makalah perpajakan

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri. Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara. Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah. Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang

Upload: operator-warnet-vast-raha

Post on 24-May-2015

1.231 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah perpajakan

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan

peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama

dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri.

Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan

penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna

membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem

perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat

dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi.

Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak

serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan

nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan

kesejahteraan bangsa dan Negara.

Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan

amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung

dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah.

Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah

pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama

dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social

oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan kehidupan dan kegiatannya,

sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai pengawas, pembina dan penyedia fasilitas.

Salah satu tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia adalah penerapan sistem

pemungutan pajak self assessment sebagai pengganti official assesment.

Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment,

merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan

pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari

migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai

pelengkap.

Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia,

peranan positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya (tax

compliance) menjadi semakin mutlak diperlukan.

Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak

hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan

adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan

Page 2: Makalah perpajakan

instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun

material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan

kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik

secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.

Melihat dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh

kepatuhan Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh

pelaksanaan pajak. Hal tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah

yang akan membahas sekilas tentang “PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM

DALAM PEMUNGUTAN PAJAK” yang akan Penulis tuangkan dalam Bab Pembahasan.

B.     Rumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul

secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan

masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat

dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana Self Assessment System di Indonesia, beserta dengan keuntungan dan

kerugiannya ?

2.      Bagaimana Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan?

3.      Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB ?

Page 3: Makalah perpajakan

B A B II

P E M B A H A S A N

A. Self Assessment System di Indonesia

Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan

sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official assessment

system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,

membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment

system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk

menentukan besarnya pajak terutang. Perbedaan antara official assessment system dan self

assessment system dapat dilihat pada

Tabel 1.

Perbedaan Official Assessment System dan Self Assessment System

OFFICIAL

ASSESSMENT SYSTEM

SELF ASSESSMENT

SYSTEM

Wewenang menentukan

Pajak terutang

Besarnya pajak terutang

ditentukan

oleh Fiskus

Besarnya pajak terutang

ditentukan

oleh Wajib Pajak

Peran Wajib Pajak Wajib Pajak bersifat pasif Wajib Pajak bersifat aktif

Peran Fiskus Fiskus bertindak aktif Fiskus hanya bertindak

sebagai fasilitator

Timbulnya pajak terutang Timbul karena

dikeluarkannya Surat

Ketetapan Pajak (SKP)

oleh Fiskus

Timbul karena UU dan

karena terjadinya

keadaan atau perbuatan

Sumber: Mardiasmo (2003)

Self assessment system merupakan suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Wajib Pajak diberi tanggung

jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang

perpajakan. Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi

penghitungan memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang

terutang sesuai dengan peraturan perpajakan dan atas dasar fungsi penghitungan Wajib Pajak

berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau

Kantor Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah melaporkan pembayaran dan berapa

Page 4: Makalah perpajakan

besar pajak yang telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sistem pemungutan yang

berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang

ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system

merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi

perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak

atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut

(Zain, 2003). Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: (1) Wajib

Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar

Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya

mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan,

dan (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.

Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang memberi kepercayaan

kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya kewajiban pajak

yang harus dibayar Wajib Pajak. Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui kebenarannya

sebelum Dirjen Pajak dapat membuktikan yang sebaliknya, karena didalam asas self

assessment ada unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka sebagai

konsekwensinya Dirjen Pajak harus menciptakan sistem kontrol secara memadai, sebab

pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan

wewenang.

Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk

melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan bukan obyek pajak, atau

harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam

pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi

Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab,

satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat

Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undan No.

16 tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat

Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan

untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib

pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa

neraca dan laporan laba rugi serta keteranganketerangan lain yang diperlukan untuk

menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai sarana untuk

melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya

terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) fungsi SPTadalah sebagai sarana

untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan

Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya

terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai dengan

Page 5: Makalah perpajakan

petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan perundangundangan perpajakan yang

berlaku. Pengisian SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang

bayar sehingga akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat

dan tidak menyampaikan SPTnya akan dikenakan sanksi administrasi yaitu:

a. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT Masa sebesar

Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00

(seratus ribu rupiah).

b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang bayar.

c. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan

yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

baya.

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan

pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN

atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan,

Mardiasmo (2003).

Fungsi dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan

pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib Pajak tidak serta merta

mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan

adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai

peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna

ganda, dan tidak terlalu sering berubah (Tarjo dan Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus

disampaikan kepada Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah.

Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh

pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang

terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah

fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang

sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak

berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau

kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang

telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Page 6: Makalah perpajakan

Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada

Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam

praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib

Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan

untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib

Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib

Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya

(Sadhani, 2004).

Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan self assessment system berhasil

dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana

ciri-ciri self assessment system adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungaanya,

mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib

pajak.

Adapun ciri self assessment system yang lainnya adalah sebagai berikut:

1. Wajib pajak melakukan peran aktif dalam melakukan kewajiban perpajakannya.

2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban

perpajakannya sendiri.

3. Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan, penelitian dan

pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui

pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan

yang berlaku.

Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua

aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak

harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan

pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena

menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan

peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian

perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang seharusnya dibayar.

Self assessment system dapat ditentukan dengan cara:

1.      Kepatuhan, kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah

faktor paling dominan dalam metode ini karena kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan

untuk menghindari kecurangan yang dilakukan wajib pajak.

2.      Kurang bayar dan lebih bayar pajak, kurang bayar pajak terjadi karena jumlah pajak

yang dibayar lebih kecil daripada jumlah pajak terutangnya sedangkan lebih bayar pajak

terjadi karena jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak terutangnya.

Page 7: Makalah perpajakan

3.      Menyetor, menghitung, dan melaporkan pajak merupakan rangakaian dalam kegiatan

unutk melaksankan kewajiban perpakannya.

B. Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan

Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah

Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan

Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-

undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-

undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah

positif atau negatif.

Menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-undang Nomor 17

tahun 2000 adalah sebagai berikut:

“Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan,

memotong atau memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah pajak yang harus

dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”.

Menurut Waluyo dalam bukunya Perpajakan Indonesia adalah:

“ Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui

sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang

terutang (Self Assessment System), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan

diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh

Wajib Pajak”.

Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib

Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang

No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi

negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang

keliru terhadap kedua Undang-undang itu.

C. Penerapan Sistem Self Assesment Dalam Pemungutan BPHTB.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat

dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau

Page 8: Makalah perpajakan

badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan

beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan

Lainnya.

Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar

pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,

dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang

Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib

Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada

adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan

Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang

termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang

berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi

kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan

menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan

melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”. (BPHTB Pasal 10

ayat 1 ) Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:

a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib

pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.

b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak

Kena Pajak (NPOPKP).

c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada

wajib pajak maupun kepada pejabatpejabat

umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan

kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai

pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.

e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak

diperkenankan.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar

5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai

Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek

Page 9: Makalah perpajakan

Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya

Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung BPHTB adalah sebagai

berikut:

BPHTB = Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif

= (NPOP – NPOP TKP) x 5%

Sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai

besarnya Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling

banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena

warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan

pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak

ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan

dalam ayat (2) memuat bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk

mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh beberapa orang

tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam pemungutan bea perolehan hak

atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan pajak pratama Surakarta.

1. Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi 5

(lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan Banjarsari. Lokasi

KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim Nomor 1 Surakarta 57147,

telepon (0271) 717522/718400/720821.

Kantor Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:

a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan

1 (satu) orang tenaga paramedis.

b. Lapangan tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga

karywan/wati.

c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai

dengan nama KPN Direktorat Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan

Page 10: Makalah perpajakan

kegiatan simpan pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil

DJP Jawa Tengah II.

d. Mushola yang teletak di belakang kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.

e. Kantin yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak

luar dengan menyewa tempat di kantor.

Jabatan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:

ü  Kepala Kantor

ü  Kelompok Jabatan Fungsional

ü  Sub bag Umum- Sie Waskon III

ü  Sie Ekstensifikasi

ü  Sie Waskon IV

ü  Sie PDI

ü  Sie Pemeriksaan

ü  Sie Pelayanan

ü  Sie Penagihan

ü  Sie Waskon I

ü  Sie Waskon II

ANALISIS

Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang penerapan sistem self

assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta

mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan perpajakan.

Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system

sebagai salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang

menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan

serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan

oleh perbuatan hukum jual-beli.

Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta,

dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank

persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.

Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau

Page 11: Makalah perpajakan

bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik

atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau

badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah

dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak

(NPOPTKP).

Penetapan Nilai

Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai

Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota

Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa

hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima

juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x 5%

= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%

( Sumber : KPP Pratama Surakarta)

Untuk lebih jelasnya penulis akan memberikan contoh penghitungan BPHTB kota

Surakarta.

