laporan riset: transparansi industri ekstraktif menuju transparansi spasial

44
Penilaian Sosio-Spasial Industri Ekstraktif di Kalimantan Barat, Indonesia Irendra Radjawali, Ph.D Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif - Publish What You Pay Indonesia

Upload: publish-what-you-pay-pwyp-indonesia

Post on 17-Jul-2015

197 views

Category:

Environment


8 download

TRANSCRIPT

Penilaian Sosio-Spasial Industri Ekstraktif di Kalimantan Barat, Indonesia

Irendra Radjawali, Ph.D

Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif - Publish What You Pay Indonesia

ii

TRANSPARANSI INDUSTRI EKSTRAKTIF, MENUJU TRANSPARANSI SPASIALPenilaian Sosio-Spasial Industri Ekstraktif di Kalimantan Barat, Indonesia

Laporan Riset

Penulis Irendra Radjawali

Peneliti Irendra Radjawali Ph.D, Peneliti UtamaArif Munandar, Tim PenelitiHermawansyah, Tim Peneliti

Alih Bahasa Indonesia Rizky Ananda Wulan SRJensi Sartin

Final Review Maryati AbdullahDavid W Brown

Sampul dan Tata Letak Agus Wiyono

Transparansi Industri Ekstraktif, Menuju Transparansi Spasial:Penilaian Sosio Spasial Industri Ekstraktif di Kalimantan Barat, Indonesia adalah sebuah publikasi hasil riset aksi Swandiri Institute bekerjasama dengan Publish What You Pay Indonesia, atas dukungan EITI Multi Donor Trust Fund (MDTF) World Bank melalui vendor Perkumpulan Article 33 Indonesia. Riset aksi dipimpin oleh Irendra Radjawali, PhD, bersama Arif Munandar dan Hermawansyah. Dengan konsultan proyek Maryati Abdullah Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, dan direview oleh David W.Brown, penasehat EITI The World Bank.

All right reservedCetakan I, September 2014

Hak menerbitkan dilindungi oleh Undang-undang. Pengutipan diperbolehkan dengan menyebutkan nama penulis dan sumbernya sesuai etika penulisan yang berlaku.

Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif - Publish What You Pay IndonesiaJl Tebet Utara 2C No 22B, Jakarta Selatan 12820, Indonesia. Telp. 021-8355560www.pwyp-indonesia.org, email: [email protected]

Swandiri InstituteJl. Dr. Wahidin, Gang Silva Jaya Nomor 3Pontianak 78118, Kalimantan Barat, Indonesia

iii

Industri ekstraktif, terutama sektor migas dan pertambangan (mineral dan batubara) di Indonesia menopang hampir 23 % dari total penerimaan negara dalam APBN 2013, atau sebesar

398,4 Triliun Rupiah dari total 1.726 Triliun Rupiah dalam Total APBN 2013. Sementara, dari total angka Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2013, migas berkontribusi sebesar 7,35% sementara pertambangan dan bahan galian menopang 11,24% dari total PDB nasional (BPS, 2014). Sektor ini juga memegang peran penting dalam menopang kebutuhan energi nasional, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta mendukung pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi yang bermanfaat bagi kepentingan nasional.

Indonesia telah menjadi negara pelaksana inisiatif transparansi industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI). Dimana laporan pembayaran dari perusahaan pertambangan migas, mineral dan batubara direkonsiliasi dengan laporan pendapatan negara yang diterima oleh Pemerintah. Untuk mengkontekstualisasi EITI di level sub-nasional, Swandiri Institute melakukan riset aksi mengkontekskan transparansi industri ekstraktif dengan transparansi spasial di wilayah Kalimantan Barat. Riset ini melakukan analisa spasial dari industri ekstraktif pertambangan, kelapa sawit dan izin usaha pemanfaatan hutan.

Data dari Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan sampai dengan bulan Juli 2013 untuk tahap eksplorasi seluas 2,785,191.26 Hektar (Ha). Sedangkan untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) sebanyak 413 unit dengan jenis komoditi: Migas, Logam Mulia, Mineral Logam Lain, Batu Mulia, Batubara, Bahan Galian C, Panas Bumi, Jalan Pertambangan dengan total luas 397,018.68 Ha pada saat ini. Selain menghasilkan peta tumpang tindih kawasan izin industri ekstraktif, dalam riset ini peta spasial juga digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung potensi hilangnya penerimaan negara, khususnya land rents/iuran tetap dari izin-izin pertambangan.

Kata Pengantar

iv

Melalui riset ini, harapannya pembelajaran dalam penggunaan laporan EITI, khususnya mengkontekskan EITI dengan kebutuhan dan permasalahan tata kelola di daerah, dapat direplikasi di daerah-daerah lain untuk mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif. Kondisi tersebut terutama juga didukung oleh laporan EITI Indonesia yang telah memiliki tingkat kedetilan (disaggregation) yang baik, hingga pada level unit produksi (unit izin/operasi pertambangan di tiap daerah). Terlebih dengan adanya standar EITI yang baru, terbuka peluang untuk meluaskan cakupan EITI yang tidak hanya meliputi aspek finansial penerimaan negara, namun dapat meliputi pada aspek perizinan/kontrak, maupun informasi sosial dan lingkungan hidup.

Penerbitan laporan ini tentu tidak terlepas dari karya upaya dan segenap dukungan kawan-kawan koalisi dan jaringan publish what you pay, terutama kawan Swandiri Institute dan Seknas PWYP, Mas Profesor Radja, mas Arif Drone, mas Wawan, Jensi, Abud, Ary, Meli dan kawan-kawan lainnya. Laporan ini tentu masih jauh dari sempurna, masukan dari segenap pihak tentu kami nanti-nantikan.

Jakarta, 1 Oktober 2014

Maryati AbdullahKoordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia

v

Penelitian yang dilakukan oleh Swandiri Institute yang didukung oleh PWYP (Publish What You Pay) Indonesia bertujuan untuk mengelaborasi dan mendorong perlunya ide transparansi spasial dalam sektor industri ekstraktif

di Indonesia. Hal tersebut dilakukan melalui: (1) eksaminasi terhadap pola spasial di sektor industri ekstraktif di Kalimantan Barat, (2) triangulasi hasil eksaminasi tersebut dengan studi empiris dan (3) melakukan diseminasi temuan pada publik. Saat ini, transparansi dalam sektor industri ekstraktif sering diartikulasikan dalam bentuk keterbukaan data finansial terkait industri ekstraktif (contoh: pembayaran pajak, penerimaan negara, dll). Swandiri Institute bermaksud mendorong aspek lain terkait transparansi dalam sektor industri ekstraktif untuk juga diperhatikan, yaitu transparansi spasial yang secara langsung terkait dengan transformasi yang terjadi pada ekosistem, dalam kasus yang kami jadikan fokus saat ini yaitu ekosistem hutan.

Transparansi spasial dimaknai sebagai sebuah elaborasi dalam isu transparansi yang terkait dengan penunjukan status, pengelolaan dan pemanfaatan ruang dalam proses perencanaan ruang. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, transparansi spasial terkait dengan penunjukan status kawasan, pemberian izin konsesi, serta pengelolaan dan pemanfaatan ruang untuk sektor industri ekstraktif. Kerangka analisis “go dan no go” digunakan dalam penelitian ini, yang dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kerangka analisis ini didasarkan pada amanat UU Nomor 41/1999 di mana pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan diatur sedemikian rupa sehingga ada beberapa jenis kawasan hutan yang diperbolehkan untuk digunakan untuk kegiatan pertambangan (kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung) dengan seizin Menteri Kehutanan (Izin pinjam pakai) mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan, dengan catatan: pertambangan terbuka dilarang

Ringkasan Eksekutif

vi

dilakukan di kawasan hutan lindung. Kerangka ini juga digunakan untuk menganalisis transparansi dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk sektor-sektor lain seperti perkebunan (perkebunan kelapa sawit).

Penelitian ini menemukan bahwa 31.623,825 ha (Tiga puluh satu ribu enam ratus dua puluh tiga koma delapan ratus dua puluh lima) konsesi pertambangan berada di kawasan hutan konservasi. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Penelitian ini juga menemukan bahwa 190.561,9328 ha (seratus sembilan puluh ribu lima ratus enam puluh satu koma sembilan) konsesi pertambangan berada di kawasan hutan lindung di mana menurut UU Nomor41/1999 tidak boleh berbentuk pertambangan terbuka. Pada fase ini, penelitian ini belum bisa menyimpulkan dari luasan tersebut, berapa luas pertambangan terbuka dan berapa luas pertambangan tertutup. Sementara itu, 323.564,8176 ha (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima ratus enam puluh empat koma delapan) konsesi pertambangan berada di kawasan hutan produksi. Pada fase ini penelitian ini juga belum bisa menyimpulkan berapa luas dari konsesi pertambangan di dalam hutan lindung dan hutan produksi yang telah memperoleh izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Sebagai tambahan, penelitian ini menemukan bahwa lebih dari 450.000 ha (empat ratus lima puluh ribu) konsesi perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan yang jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap UU Nomor41 /1999. Dalam penelitian ini juga dihitung adanya potensi kehilangan penerimaan negara berupa land rents/iuran tetap dari sektor pertambangan di Kalimantan Barat sebesar Rp59.542.372.770 di Tahun 2012.

vii

EITI : Extractive Industries Transparency Initiative

GIS : Geographical Information System

HGU : Hak Guna Usaha

HPH : Hak Pemanfaatan Hutan

IUP : Izin Usaha Pertambangan

IUPHHK : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

NGO : Non-Governmental Organization (Organisasi Non-Pemerintah)

Perpres : Peraturan Presiden

PP : Peraturan Pemerintah

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

Tap : Ketetapan

UU : Undang-Undang

WP : Wilayah Pertambangan

Daftar Singkatan

viii

Kata Pengantar .................................................................................................................. iiRingkasan Eksekutif .......................................................................................................... iv

I. Pendahuluan ................................................................................................................... 1Kalimantan Barat: Latar Geografis dan Sosio-ekonomi ............................................ 3Kalimantan Barat: Sebuah Gambaran Industri Ekstraktif .......................................... 4Kalimantan Barat: Kondisi Kehutanan ........................................................................ 5

II. Metode ........................................................................................................................... 7Pengumpulan Data ...................................................................................................... 7Studi Literatur: Fokus pada Data Spasial .................................................................... 7Studi Empiris ................................................................................................................ 8Kerangka Kerja Analisis “Go” dan “No Go” ............................................................... 8Triangulasi Data ........................................................................................................... 11Penjangkauan Masyarakat .......................................................................................... 11

