laporan geriatri skenario 3

61
BAB I PENDAHULUAN Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar. Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk, berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan tidak mau dibawa berobat. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR 30x/menit, T 36 0 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan. Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus. Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

Upload: siska-dewi-agustina

Post on 14-Aug-2015

418 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

geriatri

TRANSCRIPT

Page 1: laporan geriatri skenario 3

BAB I

PENDAHULUAN

Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau

makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak mau buang air besar.

Hampir 2 minggu, mbah Suro tiduran terus karena lemas dan batuk, berdahak,

tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Dan tidak mau dibawa

berobat.

Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR

30x/menit, T 360 C, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan

didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba

meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar

luka kemerahan. Skor norton 9. Hasil laboratorium leukosit 7500. Foto thorax

menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.

Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian

dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus.

Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

Page 2: laporan geriatri skenario 3

BAB II

STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1

Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam

skenario.

1. Ronkhi basah : Gerakan udara melalui sekret tipis

bronkus/bronkiolus, nada rendah, durasi lama,

intensitas keras. Klinis pada bronkitis, bronkiektasis,

bronkopneumonia, gagal jantung kongestif.

2. Apatis : Kesadaran dimana GCS 12-13, pasien tampak acuh

tak acuh, tidak bicara, pandangan hampa.

3. Skor Norton : Skor untuk mengukur resiko dekubitus, terdiri dari 5

komponen yaitu kondisi fisik umum, kesadaran,

aktivitas, mobilitas, dan inkotinensia.

4. Kasur dekubitus : Kasur yang digunakan untuk mengelola dekubitus,

berisi air/udara yang tekanan bisa diubah-ubah.

5. Rehabilitasi medik : Salah satu penatalaksanaan atau terapi yang berfungsi

untuk meminimalisasi kecacatan dan mencegah

kecacatan.

Jump 2

Menentukan/mendefinisikan permasalahan.

1. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 80 tahun dengan gejala klinis

yang dialami pasien ?

2. Bagaimana patofisiologi dari gejala klinis yang dialami pasien pada

skenario ?

3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien ?

4. Apakah yang dimaksud dengan imobilisasi dan komplikasinya ?

5. Bagaimana penatalaksanaan imobilisasi ?

Page 3: laporan geriatri skenario 3

6. Bagaimana patofisiologi, komplikasi, dan penatalaksanaan ulkus

dekubitus ?

7. Bagaimana patofisiologi pneumonia dan sepsis ?

8. Bagaimana patofisiologi dari penurunan kesadaran ?

9. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario

ini?

Jump 3

Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai

permasalahan (tersebut dalam langkah 2).

A. MOBILISASI DAN IMOBILISASI

Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan

salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi

adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-

hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma),

mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non

verbal. Imobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau

berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada

pada suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan

mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan

untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring

akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem

otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur

gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang

bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan

isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot

memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau

Page 4: laporan geriatri skenario 3

kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya,

menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi

dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak

menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat

harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan,

fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi

kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi paru

kronik).

Faktor yang mempengaruhi mobilisasi:

1. Sistem neuromuscular

2. Gaya hidup

3. Ketidakmampuan

4. Tingkat energi

5. Tingkat perkembangan

(Leahy dan Kizilay, 1998).

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring

selama 3 hari atau lebih dengan gerakan anatomik tubuh menghilang akibat

perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan

dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi

adalahadanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah

psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut.

Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsimental

seperti depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang

berlebihan dapat menyebabkan orang lanjut usia terus-menerus berbaring

ditempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit.

Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim

medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi

kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,pentingnya latihan

bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien

dneganmelakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien.

Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan

Page 5: laporan geriatri skenario 3

pembuatanrencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk

mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi bila terjadi infeksi, malnutrisi,

anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus

imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya. Evaluasi seluruh obat-obatan

yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau

kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan

nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat,

sertasuplementasi vitamin dan mineral. Program latihan dan remobilisasi dimulai

ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur,

latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latiahan penguat otot-

otot (iosotonik, isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/keseimbangan, dan

ambulasi terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri

dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus

konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yangkompeten. Lakukan

remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau

dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia

lanjut yang mengalami disabilitas permanen. (Carpenito, 1999)

Komplikasi pada pasien pasien imobilisasi antara lain:

1. Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang

penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga

faktor yang meningkatkan risko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di

vena dalam karena trauma atau pembedahan,sirkulasi darah yang tidak baik pada

vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena

dalam meliputi gagal jantung kongestive, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan

darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat

berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai.

2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks

tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti

secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena

trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru

Page 6: laporan geriatri skenario 3

disebabkan oleh karena trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah

yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan

sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan

penyebab kesakitan dankematian pada pasien lanjut usia.

3. Kelemahan Otot

Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dankekuatan

otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahanotot pada pasien

dengan imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional,

kelemahan, dan jatuh.

