nyeri akut - anestesi

53
BAB 1 PENDAHULUAN Rasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang pasien kepada seorang dokter. Hal ini hampir selalu merupakan manifestasi dari semua proses patologis. Setiap rencana penatalaksanaan harus diarahkan untuk mengatasi proses patologis yang menjadi penyebab dan pada rasa nyeri itu sendiri. Pasien umumnya dirujuk untuk mendapatkan menejemen nyeri bila diagnosis telah ditegakkan dan penatalaksanaan untuk proses yang mendasari rasa nyeri tersebut telah dilakukan. Untuk perkecualian, pasien dengan nyeri kronis dimana proses penyebab biasanya masih merupakan suatu misteri setelah investigasi awal. Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan seseorang akan adanya atau akan terjadinya suatu kerusakan jaringan. Nyeri akut akan mendorong seseorang untuk keluar dari situasi yang mengancam. Nyeri pascaoperasi merupakan bentuk dari nyeri akut, namun fungsinya sebagai peringatan berkurang dan sulit untuk dihindari. Karena nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional, nyeri pascaoperasi juga dapat menyebabkan kecemasan (berkaitan dengan frekuensi, intensitas, keparahan dan ketidakpastian tentang cara 1

Upload: dayu-agung

Post on 16-Apr-2015

108 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan seseorang akan adanya atau akan terjadinya suatu kerusakan jaringan. Nyeri akut akan mendorong seseorang untuk keluar dari situasi yang mengancam.

TRANSCRIPT

Page 1: Nyeri Akut - Anestesi

BAB 1

PENDAHULUAN

Rasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang pasien

kepada seorang dokter. Hal ini hampir selalu merupakan manifestasi dari semua

proses patologis. Setiap rencana penatalaksanaan harus diarahkan untuk mengatasi

proses patologis yang menjadi penyebab dan pada rasa nyeri itu sendiri. Pasien

umumnya dirujuk untuk mendapatkan menejemen nyeri bila diagnosis telah

ditegakkan dan penatalaksanaan untuk proses yang mendasari rasa nyeri tersebut

telah dilakukan. Untuk perkecualian, pasien dengan nyeri kronis dimana proses

penyebab biasanya masih merupakan suatu misteri setelah investigasi awal.

Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan seseorang akan

adanya atau akan terjadinya suatu kerusakan jaringan. Nyeri akut akan mendorong

seseorang untuk keluar dari situasi yang mengancam.

Nyeri pascaoperasi merupakan bentuk dari nyeri akut, namun fungsinya

sebagai peringatan berkurang dan sulit untuk dihindari. Karena nyeri adalah

pengalaman sensoris dan emosional, nyeri pascaoperasi juga dapat menyebabkan

kecemasan (berkaitan dengan frekuensi, intensitas, keparahan dan ketidakpastian

tentang cara mengontrolnya) dan penderitaan (suatu cara yang unik dimana terjadi

interaksi antara nyeri dengan fisik dan emosional pasien).

Nyeri pascaoperasi sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada

pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan

nyeri pascaoperasi yang sama.

Karena nyeri pascaoperasi mengakibatkan penderitaan bagi pasien,

penting bagi kita sebagai praktisi dalam bidang kedokteran untuk mengetahui

penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi.

1

Page 2: Nyeri Akut - Anestesi

BAB 2

NYERI AKUT

2.1 Batasan Nyeri1,2,3

Nyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering

dikeluhkan oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan

mempengaruhi seberapa banyak nyeri tersebut akan dirasakan dan bagaimana

seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut dapat dibagi

lagi menjadi:

Sensoris, deteksi neural dari stimulus noksius (komponen fisiologis)

Kognitif, pemikiran mengenai nyeri (komponen psikologis)

Afektif, reaksi emoional terhadap nyeri (komponen psikologis)

Tingkah laku, aksi atau mekanisme menghindari yang dilakukan untuk

mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri (komponen psikologis)

Menurut International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri

adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi

karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan.

Salah satu peran penting dari sistim saraf adalah untuk memberikan

informasi mengenai ancaman terhadap tubuh. Deteksi neural dari tubuh disebut

dengan nosisepsi. Nosisepsi melibatkan penghantaran informasi dari bagian

perifer yang berasal dari reseptor pada jaringan (nosiseptor) menuju struktur

sentral dalam otak.

Nosisepsi sendiri tidak langsung diterjemahkan sebagai sensasi nyeri.

Medula spinalis mampu meningkatkan atau menurunkan transmisi dari sinyal

nosisepsi yang dibawa menuju ke otak. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

psikologis seseorang dapat mempengaruhi sensasi nyeri sesuai respon emosional

dan tingkah lakunya. Hal ini merupakan rasionalisasi dari pendekatan psikologis

seperti terapi pengalihan perhatian dan teknik relaksasi dalam menejemen nyeri.

2

Page 3: Nyeri Akut - Anestesi

2.2 Anatomi dan Fisiologi Nyeri2,3,4

2.2.1 Jalur Nyeri

Untuk menyederhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui tiga jalur saraf yang

menghantarkan nyeri dari bagian perifer menuju korteks. Saraf aferen pertama

terletak pada ganglia radiks dorsalis yang terdapat dalam formina vertebralis.

Setiap neuron mempunyai

akson tunggal yang bercabang

dua, salah satu ujung menuju

jaringan perifer untuk untuk

menginervasinya dan cabang

lainnya menuju kornu dorsalis

medula spinalis. Dalam kornu

dorsalis, neuron aferen pertama

akan bersinaps dengan neuron

kedua yang aksonnya

menyilang garis tengah dan naik

ke atas melalui traktus

spinotalamikus kontralateral

yang akhirnya akan mencapai

talamus. Neuron kedua akan

bersinaps pada nukleus talami

dengan neuron tersier,

berikutnya sinyal akan

diproyeksikan melalui kapsula

interna dan korona radiata untuk

mencapai girus pascasentralis

korteks serebri.

Neuron Pertama

Pada umumnya, ujung

proksimal dari akson neuron

pertama akan memasuki medula

3

Gambar 1. Jalur nyeri

Page 4: Nyeri Akut - Anestesi

spinalis melalui bagian dorsal pada setiap segmen servikal, torakal, lumbal, dan

sakral. Beberapa serat yang tidak bermielin masuk melalui bagian ventral dari

medula spinalis, mengingat ditemukannya pasien yang masih tetap merasa nyeri

bahkan setelah transeksi dari radiks dorsalis. Setelah memasuki kornu dorsalis,

selain bersinaps dengan neuron kedua juga bersinap dengan interneuron, saraf

simpatis, dan kornu venralis medula spinalis.

Serat saraf nyeri yang berasal dari kepala dibawa oleh nervus trigeminus

(V), fasialis (VII), glosofaringeus (IX), dan vagus (X). Ganglion gaseri juga

mengandung badan sel dari serat sensoris pada bagian optalmikus, maksilaris, dan

mandibula dari nervus trigeminus. Badan sel dari neuron aferen pertama nervus

fasialis terletak pada ganglion genikulatus. Sedangkan badan sel neuron aferen

pertama dari nervus glosofaringeus terletak pada ganglion superior dan petrosus.

Sedangkan nervus vagus terletak pada ganglion jugular dan ganglion nodusum.

Neuron kedua

Setelah serabut aferen memasuki kornu dorsalis, serabut-serabut tersebut akan

memisahkan diri sesuai ukuran dengan serat besar bermielin terletak pada bagian

medial dan serat kecil tidak bermielin terletak pada bagian lateral. Serat saraf

nyeri akan mengirimkan cabang satu sampai tiga segmen medula spinalis ke atas

dan ke bawah sebelum bersinap dengan neuron kedua pada bagian abu-abu dari

kornu dorsalis ipsilateral. Pada beberapa bagian serat-serat ini juga berhubungan

dengan neuron kedua melalui interneuron.

Area abu-abu dari medula spinalis oleh Rexed dibagi menjadi 10 lamina.

Dimana enam lamina pertama yang membentuk kornu dorsalis menerima seluruh

aktivitas serat aferen dan juga berperan sebagai tempat modulasi nyeri. Neuron

kedua terdiri atas neuron spesifik rasa nyeri dan neuron Wide Dynamic Range

(WDR). Neuron spesifik rasa nyeri hanya menerima stimulus noksius, sedangkan

neuron WDR juga menerima stimulus non-noksius dari serat aferen Aβ, Aδ, dan

C. Neuron spesifik nosiseptif tersusun secara somatotopik dalam lamina I dan

mempunyai lapangan reseptif yang spesfik. Serat-serat ini biasanya tidak

berfungsi dan hanya berespon terhadap stimulus noksius dengan ambang yang

tinggi. Neuron WDR neuron berjumlah paling banyak dalam kornu dorsalis.

