pengaruh masa pemberian terapi terhadap …
TRANSCRIPT
1
PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI
TERHADAP PERUBAHAN SKOR MINI MENTAL STATE
EXAMINATION PADA PENDERITA STROK ISKEMIK AKUT
THE INFLUENCE OF THERAPEUTIC TIME TOWARD CHANGED MINI
MENTAL STATE EXAMINATION SCORE ON ACUTE ISCHEMIC
STROKE PATIENTS
NUR HIKMAH
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Strok merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah otak,
timbul mendadak dan biasanya mengenai penderita usia 45-80 tahun. Biasanya
tidak ada gejala-gejala prodroma atau gejala-gejala dini, dan muncul begitu
mendadak. Secara definisi WHO (World Health Organisation) menetapkan
bahwa defisit neurologik yang timbul semata-mata karena penyakit pembuluh
darah otak dan bukan oleh sebab yang lain. ( Misbach.J,2007).
Data epidemiologik WHO (1999) menyebutkan bahwa strok sebagai
penyebab kematian nomor 2 di seluruh dunia setelah penyakit jantung, dan
merupakan penyebab kecacatan utama pada usia produktif dan usia lanjut. Di
pusat-pusat pelayanan neurologi di Indonesia jumlah penderita strok selalu
menempati urutan pertama dari seluruh penderita rawat inap (Aliah ,2002).
Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan 125
penderita strok (20,5 %) dari seluruh penderita rawat inap di bagian Saraf pada
tahun 2001 dan 247 penderita (34,7 %) pada tahun 2002 (Aliah, 2002).
Seiring dengan meningkatnya strok dengan berbagai dampak klinis,
ekonomis, dan sosial akan berakibat terhadap peningkatan gangguan kognitif.
Karyoleksono (1997), melaporkan bahwa dari 30 penderita strok akut yang
dirawat di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan 16 penderita
(53,33%) mengalami gangguan kognitf.
3
Ganggguan kognitif pasca strok berhubungan dengan survival jangka
panjang yang pada akhirnya menuju kepada kualitas hidup penderita.
Peningkatan ini terutama berkaitan dengan faktor risiko seperti usia, faktor
vaskuler dan defisit neurologis (Bustami.M,2007)
Mengingat dampak gangguan kognitif pada seorang penderita strok, tidak
saja memberikan beban kesakitan yang lebih berat pada individu yang
bersangkutan, tetapi juga pada keluarga, masyarakat, maupun pelayanan
kesehatan maka perlu adanya upaya untuk menekan risiko ini. Diperlukan upaya
pencegahan terhadap terjadinya strok, atau jika sudah terjadi strok, risiko
terjadinya gangguan kognitif dapat ditekan seminimal mungkin (Bustami.M,2007)
Pendekatan terhadap kasus-kasus neurologi mulai berkembang ke arah
penanganan yang lebih agresif dan sesegera mungkin dengan tujuan
menurunkan tingkat kematian, menurunkan angka kesakitan, mempersingkat
lama perawatan, menurunkan angka kecacatan dan menekan biaya perawatan.
Sebagian dari kasus neurologi termasuk strok merupakan kasus dengan kondisi
kritis yang membutuhkan penanganan intensif cepat, tepat dan cermat.
(Bustami.M,2007)
Sehubungan dengan itu dalam penanggulangan emergensi strok,
pemanfaatan waktu emas (golden period) 6-8 jam hendaklah semaksimal
mungkin dan harus tepat serta akurat sehingga kerusakan otak lebih lanjut
(secondary insult) dapat di cegah. (Bustami.M,2007)
Sampai saat ini penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan saat
dimulainya terapi pada penderita strok adalah outcome strok secara fisik
4
sedangkan outcome strok berupa kecacatan secara mental, salah satunya
adalah gangguan kognitif, yakni pengaruh kecepatan pemberian terapi terhadap
perubahan klinis penderita strok iskemik akut yang dinilai dengan menggunakan
skor MMSE belum diteliti. Penelitian sebelumnya dilakukan di RSUD Dr. Sutomo
Surabaya diperoleh bahwa faktor periode kedatangan penderita strok di luar
therapeutic window lebih dari 12 jam menunjukkan hubungan yang signifikan dan
meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif pasca strok (Martini, Santi, 2001).
