nyeri akut - anestesi
DESCRIPTION
Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan seseorang akan adanya atau akan terjadinya suatu kerusakan jaringan. Nyeri akut akan mendorong seseorang untuk keluar dari situasi yang mengancam.TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Rasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang pasien
kepada seorang dokter. Hal ini hampir selalu merupakan manifestasi dari semua
proses patologis. Setiap rencana penatalaksanaan harus diarahkan untuk mengatasi
proses patologis yang menjadi penyebab dan pada rasa nyeri itu sendiri. Pasien
umumnya dirujuk untuk mendapatkan menejemen nyeri bila diagnosis telah
ditegakkan dan penatalaksanaan untuk proses yang mendasari rasa nyeri tersebut
telah dilakukan. Untuk perkecualian, pasien dengan nyeri kronis dimana proses
penyebab biasanya masih merupakan suatu misteri setelah investigasi awal.
Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan seseorang akan
adanya atau akan terjadinya suatu kerusakan jaringan. Nyeri akut akan mendorong
seseorang untuk keluar dari situasi yang mengancam.
Nyeri pascaoperasi merupakan bentuk dari nyeri akut, namun fungsinya
sebagai peringatan berkurang dan sulit untuk dihindari. Karena nyeri adalah
pengalaman sensoris dan emosional, nyeri pascaoperasi juga dapat menyebabkan
kecemasan (berkaitan dengan frekuensi, intensitas, keparahan dan ketidakpastian
tentang cara mengontrolnya) dan penderitaan (suatu cara yang unik dimana terjadi
interaksi antara nyeri dengan fisik dan emosional pasien).
Nyeri pascaoperasi sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada
pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan
nyeri pascaoperasi yang sama.
Karena nyeri pascaoperasi mengakibatkan penderitaan bagi pasien,
penting bagi kita sebagai praktisi dalam bidang kedokteran untuk mengetahui
penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi.
1
BAB 2
NYERI AKUT
2.1 Batasan Nyeri1,2,3
Nyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering
dikeluhkan oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan
mempengaruhi seberapa banyak nyeri tersebut akan dirasakan dan bagaimana
seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut dapat dibagi
lagi menjadi:
Sensoris, deteksi neural dari stimulus noksius (komponen fisiologis)
Kognitif, pemikiran mengenai nyeri (komponen psikologis)
Afektif, reaksi emoional terhadap nyeri (komponen psikologis)
Tingkah laku, aksi atau mekanisme menghindari yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri (komponen psikologis)
Menurut International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri
adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi
karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan.
Salah satu peran penting dari sistim saraf adalah untuk memberikan
informasi mengenai ancaman terhadap tubuh. Deteksi neural dari tubuh disebut
dengan nosisepsi. Nosisepsi melibatkan penghantaran informasi dari bagian
perifer yang berasal dari reseptor pada jaringan (nosiseptor) menuju struktur
sentral dalam otak.
Nosisepsi sendiri tidak langsung diterjemahkan sebagai sensasi nyeri.
Medula spinalis mampu meningkatkan atau menurunkan transmisi dari sinyal
nosisepsi yang dibawa menuju ke otak. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
psikologis seseorang dapat mempengaruhi sensasi nyeri sesuai respon emosional
dan tingkah lakunya. Hal ini merupakan rasionalisasi dari pendekatan psikologis
seperti terapi pengalihan perhatian dan teknik relaksasi dalam menejemen nyeri.
2
2.2 Anatomi dan Fisiologi Nyeri2,3,4
2.2.1 Jalur Nyeri
Untuk menyederhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui tiga jalur saraf yang
menghantarkan nyeri dari bagian perifer menuju korteks. Saraf aferen pertama
terletak pada ganglia radiks dorsalis yang terdapat dalam formina vertebralis.
Setiap neuron mempunyai
akson tunggal yang bercabang
dua, salah satu ujung menuju
jaringan perifer untuk untuk
menginervasinya dan cabang
lainnya menuju kornu dorsalis
medula spinalis. Dalam kornu
dorsalis, neuron aferen pertama
akan bersinaps dengan neuron
kedua yang aksonnya
menyilang garis tengah dan naik
ke atas melalui traktus
spinotalamikus kontralateral
yang akhirnya akan mencapai
talamus. Neuron kedua akan
bersinaps pada nukleus talami
dengan neuron tersier,
berikutnya sinyal akan
diproyeksikan melalui kapsula
interna dan korona radiata untuk
mencapai girus pascasentralis
korteks serebri.
Neuron Pertama
Pada umumnya, ujung
proksimal dari akson neuron
pertama akan memasuki medula
3
Gambar 1. Jalur nyeri
spinalis melalui bagian dorsal pada setiap segmen servikal, torakal, lumbal, dan
sakral. Beberapa serat yang tidak bermielin masuk melalui bagian ventral dari
medula spinalis, mengingat ditemukannya pasien yang masih tetap merasa nyeri
bahkan setelah transeksi dari radiks dorsalis. Setelah memasuki kornu dorsalis,
selain bersinaps dengan neuron kedua juga bersinap dengan interneuron, saraf
simpatis, dan kornu venralis medula spinalis.
Serat saraf nyeri yang berasal dari kepala dibawa oleh nervus trigeminus
(V), fasialis (VII), glosofaringeus (IX), dan vagus (X). Ganglion gaseri juga
mengandung badan sel dari serat sensoris pada bagian optalmikus, maksilaris, dan
mandibula dari nervus trigeminus. Badan sel dari neuron aferen pertama nervus
fasialis terletak pada ganglion genikulatus. Sedangkan badan sel neuron aferen
pertama dari nervus glosofaringeus terletak pada ganglion superior dan petrosus.
Sedangkan nervus vagus terletak pada ganglion jugular dan ganglion nodusum.
Neuron kedua
Setelah serabut aferen memasuki kornu dorsalis, serabut-serabut tersebut akan
memisahkan diri sesuai ukuran dengan serat besar bermielin terletak pada bagian
medial dan serat kecil tidak bermielin terletak pada bagian lateral. Serat saraf
nyeri akan mengirimkan cabang satu sampai tiga segmen medula spinalis ke atas
dan ke bawah sebelum bersinap dengan neuron kedua pada bagian abu-abu dari
kornu dorsalis ipsilateral. Pada beberapa bagian serat-serat ini juga berhubungan
dengan neuron kedua melalui interneuron.
Area abu-abu dari medula spinalis oleh Rexed dibagi menjadi 10 lamina.
Dimana enam lamina pertama yang membentuk kornu dorsalis menerima seluruh
aktivitas serat aferen dan juga berperan sebagai tempat modulasi nyeri. Neuron
kedua terdiri atas neuron spesifik rasa nyeri dan neuron Wide Dynamic Range
(WDR). Neuron spesifik rasa nyeri hanya menerima stimulus noksius, sedangkan
neuron WDR juga menerima stimulus non-noksius dari serat aferen Aβ, Aδ, dan
C. Neuron spesifik nosiseptif tersusun secara somatotopik dalam lamina I dan
mempunyai lapangan reseptif yang spesfik. Serat-serat ini biasanya tidak
berfungsi dan hanya berespon terhadap stimulus noksius dengan ambang yang
tinggi. Neuron WDR neuron berjumlah paling banyak dalam kornu dorsalis.
4
Walaupun demikian, neuron WDR dapat ditemukan dalam jumlah besar pada
lamina V. Selama stimulus yang berulang, neuron WDR mempunyai sifat
meningkatkan intensitas stimulus secara eksponensial (”wind up”), bahkan
dengan intensitas stimulus yang sama. Serabut-serabut ini juga mempunyai
lapangan reseptif yang lebih luas dibandingkan dengan neuron spesifik nosiseptif.
Kebanyakan dari serabut nosiseptif C akan memberikan kolateral atau berakhir
pada neuron kedua pada lamina I dan II, atau dalam jumlah yang lebih kecil pada
lamina V. Sebaliknya, serabut nosiseptif Aδ terutama bersinap pada lamina I dan
V, serta dalam jumlah yang kecil pada lamina X. Lamina I terutama merespon
terhadap stimulus noksius yang berasal dari kulit dan jaringan somatik dalam.
