penerjemahan proposal
DESCRIPTION
Penerjemahan dan pembahasannyaTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Di era globalisasi ini, ketika teknologi informasi mencapai kemajuan
yang luar biasa, dan batas geografis serta kultural dan politik menjadi
semakin cair, semangat untuk mengenal dan mempelajari bangsa, budaya
dan bahasa lain pun meningkat. Kondisi ini menyebabkan komunikasi
interkultural menjadi sangat penting. Di sinilah peran penerjemahan
menjadi sentral, yaitu sebagai perantara komunikasi, baik dalam rangka
alih teknologi, diplomasi, politik, ekonomi bahkan kesusastraan.
Sebagai perantara dalam proses komunikasi, penerjemahan bertujuan
memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu) sehingga pesan yang
terkandung dalam BSu dapat diungkap kembali di dalam bahasa sasaran
(BSa) dan harus ditempatkan dalam konteks komunikasi, khususnya
komunikasi kebahasaan (Hoed, dkk.,1993:1). Padanan menurut Hoed
adalah unsur bahasa sasaran yang mengandung pesan yang sama
dengan unsur bahasa sumber. Sumber bagi penjelasan Hoed tersebut
adalah teori penerjemahan yang dikembangkan oleh Eugene Nida dalam
buku-bukunya yang salah satunya berjudul Toward a Science of
Translating (1964: 165-167). Nida adalah salah seorang pakar sekaligus
praktisi penerjemahan yang mengedepankan upaya mereproduksi
2
kesepadanan dalam penerjemahan. Nida menggolongkan kesepadanan
ke dalam dua jenis, yaitu formal equivalence, atau kesepadanan yang
berorientasi pada bahasa sumber untuk menampilkan sebanyak mungkin
bentuk dan isi teks asli, dan dynamical equivalence, yang lebih
mengutamakan kesepadanan efek terhadap penerima atau kesepadanan
respon si penerima. Senada dengan Nida, Schneider ( 2007: 15-16) juga
menyatakan bahwa penerjemahan harus dilihat sebagai proses
mereproduksi kesepadanan di antara dua bahasa, sekaligus sebagai lalu-
lintas komunikasi antara dua budaya.
Dari beberapa definisi mengenai penerjemahan yang telah
disampaikan, dapat disimpulkan, bahwa penerjemahan pada dasarnya
adalah suatu aktivitas mereproduksi tanda dengan memerhatikan
kesepadanan, baik itu dari segi kebahasaan, kebudayaan, maupun pesan.
Namun pernyataan berbeda tentang penerjemahan dilontarkan oleh
Susan Bassnett, seorang pakar penerjemahan dari Inggris. Bassnett
mengatakan bahwa ada pergeseran dalam menyikapi penerjemahan
seiring dengan berubahnya sifat hubungan antar manusia di era global
sekarang ini. Penerjemahan tidak lagi dituntut untuk mereproduksi
kesepadanan sebagai hal yang utama namun justru mengupayakan
proses negosiasi dan transaksi antar bahasa dan antar budaya melalui
mediasi seorang penerjemah. Konsekuensi dari kenyataan tersebut
adalah terjadinya gejala penghilangan dan pengkhianatan karena ada
pergeseran atau penggeseran bobot (Bassnett, 2002:8).
3
Salah satu bentuk lain dari komunikasi antar budaya, yang juga
memainkan peranan penting dalam membangun saling pengertian antar
bangsa, adalah karya sastra (Fokkema/ Kunne Ibsch, 1977:1). Teeuw
(2003: 37-51) berdasarkan hasil studinya, memaparkan, bahwa makin
banyak peneliti sastra yang mempunyai keyakinan bahwa sastra harus
diteliti dan dipahami secara ilmiah dengan mengikutsertakan aspek
kemasyarakatannya, yaitu dengan memandangnya sebagai tindak
komunikasi, meski bukan komunikasi yang biasa bila dibandingkan
dengan tindak komunikasi lain. Lebih jauh Teeuw mengatakan bahwa
untuk memahami sastra sebagai tindak komunikasi, maka mendekati
sastra haruslah memerhatikan aspek komunikatifnya, yaitu sebagai tanda.
Sebagai tanda, sastra harus menempatkan bahasa sebagai faktor
terpenting yang bersifat kompleks dan beragam serta konvensi sastra
sebagai jalan masuk untuk memahami hakikat sastra itu sendiri. Eagleton
mengutarakan hal yang sama mengenai sifat unik sastra sebagai tindak
komunikasi dengan cara mengasingkan atau mengalienasi ujaran biasa
(1996:5). Dilihat dengan kacamata linguistik, karya sastra sebagai salah
satu bentuk komunikasi adalah parole, yaitu artikulasi invidual setiap
pengarang dalam memanfaatkan langue, yaitu konvensi sastra yang
tersedia untuk mencapai tujuan komunikasinya.
Keunikan karya sastra sebagai media komunikasi berpengaruh
terhadap prinsip-prinsip penerjemahannya. Seperti Saussure yang tidak
berminat meneliti parole, yang menurutnya tidak sistematis, Gadamer, dan
4
Nida (Lorenz, dalam Arnold,1996: 556-563) berpandangan kurang lebih
sama dengan Saussure, bahwa prinsip kesepadanan tidak dapat
diterapkan pada teks sastra, karena karya sastra adalah teks yang unik
(seperti parole), oleh sebab itu penerjemahan karya sastra pada dasarnya
adalah resepsi penerjemah terhadap karya tersebut. Sulitnya
menerjemahkan karya sastra menurut Iser (dalam Bassnett, 2002: 119)
adalah karena kalimat-kalimat dalam karya sastra tidak hanya berisi
pernyataan, namun mengarah pada sesuatu yang berada jauh di balik
yang dikatakan itu. Akibatnya dalam penerjemahannya mudah terjadi
pergeseran negatif seperti:
1. Kesalahan dalam penerjemahan informasi
2. „Subinterpretasi“ dari teks asli
3. Interpretasi yang dangkal dari hubungan-hubungan yang bersifat
intensional
Namun Schneider berpendapat, bahwa penerjemahan karya sastra masih
mungkin dilakukan, sejauh masih menyangkut tema yang universal dan
bergantung pada tingkat keterikatan karya tersebut dengan bahasa dan
lingkungannya (2007: 149).
Sebagai mediator komunikasi di era global ini, penerjemahan karya
sastra menghadapi tantangan, bukan hanya dari karakter sastra itu sendiri
sebagai media komunikasi yang tidak biasa, namun juga dari kondisi
pergaulan antar bangsa yang semakin cair tanpa sekat dan tanpa
5
hambatan. Pergerakan manusia yang semakin cepat, ketika jutaan orang
melakukan migrasi dan bertukar tempat, juga berimbas pada strategi
penerjemahan, khususnya karya sastra, dari yang berorientasi pada
kesepadanan ke orientasi negosiasi dan transaksi seperti yang
dikemukakan oleh Bassnett.
Banyaknya karya sastra asing dalam versi yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, terutama yang berasal dari bahasa Inggris,
memenuhi rak-rak toko buku, menunjukkan, bahwa penerjemahan karya
sastra di Indonesia sekarang ini cukup berkembang. Berkembangnya
penerjemahan karya sastra di Indonesia menjadikan kajian mengenai
penerjemahan menjadi penting untuk melihat: 1. Seberapa jauh penelitian
terhadap penerjemahan karya sastra telah dilakukan dan kenyataan apa
yang ditemukan, yang dapat berkontribusi pada pengembangan
penerjemahan karya sastra? 2. Bagaimana upaya para penerjemah,
khususnya penerjemah karya sastra dalam menyikapi dan menghadapi
tantangan-tantangan di era global ini?
Dari hasil penelusuran pustaka mengenai kajian penerjemahan karya
sastra terlihat bahwa tema kesepadanan dan pergeseran, baik itu yang
menyangkut struktur tekstual maupun kebahasaannya, menjadi objek
utama banyak peneliti. Dari Universitas Indonesia ditemukan beberapa
penelitian mengenai penerjemahan, diantaranya thesis I Dewa Gede
Windhu Sancaya dari Universitas Indonesia (UI), yang mengangkat
adaptasi cerita Sam Pek Eng Tay ke dalam kesusastraan Bali. Penelitian
6
lainnya adalah disertasi Titik Pudjiastuti tentang sejarah Banten, yang
merupakan kajian penerjemahan sekaligus tinjauan aksara. Kedua
penelitian tersebut lebih menitik beratkan pada struktur teks, bukan pada
aspek linguistik.
Beberapa kajian lain membahas tentang pergeseran dalam aspek
kebahasaan yang berhubungan dengan budaya, terutama dihubungkan
dengan hipotesis Sapir-Whorf mengenai Relativitas Bahasa. Penelitian
tersebut dilakukan antara lain oleh: Benny Hoedoro Hoed, juga dari UI,
yang mengupas secara mendalam fungsi kala dalam novel-novel
berbahasa Prancis dan padanannya dalam bahasa Indonesia; dan artikel
Frans Made Brata dalam Linguistik Indonesia, Tahun ke 26. No. 1,
Februari 2008, yang membahas tentang pergeseran makna beberapa
ungkapan bahasa Inggris dalam novel Mirror Image, karya Danielle Steel,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meski bukan penelitian
terhadap penerjemahan karya sastra, penelitian yang dilakukan oleh Nurul
Murtadho dari UI atas penerjemahan metafora dalam Al Qur’an juga
menarik untuk dicermati. Murtadho menemukan beberapa macam
pergeseran yang terjadi dalam penerjemahan metafora yang
menyebabkan perubahan bentuk namun tidak menyebabkan perubahan
makna.
Penelitian-penelitian mengenai penerjemahan dengan fokus yang
berbeda ditemukan di Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar.
Thesis yang ditulis oleh O.J. Wehantouw (1988) mengkaji teori-teori
7
penerjemahan dan praktek penerjemahan untuk menemukan formula
yang tepat bagi pengajaran penerjemahan di tingkat perguruan tinggi.
Penelitian lainnya yang disusun dalam bentuk disertasi oleh Noer Jihad
Saleh (2007), memfokuskan kajiannya pada tingkat kemampuan
penerjemah-penerjemah di Makassar dalam menerjemahkan teks-teks
non sastra dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak seperti kebanyakan analisis penerjemahan yang pernah
dilakukan, khususnya di Indonesia, yang lebih berfokus pada aspek
linguistik, pembahasan mengenai penerjemahan yang agak berbeda
dilakukan oleh Farida Amalia dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),
Bandung. Dalam makalahnya (2009) Amalia mengangkat tema ideologi
dalam penerjemahan, dan mengarahkan fokus pembahasannya pada
penerjemah. Yang ia maksudkan dengan ideologi di sini adalah prinsip
atau keyakinan penerjemah tentang bentuk penerjemahan yang cocok
bagi masyarakat BSa. Isu ideologi dalam penerjemahan juga ditemukan
dalam sebuah kajian mengenai tulisan-tulisan Antonio Gramsci. Kajian
tersebut membahas antara lain tentang upaya sekularisasi dongeng anak-
anak yang dilakukan oleh Gramsci melalui penerjemahan dongeng-
dongeng dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Italia.
Ideologi dalam penerjemahan adalah isu yang menarik karena
mengangkat masalah nilai dan keyakinan. Isu tersebut menantang untuk
ditelusuri melalui penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, sekaligus
menantang untuk diteliti.
8
Namun, apa sebenarnya ideologi itu? Adakah ideologi dalam teks?
Bila ada, bagaimana ideologi bersembunyi dalam teks, khususnya karya
sastra, dan bisakah ideologi diterjemahkan?
Sebagai sebuah bentuk aktivitas kebudayaan, terlepas dari
perdebatan mengenai pengkategorisasiannya (kanon atau bukan kanon),
sastra merefleksikan kehidupan manusia dalam kerangka hubungan
dengan sesamanya (sosial) dan dengan lingkungannya. Eagleton
menganggap sastra bukanlah suatu kualitas inheren atau suatu set
kualitas yang ditampilkan jenis tulisan tertentu, melainkan cara yang
digunakan orang untuk menghubungkan dirinya ke tulisan. Pernyataan-
pernyataan, penggambaran tentang suatu keadaan, atau sudut pandang
yang digunakan untuk menilai sesuatu hal, bisa menunjukkan misalnya
keterhubungan si penulis dengan pengalaman formatif di masa kecilnya,
dan dengan beberapa faktor budaya lainnya. Struktur nilai dalam
lingkungan masyarakat yang terinternalisasi dalam diri si pengarang akan
memengaruhi pola pikir dan cara pandangnya sehingga memotivasi
pernyataan-pernyataan dalam karyanya. Eagleton menganggap struktur
nilai ini adalah bagian dari apa yang disebut ideologi. Menurutnya ideologi
adalah cara bagaimana kita mengatakan dan memercayai sesuatu
(seringkali di bawah sadar) berdasarkan keterhubungan kita dengan
struktur kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan masyarakat di
mana kita tinggal (1996: 17-20). Berkaitan dengan hubungan antara seni
(dalam hal ini sastra) dan ideologi, pernyataan Althusser memperkuat
9
pendapat Eagleton. Althusser dalam kumpulan essay yang berjudul
Tentang Ideologi (diterjemahkan dari Essays on Ideology) mengatakan
bahwa:
Ketika kita berbicara tentang ideologi, seharusnya kita tahu bahwa ideologi menyelipkan diri pada segala aktivitas manusia, bahwa ideologi identik dengan pengalaman hidup dari eksistensi manusia itu sendiri: itulah sebabnya bentuk yang membuat kita melihat ideologi dalam pelbagai novel besar, dalam kandungannya dimuati pengalaman hidup pelbagai individu. (Althusser, 1984: 189)
Upaya penelusuran ideologi dalam teks dimulai dengan kemunculan
teori kritis yang dicanangkan oleh Jürgen Habermas, salah seorang
anggota Mazhab Frankfurt. Habermas berusaha mempertautkan antara
teori dan praksis dalam dunia ilmu. Upaya tersebut merupakan dialektika
antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang empiris. Wujud
dari hasil dialektika tersebut adalah lahirnya kritik ideologi yang bertujuan
untuk melakukan refleksi diri. Habermas menolak pandangan yang
bersifat positivistik yang cenderung menggeneralisasi fenomena-
fenomena dalam kehidupan ini. Konsep pemikiran Habermas berangkat
dari teori Marxis mengenai kerja dan perjuangan kelas. Sasaran kritik
ideologi adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Kritik
ideologi kemudian berkembang menjadi analisis linguistik dengan cara
penelitian yang mendasarkan penafsiran pada teks yang bertujuan untuk
menyingkap makna yang ada di baliknya. Foucault menghubungkan
ideologi dengan kekuasaan, yaitu jaringan kekuatan yang tidak tampak,
namun terasa mendesak dan menyusup lalu terjalin kuat dengan gerak-
10
gerik dan ucapan-ucapan kita. Foucault lebih suka menggunakan istilah
ideologi sebagai wacana yaitu penggunaan bahasa yang aktual antar
subjek untuk memproduksi efek tertentu. Jadi dapat dikatakan, bahwa
ideologi adalah fungsi yang ditunjukkan oleh hubungan-hubungan yang
ada dalam tuturan terhadap konteks sosialnya. Sedangkan Althusser
mengatakan, bahwa ideologi adalah sistem representasi, yang lebih
mengekspresikan keinginan, harapan atau kenangan daripada
menggambarkan realitas, namun dengan cara yang seolah-olah
menampilkan yang sesungguhnya. (Eagleton, 1991: 7-19; Barker, 2003:
77).
Berbicara mengenai bagaimana ideologi bersembunyi dalam teks
sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep mengenai false consciousness
yang berasal dari paham Marxisme, yang juga memengaruhi pemikiran
Althusser dan Lukacs. Marx mencoba menyatukan prinsip idealisme dan
materialisme. Menurut Marx false consciousness hadir di antara kedua
prinsip tersebut dalam bentuk representasi. Representasi inilah yang
sebenarnya dimaksudkan sebagai mediator antara ide dan materi, namun
kemudian berkembang menjadi idealisasi atau fetisisasi yang rentan
dimanfaatkan oleh kekuasaan (Foucault) atau tujuan-tujuan tersembunyi
lainnya dengan cara memanipulasi komunikasi atau bahasa (Hawkes,
1996: 90-95). Jadi ideologi sebenarnya bersembunyi di balik struktur, baik
itu kebahasaan maupun struktur teks.
11
Ideologi sebagai bagian dari jati diri manusia, sebagai cara
memandang dunia yang dibentuk melalui proses internalisasi kegiatan
kebudayaan (Althusser) dan berkaitan dengan hubungan kekuasaan
dengan masyarakat (Marx, Foucault, Eagleton), menjadi aspek yang juga
penting untuk ditelusuri dan dipahami melalui penerjemahan karya sastra
sebagai kontribusi pada kegiatan komunikasi interkultural.
Anne Cluysenaar (Bassnett, 2002: 83), seorang pakar penerjemahan
dari Belanda, menyampaikan bahwa penerjemahan karya sastra
seringkali hanya bertolak dari pendekatan strukturalisme terhadap karya
sastra, yang memandang karya sastra hanya sebagai sebuah teks yang
dibangun oleh seperangkat sistem yang saling berhubungan. Akibatnya
hubungan dialektis yang terjalin antara teks dengan faktor-faktor dari luar
yang menentukan eksistensi karya tersebut terabaikan.
