pengaruh waqaf dan ibtida’ terhadap

84
PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP TERJEMAH DAN TAFSIR Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh RIDWAN ARIPIN NIM. 1112034000188 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2018 M

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

TERJEMAH DAN TAFSIR

Skripsi

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

RIDWAN ARIPIN

NIM. 1112034000188

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2018 M

Page 2: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP
Page 3: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP
Page 4: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

iv

Page 5: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

v

ABSTRAK

PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP TERJEMAH DAN

TAFSIR. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.

Waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam pengkajian

al-Qur’an. Penguasaan ilmu ini menjadi suatu keharusan bagi setiap orang yang

ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur’an. Waqaf dan ibtida’ juga

termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid. Keduanya adalah

pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap pembaca hingga

bacaan dan tilawah al-Qur’annya menjadi sempurna dan tempat. Waqaf dan

ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur’an yang sedang

dibaca oleh seorang pembaca. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan

dan kaidah mengenai Waqaf dan ibtida’ membuat setiap pembaca akan terhindar

dari kesalahan membaca al-Qur’an. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur’an harus

benar-benar memahami apa arti waqaf dan ibitda’ serta pengaruhnya terhadap

penafsiran al-Qur’an dengan melalui metode penelitian.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library

research dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

melalui penggunaan kajian kepustakaan adalah dengan cara menela’ah buku-buku

dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah akan diteliti. Peneliti

berusaha semaksimal mungkin untuk menggali data-data yang diperlukan dalam

penelitian ini dari berbagai tulisan dan buku-buku terkait dengan masalah yang

sedang dikaji.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Waqaf dan ibtida’ memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap penafsiran. Hal ini disebabkan, waqaf pada umumnya

bersifat ijtihadi karena terkait dengan pemahaman sehingga sangat relative dan

beragam. Penempatan tanda Waqaf dan masalah ibtida’ dalam al-Qur’an

bertujuan untuk membantu dan mempermudah para pembaca al-Qur’an untuk

berhenti dan memulai kembali bacaannya pada kata yang tepat sehingga tidak

terjadi kesalahan dalam pemahaman dan penafsiran.

Kata kunci : Waqaf, Ibtida’, Terjemah, Tafsir

Page 6: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

vi

KATA PENGANTAR

Pujadan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas

selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan pada Program Studi Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tema skripsi ini penulis pilih atas pertimbangan pentingnya pemahaman waqaf

dan ibtida’ dalam sebuah bacaan al-Qur’an. Hasil kajian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagipara qari’ dalam upaya memahami dan mengaplikasikannya

dalam setiap pembacaan al-Qur’an.

Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis

menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima

kasih yang setulus-tulusnya, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan tugas kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Lilik Ummi Kalsum, Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Dra. Banun

Binaningrum, M.Pd, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis beserta seluruh staf yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pada

program ini.

3. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA, sebagai Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 7: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

vii

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakartabeserta

staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan

dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

6. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan

berdo’a serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu

memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis

peroleh dapat menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang

telah mereka berikan.

7. Sanak famili dan handai taulan serta rekan-rekan mahasiswajurusan Tafsir

Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakartadan semua pihak yang telah memberikan

bantuan dengan sukarela dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Teman sejawat dankarib kerabat sertarekan guru-guru privateyang telah

banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

9. Teman-teman KKN 2015 yang senantiasa berjuang demi menuntaskan

program-program yang diagendakan di masyarakat.

Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan

bantuan maupun pengorbanan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mendapat

imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin yarabbal ‘alamin.

Page 8: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

viii

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan

dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang

konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada

kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.

06 Agustus 2018

Penulis

Page 9: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... .. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10

D. Kajian Pustaka ........................................................................... 11

E. Metode Penelitian ...................................................................... 12

F. Sistematika Penyusunan ............................................................ 14

BAB II : DISKURSUS WAQAF DAN IBTIDA’

A. Waqaf ..................................................................................... 15

1. Pengertian Waqaf ............................................................. 15

2. Urgensi Waqaf ................................................................. 16

3. Klasifikasi Waqaf ............................................................. 18

B. Ibtida’ ..................................................................................... 24

Page 10: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

x

1. Pengertian Ibtida’ ............................................................. 24

2. Urgensi Ibtida’ ................................................................. 25

3. Klasifikasi Ibtida’ ............................................................. 27

BAB III : WAQAF DAN IBTIDA’ DALAM AL-QUR’AN

A. Tanda Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an ............................. 31

B. Kosa Kata Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an ..................... 32

C. Pendapat Ulama Tentang Waqaf dan Ibtida’ ......................... 34

D. Perbedaan Mushaf Standar Indonesia dan

Mushaf Madinah ..................................................................... 38

1. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Standar Indonesia ......... 38

2. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Madinah ........................ 41

BAB IV : DAMPAK WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

TERJEMAH DAN TAFSIR

A. Terjemah dan Aplikasinya ..................................................... 43

B. Tafsir dan Aplikasinya ........................................................... 53

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 65

B. Saran ....................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 67

Page 11: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B be ب

T te ت

Ts te dan es ث

J je ج

H h dengan garis di bawah ح

kh ka dan ha خ

D de د

dz de dan zet ذ

R er ر

Z zet ز

S es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع

gh ge dan ha غ

F ef ف

Q ki ق

K ka ك

L el ل

M em م

Page 12: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

xii

N en ن

W we و

H ha ه

apostrof ء

Y ye ي

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,

terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau

diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Page 13: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

xiii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ى ا

î i dengan topi di atas ى ي

û u dengan topi di atas ىو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti

huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-

rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak ditulis ad-darûrah الض

melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku

Page 14: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

xiv

jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Tanda Vokal Latin Keterangan

tarîqah طريقة 1

al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجامعة الإسلامية 2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal,

dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan

(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,

huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting

diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan

Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu

ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya.

Demikian seterusnya.

Page 15: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

xv

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin

al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.

Page 16: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an sebagai kitab suci terakhir yang dijamin kesashihannya oleh

Allah SWT,1 tidak ada keraguan di dalamnya,

2 karena tidak ada pertentangan ayat

dan pencampuradukkan antara yang hak dan batil. Bahkan Allah SWT sendiri

menyatakan kalaulah sekiranya al-Qur‟an itu bukan dari Allah SWT pasti

ditemukan di dalamnya banyak perselisihan.3 Di antara tujuan

4 utama

diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota

masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat

manusia5 hingga akhir zaman.

Sebagai petunjuk bagi seluruh manusia al-Qur‟an menjadi kebutuhan

manusia dalam mengarungi hidup dan kehidupannya, guna memperoleh jalan

1Lihat QS. al-Hijr : 9

2Lihat QS. al-Baqarah : 2

3Lihat QS. al-Nisa‟ : 82

4Menurut Muhammad Rasyid Ridha, terdapat 10 tujuan al-Qur‟an yaitu (1) untuk

menerangkan hakekat agama yagn meliputi iman kepada Allah SWT, iman kepada hari

kebangkitan dan amal shaleh, (2) menjelaskan masalah kenabian dan kerasulan serta tugas dan

fungsi mereka, (3) menjelaskan tentang Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal fikiran

dan cocok dengan intuisi serta kata hati, (4) membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu

kesatuan umat (kemanusiaan) agama, undang-undang, persaudaraan seagama, bangsa, hukum dan

bahasa, (5) menjalankan keistimewaan-keistimewaan Islam dalam pembenaran kewajiban-

kewajiban kepada manusia seperti cakupannya yang luas meliputi jasmani dan rohani, material dan

spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah dikerjakan, tidak memberatkan,

gampang dipahami, dan lain sebagainya, (6) menjelaskan prinsip-prinsip berpolitik dan bernegara,

(7) menata kehidupan material, (8) memberi pedoman umum mengenai perang dan cara-cara

mempertahankan diri dari agresi serta intervensi musuh, (9) mengatur dan memberikan kepada

wanita hak-hak mereka dalam bidang agama, sosial dan kemanusiaan pada umumnya dan (10)

memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pembalasan dan kemerdekaan budak. Lihat Muhammad

Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 126 – 128.

Lihat juga Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),

Cet. ke-1, h. 3 - 4 5Lihat QS. al-Baqarah : 185

Page 17: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

2

keselamatan. Untuk itu, di dalamnya terkandung tema-tema yang mencakup

seluruh aspek kehidupan manusia seAperti pola hubungan manusia dengan Tuhan,

hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam

sekitarnya. Dalam rangka menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan

peradaban yang terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat

kealaman dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi

dan etika dalam rekayasa masyarakat serta rekayasa teknik.

Rekayasa masyarakat adalah pencapaian tatanan kemasyarakatan yang

sesuai dengan kondisi obyektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap

bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan al-Qur‟an. Substansi

ajaran al-Qur‟an tidak bermaksud menciptakan masyarakat seragam di seluruh

belahan bumi, dan dimungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup dalam

masyarakat tertentu yang pada gilirannya suasana ketenteraman di bawah ridha

Tuhan yaitu terciptanya Baldatun Toyibatun wa Rabbun Ghafûr. Demikian

konsep negara menurut al-Qur‟an.

Kendati al-Qur‟an mencakup beragam masalah, pembicaraannya tentang

suatu masalah terkesan unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-

buku ilmiah karangan manusia dan juga sangat jarang menyajikan suatu masalah

secara rinci dan detail. Bahkan secara umum pembicaraannya tentang suatu

masalah bersifat global, parsial dan pokok-pokoknya saja. Namun demikian, hal

itu sama sekali tidak akan mengurangi nilai al-Qur‟an. Sebaliknya, justru di

sanalah letak keunikannya dan sekaligus keistimewaannya. Sebab dengan keadaan

seperti itu, al-Qur‟an menjadi obyek kajian yang tidak pernah kering oleh ide dan

Page 18: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

3

gagasan para cendekiawan muslim atau non muslim, sehingga tetap aktual sejak

pertama diturunkannya pada 15 abad yang lalu. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha

mengatakan bahwa sekiranya al-Qur‟an disusun menurut bab dan pasal secara

sistematis seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu pengetahuan, maka al-

Qur‟an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman. Justru dalam

sistematikanya yang unik itu yang menyalahi sistematika ilmu pengetahuan,

terletak keistimewaan dan kekuatan al-Qur‟an.6

Untuk mewujudkan ide atau cita al-Qur‟an yang bersifat global tersebut,

manusia membutuhkan al-Qur‟an tentu harus berusaha untuk memahaminya

dengan baik dan benar. Sebab nilai-nilai universal al-Qur‟an pasti akan senantiasa

relevan bagi kemaslahatan manusia di setiap zaman dan tempat, namun

pemahaman manusia dalam menghadapi setiap zaman, senantiasa ditemukan

adanya problema.7 Problem-problem seperti ini biasanya dapat dipecahkan oleh

al-Qur‟an, karena al-Qur‟an al-Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan

mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan

Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana

yang gelap menuju yang terang serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.8

6Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, h. 6

7Menurut Fazlur Rahman, untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam

al-Qur‟an, para pakar al-Qur‟an (muslim) dihadapkan kepada dua problem yaitu (1) mereka

kurang menghayati relevansi al-Qur‟an untuk masa sekarang dan oleh karenanya mereka tidak

dapat menyajikan al-Qur‟an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia masa kini dan

yang lebih penting (2) mereka khawatir jika penyajian al-Qur‟an yang seperti di atas dalam

berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang ditemui secara tradisional, padahal

itu tidak dapat dihindari. Menurut Fazlur Rahman, resiko itu harus diterima dengan ketulusan hati

dan persepsi. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,

(Bandung: Pustaka, 1995), Cet. ke-5, h. x 8Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS., (Jakarta:

Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), Cet. ke-16, h. 1

Page 19: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

4

Selain itu, al-Qur‟an juga merupakan pedoman hidup bagi umat manusia

yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Untuk itu al-Qur‟an bukan

hanya sekedar dibaca dan dihapal, tetapi dipahami isi kandungannya untuk

diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian seorang muslim yang

berpegang teguh kepada al-Qurán dan al-Sunnah, maka ia tidak akan tersesat

dalam kehidupannya dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di

akhirat.9 Untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, maka

seorang muslim diwajibkan untuk bisa membaca dan memahami isi al-Qur‟an.

Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW

melalui perantara malaikat Jibril yang jika dibaca akan bernilai ibadah. Dalam al-

Qur‟an terdapat petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Sebagai pedoman

hidup, al-Qur‟an seharusnya dipelajari dan dipahami isi kandungannya oleh setiap

muslim. Dengan mempelajari dan memahaminya, setiap muslim akan turut serta

melestarikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an.

Membaca al-Qur‟an harus dilakukan dengan baik dan benar, karena hal ini

akan berpengaruh pada pembaca maupun pendengarnya dalam memahami makna-

makna al-Qur‟an dan membuka tabir mukjizat yang ada di dalamnya baik dalam

ketaatan maupun kerendahan hatinya. Para ulama salaf dan kontemporer sangat

memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan bacaan al-Qur‟an sehingga

pengucapan kata-kata dalam al-Qur‟an menjadi baik dan benar. Cara membaca

seperti ini di kalangan mereka dikenal dengan istilah Tajwîd al-Qur’an. Menurut

mereka, tajwid adalah memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya,

9Mamsudi AR., Dîn al-Islam, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001), h. 16

Page 20: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

5

mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya serta menghaluskan

pengucapan dengan cara-cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-

gesa dan dipaksa-paksakan.10

Cara pengungkapan huruf-huruf dalam al-Qur‟an

biasanya diatur dalam ilmu tajwid.

Secara terminologis, ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk

mengetahui bagaimana cara memberi hak huruf dan mustahiknya baik yang

berkaitan dengan sifat, mad dan lain sebagainya seperti tarqiq dan tafhim serta

selain keduanya.11

Ilmu tajwid menurut Munir ialah ilmu yang dipergunakan

untuk mengetahui tempat keluarnya huruf, sifat-sifat huruf dan bacaan-

bacaannya.12

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilmu tajwid merupakan

ilmu yang digunakan untuk mengetahui aturan-aturan dalam membaca al-Qur‟an

berdasarkan sifat huruf, tempat keluarnya huruf, panjang pendek serta bacaan-

bacaannya, sehingga tidak ada perubahan makna pada saat membacanya sehingga

sesuai dengan pedoman ilmu tajwid.

Dalam ilmu tajwid, banyak diajarkan tentang cara-cara membaca al-Qur‟an

dengan baik dan benar serta banyak hal pula yang perlu diperhatikan seperti

hukum bacaan dan tanda-tanda khusus yang terdapat dalam al-Qur‟an seperti

tanda waqaf dan ibtida’. Dalam al-Qur‟an, waqaf merupakan salah satu tanda

untuk berhenti dalam bacaan al-Qur‟an. Jika tidak berhenti, maka dikhawatirkan

akan memberikan pemahaman yang berbeda pada huruf yang dibacanya.

10

Manna‟al-Qatan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.