4

Page 5: Nyeri Akut - Anestesi

Walaupun demikian, neuron WDR dapat ditemukan dalam jumlah besar pada

lamina V. Selama stimulus yang berulang, neuron WDR mempunyai sifat

meningkatkan intensitas stimulus secara eksponensial (”wind up”), bahkan

dengan intensitas stimulus yang sama. Serabut-serabut ini juga mempunyai

lapangan reseptif yang lebih luas dibandingkan dengan neuron spesifik nosiseptif.

Kebanyakan dari serabut nosiseptif C akan memberikan kolateral atau berakhir

pada neuron kedua pada lamina I dan II, atau dalam jumlah yang lebih kecil pada

lamina V. Sebaliknya, serabut nosiseptif Aδ terutama bersinap pada lamina I dan

V, serta dalam jumlah yang kecil pada lamina X. Lamina I terutama merespon

terhadap stimulus noksius yang berasal dari kulit dan jaringan somatik dalam.

Lamina II yang juga disebut substansia gelatinosa, mengandung banyak

interneuron dan dipercaya berperan penting dalam mengolah dan memodulasi

input nosiseptif yang berasal dari nosireseptor kulit. Selan itu bagian ini juga

dianggap sebagai tempat kerja opioid yang utama. Lamina III dan IV terutama

menerima input sensoris non-nosiseptif. Lamina VIII dan IX membentuk kornu

anterior. Lamina VII dinamakan sebagai kolumna intermediolateral dan

mengandung badan sel dari neuron simpatis preganglion.

Serabut aferen viseral terutama berakhir pada lamina V, selain itu juga

berakhir pada lamina I dalam jumlah yang lebih kecil. Kedua lamina ini

menunjukkan titik dimana terjadi konvergensi antara input somatik dan viseral.

Lamina V merespon baik input noksius dan non-noksius serta menerima baik

serabut aferen somatik dan viseral. Fenomena konvergensi antara input somatik

dan viseral mempunyai menifestasi klinis sebagai refered pain. Dibandingkan

dengan serabut somatik, serabut nosiseptif viseral berjumlah lebih sedikit,

terdistribusi lebih luas, secara proporsional mengaktifkan sejumlah besar neuron

spinal, dan tidak terorganisir secara somatotopik.

A. Traktus Spinotalamikus

Akson dari kebanyakan neuron kedua menyilang garis tengah dekat dengan

bagian asalnya (komisura anterior) menuju sisi kontralateral dari medula spinalis

sebelum membentuk traktus spinotalamikus dan mengirimkan seratnya ke

talamus, formasio retikularis, nukleus raphe magnus, dan periaquaductal gray.

5

Page 6: Nyeri Akut - Anestesi

Traktus spinotalamikus yang berperan sebagai jalur nyeri yang utama, terletak

anterolateral dari bagian area putih medula spinalis. Traktus asenden ini dapat

dibagi menjadi traktus lateral dan medial. Traktus spinotalamikus lateralis

(neospinotalamik) terutama terproyeksi pada nukleus ventral posterolateral

talamus dan membawa aspek diskriminatif dari nyeri, seperti lokasi, intensitas dan

durasi. Traktus spinotalamikus medialis (paleospinotalamik) terproyeksi pada

bagian medial talamus dan bertanggung jawab atas respon otonom dan persepsi

emosional tidak menyenangkan dari nyeri. Beberapa serabut spinotalamikus juga

terproyeksi pada periaquaductal gray dan dengan demikian dapat merupakan

hubungan penting antara jalur asenden dan desenden. Serabut kolateral juga

terproyeksi pada reticular activating system dan hipotalamus, yang kemungkinan

bertanggung jawab untuk respon membangunkan terhadap nyeri.

B. Jalur Nyeri Alternatif

Bersama dengan stimulus epikritik, serabut nyeri tersebar secara difus, ipsilateral

dan kotralateral. Karena itu, beberapa pasien akan terus merasa nyeri setelah

dilakukan ablasi traktus spinotalamikus dari sisi kontralateral. Dengan demikian

jalur nyeri asenden lainnya juga berperan penting. Traktus Spinotalamikus

diperkirakan memperantarai respon membangkitkan dan otonom terhadap nyeri.

Traktus Spinomesensefalus mungkin berperan penting dalam mengaktifkan jalur

antinosiseptif desenden karena traktus ini mempunyai proyeksi pada

periaquaductal gray. Traktus Spinotalamikus dan Spinotelensefalus mengaktifkan

hipotalamus dan membangkitkan tingkah laku emosional. Traktus Spinoservikalis

berjalan keatas tanpa menyilang, ke nukleus servikalis lateralis, melanjutkan

serabutnya ke talamus kontralateral. Traktus ini diperkirakan sebagai jalur nyeri

alternatif yang utama. Dan yang terakhir, beberapa serabut pada kolumna dorsalis

(terutama membawa rangsangan proprioseptif dan raba ringan) bersifat responsif

terhadap nyeri, serabut ini naik pada sebelah medial ipsilateral.

C. Integrasi dengan Sistim Simpatis dan Motoris

Aferen somatik dan viseral terintegrasi secara penuh dengan sistim otot skeletal

dan sistim simpatis pada medula spinalis, batang otak, dan pusat-pusat yang lebih

6

Page 7: Nyeri Akut - Anestesi

tinggi. Saraf aferen kornu dorsalis, bersinaps baik secara langsung maupun tidak

langsung maupun tidak langsung dengan motor neuron kornu anterior. Sinapsis

ini bertanggung jawab atas aktivitas reflek otot, baik normal maupun abnormal,

yang berhubungan dengan nyeri. Dengan cara yang hampir sama, sinapsis antara

neuron nosiseptif aferen dan saraf simpatis pada kolumna intermediolateral

menghasilkan reflek simpatis berupa vasokonstriksi, spasme otot polos, dan

pelepasan katekolamin, baik lokal dan yang berasal dari medula adrenal.

Neuron Ketiga

Neuron ketiga terletak pada talamus dan mengirimkan serabutnya ke area

somatosensoris I dan II pada girus pascasentralis korteks parietalis dan dinding

superior fisura silvii. Persepsi dan lokalisasi nyeri diolah pada area kortikal ini.

Walaupun kebanyakan neuron dari nukleus talamus lateralis terproyeksi ke

korteks somatosensoris primer, neuron yang berasal dari nukleus intralaminer dan

medial nuklus terproyeksi ke girus cingulate anterior dan kemungkinan

memperantarai komponen penderitaan dari nyeri.

2.2.2 Fisiologi Nosisepsi

1. Nosiseptor

Nosiseptor mempunyai ciri diaktifkan dengan ambang yang tinggi dan mengkode

intensitas stimulus dengan meningkatkan discharge rate secara gradual. Pada

stimuli yang berulang, nosiseptor bersifat adaptif, sensitisasi, dan after discharge.

Sensasi noksius sering dapat dipecah menjadi dua komponen yaitu sensasi

nyeri tajam, cepat dan dapat dilokalisasi dengan baik (”first pain”), yang

dihantarkan dengan masa laten yang singkat (0,1 detik) oleh serabut Aδ, dan nyeri

tumpul dengan onset yang lebih lambat, dan sering tidak dapat dilokalisasi dengan

baik (”second pain”) yang dihantarkan oleh serabut C. Berlawanan dengan

sensasi epikritik yang ditransduksikan oleh organ akhir spesifik (korpus pacini

untuk rasa raba), sensasi protopatik terutama ditransduksikan oleh ujung saraf

bebas.

Kebanyakan nosiseptor adalah ujung saraf bebas yang merasakan kerusakan

jaringan akibat panas, kimiawi dan mekanik. Tipe reseptor tersebut antara lain

7

Page 8: Nyeri Akut - Anestesi

mekanoreseptor yang merespon terhadap cubitan dan tusukan jarum, silent

nosiseptor yang merespon proses keradangan, dan polymodal mechanoheat

nosiseptor. Tipe yang terakhir berjumlah paling banyak dan merespon rangsang

tekanan yang berlebihan, suhu yang ekstrim (> 42°C dan < 18°C), dan alogen

(substansi yang menyebabkan nyeri). Setidaknya dua reseptor nosiseptor telah

diidentifikasi yaitu, VR1 dan VRL-1. Keduanya merespon terhadap suhu yang

tinggi. Alogen antara lain barikinin, histamin, serotonin (5-hidroksitriptamin atau

5-HT), H+, K+, beberapa prostaglandin, dan kemungkinan adenosin trifosfat.

Kapsaisin (capcaicin) menstimulasi reseptor VR1. Nosiseptor polimodal

beradaptasi lambat terhadap tekanan yang kuat dan menunjukkan sensitisasi

terhadap panas.

