pengaruh masa pemberian terapi terhadap …

24
1 PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP PERUBAHAN SKOR MINI MENTAL STATE EXAMINATION PADA PENDERITA STROK ISKEMIK AKUT THE INFLUENCE OF THERAPEUTIC TIME TOWARD CHANGED MINI MENTAL STATE EXAMINATION SCORE ON ACUTE ISCHEMIC STROKE PATIENTS NUR HIKMAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2008

Upload: others

Post on 10-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

1

PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI

TERHADAP PERUBAHAN SKOR MINI MENTAL STATE

EXAMINATION PADA PENDERITA STROK ISKEMIK AKUT

THE INFLUENCE OF THERAPEUTIC TIME TOWARD CHANGED MINI

MENTAL STATE EXAMINATION SCORE ON ACUTE ISCHEMIC

STROKE PATIENTS

NUR HIKMAH

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2008

Page 2: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

2

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Strok merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah otak,

timbul mendadak dan biasanya mengenai penderita usia 45-80 tahun. Biasanya

tidak ada gejala-gejala prodroma atau gejala-gejala dini, dan muncul begitu

mendadak. Secara definisi WHO (World Health Organisation) menetapkan

bahwa defisit neurologik yang timbul semata-mata karena penyakit pembuluh

darah otak dan bukan oleh sebab yang lain. ( Misbach.J,2007).

Data epidemiologik WHO (1999) menyebutkan bahwa strok sebagai

penyebab kematian nomor 2 di seluruh dunia setelah penyakit jantung, dan

merupakan penyebab kecacatan utama pada usia produktif dan usia lanjut. Di

pusat-pusat pelayanan neurologi di Indonesia jumlah penderita strok selalu

menempati urutan pertama dari seluruh penderita rawat inap (Aliah ,2002).

Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan 125

penderita strok (20,5 %) dari seluruh penderita rawat inap di bagian Saraf pada

tahun 2001 dan 247 penderita (34,7 %) pada tahun 2002 (Aliah, 2002).

Seiring dengan meningkatnya strok dengan berbagai dampak klinis,

ekonomis, dan sosial akan berakibat terhadap peningkatan gangguan kognitif.

Karyoleksono (1997), melaporkan bahwa dari 30 penderita strok akut yang

dirawat di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan 16 penderita

(53,33%) mengalami gangguan kognitf.

Page 3: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

3

Ganggguan kognitif pasca strok berhubungan dengan survival jangka

panjang yang pada akhirnya menuju kepada kualitas hidup penderita.

Peningkatan ini terutama berkaitan dengan faktor risiko seperti usia, faktor

vaskuler dan defisit neurologis (Bustami.M,2007)

Mengingat dampak gangguan kognitif pada seorang penderita strok, tidak

saja memberikan beban kesakitan yang lebih berat pada individu yang

bersangkutan, tetapi juga pada keluarga, masyarakat, maupun pelayanan

kesehatan maka perlu adanya upaya untuk menekan risiko ini. Diperlukan upaya

pencegahan terhadap terjadinya strok, atau jika sudah terjadi strok, risiko

terjadinya gangguan kognitif dapat ditekan seminimal mungkin (Bustami.M,2007)

Pendekatan terhadap kasus-kasus neurologi mulai berkembang ke arah

penanganan yang lebih agresif dan sesegera mungkin dengan tujuan

menurunkan tingkat kematian, menurunkan angka kesakitan, mempersingkat

lama perawatan, menurunkan angka kecacatan dan menekan biaya perawatan.

Sebagian dari kasus neurologi termasuk strok merupakan kasus dengan kondisi

kritis yang membutuhkan penanganan intensif cepat, tepat dan cermat.

(Bustami.M,2007)

Sehubungan dengan itu dalam penanggulangan emergensi strok,

pemanfaatan waktu emas (golden period) 6-8 jam hendaklah semaksimal

mungkin dan harus tepat serta akurat sehingga kerusakan otak lebih lanjut

(secondary insult) dapat di cegah. (Bustami.M,2007)

Sampai saat ini penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan saat

dimulainya terapi pada penderita strok adalah outcome strok secara fisik

Page 4: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

4

sedangkan outcome strok berupa kecacatan secara mental, salah satunya

adalah gangguan kognitif, yakni pengaruh kecepatan pemberian terapi terhadap

perubahan klinis penderita strok iskemik akut yang dinilai dengan menggunakan

skor MMSE belum diteliti. Penelitian sebelumnya dilakukan di RSUD Dr. Sutomo

Surabaya diperoleh bahwa faktor periode kedatangan penderita strok di luar

therapeutic window lebih dari 12 jam menunjukkan hubungan yang signifikan dan

meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif pasca strok (Martini, Santi, 2001).