Studi double blind, Uji coba dengan kontrol placebo pemberian citicoline
500 mg sehari secara intravena pada strok dengan onset 48 jam dan di pantau
setelah 10 hari pengobatan, dan menunjukkan perbaikan yang signifikan
terhadap kekuatan otot, sensoris, dan fungsi kortikal luhur (Goyas, Bastard et al. 1980).
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengevaluasi terapi citicoline pada
strok iskemik akut. Takazi et al.(1988) menyimpulkan bahwa citicoline dapat
memulihkan penurunan kesadaran pada penderita strok iskemik akut. Bruhwyler
et al. (1997) menunjukkan bahwa citicoline efektif dan ditoleransi dengan baik
untuk pasien-pasien yang menderita strok infark akut. Clark et al.(1997)39
menyimpulkan bahwa pada penderita strok citicoline dapat memperbaiki
outcome fungsional, menurunkan defisit neurologis, serta efek samping
pengobatan yang minimal. Pada penelitian yang terbaru, Clark et al. (1999)
gagal memperkuat hasil penelitian sebelumnya.
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan suatu
untuk menilai adanya disfungsi kognitif secara sederhana dan mudah dilakukan.
5
Pemeriksaan ini dapat menjadi pemeriksaan penapis, pedoman evaluasi lebih
lanjut efektifitas pengobatan atau menentukan progresifitas penyakit (Dikot Y,2002).
Sejauh penelusuran kami, penelitian tentang waktu yang terbaik masa
pemberian terapi pada penderita strok iskemok akut yang dinilai dengan
menggunakan skor MMSE belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di
Makassar.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
I.2.1. Apakah ada pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan klinis
dengan menggunakan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut?
I.2.2. Bagaimana pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan klinis
dengan menggunakan skor MMSE pada penderita iskemik strok akut?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh masa pemberian terapi terhadap skor
MMSE pada penderita strok iskemik akut.
I.3.2.Tujuan Khusus
I.3.2.1. Menilai perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut yang
memperoleh terapi < 24 jam dari onset.
I.3.2.2. Menilai perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut yang
memperoleh terapi 24-72 jam dari onset.
6
I.3.2.3 Membandingkan perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik
akut yang memperoleh terapi < 24 jam dan yang memperoleh terapi 24-
72 jam.
I.4. HIPOTESIS
I.4.1. Ada pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan skor MMSE
pada penderita strok iskemik akut.
I.4.2. Semakin cepat diberikan terapi perubahan klinis semakin baik.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Memberikan informasi ilmiah tentang efek pemberian terapi terhadap
perubahan klinis yang dinilai dengan menggunakan skor MMSE pada
penderita strok akut.
I.5.2 Sebagai bahan informasi bagi peneliti berikutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI STROK
Definisi strok menurut WHO Monica Project adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global) yang
berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan
kematian, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular
(WHO, 1998).
II.2. KLASIFIKASI
WHO 1989, membagi strok berdasarkan gambaran klinik, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya, sebagai berikut: (WHO, 1989)
A. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, terdiri dari:
1. Strok Iskemik, terdiri dari:
a. TIA
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Strok Hemoragik, terdiri dari:
a. Perdarahan Intraserebral
b. Perdarahan Subarakhnoid
B. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu, terdiri dari:
1. TIA. Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu kurang
dari 24 jam.
8
2. RIND. Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
3. Progressing Strok atau Strok in evolution. Gejala neurologis yang makin
lama makin berat.
4. Complete Strok. Gejala klinis sudah menetap.
C. Berdasarkan sistem pembuluh darah yang terkena, dibagi dalam:
5. Sistem karotis
6. Sistem vertebrobasilar
II.3. FAKTOR RISIKO STROK
Faktor resiko strok dibagi atas 3 yaitu: (Adam HP, 2001 ; Aliah, 2004)
1. Faktor resiko yang tak dapat diubah (non-modifiable risk factor) meliputi :
umur, bangsa / etnis, jenis kelamin, dan faktor turunan.
