mow
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1 TINJAUAN MEDIS
1.1.1 Pengertian
Kontrasepsi menetap ialah setiap tindakan pada kedua saluran
reproduksi wanita yang mengakibatkan tidak akan mendapat keturunan lagi,
atas permintaan yang bersangkutan (Cunningham, 1995).
Sterilisasi menetap pada wanita adalah tindakan pada saluran
telur yang menghalangi pertemuan sel telur dengan sel sperma, sehingga
wanita tersebut tidak mungkin hamil lagi (Dikman, 1980).
Kontrasepsi menetap pada wanita adalah suatu kontrasepsi permanen
yang dilakukan dengan cara tindakan pada kedua saluran telur sehingga
menghalangi pertemuan sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma) (Rustam,
1995).
Kontrasepsi menetap atau sterilisasi adalah metode kontrasepsi yang
dilakukan dengan cara memotong atau mengikat atau menutup tuba untuk
menghambat pertemuan antara ovum dan sperma sehingga tidak terjadi
pembuahan (Bobak, 2004).
Kontrasepsi menetap pada wanita atau sterilisasi adalah tindakan pada
kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan tidak akan mendapat
keturunan lagi (Mochtar, 2005).
1.1.2 Ciri – ciri kontrasepsi menetap
Kontrasepsi menetap / sterilisasi merupakan metode KB yang paling
efektif, murah, aman dan mempunyai nilai demografi yang tinggi. Kontrasepsi
menetap mempunyai ciri – ciri :
1) Sifatnya relatif permanent, artinya untuk melakukan rekanalisasi
memerlukan waktu dan biaya.
2) Perlu dilakukan konseling yang mantap karena metode ini sifatnya
permanen.
3) Dalam jangka panjang relatif murah, aman dan tanpa komplikasi.
1.1.3 Waktu pelaksanaan
Kontrasepsi menetap sebagian besar dilakukan pada saat wanita masih
di dirawat di rumah sakit, yaitu pada saat :
1) Setelah melahirkan.
2) Setelah keguguran.
3) Bersamaan dengan tindakan yang menggugurkan kandungan.
4) Pada saat operasi besar pada wanita diantaranya : bersamaan dengan
operasi melahirkan atau operasi kandungan.
5) Setiap saat dikehendaki.
1.1.4 Keuntungan dan kerugian
1) Keuntungan : wanita yang menjalani kontrasepsi menetap akan
mengalami dan mencapai klimakterium dalam suasana alami.
2) Kerugian : memerlukan operasi dan waktu yang lebih panjang.
1.1.5 Indikasi Sterilisasi
Indikasi berdasarkan usia dan jumlah anak :
1) Mengikuti rumus 120 : yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,
dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri. Misal umur ibu 30
tahun dan jumlah anak yang hidup 4 hasil perkaliannya adalah 120.
2) Mengikuti rumus 100 (jumlah anak x usia ibu = 100)
(1) Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup.
(2) Umur 30 tahun dengan 3 anak hidup
(3) Umur 35 tahun dengan 2 anak hidup
Secara umum indikasi sterilisasi sebagai berikut :
1) Indikasi medis umum : yaitu adanya gangguan fisik atau psikis yang akan
menjadi lebih berat jika wanita ini menjadi hamil lagi.
(1) Gangguan fisik : tuberkulosis pulmonum, penyakit jantung penyakit
ginjal, kanker payudara, multiple sclerosis, penyakit retikulosis dan
sebagainya
(2) Gangguan psikis: skizofrenia (psikosis), sering menderita psikose
nifas dan lain – lain.
2) Indikasi medis obstetrik : toksemia gravidarum yang berulang-ulang,
seksio sesaria yang berulang-ulang, histerektomi obstetrik, dan
sebagainya.
3) Indikasi medis genikologik : pada kesempatan operasi ginekologi dapat
pula dipertimbangkan sekaligus melakukan sterilisasi.