Lamina II yang juga disebut substansia gelatinosa, mengandung banyak
interneuron dan dipercaya berperan penting dalam mengolah dan memodulasi
input nosiseptif yang berasal dari nosireseptor kulit. Selan itu bagian ini juga
dianggap sebagai tempat kerja opioid yang utama. Lamina III dan IV terutama
menerima input sensoris non-nosiseptif. Lamina VIII dan IX membentuk kornu
anterior. Lamina VII dinamakan sebagai kolumna intermediolateral dan
mengandung badan sel dari neuron simpatis preganglion.
Serabut aferen viseral terutama berakhir pada lamina V, selain itu juga
berakhir pada lamina I dalam jumlah yang lebih kecil. Kedua lamina ini
menunjukkan titik dimana terjadi konvergensi antara input somatik dan viseral.
Lamina V merespon baik input noksius dan non-noksius serta menerima baik
serabut aferen somatik dan viseral. Fenomena konvergensi antara input somatik
dan viseral mempunyai menifestasi klinis sebagai refered pain. Dibandingkan
dengan serabut somatik, serabut nosiseptif viseral berjumlah lebih sedikit,
terdistribusi lebih luas, secara proporsional mengaktifkan sejumlah besar neuron
spinal, dan tidak terorganisir secara somatotopik.
A. Traktus Spinotalamikus
Akson dari kebanyakan neuron kedua menyilang garis tengah dekat dengan
bagian asalnya (komisura anterior) menuju sisi kontralateral dari medula spinalis
sebelum membentuk traktus spinotalamikus dan mengirimkan seratnya ke
talamus, formasio retikularis, nukleus raphe magnus, dan periaquaductal gray.
5
Traktus spinotalamikus yang berperan sebagai jalur nyeri yang utama, terletak
anterolateral dari bagian area putih medula spinalis. Traktus asenden ini dapat
dibagi menjadi traktus lateral dan medial. Traktus spinotalamikus lateralis
(neospinotalamik) terutama terproyeksi pada nukleus ventral posterolateral
talamus dan membawa aspek diskriminatif dari nyeri, seperti lokasi, intensitas dan
durasi. Traktus spinotalamikus medialis (paleospinotalamik) terproyeksi pada
bagian medial talamus dan bertanggung jawab atas respon otonom dan persepsi
emosional tidak menyenangkan dari nyeri. Beberapa serabut spinotalamikus juga
terproyeksi pada periaquaductal gray dan dengan demikian dapat merupakan
hubungan penting antara jalur asenden dan desenden. Serabut kolateral juga
terproyeksi pada reticular activating system dan hipotalamus, yang kemungkinan
bertanggung jawab untuk respon membangunkan terhadap nyeri.
B. Jalur Nyeri Alternatif
Bersama dengan stimulus epikritik, serabut nyeri tersebar secara difus, ipsilateral
dan kotralateral. Karena itu, beberapa pasien akan terus merasa nyeri setelah
dilakukan ablasi traktus spinotalamikus dari sisi kontralateral. Dengan demikian
jalur nyeri asenden lainnya juga berperan penting. Traktus Spinotalamikus
diperkirakan memperantarai respon membangkitkan dan otonom terhadap nyeri.
Traktus Spinomesensefalus mungkin berperan penting dalam mengaktifkan jalur
antinosiseptif desenden karena traktus ini mempunyai proyeksi pada
periaquaductal gray. Traktus Spinotalamikus dan Spinotelensefalus mengaktifkan
hipotalamus dan membangkitkan tingkah laku emosional. Traktus Spinoservikalis
berjalan keatas tanpa menyilang, ke nukleus servikalis lateralis, melanjutkan
serabutnya ke talamus kontralateral. Traktus ini diperkirakan sebagai jalur nyeri
alternatif yang utama. Dan yang terakhir, beberapa serabut pada kolumna dorsalis
(terutama membawa rangsangan proprioseptif dan raba ringan) bersifat responsif
terhadap nyeri, serabut ini naik pada sebelah medial ipsilateral.
C. Integrasi dengan Sistim Simpatis dan Motoris
Aferen somatik dan viseral terintegrasi secara penuh dengan sistim otot skeletal
dan sistim simpatis pada medula spinalis, batang otak, dan pusat-pusat yang lebih
6
tinggi. Saraf aferen kornu dorsalis, bersinaps baik secara langsung maupun tidak
langsung maupun tidak langsung dengan motor neuron kornu anterior. Sinapsis
ini bertanggung jawab atas aktivitas reflek otot, baik normal maupun abnormal,
yang berhubungan dengan nyeri. Dengan cara yang hampir sama, sinapsis antara
neuron nosiseptif aferen dan saraf simpatis pada kolumna intermediolateral
menghasilkan reflek simpatis berupa vasokonstriksi, spasme otot polos, dan
pelepasan katekolamin, baik lokal dan yang berasal dari medula adrenal.
Neuron Ketiga
Neuron ketiga terletak pada talamus dan mengirimkan serabutnya ke area
somatosensoris I dan II pada girus pascasentralis korteks parietalis dan dinding
superior fisura silvii. Persepsi dan lokalisasi nyeri diolah pada area kortikal ini.
Walaupun kebanyakan neuron dari nukleus talamus lateralis terproyeksi ke
korteks somatosensoris primer, neuron yang berasal dari nukleus intralaminer dan
medial nuklus terproyeksi ke girus cingulate anterior dan kemungkinan
memperantarai komponen penderitaan dari nyeri.
2.2.2 Fisiologi Nosisepsi
1. Nosiseptor
Nosiseptor mempunyai ciri diaktifkan dengan ambang yang tinggi dan mengkode
intensitas stimulus dengan meningkatkan discharge rate secara gradual. Pada
stimuli yang berulang, nosiseptor bersifat adaptif, sensitisasi, dan after discharge.
Sensasi noksius sering dapat dipecah menjadi dua komponen yaitu sensasi
nyeri tajam, cepat dan dapat dilokalisasi dengan baik (”first pain”), yang
dihantarkan dengan masa laten yang singkat (0,1 detik) oleh serabut Aδ, dan nyeri
tumpul dengan onset yang lebih lambat, dan sering tidak dapat dilokalisasi dengan
baik (”second pain”) yang dihantarkan oleh serabut C. Berlawanan dengan
sensasi epikritik yang ditransduksikan oleh organ akhir spesifik (korpus pacini
untuk rasa raba), sensasi protopatik terutama ditransduksikan oleh ujung saraf
bebas.
Kebanyakan nosiseptor adalah ujung saraf bebas yang merasakan kerusakan
jaringan akibat panas, kimiawi dan mekanik. Tipe reseptor tersebut antara lain
7
mekanoreseptor yang merespon terhadap cubitan dan tusukan jarum, silent
nosiseptor yang merespon proses keradangan, dan polymodal mechanoheat
nosiseptor. Tipe yang terakhir berjumlah paling banyak dan merespon rangsang
tekanan yang berlebihan, suhu yang ekstrim (> 42°C dan < 18°C), dan alogen
(substansi yang menyebabkan nyeri). Setidaknya dua reseptor nosiseptor telah
diidentifikasi yaitu, VR1 dan VRL-1. Keduanya merespon terhadap suhu yang
tinggi. Alogen antara lain barikinin, histamin, serotonin (5-hidroksitriptamin atau
5-HT), H+, K+, beberapa prostaglandin, dan kemungkinan adenosin trifosfat.
Kapsaisin (capcaicin) menstimulasi reseptor VR1. Nosiseptor polimodal
beradaptasi lambat terhadap tekanan yang kuat dan menunjukkan sensitisasi
terhadap panas.
Nosiseptor Kulit
Nosiseptor didapatkan baik pada jaringan somatik dan viseral. Neuron aferen
primer mencapai jaringan dengan berjalan sepanjang nervus somatik, simpatik,
atau parasimpatis medula spinalis. Nosiseptor somatik termasuk yang terdapat
pada kulit dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia, dan tulang) dimana nosiseptor
viseral seperti yang didapatkan pada organ internal. Kornea dan pulpa gigi bersifat
unik karena secara eksklusif diinervasi oleh serabut nosiseptif Aδ dan C.
Nosiseptor Somatik Dalam
Nosiseptor somatik dalam bersifat lebih tidak sensitif terhadap stimulus noksius
dibandingkan dengan nosiseptor kulit. Tetapi lebih mudah tersensitisasi oleh
proses peradangan. Rasa nyeri yang berasal dari reseptor ini bersifat tumpul dan
tidak dapat dilokalisasi dengan baik. Nosiseptor spesifik terdapat pada otot dan
kapsul sendi. Reseptor ini merespon stimulus mekanik, suhu dan kimiawi.