2. Faktor resiko yang bisa diubah (modifiable risk factor) meliputi : hipertensi,
penyakit jantung, fibrilasi atrium (AF), diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok, penyakit karotis asimtomatik, penyakit infeksi, alkohol, riwayat TIA /
strok
3. Faktor resiko yang sedang dalam taraf penelitian epidemiologik : kegemukan,
diet, kegiatan fisik, stres, hematokrit, hiperkoagulabilitas, terapi sulih hormon
(HRT), hiperhomosisteinemia, antibodi anti fosfolipid, faktor-faktor lipoprotein,
kontrasepsi oral, proses inflamasi, fibrinogen, ateroma aorta.
9
II.4. PATOFISIOLOGI STROK ISKEMIK
Iskemia otak adalah gangguan aliran darah otak (ADO) yang
membahayakan fungsi neuron. Bila ADO turun pada batas kritis yaitu 10-18
ml/100 gr otak/menit maka akan terjadi penekanan aktivitas neuronal tanpa
perubahan struktural sel.
Pada strok iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang
berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara
umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan
tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi
nekrotik dalam waktu singkat jika tak ada reperfusi. (Misbach.J,2007)
Diluar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel
otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang
fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Defisit neurologis
pada infark otak terjadi dalam 24 jam pertama (Misbach.J,2007, Harsono,2005)
Daerah penumbra iskemik berkaitan dengan penanganan strok yang
disebut dengan therapeutic window, yaitu 6-8 jam setelah awitan. Daerah inilah
yang menjadi sasaran terapi strok iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-
sel otak dapat berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu
dan jika tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur
mengalami kematian dan infark bertambah luas. (Misbach.J,2007, Hadinoto.S,1992)
Dipandang dari segi biologi molekuler, ada 2 mekanisme kematian sel
otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian akibat ledakan sel akut akibat
10
penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan
proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua adalah proses
apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau
shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. (Misbach.J,2007)
Nekrosis seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat
bocornya neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap
struktur sitskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar
membrane lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian apoptotic mungkin lebih
berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung lebih lambat
melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium, yang diikuti proses
depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya kontrol terhadap
metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini memicu mitokondria untuk
melepaskan enzim caspase-apoptosis. (Misbach.J,2007)
II.5. PERJALANAN PENYAKIT
Berdasarkan patofisiologi dan perjalanan penyakit, penatalaksanaan
terhadap penderita strok dimulai sejak stadium prepatogenesa, fase patogenesa
dan fase pasca patogenesa. (PERDOSSI,2004).
Stadium prapatogenesa merupakan suatu keadaan seseorang individu
yang mempunyai potensi untuk terjadi strok, kecenderungan ini umumnya
disebabkan oleh adanya faktor risiko (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung, hiperkolesterol, dll) yang sudah lama diderita pasien. (Ahmad A,2007)
Stadium patogenesa umumnya tejadi pada individu yang telah menderita
serangan strok dan membutuhkan te rapi/tindakan klinis di rumah sakit,
11
penatalaksanaan fase ini terdiri dari penatalaksanaan stadium hiperakut, stadium
akut, dan stadium sub akut. (Ahmad A,2007)
Stadium pasca patogenesa ini ditandai dengan penatalaksanaan kronik
strok yang mengutamakan prosedur rehabilitasi, Pada fase pasca patogenesa,
lesi patologik dianggap sudah stabil dan perubahan yang ada hanya merupakan
proses yang adaptif dari sistem saraf terhadap lesi patologik atau adaptasi sosial
terhadap kemampuan dan kecacatan yang ada. (Ahmad A,2007).
Sehubungan dengan penatalaksanaannya, stadium patogenesa dapat
dibagi menjadi 3 fase, fase tersebut adalah sebagai berikut : (Ahmad A,2007)
1. Fase Hiperakut
Fase hiperakut atau fase emergensi adalah kumpulan gejala klinis yang
terjadi pada menit/jam pertama serangan otak. Fase ini berlangsung selama 0-
3/ 12 jam pasca onset. Penatalaksanaan pada fase ini lebih ditujukan untuk
menegakkan diagnosa dan usaha untuk membatasi lesi patologik yang
terbentuk. Pengobatan hiperakut Strok mungkin dapat dilakukan jika admission
time kurang dari 3 jam dengan trombolisis, sisanya lebih dari 6 jam terapi yang
masih dapat diharapkan adalah dengan neuroprotektan. (Misbach.J,2007
2. Fase Akut
Fase ini berlangsung sesudah 12 jam – 14 hari pasca onset.
Penatalaksanaan pada fase ini ditujukan untuk prevensi terjadinya komplikasi,
usaha yang sangat fokus pada restorasi/rehabilitasi dini untuk usaha prevensi
sekunder. (Ahmad A,2007)
12
3. Fase Subakut
Fase ini berlangsung sesudah 14 hari – kurang dari 180 hari pasca onset.
Ditandai oleh adanya pemulihan pada lesi patologik saraf dan reorganisasi dari
seluruh sistem saraf (kondisi ini masih tidak stabil), stadium ini disebut juga
stadium restoratif. Pada fase ini sering penderita sudah tidak dirawat di rumah
sakit dan penatalaksanaan lebih tujukan untuk usaha prevensi sekunder serta
usaha yang fokus pada neurorestorasi/rehabilitasi dan usaha menghindari
komplikasi.Tergantung dari jenis dan keparahan lesi saraf serta kondisi
ekstraneural yang berpengaruh.(Unit Strok 2005, Ahmad.A, 2007)
II.6. GAMBARAN KLINIS
Defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba adalah tanda khas dari strok.
Gejala dan tanda klinis strok berbeda dari kasus ke kasus, tergantung pada luas
lesi dan letak lesi (sistem karotis atau vertebrobasiler). Berdasarkan letak lesi
vaskuler ini, gejala dan tanda strok dibedakan menjadi (Ahmad.A, Bustami,2007):
1. Gejala klinis sistem karotis :
a. Disfungsi motorik berupa hemiparese kontralateral dan parese motorik
saraf kranial ipsilateral dengan parese ekstremitas.
b. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi kontralateral, hipestesi saraf
kranial ipsilateral dengan hipestesi ekstremitas dan dapat juga berupa
parestesi.
c. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim kontralateral.
d. Gangguan fungsi luhur, seperti afasia (lesi hemisfer dominan) dan
agnosia (lesi hemisfer non dominan)
13
e. Gangguan fungsi otonom berupa inkontinensia dan retensi urin, gangguan
defekasi, impotensi, gangguan keringat dan lain-lain.
2. Gejala klinis sistem vertebrobasiler :
a. Disfungsi motorik berupa hemiparese alternans, yaitu parese motorik
saraf kranial kontralateral dengan parese ekstremitas
b. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi alternans, yaitu hipestesi saraf
kranial kontralateral dengan hipestesi ekstremitas
c. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim, satu atau dua sisi
lapangan pandang dan buta total
d. Gangguan lainnya berupa gangguan keseimbangan, vertigo, dan diplopia.
II.7. PENATALAKSANAAN SPESIFIK STROK ISKEMIK FASE AKUT
Fase akut strok terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai
keadaan pasien stabil, biasanya dalam 48-72 jam pertama. Pada prinsipnya
pengobatan Strok akut sangat menentukan kualitas hidup pasien. Oleh karena
itu motto tatalaksana pasien strok adalah Time is Brain. Perawatan harus
dilakukan di Unit Strok, karena telah dibuktikan dan diakui oleh FDA-Amerika
Serikat dan EUSI (Lembaga Strok Eropa) serta American Heart Association
American Strok Council, American Chest Physician Association sebagai
Evidence Based Treatment, baik secara organisatoris maupun secara
Competency Based.(Mulyatsih,2007,Misbach.J,2007)
14
Penatalaksanaan Spesifik terdiri dari (Standar Pelayanan Medik,2008):
1. Iskemik Serebral :
Fase akut (12 jam pertama) dapat diberikan pentoksifilin infus dalam cairan
Ringer Laktat dosis 8 mg/kgBB/hari. Aspirin 80 mg per hari secara oral 48 jam
pertama setelah onset. Dapat dipakai Neuroprotektor piracetam, cithicholine
dan nimodipine.
Pasca Fase Akut : Pentoxifillin tablet: 2 x 400 mg, ASA dosis rendah 80-325
mg/ hari, neuroprotektor. Pencegahan Sekunder , ASA dosis rendah 80-325
mg/hari, ticlopidin 2 x 250 mg, kombinasi ASA dan tiklopidine dan pengobatan
faktor risiko strok yang ada
II.7.1. NEUROPROTEKTAN PADA STROK ISKEMIK
1. Citicholin
Mekanisme kerja utama citicolin (Guideline Strok,2007, Widjaya.D,2002)
Pada Level neuronal: 1. meningkatkan pembentukan choline dan
menghambat pengrusakan phosphatydilcholine (menghambat
phospholipase). 2. Pada metabolisme neuron meningkatkan ambilan glukosa,
menurunkan pembentukan asam laktat, mempercepat pembentukan
asetilkolin (neurotransmitter untuk fungsi kognitif) dan menghambat
radikalisasi asam lemak dalam keadaan iskemia. 3. Meningkatkan biosintesa
dan mencegah hidrolisis kardiolipin. Memelihara asam arakhidonat terikat
pada fosfatidilkolin. 4. Merangsang pembentukan glutation yang merupakan
antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas hidrogen peroksida dan
15
lipid peroksida. 5.Mengurangi peroksidasi lipid. 6.Mengembalikan aktivitas
Na+/K+ ATP ase.
Pada Level Vaskuler. 1. Meningkatkan aliran darah otak. 2.Meningkatkan
konsumsi oksigen. 3.Menurunkan resistensi vaskuler
Indikasi : Strok iskemik dalam = 24 jam pertama dari onset dan strok
hemoragik intraserebral. Terdapat bukti klinis bahwa Citicoline memperbaiki
outcome fungsional dan mengurangi defisit neurologis dengan dosis optimal
500 mg/hari yang diberikan dalam 24 jam setelah onset. Therapeutic window
2 – 14 hari (Kelas I, Tingkat Evidensi A)
2. Piracetam (Guideline Strok,2007)
Mekanisme Kerja
Pada Level neuronal.1. Berkaitan dengan kepala polar phospholipid
membran. 2. Memperbaiki fluiditas membran sel. 3. Memperbaiki
neurotransmisi. 4. Menstimulasi adenylate kinase yang mengkatalisa konversi
ADP menjadi ATP.
Pada Level vaskular.1.Meningkatkan deformabilitas eritrosit, maka aliran
darah otak meningkat.2. Mengurangi hiperagregasi platelet.3. Memperbaiki
mikrosirkulasi. Tidak ada perbedaan outcome fungsional antara kelompok
piracetam dibandingkan kontrol piracetam dosis 12 gram/hari bolus IV selama
4 minggu, dilanjutkan 4,8 gram/hari selama 12 minggu tidak memperbaiki
outcome jika diberikan dari 12 jam onset strok iskemik akut. (Kelas I, Tingkat
Evidence B). Piracetam mungkin bermanfaat jika diberikan dalam kurang 7
jam onset strok iskemik akut derajat sedang dan berat.(Kelas I, Tingkat
16
Evidensi B). Piracetam mungkin masih efektif untuk pengobatan afasia pasca
strok. (Kelas I Tingkat Evidensi B). (Guideline Strok,2007)
3. Nimodipin
Terdapat 14 uji klinis pada strok iskemik sejak tahun 1984 (9 uji klinis
menemukan tidak ada efek, 1 uji klinis ada perburukan, sedangkan 4 uji klinis
mendapatkan keluaran yang positif (Kelas I, Tingkat Evidensi A). Meta analisis
dari 29 trials, 7665 pasien: tidak ada manfaat pada strok iskemik. Nimodipin
meta analisis bermanfaat sebagai neuroprotektan, 48 jam dari onset (Kelas I,
Tingkat Evidensi A) (Guideline Strok,2007).