4 .Kontraktur Otot dan Sendi

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena

sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan

seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.

5. Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara reabsorpsi tulang

dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi tulang,

meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin

D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan massatulang pada

imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang.

6. Ulkus Dekubitus

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadipada pasien

usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro

sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25mmHg. Tekanan lebih dari 25

mmHg secara terus-menerus pada kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama

akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu

lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara

permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan

pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan.

7. Hipotensi Postural

Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi

berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah

iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800

Page 7: laporan geriatri skenario 3

ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan

tubuh tersebut menyebabkanpenurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan

volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada

orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan

peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun.Pada

lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling

sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan

posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada

lansia.

8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi padapasien

geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi

dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang

menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkenapneumonia. Aliran

urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi

saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadipada usia lanjut yang

mengalami imobilisasi yang disebabkanketidakmampuan ke toilet, berkemih yang

tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih.

9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin yang

akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang

terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi

pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi

katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan

meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.

10. Konstipasi dan Skibala

Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama

feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan

menjadi lebih keras.

(Craven dan Hirnle, 2000).

Page 8: laporan geriatri skenario 3

B. Dekubitus

a) Definisi

Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri

yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah

dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Potter & Perry (2005)

mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi

ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan

eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan

lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan

nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang

mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara

mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi

jaringan.

b) Faktor Risiko Dekubitus

Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:

1. Gangguan Input Sensorik

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan

tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit daripada

pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik

yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu

bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar,

sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau

meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).

2. Gangguan Fungsi Motorik

Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi

terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak

mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan

tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien

yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan

Page 9: laporan geriatri skenario 3

sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera

medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun

berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi

ini (Potter dan Perry, 2005).

3. Perubahan Tingkat Kesadaran

Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran

tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien

bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak

mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma

tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang

labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat

kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada

pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan

pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).

4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien

yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya

gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada

kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada

kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.

Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan

pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus

merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan

Perry, 2005).

5. Nutrisi Buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan

yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai

bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu

efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry, 2005).

Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan

keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status

Page 10: laporan geriatri skenario 3

nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama

dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi

buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah

3g/100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).

Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah

3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan

lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar albumin serum kurang tepat

memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor

malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level

total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang

akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema

akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap

tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan

kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada

pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea menyebabkan

perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema.

Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada

suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya

perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).

c) Patogenesis Dekubitus

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:

1) Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler

2) Durasi dan besarnya tekanan

3) Toleransi jaringan

Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan.

Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insidensinya

terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).

Page 11: laporan geriatri skenario 3

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi

pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan

atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini

menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari

32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka

pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik

kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme

fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar

untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan

iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke

epidermis (Potter dan Perry, 2005).

Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek

yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan

tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat di tingkatkan

oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan

konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi.

Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan

jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di

titik tekanan mengalami gangguan (Potter & Perry, 2005).

d) Klasifikasi Luka Dekubitus

Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah

dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan:

1) Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang

diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi

indikator.

2) Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan

dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau

lubang yang dangkal.

3) Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan

Page 12: laporan geriatri skenario 3

atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui

fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang

yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4) Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,

nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga

misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan

kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).

e) Komplikasi luka Dekubitus

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun

dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi

yang dapat terjadi antara lain:

1) Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik

2) Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis

3) Septikimia

4) .Animea

5) Hipoalbuminea

6) Kematian

f) Tempat terjadinya luka Dekubitus

Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum,

tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial. Menurut Potter

dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus adalah:

1) Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah

tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

2) Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun

telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan

bagian atas jari-jari kaki.

3) Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan

lutut.

g) Penatalaksanaan Dekubitus

Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah

terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya

Page 13: laporan geriatri skenario 3

dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk

meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor

Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi

timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan

pengalaman klinik yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi

mental, aktifitas, mobilitas dan inkontinensia. Maksimum skore yang dapat

dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih dari 18 berarti risiko dekubitus masih

rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk

kategori sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi

dengan menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda.

Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan tidak

memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya.Dengan evaluasi skor ini

dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan berikutnya adalah menjaga

kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah

keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang

ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk

melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan

hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al, 2009).

Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah

terjadinya dekubitus adalah:

1) Meningkatkan status kesehatan penderita.

Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki

dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi,

hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin

(vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/mengobati penyakit-

penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.

2) Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.

a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.

Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat

yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang

mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.

Page 14: laporan geriatri skenario 3

b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh

penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun,

kasur air yang temperatur airnya dapat diatur.

c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah

setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain:

3) Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau

duduk dikursi.

4) Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan

tubuh penderita.

5) Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan

tebal sebagai alas tubuh penderita (Hidayat et al, 2009).

Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khususnya pada

tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usaha diatas dilakukan

dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi

kerusakan jaringan upaya penyembuhan akan lebih rumit.Bila sudah terjadi

dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang

dihadapi:

a. Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang kemerahan

dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian

dimassase 2-3 kali/hari.

b. Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus memperhatikan

syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan

dihembus dengan udara hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat

diberikan salep topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan

muda/granulasi.

Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat

merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.

Page 15: laporan geriatri skenario 3

c. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan

sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan

dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan

sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan.

Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-

sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik

sistemik mungkin diperlukan.

d. Dekubitus derajat IV

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan

nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik

harus dibersihkan sebab akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.

Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan

mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif

lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan luka secara

alami dapat diharapkan.Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan

memberikan oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk

membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi

kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%

(Hidayat et al, 2009).

C. INFEKSI PADA LANSIA

1. Definisi Infeksi

Infeksi berarti keberadaan mikroorganisme di dalam jaringan tubuh host,

dan mengalami replikasi. Infeksi merupakan interaksi antara kuman (agent), host

(pejamu, dalam hal ini adalah lansia) dan lingkungan. Pada usia lanjut terdapat

beberapa faktor predisposisi/faktor resiko yang menyebabkan seorang usia lanjut

mudah terkena infeksi, antara lain :

a. Faktor hospes meliputi :

- Penyakit utama

- Prosedur invasif

Page 16: laporan geriatri skenario 3

- Malnutrisi

- Gangguan mobilitas

- Keadaan imunitas tubuh

- Berbagai proses patologik (co-morbid) yang terdapat pada penderita

tersebut

b. Faktor agent meliputi:

- Jumlah kuman yang masuk dan ber-replikasi

- Virulensi dari kuman

c. Faktor lingkungan meliputi:

- Apakah infeksi didapat di masyarakat, rumah sakit atau panti werdha

2. Faktor Pada Penderita

a. Faktor Nutrisi

Keadaan nutrisi, yang pada usia lanjut seringkali tidak baik dapat

mempengaruhi awitan, perjalanan dan akibat akhir (outcome) dari infeksi.

Secara klinik keadaan ini dapat dilihat dari keadaan hidrasi, kadar

hemoglobin, albumin, beberapa mikronutrien yang penting, misalnya

kadar Cu maupun Zn. Juga beberapa vitamin yang penting pada proses

pertahanan tubuh.

b. Faktor Imunitas Tubuh

Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk

mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya

yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Beberapa faktor imunitas tubuh, antara lain imunitas alamiah (inate

immunity), misalnya kulit, silia, lendir mukosa dan lain – lain sudah

berkurang kualitas maupun kuantitasnya, demikian pula dengan faktor

imunitas humoral (berbagai imunoglobulin, sitokin) dan selular (netrofil,

makrofag, limfosit T). Sistem imun alamiah merupakan pertahanan tubuh

terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh

Page 17: laporan geriatri skenario 3

karena dapat memberi respons imun langsung terhadap antigen dan tanpa

waktu untuk mengenalnya terlebih dahulu.

c. Faktor Perubahan Fisiologik

Beberapa organ pada usia lanjut sudah menurun secara fisiologik,

sehingga juga sangat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akhir infeksi.

Penurunan fungsi paru, ginjal, hati dan pembuluh darah akan sangat

mempengaruhi berbagai proses infeksi dan pengobatannya. Fungsi

orofaring pada usia lanjut sudah menurun sedemikian sehingga seringkali

terjadi gerakan kontra peristaltik (terutama saat tidur), yang menyebabkan

terjadinya aspirasi spontan dari flora kuman di daerah tersebut kedalam

saluran nafas bawah dan menyebabkan terjadinya aspirasi pneumonia

Berbagai obat – obatan yang aman diberikan pada usia muda harus secara

hati – hati diberikan pada usia lanjut, karena dapat lebih memperburuk

berbagai fungsi organ, antara lain hati dan ginjal.

d. Faktor Terdapatnya Berbagai Proses Patologik

Salah satu karakteristik pada usia lanjut adalah adanya multi-patologi.

Berbagai penyakit antara lain diabetes melitus, PPOM, keganasan atau

abnormalitas pembuluh darah akan sangat mempermudah terjadinya

infeksi, mempersulit pengobatannya dan menyebabkan prognosis menjadi

lebih buruk.