Studi double blind, Uji coba dengan kontrol placebo pemberian citicoline

500 mg sehari secara intravena pada strok dengan onset 48 jam dan di pantau

setelah 10 hari pengobatan, dan menunjukkan perbaikan yang signifikan

terhadap kekuatan otot, sensoris, dan fungsi kortikal luhur (Goyas, Bastard et al. 1980).

Beberapa penelitian dilakukan untuk mengevaluasi terapi citicoline pada

strok iskemik akut. Takazi et al.(1988) menyimpulkan bahwa citicoline dapat

memulihkan penurunan kesadaran pada penderita strok iskemik akut. Bruhwyler

et al. (1997) menunjukkan bahwa citicoline efektif dan ditoleransi dengan baik

untuk pasien-pasien yang menderita strok infark akut. Clark et al.(1997)39

menyimpulkan bahwa pada penderita strok citicoline dapat memperbaiki

outcome fungsional, menurunkan defisit neurologis, serta efek samping

pengobatan yang minimal. Pada penelitian yang terbaru, Clark et al. (1999)

gagal memperkuat hasil penelitian sebelumnya.

Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan suatu

untuk menilai adanya disfungsi kognitif secara sederhana dan mudah dilakukan.

Page 5: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

5

Pemeriksaan ini dapat menjadi pemeriksaan penapis, pedoman evaluasi lebih

lanjut efektifitas pengobatan atau menentukan progresifitas penyakit (Dikot Y,2002).

Sejauh penelusuran kami, penelitian tentang waktu yang terbaik masa

pemberian terapi pada penderita strok iskemok akut yang dinilai dengan

menggunakan skor MMSE belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di

Makassar.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

I.2.1. Apakah ada pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan klinis

dengan menggunakan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut?

I.2.2. Bagaimana pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan klinis

dengan menggunakan skor MMSE pada penderita iskemik strok akut?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh masa pemberian terapi terhadap skor

MMSE pada penderita strok iskemik akut.

I.3.2.Tujuan Khusus

I.3.2.1. Menilai perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut yang

memperoleh terapi < 24 jam dari onset.

I.3.2.2. Menilai perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik akut yang

memperoleh terapi 24-72 jam dari onset.

Page 6: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

6

I.3.2.3 Membandingkan perubahan skor MMSE pada penderita strok iskemik

akut yang memperoleh terapi < 24 jam dan yang memperoleh terapi 24-

72 jam.

I.4. HIPOTESIS

I.4.1. Ada pengaruh masa pemberian terapi terhadap perubahan skor MMSE

pada penderita strok iskemik akut.

I.4.2. Semakin cepat diberikan terapi perubahan klinis semakin baik.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Memberikan informasi ilmiah tentang efek pemberian terapi terhadap

perubahan klinis yang dinilai dengan menggunakan skor MMSE pada

penderita strok akut.

I.5.2 Sebagai bahan informasi bagi peneliti berikutnya.

Page 7: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI STROK

Definisi strok menurut WHO Monica Project adalah manifestasi klinis dari

gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global) yang

berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan

kematian, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular

(WHO, 1998).

II.2. KLASIFIKASI

WHO 1989, membagi strok berdasarkan gambaran klinik, patologi

anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya, sebagai berikut: (WHO, 1989)

A. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, terdiri dari:

1. Strok Iskemik, terdiri dari:

a. TIA

b. Trombosis serebri

c. Emboli serebri

2. Strok Hemoragik, terdiri dari:

a. Perdarahan Intraserebral

b. Perdarahan Subarakhnoid

B. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu, terdiri dari:

1. TIA. Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu kurang

dari 24 jam.

Page 8: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

8

2. RIND. Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih

dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.

3. Progressing Strok atau Strok in evolution. Gejala neurologis yang makin

lama makin berat.

