL-IKHLAS
A. Analisis Data…………....…………………………….. 45
1. Analisis metode menanamkan dan menumbuhkan
pendidikan Tauhid dalam keluarga
muslim……..……………………........................... 45
2. Konsep Tauhid sesuai tafsir Al-Mishbah…………. 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………… 53
B. Saran ………………………………………………….. 55
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu kegiatan manusia yang terjadi disetiap proses
kehidupan, pendidikan bukan hanya terjadi di lingkungan formal atau lembaga
pendidikan saja. Pendidikan adalah “Handayani” seperti yang dikemukakan oleh
Ki Muhammad Said R. yang memiliki arti “Memberi Pengaruh”. Pendidikan
kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang mampu
mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya. Sikap-sikap dan
bentuk perilaku yang bersifat positif dimasyarakat tempat individu yang
bersangkutan berada (Dr. M. Sukardjo,2009:9).
Dapat dikatakan bahwa pendidikan sudah ada sejak manusia diciptakan.
Terbukti dalam Q.S Al-Baqarah ayat 31-32 :
ونى بأسمآء ئكة فقال أنبـ وعلم ءادم السمآء كلها ثم ع رضهم على المل
دقين ١٣ ؤلء إن كنتم ص ه
نك ل علم لنآ إل ما علمتنآ إنك أنت العليم الحكيم ١٣ قالوا سبح
Artinya : “Dan Allah ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemuadian Allah perlihatkan kepada para
malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama
semua (benda) ini jika kamu benar!.” 31
“Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui,
Mahabijaksana”. 32
Dimana Allah telah mengajarkan kepada Adam semua nama-nama yang
oleh para malaikat belum pernah dikenalkan. Dengan berkembangnya zaman kini
pendidikan mulai mengalami kemajuan, hal yang perlu diperhatikan adalah
lingkungan dimana pertama kali seseorang itu mendapat pendidikan. Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan yang pertama kali diperoleh adalah dari
lingkungan tempat ia dilahirkan yaitu keluarga.
2
Agama Islam mengajarkan bahwasanya seluruh alam ini, Tuhanlah yang
telah menjadikan, menguasai dan mengawasinya. Bahwasanya Dia adalah Maha
Tunggal, tidak ada yang menyertai dalam kesucian-Nya. Seseorang dikatakan
telah memeluk Islam, apabila ia telah bersyahadat dengan sepenuh keimanan atas
ke-Esaan Allah SWT bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Kedua
kepercayaan ini tersimpul dalam kalimat laailaahaillallah
muhammadurrasulullah (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah). Bagian pertama kalimat ini memberikan konsep tauhid, dan bagian
kedua adalah kesaksian atas kerasulan Muhammad SAW.
Kadar keimanan seseorang mempengaruhi seseorang dalam pergaulannya
sehari-hari. Kadar ketauhidan seseorang juga sangat berkaitan dengan besarnya
adab dan akhlak yang dia miliki. Akidah dan agama merupakan suatu keyakinan
yang harus ditanamkan kepada anak. Akidah adalah keimanan yang menjadi
landasan seseorang menjadi yakin dalam beragama.
Oleh karena itu tampak jelas sekali hikmahnya, mengapa iman dijadikan
sebagai prinsip umum dan kekal abadi. Juga mengapa Allah tidak pernah
membiarkan suatu generasi atau suatu umat dalam keadaan kosong tanpa
mengutus seorang rasul kepada mereka untuk mengajak mereka kepada iman ini
dan memperdalam akar-akar aqidah ini di dalam hati mereka (Sayyid Sabbiq,
2008 : 8).
Batu fondasi keimanan Islam adalah Tauhid (keesaan Allah). Pada konsep
ini bermuara semua pandangan dunia dan strateginya. Segala sesuatu yang lain
secara logika bermuara dari sini. Tauhid mengandung arti bahwa alam semesta
didesain dan diciptakan dengan sadar oleh Allah SWT yang bersifat esa dan unik.
Dan ia tidak terjadi karena kebetulan atau eksiden. Tujuan inilah yang akan
memberikan arti dan signifikan bagi eksisitensi jagat raya, dimana manusia
merupakan salah satu bagiannya. Sesudah menciptakan jagat raya ini, Allah tidak
pensiun. Ia aktif terlibat dalam segala urusannya dan ia selalu waspada dan
melihat kejadian yang paling kecil sekalipun.
3
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون
٣٣
ماء ماء ماء بناء وأنزل من الس الذي جعل لكم الرض فراشا والس
أندادا وأنتم تعلمون ٣٣ فأخرج به من الثمرات رزقا لكم فال تجعلوا لل
Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 21-22).
Umumnya dakwah dan seruan iman ini datang sesudah hati nurani
manusia mengalami kerusakan, dan sesudah semua nilai luhur hancur. Dan
tampak bahwa manusia sangat memerlukan datangnya mu’jizat yang dapat
mengembalikannya kepada fitrahnya yang sehat agar memiliki kelayakan untuk
memakmurkan bumi dan mampu mengemban amanah kehidupan (Sayyid Sabbiq,
2008 : 9).
Sekedar percaya akan wujud Allah belumlah cukup untuk menjadikan
sempurna keislaman seseorang, yang paling utama di dalam hubungan makhluk
dengan Allah ialah kepatuhan yang bulat hanya kepada-Nya. Inilah intisari
sesungguhnya dari ajaran Islam, yaitu mentauhidkan atau mengesakan Allah.
Tauhid akan membuat jiwa tentram dan menyelamatkan manusia dari kesesatan
dan kemusyrikan. Selain itu, Tauhid juga berpengaruh untuk membentuk sikap
dan perilaku manusia. Jika tauhid ditanamkan dengan kuat, ia akan menjadi
sebuah kekuatan batin yang tangguh, sehingga melahirkan sikap positif.
Keimanan kepada Allah dan Malaikat pencatat amal baik perbuatan
merupakan bagian yang paling penting dalam ketauhidan seseorang. Diantara hal
yang telah diterima oleh para ahli pendidikan dan akhlak adalah bahwa seorang
4
anak sejak lahir sudah membawa fitrah Tauhid dan aqidah Iman kepada Allah,
serta berada di atas dasar kesucian, maka jika tersedia baginya pendidikan yang
baik dalam keluarga, interaksi sosial yang baik, dan lingkungan belajar yang baik.
Dan jika pendidikan anak jauh dari akidah Islam, dan dari bimbingan agama serta
hubungan dengan Allah Ta’ala, maka pastinya kelak sang anak akan tumbuh
dalam dunia kejahatan dan penyimpangan ( Abdullah Nasih Ulwan, 2013 : 80 ).
Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam fitrah diri manusia terdapat
kecenderungan menuju keimanan dan penolakan terhadap tindak kejahatan dan
kedurhakaan. Allah tidak hanya menempatkan dalam fitrah diri manusia keimanan
kepada yang maha mencipta dan menganugerahinya kemampuan untuk mengenal
Allah, namun dia juga telah menciptakan di dalamnya dorongan-dorongan
alamiah menuju kebaikan dan penolakan terhadap perbuatan buruk, dosa, dan
tindakan-tindakan yang merendahkan martabat manusia. Oleh karena itulah secara
tanpa sadar jiwa manusia condong kepada kebaikan ( Sayyid Mujtaba Musawi
Lari, 1997 : 37 ).
Dan hakikat dari fitrah ini telah ditetapkan Al-Qur’an bahwasanya fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai hal ini adalah :
ه إليكم ٱلكفر … ن وزينهۥ في قلوبكم وكر يم حبب إليكم ٱل كن ٱللول
شدون ئك هم ٱلر ٧وٱلفسوق وٱلعصيان أول
Artinya : “... Tetapi allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu
benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan” (QS. Al-
Hujurat : 7).
Dan manusia telah dilahirkan dengan fitrah oleh Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah:
5
ٱلتي فطر ٱلناس عل … فطرت ٱلل …يها ل تبديل لخلق ٱلل
Artinya : “…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” (QS.
Ar-Ruum: 30).
Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan satu kesatuan hidup
(system social), dan keluarga menyediakan situasi belajar, dapat dilihat bahwa
bayi dan anak-anak sangat bergantung kepada orang tua, baik karena keadaan
jasmaniyah maupun intelektual, sosial dan moral. Bayi dan anak belajar menerima
dan meniru apa yang diajarkan oleh orang tua. Sangat wajar dan logis jika
tanggung jawab pendidikan terletak di tangan kedua orang tua dan tidak bisa
dipikulkan kepada orang lain karena ia adalah darah dagingnya, kecuali berbagai
keterbatasan kedua orang tua.
Anak dapat belajar dengan memperhatikan cara orang dewasa
menggunakan keterampilannya, dan orang tua dapat mengajarkan sesuatu dengan
memberi tahu anak apa yang harus dilakukan. Sayangnya orang tua tidak
membolehkan anak-anak masuk ke dalam proses berfikir mereka. Memberi anak-
anak kesempatan mengetahui pikiran orang dewasa akan mengajarkan kepada
mereka bahwa memiliki perasaan negatif, bingung, dan tidak mendapatkan solusi
sempurna adalah hal yang normal. Tentu saja, orang tua perlu memberi teladan
kendali diri dan keterampilan berkomunikasi dengan baik, jika itu juga yang
mereka harapkan dari anak-anak ( Maurice J. Elias, 2002 : 89 ).
Orang tua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dan nilai-nilai Islami
dalam keluarga. Sebagai seorang muslim, orang tua harus memiliki aqidah serta
tauhid yang berkualitas dengan cara berguru dengan para ulama sholeh yang ahli
dalam materi-materi ketauhidan, sehingga orang tua dapat membekali anak-
anaknya dengan keilmuan yang didukung dengan keteladanan tauhid, sehingga
terbentuk kepribadian seorang muslim sejati. Apabila orang tua memiliki
6
keimanan yang kuat serta akhlak yang mulia, maka anak dapat melihat orang
tuanya sebagai teladan yang memberikan pengetahuan sekaligus pengalaman dan
pengarahan.
Kepribadian muslim dibentuk sejak dini, bahkan para ulama ada yang
mengatakan ketika bayi dalam kandungan seorang ibu. Orang tua mempunyai
kewajiban yang sangat besar dalam menanamkan dan menumbuhkan aqidah anak
dan akhlak yang mulia pada anak. Para ulama mengatakan semakin kurang
keimanan anak, maka semakin rendah juga kadar akhlak, watak, kepribadian,
serta kesiapan seorang anak untuk menerima konsep Islam sebagai pedoman dan
pegangan hidup. Sebaliknya, jika aqidah tauhid anak telah kokoh dan mapan,
maka terlihat jelas dalam setiap amal perbuatannya. Setiap konsep yang ada dalam
Islam akan diterima secara utuh dan lapang dada oleh seorang anak ketika mereka
tumbuh dewasa, tanpa ada rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan.
Orang tua merupakan pendidik utama bagi anak-anak mereka, karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk
pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga orang tua memiliki
kewajiban untuk membentuk generasi pengubah peradaban. Salah satunya dengan
cara mengembangkan kreativitas anak dengan nilai spiritualitas. Berdasarkan
ajaran Islam, orang tua bertanggung jawab atas pendidikan, pembentukan kualitas,
dan kepribadian anak.
Saat ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena perubahan sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Keluarga berkurang fungsinya dalam dunia
pendidikan. Sebagian tanggung jawabnya beralih kepada tuntutan hidup. Banyak
orang tua yang mengabaikan pendidikan anaknya dan disibukkan dengan
pekerjannya demi memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan anak-anak akan
bertemu ayah dan ibunya di pagi hari dan hari libur saja. Kurangnya kebersamaan
tersebut mempengarungi kedekatan emosional anak dengan orang tua mereka.
Disinilah keluarga memiliki peranan yang besar dalam mendidik dan
mempengaruhi anak-anak.
7
Dengan kebersamaan yang dilalui di dalam keluarga maka mereka akan
meniru apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan yang dilakukan orang tua
mereka. Seringkali orang tua tidak dapat mendampingi anaknya karena waktu
yang telah dipakai untuk bekerja guna memenuhi materi keluarga.
Alasan kesibukan menjadi landasan orang tua menyerahkan pendidikan
anaknya ke lembaga pendidikan untuk mendidik agar anak bersikap sopan,
memiliki sosial yang baik di lingkungan, menjadi pribadi yang religius, memiliki
akhlak yang mulia, disiplin serta bertanggung jawab. Namun pendidikan anak
tidak hanya dilepas begitu saja kepada lembaga pendidikan, kemudian dengan
mudah menuntut dan mengkambing hitamkan lembaga pendidikan jika sang anak
berbuat sebuah penyelewengan. Akan tetapi tetap ada pantauan dan interaksi yang
mendukung untuk perkembangan pendidikan sang anak saat anak kembali di
lingkungan keluarga. Pendidikan akan berhasil tergantung sejauh mana kerja sama
antara lembaga pendidikan dengan orang tua si anak.
Untuk membentuk anak yang saleh, dibutuhkan pendidikan yang terarah
sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 9:
ية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا للاه وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذر
٩وليقولوا قول سديدا
Artinya :“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di
belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar”. ( Q.S. An-Nisa’ : 9 )
Oleh karena itu tampak jelas sekali hikmahnya, mengapa iman dijadikan
sebagai prinsip umum dan kekal abadi. Juga mengapa Allah tidak pernah
membiarkan suatu generasi atau suatu umat dalam keadaan kosong tanpa
mengutus seorang rasul kepada mereka untuk mengajak mereka kepada iman ini
dan memperdalam akar-akar aqidah ini di dalam hati mereka (Sayyid Sabbiq,
2008 : 8 ).