III. Hasil Penelitian ............................................................................................................. 12Tumpang Tindih Konsesi Tambang dengan Hutan .................................................... 12Konsesi Pertambangan pada Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Konversi .......... 14Tumpang Tindih Konsesi Tambang dengan Konsesi Lain .......................................... 15Studi Empiris ................................................................................................................ 15Perusahaan .................................................................................................................. 16Fakta dan Gambaran Sosio-Ekonomi .......................................................................... 17Transparansi ................................................................................................................. 18GIS Berbasis Web ......................................................................................................... 19

Daftar Isi

ix

IV. Pembahasan .................................................................................................................. 27Transparansi Spasial dan Industri Ekstraktif .............................................................. 27Golongan Elit ............................................................................................................... 28Amandemen Status Kehutanan dan Alokasi di tahun 2013 ...................................... 28Transparansi Spasial dan Perampasan Lahan (Land Grabbing) ................................. 28Transparansi Spasial dan Potensi Kehilangan Penerimaan Negara .......................... 29

V. Kesimpulan ..................................................................................................................... 31

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 32Profil ................................................................................................................................... 33

x

Daftar Gambar

Gambar 1 : Peta Provinsi Kalimantan Barat

Gambar 2 : IUP di Kalimantan Barat pada Tahun 2012

Gambar 3 : Komoditas Pertambangan Kalimantan Barat 2012

Gambar 4 : Wilayah pertambangan bauksit PT. HPAM setelah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Sumber: Zainul Mubarak, 15 Juni 2013)

Gambar 5 : Situs pertambangan HPAM di Kendawangan (Sumber: Zainul Mubarak, 17 Juni 2013)

Gambar 6 : Area Hutan Kalimantan Barat berdasarkan Ketetapan Menteri Nomor 259/2000

Gambar 7 : Amandemen Area Hutan berdasarkan Ketetapan Menteri Nomor 936/2013

Gambar 8 : Perubahan Status Hutan berdasarkan Ketetapan Menteri Nomor 936/2013

Gambar 9 : Area Konsesi (tambang, kayu, kelapa sawit, logging)

Gambar 10 : Tumpang Tindik Konsesi di Kalimantan Barat

Gambar 11 : Tumpang Tindik Konsesi dengan Area Hutan

Gambar 12 : Presentasi hasil penelitian di UKP4

Daftar Tabel

Tabel 1 : Alokasi Area Hutan dan Laut di Provinsi Kalimantan Barat

Tabel 2 : Daftar Peta

Tabel 3 : Daftar Peraturan yang Relevan

Tabel 4 : Kerangka Analisis “Go” dan “No Go” berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan

Tabel 5 : Resume Analisis

Tabel 6 : Analisis “Go” dan “No Go” Konsesi Pertambangan di Kalimantan Barat

Tabel 7 : Daftar Peta, Hasil dari Analisis Spasial

Tabel 8 : Konsesi tambang dalam hutan produksi terbatas dan konversi

Tabel 9 : Tumpang Tindih Konsesi di Kalimantan Barat

Tabel 10 : Daftar CSOs yang mendapatkan manfaat dari studi

Tabel 11 : Potensi kehilangan penerimaan ‘land rents’ Kalimantan Barat tahun 2012

1

Dokumen ini merupakan laporan akhir studi tranparansi spasial industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat yang dilaksanakan oleh Swandiri Institute bekerja sama dengan Publish What You Pay

(PWYP) Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengangkat ide transparansi spasial dalam sektor industri ekstraktif di Indonesia. Sejauh ini, transparansi dalam industri ekstraktif telah dipahami dan diuraikan dengan melakukan analisa dan memfokuskan diri pada keterbukaan data dalam aspek finansial di industri ekstraktif (berkaitan dengan pajak, pendapatan). Swandiri Institute sendiri akan membawa aspek lain dalam transparansi di industri ekstraktif yang akan berhubungan secara langsung dengan transformasi ekosistem, dalam konteks ini kami memfokuskan diri pada transformasi ekosistem hutan.

Swandiri Institute adalah sebuah lembaga penelitian di Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia yang berfokus pada penelitian terkait dengan dinamika sosio-ekologis dan politik dari transformasi ekosistem. Pada tahun 2013, Swandiri Institute mendapatkan hibah penelitian dari PWYP Indonesia (dengan host vendor Perkumpulan Artikel 33 Indonesia) untuk melaksanakan penelitian yang berada pada kerangka Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI), sebuah standar global yang mendorong tranparansi pendapatan dan akuntabilitas di sektor industri ekstraktif. Berkaitan dengan hal ini, Swandiri Institute mengajukan penelitian yang berfokus pada transparansi spasial pada industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat, di mana dimensi spasial dan sosial pada konsesi industri ekstraktif di Kalimantan Barat ditempatkan sebagai fokus penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan argumen pelengkap dari uji transparansi dalam sektor industri ekstraktif yang ada (melalui transparansi finansial) dengan mendorong pentingnya melakukan pengawasan dan

Pendahuluan1

2

uji transparansi spasial, khususnya berkaitan dengan manajemen dan proses perencanaan spasial. Hal ini diperlukan untuk mendorong keberlanjutan dan keadilan pada sektor industri ekstraktif di Kalimantan Barat. Transparansi spasial sendiri merupakan salah satu kunci penting untuk mencapai hasil yang telah disebutkan di atas.

Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi: (1) untuk menguji tata ruang konsensi tambang di Provinsi Kalimantan Barat (2) untuk melakukan triangulasi temuan dengan menggunakan studi empiris (3) untuk menyampaikan temuan ke public (public outreach).

Penelitian ini mengacu pada pertanyaan penelitian (1) Dimana saja lokasi konsesi industri ekstraktif di Kalimantan Barat? (2) Bagaimana konsesi ini tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya (konsesi yang berbeda) juga dengan hutan konservasi dan hutan lindung? Berkaitan dengan hal ini, penelitian ini juga mengembangkan sebuah kerangka analisis yang disebut dengan “go dan no-go analysis” dan mengacu pada UU Nomor 41 tahun 1999 mengenai kehutanan yang dielaborasi lebih lanjut pada bagian 2 mengenai metode.

Laporan akhir ini dibagi menjadi enam bagian. Bagian 1 memaparkan sejumlah aspek industri ekstraktif dari Kalimantan Barat dengan rincian sebagian berikut: (1) letak geografis dan sosio-ekonomi, (2) industri ekstraktif, dan (3) kondisi hutan. Bagian 2 mendeskripsikan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu meliputi metode pengumpulan data, metode triangulasi data dan metode analisis data. Bagian 3 memberikan pemaparan hasil studi literatur, studi empiris dan GIS (Geographical Information System) berbasis web dimana seluruh hasil disimpan dan dapat diakses secara bebas on-line. Bagian 4 membahas hasil dan analisis yang fokus pada transparansi spasial dan industri ekstraktif. Bagian ini juga akan membahas hubungan antara transparansi spasial dan industri ekstraktif dan perampasan lahan (land grabbing) milik -yang dikelola oleh- komunitas lokal di Provinsi Kalimantan Barat. Bagian 5 menyimpulkan apa yang telah dicapai dan dapat dijadikan pembelajaran serta menjadi rekomendasi untuk pengembangan penelitian lanjutan. Bagian 6 sendiri dikembangkan sebagai policy brief dengan tujuan untuk memberikan masukan kepada pembuat kebijakan juga publik secara umum.

Dalam laporan terakhir, terdapat 146 kasus konflik lahan yang berkaitan dengan konsesi tambang, perkebunan dan hutan, yaitu mencakup 2,1 juta ha. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral sendiri melaporkan bahwa, terdapat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang belum memenuhi kategori “clean and clear” dan 4.626 yang telah memenuhi kategori “clean and clear”. Secara spesifik, di Provinsi Kalimantan Barat, seperti yang telah dilaporkan oleh Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Distamben), Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah memberikan 651 IUP selama tahun 2011. Sehingga, lahan menjadi ruang yang diperebutkan dengan melibatkan aktivitas industri ekstraktif, khususnya di Kalimantan Barat. Sebagai ruang yang diperebutkan oleh sejumlah aktor dengan kepentingan yang beragam, kami berpendapat bahwa transparansi spasial menjadi komponen penting dalam Inisitatif Transparansi Industri Ekstraktif yang akan dielaborasi lebih lanjut. Berkaitan dengan hal ini, Swandiri Institute mengajukan aksi penelitian yang memfokuskan diri pada studi hubungan EITI dan proses perencanaan spasial di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010, industri ekstraktif didefinisikan sebagai aktivitas pengambilan sumber daya alam secara langsung dari dalam bumi yang meliputi mineral, batu bara, minyak mentah dan gas (Perpres Nomor 26, 2010: Pasal 1, Bab. 1). Meski demikian, dalam penelitian ini, Swandiri Institute melihat pentingnya pengujian pada sektor

3

industri ekstraktif yang tidak hanya berbasis pada definisi tersebut, namun juga sektor lain yang mungkin bersifat tumpang tindih dengan industri ekstraktif secara spasial dan memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap upaya konservasi, khususnya di area hutan.

Swandiri Institute berpendapat bahwa, dimasukkannya aspek – aspek di atas akan memberikan wawasan baru dalam wacana dan upaya menuju tranparansi dalam kehidupan sosial secara umum. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejumlah alasan: Pertama, dalam mendorong transparansi spasial penting untuk mempertimbangkan seluruh sektor yang berhubungan dengan dinamika sistem penggunaan tanah di Indonesia. Kedua, upaya mendorong transparansi spasial dapat memberikan wawasan baru menuju proses perencanaan spasial yang lebih transparan dan adil. Ketiga, pengujian artikulasi spasial dan dinamika industri ekstraktif dan non-ekstraktif dapat memberikan pandangan baru, khususnya berkaitan dengan konflik sektoral yang menjadi penting bagi keberlanjutan wacana, debat dan upaya menuju transparansi spasial di Provinsi Kalimantan Barat dalam skala yang lebih sempit dan Indonesia dalam skala yang lebih luas.

Kalimantan Barat: Latar Geografis dan Sosio-Ekonomis Kalimantan Barat adalah satu dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki batas Utara

dengan Sarawak (Malaysia), Selatan dengan Laut Jawa, Timur dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, Barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata (lihat peta 1). Kalimantan Barat sendiri berada pada 3020’ lintang selatan dan 2030’ lintang utara, 107040’ dan114030’ bujur timur dengan luas area mencapai 146.807 km2 dan terdiri dari 45,97% hutan, 29,53% padang rumput dan 11,52% perkebunan (BPS Kalimantan Barat, 2013).

