lap lapan zona pesisir potensi ikan

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana wilayahnya terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas wilayah perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta memiliki potensi dan keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang sangat besar, sehingga merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas primer di wilayah pesisir (biasa disebut coastal zone yang meliputi wilayah darat dan wilayah perairan di dekat pantai), seperti estuari, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari 10.000 grC/m 2 /th, sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat mencapai lebih dari 500 grC/m 2 /th (Supriharyono. 2000). Nilai produktivitas primer di wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan produktivitas primer di wilayah perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir tersebut. Dahuri et al. (2000) menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan pembangunan sumber daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu : 1) Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2 atau 62% dari luas teritorialnya. 2) Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan. 3) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020 menjadikan kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional. 4) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroinduistri, permukiman, transportasi dan pelabuhan. Untuk Bidang Perikanan,Total nilai ekonomi potensi sumber daya perikanan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 82.06 Milyar (DKP, 2003), belum termasuk potensi yang dapat dikembangkan dari sektor pariwisata bahari maupun perhubungan laut. Secara lebih rinci potensi ekonomi perikanan disajikan pada Tabel 1-1 berikut : 1

Upload: saiful-arif

Post on 25-Apr-2015

119 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana

wilayahnya terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km

yang membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas

wilayah perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta memiliki potensi

dan keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang sangat besar, sehingga

merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas primer di wilayah pesisir (biasa

disebut coastal zone yang meliputi wilayah darat dan wilayah perairan di dekat pantai),

seperti estuari, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari

10.000 grC/m2/th, sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat

mencapai lebih dari 500 grC/m2/th (Supriharyono. 2000). Nilai produktivitas primer di

wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan produktivitas primer di wilayah

perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah

Indonesia mengambil kebijakan yang strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir

tersebut.

Dahuri et al. (2000) menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan

pembangunan sumber daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu :

1) Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang

terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis pantai sepanjang

81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorialnya.

2) Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin

menipisnya sumberdaya alam di daratan.

3) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi

poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020 menjadikan

kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional.

4) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama

untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroinduistri,

permukiman, transportasi dan pelabuhan.

Untuk Bidang Perikanan,Total nilai ekonomi potensi sumber daya perikanan

Indonesia diperkirakan mencapai US$ 82.06 Milyar (DKP, 2003), belum termasuk potensi

yang dapat dikembangkan dari sektor pariwisata bahari maupun perhubungan laut.

Secara lebih rinci potensi ekonomi perikanan disajikan pada Tabel 1-1 berikut :

1

Page 2: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Tabel 1-1 Potensi Ekonomi sumberdaya Perikanan Indonesia.

Komoditas Potensi maksimum

lestari (1000 ton) Perkiraan Nilai (US$ Miliar)

Perikanan Tangkap 5.006 15,10

Perairan Umum 356 1,07

Budidaya Laut 46.700 46,70

Budidaya Tambak 1.000 10,00

Budidaya Air Tawar 1.039 5,19

Bioteknologi Kelautan - 4,00

Jumlah 82,06

Sumber: DKP (2003).

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi pusat yang berwenang

dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan lautan pada tahun 2003 telah mencanangkan

program Gerakan Nasional Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari dengan target produksi

perikanan tahun 2006 sebesar 9,5 juta ton, kontribusi terhadap PDB sebesar 10 %,

pencapaian devisa dari ekspor sebesar US$ 10 Milyar, penyerapan tenaga kerja 7,4 juta

orang dan tingkat konsumsi ikan 30 kg/kapita/tahun.

Sumber daya wilayah pesisir lainnya adalah bidang Pariwisata bahari. Pada tahun

2002 pemerintah telah mencanangkan program ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan

sebagai tahun wisata bahari. Direktorat Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub

Direktorat Pengembangan Pariwisata (2002) menyatakan bahwa realisasi tahun wisata

bahari adalah berupa pengembangan objek-obkek wisata bahari baru dalam bentuk

pengembangan wisata dengan ketertarikan khusus seperti menyelam (diving), snorkling

dan surfing. Dengan modal keindahan alam dan keragaman flora/fauna yang sangat khas

dan tak dimiliki oleh negara lain. Maka pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal

Pariwisata menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada

tahun 2003 adalah sebesar 6,3 juta orang, dan dari sektor ini diharapkan dapat meraup

devisa sebesar 6,3 milyar dollar AS (Kompas, 2002).

1.2. Potensi wilayah Pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo 1.2.1. Kabupaten Banyuwangi

Banyuwangi, sebuah kabupaten paling ujung timur propinsi Jawa Timur dengan

posisi geografis 7o40’ – 8o46’ LS dan 113o 53’ – 114o38’ BT, memiliki luas wilayah 5.782,50

2

Page 3: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

km2 dengan panjang garis pantai 291,5 km dan menyimpan potensi sumber daya pesisir

yang cukup besar dan beragam sehingga pihak pemerintah pusat melalui Badan

Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tahun 2001 memberikan arahan prioritas

pengembangan kawasan laut dan pesisir Banyuwangi dan sekitarnya menjadi 3 (tiga)

sektor unggulan, yaitu perikanan, pertambangan dan pariwisata dengan kota Banyuwangi

sebagai main project nya.

Bagi Kabupaten Banyuwangi, Otonomi Daerah (Otoda) adalah kata yang

diterjemahkan menjadi pembentukan sikap mandiri yang mengacu kepada dua hal, yaitu

pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring kewenangan

daerah mengelola keuangan sendiri, Banyuwangi juga tak ketinggalan memacu

pendapatan asli daerah (PAD). Kenaikan PAD yang cukup besar yang “hanya” dari Rp.9,9

milyar pada tahun 2000 menjadi Rp.35 Milyar pada tahun 2003 di capai melalui

pembangunan kawasan berbasis maritim melalui kegiatan proyek pembuatan terumbu

karang, pengembangan pantai, dan pengelolaan perikanan dengan melibatkan

masyarakat pesisir pantai Kabupaten Banyuwangi.

1.2.2. Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur

sepanjang pantai Selat Madura dengan panjang ±150 km, dan kedalaman wilayahnya

dari pantai rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya

perikanan pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah

memberikan peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya

kelautan sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo menjadi

lokasi budidaya perikanan diharapkan akan memberikan kontribusi yang nyata bagi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo,

2001).

Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo

menempati urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis

dan Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan

memberdayakan masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi

kelautan dan perikanan di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal itu,

Kabupaten Situbondo menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai sebesar

17.353 ton dengan perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar 62.685.000 rupiah

pada tahun 2005 (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).

3

Page 4: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

1.3. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh berbasis satelit untuk Indentifikasi Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan

Teknologi Penginderaan Jauh (Remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi

untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung

dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi

sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk

mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan

teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif murah dan

mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat digunakan untuk

keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau daerah yang

terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan

ditampilkan sesuai keinginan.

Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah

banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan

lautan. Penelitian dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik perairan

(suhu permukaan laut, Klorofil, Muatan Padat Tersuspensi, Kecerahan perairan dll)

wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti monitoring dan

penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir.

Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan model

untuk penentuan distribusi parameter fisik perairan adalah sebagai berikut: Pembangunan

model algoritma Suhu Permukaan Laut dan Klorofil (indikasi kesuburan perairan) untuk

berbagai wilayah perairan menggunakan data satelit resolusi moderat dan resolusi tinggi,

seperti: satelit NOAA, SeaWiFS, IRS, Modis. J.W. Chipman et. al. (2004) membangun

algoritma kecerahan perairan dengan model Seichi Disk Transparency (DSP)

menggunakan data satelit Landsat multi temporal untuk sebagian besar danau wilayah

Amerika Serikat. Budhiman (2004) menggunakan beberapa data satelit meliputi Landsat

TM dan ETM, Aster dan SeaWiFS untuk memperoleh model algoritma dalam penentuan

Muatan Padat Tersuspensi di perairan Delta Mahakam,

Penelitian yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan pengembangan wilayah

pesisir adalah sebagai berikut: Ratnasermpong (1996) mengkaji peranan penginderaan

jauh untuk pemantauan hutan mangrove dan tambak udang di Thailand; Ramesh dan

Rajkumar (1996) mengkaji penggunaan data penginderaan jauh dan SIG untuk

perencanaan penentuan lokasi budidaya perikanan pantai di Tamil Nadu, India; Winarso

et al. (1999) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang

di Ketapang, Sulawesi Selatan; Niendyawati (1999) memanfaatkan data penginderaaan

4

Page 5: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

jauh dan SIG untuk penentuan lokasi tambak udang di pantai timur Lampung; Riqqi dan

Nganro (2002) memanfaatkan SIG untuk menentukan prototipe pemanfaatan dan

pengelolaan kawasan Tambak di Serang (Banten), LAPAN (2002) memanfaatkan data

penginderaan Jauh dan SIG untuk inventarisasi potensi pariwisata bahari di Propinsi

Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo, Bambang et. al.(2003) memanfaatkan data

penginderaan jauh dan SIG untuk analisa kesesuaian kegiatan budidaya laut dan

pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat.

Pada kegiatan ini, data satelit beresolusi tinggi dan moderat (Landsat, NOAA dan

Fengyun) dan data sekunder dimanfaatkan untuk mengamati parameter fisik perairan

(Bathimetri, SPL, MPT, Kecerahan), parameter fisik daratan (Landuse, DEM, sungai,

slope dan bentuk pantai), sumberdaya alam (terumbu karang, pasir, mangrove, lamun)

dan parameter sosek (sarana/prasarana) di wilayah pesisir. Kemudian dengan

menggunakan model pembobotan dan analisa spasial, akan dicoba untuk menilai potensi

wilayah pesisir sebagai informasi awal berbasis teknologi penginderaan jauh bagi

pengembangan budidaya ikan karang menggunakan keramba jaring apung dan

pariwisata bahari di wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Untuk

mempertinggi tingkat kepercayaan dan memaksimalkan penggunaan teknologi

penginderaan jauh, dilakukan koreksi (geometrik, radiometrik dan atmosferik), perbaikan

metoda dan penggunaan algoritma yang berbasiskan nilai reflektansi.