Nosiseptor Kulit

Nosiseptor didapatkan baik pada jaringan somatik dan viseral. Neuron aferen

primer mencapai jaringan dengan berjalan sepanjang nervus somatik, simpatik,

atau parasimpatis medula spinalis. Nosiseptor somatik termasuk yang terdapat

pada kulit dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia, dan tulang) dimana nosiseptor

viseral seperti yang didapatkan pada organ internal. Kornea dan pulpa gigi bersifat

unik karena secara eksklusif diinervasi oleh serabut nosiseptif Aδ dan C.

Nosiseptor Somatik Dalam

Nosiseptor somatik dalam bersifat lebih tidak sensitif terhadap stimulus noksius

dibandingkan dengan nosiseptor kulit. Tetapi lebih mudah tersensitisasi oleh

proses peradangan. Rasa nyeri yang berasal dari reseptor ini bersifat tumpul dan

tidak dapat dilokalisasi dengan baik. Nosiseptor spesifik terdapat pada otot dan

kapsul sendi. Reseptor ini merespon stimulus mekanik, suhu dan kimiawi.

Nosiseptor Viseral

Organ viseral umumnya merupakan jaringan yang tidak sensistif, yang biasanya

mengandung silent nosiseptors. Beberapa organ mungkin mempunyai nosiseptor

spesifik seperti jantung, paru, testis, dan duktus biliaris. Kebanyakan organ lain

seperti intestinal, diinervasi oleh nosiseptor polimodal yang merespon terhadap

8

Page 9: Nyeri Akut - Anestesi

spasme otot polos, iskemia, dan inflamasi.(alogen). Reseptor-reseptor ini tidak

sensitif terhadap pemotongan, pemanasan, ataupun penghancuran yang terjadi

pada saat pembedahan. Beberapa organ seperti otak tidak mempunyai nosiseptor

walaupun selaput otak mengandung nosiseptor.

Seperti nosiseptor somatik, reseptor yang terdapat pada visera merupakan

ujung saraf bebas dari neuron aferen primer yang badan sel nya terletak pada

kornu dorsalis. Serabut-serabut saraf ini, seringkali berjalan mengikuti serat saraf

eferen simpatis untuk mencapai visera. Serabut aferen dari neuron-neuron ini

memasuki medula spinalis diantara T1 dan L2. Serabut nosiseptif C yang berasal

dari esofagus, laring, dan trakea berjalan dengan nervus vagus untuk mencapai

nukleus solitarius pada batang otak. Serabut aferen nyeri yang berasal dari

kandung kemih, prostat, rektum, serviks, dan uretra, serta genitalia berjalan

menuju medula spinalis melalui saraf parasimpatis pada tingkat S2 – S4.

Walaupun jumlah serabut nyeri somatik relatif sedikit, serabut yang berasal dari

saraf aferen viseral primer akan memasuki medula spinalis dan bersinap dengan

lebih difus, sering bersinap dengan beberapa tingkat dermatom dan menyilang

garis tengah menuju kornu dorsalis kontralateral.

2. Mediator Kimiawi Nyeri

Beberapa neuropeptida dan asam amino eksitatorik berfungsi sebagai

neurotransmiter untuk sara aferen nyeri. Kebanyakan dari neuron ini mengandung

lebih dari satu neurotransmiter yang dilepaskan secara bersamaan. Yang paling

penting dari beberapa peptida tersebut adalah substansi P (sP) dan peptida

kalsitonin tergantung gen (CGRP). Sedangkan Glutamat merupakan asam amino

eksitasi yang paling penting.

Substansi P merupakan suatu peptida dengan 11 asam amino yang disintesa

dan disekresikan oleh neuron pertama baik di perifer maupun di kornu dorsalis.

Zat ini merupakan salah satu dari enam peptida takikinin yang mempunyai urutan

asam amino karboksil yang sama. Substansi P, yang juga ditemukan pada bagian

lain dari sistim saraf dan intestinal, memfasilitasi transmisi nyeri melalui aktivasi

reseptor NK-1. Pada bagian perifer, neuron sP mengirimkan kolateral-kolateral

yang berhubungan dengan pembuluh darah, kelenjar keringat, folikel rambut, dan

9

Page 10: Nyeri Akut - Anestesi

sel mast dari dermis. Substansi P mensensitisasi degranulasi histamin dari sel mast

dan 5-HT dari platelet. Zat ini juga merupakan vasodilator poten dan

chemoattractant poten untuk leukosit. Neuron yang melepaskan sP juga

menginervasi viseral dan memberikan kolateral ganglion simpatis paravertebral.

Stimulasi kuat pada visera, dengan demikian dapat menyebabkan pengaktifan

langsung terhadap saraf simpatis pascaganglionik.

Baik reseptor opioid dan α2-adrenergik telah ditemukan pada atau di dekat

ujung terminal dari saraf yang tidak bermielin. Walaupun peran fisiologisnya

masih belum diketahui dengan jelas, tetapi mungkin hal ini dapat menjelaskan

efek analgesia dari opioid yang diaplikasikan pada jaringan perifer, terutama

dengan keberadaan inflamasi.

3. Modulasi Nyeri

Modulasi nyeri dapat terjadi pada bagian perifer yaitu pada nosiseptor, pada

medula spinalis, atau pada struktur supraspinal. Proses modulasi ini dapat

menghambat (supresi) atau memfasilitasi rasa nyeri.

Modulasi Perifer

Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah stimulasi yang

berulang. Sensitisasi dapat bermanifestasi sebagai perubahan respon terhadap

10

Page 11: Nyeri Akut - Anestesi

stimulus noksius atau responsifitas yang baru didapat dengan jangkauan yang

lebih luas, termasuk stimulus yang non-noksius.

A. Hiperalgesia Primer

Sensitisasi nosiseptor menyebabkan penurunan nilai ambang, peningkatan

frekuensi respon terhadap intensitas stimulus yang sama, penurunan respon laten,

bahkan terjadi eksitasi spontan setelah stimulus berhenti (afterdischarge).

Sensitisasi umumnya terjadi bersamaan dengan terjadinya jejas maupun setelah

terpapar pada suhu yang tinggi. Hiperalgesia primer diperantarai oleh pelepasan

alogen yang berasal dari jaringan yang rusak. Histamin dilepaskan dari sel mast,

basofil dan platelet. Bradikinin dilepaskan dari jaringan setelah aktivasi faktor

XII. Bradikinin akan mengaktifkan ujung saraf bebas melalui reseptor spesifik

(B1 dan B2)

Prostaglandin dihasilkan setelah kerusakan jaringan oleh aktivitas dari

enzim fosfolipase A2 terhadap fosfolipid yang dilepaskan dari membran sel untuk

membentuk asam arakhidonat. Jalur siklooksigenase (COX) kemudian akan

mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid yang berikutnya akan diubah

menjadi prostasiklin dan prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 secara langsung

mengaktifkan ujung saraf bebas, dimana prostasiklin akan mempotensiasi edema

akibat bradikinin. Jalur lipooksigenase akan mengubah asam akrakhidonat

menjadi hidroperoksid dan akhirnya menjadi leukotrien. Peran leukotrien masih

belum jelas, tetapi tampaknya akan mempotensiasi beberapa jenis nyeri. Agen

farmakologis seperti asam asetilsalisilat (ASA atau aspirin), asetaminofen, dan

nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID) menghasilkan efek analgesia dengan

menghambat COX. Efek analgesik dari kortikosteroid tampaknya akibat

penghambatan produksi prostaglandin dengan memblok aktivasi fosfolipase A2.

B. Hiperalgesia Sekunder

Inflamasi neurogenik yang juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder, juga

memegang peranan penting dalam sensitisasi perifer setelah tejadinya cedera. Hal

ini bermanifestasi sebagai ”Tripel Respon” yang terdiri dari kemerahan dari

tempat cedera (flare), edema jaringan lokal, dan sensitisasi stimulus noksius.

11

Page 12: Nyeri Akut - Anestesi

Hiperalgesia sekunder terutama disebabkan oleh pelepasan sP (dan kemungkinan

CGRP) dari akson kolateral neuron aferen primer. Substansi P menyebabkan

degranulasi histamin dan 5-HT, vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan

edema jaringan, termasuk induksi pembentukan leukotrien.Respon yang berasal

dari neural ini ditegaskan lagi dengan (1) respon ini dapat dihasilkan dari

stimulasi antidromik dari saraf sensoris, (2) respon ini tidak dapat diamati pada

jaringan yang mengalami denervasi, (3) respon ini dapat dikurangi dengan

memasukkan anestesi lokal seperti lidokain. Komplek kapsaisin, yang berasal dari

lada merah Hungaria, menimbulkan deganulasi sP. Bila zat ini diaplikasikan

secara topikal dapat mengurangi inflamasi neurogenik dan tampaknya berguna

untuk beberapa pasien dengan neuralgia pascaherpetik.