3. Manifestasi Infeksi Pada Usia Lanjut

a. Demam

Seringkali tidak mencolok banyak penderita lansia yang jelas menderita

infeksi tidak menunjukkan gejala demam. Walaupun demikian untuk

diagnosis infeksi tanda adanya demam masih penting, adapun batasan

sebagai berikut :

1). Terdapat peningkatan suhu menetap > 2°F

2). Terdapat peningkatan suhu oral > 37,2°C atau rektal > 37,5°C

b. Gejala tidak khas

c. Gejala akibat penyakit penyerta (co-morbid)

Page 18: laporan geriatri skenario 3

4. Penatalaksanaan Infeksi Pada Usia Lanjut

a. Diagnosis

Mengingat gejala dan tanda infeksi pada usia lanjut yang tidak khas dan

sering menyelinap, maka diagnosis merupakan tonggak penting pada

penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut. Untuk hal tersebut asessmen geriatri

merupakan tata cara baku yang dianjurkan. Pemeriksaan fisik, psikis dan

lingkungan dan pemeriksaan tambahan yang penting secara menyeluruh sesuai

form baku perlu dilaksanakan dengan baik, sehingga kemungkinan mis- atau

under diagnosis bisa dihindari sekecil mungkin dengan asessmen geriatri ini juga

dapat ditegakkan :

- Penyakit infeksi yang terdapat

- Penyakit ko-morbid yang menyertai, antara lain gangguan imunologik,

penyakit jantung, ginjal PPOM, penyakit hati dll.

- Gangguan mental/kognitif yang mungkin mempersulit pengobatan

b. Terapi Antibiotika

Terapi antibiotika harus segera dilakukan bila semua spesimen untuk

pemeriksaan mikrobiologis sudah dikirimkan. Secara empiris antibiotika

berspektrum luas, antara lain golongan beta-laktam atau kuinolon dapat diberikan.

Antibiotika berspektrum sempit baru bisa apabila hasil kultur dan sensitivitasnya

mendukung (Hadi Martono, 1996). Pada usia lanjut, pemakaian antibiotika harus

langsung diberikan dengan menggunakan dosis penuh, akan tetapi tetap

memperhatikan kemungkinan efek samping yang terjadi.

c. Terapi Suportif

Harus selalu diingat bahwa sebagian besar usia lanjut sudah dalam keadaan

status gizi yang kurang baik sebelum sakit (keadaan ini pula yang menyebabkan

lansia mudah terserang infeksi). Pemberian diet dengan kalori dan protein yang

cukup harus diupayakan, bila perlu dengan pemberian nutrisi enteral/parenteral.

Hidrasi yang cukup juga seringkali diperlukan untuk membantu penyembuhan

Page 19: laporan geriatri skenario 3

penderita. Pemberian vitamin dan mineral (Cu, Zn) seringkali diperlukan pada

keadaan gizi yang kurang baik.

5. Pneumonia Infeksi Yang Sering Terjadi Pada Lanjut Usia

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran

gas setempat. Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang

mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi :

- Peningkatan diameter anteroposterior dada

- Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta

- Penurunan efisiensi otot pernapasan

- Peningkatan rigiditas paru

- Penurunan luas permukaan alveoli

a. Etiologi dari pneumonia adalah :

1) Bakteri

Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime gram positif

seperti Streptococcus pneumonia, S. aureus dan S. pyogenesis. Bakteri gram

negatif seperti Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.

2) Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.

Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama pneumonia virus.

3) Jamur

Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui

penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran

burung, tanah serta kompos.

4) Protozoa

Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya

menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi

b. Manifestasi klinis

Page 20: laporan geriatri skenario 3

1) Kesulitan dan sakit pada saat bernafas

2) Nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea

3) Bunyi nafas di atas area yang mengalami konsolidasi

4) Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi, egofoni

5) Gerakan dada tidak simetris

6) Menggigil dan demam 38,8-41,1˚C, delirium

7) Batuk kental, produktif

8) Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan/berkarat

c. Pemeriksaan penunjang

1) Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses

luas/infilrat, emfiema (staphylococcus); infiltrat menyebar atau terlokalisasi

(bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia

mikoplasma sinar X dada mungkin bersih

2) GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat

dan penyakit paru yang ada

3) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum,

aspirasi transtrakheal, bronkoskopi fiberotik atau biopsi pembukaan paru

untuk mengatasi organisme penyebab

4) JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada

infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya

pneumonia bakterial

5) Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin

d. Penatalaksanaan

1) Kemoterapi

Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan kuman penyebab

infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila

penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat

diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat

proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik

tertentu perlu penyesuaian dosis

Page 21: laporan geriatri skenario 3

2) Pengobatan umum

3) Terapi oksigen

4) Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara

parenteral.

5) Fisioterapi

6) Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk

menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.

D. GANGGUAN KESADARAN PADA LANSIA

1. Definisi Konfusio

Konfusio adalah sebuah sindrom yang dicirikan dengan kerusakan

kognitif global dengan awitan tiba-tiba yang biasanya berdurasi kurang dari satu

bulan. Kemampuan lansia untuk memperoleh stimulus yang datang dengan cara

yang bermakna sudah hilang. Kemampuan untuk berfikir mengikuti perintah

berespon terhadap stimulus dan berkonsentrasi mengalami perubahan. Siklus

bangun tidur orang tersebut terganggu, ingatan tentang hal - hal yang baru saja

terjadi hilang dan terjadi prilaku verbal dan motorik yang tidak tepat. Konfusio

adalah suatu akibat gangguan fungsi menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai

oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewa spadaan dan

terganggunya proses berpikir yang berakibat terjadinya diorientasi. Konfusio

adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan

variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem serius

di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. konfusio biasanya disebabkan

banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya

tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk

menginduksi/mendapatkan konfusio. Meskipun sebelumnya konfusio dipercaya

sebagai kondisi self limiting (sembuh sendiri).