4. Nicergolin
Suatu penelitian pada pasien strok iskemik onset 24 jam pertama 8 mg IV
per hari selama 5 hari diikuti 30 mg oral perhari s/d 30 hari namun manfaat tidak
dikonfirmasi. Suatu meta-analisis memberikan bukti-bukti efek positif nicergoline
terhadap kognisi dan tingkah laku, akan tetapi juga didapatkan efek sampingan
nicergoline terutama pada orang tua. (Guideline Strok,2007)
5. Neuropeptide
Pemberian neuropeptida pada strok iskemik menunjukkan perbaikan yang
bemakna, makin besar dosis dan semakin dini pemberian maka makin baik
hasilnya (Skor Orgogozo dan Barthel Index) (Kelas I, Tingkat Evidensi B). (Guideline
Strok,2007)
17
II.7.2. HEMOREOLOGIK
Pentoxyphylline
Cara kerjanya : menurunkan viskositas darah, menambah deformabilitas
eritrosit, menurunkan kadar fibrinogen, menghambat agregasi trombosit, dan
meningkatkan aliran darah ke otak. Pentoxyphylline mengurangi risiko TIA yang
berulang-ulang, akan tetapi pada strok iskemik akut perbaikan fungsi neurologik
tak menentu (Widjaya.D,2002).
II.7.3. ANTI AGREGASI TROMBOSIT (ANTIPLATELET)
Acetyl Salicylic Acid (ASA)
Satu-satunya obat anti trombosit yang diriset untuk strok iskemik akut
adalah aspirin. ASA yang diberikan dalam 48 jam pada strok iskemik akut
memperbaiki sedikit prognosis (Widjaya.D, 2002).
Pada umumnya manfaat ASA pada pengobatan strok iskemik akut dan
pencegahan strok adalah pasti akan tetapi hasilnya sedang. Pemberian aspirin
dengan dosis awal 325 mg dalam 24 – 48 jam setelah onset strok dianjurkan
untuk setiap strok iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi B). Pengobatan
gabungan dengan antiplatelet lain yang bekerja dengan cara lain dapat
memaksimalkan manfaat ASA (Guideline Strok, 2007, Widjaya.D, 2002). .
II.8. GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF
1. Definisi Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif adalah suatu gangguan fungsi luhur otak berupa
gangguan orientasi, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual.
18
2. Insidens Gangguan Kognitif
Semua kelainan yang mengenai otak dapat menyebabkan gangguan
kognitif. Para peneliti melaporkan bahwa gangguan kognitif banyak muncul pada
penderita strok. Laporan dari Florence Italia ditemukan prevalensi 1,6% timbul
gangguan kognitif ringan dan 3,0% timbul gangguan kognitif berat. Di Finlandia
didapatkan prevalensi berdasarkan umur 55-64, 65-74 dan 75-85 tahun, yaitu
45,7%, 53,8% dan 74,1% muncul penurunan fungsi kognitif setelah serangan
strok iskemik akut.
Gangguan fungsi kognitif untuk jangka panjang jika tidak dilakukan
penanganan yang optimal akan meningkatkan insidens demensia (Karyoleksono.S,
Aliah.A,1997).
3. Faktor Risiko Gangguan Kognitif
Desmon et all (1993), melakukan penelitian tentang hubungan antara
faktor-faktor risiko untuk strok dan fungsi kognitif pada 249 penderita strok
dengan pemeriksaan fungsi-fungsi memori, bahasa, visospatial, pemikiran
abstrak. Ternyata ditemukan bahwa DM merupakan faktor risiko untuk terjadinya
gangguan pemikiran abstrak dan disfungsi visospatial, sedangkan
hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko untuk terjadinya disfungsi memori.
Faktor risiko yang mempengaruhi pembuluh darah dalam jangka lama seperti
DM dan hiperkolesterolemia dapat menimbulkan penyakit aterosklerotik yang
dapat menyebabkan adanya “silent infarction” atau aliran darah otak (ADO)
terganggu dan gangguan fungsi kognitif (Karyoleksono.S, Aliah.A,1997).
19
4. Patofisiologi Gangguan Kognitif
Untuk menentukan adanya gangguan kognitif, yaitu berupa gangguan
ingatan, bahasa, praksis, gnosis, kinerja visospasial dan manipulasi
pengetahuan yang diperoleh secara neuroanatomis paling relevan dan paling
berguna dalam mendiferensiasi gangguan-gangguan tersebut (Firmansyah.R, 2006).