Gambar 1: Peta Provinsi Kalimantan Barat

4

Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 2 Kota. Terdapat sejumlah kelompok etnis yang tinggal di provinsi ini: (1) 33,75% Dayak, (2) 33,75% Melayu, (3) 9,41% Jawa, 3,2% Bugis, 0,66% Banjar dan 3,62% kelompok etnis lain (Sumber: tahun). Laporan statistik menunjukkan bahwa, dari 4.447.348 orang, 30% dari populasi tinggal di daerah perkotaan dan 70% tinggal di daerah pedesaan. Dilaporkan bahwa 1.266.432 (63.43%) orang bekerja pada sektor pertanian. Angka ini merupakan angka yang signifikan dibandingkan dengan sektor lain. Sementara itu, jumlah populasi yang bekerja pada sektor tambang hanya mencapai 53.729 orang (BPS Kalimantan Barat. 2011).

Pertambangan, perkebunan kelapa sawit, kawasan dan penebangan hutan menjadi empat sektor utama yang mendukung ekonomi Kalimantan Barat. Dari laporan yang ada, terhitung ada 721 IUP (izin usaha pertambangan) yang telah dikeluarkan di Kalimantan Barat dan melibatkan 5,7 juta ha lahan, 377 konsesi kelapa sawit yang melibatkan 4,2 juta ha lahan, 47 konsesi kehutanan yang melibatkan 2,2 juta ha lahan, dan 30 HPH (hak pengusahaan hutan) yang melibatkan 1,3 juta ha lahan.

Kalimantan Barat: Sebuah Gambaran Industri EkstraktifPertambangan menjadi sektor utama di Kalimantan Barat di samping perkebunan

kepala sawit. Terdapat 721 IUP yang telah dikeluarkan dengan total lahan yang dialokasikan mencapai 5.074.337,81 ha. Hampir dari semua IUP yang ada dikeluarkan oleh pemerintah provinsi di mana Ketapang menjadi kota dengan area pertambangan terbesar. Pertambangan sendiri telah menjadi sektor prioritas di Kalimantan Barat yang didukung melalui Peraturan Daerah Nomor 4/2012 mengenai sinkronisasi lahan antara sektor pertambangan dan sektor lain. Peraturan ini dianggap telah menjadi “solusi” atas tumpang tindih konsensi dimana pertambangan menjadi sektor prioritas.

Gambar 2: IUP di Kalimantan Barat pada Tahun 2012

LINTAS KABU-PATEN/

PROVINSI

KETA- PANG

MELAWI KAYONG UTARA

KAPUAS HULU

SINTANG LANDAK SANG-GAU

SAMBAS PONTI-ANAK

SEKA-DAU

BENG-KAYANG

KUBU RAYA

1.200.000

1.000.000

800.000

600.000

400.000

200.000

0

Luas

Hek

tar

Perizinan Pertambangan Kalimantan Barat 2012

IUP Eksplorasi

IUP Operasi Produksi

5

Gambar 2 menunjukkan bahwa eksplorasi IUP (survei dan studi baseline) umumnya diberikan pada level provinsi sementara IUP umumnya diberikan pada Kota Ketapang.

Gambar 3: Komoditas Pertambangan Kalimantan Barat 2012

Gambar 3 menunjukkan bahwa bauksit merupakan komoditas utama yang melibatkan 338.304 ha lahan dan 43 IUP operasi produksi. Terdapat komoditas pertambangan lain yang dieksploitasi di Kalimantan Barat: timah, batu bara, emas, biji besi dan zirkonium. Selan itu, terdapat komoditas lain juga yang meliputi kaolin, ball clay, mangan, berlian, pasir dan batu.

Kalimantan Barat: Kondisi KehutananKementerian Kehutanan (2011) telah mengalokasikan 9.178.760 ha lahan untuk area hutan

dan perairan di Kalimantan Barat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian Nomor 259/Kpts-II/2000, terdapat 1.645.580 ha area konservasi (17,93% dari total area hutan di Kalimantan Barat), 2.307.045 ha hutan lindung, 2.445.985 ha hutan produksi terbatas, 2.265.800 ha hutan produksi dan 514.350 ha hutan produksi konservasi (Kementerian Kehutanan 2011).

1.400.000.000,00

1.200.000.000,00

1.000.000.000,00

800.000. 000,00

600.000. 000,00

400.000. 000,00

200.000.000,00

0,00 Timah Bauksit Batu Bara Emas Biji Besi Zircon

35.131,09 338.304,51 35.093,09 15.586,22 47.528,61 25.980,40

1.226.735,59 1.147.992,43 723.437,80 719.024,29 428.519,07 89.292,43

IUP Operasi Produksi

IUP Eksplorasi

Luas

Hek

tar

Komoditas Pertambangan Kalimantan Barat 2012

6

Tabel 1 :

Alokasi Area Hutan dan Laut di Provinsi Kalimantan Barat. Sumber: Kementerian

Kehutanan (2011).

No Alokasi Luas (hektar)

1. Kawasan cagar alam dan kawasan yang dilindungi (terestrial

dan non-terestrial)

a. Cagar alam

b. Taman nasional

c. Wisata alam

d. Cagar alam laut

terestrial

non-terestrial

153.275

1.252.895

29.310

22.215

187.885

2. Hutan lindung (protected forest) 2.307.045

3. Hutan produksi terbatas (limited production forest) 2.445.985

4. Hutan produksi (production forest) 2.265.800

5. Hutan produksi konversi (converted production forest) 514.350

Total 9.178.760

Carlson dkk (2012) melaporkan bahwa antara tahun 1990 dan 2010, perkebunan kepala sawit mengalami perluasan dari 903 km2 menjadi 31.640 km2 dimana mencakup 28% dari total perluasan di Kalimantan Barat. Dilaporkan juga bahwa, tingkat deforestasi di Kalimantan Barat mencapai 2.812 km2/tahun (Carlson dkk, 2012). Di samping itu, diestimasikan bahwa perkebunan kelapa sawit berkontribusi secara langsung terhadap 57% dari deforestasi yang terjadi dari tahun 2000 hingga 2010, yaitu melibatkan 15.949 km2.

7

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini berfokus pada uji spasial terhadap konflik konsesi di Kalimantan Barat, khususnya pada industri ekstraktif. Bagian ini akan menguraikan metode pengumpulan data dan analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini. Untuk menjamin kualitas penelitian, digunakan juga metode triangulasi data, pengumpulan data spasial, studi lapangan dan triangulasi, studi literatur dan analisis serta analisis spasial.

Pengumpulan DataStudi Literatur: Fokus pada Data Spasial

Kami mengumpulkan data spasial dari instansi pemerintahan yang relevan untuk mendukung penelitian kami. Berikut tabel yang menunjukkan data – data tersebut:

Tabel 2:

Daftar Peta

No Nama Peta Tahun Sumber Keterangan

1 Peta Sebaran Perkebunan Sawit

Kalimantan Barat

2011 Kantor Badan Pertanahan

Provinsi Kalimantan Barat

2 Peta Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu – Hutan

Tanaman (IPHHK_HT / HTI)

2013 Kementerian Kehutanan RI

3 Peta Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam

(IPHHK_HT / HPH)

2013 Kementerian Kehutanan RI

4 Peta Perkebunan Sawit Kalbar

(Update)

2013 Kementerian Kehutanan RI

5 Peta Pertambangan 2012 Dinas Pertambangan dan

Energi Provinsi Kalimantan

Barat6 Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Kalimantan Barat

2013 Draft Peraturan Daerah

Metode2

8

Terlepas dari pengumpulan data spasial, studi literatur dan analisis juga dilaksanakan dalam penelitian ini. Fokus tertentu ditekankan pada studi mendalam terhadap peraturan – peraturan yang relevan dalam studi ini. Adapun peraturan yang relevan dalam penelitian ini dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 3:

Daftar Peraturan yang Relevan

No Peraturan Tahun Judul Penerbit Keterangan

1 UU Nomor 41 /

1999

1999 Undang Undang Kehutanan DPR

2 UU Nomor 4 / 2009 2009 Undang Undang Pertambangan

Mineral dan Batubara

DPR

3. Perpres Nomor 26

/ 2010

2010 Transparansi pendapatan negara

dan pendapatan daerah yang

diperoleh dari industri ekstraktif

Studi EmpirisStudi lapangan untuk penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten

Ketapang, dimana terdapat dua perusahaan tambang bauksit yang beroperasi di daerah ini, yaitu PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) dan PT Putra Alam Lestari (PAL). Studi lapangan dilaksanakan dalam waktu enam hari dengan dua kegiatan utama; wawancara dengan aktor yang relevan dan dokumentasi visual. Aktor yang diwawancarai terdiri dari 8 orang, yaitu berasal dari komunitas, pihak berwenang, dan perusahaan yang tinggal di dekat area konsesi HPAM. Untuk alasan etis, dalam laporan ini tidak digunakan nama asli mereka dan diganti dengan kode wawancara yang telah kami buat. Akan tetapi, transkip wawancaranya sendiri telah kami simpan.

Wawancara dengan aktor-aktor yang relevan adalah salah satu bagian penting dalam penelitian ini. Terdapat 2 tujuan utama dari diberlakukannya wawancara ini, yaitu (1) untuk memberikan wawasan “lapangan” dari aktor yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dan mendapat dampak dari aktivitas industri ekstraktif, (2) untuk melakukan triangulasi dari temuan studi literature dan analisis. Wawasan yang berbasis pada pengetahuan aktor berkaitan dengan aktivitas industri ekstraktif merupakan langkah penting menuju analisis transparansi pada industri ekstraktif. Informasi konsesi, yaitu khususnya peta konsesi sendiri dapat diakses oleh aktor-aktor ini. Temuan dari studi literatur dan analisis perlu ditriangulasikan dengan pengecekan di lapangan untuk menjamin kualitas analisis. Langkah ini juga ditempatkan sebagai persiapan untuk public outreach terhadap temuan penelitian, mengingat wawancara dibuat dalam bentuk in-depth interview dimana pertukaran informasi terjadi antara pewawancara dan pihak yang diwawancarai.