2. Epidemiologi Konfusio

Konfusio sering ditemukan pada lansia. Menurut data Depkes pada tahun

2005 didapatkan bahwa 23,75 % dari keseluruhan jumlah penduduk lansia di

Page 22: laporan geriatri skenario 3

Indonesia mengalami konfusio. Dalam kurun waktu usia 65-75 tahun didapatkan

kemunduran pada beberapa kemampuan dan kemampuan kesadaran serta

intelektual baru menurun di usia 80 tahun.

3. Etiologi

a. Respon terhadap perubahan metabolisme oksidatif serebral, terdapat

penurunan sintesis atau gangguan pelepasan satu zat neurotransmitter atau

lebih (dopamin otak dan asetil kolin). Ketidakseimbangan zat

neorotransmiter mempengaruhi pengaturan tidur, tekanan darah, suhu

tubuh, pembelajaran dan afek.

b. Reaksi stress yang dimediasi oleh peningkatan kortisol plasma dan efeknya

pada otak, berbagai kondisi menghasilkan gejala ± gejala konfusio, semua

kondisi ini berpotensi sama menimbulkan gangguan pada keseimbangan

yang diperlukan oleh otak lansia agar dapat berfungsi secara efektif.

Tiga penyebab utama dari konfusio pada lansia yaitu keadaan patologik

intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral, dan penyebab iatrogenetik.

Depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio.

Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik intraserebral antara

lain : odema serebral, hidrosefalus, defisiensi vitamin B12, meningitis,

dan serangan iskemik otak yang bisa disebabkan akibat adanya

penurunan pasokan nutrisi serebral.

Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik ekstraserebral antara

lain : penyebab toksik (endokarditis, bakterialis subakut, alkoholisme),

kegagalan mekanisme homeostatic (DM, gagal hati, gagal ginjal,

dehidrasi, gangguan elekrolit), depresi dan gangguan sensori persepsi

(pendengaran dan penglihatan).

Konfusio yang disebabkan oleh penyebab iatrogenic terdiri atas obat-

obatan yang dihubungkan dengan gangguan memori seperti : anti

kolinergik, anti konvulsan tertentu, kortikosteroid, benzo-diazepin,

fenotiazin, obat psikotropik dan sedative.

Page 23: laporan geriatri skenario 3

4. Patofisiologi

Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat terjadi karena penurunan

metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah

prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan

aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang

bermakna tetap tidak jelas. Hal lain konfusio dapat efek dari kortisol plasma

yang meningkat pada otak akibat diinduksi stress dan depresi.

5. Klasifikasi

a. Bentuk hiperaktif

Pasien dengan bentuk ini dapat mencabut infus dan balutan, mengambil sesuatu

diudara, memanjat penghalang tempat tidur dan memanggil nama orang yang

dicintai yang sudah meninggal. Dapat terlihat respon soistem saraf otonom

seperti takikardia, dilatasi pupil, diaphoresis.

b. Bentuk hipoaktif

Hipoaktif dicirikan dengan keletihan berlebihan, hipersomnolens yang

berkembang menjadi hilang kesadaran.

c. Bentuk campuran

Agitasi sering memburuk di malam hari dan bergantian dengan interval yang

jelas disiang hari.

6. Manifestasi Klinis

Adapun manifestasi klinis dari konfusio yaitu:

a. Insomnia

b. Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara

c. Mengantuk

d. Ansietas

7. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien seperti :

Page 24: laporan geriatri skenario 3

- Adanya penurunan derajat kesadaran

- Tensi menurun

- Takikardia

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan konfusio di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis

awal, pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus,

tindakan suportif dan, bila perlu, pengobatan. Secara garis besar obat-obatan

yang dapat diberikan untuk mengurangi konfusio akut pada lansia adalah :

amantadin, anti depresan, anti histamin, anti parkinsoniasme, anti kolinergik,

anti konvulsan, fikogsin, opiat, dan obat penenang.

Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik konfusio

untuk mengurangi kecemasan dan agitasi mungkin diperlukan untuk

meyakinkan keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan konfusio hipoaktif

biasanya tidak membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik

mungkin diperlukan apabila ada bukti distres halusinasi.

Meskipun terdapat banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan

konfusio, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua

obat. Obat-obat diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan

pemberian dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis

multipel hendaklah diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur

untuk pengobatan seringkali perlu meninjau kembali respon pasien, efek

samping, dan kelanjutan kebutuhan pengobatan.