Hubungan antara lesi-lesi vaskuler dalam otak dengan gangguan fungsi
kognitif mendapat perhatian yang sangat besar dari para ahli. Berbagai
perubahan dalam otak dinyatakan dengan pemeriksaan CT Scan, MRI, atau
pemeriksaan patologi serebrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai faktor
etiologi dan gejala-gejala gangguan fungsi kognitif. Menurut Synder (1992),
dasar dari semua proses informasi dalam sistem saraf pusat adalah
neurotrasmiter. Komunikasi melalui sinaps terjadi dengan perantaraan
neurotransmiter spesifik. Berbagai jalur saraf yang menggunakan
neurotransmiter tertentu mengalami kerusakan pada gangguan kognitif dan
demensia terutama jalur kolinergik, adrenergik, dopaminergik, serotoninergik dan
peptidergik.
Kerusakan jalur kolinergik didapatkan terutama di daerah basal forebrain,
hipokampus dan amigdala. Kerusakan jalur monoamin terutama terjadi di batang
otak, tepatnya di locus coreoleus dan daerah sekitar ganglia basalis yang
menggunakan dopaminergik sebagai neurotransmiternya. Kerusakan inti dan
jalur saraf tersebut menimbulkan kelainan biokimiawi neurotransmiter yang
bersangkutan.
20
Teori terjadinya gangguan fungsi kognitif juga dipengaruhi oleh letak
anatomis kelainan di otak. Berbagai bagian di otak merupakan subtrat anatomi
fungsi mental tertentu, misalnya sistem limbik adalah sebagai substrat anatomi
fungsi vital atau otonom dan emosional, sistem korpus kallosum dan gyrus
cynguli ialah substrat anatomi fungsi asosiasi, neokorteks adalah substrat
anatomi fungsi intelektual, elemen pengetahuan, kode moral dan kode sosial .
Geswind (1997), yang dianggap sebagai pelopor neurologi perilaku, telah
banyak membahas mengenai sindroma diskoneksi dengan melengkapi bagan
konseptual dalam mengintegrasikan neuroanatomi dan neuropsikologi kognitif
yang kemudian merupakan dasar neurologi perilaku. Kalau kelainan di daerah
korteks disebut sebagai defisit kortikal luhur, maka kelainan pada jaras
substansia alba yang menghubungkan antara daerah kortikal disebut sebagai
sindroma diskoneksi. Jalur masuk utama ke korteks serebral mengandung
informasi visual, auditorius, dan somatosensoris dan masing-masing mengarah
terutama ke korteks oksipitalis, temporalis dan parietalis.
Efek klinis lesi-lesi lobus frontalis dapat menyebabkan gangguan fungsi
kognitif, terutama perhatian, konsentrasi dan kapasitas kegiatan yang terus
menerus. Suatu keadaan tidak dapat dianggap berasal dari daerah-daerah
prefrontal secara spesifik, karena hal itu mungkin suatu refleksi gangguan yang
lebih umum dari talamolimbik atau Reticular Activating Thalamocortical System,
dan bahwa defisit intelektual kognitif paling banyak berhubungan dengan lesi-lesi
pada bagian dorsolateral dari lobus prefrontal dikaitkan dengan hubungan
korteks frontalis dengan bagian otak yang lain. Selain itu korteks prefrontal
21
menerima input dari sumber-sumber subkortikal yaitu : (1) Sistem limbik, (2)
Sistem retikuler, (3) Hypotalamus, dan (4) Sistem neurotransmiter. Korteks
prefrontal merupakan satu-satunya bagian kortikal yang menerima input kuat dari
sistem sensorimotorik, limbik dan retikuler, ditambah lagi input dari hipotalamus
dan autonomik serta dipengaruhi banyak neurotransmiter sehingga korteks
prefrontal dalam posisi yang kuat untuk monitor rangsang intrinsik, ekstrinsik dan
melakukan pengawasan terhadap berbagai fungsi otak (Firmansyah.R,2006).