4. Complete Strok. Gejala klinis sudah menetap.

C. Berdasarkan sistem pembuluh darah yang terkena, dibagi dalam:

5. Sistem karotis

6. Sistem vertebrobasilar

II.3. FAKTOR RISIKO STROK

Faktor resiko strok dibagi atas 3 yaitu: (Adam HP, 2001 ; Aliah, 2004)

1. Faktor resiko yang tak dapat diubah (non-modifiable risk factor) meliputi :

umur, bangsa / etnis, jenis kelamin, dan faktor turunan.

2. Faktor resiko yang bisa diubah (modifiable risk factor) meliputi : hipertensi,

penyakit jantung, fibrilasi atrium (AF), diabetes mellitus, dislipidemia,

merokok, penyakit karotis asimtomatik, penyakit infeksi, alkohol, riwayat TIA /

strok

3. Faktor resiko yang sedang dalam taraf penelitian epidemiologik : kegemukan,

diet, kegiatan fisik, stres, hematokrit, hiperkoagulabilitas, terapi sulih hormon

(HRT), hiperhomosisteinemia, antibodi anti fosfolipid, faktor-faktor lipoprotein,

kontrasepsi oral, proses inflamasi, fibrinogen, ateroma aorta.

Page 9: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

9

II.4. PATOFISIOLOGI STROK ISKEMIK

Iskemia otak adalah gangguan aliran darah otak (ADO) yang

membahayakan fungsi neuron. Bila ADO turun pada batas kritis yaitu 10-18

ml/100 gr otak/menit maka akan terjadi penekanan aktivitas neuronal tanpa

perubahan struktural sel.

Pada strok iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan

hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang

berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara

umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan

tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi

nekrotik dalam waktu singkat jika tak ada reperfusi. (Misbach.J,2007)

Diluar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel

otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang

fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Defisit neurologis

pada infark otak terjadi dalam 24 jam pertama (Misbach.J,2007, Harsono,2005)

Daerah penumbra iskemik berkaitan dengan penanganan strok yang

disebut dengan therapeutic window, yaitu 6-8 jam setelah awitan. Daerah inilah

yang menjadi sasaran terapi strok iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-

sel otak dapat berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu

dan jika tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur

mengalami kematian dan infark bertambah luas. (Misbach.J,2007, Hadinoto.S,1992)

Dipandang dari segi biologi molekuler, ada 2 mekanisme kematian sel

otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian akibat ledakan sel akut akibat

Page 10: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

10

penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan

proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua adalah proses

apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau

shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. (Misbach.J,2007)

Nekrosis seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat

bocornya neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap

struktur sitskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar

membrane lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian apoptotic mungkin lebih

berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung lebih lambat

melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium, yang diikuti proses

depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya kontrol terhadap

metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini memicu mitokondria untuk

melepaskan enzim caspase-apoptosis. (Misbach.J,2007)

II.5. PERJALANAN PENYAKIT

Berdasarkan patofisiologi dan perjalanan penyakit, penatalaksanaan

terhadap penderita strok dimulai sejak stadium prepatogenesa, fase patogenesa

dan fase pasca patogenesa. (PERDOSSI,2004).

Stadium prapatogenesa merupakan suatu keadaan seseorang individu

yang mempunyai potensi untuk terjadi strok, kecenderungan ini umumnya

disebabkan oleh adanya faktor risiko (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit

jantung, hiperkolesterol, dll) yang sudah lama diderita pasien. (Ahmad A,2007)

Stadium patogenesa umumnya tejadi pada individu yang telah menderita

serangan strok dan membutuhkan te rapi/tindakan klinis di rumah sakit,

Page 11: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

11

penatalaksanaan fase ini terdiri dari penatalaksanaan stadium hiperakut, stadium

akut, dan stadium sub akut. (Ahmad A,2007)

Stadium pasca patogenesa ini ditandai dengan penatalaksanaan kronik

strok yang mengutamakan prosedur rehabilitasi, Pada fase pasca patogenesa,

lesi patologik dianggap sudah stabil dan perubahan yang ada hanya merupakan

proses yang adaptif dari sistem saraf terhadap lesi patologik atau adaptasi sosial

terhadap kemampuan dan kecacatan yang ada. (Ahmad A,2007).

Sehubungan dengan penatalaksanaannya, stadium patogenesa dapat

dibagi menjadi 3 fase, fase tersebut adalah sebagai berikut : (Ahmad A,2007)

1. Fase Hiperakut

Fase hiperakut atau fase emergensi adalah kumpulan gejala klinis yang

terjadi pada menit/jam pertama serangan otak. Fase ini berlangsung selama 0-

3/ 12 jam pasca onset. Penatalaksanaan pada fase ini lebih ditujukan untuk

menegakkan diagnosa dan usaha untuk membatasi lesi patologik yang

terbentuk. Pengobatan hiperakut Strok mungkin dapat dilakukan jika admission

time kurang dari 3 jam dengan trombolisis, sisanya lebih dari 6 jam terapi yang

masih dapat diharapkan adalah dengan neuroprotektan. (Misbach.J,2007

2. Fase Akut

Fase ini berlangsung sesudah 12 jam – 14 hari pasca onset.

Penatalaksanaan pada fase ini ditujukan untuk prevensi terjadinya komplikasi,

usaha yang sangat fokus pada restorasi/rehabilitasi dini untuk usaha prevensi

sekunder. (Ahmad A,2007)

Page 12: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

12

3. Fase Subakut

Fase ini berlangsung sesudah 14 hari – kurang dari 180 hari pasca onset.

Ditandai oleh adanya pemulihan pada lesi patologik saraf dan reorganisasi dari

seluruh sistem saraf (kondisi ini masih tidak stabil), stadium ini disebut juga

stadium restoratif. Pada fase ini sering penderita sudah tidak dirawat di rumah

sakit dan penatalaksanaan lebih tujukan untuk usaha prevensi sekunder serta

usaha yang fokus pada neurorestorasi/rehabilitasi dan usaha menghindari

komplikasi.Tergantung dari jenis dan keparahan lesi saraf serta kondisi

ekstraneural yang berpengaruh.(Unit Strok 2005, Ahmad.A, 2007)

II.6. GAMBARAN KLINIS

Defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba adalah tanda khas dari strok.

Gejala dan tanda klinis strok berbeda dari kasus ke kasus, tergantung pada luas

lesi dan letak lesi (sistem karotis atau vertebrobasiler). Berdasarkan letak lesi

vaskuler ini, gejala dan tanda strok dibedakan menjadi (Ahmad.A, Bustami,2007):

1. Gejala klinis sistem karotis :

a. Disfungsi motorik berupa hemiparese kontralateral dan parese motorik

saraf kranial ipsilateral dengan parese ekstremitas.

b. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi kontralateral, hipestesi saraf

kranial ipsilateral dengan hipestesi ekstremitas dan dapat juga berupa

parestesi.

c. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim kontralateral.

d. Gangguan fungsi luhur, seperti afasia (lesi hemisfer dominan) dan

agnosia (lesi hemisfer non dominan)

Page 13: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

13

e. Gangguan fungsi otonom berupa inkontinensia dan retensi urin, gangguan

defekasi, impotensi, gangguan keringat dan lain-lain.

2. Gejala klinis sistem vertebrobasiler :

a. Disfungsi motorik berupa hemiparese alternans, yaitu parese motorik

saraf kranial kontralateral dengan parese ekstremitas

b. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi alternans, yaitu hipestesi saraf

kranial kontralateral dengan hipestesi ekstremitas

c. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim, satu atau dua sisi

lapangan pandang dan buta total

d. Gangguan lainnya berupa gangguan keseimbangan, vertigo, dan diplopia.

II.7. PENATALAKSANAAN SPESIFIK STROK ISKEMIK FASE AKUT

Fase akut strok terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai

keadaan pasien stabil, biasanya dalam 48-72 jam pertama. Pada prinsipnya

pengobatan Strok akut sangat menentukan kualitas hidup pasien. Oleh karena

itu motto tatalaksana pasien strok adalah Time is Brain. Perawatan harus

dilakukan di Unit Strok, karena telah dibuktikan dan diakui oleh FDA-Amerika

Serikat dan EUSI (Lembaga Strok Eropa) serta American Heart Association

American Strok Council, American Chest Physician Association sebagai

Evidence Based Treatment, baik secara organisatoris maupun secara

Competency Based.(Mulyatsih,2007,Misbach.J,2007)

Page 14: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

14

Penatalaksanaan Spesifik terdiri dari (Standar Pelayanan Medik,2008):

1. Iskemik Serebral :

Fase akut (12 jam pertama) dapat diberikan pentoksifilin infus dalam cairan

Ringer Laktat dosis 8 mg/kgBB/hari. Aspirin 80 mg per hari secara oral 48 jam

pertama setelah onset. Dapat dipakai Neuroprotektor piracetam, cithicholine

dan nimodipine.