Modulasi Sentral

A. Fasilitasi

Setidaknya terdapat tiga mekanisme yang mengaktikan medula spinalis secara

sentral:

(1) Efek penjumlahan dan sensitisasi dari neuron kedua. Neuron WDR akan

meningkatkan frekuensi bangkitan bila menerima stimulus yang berulang

dan menunjukkan bangkitan yang berkepanjangan, bahkan setelah

masukan dari serabut aferen C telah berhenti.

(2) Perluasan lapangan resptor. Neuron kornu dorsalis meningkatkan lapangan

reseptif dengan menyebabkan neuron yang terletak berdekatan menjadi

responsif terhadap stimulus (baik noksius maupun non-noksius).

(3) Hipereksitabilitas dari reflek fleksi. Peningkatan reflek fleksi dapat

ditemukan baik pada sisi ipsilateral maupun kontralateral.

Mediator neurokimiawi dari sensitisasi sentral antara lain sP, CGRP, peptida

intestinal vasoaktif (VIP), kolesistokinin (CCK), angiotensin dan galanin , serta

asam amino eksitasi L-glutamat dan L-aspartat. Substansi-substansi ini

menyebabkan perubahan pada eksitabilitas membran melalui interaksi dengan

reseptor membran terikat G-protein pada neuron, mengaktifkan intracellular

second massanger yang berikutnya akan menfosforilasi substrat protein. Sebuah

jalur yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intrasel.

12

Page 13: Nyeri Akut - Anestesi

B. Inhibisi

Transmisi masukan nosiseptif pada medula spinalis dapat dihambat dengan

aktifitas segmental dari medula spinalis itu sendiri dan aktivitas neural desenden

dari pusat supraspinal.

(1) Inhibisi segmental. Aktivasi dari serabut aferen yang besar yang melayani

sensasi epikritik akan menghambat WDR dan aktivitas traktus spinotalamikus.

Lebih lanjut, aktivasi stimulus noksius terhadap bagian tubuh yang berbeda

dapat menghambat neuron WDR pada tingkat yang lain. Misalnya rasa nyeri

dari satu bagian tubuh akan menghambat rasa nyeri dari bagian tubuh yang

lain. Fenomena ini mendukung teori gerbang dari nyeri yang diproses pada

medula spinalis. Glisin dan asam γ-aminobutirik (GABA) merupakan asam

amino yang berfungsi sebagai neurotransmiter inhibisi. Kedua asam amino ini

tampaknya mempunyai peran penting dalam inhibisi nyeri segmental pada

medula spinalis. Antagonis dari glisin dan GABA dapat menyebabkan

fasilitasi neuron WDR dan menyebabkan alodinia dan hiperestesia.

(2) Inhibisi supraspinal. Beberapa struktur supraspinal mengirimkan serabutnya

turun kebawah menuju medula spinalis untuk menghambat nyeri pada kornu

dorsalis. Asal dari jalur desenden ini antara lain peiaquaductal gray, formasio

retikuler, dan nukleus raphe magnus (NRM). Stimulasi peiaquaductal gray

pada otak tengah dapat menyebabkan analgesia luas. Akson dari traktus ini

bekerja pada bagian presinaptik pada neuron aferen primer dan bekerja pada

pascasinaptik pada neuron kedua (atau interneuron). Jalur-jalur ini

memperantarai kerja antinosiseptifnya melalui mekanisme reseptor

adrenergik-α2, serotonergik, dan opiat. Peran monoamin dalam inhibisi nyeri

menjelaskan kerja analgesik dari anti depresan yang memblokir pengambilan

kembali katekolamin dan serotonin. Aktifitas dari reseptor-reseptor ini juga

mengaktifkan secondary intracellular messenger, membuka saluran K+ dan

menghambat peningkatan konsentrasi intraselular.

2.2.3 Efek Sistemik Nyeri

Menurut suatu penelitian, 75 % penderita pasca operasi opioid secara intermiten,

masih merasakan sensasi nyeri yang bervariasi dari intensitas sedang sampai

13

Page 14: Nyeri Akut - Anestesi

berat. Penanganan masalah nyeri (pasca trauma) selain aspek manusiawi, juga

berkaitan dengan efek nyeri pada fungsi organ dan kesadaran umum penderita.

Efek Endokrin.

Diatas sudah disebutkan bahwa impuls nyeri yang diteruskan ke sentral,

sebagian akan diteruskan ke hipotalamus dan segmental akan diteruskan juga

ke sel-sel neuron di kornu anterolateral medula spinalis. Stimulasi hipotalamus

selain akan mengaktifkan sistim simpatis, juga akan mengaktifkan kelenjar

hipofise dengan segala rangakaian efeknya. Aktivasi sel-sel neuron di kornu

anterolateral akan mengaktifkan sistim simpatis secara segmental. Akibat dari

semua hal tersebut adalah terjadinya pelepasan sejumlah hormon yang akan

menimbulkan efek biokimiawi. Selain meningkatnya hormon katabolik seperti

ketekolamin, kortisol, angiotensin II, juga akan terjadi pelepasan ADH,

ACTH, GH dan glukagon. Akibatnya secara perbandingan, hormon-hormon

anabolik menjadi lebih rendah. Adrenalin, kortisol, glukagon akan

menyebabkan terjadinya hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap

insulin. Selain itu, proses glukoneogenesis meningkat. Juga terjadi

katabolisme protein dan lipolisis. Aldosteron, Kortisol, ADH menyebabkan

terjadinya retensi Na+ dan air. Katekolamin dapat merangsang reseptor nyeri

sehingga intensitas nyeri bertambah.

Efek Kardiovaskuler

Pelepasan katekolamin, aldosteron, kortisol, ADH dan aktivasi angiotensin II

akan menimbulkan efek pada sistim kardiovaskuler. Hormon-hormon ini

mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan

meningkatkan retensi Na+ dan air. Angirtensin II menimbulkan vasokonstriksi.

Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot

jantung dan resistensi vaskuler perifer sehingga terjadilah hipertensi.

Takikardia dan disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah

dengan retensi Na+ dan air, timbullah resiko gagal jantung kogesti.

Efek Respirasi

Bertambahnya cairan ekstraseluler di paru-paru dapat menimbulkan gangguan

ventilasi perfusi. Operasi di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan

peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat menimbulkan resiko

14

Page 15: Nyeri Akut - Anestesi

hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum. Resikonya

atelektasis dan hipoksemia dapat terjadi.

Efek gastrointestinal

Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi

traktus gastrointestinal sehingga ileus paralitik dapat terjadi.

Efek Genitourinarius

Nyeri menimbulkan peningkatan tonus simpatis dengan akibat terjadinya

inhibisi tonus otot polos viseral termasuk buli-buli sehingga retensi urin dapat

terjadi.

Efek Imunologis

Nyeri akan menimbulkan stres, diikuti terjadinya limfopenia, leukositosis dan

dapat terjadi depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen

menurun.

Efek pada fungsi koagulasi

Stres menimbulkan perubahan viskositas darah dan fungsi platelet. Akan

terjadi peningkatan adhesitas trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin

dan immobilisasi, mudah terjadi komplikasi trombosis.

Efek umum

Akibat nyeri, penderita akan tampak sangat menderita. Akibat nyeri, tejadi

usaha membatasi gerakan sehingga terjadi immobilisasi fisik, akibatnya masa

pulih dapat menjadi lebih lama. Akibat nyeri, penderita jadi usah tidur, tidak

enak makan dan minum, mengalami anxietas, perasaan tidak akan tertolong

dan putus asa.

15

Page 16: Nyeri Akut - Anestesi

BAB 3

NYERI AKUT PASCA OPERASI

3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Pascaoperasi

Hamill dan Rowlingson dalam Handbook of Critical Care Pain Manajement

menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri pascaoperasi termasuk:5

a. Pengaruh patofisiologi

Pengaruh patofisiologi dari nyeri pascaoperasi melibatkan:

1. Trauma jaringan lokal yang timbul akibat insisi dan manipulasi

jaringan. Akan terjadi pelepasan bahan-bahan kimia secara lokal yang

meningkatkan input sensoris ke sistem saraf pusat (SSP).

2. Respon refleks segmental muncul di level medula spinalis, tempat

masuknya impuls nosiseptif.

3. Respon suprasegmental menunjukkan adanya efek aditif dari masukan

multilevel ke SSP.

