lapkas adeno ca recti

26
Pasien HIV dengan Adenokarsinoma Rekti Herlina Yani, Endang Sembiring, Saut Marpaung Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Yosia Ginting Abstrak Latar Belakang Insiden kanker meningkat dengan perkiraan 40% pada individu yang terinfeksi HIV dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Peningkatan insiden kanker yang tidak terkait AIDS (non-AIDS-defining cancers/NADCs) telah banyak dilaporkan, salah satu diantaranya adalah kanker kolorektal. Beberapa studi melaporkan bahwa inflamasi akibat infeksi kronis oleh virus HIV merupakan faktor resiko terjadinya kanker kolorektal. Akan tetapi hingga saat ini penatalaksanaannya belum cukup optimal. Beberapa hasil penelitian menyarankan agar pasien HIV dengan kanker diberikan pendekatan terapi yang sama seperti pada pasien non-HIV. Laporan kasus Seorang laki-laki, 32 tahun, datang ke RSU H. Adam Malik Medan pada tanggal 30 Mei 2011 dengan keluhan hematokezia disertai tenesmus, penurunan berat badan, merokok dan mengkonsumsi alkohol, pola makan cenderung mengkonsumsi daging dan jarang mengkonsumsi serat dan buah. Sejak 2 tahun ini penderita dinyatakan menderita HIV ini oleh dengan faktor resiko yaitu pengguna jarum suntik narkoba dan tatto dengan riwayat penggunaan ARV (duviral dan neviral). Keadaan umum penderita saat masuk adalah sakit sedang dengan status gizi kesan underweight serta skor Karnofsky 70%. Pada pemeriksaan fisik kepala, anemis tidak dijumpai, dan ditemukannya oral candidiasis. Pada leher tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan extremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan colok dubur dijumpai massa Ø 1 cm dari anal, berbenjol-benjol, immobile, disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan laboratorium darah dengan: Hb 11,8 gr/dL, lekosit 7.630/mm 3 , trombosit : 229.000/mm 3 . Billirubin total : 0,35 mg/dl, billirubin direk: 0,19 mg/dl, SGOT: 35 U/L, SGPT: 67 U/L, alkali phosphatase: 102 U/L. Albumin: 4,1 mg/dl. Faal ginjal, elektrolit, kadar gula darah dan faal hemostasis dalam batas normal. CEA 53,8 ng/ml. CD4: 189. Hasil kolonoskopi dengan kesimpulan carcinoma recti, hasil histopatologi anatomi dengan kesimpulan Well-differentiated adenocarcinoma recti, hasil CT Scan Whole abdomen sesuai dengan colorectal carcinoma T3 N0 Mx, dan foto thorax PA menunjukkan gambaran metastase paru serta pada USG Abdomen tidak ditemukan liver metastase. Kesimpulan Dilaporkan satu kasus HIV stadium III dengan adenocarcinoma recti stadium IV. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diberikan terapi ARV dengan pemantauan efek samping akibat interaksi obat ARV dengan regimen kemoterapi serta penanganan terhadap infeksi oportunistik. Kemoterapi dengan regimen FOLFIRI sebanyak 6 siklus, tetapi tidak diteruskan karena pasien

Upload: kotak3kotak

Post on 21-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Laporan kasus mengenai Adeno Ca pada Pasien HIV