8
Metode tahlili menafsirkan ayat demi ayat sesuai susunannya dalam
setiap surat, dan urutan masa pewahyuan masing-masing surat, sedangkan metode
maudhui adalah model penafsiran dengan menghimpun sejumlah ayat yang
tersebar dalam berbagai surat yang membahas tema yang sama. Setelah
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, mufassir kemudian
menarik kesimpulan sebagai jawaban atas tema yang dibahas. Dalam penulisan
Tafsir al-Mishbah, Quraish memadukan metode tahlili dan maudhu’i. sehingga
pembaca tinggal memilih sesuai kebutuhan mereka.
Menurut Manager Program Pusat Studi Al-Qur’an, Muchlis M. Hanafi,
selain kombinasi dua metode tadi, Tafsir al-Mishbah juga mengedepankan corak
ijtima’i (kemasyarakatan). Uraian-uraian yang muncul mengarah pada masalah-
masalah yang berlaku atau terjadi di tengah masyarakat. Lebih istimewa lagi,
menurut Muchlis, kontekstualisasi sesuai corak kekinian dan keindonesiaan
sangat mewarnai al-Mishbah (Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 284).
Berpedoman Al-Qur’an dalam surat Al-Ikhlas disebutkan bahwa kita
hanya memiliki Tuhan yang satu yaitu Allah SWT surat ini mengajarkan tentang
ketauhidan kepada-Nya. Bagaimana kita harus menyakini atas keesaan-Nya dan
Ikhlas untuk beribadah kepadanya. Penulis tertarik mengetahui konsep pendidikan
tauhid dalam surat tersebut melalui kajian pustaka atas TAFSIR Al- Misbah karya
M. Quraish Shihab.
Dengan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema
tersebut dengan mengambil judul skripsi “KONSEP PENDIDIKAN TAUHID
DALAM KELUARGA (STUDI TERHADAP SURAT AL-IKHLAS MENURUT
TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB )”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan maka yang
4menjadi masalah pokok dalam bahasan ini adalah :
1. Bagaimana biografi M. Quraish Shihab ?
9
2. Bagaimana konsep pendidikan tauhid dalam surat Al-Ikhlas menurut tafsir
Al-Misbah?
3. Bagaimana relevansi konsep pendidikan tauhid dalam keluarga sesuai
dengan surat Al-Ikhlas menurut tafsir Al- Misbah dengan kehidupan
sekarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis dapat menentukan tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui biografi M. Quraish Shihab
2. Untuk mengetahui konsep pendidikan tauhid tauhid dalam surat Al-Ikhlas
menurut Tafsir Al-Misbah
3. Untuk mengetahui relevansi konsep pendidikan tauhid dalam keluarga
sesuai dengan surat Al-Ikhlas menurut tafsir Al-Misbah
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
dapat berguna sebagai sumbangan pikiran bagi dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam
b. Dapat menambah wawasan teoritis tentang konsep pendidikan tauhid
dalam keluarga
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Dijadikan sebagai acuan seorang pendidik mengenai konsep
pendidikan tauhid dalam keluarga
b. Bagi Lembaga Pendidikan
10
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang ada
c. Bagi lingkungan masyarakat
Sebagai ilmu yang bisa diaplikasikan kepada anggota keluarga masing-
masing
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian ini berjenis kepustakaan (library reseach) yang
difokuskan pada penelusuran dan penelaah literatur serta bahan pustaka
lainnya.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Kitab Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
b. Sumber Sekunder
Sumber data lain yang digunakan penulis dalam penelitian ini berupa
buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang menjadi pokok
bahasan penelitian ini, antara lain: Tafsir Al-Mishbah, Al-Qur’an dan
terjemahannya DEPAG, Studi Ilmu Alqur’an, dan buku-buku lain yang
berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun tenik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam
penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang
menjadi sumber data primer dan sekunder yang relevan. Setelah data
terkumpul maka dilakukan penelaahan serta sistematis dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data atau
informasi untuk bahan penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode antara lain:
a. Pendekatan deduktif
11
Pendekatan deduktif yaitu penulisan kritik dan esai dengan
menetapkan ukuran yang benar-benar dipahami dan diyakini secara
objektif dan konsisten.Ukuran yang digunakan diantaranya tentang kaidah
moral, kaidah sosial, kaidah hukum, atau kaidah ilmiah.Penulis harus
netral, tidak boleh mengikuti emosi dan kehendak sendiri.Penilaian harus
diberikan secara jujur dan objektif (Haryanta, 2012: 200).
Dengan pendekatan deduktif ini penulis menganalisis data yang berupa
berbagai interpretasi tafsir Surat Al- Ikhlas baik dari sumber data primer
maupun sekunder untuk kemudian ditemukan kekhususan konsep
pendidikan tauhid dalam keluarga yang terkandung di dalam surat Al-
Ikhlas.
b. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif yaitu penulisan kritik dan esai dimana penulis
dapat langsung mengamati karya sastranya dan langsung membuat
kesimpulan berdasarkan penilaian dari sudut pandangnya (Haryanta, 2012:
200-201). Berangkat dari analisa konsep khusus pendidikan tauhid
dalam keluarga yang terkandung dalam surat Al-Ikhlas, kemudian konsep
tersebut dapat ditarik kesimpulan yang merupakan esensi dari konsep
pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Ikhlas secara umum.
F. Kajian Pustaka
Penulis mengkaji telaah pustaka dengan maksud untuk mendukung penulis
yang lebih komprehensif. Maka penulis berusaha melakukan kajian awal terhadap
pustaka atau karya-karya lain yang relevan dengan penelitian ini. Adapun
penelitian yang senada dengan penelitian ini antara lain:
1. Saudari Siti Sukrillah (2015) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan,
Program Studi PAI, IAIN Salatiga “Konsep Pendidikan Tauhid dalam
Keluarga Studi Analisis Quran Surat Al-Baqarah Ayat 132-133 Dalam
Tafsir Ibnu Katsir” berisi tentang konsep pendidikan tauhid dalam
keluarga menurut Ibnu Katsir dalam Qur‟an Surat al Baqarah ayat 132-
133 adalah,upaya membina manusia dalam menyerahkan diri secara
mutlak kepada Allah SWT sepanjang hayatnya dalam keluarga secara
12
berkesinambungan sampai keturunannya di masa depan kelak meskipun
berbeda cara atau metode dalam pelaksanaannya.
2. Saudari Syarifatun Nurul Maghfiroh (2016) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan, Program Studi PAI, IAIN Salatiga “Nilai-nilai Pendidikan
Tauhid dalam Kitab Aqidatul Awam Karya Sayid Ahmad Al-Marzuki
berisi tentang nilai pendidikan tauhid yaitu pendidikan keimanan dimana
keimanan sendiri terdiri dari keimanan kepada Allah, kepada Malaikat,
kepada kitab-kitab, kepada Rasul, kepada hari akhir serta keimanan kepada
qadha dan qadar. Sistematika penulisan dalam kitab Aqidatul Awam
adalah tematik.
3. Saudari Alfrida Dyah Septiyani (2017) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan, Program Studi PAI, IAIN Salatiga “Pendidikan Tauhid (Telaah
Kisah Ibrahim A.S QS. Al-An’am 7:74-83)” menerangkan terdapat tiga
tujuan pendidikan tauhid pada ayat ini, pada ayat 75 yaitu berbunyi agar
Dia termasuk orang yang yakin, kemudian pada ayat 82 mereka itulah
yang akan mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
akan mendapat petunjuk, dan terakhir pada ayat 83 yang berbunyi kami
tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Tiga tujuan
pendidikan tauhid tersebut adalah agar termasuk orang-orang yang yakin,
agar mendapat keamanan dan petunjuk, serta agar mendapatkan derajat.
Beberapa metode yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dalam kisahnya antara
lain : menegur, mengarahkan, mencari sendiri, berdialog dan berdiskusi
serta mengancam.
4. Saudari Ni’matul Mufid (2014) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK), jurusan PAI, UNSIQ Wonosobo, dengan judul “Konsep
Pendidikan Tuhid dalam Kelurga (Kajian QS. Al-Baqarah ayat 133)”
menjelaskan tentang pencapaian kesempurnaan tertinggi dan tingkat
kematangan yang sempurna dengan metode teladan, metode pendidikan
dengan pembiasaan, metode pendidikan dengan nasihat yang bijak,
metode pendidikan dengan memberi perhatian dan metode pendidikan
dengan memberikan hukuman.
13
Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum ditemukan tulisan
yang lebih spesifik dan mendetail tentang konsep pendidikan Tauhid dalam
keluarga Studi QS. Al-Ikhlas menurut Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
G. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalah fahaman dengan maksud judul yang penulis
angkat, maka akan dijelaskan batasan masing-masing istilah dari judul skripsi ini.
1. Konsep Pendidikan Tauhid
Konsep Pendidikan Tauhid terdiri dari tiga kata yaitu : Konsep,
Pendidikan dan Tauhid.
a. Konsep adalah rancangan atau surat buram, ide atau pengertian
yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari
objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,2003 : 588).
b. Pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspek
mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru maupun
yang tidak melibatkan guru (pendidik) mencakup pendidikan
formal, non formal serta informal (Ahmad Tafsir, 2013 : 6).
c. Tauhid adalah persoalan yang membahas tentang peng-Esaan
Allah, baik pada zat-Nya, pada asma (nama-nama)-Nya, pada sifat,
af’aal (perbuatan)-Nya,mapun pada ibadah (penghambaan) kepada-
Nya. Tauhid juga dikatakan sebagai ilmu akidah. akidah secara
istilah mempunyai arti hal-hal yang diketahui seseorang dan yang
diyakini dengan hatinya berupa berbagai perkara agama (Tim
Keilmuan Lembaga Imam dan Khatib, Saudi Arabia,1998 : 3).
Jadi, konsep pendidikan tauhid adalah ide meningkatkan diri dalam
segala aspek mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru atau
tidak melibatkan guru dengan meyakini keesaan Allah baik zat, sifat,
nama, maupun penghambaan kepada-Nya.
14
2. Surat Al-Ikhlas
Surat Al-Ikhlas adalah surat yang ke-112 dari al-Qur’an. Secara
Bahasa kata ikhlas terambil dari kata khalish yang berarti suci atau murni
setelah sebelumnya memiliki kekeruhan atau keberhasilan mengkikis dan
menghilangkan kekeruhan itu sehingga sesuatu yng tadinya keruh menjadi
murni.
أحد مد ٣قل هو ٱلل ٱلص ٤ولم يكن لهۥ كفوا أحد ١لم يلد ولم يولد ٣ٱلل
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara
dengan Dia.”(Q.S. Al-Ikhas: 1-4)
Surah ini merupakan surah yang ke-19 bagi ulama yang menyatakannya
Makiyyah. Ada juga di antara mereka yang berpendapat surah yang ke-22 yang
turun sesudah surah an-Nas dan sebelum an-Najm. Jumlah ayatnya sebanyak 4
ayat menurut cara perhitungan ulama Madinah, Kufah dan Bashrah, sedang
menurut cara perhitungan ulama Mekkah dan Syam, sebanyak 5 ayat. Mereka
menilai lam yalid merupakan satu ayat dan wa lam yulad ayat yang lain. Surat ini
tergolong surat makiyyah yang terdiri dari 4 ayat (M. Quraish Shihab, 2003: 606).
3. Tafsir al-Mishbah
Al-Mishbah berarti lampu, lentera, pelita atau benda lain yang berfungsi
serupa. Pada kata pengantar Tafsir al-Mishbah Quraish mengakui dirinya sangat
dipengaruhi dan banyak merujuk tafsir karya Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I,
Muhammad Thanthawi, Mutawalli asy-Sya’rawi, Sayyid Quthb, Tahir Ibnu
Asyur, dan bahkan Sayyid Muhammad HuseinThabathaba’I yang beraliran Syiah.
Tapi sebagian besar lagi adalah pemikiran hasil ijtihad M. Quraish Shihab Sendiri
(Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 286).
15
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu cara menyusun dan
mengolah hasil penelitian dari data serta bahan-bahan yang disusun menurut
susunan tertentu, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan
mudah dipahami. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, pada pendahuluan berisi : latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian, definisi operasional dan sistematika penelitian.
BAB II : Biografi M. Quraish Shihab
BAB III : Berisi Konsep pendidikan tauhid yang berisi pengertian, konsep
dalam Alqur’an menurut surat Al-Ikhlas, dan konsep menurut
tafsir Al- Mishbah karya M. Quraish Shihab
BAB IV : Analisis data tentang Konsep Pendidikan Al-Qur’an menurut
Tafsir Al-Mishbah dan Relevansi di kehidupan sekarang,
berdasarkan surat Al-Ikhlas
BAB V : Menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.
16
BAB II
BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB
A. Riwayat M. Quraish Shihab
1. Riwayat Keluarga
Tafsir Al- Misbah merupakan karya yang monumental. Pengarangnya
lahir di Lotassalo, Rappang, kabupaten Sidenreng Rappang ( Sidrap ), Sulawesi
Selatan pada hari Rabu, 16 Februari 1944, bertepatan dengan 22 Safar 1363 H.
