(paper) advokasi kebijakan publik
TRANSCRIPT
ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK
STUDI KASUS UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
A. LATAR BELAKANG
Negara sebagai institusi tertinggi berkewajiban untuk mengatur
dan mengurus warga negara. Hal ini dilakukan oleh pemerintah sebagai
pemegang kendali atas seluruh hal yang terjadi di wilayah yuridiksinya.
Negara memiliki otoritas untuk membuat kebijakan apapun demi kebaikan
bersama dalam pencapaian tujuan yang diamanatkan kosntitusi. Salah
satunya adalah menjaga keamanan dalam negeri.
Ancaman keamanan dari dalam merupakan hal yang sangat
kompleks. Melibatkan banyak aspek kehidupan. Membutuhkan
penanganan yang bijaksana. Ancaman keamanan terjadi selain akibat
“keterpaksaan” yang dihadapi warga negara tetapi juga atas kepentingan
dan keyakinan dalam bermasyarakat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dibangun atas sebuah
kekuatan tertentu saja. Sejarah berdirinya negara ini dibangun dari banyak
potensi yang menjadikan kemajemukan sebagai peluang sekaligus
ancaman. Oleh karena itu, lambang negara kita Garuda, menggenggam
erat “Bhineka Tunggal Ika”.
Kemajemukan dan keberagaman yang membangun Indonesia tentu
tidak semata-mata menjadi peluang yang bisa membuat Indonesia kuat
akan khanasah budaya. Perbedaan tentu merupakan sumber konflik yang
apabila tidak dapat disikapi bijaksana akan menjadi penyebab
permasalahan, misalnya konflik internal, perang sipil, bahkan disintegrasi
bangsa.
Perbedaan paling menyolok dari stukrtur bangsa Indonesia adalah
religi dan (sub) bangsa. Hal ini yang pada akhir-akhir ini menjadi isu
hangat dalam tiap konflik yang muncul ke permukaan. Isu terorisme yang
kini menjadi isu global turut menyeret Indonesia pada persoalan keamanan
dalam negeri.
Untuk itu, pemerintah adalah pihak yang paling berwenang dan
berperan penting dalam pengendalian keamanan. Selain alat keamanan
negara juga harus disiapkan payung hukum untuk melegalisasi segala
tindakan dalam rangka pengkondisian keamanan dalam negeri.
Payung hukum yang dimaksud adalah peraturan perundang-
undangan yang diproduksi oleh pemerintah (eksekutif bersama legislatif)
melalui proses pembuatan kebijakan publik. Adapun yang dimaksud
dengan kebijakan publik adalah
“sebuah proses atau serangkaian [aktivitas] atau aktivitas pemerintahan yang berpola atau keputusan-keputusan yang dirancang untuk mengatasi persoalan publik, baik yang nyata maupun yang potensial).” James Lester dan Robert Steward (2000: 18)
Dalam kebijakan publik dikenal beberapa proses, di antaranya
formulasi, implementasi, evaluasi, dan advokasi. Tiap-tiap proses tersebut
harus dilakuakan sesuai dengan rangkaian dan terjadi dalam pola siklus
yang terus berulang hingga pada suatu kondisi dimana kebijakan mengenai
hal tersebut sudah dianggap tidak perlu.
Formulasi secara sederhana bisa diartikan sebagai perencanaan.
Berbagai masukan ditampung dari berbagai sumber, terutama dari para
pemangku kepentingan dan tidak sedikit kebijakan yang sangat
memeperhatikan aspirasi kelompok penekan. Formulasi kemudian juga
memikirkan segala aspek termasuk prediksi jika kebijakan ini dikeluarkan
atau tidak dikeluarkan.
Setelah kebijakan dianggap sempurna, maka kebijakan tersebut
dikeluarkan yang kemudian dilaksanakan dalam proses implementasi.
Pemerintah sebagai pelaksana, penyedia, dan pengawas kebijakan tentu
menyiapkan segala pendukung untuk pelaksanaan kebijakan publik agar
sesuai dengan rencana sehingga dapat memenuhi tujuan yang dicita-
citakan.
Evaluasi adalah proses yang tak kalah pentingg dalam rangkaian
kebijakan publik. Evaluasi diperlukan dalam rangka perbaikan jika
dianggap perlu. Intinya adalah pencapaian tujuan awal pembuatan
kebijakan. Jika memang harus dilanjutkan, diperbaiki, atau dihentikan,
disesuaikan dengan hasil evalusi tersebut. Evalusi secara umum dapat
dilakukan dalam dua kondisi, yaitu dalam kondisi dimana kebijakan
sedang berjalan (on going evaluation) juga apabila kebijakan selesai
dilakukan. On going evaluation biasanya dilakukakan untuk kebijakan
publik jangka panjang (long term policy), karena ada juga kebijakan
publik berupa peraturan perundang-undangan yang dilakukan untuk waktu
yang relatif pendek.
Proses yang baru-baru ini sedang marak adalah advokasi kebijakan
publik. Pemulis melihat advokasi adalah bentuk tindaklanjut dari
partisipasi masyarakat (non government) dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Disokong oleh good governance yang semakin berkembang
maka private sector dan civil society memiliki peluang lebih untuk
melibatkan diri dalam berbagai proses yang dulu menjadi ranah eksklusif
pemerintah.
