pandangan tauhid syeikh abdus somad al-palimbani …
TRANSCRIPT
1
PANDANGAN TAUHID SYEIKH ABDUS SOMAD AL-PALIMBANI
DALAM KITAB HIDAYATUS SHALIKIN FI SULUKI MASLAKIL
MUTTAQIN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Ahmad Nidlomuddin
NIM: 11140331000029
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
ii
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 06 Juli 2021
Ahmad Nidlomuddin
iii
iii
Pandangan Tauhid Syaikh Abdul Al-Somad Al-Palimbani dalam Kitab
Hidayatu Al-Salikin Fi Suluki Maslakil Muttaqin
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ahmad Nidlomuddin
NIM: 11140331000029
Dosen Pembimbing,
Dr. Kholid Al Walid, M.A
NIP. 197009202005011004
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
iv
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PANDANGAN TAUHID SYEIKH ABDUS SOMAD AL-
PALIMBANI DALAM KITAB HIDAYATUS SHALIKIN FI SULUKI MASLAKIL
MUTTAQIN telah diajukan dalam sidang munaqasyah, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta , 16 Juli 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rahmatin, MA Banun Binangningrum, M.Pd
NIP:19680803 199403 2 002 NIP:19680618 199903 2 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Dr. Edwin Syarif, MA . Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP: 196706918 1999703 1 001 NIP:19610827 199303 1 002
Pembimbing
Dr. Kholid Al Walid, M.Ag.
NIP: 19700920 200501 1 004
v
v
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط A ا
ẓ ظ B ب
‘ ع T ت
gh غ Ts ث
f ف J ج
q ق ḥ ح
k ك Kh خ
l ل D د
m م Dz ذ
n ن R ر
w و Z ز
h ه S س
’ ء Sy ش
y ي ṣ ص
h ة ḍ ض
Vokal Panjang
Ā آ
Ī إي
Ū أو
1Hipius, Ilmu Ushuluddin, Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS), Vol.1,
No.1, Januari 2013.
vi
vi
ABSTRAK
Ahmad Nidlomuddin
Pandangan Tauhid Syaikh Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī Dalam Kitab
Hidāyatu Al- Sālikīn Fi Suluki Maslakil Muttaqin
Tauhid menjadi salah satu pembahasan fundamental dalam Islam, bahkan
sedari dini umat muslim sudah diharuskan untuk mempelajarinya. Atas posisinya
yang demikian penting dan sentral, banyak para tokoh intelektual muslim yang
berusaha memberikan keterangan dan kejelasan terkait tauhid dengan berbagai
sudut yang dikuasainya. Abdu al-Ṣomad al-Palimbānī adalah salah satau ulama
serta dikenal juga sebagai sufi di tanah Nusantara, al-Palimbānī berusaha
memberikan uraian tentang tauhid sebagai jalan menuju Allah SWT dengan cara
mengenalnya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research)
dengan metode deskriptif-analitis. Sumber-sumber data primer diperoleh dari
beberapa kitab karangan al-Palimbānī yakni Hidayatus-Salikin Fi Suluki Maslakil-
Muttaqin, serta karya-karya yang memuat pemikirannya dan pemikiran lain yang
berkaitan dengan penelitian ini diposisikan sebagai data pendukung.
Al-Palimbānī mempunyai peranan besar khususnya dalam wacana
intelektualisme Islam di Nusantara. Tauhid baginya merupakan sebuah tujuan dari
adanya manusia yakni untuk mengetahui penciptanya. Beraliran teologi sunni
tampaknya menjadi corak yang melekat pada al-Palimbānī pada ajarannya,
pengenalan pada Allah menurut al-Palimbānī bukan hanya melalui dalil-dalil dan
pembuktian akal semata, tetapi juga ada beberapa tahapan di dalamnya.
Pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya Tuhan serta sebagai satu-satunya
pencipta alam (creatio ex-nihilo) merupakan sebuah keharusan dalam tauhidnya,
dari hal tersebut kemudian memandang bahwa yang ada hanya Allah, dan pada
tahap akhirnya alam ini adalah penampakan lahir Allah.
Kata Kunci : Tauhid, Al-Palimbānī.
vii
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim
Pertama, tiada kata yang pantas dihaturkan selain panjatan puja dan puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa
penulis rasakan setiap waktu. tanpa kasih sayang sang pemilik eksistensi mustahil
rasanya penulis mampu menuangkan pikiran dan menyelesaikan penyusunan
skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Aqidah dan
Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya. Semoga kita selalu menjadi umat yang
meneladani perjuangan dalam menyibak tirai kejahilan, serta semoga kita semua
merupakan golongan umat yang mendapatkan syafaatnya ila yaumil kiyamah.
Melalui proses yang begitu panjang, dengan ini penulis menyadari betul bahwa
skripsi yang berjudul Pandangan Tauhid Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-
Palimbānī Dalam Kitab Hidāyatu Al-Sālikīn Fi Suluki Maslakil Muttaqin
tidak akan terselesaikan tanpa adanya sosok yang senantiasa mendampingi baik
secara langsung atau tidak langsung, memberikan semangat dan sumbangsih
moral maupun moril kepada penulis dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu,
dengan segenap kerendahan hati, penulis merasa wajib kiranya mengungkapkan
rasa terimakasih itu kepada:
1. Dr. Yusuf Rahman, MA., Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA., Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, serta Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam beserta segenap jajaran pengurus proses
administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.
3. Dr. Kholid Al Walid, M.A. Selaku dosen pembimbing yang telah
membuka wawasan, memberikan masukan, mengoreksi dan memotivasi
dalam penulisan sampai akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
viii
viii
hanya dapat menyampaikan permohonan maaf karena telah banyak
menyita waktu, perhatian dan tenaga, serta penulis yang terkadang
mendadak menghilang. Terimakasih atas jasa-jasa yang telah diberikan,
akan tetapi hanya doa terbaik yang dapat saya panjatkan, semoga selalu
diberikan kesehatan karena Jurusan Aqidah dan Filsafat membutuhkan
dosen-dosen baik seperti beliau.
4. Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī. Selaku tokoh yang penulis
angkat sebagai judul skripsi. Selama proses penulisan skripsi ini,
penulis merasa sangat menikmati pemikiran Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad
Al-Palimbānī dan begitu membuka mata penulis atas kekayaan
intelektualitas nusantara yang jarang dibicarakan orang, meskipun tidak
menguasai secara utuh pemikiran Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-
Palimbānī., tapi hal ini merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi
penulis.
5. Ucapan terimakasih kepada seluruh dosen Aqidah dan Filsafat Islam
serta segenap jajaran dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan
dan kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar mendorong
penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam menggali
kedalaman dan keindahan kitab suci al-Quran serta ke-Uswah-an Nabi
Muhammad SAW.
6. Teruntuk kedua orang tua penulis yang setiap hela nafas selalu
mendoakan penulis serta selalu memberi ridho dalam usaha tholabul
‘ilmi. Tanpa perjuangan dan kasih sayangnya, mustahil rasanya penulis
mampu menempuh pendidikan perguruan tinggi dan menyelesaikan
perkuliahan ini. pesan-pesan beliau bagaikan cahaya ditengah
kegelapan, bagaikan air ditengah kekeringan, serta selalu menjadi
motivasi dan dorongan besar untuk terus maju dalam kehidupan
penulis.
7. Teruntuk senior-senior perimordial pesantren WASIAT JAKARTA dan
paguyuban warga Gresik di Jakarta, yang selalu memberikan arahan
dan selalu mengigatkan penulis untuk menyelesaikan perkuliahan.
ix
ix
8. Teruntuk teman-teman special dan perjuangan di Ciputat, Hafidho,
Wildan Muzaki, Sadad Mahmud, Reynaldi Aldi Surya, Rizkia Permata
R. A, Moh Hakim, Abdullah Hamid, M. Aldi Rohman, Zizi Mubarok,
Ali Ridho, Yahya, Heru. Yang sudah mendengarkan curahatan
sekaligus selalu memberikan motivasi dan semangat agar penulis tetap
semangat menyelesaikan nya.
9. Serta tidak lupa temen-temen seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam
Angkatan 2014.
Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu dalam
dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar senantiasa segala
kebaikan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Akhirnya,
penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa dapat memberikan tambahan
wawasan seputar keindonesiaan dan filsafat. Amiin
Ciputat, 06 Juli 2021
Ahmad Nidlomuddin
NIM. 11140331000029
x
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Penelitian ................................................................................. 1
B. Permasalahan .................................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 11
E. Metode Penelitian .......................................................................................... 12
F. Sistematikan Penulisan ................................................................................... 13
BAB II : BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDU AL- ṢOMAD AL-PALIMBĀNĪ ................. 15
A. Latar Belakang keluarga Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī ................. 15
B. Latar Belakang Pendidikan Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī ............. 19
C. Karya-Karya Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī .................................... 26
BAB III : TAUHID DALAM LITERATUR ISLAM .................................................. 32
A. Pengertian Tauhid ........................................................................................... 32
B. Tingkatan dalam Tauhid ................................................................................. 34
C. Tauhid Menurut Pandangan Beberapa Tokoh Teolog, Sufi, dan Failusuf ...... 36
D. Dalil- Dalil Tauhid dalam Al-Qur’an dan Hadist ........................................... 42
xi
xi
BAB IV : ANALISA PEMIKIRAN TAUHID SYAIKH ‘ABDU AL- ṢOMAD AL-
PALIMBĀNĪ DALAM KITAB HIDĀYATU AL- SĀLIKĪN BAB AQIDAH .......... 48
A. Corak Tauhid Menurut Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī.................... 48
B. Sifat Wajib Tuhan Menurut Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī ............ 52
C. Penjelasan Tauhid Menurut Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī ............ 58
D. Tinjuan Analisis Tauhid Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī ................. 59
BAB V : PENUTUP ................................................................................................... 62
A. Kesimpulan .................................................................................................... 62
B. Saran ............................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Tauhid secara umum diartikan dengan ilmu yang membicarakan
tentang cara-cara menetapkan aqidah agama dengan menggunakan dalil-dalil
yang meyakinkan, baik dalil naqli, dalil ‘aqli maupun dalil perasaan (wujdan).
Sarjana barat menterjemahkan Ilmu Tauhid ke bahasa mereka dengan
“Theologi Islam”. Secara etimologi “Theologi” itu terdiri dari dua kata yaitu
“theos” berarti “Tuhan” dan “Legos” berarti ilmu. Dengan demikian dapat
diartikan sebagai Ilmu Ketuhanan.
Sedangkan secara terminologi (istilah), theologi itu diartikan:1
1. “The discipline which concert God or Devene Reality and Gods
Relation to the world”, maksudnya suatu pemikiran manusia secara
sistematis yang berhubungan alam semesta.
2. “Sciense of religion, dealing therefore with God and Man in his
relation to God”, maksudnya pengetahuan tantang agama yang
karenanya membicarakan tentang Tuhan dan Manusia serta manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan.
3. “The sciense which treats of the facts and fenomena of religion and
the relationship between God and Man”, maksudnya ilmu yang
membahas fakta-fakta dan gejala agama dan hubungannya antara
Tuhan dan Manusia.
1 Syafii, “dari ilmu tauhid atau ilmu kalam ke teologi: Analisis Epistimologis”, Jurnal
Teologia XXIII, No. 1, Januari 2012, hlm. 7. Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan DIabolisme
Pemikiran, (Jakarta: GIP, 2008), hlm. 46-47.
2
Begitu juga dalam kitab matan al-Aqidah ath-Thahawiyah dijelaskan
bahwa tauhid dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan penelitian dan
pengkaijian dari al-Qur’an dan as- Sunnah, dan inilah yang ditetapkan oleh
madzhab Ahlu Sunnah Waljama’ah. Barang siapa yang menambah bagian
keempat atau kelima maka tambahan tersebut adalah dari dirinya sendiri;
karena para imam kaum muslimin membagi tauhid menjadi tiga bagian
berdasarkan al- Qur’an dan as- Sunnah.
Semua ayat al-Qur’an dan hadits-hadits dalam masalah akidah tidak
keluar dari tiga bagian ini. yaitu:
Pertama: tauhid ar- Rububiyah. Ialah, mentauhidkan dan mengesakan
Allah SWT dengan segala perbuatan-Nya, seperti mencipta, memberi rizki,
menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta. Maka tidak ada rabb
selain dia rabb alam semesta.
Kedua: Tauhid al-Uluhiyah atau Tauhid al-Ibadah; karena al- Uluhiyah
maknanya adalah ibadah kepada Allah dengan mencintainya, takut
terhadapnya, menaati perintahnya dan meninggal. kan larangannya. Maka itu
adalah pengesaan Allah SWT dengan amal perbuatan hamba-hamba Nya
sebagaimana Allah syariatkan untuk mereka.
Ketiga: Tauhid al-Asma' wa ash-Shifat. Ialah, menetapkan apa yang
Allah tetapkan untuk dirinya atau apa yang ditetapkan oleh Rasulnya SAW,
berupa nama-nama dan sifat-sifat, kemudian menyucikannya dari segala yang
3
Dia sucikan dirinya dari padanya dan disucikan oleh Rasulnya SAW berupa
cela dan kekurangan.2
Begitu juga dalam pandangan Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
mengenai aqidah ashhab al-hadits dan ahl al-sunnah, Imam Al-Asy’ari
menulis ”Bahwa Allah SWT Tuhan Yang Esa (Wahid), Tunggal (Fard),
Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan selain-Nya”. Pengertian tauhid
menurut Al-Asy’ari yang dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak (w.
406/1015), yang meringkas pandangan-pandangan Al-Asy’ari, menyatakan
bahwa makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti ‘penafian
terhadap yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat’, ”Karena Dia
dalam Dzat-Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai,
dan dalam pengaturan-Nya tidak ada sekutu”. Lebih lanjut, Imam Al-
Haramayn (w. 478/1085) menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini
keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara
argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-Nya.3
Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari
menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran.
Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip
surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) yang
2 Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al fauzan, penjelasan matan al- Aqidah ath- Thahawiyah
aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, (Jakarta, cet. VI Juli 2014), hlm. 38-39. 3 Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Syamil fi Ushul al-Din, ed. ‘Ali Sami al-Nasysyar,
Fayshal Budayr ‘Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar (Iskandariyah: Mansya‘ah al-Ma‘arif,
1969), hlm. 351-352.
4
dilanjutkan dengan argumentasi rasional.4 Dalam bukunya yang lain, Imam
Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah
SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22.5 Dengan
demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi
pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual
dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.
