perilaku bullying pada remaja ditinjau dari pola asuh …eprints.ums.ac.id/50119/8/naskah...
TRANSCRIPT
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH
OTORITER ORANGTUA DAN JENIS KELAMIN
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam
Mencapai Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi
HALAMAN DEPAN
Diajukan Oleh :
FARAH CARIMA
F100120244
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
1
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH
OTORITER ORANGTUA DAN JENIS KELAMIN
Farah Carima, Juliani Prasetyaningrum
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying pada
remaja dengan pola asuh otoriter orangtua, serta untuk mengetahui perbedaan
perilaku bullying ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini dilakukan di salah satu
SMP di kota Surakarta. Subjek penelitian atau responden pada penelitian ini
adalah 89 subjek yang terdiri dari 47 remaja putra dan 42 remaja putri.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan alat ukur
berupa skala perilaku bullying dan skala pola asuh otoriter orangtua. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Product Moment
dari Pearson dan analisis dengan menggunakan t-test. Berdasarkan hasil analisis
data dengan korelasi product moment diperoleh nilai koefisien korelasi (rxy)=
0,452 dengan taraf signifikansi = 0,000 (p < 0,01) yang berarti ada hubungan
positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan perilaku bullying pada remaja.
Variabel perilaku bullying dan pola asuh otoriter orangtua termasuk dalam
kategori rendah. Selain itu dari hasil pengujian independent sampel t-test
diperoleh nilai uji-t sebesar t = 2,822 dengan taraf sig 0,006= (p<0,05) yang
berarti ada perbedaan perilaku bullying pada remaja putra dan remaja putri.
Dalam penelitian ini remaja putra lebih sering melakukan perilaku bullying
dibandingkan remaja putri.
Kata kunci: perilaku bullying , pola asuh otoriter orangtua, jenis kelamin
ABSTRACT
This research aims to know corellation between bullying behavior in students with
authoritarian parenting parents, and to show the difference in behavior of
bullying be reviewedfrom gender. This research was conducted in one of the first
high schools in the city of Surakarta. The subject in this research amounts to 89
people consisting 47 students are male and 42 students are female. Sampling is
done with cluster random sampling techniques. The methods used in this research
is quantitative methods with a measuring instrument in the form of scale of
bullying behavior and scale of authoritarian parenting parents. Technique of data
analysis with correlation Product Moment from Pearson and analysis with t-test.
Based on the results of data analysis with the correlation product moment
obtained coefisien correlation value (rxy) = 0.452 with taraf significance = 0.000
(p < 0.01) it means there is a positive corelation between authoritarian parenting
parents with bullying behavior on students. Bullying behavior variable and
2
authoritarian parenting parents included in low categories. Beside in addition to
that of the results with either using independent sample t-test obtained the value
t-test is 2.822 with taraf sig = 0.006 (p < 0.05) it means there is a difference
bullying behavior between male students and female students. This research
shows that male students more often do bullying behavior than female students
Keywords: bullying behavior, authoritarian parenting parents, gender
1. PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa terjadinya krisis identitas atau pencarian
identitas diri. Pada masa ini remaja diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya dengan baik, sehingga remaja sudah mampu menentukan
pilihan untuk masa depannya dan sudah dapat mengatasi permasalahan yang ada
pada dirinya serta remaja dapat berperilaku mengikuti nilai dan aturan yang
berlaku dilingkungan sekitarnya (Levianti, 2008). Namun kenyataannya
karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini sering
menimbulkan masalah pada diri remaja (Erickson dalam Maya, 2015). Pencarian
identitas di masa remaja dapat mengarah kepada perilaku yang positif serta negatif
(Levianti, 2008). Perilaku negatif yang banyak dilakukan oleh remaja salah
satunya adalah perilaku bullying, perilaku ini marak terjadi dilingkup sekolah.
Perilaku bullying ini sendiri diartikan sebagai bentuk penindasan terhadap korban
yang lemah dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai serta dilakukan secara
berulang (Halimah, Khumas & Zainudin, 2015). Perilaku tersebut bisa terjadi
diberbagai setting seperti di sekolah, di rumah, di pondok pesantren, di tempat
penitipan anak, di tempat kursus, kantor, diarea bermain dan lain sebagainya.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nansel (dalam Yahaya, Ramli,
Hashim, Ibrahim & Rahman, 2009) dari 8,4 persen anak-anak terdapat 20 persen
dari anak-anak di Negara Amerika bahwa mereka menjadi korban perilaku
bullying yang dilakukan setidaknya satu kali dalam seminggu. Haynie (dalam
Yahaya dkk, 2009) ada 24,4 persen menjadi 44,6 persen anak-anak mengalami
bullying berulang kali didalam lingkungannya. Perilaku bullying merupakan
masalah yang serius dan merupakan perilaku kekerasan yang mengiriskan
3
sehingga dapat mempengaruhi mereka hingga 25 persen menjadi 50 persen anak
di sekolah.