4. Konsekuensi dari patofisiologi ini akan mempengaruhi morbiditas dan

mortalitas pascaoperasi. Semua sistem dalam tubuh dapat dipengaruhi,

dengan adanya kegagalan pada satu sistem sering menjalar ke sistem

yang lainnya. Misalnya, jika nyeri menyebabkan ileus paralitik pada

usus dan menyebabkan distensi abdomen, ini akan menghalangi

terjadinya respirasi yang adekuat dan akan meningkatkan risiko

terjadinya atelektasis dan pneumonia. Akibat dari terjadinya kegagalan

respirasi akan meningkatkan kerja sistem kardiovaskular dimana akan

berujung pada gagal jantung.

5. Karena pasien memiliki reaksi emosional terhadap nyeri (respon

melibatkan kognitif, reaksi afektif, dan kepercayaan), dokter harus

berhadapan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri dan efek nyeri

terhadap mereka. Sikap pasien tehadap nyeri akan mempengaruhi

semua terapi yang kita berikan.

16

Page 17: Nyeri Akut - Anestesi

b. Tempat operasi

Tempat operasi akan mempengaruhi insiden dan keparahan nyeri

pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang paling berat timbul setelah

dilakukannya prosedur pada toraks, abdomen atas, sendi-sendi utama,

punggung belakang dan daerah anorektal. Diantara tempat-tempat tersebut,

dua yang pertama disebutkan memiliki kecenderungan untuk mengganggu

fungsi paru-paru.

c. Persiapan preoperasi

Persiapan preoperasi yang dikerjakan oleh dokter dan perawat termasuk

memberikan informasi kepada pasien.

1. Dokter bedah menjelaskan alasan pembedahan, termasuk risiko dan

keuntungan tindakan pembedahan tersebut.

2. Ahli anestesi mendiskusikan dengan pasien akan pilihan untuk

mengontrol nyeri intraoperasi dan pascaoperasi.

3. Perawat dapat memberikan penjelasan tentang rutinitas di bangsal dan

memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

pasien.

d. Status fisik dan emosional pasien

Status pasien, baik fisik dan emosional, akan mempengaruhi respon pasien

terhadap pembedahan.

1. Trauma, sakit mendadak dan keadaan nyeri kronik akan menghabiskan

energi dan tenaga pasien, dan juga mengganggu kemampuan pasien

untuk beraktivitas dan mengurus diri sendiri. Pasien akan menderita

karena nutrisi yang kurang, hilangnya kekuatan fisik, atau kelelahan

emosional yang mana akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk

pulih dan sembuh.

2. Pasien mungkin memiliki penyakit medis lainnya yang akan

meningkatkan risiko anestesi dan/atau bedah.

3. Persepsi pasien akan pengaruh dari pembedahan yang dilakukan

terhadap kemampuan pasien untuk beraktivitas dan berfungsi secara

normal lagi adalah sangat penting.

17

Page 18: Nyeri Akut - Anestesi

4. Trauma dan sakit yang serius dapat memicu emosi yang tidak

menguntungkan seperti kecemasan, depresi, atau frustasi, yang mana

akan mempengaruhi penampilan, keikutsertaan pada rehabilitasi dan

penyembuhan pasien.

e. Manajemen intraoperasi

Manajemen intraoperasi yang dilakukan oleh personel anestesi dan bedah

secara langsung mempengaruhi tingkat keparahan nyeri pascaoperasi.

1. Penggunaan premedikasi termasuk dalam analgesia preemptif

(menghentikan nyeri sebelum nyeri itu terjadi).

2. Berhati-hati dalam memasang jalur intravena (misalnya dengan tidak

menegangkan kulit) akan meningkatkan kenyamanan pasien.

3. Lakukan intubasi yang lembut, berhati-hati dalam memposisikan

pasien dan buat otot berelaksasi untuk mencegah pasien berontak saat

masih dalam keadaan teranestesi ringan dimana akan meminimalkan

nyeri pada sendi dan muskuloskeletal.

4. Pilihan teknik anestesi yang mengkombinasi anestesi regional dengan

anestesi umum akan memberikan keuntungan akan anestesi lokal dan

perispinal atau narkotik perineural pada pasien selama intraoperasi dan

pascaoperasi.

5. Manipulasi yang lembut pada jaringan dan pemasangan drain akan

meningkatkan kenyamanan pasien.

f. Efektifitas tim pascaoperasi

Keefektifitasan dari tim pascaoperasi dalam menangani nyeri pascaoperasi

mulai dari persiapan dan terapi dapat dilihat dari efek yang terlihat pada

pre, intra dan pascaoperasi.

1. Penyebab dari nyeri bisa dilihat lebih jelas setelah pembedahan dan

komplikasi anestesi atau pembedahan akan muncul. Informasi yang

didapat akan mempengaruhi kondisi pasien.

2. Penanganan nyeri yang lemah akan menurunkan moral pasien dan

akan meningkatkan risiko berkembangnya konsekuensi patofisiologis

dari nyeri akut.

18

Page 19: Nyeri Akut - Anestesi

3. Perhatian dan dukungan yang tidak intensif dari dokter dan perawat

akan membuat pasien enggan untuk mengatakan hal-hal seperti nyeri,

kekhawatiran dan keluhan yang dirasakan pasien.

Sedangkan dalam buku Anestesiologi terbitan FK UI menyebutkan juga

faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti jenis kelamin, dimana wanita lebih

cepat merasakan nyeri. Umur, dimana ambang rangsang orang tua lebih tinggi.

Kepribadian, dimana pada pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila

dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal. Pengalaman

pembedahan sebelumnya, bila pembedahan ditempat yang sama rasa nyeri tidak

sehebat nyeri pembedahan sebelumnya. Suku, ras dan warna kulit juga faktor

yang mempengaruhi, termasuk motivasi pasien, dimana pembedahan paliatif

tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak meskipun luas yang

diangkat sama.6

3.2 Evaluasi Pasien5

Evaluasi pasien dilakukan sebelum, saat dan setelah dilakukannya

penatalaksanaan nyeri pascaoperasi pada pasien.

a. Menentukan diagnosis

Dokter harus mengevaluasi pasien agar dapat mendiagnosis masalah yang

ada pada pasien. Setelah hal ini dikerjakan dokter dapat memilih terapi

berdasarkan mekanisme nyeri yang terjadi.

b. Anamnesis nyeri

Anamnesis adanya nyeri pada pasien didapat dari data pasien atau dari

hasil wawancara langsung, bila dimungkinkan. Kemampuan pasien untuk

bekerjasama dalam anamnesis dapat dipengaruhi oleh efek dari trauma,

obat-obatan yang diberi untuk mengontrol pasien, efek sisa dari anestesi

dan kondisi fisik dan mental sebelumnya. Hal-hal yang harus diketahui

dari pasien adalah:

1. deskripsi pasien terhadap nyeri

2. lokasi dan penyebaran nyeri

3. perubahan yang dirasakan pasien dari terapi yang telah diberikan

c. Pemeriksaan fisik

19

Page 20: Nyeri Akut - Anestesi

Pemeriksaan fisik dengan memperhatikan tanda-tanda vital pasien dapat

menjadi petunjuk penyebab dari nyeri, seperti:

1. iskemia

2. sindrom kompartemen

3. obstruksi viseral atau pembuluh darah

4. balutan yang terlalu ketat

5. pneumotoraks, atau

6. infeksi

d. Pemeriksaan laboratorium

Dari pemeriksaan laboratorium mungkin dapat menemukan adanya:

1. infark miokard pada elektrokardiogram

2. pneumonia dan pneumotoraks pada foto Rontgen

3. pada foto Rontgen terlihat adanya dislokasi prostesis, fraktur,

obstruksi usus dan lain-lain

e. Tes untuk mengetahui derajat nyeri

Tes yang telah terstandarisasi seperti visual analog scale (VAS) untuk

menilai intensitas nyeri dapat menolong untuk mengukur derajat nyeri. Tes

ini bisa diulang untuk dapat melihat perkembangan respon nyeri terhadap

terapi yang diberikan.

f. Observasi prilaku

Observasi terhadap prilaku pasien tidak mutlak dilakukan, namun mencari

tingkat stres dan melihat prilaku nonverbal pasien akan memberikan

pengetahuan akan kepuasan pasien terhadap kinerja tim kesehatan.

g. Penampilan pasien

Penampilan pasien dapat dipengaruhi oleh efek sisa dari anestesi regional

atau anestesi umum, efek dari obat analgesi atau sedasi yang telah

diberikan atau efek psikologis dari trauma atau pembedahan.

3.3 Manajemen Nyeri Akut Pascaoperasi

Sekecil atau seringan apapun keluhan nyeri yang dikemukakan oleh pasien,

keluhan itu harus diperhatikan, serta bila perlu ditanggulangi. Pada nyeri akut

20

Page 21: Nyeri Akut - Anestesi

pascaoperasi, penanggulangan nyeri didasarkan pada pemahaman tentang

mekanisme nyeri dan lintasan nyeri.1

Berdasarkan mekanisme dan lintasan nyeri, penaggulangan nyeri akut

secara garis besar dapat dilaksanakan sebagai berikut:

a. Di tingkat transduksi

Stimulus noksius akan menimbulkan efek pelepasan zat-zat algesik.