Begitu juga, Mengesakan Allah (tauhid) dan menolak menyekutukan-
Nya (syirik) adalah doktrin penting dalam Islam, dan masalah ini disepakati
oleh seluruh umat muslim. Tauhid mempunyai beberapa peringkat yaitu: (1)
tauhid dalam zat Allah, maksudnya adalah Allah esa, tidak ada yang mampu
menyamai-Nya. (2) tauhid dalam penciptaan (Khāliqiyah), maksudnya Allah
adalah pencipta sebenarnya, dan tidak ada pelaku (makhluk) yang bertindak
sendiri tanpa ada pengaruh dari Allah. (3) tauhid dalam hal rubūbiyah dan
pentadbiran, yakni bahwa alam semesta ini diatur oleh mudabbir (pengelola)
tunggal yaitu Allah. (4) tauhid dalam penetapan hukum dan perundang-
undangan, maksudnya adalah hanya Allah yang berhak menetapkan hukum,
adapun ulama dan fuqahā yang menyusun butir-butir perundang-undangan
(kodifikasi) yang dibutuhkan masyarakat muslim. Dalam menyusun ini harus
merujuk pada kerangka peraturan yang telah ditetapkan Allah. (5) tauhid
dalam hal ketaatan, yakni tiada siapapun yang wajib ditaati dan diikuti
perintah-perintah-Nya. Adapun ketaatan kepada selain Allah, harus sesuai
4 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risalah ..., hlm. 210. 5 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa
al-Bida‘, ed. Hamudah Gharabah (ttp: Mathba‘ah Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955),
hlm. 20-21.
5
dengan aturan dan perintah-Nya. (6) tauhid dalam hal kekuasaan
pemerintahan, pengaturan dan kekuasaan pemerintahan harus sesuai dengan
izin Allah dan memperoleh pengesahan-Nya. (7) tauhid dalam ibadah,
maksudnya adalah ibadah ditujukan hanya kepada Allah semata.6
Tauhid bukanlah sekadar ucapan “lā ilāha illallāh‟, walaupun ucapan
tersebut merupakan sebagian daripadanya. Tetapi tauhid itu adalah nama
untuk pengertian yang agung dan ucapan yang mempunyai arti yang besar.
Lebih besar dari semua pengertian. Tauhid ialah pembebasan terhadap
penyembahan kepada semua yang bukan kepada Allah dan penerimaan
dengan hati serta kepada Allah semata.7
Problem kekinian muncul seiring dengan kebutuhan manusia dalam
kehidupan keseharian untuk hidup yang lebih nyaman. Kebutuhan adanya
sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara
berbagai idiologi, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi
teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara
nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu
kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan
kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim dan kepentingan
6 Samidi Khalim, Tauhid Benteng Moral Umat Beriman, (Semarang: Robar Bersama,
2011), hlm. 7-8. 7 Ms. Wikipedia. Org. /wiki/Tauhid diakses pada tanggal 27-5-2021.
6
teologi yang bersifat praktis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas
melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.8
Terjadi pergeseran interpretasi tauhid sesuai dengan perkembangan
realitas, sehingga tauhid tidak menjadi argumen yang elitis tetapi juga
menjadi argumen yang dapat menyelesaikan persoalan kontemporer yang
dihadapi umat Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, Hasan Hanafi
menyatakan bahwa tauhid bukanlah ilmu tentang Tuhan, melainkan ilmu
tentang perkataan atau ilmu kalam. Menurutnya, Tuhan tidak tunduk kepada
ilmu.9 Menurutnya, kemunduran umat Islam diakibatkan karena interpretasi
tauhid yang mereduksi kebebasan berkreasi dan berimprovisasi umat Islam
sehingga terjebak ke dalam fatalisme dan determinisme. Interpretasi tauhid
yang bersifat fatalisme tersebut merupakan mediasi politik penguasa yang
berusaha melegalkan pandangan tauhid loyalitas kepada umat Islam, sehingga
umat Islam kehilangan potensinya untuk menentang segala kebijakan tiranik
dan opresif para penguasa yang lebih mementingkan kepentingan
golongannya.10
Kelompok jihadis Salafi ingin mengubah prinsip Tauhid menjadi faktor
perpecahan di antara komunitas Muslim. Mereka menggunakannya untuk
8 Syafii, “dari ilmu tauhid/ilmu kalam ke teologi: Analisis Epistimologis, hal. 2. Lihat :
Hassan Hanafi, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: GIP,
1994), hlm. 61. 9Doni Arif, Revolusi Tauhid dalam konteks trasformasi sosial ,
https://www.kompasiana.com/doniarief/5d25e3fe0d82306f4436f2a3/hasan-hanafi-revolusi-tauhid-
dalam-konteks-transformasi-sosial?page=all diakses pada tanggal 08-maret-2020 pukul 20:31. 10Doni Arif, Revolusi Tauhid dalam konteks trasformasi social,.
https://www.kompasiana.com/doniarief/5d25e3fe0d82306f4436f2a3/hasan-hanafi-revolusi-tauhid-
dalam-konteks-transformasi-sosial?page=all diakses pada tanggal 08 maret 2020 pukul 20:31.
7
tujuan-tujuan politik kekuasaan. Tidak seperti madrasah-madrasah atau
sekolah Islam tradisional yang menjadikan tauhid sebagai dasar pembelajaran
agama. Menjauhkannya dari intrik-intrik kekuasaan politik.Bahkan kelompok
jihadis salafi ini menabrak lebih jauh untuk menjadikan agama dan kalimat
tauhid sebagai sebuah prinsip dasar memusuhi kelompok dan agama lain.
Tidak menjadikannya sebagai prinsip dasar untuk membuka diskusi dan
ruang dialog bagi kelompok lainnya.11
Bertitik tolak dari persoalan-persoalan diatas, Dadang Hawari
menegaskan bahwa tauhid membebaskan manusia dari perasaan takut akan
mati. Tauhid menyadarkan manusia bahwa persoalan mati ada ditangan
Allah, dan setiap yang berjiwa pasti mengalami mati. Baginya mati adalah
awal hidupan baru yang sesungguhnya setelah manusia melewati kehidupan
fana ini. Konsekuensinya menumbuhkan semangat jihad seseorang untuk
menegakkan yang hak dan menghancurkan yang batil, sekalipun ia harus
menyambung nyawa dan mempertaruhkan jiwa raga. Seorang muslim harus
memiliki keberanian; berani berpihak kepada kebenaran dan keadilan, berani
hidup, juga berani mati demi keagungan Allah SWT.12
Banyak ulama yang menawarkan konsep tentang tauhid termasuk salah
satu nya Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī. Beliau adalah Ulama
Nusantara yang hidup antara tahun 1736 M –1819 M. beliau juga merupakan
11 Idris Masudi, Waspadai Gerakan Politisasi Tauhid, https://islami.co/mewaspadai-
gerakan-politisasi-kalimat-tauhid/ diakses pada tangal 08 maret 2020 pukul 21:16 12 Kastolani, “Internalisasi Nilai-Nilai Tauhid Dalam Kesehatan Mental” Interdisciplinary
jaournal of Communicatoin, Vol. 1, No. 1, Juni 2016: h. 3.
8
orang indonesia yang pertama mengkaji dan memperkenalkan kitab-kitab
tasawuf berhaluan Syadziliyah ini ke nusantara, lalu disusul beberapa ulama
lain.13 kiprahnya dalam dunia intelektual tidak bisa diragukan lagi, dia
menimba ilmu dari berbagaiguru ternama, bukan saja dari kedua tanah suci
Makkah dan madinah tetapi juga hampir keberbagai negara Timur Tengah.
Menjadi guru atau pengajar di Haramain serta aktif menulis dengan berbagai
karya tulisnya yang sampai saat ini tetap dikaji untuk menimba mutiara-
mutiara ilmu yang terkandung di dalamnya. Dari banyak karya yang telah
diwariskannya tersebut terlihat berbagai disiplin keilmuan yang dikuasainya.
Sāiru al- Sālikīn, Hidāyatu Al- Sālikīn dan sebagainya.14
Secara singkat konsep tauhid yang ditawarkan oleh Syaikh ‘Abdu Al-
Ṣomad Al-Palimbānī dapat diterima oleh masyarakat umum hal ini terbukti
dengan pengkajian kitab Hidāyatu Al- Sālikīn di berbagai pesantren
nusantara. Pengkajian sejak dini tentang pengenalan tauhid dalam kitab
Hidāyatu Al- Sālikīn sebagai landasan dasar beraqidah sehingga menjadi
pribadi yang kokoh dan tidak goyah dengan arus teologi yang ekstrim.
Adapun Beliau menjelaskan tauhid secara ringan dan mudah dipahami
dimulai dari mengenal sifat-sifat wajib Allah, mengenal lebih dekat Nabi
Muhammad SAW, azab neraka dan kenikmatan surga. Melihat dari
penjelasan di atas muka penulis melihat perlunya menganalisis pemikiran
13 Abdul muqsith ghazali, pemikiran tasawuf ibnu atha’illah al-syakandari: kajian terhadap
kitab al-hikam al-‘aththa’iyah jurnal tashwirul afkar no 32 (2013) hal 145. Lihat martin van
bruinessen, kitab kuning: pesantren dan tarekat, bandumg : mizan 1999, hal 69 14 Choiriyah, “Pemikaran Syeikh Abdussomad Al-Palimbani dalam Kitab Faidhal Ihsani
(tinjuan terhadap tujuan dakwah)” (Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah
Palembang), ghaidan 1, No. 1 (2017): 41-49 hlm. 41
9
teologi Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī tentang tauhid karena
bagaimanapun di zaman era modern ini umat muslim khususnya banyak
tercampuri berbagai pemikiran yang dapat dikatakan melenceng dari ajaran-
ajaran tentang ketauhidan kepada Tuhan, maka dalam hal ini penulis meneliti
sebuah kitab Hidāyatu Al- Sālikīn karangan Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-
Palimbānī yang sangat penting khususnya kepada umat muslim untuk
membaca, memahami dan mendalami maknanya untuk memperkokoh
keyakinan akan Allah Swt., maka penulis mengangkat tema skripsi yaitu :
“Pandangan Tauhid Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī Dalam
Kitab Hidāyatus Al- Sālikīn Fi Suluki Maslakil Muttaqin.”
B. Permasalahan
a. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang sebagaimana ditulis di atas, penulis
mendapatkan beberapa poin identifikasi masalah dalam wacana tauhid, di
antaranya adalah:
1) Para sarjana memiliki banyak pendapat terhadap diskursus
ketauhidan. Masing-masing dari mereka berbeda sesuai dengan
latar belakang, corak pemikiran dan faktor lain yang
mempengaruhi.
2) Perdebatan mengenai wacana ketauhidan dapat dianalisa dari
berbagai disiplin keilmuan Islam, seperti fikih, tasawuf,
kalam/teologi dan bidang studi Islam lainnya.
3) Sebagai salah satu sarjana yang dikenal dalam bidang tasawuf,
Syaikh Abdu al-Shomad al-Palimbani juga memiliki karya-karya
dalam bidang kajian keislaman.
10
4) Salah satu kitabnya yang berjudul kitab Hidāyatu Al- Sālikīn
memiliki kekhasan tersendiri. Kitab yang memuat tentang
petunjuk untuk menuju pada Allah, yang meliputi pada ajaran
Tauhid atau Aqidah kemudian syariah sebagai jalanya.
b. Batasan Masalah
Penulis membatasi penelitian ini hanya pada pandangan Syaikh ‘Abd
al-Shomad al-Palimbani yang dijabarkan beliau dalam bab Aqidah kitab
Hidāyatus Al- Sālikīn karangan Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī.
c. Rumusan Masalah
Penelitian ini dengan demikian dituangkan dalam rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimana pandangan Syaikh ‘Abd al-Shomad al-
Palimbani tentang tauhid dalam kitab Hidāyatus Al- Sālikīn?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penlitian dalam sebuah karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana Tauhid dalam pandangan Syaikh ‘Abdu Al-
Ṣomad Al-Palimbānī.
2. Mengetahui corak aliran kalam yang di anut oleh Syaikh ‘Abdu Al-
Ṣomad Al-Palimbānī.
Adapun manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Secara teoritis subtansi, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah keilmuan bagi sarjana Aqidah dan Filsafat Islam.
Sekaligus menjadi bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diaharapkan dapat memberikan
wawasan terhadap masyarakat umum, terutama mahasiswa Aqidah
11
dan Filsafat Islam tentang Tauhid Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-
Palimbānī dalam penerapan keseharian untuk meningkatkan
keimanan.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun sumber-sumber yang digunakan penulis untuk menyunsun
skripsi ini adalah dengan melalui library reseach atau literer. Dan juga
dengan melihat penelitian yang sebelum sudah dilakukan oleh para peneliti.
Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
Utami Putri, Tentang Sabar Menurut Syeikh Abdus Samad Al-
Palimbani (Skripsi: Universitas Raden Fatah Palembang, 2020). Skripsi ini
membahas tentang sabar Menurut Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani.
Muslim Nasution, perbandingan pemikiran teologi Imam Syafi’i dan
Asy’ari (telaah tentang konsep imam, hubungan dzat dan sifat serta keadilan
tuhan (skripsi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, fakultas Ushuluddin 2001).
Skripsi ini membahas tentang perbandingan pemikiran teologi Imam Syafi’i
dan Asy’ari (telaah tentang konsep imam, hubungan dzat dan sifat serta
keadilan Tuhan.
Asep Muhyidin pandangan az-zamakhsyari tentang firman tuhan
(kalam alloh) (telaah terhadap penafsiran Az-zamakhsyari mengenai ayat-ayat
disekitar persoalan kalamullah sebagaimana terdapat dalam tafsir al-kasysyaf)
(skipsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin 2007). Skripsi
ini membahas tentang pandangan az-zamakhsyari tentang firman Tuhan
(kalam Allah) (telaah terhadap penafsiran A-zamakhsyari mengenai ayat-ayat
12
di sekitar persoalan kalamullah sebagaimana terdapat dalam Tafsir Al-
Kasysyaf).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Utami Putri tentang sabar
Menurut Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani dan, Asep Muhyidin, penelitian
tersebut fokus pada firman Tuhan dengan tokoh Zamakhsyari. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Imam Nasution lebih fokus pada konsep
teologi perbandingan antara Imam Syafi’I dan Asy’ari.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka bisa dikatakan
bahwa skripsi ini berbeda dari judul-judul tersebut, maka dapat dikatakan
skripsi ini berbeda dari ketiga tema di atas, di mana skripsi meneliti tokoh
Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dengan fokus kajiannya pada tauhid.
E. Metode Penelitian
1. Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari sumber utama dan sumber
penunjang, maka penulis mengunakan teknik penelitian kepustakaan
(library research). Peneliti ini mengunakan data primer dan data skunder.
Sumber data primer (internal), yaitu data tentang riwayat hidup, dan
seluruh karya-karya nya, yaitu berupa kitab Hidāyatu Al- Sālikīn karangan
Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī. Sedangkan sumber sekunder
(eksternal), yaitu data berupa buku, makalah, artikel yang ada relevansinya
dengan pemikiran Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī, dari berbagai
13
karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain yang memiliki kaitan dengan data
primer, baik langsung maupun tidak langsung.
2. Pendekatan penilitian
Adapun dalam hal ini menganilisis, data penulis mengunakan
metode deskriftif, yaitu dengan cara mengemukakan atau mengambarkan
sebuah pemikiran yang telah ada atau menjelaskan
3. Teknik Penulisan
Dalam tekhnik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis membagi bab atas lima,
dengan perincian sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi latar belakang penelitian, diuraikan mengenai
permasalahan (pembatasan dan perumusan masalah), tinjauan kepustakaan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Bab kedua, berisi tentang biografi dari tokok tersebut yaitu
biografi Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī dan karya-karya dari tokoh
tersebut. Bab ketiga, penulis menyajikan pembahasan mengenai Tauhid
Dalam Literatur Islam meliputi pengertian tauhid secara umum, tingkatan
dalam tauhid, tauhid menurut beberapa pandangan sufi, teolog, dan filsuf.