Penelitian tentang fenomena bullying yang dilakukan oleh Huneck (dalam
Nurhayanti, Novotasari & Natalia, 2013) mengungkapkan bahwa 10-60 % siswa
Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan, ataupun dorongan, setidaknya sekali dalam seminggu. Penelitian yang
juga dilakukan oleh Sejiwa (dalam Nurhayanti, Novotasari & Natalia, 2013) pada
tahun 2008 tentang perilaku bullying di tiga kota besar di Indonesia yaitu
Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat bullying sebesar
67,5% ditingkat sekolah menengah atas (SMA) dan 66.1% ditingkat sekolah
lanjutan pertama (SMP), bullying yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar
41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori
tertinggi bullying psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua ditempati
bullying verbal (mengejek) dan terakhir bullying fisik (memukul). Gambaran
kekerasan di SMP di tiga kota besar yaitu : Yogya:77,5% (mengakui ada
bullying), 22,5% (mengakui tidak ada bullying), Surabaya: 59,8 % (ada bullying),
Jakarta: 61,1% (ada bullying)
Ditemukan juga bahwa kasus bullying lebih banyak dilakukan oleh remaja
putra dibandingkan oleh remaja putri, seperti survei yang telah dilakukan di Malta
menemukan bahwa 15-24% anak laki-laki setiap tahun mengatakan bahwa mereka
sering melakukan perilaku bullying, dibandingkan dengan 8 – 13% anak
perempuan. Sedangkan 60% pelaku bullying laki-laki mengaku lebih sering
melakukan perilaku bullying fisik dibandingkan dengan 30% anak perempuan
Borg (dalam Saifullah, 2016). Selain itu dikemukakan juga oleh Scheithauer
(dalam Saifullah, 2016) bahwa anak laki-laki lebih banyak melakukan bullying
berupa tindakan agresif dibandingkan anak perempuan, namun anak perempuan
terlibat dalam bullying tidak langsung. Dikatakan juga bahwa anak laki-laki
memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan perilaku agresif mereka
sedangkan anak perempuan diharapkan tidak agresif agar sesuai dengan stereotip
mereka bahwa anak perempuan cenderung ramah dan lemah lembut (Turkel
dalam Hertinjung & Karyani, 2015). Selain itu didapatkan juga bahwa remaja
4
laki-laki lebih banyak terlibat aksi bullying dibandingkan dengan remaja putri, hal
tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh adila (dalam Saifullah,
2016) yang menyatakan bahwa pelajar laki-laki lebih sering menggunakan
tindakan bullying terhadap pelajar lain baik secara langsung maupun tidak
langsung dibandingkan dengan pelajar perempuan.
Dari data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 16 Mei 2016 bertempat disalah satu Sekolah Menengah
Pertama Swasta di kota Surakarta yang dilakukan kepada kepala sekolah, guru
dan didapatkan temuan mengenai perilaku bullying yang terjadi di sekolah
tersebut. Dari pihak kepala sekolah diperoleh informasi bahwa terdapat siswa-
siswinya terlibat dalam kasus bullying di sekolah, kepala sekolah juga
menjelaskan perilaku bullying yang sering terjadi di sekolah berbentuk bullying
verbal, seperti adanya siswa atau siswi yang seringkali mendapatkan ejekan atau
julukan oleh teman-temannya. Selain itu salah satu guru wali kelas VIII.C yang
diwawancarai juga menyatakan bahwa pada saat jam pelajaran berlangsung salah
satu anak di kelas tersebut kerap meganggu teman yang duduk disampingnya
dengan memukul kepala temannya itu, hingga anak tersebut sering mendapatkan
panggilan dari guru Bimbingan Konseling untuk mendapatkan pengarahan. Guru
BK di sekolah tersebut juga menyatakan bahwa sering menangani siswa atau siswi
yang kerap mengganggu teman yang lain saat di sekolah, pihak guru BK juga
pernah memberikan konseling kepada siswa yang tidak mau masuk sekolah
karena perilaku bullying yang diterimanya di sekolah. Salah satu siswa di sekolah
tersebut juga mengatakan bahwa teman-teman sekelasnya sering memanggilnya
“botak”, siswi lain yang diwawancarai juga mengatakan seringkali diacuhkan oleh
teman-temannya di sekolah. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti mulai pukul ± 09.00 WIB- ± 09.30 WIB didapatkan hasil saat jam
istirahat salah satu siswa di bully oleh temannya ia dipukul dan sempat didorong-
dorong oleh temannya. Maka dapat disimpulkan bahwa di sekolah tersebut terjadi
perilaku bullying, perilaku bullying yang terjadi meliputi bullying secara verbal
seperti mengejek, memberikan julukan, bullying secara fisik seperti memukul dan
mendorong serta bullying serta psikologis seperti mendiamkan dan mengacuhkan.
