lapsus anak asma monica
TRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
I.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Armelita
Tanggal Lahir : 27 Agustus 2011
Umur : 2 tahun 6 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Asrama Armed XI, Gelangan, Magelang Tengah
Agama : Islam
Tgl. masuk RS : 16 Maret 2014 pk. 20.10
I.2. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
Keluhan Utama : batuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak kemarin malam. Batuk seperti
ada dahaknya tetapi sulit keluar. Batuk dirasakan terus menerus. Batuk disertai
juga dengan pilek. Setiap batuk pasien juga merasa sesak. saat sesak suara nafas
terdengar grok-grok dan ngik-ngik. Saat sesak pasien masih bisa berbicara.
Pasien memiliki riwayat sesak sejak kecil. Tapi dalam 1 bulan terakhir baru kali
ini mengalami serangan sesak. sesak nafas sering timbul terutama saat pasien
terpapar udara dingin atau saat pasien flu.
Pasien sudah di nebul 4 kali. 2 kali kemarin (pagi dan sore) dan hari ini 2
kali (pagi dan sore) tapi dahak tidak keluar dan pasien tetap batuk dan sesak.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak kemarin. Mual tidak ada. Muntah
tidak ada. BAB mencret 3 kali kemarin sudah diberi L-bio hari ini sudah tidak
mencret. BAK lancer. Makan dan minum baik.
1
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sesak sebelumnya (+) terutam saat udara dingin. Riwayat alergi
sebelumnya (-), tidak ada riwayat batuk lama dan demam terus-menerus dan
tidak ada kontak dengan penderita batuk lama, riwayat kejang (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat asma disangkal, riwayat alergi (-), riwayat kejang (-)
Makanan/Gizi
ASI sampai usia 6 bulan, kemudian dilanjutkan dengan tambahan susu
formula. Pasien seminggu belakangan ini sering mengkonsumsi es
nutrisari.
Tumbuh kembang
Tidak ada keterlambatan dalam tumbuh kembang
Imunisasi
Imunisasi lengkap (Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, Campak)
Kepribadian
Pasien termasuk anak yang aktif.
Lingkungan Rumah
Lingkungan bersih, tidak terlalu ramai, tidak kotor, rumah memiliki
ventilasi dan pencahayaan cukup, tidak lembab. dan tidak menggunakan
tempat tidur atau bantal terbuat dari kapuk. Tapi pasien sangat suka tidur
dengan boneka.
I.3. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis/ 15 ; Berat Badan : 12 kg
Vital sign
Nadi : 116 kali/menit
Pernafasan : 36 kali/menit
Suhu : 37.8oC
Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada hematom,
suhu raba panas, turgor kulit baik.
2
Rambut : Normocephal, warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut dan tidak mudah rontok.
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kedudukan bola
mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 2 mm, reflek cahaya
positif, edema palpebra tidak ada
Telinga : Bentuk normal, tidak ada sekret
Hidung : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum. sekret hidung (-),
nafas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa mulut basah, lidah kotor (-), bibir tidak kering, tidak
tampak sianosis
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil TI – TI tenang
Leher : Simetris, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, JVP
tidak meningkat
Thorak : Bentuk normal (Normochest), simetris, retraksi (+)
Paru
- Inspeksi : Dinding dada simetris, tampak sedikit retraksi
supraklavikula dan interkostal, terlihat adanya
penggunaan otot dada untuk pernafasan secara
aktif
- Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris
Ekspansi dinding dada kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang
paru, terdapat rhonki di pulmo dekstra dan
sinistra, terdapat wheezing di pulmo dekstra dan
sinistra. ekspirasi memanjang
Jantung
- Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus Cordis teraba
- Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung
- Auskultasi : Bunyi jantung I > II,reguler, murmur (-), gallop (-)
3
Abdomen
- Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan, tidak ada acites,
tidak ada gerakan otot abdomen untuk bernafas
- Auskultasi : Bising usus 4x/menit
- Palpasi : Lunak, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba
pembesaran dan lien tidak teraba pembesaran,
turgor kembali cepat
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Tidak ada tanda acites
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), capillary refill <2 detik
I.4. DAFTAR MASALAH
Subjektif
1. Sesak nafas
2. Mengi
3. Batuk berdahak
4. Demam
5. Pilek
6. Riwayat diare
7. RPD : sesak, mengi
Objektif
1. Nadi : 116 x/menit
2. Pernafasan : 36 x/menit
3. Thorak : Retraksi (+), penggunaa otot bantu nafas, rhonki dan wheezing di
kedua lapangan paru
I.5. ASSESMEST
Asma Bronkial Derajat Sedang
4
I.6. PLANNING
Planning diagnostik
- Darah Lengkap
- Urin Lengkap
- Thorax foto
- Uji provokasi bronkus
Planning terapi
- Infus D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
- 02 2 lpm k/p
- Injeksi Tirdicef 3 x 1/3g
- Inj. Norages 3x100mg
- Fartolin 3x2ml+NaCl 1ml
- Kalmet 3x1/4amp
- Diet TKTP & BSTIK
Jika diare
- Lacto b 2x1
- Orezync 1x1 cth
Planning monitoring
- Keadaan umum
- Tanda vital
- Efek samping obat
Planning Edukasi
- Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma
secara umum dan pola penyakit asma.
- Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi
faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap
alergen debu,makanan, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.
- Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang
mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas
seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.
5
Hasil Follow Up
TANGGAL S O A P17 Maret 2014 - Demam (+) tadi
malam- Batuk masih dan
terbangun malam hari karena batuk
- Pilek (+)- Sesak (+)- Nyeri perut (-)- Makan dan minum
baik- BAB dan BAK
normal
- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :
N : 128 x/mnt RR : 44 x/mnt S : 37.0˚C
- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)
- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (+/+), Wheezing (+/+)
- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium
(-). H/L tidak teraba, P : timpani
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik
- Obs. Febris hari ke 3Dd/ ISPA
- Asma serangan derajat sedang
- Planning diagnostik : Darah lengkap Urin Lengkap Rontgen thoraks
- Planning terapi :Suportif
D5 ¼ NS 1000 ml / 24 jam
Kausatif Tirdicef 3x 7500mg
Simtomatik Inj Norages 3x100 Fartolin
3x2ml+NaCl 1mljika mencret
Lacto b 2x1 Orezync1x1cth
6
Hasil Laboratorium 17 Maret 2014
Diff Count
Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi
% Lym 32.0 % 17-48 # Lym 1.4 103/mm3 1,2-3,2
% Mid 12.7 % 1-15 # Mid 0,5 103/mm3 0,3-0,8
% Gra 55.3 % 43-76 # Gra 2.4 103/mm3 1,2-6,8
7
Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi
WBC 4.3 103/mm3 3,5-10
RBC 4.70 106/mm3 3,80-5,80
HB 10.7 g/dl 11,0-16,5
HCT 29.9 % 35,0-50,0
PLT 195 103/mm3 150-450
PCT 0,19 % 0,100-0,500
MCV 63.7 um3 80-97
MCH 22.7 pg 26,5-33,5
MCHC 35.7 g/dl 31,5-35,5
RDW 12.0 % 10,0-15,0
MPV 10.2 um3 6,5-11,0
PDW 6.8 % 10,0-18,0
TANGGAL S O A P17 Maret 2014 - Demam (-)
- Batuk (+)- Sesak (+)- Sudah tidak
terbangun malam karna batuk dan sesak
- Pilek (+)- Makan sedikit
berkurang. Minum baik
- Bab dan bak normal
- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :
N : 124 x/mnt RR : 36 x/mnt S : 36.0˚C
- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)
- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (+/+), Wheezing (+/+)
- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium
(-). H/L tidak teraba, P : timpani
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik
- Obs. Febris hari ke 4Dd/ ISPA
- Asma serangan derajat sedang
- Planning terapi :Suportif
D5 ¼ NS 1000 ml / 24 jam
Kausatif Tirdicef 3x 7500mg
Simtomatik Inj Norages 3x100 Fartolin
3x2ml+NaCl 1ml
Pk. 12.40Inf. di affAntibiotic diganti Cefilla 2x2,5ml
8
9
TANGGAL S O A P19 Maret 2014 - Demam (-)
- Batuk (+)- Sesak (-)- Sudah tidak
terbangun malam karna batuk dan sesak
- Pilek (+)- Makan sedikit
berkurang. Minum baik
- Muntah 1 kali- Bab dan bak normal
- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :
N : 120 x/mnt RR : 32 x/mnt S : 36.2˚C
- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)
- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (-/-), Wheezing (+/+)
- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium
(-). H/L tidak teraba, P : timpani
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik
- Obs. Febris hari ke 4Dd/ ISPA
- Asma serangan derajat sedang
- Planning terapi : Fartolin
3x2ml+NaCl 1ml Cefilla 2x2,5ml
Pasien boleh pulang Cefilla 2x2,5ml Puyer
- Salbutamol- MP
Ambroxol syrup
10
11
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh
proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi
kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang
menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk
terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas
obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun
dengan terapi.3
Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah
gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan
seperti, sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan
episode mengi (wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam hari atau dini hari.3
Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan
bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi
lain pada pasien dan/atau keluarganya.5
Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik :
1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa
pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran nafas kronik
3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan
12
B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO(3,4,6)
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
a. Hiperreaktivitas jalan napas
Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel
inflamasi.
b. Atopi/ alergi bronkus
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma
persisten dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa
sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma
c. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali
lipat anak perempuan.
d. Ras/ etnik
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens
asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dan sebagainya)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma
13
j. Perubahan cuaca
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 3,4,7
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu
binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal
aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara,
alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis,
tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan
gastroesofageal refluks).