Kerangka Kerja Analisis “Go” dan “No go” Industri ekstraktif di Indonesia diatur melalui beberapa aturan. Aturan-aturan ini

merupakan produk dari rangkaian argumen dan wacana antar sejumlah aktor dengan kepentingan dan di level juga sektor serta dimensi yang beragam, yaitu meliputi dimensi ekonomi, pembangunan, konservasi dan keberlanjutan. Pada bagian ini, keputusan “go”

9

dan “no go” dalam industri ekstraktif berkaitan dengan lahan konservasi akan dielaborasi. Elaborasi ini dibagi dalam dua pembahasan, yaitu 1) proses perolehan konsesi tambang (IUP), (2) pembahasan mengenai klasifikasi kehutanan berdasarkan pada sistem hukum Indonesia yang memiliki keterkaitan erat dengan konservasi.

IUP merupakan izin untuk melakukan operasi pertambangan. IUP Eksplorasi sendiri didefinisikan sebagai izin untuk melakukan penelitian, eksplorasi dan studi kelayakan, sedangkan IUP Produksi didefinisikan sebagai izin untuk melakukan operasi dan produksi aktivitas pertambangan (Pasal 1, UU Nomor 4/2009). Pasal 1 dalam UU Nomor 4/ 2009 juga mendefinisikan wilayah pertambangan (WP) sebagai wilayah dengan potensi mineral dan/ atau batu bara yang tidak terikat pada wilayah pemerintah dan administrative, namun merupakan bagian dari rencana spasial nasional. Di samping itu, Pasal 9 dalam Bab 1 UU Nomor 4/ 2009 juga menyatakan bahwa WP sebagai bagian dari rencana spasial nasional merupakan dasar dari aktivitas pertambangan. Pasal 10 menambahkan bahwa, WP dialokasikan dalam cara yang: (1) transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab, (2) terintegrasi dengan opini yang berkaitan dengan kantor pemerintah yang mempertimbangkan aspek – aspek berikut, yaitu ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan, (3) mempertimbangkan opini lokal. Untuk mendapatkan IUP Eksplorasi, informasi pada lokasi dan luas area serta penilaian dampak lingkungan harus dipenuhi (Pasal 39, UU Nomor 4/ 2009). Berkaitan dengan hal ini, dibutuhkan elaborasi lebih lanjut dalam UU Kehutanan mengingat banyak dari lokasi tambang di Kalimantan Barat berada di wilayah hutan.

Mengacu pada UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan, terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu untuk konservasi, perlindungan, dan produksi (Pasal 6, Bab 1). Di samping itu, pemerintah telah menyatakan tiga tipe hutan; (1) Hutan konservasi (HK), (2) Hutan lindung (HL), dan (3) Hutan produksi (HP) (Pasal 6, Bab 2). Hutan konservasi sendiri masih dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1) kawasan cagar alam, (2) hutan konservasi sumber daya alam, (3) taman nasional. Sementara itu, berdasarkan pasal 24, semua tipe hutan dapat digunakan kecuali cagar alam, kawasan inti dan hutan taman nasional. Hutan lindung dapat digunakan sebagai penghasil udara bersih, ekosistem dan produk hutan non-kayu (Pasal 26, Bab 1) sementara hutan produksi dapat digunakan penghasil udara bersih, ekosistem dan produk hutan kayu juga non-kayu (Pasal 28, Bab 1).

Pasal 38 dalam UU Nomor 4/ 1999 di Bab1 menyatakan:

“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.”

Sementara itu, Pasal 38 dalam UU Nomor 4/ 1999 di Bab3 menyatakan:

“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. “

Pada tahun 2011, Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan telah menyatakan bahwa perusahaan pertambangan harus berkoordinasi dengan pemegang konsesi HPH dan HTI untuk melakukan aktivitas mereka di wilayah hutan. Berkaitan dengan pernyataannya tersebut, Hasan

10

mendapatkan sejumlah protes dari pemegang konsesi HPH dan HTI. Di samping itu, Hasan juga mengakui bahwa, Keputusan Menteri Nomor 18/2011 dalam Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan menyatakan bahwa perusahaan pertambangan tidak membutuhkan izin dari pemegang konsesi HPH dan HTI jika mereka akan melaksanakan aktivitas pertambangan di wilayah hutan. Meski demikian, diperlukan koordinasi dengan pemegang konsesi HPH dan HTI.

Pasal 38 dalam Bab 4 menyatakan:

“Pada kawasan hutan lindung, dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.”

UU Nomor 41/ 1999 telah menyediakan kerangka kerja analisis yang jelas untuk penelitian ini, khususnya untuk melakukan pengujian tumpang tindih dengan tipe hutan yang berbeda. Pertambangan terbuka jelas tidak bisa dilaksanakan dalam wilayah hutan konservasi dan hutan lindung, namun dapat dilaksanakan dalam wilayah hutan produksi. Kerangka kerja dari UU ini akan menjadi dasar analisis spasial yang dilaksanakan dalam penelitian ini, khusunya dalam mengembangkan kerangka kerja analisis “go” dan “no go” untuk menguji tumpang tindih konsesi, utamanya dengan wilayah hutan.

Kami mengembangkan sebuah kerangka kerja analisis untuk penelitian ini guna mengidentifikasi tumpang tindih konsesi dengan wilayah hutan dan konsesi lain. Kami berpendapat bahwa, identifikasi ini merupakan dasar atau pondasi yang penting jika akan memahami konflik penggunaan lahan di Kalimantan Barat dan untuk mendorong keberlanjutan dan pengurangan deforestasi. Tabel 4 menunjukkan matriks “go” dan “no go” dari sejumlah tipe konsesi yang berbeda pada tipe hutan yang berbeda berdasarkan aturan yang ada. Matriks ini sendiri akan digunakan sebagai kerangka kerja untuk analisis data dalam penelitian ini. Dengan menggunakan perangkat lunak GIS (Geographical Information System), kami akan menggunakan sejumlah peta yang berbeda untuk mengidentifikasi apakah ada tumpang tindih antara tipe konsesi yang berbeda dengan wilayah hutan.

Tabel 4:

Kerangka Analisis “Go” dan “No Go” Berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang

Kehutanan

Konsensi Tambang Konsensi Kelapa Sawit

Konsesi Kawasan

Kehutanan

Konsesi Penebangan

Hutan

Hutan

Konservasi

No Go No Go No Go No Go

Hutan Lindung No Go (terbuka

untuk tambang)

No Go No Go No Go

Hutan Produksi Go (dengan izin

dari Kementerian

Kehutanan dan

persetujuan DPR)

No Go No Go Go

11

Triangulasi Data Data akan ditriangulasi melalui sejumlah metode. Wawancara dengan aktor–aktor

yang berbeda merupakan satu cara untuk menguji informasi dan data yang didapatkan selama penelitian. Studi literatur juga akan ditriangulasi melalui studi empiris dimana kami pergi ke beberapa situs pertambangan yang diidentifikasi sebagai wilayah dimana aktivitas pertambangan aktif dilakukan. Berhubungan dengan isu transparansi sendiri, kami fokus meneliti bagaimana perusahaan pertambangan mulai beroperasi di wilayah–wilayah tertentu. Dengan kata lain, kami melakukan investigasi pada aspek historis dari pembangunan perusahaan tambang di wilayah tertentu. Di samping itu, kunjungan dan pengecekan lapangan di wilayah pertambangan juga dibutuhkan sebagai alat untuk melakukan triangulasi data spasial yang didapatkan melalui studi literatur. Pengecekan lapangan dilakukan melalui pengambilan gambar di lokasi pertambangan yang akan dikontraskan dengan data yang didapatkan dari studi literatur.

Penjangkauan MasyarakatSalah satu dari langkah penting dalam penelitian ini adalah penyediaan informasi yang

nantinya dapat diakses oleh publik. Penjangkauan Masyarakat dilakukan melalui sejumlah aktivitas: (1) penyebarluasan hasil penelitian ke publik (media, NGO, anggota DPRD, pegawai pemerintah), (2) mempersiapkan hasil penelitian (dokumen) yang dapat diakses dan dipahami dengan mudah oleh publik, (3) menyajikan hasil penelitian pada level nasional (difasilitasi oleh UKP4: Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian pembangunan, dan (4) mengembangkan sebuah GIS berbasis web terbuka yang memberikan data spasial dalam aktivitas pertambangan di Kalimantan Barat yang dapat digunakan oleh publik, termasuk sejumlah tumpang tindih konsesi.

12

Studi literatur dimulai dengan pengumpulan dan pembuatan database dari dokumen–dokumen yang berhubungan dengan aktivitas pertambangan di Kalimantan Barat. Data didapatkan

dari berbagai macam sumber termasuk kantor pemerintahan serta NGOs. Selanjutnya dilakukan analisis data spasial dengan menggunakan GIS untuk menampilkan peta yang berbeda (hutan dan konsesi). Kami menggunakan kerangka kerja “go” dan “no go” (yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam bagian ini) untuk menganalisa data spasial berdasarkan pada UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Output dari studi literatur ini adalah peta yang menunjukkan tumpang tindih konsesi dengan konsesi lain dan hutan. Berdasarkan UU di atas, tumpang tindih ini sendiri bersifat ilegal.

Tumpang Tindih Konsesi Tambang dengan Hutan

Studi yang telah kami lakukan sebelumnya telah mengidentifikasi bahwa terdapat 721 IUP yang telah diberikan di Provinsi Kalimantan Barat dan melibatkan 5,7 juta ha lahan. Dengan menggunakan kerangka kerja analisis “go” dan “no go”, telah teridentifikasi 31.623.827 ha lahan konsesi pertambangan yang berada di atas wilayah hutan konservasi. Di samping itu, telah teridentifikasi juga terdapat 190.561,9328 ha lahan konsesi pertambangan yang berada di atas wilayah hutan lindung dan 323.564,8176 ha lahan konsesi tambang yang berada di atas hutan produksi. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan ringkasan analisis konsesi sektor pertambangan di dalam wilayah hutan dan wilayah lainnya.

3Hasil Penelitian

13

Tabel 5:

Resume Analisis

Di Hutan Konservasi

Di Hutan Lindung

Di Hutan Produksi

Di Wilayah lain

Luas Konsesi

Pertambangan [Ha]

31.623,825 190.561,9328 323.564,8176 856.808,5197

Kerangka kerja analisis “Go” dan “No Go” digunakan untuk menganalisis hasil penelitian yang akan memberikan wawasan baru pada permasalahan konsesi pertambangan dan konservasi hutan di Kalimantan Barat yang ada kini. Tabel 5 di bawah ini menunjukkan analisis “Go” dan “No Go”.