TRANSCRIPT

Pasien HIV dengan Adenokarsinoma RektiHerlina Yani, Endang Sembiring, Saut Marpaung Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Yosia GintingDivisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUANInsiden kanker meningkat pada individu yang terinfeksi HIV, dengan perkiraan 40% dari semua penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) akan berkembang menjadi kanker selama perjalanan penyakitnya. Ada tiga jenis kanker yang terkait AIDS (AIDS-defining malignancies) yaitu sarkoma kaposi, limfoma non-hodgkin, dan kanker serviks. Selain itu, terjadi pula peningkatan insiden kanker yang tidak terkait AIDS (non-AIDS-defining cancers/NADCs) telah banyak dilaporkan pada penderita HIV, termasuk salah satu diantaranya adalah kanker kolorektal.1 Kanker dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas, dengan rata-rata prevalensi sebesar 7% sampai 15% sebagai penyebab kematian pada pasien HIV. 2Di Amerika Serikat dari tahun 2000-2003 diperoleh data standardized incidence rate (SIR) kanker kolorektal pada pasien HIV per 100.000 penduduk adalah 66,2 dibandingkan pada populasi umum adalah sebesar 21,1 dan menduduki urutan ketiga terbanyak pada kelompok kanker tidak terkait AIDS setelah kanker paru dan kanker anal.2 Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus pada populasi umum tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden kanker kolorektal.3Modalitas terapi untuk kanker kolorektal adalah pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi sesuai stadium penyakitnya. Terapi kanker kolorektal stadium dini dilakukan dengan pembedahan, tetapi keadaan lanjut dan tidak dapat dibedah merupakan masalah dan dan sering fatal. Radioterapi dan kemoterapi merupakan pilihan pada stadium lanjut. 4Data mengenai penatalaksanaan kanker terkait AIDS maupun kanker yang tidak terkait AIDS yang ideal tidak cukup optimal. Beberapa hasil penelitian menyarankan agar pasien HIV dengan kanker dapat diberikan pendekatan terapi sama seperti pada pasien non-HIV. Namun, dalam pelaksanaannya harus tetap mempertimbangkan kemungkinan terjadinya toksisitas yang dapat timbul disebabkan interaksi ARV dengan regimen kemoterapi untuk terapi kanker itu sendiri.2KASUSSeorang laki-laki, SLS, 32 tahun, suku Batak, agama kristen datang ke RSU H. Adam Malik Medan pada tanggal 30 Mei 2011, dengan keluhan buang air besar berdarah yang dialami sejak 7 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 bulan terakhir ini dan disertai nyeri saat BAB. Riwayat perubahan pola buang air besar dijumpai, penderita biasanya buang air besar bercampur darah atau pun lendir selama beberapa hari, namun terkadang pasien mengeluh sulit BAB. Riwayat penurunan berat badan dijumpai. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak dijumpai. Riwayat merokok sejak 15 tahun dijumpai. Riwayat konsumsi alkohol dijumpai. Pola makan selama ini cenderung mengkonsumsi daging dan jarang mengkonsumsi serat dan buah. Bercak keputihan pada mulut dialami 1 bulan ini. Riwayat menderita penyakit HIV sejak 2 tahun ini dengan faktor resiko penularan yaitu pengguna jarum suntik narkoba dan tatto. Riwayat kanker usus besar dijumpai dengan membawa hasil kolonoskopi (04/11/2010) dari Klinik spesialis Zain dengan kesimpulan carcinoma recti serta hasil histopatologi anatomi (09/11/2010) dengan kesimpulan Well-differentiated adenocarcinoma recti, dan hasil CT Scan Whole abdomen dari RSU H. Adam Malik (07/05/2011) dengan kesimpulan sesuai dengan colorectal carcinoma T3 N0 Mx, serta hasil foto thorax PA dari RSU H. Adam Malik Medan dengan hasil metastase paru. USG Abdomen tidak ditemukan liver metastase. Riwayat ARV (duviral dan neviral). Status presens saat masuk, sensorium komposmentis , tekanan darah 120/70mmHg, frekuensi jantung 88x/menit, reguler, t/v cukup, frekuensi pernafasan 20x/menit, temperatur 36,70C, BB : 55 kg, TB : 179 cm. Skor Karnofsky 70%. Pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, sclera tidak ikterus, tidak sianosis, dijumpai oral candidiasis, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaaan jantung dan paru tidak ada kelainan. Pemeriksaan abdomen hepar dan limpa tidak teraba, tidak teraba massa di abdomen. Pemeriksaan extremitas tidak didapatkan oedema, akral hangat. Pemeriksaan rectal toucher: pada mukosa dijumpai massa 1 cm dari anal, berbenjol-benjol, mobile, pada handscoen didapati feses dan darah, lendir tidak dijumpai.Laboratorium darah rutin (25/05/2011) dengan: Hb 11,8 gr/dL, Lekosit 7.630/mm3, Ht 33,7%, trombosit : 229.000/mm3. Billirubin total : 0,35 mg/dl, Billirubin direk: 0,19 mg/dl, SGOT : 35 U/L, SGPT: 67 U/L, Alkali phosphatase: 102 U/L. Albumin: 4,1. Ureum : 13,5 mg/dl, Kreatinin 0,68 mg/dl, KGD ad random : 102 mg/dl, Elektrolit dan faal hemostasis dalam batas normal. CEA 53,8 ng/ml. CD4: 189. EKG: Sinus ritme + normo EKG

Pasien didiagnosis dengan HIV stadium III dengan oral candidiasis + Adenocarcinoma recti stadium IV dengan metastase ke paru.

Diberikan terapi yaitu tirah baring, Diet MB TKTP, IVFD NaCl 0,9% 20 tts/menit, IVFD Aminofusin L-600 1 fls/hari, Inj. Ceftazidime 1 gr/8j, Cotrimoxazole 1x960 mg, Duviral tab 2x1, Neviral tab 2x1, Nystatin drops 4x2 gtt.