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun
2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5
sampai 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas
prevalensi asma pada laki-laki sama dengan perempuan. World Health
Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat
asma. Sedangkan berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi.2
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap
sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat
(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
14
Pada pasien ini kemungkinan fakto pencetusnya adalah faktor lingkungan yang diketahui berupa cuaca dingin. Dan adanya infeksi pada saluran pernafasan.
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan
164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.7
D. PATOGENESIS3,7,8
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan
jalan nafas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak
semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula
pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama
kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade
pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopi terkait
lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.
Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang
terdiri dari 3 fase, yaitu:
1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.
15
Pasien adalah anak berjenis kelamin perempuan yang memiliki prevalensi serangan asma lebih rendah daripada anak laki-laki.
Gambar 1. Patofisiologi Asma
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik berperan
sebagai Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel
dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk
jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori.
Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel
B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang
dilepas diikat oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan
alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,
memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan
basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan
anafilaksis.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu
proses inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses
16
inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula
proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian
proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan
maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma.
Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses
17
inflamasi kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan
hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik,
terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus.Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.
E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8
E.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi
seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan
oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan
asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari
otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.
Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret
yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
18
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja
otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
E.2. Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi
sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
19
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.
E.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai
pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan
saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang
timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan
timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.
Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.
E.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
20
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja
tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi
yang mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel
Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena
adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).
F. DIAGNOSIS3,4,7
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
gejala batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam
atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat
asma dan/ atau atopi pada pasien atau keluarga.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau
dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.
21
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
F.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala
yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya
tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit
mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.
F.2 Pemeriksaan Fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam
batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing
terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut
nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak
22
Pada pasien didapatkan hasil anamnesis berupa gejaa batuk progresif serta adanya sesak nafas dan sudah mengganggu aktivitasnya sehingga masuk ke RS, serta terdapat mengi saat sesak.
dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi lebih
panjang dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas wheezing.
F.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru
bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya
penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi
positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.
Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi,
diameter aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang
melebar dan diafragma tertekan ke bawah.
F.4 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma
23
Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak sesak, retraksi ICS, ronkhi, wheezing saat ekspirasi dan ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu nafas.
F.5 Derajat Serangan Asma
24
Pada pasien ini, dari gejala dan tanda merupakan asma derajat sedang episode jarang.
F.5 ALUR DIAGNOSIS ASMA
25
Batuk dan/mengi
Tidak
Berhasil
26
Riwayat Penyakit
Pemeriksaan fisik
Tidak jelas asma:
Timbul pada masa neonates Gagal tumbuh Infeksi kronik Muntah/tersedak Kelainan fokal paru Kelainan system kardiovaskular
Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau spirometer
Pertimbangkan pemeriksaan:
Rontgen thorax dan sinus Uji fungsi paru Uji respons terhadap
bronkodilator Uji provokasi bronkus Uji imunologik Pemeriksaan motilitas Pemeriksaan refluks
gastroesofagus
Patut diduga asma:
Episodik Nokturnal Pasca aktivitas berat Riwayat atopi pasien/keluarga
Berikan Bronkodilator
Diagnosis kerja: Asma
Tentukan derajat dan pencetusnya
Berikan obat asma: bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis
dan ketaatan berobat
G. DIAGNOSIS BANDING (Mengi)
(a) Bronkiolitis
(b) Wheezing yang berkaitan dengan batuk dan pilek
(c) Pneumonia
(d) Benda asing
H. TATALAKSANA ASMA 3,9,10
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi
genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Mengupayakan aktivitas normal dimana pasien dapat menjalani
aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan berolah
raga.
2. Mencegah eksaserbasi akut sehingga pasien sedikit mungkin absensi di
sekolah.
27
3. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, dalam hal ini gejala
tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
yang dapat dinilai dari uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada
variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Mencegah efek samping obat, terutama yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak.
