pelestarian rumah tradisional berbahan baku kayu …digilib.unila.ac.id/58015/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PELESTARIAN RUMAH TRADISIONAL BERBAHAN BAKU KAYU
OLEH MASYARAKAT BESEMAH
(Studi Kasus di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah,
Kota Pagaralam)
(Skripsi)
Oktarine Melly Aminah Harum
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PELESTARIAN RUMAH TRADISIONAL BERBAHAN BAKU KAYU
OLEH MASYARAKAT BESEMAH
(Studi Kasus di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah,
Kota Pagaralam)
Oleh
Oktarine Melly Aminah Harum
Rumah merupakan tempat tinggal bagi manusia untuk melindungi diri dari panas,
hujan maupun dari serangan binatang buas serta melakukan segala aktivitas
sehari-hari bersama keluarga. Keberadaan rumah tradisional berbahan dasar kayu
sangat terkait dengan pelestarian budaya yang berkembang di masyarakat. Tujuan
penelitian untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi masyarakat
mempertahankan rumah tradisionalnya yang berbahan dasar kayu, menjelaskan
bahan baku yang digunakan dalam pembuatan rumah tradisional, dan menjelaskan
kebijakan pemerintah dalam upaya mempertahankan rumah tradisional.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.
pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan terlibat,
dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
mempertahankan keberadaan ghumah baghi-nya yang berbahan dasar kayu karena
berbagai faktor, yaitu: kebudayaan, warisan, bahan baku, kondisi ekonomi
Oktarine Melly Aminah Harum
masyarakat, pengetahuan masyarakat, dan kebijakan pemerintah. Hasil
selanjutnya menunjukkan bahwa kayu yang digunakan dalam pembuatan rumah
tradisional yaitu kayu mersawa (Anisoptera marginata Korth), surian (Toona
sureni Merr.), dan kayu rasamala (Altingia excelsa Noronha). Pemerintah
memiliki peran penting dalam memberikan bantuan kepada pemilik rumah
tradisional dalam upaya upaya mempertahankan keberadaan ghumah baghi dan
kebudayaan yang ada.
Kata kunci: besemah, budaya, ghumah baghi, kayu, rumah tradisional.
ABSTRACK
PRESERVATION TRADITIONAL HOME WOOD BASED
BY BESEMAH SOCIETY
(Case Study in Pelang Kenidai Village, Dempo Tengah District,
Pagaralam City)
By
Oktarine Melly Aminah Harum
documentation studied. The results of the study showed that culture, inheritance,
raw materials, economic conditions of community, knowledge of the community,
and government policies were the factors that may haved encouraged the
community to maintain the existence of their ghumah baghi. Subsequent result
Home is a place for humans to protect themselves from heat, rain and
from animal's attacks and doing all daily activities with their family. The
existence of traditional house which made by wood is very related to the
culture preservation that develops in by community. The purpose of this
research was toelucidate the factors those may have influenced the community to
maintain their traditional wooden houses, explain about raw materials that used in the
manufacture of traditional houses, and also explain about government's policies as effort to
The data was collected by interview, participant observed, and maintain the traditional house.
(Anisoptera marginata Korth), surian (Toona sureni Merr.), and rasamala
(Altingia excelsa Noronha). The government has an important role in
providing assistance to traditional homeowners in an effort to maintain the
existence of the home and the existing culture.
Keywords: besemah (tribe), culture, ghumah baghi, traditional house, timber.
Oktarine Melly Aminah Harum
showed that timber used in manufacture of traditional house were timber mersawa
PELESTARIAN RUMAH TRADISIONAL BERBAHAN BAKU KAYU
OLEH MASYARAKAT BESEMAH
(Studi Kasus di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah
Kota Pagaralam)
Oleh
OKTARINE MELLY AMINAH HARUM
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai
Gelar SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
kanak tahun 2002-2003, Sekolah Negeri 46 Pagaralam tahun 2003– 2009,
Sekolah Menengah Pertama Negeri Pagaralam 2009-2012, dan Sekolah
Menengah Atas Negeri 4 Pagaralam tahun 2012-2015.
Penulis diterima di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
tahun 2015 melalui jalur Seleksi Nasinal Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Kehutanan (Himasylva) sebagai Anggota Utama.
Penulis melaksanakan kegiatan Praktik Umum (PU) di Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) Kedu Selatan Divisi Regional Unit II Jawa Tengah pada bulan Juli-Agustus 2018
selama 40 hari. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sinar Mulya,
Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Lampung Utara pada bulan Januari- Februari 2019
selama 40 hari.
Penulis dilahirkan di Pagaralam pada 19 Oktober 1997,
putri tunggal dari pasangan Bapak Harumin Tado., S.H
dan Ibu Meli Yanti., S.H. Penulis menempuh pendidikan
di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Alhfal
Untuk Ayah dan Ibu Tersayang
ii
SANWACANA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Pelestarian
Rumah Tradisional Berbahan Baku Kayu oleh Masyarakat Dataran Tinggi
Besemah (Studi Kasus di Kelurahan Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo
Tengah, Kota Pagaralam” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Kehutanan di Universitas Lampung. Terselesaikannya penulisan skripsi
ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
banyak terima kasih yang tulus kepada beberapa pihak sebagai berikut.
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung atas semua saran dan arahan kepada penulis.
2. Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si. selaku ketua Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung atas bimbingan dan sarannya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Indra Gumay Febryano, S.Hut., M.Si. selaku pembimbing pertama
atas semua bimbingan, saran, motivasi, kritik, nasihat, solusi, dan perhatian
kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
4. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari., M.P. selaku pembimbing kedua atas semua
bimbingan, saran, motivasi nasihat, dan perhatian kepada penulis selama
penyelesaian skripsi.
iii
5. Bapak Dr. Wahyu Hidayat., S.Hut., M.Sc. selaku pembahas atau penguji atas
semua masukan, arahan, dan nasihat kepada penulis selama penyelesaian
skripsi.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto., M.S. selaku pembimbing akademik
atas semua bimbingan, saran, motivasi, dan nasihat kepada penulis.
7. Segenap Dosen Jurusan Kehutanan yang telah memberikan ilmu pengetahuan
bidang kehutanan dan menempa diri bagi penulis selama menuntut ilmu di
Universitas Lampung.
8. Bapak Alpian Maskoni., S.H, selaku Walikota Kota Pagaralam yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di Dinas Pariwisata dan Badan
Pernecanaan Pembangunan Daerah Kota Pagaralam.
9. Bapak Revi, selaku ketua RW yang telah memberikan izin untuk melakukan
penelitian di Kelurahan Pelang Kenidai.
10.Bapak dan Ibu penulis yaitu Bapak Harumin Tado., S.H dan Ibu Meli
Yanti., S.H. Terima kasih atas segala kasih sayang, do’a, arahan, dan
kesabaran dalam kehidupan bersama penulis serta dukungan moril maupun
materil yang selama ini diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2015 (TW15TER), terimakasih atas
segala dukungandan kebersamaan kalian.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsi.
iv
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi
penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para
pembaca.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis
Oktarine Melly Aminah Harum
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang dan Masalah ......................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.3. Kerangka Teoritis.......................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................ 7
2.2. Pelestarian Budaya ........................................................................ 10
2.3. Rumah Tradisional Besemah ........................................................ 15
2.4. Bahan Baku Pembuatan Rumah Tradisional Besemah ................. 21
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 31
3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 31
3.2.Objek dan Alat Penelitian .............................................................. 32
3.3. Metode Pendekatan Penelitian ...................................................... 32
3.4.Metode Pengumpulan Data ............................................................ 36
3.5.Analisis Data .................................................................................. 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 40
4.1. Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mempertahankan
Rumah Tradisional Besemah ......................................................... 40
4.2.Jenis Kayu yang digunakan Sebagai Bahan Baku Rumah .............
Tradisional Besemah ...................................................................... 54
4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Mempertahankan Rumah Tradisional 63
V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 70
5.1. Simpulan ...................................................................................... 70
5.2. Saran ............................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 73
LAMPIRAN ............................................................................................... 80
vi
Halaman
Pedoman Wawancara .................................................................................. 67
Kategorisasi Data ....................................................................................... 85
Transkip, Kategori, dan Koding Data ......................................................... 87
Simpulan Sementara ................................................................................... 137
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kelas awet dan kelas kuat kayu yang digunakan dalam pembuatan
Ghumah baghi...................................................................................... 56
2. Kategorisasi Data ................................................................................. 85
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilik Rumah Mempertahankan
Rumah Tradisional Besemah ............................................................... 87
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mempertahankan
Rumah Tradisional Besemah Menurut Tokoh Masyarakat ................. 92
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mempertahankan
Rumah Tradisional Besemah Menurut Ketua Lembaga Adat ............. 99
6. Sejarah Rumah Tradisional Besemah ................................................. 106
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilik Rumah
Mempertahankan Rumah Tradisional Besemah .................................. 109
`
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilik Rumah Melakukan
Perubahan Bentuk Rumah .................................................................... 114
9. Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Melakukan Penanaman Kayu
Bambang Lanang ................................................................................. 116
10. Jenis Kayu Subtitusi ............................................................................ 118
11. Stategi Dinas Pariwisata dalam Mempertahakan Rumah Tradisional
Besemah ............................................................................................... 120
12. Stategi Walikota dalam Mempertahakan Rumah Tradisional
Besemah ............................................................................................... 125
13. Strategi Walikota Kota Pagaralam Periode ke-3 dalam
Mempertahankan Rumah Tradisional Besemah .................................. 128
viii
Tabel Halaman
14. Stategi Dinas BAPPEDA dalam Mempertahakan Rumah
Tradisional Besemah ............................................................................ 131
15. Stategi DPDRD komisi 2 dalam Mempertahakan Rumah Tradisional
Besemah................................................................................................ 135
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teoritis .................................................................................. 6
2. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 31
3. Proses penelitian ................................................................................... 34
4. Proses Analisis Data .............................................................................. 39
5. Penataan kawasan ghuma baghi ............................................................ 41
6. Atap rumah tradisional Besemah .......................................................... 55
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat
yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan
kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya (Tumanggor, 2008). Brata (2016)
menyatakan bahwa keanekaragaman tradisional dan budaya yang ada di dalamnya
mengandung nilai etika dan moral, serta norma-norma yang sangat
mengedepankan pelestarian budaya bangsa. Rumah tradisional merupakan salah
satu kearifan lokal yang memiliki berbagai keindahan budaya dan seni yang
terintegrasi dengan kehidupan masyarakatnya (Jaya, 2012).
Sistem pengetahuan lokal merupakan suatu warisan budaya yang dapat
diwujudkan dalam berbagai benda maupun kebijakan yang mengatur suku
tersebut. Salah satu wujud dari sistem pengetahuan lokal tersebut adalah
permukiman tradisional. Permukiman tradisional dapat mencerminkan simbol-
simbol suku budaya bangsa pemiliknya yang dapat diwujudkan melalui
pemanfaatan lahan, pembuatan rumah dan kepercayaan yang mengatur
kepercayaan masyarakat. Konsep tradisional bersifat relatif dan tergantung
penguasaan teknologi membangun oleh masyarakat disuatu wilayah. Inilah yang
disebut sebagai budaya lokal yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan
2
pemahaman mereka terhadap lingkungan alam dan sosial (Arios, 2014). Sabrina
et al. (2010) menyatakan bahwa karakter dari sebuah suku dapat dilihat dari
tradisi dan budaya yang terbentuk dalam suatu permukiman dan menjaga kearifan
lokal mereka.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan manusia di
dalam rumah berbeda-beda, keberadaan perumahan yang menyediakan rumah
tipikal menjadi salah satu solusi dalam pemenuhan kebutuhan rumah bagi
masyarakat.Rumah tradisional telah digambarkan sebagai ekosistem yang dikelola
manusia dengan kompleks, dan dengan memiliki beberapa fungsi (Sangeetaet al.,
2013). Menurut Munawaroh et al. (2017) rumah merupakan fenomena yang
kompleks berdasarkan mode gaya arsitektur. Mereka biasanya menyediakan
banyak informasi sosial dan budaya di dalamnya (Bellal, 2014).
Rumah tradisional merupakan cermin nilai budaya yang nampak dalam
perwujudan bentuk, struktur, tata ruang dan hiasannya. Studi kasus pada rumah
tradisional kaili, yaitu merupakan salah satu arsitektur tradisional karena terbentuk
oleh kaidah-kaidah berbasis kultural, konteks natural, ekspresi arsitektural.
Pencapaian dari segala bentuk idealisme tersebut di atas diungkap dalam bentuk
simbol-simbol dengan aturan pemaknaan holistik secara ”filosofis”. Falsafah
rumah tradisional kaili beranjak dari tiga unsur yang mengejawantah dalam tiga
bangunan: yaitu bagian bawah (manusia), bagian tengah (alam), dan bagian atas
(Arifin, 2010).
Masyarakat tradisional memiliki beragam pemahaman di dalam ruangan yang
membutuhkan jarak dan pemisahan yang berbeda antar rumah, pada gilirannya
3
mencerminkan dirinya dalam berbagai macam skema. Persyaratan ini tidak
sepenuhnya dipenuhi dengan sarana sifat morfologi rumah individu tetapi juga
melalui properti dari pola pemukiman, tidak mengherankan untuk memperhatikan
bahwa kebutuhan akan privasi tidak selalu membutuhkan pemisahan dan isolasi
(Ahmet,2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Sam (2012) diketahui bahwa arsitektur rumah adat
tradisional kajang dalam perspektif islam dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya yaitu budaya, religi dan sosial masyarakat Amma Towa dalam
kehidupan sehari-hari. Ketiga faktor tersebut menjadi media analisis elemen
arsitektur yang ada pada rumah adat tradisional kajang. Arios (2014)
mengemukakan bahwa dengan menggunakan arsitektur tradisional, penataan
kawasan tidak menghilangkan identitas bagi kesinambungan persepsi masyarakat,
dalam penghubungan nilai, arsitektur tradisional memiliki nilai lokal pada aspek
pembentukan peri kehidupan kawasan. Makna yang signifikan dapat menjadi
pelajaran dalam menunjukkan budaya lokal menginterpretasikan lingkungan alam
dan sosial. Arsitektur tradisional berpeluang sebagai wahana mengakomodasikan
pengembangan budaya lokal.
Pemilihan lokasi permukiman dipengaruhi oleh jarak dengan sumber mata
pencaharian (berladang, berkebun dan lain sebagainya). Pembangunan rumah
tradisional dipengaruhi juga oleh ketersediaan bahan baku kayu yang disediakan
oleh alam. Lingkungan permukiman dibagi berdasarkan manfaat praktis untuk
aktivitas sehari-hari, berdasarkan masyarakat setempat dikenalnya tempat-tempat
yang sakral sehingga akan menimbulkan norma-norma dalam pemanfaatan areal
4
maupun perilaku bagi masyarakat. Hutan dan sungai merupakan syarat utama
bagi permukiman tradisional sebagai sumber mata pencaharian dan sarana
transportasi (Arios, 2014).
Pola tata ruang permukiman tradisional serta gaya arsitektur tradisional
merupakan salah satu bentuk pusaka budaya yang kaya akan nilai sejarah, filosofi,
seni, dan budaya masyarakat setempat. Studi yang dilakukan oleh Sabrina et al.
(2010) di Dusun Limbungan yang terletak di kawasan kaki Gunung Rinjani,
dimana dusun ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur
sebagai desa wisata, sebagai salah satu perkampungan tradisional dengan rumah-
rumah adat dengan keunikan sosial budaya yang masih kental. Studi yang
dikemukakan oleh Thomas dan Ganiron (2014) tentang ketersediaan bahan baku
kayu yang ada merupakan masalah besar yang dihadapi.
Rumah tradisional penting karena keberadaannya terkait dengan kebudayaan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:sosial budaya dan ekonomi, ketersediaan
bahan baku kayu dan kebijakan pemerintah dalam melestarikannya.
Permasalahan yang perlu dianalisis di dalam penelitian ini, diantaranya:
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi masyarakat mempertahankan rumah
tradisional besemah?
2. Bahan baku kayu apa yang digunakan dalam pembuatan rumah tradisional
besemah?
3. Bagaimanakah strategi pemerintah dalam upaya melestarikan keberadaan
rumah tradisional besemah?
5
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
melestarikan rumah tradisional besemah.
2. Menjelaskan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan rumah tradisional
besemah.
3. Menjelaskan kebijakan pemerintah dalam upaya pelestarian rumah tradisional
besemah.
1.3 Kerangka Teoritis
Rumah Tradisional “Ghumah Baghi” (bahasa Pagar Alam) yaitu bentuk rumah
tradisional Suku Besemah yang memiliki bentuk rumah panggung, dengan atap
limas, yang digunakan sebagai tempat kediaman tetap bagi pemilik rumah itu
sendiri. Bentuk rumah panggung besemahmemiliki fungsi yang tidak sama pada
setiap ruang di dalam rumah panggung tersebut, karena terdapat tata aturan adat
struktur tersendiri di dalam rumah tersebut.
Faktor yang mempengaruhi masyarakat mempertahankan rumah tradisional
beesemah yaitu terdiri dari berbagai faktor baik sosial, budaya maupun ekonomi.
Ketersediaan bahan baku menjadi masalah bagi masyarakat untuk
melestarikannya. Kebijakan pemerintah juga ikut menentukan bagaimana rumah
tradisional besemah bertahan. Kerangka teoritis dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Kerangka teoritis.
Rumah Tradisional Besemah
sebagai identitas daerah
Proses perubahan yang
terjadi
Faktor sosial ekonomi dan
budaya yang mempengaruhi
perubahan
Bahan baku kayu yang
digunakan
Kebijakan pemerintah
Pelestarian rumah tradisional Besemah
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Sebagai daerah otonom, Kota Pagaralam memiliki pemerintahan tingkat
kecamatan dan kelurahan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Pagaralam No. 7 tahun 2003 tentang pembentukan kecamatan dalam Kota
Pagaralam. Kecamatan di Kota Pagaralam terdiri dari 5 kecamatan dengan
tambahan Kecamatan Dempo Tengah yang dibentuk dari pemekaran Kecamatan
Dempo Selatan.
Kelurahan Pelang Kenidai merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Dempo Tengah Kota Pagaralam. Kelurahan dibagi dalam dua RW
(Rukun Warga) yang dipimpin oleh seorang Ketua RW. Kelurahan Pelang
Kenidai memiliki luas wilayah kelurahan 1.777,5 ha dan berada di 150 mdpl
dengan suhu 14°C pada malam hari. Topografi kelurahan ini umumnya berbukit-
bukit dan sebagian kecil daerah rawa-rawa. Batas-batas administratif Kelurahan
Pelang Kenidai adalah sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Karang Dalo
dan Kelurahan Padang Temu, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Fajar
Bulan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Dempo Selatan, dan Sebelah
barat berbatasan dengan Kelurahan Jokoh (Profil Kelurahan Pelang Kenidai,
2019).
8
Pada tingkat pendidikan, secara umum penduduk Kelurahan Pelang Kenidai sudah
mendapat pendidikan yang cukup baik. Tamatan dari tingkat Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi dapat ditemui di daerah ini, namun kondisi ini tidak
didukung oleh fasilitas pendidikan yang memadai. Kelurahan Pelang Kenidai
hanya terdapat dua buah sekolah dasar, sedangkan untuk tingkat SLTP dan SLTA
harus keluar dari kelurahan tersebut. Pertanian merupakan mata pencarian utama
masyarakat di Kelurahan Pelang Kenidai, yang terbanyak diusahakan ialah
tanaman musiman padi dan juga perkebunan kopi. Sebagian kecil masyarakat
yang berdagang dan usaha-usaha di sektor lain.
Keadaan perumahan yang ada di Kelurahan Pelang Kenidai memiliki berbagai
bentuk yakni rumah panggung dan rumah beton. Sebagian masyarakat
membangun rumah tersebut dengan bangunan rumah panggung. Bentuk rumah
panggung tersebut ada yang dibangun secara mmodern dan sebagian besar semi
modern. Namun demikian, masyarakat Kelurahan Pelang Kenidai membangun
rumah mereka dengan bentuk rumah tradisional yakni ghumah baghi. Di daerah
ini bangunan ghumah baghi telah mengalami penurunan jumlah dan pperubahan
bentuk. Ketiadaan tukang yang mempu membuat ghumah baghi dan juga
kelangkaan bahan baku pembuatannya mengakibatkan keberadaan ghumah baghi
semakin berkurang. Setelah datangnya pengaruh rumah berbentuk limas,
masyarakat lebih memilih membangun rumahnya dan sudah terdapat kamar
didalamnya yang berbeda dengan ghumah baghi yang tidak sekat untuk kamar.
Selain itu, biaya pembangunan rumah limas tersebut lebih murah. Pengaruh ini
yang menyebabkan sebagian besar masyarakat lebih suka membangun rumah
panggung dengan bentuk limas sehingga berkembang semakin pesat yang
9
mengakibatkan ghumah baghi semakin berkurang, karena ghumah baghi yang
mengalami kerusakan. Akibat proses renovasi rumah inilah ghumah baghi
mengalami perubahan bentuk aslinya.
Besemah merupakan sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Povinsi
Sumatera Selatan dan menyebar ke berbagai daerah di kabupaten dan kota
lainnya. Wilayah permukiman suku Besemah meliput daerah sekitar kota
Pagaralam, Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti dan juga daerah Kota
Agung Kabupaten Lahat. Penyebaran lainnya juga hingga di Kabupaten Kaur
Provinsi Bengkulu namun dengan beberapa atribut budaya Besemah yang sudah
berubah. Penyebaran tersebut diikuti dengan perubahan identitas dengan
membentuk sebuah suku bangsa baru maupun dengan tetap mempertahankan
identitasnya. Pusat kebudayaan Besemah diyakini berada di Kota Pagaralam
dengan peninggalan-peninggalan benda budaya yang cukup banyak sebagai
atribut kebudayaan Besemah. Arios (2010) mengemukakan bahwa salah satu
peninggalan tersebut adalah pemukiman tradisional yang terdapat di Kelurahan
Pelang Kenidai Kecamatan Dempo Tengah Kota Pagaralam.
Kota Pagar Alam adalah salah satu Kota dalam Propinsi Sumatera Selatan yang
dibentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2001 (Lembaran Negara
RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4115)
sebelumnya Kota Pagar Alam termasuk Kota Administratif dalam lingkungan
Kabupaten Lahat. Kota Pagar Alam secara Geografis berada pada posisi 40⁰ (LS)
dan 103,15⁰ (BT) dengan luas wilayah 63.366 ha (633.66 km2) dan terletak sekitar
298 km2 dari Palembang serta berjarak 60 km2 di sebelah BD dari ibukota
10
Kabupaten Lahat. Letak Kota Pagar Alam berbatasan dengan kecamatan–
kecamatan yang ada dalam Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan yaitu
sebagai berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat.
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Propinsi Bengkulu
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Sakti Kabupaten Lahat.
Kota Pagar Alam berada pada ketinggian 100–1000 mdpl (Meter dari Permukaan
Laut) dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini berada dibawah kaki Gunung
Dempo + 3159 Meter. Kota Pagar Alam mempunyai banyak Sungai, diantaranya
Sungai Lematang, Sungai Selangis Besar, Sungai Selangis Kecil, Sungai Air
Kundur, Sungai Betung, sungai Air Perikan sedangkan Sungai Endikat merupakan
sungai yang membatasi dengan kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat.Suhu di
Kota Pagar Alam berkisar antara 14º C sampai dengan 34º C.
2.2 Pelestarian Budaya
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya akan keragaman budaya
nya (Usop, 2014). Pelestarian berasal dari kata “lestari” yang mempunyai makna
langgeng, tidak berubah. Pengunaan awalan ke- dan akhiran –an artinya
digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja).Jadi
berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan ke- dan akhiran –an, maka
yang dimaksud pelestarian adalah upaya untuk membuat sesuatu tetap selama
lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan sebagai upaya untuk
11
mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana adanya (Widyastity, 2010).
Merujuk pada definisi pelestarian diatas, maka saya mendefinisikan bahwa
yang dimaksud pelestarian budaya (ataupun budaya lokal) adalah upaya untuk
mempertahankan agar/supaya budaya tetap sebagaimana adanya.
Mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus
menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang
mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes,
dan selektif. Mengenai pelestarian budaya lokal adalah mempertahankan nilai
nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang
bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang selalu berubah dan berkembang. (Soekanto, 2013) menjelaskan
bahwa pelestarian adalah sebuah upaya yang berdasar, dan dasar ini disebut juga
faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal
yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian
mengenal strategi atapun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya
masing masing. Kelestarian tidak mungkin berdiri sendiri, oleh karena senantiasa
berpasangan dengan perkembangan, dalam hal ini kelangsungan hidup.
Kelestarian merupakan aspek stabilisasi kehidupan manusia, sedangkan
kelangsungan hidup merupakan percerminan dinamika.
Nilai budaya juga memiliki multi fungsi. Menurut Rachman (2012) nilai-nilai
yang terkandung dalam kesenian menjadi penenang hati, pemberi inspirasi dan
apresiasi. Alus (2014) juga menyatakan bahwa kearifan lokal juga tidak dapat
dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya. Perkembangan
12
zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang, termasuk
dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok
sosial akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini akan menimbulkan konflik
antara kelompok-kelompok yang menghendaki perubahan dengan kelompok-
kelompok yang tidak menghendaki perubahan. Suatu komunitas dalam kelompok
sosial bisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka
anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi
saat ini. Perubahan kebudayaan ini kadang kala disalahartikan menjadi suatu
penyimpangan kebudayaan.
Interpretasi mengambil dasar pada adanya budaya-budaya baru yang tumbuh
dalam komunitas mereka yang bertentangan dengan keyakinan mereka sebagai
penganut kebudayaan tradisional selama turun-temurun (Setiadi, 2009). Beraneka
ragam arsitektur tradisional di Indonesia menandakan Indonesia memiliki seni
budaya yang luas dan berbeda satu sama lainnya (Mukhtar et al., 2013). Menurut
Andriyaniet al., (2017) bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat melibatkan
partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia adalah tentu
saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusiaan,
bukan sebaliknya, yaitu yang akan memusnahkan manusia sebagai pencipta
kebudayaan tersebut (Setiadi 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Utama (2016) alam dan budaya dengan segala
keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga
kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pula
13
kepariwisataan itu. Pentingnya melakukan pelestarian budaya tradisional agar
dapat diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan yang tetap baik dan
tidak mengurangi nilai yang terkandung di dalamnya. Stategi perlindungan
terhadap cagar budaya dan nilai yang terkandung di dalamnya harus dilakukan
dengan visi yang berwawasan dan diperuntukan untuk kepentingan masa kini dan
masa yang akan datang (Zain, 2014). Karakter dari suatu suku dapat dilihat dari
tradisi dan budaya yang terbentuk dalam suatu permukiman dan masih menjaga
lokal wisdom mereka (Sabrina et al., 2010). Kusumandar (2011) mengemukakan
bahwa untuk menjaga kelestarian budaya haruslah dari berbagai pihak seperti
pemerintah dan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (2015) kebudayaan dengan kata dasar
budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat (2015),
mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan,
tidak ada perbedaan dari definsi. Kebudayaan atau disingkat “budaya”
merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara komplet ditentukan
oleh lingkunggan fisik saja, namun lingkungan tersebut sekadar memberikan
peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu ke waktu,
14
kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalam hal ini adalah
sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehidupan setiap manusia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Juwita et al. (2016) rumah tradisional
dipercaya mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang akan memberikan
kearifan lokal yang ada pada daerah tersebut. Semakin kompleks budaya,
semakin sering sampling publik diri pribadi dan semakin jarang sampling dari diri
kolektif. Semakin individualistis budaya, semakin sering sampling dari diri
pribadi dan semakin jarang sampling dari diri kolektif. Kolektivisme, ancaman
eksternal, persaingan dengan kelompok luar, dan nasib umum meningkat
sampling dari diri kolektif.
Hallinger dan Kantamara (2011) menyatakan bahwa pembelajaran
menggunakan analisis budaya dari proses perubahan yang membedakan sifat dari
memberdayakan reformasi dengan norma-norma budaya yang mendasari
masyarakat Thailand. Studi yang dilakukan oleh Bertot et al. (2010) menyatakan
bahwa perubahan budaya dapat diakibatkan oleh Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) yang dapat menciptakan perubahan sosial yang substantif
dalam sikap terhadap transparansi belum secara luas.
Perdebatan warisan budaya tak benda lahir dalam proses mendefinisikan warisan
budaya umat manusia,telah berevolusi untuk menghilangkan kekurangan dalam
definisi yang ada. Lintas budaya cenderung berfokus pada langkah-langkah
proses psikologis, ketika mendekati budaya secara psikologis, fokus perilaku yang
jauh lebih mungkin diambil (Bond, 2008). Inglehart dan Barke (2010)
menyatakan bahwa perubahan sosial budaya dapat terjadi karena efek dari era
15
modernisasi yang akan mengakibatkan masyarakat berubah dan melupakan
budaya yang ada.
Masuknya budaya asing yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi
turut mempengaruhi warna kebudayaan daerah. Masyarakat adat sebagai
pendukung kelestarian, untuk itu peranan Lembaga adat dalam memanfaatkan
kekuatan yang dimiliki masyarakat ini sangat penting guna meminimalisir
penggunaan budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
karena dapat mengancam eksistensi kebuayaan lokal (Alus, 2014).
2.3 Rumah Tradisional Besemah
Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa
kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga dan
menyimpan barang berharga, dan rumah juga sebagai status sosial (Mukono,
2009). Rumah dalam arti fisik, merupakan tempat sebagian besar kegiatan
domestik dilakukan, termasuk cara mengkomunikasikan gagasan atau ekspresi
diri penghuni yang terikat budaya (Sari dan Mutiara, 2014). Rumah adalah
bangunan untuk tempat tinggal Kebutuhan akan dapat berlindung sebenarnya
termasuk kebutuhan yang utama, selanjutnya karena manusia tidak lagi hidup
secara berpindah-pindah, maka mereka memerlukan tempat tinggal yang tetap,
yang sekarang bisa disebut rumah. Rumah merupakan sarana pengaman bagi diri
manusia, pemberi ketentraman hidup, dan sebagai pusat kehidupan berbudaya. Di
dalam rumah dan lingkungannya itu, dibentuk dan berkembang menjadi manusia
yang berkepribadian (Juana, 2013).
16
Koentjaraningrat (2015) menyatakan bahwa ada berbagai jenis dan bentuk tempat
untuk berlindung, rumah yang dibuat dari berbagai macam bahan seperti serat,
jerami, kayu dan bambu. Secara garis besar ada tiga macam bentuk pokok dari
rumah manusia, yaitu: rumah yang setengah di bawah tanah (semi-subterranian
dwelling), rumah di atas tanah (surface dwelling), dan rumah di atas tiang (pile
dwelling). Sudut pemakaiannya rumah merupakan tempat berlindung yang dapat
dibagi ke dalam tiga golongan yaitu: tanah angin, tenda atau gubuk yang dapat
dilepas, dibawa pindah dan kemudian didirikan lagi, dan rumah untuk menetap.
Dipandang dari sudut sosialnya tempat berlindung tersebut dapat dibagi dalam
berbagai fungsi yaitu: rumah tempat tinggal keluarga kecil, rumah tempat tinggal
keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum dan
rumah pertahanan.
Hermawan (2014) menyatakan bahwa keberadaan rumah sangatlah penting bagi
kehidupan manusia, karena kerusakan maupun terjaganya kelestarian lingkungan
akan berpengaruh kepada manusia yang menempatinya. Phebriyanti (2015) juga
menyatakan bahwa rumah tinggal merupakan tempat sebagian besar masyarkat
menghabiskan waktunya.
Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal. Kebutuhan akan dapat berlindung
sebenarnya termasuk kebutuhan yang utama, selanjutnya karena manusia tidak
lagi hidup secara berpindah-pindah, maka mereka memerlukan tempat tinggal
yang tetap, yang sekarang bisa disebut rumah. Rumah merupakan sarana
pengaman bagi diri manusia, pemberi ketentraman hidup, dan sebagai pusat
17
kehidupan berbudaya. Di dalam rumah dan lingkungannya itu, dibentuk dan
berkembang menjadi manusia yang berkepribadian (Juhana, 2010).
Rumah di artikan sebagai tempat persinggahan bagi masyarakat. Rumah
merupakan bagian terpenting dari siklus hidup manusia. Konsep dan gaya
bagunan arsitektur berbentuk rumah panggung yang terbuat dari berbagai hasil
pertimbangan dari masyarakat. Rumah panggung tradisional awalnya biasanya
didirikan untuk menghindarkan para penghuninya dari ancaman binatang buas.
Jurhana (2010) menyatakan bahwa gaya bangunannya memang didesain untuk
mengindari serangan binatang buas seperti harimau, gajah, dan ular besar yang
selalu menganggu kehidupan masyarakat. Binatang buas membuat penghuni
rumah merasa tidak aman dan takut serta merasa terancam akan keselamatannya,
sehingga masyarakat mendirikan rumah panggung guna menghindari pemilik dari
ancaman binatang buas yang dapat mengancam keselamatan diri mereka dan
keluarga.
Rumah merupakan komponen utama dalam kehidupan yang dapat menjadi tolak
ukur kesejahteraan. Rumah juga dapat memberikan keamanan untuk pemiliknya,
menjadi identitas pemiliknya, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan
kesempatan memiliki pendapatan yang lebih besar. Setiap orang atau keluarga
mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Besar kecilnya
pendapatan membawa pengaruh pada pemenuhan kebutuhan pokok keluarga.
Masri Singarimbun (2016) mengemukakan bahwa pendapatan adalah gambaran
yang lebih tepat tentang posisi ekonomi keluarga dalam masyarakat yang
18
merupakan jumlah seluruh pendapatan dan harta keluarga. Pendapatan ini bisa
berupa uang atau barang, baik dari pihak lain atau hasil sendiri.
Menurut Hermawan (2014) rumah tradisional merupakan rumah tinggal yang
dibangun dengan cara-cara tradisional, sedangkan menurut Sudarwanto dan
Murtomo (2013) arsitektur tradisional merupakan wujud nyata dari kebudayaan.
Rumah tradisional merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Ilham dan Sofyan (2012) menyatakan bahwa rumah tradisional merupakan salah
satu cagar alam yang memiliki ciri khas dari berbagai daerah dan harus dilindungi
serta di lestarikan.
Keberadaan rumah adat sebagai bentuk material kebudayaan yang sangat beragam
di setiap daerah atau provinsi di Indonesia mempunyai makna yang penting dalam
sejarah, warisan, dan kemajuan sebuah peradaban (Hermansyah, 2016).Perubahan
wujud dan ruang pada rumah tradisional merupakan bentuk upaya penghuni untuk
mempertahankan eksistensi rumah tradisional namun terdapat keterbatasan dalam
penggantian elemen seperti aslinya dan juga dipengaruhi perubahan pola hidup
berhuni sehingga membutuhkan fungsi ruang baru. (Rumiawati dan Prasetyo,
2013). Parwata (2011) menyatakan bahwa adanya berbagai aktivitas dapat
menimbulkan berbagai wadah untuk menampung aktivitas, semakin berubah
aktivitas yang terjadi maka akan semakin berbuah pula wadah yang dibutuhkan.
Suharjonto (2014) mengemukakan bahwa arsitektur tradisional adalah buah karya
manusia yang sarat akan konsep budaya dan filosofinya, sedangkan konsep-
konsep arsitektur modern lebih mengutamakan fungsionalitas dan kesederhanaan
yang cenderung simpel atau ringkas. Ju et al. (2018 ) menganggap rumah sebagai
19
sebuah mikrokosmos alam semesta, mereka mencari keseimbangan di rumah
mereka juga. Dualisme seperti itu, yang direpresentasikan dalam bentuk dan
penggunaan perumahan yang menyebabkan rumah terdiri dari berbagai unit
terpisah yang diberi konsep kontras.
Ghumah baghi merupakan rumat adat yang sudah digunakan sejak beratus tahun
lampau oleh para nenek moyang masyarakat Besemah, Pagaralam. Rumah ini
memiliki ciri khas pada atapnya yang meruncing bagai tanduk. Bentuk atap
ghumah baghi hampir sama dengan rumah adat minang atau Toraja, satu yang
membedakannya adalah atap rumah baghi tidak terlalu runcing dan terbuat dari
ijuk atau serabut pohon aren dengan kerangkanya yang terbuat dari bambu. Atap
pelana dengan sudut yang curam, terbuat dari bahan seng atau lembaran logam,
mempunyai bubungan tinggi dibagian atap. Atap ghumah baghi ini mempunyai
bentuk lengkung dan membuat air bisa mengalir turun dengan lancer pada saat
hujan. Dinding vertikal penutup kedua sisi atap pelana (tebeng layar) mempunyai
posisi sedikit miring. Semua tiang rumah menumpu pada umpak batu alam/batu
dasar di satu sisi untuk mencegah pembusukan dan di sisi lain untuk membuat
konstruksi secara keseluruhan lebih fleksibel. Ruang di bawah rumah digunakan
untuk penyimpanan hasil bumi dan sebagai kestabilan rumah tradisional.
Konstruksi bangunan menggunakan pasak yang menghubungkan bagian rangka.
Semua bagian-bagian yang dihubungan tidak menggunakan paku. Begitu juga
dalam pemasangan lembaran-lembaran papan dinding, dipasang pada kerangka
dinding melalui lubang alur sebagai penguncinya. Ciri khas lain yang ada pada
rumah baghi adalah, sejak awal, rumah baghi dibuat tidak menggunakan jendela
20
dan hanya memiliki satu daun pintu di bagian tengah. Daun pintu tersebut terbuat
dari sekeping kayu dengan engsel berupa sumbu yang ada di atas dan di bawah daun
pintu.
Ketika memasuki ghumah baghi akan mendapati rumah adat ini yang tanpa sekat
atau kamar. Lantai di dalam ruangan memiliki dua tingkat, lantai yang lebih tinggi
itu terdapat pada bagian depan ruangan. Tempat tersebut diperuntukan sebagai
tempat duduk meraje, yaitu keluarga dari garis keturunan laki-laki, seperti kakek,
wak, dan paman. Sementara bagian bawahnya diperuntukan bagi anak belai, yaitu
keturunan perempuan beserta suami dan anak cucu. Dari penempatan tersebut,
terlihat bahwa masyarakat adat Besemah menganut garis keturunan laki-laki atau
patrilineal.
Sistem Spasial permukiman Rumah di wilayah Besemah tidak terlepas dari
pengaruh lokasi yang berada di wilayah perbukitan. Bangunan rumah membentuk
pola linier teratur mengikuti kontur tanah dengan orientasi ke arah jalan dengan
susunan tidak menunjukkan hirarki tertentu. Pintu yang terletak pada serambi
yang di sisi kanan bangunan menjadi satu-satunya jalan untuk memasuki Ruang
Inti. Pada umumnya terjadi pemindahan tempat makan dan dapur menempati
ruang tambahan yang menempel di bagian belakang atau di samping kiri ru mah
inti. Pada beberapa bangunan tradisional Besemah dibangun bangunan tambahan
menyambung bangunan rumah inti (beruge) untuk kebutuhan ruang dapur yang
lebih luas. Keberadaan beruge merupakan varian paling spesifik dari rumah
tradisional Besemah.
21
2.4 Bahan Baku Pembuatan Rumah Tradisional Besemah
Pada saat mendirikan bangunan yang ingin dibuat pemilihan bahan baku sebagai
pembuat kerangka bangunan tersebut sangatlah penting. Rumah panggung
tradisional dibangun dari bahan baku kayu. Penggunaan bahan kayu pada rumah
panggung sangat dibutuhkan pada rumah tradisional ini karena kayu sebagai
komponen utama struktur bangunannya. Dalam pembuatan rumah panggung,
kayu memilki sifat yang elastis, ulet, dan mempunyai ketahanan terhadap
pembebanan yang tegak lurus dengan seratnya atau sejajar seratnya. Sifat-sifat
tersebut tidak dimiliki bahan-bahan bangunan lain.
Karya arsitektur yang baik memiliki beberapa penilaian, yaitu penampilan dari
bangunan tersebut menarik, nyaman saat ditempati, aman dalam konstruksi,
memiliki kearifan lokal (Widharno, 2011). Serlly, (2011) mengemukakan bahwa
kebutuhan kayu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari,
baik untuk kebutuhan dalam rumah maupun di luar rumah, seperti konstruksi
rumah, perabot rumah tangga, pagar rumah, jembatan, serta berbagai alat
transportasi seperti kapal kayu, perahu dan gerobak, dari hal ini dapat dinyatakan
bahwa kayu untuk bahan baku rumah adat masih sangat diperlukan. Rumah
tradisional ialah ungkapan bentuk rumah karya manusia yang merupakan salah
satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang bersamaan dengan tumbuh
kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, rumah tradisional
merupakan komponen penting dari unsur fisik cerminan budaya dan
kecenderungan sifat budaya yang terbentuk dari tradisi dalam masyarakat,
(Nurhafni, 2017).
22
Handayani dan Yuniarti (2014) menyatakan bahwa bahan utama pembuatan
rumah tradisional Osing adalah kayu jati, yang dinilai sebagai bahan yang kuat
dan mengandung nilai-nilai baik. Ragam hias umumnya bersifat konstruktif
(menyatu dengan elemen lain) dengan motif flora, fauna, alam, agama dan lain-
lain. Dua aspek non-fisik dominan adalah arah dan lambang tubuh manusia. Hal
itu juga akan mempengaruhi proses pembangunan rumah, dimana penentuan
orientasi, waktu dan tempat merupakan hal yang penting, sedangkan lambang
tubuh manusia menentukan skala dan bentuk rumah.
Masyarakat tradisional Indonesia, termasuk masyarakat Besemah di Kelurahan
Pelang Kenidai, pada umumnya memandang rumah sebagai tempat
menentramkan hati bagi seluruh penghuninya. Dengan alasan ini sudah tentu
dibangun atau didirikan tidak secara sembarangan, namun pada saa
merencanakan dan mendirikan serta selesai didirikan selalu diikuti oleh ritual-
ritual atau upacara-upacara tertentu yang biasanya bercorak magis, dengan
maksud untuk keselamatan penghuni dan keluarganya serta tukang-tukang yang
membangun rumah.
Pembuatan rumah tradisional Besemah menggunakan jenis kayu yang dikenal
masyarakat mempunyai kualitas yang tinggi. Kayu mersawa, surian dan rasamala
merupakan jenis kayu yang memiliki jumlah populasi yang cukup memadai untuk
membangun rumah tradisional pada zaman itu. Pembuatan rumah tradisional
Besemah membutuhkan 2 kubik kayu untuk papan dengan lebar kurang lebih 50
cm, sedangkan untuk kebutuhan tiang yang diameter kurang lebih 80 cm dengan
23
tiang setinggi 2 m berjumlah 9 tiang maka dibutuhkan kurang lebih 11 kubik
kayu. Terdapat beberapa bagian, yaitu:
1. Pondasi
Rumah Tradisional Besemah, terdapat bagian tiang penyangga rumah (tiang
dudok) yang diletakkan diatas sandi (batu) sebagai tumpuan yang memisahkan
tiang penyangga dengan tanah (aking). Bagian pondasi terdiri dari tiang bulat
yang berasal dari satu batang pohon utuh dengan diameter hingga mencapai dua
pelukan tangan orang dewasa. Sebagian rumah ada yang menggunakan tiang
penyangga dari kayu yang telah diolah hingga berbentuk petak naming tidak
dihaluskan. Tiang dudok tersebut diletakkan diatas satu buah batu besar dengan
permukaan yang rata (sandi atau dalam bahasa setempat disebut aking). Pada
rumah lainnya ada yang menggunakan dua atau tiga batu yang lebih kecil
disesuaikan engan besar kecilnya tiang kayu yang dipakai sehingga terhindar dari
tanah secara langsung yang akan menyebabkan kelembaban pada kayu sehingga
cepat rusak. Penggunaan batu sebagai dudukan tiang utama merupakan sebuah
kearifan lokal masyarakat Besemah terhadap pengaruh cuaca dan alat untuk
meredam guncangan apabila terjadi gempa bumi sehingga rumah tetap stabil pada
posisinya. Dengan tiang kayu yang tidak tertanam akan membuat rumah elastis
dan fleksibel terhadap guncangan terutama kayu dan tidak menggunakan sistem
paku.
24
2. Kolom
Kolom adalah bagian yang berada pada bagian sudut badan rumah dan berada di
atas tiang utama. Dalam bahasa setempat bagian sudut rumah disebut penjughu.
Sedangkan tiang yang berada pada sudut rumah disebut sake. Sake berfungsi
sebagaipenyatu antar dinding rumah sehingga setiap sudut rumah tertutup rapat.
Sake terbuat dari jenis kayu Entenam yang memiliki kualitas terbaik. Sebagai
hiasan sake diberi ukiran-ukiran sesuai dengan pemahaman pemilik rumah.
3. Balok
Balok adalah kayu yang berbentuk empat persegi panjang sesuai dengan ukuran
rumah. Balok ini sebagai tempat atau tumpuan dari balok lainnya ataupun papan.
Pada rumah tradisional Besemah balok dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori,
yaitu:
a. Kitaw
Kitaw adalah balok kayu yang langsung diletakkan di atas kayu tiang dudok
dengan diameter antara 10-18 cm. Sebagian besar kitaw berbentuk bulat dan
hanya sebagian kecil yang menggunakan kayu persegi serta tidak terdapat ukiran
sebagai hiasan. Pengolahan kayu masih cukup kasar karena sengaja tidak
dihaluskan. Namun pada kenyataan di setiap rumah, seluruh kitaw terlihat halus
dan berwarna kehitaman. Hal ini disebabkan karena usia pemakaian sehingga
warna kayu berubah dan tekstur kayu semakin halus. Untuk memasang kitaw
pada tiang dudok, terlebih dahulu tiang dudok ditakik (dibentuk setengah
lingkaran atau petak) pada bagian atasnya sehingga membentuk setengah
25
lingkaran atau petak (persegi) tergantung bentuk kitaw yang akan dipasang.
Ujung atas tiang dudok yang telah ditakik tersebut menjadi tempat kitaw masukan
sehingga terjepit dan tidak goyang.
b. Galar
Galar adalah kayu berbentuk balok persegi empat yang dipasangkan sepanjang
rumah dan pada ujungnya melengkung sebagai hiasan menyerupai tanduk maupun
perahu. Galar dipasang dengan menggunakan metode ditakik pada bagian-bagian
yang berhubungan dengan balok melintang. Balok melintang ini merupakan
tumpuan untuk meletakkan papan lantai. Galar juga berfungsi sebagai penutup
sambungan papan lantai pada bagian luar, sebagai bagian dari luar rumah, maka
galar diberi hiasan disepanjang kayu.
4. Dinding
Dinding rumah tradisional Besemah memiliki keistimewaan karena disamping
menggunakan papan kayu yang cukup lebar dan tebal, juga terdapat ukiran-ukiran
yang sangat spesifik. Dinding rumah tradisional Besemah terutama yang berada
disisi jalan desa, dipasang dengan menggunakan papan susun secara vertikal.
Ukuran satu papan rata-rata 50 cm dengan ketinggian 1,5 m dan ketebalan 3-5 cm.
Pada bagian luar samping rumah diberi ukiran kencane mendalike yang pada
bagian tengah ukiran tersebut diberi lubang yang oleh masyarakat setempat
dimaksudkan untuk melihat suasana di luar rumah (mengintip). Papan yang
dipasang sebagai dinding tidak dipaku atau dipasak tetapi menggunakan “rel”
yang dihasilkan dari ujung papan lantai yang tidak langsung menyentuh galar
26
sehingga terdapat ruang yang sesuai dengan ukuran papan dinding tersebut pada
bagian bawah. Demikian juga pada bagian atas terdapat “rel” sebagai tempat
menjepit papan. Untuk memasang dinding, papan dinding dimasukkan satu
persatu melalui daerah yang lebih longgar dan tidak tertutup seluruhnya. Bila
dinding sudah terpasang, maka dimasukkan kayu kecil seukuran pintu masuk
papan tersebut sehingga dinding tersebut tidak goyang atau longgar. Dinding ini
dapat dibuka sewaktu-waktu diperlukan terutama pada saat upacara tertentu. Pada
dinding juga terdapat penutup sambungan antar papan dinding yang disebut sake.
Sake berupa papan yang dipasang secara tegak lurus di dinding rumah. Untuk
rumah yang cukup besar bisa terdapat dua atau tiga sake yang dilengkapi dengan
ukiran-ukiran sebagai hiasan rumah.
5. Lantai
Lantai adalah bagian dasar sebuah ruang, yang memiliki peran penting untuk
memperkuat eksistensi obyek yang berada di dalam ruang. Fungsi lantai secara
umum adalah: menunjang aktivitas dalam ruang dan membentuk karakter ruang.
Lantai rumah tatahan menggunakan papan kayu dengan ketebalan antara 3-5 cm
dan lebar 25-30 cm. Sedangkan panjang papan disesuaikan ukuran rumah
disusun sejajar. Mengenai lantai rumah ini masih ada pendapat yang mengatakan
bahwa lantai asli orang Besemah adalah bambu yang dirajut, namun pendapat
lain mengatakan bahwa lantai bambu yang diyakini milik orang yang berekonomi
lemah dan status sosial yang lebih rendah.
27
Pada lantai rumah tradisional Besemah terdapat kayu balok pembatas pada ruang
utama pada kiri dan kanan ruang utama (luar). Ruang yang dibatasi tersebut
disebut tumpuan dan berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang tertentu
dan juga sebagai tempat duduk para wanita bila ada acara adat. Sedangkan pada
lantai salah satu sudut rumah terdapat lubang berdiameter 5 cm yang berfungsi
untuk membuang sisa-sisa kotoran atau debusaat rumah disapu/ dibersihkan.
6. Plafon (Penutup Atap)
Pafon atau penutup atap rumah pada Rumah tradisional Besemah hanya dibuat
terbatas pada bagian ujung rumah yaitu pada bagian atap yang melengkung.
Plafon ini menyatu dengan layar/belayar atau penutup rumah berupa dinding pada
atap. Bahan utama layar adalah anyaman bambu yang berbentuk segi tiga namun
saat ini sudah lebih banyak menggunakan papan yang disusun secara vertikal.
Belayar (belayagh) terdiri dari tiang dan papan atau anyaman bambu. Tiang
belayar diletakan diatas kayu yang dihubungkan dengan penyekor.
Plafon yang dibuat lebih berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang
rumah tangga atau istilah setempat disebut gelemat. Sedangkan pada puncak atap,
dibawahnya dibuat kotak kecil berlubang yang diberi nama pagu antu. Kotak
kecil ini dibuat sebagai tempat burung-burung bersarang. Gelemat dibuat
mengikuti garis atap, sedangkan ditengahnya datar atau tegak lurus.
28
7. Tangga
Tangga bagi masyarakat Besemah merupakan gambaran dari filosofi penghuni
rumah. Tangga dimanfaatkan untuk naik dan turun dari dan ke rumah. Dalam
filosofi masyarakat diyakini bahwa tangga akan membawa kebaikan dan
keburukan bagi penghuni tergantung jumlah anak tangga (tiat tangge) yang
dibuat. Biasanya anak tangga dibuat berjumlah ganjil seperti 5 atau 7, hal ini
berkaitan dengan keyakinan bahwa setiap anak tangga memiliki nama yang juga
akan memberi dampak terhadap rumah tersebut. Penamaan anak tangga terdiri
dari taka, tangga, tunggu dan tinggal. Taka berarti bertingkat atau meningkat.
Tangge berarti tangga atau tidak mengalami perkembangan bagi rumah dan
penghuni rumah. Tunggu berarti rumah tersebut sering ditempati atau penghuni
betah untuk tinggal di rumah. Sedangkan tinggal berarti rumah tersebut sering
ditinggal atau penghuni rumah tidak kerasan atau tidak betah di rumah. Sistem
hitung anak tangga dimulai dari menghitung anak tangga pertama dengan taka,
lalu tangga, tunggu, dan tinggal. Dengan penamaan ini, maka jumlah anak tangga
yang dibuat akan selalu ganjil sehingga diharapkan rumah akan memberi
peningkatan dari segi ekonomi penghuninya
8. Pintu (duaghe) dan Jendela (jindile)
Pintu (duaghe) pada rumah tradisional Besemah demikian juga pada rumah jenis
lainnya pada orang Besemah memiliki keunikan sendiri. Pintu ini terbuat dari
sebuah papan yang cukup lebar dan tebal dengan sisi atas dan bawah dibuat
menyerupai engsel atau pasak yang dipasangkan pada lubang di lantai
(pelangkahan, yaitu balok besar sebagai tempat dudukan daun pintu) berukuran
29
ketebalan sekitar 30 cm dan tinggi 15 cm, sedangkan lebar sesuai dengan lebar
pintu. Pada papan pintu terdapat ukiran mendelike dengan lubang di tengah.
Pintu juga memiliki kunci dari kayu yang hanya diketahui oleh pemilik rumah
cara penggunaannya (sebagai kunci rahasia). Namun ukuran pintu rumah relatif
lebih kecil daripada ukuran rumah modern umumnya.
Rata-rata ukuran pintu rumah tradisional Besemah 63 cm x 165 cm. Makna dari
ukiran pintu yang lebih rendah dan dudukan pintu yang lebih tinggi dari lantai
(pelangkapan) adalah untuk memaksa setiap orang yang masuk harus
menghormati tuan rumah. Di sisi lain dimaksudkan untuk mencegah serbuan dari
orang-orang yang tidak bersahabat. Pada pintu dibuat lubang kecil untuk
mengintip setiap tamu atau kejadian yang ada diluar rumah. Jika ada tamu, maka
tuan rumah terlebih dahulu mengintip dari lubang tersebut untuk mengenali tamu
yang datang. Jika tamu laki-laki yang datang, maka suami atau anak laki-laki
tuan rumah akan menyambut. Jika yang datang adalah perempuan, maka yang
akan menyambut adalah istri atau anak perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh adat
singkuh (sungkan/segan) pada orang Besemah yang akan risih atau sungkan bila
menerima tamu yang bukan muhrim atau yang beda jenis kelamin.
9. Atap
Rumah tradisional Besemah pada masa dahulu menggunakan belahan bambu
sebagai atap rumah. Namun sejak dikealnya seng pada abad ke-20, maka seluruh
rumah menggunakan atap seng karena dianggap ebih praktis, lebih tahan lama
dan lebih ringan. Atap rumah baghi memiliki kemiripan dengan rumah tradisional
30
Minagkabau yaitu kedua ujung atap ditinggikan sehingga terkesan pada bagian
tengah melengkung. Demikian pula bagian atap diatas belayar lebih panjang
dibanding dengan bidang atap bagian bawah.
Rangka atap dan bahan atap rumah tradisional Besemah relatif ringan karena
terbuat dari kayu keras namun ringan (kayu entenam). Khusus untuk kayu
pemubungan (kayu yang dipasang pada puncak bubungan dan hubungan kedua
belayagh) berasal dari kayu utuh dan tidak boleh disambung. Hal ini juga berlaku
untuk semua bahan kayu dalam pembangunan rumah, tidak boleh ada sambungan
harus kayu utuh.
31
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November 2018 - Januari 2019 di
Kelurahan Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam,
Provinsi Sumatera Selatan. Kelurahan Pelang Kenidai merupakan dusun tua yang
terdapat di Kota Pagar Alam yang memiliki kebudayaan yang masih terjaga
seperti keberadaan rumah tradisional yang belum mengalami perubahan. Lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi Penelitian.
32
3.2 Objek dan Alat Penelitian
Objek penelitian adalah masyarakat yang mempunyai rumah tradisional besemah.
Beberapa masyarakat ada yang mempertahankan keberadaan rumah tradisionalnya
dan ada juga yang mengalami perubahan pada bentuk rumah tradisionalnya,
sebagai narasumber utama dalam penelitian. Walikota kota Pagar Alam tahun
2013-2018 yaitu pelopor dalam kegiatan pelestarian rumah tradisional. Walikota
kota Pagar Alam tahun 2018-2023 yang akan memberi kuasa anggaran kepada
pihak yang terkait tentang pelestarian rumah tradisional. Dinas Pariwisata yang
akan mengadakan kegiatan pendukung kepariwisataan di Kelurahan Pelang
Kenidai, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) yang akan
mengatur tentang kelayakan pembangunan dan perbaikan sarana prasarana yang
terkait pelestarian rumah tradisional besemah. DPRD komisi II yaitu komisi yang
membawahi bidang keuangan, pertanian, pariwisata, ketahanan pangan, dan Dinas
Perdagangan dan Industri, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Prindakop), dan
lembaga adat yang akan membantu pemerintah dalam rangka memberdayakan,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Kota Pagar Alam. Alat yang
digunakan adalah kamera, alat tulis dan studi dokumentasi.
3.3 Metode Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif sungguh tidak mudah untuk didefinisikan, akan tetapi dapat
dipahami dengan mengamati ciri-ciri khasnya. Salah satu ciri khas dari penelitian
kualitatif adalah makna “kebenaran” menurut peneliti kualitatif. Kebenaran
33
menurut peneliti kualitatif adalah kebenaran “intersubjektif” bukan kebenaran
“objektif”. Kebenaran intersubjektif yaitu kebenaran yang telah dibangun dari
jalinan berbagai faktor bekerja bersama-sama, seperti budaya dan sifat-sifat unik
dari individu-individu manusia. Kebenaran dari penelitian yang dilakukan adalah
kebenaran berdasarkan narasumber tanpa mencampur adukkan dengan pemikiran
peneliti.
Tujuan penelitian ini yang bersifat untuk menampakkan atau membangun realitas
yang sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Peneliti kualitatif tidak
memiliki batasan jumlah dalam variabel yang akan ditelitinya, maka dari itu
peneliti kualitatif melibatkan banyak konsep atau hal-hal yang saling berkaitan
yang seringkali sulit untuk diukur. Irawan (2007) mengemukakan bahwa
penelitian kualitatif disebut Participantory-Observation karena di dalam
penelitian kualitatif peneliti itu sendiri yang menjadi instrumen utama dalam
pengumpulan data dengan cara mengobservasi langsung objek yang akan
ditelitinya.
Ciri utama dari penelitian kualitatif menurut Irawan (2007) yaitu:
a. Mengkonstruksi realitas makna sosial budaya.
b. Meneliti interaksi peristiwa dan proses.
c. Melibatkan variabel-variabel yang kompleks dan sulit diukur.
d. Memiliki keterkaitan erat dengan konteks.
e. Melibatkan peneliti secara penuh.
f. Memiliki latar belakang alamiah.
g. Menggunakan sampel yang dipilih secara sengaja.
h. Menerapkan analisis induktif.
34
i. Mengutamakan “makna” di balik realitas.
j. Mengajukan pertanyaan “mengapa” (why), bukan “apa” (what).
Irawan (2007) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif memiliki proses
penelitian sebagai berikut:
a. Penelitian kualitatif berproses secara induktif (grounded), yaitu hasil yang
sebenarnya terjadi di lapangan tanpa mencampur adukkan dengan pemikiran
peneliti.
b. Penelitian kualitatif memiliki lima fase (Gambar 3).
Gambar 3. Proses penelitian.
c. Lima fase di atas tidak selalu diskrit (jelas batas-batasannya antara satu fase
dengan fase lainnya) tetapi cenderung bersifat “continuous” dan sering kali
terjadi overlapping (tumpang tindih) dan pengulangan.
Penentuan fokus
Pengembangan
kerangka teori
Penelitian
metodelogi
Analisis
temuan
Pengambilan keputusan
35
d. Kesimpulan penelitian kualitatif tidak berbentuk suatu keputusan untuk
menerima atau menolak hipotesis. Kesimpulan penelitian dimana data yang
baru tidak lagi merubah profil temuan yang paling akhir.
e. Kesimpulan peneliti kualitatif bersifat kontekstual. Kesimpulan dengan
mencari kesamaan-kesamaan temuan dari penelitian-penelitian sejenis.
Penelitian kualitatif yang bertujuan utama menjelaskan fakta-fakta, makna tujuan
peneliti kualitatif adalah untuk memahami makna yang berada pada fakta-fakta
tersebut. Hipotesis merupakan dugaan (jawaban) sementara peneliti terhadap
pertanyaan penelitiannya sendiri, dalam penelitian kualitatif hipotesis ini tidak
diuji, tetapi diusulkan sebagai satu panduan dalam proses analisis data.
Narimawati (2008) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menggunakan metode
studi kasus yaitu salah satu metode peneliti dalam ilmu-ilmu sosial, studi kasus
juga merupakan strategi yang cocok untuk penelitian yang berkenaan dengan how
dan why. Penelitian studi kasus bertujuan secara khusus untuk menjelaskan dan
memahami objek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan
dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi. Dengan kata lain penelitian studi kasus
bukan sekedar menjawab pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ objek yang diteliti,
tetapi lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ dan
‘mengapa’ objek tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang
sebagai suatu kasus. Dalam penggunaannya, peneliti harus memusatkan perhatian
pada aspek pendesainan dan penyelenggaraannya agar lebih mampu menguasai
metode yang dipilih (Yin, 2015).
36
3.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:
a. Wawancara mendalam
Wawancara bisa dilakukan dalam format yang tidak terstruktur, semi
terstruktur, atau juga bisa dilakukan terstruktur, wawancara dapat dilakukan
dengan satu orang atau dengan kelompok orang (group interview) (Irawan,
2007). Wawancara mendalam dilaksanakan dengan narasumber dalam
penelitian dengan cara peneliti beberapa kali mengikuti kegiatan masyarakat
yang ada di Kelurahan Pelang Kenidai untuk mendapatkan fakta tentang objek
yang diteliti, hal tersebut selaras dengan pendapat Yin (2015) yang
mengemukakan bahwa peneliti harus memiliki kemampuan untuk menyadari
realitas sudut pandang “orang dalam” dalam melakukan wawancara agar
diperoleh data yang sebenarnya.
b. Pengamatan terlibat
Pengamatan terlibat juga disebut sebagai participatory observer, yaitu
kehadiran peneliti secara langsung dengan semua panca indera dalam
berhadapan dengan obyek penelitiannya. Dengan demikian pengamatan adalah
peneliti menggunakan panca indera peneliti untuk menyaksikan dengan
seksama/cermat dan kemudian menggunakan alat bantu guna untuk mencatat-
merekam peristiwa apa saja yang terjadi terkait dengan obyek sasaran
pengamatan. Sebelum melakukan penelitian, peneliti telah mempelajari
tentang objek yang diteliti dari berbagai sumber cetak maupun non cetak guna
dapat menafsirkan gejala yang diamati pada objek tersebut. Yin (2015)
37
menjelaskan bahwa penguasaan materi tersebut merupakan cara dimana objek
yang akan diteliti dapat dipahami dan dapat dikuasai oleh peneliti.
c. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi dalam hal ini merupakan jenis pengumpulan data yang
diperoleh dari dokumen pariwisata tentang rumah tradisional, rencana tentang
pelestarian rumah tradisional. Yin (2015) menyatakan bahwa perangkat seperti
itu bisa diperoleh dari kunjungan lapangan yang telah di teliti oleh peneliti
sebelumnya. Literatur yang berisikan informasi tentang pelestarian rumah
tradisional diperlukan karena hal tersebut dapat menjadi bahan acuan, memberi
penjelasan tambahan tentang objek yang bersangkutan.
3.5 Analisis Data
Data yang telah didapat dianalisis dengan cara sebagai berikut:
a. Pengumpulan data mentah
Pengumpulan data mentah yaitu pengumpulan informasi melalui wawancara,
observasi lapangan dan kajian pustaka. Hasil dari wawancara mendalam yang
telah dilaksanakan dikumpulkan dalam dokumen dan mencatat hasil
wawancara dengan data yang apa adanya tanpa mencampurkan dengan
pemikiran peneliti.
b. Transkrip data
Proses memindahkan catatan dalam bentuk yang lebih rapi dengan cara
kembali mengulas hasil wawancara yang dilakukan dengan cara mendengarkan
kembali hasil wawancara yang telah direkam, tanpa merubah data yang telah
dikumpulkan.
38
c. Pembuatan koding
Proses pembuatan koding yaitu membaca ulang data yang sudah ada di
transkrip dan memberi tanda pada bagian-bagian tertentu yang menjadi kunci
dari pertanyaan yang dilakukan. Irawan (2007) mengemukakan bahwa
pembuatan koding tersebut penting dilaksanakan karena akan menjadi acuan
untuk pertanyaan pada proses selanjutnya.
d. Kategorisasi data
Proses penyerderhanaan data dengan menggunakan beberapa kategori sesuai
dengan gagasan dan topik pembicaraan agar dapat dibedakan dan dimengerti.
Irawan (2007) juga menjelaskan bahwa pada tahap kategorisasi data yaitu
proses menyederhanakan data dengan cara mengikat konsep-konsep kunci
dalam satu besaran yang dinamakan kategori.
e. Penyimpulan sementara
Sampai proses ini peneliti dapat mengambil kesimpulan yang bersifat
sementara tanpa mencampuradukkan data yang diperoleh dengan pemikiran
peneliti.
f. Triangulasi
Kebenaran dari hasil penelitian perlu diadakan proses pengujian atau proses
check dan recheck untuk medapatkan hasil yang sebenarnya terdapat pada
objek yang diteliti, ataupun untuk mendapatkan kesamaan antar narasumber.
g. Penyimpulan akhir
Penyimpulan akhir merupakan ujung dari suatu proses penelitian. Kesimpulan
dari penelitian kualitatif berbentuk deskriptif kualitatif, yang merupakan
39
kristalisasi dan konseptualisasi dari temuan dilapangan (Irawan, 2007). Proses
analisis data dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses analisis data.
Penyimpulan
sementara
Triangulasi Penyimpulan
akhir
Pengumpulan
data
Transkip data Pembuatan
koding
Kategorisasi
data
70
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pelestarian rumah tradisional besemah dipelopori oleh keinginan masyarakat
untuk mempertahankan kebudayaan warisan yang mereka miliki. Kelangkaan
jenis kayu, perekonomian dan keterbatasan pengetahuan ikut andil dalam
keberadaan rumah tradisional yang tersisa. Faktor tersebut diiringi juga oleh
keinginan pemerintah kota yang ingin melakukan pelestarian kebudayaan yang
ada dan menjadikan rumah tradisional sebagai wadah dari unsur-unsur
kebudayaan yang terdapat di dalamnya.
Kayu yang digunakan sebagai pembuatan rumah tradisional besemah ini yaitu
kayu entenam yang memiliki nama komersil kayu mersawa (Anisoptera
marginata Korth), kayu ghimau yang memiliki nama lokal surian (Toona sureni
Merr.), dan kayu cemaghe yang yang memiliki nama perdagangan rasamala
(Altingia excelsa Noronha). Ketiga jenis kayu ini telah mengalami penurunan
jumlah dan telah dilindungi keberadaannya. Penurunan jumlah kayu ini
dikarenakan adanya pengalihfungsian lahan kehutanan menjadi lahan pertanian,
juga tidak adanya upaya pembudidayaan dan peremajaan ketiga jenis kayu ini.
Bahan baku kayu pembuatan rumah tradisional dapat digantikan dengan jenis
kayu yang memiliki kualitas yang hampir sama, bambang lanang (Magnolia
71
champaca) merupakan salah satu subtitusi kayu yang dapat digunakan sebagai
bahan untuk memperbaiki rumah tradisional.
Pemerintah dalam hal pelestarian rumah tradisional sedang menyusun sebuah
kebijakan yang mempunyai program jangka pendek untuk mengembangkan dan
melestarikan kebudayaan yang ada, jangka menengah menjadikan rumah
tradisional yang dimiliki menjadi homestay dan program jangka panjangnya
menjadikan Kelurahan Pelang Kenidai menjadi desa wisata. Perwujudan desa
wisata yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Pagar Alam akan melibatkan
masyarakat dalam pengelolaannya. Desa wisata diharapkan akan menjadi salah
satu alternatif yang dapat menunjang perekonomian masyarakat, pemasukan
daerah dan bahkan pemasukan negara.
5.2 Saran
Dalam upaya pelestarian kebudayaan yang menjunjung pelestarian rumah
tradisional diperlukan beberapa pihak yang harus bekerja sama dengan baik dalam
pelaksanaannya. Pemerintah memiliki peran yang sangat besar guna merubah
pola pikir masyarakat dan kembali menimbulkan rasa cinta akan kebudayaan yang
dimiliki. Peraturan yang mengatur dan badan hukum yang melindungi cagar
budaya akan menjadi faktor dalam kelestarian kebudayaan yang dimiliki, maka
dari itu pemerintah harus segera membuat kebijakan dalam upaya melestarikan
keberadaan rumah tradisional dan unsur-unsur kebudayaan. Pemerintah harus
segera membuat anggaran guna memperbaiki rumah tradisional dan untuk proses
perawatan rumah tradisional. Keberadaan rumah tradisional yang semakin sedikit
72
juga dikarenakan keberadaan jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan rumah tersebut, pemerintah harus segera melakukan peremajaan hutan
dan membudidayakan jenis kayu yang digunakan atau memberikan inovasi jenis
kayu lainnya sebagai pengganti dari kayu tersebut. Memberikan pendampingan
kepada masyarakat juga menjadi solusi agar mereka paham akan dampak dari
kelestarian budaya yang dimiliki.
73
DAFTAR PUSTAKA
74
DAFTAR PUSTAKA
Ahmet, S. M. 2012. Natural ventilation of indoor air temperature:
a case study of the traditional malay house in penang. American Journal of
Engineering and Applied Sciences. 3(3): 521-528.
A’inun, F., Krisnani, H. dan Darwis, R. 2015. Pengembangan desa wisata melalui
konsep community based tourism. Prosiding Riset dan PKM. 2(3): 301-444.
Alus, C. 2014. Peran lembaga adat dalam pelestarian kearifan lokal suku sahu di
desa balisoan kecamatan sahu kabupaten halmahera barat. Jurnal Acta
Diura. 3(4): 56-78.
Andriyani, A. G. I., Martono, E. dan Muhammad. R. 2017. Pemberdayaan
masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan impikasinya terhadap
ketahanan sosial budaya wilayah (studi di desa wisata panglipura bali).
Jurnal Ketahanan Nasional. 23(1): 1-16.
Arifin, R. 2010. Perubahan identitas rumah tradisional kaili di kota palu. Jurnal
Ruang. 2(1): 24-30.
Arifin, Z. 2010. Evaluasi dalam Pembelajaran. Buku. Rineka Cipta. Bandung.
64 hlm.
Arios, R. L. 2014. Permukiman tradisional orang besemah di kota pagar alam.
Jurnal Budaya. 19(2): 183-198.
Bellal, T. 2014. Gender dan zones of users in traditional berber m’zab. Houses
International Journal of Humanities and Social Science. 3(19): 23-41.
Bertot, J. C., Jaeger, P. T. dan Grimes, J. M. 2010. Using icts to create a culture
of transparency: e government and social media as openness and anti-
corruption tools for societies. Journal Government Information Quarterly.
27(3): 264–271.
Bond, M. H. 2008. Culture-level dimensions of social axioms and their correlates
across 41 cultures. Journal of cross-cultural psychology. 35(5): 548-570.
Brata, L. D. 2016. Representasi identitas kultural dalam simbol-simbol pada batik
tradisional dan kontemporer. Jurnal Flora. 1(2): 30-46.
75
Febryano, I. G. 2008. Analisis finansial agroforestri kakao di lahan hutan negara
dan lahan milik. Jurnal Perennial. 4(1): 41-47.
Febryano, I. G., Suharjito, D. dan Soedomo, S. 2009. Pengambilan keputusan
pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan
milik: studi kasus di desa sungkai langka, kecamatan gedong tataan,
kabupaten pesawaran, provinsi lampung. Forum Pascasarjana. 32(2): 129-
141.
Hermansyah, W. 2016. Termonologi rumah adat dalam loka sumbawa: sebuah
tinjauan antropolingusitik. Jurnal Ilmu Bahasa. 2(2): 23-31.
Hermawan. 2014. Karakteristik rumah tinggal tradisional di derah pegunungan
jawa tengah. Jurnal PPKM UNSIQ. 2(3): 212-219.
Hermawan, I. 2014. Bangunan tradisional kampung naga: bentuk kearifan
warisan leluhur masyarakat sunda. Jurnal Sosio Didaktika. 1(2): 43-59.
Hidayat, W., Sya’bani, M. I., Purwawangsa, H., Iswanto, A. H. dan Febrianto, F.
2011. Effect of wood species and layer structure on physical and
mechanical properties of strand board. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu
Tropis. 9(2): 134:140.
Ilham, A. N. dan Sofyan, A. 2012. Tipologi bangunan rumah tinggal adat sunda
di kampung naga jawa barat. JurnalTesa Arsitektur. 10(1): 14-60.
Inglehart, R. dan Barke, W. E. 2010. Modernization, cultural, change, and the
persistence of traditional values. Jurnal American Socilogical. 65(1): 19-
25.
Irawan, H.B., Manurung, T. F. dan Hernawatiningsih, R. 2015.
Kenaekaragaman jenis meranti (shorea spp) pada kawasan hutan lindung
gunung ambarawang kabupaten kubu raya propinsi kalimantan barat. Jurnal
Ilmu Lingkungan. 3 (3): 246-268.
Irawan, P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Buku. Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Jakarta. 236 hlm.
Lukmandaru, G., Fatimah, S. dan Fernandes A. 2015. Sifat stuktur kayu dan sifat
kimia kayu mersawa. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa. 1(2): 69-
80.
Jaya, P. H. I. 2012. Dinamika pola pikir orang jawa di tengah arus modernisasi.
Jurnal Humaniora. 24(2): 133-140.
76
Ju, S. R., Kim, D. Y. dan Santosa, R. B. 2018. Dualism in the javanese house and
transformation with focus on the houses of kotagede, yogyakarta. Jurnal of
Asian Architecture and Building Engineering. 17(1): 36-61.
Juhana. 2010. Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat. Buku. Bendera.
Semarang. 45 hlm.
Junaedi, A. dan Frianto, D. 2012. Kualitas bibit merawan (hopea sangal) asal
koffco system pada berbagai umur. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. 9(3): 265-274.
Juwita, R., Kalsum, S. A., Awaludin, A. A. dan Sahmad, F. A. 2017. Stuctural
test of traditional arfak house in papua. Jurnal Engineering. 17(4): 15-54.
Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi Cetakan Kesepuluh. Buku.
PT. Rineka Cipta. Jakarta. 308 hlm.
Kusumandar, A. 2011. Pemeliharaan dan pelastarian pengetahuan tradisional dan
ekspesi budaya tradisional Indonesia : perlindungan hak kekayaan
intelektual dan non-hak kekayaan intelektual. Jurnal Hukum. 1(18): 20-41.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K. dan Prawira, S. A. 2005a. Atlas Kayu
Indonesia Jilid 1. Buku. CV Media Aksara. Bogor. 171 hlm.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K. dan Prawira, S. A. 2005b. Atlas Kayu
Indonesia Jilid 2. Buku. CV Media Aksara. Bogor. 165 hlm.
Martin, E. dan Galle, F. B. 2009. Motivasi dan karakteristik sosial ekonomi rumah
tangga penanam penghasil kayu pertukangan. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 6(2): 117-134.
Martin, E. dan Premono, B.T. 2010. Hutan tanaman pertukangan adalah
portofolio: pelajaran dari keswadayaan perluasan bambang lanang di
masyarakat. Jurnal Sosial. 5(3): 179-189.
Mora, L. 2014. Pelestarian kebudayaan melalui pendidikan. Jurnal Sosial
Budaya. 6(1): 21-43.
Mukhtar, M. A., Pangarsa, G. W. dan Wulandari, L. D. 2013. Stuktur kontruksi
arsitektur tradisional bangunan tradisional keda suku ende lio di
permukiman adat wolotalo. Jurnal Ruas. 11(1): 16-37.
Mukono, H. J. 2009. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Buku. Airlangga
University. Surabaya. 220 hlm.
77
Munawaroh, A., Siti. Rachmat, A. G. dan Satrio, A. P. 2017. Penerapan konsep
flexible dan green architecture pada rumah typical di lampung. Jurnal
Arsitektur Narals. 16(2): 101-112.
Narimawati, U. 2008. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantifatif : Teori dan
Aplikatif. Buku. Agung Media. Bandung. 188 hlm.
Nurhafni. 2017. Eksistensi rumah tradisional “uma lengge” sebagai destinasi
wisata budaya di nusa tenggara. Jurnal Ilmu Komunikasi. 12(7): 75-85.
Parwata, I. W. 2011. Rumah tradisioanal bali dari aspek budaya dan
antropometri. Jurnal Seni Budaya. 26(1): 95-106.
Phebriyanti, S. 2015. Kayu kelapa sebagai bahan baku alternatif untuk mebel di
area publik rumah tinggal. Jurnal Intra. 3(1): 53-56.
Pujiono, S. 2017. Pengaruh perbedaan media tanam terhadap perkembangan
perkarangan dan keberhasilan stek pucuk manglid (magnolia champaca var
pubinervia (blume) figlar & noot.). Jurnal Pendidikan Biologi dan Saintek.
20(7): 34-50.
Putra, I. 2015. Pola Ragam Hias Ghumah Baghi di Desa Gunung Agung Pauh
Kecamatan Dempo Utara Kota Pagar Alam. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Raden Fatah. Palembang. 75 hlm.
Racman, M. 2012. Konservasi Nilai dan Warisan Budaya. Indonesian Journal of
Conservasion. 1(1): 30-39.
Rinaldi, Z., Purwantiasning, A. W. dan Nur’aini R. D. 2015. Analisis kontruksi
tahan gempa rumah tradisional suku besemah pagar alam sumatera selatan.
Prosiding Sains dan Teknologi. 24(4): 60-84.
Rumiawati, A. dan Prasetyo, Y. H. 2013. Identifikasi tipologi arsitektur rumah
tradisional melayu di kabupaten lengkat dan perubahannya. Jurnal
Permukiman. 8(2): 78-88.
Sabrina, R., Antariksa. dan Prayitno, G. 2010. Pelestarian pola permukiman
tradisional suku sasak dusun limbungan kabupaten lombok timur. Jurnal
Tata Kota dan Daerah. 1(2): 81-97.
Sam, W. 2012. Arsitektur tradisional kenali salah satu kearifan lokal kajang.
Jurnal Rekayasa. 15(1): 41-67.
Sangeeta, B., Sharma. dan Kanungo, V. K. 2013. Traditional home gardens: a
preserve of medicinal plants. Flora Journal. 1(2): 94-102.
Sari, F. M. dan Mutiara, D. 2014. Perbandingan rumah tinggal tradisional jawa
dan rumah tinggal modern di surakarta. Jurnal Sinetika. 14(2): 37-61.
78
Sari, S. R., Harani, A. R. dan Werdiningsih, H. 2017. Pelestarian dan
pengembangan kawasan kota lama sebagai landasan budaya kota semarang.
Jurnal kebudayaan. 17(1): 53-77.
Sedyawati, G. 2008. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam
Pembangunan. Buku. IKIP Semarang Press. Semarang. 235 hlm.
Serlly, G. 2011. Konsep arsitektur tradisional sunda masa lalu dan masa kini.
Jurnal ComTech. 5(1): 55-71.
Setiadi, R. dan Elly, M. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Buku. Kencana
Perdana Media Group. Bandung. 56 hlm.
Suharjanto, G. 2014. Konsep arsitektur tradisional sunda masa lalu dan masa
kini. Jurnal ComTech. 5(1): 505-521.
Thomas, W. dan Ganiron, J. 2014. Investigation on the physical properties and
use of lumampao bamboo species as wood construction material.
International Journal of Advanced Science and Technology. 20(11): 49-62.
Tumanggor, O. 2008. Arsitektur rumah tradisional jawa masa lalu. Journal Millî
Folklor. 19(75): 56-78.
Usop, T. B. 2014. Pelestarian arsitektur tradisional dayak pada pengenalan
ragam bentuk konstruksi dan teknologi tradisional dayak di kalimantan
tengah. Jurnal Perspektif Arsitektur. 9 (2): 23-45.
Utama, I. G. B. R. 2016. Keunikan budaya dan keindahan alam sebagai citra
destinasi bali menurut wisatawanan australia lanjut usia. Jurnal Kajian
Bali. 6(1): 49-72.
Yin, R. K. 2015. Studi Kasus: Desain dan Metode. Buku. Rajawali Pers. Jakarta.
238 hlm.
Widharno, U. P. 2011. Fenomena pemilihan bahan baku bangunan pada hunian
di surabaya dan permukiman di kali jode. Jurnal Arsitektur Komposisi.
9(1): 93-105.
Widyastuti, A. R. 2010. Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada
pelestarian fungsi lingkungan. Jurnal Ekosains. 2(3): 39-45.
Wulandari, C. 2009. Identifikasi pola agroforestri yang diimplementasikan
masyarakat pada lahan marjinal di lampung utara. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 14(3): 158-162.
79
Zain, Z. 2014. Strategi perlindungan terhadap arsitektur tradisional untuk
menjadi bagian pelestarian cagar budaya dunia. Jurnal Arsitektur Nalars.
13(1): 39-50.
Zakaria, F. dan Suprihardjo, R. 2014. Konsep pembangunan kawasan desa
wisata di desa bandungan kecamatan pakong kabupaten pemekasan.
Jurnal Teknik Pomits. 3 (2): 37-52.