korupsi bukan tak bisa dilawan (paper korpri)

13
KORUPSI, BUKAN TAK BISA DILAWAN Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS TIDAR MAGELANG APRIL 2015

Upload: phungthuan

Post on 15-Dec-2016

256 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

KORUPSI, BUKAN TAK BISA DILAWAN

Oleh :

Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS TIDAR MAGELANG

APRIL 2015

Page 2: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

1

“Korupsi, Bukan Tak Bisa Dilawan”

Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si1

[email protected]

A. Pengantar

Tak seperti kebanyakan perbincangan mengenai korupsi, yang biasanya

dilontarkan dengan nada pesimis, subtansi dan gaya bahasa yang dipilih dalam

makalah ini dimaksudkan untuk membangun optimisme dalam ikhtiar

pemberantasan korupsi. Substansi dan gaya bahasa optimistik seperti ini perlu

mulai ditradisikan untuk membangun “sugesti positif” masyarakat yang (rupa-

rupanya) sudah “tersugesti secara negatif” dengan berbagai cerita muram dan

gagalnya penanganan kasus korupsi di beberapa tempat. Padahal dalam

kenyataannya ditemukan kisah-kisah gemilang penanganan kasus korupsi yang

advokasinya notabene digawangi oleh masyarakat.

Sepuluh tahun sudah bangsa Indonesia hidup dalam masa transisi

demokrasi. Perlahan namun pasti, angin reformasi malah berbalik arah. Bukan

perbaikan yang kita temukan, tapi ketambahbobrokan semakin melilit di hampir

segala sendi kehidupan. Hasrat untuk melihat Indonesia baru menjadi mimpi di

siang bolong. Bangsa Indonesia masih saja bergulat dengan aneka problem yang

makin kompleks dan krusial.

Kesenjangan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan keagamaan

semakin tajam. Keadilan terasa semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah

diramalkan oleh Raja Kediri, Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal

sebagai pujangga Jawa yang memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui

zaman. Konon, Presiden Soekarno juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia

menghadapi penjajahan Jepang, yang menurut Joyoboyo hanya seumur jagung.

Salah satu visi penting Joyoboyo yang bisa dibaca dan dikaji hari ini

adalah pandangannya tentang jungkir baliknya nilai-nilai dalam masyarakat. Di

katakannya “wong bener thenger-thenger” (orang yang berpegang pada

kebenaran justru terpuruk), “wong salah bungah” (orang yang salah justru

1 Dosen Tetap Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas

Tidar Magelang

Page 3: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

2

gembira), “wong apik ditampik-tampik” (orang yang baik justru dihardik atau

disingkirkan) dan “wong jahat munggah pangkat” (orang jahat justru naik

pangkat). Seluruh pernyataan Joyoboyo di atas kini menemukan kebenarannya.

Kekuasaan yang kotor dan busuk telah membuat keruh kehidupan masyarakat. Di

antara sekian karut marut permasalahan bangsa Indonesia yang tak pernah bisa

teratasi dengan baik adalah masalah penuntasan korupsi.

Meski belum bisa teratasi dengan baik, pesan moral dalam makalah ini

jelas, bahwa korupsi bukan tak bisa dilawan, di beberapa tempat para koruptor

menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat, karenanya tidak perlu

berkecil hati dalam perjuangan melawan korupsi. Membangun sugesti positif

adalah hal yang paling penting saat ini dalam memerangi korupsi. Mengutip

bahasa Bambang Widjajanto (Indrayana, 2008), dengan ungkapan

“mengupayakan perubahan imagi menjadi dalam bukti” maksudnya adalah,

melakukan perlawanan kultural secara sistematis dengan menciptakan berbagai

istilah dan peribahasa anti korupsi yang membawa efek dramatis di masyarakat.

B. Definisi, Jenis dan Penyebab Korupsi

Dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan

pribadi. Jabatan adalah kedudukan, kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atas

kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa saja lembaga

swasta, lembaga pemerintah atau lembaga nirlaba (Demartoto, 2007).

Korupsi berarti memungut uang dari layanan yang sudah seharusnya

diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.

Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi bisa

mencakup yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi dalam tubuh organisasi

(misalnya pemerasan). Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif di

bidang sosial, meski pada umumnya menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan

ketimpangan (Klitgaard, Abaroa dan Paris, 2002).