7. Mencegah kematian karena asma
Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu
terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.
H.1 Terapi Non-Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi
kepada pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat
penting dan perlu mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan
morbiditas asma.
Edukasi pasien asma dapat meliputi:
1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma
secara umum dan pola penyakit asma.
2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi
faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap
alergen debu, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.
3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang
mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas
seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.
28
H.2 Tatalaksana Medikamentosa
Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan
maupun terapi untuk jangka panjang.
29
Tujuan tatalaksana saat serangan:
1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
2. Mengurangi hipoksemia
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah
tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila
perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah
tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan
yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8
minggu.
Obat – obat Pereda (reliever)9
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma
akut pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas(10).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan
perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot
polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek
lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
30
b. Epinefrin/adrenalin9
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak
ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor
β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek
samping, terutama pada jantung dan sistem saraf pusat.
c. β2 agonis selektif9
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam.
2) Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam.
3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi
kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum
15 mg/jam).
5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30
menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5
jam. Pemberian inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1
menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat
karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal
obstruksi jalan napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering
terjadi.
1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit,
dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
31
2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10
menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan
infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
d. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas
keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan
kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl
xanthine adalah teofilin dan aminofilin.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian
teofilin (intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri
setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Methyl xanthine didistribusikan keseluruh
tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia :
a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
32
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi
dengan nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih
baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 – 10 tetes.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.
3. Kortikosteroid10
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
a. Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam
untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12
– 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai
bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin
dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan
basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vaskular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena
(IV) yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu
dapat digunakan Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB
tiap 4 – 6 jam. Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan
33
dengan dosis 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8
jam.
Obat untuk Nebulisasi
No. Nama Generik Sediaan Dosis Nebulasi
1. β Agonis
Fenoterol
Salbutamol
Terbutalin
Solution 0,1%
Nebule 2,5 mg
Respule 2,5 mg
5-10 tetes
1 nebule
1 respule
2. Antikolinergik
Ipatropium Bromida Solution 0,025% > 6 tahun: 8-20 tetes
< 6 tahun: 4-10 tetes
3. Steroid
Budesonide Respule
Sediaan Steroid untuk Serangan Asma
No. Nama Generik Sediaan Dosis
1. Steroid Oral
Prednisolon
Prednison
Triamsinolon
Tab 4 mg
Tab 5 mg
Tab 4 mg
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
2. Steroid Injeksi
Metilprednisolon
Hidrokortison
Deksametason
Betametason
Vial 500 mg
Vial 100 mg
Ampul 4 mg
Ampul 4 mg
30 mg/kgBB dalam 30 menit
4 mg/kgBB tiap 6 jam
0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam
0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat – obat Pengontrol (controller)10
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, ,
dan long acting oral β2-agonist.
34
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang
paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat
digunakan sampai 400 ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan
dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene
Receptor Antagonist(LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor
Antagonist (LTRA) adalah sebagai berikut :
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
35
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada dua preparat LTRA :
1. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari. Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg.
2. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai
tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine.
Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih
baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan
steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi inhalasi kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket,
yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi
36
dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Pada pasien ini diberikan terapi : Infus D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
02 2 lpm k/p
Injeksi Tirdicef 3 x 1/3g
Inj. Norages 3x100mg
Fartolin 3x2ml+NaCl 1ml
Kalmet 3x1/4amp
Diet TKTP & BSTIK
Hindari faktor pencetus
2.7.2 Terapi Suportif
1. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
2. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama
dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon intravena (IV), secara
bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan
mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki
oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran
turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai
alveoli.
37
3. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta
efek diuretik teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat
terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan
terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak
inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
I. PREVENSI DAN INTERFENSI DINI 3
1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan,
mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu
rumah dan tungau.
2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
3. Menghindari makanan berpotensi alergen
J. KOMPLIKASI 1,3,4
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung
dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis
berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta
berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila
tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal
jantung, bahkan kematian.
38
K. PROGNOSIS3
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–
10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata
46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat
(6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti
sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI. 2009; h.5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumio D, et al. ASMA. Pedoman
Diagnonsis dan Penatalaksanaan di Indonesia: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. 2004
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI. 2009
6. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, et al. Global Initiative For Asthma.
Medical Communications Resources, Inc. 2006
7. Guill M. Asthma update: Epidemiology and Pathophysiology. Pediatric
and Review Article, volume 25. 2004,p 299-304
8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
9. Setiawati A, Gan S. Obat Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h 75-81
10. Suherman S K, Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h.
496-500.
40