Beliau memiliki nama Muhammad Quraish Shihab. Quraish merupakan
salah satu nama suku yang terhormat di kota Mekkah, dalam bahasa Arab,
Quraish berarti “ ikan hiu kecil “, ( Mauluddin Anwar.dkk, 2015 : 3 ). Shihab
adalah marga yang sudah melekat pada leluhur Quraish dari pihak ayahnya,
Shihab merujuk pada dua ulama besar, Habib Ahmad Syahabuddin al-Akbar dan
cucunya Habib Ahmad Syahabuddin al-Ashgar, kata Syahabbudin kemudian
disingkat menjadi Syahab. Dalam bahasa Arab meski pengucapannya beda, arti
syihab atau syahab sebenarnya sama saja , yaitu “suluh sapi“ atau “bintang”. Di
negeri asalnya Yaman, Syahabbudin bukan hanya nama, tapi juga gelar bagi para
ulama besar yang terkenal dengan ilmunya. Mereka bagaikan “suluh sapi” atau
“bintang” yang bersinar karena sangat dikenal dari pemikiran dan karya tulisnya
(Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 9).
Ayah Quraish bernama Habib Abdurrahman Shihab dan ibunya Asma
yang biasa disapa dengan sebutan Puang Asma. Quraish merupakan anak
keempat dari dua belas bersaudara (Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 7).
Pada tanggal 2 Februari 1975, Quraish menikahi seorang wanita yang
bernama Fatmawaty. Dari pernikahannya itu Quraish memiliki 5 orang anak yaitu
Nasywa, Najwa, Ahmad, Najelaa, dan Nahla.
Aba Abdurrahman Shihab wafat pada Maret 1986, dalam usia 71 tahun.
Dan ibunda Quraish meninggalkan dirinya pada Desember 1990. Kehilangan
kedua sosok panutannya itu membuat Quraish merasakan kepedihan yang dalam.
17
2. Riwayat Pendidikan
Quraish menempuh pendidikan di SD Lompobattang selama 6 Tahun,
kemudian melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Makasar. Saat Quraish baru saja
naik kelas 2 SMP, beliau tertarik untuk nyantri di Dar al-Hadits al-Faqihiyah,
Malang. Ada empat tahapan pendidikan yang dilewati setiap santri. Pertama,
tingkat i’dady selama dua tahun. Kedua, tingkat ibtida’iyah selama tiga tahun.
Ketiga adalah jenjang tsanawiyah yang berlangsung selama tiga tahun. Dan yang
terakhir, ‘aliyah yang ditempuh selama tiga tahun (Mauluddin Anwar.dkk, 2015:
44 ).
Bukan karena keberagaman materi yang diajarkan yang mendorong
Quraish tekun belajar, melainkan sosok karismatik Habib Abdul Qadir Bilfaqih.
Quraish hanya dua tahun nyantri di al-Faqihiyah, tahun pertama beliau
sudah bisa menghafal lebih dari seribu hadits. Quraish tidak hanya rajin mencatat,
tapi juga mampu menjelaskan kandungan kitab-kitab yang dipelajarinya
(Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 48).
Di usianya yang baru 14 tahun beliau pergi ke Mesir bersama 14 anak
muda utusan provinsi Sulawesi, untuk melanjutkan studinya. Di al-Azhar Quraish
diterima di kelas dua I’dadiyah, yang setara dengan SMP atau Tsanawiyah di
Indonesia. Setelah 9 tahun di rantau orang, Quraish meraih sarjana Tafsir dan
Hadits. Dia sudah di jalur ahli tafsir. Hasil ujiannya dengan predikat “Jayyid
Jiddan” membuatnya bisa dengan mudah masuk tingkat master. Hanya dua
tahun, Quraish sudah meraih gelar Master of Art (M.A) pada jurusan yang sama.
Tesisnya tak jauh dari al-Qur’an, “Al-I’jaz at-Tasyri’I li al-Qur’an al-Karim”
(Kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari segi Hukum). Selanjutnya gelar Doktor
juga ditempuhnya di al-Azhar setelah beliau menikah (Mauluddin Anwar.dkk,
2015: 72).
Habib Abdul Qodir Bilfaqih Al-Alawy memiliki nasab samahatul imam
antara lain, Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih Al-alawy, Imam Isa bin
Muhammad Az-zamzany, Imam yahaya bin Muhammad jamalul lail, Imam
Abdullah bin ahmad al-alawy, imam al-allamtud dunya abdur rahman bin
abdulloh bilfaqih Al-Alawy, imam ahmad bin umar bin mudlor al-alawy, Imam
18
al-gagihul muqoddam ats-tsany abdur rahman bin Muhammad as-assegaf, Imam
abdulloh ba’alawy, Imam al-faqih muqoddam Muhammad bin ali ba’alawy RA
( Mursyid Pertama Thoriqoh Alawiyah )
3. Pengabdian M. Quraish Shihab
Usai meraih gelar master bidang ilmu tafsirdi al-Azhar, Quraish pulang ke
Makassar untuk membantu mengelola IAIN Alaudin. Tahun 1973, atau belum
genap 2 tahun mengabdi, Quraish bahkan didaulat menjadi wakil rector bidang
akademik dan kemahasiswaan. Saat itu usianya baru 29 stahun, statusnya belum
pegawai negeri dan belum menikah. Di Tahun 1984 Quraish mengabdi di IAIN
Syarif Hidayatullah, persisnya di fakultas Ushuluddin, yang menaungi jurusan
Tafsir Hadits (Mauluddin Anwar.dkk, 2015: 188).
Kepakaran Quraish di bidang tafsir al-Qur’an tak hanya diakui di kampus
IAIN Jakarta. Quraish pun dipercaya mengemban sejumlah jabatan, seperti Ketua
Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashihah
Mushafal-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), dan Asisten Ketua Umum
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), saat organisasi ini didirikan
(1990). Quraish juga aktif menularkan pemikirannya melalui tulisan, sehingga
dipercaya menjadi Dewan Redaksi sejumlah jurnal Ilmiah, seperti Studia
Islamika, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi ( jurnal kajian agama dan
filsafat). Pada tahun 1992 M. Quraish Shihab mendapatkan amanah untuk menjadi
rektor IAIN Jakarta. Beliau juga kembali terpilih menjadi rektor untuk periode
yang kedua yaitu tahun 1996. Namun belum tuntas masa jabatannya beliau harus
melepas amanah itu karena dipercaya oleh Presiden Soeharto mengemban posisi
Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII, 16 Maret 1998 (Mauluddin
Anwar.dkk, 2015 : 194).
4. Karya M. Quraish Shihab
Kebiasaan Quraish menulis sudah dilakoni sejak nyantri di pesantren Dar
al-Hadits al-Faqihiyah, Malang, meskipun baru sebatas menyalin materi pelajaran
dan kitab kuning, atau menuliskan kembali petuah-petuah kyainya, Habib Abdul
19
Qadir Bilfaqih. Kemampuannya menulis terasah di bangku kuliah Universitas al-
Azhar, Mesir. Tak heran jika di usia 22 tahun, Quraish telah menuangkan pikiran-
pikirannya dalam tulisan berbahasa Arab sepanjang 60 halaman. Karya yang
disusunnya itu diberi judul al-Khawathir, atau Lintasan Pikiran.
Pada tahun 2005 karya yang selesai ditulis pada 16 Juli 1966 itu
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad al-Attas, dan diterbitkan
dalam bentuk buku yang berjudul Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-
Batas Akal Dalam Islam.
Quraish kembali membuka kliping usangnya, lalu menerjemahkan
sebagian dalam bahasa Indonesia. Jadilah 2 buku; yang Ringan dan Jenaka dan
Yang Sarat dan Yang Bijak, terbitn Lentera Hati tahun 2007 (Mauluddin
Anwar.dkk, 2015: 268).
Saat mengajar di IAIN Alaudin, Quraish melanjutkan kebiasannya untuk
menulis. Karya tentang Studi Al-Qur’an adalah:
1. Tafsir al-Mannar, Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha.
Pada 2005 diterbitkan lagi dengan judul Rasionalitas Al-Qur’an Studi
Kritis atas Tafsir Al-Manar di Lentera Hati, Jakarta.
2. Diambil dari kumpulan artikel Quraish antara 1975-1992 terbitlah
buku yang berjudul membumikan al-Qur’an (Mizan: 1992).
3. Sesudah itu diterbitkan pula Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I
atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996).
4. Tanggal 18 Juni 1999 Quraish mulai menulis karyanya yang
monumental yaitu Tafsir al-Mishbah, saat beliau ditugaskan sebagai
Duta Besar di Mesir, dan selesai pada 5 September 2003.
Karyanya tentang isu aktual di tengah masyarakat antara lain:
1. Lentera Hati (Mizan, 1994), berisi kumpulan 153 esainya pada rubrik
Pelita Hati di Harian Pelita.
2. Buku yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat ( Lentera Hati
: 1999)
3. Kemudian buku Ayat-ayat Fitna (Lentera Hati & PSQ : 2008).
20
4. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (2007), Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah ( 2004)
5. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw (2011)
6. Birrul Walidain; Wawasan Al-Qur’an Tentang berbakti kepada ibu
dan bapak (Lentera Hati: 2014)
B. Sistematika Penulisan Tafsir al-Mishbah
1. Latar Belakang penulisan tafsir al-Mishbah
Suatu saat Quraish menerima secarik kertas yang bertuliskan “Kami
menunggu karya ilmiah Pak Quraish yang lebih serius”. Dan menulis tafsir adalah
secara utuh adalah sebagian cita-cita dari M. Quraish Shihab. Puluhan tahun
Quraish memendam hasrat untuk menulis tafsir. Tapi masih terkendala dengan
banyaknya rutinitas dan tanggung jawab yang harus di selesaikannya. Banyak
kawan yang mendukung Quraish untuk menulis tafsir, tetapi pasti ada alasan
“Butuh konsentrasi penuh dan mungkin baru terwujud kalau saya diasingkan atau
di penjara”, ungkap Quraish. Dan akhirnya kesempatan untuk menulis tafsir itu
beliau dapatkan. Beliau ditunjuk oleh B.J. Habibie yang menjabat sebagai
presiden dimasa itu, untuk menjadi Duta Besar dan berkuasa di Mesir, Somalia,
dan Jibuti, tahun 1999 (Mauluddin Anwar.dkk, 281).
2. Gambaran Umum Tafsir al-Mishbah
Quraish mulai menulis al-Mishbah pada Jum’at, 18 Juni 1999. Awalnya
tak muluk-muluk, hanya ingin menulis maksimal 3 volume. Tapi kenikmatan
rohani yang direngguknya dari mengkaji kalam Ilahi, tak terasa akhir masa
jabatannya sebagai Duta Besar tahun 2002, Quraish berhasil menuntaskan 14 jilid
Tafsir al-Mishbah.
Sepulangnya ke Jakarta, Quraish melanjutkan penulisan jilid ke-15. Dan
tepat Jum’at, 5 September 2003, penulisan jilid terakhir tafsir al-Mishbah itu
tuntas. Seluruh jumlah Tafsir al-Mishbah berjumlah 10 ribu lebih, atau rata-rata
600-700 halaman perjilid. Setiap jilid terdiri dari 2 juz al-Qur’an. Jika seluruh hari
21
dalam kurun waktu 4 tahun 2 bulan 18 hari itu digunakan untuk menggarap Tafsir
al-Mishbah, maka perhari Quraish menulis 6,5 halaman. Al-Mishbah berarti
lampu, lentera, pelita atau benda lain yang berfungsi serupa (Mauluddin
Anwar.dkk, 2015 : 283).
3. Metode Tafsir al-Mishbah
Sebelum menggarap al-Mishbah, Quraish pernah menulis tafsir. Salah
satunya berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu, terbitan Pustaka Hidayah tahun 1997. Buku setebal 888
halaman itu menghidangkan 24 surat. Penulisannya menggunakan metode tahlili,
yang biasa digunakan para mufassir (ahli tafsir) klasik. Metode tahlili
menafsirkan ayat demi ayat sesuai susunannya dalam setiap surat, dan urutan
masa pewahyuan masing-masing surat.
Tapi karya tafsir dengan metode tahlili sangat menyita waktu dan
dianggap tidak praktis bagi pembaca. Quraish pun beralih menggunakan metode
Maudhu’I (tematik), yang dikembangkan para penulis kontemporer, seperti Abbas
Mahmud al-‘Aqqad, Muhammad Rasyid Ridha, dan Abu al-A’la al-Maududi.
Metode maudhu’I adalah model penafsiran dengan menghimpun sejumlah
ayat yang tersebar dalam berbagai surat yang membahas tema yang sama. Setelah
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, mufassir kemudian
menarik kesimpulan sebagai jawaban atas tema yang dibahas (Mauluddin
Anwar.dkk, 2015 : 284).
Dalam penulisan tafsir al-Mishbah, Quraish memadukan metode tahlili
dan maudhu’i. meski banyak kelemahannya, metode tahlili tetap digunakan,
karena Quraish harus menjelaskan ayat demi ayat. Kelemahan itu ditutupi dengan
penerapan maudhu’i, sehingga pandangan dan pesan kitab suci bisa dihidangkan
secara mendalam dan menyeluruh, sesuai tema-tema yang dibahas.