1.4. Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan Output dari Kegiatan

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasikan kawasan berpotensi untuk

pengembangan wilayah pesisir, khususnya kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari

di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dengan menggunakan informasi penginderaan

inderaja dan SIG. Sasarannya adalah tersedianya informasi kondisi fisik perairan wilayah

pesisir, informasi sumberdaya alam dan informasi spasial zona potensi budidaya laut dan

pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, yang diharapkan

dapat bahan pertimbangan (early information) bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi

dan Situbondo dalam pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari.

Ruang lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

Melakukan identifikasi parameter fisik perairan di wilayah pesisir Banyuwangi dan

Situbondo,

Melakukan identifikasi potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Banyuwangi dan

Situbondo,

Melakukan analisis pengembangan budidaya laut di wilayah pesisir Banyuwangi.

5

Page 6: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Melakukan analisis pengembangan pariwisata bahari di wilayah pesisir Situbondo. •

Output yang diharapkan berupa:

Informasi spasial parameter fisik perairan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi

dan Situbondo,

Informasi spasial sumberdaya alam wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan

Situbondo

Informasi spasial wilayah perairan untuk budidaya perikanan karang wilayah pesisir

Kabupaten Banyuwangi,

Informasi spasial wilayah perairan untuk pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten

Banyuwangi dan Situbondo.

6

Page 7: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penataan ruang yang baik dalam pemanfaatan wilayah pesisir adalah mutlak

diperlukan. Salah satu cara untuk mendapatkan tata ruang yang baik adalah dengan

melakukan evaluasi lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dalam kegiatan ini

berhubungan dengan pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir.

Salah satu komponen dasar dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata adalah

inventarisasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Kegiatan tersebut adalah vital bagi

pengelola untuk mengetahui kualitas dan keberadaan dari sumberdaya pesisir, terutama

sumberdaya yang penting bagi industri perikanan pantai dan pariwisata sekaligus sebagai

pengatur lingkungan (Martin, 1993). Oleh karena itu perlu dipahami pengetahuan mengenai

karakteristik wilayah pesisir dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya.

2.1. Wilayah Pesisir dan Potensinya

Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2001), ada 3 batasan pendekatan untuk

mendefinisikan wilayah pesisir yaitu:

1. Pendekatan ekologis: wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih

dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan

kawasan laut yang masih diengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan

pencemaran.

2. Pendekatan administrasi: wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi

pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten

atau kota yang mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk

propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.

3. Pendekatan perencanaan: wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan

sumber daya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara

bertanggung jawab.

Gambar 2-1, meperlihatkan batas-batas fisik wilayah pesisir (Brahtz, 1972; dalam

Supriharyono, 2000). Dimana wilayah pesisir (Coastal area) terdiri dari wilayah yang meliputi

lahan pesisir (Coast), pantai (Shore) dan perairan dangkal (Nearshore).

Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan

pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Menurut

Dahuri (2000) lima alasan mengapa wilayah pesisir perlu dikelola secara terpadu:

1) Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar

ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas

dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem, cepat

7

Page 8: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

atau lambat akan mempengaruhi ekosistem yang lainnya.

2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya

alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan,

3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok

masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan (preference)

bekerja yang berbeda. Padahal sangat sukar untuk mengubah profesi seseorang yang

sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan,

4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara

monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan intemal maupun

ekstemal yang menjurus kepada kegagalan usaha,

5) Kawasan pesisir pada umumnya adalah merupakan sumberdaya milik bersama

(common property resources) yang dapat dimanfaatakn oleh semua orang (open acces).

Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan

keuntungan

.

Gambar 2-1 Batas-Batas Fisik Wilayah Pesisir

Potensi sumber daya wilayah pesisir sangat beragam, Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau

kecil (2001) membagi potensi tersebut menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Sumber daya hayati

Seperti: bermacam jenis ikan, udang, rumput laut, mangrove, terumbu karang

2. Sumber daya non hayati

Seperti: bermacam jenis mineral, pertambangan dan energi (gas dan minyak)

Selain itu bentuk kekayaan alam yang indah, kondisi perairan dan keanekaragaman flora

fauna di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata. Misalnya

memanfaatkan kawasan terumbu karang yang mempunyai berbagai macam jenis ikan

8

Page 9: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

karang dan ikan hias, memanfaakan kawasan magrove dimana Indonesia merupakan

tempat komunitas magrove terluas di dunia. Sampai akhir tahun 2002, terdapat 241 daerah

kabupaten atau kota yang memiliki wilayah pesisir (Sapta Putra, Pers.comm 2000). Dengan

demikian Indonesia memiliki lokasi obyek wisata bahari yang cukup besar dibandingkan

negara manapun.

2.2. Budaya Ikan Kerapu Menggunakan Keramba Jaring Apung 2.2.1. Ikan Kerapu

Dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan nama grouper atau trout,

mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis habitat. Dari semua spesies

tersebut, bisa dikelompokkan ke dalam 7 genus meskipun hanya 3 genus yang sudah

dibudidayakan dan menjadi jenis komersial yaitu genus Chromileptes, Plectropomus, dan

Epinephelus.

Spesies kerapu komersial Chromileptes altivelis merupakan jenis kerapu yang saat ini

paling mahal. Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau

dalam bahasa lokal sering disebut ikan kerapu bebek/tikus. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna

dasar abu-abu dengan bintik hitam. Ikan yang muda merupakan ikan hias laut yang

mempunyai bintik lebih besar serta lebih sedikit dibandingkan ikan yang lebih tua (Gambar 2-2(a)). Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep. Riau, Bangka, Lampung dan kawasan

perairan terumbu karang.

Kerapu s

ditemukan hid

disebut juga

Mempunyai b

Gambar 2-2. Jenis Ikan Kerapu Yang Telah Dibudidayakan.

unuk (Plectropomus maculatus) yang dikenal sebagai coral trout sering

up di perairan berkarang. Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga

kerapu merah, yang warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stress.

intik-bintik biru bertepi warna lebih gelap (Gambar 2-2(c)). Daerah habitat

9

Page 10: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

tersebar di perairan Kep. Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka

Selatan, dan perairan terumbu karang.

Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai warna dasar hitam

berbintik-bintik rapat yang berwarna gelap sehingga disebut juga kerapu hitam, sirip dada

kerapu macan berwarna kemerahan, sedangkan bagian pinggir sirip-sirip lainnya berwarna

cokelat kemerahan (Gambar 2-2(b)). Sedangkan Kerapu Lumpur atau estuary grouper

(Epinephelus suillus) mempunyai warna dasar abu-abu muda dengan bintik coklat dan

mempunyai lima pita vertikal berwarna gelap (Gambar 2-2(d)). Kedua spesies ini paling

banyak dikenal dan dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif

lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan,

Kep. Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai (Sunyoto P., 2000).

2.2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)

Pengembangan budidaya ikan kerapu dengan karamba jaring apung (KJA) merupakan

salah satu alternatif untuk mengatasi kendala peningkatan produksi perikanan laut. Hal ini

dikarenakan teknologi KJA ini mempunyai banyak keuntungan dibandingkan cara

pemeliharaan dan penangkapan ikan secara konvensional seperti yang telah diuraikan di

bab 1 pendahuluan. Gambar 2-3 memperlihatkan salah satu bentuk karamba jaring apung di

laut.

Gambar 2-3 Karamba Jaring Apung di Laut

Berdasarkan laporan evaluasi pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2001 oleh

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, Tempat kegiatan budidaya ikan kerapu

dengan menggunakan KJA di Kabupaten Situbondo adalah di perairan Klatakan kecamatan

Kendit dengan jumlah KJA 18 unit (69 petak jaring), perairan Gelung kecamatan Panarukan

dengan jumlah KJA 11 unit (39 petak jaring) dan perairan Sumberwaru kecamatan

10

Page 11: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Banyuputih dengan jumlah KJA 8 unit (32 petak jaring). Jenis ikan yang dipelihara di KJA

tersebut terdiri dari: Ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu sunu dan

kerapu sumay. Ukuran benih sebar bervariasi antara 20-300 gram/ekor, sedangkan lama

pemeliharaan 7-12 bulan bergantung kepada jenis ikan dan ukuran benih sebar. Semakin

besar ukuran benih sebar semakin cepat waktu pemeliharaan.

Menurut majalah Trubus (Redaksi Trubus, 2000), Kontruksi KJA yang terbaik adalah

terdiri dari karamba-karamba jaring yang dipasangkan pada rakit terapung. Untuk membuat

KJA, pertama adalah pembuatan rakit apung yang bahan bakunya bisa dari kayu, bambu,

pipa besi atau paralon dan dilengkapi pelampung untuk mengapungkannya. Pelampung

yang digunakan biasanya adalah: drum plastik, drum oli atau pelampung stereofoam. Ukuran

rakit bervariasi, umumnya dibuat 8 m × 8 m per unit dengan 4 petak karamba jaring

berukuran 3 m × 3 m × 3 m dibawahnya. Dalam satu lokasi biasanya terpasang

beberapa unit rakit, dimana salah satunya dilengkapi rumah jaga untuk memudahkan

pekerjaan perawatan dan pengawasan di lokasi. Yang kedua pembuatan dan penyiapan 3

macam karamba jaring, yaitu untuk Pendederan (pemeliharaan yang dimulai saat benih ikan

kerapu berukuran 2–3 cm dengan bobot rata-rata 1,2 gram), Penggelondongan (dimulai saat

ukuran mencapai 25 – 50 gram/ekor) dan Pembesaran (dimulai saat ukuran mencapai 75 –

100 gram/ekor).

2.2.3. Peluang Pasar - Pasar Ekspor

Perkembangan ekspor Ikan, khususnya produksi perikanan laut termasuk ikan kerapu

budidaya Kajapung dan hasil penangkapan para nelayan, dari Indonesia menunjukkan

peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 Indonesia mengekspor hasil produksi

perikanan (belum termasuk komoditas udang) sebesar 25.000 ton dengan nilai US

$ 65.326.000, kemudian meningkat menjadi 27.000 ton dengan nilai US $ 64.058.000 pada

tahun 1996, dan meningkat pesat pada tahun 1998 menjadi 708.000 ton dengan nilai US

$ 680.639.000 (http://www.bi.go.id).

Permintaan terhadap ikan kerapu sangat besar, sebagian besar dari produksi ikan

kerapu (baik budidaya maupun hasil tangkapan nelayan) diekspor ke luar negeri dalam

bentuk ikan fresh, ikan olahan setengah jadi (fillet, sashimi, dan sebagainya) serta ikan

hidup, dengan tujuan negara-negara utama seperti Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura,

Malaysia dan AS. Selain itu, ditinjau dari segi harga jual (khususnya untuk ekspor) ternyata,

komoditi ikan kerapu menunjukkan trend harga yang baik dan terus meningkat dari tahun

ketahun seperti ditunjukkan di Table 1-3.

11

Page 12: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

- Pasar Dalam Negeri/Lokal Meskipun usaha budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA ini orientasi

pemasarannya adalah untuk tujuan ekspor, namun sebagian dari hasil produksi

diharapkan dapat dipasarkan pula untuk konsumsi dalam negeri. Dengan pertimbangan

untuk memenuhi peningkatan kebutuhan gizi masyarakat, juga untuk melayani permintaan

dari restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang, yang pada umumnya

mencantumkan menu sea food di mana ikan kerapu menjadi salah satu menu primadona.

Sedangkan untuk menguji seberapa besar permintaan dalam negeri memang agak sulit,

karena data statistik memang tidak ada. Akan tetapi, peluang pemasaran dalam negeri

untuk komoditi perikanan laut, pada umumnya tidak terlalu menjadi masalah, apalagi bagi

jenis-jenis hasil laut yang telah populer dan menjadi menu utama pada restoran atau

hotel-hotel berbintang, seperti ikan kakap, ikan kerapu, lobster, dan berbagai jenis udang.

Pada kenyataannya, produsen hasil laut pada umumnya sangat kewalahan untuk memenuhi

permintaan dalam negeri.

2.3. Parameter Fisik Perairan a. Kecepatan dan Arah Arus

Kecepatan arus dan arah arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengeliminasi dan mengangkut bahan pencemar serta

perkiraan pergerakan bahan pencemar mencapai lokasi tertentu. Satuan kecepatan arus

adalah meter per detik (m/s).

Jika air tidak mengalir akan berakibat de-oksigenasi (kekurangan oksigen terlarut),

timbulnya serangan penyakit, tertimbunnya hasil pembusukan dan menyebabkan air jadi

kotor, dan endapan menebal. Tetapi, dalam budidaya ikan perlu diperhatikan pula arah dan

kekuatan arus air, dimana arus yang kuat akan menimbulkan gelombang yang tinggi yang

akan menganggu dam merusak karamba jaring yang dipakai. Oleh karena itu jumlah dan

peletakkan karamba jaring di suatu wilayah perairan berhubungan dengan dengan kondisi

aliran air laut.

b. Kedalaman

Pada budidaya ikan kerapu kedalaman wilayah perairan yang paling ideal adalah 7-15

meter pada saat air surut paling rendah. Kedalaman perairan merupakan faktor yang sangat

penting untuk kemudahan pemasangan dan penempatan keramba jaring dan membantu

proses budidaya yang akan dilakukan. Perairan yang curam dan dalam sangat menyulitkan

untuk penempatan keramba jaring apung, terutama untuk menentukan panjang jangkar yang

dibutuhkan.

c. Suhu Permukaan Laut

Suhu permukaan air laut dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari

12

Page 13: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran

serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia,

dan biologi badan air. Suhu biasanya dinyatakan dalam satuan derajat Celsius (oC) atau

derajat Fahrenheit (oF).

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan

volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam

air seperti: gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi

organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya

mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10 oC suhu perairan

meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan

suhu ini dibarengi dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, sehingga

keberadaan oksigen di perairan kadangkala tak mampu memenuhi peningkatan oksigen

yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi. Dekomposisi

bahan organik oleh mikroba juga menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya

suhu. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sekitar

20 - 30 oC (Effendi, 2000).

d. Kecerahan dan Kekeruhan air laut.

Kecerahan air bergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran

transparansi perairan, ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang

pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad XIX. Pada penggunaan secchi

disk ini beliau berusaha mengkuantitatifkan kekeruhan air dalam suatu nilai dikenal dengan

kecerahan secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2000). Nilai kecerahan yang

diungkapkan dengan satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu

pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan

pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.

Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.

Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut

seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan

mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2000).

Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO2. Satuan kekeruhan

dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

Kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi cahaya

ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.

e. Klorofil-A

Klorofil-A merupakan salah satu dari parameter yang sangat menentukan produktivitas

primer di perairan pantai atau laut. Klorofil-A merupakan suatu pigmen yang didapatkan

13

Page 14: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

dalam fitoplankton, dan mempunyai fungsi sebagai mediator dalam proses fotosintesis

(Wyrtki, 1961). Oleh karena itu kandungan klorofil-A dalam perairan merupakan salah satu

indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan

(Yamaji, 1966 dan Anonim, 1985). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-A

sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia

yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-A, adalah intensitas cahaya, nutrien

(terutama nitrat, fosfat dan silikat).

f. Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi

Padatan yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel

seperti pada Tabel 2-1.

Tabel 2-1. Klasifikasi padatan berdasarkan ukuran diameter (Effendi, 2000)

Klasifikasi padatan Ukuran Diameter (µm) Ukuran Diameter (mm)

1. Padatan terlarut < 10-3 < 10-6

2. Koloid 10-3 - 1 10-6 - 10-3

3. Padatan tersuspensi > 1 > 10-3

Massa Padatan Tersuspensi (MPT) atau dikenal juga sebagai Total Suspended Solid

(TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan

milipore dengan diameter pori 0.45 µm. MPT terdiri dari Lumpur dan pasir halus serta

jasad-jasad renik. Penyebab nilai MPT yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah

yang terbawa ke badan air. Nilai TSS bila berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke

dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.

Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter

< 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 - 10-3 mm) berupa senyawa-senyawa kimia dan

bahan-bahan lainnya yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45 µm.

Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion umum dijumpai di perairan. Air laut

memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang juga

mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Nilai TDS perairan sangat

dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik

(berupa limbah domestik dan industri.

2.4. Penilaian Kesesuaian Lahan

Hasil proses penilaian kesesuaian lahan diwujudkan dalam bentuk sistem klasifikasi

kesesuaian lahan. Menurut FAO (1983), sistem klasifikasi kesesuaian lahan dibedakan

dalam tiga kategori, yaitu: Order, Kelas dan Sub Kelas. Kesesuaian tingkat order

mengidentifikasikan apakah lahan tersebut sesuai (S) atau tidak sesuai (N) untuk suatu

14

Page 15: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tingkat kelas merupakan pembagian lebih lanjut dari

order dan menggambarkan tingkatan-tingkatan order. Secara hirarki kelas-kelas kesesuaian

lahan adalah sebagai berikut :

(1) Kelas sangat sesuai (S1). Lahan ini tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti

untuk penggunaan terhadap suatu tujuan secara berkelanjutan atau hanya sedikit faktor

pembatas yang tidak akan mengurangi produktivitas atau keuntungan terhadap lahan

tersebut.

(2) Kelas cukup sesuai (S2). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang berat untuk

penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau

keuntungan terhadap lahan ini.

(3) Kelas hampir sesuai (S3). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat berat

untuk penggunaan secara berkelanjutan dan akan mengurangi produktivitas dan

keuntungan terhadap pemanfaatannya.

(4) Kelas tidak sesuai saat ini (N). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat berat

untuk penggunaan secara berkelanjutan sehingga menghambat dan menghalangi

beberapa kemungkinan untuk pemanfaatannya. Tetapi hambatan itu masih dapat diatasi

atau diperbaiki dengan tingkat pengelolaan tertentu.

(5) Kelas tidak sesuai selamanya (N2). Lahan ini tidak sesuai selamanya, karena jenis

faktor penghambat yang permanen.

Beberapa contoh studi kesesuaian lahan telah dilakukan untuk kesesuaian lahan untuk

budidaya laut (ikan karang) menggunakan keramba jaring apung, yaitu untuk budidaya ikan

kakap putih di Nusa Tenggara Timur (Dewayani, 2000) dan ikan kerapu di Nusa Tenggara

Barat (Bambang et al, 2003). Pada studi tersebut kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi 4

kelas kesesuaian yaitu: Sangat sesuai (S1), Sesuai (S2), Sesuai bersyarat (S3) dan Tidak

sesuai (N).

2.5. Penginderaan Jauh dan SIG

Penginderaan jauh adalah ilmu memperoleh informasi tentang objek, daerah atau

fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung

dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Caranya

dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang datang dari obyek tersebut, baik yang

dipantulkan, diemisikan maupun dihambur balik.

Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang

diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit

yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas.

Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang

disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit

Landsat ETM 7 yang mempunyai 8 kanal spektral seperti tercantum pada Tabel 2-2 berikut

15

Page 16: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

(Thomas M.L.,2000).

Burough (1986) dalam Baba dan U.S. Wiradisastra (1996), mengidentifikasikan sistem

informasi geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,

menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek

permukaan bumi. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan,

prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi lebih

banyak memperoleh infomasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan spesifikasi

yang dibutuhkan.

Tabel 2-2. Karakteristik data Landsat-7 ETM

Satelit/

Sensor Kanal spectral

Resolusi

Spasial

Luasan

Cakupan satuan

Citra (km)

Waktu liputan

ulang (resolusi

temporal)

Kanal 1 : 0.45 - 0.52 nm 30 m x 30 m

Kanal 2: 0.52 - 0.61 nm 30 m x 30 m

Kanal 3: 0.63 - 0.69 nm 30 m x 30 m

Kanal 4: 0.76 - 0. 90 nm 30 m x 30 m

Kanal 5: 1.55 - 1.75 nm 30 m x 30 m

Kanal 6:10.40 - 12.50 nm 30 m x 30 m

Kanal 7: 2.09 - 2.35 nm 60 m x 60 m

Landsat 7/

ETM

Kanal 8: 0.52 – 0.90 nm 15 m x 15 m

185 x 185 16 hari

Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata,

penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan

dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke

lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan

menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan

bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas.

16

Page 17: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB III INVENTARISASI MASALAH

Berdasarkan hasil evaluasi pada kegiatan tahun 2003 yang bertemakan

“Pengelolaan Potensi Wilayah Pesisir Nusa Tenggara Barat”, beberapa hal yang

berhubungan dengan metoda penelitian memerlukan perbaikan. Hal tersebut adalah

sebagai berikut:

• Koreksi radiometrik dan atmosferik

• Model algoritma parameter fisik perairan

• Ketelitian peta bathimetri

• Analisis wilayah pesisir menggunakan DEM

Koreksi radiometrik dan atmosferik Penggunaan citra dengan basis digital number (DN) mempunyai kesalahan yang

belum terkoreksi, yaitu kesalahan radiometrik dan atmosferik. Kesalahan radiometrik

disebabkan karena pengaruh sudut elevasi matahari (sun elevation) dan jarak

matahari-bumi. Tidak terkoreksinya citra secara radiometrik mengakibatkan metoda yang

dipakai untuk menganalisis citra (sebagai contoh adalah model algoritma yang dibuat)

tidak dapat diterapkan pada citra pada tanggal atau tempat yang berlainan. Oleh karena

itu diperlukan koreksi radiometrik untuk menstandarkan kondisi sudut elevasi matahari

dan jarak matahari-bumi pada citra yang diterima pada waktu atau tempat yang berbeda,

dengan kata lain mengurangi atau mengeliminasi kesalahan radiometric

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Absorpsi Hamburan

Hamburan

Absorpsi

Absorpsi

Hamburan

Path radiansi

RadiansiIrradiansi

Satelit

Matahari

Objek di bumi

Atmosfir

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Absorpsi Hamburan

Hamburan

Absorpsi

Absorpsi

Hamburan

Path radiansi

RadiansiIrradiansi

Satelit

Matahari

Objek di bumi

Atmosfir

Gambar 3-1 Memperlihatkan Perjalanan Gelombang Elektromagnet Ke Sensor Satelit

17

Page 18: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Kesalahan lainnya yang perlu dikoreksi adalah kesalahan atmosferik. Kesalahan

atmosferik biasanya disebabkan oleh adanya path radiansi (gelombang elektro magnetik

yang dihamburkan/pantulkan oleh atmosfir ke sensor satelit), penyerapan (absorption)

gas dan hamburan aerosol di atmosfir. Dengan melakukan koreksi atmoferik diharapkan

noise dapat dikurangi atau di eliminasi. Gambar 3-1 memperlihatkan perjalanan

gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari sampai ke sensor satelit,

dimana keberadaan atmosfir sangat mempengaruhi intensitas energi gelombang

elektromagnet yang sampai ke sensor satelit. Pada kegiatan ini dilakukan koreksi

radiometrik berdasarkan buku manual satelit Landsat 7 ETM dan koreksi atmosferik

sistematis untuk menghilangkan path radiansi.

Model Algoritma Parameter Fisik Perairan Pada program Bina Usaha, kegiatan yang dilakukan bersifat operasional dimana

suatu kegiatan lebih diarahkan untuk menggunakan model atau formula yang sudah baku

dari penelitian-penelitian sebelumnya untuk menghasilkan produk akhir (untuk

disosialisasikan pada departemen/pemerintah daerah terkait). Permasalahan yang

dihadapi adalah tidak adanya model standard atau model yang siap digunakan untuk

kajian wilayah kegiatan (Perairan Indonesia). Pada umumnya model-model yang pernah

dikaji untuk perairan Indonesia menggunakan hubungan regresi digital number dengan

data insitu yang bersifat lokal sehingga hasil yang diperoleh umumnya berlaku sesaat

(hanya untuk data yang dikaji) dan lokal pada wilayah tertentu. Pada kegiatan

sebelumnya telah digunakan model-model dengan berbasis digital number, tetapi hasil

yang diperoleh masih jauh dari sempurna dan mengundang pertanyaan berkaitan dengan

tingkat keakurasian.

Perbaikan model algoritma untuk deteksi parameter fisik perairan dilakukan dengan

membangun model dan mengumpulkan model algoritma yang berbasiskan nilai

reflektansi yang telah terkoreksi radiometrik dan atmosferik. Disebabkan tidak adanya

data insitu sebagai pembanding data citra, maka model dibangun dengan menggunakan

pendekatan citra dengan citra satelit yang berlainan. Sebagai contoh model algoritma

SPL untuk satelit Landsat dibangun dengan membandingkan nilai SPL yang diperoleh

dengan nilai SPL dari satelit NOAA yang diasumsikan telah mempunyai formula yang

valid. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan data temporal yang diwakili dengan

data musim barat, musim timur dan lokasi yang berlainan.

Sedangkan parameter yang tidak ada data pembandingnya akan menggunakan model

algoritma pada penelitian sebelumnya yang berbasiskan nilai reflektansi terkoreksi.

18

Page 19: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Ketelitian Peta Bathimetri Permasalahan yang terjadi pada peta bathimetri adalah adalah tidak adanya peta

bathimetri yang berskala besar (ketelitian tinggi) untuk suatu areal yang luas seperti

kabupaten atau propinsi, pada umumnya peta bathimetri berskala lebih besar dari

1:200.000. Hal ini mengakibatkan model interpolasi kontur kedalaman yang diperoleh

bersifat global dan mempunyai keakurasian yang rendah untuk wilayah perairan dangkal

atau perairan wilayah pesisir. Permasalahan yang lain adalah berbedanya kondisi garis

pantai antara data citra (kondisi aktual saat ini) dengan garis pantai dari peta bathimetri

(dibuat lebih dari 20 tahun yang lalu), hal ini mengakibatkan tidak akuratnya informasi

kedalaman untuk wilayah sekitar pantai.

Usaha yang akan dilakukan adalah mencoba menurunkan titik kedalaman dengan

menggunakan data citra (Landsat) menggunakan model Depth of Penetration Zone (Jupp

(1988) dalam A.J. Edwards (1999)). Model ini mengunakan perbedaan kemampuan

penetrasi setiap band di dalam air sehingga diperoleh suatu daerah kedalaman yang

dibatasi oleh kedalaman penetrasi 2 band. Model ini hanya dapat menurunkan kedalaman

pada daerah yang dangkal atau terumbu karang dengan kondisi air yang jernih. Titik

kedalaman yang diperoleh akan ditambahkan pada titik kedalaman yang didijit dari peta

bathimetri, sehingga kontur kedalaman untuk perairan wilayah pesisir dapat menjadi lebih

halus dan teliti.

Analisis Wilayah Pesisir Menggunakan DEM Analisis bentuk pantai, slope (kemiringan) daratan sangat penting untuk mengetahui

potensi suatu daerah bagi pengembangan kegiatan di wilayah pesisir. Bentuk pantai yang

terjal dengan slope yang besar sangat menyulitkan untuk kepentingan aksesibilitas dan

pembangunan sarana/prasarana yang mendukung bagi pengembangan potensi wilayah

tersebut.

Pembuatan DEM dapat membantu untuk keperluan ini, DEM akan dibuat dengan

melakukan interpolasi data kontur daratan dari peta rupa bumi 1:25.000. Data ini

memberikan informasi setiap ketinggian 12.5 meter dan sangat penting untuk analisa

wilayah yang mempunyai slope yang besar (daerah terjal). Untuk daerah yang cenderung

datar akan sangat bermanfaat menggunakan DEM dari stereo data, dimana informasi

pada setiap luasan tertentu berdasarkan resolusi spasial dari citra yang digunakan.

19

Page 20: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB IV METODOLOGI

4.1. Bahan dan alat Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Data citra Landsat 7 ETM yang bebas tutupan awan untuk daerah Banyuwangi

dan Situbondo,

Banyuwangi (117/066) :

28 Mei 2002 (Musim barat) dan 3 Oktober 2002 (Musim timur)

Situbondo path/row (117/065 dan 118/065):

17 April 2002 dan 26 April 2002 (Musim barat)

29 Juni 2002 dan 6 Juli 2002 (Musim timur

2) Data temporal citra NOAA 2002 dan 2003 untuk analisis SPL di perairan

Banyuwangi dan Situbondo.

3) Peta rupa bumi 1:25.000 wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.

4) Peta informasi bathimetri 1:200.000 perairan Banyuwangi dan Situbondo.

5) Data Sekunder (Pasang surut, arus, angin, gelombang),

6) Data sosek wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.

Peralatan yang diperlukan untuk pengolahan data:

1) Hardware dan software untuk pengolahan data inderaja dan SIG yaitu digitizer,

imagine/ER. Mapper, Arc Info dan ArcView,

2) CD ROM, disket, alat tulis,

3) Alat dan bahan untuk pembuatan peta (Scanner, printer dan tinta).

4.2. Metode penelitian 4.2.1. Parameter-Parameter yang Diekstrak dari Teknologi Penginderaan Jauh

dan SIG

Pada kegiatan ini kami mencoba mengekstrak sebanyak mungkin parameter fisik

perairan dan parameter fisik daratan yang berkaitan erat dengan pengembangan potensi

wilayah pesisir, khususnya untuk pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata

bahari.

Penentuan jenis parameter-parameter didasarkan pada 3 pertimbangan yaitu:

Parameter tersebut sangat diperlukan untuk pengembangan potensi wilayah

pesisir,

20

Page 21: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Parameter tersebut dapat diidentifikasi menggunakan penginderaan jauh,

Mempunyai metoda/model/algorithma dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Flowchart metoda ekstraksi dan parameter fisik perairan dan fisik daratan yang

diperoleh diperlihatkan pada Gambar 4-1, Pembuatan DEM diperlihatkan pada Gambar 4-2 dan Pengolahan SPL menggunakan data NOAA diperlihatkan pada Gambar 4-3.

Landsat

Penggunaan model algorithmKlasifikasi dan digitasi

Titik kedalamanPerairan dangkal

Bathimetri

Titik kedalamanPerairan

Pengabungan dan interpolasiParameter fisik perairan

SPLKecerahan

TSMTerumbu karang

Parameter fisik daratan

MangrovePasir putih

Tutupan lahanSungaiJalan

Kedalaman perairan

Koreksi dan digitasi

Kedalaman

* Data pasut

Koreksi geometrik, radiometrik dan atmosferik

Gambar 4-1 Flowchart Metoda Ektraksi dan Parameter-parameter yang Diperoleh

Peta Rupa Bumi

Kontur

Citra Landsat 3 dimensi

Koreksi dan digitasi

Proses DEM

KelerenganBentuk pantai

Kontur 12.5 mSarana/prasarana

Pengabungan dengan Citra Landsat

Gambar 4-2 Flowchart Metoda Pembuatan DEM dan Informasi Yang Diperoleh

21

Page 22: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Data NOAA

Koreksi geometrikdan radiometrik

Model algorithm SPL

SPL harianSPL bulanan

Informasi sebaranSPL

Data temporal 1 bulanPengabungan

dan pengolahan

Nila rata-rata bulanan

Gambar 4-3 Flowchart Metoda Pembuatan Spl Mengunakan Data Temporal Noaa

Pengolahan data diawali dengan koreksi geometrik untuk mempersamakan posisi

pada citra dengan posisi pada peta, selanjutnya dilakukan koreksi radiometrik untuk

merubah nilai digital number suatu objek menjadi nilai refletansi objek tersebut. Yang

terakhir adalah melakukan koreksi atmosferik menggunakan model Dark Pixels

Subtracting Method.

Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pada sudut elevasi

matahari dan jarak matahari-bumi akibat penerimaan data yang berbeda waktu.

Sedangkan koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise

angkasa). Metoda koreksi radiometrik dilakukan berdasarkan “Landsat 7, Science Data

Users Handbook” dan A.J. Edwards (1999), yaitu dengan merubah digital number menjadi

nilai radiansi menggunakan “gain” dan “bias”, kemudian merubah nilai radiansi menjadi

nilai reflektansi menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari dan jarak

matahari-bumi.

Koreksi atmosferik menggunakan koreksi yang sederhana yaitu model Dark Pixels

Subtracting Method (A.J. Edwards, 2000), yaitu pengurangan nilai reflektansi dengan nilai

dari piksel gelap (asumsi bahwa ada objek yang menyerap gelombang elektro magnetik

secara sempurna sehingga tidak terjadi reflektansi, dengan kata lain nilai reflektansi pada

piksel objek tersebut adalah 0). Objek yang umumnya dianggap mempunyai piksel gelap

adalah lautan yang sangat dalam dan jernih atau bayangan awan yang sangat tebal.

Pada lokasi piksel gelap tersebut ditentukan nilai reflektansi minimum pada band 4

(near infrared, yang cenderung diserap secara sempurna oleh perairan), kemudian nilai

reflektansi minimum band 4 yang diperoleh dipakai untuk mengoreksi nilai reflektansi

22

Page 23: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

pada band 1,2 dan 3 dengan membuat bi-plot antara band 4 dan masing-masing band

tersebut. Nilai reflektansi minimum yang diperoleh masing-masing band digunakan untuk

mengurangi nilai reflektansi pada seluruh piksel dari setiap band.

Parameter Fisik Perairan Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik perairan, yaitu:

SPL, Kecerahan, TSM , Kedalaman dan Terumbu karang.

SPL (Suhu Permukaan Laut) Model algoritma SPL untuk data Landsat diperoleh dengan merubah nilai digital

number band 6 high ke nilai radiansi dan mengkonversi ke nilai suhu efektif (Suhu objek

yang dideteksi sensor setelah dikalibrasi dengan suhu referensi) “Landsat 7, Science

Data Users Handbook”. Kemudian nilai suhu efektif itu dibandingkan dengan nilai SPL

pada data NOAA. Perbandingan dilakukan untuk musim timur, musim barat dan pada

lokasi berbeda sehingga ditemukan nilai suhu koreksi.

Model algoritma SPL diperlihatkan dibawah:

C

LKKT −

+=

)11ln(

2 ………………………………………..(3-1)

Dimana,

T = Suhu efektif dalam oC

K2 = Konstanta kalibrasi 2, yaitu: 1282.71 Kelvin

K1 = Konstanta kalibrasi 1, yaitu: 666.09 (watts/m2 ster µm)

L = Spektral radiansi band 6 high (watts/m2 ster µm)

C = suhu koreksi dalam kelvin, yaitu: 277.5 oC

Selain itu sebagai pembanding, kami juga melakukan metoda lama menggunakan nilai

digital number untuk menentukan distribusi SPL (Lemigas,1997) menggunakan algoritma

seperti berikut:

Suhu (°C) = 16,32301 + 0,41632 b6 ……….……………...(3-2)

Dimana,

b6 = Digital number pada band 6

Kecerahan Perairan

23

Page 24: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Kecerahan perairan menggunakan model algoritma yang dibangun J.W. Chipman et.al.

(2004) untuk perairan danau di Wisconsin (USA), menggunakan perbandingan spektral

radiansi band 1 dan band 3. Pada model ini J.W. Chipman memberi istilah tingkat

kecerahan perairan sebagai SDT (Seichi Disk Transparency). Algoritmanya adalah

sebagai berikut:

193.331135.1)ln( −

=LLSDT …………………………….(3-3)

Dimana,

SDT = Kecerahan perairan dalam satuan meter

L1 = Spektral radiansi band 1

L2 = Spektral radiansi band 2

Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai digital

number untuk menentukan distribusi Kecerahan (Lemigas,1997), menggunakan algoritma

seperti berikut:

Kecerahan (m) = 17,51427 - 0,10925 b1………………….…(3-4)

Dimana,

b1 = Digital number pada band 1 (Landsat-7/ETM+)

Total Suspended Material (TSM) TSM yang mengidentifikasi kondisi kekeruhan perairan menggunakan model

algoritma yang dibangun S. Budhiman (2004), model ini digunakan untuk identifikasi TSM

di perairan delta Mahakam. Algoritma yang diperuntukan untuk band 3 Landsat ETM

adalah sebagai berikut:

TSM = 8.1429 Exp(23.704*R(0-)) ………………………..(3-5)

Dimana,

TSM = Total suspended material (mg/l)

R(0-) = reflektansi di bawah permukaan air (subsurface iraradiance reflectance)

R(0-) ditentukan dengan melakukan koreksi kolom udara-air, dengan menggunakan

rumus dibawah:

24

Page 25: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

QrRnRRrs ))0(1(

)0()1)(1(2 −−

−−−=

ρρ………………………………(3-6)

Dimana,

Q = Koefisien konversi = 3.5

ρ = reflektansi Fresnel = 0.029

r = Pantulan air-udara = 0.48

n = refractive index of water =1.33

Rrs = reflektansi terkoreksi

Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai digital

number untuk menentukan distribusi TSM (Lemigas, 1997), menggunakan algoritma

seperti berikut:

TSM (mg/l) = 100.6678 + 5.5085 b3 + 0.4563 b32 + 0.9775 b2b3…………………(3-7)

Dimana,

b2, b3 = Digital number pada band 2, 3

Kedalaman Perairan Menggunakan Peta kedalaman Bathimetri

Untuk menurunkan parameter kedalaman perairan menggunakan peta bathimetri,

pertama-tama dilakukan koreksi geometrik dari peta kedalaman bathimetri yang dipunyai,

kemudian dilakukan pengabungan peta terkoreksi. Selanjutnya dilakukan proses digitasi

titik kedalaman, titik 0 (garis pantai) dan pemberian nilai kedalaman. Proses yang terakhir

adalah melakukan interpolasi dan pembuatan kontur untuk mendapatkan peta kontur

kedalaman.

Disebabkan peta kedalaman bathimetri mempunyai skala yang besar 1:200.000,

maka kontur kedalaman yang dihasilkan mempunyai keakuratan yang tidak terlalu tinggi

di perairan dangkal dekat wilayah pesisir, oleh sebab itu dilakukan metoda penambahan

informasi titik kedalaman menggunakan kemampuan penetrasi data Landsat kedalam air.

Penurunan titik kedalaman dengan Landsat (untuk wilayah terumbu karang/dangkal)

Band visibel (1,2 dan 3) dan NIR (4) mempunyai kemampuan untuk menembus

kolom air (penetrasi) dengan kemampuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, band 1

(biru) mempunyai kemampuan menembus kolom air yang terbesar (mencapai 20 m)

25

Page 26: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

sedangkan band 4 hanya dapat menembus kolom air sedalam kira-kira 2 m.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Great Barrier reef (Jupp, 1999)

diperoleh bahwa band 1 mempunyai penetrasi sebesar 25 m, band 2 sebesar 15 m, band

3 sebesar 5 m dan band 1m. Berdasarkan pembuatan model yang dilakukan di penulis di

kepulauan Gili Indah di NTB diperoleh bahwa kemampuan penetrasi setiap band adalah

ditunjukkan pada Tabel 4-1, yaitu:

Tabel 4-1 Penetrasi kedalaman setiap band di perairan Gili Indah NTB

Penetrasi Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band 5

Rata-rata - 14.785 5.729 3.023 0

Deviasi - 3.624 0.952 1.170 0

Nilai ini kemudian dipakai untuk mendeteksi kedalaman di perairan dangkal/terumbu

karang wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo. Disebabkan model ini hanya dapat

memprediksi pada perairan yang jernih, maka pengolahan dilakukan dengan digunakan

data multi temporal untuk menghindari perairan yang keruh.

Data kedalaman yang diperoleh kemudian digabungkan dengan data kedalaman

yang telah di dijit dari peta bathimetri, kemudian dilakukan proses interpolasi dan

pembuatan kontur.

Terumbu Karang Penentuan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan model transformasi

Lyzengga (1978). Lyzengga membangun persamaan dengan menggunakan 2 kanal sinar

tampak yaitu kanal 1 dan 2 dari citra Landsat-TM, dan diperoleh persamaan sebagai

berikut :

Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2) ..................................................(3-8)

di mana :

Y = Ekstraksi informasi dasar perairan

TM1 = Reflektansi pada kanal 1

TM2 = Reflektansi pada kanal 2

ki/kj = Rasio koefisien kanal 1 dan kanal 2

dimana,

ki/kj = a + √ (a2 + 1) .....................................................................(3-9)

dan

26

Page 27: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

a = (var (TM1) – var (TM2)) / 2. cov (TM1 TM2)....................(3-10)

Pada metode ini, setiap piksel akan terkonversi menjadi indeks tipe dasar perairan

yang terbebas dari pengaruh kedalaman. Sehingga dengan metode diperoleh hasil

klasifikasi berupa kelas terumbu karang, padang lamun dan pasir yang terdapat di bawah

permukaan air. Selanjutnya dilakukan perhitungan luas dari setiap kelas tersebut.

Parameter Fisik Daratan Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik daratan, yaitu:

Landuse, Mangrove, Pasir putih, Jalan dan Sungai.

Klasifikasi penutup lahan (Land cover)

Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual yaitu dengan

cara mendelineasi kenampakan-kenampakan yang sama kedalam satu kelas

penggunaan atau penutup lahan dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah

ada dan dihasilkan oleh ISDAL.

Mangrove:

- Penyebaran hutan mangrove diperoleh dengan citra komposit RGB (Band 453),

hutan mangrove terlihat berwarna coklat kemerahan,

- Melakukan digitasi pada wilayah hutan mangrove,

- Menghitung luasan hutan magrove yang diperoleh dengan menghitung luas

polygon.

Pasir putih:

- Pasir putih di atas permukaan air diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB

(Band 431), dimana pasir putih terlihat berwarna putih di sepanjang tepi pantai,

- Melakukan digitasi pada wilayah pasir putih,

- Menghitung luasan pasir putih yang diperoleh dengan menghitung luas polygon.

Sungai dan Jalan: - Menampilkan citra RGB (band 542) sehingga teridentifikasi secara jelas adanya

jalan dan sungai,

- Melakukan proses digitasi dan merubah menjadi data vektor.

Pembuatan DEM

27

Page 28: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 4-2 memperlihatkan metoda pembuatan DEM, peta rupa bumi dikoreksi

dan digabungkan untuk wilayah penelitian. Kemudian dilakukan digitasi informasi titik

ketinggian dari peta rupa bumi. Selanjutnya dilakukan interpolasi dan pembuatan kontur,

dan yang terakhir adalah mengabungkan dengan data Landsat RGB 542 untuk

memperoleh tampilan citra 3 dimensi.

Dari data kontur ketinggian ini dapat diturunkan pula informasi mengenai slope atau

kemiringan, dan arah kemiringan tersebut. Informasi ini akan dipakai dalam analisis

kondisi wilayah daratan dalam pengembangan budidaya dan pariwisata. Selain itu dari

peta rupa bumi dapat diturunkan pula ketersediaan sarana-prasarana di wilayah

penelitian.

Monitoring SPL Bulanan Menggunakan Data NOAA

Gambar 4-3 memperlihatkan metoda penurunan distribusi SPL menggunakan data

NOAA. Data SPL dikumpulkan sepanjang tahun 2002 dan 2003, kemudian dirata-rata

untuk melihat distribusi SPL setiap bulan yang bebas awan. Data ini digunakan untuk

melihat perubahan kondisi SPL setiap bulan sepanjang tahung 2002 dan 2003, informasi

yang diperoleh akan mendukung informasi yang dikeluarkan oleh data Landsat.

4.2.2 Pengolahan Lanjutan

Setelah seluruh parameter yang diperlukan diekstraksi dari data Lansat, NOAA dan

Peta, maka dilanjutkan dengan proses berikutnya yaitu; model pembobotan dan analisis.

Gambar 4-4 memperlihatkan flowchart analisis lanjutan untuk kegiatan pengembangan

wilayah pesisir.

28

Page 29: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

KedalamanSPLKecerahanTSM

KecerahanTerumbu karangkedalaman

KedalamanKecerahanPasir putihTutupan lahan

Model Pembobotan

Kesesuaian budidaya& pariwisata(musim barat)

Budidaya laut Diving,snorkling Renang, rekreasi pantai

Kesesuaian budidaya& pariwisata (Musim timur)

Overlay

Keterlindungan (Teluk, T karang) Konservasi (Mangrove)Pencemaran (Sungai, tutupan lahan) Aksesibilitas (Jalan, prasarana,

bentuk pantai)Monitoring (kualitas air)

Analisa

Daerah potensiBudidaya laut

Daerah potensiPariwisata bahari

Gambar 4-4 Flowchart dari analisis lanjutan

Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang

berpengaruh terhadap pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari menggunakan

model pembobotan pada Tabel 4-1~4-3. Pembobotan dilakukan dengan metoda tree

decision atau overlay bertahap, dimana overlay dilakukan terlebih dahulu pada parameter

yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay kembali dengan parameter yang

berbobot lebih rendah dan seterusnya.

29

Page 30: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Tabel 4-2 Model Pembobotan untuk Budidaya Perikanan Pantai

Sangat sesuai (S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3) Tidak sesuai (TS) No Parameter Bob-

ot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore

1 Kedalaman (m) 9 10≤S1≤15 4 15<S2≤20 5≤S3<10 3 20<S3≤25 2 TS>25

TS<5 1

2. Suhu Permukaan Laut (SPL) (0C)

7 28≤S1≤29 4 29<S2≤31 26≤S2<28 3 31<S3≤32

24≤S3<26 2 TS>35 TS<24 1

3. Kecerahan (m) 6 5 ≤ S1 4 3≤S2<5 3 0<S3≤3 2 TS = 0 1

4. MPT (mg/l) 5 S1≤ 25 4 25≤S2<80 3 80≤S3<400 2 TS>400 1

Sumber: Dewayani (2000) dan Syamsul (2001), Modifikasi

Tabel 4-3 Model Pembobotan untuk Pariwisata Bahari (Renang Dan Rekreasi Pantai) Sangat sesuai

(S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3) Tidak sesuai (TS)

No Parameter Bobot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore

1 Kontur kedalaman 10 Landai 4 Landai 3 Curam 2 Curam 1

2 Kecerahan Perairan 6 Sangat

cerah 4 Cerah 3 Kurang cerah 2 Tidak cerah 1

3 Pantai 6 Berpasir 4 Berpasir 3 Tidak berpasir 2 Tidak

berpasir 1

4 Penutup Lahan Pantai 6

Kelapa, lahan

terbuka 4

Semak Belukar rendah, Savana

3 Belukar Tinggi 2

Hutan Bakau,

Pemukiman, Pelabuhan

2

Sumber: BAKOSURTANAL (1996), Modifikasi

Tabel 4-4 Model Pembobotan untuk Pariwisata Bahari (Diving dan Snorckling)

Sangat sesuai (S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3)

Tidak sesuai (TS) No

Parameter

Bobot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore

1 Kecerahan 10 Sangat cerah 4 Cerah 3 Kurang

cerah 2 Tidak cerah 1

2 Wilayah Terumbu karang 8 Terumbu

Karang 4 -

Terumbu Karang

3 Tidak

ada karang

2 Tidak ada

karang 1

3 Kedalaman dasar laut (m) 6 10-25 4 5-10 3 2-5 2 <2 1

Sumber: BAKOSURTANAL (1996), Modifikasi

30

Page 31: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Pada kasus proses overlay untuk pariwisata bahari (renang dan rekreasi pantai)

yang mempunyai parameter di wilayah darat dan di wilayah perairan, model kesesuaian

dilakukan dengan membuat polygon penganti (perantara) yang berisi informasi parameter

yang diperlukan di wilayah darat dan perairan sehingga proses overlay dapat dilakukan. Proses pembobotan dilakukan untuk kondisi musim barat (musim penghujan) dan

musim timur (musim kemarau), ini dilakukan agar hasil akhir dapat mewakili 2 kondisi

musim. Kemudian hasil kesesuaian lahan yang diperoleh dioverlay (tumpang tindih) untuk

mendapatkan daerah kesesuaian pada kedua musim tersebut. Selanjutnya dilakukan analisa beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian

lahan yang diperoleh, beberapa faktor yang akan dianalisa adalah:

Keterlindungan perairan

Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan

pemecah ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan

yang terlindung pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan

tenang.

Wilayah konservasi atau Jalur hijau pantai

Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam

pesisir lainnya yang perlu dilestarikan.

Masalah pencemaran

Memperhatikan daerah muara sungai, tutupan lahan, kemiringan lahan,

besarnya MPT (kekeruhan)

Aksesibilitas

Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai

Monitoring

Menggunakan dalata multi temporal seperti NOAA dan Fengyun untuk

mengamati perubahan kualitas air di wilayah peneltian.

Hasil analisa ini akan digunakan sebagai bahan-bahan pertimbangan dalam

merekomendasikan daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha budidaya

laut dan pariwisata bahari, juga menjadi suatu informasi yang sangat berguna untuk

diperhatikan dalam kegiatan pengembangan potensi wilayah pesisir.

4.2.3 Analisis Ekonomi Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir Pada bagian akhir dicoba menghitung potensi ekonomi wilayah pesisir Nusa Tenggara

Barat, metode penilaian ekonomi yang dilakukan adalah:

31

Page 32: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

1. Menghitung nilai ekonomi total dari sumberdaya pesisir, yaitu

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV

di mana,

TEV = Total Economic Value

UV = Use Value

NUV = Non Use Value

DUV = Direct Use Value

IUV = Indirect Use Value

OV = Option Value

EV = Existence Value

2. Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir. Pencarian alokasi

pemanfaatan sumberdaya lahan pesisir yang efisien dilakukan dengan menggunakan

cost benefit analysis (CBA). Kriteria-kriteria yang paling umum digunakan dalam

analisis manfaat biaya ini adalah sebagai berikut :

(1) Net Present Value (NPV)

NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat

bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif dan

alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama. Net Present

Value dapat disajikan sebagai berikut :

NPV = B(Σ

n

i=1

i - 1+r)

i

(2) Benefit Cost Ratio (BCR)

Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif

yang layak adalah BCR > 1 dan kita meletakkan alternatif yang mempunyai BCR

tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematis, BCR dapat disajikan sebagai

berikut:

Gross BCR=

Σ < 0

> 0B - C (1+r)C - B (1+r)

i

i n

i=1

32

Page 33: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

di mana :

B= Manfaat per tahun r= Discount rate per Tahun

C= Biaya i= Jangka waktu perhitungan proyek

33

Page 34: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB V HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil yang dicapai meliputi ekstraksi parameter fisik daratan dan parameter fisik

perairan, pembuatan DEM dan monitoring SPL menggunakan NOAA. Disini hasil yang

dimasukkan adalah untuk wilayah Situbondo dengan pertimbangan untuk memudahkan

penyusunan, sedangkan hasil untuk wilayah Situbondo dimasukkan dalam lampiran.