Nosiseptor Viseral
Organ viseral umumnya merupakan jaringan yang tidak sensistif, yang biasanya
mengandung silent nosiseptors. Beberapa organ mungkin mempunyai nosiseptor
spesifik seperti jantung, paru, testis, dan duktus biliaris. Kebanyakan organ lain
seperti intestinal, diinervasi oleh nosiseptor polimodal yang merespon terhadap
8
spasme otot polos, iskemia, dan inflamasi.(alogen). Reseptor-reseptor ini tidak
sensitif terhadap pemotongan, pemanasan, ataupun penghancuran yang terjadi
pada saat pembedahan. Beberapa organ seperti otak tidak mempunyai nosiseptor
walaupun selaput otak mengandung nosiseptor.
Seperti nosiseptor somatik, reseptor yang terdapat pada visera merupakan
ujung saraf bebas dari neuron aferen primer yang badan sel nya terletak pada
kornu dorsalis. Serabut-serabut saraf ini, seringkali berjalan mengikuti serat saraf
eferen simpatis untuk mencapai visera. Serabut aferen dari neuron-neuron ini
memasuki medula spinalis diantara T1 dan L2. Serabut nosiseptif C yang berasal
dari esofagus, laring, dan trakea berjalan dengan nervus vagus untuk mencapai
nukleus solitarius pada batang otak. Serabut aferen nyeri yang berasal dari
kandung kemih, prostat, rektum, serviks, dan uretra, serta genitalia berjalan
menuju medula spinalis melalui saraf parasimpatis pada tingkat S2 – S4.
Walaupun jumlah serabut nyeri somatik relatif sedikit, serabut yang berasal dari
saraf aferen viseral primer akan memasuki medula spinalis dan bersinap dengan
lebih difus, sering bersinap dengan beberapa tingkat dermatom dan menyilang
garis tengah menuju kornu dorsalis kontralateral.
2. Mediator Kimiawi Nyeri
Beberapa neuropeptida dan asam amino eksitatorik berfungsi sebagai
neurotransmiter untuk sara aferen nyeri. Kebanyakan dari neuron ini mengandung
lebih dari satu neurotransmiter yang dilepaskan secara bersamaan. Yang paling
penting dari beberapa peptida tersebut adalah substansi P (sP) dan peptida
kalsitonin tergantung gen (CGRP). Sedangkan Glutamat merupakan asam amino
eksitasi yang paling penting.
Substansi P merupakan suatu peptida dengan 11 asam amino yang disintesa
dan disekresikan oleh neuron pertama baik di perifer maupun di kornu dorsalis.
Zat ini merupakan salah satu dari enam peptida takikinin yang mempunyai urutan
asam amino karboksil yang sama. Substansi P, yang juga ditemukan pada bagian
lain dari sistim saraf dan intestinal, memfasilitasi transmisi nyeri melalui aktivasi
reseptor NK-1. Pada bagian perifer, neuron sP mengirimkan kolateral-kolateral
yang berhubungan dengan pembuluh darah, kelenjar keringat, folikel rambut, dan
9
sel mast dari dermis. Substansi P mensensitisasi degranulasi histamin dari sel mast
dan 5-HT dari platelet. Zat ini juga merupakan vasodilator poten dan
chemoattractant poten untuk leukosit. Neuron yang melepaskan sP juga
menginervasi viseral dan memberikan kolateral ganglion simpatis paravertebral.
Stimulasi kuat pada visera, dengan demikian dapat menyebabkan pengaktifan
langsung terhadap saraf simpatis pascaganglionik.
Baik reseptor opioid dan α2-adrenergik telah ditemukan pada atau di dekat
ujung terminal dari saraf yang tidak bermielin. Walaupun peran fisiologisnya
masih belum diketahui dengan jelas, tetapi mungkin hal ini dapat menjelaskan
efek analgesia dari opioid yang diaplikasikan pada jaringan perifer, terutama
dengan keberadaan inflamasi.
3. Modulasi Nyeri
Modulasi nyeri dapat terjadi pada bagian perifer yaitu pada nosiseptor, pada
medula spinalis, atau pada struktur supraspinal. Proses modulasi ini dapat
menghambat (supresi) atau memfasilitasi rasa nyeri.
Modulasi Perifer
Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah stimulasi yang
berulang. Sensitisasi dapat bermanifestasi sebagai perubahan respon terhadap
10
stimulus noksius atau responsifitas yang baru didapat dengan jangkauan yang
lebih luas, termasuk stimulus yang non-noksius.
A. Hiperalgesia Primer
Sensitisasi nosiseptor menyebabkan penurunan nilai ambang, peningkatan
frekuensi respon terhadap intensitas stimulus yang sama, penurunan respon laten,
bahkan terjadi eksitasi spontan setelah stimulus berhenti (afterdischarge).
Sensitisasi umumnya terjadi bersamaan dengan terjadinya jejas maupun setelah
terpapar pada suhu yang tinggi. Hiperalgesia primer diperantarai oleh pelepasan
alogen yang berasal dari jaringan yang rusak. Histamin dilepaskan dari sel mast,
basofil dan platelet. Bradikinin dilepaskan dari jaringan setelah aktivasi faktor
XII. Bradikinin akan mengaktifkan ujung saraf bebas melalui reseptor spesifik
(B1 dan B2)
Prostaglandin dihasilkan setelah kerusakan jaringan oleh aktivitas dari
enzim fosfolipase A2 terhadap fosfolipid yang dilepaskan dari membran sel untuk
membentuk asam arakhidonat. Jalur siklooksigenase (COX) kemudian akan
mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid yang berikutnya akan diubah
menjadi prostasiklin dan prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 secara langsung
mengaktifkan ujung saraf bebas, dimana prostasiklin akan mempotensiasi edema
akibat bradikinin. Jalur lipooksigenase akan mengubah asam akrakhidonat
menjadi hidroperoksid dan akhirnya menjadi leukotrien. Peran leukotrien masih
belum jelas, tetapi tampaknya akan mempotensiasi beberapa jenis nyeri. Agen
farmakologis seperti asam asetilsalisilat (ASA atau aspirin), asetaminofen, dan
nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID) menghasilkan efek analgesia dengan
menghambat COX. Efek analgesik dari kortikosteroid tampaknya akibat
penghambatan produksi prostaglandin dengan memblok aktivasi fosfolipase A2.
B. Hiperalgesia Sekunder
Inflamasi neurogenik yang juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder, juga
memegang peranan penting dalam sensitisasi perifer setelah tejadinya cedera. Hal
ini bermanifestasi sebagai ”Tripel Respon” yang terdiri dari kemerahan dari
tempat cedera (flare), edema jaringan lokal, dan sensitisasi stimulus noksius.
11
Hiperalgesia sekunder terutama disebabkan oleh pelepasan sP (dan kemungkinan
CGRP) dari akson kolateral neuron aferen primer. Substansi P menyebabkan
degranulasi histamin dan 5-HT, vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan
edema jaringan, termasuk induksi pembentukan leukotrien.Respon yang berasal
dari neural ini ditegaskan lagi dengan (1) respon ini dapat dihasilkan dari
stimulasi antidromik dari saraf sensoris, (2) respon ini tidak dapat diamati pada
jaringan yang mengalami denervasi, (3) respon ini dapat dikurangi dengan
memasukkan anestesi lokal seperti lidokain. Komplek kapsaisin, yang berasal dari
lada merah Hungaria, menimbulkan deganulasi sP. Bila zat ini diaplikasikan
secara topikal dapat mengurangi inflamasi neurogenik dan tampaknya berguna
untuk beberapa pasien dengan neuralgia pascaherpetik.
Modulasi Sentral
A. Fasilitasi
Setidaknya terdapat tiga mekanisme yang mengaktikan medula spinalis secara
sentral:
(1) Efek penjumlahan dan sensitisasi dari neuron kedua. Neuron WDR akan
meningkatkan frekuensi bangkitan bila menerima stimulus yang berulang
dan menunjukkan bangkitan yang berkepanjangan, bahkan setelah
masukan dari serabut aferen C telah berhenti.
(2) Perluasan lapangan resptor. Neuron kornu dorsalis meningkatkan lapangan
reseptif dengan menyebabkan neuron yang terletak berdekatan menjadi
responsif terhadap stimulus (baik noksius maupun non-noksius).