II.9. PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF
Terdapat beberapa ukuran standardisasi fungsi neurobehavioral yang
umum digunakan oleh para klinisi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan
memeriksa secara kuantitatif perkembangan gejala sejalan dengan waktu dan
respon pada pengobatan. Beberapa ukuran yang secara potensial bermanfaat
adalah Mini Mental State Examination (MMSE), Clock Drawing Test (CDT),
Clinical Dementia Rating (CDR), Neuro-psichiatry Inventory (NPI), dan Back
Depression Inventory. Dari kesemuanya di atas, yang paling sering digunakan
adalah MMSE (Sidiarto LD, Kusumoputro S,2003)
Mini Mental State Examination (MMSE)
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah pemeriksaan penapisan
yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektifitas
pengobatan, dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE
adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita
22
dengan nilai MMSE kurang dari 27, terutama pada golongan berpendidikan tinggi
(Dikot.Y, 2007)
MMSE vesi kelompok studi (POKDI) Behavioral Neurology, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) merupakan hasil adaptasi dari
MMSE asli (Folstein, 1975) dan telah dipakai secara luas di Indonesia. Penelitian
Aminah di RS. Hasan Sadikin (n=500, rerata umur 58,45±8,59), rerata nilai
MMSE subyek normal adalah 28.37± 2.02, dan 96,6% subyek ini memiliki nilai
MMSE memiliki nilai MMSE = 24. Penelitian Anam dan Yustiani di Bandung 2004
(n=624, rerata umur 65.47±6.50), rerata nilai MMSE subyek normal 27,83±3,34.
Sebanyak 92,3% subyek ini memiliki nilai MMSE = 24. (Ong AP,2007)
MMSE adalah suatu pemeriksaan yang valid (sah) untuk fungsi kognitif.
Skornya mengikuti perubahan dari status kognitif . Skor ini juga berkaitan dengan
dengan standar kognitif yaitu Wechler Adult Intelligence Scale (WAIS). MMSE
disebut mini karena hanya berkonsentrasi pada aspek kognitif pada fungsi
mental. MMSE terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah bagian yang
hanya memerlukan respon vokal dan mencakup orientasi, memori, dan atensi.
Skor maksimumnya adalah 21. Bagian kedua menguji kemampuan penamaan,
mengikuti perintah verbal dan tulisan, menulis suatu kalimat secara spontan, dan
meniru gambar poligon kompleks. Skor maksimumnya adalah 9. Oleh karena
membaca dan menulis termasuk bagian kedua, pasien dengan gangguan
penglihatan yang berat dapat mengalami kesulitan tambahan dan biasanya
dipermudah dengan tulisan yang besar sehingga memungkinkan penilaian. Tes
ini tidak dibatasi oleh waktu (Yuwono, Akbar.M, 2007).
23
Pemeriksaan dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif
dalam kurun waktu tertentu. Untuk pasien yang berpendidikan rendah dengan
nilai MMSE 24 masih dapat dianggap normal. Nilai 17-23 menunjukkan probable
gangguan kognitif dan nilai 0 -16 menunjukkan definite gangguan kognitif (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003). Menggunakan MMSE sangat praktis untuk mengetahui
kesanggupan memori dan fungsi kognitif secara dini.(Goldblum et all,1994)
Pemeriksaan fungsi kognitif pada penderita strok dengan memakai
MMSE ternyata didapatkan sedikitnya 40% mengalami gangguan kognitif, pada
sepuluh hari pertama (Widjoto,2002).
Dalam praktek klinik, pemeriksaan MMSE terkadang masih dirasakan
panjang pada pelayanan primer. Abreviated Mental Test (AMT) dapat digunakan
sebagai alternatif lainnya. AMT adalah suatu pemeriksaan penyaring yang
sederhana dan ringkas terdiri dari 10 pertanyaan sederhana. Hasil pencapaian
tes ini dipengaruhi oleh usia dan lama pendidikan pasien. AMT lebih baik dipakai
pada kelompok pendidikan rendah (0 – 6) tahun dibanding MMSE (ong,AP,2007).
23
Klinis
II.10.KERANGKA KONSEP
FARMAKODINAMIK
Keterangan variabel : Keterangan hubungan : Variabel bebas Variabel antara Hubungan variabel bebas
Hubungan variabel tergantung Variabel tergantung Variabel kendali
Hubungan variable kendali
Neurotransmisi
? Usia ? Jenis Kelamin
Me? Na+/K+
ATP ase Level Neuronal
Level Vaskuler
Me? Deformabilitas Eritrosit/ ADO
Mikrosirkulasi
? Letak lesi ? Luas lesi
? Hipertensi ? DM ? Dislipidemi
Terapi Strok
< 24 jam
24-72 jam
STROK AKUT MMSE