Pada hari kedua perawatan (31 Mei 2011), pasien dikonsulkan ke bagian bedah digestif dan dilakukan operasi Abdominoperineal resection/APR (Milles operation) dengan kolostomi permanent. Hasil histopatologi jaringan rektum: Adenocarcinoma well differentiated

Pasien direncanakan untuk persiapan kemoterapi dengan regimen FOLFIRI setiap 14 hari yaitu: Irinotecan (Campto) 300 mg/m2/IV diberikan Hari I, leucovorin (rescuvolin) 350 mg/m2/IV diberikan Hari I dan II, 5-FU (fluracedyl) 700 mg/m2/IV bolus serta 5-FU (fluracedyl) 1000 mg/m2/IV diberikan Hari I dan II). Perjalanan Penyakit

Follow up sebelum kemoterapi

Tanggal 23/8/2011: penderita mengeluh benjolan pada bokong dan disertai nyeri, Sens: CM ; TD 100/ 70 mmHg, Nadi: 90 x/menit, RR: 20x/ menit, T: 36,80C, pem. fisik: Tampak massa sebesar kelereng di regio perianal 1,5 cm, bergranul, eritem, darah (+), pus (-). Laboratorium: (23/08/2011) Hb 8,3 gr/dL, Lekosit 2.540/mm3, Ht 25,5%, trombosit : 107.000/mm3, neutrofil: 1,47. 10 3. Hasil biopsi insisi pada jaringan rectum: Adenocarcinoma well differentiated. CT Scan Whole abdomen dengan kontras intravena, potongan axial, tebal irisan 7mm (10/ 11/ 2011) dengan kesimpulan Massa rectum (Ca. Rekti) disertai pembesaran KGB multipel paraaorta, pleuritis dan sistitis dengan kolostomi.Diagnosa: HIV stadium III + Anemia aplastik ec infeksi HIV + Hernia insisional + Adenocarcinoma recti stadium IV dengan metastase ke paru. Diberikan terapi yaitu tirah baring, Diet MB TKTP, IVFD NaCl 0,9% selang seling dengan D5% 20 tts/menit, IVFD Aminofusin L-600 1 fls/hari, Cotrimoxazole 1x960 mg, codein 30 mg/6 jam, zidovudin (aff) diganti Stavudin 2x30 mg, lamivudin 2x150mg, neviral tab 2x200mg, laxadyne syr 3x CI.Follow up selama kemoterapi

Tanggal 28/11/2011-28/02/2012: penderita mengeluh nyeri pada pinggang, kedua kaki nyeri dan sulit digerakkan, nyeri saat BAK. Sens: CM ; TD 110/ 70 mmHg, Nadi: 90 x/menit, RR: 24x/ menit, T: 37,20C. Laboratorium: (24/11/2011) Hb 12,8 gr/dL, Lekosit 17.400/mm3, Ht 35,5%, trombosit: 374.000/mm3. Ureum: 16,9, creatinin: 0,54. SGOT/SGPT: 41/31. Na/K/Cl: 139/4,0/103. Hasil kultur urine; Enterobacter agglomerans > 105 CFU/ml. Sensitif dengan antibiotik meropenem, nitrofurantoin.

Hasil FNAB KGB colli dextra (21/11/2011) mikroskopik: smear aspirat tampak kelompokkan sel-sel epitel atipik dengan inti membesar pleomorfik, kromatin kasar dengan latar belakang smear sel-sel radang limfosit. Kesimpulan: Metastase carcinoma.

CT Scan Whole abdomen dengan kontras intravena (25/ 01/ 2012) Multiple lesi hipodens dikedua lobus hepar( DD: Metastasis hepar, Hidronefrosis dan hidroureter proximal bilateral, Lesi hipodens di abdomen tengah ( DD: pembesaran KGB limfoma, destruksi os lumbal, Iregularitas dinding buli disertai neurogenik bladder.

CT Scan lumbosakral tehnik bone window, tanpa kontras intravena, potongan axial (02/02/2012) dengan kesimpulan: Kemungkinan suatu metastasis vertebra L3,L4,L5,DD: spondilitis

Diagnosa: HIV stadium III + ISK + Hidronefrosis bilateral + Adenocarcinoma recti stadium IV dengan suspek infiltrasi ke buli-buli dan metastase ke paru, hepar, tulang + limfadenopati regio colli dextra metastase. Diberikan terapi yaitu tirah baring, kateter terpasang, Diet MB TKTP, IVFD NaCl 0,9% selang seling dengan D5% 20 tts/menit, IVFD Aminofusin L-600 1 fls/hari, Inj. Meropenem 1 gr/8j, Cotrimoxazole 1x960 mg, codein 20 mg/6 jam, stavudin (aff) diganti Tenofovir 1x300 mg, lamivudin 2x150 mg, neviral tab 2x200mg, loperamide tab 3x1, fisioterapi 3x/minggu. FOLLOW UP selama kemoterapi

Kemoterapi Siklus I-III

(1/12/2011-1/1/2012) Siklus IV-VI(19/01/2012-6/03/2012)

Darah rutin-Hb (g%)-Leukosit

-PLT9,14.190

261.0009,4

4.730

31.000

SGOT/SGPT63/4454/55

Ur/Cr21,8/0,6622,8/0,63

CD491 (20/12/2012)135 (25/01/2012)

CEA197,6 ( 18/01/2012)

ARVStavudin 2x30 mgLamivudin 2x150 mgNeviral 2x200 mgTenofovir 1x300 mgLamivudin 2x150 mgNeviral 2x200 mg

Efek sampingAnemia

Neuropati

Diare

Pasien pulang atas permintaan sendiri setelah menyelesaikan kemoterapi sebanyak 6 siklus.Diskusi

Insiden kanker meningkat pada individu yang terinfeksi HIV, dengan perkiraan 40% dari semua penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) akan berkembang menjadi kanker selama perjalanan penyakitnya. Ada tiga kanker terkait AIDS (AIDS-defining malignancies) yaitu sarkoma kaposi, limfoma non-hodgkin, dan kanker serviks. Selain itu, terjadi pula peningkatan insiden kanker yang tidak terkait AIDS (non-AIDS-defining cancers/NADCs) telah banyak dilaporkan pada penderita HIV, termasuk diantaranya adalah karsinoma pada anus, kepala dan leher, testis, paru-paru, kolon, kulit (karsinoma sel basal, karsinoma sel squamous, melanoma), dan penyakit hodgkin.1 Di negara Perancis, dilaporkan ada sebanyak 13% pasien HIV yang meninggal disebabkan NADCs pada tahun 2000, hal tersebut sangat berbeda dengan insiden sebelum era tahun 1992-1995 atau dikenal sebagai era pre-highly active antiretroviral therapy (HAART), dimana dilaporkan insiden NADCs kurang dari 1%. Di India selama periode 2001-2005, dilaporkan terdapat 56,2% pasien kanker dengan HIV/ AIDS yang termasuk kelompok NADCs. Di Amerika Serikat, secara keseluruhan insiden dan resiko NADCs pada pasien HIV dilaporkan terus meningkat9. Patel dkk melaporkan insiden dan tipe kanker pada pasien HIV dibandingkan dengan populasi umum di Amerika Serikat dari tahun 2000-2003 diperoleh data standardized incidence rate (SIR) kanker kolorektal pada pasien HIV per 100.000 penduduk adalah 66,2 dibandingkan pada populasi umum adalah sebesar 21,1 dan menduduki urutan ketiga terbanyak pada kelompok kanker tidak terkait AIDS setelah kanker paru dan kanker anal.2 Wasserberg dkk (2007), melaporkan 12 pasien HIV dengan kanker kolorektal yang didiagnosa antara tahun 1994 dan 2003, dalam studi kasus-kontrol ini dilaporkan bahwa pasien HIV dengan kanker kolorektal lebih banyak dijumpai pada usia muda (median usia-41 tahun) pada saat terdiagnosis dan kanker kolorektal sudah pada stadium lanjut (90% pada stadium III atau stadium IV). 5Pada kelompok pasien non HIV, karsinoma kolorektal (KKR) merupakan keganasan ketiga terbanyak didunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara tahun 1973 sampai 1995 di Amerika Serikat. kematian akibat KKR menurun 20,8% dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar 6% penduduk Amerika diperkirakan bisa berkembang KKR dalam hidupnya. Risiko untuk mendapatkan KKR mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, risiko meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya.3