Tabel 6:

Analisis “Go” dan “No Go” Konsesi Pertambangan di Kalimantan Barat

Wilayah Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi

Kepmen Nomor

259

Kepmen Nomor

936

Kepmen Nomor

259

Kepmen Nomor

936

Kepmen Nomor

259

Kepmen Nomor

936

Perkebunan kelapa

sawit (377 konsesi,

4.2 juta ha)

8.433,40 6.859,34 56.299,78 63.922,30 653.473,01 383.484,60

Wilayah hutan (47

konsesi, 2.2 juta

ha)

2.258,19 5.090,34 46.734,93 58.022,01 728.294,97 592.735,40

Penebangan (30

konsesi, 1.3 juta

ha)

5.176,38 5.894,65 98.452,89 97.713,30 - -

Tambang (721

konsesi, Total 5.7

juta ha)

1.035,79 3.517,37 108.939,48 134.519,36 2.313.612,10 1.949.557,72

Dari analisis yang ada, terdapat 31.623,825 ha lahan konsesi berada pada area “No Go” karena lokasinya yang berada di dalam hutan konservatif. Hal ini menunjukkan pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, juga ditemukan 190.561,93 ha lahan konsesi berada di area “No Go” karena lokasinya yang berada di dalam hutan lindung. Meski demikian, masih diperlukan analisis lebih jauh terhadap data yang ada apakah konsesi tersebut untuk aktivitas pertambangan terbuka atau tidak. Dalam kasus dimana konsesi diperuntukkan untuk aktivitas pertambangan terbuka, maka jelas terlihat pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan mengingat pertambangan terbuka dilarang berada di dalam hutan lindung. Temuan ini didukung oleh hasil analisis data spasial dimana dapat dilihat lokasi konsesi yang melanggar UU Nomor 41/1999, khususnya ketika konsesi berada di atas hutan konservasi dan hutan lindung (untuk pertambangan terbuka). Dalam peta ini, dapat dilihat area dengan warna merah menunjukkan konsesi berada di atas hutan konservasi dan hutan lindung, dimana dalam laporan ini merujuk pada area “No Go”.

14

Laporan ini didukung oleh tiga peta sebagai hasil analisis spasial yang diringkas dalam tabel di bawah ini:

Tabel 7:

Daftar Peta, Hasil dari Analisis Spasial

Nama Peta Analisis

Peta konsesi pertambangan di hutan konservasi No Go

Peta konsesi pertambangan di hutan lindung No Go [analisis lanjutan untuk

pertambangan terbuka atau tidak]

Peta konsesi pertambangan di hutan produksi Go

Konsesi Pertambangan pada Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Konversi. Berdasarkan pada UU Nomor 41/ 1999 tentang kehutanan, aktivitas pertambangan

hanya dapat dilaksanakan pada hutan produksi dengan izin peminjaman dan penggunaan dari Kementerian Kehutanan dan persetujuan DPR. Terdapat setidaknya dua tipe hutan produksi: (1) hutan produksi terbatas, (2) hutan produksi konversi. Konsesi pertambangan di hutan produksi mungkin didapatkan di area hutan produksi dengan mengubah fungsi area hutan yang dapat dilakukan melalui penukaran wilayah hutan (forest area swap) (Pasal 7, Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010). Perubahan wilayah hutan juga dapat dilakukan melalui “pemberian” wilayah hutan yang hanya dapat diberlakukan di hutan produksi konversi. Pemberian wilayah hutan dapat dilakukan untuk kebutuhan pembangunan terlepas dari aktivitas kehutanan. Akan tetapi, pemberian wilayah hutan ini tidak dapat dilakukan di provinsi dengan kepemilikan wilayah hutan kurang dari 30% dari total wilayah. Berkaitan dengan hal ini, analisis spasial dalam konsesi pertambangan di hutan produksi terbatas dan konversi relevan dengan studi ini.

Tabel 8 di bawah ini menunjukkan luas wilayah dimana konsesi tambang berada di dalam hutan produksi terbatas dan konversi:

Tabel 8:

Konsesi Tambang Dalam Hutan Produksi Terbatas Dan Konversi

Konsesi Pertambangan (ha)

Hutan produksi terbatas 256.831,0506

Hutan produksi konversi 90.540,2401

Elaborasi lebih jauh dibutuhkan untuk mengidentifikasi konsesi pertambangan mana yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan dengan persetujuan dari DPR untuk mengidentifikasi analisis “Go” dan “No Go”. Sejauh ini, temuan yang ada memberikan sejumlah pandangan atau wawasan untuk dalam uji transparansi spasial pada industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat.

15

Tumpang Tindih Konsesi Tambang dengan Konsesi LainTerlepas dari analisis “Go” dan “No Go”, penting untuk mengidentifikasi tumpang tindih

antar konsesi yang berbeda untuk menunjukkan tantangan dan permasalahan transparansi pada industri ekstraktif, khususnya pada dimensi spasial. Tabel 8 di bawah ini menunjukkan tumpang tindih konsesi di Provinsi Kalimantan Barat berkaitan dengan konsesi pertambangan:

Tabel 9:

Tumpang Tindih Konsesi di Kalimantan Barat

Konsesi Pertambangan [ha]

Konsesi kelapa sawit 804.538,843

Konsesi wilayah kehutanan 442.080,456

Konsesi Penebangan 367.224,154

Dari tabel di atas, telah teridentifikasi tumpang tindih konsesi pertambangan dengan konsesi lainnya di Kalimantan Barat. Tumpang tindih antara konsesi pertambangan dengan kelapa sawit merupakan yang terbesar di Kalimantan Barat. Peta yang menunjukkan tumpang tindih ini juga dicantumkan dalam laporan ini.

Studi EmpirisUntuk mendukung studi literatur yang telah dilakukan, dilakukan pula studi empiris

melalui sejumlah metode, yaitu observasi, site visit, dan wawancara naratif. Tujuan dari studi empiris ini meliputi: (1) untuk mengumpulkan informasi empiris dan data guna mendukung studi literatur, (2) untuk dijadikan sebagai triangulasi data sekunder yang didapatkan melalui studi literatur, dimana akan dibandingkan dengan informasi dan data yang dikumpulkan dari studi empiris. Diharapkan proses ini dapat menjamin reliabilitas dan kualitas data, sehingga mampu menjamin kualitas analisis penelitian.

Studi empiris ini dilaksanakan di Kecamatan Kandawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, tempat dimana perusahaan tambang, yaitu PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM), melakukan ekstrak bauksit. Selain PT HPAM, terdapat perusahaan lain, yaitu PT Putra Alam Lestari, yang juga telah melakukan ekstrak bauksit di area ini. Sebagai bentuk studi empiris, dilakukan delapan wawancara naratif dengan sejumlah warga yang tinggal di tiga desa di sekeliling wilayah pertambangan, termasuk masyarakat lokal yang dipekerjakan oleh perusahaan.

Gambar 4 menunjukkan wilayah pertambangan PT HPAM yang berlokasi di atas perkebunan kelapa sawit, namun telah diubah kembali menjadi perkebunan kelapa sawit setelah aktivitas pertambangan selesai. Masyarakat lokal sendiri tidak mengetahui perubahan ini dan mereka juga tidak mendapatkan keuntungan akan perubahan yang terjadi.

16

Gambar 4: Wilayah pertambangan bauksit PT. HPAM setelah berubah menjadi

perkebunan kelapa sawit

(Sumber: Zainul Mubarok, 15 Juni 2013)

Gambar 5: Situs pertambangan HPAM di Kendawangan

(Sumber: Zainul Mubarok, 17 Juni 2013)

PerusahaanPT HPAM merupakan cabang perusahaan dari Cita Mineral Investindo (CMI) yang bergerak

pada eksploitasi bauksit. PT HPAM telah beroperasi sejak tahun 2005 dan mengekspor bauksit langsung ke China. PT HPAM memiliki 5 konsesi di Kabupaten Ketapang dengan total lahan mencapai 295.605 ha. PT HPAM memegang IUP yang valid hingga April 2014. Diindikasikan bahwa, aktivitas pertambangan bauksit ini memberikan dampak ke tiga desa yang berada di sekeliling wilayah pertambangan, yaitu meliputi Desa Mekar Utama, Desa Kendawangan Kiri, dan Desa Banjarsari.

Hingga laporan ini diselesaikan, masih terdapat kekurangan data dan informasi dalam volume bauksit mentah yang diekspor setiap bulannya oleh PT HPAM. Akan tetapi,

17

berdasarkan laporan keuangan CMI, yang notabene menjadi payung perusahaan PT HPAM, produksi bauksit di Kandawangan (yang dilakukan PT HPAM) mencapai 3,176 metrik ton di tahun 2011. Dengan rata–rata harga bauksit mencapai US$ 29,1 per metric ton, diestimasikan PT HPAM telah mendapatkan keuntungan sebesar US$ 92 juta hanya di tahun 2012. Salah satu orang yang diwawancara memberikan informasi berkaitan dengan pertambangan bauksit yang dioperasikan oleh PT HPAM. Informasi yang diberikan dapat dikategorikan sebagai pengetahuan umum masyarakat setempat, mengingat dia juga tidak bekerja di perusahaan.

“.....setelah bauksit dikeruk dari perut bumi, kemudian dilakukan pencucian untuk memisahkan tanah dengan batuan bauksitnya. Setelah itu di timbang beratnya, kemudian diangkut menggunakan Dump Truck ke pelabuhan untuk dimasukkan ke tongkang pertama. Tongkang pertama ini mengangkut lagi ke tongkang induk yang berada di laut lepas. Kata orang-orang yang pelabuhan, tongkang utama yang berada di laut lepas itu lebih besar dari lapangan bola dan bisa mengangkut sekitar 300 ribu ton bauksit. Tongkang besar itulah yang membawa langsung eksport bauksit mentah ke China.”

Berkaitan dengan jumlah warga setempat yang dipekerjakan oleh PT HPAM sendiri masih tidak jelas, akan tetapi data yang dipublikasikan oleh Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ketapang menyebutkan bahwa terdapat 1870 masyarakat lokal yang dipekerjakan oleh PT HPAM. Mengikuti Ketetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Nomor 7/2012 tentang pelarangan ekspor sumber daya alam, PT HPAM memberhentikan 866 karyawannya (masyarakat lokal) sebagai bentuk peningkatan efisiensi. Melalui sejumlah lobi, PT HPAM mampu mendapatkan kembali hak ekspor sumber daya alam mereka dengan sejumlah kondisi: (1) ekspor dengan maksimum volume 900 ton setiap 3 bulan dan (2) pajak 20%.