Contoh :

1. Pada tanggal 7 Maret 2012, Bapak Bambang membeli sebidang tanah yang terletak di

Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,-

Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi

kewajiban Bapak Bambang tsb adalah : 5% x (50.000.000- 20.000.000) = Rp. 1.500.000,-

2. Pada tanggal 20 Mei 2012 Bapak Ahmad membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang

berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Surakarta dengan harga

perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut

ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP

ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh

Bapak Ahmad tersebut adalah: 5% x (600.000.000 - 20.000.000) = Rp. 29.000.000,-

Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self

assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai

Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang

Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak

yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Page 12: Makalah perpajakan

belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan

faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan

Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah

keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang

tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan

menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB)

yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti

setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar

pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama

untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya

peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi

dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek

pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di

Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua

tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk

bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Tabel 1.

Penerimaan BPHTB Kota Surakarta

Tahun 2006 S/d 2010

No Tahun Anggaran/Target Realisasi sampai dengan

Desember

Persen

1 2006 Rp.26.738.357.000 Rp. 13.656.104.000 51,07%

2 2007 Rp. 27.293.000.000 Rp. 21.802.606.000 79,88%

3 2008 Rp. 25.655.376.000 Rp. 30.366.526.176 118,36%

4 2009 Rp. 35.464.470.000 Rp. 39.568.136.752 111,57%

5 2010 Rp. 42.753.393.214 Rp. 43.688.716.095 102,19%

Rata-rata 92,62%

(Sumber : KPP Pratama Surakarta)

Page 13: Makalah perpajakan

Berdasarkan data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu pada

tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada realisasinya. Pada

tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan dalam

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun penerimaan yang signifikan tejadi

pada tahun 2008 selisih terbesar antara anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176

(empat miliar tujuh ratus sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam

rupiah). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:

1. Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan

permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;

2. Nilai Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);

3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea.

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi di

lapangan, adalah :

1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB). Mereka baru mengetahuinya setelah akan melakukan peralihan hak dan

mendapatkan penjelasan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.

2. Upaya menghindari pajak juga merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila

harga pasar atau nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan

menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai

Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha

menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak

(NJOP).

3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan

peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat

Setoran Bea Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.

Berdasarkan hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat

digambarkan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di

Kota Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud

antara lain:

Page 14: Makalah perpajakan

a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan

yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan

untuk disampaikan kepada warga masyarakat di desanya.

b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan

pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan,

tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan

melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu

ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self

assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe

administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi

Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan

pajak tersebut (Zain, 2003)

Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh

pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang

Page 15: Makalah perpajakan

terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah

fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang

sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak

berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau

kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang

telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada

Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam

praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib

Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan

untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib

Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib

Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya

(Sadhani, 2004).

Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah

Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan

Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-

undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-

undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah

positif atau negatif.

Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib

Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang

No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi

negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang

keliru terhadap kedua Undang-undang itu.

Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar

pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,

dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang

Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib

Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada

adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan

Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang

termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang

berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi

Page 16: Makalah perpajakan

kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan

menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan

melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”.

B. SARAN

Upaya-upaya yang diharapkan dapat dilaksanakan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan

sistem self assessment dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya syarat atau keharusan untuk cek Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

(SPPT) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sebelum transaksi jual beli dilakukan,

seperti halnya adanya syarat cek sertifikat ke Kantor Pertanahan sebelum penandatanganan

akta jual beli. Hal ini dimaksudkan untuk mencocokkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

(SPPT) dengan obyek pajak bahwa data yang tercantum dalam SPPT tersebut adalah data

atas obyek pajak yang dimaksud, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penggunaan Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas obyek pajak yang lain dan sekaligus berfungsi

sebagai laporan dari wajib pajak, sehingga secara bertahap tertib administrasi dapat terwujud

dan memperkecil kemungkinan wajib pajak tidak memiliki Surat Pemberitahuan Pajak

Terutang (SPPT).

2. Perlu koordinasi pihakpihak terkait pada Pelaksanaan Self Assessment System dalam

Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dalam hal ini adalah

PPAT/Notaris, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan Kantor Pertanahan, untuk

mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pembayaran pajak dan peran

sertanya menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan daerah melalui

pembayaran pajak sehingga dengan demikian penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan semakin meningkat.

Page 17: Makalah perpajakan

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Penerbit Andi Yogyakarta.

Sadhani, D. (2004). “Peran serta Akuntan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak”.

Makalah disampaikan pada Konggres Nasional Ikatan Akuntan Indonesia V. Yogyakarta, 12-

13 Desember 2004.

Tarjo dan Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan Wajib Pajak terhadap Fiskus, Kesadaran

Wajib Pajak terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akuntansi, dan Kepatuhan

Wajib Pajak”. Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi, Universitas

Widya Gama, Malang, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005, Hal. 119-136.

Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.