4. Corak Tafsir al-Mishbah
Alquran juga telah memberikan banyak motivasi agar manusia merenungi
kandungan-kandungan Al-Qur’an melalui dorongan untuk memberdayakan akal
22
pikirannya. Tradisi tilawah, qira’ah dan tadabbur Al-Qur’an merupakan upaya
memahami dan mengamalkan Al-Qur’an. Beberapa tujuan Quraish menulis Tafsir
al-Mishbah adalah: pertama, memberikan langkah yang mudah bagi umat Islam
dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan jalan
menjelaskan secara rinci tentang pesan-pesan yang dibawa oleh Al-Qur’an, serta
menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan
Manusia. Karena menurut M. Quraish Shihab walaupun banyak orang berminat
memahami pesan-pesan yang terdapat dalam Alquran, namun ada kendala baik
dari segi keterbatasan waktu, keilmuan, dan kelangkaan refrerensi sebagai bahan
acuan.
Kedua, ada kekeliruan umat Islam dalam memaknai fungsi Al-Qur’an.
Misalnya, tradisi membaca Q.S. Yasin berkali-kali, tetapi tidak memahami apa
yang mereka baca berkali-kali terebut. Indikasi tersebut juga terlihat dengan
banyaknya buku-buku tentang fadhilah-fadhilah surat-surat dalam al-Qur’an. Dari
kenyatan tersebut perlu untuk memberikan bacaan baru yang menjelaskan tema-
tema atau pesan-pesan Al-Qur’an pada ayat-ayat yang mereka baca.
Ketiga, kekeliruan itu tidak hanya merambah pada level masyarakat awam
terhadap ilmu agama tetapi juga pada masyarakat terpelajar yang berkecimpung
dalam dunia studi Al-Qur’an. Apalagi jika mereka membandingkan dengan karya
ilmiah, banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa sistematika
penulisan Alquran mempunyai aspek pendidikan yang sangat menyentuh.
Keempat, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang mengugah hati
dan membulatkan tekad M. Quraish Shihab untuk menulis karya tafsir. Berbagai
permasalahan yang telah saya sebutkan tadi adalah latar belakang Quraish dalam
menulis tafsir al-Mishbah dengan cara menghidangkannya dalam bentuk tema-
tema pokok dalam Al-Qur’an dan hal itu menunjukkan betapa serasinya ayat-ayat
dan setiap surat dengan temanya, tentunya hal ini akan sangat membantu dalam
meluruskan pemahaman tentang tema-tema dalam Al-Qur’an.
23
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID
A. Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan yang dimaksud dengan
konsep yaitu gambaran mental dari objek, proses atau segala sesuatu yang berada
di luar bahasa dan yang digunakan akal budi untuk memahami sesuatu (Haryanta,
2012: 135).
Pendidikan aktivitas untuk mengembangkan seluruh potensi serta aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup sepanjang kehidupan manusia.
Dengan demikian pendidikan dimaksudkan bukan sekedar pendidikan yang
berlangsung di dalam kelas, ruangan dan waktu yang terbatas yang sering orang
sebut dengan pendidikan formal. Akan tetapi ia mencakup seluruh kegiatan yang
mengandung unsur pengembangan setiap potensi dasar yang dimiliki manusia
kapan saja dan di mana saja ia lakukan. Karena itu pendidikan dikatakan sebagai
sarana utama untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Pendidikan berkenaan dengan fungsi luas dari pemeliharaan dan perbaikan
kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa masyarakat yang masih baru
bagi penyesuaian kewajiban dan tanggung jawab didalam masyarakat. Aktivitas
pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia (humanizing of
human being) ata upaya membantu subjek (individual atau satuan social) secara
normatif berkembang lebih baik (Ismail Thoib, 2008 : 1-2).
Konsep dasar pendidikan Islam mencakup pengertian istilah tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib. Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan konsep yang lebih
tepat tentang pendidikan Islam.
1. Tarbiyah
Kata tarbiyah merupakan masdar dari rabba-yarabbiy-tarbiyatan dengan
wazan fa’ala, yufa’ilu, taf’ilan. Dengan ini ditemukan dalam Al-Qur’an :
24
ب ٱرحمهما كما ربياني صغيرا حمة وقل ر ل من ٱلر وٱخفض لهما جناح ٱلذ
٣٤
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidikku waktu kecil” (Q.S. Al-
Isra’: 24).
Tarbiyah adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna
dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmani, sempurna budi pekerti
(akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya,
manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.
2. Ta’lim
Ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa
individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Kata ta’lim merupakan
masdar dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau
penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.
3. Ta’dib
Ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu
didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing kearah
pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan
wujud dan keberadaannya ( Bukhari Umar, 2010 : 21-26 ).
Pendidikan aktivitas untuk mengembangkan seluruh potensi serta aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup sepanjang kehidupan manusia.
Dengan demikian pendidikan dimaksudkan bukan sekedar pendidikan yang
berlangsung di dalam kelas, ruangan dan waktu yang terbatas yang sering orang
sebut dengan pendidikan formal. Akan tetapi ia mencakup seluruh kegiatan yang
mengandung unsur pengembangan setiap potensi dasar yang dimiliki manusia
25
kapan saja dan di mana saja ia lakukan. Karena itu pendidikan dikatakan sebagai
sarana utama untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Pendidikan berkenaan dengan fungsi luas dari pemeliharaan dan perbaikan
kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa masyarakat yang masih baru
bagi penyesuaian kewajiban dan tanggung jawab didalam masyarakat. Aktivitas
pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia (humanizing of
human being) atau upaya membantu subjek (individual atau satuan social) secara
normatif berkembang lebih baik ( Ismail Thoib, 2008 : 1-2 ).
Kualifikasi Islam untuk pendidikan memberikan kejelasan bentuk
konseptualnya, dimana pembentukan kepribadian yang dimaksud sebagai hasil
pendidikan adalah kepribadian muslim, dan kemajuan masyarakat dan budaya
yang ditinjau adalah yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah rasul. Oleh
karena itu Islam memandang bahwa mendidik adalah memberi corak hitam
putihnya perjalanan hidup seseorang ke depan, maka Islam telah menetapkan
bahwa aktifitas pendidikan adalah aktifitas yang wajib hukumnya bagi setiap
muslim laki-laki dan perempuan dari semenjak manusia dalam ayunan sampai ke
liang lahat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu
usaha orang dewasa yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang
sesuai dengan ajaran Islam ( Juwariyah, 2010 : 46 ).
B. Dasar Pendidikan Islam
Dalam perkembangannya, teori dan konsep pendidikan berikut
penjelasannya telah membawa pada kajian trsendiri dengan objek materiil
manusia dan proses perubahan yang menunjukkan adanya proses perubahan
menuju peningkatan dan perbaikan yang berdasar pada ilmu Illahi. Dengan
demikian, objek pendidikan islam sama dengan pendidikan pada umumnya, hanya
saja Ilmu Pendidikan Islam didasarkan pada konsep dan teori yang dikembangkan
dari nilai-nilai Islam yaitu:
1. Al-Qur’an
26
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan,
atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.
Dikatakan Al-Qur’an karena ia berisikan inti sari semua kitabullah dan intisari
dari ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an ialah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan
kehidupannya. Al-Qur’an itulah yang menjadi sumber seluruh ajaran Islam,
sebagai wahyu Allah SWT yang terakhir menjadi rahmat, hidayah dan syifa bagi
seluruh manusia. Sebab itu Al-Qur’an menegaskan bahwa ajaran-ajarannya selalu
sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan manusia dalam kancah kehidupannya.
Ia cocok dengan fitrah manusia (the nature of human being). Sesudah prinsip
tauhid (keesaan Allah) maka prinsip ajaran Al-Qur’an ialah “amar ma’ruf dan
nahi munkar”, yaitu perintah menegakkan kebaikan dan keadilan, menghalalkan
yang baik dan mengharamkan segala yang berbahaya ( Nasirudin Razak, 1996 :
86-91 ).
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang terjaga kemurniannya sejak
diturunkannya sampai sekarang dan sampai hari kiamat. Kemurnian itu tetap
terjaga dan terpelihara oleh penciptanya sendiri, yaitu Allah SWT ( Yatimin
Abdullah, 2006 : 9 ).
2. As-sunnah
As-Sunnah menurut pengertian bahasa (etimologi) berarti tradisi yang
biasa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji
maupun tercela. Menurut ulama fikih bahwa yang dimaksud as-Sunnah adalah
segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Selain Al-Qur’an baik
berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir-nya, yang ada sangkut pautnya
dengan hukum ( Muhammad Ajjaj al-Khatibi, 1975 : 27 ).
Sunah sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Landasan sunah
diajadikan sumber syariat Islam kedua setelah Al-Qur’an. Firman Allah SWT:
27
لكم ا أعم سول ول تبطلو وأطيعوا ٱلر ا أطيعوا ٱلل أيها ٱلذين ءامنو ١١ي
Artinya : Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah kepada rasul dan janganlah kamu merusak
(pahala) amal-amalmu (QS. Muhammad: 33).
Ayat di atas menjelaskan penting dan wajibnya setiap orang yang beriman
mengikuti sunah Rasul SAW dan menjadikannya sumber hokum syariat Islam
dalam hidupnya.
3. Ijtihad
Kata ijtihad secara literal berarti upaya sungguh-sungguh. Sedangkan yang
dimaksud dengan ijtihad dalam syari’at adalah menggerakkan kemampuan oleh
mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hokum syara’. Ijtihad merupakan
upaya maksimal dalam mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Hadits (
Muhaimin, 2000 : 57-94 ).
C. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah membimbing dan membentuk manusia
menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah, dan berakhlak
terpuji. Bahkan keseluruhan gerak dalam kehidupan setiap muslim, mulai dari
perbuatan, perkataan, dan tindakan apa pun yang dilakukannya dengan nilai
mencari ridha Allah, memenuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya adalah ibadah. Maka untuk melaksanakan semua tugas kehidupan
itu, baik bersifat pribadi maupun sosial, perlu dipelajari dan dituntun dengan iman
dan akhlak terpuji.dengan demikian, identitas muslim akan tampak dalam semua
aspek kehidupannya.
Pendidikan bertujuan untuk menimbulkan pertumbuhan yang seimbang
dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri,
perasaan dan kepekaan tubuh manusia, oleh karena itu pendidikan seharusnya
memenuhi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual,
28
imaginative, fisik, ilmiah, linguistic, baik secara individual mauun secara kolektif
dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Tujuan terakhir pendidikan Islam adalah mewujudkan penyerahan mutlak kepada
Allah, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun kemanusiaan pada
umumnya.
Hasil-hasil Konferensi Islam tersebut telah memberikan arah, wawasan,
orientasi, dan tujuan pendidikan Islam yang sepenuhnya bertitik tolak dari tujuan
ajaran Islam itu sendiri, yaitu membentuk manusia yang berkepribadian muslim
yang bertakwa dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahan dan peradatan
kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Pengertian Tauhid
Secara bahasa, tauhid adalah masdar dari fi’il wahhada,yuwahhidu artinya
adalah menjadikan sesuatu itu satu. Adapun secara istilah tauhid adalah
menunggalkan Allah dalam ibadah. Artinya hendaklah seseorang beribadah hanya
kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan seorang nabi yang diutus,
malaikat, pemimpin, raja atau siapa saja diantara manusia (Syaikh Muhammad
Bin Shalih al-Utsaimin, 2000: 47).
Ilmu ini dinamakan tauhid karena pembahasannya yang paling menonjol,
menyangkut pokok ke-Esaan Allah yang merupakan asas pokok agama Islam,
sebagaimana yang berlaku terhadap agama yang benar yang telah dibawakan oleh
para Rasul yang diutus Allah. Konsepsi tentang tauhid yaitu ajaran sepanjang
sejarah manusia, ajaran dari tiap-tiap Nabi dan Rasul. Sejak dari Nabi Adam a.s.,
Idris a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., Daud a.s., Isa a.s., sampai pada zaman
Nabi Muhammad Saw. Firman Allah SWT:
أنا فٱعبدون ه إل سول إل نوحي إليه أنهۥ ل إل ٣٢وما أرسلنا من قبلك من ر
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum engkau
(Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa
29
sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Aku, karena itu
sembahlah Aku “(QS. Al-Anbiya: 25).
Doktrin Tauhid bagi kehidupan manusia, menjadi sumber kehidupan jiwa
dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid akan mendidik jwa manusia
untuk mnegikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya kepada Allah semata.
Pengetahuan tentang Tuhan hanya mungkin diperoleh secara pasti apabila melalui
wahyu (revelation). Pengetahuan itu mustahil didapat dengan pemikiran akal
semata. Apa sebabnya? Sebab pikiran manusia lemah (dhaif) untuk mengajuk
masalah Ketuhanan kalau ia hanya berjalan sendiri. Pikiran manusia sifatnya nisbi
sedang Tuhan sifatnya mutlak (absolut) (Nasruddin Razak, 1989 : 39).
Tauhid membebaskan manusia dari penjajahan, perbudakan, dan
perhambaan, baik oleh sesame manusia, maupun oleh hawa nafsu dan harta
benda. Karena tauhid manusia hanya akan menghambakan diri kepada Allah
semata.
