pasang surut diplomatik kesultanan aceh dan johor abad xvi
TRANSCRIPT
Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor
Abad XVI – XVII.
Johan Wahyudhi
NIM: 2112022100007
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor
Abad XVI – XVII.
Johan Wahyudhi
NIM: 2112022100007
Diajukan Kepada Program Pascasarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2015
i
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan
sekalian alam, yang telah memberikan kuasa-Nya untuk menggerakkan jiwa, raga
dan pikiran penulis agar senantiasa tidak melalaikan kewajiban agama, maupun
kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya lantunkan
kepada penghulu para nabi dan rasul, Muhammad SAW, seorang yang gigih
menyebarkan agama cinta kasih, Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara.
Tidak terasa, hampir berbilang tahun tugas akhir (tesis) ini selesai dirampungkan.
Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami
dalam menyusun tesis ini. menelisik kebesaran sejarah Kesultanan Aceh
Darussalam serta Kesultanan Johor memang amat mengasyikkan, hingga lupa diri,
bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian, “memaksa” saya untuk
segera memalingkan diri dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu agar
kewajiban intelektual ini bisa dipenuhi.
Saran serta kritik selalu saya nantikan, untuk menyempurkan kerja saya. Tidak bisa
dielakkan, dalam menyusun suatu bacaan yang bermutu akan selalu dihinggapi
oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh
sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan
saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis,
analitis dan representatif.
Dalam lembar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara
lain:
1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah memberikan nasehat-
nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan
baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu mengesankan. Sosok
yang begitu saya hormati. Beliau bisa menempatkan posisi di mana mesti
menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang
baik.
2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama
kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib
Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI
yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya
untuk segera menyelesaikan tugas akhir.
ii
3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. DR. M. Dien
Madjid dan keluarga, seorang yang berjasa besar dalam hidup saya dalam
membuka mata mengenal Nusantara, serta mengasihi dan menyayangi saya.
Beliau adalah sosok pemandu jalan saya tatkala berada dalam kegelapan
hati dan pikiran, serta sahabat yang berimbang dalam membahas pelbagai
persoalan sejarah.
4. Kalimat terima kasih saya layangkan pula pada sahabat-sahabat
seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah
teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah,
dan rekan dialog yang membesarkan.
5. Terimakasih kepada istri tercinta, Lesi Maryani M.Hum, mahasiswi yang
kemudian menjadi pendamping hidup saya. Terima kasih atas seduhan kopi
hangat dan sungging senyum berlesung pipitnya, yang selalu memberikan
keteduhan, ketentraman serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir
ini.
6. Terimakasih pula kepada ibunda tercinta, Harnani, seorang besar dalam
kesederhanaan. Muara segala kebajikan serta mata air kasih sayang. Tidak
ada yang balasan pantas menandingi jiwa besarmu, dari anak nakal ini,
selain derai air mata suka cita yang bisa terlihat.
7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta
pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kuasa
dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua mendapat kesenangan,
kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap kesempatan dalam hidup ini.
Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi bacaan yang baik, menjadi inspirasi
bagi kajian sejarah Islam Nusantara di masa depan.
Wasalam
Depok, 17 Desember 2015
Johan Wahyudhi S. Hum
v
Abstrak
Kesultanan Aceh dan Johor merupakan dua dari kekuatan berpengaruh di perairan Malaka
dan dunia Melayu pada pertengahan abad XVI hingga abad XVII. Kedua kerajaan ini
terlibat dalam pasang surut hubungan diplomatik yang menarik untuk dikaji. Terlebih,
ketika ikut membincangkan Portugis sebagai kekuatan Malaka, maka akan didapatkan
suatu keterhubungan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Munculnya Portugis
sebagai penguasa Malaka sejak 1511, ikut meramaikan kancah politik internasional dunia
Melayu.
Sejak 1511, Aceh sudah memiliki visi untuk menekuk Portugis di Malaka. Sebagai
langkah satrategis, dibangunlah hubungan yang rekat dengan kerajaan-kerajaan lain di
sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Di sisi lain, Portugis juga disibukkan
dengan pengamanan pelabuhan serta jalur niaganya, sehingga mereka dituntut memiliki
kekuatan militer yang tangguh untuk menghalau ancaman Aceh. Di tengah konfrontasi
serta perebutan pengaruh Aceh dan Portugis inilah Johor, sebagai kelanjutan dari Malaka,
mulai membangun kekuatannya. Ia pun dilirik oleh kedua kekuatan sebelumnya sebagai
sekutu yang paling menjanjikan, mengingat raja-raja Johor adalah keturunan Sultan
terakhir Malaka, yang kedudukannya masihlah dihargai oleh keluarga kerajaan Melayu
lainnya.
Dua pertanyaan dirumuskan dari pelbagai temuan masalah dalam tesis ini, yakni; 1)
bagaimana kondisi diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor menghadapi dominasi Portugis
di perairan Selat Malaka, dan; 2) upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat
hubungan diplomatik mereka. Fokus dari kajian tesis ini adalah membicarakan hubungan
diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Johor sejak abad XVI hingga XVII. Pernikahan
menjadi salah satu bentuk diplomasi klasik yang kerap digunakan untuk menjalin
kepentingan regional bersama, khususnya sebagai komitmen mengusir Portugis dari dunia
Melayu. Namun, kerjasama bilateral ini bukanlah tanpa ancaman. Johor memandang Aceh
memiliki maksud terselubung, yakni untuk menegakkan supremasinya di dunia Melayu.
Sesuatu yang kemudian melatarbelakanginya untuk bersekutu dengan Portugis, sebagai
jalan untuk lepas dari pengaruh Aceh. Di sisi lain, Aceh membutuhkan Johor untuk
menambah kekuatan untuk mengatasi gangguan Portugis.
Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah hubungan internasional, dengan
mengambil teori diplomasi sebagai analisanya. Dalam menelaah kasus diplomasi kerajaan
Aceh serta Johor, maka dibutuhkan suatu analisa berlandaskan teori diplomasi,
sebagaimana yang diketengahkan Harold Nicholson yang negoisasi adalah jalan untuk
memperoleh dominasi serta kekuasaan dan menolaknya berarti kekalahan. Apa yang
terjadi di antara Aceh dan Johor adalah upaya kedua kerajaan untuk bernegoisasi dengan
alasan tertentu, yang terkadang bisa dimaknai secara luas. Dalam kasus dua kerajaan ini,
negoisasi dipandang Aceh sebagai penguat kekuatan membatasi dominasi Portugis,
sedangkan bagi Johor negoisasi dengan kerajaan Aceh berarti ketundukkan Johor atas
Melayu. Perbedaan pemahaman inilah yang kemudian mempengaruhi naik dan turunnya
harmonisasi dua kesultanan.
vi
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab Huruf Latin
tidak dilambangkan ا
b ة
t ت
ث
j ج
ح
Kh خ
d د
ذ
r ر
z ز
s س
sy ش
ص
ض
ط ظ
„ ع
g غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ه
ء
y ي
vii
Vokal Pendek
_____ = a كتت kataba
_____ = i سئل su ila
_____ = u يذهت ya
Vokal Panjang
q قبل = ... ا
qila قيل i = اي
yaq lu = يقول
Diftong
ي ا = kaifa كيف
و ا = aula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987-
Nomor: 0543 b/u/1987.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................
ABSTRAKSI.................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
i
iii
iv
v
vi
viii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN......................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................
B. Identifikasi Masalah..............................................................
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................
E. Penelitian Terdahulu..............................................................
F. Landasan Teoritis..................................................................
G. Metode Penelitian..................................................................
H. Sistematika Penulisan............................................................
PORTUGIS DI MALAKA.........................................................
A. Revolusi Maritim Eropa.......................................................
B. Menguasai Malaka.................................................................
C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya..............
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.......................................
A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya..............
B. Aceh Melawan Portugis........................................................
C. Hubungan Aceh dengan Johor...............................................
KERAJAAN JOHOR.................................................................
A. Lahirnya Pewaris Malaka......................................................
1
1
13
13
14
14
18
21
23
24
24
43
49
54
54
67
78
91
91
ix
BAB V
BAB VI
B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor................
C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis...........................
POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH –
JOHOR........................................................................................
A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor............................
B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu................................
C. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu ............
PENUTUP..................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................
102
118
128
128
145
151
160
160
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BIODATA PENULIS...................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perjalanan sejarah bangsa, masing-masing daerah
memiliki gunungan kisah masa lampau yang menunjukkan suatu
identitas daerah itu sendiri. Pada tataran tersebut, ranah sejarah
menjadi wilayah penting yang kerap dijadikan cetak biru mengulas
jati diri suatu puak secara mendalam. Aceh menampati satu lokus
penting dalam gerak langkah sejarah negeri ini. Pelbagai dinamika
yang ditemukan dalam jalin jemalin ceritanya merupakan salah
satu episode penting dalam jajaran kelampauan negeri ini.
Letak geografis Aceh menempati pada spot penting dalam
pergaulan antarbenua. Sebagaimana diketahui, wilayah ini diapit
oleh dua perairan, samudra Hindia dan selat Malaka, yang selama
berabad-abad yang lalu sudah dikenal sebagai jalur pelayaran dan
perdagangan vital dunia. Banyaknya kapal-kapal asing yang
melintasi dua perairan itu perlahan mulai mengundang berbagai
pengaruh baru dalam peradaban Aceh. Islamisasi contohnya,
merupakan “produk baru” yang berhasil didaratkan lantas
dikembangkan di seantero Nusantara lewat Aceh sebagai titik awal
berangkatnya.1
Kemajuan peradaban Aceh tidak dapat dilepaskan dari
eksistensi kerajaan-kerajaan yang memiliki tradisi kuat sebagai
pandu peradaban. Pada abad 11, Perlak muncul sebagai kerajaan
Islam yang mengkhususkan visi pembangunannya pada
kemaritiman. Kegemilangan Perlak kemudian dilanjutkan oleh
Lingge di daerah pedalaman. Munculnya kerajaan Lingge tidak
1 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
(Medan: Al-Maarif, 1981) hlm. 10-14.
2
bisa dilepaskan dari peristiwa serangan Majapahit ke wilayah
Perlak. Serbuan ini tidak lantas membuat peradaban Islam hancur,
malah dapat diibaratkan sebagai blessing in disguise (rahmat
terselubung) oleh karena akibat peristiwa ini kekerabatan raja-raja
Perlak dapat meluas ke wilayah pedalaman, yakni dengan
berdirinya kerajaan Lingge. Belakangan keturunan Raja Lingge,
Meurah Silu mendirikan kerajaan baru bernama Samudra Pasai
yang melanjutkan estafet peradaban Aceh. Keturunan Raja Lingge
yang lain, Meurah Johan berhasil membawa Islam dikawasan Aceh
Besar dengan mendirikan kerajaan Aceh di bekas Bandar Lamuri,
yang sebelumnya masih dalam wilayah taklukan Indrapurba.2
Begitu naik tahta, ia bergelar Sultan Johan Syah yang memerintah
tahun 1205 hingga 1235.
Cikal bakal kebesaran kerajaan Aceh dimulai ketika Sultan
Syamsu Syah bertahta (1497-1514). Di masanya, Aceh disibukkan
oleh serangkaian perang menghadapi Portugis yang setelah
berhasil menguasai Malaka pada 1511. Bangsa Kulit Putih ini
mulai mengancam kedaulatan raja Aceh. Begitu mengetahui Raja
Pidie, Sultan Ma‟ruf Syah, berserikat dengan Portugis, Raja Aceh
menitahkan armada perangnya di bawah komando Laksamana
Raja Ibrahim ke Pidie. Di sana, terjadi pertempuran sengit di mana
pasukan Aceh berhasil menunjukkan kebolehannya dalam seni
berperang sehingga dapat memukul Portugis keluar dari
bentengnya lalu merampas senjata yang tertinggal. Tanpa memberi
kesempatan bergerak leluasa, pasukan Aceh mengejar Portugis
hingga ke bibir pantai dan kembali mengalahkannya dalam
pertempuran di sana. Rampasan senjata juga terjadi tatkala
pasukan Aceh berhasil menduduki kapal Portugis. Dengan tanpa
mengenal lelah, pasukan Aceh ini juga berhasil menundukkan
Pasai yang juga diketahui berhubungan dengan Portugis. Akibat
2Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya
hingga abad XVI” dalam A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
..., hlm. 174-220; AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung:
Kurnia Bupa, tanpa tahun) hlm. 42-43.
3
keberhasilannya menghalau pengaruh Portugis inilah, pada masa
ini pula mulai dikenal istilah kerajaan Aceh Raya.3
Posisi satrategis Aceh, belakangan mendapat saingan
utama, terhitung sejak berdirinya Malaka pada 1413. Parameswara
mendapuk diri menjadi pendiri sekaligus raja pertama di Malaka
bergelar Sultan Iskandarsyah. Keahlianya dalam bidang tata kelola
pelabuhan segera ditunjukkan dengan mengatur potensi-potensi
pesisir Malaka sehingga dapat disulap menjadi bandar-bandar
penting. Kejeliannya muancul tatkala mendapati posisi Malaka
yang terletak di antara dua arus pelayaran dunia, Barat dan Timur.
Didahului oleh serangkaian restorasi dan pembangunan, Malaka
muncul menjadi kekuatan dagang penting di Asia Tenggara.4
Sosok Parameswara amat lekat kaitannya dalam tumbuh
kembang peradaban selat Malaka. Liku-liku perjalanan hidupnya,
menjadi keunikan tersendiri untuk diketahui. Parameswara
merupakan Pangeran Palembang yang menikah dengan adik
perempuan Raja Majapahit, Wikramawardhana. Pada penghujung
abad 14, Parameswara mengadakan tindakan makar di Palembang,
yang kala itu sudah berada di bawah pemerintahan Majapahit.
Akibatnya, pada tahun 1397, Wikramawardhana mengirimkan
pasukan Majapahit untuk menghukum adik iparnya itu.
Mengetahui hal itu, sebelum pasukan Majapahit mendekati
Palembang, ia sudah meninggalkan kediamannya lalu menuju
Tumasik. Tidak lama berselang, Paremeswara lalu beralih nama
menjadi Iskandarsyah dan mendirikan kerajaan Malaka.5
Iklim perdagangan yang sangat tinggi di Malaka,
sebenarnya tidak terlepas dari keberadaan wilayah-wilayah lain di
Nusantara. Kondisi tanah Malaka, tidak cukup baik untuk ditanami
aneka ragam hasil bumi, sehingga untuk menjaga stok komoditas
unggulan seperi lada, pala dan rempah-rempah lain, bandar ini
ditopang oleh pasokan dari daerah lain. Beras Jawa dan lada
3 H.M. Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961) hlm. 393-394. 4 Lihat Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) hlm. 325-328. 5 Slemet Muljana, Kuntala ... , hlm. 311-314.
4
Banten menemui pasaran yang tinggi di Malaka. Begitu juga
dengan aneka ragam hasil bumi Sumatra Timur, pula laku keras di
Malaka. Dengan kata lain, maraknya barang dagangan di Malaka
amat bergantung dengan distribusi barang-barang dari daerah
lainnya.6
Sanusi Pane menerangkan bahwa munculnya Malaka
sebagai bandar dagang besar tidak bisa dilepaskan dengan
menurunnya perniagaan di Samudra Pasai. Secara bertahap,
pembangunan Malaka pun mulai diinisiasi sejak masa
Iskandarsyah yang memerintah hingga tahun 1414. Karyanya
tersebut dilajutkan oleh anaknya, Raja Besar Muda, yang setelah
naik tahta bergelar Raja Ahmadsyah yang memerintah sampai
tahun 1424. Kedudukannya digantikan oleh Muhammadsyah yang
setelah beralih agama menjadi seorang Muslim, kemudian
mempersunting putri Raja Pasai. Kedua raja sebelumnya,
walaupun sudah memakai nama Arab-Persia, ternyata belum
berislam.7
Memasuki abad 16, pelayaran dunia mulai diramaikan oleh
kedatangan para pelaut dan saudagar Eropa. Secara berbondong-
bondong mereka menuju dunia Timur guna mendapatkan pelbagai
khazanah terpendam di sana. Satu yang menjadi alasan kuat
mereka mengunjungi dunia belahan Timur, khususnya Nusantara
adalah guna mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumber
dimana komoditas unggulan ini tumbuh berkembang. Spanyol dan
Portugis menjadi dua bangsa Eropa yang paling gigih untuk saling
berlomba mendapatkan dan menguasai daerah-daerah yang
disinyalir menjadi pusat perkebunan produk tersebut.
Setelah menguasai Goa (India) pada 15098, Alfonso
d‟Albuquerque mulai melirik Malaka sebagai daerah taklukan
selanjutnya. Berbekal kapal-kapal perang model galley, sang vice
roy Portugis ini memerintahkan armadanya menyambangi Malaka
6 Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 322-328
7 Sanusi Pane, Sedjarah Indonesia I (Djakarta: Balai Pustaka, 1965)
hlm. 164-165. 8 M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok: Komunitas
Bambu, 2010) hlm. 10
5
dan meletupkan serangan yang mematikan. Perwira dan prajurit
Malaka bukan tanpa perlawanan. Dengan menggunakan lila, keris,
tombak dan pedang mereka menghambur ke pesisir pantai Malaka
dan menahan laju gerak pasukan Portugis. Perang terbuka tidak
bisa dihindarkan lagi, kebatan pedang, letusan senapan, samar-
samar terdengar dentum meriam menjadi pemandangan yang
terjadi saat itu. Perlahan, pasukan Portugis berhasil mengalahkan
pasukan Malaka dan segera dilakukan penguasaan atas tempat-
tempat strategis di sana. Tidak lama berselang, bandar dagang ini
berhasil dikuasai Portugis pada 1511.
Masa kejatuhan Malaka dan daerah-daerah taklukan
Portugis lainnya diistilahkan secara dramatis oleh K.N. Chauduri
sebagai “tahun aktivitas heroik” di mana para raja Asia menjaga
garis pantainya secara radikal dari serbuan Portugis, walaupun
pada akhirnya, bangsa Kulit Putih itu mampu mengambil alih
emporium-emporium yang semula dikuasai oleh para raja pribumi
tersebut. Lanjutnya, Beberapa bandar perdagangan sibuk seperti
pelabuhan Afrika Timur, Malabar, Konkan, Teluk Persia, dan
terakhir Selat Malaka, berhasil ditundukkan Portugis.9
Di tengah haru biru penghancuran dan pembakaran yang
dilakukan Portugis, Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka kala itu,
setelah mengetahui keadaan yang kian berbahaya itu segera
meninggalkan istana yang sejak lama didiami raja-raja Malaka
sebelumnya. Ia pun bergegas menaiki kapal dan bertolak menuju
wilayah Bintan, tepatnya di wilayah Kopak (Riau sekarang).
Setelah beberapa waktu tinggal di Kopak, pihak kerajaan
mulai kerasan dan akrab bergaul dengan penduduk di sana.
Dengan tanpa ragu, orang-orang Kopak menjamin keselamatan
Raja Malaka dan rombongan. Suasana ketentraman yang dirasakan
pihak Malaka di sana tidak berjalan lama. Pada tahun 1526,
pasukan Portugis Dibawah pimpinan Viceroy Maascarenhaas
menyerang dan menghancurkan Kopak. Sultan dan kerabatnya pun
harus berpindah lagi ke Bengkalis lalu ke Kampar.
9 K.N. Chauduri, Trade And Civilisation In The Indian Ocean
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989) hlm. 66.
6
Kampar kala itu merupakaan wilayah yang masih
dipengaruhi tradisi Minangkabau, namun secara kepemerintahan
termasuk dalam daerah bawahan Malaka. Sebelum kedatangan
rombongan pelarian dari Malaka, Kampar telah terlebih dahulu
diserbu Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditawan oleh Portugis
dan dibawa ke Goa. Dengan persetujuan para datuk, pemuka adat
serta masyarakat setempat, pada tahun 1529 Sultan Mahmudsyah
diangkat menjadi Raja Kampar hingga mangkatnya. Tahtanya
kemudian diberikan pada putranya, Raja Ali yang bergelar Sultan
Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I merupakan
Raja Malaka sebelumnya).
Kampar ternyata bukan tempat yang selamanya aman. Rasa
khawatir terhadap kedatangan Portugis kerap menghantui para
mantan bangsawan Malaka itu. Mereka membayangkan, jika suatu
ketika Portugis berhasil mengetahui keberadaan meraka di
Kampar, pilihan tujuan pelarian di sebelah pedalaman hanya
berupa hutan lebat. Bagi orang yang terbiasa hidup di lokasi
berpantai, tinggal di daerah yang jauh dari pesisir tentu menjadi
masalah tersendiri. Laut lepas, menurut mereka, lebih dapat
menjanjikan jalan keluar yang logis. Raja Kampar saat itu tidak
dapat menutupi kegusarannya, oleh karena wilayah mereka
bersebelahan dengan Minangkabau, yang notabene bukan
termasuk wilayah atau daerah pendukung Malaka.
Setelah melalui pergulatan pemikiran yang rumit, munculah
ide untuk melanjutkan tata pemerintahan dan membangun kembali
peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga
memungkinkan menyambung kembali hubungan diplomatik yang
lebih luas, seperti dengan Aceh maupun Demak. Setelah berkemas,
berangkatlah Raja Kampar itu menuju tanah Semenanjung dan
memilih Johor sebagai lokasi pembangunan kerajaan. Sebelumnya,
Sultan Alaiddin Riayat Syah II menyempatkan diri berkunjung ke
Pahang. Di sana ia menikah dengan putri Sultan Mansursyah, raja
Pahang kala itu, yang masih berkerabat dengannya. Penamaan
7
negeri dengan sebutan “Johor” tidak terlepas dari keberadaan
sungai Johor, yang terletak berdekatan dengan kerajaan.10
Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut
kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi raja-
rajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara
waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat
ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh
saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius
menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya.
Masuknya Portugis ke perairan Malaka membawa dampak
negatif bagi pelayaran Nusantara dan eksistensi penduduknya.
Secara bertahap, mereka mulai melakukan serangkaian aksi
penguasaan di kawasan regional ini, tak terkecuali di Aceh, selain
juga di Malaka. Pada tahun 1509, Dalam pelayarannya menuju
Malaka, Diogo Lopez de Sequeira berhasil meyakinkan Raja Pidie
menjadi mitra Portugis. Dari Pidie, iring-iringan armada Portugis
ini juga berhasil meyakinkan Raja Pasai.
Naiknya Sultan Ali Mughayyatsyah (memerintah 1511-
1530) ke tampuk kekuasaan Aceh, menggantikan Sultan Syamsu
Syah, semakin menandaskan kerajaan ini mengemban misi
terdepan dalam menamatkan eksistensi Portugis di Malaka.
Bersamaan dengan waktu penasbihannya, Malaka berada dalam
cengkeraman Portugis. Perang panjang menghadapi bangsa Kulit
Putih kembali didengungkan. Salah satu episode yang memukau
adalah terjadi pada tahun 1520, yakni dibebaskannya Daya oleh
pasukan Aceh di bawah Ibrahim, kerabat sultan Aceh, dari
dekapan lawan.11
Berkat tangan dingin Sultan Aceh ini, reputasi
Aceh sebagai negeri kuat di kawasan selat Malaka dan sekitarnya
menjadi terangkat. Di masanyalah kerajaan Aceh dikenal sebagai
kerajaan Aceh Darussalam. Tidak salah jika Denys Lombard
10
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara,
1961) hlm. 140-143. 11
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010) hlm. 37-39.
8
mengatakan bahwa Ali Mughayat Syah merupakan Raja Aceh
yang sesungguhnya.12
Sepenuhnya disadari oleh Aceh, untuk menghancurkan
Portugis bukanlah suatu hal yang bisa dilakukan sendiri. Untuk itu,
upaya menjalin kerjasama dengan membuat pakta pertahanan
dengan kerajaan-kerajaan Islam lain mulai direntangkan. Namun
demikian, upaya Aceh ini bukanlah tanpa rintangan. Kenyataan di
lapangan mengatakan bahwa kerjasama antarkerajaan yang
dibangun Aceh relatif rapuh dan tidak bertahan dalam waktu yang
lama. Aceh hanya sekali mendapat dukungan politik dari Japara,
yakni ketika bersama-sama melancarkan serangan atas Malaka
pada tahun 1537. Relasi diplomatik yang harmonis Aceh dengan
negeri-negeri di sekitar Semenanjung Melayu, salah satunya
dengan Johor dan Bintan, mulai diwujudkan pada tahun 1574,
setelah sebelumnya Aceh terlibat perang sengit menghantam
Malaka.
Aliansi ini nyatanya tidak bertahan lama dan berakhir pada
tahun 1582. Di tahun tersebut, Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah
memberangkatkan armada bersenjatanya menghukum Johor.13
Serangan ini ditengarai terjadi karena pada tahun 1568, Johor
kedapatan mengirim pasukan membantu Portugis yang kala itu
sedang bertahan mati-matian dari serangan Aceh di Malaka.
Mengetahui ada penguasa lokal yang berpihak pada Portugis, Raja
Aceh marah, dan segera setelah berhasil ditahan oleh Potugis,
dalam perjalanan pulangnya, pasukan Aceh membakari beberapa
perkampungan di Johor.
Sebenarnya terdapat beberapa kerajaan lain di sekitar selat
Malaka yang memiliki kedaulatan penuh dalam memilih mitranya.
Di antara dua kekuatan yang berseteru, Aceh dan Portugis di
Malaka, beberapa kerajaan ini mulai membangun suatu kawat
diplomatik yang intens yang didasari oleh pertimbangan-
12
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar
Muda(1607-1636), Terj. oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986)
hlm. 49 13
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31; Denys Lombard, Kerajaan Aceh ...,
hlm. 51.
9
pertimbangan strategis, salah satunya adalah mencegah dominasi
Aceh atas perairan Malaka. Selain Johor, masih pula terdapat
Perlis, Aru, Pahang, Perak, Siak dan lain-lain. Lima kerajaan itu
terlibat aktif membantu Portugis guna berlindung dari upaya
penaklukan Aceh yang mulai digiatkan Aceh sepanjang abad 16
itu.
Khusus dengan Johor, sesungguhnya ketegangan yang
terjadi dengan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari perebutan
dominasi selat antar Samudra Pasai dengan Malaka. Sebagaimana
diketahui, dua kerajaan ini menitikberatkan kemakmurannya pada
perdagangan dan pelayaran terlebih dengan jalur mancanegara.
Ketika kedua kerajaan ini menemui masa senjanya, Aceh dan
Johor muncul sebagai “pewaris” kejayaan dan kegemilangan yang
ditorehkan oleh para pendahulunya. Nilai lebih Johor ketimbang
beberapa kerajaan di sekitaran Melayu lainnya, adalah karena
kerajaan ini didirikan oleh para pelarian Malaka yang sebelumnya
berdiam di Kampar. Di antara pelarian ini terdapat sultan
Mahmudsyah, Raja Malaka yang sempat ditahbiskan sebagai Raja
Kampar. Dengan begitu terbentuknya Johor menandaskan
kontinuitas dari kuasa raja-raja Malaka. Sedangkan raja-raja di
belahan semenajung lainnya, termasuk pula di sekitaran Aceh,
hanya diikat oleh tali kekerabatan dan kedaulatannya belum bisa
menyamai dua kerajaan yang sedang menunjukkan eksistensinya
di era ini.
Baik Aceh maupun Johor sepertinya saling memandang
bahwa diri mereka memiliki kedaulatan yang sama. Kendati Johor
belumlah sebesar Aceh, namun kenangan darah Malaka yang
mengalir dalam tubuh raja-raja Johor menjadi bukti betapa posisi
mereka memiliki pengaruh yang besar di belahan semenanjung
Melayu. Mereka tentu tidak merelakan Aceh, dibalik upayanya
mengusir Portugis, menyimpan maksud tersembunyi untuk
menjadi kekuatan paling superior di perairan Malaka dan
sekitarnya.
Kekhawatiran para Raja Johor ini terbukti ketika di masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636),
Aceh semakin rajin meningkatkan intensitas pengaruhnya dengan
10
menguasai kerajaan-kerajaan yang memiliki kedekatan visi dengan
Portugis.
Di masa Iskandar Muda, kampanye penaklukan atas negeri-
negeri Melayu menjadi babak seru dalam sejarah. Lewat
serangkaian serangan spartan, pasukan Aceh semakin memperlebar
daerah pengaruhnya. Bahkan, kemampuan militer Aceh mencapai
puncaknya pada masa ini. Denys Lombard mengemukakan bahwa
amunisi militer kepunyaan Iskandar Muda tersusun atas angkatan
laut, angkatan darat, kavaleri, pasukan gajah dan divisi meriam.14
Dengan jajaran perang tersebut ia menundukkan kerajaan jiran
seperti Aru (1613), Pahang (1617) dan Johor (1619). Sang Sultan
juga sempat mengarahkan bala tentaranya menekuk Portugis di
Malaka, walaupun tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.15
Pasca penaklukkan tersebut, Iskandar Muda segera mengadakan
rekonsiliasi untuk membenahi tata ruang dunia Melayu yang kala
itu telah porak poranda.
Khusus untuk Johor, Aceh mengadakan pengepungan
selama 29 hari, sebelum berhasil menguasai ibukota Johor, Batu
Sawar. Setelah dinyatakan kalah, pasukan Aceh segera
mengamankan keluarga istana Johor dan membawanya ke Aceh.
Di antara mereka terdapat Sultan Alauddin Riayat Syah III, Raja
Johor kala itu, Raja Abdullah, Bendahara Tun Sri Lanang dan Raja
Siak yang kebetulan sedang melawat ke Johor sebelumnya.
Di Aceh mereka semua ditempatkan di lokasi yang layak
diberikan untuk tamu raja. Lebih dari itu kekerabatan pun terjadi
antara kedua kerajaan. Raja Abdullah, yang tak lain adik sultan
Johor, menikah dengan putri Ratna Jauhari, putri Iskandar Muda.
Tidak lama berselang, Raja Abdullah kembali ke Johor disertai
sekitar 2000 pasukan Aceh yang diperbantukan membangun Batu
Sawar, ibukota Johor yang hancur akibat perang. Pada tahun 1614,
Sultan Alaiddin membuat perjanjian bahwa Johor akan membantu
Aceh mengalahkan Portugis. Tenaga ahli tanam Aceh juga
dilaporkan dikirim ke negeri-negeri taklukan lain seperti Kedah,
14
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 110-122. 15
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 152.
11
Pahang dan Perak guna memajukan pertanian di sana.16
Untuk
beberapa saat kedepan hubungan diplomatik yang harmonis
kembali terbentuk.17
Infiltrasi Belanda di dunia Melayu semakin membuat
daerah ini sesak oleh kepentingan bangsa Eropa. Belanda yang
mulai merentangkan eksistensiya di dunia Melayu berseberangan
dengan kepentingan Portugis di Malaka. Sepenuhnya ia sadar,
sebagai pendatang baru, ia harus mampu menawan hati penguasa
lokal guna mendapatkan tempat berpijak. Mangkatnya Iskandar
Muda pada 1636, membuat Aceh Darussalam bak kehilangan sinar
terangnya. Hal ini berbanding terbalik di negeri-negeri taklukan
Aceh. Kematian Iskandar Muda dianggap sebagai titik balik
keleluasaan berpolitik mereka.
Johor yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah
III sedang menapaki masa kemakmurannya. Menyadari peta
politik Aceh yang kian berubah ketika ditinggal raja agungnya,
pada tahun 1641, ia menjalin kemitraan dengan Belanda untuk
bersama mengalahkan Portugis di Malaka. Dengan serangan yang
bertubi-tubi serta dilancarkan oleh prajurit gabungan yang kuat,
Portugis berhasil ditaklukkan di tahun yang sama.18
Mulai saat itu,
Aceh dan Portugis bukan lagi dianggap sebagai ancaman yang
nyata. Hubungan diplomatik harmonis dengan Aceh dimana
menitikberatkan Aceh sebagai “penguasa” tidak langsung atas
Johor perlahan memudar. Johor pun melangkah sebagai kerajaan
independen yang terkemuka di dunia Melayu dan mengalahkan
pamor Aceh.
Studi ini menitikberatkan pada relasi diplomatik antara
Aceh Darussalam dan Johor. Di antara kerajaan-kerajaan lainya,
hubungan Aceh dengan Johor, meskipun hubungannya digagas
16
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957)
hlm.140. 17
Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa
Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 25-27. 18
Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak (Siak:
Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak
Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012) hlm. 15.
12
berdasarkan kesamaan visi mengusir Portugis Malaka, namun
kerapkali diselubungi oleh pelbagai kecurigaan. Ketika mengetahui
Johor ikut serta membantu Portugis, petinggi Aceh telah mafhum,
Johor telah terperdaya pengaruh Portugis. Di sisi lain, Johor pun
tidak serta merta mendukung secara penuh ajakan menyerang
Portugis, karena kerajaan ini beranggapan Aceh menyimpan motif
tertentu, yakni dengan membungkus rapat kemungkinan menjadi
penguasa tunggal di kawasan perairan Malaka dan sekitarnya atas
dalih mengalahkan Portugis.
Sebenarnya, tidaklah betul jika disebutkan hubungan
kenegerian kedua negara didominasi oleh faktor militer. Beberapa
bentuk kerjasama juga disebutkan dalam sejarah kedua negara,
salah satunya adalah meubisan atau pernikahan. Pernikahan dalam
terminologi pergaulan lintas kerajaan, dimaknai sebagai diplomasi
halus (soft diplomacy) yang merekatkan dua keluarga kerajaan.
Pendapat ini memang masih amat dini dikemukakan, namun upaya
ini dapat dimaknai bukan hanya bersatunya dua manusia yang
saling mencintai, tapi juga mengakrabkan dua kerajaan. Selain itu,
kehadiran Tun Sri Lanang, seorang bangsawan Johor di
lingkungan kerajaan Aceh, merupakan bentuk lain dari manfaat
hubungan dua kerajaan. Wawasannya yang mendalam mengenai
dunia kemelayuan dan pemerintahan, membuatnya menjadi salah
satu penasehat Sultan Aceh.
Pasang surut koneksi diplomatik Aceh-Johor rupanya
masih dipandang sebagai sub-bahasan dalam pelbagai bentuk
tulisan sejarah terkait. Padahal, jika dikaji dalam konteks kekinian,
tema ini tentu amatlah menarik dalam memahami anatomi sejarah
panjang hubungan Indonesia dan Malaysia. Kajian ini memiliki
dampak strategis dalam memetakan kembali hubungan dua negara
tersebut yang kerap terlibat dalam silang sengkarut urusan yang
seyogyanya masih bisa dipecahkan dengan kepala dingin, malah
berubah menjadi nuansa yang penuh kebencian.
Selain sebagai bentuk dinamika pengkajian sejarah para
raja di Asia Tenggara, studi ini juga memiliki tujuan memperoleh
suatu cara pandang terbarukan dalam memantapkan hubungan dua
negara tempat kerajaan tersebut berdiri melalui kacamata sejarah.
13
Fenomena hubungan dua kerajaan agaknya menarik dikaji secara
seksama guna mendapatkan pengetahuan akan gejala-gejala
sejarahnya yang lebih komprehensif.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana posisi Portugis dalam konstelasi perpolitikan
Semenanjung Melayu ?
2. Bagaimana tanggapan Aceh Darussalam terhadap
kedudukan Johor ?
3. Bagaimana pandangan Johor terhadap eksistensi Aceh
Darussalam ?
4. Upaya apa yang dilakukan Aceh Darussalam dan Johor
dalam merawat hubungan diplomatiknya ?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Melihat pada permasalahan yang diangkat amat luas, maka
perlu kiranya mengadakan pembatasan ruang lingkup
permasalahannya, yakni hanya berkisar pada hubungan diplomatik
Aceh dan Johor pada Abad XVI – XVII. Dari temuan yang didapat
diketahui bahwa Aceh mulai menjalin hubungan dengan Johor
adalah pada 1574. Kurun waktu akan dibatasi hanya sampai tahun
1641. Pembatasan tersebut dipilih karena pada tahun itu Portugis
berhasil dikalahkan, sehingga katalisator yang dalam tesis ini
dianggap mempengaruhi hubungan Aceh dan Johor pada kurun
tersebut sudah tidak berperan lagi.19
Dari pembatasan tersebut, maka masalah pokok yang
menjadi telaah tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
19
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of
Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell
University, 1971, hlm.24.
14
1. Bagaimana kondisi diplomatik Aceh dan Johor
menghadapi dominasi Portugis di perairan Selat Malaka ?
2. Upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat
hubungan diplomatik mereka ?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan tesis ini bertujuan untuk:
Mengetahui bagaimana kedua kerajaan membina hubungan
harmonisnya.
Memahami reaksi kedua kerajaan dalam rangka menahan
meluasnya pengaruh Portugis di perairan Malaka.
Mengetahui fluktuasi hubungan diplomatik kerajaan Aceh
dan Johor.
Sedangkan, kegunaan dari penulisan tesis ini adalah:
Memperkaya khazanah pengetahuan terkait jalinan
komunikasi kerajaan di Asia Tenggara, khususnya kerajaan
Aceh dan Johor
Menjadi inspirasi untuk studi-studi lanjutan di Fakultas
Adab dan Humaniora dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi lainnya
Menjadi landasan pengambilan kebijakan kenegaraan
terkait di intitusi negara seperti Departemen Agama,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya.
E. Penelitian Terdahulu
Episode komunikasi lintas negeri antara Aceh dan Johor
memang belum banyak dikupas secara menyeluruh dalam
beberapa tulisan terdahulu. Jikapun ada, maka hanya dituliskan
beberapa kalimat saja tanpa ada eksplorasi lebih lanjut mengenai
hal apa saja yang melingkupinya. Bisa dikatakan, pembahasan
tersebut sifatnya hanya sepintas lalu dan belum mendapat
perhatian yang lebih, ketimbang tema lain yang lebih populer
15
seperti kemajuan militer di era Aceh Darussalam atau mengenai
perdagangan dan pelayarannya.
Tinjauan mendalam seputar kerajaan Johor di ranah
ekonomi dan politik disuguhkan Leonard Yuzon Andaya pada
1971. Dalam tesis yang berjudul “The Kingdom of Johor, 1641-
1794: A Study of Economic and Political Developments in The
Straits of Malacca” menerangkan perihal eksistensi Johor sebagai
kekuatan penting dalam pembangunan politik dan ekonomi di
kawasan selat Malaka dan sekitarnya. Andaya menyebut tahun
1641-1699, sebagai masa keemasan Johor. Pembatasan tahun yang
ditetapkan Andaya amat berbeda dengan deret tahun dalam tesis
ini. Fokus diplomatik dengan Aceh hanya disinggung sedikit,
yakni sebatas aktivitas Aceh dalam perang Batu Sawar pada
1613.20
Namun begitu, informasi mengenai kerajaan ini seputar
tahun 1641 cukup menambah informasi yang dibutuhkan,
utamanya terkait pergaulannya dengan Aceh dan reaksi terhadap
masa akhir kekuasaan Portugis.
Tesis Amirul Hadi mengetengahkan pergulatan politik
Aceh melawan Portugis yang diterbitkan tahun 1992, belum
banyak mengungkap informasi yang dibutuhkan penulis. Tesis
yang diberi judul “Aceh and the Portuguese: A Study of Struggle
of Islam in Southeast Asia, 1500-1579” ini, lebih menitikberatkan
pada relasi Aceh atas Portugis berikut dampak hubungan ini dalam
spektrum kegemilangan Aceh.21
Tesis ini memiliki distingsi yang
cukup mencolok dengan judul yang dipilih penulis. Memang,
peran Johor dalam skema diplomatik dengan Aceh turut
disinggung, namun hanya sebagian kecil. Sedangkan, Johor dalam
tesis ini menempati tema sentral dan Telaah Portugis adalah
bahasan penunjang bagi kelengkapan analisa hubungan Aceh dan
Johor.
20
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of
Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell
University, 1971, hlm. 11 dan 20-21. 21
Amirul Hadi, “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of
Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” Tesis, McGill University Canada, 1992,
hlm. 2.
16
Salah satu tulisan lain mengenai hubungan Aceh-Johor dan
menampilkannya secara kronologis sampai masa Iskandar Muda,
terdapat dalam karya Amirul Hadi berjudul Aceh; Sejarah, Budaya
dan Tradisi. Buku ini merupakan kumpulan tulisan ilmiah
mencakup aspek-aspek sentral dalam sejarah Aceh seperti perihal
tradisi intelektual, eksistensi Portugis di sekitar Malaka serta
orientalisme dan kolonialisme yang mengambil kasus Snouck
Hurgronje. Terlihat pada bahasan terdepan, “Pendudukan Portugis
atas Melaka dan Kebangkitan Aceh Abad ke-16”, merupakan
perasan atas tesis terdahulu. Hampir sebagian besar telaah dalam
tulisan ini, dapat dijumpai dalam tesis Amirul Hadi sebelumnya.
Johor masih menempati pembahasan pelengkap, dan bukan
menjadi tinjauan utama sebagaimana yang dimaksud. Namun
begitu, tulisan ini turut mengilhami pemetaan pembatasan waktu,
yakni tercatat pada 1574, menjadi waktu dimulainya relasi
kenegaraan antara Aceh-Johor.22
Tidak bisa dipungkiri, ketika membincang sejarah, aspek
seseorang paling berpengaruh menjadi suatu perbincangan sentral
yang tidak bisa terlepaskan. Pun ketika membincang sejarah Aceh
Darussalam dan Johor, maka tidak terlepas dari peran para raja
selaku pemegang legitimasi dalam memutuskan suatu kebijakan,
termasuk dalam keputusan kerajaan terkait hubungan luar negeri.
Jamak diketahui, masa keemasan Aceh Darussalam terjadi ketika
kerajaan ini diperintah oleh Iskandar Muda. Penaklukan negeri-
negeri Melayu yang ditengarai bermain mata dengan Portugis,
merupakan salah satu bukti tak terbantahkan keberanian sang
Sultan melanggar otorita raja-raja lain guna membentuk kawasan
perairan Malaka yang terbebas dari pengaruh bangsa Asing.
Dalam karya Denys Lombard yang diterjemahkan oleh
Winarsih Arifin berjudul Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda
(1607-1636), penjelasan mengenai kondisi rancang bangun
hubungan Aceh-Johor, dibahas dalam sub-bab mengenai operasi
militer Aceh ke negeri Melayu. Dikatakan di sini bahwa Johor dan
Pahang menempati posisi strategis sebagai jalur dagang yang
seyogyanya tidak perlu dihancurkan Iskandar Muda, melainkan
22
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31
17
hanya butuh pengawasan. Disebutkan pula di masa-masa akhir
pemerintahan Raja Aceh ini, Pahang sempat melancarkan dua kali
pemberontakan pada 1630 dan 1631. Di tahun yang pertama, Johor
membantu Pahang dan disebut Lombard sebagai pemegang
peranan penting dalam peristiwa itu.23
Uraian dalam buku ini lebih
mengedepankan sosok Iskandar Muda dalam membangun
kekuatan lokal maupun regional kawasan dunia Melayu. Episode
pemerintahan Aceh ini tidak menyentuh aspek hubungan
kenegerian yang tuntas dengan negeri-negeri Melayu, termasuk
Johor. Jikapun ada maka yang ditampilkan adalah aspek
militeristik semata.
Selanjutnya, terdapat suatu penelitian arkeologis yang
mencoba mengungkap keberadaan batu nisan Aceh yang ditengarai
merupakan produk impor dari Johor. Lewat karyanya yang
berujudul Batu Aceh Warisan Sejarah Johor, Daniel Perret dan
Kamaruddin AB. Razak berupaya melakukan suatu riset arkeologis
guna mengungkap sejarah Johor melalui tipologi batu nisan.
Walaupun buku ini memfokuskan pada studi nisan batu Aceh yang
dipengaruhi oleh gaya Johor, penggal-penggal informasi mengenai
peristiwa yang menghubungkan Aceh dan Johor turut pula
disinggung. Muatan historis banyak diungkapkan di bab 4 buku
ini. Salah satu informasi yang menarik adalah mengenai pemetaan
lokasi-lokasi penting yang disinggahi para Sultan Johor ketika
masa-masa penyerangan Aceh dan Portugis.24
Telaah buku ini
belum mampu memenuhi ekspektasi bahasan segi diplomatik
Aceh-Johor. Informasi historis yang ditampilkan juga belum utuh,
mengingat sudut pandang yang ditekankan adalah aspek
erkeologis.
Beberapa penelitian yang dikemas dalam buku di atas,
agaknya belum banyak mengupas atau menyinggung lebih jauh
mengenai pembahasan yang dipilih penulis. Walaupun begitu,
karya-karya tersebut dapat dijadikan referensi guna memandu dan
23
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 122-126. 24
Daniel Perret dan Kamaruddin AB. Razak, Batu Aceh Warisan Johor
(Johor Bahru: Ecole Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor,
1999) hlm. 155-159.
18
menuntun untuk merekonstruksi bangunan sejarah dari tema
terkait.
F. Landasan Teoritis
Sebagaimana diketahui, riset sejarah memiliki dimensi
yang luas. Masa lalu menjadi teks yang terbuka guna ditelaah dari
pelbagai sisi dan pendekatan. Perpolitikan lintas negara menjadi
tema utama dalam studi ini. Hal ini terkait dengan kebijakan
kerajaan dalam menetapkan suatu garis politik luar negerinya. Baik
Aceh maupun Johor, tentunya memiliki kapasitas setara, yakni
sebagai kerajaan yang memiliki kedaulatan yang sama, baik dalam
negeri maupun luar negeri.
Oleh sebab latar belakang studi yang diangkat banyak
didominasi oleh peran raja yang dibantu aparatur kerajaan masing-
masing, pendekatan hubungan internasional menjadi pilihan yang
dapat digunakan guna menelisik kembali penggal-penggal relasi
Aceh-Johor. Untuk itu, tesis ini akan menyorot permasalahan
diplomatik kedua kerajaan pada abad 16 hingga 17. Hubungan
baik dan buruk kedua kerajaan menjadi sesuatu bahan telaah yang
menarik untuk di angkat.
Hubungan diplomasi menandaskan pertemuan para
perwakilan masing-masing negara. Di samping itu, diplomasi juga
dimaknai sebagai seni menyelesaikan masalah yang menyangkut
dua atau banyak negara dengan jalan damai. Diplomasi amat
bertalian dengan mekanisme representasi, komunikasi serta
negosiasi. Para perwakilan negara atau lembaga internasional
terlibat dalam iklim pembicaraan yang konstruktif dalam rangka
membangun lingkungan internasional yang tenteram dan dami.25
Ini merupakan pengertian diplomasi yang umum dipahami,
terlebih dalam konteks pergaulan antarnegara modern.
25
Jan Melissen, “The New Public Diplomacy Between Theory and
Practice” dalam Jan Melissen, ed, The New Public Diplomacy; Soft
International Relations (Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 5.
19
Dalam pandangan kaum Tradisional, Stuart Murray
menyebutkan bahwa terdapat lima asumsi umum mengenai
diplomasi, antara lain: 1) diplomasi adalah fungsi eksklusif suatu
negara. Mereka beranggapan bahwa diplomasi hanya bisa
dilakukan oleh duta dari Kementeriaan Luar Negeri atau orang
asing yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan negara di kancah
internasional; 2) studi diplomasi berkisar pada pengkajian wilayah
serta batas kekuasaan suatu negara, menyangkut pula mengenai
potensi anarkisme serta upaya membangun relasi yang baik dengan
negara-negara berdaulat berdasarkan pada sejarah hubungan
diplomasi para pendahulunya; 3) diplomasi kebanyakan
dihubungkan pada agenda politik dan militer yang berimplikasi
pada keseimbangan kekuatan militer, penggalangan aliansi,
penggunaan tentara sebagai bagian dari negosiasi dan lain-lain; 4)
studi diplomasi tidak bisa mengabaikan kenangan masa lalu yang
pernah mewarnainya, dengan kata lain, fungsi sejarah sangat
penting untuk menentukan suatu kebijakan diplomasi; 5) para
pengamat tradisional memiliki beberapa buku pegangan utama
sebagai tuntunan mempraktekkan diplomasi, antara lain Satow’s
guide to diplomacy (1957), Berridge’s Diplomacy; Theory and
Practice (2002) dan Rana’s 21st
Century Ambassador (2004).26
Dari beberapa pengertian diplomasi di atas, maka didapat
suatu pemahaman bahwa diplomasi mengandalkan adanya
komunikasi dua atau banyak negara dalam suatu pencapaian
bersama. Dalam konteks hubungan diplomasi Aceh dan Johor,
maka pelibatan agenda politik dan militer, sebagaimana yang
disebutkan Stuart Murray, senantiasa dikedepankan. Penggunaan
pasukan sebagai bagian dari negosiasi adalah bagian untuk
mencegah pengaruh Portugis meluas di dunia Melayu serta
memerangi kerajaan-kerajaan Melayu yang kedapatan bersekutu
dengan Portugis. Bagi Johor, mengejar ketertinggalan dengan
Aceh dan Portugis adalah dengan memodernisir alat-alat perang
serta metode berperang pasukannya. Maka wajar jika pada 1602,
26
Stuart Murray, “Towards and Enchanced Understanding of
Diplomacy as the Buisness of Peace”, hlm. 3. Artikel diunduh dari
//http//www.inter-disciplinary.net, pada pukul 10.50 Kamis tanggal 27 Agustus
2005.