(3) Hipereksitabilitas dari reflek fleksi. Peningkatan reflek fleksi dapat
ditemukan baik pada sisi ipsilateral maupun kontralateral.
Mediator neurokimiawi dari sensitisasi sentral antara lain sP, CGRP, peptida
intestinal vasoaktif (VIP), kolesistokinin (CCK), angiotensin dan galanin , serta
asam amino eksitasi L-glutamat dan L-aspartat. Substansi-substansi ini
menyebabkan perubahan pada eksitabilitas membran melalui interaksi dengan
reseptor membran terikat G-protein pada neuron, mengaktifkan intracellular
second massanger yang berikutnya akan menfosforilasi substrat protein. Sebuah
jalur yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intrasel.
12
B. Inhibisi
Transmisi masukan nosiseptif pada medula spinalis dapat dihambat dengan
aktifitas segmental dari medula spinalis itu sendiri dan aktivitas neural desenden
dari pusat supraspinal.
(1) Inhibisi segmental. Aktivasi dari serabut aferen yang besar yang melayani
sensasi epikritik akan menghambat WDR dan aktivitas traktus spinotalamikus.
Lebih lanjut, aktivasi stimulus noksius terhadap bagian tubuh yang berbeda
dapat menghambat neuron WDR pada tingkat yang lain. Misalnya rasa nyeri
dari satu bagian tubuh akan menghambat rasa nyeri dari bagian tubuh yang
lain. Fenomena ini mendukung teori gerbang dari nyeri yang diproses pada
medula spinalis. Glisin dan asam γ-aminobutirik (GABA) merupakan asam
amino yang berfungsi sebagai neurotransmiter inhibisi. Kedua asam amino ini
tampaknya mempunyai peran penting dalam inhibisi nyeri segmental pada
medula spinalis. Antagonis dari glisin dan GABA dapat menyebabkan
fasilitasi neuron WDR dan menyebabkan alodinia dan hiperestesia.
(2) Inhibisi supraspinal. Beberapa struktur supraspinal mengirimkan serabutnya
turun kebawah menuju medula spinalis untuk menghambat nyeri pada kornu
dorsalis. Asal dari jalur desenden ini antara lain peiaquaductal gray, formasio
retikuler, dan nukleus raphe magnus (NRM). Stimulasi peiaquaductal gray
pada otak tengah dapat menyebabkan analgesia luas. Akson dari traktus ini
bekerja pada bagian presinaptik pada neuron aferen primer dan bekerja pada
pascasinaptik pada neuron kedua (atau interneuron). Jalur-jalur ini
memperantarai kerja antinosiseptifnya melalui mekanisme reseptor
adrenergik-α2, serotonergik, dan opiat. Peran monoamin dalam inhibisi nyeri
menjelaskan kerja analgesik dari anti depresan yang memblokir pengambilan
kembali katekolamin dan serotonin. Aktifitas dari reseptor-reseptor ini juga
mengaktifkan secondary intracellular messenger, membuka saluran K+ dan
menghambat peningkatan konsentrasi intraselular.
2.2.3 Efek Sistemik Nyeri
Menurut suatu penelitian, 75 % penderita pasca operasi opioid secara intermiten,
masih merasakan sensasi nyeri yang bervariasi dari intensitas sedang sampai
13
berat. Penanganan masalah nyeri (pasca trauma) selain aspek manusiawi, juga
berkaitan dengan efek nyeri pada fungsi organ dan kesadaran umum penderita.
Efek Endokrin.
Diatas sudah disebutkan bahwa impuls nyeri yang diteruskan ke sentral,
sebagian akan diteruskan ke hipotalamus dan segmental akan diteruskan juga
ke sel-sel neuron di kornu anterolateral medula spinalis. Stimulasi hipotalamus
selain akan mengaktifkan sistim simpatis, juga akan mengaktifkan kelenjar
hipofise dengan segala rangakaian efeknya. Aktivasi sel-sel neuron di kornu
anterolateral akan mengaktifkan sistim simpatis secara segmental. Akibat dari
semua hal tersebut adalah terjadinya pelepasan sejumlah hormon yang akan
menimbulkan efek biokimiawi. Selain meningkatnya hormon katabolik seperti
ketekolamin, kortisol, angiotensin II, juga akan terjadi pelepasan ADH,
ACTH, GH dan glukagon. Akibatnya secara perbandingan, hormon-hormon
anabolik menjadi lebih rendah. Adrenalin, kortisol, glukagon akan
menyebabkan terjadinya hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap
insulin. Selain itu, proses glukoneogenesis meningkat. Juga terjadi
katabolisme protein dan lipolisis. Aldosteron, Kortisol, ADH menyebabkan
terjadinya retensi Na+ dan air. Katekolamin dapat merangsang reseptor nyeri
sehingga intensitas nyeri bertambah.
Efek Kardiovaskuler
Pelepasan katekolamin, aldosteron, kortisol, ADH dan aktivasi angiotensin II
akan menimbulkan efek pada sistim kardiovaskuler. Hormon-hormon ini
mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan
meningkatkan retensi Na+ dan air. Angirtensin II menimbulkan vasokonstriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot
jantung dan resistensi vaskuler perifer sehingga terjadilah hipertensi.
Takikardia dan disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah
dengan retensi Na+ dan air, timbullah resiko gagal jantung kogesti.
Efek Respirasi
Bertambahnya cairan ekstraseluler di paru-paru dapat menimbulkan gangguan
ventilasi perfusi. Operasi di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan
peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat menimbulkan resiko
14
hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum. Resikonya
atelektasis dan hipoksemia dapat terjadi.
Efek gastrointestinal
Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi
traktus gastrointestinal sehingga ileus paralitik dapat terjadi.
Efek Genitourinarius
Nyeri menimbulkan peningkatan tonus simpatis dengan akibat terjadinya
inhibisi tonus otot polos viseral termasuk buli-buli sehingga retensi urin dapat
terjadi.
Efek Imunologis
Nyeri akan menimbulkan stres, diikuti terjadinya limfopenia, leukositosis dan
dapat terjadi depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen
menurun.
Efek pada fungsi koagulasi
Stres menimbulkan perubahan viskositas darah dan fungsi platelet. Akan
terjadi peningkatan adhesitas trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin
dan immobilisasi, mudah terjadi komplikasi trombosis.
Efek umum
Akibat nyeri, penderita akan tampak sangat menderita. Akibat nyeri, tejadi
usaha membatasi gerakan sehingga terjadi immobilisasi fisik, akibatnya masa
pulih dapat menjadi lebih lama. Akibat nyeri, penderita jadi usah tidur, tidak
enak makan dan minum, mengalami anxietas, perasaan tidak akan tertolong
dan putus asa.
15
BAB 3
NYERI AKUT PASCA OPERASI
3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Pascaoperasi
Hamill dan Rowlingson dalam Handbook of Critical Care Pain Manajement
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri pascaoperasi termasuk:5
a. Pengaruh patofisiologi
Pengaruh patofisiologi dari nyeri pascaoperasi melibatkan:
1. Trauma jaringan lokal yang timbul akibat insisi dan manipulasi
jaringan. Akan terjadi pelepasan bahan-bahan kimia secara lokal yang
meningkatkan input sensoris ke sistem saraf pusat (SSP).
2. Respon refleks segmental muncul di level medula spinalis, tempat
masuknya impuls nosiseptif.
3. Respon suprasegmental menunjukkan adanya efek aditif dari masukan
multilevel ke SSP.
4. Konsekuensi dari patofisiologi ini akan mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas pascaoperasi. Semua sistem dalam tubuh dapat dipengaruhi,
dengan adanya kegagalan pada satu sistem sering menjalar ke sistem
yang lainnya. Misalnya, jika nyeri menyebabkan ileus paralitik pada
usus dan menyebabkan distensi abdomen, ini akan menghalangi
terjadinya respirasi yang adekuat dan akan meningkatkan risiko
terjadinya atelektasis dan pneumonia. Akibat dari terjadinya kegagalan
respirasi akan meningkatkan kerja sistem kardiovaskular dimana akan
berujung pada gagal jantung.
5. Karena pasien memiliki reaksi emosional terhadap nyeri (respon
melibatkan kognitif, reaksi afektif, dan kepercayaan), dokter harus
berhadapan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri dan efek nyeri
terhadap mereka. Sikap pasien tehadap nyeri akan mempengaruhi
semua terapi yang kita berikan.