5
Tis’ina dan Suroso (2015) menemukan bahwa bullying yang dilakukan
seorang siswa disekolah dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu faktor keluarga,
sekolah dan teman sebaya. Salah satu faktor yang dapat memunculkan pelaku
bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah. Terdapat faktor lain
yang mendorong terjadinya perilaku bully menurut Tis’ina dan Suroso (2015)
yaitu: pola asuh otoriter orangtua, regulasi emosi, perilaku asertif, konformitas,
religiusitas, komunikasi, peran kelompok sebaya, tipe atau peran kepribadian, dan
kontrol sosial. Serta menurut Wiyani (dalam Nurhayanti, Novotasari & Natalia,
2013) yaitu: anak- anak yang dari pola asuh orangtua otoriter, anak-anak yang
sering berperilaku kasar, serta orangtua yang permisif terhadap perilaku agresif
anak.
Jika fungsi didalam keluarga tidak berjalan dengan baik, seperti pola asuh
yang tidak sesuai, tentu perilaku negatif seperti bullying akan muncul dari dalam
diri remaja, hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan Santrock (2005) bahwa
pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai orangtua yang membatasi dan bersifat
menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua, serta
membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal, sehingga anak tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
ada didalam dirinya. Tekanan didalam diri anak yang tidak terselesaikan karena
orangtua yang otoriter dapat menyebabkan munculnya pelampiasan perilaku kesal
anak di luar rumahnya, seperti diungkapkan oleh Sarwono (2012) yang
menyatakan anak yang merasakan tekanan didalam dirinya namun tidak mampu
menyelesaikan dengan baik akan cenderung melampiaskan permasalahannya
dalam bentuk perilaku bullying.
Hal ini sesuai dengan Pohan (dalam Suastini, 2011) yang menyatakan
bahwa perbuatan negatif anak terjadi karena anak sudah terbiasa melihat atau
menonton perbuatan-perbuatan negatif yang dilakukan orangtuanya. Selain itu
peran orangtua juga sebagai model anak-anaknya dapat dilakukan dengan
memberikan contoh buruk kepada anak–anaknya bagaimana seharusnya anak-
anak bertindak dan apa yang sebaiknya dilakukan anak. Jika orang tua berlaku
6
demikian kepada anaknya, itu berarti ia menyediakan model terhadap anak untuk
meniru perilaku tersebut (Hartuti dalam Suastini, 2011).
Hasil temuan penelitian Georgiou dan Olweus (dalam Hasan & Ee, 2015)
yang menunjukkan bahwa pelaku bullying lebih cenderung berasal dari keluarga
di mana orangtua membesarkan anak dari pola asuh orangtua otoriter. Dikatakan
oleh Vernonbeck (dalam Evangelista, Mendoza & Malabanan, 2014)
menambahkan pola asuh otoriter dapat mempengaruhi perilaku anak-anak. Hal ini
menyebabkan, anak-anak akan berperilaku buruk di sekolah dan tidak mampu
berkomunikasi dengan orangtua. Orangtua juga memiliki kesulitan berkomunikasi
dengan anak. Sejak pengasuhan pola asuh otoriter yang dialami oleh anak-anak,
maka anak-anak mungkin meniru atau melakukan hal yang sama dengan perilaku
yang dilakukan oleh orangtuanya atau meluapkan perilaku negatif diluar
lingkungan rumahnya.
Georgiou (dalam Nikivorou, Georgiou & Stavrinides, 2013) menyatakan
bahwa semakin tinggi pola asuh orangtua otoriter maka akan tinggi tingkat
perilaku bullying. Para peneliti yang sama juga menemukan bahwa orangtua yang
sering merasa marah dengan anak-anak mereka maka anak-anak cenderung
memiliki perilaku bullying dikarenakan anak meniru orangtua. Tis’ina dan Suroso
(2015) juga telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi
pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua maka bullying anak disekolah
semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter yang diterapkan
orangtua maka bullying anak disekolah juga akan semakin rendah.