PT HPAM sendiri tengah membangun 4 unit smelter (untuk memproses bahan mentah dan meningkatkan nilai tambah). Selain smelter, PT HPAM juga membangun sejumlah infrastruktur dan fasiliats publik di beberapa dusun, seperti air bersih, masjid dan gereja juga menyediakan generator listrik bagi kelompok lokal tertentu serta memberikan dukungan terhadap masyarakat lokal untuk mengembangkan peternakan, seperti peternakan babi. Program–program ini disalurkan melalui agenda PT HPAM dalam pembangunan komunitas.

Fakta dan Gambaran Sosio-EkonomiMasyarakat lokal yang berasal dari kelompok etnis Melayu dan Dayak telah bergantung

pada sumber daya hutan dan melakukan perladangan berpindah, sebuah praktik bertani yang umum di Kalimantan Barat. Dengan praktik ini, masyarakat setempat mampu mendapatkan makanan dan memenuhi kebutuhan sehari–hari. Masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari keberadaan hutan dan sumber daya di dalamnya, yaitu (1) pemanfataan kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan fasilitas publik, (2) pemanfaatan buah – buahan sebagai bahan makanan, (3) pemanfaatan daun dan akar untuk bahan obat, (4) berburu, (5) penangkapan ikan untuk kebutuhan sehari–hari. Di samping itu, masyarakat setempat juga mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir sebagai bahan makanan. Ketergantungan ini membentuk dinamika sosial masyarakat setempat tersebut. Membuka hutan, budidaya padi serta proses panen dilakukan secara komunal dimana tetangga dan anggota masyarakat saling membantu. Dinamika ini juga dipengaruhi oleh hukum adat, khususnya dalam

18

menghargai anggota masyarakat lokal juga alam. Salah satu orang yang kami wawancarai menjelaskan bagaimana anggota masyarakat lokal telah mendapatkan manfaat dari hutan dan sumberdaya di dalamnya sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Akan tetapi, dia juga menjelaskan bagaimana situasi yang ada telah berubah setelah wilayah menjadi subjek konsesi yang berbeda. Dia menaruh perhatian atas bagaimana situasi ke depan nantinya, mengingat dia sadar desa tempatnya tinggal telah berada di dalam lahan konsesi perusahaan. Dia juga melihat berkembangnya konflik horizontal antar anggota masyarakat lokal karena pengembangan sejumlah konsesi di wilayah mereka. Berikut pernyataannya:

“.....Namun, sejak masuknya perusahaan kehidupan masyarakat menjadi berubah. Pemerintah melalui petugas Dinas Kehutanan bilang masyarakat tak boleh membuka ladang dan mengarap lahan di hutan adat. Mereka bilang wilayah hutan adat kami sudah ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Tak lama kemudian kami dengar pula bahwa sebagian dari wilayah hutan adat kami telah diserahkan ke perusahaan HTI PT Kertas Basuki Rahmat (KBR), itu sekitar tahun 1997. Kemudian menyusul lagi perkebunan sawit. Dan sekitar tahun 2002/2003, datang lagi perusahaan tambang melakukan survei. Pada sekitar 2004/2005, perusahaan tambang PT Harita dan PT PAL beroperasi di wilayah kami. Sebagian kecil warga menerima masuknya perusahaan, dan kebanyakan menolak. Tapi yang menolak tak bisa berbuat banyak, umumnya mereka takut cari masalah dengan pemerintah dan perusahaan.”

Di samping itu, ia juga menambahkan:

“.....Kami hanya mendengar sekilas apa itu RTRW?. Tapi kami tak pernah tahu apa saja kebijakannya. Kami hanya tahu kehadiran perusahaan HPH, HTI, sawit dan tambang di daerah kami setelah pihak perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah bilang perusahaan sudah mendapatkan izin. Kami merasa terpojok dan terpaksa menerima.”

Sementara itu, pihak lain yang kami wawancarai berpendapat:

“.....memang ada proses sosialisasi pada saat perusahaan masuk dulu. Tapi yang hadir hanya perwakilan elit-elit desa dan tokoh masyarakat saja. Dan seperti biasanya, pihak perusahaan penuh dengan janji-janji, terutama soal rekrutmen tenaga kerja dan pembangunan daerah kami.”

TransparansiDari studi yang kami lakukan, hampir semua penduduk desa tidak mendapatkan informasi

dan tidak dilibatkan dalam pembangunan PT HPAM. Perusahaan tersebut telah melakukan public outreach, namun hanya melibatkan elit–elit di desa, pejabat Kecamatan, dan perwakilan dari kepolisian dan militer daerah. Beberapa dari elit menolak pembangunan tersebut, namun terdapat sejumlah elit yang menyetujui pembangunan ini mengingat keuntungan yang dijanjikan perusahaan, yaitu (1) pembukaan lapangan kerja, (2) kontribusi pada pembangunan lokal dan (3) uang bagi pejabat desa. Salah satu orang yang kami wawancara melaporkan:

19

“.....Para warga sulit menolak masuknya perusahaan tambang, karena hampir semua elit desa, pejabat pemerintah (Bupati dan Camat), bahkan preman sudah dipegang pihak perusahaan. Informasi yang jujur mengenai tambang di sini sulit di dapat dari warga, karena ada yang punya kepentingan dan ada pula yang takut mendapat masalah.”

Selain itu, berkaitan dengan dokumen perencanaan spasial, pihak lain yang kami wawancarai berpendapat:

“.....Kami hanya mendengar sekilas apa itu RTRW? Tapi kami tak pernah tahu apa saja kebijakannya. Kami hanya tahu kehadiran perusahaan HPH, HTI, sawit dan tambang di daerah kami setelah pihak perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah bilang perusahaan sudah mendapatkan izin. Kami merasa terpojok dan terpaksa menerima.”

Setelah public outreach, PT HPAM mulai berupaya untuk memperoleh tanah. Perusahaan merekrut anggota komunitas yang berpengaruh untuk mendorong penduduk desa memberikan tanah juga kebun mereka. Sebagai timbal baliknya, perusahaan berjanji untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan mengembalikan tanahnya dengan pohon karet dll. (kelapa sawit) setelah aktivitas pertambangan selesai. Kemudian, dilakukan negosiasi untuk harga tanah. Negosiasi ini dilakukan oleh salah satu pegawai perusahaan yang masuk dalam tim pembangunan komunitas. Pada awal mulanya, anggota masyarakat lokal menerima Rp2 juta ha. Akan tetapi, setelah tahun 2010, setiap anggota masyarakat yang memberikan tanahnya, mendapatkan rata–rata Rp10 juta per ha.

Gis Berbasis WebHasil dari analisis spasial ditampilkan sebagai GIS berbasis web yang dapat diakses di

http://editor.giscloud.com/map/230430/eispatialtranparency. Platform ini digunakan untuk menyediakan data spasial dan informasi mengenai sektor pertambangan di Kalimantan Barat bagi publik. Pengunjung web dapat melihat konsesi–konsesi dan kondisi hutan di Kalimantan Barat.

Gambar 6 menunjukkan alokasi hutan di Kalimantan Barat berdasarkan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 259/2000. Akan tetapi, ketetapan menteri ini telah direvisi dan digantikan dengan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 (lihat gambar 7) yang bisa dikatakan melegalkan “aktivitas illegal” (konsesi kelapa sawit di dalam are hutan). Gambar 6 menunjukkan alokasi baru untuk area hutan berdasarkan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 dimana terdapat sejumlah perubahan: (1) dari area hutan menjadi bukan area hutan: 554.137 ha, (2) dari area hatan menjadi area hutan dengan tipe lain (seperti hutang lindung menjadi hutang produksi): 352.772 ha, (3) dari bukan area hutan menjadi area hutan: 52.386 ha. Perubahan–perubahan di atas dapat dilihat di gambar 8. Selain itu, telah diidentifikasi juga bahwa, terdapat 69.292 ha wilayah hutan (hutan konservasi dan lindung) yang telah “berubah” menjadi area untuk penggunaan lain. Sehingga, area hutan ini telah berubah secara dramatis dari hutan dengan kategori “tertinggi” menjadi area area untuk penggunaan lain. Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 ini sendiri akan menjadi bahan pengesehana oleh DPR.

20

Gambar 9 menunjukkan tumpang tindih area konsesi di area dimana hal ini merupakan pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 (seperti konsesi tambang di dalam taman nasional, kelapa sawit di dalam hutan). Gambar 10 menunjukkan tumpang tindih antara konsesi yang berbeda (tambang, kayu, kelapa sawit). Gambar 11 menunjukkan tumpang tindih konsesi dengan area hutan yang berbeda. Kami telah mengidentifikasi 31.623,825 ha konsesi tambang yang berada di dalam hutan konservasi (termasuk taman nasional dan cagar alam). Hal ini menunjukkan pelanggaran atas UU Nomor 41/ 1999 tentang kehutanan dan UU Nomor 5/1990 tentang konservasi.

Di samping itu, hanya ada lima perusahaan tambang yang memegang izin eksplorasi dan survei, dan sepuluh perusahaan tambang yang memegang izin produksi dalam area hutan. Untuk melakukan eksplorasi dan survei juga operasi dalam area hutan, perusahaan tambang harus mendapatkan “izin pinjam pakai” (izin untuk meminjam dan menggunakan) dari Kementerian Kehutanan. Di sisi lain, di Kalimantan Barat sendiri terdapat 721 perusahaan tambang. Melihat situasi ini, tidak mudah untuk menjustifikasi apakah perusahaaan di luar 15 pemilik izin di atas melakukan aktivitas illegal. Akan tetapi, studi kami telah mengindikasikan bahwa beberapa dari mereka melakukan survei atau beroperasi di area hutan tanpa izin.

Studi kami juga telah dijadikan referensi bagi CSOs (Civil Society Organizations) lain di Kalimantan Barat. Tabel 10 menunjukkan beberapa CSOs yang telah mendapatkan manfaat dari studi ini. Akan tetapi, tabel 10 tidak menampilkan seluruh CSOs, melainkan hanya beberapa.

Tabel 10:

Daftar CSOs yang mendapatkan manfaat dari studi

No. Nama CSO Area kerja Kontak Bagaimana studi ini bermanfaat

1. Gemawan Mendorong

keadilan sosial-

ekologis-politik

Laili Khairnur,

[email protected]

Studi ini telah menjadi referensi

untuk kegiatan advokasi guna

menjamin proses dan dokumen

perencanaan spasial yang

lebih tepat juga menciptakan

pengelolaan dan kebijakan

komunitas yang berkeadilan

2. Koalisi

masyarakat

sipil untuk

tata ruang

yang adil dan

berkelanjutan

Mendorong

dan menjamin

keadilan

dalam proses

dan dokumen

perencanaan

spasial di

Kalimantan

Barat

Muhammad Isa

[email protected]

Studi ini telah menjadi referensi

untuk kegiatan advokasi guna

menjamin proses dan dokumen

perencanaan spasial yang lebih

tepat

3. WWF West

Kalimantan

Pengawasan

area hutan

Ian M. Hilman Penelitian ini telah bermanfaat

untuk mendukung upaya WWF

di Kalimantan Barat untuk

melakukan pegawasan konsesi

wilayah hutan.

21

Gam

bar

6:

Are

a H

utan

Kal

iman

tan

Bar

at b

erdas

arka

n K

etet

apan

Men

teri

Nom

or

259/

2000

22

Gam

bar

7:

Am

andem

en A

rea

Hut

an b

erdas

arka

n K

etet

apan

Men

teri

Nom

or

936/

2013

23

Gam

bar

8:

Per

ubah

an S

tatu

s H

utan

ber

das

arka

n K

etet

apan

Men

teri

Nom

or

936/

2013

24

Gam

bar

9: A

rea

Kons

ensi

(ta

mban

g, ka

yu,

kel

apa

saw

it, lo

gg

ing

)

25

Gam

bar

10

: Tu

mpan

g T

indih

Kons

esi d

i Kal

iman

tan

Bar

at

26

Gam

bar

11

: Tu

mpan

g T

indih

Kons

esi d

eng

an A

rea

Hut

an

27

4Pembahasan

Dalam bagian ini, akan dipaparkan pembahasan lima isu utama yang berhubungan dengan transaparansi spasial dalam industri ekstraktif di Kalimantan Barat. Dari studi yang kami lakukan berkaitan dengan industri ekstraktif dan konsesi di Kalimantan

Barat, dapat dilihat bagaimana transparansi spasial telah menjadi salah satu permasalahan yang harus diatasi untuk mencapai proses dan dokumen perencanaan spasial yang berkeadilan. Pertama – tama, akan dibahas mengenai industri ekstraktif dan transparansi spasial. Selanjutnya, akan diikuti dengan pembahasan mengenai golongan elit yang terlibat dalam pembangunan industri ekstraktif di Kalimantan Barat dan amandemen status dan alokasi wilayah hutan di tahun 2013. Kemudian, akan dibahas hubungan antara transparansi spasial dengan isu perampasan lahan. Terakhir akan dibahas hasil perhitungan potensi kehilangan penerimaan negara dan daerah dari jenis pembayaran ‘land rents/iuran tetap’ untuk pertambangan mineral dan batubara.

Transparansi Spasial dan Industri Ekstraktif Seperti yang telah kami tunjukkan dalam penelitian ini, transparansi spasial, khususnya

dalam sektor industri ekstraktif masih menjadi tantangan terbesar untuk mendorong proses perencanaan spasial yang lebih tepat yang akan menghasilkan dokumen spasial yang lebih komprehensif. Selain itu, dapat dilihat pula tumpang tindih antara konsesi tambang dan area hutan, yaitu merujuk pada adanya konsesi yang berada di dalam hutan konservasi. Oleh karena itu, disebutkan bahwa, konsesi ini melanggar UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan dan UU Nomor 5/1990 tentang konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mendorong transparansi spasial, khususnya dalam industri ekstraktif, menjadi diperlukan untuk mendorong keadilan dalam proses pembangunan. Pengujian transparansi spasial dalam hal ini akan berujung pada proses perencanaan spasial yang lebih adil sehingga menghasilkan dokumen perencanaan spasial yang lebih komprehensif.

28

Gambar 12: Presentasi hasil penelitian di UKP4

Golongan ElitPenelitian lapangan yang dilakukan telah mendukung penelitian secara keseluruhan

dengan adanya wawasan dari masyarakat setempat tentang keberadaan dan pembangunan perusahaan tambang, khususnya berkaitan dengan isu transparansi. Sejauh ini, dapat dilihat bahwa tidak semua anggota masyarakat lokal yang sadar akan rencana pembangunan perusahaan. Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi, yaitu (1) informasi berkaitan dengan perencanaan tidak dapai diakses oleh beberapa anggota masyarakat lokal, (2) perencanaan dan proses pembangunan perusahaan hanya diketahui oleh golongan elit. Golongan elit telah menjadi salah satu karakteristik dari pembangunan aktivitas pertambangan di level lokal. Hal ini juga ditemukan di Kalimantan Barat.

Amandemen Status dan Alokasi Hutan di Tahun 2013

Amandemen alokasi hutan dari Ketetapan Menteri Nomor 259/2000 ke Ketetapan Menteri Nomor 936/ 2013 dapat dilihat sebagai upaya untuk “memutihkan” alokasi hutan. “Pemutihan” merupakan suatu istilah yang umum digunakan oleh aktivis lingkungan di Indonesia untuk menjelaskan proses perubahan status hutan menjadi lahan dengan status penggunaan lain. Hal ini mengacu pada perubahan warna menjadi putih dalam dokumen perencanaan spasial (Dokumen RTRW). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas ekstraktif dapat dilakukan di lahan non-hutan (perkebunan kelapa sawit). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa, amandemen ini bertujuan untuk memberikan lahan lebih untuk perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, ini juga berdampak pada “pengesahan” aktivitas pertambangan yang sebelumnya dianggap illegal, mengingat ada perubahan status hutan (hutan konservasi -taman nasional- menjadi hutan produksi).

Transparansi Spasial dan Perampasan Lahan (Land Grabbing) Franco dkk (2013) melaporkan bahwa istilah “land grabbing” (perampasan lahan)

berkembang kembali di dunia internasional dalam konteks lonjakan harga pangan global

29

pada tahun 2007-2008. Akan tetapi, framing ini justru cenderung mengaburkan dibandingkan menjelaskan situasi yang berkembang. Land grabbing adalah control kepemilikan (Franco dkk, 2013). Land grabbing merujuk pada kepemilikan power atas kontrol lahan dan sumber daya lain seperti air dan mineral dalam hutan untuk mengkontrol manfaat atas pengunaannya (Franco dkk, 2013). Land grabbing bertujuan untuk memperbaiki bentuk akses kekayaan berbasis lahan (kekayaan darat) yang mencakup perampasan lahan yang bersifat virtual dimana terdapat tujuan–tujuan tertentu dibalik akuisisi lahan tersebut, termasuk agenda untuk subsidi, mendapatkan pinjaman bank dengan menggunakan izin penggunaan tanah sebagai jaminan, atau untuk spekulasi peningkatan nilai tanah (Franco dkk, 2013). Selain itu, Franco dkk (2013) berpendapat bahwa terlepas dari lahannya virtual atau nyata, land grabbing bersifat politis, mengingat apa yang dipertaruhkan adalah kontrol untuk memutuskan bagaimana dan untuk apa penggunaan lahan dan air kini maupun nanti. Land grabbing yang dibuat setransparan mungkin tetaplah land grabbing.

Penelitian ini telah menunjukkan bagaimana land grabbing yang nyata telah terjadi dalam pembangunan industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, elit merupakan salah satu pihak yang memiliki kontrol atas tanah juga manfaat penggunaannya. Pihak yang kami wawancarai membenarkan fenomena ini. Akan tetapi, virtual land grabbing mungkin juga telah terjadi, dimana terdapat beberapa konsesi atau izin yang digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman bank. Penelitian ini tidak mengelaborasi lebih jauh dalam isu ini, namun penelitian ini memberikan referensi untuk elaborasi lanjutan.

Transparansi Spasial dan Potensi Kehilangan Penerimaan Negara Sebagai hasil dari penelitian ini, didapat peta konsesi pertambangan mineral dan

batubara, disertai luas lahan dan fase kegiatan (eksplorasi, eksploitasi/produksi) yang tersebar di seluruh kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. Dari data seluruh luasan IUP dan fase kegiatannya tersebut, dihitung potensi penerimaan negara dari iuran tetap/land rents dengan menggunakan dasar tarif sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. Data tersebut kemudian ditrianulasi dengan data realisasi penerimaan negara, khususnya alokasi Dana Bagi Hasil-Sumber Daya Alam (DBH SDA) pertambangan umum per kabupaten dan provinsi di Kalimantan Barat. Dari data potensi penerimaan negara dan realisasi penerimaan dari DBH SDA pertambangan umum tersebut, didapat selisih nilai yang disebut sebagai potensi kehilangan penerimaan negara, sebesar total Rp59.542.372.770.

Potensi kehilangan penerimaan negara tersebut diduga terjadi karena beberapa hal, diantaranya karena: (1) pembayaran land rents yang tidak sesuai dengan luas lahan IUP yang sebenarnya; (2) tidak dilakukan update data yang terdapat di dinas Pemda setempat, terutama terkait luas lahan IUP eksplorasi dan luas lahan IUP produksi; (3) Tidak adanya verifikasi dan lemahnya pengawasan dalam perhitungan dan pembayaran land rents di sektor pertambangan.

30

No

Kab

upat

en

SK

IU

P E

ksplo

rasi

SK

IU

P O

per

asi

Pro

duk

siJu

mla

hP

ote

nsi

Pen

erim

aan

Land

rent

Eks

plo

rasi

Pote

nsi

pen

erim

aan

Land

rent

Eks

plo

itas

i

Jum

lah

Pote

nsi

Pen

erim

aan

Land

rent

Pote

nsi

DB

H

LandR

ent

Rea

lisas

i

DB

H

LandR

ent

Sel

isih

Pote

nsi

dan

Rea

lisas

i D

BH

LandR

ent

Per

usah

aan

(Uni

t)Lu

as (

Ha)

Per

usah

aan

(Uni

t)Lu

as (

Ha)

Per

usah

aan

(Uni

t)Lu

as (

Ha)

12

34

56

78

91

01

112

13

14

1K

AP

UA

S H

ULU

6550

8,57

3.00

836

,185

.70

7354

4,75

8.70

9,56

1,17

2,40

01,

360,

582,

320

10,9

21,7

54,7

206,

989,

923,

021

226

,753

,818

6

,763

,169

,203

2S

INTA

NG

5732

8,52

6.00

1221

1.50

6932

8,73

7.50

6,17

6,28

8,80

07,

952,

400

6,18

4,24

1,20

03,

957,

914,

368

266

,792

,348

3

,691

,122

,020

3M

ELA

WI

5057

8,68

0.00

143,

311.

6964

581,

991.

6910

,879

,184

,000

124,

519,

544

11,0

03,7

03,5

447,

042,

370,

268

100

,024

,649

6

,942

,345

,619

4S

EK

AD

AU

422

,500

.00

41,

594.