Pada kasus, pasien berusia 32 tahun saat didiagnosis kanker kolorektal. Sesuai dengan beberapa laporan kasus sebelumnya, bahwa pasien HIV dengan kanker kolorektal cenderung dijumpai pada usia muda.Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker kolorektal.6 Faktor lingkungan yang berperan pada karsinogenesis kanker kolorektal adalah konsumsi diet tinggi lemak, protein, kalori dan daging merah dan putih, konsumsi alkohol, diet rendah serat, merokokok, serta pengobatan dengan sulih hormon pada wanita. 3,6,7,8Ada beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan terjadinya kanker pada pasien HIV yaitu proses imunosupresi kronik yang dialami pasien yang terinfeksi HIV, terpapar dengan berbagai bahan yang bersifat karsinogenik (merokok, alkohol, narkotika), dan infeksi virus onkogenik. Faktor prediktor terjadinya kanker kolorektal pada pasien HIV belum banyak diketahui secara pasti.9 Burgi dkk melaporkan faktor prediktor terjadinya NADCs yaitu usia diatas 40 tahun, terinfeksi penyakit HIV cukup lama, dan riwayat infeksi oportunistik. 5Beberapa studi melaporkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan infeksi kronis oleh virus HIV yang mengakibatkan proses inflamasi yang berperan dalam terjadinya kanker kolorektal.9 Infeksi HIV-1dapat meningkatkanekspresi COX-2 dan kadar PGE2 sistemik melalui sejumlah mekanisme. HIV-1meningkatkan ekspresi COX-2 pada limfosit T dan makrofag. HIV-1 transkripsifaktorTatmenstimulasiCOX 2transkripsi. Infeksi HIV-1juga dapat meningkatkansitokinplasma termasuk interleukin(IL)-6danTNF-. Masing-masing sitokinproinflamasidapat menginduksiCOX-2 dan sintesis PGE2.Kerusakanususterkait limfoidjaringan denganHIV-1menyebabkantranslokasibakteri dan peningkatankadar peningkatankadardarahlipopolisakarida(LPS).LPSadalah inducerkuatCOX-2. 10,11Molekul prostatglandin E2 (PGE2) berperan dalam proses karsinogenesis melalui beberapa mekanisme yaitu: meningkatkan angiogenesis, menekan apoptosis, meningkatkan proliferasi sel, dan menekan antitumor cellmediated immunity. 10,11

Data epidemiologi menunjukkan adanya penurunan resiko kanker dikalangan pemakai OAIN (Obat Antiinflamatori Non Steroid), hal tersebut terjadi karena efek OAIN yang dapat menghambat aktivitas COX-2. Namun, bukti yang mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolorektal sporadik masih lemah. 6,11

Pada kasus, faktor prediktor yang diduga berperan dalam terjadinya kanker kolorektal adalah riwayat penyakit HIV selama 2 tahun dan adanya riwayat infeksi oportunistik sehingga terjadi proses inflamasi kronis yang dapat meningkatkan expresi COX-2 dan kadar PGE2 serta faktor lingkungan antara lain konsumsi diet tinggi lemak dan diet rendah serat, konsumsi alkohol, merokok dan penggunaan narkoba.

Identifikasi faktor prediktor yang berperan dalam terjadinya kanker yang tidak terkait AIDS dapat membantu kita dalam menegakkan diagnosis lebih dini dan memberikan terapi yang sesuai. 1,12Pendekatan Diagnosis 6,8,131. Anamnesis: gambaran klinis tergantung lokasi dan besar tumor. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien diantaranya adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan konstipasi), nyeri perut, penurunan berat badan. 2. Pemeriksaan umum: pemeriksaan fisik dan colok dubur 3. Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap, biasanya dijumpai anemia mikrositik , pemeriksaan darah samar feses untuk mendeteksi adanya perdarahan intermitten, CEA. 4. Pemeriksaan radiologi: Pemeriksaan enema barium kontras ganda, CT Scan, MRI. 5. Pemeriksaan kolonoskopi sekaligus biopsi pada lesi yang mencurigakan.Pembagian Stadium3Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk adanya metastasis jauh. Sistim klasifikasi yang kemudian digunakan adalah sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, adanya metastasis jauh, yaitu : Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa

Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3)

Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3)

Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen

Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer dan International Union against Cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM, di mana ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3 bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1).Definisi TNM 3,7,8Tumor Primer (T)

TX : Tumor primer tak dapat ditentukan

TO : Tidak ditemukan tumor primer

Tis : Carcinoma in situ : invasi intraepithelial ke lamina propria

T1 : Tumor menyebuk submucosa

T2 : Tumor menyebuk muscularis propria

T3 : Tumor menembus muscularis propria ke subserosa atau perikolika

atau Jaringan perirektal

T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum visceral

Kelenjar Limfe Regional (N)

NX: KGB Regional tidak dapat ditentukan

N0: Tak terdapat keterlibatan KGB regional

N1: Metastasis ke 1-3 KGB regional

N2: Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional

Metastasis jauh (M)

MX: Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh

M0: Tidak ditemukan metastasis jauh

M1: Ditemukan metastasis jauh Definisi Stadium

Tabel 1. Sistem Staging pada kanker kolorektal7

Tabel 2. Hubungan antara stadium TNM dan survival pada kanker kolorektal8Derajat histopatologi