Pasca Fase Akut : Pentoxifillin tablet: 2 x 400 mg, ASA dosis rendah 80-325

mg/ hari, neuroprotektor. Pencegahan Sekunder , ASA dosis rendah 80-325

mg/hari, ticlopidin 2 x 250 mg, kombinasi ASA dan tiklopidine dan pengobatan

faktor risiko strok yang ada

II.7.1. NEUROPROTEKTAN PADA STROK ISKEMIK

1. Citicholin

Mekanisme kerja utama citicolin (Guideline Strok,2007, Widjaya.D,2002)

Pada Level neuronal: 1. meningkatkan pembentukan choline dan

menghambat pengrusakan phosphatydilcholine (menghambat

phospholipase). 2. Pada metabolisme neuron meningkatkan ambilan glukosa,

menurunkan pembentukan asam laktat, mempercepat pembentukan

asetilkolin (neurotransmitter untuk fungsi kognitif) dan menghambat

radikalisasi asam lemak dalam keadaan iskemia. 3. Meningkatkan biosintesa

dan mencegah hidrolisis kardiolipin. Memelihara asam arakhidonat terikat

pada fosfatidilkolin. 4. Merangsang pembentukan glutation yang merupakan

antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas hidrogen peroksida dan

Page 15: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

15

lipid peroksida. 5.Mengurangi peroksidasi lipid. 6.Mengembalikan aktivitas

Na+/K+ ATP ase.

Pada Level Vaskuler. 1. Meningkatkan aliran darah otak. 2.Meningkatkan

konsumsi oksigen. 3.Menurunkan resistensi vaskuler

Indikasi : Strok iskemik dalam = 24 jam pertama dari onset dan strok

hemoragik intraserebral. Terdapat bukti klinis bahwa Citicoline memperbaiki

outcome fungsional dan mengurangi defisit neurologis dengan dosis optimal

500 mg/hari yang diberikan dalam 24 jam setelah onset. Therapeutic window

2 – 14 hari (Kelas I, Tingkat Evidensi A)

2. Piracetam (Guideline Strok,2007)

Mekanisme Kerja

Pada Level neuronal.1. Berkaitan dengan kepala polar phospholipid

membran. 2. Memperbaiki fluiditas membran sel. 3. Memperbaiki

neurotransmisi. 4. Menstimulasi adenylate kinase yang mengkatalisa konversi

ADP menjadi ATP.

Pada Level vaskular.1.Meningkatkan deformabilitas eritrosit, maka aliran

darah otak meningkat.2. Mengurangi hiperagregasi platelet.3. Memperbaiki

mikrosirkulasi. Tidak ada perbedaan outcome fungsional antara kelompok

piracetam dibandingkan kontrol piracetam dosis 12 gram/hari bolus IV selama

4 minggu, dilanjutkan 4,8 gram/hari selama 12 minggu tidak memperbaiki

outcome jika diberikan dari 12 jam onset strok iskemik akut. (Kelas I, Tingkat

Evidence B). Piracetam mungkin bermanfaat jika diberikan dalam kurang 7

jam onset strok iskemik akut derajat sedang dan berat.(Kelas I, Tingkat

Page 16: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

16

Evidensi B). Piracetam mungkin masih efektif untuk pengobatan afasia pasca

strok. (Kelas I Tingkat Evidensi B). (Guideline Strok,2007)

3. Nimodipin

Terdapat 14 uji klinis pada strok iskemik sejak tahun 1984 (9 uji klinis

menemukan tidak ada efek, 1 uji klinis ada perburukan, sedangkan 4 uji klinis

mendapatkan keluaran yang positif (Kelas I, Tingkat Evidensi A). Meta analisis

dari 29 trials, 7665 pasien: tidak ada manfaat pada strok iskemik. Nimodipin

meta analisis bermanfaat sebagai neuroprotektan, 48 jam dari onset (Kelas I,

Tingkat Evidensi A) (Guideline Strok,2007).