16
b. Tempat operasi
Tempat operasi akan mempengaruhi insiden dan keparahan nyeri
pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang paling berat timbul setelah
dilakukannya prosedur pada toraks, abdomen atas, sendi-sendi utama,
punggung belakang dan daerah anorektal. Diantara tempat-tempat tersebut,
dua yang pertama disebutkan memiliki kecenderungan untuk mengganggu
fungsi paru-paru.
c. Persiapan preoperasi
Persiapan preoperasi yang dikerjakan oleh dokter dan perawat termasuk
memberikan informasi kepada pasien.
1. Dokter bedah menjelaskan alasan pembedahan, termasuk risiko dan
keuntungan tindakan pembedahan tersebut.
2. Ahli anestesi mendiskusikan dengan pasien akan pilihan untuk
mengontrol nyeri intraoperasi dan pascaoperasi.
3. Perawat dapat memberikan penjelasan tentang rutinitas di bangsal dan
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
pasien.
d. Status fisik dan emosional pasien
Status pasien, baik fisik dan emosional, akan mempengaruhi respon pasien
terhadap pembedahan.
1. Trauma, sakit mendadak dan keadaan nyeri kronik akan menghabiskan
energi dan tenaga pasien, dan juga mengganggu kemampuan pasien
untuk beraktivitas dan mengurus diri sendiri. Pasien akan menderita
karena nutrisi yang kurang, hilangnya kekuatan fisik, atau kelelahan
emosional yang mana akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk
pulih dan sembuh.
2. Pasien mungkin memiliki penyakit medis lainnya yang akan
meningkatkan risiko anestesi dan/atau bedah.
3. Persepsi pasien akan pengaruh dari pembedahan yang dilakukan
terhadap kemampuan pasien untuk beraktivitas dan berfungsi secara
normal lagi adalah sangat penting.
17
4. Trauma dan sakit yang serius dapat memicu emosi yang tidak
menguntungkan seperti kecemasan, depresi, atau frustasi, yang mana
akan mempengaruhi penampilan, keikutsertaan pada rehabilitasi dan
penyembuhan pasien.
e. Manajemen intraoperasi
Manajemen intraoperasi yang dilakukan oleh personel anestesi dan bedah
secara langsung mempengaruhi tingkat keparahan nyeri pascaoperasi.
1. Penggunaan premedikasi termasuk dalam analgesia preemptif
(menghentikan nyeri sebelum nyeri itu terjadi).
2. Berhati-hati dalam memasang jalur intravena (misalnya dengan tidak
menegangkan kulit) akan meningkatkan kenyamanan pasien.
3. Lakukan intubasi yang lembut, berhati-hati dalam memposisikan
pasien dan buat otot berelaksasi untuk mencegah pasien berontak saat
masih dalam keadaan teranestesi ringan dimana akan meminimalkan
nyeri pada sendi dan muskuloskeletal.
4. Pilihan teknik anestesi yang mengkombinasi anestesi regional dengan
anestesi umum akan memberikan keuntungan akan anestesi lokal dan
perispinal atau narkotik perineural pada pasien selama intraoperasi dan
pascaoperasi.
5. Manipulasi yang lembut pada jaringan dan pemasangan drain akan
meningkatkan kenyamanan pasien.
f. Efektifitas tim pascaoperasi
Keefektifitasan dari tim pascaoperasi dalam menangani nyeri pascaoperasi
mulai dari persiapan dan terapi dapat dilihat dari efek yang terlihat pada
pre, intra dan pascaoperasi.
1. Penyebab dari nyeri bisa dilihat lebih jelas setelah pembedahan dan
komplikasi anestesi atau pembedahan akan muncul. Informasi yang
didapat akan mempengaruhi kondisi pasien.
2. Penanganan nyeri yang lemah akan menurunkan moral pasien dan
akan meningkatkan risiko berkembangnya konsekuensi patofisiologis
dari nyeri akut.
18
3. Perhatian dan dukungan yang tidak intensif dari dokter dan perawat
akan membuat pasien enggan untuk mengatakan hal-hal seperti nyeri,
kekhawatiran dan keluhan yang dirasakan pasien.
Sedangkan dalam buku Anestesiologi terbitan FK UI menyebutkan juga
faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti jenis kelamin, dimana wanita lebih
cepat merasakan nyeri. Umur, dimana ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
Kepribadian, dimana pada pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila
dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal. Pengalaman
pembedahan sebelumnya, bila pembedahan ditempat yang sama rasa nyeri tidak
sehebat nyeri pembedahan sebelumnya. Suku, ras dan warna kulit juga faktor
yang mempengaruhi, termasuk motivasi pasien, dimana pembedahan paliatif
tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak meskipun luas yang
diangkat sama.6
3.2 Evaluasi Pasien5
Evaluasi pasien dilakukan sebelum, saat dan setelah dilakukannya
penatalaksanaan nyeri pascaoperasi pada pasien.
a. Menentukan diagnosis
Dokter harus mengevaluasi pasien agar dapat mendiagnosis masalah yang
ada pada pasien. Setelah hal ini dikerjakan dokter dapat memilih terapi
berdasarkan mekanisme nyeri yang terjadi.
b. Anamnesis nyeri
Anamnesis adanya nyeri pada pasien didapat dari data pasien atau dari
hasil wawancara langsung, bila dimungkinkan. Kemampuan pasien untuk
bekerjasama dalam anamnesis dapat dipengaruhi oleh efek dari trauma,
obat-obatan yang diberi untuk mengontrol pasien, efek sisa dari anestesi
dan kondisi fisik dan mental sebelumnya. Hal-hal yang harus diketahui
dari pasien adalah:
1. deskripsi pasien terhadap nyeri
2. lokasi dan penyebaran nyeri
3. perubahan yang dirasakan pasien dari terapi yang telah diberikan
c. Pemeriksaan fisik
19
Pemeriksaan fisik dengan memperhatikan tanda-tanda vital pasien dapat
menjadi petunjuk penyebab dari nyeri, seperti:
1. iskemia
2. sindrom kompartemen
3. obstruksi viseral atau pembuluh darah
4. balutan yang terlalu ketat
5. pneumotoraks, atau
6. infeksi
d. Pemeriksaan laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium mungkin dapat menemukan adanya:
1. infark miokard pada elektrokardiogram
2. pneumonia dan pneumotoraks pada foto Rontgen
3. pada foto Rontgen terlihat adanya dislokasi prostesis, fraktur,
obstruksi usus dan lain-lain
e. Tes untuk mengetahui derajat nyeri
Tes yang telah terstandarisasi seperti visual analog scale (VAS) untuk
menilai intensitas nyeri dapat menolong untuk mengukur derajat nyeri. Tes
ini bisa diulang untuk dapat melihat perkembangan respon nyeri terhadap
terapi yang diberikan.
f. Observasi prilaku
Observasi terhadap prilaku pasien tidak mutlak dilakukan, namun mencari
tingkat stres dan melihat prilaku nonverbal pasien akan memberikan
pengetahuan akan kepuasan pasien terhadap kinerja tim kesehatan.
g. Penampilan pasien
Penampilan pasien dapat dipengaruhi oleh efek sisa dari anestesi regional
atau anestesi umum, efek dari obat analgesi atau sedasi yang telah
diberikan atau efek psikologis dari trauma atau pembedahan.
3.3 Manajemen Nyeri Akut Pascaoperasi
Sekecil atau seringan apapun keluhan nyeri yang dikemukakan oleh pasien,
keluhan itu harus diperhatikan, serta bila perlu ditanggulangi. Pada nyeri akut
20
pascaoperasi, penanggulangan nyeri didasarkan pada pemahaman tentang
mekanisme nyeri dan lintasan nyeri.1
Berdasarkan mekanisme dan lintasan nyeri, penaggulangan nyeri akut
secara garis besar dapat dilaksanakan sebagai berikut:
a. Di tingkat transduksi
Stimulus noksius akan menimbulkan efek pelepasan zat-zat algesik.