14
Bab keempat, berisi analisa pemikiran Tauhid Syaikh Abdus Samad Al-
Palimbani dalam Kitab hidayatul salikin meliputi corak tauhid, sifat wajib,
penjelasan tauhid, tinjauan kritis. Kemudian yang terakhir Bab kelima, berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
15
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDU AL- ṢOMAD AL-PALIMBĀNĪ
A. Latar Belakang Keluarga Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī
Berbicara mengenai khazanah intelektual Islam di Indonesia terdapat
banyak nama besar dengan berbagai pengaruh yang diwariskannya, salah
satunya adalah Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī. Tak hanya di tanah
Nusantara, nama Al-Palimbānī juga memiliki reputasi “internasional”
terutama menyangkut otoritas keilmuan yang dimilikinya, di mana pada
zaman Melayu Klasik misalnya, Al-Palimbānī telah menjadi rujukan umat
Islam di dunia khususnya di Asia Tenggara, yang mana memang ia secara
intelektual bersentuhan langsung dengan jaringan Ulama Haramayn yang
kemudian mentransmisikan tradisi intelektual-keagamaan ke tanah
Nusantara.1
Terdapat perbedaan pendapat terkait biografi atau silsilah tentang Al-
Palimbānī, tetapi sumber-sumber dari Arab menyebutnya dengan Sayyid
‘Abdu Al-Ṣomad bin ‘Abdurrahman Al-Jawi. Menurut Tarikh Salasilah
Negeri Kedah, Al-Palimbānī dilahirkan sekitar 1116 H / 1704 M. Dalam
kajian yang populer ditemukan tentang silsilah beliau, dikatakan bahwa
ayahnya adalah Abdul Jalil bin Abdul Wahab bin Ahmad Al-Madanī, seorang
sufi di San’a (Yaman) dan pernah diberi mandat sebagai mufti besar di
Kerajaan Kedah, yang kemudian menikah dengan wanita Palembang bernama
1 Syamsu Rijal dan Umiarso, Rekontekstualisasi Konsep Ketuhanan Abd Sanad Al-
Palimbani, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol 8, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 84
16
Raden Ranti. Sebelum itu, ayah Al-Palimbānī pernah melakukan perjalanan
ke India dan Jawa, kemudian menikahi saudari perempuan Sultan Mahmud
Badaruddin I tersebut dan menetap di Palembang. 2
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat perbedaan nama kunyah
(ayah) dari Al-Palimbānī yang kemudian memunculkan pendapat baru.
Pendapat baru tersebut datang dari Mal An Abdullah, di mana ia berhasil
menghadirkan dan meluruskan kerancuan yang ada terkait silsilah Al-
Palimbānī dalam penelitian terbarunya yang ditulis dalam surat kabar
Sumatera Ekspres. Ia menyebutkan bahwa dalam rentan waktu yang lama,
informasi yang beredar di masyarakat terkait waktu lahir dan ayah Al-
Palimbānī hanya berdasarkan perkiraan belaka. 3
Mal An menyimpulkan bahwa ayahnya bernama ‘Abd al-Rahmān.
Ditilik dari sumber lain, ‘Abd al-Rahmān merupakan anak dari ‘Abd al-Jalil
bin ‘Abd al-Wahāb bin Ahmad al-Mahdalī yang tercatat sebagai mufti
Kesultanan Kedah. Ibu dari ‘Abd al-Rahmān tercatat bernama Raden Ranti,
anak perempuan dari Pangeran Purbaya yang merupakan putera tertua dari
Muhammad Mansur, Sultan Palembang yang memerintah pada 1706-1714.
Dengan temuan tersebut, dari jalur nenek perempuannya, Al-Palimbānī
merupakan bagian dari kerabat utama Keraton Palembang yang garis
2 Arafah Pramasto, Kontribusi Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani pada Aspek Intelektual
Islam di Nusantara Abad ke-18, Jurnal Tsaqofah & Tarikh, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2020,
hlm. 97 3 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk ‘Abd Al-Ṣamad Al-Falimbānī: Studi Kitab Siyar
Al-Sālikīn Fī Ṭarīqah Al-Sādāt Al-Ṣūfiyah, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 6, No.1, Juni
2020, hlm. 96.
17
nasabnya terhubung lurus dengan Sultan. Pendapatnya didasarkan pada
manuskrip tentang manaqib-manaqibnya yang berjudul Fayḍ al-Ihsanī. Serta
dari manuskrip tersebut juga didapatkan perihal waktu kelahiran Al-
Palimbānī yakni tahun 1737 M/1150 H.4
Abdul Jalil yang merupakan kakek dari Al-Palimbānī adalah seorang
ulama beraliran Sufi yang berasal dari Yaman, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Penjelasan mengenai dirinya menjadi begitu penting mengingat
perlunya kelengkapan dan kejelasan terkait silsilah dari Al-Palimbānī. Pada
sekitar abad ke 17 dan 18, Kesultanan Palembang Darussalam mencapai masa
puncak keemasannya, dan menjadi salah satu dari empat pusat pengkajian
Islam terbesar di Nusantara setelah Aceh mengalami kemunduran pada akhir
abad ke 17, dan Palembang mengambil alih status “Islamic Centre” (Pusat
Keislaman) di sekitar tahun 1750-1820, dan seterusnya masing-masing
beralih ke Banjarmasin dan Padang.16 Sementara itu, setelah kemunduran
Aceh, muncul Palembang sebagai pusat studi Islam dan sastra. Kebiasaan
memelihara “Ulama Keraton” telah dirintis sejak zaman Sultan Mahmud
Badaruddin I (1724-1757 M).5
Abdul Jalil datang ke Palembang kurang lebih pada awal abad ke-18.
Dikisahkan bahwa setelah Tengku Muhammad Jiwa berada di Palembang
selama enam bulan, Abdul Jalil kemudian berlayar ke Jawa. Tengku
Muhammad Jiwa merupakan seorang anak Sultan Kedah, karena merasa
4 Arafah Pramasto, Kontribusi Syaikh Abdus Shamad, hlm. 97. 5 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 92.
18
mantap akan pelajaran yang diterimanya dari Abdul Jalil, ada rasa sedih
ketika ia berpisah dengan Ulama tersebut, sehingga akhirnya mengikuti
keberangkatan Abdul Jalil ke Jawa. Dari Jawa, Abdul Jalil berangkat ke India
dan Tengku Muhammad Jiwa terus mengikutinya. Abdul Jalil sendiri tidak
mengetahui bahwa muridnya itu adalah seorang anak raja. Banyak negeri
yang dikunjungi di India, barangkali sebelumnya Abdul Jalil adalah penyebar
Islam disana dan memiliki banyak murid. Salah seorang di antara murinya
yang berilmu adalah “Hapisap” (mungkin nama aslinya “Hafiz Sab”).
Terjalinlah persahabatan antara Tengku Muhammad Jiwa dan Hapisap yang
berkebangsaan India itu, keduanya bersama mengikuti dan mematuhi fatwa
dari gurunya yang mereka panggil “Syaikh” Abdul Jalil. Setelah sekian lama
meninggalkan negerinya, Tengku Muhammad Jiwa kemudian meminta
kesediaan gurunya untuk mengikutinya ke Keddah. Dengan menumpang
kapal layar kepunyaan orang “Maskat” (kemungkinan besar adalah “Muskat”
di Oman) berangkatlah ketiganya dari India, setelah banyak singgah akhirnya
mereka sampai di Murqui, daerah selatan Burma.6
Dalam suatu kesempatan yang tak disangka-sangka, Kesultanan Kedah
mengirim utusan bernama Dato‟ Seri Indera Mambang Senggara untuk
mencari Muhammad Jiwa, kapalnya berlabuh di sebelah kapal yang
ditumpangi oleh Muhammad Jiwa. Disana ia bertemu dengan putera rajanya
tersebut, Muhammad Jiwa merasa senang dengan pertemuannya dengan
Dato‟ Seri Indera Mambang Senggara, tapi saat itu juga ia mendengar bahwa
6 Arafah Pramasto, Kontribusi Syaikh Abdus Shamad, hlm. 98.
19
ayahnya yakni Sultan Abdullah dan adiknya (saudara Muhammad Jiwa),
Dato‟ Seri Paduka Maharaja Sultan Ahmad Tajuddin sebagai pengganti
Sultan Abdullah, keduanya telah wafat. Berita itu membuat Muhammad Jiwa
menangis, dan di saat itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa muridnya
merupakan seorang putra Sultan Kedah.7
Setibanya di Keddah, Muhammad Jiwa kemudian segera dinobatkan
sebagai Sultan (disebut Sultan Zainal Abidin Muazzam Shah II, memerintah
sampai 1778), ia juga mengangkat gurunya sebagai Mufti dan Hapisap
sebagai Qadhi. Ia juga menjodohkan Abdul Jalil dengan seorang keluarga
istana bernama Wan Zainab. Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Abdul
Jalil kemudian didatangi oleh Raden Siran, yang merupakan salah seorang
muridnya semasa di Palembang yang memintanya berkenan mengunjungi
murid-muridnya di sana. Abdul Jalil lalu pergi ke Palembang untuk kali yang
kedua. Abdul Jalil diminta mengajar dan kemudian dijodohkan dengan Raden
Ranti dan dari penrikahan tersebutlah ia memperoleh anak bernama Abdur
Rahman, ayah dari Al-Palimbānī yang secara keliru ditulis Abdul Jalil dalam
Tarikh Salasilah Negeri Keddah.8
B. Latar Belakang Pendidikan Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī
Sebagaimana telah disinggung sebelumya, ayah Al-Palimbānī yang
merupakan seorang mufti Kerajaan Kedah menjadi point penting kehidupan
intelektual Al-Palimbānī. Awal pendidikan agama Al-Palimbānī didapatkan
7 Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf & Tokoh-Tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980). 8 Arafah Pramasto, Kontribusi Syaikh Abdus Shamad, hlm. 98.
20
dari ayahnya sendiri, kemudian sang ayah berinisiatif mengirim Al-Palimbānī
untuk belajar ke Arabia, tetapi tidak terdapat catatan tentang waktu
keberangkatan Al-Palimbānī ketika meninggalkan Nusantara menuju tanah
Arab.9
Tepatnya sebelum dikirim sang ayah ke tanah Arab, Al-Palimbānī
sudah mempunyai bekal agama yang cukup dan selain sang ayah yang
mengajarnya, kurang lebih pada umur sembilan tahun, Al-Palimbānī juga
mendapatkan pengajaran dari beberapa ulama di Palembang, seperti Sayyid
Hasan bin Umar Idrus, Hasanuddin bin Ja’far, dan Tuan Faqih Jalaluddin.
Melalui bimbingan Sayyid Hasan bin Umar inilah Al-Palimbānī belajar tajwid
dan Al-Qur’an, bahkan ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an ketika
berumur 10 Tahun.10
Pengembaraan keilmuan Al-Palimbānī berlanjut di Pattani dengan
Syaikh Abdurrahman Pauh Bok, yang mana merupakan murid dari Syaikh
Ibrāhīm al-Kuranī. Al-Palimbānī kemudian melanjutkan pengembaraan
intelektualnya menuju dua kota suci (haramain) yakni Makkah dan Madinah.
Pada masa itu, dua kota tersebut memang merupakan salah satu pusat
kelimuan. Sebagai sedikit gambaran, pada waktu itu perjalanan haji dari
Indonesia menuju Makkah ditempuh setidaknya enam bulan via kapal laut,
dan kapal laut tersebut juga tidak langsung menuju Makkah tetapi singgah
dari satu titik ke titik lainnya. Di mana salah satu rute yang biasa ditempuh
9 Azyumardi Azra, `Jaringan Ulama, hlm. 251. 10 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk…, hlm. 96.
21
ialah dari Aceh, menuju India, Hadramaut, berlanjut ke Yaman, dan akhirnya
berhenti di Jeddah.11
Sewaktu di Makkah, Al-Palimbānī belajar ilmu agama bersama-sama
dengan Muhamad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dari Sulawesi
Selatan, dan Abdul Rahman Masri dari Jakarta. Keempat orang inilah yang
kemudian dikatakan sebagai “empat serangkai’ yang selanjutnya juga
bersama-sama belajar tariqah di Madinah kepada seorang sufi terkemuka
yakni Syeikh Muhammad al-Samman.12
Di Makkah Al-Palimbānī belajar kepada Syaikh ‘Aṭa’illāh bin Aḥmad
bin ‘Aṭa’illāh bin Aḥmad al-Azharī al-Makkī, seorang ulama yang pakar
dalam bidang fikih mazhab Syafi’i. Selain itu, Al-Palimbānī juga menimba
ilmu kepada Syaikh Ibrāhīm Rais Zamzami al-Makkī, serta Syaikh
Muḥammad bin Sulaiman al-Kurdī yang merupakan mufti mazhab Syafi’i di
Hijaz. Sedangkan ketika di Madinah ia belajar kepada Syaikh Aqib bin
Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbānī yang merupakan salah satu ulama
Nusantara yang mengajar akidah, fikih, ushul fikih, nahwu, dan sharaf, di
sana. Ia juga belajar kepada ulama-ulama besar di sana di antaranya seperti
Syaikh Muḥammad bin ‘Abd al-Karim al-Samman, Syaikh Ṭayyib bin Ja’far
al-Falimbānī, Syaikh Ḥasan al-Dīn bin Ja’far, Syaikh Ṣalih bin Ḥasan al-Dīn
al-Falimbānī, Syaikh ‘Abdullāh bin Sālim al-Baṣrī, Syaikh Muḥammad bin
Sulaiman al-Kurdī, Ḥasan bin ‘Abd al-Rahmān al-Jabartī, Muḥammad Said
11 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk…, hlm. 97. 12 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 21.
22
Sunbul, ‘Abd al-Rahmān bin Aḥmad al-Nakhlī, Syams bin Aqilah,
Muḥammad bin Sulṭan al-Walidī, ‘Abd al-Ḥāfiẓ bin Darwis al-Ujaimī, dan
Muḥammad bin Ḥasan al-Ujaimī.13
Syaikh Muḥammad bin ‘Abd al-Karim al-Samman mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi Al-Palimbānī, di mana hal itu terlihat dalam
banyak kitab yang ditulis oleh Al-Palimbānī dengan sering menyebut dan
merujuk pada sang guru yang ditulis oleh Al-Palimbānī dengan sering
menyebut dan merujuk pada sang guru. Syaikh Muḥammad bin ‘Abd al-
Karim al-Samman sendiri merupakan ahli tasawuf yan kompeten di dalam
beragam keilmuan serta beliau juga merawat tradisi tarekat dari banyak jalur,
seperti Qadariyah, Syadziliyah, dan Khalwatiyah, tidak hanya berhenti disitu,
beliau juga mendirikan tarekat Sammaniyah.14
Pengembaraan keilmuan Al-Palimbānī berlanjut menuju Zabid, salah
satu daerah yang melahirkan banyak ulama besar di Yaman. Di sana Al-
Palimbānī belajar kepada seorang ahli tasawuf yakni Syaikh Amrullāh bin
‘Abd al-Khaliq al-Mizjajī. Selain ahli dalam bidang sufistik, Syaikh Amrullāh
juga menguasai ilmu qirā’ah serta menulis kitab mengenai ilmu tersebut yang
berjudul Ithaf al-Basyar fi al-Qirā’ah al-Arba‘ah yar Asyar.15
Selanjutnya Al-Palimbānī menuju Damaskus, di sana ia memperdalam
keilmuan tentang hadis kepada Syamsuddin Muḥammad bin Aḥmad bin
13 Dzulkifli Hadi Imawan, The Intellectual Network of Syakh Abdussamad Al-Falimbani
and His Contribution in Grounding Islam in Indonesian Archipelago at 18th Centuty AD, Millah
18, no. 1, 2016, hlm. 36. 14 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk…, hlm. 97. 15 Dzulkifli Hadi Imawan, The Intellectual Network, hlm. 37.
23
Salim al-Safarinī al-Nabulsī al-Aṡari. Beliau merupakan ulama besar dari
Nablus yang menguasai ilmu fikih, ushul, hadis, sejarah, tasawuf, dan
sebagainya. Oleh karena itu beliau dijuluki sebagai mataharinya agama
(syams al-dīn). Selain kepada al-Safarinī, ia juga menimba ilmu kepada
muḥaddiṡīn yang bernama Syaikh Aḥmad bin ‘Abid al-‘Aṭtar al-Damasyqī. 16
Selesai dari Damaskus Al-Palimbānī kemudian menuju Mesir, di sana
ia menghadiri lingkar-lingkar (halaqah) yang diampu oleh ulama-ulama di
sana. Al-Palimbānī belajar kitab ‘Umdah al-Aḥkam dan Ṭabaqāt al-Syafi‘iyah
kepada Syaikh Sihab Aḥmad bin ‘Abd al-Fattaḥ al-Malawī. Ia juga
mempelajari dan menerima sanad Ṭabaqāt al-Ṣūfiyah karangan Syaikh ‘Abd
al-Wahāb al-Sya’ranī kepada Syaikh Aḥmad bin Ḥasan al-Jauharī. Selain dua
tokoh ulama besar di atas, ia juga belajar pada banyak guru seperti Syaikh
Muḥammad Murad al-Ansarī, Sayyid ‘Imad al-Dīn Yahyā bin ‘Umar Maqbul
al-Ahdal, Sayyid ‘Abd al-Razzaq al-Bakkarī, Sayyid ‘Umar bin Aḥmad bin
Aqil bin Yahyā bin Saqqaf al-Makkī, Syaikh Salim bin ‘Abdullāh al-Baṣrī,
Syaikh Siraj al-Dīn ‘Umar bin ‘Abd al-Qadir al-Halabī, dan Sayyid ‘Abd al-
Rahmān bin Muṣtafā al-Idrus.17
Dari berbagai riset dan penelitian yang tersedia, dapat dikatakan bahwa
al-Palimbānī berperan penting dalam jaringan intelektual ulama-ulama dunia
pada abad 18. Pengaruhnya dalam pengembangan keilmuan Islam tidak
hanya dilakukan di dunia Melayu, melainkan juga di tanah Arab, termasuk di
16 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk…, hlm. 98. 17 Dzulkifli Hadi Imawan, The Intellectual Network, hlm. 39.
24
Makkah dan Yaman. Pengakuan akan reputasi keilmuan al-Palimbānī dapat
dilacak, di antaranya ditulis oleh Siddiq al-Madanī dan ‘Abd al-Rahmān al-
Ahdal. Selain itu, banyak testimoni lain yang menggambarkan al-Palimbānī
dengan gambaran seperti al-‘allamah, al-walī, al-fahhamah, al-taqī, dan
wajīh al-Islām.18
Selain pendidikan formal sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, menunjukkan proses panjang yang ditempuh oleh Al-Palimbānī
sehingga masyhur hingga saat kini. Al-Palimbānī semenjak dini sudah
menyenangi dunia sufistik, barangkali disebabkan oleh pengaruh lingkungan
spiritual di negerinya yang sangat antusias terhadap ajaran tasawuf. Polemik
serta pergulatan yang terus memanas antara penganut Hamzah Fansuri
dengan Nuruddin Ar-Raniri saat itu tampaknya ikut mewarnai dan mengiringi
pertumbuhan intelektual Al-Palimbānī.19
Selain faktor di atas, kecenderungan Al-Palimbānī pada dunia sufistik
juga dipengaruhi oleh gurunya al-Samman. Bahkan kemampuan Al-
Palimbānī dalam intelektua telah teruji, dimana ia telah dipercaya sang guru
untuk menggantikannya mengajar pada sebagian muridnya yang berasal dari
Arab. Dari hal ini, menjadi semakin terang bahwa Al-Palimbānī kemudian
dikenal sebagai penganut dan penyebar ajaran taerkat Sammānīyah. Serta
sebagai ulama yang yang berusaha mengembalikan kemurnian ajaran tasawuf
Al-Ghazali. Selain itu, yang menarik adalah di mana Al-Palimbānī dalam
18 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Sulūk…, hlm. 98. 19 Khamami Zada, Intelektualisme Pesantren, hlm. 140.
25
salah satu kajian dikatakan bahwa lebih mengikuti ajaran aliran tasawuf yang
dikembangkan oleh Ibn ‘Arabī dan al-Jīlī terutama yang terkait dengan
formulasi al-Insān al-Kāmil.20
Tetapi yang perlu menjadi catatan penting, meskipun Al-Palimbānī
mendalami dunia sufistik, bukan berarti ia tidak kritis, Al-Palimbānī
dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara
berlebihan. Al-Palimbānī selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang
diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah
Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh. Untuk
mencegah apa yang diperingatkannya itu, Al-Palimbānī menulis intisari dua
kitab karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan, Imam Al-Ghazālī,
yakni Bidāyah Al-Hidāyah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Oleh Al-Palimbānī,
kitab ini di terjemahkan pada awal tahun 1778 M ke dalam bahasa Melayu
dengan menambahkan di dalamnya soal-soal yang dianggapnya sangat perlu
diketahui oleh setiap muslim. Selain itu Al-Palimbānī juga melakukan
penterjemahan pada kitab Lubab Ihya´ Ulumudīn (Intisari Ihya´ Ulumuddīn)
dengan judul Syar al-Sālikīn yang diselesaikan pada tahun 1788 H. Dua karya
Imam Al-Ghazālī tersebut, dinilainya secara ´moderat´ dan membantu
membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.21
Sebagaiman uraian di atas, ada beberapa catatan menarik terkait Al-
Palimbānī. Ketika dalam pengembaraan intelektual, meskipun ia jauh di
Makkah tetapi ia tetap konsisten dengan pemikiran-pemikiran keagamaan
20 Syamsu Rijal, Rekonstruksi Konsep Ketuhanan, h. 94 21Chatib, Mengenal Allah, h. 18
26
yang terus menerus berkembang dan tersebar di Nusantara melalui karya-
karyanya. Selain itu, Al-Palimbānī memiliki hubungan yang baik dengan
ulama di Nusantara dan di antaranya berbentuk surat-menyuratnya kepada
Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan juga kepada Susuhan Prabu Jaka
(Putra Amangkurat IV).22
Di dalam surat tersebut, Al-Palimbānī memuji para sultan dalam
melawan orang-orang kafir dan menjelaskan secara panjang lebar kedudukan
para syuhada di sisi Allah dengan mengutip beberap ayat suci al-Qur’an.
Dalam konsteks ini, dapat dikatakan bahwa Al-Palimbānī mempunyai
pengaruh yang besar terhadap laju perkembangan pemkiran keagamaan di
Nusantara. Al-Palimbānī dengan sistem terkodifikasi dalam karya-karyanya,
terus menerus menyebarkan paham neo-sufisme yang mencoba
menggabungkan dimensi syariat dan hakikat.23
C. Karya – Karya Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī
Terlepas dari informasi terkait kehidupan Al-Palimbānī yang demikian
langka, namun warisan karyanya cukup menjadi saksi atas orientasi dan
otoritas sufistiknya. Sebagai riview, di mana ‘Abd Al-Mun’im Al-Damanhuri
mempunyai andil besar dalam dunia karya dan aktualisasi pemikiran Al-
Palimbānī. Pasalnya, berdasarkan catatan-catatan yang dibuat ketika
mengikuti kuliah-kuliahnya ia berhasil menulis karyanya yang pertama yakni
22 Syamsu Rijal, Rekonstruksi Konsep Ketuhanan, h. 94
23 Syamsu Rijal, Rekonstruksi Konsep Ketuhanan, hlm. 95.
27
Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat Tauhid. Sebuah karya dan sumbangan bagi
perkembangan keilmuan Nusantara dalam bidang logika (manthiq) dan
teologi (ushuluddīn).24 Serta Apabila Ahl Al-Sunnah wa Al-Jāma’ah dan
tasawuf Sunni kemudian berhasil memantapkan kedudukan dan pengaruhnya
di Nusantara, tokoh yang menjadi faktor penentu dalam keberhasilan tersebut
adalah Al-Palimbānī.25
Warisan intelektual Al-Palimbānī setidaknya berjumlah delapan buah
baik yang sudah dicetak maupun masih berbentuk naskah sebagai mana
berikut ini;26
1. Zuhrah Al-Murid fi bayan kalimah at tauhid Al-Murīd fī Bayān
Kalimah Al-Tauḥīd, sebuah kitab dalam bahasa Melayu yang ia tulis
di Mekkah pada tahun 1178 H/1764 M. Kitab ini berasal dari satu
kuliah yang diberikan oleh salah seorang ulama Mesir yang kemudian
kemudian menjadi guru di Al-Azhar, yaitu Ahmad al-Damanhuri. Isi
kitab ini menjelaskan tentang mantiq dan ushuluddīn.
2. Naşīhah al-Muslimīn wa Tadzkirah al-Mu’minīn fi Faḑāil al-Jīhād fī
Sabīlillah wa Karāmah al-Mujāhidīn fī Sabīlillah, karya ini ditulis
oleh Al-Palimbānī menggunakan Bahasa Arab. Kitab ini merupakan
risalah tentang perang suci yang mengilhami seorang penyair Aceh
untuk menulis sebuah syair dan kemudian dibacakan secara luas
24 Khamami Zada, Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di
Era Pertumbuhan Pesantren, (Diva Pustaka, 2003), hlm. 142. 25 Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini, (Jakarta:
Mizan, 2001), hlm. 71. 26 M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 22.
28
dalam perjuangan melawan Belanda pada seperempat terakhir abad
ke-19.27
3. Al-‘Urwah Al-Wustqā wa Silsilah ulī Al-Tuqā, merupakan sebuah
kitab dari Bahasa Arab mengenai wirid-wirid yang harus dibaca pada
waktu-waktu tertentu. Kitab ini disebutkan dalam Hidayah Al-Salikin,
tetapi naskahnya belum ditemukan sampai saat ini.28
4. Rātib ‘Abd Al-Şamad, merupakan sebuah kitab kecil dalam Bahasa
Arab yang memuat bacaan-bacaan zikir, doa-doa, dan pujian-pujian
kepada Nabi Muhammad SAW. Bacaan zikir tersebut dilaksanakan
setelah sholat isya. Pada bagaian permulaanya, kitab ini menyebut
ayat-ayat Al-Quran yang harus dibaca di samping menyerukan
beberapa nama Allah dan rasul-Nya, yang kemudian disudahi oleh
doa-doa. Isi kitab ini, pada dasarnya sama dengan apa yang terdapat
dalam Ratib Samman.29
5. Tuḥfah al-Rāghibīn fī Bayān Ḩaqīqah Īmān al-Mu’minīn wa mā
Yufsiduh fī Riddah al-Murtaddīn. Kitab ini merupakan karya Al-
Palimbānī dalam Bahasa Melayu yang ditulis pada tahun 1188 H/1774
M. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Palembang. Pada awal
tulisan kitab tersebut, Al-Palimbānī mengatakan bahwa ia diminta
oleh salah seorang pembesar pada masa itu.30 Berdasarkan uraian
27 Khamami Zada, Intelektualisme Pesantren, hlm. 142. 28 Alwi Shihab, Islam Sufistik, hlm. 71. 29 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 27. 30 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 27.
29
Alwi Shihab, penulisan kitab ini ditujukan untuk membendung
pengaruh tasawuf yang menyimpang, yaitu para pengikut Hamzah
Fansuri yang difatwakan oleh Al-Raniri untuk dihukum mati.31 Di
dalam kitab itu, dijelaskan mengenai perbuatan ‘menyanggar’ (sesajen
syirik dalam Bahasa Melayu). Selain itu juga mengenai kaum “kaum
yang bersufi-sufi diri”, yang antara lain adalah kaum wujudiyah yang
mulhid (wahdatul wujud yang sesat) seperti yang dijelaskan oleh Ar-
Raniri dalam abad sebelumnya di Aceh.32
6. Syar Al-Sālikīn ilā Rabb Al-Alamīn, karya ini terdiri dari empat juz,
mulai ditulis pada tahun 1193 H/1779 M dan selesai pada tahun 1203
H/1788 M. Bagian pertama selesai di Makkah tahun 1194 H/1780 M;
bagian kedua selesai di Ta’if tanggal 19 Ramadan 1195 H/1781 M;
bagian ketiga selesai di Makkah tanggal 19 Shafar 1197 H/1783 M
dan bagain keempat selesai di Ta’if tanggal 20 Ramadan 1203 H/1788
M.33 Dalam kitab ini, menurut Al-Palimbānī, ia memasukan masalah-
masalah yang diambilnya dari kitab-kitab seperti Ihya’ ’Ulȗmuddīn,
Minhāj al-‘Abidīn, Al-Arba’in fi Ushȗl Al-Dīn, Bidāyah Al-
Hidāyah,75 An-Nafahtul Ilāhiyyah, beberapa kitab karangan Abdul
Qadir Al-‘Aidarus, beberapa kitab Musatafa Al-Bakri,78 beberapa
kitab karangan “Abdullah Al-Haddad, As-Sairu was Sulȗk, dan
31 Alwi Shihab, Islam Sufistik, hlm. 71. 32 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 24. 33 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 27.
