ntau la hajrah

33
BAB II PEMBAHASAN PENGKAJIAN FIKSI A. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Struktural Pendekatan structural memandang dan memahami karya dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Menurut Teeuw (1984) pendekatan structural memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri,bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ini memahami karya sastra secara Close reading (membaca karya sastra secara tertutup tampa melihat pengarangnya, hubungan dengan realitas , maupun pembaca). Analisis difokuskan pada unsure-unsur instrinsik karya sastra. Dalam hal ini setiap unsure dianalisis dalam hubungannya dengan unsure-unsur lainny. Pendekatan structural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia (1915-1930). Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk membebaskan ilmu sastra dari lingkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejaraah dan peniitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra dipahami dengan hubunganya dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, 1

Upload: didinkrastogidjavachanchad

Post on 16-Sep-2015

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dfwe

TRANSCRIPT

BAB II PEMBAHASAN

PENGKAJIAN FIKSI

A. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Struktural

Pendekatan structural memandang dan memahami karya dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Menurut Teeuw (1984) pendekatan structural memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri,bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca.

Pendekatan ini memahami karya sastra secara Close reading (membaca karya sastra secara tertutup tampa melihat pengarangnya, hubungan dengan realitas , maupun pembaca). Analisis difokuskan pada unsure-unsur instrinsik karya sastra. Dalam hal ini setiap unsure dianalisis dalam hubungannya dengan unsure-unsur lainny.

Pendekatan structural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia (1915-1930). Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk membebaskan ilmu sastra dari lingkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejaraah dan peniitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra dipahami dengan hubunganya dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, serta factor intrinsic lainnya (Teew, 1984; Wiyatmi, 2004)

Teeuw (1984) menguraikan, bahwa pendekatan structural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsure dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Lanjutan (sejarah) Pendekatan strukturalisme dalam karya sastra dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha ia mendapatpengaruh langsung dari teori Linguistik Ferdinand De Saussure. Konsep Saussure menganggap linguistik sebagai ilmu yang otonom, jika ditarik dalam ilmu sastra makakarya sastra juga memiliki sifatkeotonomian sehingga pembicaraanmengenai karya sastra tidak perlu dikaitkandengan ilmu-ilmu yang lainnya.

Tokoh-Tokoh dan Konsep Dasar Teori StrukturalA. Aristoteles Order berarti urutan dan Empat konsep Aristoteles yaitu : aturan. Urutan aksi harus teratur Unity berarti bahwa semua dan logis. unsur dalam plot harus ada, dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan Complexity berarti bahwa luasnya ruang keseluruhannya. lingkup dan kekomplekan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang logis untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun Coherence berarti bahwa sebaliknya. sastrawan tidak bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang benar terjadi, tetapi hal-hal

B. Ferdinand De Saussure linguistik merupakan ilmu yang otonom. karya sastra juga memiliki sifat keotonomian sehingga pembicaraan mengenai karya sastra tidak perlu dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya C. Kaum Formalis Tokoh-tokoh kaum formalis yaitu Jakobson, Shklovsky, Erchenbaum, Teori kaum formalis antara 1915 dan 1930 mengalami Tynjanov perkembangan. Konsep kaum formalis yaitu : Konsep yang sangat penting dalam pandangan kaum formalis adalah konsep dominan ciri yang paling menonjol menurut pendapat dan pengalaman mereka dalam sebuah karya sastra (seringkali pula dalam aliran atau zaman tertentu) aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil karya sastra. Konsep kaum formalis bersifat otonom artinya dapat dipahami sebagai kesatuan yang bulat.

Hakikat Strukturalisme Strukturalime merupakan salah satu pendekatan kesastraan yang lebih menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektif) dapat dipertentangkan dengan pendekatan lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik Abrams (dalam Haweks (dalam Nurgiantoro 2010:37), Nurgiyantoro, 2010:37). strukturalisme pada dasarnya dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia (baca: dunia kesusastraan) yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda.