4) Indikasi sosial ekonomi : adalah indikasi berdasarkan beban sosial
ekonomi yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat.
1.1.6 Jenis dan Teknik Sterilisasi Menetap
1) Berdasarkan tujuannya macam sterilisasi dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Sterilisasi hukuman (compulsory sterilization)
(2) Sterilisasi eugenic : untuk mencegah kelainan mental berkembang
turun temurun.
(3) Sterilisasi medis : dilakukan dengan indikasi medis demi keselamatan
wanita tersebut karena suatu kehamilan berikutnya akan
membahayakan jiwanya.
(4) Sterilisasi sukarela (voluntary sterilization) : bertujuan ganda dari
sudut kesehatan, sosio ekonomi dan kependudukan.
2) Berdasarkan tekniknya macam sterilisasi dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Cara memotong saluran telur (tubektomi)
a) Cara Pomeroy
Merupakan metode yang paling sederhana dan cukup efektif
dalam melakukan sterilisasi abdominal. Hal yang umumnya
dianggap penting adalah penggunaan catgut untuk mengikat
gulungan tubafalopi. Tuba diangkat hingga membentuk
lengkungan dan dasarnya diklem. Dilakukan pemotongan pada
bagian atas ikatan. Selanjutnya ujung-ujung tuba yang dipotong
akan terpisah dan terbungkus oleh jaringan fibrosis yang
terbentuk. Angka kegagalan 0 – 0,4 %. Cara ini paling banyak
digunakan dibandingkan dengan cara yang lainnya.
b) Cara Kroener
Pengangkatan semua fimbria untuk menghasilkan sterilisasi.
Kroener melakukan ikatan ganda pada tuba falopi dengan jahitan
sutra dan kemudian mengeksisi ujung fimbria. Angka kegagalan
pada teknik ini sangat kecil bahkan tidak akan terjadi kegagalan.
c) Cara Madlener
Buku tuba dirusak dan diikat dengan jahitan yang tidak bisa
diserap namun tidak direseksi. Angka kegagalan besar mencapai
7%.
d) Cara Aldridge
Cara ini dengan membuat insisi kecil pada ligamentum latum,
kemudian fimbrae dimasukkan kedalamnya, setelah itu dilakukan
penjahitan. Dengan cara ini kelak fimbria yang ditanam dapat
diambil kembali, bila sesuatu terjadi pada wanita (reversibel)
e) Cara Erving
Metode ini paling kecil kemungkinannya mengalami kegagalan.
Prosedurnya meliputi pemotongan tuba fallopi dan pemisahan
kedua potongan tuba dari mesosalping sehingga cukup untuk
menimbulkan segmen medial tuba tersebut yang ujungnya
ditanam di dalam terowongan pada miometrium di sebelah
posterior. Segmen lateral pendek yang ujung proksimalnya
kemudian ditanam di dalam mesosalping. Metode ini memerlukan
lapang bedah yang cukup luas dan kecenderungan perdarahan
lebih besar.
f) Cara Uchida
Prosedurnya dengan mencari tuba kemudian disuntikkan larutan
salin adrenalin agar mesosapling menggelembung. Setelah itu
dilakukan insisi, kemudian tuba dikeluarkan, dilakukan
pemotongan dan diikat. Dengan demikian puntung – puntung
akan berada di bawah serosa. Kegagalan metode ini sangat kecil
dan bahkan tidak ada kegagalan.
Sterilisasi dilakukan kebanyakan 24 – 48 jam pasca persalinan.
Keuntunganya adalah teknik sederhana, dapat dilakukan di lipatan
pusat dengan alasan estesis dengan luka kecil, sehingga parut
tersembunyi di lipatan pusat dan lama perawatan di rumah sakit
menjadi lebih cepat.
(2) Cara membakar saluran telur (aliran listrik)
a) Fulgurasi
b) Koagulasi
c) Kauterisasi
(3) Cara menjepit saluran telur.
a) Dengan klip
Klip filship memiliki keuntungan dpat digunakan pada tuba yang
edema. Klip hulka-clemens digunakan dengan cara menjepit
tuba. Karena itu klip tidak memperpendek tuba, maka
rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.
b) Dengan cincin : cincin falope (yoon)
Cincin falope (yoon ring) dibuat dari silicon. Dengan aplikator
bagian istmus tuba ditarik dan cincin dipasang pada bagian tuba
tersebut. Setelah dipasang, lipatan tuba tampak keputih-putihan
karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi
fibrotik.
(4) Cara menyumbat dan menutup saluran telur
Dengan memakai bahan kimiawi seperti perak nitrat, plastik,
zinkchlorida, quinacrine dan sebagainya.
(5) Sterilisasi Endoskopi
a) Sterilisasi kuldoskopi
(a)Prinsip kuldoskopi
Kuldoskopi adalah suatu cara operasi untuk mencapai tuba,
melalui insisi pada forniks posterior atau pungsi pada cul de
sac dengan visualisasi alat kuldoskop.
(b)Kontra indikasi
i) Kontra indikasi mutlak
(i) Peradangan dalam rongga panggul.
(ii) Peradangan liang senggama akut (vaginatis-servisitis
akut)
(iii) Kavum Douglasi tidak bebas, ada perlekatan.
(iv) Kelainan adneksa patologik.
(v) Penyakit kardiovaskuler berat, penyakit paru berat
(akan menyulitkan dalam posisi genu pectoral)
(vi) Penyakit lain yang tidak mungkin akseptor dalam
posisi genu pectoral.
ii) Kontraindikasi relatif
(i) Obesitas berlebihan.
(ii) Bekas laparatomi
(c)Komplikasi
i) Komplikasi durante operationum
(i) Waktu memasukan alat mungkin mengenai organ
pelvis, rektum dan menimbulkan perdarahan dan syok.
(ii) Sesak nafas (apnea)
ii) Komplikasi pasca bedah.
(i) Nyeri perut, perut kembung, nyeri dada, nyeri bahu.
(ii) Infeksi dan febris.
(iii) Disparenea karena pertumbuhan jaringan granulasi
pada bekas luka laparatomi.
Pada penggunaan prosedur ini salah satu hal yang masih kurang
diterima oleh masyarakat adalah posisi nungging (genu pectoral).
b) Sterilisasi laparaskopi
Laparaskopi adalah cara visualisasi rongga perut dan panggul
melalui insisi kecil pada dinding perut setelah dibuat
pnemoperitonium.
(6) Teknik okulasi tuba
a) Macam-macam
(a)Determi unipolar : koagulasi, koagulasi dan potong.
(b)Determi dipolar : koagulasi, potong dan eksisi.
(c)Non elektris : hilka klip atau falope dan yoom ring.
b) Kelebihan
(a)Visualisasi yang luas dan teliti pada alat – alat pelvis.
(b)Untuk diagnostik.
(c)Merupakan indikasi untuk penderita yang liang senggamanya
sempit, dimana tidak mungkin dengan kuldoskopi.
(d)Posisi penderita dapat diubah lebih mudah.
c) Keuntungan
(a)Waktu pembedahan dan perawatan singkat.
(b)Biaya relatif murah.
(c)Umumnya tanpa menginap di rumah sakit.
(d)Angka kegagalan sangat rendah
(e)Dikerjakan dengan anestesi lokal atau umum.
(f) Mempunyai nilai diagnostik
(g)Gangguan pada akseptor minimal sekali.
(h)Luka kecil, cepat sembuh dan mempunyai nilai kosmetis.
d) Komplikasi
(a)Kebakaran : pada operator dan staf kamar bedah, pada kulit,
usus, dan alat – alat lain penderita, dikarenakan voltage yang
tinggi.
(b)Perdarahan : pada tempat tusukan, pada pembuluh darah
mesosalping, pada tempat pemotongan tuba, pada organ lain
yang terkena.
(c)Pengaruh pnemoperitoneum dan gas CO2.: hiperkapnea,
aritmia jantung, gangguan pernafasan.
(d)Komplikasi anestesi : trakheitis, reaksi obat – obatan anestesi,
kegagalan kardiovaskuler.
(e)Penempatan gas salah : dalam ruang supraperitonial, dalam
lambung.
(f) Komplikasi berat : perforasi pada organ – organ (usus,
lambung, aorta), perforasi kista.
(g)Kegagalan operasi salah elektrokoagulasi (ligamentum
rotundum disangka tuba), salah seleksi penderita (sebelumnya
penderita telah mulai hamil, terjadi rekanalisasi dikemudian
hari).
(h)Komplikasi lainnya : emboli udara, pneumothoraks, emfisema
mediastinalis.
e) Perawatan pasca bedah
(a)Pengawasan selama 1 jam di kamar pulih, duduk, dan latihan
mobilisasi.
(b)3 – 4 jam keadaan penderita tenang maka boleh diijinkan
pulang
(c)Anjurkan tidak melakukan koitus selama 1 minggu pertama.
(d)Perawatan luka seperti perawatan pasca operasi biasa.
(7) Sterilisasi histeroskopi
Cara ini dengan dengan melakukan penyumbatan tuba secara
kimiawi dengan alat yang disebut histereskop. Zat yang digunakan
fenol, perak nitrat, khlorid seng, asam salisilat atau plastik oklusif
dan quniakrin.
(8) Sterilisasi Mini Laparatomi
a) Prinsip operasi
Minilaparatomi (minilap) adalah suatu cara operasi kecil untuk
mencapai saluran telur, melalui sayatan minimal 1 – 2,5 cm pada
dinding perut.
b) Saat operasi yang tepat
(a)Pasca persalinan, dilakukan 24 – 48 jam pasca persalinan,
karena bila lebih akan terjadi edema pada tuba.
(b)Pasca keguguran, dapat dilakukan segera.
(c)Masa interval, dalam 2 minggu perta siklus haid, atau setelah
lebih dari dua minggu, asal koitus telah dilindungi dengan
kontrasepsi lain atau tidak melakukan koitus.
c) Lokasi sayatan
(a)Di bawah atau di atas lipatan pusat pada pasca persalinan dini.
(b)Di inea alba pada postpartum dalam 24 – 48 jam sedangkan
rahim telah mulai agak mengecil.
(c)Supra pubik (supra simfiser) pada masa interval dan pasca
keguguran.
d) Persiapan pra – bedah
(a)Puasa kurang lebih 6 jam pra bedah.
(b)Sebelum tidur makan obat pencahar untuk mengosongkan
perut (dulcolax 2 tablet).
(c)Lakukan skern (pencukuran rambut pubis), dan dibersihkan
dengan sabun
(d)Datang ke rumah sakit sesuai jadwal.
e) Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dijumpai pada minilap :
(a)Perforasi rahim, bila pemasangan dan menyetel elevator
kurang hati – hati.
(b)Ruda paksa pada kandung kemih misalnya bila kurang
memahami anatomi kandung kemih maka kandung kemih
dapat tergunting.
(c)Trauma pada usus.
(d)Infeksi lokal pada luka operasi atau infeksi umum bila bekerja
tidak suci hama.
(e)Reaksi obat, misalnya alergi terhadap prokain, novokain dan
sebagainya, bahkan dapat terjadi idiosinkrasi sampai syok.
1.1.7 Cara Mencapai Saluran Telur
1) Melalui vagina
(1) Sterilisasi kuldoskopis.
(2) Sterilisasi kolpotomi posterior.
(3) Sterilisasi histerektomi.
2) Melalui dinding perut (abdomen)
(1) Sterilisasi laparaskopi.
(2) Sterilisasi minilaparatomi.
(3) Sterilisasi laparatomi.
1.1.8 Perawatan Pasca Bedah
1) Analgesik diberikan setelah sterilisasi yang dilakukan dalam masa nifas
untuk mengatasi rasa sakit pada abdomen. Wanita multipara biasanya
tambah parah dengan adanya nyeri uterus setelah melahirkan.
2) Dalam waktu 8 jam sudah diperbolehkan melakukan mobilisasi, makan
makanan yang biasa, merawat serta meneteki bayinya.
1.1.9 Komplikasi Pada Sterilisasi
Problem utama yang menyertai sterilisasi tuba adalah :
1) Komplikasi etika.
2) Koagulasi tanpa dikehendaki pada struktur yang penting.
3) Kadang kadang dijumpai emboli pulmonar.
4) Kegagalan menghasilkan kemandulan sehingga mengakibatkan terjadinya
kehamilan yang ektopik, yang ditangani secara keliru
5) Kematian : penyebab utamanya adalah anestesi umum tanpa intubasi
endotrakeal.
6) Memiliki kadar estradisol serum yang tinggi dan kadar progeteron serum
yang rendah.
1.2 Tinjauan Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
1) Kaji biodata klien
2) Kaji riwayat ibu tentang alat atau jenis kontrasepsi yang digunakan
sebelumnya.
3) Tetapkan nilai pengetahuan ibu tentang kontrasepsi dan komitmen
pasangan seksualnya terhadap tubektomi.
4) Kumpulkan data tentang data frekuensi koitus (sering atau beberapa kali
seminggu).
5) Apakah ibu memiliki satu atau lebih pasangan seksual dan sejauh mana
ibu memiliki keinginan melakukan hubungan seksual dan metode
kontrasepsi yang diinginkan.
6) Tentukan mitos, keyakinan dan faktor budaya yang ada
7) Respon verbal dan nonverbal ketika ibu mendengar tentang berbagai
metode yang tersedia. Juga catat dengan teliti.
8) Rencana kehidupan reproduksi setiap individu yang perlu
dipertimbangkan.
9) Surat persetujuan (setelah mendengarkan penjelasan yang cukup)
akronim BRAIDED (benefit, resiko, alternatif, inquiries, decisions,
explanations, dokumentasi)
10) Kaji mengenai adanya kontraindikasi terhadap pelaksanaan tubektomi
(1) Peradangan dalam rongga panggul.
(2) Peradangan liang sengggama akut ( vaginatis – servisitis akut )
(3) Kavum Douglasi tidak bebas, ada perlekatan.
(4) Kelainan adneksa patologik.
(5) Penyakit kardiovaskuler berat, penyakit paru berat (akan menyulitkan
dam posisi genu pektoral).
(6) Penyakit lain yang tidak mungkin akseptor dalam posisi genu
pectoral.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.
3) Kecemasan berhubungan dengan efek samping pembedahan.
4) Resiko tinggi perubahan pola seksualitas berhubungan dengan takut
hamil.
5) Distres spiritual berhubungan dengan ketidak cocokan keyakinan agama /
budaya dengan pilihan kontrasepsi.
1.2.3 Intervensi
1) Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : skala nyeri berkurang
antara 0 – 1, klien tampak rileks.
Intervensi Keperawatan :
(1) Observasi skala nyeri dengan metode PQRST
Rasional : untuk mengetahui skala nyeri.
(2) Berikan posisi yang nyaman pada klien
Rasional : Membantu mengurangi rasa nyeri.
(3) Dorong untuk menggunakan teknik relaksasi dan nafas dalam
Rasional : Meningkatkan istirahat, menghilangkan nyeri,
memusatkan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
2) Diagnosa : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi
infeksi atau infeksi dapat dicegah dengan kriteria hasil : tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, luka bersih dan kering.
Intervensi Keperawatan :
(1) Observasi keadaan luka pasien
Rasional : untuk melihat adanya tanda – tanda infeksi pada luka.
(2) Lakukan perawatan luka dengan prinsip aseptik
Rasional : membantu mempercepat proses penyembuhan luka dan
mencegah infeksi.
(3) Ajarkan klien teknik membersihkan dan merawat luka
Rasional : Untuk membantu mempercepat penyembuhan luka,
khususnya saat di rumah.
3) Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan efek samping pembedahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
cemas berkurang atau hilang dengan kriteria hasil : klien mengatakan
yakin dengan kontrasepsi yang dipilih dan mengatakan tidak cemas lagi.
Intervensi Keperawatan :
(1) Beri informasi yang jelas tentang tubektomi dan efek samping yang
akan terjadi
Rasional : Untuk memberikan keyakinan pada ibu tentang pilihanya.
(2) Beri dorongan semangat dan dukungan kepada klien
Rasional : untuk mengurangi rasa kecemasan klien
4) Diagnosa : Resiko tinggi perubahan pola seksualitas berhubungan dengan
takut hamil.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam rasa takut
klien untuk melakukan hubungan seksual dapat berkurang atau hilang
dengan kriteria hasil : klien mengatakan tidak takut lagi untuk melakukan
hubungan seksual, frekuensi hubungan seksual tetap seperti sebelum
melakukan tubektomi.
Intervensi Keperawatan :
(1) Diskusikan bersama klien tentang keuntungan dan kerugian tubek
tomi
Rasional : Membantu mengurangi rasa takut klien, serta meyakinkan
pada pilihan yang dipilih pasien.
(2) Diskusikan tentang bagaimana cara yang aman dalam melakukan
hubungan seksual
Rasional : Menambah pengetahuan klien.
5) Diagnosa : Distress spiritual berhubungan dengan ketidakcocokan
keyakinan agama atau budaya dengan pilihan kontrasepsi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien dapat
dengan yakin dengan penggunaan kontrasepsi yang dipilih, dengan
kriteria hasil : klien menyatakan paham tentang kontrasepsi yang dipilih.
Intervensi keperawatan :
(1) Diskusikan bersama klien tentang mitos, agama, atau budaya yang
dimiliki klien berkaitan dengan tubektomi.
Rasional : Membantu meyakinkan klien tentang kontrasepsi yang
dipilih.
1.2.4 Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan :
1) Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan.
(1) Skala nyeri berkurang antara 0 – 1
(2) Klien tampak rileks.
2) Diagnosa : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.
(1) Tidak menunjukkan adanya tanda – tanda infeksi.
(2) Luka bersih dan kering.
3) Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan efek samping pembedahan.
(1) Klien mengatakan yakin dengan kontrasepsi yang dipilih dan
mengatakan tidak cemas lagi.
4) Diagnosa : Resiko tinggi perubahan pola seksualitas berhubungan dengan
takut hamil.
(1) Klien mengatakan tidak takut lagi untuk melakukan hubungan
seksual.
(2) Frekuensi hubungan seksual tetap seperti sebelum melakukan
tubektomi.
5) Diagnosa : Distress spiritual berhubungan dengan ketidak cocokan
keyakinan agama/budaya dengan pilihan kontrasepsi.
(1) Klien menyatakan paham tentang kontrasepsi yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, Dikman & Dewata, Lila. Widohariadi. 1980. Penuntun Sterilisasi Wanita. Jakarta : Perkumpulan Untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia.
Badan Koordinasi KB Nasional. 1998. Rumor Kontrasepsi. Jakarta : EGC.
Bobak. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC.
Cunningham, F. Gary. 1995. Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 1995. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Satu. Jakarta : media Aesculapius.
Manuaba, Ida. 1999. Operasi Kebidanan, Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC.
Mochtar, Rustam. 2005. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo. Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Surya Online. 2005. Berjodoh Dengan Kontrasepsi. Terdapat pada http:// www.surya.co.id . (Selasa, 3 April 2007)