30
beberapa kitab yang ia sebutkan di dalam kitab ini sebelumnya.34
Selain menggunakan referensi dari beberapa karya Al-Ghazālī, Al-
Palimbānī juga memuat ungakapan-ungkapan beberapa sufi
terkemuka, seperti Abu Thalib Al-Makki, Al-Qusyairi, dan Ibnu
‘Atha’illah Al-Sakandari, serta di samping sufi aliran filsafat seperti
Syaikh Fadhlullah Al-Burhanfuri, pengarang Al-Tuhfāh Al-Mursālah
yang merupakan kesinambungan pemikiran Ibnu Arabi. Dalam kitab
Sayr al-Sālikīn ini, Al-Palimbānī berusaha memadukan inti ajaran
waḥdat al-wujȗd Ibnu ‘Arabi dengan prinsip-prinsip ajaran Al-
Ghazālī. Kedua ajaran tokoh sufi tersebut tidak dipandang sebagai dua
aliran tasawuf yang berbeda dan tidak mungkin disesuaikan, tetapi
sebagai ajaran yang dapat saling melengkapi.35
7. Zād Al-Muttaqīn fī Tauḥīd Rabb Al-‘Alamīn, bisa dibilang bahwa
kitab ini merupakan karya Al-Palimbānī yang hilang. Kitab ini disebut
dalam Sayr Al-Sālikīn pada dua tempat, pertama pada akhir fasal 2,
bab II, bagian ketiga. Kedua, dalam bab X, bagian ketiga diakhir
penjelasannya mengenai kitab-kitab tasawuf yang menurutnya hanya
boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tempat penghabisan
(al-muntabi).36
8. Hidāyah Al-Sālikīn fī Sulȗk Maslak Al-Muttaqīn, merupakan sebuah
kitab Melayu yang selesai ditulis pada tahun 1192 H/1778 M. Kitab
34 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 28. 35 Alwi Shihab, Islam Sufistik, hlm. 72. 36 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 29.
31
ini telah di cetak di banyak tempat seperti Makkah pada tahun 1870 M
dan kemudian dicetak kembali pada tahun 1885 M. Pada tahun 1895
di cetak di Bombay, di Kairo pada tahun 1922 M. Selanjutnya kitab
ini di cetak di Singapura (tanpa tahun) dan di Surabnaya pada tahun
1933-1934 M.37 Di Indonesia dan Singapura kitab ini telah mengalami
cetak ulang beberapa kali dan tersebar luas. Menurut Al-Palimbānī,
kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Bidāyah Al-Hidāyah karya
Al-Ghazālī. Meski demikian, karya yang mulai ditulis pada tahun
1778 M ini bukan buku terjemahan dalam arti yang sesungguhnya.
Melainkan menurut Al-Palimbānī, dalam Hidāyah Al-Sālikīn, ia
membahas beberapa masalah dengan menggunakan bahasa Jawi dan
menambahkan beberapa masalah yang baik-baik yang tidak terdapat
dalam kitab Bidāyah Al-Hidāyah. Tidak hanya hal tersebut, susunan
bab dan fasal yang terdapat di dalamnya juga berbeda dengan yang
ada di dalam Bidāyah Al-Hidāyah.38 Selain itu Al-Palimbānī juga
menambahkan komentar dan keterangannya dari ungkapan dan
pernyataan dalam karya-karya Al-Ghazālī lainnya, seperti Ihya’
’Ulȗmuddīn, Minhāj al-‘Abidīn, serta kitab Al-Arba’in fi Ushȗl Al-
Dīn. Di samping itu, di dalam kitab tersebut Al-Palimbānī
menjelaskan pula tingkatan-tingkatan (maqamat) yang harus dilalui
oleh para seorang calon sufi.39
37 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 25. 38 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 26. 39 Chatib, Mengenal Allah, hlm. 26.
32
BAB III
TAUHID DALAM LITERATUR ISLAM
A. Pengertian Tauhid
Tauhid merupakan bahasan yang fundamental dalam ajaran Islam,
karena pada dasarnya tauhid merupakan salah satu ajaran untuk meyakinkan
kita bahwa tiada Tuhan selan Allah yang patut untuk disembah. Serta
sesungguhnya baginda Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Istilah ilmu tauhid pada dasarnya berasal dari bahasa Arab. Di mana
secara harfiah, tauhid adalah “mempersatukan” yang berasal dari kata wahid
yang berarti satu. Ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan
bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar
dari kata (Wahhada) وحد (Yuwahhidu) يوحد (Tauhidan) 1.توحدا
Secara etimologis, tauhid berarti mengesakan. Di mana maksud dari
keesaan adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, tunggal, satu.
Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam
Bahasa Indonesia yakni “keesaan Allah”. Mentauhidkan berarti “mengakui
akan keesaan Allah atau mengesakan Allah”.2
1 M. Yusran Asmuni dari tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen P&K, Jakarta, 1989, dalam bukunya “Ilmu Tauhid” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1993), hlm. 1. 2 Said Aqiel Siradj, Tauhid Dalam Perspektif Tasawuf, ISLAMICA, Vol 5, No. 1,
September 2010, hlm. 152.
33
Sedangkan secara terminologis, sebagaimana yang telah dipaparkan
oleh Umar al-Arbawi bahwa tauhid berarti pengesaan Pencipta (Allah)
dengan ibadah, baik dzat, sifat maupun perbuatan. Artinya, tauhid memiliki
makna pengesaan Tuhan sebaagai pencipta alam semesta dengan segala
isinya. Sedangkan cara dari pengesaan itu sendiri adalah dengan
melaksanakan ibadah yang hanya khusus untuk-Nya.3
Secara umum, tauhid atau al-‘aqidah al-islamiyah merupakan suatu
sistem kepercayaan Islam yang mencakup di dalamnya keyakinan kepada
Allah dengan jalan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya, keyakinan
terhadap malaikat, ruh, setan, iblis dan makhluq-makhluq gaib lainnya,
kepercayaan terhadap Nabi-nabi, Kitab-kitab Suci serta hal-hal eskatologis
lain seperti adanya hari kebangkitan (al-ba’th), hari kiamat, surga, neraka dan
sebagainya.4
Para fuqaha cenderung memberikan makna harfiyah (leterluk) dengan
mengartikan formula tauhid sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah
dengan haqq kecuali Allah”. Dengan pengertian seperti ini, para ahli
jurisprudensi Islam menegaskan kepada kita tentang status kehambaan
manusia di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, bagi mereka keyakinan
terhadap keesaan Allah harus diwujudkan dalam kesungguhan manusia untuk
hanya “menghamba” (beribadah) kepada-Nya. Dengan menegaskan status
kehambaannya itu di hadapan Allah, maka seseorang akan mencapai posisi
3 Said Aqiel, Tauhid Dalam Perspektif, hlm. 153. 4 Said Aqiel, Tauhid Dalam Perspektif, hlm. 153.
34
yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya, karena sesungguhnya
setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di mata Allah ia adalah
seorang hamba. Namun, jika seseorang menghambakan dirinya kepada selain
Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di bawah apa saja yang
disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara
ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi malaikat sekalipun.5
Dalam pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan oleh para
ulama sejak dahulu sampai saat ini, disimpulkan bahwa dalam tauhid terbagi
ke dalam tiga bagian yakni: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid Al-
Asma Was Shifat, adapun penjelasan spesifiknya akan diuraikan pada bahasan
sub bab berikutnya.6 Sebagaimana definisi singkat di atas, sejarah telah
menunjukkan bahwa pengertian manusia tentang tauhid sudah sangat lama,
yakni semenjak utusannya nabi adam kepada anak cucunya. Tegasnya sejak
permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah diketahui dan diyakini
adanya dan esanya Allah ta’ala, pencipta alam ini.7
B. Tingkatan dalam Tauhid
Dalam hal hubungan yang berhadapan dengan Allah SWT ( hablu
minnallah) manusia harus bersikap paling rendah hati, dan harus menunjukan
5 Said Aqiel, Tauhid Dalam Perspektif, hlm. 153. 6 Muhammad Bin Abdullah al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, diterjemahkan
oleh Muhammad Anis Matta, (Jakarta: 1998), hlm. 141. 7 M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Bumirestu, 1986), hlm. 19.
35
kerendahan hati itu. Sedangkan meyakini keesaan Allah Swt, terdapat banyak
tahap:8
1. Tauhid dalam wujud yang mesti. Tauhid ini diartikan bahwa tidak ada
satu wujud pun yang maujud oleh dirinya sendiri, kecuali Allah SWT,
dengan peristihan filsafat, tauhid ini adalah keyakinan terhadap
sebuah wujud yang keberadaannya bersifat mesti, wujud yang
demikian itu hanyalah Allah SWT, yang Maha Tinggi, yang
keberadaannya secara instink merupakan keharusan, dan yang dari-
Nya wujud-wujud yang lain maujud.
2. Tauhid dalam penciptaan. Tauhid ini diartikan bahwa tidak ada
pencipta kecuali Allah SWT.
3. Tauhid dalam rububiyah. Tahap ketiga ini adalah manajemen dan
rububiyyah genetik, artinya setelah mengakui bahwa Allah SWT,
merupakan satu-satunya pencipta alam semesta, kita harus mengetahui
siapa manajer dan direkturnya dan apakah ada orang lain yang
mengatur alam semesta ini tanpa ijin-Nya.9
4. Tauhid dalam rububuyyah legislatif genetik. Setelah mengetahui
bahwa pencipta kita adalah Allah SWT, dan bahwa keberadaan dan
manajemen kita hanya berada ditangannya, kita juga harus percaya
8 Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid; Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan
Firman, (Bandung: Arasyi, 2003), hlm. 61. 9 Taqi Mizbah Yazdi, Filsafat Tauhid, hlm. 62.
36
bahwa tak seorang pun selain Dia yang mempunyai hak untuk
memerintah kita dan membuat hukum bagi kita.
5. Tauhid dalam penyembahan. Dalam tahap ini, tauhid adalah kesatuan
ketuhanan dan penyembahan. Artinya, tak satupun kecuali Allah
SWT.
6. Tauhid dalam penyembahan. Ia berarti bahwa manusia tidak boleh
menyembah kepada selain Allah Swt. Tahap sebelumnya adalah
bahwa tak satupun yang berhak disembah kecuali Dia. Tahap ini
menuntut manusia harus secara praktis tidak menyembah kecuali
kepada Allah SWT.
7. Tauhid dalam meminta pertolongan. Ia berarti bahwa manusia secara
praktis tidak boleh meminta tolong kepada selain Allah Swt.
8. Tauhid dalam merasa takut. Tauhid ini berarti bahwa ketakutan
manusia hanya tertuju kepada Allah SWT saja.
9. Tauhid dalam berharap. Tauhid ini berarti bahwa kita tidak boleh
menempatkan harapan-harapan kita selain kepada Allah.
10. Tauhid dalam cinta. Dalam tahap ini jika orang menyakini bahwa
semua kesempurnaan dan keindahan asalnya adalah milik Allah Swt.
37
C. Tauhid Menurut Pandangan Beberapa Teolog, Sufi, dan Failasuf
Tauhid, jika di dalam yurisprudensi Islam (fiqh) dipandang sebagai
bahwa kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh seorang mu’min adalah
mengucapkan syahādah tauhid atas keesaan Tuhan, maka dalam tasawuf
kesaksian (syahādah) tauhid bukan sekedar formalitas dalam ucapan,
melainkan syahādah tauhid dalam tasawuf merupakan totalitas aktivitas nyata
dari kesaksian (syahādah) melalui refleksi dan perasaan.10
Di lain sisi, pergulatan tauhid dalam ilmu kalam (teologi) berjalan
sangat panjang dan alot, banyak hal yang menjadi perdebatan panjang oleh
aliran-aliran kalam salah satunya terkait sifat dan dzat Tuhan. Tetapi secara
garis besar pendapat-pendapat mengenai tauhid secara umum, telah
dirangkum sebagai berikut:
1. Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi
Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi merupakan seorang sufi
terkemuka ke-11 di Iran, yang akrab dengan literatur Islam seperti
fiqih, kalam, ushul fiqih, sastra Arab, dan lain sebagainya. Menurut
al-Qusyairi, tauhid dibagi kedalam tiga kategori: Pertama, Tauhid
Allah untuk Allah, yakni mengetahui bahwa Allah itu Esa. Kedua,
mengesakan Allah untuk makhluk, yaitu keputusan Allah bahwa
seorang hamba adalah yang mengesakan-Nya dan Allah
menciptakannya sebagai hamba yang mempunyai tauhid. Ketiga,
10 Muhamad Alif, Tauhid Dalam Tasawwuf, Antara Ittiĥād dan Ittişāl, Jurnal Aqlania, vol.
08, No. 02. 2017, hlm. 207.
38
Tauhid makhluk untuk Allah, yaitu seorang hamba yang mengetahui
bahwa Allah adalah Esa. Dia memutuskan sekaligus menyampaikan
bahwa Allah itu Esa. Uraian ini merupakan penjelasan singkat
tentang makna tauhid.11
2. Hassan Hanafi
Sementara itu di lain sisi, Hassan Hanafi menawarkan suatu
gagasan-gagasannya tentang tauhid, di mana ia berusaha menarik
gagasan-gagasan sentral al-Qur’an yang selama ini banyak dipahami
serta diposisikan di atas untuk diturunkan ke bawah atau bersifat
antroposentris. Term-term sakral yang umumnya berkaitan dengan
ketuhanan, yang sebelumnya dimaknai dengan sesuatu yang
bertujuan menunjukkan dan menjaga kesucian, kebesaran serta
kekuasaan-Nya, ditarik dan dibumikan menjadi sebuah term material
duniawi. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud Tauhid bukan lagi
konsep yang menegaskan tentang eksistensi dan keesaan Tuhan yang
bersifat monotheis, politheis, pantheis, deist, dan lain-lain, tetapi
lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku
dualistik seperti opportunis, hipokrit, munafik dan perilaku-perilaku
madzmum yang lain. Semua deskripsi tentang Tuhan dan sifat-sifat-
Nya sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, pada
11 Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), hlm. 4.
39
dasarnya lebih mengarah kepada pembentukan manusia yang baik,
manusia ideal, insan kamil.12
Menurut Hassan Hanafi, kalimat la ilaha illallaah, mencakup
dua hal. Pertama, negasi yang terdapat dalam kalimat la ilaha.
Kedua, afirmasi yang terdapat dalam kalimat illallah. Kalimat tauhid
mengandung dua tindakan: a. Tindakan negatif, yakni menegasikan
segala bentuk ketuhanan, Perasaan manusia yang mana melalui
tindakan negatif akan terbebas dari segala bentuk hegemoni,
penindasan, dan penghambaan kepada makhluk (segala sesuatu yang
bersifat temporer). b. Tindakan positif, yakni menempatkan perasaan
dan kesadaran sebagai contoh ideal dan paripurna. Dengan tindakan
positif manusia akan menjadi contoh ideal dan memproklamirkan
kesetiaannya terhadap prinsip sempurna, yang menempatkan seluruh
kelompok manusia pada derajat yang sama. Tindakan ini
membebaskan manusia untuk berekspresi serta mengembangkan diri.
Tindakan yang pertama membebaskan manusia dari subordinasi
penguasa, sedangkan tindakan kedua menjadikan manusia sebagai
pelaku tatanan nilai baru dan mengikat manusia dengan prinsip
universal.13
3. Muhammad Abduh
12 Riza Zahriyah Falah dan Irzum Farihah, Pemikiran Teologi Hassan Hanafi, Fikrah, Vol.
3, No. 1, Juni 2015, hlm. 212. 13 Hassan Hanafi, Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis, diterjemahkan oleh Miftah
Faqih, (Yogyakarta: Lkis, Cet ke-1, 2003), hlm. xxii.
40
Nama besar seperti Muhammad Abduh juga memberikan
pemikirannya terkait tauhid. Bagi Abduh, tauhid adalah suatu ilmu
yang membahas tentang “wujud Allah”, tentang sifat-sifat yang
wajib kepada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya dan
tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari-Nya,
serta ilmu yang membahas tentang Rasul-rasul Allah disertai
keyakinan kepada mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri
mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka
dan apa yang terlarang menghubungkannya pada diri mereka.14
Menurut Muhammad Abduh, asal makna tauhid adalah
meyakinkan (mengi’tikadkan) bahwa Allah adalah satu, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Kenapa disebut ilmu tauhid karena posisinya yang
begitu penting, menetapkan sifat wahdah (satu) bagi Allah dalam zat
dan perbuatan-Nya yang telah menciptakan seluruh alam sekaligus
sebagai tempat kembali. Di dalam karyanya yang masyhur yakni
“Risalatu’t Tauhid”, Muhammad Abduh menguraikan banyak hal
tentang hakikat tauhid beserta perkembangannya yang saling
berkaitan satu sama lain, di mana ia tidak hanya menyinggung soal
dzat dan sifat Allah, tetapi ia juga menjabarkan perihal dalil-dalil
14 Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, diterjemahkan oleh K.H. Firdaus (Jakarta:
Bulan Bintang, Cet ke-VII, 1979), hlm. 36.
41
tauhid, porsi akal manusia dalam tauhid, perbuatan-perbuatan Allah,
kebebasan manusia, dan lain sebagainya.15
Muhammad Abduh juga menyebutkan bahwa tauhid terkadang
juga dinamakan sebagai ilmu Kalam. Menurutnya, hal tersebut
disebabkan oleh persoalan yang paling terkenal, yang diperselisihkan
oleh para sarjana abad-abad pertama, apakah Kalam Tuhan yang
terbaca itu (Al-Qur’an) tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim).
Mungkin juga karena fondasi ilmu ini adalah pembuktian rasional
yang manifestasinya nampak pada setiap pembicara dalam bicara
(kalam)-Nya, dan sedikit sekali menggunakan naql (dalil teks atau
nash). Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara
pembuktian tentang prinsip-prinsip agama, tauhid lebih mirip dengan
ilmu logika (manthiq) yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku
argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional).16
4. Murtadha Muthahhari
Di lain sisi, Murtadha Muthahhari yang mana juga dikenal
sebagai failasuf yang banyak menelurkan karya-karya besar
mempunyai pandangan tersendiri terkait tauhid. Bagi Murtadha
Muthahhari, tauhid dihadapkan dengan dunia nyata, dunia sosial, dan
dunia kultural manusia. Tauhid olehnya terklasifikasi ke dalam dua
bagian yakni: tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis
15 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm. 10-16. 16 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.
366.
42
adalah tauhid yang membahas tentang keesaan zat, keesaan sifat, dan
keesaan perbuatan Tuhan. Dalam wilayah tauhid teoritis ini khusus
berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran
kita tentang Tuhan. Sedangkan tauhid praktis atau disebut juga
sebagai tauhid ibadah adalah berhubungan dengan kehidupan dunia
praktis manusia, tauhid ini merupakan penerapan dari tauhid
teoritis.17
Menurut Murtadha Muthahhari, suatu ilmu yang bersifat
teoritis, belum tentu akan memberikan pengaruh dalam kehidupan
praktis manusia. Sebagai contoh, para ahli zaman purba berpendapat
bahwa bumi merupakan pusat alam. Benda-benda langit, termasuk
matahari, beredar mengitari bumi. Tetapi kemudian teori ini
dibatalkan oleh para sarjana modern, mereka mengatakan bahwa
mataharilah yang sebenarnya menjadi pusat dari semua benda-benda
angkasa tersebut, dan planet-planet, termasuk juga bumi lah yang
sebenarnya mengelili matahari. Dari contoh ini kemudian Murtadha
Muthahhari mengemukakan pertanyaan, apakah dengan perubahan
teori ini lantas akan berpengaruh pada kehidupan dan budi pekerti
manusia? Jawabannya adalah tidak.18
17 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi atas Pandangan Dunia Islam, (Bandung: Yayasan
Muthahhari, 1981) hlm. 82. 18 Zainun Kamal, Pemikiran Murtadha Muthahhari di Bidang Teologi, Jurnal al-Hikmah,
No.4 November 1991-Februari 1992), hlm. 102.
43
Oleh sebab itu, bagi Murtadha Muthahhari, tauhid teoritis saja
yakni tauhid yang hanya percaya semata akan keesaan zat, sifat,
serta perbuatan Tuhan tidak dapat disebut sebagai orang yang sudah
bertauhid yang sempurna dan hakiki dalam pandangan Islam. Yang
disebut tauhid hakiki ialah kesatuan antara tauhid teoritis dan tauhid
praktis dalam diri dan kehidupan manusia. Di sinilah letak perbedaan
antara seseorang yang bertauhid (muwahhid) dengan seseorang yang
musyrik. Di mana secara teoritis bertauhid, tetapi dalam praktek
kehidupan sehari-hari patuh dan mengabdi kepada Tuhan-Tuhan
yang selain-Nya.19
D. Dalil-Dalil Tauhid dalam Al-Qur’an dan Hadits
Terkait dalil-dalil yang memuat tentang ajaran tauhid, sebagaimana
telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa tauhid merupakan
bagian paling penting, di mana bagian ini harus dipahami secara utuh agar
maknanya yang sekaligus mengandung klasifikasi jenis-jenisnya dapat
terealisasi dalam kehidupan, dalam kaitan ini tercakup dua hal yakni;
memahami ajaran tauhid secara teoritis berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an,
Sunnah, dan akal sehat, serta pengimplementasian ajaran tauhid dalam
kenyataan sehingga ia menjadi fenomena yang tampak dalam kehidupan
19 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, hlm. 32.
44
manusia. Secara teoritis, tauhid diklasifikasikan dalam tiga jenis yakni; a.
Tauhid Rububiyah, b. Tauhid Uluhiyah, c. Tauhid Asma’ Wa-shifat.
1. Tauhid Rububiyah
Rububiyah merupakan kata yang dinisbatkan kepada salah satu
nama Allah SWT, yakni Rabb. Nama ini mempuunyai beberapa arti
di antaranya seperti al-murabbi (pemelihara), an-nasir (penolong),
al-malik (pemilik), al-mushlih (yang memperbaiki), as-sayyid (tuan)
dan al-wali (wali).20
Dalam terminologi syari’at Islam, istilah tauhid rububiyyah
diartikan sebagai: “percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya
pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan takdirnya-Nya
ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan
sunnah-sunnah-Nya”. Dalam pengertian ini, istilah tauhid rububiyah
bisa dikatakan belum terlepas dari akar makna bahasanya. Sebab
Allah adalah pemelihara makhluk, para Rasul dan wali-wali-Nya
dengan segala spesifikasi yang telah diberikannya kepada mereka.
Rezeki-Nya meliputi semua hamba-Nya. Dialah penolong rasul-
rasul-Nya dan wali-wali-Nya, pemilik bagi semua makhluk-Nya,
yang senantiasa memperbaiki keadaan mereka dengan pilar-pilar
kehidupan yang telah diberikannya kepada mereka, tuhan kepada
siapa derajat tertinggi dan kekuasaan itu berhenti, serta wali atau
pelindung yang tak terkalahkan yang mengendalikan urusan para
20 Abdullah al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, hlm. 141.
45
wali dan rasul-Nya. Tauhid rububiyah mencakup dimensi-dimensi
keimanan berikut ini: Pertama, beriman kepada perbuatan-perbuatan
Allah yang bersifat umum. Misalnya, menciptakan, memberi rizki,
menghidupkan,mematikan, menguasai. Kedua, beriman kepada
takdir Allah. Ketiga, beriman kepada zat Allah. Adapun landasan
tauhid rububiyah adalah:21
لمين ٱلع رب ٱلحمد لله
Artinya: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Q.S.
Al-Fatihah: 2).
أل له ٱلخلق وٱلمر
Artinya: “Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah.” (QS. al-A’raaf: 54).
ا لكم خلق لهذيٱ هو هنه لسهما ء ٱ إلى ستوى ٱ ثمه جميعا لرض ٱ في مه ى فسوه
ت سبع و عليم شيء بكل وهو سم
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Q.S. al-Baqarah : 29).
يشفين فهو مرضت وإذا
Artinya: Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan
Aku”. (Q.S. asy-Syu’ara: 80).
21 Abdullah al-Buraikan, Pengantar Aqidah, h. 142
46
2. Shifat-Asma wa ash-Tauhid al
Definisi dari tauhid ini ialah pengakuan dan kesaksian yang
tegas atas atas semua nama dan sifat Allah yang sempurna dan
termaktub dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW,
adapun landasannya adalah;
لبصير ٱ لسهميع ٱ وهو شيء ۦكمثله ليس
Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan dia, dan
dia maha mendengar lagi maha melihat.” (Q.S. asy-Syuura: 11).
Dalam firman tersebut, terlihat Allah SWT menetapkan sifat-
sifat bagi diri-Nya secara rinci, yakni dengan menyebut bagian-
bagian kesempurnaan itu satu persatu. Inilah sinyalemen dalam
bagian kedua ayat tersebut: “…dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. Maka Allah Swt, menetapkan sifat mendengar dan melihat
bagi diri-Nya sendiri. Tetapi Allah Swt, juga menafikan sifat-sifat
kekurangan dari diri-Nya. Tetapi penafian tersebut bersifat umum.
Artinya, Allah menafikan semua bentuk sifat kekurangan bagi diri-
Nya yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya secara umum
tanpa merinci pada satuan-satuan dari sifat-sifat kekurangan tersebut.
47
Selain itu, terkadang hal sebaliknya juga, di mana Allah
menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara global merinci sifat-sifat
kekurangan yang ingin dinafikan. Misalnya ayat berikut ini;
لحمد ٱ لمين ٱ رب لله لع
Artinya: “Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam.” (Q.S.
al-Fatihah: 2).
نوم ول سنة ۥتأخذه ل
Artinya: “...Tidak mengantuk dan tidak tidur…”. (Q.S. Al-
Baqarah: 255).
3. Tauhid Uluhiyah
Term Uluhiyah diambil dari akar kata ilah yang berarti
disembah dan yang dita’ati. Kata ini juga digunakan untuk menyebut
sembahan yang hak dan yang batil. Untuk sembahan yang haq
terlihat dalam firmannya:22
ٱ ه ل لله لقي وم ٱ لحي ٱ هو إله إل
22 Abdullah al-Buraikan, Pengantar Aqidah, hlm. 147
48
Artinya: “Dialah Allah yang tiada tuhan selain dia, yang hidup
kekal lagi terus menerus mengurus urusan makhluknya…”. (Q.S. al-
Baqarah: 255).
هه تهخذ ٱ من أفرءيت ه ۥإل هوى
Artinya: “Apakah Engkau Telah Melihat Orang Yang
Menjadikan Hawa Nafsunya Sebagai Tuhannya?” (Q.S. al-Jaatsiyah:
23).
Tetapi kemudian pemakaian kata ilah lebih dominan
digunakan untuk menyebut sembahan yang haq, sehingga maknanya
berubah menjadi: Dzat yang disembah sebagai bukti kecintaan,
penggunaan, dan pengakuan atas kebesaran-Nya. Dengan demikian
maka kata ilah mengandung dua makna yakni: ibadah dan ketaatan.
Sementara itu, pengertian tauhid uluhiyah dalam terminologi syari’at
Islam sebenarnya bisa dibilang tidak keluar dari kedua makna
tersebut. Maka definisinya adalah: “Mengesakan Allah dalam ibadah
dan ketaatan. Atau mengesakan Allah dalam perbuatan seperti
sholat, puasa, zakat, haji, nazar, menyembelih sembelihan, rasa
takut, rasa harap dan cinta. Dari hal-hal tersebut dimaksudkan bahwa
kita menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya sebagai
bentuk ketaan dan semata-mata untuk mencari ridho Allah.23
23 Abdullah al-Buraikan, Pengantar Aqidah, hlm. 153.
49
48
BAB IV
ANALISA PEMIKIRAN TAUHID SYAIKH ‘ABDU AL- ṢOMAD AL-
PALIMBĀNĪ DALAM KITAB HIDĀYATU AL- SĀLIKĪN
Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit direview mengenai definisi
dan sedikit penjabarannya tentang tauhid oleh beberapa tokoh. Terkait hal ini,
uraian Al-Palimbānī tentang tauhid menjadi salah satu sumbangsih yang besar dalam
perpetaan akidah di Nusantara.
A. Corak Tauhid Menurut Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī
Al-Palimbānī mempunyai peran dan kontribusi besar dalam sketsa
intelektualisme Nusantara, sumbangan keilmuannya mencakup banyak sisi
terutama dalam bidang akidah Islam, Azyumardi Azra menyebut al-Palimbānī
sebagai penafsir paling berwibawa dan kreatif dalam tasawuf al-Ghazali.1
Jika dilihat dari riwayat skematik ulama-ulama besar yang pernah menjadi
guru al-Palimbānī, tampaknya hal tersebut bisa menjadi sebuah indikator
terkait proses pembentukan intelektualitas al-Palimbānī dalam menguasai
ilmu agama.
Pada sisi yang lain, dalam proses pematangan intelektualitas serta
legilitas keilmuannya, salah satunya dalam bidang tarekat, al-Palimbānī
pernah menjadi khalifah tarekat Sammānīyah berdasarkan kepercayaan syaikh
Samman yang beraliran sunni kepadanya di Madinah. Meski dalam konteks
ulama di Nusantara nama al-Palimbānī sangat otoritatif terkait mistisisme
1 Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani: Biografi dan Warisan Keilmuan,
(Yogyakarta: Lkis, 2015), hlm. 2.
49
Islam, al-Palimbānī menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang
komprehensif
seperti hadīth, fiqh, sharī‘ah, kalām, tafsīr al-Qur’ān dan sebagainya,
sehingga al-Palimbānī benar-benar tumbuh dan berkembang dengan karakter
seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu agama yang sempurna, sehingga
tidak heran jika pada akhirnya al-Palimbānī memiliki banyak murid yang
tersebar di seluruh pelosok Nusantara. 2
Tradisi intelektualitas al-Palimbānī dalam konteks Islam Melayu
Nusantara, bisa ditelisik dari posisi Palembang yang pernah dicatat sebagai
salah satu pusat peradaban yang penting. Di mana Kesultanan Palembang
setelah abad ke-18 berkembang menjadi tempat tumbuh suburnya
pengetahuan di bidang kesusastraan dan agama, sehingga hal tersebut dinilai
berhasil menggantikan posisi Aceh yang sejak akhir abad ke-17 mengalami
kemunduran. Selama kurun waktu abad ke-18 dan 19, Palembang
memunculkan ulama-ulama yang produktif berkarya yang memberi
kontribusi penting bagi lahirnya tradisi keilmuan di Palembang, dan
Nusantara. Mereka tidak hanya mengarang karya sendiri tetapi juga telah
menerjemahkan sejumlah kitab-kitab seputar khazanah intelektual Islam yang
penting. Lewat karya-karya penting mereka inilah, masyarakat muslim (yang
2 Syamsu Rijal & Umiarso, Rekontekstualisasi Konsep Ketuhanan Abd Samad al-
Palimbani, (Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8, No. 1, Juni 2018), hlm. 93.
50
tinggal di negeri-negeri melayu) dapat lebih mudah untuk mengakses
khazanah keislaman yang tersimpan dalam sumber-sumber Arab.3
Para ulama Palembang dari masa tersebut berhasil memelihara
kesinambungan pengkajian yang pernah berkembang di Aceh sekaligus
mampu mengembangkan kecenderungan keilmuannya yang khas. Dalam
aspek disiplin ilmu misalnya, naskah-naskah Palembang yang dipelajari oleh
Oman Fathurahman (filolog) masih mencerminkan tekanan pada bidang
tasawuf, demikian dengan yang dilakukan Aceh. Tetapi, berbeda dengan
Aceh yang mana untuk waktu yang lama pernah mengembangkan jenis
tasawuf falsafi dengan wahdat al-wujud sebagai wacana pokoknya, para
ulama Palembang sejak awal lebih memilih pada tasawuf Sunni yang
ortodoks, yang mana berusaha menekankan keterpaduan tasawuf sebagai ilmu
yang berfungsi mengolah batin manusia dengan fikih (ilmu untuk sisi lahir),
sebuah tradisi tasawuf yang rekonsiliatif dan kini juga dikenal sebagai neo-
sufisme.4
Dari sketsa tersebut, Palembang berhasil memunculkan karakteristik
baru nan khas dibandingkan dengan Aceh, tradisi Palembang memperlihatkan
pengaruh tasawuf Sunni al-Ghazali yang sangat kuat. Moris, seorang
sarjanawan dalam desertasinya bahkan menggambarkan Palembang abad ke-
18 sebagai the center for al-Ghazzali tradition sufism. Drewes dalam
temuannya juga menunjukkan bahwa karya tulis keagamaan yang beredar di
3 Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad, hlm. 98.
4 Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad, hlm. 99.
51
Palembang pada kisaran abad ke-18 dan 19 tidak menunjukkan adanya karya
ulama yang beraliran seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani
atau karya-karya ulama heteredoks lain. Tetapi sebaliknya, karya al-Raniri
dan al-Sinkili mendapatkan apresiasi yang luas.5
Sumbangan tradisi al-Palimbānī ialah kemampuannya
mengintegrasikan perspektif tasawuf falsafi Ibn ‘Arabi ke dalam kerangka
tasawuf akhlaqi al-Ghazali. Dengan pijakan pada al-Ghazali, tradisi
palimbani secara langsung atau tidak langsung sedang menggiring Ibn ‘Arabi
ke marginal, dalam artian karya-karya Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya tidak
pernah ditolak, hanya saja disarankan bagi pejalan ruhani yang sudah berada
pada tingkat muntahi.6
Dalam sketsa ilmu ketuhanan yang beredar begitu kompleks, pada masa
al-Palimbāni sudah ada tiga ajaran mengenai ketuhanan yang dianggap benar
semuanya, meskipun terkadang di antara ketiganya tampak berlawanan,
yakni: pertama, ajaran ketuhanan dalam ilmu ushuluddin yang tidak
mengakui adanya Tuhan selainn Allah. Kedua, ajaran fana dalam tauhid yang
memandang bahwa yang ada hanya Allah. Ketiga, ajaran wahdatul wujud
yang menganggap bahwa alam semesta ini merupakan penampakan lahir
Allah. Ketiga pandangan tersebut bagi al-Palimbāni dipandang tidak
berlawanan, dan diuraikan dalam karya pokoknya Sairu-Salikin.7
5 Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad, hlm. 100. 6 Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad, hlm. 100. 7 Chatib Quzwain, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus
Samad Al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 37
52
Antara tauhid dan makrifah dalam bahasan al-Palimbāni masih saling
berkaitan. Pergulatan antara makrifah dan tauhid sudah menemui perjalanan
yang begitu panjang, dalam abad ketiga Hijri (19 M) di mana ketika tasawuf
mulai mendapatkan bentuknya yang jelas sebagai mistik Islam, para sufi telah
membicarakan makrifah dan tauhid dalam arti mengenal Allah secara
langsung, dengan pandangan batin yang telah mendapat pancaran sinar-Nya,
dan tenggelam dalam esaan-Nya yang mutlak itu sedemikan rupa, sehingga
yang dipandang ada hanya Dia.8
Makrifah dan tauhid di mana pada dasarnya merupakan suatu maqam
(tingkatan kerohanian) tertinggi dan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh para
sufi. Oleh sebab itu, semenjak abad ketiga Hijri, masalah ini merupakan
bagian inti dalam pembicaraan mistik Islam. Tetapi yang menjadi catatan
adalah, ajaran ini tidak mungkin bisa dipahami oleh orang-orang Islam yang
bukan sufi sebagai suatu hal yang tidak berlawanan dengan konsepsi
ketuhanan menurut akidah Islam pada umumnya. Para sufi abad ketiga Hijri
tersebut seperti Dzunnun Al-Mishri, Junaid al-Baghdadi sering dituduh kafir
atau zindiq, dan tuduhan tersebut juga dilancarkan pada al-Hallaj yang
akhirnya dijatuhi hukuman mati.9
8 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, h. 32 9 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, h. 34
53
B. Sifat Wajib Tuhan Menurut Syaikh ‘Abdu Al-Ṣomad Al-Palimbānī
Terkait ajaran pertama dalam kitab hidāyatu al-sālikīn, al-Palimbāni
menjelaskan tentang akidah Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah, di mana ia
menerangkan bahwasannya Allah itu:
1. “Wahidun lâ syarikalah, artinya: Esa tiada yang menyekutui bagi-
Nya.
2. Fardu lâ nadziru lahu, artinya: Tunggal tiada bagiNya banding.
3. Azaliyyu lâ bidâyatalah, artinya: sedia tiada baginya permulaan.
4. Sarmadiyyu lâ nihâyat, artinya: kekal tiada bagiNya kesudahan.
5. Munazzatu an musyâbahati al-makhluqâti, artinya: Maha suci dari
pada menyerupai akan segala makhluk.
6. Muqqodasu an mumâ tsalati al-muhdâtsati, artinya: Maha suci
daripada bersamaan dengan segala yang baharu.
7. Laysa kamitslihi syaiy’un wa huwa al-samiu al-bashir, artinya: tiada
sesuatu yang seumpama Allah taala dan yaitu yang mendengar dan
yang melihat.
8. Laysa bijismin mushowwarin, artinya: tiada Allah taala itu berjisim
yang berupa.
9. Ta’ala allahu an al-i’tiqâlati wa al-harakâti wa al-hululi wa al-aqtâri
wa al-jihâti, artinya: Maha suci Allah taala daripada berpindah dan
54
bergerak dan mengambil tempat dan bertempat yang tertentu pada
sesuatu benua dan berpihak dengan pihak yang tertentu.
10. Lâ yahwiyhi makânu, Artinya: tiada meliputi akan Allah taala itu oleh
tempat.
11. Wa lâ yahshihi zamânu, artinya: tiada menentukan Allah taala oleh
zaman.
12. Kâna qabla an khalaqa al-zamâna wa al-makâna. Wa huwa al’âna
‘ala ma alayhi kâna, artinya: Allah taala itu dahulu daripada bahwa ia
menjadikan akan zaman dan tempat. Dan adalah Allah taala sekarang
atasnya, yaitu ada Ia sedia tiada berubah-ubah daripada sedianya.”10
Terkait sifat wajib Tuhan, al-Palimbāni dalam hidāyatu al-sālikīn
mewajibkan setiap muslim yang aqil baligh untuk mengetahui sifat-sifat yang
wajib pada Allah yakni:11
1. Wujud, artinya ada.
2. Qidam, artinya sedia.
3. Baqa’, artinya kekal.
4. Mukholafatuhu lil-hawadits, artinya (bersalahan) bagi segala yang
baharu.
5. Qiyamuhu ta’ala binafsihi, artinya berdiri dengan sendiri-Nya.
6. Wahdaniat, artinya Esa.
10 Syekh Abdus-Shamad al-Falimbani, Hidayatus-Salikin Fi Suluki Maslakil-Muttaqin,
diterjemahkan oleh: KH. Ahmad Fahmi Bin Zamzam, (Kalimantan Selatan: Darussalam Yasin,
2019), hlm. 19. 11 Syaikh ‘abdu al-Somad al-Palimbānī, Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin,
ditahqiq oleh Ahmad Fahmi bin Zamzam (Kalimantan Selatan: TB. Darussalam Yasin, cet ke-VI,
2019), hlm. 20-21.
55
7. Qudrat, artinya kuasa.
8. Iradat, artinya berkehendak.
9. Ilmu, artinya mengetahui.
10. Hayat, artinya hidup.
11. Sama’, artinya mendengar.
12. Bashar, artinya melihat.
13. Kalam, artinya berkata-kata.
14. Qaunuhu taala qadiran, artinya keadaan Allah yang kuasa.
15. Kaunuhu taala muridan, artinya keadaan Allah yang
berkehendak.
16. Kaunuhu taala ‘aliman, artinya: keadaan Allah yang mengetahui.
17. Kaunuhu taala hayyan, artinya: keadaan Allah taala yang hidup.
18. Kaunihu ta’ala sami’an, artinya keadaan Allah taala yang
mendengar.
19. Kaunuhu taala bashiran, artinya: keadaan Allah taala yang
melihat.
20. Kaunuhu taala mutakalliman, artinya keadaan Allah taala yang
berkata-kata.
Selanjutnya, selain sifat-sifat yang mesti ada pada Allah, ada juga sifat-
sifat yang mustahil pada hak Allah. Sifat-sifat tersebut juga berjumlah dua
puluh dan merupakan lawan dari sifa-sifat di atas. Adapun sifat jaiz Allah,
yakni sifat yang harus pada hak Allah taala, yakni perbuatan yang mumkin
atau meninggalkan. Selain itu, al-Palimbānī juga menyebutkan sifat-sifat
yang wajib ada pada Rasul yakni:12
1. Shidiq, artinya benar.
12 al-Palimbānī, Hidayatus Salikin, hlm. 21.
56
2. Amanah, artinya kepercayaan.
3. Tabligh, artinya menyampaikan segala barang yang disuruhkan
mereka itu menyampaikan akan dia kepada segala makhluk.
Selain ketiga sifat di atas, ada juga sifat mustahil yang merupakan
lawan dari ketiga sifat Rasul yang harus ada, yakni:
1. al-Kidzb, artinya dusta
2. al-Khianat, artinya curang,
3. al-Kitman, artinya menyembunyikan.
Selanjutnya, menurut al-Palimbāni sifat yang harus ada bagi para rasul
yakni adanya sifat-sifat kemanusiaan (sakit, dll) yang mana pada dasarnya
tidaklah akan mengurangi martabat para rasul yang tinggi tersebut. Dengan
demikian, al-Palimbāni menekankan kepada mukallaf yang aqil baligh untuk
mengetahui dan mengi’tiqadkan bahwasannya Allah SWT membangkitkan
Nabi yang ummi (yang tidak bisa membaca dan menulis), daripada Quraisy,
dilahirkan di Makkah al-Mukarramah dan dimakamkan di Madinah al-
Munawwarah. Yakni Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abdul Muttalib Ibn
Manaf Ibn Hasyim Ibn Manaf, yang diutus menjadi Rasul kepada sekalian
Arab, Ajam, jin, dan manusia. Dan kehadirannya menggantikan syariat atas
segala syariat nabi yang dahulu, dan Nabi Muhammad SAW adalah penghulu
segala manusia serta segala anbiya terdahulu.13
13 al-Palimbānī, Hidayatus Salikin, h. 21-22
57
Bagi al-Palimbāni, selain perkara-perkara yang diwajibkan di atas,
diwajibkan pula pada setiap aqil baligh untuk menjalankan setiap khabar
Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Serta tidak diterimanya iman
seseorang apabila ia menolak khabar yang dibawakan Nabi Muhammad
SAW serta juga menolak peristiwa eskatologisnya (peristiwa setelah
kematian) seperti:
1. Soal Munkar dan Nakir yang memberi pertanyaan pada mayit
tentang: Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?.
2. Akan adanya siksa kubur bagi ahli maksiat dan nikmat kubur bagi
ahli ibadah.
3. Akan adanya mizan atau neraca di dalam akhirat yang menimbang
segala amal manusia.
4. Akan adanya shirath, yakni titian di atas neraka jahanam yang mana
lebih halus (kecil) daripada rambut dan lebih tajam daripada
pedang, dimana bagi para munafiq dan kafir akan jatuh ke dalam
neraka. Tetapi tidak dengan kaki orang mukmin yang kemudian
akan masuk ke dalam surga, tetapi meski begitu tetap tergantung
pada amal dari mukmin tersebut, di mana setengah dari mereka
melalui perjalanan yang bagaikan kilat yang menyambar, sebagian
seperti burung yang terbang, sebagian lagi ada yang seperti kuda
yang lari, sebagian lagi ada yang berjalan, sebagian lagi ada yang
merangkak, sebagian lagi ada yang mengesot.
58
5. Akan adanya telaga al-Kautsar, yakni telaga yang airnya lebih putih
dari susu serta lebih manis dari madu yang akan membuat orang-
orang mukmin yang meminumnya menjadi hilang dahaganya pada
mereka dalam perjalanan sebelum masuk surga.
6. Akan adanya hisab pada amal segala manusia.
7. Keyakinan bahwa setiap mukmin yang mengesakan Allah sedang ia
dalam siksa api neraka, pada akhirnya akan diangkat oleh Allah
karena anugerah-Nya.
8. Keyakinan akan adanya syafa’at segala anbiya.
9. Keyakinan bahwa segala sahabat Nabi Muhammad SAW semuanya
adil.
10. Maka barang siapa mengi’tiqadkan akan segala yang demikian itu
serta i’tiqad yang ta’yin (nyata) maka mereka termasuk pada ahlu
al-haq (orang yang berpegang pada kebenaran), yakni i’tikad
Ahlus-Sunnah wal-Jamaah.14
C. Penjelasan Tauhid Menurut Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī
Terkait pembahasan seputar tauhid, al-Palimbānī dalam hal ini
menerjemahkan penjelasan al-Ghazali mengenai empat tingkatan tauhid,
sebagaimana berikut:
Tingkat pertama adalah apabila seseorang mengucapkan la ilaha
illallah ia harus dimasukkan ke dalam golongan orang yang bertauhid, selain
14 al-Palimbānī, Hidayatus Salikin, hlm. 24-25.
59
dari ucapannya, dikarenakan kita tidak mampu untuk mengetahui hatinya,
maka jika di dalam hatinya ia mengingkari makna kalimat tersebut menurut
al-Palimbānī ia adalah orang munafik, termasuk juga dengan orang yang
mengucapkan kalimat tauhid itu tanpa mengingat maknanya dalam hati.15
Setingkat di atasnya, yakni tauhid orang awam, yang mana
mengucapkan kalimat tauhid dengan mengingat serta mengimani maknanya
menurut yang biasa dikenal oleh orang-orang Islam, yakni “tiada Tuhan
selain Allah”. Tetapi yang menjadi catatan adalah, kata awam di sini bukan
merujuk pada orang yang tidak mendalami teologi Islam, melainkan standar
yang dibicarakan oleh para ahli fiqh dan ulama kalam.16
Selanjutnya pada tauhid tingkat ketiga, menurut al-Palimbānī ialah
tauhid yang di mana seseorang memandang dan menemukan keesaan Allah
SWT dengan hatinya, dan memandang alam serta kehidupan dengan berbagai
macam bentuk dan perbedaannya sebagai ciptaan-Nya yang mencerminkan
kebijaksanaan dan keadilan-Nya. 17 Tetapi hal ini tidak ditempuh melalui
hasil renungan reflektif mengenai Tuhan dan alam semesta ini, melainkan
sesuatu yang dicapai oleh orang-orang yang telah mendapatkan pancaran nur
al-haqq atau dibukanya ilmu laduni oleh Allah SWT serta tentunya melalui
15 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 41. 16 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 42. 17 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 43.