Pendapat lain menurut Egan dalam Damantari (2011) bullying dan
victimization lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Hal yang sama juga
disebutkan bahwa perilaku bullying lebih menonjol terjadi pada kalangan laki-laki
daripada perempuan. Selain itu dikatakan pula bahwa jenis kelamin turut berperan
menjadi salah satu faktor perilaku bullying, bahwa siswa laki-laki cenderung
setuju dengan perilaku bullying, namun bukan berarti bahwa perempuan tidak
setuju dengan bullying. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Usman
(dalam Putri, Nauli & Novayelinda, 2015) yaitu: jenis kelamin, tipe kepribadian
7
anak, kepercayaan diri, iklim sekolah, peranan kelompok atau teman sebaya.
Perilaku bullying juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti jenis kelamin.
Hasil penelitian lain juga mengungkap adanya perbedaan perilaku bullying
pada remaja putra dan putri bahwa 31 orang (66,0 %) laki-laki yang terlibat kasus
bullying dan sebanyak 11 orang (30,6 %) adalah remaja putri, dan dari penemuan
tersebut disimpulkan bahwa mayoritas remaja putra lebih banyak terlibat dalam
perilaku bullying dibandingkan dengan remaja putri (Putri, Nauli & Novayelinda,
2015).
Berdasarkan uraian di atas penulis ingin membuktikan hipotesis yaitu: ada
hubungan positif antara perilaku bullying pada remaja dengan pola asuh otoriter
orangtua. Semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi
perilaku bullying pada remaja dan sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter
orangtua maka semakin rendah perilaku bullying pada remaja. Selain itu penulis
juga ingin mengetahui perbedaan perilaku bullying pada remaja putra dan putri
yakni remaja putra lebih sering melakukan tindakan bullying dibandingkan
dengan remaja putri
2. METODE
Penelitian ini terdiri atas variabel tergantung yaitu perilaku bullying dan
variabel bebas yaitu pola asuh otoriter orangtua dan jenis kelamin. Populasi
penelitian sebanyak 172 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas VII dan VIII di
salah satu Sekolah Menengah Pertama Swasta di Kota Surakarta, peneliti
mengambil sampel dengan menggunakan teknik cluster random sampling yang
mana dari masing-masing jenjang kelas VII dan VIII terdapat 4 kelas yaitu A, B,
C, dan D kemudian dipilihlah 2 kelas dari masing-masing jenjang secara random
(acak), terpilihlah kelas VII.C dan VII.D serta VIII.C dan VIII.D dengan jumlah
keseluruhan sampel sebanyak 89 subjek.
Pengumpulan data menggunakan skala perilaku bullying yang telah disusun
oleh Astuti (2015) berdasarkan aspek-aspek bullying fisik, bullying verbal, dan
bullying psikologis. Sedangkan skala pola asuh otoriter orangtua merupakan skala
8
yang telah disusun oleh Prameswari (2014) berdasarkan aspek pemberian disiplin,
komunikasi, pemenuhan kebutuhan dan pandangan terhadap remaja.
Skala yang digunakan tersebut telah memenuhi kriteria valid dan reliabel.
Uji validitas skala menggunakan validitas konstruk (construct validity) yang
menyatakan bahwa setiap butir dalam instrumen itu valid atau tidak dapat
diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total,
pengujian validitas seluruh butir instrumen dalam satu variabel dapat dilakukan
dengan mencari daya beda skor tiap aitem hal ini dilakukan dengan meilihat nilai r
hitung dan r tabel (r hitung> r tabel) (Sugiyono, 2015). Daya beda untuk skala
bullying berkisar (0,220-0,562) sedangkan untuk skala pola asuh otoriter orangtua
berkisar (0,214-0,591). Reliabilitas skala dihitung dengan teknik cronbach aplha
untuk mengetahui koefisien reliabilitas (α) kedua skala tergolong reliabel dengan
nilai (α) perilaku bullying = 0,891 (32 aitem) dan nilai (α) pola asuh otoriter
orangtua = 0,876 (31 aitem). Teknik analisis data menggunakan teknik product
moment dari pearson dan independent sample t-test yang keduanya dilakukan
dengan bantuan program SPPS. 16.0 for windows.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dari Pearson diperoleh
nilai koefisien korelasi (r) sebesar = 0,452 (p) = 0,000 (p< 0,01) artinya ada
hubungan positif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan perilaku
bullying pada remaja, maka dari itu hipotesis peneliti dinyatakan diterima.