20
seorang perwakilan kongsi dagang Belanda, Jacob van
Heemskerck, menawarkan bantuan militer kepada Sultan Alauddin
Riayatsyah III, Raja Johor, dapat segera disetujui.27
Diplomasi di tataran pergaulan dunia Melayu abad 16 dan
17 menitikberatkan pada perluasan dominasi serta kekuasaan.
Maka tidak heran jika kemenangan saat berperang menjadi sesuatu
yang amat berharga. Hal ini ditegaskan oleh Harold Nicolson yang
mengungkapkan bahwa konsepsi fundamental diplomasi yang
menekankan pada alasan bernegoisasi adalah kemenangan, dan
penolakan atas upaya tersebut bermakna kekalahan. Diplomasi
selalu tertuju pada ketidakkurangan wibawa atas tahta tertinggi
bagi suatu kekuasaan.28
Meskipun begitu, dalam dinamika hubungan Aceh dan
Johor ternyata tidak selalu dihubungkan dengan kekuasaan, militer
maupun perang. Terdapat beberapa bentuk diplomasi lain, yang
juga memiliki efek besar bagi kelangsungan komunikasi dua
kerajaan itu. Tugas diplomasi nyatanya bukan dilakukan oleh
sosok yang resmi ditunjuk oleh negara ataupun kerajaan secara
eksklusif, melainkan bisa dilakukan oleh orang lain yang
mempunyai pengaruh. Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri
Lanang dalam istana Aceh, yang awalnya datang sebagai tawanan
dari Johor, misalnya, disinyalir ikut mewarnai kebijakan politik
Sultan Iskandar Muda terhadap Johor. Meskipun keduanya bukan
merupakan duta resmi kerajaan Johor, namun karena posisi
mereka yang penting di istana Johor, terlebih Putri Pahang adalah
istri Sultan Iskandar Muda, membuat suara mereka
dipertimbangkan oleh raja dan perangkat kerajaan Aceh.
Di samping itu, pernikahan putra dan putri kedua kerajaan,
juga bisa dimaknai sebagai bentuk lain dari keharmonisan menjalin
relasi kenegerian antara keduanya. Dalam pergaulan antara
kerajaan kekuasaan berbasis pada kesatuan darah amat
berpengaruh untuk menciptakan rangkaian kekuasaan dalam
jangka waktu yang lama. Nusansa persaudaraan (cosmopolitan
27
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23. 28
Harold Nicolson, Diplomacy (Great Britain: Oxford University
Press, 1942) hlm. 52-53.
21
fraternity) bisa menciptakan kesatuan visi di antara para
bangsawan internasional.29
G. Metode Penelitian
Tujuan akhir dari studi ini adalah penulisan sejarah. Guna
sampai pada tahapan itu, terlebih dahulu diharuskan melewati
upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah. Langkah
awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber
terkait. Sebagian besar sumber yang dikumpulkan adalah berupa
dokumen tertulis. Sumber ini dikategorikan dalam dua jenis, yakni
sumber primer dan sumber sekunder. Guna mengetahui
kesalinghubungan Aceh-Johor, pilihan menggunakan naskah
klasik sebagai sumber primer menjadi urgen yang tidak bisa
diabaikan. Sulalatussalatin atau Sejarah Melayu yang ditulis oleh
Tun Sri Lanang memiliki kandungan informasi yang kaya dalam
menelisik ulang komunikasi Raja-Raja Melayu. Uraian mengenai
serangan Aceh atas Johor disinggung di halaman-halaman terakhir
naskah ini.30
Diamping itu, Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri
juga menyimpan pelbagai pembahasan tentang sejarah Aceh
hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Johor.
Uraian yang sifatnya historis dalam naskah ini, hanya terdapat
dalam bait 12 dan 13.31
Bab 12 berisi tentang raja-raja Melayu
keturunan Iskandar Dzulkarnain yang berkedudukan di negeri-
negeri Melayu, sedangkan bab 13, menceritakan hal ihwal keadaan
Aceh Darussalam masa pemerintahan sultan Ali Mughayyatsyah
hingga Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber
sekunder, merujuk pada data-data yang bukan berasal dari masa
29
Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New York:
Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 30
Naskah yang digunakan adalah edisi populer yang disunting oleh
Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus Salatin Versi Populer (Jakarta: Yayasan
Tun Sri Lanang, 2011). 31
Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari
microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor
panggil ML 422.
22
seputar kajian historis yang diangkat. Sumber-sumber ini amat
membantu dalam merekonstruksi kebangunan peristiwa yang
diteliliti.
Sumber-sumber yang telah terkumpul kemudian diuji
keaslian dan kesahihan informasnya melalui kritik ekstern dan
intern. Kritiks ektern berhubungan dengan penetapan otentisitas
atau keaslian data melalui pengamatan tampilan luarnya. Termasuk
dalam cakupan perhatian kritik eksternal, adalah menelisik
keaslian jenis kertasnya, materai, tintanya, gaya penulisannya
bahasanya dan seluruh aspek yang mencakup bentuk fisiknya.
Kritik internal berguna untuk mengungkap kebenaran informasi
atau kredibilitas isi dari data tersebut.32
Selanjutnya, fakta-fakta yang dihimpun kemudian
disintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Tahapan ini,
memungkinkan sejarawan atau peneliti sejarah melakukan
interpretasi atas masalah yang diangkat, sehingga memungkinkan
munculnya dinamika baru terhadap suatu penggambaran ulang
atau lanjutan akan suatu peristiwa. Analisa atas masalah
berdasarkan sumber yang didapat termasuk dalam fase ini,
sehingga diharapkan dapat menelurkan gagasan baru dalam suatu
kajian historis.33
Historiografi sebagai terminal akhir dari perjalanan
penelitian ini, diupayakan dengan selalu mengedepankan aspek
kronologis, sedangkan penyajiannya didasarkan pada tampilan
tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.34
32
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995)
hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho
Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112. 33
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 34
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang:
Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
23
H. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk tesis ini
berisikan tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian dan Kesimpulan.
Bagian pertama ditempati bab pendahuluan, sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya. Didalamnya menjelaskan beberapa hal
pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, pembatasan masalah, penelitian
terdahulu, landasan teoritis, metodologi penelitian dan terakhir,
sistematika penelitian.
Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab
berikutnya. Uraian bab per bab disajikan sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua
mengetengahkan mengenai eksistensi Portugis di perairan Malaka.
Pada bagian ini diketengahkan seputar kedatangan Portugis di
kawasan selat Malaka, termasuk pula seputar penguasaannya atas
bandar Malaka. Selain itu diketengahkan pula mengenai
hubungannya dengan kerajaan-kerajaan sekitar, utamanya dengan
Aceh dan Johor. Dalam bagian ini juga dipaparkan masa akhir
kekuasaannya di Malaka akibat diserang oleh Belanda yang
dibantu Johor.
Kemudian, bab tiga mengetengahkan pokok tinjauan terkait
dengan tumbuh dan berkembangnya Aceh Darussalam.
Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis
Aceh, pemetaan wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber
daya alam, serta responnya menghadapi eksistensi Portugis di
sekitar perairan Malaka. Dipaparkan pula mengenai komunikasi
diplomatik Aceh dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya di
tataran regional Asia Tenggara.
Selanjutnya, pembahasan pada bab empat, berkaitan
dengan sejarah berdiri dan berkembangnya kerajaan Johor. Sedikit
mundur ke belakang, pembahasan dimulai dengan seputar
dikuasainya Malaka oleh Portugis yang ditengarai menjadi
penyebab bermunculannya beberapa kerajaan baru di kawasan
Semenanjung Melayu, tidak terkecuali Johor. Selain itu,
dipaparkan pula mengenai kehidupan keluarga kerajaan Melayu di
24
tempat-tempat pelariannya, hingga sampai pada keputusan
mendirikan kerajaan baru di tepian sungai Johor. Hal lain yang
turut dijelaskan, adalah mengenai pemetaan wilayah pengaruh
kerajaan Johor dan juga hubungannya dengan kerajaan-kerajaan
tetangganya, termasuk Aceh Darussalam. Tidak ketinggalan,
dipaparkan pula mengenai hubungannya dengan Portugis, yang
belakangan menyulut ketegangan dengan Aceh.
Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan
membedah seputar hubungan diplomatik Aceh-Johor. Pemaparan
diketengahkan seputar aktivitas raja-raja Aceh dan Johor dalam
menentukan kebijakan politiknya, utamanya di ranah luar negeri.
Diketengahkan pula mengenai bentuk-bentuk kerjasama yang
merekatkan kedua belah pihak. Selain itu, dijelaskan pula
mengenai sebab-sebab yang memperkeruh relasi kenegaraan dua
negara. Turut pula diketengahkan terkait fluktuasi diplomatik
keduanya.
Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh paparan
tesis ini. harapannya, di bagian ini dapat menarik benang merah
dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan
yang dipahami. Bab ini sekaligus menjadi bab penutup.
25
BAB II
PORTUGIS DI MALAKA
A. Revolusi Maritim Eropa
Membincang peradaban Eropa, maka akan menemukan
pelbagai bentuk karya agung umat manusia yang memiliki dampak
strategis dalam perkembangan sejarah manusia. Tanpa bermaksud
membuat dikotomi dunia Timur dan Barat, dalam hal ini Eropa
memiliki kekhasannya sendiri dalam membentuk tipologi berpikir
dan bertindaknya. Salah satu babakan penting yang menjadi
tonggak kemajuan Eropa adalah abad penjelajahan atas dunia di
luar Eropa atau yang dikenal dengan Abad Penjelajahan (The Ages
of Discovery).
Memasuki abad 15, geliat kehidupan pesisir Eropa semakin
menemukan bentuk terbarunya. Para pembesar mulai memikirkan
bagaimana cara terbaik untuk mendongkrak ekonomi kerajaan
melalui jalur perdagangan yang tentu saja dapat meraup
keuntungan penuh dengan tanpa pengeluaran besar yang
berpotensi memangkas keuntungan itu sendiri. Perdagangan
menjadi elemen vital yang tidak bisa diabaikan ketika menelaah
keadaan ekonomi di era tersebut. Siapa yang mampu menguasai
pasar, maka dengan sendirinya kemakmuran akan diraihnya. Salah
satu komoditas unggulan yang laris dan termasuk dalam kategori
primer di pasaran Eropa adalah rempah-rempah.
Rempah-rempah menjadi amat penting di Eropa karena
dipandang sebagai pelezat masakan. Oleh sebab komoditas ini
hanya dapat ditemukan di dunia Timur, maka harga barang ini
amatlah mahal. Jack Turner menyebutkan bahwa semuatan kecil
cengkeh saja dapat membiayai sekali perjalanan mengelilingi
26
bumi.35
Tingginya harga rempah ini belakangan dikeluhkan pula
oleh para pedagang dan pembesar Eropa. Alasan ini pula yang
mendorong mereka mengadakan ekspedisi kelautan untuk
mendapatkan rempah dari sumber aslinya, yakni di dunia Timur.
Menurut penjelasan Manuel de Faria Y Souza, sebelum
ditemukannya rute ke India dan Tanjung Harapan Baik (Cape of
Good Hope), barang-barang dari dunia Timur berharga tinggi.
Termasuk dalam komoditas jenis ini adalah cengkeh dari Timor,
kapur barus dari Borneo, emas dan perak dari Luzon, barang antik
Cina, berikut pula rempah-rempah, getah, parfum dan barang-
barang lainnya. Disebutkan pula bahwa salah satu emporium yang
menjadi tempat transaksi barang-barang itu adalah Malaka.
Pedagang-pedagang Arab, India dan Persia-lah yang mengemas
barang-barang itu dan memasoknya ke pasar-pasar Eropa seperti
ke Venezia, Genoa dan Catalonia.36
Persepsi masyarakat Eropa mengenai dunia Timur kala itu
amatlah terbatas bahkan cenderung gelap. Tidak jarang banyak
pihak yang mengasosiasikan dunia Timur dengan serangkum
gagasan yang sifatnya mistis dan mitologis. Rempah-rempah
sendiri dianggap menyimpan aura magis yang tidak terjamah
bangsa Eropa. Sebagian dari mereka menganggap tempat
tumbuhnya komoditas ini adalah surga dan dianggap sebagai
tumbuhan yang datang dari dunia lain. Kemisteriusan rempah-
rempah merupakan satu puncak dari lembah gelap pengetahuan
akan dunia Timur.37
Temaramnya panorama akan sisi yang
dipandang gelap ini, sedikit banyak telah menjadi pemicu hasrat
orang Eropa untuk sampai dan membuktikan sendiri dengan
mendatangi langsung ke kebun-kebunnya.
Dua diantara bangsa Eropa yang memiliki jejak rekam
terbanyak diantara pelayaran abad 15 dunia adalah Spanyol dan
35
Jack Turner, Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme, Terj.
Julia Absari (Depok: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 39. 36
Manuel de Faria Y Souza, “Portuguese History of Malacca”, dalam
Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society (JSBRAS), No. 17
(1887) hlm. 119. 37
Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 43.
27
Portugis. Spanyol dikenal sebagai kerajaan Kristen yang
melakukan inkuisisi Muslim besar-besaran dari semenanjung
Iberia pada penghujung abad 15. Pengusiran ini menjadi peletup
akan semangat mereka dalam mengembangkan paradigma
kelautannya. Sedangkan bagi penyerangan suatu armadanya atas
kantong-kantong kekuatan Islam di Afrika Utara, tepatnya di Ceuta
dan Tangiers, menjadi titik pijak kesadaran mereka akan urgensi
menata kembali kekuatan maritimnya.38
Di masa-masa setelahnya,
dua negeri ini saling berlomba menjadi yang terdepan dalam
teknologi pelayaran dan upayanya menemukan „dunia baru‟ di luar
daratan Eropa.
Bangsa Portugis mulai menapaki keseriusannya dalam
pengelolaan kemaritiman di bawah kepemimpinan Pangeran
Henry, yang dikenal sebagai Henry sang Navigator. Gelarnya itu
merujuk pada perhatiannya yang besar dalam mengembangkan
dunia pelayaran di negerinya. Ia memiliki kegemaran yang tinggi
dalam kajian mengenai laut, kapal dan dunia Timur. Hobinya ini
kemudian disebarkan kepada masyarakat Portugal dengan
mendirikan lembaga studi terpadu di Salgres yang mengkhususkan
diri menelaah hal ihwal nautika sehingga mengantarkan pada suatu
pemahaman mengenai penjelajahan dan penemuan „dunia baru‟ di
seberang Eropa.
Sang pangeran sendiri memiliki tiga alasan pribadi
mengenai latar belakang mengapa dunia maritim negerinya harus
maju, yakni:39
1. Untuk memperluas pengetahuan tentang dunia baru dan
ilmu alam.
2. Untuk mengalahkan negeri-negeri Islam serta menemukan
suatu negeri di timur Afrika yang menurut mitos
38
Hendrik Willem van Loon, The History of Mankind (USA: Boni &
Liveraight Inc., 1922) hlm. 218. 39
Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan
Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13 dan
17.
28
merupakan kekuasaan raja Kristen legendaris bernama
Prester John.
3. Menjadikan Portugal sebagai pusat perkulakan komoditas
dagang dari Timur sekaligus pula meningkatkan
pendapatan ekonomi rakyat Portugal.
Pada tahun 1415, Henry menyeponsori debut pertamanya
dalam bidang pelayaran sistematik ke wilayah barat laut Afrika. Ia
dan para nakhodanya berhasil menemukan kepulauan Canary.
Pelayaran perdananya juga mencapai muara sungai Senegal di
pesisir Afrika barat dan pada pertengaha abad 15, ia berhasil
menemukan Tanjung Verde (Tanjung Hijau) berikut kepulauan
dengan nama sama, yang berjarak setengah perjalanan ke Brazil.
Selain itu, ia juga mendanai sejumlah ekspedisi ke pedalaman
Sahara dan pesisir pantai Guinea.40
Salah satu upaya keras yang ingin dicapai Henry dalam
pelayarannya adalah menemukan kerajaan Prester John yang
menurut mitos berada di belahan Timur. Mitos ini sendiri telah
berkembang di seluruh Eropa sejak abad 12 dan menimbulkan
ledakkan animo untuk mencari dan menemuka lokasinya. Henry
menjadi salah satu sosok yang paling gigih mencari tempat raja
legendaris itu. tiga puluh tahun setelah kematian sang Pangeran,
barulah ada seorang nakhoda yang mewujudkan cita-cita itu.
Pada 1486, adalah Bartholomew Diaz yang mencoba
peruntungannya menemukan tanah Prester John. Ia memimpin
armadanya menyusuri perairan dan sampai di ujung selatan Afrika.
Tempat berpijaknya itu, kemudian dikenal sebagai Tanjung
Harapan Baik.41
Pencapaian ini amat dikenang sebagai salah satu
yang terbaik dalam bentangan sejarah maritim Portugis.
Rintisan pengembangan nautika yang dibangun oleh Henry
perlahan berbuah manis di kemudian hari. Apa yang telah
dikerjakan pangeran Portugis ini mencuri perhatian para investor
yang berasal dari kalangan bangsawan feodal negerinya untuk ikut
serta membiayai dan mengembangkan proyek besar tersebut.
40
Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 218-219. 41
Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 219.
29
Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembentukan
ekspedisi pelayaran, semakin besar jaminan hadirnya prestasi-
prestasi lain yang tidak kalah prestisius dari pencapaian Diaz.
Kemudian, pada 1498, suatu armada lain pimpinan Vasco
Da Gama, seorang pelaut Portugis lainnya, berhasil mencapai
Malabar. Da Gama kemudian segera beraudiensi dengan penguasa
lokal setempat di Kalikut dan setelah melalui birokrasi yang rumit
dan penuh kecurigaan ia dipersilahkan untuk berniaga. Tiga tahun
kemudian, Pedro Alvarez Cabral dengan 13 kapal dan ribuan awak
kapalnya datang ke Kalikut dengan misi menaklukkan kota itu.
Tanpa menunggu waktu lama, pertempuran seru terjadi. Lewat
serangkaian serangan sistematis pasukan Cabral berhasil
mengalahkan tentara pribumi dan berhasil menancapkan
dominasinya di pesisir India. Drama tragis itu berakhir dengan
dikeluarkannya peraturan kemaritiman bahwa kapal manapun yang
melewati perairan Hindia dikenakan pajak atau yang menolak akan
ditenggelamkan. Suatu aturan yang seolah menunjukkan kuasa
Portugis atas jalan laut itu.42
Catatan mengenai gambaran pesisir India tersebut dapat
ditemukan, salah satunya ketika menyimak Rihla Ibnu Batutta.
Rihla sendiri bukan merujuk pada artian sebenarnya, melainkan
merupakan judul dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Ibnu
Batutta sepanjang pengembaraannya ke beberapa belahan dunia di
Afrika maupun Asia. Merujuk pada keterangannya, daerah yang
merupakan destinasi kapal barang-barang jarak jauh yang
menyeberangi laut Arab atau Teluk Benggala ialah terhampar di
India bagian barat daya. Kota-kota pantai yang paling besar dan
terkenal kaya terdapat di Malabar.
Malabar dikenal sebagai peyangga daerah-daerah agraris,
dan kotanya memiliki daya tampung dalam jumlah besar bagi
panenan hasil alam, salah satunya adalah lada. Di samping itu,
daerah pesisir ini juga memiliki koneksi luas dengan kawasan-
kawasan pedalaman India Selatan yang memiliki banyak
penduduk. Kota-kota yang terbentang di Malabar dikenal pula
42
Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 17-23.
30
sebagai emporium yang dermaganya dipenuhi oleh kapal-kapal
niaga yang bergerak di seputar bagian barat dan timur Samudra
Hindia. Wilayah ini menjadi persinggahan bagi armada dagang
Arab maupun Cina. Kapal-kapal Arab membawa barang dari
bandar-bandar di sana, lantas dipasarkan di seluruh negeri sekitar
laut Arab. Dapat pula disebutkan, Malabar ibarat engsel tempat
berputarnya perdagangan maritim antar regional dari seantero
permukaan bumi bagian timur.43
Tempat lain yang dikenal sebagai sentra berkumpulnya
pemborong lintas negeri, adalah Gujarat dengan bandarnya yang
terkenal, Cambay. Kota Cambay sendiri berdiri di wilayah pantai
utara muara sungai Mahi. Ibnu Batutta mengisahkan bahwa kota
ini dipenuhi dengan bazaar-bazaar dan rumah-rumah besar yang
terbuat dari bahan batu yang biasa ditemukan di pelabuhan.
Nuansa pergaulan di kota ini, dirasa Ibnu Batutta, amat lekat
dengan tradisi Arab khas pesisir laut Arabia. Jiwa kota di sini lebih
mencitrakan keakraban model Muskat, Aden dan Mogadishu
ketimbang daerah tetangganya seperti Daulatabad dan Delhi. Kota
ini merupakan salah satu emporium terbesar di bibir samudra
Hindia. Cambay, dalam ingatan Ibnu Batutta, merupakan kota
yang indah dari segi arsitekturnya yang amat artistik, menghiasi
rumah-rumah dan bangunan masjidnya. Salah satu alasan mengapa
bangunan disana amat elok, demikian Ibnu Batutta, adalah karena
sebagian besar pemiliknya merupakan para saudagar asing yang
tidak segan menyisihkan hartanya membangun rumah-rumah dan
masjid yang indah dan megah.
Banyak dari para saudagar asing itu merupakan tamu-tamu,
atau hanya sekedar singgah. Diantara mereka ada juga orang-orang
dari pelabuhan Arab dan Teluk Persia, yang bermigrasi masuk dan
keluar Cambay menunggu musim angin yang tepat datang.
Komposisi penduduk lainnya, adalah para penyandang nama bapak
mereka yang berasal dari Arab dan Persia. kakek buyut mereka
telah bermukim selama berabad-abad yang lampau di sana. Tak
43
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim
Abad 14 Terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) Cet. 2, hlm.
246-247.
31
jarang, mereka melakukan kawin campur dengan orang-orang
Gujarat serta mengadopsi beberapa produk tradisi dari daerah
penyangga Hindu. Sama seperti bandar dagang umumnya, Cambay
juga dipenuhi oleh kapal-kapal asing.44
Di India inilah Portugis mulai menapaki keuntungan awal
dalam perdagangan yang signifikan dengan dunia Timur ketika
Raja Manuel Agung (memerintah 1495-1521), raja Portugis, yang
menyeponsori pelayaran Da Gama dan Cabral, berhasil
mengumpulkan keuntungan berkat perniagaannya dengan India
bahkan belakangan dengan Ethiopia, Arab dan Persia. Bukan
hanya itu, oleh sebab kelihaiannya dalam perniagaan lintas benua
itu, ia dijuluki oleh Francois I, raja Perancis, sebagai „Raja
Grosir‟.45
Da Gama tidak berhenti dalam merentangkan kekuasaan
Portugis di India. Ia mengupayakan pelebaran sayap dominasi
Portugis atas spot serta perairan strategis di sepanjang jalur dagang
ke Timur, salah satunya dengan menghentikan aktivitas para
saudagar Muslim di Mesopotamia dan India. Setelah melalui
beberapa pertempuran laut hebat dengan angkatan laut Muslim, Da
Gama berhasil mengontrol jalur perdagangan laut dari Barat
hingga Timur yang melalui samudera Hindia. Tugas besarnya ini
kemudian diwariskan kepada penggantinya, Alfonso
d‟Albuquerque.46
Guna memperkuat kedudukannya, setelah menaklukkan
Cochin, Portugis kemudian menguasai Goa, suatu pulau strategis
yang kemudian diperkokoh dengan bangunan perbentengan yang
selain dijadikan pusat pemerintahan sekaligus merangkap lokus
pengintaian startegis terhadap lalu lalang orang di pasar-pasar
rempah-rempah di pesisir Malabar dan selatan India pada
umumnya. Perbentengan pulau memiliki fungsi srategis tersendiri
bagi Portugis. Daerah pijak yang dikelilingi perairan memberikan
44
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 244-245. 45
Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge
UK: Cambridge University Press, 1998) cet. 5, hlm. 139. 46
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, Terj. Samsudin Berlian (Jakarta:
KPG dan Freedom Institute, 2008). Cet. 3, hlm. 97
32
rasa aman dari ancaman para musuhnya. Hal yang sama terjadi
ketika beberapa waktu sebelumnya Portugis mengadakan
penguatan dominasi atas pesisir Afrika, tepatnya di Luanda yang
terletak di Angola dan Elmina di Ghana yang terletak hanya
dipisahkan oleh laguna (danau pinggir laut atau juga yang
dibangun di tanjung Verde di teluk Guinea.47
Penaklukkan pertama
ini, secara keseluruhan, belumlah mendapat hasil yang
memuaskan. Daerah-daerah yang semula ditaklukkan rajin
mengirim sabotase yang tidak jarang justru mengancam kedudukan
wakil Portugis di sana.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, kemunculan Portugis
di samudera dunia memiliki misi menghentikan aktivitas pelayaran
yang banyak didominasi oleh para pelaut Muslim. Di India sendiri,
hampir sebagian besar pelabuhan penting di sana dikuasai oleh
para saudagar dan pelaut Islam, bahkan telah merambah hampir ke
seluruh spot perdagangan laut Asia. Bukan hanya sebatas itu, kapal
dagang-kapal dagang Muslim banyak hilir mudik pula di perairan
Mediterrania dan menjalin hubungan niaga yang baik dengan
pedagang Yahudi, Siria, maupun Bizantium hingga ke pesisir
Afrika utara.
Seorang saudagar Muslim yang berdagang keluar dari
daerahnya mengemban misi dakwah ke daerah tempatnya
berdagang. Dalam jiwa seorang pedagang Islam terdapat semangat
jiwa knight of the spirit yang ikut pula membentuk pribadinya
sebagai penyebar Islam. Seiring dengan semakin menguatnya
kekuatan Islam di Timur Dekat maka saat itu pula ideologi
penyebaran Islam ke luar regional tersebut dipancangkan.48
Dengan begitu daerah peredaran para pedagang Muslim sebisa
mungkin dapat dijadikan pula sebagai lapangan dakwah untuk
menumbuh kembangkan masyarakat Islam di sana.
Dalam catatan yang lebih kuno, yang direkam oleh Ibnu
Batutta, menyebutkan bahwa hampir semua perdagangan lintas
47
Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade ..., hlm. 139. 48
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social
and Economic History (Dordrecht, Nederlands: Foris Publications Holland,
1983) hlm. 68 - 72
33
benua yang berada di pantai barat- termasuk pula Sri Lanka dan
pantai Tenggara India yang disebut Koromandel – berada di tangan
orang-orang Muslim. Namun begitu, penguasa sesungguhnya dari
semua negara maritim adalah orang-orang Hindu Malayalam atau
para pengguna bahasa Tamil. Penduduk daerah penyangga di
kawasan tersebut juga banyak yang beragama Hindu dan dalam hal
Sri Lanka, penduduknya adalah pemeluk ajaran Budha.
Para pedagang Arab dan Persia telah bermukim di pesisir
daerah itu sejak waktu yang lama, yakni sejak masa Abbasiyah.
Terdapat perbedaan mengenai komposisi penduduk Muslim di
bagian paling barat. Terhitung sejak abad pertengahan, kebanyakan
penduduknya adalah Muslim India, dan gaya hidupnya cenderung
dihubungkan dengan mereka yang hidup di pusat-pusat kosmopolit
di Arab dan Persia.
Di samping itu, Ibnu Batutta juga menyatakan
kekagumannya bahwa kebudayaan yang terbentuk di kawasan
pesisir tersebut, seperti juga dapat disaksikan di pantai Afrika
Timur, merupakan produk jenius yang tercipta dari perkawinan
unsur-unsur pribumi dan asing. Dengan kata lain, corak tradisi
yang terlihat telah mengadakan akomodasi terhadap hukum agama
yang seterusnya terlibat dialog intensif dengan adat istiadat, gaya,
pakaian dan makanan dari kebiasaan penganut Hindu setempat.
Raja-raja Hindu yang bertahta di sepanjang bibir pantai itu
membebaskan orang Muslimnya beribadah sesuai dengan apa yang
diinginkan. Mereka justru mendorong upaya tersebut, dan
sepertinya ibarat reaksi balasan dari mereka atas kemakmuran
yang diperoleh berkat perniagaan Muslim. Boleh dikatakan,
sumber pemasukan terbesar kerajaan lokal amat berhubungan
dengan aktivitas perdagangan orang-orang Muslim di sana, baik
berasal dari pendapatan cukai dan dari keuntungan pribadi dalam
perdagangan bahari. Telah terjadi kemitraan yang sedemikian apik
terbangun antara para raja dan pedagangan Muslim.49
Perlahan, kedudukan para saudagar di tengah masyarakat
lokal India, naik hingga menjadi kalangan elite. Mereka pun tidak
49
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 247.
34
lupa dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Agenda pertemuan
dengan penguasa lokal serta tokoh masyarakat sudah tentu menjadi
keharusan untuk memperlancar aktivitas perniagaan mereka.
Hubungan yang harmonis inilah, yang membuat timbulnya
kerjasama peradaban di antara kaum pendatang, dalam hal ini
saudagar Arab dengan elite lokal, sehingga kawasan pesisir India
mencapai taraf emporium modern di masanya. Keadaan ini pula
yang dianggap Portugis sebagai ancaman nyata bagi hasrat
berkuasanya. Orang Arab dan Persia dianggap musuh yang harus
ditumpas.
Jack Turner menambahkan bahwa eksistensi para pedagang
Timur seperti Arab, Gujarat, Yahudi dan Armenia dianggap
Portugis sebagai kafir yang disamakan sebagai musuh. Portugis,
walaupun bukan yang pertama, dikenal sebagai bangsa yang
menumpahkan unsur-unsur kekerasan dalam kehidupan samudera
dengan amat cakap oleh sebab disokong oleh instalasi persenjataan
yang kuat di masanya. Mereka adalah bangsa pertama yang
mengklaim kepemilikan perairan-perairan dunia Timur dengan
mengatasnamakan Kristus. Hal ini tergambar pula dalam salah satu
bait syair Camões, pujangga Portugis, yang menyebut Jupiter
sebagai dzat pemberi restu kepada para konkuistador (penakluk)
Portugis: “Dari kekayaan Semenanjung Malaya yang telah
dikuasai, hingga Cina yang jauh dan pulau terjauh di bagian
Timur, seluruh permukaan samudera adalah milik mereka.”
Maksud kata Jupiter adalah sama dengan Tuhan (Kristus). Pendek
kata, pekerjaan Portugis adalah pekerjaan Tuhan.50
Berbeda dengan Jack Turner, M. Adnan Amal memiliki
catatan tersendiri terkait mengapa Portugis begitu gigih memerangi
umat Islam. Portugis melihat bahwa Perang Salib masihlah terus
berkobar, kendati tidak memperebutkan Jerussalem dalam artian
sebenarnya. Raja Portugis memegang jabatan sebagai gubernur
militer Order of Christ, yang dalam setiap ekspedisinya memiliki
maksud untuk menyelidiki keberadaan kekuatan Islam. Pada 1421,
ia mengirim suatu ekspedisi ke Teluk Afrika dan 35 tahun
berselang, Paus di Roma mengakui sebagai suatu kebenaran bahwa
50
Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 21.
35
Orde of Christ memegang yurisdiksi atau kewenangan hukum
spiritual. Hal ini merupakan indikasi bagi Portugis untuk bebas
melakukan tindakan ofensif mulai dari Afrika Utara (Maroko) dan
Afrika Barat. Sebelum menaklukkan kekuatan Islam di Goa India,
Portugis sempat menamatkan peradaban Islam di Afrika yakni di
Mozambiq (Afrika Utara), Mombasa kemudian Milindi.
Bara dendam Perang Salib dibawa oleh para pelaut Portugis
hingga ke Asia Tenggara. Kedudukan Orang-orang Moor –
sebutan untuk umat Muslim – di sana, merupakan ancaman yang
harus disingkirkan untuk menegakkan salib Yesus di bumi dan
perairan khatulistiwa. Agenda konversi agama Kristen menjadi
tugas utama yang harus dilakukan di wilayah tersebut. Hal ini bisa
ditilik melalui keberadaan Misi Jesuit dengan tokoh utamanya
Franciscus Xavier di Maluku.51
Alex D‟Orsey mengungkapkan bahwa kebulatan tekad
Portugis untuk mendirikan suatu pemerintahan dan administrasi
yang permanen di dunia Timur terencana secara sistematis setelah
Raja Immanuel (Dom Manuel) naik tahta pada 1504. Kemudian, ia
menunjuk Francisco d‟Almeyda sebagai Raja Muda (vice roy)
pertama India. Setelah menaklukkan pesisir timur Afrika pada
1505, d‟Almeyda melanjutkan pelayarannya ke Cochin. Di
perjalanan, ia sempat bentrok dengan angkatan laut Muslim Mesir
yang kala itu memang mendapat tugas khusus menumpas segala
bentuk aktivitas bajak laut Eropa.
Menginjak tahun 1505, sebuah ekspedisi berisi 40 kapal
berangkat dari Lisboa di bawah Tristam Dacunha dan Alfonso
d‟Albuquerque. Sama dengan pendahulunya, mereka mendapat
perintah untuk menyisir pesisir samudera Hindia menjadi bawahan
Portugis. Lokasi pertama yang dituju adalah pantai-pantai Arabia,
termasuk pula menundukkan Muskat dan kota-kota penting lainnya
lantas membuat para pemimpin pribuminya bersedia menjalin
aliansi dengan Raja Manuel. Kedatangan d‟Albuquerque ke India
untuk menggantikan posisi raja muda sebelumnya, sebenarnya
amat tidak diinginkan oleh d‟Almeyda. Sang gubernur India itu
51
M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok:
Komunitas Bambu, 2010) hlm. 4.
36
tidak habis pikir mengapa rajanya tega menurunkannya, padahal ia
telah melakukan sesuatu yang sesuai prosedur. Ia dan anaknya
telah melakukan banyak peperangan melawan pelaut-pelaut Mesir
yang mengganggu otoritas Portugal di sekitar India. Akhir masa
jabatannya ditandai dengan pembunuhan atas para tawanannya,
sebagai bukti kesetiaan pada rajanya.
D‟Albuquerque dengan segera menjadi bintangnya para
penakluk Portugal, dengan melancarkan skema serangan terhadap
negeri-negeri yang semula sulit ditaklukkan. Salah satu tugas
utama pertamanya, adalah mengupayakan berkibarnya bendera
Portugal di Kalikut, salah satu sekutu dekat Malabar. Januari 1505,
petaka mengampiri salah satu kota terpenting India itu.
Pembakaran dan pengrusakan berhasil dilakukan Potugis atas
bangunan-bangunan penting di sana. Penguasa Kalikut berhasil
menyelamatkan diri masuk ke dalam istana dan dari sana
memerintahkan serangkaian pukulan balasan melalui barisan
serangnya. Reaksi berbuah manis, pasukan d‟Albuquerque yang
mabuk kemenangan sejenak seketika menjadi tunggang langgang
diterpa sapuan serangan lawannya, hingga mereka terjepit di
pesisir pantai. Setelah melalui perlawanan kecil, d‟Albuquerque
dan sisa pasukannya berhasil menyelamatkan diri. Ekspedisi
penaklukan ini pun belum bisa dikatakan berhasil.
Kegagalan itu tidak membuat d‟Albuquerque patah arang.
Sebagai pelampiasannya, ia tetap melakukan penaklukan di spot-
spot pantai India yang tidak memiliki pertahanan yang baik. Di
tempat-tempat itu, Portugis segera membangun instalasi
pertahanan dan mendatangkan banyak agamawan untuk
menyebarkan Kristen, sampai ketika ia mendengar terdapat suatu
pulau strategis bernama Goa, yang menjadi lokus terpenting dalam
aktivitas pelayaran India.52
Keberhasilan Cabral menguasai Kalikut, ternyata belumlah
membuktikan tegaknya kuasa Portugis atas India. Goa menjadi
pusat kontrol perairan sekitar India Barat, yang sama sekali belum
terjamah tangan-tangan perusak Portugis. Dalam riwayatnya,
52
Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries Dependencies and Missions
in Asia and Africa (London: W.H. Allen & Co Limited, 1893) hlm. 34-36.
37
setelah dikuasai oleh umat Islam (Musalman) pada 1415, Goa
dijadikan pelabuhan laut utama guna meninjau kawasan laut India
barat. Goa berdiri di atas pulau Tisvadi yang satu diantara ketiga
daerah (triangular territory) yang berada di antara dua sungai;
sungai Juari di sebelah selatan dan sungai Mandavi di sebelah
utara. Dua sungai ini dihubungkan dengan jalur air sempit dan
berakhir di laut Arab. Pada 1510, kedua sungai ini dijadikan marka
batas pertahaan di mana jalur air sempit di atas dipenuhi dengan
buaya yang di masa kekuasaan raja-raja Hindu kerap menjadikan
para kriminal dan pendakwah Islam sebagai santapan para penjaga
air itu.
Memasuki tahun 1510, Alfonso d‟Albuquerque berlayar
dari Cochin memimpin armada perang Portugis beranggotakan 20
kapal dan beberapa kapal kecil menuju Goa. Di pihak lain, Adil
Shah, penguasa Goa sedang berada di luar daerah dan
mempercayakan pertahaan Goa pada 200 orang Turki. Begitu
pasukan laut Portugis datang, pertempuran segera pecah. Penduduk
Hindu yang ada di Goa memilih untuk pasif ketimbang membantu
pasukan Turki menghalau musuhnya. Perlahan, Portugis berhasil
mendeteksi kelemahan lawan dan segera melancarkan serangan
berupa hujan panah api. Pasukan Turki kalah dan Goa jatuh ke
tangan d‟Albuquerque.
Rupanya, hal ini tidak bertahan lama. Pada bulan Mei di
tahun yang sama, beberapa waktu kemudian Adil Shah datang ke
Goa beserta pasukan tempur yang kuat. Dari sini terjadi
serangkaian pertempuran yang sengit. Masing-masing pihak
mengeluarkan beragam kebolehannya dalam seni berperang.
Dalam babakan perang ini, Timoja, seorang pemimpin Hindu, turut
pula memperkuat pasukan Portugis dengan cadangan pasukan pada
bulan Oktober 1510.
Duka menyelimuti pihak Muslim ketika Adil Shah yang
belum menuntaskan misinya berpulang. Komando pasukan
kemudian berada di tangan anaknya, Ismail Adil Shah. Sang
komandan pengganti nyatanya harus menelan pil pahit setelah
pasukanya yang terdiri dari orang Persia dan Turki berjumlah 8000
orang dipukul mundur oleh gabungan Portugis dan Hindu. Tanpa
38
menunggu waktu lama, tepatnya November, Goa mengalami masa
kelamnya, di mana banyak wanita dan anak-anak dibunuh. Mulai
saat itu Goa telah sepenuhnya jatuh di tangan Portugis.53
Sang raja muda Portugis kemudian segera membangun Goa
agar lebih kuat dari serbuan musuh. Hampir di sekililing pulau
dibangun benteng yang kokoh. Administrasi lokal turut pula
dibenahi. Pernikahan dengan penduduk lokal sebagai bentuk
membangun hubungan relasional yang dimaksudkan pula guna
menciptakan generasi kristiani yang mengakar.
Pasca penaklukkan Goa, Portugal menjadi kerajaan besar
paling terkemuka di Eropa. Sebagai bukti keberhasilannya
menjelajahi dunia timur, Raja Manuel mengirimkan duta untuk
bertemu Paus Leo X di Vatikan dengan membawa gajah India. Hal
ini juga dimaksudkan sebagai bukti pengabdian Portugal kepada
Gereja Roma yang juga menjadi penguasa atas seluruh tanah
jelajah belahan Timur.54
Terhubungnya India dengan Portugis, ditilik dari segi
perdagangan, menurut Shihan de Silva Jayasuriya merupakan titik
berangkat penting selanjutnya dari historisitas pertalian Timur dan
Barat. Jalur laut yang terentang diantara dua negeri tersebut,
seakan ikut pula menyatukan kedua benuanya, Asia dan Eropa.
Bisa dikatakan pula, kemunculan rute dagang kedua tempat itu
merupakan salah satu peristiwa penting dalam penguatan
perdagangan global. Dimulai sejak masuknya Da Gama, Portugis
seakan mendapat horizon baru mengenai benua yang semula
belum terjamah.
Sebagaimana diketahui, keberhasilan Portugis mencapai
India dan menguasainya, tidak lepas dari teknologi navigasi
mutakhir yang digunakannya saat itu. Jayasuriya mengatakan
bahwa salah satu faktor elementer yang menjadi perhatian pelaut
Portugis adalah menggunakan jasa navigator Arab. Kala itu,
petunjuk arah yang berasal dari Arab dipercaya memiliki teknologi
53
J.S. Jayne, Vasco Da Gama and His Successors (London: Methuen &
Co. Ltd, 1910) hlm. 81-85. 54
Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries ..., hlm.37-38.
39
terbaru dalam rangka memetakan ruang gerak kapal ke tujuan yang
mereka kehendaki. Dalam praktiknya, sang navigator
menggunakan instrumen navigasi yang menemani perjalanannya
yang disebut kamal. Alat ini merupakan bentuk racikan teknologi
yang telah teruji mengarungi perairan Hindia. Cara kerja alat ini
adalah dengan memetakan posisi bintang kemudian
menerapkannya guna mengukur jarak yang akan ditempuh menuju
suatu bandar. Kamal telah teruji menentukan arah jelajah kapal,
ketimbang sistem navigasi sebelumnya, yakni menggunakan
astrolabe yang dalam beberapa kasus terjadi kesalahan arah jika
digunakan ketika kapal dalam keadaan bergerak.55
Kiranya terdapat perbedaan peran, di antara masyarakat
Arab sendiri. Fenomena tersebut semakin menandaskan bahwa
pandangan Portugis terhadap Arab bukanlah terbatas pada persepsi
hitam-putih. Jika mereka menganggap terdapat sesuatu yang dapat
dimanfaatkan dari bangsa Arab, mereka tidak ragu untuk
memanfaatkannya. Sebagaimana disinggung sebelumnya,
teknologi bahari umat Islam pun telah mencapai ke tingkatan yang
mengagumkan. Ramainya gegap gempita pelayaran Eropa tidak
terlepas dari peran umat Islam. Terlebih jika ditarik ke masa agak
lampau, Eropa, dalam hal ini Andalusia, pernah menjadi penguasa
atas wilayah itu sejak abad 8.
Selama berkuasa di Spanyol, Islam telah menelurkan
bentangan peradaban yang belakangan turut pula menyokong
kemajuan para penguasa Kristen di sana. Ramainya kota-kota
Andalusia amat dipengaruhi oleh iklim intelektual yang amat
dihargai serta dipelihara di beberapa pusat keilmuan yang berdiri.
Jatuhnya kejayaan Muslim di Semenanjung Iberia pada abad 15,
tidak lantas membuat gairah intelektual Islam terhenti, bahkan
risalah-risalah pengetahuan berbahasa Arab membanjiri biara-biara
dan balai-balai pendidikan Eropa. Palermo di Italia, menjadi salah
55
Shihan de Silva Jayasuriya, The Portuguese in The East; A Cultural
History of A Maritime Trading Empire (London: Tauris Co & Ltd, 2008) hlm. 1.
40
satu tempat yang banyak memproduksi risalah latin terjemahaan
bahasa Arab.56
Spanyol merupakan pintu gerbang kemeriahan ilmu
pengetahuan terbarukan menyebar ke seantero Eropa. Dari sini,
perbendaharaan Yunani dan Persia dibawa oleh cendikiawan
Muslim lantas dikembangkan. Pelbagai produk ilmu pengetahuan,
filsafat dan seni Islam dipekenalkan ke Eropa Latin. Materi-materi
tersebut sampai dan mengalami pengembangan di Eropa melalui
dua saluran; a) lewat para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa
Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-
universitas Spanyol (b) melalui karya-karya terjemah para
intelektual Muslim yang berasal dari sumber-sumber berbahasa
Arab.57
Beberapa cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu nautika
adalah geografi, matematika dan astronomi. Ketiga cabang ilmu
tersebut menjadi primadona di sekolah-sekolah Spanyol. Mehdi
Nakosteen menjelaskan bahwa sebagian besar tabel astronomi ada
pula yang tergabung dalam pengantar teori trigonometri yang
secara implisit (tidak langsung) masuk dalam skematika
perhintungan-perhitungan yang digunakan kala itu. Sebagai
catatan, untuk menentukan koordinat arah dalam melacak tujuan,
skema-skema perhitungan seperti di atas sudah tentu digunakan.
Seorang Hispano-Muslim bernama az-Zarqali menciptakan
karya astronomi terkenal yang disebut Toledan Tables. Risalah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard de
Cremona. Yang lain, Astronomical Tables buah tangan al-
Khawarizmi, telah direvisi oleh Maslama bin Ahmad dari Madrid
pada abad kesepuluh. Kemudian, risalah tersebut diterjemahkan
oleh Adelard dari Bath dan diulang oleh Herman. Sebuah edisi
revisinya turut pula ditulis oleh Robert dari Chester. Ia juga
membuat sebuah adaptasi dari Tables karya al-Battani, pada tahun
56
Lebih lanjut baca Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahar
dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) Cet.2, hlm. 11-14 57
Nakosteen, Kontrubusi Islam ..., hlm. 271.
41
1149, serta masih banyak karya lain yang diterjemahkan dari
bahasa Arab ke Latin.58
Melihat uraian di atas, rasanya bukan tidak mungkin,
kurikulum yang dipakai serta buku-buku ajar yang digunakan di
sekolah pendidikan kelautan buatan Henry Sang Navigator asal
Portugal yang disebut-sebut menjadi motor penggerak kapal-kapal
Portugis merupakan buah pemikiran para cendikiawan Muslim.
Risalah-risalah Latin yang berasal dari ilmuwan Muslim telah
membuka mata Eropa yang sebelumnya tertutup.
Sejarah telah sedemikian berputar bagai roda. Portugis
yang semula duduk tenang membaca, kemudian telah berhasil
mengaplikasikan apa yang mereka renungkan ke ranah aksiologis,
salah satunya adalah proyek kemaritimannya. Jatuhnya India
merupakan akumulasi dari upaya panjangnya mencari dan
menemukan dunia yang sebelumnya tak terjamah. Perairan India
yang sebelumnya diselimuti kedamaian penuh sungging senyum
dari para saudagar perlahan terasa berhawa lain, yakni dipenuhi
oleh ketegangan. Patroli laut Portugis yag dikomandoi oleh Goa
menjadi momok menakutkan di perairan sekitar.
Di Eropa sendiri, nama Portugis menjadi semakin dikenal
sebagai salah satu pendatang baru potensial sebagai pusat
perkulakan rempah Eropa. Upayanya merentangkan kuasa hingga
ke India dan bahkan sampai Nusantara, dibarengi dengan
penguatan internal seputar perdagangan laut Eropa, khususnya
Eropa Selatan. Laut Mediterrania bagaimanapun harus ditaklukan,
demikian hemat penguasa Portugis. Cita-cita tersebut bukanlah
tanpa pijakan. Kawasan perairan Mediterrania telah menjadi nadi
perdagangan yang mempertemukan dunia Timur dan Barat.
Bandar Eropa yang menjadi tempat persinggahan rempah-
rempah Timur, diantaranya adalah Antwerp dan Bruges. Sebelum
sampai kesana, barang dagang penting itu merapat di Venezia
yang mengadakan kontak dagang rempah dengan bandar-bandar
Mameluk di Mesir. Venezia menjadi bandar rempah pertama
58
Lebih lanjut lihat Nakosteen, Kontribusi Islam ..., hlm. 272-273.
42
Eropa yang kemudian mendistribusikan dagangan itu ke seantero
pasar Eropa baik di pesisir maupun pedalaman.
Upaya menguasai Venezia, berarti pula mendapatkan
dominasi perdagangan rempah di seluruh Eropa. Untuk itu,
sekelompok armada diberangkatkan untuk menguasai pusat niaga
itu. kejadian tersebut, membuat pedagang lokal Venezia menderita
dan menurunkan pendapatan mereka. Menginjak awal abad 16,
semakin memperkuat kedudukannya sebagai pelabuhan rempah
terdepan di Eropa.59
Munculnya Portugis di kancah maritim dunia,
menimbulkan efek tersendiri, khususnya bagi perdagangan lintas
benua. Motif tindakan Portugis yang terkesan tidak pandang bulu
dan menghalalkan segala cara dalam menundukkan musuhnya,
merupakan ciri khas mereka dalam upaya merengkuh gelar
penguasa lautan. Serangan dan penguasaan atas bandar-bandar
besar dunia, seperti Ormuz dan Goa, merupakan dua langkah
penting guna mengokohkan posisi mereka di jalur dagang Timur.
Ditambah lagi dengan direbutnya Venezia, semakin memperluas
kendali Portugis atas rute pelayaran dunia.
Berbekal fanatisme kekristenan dan restu dari Paus sebagai
pemegang otoritas tertinggi umat Kristen Katolik dunia, Potugis
melenggang menundukkan negeri-negeri yang semula berdaulat.
Agama menjadi landasan penting bagi perilaku mereka. Teknologi
pelayaran yang telah sedemikian baik terbangun dimanfaatkan
sebagi alat untuk menyebarkan ajaran Kristen ke seluruh penjuru
dunia. Motivasi ini kiranya yang memompa semangat mereka agar
tidak mudah patah arang dalam mencapai tujuan. Mereka begitu
yakin, penguasaan ditambah kristenisasi atas suatu wilayah
menjadi kegiatan yang direstui Tuhan.