5.1 Parameter Fisik Daratan Gambar 5-1 dan 5-2 memperlihatkan batas administrasi dan tutupan lahan untuk

Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi terbagi menjadi 23 kecamatan, dengan tutupan

lahan didominasi oleh hutan, sawah dan perkebunan. Terlihat bahwa lahan sawah

terdapat pada sebagian besar wilayah pesisir. Hutan mangrove juga terlihat dibeberapa

lokasi wilayah pesisir.

Gambar 5-1 Batas administrasi Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi memiliki akses jalan yang cukup baik, ini terlihat dari

Gambar 5-3. Akses jalan terutama di sekitar wilayah pesisir yang memiliki kelerengannya

cenderung rendah (datar), sementara di bagian atas (daerah dataran tinggi) dan

Kecamatan Tegaldlimo akses jalan masih kurang disebabkan tutupan lahanya sebagian

besar adalah hutan. Jumlah sungai cukup banyak yang mengalir dari bagian tengah yang

lebih tinggi dan bermuara ke Selat Bali dan Samudra Indonesia yang lebih rendah.

34

Page 35: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 5-2 Tutupan Lahan Kabupaten Banyuwangi (Hasil olahan ISDAL)

Jalan

Sungai

Gambar 5-3 Vektor Jalan dan Sungai di Kabupaten Banyuwangi

5.2 Parameter Fisik Perairan Gambar 5-4 memperlihatkan hasil kedalaman yang merupakan gabungan antara

titik kedalaman yang diturunkan dari data citra untuk daerah perairan terumbu karang dan

35

Page 36: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

titik kedalaman hasil dari digitasi peta bathimetri. Gambar 5-5 memperlihatkan

perbandingan antara hasil interpolasi kedalaman dari data bathimetri dan dari gabungan

antara bathimetri dan landsat. Perbedaan tidak terlalu terlihat ini tetapi bila dilihat secara

mendetil, terlihat bahwa kontur gabungan mempunyai kontur yang lebih rapat di perairan

dekat pantai. Selain itu penambahan informasi kedalaman sangat berguna untuk

menambahkan informasi peta bathimetri yang sering tidak lengkap.

Gambar 5-4 Kedalaman gabungan antara Peta bathimetri dan data citra

Bathimetri

Gabungan

Gambar 5-5 Perbandingan antara Interpolasi bathimetri dan interpolasi gabungan

Gambar 5.6 memperlihatkan sebaran SPL untuk musim barat dan musim timur di

perairan Kabupaten Banyuwangi yang diturunkan dari model algoritma menggunakan

suhu efektif berbasiskan nilai radiansi. Di bagian utara (laut Jawa) suhu cenderung tinggi

36

Page 37: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

dibandingkan pada bagian selatan (samudera Indonesia). Ini disebabkan samudera

Indonesia lebih dinamis sehingga mudah terjadi pencampuran massa air yang

mengakibatkan rendahnya nilai SPL. Pada musim timur nilai SPL di bagian selatan

mempunyai suhu sangat rendah yang terlihat dengan warna biru, ini disebabkan

terjadinya upwelling (di daerah ini upwelling terjadi sepanjang musim timur).

Musim Barat

Musim Timur

26.5 oC 34 oC

Gambar 5-6 Memperlihatkan distribusi SPL di perairan Banyuwangi menggunakan

model algoritma berbasiskan radiansi.

37

Page 38: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 5-7 Memperlihatkan Spl Musim Barat dengan basis Digital Number

Gambar 5-8 Memperlihatkan SPL Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital

Number

Gambar 5-7 dan 5-8 memperlihatkan distribusi SPL berdasarkan model berbasis

digital number. Secara umum terlihat bahwa kedua model mempunyai kecenderungan

yang sama, yaitu terlihat bahwa bagian utara bersuhu lebih tinggi daripada bagian selatan,

dan musim timur bersuhu lebih rendah dibandingkan musim barat. Walaupun kedua

38

Page 39: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

model ini memiliki range nilai SPL yang tidak terlalu berbeda, tetapi terlihat bahwa SPL

dengan model berbasiskan radiansi mempunyai pola yang lebih bervariasi dan halus,

Gambar 5-9 memperlihatkan distribusi kecerahan menggunakan model algoritma

SDT (Seichi Disk Transparency) berbasis nilai radiansi, terlihat perbedaan yang cukup

besar antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat kecerahan sangat tinggi

mencapai lebih dari 25 meter, sedangkan pada musim timur berkisar kurang dari 12 meter.

Gambar 5-10 dan 5-11 memperlihatkan distribusi kecerahan pada musim barat dan

musim timur menggunakan model algoritma berbasis digital number. Range nilai

kecerahan yang diperoleh menggunakan model ini lebih mendekati kondisi real yaitu

berkisar antara 7 sampai 12 meter. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kecerahan perairan

pada daerah terumbu karang yang diperkirakan tinggi, ternyata mempunyai tingkat

kecerahan yang paling rendah. Kedua model ini masih memerlukan kajian lebih lanjut

dengan membandingkan dengan data insitu atau perbaikan koreksi atmosferik. Pola

kecerahan juga direncanakan akan dimonitor mengunakan data Fengyun 1C, sehingga

dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti bulanan atau tahunan

Musim Barat

Musim Timur

1 meter 50 meter

Gambar 5-9 Memperlihatkan distribusi Kecerahan di perairan Banyuwangi

menggunakan

model algoritma berbasiskan reflektansi

39

Page 40: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

er

Gambar 5-10 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan

Model Berbasis Digital Numb

Gambar 5-11 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model

Berbasis Digital Number

40

Page 41: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 5-12 memperlihatkan distribusi TSM (Total Suspended Matter) di perairan

Kabupaten Banyuwangi menggunakan model algoritma berbasis reflektansi dibawah

permukaan air (sub-surface irradiance reflectance). Hasil memperlihatkan bahwa pada

musim barat TSM cukup besar diperairan teluk Kabupaten Situbondo, tetapi perlu

diperhatikan bahwa warna merah di perairan dalam lingkaran hitam bukan merupakan

kekeruhan tapi disebabkan adanya ekosistem terumbu karang. Sementara musim timur

memperlihatkan warna merah yang sangat dominan di bagian sebelah kanan citra, ini

disebabkan adanya sunglint (pemantulan sinar matahari oleh permukaan air) sehingga

menghilangkan informasi di dalamnya.

Gambar 5-13 dan 5-14 memperlihatkan distribusi TSM untuk musim barat dan

musim timur di perairan Banyuwangi menggunakan algoritma berbasis digital number.

Nilai TSM diperairan ini sangat rendah berkisar sekitar 5 – 12 mg/l untuk kedua musim.

Kalau diperhatikan pada citra tampilan RGB terlihat bahwa daerah ini mempunyai jumlah

sungai yang cukup banyak dan pola kekeruhan yang jelas terlihat di sekitar perairan

wilayah pesisir. Pola kekeruhan dan TSM juga direncanakan akan dimonitor mengunakan

data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti

bulanan atau tahunan

Musim Barat

Musim Timur

0 mg/l 250 mg/l

Gambar 5-12 Memperlihatkan Distribusi Kecerahan Di Perairan Banyuwangi

Menggunakan Model Algoritma Berbasiskan Reflektansi

41

Page 42: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

er

Gambar 5-13 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan

Model Berbasis Digital Numb

Gambar 5-14 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model

Berbasis Digital Number

42

Page 43: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 5-15 memperlihatkan pemetaan terumbu karang, pdang lamun dan pasir

dibawah permukaan laut menggunakan model Lyzengga berbasis nilai reflektansi.

Disebabkan identifikasi terumbu karang sangat peka akan adanya kekeruhan (kekeruhan

menghilangkan informasi adanya terumbu karang), sehingga dilakukan pengolahan

terhadap 2 data temporal Landsat 7 ETM untuk memetakan terumbu karang.

Darat

Karang

Lamun

Laut Pasir

Banyuwangi

Gambar 5-15 Pemetaan Terumbu Karang Di Perairan Banyuwangi

5.3 Monitoring SPL Menggunakan Data Multi Temporal NOAA Untuk mendukung informasi mengenai parameter fisik perairan yang dihasilkan data

Landsat yang masih diragukan dalam merekomendasikan wilayah berpotensi untuk

budidaya laut dan pariwisata bahari disebabkan kondisi laut yang dinamis, maka kami

mencoba menggunakan data multi temporal untuk monitoring distribusi dan konsentrasi

parameter fisik perairan dalam jangka waktu tertentu (bulanan atau tahunan).

Informasi SPL dari data NOAA cenderung bersifat global karena resolusi spasialnya

yang besar, tapi informasi ini dapat diperoleh setiap hari karena resolusi temporalnya

yang sangat tinggi. Pada kegiatan ini kami menurunkan informasi SPL harian untuk tahun

2002 dan 2003 (sebagain besar data diperoleh dari kegiatan ZPPI). Kemudian

menghitung nilai rata-rata untuk satu bulan, sehingga diperoleh rerata SPL untuk setiap

bulan.

Gambar 5-16 dan 5-17 memperlihatkan rata-rata perbulan SPL untuk Maret -

Desember tahun 2002 dan Maret – November 2003 menggunakan data NOAA 12

43

Page 44: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

AVHRR.

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

29oC

34oC

Gambar 5-16 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan

44

Page 45: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Banyuwangi dan Situbondo

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

24oC 34oC

45

Page 46: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Gambar 5-17 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan

Banyuwangi dan Situbondo

Nilai SPL tahun 2002 tidak terlalu berbeda dengan pada tahun 2003 (terjadi

perbedaan skala, dimana skala nilai SPL tahun tahun 2002 berkisar dari 29 oC - 34 oC,

sedangkan skala nilai SPL tahun 2003 berkisar antara 24 oC - 34 oC). Pola terlihat sama

bahwa hampir sepanjang tahun kondisi SPL perairan Banyuwangi (bagian selatan) sangat

rendah dibandingkan perairan Situbondo (bagian utara), kecuali pada bulan Desember –

Maret yang cenderung sama. Pada tahun 2002 Upwelling di perairan samudera Indonesia

terjadi sekitar bulan April sampai bulan Oktober. Informasi ini sangat penting untuk

mendukung pengembangan budidaya perikanan di Kabupaten Banyuwangi.

46

Page 47: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

BAB VI PENUTUP

Kajian potensi ekonomi wilayah pesisir, khususnya pengembangan budidaya laut

dan pariwisata bahari, telah berjalan selama 1 semester. Cukup banyak hambatan yang

dihadapi sekaligus telah dilakukan beberapa usaha untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Misalnya sedikitnya model algoritma untuk mendeteksi parameter perairan yang

sudah dikerjakan untuk wilayah Indonesia, kalaupun ada umumnya menggunakan model

berbasis digital number dan pengambilan data yang lokal sehinga besar kemungkinan

hanya berlaku untuk satu lokasi dan satu saat saja. Beberapa algoritma sudah

dikembangkan dengan berbasiskan nilai radiansi atau reflektansi, tetapi masih belum

diterapkan secara baik di daerah penelitian (Banyuwangi dan Situbondo), kemungkinan

disebabkan beberapa hal seperti perbedaan jenis kandungan material (organik atau

anorganik) yang terlarut di perairan, koreksi atmosferik yang belum dilakukan dengan

benar dll. Perbaikan model kedalaman dan SPL menggunakan Landsat telah dilakukan,

hasilnya memperlihatkan persamaan yang cukup baik dengan referensi yang digunakan

(seperti: peta bathimetri atau NOAA). Walaupun begitu permasalahan keakurasian masih

menjadi masalah disebabkan tidak adanya data lapangan untuk memverifikasi hasil

tersebut. Kegiatan Bina Usaha yang merupakan kegiatan hilir dan bersifat operasional

memang sangat menarik karena berusaha mengaplikasikan data penginderaan jauh

untuk dimanfaatkan bagi masyarakat luas, tetapi tidak adanya model yang siap dipakai

merupakan hambatan yang terbesar. Untuk itu sangat diperlukan adanya bidang

penelitian khusus untuk melakukan pembuatan model sehingga hasil yang dikeluarkan

Bina Usaha dapat lebih dipercaya.

Kegiatan ini sudah terselesaikan kira-kira 46 %, dimana kegiatan utama pada

semester 1 ini adalah perbaikan metoda dan menurunkan parameter-parameter fisik

perairan, fisik daratan, monitoring dan pembuatan DEM dengan menggunakan data-data

penginderaan jauh. Rencana selanjutnya adalah menyelesaikan beberapa parameter

yang belum dikerjakan, melakukan pembobotan dan analisa. Selain itu akan dicoba untuk

menggunakan data satelit beresolusi temporal tinggi seperti Fengyun 1C untuk monitoring

kekeruhan, dan menggunakan data resolusi spasial tinggi seperti SPOT untuk membantu

mengamati lokasi secara visual sekaligus sebagai alat verifikasi dari hasil pembobotan

dan analisa.

DAFTAR PUSTAKA

47

Page 48: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Anonimous. http://www.banyuwangi.go.id Anonimous. http://www.oseanologi-lipi.go.id Anonimous. http://www.BPS.go.id Asbar, 2002. Konsep Bio-Region Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (suatu tinjauan

filosofi). IPB. Bogor. (makalah thesis). Bengen, D.G. 2000. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah pesisir Terpadu.

PKSPL_IPB dan CRMP (prosiding). BPS, Situbondo Dalam Angka, 1994-2000, Situbondo BPS, Situbondo Dalam Angka, 2001, Situbondo BPS dan Bappekab Situbondo, 2000. Karakteristik Penduduk Kabupaten Situbondo Hasil

Sensus Penduduk 2000, Situbondo Budiman,S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in

Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam delta, Indonesia. Disertasi. ITC. Netherlands

Carolita,I., G.Winarso., M.Hartuti., B.Hasyim., W.Asrining., B.Irianto. 1999. Analisis

Kesesuaian Lahan Tambak Menggunakan Citra Landsat di Sulawesi Selatan.Prosiding pertemuan ilmiah tahunan ke-8 MAPIN. Jakarta 14-35 pp.

Chipman,J.W., Leale,J.E., Lillesand,T.M., Nordheim,M.J., Schmaltz,J.E. 2004. Mapping

Lake Water Clarity with Landsat Image in Wisconsin, USA Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan

Rakyat. Kumpulan pemikiran DR. Ir. Rokhmin Dahuri MS. LISPI. Jakarta. Dahyar,M. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dalam

Pembangunan Pariwisata di Kepulauan Derawan. Propinsi Kalimantan Timur (Thesis).Program Pasca Sarjana .IPB. Bogor. 171 hlm.

Dewayani S., 2000. Manfaat Inderaja SIG untuk Pengembangan Perikanan Laut: Potensi

Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba Apung, pp.226-235. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan

Wilayah Pesisir. Jakarta. DKP,2003 dalam www.dkp.go.id Edward,A.J .1999. Applications of Satellite and Airborne Image Data To Coastal

Management. UNESCO,France. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

48

Page 49: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Halim, A. 1998. Penentuan Lokasi Wisata Bahari Dengan Sistem Informasi Geografis di

Gili Indah Kabupaten Lombok Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat. (skripsi).FPIK.IPB.Bogor.110 hlm.

Hasyim, B., Dirgahayu, D., Farhan, M. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan

Sistem Informasi geografi Untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai Akibat Limbah Industri. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negera Riset dan Teknologi.

Kusumastanto, Tridoyo,. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pasca Sarjana, IPB, 2000. LAPAN dan BAKOSURTANAL. 2001. Laporan Akhir Pekerjaan Inventarisasi Data

Penginderaan Jauh Wilayah Pesisir dan Laut. Jakarta. (tidak dipublikasikan). Lemigas. 1997. Evaluasi Penginderaan Jauh Untuk Studi Dasar Lingkungan Wilayah

Kerja Unocal Indonesia Company Kalimantan Timur. Laporan Akhir. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi.

Martin, K.S. 1993. Applications in Coastal Zone Research and Management.

Explorations in Geographic Information Systems Technology. Vol. 3. UNITAR European Office. Geneva. Switzerland.

Niendyawati. (1999). Aplikasi Inderaja/SIG Untuk Penentuan Lokasi Tambak Udang

(Studi Kasus di Pantai Timur Lampung). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8 MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Situbondo. 2001. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA)

Kabupaten Situbondo 2001-2005. Situbondo. Ratanasermpong, S. 1996. The Role of Remote Sensing in the Monitoring and Planning

of Thailand's Mangrove Forets and Shrimp Farms. Proceedings of the Regional Remote Sensing Seminar on Tropical Ecosystem Management, Fiji, 26-31 August 1996.

Ramesh, R., and Rajkumar, R. 1996. Coastal Aquaculture Site Selection and Planning

in Tamil Nadu Using Remote Sensing and GIS. ASIAN-PASIFIC Remote Sensing and GIS Journal. Vol. 9, Number 1. ESCAP Regional Space Applications Programme. Bangkok.

Riqqi, A dan Nganro, N.R. 2002. Prototipe Pemanfaatan SIG Untuk Pengelolaan

Kawasan Tambak (Studi Kasus: Kabupaten Serang). ITB. Bandung (makalah). Sandaya, N. 1996. Studi Pengamatan Pola Pergerakan Sedimen dan Perubahan Garis

Pantai di Sebelah Timur Teluk Jakarta Menggunakan Citra Landsat-TM. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknoknologi Kelautan. Fakulatas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Sunyoto, P., dan Mustahal. 2000. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu,

Kakap,Beronang. Penebar Swadaya. Jakarta.

49

Page 50: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Thomas M.L., Ralph W.K., 2000, Remote Sensing dan Image Interpretation, John Willey

& Sons Inc. Trisakti, B. Syarif, B. Gathot, W. Ratna, S.D. dan Eddy, S. 2002. Pemanfaatan Data

Penginderaan Jauh Untuk Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai. LAPAN. Jakarta (tidak dipublikasikan).

Trisakti, B. et al. 2003. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Pengembangan

Budidaya Perikanan Pantai dan Pariwisata Bahari. Laporan Akhir Bina Usaha LAPAN. Jakarta

Trubus, 2000, Rahasia membesarkan Kerapu bebek, Majalah Trubus, Edisi. Januari

2000.

Winarso, G., Carolita, I., Asriningrum, W., dan Sariwulan, B. 1999. Analisis Geomorfologi

untuk Studi Kesesuaian Lahan Tambak Udang di Ketapang dan Sekitarnya Menggunakan Data Landsat-TM. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8 MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Vol 2, Naga

report, University of California, San Diego. Yamaji, I. 1966. Illustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha, Osaka, Japan.

50

Page 51: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tutupan Lahan Kecamatan Situbondo

Landcover Kecamatan Situbondo

51

Page 52: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Lampiran 2. Batas Administrasi Kecamatan Situbondo

Batas Admiministrasi Kecamatan Situbondo

52

Page 53: Lap Lapan Zona Pesisir Potensi Ikan

Lampiran 3. Vektor Jalan dan Sungai Kecamatan Situbondo

Vektor Jalan Kecamatan Situbondo

Vektor Sungai Kecamatan Situbondo

53