229 11

Ahmad Annawi, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2010), h. 17 12

M. Misbahul Munir, Pedoman Lagu-Lagu Tilawatil Qur’an; Dilengkapi Dengan Tajwid

dan Qasidah, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 152

Page 21: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

6

Sedangkan ibtida‟ adalah memulai bacaan setelah berhenti. Dengan demikian,

waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu aspek dalam disiplin ilmu tajwid yang

harus dikuasai dan diaplikasikan dalam membaca al-Qur‟an.

Waqaf dan ibtida’ termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid.

Keduanya adalah pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap

qari’ hingga bacaan dan tilawah al-Qur‟annya menjadi sempurna dan tepat. Waqaf

dan ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur‟an yang sedang

dibaca oleh seorang qâri’. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan dan

kaidah mengenai waqaf dan ibtida‟ membuat setiap qari’ terhindar dari kesalahan

membaca al-Qur‟an.13

Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus benar-benar

memahami apa arti waqaf dan ibtida’ serta pengaruhnya terhadap penafsiran al-

Qur‟an.

Salah satu disiplin ilmu yang penting untuk dikuasai agar seseorang bisa

memahami dan menafsirkan al-Qur‟an dengan baik dan benar adalah ilmu tentang

waqaf dan ibtida‟. Para pakar al-Qur‟an merumuskan dan menyusun teori-teori

tentang waqaf dan ibitda‟ yang kemudian dicantumkan dalam mushaf al-Qur‟an

dengan tanda-tanda tertentu untuk memudahkan para pembaca al-Qur‟an terutama

orang-orang „Ajam. Faktanya terdapat keragaman tentang tanda-tanda waqaf.14

Adanya keragaman tersebut diprediksi akan mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an.

Di antara berbagai ilmu yang urgen dalam kontelasi Ulum al-Qur‟an adalah

ilmu tentang waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu yang patut dijaikan kajian.

13

Ibnu al-Nazhim, Syarh al-Thayyibah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 39 14

Ahmad Bahruddin, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf

Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2,

2013, h. 169

Page 22: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

7

Menurut para ulama, ilmu ini sangat penting karena sangat berguna untuk

mengetahui tata cara membaca al-Qur‟an, menghindari kekeliruan pemahaman

dan dapat mendatangkan tujuan serta makna al-Qur‟an secara tepat dan benar. Di

samping itu, karena terkadang seseorang tidak mampu membaca satu ayat, surat

ataupun satu kisah dalam satu nafas sekaligus, maka pengetahuan tentang waqaf

dan ibtida’ menjadi mutlak diperlukan agar seseorang dapat mengetahui di mana

harus berhenti (waqaf) dan memulai (ibtida’) tanpa mengubah makna al-Qur‟an.15

Menguasai ilmu waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu syarat dalam

pembacaan al-Qur‟an secara tartil. Imam Ali ra, ketika memberikan definisi

mengenai kata tartil dalam QS. al-Muzammil : 4 menyatakan bahwa tartil adalah

memperindah bacaan, huruf-huruf dan mengetahui berbagai tempat untuk

menghentikan bacaan al-Qur‟an.16

Al-Qur‟an adalah kitab yang paling banyak dibaca dan dikaji umat Islam

diseluruh dunia dari masake masa dan dari generasi ke generasi. Hal ini

disebabkan al-Qur‟an adalah kitab suci yang menjadi panduan dan pedoman hidup

umat Islam. Ia adalah satu dari dua warisan yang amat berharga dari Nabi

Muhammad SAW kepada umat ini, selain al-Sunnah.17

15

Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilawah, (al-Zaqqa: Maktabah al-Manar, 1988), h. 44 16

Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Daar al-Turas,

2007), Jilid I, h. 353 17

Dalam hadits riwayat Imam Malik,Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan untuk

kalian dua pusaka yang kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh

kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”. Lihat Imam Malik, al-Muwatta’, (Mesir:

Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth), Juz II, h. 899, hadits No. 1594

Page 23: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

8

Besarnya jumlah umat Islam Indonesia membuat kebutuhan akan mushaf

al-Qur‟an juga sangat besar.18

Para penerbit al-Qur‟an berlomba-lomba

menerbitkan al-Qur‟an dengan beragam kreativitas dan aksesoris yang mereka

tampilkan bersama teks al-Qur‟an agar semakin menarik dan memikat minat umat

Islam untuk memiliki dan mengkaji al-Qur‟an.

Dahulu, umumnya umat Islam Indonesia hanya mengenal Mushaf Standar

Indonesia19

baik yang diterbitkan oleh Kementrian Agama maupun penerbit

swasta dan kondisi seperti ini mulai berubah. Kini Mushaf Madinah20

(MM)

terbitan Mujamma’ Malik Fahd Arab Saudi dengan mudah dijumpai di negeri ini

yang asal muasalnya beragam, sebagian merupakan hadiah yang dibawa pulang

oleh para jama‟ah haji Indonesia, sebagian lagi disebarluaskan oleh lembaga-

lembaga sosial Timur Tengah di Indonesia atau diimpor oleh para pengusaha

untuk memenuhi pasaran lokal. Hal ini didukung pula oleh pesatnya

perkembangan teknologi informasi yang memudahkan orang mengakses al-

Qur‟an digital produk Timur Tengah. Di sini ditemukan fakta bahwa dalam

mushaf tersebut terdapat beberapa perbedaan tentang waqaf dengan Mushaf

18

Beredasarkan data BPS tahun 2003 misalnya, jumlah umat Islam Indonesia mencapai

177.528.722 jiwa (88%) dari total penduduk 201.241.999 jiwa. Kalau diasumsikan satu keluarga

terdiri dari 5 orang (bapak, ibu dan tiga anak) berarti dapat diasumsikan ada 35.505.754 kepala

keluarga muslim. Jika setiap keluarga harus memiliki satu mushaf al-Qur‟an, berarti yang

dibutuhkan adalah 35.505.754 mushaf. Lihat Puslitbang Lektur Keagamaan, Lajnah Pentashihan

Mushaf al-Qur’an Departemen Agama RI, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2005), h. 11 - 12 19

Mushaf Standar Indonesia adalah mushaf yang dibakukan cara penulisan, tanda baca dan

tanda waqafnya sesuai kesepakatan yang dicapai pada Muker Ulama al-Qur‟an Indonesia yang

berlangsung 9 kali antara tahun 1974 sampai dengan 1983 dan dijadikan pedoman bagi al-Qur‟an

yang diterbitkan di Indonesia. Lihat Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”,

Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 1, 2011, h. 3 20

Mushaf Madinah adalah mushaf al-Qur‟an yang ditulis oleh kaligrafer Usman Taha dan

diterbitkan oleh Mujamma‟ Malik Fahd di Madinah. Mushaf ini mulai diterbitkan, diedarkan dan

diperkenalkan secara luas mulai 1980-an. Lihat “al-Ta‟rif bi haza al-Mushaf”, dalam al-Qur’an al-

Karim, (Madinah: Mujamma‟ Malik Fahd litiba‟ah al-Mushaf, 1988/1409, h. 5

Page 24: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

9

Standar Indonesia yang telah beredar dan dikenal luas oleh masyarakat muslim

Indonesia.

Sebagian masyarakat kemudian bertanya-tanya tentang perbedaan ini,

mengingat waqaf dan ibtida‟ merupakan salahsatu aspek dalam disiplin ilmu

tajwid yang harus dikuasai dan diaplikasikan dalam membaca al-Qur‟an. Ia seperti

titik koma dalam aksara Latin yang menentukan suatu ungkapan benar atau salah,

dimengerti atau tidak dan terkadang menyebabkan ungkapan tersebut

mengundang multitafsir.

Bertitiktolak pada pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian

diwujudkan dalam tulisan sederhana berupa skripsi yang diberi judul :

“PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP TERJEMAHDAN

TAFSIR”. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas

sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap makna bacaan al-Qur‟an.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Salah satu kewajiban umat Islam adalah membaca al-Qur‟an dengan tartil.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT yang dituangkan dalam QS. al-

Muzammila ayat 4. Tartil berarti membaguskan suara dan mengetahui waqaf

ketika membaca. Adapun ciri bacaan tartil adalah membaca huruf-huruf hijaiyah

yang jelas sesuai dengan makhraj dan sifatnya serta memahami waqaf (berhenti

sementara) dan tanda ibtida‟ (memulai membaca lagi atau mulai melanjutkan

bacaan lagi dengan mengulang kalimat sebelum waqaf tersebut) yang tepat dan

benar).

Page 25: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

10

Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas dengan tujuan agar

kajian tentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ mengarah pada fokus pembahasan

selanjutnya, maka perlu dikemukakan pembatasan-pembatasan kajian permasalah

tersebut sesua dengan tujuan penelitian. Adapun pembatasan pada kajian ini

adalahtentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir dengan

rumusan masalah adalah : Bagaimana pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap

terjemah dan tafsir?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan latar belakang masalah dan pembatasan serta perumusan

masalah, maka penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waqaf

dalam penafsiran al-Qur‟an.

Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini dapat digambarkan sebagai

berikut :

1. Manfaat bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa buku

bacaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat pada program studi Tafsir Hadits.

2. Manfaat bagi praktisi

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti

bagi perkembangan khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam

mengungkap, menganalisa dan menjelaskan tentangpengaruh waqaf dan

ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir.

Page 26: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

11

3. Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada

masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ serta

pengaruhnya terhadap penafsiran al-Qur‟an.

D. Kajian Pustaka

Secara umum, penelitian tentangpengaruh waqaf dalam penafsiran al-

Qur‟an telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun para peneliti

tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Samsul Bahri dalam tesisnya pada bidangIlmu

AgamaIslam SekolahPascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2009. Penelitiannya berjudul “Makna dan Kasus Gramatika; Studi Implikasi

I’rab Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara I‟rab dan makna.

I‟rab merupakan salah satu faktor terpenting dan dominan dalam menentukan

gramatikal sebuah kalimat serta perubahan posisi I‟rab pada kata dalam suatu

kalimat akan berimplikasi pada perubahan makna kalimat tersebut.21

2. Penelitian yang dilakukan oleh A.Asdari dalam tesisnya pada bidang bahasa

dan Sastra Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004.

Penelitiannnya berjudul “Tanâwub Huruf al-Jâr dan Pengaruhnya Terhadap

Perubahan Makna Dalam al-Qur’an”. Hasil Penelitian ini menunjukkan

bahwa kosa kata suatu bahasa sebenarnya bukanlah berupa sejumlah kata yang

21

Samsul Bahri, “Makna dan Kasus Gramatika; Studi Implikasi I‟rab Terhadap Penafsiran

Ayat al-Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. v

Page 27: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

12

masing-masing berdiri sendiri, tetapi semuanya saling terjalin dan

berhubungan serta mengidentifikasikan kata yang satu dengan kata yang lain

dalam satu jaringan makna.22

3. Penelitian yang dilakukan oleh JohnSupyanto dalam tesis nya pada

bidangBahasadanSastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004.

Penelitiannya berjudul “Memahami Makna Unzila al-Qur’an ‘Ala Sab’ati

Ahruf; Tinjauan Sosio-Historis Keragaman Qira’ati”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwauntuk mendefinisikan Unjila al-Qur’an ‘Ala Sab’ati

Ahruf diperlukan sosio-historis tentang keragaman bacaan dalam al-Qur‟an.23

Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka penelitian yang akan dilakukan

penulis ini jelas berbeda. Penelitian ini lebih fokus pada masalah pengaruh waqaf

dan ibtida‟ dalam penafsiran al-Qur‟an. Dengan demikian, tema ini murni belum

ada yang mengkajinya sehingga penulis memberanikan diri untuk mengkaji

tentangpengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemahdan tafsir.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif24

atau disebut penelitian kepustakaan

karena dalam pengumpulan datanya menggunakan teknik pengumpulan

data dokumentasi. Sumber data yang digunakan bagi penulisan ini berupa

22

A.Sadri, “Tanawub Huruf al-Jarr dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Makna Dalam al-

Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 108 23

John Supyanto, “Memahami Makna Unjila al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahruf; Tinjauan Sosio-

Historis Keragaman Qira‟at”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. vi 24

Penelitian kualitatif di sini dimaksudkan sebagai penelitian yang pengumpulan datanya

bersifat kualitatif. Lihat Imam Arifin, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan,

(Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4

Page 28: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

13

data-data karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Berdasarkan karakter dan tema pokok permasalahan yang akan diteliti oleh

penulis, maka jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif.25

Penelitian kualitatif melalui penggunaan kajian kepustakaan adalah dengan

cara menela‟ah buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya

dengan masalah yang akan diteliti. Peneliti berusaha semaksimal mungkin

untuk menggali data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dari

berbagai tulisan dan buku-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang

akan dikaji. Oleh sebab itu, diperlukan data primer dan data sekunder.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada dua sumber data yakni

data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kitab suci al-

Qur‟an dan kitab-kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer. Sedangkan

data sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tajwid

yang di dalamnya membahas tentang masalah-masalah waqaf dan ibtida‟.

3. Teknik Penulisan

Sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2013.

25

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2007), h. 4

Page 29: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

14

F. Sistematika Penyusunan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka

diperlukan sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang

dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang pada

pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan

untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian serta sistematika penyusunan yang dipergunakan dalam rangka

memberikan penjelasan secara garis besar tentang kajian yang akan diuraikan

dalam pembahasan skripsi ini.

Bab II adalah diskursus waqaf dan ibtida‟ yang pembahasannya meliputi

waqaf dan ibtida‟. Ruang lingkup waqaf terdiri atas pengertian waqaf, urgensi

waqaf dan klasifikasi waqaf. Adapun ruang lingkup dari ibtida‟ terdiri atas

pengertian ibtida‟, urgensi ibtida‟ dan klasifikasi ibtida‟.

Bab III adalah waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an yang pembahasannya

meliputi tanda waqaf dan dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an, kosa kata waqaf dan ibtida‟

dalam al-Qur‟an, pendapat ulama tentang waqaf dan ibtida‟ serta perbedaan

mushaf standar Indonesia dan mushaf Madinah.

Bab IV mengkaji inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini

yaitu dampak waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir yang pembahasannya

meliputi terjemah dan aplikasinya serta tafsir dan aplikasinya.

Bab V merupakan penutup dari skripsi ini yang di dalamnya memuat

beberapa kesimpulan dan saran-saran yang merupakan kristalisasi dari uraian bab-

bab terdahulu yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka.

Page 30: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

15

BAB II

DISKURSUS WAQAF DAN IBTIDA’

A. Waqaf

1. Pengertian Waqaf

Secara etimologis, waqaf berarti menahan, diam, berdiri dan

tenang.1 Menurut Wahyudi, waqaf adalah al-Habsu yang berarti

menahan.2 Sebagaimana disebutkan dalam kamus Lisan al-„Arab, waqaf

bermakna berdiri, kebalikan dari duduk. Perubahan struktur katanya

adalah وقف بالمكان وقفا ووقوفا فهو واقف. Bentuk jamak dari واقف adalah

Menurut Ismail, waqaf berarti al-Kaffu yang bermakna 3.وقوف dan وقف

menahan atau berhenti.4

Secara terminologis, waqaf berarti menghentikan suara sesaat

untuk mengambil nafas baru dengan niat melanjutkan bacaan.5 Menurut

Ahmad Muthahar Abdurrahman al-Muraqi yang dikutif oleh Abdul Mujib

Ismail, definisi waqaf adalah sebagai berikut :

6.ف هو قطع الصوت عند آخر الكلمة مقدار زمن التنفس اما اقصر منه فالسكتوقال

Artinya : “Memutus suara di akhir kalimat (ketika membaca al-Qur’an)

selama masa bernapas, tetapi jika lebih pendek dari masa

bernafas itu, maka disebut saktah”.

1Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), Juz VI, h. 4898

2Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwis Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 192

3Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz I, h. 359

4Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,

h. 154 5Ibnu al-Jaziri, al-Nasyr fî al-Qira’ati al-‘Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Juz

I, h. 240 6Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 154

Page 31: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

16

Menurut Syekh al-Asymuni, waqaf adalah menghentikan suara di

akhir suatu kata dalam waktu tertentu.7 Syekh al-Musyifi mengemukakan

bahwa waqaf adalah menghentikan suara dari akhir suatu kata dalam

waktu tertentu yang umumnya dipakai untuk mengambil nafas dengan niat

memulai bacaan kembali.8 Adapun menurut A. Ghani, waqaf ialah

memutuskan atau memberhentikan suara dari membaca al-Qur‟an dengan

mengambil nafas dan berniat untuk menyambungkan semula tanpa jarak

waktu yang lama.9

Berdasarkan beberapa definisi tentang waqaf baik ditinjau dari

aspek etimologis maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa waqaf adalah menghentikan bacaan dengan cara

memutuskan suara dan melepaskan nafas di ujung perkataan-perkataan

tertentu dalam suatu tempo biasa.

2. Urgensi Waqaf

Syekh al-Anbari mengatakan bahwa termasuk dari kesempurnaan

wawasan al-Qur‟an adalah mengetahui waqaf, karena seseorang tidak

dapat memahami kandungan makna al-Qur‟an kecuali dengan mengetahui

jeda-jeda pembacaannya. Ini adalah dalil pertama yang menunjukkan

kewajiban mempelajari dan menafikan waqaf.10

Oleh sebab itu, setiap

qari’ sebaiknya mempelajari kapan waqaf diperbolehkan dan tidak

diperbolehkan. Selain itu, ia juga harus belajar situasi-situasi yang

7 Syekh al-Asymuni, Manâr al-Huda, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), h. 8

8 Syekh al-Musyrifi, Hidâyat al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), h. 371

9A. Ghani, Hukum Waqaf dan Ibtida’, (Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995), Cet. ke-1,

h. 57 10

Syekh al-Asymuni, Manar al-Huda, h. 5 - 6

Page 32: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

17

memperbolehkan waqaf serta mempelajari mana cara yang benar dan yang

salah dalam masalah waqaf.11

Kemudian ia juga harus mengetahui kapan

harus memulai membaca (ibtida’) dan bagaimana cara mengawali

membaca al-Qur‟an dengan benar. Dengan demikian, waqaf sangatlah

penting terutama dalam mempelajari dan memahami kandungan ayat suci

al-Qur‟an.

Demikian pentingnya masalah waqaf ini hingga para sahabat dalam

mempelajari tempat-tempat waqaf sebagaimana mempelajari al-Qur‟an itu

sendiri. Hal ini mengingatkan kepada setiap qari‟ bahwa sangat penting

mengetahui hukum waqaf. Seandainya seorang pembaca tidak benar dalam

mewaqafkan ayat, maka akan keliru pula tentang arti dan maksudnya.12

Bagi yang mengerti akan isi setiap ayat atau rangkaian kata al-Qur‟an,

maka ia mengerti akan waqaf, karena waqaf merupakan keindahan bacaan

dari seorang qari‟, sebab kesempurnaannya dalam membaca dengan waqaf

pula pendengar dapat lebih paham akan kandungan al-Qur‟an yang dibaca

oleh orang lain.13

Hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan waqaf

sangatlah penting.

Melihat uraian di atas, tampak jelas urgensi waqaf dalam

memahami suatu ayat al-Qur‟an. Syekh al-Asymuni mengutif pendapat al-

11

Muhammad Ihsan Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala

Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 131 12

Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat

Nurulhas, 1996), Cet. ke-1, h. 95 13

Ahmad Muhammad Abudl Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, h. 95

Page 33: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

18

Anbari14

menyatakan bahwa sebagian dari kesempurnaan mengenal al-

Qur‟an adalah mengetahui waqaf. Mustahil seseorang memahami makna-

makna al-Qur‟an dengan baik tanpa mengetahui tempat-tempat berhenti

(waqaf).15

Para ulama telah bekerja keras guna mendalami masalah ini

terutama untuk memudahkan orang ajam (non Arab) mengenal waqaf

sehingga lahirlah gagasan untuk merumuskan tanda-tanda waqaf dan

menyertakannya dalam penulisan al-Qur‟an.16

Berdasarkan uraian tentang urgensi waqaf dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa keberadaan waqaf sangat penting, karena mustahil

seseorang dapat memahami makna-makna al-Qur‟an dengan baik dan

benar tanpa mengetahui kaidah-kaidah waqaf. Oleh sebab itu, perlu adanya

pemahaman terhadap tanda-tanda bacaan dalam al-Qur‟an terutama

masalah waqaf.

3. Klasifikasi Waqaf

Ada beberapa pembagian dalam masalah waqaf. Pembagian

tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Waqaf Idhthirory

14

Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Basyar Abu Bakar al-Anbari adalah seorang

ulama ahli al-Qur‟an yang wafat pada tahun 328 H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,

(Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988), Juz II, h. 220 15

Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manâr al-Huda fî Bayan al-Waqâf

wa al-Ibtida’, (Kairo: Daar al-Hadits, 2008), Juz I, h. 13 16

Salah satu ulama penyusun tanda-tanda waqaf dalam al-Qur‟an yang terkenal adalah Abu

Abdillah Muhammad bin Taifur al-Sajawandi. Beliau adalah seorang ahli qira‟at dan tata bahasa

Arab yang wafat pada tahun 560 H. Lihat al-Suyuthi, Tabaqah al-Mufassirin, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1396 H), h. 87

Page 34: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

19

Waqad dapat diklasifikasikan ke dalam empat macam yang

salah satu di antaranya adalah waqaf idhthirory. Waqaf idhthirory

ialah waqaf yang dilakukan oleh qari‟ karena kehabisan nafas, batuk,

lupa, dan lain sebagainya.17

Waqaf ini boleh diberlakukan pada kata

manapun. Namun demikian, qari‟ sebaiknya menyambung kembali

dengan kata sebelumnya apabila waqaf tadi belum sempurna artinya.

Jika sudah sempurna, maka sebaiknya bacaan dimulai kembali dari

kata berikutnya.18

Misalnya terpaksa waqaf pada kata على dalam ayat

.ختم الله على قلوبهم

b. Waqaf Intizhory

Waqaf intizhory adalah waqaf pada suatu kalimat yang di

dalamnya terdapat banyak hukum qira‟at.19

Dalam kalimat lain

disebutkan bahwa waqaf inthizhory adalah berhenti menunggu.

Artinya pembaca berhenti pada sebuah kata yang perlu untuk

menghubungkan dengan kalimat lain pada bacaannya ketika ia

menghimpun beberapa qira‟at karena adanya perbedaan riwayat.20

Waqaf ini diberlakukan ketika pembaca mengumpulkan atau membaca

beberapa riwayat dari sepuluh qira‟at yang mutawatir yaitu dengan

cara berhenti pada suatu kata tertentu untuk selanjutnya kembali

17

Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, (Surabaya: Anggota IKAPI,

1997), Cet. Ke-1, h. 176 18

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2010), Cet. ke-1, h. 167 19

Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat

Nurulhas, 1996), h. 95 20

Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176

Page 35: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

20

mengulangi macam-macam qira‟at yang ada pada ayat tersebut.21

Misalnya waqaf pada kata الحجارة dalam ayat فاتقوا النار التى أعدت... للكافرين. Menurut ulama Qira‟at, mewaqafkan bacaan pada kata الحجارة

itu ada dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh waqaf atau terus

saja dan ada pula yang mengatakan terus itu lebih baik. Hal ini

disebabkan adanya tanda (ج) sehingga diharuskan berhenti. Pendapat

pertama mengatakan bahwa waqaf dibolehkan. Sedangkan pendapat

kedua mengatakan bahwa tidak perlu berhenti bahkan terus itu lebih

baik. Hal ini disebabkan adanya tanda (صلى), maka untuk menghargai

kedua pendapat tersebut di atas sengaja diwaqafkan terlebih dahulu

pada kata الحجارة kemudian diulang kembali pembacaan dari kata (التى) umpamanya.

22

c. Waqaf Ikhtibary

Waqaf ikhtibary ialah ketika seorang qari‟ berhenti sesuai

perintah karena sedang diuji dan dites supaya ia yakin pada kualitas

bacaan dan pengetahuannya tentang tata cara waqaf pada tempat yang

mengharuskan ia melakukannya.23

Waqaf ini diberlakukan ketika

seorang penguji mengajukkan pertanyaan atau seorang guru dalam

mengajarkan muridnya tentang suatu kata apakah boleh waqaf atau

21

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166 22

Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 130 23

Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala

Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 137

Page 36: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

21

tidak.24

Misalnya waqaf pada kata(ابنى) dalam ayat واتل عليهم نبأبنى آدم بالحق. Pada dasarnya, kata (ابنى) seharusnya diwaqafkan dengan

menggunakan (ن), maka (ن) itu dihilangkan. Apabila diteruskan atau

disambungkan dengan kata (آدم) sesudahnya. Menurut kaidah Ilmu

Tajwid, pada hakekatnya berhenti pada tempat-tempat yang telah

ditentukan itu tidak diperbolehkan, tetapi hal seperti ini diperbolehkan

untuk melakukan pengetesan. Contoh, seorang guru sedang

menerangkan kepada muridnya tentang keadaan waqaf pada tempat-

tempat seperti itu jika terpaksa karena sesak nafas atau nafasnya

pendek, dan lain sebagainya.25

d. Waqaf Ikhtiyary

Secara garis besar, ada dua macam waqaf ikhtiyary yaitu waqaf

ikhtiyari jaiz dan ghairu jaiz. Waqaf ikhtiyary jaiz adalah ketika

seorang qari‟ berhenti pada suatu kata yang sudah mendatangkan

pemahaman makna yang dikehendaki dan tidak merusak arti atau

membingungkan pikiran pendengar.26

Sedangkan waqaf ghairu jaiz

merupakan waqaf yang tidak diperbolehkan atau bisa disebut juga

sebagai waqaf qabih.

24

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166 25

Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, h. 131 26

Muhammad Ihsam Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala

Tingkatan, h. 137

Page 37: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

22

Waqaf ikhtiyary merupakan waqaf yang disengaja, dipilih atau

dituju, bukan karena sebab-sebab yang telah lewat pada nomor satu,

dua dan tiga.27

Waqaf ini dipilih secara sengaja oleh seorang qari‟

untuk menghentikan bacaan al-Qur‟an pada suatu kalimat. Pilihannya

untuk waqaf pada kalimat tersebut bukan karena alasan darurat,

menunggu atau memberi keterangan. Keputusan untuk waqaf semata-

mata merupakan pilihan hatinya sendiri.28

Misalnya waqaf pada kata

الحمد لله رب العالمين. dalam ayat العالمين

Waqaf ikhtiyary dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian

yaitu waqaf tamm, kafi, hasan dan waqaf qabih. Berikut ini akan

jelaskan masing-masing dari keempat waqaf tersebut.

a. Waqaf tamm

Waqaf tamm adalah berhenti pada perkataan yang sempurna

susunan kalimatnya dan tidak berkaitan dengan kalimat sesudahnya

baik lafadz maupun maknanya. Pada umumnya, waqaf tamm

terdapat pada akhir ayat seperti berhenti pada :

... إياك Terkadang sebelum habis ayat seperti waqaf pada :

Terkadang pula di pertengahan ayat seperti waqaf pada :

27

Sairuddin A. Shomad Rabith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176 - 177 28

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 167

Page 38: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

23

Kadang-kadang juga sesudah habis ayat tambah sedikit seperti

waqaf pada :

b. Waqaf kafi

Waqf kafi ialah berhenti pada perkataan yang sempurna

kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dengan kalimat

sesudahnya namun tidak berkaitan dengan lafadznya seperti pada

kata لايؤمنونdan memulai pada kata 29.ختم الله على قلوبهم

c. Waqaf hasan

Waqaf hasan ialah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan

kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dan lafadznya dengan

kalimat sesudahnya.30

Dalam mushaf al-Qur‟an, waqaf ini ditandai

dengan rumus (صلى). Waqaf ini sering terjadi antara sifat dan yang

disifatinya. Contoh الحمد لله kemudian mulai dari رب العالمين dan dalam hal ini washal lebih utama.

d. Waqaf qabih

Waqaf qabih adalah berhenti pada perkataan yang tidak sempurna

susunan kalimatnya, karena berkaitan dengan lafadz dan makna

29

Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 178 30

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 169

Page 39: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

24

perkataan atau kalimat sesudahnya.31

Contoh waqaf qabih pada

lafadz بسم dari lafadz بسم الله. Kedua lafadz ini tidak bisa

dipisahkan karena lafadz pertama berkedudukan sebagai mudhaf,

sementara lafadz berikutnya berkedudukan sebagai mudhaf ilaih.

Mudhaf dan mudhaf ilaih ialah dua kata sempurna kalimat

majemuk yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Contoh

lainnya adalah waqaf pada lafadz الحمدdari lafadz الحمد لله. Lafadz

pertama berkedudukan sebagai mubtada’ atau pokok kalimat.

Sedangkan lafadz kedua berkedudukan sebagai khabar atau

keterangan.32

B. Ibtida’

1. Pengertian Ibtida’

Secara etimologis, ibtida‟ mempunyai akar kata dari bada’a yang

artinya memulai.33

Dalam redaksi lain disebutkan bahwa ibtida‟ berarti

memulai sesuatu.34

Menurut Ismail, ibtida‟ ialah memulai pembacaan

kembali sesudah menghentikannya seketika untuk mengambil nafas.35

Adapun secara terminologis, ibtida‟ berarti memulai bacaan setelah

berhenti atau waqaf.36

Menurut Ulama Qurra‟, ibtida‟ adalah memulai

31

Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 180 32

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 170 33

Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153 34

Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz I, h. 223 35

Tekan Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 127 36

Abdul Karim ibrahim, al-Waqaf wa al-Ibtida’ wa Silâtuhuma bi Ma’na, (Kairo: Daar al-

Salam, 2008), h. 19

Page 40: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

25

membaca al-Qur‟an baik memulai dari awal maupun meneruskan bacaan

yang semula dihentikan.37

Bedasarkan uraian definisi tentang ibtida‟ baik ditinjau dari aspek

etimologis maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa ibtida‟ dapat dipahami sebagai permulaan bacaan setelah berhenti

atau waqaf. Dengan demikian, ibtida‟ merupakan kajian ilmu tajwid yang

sangat penting. Oleh sebab itu, bagi orang yang belajar qira‟ah harus

memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tajwid terutama

tentang ibitda‟.