Adenokarsinoma kolorektal sangat berbeda secara gambaran histologi, beberapa tumbuh relatif berdifferensiasi baik, lainnya menjadi lebih anaplastik. Secara umum pertumbuhan papiliferous cenderung berdifferensiasi lebih baik daripada lesi dengan ulserasi dan infiltrasi dalam. 3Pada kasus pasien didiagnosa dengan adenocarcinoma recti stadium IV berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dari jaringan rectum dengan hasil adenocarcinoma well-differentiated, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan CT Scan untuk membantu menentukan staging serta pemeriksaan foto thorax PA dan diperoleh metastase ke paru, hepar, tulang dan dengan infiltrasi ke buli-buli.Terapi

1. Pembedahan

Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolorektal yang localized sebagai penatalaksanaan kuratif. 3,72. RadioterapiDengan tehnik modern (terapi cobalt mV atau neutron beam irradiation) yang ada sekarang, beberapa adenokarsinoma memberikan respon terhadap radioterapi. Menurut penelitian, dengan dosis adekuat (4000-5000 Gy), radioterapi adjuvant, baik pre maupun post operasi dapat menurunkan insiden rekurensi lokal, namun harapan hidup jangka lama tidak dipengaruhi . Radioterapi preoperasi juga dapat mengecilkan tumor yang besar, sehingga lebih mudah dibuang saat operasi. Radiasi paliatif dapat diberikan untuk tumor primer yang inoperable atau apabila terjadi rekurensi lokal yang disertai nyeri. 3,4,73. Kemoterapi pada KKR lanjut / metastatik

Saat ini, kombinasi irinotecan atau oxaliplatin dengan 5-FU/FA dianggap standar untuk penderita KKR metastatik. Dengan protokol ini, survival keseluruhan adalah 15-20 bulan. 3Goldberg melaporkan hasil akhir dari penelitian N-9741 di mana irinotecan + bolus 5-FU/FA (IFL) dibandingkan dengan oxaliplatin (FOLFOX4) dan hasilnya adalah median survival 19,5 bulan pada kelompok FOLFOX4 dan 14,8 bulan pada protokol IFL. Penelitian ini membawa oxaliplatin sebagai kemoterapi lini pertama pada KKR metastatik menyusul ijin FDA yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk irinotecan. 3 Di tahun 2000, dua penelitian klinik acak terkontrol membuktikan bahwa penambahan irinotecan pada protokol yang menggunakan 5-FU, baik secara bolus maupun infus, meningkatkan angka survival penderita KKR. Secara hampir bersamaan, berbagai penelitian secara sendiri-sendiri mengenai protokol yang mengandung capecitabine dan oxaliplatin dilaporkan. Walaupun protokol yang mengandung oxaliplatin mempunyai laju respons lebih tinggi dibanding irinotecan, angka survival secara keseluruhan tidak berbeda. Cassidy melakukan penelitian fase II terhadap protokol Xelox (capecitabine + oxaliplatin) pada penderita KKR metastatik mendapatkan respon objektif 55% serta stabilisasi penyakit lebih dari 3 bulan sebesar 30%. Hal ini merupakan suatu langkah maju pada kemoterapi KKR metastatik dan sedang ditunggu hasil penelitiannya. 3Di Indonesia, masih terdapat kekurangan dalam hal menentukan stadium pra-bedah, selama pembedahan dan stadium histopatologis. Oleh karena itu, stadium yang sebenarnya dapat lebih lanjut dari stadium yang dilaporkan. Karena itu perlu dipertimbangkan pengobatan adjuvan. 3c.Protokol-protokol yang sering digunakan: 13 Mayo Clinic 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV (hari 1-5) Leucovorin 20 mg/m2 IV 30 menit (hari 1-5) 6 siklus tiap 28 hari. de Gramont

Leucovorin 200 mg/m2 IV 2 jam (hari 1,2) 5-FU 400 mg/m2 i.v. bolus dilanjutkan 600 mg/m2 i.v kontinu selama 22 jam (hari 1,2) 6 siklus tiap 14 hari Roswell Park Memorial Institute (RPMI)Leucovorin 500 mg/m2/ IV 30 menit dilanjutkan dengan 5 FU 500 mg//m2/ IV bolus, keduanya diberikan tiap minggu selama 6 minggu, diberikan dalam 3 siklus dengan istirahat antara siklus 2 bulan. Kemoterapi oralCapecitabine (R/xeloda) 2500 mg/m2/hari selama 2 minggu setiap 3 minggu untuk 6 siklus, tanpa pemberian leucovorin.

Terapi oral dilaporkan tahun 1999 (America Society of Clinical Oncologists) dengan hasil angka respon dan kelangsungan hidup yang setara dengan kemoterapi standard. 13

Pada kasus kemoterapi yang digunakan adalah regimen FOLFIRI yang diberikan sesuai dengan protokol de Gramont selama 6 siklus.

Tatalaksana pemberian ARV pada pasien Kanker

Paduan pemberian ARV yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI. Diperlukan berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan terapi ARV mengingat efek samping atau toksisitas merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV.14

Data mengenai penatalaksanaan kanker terkait AIDS maupun kanker yang tidak terkait AIDS yang ideal tidak cukup optimal. Beberapa hasil penelitian menyarankan agar pasien HIV dengan malignansi dapat diberikan pendekatan terapi sama seperti pada pasien non-HIV. Namun, dalam pelaksanaannya harus tetap mempertimbangkan kemungkinan terjadinya toksisitas yang dapat timbul disebabkan interaksi ARV dengan regimen kemoterapi untuk terapi kanker itu sendiri. Meskipun tidak ada konsensensus mengenai cara penggunaan dan peranan HAART pada pasien kanker tidak terkait AIDS, banyak penelirti yang menganjurkan terapi ARV diberikan lebih awal dari yang telah ditetapkan oleh guidline yang ada.2

Stavudin (d4T) merupakan NRTI yang sering terkait dengan asidosis laktat, lipodistrofi, dan neuropati perifer. Neuropati perifer dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dengan gejala seperti: hilang rasa atau kebas, diikuti dengan rasa kesemutan dan rasa terbakar dan kemudian nyeri yang biasanya dimulai dari ekstremitas bawah. Penatalaksanaannya adalah dengan menghentikan obat tersebut bila memungkinkan.14

Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV karena toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama; contoh Zidovudin (AZT) atau Tenofovir (TDF) untuk menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF atau d4T dapat menggantikan AZT karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan. 14

Efikasi penggunaan regimen kemoterapi standar yang digunakan pada pasien non HIV akan berbeda hasilnya jika populasinya adalah pasien HIV, dan studi mengenai hal tersebut sangat terbatas. Toksisitas yang timbul pada pasien HIV mungkin dapat lebih berat dan mengancam jiwa.2 Penggunaan regimen kemoterapi FOLFIRI yang mengandung 5 FU dan ironectan dilaporkan dapat memberikan efek samping neuropati dengan gejala mati rasaatau perasaankesemutan di tangan atau kaki, kejang otot, kehilangankeseimbangan, Kesulitanmengancingkan baju,atau memungut benda serta penurunansensasipanasatau dingindiujung tangan dan kaki. 15

Pada kasus dijumpai efek samping neuropati akibat interaksi obat ARV dan regimen kemoterapi yang memperberat gejala neuropati yang timbul, sehinga diperlukan penangananan selanjutnya untuk meminimalisir efek samping tersebut melalui substitusi stavudin dengan tenofovir.

Kesimpulan

Dilaporkan satu kasus HIV stadium III dengan adenocarcinoma recti stadium IV yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan kolonoskopi yang dilanjutkan biopsi serta pemeriksaan histopatologi serta pemeriksaan penunjang CT Scan Abdomen untuk menentukan stadium penyakit. Diberikan terapi ARV dengan pemantauan efek samping serta interaksi obat ARV dengan regimen kemoterapi serta penanganan terhadap infeksi oportunistik. Selama perawatan, pasien telah menjalani operasi operasi Abdominoperineal resection/APR (Milles operation) dengan kolostomi permanent dan dilanjutkan kemoterapi dengan regimen FOLFIRI sebanyak 6 siklus, namun follow up tidak dilanjutkan karena pasien pulang atas permintaan sendiri. Daftar Pustaka1. Burgi A, et al. Incidence and risk factors for the occurrence of non-AIDS-defininf cancers among human Immunodeficiency virus-infected individuals. Cancers. 2005;104: 1505-11.

2. Ruiz M. Certain non-AIDS-defining cancers higher in HIV population. HIV clinicians, Winter 2009;(21): 13-16.

3. Kelompok kerja adenokarsinoma kolorektal Indonesia. Pengelolaan karsinoma kolorektal suatu panduan klinis nasional. [cited 2012 April 28] Available from URL: www.hompedin.org4. Santosa, Suharti C. Epidermal growth factor receptor (EGFR) sebagai sasaran terapi kanker kolorektal. CDK 2009;167(36):5-12.

5. Ford RM, McMahon MM, Wehbi MA. HIV/AIDS and colorectal cancer: A Review in the Era of Antiretrovirals. Gastroenterology & Hepatology 2008;4: 274-278.

6. Abdullah M. Tumor kolorektal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Interna publishing. 2009.h.567-575.

7. Sack J, Rothman JM. Colorectal Cancer: Natural History and Management. Hospital Physician 2000.8. Compton CC. Colorectal carcinoma: Diagnostic, prognostic, and molecular features. Mod Pathol 2003;16(4):376388.9. Chapman C, Aboulafia DM, Dezube BJ, Pantonowitz L. Human immunodeficiency virus-associated adenocarcinoma of the colon: clinicopathologic findings and outcome. Clin Colorectal Cancer 2009;8(4):215-219.10. Fitzgerald DW, et al. The effect of HIV and HPV coinfection on cervical COX-2 expression and systemic prostaglandin E2 levels. Cancer Prev Res 2012;5:34-40.11. Sheng H, Shao J, Washington MK, Dubois RN. Prostaglandin E2 increases growth and motility of colorectal carcinoma cells. The journal of biochemical chemistry 2001;276 (21):18075-18081.

12. Reinhold JP, Moon M, Tenner CT, Poles MA, Bini EJ. Colorectal cancer screening in HIV-infected patients 50 years of age and older: Missed opportunities for prevention. Am J Gastroenterol 2005;(100): 1805-1812.13. Supandiman I, Sumantri R, Heri T, Irani P, Oehadian A. Pedoman diagnosis dan terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Q communication. Bandung. 2003.h.172-177.

14. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.

Abstrak

Latar Belakang

Insiden kanker meningkat dengan perkiraan 40% pada individu yang terinfeksi HIV dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Peningkatan insiden kanker yang tidak terkait AIDS (non-AIDS-defining cancers/NADCs) telah banyak dilaporkan, salah satu diantaranya adalah kanker kolorektal. Beberapa studi melaporkan bahwa inflamasi akibat infeksi kronis oleh virus HIV merupakan faktor resiko terjadinya kanker kolorektal. Akan tetapi hingga saat ini penatalaksanaannya belum cukup optimal. Beberapa hasil penelitian menyarankan agar pasien HIV dengan kanker diberikan pendekatan terapi yang sama seperti pada pasien non-HIV.

Laporan kasus

Seorang laki-laki, 32 tahun, datang ke RSU H. Adam Malik Medan pada tanggal 30 Mei 2011 dengan keluhan hematokezia disertai tenesmus, penurunan berat badan, merokok dan mengkonsumsi alkohol, pola makan cenderung mengkonsumsi daging dan jarang mengkonsumsi serat dan buah. Sejak 2 tahun ini penderita dinyatakan menderita HIV ini oleh dengan faktor resiko yaitu pengguna jarum suntik narkoba dan tatto dengan riwayat penggunaan ARV (duviral dan neviral).

Keadaan umum penderita saat masuk adalah sakit sedang dengan status gizi kesan underweight serta skor Karnofsky 70%. Pada pemeriksaan fisik kepala, anemis tidak dijumpai, dan ditemukannya oral candidiasis. Pada leher tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan extremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan colok dubur dijumpai massa 1 cm dari anal, berbenjol-benjol, immobile, disertai nyeri tekan.

Pada pemeriksaan laboratorium darah dengan: Hb 11,8 gr/dL, lekosit 7.630/mm3, trombosit : 229.000/mm3. Billirubin total : 0,35 mg/dl, billirubin direk: 0,19 mg/dl, SGOT: 35 U/L, SGPT: 67 U/L, alkali phosphatase: 102 U/L. Albumin: 4,1 mg/dl. Faal ginjal, elektrolit, kadar gula darah dan faal hemostasis dalam batas normal. CEA 53,8 ng/ml. CD4: 189.

Hasil kolonoskopi dengan kesimpulan carcinoma recti, hasil histopatologi anatomi dengan kesimpulan Well-differentiated adenocarcinoma recti, hasil CT Scan Whole abdomen sesuai dengan colorectal carcinoma T3 N0 Mx, dan foto thorax PA menunjukkan gambaran metastase paru serta pada USG Abdomen tidak ditemukan liver metastase.

Kesimpulan

Dilaporkan satu kasus HIV stadium III dengan adenocarcinoma recti stadium IV. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diberikan terapi ARV dengan pemantauan efek samping akibat interaksi obat ARV dengan regimen kemoterapi serta penanganan terhadap infeksi oportunistik. Kemoterapi dengan regimen FOLFIRI sebanyak 6 siklus, tetapi tidak diteruskan karena pasien meninggal.

8