Korupsi pada hakekatnya merupakan penyalahgunaan kepercayaan untuk

kepentingan pribadi. Menurut Soewartojo (1998), korupsi merupakan tingkah laku

atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku

dengan menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui

Page 4: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

3

proses pengadaan, penetapan pungutan, penerima atau pemberian fasilitas atau

jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang atau

kekayaan, penyimpangan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan atau jasa

lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung

atau tidak langsung merugikan kepentingan dan atau keuangan atau kekayaan

negara atau masyarakat.

Sedangkan menurut Kartono (2005), korupsi adalah tingkah laku individu

yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,

merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah

urus dari kekuasaan demi keuntungan pribadi. Salah urus terhadap sumber-sumber

kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal

(misalnya, dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri

sendiri.

Korupsi juga dipahami sebagai the misuse of public power for private

benefit (Hustead, 2002) dan juga dalam pengertian the use of public office for

private gain, baik untuk kepentingan yang bersifat finansial maupun non finansial

(Balkaran, 2002). Dalam hal ini, yang termasuk dalam kategori korupsi adalah

berupa sogokan (bribery), pemerasan (extortion), memperjualbelikan pengaruh

(influence pedding), nepotisme (nepotism) dan segala tindakan yang terkait

dengannya (Alatas, 1981).

Korupsi bisa dimasukkan ke dalam kategori perbuatan kejahatan atau

kriminal. Dari segi tipologi, konsep korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang

berlainan (Alatas, 1981), yaitu:

1. Korupsi transaktif, yaitu menunjuk kepada adanya kesempatan timbal balik

antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan

dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduanya. Korupsi

jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan

pemerintah.

2. Korupsi yang memeras, yaitu jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa

untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,

kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.

Page 5: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

4

3. Korupsi defensif, yaitu perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya

adalah dalam rangka mempertahankan diri.

4. Korupsi invensif, adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian

langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan

akan diperoleh di masa yang akan datang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme, yaitu penunjukan yang tidak sah

terhadap teman atau saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan

atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan atau tindakan

yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau

bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan

peraturan yang berlaku.

6. Korupsi otogenik, yaitu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan

pelakunya hanya seorang saja.

7. Korupsi dukungan, yaitu korupsi yang tidak secara langsung menyangkut uang

atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan yang dilakukan adalah

untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.

Selanjutnya, faktor penyebab suburnya korupsi bukan saja faktor tunggal

melainkan multi faktor yang kompleks dan saling bertautan. Alatas (1981)

mencoba mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya praktek

korupsi sebagai berikut:

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang

mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tindakan laku yang

menjinakkan korupsi.

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

3. Kolonialisme suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan

kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurangnya pendidikan.

5. Tiadanya tindak hukuman yang keras.

6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

Selanjutnya menurut Albrecht dan Albrecht (dalam Suradi, 2006), faktor

pendorong seseorang melakukan korupsi atau kecurangan di organisasi publik dan

Page 6: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

5

swasta dapat dilihat dari formula Segi tiga kecurangan (Fraud Triangle) sebagai

berikut:

Kesempatan

(Opportunity)

Tekanan Rasionalisasi

(Pressure) (Razionalize)

Keterangan:

a. Faktor Tekanan (Pressure), antara lain disebabkan oleh:

1. Adanya beban tanggung jawab setelah menikah. Kehidupan dapat

menciptakan tekanan situasional yang signifikan, pada suatu saat

seseorang akan diuji tentang etika dan kejujurannya. Kecurangan adalah

melakukan tindakan curang untuk keuntungan diri sendiri atau

keuntungan bagi suatu organisasi atau untuk keduanya.

2. Jenis-jenis tekan yang mendorong seseorang melakukan kecurangan

adalah: (1) tekanan keuangan/financial pressure; (2) Sifat buruk/vices;

(3) tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan/work related pressure

dan; (4) tekanan yang lain/other pressure.

b. Faktor Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan dapat didefinisikan sebagai otoritas atau kewenangan untuk

mengendalikan suatu aset atau melakukan akses terhadap aset. Pengendalian

dan akses adalah elemen penting dari kesempatan. Adanya kesempatan

menyebabkan seseorang melakukan kecurangan atau korupsi,

menyembunyikannya, menghindari hukuman merupakan unsur dari segi tiga

kecurangan. Paling tidak terdapat lima faktor yang dapat memberikan

kesempatan bagi para individu untuk berbuat kecurangan, antara lain:

1. Kurangnya pengendalian yang dapat mencegah atau mendeteksi perilaku

curang

2. Ketidakmampuan menilai kualitas kinerja

3. Terbatasnya akses terhadap informasi

4. Ketidaktahuan, apatis dan ketidakmampuan

5. Tidak adanya jejak audit

Page 7: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

6

c. Faktor Rasionalisasi (Razionale)

Rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap kecurangan karena

rasionalisasi akan memberikan suatu pembenaran tentang apa saja yang kita

lakukan dengan tujuan untuk memuaskan diri sendiri, meskipun tidak

memiliki alasan yang kuat dan pembenaran tersebut juga tidak dapat

dipertanggungjawabkan baik dari segi moral maupun etika. Misalnya orang

yang melakukan kegiatan korupsi dan uang hasil korupsi tersebut digunakan

untuk menyantuni fakir miskin atau kegiatan keagamaan.

Selain itu, Klitgaard, Abaroa dan Parris (2002) telah menyusun suatu

formula mengenai korupsi yakni C = M+D-A, di mana C (Corruption/korupsi),

sama dengan monopoly power (M/kekuasaan monopoli) + discretion by officials

(D/wewenang pejabat) - accountability (A/akuntabilitas). Artinya, Jika seseorang

memegang monopoli atas barang/jasa dan memiliki wewenang yang tidak terbatas

untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang/jasa itu dan berapa

banyak tanpa akuntabilitas, maka kemungkinan akan kita temukan korupsi di situ.

Ini berlaku bagi sektor pemerintah, swasta, bagi negara miskin dan negara kaya.

Untuk konteks negara Indonesia, ada tiga kemungkinan yang memacu

tindakan korupsi, antara lain sistem pemerintahan yang memungkinkan, moralitas

orang yang rencah dan kontrol masyarakat yang kurang. Berbagai kasus korupsi

di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegaskan bahwa

moralitas bangsa kita masih rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan

mudah berargumentasi bahwa kebobrokan moral bangsa ditentukan oleh moralitas

para politisinya.

C. Dinamika Perilaku Korupsi di Indonesia

Masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan multi dimensional.

Sistem politik kita mulai berubah dari sistem yang otoriter dan paternalistik ke

arah sistem politik yang lebih demokratik dan egalitarian. Sistem perekonomian

juga berubah dari sistem yang mengandalkan proteksi dan oligopolistik menjadi

sistem yang lebih terbuka dan perdagangan bebas. Pendek kata, semua bidang

kehidupan mulai berubah, akan tetapi tidak semua perubahan berjalan dengan

lancar. Praktek-praktek lama sudah mulai ditinggalkan tetapi penggantinya belum

Page 8: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

7

lagi ditemukan, akibatnya terjadi kekacauan dalam masyarakat, peraturan

perundang-undangan banyak yang saling bertentangan sehingga menjadi tidak

efektif (Kasim, 2004).

Hal ini mendorong semakin banyak orang yang hanya mematuhi peraturan

perundang-undangan tersebut secara formal dalam realitas melakukan

penyimpangan melalui perbuatan kolusi dan pemberian uang suap. Tak heran

kalau sebagian masyarakat kini menjadi disoriented dan cenderung menjadi apatis

atau bahkan menjadi agresif. Kondisi ini menjadi lebih parah karena diberbagai

bidang kehidupan, kita mengalami krisis kepemimpinan. Sistem sosial politik kita

juga belum mampu menghasilkan pemimpin masyarakat yang kredibel, memiliki

integritas tinggi dan memiliki kepemimpinan yang kuat dengan visi yang benar

tentang kepemerintahan yang baik dan masyarakat madani yang adil dan makmur.

Masalah kepemimpinan tentu menjadi sangat penting bagi masyarakat

Indonesia yang masih didominasi oleh budaya paternalistik, di mana kebanyakan

orang masih mengharapkan tuntunan dan petunjuk dari pemimpin dalam

kehidupan mereka sehari-hari. Kalau ada pemimpin formal yang kharismatik dan

mempunyai ciri-ciri tersebut di atas maka perubahan masyarakat dapat terjadi

dengan cepat, sebaliknya kalau yang ada hanya pemimpin yang tidak mempunyai

visi yang jelas atau pemimpin yang korup, maka dampaknya terhadap masyarakat

sangat negatif sehingga memperparah keadaan yang sudah parah ini.

Korupsi, yang dituding oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa

sampai kini belum juga ditemukan obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran

setan. Alih-alih berkurang, dari waktu ke waktu korupsi malah semakin parah.

Korupsi juga sumber dari segala bencana dan kejahatan, the root of all evils.

Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang

triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup mati

puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor adalah

the real terrorist.

Page 9: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

8

Berikut adalah data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurut survei

Transparency International selama lima tahun terakhir dari Tahun 2007-2011.

Tabel 1. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2007-2011

No Tahun Indeks Persepsi Korupsi Peringkat Negara yang disurvei

1 2007 2,3 144 180

2 2008 2,6 130 180

3 2009 2,8 111 180

4 2010 2,8 110 178

5 2011 3,0 100 183

Sumber: Kompas, 2 Desember 2011

Transparency International Indonesia melakukan survei dengan skala 0-

10 (0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih). Metode pengukuran indeks

persepsi korupsi mensyaratkan kriteria yang juga menunjukkan indikasi

perubahan persepsi korupsi antar tahun adalah perubahan skor minimal 0,3.

Berdasarkan indeks persepsi korupsi, Indonesia masih masuk ke dalam jajaran

negara-negara terkorup. Menurut survei Transparency International, skor IPK

Indonesia tahun 2011 adalah 3, hanya beranjak 0,2 dari skor tahun 2010.

Perubahan skor 0,2 antara tahun 2010 dan 2011 tidak berarti apa-apa secara

metodologi atau dapat dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam

pemberantasan korupsi. Indonesia menempati peringkat ke 100 dari total 183

negara yang disurvei. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sama dengan

Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko,

Sao Tome and Principe, Suriname dan Tanzania. Skor Indonesia masih di bawah

Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand (Kompas, 2 Desember 2011).

Sementara itu berdasarkan laporan dari Kepolisian Republik Indonesia,

jumlah perkara yang masuk selama tahun 2011 sebanyak 1.323 perkara korupsi

mengalami peningkatan dari pada tahun 2010 yakni sebanyak 585 perkara.

Selama kurun waktu dua tahun tersebut kerugian negara pada tahun 2010 sebesar

Rp 560.348.259.862,00 dan di tahun 2011 kerugian negara sebesar Rp

2.007.342.317.820,00. Dengan demikian dalam waktu dua tahun kerugian negara

mengalami kenaikan sebesar 258,39% (www.mediaindonesia.com diakses tanggal

7 Januari 2012).

Selanjutnya, Senin 16 Maret 2015, Indonesian Corruption Watch juga

merilis hasil kajian trend vonis korupsi pada tahun 2014. Secara garis besar trend

Page 10: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

9

vonis pada 2014, menggambarkan bahwa kerja institusi pengadilan tindak pidana

korupsi tidak maksimal dalam menghukum terdakwa korupsi. Tidak maksimalnya

kinerja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampak dalam bobot

penghukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi.

Dengan demikian, tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas

dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang

terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana

korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek

kehidupan masyarakat.

D. Beberapa Upaya Pemberantasan Korupsi

Hal penting yang perlu diperhatikan ketika merumuskan strategi anti

korupsi, adalah korupsi merupakan kejahatan kalkulasi, bukan kejahatan karena

dorongan nafsu. Orang cenderung melakukan korupsi bila resikonya rendah,

sanksi ringan dan hasilnya besar. Kesimpulan ini sama dengan rumus Klitgaard,

Abaroa dan Parris yang disebut di atas, karena hasil yang diperoleh akan lebih

besar lagi bila kekuasaan monopoli bertambah besar. Tetapi, ada tambahan ide

dari kesimpulan ini, yaitu insentif marginallah yang menentukan kalkulasi yang

dilakukan oleh pejabat korup, pejabat yang berpotensi korup dan warga

masyarakat. Ubahlah informasi dan insentif, maka korupsi juga akan berubah.

World Bank merekomendasikan tiga komponen penting dalam strategi

pemberantasan korupsi, diantaranya adalah:

1. Membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur

penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya.

Rekruitmen berdasarkan prestasi dan sistem promosi haruslah

diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol

keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah

terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi.

2. Menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-

tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam

perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan.

Page 11: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

10

3. Menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat

monitoring dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik hendaknya

juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan publik (Ilyas dan

Umar, 2004).

Selanjutnya menurut Ilyas dan Umar (2004), pemberdayaan fungsi kontrol

dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga pemberantasan korupsi dapat

berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam

pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini, diantaranya adalah:

1. Memperkuat kelembagaan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor

pegawai, pejabat dan politisi.

2. Meningkatkan tekanan publik agar lembaga-lembaga mekanisme kontrol

tersebut bisa berfungsi dengan baik dan ini memerlukan reformasi struktur

politik kenegaraan dan partai politik dan lingkungan sosial yang

memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan.

3. Mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk

pemberantasan korupsi.

Selanjutnya Kartono (2005) memberikan saran untuk memberantas

korupsi diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat, antara lain:

1. Adanya kesadaran rakyat ikut memikul tanggung jawab guna melakukan

partisipasi politik dan kontrol sosial dan tidak bersikap acuh tak acuh.

Kontrol sosial baru bisa efektif apabila bisa dilaksanakan oleh dewan-

dewan perwakilan yang benar-benar representatif dan otonom, pada taraf

desa sampai taraf pusat dan nasional.

2. Memanfaatkan aspirasi nasional yang positif yaitu mengutamakan

kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan negara,

melalui sistem pendidikan formal, non formal dan pendidikan agama.

3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, baik dengan mematuhi

pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab susila.

4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan

menghukum tindak pidana korupsi, tanpa kekayaan riil dan berani

bertindak tegas, semua undang-undang, tim, komisi dan operasi menjadi

mubazir, menjadi penakut burung belaka.

Page 12: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

11

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui

penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahnya.

Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik disertai sistem

kontrol yang teratur terhadap administrasi pemerintah, baik dipusat

maupun daerah.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement atau

keterampilan teknis dan bukan berdasarkan norma ascription, sehingga

memberikan keleluasaan bagi berkembangnya nepotisme. Hendaknya

dilakukan pemecatan terhadap pegawai-pegawai yang jelas melakukan

korupsi dan bukan hanya memindahkan atau mempromosikan mereka ke

tempat lain.

7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non politik, demi

kelancaran administrasi pemerintah. Di tunjang oleh gaji yang memadai

bagi para pegawai dan ada jaminan masa tua sehingga berkurang

kecenderungan melakukan korupsi.

8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur. Kompleksitas hierarkhi

administrasi harus disertai disiplin keras yang tinggi, sedang jabatan dan

kekuasaan didstribusikan melalui norma-norma teknis.

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung

jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang efisien. Menyelenggarakan

sistem pemungutan pajak dan bea cukai yang efektif dan supervisi yang

ketat, baik di pusat maupun di daerah.

10. Heregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang

menyolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya

tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi, disita oleh negara.

E. Daftar Pustaka

Albrecht, W. Steve and Chad O. Albrecht, Fraud Examination, Thomson South

Westrn, 2003.

Alatas, Syed Husein. 1981. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data

Kontemporer, LP3ES, Jakarta.

Balkaran, Lal. 2002. Curbing Corruption: The Internal Auditor. Altamonte Spring

Feb., Vol. 59, Pg. 40-47.

Page 13: Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan (Paper Korpri)

12

Demartoto, Argyo. 2007. Corruption Behaviour In The Local Autonomous Era

(Empirical Facts and Corruption Fighting Strategy in Indonesia), Spirit

Publik, Vol 3, Nomor 2, Halaman 89-102.

Hustead, Bryan W. 2002. “Culture and International Anti Corruption Agreements

in Latin America”, Journal Of Business Ethics, Vol. 37, No. 4, Pg. 413-

422.

Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum Di Sarang Koruptor,

Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Indrayana, Denny. 2008. Negeri Antara Ada dan Tiada, Kompas Media

Nusantara, Jakarta.

Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial Jilid I, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kasim, Azhar. 2004. Perilaku Korupsi Di Indonesia, Jurnal Bisnis & Birokrasi

No. 01/Vol. XII/ Januari 2004.

Klitgaard, Robert; Abaroa, Ronald Mclean dan Paris, H. Lindsey. 2002. Penuntun

Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor,

Jakarta.

Kompas, “Pemberantasan Korupsi Efek Jera Saja Tak Kompak...”, 19 Desember

2011.

, “Korupsi Perlu Dipetakan”, 11 November 2011.

, “Disiplin Penegakan Hukum, Jaksa Diadukan Memeras Saksi Rp 500

Juta”, 22 Desember 2011.

Suradi. 2006. Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta mengurai

Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya dan Etika Bisnis, Gava

Media, Yogyakarta.

Soewartojo, Junaidi. 1998. Korupsi (Pola Kegiatan dan Penindakannya serta

Peran Pengawasannya dalam Penanggulangannya, Balai Pustaka,

Jakarta.

Umar, Musni dan Ilyas Sukri. 2004. Korupsi Usaha Bersama, Lembaga Pencegah

Korupsi, Jakarta.