2. Urgensi Ibtida’

Ibtida‟ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam pengkajian al-

Qur‟an. Penguasaan dalam ilmu ibtida‟ merupakan suatu keharusan bagi

setiap orang yang ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur‟an.

Menguasai dan mempelajari ilmu ibtida‟ sangat dituntut, karena

kelemahan dalam memahami ilmu ibtida‟ bisa menyebabkan para

pembaca al-Qur‟an berhenti pada suatu kalimah dengan sesuka hatinya

dan memulai bacaan dengan mengikuti kehendak hatinya tanpa melihat

kepada kondisi ayat tersebut sehingga dapat menimbulkan beda

pemahaman dalam bacaan al-Qur‟an. Untuk itu, menjadi suatu kewajiban

bagi setiap orang untuk mempelajari dan memahami semua kaidah dan

metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ibtida‟. Hal ini sesuai dengan

perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika

37

Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153

Page 41: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

26

mengajarkan para sahabat, beliau menyebut dan membaca ayat-ayat suci

al-Qur‟an sebagaimana beliau menerima bacaan tersebut dari malaikat

Jibril.38

Ibtida‟ merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam rangka

mempelajari al-Qur‟an. Mempelajari tata kaidah bahasa Arab adalah wajib

bagi setiap orang yang ingin membaca buku-buku yang berbahasa Arab,

begitulah kedudukan dalam mempelajari ilmu ibtida‟. Ibtida‟ memiliki

peran penting dalam memelihara keindahan bacaan al-Qur‟an sehingga

dapat menepati bacaan yang diajarkan Jibril kepada Rasulullah SAW serta

memelihara dan menjaga maksudnya. Peraturan ini didasarkan pada

firman Allah SWT agar membaca al-Qur‟an dengan tartil, yaitu membaca

dengan suara yang indah sehingga dapat menyejukkan para pendengar al-

Qur‟an.

Kewajiban untuk mempelajari ilmu ibtida‟ sangatlah penting,

karena ilmu ini sangat berkaitan erat dengan pemahaman makna atau tafsir

al-Qur‟an. Seseorang yang melakukan kesalahan dalam memulai bacaan

al-Qur‟an akan mendatangkan pengaruh negatif dalam memahami ayat al-

Qur‟an. Menurut Pangilun, banyak di antara kaum terpelajar yang kurang

memahami kaidah-kaidah ilmu ibtida‟ dalam pembacaan al-Qur‟an.

Meskipun mereka memiliki kefasihan bacaan, namun kesalahan-kesalahan

dalam memulai bacaan sering terjadi.39

Kesalahan seperti ini sangat

38

rmc.kuis.edu.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014 39

Saharuddin Pangilun, Kemahiran Waqaf dan Ibtida’; Kajian Terhadap Guru-Guru al-

Qur’an di Daerah Kuala Langat Selangor Daar al-Ihsan, Kajang: College University Islam

Selangor, 2005), h. 75

Page 42: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

27

membingungkan, karena menyebabkan pemahaman yang menyimpang

dari arti yang sebenarnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa ibtida‟ merupakan ilmu yang sangat penting dan memiliki peran

yang cukup urgen dalam mempelajari, mengkaji dan memahami al-Qur‟an

sehingga ilmu ini sangat diperlukan dalam setiap kajian al-Qur‟an.

3. Klasifikasi Ibtida’

Ibtida‟ merupakan salah satu ilmu sangat penting untuk dipelajari.

Untuk memudahkan pembelajaran ini, ibtida‟ dapat dikelompokkan ke

dalam beberapa bagian yaitu :

a. Ibtida‟ Tamm

Ibtida‟ dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian yang salah satu

di antaranya adalah ibtida‟ tamm. Ibtida‟ tamm adalah memulai bacaan

yang tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya baik dari segi

lafadz maupun makna.40

Contohnya :

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS.

al-Hijr : 9).

b. Ibtida‟ Kafi

Ibtida‟ kafi ialah memulai bacaan dari satu kalimat yang mempunyai

hubungan arti dengan lafadz sebelumnya. Contoh :

40

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 171

Page 43: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

28

c. Ibtida‟ Hasan

Ibtida‟ hasan adalah memulai bacaan dengan kalimat yang masih ada

hubungan dengan kalimat sebelumnya, namun lafadznya bagus jika

dimulai dengannya.41

Contoh :

d. Ibtida‟ Qabih

Ibtida‟ qabih ialah memulai bacaan dengan kalimat yang merusak

makna disebabkan sangat eratnya hubungan terhadap kalimat

sebelumnya.42

Contoh QS. Huda : 53 dan QS. al-Taubah : 31 adalah

sebagai berikut :

Menurut Wahyudi, ibtida‟ itu adakalanya mulai membaca pertama kali dan

adakalanya, memulai membacanya sesudah waqaf. Ibtida‟ itu harus dari awal

kalimat dan tidak boleh diambil dari potongan kalimat, sebab dapat merusak

kalimat al-Qur‟an seperti membaca مد لله الح diulang dari دلله atau dari حمد .dengan meninggalkan al-nya لله

41

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172 42

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172

Page 44: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

29

Mengetahui ibtida‟ itu harus lebih hati-hati dari pada waqaf, karena

waqaf itu masih bisa berhenti di mana saja apabila dalam keadaan

darurat. Lain halnya dengan ibtida‟ yang tidak boleh seenaknya saja

memulai bacaan, tetapi harus memilih dari perkataan yang mafhum.43

Secara garis besar, ibtida‟ dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

a. Ibtida‟ jaiz

Ibtida‟ jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang jelas maknanya atau

sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.

b. Ibtida‟ ghairu jaiz

Ibtida‟ ghairu jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang dapat merusak

atau merubah makna kalimat. Ibtida‟ ini dibagi menjadi dua bagian

yaitu :

- Ibtida‟ dari perkataan yang masih berkaitan dengan kalimat

sebelumnya baik lafadz maupun maknanya seperti :

Artinya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan

sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al-Lahab :

1).

- Ibtida‟ dari perkataan yang mendatangkan makna yang tidak

dikehendaki oleh Allah SWT atau menyalahi aqidah seperti :

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa ibtida‟ itu tidak boleh kecuali dengan awalnya huruf suatu lafadz.

43

Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 243

Page 45: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

30

Ibtida‟ juga tidak boleh kecuali dengan huruf yang hidup. Oleh sebab itu,

apabila terdapat lafadz yang huruf pertamanya disukun (mati), maka

haruslah didatangkan kepadanya hamzah washal agar bisa diucapkan.

Page 46: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

31

BAB III

WAQAF DAN IBTIDA’ DALAM AL-QUR’AN

A. Tanda Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an

Dalam perkembangan waqaf dan ibtida‟, para ulama merumuskan beberapa

tanda untuk menunjukkan tempat berhenti (waqaf) yang digunakan dalam al-

Qur‟an. Para ulama melihat kebutuhan para pembaca al-Qur‟an terhadap tanda-

tanda yang menunjukkan tempat-tempat yang baik untuk berhenti atau

mewaqafkan bacaan. Tanda-tanda waqaf yang ada dalam al-Qur‟an merupakan

hasil dari ijtihad para ulama guna memudahkan para pembaca al-Qur‟an agar

terhindar dari kesalahan dalam menentukan tempat-tempat berhenti (waqaf) ketika

membaca al-Qur‟an. Jika seorang pembaca al-Qur‟an tidak berhenti di tempat

yang tepat, maka hal itu akan mengubah makna al-Qur‟an. Salah satu contohnya

ialah ketika membaca QS. al-Ma‟un : 4. Jika berhenti pada ayat tersebut, maka

ayat tersebut akan berarti : “maka celakahlah orang-orang yang shalat”. Hal ini

merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena tidak mungkin orang yang

mengerjakan shalat termasuk orang yang celaka. Seharusnya ayat tersebut

disambung dengan ayat berikutnya yang berarti : “yaitu orang-orang yang lalai

dari shalatnya”. Untuk itu, muncul beragam tanda waqaf dalam al-Qur‟an

sebagaimana yang biasa ditemukan dalam berbagai cetakan mushaf al-Qur‟an.1

1Penjelasan yang cukup rinci mengenai hal ini dapat dilihat pada Muhaimin, “Perbedaan

Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Makna al-Qur‟an”, Skripsi

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Dalam salah satu sub babnya, ia

menjelaskan secara cukup mendetail tentang perkembangan tanda waqaf mulai dari awal

kemunculannya di Timur Tengah hingga perkembangannya di Indonesia.

Page 47: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

32

Penggunaan tanda-tanda waqaf dalam al-Qur‟an ini merupakan salah satu

bentuk resepsi sosial budaya terhadap al-Qur‟an. Disebut demikian, karena awal

mula digunakannya tanda waqaf memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan

konteks sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Apabila para ulama ahli al-

Qur‟an menganggap tanda waqaf tidak dibutuhkan oleh masyarakat pada

umumnya, tentu mereka tidak akan menciptakan tanda-tanda waqaf. Di samping

itu, tanda merupakan salah satu unsur budaya dan tanda waqaf yang terdapat

dalam al-Qur‟an pun dapat disebut sebagai budaya. Penggunaan tanda waqaf ini

menunjukkan bahwa manusia menggunakan menggunakan simbol untuk

berinteraksi dengan manusia yang lain dalam kehidupannya. Simbol digunakan

oleh manusia karena ia mampu membuat penanda

B. Kosa Kata Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an

Waqaf hendaknya diletakkan pada akhir suku kata. Sedangkan ibtida‟

hendaknya diletakkan pada pangkal suku kata. Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa ibtida‟ tidak diletakkan pada pertengahan suku kata sebagaimana tidak

bolehnya waqaf diletakkan pada pangkal suku kata. Namun waqaf sebaiknya

diletakkan pada akhirnya ayat yang sempurna jika nafas mencukupi. Demikian

pula halnya dengan ibtida‟ ialah pada pangkal ayat yang baru dan sempurna pula.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa waqaf adalah memutuskan

suara dari bacaan selama waktu yang cukup bagi si pembaca untuk menarik nafas

baru sepreti biasanya dengan niat akan memulai bacaan dan bukan berpaling dari

Page 48: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

33

bacaan. Waqaf tidak boleh dilakukan pada pertengahan kalimat dan juga tidak

boleh dilakukan pada lafadz tulisan yang berhubungan.2

Berdasarkan pemahaman tentang kosa kata waqaf, maka waqaf memiliki

tiga bagian yaitu :3

1. Waqaf untuk berhenti selamanya, misalnya orang membacan surah al-

Baqarah, setelah tamat ia meneruskan shalat dan pada akhir bacaan surah al-

Baqarah itulah yang kemudian disebut dengan waqaf.

2. Waqaf yang bertujuan untuk mengambil nafas, karena nafas tidak kuat maka

si pembaca menghentikan bacaannya pada kalimat tertentu dan setelah

mengambil nafas, ia kemudian meneruskan lagi bacaannya.

3. Waqaf yang bertujuan untuk berhenti sebentar saja sehingga tidak sempat

bernafas meskipun hanya sejenak. Waqaf yang terkhir inilah yang kemudian

disebut dengan istilah saktah.

Adapun kosa kata ibtida‟ dapat dipahami sebagai permulaan dalam

membaca suatu ayat. Ketika hendak memulai membaca suatu ayat, maka

hendaknya dimulai dengan ayat yang dapat dimengerti artinya, jangan memulai

dengan ayat yang boleh mengubah maknanya seperti يد الله مغلولة –إن الله فقير– dan seandainya terpaksa berhenti pada salah satu contoh ayat إن الله ثالث ثلاثة

seperti di atas disebabkan tidak kuat menahan nafas, maka hendaknya memulai

pada ayat sebelumnya agar tidak salah tentang pengertian ayat tersebut.4 Oleh

2Muhammad al-Shadiq Ibnu Qamhari, al-Burhân fî Tajwîd al-Qur’an, alih bahasa Abu

Bakar Bahrun, (Bandung: Triganda Karya, 1995), Cet. ke-1, h. 92 3Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,

h. 154 - 155 4A. Ghani, Hukum Waqaf dan Ibtida’, (Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995), Cet. ke-1,

h. 58

Page 49: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

34

sebab itu, perlu pemahaman lebih lanjut tentang kosa kata ibtida‟ dalam al-

Qur‟an.

Ibtida‟ adalah memulai membaca al-Qur‟an baik memulai dari awal maupun

meneruskan bacaan yang semua dihentikan. Melihat konsep seperti ini, dapat

diketahui bahwa ibtida‟ mempunyai dua versi. Pertama, memulai membaca al-

Qur‟an untuk pertama kali misalnya, setelah shalat seseorang membaca surah al-

Baqarah, ketika membaca lafadz آلمitulah yang dinamakan ibtida‟ yaitu memulai

pertamakali membaca al-Qur‟an. Kedua, memulai membaca al-Qur‟an setelah

berhenti yang sebelumnya sudah membaca al-Qur‟an. Misalnya, seseorang

membaca surah al-Fatihah ayat pertama dan kedua yaitu بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد lalu berhenti, kemudian diteruskan dengan ayat yang ketiga, maka لله رب العالمين

pada saat memulai membaca ayat ketiga itulah yang disebut dengan ibtida‟.5

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kosa

kata waqaf dan ibtida‟ merupakan metode bacaan yang dilafadzkan oleh si

pembaca ketika membaca ayat-ayat suci al-Qur‟an dengan tujuan agar memahami

apa itu waqaf dan ibtida‟ dalam sebuah bacaan al-Qur‟an.

C. Pendapat Ulama Tentang Waqaf dan Ibtida’

Dalam penjelasan secara singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida‟ yang

terdapat dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa metode dalam menetapkan waqaf dan

tanda-tandanya di antaranya adalah melakukan diskusi tentang masalah-masalah

waqaf, mengambil keputusan dengan mempertimbangkan makna-makna yang

tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir dan ulama ahli waqaf dan ibtida‟.

5Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153

Page 50: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

35

Berdasarkan keterangan di atas, maka da tiga sumber waqaf dan ibtida‟

dalam penulisan dan penyusunan dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut :

1. Pendapat ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman Allah

SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2 : 138 adalah sebagai berikut :

Artinya : “Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari

pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” (QS.

Al-Baqarah : 138).

Berdasarkan penjelasan dari al-Asymuni, waqaf pada ayat ini

hukumnya hasan.6 Contoh lainnya adalah firman Allah SWT dalam QS. Ali

Imran/3 : 95 adalah sebagai berikut :

Artinya : “Katakanlah: Benarlah (apa yang difirmankan) Allah, maka ikutilah

agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Dia Termasuk orang-

orang yang musyrik” (QS. Al-Imran : 95).