“Advokasi terdiri atas sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi itu juga berisi aktifitas-aktifitas legal dan politis yang dapat mempengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum. Inisiasi untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi.” (Margaret Schuler, Human Rights Manual)
Schuler, seperti yang telah dikutip di atas sangat menekankan
advoksi kebijakan publik pada subjek kebijakan publik dan apa saja yang
harus dilakukan dalam keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
Penekanan Schuler pada pernyataannya tersebut meniitikberatkan pada
masayarakat yang mempengaruhi kebijakan publik. Langkah
mempengaruhi itu yang disebut advokasi olehnya.
Dari pernyataan Schuler tersebut banyak yang terisnpirasi untuk
menjadi “advokat” kebijakan publik. Beberapa menggabungkan diri dalam
kelompok yang khusus didirikan untuk itu. Non Government organization
atau di Indonesia lebih akrab disebut sebagai LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat). Lembaga atau organisasi ini merebak, terutama di negara
berkembang apalagi negara yang baru saja menikmati demokrasi
partisipatis. Mereka bergerak mulai dari lingkup kerja sub-lokal, lokal,
nasional, hingga internasional.
Misalnya IDEA (International Institute for Democracy and
Electoral Assistance), sangat fokus untuk bergerak di ranah demokrasi
oleh rakyat, dan salah satu fokusnya adalah advokasi kebijakan publik.
IDEA juga bahkan mengeluarkan defnisi advokasi kebijakan public yang
dicantumkan dalam manual book untuk itu.
“Advokasi adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukkan suatu masalah ke dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah tersebut sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang dibuat untuk mengatasi masalah tersebut. (Manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003)
Seiring dengan definisi yang diutarakan oleh Schuler, IDEA menekankan
bahwa pelaku advokasi adalah masyarakat, baik itu perorangan maupun
kelompok. Kelompok tersebut berupaya melakukan serangkaian tindakan untuk
mempengaruhi kebijakan dan mengawasi pelaksana kebijakan agar kebijakan
tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya atau setidaknya
bagi yang diwakilinya.
Tujuan inti dari advokasi kebijakan publik adalah kemanfaatan bagi
masyarakat umum. Partisipasi non pemerintah merupakan check and balances
system untuk mencegah terjadinya kesepihakan pemegang kepentingan dengan
mengabaikan kepentingan umum. Hal ini diperkuat oleh pendapat Reyes,
“Advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat.” (Socorro Reyes, Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development, 1997).
Dalam tulisan kali ini penulis mengangkat kebijakan public yang dibuat
oleh pemerintah Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi. Dalam konteks advokasi kebijakan ini dianggap penting
untuk dikaji karena dimulai dari masa formulasi hingga implementasi (dan
mungkin evaluasi) masyarakat menaruh perhatian lebih sehingga menjadi isu
nasional yang hangat untuk diperbincangkan dalam situasi formal maupun
nonformal di berbagai kalangan masyarakat.
Isu pornografi ini melibatkan partisipasi inisiatif masyarakat karena
memang dianggap sebagai permasalahan bersama yang harus dicari jalan
keluarnya. Berbeda dengan isu-isu lain dimana advokasi kebijakan public hanya
dilakukan oleh beberapa kelompok, itupun merupakan kelompok yang memiliki
kepentingan langsung atas sesuatu yang sedang dan akan terjadi. Isu ini tidak
hanya menjadi fokus partaipolitik di legislative, tapi juga melibatkan peran
langsung masyarakat tanpa merasa perlu menggunakan perwakilannya di Dewan
Perwakilan Rakyat atau saluran politik apapun.
Tarik menarik kepentingan yang terjadi justru antara masyarakat dengan
masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinannya. Baik keyakinan
berdasarkan religi, adat, atau berdasarkan pemikiran yang lebih rasional dan
moderat. Tarik menarik ini kerap kali diperbincangkan di media massa sehingga
semakin memancing perhatian public atas persoalan yang sedang
diperbincangkan.
Undang-Undang ini secara legal-formal sudah selasai. Sudah diratifikasi
termasuk oleh presiden. Namun bukan berarti advokasi atas isu public ini sudah
selesai. Di ranah praktis kajian tentang pornografi baik menurut ilmu sosial politik
maupun hukum masih terus diperdebatkan. Pertanyaan advokatif mengenai
implementasi kebijakan ini masih bergulir deras meskipun tidak seintensif pada
saat formulasi. Bahkan beberapa kelompok mencoba mengevaluasi kebijakan
yang sudah sekitar 3 tahun berlaku ini melalui kajian dampak kebijakan.
Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji kebijakan publik ini setelah 3
tahun diratifikasi melalui beberapa pendekatan, di antaranya rekonstruksi
formulasi kebijakan public, implementasi dan tindak lanjut daerah, dan evalusi
berlangsung melalui dampak kebijakan, sehingga penulis membuat sebuah tulisan
berjudul “Advokasi Kebijakan Publik. Studi Kasus Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.”