Dari uraian di atas telah dijelaskan bahwa tauhid merupakan ilmu tentang
mengesakan Allah dengan rububiyah, ikhlas beribadah hanya kepada-Nya. Serta
menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dengan
demikian tauhid ada tiga macam:
1. Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah secara garis besar adalah meyakini dengan mantap
bahwa Allah adalah rabb segala sesuatu dan tiada Allah selain Dia. Rabb menurut
bahasaa bermakna pemilik yang mengatur (Muhammad Nu’aim Yasin, 2002 : 5).
Secara syari’at adalah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, pemilik dan pengendali alam raya dengan takdir-Nya. Ia menghidupkan
dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
30
جا وما تحمل ن تراب ثم من نطفة ثم جعلكم أزو خلقكم م وٱلل
ر ول ينقص من من أنثى ول تضع إل بعلمهۦ وما ي عم ر من م عم
يسير لك على ٱلل ب إن ذ ٣٣عمرهۦ إل في كت
ذا ملح ذا عذب فرات سائغ شرابهۥ وه وما يستوي ٱلبحران ه
ا وتس ومن كله تأكلون لحما طريهتخرجون حلية تلبسونها أجاج
٣٣تشكرون وترى ٱلفلك فيه مواخر لتبتغوا من فضلهۦ ولعلكم
ر ٱلشمس يولج ٱليل في ٱلنهار ويولج ٱلنهار في ٱليل وسخ
س ربكم له ٱلملك وٱلذين وٱلقمر كله يجري لجل م لكم ٱلل ى ذ مه
٣١تدعون من دونهۦ ما يملكون من قطمير
Artinya : “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani,
kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan
perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung
dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.
Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur
panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah
ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu bagi Allah adalah mudah. Dan tiada sama (antara)
dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin
lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan
daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang
dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat
kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari
31
karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur. Dia memasukkan malam
ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah
Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang
yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari (QS. Al-Fatir ayat 11-13).
Ada pula yang harus diingatkan, bahwa pengakuan terhadap
kerububiyahan Allah ini tidak akan menyebabkan seseorang tersebut berubah
status dari kafir kepada iman, dari syirik kepada tauhid. Yang demikian itu karena
mengimani Allah secara rububiyah ini baru sebatas pengakuan bahwa Allah di-
Esakan atau ditauhidkan dalam segala perbuatan-Nya. Dan, pengakuan yang
seperti ini juga diyakini oleh orang-orang kafir musyrik Makkah pada waktu itu.
Pengakuan yang seperti ini juga telah dilakukan oleh semua makhluk yang
bernama manusia ketika mereka masih berada di alam ruh. Pada saat itu semuanya
sudah mengakui bahwa Dia-lah Dzat sebagai Pencipta, Pengatur dan Penata alam
semesta ini (Darwis Abu Ubaidah, 2008: 48-49).
2. Tauhid Uluhiyah
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan memurnikan perbuatan
para hamba semata-mata dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Sesungguhnya tauhid uluhiyah adalah bagian yang sangat penting dari
akidah seorang mukmin. Sebab tauhid ini adalah buah dari tauhid rububiyah dan
tauhid asma wa sifat. Tanpa tauhid uluhiyah, maka tauhid rububiyah dan tauhid
asma wa sifat kehilangan makna dan faidahnya. Tauhid uluhiyah juga merupakan
terpautnya hati kepada Allah, yaitu berupa rasa takut dan penuh harap, seperti
menyerahkan diri kepada Allah semata dan menyadarkan segala kehidupan
kepada-Nya, dan tidak ada seorang pun dari hamba-Nya yang patuh. Ketaatan
hanyalah milik Allah semata (Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, 2002 : 83).
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud yang dicintai Allah? Yaitu
32
segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu
yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya.
3. Tauhid Asma wa Sifat
Tauhid asma wa sifat adalah meyakini secara mantap bahwa Allah
menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan
bahwa Allah berbeda dengan seluruh makhluk-Nya (Muhammad Nu’aim Yasin,
2002 : 16).
Akidah ahlussunnah yang diajarkan oleh Rasulullah kepada generasi
sahabat dan diajarkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
selanjutnya dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah mengakui dan
menetapkan semua nama dan sifat Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah tanpa sedikitpun melakukan ta’thil (meniadakan nama atau sifat
Allah), tamtsil (menyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama atau sifat
makhluk) dan takyif (mempersoalkan hakikat nama dan sifat Allah dengan
menanyakan bagaimana).
Sesungguhnya Allah telah menyifati diri-Nya dalam kitab-Nya dan juga
melalui Rasulullah dengan sifat-sifat yang tinggi dan memerintahkan agar orang-
orang mukmin yang beriman kepada-Nya menyifati-Nya dengan sifat-sifat itu
serta bertawassul dan mendekatkan diri kepada-Nya ( Syaikh Abu Bakar al-
Jazairi, 2002 : 90).
E. Asbabun Nuzul surat Al-Ikhlas
Banyak dimensi mengenai sebab turunnya surat Al-Ikhlas antara lain:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab bahwa orang-orang
musyrik telah mengatakan kepada Nabi Saw: “Hai Muhammad, terangkanlah
nasab Tuhanmu kepada kami!” Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyunya
(Muhammad Nasib as-Rifa’I, 2000 : 1074 ).
Sebagaimana firman Allah SWT:
33
أحد مد ٣قل هو ٱلل ٱلص ٤ولم يكن لهۥ كفوا أحد ١يلد ولم يولد لم ٣ٱلل
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah
tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak
pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan
Dia.”
Diriwayatkan oleh Adh Dhahak, bahwa para musyrikin menyeru Amir ibn
Thufail pergi kepada Nabi untuk mengatakan: “Engkau telah memberikan beban
beban yang berat kepada para tetua kita. Engkau telah mencaci maki Tuhan kami.
Engkau telah menyalahi agama orang tua kami. Jika engkau rusak akal, kami akan
berusaha mencari orang yang akan mengobati engkau. Jika engkau menginginkan
isteri cantik, kami akan berikannya kepada engkau”.
Rasulullah menjawab: “Saya tidak fakir, saya tidak gila, saya tidak
menginginkan perempuan cantik, saya adalah Rasul Allah, saya menyeru kamu
untuk menyembah Allah sendiri”. Kemudian orang Quraisy menjawab:
“Bagaimana Tuhan yang disembah Muhammad itu? Apakah dari emas, ataukah
dari perak?” Berkenaan dengan itu Allah menurunkan surat At-Tauhid ini. Dalam
surat ini Allah menerangkan, bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Esa dan
Allahlah yang dituju oleh sekalian makhluk, tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan ( A. Yasin Asymuni,2005 : 6).
Untuk dapat memahami surat Al-Ikhlas, maka perlu diketahui tentang
munasabatul surah yaitu hubungan antara surat dengan surah-surah yang lain yang
masih membahas satu bahasan yang sama.surah Al-Ikhlas ini mempunyai
keterkaitan Antara surat sebelumnya dan sesudahnya. Surah sebelumnya yaitu
surah Al-Lahab yang berbunyi :
34
سيصلى ٣ما أغنى عنه مالهۥ وما كسب ٣تبت يدا أبي لهب وتب
الة ٱلحطب ١نارا ذات لهب سد ٤وٱمرأتهۥ حم ن م في جيدها حبل م
٢
Ayat diatas menjelaskan bahwa Abu Lahab dibenamkan ke dalam neraka
karena dia menganut agama syirik dan tidak mau mengesakan Allah. Dalam surat
ini Allah menjelaskan ahwa Dia yang disembah oelh Muhammad dan umatnya
adalah Allah Yang Maha Esa, yang dituju oleh segenap makhluk, tidak beranak,
tidak beristri dan tidak ada seorangpun yang sebanding dengan Dia (Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy,2000 : 4731). Kemudian surat Al-Ikhlas yang berbunyi :
أحد مد ٣قل هو ٱلل ٱلص ٤ولم يكن لهۥ كفوا أحد ١لم يلد ولم يولد ٣ٱلل
Surah Al-Ikhlas ini menjelaskan kembali penolakan terhadap pendapat
orang-orang musyrik, pendapat orang-orang Nasrani, pendapat orang-orang
Yahudi dan membatalkan mazhab orang-orang yang berpendapat bahwa
cahayadan gelap itu adalah yang menguasai alam ini, sebagaimana membatalkan
mazhab orang-orang yang menyembah bintang. Surah ini mengandung
pengitsbatan (penetapan) keesaan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Allahlah
yang dimaksudkan untuk menyelesaikan segala keperluan, tidak beranak dan tidak
diperanakkan serta tidak ada yang sebanding-Nya (Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy,2002 : 1638). Sedangkan surah sesudahnya yaitu surah Al-Falaq yang
berbunyi :
١من شر غاسق إذا وقب و ٣من شر ما خلق ٣قل أعوذ برب ٱلفلق
ت في ٱلعقد ث ٢ومن شر حاسد إذا حسد ٤ومن شر ٱلنف
35
Tema utama surah ini adalah pengajaran untuk menyadarkan diri dan
memohon perlindungan hanya kepada Allah dalam menghadapi aneka kejahatan
(M. Quraish Shihab, 2002 : 712).
F. Konsep Tauhid dalam surat al-Ikhlas
Surat ini menolak pendapat orang-orang musyrik, pendapat orang-orang
Nasrani, pendapat orang-orang Yahudi dan membatalkan mazhab orang-orang
yang berpendapat, bahwa cahaya gelap itu adalah yang menguasai alam ini,
sebagaimana membatalkan mazhab orang-orang yang menyembah bintang. Surat
Al-Ikhlas ini mengandung pengitsbatan (penetapan) keesaan Allah, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan Allahlah yang dimaksudkan untuk menyelesaikan segala
keperluan, tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada yang
sebandingnya (Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2002 : 1638).
Surat ini mengandung pilar terpenting mengenai dakwah nabi. Yakni
penjelasan tentang prinsip tauhid dan mensucikan Allah. Juga tentang batasan
secara umum bagi amal perbuatan, dengan penjelasan amal-amal saleh dan
lawannya. Juga penjelasan tentang keadaan jiwa manusia setelah mati, yaitu akan
dibangkitkan dan akan dibalas sesuai amal masing-masing, baik pahala maupun
siksa. Dalam hadits sahih disebutkan bahwa “sesungguhnya surah ini menyamai
sepertiga Al-Qur’an”. Sebab orang yang mengerti makna surah ini dengan
penghayatan yang mendalam tentang kebenaran yang dikandung, maka ia akan
memahami bahwa apa yang diurai di dalam agama Islam itu adalah masalah
tauhid dan mensucikan Allah. Semuanya itu telah disebutkan secara global di
dalam surah ini (Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1993 : 464).
G. Konsep Tauhid Menurut Tafsir Al-Mishbah
Surat Al-Ikhlas adalah surat yang ke-112 dari Al-Qur’an. Surah ini
merupakan surah yang ke-19 bagi ulama yang menyatakannya Makiyyah. Ada
juga di antara mereka yang berpendapat surah yang ke-22 yang turun sesudah
36
surah an-Nas dan sebelum an-Najm. Jumlah ayatnya sebanyak 4 ayat menurut
cara perhitungan ulama Madinah, Kufah dan Bashrah, sedang menurut cara
perhitungan ulama Mekkah dan Syam, sebanyak 5 ayat. Mereka menilai lam yalid
merupakan satu ayat dan wa lam yulad ayat yang lain. Surat ini tergolong surat
makiyyah yang terdiri dari 4 ayat.
Kata Ikhlas terambil dari kata khalish yang berarti suci atau murni setelah
sebelumnya memiliki kekeruhan. Ikhlas adalah keberhasilan mengikis dan
menghilangkan kekeruhan itu sehingga sesuatu yang tadinya keruh menjadi
murni. Dengan nama itu tercermin bahwa kandungan ayat-ayat ini bila dipahami
dan dihayati oleh seseorang maka itu akan menyingkirkan segala kepercayaan,
dugaan dan prasangka kekurangan atau sekutu bagi Allah SWT yang boleh jadi
selama ini hinggap dibenak dan hatinya, sehingga pada akhirnya keyakinan
keesaan Allah benar-benar suci murni tidak lagi dihinggapi oleh kemusyrikan baik
yang jelas (mempersekutukan Allah) maupun yang tersembunyi (riya’ dan
pamrih).
Nama dari surat Al-Ikhlas ini banyak sekali. Pakar tafsir Fakhruddin ar-
Razi menyebut sekitar dua puluh nama, Antara lain surah at-Tafrid (pengesaan
Allah), surah at-Tajrid (penafian segala sekutu bagi-Nya), surah an-Najat
(keselamatan yakni di dunia dan akhirat), surah al-Wilayah (kedekatan kepada
Allah), surah al-Ma’rifah (pengetahuan tentang Allah), surah al-Jamal (keindahan
karena Allah Maha Indah), surah Qasyqasy (penyembuhan dan kemusyrikan),
surah al-Mudzdzakkirah (pemberi peringatan), surah as-Shamad, surah al-Aman
dan masih banyak lainnya. Tetapi namanya yang paling populer adalah surah al-
Ikhlas. Tema utamanya adalah pengenalan tentang Tuhan Yang Maha Esa dan
yang menjadi andalan dan harapan semua makhluk. Menurut al-Biqa’i tujuan
utamanya adalah penjelasan tentang Dzat Yang Maha Suci (Allah SWT) serta
kewajaran-Nya menyandang puncak semua sifat sempurna, serta menghindari
dari-Nya semua sifat kekurangan (M. Quraish Shihab, 2002, vol.15 : 712 ).