Kegigihan mereka dalam menaklukkan suatu wilayah yang
dicatat sejarah, seperti disebutkan sebelumnya, menandakan bahwa
Portugis memang telah jauh hari berkeinginan merebut dominasi
pelayaran dan perdagangan global. Niat ini kerap terbentur dengan
penguasa-penguasa daerah lain, seperti juga penguasa Muslim,
59
Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 1-2.
43
yang memiliki agenda politik, ekonomi, sosial dan agama
tersendiri. Maka itu, ketika dua kepentingan berbeda ini berjumpa,
maka yang terhampar adalah peperangan berebut kuasa, dan tentu
saja yang memiliki persiapan kuat dan sikap pantang menyerah
menjadi pemenangnya.
Portugis, untuk sementara berhasil menunjukkan tajinya
sebagai salah satu bangsa calon penguasa lautan. Posisinya
kemudian menjadi lebih kuat, ketika kapal-kapal Portugis telah
lalu lalang di perairan Asia Tenggara. Di sana Portugis mencatat
sejarah dengan menundukkan salah satu pusat dagang penting
dunia, yang sekaligus menjadi pintu masuk memperbincangkan
sejarah mereka di kepulauan Nusantara, tepatnya di wilayah sekitar
Selat Malaka, Sumatra bagian utara dan timur serta Semenanjung
Malaya.
B. Menguasai Malaka
Hadirnya Portugis di perairan Hindia menerbitkan
kekhawatiran di kalangan para saudagar Muslim. Mereka mulai
melakukan pelbagai tindakan yang merugikan perekonomian
pedagang pribumi India maupun kapal saudagar Muslim lain yang
kebetulan melewati perairan India. Kapal-kapal mereka tak segan
melakukan intimidasi dan kekerasan guna menundukkan suatu
armada dagang. Perlahan, iklim harmonis yang terjalin di pesisir
India dan wilayah akuatik sekitarnya luruh berganti dengan
ketegangan.
Tidak hanya berhenti sampai di lokasi tersebut, armada
Portugis juga rajin menyambangi wilayah bibir-bibir pantai Hindia
Timur. Belakangan, aktivitas mereka bukan hanya terbatas pada
jual-beli dengan penduduk lokal, melainkan juga memperkuat diri
dengan membangun kantor dagang di selatan Asia hingga
menyentuh Asia Tenggara, yakni di Bengal, Myanmar, Siam,
Malaka hingga Maluku. Ekspansi laut Portugis kemudian
44
menyebar lebih jauh sampai Macau (China) dan Nagasaki
(Jepang).60
Mampirnya Portugis di Malaka merupakan kejadian yang
besar dalam bentangan sejarah Nusantara. Jatuhnya Malaka
menandakan kemunduran yang signifikan dalam aktivitas
perdagangan regional. Malaka sendiri merupakan bandar dagang
yang utama di kawasan Asia Tenggara. Keberadaannya ibarat
pasar grosir dunia Timur yang menjadi tujuan kapal-kapal dagang
dunia. Pelbagai komoditas unggulan diperjualkan di pasar-
pasarnya.
Salah satu catatan sejarah yang dapat ditelisik mengenai
berdirinya emporium ini adalah termaktub dalam Sulalatus Salatin
atau Sejarah Melayu tulisan Tun Sri Lanang.61
Diceritakan,
Malaka didirikan oleh Parameswara atau Iskandar Syah yang
merupakan bangsawan Palembang yang keluar dari istana akibat
konflik kerajaan. Ketika sampai di wilayah sungai Bertam,
Iskandar Syah dan pengikutnya sempat berteduh di bawah pohon
rindang. Dalam suatu percakapan kecil ia memuji keindahan
pemandangan sekitar dan memerintahkan untuk membangun
kenegerian di tempat itu. Di sela-sela pengerjaan pembangunan, ia
bertanya pada seorang bawahannya akan jenis kayu yang banyak
digunakan sebagai bahan baku pembangunan yang lantas dijawab
bawahannya bahwa kayu tersebut adalah kayu Malaka. Di saat itu
60
Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 2-3. 61
Tun Sri Lanang merupakan salah satu bangsawan Johor yang
berpindah ke Aceh ketika pasukan Aceh menyerbu Johor pada pertempuran
Batu Sawar pada 1613. Ia merupakan bagian dari rombongan Raja Johor yang
dibawa Iskandar Muda ke Aceh. Selama di Aceh, ia didapuk sebagai pejabat
tinggi kerajaan dan diberi gelar sebagai uleebalang pertama Samalanga. Selain
dikenal sebagai sastrawan besar Melayu dengan masterpiece-nya
Sulalatussalatin, yang menjadi kitab babon guna mengetahui tumbuh kembang
kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, ia juga merupakan
ahli tata negara serta pertanian. Lebih lanjut lihat Pocut Haslinda MD Azwar,
Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta:
Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 38-29 dan 67-86.
45
pula, Iskandar Syah mengatakan bahwa negeri yang dibangunnya
itu bernama Malaka.62
Lazimnya yang ditemukan dalam manuskrip kuno
Nusantara, tidak ada informasi yang tepat, kapan negeri ini
dibangun. Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan tersendiri guna
mengetahui secara persis kapan peristiwa itu terjadi.
Adalah Slamet Muljana yang mencoba memetakan waktu
Parameswara mendirikan Malaka. Ia menggunakan laporan China
yang memberitakan pertalian diplomatik China dan Malaka yang
terjadi ketika utusan China bernama Yin Ching datang ke Malaka
pada 1404. Kala itu, menurut kesaksiannya, Malaka sudah menjadi
suatu pelabuhan dagang. Berdasarkan sumber tersebut,
diperkirakan Malaka dibangun oleh Parameswara sekitar tahun
1400.63
Selama masa-masa mendatang hingga ketika Portugis
menaklukannya Malaka menjadi bandar internasional utama di
Nusantara. Era keemasan Malaka terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Muhammadsyah dan di masa ini pula barulah Malaka
dipimpin oleh raja Islam. Merujuk pada keterangan Tun Sri
Lanang, di era pemerintahan Muhammadsyah, Malaka menjadi
negeri yang makmur dan mashur serta memiliki reputasi baik di
pergaulan luar negeri. Di wilayah ini banyak dijumpai pasar yang
sambung menyambung mulai dari Air Lilih hingga ke Muara
Muar, dari Kampung Keling hingga Kuala Penayuh. Banyaknya
pasar, membuat daerah itu disesaki oleh pedagang dari berbagai
bangsa. Di sana-sini ditemukan pula banyak perumahan yang
membentang hingga ke Batu Pahat. 64
Tome Pires, seorang pengembara Portugis sempat
menyambangi Malaka. Dalam Suma Oriental – yang ditulisnya di
Malaka dan India pada 1512-1515 - ia menceritakan bahwa
62
Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus-Salatin; Sejarah Melayu Versi
Populer ( Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 55. 63
Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1981) hlm. 316 64
Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 56-57 dan 104.
46
Malaka adalah daerah yang dipenuhi oleh para Muslim dari
penjuru dunia. Saudagar Muslim tersebut berasal dari Kairo,
Mekkah, Aden, Abissinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum,
Turki, Turkoman, Armenia Kristen, Gujarat, Chaul, Dabhol, Goa
kerajaan Dekkan, Malabar, Keling, Orissa, Bengal dan Sri Lanka.
Disamping itu, pedagang regional dari Arakan, Pegu, Siam, Kedah,
Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Champa, Cochin China, China,
Lequeos, Brunei, Lucoes, Tamjompura (Tanjungpura), Laue,
Banka (Bangka), Linga, Molukas (Maluku), Banda, Bima, Timor,
Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri,
Kappatta (Kampar?), Menangkabau (Minangkabau), Siak, Arqua
(Arcat?), Aru, Bata, daerah Tomjano Pase, Pedir dan Maladewa.
Di pelabuhan Malaka, dapat ditemui percakapan dengan 48 bahasa
yang berbeda.
Diceritakan pula, bahwa hampir setiap bangsa yang datang
ke Malaka membawa barang dagangan dari wilayahnya. Orang
Mesir misalnya, membawa gelas-gelas Venezia, adapula pedagang
Malabar yang membawa pelbagai jenis kain. Orang yang ingin
membangun rumah haruslah mendapat izin dari pemerintah terkait.
Kerajaan ini juga sudah memiliki mata uang sendiri.65
Kabar hiruk pikuk pasar serta kencangnya pemutaran uang
di Malaka, perlahan-lahan sampai ke telinga pelaut Portugis yang
tengah merentangkan kuasa di perairan Hindia. Awalnya,
kedatangan mereka sekedar berniaga dan menemui pemuka daerah
lokal bernama Bendahara Seri Maharaja. Hubungan yang baik
segera terjalin antarkeduanya, bahkan Seri Maharaja sempat
memberikan cendera mata indah berupa kalung permata.
Sepulangnya dari Malaka, pelaut Portugis itu menceritakan kepada
pembesar Portugis, Alfonso Zalberkaki66
di Goa akan kebesaran
dan kemajuan Malaka. Timbullah hasrat Zalberkaki untuk
menguasai bandar dagang itu.
Zalberkaki pun segera menyiapkan armada perang.
Komposisi pasukan terdiri dari tujuh kapal, sepuluh kapal jenis
65
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II (New
Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 268-275. 66
Sebutan Alfonso d‟Albuquerque dalam Sulalatussatin.
47
kapal panjang, dan tiga belas kapal jenis fusta. Setelah persiapan
matang armada Portugis ini pun berangkat di bawah pimpinan
Gonsalo Pereira. Terjadi pertempuran yang seru antara pasukan
Malaka pimpinan Tun Hassan Tumenggung dengan armada
Portugis. Setelah babak demi babak dilalui, pasukan Portugis pun
terlihat melemah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Malaka untuk
mengadakan serangan lebih gencar sehingga patahlah gempuran
Portugis. Sisa-sisa pasukan lawan kembali ke kapal dan mundur
secara bertahap.
Kekalahan ini amat menyakitkan hati Zalberkaki. Ia pun
menghadap langsung Raja Portugal dan meminta bantuan armada
yang lebih besar dan tangguh. Seakan mafhum dengan tugas berat
yang diemban jendralnya, sang raja memberi bantuan tiga kapal
besar. Kemudian, setelah persiapan dirasa cukup, Portugis pun
datang untuk yang kedua kalinya ke Malaka yang langsung
dipimpin oleh Alfonso Zalberkaki. Begitu sampai di pantai
Malaka, meriam Portugis langsung menyerang dengan membabi
buta, suaranya bagaikan halilintar. Saat itu, Malaka dipimpin oleh
Raja Ahmad menaiki gajah bernama Jinakji, dengan didampingi
Seri Awadani di bagian kepala gajah dan Tun Hati di bagian
ekornya. Di sekitar sang raja, hulubalang serta pasukan telah
berdiri siap menghambur serangan.
Perang pecah dengan amat hebat. Kedua pasukan seakan
berlomba berebut kemenangan. Singkat cerita, setelah mengarungi
medan peperagan yang amat berat, Portugis semakin merangsek ke
pedalaman Malaka. Sampai disini telah terlihat kekalahan Malaka,
terlebih ketika pasukan musuh telah sampai di Ujung Balai dan
pada akhirnya berakhir merebut istana. Korban yang jatuh amatlah
banyak. Raja Ahmad yang semakin terdesak kemudian melarikan
diri ke Hulu Muar. Bandar dagang terkemuka itu akhirnya berhasil
dikuasai Portugis.67
Tome Pires menyebutkan bahwa barisan tempur Malaka,
sejatinya bukanlah diisi oleh prajurit pribumi semata, melainkan
turut pula dibantu para pedagang Gujarat. Mereka mendermakan
67
Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 175-180 dan 193-198.
48
kapal-kapal dagang mereka yang dimodifikasi menjadi kapal
tempur guna menyambut kedatangan Portugis. Hal ini terjadi
karena salah satu pemimpin perang Malaka berkebangsaan
Gujarat. Dalam versi Pires diceritakan bahwa Raja Malaka
menolak pernyataan tunduk yang dilayangkan oleh d‟Albuquerque.
Setelah perang terjadi dan Malaka berhasil dikuasai, Portugis
mendirikan perbentengan yang kuat.68
Sama dengan Ormuz dan Goa, Malaka menjadi korban
berikutnya dari usaha perluasan supremasi di jalur dagang dunia.
Malaka merupakan emporium yang menjadi pusat grosir hasil
bumi maupun rempah dari seantero Nusantara. Pengambilalihan
bandar ini dari tangan penguasa Melayu Malaka, demikian hemat
Portugis, merupakan satu-satunya cara agar tongkat kuasa mereka
dapat ditanamkan di suatu destinasi dagang dunia yang menjadi
pusat perkulakan saudagar antar bangsa.
Aspek lain yang perlu dikemukakan adalah terbitnya
penguasa baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu dan
sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri, baik Aceh dan Malaka
merupakan the old regimes atau dua kerajaan yang paling
terpandang karena rentang waktu berdirinya yang lama dibanding
kerajaan lain, dialiri darah para raja-raja hebat terdahulu serta
pencapaiannya di kawasan perairan selat Malaka dan sekitarnya.
Keduanya saling bahu membahu membangun iklim filantropis
yang melingkupi rute dagang dunia yang melewati daerah
kekuasannya. Kendati kedua kerajaan terlibat jalinan kekerabatan
yang erat, persaingan menjadi spot perniagaan paling terkemuka
sudah pasti terjadi. Hanya yang dikedepankan keduanya adalah
persaingan yang sehat dan jauh dari upaya saling menjatuhkan.
Dikuasainya Malaka, menjadi fajar baru yang ikut mengubah
nuansa keakraban di sekitar perairan Malaka seperti sebelumnya.
Penguatan supremasi Portugis, sudah tentu diwarnai dengan
tindakan-tindakan aktif merebut perhatian publik selat Malaka agar
mau bekerjasama dengan mereka. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka sama saja dengan bunuh diri dalam waktu singkat,
68
Armando Cortesao, The Suma Oriental ..., hlm. 278-281.
49
mengingat sebesar apapun kekuatan pasukan Portugis asli tentu
akan menemui kesulitan dalam menghadapi gabungan pasukan
kerajaan-kerajaan yang daerah kekuasaannya bersinggungan
dengan zona kuasa Portugis. Intrik dan silat lidah menjadi senjata
berikutnya untuk merebut secara perlahan hati para penguasa lokal.
C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya
Jatuhnya Malaka membuat keadaan politik dan ekonomi
yang sebelumnya stabil menjadi goyah dan penuh kemelut.
Bercokolnya kekuasaan Kristen di kawasan Semenanjung ini
membawa perubahan sistemik yang mempengaruhi iklim
berpolitik regional Nusantara. Kerajaan-kerajaan sekitar
menanggapainya sebagai ancaman nyata yang cepat atau lambat
dapat ikut pula menyapu kewenangan serta kedudukan raja-raja
mereka. Pelbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak dipikirkan,
di kemudian hari terjadi sehingga ikut pula membentuk ulang
rangka peradaban yang sebelumnya kokoh berdiri.
Munculnya Portugis merupakan bukti dari superioritas
Eropa di negeri-negeri Timur. Didahului dengan direbutnya Ormuz
dan Goa, Portugis merentangkan sayap ekspansinya hingga ke
Timur Jauh hingga ke Nagasaki Jepang, sehingga
memungkinkannya menancapkan pengaruhnya di beberapa titik
yang penting, terlebih ditinjau dari sisi politik dan ekonomi.
Malaka, merupakan satu spot kekuatan maritim penting yang di
kemudian waktu berhasil mereka kuasai. Tindakan menanamkan
pengaruh menjadi agenda selanjutnya yang digalakkan oleh para
penguasa Portugis.
Membincang Portugis maka tidak akan lengkap jika tidak
menyinggung strategi monopolinya. Monopoli negeri Iberia ini
sesungguhnya tidaklah membutuhkan modal besar sebagai
penyokongnya, namun harus menguasai serangkum intrik-intrik
politik dan taktik militer. Dua hal ini merupakan kunci penting
dalam metode Portugis mengupayakan suatu dominasi. Rekayasa
politik yang kerap dilakukan Portugis kerapkali tidak harus
50
menimbang kesantunan, cara-cara kotor dan kasar pun bisa
ditempuh untuk meluluskan suatu tujuan.
Corak berpolitik Portugis amatlah berbeda dengan dua
negeri Eropa lainnya, yang juga dikenal sebagai superpower
kelautan, Inggris dan Belanda. Kedua kerajaan tersebut tidak lantas
hanya melakukan monopoli, tapi juga melakukan pertumbuhan
ekonomi serta memiliki industri yang belakangan bisa memberikan
kemakmuran bagi rakyatnya. Kondisi masyarakatnya yang miskin,
membuat Portugis harus pandai-pandai menjalankan skema
politiknya, salah satunya dengan membodohi para pemuka pribumi
di daerah-daerah yang dikuasainya.
Setelah memancangkan monopoli di suatu lokus yang
dikuasainya, Portugis pun dengan leluasa dapat mengatur arus
ekonomi setempat. Bentuk yang paling banyak ditemuai adalah
seperti membeli komoditas tertentu dengan harga murah, bahkan
tidak jarang dirampas dan sama sekali tidak dibayar. Hal macam
ini pernah terjadi di Maluku, yakni ketika rempah-rempah kualitas
super dibayar dengan harga rendah, lalu pajak yang tinggi juga
diberlakukan pada para petani dan pedagang lokal. ketidakakuratan
timbangan adalah juga bentuk penindasan yang menyengsarakan
ekonomi setempat. Hal seperti itulah yang menyebabkan
keuntungan Portugis dari perdagangan rempah-rempah Maluku,
merica dari Banten dan Sumatera, serta gula dari Madura dapat
menggemuk hingga ratusan persen.
Sepanjang abad 16, Portugis belum mendapat saingan yang
berarti. Baru pada awal abad 17, VOC dan EIC tumbuh sebagai
kongsi yang baru berdiri, itupun belumlah kuat. Supremasi
perniagaan bumbu dapur Nusantara dengan komoditas unggulah
lada Banten dan rempah Maluku di pasaran Eropa masih dikuasai
oleh Lisboa. Dominasi ini berlangsung hingga menyentuh akhir
abad 16.69
Beberapa waktu sebelum mengadakan serangan ke Malaka,
Portugis sempat membuat keruh hubungan antar keluarga istana
Pasai. Kala itu, Alfonso d‟Albuquerque meminta kepada Zainal
69
M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol ..., hlm. 2-3
51
Abidin agar Pasai mau bermitra dengan Portugis, sekaligus sebagai
basis militer tempat mendaratnya pasukan prapenyerangan Malaka.
Mengetahui hal tersebut Malaka mengutus duta ke Pasai untuk
menolak ajakan tersebut. Di pihak lain Zainuddin, kerabat kerajaan
Pasai, bersikeras agar Pasai membuka diri dengan kehadiran
Portugis. Belakangan, pada tahun 1524, Portugis berhasil
menguasai Pasai, sebelum direbut kembali oleh Ali
Mughayyatsyah, Raja Aceh Darussalam.70
Sebagaimana diketahui, Malaka menempati posisi yang
vital ditinjau dari segi geopolitik. Raja Malaka boleh dikatakan
sebagai salah satu kerajaan tertua di Semenanjung Melayu. Ketika,
kerajaan ini dipunahkan Portugis, Raja Ahmadsyah yang sempat
melarikan diri, belakangan diketahui menyusun kekuatan di
Kampar. Penduduk Kampar kala itu, memiliki ikatan batin yang
kuat dengan raja-raja Melayu. Kampar dan beberapa wilayah
pesisir Sumatra Timur sebelumnya merupakan daerah-daerah
agraris, yang komoditas alamnya banyak dijajakan di pasar-pasar
Malaka. Relasi ekonomi ang erat membawa pula pada sebaran
pengaruh politik yang luas. Raja-raja Malaka terdahulu merupakan
sosok yang gigih dan kuat sehingga mampu menyebarkan
pengaruh politiknya hingga ke kawasan semenanjung dan pesisir
timur Sumatra.
Slamet Muljana menjelaskan, hadirnya Malaka di peta
Nusantara turut pula membentuk ulang tata ekonomi dan politik di
kawasan selat Malaka. Visi ekonomi yang sedemikian maju
diterapkan oleh Iskandar Syah dengan memebangun instalasi
pelabuhan yang baik dan tata letak kota yang efektif dalam sekama
bandar dagang. Keahliannya ini memancing kerajaan besar seperti
China untuk membuka hubungan diplomatik dengannya pada
1405. Sesuatu yang tentu saja amat bagus mengingat China
merupakan salah satu kerajaan yang ekonominya menyandarkan
pada perdagangan lintas benua. Kemajuan pelabuhan Malaka,
perlahan dapat menyaingi pelabuhan-pelabuhan pantai timur
Sumatra seperti Jambi, Siak, Rokan dan Pasai.
70
Amirul Hadi, Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of
Islam in East Asia 1500-1579, Tesis, belum dipublikasikan, hlm. 18.
52
Kesadaran ekonomi yang kuat, tentu dibarengi pula dengan
wawasan politik dalam dan luar negeri yang luas. Ketika suhu
kerajaan telah mulai stabil disokong oleh kemakmuran rakyat,
Iskandar Syah pun tidak buta akan kepentingan menanamkan
pengaruh politiknya. Namun, ide besar ini baru terlaksana pada
pertengahan abad kelima belas oleh cucu Iskandar Syah yang
bernama Sultan Muzaffar Syah yang berhasil menguasai Dinding
dan Selangor, Kampar, Indragiri dan Rokan. Berkat penanaman
kuasa atas Dinding dan Selangor hasil tambang timah di wilayah
itu diangkut ke pasar Malaka. Begitupula yang terjadi di si daerah-
daerah pantai timur Sumatra, hasil tambang emas di daerah
Sumatra Barat serta hasil bumi berupa lada serta hasil hutan
macam kayu dan rotan mengalir pula ke Malaka.71
Portugis tidaklah menjalankan skema politik halus seperti
yang telah ditradisikan para Raja Malaka. Ia tidak segan
memaklumatkan perang kepada para pemimpin tetangganya. Salah
satu kompetitornya yang boleh dikatakan sepadan kala itu adalah
Aceh Darussalam. Begitu mengetahui bandar dagang Malaka
jatuh, Sultan Ali Mughayyat Syah segera menyerukan persiapan
perang raya menghadapi bala pasukan Portugis yang sewaktu-
waktu dapat menghampiri daerah kekuasaan Aceh. Kekhawatiran
ini kemudian menjadi kenyataan. Wilayah Aru dan Daya yang
semula memiliki hubungan harmonis dengan Aceh, berpaling dan
memihak Portugis. Sejak masa Mughayyatsyah hingga Iskandar
Muda, Aceh memiliki garis politik yang tegas menolak kekuatan
Portugis berkembang di wilayah bawahannya.
Di pihak lain, bangkitnya kekuasaan Aceh terhitung sejak
bertahtanya Mughayyat Syah dalam peta perpolitikan regional,
menerbitkan kekhawatiran dibenak para Raja Melayu. Johor
memiliki hubungan yang baik dengan Pahang begitupula dengan
beberapa kerajaan di pesisir Timur Sumatra seperti Siak,
sepenuhnya mereka sadar, Aceh bukanlah lawan yang sepadan
bagi mereka keberhasilannya dalam menekan pengaruh Portugis
serta di masa yang sama semakin rajin menanamkan pengaruh di
hampir seluruh pulau Sumatra merupakan beberapa bukti kerajaan
71
Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 327-328.
53
ini amat matang dalam berpolitik serta tentu saja memiliki armada
perang yang tangguh.
Untuk itu, guna menjaga eksistensi mereka, menjalin
hubungan dengan Portugis dipandang menjadi salah satu opsi yang
paling memungkinkan. Disamping memiliki armada perang yang
tidak kalah tangguh dengan Aceh, Portugis juga merupakan sekutu
yang dipercaya membawa angin baru bagi perkembangan
kerajaan-kerajaan Melayu. Johor, Pahang dan Patani merupakan
tiga diantara kekuatan besar Melayu yang menjadi mitra Portugis.
Hal ini agaknya yang melatarbelakangi kampanye penaklukan
Aceh di masa Iskandar Muda kelak berkuasa.72
72
Mengenai ketegangan serta pertempuran yang terjadi antara Aceh
dengan Portugis lihat H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I
(Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 394-494; dan Denys Lombard,
Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih
Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 122-127.
54
BAB III
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Kemunculan Portugis di awal abad 16, menimbulkan
ketegangan di sekitar Selat Malaka. Tersuruknya bandar dagang
yang sejak lama menjadi primadona perniagaan dunia itu,
membawa situasi yang sedemikian genting, baik di bidang politik
maupun perdagangan. Hampir setiap bentuk kekuasaan lokal dan
regional memasang pandangan sinis kepada Portugis. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat bangsa ini tidak segan mengobarkan
peperangan kepada mereka yang bersilang sengketa dengannya.
Salah satu kekuatan maritim yang gigih memerangi
Portugis di Malaka adalah Aceh Darussalam. Hampir di setiap
pertemuan baik sengaja maupun tidak sengaja, kedua pihak
langsung terlibat adu perang. Sama dengan Malaka, aktivitas
perekonomian Aceh juga disokong dari sektor kelautan dan
perdagangan antarbangsa. Dominasi yang coba dibangun Portugis
merupakan bentuk dominasi yang bertentangan dengan visi
kebangsaan Aceh. Dalam beberapa uraian selanjutnya akan
dibahas mengenai pendirian kerajaan ini, serta pelbagai peristiwa
menarik yang mencitrakan kebesaran kerajaan ini.
A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya
Wilayah yang menjadi ibukota kerajaan Aceh yang
sekarang, yang terletak di Banda Aceh, sebetulnya merupakan
tanah ibukota kerajaan-kerajaan terdahulu. Jauh sebelum kerajaan
ini berdiri, nama Banda Aceh belumlah ada dan daerahnya kala itu
dikenal bernama Lamuri. Nama Lamuri sempat disebutkan dalam
catatan Marco Polo, seorang pelaut Italia, yang sempat melawat ke
daerah tersebut pada tahun 1292. Dalam catatannya ia menulis :
55
LAMBRI, in like manner, has its own king and its
peculiar language. The country produces camphor,
with a variety of other drugs. They sow brazil and
when it springs up and begins to throw out shoots,
they transplant it to another spot, where it is
suffered to remain for three years. It is then taken up
by the roots, and used as a dye-stuff. Marco Polo
brought some of the seeds of this plant with him to
Venice, and sowed them there; but the climate not
being sufficiently warm, none of them came up. In
this kingdom are found men with tails, a span in
length, like those of the dog, but not covered with
hair. The greater number of them are formed in this
manner, but they dwell in the mountains, and do not
inhabit towns. The rhinoceros is a common
inhabitant of the woods, and there is abundance of
all sorts of game, both beasts and birds.
Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan lainnya,
memiliki raja dan bahasa yang khas. Negeri ini
memproduksi camphor (kamper), dengan berbagai
macam pengolahannya dalam bentuk obat-obatan.
Para petaninya menebarkan biji-bijiannya dan
ketika telah tumbuh mereka memindahkannya ke
tempat lain, di mana di tempat itu tanaman ini
dibiarkan tumbuh selama tiga tahun. Kemudian,
akar-akarnya mulai dipanen dan diolah menjadi
bahan-bahan penyeduhan. Marco Polo membawa
beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan menanamnya
di sana. Namun, karena iklimya tidak hangat,
tumbuhan ini gagal berkembang. Di kerajaan ini
juga ditemukan manusia berekor panjang seperti
anjing, namun tidak berbulu. Sebagian besar dari
mereka memiliki perangai yang sama dan tinggal di
kawasan pegunungan dan tidak mendiami
perkotaan. Badak menjadi penghuni di hutan-
56
hutannya. Di sana juga diramaikan dengan tingkah
polah burung-burung dan banyak binatang buas.73
Manuel Komroff yang mengedit kisah A Travel of Marco
Polo ini menyebutkan bahwa dari masa ke masa, telah berkembang
cerita mengenai sosok manusia berekor seperti digambarkan di
atas, baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun,
pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti
kebenarannya mengenai penangkapannya. Eropa abad Pertengahan
juga pernah tersiar informasi bahwa terdapat orang-orang Inggris
(Englishmen) yang memiliki ekor pendek.74
Walapun pandangan
dari Marco Polo tersebut bisa dikatakan masih harus diteliti lagi
kebenarannya, paling tidak, uraiannya itu bisa dijadikan bukti lain
bahwa telah ada kerajaan yang bernama Lamuri di Aceh.
Ketika terjadi peperangan antara Kerajaan Indra Purba
melawan Kerajaan Sendu yang berlangsung pada tahun 1059
hingga 1069, terdapat nama seorang pemuda gagah bernama
Meurah Johan yang turut membantu bala tentara Indra Purba.
Kerajaan Sendu sejatinya merupakan kerajaan lokal yang telah
dikuasai oleh seorang putri Cina bernama Nian Nio yang langsung
menahbiskan diri sebagai Ratu Sendu. Penyeranganya ke kerajaan
Indra Purba dilatarbelakangi oleh kepentingan perluasan wilayah.
Dalam perang yang semakin dahsyat itu, datang utusan
kerajaan yang meminta Meurah Johan untuk membantu penguatan
pasukan. Kala itu Meurah Johan sedang melakukan kegiatan
dakwah bersama rombongan Syiah Hudan dari Dayah Cot Kala tak
jauh dari tempat itu. Permintaan itu pun disanggupi. Setelah
memperoleh restu gurunya, Meurah Johan maju ke medan laga dan
tak lama kemudian mampu mengusir dan mengalahkan bala
tentara Sendu.
73
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New
York: W.W. Norton, 1930), hlm. 157. 74
Manuel Komroff, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.
57
Atas keberhasilannya itu, Raja Indra Purba beserta seluruh
rakyatnya menyatakan keislamannya. Kemudian, Meurah Johan
mendirikan Kerajaan Lamuri pada tahun 1225 dan ia pun naik
tahta menjadi raja utamanya bergelar Sultan Johansyah.75
Sumber
lain mengatakan sebenarnya Lamuri (Lam Urik) bukanlah nama
kerajaan, melainkan hanya merupakan bandar dagang ramai yang
berada di bawah kekuasaan kerajaan Indra Purba.76
Dengan kata
lain, daerah Lamuri merupakan pemberian Raja Indra Purba
kepada Meurah Johan.
Keberadaan Lamuri nyatanya menimbulkan perdebatan tak
berkesudahan di kalangan sejarawan. Arun Kumar Dasgupta
merujuk pada catatan Chao Ju-Kua tahun 1225 mengatakan bahwa
Lamuri adalah suatu kekuatan yang independen dan netral dari
dominasi Sriwijaya yang memegang peranan sentral dalam
perpolitikan abad 13 di Sumatra. Senada dengan hal tersebut,
Coedes juga meyakini bahwa Lan-wu-Li (sebutan Lamuri
berdasarkan dokumen Cina) merupakan kekuatan independen di
masa itu.77
Namun pendapat yang kuat dan banyak dijadikan rujukan
adalah bahwa Lamuri, sesuai dengan yang diberitakan Ceng Ho,
Marco Polo, dan Ibnu Batutta, merupakan nama kerajaan. Di atas
kerajaan inilah kemudian dibangun kerajaan Aceh.78
Dengan kata
lain, sebenarnya kerajaan Lamuri merupakan cikal bakal kerajaan
Aceh Darussalam. Sultan Johansyah dicatat sebagai raja pertama
kerajaan Aceh.79
75
Ar. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia
Bupa, tanpa tahun), hlm. 67-68. 76
Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya
hingga Abad XVI ,” dalam. A. Hasjmy, ed, Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia (ttp: al-Maarif, 1981) hlm. 190. 77
Arun Kumar Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics:
1600-1641 (England: University of Microfilm, 1962) hlm. 7. 78
Anas Machmud, “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh
Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera,” dalam A. Hasjmy, Sejarah
Masuk Islam ..., hlm. 286. 79
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I (Medan:
Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 592.
58
Kenyataan yang signifikan untuk diungkapkan, adalah
bahwa Lamuri memainkan peran penting sebagai avenue of
commerce atau kutub perdagangan dunia Timur dan Barat. Lamuri
telah menjalin kerjasama niaga dengan Cina. Kerajaan ini juga
memiliki andil besar dalam lancarnya perdagangan global di Selat
Malaka.80
Dari sini, diyakini bahwa kapal dagang asing telah
banyak yang berlayar ke sana di masa itu.
Kerajaan Aceh yang lebih dikenal kemudian hari, semakin
berkembang sebagai kerajaan dengan nuansa kemaritiman yang
pekat. Sultan Johansyah dan para penggantinya saling bahu
membahu melanjutkan estafet modernisasi. Sejarah mencatat,
salah satu pembangunan fisik yang sibuk dilakukan oleh Raja
Aceh, adalah terjadi ketika kerajaan ini dipimpin oleh Sultan
Alaiddin Inayat Syah Johan Syah (1408-1465), raja ke enam Aceh.
Sang sultan menyeponsori pendirian istana di Darul Kamal (Daroy
Kamomeu) dan memindahkan pusat pemerintahan dari Ramni
(Lamuri) yang terletak di Kampung Pandee ke Darul Kamal. Istana
tersebut juga dipercantik dengan kolam dan taman yang indah bagi
permaisurinya.
Sebelum turun tahta, Alaiddin Inayatsyah membagi
kerajaan Aceh menjadi dua yang diperuntukkan bagi kedua
anaknya. Pusat pemerintahan di Darul Kamal diperintah oleh
Muzaffarsyah, ia didapuk menjadi pewaris ayahnya menjadi raja
ke 7 Aceh. Anaknya yang lain, Munawarsyah menempati pusat
pemerintahan di Mekuta Alam yang terletak di seberang sungai
Aceh (Krueng Cedaih). Dualisme kerajaan ini kembali melebur
ketika Sultan Syamsu Syah bertahta (1497-1514), raja ke 8 Aceh.
Ia merupakan anak dari Munawarsyah. Penyatuan ini terjadi ketika
ia meminang putri pamannya, Muzaffarsyah, yang kemudian
setelah melalui beberapa usaha politik internal yang rapi,
penyatuan kerajaan dapat terjadi. A.K. Dasgupta juga mendukung
pendapat yang mengatakan bahwa sosok yang menjadi pemersatu
Aceh adalah Syamsu Syah.81
80
A. K. Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 7. 81
Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 36.
59
Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa pendiri
kerajaan Aceh Darussalam. Segolongan ada yang meyakini Aceh
Darussalam merupakan kelanjutan atau merupakan pengembangan
lebih lanjut dari kerajaan Aceh yang didirikan oleh Meurah Johan.
Yang lain percaya bahwa Aceh Darussalam baru timbul ketika Ali
Mughayyatsyah bertahta. Pendapat demikian diyakini oleh
Anthony Reid.82
Lebih lanjut menurutnya, kesultanan Aceh adalah buah dari
penaklukkan Ali Mughayyat Syah atas seluruh pantai utara yang
diselesaikannya hanya dalam waktu 4 tahun (1520-24). Hal ini
dilakukannya karena menimbang kebenciannya pada Portugis yang
di saat yang sama sedang giat-giatnya melakukan intervensi di
sekitar Aceh. Bahkan, dari beberapa catatan sejarah menyebutkan
bahwa pengangkatan Ali Mughayyat Syah dikaitkan dengan
wahyu Ilahi yang datang padanya oleh sebab darah kedinastian
para pendahulunya. Catatan pertama dalam Bustanus Salatin
mengungkapkan bahwa raja pertama Aceh adalah Ali Mughayyat
Syah.83
Jika mencermati uraian ini, maka persepsi yang terbentuk
adalah bahwa Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang baru
dibangun masa Ali Mughayyat Syah.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh H.M. Zainuddin yang
mengungkapkan bahwa Ali Mughayyat Syah merupakan raja Aceh
yang mempersatukan Aceh dengan daerah-daerah sekitarnya
sehingga membentuk Aceh Raya. Ia merupakan putra dari raja ke 8
Aceh, Sultan Syamsu Syah. Ayah Ali Mughayyat Syah inilah yang
memiliki inisiatif untuk menyatukan Aceh serta membentuk
kerajaan Aceh Raya yang baru terjadi ketika anaknya Ali
Mughayyat Syah bertahta. Peristiwa ini terjadi pasca keberhasilan
Aceh memukul mundur pasukan Portugis dari Pidie (Pedir).84
Jatuhnya Malaka benar-benar membawa angin segar bagi
geliat perniagaan maritim Aceh. Setelah memantapkan posisinya
secara politis, Portugis mulai memberlakukan kebijakan-kebijakan
82
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 93. 83
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 93. 84
H.M. Zainuddian, Tarich Atjeh ..., hlm. 392-394.
60
anti-Islam yang berujung pada eksodus besar-besaran para
pedagang Muslim lintas negeri dari sana. Banyak dari pedagang itu
memilih pelabuhan-pelabuhan Aceh sebagai kelangsungan
perekonomian mereka. Portugis juga memberlakukan blokade bagi
armada-armada dagang Muslim untuk tidak melewati rute
tradisional yakni melalui selat Malaka dan mengalihkan mereka
via pesisir barat Sumatra kemudian masuk laut Jawa dengan
melalui selat Sunda.
Kenyataan tersebut membawa keuntungan sendiri bagi
perdagangan internasional Aceh dan hal yang sama terjadi pada
Banten (Bantam). Diaspora pedagang Muslim banyak yang
tertambat di pelabuhan Aceh dan Banten. Dijelaskan pula oleh
Dasgupta, sebenarnya yang menuai keuntungan besar bukanlah
pelabuhan di Aceh Besar, melainkan Pasai. Pada permulaan abad
16, Pasai dan Pedir merupakan pusat perdagangan di kawasan selat
Malaka. Sedangkan kawasan selain dua negeri itu, termasuk
pelabuhan Aceh Besar, merupakan pilihan alternatif bagi para
pedagang Muslim.85
Baik Pasai maupun Pedir akhirnya mampu
dikuasai Aceh, masing-masing pada 1524 dan 1521.86
Di
kemudian hari dua pelabuhan ini menjadi spot pertarungan yang
mempertajam pertikaian Aceh dan Portugis.
Selain dikenal sebagai sentra perdagangan dunia, Aceh
Darussalam juga merupakan kerajaan Islam yang memiliki
pengaruh kuat di sebagian besar Sumatra dan Semenanjung
Malaya. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa daerah kekuasaan
Aceh, merujuk pada surat yang dikirimkan Raja James I dari
Inggris dikatakan bahwa pada pantai bagian timur (Sumatra)
mencakup Lubuk, Pidir (Pedir), Samarlanga, Pesangan, Pasai,
Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panai, Batu
Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri, sedangkan di pantai barat
meliputi Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida,
Inderapura, Selebar, Palembang dan Jambi. Dengan pengecualian
85
Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 34-35. 86
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010) hlm. 40.
61
Palembang dan Jambi, dalam masa yang pendek atau panjang,
seluruh kerajaan itu termasuk dalam wilayah teritorial Aceh.87
Terlihat dari uraian di atas, Aceh ingin agar wilayah
Sumatera dan Semenanjung Malaya, hendaklah berada di bawah
pengaruhnya. Ini tentu berhubungan dengan kekhawatiran pejabat
istana Aceh terkait aktivitas bangsa Eropa yang semakin gigih
melakukan diplomasi dengan penguasa lokal. Selain Portugis,
VOC pun kerap melakukan manuver politik agar maksudnya untuk
menjalin kerjasama perdagangan dapat tercapai.
Palembang dan Jambi merupakan pengecualian, oleh sebab
dua kerajaan itu juga memiliki pengaruh politik yang cukup kuat di
sekitar pantai Timur Sumatra bagian tengah. Hal ini bisa
dibuktikan pada kebijakan luar negeri dua kerajaan itu, yang dalam
penetapannya tidaklah perlu diketahui atau bahkan diintervensi
oleh Aceh. Misalnya saja, pada 1616, Palembang menjalin
kerjasama dengan VOC dalam bidang perdagangan. Andreas
Soury, wakil VOC di Jambi mengirim hadiah ke Raja Palembang,
Pangeran Madi Ing Angkoso (memerintah 1594-1627). Bersamaan
dengan itu, diutarakanlah keinginan VOC untuk menjalin
kerjasama dengan Palembang. Menginjak 1619, telah berdiri
kantor perwakilan dagang VOC di Palembang.88
Aktivitas VOC di
kerajaan ini tetap terjaga hingga munculnya ketegangan, antara
Palembang dan VOC, yang terjadi akibat perjanjian 20 Oktober
1642.89
Jika Andreas Soury berada Jambi, maka bisa dipastikan
bahwa di wilayah itu, yang menurut informasi di atas Jambi masuk
wilayah Aceh, telah terdapat aktivitas VOC.
Seiring dengan majunya perdagangan, maka berdampak
positif pula pada perkembangan ilmu pengetahuan di tengah
87
Teuku Iskandar, “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th –
19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First International Conference
Aceh and Indian Ocean Studies, pada 24 – 27 di Banda Aceh, hlm. 17-18. 88
Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi tentang
Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial Belanda (Ciputat: Logos
Institut, 1998) hlm. 70-71. 89
Perjanjian ini memungkinkan pihak VOC untuk mempengaruhi
kebijakan dalam dan luar negeri Palembang. Lihat Husni Rahim, Sistem dan
Otoritas ..., hlm. 72.
62
masyarakatnya. Sejak masa yang lama, bahkan sebelum Aceh
Darussalam berdiri, Aceh telah dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan di kawasan Asia Tenggara. Ketika Kerajaan Pasai
berada pada masa keemasannya, wilayah Aceh sudah dikenal
memiliki reputasi sebagai kiblat keilmuan di mata kerajaan-
kerajaan tetangga.
Untuk mendukung pernyataan ini, terdapat beberapa cerita
masa lalu yang dapat memperkuat anggapan demikian. Suatu
ketika, Sultan Mansur Syah (wafat 1477) Raja Malaka menerima
hadiah dari Maulana Abu Bakar, seorang ulama yang mengunjungi
Malaka, yakni sebuah kitab berjudul Darul Mazlum, karya
Maulana Abu Ishaq. Maulana Abu Bakar sendiri tak lain adalah
murid dari sang penulis kitab. Setelah menerima kitab tersebut,
Mansur Syah meminta sorang ulama Pasai, bernama Makhdum
Patakan untuk menerjemahkannya. Di waktu yang bersamaan,
penguasa Malaka ini juga menanyakan beberapa persoalan
keagamaan. Bahkan pada masa Sultan Mahmud Syah (wafat
1530), pernah mengirim delegasi di bawah pimpinan Tun
Muhammad untuk menanyakan beberapa persoalan teologi ke
Pasai.
Ketika Aceh Darussalam mulai naik menjadi pusat
peradaban, perlahan namun pasti, posisi Pasai sebagai kota ilmu
diambil alih oleh Banda Aceh, ibukota Aceh Darussalam. Tradisi
kedatangan para ulama dari mancanegara terus berlanjut. Terdapat
renovasi fungsi ulama di Aceh pada abad 17. Keberadaan ulama
bukan lagi hanya terbatas mengurusi masalah keagamaan namun
juga merambah pada dimensi kenegaraan dan politik. Peran
barunya ini membuat kalangan agamawan dapat meramaikan
tradisi intelektual di lingkungan istana. Kedudukan mereka bukan
dianggap sebagai politikus murni, melainkan tetap dipandang
sebagai tokoh agama dan ilmuwan.90
Oleh karena banyaknya bangsa asing yang berkunjung ke
Banda Aceh, membuat kota ini menjadi kota kosmopolit yang
bercirikan pada kemajemukan dan keterbukaan. Realitas tersebut
90
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 156-158.
63
turut pula merevolusi pandangan budaya masyarakat kota, dari
sebelumnya terlokalisir menjadi heterogen baik suku bangsa
maupun budayanya. Salah satu bentuk kasus yang menarik adalah
diberlakukannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan,
bukan bahasa Aceh. Dalam pada itu, Leonard Y. Andaya
menyebut kota Aceh ini sebagai “model masyarakat Melayu Aceh
abad 17”.91
Hal posistif yang didapat dalam fenomena ini adalah
bahwa Aceh Darussalam telah berhasil membangun standar
komunikasi Melayu-Islam yang lebih baik ketimbang apa yang
dilakukan oleh Malaka. Walaupun dapat dikatakan bahwa Aceh
abad 17 belum sepenuhnya merupakan pewaris kebudayaan
Melayu kerajaan Malaka, namun kerajaan ini telah berhasil
memodifikasinya dengan citra islami yang lebih kuat.92
Potensi kemanusiaan dan ekonomi yang melimpah
membuat Aceh menginjak abad 16 hingga pertengahan abad 17
menjadi kerajaan terkemuka di Asia Tenggara. Stabilitas politik
dan sosial yang terjaga, merupakan modal penting dalam
mengagendakan kebijakan-kebijakan politik jangka panjang.
Sebagaimana telah diutarakan, keinginan pihak kerajaan Aceh
menjungkalkan Portugis merupakan agenda politik luar negeri
yang belum terselesaikan.
Dalam upayanya membendung pengaruh Portugis, para
penasehat perang dan jendral Aceh berdiskusi panjang mengenai
kemungkinan memodernisir alutsista serta ketentaraan Aceh.
Ketika hasilnya disodorkan kepada Sultan Aceh, ia pun
menanggapi dengan positif. Momen penting dalam sejarah
kemiliteran kerajaan ini adalah ketika membuka hubungan dengan
Turki Usmani, kerajaan Islam yang dipandang sebagai pemimpin
dunia Islam.
Bantuan Turki yang cukup besar bagi Aceh pertama kali
dicatat berangka tahun 1537 atau 1538; tidak lama sebelum atau
setelah armada Turki di bawah pimpinan Suleiman Pasha,
91
Leonard Y. Andaya, “The Seventeenth Century Acehnese Model of
Malay Society”, makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan AAAS
(American Association of Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999. 92
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 167.
64
gubernur Mesir, menghancurkan suatu armada Portugis. Pada
1537, Turki mengajak negeri-negeri Islam lewat pengiriman
utusan ke Gujarat dan pelabuhan-pelabuhan Arab guna meminta
dukungan bagi serangan atas Portugis. Reid menduga para
penguasa Turki sudah mengenal duta-duta dagang Aceh yang
memasok kebutuhan lada ke Turki.93
Besar kemungkinan bantuan
ini kemudian digunakan Aceh untuk mengadakan gempuran
pertama atas Malaka pada September 1537. Bantuan itu diterima
Aceh ketika kerajaan ini berada di bawah tampuk Sultan Alaiddin
Riayat Syah al-Kahar (1537-1568).
Nuruddin ar-Raniri sempat mengabadikan usaha Sultan al-
Kahar membangun hubungan diplomatinya dengan Turki, yang
tercatat dalam karyanya, Bustanussalatin, berikut ini:94
... Ialah yang mengadatkan segala istiadat
kerajaan Aceh Darussalam. Dan menyuruh utusan
kepada Sultan Rum ke Negeri Istambul.karena
menikahkan agama Islam. Maka dikirim Sultan
Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu
menuang bedil. Pada zaman Sultan itulah dituang
orang mariam-meriam yang besar-besar.
Bantuan berupa Pasukan serta persenjataan yang
didatangkan dari Turki tersebut digunakan pula untuk
memperlebar pengaruh Aceh dengan mengadakan serangkaian
penundukkan. Orang-orang Batak dan kerajaan Aru –
kekuasaannya pernah meliputi timur laut Sumatra – merupakan
sebagian lawan Aceh yang merasakan serangan sporadis tentara
bantuan Turki.
Kendati hubungan diplomatik Aceh dengan Turki hampir
seluruhnya berada pada masa stagnansi menginjak tahun 1580,
tidak berimplikasi pada pengaruh yang ditularkannya dalam tradisi
kemiliteran Aceh. Taktik militer, teknik menggunakan senjata
maupun artileri telah mendarah daging di kalangan prajurit Aceh
93
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 70. 94
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 13.
65
berkat ajaran para guru-guru militer Turki yang kemudian
meninggalkan Aceh. Salah satu kegemilangan yang ditunjukkan
pasukan Aceh yang dipengaruhi oleh langgam militer Turki,
adalah terjadi ketika penaklukkan Deli pada 1612. Kala itu
sepasukan Aceh membangun parit-parit guna melontarkan
serangan ke dalam kota yang dipertahankan dengan baik oleh
Portugis.95
Besar kemungkinan metode bertahan-menyerang
macam ini berasal dari Turki.