4. Nicergolin

Suatu penelitian pada pasien strok iskemik onset 24 jam pertama 8 mg IV

per hari selama 5 hari diikuti 30 mg oral perhari s/d 30 hari namun manfaat tidak

dikonfirmasi. Suatu meta-analisis memberikan bukti-bukti efek positif nicergoline

terhadap kognisi dan tingkah laku, akan tetapi juga didapatkan efek sampingan

nicergoline terutama pada orang tua. (Guideline Strok,2007)

5. Neuropeptide

Pemberian neuropeptida pada strok iskemik menunjukkan perbaikan yang

bemakna, makin besar dosis dan semakin dini pemberian maka makin baik

hasilnya (Skor Orgogozo dan Barthel Index) (Kelas I, Tingkat Evidensi B). (Guideline

Strok,2007)

Page 17: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

17

II.7.2. HEMOREOLOGIK

Pentoxyphylline

Cara kerjanya : menurunkan viskositas darah, menambah deformabilitas

eritrosit, menurunkan kadar fibrinogen, menghambat agregasi trombosit, dan

meningkatkan aliran darah ke otak. Pentoxyphylline mengurangi risiko TIA yang

berulang-ulang, akan tetapi pada strok iskemik akut perbaikan fungsi neurologik

tak menentu (Widjaya.D,2002).

II.7.3. ANTI AGREGASI TROMBOSIT (ANTIPLATELET)

Acetyl Salicylic Acid (ASA)

Satu-satunya obat anti trombosit yang diriset untuk strok iskemik akut

adalah aspirin. ASA yang diberikan dalam 48 jam pada strok iskemik akut

memperbaiki sedikit prognosis (Widjaya.D, 2002).

Pada umumnya manfaat ASA pada pengobatan strok iskemik akut dan

pencegahan strok adalah pasti akan tetapi hasilnya sedang. Pemberian aspirin

dengan dosis awal 325 mg dalam 24 – 48 jam setelah onset strok dianjurkan

untuk setiap strok iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi B). Pengobatan

gabungan dengan antiplatelet lain yang bekerja dengan cara lain dapat

memaksimalkan manfaat ASA (Guideline Strok, 2007, Widjaya.D, 2002). .

II.8. GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF

1. Definisi Gangguan Kognitif

Gangguan kognitif adalah suatu gangguan fungsi luhur otak berupa

gangguan orientasi, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual.

Page 18: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

18

2. Insidens Gangguan Kognitif

Semua kelainan yang mengenai otak dapat menyebabkan gangguan

kognitif. Para peneliti melaporkan bahwa gangguan kognitif banyak muncul pada

penderita strok. Laporan dari Florence Italia ditemukan prevalensi 1,6% timbul

gangguan kognitif ringan dan 3,0% timbul gangguan kognitif berat. Di Finlandia

didapatkan prevalensi berdasarkan umur 55-64, 65-74 dan 75-85 tahun, yaitu

45,7%, 53,8% dan 74,1% muncul penurunan fungsi kognitif setelah serangan

strok iskemik akut.

Gangguan fungsi kognitif untuk jangka panjang jika tidak dilakukan

penanganan yang optimal akan meningkatkan insidens demensia (Karyoleksono.S,

Aliah.A,1997).

3. Faktor Risiko Gangguan Kognitif

Desmon et all (1993), melakukan penelitian tentang hubungan antara

faktor-faktor risiko untuk strok dan fungsi kognitif pada 249 penderita strok

dengan pemeriksaan fungsi-fungsi memori, bahasa, visospatial, pemikiran

abstrak. Ternyata ditemukan bahwa DM merupakan faktor risiko untuk terjadinya

gangguan pemikiran abstrak dan disfungsi visospatial, sedangkan

hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko untuk terjadinya disfungsi memori.

Faktor risiko yang mempengaruhi pembuluh darah dalam jangka lama seperti

DM dan hiperkolesterolemia dapat menimbulkan penyakit aterosklerotik yang

dapat menyebabkan adanya “silent infarction” atau aliran darah otak (ADO)

terganggu dan gangguan fungsi kognitif (Karyoleksono.S, Aliah.A,1997).

Page 19: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

19

4. Patofisiologi Gangguan Kognitif

Untuk menentukan adanya gangguan kognitif, yaitu berupa gangguan

ingatan, bahasa, praksis, gnosis, kinerja visospasial dan manipulasi

pengetahuan yang diperoleh secara neuroanatomis paling relevan dan paling

berguna dalam mendiferensiasi gangguan-gangguan tersebut (Firmansyah.R, 2006).

Hubungan antara lesi-lesi vaskuler dalam otak dengan gangguan fungsi

kognitif mendapat perhatian yang sangat besar dari para ahli. Berbagai

perubahan dalam otak dinyatakan dengan pemeriksaan CT Scan, MRI, atau

pemeriksaan patologi serebrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai faktor

etiologi dan gejala-gejala gangguan fungsi kognitif. Menurut Synder (1992),

dasar dari semua proses informasi dalam sistem saraf pusat adalah

neurotrasmiter. Komunikasi melalui sinaps terjadi dengan perantaraan

neurotransmiter spesifik. Berbagai jalur saraf yang menggunakan

neurotransmiter tertentu mengalami kerusakan pada gangguan kognitif dan

demensia terutama jalur kolinergik, adrenergik, dopaminergik, serotoninergik dan

peptidergik.

Kerusakan jalur kolinergik didapatkan terutama di daerah basal forebrain,

hipokampus dan amigdala. Kerusakan jalur monoamin terutama terjadi di batang

otak, tepatnya di locus coreoleus dan daerah sekitar ganglia basalis yang

menggunakan dopaminergik sebagai neurotransmiternya. Kerusakan inti dan

jalur saraf tersebut menimbulkan kelainan biokimiawi neurotransmiter yang

bersangkutan.

Page 20: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

20

Teori terjadinya gangguan fungsi kognitif juga dipengaruhi oleh letak

anatomis kelainan di otak. Berbagai bagian di otak merupakan subtrat anatomi

fungsi mental tertentu, misalnya sistem limbik adalah sebagai substrat anatomi

fungsi vital atau otonom dan emosional, sistem korpus kallosum dan gyrus

cynguli ialah substrat anatomi fungsi asosiasi, neokorteks adalah substrat

anatomi fungsi intelektual, elemen pengetahuan, kode moral dan kode sosial .

Geswind (1997), yang dianggap sebagai pelopor neurologi perilaku, telah

banyak membahas mengenai sindroma diskoneksi dengan melengkapi bagan

konseptual dalam mengintegrasikan neuroanatomi dan neuropsikologi kognitif

yang kemudian merupakan dasar neurologi perilaku. Kalau kelainan di daerah

korteks disebut sebagai defisit kortikal luhur, maka kelainan pada jaras

substansia alba yang menghubungkan antara daerah kortikal disebut sebagai

sindroma diskoneksi. Jalur masuk utama ke korteks serebral mengandung

informasi visual, auditorius, dan somatosensoris dan masing-masing mengarah

terutama ke korteks oksipitalis, temporalis dan parietalis.

Efek klinis lesi-lesi lobus frontalis dapat menyebabkan gangguan fungsi

kognitif, terutama perhatian, konsentrasi dan kapasitas kegiatan yang terus

menerus. Suatu keadaan tidak dapat dianggap berasal dari daerah-daerah

prefrontal secara spesifik, karena hal itu mungkin suatu refleksi gangguan yang

lebih umum dari talamolimbik atau Reticular Activating Thalamocortical System,

dan bahwa defisit intelektual kognitif paling banyak berhubungan dengan lesi-lesi

pada bagian dorsolateral dari lobus prefrontal dikaitkan dengan hubungan

korteks frontalis dengan bagian otak yang lain. Selain itu korteks prefrontal

Page 21: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

21

menerima input dari sumber-sumber subkortikal yaitu : (1) Sistem limbik, (2)

Sistem retikuler, (3) Hypotalamus, dan (4) Sistem neurotransmiter. Korteks

prefrontal merupakan satu-satunya bagian kortikal yang menerima input kuat dari

sistem sensorimotorik, limbik dan retikuler, ditambah lagi input dari hipotalamus

dan autonomik serta dipengaruhi banyak neurotransmiter sehingga korteks

prefrontal dalam posisi yang kuat untuk monitor rangsang intrinsik, ekstrinsik dan

melakukan pengawasan terhadap berbagai fungsi otak (Firmansyah.R,2006).

II.9. PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF

Terdapat beberapa ukuran standardisasi fungsi neurobehavioral yang

umum digunakan oleh para klinisi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan

memeriksa secara kuantitatif perkembangan gejala sejalan dengan waktu dan

respon pada pengobatan. Beberapa ukuran yang secara potensial bermanfaat

adalah Mini Mental State Examination (MMSE), Clock Drawing Test (CDT),

Clinical Dementia Rating (CDR), Neuro-psichiatry Inventory (NPI), dan Back

Depression Inventory. Dari kesemuanya di atas, yang paling sering digunakan

adalah MMSE (Sidiarto LD, Kusumoputro S,2003)

Mini Mental State Examination (MMSE)

Mini Mental State Examination (MMSE) adalah pemeriksaan penapisan

yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektifitas

pengobatan, dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE

adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita

Page 22: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

22

dengan nilai MMSE kurang dari 27, terutama pada golongan berpendidikan tinggi

(Dikot.Y, 2007)

MMSE vesi kelompok studi (POKDI) Behavioral Neurology, Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) merupakan hasil adaptasi dari

MMSE asli (Folstein, 1975) dan telah dipakai secara luas di Indonesia. Penelitian

Aminah di RS. Hasan Sadikin (n=500, rerata umur 58,45±8,59), rerata nilai

MMSE subyek normal adalah 28.37± 2.02, dan 96,6% subyek ini memiliki nilai

MMSE memiliki nilai MMSE = 24. Penelitian Anam dan Yustiani di Bandung 2004

(n=624, rerata umur 65.47±6.50), rerata nilai MMSE subyek normal 27,83±3,34.

Sebanyak 92,3% subyek ini memiliki nilai MMSE = 24. (Ong AP,2007)

MMSE adalah suatu pemeriksaan yang valid (sah) untuk fungsi kognitif.

Skornya mengikuti perubahan dari status kognitif . Skor ini juga berkaitan dengan

dengan standar kognitif yaitu Wechler Adult Intelligence Scale (WAIS). MMSE

disebut mini karena hanya berkonsentrasi pada aspek kognitif pada fungsi

mental. MMSE terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah bagian yang

hanya memerlukan respon vokal dan mencakup orientasi, memori, dan atensi.

Skor maksimumnya adalah 21. Bagian kedua menguji kemampuan penamaan,

mengikuti perintah verbal dan tulisan, menulis suatu kalimat secara spontan, dan

meniru gambar poligon kompleks. Skor maksimumnya adalah 9. Oleh karena

membaca dan menulis termasuk bagian kedua, pasien dengan gangguan

penglihatan yang berat dapat mengalami kesulitan tambahan dan biasanya

dipermudah dengan tulisan yang besar sehingga memungkinkan penilaian. Tes

ini tidak dibatasi oleh waktu (Yuwono, Akbar.M, 2007).

Page 23: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

23

Pemeriksaan dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi

gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif

dalam kurun waktu tertentu. Untuk pasien yang berpendidikan rendah dengan

nilai MMSE 24 masih dapat dianggap normal. Nilai 17-23 menunjukkan probable

gangguan kognitif dan nilai 0 -16 menunjukkan definite gangguan kognitif (Asosiasi

Alzheimer Indonesia,2003). Menggunakan MMSE sangat praktis untuk mengetahui

kesanggupan memori dan fungsi kognitif secara dini.(Goldblum et all,1994)

Pemeriksaan fungsi kognitif pada penderita strok dengan memakai

MMSE ternyata didapatkan sedikitnya 40% mengalami gangguan kognitif, pada

sepuluh hari pertama (Widjoto,2002).

Dalam praktek klinik, pemeriksaan MMSE terkadang masih dirasakan

panjang pada pelayanan primer. Abreviated Mental Test (AMT) dapat digunakan

sebagai alternatif lainnya. AMT adalah suatu pemeriksaan penyaring yang

sederhana dan ringkas terdiri dari 10 pertanyaan sederhana. Hasil pencapaian

tes ini dipengaruhi oleh usia dan lama pendidikan pasien. AMT lebih baik dipakai

pada kelompok pendidikan rendah (0 – 6) tahun dibanding MMSE (ong,AP,2007).

Page 24: PENGARUH MASA PEMBERIAN TERAPI TERHADAP …

23

Klinis

II.10.KERANGKA KONSEP

FARMAKODINAMIK

Keterangan variabel : Keterangan hubungan : Variabel bebas Variabel antara Hubungan variabel bebas

Hubungan variabel tergantung Variabel tergantung Variabel kendali

Hubungan variable kendali

Neurotransmisi

? Usia ? Jenis Kelamin

Me? Na+/K+

ATP ase Level Neuronal

Level Vaskuler

Me? Deformabilitas Eritrosit/ ADO

Mikrosirkulasi

? Letak lesi ? Luas lesi

? Hipertensi ? DM ? Dislipidemi

Terapi Strok

< 24 jam

24-72 jam

STROK AKUT MMSE