Sebuah analisis yang dilakukan Bassnett terhadap sebuah novel
berbahasa Jerman karya Thomas Mann yang berjudul Der Zauberberg
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Magic
Mountain, memperlihatkan kecenderungan yang digambarkan Cluysenaar
di atas. Bassnett memberikan contoh tentang hilangnya nuansa
pergumulan ideologis sang tokoh utamanya. Pergumulan tersebut
direduksi dalam versi terjemahan berbahasa Inggris menjadi hanya
penggambaran geografis dan pergerakan sang tokoh dari satu tempat ke
tempat yang lain. Pergeseran tersebut terjadi menurutnya karena
penerjemah, selain tidak menguasai dengan baik bahasa Jerman, ia juga
12
tidak memahami latar belakang Mann, termasuk gaya berceritanya.
Bassnett menunjukkan contoh potongan terjemahan novel karya Tomas
Mann tersebut yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
The Magic Mountain:
Ein einfacher junger Mensch reiste im Hochsommer von Hamburg, seiner Vaterstadt, nach Davos-Platz im Graubündischen. Er fuhr auf Besuch für drei Wochen.
Von Hamburg bis dorthinauf, das ist aber eine weite Reise; zu weit eigentlich im Verhältnis zu einem so kurzen Aufenthalt. Es geht durch mehreren Herren Länder, bergauf und bergab, von der Süddeutschen Hochebene hinunter zum Gestade des Schwäbischen Meeres und zu Schiff über seine springende Wellen hin, dahin über Schlünde, die früher für unergründlich galten
An unassuming young man was travelling in midsummer, from his native city of hamburg to Davos-Plaz in the Canton of Grisons, on a three week’s visit.
From Hamburg to Davos is a long journey – too long, indeed, for so brief a stay. It crosses all sorts of country; goes up hill and down dale, descends from the plateaus of Southern Germany to the shores of Lake Constance, over its bounding waves and on across marshes once thought to be bottomless. (Bassnett, 2002: 115)
Bassnett memahami gaya menulis Mann yang menggabungkan gaya liris
ke dalam gaya prosaik, seperti yang ia tunjukkan dengan penggunaan
nomina Gestade, yang berarti pantai, yaitu kata yang populer digunakan di
abad ke delapanbelas. Kata Gestade kemudian hanya digunakan dalam
ungkapan-ungkapan puitis dalam karya sastra. Sinonim kata Gestade
adalah Küste, yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Küste
inilah yang lalu diterjemahkan menjadi shore. Lebih dari itu, Bassnett juga
melihat kalimat-kalimat pembuka dalam novel tersebut sebagai kunci
13
untuk memahami cerita selanjutnya, yaitu mengenai perjalanan hidup
seorang laki-laki yang berjuang untuk menemukan jati dirinya.
Penggambaran dramatis dari beberapa tempat yang disebutkan adalah
simbol pergumulan ideologis yang terombang ambing antara dua kutub
yang berlawanan, seperti sehat dan sakit, hidup dan mati, demokrasi dan
reaksi. Namun versi terjemahan kalimat pembuka tersebut menurut
Basnett direduksi menjadi hanya penggambaran geografis dan
pergerakan sang tokoh dari satu tempat ke tempat yang lain yang menjadi
terkesan berlangsung cepat melalui penggabungan dua kalimat dalam
Bahasa sumber (BSu) menjadi satu kalimat dalam Bahasa sasaran (BSa)
dan pemangkasan frasa zu Shiff (by boat). Selain itu kompetensi
penerjemah yang terbatas menyebabkan pergeseran yang signifikan yang
ditunjukkan oleh kekeliruan penerjemahan nomina Schlünde menjadi
marshes. Schlünde bisa bermakna ganda, yaitu tepi jurang atau
keputusasaan, sehingga padanan yang tepat seharusnya abysses yang
juga bisa bermakna figuratif, bukan marhes (ibid: 114-116). Bassnett
telah menunjukkan, bahwa perubahan kebahasaan secara sintagmatik
dan paradigmatik serta stilistik, seperti yang diperlihatkan oleh contoh
analisis di atas, dapat mengaburkan kandungan ideologis yang tersirat
dalam teks.
Kajian lain yang juga menyoroti masalah ideologi dalam penerjemahan
karya sastra dilakukan oleh Lucia Borghese (dalam Ives and Lacorte,
2010: 150-155), seorang peneliti dari Italia, yang meneliti dongeng-
14
dongeng yang diterjemahkan oleh Gramsci. Dalam dongeng yang
diterjemahkan oleh Gramsci, Borghese melihat tendensi sekularisasi
terhadap kumpulan dongeng tersebut. Gramsci menurut Borghese,
berusaha menggeser ideologi religius menjadi sekuler dengan cara
mengganti atau menghilangkan kata-kata, frasa-frasa atau kalimat-kalimat
yang berkonotasi religius menjadi rasional. Berikut adalah contohnya:
Hänsel und Gretel
„Sei getröst liebe Schwesterchen, und schlaf nur ruhig ein, Gott wird uns nicht verlassen“ (Ives & Lacorte, 2010: 152).
[„Jangan sedih adikku sayang, tidurlah dengan tenang, Tuhan tidak akan meninggalkan kita.“ (penulis)]
„Cara sorellina, consolati e dormi tranquilla: tutto andrá bene per noi .“ (ibid: 152).
„Be easy, dear little sister, and go to sleep quietly; everything will be fine for us .“ (ibid:152)
Frasa Gott wird uns nicht verlassen (Tuhan tidak akan meninggalkan kita) diganti dengan frasa tutto andrá bene per noi yang berarti everything will be fine for us (semua akan baik-baik saja).
Brüderchen und Schwesterchen
Abends, wenn Schwesterchen müde war und sein Gebet gesagt hatte, legte es seinen Kopf auf den Rücken des Rehkälbchens (Ives & Lacorte, 2010: 152)
[Malam hari, ketika si adik merasa lelah dan mengucapkan doanya, ia baringkan kepalanya di atas punggung rusa (penulis)].
Alla sera, quando sorellina era stanca (...), metteva la sua testina sulla spalla del capriolono (ibid: 152)
15
In the evening, when the sister was tired (...), she laid her head upon the roe’s back (ibid:152)
Pada contoh ini, frasa und sein Gebet gesagt hatte (dan mengucapkan
doanya), tidak diterjemahkan.
Kasus lain yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh Kate
James dari Kanada dalam jurnal penerjemahan Translation Journal and
the Author, 2011 (http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last
updated on: 03/18/2011 19:02:25), dengan judul Speaking in the
Feminine: Consideration for Gender-Sensitive Translation.
Pembahasan James mengenai isu gender dalam penerjemahan
berangkat dari kegalauan Susanne de Lotbinière-Harwood, seorang
penerjemah karya sastra asal Kanada. Harwood menerjemahkan
kumpulan puisi karya Lucien Francoeur yang berjudul Neons in the Night
dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Hasil pengkajian James
terhadap penerjemahan yang dilakukan oleh de Lotbiniére-Harwood
memperlihatkan contoh yang representatif mengenai upaya kompromi
antara pandangan hidup penerjemah sebagai seorang yang gender-
sensitive dengan ideologi maskulin si pengarang agar tetap dapat
mempertahankan gambaran tokoh petualang seks dalam puisi yang
tersebut. Berikut adalah salah satu puisi dari kumpulan Neons in the Night
karya Lucien Francoeur yang diterjemahkan oleh de Lotbiniére-Harwood.
16
'Wonderwoman'
la blonde têtue fofolle ricaneuse
dans ses cheveux
je l'attends au tornant
[.........]
naïade naïve femme sex-o-fun
elle me happe les parties
me lappe les rappels
me tombe sur le cœur
(lui ai dit de me crisser la paix
baisser la culotte
me montrer son vrai visage)
the blonde stubborn barbie-brained giggly
in her hair
i lie in ambush
[.........]
naïve naiade sex-o-fun femme
she snatches my parts
laps up my encores......
she's a heartburner
(told her to fuck off
pull down her pants
show me her true self)
(Francoeur, 1973) (translation: de Lotbinière-Harwood, 1979)
Menurut James kompromi yang dilakukan de Lotbiniére-Harwood
tergambar jelas pada ungkapan 'fofolle ricaneuse' [gloss: scatty
giggler/giggly] yang diterjemahkan menjadi 'barbie-brained giggly'.
Ungkapan yang dipilih de Lotbiniére-Harwood berdasar pada stereotipe
mengenai perempuan pirang berotak kosong, yang direpresentasikan oleh
nama boneka yang telah dikenal secara luas. Upaya-upaya itulah yang
membuat de Lotbiniére-Harwood merasa tertekan ketika ia
menerjemahkan kumpulan puisi karya Francoeur.
17
Contoh-contoh tersebut memperlihatkan, bahwa melalui kajian yang
berfokus pada aspek ideologis dalam penerjemahan karya sastra, cara
pandang terhadap teks dapat dilihat: (1). apakah hanya sebagai rangkaian
sistem tanpa kedalaman makna seperti pada kasus penerjemahan karya
Thomas Mann, atau (2). sebagai kendaraan ideologis untuk menanamkan
gagasan atau cara pandang yang kita yakini, seperti yang dilakukan oleh
Gramsci, atau (3). sebagai tempat negosiasi, bahkan pertarungan ideologi
seperti dalam kasus yang diteliti oleh James. Selain itu, melalui contoh-
contoh penelitian yang telah dipaparkan, terlihat ada pergeseran cara
pandang bagaimana seharusnya penerjemahan dilakukan. Nida
mensyaratkan keparipurnaan pengetahuan, baik mengenai BSu maupun
BSa, mengenal secara dekat permasalahan yang dibicarakan, memiliki
empati terhadap penulis teks sumber dan isinya, dan memiliki
kemampuan stilistika dalam BSa (1964: 153). Nida masih sangat
berorientasi pada penulis dan teks BSu.
Newmark (1988), seperti yang dikutip oleh Ida Bagus Putra Yadnya
(2006:7-9), justru menggeser orientasi penerjemahan ke teks dan
pembaca BSa dengan mempertimbangkan adanya implikasi budaya
dalam terjemahan yang kemunculannya dapat berbentuk lexical content,
sintaksis bahkan ideologi dalam budaya tertentu. Karena itu penerjemah
menurutnya harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada
aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek
tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa
18
sasaran. Namun Michael Cronin, seorang pakar penerjemahan dari
Irlandia, dalam bukunya Translation and Globalization, mengarahkan
perhatian pada penerjemah dengan berpendapat bahwa penerjemah
seperti halnya setiap kelompok profesional dalam bidang ilmu-ilmu sosial
dan humaniora dibedakan satu dari yang lainnya tidak dari apa yang
harus mereka lakukan, namun dari apa yang dapat mereka lakukan.
Cronin bahkan menganjurkan para penerjemah untuk menunjukkan
identitas dirinya bukan malah menutupinya, karena mereka sebagai
penerjemah memiliki hak tawar yang dilegitimasi untuk melakukan campur
tangan dalam bidang budaya, kemasyarakatan dan politik dan
menggunakan kesempatan ini untuk mengubah cara pandang terhadap
praktek penerjemahan, dan mendidik masyarakat yang lebih luas (Cronin,
2003: 67). Cronin juga Bassnett melihat pentingnya kehadiran (visibility) si
penerjemah dalam teks yang direproduksinya, seperti yang dilakukan oleh
Gramsci dan de Lotbiniére-Harwood.
B. Identifikasi Masalah
Kajian-kajian mengenai penerjemahan karya sastra yang telah secara
singkat disinggung, membuktikan bahwa kesepadanan dan pergeseran
sama-sama mungkin terjadi dalam penerjemahan karya sastra. Kajian-
kajian yang dilakukan di luar negri bahkan telah menemukan pergeseran
ideologi. Penelitian mengenai masalah ideologi dalam penerjemahan
penting untuk dikembangkan, karena penelitian ini meliputi aspek
kebahasaan pada tataran sintagmatik dan paradigmatik, aspek konteks
19
yang menyangkut karya yang diteliti, termasuk di dalamnya pengarang,
serta aspek penerjemah sebagai mediator. Berangkat dari kajian awal
mengenai teori dan praksis penerjemahan karya sastra, dihasilkan
asumsi-asumsi dasar, yaitu:
1. Perbedaan sistem kebahasaan, dan kebudayaan antara yang
melatarbelakangi teks BSu dengan teks BSa menyebabkan
pergeseran bentuk dan makna kebahasaan yang dapat
mengakibatkan pergeseran ideologi yang terkandung dalam Teks
BSu ke bentuk yang berbeda dalam teks BSa.
2. Pengarang dengan seluruh konteks individual maupun sosial yang
memengaruhi sekaligus memotivasi tulisannya meninggalkan jejak-
jejak ideologis dalam karyanya.
3. Penerjemah dengan kompetensi kebahasaan dan kebudayaan BSu
dipadukan dengan konteks individual dan sosial yang memengaruhi
pemikirannya, juga berpotensi menggeser ideologi dalam teks BSu.
4. Pergeseran cara pandang terhadap penerjemahan dari
pengutamaan kesepadanan ke bentuk negosiasi dan transaksi di
era global ini bahkan secara teoritis melegitimasi pergeseran
ideologi dalam penerjemahan, khususnya karya sastra.
Dari keempat asumsi dasar di atas dapat dilihat, bahwa setidaknya ada
dua jenis pergeseran ideologi yang mungkin terjadi, yaitu: 1. pergeseran
ideologi kolektif yang berhubungan dengan perbedaan sistem kebahasaan
20
dan kebudayaan; 2. pergeseran ideologi invidual yang berhubungan
dengan pengarang dan penerjemah.
Keempat asumsi dasar tersebut melatarbelakangi penelitian ini yang
menitik beratkan pembahasan pada pergeseran ideologi yang terjadi
dalam penerjemahan karya sastra. Kajian ini penting untuk dilakukan
karena dapat menunjukkan setidaknya beberapa hal mendasar dalam
penerjemahan karya sastra yang berkaitan dengan aspek kebahasaan
dan aspek penerjemah, seperti:
1. Tingkat kesepadanan secara kebahasaan pada tataran sintagmatik
dan paradigmatik, seperti yang diperlihatkan melalui analisis
Bassnett terhadap penerjemahan karya Thomas Mann Der
Zauberberg ke dalam bahasa Inggris.
2. Tingkat kesepadanan aspek-aspek struktural yang berkaitan
dengan genre teks. Penerjemahan yang dilakukan Gramsci,
misalnya, mengubah gambaran tokoh dalam cerita, dari religius
menjadi rasional.
3. Nilai-nilai ideologis yang menjadi pegangan penerjemah seperti
yang dikemukakan oleh Borghese yang meneliti karya-karya
Gramsci, bahkan pertarungan ideologis antara yang tersirat dalam
teks BSu dengan yang diyakini oleh penerjemah, seperti penelitian
Kate James terhadap penerjemahan yang dilakukan oleh de
Lotbiniére-Harwood.
21
Sejauh yang dapat ditelusuri, di Indonesia penelitian terhadap
penerjemahan karya sastra yang membahas masalah ideologi secara
komprehensif belum ada. Penelitian-penelitian yang dilakukan di luar
negeri, seperti yang telah disinggung tentu berada dalam konteks yang
berbeda baik itu secara kebahasaan maupun kebudayaan. Karena itu,
penelitian mengenai pergeseran ideologi ini penting dilakukan di Indonesia
untuk melihat sejauh mana perkembangan penerjemahan, khususnya
penerjemahan karya sastra, di Indonesia dikaitkan dengan era
globalisasi, era keterbukaan informasi sekaligus era persaingan bebas.
Penelitian ini akan diarahkan pada masalah pergeseran ideologi dalam
penerjemahan karya sastra, khususnya karya sastra yang berjenis prosa,
dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan jenis prosa
didasari oleh antara lain pertimbangan teknis, bahwa secara kuantitatif
penerjemahan karya berjenis prosa lebih banyak dijumpai, meski untuk
penerjemahan karya sastra dari bahasa Jerman ke dalam bahasa
Indonesia masih sangat kurang. Pemilihan penerjemahan karya sastra
dari bahasa Jerman ke Indonesia didasarkan pada latar belakang peneliti
yang berasal bidang Bahasa dan Sastra Jerman.
Penelitian akan dilakukan pada tiga buah novel berbahasa Jerman,
beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yaitu 1. Die
Verwandlung karya Franz Kafka yang diterjemahkan dengan judul
Metamorfosis, 2. Und Friede auf Erden karya Karl May yang
diterjemahkan dengan judul Dan Damai di Bumi, dan Herr der Diebe karya
22
Cornelia Funke, yang diterjemahkan dengan judul Pangeran Pencuri.
Ketiga judul dari tiga penulis itu dipilih dengan mempertimbangan posisi
terhormat ketiga pengarang tersebut dalam khasanah kesusastraan
Jerman. Menarik untuk diteliti bagaimana karya mereka diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, bahasa yang memiliki sistem yang sangat
berbeda dari bahasa Jerman. Selain itu ketiganya berasal dari masa yang
berbeda, yaitu akhir abad 19, awal abad 20 (May dan Kafka), dan abad 21
(Funke), dengan pandangan hidup yang sangat berbeda satu dari yang
lainnya yang tercermin dari karya mereka. Tentu menarik meneliti,
bagaimana cara pandang, nilai-nilai yang mereka yakini, harapan-harapan
sekaligus kegelisahan-kegelisahan mereka diungkapkan kembali dalam
bahasa Indonesia, bahasa yang memiliki struktur yang sangat berbeda
dari bahasa Jerman, bahasa yang digunakan para penulis tersebut untuk
mengekspresikan pengalaman dan pandangan-pandangannya.
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
pergeseran ideologi dalam penerjemahan karya sastra, khususnya dari
bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini akan mencakup
analisis kebahasaan pada tataran sintagmatik dan paradigmatik, dan
konteks seputar karya asli, yaitu: Die Verwandlung karya Franz Kafka;
Und Friede auf Erden karya Karl May; dan Herr der Diebe karya Cornelia
23
Funke, dan peran penerjemah. Secara spesifik masalah yang diteliti
adalah:
1. Pergeseran bentuk kebahasaan apa saja yang terjadi pada tataran
sintagmatik dan paradigmatik akibat penerjemahan ketiga teks asli
berbahasa Jerman (BSu) tersebut ke dalam bahasa Indonesia?
2. Bagaimana pergeseran aspek kebahasaan dapat menyebabkan
pergeseran ideologi dalam teks BSu?
3. Bentuk-bentuk pergeseran ideologi apa saja yang terjadi pada teks
BSu?
4. Bagaimana peran penerjemah terhadap pergeseran ideologi
tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk:
1. Menginventarisasi dan mengkategorisasi data mengenai
pergeseran-pergeseran kebahasaan dalam penerjemahan tiga
buah roman berbahasa Jerman (Die Verwandlung karya Franz
Kafka; Und Friede auf Erden karya Karl May; dan Herr der Diebe
karya Cornelia Funke) ke dalam bahasa Indonesia. Langkah ini
ditempuh untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
bentuk-bentuk pergeseran kebahasaan yang terjadi pada tataran
sintagmatik dan paradigmatik.
24
2. Menganalisis secara intertekstual, bagaimana terjadinya
pergeseran ideologi pada ketiga karya tersebut dengan cara
menghubungkan bentuk-bentuk perubahan kebahasaan dengan
konteks yang melatarbelakangi setiap karya.
3. Menganalisis bentuk-bentuk pergeseran ideologi yang terjadi.
4. Menganalisis bagaimana bentuk peran penerjemah ketiga karya
tersebut terhadap pergeseran ideologi, apakah karena
keterbatasan kompetensi, atau karena motif pribadi, atau karena
sebab lain yang mungkin akan ditemukan dalam penelitian.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:
1. Untuk memperluas teori penerjemahan karya sastra yang sudah
ada dengan menjadikan masalah ideologi sebagai fokus.
2. Sebagai bahan evaluasi terhadap hasil penerjemahan karya sastra
yang sudah ada,
3. dan bahan rujukan bagi penerjemah untuk mengoreksi sendiri hasil
terjemahannya.
4. Sebagai bahan untuk menumbuhkan kesadaran dan sikap kritis
masyarakat ketika membaca karya sastra versi terjemahan, agar
tidak melakukan penilaian terhadap kelompok masyarakat yang
bahasanya menjadi BSu suatu karya, hanya berdasarkan karya
versi terjemahannya.
25
5. Untuk memperkaya bahan pembelajaran penerjemahan di tingkat
perguruan tinggi.
F. Outcome
Dampak yang diharapkan muncul dari hasil penelitian ini adalah
berkembangnya penerjemahan karya sastra di Indonesia menjadi lebih
berkualitas, dalam arti berkarakter dan beridentitas jelas. Menjadikan
ideologi sebagai orientasi dalam menerjemahkan suatu teks, khususnya
karya sastra, menuntut selain kompetensi BSu dan BSa, juga
pengetahuan yang luas mengenai konteks yang melatarbelakangi sebuah
karya. Karena itu hasil penelitian inipun akan memotivasi penerjemah
untuk terus mengembangkan kompetensinya, serta bekerja lebih
profesional dengan membiasakan diri untuk melakukan riset terlebih
dahulu terkait teks yang akan diterjemahkannya.
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Penelitian ini berada dalam kerangka konseptual yang terbangun dari
teori-teori penerjemahan, pergeseran dalam penerjemahan, teori
hubungan sintagmatik dan paradigmatik dari Saussure, teori
Intertekstualitas, teori-teori ideologi, dan teori mengenai hubungan antara
kesusastraan dengan ideologi. Kajian tentang pergeseran ideologi dalam
penerjemahan karya sastra ini berangkat dari teori-teori mengenai
penerjemahan yang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran cara
pandang terhadap bagaimana seharusnya penerjemahan yang baik.
Pergeseran fokus dalam penerjemahan dari prinsip kesepadanan (Nida,
Schneider, Hoed) ke prinsip negosiasi, transaksi dan kompromi (Gramsci,
Bassnett, Cronin) di era global ini memengaruhi praktik penerjemahan.
Selain itu, penerjemahan sendiri sebagai kegiatan pengalihbahasaan telah
membawa potensi dalam dirinya sebagai penyebab pergeseran, baik
dalam aspek kebahasaan, kebudayaan, struktur teks, dll. Gejala
pergeseran itu terjadi karena penerjemahan adalah kegiatan yang
kompleks, yang melibatkan banyak hal, seperti:
a. dua sistem tanda (bahasa) yang berbeda,
27
b. latar belakang budaya yang juga berbeda yang memperlihatkan
cara pandang penuturnya yang berbeda pula, seperti yang
dikatakan dalam hipotesis Sapir-Whorf yang termasyhur itu.
c. pengarang yang memiliki pandangan hidup tertentu, yang
memengaruhi karyanya, baik dalam hal kreatifitas penggunaan
bahasa, maupun dalam hal mengeksplorasi struktur karyanya,
d. penerjemah yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang
berbeda dari pengarang, yang memiliki pandangan hidup tertentu,
serta tingkat kemampuan tertentu dalam menerjemahkan sebuah
karya, dan
e. penerbit dengan orientasi pasarnya, yang tentu juga
berkepentingan terhadap bentuk sebuah penerjemahan.
1. Teori-teori Penerjemahan
Sebagai perantara dalam proses komunikasi, penerjemahan (Hoed,
dkk.,1993:1) bertujuan memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu)
sehingga pesan yang terkandung dalam BSu dapat diungkap kembali di
dalam bahasa sasaran (BSa) dan harus ditempatkan dalam konteks
komunikasi, khususnya komunikasi kebahasaan. Menurut Hoed padanan
adalah unsur bahasa sasaran yang mengandung pesan yang sama
dengan unsur bahasa sumber. Kesepadanan diukur tidak hanya dengan
makna unsur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga dengan pemahaman
suatu terjemahan oleh penerimanya. Penjelasan Hoed tersebut dapat
28
ditelusuri pada teori penerjemahan yang dikembangkan oleh Eugene Nida
dalam bukunya yang berjudul Toward a Science of Translating (1964:
165-167). Menurut Nida penerjemahan adalah attemps to reproduce
equivalence (upaya mereproduksi kesepadanan). Kesepadanan
(equivalence) dalam penerjemahan oleh Nida digolongkan ke dalam dua
jenis, yaitu:
1. Formal equivalence, atau kesepadanan yang berorientasi pada
bahasa sumber untuk menampilkan sebanyak mungkin bentuk dan
isi teks asli, jadi sifatnya sedikit banyak literal, dan
2. Dynamical equivalence, yang lebih mengarahkan pada
kesepadanan efek terhadap penerima atau kesepadanan pada
respon yang diharapkan. Bentuk dapat saja berubah, namun
sedapat mungkin setara.
Pada jenis kesepadanan yang ke dua, Nida menyiratkan pentingnya
pemahaman akan budaya si pengguna BSa. Bentuk dapat saja berubah
karena sistem kebahasaan dan kemasyarakatan yang sangat berbeda
antara BSu dan BSa, namun efek yang sepadanlah yang menjadi tujuan
utama. Sejalan dengan Nida, Schneider ( 2007: 15-16), meskipun
membagi definisi penerjemahan ke dalam dua pernyataan, namun
sebenarnya menegaskan bahwa penerjemahan harus dilihat sebagai
proses mereproduksi kesepadanan di antara dua bahasa, sekaligus
sebagai lalu-lintas komunikasi antara dua budaya:
29
a. Übersetzung wird als ein Vorgang dargestellt, durch den Äquivalenzen zwischen zwei Sprachen hergestellt wird.
b. Übersetzung wird als ein Verkehr zwischen zwei Kulturen angesehen.
a. Penerjemahan digambarkan sebagai sebuah kegiatan yang menghasilkan kesepadanan-kesepadanan antara dua bahasa.
b. Penerjemahan dianggap sebagai lalu-lintas pertukaran dua budaya.
Wolfram Wills mendefinisikan penerjemahan sebagai kegiatan yang
berorientasi, baik pada teks BSu maupun pada teks dan pembaca teks
BSa dan terikat secara situatif, harus memiliki fungsi yang jelas, dilakukan
dengan penuh kesadaran, terencana dengan baik dan dapat dikontrol,
serta bertujuan memungkinkan terbangunnya saling pengertian antar
penutur bahasa dan kelompok kultural.yang berbeda:
Übersetzen ist eine sowohl auf den Ausgangstext als auch auf den Zieltext-Leser/- Leserschaft gerichtete, situativ eingebundene Tätigkeit, die funktionsbestimmt ist, bewußt, planmäßig und kontrollierbar abläuft und den Zweck hat, Verständigung zwischen den Angehörigen verschiedener Sprach-, Kommunikations- und Kulturgemeinschaften zu ermöglichen (1996: 3).
Penerjemahan adalah kegiatan yang berorientasi baik pada teks sumber, maupun pada teks bahasa sasaran atau pembaca teks bahasa sasaran. Kegiatan ini terikat secara situatif, jelas fungsinya, , terencana dan terkontrol, serta memiliki tujuan tertentu, yaitu membangun terciptanya saling pengertian di antara masyarakat-masyarakat penutur bahasa dan budaya yang berbeda.
Prinsip ekivalensi atau kesepadanan bagi Wills dianggap masih harus
dijelaskan lagi, karena menurutnya kesepadanan bersifat kreatif, sehingga
kita tidak dapat memaknainya secara ontologis, melainkan situatif.
Sebagai contoh ia menunjuk karya sastra sebagai jenis teks yang khas. Ia
mempertanyakan ukuran kesepadanan yang dituntut oleh pihak mana
30
yang harus dipenuhi ketika kita menerjemahkan karya sastra, penerbitkah,
penuliskah, penerjemahkah, pembaca teks BSa kah, atau semangat
zaman tertentu? Wills (1996: 16-28), berangkat dari pengalaman
empirisnya, mengatakan bahwa penerjemahan adalah proses membuat
keputusan, untuk itu penerjemah dibantu oleh beberapa pertanyaan untuk
menuntunnya bekerja, yaitu: mengapa dan untuk apa sebuah teks harus
diterjemahkan; apa temanya dan ditujukan pada pembaca yang mana;
bagaimana menyusun teks tersebut secara semantis, fungsional,
pragmatis dan retoris-stilistis?. Meski secara eksplisit Wills
mempertanyakan prinsip kesepadanan yang dianjurkan oleh beberapa
pakar penerjemahan, namun dalam pernyataannya yang lain, secara
implisit, ia menganjurkan kita untuk kembali pada contoh dasar normatif,
yaitu teks BSu, terutama untuk penerjemahan karya sastra :
Für den literarischen Übersetzer gibt es kein „poetologisches Gesetz“ oder eine „literarische Norm“, an die er sich zu halten hat. Er sieht sich vielmehr mit einem breiten Spektrum vielfältiger, möglicherweise widerspruchvoller Vorgaben und Erwartungen konfrontiert, die man u.U. auf normative Grundmuster zurückführen kann,....(1996: 18).
Bagi penerjemah karya sastra tidak dikenal istilah aturan poetologis, atau norma sastra tertentu yang harus menjadi pegangan. Ia melihat dengan spektrum yang lebih luas, kendala dan harapan yang berdimensi rumit, bahkan mungkin saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu dapat dikembalikan ke contoh dasar normatifnya.
Dengan pernyataan tersebut Wills sebenarnya masih memandang prinsip
kesepadanan sebagai jalan kembali dengan menjadikan teks BSu sebagai
31
modelnya, terutama pada penerjemahan karya sastra, yang diakuinya
tidak mudah.
Dari beberapa definisi mengenai penerjemahan yang telah
disampaikan, dapat disimpulkan, bahwa penerjemahan pada dasarnya
adalah suatu aktivitas mereproduksi tanda dengan memerhatikan
kesepadanan, baik itu dari segi kebahasaan, kebudayaan, maupun pesan
dan efeknya.
Namun, berkaitan dengan kondisi di era global ini, pernyataan
Bassnett mengenai penerjemahan cukup mengejutkan. Ia mengatakan
bahwa:
Today the movement of peoples around the globe can be seen to mirror the very process of translation itself, for translation is not just the transfer of texts from one language into another, it is now rightly seen as a process of negotiation between texts and between cultures, a process during which all kinds of transactions take place mediated by the figure of the translator (2002: 6)
Dalam pernyataannya tersebut, Bassnett ingin menunjukkan, bahwa ada
pergeseran dalam menyikapi penerjemahan seiring dengan berubahnya
sifat hubungan antar manusia sekarang ini. Penerjemahan tidak lagi
memegang prinsip equivalence atau kesepadanan sebagai hal yang
utama, justru sebaliknya, menempuh proses negosiasi dan transaksi antar
bahasa dan antar budaya melalui mediasi seorang penerjemah.
Konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah terjadinya gejala
penghilangan dan pengkhianatan (there has been lost and betrayed)
32
karena ada pergeseran atau penggeseran bobot (the shift of emphasis).
Namun di sisi lain Bassnett (ibid,: 1) juga melihat gejala, bahwa globalisasi
menghidupkan kembali minat pada pencarian budaya asal dan jati diri,
serta keinginan untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang identitas.
Masalah penggambaran identitas melalui penerjemahan, seperti yang
telah dikemukakan oleh Bassnett, dibahas secara khusus oleh Cronin
dalam bukunya Translation and Identitty (2006). Cronin berangkat dari
argumen bahwa kontak bahasa dan perubahan bahasa bukanlah suatu
proses yang naif, karena bahasa itu sendiri terhubung sangat erat dengan
apa yang membuat manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya,
dan penerjemahan dapat menjadi sentral dalam kaitannya dengan segala
upaya untuk mengangkat masalah identitas dalam masyarakat manusia.
Cronin memandang pengangkatan isu-isu identitas dalam kaitannya
dengan penerjemahan sebagai wadah pertukaran budaya, dapat menjadi
jembatan bagi dilakukannya kritik ideologi. Ia mengutip Gerard Delanty
yang berpendapat, bahwa pembedaan identitas melalui oposisi biner
sebagai penyebab munculnya ideologi, telah bergeser, dari sistem
kapitalis vs sosialis, lalu ke oposisi timur vs barat, dan kini antara self dan
other. Kondisi ini menantang penerjemahan untuk mengoreksi cara
pandang terhadap mediasi dan pertukaran budaya yang menampilkan
perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang selalu berada di bawah
ancaman, sekaligus memperbaiki citra penerjemahan yang masih
dianggap sebagai tiruan murahan. Cronin menganggap penerjemahan
33
menjadi penting bagi negosiasi antar identitas yang terpecah-pecah ini
dengan cara mencari jalan untuk menciptakan kebersamaan di dunia ini
(Cronin, 2006: 1-3).
Pergeseran cara pandang terhadap penerjemahan terlihat jelas dari
pergeseran tugas yang dibebankan kepada penerjemah. Nida
mensyaratkan keparipurnaan pengetahuan, baik mengenai BSu maupun
BSa, mengenal secara dekat permasalahan yang dibicarakan, memiliki
empati terhadap penulis teks sumber dan isinya, dan memiliki
kemampuan stilistika dalam BSa:
The ideal role of the translator calls for a person who has complete knowledge of both source and receptor languages, intimate acquaintaince with the subject matter, effective empathy with the original author and the content, and the stylistic facility in the receptor language. (Nida, 1964: 153).
Nida masih sangat berorientasi pada penulis dan teks BSu. Newmark
(1988), seperti yang dikutip oleh Ida Bagus Putra Yadnya, kemudian
menggeser orientasi penerjemahan ke teks dan pembaca BSa dengan
mempertimbangkan adanya implikasi budaya dalam terjemahan yang
kemunculannya dapat berbentuk lexical content, sintaksis bahkan
ideologi dalam budaya tertentu. Karena itu penerjemah menurutnya harus
menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek
budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau
diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran (Yadnya, 2006:
7- 9). Newmark menilai bahwa sebuah teks yang akan diterjemahkan
34
dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika
penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut:
9. The truth (the facts of the matter)
1. SL writer 5. TL readership 2. SL norm. 6. TL norms 3. SL culture 7. TL culture 4. SL setting and tradition 8. TL setting and tradition
10. Translator
Gambar 1, Ilustrasi Newmark melalui Orasi Ilmiah Putra Yadnya, 2006
Teks digambarkan sebagai lingkaran yang berada tepat di tengah. Anak-
anak panah yang mengarah ke luar teks menunjukkan aspek-aspek yang
dikandung teks, yang dapat dipilih untuk diprioritaskan sebagai fokus
dalam penerjemahan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa
penerjemahan menurut Newmark ditentukan oleh cara pandang atau
pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai poros. Newmark
memosisikan the truth sebagai hal yang harus diutamakan, sehingga
diletakkan di atas tengah, namun penerjemah berada pada posisi paling
bawah berada dalam satu poros dengan the truth. Hal itu bisa berarti,
bahwa tugas penerjemah adalah mengupayakan kebenaran, namun apa
yang dimaksud dengan kebenaran ini, kebenaran dari sudut pandang
siapa, dan sejauh mana kebenaran tersebut harus direproduksi?
Michael Cronin dalam Translation and Globalization menggeser
orientasi pada penerjemah dengan berpendapat bahwa penerjemah
35
seperti halnya setiap kelompok profesional dalam bidang ilmu-ilmu sosial
dan humaniora dibedakan satu dari yang lainnya tidak dari apa yang
harus mereka lakukan, namun dari apa yang dapat mereka lakukan.
Cronin bahkan mengajurkan para penerjemah untuk menunjukkan
identitas dirinya bukan malah menutupinya, karena mereka sebagai
penerjemah memiliki hak tawar yang dilegitimasi untuk melakukan campur
tangan dalam bidang budaya, kemasyarakatan dan politik dan
menggunakan kesempatan ini untuk mengubah cara pandang yang
sangat restriktif dan instrumental terhadap praktik penerjemahan, dan
mendidik masyarakat yang lebih luas:
Thus, it is by revealing, not disguising, their identity as translators that translators can make a legitimate bid to make more central interventions in culture, society and politics. To do this involves, of course, changing purely restrictive and instrumental views of translation practice and educating wider society as to what translators both know and can do (Cronin, 2006: 67).
Sebagai kesimpulan, berikut adalah dua buah tabel yang
memvisualisasikan perkembangan teori-teori penerjemahan dan
konsekuensinya terhadap perubahan tugas yang diemban oleh
penerjemah.
36
Tabel 1. Perkembangan Teori Penerjemahan
Penggagas Prinsip
Nida, Schneider, Wills, Hoed Kesepadanan formal dan dinamis
Newmark, Putra Yadnya Fokus pada aspek tertentu (mis.
yang berorientasi pada penga-
rang atau pembaca TBSa).
Bassnett, Cronin Visibilitas penerjemah, transaksi
dan negosiasi.
Tabel 2. Perubahan Tugas Penerjemah
Teori Tugas Penerjemah
Kesepadanan (Ekivalensi) Memiliki pengetahuan paripurna
mengenai BSu dan BSa,
memahami permasalahan yang
dibicarakan dalam TBSu, ber-
empati pada penulis TBSu, dan
memiliki kemampuan stilistika
BSa. Penerjemah di sini menitik
beratkan fokus pada teks dan
penulis BSu.
Pemilihan fokus Mempertimbangkan implikasi
37
budaya terhadap pembaca TBSa.
Fokus penerjemah ada pada
TBSa dan pembacanya.
Visibilitas penerjemah, transaksi
dan negosiasi
Menunjukkan identitas diri,
bahkan ideologinya; melakukan
transaksi dan negosiasi untuk
mendidik masyarakat.
2. Bentuk-bentuk Pergeseran dalam Penerjemahan
Newmark (melalui Hoed,dkk., 1993: 21-24) mengatakan bahwa
pergeseran terjadi karena adanya perubahan bentuk gramatikal dan
leksikal dari BSu ke BSa. Perubahan bentuk tersebut diberi istilah
transposisi, yang terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Transposisi wajib yang terjadi karena perbedaan sistem dan
kaidah bahasa, misalnya seperti bentuk jamak dalam bahasa
Jerman menjadi bentuk tunggal, seperti dalam penerjemahan
kalimat berikut: Frauen sind normalerweise empfindlicher als
Männer. (Perempuan biasanya lebih perasa daripada laki-laki).
Frauen adalah bentuk jamak dari die/ eine Frau dan Männer
adalah bentuk jamak dari der/ ein Mann, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal ( perempuan
dan laki-laki). Selain itu, kaidah penulisan nomina dalam bahasa
38
Jerman yang mengharuskan penggunaan huruf kapital juga
mengalami transposisi ortografis dalam bahasa Indonesia.
2. Transposisi yang dilakukan apabila suatu struktur gramatikal
dalam BSu tidak ada dalam BSa, misalnya bentuk kasus
nominativ, akkusativ, dativ dan genitiv. Kalimat Er gibt der Frau
den Kuß bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi „Dia memberi wanita itu bunga (-bunga itu) atau „Dia
(laki-laki) memberi bunga (-bunga itu) kepada wanita (itu)“.
Objek dativ der Frau harus diberi preposisi „kepada“ dalam
bahasa Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai objek
tak langsung bila susunan kalimat diubah. Dalam bahasa
Jerman susunan dapat diubah menjadi Er gibt den Kuß der
Frau. Den Kuß dalam kalimat ini berstatus sebagai objek
langsung, yang dalam bahasa jerman disebut objek akusativ,
sedangkan der Frau adalah objek tak langsung atau objek dativ.
Kedua jenis objek tersebut dapat langsung dikenali dari
perubahan kata sandangnya, yaitu bentuk nomimativ die Frau
menjadi der Frau bila dalam posisi objek tak langsung. Begitu
juga dengan objek langsung atau objek akusativ den Kuß yang
berubah dari bentuk nominativnya der Kuß.
3. Transposisi yang dilakukan untuk tercapainya kewajaran dalam
BSa. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperbaiki kalimat
39
terjemahan yang tersusun secara harfiah untuk kemudian
disusun dalam bentuk yang lebih luwes.
4. Transposisi yang dilakukan untuk mengisi kesenjangan kosa
kata. Hal yang biasanya dilakukan adalah dengan membuat
penjelasan dalam bentuk parafrase. Contohnya adalah kata
basteln yang bermakna „menyibukkan diri dengan pekerjaan
tangan .“ Namun „pekerjaan tangan“ atau „kerajinan tangan“
biasanya menghasilkan suatu karya, sementara basteln lebih
menunjukkan sifat tidak bisa diam si pelaku, yang justru
menemukan padanan yang mendekati dalam bahasa Sunda
„ngoprek“. Kasus-kasus seperti ini berpotensi menggeser
makna cukup signifikan.
Ida Bagus Putra Yadnya (2006) dalam orasi ilmiah pada
pengangkatan dirinya sebagai guru besar di FIB Universitas Udayana,
membagi pengertian dasar pergeseran (shifts) ke dalam dua jenis, yaitu 1.
Perubahan bentuk dan 2. Perubahan makna bahasa sumber ke dalam
bahasa target. Putra Yadnya mengacu pada konsep perubahan formal
dari Catford untuk konsep perubahan bentuk yang dilontarkannya, yang
menurutnya konsep Catford tidak jauh berbeda dengan konsep Newmark
mengenai keempat jenis transposisi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Untuk konsep perubahan makna Putra Yadnya mengacu pada kritik-kritik
yang ditujukan pada konsep pergeseran Catford yang murni terjadi karena
faktor linguistik, sedangkan faktor-faktor penting lainnya, seperti faktor
40
budaya, situasi dan konteks luput dari perhatiannya. Konsep pergeseran
yang ditawarkan Putra Yadnya nampaknya masih harus ditambah bila kita
mempertimbangkan konsep Julia Kristeva mengenai intertekstualitas.
Menurut Kristeva pembaca menerjemahkan teks yang dibacanya
berdasarkan seperangkat sistem yang berbeda satu dari yang lainnya dan
berdasarkan gagasan yang berbeda-beda pula mengenai bagaimana cara
membaca (memahami) teks secara benar (dalam Bassnett, 2002: 85-86).
Kebebasan pembaca sebagai „penerjemah“ menurut Bassnett harus
disikapi secara hati-hati dan bertanggung jawab, karena penerjemahan,
terlebih karya sastra mensyaratkan pengetahuan yang mendalam
mengenai teks sumber beserta seluruh konteks yang mengelilinginya.
Kecerobohan, rendahnya kompetensi dan pengetahuan lain yang
diperlukan serta pandangan hidup si penerjemah akan menyebabkan
pergeseran ekspresi, atau gagasan, termasuk pergeseran ideologi.
Pergeseran, adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari dalam
penerjemahan. Dalam proses penerjemahan selalu terjadi secara
bersamaan pergeseran dari suatu sistem linguistik ke dalam sistem
linguistik yang lain, dari satu sistem budaya ke dalam sistem budaya yang
lain, dan dari satu sistem sastra ke dalam sistem sastra yang lain. Yang
perlu dilakukan adalah membuat klasifikasi, komponen mana yang
dianggap sangat penting, penting, agak penting dan kurang penting,
seperti yang diusulkan oleh Albrecht (2006: 263-267). Albrecht kurang
setuju dengan istilah equivalence atau Äquivalenz dalam bahasa Jerman,
41
yang menurutnya sulit tercapai dalam penerjemahan. Ia mengusulkan
istilah Invarianz atau invarian untuk komponen dalam teks BSu yang
harus dipertahankan keberadaannya dalam teks BSa. Upaya ini
menurutnya tidak dapat dilakukan dalam derajat yang sama bagi seluruh
komponen yang membentuk teks. Upaya tersebut bergantung pada
pengetahuan dan tanggung jawab moral si penerjemah. Berikut adalah
skema penerjemahan seperti yang diusulkan oleh Albrecht. Dalam skema
ini diperlihatkan bagaimana proses penerjemahan sebaiknya dilakukan.
Albrecht memandang penting pengklasifikasian invarian untuk
mendapatkan Adäquatheit atau kesesuaian, yang lebih mengarah pada
kesesuaian fungsi untuk selanjutnya mencapai Äquivalenz yang dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan kesepadanan. Meskipun demikian,
Albrecht memandang prinsip kesepadanan sebagai hal yang subjektiv dan
memerlukan pengujian intersubjektiv.
Transferendum (Teks BSu) mengatur klasifikasi invarian dan me-
Adäquatheit nyusunnya secara hirarkis
Susunan hierarkis invarian
Pemenuhan klasifikasi invarian Äquivalen tergantung pada pengklasifikasia
invarian sebelumnya dan
kemungkinan-kemungkinan yang
ditawarkan oleh bahasa-bahasa
Translat (hasil) yang terlibat
Gambar 2. Proses penerjemahan menurut Albrecht, 2006: 266
42
Penjelasan Albrecht mengenai pentingnya pembuatan klasifikasi invarian
untuk mendapatkan kesesuaian fungsi dan sebagai tujuan akhirnya
adalah pencapaian „kesepadanan“ menyiratkan, bahwa pergeseran
adalah bagian dari penerjemahan, namun yang terpenting adalah
bagaimana menyikapi potensi pergeseran tersebut.
3. Intertekstualitas
Konsep intertekstualitas berawal dari pemikiran Bakhtin, seorang
pakar sastra dari Rusia, yang melahirkan konsep dialogisme. Dialogisme
menurut Bakhtin adalah elemen inti dari semua bahasa, yang berupa
interaksi linguistik dari setiap individu atau kelompok dalam konteks sosial
tertentu. Bahasa, menurutnya, selalu dilihat dalam dimensi sosial, yang
merefleksikan dan mentransformasikan ide-ide atau pemikiran kelas,
institusi, kebangsaan dan kelompok. Peristiwa diskursif yang khas selalu
berhubungan bukan saja dengan relasi-relasi kelas, antara pengirim dan
penerima, namun juga dengan fenomena-fenomena kehidupan sosial,
bahkan dengan berita-berita aktual setiap saat. Inti dari pernyataan
tersebut adalah bahwa, aspek paling krusial dari bahasa adalah respon
terhadap ujaran yang telah ada sebelumnya dan terhadap pola-pola
makna dan pola evaluasi yang akan datang. Oleh sebab itu semua ujaran
selalu bersifat dialogis, karena makna dan logikanya bergantung pada apa
yang pernah atau telah diucapkan sebelumnya dan bagaimana hal itu
akan diterima oleh pihak lain. Pihak lain, atau otherness dalam bahasa
43
adalah konsep terpenting dari dialogisme Bakhtin (Allen, 2004: 8-21),
seperti yang ia kemukakan:
The speaker is not Adam, and therefore the subject of his speech itself inevitably becomes the arena where his opinions meet those of his partners (in a conversation or dispute about some everyday event) or other viewpoints, world view, trends, theories, and so forth (in the sphere of cultural communication). World views, trends, viewpoints, and opinions always have verbal expression. All this is others‘ speech (in personal or impersonal form), and cannot but be reflected in the utterance. The utterance is addressed not only to its object, but also to others‘ speech about it. (ibid.: 21)
Bakhtin meneliti banyak karya sastra dari berbagai periode. Dari hasil
penelitiannya ia menemukan adanya prinsip-prinsip monologisitas dan
dialogisitas yang berangkat dari hubungan antara sastra dan masyarakat.
Dalam penelitiannya mengenai sifat-sifat tuturan dalam roman, Bakhtin
sampai pada dua perbedaan mendasar, yaitu:
1. Perbedaan antara tuturan pencerita dan tuturan tokoh dalam cerita.
Pada tataran sastra, sebuah tuturan bisa bersifat double voiced.
2. Tuturan yang mengarah pada dua tujuan, yaitu dialogisitas sebuah
suara batin pada tataran bahasa.
Bakhtin kemudian membagi tuturan dalam prosa ke dalam tiga tipe, yaitu:
1. Kata-kata langsung si pengarang.
2. Kata-kata tokoh dalam cerita yang ditujukan pada sebuah objek.
44
3. Kata-kata yang bersifat double voiced, yang tumpang tindih antara
suara-suara tokoh cerita dengan pengarang, sehingga kata-kata
tersebut berorientasi makna ganda. (ibid.:29; Van Helt, 2003: 1-2)
Bakhtin berpendapat bahwa kesadaran manusia, subjektivitas dan
komunikasi didasarkan pada sebuah keyakinan, bahwa bahasa
menampilkan pertentangan ideologi, pandangan dunia, opini, dan
interpretasi secara dialogis dan berkelanjutan. Pandangan Bakhtin
tersebut digarisbawahi oleh Kristeva dan diberi istilah baru, yaitu
Intertekstualitas.
Istilah Intertekstualitas diperkenalkan oleh Julia Kristeva di akhir tahun
60an. Teori Intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva
sebenarnya merupakan hasil penelaahannya terhadap konsep Bakhtin
mengenai Dialogisme. Pembacaan Julia Kristeva terhadap konsep
Bakhtin melahirkan aksen baru yang sangat menentukan. Kristeva tidak
lagi membedakan antara teks monologis dan polilogis, melainkan
menegaskan konsep intertekstualitas sebagai ciri utama teks, terutama
teks sastra. Menurutnya, setiap teks otomatis bersifat intertekstual, dan
karenanya selalu produktif, artinya, si penulis sebagai subjek yang
memiliki intensi, menghilang, sehingga teks menjadi ruang proyeksi bagi
permainan intertekstual. (Van Helt, 2003:3). Teks adalah praksis sekaligus
produktifitas, yang oleh Kristeva diartikan bahwa teks tidak pernah
menampilkan makna yang jelas dan stabil, karena ia merepresentasikan
konflik-konflik dialogis masyarakat melalui makna kata-kata. Jadi
45
intertekstualitas tidak hanya melihat sebuah teks melalui kemunculannya
dari teks sosial saja, namun juga kelanjutan keberadaannya di dalam
masyarakat dan sejarah. Sebagai konsekuensi atas pandangan tersebut,
struktur dan makna teks lalu tidak dapat lagi dianggap melulu sebagai ciri
spesifik teks yang bersangkutan. Menurut Kristeva, teks atau bagian-
bagian teks adalah ideologeme, seperti yang ia kemukakan:
The concept of text as ideologeme determines the very procedure of a semiotics that, by studying the text as intertextuality, considers it as such within (the text) society and history. The ideologeme of a text is the focus where knowing rationality grasps the transformation of utterances (to which the text is irreducible) into a totality (the text) as well as the insertions of this totality into the historical and social text. (Allen, 2004: 37)
Pernyataan Kristeva tersebut menurut Allen (ibid) menjelaskan, bahwa
teks tidak memiliki kesatuan makna dalam dirinya, ia selalu terhubung
dengan proses sosial dan kultural yang berkelanjutan, dengan kata lain
makna selalu pada saat yang bersamaan berada di dalam sekaligus di
luar teks. Sebagai contoh Kristeva mengambil cuplikan kalimat pembuka
sebuah novel yang ditulis oleh Mary Shelley yang berjudul The Last man
(1826). Kalimat tersebut berbunyi: England, seated far north in the turbid
sea, now visits my dreams in the semblance of a vast and well-manned
ship, which mastered the winds and rode proudly over the waves.
Gagasan tentang Inggris sebagai bangsa yang hebat, dengan kekuasaan
atas dunia adalah ideologeme yang terkandung dalam kalimat tersebut,
dan dalam novel yang bersangkutan secara umum. Ideologeme itu
46
sekaligus juga membawa pembaca ke luar teks, yaitu ke representasi
ideologis dari negara Inggris di akhir periode Viktorian. Menurut Kristeva,
retorika yang imperialistik tersebut adalah murni milik Mary Shelley,
namun acuan kalimat itu adalah wacana yang berkembang dalam
masyarakat dan budaya Inggris pada abad 19. (ibid.: 38)
Kristeva mengilustrasikan bahwa teks (karya sastra) berada pada titik
persilangan antara dua poros, yaitu poros horizontal dan poros vertikal.
Poros horizontal menggambarkan hubungan antara teks dengan
pengarang dan pembacanya. Sedangkan poros vertikal menggambarkan
hubungan sinkronik teks dengan teks-teks lain yang telah ada
sebelumnya, atau bahkan dengan teks-teks yang akan datang, seperti
ilustrasi berikut ini:
Teks-teks yang telah ada sebelumnya
Pengarang pembaca
Teks-teks yang akan lahir
Gambar 3. Pandangan Bakhtin yang dikembangkan oleh Kristeva
mengenai literary word
47
Konsep intertekstualitas juga dikembangkan oleh Gérard Genette,
seorang pakar kesusastraan yang berasal dari Prancis. Genette membuat
sistematisasi dan penjelasan mengenai relasi antara teks-teks yang
saling berhubungan, yang diberinya istilah Transtekstualitas. Dalam
konsep Genette ( ibid. 97-114) ada lima bentuk Transtekstualitas, yaitu:
a. Intertekstualitas dalam arti sempit, yaitu keberadaan efektif sebuah
teks di dalam teks lain, yang bisa berbentuk: kutipan dengan
sumber yang jelas; plagiat; dan pengutipan secara tak langsung.
b. Paratekstualitas yang berupa komentar terhadap teks yang
bersangkutan, yang memberi informasi tambahan. Bentuk-bentuk
paratekstualitas meliputi: sampul, judul, informasi mengenai jenis
teks, kata pengantar atau kata penutup, juga komentar-komentar
dalam bentuk interview, surat menyurat atau buku harian.
c. Metatekstualitas yang biasanya berupa teks yang berisi komentar
mengenai teks lain, seperti kritik sastra atau tulisan ilmiah
mengenai suatu karya.
d. Hipertekstualitas, yaitu bentuk penulisan yang lain dari sebuah
karya, misalnya secara parodis, irons, satiris, polemis, dll.
e. Architekstualitas adalah bagaimana sebuah teks dibangun,
misalnya genre apa yang akan dipilih untuk menampilkan sebuah
teks.
Konsep intertekstualitas dapat disimpulkan sebagai sebuah cara
merujuk pada teks-teks sebelumnya, atau pada kode dan sistem makna
48
yang telah ada, baik itu dilakukan secara sadar atau tidak. Pendekatan
intertekstualitas dalam penelitian ini digunakan untuk menemukan
kandungan ideologi TBSu melalui analisis ideologeme, serta untuk
meneliti dialogisitas antara TBSu dan TBSa dan pengaruhnya terhadap
pergeseran ideologi. Analisis hubungan dialogis antara TBSu dan TBSa
akan memperlihatkan bagaimana terjadinya tarik menarik sintaksis,
semantis dan ideologis.
4. Ideologi
Istilah ideologi diperkenalkan pertama kali oleh Destutt de Tracy,
seorang pemikir Prancis abad 18, yang mengatakan bahwa tidak ada ide
yang tertanam sejak manusia lahir, semua pemikiran terlahir karena dipicu
oleh sensasi dari luar, dan tidak sesuatu pun akan ada kecuali diciptakan
oleh ide yang kita punyai. De Tracy melampaui dikotomi yang diciptakan
oleh pemikir-pemikir purba, bahwa ide dan materi berada pada kutub yang
bertentangan. Menurut de Tracy sensasi yang berasal dari objek di luar
lebih bisa dipercaya dan akurat, sedangkan ide yang ada dalam benak
kita bisa saja disusun secara salah (Hawkes, 1996: 55-57; Thompson,
1990: 30). Selanjutnya pemahaman mengenai ideologi berkembang dan
menjadi beragam, namun konsep dasar mengenai dikotomi antara ide dan
materi sebagai landasan terbentuknya ideologi, dan keterikatannya pada
pemahaman yang rasional terhadap dunia dan kemanusiaan, dapat
dilacak pada setiap gagasan.
49
Konsep Karl Marx, filusuf politik abad 19 dari Jerman, mengenai
Ideologi didasarkan pada fenomena yang terjadi di era modernisme.
Modernisme bisa dikatakan sebagai gerakan kebudayaan kapitalis yang
berorientasi pada produksi. Ketika orientasi bergerak ke arah konsumsi
dan ke arah ekonomi yang berbasis nilai tukar, kapitalisme kemudian
dikuasai media representasi, dan representasi lalu menjadi otonom pada
masa kini, yaitu masa yang disebut posmodern. Menurut Marx adanya
nilai tukar bisa dimaknai sebagai penjelasan bagi ketidakmampuan kita
untuk menyadari hakikat sesuatu. Hal tersebut kemudian melahirkan
fetisisme terhadap komoditas, sehingga akhirnya kita tidak lagi melihat
sesuatu yang „nyata“, melainkan hanya bentuk penampilannya saja
(Hawkes, 1996: 96; Žižek, 1989: 23-24). Fenomena tersebut melahirkan
makna ideologi menurut Marx, yaitu:
1. Pemberian nilai fetish terhadap kegiatan manusia.
2. Memandang dan memaknai tanda secara keliru, yaitu sebagai
sesuatu itu sendiri.
3. Mengonversi relasi-relasi ke dalam konsep-konsep yang baku.
Ketiga hal yang mendasari terbentuknya ideologi itu biasa disebut sebagai
kesadaran palsu (false consciousness) yang dihasilkan dari hubungan
antara ide dan materi, yang dijembatani oleh representasi. Representasi
inilah yang kemudian menjadi jalan masuk bagi ideologi untuk
memengaruhi targetnya dengan cara mengonstruksi secara keliru
50
hubungan-hubungan yang ada dalam sebuah totalitas. Berikut adalah
ilustrasi, bagaimana kesadaran palsu terbentuk:
Gambar 4. Pembentukan false consciousness
Georg Lukacs, filusuf dan kritikus sastra marxis asal Hongaria,
meminjam konsep Aristoteles mengenai second nature, yaitu mengenai
benda ciptaan manusia yang diberi nilai-nilai sakral untuk menggantikan
karya cipta Tuhan. Second nature inilah seperti juga fetishisme komoditas
pada konsep Marx, yang oleh Lukacs ditengarai sebagai jalan masuk bagi
ideologi ( Hawkes, 1996: 19-21 ). Second nature adalah sebuah fenomena
yang lahir dari konsep Aristoteles mengenai nature yang dipahami
sebagai landasan moralitas, yang tertanam secara otomatis di dalam jiwa
manusia sejak ia lahir, dan custom (kebiasaan) sebagai landasan
peradaban, yang diperoleh melalui proses belajar. Di antara kedua kutub
tersebut kemudian diciptakan second nature yang maksud awalnya
adalah sebagai jalan mendekatkan diri kepada Zat yang Maha Tinggi
melalui benda-benda yang diberi nilai magis dan sakral. Jalan inilah yang
lalu dimanfaatkan oleh pihak-yang berkuasa dengan secara sadar
memanipulasi penampilan.
Ide:
Sepatu untuk melindungi kaki
Materi:
Sepatu sebagai simbol status sosial
Representasi:
Nilai-nilai fetish
51
Paham posmodernisme di bawah pengaruh Nietzsche (yang
berpendapat bahwa nilai-nilai tradisional telah kehilangan kekuatannya
dalam kehidupan setiap individu yang lebih mengedepankan minat dan
keinginan setiap pribadi,) melihat ideologi sebagai pernyataan yang
bersifat sosial dan individual, yaitu sebagai wacana yang mengarahkan
pada hal-hal yang lebih bersifat pragmatis. Menurut Žižek, Nietzsche
ingin menekankan, bahwa dunia disederhanakan dengan cara mereduksi
keberagaman menjadi identitas (Žižek, 1994: 52). Hal ini mengindikasikan,
bahwa wacana semacam itu juga menunjukkan adanya campur tangan
kekuasaan. Di sini kesadaran palsu juga menjadi bagian dari permainan
dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Jürgen Habermas,
salah seorang anggota Mazhab Frankfurt generasi ke dua menjelaskan
false consciousness sebagai penyimpangan komunikasi yang sistematis
(mis: memukuli istri sebagai kewajiban suami untuk mendidik istri, dll.)
dengan mengemukakan proposisi-proposisi yang sepenuhnya keliru (mis:
semua perempuan irasional). Habermas mengatakan bahwa wacana
ideologis bisa benar pada suatu tingkatan, namun tidak pada tingkatan
yang lain; bisa benar pada kandungan empirisnya, namun menyesatkan
dalam tindakannya; atau benar pada makna permukaannya, tapi berdiri
pada asumsi yang keliru, karena itu, masyarakat harus disadarkan dan
dibebaskan dari kungkungan ideologi, dan itulah tugas kritik ideologi
(Eagleton, 1991: 14; Hardiman, 2009: 210).
52
Sejalan dengan pemikiran-pemikiran di atas, Antonio Gramsci,
pemimpin partai komunis Italia dan pemikir marxis, juga berangkat dari
thesis Marx mengenai false consciousness, memandang ideologi sebagai
sesuatu yang dengan sadar dikonstruksi. Ia adalah sebuah bentuk praksis
kekuasaan. Menurutnya ideologi tercipta dari adanya konflik kelas yang
kemudian mengarah pada konsep hegemoni. Gramsci membedakan
ideologi ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Sebagai ekspresi akurat dari sebuah kelompok tentang minat-minat
materialnya.
2. Sebagai cara kerja pikiran kita secara mekanistis untuk menelusuri
formasi ide-ide ke sensasi materi (Hawkes, 1996:117).
Para pemikir Marxis, seperti yang telah disinggung sebelumnya,
terperangkap ke dalam gagasan mengenai dikotomi antara kognisi yang
sejati dan yang keliru, dengan memaknai ideologi sebagai ilusi, distorsi
dan mistifikasi. Namun Althusser tidak setuju dengan konsep false
consciousness tersebut. Althusser berpendapat bahwa ideologi menunjuk
secara tidak langsung pada relasi-relasi yang bersifat afektiv dan
dilakukan secara tak sadar dengan dunia sekitar kita dan pada cara-cara
kita yang memperlihatkan keterlibatan kita dalam realitas sosial.
Menurutnya ideologi mengekspresikan keinginan, harapan atau nostalgia
ketimbang menggambarkan realitas. Ideologi pada dasarnya adalah
tentang ketakutan dan tuduhan, pemujaan dan celaan, tentang semua
53
yang kadang-kadang disampaikan dalam bentuk wacana yang terlihat
seolah-olah menggambarkan sesuatu sesuai kenyataannya. Di sini
Althusser menggeser makna ideologi dari teori kognitif ke teori afektif.
Pemaknaan ideologi Althusser lebih bersifat subjektif, dalam arti berfokus
pada subjek. Pernyataan-pernyataan ideologis harus diungkap sebagai
sikap ekspresif si penutur terhadap dunia sekitarnya. Ideologi adalah
sesuatu yang membuat kita unik, berbeda satu dari yang lainnya, yang
secara esensial membentuk identitas kita. Meski Althusser memaknai
ideologi secara berbeda dari pemikir-pemikir Marxis lainnya, namun ia
tetap melihat ideologi sebagai representasi cara kita hidup di tengah-
tengah masyarakat, jadi tidak ada hubungannya dengan salah atau benar.
Ideologi menurutnya adalah cara tertentu bagaimana kita memaknai
segala sesuatu yang membentuk kita menjadi manusia yang berperan
sebagai subjek sosial, dan yang membentuk relasi-relasi, di mana kita
sebagai subjek terhubung dengan relasi produksi yang dominan dalam
masyarakat (Eagleton: 1991: 18-19; Malrieu, 1999: 12; Weedon, 2004: 5-
12).
Ideologi sebagai representasi subjek juga dikemukakan oleh Michel
Foucault. Namun Foucault menghubungkan istilah ideologi ini secara
spesifik dengan kekuasaan. Menurutnya sebagai kekuasaan ideologi
membentuk jalinan kekuatan yang tersebar, namun tak tampak, tetapi
muncul dalam gerak-gerik dan tuturan kita. Ideologi bagaikan stempel
yang menandai kita dalam hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari, yang
54
oleh Foucault dianggap sebagai relasi tawar menawar politis (Barker,
2003: 86). Karena itu Foucault tidak mau menggunakan istilah ideologi
untuk fenomena yang ia gambarkan tersebut, ia cenderung menggunakan
istilah discourse atau wacana. Ideologi atau wacana menurut Foucault
dimanifestasikan lewat penggunaan bahasa antar manusia sebagai subjek
untuk memproduksi efek tertentu. Namun ideologi bukan semata-mata
persoalan properti linguistik dari sebuah pernyataan, melainkan sebuah
pertanyaan mengenai siapa yang mengatakan apa pada siapa dan untuk
tujuan apa. Menurutnya wacana selalu ideologis karena memancarkan
pesan-pesan kekuasaan dan efek politisnya. Namun sebuah kalimat tidak
selalu ideologis pada setiap konteks, artinya, ideologi adalah fungsi dari
hubungan antara pernyataan dan konteks sosialnya (Eagleton, 1991: 7-
9).
Bahasa adalah media untuk menyampaikan gagasan, termasuk
ideologi yang tersembunyi dalam berbagai bentuk representasi, yang
secara jelas dikatakan antara lain oleh Habermas, Althusser, Foucault,
dan Gramsci. Dari mereka kita memahami kekuatan bahasa sebagai
pembangun kekuasaan, penyebar gagasan, pemelihara tradisi dan
budaya, dll. Secara lebih jelas para ahli bahasa dan budaya
menerangkan, bagaimana bahasa dan melalui bahasa kepercayaan, nilai-
nilai dalam masyarakat, cara pandang terhadap dunia, dibentuk dan
diungkap. Kita bisa mulai dengan Saussure. Dengan teori dikotominya
tentang Bahasa yang meliputi Langue dan Parole, Signifiant dan Signifié,
55
Synchrony dan Diachrony, Saussure menjadi salah seorang peletak dasar
ilmu linguistik modern. Teorinya tentang bahasa yang terbagi atas Langue
dan Parole memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan
ilmu bahasa. Meskipun demikian, Saussure sendiri lebih memfokuskan
perhatiannya pada Langue, yang berarti bahasa sebagai suatu forma
ideal, yang otonom sebagai suatu sistem, sebagai suatu realita. Sebagai
realita, Langue berhubungan dengan pengalaman, sedangkan Parole
menurutnya adalah penggunaan bahasa secara personal, oleh sebab itu
tidak sistematis:
Linguistic structure is no less real than speech, and no less amenable to study. Linguistic signs, although essentially psychological, are not abstractions. The associations, ratified by collective agreement, which go to make up the language are realities localized in the brain……….. The utterance of a word, however small, involves an infinite number of muscular movements extremely difficult to examine and to represent. In linguistic structure, on the contrary, there is only the sound pattern, and this can be represented by one constant visual image (Saussure, 1966: 15).
Langue adalah sistem yang terbangun dari relasi internal. Yang
dimaksud dengan relasi internal di sini adalah hubungan antar elemen-
elemen dalam suatu bahasa. Setiap elemen kebahasaan adalah signé
atau sign dalam bahasa Inggris, atau tanda dalam bahasa Indonesia,
yang mengandung dua aspek sekaligus, yaitu signifiant dan signifié
(dalam bahasa Inggris signifier dan signified atau penanda dan petanda
dalam bahasa Indonesia). Hubungan seperti ini disebut sebagai tesis
irreducebility, yang menunjukkan, bahwa forma-forma tidak dapat
56
direduksi, dan setiap relasi dalam sistem bahasa dipenuhi sendiri oleh
relasi internalnya. Dalam linguistik relasi internal ini sangat penting.
Ilmu linguistik murni juga dikembangkan oleh Chomsky melalui teori
Tansformation Generative Grammar (TGG). Bila Saussure mulai dengan
tanda, Chomsky mengembangkan kajiannya pada struktur sintaksis.
Prinsip TGG adalah kesatuan aspek sintaksis dan semantis seperti halnya
kesatuan signifier dan signified pada konsep tanda dari Saussure. Teori
TGG memperlihatkan hubungan yang sangat erat antara struktur kalimat
atau yang disebut surface structure dengan struktur makna atau deep
structure yang menggambarkan logika kejadian. Dalam kalimat :
Ambilkan saya buku (surface structure) terkandung deep structure : Dia
mengambil buku. Deep structure menjelaskan operasi mental dari
sebuah surface structure, sedangkan surface structure adalah apa yang
diucapkan (Mc. Gilvray, 2005: 21-36).
Penjelasan tersebut memperlihatkan, bagaimana bahasa dilihat
secara terpisah dari dunia di luar bahasa. Pandangan tersebut kemudian
‘dilengkapi’ oleh pandangan yang berbeda mengenai bahasa dari Franz
Boas yang melihat kenyataan bahwa penggunaan bahasa bersifat variatif.
Boas menghubungkan bahasa dan budaya melalui perbedaan-perbedaan
fonetik. Menurutnya bunyi tidak terbatas, namun setiap bahasa
menggunakan jumlah-jumlah bunyi yang terbatas, yang menurutnya untuk
memungkinkan kelancaran komunikasi, seperti yang dikatakannya:
57
In our present discussion we do not deal with gesture-language or musical means of communication, but confine ourselves to the discussion of articulate speech; that is, to communication by means of groups of sounds produced by the articulating organs – the larynx, oral cavity, tongue, lips, and nose.
The number of sounds that may be produced in this manner is unlimited. In our own language we select only a limited number of all possible sounds;……It would seem that this limitation in the use of sounds is necessary in order to make possible rapid communication. ………...limited phonetic resources are necessary for easy communication.(Boas, 1966:11-12).
Pemilihan bunyi menurutnya adalah efek dari persepsi, dan persepsi
sudah masuk ke dalam ranah budaya. Perbedaan-perbedaan bunyi dari
sistem fonetik setiap bahasa memperlihatkan perbedaan besar bukan
hanya pada elemen-elemen fonetik, melainkan juga dalam kelompok-
kelompok gagasan yang bisa diekspresikan melalui kelompok bunyi
tertentu:
In all articulate of speech the groups of sounds which are uttered served to convey ideas, and each group of sounds has a fixed meaning. Languages differ not only in the character of their constituent phonetic elements and sound-clusters, but also in the groups of ideas that find expression in fixed phonetic groups. (ibid,:20).
Di sini Boas berbeda pandangan dengan Saussure dengan menyentuh
aspek pragmatis dari bahasa, dengan memfokuskan pada hal yang
konkret, yaitu komunikasi dan fonetik.
Dengan hipotesis mengenai persepsi tersebut Boas mengawali teori
mengenai relativitas bahasa. Boas melakukan perbandingan beberapa
58
bahasa dan menyimpulkan bahwa dalam penggunaannya, bahasa
mengandung primary ethnological phenomena (fundamental ethnics
ideas) dan secondary explanation (secondary reinterpretation). Primary
ethnological phenomena adalah suatu organisasi pola kultural atau
rentang pengalaman pribadi yang berada di alam bawah sadar seseorang.
Contohnya adalah sistem kepercayaan atau keagamaan, aktivitas ritual,
etika dalam berbagai aspek kehidupan, dll. Sedangkan secondary
explanation atau secondary reinterpretation adalah fenomena linguistik
yang melakukan rasionalisasi atau reinterpretasi terhadap pola-pola
kultural. Reinterpretasi atau rasionalisasi sekunder ini sifatnya eksplisit
atau berada di alam sadar. Kedua fenomena yang berbeda ini menurut
Boas sebenarnya memiliki persamaan, yaitu kedua-duanya melakukan
cara kategorisasi atau klasifikasi dalam penerapannya. Keduanya
melakukan segmentasi dan penataan terhadap pengalaman sosial yang
dibagi bersama, sehingga sifatnya historis dan tidak individual (ibid,: 63-
69).
Sebagai contoh, Boas mengambil sebuah topik mengenai
kesederhanaan. Setiap orang akan mengelompokkan hal-hal yang
berhubungan dengan kesederhanaan secara otomatis di bawah sadarnya
sesuai dengan apa yang disepakati oleh kelompoknya, ketika ia harus
menerapkan hal tersebut. Demikian juga ketika ia harus menjelaskan
secara eksplisit apa yang dimaksud dengan kesederhanaan, maka iapun
akan melakukan segmentasi dan penataan secara kebahasaan. Dalam
59
melakukan secondary explanation seseorang akan memerhatikan kaidah
kebahasaan atau gramatika. Proses ini menurutnya melibatkan
leksikografi atau pilihan kata yang mengandung isi (material contents).
Pilihan kata diambil berdasarkan proses kategorisasi yang melibatkan
rentang pengalaman pribadi. Gramatika atau tata bahasa adalah alat
untuk menyampaikan gagasan yang jumlahnya tak terbatas. Namun untuk
menyampaikan gagasan yang tak terbatas seseorang perlu memahami
aturan yang mengelompokkan dan menata hubungan-hubungan atau
relasi antar elemen tata bahasa tersebut. Di sini terlihat pertemuan
pemahaman antara Boas dan Saussure. Keduanya melihat pentingnya
relasi internal dalam bahasa dan melihat pengalaman sebagai
landasannya. Namun lebih jauh Boas melihat bahasa sebagai medium
kemampuan rasional manusia, yaitu kemampuan mengorganisasi
pengetahuan proposisi atau pengetahuan yang berhubungan dengan ide
luar bahasa.
Kategorisasi pada Boas mencerminkan ideologi referen, karena selalu
menunjuk pada proposisi yang berdasarkan pada kenyataan di luar
bahasa. Gagasan Boas mengenai kategorisasi (fundamental ethnics ideas
dan secondary explanation) dilanjutkan oleh Whorf. Whorf berpendapat,
kita membagi-bagi atau mengelompokkan alam ini melalui bahasa ibu kita.
Gambaran tersebut diatur oleh pemahaman kita, yang artinya oleh sistem
linguistik atau bahasa kita. Kita memotong-motong alam ini, lalu
mengaturnya ke dalam konsep-konsep yang disepakati bersama oleh
60
kelompok kita. Konsep-konsep tersebut memperlihatkan bagaimana kita
melalui bahasa memandang dunia ini, bahkan membentuk kebiasaan dan
pemikiran kita. Seluruh proses ini bersifat referensial berdasarkan pada
proposisi-proposisi yang mengacu pada dunia luar bahasa, melalui
pengalaman kita (Whorf, 1956: 137-146):
…., will suffice to show how the cue to a certain line of behavior is often given by the analogies of the linguistic formula in which the situation is spoken of, and by which to some degree it is analyzed, classified, and allotted its place in that world which is “to a large extent unconsciously built up on the language habits of the group”.
A category such as number (singular vs.plural) is an attempted interpretation of a whole large order of experience, virtually of the world or of nature; it attempts to say how experience is to be segmented, what experience is to be called “one” and what “several.” (ibid.: 137)
Penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana bahasa sebagai sistem
ternyata sekaligus dapat menjelaskan cara pandang terhadap dunia,
kebiasaan bahkan cara berfikir penuturnya, dengan kata lain ideologi
penuturnya.
Umberto Eco, penulis Italia, ahli sastra dan semiotika, mendefinisikan
ideologi sebagai pesan yang disampaikan melalui deskripsi faktual disertai
upaya-upaya pembenarannya secara teoretis yang kemudian secara
bertahap diterima oleh masyarakat (Eco, 1979: 290). Selain sebagai
pesan, Eco juga mengartikan ideologi sebagai cara pandang terhadap
dunia yang terorganisasi, karenanya harus didekati dengan analisis
semiotika (ibid,: 289). Pendapat Eco ini merangkum sekaligus pemikiran
61
para filusuf Marxis mengenai konstruksi realitas dan teori Relativitas
Bahasa dari Boas dan Sapir-Whorf.
Teori relativitas bahasa yang diusung oleh Boas, Sapir dan Whorf,
berangkat dari gagasan bahwa orang yang berbeda berbicara secara
berbeda karena mereka berfikir secara berbeda pula. Mereka berfikir
secara berbeda, karena bahasa mereka menyediakan cara yang berbeda
bagi mereka untuk mengekspresikan dunia di sekeliling mereka (Kramsch,
1998:11). Ideologi dalam kaitannya dengan bahasa adalah cara pandang
terhadap dunia, nilai-nilai dan kepercayaan, yang dicerminkan oleh
bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Kategorisasi-kategorisasi yang
diatur oleh sistem suatu bahasa melalui gramatikanya memotong-motong
realitas yang dipandang oleh si penutur bahasa yang bersangkutan
(Whorf, 1956: 137-146). Secara pragmatis bahasa juga merupakan
indikator kepribadian yang dapat diamati melalui pola fonetis ujaran
seseorang, kecepatan dan tingkat kelembutan artikulasi, panjang dan
pendeknya kalimat yang digunakan, karakter dan rentang kosakatanya,
serta kesiapan merespon lingkungan sosial, dll.(Sapir, 1985: 17).
Dalam penelitian ini pengertian ideologi yang sesuai adalah yang
digagas oleh Althusser, yaitu sebagai representasi cara kita hidup di
tengah-tengah masyarakat pada relasi-relasi yang bersifat afektiv dan
dilakukan secara tak sadar dengan dunia sekitar kita ( dalam hal ini
penulis atau pengarang) dan pada cara-cara yang memperlihatkan
keterlibatan pengarang dalam realitas sosial.yang terrepresentasi lewat
62
bahasa, yaitu lewat pernyataan-pernyataan yang terbaca dalam karya
seorang pengarang. Selain itu pemikiran Foucault juga dapat dilibatkan
untuk melihat penggunaan bahasa untuk memproduksi efek tertentu.
Pendapat mengenai bahasa sebagai cara pandang terhadap dunia,
seperti yang disampaikan oleh Boas, Sapir dan Whorf, juga akan
digunakan untuk membandingkan sistem BSu dan BSa, yaitu bahasa
Jerman dan Bahasa Indonesia, untuk melihat, bagaimana masing-masing
sistem kebahasaan memfasilitasi ekspresi dalam BSu dan padanannya
dalam BSa.
Ideologi, betapa pun beragam penjelasan mengenainya, sebenarnya
dapat disimpulkan sebagai bentuk representasi yang memediasi dua
kutub, entah itu antara kutub ide dan materi, produksi dan konsumsi,
antara teori dan praksis, Subjek dan objek, antara penanda (signifier) dan
petanda (signified), dll. Selain itu ideologi sebagai sebuah bentuk mediasi,
terikat pada relasi, artinya berada dalam sebuah struktur, sehingga untuk
melacaknya tentu harus melalui analisis struktur, terutama struktur
kebahasaan yang kemudian dipertajam dengan analisis struktur lanjutan
berdasarkan konteks yang memengaruhi pembentukannya secara
signifikan.
Berkaitan dengan hubungan antara Ideologi dan sistem, Jean Pierre
Malrieu, seorang linguist asal Prancis, menegaskan bahwa ideologi-
ideologi modern sedikit sekali berhubungan dengan doktrin dan prinsip.
63
Mereka lebih menonjolkan nilai-nilai andalan mereka melalui penawaran
pola-pola atau sistem relasi yang bersifat evaluatif, yang memanfaatkan
sistem bahasa. Karena itulah ideologi, menurutnya, adalah masalah
struktur. Dalam contoh analisis yang dibuatnya terhadap sebuah karya
Shakespeare, Malrieu menggunakan metode topique, yang
dikembangkan oleh Boltanski dan Thevenot, juga ahli-ahli linguistik dari
Prancis. Kedua ahli tersebut telah meneliti berbagai jenis wacana, yang
kemudian mendapatkan beberapa kumpulan ekspresi yang khas dari
semua jenis wacana. Hasil analisis dan kumpulan ekspresi itu mengerucut
menjadi enam pola kategori gramatikal, yang berlaku bagi segala jenis
wacana. Ke enam kategori tersebut berhubungan dengan: 1. World of
inspiration, 2. The domestic world, 3. The world of opinion, 4. The civic
world, 5. The mercantile world, 6. The industrial world. Ke enam kategori
itu dinamakan grammatical categories of the discourses of justification.
Setiap kategori dapat digali melalui identifikasi dan analisis satuan-satuan
leksikal yang berasosiasi dengan keenam kategori tersebut. Satuan-
satuan leksikal yang dicari adalah yang mengandung: common superior
principle; state of grandeur; state of smallness; dignity, grand and small
subjects; objects; investment; relations of grandeur; relation; tests;
judgment; evidence (Malrieu, 1999: 41-49).
5. Karya Sastra dan Ideologi
Sebagai sebuah bentuk aktivitas kebudayaan, terlepas dari
perdebatan mengenai pengkategorisasiannya (kanon atau bukan kanon),
64
sastra merefleksikan kehidupan manusia dalam kerangka hubungan
dengan sesamanya (sosial) dan dengan lingkungannya. Eagleton
menganggap sastra bukanlah suatu kualitas inheren atau suatu set
kualitas yang ditampilkan jenis tulisan tertentu, melainkan cara yang
digunakan orang untuk menghubungkan dirinya ke tulisan. Pernyataan-
pernyataan, penggambaran tentang suatu keadaan, atau sudut pandang
yang digunakan untuk menilai sesuatu hal, bisa menunjukkan misalnya
keterhubungan si penulis dengan pengalaman formatif di masa kecilnya,
dan dengan beberapa faktor budaya lainnya. Struktur nilai dalam
lingkungan masyarakat yang terinternalisasi dalam diri si pengarang akan
memengaruhi pola pikir dan cara pandangnya sehingga memotivasi
pernyataan-pernyataan dalam karyanya. Eagleton menganggap struktur
nilai ini adalah bagian dari apa yang disebut ideologi. Menurutnya ideologi
adalah cara bagaimana kita mengatakan dan memercayai sesuatu
(seringkali di bawah sadar) berdasarkan keterhubungan kita dengan
struktur kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan masyarakat di
mana kita tinggal (1996: 17-20). Berkaitan dengan hubungan antara seni
(dalam hal ini sastra) dan ideologi, pernyataan Althusser memperkuat
pendapat Eagleton. Althusser dalam kumpulan essay yang berjudul
Tentang Ideologi (diterjemahkan dari Essays on Ideology) mengatakan
bahwa:
Ketika kita berbicara tentang ideologi, seharusnya kita tahu bahwa ideologi menyelipkan diri pada segala aktivitas manusia, bahwa ideologi identik dengan pengalaman hidup dari eksistensi manusia itu
65
sendiri: itulah sebabnya bentuk yang membuat kita melihat ideologi dalam pelbagai novel besar, dalam kandungannya dimuati pengalaman hidup pelbagai individu. (1984: 189)
Pendapat Althusser tersebut membenarkan apa yang menjadi prinsip
Pramoedya Ananta Toer dalam menulis karya-karyanya. Menurut Toer,
novel adalah bentuk ideal untuk mengungkapkan aspek-aspek
revolusioner mengenai kontradiksi dalam masyarakat. Si penulis harus
mengingat tiga „si“, yaitu: situasi, posisi dan kondisi, yang harus
terintegrasi dengan masyarakat yang lebih luas. Lebih jauh ia pun
mengatakan bahwa, seorang penulis tidak dapat membiarkan dirinya
menjadi orang luar, karena ide tentang penulis sebagai orang luar dari
masyarakatnya adalah warisan pemikiran yang menyesatkan dari dunia
kapitalis (Scherer, 1981: 132-133).
Karya sastra bahkan menjadi analogi bagi ideologi. I.A. Richards
(melalui Eagleton, 1991: 19) mengatakan, bahwa ideologi seperti puisi
bagi kegiatan kritik sastra. Puisi menurutnya tidak berbicara mengenai
proposisi-proposisi, melainkan mengenai proposisi semu yang tampak
pada permukaan gramatisnya yang bersifat referensial, namun
sebenarnya secara tersembunyi bersifat emotiv atau ekspresiv
menyangkut realitas subjek yang namanya manusia, atau bersifat konativ,
ketika merujuk pada pencapaian efek-efek tertentu. Eagleton sendiri
membandingkan ideologi dengan karya sastra (ibid,: 22-24). Menurutnya
wacana-wacana ideologis memperlihatkan perbandingan tertentu antara
66
proposisi-proposisi empiris dan apa yang kita sebut sebagai cara pandang
terhadap dunia. Karya sastra biasanya mengandung proposisi-proposisi,
dan apa yang disebut fiksionalitas dalam karya sastra biasanya tidak
tampil untuk mewakili dirinya sendiri, namun untuk hal lain. Fiksionalitas
tersebut bertindak sebagai dukungan bagi cara pandang dunia yang
terkandung dalam teks itu sendiri. Wacana ideologis adalah jaringan yang
kompleks dari elemen-elemen empiris dan normativ, yang sifat dan
organisasi elemen empirisnya ditentukan oleh pemenuhan elemen-elemen
normativnya, sehingga formasi ideologis menjadi seperti sebuah novel.
Eagleton mengutip Paul de Man untuk memperkuat analoginya, yaitu:
karya sastra cenderung mengatakan satu hal, namun melakukan hal yang
lain.
Pandangan Eagleton tersebut dapat kita bandingkan dengan pendapat
Lukacs. Menurut Lukacs karya sastra berisi ideologi yang menyusup
melalui pandangan pengarang yang menciptakan karyanya di tengah-
tengah masyarakat yang mengitarinya dengan pandangan dunia sekaligus
berbagai persoalan yang dimilikinya. Lukacs mengatakan bahwa ideologi
atau pandangan dunia atau Weltanschauung mendasari karya pengarang,
dan pengarang berupaya mereproduksi pandangannya tersebut yang
memberi andil terhadap intensinya dan itulah prinsip terpenting yang
mendasari gaya penulisan sebuah karya (Lukács1963: 19; Kutha Ratna,
2007: 37).
67
6. Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik
Penelitian ini akan diawali dengan analisis kebahasaan, yaitu dengan
cara membandingkan teks BSu, yaitu bahasa Jerman dan Teks
terjemahannya dalam BSa, bahasa Indonesia. Perbandingan dilakukan
pada tataran sintagmatik dan paradigmatik. Pemaparan berikut ini adalah
intisari dari penjelasan mengenai teori sintagmatik dan paradigmatik
Saussure yang disusun oleh Hans Otto Spillmann (1996: 45-49) dalam
bukunya Einführung in die germanistische Linguistik, dan Angelika Linke,
dkk. (1996: 80-144) dalam buku Studienbuch Linguistik, yang contoh-
contoh kasusnya disesuaikan dengan sistem bahasa Jerman.
Tanda-tanda dalam tuturan atau tulisan muncul seperti buah-buah
rantai dalam urutan linear. Urutan ini harus mematuhi aturan tertentu,
yaitu aturan-aturan yang harus sesuai dengan sistem yang dirujuk. Aturan
yang mengatur urutan-urutan tanda kebahasaan ini dari satu bahasa ke
bahasa lainnya berbeda. Dalam bahasa Jerman kalimat: Morgen ging ich
ins Kino tidak memenuhi aturan urutan linear, karena kata ging yang
artinya pergi dalam bentuk lampau tidak berterima dengan kata morgen
yang merupakan keterangan waktu yang akan datang. Contoh tersebut
menunjukkan, bahwa urutan setiap tanda diatur oleh struktur, atau dengan
kata lain, setiap kata yang muncul dalam ujaran atau kalimat hanya dapat
memiliki tetangga tertentu, yang oleh para strukturalis Amerika disebut
sebagai distribusi. Fenomena itu disebut relasi sintagmatik pada tataran
sintaksis. Relasi sintagmatik juga berlaku pada tataran semantis,
68
contohnya: saya makan roti. Saya dan roti sama-sama berstatus kata
benda, namun posisi keduanya tidak dapat dipertukarkan, karena akan
menimbulkan kerancuan logika. Namun relasi sintagmatik pada tataran
semantis dalam karya sastra tidak selalu sesuai dengan logika bahasa.
Banyak kasus yang mencederai solidaritas leksikal, seperti kalimat: Er
grunzt zufrieden yang bila diterjemahkan secara harfiah berbunyi: ia
menguik (seperti babi) puas.
Saussure mengatakan bahwa relasi sintagmatik adalah struktur
kebahasaan yang mendasar, yang realisasinya berada dalam kerangka
parole, yaitu pada wacana kebahasaan atau teks. Namun, dalam ujaran
setiap tanda dikelompokkan ke dalam kelas-kelas, sehingga mereka dapat
digunakan dalam lingkungan yang sama bila memenuhi syarat
distribusinya.
Contohnya: Der Student schreibt eine Klausur
Ein Studierender verfertigt seine Abschlußarbeit
Dieser Seminarteilnehmer formuliert die These
Bila relasi sintagmatik mengatur urutan tanda-tanda kebahasaan secara
linear, maka relasi paradigmatik didasarkan pada paradigma, yaitu
sejumlah tanda atau elemen-elemen kebahasaan yang dapat memasuki
posisi yang memenuhi syarat distribusi yang sama, dalam tuturan atau
teks. Menurut Saussure hubungan paradigmatik ini tidak dapat diamati
dalam kerangka parole, wacana atau teks. Ia adalah hubungan in
69
absentia, yang ada dalam kesadaran penutur atau pendengar dan
berhubungan erat dengan kompetensi kebahasaan seseorang. Jadi relasi
paradigmatik dapat disimpulkan sebagai kemungkinan pilihan yang
tersedia bagi penutur untuk berkomunikasi.
Relasi paradigmatik ini meliputi struktur leksikon, yang dalam sistem
bahasa Jerman dikenal dengan:
1. Lexemidentisches Feld atau kata-kata yang terbentuk dari sebuah
leksem dasar, misalnya dari leksem dasar lehr- dapat ditemukan
kata-kata: belehren (mengajari, mendidik); Lehre (Pelajaran);
Lehrer (guru); Lehrling (pembelajar),
2. Wortfeld yang pada dasarnya adalah kumpulan sinonim yang dapat
ditukar-tukar penggunaannya, karena memiliki makna yang kurang
lebih sama, seperti: Nervosität; Verwirrung, Tumult; Wirbel; Panik;
Unruhe, Ärger; Zorn, dll., yang bermakna kurang lebih sama, yaitu
kegugupan, kepanikan, kebingungan, kegelisahan.
3. Morphemidentisches Feld yaitu kata-kata yang mengalami pola
pembentukan yang sama, seperti penambahan prefiks be- dan
sufiks –ung. Contohnya: Bekleidung (kelengkapan berpakaian);
Beschreibung (penggambaran); Befolgung (mengikuti, menuruti),
dll.
4. Antonymisches Feld struktur dalam leksikon yang berdasarkan
pada lawan katanya, misalnya:
70
Liebe (cinta) - Haß (benci)Leben (hidup) - Tod (mati)schlafen (tidur) - wachen (bangun)sauber (bersih) - schmutzig (kotor)
Dalam kategori ini juga termasuk lawan kata yang dibentuk oleh
prefiks-prefiks, seperti:
Auf-/ zu-: auf-/zumachen (membuka/menutup)Ein-/ aus-: ein-/auspacken (membungkus atau mengemas/ membuka kemasan atau bungkusan)Be-/ent- : be-/entwaffnen (bersenjata/ melucuti senjata)Ver-/ ent-: ver-/enthüllen (menutupi atau menyelubungi/ membuka kedok atau selubung)
Dalam penelitian ini analisis hubungan sintagmatik dan paradigmatik
akan dilakukan untuk membandingkan fenomena-fenomena kebahasaan
yang ditemukan dalam naskah asli dan padanannya dalam naskah
bahasa sasaran, untuk kemudian dikelompokkan dalam kategori-kategori
kasus, lalu dianalisis faktor apa saja yang menyebabkan munculnya
masalah dalam penerjemahan.
Guna menemukan struktur ideologi dalam teks BSu, metode topique
yang dikembangkan oleh Boltanski dan Thevenot dapat diterapkan. Cara
kerja metode topique sangat mirip dengan metode isotopi, yaitu dengan
mengelompokkan elemen-elemen teks, dari kata hingga kalimat yang
berada dalam topik yang sama. Secara sintagmatik metode ini bekerja
mengidentifikasi dan menganalisis satuan-satuan leksikal yang
berasosiasi dengan enam kategori gramatikal dalam BSu, yaitu: 1. World
of inspiration, 2. The domestic world, 3. The world of opinion, 4. The civic
71
world, 5. The mercantile world, 6. The industrial world. Secara
paradigmatik, identifikasi dan analisis akan dilakukan dengan
membandingkan satuan-satuan leksikal yang berasosiasi dengan ke
enam kategori gramatikal pada TBSu dengan satuan leksikal yang sejajar
pada TBSa. Dari hasil perbandingan tersebut akan terlihat bagaimana
ideologi bergeser.
Berdasarkan uraian mengenai teori-teori yang telah dijabarkan secara
singkat, berikut adalah bagan kerangka konseptual yang menjadi
landasan penelitian ini.
Proses Penerjemahan
Gambar 5. Kerangka Konseptual
Bagan di atas memperlihatkan bahwa ideologi adalah sistem. Ke empat
kotak menjelaskan, bagaimana sistem bahasa dan budaya memengaruhi
Konteks TBSu:
Bahasa dan budaya +
Semangat zaman, dll
Pandangan hidup, keyakinan
Konvensi sastra
Penerbit
Pengarang
TBSu:
Struktur kebahasaan:
sintagmatik dan
paradigmatik +
Struktur cerita:
Ideologeme
Ideologi X
Konteks TBSa:
Bahasa dan budaya +
Pandangan hidup, keyakinan
Konvensi sastra
Penerbit +lembaga
kompetensi
penerjemah
TBSa:
Struktur kebahasaan: sintagmatik,paradigmatik
+
Struktur teks
ideologeme
Ideologi X‘
72
pandangan hidup pengarang. Pengarang menyebarkan gagasannya
dengan menciptakan karya yang dibangun berdasarkan sistem bahasa
dan sistem sastra tertentu. Oleh karena itu, gagasan atau ideologi
pengarang tersebut dapat ditelusuri secara intertekstual melalui analisis
struktur internal maupun eksternal teksnya. Penerjemah, sebagai
mediator antara karya pengarang dan pembaca dari latar belakang
bahasa dan budaya yag berbeda, juga memiliki pandangan hidup yang
dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat dari mana ia berasal. Selain
itu, ia juga memiliki pengetahuan atau kompetensi tertentu, yang berkaitan
dengan bahasa dan budaya si pengarang, yang karyanya ia terjemahkan.
Di luar bahasa, budaya, dan kompetensi yang membekali penerjemah,
biasanya ada unsur lain yang juga ikut memengaruhi hasil terjemahannya,
misalnya penerbit dan lembaga sensor. Seluruh konteks yang
melatarbelakangi penerjemah secara intertekstual akan menghasilkan
TBSa dengan struktur kebahasaan yang berbeda, yang tidak mustahil
menghasilkan struktur ideologi yang bergeser dari struktur aslinya dalam
TBSu.
B. Penelitian Terdahulu
Penelusuran pustaka yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa
aspek yang telah dikaji dalam penelitian mengenai penerjemahan karya
sastra di Indonesia adalah antara lain aspek struktural, seperti yang
dilakukan oleh I Dewa Gede Windhu Sancaya dari Universitas Indonesia
(UI) dalam thesisnya yang berjudul: Sam Pek Eng Tay („Geguritan
73
Sampik“) dalam Kesusastraan Bali: Suntingan teks dan Terjemahan
disertai Kajian Struktur dan Resepsi. Penelitian tersebut tidak
menyentuh aspek kebahasaannya. Penelitian lain yang menitik beratkan
pada struktur kesusastraan adalah yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti,
juga dari UI dalam disertasinya yang berjudul Sadjarah Banten:
Suntingan Teks dan Terjemahan disertai Tinjauan Aksara dan
Amanat. Pujiastuti menemukan konsep dalam sastra sejarah yang
merupakan rekaan sejarah sebagai proses perkembangan dari kejadian
masa lampau. Kedua penelitian tersebut menunjukkan kesepadanan
struktural antara teks BSu dan teks BSa.
Kajian mengenai aspek kebahasaan dalam penerjemahan karya
sastra dilakukan antara lain oleh Benny Hoedoro Hoed, juga dari UI,
dengan judul: Kala sebagai Pengungkap Waktu Kebahasaan dalam
Novel Bahasa Perancis dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian Hoed memperlihatkan, bahwa konsep mengenai waktu
dari satu bangsa ke bangsa lainnya berbeda dan perbedaan itu dapat
dilihat dari ekspresi kebahasaannya mengenai waktu. Penelitian lain
mengenai aspek kebahasaan dalam penerjemahan karya sastra dilakukan
oleh Frans Made Brata dari Universitas Udayana, Bali (dalam Linguistik
Indonesia, Tahun ke 26. No. 1, Februari 2008). Made Brata membahas
tentang pergeseran kohesi dan koherensi dari beberapa ungkapan yang
ada dalam novel berbahasa Inggris Mirror Image yang ditulis oleh Danielle
Steel dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sigarlaki
74
dengan judul Belahan Jiwa. Dalam kesimpulannya Made Brata
mengatakan bahwa pergeseran terjadi antara lain karena faktor linguistik
dan faktor budaya. Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan bahwa
dalam penerjemahan, khususnya penerjemahan karya sastra, pergeseran
pada berbagai aspek atau karena berbagai faktor tidak dapat dihindari.
Meskipun bukan penelitian terhadap penerjemahan karya sastra,
penelitian yang dilakukan oleh Nurul Murtadho dari UI dengan judul
disertasi Metafora dalam Al-Qur`An dan terjemahan dalam Bahasa
Indonesia: Kajian atas metafora cahaya, kegelapan, dan beberapa sifat
Allah, juga menarik untuk dicermati, karena Al-Qur’an seringkali disebut
sebagai kitab suci yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Hasil analisis
mengungkapkan bahwa transposisi atau pergeseran bentuk dalam BSa
tidak berpengaruh pada pesan dalam BSu, sementara pergeseran luasan
makna ditemukan dalam korpus data.
Kajian mengenai penerjemahan yang agak berbeda dilakukan oleh
Farida Amalia dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung,
untuk dipresentasikan dalam forum pertemuan ilmiah para pengajar
bahasa Prancis se Indonesia di Bandung pada tahun 2009. Amalia
membahas mengenai Ideologi dalam Penerjemahan secara umum. Yang
ia maksudkan dengan ideologi di sini adalah prinsip atau keyakinan
tentang betul-salah dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni
terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau
terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat tersebut.
75
Amalia mengarahkan kajiannya pada penerjemah yang harus menentukan
pilihan cara menerjemahkan yang terbaik dengan mempertimbangkan
pembaca BSa
Melalui pendapat Maria Corti yang menegaskan, bahwa pembaca
harus menyadari hubungan antara karya dengan waktu dan tempat karya
tersebut diproduksi, Bassnett menyimpulkannya sebagai peran penting
pembaca yang dapat digunakan sebagai dasar bagi para penerjemah
(2002: 85-86):
Every era produces its own type of signedness, which is made to manifest in social and literary models. As soon as these models are consumed and reality seems to vanish, new signs become needed to recapture reality, and this allows us to assign an information-value to the dynamic structures of literature. So seen, literature is both the condition and the place of artistic communication between senders and addressees, or public. The messages travel along its path, in time, slowly or rapidly; some of these messages ventures into encounters that undo an entire line of communication; but after great effort a new line will be born. This last fact is the most significant; it require apprenticeship and dedication on the part of those who would understand it, because the hypersign function of greatliterary works transforms the grammar of our view of the world.
Bassnett ( ibid,: 83) mencatat beberapa masalah spesifik dalam
penerjemahan karya sastra, di antaranya, seperti yang ia kutip dari Anne
Cluysenaar, bahwa penerjemahan karya sastra seringkali hanya bertolak
dari pendekatan strukturalisme terhadap karya sastra, yang memandang
karya sastra hanya sebagai sebuah teks yang dibangun oleh seperangkat
sistem yang saling berhubungan. Akibatnya hubungan dialektis yang
terjalin antara teks dengan faktor-faktor dari luar yang menentukan
76
eksistensi karya tersebut terabaikan. Penerjemah harus menjadikan
konteks tempat dan waktu yang berada di belakang sebuah karya sebagai
bahan rujukan, untuk menunjukkan integritas dan tanggung jawabnya.
Analisis Bassnett atas penerjemahan sebuah novel berbahasa Jerman
karya Tomas Mann yang berjudul Der Zauberberg ke dalam bahasa
Inggris yang diberi judul The Magic Mountain, memperlihatkan, nilai-nilai
ideologis sebuah karya dapat bergeser karena penerjemahan. Pergeseran
nilai-nilai ideologis terjadi karena penerjemah cenderung mencari sinonim
kata-kata tanpa menelisik lebih jauh latar belakang dan konteks yang
berhubungan dengan makna kata yang ia terjemahkan. Selain itu,
kompetensi penerjemah yang rendah, baik dalam aspek kebahasaan
maupun kebudayaan TBSu, juga dapat menyebabkan pergeseran-
pergeseran yang tidak seharusnya terjadi
Kajian lain yang juga menyoroti masalah ideologi dalam penerjemahan
karya sastra dilakukan oleh Lucia Borghese (dalam Ives and Lacorte,
2010: 150-155), yang meneliti dongeng-dongeng yang diterjemahkan oleh
Gramsci. Selain dikenal dengan pemikirannya mengenai teori Hegemoni
yang didasari oleh marxisme, ternyata Gramsci juga menunjukkan
ketertarikan yang besar terhadap linguistik dan penerjemahan. Ia telah
menerjemahkan banyak teks berbahasa Jerman ke dalam bahasa Italia,
termasuk di antaranya kumpulan dongeng yang dikumpulkan oleh Grimm
bersaudara. Dalam dongeng yang diterjemahkan oleh Gramsci, Borghese
melihat tendensi sekularisasi terhadap kumpulan dongeng tersebut,
77
seperti Brüderchen und Schwesterchen (Little Brother and Little Sister)
dan Hänsel und Gretel (Hansel dan Gretel atau Hans dan Gretel).
Sekularisasi dilakukan oleh Gramsci dengan cara mengganti kata-kata,
atau frasa-frasa yang berhubungan dengan kekuatan ketuhanan, atau
kekuatan supra natural, dengan yang bersifat rasional dan logis, atau
bahkan membuangnya sama sekali. Menurut penelusuran Borghese,
Gramsci melakukan itu semua untuk mendidik keponakannya melalui
bacaan dongeng yang akan menuntun pada rasionalitas bukan pada
kepasrahan terhadap eksistensi supranatural.
Kasus lain yang menarik adalah yang diangkat oleh Kate James
dalam jurnal penerjemahan Translation Jornal and the Author, 2011
(http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last updated on:
03/18/2011 19:02:25), dengan judul Speaking in the Feminine:
Consideration for Gender-Sensitive Translation. Dalam makalahnya
James membahas isu gender dalam penerjemahan berangkat dari
kegalauan Susanne de Lotbinière-Harwood setelah menerjemahkan
kumpulan puisi karya Lucien Francoeur yang berjudul Neons in the Night
dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. De Lotbinière-Harwood
adalah seorang penerjemah yang peka terhadap isu-isu gender. Dalam
pengantar hasil terjemahannya atas karya Lucien Francoeur, de
Lotbiniére-Harwood menulis:
Francoeur was the first and last male poet I translated. During the three years I spent on his poetry, I realized with much distress that
78
my translating voice was being distorted into speaking in the masculine. Forced by the poem's stance, by language, by my profession, to play the role of male voyeur. As if the only speaking place available, and the only audience possible were male-bodied. I became very depressed around meaning'. (De Lotbinière-Harwood, dalam James, 2011)
James melihat upaya yang dilakukan de Lotbiniére-Harwood untuk
memilih komposisi kalimat yang merupakan hasil kompromi dengan
pandangan hidupnya sebagai seorang yang gender-sensitive agar tetap
dapat mempertahankan gambaran tokoh petualang seks dalam puisi
tersebut yang audiensnya laki-laki. Upaya-upaya itulah yang membuat de
Lotbiniére-Harwood merasa tertekan ketika ia menerjemahkan kumpulan
puisi karya Francoeur.
Sejauh yang dapat ditelusuri, penelitian mengenai penerjemahan di
Indonesia, yang meletakkan fokusnya pada masalah ideologi, belum ada.
Ideologi sebagai bagian dari jati diri manusia yang dibentuk melalui proses
internalisasi kegiatan kebudayaan (Althusser), menjadi aspek yang juga
penting untuk ditelusuri dan dipahami melalui penerjemahan karya sastra
sebagai kontribusi pada kegiatan komunikasi interkultural, seperti yang
akan dilakukan oleh penelitian ini.
BAB III
79
METODE PENELITIAN
Kerangka umum metode penelitian yang diusulkan untuk mengkaji
pergeseran ideologi dalam penerjemahan karya sastra diperlihatkan
secara skematis oleh gambar berikut ini:
Gambar 6. Skema Kerangka Pikir
TBSu TBSa
Pengumpulan dan Pencatatan
Data
Identifikasi Fenomena-fenomena
Secara Sintagmatik Secara Paradigmatik
Kategorisasi Jenis Perubahan
Gambaran Konteks:
a. Pengarangb. Semangat Zamanc. Penerbit TBSu
d. Penerjemahe. Konteks Sosial
dan Budayaf. Penerbit TBSa
Kuantifikasi Jenis Perubahan
Analisis Pergeseran Ideologi
Individual Kolektif
80
Penelitian ini bersifat kualitatif karena bertujuan untuk memahami suatu
fenomena, yaitu adanya kecenderungan pergeseran ideologi dalam
penerjemahan karya sastra, khususnya karya sastra berbahasa Jerman
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Metode yang dipakai
dapat dijelaskan langkah-langkahnya sebagai berikut:
Langkah 1: Formulasi gambaran konteks yang berhubungan dengan
TBSu yang meliputi pengarang, semangat zamannya dan penerbit
karyanya, serta TBSa, yang meliputi penerjemah, konteks sosial
budayanya, dan penerbit TBSa. Formulasi ini penting karena seperti yang
dikemukakan oleh banyak teori ideologi, konteks berperan besar dalam
pembentukan ideologi.
Langkah 2: Pengumpulan data primer, yang dilakukan dengan terlebih
dahulu membandingkan tiga TBSu, yaitu karya sastra berbahasa Jerman
dengan ketiga versi terjemahannya dalam BSa, bahasa Indonesia. Data
dikumpulkan berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dari
perbandingan ketiga TBSu dengan ketiga versi terjemahannya. Langkah
pertama ini dilakukan dengan panduan prinsip umum penerjemahan, yang
harus memerhatikan: 1. Aspek kebahasaan, baik pada tataran
sintagmatik, misalnya struktur sintaksisnya, maupun pada tataran
paradigmatik, misalnya pilihan katanya. 2. Aspek kebudayaan. 3. Aspek
konvensionalnya (yang berkaitan dengan genre teks), dll. Fenomena-
fenomena yang ditemukan, yang berkaitan dengan aspek-aspek tersebut
akan diambil sebagai data utama. Setiap data diberi nomor yang sama,
81
baik dalam TBSu maupun dalam TBSa. Setiap data yang telah diberi
nomor kemudian dicatat dalam buku catatan. Data lainnya, yang berkaitan
dengan konteks setiap karya, dikumpulkan melalui studi dokumentasi,
seperti meneliti surat-surat pribadi, autobiografi, kritik sastra, dll. Selain itu
dilakukan juga wawancara semi terstruktur dengan narasumber yang
dianggap kompeten, untuk lebih memahami gejala-gejala yang khas,
misalnya yang berkaitan dengan istilah-istilah dan kondisi atau situasi
yang berkaitan dengan zaman/ periode tertentu.
Langkah 3: Pemilahan informasi dengan cara:
a. Identifikasi fenomena yang muncul dari setiap data berdasarkan
gejalanya, apakah gejala struktur kebahasaan, gejala budaya,
politik, dll.
b. Pemberian kode pada setiap kelompok informasi yang
menunjukkan gejala yang sama, yang diuraikan berdasarkan ciri-
cirinya, dimensi, dan faktor-faktor lain yang memengaruhinya.
Dalam tahap ini, selain analisis kebahasaan secara sintagmatik dan
paradigmatik, juga dilakukan analisis intertekstual, yang dapat
menjelaskan pengaruh faktor-faktor lain (di luar teks) terhadap suatu
gejala.
Langkah 4: Kategorisasi fenomena, dengan cara mengelompokkan data
yang berkode sama, lalu memberi nama kelompok data tersebut
berdasarkan kesamaan temanya. Setelah itu akan disusun pola umum
82
yang mampu merepresentasikan sebanyak mungkin gejala yang diteliti.
Pola umum ini akan dibuat dalam bentuk matriks, yang memperlihatkan
hubungan kausalitas antar kategori dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Langkah 5: Kuantifikasi hasil kategorisasi secara sederhana dan disusun
ke dalam bentuk tabel untuk memperlihatkan bentuk perubahan apa yang
paling banyak terjadi, dan dalam penerjemahan karya yang mana.
Informasi dalam bentuk tabel ini kemudian diinterpretasi untuk
memberikan gambaran awal mengenai potensi pergeseran ideologi yang
dapat terjadi dalam penerjemahan karya-karya yang diteliti.
Langkah 6: Analisis pergeseran ideologi dilakukan dengan menggunakan
metode analisis topique yang dikembangkan oleh Boltanski dan
Thévenot. Analisis setiap kategori akan dilakukan secara paralel antara
TBSu dengan TBSa, dengan mengelompokkan bagian-bagian teks yang
sesuai dengan topik yang berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam cerita.
Dalam analisis ideologi ini, hasil analisis kategori akan menjadi patokan
untuk melihat bagaimana pergeseran pada setiap kategori terjadi, dan
pada akhirnya, bagaimana ideologi bergeser.
Langkah 7: Analisis lebih mendalam mengenai pergeseran ideologi
dengan meninjau lebih jauh faktor-faktor di luar teks yang memengaruhi
terjadinya pergeseran, seperti faktor sistem kebahasaan yang berbeda,
faktor kompetensi penerjemah, baik dalam hal kebahasaan maupun
dalam hal pengetahuan sosial dan budaya bahasa teks sumber, faktor
83
penerbit, faktor kondisi sosial dan politik masyarakat bahasa sasaran, dll.
Analisis ini menggunakan pendekatan intertekstualitas.
Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penerjemahan karya sastra,
khususnya dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia, dengan
perhatian khusus pada bagaimana terjadinya pergeseran ideologi. Fokus
analisis adalah:
1. Bentuk pergeseran struktur kebahasaan pada tataran sintagmatik
dan paradigmatik dari TBSu ke TBSa.
2. Peran faktor-faktor di luar teks dalam menyebabkan terjadinya
berbagai bentuk pergeseran tersebut.
3. Korelasi antara pergeseran kebahasaan, faktor-faktor di luar teks
BSu dan BSa terhadap terjadinya pergeseran ideologi.
Karya yang diteliti berupa tiga buah roman berbahasa Jerman beserta
versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yaitu: Die Verwandlung
karya Franz Kafka dengan versi terjemahannya yang berjudul
Metamorfosis; Und Friede auf Erden karya Karl May, yang diterjemahkan
dengan judul Dan Damai di Bumi, serta Herr der Diebe, karya Cornelia
Funke, yang diterjemahkan dengan judul Pangeran Pencuri.
84
Populasi dan Teknik Sampel
Populasi penelitian ini adalah karya sastra berbahasa Jerman beserta
terjemahannya dalam bahasa Indonesia, serta faktor yang berkaitan
dengan penerjemahan tersebut, seperti pengarang TBSu dan penerjemah
TBSa, dan informasi-informasi terkait TBSu dan TBSa. Strategi sampling
yang digunakan adalah sampling dengan variasi maksimal untuk
menyajikan beragam perspektif. Karya yang dipilih memiliki perbedaan
karakteristik, yaitu: kategori belle lettre diwakili oleh karya Franz Kafka;
kategori populer diwakili oleh karya Karl May; dan kategori cerita anak
yang diwakili oleh Cornelia Funke. Selain itu ketiganya juga bisa dianggap
mewakili masa atau periode yang berbeda, yaitu: akhir abad 19, awal
abad 20 yang diwakili oleh karya Karl May dan karya Franz Kafka; dan
abad 21 diwakili oleh Karya Cornelia Funke.
Teknik Pengumpulan Data
Yang dimaksud sebagai data di sini adalah bagian-bagian teks, yang
berupa kata, frasa, kalimat dan paragraf. Data tersebut diperoleh dari hasil
membandingan dua buah teks secara paralel, yaitu TBSu dengan TBSa.
Fenomena-fenomena yang muncul dari perbandingan itu akan menjadi
data utama.
Dalam analisis akan diperlukan data pendamping yang meliputi
informasi mengenai pengarang dan penerjemah, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan keduanya. Data pendamping ini berhubungan dengan
85
dunia di luar teks, seperti konteks waktu, sosial, budaya, dll. Untuk itu
diperlukan studi dokumentasi, wawancara semi terstruktur dan diskusi
dengan narasumber yang memahami konteks yang melatari TBSu.
Wawancara dan diskusi dengan narasumber ini juga menjadi alat cross
check untuk melengkapi analisis yang dilakukan peneliti.
Data yang berhubungan dengan konteks yang melatari TBSa
(penerjemah, penerbit), akan dikumpulkan, selain dengan studi
kepustakaan juga dengan wawancara tak langsung, yaitu melalui
korespondensi, mengingat kendala jarak yang dihadapi peneliti.
86
Daftar Pustaka
Albrecht, Jörn. 2006. Literarische Übersetzung. W.B.G. Bibliothek, Darmstadt
Allen, Graham. 2004. Intertextuality. Routledge, London, New York.
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jalasutra, Yogyakarta.
Amalia, Farida. 2009. Ideologi dalam Penerjemahan. Makalah disajikan dalam Forum Ilmiah Pengajar Bahasa Prancis Prancis se Indonesia di Bandung, April 2009.
Arnold, Heinz Ludwig & Heinrich Detering. 1996. Grundzüge der Literaturwissenschaft. Deutsche Taschenbuch Verlag, München.
Barker, Chris. 2003. Cultural Studies: Theory and Practice. Sage Publication, Thousand Oaks, New Delhi.
Bassnett, Susan. 2002. Translation Studies. Routledge, London, New York.
Boas, Franz. 1966. Introduction to Handbook of American Indian Languages. University of Nebraska Press, Lincoln, London.
Cronin, Michael. 2003. Translation and Globalization. Routledge, London, New York.
.......................... 2006. Translation and Identity. Routledge, London, New York.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. Verso, London, New York.
.......................... 1996. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Diterjemahkan oleh Harviah Widyawati dan Evi Setyarini. 2006. Jalasutra, Yogyakarta.
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Indiana University Press, Bloomington, London.
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne Ibsch. 1977. Theories of Literature in The Twentieth Century. C. Hurst & Company, London.
Funke, Cornelia.2000. Herr der Diebe. Dressler Verlag, Hamburg.
87
........................... 2000. Pangeran Pencuri. Diterjemahkan oleh Hendarto Setiadi. 2006. Katalis dan Gramedia, Jakarta.
Hardiman, FX.Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan bersama Jürgen Habermas. Kanisius, Yogyakarta.
Hawkes, David. 1996. Ideology. Routledge, London, New York.
van Helt, Meike. 2003. Manfred Pfister: Konzepte der Intertextualität. Bahan Kuliah di Freie Universität Berlin, untuk Semester Musim Panas 2003.
Hoed, Benny Hoedoro. 1984. Kala Sebagai Pengungkap Waktu Kebahasaan dalam Novel Bahasa Perancis dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
-----------------------------. 1993. Pengetahuan dasar Tentang Penerjemahan. Pusat Penerjemahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.
Ives, Peter & Rocco Lacorte. 2010. Gramsci, Language, and Translation. Lexington Books, Lonham, Boulder, New York.
Kafka, Franz. 1970. Sämtliche Erzählungen. Fischer Taschenbuch Verlag, Frankfurt am Main.
...................... 1970. Metamorfosis. Diterjemahkan oleh Juni Liem. 2008. Homerian Pustaka, Yogyakarta.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford University Press, Oxford.
Krywalski, Diether. 1995. Knaurs Lexikon der Weltliteratur: Autoren, Werke, Sachbegriffe. Knaur, München.
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Lukács, Georg. 1963. The Meaning of Contemporary Realism. Merlin Press, London.
Made Brata, Frans. 2008. Pergeseran Kohesi dan Koherensi dalam Penerjemahan Novel Mirror Image karya Danielle Steele. Artikel, dimuat dalam jurnal Linguistik Indonesia. Tahun ke 26.No.1.
Malmkjaer, Kirsten. 2005. The Linguistics Encyclopedia, Second Edition. Routlegde, London, New York.
88
Malrieu, Jean Pierre. 1999. Evaluative Semantics: Cognition, Language, and Ideology. Routledge, London, New York.
May, Karl. 1958. Und Friede auf Erden. Karl-May-Verlag, Bamberg, Radebeul.
................. 1958. Dan Damai di Bumi. Diterjemahkan oleh Agus Setiadi dan Hendarto Setiadi. 2002. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Mc. Gilvray, James. 2005. The Cambridge Companion to Chomsky. Cambridge University Press, Cambridge.
Murtadho, Nurul. Tanpa Tahun. Metafora dalam Al-Qur’An dan Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: Kajian Atas Metafora Cahaya, Kegelapan, dan Bebera Sifat Allah. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translating. E.J.Brill, Leiden.
Pudjiastuti, Titik. Tanpa Tahun. Sadjarah Banten: Suntingan Teks dan Terjemahan disertai Tinjauan Aksara dan Amanat. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Putra Yadnya, Ida Bagus. 2006. Implikasi Budaya dalam Penerjemahan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Denpasar. FIB. Udayana.
Saleh, Noer Jihad. 2007. The Linguistic Competence of Indonesian Translators in Translating English Texts into Indonesian Language: With Special Reference to Translators in Makassar. Disertasi. Tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Sancaya. I Dewa G.W. Tanpa Tahun. Sam Pek Eng Tay (Geguritan Sampik) dalam Kesusastraan Bali: Suntingan Teks dan Terjemahan: Kajian Struktur dan Resepsi. Thesis. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Sapir, Edward. 1985. Selected Writings in Language, Culture, and Personality. University of California Press, Berkeley, Los Angeles, London.
de Saussure, Ferdinand. 1922. Course in General Linguistics. Diterjemahkan oleh Roy Harris. Tanpa tahun. Duckworth, London.
Scherer, Savitri. 1981. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi. Diterjemahkan oleh Dalih Sembiring dkk. 2012. Komunitas Bambu, Jakarta.
89
Schneider, Hans-Wolfgang. 2007. Allgemeine Übersetzungstheori: Verstehen und Wieder-geben. Romanistischer Verlag, Bonn.
Spillmann, Hans-Otto. 1996. Einführung in die germanistische Linguistik. Langenscheidt, Berlin.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Pustaka Jaya, Jakarta.
Thompson, John B. 1990. Ideology and Modern Culture. Polity Press, Cambridge.
Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture: Narratives of Difference and Belonging. Open University Press, Berkshire.
Wehantouw, O.J. 1988. Theory and Practice of Teaching Translation to University Students. Thesis. Tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Whorf, Benjamin Lee. 1956. Language, Thought, and Reality. Wiley, New York.
Wills, Wolfram. 1996. Übersetzungsunterricht: Eine Einführung. Günter Narr Verlag, Tübingen.
Žižek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. Verso, London, New York.
................... . 1994. Mapping Ideology. Verso, London, New York.
Sumber Internet:
James, Kate. 2011. Speaking in the Feminine: Consideration for Gender-Sensitive Translation. Translation Jornal and the Author, 2011 (http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last updated on: 03/18/2011 19:02:25), di akses 5 Agustus 2011.