Baikuni Hasbi menyitir kesaksian Ferdinand Mendez Pinto,
seorang pelaut Portugis, yang berada di Aceh pada tahun 1539,
tentang kebenaran orang Turki di Aceh. Saat itu, ia melihat 300
orang prajurit Turki yang ikut serta dalam perang melawan Suku
Batak yang terjadi pada tahun 1540. Ia juga menerangakn bahwa
saat itu para pasukan Turki membawa senjata-senjata canggih yang
membantu kemenangan Aceh atas lawannya. Keberadaan bantuan
Turki ini, sebenarnya telah lama ditunggu-tunggu oleh Sultan
Aceh. Penyebutan “ditunggu-tunggu” dalam catatan Pinto ini,
menurut Baikuni mengesankan bahwa sebenarnya hubungan
Sultan Aceh dengan Turki terjalin lebih awal, dibandingkan
dengan bukti-bukti tertulis yang ada. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa hubungan antara Aceh dan Turki baru terjalin pada 1560,
20 tahun lebih lambat dari yang dipaparkan Pinto.96
Oman Fathurrahman mengakui, studi mengenai hubungan
Turki dengan Aceh, termasuk koneksi intelektual, memang masih
jarang. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada sama sekali
pengaruh Turki di Asia Tenggara, termasuk Aceh. Misalnya saja
kitab Barzanji, yang ditulis oleh Ja‟far bin Hasan bin Abd al-
Karim al-Barzanji (1690-1766), adalah anggota dari keluarga
ulama dan Syekh tarekat yang berpengaruh di Kurdistan Selatan,
yang memasukkan pengaruh Kurdi di Asia Tenggara. Martin van
Bruinessen mengakui bahwa Kitab Barzanji merupakan teks
keagamaan yang populer di Nusantara. Dalam contoh lain, Baba
Dawud al-Jawi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-
95
Lebih lanjut mengenai hubungan Aceh dengan Turki, lihat Anthony
Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 68-87. 96
Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan
Ustmani (LSAMA: Banda Aceh, 2011) hlm. 53.
66
Rumi, membantu Syekh Abdurrauf Singkel menyelesaikan salah
satu karyanya yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, suatu tafsir al-
Qur‟an berbahasa Melayu, sebagaimana yang tertulis dalam
kolofon di teks aslinya.97
Perkembangan keilmuan dan peradaban semakin meninggi,
manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Iskandar Muda yang
naik tahta pada tahun 1607. Jika sebelumnya perkembangan Aceh
banyak diutarakan seputar perkembangan politik dan militer, maka
sektor agama, perdagangan, sosial, arsitektural dan tata kota
mengalami perkembangan pesat di era kepemimpinan raja ini.
Denys Lombard menyebutkan bahwa di era Iskandar
Muda, Aceh Darussalam berupaya meningkatkan devisa kerajaan
melalui monopoli perdagangan. Lada menjadi salah satu
komoditas yang kerap dipergunakan untuk mendapatkan
keuntungan berlebih dari sektor ini. Orang-orang asing yang ingin
berniaga di bandar-bandar kekuasaan Aceh diwajibkan
memperoleh surat pas sesuai dengan aturan kerajaan. Bea cukai
menjadi sektor pendapatan organisasi pelabuhan yang juga
menjanjikan bagi pertambahan kas kerajaan. Augustin de Beaulieu,
yang mengunjungi Aceh pada 1620-1, menerangkan bahwa bea
cukai Aceh semakin bertambah melimpah setiap tahunnya.98
Lewat perdagangan ini, Aceh berusaha untuk menjadi yang
paling terkemuka dalam sektor perdagangan. Jatuhnya Malaka
pada 1511, benar-benar menimbulkan berkah tersendiri bagi
perkembangan niaga Aceh, terutama dari penjualan lada. Lada
dimanfaatkan pihak kerajaan untuk mendapatkan untung yang
berlimpah dari berbagai kapal mancanegara yang dinggah di Aceh,
antara lain berasal dari Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Keling,
Pegu dan bangsa lainnya.99
97
Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and
Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock
and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and
Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 293-294. 98
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 137-138. 99
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 136.
67
Melalui keuntungan perniagaan Aceh pun membangun
faslitas keagamaan yang lebih baik. Di masa ini, masjid
Baiturrahman dibangun. Merujuk pada penjelasan Ar-Raniri, di
masa ini, sang raja banyak membangun masjid-masjid di tempat
lainnya.100
Dari masjid-masjid inilah yang kemudian menginisiasi
pendirian lembaga pemerintaha tingkat desa yang disebut
mukim.101
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dimensi
keagamaan Aceh yang tercermin melalui banyaknya pendirian
masjid, telah ikut memodernisir tata pemerintahan pedesaan agar
lebih teratur dan senantiasa terhubung dengan pemerintah pusat.
Kerajaan juga memikirkan tentang kelangsungan hidup warga
miskinnya dengan rutinitas pemberian santunan pada setiap hari
Jumat.102
Masjid di abad 16 dan 17, kerap difungsikan juga sebagai
tempat pendidikan. Banyak ulama dari India, Turki, Arab dan
Persia yang didatangkan untuk memberikan kuliah mengenai
pelbagai disiplin ilmu keagamaan. Di samping itu, untuk
menunjang kepakaran para sarjana, kerajaan juga membangun
sarana tempat diskusi yang secara berkala mengadakan pertemuan
keilmiahan. Di antara bangunan itu adalah Balai Setia Hukama,
Balai Setia Ulama dan Balai Jamaah Himpunan Ulama.103
Infrastruktur keagamaan yang telah banyak terbangun
membawa dampak positif bagi perkembangan Aceh selaku sentra
keilmuan. Banyak ulama-ulama terkenal yang bukan hanya dikenal
melalui kebesaran namanya semata, melainkan juga karya yang
yang telah mereka buat. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-
Sumatrai104
merupakan dua ulama yang amat dikenal pada periode
100
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 16. 101
Ridwan Azwad, peny, Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh
(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2. 102
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. 103
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2014) hlm. 118. 104
Dua nama ulama ini kerap disebutkan pernah bertemu bahkan ada
yang menganggapnya memiliki hubungan guru-murid. Hasil temuan Ludvik
Kalus dan Claude Guillot menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri sama sekali
tidak pernah berdekatan dengan pergaulan istana Aceh era Sultan Alauddin,
68
ini. Nama yang pertama dikenal sebagai seorang mistikus sufi
yang banyak menulis syair tasawuf seperti Syair Perahu, Syair Si
Burung Pangai, Syair Dagang dan lain-lain.105
Syamsuddin as-
Sumatrai diketahui merupakan ulama pendamping pemerintahan
Iskandar Muda. Ar-Raniri menyebut as-Sumatrai sebagai ulama
pakar tasawuf yang mengarang beberapa kitab.106
Sejumlah tulisan
as-Sumatrai antara lain adalah Mir’at al-Mu’min, Mir’at al-
Muhakkikin, Syarh Rubba’i Hamzah Fansuri dan lain-lain.107
Era kekuasaan Sultan Iskandar Thani merupakan era di
mana peradaban Aceh mulai dipenuhi dengan pelbagai
perkembangan arsitektur yang artistik. Di masa inilah dibangun
kebun luas yang indah bernama Taman Gairah. Taman ini
dipenuhi dengan tumbuhan aneka jenis dan di tengahnya dialiri
sungai. danau juga dibangun di tengah taman. Pintu Khop dan
Gunungan, salah satu bangunan indah di Banda Aceh kini,
dibangun pada masa Iskandar Thani.108
apalagi era Sultan Iskandar Muda. Ia dikatakan sudah meninggal di Mekkah
pada tahun 1527, saat kerajaan Aceh baru saja lahir. Di salah satu batu nisan di
pekuburan Bab al-Ma‟la di Mekkah bertuliskan nama Syaikh Hamzah bin
Abdullah al-Fansuri yang meninggal pada 9 Rajab 933 H atau 11 April 1527.
Jika melihat pada rentang waktunya, besar kemungkinan antara Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrai tidak pernah berjumpa. Lihat Ludvik Kalus dan
Claude Guillot, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2008) hlm. 71 – 72. Temuan Kalus dan Guillot ini mendapat
sanggahan dari V.I. Braginsky yang mempertanyakan otentisitas dokumen yang
dijadikan sumber utama. menurutnya, sumber inskripsi itu perlu dipertanyakan,
mengingat yang didapat oleh Kalus dan Guillot adalah kopian dan bukan batu
nisan aslinya. Sepertinya dokumen tersebut sudah tidak mungkin lagi
dicocokkan kembali, diperiksa ulang dan dihadapkan dengan dokumen aslinya.
Lihat V.I. Braginsky, “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat Published by
C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001, hlm. 21-23. 105
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T.
Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981) hlm. 248. 106
Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15. 107
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir ..., hlm. 126. 108
Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 25-27.
69
B. Aceh Melawan Portugis
Kedatangan Portugis di belahan barat Nusantara membawa
akibat besar dalam bidang politik dan ekonomi. Pada tahun 1511,
terdapat 19 kapal Portugis yang dipimpin Alfonso d‟Albuquerque
menuju pulau Sumatera. Motif kedatangan Portugis didasari oleh
semangat menemukan dunia baru dengan maksud untuk
mendapatkan hasil bumi berupa rempah-rempah yang dibutuhkan
Eropa dengan harga yang lebih murah. Seperti bangsa Eropa
lainnya, Portugis melakukan pelbagai upaya guna mendapatkan
laba besar dari hasil dagangnya.
Kantor dagangnya dibangun berbarengan dengan
mengkonstruksi tata kelola bidang pertahanan. Portugis tak segan
untuk menggunakan jalur politik, dengan mengambil hati para raja
lokal, Bahkan jika terdapat raja yang berseberangan dengan
kepentingan mereka, ultimatum peperangan pun kerapkali mereka
lakukan untuk membuat raja itu gentar. Pelan namun pasti,
Portugis bukan saja mengalami penguatan dalam segi ekonomi
tetapi juga pengaruh politik di utara Sumatera yang diupayakannya
sebagai sarana memperkokoh diri sebagai penguasa .109
Menurut Abdul Aziz bin Zakaria, munculnya Portugis
dalam dunia pelayaran dan perniagaan mempunyai tujuan konkret
yakni untuk menggunting jalur relasi orang-orang Arab dengan
dunia Timur. Pada mulanya, penaklukan Aden yang merupakan
salah satu dermaga dagang teramai di Asia selain Jeddah dan
Malaka, oleh Portugis dianggap cukup sebagai pelajaran bagi para
saudagar Muslim. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,
rombongan dagang Arab masih saja bebas lalu lalang. Dengan
mengusai Malaka, agaknya niat mereka-walaupun tidak semuanya
tercapai-boleh dikatakan terpenuhi. Malah, dalam beberapa
pertimbangan ekonomis dipandang lebih menguntungkan. Malaka
yang sejatinya merupakan pelabuhan ramai di kawasan selat selain
109
H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I (Medan: PT
Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hlm. 161.
70
aktif dikunjungi orang Arab, juga dipenuhi pula oleh orang Cina
dan Jepang.110
Pada tahun 1521, setelah sebelumnya terlibat dalam perang
saudara kerajaan Pasai, Portugis mampu menyisihkan Sultan
Zainal Abidin Raja Pasai sebelumnya, dan mendirikan benteng
yang kuat di kerajaan itu. Pun dengan yang terjadi di Pedir,
Portugis berhasil melemahkan Raja Pedir yang dilanjutkan dengan
pembangunan basis militer yang kuat. Jatuhnya dua kerajaan ini
semakin menyemburatkan rona merah di langit-langit Aceh.
Peristiwa ini ditafsirkan sebagai sebuah seruan untuk memanggul
senjata dan mengusir bangsa Portugis dari tanah Aceh.
Sebenarnya, friksi tajam yang membelah Aceh dan
Portugis tidak saja terpantik ketika telah menyinggung Malaka.
Nun jauh di perairan internasional, yakni di Samudera Hindia, para
pelaut Aceh sudah kenyang dianiaya oleh para perompak Portugis.
Pada tahun 1534, Diogo de Silveira dengan kapal-kapal perang
Portugis di bawah komandonya, menjarah kapal dagang saudagar
Gujarat dan Aceh di kawasan pintu masuk perairan laut Merah.
Hal seperti ini rajin dilakukan Portugis untuk memadamkan gelora
eksistensi Laut Merah yang kala itu sedang bergeliat sebagai kiblat
perdagangan dunia pada abad ke 16.
Sumber-sumber Portugis melansir pada bulan Juni 1564
sekitar 23 kapal yang memuat 1800 kuintal lada dan 1300 kuintal
rempah-rempah yang lain, dibawa dari Aceh, Baticola, dan
Malabar memasuki Jeddah. Aktivitas perdagangan ini lantas
mendongkrak surplus Jeddah yang berakibat pada surutnya harga
rempah dan lada di tempat lain. Keadaan ini cukup menggusarkan
Portugis yang sejak lama bercita-cita menjadi kampiun distributor
utama rempah yang sebelumnya dipegang oleh Mesir dan Italia.
Untuk meluluskan keinginannya itu, serangkain serangan
laut disiapkan untuk memukul para pelaut dan saudagar dari negeri
lain, tak terkecuali Aceh. Pada tahun 1554/1555, dua rombongan
kapal perang disiagakan di pintu masuk laut Merah mengemban
110
Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan
Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 37.
71
perintah mencegat misi dagang Gujarat dan Aceh. Ekspedisi
serupa juga dikirim ke Suwaihili. Selanjutnya pada tahun 1559,
dua kapal besar dan 18 perahu dayung yang dipersenjatai, diutus
ke laut Merah dengan misi yang sama. alih-alih memetik buah
yang manis, ekepedisi-ekpedisi yang konon menelan biaya super
mahal di zamannya ini gagal total menjalankan tugasnya.111
Adalah Sultan Ali Mughayat Syah (memerintah pada 1514-
1530), Sultan Aceh yang dikenang sebagai pahlawan besar yang
mengusir Portugis dari bumi Rencong. Di tengah persiapan Aceh
menyambut badai Portugis itu, tiba-tiba ketentraman ruang publik
Aceh digetarkan oleh hadirnya suatu percobaan sepasukan armada
Portugis di bawah pimpinan Gaspar de Costa di Kuala Aceh pada
tahun 1519. Pihak Aceh pun kemudian memberangkatkan
pasukannya untuk menghadang laju lawannya. Oleh karena
pengetahuan medan yang mumpuni, pasukan Aceh bisa memukul
mundur Portugis secara telak. Beberapa awak kapal Portugis
terbunuh dalam insiden tersebut, sementara yang lain, termasuk de
Costa sendiri berhasil ditawan. De Costa akhirnya dibebaskan oleh
Nina Cunapam, Syahbandar Malaka, yang membayar tebusan
kepada Raja Aceh. Sang Syahbandar membawa de Costa kembali
ke Malaka. Tidak lama berselang, sebuah kapal dagang Portugis di
bawah pimpinan Joao de Lima diserang di dekat pelabuhan Aceh.
Dalam penyerbuan ini, semua orang Portugis mati terbunuh.
Kejadian ini membuat marah d‟Albuquerque . Pada tahun
1521, dibentuklah armada perang yang lebih besar dan kuat yang
kali ini dipimpin oleh panglima Jorge de Brito dengan diperkuat
200 tentara. Mereka berangkat dari pangkalan perangnya di
sebelah barat India. Dengan lantang dan penuh rasa dendam
mereka menuju perairan Aceh. Tak lama kemudian, selaksa kapal
tempur Aceh menghampiri mereka dengan pekik takbir yang
membahana. Segera, terjadi perang tanding di antara keduanya.
Sumber lain memberitakan bahwa kekuatan tempur Aceh saat itu
terdiri dari 8000 pasukan dan 8 gajah. Untuk kali kedua, serangan
Portugis dapat dipatahkan. De Brito sendiri tewas dalam
pertempuran. Sisa-sisa armada Portugis lari tunggang langgang
111
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 57-58.
72
menuju Pedir, yang saat itu sudah menjadi sekutunya. Di pihak
lain, bukannya kembali, pasukan Aceh memutuskan untuk
mengejar mereka ke manapun mereka lari.
Setibanya di Pedir, sisa-sisa Portugis yang dibantu pasukan
koalisi Pedir mampu dilumpuhkan. Sisa-sisa pasukan tersebut
kembali pulang ke Pasai yang diikuti pula oleh Sultan Ahmad,
Raja Pedir. Seperti halnya yang terjadi di Pasai, perang yang
digelar pasukan Aceh tak dapat dielakkan. Tanpa mengenal kata
lelah, mereka membobol pertahan koalisi pasukan musuh dan
memengankan pertempuran tersebut. Selain itu, pasukan Aceh
mendapatkan beragam persenjataan Portugis yang berserakan di
medan perang. Selain senjata, pasukan Aceh juga mendapatkan
sebuah lonceng besar yang disebut “Cakra Donya”. Lonceng ini
masih dapat dilihat di pelataran Museum Aceh di Banda Aceh.112
Dalam kampanye perang ini, pasukan Aceh dikomandoi oleh
Ibrahim yang tak lain adalah adik Sultan Ali Mughayyat Syah.113
Dengan keberhasilan mengusir Portugis dari Daya (1520), Pedir
(1521), dan Pasai (1524), Ali Mughayyat Syah berhasil
merentangkan pengaruh Aceh yang kuat di atas supremasi tiga
kerajaan itu.
Adanya pengaruh Portugis di kerajaan lokal seperti Pasai
dan Pedir, merupakan bukti betapa Portugis ingin mengancam
kedaulatan Aceh. Dua wilayah ini terletak di ujung daratan atas
Sumatra. Jika wilayah ini tidak segera dikuasai Aceh, demikian
hemat para ahli strategi Aceh, maka bukan tidak mungkin
kedudukan ibukota Aceh Darussalam akan terancam. Terlebih jika
musuh telah membangun kota berbenteng, seperti yang ditemui di
kota Malaka, maka penundukan dua kerajaan ini tentu sulit
dilakukan.
Pasca penaklukan tiga kerajaan yang kedapatan bersekutu
dengan Portugis di atas dan sesudah meninggalnya Ali Mughayyat
112
Terdapat distingsi informasi mengenai keberadaan lonceng Cakra
Donya. Beberapa orang menganggap Lonceng ini merupakan peninggalan
laksamana Cheng Ho yang pernah mengujungi Raja Pasai pada awal abad ke 15.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 168. 113
Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 165-168.
73
Syah pada tahun 1350, tidak ada ekspedisi militer yang besar
digelar antara kedua kekuatan yang saling berebut pengaruh itu.
Sejarah mencatat, hanya ada dua insiden kecil yang terjadi akibat
ekses dari friksi antara satu dengan yang lainnya. Insiden pertama
terjadi pada tahun 1528, saat Simao de Sousa, dalam perjalanannya
ke Maluku dari Cochin, terpaksa bersauh di pelabuhan Aceh
karena kapalnya diterjang badai. Mengetahui kejadian itu, orang-
orang Aceh beramai-ramai mendatangi kapal itu dan seketika
terlibat pertarungan seru antar kedua belah pihak. Pada akhirnya de
Sousa dan mayoritas bawahannya mati. Kejadian tragis itu tidak
hanya menimpa Portugis tetapi juga dialamatkan ke pihak Aceh.
Adalah Fransisco de Mello yang ditugaskan oleh atasannya untuk
memimpin sebuah kapal dalam perjalanan pulang dari Mekkah,
mengangkut para penumpang yang selesai melaksanakan ibadah
haji. Semua penumpang dan warga sipil itu dibunuh, terdiri dari
300 orang Aceh dan 40 orang Arab. Peristiwa sadis ini terjadi pada
tahun 1527 di lepas pantai Aceh.
Beberapa penggal wira carita Aceh melawan Portugis di
atas, menunjukkan komitmen Aceh untuk menamatkan kiprah
Portugis di seluruh perairan Sumatera dan sekitarnya. Beberapa
waktu kemudian, kebulatan tekad ini ditumpahkan dengan
menggelar persiapan perang raya untuk menggulung Portugis di
Malaka pada bulan September 1537. Baris-baris pasukan perang
ini dipimpin langsung oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Qahhar
(memerintah 1537-1568), putra Ali Mughayyat Syah. Serangan
dilakukan menggunakan manuver kejut yang didukung oleh sekitar
3000 tentara. Di malam pertama penyerangan, pasukan Aceh
berhasil mendarat di Malaka. Namun dua malam berikutnya,
mereka dipukul balik sehingga mereka dipaksa keluar ke perairan
kembali dengan menderita banyak kerugian.
Setahun setelah penyerangan pertama, Aceh menjulurkan
serbuan kedua pada tahun 1547, angkatan perang Aceh diperkuat
dengan 60 kapal dan 5000 pasukan. Pada babakan perang ini,
legiun Aceh berhasil menepi ke Malaka pada malam hari,
menduduki Upeh, membakar kapal-kapal Portugis yang diparkir di
pelabuhan dan menawan tujuh pelaut Portugis. Rangkaian
keberhasilan Aceh itu membuat nyali bertempur Portugis seketika
74
ciut dan mengurungkan diri untuk berperang. Namun, keadaan
suram ini tidak berlangsung lama. Adalah Francis Xavier, tokoh
agama Portugis yang menyerukan seluruh perangkat militer untuk
berdiri tegap dan menyongsong setiap serangan dari lawan. Pada
kesempatan itu, Xavier menekankan bahwa kehadiran Portugis di
dunia Timur adalah mengemban amanah suci yang telah diberikan
inspirasi oleh Tuhan.114
Kendati berhasil mengepung Malaka, pasukan Aceh tak
kunjung berhamburan menyerbu Portugis, terlebih ketika datang
informasi yang menyatakan pihak lawan mengurungkan niat untuk
mengadakan perang terbuka. Untuk memperketat pengepungan
Malaka, pasukan Aceh segera melakukan blokade atas daerah itu.
Langkah ini dimulai dengan mendirikan sebuah benteng di Perlis
sebagai pangkalan untuk menghancurkan semua kapal yang datang
dari Goa, Bengal, Siam atau Pegu yang membawa pasokan
makanan dan bala bantuan bagi Portugis yang sedang terkepung.
Dengan jalan ini, para panglima Aceh berharap mampu menutup
semua gerbang masuk bagian utara selat Malaka atas semua kapal-
kapal Portugis dan dengan ini pula semua pasukan Portugis akan
semakin menderita dan mati kelaparan.
Apa yang diduga pihak Aceh sebelumnya, pada
kenyataannya jauh meleset. Tensi serangan yang setiap harinya
semakin menurun, dimanfaatkan pasukan Potugis untuk
membangun kembali taktik dan serangan mereka.115
Setelah
persiapan selesai, mereka segera menyerbu pasukan Aceh di
sungai Perlis dengan kekuatan 230 orang yang didukung oleh 10
kapal. Pada waktu yang sama, pasukan gabungan Johor, Perak, dan
114
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45. 115
Ahmad Jelani Halimi menjelaskan bahwa ketika Portugis menguasai
Malaka, sektor pertahanan maritim menjadi salah satu prioritas Portugis dalam
menjaga jalur-jalur perdagangan di sekitar Malaka. Beberapa pedagang selain
pedagang Asia, yang kedapatan kapalnya dilengkapi senjata, baik ringan
maupun berat, maka akan dipaksa untuk ikut memperkuat armada laut Portugis.
Inilah kemudian satu hal yang melatarbelakangi mengapa benteng Malaka
begitu kuat, sehingga Aceh amat kesulitan untuk menundukkannya. Lebih lanjut
lihat Ahmad Jelani Halimi, Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat
Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2006) hlm. 37-38.
75
Pahang –yang bermusuhan dengan Aceh-disokong dengan 300
kapal perang dan 8000 prajurit berlayar menuju pelabuhan Malaka.
Rombongan bantuan militer beberapa kerajaan Melayu ini
ditengarai sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Portugis,
sekaligus untuk menghancurkan lingkaran blokade yang dibangun
Aceh. Mereka menganggap Aceh sudah sedemikian jauh bertindak
sehingga mengganggu kepentingan ketiga kerajaan itu. Di pihak
lain, setelah melakukan pencarian pusat komando militer Aceh
selama dua bulan, akhirnya ditemukan bahwa lokasi itu berada di
sungai Perlis. Pasukan musuh langsung dialirkan ke tempat itu dan
begitu kedua kekuatan berjumpa, tanpa menunggu waktu lama,
pertempuran sengit pun terjadi, namun sayang, kali ini pihak
Portugis berhasil mengalahkan pasukan Aceh.116
Keikutsertaan beberapa kerajaan Melayu dalam perang
Aceh-Portugis merupakan salah satu indikasi betapa kentalnya
aroma perebutan pengaruh di perairan Malaka. Kerajaan-kerajaan
Melayu tersebut menyadari, mereka harus memihak salah satu di
antara dua kekuatan besar itu dan mereka memilih Portugis sebagai
pelindungnya. Memang, konsekuensi logisnya mereka akan tunduk
pada Portugis, tapi paling tidak hal itu yang mereka bisa lakukan.
Terlebih ketika menimbang jalannya peperangan, persenjataan
Portugis serta pengalaman mereka menundukkan negeri-negeri
India menjadi cukup bukti betapa Portugis memiliki peluang
kemenangan yang lebih besar, demikian hemat para raja Melayu
tersebut.
Portugis dianggap sanggup untuk menangkal sebaran
pengaruh Aceh yang massif. Pengalaman dalam beberapa
pertempuran terakhir menjadi bukti bahwa bangsa ini seimbang
dalam hal peperangan. Kelihatannya, raja-raja Melayu itu sudah
tidak lagi memandang perbedaan agama dan ras dari Portugis dan
yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana memunculkan
lawan sepadan dengan Aceh, paling tidak untuk menghambat agar
mereka dapat menetukan arah kebijkan politik internasional dalam
beberapa waktu berikutnya.
116
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 42.
76
Setelah pertempuran besar dan melelahkan itu, kawasan
perairan selat Malaka kembali tenang. Tidak dijumpai lagi
kesibukan luar biasa di dua kutub kekuatan di sekitar perairan itu.
Meskipun demikian, pasukan Aceh tidak mengendurkan semangat
dan masih ingin mengalahkan pasukan Portugis. Dengan kata lain,
gesekan kuat masih melingkupi kedua belah pihak. Menginjak
tahun 1564, sekitar 15 tahun pasca kekalahan Aceh di sungai
Perlis, muncul kabar bahwa angkatan militer laut Aceh masih rajin
melakukan serangan kecil dan sabotase di perairan Malaka.
Keadaan perairan Malaka yang sempat tenang, kembali
diramaikan dengan keberadaan perang lanjutan. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 20 Januari 1568. Untuk kesekian kalinya,
Aceh bangkit lalu tampil berbekal pasukan bugar dan persiapan
lengkap berbaris menuju dermaga lantas berlayar ke Malaka.
Demikian pentingnya serbuan ini, sehingga Sultan Alaiddin Riayat
Syah, Raja Aceh kala itu, bertindak sebagai panglima tertinggi.
Sebagai bentuk kesungguhan menumpas musuh, istri dan tiga anak
lelakinya ikut pula ke medan perang. Amunisi perang Aceh terdiri
dari 300 kapal perang yang berkelompok-kelopok membelah selat
Malaka.117
Selain didukung 15.000 personel yang berasal dari
kekuatan Aceh dan negeri-negeri bawahannya, ekpedisi militer ini
diramaikan dengan kehadiran pasukan elit dari Turki sebanyak 400
orang berikut 200 meriamnya. Kehadiran pasukan Turki ini
merupakan dampak dari terjalin baiknya hubungan Aceh-Turki.
Persediaan kekuatan yang besar ini dianggap cukup untuk
menghancurkan Malaka, di mana saat itu Portugis tengah
merayakan hari ulang tahun Raja Sebastian. Saat itu, pertahanan
Malaka hanya dijaga oleh 1.500 orang, yang terdiri dari 200 orang
Portugis dan selebihnya adalah laskar militer yang direkrut dari
penduduk pribumi.
Pasukan penjaga di bagian tertinggi benteng Portugis yang
semula terlihat tenang mengawasi laut sekitar, seketika terbelalak
117
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.
77
melihat kekuatan musuh yang datang.118
Informasi segera dialirkan
ke pusat komando yang langsung diteruskan menjadi perintah siap
siaga penuh. Acara ulang tahun yang semula meriah kini berubah
menjadi wahana penuh kekalutan dan mencekam. Para warga
Malaka kemudian diungsikan. Lantunan musik seketika berganti
dengan instruksi komandan yang sibuk menempatkan pasukan.
Dom Lionis Pereira, panglima tertinggi Portugis di Malaka
terkejut mendengar informasi perkiraan kekuatan tempur Aceh. Ia
pun memerintahkan kurir mendatangi Johor dan Kedah untuk
menambah pasokan pasukan. Informasi ini datang terlambat,
sehingga bantuan baru datang ketika pasukan Portugis sedang
sibuk menahan gempuran pasukan Aceh. Semula pertempuran
terlihat seimbang, kedua pihak saling berebut menyerang dan
mendorong. Pertempuran ini masih belum bisa mengusir Portugis
dari Malaka. Merujuk sumber-sumber Portugis, sekitar 4.000
pasukan Aceh menjadi korban dalam pertempuran ini, termasuk
Abdullah, putra Raja Aceh yang menjadi Raja Aru. Dalam
perjalanan pulang, pasukan Aceh membakari beberapa desa
Johor.119
Kegagalan dalam penyerbuan ke Malaka di atas, ternyata
tidak juga menyurutkan niat Aceh mengeliminasi Portugis dari
konstelasi politik selat Malaka. Perang silih berganti masih sering
terjadi saat itu. Menginjak 1570, 14 kapal perang Potugis terlibat
peperangan seru dengan 60 kapal perang Aceh di pantai dekat
suatu pelabuhan Aceh. Manuver tajam disertai serangan yang
terpola menjadi pemandangan yang terhampar saat itu. Pada suatu
kesempatan, laksamana Portugis bernama Luiz de Mello berhasil
mematahkan gempuran Aceh. Dengan sigap ia juga
118
Benteng Portugis di Malaka, dibangun pada letak geografis yang
strategis. Benteng ini berbatasan dengan laut di satu sisi, dan sisi lainnya
berbatasan dengan sungai. Pada mulanya memang hanya berbahan kayu dan
batu, namun di kemudian hari diganti menggunakan bahan material yang lebih
kokoh. Dinding-dindingnya amat tebal dan dijaga dengan ketat oleh pasukan
bersenjata. Lihat Armando Coertesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires
(New Delhi: Asian Educational Service, 2005) hlm. 280-281; dan, Tom Pires,
“Tentang Malaka” dalam Sartono Kartodirdjo, ed, Masayarakat Kuno dan
Kelompok-Kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977) hlm. 60. 119
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.
78
menghancurkan beberapa kapal Aceh, menangkap enam perahu
kecil dan menenggelamkan yang lainnya.120
Perang laut di atas menjadi kesempatan terakhir bagi Sultan
Alaiddin Riayatsyah dalam jalan panjangnya mengusir Portugis
dari Malaka. Atas kegigihannya itulah di belakang namanya, ia
digelari al-Qahhar, Yang Perkasa. Ia berpulang pada 8 Jumadil
Awal 979 atau 28 September 1571. Estafet pemerintahan dan
semangat tinggi melawan Portugis diturunkannya kepada anak
lelakinya sendiri yang bernama Husain. Husain naik tahta
menggantikan ayahnya. Setelah ditahbiskan ia bergelar Sultan
Husain Ali Riayat Syah (memerintah 1568-1575). Sebagaimana
yang diwasiatkan ayahnya, ia pun segera mengagendakan serangan
atas Malaka. Di masa inilah fajar baru hubungan diplomatik Aceh
dengan kerajaan-kerajaan Melayu mulai terbentuk. Pada 1574 ia
menjalin hubungan dengan Johor. Bukan hanya sampai di situ, ia
juga mengajak Raja Johor bersama-sama dengan Aceh dan Jepara
bergabung mengalahkan Portugis. Selama masa pemerintahan Raja
Aceh ini, serangan atas Portugis terus dilakukan. Sama seperti
yang dilakukan ayahnya, serangan Aceh pada masa Sultan Husain
belum menimbulkan kekalahan yang signifikan bagi Portugis.121
Setelah masa pemerintahan Sultan Husain, intensitas pertempuran
dengan Portugis mengendur. Keadaan ini bukan berarti Aceh
menyerah untuk tidak lagi menyerang Malaka, namun lebih pada
pencarian format baru mengalahkan musuhnya itu.
Terompet perang melawan Portugis kembali bertiup
manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda
(memerintah 1607-1636). Para sejarawan menilai, di bawah
Iskandar Muda Aceh berada pada masa keemasannya. Tetapi, nun
jauh di seberang perairan Aceh, Portugis telah berhasil
membangun aliansi dengan beberapa kesultanan yang berada di
Semenanjung Malaya seperti Johor dan Patani. Keadaan ini cukup
membingungkan. Para raja Melayu memandang Aceh sebagai
ancaman nyata, oleh sebab itu mereka memilih Portugis sebagai
pelindung mereka. Memang aneh kiranya ketika mengetahui
120
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43-44. 121
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45.
79
beberapa kerajaan Melayu seperti Johor, Perak dan Pahang
membantu Portugis melawan Aceh. Padahal Portugis jelas-jelas
telah menorehkan luka yang pedih dalam bentangan sejarah
Melayu yakni dengan merebut Malaka, yang rajanya merupakan
leluhur raja-raja Melayu.
Menghadapi persekutuan itu, pihak Aceh mulai melakukan
manuver-manuver politik untuk memecah kekuatan gabungan ini.
Iskandar Muda menggelar kampanye penaklukan kesultanan di
wilayah Semenanjung sebelum menyerang Malaka, meliputi:
Pahang 122
, Kedah, Pattani123
. Pada tahun 1629, Sultan Iskandar
Muda juga sempat menyerang Malaka kendati belum menemui
hasil yang memuaskan.124
Apa yang dilakukan Aceh ini
merupakan satu-satunya alternatif guna mengusahakan kembali
wilayah-wilayah Melayu terbebas dari pengaruh Portugis. Kiranya
sudah habis kesabaran Aceh dengan diplomasi seremonial yang
ujungnya ternyata justru mencederai hubungan bilateral itu sendiri.
Dengan Johor contohnya, hubungan Aceh mengalami pasang surut
di mana Portugis selalu menjadi pihak ketiga yang berupaya
memecah persatuan dunia Melayu. Di pihak lain, raja-raja Melayu,
termasuk Johor, amat khawatir terhadap perkembangan Aceh yang
seolah-olah dianggap ingin menjadi penguasa tunggal atas
Sumatra, Semenanjung Malaya dan sekitarnya.
Aceh dan Johor sendiri dalam sejarahnya terlibat dalam
hubungan yang labil. Di saat raja-rajanya meyakini akan
terciptanya hubungan yang baik utamanya dalam menumpas
Portugis yang ditetapkan sejak 1574, maka secara bersamaan,
mulai terbit ketakutan di kalangan petinggi kerajaan akan
superioritas Aceh yang dianggap bisa menguasai Johor. Untuk itu,
pemberlakuan siasat dua wajah dianggap Johor sebagai jalan
tengahnya. Keadaan inilah yang belakangan merisaukan Aceh
untuk kemudian melakukan kebijakan represif terhadap Johor,
122
W. Linehan, “History of Pahang”, Journal of the Malayan Branch of
the Royal Asiatic Society (Selanjutnya JMBRAS), Singapore,1936 hlm. 35. 123
T. Muhammad Hasan, “Perkembangan Swapraja Di Aceh Sampai
Perang Dunia II” diambil dari Ismail Suny (Ed), Bunga Rampai Tentang Aceh
(Jakarta: Bharatara Karya Aksara, 1980) hlm. 159-160. 124
Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 293-302.
80
yakni dengan adanya beberapa serangan ke ibukota Johor ketika
Sultan Iskandar Muda bertahta.
C. Hubungan Aceh dengan Johor
Setelah menyimak sepak terjang ketegangan Aceh dengan
Portugis, maka akan ditemukan pula sematan atau catatan pinggir
keterlibatan kerajaan-kerajaan Melayu yang kendati memiliki
tradisi berpolitik serupa dengan Aceh, bahkan dalam bentangan
sejarahnya memiliki ikatan kekeraban yang kuat, namun pada
wilayah kebijakan politiknya ada yang mengikuti atau bermitra
dengan Portugis. Menilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya
antara Aceh dan Malaka memiliki pertalian yang bagus. Sebelum
adanya kerajaan Aceh, yakni ketika Samudra Pasai masih berjaya,
Parameswara atau Iskadarsyah pendiri Malaka merupakan
menantu Raja Pasai ke 6 bernama Sultan Mahdum Alaiddin
Muhammad Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (1243-1267).
Putrinya, Ratna Kemala dipersunting oleh Iskandar Syah. Lewat
perkawinan inilah perkembangan Islam di Malaka kian pesat.
Tidak berhenti sampai di situ, hubungan kekeluargaan tersebut
membawa dampak positif pula bagi perluasan syiar Islam di
kawasan pesisir Timur Sumatra. Sebagaimana telah disampaikan,
kawasan ini memiliki hubungan yang amat erat dengan Malaka.
Salah satu keuntungan strategis bagi mereka akan jalinan
diplomatik dengan Malaka, adalah keuntungan ekonomi dan
perlindungan politik yang diberikan oleh Malaka. Jika wilayah
pesisir Timur Sumatra mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi
politik, maka dari Aceh mereka mendapatkan pencerahan secara
rohani oleh sebab banyaknya ulama dari Aceh yang menyebarkan
Islam di kawasan itu.125
Selama beberapa periode hingga
munculnya Aceh Darussalam tidak ada suatu sengketa yang
merusak hubungan persaudaraan mereka. Baik Aceh maupun
Malaka bergeliat dan mengembangkan diri masing-masing.
Terbenamnya Malaka menjadi babak baru komunikasi
Aceh dengan kerajaan-kerajaan Semenanjung Malaya. Munculnya
125
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 95-96.
81
Johor sebagai salah satu kekuatan maritim potensial turut merubah
persepsi historis kalangan istananya hingga yang pertimbangan
realistis bahkan cenderung oportunis. Seperti Aceh, Johor
memandang Portugis sebagai musuh yang harus dienyahkan.
Dalam beberapa kesempatan, bersama Aceh, kerajaan ini sempat
terlibat dalam pertempuran menghadapi Portugis.
Sepanjang sejarahnya, hubungan Aceh dengan Johor
mengalami pasang surut. Kedua kerajaan ini memiliki kenangan
yang indah, namun juga kenangan yang buruk. Superioritas yang
ditunjukkan Aceh sepanjang abad 16 hingga pertengahan abad 17,
dianggap oleh Johor sebagai upaya penguasaan Aceh atas negeri-
negeri Melayu. Hal inilah yang memancing Johor untuk menjalin
hubungan rahasia dengan Portugis sebagai upaya menghindari
dominasi Aceh atas daerah kekuasaannya.
Senada dengan hal di atas, Ellya Roza mengatakan bahwa
dalam perjalanan historisnya, Johor merupakan objek rebutan dari
kuasa-kuasa asing, baik kekuatan Barat atau Timur. Letak kerajaan
ini terhampar di pesisir selat Malaka, yang merupakan titik
startegis yang merupakan jalan air raksasa yang dilalui oleh kapal-
kapal dagang asing. Posisi Johor itu dianggap amat menggiurkan
bagi kekuatan besar yang kala itu sedang saling berebut pengaruh,
yakni Aceh dan Portugis. Tidak salah kiranya jika Johor disebut-
sebut sebagai pewaris mahkota Malaka sebagai calon pusat niaga
baru di Asia Tenggara. Kerajaan ini mengalami serangan Portugis
tidak kurang sebanyak sepuluh kali dan dari Aceh sebanyak enam
kali.126
Kendati kedua kerajaan sering terlibat perseteruan, namun
dalam beberapa kasus, tidak lantas memperkeruh komunikasi di
sektor kehidupan lainnya, wilayah kepemerintahan. Dalam
makalahnya, Teuku Iskandar mengungkapkan bahwa Sultan
Alaiddin Riayat Syah al-Kahar banyak mengambil inspirasi dari
undang-undang Johor guna mereorganisasi sistem kepemerintahan
Aceh. Hal ini merupakan satu bentuk pengaruh kebudayaan
126
Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Pendiri Kerajaan Siak (Riau:
Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Olahraga
Pemerintah Daerah Kabupaten Siak, 2012) Cet.2, hlm. 7 – 8.
82
Melayu yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan Aceh.
Dengan kata lain, rapuhnya hubungan politik di antara dua
kerajaan, tidak melulu memasung koneksi budaya antar
keduanya.127
Sepenuhnya disadari, hadirnya Portugis merupakan
tantangan laten (constant challenge) bagi kerajaan Muslim di
kawasan Indonesia Barat.128
Namun dalam kenyataannya, masing-
masing kerajaan nyatanya memiliki cara pandang tersendiri akan
hadirnya kekuatan Eropa itu. Di satu sisi dianggap perusak, namun
belakangan disadari sebagai mitra untuk melindungi otoritas
kepemimpinan lokal. Alasan tersebut kiranya yang menjadi
lendasan berpikir elit Johor untuk membuka kemungkinan
kerjasama dengan Portugis.
Salah satu episode penting yang mempertemukan Aceh
dengan Johor dalam posisi berseberangan terjadi ketika Aceh
berencana melebarkan sayap kekuasaannya ke Aru pada 1539.
Ketika itu, Aru merupakan salah satu vassal Portugis di Sumatra.
Letak geografis Aru yang berseberangan langsung dengan Malaka,
merupakan alasan lain mengapa daerah ini harus diselamatkan
Aceh. Jika Aru dapat dikuasai, demikian hemat para ahli taktik
Aceh, maka Aceh dapat dengan mudah melakukan blokade
terhadap selat Singapura dan Sabang. Blokade ini menyebabkan
Portugis tidak mampu berlayar menuju Laut Cina, Sunda, Banda
dan bahkan Maluku. Dengan jumlah pasukan besar yang terdiri
dari 17.000 pasukan dan 160 kapal, Aceh menyerbu Aru. Dalam
serbuan itu, Raja Aru terbunuh dan istrinya melarikan diri ke
Malaka. Di sana istri raja Aru meminta bantuan Portugis namun
jawaban yang didapat belum memuaskan. Portugis sepertinya tidak
memperhatikan Aru sebagai daerah vitalnya dan lebih memilih
menyuplai bantuan kepada musuh-musuh Aceh lainnya. Merasa
harapannya hilang, permaisuri raja Aru itu kemudian mengungsi
ke Johor dan menikah dengan Raja Johor kala itu. Di pihak lain
Aceh telah berhasil menguasai Aru.
127
Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th –
19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and
Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12 128
Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 35.
83
Di tempat barunya, janda raja Aru itu tidaklah tinggal diam
melihat kerajaannya dalam kuasa Aceh. Ia mampu meminta Raja
Johor untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama Perak, Pahang
dan Siak membentuk tentara pembebas Aru. Menginjak 1540,
aliansi pasukan Melayu ini menyerbu Aru dan segera terlibat
pertempuran sengit dengan Aceh. Diberitakan, kali ini Aceh
mengalami kekalahan yang besar. 14 tahun berselang, pasukan
Aceh berhasil merebut kembali Aru.129
Menurut Fernao Mendez
Pinto, tanpa menunggu waktu lama, Sultan Johor berhasil ditawan
dan mati dieksekusi di Aceh.130
Amirul Hadi mencatat, terdapat dua tahun penting, 1547
dan 1568, di mana Johor menunjukkan oposisinya terhadap Aceh.
Di dua tahun itu bersama dengan aliansi Melayunya, Johor
membantu Portugis yang mulai kelelahan menghadapi gempuran
pasukan Aceh di Malaka131
, sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya. Betapa kecewanya Aceh ketika menyaksikan
kemenangan yang sebentar lagi mereka raih, perlahan menjauh
tatkala beberapa kerajaan Melayu kedapatan membantu Portugis.
Jika melihat pada tahun terbentuknya Johor, yakni antara
tahun 1526 hingga 1528 132
, maka besar kemungkinan bahwa
Johor ingin terlebih dahulu memperkuat perekonomian serta
instalasi pertahanannya. Untuk itu, kerajaan ini sebenarnya berada
dalam posisi yang diuntungkan, yakni mempunyai peluang lebih
besar dalam membangun terlebih dahulu kerajaannya sebelum ikut
dalam konstelasi politik regional perairan Malaka.
129
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 48 dan 49. 130
Fernao Mendes Pinto, The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By
Rebecca C. Catz (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989)
hlm. 57; lihat juga Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ...., hlm. 49. 131
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 51. 132
Belum ada literatur yang tegas menyebutkan tahun berdirinya Johor.
Jika menimbang dari tulisan D.G.E. Hall yang menyatakan bahwa pada tahun
1526, Sultan Mahmudsyah berpindah dari pulau Bintang (Bintan) ke Johor
akibat serangan Portugis, kemudian pada 1528, Sultan Mahmudsyah yang
sebelumnya telah ditahbiskan menjadi Raja Johor pertama itu berpulang, maka
tahun berdirinya Johor adalah terjadi antara tahun 1526 hingga 1528. Lihat
D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha (Jakarta: Usaha
Nasional, 1988) hlm. 309-310.
84
Namun begitu, untuk melakukan hal itu tidaklah mudah,
karena pembangunan kerajaan ini berbarengan dengan masa
perebutan supremasi Aceh dan Portugis. Sebagai kerajaan yang
baru terbentuk, perangkat istana Johor dituntut lebih arif dalam
memilih mitra politiknya. Johor melihat, baik Aceh maupun
Portugis memiliki tujuan yang sama yakni menjadi penguasa
tunggal di Sumatra, perairan Malaka dan Semenanjung Malaya.
Sikap mendua yang ditunjukkan Johor semata-mata adalah agar
dirinya dapat leluasa dalam menempa kemajuannya dan fleksibel.
Pakta kerjasama bagi mereka bukanlah barang baku, melainkan
disesuaikan dengan kebutuhan kerajaan. Siapa yang menjemput
kemenangan, maka dengannyalah Johor akan bersekutu.
Sikap ini membawa Johor lebih jauh terlibat dalam
perpolitikan regional. Kondisi kemakmuran yang masih rapuh
membuat kerajaan ini menjadi bulan-bulanan Aceh juga Portugis.
Menginjak masa pemerintahan Iskandar Muda contohnya, akibat
ulah dua wajah yang diperankannya, kerajaan ini mendapat
serangan besar-besaran langsung ke ibukotanya yakni Seluyut pada
1613.133
Bahkan serangan ini menjadi yang terparah sepanjang
berdirinya kerajaan Johor.
Tahun 1574, terjadi perubahan arah kebijakan Aceh
terhadap Johor. Sultan Husain yang menjadi raja kala itu memilih
untuk mengadakan rekonsiliasi dengan Johor. Tahun ini boleh
dianggap sebagai awal terbukanya hubungan diplomatik Aceh dan
Johor. Kendati kedua kerajaan telah bersahabat, arah kebijakan
mengenai eksistensi Portugis tetaplah dikedepankan. Portugis tetap
dianggap sebagai musuh yang mengganggu hubungan mesra
dengan tetangganya itu. Perlahan Aceh mulai mengajak Johor
untuk berpikir ulang dan menghitung segala kemungkinan yang
terjadi jika Portugis masih terus melebarkan ruang geraknya. Johor
pun akhirnya menyadari, kawan Eropanya itu merupakan musuh
dalam selimut yang harus disingkirkan. Kesamaan visi politik
menghadapi Johor ini kemudian dipererat dengan pernikahan putri
Sultan Aceh dengan Pangeran Johor. Mengetahui telah baiknya
133
Pocut Haslinda MD Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua
Bangsa Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28.
85
hubungan Aceh dan Johor, Portugis menunjukkan kekecewaannya
terhadap Johor dengan menyerang kerajaan ini pada 1576 dan
1578.
Walaupun telah berdamai dengan Johor, tidak lantas
membuat Aceh menghentikan penanaman pengaruh di
Semenanjung Malaya. Perak, yang merupakan sahabat Johor,
ditundukkan Aceh menjelang tahun 1579. Segenap perangkat
kerajaannya diungsikan ke Aceh. Putra mahkota Perak dinikahkan
dengan putri Sultan Aceh dan tanpa berselang lama ia ditunjuk
sebagai Sultan Aceh bergelar Sultan Alaiddin Mansyur Syah dan
memerintah selama 1579 – 1585.134
Sultan Alaiddin merupakan sosok yang tidak kenal lelah
melancarkan serangan ke kubu Portugis. Tercatat, beberapa kali ia
melancarkan serangan ke Malaka dan mengawasi Johor yang
dianggapnya rentan disusupi kepentingan Portugis. Untuk
memperkuat militernya, ia memperteguh kembali hubungan
diplomatik Aceh dengan Turki. Untuk memperkuat persaudaraan
dengan kerajaan Melayu, ia menikahkan Sultan Johor kala itu,
Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (memerintah 1571 – 1597)
dengan anaknya Putri Hijau.135
Kelihatan sekali, Aceh ingin
menjadikan Johor sebagai sekutu dekatnya. Saat itu. pernikahan
antar kerajaan boleh dikatakan sebagai langkah untuk mempererat
hubungan diplomatik.
Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil
(memerintah 1584-1604), keharmonisan Aceh dan Johor
mengalami keretakan. Kala itu Aceh berkeinginan untuk merebut
Aru yang semula menjadi bawahan Portugis. Pada kesempatan itu,
Johor merasa terusik pula dengan kebijakan Aceh sehingga kedua
kerajaan terlibat ketegangan. Agar tidak mudah dikalahkan, elit
Johor membuat perjanjian diam-diam dengan Portugis untuk
membantunya saat perang pecah. Ketika perang terjadi, pasukan
Johor mendapat bantuan dari Portugis. Pasukan gabungan itu
berhasil mengalahkan bala tentara Aceh. Aru pun jatuh dalam
134
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52. 135
HM. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 400.
86
kekuasaan Johor dan Portugis.136
Peperangan ini menjadi penyebab
rusaknya hubungan Aceh-Johor.
Naik tahtanya Perkasa Alam dengan gelar Sultan Iskandar
Muda (memerintah 1607 – 1636) sebagai raja baru Aceh
menerbitkan semangat baru di tengah pergaulan istana Aceh.