Diantara zat-zat algesik itu adalah Prostaglandin. Prostaglandin disintesis

dari arachidonic acid dibawah pengaruh enzim siklooksigenase. Kerja

enzim ini dapat dihambat oleh obat-obatan golongan anti inflamasi non

steroid (NSAIDs).1 Namun obat NSAIDs tidak mempunyai efek pada

prostaglandin yang sudah disintesa.7

Reseptor nyeri adalah kumparan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A

delta dan C. dalam kaitan dengan hal ini, obat anestesi lokal dapat

mempengaruhi fungsi reseptor nyeri tersebut sehingga tidak dapat

berinteraksi dengan zat-zat algesik.1

b. Proses transmisi

Impuls nyeri ditransmisikan dari perifer ke sentral (sel neuron nosisepsi di

kornu dorsalis medula spinalis) oleh serat saraf aferen A delta dan C. Obat

anestesia lokal dapat mempengaruhi fungsi transmisi serat-serat aferen

tersebut. Dengan menyuntikkan obat anestesia lokal di daerah perjalanan

suatu serat saraf, maka fungsi transmisi serat saraf itu akan terpengaruh.1

c. Proses modulasi

Proses ini terjadi di sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula

spinalis. Secara eksogen proses modulasi ini dapat dipengaruhi oleh

opioid. Opioid dapat disuntikkan ke dalam ruangan epidural atau ruangan

subarachnoid di dalam kanalis vertebralis, akan memblok proses modulasi

di tingkat medula spinalis.1

3.4 Modalitas Untuk Nyeri Akut Pascaoperasi

3.4.1 Analgetik narkotik

Narkotik merupakan pilihan yang utama dalam pengobatan nyeri akut. Jenis obat,

dosis dan cara pemberian dipilih berdasarkan tingkat keparahan nyeri, lokasi

21

Page 22: Nyeri Akut - Anestesi

nyeri, penyebab nyeri, risiko terjadinya efek samping dan kondisi psikofisiologis

pasien.5

Efek klinis yang menguntungkan termasuk analgesia, sedasi, peningkatan

mood dan mensupresi batuk (termasuk pada pasien yang masih diintubasi). Efek

samping yang sering terjadi, darimanapun obat diberikan, termasuk gatal, mual,

muntah, disforia, sedasi, retensi urin dan depresi nafas.5

1. Pemberian intramuskular

Dosis intramuskular (i.m) memberikan variasi dalam jumlah obat dalam

darah dan efek klinis obat, dimana hal ini tergantung pada jumlah darah

yang mengalir ke otot tersebut dan ketidakpastian uptake obat dari depot

intramuskular. Aliran darah ke otot dipengaruhi oleh keadaan hidrasi

pasien, status metabolik dan fungsi jantung. Lebih dari 70% pasien tetap

merasakan nyeri dengan pemberian dosis i.m yang terjadwal dan 80%

pasien mengatakan hilangnya rasa nyeri tidak berlangsung lama.5

Kekurangan pemberian secara i.m ini mengharuskan pasien memanggil

perawat bila pasien merasa sakit. Kemudian perawat harus mengecek dulu

instruksi dokter, mengidentifikasi obat analgesi yang akan digunakan,

mengambil obat, mempersiapkan obat untuk disuntikkan, dan

menyuntikkan obat. Setelah pemberian obat, masih ada periode waktu

sebelum obat diabsorpsi ke sistemik dan mencapai kadar analgesik di

darah. Bila digunakan dosis intramuskular yang tinggi untuk

mempersingkat waktu, akan ada suatu periode dimana konsentrasi obat

dalam darah tinggi dan terjadi oversedasi.7

2. Patient Controlled Analgesia (PCA)

Merupakan metode dimana pasien dapat memberikan sendiri opioid

intravena (atau epidural pada situasi tertentu) untuk mendapatkan efek

analgesia yang maksimal dan efek samping yang minimal.5

Nyeri pasien harus telah terkontrol sebelumnya sebelum PCA dimulai. Ini

memerlukan titrasi narkotik intravena untuk mendapatkan kadar analgesia

yang memuaskan, setelah itu PCA bisa dimulai. Teknik ini akan menolong

pasien untuk mempertahankan konsentrasi analgesik efektif minimal

22

Page 23: Nyeri Akut - Anestesi

(minimal effective analgesic concentration) dari obat yang digunakan,

dibawah kadar nyeri yang dirasakan pasien.5

Keuntungan penggunaan PCA yaitu akan menurunkan kebutuhan akan

perawat berkaitan dengan pengobatan yang didapat pasien. Pasien juga

dapat mengobati nyeri yang timbul tiba-tiba (misalnya nyeri yang timbul

saat pasien batuk) disaat nyeri itu muncul dan mengobati dirinya dalam

upaya mengantisipasi nyeri yang terjadi pada saat mengganti perban, saat

turun dari tempat tidur, dan lain-lain.5 Penggunaan obat dengan dosis yang

lebih kecil menurunkan risiko terjadinya oversedasi seperti pada

penggunaan secara i.m. PCA memberikan analgesi yang lebih bagus

dibandingkan dengan pemberian opioid secara i.m. Pasien biasanya

memerlukan jumlah analgetik yang lebih sedikit dengan penggunaan PCA.

Hampir 85% pasien yang mendapat PCA untuk mengatasi nyeri akut

merasakan kontrol nyeri yang bagus sampai memuaskan. Obat analgesik

yang biasanya digunakan pada PCA adalah opioid yang poten seperti

morfin dan hidromorfon (Dilaudid).7

Meskipun terapi dengan PCA tergolong aman, namun terdapat potensi

terjadinya efek yang buruk akibat kesalahan pada operator, pada pasien

atau pada alatnya sendiri. Pemberian opioid juga dihubungkan dengan

penurunan ventilasi dan gangguan nafas yang mengancam jiwa.7

3. Terapi narkotik perispinal

Merupakan suatu cara dengan memasukkan obat opioid dekat medula

spinalis. Opioid berefek pada inhibisi pre dan pascasinap neuron pada

kornu dorsalis yang merupakan tempat pertama terjadinya integrasi input

nyeri ke susunan saraf pusat.5

Karena obat hanya bekerja selektif pada reseptor opioid, pemberiannya

tidak akan menyebabkan hipotensi yang disebabkan blok simpatis. Opioid

juga tidak menyebabkan blok motorik yang sering menyebabkan

penurunan mobilitas pasien. Dosis kecil opiat (bila dibandingkan dengan

dosis sistemik), yang dimasukkan dekat dengan tempat obat bekerja

menghasilkan analgesia yang durasinya lebih lama dan lebih intensif

dibandingkan dengan cara pemberian yang lainnya. Karena rendahnya

23

Page 24: Nyeri Akut - Anestesi

kadar opiat dalam darah, akan berakibat pada rendahnya efek samping

obat. Beberapa percobaan klinis mendapatkan 90% pasien yang

mendapatkan baik opioid intratekal atau epidural merasakan efek analgesia

yang memuaskan.7

Obat yang sering digunakan adalah morfin, petidin dan fentanil. Penting

diingat bahwa obat yang digunakan harus bebas preservatif (karena sifat

neurotoksik).5 Onset dan durasi obat ditentukan oleh kelarutan obat dalam

lemak. Morfin yang kelarutannya dalam lemak rendah, memiliki onset

yang lama sekitar 45 menit namun memiliki durasi yang lama hingga lebih

dari 24 jam. Meperidin lebih larut dalam lemak dibanding morfin,

memiliki onset kerja sekitar 15 menit dengan masa durasi 2-6 jam. Karena

onsetnya yang cepat dan memiliki durasi sedang, meperidin digunakan

pada PCA epidural. Pemberian obat secara epidural lebih sering dilakukan

dibandingkan dengan pemberian subaraknoid karena kateter yang

dimasukkan dapat mencapai semua level medula spinalis dan rendahnya

efek samping yang muncul jika dibandingkan dengan teknik subaraknoid.7

Narkotik perispinal dapat digunakan dengan mengkombinasikan dengan

obat anestesi sehingga dosis atau konsentrasi yang diperlukan dapat lebih

rendah dan dapat menghilangkan nyeri melalui mekanisme yang berbeda.

Penggunaan dengan cara ini akan meminimalkan risiko depresi nafas yang

mengancam nyawa.7

4. Opioid sublingual

Cara ini makin populer penggunaannya karena mudah dan menyenangkan.

Obat yang paling sering dipakai adalah buprenorfin yang bersifat agonis

antagonis sehingga efek samping depresi nafas sangat jarang dijumpai.

Keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).6

5. Opioid oral

Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat

dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.6

24

Page 25: Nyeri Akut - Anestesi

3.4.2 Teknik analgesia regional

Penyuntikan langsung obat anestesi lokal pada saraf perifer atau saraf besar atau

akar saraf dapat menghilangkan nyeri dengan cara menghambat konduksi impuls

aferen. Teknik regional dengan menggunakan obat anestesi lokal dapat

memberikan analgesia secara berkala atau secara kontinyu bila diberikan melalui

infus. Pilihan obat anestesi lokal berdasarkan pada tempat pemberian, durasi dari

efek yang diberikan dan riwayat medis pasien.5

1. Infiltrasi lokal

Infiltrasi anestesi lokal pada luka operasi menghasilkan analgesia selama

beberapa jam pada daerah operasi, terutama bila diberikan dengan

epinefrin. Lebih sering digunakan pada operasi day care seperti pada

hernia inguinalis atau ligasi vena varikosa dan cocok untuk operasi

plastik.8

Pada operasi yang lebih besar, dapat digunakan cara irigasi berulang pada

luka dengan larutan anestesi lokal dengan cara memasang kateter dengan

lubang multipel pada daerah dibawah kulit dan lapisan otot yang diinsisi

kemudian disuntikkan anestesi lokal secara intermiten. Akan didapatkan

analgesia yang baik pada luka namun perlu juga diberikan opioid

parenteral sebagai tambahan.8

2. Blok saraf minor

Blok saraf digital pada jari tangan dan kaki dapat dengan mudah dilakukan

dengan ring block pada ujung proksimal jari. Digunakan pada ekstraksi

kuku yang merupakan prosedur yang menyakitkan.8

Blok pergelangan tangan, meski mudah, namun jarang dilakukan karena

kadang diperlukan penggunaan torniket pada lengan atas. Blokade pada

ujung terminal nervus medianus, radialis dan ulnaris pada pergelangan

tangan akan memberikan analgesia yang signifikan pada operasi daerah

tangan.8

Blok ankle akan memblok nervus safenus, nervus peruneus superficial dan

profunda, nervus sural dan nervus plantar sehingga akan mengurangi

kebutuhan akan anestesi umum dan memberikan kenyamana pada pasien

untuk beberapa jam.8

25

Page 26: Nyeri Akut - Anestesi

Blok nervus iliohipogastrik dan ilioinguinal digunakan pada luka operasi

hernia inguinalis yang akan memberikan analgesia selama beberapa jam.8

Nervus dorsalis pada penis merupakan cabang dari nervus pudendus yang

menginervasi batang dan gland penis. Nervus ini bisa diblok di tiap sisi

pada tulang pubis untuk mencegah dan menghilangkan nyeri pada

sirkumsisi.8

3. Blok saraf mayor

Blok pada pleksus saraf mayor akan memberikan efek analgesia yang

luas.8

Blok pleksus brakialis dilakukan dengan memasang kanula plastik di

dalam selubung neurovaskular pleksus tersebut dengan cara parestesia atau

nerve stimulator. Blok ini akan menyebabkan paralisis seluruh lenga,

sehingga lengan harus disangga dengan tali untuk mencegah bengkaknya

tangan. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah sindrom Horner

akibat blokade ganglion stelata dan nervus prenikus.8

Blok nervus femoris akan memberikan analgesia pada femur. Digunakan

pada pasien yang memerlukan traksi atau operasi pada patah tulang

femur.8

Blok paravertebral, untuk analgesia daerah torakal dan abdominal dengan

menyuntikkan obat analgesia lokal di daerah paravertebral tempat

keluarnya akar saraf sensoris.6

Blok interkostal, dilakukan untuk menghilangkan nyeri terutama setelah

bedah abdomen. Saraf interkostal diblok dekat dengan sudut dari costa.

26

Page 27: Nyeri Akut - Anestesi

Blok yang paling bagus dilakukan adalah pada linea midaksilaris. Untuk

operasi abdomen seperti kolesistektomi memerlukan blok saraf interkostal

dari Th 7 sampai Th 11 pada sisi kanan. Insisi pada garis tengah

memerlukan blok interkostal bilateral. Untuk operasi abdomen atas perlu

diblok saraf Th 6-10 dan untuk operasi abdomen bawah saraf yang diblok

adalah Th 8-12. Operasi apendektomi memerlukan blok saraf Th 8-12

pada sisi kanan saja. Pada operasi daerah toraks, keadaannya lebih sulit.

Dapat dilakukan cryoanalgesia dimana saraf dibekukan, namun blok

epidural merupakan teknik yang terbaik untuk mengatasi hal ini.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada blok interkostal adalah

pneumotoraks.8

4. Blok saraf pusat

Pada operasi besar abdomen dan toraks, blok saraf pusat memberikan

metode termudah untuk menghasilkan analgesia yang luas.8

a. Subaraknoid dan epidural. Blok epidural lebih disukai karena

pemberian ulang melalui kateter epidural mudah dan aman

dilakukan. Obat yang biasa diberikan adalah bupivakain 0,25-0,5%

karena masa kerja yang lama, yaitu 4 jam pada sekali pemberian.

Pemantauan yang sangat ketat diperlukan karena risiko hipotensi

yang disebabkan blok saraf simpatis dan henti nafas karena

penyebaran ke sefalad yang berlebihan. Berguna untuk analgesia

daerah torakal ke bawah.6

b. Blok kaudal, sangat bermanfaat untuk anak yang pembedahannya

tidak memerlukan perawatan (day care surgery), misalnya sunat

atau operasi daerah perineal dan anal.6

Keuntungan analgesia regional adalah:6

a. Pasien masih sadar selama pengaruh anestesi.

27

Page 28: Nyeri Akut - Anestesi

b. Penurunan dari respon stres dan windup (hipersensitisasi dari respon SSP

yang muncul bila nyeri yang timbul tidak ditangani segera).

c. Penurunan kebutuhan akan opioid dan penurunan efek samping pada

penggunaan narkotik.

d. Kembalinya aktivitas normal lebih awal, termasuk kemampuan berjalan

kembali, dengan keuntungan meningkatnya aliran darah pada tungkai dan

menurunnya insiden trombosis vena dalam dan emboli.

Kerugian analgesia regional adalah:6

a. Efek samping anestesi lokal terjadinya blok sensoris dan motorik.

b. Banyaknya waktu dan personel yang diperlukan untuk melakukan blok

ulangan dan follow up.

c. Kurangnya pelatihan, keterampilan dan keinginan pada staf medis dan

perawat untuk melakukan teknik ini atau mengelola pasien.

d. Diperlukan peralatan yang lebih banyak, seperti kateter epidural atau

pompa infus.

3.4.3 Opioid

dengan Anestesi Lokal

Pada beberapa penelitian terhadap binatang didapatkan efek sinergis pada

penggunaan anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia epidural. Analgesia

yang baik dilaporkan pada penggunaan infus epidural kontinyu bupivakain dan

morfin, bupivakain dan fentanil, dan bupivakain dan sufentanil. Penggunaan

epidural anestesi lokal dengan opioid meningkatkan efek analgesia dan

mengurangi efek samping dibandingkan dengan penggunaan masing-masing obat

tersebut secara tersendiri. Beberapa penelitian melaporkan pada penggunaan PCA

28

Page 29: Nyeri Akut - Anestesi

epidural dengan opioid atau campuran opioid dan anestesi lokal dibandingkan

dengan pemberian infus kontinyu memberikan analgesia yang lebih baik dengan

jumlah obat yang lebih sedikit.7

Penggunaan kateter epidural dihubungkan dengan risiko terjadinya infeksi,

sehingga sebaiknya digunakan sebagai analgesia pascaoperasi dalam jangka

waktu yang pendek. Komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terjadinya

hematom epidural.7

3.4.4 Analgetik nonnarkotik

Analgesia agonis nonnarkotik merupakan metode lainnya yang dapat digunakan

untuk meminimalkan penggunaan opioid.5 Obat jenis ini terutama berguna bila

nyeri sudah tidak terlalu hebat lagi.6

a. Obat agonis-antagonis opioid

Memiliki potensi analgesi seperti opioid, namun memiliki keuntungan

dimana jarang mendepresi nafas (ceiling efeect). Tidak adanya efek

euforia dan adanya ceiling effect menurunkan risiko penyalahgunaan obat.