Demikian surah Al-Ikhlas menetapkan keesaan Allah secara murni dan
menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rasul SAW
37
menilai surah ini sebagai: “Sepertiga Al-Qur’an” dalam arti makna yang
dikandungnya memuat seperti Al-Qur’an karena keseluruhan Al-Qur’an
mengandung akidah, syariat dan akhlak, sedang surah ini adalah puncak akidah.
Surah ini untuk menetapkan dan memantapkan akidah tauhid Islam,
sebagaimana surah al-Kaafiruun meniadakan bentuk keserupaan dan pertemuan
maupun antara akidah tauhid dan akidah syirik. Masing-masing surah ini
memecahkan persoalan hakikat tauhid dari satu segi. Rasulullah Saw biasa
membuka hari barunya dengan melakukan shalat fajar (qabliah subuh) dengan
membaca kedua surah ini (al-Ikhlas dan al-Kafirun). Pembukaan hari ini dengan
bacaan tersebut memiliki makna dan tujuan tertentu ( Sayyid Quthb, 2001 : 378 ).
Tema utama yang dibahas dalam surat ini adalah pengenalan tentang
Tuhan Yang Maha Esa dan yang menjadi harapan semua makhluk. Menurut al-
Biqa’I, tujuan utamanya adalah penjelasan tentang zat Yang Mahasuci (Allah
SWT) serta kewajaran-Nya menyandang puncak semua sifat sempurna serta
menghindarkan dari-Nya semua sifat kekurangan.
“Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa.” Tujuan utama kehadiran Al-
Qur’an adalah memperkenalkan Allah dan mengajak manusia untuk mengesakan-
Nya serta patuh kepada-Nya. Surah ini memperkenalkan Allah SWT dengan
memerintahkan Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan sekaligus
menjawab pertanyaan sementara orang tentang Tuhan yang beliau sembah. Ayat
diatas menyatakan: Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada yang bertanya
kepadamu bahkan kepada siapapun Dia Yang Wajib wujud-Nya dan yang berhak
disembah adalah Allah Yang Maha Esa.
Kata (قل) qul/katakanlah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW.
Menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat al-Qur’an yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril as. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul saw.
Tidak mengurangi sedikit pun dari wahyuyang beliau terima, walaupun dari segi
lahiriah kata itu tidak berfungsi (M. Quraish Shihab, 2002, vol.15 : 714 ).
38
Kata (هو) Huwa biasa diterjemahkan Dia. Kata Huwa disini dinamai
dhamir asy-sya’n atau al-qishshah atau al-hal. Menurut Mutawalli asy-Sya’rawi,
Allah adalah gaib, tapi kegaiban-Nya itu mencapai tingkat syahadat nyata melalui
ciptaan-Nya. Kata Huwa di sini menunjuk Allah yang gaib itu. Dia gaib karena
Dia cahaya. Dengan cahaya anda melihat sesuatu, tetapi dia sendiri tidak dilihat
sampai ada cahaya yang melebihi-Nya agar dia dapat terlihat, tetapi karena tidak
ada yang melebihi Allah maka wajar jika kita tidak melihat-Nya. Memang,
seandainya Dia terlihat, hakikat-Nya diketahui dan dengan demikian Dia
terjangkau, dan jika Dia terjangkau maka Dia tidak wajar lagi dipertuhankan (M.
Quraish Shihab, 2002, vol.15 : 715 ).
Kata (للا) Allah adalah nama bagi suatu Wujud Mutlak, Yang berhak
disembah, Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur seluruh jagat raya. Dia-lah Tuhan
Yang Maha Esa yang disembah dan diikuti segala perintah-Nya.\ (M. Quraish
Shihab, 2002, vol.15: 716 ).
Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling popular. Tidak satu pun
dapat dinamai Allah baik secara hakikat maupun majaz, sedang sifat-sifat-Nya
yang lain secara umum dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-
Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih sebagai Rahim atau
Ahmad yang berpengetahuan sebagai Alim?, secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa
itu sendiri yang menamai dirinya Allah (M. Quraish Shihab,2002, vol.1 : 21 ).
“Apakah Engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan
dan kesempurnaan sebagaimana Pemilik nama itu (Allah)?”(QS. Maryam : 65).
Pertanyaan yang mengandung sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya
Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama
tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia juga yang berhak
memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama
yang lebih agungdari nama-Nya itu. Sekian banyak ulama yang berpendapat
bahwa Allah tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang
menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan
kehidupan serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan
bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata Allah asalnya adalah
39
Ilah, yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian, Allah (اله)
merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jama’nya, sedang Ilah
adalah nama yang bersifat umum yang dapat berbentuk jama’. Dalam bahasa
Inggris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan
dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia keduanya dapat
diterjemahkan dengan tuhan. Alif dan Lam yang dibubuhkan pada kata Ilah
berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan sesuatu yang
telah dikenal dalam benak (M. Quraish Shihab,2000,vol.1 : 17 ).
Sementara ulama berpendapat bahwa kata Ilah yang darinya berbentuk
kata Allah, berakar dari kata (اللهة) al-Ilahah, (اللوهة) al-Uluhah, dan (اللوهية) al-
Uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan,
sehingga Allah secara harfiah bermakna Yang Disembah. Ada juga yang
berpendapat kata tersebut berakar dari kata (أله) alaha dalam arti mengherankan
atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena
bila dibahas hakekatnya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk
tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak
menyangkut zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan
riwayat yang menyatakan: “Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jang
berfikir tentang Zat-Nya”. Ada juga yang berpendapat kata Allah terambil dari
akar kata Aliha Ya’ Lahu (اله يأله) yang berarti tenang, karena hati menjadi tenang
karena-Nya, atau dalam arti menuju dan bermohon, karena harapan seluruh
makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon (M. Quraish
Shihab, 2000, vol.1 : 18 ).
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju
harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti
kata Ilah - dan juga Allah – secara harfiah mengandung makna demikian?. Kata
Ilah yang beraneka ragam maknanya seperti dikemukakan di atas, dapat
dipertanyakan apakah bahasa atau al-Qur’an menggunakannya untuk makna yang
disembah? (M. Quraish Shihab, 2000, vol.1 : 19).
Para ulama yang mengartikan Ilah dengan yang disembah menegaskan
bahwa Ilah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak
40
dibenarkan oleh aqidah Islam, seperti matahari, bintang, bulan, manusia atau
berhala, maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni zat yang
wajib wujud-Nya yakni Allah SWT. Karena itu jika seorang muslim maka
hendaknya mengucapkan kata (ل اله الللا) La Ilaha Illallah. Jika diperhatikan
semua kata Ilah dalam al-Qur’an, niscaya akan ditemukanbahwa kata itu lebih
dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam
genggaman tangan-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini
demikian, ada yang salah pilih Ilah-nya. Seperti yang sudah dikemukakan
sebelumnya Ilah bersifat umum, sedang kata Allah bersifat khusus, bagi penguasa
yang sesungguhnya. Kata Allah mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh
kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna
maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga
sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai Ismu-Ilah al-
A’zham (Nama Allah yang paling mulia) yang bila diucapkan dalam doa, Allah
akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaannyaketika dihapus
huruf-hurufnya. Kata (للا) Allah dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi
Lillah dalam arti Milik/bagi Allah; kemudian hapus huruf awal dari kata (لل)
Lillah itu akan terbaca (له) Lahu, dalam arti bagi-Nya; selanjutnya hapus lagi
huruf awal dari lahu akan terdengar dalam ucapan Hu yang berarti Dia (menunjuk
Allah), dan bila ini pun dipersingkat akan dapat terdengar suara Ah yang sepintas
atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pada hakekatnya adalah
seruan permohonan kepada Allah. Karena itu pula sementara ulama berkata
bahwa kata “Allah” terucapkan oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau
tidak. Itulah salah satu bukti adanya Fitrah dalam diri manusia (M. Quraish
Shihab, 2000, vol.1 :18).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah;
“Apabila kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi,
pastilah mereka berkata Allah” (QS. Az-Zumar:38). Dari segi makna dapat
dikemukakan bahwa kata Allah mencakupsegala sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah
yang menyandang sifat-sifat tersebut, karena itu jika kita berkata Ya Allah, maka
semua nama/sifat-Nya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain, jika kita
41
berkata ar-Rahim (Yang Maha Pengasih) maka sesungguhnya yang dimaksud
adalah Allah, demikian juga jika berkata al-Muntaqim (yang membalas
kesalahan), namun kandungan ar-Rahim (Yang Maha Pengasih) tidak mencakup
pembalasan-Nya, atau sifat yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam
syahadad seseorang harus menggunakan kata Allah ketika mengucapkan Asyhadu
an La Ilaha Illallah, dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan
kata-kata lain. Jika menyebut nama Allah , pasti akan tenang hati kita, demikian
penegasan penyandang Asmaul Husna, Allah SWT berfirman; “Dengan
mengingat Allah , akan menjadi tentram hati”(QS. Ar-Ra’d:28). Ketenangan dan
ketentraman itu lahir bila kita percaya Allah adalah penguasa dan pengatur alam
raya dan yang dalam genggaman tangan-Nya segala sesuatu. Ketenangan itu akan
dirasakan bila kita menghayati sifat-sifat-Nya, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam
mengatur dan memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah (M. Quraish Shihab,
2000, vol.1 :20).
Jika seseorang telah mengenal Allah dengan pengenalan yang
sesungguhnya, otomatis akal dan pikirannya, jiwa dan hatinya akan terpanggil
untuk mendekat kepada-Nya. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara melaksanakan ibadah shalat. Memang, shalat yang baik dan benar
akan mengantar seseorang mengingat kebesaran Allah dan mengantarnya untuk
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (M. Quraish
Shihab, 2002, vol.7 : 568 ).
Kata (احد) ahad/esa bisaberfungsi sebagai nama dan bisa juga sebagai sifat
bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, ia hanya digunakan untuk
Allah SWT, semata. Keesaan Allah mencakup keesaan zat, keesaan sifat, keesaan
perbuatan, serta keesaan dalam beribadah kepadanya.
Keesaan zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya
bahwa Allah SWT,tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Karena bila
zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih, maka ini berarti Dia
membutuhkan unsur atau bagian itu, atau dengan kata lain unsur (bagian) itu
merupakan syarat bagi wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat Ketuhanan
yang tidak membutuhkan suatu apapun.
42
Keesaan sifat, antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak
sama dalam substansi dan kapasitas-Nya dengan sifat makhluk, walaupun dari
segi bahasa kata yang digunakan menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh,
kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk
rahmat/kasih sayang makhluk. Namun, substansi dan kapasitas rahmat dan kasih
sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Maha Esa di dalam
sifatnya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut.
Keesaan dalam perbuatan mengandung arti bahwa segala sesuatu yang
berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya,
kesemuanya adalah hasil dari perbuatan Allah semata. “Apa yang dikehendaki-
Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya
( untuk memeroleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak mudharat)
kecuali bersumber dari Allah.” Tetapi, ini bukan berarti bahwa Allah berlaku
sewenang-wenang atau “bekerja” tanpa sistem. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan
dengan hukum-hukum atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya (M.
Quraish Shihab, 2002, vol.15 : 718 ).
Keesaan beribadah secara tulus kepada-Nya yang merupakan keesaan
keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu. Ibadah
beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas
adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan kadarnya langsung oleh Allah
atau Rasul-Nya, dan yang secara terpopuler dikenal dengan istilah ibadah
mahdhah (murni). Ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala
macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah. Mengesakan Allah dalam
beribadah menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena
Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah maupun selainnya (M.
Quraish Shihab, 2002, vol.15 : 719 ).
“Allah tumpuan harapan.” Setelah ayat pertama menjelaskan tentang dzat,
sifat dan perbuatan Allah Yang Maha Esa, ayat ini menjelaskan kebutuhan
makhluk kepada-Nya, yakni hanya Allah Yang Maha Esa itu adalah tumpuan
harapan yang dituju oleh semua makhluk guna memenuhi segala kebutuhan,
permintaan mereka, serta bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
43
Kata (مد shamada yang (صمد) ash-shamad terambil dari kata kerja (الصه
berarti menuju. Ash-shamad adalah kata jadian yang berarti yang dituju. Ayat ini
menegaskan bahwa hanya Allah yang menjadi tumpuan harapan satu-satunya.
Kebutuhan segala sesuatu dalam wujud ini tidak tertuju kecuali kepada-Nya dan
yang membutuhkan sesuatu tidak boleh mengajukan permohonannya kepada
selain-Nya. Segala sebab berakhir pada-Nya dan segala yang terjadi di alam raya
ini merupakan hasil ciptaan-Nya. Dalam ayat kedua ini, kata Allah diulang sekali
lagi, setelah sebelumnya pada ayat pertama telah disebut. Ini memberi isyarat
bahwa siapa yang tidak memiliki sifat ash-shamadiyah atau dengan kata lain tidak
menjadi tumpuan harapan secara penuh, ia tidak wajar dipertuhankan (M. Quraish
Shihab, 2002, vol.15 : 721 ).
“Tidak beranak dan tidak diperanakkan.” Ayat ini membantah
kepercayaan sementara orang tentang Tuhan dengan menyatakan bahwa Allah
Yang Maha Esa itu tidak wajar dan tidak pula pernah beranak dan disamping itu
Dia tidak diperanakkan yakni tidak dilahirkan dari bapak atau ibu. Tidak ada
seorang pun yang setara dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-
Nya.
Kata (يلد) yalid/beranak dan (يولد) yulad/diperanakkan terambil dari kata
walada yang digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan hubungan (ولد)
keturunan sehingga kata (والد) walid, misalnya, berarti ayah dan yang dimaksud
adalah ayah kandung. Beranak atau diperanakkan menjadikan adanya sesuatu
yang keluar darinya dan ini mengantar kepada terbaginya zat Tuhan. Allah tiada
sesuatu pun yang seperti-Nya (laisa ka-mitsli syai’), baik dalam bentuk maupun
dalam kenyataan, sehingga pasti Dia tidak mungkin melahirkan atau dilahirkan.
Anak dibutuhkan oleh makhluk berakal untuk melanjutkan eksistensinya, sedang
Tuhan kekal selama-lamanya dan tidak memerlukan bantuan.
Kata (لم) lam digunakan untuk menafikan sesuatu yang telah lalu, kata
tersebut digunakan karena selama ini telah beredar kepercayaan bahwa Tuhan
beranak dan diperanakkan. Ayat ini menafikan segala macam kepercayaan yang
menyangkut adanya anak atau ayah bagi Allah SWT, baik yang dianut oleh kaum
musyrikin, orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau sementara filosof, baik
44
anak tersebut berbentuk manusia atau tidak (M. Quraish Shihab, 2002, vol.15 :
723 ).
“Tidak ada satupun yang setara dengan-Nya.” Ayat ini menafikan sekali
lagi segala sesuatu yang menyamai-Nya baik sebagai anak atau bapak atau
selainnya, dengan menyatakan: Tidak ada satupun baik dalam imajinasi apalagi
dalam kenyataan yang setara dengan-Nya dan tidak juga ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya.
Kata (كفوا) kufuwan terambil dari kata (كفؤ) kufu’, yakni sama. Banyak
ulama tafsir memahami ayat ini sebagai “menafikan adanya sesuatu yang serupa
dengan Allah”. Sementara kaum percaya bahwa ada penguasa selain Allah,
misalnya dengan menyatakan bahwa Allah hanya menciptakan kebaikan, sedang
setan menciptakan kejahatan. Ayat ini menafikan hal tersebut sehingga, dengan
demikian, kedua ayat terakhir ini menafikan segala macam kemusyrikan terhadap
Allah SWT.
Dengan demikian surah al-Ikhlas menetapkan keesaan Allah secara murni
dan menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rasul SAW
menilai surah ini sebagai : “Sepertiga al-Qur’an” ( H.R. Malik, Bukhari, dan
Muslim ), dalam arti makna yang dikandungnya memuat seperti al-Qur’an
mengandung akidah, syariat, dan akhlak, sedang surah ini adalah puncak akidah
(M. Quraish Shihab, 2002, , vol.15 : 724 ).
45
BAB IV
RELEVANSI PENDIDIKAN TAUHID DENGAN KEHIDUPAN
SEKARANG SESUAI SURAT AL-IKHLAS
A. Analisis Data
1. Analisis metode menanamkan dan menumbuhkan pendidikan Tauhid
dalam keluarga muslim
Keluarga adalah tempat pengasuhan alami yang melindungi anak yang
baru tumbuh dan merawatnya, serta mnegembnagkan fisik, akal dan
spiritualisnya. Dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati dan solidaritas
berpadu dan menyatu. Anak-anak pun akan bertabiat dengan tabiat yang biasa
dilekati sepanjang hidupnya. Lalu dengan petunjuk dan arahan keluarga, anak itu
akan dapat menyongsong hidup, memahami makna hidup dan tujuan-tujuannya,
serta mengetahui bagaimana berinteraksi dengan makhluk hidup. Allah berfirman
dalam QS. At-Tahrim ayat 6 :
ا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها ٱلناس وٱلحجارة أيها ٱلذين ءامنوا قو ي
ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون ئكة غالظ شداد ل يعصون ٱلل عليها مل
٦
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”
Ayat tersebut mengandung arti bahwa orang tua merupakan pemimpin
bagi anak-anaknya, kelak di akhirat akan mempertanggung jawabkan tugasnya di
hadapan Allah Swt. Dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Kedua
orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan hidup
masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Keluarga adalah “umat kecil” yang memiliki pimpinan dan anggota,
46
mempunyai pembagian tugas dan kerja, seserta hak dan kewajiban bagi masing-
masing anggotanya. Al-Qur’an menamakan suatu komunitas sebagai umat, dan
menamakan seorang ibu sebagai orang yang melahirkan dengan kata umm. Kedua
kata tersebut terambil dari akar yang sama. Ibu yang melahirkan dan yang di
pundaknya terutama dibebankan pembinaan anak dan kehidupan rumah tangga
merupakan tiang umat. Keluarga adalah sekolah tempat putra-putri belajar. Dari
sana mereka belajar sifat-sifat mulia, seperti ketauhidan, kesetiaan, rahmat, dan
kasih sayang. Ketika anak masih dalam kandungan, ibu diperintahkan untuk
memperhatikan kesehatannya. Karena, kesehatan ibu mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan janin, bahkan ada kewajiban agama yang digugurkan
(ditangguhkan) pelaksanaannya seperti puasa. Adapun jalinan perekat keluarga
adalah hak dan kewajiban yang disyari’atkan Allah terhadap ayah, ibu, suami dan
istri, serta anak-anak. Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang
pergaulannya diantara anggotanya bersifat khas. Disini pendidikan berlangsung
dengan sendirinya sesuai tatanan pergaulan yang berlaku didalamnya, artinya
tanpa harus diumumkan atau dituliskan terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti
oleh seluruh anggota keluarga. Hal ini sebagai bentuk perwujudan hak dan
kewajiban setiap anggota keluarga ( M. Quraish Shihab, 1994 : 255 ).
Orang tua mempunyai kewajiban yang sangat besar dalam menanamkan
dan menumbuhkan akidah anak. Akhlak yang mulia pada anak. Para ulama
mengatakan semakin kurang keimanan anak, maka semakin rendah juga kadar
akhlak, watak, kepribadian, serta kesiapan seorang anak untuk menerima konsep
Islam sebagai pedoman dan pegangan hidup. Sebaliknya, jika aqidah tauhid anak
telah kokoh dan mapan, maka terlihat jelas dalam setiap amal perbuatannya.
Setiap konsep yang ada dalam Islam akan diterima secara utuh dan lapang dada
oleh seorang anak ketika mereka tumbuh dewasa, tanpa ada rasa keberatan dan
terkesan mencari-cari alasan.
Dalam rangka membentuk rumah tangga sakinah tersebut, Islam
menetapkan beberapa patokan dalam pemilihan jodoh. Menurut panitia
muzakarah ulama ada tiga kriteria untuk memilih jodoh yang baik:
47
a. Aspek keberagamaan dari pasangan hidup berumah tangga.
b. Aspek kehormatan diri dalam arti terpeliharanya kesucian seksual dari
kedua pasangan yang ingin membentuk hidup rumah tangga.
c. Islam mencegah terjadinya perkawinan antara keluarga yang terlalu
dekat. Perkawinan seperti ini bias menimbulkan akibat tidak baik bagi
psikis maupun mental anak ( Panitia Mudzakarah Ulama, 1987/1988 :
25-27 ).
Pendidikan anak bukanlah dimulai dari semenjak kandungan, sejatinya ia
dimulai semenjak kita mencari pasangan hidup (suami/istri). Penanaman nilai-
nilai tauhid kepada sang anak dan kunci keberhasilan pendidikan anak adalah
tepatnya metode yang diberikan saat mengenalkan anak kepada Allah Swt. Selain
itu, teladan dari orang tua juga berperan penting mengantarkan anak menjadi anak
sholeh.
Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age) bagi
perkembangan seorang manusia. Masa usia dini merupakan fase dasar untuk
tumbuhnya kemandirian belajar untuk berpartisipasi, kreatif, imajinatif dan
mampu berinteraksi. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga adalah madrasah
pertama dan utama bagi perkembangan seorang anak, sebab keluarga merupakan
wahan yang pertama untuk seorang anak dalam memperoleh keyakinan beragama
yang dapat dijadikan patokan bagi anak dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih dan
mengaplikasikan sebuah metode pengajaran. Faktor-faktor itu adalah tujuan yang
hendak dicapai, kemampuan guru, anak didik, situasi dan kondisi pengajaran
dimana berlangsung, fasilitas dan waktu yang tersedia, dan kebaikan dan
kekurangan sebuah metode ( Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, 1995 : 7-10 ).
Penjelasan metode-metode yang dapat dipakai dalam pendidikan dan
pengajaran agama Islam, dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pendidikan dengan Pembiasaan
48
Pendidikan dengan pembiasaan ini misalnya agar anak dapat
melaksanakan shalat secara benar dan rutin, maka mereka perlu dibiasakan shalat
sejak kecil, dari waktu ke waktu. Dengan pendidikan sejak dini itu maka anak
akan terbiasa melakukan kebiasaannya dan tidak merasa berat untuk
melakukannya pada saat remaja nanti. Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan
sangat penting, banyak orang berbuat atau bertingkah laku karena kebiasaan
semata-mata. Tanpa pembiasaan, hidup seseorang akan berjalan lambat sekali dan
memerlukan pemikiran yang sangat panjang. Pembiasaan ini akan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk terbiasa mengamalkan ajaran agamanya,
baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, apabila peserta didik sudah terbiasa shalat jama’ah, ia tidak akan
berfikir panjang ketika mendengar adzan berkumandang.
2. Pendidikan dengan Keteladanan
Memberikan contoh teladan yang baik kepada peserta didik agar ditiru dan
dilaksanakan merupakan hal penting yang perlu dilakukan karena keteladanan
yang baik akan menumbuhkan hasrat bagi orang lain untuk meniru atau
mengikutinya. Oleh karena itu, masalah teladan menjadi faktor terpenting dalam
membentuk baik buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak
mulia dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka
anak pun akan menjadi anak yang brakhlakul karimah.
3. Pendidikan dengan Ganjaran
Memberikan ganjaran kepada orang yang berbuat kebaikan akan
memberikan pengaruh besar, terutama bagi anak-anak dan remaja. Sebab pujian
akan memberikan motivasi bagi mereka untuk memperbaiki dan meningkatkan
perilaku supaya lebih baik dari sebelumnya. Ganjaran terhadap orang yang
melakukan perbuatan positif seharusnya memperhatikan kadarnya sehingga
ganjaran tersebut akan bernilai dan efektif. Tanpa mempertimbangkan faktor itu,
maka ganjaran tidak akan berpengaruh bahkan akan memberikan dampak negatif.
4. Pendidikan dengan Hukuman
49
Metode hukuman sebagai jalan terakhir setelah semua metode ditempuh.
Meskipun demikian, hukuman tetap penting. Ketika peserta didik melakukan
kesalahan dan tidak ada penghalang maupun pengendalinya, maka tidak ada yang
mengingatkan perbaikan karakter dan kesalahannya akan terulang kembali.
Pemberian hukuman merupakan metode pendidikan yang paling sensitif dan
kompleks untuk mengubah perilaku seseorang. Jika hukuman dilakukan secara
keliru dan dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat maka akan berdampak
merusak dan berlawanan dengan tujuan dari hukuman. Agama Islam memberi
anjuran dalam memberikan hukuman terhadap anak, hendaknya memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Jangan menghukum ketika marah.
b. Jangan sampai menyakiti perasaan anak.
c. Jangan menghina atau mencaci di depan orang.
d. Jangan menyakiti secara fisik.
e. Bertujuan mengubah perilaku yang kurang baik.
Sementara Muhammad Zein menjelaskan bahwa metode yang mudah
dilakukan para orang tua dalam mendidik anak-anaknya ada tiga: ( Muhammad
Zein, 1991 : 68 )
1. Menghafal
Dalam keluarga hal ini lebih dominan bahwa seorang anak dengan dasar-
dasar keimanan, ke-Islam-an, sejak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu.
Metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengan cara
memberikan hafalan. Sebab proses pemahaman diawali dengan hafalan terlebih
dahulu. Ketika menghafal dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam diri
anak sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diyakini (
Muhammad Zein, 1991: 68).
2. Membiasakan
Metode yang digunakan selain berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan materi pendidikan tauhid juga membantu pertumbuhan dan
50
perkembangan anak. Pendidikan tauhid dalam keluarga menuntut kemampuan
pengetahuan dan wawasan orang tua yang luas. Selain itu metode yang
digunakan harus bertahap, sehingga sesuai Antara metode, materi dan
kemampuan anak. Pembiasaan-pembiasaan itu bisa dilakukan dengan:
a. Latihan kalimat tauhid
b. Latihan beribadah
c. Latihan berdoa di setiap aktivitas.
3. Pengawasan
Dalam menanamkan tauhid yang pertama harus di lakukan oleh orang tua
terhadap anaknya yaitu menanamkan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan
memiliki sifat-sifat yang mulia. Langkah-langkah dalam menanamkan tauhid
terhadap anak yaitu:
a. Menanamkan tauhid ini bisa dimulai sejak anak dalam kandungan,
yaitu dengan membiasakan anak (bayi) mendengarkan alunan ayat-
ayat suci Al-Qur’an, ceramah-ceramah agama, kalimat-kalimat
tayyibah serta ucapan-ucapan yang sopan santun dan lemah lembut
b. Setelah anak bisa bicara, ajarkan ia untuk dapat mengucapkan kata-
kata Allah, Alhamdulillah, Bismillah dan sebagainya.
c. Tegur dan beri peringatan dengan segera apabila anak
mengucapkan kata-kata yang tidak baik.
d. Jelaskan bahwa diri kita, tumbuhan, hewan dan semuanya yang ada
di alam ini adalah ciptaan serta kepunyaan Allah Yang Maha
Kuasa.
e. Sampaikanlah kisah-kisah para Nabi, Rasul dan orang-orang yang
shalih. Baik secara lisan atau bisa juga berupa buku-buku kisah
yang bergambar. Jelaskan hikmah yang dapat diambil dari setiap
kisah tersebut.
f. Hindarkan anak dari cerita-cerita dan tontonan takhayul, khufarat
dan bid’ah
g. Bawalah anak ke tempat-tempat yang bisa memperkuat aqidah dan
tauhid.
51
2. Konsep Tauhid sesuai tafsir al-Mishbah
Dalam tafsir al-Mishbah disebutkan adanya 4 macam keesaan Allah yaitu :
a. Keesaan zat
b. Keesaan sifat
c. Keesaan dalam perbuatan
d. Keesaan beribadah kepada-Nya
Keesaan zat Allah adalah seseorang harus percaya kepada Allah SWT, tidak
terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Teori ini hampir sama dengan Tauhid
Rububiyah yang memiliki arti meyakini dengan mantap bahwa Allah SWT adalah
rabb segala sesuatu dan tiada Allah selain Dia. Keduanya memiliki makna yang
sama bahwa setiap makhluk ciptaan-Nya harus percaya adanya Allah dalam
penciptaan alam semesta ini dan Tuhan seluruh makhluk. Pendidikan tauhid
kepada anak harus dilakukan sejak dini agar anak mengenal Tuhan yang
menciptakannya.
Keesaan sifat Allah bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam
substansi dan kapasitas-Nya dengan sifat Makhluk, walaupun dari segi bahasa
kata yang digunakan menunjuk sifat tersebut sama. Sedangkan keesaan dalam
perbuatan mengandung arti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini merupakan
kehenda Allah SWT. Keesaan sifat Allah dan keesaan dalam perbuatan-Nya yang
dijelaskan dalam tafsir al-Mishbah memiliki kesamaan dengan Tauhid Asma wa
Sifat yaitu meyakini secara mantap bahwa Allah menyandang seluruh sifat
kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan bahwa Allah berbeda dengan
seluruh makhluk-Nya. Pendidikan tauhid ini bisa diterapkan kepada anak-anak
dengan mengenalkan asmaul husna kepada mereka, agar mereka tahu apa saja
sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Keesaan beribadah secara tulus kepada-Nya yang merupakan keesaan keempat
merupakan perwujudan dari keesaan zat, keesaan sifat dan keesaan perbuatan
Allah. Sama halnya dengan Tauhid Uluhiyah yang bermakna mengesakan Allah
dengan memurnikan perbuatan para hamba semata-mata dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah, dengan cara beribadah. Setelah anak mengenal siapa yang
menciptakan dan apa saja sifat dari sang pencipta, maka pendidikan yang
52
selanjutnya dikenal kan kepada anak adalah beribadah. Ibadah yang kita lakukan
sehari-hari. Ini bisa dimulai dengan melakukan ibadah yang paling utama terlebih
dahulu, misalnya : shalat.
Perwujudan tauhid ini perlu adanya pembiasaan dan bimbingan sejak dini dari
semua pihak seperti orangtua, guru dan orang disekitar.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. M. Quraish Shihab merupakan salah satu ulama tafsir di Indonesia. Beliau
lahir di Lotassalo, Rappang, kabupaten Sidenreng Rappang ( Sidrap ),
Sulawesi Selatan pada hari Rabu, 16 Februari 1944, bertepatan dengan 22
Safar 1363 H. Ayah Quraish bernama Habib Abdurrahman Shihab dan
ibunya Puang Asma. Quraish Shihab pernah menjadi santri di al-
Faqihiyah, Malang. Guru M.Quraish Shihab adalah Habib Abdul Qadir Bil
Faqih. Quraish Shihab juga seorang penulis yang banyak menghasilkan
karya seperti :
Karya tentang Studi Al-Qur’an adalah:
a. Tafsir al-Mannar, Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha.
Pada 2005 diterbitkan lagi dengan judul Rasionalitas Al-Qur’an Studi
Kritis atas Tafsir Al-Manar di Lentera Hati, Jakarta.
b. Diambil dari kumpulan artikel Quraish antara 1975-1992 terbitlah
buku yang berjudul membumikan al-Qur’an (Mizan: 1992).
c. Sesudah itu diterbitkan pula Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I
atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996).
d. Tanggal 18 Juni 1999 Quraish mulai menulis karyanya yang
monumental yaitu Tafsir al-Mishbah, saat beliau ditugaskan sebagai
Duta Besar di Mesir, dan selesai pada 5 September 2003.
2. Konsep tauhid menurut tafsir al-Mishbah sebagai berikut :
Dalam tafsir al-Mishbah dikatakan keesaan Allah mencakup 4 hal yaitu,
keesaan zat, keesaan sifat, kesaan dalam perbuatan dan keesaan beribadah
kepada-Nya. Hal ini penulis kaitkan dengan teori Tauhid Rububiyah,
54
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Tauhid Rububiyah memiliki
arti yang sama dengan keesaan zat, yaitu mempercayai zat-Nya Allah.
Tauhid uluhiyah memeiliki makna yang sama dengan keesaan dalam
perbuatan dan keesaan beribadah kepadanya, yaitu meyakini adanya zat
Allah dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Kemudian Asma’ wa Sifat memiliki makna yang sama dengan keesaan
sifat yang biasa kita sebut asmaul husna.
3. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas terdapat konsep pendidikan aqidah yang
harus diberikan anak sejak dini karena agama Islam mengajarkan
bahwasanya seluruh alam ini, Tuhanlah yang telah menjadikan, menguasai
dan mengawasinya. Pendidikan yang ditekankan dalam keluarga:
a. Menanamkan ketauhidan dalam diri anak sebagaimana yang telah
diajarkan agama.
b. Mengenalkan ketetapan-ketetapan agama sehingga dengan
perkembangan zaman anak dapat mengetahui mana yang
diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.
c. Membimbing anak secara bertahap untuk mengetahui makna
keyakinan yang sebenarnya sehingga anak mampu menerapkan dalam
lingkungan keluarga dan tidak mudah terbawa arus penyimpangan
pergaulan.
Orang tua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dan nilai-nilai Islami
dalam keluarga. Sejak dalam kandungan orang tua sudah harus mengenalkan dan
mengajarkan ketauhidan kepada anak. Dengan bekal tauhid inilah anak akan
berkembang sesuai batasan-batasan yang telah ditetapkan. Agar menjadi manusia
muslim yang benar-benar meyakini keEsaan Allah dan dapat mengamalkan
ajaran-ajaran yang ada demi kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Metode
yang dapat diterapkan dalam keluarga muslim:
a. Metode Pembiasaan
b. Metode Keteladanan
c. Metode Hukuman
d. Metode Ganjaran
55
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, dapat diajukan beberapa saran berkaitan
dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Bagi Peserta Didik, sebaiknya lebih menekankan pada aspek kesadaran
diri betapa penting penanaman keyakinan dan lebih mendalami ajaran
agama demi kebaikan diri sendiri. Melatih diri untuk bisa mengamalkan
ilmu-ilmu yang telah didapat baik dari lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah maupun lingkungan masyarakat.
2. Bagi Orang Tua, hendaklah mendalami wawasan agama untuk bekal
pendidikan pertama anak, menerapkan metode-metode yang sesuai dengan
perkembangan dan kemampuan anak. Dengan landasan agama yang kuat
dan pendidikan yang baik maka anak akan berkembang sesuai dengan
yang diajarkan.
3. Bagi Guru, dalam mendidik siswa alangkah baiknya dengan kesabaran,
keadilan dan penuh kasih sayang, sehingga dengan suasana belajar seperti
itu siswa akan lebih mengedepankan keingintahuan mereka dan akan
mengamalkan apa yang telah diajarkan.
4. Bagi Masyarakat dan Pemerintah, hendaknya memberikan dukungan
penuh untuk anak mereka melalui kegiatan-kegiatan yang berasas nilai-
nilai spiritual untuk menumbuh kembangkan pengetahuan serta
menekankan anak untuk hidup sesuai dengan norma agama.
5. Bagi Diri Sendiri, hendaknya belajar untuk lebih mendalami ilmu yang
belum diketahui maupun sudah diketahui serta mengamalkan ilmu itu
dalam bermasyarakat dan berusaha menciptakan lingkungan keluarga yang
islami.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Abdullah, Yatimin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 19923. Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.
Anwar, Mauluddin, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa. 2015. Cahaya, Cinta, dan
Canda M. Quraish Shihab. Tangerang. Lentera Hati.
Asymuni, A. Yasin. 2005. Khasiat, Keistimewaan, Keajaiban, Tafsir dan Ta’wil
Surat Al-Ikhlas. Kediri: Ponpes. Hidayatut Thullab.
B. Milles, Matthew & A. Micahael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: UI-Press. Maunah,Binti.2009. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Teras.
Elias, Maurice J, et.al. 2002. Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak Saleh. Vol 3,
Kaifa
Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta:
Aksara Sinergi Media.
Jazairi, Syaikh Abu Bakar Al-. 2002. Akidah Mukmin. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Juwariyah. 2010. Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:
Teras.
Khatibi, Muhammad Ajjaj Al-. 1975. Usul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikri.
Lari, Sayyid Mujtaba Musawi. 1997. Meraih Kesempurnaan Spriritual. Bandung :
Pustaka Hidayah.
Muhaimin. 2000. Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Rida dan
Tokoh-Tokoh Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Dinamika.
Panitia Mudzakarah Ulama, 1987/1988. Memelihara Kelangsungan Hidup Anak
menurut Islam: Kerjasama Depag, MUI dan UNICEF. Jakarta
Pusat Bahasa.Departemen Pendidikan Nasional.2003. Kamus Besar Bahasa
Indonesia.edisi 3.cet-2. Jakarta: Balai Pustaka.
Quthb ,Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an .Jakarta: Gema Insani
Sabbiq,Sayyid. 2008. Aqidah Islamiyah. Jakarta : Robbani Press.
Shiddieqy, Hasbi Ash-. 2002. Al-Bayan Tafsir Penjelasan Al-Qur’anul Karim.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
__________________. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
Shihab,M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an . Jakarta: Lentera Hati .
__________________. 1994. Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu
dalam kehidupan masyarakat. Bandung: Mizan.
Sukardjo,M. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya/M.Sukardjo.
Ukim Komarudin. Jakarta: Rajawali Pers.
Razak, Nasruddin. 1989. Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Rifa’I, Muhammad Nasib Ar-. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir. Jakarta: Gema
Insani.
Tafsir, Ahmad.2013. Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tim Keilmuan Lembaga Imam dan Khatib di kota suci Makkah, Saudi Arabia.
1998. Dasar-Dasar Aqidah Islam. Jakarta:WAMY.
Thoib, Ismail.2008.Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Genta Press
Ubaidah, Darwis Abu. 2008. Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Ulwan, Abdullah Nashih. 2013. Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Jakarata;
Khatulistiwa.
Umar, Bukhari. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al. 2000. Syarah Tsalatsatul Ushul
Mengenal Allah, Rasul dan Dinul Islam. Solo: al-Qowam.
Yasin, Muhammad Nu’aim. 2002. Iman Rukun, Hakikat dan yang
Membatalkannya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media.
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar. 1995. Metodologi Pengajaran Agama dan
Bahasa Arab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zein , Muhammad.1991. Methodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta:
Sumbangsih Offset Papringan.
Biodata Penulis
Nama : Tri Zunaenah
Tempat , Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 8 April 1994
Alamat : Dsn. Gilang Rt. 01 Rw. 01, Ds. Tegaron, Kec.
Banyubiru,
Kab. Semarang
Nama Orang tua
Ayah : Muslimin
Ibu : Ngatmi
Alamat : Pringapus Rt.03 Rw.02, Kec. Pringapus, Kab.
Semarang
Riwayat Pendidikan:
1. RA Darul Ma’arif Pringapus, Kab. Semarang, lulus pada tahun 2000.
2. SD Negeri Pringapus 03, Kab. Semarang, lulus pada tahun 2006.
3. SMP Negeri 1 Bergas, Kab. Semarang, lulus pada tahun 2009.
4. SMA Takhassus Al-Qur’an, Kab. Wonosobo, lulus pada tahun 2012.
Salatiga, Maret 2018
Penulis
Tri Zunaenah