Sultan ini dikenal sebagi sosok yang membawa Aceh di puncak
kejayaannya. Segenap aspek kehidupan masyarakat mengalami
kenaikan signifikan, mulai dari ekonomi, sosial, agama, budaya
dan lain sebagainya, tidak terkecuali ranah politik internal dan
eksternal. Tak lama setelah sultan ini naik tahta, perlawanan
mengusir Portugis kembali dikumandangkan disamping penertiban
bagi kerajaan-kerajaan lokal yang dinilai berkawan dengan bangsa
Kulit Putih itu.
Kekalahan Aceh di Aru menginspirasi Iskandar Muda
untuk melakukan serangan balasan. Johor yang semula sudah
diyakini Aceh sejalan dengan visinya mengalahkan Portugis,
dianggap telah melakukan kesalahan besar. Diagendakanlah suatu
armada tempur untuk menghukum Johor langsung di ibukotanya
sendiri. Secara sistematis, pasukan Aceh berhasil menjebol
pertahanan laut dan darat Johor yang kala itu tidak diperkuat
dengan bantuan Portugis. Tanpa membuang waktu, pasukan Aceh
masuk lebih dalam hingga menyentuh ibukota Johor. Raja Johor
saat itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah dan keluarga kerajaan
mengungsi ke daerah perbukitan di Seluyut. Pada November 1913,
segenap pembesar Aceh telah mengusai ibukota Johor.
Pasca penundukan ibukota Johor, Iskandar Muda
menitahkan untuk membawa raja beserta pejabat istana Johor ke
Aceh. Raja Johor dan adiknya, Raja Abdullah beserta kerabat
kerajaan lainnya kemudian dilayarkan ke Aceh. Termasuk dalam
rombongan ini adalah Tun Muhammad yang dikenal pula sebagai
Tun Sri Lanang, penulis kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah
136
HM. Zainudddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 402-403.
87
Melayu. Sosok negarawan Johor yang menjadi penting yang kelak
membantu pemerintahan Sultan Iskandar Muda.137
Sesampainya di Aceh, rombongan Johor ini diperlakukan
dengan istimewa sebagaimana menjamu tamu agung. Beberapa
waku berselang, Iskandar Muda meminang Putri Pahang, salah
satu keluarga raja Johor untuk dijadikan istrinya. Raja Johor pun
pada kesempatan yang hampir bersamaan dinikahkan dengan salah
seorang putri kerabat Sultan Aceh. Pernikahan ini menjadi indikasi
bahwa Aceh ingin menjadikan Johor sebagai mitra bersaudara dan
tentu memiliki dampak signifikan bagi masa depan dua kerajaan.
Perkawinan serupa juga diberlakukan kepada warga Aceh untuk
menikah dengan tawanan yang berasal dari Johor. Hal ini
dilakukan untuk menjalin hubungan yang kian rekat dari tataran
elit hingga bawah. Raja Johor berjanji bahwa Johor tidak akan
berbuat gegabah lagi dengan menjadikan Portugis sebagai kawan.
Tidak lama berselang, rombongan keluarga Johor dipersilahkan
pulang guna memimpin kembali kerajaannya.
Dalam suatu serangan ke Malaka, tidak jelas angka
tahunnya, pasukan Aceh di bawah pimpinan Orang Kaya Lila
Wangsa diperintahkan menyerbu Portugis. Misi ini belum
menemui kesuksesan di karenakan Portugis, yang saat terjadi
pertempuran berada dalam posisi terjepit, berhasil membebaskan
diri berkat datangnya bantuan dari Goa dan dari jalur lain. Dalam
episode ini, satu hal yang menggusarkan Orang Kaya Lila Wangsa
adalah kehadiran bala tentara Johor yang terlihat ikut membantu
Portugis. Oleh sebab raja Johor saat itu masih terhitung keluarga
Iskandar Muda, Orang Kaya Lila Wangsa ragu-ragu untuk
melakukan serangan atas Johor. Ia harus terlebih dahulu
melaporkan kejadian ini kepada rajanya. Namun, belum
berkembang layar sisa-sisa bala tentara Aceh, mereka telah
137
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan
Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah disampaikan
dalam “Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28
Desember 2011, hlm. 5.
88
dikepung oleh armada Johor dan Portugis yang berakhir pada
kekalahan menyakitkan.138
Baru pada sekitar tahun 1615 dan 1616, ketika Sultan
Iskandar Muda berada di Asahan, upaya menertibkan kembali
kerajaan-kerajaan Melayu dicanangkan kembali. Melalui Sri Orang
Kaya Laksamana, Raja Aceh menitahkan untuk melakukan
pengepungan Johor, Pahang dan Malaka. Pasukan spesialis perang
laut segera disiapkan beserta kapal-kapalnya.
Kapal-kapal Aceh yang berlalu lalang di Serdang dan Aru
diperintahkan menuju Semenanjung Malaya dengan melewati
Pulau Langkawi segera menyisir beberapa sungai antara Kuala
Perlis, Kuala Keudah, Kuala Muda, Kuala Meurbok, Teluk Pulau
Pinang, Pulau Jerjak lantas menuju Kuala Peru. Dari situ, iring-
iringan pasukan mengamankan sungai-sungai besar seperti Kuala
Tengah, Kuala Kurau, Kuala Kelumpang, Teluk Tanjung Burong,
Pulau Pangkur, Kuala Perak, Kuala Bernam, Kuala Selanggur
sampai ke Teluk Anson.
Kapal-kapal yang merapat di Teluk Tanjung Balai juga
mulai digerakkan menuju Malaka. Kawanan kapal ini mengambil
rute melalui Pulau Kelang, Tanjung Tuan, Kuala Tinggi, Tanjung
Kling lalu menjaga Kuala Melaka dan Kuala Muar. Di tempat lain,
sepasukan kapal tempur juga diberangkatkan ke beberapa sungai
yakni: Sarang Buaya, Batu Pahat, Kuala Peniti, Kuala Kutub,
Tanjung Prai dan masuk ke Sungai Johor dan diakhiri dengan
menutup Kuala Johor Baru dan bersauh di Tumasik (Singapura).
Satu pasukan lain disiapkan menuju Pulau Karimun, Lingga Pulau
Bantam menyusuri pulau-pulau di Laut Banang, Pulau Riau, Pulau
Bintang, Pulau Tekong, Tanjung Setapak lalu masuk ke Kuala
Laban terus hingga menutup jalur Sungai Johor Lama. Pasukan
patroli lain diberangkatkan menyisir Tanjung Setajan ke Pulau
Mawar, Tanjung Penyambung sampai ke Kuala Pahang, Kuala
Kelantan, Tanjung Puliga terus hingga ke Kuala Petani. Aliran-
aliran patroli pasukan ini merupakan rute mengepung Johor,
Pahang dan Malaka.
138
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biographi Seri Sultan Iskandar
Muda) (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 133-135.
89
Pasukan infanteri juga diturunkan yang disiapkan untuk
mengadakan penyerbuan dan penyergapan di darat. Detasemen ini
dipimpin oleh Panglima Pidie dan Malem Dagang. Pasukan darat
dikerahkan menuju Riau, Lingga Johor Lama, Johor Baru, Melaka,
Selanggur, Perak, Kedah dan Pahang.
Target pertama dari kerajaan Melayu yang dilumpuhkan
adalah Johor. Agaknya, Raja Johor telah mengendus rencana Aceh
sehingga ia dan keluarga kerajaan dapat melarikan diri lebih dini
dan membuat ibukota baru di Pulau Lingga. Oleh sebab spionase
Aceh yang telah disebar didukung oleh gerakan pasukan yang
merata hampir di setiap lekuk strategis wilayah air maupun darat
sekitar Semenanjung Malaya, kedudukan Raja Johor dapat
diketahui sehingga tanpa menunggu waktu lama ia dapat diringkus.
Ibukota Lingga kemudian dibumihanguskan menyusul dua ibukota
Johor sebelumnya Johor Lama (Batu Sawar) dan Seluyut yang
terlebih dahulu diluluhlantakkan.
Hampir bersamaan dengan kekalahan Johor, Pahang pun
berhasil ditundukkan kembali karena terbukti membantu Portugis.
Adapun Kedah dan Perak hanya ditingkatkan kontrol agar tidak
lagi jatuh dalam pengaruh musuh. Setelah memantapkan kuasa di
ketiga negeri tersebut, Aceh kemudian bertolak menuju Malaka.
Setelah kota-kota lawan ditundukkan, Aceh segera
membangun kembali tata kota yang sebelumnya porak poranda.
Penduduk yang semula mengungsi, sedikit demi sedikit mulai
memasuki kota. Di Johor, Aceh mendirikan masjid-masjid sebagai
sarana aktivitas keagaman. Panti-panti anak yatim juga banyak
didirikan yang diasuh oleh para ulama dan lebai (ahli agama)
setempat. Perbaikan juga dilakukan di sektor pertanian warga
yakni dengan membangun irigasi bagi areal persawahan. Untuk
menggantikan Raja Johor yang meninggal dalam tawanan, maka
diangkatlah anaknya menduduki tahta kerajaan.139
Untuk
sementara waktu, sebagian besar wilayah Semenanjung Malaya
berada dalam kontrol Aceh.
139
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 154 – 158.
90
Kehadiran Portugis sebagai penangkal serangan Aceh
sekaligus mitra bagi raja-raja Melayu seperti Johor, sebenarnya
dapat dilihat dari dua segi. Sebagaimana telah diuraikan di atas,
Portugis mencari aliansi penguasa lokal untuk menyokong
kepentingan bisnisnya di kawasan perairan Malaka. Untuk itu,
mereka bersedia membantu penyediaan pasukan untuk menumpas
musuh-musuh yang mengancam eksistensi para penguasa kerajaan
Melayu. Namun, di segi yang lain, intrik politik yang dimainkan
penguasa Johor, yang dalam beberapa kesempatan berpaling ke
Aceh, seperti langkah mempermainkan Portugis. Apalagi kasus
serupa kerap terjadi di masa-masa berikutnya. Tidak ada semacam
pakta integritas yang merawat hubungan tersebut. Berbeda dengan
Aceh yang ketika menaklukkan Johor, segera mengadakan
kesungguhan untuk merangkul Johor, salah satunya dengan jalan
pernikahan antara putra putri dua kerajaan.
Entah ini merupakan kesalahan Portugis, karena tidak
belajar dari masa lalu, atau sekedar upaya untuk terus melakukan
infiltrasi agar tetap dapat menangguk keuntungan di balik
kerjasama yang sebenarnya rapuh itu. Sikap oportunis para
penguasa Johor, tidak lagi dipandang secara kritis, manakala
mengetahui telah beberapa kali bantuan Portugis rupanya hanya
dimanfaatkan tatkala dibutuhkan. Pihak Portugis serasa berada
dalam lingkaran setan, seperti hanya menjalankan rutinitas yang
semu, membantu Johor kemudian dicederai kembali tatkala Johor
berada dalam kuasa Aceh. Seharusnya, jika Portugis ingin agar
otoritasnya dapat berdiri tegak, secara bergiliran ia harus
menumpas Johor lalu Aceh. Sikap yang ditunjukkan Portugis ini
mengantarkan pada masa-masa senja dari aktivitasnya di perairan
Malaka, terlebih ketika kawasan tersebut telah dimasuki bangsa
Eropa lain. Satu yang kemudian menjadi kompetitor mereka adalah
Belanda.
Menginjak tahun 1635, Johor kembali melihat peluang
untuk membebaskan diri. Kehadiran Belanda di pergaulan antar
elit istana Malaya, menjadi mitra baru Johor untuk membangun
kembali kekuatannya. Ketentraman regional pecah ketika Pahang
yang dibantu Johor memberontak terhadap Aceh. Tindakan makar
91
ini segera dapat diredam dengan dikirimnya pasukan menertibkan
Pahang.
Belanda yang merupakan pemain baru di Selat Malaka
tampil untuk membuka peluang melebarkan sayap kekuasaannya.
Mereka tahu baik Portugis maupun Aceh merupakan musuh klasik
yang amat sulit dikalahkan. Keengganan Iskandar Muda bermitra
dengan Belanda membuat mereka mencari kawan baru. Ketika
bertemu dengan pemuka Johor, Belanda setuju untuk membantu
Johor mengembangkan potensi kerajaannya hingga kuat ketika
nanti berperang dengan Aceh.
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda pada 1636 seketika
menghadirkan kesedihan dan ratap tangis keluarga kerajaan serta
rakyat. Meskipun demikian, penasehat istana tidak terus larut
dalam kesenduan yang panjang. Sultan Iskandar Thani dinobatkan
menjadi Raja Aceh berikutnya yang memerintah sejak 1636 hingga
1641. Ia merupakan menantu Iskandar Muda yang berasal dari
keluarga kerajaan Pahang. Istrinya, Putri Sri Alam, adalah putri
Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Thani dikenal sebagai sosok relijius yang
enggan meneruskan politik perluasan wilayah sebagaimana yang
dilakukan Iskandar Muda. Di eranya, Belanda diterima sebagai
mitra dalam rangka menaklukkan Portugis di Malaka. Awalnya,
Belanda memutuskan untuk menyerang Malaka sendiri namun
menemui kegagalan. Baru ketika Aceh membantu Belanda dan
Johor ikut pula membantu walaupun sedikit, Portugis berhasil
dikalahkan pada 14 Januari 1641. Sejak peristiwa itu baik Aceh
dan Johor tidak lagi terlibat dalam kontak kenegaraan yang
intensif. Di pihak Aceh, kerajaan sedang berada pada masa-masa
penurunan sedangkan Johor disibukkan dengan pembangunan
negerinya dan kerjasamanya dengan Belanda.
Tahun 1641 inilah menjadi titik penting dari terbenamnya
hubungan diplomatik Aceh-Johor. Munculnya Belanda ditengarai
menjadi alasan penting mengapa suasana penuh perlawanan antar
kerajaan yang semula intens perlahan mengendur. Baik Johor dan
Aceh disibukkan dengan masalahnya sendiri-sendiri. Pihak
92
kerajaan Aceh pasca pemerintahan Iskandar Thani disibukkan
dengan kontroversi pengangkatan ratu sebagai pengganti Iskandar
Thani. Hingga hampir satu abad kedepan, Aceh sempat tenggelam
dalam konflik internal. Masa pemerintahan ratu inilah yang disebut
H.M. Zainuddin sebagai masa-masa kemunduran Aceh dalam
bidang politik regional.140
140 H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 174-175.
93
BAB IV
KERAJAAN JOHOR
A. Lahirnya Pewaris Malaka
Jatuhnya Malaka oleh Portugis membawa dampak
signifikan dalam peta perpolitikan kawasan Semenanjung Malaya.
Emporium yang tersohor sebagai tujuan utama dagang dunia ini
menjadi saksi bisu bergantinya sang penguasa atasnya. Kekacauan
segera merambat ke ruang publik di mana pembunuhan dan
pengejaran menjadi pandangan yang terlihat di sana - sini. Di sela-
sela asap meriam dan teriakan penduduk serta saudagar Malaka,
iring-iringan pasukan Portugis merayap mendekati pusat kota.
Kekalahan ini dirasa amat menyakitkan khususnya bagi
keluarga kerajaan Malaka. Di antara mereka ada yang luka-luka,
tidak sedikit pula perangkat kerajaan yang menjadi korban.
Keadaan menyedihkan tersebut semakin mencekam tatkala
mengetahui bahwa tampuk tahta yang selama ini diwariskan dari
para leluhur berpindah tangan ke genggaman Portugis, bangsa
Eropa yang memang sudah dikenal sebagai pelaut yang tidak ragu-
ragu menghalalkan pembunuhan demi cita-cita mereka.
Penaklukkan Goa, bandar dagang ramai di India, menjadi bukti
betapa mereka gigih melancarkan serangan Spartan hingga mampu
menanamkan pengaruh di rute dagang ke barat sekaligus menjadi
pangkalan perang mereka menaklukkan Malaka di kemudian
hari.141
141
Penyerbuan ke Malaka, menurut M. Dien Madjid sempat dilakukan
dua kali, hanya saja yang perdana, serangan Portugis dapat dipatahkan pasukan
Malaka. Baru pada 6 Juli 1511, Portugis mampu menundukkan Malaka. Lihat
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan
Perjuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 27-29; Lihat
94
Suasana yang demikian mencekam tersebut, memaksa
Sultan Mahmud Syah, Raja Malaka kala itu, dan keluarga istana
lainnya mengungsikan diri keluar dari istana Malaka. ia menempuh
jalan yang tidak diketahui oleh pasukan Portugis yang terlihat ke
sana kemari membunuh pasukan kerajaan sembari mencari harta
rampasan di sekitar istana. Dengan hati-hati mereka keluar dan
melewati jalan-jalan yang jauh dari jangkauan pandang pasukan
musuh. Dari suatu bibir pantai, rombongan pelarian ini bertolak
menggunakan kapal ke Pulau Bintan.
Di tempat persinggahannya ini, raja dan keluarganya itu
disambut dengan suka cita oleh penduduk Bintan. Wilayah Bintan
yang kala itu disinggahi bernama Kopak. Suasana yang penuh
dengan kehangatan ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Bintan
yang masih termasuk dalam kawasan Riau merupakan gugusan
pulau yang berada dalam kekuasaan Malaka. Bergabungnya
kawasan kepulauan Riau ini di bawah Malaka terjadi tatkala
kerajaan ini berada di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar Syah.
Tome Pires, seorang pelaut Portugis yang sempat menyinggahi
beberapa kawasan di sekitar Semenanjung Melayu, membenarkan
bahwa Muzaffar Syah yang disebutnya Modafarxa telah menguasai
Bintan segera setelah ia mengambilalih penguasaan selat
Singapura.142
Oleh sebab masih merasa sebagai daerah yang dahulunya
dipimpin Malaka, penduduk Kopak menganggap Sultan Mahmud
Syah beserta rombongan sebagai junjungan yang harus dilindungi.
Mereka menjamin keselamatan raja beserta rombongan di tempat
mereka. Keberadaan Sultan Mahmud Syah di Bintan ternyata tidak
bertahan lama. Kapal-kapal Portugis yang rajin berpatroli di sekitar
pulau-pulau tetangga Bintan menyebabkan keberadaannya
terancam. Menginjak tahun 1526, pasukan Portugis di bawah
pimpinan Viceroy Maascarenhaas menyerbu Kopak. Sultan
berserta rombongan mengungsi ke Bengkalis lalu berpindah ke
Kampar.
juga Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Portugis Malaka
(London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13. 142
Armando Cortesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II
(New Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 244.
95
Wilayah Kampar saat itu adalah suatu daerah yang
memiliki kesamaan tradisi dengan Minangkabau, hanya saja
pemuka beserta rakyatnya memilih tunduk pada Malaka. Sebelum
kedatangan pengungsi Malaka, daerah ini telah terlebih dulu
merasakan serangan Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditangkap
Portugis dan dibawa ke Goa. Sultan pun kembali mendapatkan
tempat bernaung yang aman, oleh sebab Kampar, menurut
penuturan Tome Pires, kerajaan ini di masa Muzaffarsyah telah
dikuasai Malaka. Bahkan putri dari saudara Muzaffar Syah, Raja
Pute, menjadi istri dari Raja Kampar.143
Pada tahun 1529, setelah menimbang suasana yang kian
genting, penduduk Kampar menyadari bahwa daerahnya harus
dipimpin oleh sosok yang mengerti dengan arah kebijakan strategis
kerajaan ini di masa depan. Setelah mengadakan rapat internal,
akhirnya para datuk, pemuka adat serta masyarakat setempat
sepakat untuk mendaulat Sultan Mahmud Syah menjadi Raja
Kampar. Sebelum Mahmud Syah mangkat, ia menyerahkan tahta
Kampar kepada putranya, Raja Ali yang setelah naik tahta bergelar
Sultan Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I
merupakan Raja Malaka sebelumnya).
Setelah beberapa waktu berselang, Kampar ternyata bukan
tempat yang menjanjikan keamanan jangka panjang. Kekhawatiran
akan datangnya serangan Portugis selalu menghantui para mantan
bangsawan Malaka di sana. Mereka telah terbiasa hidup di bibir
pantai di mana ketika terjadi suatu serangan musuh, laut senantiasa
menjadi pelarian yang menjanjikan kebebasan. Di Kampar mereka
tidak menemui hal itu, mengingat pengetahuan mereka akan
daerah sekitar Kampar amatlah minim. Bayangan serangan atas
Bintan selalu terngiang di pikiran mereka. Kegusaran itu diam-
diam juga menggelisahkan Raja Kampar. Sang raja memiliki
alasan lain mengapa dirinya belakangan tidak kerasan di
singgasananya. Daerah tetangga Kampar, Minangkabau,
dianggapnya sebagai ancaman nyata lainnya, oleh sebab sejak
dahulu, Minangkabau bukanlah bawahan Malaka. Di samping itu,
Portugis bisa saja mengadakan sebuan lanjutan ke Kampar.
143
Armando Cortesao, Suma Oriental ..., hlm. 245.
96
Setelah merenung selama beberapa saat, terbetiklah
gagasan untuk meneruskan kejayaan Malaka dan pembangunan
peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga penerus raja-
raja Melayu dapat tampil kembali di pergaulan internasional.
Setelah mengadakan beberapa pertemuan dengan sesepuh,
penasehat dan tokoh masyarakat Kampar, Sultan Alauddin
Riayatsyah II akhirnya direstui meninggalkan singgasananya.
Setelah berkemas, Raja dan beberapa perangkat istananya
berangkat menuju wilayah Semenanjung Melayu tepatnya di
wilayah tepi sungai Johor. Dalam perjalanannya, Sultan Alauddin
Riayatsyah II menyempatkan diri mengunjungi saudaranya, Sultan
Mansur Syah, Raja Pahang kala itu. Di kerajaan ini, ia menikah
dengan putri sang raja.144
Merujuk pada keterangan Sulalatus Salatin, selain menikah
dengan putri Pahang bernama Raja Kesuma Dewi, di Pahang pula
inilah Sultan Alauddin Riayatsyah memperoleh tambahan pengikut
dan perbekalan yang nantinya dipekerjakan membangun istana
Johor. Dari Pahang rombongan Sultan Alauddin Riayatsyah
berangkat dipimpin oleh Laksamana Hang Nadim. Sesampainya
di Kuala Johor, para pekerja mulai bergerak menebas alang-alang
dan pepohonan. Bendahara dan Seri Bija Diraja, dua orang
bagsawan Pahang yang menyertai, Sultan Alauddin, bertindak
memimpin proyek pembangunannya. Tun Sri Lanang
menceritakan keadaan kota Johor masa awal ini sebagai berikut:
Syahadan akan negeri pun sudahlah dengan
kotanya dan paritnya, yang dari hilir Sungai
Kerting, yang dari hulu Sungai Johor; Maka
Bendahara dan Seri Nara Diraja menyegerakan
orang membuat istana dan masjid, belairung
kedua dan penanggahan, balai gendang, kolam
telaga sekaliannya. Setelah mustaidlah dengan
sepertinya, maka Sultan Ala’uddin pun pindahlah
ke istana dengan isteri baginda, diiringkan biti
dayang-dayang, perwara, mandara baginda; maka
144
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara,
1961) hlm. 140-143.
97
Bendahara dan Seri Nara Diraja dianugerahi
persalin seperti adat. maka segala menteri,
hulubalang, Orang Kaya-Kaya, sida-sida, bentara
sekaliannya pindahlah ke rumahnya masing-
masing arah tempatnya, dan lebuh pekan pesara
pun penuh dengan pepak kedai orang; pada masa
itu kampung orang arah ke hilir datang ke
Beladung, yang ke hulu sampai ke Bukit Piatu, di
hulu Kuala Johor.145
Uraian yang sedikit berbeda diutarakan Nuruddin ar-Raniri
mengenai terbentuknya Johor. Menurutnya, Johor sudah didirikan
sejak lama oleh Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka terakhir. Raja
inilah yang mengundurkan diri ke Ujung Tanah untuk
menyelamatkan diri dari kejaran Portugis. di Ujung Tanah inilah ia
membangun negeri Johor.146
Informasi yang berbeda diterangkan oleh D.G.E. Hall
mengenai liku-liku aktivitas Sultan Mahmud Syah mulai dari
kekalahannya mempertahankan Malaka hingga pendirian Johor.
Setelah mengetahui bahwa kemenangan merupakan sesuatu yang
jauh dari genggamannya, ia melarikan diri menuju Pahang. Di
kerajaan ini, Mahmud Syah meminta bantuan Kaisar Ming di Cina
untuk mengirimkan pasukan melawan Portugis. Balasan yang
didapat nyatanya tidak sesuai harapan, Kaisar Ming belum
meluluskan permintaan Mahmud Syah, mengingat kala itu
kekaisaran Cina disibukkan dengan serangan bangsa Tartar.
Mengetahui jawaban Kaisar Cina itu, Mahmud Syah
semakin dibuat bingung. Bagaimanapun ia harus segera mencari
lokasi baru untuk membangun ibukotanya kembali. Alasan kuat
mengapa ia berkeinginan membentuk kekuatan baru adalah guna
menamatkan kekuatan Portugis yang kala itu belum betul-betul
kuat berpijak di Malaka. Ia dan rombongan kemudian bergegas
145
A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu (Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008) hlm. 290-292 146
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks
didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil
ML 422, hlm. 8.
98
menuju Sayong Pinang dan menetap selama beberapa waktu di
sana. Sayong Pinang yang merupakan daerah yang jauh dari
pesisir, dirasa tidak cocok dijadikan ibukota kerajaan. Pada tahun
1521, ia da pengikutnya berpindah ke pulau Bintang, sebelah
tenggara Singapura. Di tempat barunya ini, para pelarian dari
Malaka mendapat beberapa serangan dari Portugis. Oleh sebab
belajar dari pengalaman, dalam beberapa kesempatan serbuan,
yakni tahun 1523 dan 1524, Mahmud Syah dan pengikutnya
berhasil memukul mundur pasukan Portugis hingga menderita
kekalahan telak. Mahmud Syah bahkan sempat mengirim pasukan
menyerang balik Malaka, kendati belum mencapai berhasilan
besar.
Para petinggi Portugis di Malaka tidak tinggal diam
mendapati serangan sisa-sisa kekuatan Malaka. Menginjak tahun
1526, selaksa pasukan Portugis memombardir pulau Bintang dan
menghancurkan ibukotanya lantas menyerahkan pulau itu pada
Raja Lingga. Mahmud Syah dan rombongan yang berhasil keluar
dari ketatnya serbuan, melarikan diri ke Kampar. Dari sini ia
memiliki cita-cita untuk mendirikan ibukotanya di pinggir sungai
Johor. Setelah persiapan siap, rombongan ini menuju lokasi
tersebut. Di tengah pengerjaan membangun ibukota, Mahmud
Syah menghembuskan nafas terakhirnya pada 1528.
Proyek besar tersebut dilanjutkan oleh anaknya, Alauddin.
Di sana, Raja Johor ini memimpin serangan-serangan melawan
Portugis. Bisa dikatakan Johor kala itu menjadi duri dalam daging
bagi kuasa Portugis. Pertentangan dengan Portugis kemudian
mengalami gencatan senjata pada akhir tahun 1536, dikarenakan
Portugis telah berhasil mendaratkan pasukannya di Muar. Kala itu
panglima Portugis, Dom Estavao da Gama berhasil memaksa Johor
berdamai dengan Portugis. Sementara itu, Muzaffar Syah, kakak
Alauddin, di kala ketegangan dengan portugis, pergi ke Perak dan
mengunjungi istana rajanya. Bersama dengan Perak dan Pahang,
Johor untuk sementara puas dengan persahabatan bersyarat mereka
dengan Portugis.147
147
D. G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha
(Jakarta: Usaha Nasional, 1988) hlm. 309-310.
99
Tentu akan menimbulkan tanya tersendiri, mengapa bekas
kerajaan yang sebelumnya tunduk kepada Malaka, tetap setia
kepada raja terakhirnya dan memberikan bantuan serta jaminan
perlindungan pasca direbutnya Malaka oleh Portugis. Kerajaan-
kerajaan itu sepenuhnya sadar ketika mereka tunduk di bawah
suatu kekuatan yang lebih besar, maka pada titik itu mereka
menyerahkan sebagian otoritasnya kepada kekuatan itu. Mereka
tentu tidak sebebas sebelum menyatakan kesetian kepada kerajaan
yang lebih besar dalam menentukan kebijakan politiknya. Jatuhnya
Malaka, membuat kerajaan bawahannya seperti Kampar, Aru dan
lain-lain tidak melepas ikatan politik mereka terhadap kerajaan
junjungannya itu. Malah, sebagian dari raja bawahan, seperti
Kampar mau membantu pelarian kerajaan itu.
Selain didasari oleh alasan manusiawi seperti membantu
orang yang kesulitan, yang lain adalah mereka masih ingin
menjaga pertalian politik dengan Malaka. Kendati kerajaan serta
kedaulatan Raja Malaka saat itu telah lenyap, kedudukannya
sebagai raja yang membawahi sekian kerajaan lain tetap diakui
oleh bawahannya. Ini merupakan ciri khas ketaatan khas orang
Melayu.
Lebih lanjut, A. C. Milner menjelaskan bahwa hubungan
rakyat dan raja adalah hubungan yang juga menyertakan aspek
ketuhanan di dalamnya. Ketundukan mereka pada rajanya mirip
dengan yang terjadi dalam tata kelola pemerintahan Arab,
khususnya Abbasiyah yang amat kental dengan nuansa
kepemerintahan ala Persia pra Islam. Kedudukan raja atau sultan
kerapkali diasosiasikan dipancari cahaya ketuhanan. Maka dari itu,
dalam tradisi kerajaan Melayu, raja mendapat gelar “bayang-
bayang Allah di muka bumi.” Menjunjung tinggi martabat raja
adalah juga mengagungkan Tuhan.148
Orang-orang Melayu menganggap diri mereka adalah
hamba (patik) bagi raja. Raja adalah sosok penguasa semua tanah
yang didiami mereka. Hukum juga dikatakan “milik” sang raja.
148
A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad
Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES,
1989) hlm. 54-56.
100
Sebagai contoh, Undang-Undang Malaka menggambarkan sultan
sebagai pemilik undang-undang. Hukum kerajaan yang berasal
dari perpaduan hukum agama dan adat belum sempurna jika tidak
mendapat persetujuan raja. Undang-undang baru dikatakan sah
diberlakukan jika sudah mendapat persetujuan dari raja dan para
pembesarnya. Dalam kata pendahuluannya, undang-undang ini
menjelaskan bahwa adat ini turun ke kita sejak masa Iskandar
Agung dan Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka pertama yang
juga keturunannya telah “menetapkannya.” Adat dan undang-
undang ini senantiasa diwariskan pada raja-raja keturunannya dan
menjadi milik mereka. Para wakil raja (termasuk juga raja
bawahan) diharapkan menyelenggarakan pemerintahan merujuk
pada adat dan undang-undang tersebut.149
Menurut penjelasan Ellya Roza, jika diperhatikan lebih
lanjut, raja-raja yang memerintah Johor adalah terdiri dari tiga
keluarga, yakni:150
1. Keluarga Kesultanan Malaka
2. Keluarga Bendahara
3. Keluarga Temenggung
Tambahan lagi, keluarga Malaka yang memerintah Johor
terdiri juga dari dua keluarga, yakni:
1. Keluarga yang langsung datang ke Johor dari Malaka
2. Keluarga Malaka yang tinggal di Pahang sebelum datang
ke Johor
Adapun Sultan Alauddin Riayatsyah II adalah keluarga Malaka
yang datang dari Malaka.
Sultan Alauddin meninggal pada tahun 1564,
kedudukannya diganti oleh anaknya yang bergelar Muzaffar Syah
yang memerintah sejak 1564 hingga 1570. Di masa
149
A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” .., hlm. 49-50. 150
Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Sultan Abdul Jalil Rahmat
Syah; Pendiri Kerajaan Siak (Siak: Yayasan Pusaka Riau dan Pemerintah
daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemuda dan
Olahraga, 2012) hlm. 10-11.
101
pemerintahannya, sang Sultan menjadikan Bukit Seluyut sebagai
persemayamannya sekaligus tempat pemerintahan Johor. Pada
masanya pula, hubungan Aceh dan Johor mengalami ketegangan
mengingat kala itu Aceh sedang giat melakukan perluasan
dominasi kuasa. Upaya Aceh menjalar hingga mengancam
eksistensi Johor.151
Munculnya Johor sebagai kerajaan baru bisa dikatakan
sebagai pelanjut kerajaan Malaka. Penyebutan demikian
dilatarbelakangi oleh karena raja-raja Johor terhitung masih
keturunan raja-raja Malaka. Pamor Johor perlahan mulai naik,
mengingat administrasi kerajaannya yang semakin membaik,
ditambah pemasukan yang kian melimpah dari sektor perniagaan
maritim. Letak Johor di tepi sungai Johor, merupakan spot strategis
pedagangan di kawasan selat Malaka. Hubungan yang dinamis
dengan kerajaan-kerajaan tetagga seperti Perak dan Pahang,
membuat kerajaan ini semakin tumbuh besar, jauh dari
ketegangan. Pertalian politik dengan Portugis, di kemudian hari,
menjadi faktor penunjang lain, yang membuat mereka mampu
membangun kerajaan tanpa khawatir mendapat gangguan dari
tetangganya itu.
Oleh sebab iklim perpolitikan yang harmonis tersebut,
Johor perlahan mampu mengembangkan warisan potensi
maritimnya. Bandar Johor mulai difungsikan sebagai tempat
bersandar dan berniaga kapal-kapal asing. Pasarnya pun mulai
bergeliat dan kedai-kedainya telah ramai dikunjungi pelaut dan
saudagar lintas negeri yang singgah. Meskipun begitu, potensinya
ini masih belum sanggup menandingi Malaka dan pelabuhan-
pelabuhan Aceh.
Sejauh sumber yang didapat, belum ada literatur yang
menjelaskan kemajuan Johor dalam di berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya. Merupakan suatu kesulitan tersendiri dalam
memetakan perkembangan kerajaan secara rinci. Misalnya saja
aspek sosial, ekonomi, politik, budaya secara terpisah. Diakui oleh
Leonard Y. Andaya bahwa sumber mengenai Johor abad 16 dan 17
151
Mustafa Ali Mohamet, Johor Darul Takzim (Selangor: Pelanduk
Publications, 1987) hlm. 3.
102
masih amat sedikit, apalagi yang ditulis langsung oleh orang Johor
sendiri. Lebih lengkapnya ia mengatakan:152
The kaledioscopic treatment accorded to history
of Johor in this period (16 and 17 centuries),
because of the personal involvement of the
authors in one or another group, has made it
difficult to see the whole sweep of Johor history
and the slow metamorphosis in the traditional
elements of the power structure. For all the
“Malay” histories available, there is very little
written from the Johorese point of view which
would have perhaps alluded to the attitudes of the
Malays to the changes which were occuring and
the manner in which they adapted or succumbed
to these changes.
Salah satu penyebab mengapa kerajaan ini tidak lantas
segera menjadi kekuatan berpengaruh di Semenanjung Malaya,
hingga menyaingi popularitas Portugis dan Aceh, yang merupakan
dua kekuatan saling berseteru, di masa awal perkembangannya,
adalah karena kerajaan ini kerap mendapat serangan dari dua
kekuatan yang berebut pengaruh tersebut. Leonard Y. Andaya
mencatat, wilayah Johor merupakan lahan empuk yang sering
menjadi tempat berebut pengaruh baik Aceh maupun Johor.
Keadaan tersebut membuat kerajaan ini kerap mengalami periode
sulit berupa serangan dari kedua belah pihak. Portugis
melancarkan invasi ke Johor pada tahun 1518, 1520, 1521, 1523,
1524, 1526, 1535 dan 1587, sedangkan Aceh pernah menyerbu
Johor pada tahun 1564 (atau 1565), 1570, 1582, 1613, 1618 dan
1623.153
Namun yang dapat disebutkan, Johor memiliki ruang untuk
berkembang menjadi kerajaan besar yang baru dicapainya
menjelang 1641. Yakni ketika Aceh berangsur-angsur sudah mulai
152
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study
of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis,
Cornell University, 1971, hlm. 8. 153
Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18-19.
103
menyurutkan upayanya menjadi kekuatan utama di perairan
Malaka dan sekitarnya. Di tahun tersebut pula Johor bekerjasama
dengan Belanda mengalahkan Portugis sekaligus mengusirnya dari
Malaka. tahun ini mnjadi babak baru bagi perkembangan kerajaan
Johor hingga ke masa-masa setelahnya.
Ellya Roza menyebutkan bahwa Johor mulai menguasai
selat Malaka, sebagai salah satu bandar niaga yang ternyata masih
memiliki reputasi di mata saudagar dunia, menginjak masa
pemerintahan Sultan Abdul Jalil syah III (1623-1677), tepatnya
pada tahun 1641. Di tahun ini, Johor berusaha membangkitkan lagi
kejayaan moyangnya, Malaka. Perluasan pengaruh juga mulai
dibentangkan hingga dapat menguasai Selangor, Negeri Sembilan,
Pahang dan Trengganu. Di samping itu, kerajaan-kerajaan pantai
timur Sumatra yang sebelumnya tunduk pada Malaka, seperti Siak,
Rokan, Aru dan Indragiri menyatakan kesetiaannya pada Johor.
Menginjak tahun tersebut, sebenarnya daerah Johor
mengalami kemerosotan wibawa, terlebih dalam pergaulannya
dengan penguasa asing Belanda. Sepertinya Johor lebih memilih
jalan kooperatif dengan hadirnya bangsa Kulit Putih tersebut,
dengan tidak menindak keras mereka terlebih dengan melancarkan
pelbagai aktivitas yang berujung pada kontak fisik. Wilayah Johor
hanya terdiri dari Sungai Kelang, Sungai Penagie (Kuala Tinggi),
Sungai Siak, Sungai Kampar, Bengkalis, Ungaran, kepulauan
Karimun, p. Bintan, Lingga dan pulau-pulau di sekelilingnya,
Singapura, Rio-Formosa, Sungai Batu Pahat dan Muar.154
Selanjutnya, darah Malaka yang mengalir dalam raja-raja
Johor merupakan penyebab diagungkannya wibawa serta
keturunan mereka yang ikut pula menaikkan reputasi mereka di
kancah regional. Malaka merupakan induk bagi lahirnya kerajaan-
kerajaan Islam di kawasan semenanjung dan pantai timur Sumatra.
Identitas dan tradisi kemelayuan yang berkembang sampai dewasa
ini, merupakan buah dari kerja keras para pendahulu raja bangsa
Melayu yang dihubungkan pula dengan raja-raja Malaka.
Bayangkan saja di masa kejayaannya, raja Malaka terakhir,
154
Ellya Roza, Raja Kecik ..., 9-10.
104
Mahmud Syah pernah menyerukan untuk menghentikan
keberangkatan haji ke Mekkah bagi rakyatnya. Ia justru
berkeinginan untuk menjadikan Malaka menggantikan Makkah.155
Dikenal dalam sejarah, Malaka menjadikan ulama-ulama
Aceh sebagai rujukan dalam masalah keagamaan. Namun,
perasaan ketertinggalan dalam ranah agama tidak lantas membuat
raja serta perangkat pemerintahannya menata penyelenggaraan
kerajaan. Pernyataan Raja Malaka tersebut, merupakan simbolisasi
bahwa Malaka berkeinginan menjadi salah satu pusat
berkumpulnya orang-orang Muslim lintas negeri, yang saudah
dibuktikan melalui keramaian bandar dagangnya.
Memori-memori kejayaan seperti demikian agaknya yang
selalu dijaga oleh generasi keturunan Malaka yang kemudian
tampil dengan wajah baru, yakni kesultanan Johor. Raja-raja Johor
senantiasa menganggap pendahulu mereka ini sebagai inspirasi
dalam mengembangkan kembali kedaulatan bangsa Melayu.
Harapannya, dengan membawa bendera kebesaran Melayu lama,
reputasi Johor akan meningkat pesat dan menjadi salah satu
kekuatan baru yang berpengaruh di selat Malaka.
B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor
Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut
kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi raja-
rajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara
waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat
ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh
saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius
menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya.
Begitupula halnya dengan Portugis yang sungguh-sungguh ingin
menegakkan daulatnya di seluruh perairan selat Malaka dan
sekitarnya. Keuntungan bagi Johor tidak lantas diterjemahkan
sebagai sikap apatis terhadap perkembangan politik regional di
sekitarnya. Justru, keuntungan ini jika tidak dimanfaatkan secara
155
A. C. Milner, “Islam dan Martabat ...”, hlm. 66.
105
tepat serta sesuai dengan kebutuhan kerajaan dapat berubah
menjadi roda besar yang melindas dan menjadikan Johor sebagai
ajang perebutan kekuasaan tanpa bisa menyuarakan kebijakan
politiknya. Rasa khawatir sudah tentu bersemayam di benak para
penguasa Johor melihat karut marutnya rancang bangun politik di
kawasan selat Malaka. Untuk itu, adalah pilihan tepat jika para
pelarian Malaka tidak lantas tampil ke pentas pergaulan antar
kerajaan, dan lebih memilih memperkuat jejaring bawahan Malaka
yang terdesentralisasi pasca jatuhnya Malaka.
Pelarian panjang para pelarian Malaka ke negeri-negeri
yang disinggahinya sebenarnya merupakan investasi berharga bagi
berdirinya Johor di kemudian hari. Logika yang bergulir adalah,
apabila kerajaan pusat yang menjadi naungan para kerajaan kecil
telah punah, maka kerajaan bawahan akan terlibat dalam kompetisi
hebat memperebutkan tampuk kuasa bekas raja atasannya. Hal ini
agaknya tidak langsung terjadi di lingkungan kerajaan-kerajaan
Melayu, namun bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nafsu
berkuasa yang mengendap dalam diri seorang raja, akan memaksa
dirinya untuk menggerakkan pasukan memperluas wilayahnya.
Oleh karena itu, langkah Mahmud Syah mengikat kembali
wilayah-wilayah bawahan Malaka, meskipun dengan dalih mencari
perlindungan atas Portugis, dapat dimaknai sebagai momen awal
dalam menganyam kembali jalin jemalin kejayaan Malaka, yang
kemudian tampil dalam bentuk kerajaan Johor. Dalam bentangan
sejarah Islam peristiwa ini mirip dengan pendirian Bani Umayyah
II di Andalusia pada abad 8. Kala itu, sebagai sisa keluarga
keluarga Muawwiyah yang selamat, Abdurrahman ad-Dakhil susah
payah mencari tempat bersembunyi dan meminta suaka dari
kejaran pasukan Abbasiyah, yang kala itu sedang merentangkan
kekuasaaannya atas Dunia Arab dan sekitarnya. Pelariannya
mencapai batas yang sebelumnya tidak dipikirkan, hingga sampai
ke Spanyol. Di sana, oleh sebab kecakapannya, ia meniti karir
politik dari tingkat bawah hingga akhirnya dapat menjadi pemuka
106
orang Islam dan membangun Dinasti Umayyah II bahkan
kebesarannya menandingi Abbasiyah di kemudian hari.156
Walaupun Mahmud Syah berada dalam keadaan yang serba
terbatas untuk dapat melakukan perlindungan diri, namun tidak
lantas membuatnya menyerah pada Portugis. Kesabarannya
menjalin komunikasi dengan raja-raja Melayu lainnya seperti Siak,
Kampar, Bintan, Indragiri berbuah manis dengan keberhasilannya
mendirikan Johor sebagai gerbong baru pewaris kebesaran Malaka.
Segera pasca pendiriannya, Johor telah memiliki beberapa negeri
yang beraja atasnya, yakni beberapa kerajaan yang tadi disebutkan
ditambah dengan Pahang yang rajanya masih terhitung kerabat
keluarga Malaka. Sebuah keuntungan tersendiri yang langka
dijumpai bagi cepatnya proses perkembangan kerajaan yang baru
didirikan, terlebih mengingat saat itu kemelut perebutan kuasa
Aceh-Portugis sedang memanas.
Oleh karena aparatur Johor generasi awal banyak yang
diangkat dari mantan pejabat kerajaan Malaka, maka bisa
dipastikan, untuk sementara waktu mereka tidak lantas sepaham
dengan aktivitas Portugis. Sama seperti Aceh, salah satu agenda
terdekat mereka adalah bagaimana merebut kembali Malaka dan
mengalahkan bangsa Eropa itu. Untuk itu, pembangunan kota
segera dibarengi dengan penguatan sistem keamanan dan
pembentukan pasukan darat dan air. Hasilnya positif, pasukan ini
menuai banyak keberhasilan dalam serangan penyergapan di
perairan. Kapal-kapal Portugis yang berlayar di sekitar Johor
banyak yang diserang. Pelaut Portugis yang mencoba melarikan
diri ke Pahang ditangkap dan diberi dua pilihan, memeluk Islam
atau mati.157
Mahmud Syah agaknya berhasil menciptakan kubah
pengaruh yang melingkupi negeri-negeri bekas bawahan Malaka.
Kesuksesan pasukannya menekan jumlah lalu lalang armada
156
Lebih lanjut mengenai perumpamaan historis ini baca Philip K.
Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk (Jakarta: Serambi, 2008)
hlm. 642-648. 157
Richard Winstedt, Malaya and Its History (Great Britain: The
Anchor Press, 1933) hlm. 43.
107
Portugis di sekitar selat Malaka dan pesisir Sumatra Timur
merupakan bentuk kerjasama yang dibangun antar pemuka
kerajaan. Richard Winstedt menambahkan, baik dengan pasukan
maupun dengan pengaruhnya di lingkungan para penguasa
Sumatra (utamanya Sumatra Timur), Mahmud Syah banyak pula
mendatangkan pasokan komoditas makanan bagi negeri
barunya.158
Zona pengaruh Johor tanpa harus menunggu waktu
lama cepat terbentuk dan ini yang kemudian mendorong Johor
keluar sebagai kekuatan baru dalam perhelatan politik antar
kerajaan.
Tindakan defensif yang dikedepankan Johor ternyata
tidaklah bertahan lama. Portugis segera mengetahui munculnya
kekuasaan baru yang mengancam ambisinya. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah II mengalami
kesulitan menghadapi kepungan pasukan Portugis sehingga
memaksanya berdamai dengan Portugis pada 1536. Tunduknya
Johor dibarengi pula dengan penguatan kuasa Portugis atas
kerajaan-kerajaan Melayu sehingga hampir secara berbarengan
Perak dan Pahang jatuh dalam pengaruh Portugis.159
Meskipun pamor Johor atas beberapa kerajaan Melayu
masih terasa, namun bukan berarti kerajaan-kerajaan tersebut akan
memberikan bantuan sebagaimana yang diharapkan Johor,
umpamanya membantu pengiriman pasukan atau logistik yang
memadai. Sebagai keturunan raja-raja Malaka, harusnya Johor juga
mampu mempengaruhi negeri-negeri Melayu lain agar mendukung
gerakan mereka merebut kembali Malaka, namun yang terjadi
justru sebaliknya. Persatuan antara kerajaan Melayu tercerai berai
dan tidak diketemukan dalam catatan sejarah mengenai konsolidasi
raya dunia Melayu yang dulunya merupakan bawahan Malaka,
untuk menghancurkan kedudukan Portugis. Keberhasilan Portugis
menguasai Johor dan beberapa kerajaan Melayu di atas menjadi
bukti atas ketiadaan persatuan tersebut.
Menyadari kerajaan berada pada keadaan sulit berkembang,
menyebabkan para petinggi istana Johor dipaksa untuk mencari
158
Richard Winstedt, Malaya and ..., hlm. 43. 159
D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara ..., hlm. 310.
108
jalan alternatif untuk mengupayakan agar kerajaan dapat terus
bergeliat. Satu alternatif yang paling memungkinkan adalah tetap
konsisten menjalani masa gencatan senjata dengan Portugis
sembari memperkuat persaudaraan kerajaan-kerajaan Melayu dan
negeri bawahan lainnya. Paling tidak, demikian hemat para
penasehat kerajaan, Johor tetap dianggap sebagai kerajaan yang
memiliki pengaruh kuat di selat Malaka dan suatu saat bisa
menjadi daya tawar terhadap setiap kebijakan Portugis atas
kerajaan ini.
Bersamaan dengan semakin turunnya pamor Malaka, Aceh
berkembang menjadi kerajaan dagang yang kuat. Sejak masa Ali
Mughayyat Syah, Aceh telah rajin melakukan peperangan dengan
Portugis. Di antara perang itu, tidak jarang Aceh memperoleh
kemenangan. Menyaksikan munculnya kompetitor baru lawan
Portugis tersebut, pejabat istana Johor mulai tersadarkan, Aceh
menjadi ancaman berikutnya selain Portugis yang diramalkan akan
mengupayakan perluasan pengaruh, tak terkecuali hingga
menyentuh wilayah Johor dan bawahannya.
Virginia Matheson Hooker mengungkapkan bahwa latar
belakang Johor mulai bersinggungan dengan Aceh dan Portugis
adalah karena dua kekuatan ini berpotensi mengganggu jalur
dagang internasional yang menjadi andalan pendapatan mereka.
Untuk itu, maka ketika pasukan Aceh akan menguasai Aru, Johor
terlebih dahulu telah membuat aliansi dengan kerajaan Aru untuk
bersama menghentikan laju Aceh.160
Ini merupakan perjumpaan
awal antara Johor dengan Aceh. Sebagaimana telah diungkapkan,
pada pertempuran ini Aceh mengalami kekalahan akibat serangan
gabungan Johor dan Portugis.