60
pembinaan rohani dalam tarekat,18 tauhid ini menurut al-Palimbānī disebut
tauhidnya orang muqarrabin.
Tauhid tingkat keempat atau tertinggi, menurut al-Palimbānī ialah
tauhidnya orang shiddiqin (percaya penuh). Di mana seluruh kesadaran batin
telah terpusat pada Tuhan, tidak lagi memandang wujud yang lain, sehingga
mereka tidak menyadari lagi wujud diri mereka sendiri, yang menurut para
sufi adalah “tabir terbesar antara Tuhan dan manusia”. Orang yang sudah
mencapai tauhid titik ini sebagaiman penjelasan sebelumnya ialah orang yang
sudah tidak memandang lagi sesuatu selain esensi Tuhan yang Esa.19
D. Tinjaun Analisis Tauhid Syaikh ‘Abdu Al- Ṣomad Al-Palimbānī
Berdasarkan urain-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab
sebelumnya, menurut analisis penulis, banyak pemikiran Al-Palimbānī
khususnya pada bidang akidah yang tidak dijelaskan atau diuraikan secara
rinci dalam satu kitab, melainkan terkadang masih disinggung atau bahkan
sedikit dibahas pada kitabnya yang lain, tetapi masalah yang lain adalah, tidak
semua karya-karya Al-Palimbānī dapat ditemukan sampai saat ini yang dapat
dipelajari oleh khalayak umum (diterbitkan dan diterjemahkan ulang), tetapi
masih banyak yang berupa (manuskrip) yang hanya disimpan di palembang
serta perpustakaan nasional, hal ini yang menurut hemat penulis menjadi
18 Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Suluk ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani: Studi Kitab Siyar
Al-Salikin Fi Tariqah Al-Sadat Al-Sufiyah, (Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 6, No. 1, Juni
2020) hlm. 102. 19 Chatib Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 43.
61
salah satu sebab tidak terlalu banyak nya orang yang meneliti tentang Al-
Palimbānī ini.
Selain itu terkait ajaran tauhidnya, Al-Palimbānī lebih banyak
terinspirasi oleh al-Ghazali. Kitab Hidayatus-Salikin misalnya, di mana kitab
tersebut merupakan terjemah dari kitab Bidayatul Hidayah yang mana
merupakan sebuah ringkasan dari kita Ihya’ Ulumuddin, tetapi ia juga
sembari menambahkan argumen-argumen dan pandangannya. Selain itu,
ajaran al-Palimbānī tentang tauhid memang sangat kental dengan ajaran
tasawuf, yang sebagaimana kita ketahui bahwa bidang tersebut merupakan
keahliannya dan sangat otoritatif di sana. Adapun ajaran-ajaran yang
digaungkan olehnya termasuk tentang ajaran ketuhanan pada dasarnya
dibangun berdasarkan atau bahkan untuk menguatkan akidah ahlus sunnah
wa al-jamaah yang diyakininya.20 Tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang
aneh, di mana jika kita lihat track recordnya akan keakrabannya pada aliran
tersebut bahkan sampai guru-guru yang ditemuinya.
Jika diamati secara seksama, tujuan akhir yang ingin dicapai oleh para
mistikus Islam adalah makrifah dan tauhid, dalam artian ingin mengenal
Tuhan secara langsung dan tenggelam dalam keesaan-Nya itu. Selain itu
terkait hal ini, Al-Palimbānī sebagaimana para mistikus lain menunjukkan
akan adanya suatu jalan yang hatus ditempuh yang terdiri dari beberapa
tingkatan (maqamat) yang harus dilewati satu demi satu, dan di dalam
perjalanan yang panjang tersebut mereka juga mengalami berbagai keadaan
20 al-Palimbānī, Hidayatus Salikin, hlm. 5.
62
batin. Secara umum, terkait hal ini pendapat al-Palimbānī tidaklah berbeda
dengan para sufi lainnya misalnya seperti:21
1. Taubat
2. Takut dan Harap
3. Zuhud
4. Sabar
5. Syukur
6. Ikhlas
7. Tawakkal
8. Mahabbah
9. Ridha
10. Makrifah
11. Fana dan baka
12. Keesaan dalam keterbilangan
21 Firdaus, Meretas Jejak Sufisme di Nusantara, (Jurnal: Al-Adyan, Vol. 13, No. 1, 2018),
hlm. 328.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam peta perkembangan ajaran Islam, terdapat banyak tradisi
keilmuan yang bersumber oleh ajaran Islam itu sendiri dan kemudian
dikembangkan oleh para tokoh intelektual muslim. Tradisi keilmuan tersebut
meliputi berbagai aspek yang esensial, salah satunya adalah tauhid yang mana
merupakan fondasi penting yang juga memuat seputar ajaran ketuhanan yang
harus diketahui oleh semua muslim. Dalam hal ini, al-Palimbānī adalah salah
satu tokoh besar khususnya di Nusantara, juga mempunyai perhatian dan
peranan besar mengenai tauhid.
Bagi al-Palimbānī, tauhid merupakan tujuan dari manusia untuk
mengenali Tuhannya. Tuhan adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya (Wahidun
lâ syarikalah), tunggal, kekal, dan tiada berjisim, tidak bertempat, dan tiada
yang meneyerupainya. Selain itu, menurut al-Palimbānī Allah mempunyai
dua puluh sifat wajib. Selanjutnya, al-Palimbānī menekankan terkait adanya
peristiwa setelah kematian merupakan bagian dari ajaran tauhidnya.
Al-Palimbānī sendiri pada dasarnya, memberikan uraian atau ajaran
yang sejalan dengan aliran ahlussunnah wa al-jamaah, selain faktor sosial
sedari kecil di tempat ia tiggal yang begitu erat dengan aliran tersebut, serta
dalam proses pengembaraan intelektualismenya yang berjumpa dengan
63
banyak guru yang beraliran ahlu sunnah, pada dasarnya tanah Nusantara
sendiri memang sudah
menjadi mayoritas yang mengikuti aliran tersebut, maka bukan menjadi
hal aneh jika ajaran al-Palimbānī diterima luas pada kalangan masyarakat dan
mempunyai banyak murid di Nusantara.
Selain hal tersebut, pada kisaran waktu al-Palimbānī masih hidup dan
bahkan sampai sekarang, masyarakat Nusantara pada umumnya mempunyai
ketertarikan pada sisi mistisisme Islam (tasawuf), sedangkan al-Palimbānī
sendiri berada pada maqam sufi, yang begitu kuat dalam tarekat, dan bisa
dibilang mampu mendamaikan ajaran mistik Islam dengan syariat yang pada
waktu itu dipandang bermasalah yang di antaranya disebabkan oleh
penyimpangan orang yang bersufi-sufian dan bertasawuf yang sesat.
B. Saran
Dari hasil penelitian tersebut tentang konsep tauhid menurut al-
Palimbānī, kajian ini belum memetakan secara utuh dan rinci terkait segala
ajaran al-Palimbānī dalam berbagai sudut pembahasan. Oleh karena itu masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memetakan pengaruh pemikirannya.
Tujuan akhir dari sebuah pemikiran tidak hanya menjadi bahan diskusi secara
analisis, tetapi menjadi bukti praksis bagi kehidupan bermasyarakat.
Hal-hal yang telah dipaparkan dalam skripsi ini hanyalah sebagian dari
pemikiran al-Palimbānī. Skripsi ini bermaksud dan diharapkan sebagai salah
64
satu usaha untuk menguak sedikit dari pemikiran al-Palimbānī. Penyusun
berharap penelitian yang sangat terbatas ini dilanjutkan, karena penyusun
merasa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, kritik yang sekiranya
membangun sangat dinantikan. Semoga bermanfaat.
65
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Teologi Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986.
________, Teologi Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan, Jakarta: UI-
Press, 2002.
Hasan, Tholhah, Muhammad. Islam dalam persepektif Sosio-Kultural Cet, III;
Jakarta: Lantabora Prees, 2005.
Mansur, Laily. Pemikiran Kalam dalam Islam Cet, I; Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994.
Muhyiddin, Muhammad Abdul Hamid, Prinsip-prinsip dasar Aliran Teologi
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Palimbani, Abdus Samad, Hidayatus Fi Suluki Maslakil Musttqim, 1192 H.
Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikaran Kalam Tafsir Al-Azhar sebuah Telaah Atas
pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Cet.II; Jakarta: Penamadani,
2003.
Al fauzan, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan, penjelasan matan al- Aqidah ath-
Thahawiyah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, (jakarta cet. VI juli
2014).
Al-Juwayni, Imam al-Haramayn, al-Syamil fi Ushul al-Din, ed. ‘Ali Sami al-
Nasysyar, Fayshal Budayr ‘Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar
(Iskandariyah: Mansya‘ah al-Ma‘arif, 1969).
66
Al-Asy‘ari, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-
Zaygh wa al-Bida‘, ed. Hamudah Gharabah (ttp: Mathba‘ah Mishr
Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955).
Khalim, Samidi, Tauhid Benteng Moral Umat Beriman, (Semarang: Robar
Bersama, 2011).
Ghazali, Abdul muqsith, pemikiran tasawuf ibnu atha’illah al-syakandari: kajian
terhadap kitab al-hikam al-‘aththa’iyah jurnal tashwirul afkar no 32
(2013)
Rahim, Husni, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (Jakarta: Logos, 1998)
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf & Tokoh-Tokohnya di
Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980).
Imawan, Dzulkifli Hadi, The Intellectual Network of Syakh Abdussamad Al-
Falimbani and His Contribution in Grounding Islam in Indonesian
Archipelago at 18th Centuty AD, Millah 18, no. 1, 2016.
Zada Khamami, Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Diva Pustaka, 2003.
Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini,
Jakarta; Mizan 2001.
Quzwain, Chatib, Mengenal Allah, Jakarta; Bulan Bintang, 1985.
Asmuni, M. Yusran, dari tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen P&K, Jakarta, 1989, dalam bukunya “Ilmu Tauhid”
Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1993)
67
Siradj, Said Aqiel, Tauhid Dalam Perspektif Tasawuf, ISLAMICA, Vol 5, No. 1,
Septemer 2010.
Al-Buraikan, Muhammad Bin Abdullah, Pengantar Studi Aqidah Islam,
diterjemahkan oleh Muhammad Anis Matta (Jakarta: 1998)
Mu’in , M. Taib Thahir Abdul, Ilmu Kalam (Jakarta: Bumirestu, 1986).
Yazdi, Muhammad Taqi Misbah, Filsafat Tauhid; Mengenal Tuhan Melalui
Nalar dan Firman, (Bandung; Arasyi, 2003).
Alif, Muhamad, Tauhid Dalam Tasawwuf, Antara Ittiĥād dan Ittişāl, Jurnal
Aqlania, vol. 08, No. 02. 2017.
An-Naisaburi, Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah,
(Jakarta; Pustaka Amani, 2002).
Hanafi, Hassan, Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis, diterjemahkan oleh
Miftah Faqih, (Yogyakarta: Lkis, Cet ke-1, 2003).
Abduh, Syekh Muhammad, Risalah Tauhid, diterjemahkan oleh K.H. Firdaus
(Jakarta: Bulan Bintang, Cet ke-VII, 1979).
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi atas Pandangan Dunia Islam, (Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1981).
Abdullah, Mal An, Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani: Biografi dan Warisan
Keilmuan, (Yogyakarta: Lkis, 2015).
Quzwain, Chatib, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
Abdus Samad Al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).
68
Al-Falimbani, Syekh Abdus-Shamad, Hidayatus-Salikin Fi Suluki Maslakil-
Muttaqin, diterjemahkan oleh: KH. Ahmad Fahmi Bin Zamzam,
(Kalimantan Selatan: Darussalam Yasin, 2019).
Sumber Jurnal :
Ahmad Bagus Kazhimi, KONSEP SULŪK ‘ABD AL-ṢAMAD AL-FALIMBĀNĪ:
STUDI KITAB SIYAR AL-SĀLIKĪN FĪ ṬARĪQAH AL-SĀDĀT AL-
ṢŪFIYAH, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 6, No.1, Juni 2020.
Ahmad Bagus Kazhimi, Konsep Suluk ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani: Studi Kitab
Siyar Al-Salikin Fi Tariqah Al-Sadat Al-Sufiyah, (Ushuluna: Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Vol. 6, No. 1, Juni 2020).
Arafah Pramasto, Kontribusi Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani pada Aspek
Intelektual Islam di Nusantara Abad ke-18, Jurnal Tsaqofah & Tarikh,
Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2020.
Choiriyah, “pemikaran syeikh abdussomad al-palimbani dalam kitab faidhal
ihsani (tinjuan terhadap tyjuan dakwah)” (fakultas dakwah dan
komunikasi UIN raden fatah palembang), ghaidan 1, no 1 (2017).
Firdaus, Meretas Jejak Sufisme di Nusantara, (Jurnal: Al-Adyan, Vol. 13, No. 1,
2018).
Kastolani, “Internalisasi Nilai-Nilai Tauhid Dalam Kesehatan Mental”
Interdisciplinary jaournal of Communicatoin, Vol. 1, No. 1, Juni 2016.
Syafii, “dari ilmu tauhid atau ilmu kalam ke teologi: Analisis Epistimologis”
Jurnal Teologia XXIII, No 1 (januari 2012).
69
Syamsu Rijal dan Umiarso, Rekontekstualisasi Konsep Ketuhanan Abd Sanad Al-
Palimbani, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol 8,
Nomor 1, Juni 2018.
Syamsu Rijal & Umiarso, Rekontekstualisasi Konsep Ketuhanan Abd Samad al-
Palimbani, (Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8, No.
1, Juni 2018).
Riza Zahriyah Falah dan Irzum Farihah, Pemikiran Teologi Hassan Hanafi,
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015.
Laman Web :
Ms. Wikipedia. Org. /wiki/Tauhid diakses pada tanggal 27-5-2014.
https://www.kompasiana.com/doniarief/5d25e3fe0d82306f4436f2a3/hasan-
hanafi-revolusi-tauhid-dalam-konteks-transformasi-sosial?page=all
diakses pada tanggal 08-maret-2020.
https://www.kompasiana.com/doniarief/5d25e3fe0d82306f4436f2a3/hasan-
hanafi-revolusi-tauhid-dalam-konteks-transformasi-sosial?page=all
diakses pada tanggal 08 maret 2020.
https://islami.co/mewaspadai-gerakan-politisasi-kalimat-tauhid/ diakses pada
tangal 08 maret 2020.