Lanjutan (hakikat) Walaupun penganut strukturalisme ini bermacam-macam, namun di antara mereka terdapat kesatupahaman dalam memahami karya sastra, yaitu pada struktur. Robert Scholes membatasi struktur merupakan suatu cara untuk mencari kenyataan, bukan benda-benda secara sendiri-sendiri, melainkan dalam hubungan antarbenda-benda itu Teeuw mengatakan bahwa dasar struktur sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai kohesi intrinsik, dalam keseluruhan itu setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks (lingkaran hermeneutik). Dapat disimpulkan struktur merupakan suatu organisasi menyeluruh yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara fungsional, artinya bagian itu saling mempengaruhi, saling menentukan makna, dan hanya bermakna di dalam kesatuan.Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskripsikan fungsi hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya peristiwa plot, tokoh, latar atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto, 1986: 126). Analisis unsur-unsur mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar

Tujuan strukturlisme Menurut Nrgiantoro, (2010:37), pada dasarnya analissis struktural bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaiatan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analissi structural ini tidak hanya terbatas kepada menganalisisunsur intrinsiknya saja tetapi yang lebihpenting yaitu mengaitkan hubungan antarunsur tersebut, dan makan keseluruhan yangingin dicapai. Hal ini dilakukan karena karyasastra merupakan sesuatu yang kompleksdan unik.

Menurut Prinsip Dasar Pendekatan Struktural Teeuw (1984) adalah:

a. pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan unsur-unsur karya sastra yang membentuk makna menyeluruh (universal),b. pendekatan struktural tidak menjumlahkan unsur-unsur,c. pendekatan struktural berusaha menyematikkan termasuk menyemantikkan gejala bunyi dalam karya puisi, dand. pendekatan struktural menganggap bahwa keseluruhan makna karya sastra berada dalam Rene Wellek dan Warren(keterpaduan struktur total. menyatakan bahwa pendekatan struktural dalam menganalisis karya sastra harus mementingkan segi intrinsik dan anti ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1974:24) Kelemahan strukturalisme terletak pada keyakinannya yang terlalu berlebihan terhadap otonomi karya sastra. Akibatnya sejarah dan sosial budaya yang mengitari karya sastra tersebut terabaikan. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahannya akan mengakibatkan karya sastra kurang bermakna, atau keuntungan makannya sangat terbatas. strukturalisme yaitu memegang teguh kelengkapan, keterjalinan struktur dan otonomi karya sastra. Langkah-langkah Penerapan Teori Struktural untuk Memahami Karya Sastra Analisis struktural dalam karya sastra khususnya prosa fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi. Misalnya mendeskripsikan unsur intrinsik seperti plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Setelah itu kita mengetahui fungsi masing-masing unsur dalam menunjang keseluruhan dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga membentuk suatu makna yang padu. Keterpaduan ini dapat dilihat dari hubungan antar peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, kaitannya dengan pelompatan yang tidak kronologis, kaitannya dengan tokoh penokohan, dengan latar dan sebagainya.Dalam hal pembelajarannya terdapat juga pola pembelajaran apresiasi sastra yang berdasarkan pendekatan struktural menekankan pada pola penggunaan analisis. tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pemahama Rangkuman Pengenala dan n/ n informasi penyimpula menganalisi tentang n hasil s informasi struktur analisis struktur intrinsik untuk untuk karya memperoleh pembentuka sastra gambaran konsep makna

B. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan SosiologiPendekatan sosiologi adalah perkembangan dari jauh pendekatan mimetik, atau pendekatan ekstrinsik seperti yang diuraikan oleh Rene Wellek dan Austin Warren, meskipun tidak persis seperti itu.

Pendekatan sosiologi memanfaatkan hal-hal yang ditentang oleh golongan strukturalis. Bagi pengikut pendekatan sosiologis, karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarang dan latar belakang sosial budayanya.

Menurut Ratna (2009) sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sementara itu, Damono membagi pendektan sosiologis ke dalam dua kecenderunganbesar. Pertama, pendekatan sosiologis yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendektan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Dengan demikian, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar karya sastra.

