pendahuluan - rp2u.unsyiah.ac.id

45
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral 1 PENDAHULUAN Malaria merupakan masalah kesehatan dunia dengan 207 juta kasus dan lebih dari 627.000 kematian setiap tahunnya, terutama pada anak dengan usia di bawah 5 tahun di Sub-Sahara Afrika (Storm 2014)(Lou, Lucas and Grau 2001).World Health Organization (WHO) juga mencatat 300-500 juta terinfeksi malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria juga menjadi masalah kesehatan di lebih dari 90 negara, yang meliputi 40% dari populasi dunia. Sebanyak 90% kejadian malaria terjadi di wilayah Sub-Sahara, Afrika. Sisanya terdapat pada negara India, Brazil, Sri Lanka, Afganistan, Vietnam, dan Colombia. Kematian terjadi terutama pada anak-anak di daerah kumuh dan terpencil dengan akses kesehatan yang tidak memadai (Lou, Lucas and Grau 2001). Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 65% kabupaten endemis dimana sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 – 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1, 3%(Kemenkes 2013).

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

1

PENDAHULUAN

Malaria merupakan masalah kesehatan dunia dengan 207 juta kasus dan lebih

dari 627.000 kematian setiap tahunnya, terutama pada anak dengan usia di

bawah 5 tahun di Sub-Sahara Afrika (Storm 2014)(Lou, Lucas and Grau

2001).World Health Organization (WHO) juga mencatat 300-500 juta terinfeksi

malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria juga menjadi masalah kesehatan di

lebih dari 90 negara, yang meliputi 40% dari populasi dunia. Sebanyak 90%

kejadian malaria terjadi di wilayah Sub-Sahara, Afrika. Sisanya terdapat pada

negara India, Brazil, Sri Lanka, Afganistan, Vietnam, dan Colombia. Kematian

terjadi terutama pada anak-anak di daerah kumuh dan terpencil dengan akses

kesehatan yang tidak memadai (Lou, Lucas and Grau 2001).

Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 65% kabupaten endemis dimana sekitar

45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil

survei komunitas selama 2007 – 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun

dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu

berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan

malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun

2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010.

Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1, 3%(Kemenkes 2013).

Page 2: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

2

Walaupun telah terjadi penurunan Annual Parasite Incidence (API) secara

nasional, di daerah dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi

dibandingkan angka nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria

yang rendah sering terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai akibat adanya

kasus impor. Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah

388 kasus. Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010

adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah

Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka

Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan

Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di

Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%)(Kemenkes

2013).

Malaria merupakan penyakit akibat infeksi parasite Apicomplexan yaitu

Plasmodium(Storm 2014). Terdapat 5 spesies Plasmodium yang menyerang

manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,

Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi(Kemenkes 2013). Plasmodium

falciparum merupakan spesies yang paling mematikan(Storm 2014).Jenis

Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P.

vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsiantara lain

Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P ovale pernahditemukan di Nusa

Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di PulauKalimantan dilaporkan

Page 3: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

3

adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusiadimana sebelumnya hanya

menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saatini masih terus

diteliti(Kemenkes 2013).

Plasmodium falciparum mengakibatkan kematian lebih dari 600.000 kasus per

tahun.(Ade´ la Nacer 2014). Komplikasi terberat dari infeksi Plasmodium

falciparum adalah malaria serebral, dan merupakan penyebab utama kematian

pada malaria. Malaria serebral terjadi pada 80% kasus fatal dan 10% penderita

malaria dirawat karena malaria serebral.(Lou, Lucas and Grau 2001)Sekitar 1

dari 100 kasus infeksi P. falciparum akan memburuk menjadi Malaria serebral.

Kasus malaria serebral merupakan komplikasi neurologis terberat dari 90%

kasus malaria yang menyerang anak-anak di Sub-sahara Afrika(Storm

2014)(Idro, et al. 2010).

Gejala klinis ditandai dengan adanya koma dan ditemukan bentuk aseksual dari

parasite di hapusan darah tepi. Mortalitas 15-20%, namun 10-20% yang selamat

akan menderita sekuele neurologis jangka panjang. Patogenesis malaria serebral

belum jelas, dan sering dihubungkan dengan tingkat parasetimia yang tinggi

pada penderita.(Storm 2014)(Ade´ la Nacer 2014). Studi lain juga

menghubungkan peran inflamasi dan sitoadheren sebagai etiologi terjadinya

malaria serebral. (Storm 2014). Diagnosis pasti dari malaria serebral adalah

Page 4: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

4

dengan post-mortem dimana akan ditemukan perdarahan otak dan lesi di otak

dengan tertumpuknya sel eritrosit di mikrovaskular (Storm 2014).

Pada tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa penelitian terbaru mengenai

malaria falciparum dan pathogenesis terjadinya malaria serebral untuk melihat

perkembangan ke depan dalam mencegah terjadinya kerusakan neurologisserta

perbaikan keluaran klinis pada malaria serebral.

EPIDEMIOLOGI MALARIA FALSIPARUM

WHO memperkirakan kematian yang terjadi akibat malaria falsiparum mencapai

350-550 juta jiwa dengan mayoritas kasus (65%) terjadi pada usia di bawah 15

tahun. (Olupot-Olupot P 2013). Malaria falciparum merupakan penyebab utama

kesakitan, gangguan neurologis dan kematian di negara tropis. Walaupun 40%

populasi penduduk dunia beresiko untuk tertular, namun sebagian besar

penularan terjadi di Sub-Sahara, Afrika (Gambar 1) dimana anak usia di bawah 5

tahun paling banyak terinfeksi. (Idro, et al. 2010)(Lou, Lucas and Grau 2001).

Seiring dengan peningkatan usia dan peningkatan system imun maka insidensi

pada anak lebih tua menjadi menurun. Satu persen dari infeksi akan mengalami

komplikasi dan berkembang menjadi malaria berat. Malaria berat bermanifestasi

sebagai anemia, hipoglikemi, kejang berulang, koma, kegagalan fungsi organ, dan

diperkirakan menyebabkan lebih dari satu juta kematian setiap tahunnya.

Page 5: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

5

Gambar1. Distribusi Malaria di Seluruh Dunia(CDC, Malaria 2010)

Malaria serebral merupakan menifestasi neurologis berat dari malaria berat.

Insidensi 1.120/100.000/tahun di daerah endemis Afrika, anak-anak merupakan

usia yang paling rentan. Usia puncak kejadian malaria serebral adalah usia pra

sekolah dan minimal 575.000 anak di Afrika menderita malaria serebral. (Idro, et

al. 2010)

Page 6: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

6

PLASMODIUM FALCIPARUM –AGEN PENYEBAB

MALARIA SEREBRAL

Plasmodium falciparum hidup dan berkembang biak dalam eritrosit manusia.

Penyakit ini secaraalami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles

betina.(Kemenkes 2013)

Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium spp.(CDC, Malaria: Biology 2012)

Page 7: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

7

SIKLUS HIDUP PLASMODIUM FALCIPARUM

1. Siklus Pada Manusia

Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit

yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah

selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam

sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon

hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit hati (tergantung spesiesnya).

Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama lebih

kurang 2 minggu(Kemenkes 2013)(CDC, Malaria: Biology 2012).

Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran

darah dan menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, parasite tersebut

berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung

spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya

eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan

menginfeksi eritrosit lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Pada P.

falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang

menginfeksi eritrosit dan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan

betina)(Kemenkes 2013).

Page 8: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

8

2. Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina

Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung

gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina

melakukanpembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet

kemudianmenembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung

nyamukookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit.

Sporozoitini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (gambar 3).Masa

inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuhmanusia

sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam.Masa inkubasi

bervariasi tergantung spesies plasmodium. Masa inkubasi Plasmodium

falciparum rata-rata adalah 9-14 hari. Masa prepaten adalah rentang waktu

sejak sporozoit masuk ke tubuhmanusia sampai parasit dapat dideteksi dalam

eritrosit denganpemeriksaan mikroskopik (CDC, Malaria: Biology 2012)

(Kemenkes 2013).

Replikasi aseksual Plasmodium falciparum di dalam eritrositakan

menimbulkan respon patologi dan akan memodifikasi system pertahanan

tubuh sel host. Pada fase tropozoit, protein dari parasite akan dipindahkan ke

permukaan eritrosit dimana hal ini akan berperan penting dalam pengenalan

system imun dan perlekatan endotel sel host, serta interaksi selanjutnya yang

terjadi dengan sel host. Interaksi antara sel host dan parasite ini yang

berhubungan dengan terjadinya malaria berat (anemia berat, distress

Page 9: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

9

pernafasan, koma, maupun kombinasi dari gejala-gejala tersebut) seperti

malaria serebral (Storm 2014). Walaupun demikian, imunopatogenesis

malaria serebral belum dapat sepenuhnya dimengerti (Lou, Lucas and Grau

2001), (Yuri C Martins 2014 ). Beberapa hipotesis telah diusulkan namun

sampai saat ini masih menjadi perdebatan(Lou, Lucas and Grau 2001).

Page 10: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

10

Gambar 3. Siklus hidup P.falciparum melibatkan dua fase (seksual dan

aseksual)(NIAID 2007)

RESPON IMUN ADAPTIVE PADA INFEKSI

PLASMODIUM FALCIPARUM

Gambar 4. Respon Imun Adaptif pada Infeksi Plasmodium falciparum

(Vercelotti 2013)

Pada saat terjadi infeksi oleh P. falciparum, respon imun humoral dan seluler

akan bekerja. Tahap (1) akan terbentuk antibody terhadap sporozoit yang

meningkatkan fagositosis dan menghambat penetrasi ke hepatosit. Tahap (2)

CD8+ limfosit sel T sitotoksik akan membasmi semua hepatosit yang teinfeksi

Page 11: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

11

melalui pengenalan antigen HLA kelas 1. Tahap (3) Antibodi terhadap merozoit

yang bebas dikeluarkan dari hepatosit atau eritrosit akan meningkatkan

fagositosis dan menghalangi infeksi ke sel erirosit yang baru. Tahap (4) antibody

terhadap protein parasite yang terdapat pada permukaan eritrosit yang terinfeksi

akan meningkatkan fagositosis terutama di limpa. Tahap (5) akan terbentuk

antibody terhadap gametosit yang akan berperan pada fagositosis dan mencegah

gamet diambil kembali oleh nyamuk (gambar 4) (Lou, Lucas and Grau 2001)

MALARIA SEREBRAL

Malaria serebral terjadi sebagai komplikasi dari malaria berat yang disebabkan

oleh Plasmodium falciparum. Malaria serebral termasuk salah satu dari

manifestasi malaria berat yang ditandai dengan gangguan perilaku, gangguan

kesadaran, kejang, koma, dan gangguan neurologis lainnya. (CDC, Malaria:

Disease 2010). Malaria serebral memiliki gejala yang mirip dengan gangguan

neurologis akibat kondisi metabolic. Pada banyak rumah sakit, hipoglikemia dan

meningitis bacterial akut dapat lebih mudah dibedakan dengan malaria serebral.

Namun pada kasus lain seperti ensefalitis viral dan penyebab metabolic akan

lebih sulit dibedakan dengan malaria serebral, terutama pada daerah endemis

dengan akses kesehatan yang terbatas(Mishra and Newton 2009).

IMUNOPATOGENESIS MALARIA SEREBRAL

Page 12: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

12

Karakteristik unik dari malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dibandingkan

dengan spesies lain adalah terjadinya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di

venula berbagai organ, terutama di otak. (Kemenkes 2013)(Frevert 2014)(Mishra

and Newton 2009). Hal ini kemungkinan menjadi penyebab banyak komplikasi

yang terjadi, terutama gangguan neurologis(Mishra and Newton 2009).

Mekanisme bagaimana Plasmodium falciparum dapat menginfeksi eritrosit

(infected red blood cells/iRBC) dan menyebabkan kematian belum dapat

dimengerti sepenuhnya(Storm 2014)(Frevert 2014).

Beberapa model telah didiskusikan sejak puluhan tahun lalu untuk menjelaskan

pathogenesis malaria serebral. Beberapa postulat yang diusulkan antara lain:

(1) Perluasan dari hipotesis obstruksi oleh Frerichs dan Laveran

(1858). Di sini dijelaskan bahwa gejala neurologis dan koma diakibatkan

obstruksi parasite di kapiler otak.(Frevert 2014)

(2) Hipotesis sekuestrasi oleh Marchiafava dan Bignami (1894)

menyatakan bahwa malaria berat disebabkan oleh iRBC berakumulasi di

pembuluh darah besar dan ini menghentikan sirkulasi darah. Pada kasus malaria

serebral yang fatal, sejumlah besar iRBC akan menyumbat kapiler dan

mengakibatkan gangguan fungsional kapiler darah(Kemenkes 2013) (Frevert

2014).

Page 13: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

13

Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi dan ini merupakan tanda khas pada malaria

serebral. Sekuestrasi merupakan peristiwa tersebarnya eritrosit yang berparasit

tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh (Kemenkes 2013) (Storm and

Craig 2014).

Setelah sporozoit masuk ke dalam aliran darah manusia, parasite akan menuju

hati mengalami stadium hepatic yang tidak bergejala. Hepatosit yang terinfeksi

akan pecah, mengeluarkan merozoit, yang akan masuk ke dalam

eritrosit.(Kemenkes 2013) (Mishra and Newton 2009). Pada tahap lanjut,

eritrosit yang terinfeksi akan menempel ke sel endotel venula, menjaga parasite

tetap hidup di lingkungan yang hipoksik tersebut serta mengakibatkan destruksi

dari limpa. Eritrosit yang terinfeksi akan tersekuestrasi di berbagai organ di

tubuh, dimana otak menjadi target utama, diikuti dengan jantung, hati, dan kulit.

(Mishra and Newton 2009). Seluruh autopsy yang dilakukan pada post mortem

pada malaria serebral, menunjukkan adanya penumpukan eritrosit yang

mengakibatkan kongesti di venula dan kapiler otak. Namun sekuestrasi juga

dijumpai pada otak pasien malaria non malaria serebral(Storm and Craig 2014).

(3) Hipotesis inflamasi oleh Maegraith (1974) menyatakan bahwa

parasite, baik mengalami sitoadherensi maupun tidak, akan menginisiasi reaksi

berantai yang memungkinkan protein dan air keluar melalui endotel yang telah

disfungsional, secara cepat akan menjadi obstruksi inflamasi dari aliran darah

yang permanen (Frevert 2014) (Yuri C Martins 2014 ).

Page 14: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

14

(4) Hipotesis sitokin yang mengakibatkan malaria serebral menjadi

ensefalopati oleh Clark dan Rockett (1994). Di sini dinyatakan bahwa perubahan

patologis seperti edema dan koma berasal dari suatu proses inflamasi dengan

peran sitokin(Frevert 2014). P. falciparum akan meningkatkan level sitokin pro

inflamasi dan sitokin anti inflamasi, namun peran molekul-molekul ini pada

pathogenesis penyakit belum jelas. Level sitokin pro inflamasi seperti tumor

necrosis factor (TNF), interleukin (IL)-6 dan anti-inflammatory IL–10

meningkat pada pasien dengan malaria serebral(Mishra and Newton 2009).

Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi

berbagai antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL- 6 dan lain lain) yang diproduksi

oleh sel makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya

reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel

endotel kapiler terjadilah proses sitoadherensi (gambar 5). Sitoadherensi ini

dimediasi oleh protein var genes yang dipresentasikan di permukaan setiap

eritrosit yang telah terinfeksi. Protein inilah yang akan berperan dalam proses

melekatnya eritrosit yang telah terinfeksi ke endotel venule(Mishra and Newton

2009).

Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh

kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini

juga didukung oleh proses terbentuknya “rosette”, yaitu bergerombolnya eritrosit

Page 15: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

15

yang berparasit dengan eritrosit lainnya(Kemenkes 2013)(Lou, Lucas and Grau

2001) (Storm and Craig 2014)(Mishra and Newton 2009).

Gambar 5. Patofisiologi Sitoaderensi(Kemenkes 2013)

(5) Kombinasi dari sekuestrasi dan inflamasi vascular oleh Kossodo

(1994), Hermsen (1997) dan Postels (2013). Kombinasi sekuestrasi dan

inflamasi vascular akan menyebabkan molekul saling berdempetan dan

mengakibatkan eritrosit yang terinfeksi akan mengalami sitoadherensi dengan

platelet dan leukosit akan tertahan, hal ini akan semakin membuat eritrosit yang

Page 16: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

16

terinfeksi mengalami sekuestrasi (Frevert 2014).Sekuestrasi dari eritrosit yang

terinfeksi (gambar 6) akan mengurangi laju aliran darah, yang dapat

mengganggu eritrosit yang belum terinfeksi. Nekrosis jaringan jarang terjadi,

namun iskemik jaringan yang terjadi dapat mengakibatkan progresivitas menjadi

lebih buruk secara cepat(Mishra and Newton 2009).

Terjadinya kerusakan endotel akan mengakibatkan kerusakan sawar darah otak

yang permanen(Frevert 2014). Pada analisis post mortem dewasa dengan

malaria serebral, dijumpai kerusakan protein penghubung (zonula occludens 1,

occludin and vinculin) dan aktivasi sel endotel di vascular. Proses ini

mengakibatkan gangguan metabolit, dimana metabolit tertentu dapat masuk

melewati sawar darah otak dan dapat mengganggu kesadaran dan mencetuskan

kejang(Mishra and Newton 2009).

(6) Teori factor jaringan oleh Fracischetti (2008) menyatakan terdapat

beberapa langkah penyebab gejala menjadi progresif yang diawali dengan

sekuestrasi iRBC sebagai proses krusial yang mengaktivasi endotel serta

menginisiasi kaskade koagulasi dan inflamasi. Sekuestrasi iRBC dan platelet

akanmenimbulkan kaskade yang berakibat pada koagulasi intravascular dan

berkontribusi pada disfungsi dan kegagalan fungsi berbagai organ (Frevert 2014).

(7) Teori PfEMP1 CIDRα1/EPCR oleh Moxon (2013) dan Turner (2013)

menyatakan bahwa pada kasus malaria berat pada anak dimediasi oleh UpsA var

genes (DC 8 dan 13) yang mengekspresikan iRBC untuk berikatan dengan protein

Page 17: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

17

reseptor pada endotel (endothelial protein C receptor /EPCR). Interaksi ini akan

menghambat kaskase sitoprotektif dan anti inflamasi yang seharusnya dapat

diinduksi oleh aktivasi dan pengikatan protein C ke EPCR. Hasilnya adalah

aktivasi protease activated receptor 1 (PAR1) yang bisa mencetuskan kaskade

proinflamasi dan menurunkan stabilitas sawar darah otak (Frevert 2014)(Idro, et

al. 2010).

Gambar 6. Sekuestrasi eritrosit yang telah terinfeksi(Idro, et al. 2010)

Page 18: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

18

Ket: HA, hyaluronic acid; TSP, thrombospondin; ELAM-1, endothelial/leukocyte adhesion

molecule 1; P-Sel., P-selectin; VCAM-1, vascular cell adhesion molecule 1; PECAM (CD31),

platelet endothelial cell adhesion molecule 1; CR1, complement receptor 1; HS-like GAGs,

heparin sulphate-like glycosaminoglycans; IgM, immunoglobulin M.

Gambar 7. Patogenesis malaria serebral yang meliputi banyak komponen

respon imun (Storm 2014)

Sitoadherensi dari eritrosityang terinfeksi seperti PfEMP1-DC8 dan DC13 dengan

reseptor endothelial (seperti EPCR dan ICAM-1) (Gambar 6) mengakibatkan

terjadinya sekuestrasi dan menurunkan laju aliran darah. Ikatan dengan ECPR

(Gambar 8, 9) akan menghalangi aktivasi protein C, yang pada kondisi normal

merupakan inhibitor thrombin generator (Frevert 2014)(Idro, et al.

2010)(Vercelotti 2013). Peningkatan thrombin mencetuskan berbagai kaskade

yang berujung pada hilangnya fungsi barrier endotel, peningkatan TNF, rasio

Ang2/Ang1 dan factor von Willebrand(Moxon 2014) (Storm and Craig 2014).

Page 19: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

19

iRBC di dalam sirkulasi dan iRBC yang pecah akan mencetuskan suatu respon

imun yang akan memproduksi sitokin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya

inflamasi dan akan mengakibatkan kerusakan endotel. Kebocoran akibat

kerusakan endotel ini ke area perivascular akan menimbulkan gangguan pada

astrosit dan perisit yang berakibat pada gangguan sawar darah otak (gambar 8)

(Storm and Craig 2014).

Gambar 8. Peran dari endothelial protein C receptor (EPCR) (Vercelotti 2013)

Page 20: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

20

PERAN NITRIC OXIDE (NO) PADA PATOGENESIS

MALARIA SEREBRAL

Peran NO dalam pathogenesis malaria serebral masih kontroversial. Namun

pada beberapa studi dikatakan bahwa NO merupakan factor kunci bagi TNF pada

pathogenesis malaria serebral. (Mishra and Newton 2009). NO berperan pada

pertahanan tubuh host, mempertahankan status vascular, dan juga sebagai

efektor dari TNF. Sitokin akan meningkatkan sintesis NO di sel endotel otak dan

berakibat pada peningkatan produksi NO (Idro, et al. 2010). Peningkatan

aktivitas NO dapat mengubah laju aliran darah dan mengurangi ambilan

glutamate, berakibat toksisitas bagi jaringan otak(Mishra and Newton 2009). NO

dapat berpindah dan menembus sawar darah otak, berdifusi ke jaringan otak,

dan akan berinteraksi dengan neurotrasmiter, dan hal ini berperan penting

dalam mekanisme terjadinya koma pada malaria serebral(Idro, et al. 2010).

Page 21: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

21

Gambar 9. Mekanisme kerusakan otak pada malaria serebral

Ket: Perubahan mikrovaskular otak oleh karena sekuestrasi dari eritrosit yang terinfeksi.

Sitoadherensi eritrosit yang terinfeksi ke dinding endotel akan menginisiasi proses inflamasi,

aktivasi endotel, keluarnya EMPs, dan apoptosis di area yang terpapar. Pada tempat

sitoadherensi terjadi, sawar darah otak akan rusak, terjadi peningkatan respon inflamasi di

daerah perivascular dan keluarnya sitokin pro inflamasi.

Page 22: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

22

PENEGAKAN DIAGNOSIS MALARIA

Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai

membahayakanjiwa. Gejala utama demam sering di diagnosis dengan infeksi

lain, seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan

infeksi saluran nafas(CDC, Malaria: Diagnosis-Treatment 2013)(Kemenkes

2013).

Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam

dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering

diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan

kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau

bahkan stroke.(Kemenkes 2013)Mengingat bervariasinya manifestasi klinis

malaria maka anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada

setiap penderita dengan demam harus dilakukan(CDC, Malaria: Diagnosis-

Treatment 2013)(Kemenkes 2013).

Diagnosis malaria ditegakkan dengan: (Kemenkes 2013)

A. Anamnesis

Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat

disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.

Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:

Page 23: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

23

1. Riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;

2. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria;

3. Riwayat sakit malaria/riwayat demam;

4. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;

5. Riwayat mendapat transfusi darah

B. Pemeriksaan Fisik

1. Demam (>37,5 ºC aksila)

2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat

3. Pembesaran limpa (splenomegali)

4. Pembesaran hati (hepatomegali)

5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi,

konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna

coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).

C. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan

sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut.

1. Pemeriksaan dengan mikroskop

Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk

diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat

sediaan darah tebal dan tipis.

Page 24: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

24

Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah

sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:

a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);

b) Spesies dan stadium Plasmodium;

c) Kepadatan parasit:

1) Semi Kuantitatif

(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang besar)

(+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)

(++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)

(+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)

(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)

Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:

- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1%

- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1%

- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50%

2) Kuantitatif

Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit)

atau sediaan darah tipis (eritrosit).

Contoh :

Page 25: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

25

Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit 8.000/Ul

maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000parasit/uL.

Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit

4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000

parasit/uL.

2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan

menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat

darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia

fasilitas laboratorium mikroskopis.

3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini

penting untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum.

Selain itu dapat digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah

parasitnya rendah atau di bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan

dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria karena

dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous.

Page 26: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

26

4. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang

perlu dilakukan adalah:

a) Pengukuran hemoglobin dan hematokrit;

b) Penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;

c) Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, sgot dan sgpt, alkali

fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium,

analisis gas darah); dan urinalisis.

PENEGAKAN DIAGNOSIS MALARIA SEREBRAL

Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dari malaria. Hampir seluruh

pasien dengan malaria serebral mengalami demam, berkeringat, dan/atau

menggigil. Pada beberapa pasien dapat terjadi muntah dan nyeri kepala.

Penurunan kesadaran dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari.(CDC,

Malaria: Diagnosis-Treatment 2013) (Mishra and Newton 2009). Manifestasi

penting dari keterlibatan otak dapat berupa gejala iritabilitas, dan gangguan

prilaku psikosis. Riwayat perjalanan dan transfuse darah harus diinvestigasi pada

pasien dengan gejala seperti ini(Mishra and Newton 2009). Gejala malaria

serebral pada anak, koma terjadi secara cepat dan sering diikuti dengan kejang,

dimana 80% malaria serebral pada anak bermanifestasi kejang. Kejang terjadi

akibat peningkatan tekanan intracranial(Idro, et al. 2010). Namun pada

penderita dewasa, koma terjadi secara perlahan dan tidak selalu diikuti oleh

Page 27: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

27

kejang, hanya 15-20% penderita malaria serebral dewasa yang mengalami

kejang. Kaku leher dan fotofobia dapat juga terjadi, namun jarang. Keterlibatan

saraf kranial terlihat pada penderita dewasa, sedangkan pada anak-anak jarang

terjadi(Mishra and Newton 2009). Abnormalitas pupil lebih sering terlihat pada

anak-anak dibanding dewasa. Okulosefalik abnormal dan reflex oculovestibular

terjadi pada anak dengan koma yang dalam(Idro, et al. 2010) (Mishra and

Newton 2009).

Pasien dengan malaria serebral mengalami perubahan pola diurnal, dimana

mengalami kesulitan tidur atau tidur berkepanjangan. Manifestasi gangguan

psikiatri seperti halusinasi, psikosis, delusi dan ilusi dapat terjadi pada saat

infeksi masih terjadi dan selama pengobatan penyakit malaria(Mishra and

Newton 2009).

PATOGENESIS TERJADINYA BERBAGAI GEJALA SISA

(SEKUELE) PADA MALARIA SEREBRAL

a) Sekuele kognitif

Gangguan kognitif jangka panjang terjadi pada 25% anak. Faktor resiko

terjadinya gangguan kognitif antara lain hipoglikemia, kejang, dalam dan

durasi koma dan hiporefleks. Pada studi tentang imunopatogenesis gangguan

kognitif, level serum dari berbagai sitokin dan kemokin tidak berhubungan

dengan gangguan kognitif 6 bulan setelah kesembuhan malaria, namun level

TNF di cairan serebrospinal berhubungan dengan pusat memori dan

Page 28: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

28

perhatian, dimana peningkatan level TNF di cairan serebrospinal akan

berefek pada gangguan kognitif jangka panjang (Idro, et al. 2010).

b) Gangguan bicara dan berbahasa

Malaria serebral merupakan penyebab utama gangguan bicara dan berbahasa

di negara tropis. Sebanyak 11,8% anak yang sembuh dari malaria serebral

mengalami deficit dalam kosakata, gangguan menerima dan mengekspresikan

bahasa, serta gangguan dalam pengucapan kata-kata. Patogenesis masih

belum dimengerti, tidak jelas apakah deficit berbahasa akibat dari kerusakan

otak secara umum, atau karena malaria serebral mengakibatkan kerusakan

pada pusat berbahasa(Idro, et al. 2010).

c) Epilepsi

Epilepsi terjadi pada 10% penderita malaria anak, dapat berlangsung hingga

bertahun-tahun kesembuhan. Walaupun kejang pada malaria serebral

dihubungkan dengan kejadian demam, dengan bentuk kejang yang berbeda-

beda, namun sebagian besar kejang bersifat tonik klonik. Patogenesis dari

epilepsi masih belum jelas, namun hal ini dianggap sebagai konsekuensi

kondisi hipoksia atau iskemik pada sirkulasi serebral(Idro, et al. 2010).

Page 29: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

29

d) Gangguan perilaku dan neurospsikiatri

Pada anak, gangguan perilaku termasuk tidak dapat memusatkan perhatian,

impulsive, hiperaktivitas, gangguan sosialisasi dengan sekitar, obsesif, dan

kecenderungan menyakiti diri sendiri. Gejala ini timbul 1-4 bulan setelah

terpapar dengan parasit dan pathogenesis terjadinya gangguan perilaku ini

masih belum jelas. Pada dewasa, gejala neurologis terjadi setelah parasite

hilang dari tubuh (Idro, et al. 2010).

Secara umum pathogenesis dari berbagai sekuele yang terjadi akibat

sitoadherensi dan sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di mikrovaskular serebral

dapat menginisiasi kerusakan endotel local, apoptosis, inflamasi, disfungsi sawar

darah otak, edema otak dan hipertensi kranial. Sekuestrasi mengganggu

perfusilocal dan mengakibatkan hipoksia jaringan otak. Hal ini dapat

menimbulkan kejang, dan diperparah dengan gangguan metabolit yang berat.

Kerusakan otak yang semakin luas bergantung pada derajat koma, obstruksi

mikrovaskular dan respon inflamasi yang terjadi, durasi paparan parasite,

adanya komplikasi seperti syok dan intervensi pengobatan yang diberikan (Idro,

et al. 2010).

DIAGNOSIS BANDING MALARIA SEREBRAL

Malaria berat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut.

a. Infeksi otak

Page 30: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

30

Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilangnya

kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya. Pada penderita

dapat dilakukan analisa cairan otak dan imaging otak(Kemenkes 2013) (Mishra

and Newton 2009).

b. Stroke (gangguan serebrovaskuler)

Hilangnya atau terjadi gangguan kesadaran, gejala neurologic lateralisasi

(hemiparese atau hemiplegia), tanpa panas dan ada penyakit yang mendasari

(hipertensi, diabetes mellitus, dan lain-lain)(Kemenkes 2013).

c. Tifoid ensefalopati

Gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran dan tanda tanda

demam tifoid lainnya (khas adalah adanya gejala abdominal, seperti nyeri perut

dan diare). Didukung pemeriksaan penunjang sesuai demam tifoid(Kemenkes

2013).

d. Hepatitis A

Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa makan

diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit kuning, dan urin

seperti air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat >5 kali tanpa gejala klinis atau

meningkat > 3 kali dengan gejala klinis(Kemenkes 2013).

Page 31: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

31

e. Leptospirosis berat/penyakit Weil

Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan yang

menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih selokan, sampah, dan lain

lain), leukositosis, gagal ginjal. Insidens penyakit ini meningkat biasanya setelah

banjir(Kemenkes 2013).

f. Glomerulonefritis akut

Gejala gagal ginjal akut dengan hasil pemeriksaan darah terhadap malaria

negatif(Kemenkes 2013).

g. Sepsis

Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan

sirkulasi, leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil biakan

mikrobiologi(Kemenkes 2013).

h. Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome

Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai syok atau tanpa syok

dengan keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi perdarahan

(epistaksis, gusi, petekie, purpura, hematom, hemetemesis dan melena), sering

muntah, penurunan jumlah trombosit dan peningkatan hemoglobin dan

hematokrit, uji serologi positif (antigen dan antibodi) (Mishra and Newton

2009).

Page 32: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

32

BIOMARKER UNTUK DIAGNOSIS MALARIA

SEREBRAL

Penggunaan klinis Plasmodium falciparum histidine-rich protein-2 (PfHRP-2)

sebagai biomarker anti parasite untuk malaria serebral telah teruji. Penggunaan

biomarker PfHRP-2 pada cairan serebrospinal penderita malaria bersamaan

dengan penggunaan Rapid Test Diagnostic (RDT) terbukti berguna untuk

mendeteksi adanya resiko serebral malaria. Konsentrasi PfHRP-2 di cairan

serebrospinal akan mencerminkan kadar PfHRP-2 di dalam plasma darah,

dimana peningkatan level PfHRP-2 di dalam plasma berhubungan dengan

kejadian malaria serebral(Labmedia 2014).

HISTOPATOLOGI MALARIA SEREBRAL

Gambaran histopatologi malaria serebral didapatkan dari hasil studi post

mortem. Pada studi post mortem ditemukan perdarahan dan lesi di otak dengan

Page 33: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

33

sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di mikrovaskular(Storm and Craig 2014).

Gambar 10. Gambaran histopatologi malaria serebral, terjadi sumbatan oleh

parasite P. falciparum

Page 34: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

34

Gambar 11. Histologi jaringan otak dari pasien dengan malaria serebtral

menunjukkan sekuestrasi parasite, pigmentasi dan sumbatan pembuluh darah

(Labmedia 2014)

NEUROIMAGING PADA MALARIA SEREBRAL

Pada studi dengan populasi anak dengan retinopati dan dikonfirmasi menderita

malaria serebral, neuroimaging yang dilakukan menunjukkan kondisi patologis

yang sama pada studi post-mortem (Potchen 2010). Computerised tomography,

walaupun memiliki keterbatasan, namun memberikan peranan penting pada

pasien malaria serebral anak. Percobaan dengan hewan memberikan informasi

yang sangat terbatas mengenai pathogenesis malaria, studi dengan autopsy

hanya terbatas pada pasien yang telah meninggal, sedangkan kasus malaria

serebral dewasa memberikan respon imunologi dan patologi yang berbeda

dengab penderita malaria serebral anak. Pada CT-Scan terlihat infark pembuluh

darah besar, edema serebral difus melibatkan batang otak, dan edema serebral

yang tidak melibatkan batang otak. Teknik neuroimaging yang lebih canggih,

seperti magnetic resonance imaging, dengan studi yang terus berkelanjutan

diperlukan untuk mempertajam pengetahuan mengenai efek akut dan kronis dari

malaria serebral (Potchen 2010).

Page 35: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

35

Gambar 12. CT-Scan pada pasien dengan retinopati berat 5 hari setelah koma

Ket: terlihat gambaran supratentorial subarachnoid spaces disertai dengan atrofi serebral

yang difus yang menunjukkan infeksi akut malaria serebral. Adanya ventrikulmegali,

termasuk pada ventrikel ke-4 menunjukkan terjadinya hirosefalus(Potchen 2010).

Page 36: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

36

Gambar 13. Neuroimaging pada pasien anak dengan malaria serebral dan

dalam keadaan koma berkepanjangan

Ket: terlihat infark kortikal yang terlihat pada region frontal kiri dengan perdarahan kecil

pada daerah frontal kiri. Hidrosefalus terlihat dengan pembesaran ventrikel ke-4 yang

menunjukkan tipe communicating hydrocephalus(Potchen 2010).

Page 37: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

37

PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT

Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual

dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil

laboratorium (WHO, 2010):

1. Perubahan kesadaran

2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)

3. Tidak bisa makan dan minum

4. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam

5. Distres pernafasan

6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mm Hg

Pada anak: <50 mmHg

7. Ikterus disertai disfungsi organ vital

8. Hemoglobinuria

9. Perdarahan spontan abnormal

10. Edema paru (radiologi)

Gambaran laboratorium:

1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)

2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).

3. Anemia berat (Hb <5 gr% atau hematokrit <15%)

4. Hiperparasitemia (parasit >2 % per 100.000/μL di daerah endemis rendah

atau> 5% per 100.0000/μl di daerah endemis tinggi)

5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)

Page 38: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

38

6. Hemoglobinuria

7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

Penderita malaria berat sebaiknya ditangani di RS Kabupaten. Bila fasilitas

maupun tenaga di RS Kabupaten kurang memadai segera rujuk kepada RS

Provinsi. Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi

tentang diagnosis, riwayat penyakit, pemeriksaan dan tindakan/pengobatan yang

sudah diberikan. Apabila pemeriksaan sediaan darah malaria telah dilakukan

maka harus dibawa ke tempat rujukan. Prognosis malaria berat tergantung

kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan(Kemenkes 2013).

PENATALAKSANAAN MALARIA SEREBRAL

Prinsip penatalaksanaan:

Penatalaksanaan malaria serebral sama seperti pada malaria berat umumnya.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah:

Perawatan pasien dengan gangguan kesadaran;deteksi dini dan

pengobatan komplikasi berat lainnya; waspadaakan terjadinya infeksi

bakteri, terutama pada pasiendengan pemasangan iv-line, intubasi

endotrakeal atau katetersaluran kemih dan terhadap kemungkinan

terjadinya aspirasipneumonia.

Perawatan pasien tidak sadar meliputi:

Hal-hal yang perlu dimonitor :

Page 39: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

39

(1) Tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit

(2) Pemeriksaan derajat kesadaran setiap 8 jam

(3) Hitung parasit tiap 24 jam

(4) Hitung parasit tiap 24 jam

(5) Ht dan atau Hb setiap hari, bilirubin dan kreatinin pada hari ke I dan III

(6) Gula darah tiap 8 jam

(7) Pemeriksaan lain sesuai indikasi (missal ureum, kreatinin dankalium darah

pada komplikasi gagal ginjal)

Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis daninfeksi yang

sering terjadi melalui iv-line maka iv-line sebaiknyadiganti setiap 2-3 hari.

PENGOBATAN MALARIA SEREBRAL

Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan

artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis awal

sebelum merujuk ke RS rujukan. Apabila rujukan tidak memungkinkan,

pengobatan dilanjutkan dengan pemberian dosis lengkap artemeter intra

muscular. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil di Puskesmas dilakukan

dengan memberikan kina HCl pada trimester 1 secara intra muscular dan

artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3. Pengobatan malaria di RS dianjurkan

untuk menggunakan artesunat intravena. Pengobatan malaria berat untuk ibu

hamil pada trimester 2 dan 3 menggunakan artesunate intravena, sedangkan

untuk ibu hamil trimester 1 menggunakan kina parenteral.

Page 40: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

40

1) Kemasan dan cara pemberian artesunat

Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam

artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%.

Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering

artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah

larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4

mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4

mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan

artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang

sama. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan

dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari

+ primakuin. (Kemenkes 2013)

2) Kemasan dan cara pemberian artemeter

Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter

dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2mg/kgBB

intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu

kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah dapat

minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-

piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin(Kemenkes 2013).

Page 41: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

41

3) Obat alternatif malaria berat

Kina hidroklorida parenteral

4) Kemasan dan cara pemberian kina parenteral

Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah

yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester

pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu

ampul berisi 500 mg/2 ml(Kemenkes 2013).

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERBAIKAN NEURO-

KOGNITIF PADA PENDERITA MALARIA SEREBRAL

Neuro-protective dan terapi adjuvan

Kerusakan jaringan otak dengan kadar oksigen yang semakin berkurang dapat

berevolusi dalam hitungan jam atau hari. Penanganan yang cepat dan tepat dapat

mencegah kerusakan otak akibat malaria serebral. Namun intervensi

neuroprotektif masih belum menunjukkan hasil yang menggembiarakan.

Mekanisme patofisiologi yang belum jelas, pilihan terapi oleh pasien, dan

pemilihan terapi yang sesuai membuat studi tentang neuroprotektif dan berbagai

adjuvant menjadi gagal. Percobaan dengan steroid, immunoglobulin, asam asetil

salisilat, heparin, anti TNF, manitol, agen kelasi besi, mikronutrien, dan anti

Page 42: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

42

kejang profilaksis, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan(Idro, et

al. 2010).

B5 complex pro-vitamin pantethine

Pencegahan kerusakan endotel atau mengembalikan kondisi eriytrosit yang

terinfeksi dan meningkatkan laju aliran darah dilakukan dengan pemberian

molekul kecil thiol, suatu B5 complex pro-vitamin pantethinedapat mencegah

timbulnya malaria serebral. Pantethine akan melindungi jaringan otak dengan

melepaskan mikro partikel dari endotel yang akan menjaga sawar darah otak

tetap utuh(Idro, et al. 2010)(Mishra and Newton 2009).

Glatiramer acetate

Glatiramer asetat merupakan an agen imunomodulator yang pada studi di hewan

coba menurunkan resiko terjadinya malaria serebral(Idro, et al. 2010).

Cytokine erythropoietin

Sitokin eritropoetin memiliki efek anti apoptotic, anti inflamasi, vasodilatasi dan

proteksi neurotropic. Pada kondisi hipoksia jaringan, sitokin eritropoetin ini

akan disintesis secara local dan kemudian melewati sawar darah otak dan akan

melindungi endotel dari kerusakan(Idro, et al. 2010).

Heparan sulfat

Heparan sulfat di sel endotel akan menganggu pengikatan eritrosit ke DBL1

domain alfa dari PfEMP1, hal ini akan mengurangi sekuestrasi parasite(Idro, et

al. 2010).

Page 43: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

43

KESIMPULAN

Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dari penyakit malaria. Spesies

yang dapat menyebabkan malaria serebral adalah P. falciparum. Mekanisme

imunopatogenesis dari malaria serebral belum diketahui dengan pasti namun

terdapat beberapa teori yang kemungkinan dapat menjelaskan kejadian malaria

serebral. Pathogenesis yang umum digunakan adalah terjadinya sekuestrasi atau

penyebaran eritrosit yang telah terinfeksi sehingga dapat menyumbat pembuluh

darah di otak, hal ini yang menimbulkan gejala klinis berupa penurunan

kesadaran, gangguang perilaku, kejang, dan kematian. Diagnosis pasti malaria

serebral adalah dengan gejala klinis dan ditemukannya parasite P. falsiparum

secara mikroskopis. Pengobatan lini pertama yang diberikan pada malaria

serebral adalah artesunate intravena. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah CT scan kepala yang menunjukkan terjadinya infark dan

hidrosefalus. Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang non invasive dapat

digunakan untuk mempelajari struktur, metabolism, biokimia, dan fungsi

serebral pada malaria serebral. Kombinasi angiografi dan imaging dapat

mendeteksi kejadian obstruksi pembuluh darah oleh sekuestrasi parasite P.

falciparum ini. Sirkulasi serebral dapat diukur dengan arterial spin labelingdan

MRI fungsional dapat melihat aktivitas neurologis pada saat koma. Malaria

serebral dapat menimbulkan sekuele jangka panjang seperti gangguan kognitif,

gangguan berbahasa dan berbicara, serta epilepsy.

Page 44: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

44

RUJUKAN

Ade´ la Nacer, Alexandru Movila, Fabien Sohet, Natasha M. Girgis, Uma Mahesh Gundra,.

"Experimental Cerebral Malaria Pathogenesis—Hemodynamics at the Blood Brain

Barrier." PLOS Pathogens | www.plospathogens.org 10, no. 12 (2014): e1004528-

e1004528.

CDC. "Malaria." Centers of Disease Control and Prevention. 2010. http://www.cdc.gov/dpdx/

(accessed May 8, 2015).

CDC. "Malaria: Biology." Centers for Disease Control and Prevention. November 9, 2012.

http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/ (accessed May 2, 2015).

CDC. "Malaria: Diagnosis-Treatment." Centers for Disease Control and Prevention. July 15,

2013. http://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_treatment/clinicians1.html (accessed May

2, 2015).

CDC. "Malaria: Disease." Centers for Disease Control and Prevention. Feb 8, 2010.

http://www.cdc.gov/malaria/about/disease.html (accessed May 2, 2015).

Frevert, Uta and Nacer, Adela. "Fatal cerebral malaria: a venous efflux problem." Frontiers in

CELLULAR AND INFECTION MICROBIOLOGY, 2014: doi: 10.3389/fcimb.2014.00155.

Idro, Richard, Marsh Kevin, C John Chandy, and RJ Newton Charles. "Cerebral Malaria;

Mechanisms Of Brain Injury And Strategies For Improved Neuro-Cognitive Outcome."

Pediatr Res. 68, no. 4 (2010): 267–274.

Kemenkes. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN

2013 TENTANG PEDOMAN TATA LAKSANA MALARIA. JAKARTA: KEMENTERIAN

KESEHATAN INDONESIA, 2013.

Labmedia, International Staff Writers. "Cerebral Malaria Biomarker Quantified."

IntBiotechnologies. July 17, 2014.

http://www.intbiotechnologies.com/1/post/2014/07/cerebral-malaria-biomarker-

quantified.html (accessed May 2, 2015).

Lou, Jinning, Ralf Lucas, and Georges E. Grau. "Pathogenesis of Cerebral Malaria: Recent

Experimental Data and Possible Applications for Humans." CLINICAL MICROBIOLOGY

REVIEWS, 2001: p. 810–820.

Mishra, Saroj K, and Charles R. J Newton. "Diagnosis and management of the neurological

complications of." Nat Rev Neurol, 2009: 5(4): 189–198. doi:10.1038/nrneurol.2009.23.

Moxon, Christoper A et al. "Persistent Endothelial Activation and Inflammation After

Plasmodium falciparum Infection in Malawian Children." The Journal of Infectious

Diseases, 2014: 610-615.

NIAID. "Parasite, Life Cycle of the Malaria Parasite Description: Life Cycle of the Malaria."

National Institute of Allergy and Infectious Diseases . 2007.

http://www.niaid.nih.gov/topics/malaria/pages/lifecycle.aspx (accessed May 2, 2015).

Page 45: PENDAHULUAN - rp2u.unsyiah.ac.id

Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral

45

Olupot-Olupot P, Maitland K. "Management of severe malaria: Results from recent trials."

Advances in Experimental Medicine and Biology. Advances in Experimental Medicine

and Biology 764, no. doi:10.1007/978-1-4614-4726-9_20. ISBN 978-1-4614-4725-2.

PMID 23654072. (2013): p.241-50.

Potchen, Michael. "Neuroimaging Findings in Children with Retinopathy-Confirmed Cerebral

Malaria." Eur J Radiol, 2010: 74(1): 262–268. doi:10.1016/j.ejrad.2009.02.010.

Storm, Janet and Craig, G. Alister. "Pathogenesis of cerebralmalaria—inflammation and

cytoadherence." CELLULAR AND INFECTION MICROBIOLOGY 4 (2014): 1-8.

Vercelotti. "American Society of Hematology." ASH. November 1, 2013.

http://www.hematology.org/Thehematologist/Diffusion/1020.aspx (accessed May 2,

2015).

Yuri C Martins, MD/PhD and Claudio Tadeu Daniel-Ribeiro, MD, DSc. "A new hypothesis on

the manifestation of cerebral malaria: the secret is in the liver." Med Hypotheses, 2014 :

p.1-14.