Di samping itu, kesempatan membantu Aru ini pula
menjadi awal mula kemitraan Johor dengan Portugis. Setelah
sebelumnya kedua kekuatan ini terlibat dalam gencatan senjata,
momen menyelamatkan Aru dari cengkeraman Aceh menjadi
ingatan indah di kalangan pemuka Johor bahwa ternyata Portugis
merupakan rekan yang bisa diandalkan. Perlahan persepsi hitam
160
Virginia Matheson Hooker, A Short History of Malaysia (Australia:
Allen and Unwin, 2003) hlm. 80.
109
yang dialamatkan Johor pada Portugis luntur sedikit demi sedikit.
Begitu pula dengan Portugis, Aru yang merupakan bawahan
Portugis ternyata dipandang sebagai rekan penting pula oleh Johor.
Agaknya budaya kemelayuan menjadi faktor integratif keduanya.
Pada titik ini, Portugis mulai menyadari bahwa kekerabatan
sesama raja Melayu dapat diandalkan sebagai bagian bagi misi
mereka mengalahkan Aceh.
Agaknya para penguasa Johor menyadari pergerakan
zaman yang berubah, membawa implikasi pada perubahan peta
politik. Sebagai kerajaan yang baru berdiri, mereka tentu tidak
dapat langsung menjadi lawan kuat penantang Aceh dan Portugis
yang kala itu sedang bertikai. Serangan Aceh atas Aru merupakan
peristiwa yang cepat membuka mata Johor untuk segera memilih
mitra, dan karena yang diserang adalah Aru yang dahulunya
merupakan bawahan Malaka,didorong oleh rasa kekerabatan
sesama raja Melayu, maka Johor lebih menjatuhkan pilihan kepada
Portugis ketimbang Aceh. Meskipun kekuasaan Malaka telah
pudar, namun ikut sertanya Johor membela Aru, menjadi pertanda
betapa ikatan persaudaraan Melayu masih kuat.
Sejak itu, baik Johor dan Portugis terlibat dalam hubungan
yang aneh. Johor tidak lagi menganggap Portugis sebagai musuh
utama yang harus dienyahkan, melainkan bisa dimanfaatkan
sebagai relasi bisnis yang menguntungkan mereka. Anggapan
mengenai Portugis sebagai penakluk Malaka seakan diabaikan,
yang terpenting, demikian kiranya hemat elit politik Johor,
kesempatan mereka menjadi salah satu kekuatan besar Melayu
tetap terjaga, meskipun harus berkomplot dengan musuh masa
lalunya itu. Di sisi lain Portugis memandang Johor sebagai sosok
utama paling berpengaruh dalam lingkungan para pembesar
Melayu. Sematan pewaris kerajaan Malaka yang dimilikinya masih
relevan dibuktikan dengan beberapa daerah Sumatra Timur yang
tunduk di bawah Johor.
Belum lagi menimbang kekuatan kerajaan Melayu lainnya
seperti Perak dan Pahang yang juga memiliki garis kebijakan luar
negeri sama dengan Johor. Jika kesatuan wilayah bawahan Johor
ini berada di bawah komando Portugis, maka tentu jalan
110
menguasai Semenanjung Melayu dan sebagian besar Sumatra
terbuka lebar. Oleh sebab itulah Portugis mulai memandang
penting Johor, bukan lagi menempatkannya sebagai negeri
bawahan namun lebih tepat disebut mitra yang saling
menguntungkan.
Usaha Johor dalam mengembalikan kedigdayaan Malaka
bersamaan dengan masa ketika Aceh memaklumatkan perang
terhadap Portugis. Dikuasainya Malaka membuat berang para
penguasa Aceh yang kala itu sedang giat melakukan perluasan
pengaruh. Bukan hanya dengan Portugis, Aceh juga tidak segan
menyerang negeri-negeri Melayu dan sekitarnya yang diketahui
memiliki hubungan dengan Portugis, Johor menjadi salah satunya.
Sejak diketahui Johor membantu Portugis dalam penyerangan
terhadap Aru pada 1540. Kesan Aceh terhadap perjumpaannya
dengan Johor sudah pasti menganggap kerajaan itu merupakan
sekutu Portugis. Sejak itu, maka Aceh sadar bahwa tugas mereka
bertambah, selain mengalahkan Portugis, mereka juga
berkewajiban menundukkan negeri-negeri Melayu sekutu
musuhnya itu.
Merujuk pada keterangan Leonard Y. Andaya, momen
ketika Johor berhasil menahan kekuatan Aceh di muara sungai
Panai pada 1540, menjadi memori kegemilangan yang
mendongkrak wibawa Johor. Betapa jumawanya mereka karena
saat itu mereka berhasil memukul balik pasukan Aceh yang sudah
dikenal kuat dan pantang menyerah. Hampir bersamaan dengan
masa itu, Aceh berhasil menjadi bandar dagang paling berpengaruh
yang menghubungkan perdagangan muslim India dan Asia Barat.
Kemakmuran yang dimiliki Aceh membuatnya berani menantang
dominasi Johor atas negeri-negeri Melayu. Sultan Alaiddin Riayat
Syah al-Kahar merupakan sultan Aceh pertama yang mengadakan
penyerangan pertama ke Johor pada 1564/1665.161
Serangan ini
menjadi pelajaran berharga pihak Johor untuk tidak meremehkan
Aceh, bahkan ketika mereka merasa memiliki mitra setangguh
Portugis.
161
Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18.
111
Serangan ini cukup membuat pihak istana Johor dirundung
kekhawatiran hebat. Sultan Muzaffar Syah naik tahta pada 1564,
mendapat pekerjaan baru untuk menenangkan aparat pemerintah
Johor beserta masyarakatnya. Ia memutuskan untuk memindahkan
ibukota dari yang sebelumnya di tepi sungai Johor pindah ke bukit
Seluyut. Ia sendiri amat mengutuk serangan Aceh atas negerinya
dan tidak rela jika Johor sampai berada di bawah kendali Aceh.
Berbeda dengan tradisi kerajaan yang menahbiskan putra mahkota
sebagai suksesor seorang raja, Muzaffar Syah justru mengangkat
keponakannya, Raja Abdul Jalil menjadi Raja Johor keempat
bergelar Sultan Abdul Jalil Syah pada 1570. Muzaffarsyah sendiri
di kemudian hari meninggal di Seluyut pada 1570.162
Perpindahan pusat pemerintahan dari tepi sungai Johor ke
wilayah pedalaman, yakni di Bukit Seluyut, memiliki implikasi
yang berganda. Secara pertahanan, perpindahan ini dapat dilihat
sebagai suatu langkah penting guna menghindari serangan musuh
yang datang dari arah perairan. Pilihan daerah yag lebih tinggi,
memungkinkan pasukan Johor untuk mematangkan persiapan jika
serangan datang dari arah sungai, sehingga ancaman serangan
musuh dapat diminimalisir. Di pihak yang lain, pemindahan ini
berpotensi memperlemah proyek pembangunan perdagangan
maritim Johor. Tidak bisa dipungkiri, kawasan perairan Malaka,
merupakan ajang perebutan pengaruh antara Aceh dan Portugis.
Pemindahan ini, membuat Johor tertinggal langkah dalam
membangun sistem pelabuhan yang baik dan modern di masanya.
Terlebih Portugis masih gencar melakukan patroli di beberapa
wilayah Semenanjung Malaya maupun pesisir Sumatra Timur,
sehingga mempersulit ruang gerak Johor di wilayah pesisir.
Raja Abdul Jalil yang masih kecil, yakni berumur sekitar 9
tahun dianggap masih terlalu dini memimpin kerajaan yang baru
mengalami perubahan ibu kota dengan tumpukan pekerjaan rumah
yang belum selesai itu. Maka disepakati pengurusan pemerintah
diserahkan sementara kepada Bendahara Seri Maharaja.
Pengangkatan raja baru ini ternyata tidaklah disukai oleh sebagian
pembesar istana. Mereka sepakat untuk menyingkirkan raja kecil
162
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 3-4.
112
ini dengan cara diracun. Tidak sampai setahun bertahta, akibat
skenario para pembesar, ia mangkat secara tiba-tiba, dan
penyebabnya adalah karena diracun.
Sultan Muzaffar Syah memiliki saudara perempuan
bernama Raja Fatimah. Saudarinya ini menikah dengan Raja
Umar, putra Raja Pahang. Ketika Sultan Abdul Jalil Syah kecil
mangkat, pembesar Johor terlibat dalam kesibukan mencari
pengganti Raja Johor berikutnya. Pilihan sebenarnya jatuh pada
Raja Abdullah, putra mendiang Sultan Muzaffar Syah, namun
keputusan ini mendapat tentangan dari Raja Fatimah. Menurutnya,
Raja Abdullah belumlah pantas memimpin negeri karena masih
kecil. Ia menyarankan suaminya menjadi Raja Johor berikutnya.
Tanpa menunggu waktu lama, sidang kerajaan akhirnya
memutuskan Raja Omar diangkat menjadi Raja Johor ke 5 bergelar
Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II.163
Dalam Tuhfatunnafis, suatu naskah sastra sejarah Melayu
yang ditulis oleh Raja Ali Haji bin Ahmad, pujangga Melayu abad
19, menyebutkan bahwa di masa Sultan Abdul Jalil Syah, Johor
pernah melancarkan serangan melawan Portugis di Seluyut. Saat
itu, pasukan Johor berhasil mengalahkan sekaligus memukul
mundur musuhnya itu. Di masa Raja Johor ke 4 ini, dibangun pula
pemukiman di hulu sungai Damar yang merupakan anak sungai
Batu Sawar. Ia juga membangun pemukiman di Makam Tauhid,
tempat yang kemudian menjadi peristirahatan terakhirnya. Selain
itu, Sultan Abdul Jalil juga memperkuat kekerabatan dengan
kerajaan Melayu lainnya. Bukan dengan perkawinan, melainkan
dengan langsung mendudukkan putra-putranya sebagai raja di
beberapa kerajaan Melayu. Dengan istri keduanya, Sultan Abdul
Jalil memiliki tiga putra; Raja Hasan diangkat menjadi Raja Siak,
Raja Husein diangkat menjadi Raja Kelantan dan Raja Mahmud
ditahbiskan menjadi Raja Kampar.164
163
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 4-6. 164
Raja Ali Haji bin Ahmad, The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis),
Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya (Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1982) hlm. 12
113
Terlihat, adanya kerancuan pemahaman dalam
mengungkap Sultan Abdul Jalil dalam Tuhfatunnafis jika
membandingkannya dengan informasi mengenai Sultan Abdul Jalil
yang ternyata meninggal ketika masih kecil seperti dipaparkan
sebelumnya. Tidaklah mungkin sultan yang baru berumur 9 tahun
kemudian memiliki 3 anak yang dijadikan raja.
Terkait hal itu, Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya
memberikan catatan di bagian akhir karya Raja Ali Haji ini bahwa
Sultan Abdul Jalil yang tertulis di Tuhfatunnafis merujuk pada dua
orang yang berbeda yang memerintah Johor dalam tahun yang
sama, sekitar 1570 atau 1571.165
Dua sultan itu tidak lain adalah
Sultan Abdul Jalil Syah yang masih anak-anak dan Sultan Ali Jalla
Abdul Jalil Syah. Besar kemungkinan dua sultan ini kemudian
digabungkan dalam satu nama dalam Tuhfatunnafis. Sehingga,
sosok yang dikatakan mendudukkan anaknya sebagai raja negeri
Siak, Kelantan dan Kampar adalah Sultan Ali Jalla Abdul Jalil
Syah.
Menginjak 1574, menjadi titik balik bagi hubungan Aceh
dengan Johor dari hubungan saling menjatuhkan berubah menjadi
rekonsiliasi yang menenangkan dan berazaskan manfaat,
sebagaimana yang telah disinggung di bab sebelumnya. Hubungan
baik ini dipererat dengan dinikahkannya putri Sultan Husain, Raja
Aceh kala itu dengan pangeran Johor. Begitu mengetahui Johor
telah berbaikan dengan Aceh, Portugis menunjukkan
kekecewaannya dengan menyerang Johor pada 1576 dan 1578.166
Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil
yang memerintah Aceh pada 1584-1604, hubungan baik Aceh dan
Johor mengalami kerusakan. Konflik antara keduanya terjadi
tatkala Aceh menyerang Aru yang menjadi salah satu lokasi
potensial Portugis di Sumatra yang dianggap Aceh menjadi
ancaman kekuasaannya jika tidak segera dikuasai. Mengetahui hal
ini, Johor merasa tersinggung dan berpaling membela Aru. Raja
Johor saat itu segera mengarahkan pasukannya untuk melindungi
165
Raja Ali haji, The Precious Gift ..., hlm. 310. 166
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010) hlm. 52.
114
Aru. Untuk memperkuat pasukan, pemuka Johor meminta bantuan
Portugis. Ketika perang pecah, pasukan Aceh mendapati benteng
pertahanan yang kokoh yang digalang pasukan gabungan ini.
Akhirnya, perang ini dimenangkan oleh pasukan Johor-Portugis.
Hubungan Johor dan Portugis pada tahun 1590-an, ternyata
tidak sepenuhnya berjalan baik. Mustafa Ali Mohammad
menyebutkan bahwa ketika Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II
bertahta menjadi Sultan Johor ke 5, Johor terlibat dalam
persengketaan dengan Portugis. Menginjak tahun 1586, pasukan
Johor memblokade kapal-kapal pemasok makanan ke Malaka,
yang menyebabkan kota Malaka terancam kelaparan. Sang sultan
memerintahkan pasukan laut Johor menutup jalur selat Singapura.
Cara menyekat yang unik diperagakan pasukan Johor yakni
dengan cara membariskan kapal-kapal tongkang yang diisi dengan
batu-batu besar.
Portugis yang semakin terjepit berhasil mengirimkan
utusan ke Goa India untuk meminta bantuan. Pada tahun 1587,
Portugis dengan bantuan Goa berhasil keluar dari tekanan dan
menyerang negeri Johor. Kala itu pasukan Johor berperang dengan
senjata tradisional dan harus berjibaku melawan serangan meriam
Portugis. Pada 23 Juli di tahun yang sama, pasukan Johor berhasil
memukul mundur Portugis dari negeri mereka. Kekalahan ini
membuat Portugis tidak puas dan kembali menyerang Johor pada
bulan Agustus. Pada serangan kedua ini, Portugis menggerakkan
pasukan yang lebih kuat dan banyak. Akibatnya, Johor tidak dapat
lagi menahan hempasan serangan Portugis dan akhirnya
pertahanannya jebol. Sultan Ali Jalla memutuskan mundur ke Batu
Sawar dan mangkat di sana. Kedudukannya diganti ankanya, Raja
Mansur, yang setelah naik tahta bergelar Sultan Alauddin Riayat
Syah III.
Pada tahun 1597, Sultan Alauddin tidak berminat untuk
memimpin Johor lebih lanjut. Ia menyerahkan tahtanya kepada
adiknya, Raja Abdullah dan Bendahara Tun Sri Lanang. Sultan
Alauddin dikenal sebagai sosok yang lalai dalam memimpin
negeri. Keseharianya hanya dipenuhi dengan gaya hidup
hedonistik, di mana dayang-dayang, gundik-gundik serta pegawai
115
istana yang sehobi dengannya menemaninya hampir setiap waktu.
Namun begitu, ia tetaplah menduduki tahta sebagai sultan, hanya
saja dalam penyelenggaraan kerajaan ia menyerahkan tanggung
jawab pada dua orang di atas.167
Sultan Alauddin memutuskan perkara penting dengan
memindahkan ibukota ke Batu Sawar. Batu Sawar sendiri
sebenarnya adalah suatu pekan (pasar), terletak sekitar 10 Km dari
bibir sungai Johor. Ibukota baru ini dikelilingi oleh pagar kayu
besar, rapat dan tinggi yang tingginya 3, 6 meter.168
Di samping
itu, Tuhfatunnafis menyebutkan bahwa di masa ini pula dibangun
pemukiman di tepi sungai Rawun dan Pasir Raja.169
Pada 1602, terjadi babak baru dalam episode hubungan
internasional Johor. Datangnya duta Belanda ke Batu Sawar
disambut baik oleh segenap punggawa kerajaan. Adalah Admiral
Jacob van Heemskerck, seorang staf angkatan laut Belanda, yang
mengemban tugas mengajak Johor untuk menjalin kerjasama
kenegerian. Tidak tanggung-tanggung, Belanda siap membantu
perjuangan Johor dalam menghadapi seteru-seterunya seperti
Portugis, Aceh dan di masa depan Patani. Tawaran menggiuarkan
ini segera diterima oleh Sultan Alauddin Riayatsyah III. Sebagai
tanda keseriusannya, sang sultan mengirimkan duta untuk bertemu
Pangeran Maurits, pemuka pemerintahan Belanda yang
keberangkatannya bersamaan dengan pulangnya Jacob van
Heemskreck. Kerjasama ini merupakan pintu gerbang awal
masuknya Belanda ke kepuluan Melayu-Indonesia atau Nusantara.
Melalui kerjasama dengan Johor, kedepannya, Belanda berhasil
menanamkan pengaruh ke seantero Semenanjung Malaya.170
Menginjak 6 Juni 1613, hubungan yang memburuk dengan
Aceh yang terjadi pada akhir abad ke 16 berbuah menjadi petaka
bagi Johor. Batu Sawar mengalami masa kesuramannya, yakni
dengan datangnya serbuan pasukan Aceh. Serbuan ke Johor ini
merupakan satu episode dari rangkaian penaklukan regional yang
167
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7. 168
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7-8. 169
Raja Ali Haji, The Precious Gift ..., hlm. 12. 170
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23.
116
ditetapkan oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh
yang sedang berambisi menjadi raja diraja Sumatra dan dunia
Malaya. Dalam pertempuran in Raja Johor berhasil ditangkap dan
dirinya beserta pejabat kerajaan lainnya termasuk saudara sang raja
bernama Raja Abdullah (Raja Seberang), Bendahara Tun Sri
Lanang, Putri Kamaliah (Putri Pahang), Raja Siak yang kebetulan
melawat ke Johor, serta pejabat dan sebagian dari rakyat Johor di
bawa ke Aceh. Ibukota Johor kala itu sedang menatap bayangan
kematiannya, di mana kehancuran menjadi pemandangan yang
terhampar.
Di Aceh, para tawanan Johor mendapat perlakuan yang
istimewa dari Sultan Aceh. Segera, diadakan pertemuan bilateral
antara Johor dan Aceh guna membahas perspektif politik
internasional Johor. Pada kesempatan itu Johor menyatakan akan
mengikuti agenda politik Aceh untuk jangan menjalin hubungan
dengan Portugis. Raja Johor dikabarkan mangkat di Aceh. Raja
Abdullah kemudian dinikahkan dengan Putri Ratna Jauhari, adik
Sultan Aceh. Iskandar Muda juga mempersunting Putri Pahang
sebagai istrinya. Setelah kesepahaman dua kerajaan tercapai, Raja
Abdullah kemudian kembali ke Johor disertai sekitar dua ribu
pasukan Aceh di bawah pimpinan Raja Lela Wangsa. yang
ditugaskan khusus membangun kembali Batu Sawar.171
Untuk
kesekian kalinya pernikahan antar bangsawan dua kerajaan
diharapkan menjadi perekat persahabatan.
Setelah mangkatnya Sultan Alaiddin Riayat Syah III, pada
1615, kepemimpinan Johor dilanjutkan oleh Raja Abdullah yang
bergelar Sultan Hammat Syah.172
Segera setelah pengangkatannya,
ia membuka komunikasi rahasia dengan VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie) kongsi dagang Belanda, dengan menawarkan
sebidang tanah untuk pembangunan benteng VOC, yang di masa
mendatang bersama-sama Johor dapat menaklukkan Aceh. Setelah
menimbang beberapa lama, Raja Johor menilai VOC tidak
komitmen dengan kesepakatan awal, lantas sang raja membuka
171
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 20 dan Pocut
Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 28-29 dan 56. 172
Dalam sumber lain bergelar Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah. Lihat
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 9.
117
kembali perjanjian bilateral dengan Portugis. Salah satu kerjasama
yang disepakati adalah pengangkutan komoditas pangan berupa
beras dan kebutuhan lainnya dengan perahu kecil dari Riau-
Lingga, yang menjadi salah satu bandar dagang tempat
berniaganya junk-junk dari Siam, Patani, Jawa Makassar dan dari
daerah lainnya.
Sultan Hammat Syah menolak cara lama sistem pertahaan
militer dengan hanya bertahan di muara sungai Johor, yang
biasanya dijadikan jalan keluar ketika Johor mendapat serangan
lawan. Ia memilih pulau Bintan sebagai benteng pertahanan Johor.
Perpindahan ini juga dimaksudkan agar mudah mendapatkan
bantuan dari sekutunya, Orang Laut173
yang berdiam di kepulauan
Riau-Lingga. Dalam upayanya memugar kekuatan militer guna
persiapan menghadapi Aceh, Raja Johor ini juga menjalin
kerjasama multilateral dengan kerajaan Palembang, Jambi,
Indragiri, Kampar dan Siak 174
Setelah mempertimbangkan masak-
masak, Batu Sawar tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman
sebagai ibukota, oleh sebab itu pusat pemerintahan kembali
dipindahkan dan kali ini ditempatkan di pulau Lingga.
Alangkah marahnya Iskandar Muda mengetahui Johor
kembali menjalin hubungan dengan musuh Aceh. Pada 1623,
genderang perang kembali ditabuh, armada Aceh kembali
disiapkan dan diberangkatkan langsung menerjang pulau Lingga.
Lewat serangan terpola yang spartan dan sistematis, pulau ini
segera dapat dikuasai. Mengetahui posisinya tidak aman, Raja
Johor melarikan diri ke Tambelan, yang menjadi salah satu daerah
173
Merujuk pada penjelasan A. B. Lapian, Orang Laut adalah salah satu
suku bangsa yang hidup di perairan Sumatra Timur dan selat Malaka yang
kehidupannya amat dekat dengan tradisi kemaritiman. Dalam hubungannya
dengan kerajaan Johor dan kerajaan Riau, Orang Laut termasuk dalam kategori
rakyat kerajaan. Mereka memiliki klebihan di banding suku bangsa lainnya,
yakni bebas dari pajak perorangan. Meskipun begitu, mereka diwajibkan
memberi jasa denga dipekerjakan sebagai pengayuh perahu kerajaan, penyedia
perahu bagi kerajaan dan sebagainya. Lebih lanjut lihat A. B. Lapian, Orang
Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok:
Komunitas Bambu, 2009) hlm. 109-110. 174
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 21.
118
pertahanan kuat Johor. Beberapa bulan kemudian, Raja Johor ini
dikabarkan mangkat di pulau tersebut.175
Sepeninggal Sultan Hammat Syah, Raja Bujang didaulat
sebagai Sultan Johor berikutnya. Ia lebih dikenal dengan gelarnya,
Sultan Abdul Jalil Syah III, dan naik tahta segera setelah
mangkatnya raja pendahulu di pulau Tambelan. Ketika dilantik, ia
dikenakan satu syarat, yakni saat ia berpulang nanti, maka pewaris
tahtanya adalah anak dari Sultan Hammat Syah atau Sultan
Abdullah Ma‟ayat Syah yang bernama Raja Bajau. Dengan istilah
lain ia segera mengangkat Raja Bajau sebagai Raja Muda Johor.
Suratan takdir ternyata berjalan lain, Raja Bajau mangkat lebih
awal ketimbang Raja Bujang yakni pada 1676. Ia meninggalkan
seorang putra bernama Raja Ibrahim.
Setahun berselang, Raja Abdul Jalil Syah III meninggal dan
segera digantikan oleh Raja Ibrahim yang menjadi Sultan Johor ke
9 dan naik ke tampuk kerajaan dengan gelar Sultan Ibrahim Syah.
Ia memindahkan pusat pemerintahan Johor ke Riau dan mangkat di
sana pada 1685.176
Andaya menambahkan bahwa setelah
kemenangan Portugis atas Aceh, yang merugikan Aceh dengan
kerugian berupa kehilangan sekitar 19.000 pasukan dan hancurnya
semua kapal Aceh, membawa angin segar bagi Johor untuk
merekonstruksi kekuatannya di dunia Melayu. Dengan adanya
kebebasan sementara dari gangguan Aceh, Johor berkesempatan
memperluas kekuasaan serta membangun relasi dagang dengan
mancanegara. Di tahun 1623, Johor mengirim duta ke Jambi dan
Palembang untuk mengupayakan repatriasi (pemulangan kembali)
orang-orang Johor yang menyelamatkan diri ke dua daerah
tersebut. Pemulihan kawat diplomatik juga dilakukan ke Patani.
Perbaikan demi perbaikan segera dicanangkan kembali guna
memugar prestis Johor sebagai kekuatan besar di dunia Melayu.
Pada 1637, suatu laporan Belanda menginformasikan armada
Johor yang berlayar di kepulauan Karimun tidak hanya berhasil
memukul kapal-kapal Portugis tapi juga mematahkan skuadron
laut Aceh yang menuju ke Pahang. Persekutuan dengan Belanda
175
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22. 176
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 10.
119
membuat Johor semakin mudah membangun kembali
kebesarannya.177
Tatkala kebimbangan menyelimuti Sultan Iskandar Thani,
Raja Aceh pengganti Iskandar Muda, dalam rangka
memberangkatkan pasukannya membantu Belanda melawan
Portugis, tanpa membuang waktu, Johor menyelinap mengambil
momen tersebut. Didorong oleh ingatan buruk pada 1511, ketika
Portugis menguasai Malaka, membuat pihak Johor sedemikian
yakin langkahnya adalah keputusan penting yang sepatutnya
diambil. Suatu hari di tahun 1639, datanglah seorang laksamana
Johor ke kantor perwakilan Belanda dan mengaku dirinya telah
diberi otoritas penuh dari Raja Johor untuk membantu Belanda
mengalahkan Portugis. Ia menemui Philips Lucas, seorang
pegawai VOC di Patani untuk menandatangani kontrak tersebut.
Sekembalinya dari penandatanganan tersebut, Belanda setuju
untuk membantu pembangunan benteng-benteng di Batu Sawar
dan tempat lainnnya yakni dengan menyumbang meriam dan
mesiu, sekaligus memberi garansi keamanan untuk Johor dari
segala “tindakan perilaku di luar hukum baik yang dilakukan
Portugis maupun Aceh.”178
Ketika tiba masanya pengepungan Malaka, yang dimulai
pada 2 Agustus 1640 dan berakhir pada penaklukkannya pada 14
Januari 1641, Johor memasok beragam bantuan. Para pasukan
Johor menyumbangkan tenaga mereka secara penuh dalam
transportasi material, membangun barikade pertahanan dan parit
hingga menghalau musuh yang melarikan diri ke kebun atau hutan.
Atas bantuan ini, Belanda memberikan apresiasi tertinggi yang
konon merupakan bentuk penghargaan paling tinggi terhitung
sejak keterlibatannya secara tidak langsung dalam beragam
pertempuran sejenisnya. Di akhir November 1640, Belanda
mencatat sebanyak 1.707 pasukan mati dan 470 luka-luka. Mereka
mendapat bantuan penguatan pasukan Johor sebanyak 600 orang
yang datang di kemudian hari membantu 1000 atau 1200 pasukan
Johor yang diberangkatkan lebih awal yakni pada 29 Juli 1941 di
177
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23 178
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23.
120
bawah pimpinan Sri Bija di Raja, putra tertua Laksamana. Atas
bantuan ini, Gubernur Jendral Belanda saat itu, Antonio van
Diemen menulis surat pada Heeren XVII di Belanda tertanggal 23
Desember 1643 menyebutkan: “dalam rangka penaklukkan
Malaka, tanpa bantuan mereka (Johor) kami tidak akan bisa
menguasai tempat kuat tersebut.”179
Belanda amat berterimakasih dengan keterlibatan Johor
dalam penguasaan Malaka dengan balasan memberikan penjagaan
atas kebebasan mereka. Johor didapuk menjadi sekutu terdekat
bangsa Eropa itu di kawasan dunia Melayu dan hal itu diramalkan
akan membawa kebaikan di masa depan. Menginjak 15 Februari
1641, Sultan Iskandar Thani mangkat dan digantikan masa
pemerintahan ratu-ratu Aceh yang membawa kerajaan Aceh ke
masa kemunduran. Sebaliknya, tahun tersebut menjadi titik balik
kebebasan Johor merangkai kembali kejayaannya. Dua musuh
klasiknya, Aceh dan Portugis, telah tumbang. Kini saatnya mereka
membuka lembaran emas dengan kawan Eropanya, Belanda, yang
di saat yang sama juga sedang melebarkan pengaruhnya di selat
Malaka.180
Kehadiran Aceh dan Portugis dalam dinamika perpolitikan
Johor menyimpan pelbagai intrik yang menarik untuk diikuti.
Apapun alasannya, Johor menjadi kerajaan yang tinggal landas
mencapai kemapanan hingga dewasa ini setelah sebelumnya
terlibat dalam dialektika dengan dua kekuatan tersebut.
C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis
Berdirinya Johor dalam bayang-bayang pertikaian Aceh
dan Portugis, tentu saja membawa pengaruh baru dalam konstelasi
perpolitikan perairan Malaka dan sekitarnya. Sebagai negeri yang
didirikan oleh raja terakhir Malaka, Johor memiliki kepercayaan
diri yang tinggi untuk kembali mengulang kejayaan Malaka.
Jaringan kerajaan bekas bawahan Malaka, sebagaimana yang
179
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 24. 180
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23-24.
121
dijelaskan di atas, menjadi salah satu modal yang bisa diandalkan
dalam memperjuangan cita-cita tersebut.
Terhadap keadaan regional yang diramaikan dengan
kontestasi Aceh dan Johor, agaknya Johor memiliki perhitungan
tersendiri. Kerajaan ini tidak hanya cukup hanya dengan
melakukan kebijakan politik tertutup, melainkan membuka
peluang untuk menjajaki hubungan dengan kedua belah pihak.
Dalam praktiknya, Johor menemui beberapa tantangan bahkan
seringkali berujung dengan kerugian yang diderita akibat salah
satu dari kekuatan tersebut menyerang Johor, manakala
mengetahui Johor memilih satu di antara dua sekutu itu.
Hubungan antara Johor dengan Aceh atau Johor dengan
Portugis boleh dikatakan merupakan salah satu bentuk diplomasi.
Meskipun tidak selalu antara kedua kerajaan berkiriman duta
besar, seperti yang terjadi di masa kini, komunikasi yang
terbangun dari dua lembaga pemerintahan (tingkat kerajaan atau
negara) yang berbeda demi kepentingan bersama merupakan satu
wujud hububangan bilateral.
Dalam terminologi ilmu hubungan internasional modern,
kerajaan Johor pada awal kemunculannya dapat dikategorikan
sebagai small state atau negara kecil. Godfrey Baldacchino
memberikan tiga pengertian dari negera kecil. Pertama, negara
kecil adalah negara persemakmuran (commonwealth)181
, yang
dalam tata kelola negaranya masih dibantu oleh Kerajaan Inggris.
Sebagai contoh, secara berkala Inggris selaku commonwealth
secretariat mengadakan program-program sosial seperti
pendidikan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia.
Termasuk dalam tugas commonwealth secretariat, adalah
mengadakan pemantauan dan solusi terkait indeks kerentanan
(vulnerability index) dari negara-negara kecil bawahannya.
181
Commonwealth of nations atau the Commonwealth (negara-negara
persekutuan), merupakan sekumpulan negara yang merupakan bagian dari
Kerajaan Inggris. Lihat Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd
edition (Oxford:
Oxford University Press, 2003) hlm. 81.
122
Kedua, negara kecil merujuk pada pengertian suatu negara
yang memiliki kedaulatan hukum yang minim. Termasuk dalam
kategori negara jenis ini adalah negara pulau atau kepulauan yang
tidak mampu mengolah sumber daya alamnya secara mandiri,
sehingga membutuhkan negara lain untuk menanganinya. Sebagai
contoh adalah negara-negra di kawasan regional Oseania semacam
Tuvalu, Vanuatu, Nauru dan lain-lain. Ketiga, termasuk dalam
negara kecil adalah negara yang selain kecil secara geografis dan
rentan pertahanannya, juga memanfaatkan lobi internasional dalam
meningkatkan produktivitas ekonomi yang rendah.182
Makna kedua dan ketiga dari small state sebenarnya agak
mirip, hanya saja mungkin Baldacchino hanya memberikan
penekanan bahwa negara jenis kedua hanya berkisar pada negara
yang tidak memiliki sumber daya manusia yang terlatih dalam
mengelola sumber daya alamnya. Sedangkan yang ketiga
menitikberatkan pada dukungan internasional untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat serta keamanan negaranya. Pendeknya, jenis
kedua hanya berkisar pada kebutuhan ekonomi, sedangkankan
yang ketiga, bantuan dibutuhkan dalam wilayah yang lebih
kompleks. Terlepas dari itu, antara pengetian kedua dan ketiga
sesugguhnya bisa dileburkan.
Posisi Johor pada masa awal berdirinya masihlah bisa
dikatakan sebagai negara kecil, sebagaimana yang digambarkan
oleh Baldacchino di atas. Kerajaan ini membutuhkan mitra yang
tepat, yang sanggup membawa Johor pada perkembangan
kedaulatan serta kemakmuran yang kuat, sehingga mampu tampil
sebagai kekuatan baru di kancah regional kawasan Melayu. Untuk
itu Johor mulai melakukan serangkaian aksi diplomatik atau lobi
internasional pada negeri-negeri tetangganya.
Istilah diplomasi memang belumlah dikenal secara umum
di lingkungan kerajaan-kerajaan Nusantara, hanya saja tindakan-
tindakan kedua negara dalam menjalin kerjasama strategis sudah
182
Godfrey Baldacchino, “Thucydides or Kissinger ? A Critical Review
of Small State Diplomacy” dalam Andrew F. Cooper and Timothy M. Shaw, ed,
the Diplomacies of Small States; Between Vulnerabulity and Resilience (New
York: Palgrave Macmillan, 2009) hlm. 24-25.
123
ditemukan, yang juga merupakan elemen penting dari diplomasi.
Dalam konteks Asia Tenggara kala itu, yang masih didominasi
oleh pemerintahan sistem kerajaan, diplomasi antarkerajaan
tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk dari diplomasi klasik.
Harold Nicholson menyebutkan dalam salah satu bentuk
klasiknya, yakni di era Yunani, diplomasi dipahami sebagai seni
bernegoisasi (art of negotiation). Kelihaian bernegoisasi dapat
menghubungkan kota-kota Yunani yang terpencar secara geografis
menjadi lebih dekat. Profesi negoisator biasanya diemban oleh
anggota keluarga petinggi kota. Persyaratan utama bagi negosiator
adalah seorang yang memiliki ingatan kuat dan suara yang lantang.
Pemahaman yang memadai tentang perniagaan dan relasi politik
antarkota menjadi standarisasi atau rudimentari (faktor elementer)
bagi layanan diplomatik saat itu.183
Pemaknaan diplomasi sebagai negosiasi ini amat lekat
ketika membincang hubungan kenegrian Johor dengan Aceh dan
Portugis. Pasang surut arus diplomasi dengan kedua tetangganya
tersebut hampir selalu berimplikasi baik dan buruk bagi perjalanan
Johor di kemudian hari. Hubungan ketiganya ibarat bara dalam
sekam, kelihatannya sering akrab namun tidak berselang lama
berubah menjadi pertikaian yang kebanyakan dari kekeruhan
hubungan ini berdampak buruk bagi perkembangan Johor.
Tingginya intensitas serbuan Aceh dan Portugis atas kerajaan ini,
sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, menjadi pembuktian
yang tidak terbantahkan.
Makna negoisasi pada tataran kerajaan-kerajaan Nusantara
memang menemui pemahaman regional yang khas. Seperti telah
disampaikan sebelumnya, menginjak awal abad 17, bahkan jauh
dari tahun-tahun sebelumnya, Aceh dan Portugis sedang giat
melapangkan dominasinya atas negeri-negeri Melayu. Di pihak
lain, para petinggi istana Johor, sejak waktu-waktu sebelumnya,
memainkan peran ganda yakni menjalin hubungan temporal
dengan keduanya. Sesuatu yang tidak disukai dengan dua kekuatan
politik yang disebut belakangan.
183
Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press,
1942) hlm. 20.
124
Terlihat benar, betapa azas oportunistik menjadi landasan
Johor dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya.
Negoisasi, sebagaimana yang disebutkan Nicolson, lebih efektif
dijalankan oleh keluarga kerajaan terealisasikan dengan
pernikahan putra-putri Johor dengan Aceh. Jalinan kekeluargaan
ini tentu saja tidak dilandaskan dengan cinta dua insan
sepenuhnya, melainkan juga didasari oleh mengunduh manfaat
bagi keduanya. Johor memanfaatkan kedudukan istimewanya
tatkala menjadi bagian keluarga Aceh untuk membangun
kerajaannya dan berlindung dari bayang-bayang ancaman Portugis.
Bagi Aceh berkerabat dengan keluarga istana Johor merupakan
jalan halus agar garis kebijakan regional kerajaan ini dapat sejalan
dengan skema politik lintaskepulauan Aceh.
Terkait Portugis, Johor juga menerapkan ketetapan
berpolitik yang disesuaikan dengan azas manfaat. Mereka
menyadari, sama dengan Aceh, Portugis merupakan bangsa yang
kuat dan telah dalam beberapa kesempatan mengalahkan Johor.
Untuk itu, mereka memandang perlu dalam momen tertentu,
apalagi ketika berselisih dengan Aceh, untuk menjalin tali
diplomatik dengan Portugis. bangsa Eropa ini pun pada akhirnya
masuk dalam skema oportunis yang direncanakan Johor, lantas
menerima penyerahan diri kerajaan tersebut. Bagi Johor, tidaklah
mengapa mereka menyatakan ketundukkan pada bangsa kafir
sekalipun, asalkan kemaslahatan kerajaan dapat diutamakan.
Yang justru menjadi pertanyaan, Portugis akan selalu ada
membantu Johor tatkala kerajaan ini membutuhkan bantuannya.
Ketika sekitar tahun 1790 ataun 1900-an, Portugis bersedia
membantu Johor melawan Aceh yang sedang berupaya
menaklukkan Aru.184
Sepertinya, Portugis dan Johor sudah amat
terbiasa dengan pola politik yang dicanangkan Aceh yang sedang
bergeliat menjadi penguasa Sumatra. Hubungan berbasis
kepentingan sesaat mewarnai hubungan Johor dengan Portugis.
Hubungan antara bangsa Melayu dengan Portugis boleh
dikatakan kerap berada pada posisi pasang surut. Namun, yang
184
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.
125
dapat diketahui, kadar kebencian orang Melayu Johor jika
dibandingkan dengan Aceh terhadap kehadiran Portugis tentulah
berbeda. Dalam beberapa kesempatan, Johor dan Portugis sering
terlibat kerjasama dalam menahan pengaruh Aceh, seperti terlihat
dalam kasus Aru. Agaknya Portugis memiliki penilaian tersendiri
mengenai keluwesan dan keterbukaan pergaulan orang Melayu
Johor terhadap mereka, yang dianggap lebih bisa diajak
berkompromi ketimbang harus berhubungan dengan Aceh.
Jehosaphat Aspin185
, seorang geografer penjelajah, yang
sempat mengunjungi beberapa wilayah di belahan Nusantara,
memberikan catatan yang unik ketika ia menilai pribadi orang
Melayu. Beberapa penjelajah Eropa, menurut Aspin, yang pernah
melakukan tinjauan langsung ke pemukiman orang Melayu
memperoleh kesan bahwa mereka adalah seorang informan yang
baik, sangat liberal dan para pengikut ajaran Muhammad (Muslim)
merupakan sosok yang jujur dan berwibawa daripada orang-orang
India asli. Apa yang dikatakan oleh orang Eropa mengenai orang
Melayu sebagai kegiatan pembajakan, bagi orang Melayu adalah
suatu penjelajahan yang jantan dan apabila mereka menyerang
daerah lain dengan tiba-tiba, membunuh pasukannya, orang
Melayu menganggapnya sebagai pencapaian heroik dalam
mengalahkan musuhnya.186
Pendapat Aspin tersebut, tentu saja tidak mewakili
anggapan orang Eropa secara keseluruhan terkait bangsa Melayu.
Namun, dari pemulihan hubungan yang tidak memakan waktu
lama, antara Johor dan Portugis dalam wilayah politik, bisa
menjadi tolok ukur, betapa orang Melayu mempunyai sikap yang
185
Jehosaphat Aspin (1800-1850), seorang penulis, geografer dan
sejarawan seni, tidak diketahui dari negara mana berasal. Informasi yang
diketahui darinya masihlah minim. Namanya dianggap sebagai nama pena
bukan nama sebenarnya (nom de plume). Bahkan ia dinilai sebagai seorang
penulis wanita misterius abad 19, yang menggemari tema penulisan seputar
kegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Ia dikenal sebagai penulis beberapa
karya sejarah, cerita anak, pembuat peta dan teks-teks gambar astrologi. Lihat
http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin, diakses pada Senin 13
Oktober 2014, pukul 18.09. 186
J. Aspin, Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All
Nations of the World (London: St. Paul Church-Yard, 1834) hlm. 120.
126
supel dalam bergaul dengan orang asing, apalagi kerjasama
keduanya dilatarbelakangi oleh kepentingan yang sama. Kesan
informan dan liberal yang diungkapkan Aspin menunjuk pada
sikap inklusif dan mudah akrab dengan bangsa lain, seperti bangsa
Eropa.
Johor seperti juga Malaka, ingin agar kerajaannya memiliki
koneksi yang luas dengan masyarakat antarbangsa. Sebagaimana
telah disampaikan, Malaka dikenal sebagai pelabuhan dagang
dunia. Tidak mengherankan, jika salah satu cita-cita Johor adalah
menjadi emporium berpengaruh di selat Malaka seperti para
leluhurnya. Kerajaan Malaka sudah terbiasa dengan keberadaan
saudagar-saudagar asing yang berniaga di sana. Bahkan, merujuk
pada penjelasan Ludovico di Verthema, penjelajah asal Bologna,
yang mengunjungi bandar Malaka sekitar abad 16, mengatakan
bahwa Raja Malaka menyerahkan orang asing dalam administrasi
dan manajemen pelabuhannya.187
Agaknya, para penguasa Johor
mewarisi wawasan multikultural sebagaimana yang dimiliki oleh
raja-raja Malaka, sehingga mereka tidak harus menjadi kerajaan
yang fanatik, menolak bangsa lain yang berbeda adat serta agama
dengan meraka.
Berbeda dengan Aceh, yang memiliki agenda politik
regional yang jelas, yakni menghalau pengaruh Portugis, Johor
tidaklah memiliki agenda serupa. Inilah yang membuat kerajaan ini
sedemikian lentur bergaul dengan bangsa lain, yang sekiranya
dapat memenuhi ekspektasi berupa jaminan keamanan dalam
menata negeri serta meningkatkan pendapatan ekonomi Johor.
Portugis, boleh dikatakan merupakan satu-satunya pilihan sekutu
yang paling bisa diandalkan untuk menangkis dominasi Aceh yang
kala itu sedang giat menancapkan pengaruhnya di Sumatra dan
Semenanjung Melayu.
Aceh senantiasa mengajak Johor untuk bersama
mengalahkan Portugis. Namun pada praktiknya, ajakan ini
ditanggapi dengan persepsi yang beragam. Satu hal yang dapat
diketahui, Johor, betapapun ia belumlah sebesar Aceh, tetap tidak
187
George Percy Badger, ed, The Travels of Ludovico di Varthema
(London: Hakluyt Society, 1863) hlm. 226.
127
mau berada sebagai bawahan Aceh. Di pihak lain, Johor juga
membutuhkan rekan untuk mengawal pembangunan kerajaannya.
Elit kerajaan Johor melihat bahwa Aceh sebenarnya sedang
mengusahakan pelebaran pengaruh ke Semenanjung Melayu.
Berkawan dengan Portugis, demikian hemat Johor, menjadi pilihan
tepat untuk membendung okupasi Aceh atas Johor. Penguasaan di
sini bukan hanya menyangkut kerajaan dan tanah jajahan kerajaan
secara fisik, namun dimaknai pula sebagai penyeragaman
kebijakan antara kerajaan yang menguasai dan dikuasai. Agaknya
Johor tidak mau terjebak dalam skenario tersebut.
Kebijakan diplomasi yang ditunjukkan Johor termasuk
dalam apa yang yang disebut Paul Sharp sebagai model diplomasi
revolusioner.188
Ciri dari diplomasi ini adalah mengerti konteks
dan peta politik regional serta mampu tetap memelihara cita-cita
negerinya, dari segenap godaan yang ditawarkan oleh negeri yang
bermitra dengannya. Termasuk dalam kategori ini, adalah dengan
mengakomodasi dan berkompromi dengan pilihan apa yang
ditawarkan kerajaan yang lebih besar,sehubungan dengan hal apa
yang dilakukan oleh kedua belah pihak.189
Umpamanya, jika
kerajaan yang lebih besar lebih menitikbertkan pada hal kedaulatan
politik regional, maka kerajaan kecil diharuskan mengikuti apa
yang disarankan. Yang terpenting, supaya terbentuk dahulu
komunikasi dua arah yang pada intinya mendulang manfaat
bersama, meskipun bisa saja, kerajaan besar lebih banyak
mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Jika dilihat, Johor, memposisikan diri sebagai pihak yang
mengerti dengan mitra-mitranya. Tatkala Johor sedang membina
hubungan dengan Aceh, kerajaan ini ikut serta dalam upaya Aceh
mengenyahkan pengaruh Portugis. Salah satunya terjadi ketika
penguasa Johor dan Bintan membantu Aceh menyerang Malaka
pada tahun 1575.190
Johor, dengan pembacaan politik regionalnya,
memilih berbalik mendukung Aceh melawan sekutu lamanya itu.
Sekitar akhir abad 16, Pertalian dengan Portugis kembali dirajut
188
Paul Sharp, Diplomatic Theory of Internationals Relations
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009) hlm. 22. 189
Paul Sharp, Diplomatic Theory ..., hlm. 4. 190
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52.
128
Johor ketika Aceh memutuskan menyerang Aru, kerajaan sekutu
Johor. Johor dengan segera malakukan komunikasi intensif dan
mengajak Portugis membantunya melawan Aceh.191
Dengan tanpa
memandang lagi musuh mitranya, Johor terkesan tanpa beban
untuk menjalin kerjasama kembali dengan Portugis, yang beberapa
waktu diperanginya.
Partisipasi Johor dalam pernikahan dengan Aceh,
merupakan bentuk lain bahwa Johor mengikuti anjuran dari
kerajaan yang lebih besar darinya. Tren pernikahan antara dua
kerajaan merupakan upaya keduanya merawat kerjasamanya.
Pernikahan, selain membawa dampak yang bagi kelanjutan
persahabatan dua kerajaan sesungguhnya memiliki wajah lain
berupa godaan yang dihembuskan pihak kerajaan besar kepada
kerajaan yang lebih kecil.
Johor sudah mafhum akan hal itu. Baginya pernikahan
merupakan salah satu cara tepat merekatkan diri pada negeri yang
telah tinggal landas darinya, namun di pihak lain, cara ini sama
dengan membuka peluang hadirnya mata-mata Aceh dalam
suasana pergaulan istana Johor. Bukan tidak mungkin pangeran
atau putri Aceh yang menikah dengan Johor nantinya menjadi
corong informasi bagi kerajaan asal. Bagi Aceh, kekhawatiran
macam itu juga telah diperhitungkan, hanya saja posisi Aceh boleh
dikatakan berada di atas Johor. Dengan begitu, segala bentuk intrik
Johor di Aceh tidak sampai menimbulkan mala petaka besar yang
menyebabkan jatuhnya Aceh dalam genggaman Johor. Melihat
kemungkinan demikian, maka tidak mengherankan jika kerjasama
dengan Aceh tidak dilakukan secara permanen, mengingat
kekhawatiran pengantin Aceh yang menjadi keluarga kerajaan
Johor, semakin leluasa membocorkan keadaan internal Johor.
Belakangan diketahui, pernikahan ternyata bukan satu-
satunya jalan untuk memperkuat relasi kenegaraan. Mungkin, hal
tersebut dianggap Aceh sebagai strategi untuk bisa mengikat
kalangan pejabat Johor, namun pada kenyataannya hal itu terlepas
dari harapan. Suasana suka cita pernikahan, dianggap Johor tidak
191
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.
129
ubahnya satu fase agar kerajaan ini mendapat perlindungan atas
ancaman Portugis. kekerabatan dengan Aceh tidak diartikan Johor
sebagai jalan diplomasi yang dapat memberikan garansi bagi
kemajuan peradabannya. Memang, kemajuan tetap bisa diperoleh
namun yang mereka sayangkan adalah kemajuan itu tetaplah di
bawah dominasi Aceh, tentu amat berseberangan dengan cita-cita
mereka yang ingin menegakkan kembali supremasi Malaka yang
namanya telah harum di mata dunia sebagai kerajaan besar.
Tidak salah kiranya jika menyebut bahwa langgam
berpolitik Johor amat lihai dan fleksibel, dibuktikan dengan
ketahanannya berdiri melewati pelbagai dinamika internal maupun
eksternal. Kendati harus memainkan dua wajah dalam menghadapi
lawan politiknya, yang terpenting adalah bagaimana kerajaan
mereka tetap eksis secara perlahan-lahan menjemput kejayaannya.