Berdasarkan pada analisis struktur cerpen Tumpeng, berikut ini akan dipaparkan contoh analisis tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologis tipe kedua, yakni menelaah teks sastra terlebih dahulu secara objektif kemudian dipergunakan sebagai bahan untuk memahami lebih dalam lagi gejala yang ada di luar karya sastra itu agar makna cerpen tersebut lebih dipahami.

Untuk menganalisis karya sastra dengan pendekatan sosiologi hal pertama harus dilakukan adalah mencari permasalahan yang ada dalam cerpen tersebut. Agar pembicaraan tidak salah arah permasalahan yang dilontarkan dengan pertanyaan haruslah dibatasi persoalannya. Sementara itu, permasalahan dapat bermunculan apabila diawali dengan pembacaan yang lebih suntuk, serta penganalisisan lewat pendekatan struktur karya yang bersangkutan. Dalam hal ini cerpen tersebut, setelah dilakukan analisis muncullah permasalahan, mengapa Midas sebagai seorang putra bangsawan bertingkah laku seburuk itu. Seberapa jauh arus globalisasi memengaruhinya? Mengapa Sawitri mahasiswa pascasarjana di luar negeri, begitu sampai di depan Paman Kanjeng sepuh duduk bersimpuh, mengiyakan segala macam pendapat dan perintah Paman Kanjeng? Latar belakang budaya apa yang menyebabkan seperti itu? Bukankah ia seharusnya berubah, lebih rasional sebagaimana yang selalu diajarkan dalam pendidikan barat?

Pertanyaan yang menyangkut Sawitri inilah yang akan dicoba untuk dianalisis dengan pendekatan sosiologi. Untuk itu diperlukan bacaan lain yang ada hubungannya dengan sikap orang Jawa, yang juga sangat erat kaitannya dengan pribadi Paman Kanjeng Sepuh. Bagi orang Jawa bersikap tenang merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukkan kekuatan batin. Sikap tenang itu disebut alus. Alus (halus) berarti lembut, luwes, sopan, beradab, peka, dsb (Suseno, 1984).

Bagi yang tidak tahu kehalusan kelemahan, tetapi dalam kenyataannya, orang yang halus berarti orang yang dapat mengontrol dirinya secara sepurna, dan dengan demikian memiliki kekuatan batin. Orang tidak harus bersuara keras agar didengar, tidak harus memukul meja sambil marah-marah agar diperhatikan. Ia cukup memberikan perintah secara tidak langsung, dalam bentuk sindiran, usul, anjuran; yang kesemuanya itu sebenarnya sebagai perintah yang halus. Orang yang sungguh-sungguh berwibawa, tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha lahiriah.

Sebaliknya sifat kasar, cepat marah, berteriak dan mengamuk; menunjukkan kekurangan kekuatan batin. Oleh orang Jawa sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang control diri, dan lemah batinnya. Dalam pada itu prinsip hormat mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa teratur secara hirarkis. Ketaraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang wajib untuk memertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya (Suseno, 1984).

Dari beberapa kutipan di atas menjadi jelas mengapa Paman Kanjeng Sepuh memberi perintah persetujuan tentang akan diadakannya upacara tumpengan yang tidak secara langsung dikatakan kepada Midas, tetapi melalui Sawitri. Di sini sebenarnya tersirat ketidaksetujuan Paman Kanjeng diadakan upacara tumpeng. Jika Midas masih memiliki kepekaan sebagaimana anak-anak Jawa sejak kecil telah diajarkan prinsip wedi, isin dan sungkan, dengan pesetujuan yang diberikan oleh Paman Kanjeng secara tidak

langsung, seharusnya Midas mundur. Mengapa Midas justru senang, secara tersirat sebenarnya saat Sawitri menangis tersedu-sedu di pangkuan Paman Kanjeng.

. .. Perempuan itu tak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu diberikan di kala mereka kanak-kanak oleh sang ayah, adik Paman Kanjeng itu.

Dengan demikian, Midas sebetulnya tidak memiliki rasa wedi, isin, dan sungkan. Adapun rasa wedi, maksudnya bukan hanya takut terhadap ancaman fisik, tetapi terlebih-lebih sebagai rasa takut kepada akibat kurang enak karena suatu tindakan. Pertama-tama anak harus belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati, misalnya orang yang lebih tua dan terhadap orang baru kita kenal. Berikutnya, anak harus belajar untuk merasa isin, merasa malu, juga dalam arti merasa bersalah. Belajar untuk merasa malu adalah langkah pertama ke arah kematangan kepribadian Jawa. Orang jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.

Sementara itu, makin bertambah umur, anak Jawa selalu merasa sungkan, yaitu suatu perasaan yang dekat dengan rasa isin. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif, sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal.

Dengan demikian, tindakan-tindakan Midas sejak memarahi adiknya di depan Paman Kanjeng, meminta secara paksa kepada Paman Kanjeng agar memberikan tongkat antik berkepala naga yang terbuat dari emas untuk dikoleksi, tetapi ternyata dijual; dan memaksakan kehendaknya untuk melakukan uparaca tumpengan. Kesemuanya itu jelas telah melupakan ajaran orang tuanya yang berbentuk wedi, isin, dan sungkan. Jika meminjam pendapat Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang sering bertandan ke rumah Paman Kanjeng, . . bahwa yang indah tinggal pakaian. Sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi roso, ialah nilai-nilai kedalaman, sudah lama hilang..

Lalu apa hukumannya apabila ada seorang yang bertingkah seperti Midas. Lewat tuturan Sawitri dijabarkan ke dalam surat kawat singkat,

jangan kau siksa Paman Kanjeng. Beliau baik sekali kepada kita, kamu bisa kualat, terkutuk.

Diakhir kisah, Midas memang kualat, terkutuk. Upacara tumpengan yang bakal menghasilkan uang berbentuk dollar, musnah setelah tempayan yang dijinjingnya hancur berkeping-keping.

Bagaimana dengan tingkah laku Sawitri mahasiswa Amerika yang pulang riset di Yogya? Mengapa ia masih mau tidur di lantai, memijit-mijit Paman Kanjeng, sementara budaya Amerika

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkankenyataan.Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya)dalambentuk karya sastra. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.

C. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan ResepsiTanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut resepsi sastra yang lebih dikenal adalah kritik respons pembaca. Paradigma sastra ini menjelaskan bahwa makna karya sastra adalah hasil interpretasi yang dibangun, didirikan dan dikonstruksi oleh pembaca serta penulis terhadap sebuah teks pembacaan. Konsentrasi bereferensi pada tindak kreatif pembaca dalam memasukkan makna ke dalam teks sastra. Paradigma ini beranggapan bahwa orang yang berlainan akan menginterpretasikan karya sastra secara berlainan pula, dan begitu seterusnya

Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut estetika resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau persepsi pembaca terhadap karya sastra.

Menurut Abrams (1976: 6-7) pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra , pertama, karya sastra itu merpakan tiruan alam atau penggambaran alam. Orientasi ini merupakan pendekatan para ahli sastra sejak zaman Plato dan aristoteles (abad ke-4SM) yang menganggap karya sastra itu sebagai tiruan alam. Kedua, karya satra itu merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Orientasi ini adalah orientasi kaum Humani, kaum Thomis, dan kaum Marxis. Ketiga, karya sastra merupakan pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawan. Orientasi ini adalah orientasi kaum romantik yang menganggap karya sastra sebagai pancaran pribadi pengarang. Keempat, karya sastra itu merupakan sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya. Orientasi ini adalah orientasi pada Kritikus Baru, dan aliran Chicago (Abrams, 1981: 7).

Menurut Teeuw (1983: 59) karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, yaitu karya sastra ditujukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Di samping itu, pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilaia.

Seorang pembaca mengharapkan bahwa karya sastra yang dibacanya sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain mungkin berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan menganggapi karya sastra.

Menurut Segers (1978:41) ada tiga kreteria cakrawala harapan. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan yaitu, kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahannya tentang kehidupan.

Karya sastra merupakan penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal yang kecil-kecil tidak dapat diungkapkan, begitu juga hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut. Bahkan oleh Segers (1980:39) mengungkapkan bahwa makin banyak tempat yang kosong, karya sastra makin bernilai. Namun ada batasnya, yaitu kalau terlalu banyak yang kosong menyebabkan pembaca tidak dapat mengisinya. Cakrawala harapan dan tempat terbuka merupakan pengertian dasar untuk memahami estetika harapan.

Metode estetika resepsi berdasarkan teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jauss (1974: 12) apresiasi pembaca terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna histories karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap.

Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri. Sebuah karya sastra merupakan orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-suara baru di antara para pembacanya (Jauss, 1974:14).

Dalam metode estetika resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap priode, iaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah para kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada priodenya. Menurut Vodicka (1964: 78) yaitu ahli sejarah, para ahli estetika, dan para kritikus.

Para ahli sastra di setiap priode memberikan komentar-komentar berdasarkan konkretisasinya terhadap karya sastra yang bersangkutan. Kongkretisasi adalah istilah yang dikemukakan oleh Vodicka berasal dari Roman Ingarden yang berarti pengonkretan makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetika (Vodicka, 1964: 78-79).

Lanjut, Vodicka (1964: 78-79) mengemukakan bahwa para ahli sejarah sastra, para ahli estetika, dan para kritikus tidak selalu sama mengenai norma tunggal yang benar sebab memang tidak ada norma estetika tunggal yang benar. Efek estetika karya sastra sebagai keseluruhan, begitu juga konkretisasinya, tunduk kepada perubahan yang terus-menerus.

Kekuatan sebuah karya sastra tergantung pada kualitas yang dikandung secara potensial karya itu dalam perkembangan norma sastra, jika karya sastra dinilai positif, berarti karya tersebut mempunyai jangka hidup yang lebih panjang daripada sebuah karya yang efektivitas estetiknya habis pada masanya ((Vodicka, 1964: 79).

Seperti halnya yang dikemukakan oleh Segers (1978: 49) bahwa penelitian dengan metode estetika resepsi yaitu: (a) merekonstrksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan (2) meneliti hubungan di antara konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks histories yang memiliki konkretisasi- konkretisasi itu

Berangkat dari uraian tersebut, berikut akan ditampilkan tanggapan pembaca tentang novel Tarian Setan karya Saddam Hussein. Namun sebelumnya diperhatikan lebih dahulu sinopsis novel tersebut.1. Sinopsis Novel Tarian Setan karya Saddam HusseinJudulnya Tarian Setan, ini novel keempat Saddam. Sejak 2001, penguasa 24 tahun Irak itu menerbitkan satu novel setiap tahun. Semua novel menyajikan gaya dan tema yang senapas: perseteruan tiga agama langit di Timur Tengah pada abad ke- 6. Tarian Setan secara khusus mengaitkan diri dengan peristiwa "Selasa Kelabu", 9 September 2001, ketika dua pesawat Boeing 737 ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat.Ada sosok Hasqil si tamak, licik, dan haus kekuasaan yang bersekongkol dengan kepala suku adikuasa Romawi. Ada penaklukan suku-suku dan pemerasan rakyat yang menghasilkan menara kembar, tempat menimbun harta hasil memeras rakyat. Ada tokoh Salim, simbol pemersatu suku-suku melawan persekongkolan adikuasa.Ibrahim kemudian mengusir Hasqil karena anak itu tertangkap meraba payudara dan akan memperkosa anak seorang kepala suku . Hasqil digambarkan sebagai anak yang pandai berkelakar, suka berdebat, cerdik memikat hati orang. Berkat wataknya itu, ia berhasil menyusup ke pelbagai suku. Tapi, di balik sikap menyenangan itu, Hasqil sebenarnya berhati culas.Untuk menghidupi dirinya ia berdagang emas dan alat perang. Agar barangnya laku, Hasqil mengadu domba suku-suku supaya berperang. Siapa yang kalah kesanalah ia akan merapat seraya tetap menjalin hubungan baik dengan suku yang menang. Petualangannya sampai di suku al-Mudtharrah yang sedang berselisih dengan suku al-Mukhtarah. Hasqil datang untuk mempercepat peperangan.Al-Mudhtharrah kemudian kalah. Hasqil menghasut warga agar mengasingkan kepala suku yang tak becus memimpin perang. Dengan dukungan Romawi, Hasqil diangkat menjadi kepala suku al-Mudhtharrah yang baru. Ia bahkan meniduri istri kepala suku yang silau dengan kalung dan berlian.Tapi, selalu ada perlawanan dari setiap pemakzulan. Lazzah, anak gadis kepala suku, yang sejak awal mencium niat jahat Hasqil segera menyusun kekuatan. Ia mendekati para pemuda, memberi kesadaran kepada perempuan, agar bangkit semangat perempuan sukunya. Dia mulai dari teman-teman dekatnya, anak-anak pamannya untuk melawan melawan. Kemudian muncul tokoh Salim yang tampil memimpin pasukan. Pertempuran sengit pun tak bisa dielakkan. Kekuasaan Hasqil dan Romawi runtuh dengan terbakarnya menara yang diagungkan,.1. Kajian Resepsi Novel Tarian Setan Karya Saddam

Tanggapan pembaca terhadap novel Tarian Setan relatif ada yang tanggapan. Sesuai apa yang ditemukan penulis diinternet yang diakses taggal 24 Mei 2008 seorang pembaca menguraikan bahwa sesuai dengan judulnya Tarian Setan, (disingkat T.S) tidak mengherankan tokoh utamanya berkelakuan atau karakternya persis seperti karakter setan. Ini novel keempat Saddam. Sejak 2001, penguasa 24 tahun Irak itu menerbitkan satu novel setiap tahun. Semua novel menyajikan gaya dan tema yang senapas: perseteruan tiga agama langit di Timur Tengah pada abad ke- 6. Tarian Setan secara khusus mengaitkan diri dengan peristiwa "Selasa Kelabu", 9 September 2001, ketika dua pesawat Boeing 737 ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat. Kisahnya dibuka dengan cerita tiga cucu Ibrahim: Hasqil, Yusuf, dan Mahmud, di Efrat. Keluarga ini berpindah tempat mukim karena mengikuti Ibrahim menyebarkan agama Allah ke pelbagai suku di Arab. Hasqil tentu saja mewakili Yahudi, Yusuf sebagai Nasrani, dan Mahmud yang Islam. Novel ini mengambil sepenuhnya kisah Hasqil yang digambarkan Saddam persis perawakan Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel periode 2001-2006: bungkuk, alis tipis, hidung panjang, dan kepala botak. Berbeda dengan dua adiknya yang penurut, Hasqil sudah membangkang sejak kecil. Ia sering mendebat kakeknya jika mereka sedang mengobrol tentang agama

Ibrahim kemudian mengusir Hasqil karena anak itu tertangkap meraba payudara dan akan memperkosa anak seorang kepala suku (T.S, 41) sebagaimana kutipan berikut iniDia terjekut dan berusaha lari. Saat itu pembantunya sedang tak ada di rumah. Aku menariknya sebelum ia sempat kabur dari rumah. Tangan kiriku membekap mulitnya dan tangan kananku mendekapnya. Aku menyeretnya ke dalam rumah. Hamper saja aku menodainya sebab yakin ia tak mungkin berteriak karena hanya akan membuka aibnya. Aku terpaksa menunda melakukannya di hari berikutnya. Dia tak mungkin ingkar janji akan melayaniku. Tak seorang pun yang akan mencegah keinginanku. Suara kedua pembantunya membuatku harus keluar rmha dari arah samping. Aku terpaksa menundanya. Aku berharap hari ini akan menuntaskan hasratku (T.S, 2006: 41)Hasqil digambarkan sebagai anak yang pandai berkelakar, suka berdebat, cerdik memikat hati orang. Berkat wataknya itu, ia berhasil menyusup ke pelbagai suku. Tapi, di balik sikap menyenangan itu, Hasqil sebenarnya berhati culas

Untuk menghidupi diri ia berdagang emas dan alat perang. Agar barangnya laku, Hasqil mengadu domba suku-suku supaya berperang (T.S, 98). Hal ini sesuai uraian yang terdapat dalam novel tersebutAku tak mau punya kuda, domba, atau unta sebab pekerjaan itu berat dan hasilnya murak dibandingkan emas. Tapi bukankah pertanian adalah ukuran umum kekayaan manusia. Jumlahnya sekarang sedikit bahkan sebagian perempuan lebih ingin punya emas dan perak. aku kini punya banyak emas serta perak, dan seorang pun yang memerangiku (T.S, 2006: 98).Siapa yang kalah kesanalah ia akan merapat seraya tetap menjalin hubungan baik dengan suku yang menang. Petualangannya sampai di suku al-Mudtharrah yang sedang berselisih dengan suku al-Mukhtarah. Hasqil datang untuk mempercepat peperangan. Al-Mudhtharrah kemudian kalah. Hasqil menghasut warga agar mengasingkan kepala suku yang tak becus memimpin perang. Dengan dukungan Romawi, Hasqil diangkat menjadi kepala suku al-Mudhtharrah yang baru. Ia bahkan meniduri istri kepala suku yang silau dengan kalung dan berlian. Tapi, selalu ada perlawanan dari setiap pemakzulan. Lazzah, anak gadis kepala suku, yang sejak awal mencium niat jahat Hasqil segera menyusun kekuatan. Ia mendekati para pemuda, memberi kesadaran kepada perempuan, agar bangkit semangat perempuan sukunya. Dia mulai dari teman-teman dekatnya, anak-anak pamannya untuk melawan kamu dari mana? Tanya ibunya, dari rumah sepupu-sepupuku. Ibunya langsung curiga. Apa yang kamu bicarakan dengan mereka. Biasa bu, urusan anak gadis. O ya katanya Hasqil akan menikahi ibu? Sudah bertahun-than Ibu menunggu, tapi itu tak kunjung terlaksana. Apa yang ditunggu oleh Haqil? Apa dia menunggu orang besar? Atau ibu yang menunggu jadi orang besar? (T.S. 2006:140)Kemudian muncul tokoh Salim yang tampil memimpin pasukan. Pertempuran sengit pun tak bisa dielakkan. Saddam menyajikan novel ini secara kronologis. Pertempuran itu berakhir dengan runtuhnya dua menara kembar yang dibangun Hasqil untuk menumpuk kekayaan, senjata, sekaligus simbol persekutuannya dengan Romawi. Dua pemuda masuk melumatkan diri membakar menara itu. Tampak lautan api menyelimuti menara kembar yang memusnahkan segala yang ada di dalamnya (T.S, 263). Perang dua hari dua malam itu terjadi di bulan September!Begitu melihat api seperti neraka, yang lidahnya melalap menara kembar. Haqil mengusap debu yang menempel di wajahnya. Celaka! Hilang sudah semua harta yang kukumpulkan bertahun-tahun. Ini bencana terbesar buatku dan kepala suku Romawi, Aku saranka kamu membanun lagi menara kembar lain. Yang satu kamu jual, dan satunya kamu sewakan kepada suku kami. Dan kamu, pergi saja ke neraka bersama keponakan-keponakanmu, kata salah seorang tentara Romawi.Islam adalah agama moral yang memiliki fungsi sebagai jalan kebenaran untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, iaitu bagaimana usaha dijadikanIslamsebagaipanduanmoralyangmurni.Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramah-tamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya. Pandangan orang yang mengedepankan kepentingan berbeda dengan pandangan orang yang berperinsip. Orang yang hanya tahu kepentingannya sendiri tak pernah memikirkan target jangka panjang yang akan dicapai dalam kurung waktu yang lama. Walau sama butuh pengorbanan tapi umumnya hanya untuk kepentingan sesaat. Orang yang punya prinsip tak pernah melupakan realitas yang terjadi dan tak menerima mentah-mentah realitas yang ada. (T.S, 174).

D. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Subjektivitas dalam Karya Sastra

Wellek dan Warren (1995:85) mengatakan, Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua tipe penyair; yang objektif dan yang subjektif. Penyair seperti Keats dan T.S.Eliot menekankan negatif capability (kemampuan membuat negasi), keterbukaan pada dunia, dan penghilangan diri pengarang. Sebaliknya, ada tipe penyair yang ingin memamerkan kepribadiannya, membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan dirinya. Lebih lanjut Wellek dan Warren (1995:85) menambahkan, bahwa penyair zaman romantik, seperti Byron adalah penyair yang subjektif karena ia menulis tentang dirinya dan perasaan-perasaannya yang paling dalam, bahkan membawa the pageant of his bleeding heart (memamerkan hatinya yang berdarah) ke sekeliling Eropa.

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Menurut Wellek dan Warren (1995:17) dalam karya sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan sengaja. Dalam karya penyair yang subjektif, kita melihat suatu pribadi yang jelas sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi yang kita jumpai dalam situasi sehari-hari.

Berbeda dengan laporan seorang wartawan dari medan perang, sebuah karya sastra menciptakan dunia baru dengan kreativitas dan imajinasinya yang matang lewat tokoh, latar, alur, serta permasalahan yang mirip dengan dunia nyata. Sesuatu yang terasa asing dan tidak enak untuk dilihat dan dirasakan dalam dunia nyata menjadi indah dan menyenangkan untuk dinikmati dalam karya sastra, sehingga tidak berlebihan jika Horace dalam Wellek dan Warren (1995:25) mengatakan, bahwa sastra itu menyenangkan dan berguna - dulce et utile. Bahkan menurut Wellek dan Warren (1995:30), bahwa salah satu nilai kognitif drama dan novel adalah segi psikologinya. Novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikologiE. Pengkajian Fiksi Berdasarkan Nilai Estetis Dalam Karya Sastra

Wellek dan Warren (1995:278) mengatakan, Memang, semua karya sastra membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara itu karya sastra menggubah hal-hal yang pahit dan sakit jika dialami atau dilihat dalam kehidupan nyata, menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. Sedangkan Aristoteles dalam Luxemburg., (1989:19) mengatakan, bahwa seorang pengarang justru karena daya cipta artistik-nya mampu menampilkan perbuatan manusia yang universal.

Dengan demikian jika kita membaca teks-teks sastra, kita berhadapan dengan tokoh-tokoh dan situasi-situasi yang hanya terdapat dalam khayalan pengarang. Datuk Maringgih dalam Siti Nurbaya sebenarnya tidak pernah ada dunia nyata, tetapi kita dapat menemukan tokoh-tokoh di dunia nyata yang sifatnya sama dengan Datuk Maringgih.

Berbeda dengan laporan seorang wartawan dari medan perang, sebuah karya sastra menciptakan dunia baru dengan kreativitas dan imajinasinya yang matang lewat tokoh, latar, alur, serta permasalahan yang mirip dengan dunia nyata. Sesuatu yang terasa asing dan tidak enak untuk dilihat dan dirasakan dalam dunia nyata menjadi indah dan menyenangkan untuk dinikmati dalam karya sastra, sehingga tidak berlebihan jika Horace dalam Wellek dan Warren (1995:25) mengatakan, bahwa sastra itu menyenangkan dan berguna - dulce et utile. Bahkan menurut Wellek dan Warren (1995:30), bahwa salah satu nilai kognitif drama dan novel adalah segi psikologinya. Novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikologi.1