E. SEPSIS

1. Definisi

Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam

darah atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang berhubungan

dengan keadaan tersebut. Septikemia adalah penyakit sistemik yang

berhubungan dengan adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen atau

toksinnya di dalam darah. Sepsis berbeda dengan bakterimia dan viremia.

Page 25: laporan geriatri skenario 3

Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah. Viremia adalah adanya virus

di dalam darah (Imboden, 2001).

2. Patofisiologi Sepsis

Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme

patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis

berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan

gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang

terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini

dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang menjadi

disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian (Imboden, 2001).

Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap sepsis adalah

berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi (organisme

Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus). Respon pejamu

terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya

lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif,

yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus

memulai respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-

komponen antigen seluler.

Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai

dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi

adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag.

Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan

utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi leukosit

serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi

peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi

koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses

fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah

reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan

molekul antitrombotik. Kaskade sepsis ini menghasilkan kebocoran kapiler dan

vasodilatasi yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi disfungsi organ dan

Page 26: laporan geriatri skenario 3

syok. Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS) dapat terjadi ketika syok,

kebocoran kapiler, dan vasodilatasi tidak distabilkan, dan dapat menyebabkan

kematian.

Patofsiologi sepsis mencakup aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan

fibrinolisis yang terganggu. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam

homeostasis yang normal antara mekanisme prekoagulan dan antikoagulan

(Anonim, 2004).

(Sumber: http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp)

a. Respon Inflamasi

Pada orang dewasa, tumor necrosis factor alpha (TNF-α) merupakan

mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang

juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran

mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-

8, platelet activating factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-

mediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade

sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel.

Page 27: laporan geriatri skenario 3

Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsur-

unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat

berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan

vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi

yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga

melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan

dengan kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan

interstisial.

Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi

netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan

permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non

kardiogenik.

Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui

jalur klasik maupun jalur alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen

yang esensial pada imunitas bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan,

seperti yang terjadi pada sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan

produk dari aktivasi komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil,

fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan

agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal

oksigen yang toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan

histamin dari mast cells dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam ”rongga ke-tiga” yang dapat

ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan percoobaan, C5a menginduksi

hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan kebocoran vaskular

sehubungan dengan kerusakan kapiler.

Data-data yang menggambarkan mediator-mediator sepsis dan

antagonisnya pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada

anak-anak. Perkembangan mediator-mediator sepsis dan aktivitas agonis

naturalnya pada anak-anak masih belum jelas. Pada neonatus, didapatkan fungsi

sel-B yang terganggu serta perubahan produksi sel-T. Neonatus, terutama bayi

Page 28: laporan geriatri skenario 3

yang lahir prematur memiliki sistem komplemen yang terganggu baik kuantitas

maupun kualitasnya (Imboden, 2001).

b. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi

Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis.

Mediator-mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue factor dan

menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan

trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator

proinflamasi.

Pelepasan TNF-α, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang

aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian akan

menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor

merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat

TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk

membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi

bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur

koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik

secara tidak langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur

intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin.

Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu

memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki

efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan

pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF-α. Respon sitokin

berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi

chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis.

Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan

meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan

perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan

mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang

melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.

Page 29: laporan geriatri skenario 3

Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen

untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi memiliki reaksi

antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa. Secara tidak

langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan memperbaiki

aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF.

Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF

yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung.

Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF-α

menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III,

protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin

yang tidak teratur.

Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor

IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah

berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan

diubah menjadi fibrin. Bila proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural,

trombin akan menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah

kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat.

Walaupun bukan dalam keadaan sepsis, neonatus dan bayi-bayi prematur

memiliki predisposisi terhadap hiperkoagulasi. Kadar protein C dan protein S

dalam plasma neonatus tereduksi. Sebaliknya, kadar trombomodulin reseptor

endotel meningkat pada periode neonatal.

Selama sepsis, hiperkoagulasi ini dapat bereksaserbasi dengan

meningkatkan jumlah factor-faktor inhibisi koagulasi (antithrombin [AT],

protein C, protein S, reduced thrombomodulin, dan inhibisi fibrinolisis oleh

plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1]) (Imboden, 2001).

3. Fibrinolisis yang terganggu

Fibrinolisis merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan

sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka,

angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi

aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen activator (t-PA)

Page 30: laporan geriatri skenario 3

atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki inhibitor

alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis

inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara

keseimbangan homeostasis.

Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh

kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF-α mensupresi

fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan

fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin

degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-

mediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) bekerja secara sinergis untuk

meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh

darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ.

Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai distress

pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah progresi ke arah

kematian.

Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi

menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya jumlah TAFI merupakan

mekanisme penting dalam inhibisi system fibrinolisis selama sepsis.

Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik dengan

kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI.

Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh

untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai

akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan homeostasis

melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu.

Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada

bayi dengan infeksi meningokokus (Behrman, 2003).