Diantara zat-zat algesik itu adalah Prostaglandin. Prostaglandin disintesis
dari arachidonic acid dibawah pengaruh enzim siklooksigenase. Kerja
enzim ini dapat dihambat oleh obat-obatan golongan anti inflamasi non
steroid (NSAIDs).1 Namun obat NSAIDs tidak mempunyai efek pada
prostaglandin yang sudah disintesa.7
Reseptor nyeri adalah kumparan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A
delta dan C. dalam kaitan dengan hal ini, obat anestesi lokal dapat
mempengaruhi fungsi reseptor nyeri tersebut sehingga tidak dapat
berinteraksi dengan zat-zat algesik.1
b. Proses transmisi
Impuls nyeri ditransmisikan dari perifer ke sentral (sel neuron nosisepsi di
kornu dorsalis medula spinalis) oleh serat saraf aferen A delta dan C. Obat
anestesia lokal dapat mempengaruhi fungsi transmisi serat-serat aferen
tersebut. Dengan menyuntikkan obat anestesia lokal di daerah perjalanan
suatu serat saraf, maka fungsi transmisi serat saraf itu akan terpengaruh.1
c. Proses modulasi
Proses ini terjadi di sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula
spinalis. Secara eksogen proses modulasi ini dapat dipengaruhi oleh
opioid. Opioid dapat disuntikkan ke dalam ruangan epidural atau ruangan
subarachnoid di dalam kanalis vertebralis, akan memblok proses modulasi
di tingkat medula spinalis.1
3.4 Modalitas Untuk Nyeri Akut Pascaoperasi
3.4.1 Analgetik narkotik
Narkotik merupakan pilihan yang utama dalam pengobatan nyeri akut. Jenis obat,
dosis dan cara pemberian dipilih berdasarkan tingkat keparahan nyeri, lokasi
21
nyeri, penyebab nyeri, risiko terjadinya efek samping dan kondisi psikofisiologis
pasien.5
Efek klinis yang menguntungkan termasuk analgesia, sedasi, peningkatan
mood dan mensupresi batuk (termasuk pada pasien yang masih diintubasi). Efek
samping yang sering terjadi, darimanapun obat diberikan, termasuk gatal, mual,
muntah, disforia, sedasi, retensi urin dan depresi nafas.5
1. Pemberian intramuskular
Dosis intramuskular (i.m) memberikan variasi dalam jumlah obat dalam
darah dan efek klinis obat, dimana hal ini tergantung pada jumlah darah
yang mengalir ke otot tersebut dan ketidakpastian uptake obat dari depot
intramuskular. Aliran darah ke otot dipengaruhi oleh keadaan hidrasi
pasien, status metabolik dan fungsi jantung. Lebih dari 70% pasien tetap
merasakan nyeri dengan pemberian dosis i.m yang terjadwal dan 80%
pasien mengatakan hilangnya rasa nyeri tidak berlangsung lama.5
Kekurangan pemberian secara i.m ini mengharuskan pasien memanggil
perawat bila pasien merasa sakit. Kemudian perawat harus mengecek dulu
instruksi dokter, mengidentifikasi obat analgesi yang akan digunakan,
mengambil obat, mempersiapkan obat untuk disuntikkan, dan
menyuntikkan obat. Setelah pemberian obat, masih ada periode waktu
sebelum obat diabsorpsi ke sistemik dan mencapai kadar analgesik di
darah. Bila digunakan dosis intramuskular yang tinggi untuk
mempersingkat waktu, akan ada suatu periode dimana konsentrasi obat
dalam darah tinggi dan terjadi oversedasi.7
2. Patient Controlled Analgesia (PCA)
Merupakan metode dimana pasien dapat memberikan sendiri opioid
intravena (atau epidural pada situasi tertentu) untuk mendapatkan efek
analgesia yang maksimal dan efek samping yang minimal.5
Nyeri pasien harus telah terkontrol sebelumnya sebelum PCA dimulai. Ini
memerlukan titrasi narkotik intravena untuk mendapatkan kadar analgesia
yang memuaskan, setelah itu PCA bisa dimulai. Teknik ini akan menolong
pasien untuk mempertahankan konsentrasi analgesik efektif minimal
22
(minimal effective analgesic concentration) dari obat yang digunakan,
dibawah kadar nyeri yang dirasakan pasien.5
Keuntungan penggunaan PCA yaitu akan menurunkan kebutuhan akan
perawat berkaitan dengan pengobatan yang didapat pasien. Pasien juga
dapat mengobati nyeri yang timbul tiba-tiba (misalnya nyeri yang timbul
saat pasien batuk) disaat nyeri itu muncul dan mengobati dirinya dalam
upaya mengantisipasi nyeri yang terjadi pada saat mengganti perban, saat
turun dari tempat tidur, dan lain-lain.5 Penggunaan obat dengan dosis yang
lebih kecil menurunkan risiko terjadinya oversedasi seperti pada
penggunaan secara i.m. PCA memberikan analgesi yang lebih bagus
dibandingkan dengan pemberian opioid secara i.m. Pasien biasanya
memerlukan jumlah analgetik yang lebih sedikit dengan penggunaan PCA.
Hampir 85% pasien yang mendapat PCA untuk mengatasi nyeri akut
merasakan kontrol nyeri yang bagus sampai memuaskan. Obat analgesik
yang biasanya digunakan pada PCA adalah opioid yang poten seperti
morfin dan hidromorfon (Dilaudid).7
Meskipun terapi dengan PCA tergolong aman, namun terdapat potensi
terjadinya efek yang buruk akibat kesalahan pada operator, pada pasien
atau pada alatnya sendiri. Pemberian opioid juga dihubungkan dengan
penurunan ventilasi dan gangguan nafas yang mengancam jiwa.7
3. Terapi narkotik perispinal
Merupakan suatu cara dengan memasukkan obat opioid dekat medula
spinalis. Opioid berefek pada inhibisi pre dan pascasinap neuron pada
kornu dorsalis yang merupakan tempat pertama terjadinya integrasi input
nyeri ke susunan saraf pusat.5
Karena obat hanya bekerja selektif pada reseptor opioid, pemberiannya
tidak akan menyebabkan hipotensi yang disebabkan blok simpatis. Opioid
juga tidak menyebabkan blok motorik yang sering menyebabkan
penurunan mobilitas pasien. Dosis kecil opiat (bila dibandingkan dengan
dosis sistemik), yang dimasukkan dekat dengan tempat obat bekerja
menghasilkan analgesia yang durasinya lebih lama dan lebih intensif
dibandingkan dengan cara pemberian yang lainnya. Karena rendahnya
23
kadar opiat dalam darah, akan berakibat pada rendahnya efek samping
obat. Beberapa percobaan klinis mendapatkan 90% pasien yang
mendapatkan baik opioid intratekal atau epidural merasakan efek analgesia
yang memuaskan.7
Obat yang sering digunakan adalah morfin, petidin dan fentanil. Penting
diingat bahwa obat yang digunakan harus bebas preservatif (karena sifat
neurotoksik).5 Onset dan durasi obat ditentukan oleh kelarutan obat dalam
lemak. Morfin yang kelarutannya dalam lemak rendah, memiliki onset
yang lama sekitar 45 menit namun memiliki durasi yang lama hingga lebih
dari 24 jam. Meperidin lebih larut dalam lemak dibanding morfin,
memiliki onset kerja sekitar 15 menit dengan masa durasi 2-6 jam. Karena
onsetnya yang cepat dan memiliki durasi sedang, meperidin digunakan
pada PCA epidural. Pemberian obat secara epidural lebih sering dilakukan
dibandingkan dengan pemberian subaraknoid karena kateter yang
dimasukkan dapat mencapai semua level medula spinalis dan rendahnya
efek samping yang muncul jika dibandingkan dengan teknik subaraknoid.7
Narkotik perispinal dapat digunakan dengan mengkombinasikan dengan
obat anestesi sehingga dosis atau konsentrasi yang diperlukan dapat lebih
rendah dan dapat menghilangkan nyeri melalui mekanisme yang berbeda.
Penggunaan dengan cara ini akan meminimalkan risiko depresi nafas yang
mengancam nyawa.7
4. Opioid sublingual
Cara ini makin populer penggunaannya karena mudah dan menyenangkan.
Obat yang paling sering dipakai adalah buprenorfin yang bersifat agonis
antagonis sehingga efek samping depresi nafas sangat jarang dijumpai.
Keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).6
5. Opioid oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat
dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.6
24
3.4.2 Teknik analgesia regional
Penyuntikan langsung obat anestesi lokal pada saraf perifer atau saraf besar atau
akar saraf dapat menghilangkan nyeri dengan cara menghambat konduksi impuls
aferen. Teknik regional dengan menggunakan obat anestesi lokal dapat
memberikan analgesia secara berkala atau secara kontinyu bila diberikan melalui
infus. Pilihan obat anestesi lokal berdasarkan pada tempat pemberian, durasi dari
efek yang diberikan dan riwayat medis pasien.5
1. Infiltrasi lokal
Infiltrasi anestesi lokal pada luka operasi menghasilkan analgesia selama
beberapa jam pada daerah operasi, terutama bila diberikan dengan
epinefrin. Lebih sering digunakan pada operasi day care seperti pada
hernia inguinalis atau ligasi vena varikosa dan cocok untuk operasi
plastik.8
Pada operasi yang lebih besar, dapat digunakan cara irigasi berulang pada
luka dengan larutan anestesi lokal dengan cara memasang kateter dengan
lubang multipel pada daerah dibawah kulit dan lapisan otot yang diinsisi
kemudian disuntikkan anestesi lokal secara intermiten. Akan didapatkan
analgesia yang baik pada luka namun perlu juga diberikan opioid
parenteral sebagai tambahan.8
2. Blok saraf minor
Blok saraf digital pada jari tangan dan kaki dapat dengan mudah dilakukan
dengan ring block pada ujung proksimal jari. Digunakan pada ekstraksi
kuku yang merupakan prosedur yang menyakitkan.8
Blok pergelangan tangan, meski mudah, namun jarang dilakukan karena
kadang diperlukan penggunaan torniket pada lengan atas. Blokade pada
ujung terminal nervus medianus, radialis dan ulnaris pada pergelangan
tangan akan memberikan analgesia yang signifikan pada operasi daerah
tangan.8
Blok ankle akan memblok nervus safenus, nervus peruneus superficial dan
profunda, nervus sural dan nervus plantar sehingga akan mengurangi
kebutuhan akan anestesi umum dan memberikan kenyamana pada pasien
untuk beberapa jam.8
25
Blok nervus iliohipogastrik dan ilioinguinal digunakan pada luka operasi
hernia inguinalis yang akan memberikan analgesia selama beberapa jam.8
Nervus dorsalis pada penis merupakan cabang dari nervus pudendus yang
menginervasi batang dan gland penis. Nervus ini bisa diblok di tiap sisi
pada tulang pubis untuk mencegah dan menghilangkan nyeri pada
sirkumsisi.8
3. Blok saraf mayor
Blok pada pleksus saraf mayor akan memberikan efek analgesia yang
luas.8
Blok pleksus brakialis dilakukan dengan memasang kanula plastik di
dalam selubung neurovaskular pleksus tersebut dengan cara parestesia atau
nerve stimulator. Blok ini akan menyebabkan paralisis seluruh lenga,
sehingga lengan harus disangga dengan tali untuk mencegah bengkaknya
tangan. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah sindrom Horner
akibat blokade ganglion stelata dan nervus prenikus.8
Blok nervus femoris akan memberikan analgesia pada femur. Digunakan
pada pasien yang memerlukan traksi atau operasi pada patah tulang
femur.8
Blok paravertebral, untuk analgesia daerah torakal dan abdominal dengan
menyuntikkan obat analgesia lokal di daerah paravertebral tempat
keluarnya akar saraf sensoris.6
Blok interkostal, dilakukan untuk menghilangkan nyeri terutama setelah
bedah abdomen. Saraf interkostal diblok dekat dengan sudut dari costa.
26
Blok yang paling bagus dilakukan adalah pada linea midaksilaris. Untuk
operasi abdomen seperti kolesistektomi memerlukan blok saraf interkostal
dari Th 7 sampai Th 11 pada sisi kanan. Insisi pada garis tengah
memerlukan blok interkostal bilateral. Untuk operasi abdomen atas perlu
diblok saraf Th 6-10 dan untuk operasi abdomen bawah saraf yang diblok
adalah Th 8-12. Operasi apendektomi memerlukan blok saraf Th 8-12
pada sisi kanan saja. Pada operasi daerah toraks, keadaannya lebih sulit.
Dapat dilakukan cryoanalgesia dimana saraf dibekukan, namun blok
epidural merupakan teknik yang terbaik untuk mengatasi hal ini.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada blok interkostal adalah
pneumotoraks.8
4. Blok saraf pusat
Pada operasi besar abdomen dan toraks, blok saraf pusat memberikan
metode termudah untuk menghasilkan analgesia yang luas.8
a. Subaraknoid dan epidural. Blok epidural lebih disukai karena
pemberian ulang melalui kateter epidural mudah dan aman
dilakukan. Obat yang biasa diberikan adalah bupivakain 0,25-0,5%
karena masa kerja yang lama, yaitu 4 jam pada sekali pemberian.
Pemantauan yang sangat ketat diperlukan karena risiko hipotensi
yang disebabkan blok saraf simpatis dan henti nafas karena
penyebaran ke sefalad yang berlebihan. Berguna untuk analgesia
daerah torakal ke bawah.6
b. Blok kaudal, sangat bermanfaat untuk anak yang pembedahannya
tidak memerlukan perawatan (day care surgery), misalnya sunat
atau operasi daerah perineal dan anal.6
Keuntungan analgesia regional adalah:6
a. Pasien masih sadar selama pengaruh anestesi.
27
b. Penurunan dari respon stres dan windup (hipersensitisasi dari respon SSP
yang muncul bila nyeri yang timbul tidak ditangani segera).
c. Penurunan kebutuhan akan opioid dan penurunan efek samping pada
penggunaan narkotik.
d. Kembalinya aktivitas normal lebih awal, termasuk kemampuan berjalan
kembali, dengan keuntungan meningkatnya aliran darah pada tungkai dan
menurunnya insiden trombosis vena dalam dan emboli.
Kerugian analgesia regional adalah:6
a. Efek samping anestesi lokal terjadinya blok sensoris dan motorik.
b. Banyaknya waktu dan personel yang diperlukan untuk melakukan blok
ulangan dan follow up.
c. Kurangnya pelatihan, keterampilan dan keinginan pada staf medis dan
perawat untuk melakukan teknik ini atau mengelola pasien.
d. Diperlukan peralatan yang lebih banyak, seperti kateter epidural atau
pompa infus.
3.4.3 Opioid
dengan Anestesi Lokal
Pada beberapa penelitian terhadap binatang didapatkan efek sinergis pada
penggunaan anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia epidural. Analgesia
yang baik dilaporkan pada penggunaan infus epidural kontinyu bupivakain dan
morfin, bupivakain dan fentanil, dan bupivakain dan sufentanil. Penggunaan
epidural anestesi lokal dengan opioid meningkatkan efek analgesia dan
mengurangi efek samping dibandingkan dengan penggunaan masing-masing obat
tersebut secara tersendiri. Beberapa penelitian melaporkan pada penggunaan PCA
28
epidural dengan opioid atau campuran opioid dan anestesi lokal dibandingkan
dengan pemberian infus kontinyu memberikan analgesia yang lebih baik dengan
jumlah obat yang lebih sedikit.7
Penggunaan kateter epidural dihubungkan dengan risiko terjadinya infeksi,
sehingga sebaiknya digunakan sebagai analgesia pascaoperasi dalam jangka
waktu yang pendek. Komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terjadinya
hematom epidural.7
3.4.4 Analgetik nonnarkotik
Analgesia agonis nonnarkotik merupakan metode lainnya yang dapat digunakan
untuk meminimalkan penggunaan opioid.5 Obat jenis ini terutama berguna bila
nyeri sudah tidak terlalu hebat lagi.6
a. Obat agonis-antagonis opioid
Memiliki potensi analgesi seperti opioid, namun memiliki keuntungan
dimana jarang mendepresi nafas (ceiling efeect). Tidak adanya efek
euforia dan adanya ceiling effect menurunkan risiko penyalahgunaan obat.