Pihak kerajaan telah sadar, Johor belumlah sepadan dengan Aceh
maupun Portugis. Untuk itu, menjalin hubungan antarnegeri sudah
selayaknya mereka lakukan semata-mata untuk kelanjutan
penyelenggaraan kerajaan.
130
BAB V
POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH –
JOHOR
A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor
Mencermati uraian mengenai keadaan dialog kenegerian
Aceh dan Johor dalam bab-bab sebelumnya, memang harus
didudukkan dalam porsi yang tepat, dengan cara membincangkan
independensi politik luar negeri kedua kerajaan. Sebagai kerajaan
yang berdaulat, sudah seyogyanya masing-masing dari mereka
memiliki maksud luhur agar kerajaan beserta rakyat yang
dipimpinnya berkembang secara mandiri. Sumber daya alamnya
setempat dikerjakan sendiri dan hasilnya dinikmati sendiri. Baru
kemudian, setelah kemakmuran internal kerajaan telah dipenuhi,
visi untuk menjelajahi daerah lain sebagai bentuk ekspansi
supremasi menjadi hal yang mungkin diupayakan.
Dua kerajaan tersebut memiliki visi politik yang berbeda.
Aceh sebagai salah satu kekuatan penting di pulau Sumatra,
berbekal kemajuan ekonomi maritim serta stabilitas militer yang
modern di masanya, berpeluang untuk menjalankan peran
pentingnya di kancah regional. Keadaan negeri yang telah stabil
menjadi modal penting untuk mengikat koneksi-koneksi strategis
di luar negeri. Sebagaimana telah disebutkan, setelah jatuhnya
Malaka tahun 1511, bandar dagang Aceh menjelma menjadi salah
satu tujuan penting dari para saudagar Muslim. Pendapatan negeri
kemudian dibelanjakan untuk pembangunan fasilitas umum serta
memperkuat pertahanan kerajaan untuk mencegah dominasi
kekuatan Eropa di dekatnya.
Di pihak lain, Johor yang boleh dikatakan sebagai kerajaan
baru dalam konstelasi perpolitikan Semenjung Melayu dan
Sumatera juga memiliki komitmen tinggi untuk mewarnai
131
pagelaran politik regional. Sebenarnya, kerajaan ini tidak lantas
pasrah tunduk di bawah wibawa Aceh dalam regulasi politik
internasionalnya. Namun, keadaan negeri yang masih labil, serta
kemakmuran terbatas, bahkan belum bisa dikatakan cukup, terlihat
dari pertahaan negerinya yang sering takluk dihantam dua
kekuatan yang berebut pengaruh itu, membuat mereka mawas diri,
untuk cermat berdialog dengan Aceh.
Para pejabat istana Johor sebetulnya sadar, kedudukan
mereka adalah ibarat permata yang diperebutkan dua kekuatan itu.
Dilihat dari sisi sumber daya kerajaan, memang Johor bukanlah
kerajaan yang memiliki potensi maritim dan agraris yang kuat,
sehingga dengan cepat dapat menghasilkan devisa kerajaan yang
nantinya digunakan untuk memugar wibawa dan kebesarannya di
mata internasional. Intensitas serangan yang tinggi dari lawan-
lawannya, sedikit banyak menghambat langkah Johor untuk
menjadi negeri yang sentosa dan berjaya. Implikasinya, mereka
harus pandai menerka arah dan kondisi politik regional, sehingga
kebijakan yang nantinya diambil tidak berdampak buruk bagi
tumbuh kerajaan di masa depan atau minimal membawa kebaikan
ketimbang masa yang sebelumnya.
Pernikahan merupakan jalinan suci yang harapannya bisa
menjadi sesuatu yang mengikat kepentingan kerajaan. Boleh
dikatakan ini merupakan salah satu bentuk klasik dari suatu
hubungan diplomatik. Tradisi ini, meskipun tidak diketahui benar,
apakah mempelai dari dua kerajaan menikah sesuai dengan pilihan
hati ataukah diperjodohkan, sepertinya menjadi strategi halus
untuk membentuk suatu ikatan yang lebih intim ketimbang
pelbagai bentuk simbolisme diplomatik yang hanya berkisar pada
kegiatan yang bersifat seremonial. Tukar menukar duta misalnya,
atau melalui hubungan perdagangan merupakan dua bentuk
kegiatan diplomatik yang sejatinya adalah seremonial.
Sepertinya pernikahan putra putri kerajaan antarkerajaan
telah menjadi pola umum hubungan diplomatik sejak masa yang
lama. Samuel A. Meir mengatakan bahwa pernikahan antar
kerajaan merupakan sutu langkah untuk pemersatuan bukan untuk
pemisahan. Pengertian tersebut telah bertahan sejak masa akhir
132
zaman Perunggu tepatnya di masa Timur Dekat Kuno (Ancient
Near East). Sejak masa itu, pernikahan tidak dipandang sebagai
kegiatan sakral yang berkisar pada fungsi wanita dalam istana,
hukum waris dan suksesi kerajaan semata, melainkan adalah suatu
hal yang sering ditemui (membudaya), bahkan telah menjadi
karakteristik historis dari pergumulan politik dan budaya.192
Jika melihat teks naskah Melayu klasik yakni
Sulalatussalatin dan Bustanussalatin, yang berkisar tentang
aktivitas elite kerajaan seperti berperang dan prestasi suatu raja,
maka satu hal yang tidak luput adalah uraian tentang tradisi
perkawinan yang amat kental yang digunakan untuk menjaga
hubungan satu negeri dengan negeri lainnya. Meskipun terlihat
amat manusiawi, perkawinan ini ketika dibincangkan dalam
spektrum hubungan internasional, maka akan sampai pada
kesimpulan bahwa seremoni ini amat menjanjikan suatu
kelapangan serta kelenturan dalam dialog antarkerajaan. Sekat dan
batas yang semula terbangun di antara kerajaan, perlahan luntur
dan yang muncul adalah suasana suka cita yang membanggakan
karena keduanya saling berbesanan.
Yang paling penting adalah bahwa pernikahan meleburkan
paradigma penguasa dengan yang dikuasai. Dalam kasus Aceh dan
Johor, Saat Sultan Iskandar Muda menikahkan putrinya, Putri
Ratna Jauhari dengan Sultan Johor, Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah
sebenarnya yang dapat diketahui adalah bagaimana pihak Aceh
ingin memandang Johor bukan lagi sebagai negara bawahan yang
bebas digerakkan seperti boneka. Ikatan keluarga yang kemudian
terbentuk inilah yang diharapkan mampu menciptakan
keharmonisan bukan hanya pada wilayah silaturahmi keluarga
semata, melainkan berimbas pada kesamaan visi dalam agenda
politik internasional, salah satunya adalah tekad kuat untuk
mengusir Portugis dari Malaka.
Pada abad ke 17 dan 18 hingga memasuki abad 19,
diplomasi dianggap sebagai wahana mencapai tujuan aristokratik.
192
Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond
Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins
University Press, 2002) hlm. 165.
133
Para bangsawan Eropa saling terikat dengan keturunan sedarah,
pernikahan, persahabatan yang kesemuanya diikat dengan kesatuan
pandangan dan pendidikan. Nuansa persaudaraan kosmopolit
(cosmopilitan fraternity) tercipta di lingkungan para dipomat saat
bertemu dalam suatu momen. Mereka juga merasa sebagai
bangsawan internasional.193
Kondisi tersebut juga melingkupi
pergaulan dan kekerabatan antarpenguasa di Aceh dan Melayu, di
mana kerjasama serta pandangan politik luar negeri banyak
dipengaruhi oleh kesamaan darah termasuk pernikahan.
Keberadaan mempelai dari kerajaan lain, dianggap sebagai
seseorang yang dimulyakan karena kehadirannya juga merupakan
representasi dari kerajaan asalnya.
Paul Sharp menambahkan bahwa dalam catatan antropologi
perkembangan manusia, ketika seseorang bersinggungan dengan
kelompok lainnya, maka yang dikedepankan adalah harmoni
kekeluargaan. Penekanan dua entitas itu, yakni antara seorang
dengan kelompok adalah “kita” sebagai suatu kesatuan,
penghormatan terhadap yang tua dan kasih sayang kepada yang
muda serta perasaan kuat bahwa mereka layaknya saudara
kandung. Nuansa ini perlahan meleburkan identitas pribadi suku,
golongan atau kelompok yang menjadi penyekat hubungan
keduanya.194
Ini menjadi dasar pemikiran mengapa penghormatan
terhadap keberadaan orang-orang dari negeri lain, terlebih yang
memiliki kedudukan tinggi, dianggap sebagai prioritas.
Sebenarnya, kontak antarelite Johor dan Aceh terjadi jauh
sebelum tahun 1574 atau di kala hubungan diplomatik dua
kerajaan baru disepakati. Zainuddin menceritakan suatu kisah lain
mengenai pernikahan dua mempelai Aceh dan Johor yang penuh
dengan nuansa kekeluargaan dan suka cita.195
Suatu ketika ketika
Aceh diperintah oleh Sultan Salahuddin (1530 – 1537), istana
Aceh kedatangan tamu bernama Laksamana Nadin yang berasal
193
Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New
York: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 194
Paul Sharp, Diplomatic Theory of Interational Relations
(Cambridge: Cambridge International Press, 2009) hlm. 18 195
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid 1 (Medan:
Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 396 -397.
134
dari Ujung Tanah (Johor) untuk meminta bantuan perang sekaligus
meminang putri Aceh menjadi istri Raja Ali, putra Sultan Mahmud
Syah mantan Sultan Malaka terakhir sekaligus raja Johor pertama.
Kala itu, Raja Johor pertama belum lama mangkat ketika masih di
Kampar. Pinangan Laksamana Nadin diterima oleh Sultan
Salahuddin dan Raja Ali pun kemudian menjadi menantunya.
Setelah menyerahkan tanda kawin atau mas kawin (ranubkong
haba), Laksamana Nadin pamit undur diri.
Beberapa waktu berselang, datanglah rombongan orang-
orang besar dari Ujung Tanah mengantar mempelai laki-laki untuk
kemudian dinikahkan dengan putri Aceh. Setelah pesta pernikahan
yang meriah selesai, segenap orang besar Ujung Tanah pun terlibat
pembicaraan serius dengan para pejabat Aceh. Dalam kesempatan
itu, Laksamana Nadin, mewakili pihak Ujung Tanah, sepakat
dengan Aceh untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tidak
lama kemudian, rombongan itu pun pamit. Raja Ali yang ketika
menikah sudah bergelar Sultan Alaiddin Rayat Syah II, Raja Johor
ke 2, pun membawa istrinya bertolak ke suatu pulau dekat Ujung
Tanah. Untuk mengantar rombongan kerajaan besannya itu, pihak
Aceh memerintahkan sepasukan Aceh di bawah pimpinan
Panglima Bukit yng berasal dari negeri Lingga Gayo (Aceh
Tengah) untuk mengawal perjalanan mereka.
Ketika sampai di pulau yang dituju, maka berhentilah
rombongan penganten di satu sudut di tempat itu. Setelah melepas
lelah dan memulihkan tenaga, rombongan itu kemudian membagi
tugas untuk membangun suatu kota yang sedianya digunakan
untuk peristirahatan Sultan Johor beserta rombongannya. Kota itu
kemudian dinamakan Kota Lingga, nama yang diambil dari negeri
Panglima Bukit dan pulaunya kemudian dikenal dengan nama
Pulau Lingga.
Cerita di atas semakin memperkuat persepsi bahwa
pernikahan merupakan sarana tepat untuk mendekatkan dua
kerajaan yang berbeda. Momen setelah perhelatan penganten
senantiasa digunakan untuk beramah tamah dengan penuh rasa
kebersamaan. Dalam suasana meriah tersebut, maka tidak salah
jika kemudian dua pihak kerajaan menyelipkan pembicaraan
135
terkait agenda politik bilateral yang saling menguntungkan.
Negoisasi yang menjadi unsur paling menonjol dalam dialog
diplomatik masa itu dapat dipastikan akan disinggung kedua belah
pihak. Saat di mana keceriaan terbit di dua kubu kerajaan
dipandang tepat untuk mempererat tali kerja sama.
Walaupun kedua kerajaan kerap terlibat dalam silang
sengketa di kemudian hari, namun bukan berarti keduanya tidak
memiliki momentum harmonis yang tidak hanya di berkisar di
ranah politik antarnegeri, namun juga di wilayah lain sosial dan
budaya misalnya. Pertalian kerajaan ini selain amat terasa di ranah
pemerintahan, ternyata banyak pula memancar di hubungan
antarbudaya serta perilaku masyarakatnya. Akan amat berkesan
tentunya, jika perbincangan bukan melulu seputar perebutan kuasa,
yang terkesan monoton dan tidak mencerminkan suatu kekayaan
dari tinggalan hisoris. Sebaliknya, pembicaraan seputar realita-
realita yang lebih kaya, cenderung di luar belairung istana, yang
mencerminkan persentuhan populis dan estetik dua kerajaan
membawa suatu panorama baru yang menjanjikan sudut pandang
yang berwarna dan tidak kalah berharga ketimbang perbincangan
mengenai antarelit kerajaan.
Hampir semua bentuk yang menjadi instrumen penghubung
pertemuan dua kerajaan dapat dikatakan sebagai ajang diplomatik.
Harold Nicolson menyebutkan bahwa selain diplomasi heroisme
militer dan perdagangan, terdapat pelbagai bentuk diplomasi yang
sering dijumpai di masa lalu. Terkadang dinamika diplomasi itu
terhubung dengan menunjukkan perbedaan di antara imaji dan
alasan, di antara romantika dan kebijaksanaan, di antara militer dan
perdagangan serta pada pandangan umum mengenai standarisasi
nilai-nilai moral. Dalam setiap dua kecenderungan tersebut terselip
gagasan dan realitas. yang satu membutuhkan gerakan untuk
mengekspresikannya sedangkan yang lain membutuhkan
ketenangan.196
Berkaca pada paradigma di atas, diketahui bahwa diplomasi
model kuno senantiasa menghadirkan wajah lain yang terkadang
196
Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press,
1942) hlm. 55.
136
hidup di balik perjumpaan militer, politik maupun perdagangan.
Bentuk-bentuk persentuhan tersebut, dikatakan Nicolson, sebagai
keberadaan (diplomasi) yang terhubung dengan idealisme dan
realisme. Sesuatu yang terbentuk dari suatu pertemuan, lantas
berujung pada kesepahaman dalam membina hubungan yang lebih
akrab dan intim. Dimulai dari titik tersebut maka akan muncul
kemungkinan-kemungkinan yang senantiasa menjadi penghubung
dua entitas kekuasaan tersebut. Hal tersebut dapat menginisiasi
suatu jalan baru yang berdimensi luas, tidak lagi terpaku pada
iklim politik melainkan telah tertanam pula di wilayah sosial,
budaya, pendidikan, hukum dan sektor kehidupan lainnya.
Teuku Iskandar memperkuat pendapat bahwa baru pada
Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah al-Kahar-lah Aceh
bersinggungan dengan Johor, ketika ia menyerang Johor dan
membawa Raja Johor, Sultan Muzaffarsyah, ke Aceh. Sebagai
bentuk kesungguhan menjalin persahabatan putri Raja Johor
kemudian dipinang oleh Raja Aceh itu. Pemerintahan satelit Aceh
yang berada di Pasai dan kegemaranya akan kajian dunia Melayu
membawanya pada sistem pemerintahan yang berlaku di Pasai dan
Johor. Undang-Undang Johor sendiri dibuat merujuk pada
Undang-Undang Malaka yang telah ditetapkan sejak masa Sultan
Muzaffar Syah yang memerintah Malaka, yang meninggal pada
1459. Besar kemungkinan, Sultan al-Kahar mengacu pada
Undang-Undang Johor untuk mereorganisasi sietem pemerintahan
Aceh kala itu.197
Warisan lintaspulau di atas, bahkan terfosilkan dalam suatu
istilah “beraja ke Aceh, bertuan ke Siak.” Pepatah ini merupakan
wujud perpaduan tradisi pemerintahan kedua kerajaan yang
terinspirasi dari kebesaran Aceh dan Siak. Sebelumnya diketahui,
Aceh mengadopsi regulasi pemerintahan dari Kesultanan Malaka,
sedangkan Kesultanan Siak merupakan kelanjutan Kesultanan
Malaka Raya. Istilah di atas lazim ditemukan dalam prosesi
penobatan raja di istana Serdang khususnya, serta di kesultanan-
197
Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th-
19th Century)” makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Kajian
Aceh dan Samudera Hindia Pertama (First International Conference of Aceh
and Indian Ocean Studies) di Banda Aceh pada 24 – 27 Februari 2007, hlm. 12.
137
kesultanan yang berada di sepanjang Sumatra Timur.198
Ini
menjadi salah satu bukti keterhubungan budaya Melayu
(Semenanjung) dengan Aceh yang tampak dalam hal tradisi
kepemerintahan.
Kemudian, dari Aceh, pengaruh feminisme serta gender
pun ikut pula menabalkan kesamaan hak dan kewajiban antara pria
dan wanita dalam adat istiadat Melayu. Sebagaimana diketahui,
pandangan akan gender dalam tradisi Melayu mendapat pengaruh
dari Minangkabau yang menitikberatkan pada matrilineal (adat
Perpatih) dan dari tradisi Melayu (adat Temenggung) yang
didominasi oleh ketentuan parental. Menginjak abad 18, pengaruh
Aceh memperkaya pengetahuan tradisi Melayu, sehingga yang
terjadi adalah pandangan kesetaraan antara pria dan wanita.199
Bukan tidak mungkin pengaruh ini dilatarbelakangi oleh
keberadaan Aceh yang menuai banyak hasil positif ketika
diperintah oleh 4 ratu.
Tun Sri Lanang, seorang bendahara kerajaan Johor yang
ikut dalam pengungsian ke Aceh pasca diserangnya ibukota Johor
di Batu Sawar pada 1613200
, merupakan sosok yang menampilkan
keterlibatan diplomasi halus antara Aceh dan Johor. Meskipun
kedatangannya ke Aceh awalnya dimotori oleh peristiwa politik,
namun aktivitasnya di Aceh ternyata kompleks, tidak selalu
berkutat pada kepentingan istana, melainkan menyatu pula dalam
bidang-bidang lain. Ia menjadi duta Johor, secara tidak langsung,
yang perlahan memugar persepsi sekaligus meninggikan kembali
citra Johor yang di Aceh telah sedemikian buruk sebagai kerajaan
yang gemar menjalin hubungan dengan Portugis.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika aparat
kerajaan Johor beserta rombongannya dibawa ke Aceh, mereka
tidak diperlakukan seperti tawanan perang, melainkan dijamu
seperti halnya tamu agung kerajaan. Mereka ditempatkan serta
198
Tengku Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang 2 (Jakarta:
Departemen P dan K, 1986) hlm. 178. 199
Tengku Luckman, Sari Sejarah ..., hlm. 100. 200
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang Dalam Sejarah Dua Bangsa
Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28-29.
138
dilayani sesuai dengan standar pelayanan tamu atau duta kerajan
pada umumnya. Ini dilakukan agar mereka dapat hidup nyaman
dan jauh dari tekanan serta anggapan bahwa hidup di negeri musuh
adalah suatu kesengsaraan. Perasaan takut dan khawatir sudah
tentu menghinggapi psikologi mereka. Dari sini saja, pola-pola
umum akan penyambutan suatu misi diplomatik diberlakukan oleh
Aceh, karena hal ini penting agar mereka merasa nyaman sehingga
apabila nuansa tersebut telah mereka rasakan, maka harapannya
pembicaraan-pembicaraan bilateral di hari-hari berikutnya dapat
berjalan dengan lancar, akrab serta jauh dari pemaksaan dan
ketakutan.
Tun Sri Lanang sendiri sebenarnya bukanlah orang asli
Melayu melainkan dalam dirinya mengalir darah bangsawan
kerajaan India. Ia merupakan keturunan ke empat dari Nizamul
Muluk Akbar Syah yang memerintah daerah Pahili (Gujarat) pada
tahun 1335- 1388 M. Nizamul Muluk merupakan gelar yang
diberikan oleh raja pada penguasa lokal setingkat gubernur atau
menteri. Akbar Syah memiliki putra sebanyak dua orang dan putri
satu orang, mereka bernama; Amir Badaruddin Khan
(Manipurindam), Raja Akbar Muluk dan Damia Seri Wandi.
Setelah Akbar Syah berpulang, jabatan ayahnya diteruskan
oleh anak keduanya, sedangkan Manipurindam meluluskan
hasratnya untuk mengembara ke Pasai dan Malaka. Di tengah
perjalanan, kapalnya dihempaskan gelombang laut dan ia beserta
rombongannya terombang-ambing di laut lepas hingga akhirnya
terdampar di Jambu Air. Singkat kisah ia mampu beragaul secara
adaptif dan hingga dikenal oleh penguasa Pasai ke-6, Sultan
Muhammad Said Malikuzzahir, sebagai anak seorang bangsawan.
Kemudian, ia dinikahkan dengan putri Raja Pasai itu yang
bernama Canden Dewi. Keturunan mereka banyak yang menjadi
raja di Deli dan Serdang.
Diketahui pula, Manipurindam juga sempat mengunjungi
Malaka. di sana ia menikah dengan Tun Ratna Sandari, anak
seorang bangsawan Malaka bernama Tun Perpatih Besar.
Perkawinan ini dikaruniai dua anak yakni Tun Ratnawati (kelak
menjadi istri Sultan Malaka ke -3 bernama Mahmud Syah dan Tun
139
Ali Seri Nara Diraja. Tun Ali kemudian menduduki jabatan
bendahara di istana Malaka dan Johor. Tun Ali kemudian menikah
dengan Tun Kudu dan memiliki dua anak bernama Tun Tahir dan
Tun Mutahir. Tun Tahir memiliki putra bernama Tun Mahmud
dan putranya ini adalah ayah dari Tun Sri Lanang.201
Semasa di Johor, Tun Sri Lanang melanjutkan tugas
leluhurnya, yakni sebagai bendahara. Jabatan strutural ini adalah
suatu keunikan dalam tradisi penyelenggaraan pemerintahan
Melayu. Institusi ini terdapat dalam kerajaan-kerajaan Melayu
turunan Malaka, yakni Johor, Pahang dan Perak. Bisa dikatakan
tugas seorang bendahara adalah multifungsi. Bendahara
bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan raja. Ia juga
banyak berkecimpung dalam urusan perumusan regulasi kerajaan
meskipun nantinya pengesahan tetaplah di tangan raja. Peran
bendahara amat mirip dengan patih atau mangkubumi
(amangkubumi) dalam tradisi kepemerintahan di Jawa. Selain
bertugas sebagai pengatur tata negara dan pemerintahan, patih juga
dalam beberapa kesempatan terlibat dalam penyusunan siasat
perang.202
Tatkala sultan berhalangan memimpin kerajaan, seperti
ketika dalam lawatan ke luar negeri, tampuk pimpinan kerajaan
dipegang sementara oleh bendahara. Biasanya, dalam jabatan
sebagai raja ad interim ia dibantu oleh dua bangsawan. Ketika
kerajaan terlibat perang, bendahara juga memiliki peran strategis
yakni sebagai panglima perang yang membawahi hulubalang dan
laksamana.203
Oleh sebab itu, ketika terjadi serbuan bala tentara
Aceh ke Batu Sawar, Tun Sri Lanang ikut pula memimpin pasukan
menahan laju pukulan pasukan musuh.
Tun Sri Lanang bukan saja dikenal sebagai negawaran
Melayu yang cakap, melainkan juga seorang pujangga Melayu
kenamaan. Karyanya, Sulalatussalatin, merupakan korpus sejarah
Melayu yang menjadi rujukan utama dalam mengetahui sejarah
201
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 35 – 37. 202
Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit) (Yogyakarta: LKiS, 2011) hlm. 73-74. 203
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39.
140
panjang Melayu dan negeri-negeri di sekitarnya. Bustanussalatin
pun sesungguhnya banyak pula mengutip dari kitab ini. Hal ini
diakui sendiri oleh Nuruddin ar-Raniri dengan mengatakan:
... fasal yang kedua belas pada menyatakan segala
raja raja yang kerajaan di negri Malaka dan
Pahang kata Bendahara Paduka Raja yang
mengarang Sulalatus Salatin. ia mendengar
daripada bapanya, ia menengar daripada nininya
dan datunya tatkala pada hijrah Nabi SAW seribu
dua puluh atas pada bulan rabi’ul awwal pada hari
ahad. Ia mengarang hikayat pada menyatakan
segala raja-raja yang kerajaan di negeri Malaka
dan Johor dan Pahang ...204
Mohd. Muhidin Abd. Rahman menjelaskan bahwa ketika
berada di Aceh, Tun Sri Lanang sempat berjumpa dengan
Nuruddin ar-Raniri. Mereka teribat dalam perbincangan yang
serius hingga menyentuh pembahsan mengenai keilmuan.
Disebutkan pula bahwa bendahara Johor ini bahkan sempat
berguru ilmu agama kepada ar-Raniri.205
Hal ini menunjukkan
bahwa Tun Sri Lanang diberikan kebebasan beraktivitas di
lingkungan istana Aceh. Kendati ia berasal dari Johor, tidak serta
merta ia terkungkung dalam pengawasan pasukan yang ketat.
Berguru pada ar-Raniri tentu saja bertalian dengan alokasi waktu
belajar yang kontinyu, bahkan besar kemungkinan kedua tokoh
ini berjumpa lebih dari satu kali.
M. Dien Madjid menambahkan bahwa bukan hanya Tun
Sri Lanang saja yang belajar pada ar-Raniri, melainkan keduanya
terlibat pada suasana saling belajar. Meskipun dikenal pandai
dalam dunia penulisan, ar-Raniri ternyata memiliki kelemahan
ketika harus menulis menggunakan bahasa Melayu. Kegelisahan
204
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks
didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil
ML 422, hlm. 1. 205
Mohd. Muhiden Abd. Rahman, “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan
Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam Al-Bayan, Vol. 4, Mei
2006/Rabi‟ulawwal 1427, hlm. 51.
141
ini kemudian terobati manakala ia mengetahui bahwa Tun Sri
Lanang selain dikenal sebagai negarawan juga tersohor berkat
kemampuannya dalam sastra Melayu. Untuk itulah ia
menyempatkan diri berdiskusi masalah keabahasaan berikut
langgam bersastra Melayu yang menjadi keahlian Tun Sri
Lanang.206
Lebih lanjut diterangkan pula, ketika Tun Sri Lanang
datang ke Aceh, ia tidak lantas suka diperlakukan seperti
bangsawan pada umumnya. Bahkan, pihak Aceh awalnya tidak
mengetahui bahwa ternyata ia merupakan salah satu petinggi
istana Johor. Ia dikenal sebagai pribadi santun yang justru gemar
berkerumun dengan masyakat kebanyakan yakni dengan
menghabiskan harinya bercocok tanam, membuat perahu dan
sebagian waktunya disisihkan mengajar agama dan bahasa Arab.
Perhatiannya yang mendalam terhadap kehidupan orang kecil ini
kemudian yang menyita perhatian pejabat istana Aceh, sehingga
dirinya kemudian dinobatkan sebagai Uleebalang Samalanga,
suatu daerah di Bireuen di kemudian hari, dimulai sejak 1615
hingga 1659.207
Dengan begitu ia tidak ikut kembali lagi ke Johor
sewaktu raja baru Johor, Abdullah, telah dinobatkan menduduki
tahta Johor berikutnya.
Samalanga menjadi satu di antara daerah lain, yang di
dalamnya ajaran Islam belumlah tersiar dengan luas. Di sana Tun
Sri Lanang mendirikan masjid sebagai sentra kegiatan keagamaan
masyarakat setempat.208
Salah satu agenda Sultan Iskandar Muda
adalah melapangkan ajaran Islam ke segenap persada Aceh dan
sekitarnya. Ia menyerukan untuk banyak membangun masjid dan
pesantren.209
Anthony Reid memberikan catatan tersendiri
206
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan
Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah dipresentasikan
pada Seminar Sejarah Tun Sri Lanang di Bireuen, Aceh, pada 11 Desember
2011 , hlm. 9. 207
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.
3. 208
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.
7. 209
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T.
Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981) Cet. 2, hlm. 345.
142
mengenai penggarapan tanah dalam suatu kerajaan. Biasanya, raja
akan mengirimkan keturunan atau keluarganya ke tanah yang
belum digarap secara produktif, seperti hutan misalnya, yang
sekaligus menahbiskan mereka sebagai penduduk setempat.
Dengan begitu, pembukaan tanah-tanah di luar ibukota kerajaan
tidak lantas menjanjikan terciptanya masyarakat yang egaliter, di
mana setiap kepala keluarga memiliki secara pribadi tanah yang
menjadi tempat tinggal atau lahan garapanya. Di antara mereka
termasuk dalam kategori orang tanggungan (dependant) atau juga
hamba (bondsman).210
Sepeninggal Iskandar Muda, bersama
dengan Nuruddin ar-Raniri Tun Sri Lanang didaulat menjadi
penasehat Sultan Iskandar Thani. Jabatannya ini diembannya
hingga masa pemerintahan berikutnya, ketika Aceh berada di
bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.211
Ketika terjadi pertikaian antarulama Wujudiyah212
yang
cenderung ke arah pengajaran esoterik dengan kelompok ulama
mengedepankan ajaran syariat Islam (eksoterik) dengan Nuruddin
ar-Raniri sebagai salah satu tokohnya, membuat hati Tun Sri
Lanang menjadi bimbang dan sedih. Kesedihan ini berlanjut
ketika mengetahui bahwa Nuruddin ar-Raniri ternyata
memutuskan untuk kembali ke Gujarat. Setelah menimbang
beberapa waktu, pada tahun 1645, bulatlah tekad Tun Sri Lanang
untuk kembali ke Johor. Keputusannya ini kemudian
diurungkannya setelah sang Ratu Aceh memintanya untuk tetap
menjadi penasehatnya. Sarakata (surat pengangkatan sebagai
210
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid
I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011) hlm. 30 – 31. 211
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.
10. 212
Paham Wujudiyyah berpandangan bahwa dzat makhluk yang
diciptakan Tuhan hanyalah fatamorgana bukan suatu realitas. Segala yang
terhampar di dunia adalah pengejawantahan dari Allah SWT. Yang realitas
hanyalah Tuhan sedangkan ciptaannya dianggap bukan realitas sebenarnya.
Pada perkembangannya, di Aceh paham ini dikenal dengan Martabat Tujuh
yang menitikberatkan pada emanasi atau pancaran dzat Khalik (Tuhan) atas
makhluknya. Paham tersebut dekat dengan ajaran Ibnu Arabi. Lihat M. Dien
Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan
Pejuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 124.
143
pejabat administratif) Tun Sri Lanang yang sebelumnya
dikeluarkan semasa Sultan Iskandar Muda pada 1613 kemudian
diperbaharui kembali. Tun Sri Lanang mangkat di Samalanga dan
dimakamkan di Kuta Blang, Samalanga.213
Dato Sri Wan Abdul Wahid bi Wan Hassan lebih lanjut
memaparkan bahwa Tun Sri Lanang kerapkali mendermakan
harta bendanya untuk membangun Samalanga. Dengan begitu, ia
tidak saja bergantung pada dana kerajaan untuk membiayai
pengembangan infrastruktur di sana. Tanah-tanah milik
pribadinya yang terletak di Kuta Blang banyak yang masih
terpelihara hingga saat ini. Beberapa di antara tanahnya inilah
yang kemudian diberdayakan untuk kemudian dibangun pondok-
pondok pengajian atau pesantren.
Sebenarnya, Samalanga juga merupakan tempat tinggal
para pengikut Tun Sri Lanang yang berasal dari Johor. Di sana
mereka kemudian menyatu dengan penduduk setempat, sehingga
iklim harmonis dapat terbentuk tanpa mengalami suatu kendala
yang berarti ketika berhadapan dengan penduduk lokal. Selain di
situ, banyak pula pengikut Sultan Alaiddin Riayat Syah III, Raja
Johor yang diungsikan ke Aceh, yang mendiami kawasan Tanoh
abe.214
Dengan begitu rekonsiliasi antar pejabat kerajaan ternyata
membawa berkah tersendiri dengan adanya para penduk Johor
yang kemudian bermukim di Aceh.
Bagi Aceh, pengangkutan penduduk Johor dan
menempatkannya di beberapa di sana, bukanlah tanpa sebab.
Politik ekspansif pemerintahan Iskandar Muda dan beberapa raja
sebelumnya yang gemar melakukan perluasan wilayah melalui
jalur peperangan membawa akibat yang buruk bagi teras
kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu yang paling mengemuka
adalah berkurangnya penduduk yang salah satu akibatnya adalah
banyak di antaranya yang direkrut sebagai pasukan kerajaan.
213
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39. 214
Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan Hassan “Salasilah
Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah disampaikan dalam
Seminar Sejarah Tun Sri Lanang yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005
di Kuantan, Pahang Darul Makmur, hlm. 10.
144
Kelangkaan manusia yang dialami Aceh, Semenanjung Malaya
dan Asia Tenggara pada umumnya ditanggapi Anthony Reid
dengan kritis. Manurutnya, kondisi ini bukan hanya terjadi abad
16 melainkan terus berlanjut hingga abad ke 17 dan 18. Berbagai
faktor menjadi pendorong mengapa bencana kemanusiaan ini bisa
terjadi adalah mulai dari turunnya tingkat kesejahteraan, konversi
agama yang menyebabkan perubahan nilai serta pandangan
tentang kelahiran serta intensitas perang-perang kecil yang tidak
berkeputusan.
Zainuddin menyebutkan bahwa untuk menanggulangi
turunnya jumlah penduduk Aceh, Iskandar Muda menerbitkan
kebijakan kawin campuran. Para warga pendatang asal Johor
dibolehkan bermukim dan menikah dengan orang Aceh, asalkan
status anak-anak yang lahir dari mereka adalah warga Aceh.
Kebijakan ini berlaku bukan hanya untuk kalangan bangsawan
melainkan sampai juga pada masyarakat bawah.215
Untuk yang terakhir, Reid memberikan keterangan yang
agak luas. Sebenarnya, peperangan di wilayah Nusantara tidaklah
menimbulkan korban yang amat besar. Namun, sudah menjadi
tujuan utama perang untuk memperbanyak jumlah simpatisan
yakni dengan cara merebut rakyat lawannya untuk kemudian
dijadikan budak atau tawanan yang disertai dengan penghancuran
tempat-tempat penting di kerajaan musuhnya, sehingga
penduduknya mengungsi ke negeri penghancur tempat tinggalnya.
Dengan begitu, tidak banyak nyawa yang melayang sia-sia dalam
pertempuran. Kekacauan serta ketidakpastian yang ditimbulkan
akibat peperangan merupakan faktor demografis yang kritis.
Telah menjadi pola umum bahwa negara-negara yang
besar merekrut tenaga segar dari penduduk laki-lakinya untuk
kemudian dijadikan pasukan yang tidak terorganisir dengan baik.
Mereka tidaklah diberi kebutuhan bekal yang cukup baik untuk
diri mereka sendiri maupun bagi keluarga yang ditinggalkan.
Ribuan tawanan perang Aceh yang diangkut menggunakan kapal
banyak yang mati diperjalanan, seperti yang terjadi pula pada
215
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda,
1959) hlm. 130.
145
tawanan kerajaan Birma, Siam dan Makassar. Ketika mengetahui
akan datang bencana peperangan, sebelumnya, mereka yang
waspada segera memilih selamat dengan mengungsikan diri ke
wilayah yang aman, paling tidak sampai anak-anak yang masih
dalam kandungan dari kaum mereka telah lahir.216
Aceh menunjukkan simpati terhadap kerajaan Johor yang
semula dihancurkannya. Sebanyak 2000 pasukan kemudian
dikirim ke Johor untuk merekonstruksi tata kota Batu Sawar.217
Meskipun di tahun 1616 Johor ternyata masih berhubungan
dengan Portugis, sesuatu yang menyebabkan serangan lanjutan
atas ibukota tersebut untuk kali kedua, tidak lantas membuat
sultan Aceh abai untuk memperhatikan kelangsungan hidup
masyarakatnya. Pihak Aceh menyadari bahwa serangan kedua ini
akan berakibat buruk bagi ketentraman penduduk Johor dan sudah
selayaknya pihak yang menang memperhatikan kelangsungan
hidup rakyat musuhnya.
Zainuddin menyebutkan bahwa di samping melakukan
renovasi, Iskandar Muda juga banyak membangun masjid serta
pondok yatim di sana. Ulama dan Lebai-lebai didatangkan pula
untuk memandu ritual keagamaan masyarakat Johor.218
Perhatian
juga ditunjukkan dengan pembenahan intensif persawahan warga
sekaligus membangun irigasi yang harapannya dapat
meningkatkan produktivitas pangan warga. Sebagaimana telah
216
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga ..., hlm. 20-21. 217
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 29. 218
Bantuan pengadaan pengajaran Islam juga dilakukan Aceh terhadap
Kedah. Sekitar tahun 1640, Sultan Aceh, Iskandar Thani, mengirimkan dua buah
kitab karya Nuruddin ar-Raniri yaitu Shiratal Mustaqim dan Bab an-Nikah
untuk dikaji dan dipelajari di sana. Kitab-kitab itu banyak membahasa masalah
ritual (puasa, shalat, zakat dan lain-lain), pengetahuan tentang halal-haram
dalam makanan, serta undang-undang mengenai perkawinan dan cerai.
Pengiriman karya ini menunjukkan Aceh ingin menjalin kerjasama yang
membangun dengan negeri-negeri Melayu, termasuk dengan Johor. Lihat Nor
Azizah Sham Bt Rambely, “Pendatang yang Diterima; Migrasi Aceh ke Kedah”,
makalah ini dipresentasikan pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu,
bertempat di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang diselenggarakan oleh
Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru,
hlm. 7.
146
disampaikan, pada serangan 1616, Raja Johor kala itu, Sultan
Abdullah Ma‟ayat Syah melarikan diri ke Tembilahan
(Tambelan). Sesuatu yang kemudian menyebabkan rakyatnya
resah akan kelangsungan kemakmuran mereka. Untuk
menanggulangi hal itu, Aceh segera mendaratkan bantuan-
bantuan untuk mencegah memanjangnya efek buruk dari suatu
pertikaian politik.219
Rangkaian aksi simpatik yang dilakukan Aceh terhadap
Johor, boleh dikatakan sebagai wujud penghargaan akan
keterlibatan orang-orang dari beberapa negeri taklukkan yang ikut
membangun Aceh. Disinyalir, Tun Sri Lanang dan Putri Pahang
(istri Iskandar Muda) ikut berperan di balik kebaikan hati Aceh
membangun kembali ibukota Johor. Sebagai anak negeri Johor,
baik Tun Sri Lanang maupun Putri Pahang, akan terenyuh melihat
istana serta kota yang menjadi tanah airnya luluh diinvasi Aceh.
Untuk itu, mereka menggunakan posisinya sebagai sarana
mengadakan komunikasi-komunikasi strategis agar Aceh mau
memikirkan kelanjutan hidup pemerintaan serta warga Johor.
Pandangan tersebut diperkuat dengan pendapat Zainuddin
yang menyebutkan bahwa karena kebaikan Putri Pahang lah,
Sultan Alauddin Riayat Syah III, terbebas dari hukuman mati.220
Hal ini menjadi pertanda bahwa sejak kedatangannya, Putri
Pahang telah menempati posisi istimewa, sehingga
permohonannya tidak saja menjadi pertimbangan namun juga
dikabulkan Iskandar Muda. Hukuman berat memang sudah
selayaknya diberikan pada Raja Johor karena keberaniannya
melanggar perjanjian dengan Aceh untuk tidak bersekutu dengan
Portugis. Ampunan ini tentu saja amat menggembirakan hati raja
serta pejabat istana Johor dan dapat diibaratkan sebagai
pemberian kesempatan kedua.
Sikap itu amat kentara dalam diri Putri Pahang. Tatkala ia
diboyong ke istana Aceh lantas dijadikan istri oleh Iskandar
Muda, hatinya tetap saja dirundung kesedihan dan kesunyian
disebabkan rasa rindu yang sangat akan tanah airnya yang
219
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 158. 220
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129.
147
dikelilingi oleh perbukitan. Iskandar Muda yang merasakan
kesedihan istrinya lantas memerintahkan seniman, ahli
pertamanan dan ahli bangunan untuk membangun pintu Khoop
dan Gunongan yang dikelilingi taman indah.221
Keberadaan dua mantan orang penting dalam istana Johor
di atas tentu membawa aura baru dalam pergaulan kehidupan
istana. Bisa dikatakan, mereka merupakan kepanjangan tangan
langsung dari Johor atau paling tidak dapat menyuarakan
kepentingan Johor di lingkungan istana Aceh. Meskipun tidak
diketahui secara persis bagaimana peran mereka dalam
kepemerintahan Aceh, namun bukan berarti mereka diam
mematung begitu saja saat mengetahui kerajaan yang dahulu
membesarkan serta tanah air mereka diserang sedemikian rupa
oleh bala tentara Aceh. Hal Ini sekaligus memperkuat pendapat
Nicolson sebelumnya, terkait anggota keluarga kerajaan memiliki
potensi menjadi diplomat. Mereka tentu memiliki kesempatan
yang terbuka lebar dalam mengutarakan gagasannya. Terlebih
ketika mengetahui Putri Pahang belakangan ikut pula
berkecimpung dalam pemerintahan Aceh Darussalam membantu
suaminya.
Putri Pahang berkontribusi dalam memformulasikan
undang-undang (qanun) kerajaan Aceh. Selain itu, ia juga
mengusulkan kepada suaminya untuk membentuk Balai Majelis
Mahkamah Rakyat, yang merupakan unsur ketiga dari satuan
hukum kerajaan yang disebut Hadih Maja.222
Hal ini
menandaskan bahwa Putri Pahang memiliki ruang gerak yang
luas dalam wilayah birokrasi dan regulasi kerajaan Aceh.
221
Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna,
1983) hlm. 166. 222
Pocut Haslinda MD Azwar, Perempuan Bercahaya dalam Lintasan
Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 149-152
148
B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu
Ketika diperintah oleh Sultan Syamsu Syah (1497 – 1514),
Aceh mulai aktif terlibat kontak dengan Portugis. Di masa
pemerintahannya, Portugis mulai melancarakan penanaman
pengaruh di ujung Sumatra, tepatnya di Pidie, Pasai dan Aru.
Ketiga wilayah ini menjadi medan tempur pasukan Aceh
melawan Portugis yang dibantu pasukan lokal setempat. Pada
episode ini, Aceh berhasil mengalahkan mereka semua. Zainuddin
menyebutkan bahwa kemenangan ini menjadi awal dari kebesaran
Aceh sehingga menyandang gelar sebagai Aceh Raya.
Penguatan pengaruh di wilayah tetangga dekat Aceh,
kembali dilakukan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah yang bekerja
keras menjaga ketiga wilayah di atas ditambah Kerajaan Daya
dari upaya hegemoni Portugis. Sampai dengan masa awal
pemerintahan Sultan Alaiddin al-Kahar, Aceh masih disibukkan
dengan agenda politik internal ujung Sumatra. Sultan Shalahuddin
Syah menggantikan Sultan Alaiddin al-Kahar yang mengkat
ketika Aceh berperang melawan Aru. Sultan inilah yang
menyempurnakan wilayah Aceh yang meliputi pula Pidie, Pasai,
Daya dan Aru.223
Iskandar Muda merupakan sosok raja yang membawa
Aceh pada puncak kejayaannya. Selain berhasil mengembangkan
perdagangan serta menciptakan stabilitas negeri, sistem
pertahanan dan militer juga tidak luput untuk dimodernkan. Untuk
hal yagng terakhir disebutkan, ternyata menjadi salah satu bahan
pembicaraan penting ketika membahas kemajuan kerajaan Aceh,
terutama di sektor konstelasi politik regional. Kewibawaan serta
kebesaran Aceh sebenarnya amat bergantung dengan sebaran
pengaruh dominasi yang direntangkan melalui jalan perluasan
wilayah.
Portugis benar-benar menjadi musuh tangguh yang amat
diwaspadai Aceh. Berbekal pengalaman-pengalaman para
pendahulunya yang cukup direpotkan dengan keberadaan bangsa
Eropa ini, menuntut Iskandar Muda berserta fungsionaris istana
223
Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.
149
Aceh untuk melanjutkan semangat pantang menyerah mengusir
mereka. Serangkaian episode perang menjadi pembuktian bahwa
Aceh begitu meradang dengan aktivitas Portugis di sekitar
wilayah otoritas mereka.
Portugis pun, sebagai bangsa penguasa Malaka, juga
memiliki kepentingan untuk mempererat posisinya di bentangan
Selat Malaka. Oleh sebab itu, mereka tidak segan melakukan
intrik-intrik politik yakni dengan membujuk penguasa lokal agar
berpihak dengannya. Aru, Johor, Pahang serta beberapa negeri
lain di sekiatar Selat Malaka berhasil mereka perdaya. Keberanian
Portugis melakukan manuver politiknya sebenarnya disokong
pula dengan sistem persenjataan kuat sehingga dapat
memaksimalisasikan program politik regional mereka.
Oleh sebab Portugis kian gencar menancapkan otoritasnya
di beberapa negeri Melayu tersebut, membuat Aceh
membulatkan tekad untuk segera mengambil sikap. Segera pasca
mengetahui Johor yang sebelumnya diharapkan menjadi sekutu
potensial Aceh, ternyata di penghujung abad 16 kembali berpihak
pada musuh, melatarbelakangi derasnya semangat Aceh menahan
pengaruh Portugis menerobos kian dalam di lingkungan istana-
istana Melayu. Iskandar Muda mencanangkan politik ekspansif
untuk menyelamatkan negeri-negeri Melayu dan sekitarnya dari
kuasa Portugis. Para laksamana dan pemimpin perang lainnya pun
dipersiapkan untuk melakukan patroli sekaligus penertiban.
Begitu perintah dijatuhkan maka tergelarlah masa-masa sibuk
Aceh melakukan lawatan-lawatan yang dipandang kurang
menyenangkan oleh sebagian negeri-negeri yang akan dituju.
Menginjak tahun 1612, Iskandar Muda menjadikan Deli
sebagai awal dari rangkaian politik ekspansinya. Bustanussalatin
merekam rangkaian penaklukkan Iskandar Muda sebagai berikut:
... dan beberapa negeri ditaklukkan. Pertama negeri
Deli pada tatkala hijrah (tahun hijriyah) seribu dua
puluh tahun. kemudian dari itu maka oleh Johor
pada tatkala hijrah seribu dua puluh dua tahun.
kemudian dari itu berangkat ke Bintan pada tatkala
150
hijrah seribu dua puluh tiga tahun ... kemudian dari
itu maka menaklukkan negeri Pahang pada tatkala
hijrah seribu dua puluh enam tahun ... kemudian
dari itu maka negeri Kidah (Kedah) pada tatkala
hijrah seribu dua puluh sembilan tahun. kemudian
dari itu. oleh negeri Nias pada tatkala seribu tiga
puluh empat tahun kemudian dari itu maka
dititahkan orang kaya-kaya Maharaja Seri
Maharaja dan orang kaya-kaya Laksamana
menyerang Malaka pada tatkala hijrah seribu tiga
puluh delapan tahun.224
Uraian di atas menjelaskan tentang meledaknya daya
ofensif Aceh demi mengupayakan pembebasan dunia Melayu.
Iskandar Muda seakan memiliki cadangan sumber daya manusia
dan logistik yang lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan
melimpah, karena jarak antara satu penaklukkan dengan
penaklukkan lainnya tidaklah terlampau lama. Dengan kata lain,
waktu untuk memugar kembali kekuatan bisa ditempuh secara
cepat untuk kemudian membentuk satuan pasukan yang segar
untuk menyelesaikan misi selanjutnya.
Zainuddin mencatat bahwa Iskandar Muda memiliki
rahasia tersendiri mengapa Aceh bisa berubah menjadi kekuatan
pantang menyerah dan spartan saat berperang. Motivasi tinggi
mengalahkan musuh tercipta ketika pasukan bisa
mengenyampingkan kebutuhan ekonominya, paling tidak sampai
dengan perang atau suatu misi selesai. Oleh sebab itu, maka
lokasi awal yang harus segera dikuasai adalah kawasan pesisir
timur dan barat Sumatra. Di pelabuhan-pelabuhan stategis yang
tersebar di kawasan pantai tersebut segera ditempatkan panglima
atau Uleebalang yang menjadi kepanjangtanganan otoritas
pemerintahan Aceh di sana. Selain menjadi pemimpin lokal,
mereka juga bertugas mengumpulkan bea dan cukai. Di samping
itu, perkebunan lada dan produksi ikan kering juga ditingkatkan
sebagai dua item barang dagangan ikonik Aceh yang memiliki
daya jual mahal. Langkah-langkah kebijakan ekonomi tersebut
224
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15.
151
berdampak positif bagi kemakmuran rakyat Aceh sehingga
mereka yang ditugaskan di medan perang tidak khawatir
mengenai kesejahteraannya.