Waqaf pada berdasarkan keterangan Abu Amr al-Dani

adalah waqaf tam.7

2. Pendapat ulama tafsir, seperti waqaf pada QS. Ali Imran/3 : 181 adalah

sebagai berikut :

6Al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtid’, (Kairo: Daar al-Hdits, 2008),

Juz I, h. 6 7Abû Amr al-Dani Sâid Usmân, al-Muktafa fî al-Waqaf al-Ibtida’, (Kairo: Dâr al-Sahabah,

2006), h. 63

Page 51: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

36

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang

mengatakan: sesunguhnya Allah miskin itu dan kami kaya. Kami

akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka

membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan

mengatakan (kepada mereka): "rasakanlah olehmu azab yang

membakar” (QS. Al-Imran : 181).

Waqaf pada kata (اغنياء) adalah lazim, karena bila diwashalkan dengan

kalimat setelahnya maka akan terkesan kalimat setelahnya yaitu Kami akan

mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka …..” termasuk perkataan

kaum kafir, padahal tidaklah demikian. Riwayat beberapa mufassir tentang

asbabun nuzul ayat ini memperkuat keterangan di atas.

3. Pakar tajwid sepakat bahwa waqaf pada kata yang berstatus hasan ini

dibolehkan, tetapi mereka tidak sepakat tentang ibtida‟ dari kata berikutnya.

Syekh al-Mar‟syi berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata berikutnya tidak baik,

karena masih berkaitan dengan lafadz sebelumnya. Ibtida‟ harus mengulang

dari tempat waqaf atau dari kata sebelumnya sehingga menjadi susunan

kalimat yang baik. Syekh Ibnu Qosim berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata

berikutnya adalah boleh, karena kalimat yang telah dibaca ada pengertiannya

sehingga tidak perlu diulang. Imam Suyuthi berpendapat bahwa ibtida‟ dari

kata berikutnya tidak baik, kecuali bila bertepatangan dengan ro‟su ayat.

Ibtida‟ dari ro‟su ayat selamanya baik walaupun waqaf sebelumnya berstatus

hasan, karena adanya hadits tentang berwaqaf pada ro‟su ayat. Pendapat imam

Suyuthi ini tampaknya lebih menekankan pada segi ta‟abudi bahkan dikatakan

sunnah hukumnya.8

8Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 205

Page 52: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

37

Jika diperhatikan, susunan satu kalimat memang adakalanya telah dapat

dimengerti dan ibtida‟ dari kata berikutnya tidak merusak pengertian atau makna

bahkan dengan menghubungkan keduanya adakalanya justru merusak makna.

Dalam hal seperti ini, ibtida‟ dari kata berikutnya tentu lebih utama. Sementara

itu, ada pula susunan kalimat yang sagat erat hubungannya yang dalam hal ini

adalah ibtida‟ dengan cara mengulang tentu lebih baik.9 Hal ini sesuai dengan

ijtihad lajnah atau tim penyusun jurnal Suhuf.

Ijtihad lajnah (tim penyusun), misalnya keputusan tidak menulis tanda

waqaf apa pun pada tiap akhir ayat. Mereka mengikuti pendapat yang

membolehkan waqaf pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai

keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya atau bisa merusak makna bila

tidak ada waqaf pada ayat tersebut.10

Misalnya saja waqaf pada akhir QS. al-

Baqarah/2: 219 dan QS. al-Ma‟un/107: 4. Pada kedua ayat ini para ulama tidak

mencantumkan tanda waqaf (لا) dengan dalil beberapa riwayat hadits Nabi yang

menjelaskan bagaimana beliau membaca al-Qur‟an. Misalnya riwayat dari Ummu

Salamah bahwa ketika membaca al-Qur‟an, Rasulullah SAW selalu memutus

bacaannya ayat per ayat. Beliau membaca basmallah lalu berhenti; membaca al-

Hamdulillah lalu berhenti; membaca al-Rahmân terus berhenti.11

Hal ini disebabkan makna memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap

ayat, maka berhenti pada akhir tiap ayat adalah sunnah yang telah dicontohkan

oleh Rasulullah SAW. Atas dasar ini, para ulama tidak merasa perlu

9Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 205

10Abdul Karim Ibrahim Awal Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bî al-Ma’na fî al-

Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salam, 2008), h. 36 11

Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-„Arabi, tth), Juz V, h.

185. Bab Sawab al-Qur’an, Sub bab : Bagaimana Rasul Membaca al-Qur‟an, hadits No. 2927.

Page 53: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

38

mencantumkan tanda waqaf. Mereka mengikuti mazhab yang menyatakan harus

waqaf di akhir tiap ayat.12

Meskipun waqaf pada akhir ayat tersebut memiliki

kesan berbeda-beda sesuai dengan keterkaitan yang kuat dengan ayat setelahnya

baik dari segi lafadz maupun dari segi makna atau dari keduanya. Bila melihat

kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya keterkaitan yang kuat

dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir ayat tersebut banyak

membantu memberi pemahaman yang utuh kepada orang Ajam/non Arab

khususnya.13

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

waqaf itu dibolehkan pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai

keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya. Hal ini disebabkan makna

memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap ayat, maka berhenti pada akhir

tiap ayat adalah sunnah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

D. Perbedaan Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah

Paling tidak ada dua hal yang bersifat prinsipil terkait dengan masalah

mushaf standar Indonesia dan mushaf Madinah. Kedua hal tersebut adalah :

1. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Standar Indonesia

Berdasarkan dokumen yang diperoleh dari hasil Musyawarah Kerja

ulama al-Qur‟an ke-5 tahun 1979, metodologi atau langkah-langkah yang

12

Ada dua mazhab utama dalam masalah waqaf di akhir ayat. Pendapat pertama

mengharuskan waqad di akhir ayat berdasarka riwayat hadits di atas. Pendapat kedua

membolehkan washl dengan ayat berikutnya terutama bila maknanya saling berkaitan. Lihat Abdul

Karim Ibrahim Awad Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bi al-Ma’na fi al-Qur’an al-Karim,

h. 35 13

Ahmad Badruddin, “Waqf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf

Madinah serta Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Suhuf, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 180

Page 54: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

39

dilakukan ulama al-Qur‟an dalam menetapkan waqaf dan ibtida‟ pada Mushaf

Standar Indonesia adalah (a) berpedoman pada mushaf yang telah beredar

sebelumnya, yaitu cetakan Departemen Agama tahun 1960-an; (b) membaca

ulang waqaf-waqaf pada mushaf tersebut dan menyandingkannya dengan

kitab-kitab tafsir untuk melihat korelasi dan ketepatan makna; (c) selama tidak

berpotensi membingungkan, tanda-tanda waqaf itu akan dibakukan;

sebaliknya, bila dianggap lemah atau bermasalah maka ia akan dirubah atau

disesuaikan.14

Referensi pengambilan waqaf dan ibtida‟ pada Mushaf Standar

Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Muker Ulama al-Qur‟an VI tahun

1979/1980 antara lain adalah Jami’ al-Bayan karya al-Thabari, Ruh al-Ma’ani

karya al-Alusi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi dan Manaar al-

Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’ karya al-Asymuni,15

di samping waqaf-

waqaf hasil ijtihad para ulama yang terekam dalam al-Qur‟an cetakan

Departemen Agama edisi sebelumnya dan al-Qur‟an terbitan Mesir dan

Makkah sebagai pembanding.

Berdasarkan hasil penelusuran, maka dapat dipahami bahwa salah satu

dari referensi tersebut yakni Jami’ al-Bayan sebenarnya adalah Tafsir Gara’ib

al-Qur’an wa Raga’ib al-Furqan karya Nizamuddin al-Hasan bin Muhammad

Husain al-Naisaburi yang kebetulan disertakan sebagai bagian dari tafsir itu.

14

Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V,

(Jakarta: Departemen Agama, 1979), h. 33-38

15

Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V, h.

27

Page 55: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

40

Berikut ini adalah contoh-contoh waqaf dalam Mushaf Standar

Indonesia yang merujuuk pada referensi-referensi di atas yaitu QS. al-An‟am :

20.

Artinya : “Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka

mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-

anaknya sendiri, orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu

tidak beriman kepada Allah” (QS. al-An‟am : 20).

Menurut al-Naisaburi, waqaf pada kata Abnaa’ahum adalah laazim

agar tidak disangka bahwa kalimat setelahnya merupakan sifat dari kata ini.16

Kemudian dalam QS. al-Nahl : 32 yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya : “Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para

malaikat dengan mengatakan kepada mereka: Salaamun'alaikum,

masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah

kamu kerjakan" (QS. al-Nahl : 32).

Al-Alusi mengatakan bahwa kata yaquuluuna adalah hal dari kata

malaikat atau menjadi khabar jumlah dari kata al-laziina yang menjadi

mubtada’.17

Berdasarkan pada pendapat ini, maka Mushaf Standar Indonesia

mencantumkan tanda waqaf mamnu’ pada kata tayyiib.

16

Nizamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gara’ib al-Qur’an wa

Raga’ib al-Furqan, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Cet. ke-2, Juz VII, h. 112

17

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz VII, h. 505

Page 56: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

41

Selanjutnya dalam QS. al-Mu‟minun : 100 yang berbunyi sebagai

berikut :

Artinya : “Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku

tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan

yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding

sampal hari mereka dibangkitkan” (QS. al-Mu‟minun : 100).

Kata kalla pada ayat ini termasuk yang diharuskan waqaf oleh al-

Zarkasyi, karena ia bermakna menolak.18

Mushaf Standar Indonesia yang

didasarkan pada pendapat ini mencantumkan tanda waqaf (qolaa) setelah kata

ini.

2. Waqaf dan Ibtida Pada Mushaf Madinah

Dalam penjelasan singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida’ Mushaf

Madinah disebutkan bahwa tim panitia dalam menetapkan waqaf dan tanda-

tandanya di antaranya adalah (a) melakukan diskusi tentang waqaf-waqaf pada

mushaf yang masih eksis; (b) mengambil keputusan dengan

mempertimbangkan makna yang tepat dan mengacu pada pendapat mufassir

dan ulama ahli waqaf dan ibtida’.19

Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga sumber waqaf dan ibtida‟

dalam penulisan dan penyusunan Mushaf Madinah yaitu :

18

Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz I, h. 448 19

Mushaf Madinah, (Madinah: Mujamma‟ al-Malik Fahd Littiba‟i al-Mushaf, 1985), h. 6

Page 57: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

42

a. Pendapat para ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman

Allah SWT dalam QS. al-Baqarah : 138 dan QS. Ali Imran : 95 seperti

yang telah dipaparkan di atas.

b. Pendapat ulama tafsir seperti waqaf pada QS. Ali Imran : 181. Hal ini juga

telah diterangkan di atas.

c. Ijtihad tim penyusun. Pada dua ayat ini, tim penyusun tidak

mencantumkan tanda waqaf (laam alif) dengan dalil beberapa riwayat

hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bagaimana beliau membaca al-

Qur‟an. Misalnya riwayat dari Ummu Salamah, bahwa ketika membaca al-

Qur‟an, Rasulullah SAW selalu memutus bacaannya ayat per ayat. Beliau

membaca basmallah lalu berhenti; membaca al-hamdulillah lalu berhenti;

membaca al-rahman lalu berhenti.20

Di sinilah letak salah satu perbedaan

mendasar antara Mushaf Madinah dengan Mushaf Standar Indonesia yang

banyak mencantumkan tanda waqaf di akhir ayat. Salah satu alasan kuat

yang diikuti oleh Mushaf Standar Indonesia adalah pendapat al-Zarkasyi

yang menyatakan bahwa yang menjadi fokus perhatian mayoritas ahli

qira‟at dalam persoalan waqaf adalah memperhatikan makna meskipun

bukan dipandang ayat.21

20

Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi. t.th), Juz V, h.

185, bab Sawab al-Qur’an, sub bab “Bagaimana Rasululllah SAW membaca al-Qur‟an”, hadis no.

2927 21

Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, h. 505

Page 58: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

43

BAB IV

DAMPAK WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

TERJEMAH DAN TAFSIR

A. Terjemah dan Aplikasinya

Al-Qurán beserta cakupan bacaannya sudah muncul sejak masa Rasulullah

SAW. Adanya ragam bacaan tersebut ditulis pertama kali dalam mushaf secara

resmi oleh Usman bin Affan pada masa pemerintahannya (23-35) H.1 Mushaf-

mushaf inilah yang kemudian disebar ke berbagai kota di jazirah Arab dengan

disertai seorang qari‟ untuk setiap mushaf yang dikirim.2 Sedangkan satu mushaf

tetap disimpan di Madinah yang menjadi standar dan rujukkan akhir apabila

terjadi perselisihan di antara mushaf-mushaf tersebut3 bila ditinjau dari bentuk

tulisan.

Bentuk tulisan dalam mushaf Usmani pada awalnya ditulis tanpa ada titik,

harakat dan tanda waqaf. Keadaan seperti ini berjalan selama hampir 40 tahun

1Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa ciri dan karakteristik mushaf yang

ditulis pada masa khalifah Usman ini di antaranya adalah mencakup apa yang termuat dalam

bentuknya yang tujuh huruf yang mana al-Qurán itu diturunkan dengannya. Lihat Abu Amr al-

Dhani, al-Ahruf al-Sabáh li al-Qurán, (Jeddah: Dâr al-Manarah lî al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1997),

Cet. ke-1, h. 60. Lihat juga Abdurrahman bin Ibrahim al-Matrudi, al-Ahruf al-Qur’aniyah al-

Sab’ah, (Riyadh: Dâr al-Alam al-Kutub, 1991), Cet. ke-1, h. 86 2Mushaf-mushaf dengan masing-masing pola penulisannya ini dikirim ke berbagai kota

sesuai dengan bacaan yang berkembang dan dianut oleh kebanyakan penduduk di daerah tersebut.

Lihat Abd Hadi al-Fadli, al-Qira’at al-Qur’aniyyah; Tarikh wa Ta’rif, (Beirut: Daar al-Majma‟ al-

Ilmi, 1979), h. 132. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa khalifah Usman bin Affan

memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai imam qira‟at di Madinah, Abdullah bin al-Saib di Mekkah,

al-Mughirah bin Syihab di Syam, Abu Abdurrahman al-Sulami di Kufah dan Amir bin Abd. al-

Qais di Basrah. Mereka mendapat rekomendasi dari Khalifah ini selanjutnya diinstruksikan untuk

mengajarkan kepada sahabat dan tabi‟in yang lainnya berdasarkan mushaf yang dikirim ke daerah

masing-masing. Lihat Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manâhil al-Irfan fî Ulûm al-Qur’an,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), Juz I, Cet. ke-1, h. 278 - 279 3Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut:

Dâr al-Fikr, 2001), Juz I, h. 240. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’an,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), Juz I, h. 104

Page 59: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

44

lebih.4 Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya ekspansi besar-besaran hingga

meluaslah Islam ke berbagai daerah di jazirah Arab dan implikasinya adalah

rentan sekali terjadi kesalahan dalam membaca al-Qur‟an bagi non Arab yang

tidak bisa berbahasa Arab.5 Untuk itu, upaya perbaikan bentuk tulisan mulai

dirasa penting untuk segera dilakukan. Adalah Yahya bin Ya‟mar dan Nasir bin

Asim pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (75 – 86) H yang dikenal

sebagai pemberi tanda titik pada huruf, sedangkan Abu Aswad al-Duwali (w. 69)

H sendiri memberikan tanda baca terhadap pola penulisan al-Qur‟an.

Sementara itu, perbaikan yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ sudah

muncul pada abad pertama hijriyah, namun pada awalnya masih merupakan

bagian integral dalam praktek pembacaan al-Qur‟an dengan berbagai variasi

bacaannya6 dan tidak tertulis secara simbolis dalam mushaf al-Qur‟an. Adapun

sumbernya masih terbatas dari Nabi atau imam qira‟at yang menisbatkan

bacaannya kepada Rasulullah SAW. Hingga awal abad kedua hijriyah, sudah

banyak ulama yang berijtihad untuk menentukan tempat-tempat waqaf dan

sekaligus meletakkan simbol-simbol tertentu baik pada tengah ayat maupun ujung

ayat sehingga memunculkan banyak variasi tempat waqaf.7

Menurut para ulama, ilmu waqaf dan ibtida‟ sangat berguna untuk

mengetahui tata cara membaca al-Qur‟an, menghindari kekeliruan pemahaman8

dan dapat mendatangkan tujuan makna al-Qurán secara tepat dan benar. Selain itu,

4Abdul Sabur Syahin, Tarikh al-Qur’an, (Kairo: Nahdah Misr li al-Taba‟ah wa al-Tauzi wa

al-Nasyr, 2007), Cet. ke-3, h. 111 5Abd. al-Hayy Husin al-Farmawi, Rasm al-Mushaf wa Naqtuh, (Jeddah: Daar al-Nur al-

Maktabah, 2004), h. 287 6M. al-Azmi, Sejarah Teks al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Solihin,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 123 - 128 7 Al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 415. Lihat juga Abdul Qayyum al-

Sindi, Safahat fî Ulûm al-Qur’an, (Mekkah: Maktabah al-Imdadiyyah, 2001), h. 173 8 Ibn al-Jazari, al-Nasyr fî Qira’at al-Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tth), h. 242.

Lihat juga al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 342

Page 60: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

45

urgensi menguasai ilmu ini adalah untuk memahami makna al-Qur‟an dan

menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.9Al-Qur‟an sebagai teks

yang dibaca dan yang ditulis, maka cara menyampaikan bahasanya yang baik

adalah yang mampu mengungkapkan sebuah gagasan atau konsep yang jelas,

teratur dan indah sehingga enak didengar dan tidak mudah menimbulkan salah

paham.10

Di sinilah letak arti penting kajian mengenai waqaf dan ibtida‟.

Kasus mengenai pengaruh ragam bacaan yang menyebabkan perbedaan

makna dan berimplikasi terhadap hukum waqaf dan ibtida‟ ini dapat ditemukan

dalam beberapa ayat al-Qur‟an di antaranya QS. al-Baqarah : 125 adalah sebagai

berikut :

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat

berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman dan jadikanlah

sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat dan telah Kami perintahkan

kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-

orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. al-

Baqarah : 125).

9 Manna‟ Khalil al-Qathan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),

Cet. ke-11, h. 176. Lihat juga Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilâwah, (Jeddah: Dâr al-Manarah,

1988), Cet. ke-12, h. 73 – 74. Dalam sebuah pernyataan yang dikutif dari Abu Bakar al-Anbari (w.

328 H), ia mengatakan: min tamam (i) ma’rifat (i) al-Qur’an ma’rifat (u) al-waqaf wa al-ibtida’

fihi, bahwa salah satu kesempurnaan dalam memahami makna atau isi kandungan al-Qur‟an adalah

pengetahuan yang cukup tentang hukum al-waqaf dan al-ibtida’. Lihat Abu Bakar Muhammad ibn

Qasim ibn Basyar al-Anbari, Kitâb Idah al-Waqaf wa al-Ibtida’fi Kitabillah Azza wa Jalla,

(Damaskus: Majma‟al-Lughah al-Arabiyyah, 1971), Juz I, h. 108 10

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:

Paramadina, 1996), h. 5

Page 61: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

46

Pada ayat di atas, qira‟at Nafi membaca huruf „ta‟ pada kata tersebut

dengan harakat fathah (tanda bunyi „a‟), dalam bentuk kata kerja lampau yaitu

kata ittakhaju.11

Jika dilihat dari segi analisis tata gramatika menurut versi bacaan

ini, kata tersebut harus ma’tuf (dihubungkan) dengan kata ganti orang kedua yang

terdapat dalam kata wa ij pada ayat sebelumnya. Sedangkan jika dilihat dari aspek

pemaknaan, versi bacaan ini sebenarnya ingin memaknai ayat tersebut sebagai

pemberitaan tentang kisah orang-orang beriman pada masa nabi Ibrahim bahwa

mereka menjadikan maqam Ibrahim12

sebagai tempat beribadah sehingga tafsir

ayat ini berupa :

مير كاذ و حد م ا ! إلت ب اي واتمالكبمي اىرب ى حر كاذ ... ال نل عجي تي ب ااسلن لةابثم ال ذى إب راىي م مقام من الن اس ات ذ حي اي ضا واذ كر نا، سيوأم

إل نا عهد حي واذ كر ها، إلي يصلو ن لة قب عن ده ذريتو كان وإس تمامو لإى بو13إب راىي م....

Semua pernyataan tersebut diungkapkan dengan bentuk pemberitaan yang

menurut Makki al-Qisi berfungsi sebagai tanbih atau tazkir (peringatan) bagi Nabi

SAW.14

Oleh sebab itu, derajat atau hukum berhenti membaca pada kata wa

11

Abu Amar al-Dhani, Jâmi’ al-Bayân fî Qira’ati al-Sab’, (Mekkah: Jami‟ah Ummul Qurra,

1995), h. 112. Lihat juga Muhammad Ibrahim, Farîdah al-Dahr fî Ta’sîl wa Jam’ al-Qira’at al-

Asyar, (Kairo: Daar al-Bayan al-Arabiy, tth), Juz II, h. 174. Bandingkan dengan Abdul Fattah

Abdul Ghani al-Qadi, al-Budûr al-Zahirah fî al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah, (Beirut: Daar

al-Kitab al-Arabiy, tth), h. 40 12

Maqam secara harfiah berarti tempat berdiri. Sedangkan yang dimaksud dengan maqam

Ibrahim di sini adalah sebuah batu tempat beliau berdiri dahulu ketika membangun ka‟bah. Lihat

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera

Hati, 2007), Vol. I, h. 329 13

Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),

Juz I, Cet. ke-1, h. 552 14

Abi Muhammad Makki ibn Abi Thalib al-Qisiy, al-Kasyf ‘an Wujuh al-Qira’at al-Sab’

wa Illahiha wa Hijajiha, (Beirut: Muasassah al-Risalah, 1984), Juz I, Cet. ke-3, h. 263

Page 62: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

47

amanna termasuk waqaf hasan,15

karena masih ada keterkaitan baik dari segi

lafadz maupun makna dengan kalimat selanjutnya. Dengan kata lain, semua anak

kalimat yang terdapat dalam ayat ini masih merupakan kesatuan wacana yang

utuh sehingga perlu diintegrasikan antara satu dengan yang lainnya.

Adapun bacaan lain termasuk Ashim, membaca kata tersebut dalam benuk

kata kerja imperative. Dari versi bacaan seperti ini, bias diartikan bahwa perintah

yang dituju dalam konteks ayat ini adalah Nabi Ibrahim dan keturunannya atau

bisa juga dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kalimat ini

menurut mereka, difungsikan menjadi kalimat pengalihan yang disisipkan dalam

sebuah wacana kisah Ibrahim.16

Dengan demikian, berdasarkan analisis tata

bahasa Arab dalam konteks ayat ini, maka berhenti membaca pada kata wa amna

termasuk jenis waqaf tamm,17

karena sudah tidak ada lagi keterkatian lafadz dan

makna dengan kalimat sesudahnya.

Adanya perbedaan-perbedaan bacaan ini dalam perjalanan sejarahnya,

ditulis dalam mushaf yang berbeda dan terkadang juga dengan bentuk yang

berbeda pula. Dalam hal ini, mushaf yang dikirim untuk penduduk Kufah

dipegang oleh Imam Asim, sementara Imam Nafi‟ lebih banyak mengambil dari

mushaf penduduk Madinah. Belakangan ini, penamaan mushaf tersebut

15

Waqaf hasan adalah waqaf yang diperbolehkan berhenti di tempat tersebut, namun secara

lafadz dan makna masih berkaitan dengan kalimat setelahnya. Ada juga yang mengartikan bahwa

dibolehkan waqaf di tempat tersebut, namun tidak boleh ibtida‟pada kalimat selanjutnya, karena

makna dan lafadz kalimat sesudahnya itu memerlukan pada kalimat sebelumnya, tidak bisa dipisah

sendiri-sendiri. Lihat Abi Hasan Alam al-Dhin Ali bin Muhammad al-Sakhawi, Jamal al-Qurra

wa Kamal al-Aqra’, (Beirut: Dâr al-Ma‟mun li al-Turas, 1997), Cet. ke-1, h. 684. Bandingkan,

Husni Syekh Usman, Haqq al-Tilawah, h. 93. 16

Fakhruddin al-Razy, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), Juz VI, Cet. ke-1, h. 53 17

Waqaf tamm adalah berhenti membaca di tempat yang kalimatnya sudah sempurna, dan

tidak ada keterkaitan dengan kalimat sesudahnya baik secara lafadz maupun makna. Lihat Ibn al-

Tahhan, Nizam al-Ada fi al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, tth), h. 30

Page 63: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

48

dinisbatkan kepada imam atau rawi dari bacaan yang bersangkutan. Misalnya al-

Mushaf al-Karim bi riwayah Hafs ‘an Ashim (mushaf al-Qur‟an dengan riwayat

Hafs dari Ashim), al-Mushaf al-Karim bi riwayah Qalun al-Nafi’ (Mushaf al-

Qur‟an dengan riwayat Qalun dari Nafi‟), dan seterusnya.

Adapun deskripsi kedua mushaf qira‟at ini di antaranya dari segi perbedaan

jumlah huruf, menurut catatan al-Sijistani, terdapat 12 huruf perbedaan antara

mushaf Kufah dengan mushaf Madinah. Demikian pula dengan jumlah ayatnya,

mushaf qira‟at Ashim mengikuti pendapat ulama Kufah yaitu sebanyak 6236 ayat.

Sedangkan jumlah ayat dalam mushaf qira‟at Nafi‟ adalah mengikuti pendapat al-

Madani al-akhir yakni 6214 ayat.

Setelah diuraikan contoh kasus ayat tentang adanya pengaruh keragaman

bacaan terhadap hukum waqaf dan ibtida‟, maka langkah selanjutnya adalah

aplikasi tanda waqaf dalam sebuah mushaf. Pada sebagian mushaf qira‟at lainnya

hanya meletakkan simbol tertentu untuk semua tanda waqaf dalam mushaf

tersebut, padahal jika diteliti lebih jauh masing-masing bacaan tentunya memiliki

pengaruh tersendiri dalam hal waqaf dan ibtida‟.

Berdasarkan contoh kasus di atas, maka dapat dipahami bahwa waqaf dan

ibtida‟ dipengaruhi oleh linguistik Arab. Paling tidak, ada dua aspek yang dapat

mempengaruhi keabsahan waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an yaitu aspek

semantik dan sintaksis. Aspek semantik yang digunakan oleh seseorang dalam

menentukan waqaf terbagi ke dalam tiga bagian yaitu :

1. Pemahaman makna tanpa terikat dengan simbol waqaf

Contoh dari pemahaman makna tanpa terikat dengan simbol waqaf adalah

firman Allah SWT sebagai berikut :

Page 64: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

49

ديارىم من وت رجو نفري قامن كم ت لو نأن فسكم ىؤلاءت ق ان تم ث

2. Pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf

Contoh pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf adalah firman

Allah SWT sebagai berikut :

ت تهاا لأن هارو بشرال ذي نآمن و اوعملو االص الاتأن لم جن اتت رىمن

3. Pemahaman makna pada perkataan yang mudah

Contoh pemahaman makna pada kata-kata yang mudah adalah firman Allah

SWT sebagai berikut :

اهبشتموابو ت و أو Sedangkan aspek yang kedua yang dapat mempengaruhi bacaan waqaf

dalam al-Qur‟an adalah aspek sintaksis. Dalam aspek sintaksis, dua kategori yang

diaplikasikan oleh seorang qari‟ dalam membaca al-Qur‟an adalah huruf wau dan

struktur ayat. Dalam membicarakan huruf wau, terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi para qari‟ dalam melakukan waqaf yang didasarkan pada huruf

wau yaitu :

1. Kesempurnaan ayat

Kesempurnaan ayat yang dimaksudkan adalah jumlah mufidah yang terdapat

dalam ilmu sintaksis yaitu ayat yang mengandung paham yang telah sempurna

tentang strukutur dan makna ayat.

2. Pemberian maklumat

Seorang qari‟ menyatakan bahwa maklumat yang diberikan pada saat

pembelajaran awal tajwid adalah dengan melakukan waqaf sebelum bertemu

huruf wau.

Page 65: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

50

3. Pengaruh makna

Seorang qari‟ tiba-tiba berhenti membaca karena tidak kuat menahan nafas,

maka hal itu dikategorikan sebagai makna yang tidak sampai. Kata kunci

makna tidak sampai menunjukkan pemahaman seorang qari‟ terhadap ayat

yang dibaca dengan mengutamakan factor makna walaupun terdapat beberapa

pilihan huruf wau dalam petikan ayat tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa struktur ayat

dijadikan sebab utama dalam menentukan tempat untuk memberhentikan bacaan

meskipun para qari‟ tidak memahami makna ayat yang dibaca secara keseluruhan.

Ia dikategorikan dalam aspek sintaksis karena dalam mempelajari ilmu ini,

penelitian terhadap baris atau struktur ayat diberi penekanan terhadap pemahaman

makna yang dibaca yang terdapat dalam tanda waqaf.

Waqaf banyak memiliki manfaat seperti pemanis bacaan, perhiasan qari‟,

cara penyampaian yang tepat bagi pembaca, bisa memahamkan pendengar,

kebanggaan orang yang berilmu dan dengan waqaf dapat diketahui makna yang

berbeda, ketetapan yang berlainan serta antara dua hukum yang berlainan.18

Demikan pula halnya dengan ibtida‟. Penjelasan secara singkat tentang asal usul

waqaf dan ibtida‟disebutkan bahwa tim penyusun dalam menetapkan waqaf dan

tanda-tandanya salah satu di antaranya adalah mengambil keputusan dengan

mempertimbangkan makna yang tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir

dan ulama ahli waqaf dan ibtida‟.19

18

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2016), Cet. ke-1, h. 166 19

Abu Amr al-Dani Usman Said Usman, al-Mukhtafa fî al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Kairo:

Daar al-Sahabah, 2006), h. 63

Page 66: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

51

Adapun yang menjadi fokus perhatian mayoritas ahli qira‟at dalam

persoalan waqaf adalah memperhatikan makna meskipun bukan dipenghujung

ayat.20

Bila melihat kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya

keterkaitan yang kuat dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir

ayat ini banyak membantu memberi pemahaman yang utuh dalam bacaan sebuah

ayat al-Qur‟an.

Waqaf dan tidak ibtida‟ merupakan bagian tajwid yang terpenting.

Seseorang yang belajar membaca al-Qur‟an harus memperhatikan hal-hal yang

berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟. Waqaf di saat melakukan bacaan al-Qur‟an

memerlukan pengetahuan yang khusus agar bacaan al-Qur‟an terdengar bagus dan

indah. Dengan adanya waqaf, maka dapat dibedakan antara dua makna yang

berbeda dan dua makna yang berlawanan serta dua hukum yang berbeda.21

Oleh sebab itu, bagi pembaca al-Qur‟an yang sudah memahami al-Qur‟an

dengan baik, maka akan mampu menentukan waqaf dengan tepat walaupun tanpa

terikat dengan tanda-tanda waqaf. Dengan mengetahu tanda-tanda waqaf, maka

diharapkan seorang qari‟ mampu memahami makna ayat-ayat suci al-Qur‟an,

karena salah satu dari manfaat waqaf adalah untuk memahami makna ayat suci al-

Qur‟an.

Adapun tanda-tanda waqaf yang dapat mempengaruhi terjemah dan

aplikasinya adalah sebagai berikut :22

20

Al-Zarkasy, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Mishriyyah, tth), Juz I, h. 505 21

Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, h. 165 22

Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala

Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 151

Page 67: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

52

1. Tanda waqaf lazim (م)

Tanda waqaf ini diletakkan ketika maksud ayat sudah sempurna. Kandungan

tandanya tidak dapat terlihat jelas kecuali dengan waqaf. Jika pembaca

meneruskan dengan lafal selanjutnya, maka maknanya akan membingungkan

pendengar.

2. Tanda waqaf (قلى)

Waqaf ini lebih diutamakan dari pada waqaf washal meskipun diperbolehkan

washal.

3. Tanda waqaf (صلى)

Washal lebih diutamakan dari pada waqaf meskipun diperbolehkan waqaf

juga.

4. Tanda waqaf (ج)

Hukum waqaf jaiz (boleh) tanpa mengutamakan antara waqaf dan washal.

5. Tanda waqaf mu‟anaqah

Waqaf mu‟anaqah atau waqaf muraqabah adalah diperbolehkan waqaf pada

salah satu dari dua tempat yang terdapat tanda titik tiga di atasnya. Jika sudah

waqaf pada tempat pertama, tidak boleh lagi waqaf pada tempat kedua. Begitu

juga, bila hendak waqaf pada tempat kedua, maka tidak boleh waqaf pada

tempat pertama dan diperbolehkan juga meninggalkan waqaf pada kedua

tempat tersebut.

6. Tanda waqaf (لا)

Tidak diperbolehkan waqaf pada lafal yang terdapat tanda itu di atasnya lalu

mengawali bacaan dengan lafal berikutnya. Tanda waqaf ini hanya berlaku

Page 68: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

53

jika terdapat pada pertengahan ayat saja. Tidak berlaku apabila terdapat pada

ujung ayat karena sudah berlaku kesunahan waqaf pada setiap akhir ayat.

Melihat tanda-tanda waqaf di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulah

bahwa waqaf lazim akan berpengaruh pada makna al-Qur‟an jika pembaca

meneruskan lafal selanjutnya. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus hati-

hati dalam membaca al-Qur‟an apabila berhadapan dengan waqaf lazim. Jika tidak

diperhatikan oleh pembaca dalam membaca al-Qur‟an, maka tanda waqaf ini akan

berpengaruh terhadap makna bacaan al-Qur‟an.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

pertama, ragam bacaan sangat mempengaruhi terhadap perbedaan jenis, hukum

dan tempat waqaf serta ibtida‟dalam al-Qur‟an. Kedua, adanya perbedaan ini

disebabkan oleh adanya tata gramatika bahasa Arab dan pemaknaan ayat. Hal ini

menunjukkan bahwa perbedaan bacaan pada dasarnya berusaha menafsirkan apa

yang dikehendaki oleh suatu ayat sehingga kekeliruan dalam tata cara berhenti

dan memulai dapat berakibat terhadap pemaknaan yang tidak sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh bacaan tersebut. Ketiga, dengan landasan adanya perintah

untuk membaca al-Qur‟an secara tartil dan teori kajian pengaruh bacaan terhadap

waqaf dan ibtida‟ yang sangat memperhatikan kesemurnaan kalimat dan makna

ketika berhenti dan memulai bacaan, maka tanda-tanda waqaf dalam sebuah

mushaf yang beredar selama ini kiranya perlu untuk dikritisi dan dikaji ulang.

B. Tafsir dan Aplikasinya

Membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar perlu disandarkan pada empat

ciri utama yaitu kelancaran, panjang dan pendek, dengung serta tebal dan tipis.

Page 69: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

54

Salah satu tanda baca dalam al-Qur‟an adalah waqaf dan ia merupakan salah satu

ciri kelancaran yang perlu dikuasai dalam bacaan al-Qur‟an. Abdul Hamid

menjelaskan bahwa pengetahuan dan keterangan waqaf dalam bacaan al-Qur‟an

sangat dititikberatkan oleh para ulama, malah mayoritas ulama menjadikan

kemampuan menggunakan waqaf ini wajib diketahui oleh setiap pembaca al-

Qur‟an.23

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :

Artinya : “Atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Quran itu dengan

perlahan-lahan” (QS. Al-Mujammil : 4).

Berdasarkan ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa menguasai ilmu

waqaf merupakan salah satu ciri kelancaran dan tartil yang kedua-keduanya

merupakan aspek yang paling penting yang perlu diperhatikan dalam bacaan al-

Qur‟an yang menitikberatkan pada tanda-tanda bacaan dalam al-Qur‟an yang

salah satu di antaranya adalah tanda waqaf.

Waqaf artinya memutuskan suara pada akhir kalimah seketika atau

memutuskan suara dengan perkataan yang berada sesudahnya.24

Waqaf juga dapat

dipahami sebagai pemutusan sebentar suara dari perkataan ketika membaca al-

Qur‟an. Namun kebanyakan di antara para pakar Arab menjelaskan bahwa jika

seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dari membaca al-Qur‟an tanpa

mengambil nafas yang baru, maka hal ini dinamakan saktah berbanding dengan

23

Su‟ad Abdul Hamid, Taysîr al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an, (Kahirah: Dâr al-Taqwa li

al-Nasyr wa al-Tawzi, 2001), h. 17 24

Al-Ashmuni, Manaar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyyah, 2002), h. 67

Page 70: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

55

waqaf dimana seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dengan mengambil

nafas yang baru.

Waqaf diberlakukan untuk tujuan bernafas dengan niat guna menyambung

kembali bacaan dan tidak berniat untuk berhenti. Hal ini perlu dilakukan pada

akhir atau pertengahan ayat dan bukan pada pertengahan atau perkataan yang

bersambung tulisannya. Selain itu, waqaf juga boleh diartikan dengan

memutuskan suara bacaan di akhir perkataan hanya untuk sekedar bernafas guna

mengikuti kebiasaan individu serta dengan niat untuk menyambung kembali

bacaan. Dengan demikian, ilmu waqaf merupakan satu subyek untuk mengetahui

cara menyempurnakan bacaan dengan berhenti pada tempat-tempat yang telah

ditetapkan ulama qurra‟ agar dapat menyempurnakan makna pada tempat-tempat

tertentu dengan tidak merubah makna.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka tidak ada pendapat yang disepakati

ulama dalam hal menentukan tempat yang sesuai dalam melakukan waqaf. Hal ini

disebabkan oleh tidak adanya tanda-tanda yang tepat dalam menentukan tempat

guna melakukan waqaf atau hukum secara jelas tentang waqaf apakah ia wajib,

sunnah, makruh atau haram dalam menetapkan tempat waqaf.

Waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam kajian ilmu

al-Qur‟an. Penguasaan ilmu ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang yang

ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur‟an. Mempelajari dan menguasai

ilmu waqaf dan ibtida‟ini sangat dianjurkan, karena kelemahan dalam memahami

ilmu ini, menyebabkan para pembaca akan berhenti pada kalimat sesuai dengan

kehendak hatinya sehingga akan merusak kesucian dan kemurnian al-Qur‟an.

Oleh sebab itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari dan

Page 71: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

56

memahami semua kaidah dan metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ilmu

waqaf dan ibtida‟.

Untuk memudahkan para pembaca dalam menetapkan waqaf yang sesuai

dengan bacaan al-Qur‟an, maka symbol yang diletakkan sebagai pedoman umum

yang merupakan ijtihad para ulama terdahulu membantu para pembaca al-Qur‟an

melakukan waqaf dengan mudah. Namun menurut penelitian, tidak ada perbedaan

simbol yang jelas bagi setiap kategori waqaf tersebut karena simbol ini diperoleh

dari saling bercampurnya antara satu sama lain.

Selain itu, waqaf juga bukanlah suatu perkara putus yaitu wajib berhenti

pada tempat tertentu dan meninggalkannya pada tempat yang lain.25

Untuk

mendapatkan kepastian dibalik perbedaan pendapat ini, maka setiap ayat perlu

diteliti berdasarkan keterangan yang telah direkomendasikan oleh para ulama

terdahulu berdasarkan beberapa aspek seperti semantik, retorika dan sintaksis

untuk tujuan penafsiran hokum berkaitan dengan aqidah, syari‟ah, social, dan lain

sebagainya. Selain itu, penyelarasan yang berkaitan dengan simbol waqaf dalam

al-Qur‟an juga perlu dilakukan guna mengoreksi kekeliruan yang berlaku di

kalangan para pembaca al-Qur‟an.

Kemampuan mempelajari ilmu waqaf sangat penting agar al-Qur‟an dapat

dibaca dengan sempurna tanpa merusak makna atau maksud dari suatu ayat dalam

al-Qur‟an. Manakala bahasa Arab perlu diaplikasikan sebagai pelengkap karena

kesempurnaan manka tidak mungkin berlaku tanpa dikaitkan dengan ilmu waqaf.

Dalam kajian sintaksis, perhatian diberikan pada analisis penggunaan dan susunan

25

Muhammad Rohim Jusoh, Tajwid al-Huruf dan Mengenal Waqaf, (Selangor: Pustaka al-

Khodim al-Mushaf, 2012), h. 75

Page 72: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

57

kata dalam ayat. Dalam hal ini, juga dibahas tentang kaidah yang berkaitan

dengan hokum pada akhir kalimat Arab. Kajian cara pembentukan hukum melalui

partikel sebagai contoh, memerlukan penganalisaan struktur ayat gramatis yang

sempurna dengan melihat pada sudut waqaf yang diharapkan sesuai dengan

kesempurnaan makna.

Dalam kajian semantik yang merupakan disiplin ilmu bahasa Arab yang

pertama menerima pengaruh al-Qur‟an al-Karim, menjelaskan bahwa waqaf

adalah pemanis bacaan, perhiasan qari‟, dipahami pendengarnya, dikagumi oleh

orang alim dan dapat membedakan dua makna yang berlainan dan hokum yang

berlainan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antara peranan penting yang

disumbangkan oleh waqaf adalah untuk membedakan dua makna yang berlainan.

Hal ini bertujuan untuk memisahkan dua makna yang berbeda, maka kiranya

aspek semantik perlu dikaji guna memahami permasalahan waqaf.

Dalam kajian retorik, pembahasan al-fasl dan al-wasl menjurus pada kaidah

tentang pemberhentian dan penyambungan semula perkataan dalam ayat yang

melibatkan makna, pemahaman dan kehalusan bahasa Arab. Persamaan antara

ilmu waqaf dan al-fasl dan al-wasl berlaku pada konsep berhenti dan bersambung

dalam ayat yang member implikasi terhadap makna. Kaidah penyambungan dan

pemberhentian yang tepat amat penting untuk mengukur tahap pemahaman dalam

memahami konsep sebenarnya tentang retorika dalam bahasa Arab.

Seseorang yang membaca al-Qur‟an tidak akan mampu membaca secara

keseluruhan surat ataupun kisah yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan hanya

satu nafas. Ketika mencuri nafas antara dua perkataan dalam keadaan

Page 73: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

58

bersambung, maka hal itu bukanlah suatu bacaan yang baik dan tertib. Kondisi

seperti ini banyak terjadi di masyarakat dalam menetapkan tempat untuk

melakukan waqaf dalam bacaan al-Qur‟an. Ada yang melakukan waqaf pada akhir

nafas dan ada juga yang menyangka bahwa waqaf perlu dilakukan pada akhir

ayat. Namun yang paling tepat adalah dengan berpedoman pada aspek makna.

Waqaf merupakan faktor utama dalam menentukan tempat waqaf yang diikuti

dengan aspek pernafasan. Oleh sebab itu, berhentilah pada akhir ayat yang telah

sempurna maknanya yang diambil dari bahasa Arab.

Linguistik Arab sangat membantu dalam menentukan bacaan waqaf yang

tepat dalam bacaan al-Qur‟an. Walaupun bidang linguistik Arab ini sangat luas,

namun cabang yang paling dominan dalam memahami waqaf adalah aspek

sintaksis atau i’rab dan terjemahan atau pemahaman maksud secara keseluruhan.

Dengan demikian, ada beberapa aspek yang turut mempengaruhi pemahaman

waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa aplikasi ilmu waqaf

dan bahasa Arab sangat membantu proses kelancaran bacaan al-Qur‟an. Ia

merupakan hubungan antara dua aspek yang saling melengkapi antara satu dengan

yang lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan bahasa Arab

dapat mempengaruhi proses waqaf yang didasarkan pada beberapa cirri umum

yaitu qari‟ tidak terlalu terikat dengan pedoman tanda waqaf dalam al-Qur‟an,

mampu melakukan waqaf dengan melihat pada aspek bahasa dan makna serta

mampu mengatasi masalah kekurangan nafas dengan memilih tempat yang sesuai

untuk melakukan waqaf.

Page 74: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

59

Salah satu manfaat waqaf dan ibtida‟adalah membantu memahami al-

Qur‟an. Pemahaman memang sifatnya sangat relatif, sehingga keragaman bahkan

perbedaan dalam pemahaman merupakan hal yang biasa terutama pemahaman

terhadap tafsir. Tafsir adalah kajian yang berusaha menguraikan dan membahas

maksud Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai dengan kemampuan manusia. Oleh

sebab itu, kajian ini sangat tergantung pada pemahaman yang utuh dan penjelasan

yang komprehensif. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT sebagai berikut :

Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari

secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat

pahala di sisi Tuhannya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan

tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah : 274).

Ayat ini berisi pujian bagi orang-orang yang gemar berinfak siang atau

malam baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan. Bagi mereka

Allah SWT menjanjikan pahala yang besar dan mereka tidak akan diliputi rasa

takut dan sedih hati. Kemudian pada ayat berikutnya, Allah SWT berfirman

adalah sebagai berikut :

Page 75: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

60

Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran

(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah

disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama

dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya

larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka

baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan,

dan urusannya diserahkan kepada Allah. Orang yang kembali

mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah : 275).

Ayat ini berisi celaan Allah SWT kepada para perlaku riba. Kandungan ayat

ini sangat bertolak belakang dengan ayat sebelumnya. Jelas pula bahwa sifat-sifat

yang disebut pada ayat ini bukanlah sifat orang yang disebutkan pada ayat

sebelumnya. Oleh sebab itu, diwajibkan waqaf pada akhir ayat pertama dan ibtida‟

pada awal ayat kedua agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Ini adalah

satu dari tujuh tempat dimana ibtida‟dengan (الذين) diharuskan.26

Ketentuan ini

berbeda dari biasanya, karena pada umumnya ism mausul merupakan penjelas dari

ungkapan sebelumnya sehingga boleh diwashalkan, misalnya pada QS. al-

Baqarah: 3 yang menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa. Dengan demikian, dalam

sebuah ayat al-Qur‟an sangat dibutuhkan apa yang dikenal dengan istilah waqaf.

Pengetahuan tentang waqaf memili kaitan yang erat dengan kajian aqidah.

Pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap penafsiran dalam kajian aqidah dapat dilihat

pada firman Allah SWT sebagai berikut :

26

Tujuh tempat itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarkasy adalah QS. Al-Baqarah: 121,

146 dan 275. al-An‟am: 20, al-Taubah: 19. al-Furqan: 34 dan al-Mu‟min: 7. Lihat al-Zarkasy, al-

Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 358

Page 76: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

61

Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya,

sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha

Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. al-Qashash: 68).

Waqaf pada (ويختار) yang diberi tanda (قلى) adalah waqaf tamm.27

Ini adalah

pendapat mayoritas ulama ahli waqaf dan ulam ahli tafsir. Bahkan al-Syaukani

menyatakan hal ini sebagai konsensus ulama.28

Dengan waqaf ini pula tampak perbedaan antara Ahlusunnah dengan

Mu‟tazillah.29

Ahlusunnah menafikan pilihan Allah berdasarkan pilihan

makhluknya. Artinya, dalam pandangan Ahlusunnah, tidak ada pilihan bagi

makhluk atas apa yang telah Allah pilih. Pilihan hanya milik Allah SWT dalam

semua perbuatan-Nya. Dia yang lebih mengetahui hikmah di balik yang

tersembunyi. Tidak ada seorang pun yang menentukan pilihan bagi-Nya. (ها) pada

ayat ini berfungsi sebagai nafy, ia menafikan pilihan pada makhluk dan

menetapkannya hanya untuk Allah SWT. Dengan penafsiran seperti ini, ayat di

atas sejalan dengan firman Allah SWT sebagai berikut :

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi

perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah

menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)

tentang urusan mereka …” (QS. al-Ahzab 36)

Mengomentari ayat ini, al-Qurtubi mengatakan (ها) pada firman Allah SWT

adalah nafy yang universal. Ia mencakup segala aspek yang terkait (هاكان لهن الخيزة )

27

Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’,

(Beirut:: Daar al-Syuruq, tth), h. 293 28

Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Maktabah Asyriyah, 1997), Juz V, h. 418 29

Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, h.

293

Page 77: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

62

dengan manusia. Jadi, mereka mendapat hasil apapun dari hasil usahanya kecuali

berdasarkan kekuasaan dan takdir Allah SWT.30

Berbeda dari itu, beberapa ulama menetapkan waqaf pada kata (هايشاء) dan

ibtida‟ dengan kata (ويختار). Mereka mengikuti pendapat bahwa (ها) adalah

mausulah (sesuatu), sehingga penggalan ayat ini berarti “dan Allah memilihkan

sesuau yang mereka sendiri (manusia) punya pilihan”. Pendapat ini diyakini oleh

kaum Mu‟tazilah. Mereka mewajibkan adanya (صلح) dan (أصلح) dalam setiap

perbuatan Allah SWT terhadap makhluknya.31

Hal ini disebabkan adanya

pengaruh waqaf dalam sebuah al-Qur‟an.

Pengetahuan tentang waqaf juga memiliki kaitan yang erat dengan ilmu

fiqh, karena perbedaan waqaf mengakibatkan perbedaan dalam suatu hukum fiqh.

Misalnya hukum tidak mengucap basmalah pada saat menyembelih hewan. Hal

ini dapat dilihat pada firman Allah SWT sebagai berikut :

قس فلون إووي لعاللماس ركذ يال امو لكأ تلاو

Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut

nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang

semacam itu adalah suatu kefasikan”.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum menyembelih yang tidak

disertai dengan membaca basmalah atau tasmiyah. Pendapat pertama mengatakan

bahwa membaca basmalah atau menyebut nama Allah SWT ketika menyembelih

hukumnya sunnah sehingga kalaupun ditinggalkan dengan sengaja atau karena

30

Abu Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, al-Jami’ li al-Ahkam al-

Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1993), Juz VII, h. 280 31

Abu al-Fadl Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusi, Ruh al-al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-

Hadits, 2005), Juz X, h. 408. Lihat juga Muhammad Fakhruddin al-Razi bin Diya‟uddin Umar,

Tafsir al-Kabir, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), Juz XIII, h. 11

Page 78: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

63

lupa, maka hal itu tidak menjadi masalah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-

Syafi‟i dan Hasan al-Basri. Pendapat kedua mengatakan hukumnya wajib,

sehingga jika ditinggalkan akan mengakibatkan hewan sembelihan haram

dimakan. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Hanifah serta satu riwayat dari

Malik dan Ahmad.32

Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan waqaf pada

kata (اسن عليه) pada ayat tersebut di atas.

Kelompok pertama menyebutkan bahwa tidak ada waqaf pada (اسن عليه), dan

firman-Nya (وإنه لفسق) masih bersambung dengan kata sebelumnya karena menjadi

hal (menjelaskan kondisi). Dengan demikian, arti ayat ini adalah “janganlah

kalian memakan sembelihan orang yang tidak menyebut nama Allah sementara

keadaan orang tersebut adalah fasiq”. Jadi, kefasikan itu melekat pada diri orang

yang menyembelih ketika ia tidak menyebut nama Allah SWT. Kelompok ini

menguatkan pendapatnya dengan sebab turunnya ayat ini. Ayat ini turun berkaitan

dengan pertanyaan kaum musyrik yang bernada melecehkan kepada Rasulullah

SAW. Mereka bertanya, bangkai ini adalah sembelihan Allah, mengapa

diharamkan ?33

Kelompok kedua menyatakan bahwa waqaf dibolehkan pada kata (اسن عليه).

Dengan demikian, haram hukumnya memakan hewan yang disembelih tanpa

menyebut nama Allah. Ibtida‟ dengan kata (وإنه لفسق) menurut mereka, berfungsi

menjelaskan penyebab keharaman tersebut. Mereka meyakini ayat ini bersifat

umum, bukan saja berlaku bagi sembelihan orang musyrik seperti dibantah oleh

32

Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, h. 224. Lihat juga Ibnu al-Arabi, al-

Ahkam al-Qur’an, Juz II, h. 272 dan lihat juga al-Jasas, Ahkam al-Qur’an, Juz III, h. 10 33

Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Mu‟asassah al-

Halabi, tth), h. 150

Page 79: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

64

kelompok pertama, tetapi juga bagi semua sembelihan yang tidak disertai

penyembelihan nama Allah SWT.

Berkaitan dengan orang yang meninggalkan basmalah karena lupa, maka

dalam hal ini Ibnu al-„Arabi mengatakan, “Tidak diharamkan memakan

sembelihan orang yang lupa menyebut nama Allah, karena ia tidak termasuk

kategori fasik dan tidak terkena khitab dari ayat tersebut”.34

34

Ibnu al-„Arabi, Ahkâm al-Qur’an, Juz II, h. 274

Page 80: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian, penjelasan dan analisa sebagai hasil kajian yang berkenaan

dengan pengaruh waqaf dan ibtida’ terhadap terjemah dan tafsir, maka sebagai

upaya mengakhiri pembahasan skripsi ini penulis mengambil kesimpulan bahwa

penempatan tanda waqaf dalam al-Qur’an bertujuan untuk membantu dan

mempermudah pembaca al-Qur’an untuk berhenti dan memulai kembali

bacaannya pada kata yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam

pemahaman dan penafsiran, karena waqaf dan ibtida’ mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap penafsiran, maka pada umumnya waqaf bersifat ijtihadi

karena terkait dengan pemahaman sehingga sangat relatif dan beragam.

B. Saran

Dari hasil studi dan pembahasan tentang pengaruh waqaf dan ibtida’

terhadap terjemah dan tafsir yang tertuang dalam skripsi ini, kiranya tidak

berlebiihan jika penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Pada saat membaca al-Qur’an, banyak di antara para qari’ yang tidak

memperhatikan tanda-tanda waqaf. Untuk itu, setiap qari’ hendaknya

mempelajari kapan waqaf itu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Selain

itu, ia juga harus belajar tentang situasi-situasi yang memperbolehkan waqaf

dan mempelajari mana cara yang benar dan yang salah dalam masalah waqaf.

Page 81: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

66

2. Pada saat membaca al-Qur’an, biasanya banyak di antara para qari’ yang

kurang mengetahui kapan memulai membaca al-Qur’an. Oleh karena itu,

setiap qari’ hendaknya mengetahui kapan waktunya harus memulai membaca

(ibtida’) dan bagaimana cara mengawali membaca al-Qur’an dengan baik.

3. Mempelajari aturan dan kaidah mengenai waqaf dan ibtida’ membuat setiap

qari’ akan terhindar dari kesalahan membaca al-Qur’an. Untuk itu, setiap qari’

hendaknya membaca al-Qur’an dilakukan secara tartil yaitu membaca setiap

huruf dengan berpedoman kepada ilmu tajwid dan mengetahui posisi serta

keadaan waqaf dan ibtida’.

4. Kesalahan fatal yang dialami oleh mayoritas kaum muslimin yang tergolong

parah ketika membaca al-Qur’an di antaranya adalah karena tidak

mendapatkan guru ngaji yang mempunyai ilmu yang mumpuni ketika mereka

belajar dahulu dan ketika mereka beranjak dewasa, bacaannya tetap lestari

dengan berbagai kesalahan yang tidak disadari. Oleh sebab itu, para guru ngaji

hendaknya mengajarkan kepada mereka dengan sungguh-sungguh sehingga

mereka benar-benar memahami ilmu tajwid.

5. Sekarang ini, banyak kajian lokal al-Qur’an dengan publikasi terbatas

cenderung termarjinalkan dan luput dari perhatian. Oleh sebab itu, para pakar

al-Qur’an hendaknya melakukan kajian al-Qur’an secara berkesinambungan

sehingga ajaran Islam tidak lagi ada di permukaan, tetapi sudah menjadi

bagian dari identitas Islam.

Page 82: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

67

DAFTAR PUSTAKA

A. Shomad Robith, Sairuddin, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, Surabaya: Anggota

IKAPI, 1997, Cet. ke-1

Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, Abu, al-Jami’ li al-

Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar al-Fikr, 1993, Juz VII

Al-Asymuni, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, Manar al-Huda fi Bayan

al-Waqaf wa al-Ibtida’, Kairo: Daar al-Hadits, 2008, Juz I

Amr al-Dani Said Usman, Abu, al-Muktafa fi al-Waqaf al-Ibtida’, Kairo: Daar al-

Sahabah, 2006

Annuri, Ahmad, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2010, Cet. ke-1

AR., Mamsudi, Dienul Islam, Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001

Arifin, Imam, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang:

Kalimasahada Press, 1996

Arifin, Zainal, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”, Jurnal Suhuf, Vol.

4, No. 1, 2011

Bahruddin, Ahmad, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan

Mushaf Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-

Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2, 2013

Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang,

1991, Cet. ke-1

Al-Fadl Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusi, Abu, Ruh al-al-Ma’ani, Kairo:

Daar al-Hadits, 2005, Juz X

Fakhruddin al-Razi bin Diya‟uddin Umar, Muhammad, Tafsir al-Kabir, Beirut:

Daar al-Fikr, 1995, Juz XIII

Ghani, A., Hukum Waqaf dan Ibtida’, Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995, Cet.

ke-1

Ismail, Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10

J. Maleong, Lexy,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2007

Page 83: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

68

Al-Jaziri, Ibnu, al-Nasyr fi al-Qira’ati al-‘Asyr, Beirut: Daar al-Kutub al-

Ilmiyyah, tth, Juz I

Karim Ibrahim Awal Salih, Abdul, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillatuhuma bi al-Ma’na

fi al-Qur’an al-Karim, Kairo: Daar al-Salam, 2008

Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988, Juz

II

Khalil al-Qattan, Manna‟, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS.,

Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013, Cet. ke-16

----------------------------, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2005

Lihat Puslitbang Lektur Keagamaan, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an

Departemen Agama RI, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2005

Malik, Imam, al-Muwatta’, Mesir: Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth, Juz II

Manzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth, Juz VI

Misbahul Munir, M., Pedoman Lagu-Lagu Tilawatil Qur’an; Dilengkapi Dengan

Tajwid dan Qasidah, Surabaya: Apollo, 1997

Muhammad Abdul Ghaffar, Ahmad, Pelajaran Ilmu Tajwid, Kuala Lumpur:

Syarikat Nurulhas, 1996, Cet. ke-1

Mujib Ismail, Abdul, Pedoman Ilmu Tajwid, Surabaya: Karya Aditama, 1995,

Cet. ke-1

Al-Musyrifi, Syekh, Hidayah al-Qur’an, Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth

Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Mu‟asassah

al-Halabi, tth

Al-Nazhim, Ibnu, Syarh al-Thayyibah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Al-Qudhat, Muhammad Ihsan Muflih, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk

Segala Tingkatan, Jakarta: Turos, 2015, Cet. ke-1

Rahman, Fazlur, Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,

Bandung: Pustaka, 1995, Cet. ke-5

Rasyid Ridha, Muhammad, al-Wahyu al-Muhammadi, Qahirah: Maktabah al-

Qahirah, 1960

Page 84: PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP

69

Al-Shadiq Ibnu Qamhari, Muhammad, al-Burhan fi Tajwid al-Qur’an, alih bahasa

Abu Bakar Bahrun, Bandung: Triganda Karya, 1995, Cet. ke-1

Al-Suyuthi, Tabaqah al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah, 1396 H.

Al-Syaukani, Muhammad Ali, Fath al-Qadir, Beirut: Maktabah Asyriyah, 1997,

Juz V

Tekan, Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10

Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi, tth, Juz V

Wahyudi, Moh., Ilmu Tajwis Plus, Surabaya: Halim Jaya, 2008, Cet. ke-2

Al-Zarkasy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Daar al-Mishriyyah, tth, Juz I