Kekuatan analgesi obat ini dalam derajat sedang, dimana memberikan

keuntungan yang rendah pada penatalaksanaan nyeri setelah pembedahan

mayor atau trauma berat.6

b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)

Diberikan pada pasien yang nyerinya disebabkan oleh proses inflamasi.6

NSAIDs sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati

nyeri ringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak

ada kontraindikasi, pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti

melaporkan kombinasi NSAIDs dengan opioid menurunkan kejadian dan

tingkat keparahan efek samping dari penggunaan opioid. Peneliti lain

melaporkan adanya peningkatan analgesia dan penurunan efek samping

bila NSAIDs dikombinasi dengan opioid intratekal.7 Obat ini perlu

mendapat perhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut

karena obat ini melemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan

perdarahan dan perdarahan gastrointestinal.5,7 Jadwal dengan dosis yang

terbatas (misal pada 48-72 jam pertama setelah kejadian) akan

menurunkan risiko efek samping pada gastrointestinal.5 Risiko terjadinya

29

Page 30: Nyeri Akut - Anestesi

efek samping pada penggunaan NSAIDs meningkat bila dikombinasikan

dengan beberapa obat seperti penggunaan bersama diuretik pada pasien

insufisiensi ginjal kronis, penggunaan bersama steroid, coumadin atau

heparin.7

c. Obat-obat ajuvan

Digunakan bertujuan untuk menurunkan dosis opioid yang diperlukan.5

1. Obat anticemas, efektif untuk mengatasi kecemasan dan kesedihan

pada pasien yang menderita trauma dan penyakit akut yang

merupakan akibat nyeri yang mereka rasakan. Perlu diperhatikan

adanya efek samping obat ini seperti sedasi dan disorientasi.

2. Antihistamin, memiliki efek sedasi dan mungkin efek analgesik

nonspesifik.

3. Fenotiazin, dahulu digunakan bersama dengan opioid karena

dianggap memiliki efek potensiasi. Obat ini hanya berefek sebagai

sedatif.

3.4.5 Modulasi sensoris

Modulasi sensoris berdasarkan pada konsep bahwa hiperstimulasi pada sistem

saraf akan menurunkan impuls nyeri ke SSP dan karenanya akan mencegah

terjadinya konsekunsi fisilogis yang buruk. Karena sistem saraf bereaksi pada

berbagai macam masukan, terapi ini dapat memberikan beberapa keuntungan.5

1. Pijatan, adalah teknik yang sederhana dengan cara menyentuh pasien.

Kontak ini mungkin akan memberikan kenyamanan pada pasien, juga

mengurangi rasa nyeri dan spesme otot yang terjadi bila kulit dan otot

dipijat.

2. Penggunaan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)

menunjukkan 25% pasien memerlukan terapi lain selain TENS, 50%

memerlukan suplemen narkotik yang lebih sedikit, dan 25% tidak

merasakan sama sekali keuntungan dari alat ini. Alat ini memiliki

keuntungan yaitu tidak invasif, tidak berinteraksi dengan jenis terapi lain

yang digunakan dan bisa dikontrol oleh pasien sendiri.

30

Page 31: Nyeri Akut - Anestesi

3. Akupuntur merupakan cara yang klasik dan tidak rutin dilakukan namun

dapat digunakan sebagai terapi stimulasi.

4. Penggunaan kontras dingin dan hangat bergantian. Merupakan cara yang

noninfasif yang memerlukan kontak fisik dengan pasien yang

memeberikan efek analgesia tanpa memberikan efek samping obat.

3.4.6 Teknik psikologis/regulasi diri

Teknik ini memberikan kontrol perasaan pada pasien selama terjadi nyeri

pascaoperasi atau pascarauma, termasuk menunjukkan bahwa pandangan dan

kepercayaan pasien adalah hal yang penting.5

Berikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang

terapi apa saja yang akan diberikan oleh pekerja kesehatan untuk pasien. Hal ini

akan meningkatkan keinginan pasien untuk lepas dari rasa nyeri yang mereka

derita setelah mereka mengerti apa yang terjadi dan apa yang diharapkan dari

terapi yang dilakukan.5

Dapat dilakukan terapi hipnosis, yaitu suatu keadaan dimana perhatian

terfokus yang bisa dilakukan oleh banyak orang dengan berbagai macam keadaan.

Meskipun terapi ini memerlukan latihan, untuk pasien yang menderita masalah

nyeri yang lama hipnosis dapat menjadi terapi analgetik dan kecemasan yang

efektif.5

Latihan biofeedback dan relaksasi merupakan bentuk alternatif dari

regulasi diri. Seperti halnya hipnosis, memerlukan waktu dan latihan yang lama.5

3.5 Analgesia Preemptif

Analgesia preemptif adalah pemberian analgesia sebelum terjadinya luka yang

bermanfaat untuk mengatasi nyeri setelah luka, lebih lama daripada obat-obat

yang diberikan setelah terjadi luka. Luka pada jaringan perifer (karena trauma

atau pembedahan ) berefek pada dua jenis respon neural. Pertama, ujung terminal

saraf menjadi tersensitisasi atau terjadi penurunan ambang nyeri, yang kedua,

terjadi sensitisasi di sentral atau terjadi peningkatan eksitabilitas yang tergantung

aktivitas pada saraf spinal. Kedua efek ini menghasilkan keadaan hipersensitivitas

tehadap nyeri yang bisa disebut “nyeri pascaoperasi”. Terapi preemptif, misalnya

31

Page 32: Nyeri Akut - Anestesi

blok dengan anestesi lokal pada daerah yang luka, teknik regional preoperasi atau

premedikasi dengan opioid akan mencegah terjadinya hipersensitifitas dengan

cara memblok input sensoris yang menginduksi sensitisasi di sentral.9

Kerusakan jaringan akibat pembedahan akan diikuti oleh proses inflamasi selama

beberapa jam sampai beberapa hari pada jaringan yang rusak. Respon inflamasi

sekunder ini akan terus terjadi selama masa penyembuhan luka. Penelitian

menunjukkan pengobatan preemptif tunggal mungkin tidak cukup untuk

menghilangkan nyeri pascaoperasi karena obat tidak dapat bertahan sampai

periode nyeri inflamasi pascaoperasi. Untuk itu diperlukan analgesia preemptif

kontinyu. Hal ini termasuk NSAIDs untuk mengurangi aktivasi atau sensitisasi

perifer dari nosiseptor, anastesi lokal untuk memblok impuls sensorik, dan obat

yang bekerja di sentral seperti opiat untuk mencegah sensitisasi sentral selama

periode pascaoperasi.9

BAB 4

SIMPULAN

Nyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering

dikeluhkan oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan

mempengaruhi seberapa banyak nyeri tersebut akan dirasakan dan bagaimana

seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut dapat dibagi

32

Page 33: Nyeri Akut - Anestesi

lagi menjadi Sensoris (komponen fisiologis), Kognitif (komponen psikologis)

Afektif (komponen psikologis) dan Tingkah laku (komponen psikologis).

Menurut International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri

adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi

karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan.

Tidak semua sensasi yang dirasakan pasien sebagai nyeri bisa diobati

dengan cara yang sama. Paisen harus dievaluasi secara sistematis untuk dapat

mencari penyebab nyeri mereka dan penilaian berulang atas respon mereka

terhadap terapi.

Terapi yang terbaik yang diberikan bagi pasien yang menderita nyeri adalah

yang sesuai dengan penyebab nyeri dan terapi yang mampu menghilangkan rasa

nyeri sehingga memberikan kepuasan bagi pasien.

Tujuan semua terapi ini adalah tercapainya kenyamanan pasien, cepatnya

masa pemulihan sehingga dapat menjalani aktifitas normal, masa rawat di rumah

sakit yang lebih singkat dan berkurangnya biaya yang dikeluarkan oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G. Nyeri. In: Diktat Kumpulan Kuliah. Denpasar: Lab. Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD; 2004.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Tatalaksana Nyeri. In: Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; 74-83.

33

Page 34: Nyeri Akut - Anestesi

3. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. Stamford: Appleton and Lange. 2004; 274-316.

4. Avidan M, Harvey AM, Ponte J, Wendon J, Ginsburg R. Pain Management. In: Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management and Intensive Care. London: Churchill Livingstone. 2003; 78-102.

5. Hamill RJ. and Rowlingson JC. Issues in Postoperative Pain Control. In: Handbook of Critical Care Pain Manajenent. Singapore: McGraw-Hill. 1994; 443-454.

6. Muhardi, Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. In: Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1989; 197-200.

7. Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC. Postoperative Pain. In: Bonica’s Management of Pain. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2001; 769-776.

8. Cousing MJ, Bridenbaugh PO. PostoperativePain. In: Neural Blockade In Clinical Anesthesia and Management of Pain. 2nd ed. Philadelphia: J.B. Lippncott Company. 1988; 865-870.

9. Bridenbaugh P. Preemptive Analgesia-is it Clinically Relevant? In: Dureja, Madan, Kaul (eds). Regional Anesthesia and Pain Management. New Delhi: B.I. Churchill Livingstone PVT LTD. 2000; 283-308.

34