008

24,0

94.0

042

3,00

0,00

059

,934

,400

482,

934,

400

309,

078,

016

2,5

55,8

40

306

,522

,176

5S

AN

GG

AU

4517

0,85

0.01

2071

,492

.24

6524

2,34

2.25

3,21

1,98

0,18

82,

688,

108,

224

5,90

0,08

8,41

23,

776,

056,

584

1,6

48,5

61,0

66

2,1

27,4

95,5

18

6K

ETA

PAN

G83

998,

003.

6073

333,

227.

9015

61,

331,

231.

5018

,762

,467

,680

12,5

29,3

69,0

4031

,291

,836

,720

20,0

26,7

75,5

01 3

,646

,420

,798

16,3

80,3

54,7

03

7K

AY

ON

G

UTA

RA

4953

5,02

5.00

00.

0049

535,

025.

0010

,058

,470

,000

010

,058

,470

,000

6,43

7,42

0,80

0 7

02,2

87,7

45

5,7

35,1

33,0

55

8LA

ND

AK

5419

0,82

5.97

326,

396.

9786

197,

222.

943,

587,

528,

236

240,

526,

072

3,82

8,05

4,30

82,

449,

954,

757

1,3

73,5

99,3

76

1,0

76,3

55,3

81

9B

EN

GK

AY

AN

G7

21,9

32.1

017

5,51

6.75

2427

,448

.85

412,

323,

480

207,

429,

800

619,

753,

280

396,

642,

099

188

,905

,184

2

07,7

36,9

15

10S

AM

BA

S1

49,2

70.0

015

41.5

416

49,3

11.5

492

6,27

6,00

01,

561,

904

927,

837,

904

593,

816,

259

76,

656,

720

517

,159

,539

11K

UB

U R

AY

A22

13,0

19.1

911

18.0

033

13,0

37.1

924

4,76

0,77

267

6,80

024

5,43

7,57

215

7,08

0,04

6 9

3,92

8,80

0 6

3,15

1,24

6

12P

ON

TIA

NA

K15

47,3

46.0

016

17,9

84.6

531

65,3

30.6

589

0,10

4,80

067

6,22

2,84

01,

566,

327,

640

1,00

2,44

9,69

0 3

80,0

11,4

94

622

,438

,196

13

LIN

TAS

KA

BU

PATE

N/

PR

OV

INS

I

421,

121,

154.

005

12,6

52.0

047

1,13

3,80

6.00

21,0

77,6

95,2

0047

5,71

5,20

021

,553

,410

,400

17,2

42,7

28,3

20 2

,133

,339

,120

15,1

09,3

89,2

00

JUM

LAH

494

4,58

5,70

4.87

227

488,

632.

9472

15,

074,

337.

8186

,211

,251

,556

.00

18,3

72,5

98,5

44.0

010

4,58

3,85

0,10

0.00

70,3

82,2

09,7

28.0

0 1

0,83

9,83

6,95

8 5

9,54

2,37

2,77

0

Tabel

11

:

Pote

nsi k

ehila

ngan

Pen

erim

aan L

and

rent

di K

alim

anta

n bar

at T

ahun

20

12

31

Kerangka kerja yang dikembangkan dalam penelitian ini juga digunakan untuk melakukan analisis terhadap konsesi tipe – tipe lain, seperti konsesi kelapa sawit dan penebangan hutan. Analisis ini akan memberikan wawasan baru untuk debat, pembahasan, dan

upaya untuk mendorong transparansi spasial yang tengah berkembang, khususnya dalam sektor industri ekstraktif. Selain itu, analisis ini juga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keberlanjutan wacana dan upaya untuk mendorong transparansi spasial dalam industri ekstraktif. Ada kebutuhan untuk memfokuskan diri pada dimensi spasial transparansi dalam industri ekstraktif untuk melengkapi perdebatan, diskusi juga upaya dalam mendorong EITI.

Sejauh ini, penelitian ini telah mengidentifikasi permasalahan transparansi dalam industri ekstraktif melalui analisis spasial konsesi pertambangan dan kehutanan. Telah teridentifikasi juga sejumlah informasi dan fakta berkaitan dengan rencana pembangunan aktivitas pertambangan tidak dapat diakses oleh beberapa masyarakat lokal. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa transparansi dalam industri ekstraktif merupakan debat, wacana, juga upaya yang perlu dielaborasi dan diuji untuk mendorong EITI dan keberlanjutannya. Penelitian ini juga menguji konsesi–konsesi dengan tipe berbeda (kelapa sawit dan penebangan) untuk mengidentifikasi dimensi “Go” dan “No go” dari konsesi di Provinsi Kalimantan Barat. Hasil penelitian ini akan dibawa, didiskusikan, dielaborasi serta diuji oleh anggota masyarakat lokal dan pihak pemerintah juga NGOs, serta sektor privat guna mendorong transparansi dan tata kelola spasial. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk mengaitkan isu transparansi dalam industri ekstraktif dengan fenomena land grabbing dan potensi hilangnya penerimaan negara. Diharapkan pengetahuan yang didapatkan melalui penelitian ini akan bermanfaat untuk mendorong keadilan dalam proses perencanaan spasial dan optimalisasi penerimaan sektor ekstraktif di Indonesia.

5Kesimpulan

32

Daftar Pustaka

1. Rongiyati, S. (2012). Kajian Yuridis Izin Pertambangan di Kawasan Hutan. Info Singkat Hukum Vol. IV. Nomor 13/I/P3DI.

2. Pahan, I. (2006). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

3. Borras, Jr. S.M. & Franco, J. (2011). Political dynamics of land grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s role. Transnational Institute in the context of the Just Trade project. Amsterdam.

4. Borras, Jr. S.M., Franco, J. & Wang, C. (2012). Competing political tendencies in global governance of land grabbing. Discussion paper. TNI Agrarian Justice Programme. Amsterdam.

5. Carlson, K.M., Curran, L.M., Asner, G.P., Pittman, A. M., Trigg, S.N. & Adeney, J.M. (2012). Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Climate Change. DOI: 10.1038/NCLIMATE1702.

6. Trans National Institute (2013). The global land grab: The primer. TNI Agrarian Justice Programme. Amsterdam.

7. Sardana, A., Hernawati, J., Dharma, N.G.G.Y., Nugroho, A.E. & Aliyah, N. (2011). Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. Kementrian Kehutanan Direktorat Jenderal Planoloti Kehutanan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III. Pontianak.

Peraturan:1. Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2010 tentang Transparansi pendapatan negara dan

pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif.2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata cara

perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan

negara bukan pajak di sektor energi dan sumber daya mineral4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4/ 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41/ 1999 Tentang Kehutanan6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5/ 1990 Tentang Konservasi

Sumber online:1. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat (2011). Statistik Ketenagakerjaan Provinsi

Kalimantan Barat: 2011. URL: kalbar.bps.go.id/flippingbook/naker kalbar as 2011/2. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat (2013). Kalimantan Barat Dalam Angka 2012.

URL: www.kalbar.bps.go.id

33

Profil

Irendra Radjawali. Adalah seorang aktivis sosial sekaligus peneliti bidang Sosial EKologi, Universitas Bremen, Germany. Radja mengenyam pendidikan S1 sejak tahun 1993 berawal dari Jurusan Teknik Sipil, ITB. Karya-karya ilmiahnya telah dipresentasikan di sejumlah negara, salah satunya adalah presentasi di Universitas Paris 1–Sorbonne, Perancis. Hal itu mengantarkan kesempatan untuk 1 tahun berada di Fakultas Geografi, Universitas Sorbonne, Perancis dengan dukungan dari Pemerintah Perancis. Dari Perancis, kesempatan didapatkan untuk terlibat pada sebuah proyek penelitian bersama antara Republik Federal Jeman dan Republik Indonesia

bernama SPICE (Science for the Protection of Indonesian Marine and Coastal Ecosystem) untuk melakukan riset interdisiplin bersama beberapa ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dengan berafiliasi dengan Leibniz Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) di Kota Bremen serta Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Bremen yang juga menjadi bagian dari studi doktoralnya tentang “ekologi politik perikanan karang”.

Arif Munandar Arif Munandar, saat ini tercatat sebagai Peneliti Swandiri Institute sekaligus Board Yayasan Keadilan Rakyat Jambi. Arif aktif melakukan penelitian-penelitian terkait isu tata kelola hutan dan lahan terkait hak-hak masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berbasiskan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, Arif juga sering terlibat dalam advokasi berbagai kebijakan dalam pengelolaan SDA yang berpihak pada kepentingan masyarakat dengan melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan penting terutama menyangkut isu tenurial, serta mendorong adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan kebijakan. Dia juga berpengalaman dalam kampanye, pengorganisasian masyarakat, Investigasi, Fasilitator, dan Mediator Konflik.

Hermawansyah lahir di Sungai Bakau Kecil, Kalimantan Barat pada tahun 1975. Pada masa kuliahnya, dia aktif sebagai aktivis mahasiswa yang memfokuskan diri pada isu pemberdayaan dan advokasi. Di tahun 1999, dia mendirikan Lembaga Gemawan yang kini menjabat sebagai Badan Pengarah di lembaga tersebut. Dalam karirnya di dunia advokasi, Hermawansyah telah aktif dalam sejumlah jaringan NGO di tingkat lokal maupun nasional sebagai peneliti, pembicara, fasilitator juga trainer. Adapun isu yang dikuasai meliputi isu good governance, advokasi kebijakan, pendidikan politik & kewarganegaraan, paralegal, kebijakan sumber daya alam, organisasi masyarakat serta

otonomi desa. Kini, dia aktif bekerja di Swandiri Institute.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan,

kehutanan dan sumber daya alam lainnya. PWYP Indonesia terafiliasi dalam kampanye global Publish What You Pay. Berdiri sejak tahun 2007, dan terdaftar

sebagai badan hukum Indonesia sejak tahun 2012 dengan nama Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstraktif. Aktivitas PWYP Indonesia di sepanjang rantai nilai sumberdaya

ekstraktif berfokus pada transparansi dan akuntabilitas fase sebelum kontrak dan operasi pertambangan (publish why you pay and how you extract); fase produksi dan menghasilkan pendapatan negara (publish what you pay); fase pemanfaatan

pendapatan ekstraktif untuk kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan (publish what you earn and how you spend).

Website: www.pwyp-indonesia.orgEmail: [email protected] Fanpage: Publish What You Pay Indonesia Twitter: @PWYP_Indonesia