Daerah pesisir juga bisa dimanfaatkan dari sisi yang
lainnya. Oleh sebab posisi geografisnya yang tidak jauh dari jalur
air, beberapa wilayah seperti Deli, Batubara, Asahan dan Pulau
Kampai (Arus), bisa digunakan sebagai pangkalan pertahanan
militer pasukan Aceh. Di samping itu masyarakat pesisir negeri
bawahan Aceh pun banyak yang antusias menjadi pasukan
bantuan yang tentu saja akan memperbanyak sekaligus
memperkuat pasukan Aceh profesional. Dikatakan pula bahwa
banyak di antara pasukan Aceh yang merupakan suku Batak dan
Karo, dua etnis yang mendiami kawasan pedalaman Sumatra.225
Hampir seluruh medan pertempuran berhasil dimenangkan
Aceh, meskipun terkadang harus meningkatkan intensitas berlebih
untuk menundukkan suatu bangsa. Ar-Raniri mengonfirmasi
bahwa saat akan menguasai Kedah, tentara Aceh terlibat dalam
baku hantam serius dengan pasukan Portugis pulau Benang.
dikabarkan banyak di antara orang Portugis yang tertawan dan
terbunuh dalam pertepuran tersebut.226
Peristiwa peperangan yang menguras emosi dan
mengharukan adalah ketika dalam suatu waktu pasukan Aceh
berhadapan dengan pasukan Johor yang baru kali itu diketahui
membelot untuk kesekian kalinya ke pihak Portugis. Dalam suatu
kesempatan ketika akan menyerang Malaka, armada Aceh dicegat
oleh pasukan Raja Johor, yang masih terhitung saudara ipar
Iskandar Muda. Keberadaan Johor tentu saja amat mengagetkan,
mengingat belum lama berselang, Johor telah berkomitmen
dengan Aceh untuk tidak membantu Portugis. Pada peperangan
ini, tentara Aceh mengalami kekalahan. Penyebab utama
kekalahan ini adalah munculnya keragu-raguan dalam benak
panglima Aceh, apakah akan terus menyerang saudara Sultan
225
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 226
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 5.
152
Aceh atau tetap pada serangan. Karena kebimbangan inilah, Johor
dibantu Portugis dapat mengalahkan Aceh.227
Wilayah kekuasaan Aceh sangatlah luas, namun memiliki
kedudukan administratifnya memiliki perbedaan, ada yang
sifatnya hanya pengakuan biasa atau merupakan suatu ketundukan
yang ditunjukkan dengan pemberian upeti tahunan. Teuku
Iskandar menerangkan bahwa dalam surat Iskandar Muda yang
dikirimkan kepada Raja James I Raja Inggris kala itu, mengatakan
bahwa dirinya merupakan penguasa banyak daerah dan raja yang
diberkati Tuhan. Termasuk dalam kekuasaan Aceh masa itu
adalah di sebelah timur meliputi Lubuk, Pidir, Samarlanga,
Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan,
Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri.
Sedangkan di sebelah barat mencakup daerah Calang, Daya,
Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura, Selebar,
Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Dengan
pengecualian Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah
disebutkan dalam masa yang pendek atau panjang berada dalam
kekuasaan Aceh. Tujuan utama dari politik regional Aceh ini
bukan hanya sebatas menguasai, namun ingin menciptakan Pan-
Melayu (Pan-Malaynism).228
Apa yang dilakukan Aceh dan Portugis terhadap negeri-
negeri Melayu memang menimbulkan dua anggapan. Bagi Aceh,
cara ini amat berguna untuk menghentikan langkah Portugis
menguasai negeri-negeri Melayu. Pan-Melayu sebagaimana
diinginkan Aceh, mensyaratkan persekutuan yang terbebas dari
anasir Eropa, dan tentu saja mengedepankan pertalian kuat
kekerabatan raja-raja Melayu dengan Aceh sebagai inisiatornya.
Meskipun sepintas persekutuan ini berkedudukan saling
memperkuat pertahanan kerajaan dan membuka peluang untuk
mengatur kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya di antara
mereka, namun tentu saja Aceh bertindak sebagai nakhoda dari
Pan-Melayu tersebut.
227
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 135. 228
Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay ...” , hlm. 17-18
153
Di sisi lain, Portugis pun memiliki hak serupa untuk
menjalin persekutuan dengan para raja Melayu. Keberpihakan
beberapa kerajaan Melayu seperti Pahang, Aru, Johor belakangan,
mengindikasikan bahwa kedudukan Portugis adalah sepadan
dengan Aceh, sama-sama ingin mengusahakan pakta integritas
yang disepakati negeri-negeri yang saling bersahabat. Akan tetapi,
dua upaya integritas tersebut tidaklah bisa berjalan beriringan,
mengingat sebagai kekuatan yang merasa paling dominan, Aceh
dan Portugis harus terlebih dahulu saling menjatuhkan dan
mengalahkan untuk menegakkan cita-cita politiknya masing-
masing.
Di sebagian kerajaan Melayu, seperti Aru, Pahang dan
Johor kebijakan Aceh ini dianggap sama saja dengan apa yang
dilakukan Portugis, yaitu sama-sama menjadikan wilayah mereka
sebagai kekuasaan mereka. Oleh sebab demikian, raja-raja
Melayu tersebut merasa berhak untuk memilih satu dari dua
kekuatan yang saling berseteru itu, sebagai kawan. Kenyataan
demikian menimbulkan pertanyaan lain mengenai posisi Portugis
sendiri, yakni apakah keberadaannya dianggap sebagai
pengganggu atau penolong di lingkungan raja-raja Melayu dari
politik regional Aceh.
C. Pola-Pola Hubungan Diplomatik Aceh dan Johor
Kedua kerajaan memiliki historisitas yang panjang dalam
membina hubungan diplomatik. Meskipun dalam praktiknya,
hubungan ini kerap diwarnai oleh intrik, perang, pernikahan dan
saling tukar-menukar pernak-pernik kebudayaan maupun
peradaban, terdapat beberapa bentuk pola kerjasama bilateral,
yang bisa diketahui, antara lain:
Diplomasi Politik
Kerjasama politik kedua kesultanan, lebih dititikberatkan
pada kerjasama internasional. Kedua kerajaan sebenarnya
memiliki niat luhur untuk membangun kekerabatan yang rekat,
oleh sebab ditilik dari keduanya, memiliki leluhur yang sama.
154
Yakni sama-sama mengalir darah Raja Perlak ke 6 bernama
Sultan Mahdum Alaiddin Muhammad Amin Syah bin Malik
Abdul Kadir (1243-1267). Putrinya, Ratna Kemala dipersunting
oleh Iskandar Syah atau Parameswara, pendiri kerajaan Malaka.
Putri Ganggang Sari, putrinya yang lain, dipersunting oleh Sultan
Malikussaleh, Sultan pertama Samudera Pasai.229
Ingatan historis ini menjadi landasan kuat, betapa
kebersamaan raja-raja Melayu menjadi sesuatu yang terus
dilanggengkan. Pernikahan, dalam terminologi diplomasi kuno
(ancient diplomacy) adalah bagian dari upaya merajut relasi
antara dua kekuatan politik.230
Johor merupakan pewaris
Kesultanan Malaka, mentradisikan warisan leluhur, dalam hal ini
membina hubungan yang baik dengan kerajaan jiran seperti Aceh,
sebetulnya merupakan tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh
generasi penerusnya.231
Beberapa pernikahan penting dua kesultanan ini adalah; 1)
pernikahan Raja Ali, putra Sultan Mahmud Syah, Raja Terakhir
Malaka atau Raja Pertaman Johor, dengan seorang putri Aceh
terjadi ketika Sultan Salahuddin berkuasa (1530-1537)232
; 2)
Pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang setelah
penyerbuan ke ibukota Johor pada 1613; 3) Pernikahan Raja
Abdullah (kelak menjadi Sultan Johor bergelar Sultan Abdullah
229
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Iskandar
Muda, 1961) hlm. 95-96. 230
Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond
Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins
University Press, 2002) hlm. 165. 231
Dalam terminologi diplomasi kuno, seperti yang ditemukan di
zaman Yunani Kuno, diplomasi yang terjalin kerapkali didasari oleh kesamaan
leluhur yang di masanya adalah seorang yang berkedudukan istimewa (specific
persons), baik berasal dari kalangan dewa maupun pahlawan, yang namanya
dicatat dalam epos sejarah. Lihat Christopher P. Jones, Kinship Diplomacy in
The Ancient World (USA: Harvard University Press, 1999) hlm. 1-2. 232
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 396-397.
155
Ma;ayatsyah atau Sultan Hammat Syah di tahun-tahun yang
berdekatan dengan pernikahan Sultan Iskandar Muda.233
Ketiga pernikahan tersebut terjadi bukanlah tanpa tujuan.
Pernikahan pertama ditengarai terjadi manakala Portugis sudah
mulai menguatkan pengaruhnya di Malaka. Johor yang saat itu
masih trauma dengan serangan-serangan Portugis, dan berupaya
membangun kerajaannya, membutuhkan rekan kerja yang lebih
besar dan mempunyai alat-alat kelengkapan sebagai salah satu
kekuatan yang disegani di Asia Tenggara, pilihan ini jatuh ke
Aceh, karena pada abad 16 dan 17, Aceh menyandang sebagai
sentra politik berpengaruh di Nusantara, utamanya di perairan
Selat Malaka.
Serbuan Aceh ke Batu Sawar pada 1613, membawa
kebaikan tersendiri bagi kedua kerajaan, meskipun bagi Johor ini
adalah bentuk nyata arogansi Aceh atas keputusannya menjalin
hubungan dengan Portugis, untuk mengeliminir pengaruh Aceh.
Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri Lanang, sebagai tawanan
perang, lantas di kemudian hari dipulihkan privilis-nya, bahkan
diangkat sebagai salah satu permaisuri raja dan uleebalang
pertama Samalanga, agaknya turut merubah persepsi Iskandar
Muda kepada Johor.
Sangat mungkin sekali kedua tokoh ini berkontribusi
memugar relasi dua kerajaan terkait. Anthoni Reid
mengungkapkan bahwa sudah menjadi semacam kewajaran dalam
babakan perang Asia Tenggara bahwa rakyat kerajaan yang kalah
mengungsi ke wilayah-wilayah kerajaan yang menang. Hal ini
untukmemenuhi kuota kaum laki-laki yang banyak gugur di
medan perang sebagai pasukan suatu kerajaan. Mengambil
penduduk kerajaan-kerajaan yang kalah adalah salah satu tujuan
233
Lihat Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A
Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”,
Tesis, Cornell University, 1971,., hlm. 20; Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri
Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun
Sri Lanang, 2011), hlm. 28-29 dan 56.
156
perang. Ini merupakan salah satu problem demografis yang
kritis.234
Perpindahan penduduk Johor ke beberapa tempat
sebagaimana disebutkan di atas, adalah buah dari diplomasi Tun
Sri Lanang, sebagai salah satu chief kecil yang bertanggung jawa
atas daerah Samalanga. Kawin mawin antara para pendatang
Johor dan Aceh juga banyak terjadi, dengan catatan anak-anaknya
tetap harus menjadi pribumi Aceh.235
Kemudian, posisi Tun Sri Lanang dan Putri Pahang
agaknya ikut mempengaruhi pandangan Sultan Iskandar Muda
akan nasib Johor, sebagai kerajaan yang kalah perang. Beberapa
tawanan yang dibebaskan dari hukuman mati, seperti Sultan Johor
yang kala itu ikut diungsikan ke Aceh, dibebaskan, adalah berkat
nasehat Putri Pahang.236
Dalam salah satu cerita, dikisahkan
bahwa ketika Iskandar Muda sedang giat melakukan perluasan,
Putri Pahang pernah mengingatkan untuk tidak membunyikan
meriam tatkala melewati wilayah Asahan, karena bisa ditafsirkan
sebagai ajakan berperang oleh Raja Asahan. Asahan sendiri kala
itu memiliki armada tempur yang kuat, sehingga bisa saja
menyusahkan Aceh.237
Pendirian masjid, lembaga pendidikan,
rumah yatim serta pengiriman para ahli agama, merupakan
sebagain upaya Sultan Iskandar Muda membayar dampak buruk
dari peperangan yang ia inginkan. Tanggung jawab ini ditengarai
bisa terealisasikan berkat adanya kedua orang tersebut dalam
istana Aceh.
Keberadaan Iskandar Tsani, sebagai putra kerajaan
Pahang, yang dalam perkembangannya tidak menginginkan
model hubungan internasional yang melegalkan ekspansi di
dalamnya, juga adalah akibat dirinya masih memandang Johor
234
Anthoni Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, Jilid 1: Tanah di
Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2011) hlm. 20-21. 235
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 236
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 237
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: Waspada,
1981) hlm. 274.
157
serta kerajaan Melayu lainnya adalah bagian dari kampung
halamannya. Telah disbeutkan bahwa dalam pergaulan istana-
istana Melayu, kekerabatan merupakan suatu hal yang dijunjung
tinggi, terlepas dari keberadaan intrik serta perbedaan pandangan
akan politik. Pahang dan Johor merupakan dua kerajaan yang
memiliki pertalian darah yang kuat.
Pernikahan, restorasi ruang publik serta diplomasi
ketokohan, merupakan pola-pola yang bisa diketahui, saat melihat
relasi bilateral Aceh dan Johor, paling tidak sampai abad ke 17.
Diplomasi Intelektual
Sokoguru kuatnya peradaban Melayu-Nusantara tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kerajaan didalamnya. Jika
membicarakan seputar kurun abad 16 dan 17, maka kerajaan yang
bisa dikatakan sebagai poros peradaban Melayu tidak bisa
dilepaskan dari Aceh dan Johor.
Pada perkembangannya, harus diakui, Aceh lebih besar
ketimbang Johor, dilihat dari kapasitas intelektual sarjananya,
hingga kualitas lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di dalamnya.
Terhitung sejak abad 16, Penerjemahan kitab-kitab berbahasa
Arab ke Melayu juga dilakukan oleh Aceh, semata-mata untuk
mengakarkan diri sebagai kiblat intelektual Asia Tenggara kala
itu.238
Meskipun begitu, posisi Johor juga bukan saja sebagai
kerajaan yang bukan melulu terbelakang jika dibandingkan
dengan Aceh. Bahkan dalam beberapa kasus, kebesaran Aceh
sebagai kiblat keulamaan, salah satunya berhutang pada Johor.
Salah satu kitab yang menjadi rujukan penting dalam sistem
pemerintahan kerajaan Melayu, termasuk Aceh, adalah Taj as-
Salatin, yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Teuku Iskandar
memiliki keyakinan bahwa gelar al-Jauhari di belakang nama
238
Engku Ibrahim Ismail, Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis Peranan
dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam di Nusantara (Kuala Lumpur:
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992) hlm. 2.
158
Bukhari, merujuk sebagai Johor, tempat tinggalnya. Pendapat ini
masih bisa diperdebatkan mengingat beberapa sarjana, seperti R.
O. Winstedt dan Liaw Yock Fang meyakini bahwa Bukhari
melainkan Persia.239
Kitab ini berperan penting dalam khazanah
kesusasteraan Melayu, termasuk di Aceh.240
Dari segi intelektual, keberadaan Iskandar Muda, amatlah
penting bagi tumbuhnya geliat intelektualitas di Aceh. Kasus
pertentangan paham Nuruddin ar-Raniri dengan ulama dan
pengikut paham Wujudiyyah yang terjadi di era kepemimpinan
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Merupakan ekses dari
kemajuan intelektual, meskipun dilihat dari segi yang lain,
merupakan suatu bentuk keprihatinan yang mendalam karena
melibatkan penghilangan nyawa, pembakaran kitab, serta
persinggungan lainnya, yang membahayakan geliat intelektualitas
di Aceh.241
Diplomasi keilmuan juga terlihat dalam relasi antara Tun
Sri Lanang dan Nuruddin ar-Raniri. Diperkirakan kedua tokoh ini
telah saling mengenal dan bertukar pengetahuan. Dalam menulis
karyanya mengenai leluhur raja-raja Melayu, Nuruddin ar-Raniri
pun menyampaikan bahwa ia memperoleh keterangan
mengenainya dari kitab Tun Muhammad (Tun Sri Lanang) yang
239
Saleh Partaonan Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari
(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis) (Jakarta: Putlitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI,
2011) hlm. 26; lebih lanjut lihat R.O. Windstedt, A History of Malay Classical
Literature (Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991) hlm. 95-97; Liaw
Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Air Langga, 1993)
hlm. 70. 240
C. Hooykaas dan T. Iskandar meyakini bahwa Taj as-Salatin adalah
sebuah karya Melayu yang ditulis di Aceh. Lihat Amirul Hadi, Aceh, Sejarah,
Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 9; lebih
lanjut lihat C. Hooykaas, Over Malaise Litaratuur (Leiden: E.J. Brill, 1947)
hlm. 171-173; T. Iskandar, “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan
Bahasa 3, (1965), hlm. 9. 241
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hlm.
212-213.
159
berjudul Sulalatussalatin.242
Bahkan, dalam beberapa penulisan
hikayat, seperti Hikayat Radja Badar (Perang Badar) dan Hikayat
Hanafiah, Nuruddin ar-Raniri dibantu oleh Tun Sri Lanang dan
Tun Atjeh.243
Geliat perkembangan intelektual Aceh, tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan keberadaan dinamika intelektual di
masa sebelumnya. Jajat Burhanuddin mengungkapkan bahwa
kemampuan ulama dalam merekonstruksi, memformulasi dan
memodisikasi tradisi, adalah suatu akumulasi dari proses historis
yang panjang dalam sejarah.244
Latar intelektualitas di Aceh sama
sekali tidak mengalami kemandegan tatkala banyak pengaruh luar
berdatangan, termasuk merespon keberadaan Tun Sri Lanang.
Dalam kapasistasnya sebagai penulis Sulalatussalatin, Aceh
sebenarnya diuntungkan secara hostoris, karena keberadan tokoh
ini yang berkiprah dalam pemerintahan Aceh, adalah salah satu
pemberi corak yang signifikan dalam kanvas besar pergumulan
intelektual Aceh sebagai salah satu pusat keilmuan Asia
Tenggara. Maka tidak salah kiranya, jika memasukkan Tun Sri
Lanang dalam bagian penting kesusasteraan kuno Melayu-
Nusantara. Oleh karena dirinya pernah pula beraktivitas (bahkan
dimakamkan) di Aceh.
Di bidang perundang-undangan, undang-undang Johor
sempat dijadikan inspirasi dalam mengamandemen undang-
undang kerajaan Aceh. Adalah Sultan Alaiddin Riayat Syah al-
Kahar, yang menggunakan Undang-Undang Johor sebagai acuan
dalam menyelenggarakan peninjauan kembali undang-undang
Aceh. Teuku Iskandar meyakini bahwa peristiwa ini
menunjukkan adanya pengaruh Melayu dalam sistem
pemerintahan Aceh.245
Peran ini juga dilakukan di masa Sultan
242
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 1. 243
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 126. 244
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012) hlm. 7. 245
Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th –
19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and
Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12
160
Iskandar Muda, di mana Putri Pahang dilibatkan dalam
merumuskan pembaruan hukum AMA (Adat Meukuta Alam),
dalam bidang kanun, yakni mengurusi masalah penyelenggaraan
majelis, sopan santun dan pernikahan.246
D. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu
Kemunculan Portugis menimbukan dinamika baru dalam
pergaulan kepulauan Nusantara. Hal ini bukan hanya disebabkan
oleh perbedaan agama yang dianutnya, melainkan juga dari segi
aktivitas serta pergaulannya dengan penguasa lokal. Melalui
persinggungan ekonomi, mereka juga berupaya untuk bermukim
lebih lama di kawasan bandar dagang yang menyokong aktivitas
strategis lainnya, seperti politik misalnya. Hal ini diketahui dari
catatan Portugis yang mengabadikan rencana Alfonso de
Albuquerque bahwa Pasai, memiliki prospek perdagangan yang
baik tatkala Portugis menguasai Malaka kelak.
Rencana tersebut diungkapkan de Albuquerque sebelum
menguasai Malaka. Ia menyempatkan diri bersekutu dengan
kerajaan Pasai namun masih belum ditanggapi secara hangat.
Melalui suatu pertempuran laut dengan Portugis yang berakhir
dengan kekalahan Pasai, penguasa Pasai segera menemuinya dan
menyatakan ketundukkannya yang ditunjukkan pada pembayaran
upeti secara berkala. Segera setelah itu Pasai pun menjadi vassal
Portugis.247
Setelah menguasai Malaka, mereka semakin gencar
melakukan perluasan dominasi ke segenap wilayah sekitar
Malaka. Beberapa kerajaan Nusantara ada yang menunjukkan
ketidaksukaannya terhadap Portugis, terbukti dengan beberapa
percobaan serangan baik perang terbuka seperti yang dilakukan
Pasai seperti di atas, atau juga pengepungan langsung ke benteng
Malaka sebagaimana yang banyak dilakukan Aceh dan beberapa
246
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 89. 247
Walter De Gray Birch, The Commentaries of the Great Afonso
Dalboquerque, Vol III (London: Hakluyt Society, 1880) hlm. 64.
161
kali Johor. Yang lain ada pula yang menjadi sekutu Portugis
kendati harus didahului dengan peperangan. Johor, Pahang dan
Aru misalnya menjadi beberapa kerajaan yang diketahui memiliki
koneksi dengan bangsa Kulit Putih ini, setelah sebelumnya
mereka dikalahkan.
Salah satu kerajaan yang menerapkan kebijakan keras dan
cenderung antipati adalah Aceh Darussalam. Kerajaan ini
menunjukkan kesungguhannya menghalau pengaruh Portugis
dengan menguasai kembali Pidie, Pasai, Daya dan Aru.248
Langkah preventif seperti ini dalam setiap periodenya mengalami
fluktuasi namun menemukan momentum penuhnya tatkala
kerajaan ini dipimpin oleh Iskandar Muda. Raja ini dikenal
sungguh-sungguh dalam memperluas wilayah kekuasaan Aceh
sembari menggelar panji peperangan melawan Portugis yang di
saat yang sama sedang melakukan kebijakan serupa dengan Aceh
yakni memperlebar ruang jelajah politik dengan cara membangun
persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Melayu.
Manuel De Faria Y Souza menyebutkan bahwa ketika
Portugis datang ke Sumatra, Raja Pedir dan Pisang (Pecem, Pasai)
mengirimkan duta menyatakan perdamaian dengan de
Albuquerue. Setelah menguasai Malaka, Portugis melalui
dutanya, Duarte Coello melawat ke kerajaan Ayutia (Siam) untuk
menjalin kerjasama persahabatan dan perdamaian. Pihak Siam
pun menerima kerjasama itu dikarenakan Portugis satu visi
dengan mereka, yakni membenci orang Islam (moors). Duta
Portugis yang lain, Antonio Correa juga menyetujui perjanjian
persahabatan dan perniagaan dengan Pegu pada 1519. Bintang
(Bantan) dan Kampar pun tidak luput dari upaya penguasaan
Portugis. Kekaisaran China sempat menasehati Portugis agar
mengangkat tokoh pribumi sebagai penguasa Malaka, namun
Portugis tidak mengindahkannya bahkan membunuh duta besar
Cina dan mengumumkan Cina sebagai musuh Portugis. Dalam
aksinya, Portugis tidak jarang memaklumatkan perang seperti
248
Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.
162
yang dilakukannya terhadap kerajaan Bintang, Genial (Jenal ?)
dan Aru.249
Semangat Ekspansif Portugis seperti di atas, mengalami
perubahan di masa-masa mendatang. Paling tidak, sudah ada
pemikiran mereka untuk membuka peluang agar kerajaan-
kerajaan Melayu lainnya tidak memusuhi mereka secara
serempak. Jika itu terjadi, sudah tentu kedudukan mereka di
Malaka tidaklah bisa bertahan lama menghadapi serbuan pasukan
Melayu Raya. Untuk itu, Portugis mulai mengubah perangainya
lebih komunikatif dengan menjalin jejaring persahabatan dengan
kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, seperti dengan Johor, Pahang
dan lain-lain. Johor menjadi kerajaan Melayu yang cukup sering
bekerjasama dengan Portugis, utamanya dalam agenda
mengeliminir pengaruh Aceh dari dunia Melayu.
Sepertinya hanya dengan Aceh-lah Portugis
memaklumatkan perang abadi. Karena selain pandangan dari
pihak Aceh yang tidak bisa menerima keberadaan mereka di
perairan Melayu dan diwariskan secara turun temurun, dari zaman
Ali Mughayyatsyah hingga Iskandar Thani, juga yang tidak kalah
penting, hanya Acehlah yang merupakan lawan ideal Portugis
dalam ajang saling menancapkan hegemoni di Semenanjung
Malaya dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan Melayu, yang dianggap
sebagai ancaman, namun peringkatnya tidaklah setinggi Aceh.
Hal ini ditengarai karena kekuatan dari masing-masing kerajaan
Melayu tidaklah sebanding dengan Portugis. Sebagai contoh,
ketika Johor menghadang serangan Portugis pada tahun 1536,
tidaklah mampu melawan bangsa Eropa itu dan berakhir dengan
kekalahan. Yang unik, kekalahan ini terjadi hampir bersamaan
dengan keberhasilan Portugis menguasai Perak dan Pahang.250
249
E. Koek “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam
Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17, Edisi Juni
1886, dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17,
Edisi Juni 1886, hlm. 123 – 142. 250
D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. Habib Mustopo
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988) hlm. 310.
163
Sebagai orang baru yang datang ke Portugis, sudah
selaiknya mereka menampilkan diri sebagai bangsa terbuka dalam
pergaulan dengan pribumi. Hal ini dilakukan selain untuk
menciptakan keakraban dengan raja-raja lokal, juga dipandang
baik untuk kemajuan perpolitikan serta perekonomian Portugis
berikutnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivitas
perniagaan Malaka ketika berada di bawah Portugis awalnya
mengalami penyusutan. Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut. Maka mulailah mereka menawarkan keuntungan
dua belah pihak untuk memantapkan posisi mereka di pergaualan
antarkerajaan Melayu.
Di Malaka, Portugis juga melakukan pendekatan dengan
warga Melayu setempat. Di antara mereka ada yang menikah
dengan orang Melayu yang keturunannya di Malaka disebut
Papia Kristang. Papia Kristang merupakan keturunan Malaka-
Portugis (Malacca Creole Portuguese) yang berbicara dengan
bahasa Portugis dialek Melayu. Dialek bahasa mereka juga
tersebar di Singapura, yakni di cabang dari komunitas Malaka.
Peristiwa serupa juga terjadi ketika Portugis menguasai Makau.
Di sana terjadi pernikahan bikultural dan menghasilkan keturunan
Makau-Portugis. Keturunan ini juga banyak tersebar di Hong
Kong.251
Dalam beberapa kasus, Portugis juga terlibat membantu
raja lokal membebaskan diri dari kekuasaan yang lebih besar.
Portugis pernah membantu Raja Cochin membebaskan diri dari
kekuasaan Raja Zamorin. Tidak berhenti sampai di situ, Portugis
bahkan ikut adil dalam peristiwa pengangkatan Raja Cochin252
yang independen, tidak lagi berada di bawah Zamorin253
, pada
251
Shihan de Silva Jayasuriya, Portuguese in The East; A Cultural
History of a Maritime Trading Empire (Lodon: Tauris Academic Studies, 2008)
hlm. 4. 252
Cochin atau Kochi merupakan pelabuhan utama di Malabar, India,
yang langsung menghadap ke laut Arab. Lihat
http://www.britannica.com/search?query=Cochin, diakses pada Rabu, 15
Oktober 2014, pukul 15.39. 253
Zamorin termasuk dalam daerah Kalikut, India, Lihat
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin, diakses pada
Rabu, 15 Oktober 2014, pukul 15. 39.
164
1505, kedua kerajaan terletak di wilayah India.254
Peristiwa ini
menunjukkan, meskipun tetaplah Portugis menghitung
keuntungan apa yang akan didapatnya kelak, fleksibel dalam
menghadapi keadaan suatu wilayah. Antara satu daerah yang
dipijaknya, dengan wilayah lain memiliki karakteristik iklim
politik yang saling berbeda.
Terhadap Johor, Portugis seperti melakukan hal yang sama
dengan yang dilakukannya terhadap Cochin India, yakni ingin
membantu kerajaan ini menjadi negeri yang mampu sampai ke
taraf kedewasaan dalam berperadaban, dan yang terpenting jauh
dari gangguan Aceh. Tentu saja, kedermawaan Portugis ini
tidaklah tanpa pamrih, dalam bantuannya tentu saja Portugis
menginginkan penanaman pengaruh yang lebih kuat di kerajaan
yang dibantunya. Sepertinya, Portugis memandang penting
bersekutu dengan Johor, sehingga mereka masih saja membuka
pintu kemitraan meskipun nantinya, Johor bisa kembali menjadi
sekutu Aceh dan bukan tidak mungkin keduanya akan bertemu
kembali sebagai musuh yang saling menghancurkan.
Zainuddin memaparkan bahwa keterlibatan Portugis dalam
perpolitikan dunia Melayu, tujuan utamanya adalah menyebarkan
citra buruk Aceh di hadapan raja-raja Melayu. Pemberitaan
miring yang dilakukan Portugis ini, adalah salah satu upaya
menghasut raja-raja Melayu yang beraliansi dengan Aceh,
perlahan melepaskan komitmennya itu, lantas berbalik dan
berkongsi dengan Portugis. Lebih lanjut, sebenarnya bukan hanya
Portugis yang telah melakukan upaya tersebut, melainkan juga
bangsa Eropa yang lain, seperti Inggris dan Belanda. Namun
kedua bangsa belakangan, sepanjang abad 16, aktivitasnya
belumlah sanggup menggeser dominasi Portugis di perairan
Malaka.
Keterlibatan awal Belanda dan Inggris di perairan Aceh
dan sekitarnya, adalah untuk mendapat kedudukan dalam
perniagaan di bandar dagang Aceh. Kaitannya dengan
permusuhan Aceh dengan Portugis, kedua bangsa Eropa itu ibarat
254
Shihan Da Silva, Portuguese ..., hlm. 6.
165
memancing di air keruh. Mereka menjual senjata sebanyak-
banyaknya kepada Raja Aceh yang nantinya digunakan dalam
peperangan melawan Portugis. Di sisi lain, keduanya juga
melakukan hasutan untuk memperlemah posisi Aceh di
lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu. Pertempuran yang pecah di
antara mereka amat diharapkan oleh Belanda dan Inggris agar
senjata-sejata buatan mereka dapat laris terjual.255
Dalam beberapa kesempatan, ketika Johor bertikai dengan
Aceh, kerap ditemukan keterlibatan kerajaan Melayu lain seperti
Pahang, Aru dan beberapa yang lainnya. Ini juga merupakan
fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bagi Portugis,
bersahabat dengan Johor sama halnya dengan mengambil hati
raja-raja Melayu yang berkerabat atau berada di bawah pengaruh
Johor. Kerajaan ini menjadi kerajaan Melayu yang disegani oleh
kerajaan lainnya, apalagi darah Malaka mengalir dalam tubuh
raja-rajanya. Ketaatan raja-raja Melayu lainnya terhadap Johor,
menjadi keuntungan tersendiri yang dapat dimanfaatkan Portugis,
sehingga kesempatan untuk memperluas kemitraan dengan
negeri-negeri Melayu dapat terjamin di bawah pengaruh Johor,
umpamanya dengan Pahang, Aru, Kampar, Bintang dan lain-lain.
Sebenarnya, menjadi dilema bagi kerajaan-kerajaan kecil
bawahan Johor, tatkala Raja Johor memutuskan bersahabat
dengan Portugis. Beberapa dari kerajaan Melayu bawahan Johor
memiliki memori kelam terhadap kemunculan Portugis di
lingkungannya, khususnya yang berhubungan dengan penyerbuan
dan serangan yang menghancurkan ibukota dan rakyat mereka.
Bagi Kampar dan Bintang misalnya, kedua kerajaan ini sempat
merasakan serbuan Portugis di masa-masa awal berkuasanya
Portugis di Malaka. Bahkan Raja Abdullah, Raja Kampar, pernah
ditangkap dan dibawa ke Malaka pada Juli 1543.256
Keadaan ini
bisa berarti dua makna, kerajaan Melayu yang bermitra dengan
Johor setia dengan apapun kebijakan yang diambil Johor atau
ketidakmampuan mereka keluar dan menghalau Portugis, baik
255
Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 159-160. 256
E. Koek, “Portuguese History of Malacca”, dalam JSBRAS 17, 6,
1886, hlm. 132 dan 142
166
menyerang secara mandiri maupun membangun aliansi baru
dengan negeri yang bervisi seragam.
Di Masa ketika perebutan hegemoni politik menguat,
tepatnya saat masa kejayaan kerajaan Nusantara dan
kolonialisme, pengendalian pertahanan serta ekspansi politik luar
negeri amat bergantung dengan sejauh mana persediaan militer
tersedia. Gabriel A. Almond mengatakan bahwa suatu negara,
termasuk kerajaan, yang menerapkan politik internasional yang
agresif, diharuskan memperluas komponen-komponen militer dari
organisasinya, sehingga ia memiliki angkatan bersenjata yang
lebih besar dan suatu birokrasi sipil yang lebih besar pula untuk
mendukung dan mengendalikan organisasi bersenjata itu. Ia harus
menarik pajak lebih besar dari rakyatnya, dan mungkin ia harus
mengatur, mengendalikan bahkan menindas oposisi kebijakan
agresifnya.257
Baik Aceh, Portugis maupun Johor, jika mereka
menginginkan keluar dari koloseum pertandingan lintas kekuatan,
maka diharuskan memiliki persediaan militer yang lebih dari
cukup. Pengadaan alutsista serta pelatihan militer mutakhir,
sempat dilakukan Aceh dengan menjalin kerjasama di bidang
pertahanan serta bidang lainnya dengan Turki. Saat itu, yakni
sekitar abad 16 hingga menyentuh abad 20, Kerajaan Ottoman
(Rum) dalam aggapan raja-raja Nusantara dianggap sebagai raja-
raja besar dunia. Sultan Alauddin Riayatsyah al-Kahar
merupakan pemrakarsa awal hubungan Aceh dengan Turki.258
Hal
ini dilakukan untuk memperkuat pasuka serta pertahanan negeri
dari ancaman musuh.
Keberadaan Portugis bisa dipahami sebagai balancer of
power atau kekuatan penyeimbang atas Aceh. Bagi Johor,
keberadaan Portugis tentu saja dianggap menguntungkan dalam
skema politik regional oportunisnya. Ketika mereka diahadapkan
257
Gabriel A. Almond, “Studi Perbandingan Sistim Politik” dalam
Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews, ed, Perbandingan Sistem Politik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982) hlm. 25. 258
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 68-69.
167
pada kebijakan Aceh yang dianggap menyalahi hubungan Johor
dengan negeri lainnya, seperti Aru, maka bersekutu dengan
Portugis merupakan suatu tindakan yang bisa dimaksimalkan.
Kesanggupan Portugis membantu Johor dalam beberapa
kesempatan mengindikasikan kerjasama yang cukup lekat di
antara keduanya. Rekonstruksi dialogis yang tidak rumit di antara
keduanya, mengindikasikan telah terbangun suatu pemahaman
bahwa politik luar negeri, sebagaimana yang dipahami keduanya,
amatlah sarat intrik, sehingga berpaling dari satu pihak ke pihak
lain merupakan hal yang biasa terjadi.
Kesungguhan Aceh membangun kerjasama militer dengan
Turki merupakan bentuk petinggi kerajaan ini untuk selalu
mengadakan akselerasi mengimbangi gabungan pasukan Melayu-
Portugis. Sebagaimana diketahui, kemenangan dalam peperangan
bukan hanya ditentukan lewat faktor keberuntungan semata,
melainkan harus didasari pada taktik dan strategi yang tepat.
Untuk itu, dengan latar belakang keberhasilan kekuatan maritim
Turki Usmani menjadi momok menakutkan bagi Portugis di
sekitar samudera Hindia, menjadi cukup bukti bagi Aceh untuk
membangun sistem angkatan perang maritim model Turki yang
harapannya sanggup menuntaskan gabungan pasukan Melayu-
Portugis di kemudian hari.
Portugis dan Johor kelihatannya terlibat dalam hubungan
yang saling bergantung. Hanya Aceh lah yang menjadi
pengganggu serius bagi pertalian dua kekuatan itu. Berdekatan
dengan Portugis, dianggap Johor, menjadi cara ampuh agar
kerajaan ini mampu berkembang tanpa gangguan pihak Aceh yang
amat berhasrat menanamkan pengaruh kuat di lingkungan
penguasa Melayu.
Belakangan, ketika VOC sudah mulai masuk dalam kancah
istana Johor pada awal abad 17, mulai terjadi sedikit demi sedikit
perubahan peta politik di kawasan dunia Melayu dan sekitarnya.
Di satu sisi, Aceh menganggap keberadaannya juga tidak kalah
berbahaya dengan Portugis, namun Johor justru menganggapnya
sebagai sekutu lain, yang bisa dimanfaatkan bantuannya untuk
mengamankan kepentingan kerajaannya. Diakui oleh Dennis de
168
Witt, hubungan yang terbangun antara Johor dan VOC adalah
dilandasi oleh persahabatan dan aliansi yang membawa manfaat
bersama (mutual benefit). Salah satu kesamaan agenda regional
mereka adalah mengusir Portugis dari Malaka. Keluasan akses
pada perniagaan lokal, menjadi salah satu tujuan utama VOC di
Malaya.259
Memang, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara
Portugis dan Belanda terkait bagaimana ia memandang kerjasama
dengan penguasa lokal Aceh, Johor dan Melayu pada umumnya.
Pandangan Portugis didominasi oleh suatu cita-cita kosmik ingin
menegakkan kekuasaan Kristiani di mana mereka berpijak.
Termasuk dalam hal ini adalah mendapuk Kristen sebagai agama
resmi dan melakukan konversi agama penduduk setempat. Di sisi
lain, VOC lebih mengutamakan masalah perdagangan, ketimbang
mengurusi keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat. Yang
terpenting bagi mereka adalah agar memperoleh untung sebesar
mungkin dari perniagaan dengan penduduk pribumi.
259
Dennis de Witt, History of The Dutch in Malaysia (Selangor:
Nutmeg Publishing, 2007) hlm. 3 – 4.
169
BAB VI
PENUTUP
Tesis ini disimpulkan dalam dua poin, yaitu;
Pertama, hubungan diplomatik Aceh dan Johor
sesungguhnya amatlah labil. Keadaan ini diperkuat dengan garis
kebijakan politik Johor yang lentur dan menganggap baik Aceh
dan Portugis, merupakan dua kekuatan besar yang bisa menjadi
rekannya dalam upaya membangun Johor. Aceh sendiri memiliki
agenda membangun kerjasama strategis dengan Johor untuk
membendung pengaruh Portugis. Namun, upaya ini menemui
kendala tatkala di kesempatan lain, Johor pun berhubungan
dengan Portugis untuk mencegah infiltrasi Aceh yang dianggap
mengancam kedaulatan Johor.
Portugis tampil sebagai kekuatan yang mengancam
eksistensi dua kerajaan. Hal ini berdampak pula pada keadaan
diplomatik dua kerajaan di atas. Perbedaan visi politik
internasional antara Aceh dan Johor, dimanfaatkan Portugis untuk
memecah belah persatuan Melayu yang digalang Aceh. Tindakan
Portugis tersebut, dalam beberapa kesempatan, digunakan Johor
sebagai sarana agar intervensi Aceh dalam tata pemerintahannya
tidak sampai mengancam kedaulatannya. Hal yang kemudian
menjadi latar belakang Aceh memusuhi Johor.
Kedua, Dalam merawat hubungan diplomatik antara
keduanya, maka aspek yang paling menonjol yang dikedepankan
di antaranya adalah perkawinan antara putra putri dua kerajaan.
Pernikahan merupakan salah satu cara diplomatik yang biasa
ditemukan di masa klasik. Pernikahan bukan hanya menghasilkan
sambungan tali persaudaraan, melainkan pula kepaduan dalam
bertindak. Hubungan keduanya bukan lagi antarinstusi kerajaan
yang sarat dengan seremonial, melainkan telah membaur, seakan
170
sudah tidak ada lagi perbedaan prinsipil yang menyekat hubungan
mereka. Jika keadaan sudah demikian, maka harapannya,
pembicaraan-pembicaraan bilateral menyangkut kepentingan dua
kerajaan dapat terakomidir dengan baik tanpa menimbulkan friksi
yang tajam.
Selain pernikahan, di antara dua kerajaan juga terbangun
aneka diplomasi lain yang amat khas dalam lingkungan kerajaan
Nusantara, satu diantaranya adalah diplomasi ketokohan.
diplomasi model ini terjadi karena adanya tokoh-tokoh dari suatu
negeri yang kemudian hidup dan berkarya di negeri lain. Mereka
tidak harus tinggal secara berkala, melainkan juga diberikan hak
khusus untuk ikut serta membangun negeri yang ia tinggali.
Berbagai bentuk tradisi serta budaya juga tumbuh dari hasil
interaksi kedua kerajaan. Adanya aktivitas saling mempengaruhi
antara Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu, sebelum dan sesudah
Johor, menandarkan bahwa hubungan antara dua kerajaan ini
ibarat jembatan lalu lalangnya produk kemanusiaan dan peradaban.
Beberapa bentuk percampuran budaya, seperti dalam penyusunan
undang-undang dan pandangan akan gender, menjadi beberapa hal
yang cukup mewakili aktivitas kultural keduanya.
171
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ahmad, A. Samad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu, Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008.
Ahmad, Raja Ali Haji bin. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis),
Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya,
Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982.
Amal, M. Adnan. Portugis dan Spanyol di Maluku. Depok:
Komunitas Bambu, 2010.
Andaya, Leonard Y. “The Seventeenth Century Acehnese Model
of Malay Society”, makalah dipresentasikan pada
pertemuan tahunan AAAS (American Association of
Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999.
Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML
422.
Aspin, J. Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All
Nations of the World, London: St. Paul Church-Yard,
1834.
Azwad, Ridwan, peny. Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh,
Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
2003.
Azwar, Pocut Haslinda. Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua
Bangsa Indonesia-Malaysia. Jakarta: Yayasan Tun Sri
Lanang, 2011.
____________________. Sulalatus Salatin Versi Populer. Jakarta:
Yayasan Tun Sri Lanang, 2011.
____________________. Perempuan Bercahaya dalam Lintasan
Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011
Badger, George Percy, ed. The Travels of Ludovico di Varthema,
London: Hakluyt Society, 1863.
172
Birch, Walter De Gray. The Commentaries of the Great Afonso
Dalboquerque, Vol III, London: Hakluyt Society, 1880.
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan,
2012.
Chauduri, K. N. Trade And Civilisation In The Indian Ocean.
Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
Christer Jönsson dkk. Essence of Diplomacy, New York: Palgrave
Macmillan, 2005.
Cohen, Raymond dkk. Amarna Diplomacy, Maryland: John
Hopkins University Press, 2002.
Cooper, Andrew F. dkk,, ed. the Diplomacies of Small States;
Between Vulnerabulity and Resilience, New York:
Palgrave Macmillan, 2009.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II,
New Delhi: Asian Educational Services, 2005.
Curtin, Philip D. Cross-Cultural Trade in World History,
Cambridge UK: Cambridge University Press, 1998.
Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari
(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta:
Putlitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badang
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011.
D‟Orsey, Alex. Portuguese Discoveries Dependencies and
Missions in Asia and Africa, London: W.H. Allen & Co
Limited, 1893.
de Witt, Dennis. History of The Dutch in Malaysia, Selangor:
Nutmeg Publishing, 2007.
Dunn, Rose E. Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim
Abad 14 Terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2,
Jakarta: Air Langga, 1993.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto.
Jakarta: UI Press, 2006.
Hadi, Amirul. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha,
Jakarta: Usaha Nasional, 1988.
173
Halimi, Ahmad Jelani. Perdagangan dan Perkapalan Melayu di
Selat Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.
Hamka. Sejarah Umat Islam, jilid 4. Bukittinggi: N.V. Nusantara,
1961.
Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan
Ustmani, LSAMA: Banda Aceh, 2011.
Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia. Medan: Al-Maarif, 1981.
Hassan, Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan. “Salasilah
Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah
disampaikan dalam Seminar Sejarah Tun Sri Lanang
yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005 di
Kuantan, Pahang Darul Makmur.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk,
Jakarta: Serambi, 2008.
Hooker, Virginia Matheson. A Short History of Malaysia,
Australia: Allen and Unwin, 2003.
Hooykaas, C. Over Malaise Litaratuur, Leiden: E.J. Brill, 1947.
Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif
Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.
Iskandar, Teuku. “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th
– 19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First
International Conference Aceh and Indian Ocean Studies,
pada 24 – 27 di Banda Aceh.
Ismail, Engku Ibrahim. Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis
Peranan dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam
di Nusantara, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan
Malaysia, 1992.
Jayasuriya, Shihan de Silva. The Portuguese in The East; A
Cultural History of A Maritime Trading Empire, London:
Tauris Co & Ltd, 2008.
Jayne, J.S. Vasco Da Gama and His Successors, London: Methuen
& Co. Ltd, 1910.
Jones, Christopher P. Kinship Diplomacy in The Ancient World,
USA: Harvard University Press, 1999.
Kalus, Ludvik dkk, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
174
Kartodirdjo, Sartono, ed. Masayarakat Kuno dan Kelompok-
Kelompok Sosial, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang,
1995.
Komroff, Manuel, ed. The Travel of Marco Polo The Venetian,
New York: W.W. Norton, 1930.
Lapian, A. B. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu,
2009.
Latief, AR. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia
Bupa, tanpa tahun.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Terj.Winarsih Arifin. Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.
Madjid, M. Dien. “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan
Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”,
makalah disampaikan dalam “Seminar Ketokohan Tun
Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28 Desember 2011.
_______________. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2014.
Mas‟oed, Mochtar dkk, ed. Perbandingan Sistem Politik,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.
Melissen, Jan, ed. The New Public Diplomacy; Soft International
Relations, Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005.
Mohamet, Mustafa Ali. Johor Darul Takzim, Selangor: Pelanduk
Publications, 1987.
Muljana, Slamet. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta:
Yayasan Idayu, 1981.
_____________. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit), Yogyakarta: LKiS, 2011.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat;
Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S.
Kahar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti,
2003.
Nicolson, Harold. Diplomacy. Great Britain: Oxford University
Press, 1942.
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd
edition, Oxford: Oxford
University Press, 2003.
175
Pane, Sanusi. Sedjarah Indonesia I. Djakarta: Balai Pustaka, 1965.
Peacock, A.C.S. dkk, ed. From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks
and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press,
2015.
Perret, Daniel, dkk. Batu Aceh Warisan Johor. Johor Bahru: Ecole
Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor,
1999.
Pinto, Fernao Mendes. The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By
Rebecca C. Catz , Chicago and London: The University
of Chicago Press, 1989.
Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi
tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial
Belanda, Ciputat: Logos Institut, 1998.
Rambely, Nor Azizah Sham Bt. “Pendatang yang Diterima;
Migrasi Aceh ke Kedah”, makalah ini dipresentasikan
pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu, bertempat
di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang
diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia
Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680;
Jilid I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.
____________. Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.
Roza, Ellya. Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak.
Siak: Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata
Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, Medan: P.T.
Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981.
Sharp, Paul. Diplomatic Theory of Internationals Relations,
Cambridge: Cambridge University Press, 2009.
Sinar, Tengku Luckman, Sari Sejarah Serdang 2, Jakarta:
Departemen P dan K, 1986.
Suny, Ismail, ed. Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bharatara
Karya Aksara, 1980.
Turner, Jack. Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme,
Terj. Julia Absari, Depok: Komunitas Bambu, 2011.
176
Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society; Essays in Asian
Social and Economic History, Dordrecht, Nederlands:
Foris Publications Holland, 1983.
Van Loon, Hendrik Willem. The History of Mankind, USA: Boni
& Liveraight Inc., 1922.
Vlekke, Bernard H. M. Nusantara, Terj. Samsudin Berlian,
Jakarta: KPG dan Freedom Institute, 2008.
Winstedt, Richard. Malaya and Its History, Great Britain: The
Anchor Press, 1933.
_______________. A History of Malay Classical Literature,
Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991.
Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda,
1957.
_____________. Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961.
Zakaria, Abdul Aziz bin. Sejarah Kenaikan dan Kejatohan
Kekuasaan Portugis di Melaka, London: Macmillan &
Co, 1953.
B. Jurnal, Tesis dan Disertasi
Andaya, Leonard Y. “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study
of Economic and Political Developments in The Straits of
Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971.
Braginsky, V.I. , “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat
Published by C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001.
Dasgupta, Arun Kumar. Acheh in Indonesian Trade and Politics:
1600-1641, England: University of Microfilm, 1962.
Hadi, Amirul. “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle
of Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” (Tesis), McGill
University Canada, 1992, tidak dipublikasikan.
Iskandar, T. “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan
Bahasa 3, 1965.
Koek, E. “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam
Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic
Society, No. 17, Edisi Juni 1886.
Linehan, W. “History of Pahang”, dalam JSBRAS, Singapore,
1936.
177
Rahman, Mohd. Muhiden Abd. “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan
Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam Al-
Bayan, Vol. 4, Mei 2006/Rabi‟ulawwal 1427.
Souza, Manuel de Faria Y. “Portuguese History of Malacca”,
dalam JSBRAS, No. 17, 1887.
C. Internet
http://www.inter-diciplinary.net artikel Stuart Murray berjudul
“Towards and Enchanced Understanding of Diplomacy as the
Buisness of Peace”,
http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin,
http://www.britannica.com/search?query=Cochin,
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin,