konstruksi sosial religiusitas studi jam

211
i Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi tentang Religiusitas terhadap Jama’ah Maiyah di Yogyakarta) The Social Construction of Religiosity (Study on Religiosity among Maiyah Community in Yogyakarta) SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosiologi Disusun Oleh : BARIKUR RAHMAN 09/281876/SP/23331 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

Upload: multazammansyuraddury

Post on 27-Jan-2016

52 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Konstruksi Sosial Religiusitas

TRANSCRIPT

Page 1: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

i

Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi tentang Religiusitas terhadap Jama’ah

Maiyah di Yogyakarta)

The Social Construction of Religiosity (Study on Religiosity among Maiyah

Community in Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi persyaratan

mencapai gelar Sarjana Sosiologi

Disusun Oleh :

BARIKUR RAHMAN

09/281876/SP/23331

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013

Page 2: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

ii

Page 3: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

iii

Page 4: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

iv

TENTANG PENULIS

Barikur Rahman adalah anak pertama dari pasangan Muhaimin dan Umi Alifah.

Melalui Jurusan Sosiologi, laki-laki yang akrab disapa “Bari” ini memiliki

berbagai cita-cita besar seperti manajer stasiun televisi, dosen dan sosiolog

handal. Juga berharap mampu berkonstribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan

masyarakat yang membutuhkan.

Bari memiliki tiga kata sebagai semboyan hidup :

“hope, belief and struggle”

[email protected]

Page 5: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk yang paling berharga dalam hidup saya :

Allah SWT

Serta Kekasih-Nya tercinta :

Nabi Muhammad SAW

Kepada Ibuk saya Umi Alifah, yang membesarkan dengan penuh kasih sayang

dan nasehat sehingga saya mampu mencapai kesuksesan. Kepada Ayah saya

Muhaimin, yang telah membesarkan dan memberi teladan bagi saya untuk

menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab bagi keluarga dan masyarakat.

Juga Kepada Adik saya Nova Lia Nur Ariza, jadilah anak yang berbakti dan

membanggakan orang tua, dan jadilah apapun kelak yang bermanfaat bagi diri

sendiri, keluarga, masyarakat dan agama.

Serta kepada seluruh keluarga besar saya dari pihak ayah dan pihak ibu semuga

keluarga kita tetap bahagia dan sejahtera, selalu dirahmati Allah SWT dan

diberkahi dengan rizki melimpah yang halal dan baik.

Page 6: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas kebesaran, rahmat, kasih dan

karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan

sesuai target. Skripsi ini telah menuntun saya melakukan penelitian dengan

segenap tenaga dan pikiran. Sehingga skripsi ini saya yakini sebagai takdir yang

akan membawa saya pada kehidupan yang lebih baik di hari esok.

Dalam mengerjakan ini saya akui tidak berjalan sendirian, banyak orang-

orang yang ikut andil dan berperan penting dalam proses perjalanan saya meraih

gelar sarjana sosial ini. Untuk pihak yang telah membantu, saya mengucapkan

banyak terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Orang-orang berjasa itu

adalah :

1. Kedua orang tua saya : Ayah Muhaimin dan Ibuk Umi Alifah, serta

Adik Nova Lia Nur Ariza. Terimakasih atas dukunganya untuk bergelut

menuntut ilmu di jurusan sosiologi, pemakluman kalian atas kesibukan

saya sehingga jarang pulang kampung, serta kesediaan kalian

membantu segala sesuatunya baik moril maupun materil hingga detik

ini. Terimakasih.

2. Kepada seluruh keluarga saya dari pihak ayah dan ibuk, terimakasih

atas perhatian dan kasih sayangnya. Semuga kalian semua selalu sehat

wal afiat dan ditambah rizkinya.

3. Dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi saya

Dr. Partini, SU, atas segala masukan dan saran selama mengerjakan

skripsi ini.

4. Kedua dosen penguji saya, Dr. Supraja, M.Si. dan Dr. M. Najib Azca,

MA, yang telah memberikan masukan dan saran terhadap proses

penyajian data skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Jurusan Sosiologi dan Dosen seluruh jurusan Fisipol

UGM lainnya, yang pernah saya ikuti mata kuliahnya. Terimakasih atas

berbagai ilmu yang saya dapatkan.

Page 7: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

vii

6. Serta seluruh staf-staf Jurusan Sosiologi dan Fisipol yang senantiasa

membantu kelancaran administrasi dan persyaratan skripsi ini.

7. Terimakasih juga terutama bagi Jama’ah Maiyah yang senantiasa

berbagi cerita dan inspirasi diantaranya, Pak Maskun, Pak Wawan, Pak

Djazuli, Fafa, Halimah, Adit, Bagus, Deni dan Bu Suci.

8. Sahabat-sahabatku yang tak bernyawa: Kuda besi X125R (yang selalu

menemani kemanapun saat suka dan duka), Bilbo (laptop yang

menemani saya kuliah, tugas dan skripsi, walau sekarang hilang entah

kemana tapi semuga engkau tetap bermanfaat bagi siapapun), Aragorn

(laptop saya saat ini yang menemani menyelesaikan dan menjaga

skripsi ini sampai akhir, semuga engkau terus ada selamanya), juga

tidak lupa pada kipas angin, radio dan tas career yang selalu menghibur

hati saya.

9. Terima kasih juga pada buku-buku saya, baik yang di kos, rumah,

perpus fisipol, gramed, shoping, dan lain-lain yang senantiasa

menambah wawasan saya.

10. Sahabat-sahabat saya di jurusan Sosiologi angkatan 2009 terimakasih

atas segala keceriaan dan rasa kangen selama menempuh bangku

perkuliahan ini.

11. Juga sahabat-sahabat saya sesama punggawa galau skripsi di Jurusan

seperti Mbak Puput, Rusme, Defri, Yusuf, Aji, Alfan, Sule, Iyus, Intan,

Zola, Nopa, Bagus, Monita, Rina, dan lain-lain, yang selalu menjadi

partner dikala harus menunggu dosen dan melengkapi persyaratan lulus.

Juga para punggawa galau skripsi di jurusan lain seperti Ikaz, Riza,

Arif, Rina, Yuni, dan lain-lain. Semuga skripsi kalian segera kelar,

semangat..

12. Seluruh sahabat-sahabat KKN Unit 34 saya seperti Mak Uli, Edi, Okta,

David, Prio, Anif, Uci, Nenek, Cindi, Daeng, Adit, Jejep, Mita, Mike,

Martin, Wely, Mak Pit, Ana, Kaswan, Fajar, Petra, Egi, dan masih

banyak lagi, terimakasih masing-masing dari kalian mampu memberi

Page 8: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

viii

inspirasi dan pelajaran berharga bagi diri saya dengan cara kalian

masing-masing. Semuga persahabatan kita tak kan pernah terputus.

13. Kepada seluruh sahabat-sahabat saya di Unit Penalaran Ilmiah (UPI)

seperti Mbak Arin, Nur, Gigih, Vinda, Sekar, Indah, Rina, Nadiah,

Dwisty, Afrinda, Wawan, Erik, Rini, Jaiz, dan lain-lain. Ayo terus

ramaikan dan majukan UPI.. saya yakin ditangan kalian UPI akan selalu

hidup dan maju.

14. Kepada temen-temen saya di kampung, yang selalu menemani saat saya

ada di kampung halaman seperti, Kebo(Beni), Rian, Danang, Eri,

Pendik, Umi Khus, Bayu, Mbak Dar, Mamblung (Zudin), dan lain-lain.

Terimakasih atas obrolan aneh dan gak nyambungnya, selalu memberi

keceriaan tersendiri.

15. Kepada sahabat-sahabat saya sesama pendaki gunung nekat seperti

Febi, Agung, Nikol, Rido, Yulika, Balqis, Ita, Nadia, Imam, Pandu,

Een, Intan, dan seterusnya. Bersama kalian sungguh menyenangkan,

terimakasih atas pengalaman menyenangkan sekaligus menegangkan

selama di gunung. Ayo mendaki lagi...

16. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang

telah memberikan bantuan, dorongan serta semangat kepada saya.

Thanks, all of you.

Pada akhirnya skripsi ini tidak hanya dimaknai sebagai sebuah syarat

kelulusan semata, tapi sebuah pengalaman dan cerita hidup yang luar biasa. Akhir

kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan, terutama sosiologi. Terimakasih..

Barikur Rahman

Page 9: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

SURAT PERNYATAAN iii

TENTANG PENULIS iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

ABSTRAK xii

BAB I.......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 7

C. Tujuan ............................................................................................................................. 7

D. Tinjauan Teoritis............................................................................................................. 8

1. Realitas dan Pengetahuan ........................................................................................... 8

2. Konstruksi Realitas Sosial ........................................................................................ 10

3. Pemaknaan Realitas Sosial ....................................................................................... 12

4. Religiusitas dalam Kategori Sosial ........................................................................... 13

5. Maiyahan .................................................................................................................. 15

E. Metode Penelitian ......................................................................................................... 16

1. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi ............................................................. 16

2. Teknik Pengumpulan Data........................................................................................ 18

3. Subjek Penelitian ...................................................................................................... 20

4. Sampel Penelitian ..................................................................................................... 20

5. Lokasi Penelitian....................................................................................................... 24

BAB II ...................................................................................................................................... 25

SEPUTAR MAIYAHAN DAN JAMA’AH MAIYAH ........................................................... 25

A. Gambaran Umum Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta .............................. 25

1. Secara Administratif dan Geografis.......................................................................... 25

2. Visi dan Misi............................................................................................................. 28

3. Setting Sosial Religiusitas ........................................................................................ 29

Page 10: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

x

B. Maiyahan ...................................................................................................................... 32

1. Secara Epistemologi ................................................................................................. 32

2. Prosesi dan Setting Acara ......................................................................................... 33

3. Sejarah dan Diskripsi Wilayah Penelitian................................................................. 35

4. Sikap Religiusitas Maiyahan..................................................................................... 37

5. Spesifikasi Informan (Jama’ah Maiyah)................................................................... 41

C. Aktifitas Maiyahan bagi Jama’ah Maiyah .................................................................... 51

1. Maiyahan sebagai Aktifitas Religiusitas................................................................... 51

2. Maiyahan sebagai Aktifitas Hiburan ........................................................................ 56

3. Maiyahan sebagai Aktifitas Sosial............................................................................ 59

4. Maiyahan sebagai Aktifitas Epistemik ..................................................................... 63

5. Maiyahan sebagai Arena Otoritas Kharismatik ........................................................ 65

D. Makna Maiyahan bagi Berbagai Kategori Sosial ......................................................... 71

1. Aktifitas Religiusitas................................................................................................. 80

2. Aktifitas Hiburan ...................................................................................................... 84

3. Aktifitas Diskusi ....................................................................................................... 87

4. Aktifitas Sosial.......................................................................................................... 88

5. Aktifitas Tokoh Kharismatik .................................................................................... 89

BAB III ..................................................................................................................................... 93

KONSTRUKSI SOSIAL RELIGIUSITAS .............................................................................. 93

A. Dasar-dasar Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari................................................ 94

1. Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari................................................................ 95

2. Hubungan Maiyahan dengan Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari........... 99

3. Bahasa dan Pengetahuan religiusitas dalam Maiyahan........................................... 103

B. Maiyahan Sebagai Realitas Objektif........................................................................... 105

C. Maiyahan sebagai Realitas Subjektif .......................................................................... 112

D. Proses Dialektika Religiusitas..................................................................................... 116

BAB IV................................................................................................................................... 121

REALITAS RELIGIUSITAS JAMA’AH MAIYAH............................................................. 121

A. Dinamika Religiusitas Kategori Sosial ....................................................................... 121

1. Kategori Dewasa..................................................................................................... 123

2. Kategori Pemuda..................................................................................................... 128

3. Kategori Laki-laki................................................................................................... 133

Page 11: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

xi

4. Kategori Wanita...................................................................................................... 137

5. Kategori Kaya ......................................................................................................... 142

6. Kategori Miskin ...................................................................................................... 146

7. Kategori Pekerja ..................................................................................................... 150

8. Kategori Mahasiswa ............................................................................................... 154

B. Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah................................................................. 158

1. Praktik Religiusitas ................................................................................................. 158

2. Timbulnya Religiusitas ........................................................................................... 163

4. Religiusitas dalam Lingkungan dan Keluarga ........................................................ 169

3. Religiusitas dalam Bersikap.................................................................................... 173

4. Religiusitas dalam Kerja dan Usaha ....................................................................... 175

5. Maiyahan, antara Pribadatan dan Hubungan Sosial................................................ 178

BAB V .................................................................................................................................... 183

PENUTUP .............................................................................................................................. 183

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 183

B. Saran ........................................................................................................................... 196

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 198

Page 12: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

xii

ABSTRAK

Religiusitas seringkali muncul dari usaha manusia memenuhieksistensinya, ketika manusia berada dalam masa kekurangan eksistensi sepertikelangkaan, ketidakpastian dan ketidakmampuan. Ketika harapan tidak tercapaiseseorang atau Jama’ah Maiyah cenderung mengalami frustasi, dan Maiyahanmerupakan salah satu lembaga religiusitas yang dianggap paling mampumemberikan motivasi dan obat frustasi tersebut.

Peristiwa tersebut dirasa menarik untuk diteliti, maka digalilahpertanyaan untuk menjawab permasalahan seperti; bagaimana konstruksireligiusitas dalam Maiyahan?; bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagaikategori sosial memaknai aktifitas Maiyahan?; dan bagaimana dinamika danpengaruh religiusitas Maiyahan?. Dalam upaya menjawab permasalahantersebut digunakanlah pisau analisis dari Berger, yaitu teori konstruksi realitasreligiusitas. Dalam teori tersebut secara garis besar membahasa perihal prosesdialektik internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi; dilengkapi dengan konseprealitas subjektif dan realitas objektif.

Data yang diperoleh diantaranya bahwa Maiyahan dimaknai olehJama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial tidak hanya sebagai aktifitasreligiusitas, tetapi juga aktifitas epistemik, aktifitas hiburan, aktifitas sosial, danaktifitas tokoh kharismatik Cak Nun. Perbedaan dan kekhasan pemaknaanMaiyahan tersebut diakibatkan oleh dinamika religiusitas masing-masingJama’ah Maiyah. Dinamika religiusitas cenderung berbeda antar Jama’ahMaiyah dari berbagai kategori sosial. Seperti kategori dewasa dan wanita lebihcenderung memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religius, kategori mahasiswadan pemuda lebih cenderung memaknai Maiyahan sebagai aktifitas epistemik,kategori pekerja dan miskin lebih cenderung memakanai Maiyahan sebagaiaktifitas religiusitas sekaligus aktifitas hiburan, dan seterusnya.

Dari keseluruhan penelitian maka ditarik kesimpulan bahwa konstruksirealitas religiusitas terjadi secara berbeda diantara Jama’ah Maiyah antarkategori sosial. Tetapi keseluruhan membuktikan bahwa terjadi proses dialektikareligiusitas mulai dari sosialisasi primer baik dari orang tua, pendidikanreligiusitas, lingkungan religius, atau dari bacaan dan minat tertentu. SedangkanMaiyahan cenderung menempati posisi sebagai sosialisasi sekunder. SeorangJama’ah Maiyah tidak selalu telah mengalami sosialisasi primer dengan baiksebelum mengikuti Maiyahan. Tetapi Maiyahan mampu menjadi sumberreligiusitas bagi seluruh Jama’ah Maiyah baik yang telah banyak mengertireligiusitas maupun yang sedikit. Maiyahan terbuka dan disenangi olehkebanyakan Jama’ah Maiyah dari seluruh kategori sosial.

Kata Kunci : Maiyahan, Jama’ah Maiyah dan Religiusitas

Page 13: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama merupakan landasan moral bagi perikehidupan manusia. Digunakan

sebagai rasionalitas dalam mengambil keputusan yang mana telah keluar dari nalar dan

kemampuan manusia untuk memecahkannya. Selain materi substantif seperti Tuhan,

Nabi, surga, neraka, ibadah, dan ritual-ritual keagamaan lain, agama juga memiliki

materi fungsional bagi kehidupan manusia dengan sesamanya. Seperti ungkapan

seorang Sosiolog Amerika, Yinger, bahwa agama merupakan sistem kepercayaan dan

peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasi

persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia.1

Sebagai dogma dan kepercayaan, agama dapat menjadi penyemangat hidup,

obat frustasi, penyulut kemarahan, pereda pertikaian, hingga alat politik. Tidak

konstan perilaku manusia berlandaskan agama. Terdapat kepercayaan lain yang

bersaing dengan doktrin keagamaan dalam bertindak, seperti misalnya kapitalisme,

sosialisme, sekulerisme, modernism, dan sebagainya, apalagi dalam kehidupan serba

modern saat ini. Bahkan dalam batas tertentu dogma agama tersingkir dan tergantikan

oleh faham-faham tersebut. Tetapi, dalam batas tertentu pula seperti yang diungkapkan

pengkaji sosiologi agama, Betty R. Scharf beserta para pengkaji lain secara umum

bahwa semua masyarakat didunia dalam batas-batas tertentu akan kembali pada

1 Scharf, Betty R. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1995). hlm. 31

Page 14: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

2

dogma agama walaupun mungkin sekian lama jauh ataupun tidak mengenalnya.

Ketika mencapai batas maka ketika inilah terjadi apa yang dinamakan bersifat religius.

Misalnya, ketika seseorang dalam bencana tsunami tergolek lemah dibawah puing-

puing bangunan tanpa seseorang pun yang menolong, disitulah dia mulai memanggil

Tuhan dan meminta pertolongan. Walaupun mungkin seseorang itu sebelumnya tidak

pernah taat beragama atau bahkan tidak beragama sekalipun.

Hal tersebut menjadi bukti bahwa seringkali agama memerankan fungsi ganda,

yaitu secara fungsional dan substantif. Hubungan keduanya menciptakan apa yang

disebut manusia religious. Dimana manusia mampu memadukan dengan baik agama

secara fungsional dalam berhubungan dengan sesamanya dan agama secara substantif

dalam hubungan transendental dengan Tuhannya. Disamping itu, religiusitas

seringkali muncul dari usaha manusia memenuhi eksistensinya, ketika manusia berada

dalam masa kekurangan eksistensi seperti kelangkaan, ketidakpastian dan

ketidakmampuan, yang menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi keinginannya

sesuai harapan. Pernyataan ini kiranya lebih relevan diaplikasikan secara humanis dari

pada sekedar bahwa religiusitas timbul karena adanya cobaan atau hidayah dari Tuhan.

Kekurangan eksistensi tersebut berkembang dalam banyak bentuk, yang

menjadi akut dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga timbullah apa yang disebut

sebagai masalah sosial. Menjadi wajar masalah sosial timbul dalam masyarakat,

terimplementasi dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Misalnya

korupsi, kriminalitas, kemiskinan, ketidakadilan, dan lain-lain. Menimbulkan korban

yang dirugikan dari masalah sosial ini, dan tentu saja dari kalangan powerless dalam

masyarakat. Bukan hanya masalah sosial, tetapi juga dalam kehidupan pribadi dimana

Page 15: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

3

sering terjadi masalah batin ketika manusia tidak mampu mencapai apa yang dicita-

citakan.

Masalah demi masalah merupakan kenyataan yang menimbulkan penderitaan,

baik dalam taraf biasa yang masih mampu diatasi maupun diluar kewajaran yang

menimbulkan putus asa dan frustasi lahir batin. Namun, merupakan kodrati manusia

untuk berusaha menyelesaikan masalah demi masalah yang melingkupi hidupnya.

Sejarah manusia mengungkapkan usaha-usaha manusia yang bergerak dalam dua

bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang dan kebutuhan akan

kebahagiaan nanti.2 Baik usaha yang bersifat non-religius karena kebahagiaan tersebut

masih dapat dicapai dengan kekuatan manusiawi, maupun usaha religius dimana

ketika manusia tak berdaya lagi mencapai kebahagiaan. Dengan demikian religiusitas

menjadi alternatif terakhir demi tercapainya kebahagiaan, tidak terkecuali pula dalam

kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.

Religiusitas tidak akan lepas dari aspek keagamaan, sehingga dibutuhkan arena

religiusitas yang dapat berperan dalam fungsinya melembagakan agama dengan cara

memberikan pedoman bagaimana harus bertingkah laku atau bersikap dalam

menghadapi berbagai masalah yang timbul dan berkembang, terutama yang

menyangkut kebutuhan pokok dalam realitas sehari-hari. Lalu memberikan pegangan

kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut

sistem tertentu.3

Maiyahan merupakan salah satu arena bagi perjuangan dan kepentingan

membentuk sisi kehidupan religius, dalam upayanya melembagakan agama dalam

2Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 323Ali&Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995) Hlm : 2-3

Page 16: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

4

kehidupan sehari-hari. Maiyahan masih dinilai mampu memberi pedoman bertingkah

laku secara religious. Memberikan pegangan hidup dalam pengendalian sosial, serta

mampu menjaga keutuhan masyarakat. Terutama para peserta Maiyahan yang

antusias, yang biasa disebut “Jama’ah Maiyah”.

Maiyahan, atau biasa juga disebut “Mocopat Syafaat” diprakarsai sekaligus

diasuh oleh seorang seniman, budayawan, sastrawan, serta intelektual Indonesia, yaitu

Emha Ainun Nadjib, yang mana selalu tampil disertai grup musiknya yaitu Kiai

Kanjeng. Secara rutin (bulanan) setiap tanggal 17 mulai selepas Isya’ hingga pukul

03.00 WIB. Maiyahan aktif diadakan, melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman

atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara

berfikir, yang juga diselingi pertunjukan seni dari Kiai Kanjeng, seperti musik,

pembacaan puisi, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.4

Jama’ah Maiyah tergabung dari berbagai kategori sosial. Berbagai kategori

sosial tersebut dapat terlihat secara fisik, seperti kategori berdasarkan jenis kelamin

pria atau wanita, usia tua atau muda, sampai pada kategori sosial tidak terlihat secara

fisik seperti kaya, miskin, pekerja atau mahasiswa.

Dalam Maiyahan mereka bersama menikmati acara sekaligus menyerap

berbagai pengetahuan dan merefleksikan pengalaman. Tentu perbedaan kategori sosial

Jama’ah Maiyah memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap substansi acara

Maiyahan. Karena pada dasarnya manusia telah memiliki realitas subjektif yang

diperoleh dari buku, keluarga, teman sebaya, masyarakat, lingkungan kerja, dan lain-

lainnya yang melandasi setiap keputusan dan tindakan.

4http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/emha-ainun-nadjib-yang-akrab-dipanggil.html, diunduhpada 21 februari 2013.

Page 17: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

5

Misalnya, Jama’ah Maiyah kategori mahasiswa lebih memaknai Maiyahan

sebagai aktifitas epistemik. hal ini menghasilkan makna bahwa Maiyahan merupakan

acara diskusi yang membahas masalah sehari-hari, dan memberikan banyak wawasan.

Maiyahan pun sebagai lambang bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap

kondisi pemerintahan dan dampak dari pengambilan keputusannya. Diskursus seputar

isu sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, menjadi inti dari tujuan hadir

dalam Maiyahan. Sembari menambah wawasan pengetahuan umum, sekaligus

menambah wawasan spiritual karena diskusi Maiyahan kerap kali mentransformasikan

isu-isu umum kedalam religiusitas sebagai kunci pemecahan masalah.

Begitu pula masyarakat yang datang ke Maiyahan lebih pada keinginan untuk

menikmati alunan musik Kiai Kanjeng. Hal ini bisa memberi makna bahwa Maiyahan

cenderung kepada acara hiburan musik, dilihat dari perlengkapan dalam ruang publik

tersebut. Terdapat objek berupa alat-alat musik baik tradisional seperti gamelan,

maupun modern seperti gitar, bass, piano, drum, dan lain-lain. Apalagi dilengkapi

dengan seperangkat sound sistem lengkap yang menghasilkan suara musik yang apik.

Serta konsep acara yang banyak menyajikan lagu baik pop, klasik, tradisional, jazz,

dangdut, dan sebagainya. Memberi makna bahwa Maiyahan merupakan acara

pagelaran musik, terlebih pada musik religius.

Tujuan Jama’ah Maiyah hadir dalam Maiyahan bisa berarti salah satu dari

beberapa diantaranya. Walaupun bisa juga Maiyahan hanya dimaknai sebagai pelepas

penat dan hiburan semata, sembari menikmati malam dan mengisi aktifitas begadang

dengan lebih bermanfaat, atau bisa juga mengikuti Maiyahan karena menemani teman

yang ingin menonton saja. Mereka tidak hadir secara konsisten dan sebenarnya tidak

Page 18: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

6

terlalu berminat dengan acara Maiyahan. Selanjutnya terdapat pula yang hadir karena

menganggap Maiyahan sebagai wadah melepaskan beban depresi akibat kesulitan

dalam hidup sehari-harinya, seperti masalah karir, keuangan, keluarga, cinta, dan lain-

lain. Berharap Maiyahan dapat membantu lebih mendekatkan diri pada Tuhan, hingga

akhirnya tercapai ketenangan batin yang diinginkan.

Maiyahan dapat dikatakan sebagai arena konstruksi sosial religiusitas, yang

dieksternalisasikan dari subjektifitas Grup Kiai Kanjeng yang terdiri atas cendikiawan,

ahli agama, musisi, artis, dan lain-lain; dieksternalisasikan melalui diskursus, musik,

dan doa. Selanjutnya religiusitas tersebut diinternalisasi pada diri Jama’ah Maiyah

melalui pemantapan sosial terus-menerus setelah mengikuti Maiyahan pertama kali.

Realitas religiusitas akan dipahami sebagai landasan berfikir, baik masyarakat

yang sebelumnya cukup mengenal agama ataupun masyarakat yang awam sama sekali

terhadap agama. Hingga pada akhirnya realitas religiusitas tersebut diinternalisasi

melalui peresapan kembali realitas yang telah terobjektifasi menjadi konsensus

bersama dalam Maiyahan. Ditransformasikan berulang kedalam struktur kesadaran

subjektif Jama’ah Maiyah, tentu berdasarkan pemaknaan subjektif berdasarkan

kategori sosial masing-masing.

Oleh karena itu, perlu diadakan suatu penelitian yang mampu menjawab

bagaimana proses humanisasi religiusitas kedalam ruang kehidupan masyarakat di era

modern ini. Mengenai sejauh manakah konstruksi religiusitas dilakukan, dan

bagaimana pemaknaan terhadap proses tersebut.

Page 19: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

7

B. Rumusan Masalah

Munculnya Maiyahan merupakan bagian dari dibangunnya tata sosial yang

lebih religius. Konsep acara Maiyahan seperti diskusi, puisi, lagu, shalawat, dan lain-

lain dimaknai oleh Jama’ah Maiyah berdasarkan kategori sosial masing-masing. Tidak

lepas dari realitas religiusitas subjektif Jama’ah Maiyah dalam kehidupan sehari-hari

sebelum mengenal Maiyahan dan realitas religiusitas objektif dalam Maiyahan.

Tergabung dan dibahas dalam proses dialektis internalisasi, objektifasi dan

eksternalisasi sosiologi pengetahuan. Oleh karena itu diambil rumusan masalah

sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimana konstruksi religiusitas dalam Maiyahan?

2. Bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial memaknai

aktifitas Maiyahan?

3. Bagaimana dinamika dan pengaruh religiusitas Maiyahan?

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini secara umum ialah untuk mendeskripsikan dan mencari

tahu perihal makna Maiyahan yang berkenaan seputar konstruksi religiusitas terhadap

Jama’ah Maiyah. Tetapi secara khusus penelitian ini juga bertujuan mendeskripsikan

perihal :

1. Mendiskripsikan bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial

memaknai Maiyahan.

2. Mengetahui motivasi dibalik keikutsertaan dalam Maiyahan.

Page 20: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

8

3. Mendiskripsikan pemahaman Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial

seputar religiusitas dalam realitas kehidupan sehari-harinya (realitas

religiusitas subjektif) maupun dalam Maiyahan (realitas religiusitas objektif).

4. Mendiskripsikan bagaimana pengaruh Maiyahan terhadap Jama’ah Maiyah

dalam kehidupan sehari-harinya.

D. Tinjauan Teoritis

Kerangka pemikiran studi ini berdasarkan pemaknaan seseorang berdasarkan

kategori sosial masing-masing terhadap realitas, baik realitas objektif maupun

subjektif. Dimana keduanya menjadi landasan dalam memperoleh pengetahuan.

Dalam memahaminya perlu dipalajari konsep-konsep berikut :

1. Realitas dan Pengetahuan

Dasar teori konstruksi realitas sosial Berger ialah gagasan mengenai

“pengetahuan dan realitas”. “Pengetahuan” diartikan sebagai “the certainly

that phenomena are real and that they possess specific characteristic”

(kayakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik

tertentu). Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam

kesadaran individu.5 Setiap individu mempunyai bekal pengetahuan masing-

masing yang diyakini dan dilaksanakan. Pengetahuan menjadi suatu kesadaran

5Samuel, Hanneman. Peter Berger, Sebuah Pengantar Ringkas. (Depok: Penerbit Kepik, 2012). Hlm:14

Page 21: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

9

individu dan diartikan menurut cara masing-masing individu. Pengetahuan ini

dikenal pula sebagai “realitas subjektif”.

Sedangkan “Realitas” diartikan sebagai “a quality pertaining to

phenomena that we recognize as having a being independent of our volition”

(kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar

kehendak kita). Maksudnya, realitas merupakan fakta sosial yang bersifat

eksternal, umum, dan mempunyai kemampuan memaksa kesadaran masing-

masing individu.6 Realitas tetap ada, terlepas dari manusia suka atau tidak

suka. Realitas ini disebut pula sebagai “realitas objektif”.

Hadirnya suatu realitas baru dalam diri individu akan dihadapkan

dengan pengetahuan subjektif individu, dan juga pengaruh kenyataan dalam

lingkungan pergaulan individu. Sehingga individu berhak merespon dan

memaknai apapun dari realitas baru yang diinternalisasinya, bisa saja

menerima tetapi bisa pula menolak.

Penelitian ini berasumsi bahwa seseorang telah memiliki pengetahuan

atau realitas religius subjektifnya sendiri. Diperoleh sejak sosialisasi primer

dari internalisasi yang diberikan orang tua, lingkungan, pendidikan dan

bacaan sejak kanak-kanak. Tetapi juga tidak mengingkari kemungkinan

terdapat seseorang yang kurang memperoleh pendidikan religiusitas sejak

kanak-kanak. Tetapi baru mengenal religiusitas dengan baik setelah mengikuti

Maiyahan. Sedangkan Maiyahan merupakan fakta sosial yang bersifat

6 Ibid,.

Page 22: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

10

eksternal, merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan

mempengaruhi religiusitas pada seseorang.

2. Konstruksi Realitas Sosial

Terdapat tiga momentum atau langkah dialektik konstruksi realitas

sosial, ketiga langkah tersebut ialah internalisasi, objektifasi, dan

eksternalisasi. Ketiganya harus dipahami dengan baik untuk dapat

memperoleh pandangan atas konstruksi secara empiris.

Berger menjelaskan bahwa, internalisasi adalah peresapan realitas

oleh manusia, dan mentransformasikannya dari struktur-struktur dunia

objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Sedangkan objektifasi

adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisis maupun mental),

suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam

bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para

produser itu sendiri. Lalu eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian

manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisis

maupun mentalnya. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk

masyarakat. Melalui objektifasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas yang

sui generis, unik. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk

manusia.7

7Berger. Peter L, Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial, (Jakarta: Penerbit LP3ES anggota IKAPI,1991). Hlm: 4-5.

Page 23: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

11

Penelitian ini membatasi penerapan teori konstruksi realitas

religiusitas Berger. Terdapat proses berdinamika sejak sebelum seseorang

mengenal Maiyahan, hingga setelah seseorang mengenal Maiyahan. Sebelum

mengenal Maiyahan, proses dialektika religiusitas Jama’ah Maiyah dimulai

dari tahap internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi. Internalisasi terjadi

sejak sosialisasi primer, baik dari orang tua, lingkungan, pendidikan, maupun

bacaan; dalam prosesnya mengenal atau memutuskan sikap religiusitas.

Kemudian objektifasi, yang terjadi ketika seseorang telah mengenal dan

memaknai aktifitas religiusitas lingkungan sekitarnya sebagai realitas objektif.

Lalu ekstenalisasi, berupa ekspresi sikap religiusitas yang diwarisi dari

sosialisasi primer tersebut.

Lalu berjalan pada proses dialektik tahap selanjutnya, ketika seseorang

telah mengenal Maiyahan. Maiyahan merupakan sosialisasi sekunder, atau

kelanjutan dari tahap sosialisasi primer. Ketika ini proses dialektik pada

Jama’ah Maiyah dimulai dari tahap eksternalisasi, objektifasi dan

internalisasi, lalu dieksternalisasi kembali oleh Jama’ah Maiyah. Tahap

eksternalisasi dilakukan oleh berbagai komponen pengisi acara Maiyahan

sehingga berpengaruh terhadap Jama’ah Maiyah. Kemudian objektifasi, ketika

seseorang telah mengenal dan memaknai apa itu Maiyahan sebagai realitas

objektif yang berlaku umum kebenaranya dalam Jama’ah Maiyah yang lain,

lalu mentransformasikannya kedalam realitas subjektif kembali, untuk

kemudian menjadi motivasi yang mendorong dia mengikuti Maiyahan. Lalu,

merupakan internalisasi dimana ilmu dan wawasan religiusitas yang diperoleh

Page 24: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

12

dalam Maiyahan akhirnya dijadikan landasan religiusitas individu. Serta yang

terakhir merupakan eksternalisasi atau implementasi religiusitas kembali oleh

Jama’ah Maiyah, dan merupakan praktik dari sikap religiusitas yang

diperolehnya selama mengikuti Maiyahan.

3. Pemaknaan Realitas Sosial

Seseorang selalu berada dibalik realitas objektif dan subjektifnya.

Keduanya tidak dapat lepas sebagai satu kesatuan proses dialektis. Realitas

objektif merupakan seperangkat pengetahuan yang telah ada dalam

masyarakat, dan mempengaruhi kehidupan seseorang sebagai anggota

masyarakat. Sedangkan realitas subjektif berasal dari sosialisasi primer yang

diperoleh sejak awal mula seseorang mampu berinteraksi, atau sejak awal

mula seseorang menginternalisasi suatu hal agar sesuai dengan masyarakat.

Pemaknaan sosial seseorang terhadap realitas tidak dapat lepas dari

realitas objektif dan subjektif. Seseorang menyerap realitas sebagaimana

makna-makna objektif dalam masyarakat, tetapi secara bersamaan memaknai

realitas tersebut dengan pengetahuan subjektif yang dimiliki dari pengalaman-

pengalaman yang membentuk biografinya. Lalu, keduanya membentuk suatu

pengetahuan baru yang berasal dari proses pemaknaan tersebut, yang

selanjutnya akan mempengaruhi tindakan dan pemaknaan atas realitas lain.

Page 25: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

13

Dia menjadi tidak saja seseorang yang memiliki makna-makna tersebut tetapi

juga seseorang yang mewakili dan mengekspresikan makna-makna tersebut.8

Dalam penelitian ini realitas subjektif adalah awal dimana dimulai dari

seseorang mengenal religiusitas dari keluarga, lingkungan, pendidikan,

maupun bacaan; tentu sebelum seseorang mengenal Maiyahan. Sedangkan

realitas objektif, ialah ketika seseorang telah mengenal Maiyahan dan

menjadikannya sebagai realitas objektif, untuk kemudian diimplementasikan

sesuai kesadaran baru.

4. Religiusitas dalam Kategori Sosial

Untuk memahami makna dan maksud diterapkanya istilah “religius dan

religiusitas” dalam penelitian ini. Maka dijelaskanlah pengertian terhadap

istilah-istilah tersebut. Secara bahasa (Inggris) terdapat tiga istilah yang

masing-masing kata memiliki perbedaan arti yakni “religi, religiusitas dan

religius”. “Religi” berasal dari kata religion sebagai bentuk dari kata benda

yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya suatu kekuatan kodrati di

atas manusia. Sedangkan “religiusitas”, berasal dari kata religiosity yang

berarti kesalehan, pengabdian yang besar pada agama. Lalu “religius”, berasal

dari kata religious yang berkenaan dengan religi atau sifat religi yang melekat

pada diri seseorang.9 Dengan kata lain “religi” merupakan istilah lain dari

8 Ibid.,9 sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30

Page 26: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

14

“agama”, lalu “religiusitas” merupakan sifat saleh dan mengabdi pada agama,

sedangkan “religius” ialah menunjuk pada sifat religi seseorang.

Religiusitas bertautan dengan kebutuhan manusia akan agama. Terjadi

tatkala manusia tak berdaya sama sekali merebut kebahagiaan dengan

kekuatan sendiri, hingga akhirnya manusia menggunakan tenaga lain yang

dipercaya berada di dunia luar yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera,

namun dirasa mampu membantunya, yaitu agama.10

Religiusitas diungkapkan dalam dua kategori yaitu ungkapan

religiusitas perorangan dan kolektif. Dalam ungkapan religiusitas perorangan,

mengikuti pola-pola kebudayaan tertentu dimana telah diciptakan oleh

pendirinya. Seperti misalnya berdoa dengan menengadahkan tangan, atau pun

berdoa dengan ungkapan bahasa musik. Sedangkan ungkapan religiusitas

kolektif, terpengaruh dari konteks kebudayaan. Dimana tidak hanya

berdimensi illahi tetapi juga berdimensi sosio-budaya, yang hanya dimengerti

oleh budaya yang bersangkutan. Misalnya, upacara kebaktian seperti perayaan

ekaristi, perayaan inisiasi, perayaan sekramen perkawinan, sunatan, dan lain-

lain.

Disamping budaya, religiusitas juga tercermin dari kategori sosial,

karena dalam setiap budaya selalu terdapat berbagai kategori sosial. Proses

pengkategorian sosial tidak dapat dibuat berdasarkan atas kedudukan sosial

yang sama dalam satu lapisan sosial (sosial stratum) tertentu. Tetapi

berdasarkan konteks setting penelitian yaitu Jama’ah Maiyah, dimana

10 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 32-33

Page 27: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

15

komunitas tersebut merupakan komunitas terbuka bagi siapapun yang ingin

mengikuti, berasal dari berbagai kategori sosial berkumpul dalam satu acara.

Misalnya pria dan wanita, antara tua dan muda, antara mahasiswa dan pekerja.

Karena berdasarkan pengalaman, bahwa dari kategori sosial yang

berbeda-beda dan fungsi yang berbeda-beda pula, sejajar dengan pendidikan

dan keahlian untuk lapisan yang satu dengan yang lain, muncul kebutuhan

yang berbeda-beda, gaya dan pandangan hidup yang berbeda, cara berfikir dan

motivasi yang berbeda, dalam menghayati dan menanggapi tuntutan agama.11

5. Maiyahan

Maiyahan diambil dari kata Ma’a, artinya dengan, bersama, beserta.

Ma’iyatullah, kebersamaan dengan Allah, Ma’iyah itu kebersamaan, Ma’ana

bersama kita, Ma’iya bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab tersebut

‘diplesetkan’ oleh Jama’ah Maiyah (sebutan Cak Nun bagi masyarakat dalam

forum Maiyahan) menjadi Maiya, Maiyah, atau Maiyahan. Jama’ah Maiyah

lebih sering menyebut Maiyahan, dengan akhiran “–an”, sebagai keterangan

kata kerja, hingga berarti bahwa Maiyahan merupakan kata kerja. Maiyahan

juga mempunyai istilah lain, seperti mocopat syafaat dan padhang bulan, tapi

masyarakat lebih akrab dengan sebutan Maiyahan.

Selain kesenian dan musik, terdapat pula proses komunikasi sosial

yang komprehensif. Maiyahan rutin diadakan setiap tanggal 17 malam, mulai

11 Ibid. Hlm : 58

Page 28: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

16

selepas Isya’ hingga kurang lebih pukul 03.00 WIB, di Kasihan, Bantul,

Yogyakarta. Selain diadakan rutin setiap tanggal 17, Maiyahan yang diasuh

oleh Emha Ainun Naijib (Cak Nun) dan grup kesenian Kiai Kanjeng ini juga

sering diundang tour berkeliling Indonesia, dan tak jarang pula menjelajah

negeri lain. Maiyahan berusaha menumbuhkan spiritualitas, melalui shalawat,

doa dan wirid, juga demi pencerdasan masyarakat, membangun jiwa

kemandirian, dan menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak

membahayakan jiwa masyarakat, tetapi gembira dan diridhoi Allah dunia

akhirat.12

Maiyahan mungkin bisa dibilang pengajian, tetapi berbeda dengan

pengajian pada umumnya. Sebab Maiyahan tidak hanya diperuntukan bagi

orang Islam saja, karena sering dihadiri pula tokoh-tokoh lintas agama, aliran,

dan kepercayaan. Suasana terbuka dan akrab juga menarik Jama’ah Maiyah

dari berbagai kategori sosial untuk datang.

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi

Fenomenologi adalah bagian dari metode penelitian kualitatif, yang

mana Bogdan dan Tylor mendefinisikan “metode kualitatif” sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

12 www.Caknun.com. Diakses pada 6 Maret 2013

Page 29: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

17

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 Pendekatan lebih

pada latar dan individu secara keseluruhan dan utuh, tidak boleh memilah-

milahnya dan mengorganisasikan kedalam variable dan hipotesa.

Fenomenologi banyak digunakan untuk meneliti pandangan manusia

akan makna dunia, yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dalam

memahami makna perilaku, tindakan, maupun pikiran informan, peneliti

dituntut berfikir fleksibel dan menyesuaikan dengan taraf pemikiran informan.

Dalam memaknai, terjadi suatu kesepakatan bahwa peneliti tidak mau

terjebak hanya pada pemikiran ilmiah sosial tetapi lebih pada interpretasi

terhadap kehidupan keseharian informan yang menginterpretasikan dunia

sosial dalam kerangka besar proses pencarian dalam proses pemahaman

terhadap konstruksi makna dari suatu proses yang bernama

intersubyektivitas.14

Penelitian ini menawarkan tiga model konstruksi religiusitas terhadap

tindakan sosial, yakni : (1) model konsistensi tindakan yang dianggap sebagai

validitas objektif dari konstruksi religiusitas dalam arena Maiyahan yang

membedakan dengan religiusitas masyrakat dalam kehidupan sehari-hari; (2)

model interpretasi subjektif dari hasil pemaknaan Jama’ah Maiyah setelah

mengikuti Maiyahan; sedangkan (3) model kelayakan (kesesuaian) antara arti

makna Maiyahan yang difahami peneliti dengan arti makna Maiyahan dari

yang diteliti.

13 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999). Hlm:314 Nindito, Stefanus. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalamIlmu Sosial. (Jurnal Ilmu Komunikasi: Volume 2, Nomor 1, Juni 2005). Hlm: 89.

Page 30: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

18

Berdasarkan penggabungan konsep pemikiran tentang tindakan sosial

tersebut fenomenologi membantu mengkonstruksi metode ilmu sosial untuk

mencoba identifikasi, mengklasifikasi, dan memperbandingkan model tindakan

sosial secara luas namun sebagai sebuah fenomena menuju terbangunnya

sebuah model tindakan baru,15 dalam hal ini tindakan Jama’ah Maiyah yang

lebih religius.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik, observasi, wawancara mendalam,

dan studi pustaka.

Pengamatan/observasi

Pengamatan penting sebagai cara memperkuat hasil temuan, selain dari

informan dan sumber tertulis. Pengamatan bermanfaat dalam rangka; (1)

mencari pengalaman langsung dengan mengamati peristiwa di arena Maiyahan,

demi memperkuat keyakinan keabsahan data; (2) mengamati, melihat,

kemudian mencatat perilaku dan kejadian dalam Maiyahan; (3) mencatat

peristiwa untuk menyesuaikan dengan proporsi penelitian; (4) mengecek bila

terdapat keraguan dalam data; (5) memahami bila tiba-tiba terjadi situasi yang

unik; dan terakhir (6) pengamatan sangat bermanfaat ketika metode penelitian

lain kurang berfungsi.

Wawancara Mendalam

15 Ibid, Hlm : 90

Page 31: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

19

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara

mendalam (indept interview). Sifat wawancara mendalam ialah terbuka.

Pelaksanaanya tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali dengan

intensitas yang tinggi. Peneliti tidak boleh percaya begitu saja terhadap

perkataan informan, tetapi perlu melakukan cek dan ricek dalam kenyataan

melalui pengamatan. Cek dan ricek tersebut dilakukan secara

berkesinambungan atas hasil wawancara dan hasil observasi lapangan, dan

juga hasil wawancara informan satu ke hasil wawancara informan lainnya.

Wawancara mendalam mensyaratkan informan sebagai kunci penelitian

harus memenuhi pertimbangan sebagai berikut:16 1) orang yang bersangkutan

memiliki pengalaman pribadi seseuai dengan permasalahan yang diteliti; 2)

usia orang yang bersangkutan telah dewasa; 3) orang yang bersangkutan sehat

jasmani dan rohani; 4) orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak

mempunyai kepentingan pribadi untuk menjelek-jelekan orang lain; 5) orang

yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan

yang diteliti, dan lain-lain.

Studi Pustaka

Studi pustaka digunakan untuk mencari pemerkuat data, atau untuk

mempermudah mengenali data. Cara ini dapat dilakukan dengan membaca

literature berupa buku, e-book, paper, ataupun browsing internet.

16 Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). Hlm : 101

Page 32: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

20

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau informan yang dipilih bukan untuk mencari

persamaan-persamaan diantara perbedaan pemaknaan, tetapi untuk mencari

kekhasan atau keunikan pemaknaan seorang informan dari berbagai kategori

sosial. Oleh karena itu peneliti menetapkan informan sebagai berikut :

Jama’ah Maiyah

Jama’ah Maiyah merupakan subjek dalam penelitian ini, yang terdiri

dari sembilan orang informan. Dari kesembilan informan diperoleh data

tentang bagaimana konstruksi religiusitas dan makna Maiyahan bagi Jama’ah

Maiyah berdasarkan berbagai kategori sosial. Serta menjadi pengukur

pengaruh religiusitas yang dibentuk terhadap keputusan Jama’ah Maiyah

dalam bertindak dan berperilaku.

4. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel penelitian penting demi diperolehnya data yang

baik. Moleong17 menegaskan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada

sampel acak, tetapi harus sampel bertujuan (purposive sample). Sampel

bertujuan tersebut dikategorikan sebagai berikut :

Jama’ah Maiyah dari Berbagai Kategori Sosial

17 Ibid, Hlm: 3

Page 33: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

21

Sampel utama penelitian berasal dari Jama’ah Maiyah, tepatnya

berdasarkan berbagai kategori sosial yang terlibat dalam Maiyahan.

Pengkategorian sosial tidak dibuat berdasarkan atas kedudukan sosial yang

sama yang disadari bersama oleh para anggotanya seperti dalam lapisan sosial,

tetapi menurut akal dan keinginan si peneliti sendiri.18 Berdasarkan kriterium

penggolongan kategorial dalam ciri yang sama yang tidak mereka perhatikan

tetapi secara khusus diperhatikan peneliti. Pengkategorian tersebut diambil

dengan tujuan memperkaya pengetahuan tentang dinamika yang menimbulkan

pemaknaan, motivasi, cara berfikir, pandangan hidup, dan kebutuhan yang

berbeda-beda terhadap religiusitas dan Maiyahan. Sehingga mampu

memperkaya kajian tentang sosiologi agama.

Kategori sosial yang peneliti ambil ialah :

1) Berdasarkan kategori jenis kelamin, dipilih berdasarkan rata-rata Jama’ah

Maiyah terdiri dari :

a. Pria, merupakan rata-rata peserta Maiyahan

b. Wanita, sebagian peserta Maiyahan ialah wanita

2) Berdasarkan kategori usia, dipilih berdasarkan faktor biologik (usia) dan

status perkawinan, terdiri dari :

a. Dewasa, secara usia mereka diluar batas usia pemuda yaitu diatas 30

tahun, dengan status sosial telah kawin. Dewasa juga masuk dalam

pengklasifikasin seseorang yang telah bekerja, sehingga dapat masuk

pula dalam kategori kaya atau miskin.

18 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 58

Page 34: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

22

b. Pemuda, menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan

menetapkan kategori pemuda dengan cakupan usia 16-30 tahun.19

Pemuda juga masuk dalam pengklasifikasian kategori mahasiswa,

tetapi juga bisa masuk dalam kategori pekerja bila pemuda tersebut

bukan seorang mahasiswa. Pemuda juga masuk dalam kategori kaya

atau miskin dengan kriteria sesuai kriteria status sosial kaya atau

miskin.

3) Berdasarkan kategori status kerja, dipilih berdasarkan rata-rata Jama’ah

Maiyah ialah mahasiswa dan pekerja, terdiri dari :

a. Mahasiswa, mahasiswa dipandang secara spesifik sebagai seseorang

yang sedang menempuh kuliah di universitas tertentu. Walaupun

mahasiswa dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) termasuk kedalam

status kerja. Tetapi demi kepentingan penelitian, status mahasiswa

tidak dimasukan ke dalam kategori pekerja, untuk mempermudah

pengklasifikasian antara pekerja dan mahasiswa. Tetapi mahasiswa

termasuk dalam kategori kaya atau miskin, walau belum

berpenghasilan tetapi status tersebut diukur berdasarkan konsumsi

sehari-hari.

b. Pekerja, kategori pekerja diambil tanpa membedakan jenis pekerjaan,

tetapi sebagai kategori sosial pekerja secara umum. Pekerja juga

masuk dalam klasifikasi kaya atau miskin, karena telah memiliki

penghasilan.

19 Azca&Margono, dkk. Pemuda Pasca Orba, Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. (Yogyakarta:Yousure(Youth Studies Centre) FISIPOL UGM, 2011). Hlm: 70

Page 35: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

23

4) Berdasarkan kategori kelas sosial, sulit menentukan kategori berdasarkan

kelas sosial (kaya dan miskin), karena kebanyakan informan tidak mengaku

berapa pendapatan dan pengeluaran rata-rata perbulan. Juga sebenarnya

kriteria kaya atau miskin ini sangat relatif, tidak bisa disamakan sepihak.

Tetapi, berdasarkan informan yang mau mengaku berapa pengeluaran rata-

rata perbulan (kebanyakan pemuda dan mahasiswa) maka: untuk kategori

pemuda dan mahasiswa (belum bekerja) – ditentukan berdasarkan rata-rata

penghasilan orang tua perbulan dan uang saku untuk konsumsi perbulan,

yaitu kaya : penghasilan orang tua rata-rata lebih dari Rp 5000.000/bulan,

dan uang saku rata-rata lebih dari Rp 800.000/bulan. Sedangkan pemuda

atau mahasiswa (telah bekerja) – ditentukan berdasarkan penghasilan yaitu

rata-rata lebih dari Rp 3000.000/bulan. Sedangkan kriteria miskin ialah

kurang dari rata-rata penghasilan yang telah disebutkan.

Tetapi untuk informan yang tidak mengaku pendapatan dan pengeluaran

perbulan (kebanyakan kategori dewasa dan pekerja) maka

pengklasifikasian kelas sosial kaya atau miskin diambil berdasarkan

hubungan pekerjaan – kondisi rumah – kepemilikan sarana transportasi –

serta keluh kesah dan pengakuan informan perihal perekonomian

keluarganya, diantaranya :

a. Kaya

b. Miskin

Page 36: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

24

5. Lokasi Penelitian

Maiyahan merupakan acara yang diadakan sebulan sekali, yaitu setiap

bulan tanggal 17 malam, selepas Isya’ hingga kurang lebih pukul 03.00 WIB.

Diadakan di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Jadi subjek penelitian dapat

dijumpai dalam acara Maiyahan, untuk kemudian menentukan waktu untuk

wawancara.

Page 37: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

25

BAB II

SEPUTAR MAIYAHAN DAN JAMA’AH MAIYAH

Bab ini menjelaskan seputar Maiyahan dan Jama’ah Maiyah, dimana keduanya

memiliki pengertian baik secara epistemologi maupun pengertian secara fungsional.

Keduanya berkorelasi bagi terciptanya aktifitas konstruksi realitas religiusitas yang

disosialisasikan dalam Maiyahan. Berlangsung secara khas dan berbeda dari

pengajian-pengajian pada umumnya.

Sejak awal mula didirikan, hingga sekarang Maiyahan tetap konsisten

mengusung faham yang sesuai dengan tujuan mula diadakannya Maiyahan. Sehingga

mampu menarik minat masyarakat dari berbagai kategori sosial untuk hadir dalam

Maiyahan. Secara lebih jelas akan di uraikan sebagai berikut :

A. Gambaran Umum Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

1. Secara Administratif dan Geografis

Yogyakarta merupakan propinsi yang hingga saat ini masih menjaga

tradisi dan adat dengan baik. Hal ini berkat adanya kekuasaan Keraton

Ngayogyokarto Hadiningrat yang terus melaksanakan ritual kekeratonan sejak

dahulu kala hingga saat ini. Selain itu, Yogyakarta menjadi panutan bagi

propinsi-propinsi lain di Indonesia, dimana keberagaman dihargai dan

diapresiasi bai oleh pemerintah dan penduduknya. Oleh karena itu Yogyakarta

merupakan propinsi dengan penerapan demokrasi terbaik di Indonesia. Boleh

Page 38: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

26

dikatakan bahwa tonggak persatuan bangsa ini ialah Yogyakarta. Bila

Yogyakarta tidak bersatu lagi mungkin itu ialah awal dari runtuhnya republik

ini karena tidak ada daerah yang dijadikan contoh bagi di lestarikanya

persatuan dan kesatuan diantara berbagai keberagaman. Hal lain yang tidak

boleh dilupakan bahwa Yogyakarta ialah kota pendidikan. Dengan adanya

berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta terbanyak di Indonesia.

Kualitas perguruan-pergurau tinggi tersebut termasuk maju, terbukti dengan

banyaknya pemuda yang datang ke Yogyakarta untuk menempuh jenjang

perguruan tinggi, dan banyak lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta yang

sukses di berbagai karir dan pekerjaan.

Bila memandang Yogyakarta, persepsi orang awam ialah Kota

Yogyakarta saja. Padahal disamping itu terdapat berbagai kabupaten yang tidak

kalah unggul di banding kota Yogyakarta, membentuk satu-kesatuan kekayaan

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seperti Kulon Progo, Gunung

Kidul, Sleman dan Bantul. Keseluruhan mempunyai kekayaan adat, tradisi,

wisata dan kesenian yang khas dan menarik wisatawan datang ke Yogyakarta.

Berbicara tentang konteks penelitian ini, Bantul menjadi sorotan utama.

Bantul merupakan kabupaten yang terletak di selatan Propinsi DIY, dengan

batasan : Sebelah utara ialah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, sebelah

selatan ialah Samudera Indonesia, sebelah Timur ialah Kabupaten Gunung

Kidul, dan sebelah barat ialah Kabupaten Kulon Progo. Secara geografis

Bantul terletak di antara 070 44’ 04” – 080 00’ 27” lintang selatan dan 1100 12’

34” – 1100 31’ 08” bujur timur. Secara administratif Bantul terdiri dari 17

Page 39: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

27

Kecamatan, 75 Desa dan 933 Dusun. Hasil registrasi penduduk awal tahun

2012 menunjukan data bahwa total penduduk Bantul ialah 1.015.465 jiwa,

dimana terdiri dari 306.515 Kepala Keluarga (KK), dengan kepadatan

penduduk 2.012,93 Jiwa/km2.

Bantul terdiri dari 17 Kecamatan diantaranya Kecamatan Bambang

Lipuro, Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Bantul, Kecamatan Dlingo,

Kecamatan Imogiri, Kecamatan Jetis, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Kretek,

Kecamatan Pajangan, Kecamatan Pandak, Kecamatan Piyungan, Kecamatan

Pleret, Kecamatan Pundong, Kecamatan Sanden, Kecamatan Sedayu,

Kecamatan Sewon dan terakhir Kecamatan Srandakan. Diantara keseluruhan

kecamatan Bantul memiliki 75 Kelurahan/Desa. Keseluruhan desa tidak akan

disebutkan disini. Hanya saja akan disebutkan Kelurahan/Desa di Kecamatan

Kasihan karena berkaitan dengan lokasi penelitian ini.

Berdasarkan Data Kecamatan pada Juli, Tahun 2013, Kecamatan

Kasihan memiliki luas 3.437,957 Ha, dengan jumlah penduduk 77.261 jiwa,

dihuni sekitar 15.559 KK, dan dengan kepadatan penduduk 2.247 jiwa/km2.

Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 Kelurahan/Desa diantaranya: Kelurahan/Desa

Tirtonirmolo, Kelurahan/Desa Ngestiharjo, Kelurahan/Desa Tamantirto, dan

Kelurahan/Desa Bangunwijo.

Page 40: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

28

2. Visi dan Misi

Kecamatan Kasihan, sebagaimana bagian dari Kabupaten Bantul

berusaha mewujudkan “Visi” untuk mewujudkan tujuan pembangunan

Kabupaten Bantul yaitu, “BANTUL PROJOTAMANSARI SEJAHTERA,

DEMOKRATIS DAN AGAMIS”.20 Serta “Misi” Kabupaten Bantul sesuai

RPJMD tahun 2011 – 2015 yang terdiri dari empat poin pokok.

Diantara visi dan misi Kabupaten Bantul yang berusaha diusung

Kecamatan Kasihan, keseluruhan tidak akan dijelaskan disini. Walaupun pasti

keseluruhan merupakan sistem fungsional yang saling mempengaruhi

membentuk suatu tujuan yang sesuai dengan apa yang ingin dibahas dalam

penelitian ini. Tetapi terdapat beberapa visi dan misi pokok sesuai dengan apa

yang hendak disampaikan dalam penelitian ini perlu di bahas barang sejenak,

yaitu : Visi “AGAMIS”,21 “dalam artian bahwa kehidupan masyarakat Bantul

senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai religiusitas dan budi pekerti yang luhur.

Pentingnya aspek agama tidak diartikan sebagai bentuk primordialisme untuk

suatu agama tertentu, tetapi harus diartikan secara umum bahwa nilai-nilai

luhur yang dianut oleh semua agama semestinya dapat ditentukan dalam

interaksi sosial sehari-hari”. Serta Misi Kabupaten Bantul Poin ke dua, yaitu :

“Maningkatkan kualitas hidup rakyat menuju masyarakat Bantul yang sehat,

cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian Indonesia dengan memperhatikan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi”.

20 www.Bantulkab.go.id. Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 10.30 WIB21 Ibid., Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 10.30 WIB

Page 41: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

29

Maiyahan sebagai lembaga religiusitas yang rutin diadakan di

Kelurahan/Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Pripinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara langsung maupun tidak langsung

berperan membantu mewujudkan visi dan misi pemerintah Kabupaten Bantul,

terutama visi dan misi yang disebutkan diatas. Jangka panjang diharapkan

keberadaan Maiyahan dapat mewujudkan kesejahteraan yang didambakan

Jama’ah Maiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya.

3. Setting Sosial Religiusitas

Agama dalam system masyarakat Indonesia mempunyai posisi dan

pengaruh yang cukup penting. Oleh karena itu tidak mungkin mengabaikannya

dalam kaitannya dengan proyek-proyek diskursus masyarakat. Gilles Kepel,

misalnya, menggulirkan diskursus tentang kebangkitan agama-agama dari

perspektif jatuhnya komunisme dan krisis modernitas yang telah

mendatangkan kebingungan dikalangan orang-orang beragama, sehingga

mereka merasa perlu mencari sandaran pada penjelasan-penjelasan apokaliptik.

Senada dengan itu, Ernest Gellner misalnya, mengedepankan diskursus

masyarakat sipil sebagai arus balik dari dominasi pendekatan state (serba

Negara) dalam tradisi Hegelian dan juga paradigma Marxian yang menolak

masyarakat sipil serta menganggapinya sebagai gagasan yang menipu.22

22 Zahra, Abu. Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. (Bandung: Pustaka Hidayah,Anggota IKAPI, 1999) Dalam, Gaus. Hlm : 371-372

Page 42: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

30

Tetapi diluar wacana-wacana besar tersebut, akan lebih ditilik

perspektif yang mensinergikan antara agama dan masyarakat, khususnya

masyarakat subjek penelitian (Jama’ah Maiyah). Dimana agama dirujuk

sebagai sarana yang berperan besar dalam kebangkitan masyarakat, baik

melalui transformasi kesadaran umat beragama karena situasi penindasan –

sehingga tumbuh menjadi kekuatan berbasis masyarakat sipil, atau melalui

jaringan kekuatan sosial institusi agama (Maiyahan) yang berdiri dibalik masa

dan gerakan-gerakan rakyat (berbagai kategori sosial) dalam berhadapan

dengan Negara dan pasar dalam era demokrasi.

Agama di Indonesia lebih terkesan menggambarkan situasi sinergi

dengan masyarakat. Tapi terkadang agama terkesan sebagai kekuatan marjinal

yang belum mampu mengakomodasi potensi-potensi masyarakat sipil dalam

menghadapi hegemoni Negara dan pasar , atau malah sebaliknya agama terlalu

terintervensi dan terkooptasi oleh hegemoni pasar dan Negara.

Dalam perkembangannya, sering kita bersentuhan dengan yang biasa

disebut ruang publik keagamaan (religion public sphere), seperti dalam

Maiyahan, yang massif dalam menyebarkan optimisme dalam menghadapi

dampak globalisasi. Seperti dalam masyarakat mulai dari tingkat RT/RW

hingga Kelurahan/Desa, diadakanlah doktrin-doktrin keagamaan yang intinya

melembagakan religiusitas sebagai dasar pegangan masyarakat. Agama

berfungsi sebagai pengandali sosial yang melakukan pengawasan terhadap

berbagai aspek dan sisi kehidupan, yang akan mengkritik atau menentang bila

Page 43: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

31

melenceng dari kaidah agama, atau mendukung sesuatu bila bersinergi dengan

kaidah agama walaupun bertentangan dengan hukum Negara.

Situasi tersebut sering digambarkan sebagai gerakan kebangkitan Islam,

yang menawarkan berbagai cara dan harapan bagi penyembuhan penyakit-

penyakit sosial yang marak sebagai dampak modernisasi. Disertai optimisme

untuk mendeteksi sisi-sisi negative dalam diri seorang individu. Sehingga

diharapkan gerakan-gerakan keagamaan tidak hanya berhenti pada indoktrinasi

dan penegakan syariat agama, tetapi juga memberi ketenangan melalui

advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Agama bagaimanapun harus

memiliki kompensasi dan perhatian besar terhadap masalah kemasyarakatan

(seperti tercermin dalam konsep ummah). Realitas masyarakat yang selama ini

cenderung dilihat sebagai persoalan normatif religiusitas, agar dipahami juga

sebagai persoalan etis kemanusiaan dan moralitas struktural.23 Sehingga agama

akan memiliki relevansinya terhadap isu-isu kemiskinan, ketidakadilan,

penindasan, penipuan, kesenjangan sosial, HAM, ruang publik, demokrasi, isu

lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.

Walau kenyataannya, masih banyak institusi atau lembaga agama yang

terkooptasi oleh kepentingan pasar, atau kepentingan elit politik Negara.

Sehingga wacana belum sepenuhnya terimplementasikan. Oleh karena itu

dibutuhkan gerakan religiusitas yang keluar dari hegemoni pasar atau Negara,

yang melaksanakan wacana kebangkitan agama, dengan dorongan etis

kemanusiaan mampu terjun langsung dalam masyarakat sipil dari berbagai

kalangan, terutama kalangan akar rumput.

23 Ibid, hal : 374

Page 44: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

32

Persoalan fenomena kebangkitan agama tersebut menunjukan adanya

tantangan krusial bagi tercapainya agama sebagai mediating structure, atau

agama yang member peran pemberdayaan masyarakat, atau minimal

menumbuhkan energi bagi masyarakat sipil. Mungkin sudah seharusnya bahwa

gerakan agama, menurut perspektif penulis, seperti yang telah dilakukan dalam

Maiyahan – mampu menjaga jarak dengan Negara dan pasar, sehingga tersedia

ruang bagi sikap yang lebih kritis, dalam upaya membangun kesejahteraan

masyarakat sipil.

B. Maiyahan

1. Secara Epistemologi

Maiyahan, secara epistemologi berasal dari bahasa arab, yaitu ma’a,

yang berarti “dengan , bersama, dan beserta”. Menjadi Ma’ana yang berarti

“bersama kita”. Lalu Ma’iya yang berarti “bersamaku”. Sehingga Ma’iyah

berarti “kebersamaan”. Dalam pengucapan masyarakat Indonesia akhirnya

diplesetkan menjadi Maiya, Maiyah, atau Maiyahan. Maiyahan sendiri bisa

dimaknai bahwa “seseorang atau sekelompok orang dalam kondisi mengikuti

acara Maiyah”. Sehingga untuk menggambarkan hal tersebut, secara kebiasaan

jawa, menambahkan kata akhiran “-an” pada akhir kata Maiyah, sehingga

dibaca Maiyahan, yang berarti “sedang mengikuti Maiyah”. Untuk lebih

jelasnya, misal terdapat kalimat ajakan “Ayo ikut Maiyah?”. Akan terasa sulit

diucapkan oleh orang Indonesia, khususnya jawa. Sehingga orang akan

Page 45: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

33

mengganti kalimat ajakan dengan “Ayo Maiyahan?”, yang memiliki arti sama

dengan kalimat ajakan sebelumnya.

Sedangkan asal usul Jama’ah Maiyah, secara epistemologi berasal dari

kata “Jama’ dan Maiyah”. Jama’ dalam bahasa arab berarti “kumpulan”,

sedangkan jama’ah berarti “kumpulan orang”, lalu Maiyah berarti “bersama-

sama”. Sehingga arti kata Jama’ah Maiyah secara epistemologi ialah

“kumpulan orang yang bersama-sama” atau disederhanakan menjadi

“kumpulan bersama”.

Penelitian ini memandang berdasarkan prespektif masyarakat, atau

peserta Maiyahan. Dimana masyarakat menyebut acara Maiyah dengan

Maiyahan, sehingga penelitian ini juga menggunakan istilah “Maiyahan” untuk

menyebut acara Maiyah. Lalu, penelitian ini menggunakan istilah “Jama’ah

Maiyah” untuk menunjuk kepada orang-orang yang mengikuti Maiyahan.

2. Prosesi dan Setting Acara

Maiyahan diadakan rutin, setiap bulan pada tanggal 17 malam. Dimulai

selepas Isya yaitu pukul 19.30 hingga pukul 03.00 pagi. Prosesi acara

Maiyahan tidaklah tetap, alias fleksibel. Sebagaimana penjelasan Cak Nun

dalam Jawa Pos, tanggal 3 Maret 2002 berjudul “Wayang Tanpa Pandawa”.

Bahwa Acara Maiyahan itu bisa diisi apa saja asal baik dan menggembirakan

serta patuh pada prinsip Maiyah – misalnya kebersamaan, objektifitas berfikir,

keikhlasan hati, belajar arif, menegaskan diri ini hidup bareng Tuhan apa tidak,

Page 46: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

34

dan lain sebagainya. Bisa diisi pencak, fragmen drama, nyanyi lagu pop,

nembang, pidato, serta apa saja yang bermanfaat untuk dinikmati bersama.24

Tetapi secara sederhana, penelitian ini memaknai substansi acara Maiyahan

sebagai acara religi, diskusi dan musik, sedangkan berbagai acara fleksibel

tersebut merupakan tambahan, kondisional, atau situasional.

Dalam segmen acara religiusitas, pembicara utama ialah Cak Nun,

yang berperan sebagai narasumber, yang dianggap paling cakap

menyampaikan pesan religiusitas. Disamping kolaborasinya dengan pakar-

pakar religiusitas lain yang mampu mensosialisasikan religiusitas. Begitu pula

dengan segmen diskusi, dimana Cak Nun tetap menjadi pembicara utama,

sekaligus narasumber dan moderator, bila Cak Nun hadir, disamping pemantik

diskusi lain yang diundang.

Selain itu, setting berbudaya terasa kental dalam Maiyahan, terlihat

dari seperangkat alat musik tradisional yang mengiringi musik Maiyahan, yaitu

gamelan bernama Kiai Kanjeng25. Ekspresi Iman berkolaborasi dengan budaya

telah akrab dalam masyarakat Yogyakarta. Seperti halnya dalam Maiyahan

yang menggabungkan gamelan sebagai perangkat musik tradisional, dengan

rebana yang berciri khaskan musik Islami, serta alat-alat musik modern.

Segmen acara musik, dibawakan oleh Kiai Kanjeng, yang juga sering

mengundang berbagai grup musik pop seperti Letto dan Jasmine, serta

24 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 2825 Selain nama gamelan yang dipakai dalam Maiyahan, Kiai Kanjeng juga menjadi nama dari grupmusik yang mengiringi Maiyahan.

Page 47: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

35

berbagai pengisi hiburan musik lain. Sehingga Maiyahan juga sering dimaknai

sebagai acara musik.

3. Sejarah dan Diskripsi Wilayah Penelitian

Maiyahan sebagai pokok penelitian dalam tulisan ini lahir pada malam

menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001, tepatnya

tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas,

Emha26 secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya

bersama sahabat-sahabat Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang

semakin tidak menentu27. Kegiatan semacam ini sebenarnya sudah sering

diadakan Cak Nun, tetapi dahulu belum memakai istilah Maiyahan atau

Jama’ah Maiyah, karena kegiatan pengajian ini tidak hendak menekankan pada

eksistensi substantif. Dahulu, Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak berpentas

dipanggung, tetapi mereka berkeliling membentuk putaran, dengan diikuti

peserta berbaris meluas dibelakang putaran. Sampai akhirnya, peserta semakin

bertambah dan lingkaran semakin besar, sehingga tidak kondusif. Akhirnya

Maiyahan dilakukan dengan bentuk panggung dengan pesertaya mengikuti di

depan panggung.

Lokasi Maiyahan Diadakan di rumah Cak Nun, di Kelurahan/Desa

Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Pripinsi Daerah Istimewa

26 Emha, atau Emha Ainun Najib, alias Cak Nun27 http://www.maiyah.net/2012/02/siapakah-jamaah-maiyah.html (Diakses pada 29 Mei 2013, pukul14.30)

Page 48: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

36

Yogyakarta, tepatnya di kediaman MH. Ainun Najib. Berikut peta wilayah

lokasi penelitian :

Peta 1: Lokasi Maiyahan28

Pencarian lokasi bisa dimulai dari Jalan Parangtritis, menuju ke arah

selatan hingga sampai perempatan Ring Road Selatan. Setelah sampai Ring

Road Selatan belok kanan, atau ke arah Barat. Lurus terus mengikuti jalur Ring

Road Selatan, hingga di Perempatan Kasihan, terdapat rambu penunjuk arah,

ambil atau belok ke kiri/arah Selatan “Kasihan”. Lurus Hingga ada pohon

beringin di tengah pertigaan jalan disamping lapangan. Ambil kanan/barat,

sekitar 200 meter melewati SDN Kasihan. Tikungan ke dua arah kiri/selatan,

ada petunjuk arah menuju jalan Buntu. Lurus mengikuti jalan sampai

28 www.googlemap.com. Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pada pukul 10.30 WIB

Ring Road Selatan

Jalan Desa

Tamantirto

Lokasi Maiyahan

Page 49: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

37

habis/mentok di gang buntu. Ditengah jalan terdapat tukang parkir,

menunjukan bahwa sudah sampai di lokasi Maiyahan. Pengunjung hanya perlu

parkir dan berjalan 50 meter, sampai lokasi Maiyahan.

4. Sikap Religiusitas Maiyahan

Berdasarkan buku “Materi & Panduan Jama’ah Maiyah”, penjelasan

perihal apa itu Maiyahan, yang secara tidak langsung menunjukan sikap

Maiyahan terhadap religiusitas. Sikap religiusitas Maiyahan tersebut

disampaikan melalui Maiyah Putih, Maiyah Bunyi, Maiyah Kata, Maiyah

Sosial, Maiyah Bahasa dan Maiyah Lingkaran. Kerseluruhan sikap religiusitas

Maiyahan ialah karakteristik substansi religiusitas yang hendak disosialisasikan

pada masyarakat, berikut penjelasannya29 :

Pertama, Maiyah Putih, menunjukan sikap bahwa ketika Maiyahan

seluruh personil Maiyahan mengenakan pakaian serba putih mulai dari celana,

baju, dan penutup kepala (peci). Pakaian serba putih tersebut tidak hendak

menunjukan bahwa mereka ialah orang yang alim, religius, rajin sholat dan

rajin berdzikir. Tetapi menunjukan pada masyarakat bahwa mereka juga sama

seperti masyarakat awam pada umumnya, masih kotor, masih banyak

melakukan dosa dan maksiat, baik kepada manusia atau kepada Tuhan. Dengan

serba putih mengajak pada masyarakat, khususnya diri mereka sendiri untuk

membentuk sikap, suasana hati dan konsentrasi agar kalau bisa tidak terus-

29 Dikutip berdasarkan : Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah.(Yogyakarta: Sekertariat Hamas, 2002)

Page 50: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

38

menerus hanya yang kotor-kotor, karena itu belum tentu baik dan benar, tidak

sejati dan tidak abadi.

Kedua, Maiyah Bunyi, menunjukan sikap bahwa apa yang selama ini

Maiyahan lakukan seperti membawa alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi,

berteriak-teriak, menggeremang, bahkan memekik-mekik, pada dasarnya

mereka melakukan itu kepada Tuhan. Misalnya, ketika mereka memekik-

mekik sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya pada

keharibaan Tuhan, dengan rasa malu yang amat sangat, sebagai pengakuan atas

banyaknya dosa. Mereka bershalawat, wiridan, berdzikir dan bertaubat

memakai musik, dengan tujuan untuk memperasyik lagu puji-pujian kepada

Tuhan. Sembari menunjukan bahwa perilaku-perilaku tersebut merupakan

bagian dari budaya, dan manusia harus mampu mereligiuskan perilaku budaya.

Budaya tidak hanya diperuntukan bagi sesama manusia, tetapi juga kepada

Tuhan.

Ketiga, Maiyah Kata, menunjukan sikap bahwa Maiyahan selalu

bersama kita, jangan takut dan jangan sedih karena kita selalu bersama.

Kepedulian yang berusaha dibangun antara Maiyahan dengan masyarakat.

Dengan terminologi jika engkau bahagia aku juga bahagia, juka engkau beduka

aku juga menderita, jika engkau ditimpa masalah itu juga masalahku, jika

engkau membutuhkan aku akan berusaha mengupayakan, engkau dan aku

saling menyayangi, tolong-menolong dan saling membela satu sama lain.

Keempat, Maiyah Sosial, menunjukan sikap bahwa Maiyahan tidak

hanya ada untuk satu golongan saja. Tetapi kepada seluruh masyarakat tanpa

Page 51: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

39

membedakan apapun. Dengan terminologi bahwa Maiyahan disampaikan

kepada seluruh teman-teman, kepada para tetangga, pada sesama umat, sesama

manusia, masyarakat, warganegara, apapun sukunya, bangsanya,

kelompoknya, golongannya, organisasinya, kepercayaannya, pendapatnya –

sesungguhnya kita selalu bersama.

Kelima, Maiyah Bahasa, menunjukan sikap bahwa bahasa kenegaraan

yang disampaikan Maiyahan merupakan sikap religiusitas yang dapat

bersinergi dengan nasionalisme, universalisme, pluralisme, dan heterogenisme

- yang dikelola, dipahami dan direlakan sebagai bagian dari Negara demokrasi.

Selain itu, juga berusaha menyampaikan sikap bahwa bahasa ekonomi yang

disampaikan Maiyahan merupakan sikap religiusitas yang menyampaikan

semangat menghapus kesenjangan penghidupan antara satu orang dengan

orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain. Berusaha mengajak

bersatu diantara ke Bhineka-an dengan saling menyelamatkan dan

mensejahterakan.

Terakhir atau keenam, Maiyah Lingkaran, dulu Maiyahan dilakukan

dengan melingkar, terserah orang-orang akan bergabung menciptakan lapisan-

lapisan lingkaran selanjutnya atau tidak. Dengan melakukan seluruh aktifitas

yang hanya ditujukan kepada Tuhan. Menunjukan sikap bahwa segala aktifitas

untuk memelihara hubungan baik dengan Tuhan. Sambil mengajak sadar

bahwa bagi orang-orang yang taqwa dan tawakkal, Tuhan berjanji akan

melakukan empat peran bagi mereka. Peran pertama, sebagai pemberi jalan

keluar dan solusi dari masalah apa saja. Kedua, sebagai penabur rizki melalui

Page 52: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

40

jalan, cara, metode dan modus yang hanya Dia sendiri yang tahu. Ketiga,

sebagai menejer dan akuntan, yang menjamin nafkah, penghidupan keluarga,

asal manusia mau taqwa dan tawakkal. Dan keempat, sebagai humas dan

public relation bagi manusia, bahwa keperluanmu atas seseorang atau suatu

pihak, kebutuhan atas akses ini dan itu, akan disampaikan oleh Tuhan kepada

yang bersangkutan. Sekali lagi, manusia cukup hanya bertakwa dan tawakkal.

Berbagai pengertian dari sikap religiusitas Maiyahan tersebut

merupakan gambaran dari satu-kesatuan substansi acara Maiyahan dari awal

hingga akhir, tanpa terdapat urutan waktu tertentu, mulai dari ajaran

religiusitas, pagelaran musik, pendidikan masyarakat, pendidikan

nasionalisme, pendidikan berserah diri, dan lain sebagainya. Tetapi yang

menjadi jelas disini, bahwa sikap religiusitas yang disosialisasikan dalam

Maiyahan ditujukan sebagai wadah keluh kesah dan memupuk perasaan

senasib sepenanggungan diantara sesama orang-orang yang gelisah. Gelisah

karena jauh dari agama tetapi juga jauh dari kenikmatan dunia. Maiyahan

melembagakan religiusitas tidak hanya sebatas ritus-ritus keagamaan seperti

sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Tetapi juga tidak melupakan out put

religiusitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti sikap toleransi

antar umat beragama dan kepercayaan, sikap saling tolong-menolong, sikap

saling menghargai pendapat orang lain, serta yang lebih luas lagi seperti sikap

demokratis, humanis, mencintai seni dan budaya, dan seterusnya. Selain itu,

juga out put religiusitas bagi individu berupa sifat tidak mudah marah,

gampang memaafkan, sabar, bersyukur dan ikhlas terhadap berbagai masalah

Page 53: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

41

yang menimpa dalam hidup. Maiyahan melembagakan apa itu religiusitas tidak

hanya bila seseorang rajin beribadah, tetapi juga orang-orang yang mau berbuat

baik bagi kehidupan sosialnya.

5. Spesifikasi Informan (Jama’ah Maiyah)

Informan dalam penelitian ini terdiri dari sembilan orang, dimana satu

orang bisa mewakili beberapa kategori sosial; diantaranya kategori dewasa,

kategori muda, kategori laki-laki, kategori wanita, kategori kaya, kategori

miskin, kategori mahasiswa dan kategori pekerja. Keseluruhan informan

tersebut berinisial BN, HM, MD, MF, HS, AD, DE, BG dan SC. Spesifikasi

kesembilan informan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :

Nam

a

Usi

aPekerjaan

Kategori Sosial

Dew

asa

Mud

a

Laki

-laki

Wanit

a

Kay

a

Miski

n

Mah

asis

wa

Peker

ja

BN 49 Buruh √ √ √ √

HM 47 Pengusaha √ √ √ √

MD 50 Seniman √ √ √ √

MF 22 Mahasiswa √ √ √ √

HS 20 Mahasiswa √ √ √ √

AD 24 Pekerja √ √ √ √

DE 22 Mahasiswa √ √ √ √

BG 22 Mahasiswa √ √ √ √

SC 48 Wirausaha √ √ √ √

Tabel 1 : Spesifikasi Kategori Sosial Informan

Page 54: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

42

Berdasarkan tabel diatas, informan pertama, berinisial BN, usia 49

tahun, mewakili kategori sosial dewasa, laki-laki, kelas ekonomi miskin, serta

pekerja. Informan kedua, berinisial HM, usia 47 tahun, mewakili kategori

sosial dewasa, laki-laki, kelas ekonomi kaya, serta pekerja. Informan ketiga,

berinisial MD, usia 50 tahun, mewakili kategori sosial dewasa, laki-laki, kelas

ekonomi miskin, dan pekerja. Informan keempat berinisial MF, 22 tahun,

mewakili kategori sosial muda, laki-laki dan mahasiswa. Informan kelima,

berinisial HS, 20 tahun, mewakili kategori sosial muda, wanita, dan mahasiswi.

Informan keenam, berinisial AD, 24 tahun, mewakili kategori sosial muda,

laki-laki, miskin dan pekerja. Informan ketujuh, berinisial DE, berusia 22

tahun, mewakili kategori sosial laki-laki, pemuda, dan mahasiswa. Informan

kedelapan, berinisial BG, berusia 22 tahun, mewakili kategori sosial laki-laki-

pemuda, dan mahasiswa. Sedangkan informan terakhir atau kesembilan,

berinisial SC, berusia 48 tahun, mewakili kategori sosial, wanita, dewasa dan

pekerja.

Berkaitan dengan informan berdasarkan kategori sosial, satu informan

dapat mewakili satu atau lebih kategori sosial. Sehingga jumlah informan

berdasarkan kategori sosial adalah sebagai berikut : pertama, kategori dewasa

terdiri dari empat informan diantaranya BN, HM, MD dan SC; kedua, kategori

pemuda terdiri dari lima informan diantaranya MF, HS, AD, DE dan BG;

ketiga, kategori laki-laki terdiri dari tujuh informan diantaranya BN, HM, MD,

MF, AD, DE dan BG; keempat, kategori wanita terdiri dari dua orang informan

yaitu HS dan SC; kelima, kategori pekerja terdiri dari lima informan

Page 55: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

43

diantaranya BN, HM, MD, AD dan SC; keenam, kategori mahasiswa terdiri

dari empat informan diantaranya MF, HS, DE dan BG; ketujuh, kategori kaya

terdiri dari seorang informan yaitu HM; dan kedelapan, kategori miskin terdiri

dari delapan informan diantaranya BN, MD, MF, HS, AD, DE, BG dan SC.

Mengenai spesifikasi informan akan dijabarkan sebagai berikut :

1) BN

BN merupakan warga Janti, Sleman, Yogyakarta. BN bekerja sebagai

buruh tani, distributor rempeyek, dan juga merangkap ketua rebana. BN

mengaku akan bekerja apa saja asalkan dapat memenuhi kebutuhan hidup

keluarga. BN merupakan warga asli Sleman, pernah bekerja selama 10 tahun di

Solo sebagai pembatik. Tetapi BN bosan dengan pekerjaannya dan memilih

mengikuti hati nuraninya untuk pulang ke Jogja dan bekerja apa saja.

BN mengenal Maiyahan sejak tahun 2001, sejak saat itu hingga

sekarang hanya tiga kali tidak ikut Maiyahan. BN mengaku saat ini hidup lebih

bahagia walaupun dengan pekerjaan yang serabutan.

“Penghasilan tidak menentu, sekarang anak mau masuk kuliahtetapi belum punya uang” tuturnya.30

Selain itu, BN mendirikan grup rebana, yang juga diketuainya, terinspirasi dari

grup Kiai Kanjeng dalam Maiyahan. BN juga mengoleksi buku-buku, kaos dan

stiker seputar Maiyahan. Boleh dibilang BN merupakan peserta aktif

Maiyahan.

Dalam penelitian ini, BN dapat masuk dalam kategori sosial laki-laki,

dewasa (karena berusia lebih dari 49 tahun dan telah kawin), pekerja (bekerja

30 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 56: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

44

serabutan), dan miskin (berdasarkan pengakuanya sendiri perihal

perekonomianya).

2) HM

HM ialah warga Magelang, Jawa Tengah. Bekerja sebagai pengusaha

meubel dan tembakau. Hasil wirausahanya menjadikan HM mapan dalam

bidang finansial. Usaha milik HM telah dirintis sejak muda. Sempat bekerja di

sebuah perusahaan besar di Jakarta tapi pada akhirnya memilih untuk

berwirausaha sendiri.

Selain itu, HM merupakan aktivis Muhamadiyah, menjabat sebagai

salah satu pengurus besar Muhamadiyah di Magelang. Aktif di Maiyahan sejak

tahun 2004, sejak saat itu hanya tiga kali tidak mengikuti Maiyahan. Ia

menerangkan bahwa mengikuti Maiyahan sudah merupakan kebutuhan

hidupnya, sebagai isi ulang iman. Agar selalu mengingat Tuhan, HM selalu

merekam keseluruhan acara Maiyahan. Ia menjadikannya koleksi pribadi, dan

terkadang dibagi-bagikan juga pada Jama’ah Maiyah yang lain.

Dalam penelitian ini HM mewakili informan kategori sosial laki-laki,

dewasa (karena telah berusia 47 tahun dan telah kawin), pekerja (wirausaha

dibidang meubel dan distributor tembakau) dan kaya (berdasarkan kondisi

rumah, jenis usaha, dan kendaraan yang dimilikinya).

3) MD

MD merupakan warga Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Setiap hari bekerja

sebagai seniman31. Dari segi ekonomi MD nampak biasa-biasa saja, dengan

rumah sederhana. Tetapi MD memiliki pondokan didekat rumahnya, tempat

31 MD tidak mau menyebutkan jenis usahanya

Page 57: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

45

untuk pengajian dan belajar Islam. Hampir setiap malam rumah MD ramai

dikunjungi tamu yang meminta doa dan nasehat. Boleh dikatakan MD

merupakan tokoh masyarakat informal di desanya.

MD mengaku senang berdakwah, tetapi target dakwahnya ialah para

pemabuk dan penjahat. Dahulu di desanya banyak pemabuk dan penjahat,

tetapi saat ini berkurang karena MD berhasil mengajak mereka memperbaiki

diri. MD aktif mengikuti Maiyahan sejak 2001, dan sama seperti yang lain

ketidakhadirannya dalam Maiyahan bisa dihitung dengan jari.

MD, dalam penelitian ini mewakili informan dari kategori sosial laki-

laki, dewasa (karena telah berusia 50 tahun dan telah kawin), pekerja (MD

hanya mengaku bahwa pekerjaanya ialah seniman) dan miskin, berdasarkan

pengakuan :

“Kaya kalau hidup tidak bahagia percuma, mendinganbiasa-biasa saja gak banyak uang penting gak masalah pentingbahagia”.32

4) MF

MF ialah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta.

Usia muda tidak menghalanginya mendalami ilmu-ilmu agama. Sejak SD

hingga saat ini MF aktif mengikuti ngaji33 di pesantren. Kegemaran MF

mengaji di pesantren diturunkan dari bapaknya, yang keras menyuruh MF

belajar mengaji. Tetapi MF tidak pernah merasa terpaksa untuk menuruti

32 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0033 Tidak hanya perihal Al-Quran dan Hadist, tetapi juga kitab-kitab Islam dari para pemikir besar Islam

Page 58: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

46

kehendak bapaknya, karena MF mengaku senang mengaji walaupun tanpa

suruhan bapaknya.

Kegiatan kampus tidak mengurangi semangat MF untuk aktif

mengikuti Maiyahan. Sebagai pemuda MF mengaku telah mengikuti Maiyahan

sejak 2009, dan MF termasuk salah satu pemuda yang memiliki semangat

untuk aktif mengikuti Maiyahan. Sebagaimana penuturanya :

“Asal tidak ada tanggung jawab lebih penting, sayaakan hadir di Maiyahan, sejak 2009 sepertinya saya hanya duakali tidak hadir, hujan dan aktifitas esok hari tidak jadipenghalang mengikuti Maiyahan”.34

Dalam penelitian ini, MF mewakili informan dari kategori sosial laki-

laki, pemuda (karena baru berusia 22 tahun), mahasiswa, dan miskin

(berdasarkan keterangan MF bahwa penghasilan orang tua kurang lebih Rp

800.000-an/bulan, dan uang saku Rp 400.000-an/bulan).

5) HS

HS ialah seorang mahasiswi di salah satu universitas di Yogyakarta. HS

mengaku sangat menyenangi Maiyahan. Tetapi posisinya sebagai wanita lebih

sering membatasinya mengikuti Maiyahan, apalagi HS tinggal di Pondok

Pesantren. Sejak pertama kali mengenal Maiyahan hingga sekarang HS

mengaku baru tiga kali mengikuti Maiyahan. Pengalaman HS mengikuti

Maiyahan memang sedikit, tetapi HS tertarik dengan Maiyahan, dan berniat

menjadikannya penelitian. HS cukup memiliki pengatahuan perihal Maiyahan

walaupun dirinya jarang mengikutinya. HS mengaku bahwa :

34 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 59: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

47

“Kalau saja Maiyahan tidak diadakan pada jam-jammalam ia akan lebih sering mengikuti Maiyahan.”35

HS dalam penelitian ini, mewakili informan dari kategori sosial wanita,

pemuda (karena masih berusia 20 tahun), mahasiswa dan miskin (berdasarkan

keterangan HS perihal penghasilan orang tuanya yaitu kurang lebih Rp

2000.000-an/bulan, dan uang saku dari orang tuanya kurang lebih Rp 650.000-

an/bulan).

6) AD

AN ialah seorang pekerja sosial bidang penelitian. Tetapi penelitian

tersebut bersifat sementara, bukan dalam suatu lembaga. Bisa dibilang

pekerjaanya sebagai peneliti masih identik dengan serabutan. AD menjadi

pekerja paska menamatkan jenjang S1. AD mengenal Maiyahan sejak SMA

ketika mengantar teman menonton. Tetapi baru tahun lalu dia benar-benar

tertarik mengikuti Maiyahan hingga sekarang. Alasannya karena merasa cocok

dengan religiusitas yang ditawarkan Maiyahan. Maiyahan juga membantu

menentramkan hati dan menambah religiusitasnya.

Dalam penelitian ini, AD mewakili informan dari kategori sosial laki-

laki, pemuda (karena berusia 24 tahun), pekerja (sebagai peneliti sosial) dan

miskin (karena penghasilan AD rata-rata masih Rp 2000.000-an/bulan, dan

tidak lagi bergantung pada orang tua karena telah berpenghasilan sendiri).

7) DE

DE ialah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di

Yogyakarta. Saat ini DE banyak menghabiskan waktunya untuk mengikuti

35 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00

Page 60: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

48

berbagai acara di Yogyakarta, seperti pertunjukan seni, diskusi, pengajian, dan

lain-lain. Sembari mengisi waktu luang disela-sela mengerjakan tugas akhir.

DE mengenal Maiyahan sejak semester dua, tetapi baru aktif mengikuti

Maiyahan saat semester enam. DE mengaku bahwa sejak saat itu hingga

sekarang mengikuti Maiyahan pada tanggal 17 sekitar sepuluh kali. Tetapi juga

sering mengikuti Maiyahan di luar tanggal 17 bersama teman-temanya.

Menurut keterangannya Maiyahan dapat menambah wawasannya baik perihal

religiusitas, sosial maupun politik.

DE hidup dalam lingkungan Muhamadiyah, begitu pula orang tuanya.

Tetapi DE mengaku tidak banyak memperoleh pelajaran agama dari orang

tuanya. Tetapi lebih banyak menyerap religiusitas dari forum-forum

perkumpulan seperti Maiyahan, dan pengajian lain-lain. Walau demikian

pondasi religiusitas telah didapat DE dari orang tuanya. Berupa religiusitas

lebih pada nilai-nilai hidup, seperti hidup harus rajin, tekun, dan seterusnya.

Tidak hanya praktek religiusitas berdasarkan ritus-ritus peribadatan semata.

Dalam penelitian ini DE merupakan informan yang mewakili kategori

sosial laki-laki, pemuda (karena masih berusia 22 tahun), mahasiswa (karena

masih berstatus mahasiswa dan belum bekerja), dan miskin (berdasarkan

keterangan DE perihal penghasilan orang tuanya yaitu kurang lebih Rp

1400.000-an/bulan, dan uang saku dari orang tuanya kurang lebih Rp 300.000-

an/bulan).

8) BG

Page 61: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

49

BG merupakan mahasiswa disalah satu universitas di Yogyakarta.

Sama seperti DE, BG merupakan mahasiswa semester akhir yang saat ini

sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhir. Disela-sela itu BG juga sering

mengikuti acara-acara diberbagai forum yang menambah wawasan, baik

wawasan religiusitas melalui berbagai pengajian, maupun wawasan global

dengan mengikuti diskusi.

BG mengaku bahwa dirinya termasuk pemuda yang pendiam dan

menyendiri. Mengikuti acara seperti Maiyahan merupakan kesenangan baginya

karena bisa berkumpul bersama teman-temanya, sambil sekali-kali melihat

lawan jenis.

BG hidup dalam lingkungan Muhamadiyah begitu juga orang tuanya.

Tetapi BG tidak hanya belajar religiusitas dari sana, tetapi juga diberbagai

forum religiusitas seperti Maiyahan dan pengajian-pengajian di Masjid, juga

dari buku-buku yang ia baca. BG mengaku menyukai Maiyahan selain dari

berbagai diskursus dan religiusitasnya, juga terutama karena Maiyahan banyak

menyajikan lagu-lagu tradisional, juga dzikir-dzikir yang diiringi musik.

Seakan-akan Maiyahan merekonstruksi budaya tersebut kembali yang asing

selama ini.

Dalam penelitian ini BG merupakan informan yang mewakili kategori

sosial laki-laki, pemuda (karena berusia 22 tahun), mahasiswa (karena belum

bekerja), dan miskin (berdasarkan keterangan BG perihal penghasilan orang

tuanya yaitu kurang lebih Rp 1000.000-an/bulan, dan uang saku dari orang

tuanya kurang lebih Rp 100.000-an/bulan).

Page 62: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

50

9) SC

SC ialah seorang ibu tumah tangga. Setiap hari SC berada di rumah,

melaksanakan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga sekaligus

berwirausaha sebagai penjual di toko kelontong miliknya. Sebenarnya SC ialah

seorang sarjana S1 dari salah satu universitas di Yogyakarta. Tetapi setelah

menikah SC mendapat perintah dari suaminya untuk tidak bekerja, tetapi

menjadi ibu rumah tangga saja di rumah. Walau demikian, suami SC memberi

modal untuk mendirikan toko kelontong di depan rumah, agar SC tidak terlalu

menganggur saat sedang sendirian di rumah. Bagi SC menuruti perintah suami

dan merawat anak di rumah lebih penting dari pada sekedar bekerja untuk

mengejar materi.

SC mengenal Maiyahan berkat sang suami, sejak kurang lebih delapan

tahun yang lalu. SC hampir selalu mengikuti suaminya setiap kali datang ke

Maiyahan, asal tidak ada urusan yang lebih penting lagi. Dengan demikian SC

hanya bisa mengikuti Maiyahan bila ada sang suami.

Dalam penelitian ini, SC merupakan informan yang mewakili kategori

sosial wanita, dewasa (karena telah berusia 48 tahun dan telah kawin), pekerja

(sebagai wirausahawati di toko kelontong miliknya), dan miskin (berdasarkan

penuturan dia dan suamunya perihal kondisi perekonomian mereka).

Page 63: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

51

C. Aktifitas Maiyahan bagi Jama’ah Maiyah

Jama’ah Maiyah cenderung beragam dalam menafsirkan apa itu Maiyahan.

Mereka memaknai Maiyahan sesuai kategori sosialnya, serta tergantung pada sudut

pandang “pengetahuan” dan “kepentingan” terhadap apa yang menjadi maksud mereka

mengikuti Maiyahan. Karena tidak terdapat tinjauan paten yang menafsirkan apa itu

Maiyahan, Maiyahan ditafsirkan dinamis oleh setiap pesertanya. Bila menilik bahwa

Maiyahan telah begitu melekat bagi Jama’ah Maiyah, penulis menyimpulkan bahwa

terjadi lima proses pengobjektifikasian perihal “apa itu” aktifitas Maiyahan bagi

Jama’ah Maiyah, diantaranya :

1. Maiyahan sebagai Aktifitas Religiusitas

Maiyahan tidak mungkin lepas dari aspek keagamaan, karena esensi

dari Maiyahan ialah melembagakan agama sebagai pegangan dalam peri

kehidupan sehari-hari. Sedangkan agama sendiri tidak akan lepas dari

religiusitas, karena religiusitas selalu terkait dengan dalih keagamaan. Sebelum

mengetahui bagaimana Maiyahan berperan dalam aktifitas religiusitas, terlebih

dahulu akan dijelaskan apakah yang dimaksud religiusitas.

Terdapat kategori masyarakat yang lebih mengartikan religiusitas

berdasarkan kualitas dan kuantitas dalam ritual peribadatan, seperti sholat,

puasa, takwa, rukun iman, rukun Islam dan sejauh mana pengetahuan fiqihnya.

Bahwa religiusitas lebih bersifat sakral dan gaib. Seperti yang diungkapkan

Chatters bahwa, religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah

Page 64: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

52

jalan kebenaran yang berhubungan dengan suatu yang sakral.36 Juga Majid

yang menyatakan bahwa religiusitas adalah tingkah laku manusia yang

sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu

kenyataan-kenyataan supra empiris. Manusia melakukan tindakan empiris

sebagaimana layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan

harga dan makna tindakan empirisnya dibawah supra-empiris.37

Namun terdapat pula kategori masyarakat, berdasarkan penelitian ini

(sebagaimana sikap religiusitas yang disosialisasikan dalam Maiyahan) yang

mengartikan religiusitas tidak hanya berlandaskan ritual peribadatan ataupun

besarnya wawasan keagamaan seperti diatas. Tetapi religiusitas lebih kepada

bagaimana mengaplikasikan pengetahuan agama terhadap kondisi dan

hubungan sosial kemasyarakatan. Dimana religiusitas tidak diukur berdasarkan

kualitas dan kuantitas dalam melakukan ritual peribadatan, atau seberapa besar

wawasan agamanya saja. Tetapi juga bila seseorang mampu berhubungan

sosial dan bertatakrama dengan baik. Walaupun mungkin sebenarnya

seseorang tersebut tidak memiliki wawasan keagamaan yang luas dan hanya

sekedarnya dalam beribadah.

Hal yang belakangan terjadi karena agama dalam masyarakat begitu

kental dengan konteks budaya. Norma, nilai dan adat merupakan konteks lain

diluar agama yang dijadikan pedoman berperilaku oleh masyarakat. Sehingga

religiusitas dapat berarti bila konteks agama mampu menyesuaikan dengan

36 sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.3037 Majid, R. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. (Bandung : Mizan Pustaka, 1997). Dalam :sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30

Page 65: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

53

norma, nilai dan adat dalam budaya masyarakat sekitar. Sehingga agama akan

mudah diaplikasikan bila sesuai dengan ketiga aspek tersebut.

Penelitian ini menunjukan bahwa religiusitas lebih dipandang

berdasarkan aspek budaya, baik nilai, norma dan adat yang berlaku dalam

masyarakat. Jama’ah Maiyah terdiri dari berbagai kategori sosial berdasarkan

berbagai latar belakang. Keseluruhan memandang hubungan sosial dan

kepedulian terhadap sesama ialah aspek terpenting dalam religiusitas. Tidak

hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi bagaimana menciptakan

kehidupan yang baik dengan sesama, terlebih memberikan sandaran

kegelisahan batin. Sehingga aktifitas diskusi, puisi, musik dan berbagai acara

pendukung dalam Maiyahan dinilai sebagai aktifitas religiusitas. Walaupun

terkadang apa yang disampaikan tidak langsung menuju pada agama. Misalnya

dalam diskusi, materi yang dibahas seputar demokrasi, kapitalisme, jazz atau

pun alien, tidak terdapat sangkut paut pada religiusitas dalam tema tersebut.

Terkadang Maiyahan juga mengundang bintang tamu non-Islam,

seperti seorang Budhis, Katolik, mahasiswa asing untuk bercerita seputar

kebiasaan-kebiasaan mereka. Begitu pula Cak Nun yang sering bercerita

perihal aktifitas politiknya semasa Orde Baru dan komentarnya seputar kondisi

perpolitikan dewasa ini. Tetapi dari berbagai tema global dalam diskusi

Maiyahan pada akhirnya akan dikaitkan dengan religiusitas. Saran dan nasihat

soal bagaimana Jama’ah Maiyah menanggapi segala hal yang ganjil,

menyebalkan, menyedihkan dari berbagai materi diskusi secara religius dengan

berserah diri pada Tuhan.

Page 66: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

54

Begitu pula dengan puisi dan musik dalam Maiyahan, semua ditujukan

pada pembelajaran religiusitas walaupun secara tidak langsung. Misalnya

dalam puisi, yang menggambarkan kegelisahan masyarakat kecil, banyak

bercerita perihal penderitaan rakyat dan kebobrokan sistem pemerintahan. Pada

intinya puisi tersebut mengajak masyarakat yang tidak mampu lepas dari

keterpurukan menggunakan religiusitas sebagai pemecah kegelisahan.

Sedangkan musik yang dibawakan grup Kiai Kanjeng, tidak hanya

musik religi, tetapi juga musik tradisional, jazz, pop, dangdut, dan lain-lain,

dipandang beragam oleh Jama’ah Maiyah. Ada yang memandang bahwa

walaupun terdapat beragam jenis musik yang dibawakan, tapi itu semua hanya

penyedap, inti dari musik Maiyahan tetaplah musik religi. Selain itu terdapat

pula yang menganggap bahwa semua musik dalam Maiyahan adalah penyedap

dalam acara Maiyahan. Sedangkan terdapat pula yang menganggap segala

musik dalam Maiyahan baik itu, pop, rock, dangdut, dan lain-lain bila

dibawakan oleh Kiai Kanjeng dalam Maiyahan akan menjadi musik religi.

Tuntutan akan kebutuhan religiusitas dapat datang dari seluruh kategori

sosial yang berbeda. Hal itu dapat diterangkan dengan memahami Maiyahan

sebagai sistem simbol perwakilan agama yang mampu menyampaikan

ketidakberdayaan masyarakat. Sebagaimana menurut Max Weber, bahwa

harapan serta penantian masyarakat akan keselamatan merupakan ungkapan

adanya tekanan dan penindasan serta ketidakberdayaan dalam bidang sosial,

politik dan ekonomi.38 Agama mampu tampil sebagai sumber keselamatan.

38 Sudarmanto. Agama dan Ideologi. (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Penelitian Filsafat STFDrikarya Jakarta, 1987) Hlm: 41

Page 67: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

55

Sehingga segala aktifitas Maiyahan mampu dimaknai sebagai aktifitas

religiusitas.

Walau demikian, diantara kategori sosial lainnya, kategori dewasalah

yang paling banyak termotivasi dan memanfaatkan Maiyahan sebagai aktifitas

religiusitas. Mereka menjadikan Maiyahan sebagai momen untuk mengecas

iman, serta mendekatkan diri kembali pada Tuhan setelah dalam sebulan

merasa jauh dari-Nya. Akibat berbagai tekanan, ketidak berdayaan, serta

kelelahan yang meliputi tanggung jawab mereka sebagai seorang dewasa.

Banyak diantara kalangan dewasa yang telah menjadi Jama’ah Maiyah

sejak lama, dan mengaku selama itu pula ketidak hadirannya dalam Maiyahan

bisa dihitung dengan jari. Seperti BN yang hanya tiga kali tidak hadir dalam

Maiyahan sejak awal mengikuti Maiyahan pada tahun 2001 hingga sekarang.

Ketidakhadiran mereka hanya ketika terdapat hal-hal yang lebih penting, BN

tidak hadir tiga kali dalam Maiyahan ketika pertama rumah adik kebobolan

maling, kedua dan ketiga karena BN operasi usus buntu. Hal-hal seperti hujan

dan kantuk tidak menghalangi mereka hadir dalam Maiyahan.

Selain aktif mengikuti Maiyahan di Kasongan, mereka bahkan

mengikuti Maiyahan di berbagai tempat di Yogyakarta, jika Kiai Kanjeng dan

Cak Nun diundang di luar Kasongan. Mereka menyediakan waktu khusus

setiap tanggal 17 malam untuk Maiyahan. Sudah menjadi aktifitas rutin setiap

bulan untuk menambah dan menjaga religiusitas. Segala aktifitas diluar

Maiyahan setiap tanggal tersebut akan dialihkan untuk sementara.

Page 68: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

56

2. Maiyahan sebagai Aktifitas Hiburan

Setiap manusia selalu membutuhkan hiburan agar hidup mereka tidak

tertekan dan frustasi. Bahkan hiburan telah dianggap sebagai kebutuhan pokok

bagi manusia. Dapat dibayangkan seandainya seseorang tidak pernah mendapat

hiburan, atau paling tidak dirinya tidak pernah merasa terhibur. Maka dapat

dipastikan seorang tersebut akan selalu gelisah, curiga, sensitif dan mudah

marah pada semua orang disekitarnya.

Orang yang suntuk karena kurang mendapat hiburan cenderung akan

menjadikan diri dan lingkungannya negatif. Kurang menghargai dirinya, dan

apapun yang dilakukan orang lain akan dianggap sebagai kepentingan politis

yang bakal merugikan dirinya dan hanya akan menguntungkan orang lain

tersebut. Mereka tidak akan nyaman dan menikmati hidupnya. Akibatnya,

hidup tidak bahagia dan penyakit akan mudah datang, sehingga usia mereka

tidak akan panjang.

Perlu diketahui disini bahwa apa yang disebut hiburan bagi setiap orang

berbeda-beda satu sama lain. Hiburan bagi satu orang belum tentu merupakan

hiburan bagi orang lain. Hiburan sifatnya relatif. Hiburan banyak diartikan

sebagai kegiatan yang membuat senang atau hati tenang. Dalam mencari

hiburan, metode setiap orang berbeda-beda. Asalkan dapat menghilangkan

penat dan frustasi kegiatan apapun itu bisa disebut hiburan.

Dalam kasus penelitian ini, beberapa orang atau Jama’ah Maiyah

dimana hidupnya tidak lah berbeda dari pada -orangorang pada umumnya.

Page 69: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

57

Banyak diterpa berbagai kegiatan dan masalah yang menguras tenaga dan

fikiran. Akibatnya mereka sering merasa gelisah, resah dan frustasi karena

beban-beban tersebut.

Tetapi yang menarik disini ialah metode mereka mencari hiburan yaitu

dengan mengikuti Maiyahan. Bagaimanakah gerangan kegiatan Maiyahan

sehingga dapat menjadi penghibur dan obat bagi segala kepenatan dan

keputusasaan hidup? Seperti yang banyak diungkapkan dalam penelitian ini,

Maiyahan bisa berarti aktifitas religiusitas, aktifitas sosial, aktifitas epistemic

dan aktifitas tokoh kharismatik. Tetapi dari keseluruhan aktifitas Maiyahan

yang tersebut juga merupakan aktifitas hiburan bagi Jama’ah Maiyah.

Demikian terjadi karena pada dasarnya berbagai aktifitas asal bisa

membuat senang dan hati tenteram ialah hiburan. Maiyahan lengkap memberi

berbagai sarana hiburan tersebut pada Jama’ah Maiyah. Seperti halnya aktifitas

religiusitas juga berarti merupakan aktifitas hiburan bagi orang-orang yang

merindukan sentuhan agama untuk ketenangan hatinya, dengan

mendapatkannya dalam Maiyahan mereka merasa terhibur. Begitu pula dengan

aktifitas sosial dalam Maiyahan juga bisa menghibur karena seseorang dapat

bertemu dan bercanda dengan teman-temanya saat mengikuti Maiyahan

bersama-sama. Selanjutnya aktifitas epistemic yang mampu memberi hiburan

bagi orang-orang yang haus ilmu. Serta aktifitas tokoh kharismatik, dimana

bagi sebagian orang bertemu dengan tokoh idola mampu memberi hiburan

tersendiri.

Page 70: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

58

Juga yang tidak lupa disampaikan disini, bahwa selain gabungan dari

berbagai aktifitas hiburan tersebut yang menjadikan Maiyahan khas ialah

aktifitas musiknya. Boleh dibilang Maiyahan tidak akan menjadi aktifitas

hiburan yang mencakup keseluruhan aktifitas bila tidak terdapat aktifitas musik

didalamnya. Musik ialah hiburan yang dimainkan dikala senggang antara

berbagai aktifitas tersebut. Sebagai pencair suasana agar tidak sumpek,

sehingga materi yang disampaikan mudah diterima dan diserap. Seperti

penuturan MF :

“Musik itu sangat berguna sebagai pencair suasana.Ibarat kendaraan butuh oli, bila ngobrol terus ya sumpek. DiMaiyahan jadi tidak sumpek karena ada musik.”39

Musik senantiasa mengiringi setiap shalawat dan dzikir yang menyenangkan

bagi Jama’ah Maiyah. Apalagi selama ini Jama’ah Maiyah terutama yang

tinggal di perkotaan cenderung kurang mengenal jenis shalawatan dan dzikir

yang diiringi musik. Sehingga shalawat dan dzikir pun jadi semakin khusuk.

Selain itu, musik juga memadukan nuansa tradisional dan modern, sehingga

sekaligus sebagai proses pelestarian budaya tradisional di tengah-tengah era

modern ini. Sebagaimana penuturan BG pula :

“Yang paling saya senangi ketika Maiyahan ialahhiburannya, ketika dinyanyikan lagu-lagu tradisional kembali,dan direkonstruksi pula budaya yang telah dielaborasi, sepertimengenalkan kembali lagu-lagu, dzikiran dan shalawatandengan iringan musik yang selama ini asing di kalanmganmasyarakat perkotaan.”40

39 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.0040 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00

Page 71: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

59

Demikian, sebenarnya selain musik juga terdapat berbagai hiburan lain

dalam Maiyahan, seperti drama, pencak silat, wayang, tarian, dan sebagainya

yang tidak bisa ditebak kehadirannya. Keseluruhan acara Maiyahan mulai dari

berbagai aktifitasnya, musiknya, humornya, bintang tamunya, pengajiannya,

dan materi diskusinya, menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan dari acara

Maiyahan yang mempu menghibur Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori

sosial.

3. Maiyahan sebagai Aktifitas Sosial

Religiusitas memang menjadi aspek penting dalam Maiyahan, baik dari

segi acara maupun aktifitasnya. Tetapi tidak hanya religiusitas yang menjadi

sebab ketertarikan dan keinginan seseorang untuk hadir dalam Maiyahan.

Banyak aktifitas religiusitas lain dalam Maiyahan, seperti halnya pada

pengajian umum lainnya. Tetapi itu semua tidak bisa memberikan apa yang

dicari oleh Jama’ah Maiyah, seperti yang mereka temukan dalam Maiyahan.

Yaitu bahwa Maiyahan mampu menarik peserta dari berbagai kategori sosial

karena konteks acaranya yang tidak membeda-bedakan apa dan darimana

golongan dan statusnya, terlebih lebih mengakomodir kepentingan masyarakat

umum. Disana mereka merasa sama sebagai orang yang belajar dan ingin tahu.

Pendorong utama masyarakat hadir dalam Maiyahan bisa dibilang tidak

hanya religiusitas. Jama’ah Maiyah yang lahir dari Maiyahan merupakan

kumpulan perseorangan yang sebagian saling mengenal. Aktifitas sosial dalam

Page 72: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

60

Maiyahan dapat mendorong seseorang akhirnya hadir dalam Maiyahan.

Beberapa mengaku bahwa mereka hadir karena diajak oleh teman, atau pergi

kesana untuk bertemu dengan teman-teman. Selain mendengarkan Maiyahan

mereka juga bersosialisasi dan mengobrol sepanjang acara, dan berkomentar

bersama atas apa yang disampaikan selama diskusi. Sering kali mereka lebih

asik berkumpul dan mengobrol di warung dari pada mendengar Maiyahan.

Dari berbagai orang yang tidak saling mengenal dapat terbuka dan mengobrol

satu sama lain untuk menanyakan asal mana, sama siapa, dan sesering apa

hadir dalam Maiyahan. Bahkan terkadang sebagian saling bertukar nomor

handphone.

Selain itu, beberapa pasangan laki-laki dan wanita juga nampak hadir

bersama menikmati acara berdua. Bisa berarti mereka sekalian berpacaran,

berdekatan, teman, atau pasangan suami istri. Tetapi beberapa memang sering

nampak selalu berdua, tidak pernah berpisah dan terkadang lebih asik

mengobrol berdua dan sesekali berkomentar atas materi acara.

Selain berbagai bentuk hubungan sosial yang terjadi ketika acara,

hubungan sosial juga terjalin diluar acara Maiyahan. Seperti yang

dikemukakan MF, bahwa terdapat perkumpulan yang sering berdiskusi diluar

waktu acara Maiyahan. Dimana kumpulan tersebut sering berbagi pengalaman

pribadi dan berbagai info seputar religiusitas dan Maiyahan. Tujuan kumpulan

tersebut selain bersosialisasi antar sesama Jama’ah Maiyah juga berusaha

merealisasikan apa yang disampaikan dalam Maiyahan, agar apa yang

Page 73: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

61

disampaikan tidak hanya menjadi omongan tetapi menjadi wujud nyata yang

dapat dirasakan masyarakat.

Heterogenitas kategori sosial Jama’ah Maiyah juga memperjelas bahwa

Maiyahan merupakan aktifitas sosial yang dapat dinikmati berbagai kalangan,

mungkin lebih dari pada acara sejenis Maiyahan atau pengajian yang lain,

dimana kebanyakan pesertanya homogen. Seperti dalam pengajian di TV yang

mana pesertanya dari kalangan ibu-ibu kaya, pengajian dari suatu aliran Islam

dimana pesertanya juga berasal dari aliran Islam tersebut, pengajian yang

diperuntukan pendukung partai politik tertentu, atau berbagai pengajian yang

ditujukan untuk suatu komunitas homogen.

Dalam Maiyahan heterogenitas nampak jelas dari tidak adanya

kecenderungan pada suatu kalangan tertentu. Sehingga cenderung tidak akan

menimbulkan eksklusifitas yang berujung ketertutupan. Lagi pula Maiyahan

selalu mengajarkan kebersamaan tanpa sedikitpun memandang perbedaan.

Seperti yang diungkapkan MD :

“Maiyahan tidak akan menimbulkan sekterianisme yangberujung pada ketertutupan dan eksklusivitas, tetapi Maiyahanmewariskan semangat kebersamaan tanpa memandangperbedaan.”41

Pluralisme disana dijunjung tinggi, dengan materi diskusi yang

memanusiakan manusia. Bintang tamu ataupun pesertanya terkadang tidak

hanya dari kalangan Muslim, tetapi tidak jarang juga non-Muslim, seperti

seorang Pendeta Budha dan pakar alien yang menjadi pembicara dalam salah

41 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00

Page 74: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

62

satu rangkaian acara, ataupun seorang Pastur yang bahkan sering hadir dalam

Maiyahan.

Kedinamisan dalam Maiyahan membuat suasana sosial semakin cair

dan akrab. Sehingga banyak orang, sekali menyaksikan Maiyahan akan tertarik

untuk hadir lagi bulan depan. Mereka mengaku senang pada acara Maiyahan

bukan hanya karena wawasan religiusitas yang disampaikan, tetapi juga

suasana sosial yang ada. Dimana Maiyahan membuat Jama’ah Maiyah tidak

merasa sendiri melalui kesulitan dan kerasnya hidup. Semua orang yang hadir

dalam Maiyahan bertujuan untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seperti pengakuan HM :

“Suasana akrab, dinamis, toleran dan saling memilikiantar sesama manusia yang sedang hidup di Indonesia denganberbagai kebahagiaan dan kesulitannya menjadikan setiaporang dalam Maiyahan serasa telah ditakdirkan saling bertemudan mengenal satu sama lain.”42

Faktor sosial bisa dibilang salah satu daya tarik utama Maiyahan yang

kurang dimiliki berbagai aktifitas lain sejenis. Sehingga hal itulah yang

menjadikan Maiyahan tetap eksis sampai dengan sekarang, dan terus

bertambah pesertanya, terkadang hadir, tidak hadir ataupun rutin hadir setiap

bulan.

42 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30

Page 75: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

63

4. Maiyahan sebagai Aktifitas Epistemik

Epistemik berasal kata episteme yang berarti pengetahuan. Dalam hal

ini kehadiran Maiyahan menjadi sarana bagi masyarakat untuk menambah

pengetahuan. Dimana masyarakat dari berbagai kalangan, terutama rakyat kecil

menimba berbagai pengetahuan perihal dinamika kehidupan sosial, politik,

sains, ekonomi, dan sebagainya. Selama ini sedikit lembaga atau institusi yang

memainkan peran terjun langsung dalam rangka mencerdaskan masyarakat.

Maiyahan menjadi aktifitas epistemik dimana masyarakat dapat

menimba ilmu secara gratis. Dimana seluruh kalangan masyarakat

berkesempatan mendapat pengetahuan yang bahkan terkadang hanya bisa

diperoleh dilembaga pendidikan. Aktifitas epistemik ini terjadi dalam ruang

diskusi dengan latar lesehan sesuai panggung Maiyahan. Melibatkan

masyarakat awam untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi melalui tanya jawab

dan kebebasan berpendapat.

Materi diskusi cenderung kritis dan mendalam, dengan menghadirkan

pembicara yang mumpuni dalam bidangnya. Penyampaian materi dilakukan

secara sederhana dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta, dimana rata-

rata peserta berasal dari kalangan menengah bawah, dengan tingkat pendidikan

sederhana. Jikalau banyak mahasiswa disana, tapi mereka berasal dari berbagai

disiplin ilmu, yang kerap kali tidak mengenal sama sekali perihal materi

diskusi.

Tema diskusi beragam dan tidak terduga-duga, tetapi secara

keseluruhan kerap menyinggung perihal budaya, sosial dan politik. Cak Nun

Page 76: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

64

sebagai penggiat diskusi ialah seorang budayawan, sekaligus pernah terlibat

dalam aktifitas politik. Memiliki wawasan luas perihal materi tersebut,

sehingga sering manggiring materi diskusi kepada persoalan tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan MF, bahwa sebagai mahasiswa dia mendapat

berbagai pengetahuan dalam Maiyahan yang selama ini tidak ia dapatkan

dilingkungan universitas. Dari beberapa segi dia mengungkapkan bahwa

Maiyahan mampu memperluas pengetahuan yang dibutuhkan dalam studinya.

MF memandang bahwa :

“Disana lah sumber ilmu, yang saya dapatkan setiapbulan dan sayang bila dilewatkan. Meteri diskusi yang dibahasselalu membuat saya penasaran, dengan tema dan pembicarayang tidak terduga-duga.”43

Kehadiran Cak Nun tidak dapat dipungkiri ialah pusat aktifitas

epistemik dalam Maiyahan, sebagaimana ruang publik yang memberi

kebebasan berpikir dan berbicara menurut pendapat masing-masing. Proses

tanya jawab dan pengungkapan pendapat menjadi motor utama penggerak

aktifitas epistemik dalam Maiyahan. Materi diskusi bebas, dapat membahas

apapun tidak hanya perihal religiusitas semata. Sehingga terjadi proses take

and give ilmu pengetahuan antar keseluruhan komponen dalam Maiyahan.

Seperti keterangan AD bahwa :

“Maiyahan ialah tempat orang ngobrol bebas danberdiskusi masalah apapun, bisa sosial, politik, agama, budaya,ekonomi dan lain-lain, disana terjadi proses take and give ilmuyang bermanfaat”.44

43 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.0044 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00

Page 77: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

65

Beberapa Jama’ah Maiyah, khususnya dari kategori sosial pemuda dan

mahasiswa lebih memandang Maiyahan sebagai aktifitas epistemik, lebih dari

pada aktifitas religiusitas. Aktifitas inilah yang terkadang menjadi pendorong

utama mereka hadir dalam Maiyahan. Kalangan pemuda dan mahasiswa

menganggap bahwa Maiyahan ialah aktifitas epistemik, bisa jadi epistemik

religiusitas ataupun epistemik umum. Maiyahan tidak akan menjadi sebesar itu

bila tidak menghadirkan format acara diskusi yang demikian. Itulah yang

menjadi pembeda antara Maiyahan dengan pengajian-pengajian lain. Dimana

pengajian-pengajian lain hanya berbicara seputar agama, dan seolah-olah

hanya diperuntukan bagi penambahan wawasan keagamaan. Tetapi berbeda

dengan Maiyahan, yang mampu memberikan berbagai wawasan pengetahuan

umum dan global, tidak hanya wawasan keagamaan.

5. Maiyahan sebagai Arena Otoritas Kharismatik

Media baru dan publik secara umum begitu cepat menunjuk pada

politisi, bintang film, atau musisi rock sebagai individu kharismatik. Sering

kali yang mereka maksud sebenarnya adalah bahwa orang tersebut ditopang

dengan kualitas yang luar biasa. Seperti ungkapan Weber bahwa pemimpin

kharismatik dapat memiliki ciri menonjol, kharismanya lebih tergantung pada

kelompok pengikut dan bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin

kharismatik. Pengaruh figur kharismatik pada pengikutnya cenderung kuat,

dapat menimbulkan reorientasi subjektif atau internal yang menyebabkan

Page 78: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

66

perubahan sikap utama dan arah tindakan secara radikal menjadi orientasi yang

sama sekali baru bagi semua sikap terhadap perbedaan masalah dunia.45

Dalam dunia Islam, aktifitas ini dimiliki oleh tokoh-tokoh agama

seperti kiai pesantren, yang memiliki kharisma yang dihormati santrinya.

Mereka dianggap mempunyai kualitas religiusitas yang tinggi, bahkan sebagai

manusia yang diberkati Tuhan. Sebagaimana pesantren, lembaga religiusitas

non-formal lain kebanyakan memiliki figur kharismatik masing-masing.

Seperti figur Gus Dur di kalangan NU, dan figur Amien Rais di kalangan

Muhamadiyah. Sedangkan dalam Maiyahan figur kharismatik tersebut ialah

Cak Nun.

Figur kharismatik dipandang sebagai seseorang berwawasan luas,

terutama dalam hal religiusitas. Figur ini mampu mempengaruhi pengikutnya

untuk bertindak sesuai keinginan figur kharismatik. Tidak bisa dipungkiri

bahwa keberadaan Cak Nun adalah magnet, yang mampu menarik Jama’ah

Maiyah hadir dalam Maiyahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Jama’ah

Maiyah ialah pengikut Cak Nun.

Jama’ah Maiyah memandang bahwa Cak Nun ialah seorang

budayawan, agamawa, dan intelektual yang berkualitas. Terbukti dengan

materi-materi diskusi yang disampaikan Cak Nun tepat sasaran kepada

Kominitas Maiyah. Partisipasinya dalam dinamika politik Orde Baru kerap ia

ceritakan, menunjukan wawasannya dalam dunia politik cukup luas.

45 Ritzer&Goodman. Teori Sosiologi, dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan MutakhirTeori Sosiologi Postmodern. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010) Hlm: 144-145

Page 79: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

67

Keluwasan wawasan Cak Nun membawa pada keberagaman segmen

peserta Maiyahan, yaitu dari berbagai kategori sosial. Seperti kategori

mahasiswa yang menyukai Maiyahan karena materi diskusi Cak Nun yang

kritis terhadap isu sosial politik di Indonesia, dan kategori miskin yang

menyukai Maiyahan karena materi diskusi yang sering dikaitkan dengan

motivasi-motivasi bagi orang miskin.

Pengaruh ajaran yang disampaikan tokoh kharismatik cenderung lebih

cepat dan kuat terinternalisasi dalam diri seseorang, dari pada ajaran yang

disampaikan dari orang biasa. Cak Nun yang senantiasa mengajarkan toleransi,

ternyata mempu menanamkan sikap toleransi yang kuat bagi Jama’ah maiyah.

Sehingga mampu mengubah perspektif seseorang terhadap kelompok-

kelompok lain, tak terkecuali kelompok agama dan kepercayaan lain. Seperti

BN, yang pada awal mula sebelum mengenal Maiyahan cenderung skeptis dan

apatis terhadap orang non-muslim. Tetapi setelah mendengar nasehat Cak Nun

akhirnya dia lebih toleran dan senang bekerjasama dengan orang non-muslim.

Berikut penuturan BN :

“Saya dulunya sebelum mengenal Maiyahan tidak sukadan tidak mau bekerjasama dengan orang non-muslim, tetapisejak mendengar ajaran Cak Nun tentang toleransi umatberagama, saya sekarang dapat bekerjasama dengan siapapuntanpa memandang agamanya.”46

Selain itu, pengaruh tokoh kharismatik juga cenderung membawa

seseorang menyukai apa yang disukai tokoh kharismatik tersebut, seperti

berbagai aktifitas dan benda-benda yang dimiliki. Cak Nun melalui Maiyahan

46 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 80: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

68

merupakan penggiat musik tradisional rebana. Hal ini membuat alat musik

rebana semakin dikenal dan disenangi karena identik dengan Cak Nun dan

Maiyahan. Sehingga membuat Jama’ah Maiyah seperti BN juga turut

menyenangi rebana, bahkan turut mendirikan grup musik rebana, setelah

sebelumnya sempat tidak suka rebana karena norak dan kampungan. Seperti

keterangan BN kembali :

“Saya dulu tidak suka dengan musik rebana, karenakampungan, tetapi sejak melihat musik rebana yang dibawakanoleh Kiai Kanjeng dalam Maiyahan, saya sekarang jadimenyukai rebana, bahkan sampai mendirikan grup rebanayang terinspirasi dari Kiai Kanjeng.”47

Tetapi bagi beberapa orang, rupanya pengaruh kharismatik Cak Nun

jauh menjadi daya tarik utama dari pada keseluruhan acara Maiyahan. Banyak

peserta Maiyahan yang datang lebih untuk mendengar ceramah Cak Nun, dari

pada keseluruhan acara Maiyahan. Cak Nun dan Maiyahan diibaratkan bagai

dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Sehingga sulit mencari orang yang

mampu menandingi kharisma Cak Nun. Dikhawatirkan Maiyahan akan

berkurang pesertanya bila tidak dihadiri Cak Nun. Seperti perkataan HS bahwa

:

“Saya sendiri menyukai Maiyahan karena ada Cak Nun,bila tidak ada Cak Nun mungkin saya tidak akan suka padaMaiyahan, mungkin orang-orang yang lain juga begitu. BilaCak Nun meninggal mungkin Maiyahan akan tersendat-sendatdan kehilangan banyak jamaatnya.”48

Ditambah keterangan MD pula bahwa :

47 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3048 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00

Page 81: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

69

“Kebanyakan orang-orang kesana karena ada Cak Nun,Cak Nun dan Maiyahan bagaikan dua sisi mata uang, gak adaMaiyahan kalau gak ada Cak Nun.”49

Sebenarnya, besarnya pengaruh atau kharisma Cak Nun dalam

Maiyahan cenderung karena belum terdapat sosok yang mampu menandingi

atau mengimbangi kualitas intelektual dan religiusitasnya. Bila tidak ada Cak

Nun banyak Jama’ah Maiyah yang lebih memilih mundur dari depan

panggung, ngobrol atau makan-makan di warung. Bahkan sebagian dari

mereka lebih memilih tidur atau pulang lebih awal. Maiyahan tanpa kehadiran

Cak Nun dirasa hambar oleh beberapa Jama’ah Maiyah. Seperti ungkapan MF

:

“Kehadiran Cak Nun sangat penting, kalau tidak adadia Maiyahan terasa hambar, acara jadi kurang menarik, sayapun tidak mendekat ke panggung seperti ketika ada Cak Nun,saya akan mendengar sambil makan-makan diwarung, bahkansebagian orang pulang kalau tidak ada Cak Nun”.50

Berbagai lembaga yang memiliki tokoh kharismatik kebanyakan akan meredup

bila tokoh kharismatiknya sudah tiada, karena tidak adanya pegangan dari

individu yang dijadikan contoh.

Tetapi, mungkin Maiyahan tidak akan meredup bila terdapat tokoh lain

yang mampu mengimbangi kharisma Cak Nun, dan mampu menggantikannya

bila Cak Nun tidak hadir atau telah tiada. Seperti yang telah biasa dilakukan

dalam Maiyahan bila Cak Nun dan Kiai Kanjeng kebetulan tidak dapat hadir

ketika tanggal 17, karena sedang ada kegiatan lain yang lebih penting. Posisi

49 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0050 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 82: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

70

Cak Nun biasanya digantikan oleh Mas Totok51, atau putera Cak Nun yaitu

Sabrang52. Mereka berdua dinilai mampu mengimbangi Cak Nun, tetapi hanya

dalam beberapa sisi saja. Mas Totok mungkin mampu mengimbangi Cak Nun

dalam hal kharisma, tetapi tidak dalam hal wawasan religiusitas dan

intelektual. Sedangkan Sabrang mungkin mampu menandingi Cak Nun dalam

hal intelektualitas, tetapi tidak dalam hal wawasan religiusitas dan kharisma.

Seperti penjelasan MF :

“Dalam Maiyahan kalau Cak Nun tidak hadir atau bilananti telah meninggal, posisinya bisa digantikan oleh MasTotok yang cukup memiliki kharisma dan wawasan, walaupunmasih jauh dibawah Cak Nun, atau juga dapat digantikan olehSabrang, dia memiliki potensi, intelektualitasnya tinggi,menandingi bahkan melebihi Cak Nun, tetapi dia belummemiliki wawasan religiusitas dan kharisma yang mampumenggantikan Cak Nun.”53

Walau demikian, Maiyahan memiliki beberapa pengikut atau jamaah

yang mengaku menyukai Maiyahan bukan hanya karena ada Cak Nun,

walaupun memang untuk saat ini Cak Nun memang yang paling dia sukai dan

tunggu-tunggu ketika Maiyahan. Mereka datang Maiyahan memang karena

mendapat panggilan hati untuk selalu memperdalam religiusitas, dan dalam

Maiyahan hal tersebut tidak hanya didapat dari Cak Nun. Kehadiran Cak Nun

pun tidak menjadi faktor utama penentu dia datang ke Maiyahan. Cak Nun

ialah simbol Maiyahan, tetapi tidak berarti bukan Maiyahan bila tidak ada Cak

Nun. Seperti ungkapan MD bahwa :

51 Mas Totok ialah salah satu anggota Kiai Kanjeng, sering menjadi MC Maiyahan, dan seringmenggantikan posisi Cak Nun ketika tidak hadir dalam Maiyahan.52 Sabrang ialah putra Cak Nun, biasa dikenal dengan nama Noe Letto, namanya ketika manggungbersama grup band Letto yang dia vokali, sering pula membawakan materi diskusi bersama Cak Nun.53 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 83: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

71

“Cak Nun menurut jamaat yang lain sangat penting,bahkan bila tidak ada dia acara bisa selesai, tetapi bagi sayatidak masalah bila tidak ada Cak Nun, saya bisa belajar sendiri,kalau ada Cak Nun pun tidak kesana juga gak masalah bagisaya, jangan sampai tidak pernah hadir lagi bila tidak ada CakNun.”54

Begitu pula menurut HM :

“Cak Nun tidak ada pun tetap jalan, memang banyakorang yang menilai bahwa Maiyahan itu Cak Nun, tetapi sayatidak setuju, Cak Nun itu hanya simbol Maiyahan.”55

Beragam pendapat dilontarkan perihal kharisma Cak Nun, yang mana

saat ini diakui bahwa Maiyahan seramai sekarang karena ada daya tarik Cak

Nun. Maiyahan dapat dibilang sebagai suatu lembaga religiusitas yang pada

dasarnya memiliki tokoh sentral kharismatik, yang boleh dibilang

kehadirannya sangat menentukan keberlanjutan Maiyahan.

D. Makna Maiyahan bagi Berbagai Kategori Sosial

Demi kelestarianya, wajar bila agama telah dibentuk sebagaimana suatu

lembaga atau institusi yang melakukan fungsi organisasi. Sehingga agama dapat

memapankan kedudukannya dalam masyarakat, demi mencapai tujuannya sebagai

rahmat bagi kehidupan manusia. Lembaga agama memiliki strategi dalam

menyampaikan ajarannya, melakukan pemetaan sosial terhadap segmen masyarakat

setempat, sehingga tepat sasaran sesuai kondisi masyarakat saat itu.

54 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0055 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30

Page 84: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

72

Demikian juga Maiyahan, yang memiliki posisi sebagai lembaga agamanya

rakyat kecil. Melakukan strategi agar ajaran yang disampaikan mampu dipahami

dengan mudah. Sebagaimana tulisan Cak Nun yang dimuat Jawa Pos pada 10 Maret

2002, berjudul “Keputusasaan Menyeluruh”, bahwa musik dan puisi misalnya, tidak

hanya ditujukan bagi pengabdian seni, melainkan bergabung didalam proses

musyawarah sosial, memperingan hati, me-lanyah-kan akal, melembutkan perasaan,

dan menjernihkan jiwa. Itu semua, disamping untuk menghibur, juga untuk mengasah

agar hati kita jujur, pikiran kita fresh sehingga hasil rembugnya nanti bisa semurni

mungkin.56

Rembug yang dimaksud ialah proses dialogis dalam Maiyahan, yaitu diskusi,

bertujuan mencari permasalahan dari akar hingga pangkalnya. Seperti tulisan Cak Nun

kembali di Jawa Pos pada 14 April 2002, berjudul “Gula Kok Manis”, yang

menerangkan bahwa di dalam Maiyahan, kita mendaftari penyakit-penyakit kita

sebagai manusia, sebagai warga Negara, sebagai individu atau mahluk sosial, sebagai

masyarakat, sebagai bangsa, dan seterusnya. Kita identifikasi bersama, kita

rekapitulasi, dipetakan, dihitung, dianalisa, dipelajari itu semua, mana yang bisa

disembuhkan, mana yang sangat lama baru bisa disembuhkan, serta mana yang

mustahil sembuh.57 Cak Nun memiliki berbagai tulisan yang menjelaskan perihal

aktifitas-aktifitas Maiyahan dalam kegiatannya berdakwah. Tetapi perspektif

kemudian berkembang, yang mana aktifitas Maiyahan dimaknai secara bebas oleh

Jama’ah Maiyah, sesuai konteks sosial masyarakat bersangkutan.

56 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 2957 Ibid., Hlm: 33

Page 85: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

73

Berikut merupakan keterangan dari seluruh informan perihal pemaknaannya

terhadap apa itu aktifitas Maiyahan: Pertama, ungkapan BN yang lebih memaknai

Maiyahan sebagai aktifitas religius. Hal yang paling ia cari dari Maiyahan ialah sisi

religiusitasnya. Segala hal yang disajikan dalam Maiyahan dia pandang mampu

menambah wawasan religiusitasnya. Karena pada dasarnya inti dari Maiyahan

memang acara religiusitas. Entah itu musiknya, syair lagunya, iramanya, dan lain-lain,

semua dilakukan dengan fokus dan menjiwai untuk menyiarkan religiusitas. Sehingga

penyerapan religiusitasnya bagi BN menjadi lebih khusuk dan mudah. Dengan

mengikuti Maiyahan dia merasa bisa lebih dekat dengan Tuhan. Apalagi disana ia

memperoleh wawasan religius seputar apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang,

mana yang pahala dan mana yang dosa, aman yang baik dan mana yang buruk, dan

seterusnya. Semua norma-norma religius dalam agama tersebut terasa murni tanpa

adanya embel-embel kepentingan dari pihak tertentu. Berikut penuturan BN :

“Aktifitas Maiyahan itu, mengajak mengingat Allah, sehinggamampu membedakan mana yang halal dan haram, baik dan buruk,sehingga hidup tidak seenaknya sendiri. Tidak hanya dalam diskusinya,misalnya dalam musik, yang bisa membuat ingat pada Tuhan, alunan,irama, syair, disampaikan dengan tajam dan menjiwai, sehinggamampu mengajak orang memaknai agama.”58

Kedua, HM yang menuturkan secara berbeda tentang makna Maiyahan bagi

dirinya. Dia memandang bahwa Maiyahan itu tidak bisa dipandang dari satu sisi saja.

Ibarat kotak Maiyahan mempunyai banyak sisi, yang bisa dijadikan sudut pandang

dalam menentukan maksud dan tujuanya. Maiyahan bisa memiliki berbagai makna

tergantung dari tujuan apa yang dicari oleh Jama’ah Maiyah ketika mengikuti

Maiyahan. Bisa saja seseorang datang Maiyahan untuk memperdalam agama, berarti

58 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 86: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

74

dia memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas keagamaan. Bisa juga seseorang datang

untuk berkumpul bersama teman-teman, bisa juga untuk mencari ilmu atau pendidikan

yang disajikan dalam diskusinya, dan seterusnya semua tergantung masing-masing

Jama’ah Maiyah. Berikut penuturan HM :

“Maiyahan dimaknai tergantung sudut pandang masing-masing, misal sudut pandang agama, Maiyahan sebagai metodemendekatkan diri pada Allah dan Rasul, sedang dari sudut pandangsosial, Maiyahan ialah konsep kebersamaan diantara masyarakat, dandari sudut pendidikan, Maiyahan adalah sumber ilmu, biologi, sosial,budaya, tergantung kesana cari ilmu apa saja bisa ditemukan,sedangkan musik, diskusi, puisi hanya bumbu untuk mencapai ilmu.”59

Ketiga, MD yang menyatakan makna dari Maiyahan ialah kebersamaan. Inti

yang diajarkan dalam Maiyahan ialah bagaimana semua orang bisa saling menghargai,

mengerti dan memahami. Disamping berbagai perbedaan yang ada seperti ras, suku,

agama, dan seterusnya. Kehidupan bangsa, terutama Islam semakin heterogen, apalagi

ditengah arus globalisasi yang terus menggerus jiwa manusia. Sering kali

menimbulkan potensi konflik dan kesenjangan, dimana hal demikian selalu memicu

berbagai masalah sosial. Untuk hal ini Maiyahan hadir sebagai pemersatu dalam

kebersamaan. MD menganggap bahwa bagi seorang muslim, mengikuti Maiyahan

sangatlah penting karena membangun Ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim.

Sehingga umat muslim akan tetap bersatu dan lebih religius : Berikut penuturan MD :

“Maiyahan ialah kebersamaan, disana kita tidak memandangras, suku, agama, dalam kehidupan yang serba luas, kita menjalinkebersamaan dalam Islam yang semakin heterogen.”60

59 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.3060 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00

Page 87: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

75

Keempat, ialah MF yang menyatakan bahwa Maiyahan bagi dia ialah

sumbernya ilmu. Tidak seperti pengajian lain, Maiyahan merupakan forum ilmu

tempat orang menimba ilmu seperti sekolahan dan universitas. Maiyahan mampu

menjadi public sphere dalam diskusinya, tempat semua orang tanpa memandang status

kelas maupun tingkat pendidikan untuk berbicara dan mengutarakan pendapat di

depan umum. Dalam Maiyahan dia dapat belajar apapun, bahkan melengkapi dari apa

yang tidak ia peroleh di bangku universitas. Segala kegiatan seperti musik, puisi, dan

seterusnya, termasuk berbagai candaan dari Cak Nun; hal tersebut merupakan pencair

suasana agar tidak bosan ditengah-tengah diskusi. Karena tentu akan bosan bila terus-

menerus ngobrol dan berdiskusi tanpa ada selingan yang mengihibur dan

menentramkan jiwa. Berikut penuturan MF :

“Maiyahan ialah forum ilmu, seperti sekolah tempatnyabelajar, belajar apapun, sedangkan aktifitas hiburan seperti musik danpuisi misalnya, berguna sebagai pencair suasana, ibarat kendaraanbutuh oli, karena bila diskusi terus ya sumpek, daya tahan kalaumendengar diskusi paling maksimal dua jam.”61

Lalu kelima, pernyataan HS yang menyatakan bahwa Maiyahan ialah

tempatnya diskusi dan mengobrol apapun. Segala hal yang didiskusikan dalam

Maiyahan selalu bermanfaat bagi penambahan wawasan intelektual dan religiusitas.

Yang utama dan terpenting dari Maiyahan yang cenderung tidak dimiliki oleh

lembaga-lembaga religiusitas lain ialah diskusi; yang mampu diakses masyarakat

kalangan bawah. Maiyahan mampu menjadi sumber ilmunya masyarakat kalangan

bawah, kalangan miskin, kalangan petani, atau siapapun yang boleh dibilang kurang

memperoleh kesempatan pendidikan ditempat lain. Ilmu pengetahuan disampaikan

61 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 88: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

76

dengan bahasa yang sederhana. Sehingga mampu diserap dengan mudah berbagai

kalangan dari tingkat pendidikan. Tidak hanya itu, walaupun peserta Maiyahan yang

hadir kebanyakan ialah kalangan bawah; tetapi juga banyak kalangan atas yaitu orang

kaya, dan seniman yang tertarik mengikuti Maiyahan. Karena memang ilmu yang

disampaikan dalam Maiyahan diperuntukan bagi kalangan bebas. Berikut penuturan

HS bahwa :

“Maiyahan ialah tempatnya diskusi, ngobrolnya kalanganbebas, yang didominasi kalangan bawah, seperti orang desa, pedagangkecil, kelas kaya juga ada, juga tempatnya seniman.” 62

Keenam, ialah AD, seperti kebanyakan informan kategori pemuda. AD lebih

memaknai Maiyahan sebagai aktifitas epistemik. Menurutnya, Maiyahan ialah sumber

ilmu, yang dihasilkan dari diskusi dan pengutaraan pendapat. Sumber ilmu dalam

Maiyahan tidak hanya terpaku pada satu sumber ilmu saja, misalnya ilmu religiusitas.

Tetapi dari berbagai disiplin ilmu, walaupun ilmu tersebut diluar religiusitas. Berbagai

macam ilmu yang diobrolkan tidak lah tetap, terkadang ilmu agama, ilmu sosial, ilmu

politik, dan lain-lain. Walaupun pengaruh Cak Nun dalam sosialisasi ilmu cukup

besar, tetapi tetap terdapat peluang bagi Jama’ah Maiyah atau narasumber yang hadir

untuk mengutarakan pendapatnya, entah setuju atau pun tidak setuju. Karena Cak Nun

sendiri memang membuka peluang bagi Jama’ah Maiyah untuk berpartisipasi dalam

diskusi, dengan cara menawarkan bila ada yang ingin bertanya, berpendapat, ataupun

menyanggah. Sebagaimana menurut AD, disana semua saling take and give

pengetahuan. Menurut AD, yang paling khas dari diskusi Maiyahan ialah kemampuan

memadukan segala ilmu-ilmu pengetahuan, entah itu sosial, politik, budaya,

62 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00

Page 89: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

77

lingkungan, dan lain-lain; dengan ilmu religiusitas. Segala fenomena yang

didiskusikan, yang selama ini menimbulkan masalah bagi Jama’ah Maiyah dapat

dipecahkan secara religius. Sehingga selain mencerdaskan juga menambah wawasan

religiusitas. Berikut penuturan AD :

“Maiyahan merupakan sekumpulan orang yang mau bersamangomongin macem-macem bahan obrolan, entah itu agama, sosial,politik, budaya, lingkungan, dan lain-lain. Disana mereka saling takeand give pengetahuan. Disana kita dapat berdiskusi dibalut denganreligiusitas”.63

Ketujuh, ialah DE yang mencoba mengartikan Maiyahan secara teknis. Bahwa

Maiyahan ialah acara diskusi, lebih tepatnya diskusi perihal ilmu pengetahuan global,

terbukti dengan selalu dihadirkanya pembicara dari kalangan akademisi dan praktisi;

selain itu Maiyahan ialah tempatnya diskusi agama, terbukti dengan hadirnya seorang

agamawan (bisa Cak Nun, bisa agamawan lain); selain itu Maiyahan juga tempatnya

diskusi budaya, terbukti dengan hadirnya seorang budayawan. Berikut penuturan DE :

“Maiyahan adalah kegiatan rutin yang membahas danmembumikan topik-topik tertentu. Biasanya terdiri dari tiga macampembicara diantaranya seorang akademisi atau praktisi, seorangagamawan, dan seorang budayawan.”64

Kedelapan, ialah BG yang memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas sosial Cak

Nun terjun langsung ke masyarakat. Maiyahan ialah aktifitas yang tercetus dari

gagasan Cak Nun. Memang Maiyahan dalam formasi sekarang tergolong baru, yaitu

sejak sekitar dua belas tahun yang lalu. Sejak awal Maiyahan memang dilakukan dan

dibentuk oleh Cak Nun, lalu terus-menerus bertambah dengan formasi baru. Maiyahan

menjadi menarik bagi berbagai kalangan masyarakat berkat kecerdikan Cak Nun

63 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.0064 Wawancara DE pada 18 Juni 2013, pukul 20.00

Page 90: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

78

memadukan antara religiusitas, musik, dan dikusi ilmu pengetahuan global. Apalagi

ditambah suasana humor dan obrolan yang cair, lebih menambah suasana akrab dalam

Maiyahan. Bagi BG, Maiyahan tidak bisa dibilang merupakan forum diskusi yang

remeh temeh, tetapi sudah merupakan sumber ilmu baru yang luas bagi Jama’ah

Maiyah. Berikut penuturan BG :

“Maiyahan ialah forum yang menarik dari terobosan CakNun, dimana dia bisa membuat forum yang cair dan terbuka bagisemua kalangan, dengan bahasan dan capaian yang luas bagi ilmupengetahuan.”65

Lalu terakhir atau kesembilan, ialah SC yang lebih memaknai aktifitas

Maiyahan sebagai aktifitas religius. Dimana seluruh konsentrasi SC selama mengikuti

Maiyahan ialah menyerap sebanyak-banyaknya wawasan religius yang dihasilkan;

entah itu dari diskusi, musik, puisi, atau pun lainya. Bagi dia Maiyahan ialah inspirasi

bagi dirinya untuk terus-menerus menambah wawasan religius. Terlebih lagi dalam

kahidupan yang serba sulit sekarang, sering menimbulkan kegelisahan dan frustasi

dalam pikiran dan hati. Maiyahan mengajarkan cara mengobat kegelisahan dan frustasi

tersebut, yaitu dengan lebih dekat dengan Tuhan. Sehingga seseorang akan tetap dekat

dengan Tuhan ditengah berbagai pengaruh lingkungan yang merusak iman. Berikut

penuturan SC :

“Maiyahan ialah aktifitas dimana kita mampu memantapkanhati untuk tetap di jalan Tuhan, memantapkan pikiran dan hati, tidakmudah terpengaruh dengan situasi lingkungan sekitar”.66

Berbagai pernyataan Jama’ah Maiyah tersebut menunjukan bahwa terdapat

perbedaan terhadap apa makna Maiyahan. Misalnya, kategori dewasa dan pekerja

65 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.0066 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.00

Page 91: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

79

seperti BN, MD, HM dan SC, memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas religiusitas,

diskusi dan musik hanya media untuk mempermudah penyampaiannya. Sedangkan

kategori pemuda dan mahasiswa seperti MF, HS, AD, DE dan BG memaknai

Maiyahan lebih pada aktifitas diskusi, dengan tidak memungkiri bahwa aktifitas

religiusitas lah inti dari Maiyahan, sedangkan musik dan puisi hanyalah media

penyampaian.

Pemaknaan terhadap Maiyahan merupakan pelegitimasian terhadap apa

esensi acara dari Maiyahan yang ingin dicari. Walau terdapat perbedaan pemaknaan

terhadap Maiyahan. Tetapi inti dari keseluruhan persepsi hampir sama, yaitu

Maiyahan ialah aktifitas religiusitas. Secara spesifik kecenderungan pemaknaan atas

Maiyahan berdasarkan kategori sosial dapat dilihat berdasarkan tabel berikut :

Kategori

Sosial

Makna Maiyahan

Aktifitas

religiusitas

Aktifitas

hiburan

Aktifitas

epistemik

Aktifitas

sosial

Arena

Otoritas

kharismatik

Dewasa √ √ √

Muda √ √ √ √ √

Laki-laki √ √ √

Wanita √ √ √ √

Kaya √ √ √ √

Miskin √ √ √ √

Mahasiswa √ √ √ √ √

Pekerja √ √ √

Tabel 2 : Kecenderungan pemaknaan terhadap aktifitas Maiyahan

Tabel tersebut menunjukan kecenderungan pemaknaan Jama’ah Maiyah

terhadap Maiyahan. Ketika mereka menjawab apa makna Maiyahan bagi mereka, serta

Page 92: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

80

apa tujuan dan hal yang ingin dicari dalam Maiyahan. Bila Maiyahan tidak

menghadirkan aktifitas tersebut, seseorang cenderung lebih memilih untuk tidak hadir

dalam Maiyahan, atau hadir tapi pulang sebelum acara usai, atau lebih memilih

aktifitas lain seperti makan di warung atau tidur. Berikut akan dijelaskan sebab umum

perihal mengapa aktifitas-aktifitas Maiyahan dimaknai secara khas oleh Jama’ah

Maiyah dari kategori-kategori sosial tertentu :

1. Aktifitas Religiusitas

Inti acara Maiyahan sebagai lembaga religiusitas ialah

mensosialisasikan religiusitas kepada masyarakat. Walaupun dalam

perkembangannya Maiyahan dimaknai apapun tidak hanya sebagai lembaga

religiusitas. Tetapi rupanya religiusitas Maiyahan cukup menjadi motivasi bagi

kebanyakan Jama’ah Maiyah, karena religiusitas mampu disampaikan secara

mendalam dan toleran. Jama’ah Maiyah yang cenderung memaknai Maiyahan

sebagai aktifitas religiusitas ialah dari kategori :

a. Dewasa; karena tanggung jawab mereka sebagai orang dewasa

menuntut untuk lebih menguasai agama, agar bisa menjadi panutan

bagi generasi muda, keluarga (terutama anak-anaknya) dan masyarakat.

Bagi kategori dewasa Maiyahan mampu memberi seluruh pengalaman

religiusitas tersebut. Bagi mereka sisi religiusitas Maiyahan sangat

mudah dan menyenangkan untuk diterapkan. Karena selalu

menekankan pada keserasian hidup antar manusia, yang sangat penting

Page 93: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

81

bagi kehidupan sosial seorang dewasa dalam masyarakat. Walau

demikian bukan berarti Maiyahan meremehkan sisi religiusitas berupa

ritus-ritus peribadatan. Tetapi justru mampu menyadarkan tanpa

perintah, tanpa sikap menggurui, dan tanpa paksaan untuk lebih

mengenal Tuhan. Maiyahan bagi seorang dewasa mampu menjadi

pedoman religiusitas dalam ibadah dan hubungan sosial.

b. Pemuda; Masa muda ialah masa pencarian jati diri. Mereka banyak

melakukan trial and error dalam hidupnya, terkadang berhasil dan

terkadang gagal. Pada saat gagal inilah mereka terusik ketentraman

hatinya. Sehingga mereka juga memerlukan dukungan moril, salah

satunya dengan religiusitas. Sisi religiusitas yang dibutuhkan pemuda

ialah religiusitas yang mampu menjadi obat, nasehat dan petuah untuk

mengatasi kegelisahan hati, dan mampu memberi dukungan moril bagi

mereka; tidak hanya terus-menerus memotifasi untuk beribadah

mencari pahala dan menghindari dosa. Melalui Maiyahan mereka

mengaku memperoleh ketenangan batin dari religiusitas yang

disosialisasikan. Bahkan dalam Maiyahan kategori pemuda tidak segan,

malah senang untuk ikut bershalawat, berdzikir dan berdoa.

c. Laki-laki, dituntut oleh budaya dan agama sebagai pemimpin. Baik

dalam artian pemimpin keluarga atau pun pemimpin masyarakat.

Pemimpin keluarga yang diharapkan mampu memberi teladan

religiusitas bagi seluruh keluarganya. Atau pemimpin masyarakat atau

organisasi yang diharapkan mampu bersikap adil dan membawa pada

Page 94: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

82

pencapaian tujuan. Tanggung jawab tersebut menuntut mereka lebih

mengerti agama. Nilai-nilai religiusitas dari Maiyahan dibutuhkan

mereka bagi memenuhi tersebut. Dan Maiyahan dinilai mampu menjadi

pedoman mencapai tujuan tersebut.

d. Wanita; para ahli mengatakan bahwa kecenderungan religiusitas wanita

lebih besar dari pada laki-laki. Entah benar atau tidak, melalui

Maiyahan wanita mampu memiliki ketertarikan terhadap religiusitas

tidak kalah dari pada laki-laki. Dalam Maiyahan mereka mengaku

dapat menyerap prinsip-prinsip religiusitas untuk menjadi wanita yang

lebih baik.

e. Kaya; mereka memperdalam religiusitas untuk menyerap prinsip-

prinsip hidup positif yang bermanfaat bagi kehidupan. Semua hampir

bisa mereka dapatkan, tetapi godaan bagi orang kaya cukup besar,

sehingga mereka harus memperdalam religiusitas untuk menentramkan

hati, supaya tidak khilaf dan frustasi.

f. Miskin; mereka banyak diliputi kesulitan dan ketidakmampuan.

Religiusitas bagi mereka harus mampu dijadikan sandaran untuk

menentramkan hati mereka. Sejauh ini, mereka mengaku bahwa

Maiyahan mampu memberikan hal tersebut. Dalam Maiyahan mereka

selalu diajarkan untuk bersabar, menanti kenikmatan walau belum

kunjung datang. Ikhlas menerima apapun dari Tuhan serta terus tawakal

atau berusaha keras mencapai tujuan. Terserah Tuhan bagaimana

Page 95: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

83

menilai kerja keras mereka dan memberi balasan yang setimpal. Karena

Tuhan tahu yang terbaik bagi umatnya.

g. Pekerja, mereka memerlukan prinsip-prinsip dan motivasi keagamaan

untuk bertahan dalam aktifitas mencari nafkah yang sulit. Maiyahan

selalu mengajarkan prinsip-prinsip kerja yang sesuai dengan hukum-

hukum agama. Selain itu juga menggali dasar-dasar religiusitas yang

dibutuhkan bagi para pekerja, misalnya ajaran untuk terus sabar, ikhlas

dan tawakal.

h. Mahasiswa; mereka dalam rangka belajar, apapun target belajarnya

tgermasuk religiusitas. tetapi religiusitas yang cenderung dipilih

mahasiswa ialah sisi religiusitas yang mampu menjadi sandaran bagi

kegelisahan hati. Juga mampu menjadi topangan proses pembelajaran

dan pergaulan. Religiusitas yang dibutuhkan mahasiswa ialah

religiusitas yang tidak mengekangdan tidak menggurui. Sehingga

religiusitas tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk berkembang.

Selain itu, mahasiswa juga cenderung kritis dalam manilai religiusitas.

mereka bahkan bisa menjauh dari religiusitas apabila religiusitas

tersebut hanya berkutat pada ritus-ritus peribadatan; dan juga hanya

membahas hal-hal yang gaib seperti surga, neraka, pahala, dosa, dan

seterusnya. Bagi mereka religiusitas harus mampu diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari. Maiyahan mereka nilai mampu memberikan sisi

religiusitas sesuai dengan yang mereka harapkan.

Page 96: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

84

2. Aktifitas Hiburan

Aktifitas hiburan dalam Maiyahan bisa berarti keseluruhan aktifitas

Maiyah. Dimana seseorang termotivasi mengikuti Maiyahan untuk refresing

dengan mencari hiburan, sambil menikmati aktifitas musik bernuansa budaya,

setelah sekian lama bekerja keras. Atau menghibur hati dengan shalawat dan

dzikir bersama diiringi musik. Serta bisa juga mencari hiburan disertai

menambah pengetahuan dari tokoh intelektual, budayawan sekaligus

agamawan seperti Cak Nun. Dari keterangan seluruh informan dari berbagai

kategori sosial selalu disinggung bahwa mereka mengikuti Maiyahan untuk

mencari hiburan. Segala aktifitas yang memotivasi dirinya untuk hadir dalam

Maiyahan karena aktifitas-aktifitas tersebut mampu menghibur dengan caranya

masing-masing.

Sehingga disimpulkan bahwa hiburan mampu menjadi motivasi bagi

seluruh Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial. Karena aktifitas hiburan

merupakan pengertian normatif dari seluruh aktifitas Maiyahan, yang mampu

menarik Jama’ah Maiyah untuk selalu kangen hadir dalam Maiyahan. Berikut

merupakan penjabaranya mengapa Jama’ah Maiyah memaknai Maiyahan

sebagai aktifitas hiburan:

a. Dewasa; bagi mereka religiusitas lah yang terpenting dari Maiyahan.

Religiusitas sendiri merupakan hiburan, karena seorang dewasa cenderung

lebih tertarik memperdalam religiusitas. Dalam Maiyahan mereka

mengaku senang memperoleh hiburan berkonteks religiusitas. seperti

Page 97: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

85

ketika berdoa bersama, shalawatan bersama, dzikir bersama, dan

seterusnya.

b. Pemuda; bagi mereka seluruh konteks acara dalam Maiyahan mampu

menjadi hiburan, entah itu religiusitasnya, musiknya, diskusinya, dan lain-

lain. Mereka mencari hiburan untuk menentramkan hati seklaigus

menambah wawasan. Selain itu dapat bersosialisasi dengan teman-teman

ketika Maiyahan juga menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Bahkan

melihat lawan jenis juga menjadi hiburan yang cukup memotivasi mereka

mengikuti Maiyahan.

c. Laki-laki; mereka cenderung memiliki banyak waktu untuk mencari

hiburan keluar rumah. Walaupun malam hingga pagi hari, mereka mampu

mengikuti keseluruhan acara Maiyahan dari mulai hingga selesai. Bagi

mereka Maiyahan merupakan hiburan untuk mengisi waktu senggang

dengan bermanfaat. Mereka dapat terhibur dengan seluruh acara Maiyahan

apapu aktifitasnya.

d. Wanita; wanita cenderung lebih jarang memperoleh hiburan semacam

Maiyahan, karena selalu diadakan di malam hari. Padahal ketertarikan

mereka terhadap Maiyahan tidak lah kalah dengan laki-laki. Mereka

cenderung terhibur ketika bisa mengikuti Maiyahan, apapun aktifitasnya.

Karena hadir dalam Maiyahan merupakan hal yang langka bagi mereka,

apalagi mengikuti seluruh sesi acara dari awal hingga akhir. Mereka

cenderung tidak bisa hadir sendirian seperti halnya laki-laki. Mereka baru

Page 98: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

86

bisa datang bila bersama rombongan, teman, pacar, suami, keluarga, dan

seterusnya.

e. Kaya; Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi mereka mengisi waktu

luang. Apapun aktifitas Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi mereka.

Terlebih disana mereka terhibur dengan banyak bertemu dan bersosialisasi

dengan orang-orang, ditengah berbagai kesibukan kerjanya sehari-hari.

f. Miskin; kesulitan hidup senantiasa menghantui mereka, terutama kesulitan

dalam hal perekonomian. Mereka terpaksa hidup dalam kondisi pas-pasan.

Hasil usaha yang mereka peroleh sering kali tidak sebesar tenaga dan

keringat yang dikeluarkan. Oleh karena itu mereka membutuhkan hiburan

untuk melepas lelah. Seluruh aktifitas Maiyahan cenderung mampu

mereka serap dan olah menjadi aktifitas yang menghibur. Terutama karena

disana mereka dapat tertawa dan manangis memandang nasib mereka

sehari-hari. Tetapi mereka selalu terhibur dengan motivasi dan dukungan

moril untuk selalu sabar, ikhlas dan tawakal.

g. Pekerja; seluruh pekerja entah kaya atau pun miskin memiliki tingkat

kesulitan masing-masing dalam pekerjaanya. Bagi mereka seluruh aktifitas

Maiyahan mampu menjadi hiburan. Tetapi yang paling penting dari

hiburan tersebut mereka peroleh dari doa-doa, dzikir, shalawat, ataupun

lagu. Dimana keseluruhan selalu mampu memberikan motivasi untuk

selalu ikhlas dan bekerja keras apapun hasilnya.

h. Mahasiswa; seluruh aktifitas Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi

mahasiswa. Mereka pandai menyerap ilmu dan menjadikan ilmu tersebut

Page 99: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

87

milik mereka. Seluruh aktifitas Maiyahan terkesan menarik, terutama

aktifitas diskusi. Ditambah lagi mereka juga terhibur dengan hubungan

sosial diantara Jama’ah Maiyah ketika mengikuti Maiyahan.

3. Aktifitas Diskusi

Cak Nun, memiliki wawasan yang cukup luas perihal ilmu

pengetahuan, terutama budaya, sosial dan politik. Juga berbagai bintang tamu

dari akademisi atau praktisi berkompeten yang diundang sebagai pemantik

diskusi; membuat diskusi Maiyahan semakin menarik dan berkualitas. Menarik

minat berbagai Jama’ah Maiyah dari kategori sosial untuk mengambil manfaat

dari aktifitas ini. Berikut merupakan kategori sosial yang cenderung

memandang maiyahan sebagai aktifitas diskusi/epistemik, diantaranya :

a. Muda, mereka haus akan ilmu pengetahuan, menyerap dan kritis

terhadap pengetahuan baru. Diskusi menjadi aktifitas menarik untuk

turut berpikir dan belajar. Mereka suka terhadap ilmu-ilmu yang

membuat penasaran. Terlebih lagi ilmu yang mengajarkan perihal

kemanusiaan, keadilan dan kebaikan. Mereka masih jauh dari

kepentingan-kepentingan politik, juga kepentingan-kepentingan demi

keluarga. Sehingga mereka lebih terbuka dan kritis terhadap ilmu-ilmu

baru. Dalam Maiyahan mereka memperoleh pengetahuan-pengetahuan

tersebut melalui berbagai diskusi yang diadakan.

Page 100: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

88

b. Kaya, pada umumnya mereka dari kalangan berpendidikan tinggi,

mereka terbuka dan senang terhadap ilmu pengetahuan. Memang

bawaan dari orang kaya, atau yang membuat mereka kaya. Karena

kesempatan dan kesenanganya terhadap ilmu pengetahuan. Mereka

memperoleh hal-hal tersebut dari aktifitas diskusi yang diadakan.

c. Miskin, materi diskusi Maiyahan banyak membahas seputar kehidupan

bangsa, terkait masalah-masalah sosial di Indonesia. Dimana masalah-

masalah sosial tersebut juga merupakan masalah bagi masyarakat

miskin dalam Maiyahan. Sehingga masyarakat miskin merasa cocok

dengan diskusi dalam Maiyahan, supaya mereka kritis terhadap apa saja

yang menjadi sumber kemiskinan mereka.

d. Mahasiswa, diskusi merupakan motivasi utama mahasiswa mengikuti

Maiyahan. Diskusi dalam Maiyahan cukup berkualitas dan intelek,

mereka dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan baru selama diskusi.

Bagi mahasiswa Maiyahan ialah pusat informasi dan pembelajaran

seluruh ilmu pengetahuan.

4. Aktifitas Sosial

Sebagaimana aktifitas sosial yang lain, Maiyahan menciptakan sistem

hubungan sosial yang mampu menjadi motivasi bagi Jama’ah Maiyah hadir

dalam Maiyahan. Kategori sosial yang paling termotivasi mengikuti Maiyahan

karena hubungan sosial diantaranya:

Page 101: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

89

a. Muda, mereka memanfaatkan Maiyahan untuk berkumpul bersama

teman sebaya, karena hal itu ialah hal yang menyenangkan bagi

mereka. Biasanya mereka datang Maiyahan bersama teman, terutama

teman yang memiliki minat dan kesukaan yang identik. Ditambah pula

sebagai pemuda, cenderung tertarik terhadap lawan jenis. Maiyahan

juga dimanfaatkan untuk mengajak pasangan atau teman dari lawan

jenis, atau sekedar memandang lawan jenis.

b. Mahasiswa, mahasiswa identik dengan anak muda, kebanyakan dari

mereka termotivasi mengikuti Maiyahan juga karena dapat bertemu dan

bersosialisasi dengan teman-temannya.

c. Wanita, aktifitas sosial tidak hanya menjadi motivasi mereka, tetapi

berkat aktifitas sosial mereka dapat mengikuti Maiyahan. Aktifitas

sosial tersebut, misalnya para wanita datang ke Maiyahan secara

berombongan, bisa dengan teman-teman atau sekeluarga, mereka juga

biasa datang berdua bersama teman, pacar atau suami.

5. Aktifitas Tokoh Kharismatik

Kehadiran Cak Nun sebagai tokoh kharismatik bisa dibilang sebagai

motivasi sebagian besar Jama’ah Maiyah untuk hadir dalam Maiyahan. Cak

Nun merupakan sentral dalam Maiyahan, bisa dibilang bukan Maiyahan kalau

tidak ada Cak Nun. Karena dialah penggagas, pemimpin, narasumber dan

tokoh agama sekaligus yang memiliki wawasan luas dan kharisma. Walaupun

terdapat sebagian orang yang mengaku kesana bukan karena Cak Nun, tetapi

Page 102: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

90

karena ingin menambah religiusitas dan mengikuti diskusi. Sepanjang

penelitian kebanyakan yang dikatakan informan ialah “Menurut Cak Nun, apa

yang dikatakan Cak Nun, dan seperti nasehat Cak Nun”. Menunjukan bahwa

kehadiran Cak Nun masih menjadi pusat informasi yang dinanti-nanti,

membawa atsmosfer atau suasana yang lebih menarik bagi Jama’ah Maiyah.

Diperkirakan hal ini karena belum adanya tokoh lain yang menandingi

wawasan dan kharisma Cak Nun. Berikut merupakan penjelasan lengkap

berdasarkan masing-masing kategori sosial :

a. Dewasa; bagi mereka kehadiran Cak Nun sangat penting, karena dia masih

dianggap sumber konstruksi religiusitas utama. Walau demikian

seandainya Cak Nun tidak hadir, tidak terlalu menjadi masalah bagi

seorang dewasa. Karena tujuan utama mereka datang ke Maiyahan ialah

untuk memperdalam religiusitas. masih banyak tokoh-tokoh lain dalam

Maiyahan yang memiliki wawasan religiusitas.

b. Pemuda; kecenderungan tujuan pemuda mengikuti Maiyahan ialah

didorong oleh aktifitas sosial dan diskusinya. Dalam aktifitas sosial ialah

ketika ia bersosialisasi dengan Jama’ah Maiyah lain. Dalam aktifitas

diskusi pemberian materi dari Cak Nun lah yang paling mereka nanti-

nanti. Karena bagi mereka Cak Nun ialah tokoh intelektual yang banyak

memberi pelajaran perihal metode berfikir, bahasan-bahasan tersebut

sangat disenangi pemuda. Selain itu kharisma Cak Nun cukup berpengaruh

bagi mudahnya penyerapan materi yang disampaikan. Terkadang pemuda

Page 103: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

91

akan kehilangan mood bila Cak Nun tidak hadir. Bisa saja mereka tidur, ke

warung, makan ke warung, atau pulang sebelum Maiyahan selesai.

c. Laki-laki

Kehadiran Cak Nun seolah mampu memberi inspirasi atau teladan yang

patut dimiliki oleh soralng laki-laki, terutama sebagai pemimpin umat dan

keluarga. Sama halnya dengan Jama’ah Maiyah lain, Cak Nun masih

menjadi daya tarik utama dalam Maiyahan.

d. Wanita; wanita cenderung memandang Cak Nun sebagai seorang

agamawan yang mampu memberikan petuah-petuah religius. Pendapat

tersebut terutama diutarakan oleh seorang perempuan dewasa. Dimana

memang bagi mereka religiusitas sangat penting untuk mendidik anak-

anak mereka.

e. Kaya; bagi mereka Cak Nun ialah magnet Maiyahan. Meski demikian

seandainya Cak Nun tidak hadir pun sebenarnya tidak masalah bagi

mereka. Masih banyak hiburan dari tokoh lain dalam Maiyahan yang bisa

membuat mereka tertawa dan terhibur, sekaligus menambah wawasan.

f. Miskin; bagi kategori miskin kehadiran Cak Nun ialah sebagai motivator

utama yang dapat memberi petuah-petuah dan doa untuk mengatasi

kesulitan hidup. Terlebih lagi bagi mereka Cak Nun mampu memberi

suasana ceria tersendiri dengan lawakan-lawakanya. Cak Nun selalu

memiliki lelucon-lelucon yang bisa membuat mereka tertawa. Bagi mereka

tertawa ialah obat bagi rasa frustasi dan gelisah dalam kehidupan sehari-

hari akibat himpitan ekonomi.

Page 104: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

92

g. Pekerja; Cak Nun ialah orang yang paling mahir dalam memberi motivasi,

nasehat dan doa. Bagi kategori ini yang terpenting dari cak Nun ialah dia

mampu memberi motivasi untuk selalu bekerja keras, jujur dan pantang

menyerah dengan menyerahkan seluruh hasilnya kepada Tuhan.

h. Mahasiswa; kebanyakan dari mereka menganggap aktifitas diskusilah yang

menjadi motivasi utama untuk hadir dalam Maiyahan. Bagi mereka Cak

Nun ialah seseorang yang paling mumpuni dalam wawasan religiusitas,

sosial, politik dan budaya, dari pada narasumber-atau pembicara lain

dalam Maiyahan. Apalagi ditambah kemampuan naratif yang baik, disertai

humor-humor yang kritis. Hal tersebut tentu mampu menarik minat

mahasiswa yang menyukai ilmu pengetahuan yang rasional dan sistematis.

Bagi mereka kehadiran Cak Nun sangat penting, ketertarikan mereka

terhadap Maiyahan cenderung berkurang bila Cak Nun tidak hadir.

Sehingga biasanya bila Cak Nun tidak hadir mereka lebih memilih untuk

pulang, tidur, mengobrol, membaca, atau mundur dari barisan dapat.

Page 105: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

93

BAB III

KONSTRUKSI SOSIAL RELIGIUSITAS

Berger mengungkapkan gagasan hubungan antara individu dan masyarakat,

yang berkesimpulan bahwa masyarakat merupakan penjara bagi individu, penjara

dalam ruang atau waktu, membatasi gerak individu, namun tidak selamanya individu

menganggapnya belenggu. Tetapi, diterima begitu saja sebagai kenyataan tanpa

adanya pertanyaan. Sejak lahir hingga meninggal, individu senan tiasa hidup dalam

satu penjara ke penjara lainnya, mempengaruhi dirinya dan tidak bisa lepas darinya.

Walau demikian individu tersebut masih memiliki kemampuan untuk melakukan

tindakan sesuai kehendaknya.

Bersama Luckmann, Berger mengembangkan teori konstruksi ini dengan

gagasan “manusia dalam Masyarakat”(man in society) dan “masyarakat dalam

manusia”(society in man). Gagasan manusia dalam masyarakat, menjelaskan bahwa

manusia ialah bagian dari masyarakat, tidak bisa lepas dan selalu terpengaruh olehnya,

bahwa segala tindakan dan gagasan yang dimiliki manusia senantiasa terpengaruh oleh

situasi masyarakat dimana individu tersebut berkembang. Sedangkan gagasan

masyarakat dalam manusia, menjelaskan bahwa masyarakat merupakan hasil dari

pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedunia, lahir dari gagasan dan

pemikiran seorang manusia, yang pada akhirnya menyebar dan mempengaruhi aspek

kehidupan masyarakat, hingga akhirnya menjadi gagasan dan pemikiran bersama

dalam masyarakat.

Page 106: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

94

Berkaitan dengan kedua gagasan tersebut, Berger dan Luckmann mendasarkan

diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”.

Realitas merupakan situasi dimana fakta sosial bersifat eksternal, yaitu diluar diri

manusia dan berada di dalam masyarakat, mempunyai kekuatan memaksa kesadaran

masing-masing individu dalam masyarakat, suka tidak suka, mau tidak mau realitas

tetap ada. Sedangkan pengetahuan merupakan situasi dimana realitas itu sendiri ialah

milik individu, individu tersebut sadar dan mengetahuinya dan dijadikan seagai

subjektifitas individu.

Hubungan antara gagasan-gagasan tersebut melahirkan apa yang disebut

Berger dan Luckmann sebagai realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas objektif

dimana realitas merupakan fakta sosial yang berada dalam masyarakat, dan realitas

subjektif dimana realitas merupakan kesadaran dari dalam diri seorang individu.

A. Dasar-dasar Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari

Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tersebut akan ditampilkan dalam

penelitian ini sebagai konsep dasar bagaimana konstruksi sosial realitas terjadi dalam

masyarakat, yaitu konstruksi sosial realitas religiusitas yang membentuk diri Jama’ah

Maiyah. Berdasarkan analisis dari konsep Berger dan Luckmann, yaitu konsep

religiusitas dalam kehidupan sehari-hari, hubungan Maiyahan dengan interaksi sosial

dalam kehidupan sehari-hari, serta bahasa dan pengetahuan religiusitas dalam

Maiyahan.

Page 107: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

95

1. Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari

Setiap manusia melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang

ditafsirkan secara subjektif sebagai bagian dari hidup. Agama merupakan

bagian dari kenyataan yang dialami oleh seseorang, hadir begitu saja tanpa

diinginkan individu. Tetapi sikap religiusitas dari agama tersebut kadang

merupakan kenyataan yang bersifat universal tidak hanya dimiliki oleh satu

agama saja. Seperti ajaran religiusitas perihal menegakan kebenaran,

melakukan kebaikan, menghormati sesama manusia, saling tolong-menolong,

saling menyayangi satu sama lain, dan seterusnya (bahwa tidak ada agama

yang mengajarkan keburukan). Agama merupakan fundamen dalam

masyarakat, ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin di dalamnya senantiasa dijadikan

landasan bagi terciptanya peri kehidupan masyarakat, hingga akhirnya lebih

spesifik berpengaruh terhadap kehidupan individu dalam kesehariannya.

Tetapi kehadiran agama dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa

dibilang diterima begitu saja sebagai suatu yang pasti oleh masyarakat pada

umumnya, sehingga membutuhkan pemaknaan agama secara subjektif bagi

setiap orang. Walaupun agama telah memiliki syariat dan kitab suci, tetapi

keduanya tidak bisa dipraktikan begitu saja oleh masyarakat awam. Perlu

dimaknai kaidah agama agar sesuai dan kondusif bagi perkembangan

masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu muncul subjektifitas-subjektifitas

dari seseorang yang memaknai agama, katakanlah ahli tafsir, kiai/pastur, atau

guru agama. Terbukti dengan berbagai fenomena yang berkaitan dengan

agama, seperti fenomena pindah agama, fenomena atheis, fenomena aliran-

Page 108: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

96

aliran dalam satu agama, dan lain-lain. Salah satu contohnya yang akan dibahas

ialah fenomena aliran-aliran dalam satu agama (fenomena lain yang berkaitan

dengan agama seperti perpindahan agama dan proses menjadi atheis juga dapat

dianalisis dengan cara yang sama). Yaitu corak aliran agama Islam yang

tercermin dari adanya Muhamadiyah, NU(Nahdlatul Ulama), Islam Kejawen,

Islam moderat, Islam Liberal, Islam garis keras, dan lain sebagainya.

Keseluruhan corak Islam tersebut merupakan sikap religiusitas yang

berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan pendahulunya, atau

pencetusnya, yang kemudian dipelihara sebagai suatu syariat agama bagi

tindakan-tindakan religius masyarakat secara objektif. Kenyataan selalu

memiliki objektifikasi-objektifikasi yang berbeda dan beragam. Hal tersebut

juga dimiliki oleh agama, terutama Islam dengan contoh diatas, menunjukan

objektifikasi-objektifikasi yang berbeda dan beragam dalam menyikapi agama.

Corak Islam tersebut menampilkan diri dalam kesadaran masyarakat, bahwa

terdapat berbagai unsur-unsur pembentuk realitas religiusitas yang berbeda-

beda antara satu orang dengan orang lain. Seseorang pun, ketika lahir juga

mewarisi dari orang tuanya tata cara religiusitas sesuai kenyataan corak

religiusitas yang beragam tersebut, dan seseorang pasti memiliki salah satunya,

secara sadar maupun tidak sadar.

Seseorang yang mewarisi corak religiusitas tertentu, akan sulit

mengalami pergeseran ke corak religiusitas lain, sebagaimana seseorang akan

sulit untuk dibujuk berpindah agama. Walaupun kenyataan berpindah agama

bukan lah merupakan suatu hal yang mustahil. Tetapi, dunia adalah sesuatu

Page 109: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

97

yang terdiri dari berbagai kenyataan, seperti kenyataan bahwa terdapat

modernisasi yang membawa prinsip-prinsip hedonisme, sekularisme,

konsumerisme, dan sebagainya, yang terkadang menjauhkan seseorang dari

corak religiusitas yang diwarisinya semula. Sehingga memungkinkan

seseorang, selain melupakan syariat dan perintah agamanya, juga mengalami

perpindahan agama atau menjadi atheis.

Tetapi paling tidak agama telah menjadi apa yang disebut Berger

sebagai kenyataan par excellence, atau kenyataan yang memiliki posisi

istimewa dalam kehidupan sehari-hari. Religiusitas seseorang merupakan

ajaran atau pengalaman melalui sosialisasi primer, boleh dibilang mampu

menempati posisi istimewa sebagai par excellence dalam diri seseorang.

Sehingga seseorang tersebut sulit untuk mengabaikan prinsip-prinsip

religiusitas dan sulit melanggarnya, karena religiusitas tersebut

mempengaruhinya dengan cara yang paling massif, mendesak dan mendalam.

Seseorang yang telah mengalami hal ini, akan menganggap religiusitas sebagai

suatu hal yang sebenarnya normal dan sudah jelas dengan sendirinya

membentuk sikap alamiah seseorang.

Walau kenyataannya, tidak semua orang memiliki religiusitas sebagai

kenyataan par excellence-nya. Misalnya, bila seseorang kurang memperoleh

sosialisasi bahwa religiusitas merupakan sikap “saling memanusiakan manusia

antar berbagai agama dan kepercayaan” secara massif dan memadai, seseorang

tidak akan menjadikan sikap religiusitas tersebut sebagai kenyataan yang par

excellence, sehingga dia akan sulit menerima sikap religiusitas tersebut

Page 110: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

98

(misalnya terjebak pada aliran Islam garis keras yang tidak kenal toleran).

Tetapi bila, seseorang sejak dini telah mendapatkan sosialisasi religiusitas

secara massif dan memadai, maka secara umum religiusitas akan mampu

menjadi par excellence atau kenyataan utama dalam kehidupan sehari-hari bagi

diri seseorang.

Realitas kehidupan sehari-hari memang tidak hanya terdiri dari yang

“saat ini” dan “sekarang” sebagai realissimum (yang paling nyata) bagi

kesadaran seseorang. Religiusitas hadir pada seseorang dari cakupan

pengalaman-pengalaman dari suatu tempat dan waktu dimasa lalu. Bila sikap

religiusitas tertentu telah menjadi suatu hal yang par excellence maka aktifitas

diluar sikap religiusitas tersebut yang terjadi saat ini hanya menjadi semacam

pilihan untuk “waktu senggang”, walaupun tetap berpengaruh tetapi sifatnya

tidak mendesak dalam kehidupan sehari-hari. Begitulah bagi kebanyakan

realitas hidup seseorang, dimana religiusitas sama-sama dialami oleh banyak

orang sebagai pengetahuan akal sehat (commom sense knowledge).

Boleh dikatakan, eksistensi religiusitas dalam diri seseorang tidaklah

stagnant, tetapi terdapat fenomena naik-turunnya. Pada suatu saat tentu pernah

terjadi masalah atau problem dalam diri seseorang, yang membuatnya sejenak

melupakan religiusitas. Walau demikian dalam konteks penelitian ini, pada

akhirnya mereka memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan religiusitas

pula. Ataupun penggabungan dari dua atau lebih religisitas karena memiliki

sikap yang sama. Sehingga masalah tersebut akan menjadi pengalaman bagi

pendewasaan religiusitas seseorang.

Page 111: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

99

Kehadiran problem dan masalah yang mengganggu religiusitas

merupakan finite (wilayah-wilayah makna yang berhingga) yang hadir diluar

dunia bersama kehidupan sehari-hari. Problem dan masalah tersebut dibanding

dengan kenyataan hidup sehari-hari nampak sebagai finite, daerah-daerah

kantong (enclave) di dalam kenyataan utama dalam kehidupan saat ini. Saat

dimana seseorang melupakan religiusitas merupakan suatu pergeseran radikal

dalam diri seseorang, hingga mengakibatkan ketegangan kesadaran. Tetapi,

penting untuk ditandaskan bahwa religiusitas kehidupan sehari-hari akan tetap

mempertahankan statusnya sebagai kenyataan utama sekalipun pernah terjadi

penyimpangan. Seperti perbandingan yang dibuat Berger antara “kenyataan”

dan “mimpi”, dalam hal ini religiusitas merupakan kenyataan diri seseorang,

dan penyimpangannya hanya merupakan mimpi, dan bila telah terbangun dari

mimpi atau sadar akan penyimpangan, seseorang akan kembali pada kenyataan

religiusitasnya.

2. Hubungan Maiyahan dengan Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari

Pengalaman menjadi salah satu aspek penting pembentuk religiusitas

melalui hubungan dengan orang lain. Pengalaman secara “tatap-muka”

merupakan kasus prototipikal dari interaksi sosial yang membentuk

pengalaman. Dalam kasus penelitian ini, Maiyahan menjadi semacam pilihan

diantara berbagai sikap religiusitas bagi seseorang. Maiyahan merupakan

bagian dari interaksi tatap-muka. Ketika mengikuti Maiyahan, seseorang

Page 112: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

100

menerima “pengalaman langsung terus-menerus secara tatap-muka”.

Akibatnya, terjadi pertukaran terus-menerus (expressivity) seorang Jama’ah

Maiyah dengan pengisi acara Maiyahan. Baik itu dalam tingkat ekspresi yang

paling sederhana seperti gerakan, senyuman, tertawa, tepuk tangan, dan

seterusnya. Hingga hal yang menyangkut ideologi seperti pandangan,

perspektif, pendapat, dan lain-lain yang penting bagi proses konstruksi sosial

religiusitas.

Penelitian ini akan memandang konstruksi religiusitas sebagai

konstruksi ideologi, dimana ideologi tersebut dikonstruksikan oleh pengisi

acara Maiyahan, misalnya oleh Cak Nun, dalam proses interaksi tatap muka

dengan Jama’ah Maiyah. Antara Cak Nun dan Jama’ah Maiyah terjadi proses

interaksi timbal balik secara terus-menerus melalui proses yang saling

mempengaruhi dalam diskusi. Tidak hanya dalam diskusi, tetapi dalam

bermusik, berdoa, berpuisi, dan seterusnya, keseluruhan menjadi gambaran

proses tatap-muka.

Dalam situasi tatap-muka, terjadi proses konstruksi religiusitas melalui

interaksi, dimana realitas religiusitas subjektif dari Maiyahan, misalnya dari

Cak Nun tersosialisasikan melalui diskusi, musik, shalawat, doa, dan lain-lain.

Tentu saja hal ini dapat terjadi karena Cak Nun ialah tokoh kharismastik

keagamaan (peran Cak Nun dalam aktifitas kharismatik dapat dilihat pada bab

II). Memang dalam prosesnya terjadi pemaknaan yang beragam atas sosialisasi

tersebut, disebabkan oleh keberagaman kategori sosial Jama’ah Maiyah.

Misalnya, kategori dewasa memandang bahwa sosialisasi yang diberikan

Page 113: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

101

dalam Maiyahan oleh Cak Nun atau lainnya ialah sosialisasi religiusitas. Tetapi

dipihak lain kategori mahasiswa memandang bahwa sosialisasi yang diberikan

dalam Maiyahan lebih pada sosialisasi ilmu (aktifitas epistemis), walaupun

tidak mengingkari adanya sosialisasi religiusitas. Terdapat berbagai kadar

pemaknaan yang berbeda dalam menanggapi maksud dari acara Maiyahan,

tergantung dari mana kategori sosial seseorang.

Situasi tatap-muka memungkinkan orang lain lebih nyata bagi

seseorang dari pada dirinya sendiri. Religiusitas seseorang semula (misalnya

dari Muhamadiyah atau NU) pada saat Maiyahan pun menjadi tidak lebih

mencolok dibandingkan religiusitas dalam Maiyahan. Oleh sebab itu, Jama’ah

Maiyah menanggalkan sementara religiusitas Muhamadiyah atau NU-nya

ketika mengikuti Maiyahan, karena dalam Maiyahan tidak condong kepada

corak religiusitas apapun, melainkan sikap religiusitas yang berlaku universal.

Tentu saja, dasar religiusitas seseorang tetap tidak akan bisa dilupakan walau

telah mengikuti Maiyahan. Pada saat dalam kehidupan sehari-harinya,

seseorang tetap akan memperaktikan religiusitas Muhamadiyah atau NU-nya,

dan religiusitas Maiyahan sebagai tambahan pengalaman religiusitas, apabila

terbukti terdapat kesesuaian antara sikap religiusitas sebelumnya dan sikap

religiusitas sesudahnya.

Selain corak aliran religiusitas, kategori sosial juga menjadi

pengalaman pribadi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap

Maiyahan. Keduanya direfleksikan ulang melalui kehadiran Maiyahan,

sehingga memberi kesimpulan perihal “apa Maiyahan itu”. Hubungan-

Page 114: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

102

hubungan seseorang dengan orang lain sangat lentur dalam situasi tatap muka.

Sehingga pola-pola apapun konstruksi religiusitas dalam Maiyahan akan terus

menerus dimodifikasi maknanya secara beraneka ragam dalam subjektifitas

masing-masing, tergantung pengalaman-pengalaman pribadi masing-masing

menurut kategori sosialnya. Selain itu, pemaknaan aktifitas Maiyahan lebih

beragam dari seseorang yang mengikuti interaksi tatap muka secara langsung.

Berbeda dari orang yang belum pernah mengikuti Maiyahan secara tatap-

muka, mungkin tidak dapat memaknai Maiyahan secara luas, dan hanya

mampu memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas. Realitas religiusitas

Maiyahan mengandung skema-skema tipifikasi atas dasar mana Maiyahan

dipahami dalam perjumpaan tatap-muka. Maiyahan melakukan “keseringan”

dalam aktifitas diskusi, shalawat, musik, berdoa, dan seterusnya. Sehingga,

Jama’ah Maiyah dapat memaknai Maiyahan selain sebagai aktifitas

religiusitas, juga sebagai aktifitas epistemik, aktifitas sosial, aktifitas hiburan,

dan lain-lain.

Struktur atau kategori sosial merupakan satu unsur esensial dari

kehidupan sehari-hari. Dimana seseorang dari kategori sosial tertentu juga

memiliki tipifikasi serta pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang melalui

tipifikasi itu. Sehingga tipifikasi pribadinya menurut kategori sosial akan

berpengaruh terhadap pemaknaannya atas tipifikasi orang lain. Seperti seorang

mahasiswa yang mempunyai kebiasaan akademis di kampus, akan lebih

memaknai aktifitas Maiyahan sebagai aktifitas epistemik.

Page 115: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

103

3. Bahasa dan Pengetahuan religiusitas dalam Maiyahan

Berger menggambarkan proses objektifasi (objektification) melalui

pisau yang sengaja dilempar lalu menancap didinding kamar seseorang. Hal ini

memberi isyararat bahwa seseorang yang melempar pisau memberi peringatan

pada si pemilik kamar, bahwa mereka bermusuhan dan saling benci, bahkan

bisa saling membunuh. Dalam konstruksi religiusitas proses objektifasi ini

terjadi misalnya, ketika Kiai Kanjeng dalam Maiyahan membawakan musik

dan bernyanyi Lir-ilir. Sebagai isyarat bahwa musik dapat mengajak dan

mendekatkan diri pada Tuhan.

Satu kasus yang penting dalam objektifasi adalah signifikasi, yakni

pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Semua objektifasi dapat digunakan

sebagai tanda, walaupun sebenarnya tidak di buat untuk maksud tersebut.

Sebuah tanda dapat dibedakan dengan tanda-tanda yang lain, karena tujuan

eksplisitnya untuk memberi isyarat tertentu dari subjektifitas seseorang.

Dimainkannya berbagai macam musik, dari tradisional sampai modern, dari

dalam maupun luar negeri, baik lagu religius maupun non-religius dalam

Maiyahan sebenarnya tidak bermaksud hanya sekedar bermain musik.

Maiyahan menggunakan berbagai instrument musik tersebut sebagai tanda

bahwa musik dapat memberi ketenangan batin, sehingga seseorang lebih

mudah menerima dakwah yang disampaikan dalam Maiyahan. Tidak hanya

melalui musik, aktifitas diskusi, puisi, drama, dan lain-lain juga merupakan

tanda untuk mengobjektifkan religiusitas.

Page 116: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

104

Aktifitas-aktifitas tersebut merupakan tanda, yang tidak memiliki

tujuan lain kecuali mensosialisasikan makna religiusitas subjektif dari orang

yang memainkannya, selain itu juga secara objektif diakui oleh seluruh

Jama’ah Maiyah. Pengisi acara Maiyahan mengenali maksud dan makna dari

aktifitas Maiyahan, begitu pula Jama’ah Maiyah. Malahan pengisi acara

memang sengaja menunjukan sinyal “peringatan” objektif tentang maksudnya

menyampaikan religiusitas ketika ia melakukan aktifitas Maiyahan. Walau

demikian, tetap jelas bahwa batasanya sangat kabur antara penggunaan

objektifasi (misalnya musik) sebagai sekedar alat ekspresi musik biasa atau

penggunaanya sebagai tanda konstruksi religiusitas, karena seolah keduanya

telah melebur menjadi satu-kesatuan yang sulit dibedakan tujuan pemain

musiknya. Tanda merupakan objektifasi, dalam arti dapat digunakan

melampaui batas-batas ekspresi subjektif seseorang “di sini dan sekarang”.

Maksudnya bahwa, musik untuk saat lalu maupun yang akan datang akan tetap

dapat digunakan sebagai alat konstruksi religiusitas, dimanapun dan kapanpun,

selain fungsi aslinya dalam seni.

Bahasa, yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai sebuah sistem

tanda-tanda suara, dan hal ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Objektifasi umum dari kehidupan sehari-hari, termasuk ekspresi religiusitas

melalui musik dapat dipertahankan oleh signifikasi bahasa. Dengan cara ini,

bahasa dapat menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna

yang kemudian dapat dilestarikan dalam waktu yang diteruskan pada generasi-

generasi mendatang. Bahasa melalui musik sebagai tanda religiusitas tersebut

Page 117: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

105

menjadi stok pengetahuan seseorang dan juga seluruh Jama’ah Maiyah.

Sehingga musik dapat dijadikan sebagai tanda bahasa dari sarana

menyampaikan religiusitas.

Interaksi seseorang dalam Maiyahan akan terus-menerus terpengaruh

dan dipengaruhi oleh wacana perihal apa makna dan aktifitas Maiyahan, lalu

terjadilah objektifasi. Walau demikian, cadangan pengetahuan Jama’ah Maiyah

mempunyai struktur relevansinya sendiri-sendiri. Pengetahuan seorang

Jama’ah Maiyah tentang apa itu Maiyahan mungkin sama, atau mungkin tidak

dengan pengetahuan Jama’ah Maiyah lainya. Bahkan mungkin ada beberapa

pengetahuan yang hanya ada khusus pada diri individu Jama’ah Maiyah.

Pengetahuan yang berbeda ini tentu disebabkan oleh latar belakang historis

seseorang, dan juga kategori sosial seseorang yang bersangkutan.

B. Maiyahan Sebagai Realitas Objektif

Berger mengatakan bahwa setiap kegiatan manusia bisa mengalami proses

pembiasaan (habitualisasi). Maksudnya setiap tindakan yang dilakukan berulang-ulang

dapat menjadi suatu pola yang dapat direproduksi dengan upaya seminimal mungkin,

dan dipahami sebagai pola yang baku. Pembiasaan selanjutnya juga berarti bahwa

tindakan-tindakan tersebut bisa dilakukan kembali di masa yang akan datang dengan

cara dan upaya yang sama. Religiusitas, sejak awal turunnya agama (khusunya Islam)

telah mengalami proses pelembagaan dalam penyebarannya. Sampai dengan masa

kini, dimana proses pelembagaan religiusitas telah mengalami berbagai modifikasi

sesuai tuntutan zaman.

Page 118: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

106

Masyarakat tercipta sebagai realitas objektif, karena adanya individu-individu

yang mengeksternalisasikan dirinya (atau, mengungkapkan subjektifitasnya melalui

suatu aktifitas). Maiyahan sendiri merupakan realitas objektif seperti halnya

masyarakat, terdapat individu-individu, misalnya Cak Nun, yang melakukan

eksternalisasi atau mengungkapkan subjektifitasnya melalui aktifitas Maiyahan. Sikap

religiusitas Maiyahan bisa dibilang merupakan subjektifitas dari sikap religiusitas Cak

Nun. Dieksternalisasikan secara terus-menerus, baik setiap tanggal 17 atau dimanapun

terdapat Maiyahan diluar tanggal tersebut. Sehingga terjadi proses “habitualisasi”, atau

pengulangan tindakan yang kurang lebih sama di masa lampau, masa sekarang dan

masa depan.

Atas dasar Maiyahan yang telah terhabitualisasi, maka selanjutnya Maiyahan

semakin terinstitusi bagi Jama’ah Maiyah. Sehingga Jama’ah Maiyah akan

menganggap sikap religiusitas yang diajarkan dalam Maiyahan ialah dasar religiusitas

yang paling benar untuk dianut. Proses institusionalisasi sikap religiusitas ini terjadi

lantaran dua hal : Pertama, Jama’ah Maiyah memang sejak awal (semasa kanak-

kanak) atau sebelum mengenal Maiyahan telah memiliki pengalaman religiusitas yang

identik dengan sikap religiusitas Maiyahan. Sehingga mengikuti Maiyahan karena

sependapat dengan sikap religiusitas yang ditawarkan. Hingga akhirnya dia mendapat

pendalaman dan penafsiran lebih lanjut ketika mengikuti Maiyahan. Atau dalam kasus

lain Jama’ah Maiyah merupakan orang awam dalam agama, yang kurang memperoleh

pengalaman religiusitas dengan baik. Maka atas dasar sikap religiusitas yang mudah

difahami dan dipraktekan seseorang akhirnya memilih konsisten mengikuti Maiyahan.

Kedua, sikap religiusitas yang diperoleh dari Maiyahan kemudian dapat dijadikan

Page 119: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

107

patokan berperilaku dalam lingkungan Jama’ah Maiyah, dimana perilaku Jama’ah

Maiyah tersebut berpengaruh terhadap lingkungannya. Pada intinya insitusionalisasi

ini terjadi saat sikap religiusitas Maiyahan mampu berlaku secara umum (luas),

eksternal (objektif), dan koersif (memaksa) terhadap kesadaran masing-masing

individu Jama’ah Maiyah.

Maiyahan menjadi pengalaman bersama bagi seluruh Jama’ah Maiyah.

Memberikan perspektif bersama bahwa Maiyahan merupakan pengajian yang

humanis, merakyat, toleran, dan mencerdaskan, berbeda dari pada pengajian pada

umumnya. Walau disamping perspektif bersama tersebut, selalu terdapat perspektif

individu yang memaknai apa itu Maiyahan secara khas (berbeda) dari sekedar

perspektif objektif. Hal ini terjadi karena pada dasarnya Jama’ah Maiyah merupakan

makhluk subjektif yang memiliki kehidupan sehari-hari yang berbeda satu sama

lainnya. Jama’ah Maiyah berbeda, terdiri dari berbagai kategori sosial, sehingga

memiliki kekhasan individu dalam memaknai apa itu Maiyahan.

Mengenai berbagai macam kekhasan individu (berdasarkan kategori sosial)

dalam memaknai Maiyahan dapat dilihat pada bab berikutnya. Tetapi disini akan

diuraikan dimana letak kekhasan pengalaman bersama dibandingkan dengan

pengalaman individu terhadap Maiyahan. Pertama, pengalaman bersama tentang sikap

religiusitas Maiyahan sebenarnya bukan merupakan keseluruhan dari pengalaman

individu Jama’ah Maiyah, tetapi merupakan sebagian saja dari pengalaman individu

yang paling diresapi ketika mengikuti Maiyahan. Maksudnya terdapat berbagai

perspektif tentang Maiyahan, yang mungkin berbeda antara satu orang dengan orang

lainnya. Kedua, sikap religiusitas Maiyahan merupakan pengalaman bersama yang

Page 120: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

108

bersifat objektif, sedangkan pengalaman individual lebih bersifat subjektif berdasarkan

kategori sosial. Ketiga, seluruh pengalaman bersama perihal sikap religiusitas

Maiyahan, tidak lepas dari pengalaman bersama lain terdahulu (khususnya aliran

religiusitas terdahulu, atau pengalaman hidup sesuai kategori sosial, dan juga latar

belakang pendidikan, dan lain-lain), sehingga sikap religiusitas tersebut merupakan

akumulasi dari pengalaman bersama ketika sebelum dan setelah mengenal Maiyahan.

Keempat, sikap religiusitas Maiyahan tersebut pada dasarnya juga merupakan sikap

religiusitas seorang individu, tetapi pada akhirnya menjadi patokan objektif bagi

Jama’ah Maiyah.

Sampai sejauh ini, telah banyak dibahas tentang “bagaimana Maiyahan sebagai

realitas objektif?” Untuk itu perlu diketahui pula “bagaimana Jama’ah Maiyah

melegitimasi sifat objektif Maiyahan?”

Fenomena pelegitimasian ini, menurut Berger paling mudah terjadi melalui

“proses pewarisan lintas generasi.” Memang benar adanya, pelegitimasian sikap

religiusitas Maiyahan terhadap Jama’ah Maiyah telah terjadi secara lintas generasi

(dari generasi pendahulu ke generasi selanjutnya, tidak harus dari orang tua ke anak).

Walaupun tidak keseluruhan generasi (terutama generasi pendahulu) mengenal

Maiyahan. Maksudnya, Jama’ah Maiyah sebelum mengenal Maiyahan juga telah

melegitimasi ideologi atau sikap religiusitas yang identik dengan sikap religiusitas

yang ditawarkan dalam Maiyahan, dari berbagai pengalaman yang diperoleh dari

pendahulunya, baik dari orang tua atau guru, maupun pendidikan dan lingkungan yang

telah mapan sebagai realitas objektif. Sehingga Maiyahan merupakan kepanjangan

dari dinamika religiusitas pada diri seseorang, yang kemungkinan sifat-sifat

Page 121: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

109

religiusnya telah eksis sebelum adanya Maiyahan. Dan seterusnya akan diwariskan

pada generasi mendatang, hingga akhirnya terjadi proses legitimasi lebih lanjut.

Atas dasar ini, dimungkinkan bila proses pewarisan religiusitas lintas generasi

tidak terjadi, religiusitas juga tidak akan terlegitimasi dengan baik. Dengan kata lain,

misalnya bila seseorang tidak mewarisi pengalaman religious yang identik dengan

sikap religious Maiyahan yang humanis, dimungkinkan untuk selanjutnya ia tidak

akan tertarik terhadap Maiyahan. Atau bila seseorang yang saat ini melegitimasi sikap

religiusitas Maiyahan tidak mensosialisasikannya kepada penerusnya, maka proses

legitimasi tersebut juga dapat terhenti. Misalnya saja, bila seseorang tidak memperoleh

pendidikan religiusitas sejak kecil maka kemungkinan dia tertarik pada Maiyahan

cukup kecil. Tetapi bisa pula terjadi, walaupun seseorang kurang memperoleh

pengalaman religiusitas sejak kecil, dia akan tetap tertarik dengan Maiyahan bila

sebelum mengenal Maiyahan dia telah banyak menginternalisasi ideologi-ideologi

yang sesuai dengan sikap religiusitas Maiyahan, baik melalui pendidikan, bacaan atau

lingkungannya. Pada intinya, proses legitimasi menuntut adanya proses

berkesinambungan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, sikap religiusitas

Maiyahan hanya merupakan bagian dari berbagai sikap religiusitas yang diterima

seseorang dari generasi ke generasi, dan kemungkinan religiusitas Maiyahan

tersosialisasikan pada satu atau beberapa generasi Jama’ah Maiyah.67

Oleh karena itu, penting kiranya dibahas peran dari “aktor”, yaitu Cak Nun,

yang mensosialisasikan sikap religious Maiyahan. Sebagaimana Berger dan Luckmann

yang juga membahas pihak-pihak atau aktor yang “bertugas” melaksanakan legitimasi.

67 Terutama generasi Jama’ah Maiyah dimana terdapatnya Cak Nun dalam Maiyahan.

Page 122: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

110

Pada dasarnya legitimasi dilaksanakan oleh manusia, dalam hal ini legitimasi sikap

religiusitas Maiyahan dilaksanakan oleh berbagai pengisi acaranya, terutama Cak Nun,

disamping grup musik Kiai Kanjeng dan berbagai pengisi acara yang diundang. Cak

Nun, yang notabene seorang agamawan dan budayawan juga memiliki berbagai

perspektif kritis sebagai seorang intelektual. Dia memiliki pandangan tersendiri

terhadap religiusitas, yang kemudian ia sampaikan melalui Maiyahan. Dengan

demikian, Cak Nun merupakan aktor yang memainkan peran menyampaikan

religiusitas subjektifnya melalui Maiyahan, sehingga religiusitas tersebut dapat

dilegitimasi oleh Jama’ah Maiyah.

Atas dasar tersebut, dimungkinkan bila proses pewarisan religiusitas lintas

generasi tidak terjadi maka religiusitas juga tidak akan terlegitimasi dengan baik.

Contohnya bila seseorang tidak mewarisi pengalaman religiusitas yang identik dengan

sikap religiusitas Maiyahan yang humanis dimungkinkan selanjutnya ia tidak akan

tertarik terhadap Maiyahan. Atau bila seseorang yang saat ini melegitimasi sikap

religiusitas Maiyahan tetapi tidak mensosialisasikan kepada penerusnya (anak-anak

mereka) maka proses legitimasi religiusitas tersebut juga dapat terhenti.

Seseorang yang kurang memperoleh pengalaman religiusitas sejak kecil

dimungkinkan ketertarikan mereka terhadap Maiyahan juga kecil. Walaupun pada

kenyataanya tidak menutup kemungkinan walau seseorang kurang memperoleh

wawasan religiusitas sejak kecil dia akan tetap bisa tertarik dengan Maiyahan, dengan

syarat bila sebelum mengenal Maiyahan dia telah banyak menginternalisasi ideologi-

ideologi yang seseuai dengan sikap religiusitas Maiyahan. Baik internalisasi yang

diperolehnya dari pendidikan, bacaan atau lingkunganya.

Page 123: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

111

Pada intinya proses legitimasi religiusitas menuntut adanya proses

berkesinambungan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, sikap religiusitas

Maiyahan sebenarnya hanya merupakan bagian dari berbagai sikap religiusitas yang

diterima dari generasi ke generasi. Dan kemungkinan sikap religiusitas Maiyahan yang

saat ini paling banyak dieksternalisasi dari subjektifitas Cak Nun dapat

tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Asalkan terdapat berbagai tokoh atau orang

yang berkeinginan meneruskan sikap dan pemahaman Cak Nun.

Oleh karena itu penting kiranya disinggung peran dari ‘aktor’ yaitu Cak Nun

sebagai pencetus utama dan narasumber utama dalam diskursus Maiyahan.

Sebagaimana Berger dan Luckmann juga membahas pihak-pihak atau aktor yang

‘bertugas’ melaksanakan legitimasi. Legitimasi sikap religiusitas Maiyahan

dilaksanakan oleh berbagai pengisi acara terutama Cak Nun disamping grup musik

Kiai Kanjeng beserta seluruh tamu yang diundang. Cak Nun yang notabene seorang

agamawan dan budayawan juga memiliki berbagai perspektif kritis sebagai seorang

intelektual. Dia memiliki pandangan tersendiri terhadap religiusitas yang kemudian ia

sosialisasikan dalam Maiyahan. Dengan demikian Cak Nun merupakan aktor yang

memainkan peran menyapaikan religiusitas subjektifnya melalui Maiyahan. Sehingga

religiusitas tersebut dapat dilegitimasi oleh Jama’ah Maiyah.

Kemunculan realitas religiusitas Maiyahan ini, dimungkinkan karena

terdapatnya proses institusionalisasi (yang berawal dari eksternalisasi, terutama Cak

Nun) yang berkesinambungan dalam Maiyahan. Sedangkan sikap religiusitas

Maiyahan pada akhirnya mampu dilestarikan dengan adanya proses legitimasi, baik

Page 124: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

112

yang merupakan sosialisasi terus menerus dari seorang aktor pengisi acara Maiyahan

maupun pembenaran dari Jama’ah Maiyah itu sendiri.

C. Maiyahan sebagai Realitas Subjektif

Diatas telah dianalisis “Maiyahan sebagai realitas objektif”. Demi

keseimbangan perspektif sosiologi, juga akan dianalisis “Maiyahan sebagai realitas

subjektif”. Maksudnya, bahwa penjelasan tidak hanya bertitik tolak pada Maiyahan

saja, tetapi juga pada hubungan timbal-balik (hubungan dialektis) antara Jama’ah

Maiyah dengan Maiyahan.

Berger menjelaskan bahwa manusia lahir sebagai “tabula rasa”, bahwa

manusia lahir dengan kesiapan menerima kehadiran masyarakat dalam kesadarannya,

tentu sesuai dengan perkembangan biologisnya. Dalam masa internalisasi manusia

menyerap segala pengalaman objektif menjadi pengalaman subjektif. Manusia tidak

akan mampu mengabaikan realitas objektif disekitarnya. Internalisasi ini

menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif.

Proses pembentukan religiusitas, juga terbentuk setelah masa kelahiran

individu. Sikap religiusitas senantiasa dibentuk sejak individu masih kanak-kanak,

terutama oleh orang tuanya. Tetapi patut menjadi catatan, pembentukan religiusitas

terhadap anak-anak memiliki metode tersendiri, berbeda dengan pembentukan

religiusitas pada seorang remaja atau dewasa, hal ini melihat perkembangan biologis

seseorang. Kanak-kanak merupakan masa yang mudah untuk menyerap sebanyak-

banyaknya pengalaman objektif, baik dari orang tua, pendidikan, dan lingkungannya.

Page 125: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

113

Pada masa ini pembentukan religiusitas paling mudah dilakukan. Meski demikian

internalisasi tidak hanya terjadi ketika seseorang kanak-kanak. Dalam kasus Jama’ah

Maiyah, proses internalisasi religiusitas berdinamika sesuai perkembangan biologis

dari kanak-kanak, remaja atau muda, lalu dewasa. Bisa saja seseorang kurang

memperoleh internalisasi religiusitas ketika kanak-kanak, tetapi baru memperolehnya

ketika muda atau dewasa akibat pengaruh lingkungan dan pendidikan. Atau bisa saja

karena pengaruh Maiyahan. Tentu, diterimanya sikap religiusitas Maiyahan hanya bisa

terjadi bila sejak awal seseorang telah memiliki pengalaman atau ketertarikan tertentu

perihal sikap atau ideologi yang sejalan atau identik dengan sikap religiusitas

Maiyahan.

Internalisasi religiusitas berlangsung dalam dua proses, yaitu proses sosialisasi

primer dan sosialisasi sekunder. Sebagaimana Berger dan Luckmann yang mengutip

Mead, sosialisasi primer maksudnya ialah sosialisasi yang dialami manusia sejak lahir

hingga ia menjadi individu yang memiliki sikap-sikap sebagaimana lazimnya

masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder ialah sosialisasi yang dialami setelah

individu menerima sosialisasi primer, dan materi sosiaslisasi sekunder lebih bersifat

khusus dan spesifik berlaku disektor masyarakat tertentu.

Berdasarkan kasus penelitian ini, dapat dikatakan bahwa sosialisasi religiusitas

juga berlangsung melalui dua proses tersebut. Sosialisasi religiusitas primer ialah

ketika seseorang memperoleh pengalaman religiusitas (terutama pengalaman

religiusitas yang identik dengan sikap Maiyahan), dari orang tua, bacaan, pendidikan

dan lingkungan, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, baik sejak kanak-kanak,

muda maupun dewasa. Sikap religiusitas tersebut diarahkan pada sebagaimana

Page 126: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

114

religiusitas masyarakat pada umumnya, yang lebih menekankan pada out put

religiusitas dalam hubungan sosial. Tetapi Jama’ah Maiyah dapat diartikan telah

melalui sosialisasi religiusitas primer tersebut, walaupun masih belum mantap dan

gamang akibat berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya

mereka saat ini sedang dalam proses sosialisasi religiusitas sekunder, demi mencari

kemantapan sikap religious, yaitu dengan mengikuti Maiyahan.

Hal tersebut karena, sebagaimana sosialisasi sekunder, dalam Maiyahan

seseorang memperoleh pengetahuan religiusitas yang mungkin sama atau berbeda dari

yang diajarkan ketika sebelum mengenal Maiyahan. Sikap religiusitas Maiyahan lebih

menekankan pada out put religiusitas secara sosial, yang mencerdaskan, kritis dan

humanis. Materi tersebut sebenarnya telah diperoleh ketika seseorang mengalami

sosialisasi primer. Tetapi masih kurang mantap dalam sikap religious tersebut, dan

masih cenderung menekankan in put religiusitas dalam ritus-ritus peribadatan.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Maiyahan ialah bagian sosialisasi

sekunder.

Berkat sosialisasi religiusitas primer dapat dipastikan seseorang telah memiliki

landasan sikap religiusitasnya sendiri. Misalnya dari agama landasan religiusitas

tersebut tidak lah sama, karena pengaruh budaya dan mahzab (panutan), sehingga

tercipta lah berbagai aliran.68 Aliran tersebut senantiasa terdapat pada suatu wilayah

tertentu. Dimana penduduk menjadikanya realitas objektif, dan mengajarkanya dari

generasi ke generasi. Terkadang dalam keadaan “sadar” menyatakan dirinya bagian

dari aliran tertentu. Atau dalam kasus lain seseorang tidak menganggap dirinya

68 Tetapi ragam aliran tersebut tidak akan kita bahas disini.

Page 127: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

115

memiliki landasan religiusitas tertentu, tetapi sebenarnya dalam keadaan tidak sadar

seseorang telah memiliki sikap religiusitas aliran tertentu seseuai dengan lingkungan

objektifnya.

Jama’ah Maiyah senantiasa menjadikan Maiyahan sebagai sikap religiusitas

objektif. Walau demikian sebenarnya realitas objektif Maiyahan tidak terinternalisasi

seluruhnya. Tetapi melalui saringan atau penyesuaian dari subjektifitas individu

Jama’ah Maiyah, terutama yang diwarisinya sejak sosialisasi primer. Sehingga dapat

dikatakan bahwa subjektifitas individu ialah penentu seseorang akan tertarik dengan

Maiyahan atau tidak, karena sedikit banyak dibutuhkan hubungan simetris antara

realitas subjektif dengan realitas objektif.

Hubungan simetris, atau kesesuaian antara realitas subjektif dengan realitas

objektif dalam Maiyahan terbantuk melalui dua cara, diantaranya : Pertama, individu

harus bersedia melegitimasi realitas religiusitas Maiyahan, sehingga dia akan bersedia

menerimanya sebagai hal yang memang layak untuk dipercayai. Atau menurut Berger,

bahwa individu harus bersedia merubah realitas objektif menjadi realitas subjektif.

Kedua, ialah dengan cara mempertahankan realitas objektif Maiyahan yang telah

diserap agar tidak tergerus oleh realitas subjektif individu. Maksudnya, apapun

masalah subjektif individu dalam kehidupan sehari-hari, dia tidak akan melupakan apa

yang telah ia pelajari dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan akan menjadi kontrol bagi

subjektifitas individu dalam kehidupan sehari-harinya. Hal inilah yang menyebabkan

Jama’ah Maiyah senantiasa menyerap dan mengamalkan ajaran yang disampaikan

dalam Maiyahan. Sehingga Jama’ah Maiyah diharapkan semakin tabah dan cerdas

dalam menjalani hidup walaupun diterpa banyak masalah.

Page 128: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

116

Kedua cara tersebut, merupakan proses yang membuat sikap religiusitas

Maiyahan sebagai realitas objektif menjadi realitas subjektif individu. Walau dalam

hidup senantiasa terdapat situasi kritis, tetapi Jama’ah Maiyah mampu mengatasinya

dengan melakukan aktifitas-aktifitas atau sikap tertentu berdasarkan apa yang

dipelajari dalam Maiyahan.

D. Proses Dialektika Religiusitas

“Dialektika”, memiliki arti penting dalam keseluruhan teori Berger. Secara

keseluruhan sebenarnya proses dialektik religiusitas secara tersirat telah dibahas dalam

pemaparan diatas (Bab ini, poin A, B dan C). Tetapi demi kejelasan pemaparan, kali

ini akan dipaparkan secara tersurat sekaligus sebagai penutup bab ini. Seperti yang

telah banyak dijelaskan, Berger memandang realitas sosial bergerak melalui tiga

proses utama, yaitu internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi.

Ketiga proses dialektik pembentuk realitas religiusitas pada diri Jama’ah

Maiyah menunjukan suatu dinamika. Dinamika religiusitas terjadi melalui dua tahap

dialektik, yaitu dialektika religiusitas sebelum Jama’ah Maiyah mengenal Maiyahan,

dan dialektika religiusitas yang terjadi setelah atau ketika Jama’ah Maiyah mengenal

dan mengikuti Maiyahan.

Berikut penjabaran pertama perihal dialektika religiusitas Jama’ah Maiyah

sebelum mengenal Maiyahan: Pertama, proses internalisasi yang terjadi pada diri

seseorang (sebelum menjadi Jama’ah Maiyah). Internalisasi ini terjadi ketika

seseorang tersebut belum mengenal Maiyahan. Seseorang memperoleh religiusitas

melalui berbagai sumber seperti kedua orang tua, pendidikan religiusitas, lingkungan

Page 129: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

117

religius, pengajian, serta buku bacaan religiusitas. Tentu terdapat berbagai perbedaan

bagi setiap orang mengenai sumber religiusitas yang mereka internalisasi pertama kali.

Internalisasi ini merupakan sosialisasi primer yang membentuk sikap individu. Bisa

saja sejak awal seseorang tersebut memang dari keluarga religius yang telah banyak

menginternalisasi religiusitas sejak kecil. Tetapi bisa juga pada awalnya seseorang

tersebut tidak banyak menginternalisasi religiusitas sejak kecil. Mungkin karena orang

tuanya yang kurang mengerti agama, orang tuanya yang berbeda agama, atau

seseorang tersebut merupakan muallaf. Ataupun bisa juga dari lingkungan dan

pendidikanya dulu yang menjauhkan dari religiusitas. Internalisasi religiusitas setiap

orang beragam, baik yang telah banyak menginternalisasi religiusitas sejak kecil,

maupun yang kurang menginternalisasi religiusitas sejak kecil dan baru banyak

menginternalisasi religiusitas ketika dewasa. Kedua, proses objektifikasi religiusitas

seseorang sebelum mengenal Maiyahan terjadi ketika seseorang tersebut menyetujui

sikap-sikap religiusitas yang ada dalam masyarakat. Sikap-sikap religiusitas

masyarakat tersebut selain disetujui dan disandang sebagai sikap religiusitas seseorang

tersebut sebagai realitas subjektif, juga disetujui dan disandang sebagai sikap

religiusitas semua orang dalam satu masyarakat secara bersama-sama. Ketiga,

selanjutnya setelah religiusitas masyarakat telah terobjektifikasi ke dalam kesadaran

individu seseorang maka terjadilah proses eksternalisasi. Proses eksternalisasi ini

terjadi ketika seseorang tersebut mengimplementasikan religiusitas yang ia dapat sejak

sosiasliasi primernya.

Setelah ketiga proses dialektika religiusitas seseorang sebelum mengenal

Maiyahan maka selanjutnya ialah tahap menuju proses dialektika religiusitas setelah

Page 130: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

118

atau ketika seseorang mengikuti Maiyahan (pada saat seseorang telah menjadi Jama’ah

Maiyah). Biasanya awal mula seseorang mengenal dan mengikuti Maiyahan terjadi

ketika terdapat keseuaian antara sikap religisitas sebelum mengenal Maiyahan dengan

sikap religiusitas yang ditawarkan oleh Maiyahan. Atau bagi orang yang kurang

memperoleh internalisasi religiusitas sejak kecil mereka justru menjadikan Maiyahan

sebagai sumber ilmu dalam mempelajari religiusitas. Biasanya kedudukan seseorang

secara pribadi dalam masyarakat yang digambarkan dalam penelitian ini melalui

kategori sosial juga sangat menentukan pembentukan sikap religiusitas seseorang.

Pada intinya, setelah mengalami kecocokan dengan sikap religiusitas Maiyahan

biasanya tidak lantas seseorang menyukai dan memutuskan untuk aktif mengikuti

Maiyahan.

Seseorang akan menyukai dan memutuskan aktif mengikuti Maiyahan

biasanya karena merasa bahwa sikap religiusitas Maiyahan dirasa mampu menjadi

sandaran dan penopang untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-

hari. Maiyahan sanggup mengayomi berbagai masalah dalam diri seseorang dan

masyarakat terlebih lagi mampu memberi motivasi dalam sulitnya kehidupan sehari-

hari.

Proses dialektika ketika seseorang mengenal dan mengikuti Maiyahan, terlebih

lagi menyukai dan aktif mengikuti Maiyahan tidak dimulai dari internalisasi; tetapi

dimulai dari eksternalisasi yang diberikan oleh aktor-aktor pengisi acara Maiyahan,

baik melalui musik, diskusi, puisi, dan lain-lain. Selengkapnya akan dijelaskan sebagai

berikut : Pertama, dimulai dari tahap eksternalisasi yang dilakukan oleh aktor-aktor

pengisi acara Maiyahan seperti Cak Nun, Kiai Kanjeng, Mas Totok, Sabrang, dan lain-

Page 131: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

119

lain. Baik melalui musik, diskusi, puisi, shalawat, dan seterusnya yang bertujuan

mensosialisasikan religiusitas kepada Jama’ah Maiyah. Pada intinya mereka

mengeksternalisasikan sikap religiusitas Maiyahan untuk didengar oleh Jama’ah

Maiyah dengan latar penggung pengajian. Kedua, setelah sikap religiusitas Maiyahan

dieksternalisasi oleh aktor-aktor pengisi acara Maiyahan maka selanjutnya terjadilah

tahap objektifikasi yang dilakukan Jama’ah Maiyah. Tahap objektifikasi ini terjadi

ketika Jama’ah Maiyah dalam Maiyahan menyerap prinsip-prinsip dan sikap-sikap

religiusitas yang disampaikan, lalu menyetujuinya secara bersama-sama sebagai

religiusitas yang memiliki kebenaran umum diantara Jama’ah Maiyah sebagai

religiusitas yang patut dipraktikan. Proses objektifikasi ini terjadi dalam lingkup

Jama’ah Maiyah yang menyetujui dan pada akhirnya menjadikan realitas religiusitas

objektif Maiyahan sebagai realitas religiusitas subjektif pribadi. Hal ini lah yang

melandasi tahap ketiga, yaitu disandangnya sikap religiusitas objektif dalam Maiyahan

menjadi sikap religiusitas subjektif individu melalui tahap internalisasi. Jama’ah

Maiyah pada akhirnya menginternalisasi wawasan religiusitas yang diberikan melalui

Maiyahan ke dalam kesadaran subjektif individu. Sikap religiusitas tersebut menjadi

suatu wawasan religiusitas baru bagi Jama’ah Maiyah yang mampu memberi motivasi,

ketenangan batin, dan kesenangan bagi Jama’ah Maiyah. Sehingga realitas religiusitas

Maiyahan pada akhirnya berbalik membentuk sikap pribadi manusia melalui

mekanisme internalisasi. Untuk selanjutnya keempat, merupakan proses eksternalisasi

kembali dari apa yang telah diinternalisasi dari Maiyahan. Eksternalisasi tersebut dapat

pula disebut dengan implementasi religiusitas yang diperoleh dari Maiyahan.

Page 132: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

120

Dalam pada itu berlangsung lah proses saling membentuk – tesis, antithesis

dan sintesis. Realitas religiusitas muncul, bertahan dan berubah pada diri Jama’ah

Maiyah. Hal ini lah yang dimaksud dengan realitas religiusitas dalam hubungannya

antara Jama’ah Maiyah dan Maiyahan.

Page 133: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

121

BAB IV

REALITAS RELIGIUSITAS JAMA’AH MAIYAH

Bab ini akan menjelaskan perihal realitas religiusitas yang melingkupi

kehidupan masyarakat, dan berpengaruh dalam sendi-sendi kehidupan seseorang.

Mulai sejak sosialisasi religiusitas primer dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat.

Hingga akhirnya memiliki kematangan sikap religiusitas, yang terbawa hingga

seseorang ditetapkan masuk dalam kategori sosial tertentu. Pada fase ini terbentuklah

“realitas subjektif” seseorang, yang merupakan hasil internalisasi dari sosialisasi

primer. Walau dalam perkembangannya dinamika religiusitas seseorang tidak lantas

berjalan secara mulus. Banyak terdapat fase naik turun religiusitas, karena berbagai

pengaruh eksternal diluar religiusitas yang kadang merusak religiusitas semula.

Sebelum akhirnya timbul motivasi untuk kembali pada jalur religiusitas, yang

dilakukan dengan mengikuti Maiyahan. Sehingga memberi perubahan-perubahan

seseorang dalam memandang realitas religiusitas dalam hidup. Berikut akan dijelaskan

secara rinci :

A. Dinamika Religiusitas Kategori Sosial

Pembahasan berikut merupakan analisis seputar bagaimana konstruksi sosial

religiusitas yang terjadi pada jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial. Dalam

ulasanya, akan disajikan analisis perihal “pengetahuan dan realitas”, yang sejalan

bersamaan dengan proses dialektis terjadinya konstruksi religiusitas. ‘Pengetahuan’

Page 134: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

122

merupakan realitas yang diyakini Jama’ah maiyah secara subjektif, sebelum mengenal

Maiyahan. Karena setiap Jama’ah Maiyah telah memiliki pemahaman subjektifnya

perihal religiusitas yang diyakini kebenaranya. Diinternalisasi sejak sosialisasi primer

berdasarkan pengalaman dari keluarga, lingkungan, pendidikan, bacaan, dan

seterusnya. Pengetahuan ini menjadi kesadaran individu, sehingga pengetahuan disini

disebut juga dengan istilah “realitas subjektif”, tetapi dalam pemaparanya tetap disebut

sebagai ‘pengetahuan subjektif’.

Sedangkan ‘realitas’ diartikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena

diluar Jama’ah Maiyah (bukan berasal dari Jama’ah Maiyah sendiri). Realitas

merupakan fakta sosial, berasal dari eksternalisasi perihal religiusitas yang diberikan

pengisi acara ketika Maiyahan. Sehingga eksternalisasi tersebut menjadi realitas

objektif pada seluruh Jama’ah maiyah (pengetahuan objektif tersebut merupakan sikap

religiusitas Maiyahan). Sehingga realitas dalam hal ini dapat pula disebut dengan

“realitas objektif”, dan dalam pemaparan selanjutnya tetap disebut dengan ‘realitas

objektif’ pula.

Dengan kata lain dasar dari konstruksi religiusitas ialah keterkaitan antara

pengetahuan dan realitas pada diri Jama’ah Maiyah. Pada seorang Jama’ah Maiyah

berdasarkan kategori sosial tertentu, telah memiliki seperangkat pengetahuan dan

realitas perihal religiusitas, sehingga menentukan sikap dan keputusanya dalam

menanggapi religiusitas. Dalam penelitian ini, ‘pengetahuan’ dianggap sebagai sikap

religiusitas subjektif yang melekat pada diri seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan

kategori sosial tertentu. Terinternalisasikan sejak sosialisasi primer, baik itu dari

keluarga, lingkungan, pendidikan, bacaan, dan seterusnya. Sedangkan ‘realitas’ ialah

Page 135: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

123

cerminan dari religius objektif yang diperoleh seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan

kategori sosial tertentu dari sosialisasi sekundernya ketika mengikuti proses

eksternalisasi religiusitas yang diberikan dalam Maiyahan. Perihal seperti apa sikap

religiusitas Maiyahan yang diinternalisasi oleh seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan

kategori sosial tertentu.

Berikut akan diterangkan deskripsi berdasarkan hasil analisis teori konstruksi

sosial “pengetahuan dan realitas” Berger. Sehingga mencerminkan suatu dinamika

yang membentuk sikap religiusitas Jama’ah Maiyah berdasarkan kategori sosial

tertentu. Berikut pemaparanyan :

1. Kategori Dewasa

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori dewasa dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap dewasa memiliki

pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya

mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif

seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang dewasa. Berikut

merupakan pemaparanya :

Seorang dewasa dengan segala kedudukanya dalam masyarakat,

tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan urusanya dalam pekerjaan

seringkali menuntut diambilnya keputusan-keputusan sulit. Frustasi banyak

Page 136: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

124

menjadi kendala yang menyertai mereka. Apalagi bila telah berkeluarga,

seorang dewasa dituntut memenuhi nafkah keluarganya. Sehingga

perekonomian menjadi salah satu faktor tercapainya kebahagiaan.

Berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, konflik, dan penindasan,

telah mereka rasakan dalam hidup. Terkadang struktur lah yang menindas

mereka sehingga sulit keluar dari masalah sosial dalam hidupnya. Kerap kali

mereka merasa lelah dan putus asa dalam usahanya keluar dari masalah-

masalah tersebut. Sehingga lebih mendekatkan diri pada Tuhan ialah jalan

terbaik yang bisa mereka tempuh.

Banyak dewasa yang menemukan kebahagiaan dengan lebih religius.

Walau mungkin mereka kurang religius semasa muda, tetapi pada akhirnya

mereka semakin religius ketika dewasa, apalagi setelah berkeluarga. Seorang

dewasa kerap kali sadar bahwa dirinya harus menjadi teladan bagi keluarganya.

Juga tumbuhnya kesadaran mereka akan kehidupan akhirat akan membawa

mereka pada ritus-ritus peribadatan yang lebih aktif dari pada sebelumnya.

Mungkin telah terjadi fase pendewasaan religiusitas pula yang terjadi pada

seorang dewasa. Walaupun fase pendewasaan religiusitas ini tidak dapat

diukuyr berdasarkan usia.

Pada saat seorang dewasa telah mengalami fase pendewasaan ini,

dimungkinkan bahwa mereka akan lebih bersikap religiusitas. Ketertarikan

mereka akan religiusitas meningkat. Religiusitas ditempatkan sebagai modal

kehidupan akhirat kelak dan juga sebagai obat bagi rasa frustasi yang

senantiasa mendera seorang dewasa.

Page 137: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

125

Ketika ketertarikan akan religiusitas meningkat, ketika ini pula seorang

dewasa berpotensi tertarik terhadap Maiyahan. Sehingga selanjutnya seorang

Jama’ah Maiyah kategori dewasa akan melalui tahap sosialisasi sekundernya

(setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah) dalam hal

religiusitas melalui Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial

yang bersifat eksternal. Merupakan realitas objektif yang mempunyai

kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas pada diri seorang dewasa.

Maiyahan merupakan realitas objektif bagi Jama’ah Maiyah. Berikut

merupakan pemaparan dari realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi

oleh Jama’ah Maiyah kategori dewasa dalam Maiyahan :

Maiyahan selalu bahwa sikap religiusitas itu harus bersinergi dengan

kondisi kehidupan sosial seorang dewasa. Dalam hubungan sosial bersama

keluarga misalnya, seorang dewasa harus mampu menjadi teladan bagi anak

muda, terutama anaknya. Juga memberi menjaga harkat dan martabat keluarga

dengan selalu berbuat yang baik dalam masyarakat. Seorang dewasa ialah

bahan contoh bagi para pemuda terutama anak-anak mereka sendiri. Karena

anak-anak cenderung meniru tingkah laku orang tuanya. Oleh karena itu

seorang dewasa harus selalu memberikan contoh yang baik kepada anak-anak

mereka.

Seorang dewasa seharusnya juga mampu memberi kontribusi bagi

perkembangan kehidupan sosial yang lebih baik. Dimana sikap yang baik

kepada sesama ialah bagian dari religiusitas pula. Tidak hanya terbatas pada

ritus-ritus peribadatan dan simbol-simbol religius semata; yang justru

Page 138: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

126

menjadikan seorang dewasa minim kontribusi dalam kehidupan sosial seperti

ronda malam, kerja bakti, rapat RT/RW, dan seterusnya; tetapi menjadi

eksklusif yang terlalu banyak mementingkan ibadah dan mengurangi pergaulan

sosialnya.

Selain itu dalam Maiyahan seorang dewasa juga senantiasa diajarkan

bahwa perekonomian bukanlah segala-galanya untuk mencapai kebahagiaan.

Tetapi kedekatan dengan Tuhan-lah ialah jalan mencapai kebahagiaan tersebut.

Karena dengan dekat dengan Tuhan semuanya akan terpenuhi, salah satunya

terpenuhinya perekonomian yang lebih baik. Lagi pula perekonomian bukanlah

penentu bagi seseorang bahagia atau tidak. Bisa saja seseorang miskin secara

perekonomian tetapi bahagia, ataupun juga kaya secara perekonomian tetapi

tidak bahagia. Seperti pernyataan MD, sebagai berikut :

“Banyak orang dewasa memiliki perekonomian mapan

tetapi tidak bahagia dalam hidupnya, tetapi banyak pula orang

miskin yang ternayata hidupnya lebih bahagia dibandingkan

orang kaya”.69

Maiyahan mempertegas perihal bagaimana sikap religiusitas yang

seharusnya dan sepantasnya bagi seorang dewasa. Yaitu sikap religiusitas yang

bersinergi dengan berbagai peran dan tanggung jawab mereka sebagai seorang

dewasa. Disertai sikap syukur atas apa yang telah dimiliki dan tidak dimiliki.

Marx mengatakan bahwa agama ialah candu. Dalam Maiyahan candu

ini sengaja diberikan karena benar-benar dibutuhkan untuk menentramkan hati

seorang dewasa. Paling tidak bahagia barang sejenak sebelum kembali pada

rutinitas seorang dewasa yang sulit keesokan harinya. Doa-doa dan shalawat

69 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00

Page 139: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

127

dalam Maiyahan menjadi penuntun bagi dicapainya kebahagiaan secara

religius ini, seolah-olah mampu menjadi wakil atas berbagai peliknya

kehidupan. Sebagaimana diungkapkan BN, bahwa :

“Saya merasa bahwa doa-doa yang dipanjatkan dalam

Maiyahan mampu mewakili diri saya sebagai manusia yang hidup

dalam kehidupan yang serba sulit ini”.70

Maiyahan merupakan tempat bagi para dewasa kembali pada religiusitas

yang telah lama dijauhkan dari mereka oleh kerasnya hidup. Mereka

menginternalisasi kembali religiusitas dari Maiyahan. Walaupun mungkin

religiusitas yang disampaikan ndalam Maiyahan sama atau berbeda sama sekali

dengan religiusitas yang mereka kenal sejak kecil. Tetapi para dewasa dalam

Jama’ah Maiyah sangat menerima religiusitas gaya Maiyahan; dan bersedia

memadukanya dengan religiusitas yang mereka kenal sejak kecil. Seperti

ungkapan BN, bahwa :

“Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga NU,

dan membawa NU sebagai pedoman religius saya. Tetapi ketika

Maiyahan saya bersedia memadukan religiusitas NU saya dengan

Maiyahan”.71

Ditambah dengan pernyataan HM, bahwa :

“Selain sebagai Jama’ah Maiyah, saya juga merupakan

salah satu pengurus besar Muhamadiyah di Magelang. Tetapi

ketika mengikuti Maiyahan saya bersedia melepas identitas dan

sikap saya sebagai seorang warga Muhamadiyah.” 72

Menurut BN dan HM, seorang dewasa yang telah mengikuti Maiyahan

akan memiliki sikap religiusitas yang lebih terbuka dan toleran. Sehingga tidak

70 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3071 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3072 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30

Page 140: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

128

mungkin bagi mereka terjerumus dalam kekerasan yang mengatas namakan

agama.

Sebagai seorang dewasa keduanya juga menerangkan bahwa Maiyahan

tidak mengenal aliran agama apapun seperti Muhamadiyah dan NU. Maiyahan

lebih cenderung beraliran religius kemasyarakatan, yaitu religiusitasnya

masyarakat tertindas dan kesulitan, tetapi pantang menyerah pada nasib. Aliran

apapun dapat bersanding secara harmonis dalam Maiyahan, bahkan aliran

agama yang berbeda pun.

2. Kategori Pemuda

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori pemuda dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Setiap

pemuda memiliki pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas

yang patut mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas

subjektif ialah sikap religiusitas yang melekat pada diri seorang pemuda pada

umumnya. Dan si pemuda mengikutinya sebagai kaidah yang berlaku

sebagaimana berlaku juga dikalangan pemuda umumnya (pada pemuda diluar

konteks Jama’ah Maiyah). Berikut merupakan pemaparanya :

Masa muda merupakan masa pencarian identitas diri, dimana identitas

mereka belum terbentuk sepenuhnya. Sehingga pemuda belum memiliki sikap

semantap orang dewasa. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman hidup dan

Page 141: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

129

belum tercapainya kematangan berpikir. Mereka belum berhasil mencapai

keseimbangan yang ideal.73

Kemampuan berfikir mereka banyak mengkritisi struktur yang telah

mapan, dan memikirkan kembali apa yang terbaik darinya. Sikap religiusitas

mereka lebih didorong oleh rasa ingin tahu. Mereka cenderung mengaku belum

sepenuhnya mengenal agama dan belum sepenuhnya dapat diakui oleh

masyarakat. Oleh karena itu mereka memuaskan keingintahuan mereka dengan

menambah ilmu untuk masa dewasa mereka.

Pemuda cenderung kritis dalam beragama. Rasionalitas mereka

tumpahkan pula pada agama. Pemuda cenderung tidak akan mengindahkan

anjuran agama bila tidak sesuai dengan rasionalitas mereka. Rasionalitas

beragama bagi pemuda ialah ketika agama mampu memberikan pencerahan

dan mengatasi kesulitan hidup manusia. Religiusitas yang terpenting bagi

pemuda ialah dalam hubunganya dengan sesama manusia, karena religiusitas

bagi mereka merupakan jalan agar diakui oleh orang lain atau masyarakat.

Dalam menginternalisasi religiusitas mereka tidak lagi seperti semasa

kanak-kanak. Dimana kanak-kanak lebih didorong oleh rasa penasaran

terhadap apa yang disampaikan dalam doktrin-doktrin agama. Tetapi setelah

melewati masa remaja atau pemuda, maka rasio lah yang lebih berperan.

Doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat gaib atau abstrak seperti surga,

pahala, dosa dan neraka sulit memotivasi mereka untuk lebih religius.

Penerimaan mereka terhadap agama ialah bila agama dapat dieksploitasi bagi

kepentingan mereka. Seperti bila mereka rajin sholat tahajud dan berdoa

73 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hal: 67

Page 142: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

130

supaya diterima kerja, mendapat nilai bagus saat ujian, mengobati perasaan

patah hati, dan lain-lain.

Selain itu, lingkungan akademis pemuda mewarnai pula tanggapan

mereka terhadap lembaga religiusitas. Keluesan berfikir mereka membuat

mereka tidak segan mengkritisi lembaga keagamaan yang telah mapan

sekalipun. Mereka cenderung tidak akan mengikuti lembaga keagamaan

tertentu bila tidak sesuai dengan perspektif mereka.

Maiyahan rupanya memenuhi semua harapan pemuda perihal

bagaimana seharusnya religiusitas itu diterapkan. Terjadi kecocokan antara

perspektif religiusitas subjektif pemuda dengan konsep religiusitas yang

ditawarkan dalam Maiyahan. Sehingga pemuda dengan senang hati tanpa

adanya paksaan bersedia rutin mengikuti maiyahan.

Maiyahan pun menjadi sarana para pemuda (setelah mengikuti

Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah) untuk memantapkan sisi religiusitas

sesuai yang pemuda inginkan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial

yang bersifat eksternal. Merupakan realitas objektif yang mempunyai

kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas pada diri seorang pemuda.

Berikut merupakan pemaparan dari realitas religiusitas objektif yang

diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori pemuda dalam Maiyahan :

Maiyahan selalu mengajarkan pada pemuda bahwa religiusitas itu tidak

hanya sebatas pelaksanaan ritus-ritus peribadatan seperti rajin sholat, rajin

mengaji, rajin sholat sunah, rajin dzikir; apalagi berwawasan fiqih luas; dan

juga praktik religiusitas sebatas simbolik seperti jidat hitam, celana diatas mata

Page 143: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

131

kaki, selalu beristighfar saat terkejut, dan seterusnya. Sikap atau konteks

religius yang diajarkan maiyahan sekaligus yang menjadi daya tarik bagi

pemuda ialah pengajian Maiyahan yang tidak hanya menonjolkan sisi

religiusitas untuk mencapai kebahagiaan, tetapi juga mampu menyajikan

wawasan ilmiah, sosial, politik, budaya, dan lain-lain dalam diskusinya. Seperti

pernyataan dari AD, sebagai berikut :

“Maiyahan tidak hanya forum religiusitas, tetapi juga

sekumpulan orang yang mau duduk bersama membicarakan

bermacam-macam bahan obrolan, seperti agama, sosial, politik,

budaya, dan lain-lain. Disana kita juga tidak pasif, ada proses take

and give dalam diskusinya”74

Sembari mengemas semua itu dengan hiburan berupa musik dan

hiburan-hiburan menarik lain seperti puisi, tarian, pencak silat, dan bintang

tamu yang tidak terduga-duga. Sehingga Maiyahan, selain sebagai sarana

menambah religiusitas bagi pemuda, juga merupakan sarana mengakses hiburan

dan refresing yang pas bagi pemuda. Bahkan momentum Maiyahan juga

dimanfaatkan untuk hubungan sosial diantara lawan jenis, seperti berpacaran,

berpergian bersama, atau juga sekedar melihat lawan jenis. Seperti ungkapan

BG, bahwa :

“Selain dapat berbagai macam ilmu, disana juga

menyenangkan bisa melihat cewek (lawan jenis), lumayan lah buat

refresing.”75

74 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.0075 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00

Page 144: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

132

Ditengah situasi yang sering menimbulkan problematik bagi pemuda,

dikala mereka bekerja, dikala mereka kuliah, dan lain-lain. Maiyahan ialah

aktivitas hiburan yang bisa membuat segar dan rehat pikiran.

Lagi pula bagi pemuda Jama’ah maiyah ini, Maiyahan selalu menjadi

guru yang memberi nasehat-nasehat dan wejangan perihal kearifan hidup.

Pemuda yang masih sering melakukan kesalahan terkadang sering merasa

frustasi dan putus asa. Mereka membutuhkan dukungan moril yang memahami

kebutuhan mereka sebenarnya. Sebagaimana ungkapan BG, bahwa :

“Dalam Maiyahan saya memperoleh banyak stock-stock

petuah, karena sebagai pemuda saya sering melakukan kesalahan

dan grusa-grusu. Forum Maiyahan memberi banyak sentuhan petuah

dan nasehat yang sangat dibutuhkan bagi pemuda seperti saya”.76

Bagi kategori pemuda, Maiyahan memiliki tiga peran utama.

Pertama, sebagai sarana paling menyenangkan dan mudah untuk

mencapai ketenangan batin yang sering terkoyak akibat berbagai

persoalan yang timbul dalam masa muda. Kedua, sebagai sarana

menambah ilmu dengan mengikuti materi yang disampaikan dalam

diskusi Maiyahan. Dan ketiga, sebagai sarana mencari hiburan dan

refresing sekaligus bersosialisasi.

76 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00

Page 145: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

133

3. Kategori Laki-laki

Pembahasan perihal sikap religiusitas Jama’ah Maiyah kategori laki-

laki dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari (sebelum dia

mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan merupakan

sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap laki-laki memiliki pengetahuan

subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya mereka yakini

dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif seperti apa yang

biasanya melekat pada diri seorang laki-laki. Berikut merupakan pemaparanya

:

Masyarakat menuntut laki-laki untuk menjadi pemimpin baik dalam

keluarga maupun masyarakat. Tanggung jawab tersebut cenderung mereka

terima sebagai realitas dalam masyarakat. Mereka juga mencoba untuk

memenuhi tanggung jawab tersebut. Dalam keluarga laki-laki merupakan

kepala rumah tangga yang bertanggung jawab untuk memimpin keluarganya.

Selain itu laki-laki juga bertanggung jawab untuk mendidik anak dan istrinya

agar tetap sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik. Dalam masyarakat religius

laki-laki dituntut memiliki pengetahuan religius lebih tinggi dari wanita karena

laki-laki lah yang akan memimpin seorang wanita apalagi setelah berumah

tangga. Selain itu laki-laki juga dituntut mampu memberi contoh bagi anak-

anak mereka, terutama contoh tentang perilaku yang religius.

Laki-laki juga sering kali dituntut memiliki peran dalam masyarakat.

Hal itu juga merupakan syarat bagi laki-laki agar dapat bergaul dengan

masyarakat di lingkunganya. Seringkali seorang laki-laki merasa malu bila

Page 146: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

134

tidak mempunyai peran dan tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat di

lingkunganya. Laki-laki akan merasa senang bila dilibatkan dalam aktifitas

masyarakat, walaupun dalam aktifitas sederhana seperti kerja bakti dan jaga

malam. Apalagi dalam lingkungan masyarakat religius, laki-laki akan

cenderung senang bila telah mendapat undangan mewakili keluarganya untuk

mengikuti Tahlilan, peringatan hari kematian, Yasinan, dan lain-lain. Dengan

demikian mereka telah merasa dianggap oleh masyarakat sebagai pemimpin

keluarga yang cukup memiliki peran dalam masyarakat religius.

Selain dituntut bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga dan

masyarakat laki-laki juga dituntut mampu mencari nafkah bagi keluarganya.

Biasanya dalam masyarakat laki-laki ialah pencari nafkah utama, walaupun

mungkin wanita atau istri juga turut bekerja mencari nafkah. Biar demikian

dalam suatu keluarga banyak juga wanita atau istri yang tidak dituntut bekerja

mencari nafkah. Tetapi tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga yang tidak

dituntut untuk bekerja mencari nafkah.

Boleh dibilang bahwa tanggung jawab seorang laki-laki memang tinggi.

Oleh karena itu laki-laki juga membutuhkan suatu pedoman moral (terutama

yang terkait dengan religiusitas) untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.

Salah satu cara laki-laki untuk mencari pedoman moral tersebut ialah dengan

mengikuti Maiyahan.

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai laki-laki sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Para laki-laki pun dapat menyerap berbagai prinsip hidup dari

Page 147: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

135

Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal

(setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Merupakan

realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas

pada diri seorang laki-laki. Berikut merupakan pemaparan dari realitas

religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori laki-laki

dalam Maiyahan :

Maiyahan mengajarkan pada kategori laki-laki agar dapat menjadi

bagian dari masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai kehidupan sesuai

dengan kaidah agama. Bukan berarti memaksakan kaidah agama kepada

masyarakat, tetapi bagaimana agar kaidah agama dapat berkorelasi positif

dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai pemimpin laki-laki harus

mengerti arah hidupnya. pemimpin harus mampu membawa yang dipimpinya

mencapai tujuan. Dalam keluarga tugas laki-laki ialah memimpin seluruh

anggota keluarganya sejahtera di dunia dan akhirat. Sedangkan di masyarakat

tugas laki-laki sebagai pemimpin ialah untuk membawa masyarakat mencapai

kehidupan sosial kemasyarakatan yang sejahtera.

Sering juga akibat kerasnya hidup mengakibatkan laki-laki merasa

frustasi dan hilang arah. Pada saat ini, Maiyahan rupanya mampu memberikan

obat frustasi dan menunjukan arah yang baik bagi dicapainya kehidupan

bahagia bagi seorang laki-laki. Seperti ungkapan BN :

“Setelah mengikuti Maiyahan saya jadi mengerti kemanaarah hidup saya”.77

77 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 148: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

136

Obat frustasi dan arah hidup tersebut ialah dengan cara lebih

mendekatkan diri kepada Tuhan. Laki-laki memang memiliki berbagai

tanggung jawab, seperti dalam tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga.

Walau frustasi sering menimpa akibat sulitnya mencari nafkah tetapi laki-laki

tidak boleh frustasi dan menyerah. Hal tersebut banyak disosialisasikan oleh

Maiyahan, bahwa dalam menghadapi hidup harus selalu santai dan tawakal,

yang penting bekerja keras apapun hasilnya terserah Tuhan karena Tuhan tahu

yang terbaik. Seperti ungkapan BN kembali :

“Maiyahan selalu mengajarkan untuk menghadapiberbagai masalah hidup dengan santai, tetapi tetap tawakal danberusaha keras mencapai tujuan apapun hasilnya terserahTuhan”.78

Maiyahan mengajarkan bahwa religiusitas ialah suatu hal yang penting

bagi manusia, terutama bagi laki-laki. Laki-laki dituntut untuk membawa

keluarganya untuk sejahtera dan selamat dunia dan akhirat. Untuk itu laki-laki

harus mengerti banyak perihal agama. Agama tercermin dari sikap religiusitas

seseorang yang selalu menerapkan peraturan dari Tuhan agar hidupnya tidak

kacau dan berantakan. Siapapun yang mau memakainya akan selamat dunia

akhirat, dan yang tidak memakainya hidupnya bisa gila. Sehingga laki-laki

seperti MD tidak akan melewatkan kesempatan untuk memperdalam

pengetahuan agamanya dari Maiyahan. Berikut penuturan MD :

“Maiyahan selalu mengajarkan bahwa hidup itu harusmemakai aturan agama, agama ialah aturan dari Tuhan. Agama

78 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 149: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

137

juga ibarat pakaian, siapa memakainya akan selamat duniaakhirat, barangsiapa tidak memakainya sama dengan gila”.79

Ungkapan para informan tersebut cukup menggambarkan apa yang

diinternalisasi Jama’ah Maiyah kategori laki-laki dari realitas religiusitas

objektif dalam Maiyahan. Sebenarnya apa yang disampaikan cukup berlaku

umum bagi semua kalangan. Tidak terdapat perbedaan yang menonjol atas apa

yang menjadi pengetahuan Jama’ah Maiyah kategori laki-laki sejak sebelum

mengenal Maiyahan sampai realitas religiusitas yang disampaikan dalam

Maiyahan perihal bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab laki-

laki. Oleh karena itu Maiyahan seolah menjadi sarana untuk menambah,

memperdalam dan memantapkan kembali wawasan religiusitas memang

seharusnya dimiliki oleh laki-laki. Terdapat berbagai sisi moral religiusitas dari

apa yang disampaikan dalam Maiyahan yang dapat dijadikan landasan moral

bagi laki-laki.

4. Kategori Wanita

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori wanita dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap wanita memiliki

pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya

mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif

79 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00

Page 150: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

138

seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang wanita pada umumnya.

Berikut merupakan pemaparanya :

Weber mengungkapkan bahwa perilaku religiusitas wanita cenderung

berbeda dengan pria. Golongan wanita menunjukan daya reseptif yang kuat

terhadap semua hal religius terkecuali yang berorientasi kemiliteran.80

Mungkin maksud Weber disini ialah bahwa wanita memiliki daya kepatuhan

dan kedisiplinan lebih tinggi dari pada laki-laki perihal praktik keagamaan.

Weber juga menyatakan pula bahwa kategori wanita cenderung memiliki

ketertarikan yang tinggi untuk terlibat secara emosional dalam kegiatan

religiusitas (entah itu lebih pada ritus-ritus peribadatan atau religiusitas

kemasyaraatan) bahkan sampai bisa disebut histeris.

Gambaran sederhana Weber memang tidak bisa dijadikan acuan dalam

menilai sikap religiusitas wanita. Apalagi dilokasi dan zaman yang berbeda

dengan Weber menarik hipotesa. Tetapi gambaran Weber tersebut cukup

memberi pencerahan bahwa kenyataanya dalam kehidupan di Indonesia pun

peran wanita dalam kegiatan keagamaan memang cukup tinggi, tidak kalah

bahkan terkadang lebih dari pada laki-laki. Wanita cenderung aktif mengikuti

aktifitas keagamaan. Seperti dalam ritus-ritus peribadatan wanita cenderung

rajin sholat, mengaji, puasa, dan lain-lain. Wanita juga berperan besar dalam

pembentukan sikap religiusitas anaknya, dimana wanita cenderung lebih

banyak memberikan sosialisasi religiusitas kepada anaknya. Hal ini tentu saja

karena wanita/ibu dari pada laki-laki/ayah biasanya lebih dekat dengan

anaknya. Peluang wanita pun lebih banyak untuk memberikan wawasan

80 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hlm: 68

Page 151: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

139

religiusitas pada si anak. Oleh karena itu wanita dituntut oleh masyarakat dan

keluarga untuk menciptakan generasi muda yang lebih baik secara religiusitas.

Sehingga wanita pun harus memiliki banyak wawasan dan pengetahuan

religiusitas.

Wanita cenderung kepada sifat emosional, berbeda dengan laki-laki

yang cenderung bersifat rasional. Akibatnya wanita cenderung lebih sering

merasakan kegelisahan dalam batinya. Hal tersebut ialah gerbang bagi mudah

masuknya religiusitas bagi kaum wanita. Sehingga wanita cenderung lebih

dekat dengan nilai-nilai yang serba gaib dan kontemplatif, yang tidak dapat

ditangkap oleh kerja rasio; tetapi manfaat bagi rohani dan ketenangan batinya

langsung dapat dirasakan.

Berbagai pengetahuan subjektif perihal wanita tersebut mampu menjadi

motivasi mengikuti Maiyahan. Dalam Maiyahan mereka mendapatkan

pengalaman rohani dan ketenangan batin yang mereka butuhkan. Ketertarikan

mereka terhadap Maiyahan tidak kalah tinggi dari pada laki-laki. Mereka lebih

banyak mengikuti Maiyahan diluar tanggal 17, karena Maiyahan tanggal 17

terlalu larut malam buat mereka. Sehingga jarang wanita yang mengikuti

Maiyahan tanggal 17. Umumnya wanita mengikuti Maiyahan tanggal 17 hanya

bila dengan seseorang yang dipercaya seperti pacar, suami, teman, keluarga,

dan seterusnya. Para informan Jama’ah Maiyah kategori wanita yang mengaku

sering mengikuti Maiyahan bahkan pada tanggal 17, memaparkan bahwa nilai-

nilai religiusitas banyak ia peroleh dari Maiyahan.

Page 152: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

140

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai wanita sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori wanita pun dapat menyerap berbagai

prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang

bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).

Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi

sikap religiusitas pada diri seorang wanita. Berikut merupakan pemaparan dari

realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori

wanita dalam Maiyahan :

Maiyahan mengajarkan pada wanita untuk selalu hidup dalam

religiusitas. Sama saja dengan semua manusia, wanita juga harus menjalankan

semua perintah Tuhan dan menjauhi laranganya. Tentu saja hal tersebut harus

mampu dilaksanakan secara continous. Hal tersebut memang materi religiusitas

yang umum disampaikan dalam banyak pengajian. Tetapi melalui Maiyahan

nasehat religius tersebut terasa lebih tertanam kuat pada diri seorang wanita,

dari pada bila disampaikan oleh lembaga religiusitas lain.

Seorang Jama’ah Maiyah wanita seperti SC mengaku bahwa dirinya

memperoleh banyak pengalaman religius selama Maiyahan. Terutama yang

paling SC internalisasi ialah bahwa wanita (terutama posisinya sebagai seorang

istri) harus selalu patuh pada suamu. Merupakan dosa besar kalau istri

menentang atau membelot dari perintah suami, asalkan perintah suami tersebut

tidak bertentangan dengan agama. Istri harus melayani suami dengan baik,

dimulai dari hal paling sederhana seperti menyiapkan makan dan minumnya,

Page 153: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

141

menyeterika pakaianya, menyiapkan handuk, menyiapkan sarung, dan lain-

lain, serta menjaga seluruh harta benda dirumahnya. Ajaran yang disampaikan

dalam Maiyahan semakin memantapkan SC untuk berusaha menjadi istri yang

baik bagi suaminya. Seperti penuturanya sendiri :

“Setelah mengikuti Maiyahan saya akan berusaha menjadiistri yang lebih baik bagi suami saya. Dimaulai dari hal sederhanasaja seperti menyiapkan makan dan minumnya, menyiapkanhanduk buat mandinya, menyiapkan sarungnya, menyeterikapakaianya, dan lain-lain”.81

Maiyahan juga mengajarkan pada dirinya untuk selalu mengingat

Tuhan kapanpun, dimanapun dan saat melakukan apapun. Di toko kelontong

yang sederhana pun SC mempraktikan ajaran tersebut untuk selalu mengingat

Tuhan, dengan cara shalawat dan dzikir saat memasukan beras dalam karung

sekalipun, bahkan sering kali dengan dinyanyikan dengan keras. Seperti

penuturan SC sebagai berikut :

“Sejak mengikuti Maiyahan hati saya jadi semakin tenang,saya pun semakin sering mengingat Tuhan dengan cara shalawatdan dzikir dengan bernyanyi keras, bahkan saat memasukan beraske karung sekalipun”.82

Pada intinya Maiyahan mengajarkan bagaimana sikap religiusitas yang

patut dilaksanakan tidak hanya kepada wanita tetapi pada seluruh Jama’ah

Maiyah. Walau demikian wanita cenderung mampu memaknai sendiri

berdasarkan internalisasinya perihal manfaat apa yang mampu diperoleh dari

realitas religiusitas objektif dalam Maiyahan bagi dirinya sendiri.

81 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.0082 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.00

Page 154: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

142

5. Kategori Kaya

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori kaya dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap orang kaya memiliki

pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya

mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif

seperti apa yang biasanya melekat pada diri orang kaya pada umumnya.

Berikut merupakan pemaparanya :

Kaya dalam hal ini bearti seseorang yang memiliki lebih banyak

kesempatan untuk mengakses kesejahteraan. Meliputi perekonomianya yang

tinggi, rumahnya yang bagus/mewah, kendaraanya yang mewah, dan lain-lain.

Banyak hipotesa dari para ahli bahwa orang kaya cenderung jauh dari

religiusitas. Mereka banyak digambarkan jauh dari religiusitas dan hanya

mementingkan kehidupan diniawi semata. Setiap hari mereka hanya bekerja

untuk mencari uang dan mengungmpulkanya. Sampai-sampai mereka lupa

akan ibadah. Bahkan menurut Weber, golongan kaya/hartawan cenderung tidak

menaruh gagasan tentang keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai

suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia.83

Selama ini religiusitas lebih banyak dipandang melekat pada orang

miskin, begitu juga yang banyak dikonstruksikan dalam media televisi. Tetapi

sebenarnya hal tersebut hanya pandangan umum. Karena memang jumlah

83 Thoman F. Dalam Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI),1983). Hlm: 66

Page 155: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

143

orang miskin lebih banyak dari pada orang kaya. Orang kaya dengan berbagai

fasilitas yang dimiliki, misalnya kemana-mana memakai mobil mewah.

Memberi kesan bahwa mereka jauh dari kesulitan, sehingga mereka cenderung

jarang mendekatkan diri dan memohon pada Tuhan karena semua telah

dimiliki. Sedangkan orang miskin yang kehidupanya penuh kesulitan

cenderung dipandang lebih religius dari orang kaya, karena dia akan lebih

sering mendekatkan diri dan memohon pada Tuhan.

Tetapi berbeda antara orang kaya dalam pandangan tersebut, dan

pandangan kebanyakan sosiolog, bahkan Weber; dengan orang kaya yang

menjadi cikal bakal Jama’ah Maiyah. Seseorang kategori kaya Jama’ah

Maiyah cenderung memiliki sikap religiusitas yang baik bahkan sebelum

mengenal Maiyahan. Banyak orang kaya yang religius, bahkan mungkin

karena kereligiusanya lah mereka mampu menjadi kaya. Karena pada dasarnya

agama tidak pernah mengajarkan untuk menjadi miskin. Sebaliknya agama

mengajarkan untuk mencari rizki sebanyak-banyaknya agar mampu menolong

sesama. Lagi pula agama banyak memiliki prinsip-prinsip kerja, seperti jujur,

kerja keras, dan ikhlas, yang mungkin bila diterapkan dengan baik akan

mampu membawa seseorang menjadi kaya.

Hal tersebutlah yang diterapkan oleh HM salah seorang Jama’ah

Maiyah aktif, yang masuk dalam kategori kaya karena memiliki rumah mewah

dan beberapa mobil; bahkan memiliki usaha besar seperti meubel dan

tembakau. Memang dia tidak menjadi kaya setelah mengikuti Maiyahan, tetapi

usaha tersebut telah dirintisnya sejak muda. Tetapi HM mengaku bahwa

Page 156: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

144

Maiyahan mampu membuat dia lebih bersyukur dan rendah hati. Sehingga

mampu bergaul dengan siapapun dari golongan manapun. Orang dari

perekonomian miskin pun tidak sungkan bergaul dengan HM.

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai orang sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori kaya pun dapat menyerap berbagai

prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang

bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).

Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi

sikap religiusitas pada diri orang kaya. Berikut merupakan pemaparan dari

realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori

kaya dalam Maiyahan :

Maiyahan selalu mensosialisasikan bahwa tidak boleh seseorang

memandang orang lain berdasarkan status, kedudukan dan kelas sosialnya.

Semua orang sama hak dan kewajibanya baik kepada, Tuhan, agama dan

negara. Jadi tidak ada perbedaan antara seluruh Jama’ah Maiyah. Sehingga

orang kaya pun akan berbaur dan tidak ada perbedaan dengan yang lain dalam

Maiyahan. Oleh karena itu mengklasifikasikan kategori sosial berdasarkan

perekonomian pun cukup sulit dilakukan, karena Jama’ah Maiyah sulit

mengakui pekerjaan mereka, apalagi penghasilan dan pengeluaran mereka

perbulan. Kebanyakan mereka tidak mengaku kaya atau miskin, tetapi biasa-

biasa saja. Hal tersebut merupakan ajaran dari Maiyahan yang diinternalisasi

oleh orang kaya perihal kerendahan hati. Berpandangan bahwa tidak ada kaya

Page 157: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

145

atau miskin, bila banyak harta itu hanya titipan dari Tuhan, tidak kekal dan

tidak dibawa mati. Jadi tidak boleh membangga-banggakan harta.

Jama’ah Maiyah dari golongan kaya tidak jauh berbeda dengan

Jama’ah Maiyah yang lain. Status ekenomi rupanya tidak memberikan gap atau

kesenjangan diantara Jama’ah Maiyah. Mereka semua berteman dan

berkomunikasi tanpa adanya rasa saling canggung satu sama lain. Si kaya tidak

menunjukan kekayaannya selama Maiyahan, dan si miskin tidak sungkan

berkomunikasi dengan siapapun karena dalam Maiyahan mereka merasa sama.

Maiyahan memang mangajarkan bahwa semua orang duduk sama rendah dan

berdiri sama tinggi. Sehingga yang kaya tidak merasa dirinya sombong,

sedangkan yang miskin tidak merasa minder.

Pemaknaan orang kaya terhadap Maiyahan tidak jauh berbeda dengan

yang lain. Walaupun memiliki akses dan sumber daya lebih mereka masih

merasa butuh menambah ilmu agama dalam Maiyahan. Bahkan HM pun

menuturkan bahwa Maiyahan adalah kebutuhan hidupnya setiap bulan. Mereka

menganggap bahwa mengikuti Maiyahan menambah kemampuan bersyukur

pada Tuhan. Dalam bekerja rizki harus halal dan berkah, sehingga bekerja

harus jujur dan bersungguh-sungguh. HM mengaku pula bahwa ajaran-ajaran

yang disampaikan dalam Maiyahan mengandung prinsip agar seseorang

menjadi kaya, terutama dengan cara yang berkah dan direstui Tuhan. HM juga

selalu mengingat-ingat dan menerapkan apa yang diinternalisasinya dari

Maiyahan, bahwa segala kecurangan dan kelicikan dalam mencari nafkah atau

bekerja (teruatama dalam berdagang seperti pekerjaan HM) tidak akan

Page 158: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

146

menambah rizki seseorang; bahkan hanya akan mengurangi rizki sehingga

seseorang akan menjadi semakin miskin, karena menghapus segala berkah dari

kerja keras sebelumnya. Sebagaimana penuturan HM :

“Seperti dalam berdagang, orang tidak akan kaya biladia tidak jujur, sekeras apapun dia bekerja bila seringmelakukan riba seperti mencurangi timbangan, Tuhan tidakakan menambah rizkinya, sehingga dia akan tetap miskin”.84

Boleh dibilang bahwa seseorang akan melupakan kekayaan dan

identitasnya yang lain saat mengikuti Maiyahan. Orang kaya dalam Maiyahan

memiliki kesederhanaan dan respek yang lebih terhadap orang dengan status

sosial berbeda. Mereka cenderung rendah hati dalam mengungkapkan

kekayaanya.

6. Kategori Miskin

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori miskin dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap orang miskin

memiliki pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang

seharusnya mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas

subjektif seperti apa yang biasanya melekat pada diri orang miskin pada

umumnya. Berikut merupakan pemaparanya :

84 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30

Page 159: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

147

Bagi kaum miskin agama merupakan pembebasan, pengalaman mereka

menyadarkan bahwa manusia hanya mahluk yang serba terbatas

kemampuannya, tidak sanggup mengatasi segala rintangan. Maka jika ada

agama ataupun ideologi yang menawarkan kepadanya pembebasan dari

penderitaan mereka tidak akan menolaknya.85 Di satu sisi kaum miskin ialah

kaum yang paling rawan kehilangan imannya, tetapi disisi lain kaum miskin

juga berpeluang untuk semakin mantap kualitas imannya. Oleh karena itu

banyak kasus kriminalitas yang dilakukan oleh orang miskin seperti mencuri,

juga kasus syirik seperti meminta-minta pada makam dan pohon. Tetapi

banyak pula orang miskin yang hidupnya kental akan religiusitas sebagai

sandaran akan kesulitan hidupnya.

Agama harus berperan sebagai pegangan bagi orang miskin agar

memiliki motivasi hidup. Karena bila tidak kaum miskin akan meninggalkan

agama, dan mencari kepercayaan atau ideologi lain yang mampu menolong dan

memotivasi jiwa mereka. Religiusitas tidak akan menambah pundi-pundi harta

mereka, tetapi mereka percaya bahwa religiusitas mampu mendekatkan dirinya

pada Tuhan, sehingga Tuhan akan menolong mereka keluar dari kemiskinan.

Mereka sangat termotivasi dengan ajaran perihal barokah, rizki dan

keberuntungan yang akan mereka peroleh bila mendekatkan diri pada Tuhan.

Banyak pengajian-pengajian yang cenderung nampak seperti

diperuntukan bagi kelas-kelas tertentu, karena lokasinya yang eksklusif.

Seperti misalnya, banyak terlihat dari pengajian di televisi-televisi, dimana

peserta yang hadir nampak seragam, rapi dan berdandan mewah, bahkan

85 Ibid., Hlm: 65

Page 160: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

148

terkadang dihadiri sejumlah artis. Kaum miskin akan sungkan menghadiri

pengajian seperti ini.

Maiyahan disebut sebagai tempatnya menempa religiusitas kaum

miskin dan tertindas. Saat mengikuti Maiyahan mereka tidak dituntut

berdandan seragam dan rapi. Datang dalam Maiyahan pun gratis, hanya keluar

uang 2000 rupiah untuk warga yang menjadikan lahannya sebagai parkir. Oleh

karena itu Maiyahan merupakan kesempatan bagi kaum miskin untuk

menambah wawasan religiusitasnya, dan melupakan kesulitan-kesulitasn

hidupnya sementara dengan berbagai macam hiburan yang diberikan dalam

Maiyahan.

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai orang miskin sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori miskin pun dapat menyerap berbagai

prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang

bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).

Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi

sikap religiusitas pada diri orang kaya. Berikut merupakan pemaparan dari

realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori

miskin dalam Maiyahan :

Materi ceramah merupakan realitas objektif yang disampaikan dalam

Maiyahan. Banyak berisi pelajaran dan motivasi kepada kaum miskin untuk

terus bersyukur dan percaya bahwa kebahagiaan tidak hanya dicapai dengan

harta. Menjadi kaya tidak akan menimbulkan kebahagiaan yang hakiki bagi

Page 161: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

149

mereka. Mungkin kemiskinan saat ini ialah takdir terbaik bagi mereka. Hanya

saja dalam Maiyahan juga selalu berdoa semuga Tuhan senantiasa menambah

rizki, dan memberikan kebahagiaan walaupun bukan berupa harta.

Maiyahan senantiasa mengajarkan prinsip kesederhanaan, bahwa harta

bukan lah segala-galanya. Harta juga bukanlah sumber kebahagiaan, hanya

kedekatan dengan Tuhan lah yang mampu memberi kebahagiaan. Maiyahan

mengajarkan Jama’ah Maiyah terus bersyukur bagaimana pun kondisi mereka

saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh BN, bahwa disaat

perekonomiannya sedang down dia bertemu dengan Maiyahan. Pada saat itu

Cak Nun mengucapkan suatu perkataan yang membandingkan situasi

kehidupan Jama’ah Maiyah saat ini, bila sedang merasa miskin tidaklah

sepantasnya tidak bersyukur, karena Nabi Muhamad sebenarnya hidup jauh

lebih miskin dari kondisi kemiskinan Jama’ah Maiyah saat ini. Kata-kata

tersebut terus mengiang-ngiang di benak BN sampai saat ini. Berikut

merupakan perkataan Cak Nun yang dikutip oleh BN :

“Kalau kamu merasa miskin, itu karena kamu kurangbersyukur, Nabi Muhammad saja satu hari makan dan tiga haritidak, pantaskah kamu tidak bersyukur.”86

Kalimat tersebut memotivasi BN untuk terus bersabar dan bersyukur

bagaimanapun kondisi perekonomianya saat ini. Hingga dia menangis tersedu

dan memeluk Cak Nun. Kaum miskin merasa mendapat tempatnya disana.

Maiyahan selalu mengajarkan bahwa walaupun saat ini dalam kondisi miskin

mungkin suatu saat anak-anak atau cucu yang berkesempatan hidup lebih kaya,

86Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 162: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

150

atau pun kekayaan tersebut diganti dengan kekayaan bentuk lain, tidak hanya

kekayaan berupa harta.

Maiyahan juga memberi wawasan global bagi kaum miskin perihal

struktur yang menindas mereka, hingga mengakibatkan mereka sulit mentas

dari kemiskinan. Kesadaran kritis dibangun dengan materi yang disampaikan

dalam bahasa yang sederhana, sehingga orang miskin yang kebanyakan

berpendidikan sederhana mampu menyerap apa yang disampaikan dengan

baik.

Maiyahan juga berperan sebagai aktifitas epistemik yang

menginternalisasi berbagai wawasan pengetahuan kepada orang miskin, yang

mana wawasan pengetahuan tersebut tidak pernah mereka peroleh dilembaga

pendidikan manapun. Banyak keuntungan yang diperoleh kaum miskin dengan

mengikuti Maiyahan.

7. Kategori Pekerja

Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah

kategori pekerja dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari

(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap pekerja memiliki

pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya

mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif

seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang pekerja pada umumnya.

Berikut merupakan pemaparanya :

Page 163: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

151

Semua jenis pekerjaan, dari yang tidak punya kekuasaan sampai

kekuasaan tertinggi dan dari penghasilan paling rendah hingga penghasilan

tertinggi, semuanya mempunyai tanggung jawab, baik terhadap masyarakat,

keluarga, dan terutama kepada Tuhan. Sikap religiusitas pekerja umumnya

diperuntukan bagi tercukupinya kebutuhan ekonomi. Mereka selalu berdoa

meminta agar Tuhan memberi jalan bagi kelancaran rizkinya.

Agama memberi pegangan bagi para pekerja, seperti harus bekerja

keras dan jujur dalam usaha. Barang siapa yang menerapkan prinsip kerja

tersebut maka Tuhan akan melancarkan rizkinya. Sedangkan bila seseorang

curang dan licik dalam bekerja Tuhan akan menjauhkan dia dari rizki.

Memang terkadang pekerjaan juga membuat seseorang lupa akan

religiusitas. Misalnya terkadang seseorang cenderung menunda-nunda bahkan

meninggalkan sholat ketika telah tiba waktu sholat. Ataupun seseorang yang

selalu sibuk bekerja berangkat pagi pulang malam, seringkali membuat dia

kurang bergaul dengan keluarganya, apalagi masyarakat. Padahal bergaul

dengan keluarga dan masyarakat juga merupakan bagian dari religiusitas.

Disisi lain, kerap kali pekerjaan juga mendekatkan seseorang pada

religiusitas. Seperti bila seseorang setiap kali bekerja keras mencari nafkah,

dengan harapan mampu memperbaiki perekonomian keluarga. Pada saat ini ia

cenderung akan lebih religius dengan berdoa semuga Tuhan mengabulkan

permintaanya dengan memperbaiki rizkinya.

Atas dasar ini Maiyahan dirasa cocok bagi para pekerja untuk

menambah wawasan religiusitasnya. Sekaligus mendapat motivasi diri tentang

Page 164: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

152

sesuatu yang berada di luar batas kemampuan manusia, yaitu rizki. Manusia

hanya bisa berusaha dan Tuhan lah yang menentukan.

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai pekerja sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori pekerja pun dapat menyerap berbagai

prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang

bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).

Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi

sikap religiusitas pada diri pekerja. Berikut merupakan pemaparan dari realitas

religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori pekerja

dalam Maiyahan :

Maiyahan mampu memberikan motivasi dan pedoman yang baik bagi

para pekerja. Ajaran agama dalam Maiyahan lebih menekankan pada ajakan

untuk bersabar, ikhlas, tawakal, dan syukur. Disamping ajaran tentang mana

yang halal dan haram, mana yang diperbolehkan dan mana dianjurkan, atau

mana yang pahala dan mana yang dosa. Maiyahan juga mengajarkan

bagaimana agar seseorang tidak mudah frustasi, terutama ketika keinginan

tidak tercapai walaupun telah bekerja dengan maksimal; caranya yaitu dengan

bersyukur dan ikhlas. Dalam bekerja seseorang harus percaya bahwa semua

indah pada waktunya. Kebahagiaan tidak hanya dicapai dengan harta. Bila

dengan bekerja belum diperoleh harta yang cukup, mungkin harta tersebut akan

diganti dengan jenis kebahagiaan yang lain. Seperti pernyataan BN :

Page 165: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

153

“Bila bekerja tapi penghasilan tetap saja sedikit, orangharus bersyukur karena bila tidak dia akan mudah frustasi. Kitaharus percaya bahwa semua indah pada waktunya, bila tidakdalam hal ekonomi mungkin itu karena bukan yang terbaik,pasti Tuhan akan menggantinya dengan jenis kebahagiaan lainyang lebih baik.”87

Maiyahan juga mengajarkan prinsip tanggung jawab dalam kerja. Serta

prinsip wirausaha dengan memuliakan pelanggan dengan melayani pelanggan

dengan baik. Dengan sebisa mungkin mencontoh prinsip Rosulullah dalam

bekerja, seseorang akan mampu mencapai kebahagiaan, terlebih lagi akan

dilancarkan rizkinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Maiyahan juga berperan

bagi perekonomian. Seperti ungkapan BN pula bahwa :

“Maiyahan mengajarkan saya tanggung jawab,sehingga saya bisa melayani orang lain dalam bekerja,kerjapun harus semakin keras demi membahagiakankeluarga.”88

Bagi para pekerja Maiyahan seolah menjadi sarana untuk refresing dari

rasa penat atau kekecewaan dalam pekerjaan. Sebagaimana perkataan AD,

yang pernah mengalami kekecewaan sewaktu gagal dalam melamar kerja.

Padahal AD begitu berharap terhadap pekerjaan tersebut. Dan telah banyak

menghabiskan waktu untuk mengejar pekerjaan tersebut selama setengah

tahun. Berikut pemaparan AD :

“Saya pernah mengalami kekecewaan besar soalpekerjaan, ketika rencana saya kerja di perusahaan gagal,padahal sudah menghabiskan waktu untuk ngejar kerja diperusahaan itu selama setengah tahun. Maiyahan bisa merefres

87 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3088 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 166: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

154

saya secara psikologi dari berbagai kekecewaan dalampekerjaan seperti itu.”89

Maiyahan menempatkan dirinya sebagai ilmu agama yang mendukung

semangat kerja. Selain memberi hiburan dari penatnya lingkungan kerja.

Maiyahan menjadikan religiusitas sebagai sandaran batin, bukan hanya ritus-

ritus peribadatan. Maiyahan sangat tepat diberikan bagi para pekerja yang

sering dihinggapi kegelisahaan batin karena tekanan didunia.

8. Kategori Mahasiswa

Pembahasan perihal dinamika sikap religius kategori mahasiswa

dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari (sebelum dia

mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan merupakan

sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap mahasiswa memiliki

pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religius yang seharusnya

mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religius subjektif seperti

apa yang biasanya melekat pada diri seorang mahaswa pada umumnya. Berikut

merupakan pemaparanya :

Rata-rata mahasiswa ialah pemuda, sebagaimana pemuda mereka

dalam masa mencari jati diri. Mahasiswa menempuh jalan pendidikan tinggi

untuk mempersiapkan masa dewasa mereka. Masa muda menuntut mereka

banyak melakukan trial and error, kegagalan demi kegagalan mengiringi

perjuangan mereka. Perkembangan mereka sebagai pemuda menuntut

89 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00

Page 167: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

155

pencarian jati diri yang menguras pikiran dan tenaga. Mereka harus berusaha

keras menyiapkan masa depan mereka, sesuai tuntutan keluarga dan

masyarakat. Tak jarang mereka merasa gelisah dan frustasi karena tidak bisa

memandang masa depan dengan pasti. Mereka memerlukan pegangan dan

nasehat sebagai motivasi disaat mereka diterpa kegelisahan atas masalah yang

tidak bisa mereka pecahkan. Salah satu yang mereka perlukan ialah motivasi

religiusitas. Saran-saran religiusitas seperti sholat, mengaji, dan berdoa akan

mereka terima untuk mencari ketenangan batin.

Tetapi sikap religiusitas mereka belum stabil, terkadang lebih religius

ketika gelisah, dan terkadang melupakan religiusitasnya ketika terlalu

bersenang-senang. Seperti ungkapan HS, kadang saat asik berkomunikasi

dengan pacarnya, sampai hampir terlewat batas waktu sholat. Begitu pula MF,

yang sering hampir kelewat batas waktu sholat ketika sedang asik mengobrol

dan berorganisasi. Tetapi latar belakang dan pengalaman religiusitas

mahasiswa sewaktu sosialisasi primer menentukan tingkat kesadaran akan

keharusan mereka bersikap religiusitas. Sulit hilang walaupun mereka telah

banyak terinternalisasi wawasan-wawasan baru diluar religiusitas.

Selain itu, lingkungan pergaulan juga mempengaruhi preferensi tentang

sikap religiusitas mahasiswa, seperti keputusan memakai jilbab gaul atau jilbab

besar, atau mengikuti organisasi keagamaan atau organisasi non-keagamaan,

dan lain-lain.

Termasuk juga preferensi mahasiswa untuk memilih Maiyahan sebagai

salah satu sumber motivasi religiusitas. Kebanyakan Mahasiswa mengikuti

Page 168: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

156

Maiyahan karena mereka lebih tertarik terhadap aktivitas diskursus yang

mengkaji isu sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Dari pada

pengajian yang hanya berkutat pada ritus-ritus keagamaan, mereka lebih

tertarik dengan pengajian yang mampu memberi wawasan global selain

wawasan spiritual.

Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana

seharusnya mereka bersikap sebagai mahasiswa sesuai dengan kaidah-kaidah

religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori mahasiswa pun dapat menyerap berbagai

prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang

bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).

Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi

sikap religiusitas pada diri mahasiswa. Berikut merupakan pemaparan dari

realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori

mahasiswa dalam Maiyahan :

Maiyahan menjadi pilihan yang menarik bagi Jama’ah Maiyah kategori

mahasiswa. Tentu karena Maiyahan merupakan pengajian yang tidak hanya

menambah wawasan religiusitas, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan. Lagi

pula Maiyahan juga selalu melatih mahasiswa untuk berfikir kritis,

menganalisis segala permasalahan di dunia dengan mengandalkan kekuatan

pikiran. Aktifitas kritis seperti ini tidak banyak didapatkan mahasiswa dari

pengajian-pengajian lain. Aktifitas selain pengajian pun jarang mengajak

kepada aktifitas berfikir kritis seperti ini. Bahkan kampus pun juga lebih sering

membuat pikiran mahasiswa terkotak-kotak dan terkekang. Sehingga

Page 169: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

157

mahasiswa hanya berpikir sempit dan mudah percaya dengan berbagai

kebohongan yang menyengsarakan kaum-kaum tertindas. Dikhawatirkan

kampus malah menjadi agen yang mencetak mahasiswa yang kaku dan sempit

dalam wawasan berpikir. Hal ini tentu berbeda sekali dengan apa yang

diajarkan Maiyahan. Dimana Maiyahan selalu mengajak mahasiswa untuk

berpikir kritis, terbuka dan mendalam. Menembus segala sistem yang telah

mapan, dan mencari akar permasalahan yang selama ini menimbulkan

problem. Sebagaimana perkataan MF :

“Maiyahan tidak lantas membuat saya berfikir sempit,tetapi malah membangun daya berpikir kritis saya, menjadikansaya lantas tidak mudah percaya begitu saja dengan sistemyang telah mapan. Berbeda dengan kampus yang kadangcenderung terlalu berpihak pada kanan atau pemerintah”.90

Maiyahan pun selalu aktif melibatkan mahasiswa dalam aktifitas

diskusinya dengan kesempatan bertanya dan mengutarakan pendapat. Sehingga

tidak salah bila mungkin dikatakan bahwa rata-rata Jama’ah Maiyah ialah

mahasiswa, atau paling tidak seseorang yang pernah mengenyam pendidikan

universitas.

Maiyahan juga tidak hanya forum religiusitas, tetapi juga disana

merupakan ruang publik bagi siapapun untuk mampu dan berani berfikir bebas

tanpa adanya kekangan. Boleh dibilang bahwa Maiyahan ialah forum

demokrasi yang sebenarnya. Maiyahan selalu mengajarkan mahasiswa untuk

tidak bosan-bosanya belajar. Selain itu Maiyahan juga merupakan forum ilmu,

ilmu apapun bahkan yang tidak diperoleh mahasiswa saat di kampus. Seperti

ungkapan MF kembali bahwa :

90 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 170: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

158

“Maiyahan merupakan forum ilmu, seperti sekolahtempatnya belajar. Belajar apapun mulai dari ilmu sosial,politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Terakhir kali malahbelajar soal musik jazz”.91

Maiyahan memberi pengetahuan baru bagi para mahasiswa, entah itu

pengetahuan religiusitas, politik, ekonomi, musik, budaya, dan lebih banyak

lagi. Keseluruhan tentu sangat berguna bagi diri dan studi mahasiswa.

Mahasiswa pun menjadikan Maiyahan sebagai salah satu opsi penting dalam

mencari ilmu untuk bekal masa depan.

B. Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah

Implementasi merupakan pelaksanaan terhadap apa yang telah dipelajari.

Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah merupakan bentuk pelaksanaan, atau

eksternalisasi, baik sejak seseorang belum mengikuti dan menjadi Jama’ah Maiyah

hingga seseorang tersebut telah mengenal, mengikuti dan menjadi Jama’ah Maiyah.

Uraian selengkapnya akan diterangkan dibawah ini :

1. Praktik Religiusitas

Agama memberi kepercayaan bagi pemeluknya, sebagai jalan untuk

mengatasi ketidakpastian, kelangkaan dan ketidakmampuan. Dimana hal itu

sering mengakibatkan gelisah dan frustasi dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan akan kehidupan setelah mati dijadikan landasan bagi tindakan-

91Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00

Page 171: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

159

tindakan reliugius. Bahwasanya hidup ditentukan oleh amal ibadah didunia,

sehingga menentukan apakah seseorang akan berada di surga atau neraka

kelak.

Esensi dari sifat manusia ialah percaya pada hal-hal diluar nalar

manusia. Bahwa terdapat suatu kekuatan besar yang mengatur seluruh

kehidupan alam semesta. Menyebabkan kepercayaan manusia terhadap doktrin

agama atas Tuhan Yang Maha Esa, surga, neraka, malaikat, iblis, dan

seterusnya.

Terdapat ungkapan religiusitas jawa bahwasanya “urip iku namung

mampir ngombe”. Artinya “hidup didunia hanya sebentar seperti minum”,

sehingga manusia harus beragama sebaik mungkin dalam kehidupan di dunia,

agar kelak dapat hidup di surga selamanya. Ketika mampir ngombe di dunia,

manusia berhubungan dengan manusia-manusia lain. Sehingga agama

mengajarkan pula, selain tata cara peribadatan, juga kaidah-kaidah hubungan

sosial dengan sesama manusia. Seperti misalnya, kewajiban untuk berzakat

fitrah sebagai tanda bahwa agama mengajarkan untuk saling berbagi dengan

orang miskin, kewajiban menghormati kedua orang tua sebagai tanda bahwa

agama memberi dasar bagi keselarasan hidup, kewajiban memuliakan anak

yatim sebagai tanda bahwa agama peduli terhadap orang yang tidak mampu,

kewajiban untuk berusaha keras sebagai tanda bahwa agama mengajarkan

rasionalitas dalam ekonomi, dan seterusnya. Bahwasanya agama diturunkan

atau diciptakan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Aspek sosiologis

Page 172: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

160

agama berperan dalam hal ini, menganalisis peri kehidupan antar manusia

sesuai tuntunan agama.

Manusia melalui berbagai dinamika hidup untuk mengenal religiusitas,

walaupun kebanyakan agama ialah warisan turun-temurun. Hal tersebut

menjadikan Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.

Agama selalu terkait dengan faktor perkembangan kepribadian, dari

anak-anak, muda, lalu dewasa. Pada masa kanak-kanak seseorang mulai

melalui tahap internalisasi agama pertamanya dari orang tua. Tahap

selanjutnya internalisasi ini ditambahkan oleh lingkungan sekitar, misalnya

lingkungan desa yang religius, yang mengajak si anak bersama teman-

temannya mengikuti tradisi-tradisi peribadatan seperti Yasinan, Tahlilan,

Istighosah, selapanan, dan lain-lainnya. Internalisasi religiusitas si anak

diperoleh pula dari lembaga-lembaga pendidikan formal sekolah, maupun

lembaga pendidikan informal seperti sekolah Diniyah ataupun pesantren.

Tetapi intensitas internalisasi religiusitas tersebut tidaklah sama antara

satu orang dengan orang lain. Bisa saja seseorang hanya memperoleh

internalisasi religiusitas dari orang tua saja, atau dari sekolah saja, atau

memperoleh internalisasi religiusitas dari lingkungan saja, tanpa memperoleh

dari orang tuanya. Keseluruhan memungkinkan seseorang memutar balikan

sikap religiusitasnya, seperti yang terjadi pada seorang muallaf. Atau pun

memadukan sikap religiusitas yang sesuai, asal sikap religiusitas tersebut

dimiliki dan berlaku universal antar berbagai agama. Seperti sikap religiusitas

yang tercermin dari sikap baik dalam bergaul dan bersosialisasi.

Page 173: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

161

Seseorang yang melalui banyak pengalaman religiusitas dalam

sosialisasi primer akan cenderung memegang religiusitas. Lebih menerapkan

religiusitas sebagai landasan hidupnya. Berbeda dari seseorang yang kurang

kurang memperoleh sosialisasi primer sikap religiusitas akan cenderung kurang

memiliki kebutuhan akan religiusitas. Sehingga dia akan mencari dan

menentukan sendiri ideologi-ideologi yang akan dijadikan landasan hidupnya.

Seseorang yang banyak memperoleh pengalaman religiusitas selama

sosialisasi primer akan cenderung memilih cara bersosialisasi sesuai dengan

kaidah religiusitas. Bila seseorang sejak kecil telah terbiasa diajarkan

menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Akan menganggap bahwa

kekerasan dalam menegakan agama adalah sesuatu yang salah. Walaupun

dengan berbagai dalil yang diucapkan, untuk membujuknya, dia cenderung

tidak terjurumus dengan sikap religiusitas yang bertentangan dengan sikap

religiusitas yang diajarkan sejak kecil tersebut.

Pada umumnya, sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menjadikan agama

tidak akan lepas dari pengaruh budaya, tetapi menjadi filter bagi masuknya

budaya. Mereka terbuka terhadap budaya apapun di luar religiusitas, selama

budaya tersebut tidak melenceng dari agama. Lagi pula dasar agama Indonesia

juga bukanlah Islam, seperti di Negara-negara Timur Tengah

Budaya masyarakat juga mengatur tingkah laku atas gender, dimana

laki-laki masih dianggap lebih mampu daripada wanita. Tetapi agama

memandang keduanya memiliki posisi yang setara, dan memiliki kewajiban

masing-masing dalam beragama. Seperti laki-laki yang wajib dikhitan, wajib

Page 174: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

162

mandi besar setelah mimpi basah, wajib sholah jumat, dan seterusnya.

Sedangkan wanita yang tidak diperbolehkan beribadah ketika haid, tidak

diperbolehkan puasa ketika haid, tidak diwajibkan sholat jumat, dan

seterusnya. Posisi agama atas gender berkomparasi dengan budaya, seperti

tidak baik keluar rumah “surub-surub” atau menjelang maghrib, tidak boleh

makan di depan pintu karena bisa sulit jodoh, laki-laki adalah kepala keluarga

dan pencari nafkah, serta wanita ditabukan keluar dan pulang larut malam.

Tradisi-tradisi budaya tersebut kerap di legitimasi agama, dan menjadi tradisi

umat beragama pula.

Agama selain terkait dengan faktor perkembangan kepribadian dan

budaya, juga terkait dengan faktor ekonomi. Hidup dalam kemiskinan dan

keterpurukan karena rendahnya tingkat perekonomian sering membuat manusia

frustasi. Agama memainkan peran penting disini sebagai sandaran, karena

kepercayaan akan pertolongan Tuhan. Manusia percaya bahwa Tuhan ialah

pencipta segala yang ada di alam semesta. Tuhan dengan mudah merubah

nasib seseorang jika dia mau berdoa, beribadah, dan melakukan berbagai

syariat agama. Kelebihan ajaran agama inilah yang membuat agama tetap eksis

dalam masyarakat, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang hidup

dalam kondisi serba sulit dan miskin.

Selain itu, religiusitas juga tidak lepas kaitan dengan faktor pendidikan.

Religiusitas akan dimaknai secara lebih rasional, sesuai dengan jenis dan

tingkat pendidikan yang diperoleh. Seseorang dengan pendidikan rendah

cenderung untuk menjadi miskin, karena tidak mampu mengakses potensi-

Page 175: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

163

potensi ekonomi. Sebagaimana orang miskin, dia akan berpeluang menjadi

semakin religius, seperti yang disampaikan dalam dua paragraph diatas. Tetapi

dia juga berpeluang menjadi semakin jauh dari kaidah-kaidah religiusitas.

Karena agama dianggap tidak mampu menjadi sandaran, dan dia menemukan

sandaran lain di luar agama, yang kadang menyalahi kaidah agama. Disisi ini

pendidikan dan kemiskinan berkolerasi kuat terhadap perkembangan

religiusitas.

Agama memiliki ajaran-ajaran dalam mengatasi berbagai masalah

dalam kehidupan sehari-hari, dan memberi kenyamanan manusia dalam hidup.

Tetapi tidak semua lembaga-lembaga agama mampu mensosialisasikan fungsi

agama sesuai perkembangan kepribadian, budaya, perekonomian dan

pendidikan. Dalam implementasi religiusitasnya, paling tidak Jama’ah Maiyah

berpendapat bahwa Maiyahan mampu memberi inspirasi religiusitas, sehingga

mampu memberikan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Timbulnya Religiusitas

Awal seseorang mengenal religiusitas ialah saat sosialisasi primer.

Sosialisasi primer diperoleh tidak hanya ketika seseorang masih kanak-kanak.

Tetapi mungkin juga baru saja beranjak muda atau dewasa. Sosialisasi tersebut

merupakan pelajaran pokok pertama yang menjadi pondasi dan landasan dasar

bagi keputusan diterima atau tidaknya internalisasi dari sosialisasi sekunder.

Page 176: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

164

Sosialisasi primer ini dapat diperoleh dari mana saja seperti dari orang tua,

guru, buku, pendidikan, dan lain-lain.

Sosialisasi primer akan tertanam kuat pada pribadi seseorang, sulit

lepas walaupun telah mendapat pengaruh eksternal dari sosialisasi sekunder.

Tetapi sosialisasi sekunder cenderung akan mudah diterima bila sesuai dan

identik dengan sosialisasi primer. Maksudnya sikap religiusitas yang diperoleh

sejak sosialisasi primer akan tertanam kuat, sulit diubah. Tetapi bila sikap

religiusitas yang diperoleh saat sosialiasi sekunder ternyata sesuai dan identik

dengan sikap religiusitas yang diperoleh ketika sosialisasi primer, tidak

mengubah kemungkinan bahwa seseorang akan memadukan diantara

keduanya. Seperti pengalaman AD, walaupun dia merupakan mualaf yang baru

masuk agama Islam ketika berumur 12 tahun tetapi dia merasa memiliki

kecocokan dengan Maiyahan. Padahal dia tidak pernah mendapat internalisasi

religiusitas agama Islam dengan baik sejak kecil, hanya sedikit saja dari ayah

yang abangan. Berikut ungkapan AD :

“Ayah saya abangan, Ibu saya Katolik, jadi saya sedikitsekali menerima pengetahuan agama, hanya dari Ayah. Lagipula saya awalnya Katolik dan baru masuk Islam ketikaberumur 12 tahun. Biar demikian saya sangat senang mengikutiMaiyahan.”92

AD tidak banyak memiliki pengalaman religiusitas agama Islam,

Apalagi pengalaman religiusitas yang bersifat ritus-ritus keagamaan seperti

ilmu fiqih dan Quran dan Hadist. Bahkan ketika masih Katolik AD malah aktif

menerima pengalaman religiusitas agama Katolik, sering ikut kebaktian di

Gereja dan kumpul-kumpul dirumah Romo. Tapi AD merasa sejak lama telah

92 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00

Page 177: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

165

memperoleh prinsip-prinsip religiusitas, yang berlaku sama dalam seluruh

agama yaitu prinsip sosial kemanusiaan sebagai dasar dari religiusitas. Apalagi

ditambah minat AD yang condong pada ilmu sosial.

AD mengaku semakin peka terhadap kehidupan sosial. Aktifitas

religiusitas dititik beratkan dalam aktifitas kebaikan dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan. Satu prinsip dan sikap religiusitas yang sama antara

religiusitas agama Katolik yang pernah dipeluknya dengan minatnya terhadap

ilmu sosial dan kemasyarakatan. Sikap religiusitas yang ditawarkan Maiyahan,

membuat dia sangat senang mengikuti Maiyahan. Sehingga saat ini AD merasa

benar-benar telah beragama Islam. Seperti pengakuanya :

“Dari segi psikologis saya sekarang sudah benar-benar Islam.”93

Selain pengalaman AD, dimana hal ini lebih umum terjadi dalam proses

timbulnya religiusitas dari pada yang terjadi ialah religiusitas yang dibentuk

oleh orang tua kepada seseorang ketika kanak-kanak.

Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga religius cenderung

terdorong mengidentifikasi dirinya sesuai keluarganya. Sehingga perilaku anak

tersebut mencerminkan perilaku religius keluarga. Bila keluarganya religius

maka seseorang akan cenderung religius. Eratnya hubungan anak dengan

keluarga atau orang tuanya menjadi saat yang tepat bagi internalisasi

religiusitas bagi si anak.

Religiusitas si anak akan terbawa hingga masa remajanya sebagai

relitas objektif, yang diyakini dan dilaksanakan sebagai suatu kebenaran.

Tetapi bukan berarti pengaruh eksternal tidak berdampak pada dirinya.

93 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00

Page 178: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

166

Pergaulan dan informasi yang diperoleh dari luar kelompok primer seringkali

di internalisasi oleh remaja tersebut sebagai realitas objektif pula. Pada saat ini

wawasan seseorang akan semakin luas, dalam artian wawasan religiusitas

maupun non-religiusitas.

Pengaruh internal maupun eksternal menjadi pertimbangan bagi

pengambilan sikap seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Krech dan

Crutchfield bahwa sikap seseorang terbentuk berdasarkan penglihatannya atas

apa yang ia jumpai baik kearah yang menguntungkan maupun tidak

menguntungkan. Tetapi pengaruh religiusitas akan bertahan paling lama dalam

sistem tingkah lakunya dari pada pengaruh non-religiusitas dari luar.94

Pengaruh religiusitas semasa kanak-kanak ini akan mewarnai kehidupan dan

sikap seseorang dimasa muda dan dewasanya.

Sebagaimana dalam penelitian ini, sebelum seseorang mengenal dan

mengikuti Maiyahan, seseorang jama’ah sebenarnya tidak menjadikan

Maiyahan sebagai kelompok primer dalam sosialisasi religiusitasnya. Dia tidak

memulai wawasan religiusitasnya dari awal dalam Maiyahan, tetapi telah

memiliki landasan religiusitas subjektif sejak masa kanak-kanaknya. Maiyahan

menjadi pertimbangan sikap religiusitasnya. Terlebih Maiyahan sebagai

wahana seseorang kembali mengenal dan mengembangkan religiusitas yang

sebenarnya telah terinternalisasi dalam diri seseorang sejak kanak-kanak.

Seperti BN yang menyatakan bahwa sebelum mengikuti Maiyahan,

sejak kanak-kanak ia sudah diajarkan religiusitas oleh keluarganya. BN berasal

dari kalangan NU(Nahdhatul Ulama), bapak ialah fanatik NU, juga adik BN

94 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hlm.104

Page 179: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

167

yang pernah menjadi banser NU.95 BN mewarisi ajaran NU dari bapaknya, lalu

membawanya dalam HMI(Himpunan Mahasiswa Islam) semasa kuliah. Tetapi

BN merasa agama hanya menjadi warisan keluarga, BN tidak mampu meresapi

perihal agama sesungguhnya, hanya melaksanakan sebagai keharusan semata.

Setelah lulus kuliah, BN bekerja di Batik Keris Laweyan Solo. Tidak

lama setelahnya BN segera mendapatkan istri dan menikah. BN bekerja di

Batik Keris sejak tahun 1989 hingga 2000, dikaruniai dua orang anak, dan

tinggal sekeluarga mengontrak rumah di Solo. BN mengaku bahwa hidupnya

terasa membosankan, tidak menemukan dunia dan tidak menemukan akhirat.

BN merasa tidak berbahagia semasa itu. Akhirnya BN memutuskan keluar dari

pekerjaan dan kembali ke Jogja mengajak seluruh keluarganya. Sebagai

pengangguran masa ini terasa berat bagi BN, perekonomian terguncang karena

tidak ada pekerjaan tetap. BN bekerja serabutan, pernah sebagai supir dan

buruh bangunan, asal bisa buat makan dan minum keluarga. Motor satu-

satunya terpaksa dijual untuk menutupi hutang bank. Hingga akhirnya BN

terpaksa meminjam motor dari adik untuk bekerja seadanya.

Penghujung tahun 2000, akhirnya BN mengenal Maiyahan berkat

secara tidak sengaja mendengar pengajiannya di radio. Karena tersentuh sejak

awal mendengarkan di radio, BN lantas menelepon pihak radio dan

menanyakan lokasi Maiyahan, BN pun melacak hingga akhirnya menemukan

lokasi Maiyahan. BN mengaku apatis saat pertama kali mengikuti Maiyahan,

95 Banser adalah barisan pemuda NU yang dikenal dengan penampilannya, mulai dari pakaian, sepatu,topi, hingga atribut-atribut lainnya, yang mirip dengan pasukan militer. (Diakses dari,http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40610-lang,id-c,nasional-t,Banser+NU-.phpx.Pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)

Page 180: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

168

hanya menonton dari pinggir pagar, tetapi pada akhir acara BN tergugah

hatinya. Apa yang disampaikan dalam Maiyahan mampu mewakili dirinya

sebagai manusia yang sedang gelisah. Doa-doa yang dipanjatkan Cak Nun

mewakili posisi dirinya sebagai orang miskin. Pada saat itu BN menangis,

langsung maju kedepan dan naik keatas panggung, lalu memeluk Cak Nun. BN

mengaku menemukan ketenangan batin dalam Maiyahan, dan sejak saat itu BN

aktif mengikuti Maiyahan. Hingga sekarang hanya tiga kali BN tidak hadir

dalam Maiyahan.

Keterangan hampir serupa diperoleh dari informan-informan lain,

dengan kisah hidup beragam. Keseluruhan menunjukan adanya dinamika

religiusitas yang mewarnai kehidupannya. Sebagian informan mengaku

memiliki bekal ilmu religiusitas sejak kecil diajarkan oleh orang tuanya. Walau

pada masa muda mereka sempat tergoncang karena masalah hidupnya, tetapi

bekal ilmu religiusitas sejak kecil melekat hingga akhirnya mampu membawa

mereka kembali pada arus religiusitas. Walau dalam taraf berbeda dari

religiusitas yang mereka pelajari sejak kecil, religiusitas sekarang ternyata

mampu membuat mereka nyaman. Berbagai latar belakang dan kisah hidup

menentukan preferensi seseorang dalam hidupnya, termasuk dalam religiusitas.

Maiyahan mampu menjadi pilihan bagi Jama’ah Maiyah kembali

memperdalam religiusitas.

Page 181: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

169

4. Religiusitas dalam Lingkungan dan Keluarga

Keluarga memerankan fungsi-fungsi pokok yang sulit dirubah dan

digantikan orang lain, dimana terjadi sejak seorang anak dilahirkan. Fungsi-

fungsi tersebut diantaranya:96 1) fungsi biologik, yaitu tempat dimana orang tua

melahirkan anak-anaknya. 2) Fungsi afeksi, yaitu dimana terjadi hubungan

sosial yang penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, sehingga timbullah

hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, dan persamaan

pandangan tentang nilai-nilai, yang penting bagi perkembangan pribadi anak.

3) Fungsi sosialisasi, tempat dimana anak membentuk kepribadiannya dengan

mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai

dalam masyarakat melalui keluarganya. Ketiga fungsi keluarga ini merupakan

sosialiasasi primer yang akan mempengaruhi pembentukan pribadi anak.

Internalisasi primer banyak diberikan ketika seseorang kanak-kanak.

Salah satunya ialah internalisasi religiusitas, tetapi seiring keterbatasan waktu

dan wawasan religiusitas, keluarga akan melibatkan anak dalam lingkungan

yang menyediakan pendidikan, pengalaman dan pelatihan agama. Sehingga

terjadilah proses sosialisasi selanjutnya berupa internalisasi religiusitas

terhadap si anak oleh lingkungannya.

Dalam era kontemporer saat ini dengan masivnya arus informatika,

sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral si anak. Pada masa muda

dan dewasa peran orang tua, cenderung berkurang digantikan oleh lingkungan

dan teman sepermainan. Seperti masa muda, tingkah laku lebih didorong oleh

96 Khairuddin. Sosiologi Keluarga. (Yogyakarta: Liberty, 2008). Hlm: 48-49

Page 182: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

170

keingintahuan sesuai naluri masa transisi dari muda ke dewasa. Sedangkan

masa dewasa lingkungan kerja sangat mempengaruhi kepribadian seseorang.

Walau demikian, lingkungan tidak selalu menjadi faktor utama penentu

sikap religiusitas seorang pemuda dan dewasa. Melainkan pengalaman religius

subjektif sejak dini, yang akan menjadi filter terhadap pengaruh lingkungan di

luar religiusitas. Data serupa diperoleh berdasarkan penelitian ini, dimana

beberapa Jama’ah Maiyah sebenarnya telah memiliki pondasi religiusitas sejak

dini. Tetapi patut menjadi catatan, bahwa bukan lah pondasi religiusitas

menurut ritus-ritus peribadatan, tetapi lebih pada pondasi religiusitas yang

identik dengan sikap religiusitas Maiyahan.

Terdapat beberapa informan menyatakan bahwa sebenarnya sosialisasi

religiusitas telah mereka peroleh sejak dini. Mereka dibesarkan dalam keluarga

yang taat beragama, juga diajarkan oleh orang tua, pendidikan formal maupun

informal. Tetapi religiusitas yang diperoleh sejak dini tidak hanya diukur

berdasarkan kualitas dan kuantitas prosesi peribadatan. Melainkan telah

tercampur dengan adat dan tradisi, norma dan nilai dalam lingkungan

masyarakat. Kebanyakan unsur religiusitas telah berpadu dalam kearifan lokal

dan nilai-nilai hidup tertentu seperti sikap jujur, tekun dan usaha keras. Seperti

ungkapan DE :

“Orang tua sendiri lebih ngajarin religiusitas dari seginilai-nilai hidup, seperti hidup harus selalu jujur, tekun dalamberusaha, dan lain-lain.”97

97 Wawancara DE pada 18 Juni 2013, pukul 20.00

Page 183: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

171

Berdasarkan kategori sosial menurut usia, misalnya antara dewasa dan

pemuda. Jama’ah Maiyah usia muda cenderung memiliki tingkat intelektualitas

yang mumpuni, karena posisi mereka sebagai mahasiswa atau sarjana.

Memungkinkan mereka mampu mencari konsep religiusnya sendiri yang

sesuai dengan minat dan pengetahuannya. Pengaruh lingkungan terhadap

pemuda cenderung lebih besar dari pada pengaruh keluarga, baik pemuda yang

jauh dari keluarga maupun pemuda yang tinggal bersama keluarga. Karena

pemuda cenderung merasa ingin mandiri dan memutuskan sendiri

keinginannya untuk bersikap, bergaul, dan bersosialisasi.

Pemuda memiliki pengalaman yang khas perihal sikap religiusitas,

yang ternyata identik dengan sikap religiusitas Maiyahan. Sehingga perilaku

dan keputusannya tidak akan jauh melenceng dari. Terlihat dari mengikuti

Maiyahan.

Seperti pengalaman HS, seorang gadis berusia 20 tahun. Lahir dari

keluarga yang cukup mengenal agama. Sejak SMP, SMA, hingga kuliah saat

ini dia selalu tinggal di Pondok Pesantren. Pendidikan agama lebih banyak ia

dapatkan di pesantren dari pada keluarga. Tetapi walaupun begitu pondasi awal

yang melatarbelakangi HS tinggal di pesantren juga atas usulan keluarga.

Pengalaman religiusitas sejak lama memberikan pengetahuan subjektif

tersendiri, sehingga ia tertarik terhadap Maiyahan. Walau lingkungan

universitas memberikan pengaruh perihal kebebasan perilaku, penampilan dan

keputusan, tetapi HS mengaku selektif terhadap pengaruh dari luar tersebut,

Page 184: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

172

hanya mengambil positifnya asal masih sesuai dengan etika dan kaidah

berdasarkan pengetahuan subjektif yang ia peroleh semasa di pesantren.

Begitu pula MF, MF berasal dari lingkungan keluarga yang biasa-biasa

saja religiusitasnya. Hanya saja selalu keluarga mengajarkan untuk melakukan

syariat-syariat agama sejak MF kecil. Tetapi keluarganya bukanlah kalangan

yang ekstrim dalam beragama. MF cukup aktif dalam aktifitas keagamaan.

Sejak SD, SMP, SMA hingga sekarang dia terlibat aktif dalam aktifitas

pesantren. Ajaran orang tua menganjurkan dia mendalami ilmu di pesantren.

Sehingga pengalaman religiusitas MF banyak diperoleh dari pesantren. Posisi

dia sebagai anak pesantren dan mahasiswa, membuat dia banyak berpikir

perihal religiusitas yang tidak tepat dalam masyarakat.

Pengaruh lingkungan akademis pemuda pemikiran serta wawasan

religiusitasnya. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, mereka lebih

mengungkapkan religiusitas terkait aktifitas budaya, politik dan perekonomian

masyarakat, daripada religiusitas perihal prosesi peribadatan dan penerapan Al-

Quran dan Hadist.

Sedangkan pada kategori dewasa, religiusitas tidak hanya berpengaruh

terhadap dirinya, tetapi mereka telah menjadi agen yang mengembangkan

religiusitas dilingkungan dan keluarga mereka. Mereka telah memiliki posisi

dan peran dalam masyarakat, serta diakui keberadaannya sebagai bagian dari

masyarakat. Pengaruh lingkungan terhadap dirinya memang sering terjadi,

tetapi mereka telah memiliki kedewasaan dalam beragama, karena dituntut

untuk memberi contoh pada anak-anak dan keluarga mereka.

Page 185: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

173

Seperti ungkapan MD, bahwa dia merupakan penggerak paguyuban

religiusitas didesanya. Dahulu, banyak warga di desanya yang gemar mabuk,

dan takut ke Masjid. Kesadaran MD akan religiusitas membawa panggilan

untuk menyadarkan pemabuk-pemabuk tersebut. Dengan metode bergaul

dengan pemabuk-pemabuk, MD berperan sebagai penuang minuman keras

pada gelas-gelas mereka. Setelah mabuk dan sadar, sedikit demi sedikit MD

mulai mengajarkan religiusitas pada mereka. Lama-kelamaan metode MD

berhasil menyadarkan pemabuk-pemabuk tersebut. Hingga akhirnya mereka

berhenti mabuk, sering membaca Al-Quran di Masjid dan sering mengikuti

siraman-siraman religiusitas sederhana di pondokan yang dibangun MD di

dekat rumahnya. Saat ini, ketika pemabuk-pemabuk didesanya telah berkurang,

hampir setiap malam banyak orang datang ke rumah MD untuk meminta doa,

nasehat dan arahan seputar masalah hidup. Kategori dewasa cenderung

memberi pengaruh religiusitasnya terhadap lingkungan, dan begitu pula

keluarga dan anak-anaknya secara tidak langsung akan menjadikannya panutan

sebagai dasar religiusitas.

3. Religiusitas dalam Bersikap

Sebagaimana lembaga religiusitas pada umumnya, Maiyahan mengajak

Jama’ah Maiyah untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Ibadah menjadi

metode penting dalam usahanya. Rangkaian acara ibadah Maiyahan terdiri dari

doa-doa dan shalawat, dengan tujuan mengingat Tuhan dan Rasulnya.

Page 186: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

174

Aktifitas diskusi, musik, puisi, dan lain-lainnya ialah sarana bagi

tersampaikannya ajaran religiusitas dengan mudah.

Ibadah dapat berupa hubungan transendental dengan Tuhan melalui

shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Tetapi ibadah juga dapat berupa

hubungan dengan sesama manusia, seperti menghormati orang tua, membantu

orang yang kesulitan, mencari ilmu, bekerja dan berbagai kegiatan bertujuan

baik lainnya, bahkan hingga mengambil duri dari jalan. Segala aktifitas akan

menjadi ibadah bila bertujuan baik dan mengharap kebaikan Tuhan, bukan

karena gengsi, pamer, pencitraan, dan lain-lain. Begitu pula Maiyahan,

dianggap sebagai aktifitas ibadah oleh Jama’ah Maiyah. Disana mereka

memperoleh banyak kebaikan seperti ilmu, doa dan shalawat. Selain itu,

Maiyahan juga memberikan pelajaran untuk menyikapi aktifitas sehari-hari

sebagai ibadah. Seperti ungkapan BN bahwa :

“Baik saat kerja, jalan, bahkan kencing harus ingatAllah, semua akan menjadi ibadah”.98

Maiyahan juga merubah pola pikir para mahasiswa, yang membuktikan bahwa

Maiyahan bukan hanya sekedar pengajian, tetapi aktifitas yang mencerdaskan.

Seperti ungkapan MF yang mendapat pelajaran bahwa tidak boleh menilai

seenaknya dan berfikir sempit. Maiyahan menggali potensi kritis MF sehingga

dia tidak mudah percaya begitu saja dan mampu berfikir lebih mendalam dan

tajam. Berikut penuturan MF:

“Manfaat Maiyahan yang saya rasakan ialah sekarangsaya tidak lantas berfikir sempit dan terkoyak, Maiyahan

98 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 187: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

175

membuat saya mampu berfikir meluas dan mendalam, saya jadilebih kritis dan tidak mudah percaya”.99

Sebagaimana pengakuan para informan, Jama’ah Maiyah mengaku

bahwa dirinya memperoleh perubahan tersendiri dalam bersikap, walau

kemungkinan bentuk dan substansinya dapat berbeda-beda. Tetapi intinya

Maiyahan mampu menjadikan sikap Jama’ah Maiyah semakin religius dalam

menanggapi segala aktifitas duniawi.

4. Religiusitas dalam Kerja dan Usaha

Terdapat suatu hubungan yang saling mendukung antara sikap

religiusitas dengan sistem perilaku kerja. Dimana perilaku kerja diperuntukan

bagi usaha memperoleh komersil. Dengan kata lain ialah perihal “etos kerja”

masyarakat religius. Etos, menurut Geertz100 adalah sikap yang mendasar

terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif,

yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa dinyatakan: Apakah kerja dalam

hal yang lebih khusus, usaha komersil, dianggap sebagai suatu keharusan demi

hidup, atau sesuatu yang impretatif dari diri, ataukah sesuatu yang terikat pada

identitas diri yang telah bersifat sakral? Identitas diri dalam hal ini adalah suatu

yang telah diberikan oleh agama.101

99 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00100 C, Geertz. Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols, dalam Interpretation of Culture.(New York : Basic Book, 1973). Hlm 126-127.101 Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES, Buku Obor,1978) Hlm: 3

Page 188: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

176

Agama memainkan perannya sebagai sandaran bagi masyarakat miskin.

Agama mengajarkan bahwa kerja keras ialah jalan meraih perbaikan ekonomi

yang dicita-citakan. Tuhan memerintahkan untuk bekerja keras, karena Tuhan

tidak akan merubah nasib seseorang bila dia tidak mau merubahnya sendiri.

Perubahan nasib masyarakat miskin berkaitan dengan aspek komersil dalam

kerja. Dimana komersil akan diperoleh seiring kerja yang dilakukan.

Masyarakat miskin pada umumnya memiliki pekerjaan yang sederhana,

lebih menguras tenaga dari pada pikiran. Konteks masyarakat modern

membayar lebih mahal kualitas pikiran dari pada otot. Sehingga masyarakat

yang bekerja dengan otot akan terpuruk dalam kemiskinan karena upah yang

rendah.

Kerja keras yang melelahkan tetapi minim komersil menyebabkan

frustasi. Ketidakberdayaan masyarakat miskin mengakses hiburan, menjadikan

agama satu-satunya pelampiasan bagi kekecewaan mereka, apalagi agama

memang mamainkan fungsi dalam hal ini. Motivasi untuk bersabar dan ikhlas

misalnya, membuat orang miskin akan terus bersabar dalam kerja keras dan

ikhlas seberapapun hasil yang diperoleh. Lalu motivasi untuk tawakal, ketika

telah bekerja keras dan apapun hasilnya orang harus tetap bersyukur karena itu

lah hasil terbaik baginya.

Banyak lembaga agama yang menyampaikan hal ini, tetapi tidak

banyak dari segi pengemasan acara yang memfasilitasi masyarakat miskin

untuk tidak minder, atau mampu membayar untuk mengikuti segmen acara

tersebut. Misalnya acara ceramah di televisi, yang berlokasi di tempat mewah

Page 189: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

177

dengan pesertanya yang berseragam dan berhias rapi, kadang dengan dihadiri

sejumlah artis. Masyarakat miskin akan sulit mengakses acara seperti ini,

malah kadang menimbulkan apatisme dari masyarakat miskin. Karena ceramah

agama tentang kemiskinan tetapi diadakan di lokasi yang serba mewah. Hal ini

menunjukan bahwa penyampaian doktrin-doktrin agama sering kali mengalami

kesalahan dalam implementasinya.

Lembaga religiusitas, salah satunya Maiyahan berusaha tampil dengan

segmen merakyat, dengan pakaian yang sederhana lokasi terbuka, dan gratis.

Tidak mensyaratkan apapun bagi pesertanya, boleh datang dengan kaos

oblong, rapi, agamis, dan sebagainya. Menjadikan masyarakat miskin merasa

cocok dengan acara. Disertai konsep acara yang menghibur dan informal,

mampu mengundang tawa dan kesenangan bagi mereka. Apalagi materi yang

disampaikan mewakili keluh-kesah kebanyakan masyarakat miskin. Misalnya,

menyoroti kehidupan yang serba sabar dan ikhlas karena kesulitan dan

kekurangan, tetapi tidak menyerah karena Tuhan menjamin surga dan

kebahagiaan dunia bagi mereka.

Seperti diungkapkan BN bahwa Maiyahan telah menanamkan sifat

sabar pada dirinya. Bahwa yang terpenting dari mencari rizki dalam kerja ialah

kerja keras dan tawakal. Walaupun mungkin dengan segala kerja keras dan

tawakal pun BN tetap belum memperoleh yang ia harapkan, BN akan tetap

sabar dan menanggapi semua kejadian tersebut dengan santai dan ikhlas.

Berikut penuturan BN :

Page 190: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

178

“Setelah mengikuti Maiyahan saya jadi menyikapikesulitan hidup dengan santai, tetap usaha keras dan tawakal,walaupun mungkin setelah kerja keras tapi apa yang sayainginkan belum juga tercapai, itu tidak apa-apa, yang pentingqona’ah.”102

Begitu pula Maiyahan berperan bagi terjamin dan berkembangnya

usaha orang kaya dengan prinsip-prinsip yang diajarkannya. Sekaligus menjadi

bukti bahwa yang disampaikan dalam Maiyahan merupakan realitas yang dapat

menjadi kenyataan. Bahwa kerja keras dan terus tawakal merupakan kunci

kesuksesan. Seperti yang terjadi kepada HM, bahwa ajaran Maiyahan telah

menjadikan usaha dia semakin berkembang dan besar. Berikut penuturan BN :

“Maiyahan selalu mengajarkan untuk tawakal, yangpenting kerja keras, saya jadi tidak takut gagal dalamberwirausaha, hingga akhirnya usaha saya semakin besarseperti sekarang.”103

Implementasi religuisitas masyarakat dalam bidang ekonomi tidak

dapat dipandang secara jumlah komersil. Karena pada dasarnya terdapat

berbagai faktor lain yang mempengaruhi perekonomian dari segi komersil.

Pengaruh agama dalam ekonomi ialah sebagai sandaran, prinsip hidup, dan

motivasi, yang mempengaruhi implementasi dari kerja masyarakat ekonomi.

5. Maiyahan, antara Pribadatan dan Hubungan Sosial

Kedudukan manusia setara dimata Tuhan, tetapi tidak dimata sesama

manusia. Seseorang cenderung merasa lebih nyaman bila berada diantara

102Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30103 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30

Page 191: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

179

sesamanya, terlebih senasib sepenanggungan. Begitu pula dalam hidup

beragama, maka dari itu muncul sekte-sekte keagamaan tertentu yang

beribadah dan menanggapi agama secara berbeda satu sama lain. Bahkan

terkadang antara satu sekte dengan sekte lain kerap terjadi konflik, padahal

masih dalam satu agama. Hal ini menunjukan bahwa terdapat berbagai sudut

pandang dan pemahaman dalam memaknai agama. Sehinga timbul istilah

aliran sesat, liberal, kejawen, dan seterusnya untuk menggambarkan perbedaan

sudut pandang tersebut. Terkadang perbedaan menimbulkan intoleransi, tetapi

perbedaan juga membawa pada solidaritas dalam masing-masing kelompok.

Pada umumnya lembaga religiusitas seperti dakwah dan pengajian,

memiliki segmen jamaatnya sendiri. Misalnya, pengajian yang diadakan oleh

NU, maka jamaat yang hadir juga merupakan warga NU. Begitu juga pada

kebanyakan pengajian-pengajian rutin di Masjid-masjid Yogyakarta yang mana

segmennya juga dari kalangan tertentu. Walaupun seandainya diadakan untuk

umum, bila pengajian diadakan oleh segmen tertentu, maka orang diluar

segmen tersebut akan enggan menghadirinya. Watak eksklusif dalam beragama

terkadang masih mewarnai pola kehidupan beragama masyarakat.

Maiyahan memainkan peran yang berbeda sebagaimana pengajian-

pengajian pada umumnya. Dalam Maiyahan tidak terdapat segmen-segmen

khusus. Berbagai suku, golongan, organisasi, kepercayaan, status sosial,

keseluruhan menyatu dalam satu kumpulan. Mereka semua berbeda tetapi

seakan-akan telah mengenal satu sama lain dan akrab. Sebagaimana menurut

MD :

Page 192: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

180

“Seluruh Jama’ah Maiyah itu seolah berhubungan,menyatu dan saling mengenal, padahal mereka berbeda-beda.”104

Dalam Maiyahan mereka bersosialisasi dan saling berkenalan satu sama lain.

Tak jarang mereka saling bertukar nomor handphone untuk saling memberi

kabar bila Kiai Kanjeng atau Cak Nun mempunyai hajad diluar tanggal 17

malam di Kasongan.

Menurut BN, Maiyahan memang didesain demikian oleh penggagas

utamanya yaitu Cak Nun. Selain rutin di Kasihan Bantul Maiyahan juga

berkeliling dimana-mana, golongan, kelompok, wilayah dan daerah untuk

menyuarakan innahum ma’iya, atau mereka ada bersamaku. Bersamaku dalam

arti dua hal, yaitu “bersamaku” bersama Maiyah, atau “bersama-Ku” bersama

Allah SWT. Sebagaimana dalam buku panduan Jama’ah Maiyah yang

berbunyi:105

“Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama umat,

masyarakat, warga Negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya,

golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya –

tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak

haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga : innahum ma’iya,

sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada

bersama mereka.”

Metode dakwah Maiyahan cukup memotivasi seseorang sejak pertama

kali mengikuti Maiyahan untuk hadir kembali dalam Maiyahan berikutnya.

104 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00105 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 5

Page 193: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

181

Sebagaimana pengakuan seluruh informan, bahwa suasana akrab dan

menyenangkan baik yang diberikan selama acara maupun sesama Jama’ah

Maiyah memberikan ketertarikan tersendiri. Mereka mengaku tidak ada

lembaga religiusitas dalam dakwah yang mampu memberikan suasana tersebut,

terasa damai dan memberi ketenangan batin.

Maiyahan juga membangun jembatan bagi terciptanya hubungan sosial

lintas agama. HM menerangkan bahwa tidak hanya orang muslim yang sering

hadir dalam Maiyahan, tetapi juga dari kalangan non-muslim, bahkan seorang

pendeta Katholik seperti Pak Roni dari Semarang, dan tokoh Katholik Gereja

bernama Pak Untung dari Gereja Puger Bantul. Selain itu bukan hanya orang

yang beragama dan percaya Tuhan, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan

atau atheis pun tidak segan-segan mengikuti Maiyahan. Sebagaimana

penuturan HM :

“Tidak hanya tokoh lintas iman, tetapi juga kalanganatheis, walaupun tidak mengenal Tuhan tetapi mereka senangmengikuti Maiyahan yang bahkan semalaman membicarakanTuhan, hal ini tidak ada kalau tidak di Maiyahan.” 106

Walau kental akan suasana sosial dan budaya, tidak bisa dipungkiri

bahwa pada dasarnya Maiyahan merupakan acara religius, dan merupakan

bagian dari ibadah. Ibadah yang mampu menentramkan jiwa dalam kehidupan

sehari-hari yang penuh cobaan. Sehingga Maiyahan pun menjadi kebutuhan

bagi Jama’ah Maiyah. Seperti pengakuan HM :

106 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30

Page 194: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

182

“Maiyahan telah menjadi suatu kebutuhan setiap bulan”.107

Karena ibadah tidak hanya sebatas sholat, puasa, zakat, seagaimana

rukun Islam, dan tidak hanya sebatas percaya pada Allah, Rasul, Malaikat, dan

seterusnya. Disana tidak hanya wirid, berdoa dan ceramah agama terus-

menerus, tetapi diselingi dengan beragam hiburan musik dan puisi, juga diskusi

masalah-masalah aktual dan up to date.

Maiyahan seolah-olah mempertegas bahwa mengenal dan berhubungan

sosial dengan orang lain, siapapun dia tanpa memandang status dan golongan

merupakan bagian dari ibadah. Bahkan hanya dengan bertemu dan

bersosialisasi dengan orang lain dalam Maiyahan dapat membantu AD untuk

lebih religius. Apalagi mengikuti Maiyahan juga merupakan aktifitas religius.

Bisa dibilang Jama’ah Maiyah ialah seseorang yang religius. Sehingga bersama

dengan mereka yang ibadahnya lumayan akan membuat seseorang tertular

untuk melakukan gaya hidup yang lebih religius. Seperti yang

diungkapkannya,

“Ke Maiyahan gaul dan ketemu temen-temen yangibadahnya lumayan jadi ikut terbawa dalam gaya hidup religiuspula. Berkat itu saya sekarang merasa sudah beragama Islamsecara psikologis.”108

Maiyahan menjadi bukti bahwa segala kegiatan dapat dinilai ibadah.

Tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan ritus-ritus peribadatan dan

pengetahuan fiqih semata. Segala aktifitas sosial asalkan tidak bertentangan

dengan agama dan baik untuk kehidupan bersama juga merupakan ibadah.

107 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30108 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00

Page 195: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

183

BAB V

PENUTUP

Pluralisme di Indonesia membawa agama, khususnya Islam, lebih banyak

dikembangkan secara inklusif. Seperti dalam Maiyahan, dimana sisi religiusitas tidak

menampilkan diri dalam bentuk yang eksklusif dan simbolik, seperti cadar, janggut,

jidat kehitaman, celana diatas mata kaki, dan lain-lain. Religiusitas yang ditampilkan

lebih mengintegrasikan kegiatannya dalam aktifitas bangsa secara keseluruhan.

Maiyahan mengusung tema-tema gerakan dan pilihan masalah yang jelas, yakni apa

yang dihadapi bangsa. Paradigmanya adalah merawat bangsa dengan agama.109

Dengan berbagai sikap religiusitas yang humanis, cocok diterapkan oleh berbagai

masyarakat tanpa membeda-bedakan, termasuk tanpa membedakan agama sekalipun.

Karena sikap religiusitas humanis yang disosialisasikan merupakan kebenaran yang

dimiliki semua agama.

Sebagai penutup dalam penelitian ini akan dijelaskan secara singkat melalui

kesimpulan dan saran, perihal konstruksi realitas religiusitas dalam Maiyahan, sesuai

rumusan pertanyaan dan bahasan bab-bab sebelumnya :

A. Kesimpulan

Kesimpulan pertama, membahas bagaimana proses konstruksi realitas

religiusitas terhadap Jama’ah Maiyah. Dan merupakan jawaban atas rumusan masalah

109 Musa, Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. (Jakarta : Erlangga, 2010) Hlm: 110

Page 196: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

184

pertama yaitu; “Bagaimana konstruksi religiusitas dalam Maiyahan?” berikut

pemaparannya :

Proses konstruksi sosial religiusitas terjadi secara berbeda diantara

Jama’ah Maiyah antar kategori sosial. Tetapi keseluruhan membuktikan bahwa

terjadi proses dialektika religiusitas mulai dari sosialisasi primer baik dari

orang tua, baik ketika seseorang kanak-kanak atau saat seseorang tidak lagi

kanak-kanak, pendidikan religiusitas, lingkungan religius, atau dari bacaan dan

minat tertentu. Walaupun bacaan dan minat tersebut tidak memaparkan perihal

religiusitas tetapi mencerminkan sikap hidup religius yang identik dengan

sikap religiusitas yang disampaikan dalam Maiyahan. Seperti sikap religiusitas

yang tercermin dari ideologi humanisme, pluralisme, toleransi, tolong-

menolong, demokrasi, dan seterusnya.

Intinya terjadi dua proses dialektika dalam konstruksi religiusitas;

“tahap pertama”, dimulai dari seseorang(Jama’ah Maiyah) belum mengenal

Maiyahan. Dialektika religiusitas diawali oleh ‘internalisasi’ religiusitas

seseorang yang didapat dari sosialisasi primernya. Sosialisasi primer tersebut

bisa berasal dari mana saja. Bisa dari kedua orang tua, lingkungan, pendidikan

keagamaan atau bacaan sejak mereka kanak-kanak; atau bisa saja dari salah

satu atau dua dari komponen tersebut, seperti bacaan saja, pendidikan saja,

lingkungan saja, atau lainya. Karena tidak semua Jama’ah Maiyah mengenal

religiusitas dengan baik sejak kanak-kanak. Bisa saja salah satu dari Jama’ah

Maiyah dulunya merupakan seorang gali (mantan penjahat) yang saat ini telah

insaf dan aktif mengikuti Maiyahan. Atau bisa saja salah satu dari Jama’ah

Page 197: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

185

Maiyah dulunya adalah penganut agama lain, tetapi saat ini telah memeluk

agama Islam (muallaf) dan mengikuti Maiyahan secara aktif. Bagi gali atau

muallaf tersebut dimungkinkan keduanya kurang memperoleh inetrnalisasi

religiusitas sejak kecil. Tetapi baru menerimanya ketika muda atau dewasa,

bahkan tua. Dan sosialisasi primer mereka tentu tidak banyak berasal dari

orang tua, mungkin dari lingkungan, bacaan, minat, teman, atau bisa dari siapa

saja. Jadi internalisasi religiusitas dari sosialisasi primer tidak hanya diperoleh

ketika seseorang kanak-kanak. Serta sosialisasi primer religiusitas merupakan

awal bagi terbentuknya ‘pengetahuan subjektif’ (realitas subjektif) yang

membentuk subjektifitas seseorang sesuai kewajaran religiusitas masyarakat

pada umumnya

Proses konstruksi religiusitas pertama selanjutnya ialah ‘objektifasi’,

yang terjadi ketika seseorang telah melalui internalisasi dari sosialisasi

religiusitas primer. Pada saat ini, seseorang mencoba memahami realitas

religiusitas yang ada dalam masyarakat. Kemudian seseorang tersebut

menyetujui realitas religiusitas masyarakat tersebut dan menjadikan realitas

religiusnya. Bedanya pada saat ini ternyata orang-orang yang lain, tergabung

dalam suatu masyarakat ternyata juga menyetujui dan mempraktikan realitas

religiusitas tersebut dan menjadikanya realitas religiusitas mereka pula. Jadi

proses objektifasi disini terjadi ketika banyak orang, atau yang tergabung

dalam suatu masyarakat menyetujui dan mempraktikan suatu realitas objektif

yang sama dan menjadikan realitas religiusitas tersebut suatu kebenaran.

Page 198: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

186

Proses konstruksi religiusitas pertama terakhir ialah ’eksternalisasi’,

disini terjadi ketika seseorang yang telah melakukan internalisasi dan

objektifikasi terhadap realitas religiusitas dan mulai mempraktikanya dalam

kehidupan sehari-hari, sesuai dengan sikap religiusitas yang telah disetujui.

Eksternalisasi religiusitas juga dapat disebut dengan implementasi dari

religiusitas. Setiap Jama’ah Maiyah dari setiap kategori sosial memiliki

eksternalisasinya masing-masing dalam menanggapi religiusitas dari sosialisasi

primernya. Bisa saja eksternalisasi tersebut berupa praktik ketaatan terhadap

religiusitas yang telah didapat, atau juga merupakan pembangkangan atau

ketidaktaatan terhadap religiusitas yang diperoleh dari sosialisasi primernya.

Demikian beberapa paragraf diatas menjelaskan perihal konstruksi

religiusitas pertama sebelum seseorang mengenal Maiyahan. Selanjutnya

merupakan pembahasan perihal konstruksi religiusitas yang terjadi setelah

seseorang mengenal Maiyahan, atau setelah seseorang mengenal Maiyahan.

Konstruksi religiusitas dalam Maiyahan ini peneliti sebut sebagai konstruksi

religiusitas “tahap kedua”. Proses konstruksi ini dimulai dari ‘eksternalisasi’,

objektifasi, internalisasi, lalu diakhiri kembali dengan eksternalisasi.

Eksternalisasi dilakukan bukan oleh Jama’ah Maiyah, tetapi dalam hal ini

dilakukan oleh ‘aktor-aktor’ pengisi acara Maiyahan. Lebih tepatnya seseorang

dari Maiyahan, bisa Cak Nun, Mas Totok, Sabrang, Kiai Kanjeng,atau

pembicara lainya; baik dengan diskusi, musik, puisi, atau berbagai bentuk

konsep acara lainya.

Page 199: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

187

Konstruksi religiusitas tahap kedua selanjutnya ialah proses

‘objektifasi’, dimana seseorang atau Jama’ah Maiyah telah menyutujui sikap

religiusitas yang disosialisasikan dalam Maiyahan sebagai kebenaran umum

yang juga diakui oleh Jama’ah Maiyah yang lain antar berbagai kategori sosial.

Dimana seluruh informan Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial

cenderung mengobjektifkan sikap religiusitas Maiyahan sebagai sikap

religiusitas yang lebih humanis, kritis, merakyat, dinamis, mengayomi, dan

demokratis.

Lalu, konstruksi religiusitas tahap kedua selanjutnya ialah

‘internalisasi’ yaitu ketika Jama’ah Maiyah secara pribadi yang telah

menyetujui sikap religiusitas Maiyahan sebagai sikap religiusitas yang ideal

dan baik kedalam pemahaman subjektifnya, dan menjadikanya sebagai realitas

subjektif individu.

Ditutup dengan proses dialektik tahap kedua terakhir, yaitu

‘eksternalisasi’ kembali dari apa yang telah diinternalisasi selama mengikuti

Maiyahan. Eksternalisasi dapat disebut juga dengan implementasi atas

religiusitas yang diperoleh selama Maiyahan.

Kesimpulan kedua menjawab rumusan masalah kedua pula yaitu, “Bagaimana

Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial memaknai aktifitas Maiyahan?” Makna

Maiyahan yang diungkapkan Jama’ah Maiyah juga merupakan realitas objektif atas

apa itu Maiyahan. Tentu pengobjektifikasianan ini tidak terjadi sama antar berbagai

kategori sosial, tetapi terdapat perbedaan dan kekhasan tersendiri perihal

Page 200: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

188

pengobjektifikasian tersebut. Misalnya kategori dewasa secara objektif memaknai

Maiyahan lebih pada aktifitas religiusitas, kategori mahasiswa secara objektif lebih

memaknai Maiyahan sebagai aktifitas diskusi, kategori pemuda secara objektif lebih

memaknai Maiyahan sebagai aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun, kategori miskin

lebih memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas pula, dan sebagainya. Terdapat

berbagai macam pengobjektifikasian perihal Maiyahan, yang juga merupakan

pemaknaan terhadap apa itu aktifitas Maiyahan. Semua pengobjektifikasian tersebut

bisa jadi sama antar berbagai kategori sosial, juga bisa berarti berbeda, juga bisa

berarti pula satu kategori sosial mengobjektifkan Maiyahan tidak hanya dengan satu

aktifitas saja, tetapi banyak aktifitas. Seperti misalnya kategori wanita

mengobjektifkan Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas, juga sebagai aktifitas

hiburan, sekaligus aktifitas sosial, juga aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun; misalnya

lagi kategori pekerja mengobjektifkan Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas,

sekaligus sebagai aktifitas hiburan, dan juga aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun; dan

seterusnya. Berbagai pemaknaan terhadap Maiyahan oleh berbagai kategori sosial

tersebut diantaranya :

1) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas religiusitas, bahwa pada dasarnya segala

aktifitas Maiyahan apapun itu ialah bertujuan pada mensosialisasikan

religiusitas.

2) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas sosial, dimana Maiyahan merupakan

tempat bersosialisasi antar Jama’ah Maiyah.

Page 201: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

189

3) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas hiburan, dimana apapun itu, berbagai

kegiatan Maiyahan dianggap sebagai aktifitas hiburan, karena selalu membuat

senang dan hati tenteram.

4) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas epistemik, ketika Maiyahan mampu

mencerdaskan pesertanya, memberi wawasan global dan menumbuhkan jiwa

kritis.

5) Serta Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas kharismatik tokoh, dimana

Maiyahan dianggap sebagai acara Cak Nun, dan Maiyahan tidak akan sesukses

ini bila tanpa kehadiran Cak Nun.

Realitas objektif atas Maiyahan selanjutnya ditransformasikan oleh

Jama’ah Maiyah menjadi realitas subjektif, yang kemudian menjadi pemaknaan

Jama’ah Maiyah sesuai kategori sosial atas apa itu Maiyahan yaitu, diantaranya :

1) Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas, dimaknai oleh seluruh Jama’ah Maiyah

dari berbagai kategori sosial.

2) Maiyahan sebagai aktifitas hiburan, dimakanai pula oleh Jama’ah Maiyah dari

seluruh kategori sosial.

3) Maiyahan sebagai aktifitas diskusi, dimakanai oleh Jama’ah Maiyah dari

kategori sosial muda, kaya, miskin dan mahasiswa.

4) Maiyahan sebagai aktifitas sosial, dimaknai oleh Jama’ah Maiyah dari kategori

sosial muda, mahasiswa dan wanita.

5) Dan Maiyahan sebagai aktifitas ceramah tokoh kharismatik, dimaknai oleh

Jama’ahf Maiyah dari seluruh kategori sosial

Page 202: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

190

Dengan kesimpulan bahwa, seseorang dari kategori sosial tertentu yang

telah memaknai Maiyahan sesuai subjetifitasnya sebagai aktifitas tertentu,

cenderung timbul bersamaan dengan apa yang menjadi ketertarikan utama

mengikuti Maiyahan. Sehingga seseorang akan cenderung akan hadir dalam

Maiyahan karena terdapat aktifitas yang ingin menjadi ketertarikanya. Tetapi

cenderung tidak hadir, pulang terlebih dahulu, tidur, mundur dari panggung,

makan-makan diwarung, atau mengobrol sendiri bila aktifitas yang menjadi

ketertarikanya tidak ada. Boleh dibilang bahwa pemaknaan seseorang atas

Maiyahan merupakan pembentuk motivasi seseorang menghadiri Maiyahan.

Tetapi keseluruhan telah menjadi serangkaian acara Maiyahan yang tidak

terpisahkan, dan melalukan fungsi-fungsinya dengan baik hingga saat ini.

Sehingga Maiyahan tetap eksis sebagai lembaga religiusitas yang melakukan

konstruksi religiusitas kepada Jama’ah Maiyah.

Kesimpulan ketiga, mampu menjawab rumusan masalah ketiga yaitu,

“Bagaimana dinamika dan pengaruh religiusitas Maiyahan?” Dinamika religiusitas

berisi seputar pengalaman religiusitas sejak seseorang belum mengenal Maiyahan

hingga setelah seseorang mengenal Maiyahan. Mungkin terjadi perbedaan atau

perkembangan sikap religiusitas yang terjadi antara sebelum dan sesudah seseorang

mengenal Maiyahan.

Masing-masing orang dari berbagai kategori sosial tentu berbeda dalam

dinamika religiusitas tersebut, yang terjadi akibat pengaruh eksternal berbagai

Page 203: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

191

pengalaman lain yang meliputi kehidupan shari-hari seseorang, baik setelah

atau sebelum mengenal Maiyahan.

Dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menurut kategori sosial

dimulai dari pengetahuan religiusitasnya dari kehidupan sehari-hari (sebelum

seseorang tersebut mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Berikut

penjabaranya berdasarkan kategori sosial :

1) Kategori Dewasa : Seorang memiliki kedudukan dalam masyarakat,

tanggung jawab terhadap keluarga, dan urusan dalam pekerjaan seringkali

menuntut diambilnya keputusan-keputusan sulit. Frustasi banyak menjadi

kendala yang menyertai mereka. Apalagi bila telah berkeluarga, seorang

dewasa dituntut memenuhi nafkah keluarganya. Banyak dewasa yang

menemukan kebahagiaan dengan lebih religius. Walau mungkin mereka

kurang religius semasa muda, tetapi pada akhirnya mereka semakin religius

ketika dewasa, apalagi setelah berkeluarga.

2) Kategori Pemuda : Pemuda cenderung kritis dalam beragama. Rasionalitas

mereka tumpahkan pula pada agama. Pemuda cenderung tidak akan

mengindahkan anjuran agama bila tidak sesuai dengan rasionalitas mereka.

Rasionalitas beragama bagi pemuda ialah ketika agama mampu

memberikan pencerahan dan mengatasi kesulitan hidup manusia.

Religiusitas yang terpenting bagi pemuda ialah dalam hubunganya dengan

sesama manusia, karena religiusitas bagi mereka merupakan jalan agar

diakui oleh orang lain atau masyarakat.

Page 204: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

192

3) Kategori Laki-laki : Masyarakat menuntut laki-laki untuk menjadi

pemimpin baik dalam keluarga maupun masyarakat. Selain itu laki-laki

juga bertanggung jawab untuk mendidik anak dan istrinya agar tetap sesuai

dengan kaidah-kaidah yang baik. Boleh dibilang bahwa tanggung jawab

seorang laki-laki memang tinggi. Oleh karena itu laki-laki juga

membutuhkan suatu pedoman moral (terutama yang terkait dengan

religiusitas) untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.

4) Kategori Wanita : Weber mengungkapkan bahwa perilaku religiusitas

wanita cenderung berbeda dengan pria. peran wanita dalam kegiatan

keagamaan memang cukup tinggi, tidak kalah bahkan terkadang lebih dari

pada laki-laki. Wanita cenderung aktif mengikuti aktifitas keagamaan.

Seperti dalam ritus-ritus peribadatan wanita cenderung rajin sholat,

mengaji, puasa, dan lain-lain. Wanita juga berperan besar dalam

pembentukan sikap religiusitas anaknya, dimana wanita cenderung lebih

banyak memberikan sosialisasi religiusitas kepada anaknya.

5) Kategori Kaya : Seseorang kategori kaya Jama’ah Maiyah cenderung

memiliki sikap religiusitas yang baik bahkan sebelum mengenal Maiyahan.

Banyak orang kaya yang religius, bahkan mungkin karena kereligiusanya

lah mereka mampu menjadi kaya. Karena pada dasarnya agama tidak

pernah mengajarkan untuk menjadi miskin. Sebaliknya agama mengajarkan

untuk mencari rizki sebanyak-banyaknya agar mampu menolong sesama.

Lagi pula agama banyak memiliki prinsip-prinsip kerja, seperti jujur, kerja

Page 205: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

193

keras, dan ikhlas, yang mungkin bila diterapkan dengan baik akan mampu

membawa seseorang menjadi kaya.

6) Kategori Miskin : Bagi kaum miskin agama merupakan pembebasan,

pengalaman mereka menyadarkan bahwa manusia hanya mahluk yang

serba terbatas kemampuannya, tidak sanggup mengatasi segala rintangan.

Mereka sangat termotivasi dengan ajaran perihal barokah, rizki dan

keberuntungan yang akan mereka peroleh bila mendekatkan diri pada

Tuhan.

7) Kategori Pekerja : Sikap religiusitas pekerja umumnya diperuntukan bagi

tercukupinya kebutuhan ekonomi. Mereka selalu berdoa meminta agar

Tuhan memberi jalan bagi kelancaran rizkinya. Agama memberi pegangan

bagi para pekerja, seperti harus bekerja keras dan jujur dalam usaha.

Barang siapa yang menerapkan prinsip kerja tersebut maka Tuhan akan

melancarkan rizkinya.

8) Kategori Mahasiswa : Masa muda menuntut mereka banyak melakukan

trial and error, kegagalan demi kegagalan mengiringi perjuangan mereka.

Tak jarang mereka merasa gelisah dan frustasi karena tidak bisa

memandang masa depan dengan pasti. Mereka memerlukan pegangan dan

nasehat sebagai motivasi salah satu yang mereka perlukan ialah motivasi

religiusitas.

Dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menurut kategori sosial

selanjutnya yang diinternalisasi berdasarkan realitas religiusitas objektif yang

mereka peroleh dari Maiyahan (setelah seseorang tersebut mengikuti Maiyahan

Page 206: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

194

dan menjadi Jama’ah Maiyah). Berikut penjabaranya berdasarkan kategori

sosial :

1) Kategori dewasa : Maiyahan selalu mengajarkan bahwa sikap religiusitas

itu harus bersinergi dengan kondisi kehidupan sosial seorang dewasa.

Dalam hubungan sosial bersama keluarga misalnya, seorang dewasa harus

mampu menjadi teladan bagi anak muda, terutama anaknya. Juga

bermanfaat bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, selain sebagai

penambah kepercayaan diri bagi dewasa, juga merupakan religiusitas di

bidang sosial.

2) Kategori Pemuda : Maiyahan memiliki tiga peran utama. Pertama, sebagai

sarana paling menyenangkan dan mudah untuk mencapai ketenangan batin

yang sering terkoyak akibat berbagai persoalan yang timbul dalam masa

muda. Kedua, sebagai sarana menambah ilmu dengan mengikuti materi

yang disampaikan dalam diskusi Maiyahan. Dan ketiga, sebagai sarana

mencari hiburan dan refresing sekaligus bersosialisasi.

3) Kategori Laki-laki : Maiyahan mengajarkan pada kategori laki-laki agar

dapat menjadi bagian dari masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai

kehidupan sesuai dengan kaidah agama. Dalam keluarga tugas laki-laki

ialah memimpin seluruh anggota keluarganya sejahtera di dunia dan

akhirat. Sedangkan di masyarakat tugas laki-laki sebagai pemimpin ialah

untuk membawa masyarakat mencapai kehidupan sosial kemasyarakatan

yang sejahtera.

Page 207: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

195

4) Kategori Wanita : Maiyahan selalu mengajarkan bahwa seorang wanita

harus senantiasa menjaga kehirmatanya. Apalagi bagi yang telah berusami,

selain menjaga kehormatanya sendiri juga menjaga kehirmatan suami dan

keluarganya. Terlabih lagi harus melayani suamu dan merawat anak agar

memahami agama dengan baik.

5) Kategori Kaya : Maiyahan yang diinternalisasi oleh orang kaya perihal

kerendahan hati. Berpandangan bahwa tidak ada kaya atau miskin, bila

banyak harta itu hanya titipan dari Tuhan, tidak kekal dan tidak dibawa

mati. Jadi tidak boleh membangga-banggakan harta.

6) Kategori Miskin : Banyak pelajaran dan motivasi kepada dari Maiyahan

kaum miskin untuk terus bersyukur dan percaya bahwa kebahagiaan tidak

hanya dicapai dengan harta. Menjadi kaya tidak akan menimbulkan

kebahagiaan yang hakiki bagi mereka. Mungkin kemiskinan saat ini ialah

takdir terbaik bagi mereka. Hanya saja dalam Maiyahan juga selalu berdoa

semuga Tuhan senantiasa menambah rizki, dan memberikan kebahagiaan

walaupun bukan berupa harta.

7) Kategori Pekerja : Maiyahan mengajarkan bagaimana agar seseorang tidak

mudah frustasi, terutama ketika keinginan tidak tercapai walaupun telah

bekerja dengan maksimal; caranya yaitu dengan bersyukur dan ikhlas.

Dalam bekerja seseorang harus percaya bahwa semua indah pada

waktunya.

8) Kategori Mahasiswa : Maiyahan merupakan pengajian yang tidak hanya

menambah wawasan religiusitas, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan.

Page 208: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

196

Lagi pula Maiyahan juga selalu melatih mahasiswa untuk berfikir kritis,

menganalisis segala permasalahan di dunia dengan mengandalkan

kekuatan pikiran.

B. Saran

Konstruksi religiusitas memang telah banyak dilakukan lembaga-lembaga

agama di Indonesia. Tetapi tidak keseluruhan mampu menarik masyarakat dari akar-

akar rumput untuk mendalami religiusitas. Masyarakat kecil akar rumput lah yang

paling rawan terhadap kriminalitas, kemiskinan, penindasan, dan ketidakmampuan.

Untuk itu dibutuhkan lembaga religiusitas yang mampu diakses dan menarik minat

masyarakat akar rumput. Sekaligus menjadi pencerahan karena pendidikan humanis

dan kritis. Lembaga religiusitas seperti Maiyahan yang mampu menyediakan hal

tersebut merupakan sarana yang tepat bagi konstruksi religiusitas masyarakat

Indonesia. Terdapat tiga subjek yang diberikan rekomendasi saran, diantaranya :

1) Bagi lembaga-lembaga religiusitas diluar Maiyahan ialah :

a. Harusnya tidak terlihat eksklusif, agar masyarakat kecil tidak canggung

mengikuti.

b. Tidak berlokasi di tempat mewah, karena terkesan tidak memihak

masyarakat kecil.

c. Sebaiknya gratis.

d. Tidak hanya memberi wawasan religiusitas, tetapi wawasan global dan

uptodate.

Page 209: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

197

e. Tidak terlalu kaku dan berfikir sempit mengenai religiusitas.

f. Lebih memahami kondisi masyarakat yang terkadang keluar dari kaidah-

kaidah religiusitas, karena selama ini hanya mendikte tetapi kurang

memahami.

g. Tidak terlalu kanan dan tidak terlalu kiri.

h. Memiliki seorang tokoh kharismatik.

2) Bagi Maiyahan

a. Menemukan seseorang yang menandingi Cak Nun, agar bila Cak Nun tidak

hadir, atau telah meninggal, terdapat sosok kharismatik yang mampu

mengganti Cak Nun, sehingga tidak banyak orang yang selama ini hadir

dalam Maiyahan karena Cak Nun yang meninggalkan Maiyahan.

b. Mempublikasikan Maiyahan lebih masiv, tidak hanya melalui ADI TV,

bisa melalui media cetak lokal dan nasional, agar Maiyahan semakin dapat

dinikmati masyarakat secara luas.

3) Bagi Jama’ah Maiyah

a. Mengaktifkan komunitas yang berusaha mengimplementasikan hasil

Maiyahan.

b. Lebih banyak saling mengenal antar sesama Jama’ah Maiyah dan bertukar

nomor handphone, agar dapat saling berinteraksi dan bertukar pengetahuan

perihal Maiyahan, religiusitas, dan lain-lain.

c. Mencatat setiap apa materi yang dianggap penting dalam Maiyahan, agar

mampu diingat dan dipelajari lebih dalam.

Page 210: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

198

DAFTAR PUSTAKA

Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern teori, fakta, dan aksi

sosial. (Jakarta: Kencana, 2010).

Berger & Luckman. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang Sosioloigi

Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES, Anggota IKAPI, 2012)

Ali&Daud. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 1995).

Samuel, Hanneman. Peter Berger, Sebuah Pengantar Ringkas. (Depok: Penerbit

Kepik, 2012).

Berger, Peter L. Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial. (Jakarta: Penerbit

LP3ES anggota IKAPI, 1991).

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1999).

Nindito, Stefanus. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan

Realitas dalam Ilmu Sosial. (Jurnal Ilmu Komunikasi: Volume 2, Nomor 1,

Juni 2005).

Scharf, Betty R. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Yogyakarta, 1995).

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan

Umat. (Bandung: Mizan, 1996)

Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983)

Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah.

(Yogyakarta: Sekertariat Hamas, 2002)

Khairuddin. Sosiologi Keluarga. (Yogyakarta: Liberty, 2008).

Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta : PT Bulan Buntang, 1986)

Page 211: Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam

199

Zahra, Abu. Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. (Bandung:

Pustaka Hidayah, Anggota IKAPI, 1999)

Sudarmanto. Agama dan Ideologi. (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Penelitian

Filsafat STF Drikarya Jakarta, 1987)

C, Geertz. Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols, dalam

Interpretation of Culture. (New York : Basic Book, 1973)

Musa, Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. (Jakarta : Erlangga, 2010)

Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES,

Buku Obor, 1978)

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2011)

sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf (Pdf oleh Drs. H. Ahmad

Thontowi, Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses

pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40610-lang,id-c,nasional-

t,Banser+NU-.phpx. Diakses pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)

www.caknun.com. Diakses pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)

http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/emha-ainun-nadjib-yang-akrab-

dipanggil.html. (Diakses pada 29 Mei 2013, pukul 14.30)

http://www.maiyah.net/2012/02/siapakah-jamaah-maiyah.html (Diakses pada 29 Mei

2013, pukul 14.30)

www.bantulkab.go.id. (Diakses pada 2 Juli 2013, pukul 10.30)

www.googlemap.com. (Diakses pada 2 Juli 2013, pukul 10.30)