Kekuatan analgesi obat ini dalam derajat sedang, dimana memberikan
keuntungan yang rendah pada penatalaksanaan nyeri setelah pembedahan
mayor atau trauma berat.6
b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Diberikan pada pasien yang nyerinya disebabkan oleh proses inflamasi.6
NSAIDs sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati
nyeri ringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak
ada kontraindikasi, pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti
melaporkan kombinasi NSAIDs dengan opioid menurunkan kejadian dan
tingkat keparahan efek samping dari penggunaan opioid. Peneliti lain
melaporkan adanya peningkatan analgesia dan penurunan efek samping
bila NSAIDs dikombinasi dengan opioid intratekal.7 Obat ini perlu
mendapat perhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut
karena obat ini melemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan
perdarahan dan perdarahan gastrointestinal.5,7 Jadwal dengan dosis yang
terbatas (misal pada 48-72 jam pertama setelah kejadian) akan
menurunkan risiko efek samping pada gastrointestinal.5 Risiko terjadinya
29
efek samping pada penggunaan NSAIDs meningkat bila dikombinasikan
dengan beberapa obat seperti penggunaan bersama diuretik pada pasien
insufisiensi ginjal kronis, penggunaan bersama steroid, coumadin atau
heparin.7
c. Obat-obat ajuvan
Digunakan bertujuan untuk menurunkan dosis opioid yang diperlukan.5
1. Obat anticemas, efektif untuk mengatasi kecemasan dan kesedihan
pada pasien yang menderita trauma dan penyakit akut yang
merupakan akibat nyeri yang mereka rasakan. Perlu diperhatikan
adanya efek samping obat ini seperti sedasi dan disorientasi.
2. Antihistamin, memiliki efek sedasi dan mungkin efek analgesik
nonspesifik.
3. Fenotiazin, dahulu digunakan bersama dengan opioid karena
dianggap memiliki efek potensiasi. Obat ini hanya berefek sebagai
sedatif.
3.4.5 Modulasi sensoris
Modulasi sensoris berdasarkan pada konsep bahwa hiperstimulasi pada sistem
saraf akan menurunkan impuls nyeri ke SSP dan karenanya akan mencegah
terjadinya konsekunsi fisilogis yang buruk. Karena sistem saraf bereaksi pada
berbagai macam masukan, terapi ini dapat memberikan beberapa keuntungan.5
1. Pijatan, adalah teknik yang sederhana dengan cara menyentuh pasien.
Kontak ini mungkin akan memberikan kenyamanan pada pasien, juga
mengurangi rasa nyeri dan spesme otot yang terjadi bila kulit dan otot
dipijat.
2. Penggunaan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
menunjukkan 25% pasien memerlukan terapi lain selain TENS, 50%
memerlukan suplemen narkotik yang lebih sedikit, dan 25% tidak
merasakan sama sekali keuntungan dari alat ini. Alat ini memiliki
keuntungan yaitu tidak invasif, tidak berinteraksi dengan jenis terapi lain
yang digunakan dan bisa dikontrol oleh pasien sendiri.
30
3. Akupuntur merupakan cara yang klasik dan tidak rutin dilakukan namun
dapat digunakan sebagai terapi stimulasi.
4. Penggunaan kontras dingin dan hangat bergantian. Merupakan cara yang
noninfasif yang memerlukan kontak fisik dengan pasien yang
memeberikan efek analgesia tanpa memberikan efek samping obat.
3.4.6 Teknik psikologis/regulasi diri
Teknik ini memberikan kontrol perasaan pada pasien selama terjadi nyeri
pascaoperasi atau pascarauma, termasuk menunjukkan bahwa pandangan dan
kepercayaan pasien adalah hal yang penting.5
Berikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang
terapi apa saja yang akan diberikan oleh pekerja kesehatan untuk pasien. Hal ini
akan meningkatkan keinginan pasien untuk lepas dari rasa nyeri yang mereka
derita setelah mereka mengerti apa yang terjadi dan apa yang diharapkan dari
terapi yang dilakukan.5
Dapat dilakukan terapi hipnosis, yaitu suatu keadaan dimana perhatian
terfokus yang bisa dilakukan oleh banyak orang dengan berbagai macam keadaan.
Meskipun terapi ini memerlukan latihan, untuk pasien yang menderita masalah
nyeri yang lama hipnosis dapat menjadi terapi analgetik dan kecemasan yang
efektif.5
Latihan biofeedback dan relaksasi merupakan bentuk alternatif dari
regulasi diri. Seperti halnya hipnosis, memerlukan waktu dan latihan yang lama.5
3.5 Analgesia Preemptif
Analgesia preemptif adalah pemberian analgesia sebelum terjadinya luka yang
bermanfaat untuk mengatasi nyeri setelah luka, lebih lama daripada obat-obat
yang diberikan setelah terjadi luka. Luka pada jaringan perifer (karena trauma
atau pembedahan ) berefek pada dua jenis respon neural. Pertama, ujung terminal
saraf menjadi tersensitisasi atau terjadi penurunan ambang nyeri, yang kedua,
terjadi sensitisasi di sentral atau terjadi peningkatan eksitabilitas yang tergantung
aktivitas pada saraf spinal. Kedua efek ini menghasilkan keadaan hipersensitivitas
tehadap nyeri yang bisa disebut “nyeri pascaoperasi”. Terapi preemptif, misalnya
31
blok dengan anestesi lokal pada daerah yang luka, teknik regional preoperasi atau
premedikasi dengan opioid akan mencegah terjadinya hipersensitifitas dengan
cara memblok input sensoris yang menginduksi sensitisasi di sentral.9
Kerusakan jaringan akibat pembedahan akan diikuti oleh proses inflamasi selama
beberapa jam sampai beberapa hari pada jaringan yang rusak. Respon inflamasi
sekunder ini akan terus terjadi selama masa penyembuhan luka. Penelitian
menunjukkan pengobatan preemptif tunggal mungkin tidak cukup untuk
menghilangkan nyeri pascaoperasi karena obat tidak dapat bertahan sampai
periode nyeri inflamasi pascaoperasi. Untuk itu diperlukan analgesia preemptif
kontinyu. Hal ini termasuk NSAIDs untuk mengurangi aktivasi atau sensitisasi
perifer dari nosiseptor, anastesi lokal untuk memblok impuls sensorik, dan obat
yang bekerja di sentral seperti opiat untuk mencegah sensitisasi sentral selama
periode pascaoperasi.9
BAB 4
SIMPULAN
Nyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering
dikeluhkan oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan
mempengaruhi seberapa banyak nyeri tersebut akan dirasakan dan bagaimana
seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut dapat dibagi
32
lagi menjadi Sensoris (komponen fisiologis), Kognitif (komponen psikologis)
Afektif (komponen psikologis) dan Tingkah laku (komponen psikologis).
Menurut International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri
adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi
karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan.
Tidak semua sensasi yang dirasakan pasien sebagai nyeri bisa diobati
dengan cara yang sama. Paisen harus dievaluasi secara sistematis untuk dapat
mencari penyebab nyeri mereka dan penilaian berulang atas respon mereka
terhadap terapi.
Terapi yang terbaik yang diberikan bagi pasien yang menderita nyeri adalah
yang sesuai dengan penyebab nyeri dan terapi yang mampu menghilangkan rasa
nyeri sehingga memberikan kepuasan bagi pasien.
Tujuan semua terapi ini adalah tercapainya kenyamanan pasien, cepatnya
masa pemulihan sehingga dapat menjalani aktifitas normal, masa rawat di rumah
sakit yang lebih singkat dan berkurangnya biaya yang dikeluarkan oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G. Nyeri. In: Diktat Kumpulan Kuliah. Denpasar: Lab. Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD; 2004.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Tatalaksana Nyeri. In: Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; 74-83.
33
3. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. Stamford: Appleton and Lange. 2004; 274-316.
4. Avidan M, Harvey AM, Ponte J, Wendon J, Ginsburg R. Pain Management. In: Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management and Intensive Care. London: Churchill Livingstone. 2003; 78-102.
5. Hamill RJ. and Rowlingson JC. Issues in Postoperative Pain Control. In: Handbook of Critical Care Pain Manajenent. Singapore: McGraw-Hill. 1994; 443-454.
6. Muhardi, Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. In: Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1989; 197-200.
7. Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC. Postoperative Pain. In: Bonica’s Management of Pain. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2001; 769-776.
8. Cousing MJ, Bridenbaugh PO. PostoperativePain. In: Neural Blockade In Clinical Anesthesia and Management of Pain. 2nd ed. Philadelphia: J.B. Lippncott Company. 1988; 865-870.
9. Bridenbaugh P. Preemptive Analgesia-is it Clinically Relevant? In: Dureja, Madan, Kaul (eds). Regional Anesthesia and Pain Management. New Delhi: B.I. Churchill Livingstone PVT LTD. 2000; 283-308.
34