F. IMUNODEFISIENSI PADA LANSIA

1. Definisi

Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan

respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada

Page 31: laporan geriatri skenario 3

umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara

sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi,

sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan

tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi) (Novian, 2010).

Lansia sering mengalami imunodefisiensi, sebagian karena penurunan

progresif fungsi timus seiring dengan penuaan, tetapi juga karena buruknya

aliran darah dan penurunan penyaluuran perantara imunitas dan peradangan

yang dialami oleh banyak lansia akibat arterosklerosis. Penyakit sistemik lain

misalnya DM yang meningkatkan insidennya seiring dengan perkebangan usia,

ikut berperan menekan respon imun. Gizi yang buruk, akibat kemiskinan,

isolasi, atau gigi yang buruk juga berpengaruh terhadap penurunan sistem imun

pada lansia (Corwin, 2005).

Jump 4

Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan

secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-

permasalahan pada langkah 3.

Jump 5

IMOBILISASI

Gangguan Psikologis Gangguan Fisik

Depresi Demensia

Nyeri Kekakuan gerak Malnutrisi

Penyebab

Ulkus Dekubitus Pneumonia

Komplikasi

Terapi Rehabilitasi MedikPerawatan Khusus Ruang Geriatri dan Kasur Dekubitus

Page 32: laporan geriatri skenario 3

Merumuskan tujuan pembelajaran

1.Menjelaskan macam-macam komplikasi imobilisasi

2.Mampu menjelaskan ulkus dekubitus

3.Mampu mengenali gejala – gejala infeksi

4.Mampu mengusulkan pemeriksaan klinis penunjang sesuai kebutuhan pasien

5.Mampu melakukan pengelolaan dengan rehabilitasi medik

6.Mampu merancang tindakan preventif, promotif, dan rehabilitatif

Jump 6

Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

\

Jump 7

Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah

diperoleh

Mbah Suro dalam skenario berusia 80 tahun. Usia 80 tahun telah tergolong

dalam lanjut usia. Pasien dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi karena tidak mau

makan, lemas, dan nampak gelisah. Tidak mau makan atau sulit makan pada

lansia dapat dpengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) kondisi traktus digestivus

yang mulai menurun baik secara anatomis maupun fisiologis, misalnya papil lidah

atrofi sehingga menyebabkan menurunnya nafsu makan, berkurangnya jumlah

gigi sehingga kemampuan mengunyah makanan berkurang, menurunnya

peristaltik usus sehingga lama transit makanan meningkat dan mengurangi rasa

lapar, 2) depresi yang mengurangi motivasi makan. Penurunan nafsu makan

pasien dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal tersebut disebabkan adanya

penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan rangsang lapar.

Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya sedikit.

3) Faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggal, kurangnya

perhatian dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut. 4)

Page 33: laporan geriatri skenario 3

Keadaan penyakit yang diderita berpengaruh terhadap kondisi pasien. Keadaan

tidak mau makan menyebabkan asupan gizi pasien menjadi tidak adekuat

menyebabkan pasien tampak semakin lemas. Gelisah yang dialami pasien dapat

merupakan salah satu tanda depresi karena depresi pada lansia sering tidak khas

gejalanya. Depresi pada lansia sering memiliki keluhan hipokondriasis dominan,

gangguan memori, apatis, kehilangan motivasi, anxietas, dan agitasi serta

sedih/murung tampak kurang. Gelisah juga dapat menjadi tanda penurunan

kesadaran yakni gelisah atau delirium hiperaktif lansia.

Pasien sudah 5 hari tidak buang air besar. Kesulitan BAB dapat

disebabkan lamanya transit feses di kolon karena disfungsi pleksus mientericus

yang menginervasi kolon dalam gerak peristaltik diperkuat dengan adanya

imobilisasi. Akibatnya penyerapan air meningkat dan feses menjadi keras

sehingga sulit dikeluarkan.

Hampir 2 minggu mbah Suro tiduran terus, karena lemas dan batuk,

berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada. Pasien

selama 2 minggu hanya tiduran saja. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan

lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Rasa nyeri, lemah,

kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis yang terjadi akibat

proses menua dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien tersebut. Imobilisasi

dapat menyebabkan komplikasi pada lansia, seperti dekubitus, pneumonia, serta

yang lainnya, Batuk ialah keluhan yang paling sering dari penyakit saluran napas.

Batuk juga merupakan mekanisme fisiologis untuk bersihkan dan mengeluarkan

benda asing dalam saluran pernapasan. Batuk dengan dahak menunjukkan adanya

eksudat bebas dalam saluran pernapasan. Tidak demam pada lansia dapat terjadi

karena penurunan respons inflamasi (penurunan IL-1, faktor nekrosis tumor, dan

IL-6) terhadap adanya pirogen sehingga tidak menyebakan reaksi inflamasi. Tidak

didapatkan nyeri dada karena sedikitnya jumlah reseptor nyeri di paru-paru dan

pleura.

Pasien tidak mau dibawa berobat dapat memperburuk keadaan dan penyakit yang

diderita.

Page 34: laporan geriatri skenario 3

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/70 mmHg,

RR 30x/menit, T 36°C, HR 108x/menit. Kesadaran apatis dalam Glaslow Coma

Scale (GSC) bernilai antara 12-13, berada di antara compos mentis dan somnolen.

Tekanan darah 120/70 dalam batas normal. Respiration Rate terdapat peningkatan

(normal 14-20x/menit), temperatur dalam batas normal (suhu oral rata-rata usia

lanjut 36°C) , Heart Rate terdapat peningkatan (normal 60-100x/menit). Berbagai

studi menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa

muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi, penyakit, dan obat-

obatan.

Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar,

suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi basah kasar

dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia) maupun karena

abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar merupakan

petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas

suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba meningkat

pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan paru

tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda

konsolidasi paru meliputi perkusi redup/pekak pada daerah paru dengan kelainan,

ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga

peningkatan frekuensi nafas ≥ 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan

gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.

Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka

kemerahan. Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi ulkus

dekubitus pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi ulkus

dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat dilakukan

dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat I),

dermis/subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan

sudah terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk

menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor ≤ 12 menunjukkan

bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan

risiko 50x lebih besar.

Page 35: laporan geriatri skenario 3

Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (4000-

11.000/mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang

normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis.

Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul.

Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi

cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien

sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi

dan hipoglikemi, sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati

infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan

antibiotik empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi

terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil menunggu hasil kultur

dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika perlu

diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua serta

komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya

perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat. Untuk

pasien pneumoni yang dirawat dirumah sakit dapat diberikan klindamisin dan

seftazidim.

Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien

disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat,

selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya

seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.

Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi

rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas

dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain.

Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien.

Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan

sistem muskuloskeletal, yang termasuk pengkondisian program latihan harian

baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi

untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.

Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang

gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan

Page 36: laporan geriatri skenario 3

minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah

pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang

normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan sekresi.

Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi

urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan nutrisi dan struktur

lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

BAB III

PENUTUP

Page 37: laporan geriatri skenario 3

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus derajat II,

pneumonia atipikal, dan gangguan buang air besar.

2. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat

menyebabkan terjadinya imobilisasi pada lansia.

3. Selain dekubitus, pneumonia, dan gangguan buang air besar, komplikasi yang

ditimbulkan imobilisasi dapat berupa thrombosis, emboli paru, kelemahan

otot, kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta

gangguan nutrisi (hipoalbuminemia).

B. SARAN

Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan

materi namun ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal

tersebut bukanlah kendala yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber sumber

yang lebih terbaru dan mempersiapkan materi secara matang.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: laporan geriatri skenario 3

Anonim, (2004). Linking the Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation, and

Suppressed Fibrinolysis to Infants.

http://www.medscape.com/viewarticle/493246. Diakses 8 April 2012.

Anonim, (2001). Kaskades sepsis.

http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp. Diakses

8 April 2012.

Behrman R. E., Kliegman R.M., Jenson H.B, (2003). Nelson textbook of

pediatrics. Edisi ke 17. China: Saunders.

Boedhi, Darmojo, (2009). Geriatri. Edisi ke 2 Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Carpenito LJ (1999). Nursing care plans and documentation: Nursing diagnoses

and collaborative problems. Edisi ke 3. Philadelphia: Lippincott.

Corwin, Elizabeth J, (2005). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Craven, RF, Hirnle CJ, (2000). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and

practice. Edisi ke 5. California: Addison, Wesley Publishing Co.

Gallo, Joseph J, (1998). Buku Saku Gerontologi. Edisi ke 2. Jakarta: EGC.

Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H, (2009). Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Imboden JB, (2001). Lymphocytes & Natural Killer Cells. In Basic an Clinical

Imunology. Edisi ke 18. London: Appleton & Lange.

Leahy JM, Kizilay PE. (1998). Foundation of nursing practice: A nursing

approach. USA: WB Saunders Company.

Maryam, Siti R, (2008). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta :

Salemba Medika.

Novian A., Siti Putrini DP., Robby S., Nani S, (2010). Imunodefisiensi.

http://www.scribd.com/doc/30849008/askep-Imunodefisiensi. Diakses 8

April 2012.

Nugroho, Wahjudi, (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi ke 2. Jakarta : EGC

Potter PA, Perry A, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,

proses, dan praktik. edisi ke 4. Jakarta: EGC

Page 39: laporan geriatri skenario 3

Sabandar AO, (2008). Ulkus Dekubitus. Available from: http://Alfonso de

Oncrotte.Ulkus Dekubitus.mht. Diakses 05 April 2012.

Stockslager, Jaime L, (2007). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik.

Edisi ke 2. Jakarta: EGC.

Tamer S, (2009). Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

.

.