Terbukti dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu adanya hubungan
positif yang signifikan menjelaskan bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter
orangtua maka semakin tinggi perilaku bullying pada remaja, sebaliknya semakin
rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah perilaku bullyingnya,
pola asuh otoriter orangtua turut mempengaruhi perilaku bullying pada
remaja.Tingkat pola asuh otoriter orangtua dan perilaku bullying dalam penelitian
ini termasuk dalam kategori rendah.
Remaja yang tidak diasuh dengan pola asuh otoriter akan memiliki
perilaku bullying yang rendah. Hal ini disebabkan karena remaja yang tidak
9
diasuh dengan pola asuh otoriter orangtua akan mendapatkan kebutuhan afeksi
yang lebih baik melalui hubungan penuh kasih sayang dengan orangtuanya,
adanya sikap terbuka, serta penanaman sikap dan moral sehingga anak tersebut
memiliki kecenderungan untuk berperilaku positif (Fatchurahman & Praktiko
2012). Sedangkan remaja yang memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tinggi
akan cenderung melampiaskan permasalahannya dalam bentuk perilaku bullying,
hal ini disebabkan karena munculnya perilaku bullying pada remaja karena
terdapat tekanan didalam diri anak yang tidak terselesaikan menyebabkan
munculnya pelampiasan perilaku kesal anak diluar rumahnya (Sarwono, 2012).
Pelampiasan dapat muncul dikarenakan sikap otoriter orangtua dirumah, dimana
orangtua membatasi anak dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk
mengikuti petunjuk orangtua serta membuat batasan dan kendali yang tegas dan
hanya melakukan sedikit komunikasi verbal, sehingga anak tidak dapat
menyampaikan ide, gagasan, ataupun perasaan kepada orangtuanya (Santrock,
2005).
Pola asuh otoriter orangtua yang tinggi akan membuat anak terbiasa
dengan perilaku-perilaku negatif yang dilakukan oleh orangtuanya di rumah,
sehingga anak akan lebih mudah melakukan perilaku negatif di luar rumah seperti
perilaku bullying (Georgio & Olweus dalam Hasan & Ee, 2015). Sesuai yang
diungkapkan oleh Loeber dan Stouthamer (dalam Efobi & Nwokolo, 2014) yang
menyatakan gaya pengasuhan otoriter yang dilakukan oleh orang tua, yaitu
dengan cara mendidik anak dengan cara tidak konsisten serta sering memberikan
hukuman terhadap anak tanpa penjelasan, hal ini menyebabkan anak berperilaku
negatif.
Pohan (dalam Suastini, 2011) menambahkan bahwa seseorang yang pada
masa remaja memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tinggi atau negatif maka
remaja tersebut akan cenderung memiliki perilaku-perilaku yang juga negatif, hal
tersebut dikarenakan anak menjadikan perilaku atau perbuatan negatif yang
dilakukan orangtuanya sebagai model. Proses modelling dimulai dari tahap
seorang anak yang memperhatikan orangtuanya, kemudian perilaku tersebut
disimpan oleh anak dalam ingatannya, setelah itu informasi yang diterima dan
10
telah tersimpan didalam memori diproduksi kembali lalu perilaku tersebut
mendapatkan penguatan (reinforcement) sehingga perilaku tersebut muncul
(Bandura dalam Laila,2006).
Sumbangan efektif (SE) variabel pola asuh otoriter orangtua terhadap
perilaku bullying sebesar 20% ditunjukkan dengan koefisien determinasi sebesar
(r2) = 0,452. Masih terdapat 80% faktor lain yang mempengaruhi perilaku
bullying. Hasil tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Tis’ina
dan suroso (2015) yang menyatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua menjadi
salah satu faktor munculnya perilaku bullying, semakin tinggi pola asuh otoriter
yang diterapkan orang tua maka bullying anak disekolah semakin tinggi,
sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua maka
bullying anak disekolah juga akan semakin rendah.Namun terdapat faktor lain
yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu regulasi emosi, perilaku asertif,
konformitas, religiusitas, komunikasi, peran kelompok sebaya, tipe atau peran
kepribadian, dan kontrol sosial.
Hasil analisis variabel pola asuh otoriter orangtua diketahui bahwa rerata
empirik (RE) sebesar 66,42 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 77,5 yang berarti
bahwa variabel pola asuh otoriter orangtua termasuk kedalam kategori rendah.
Berdasarkan kategori skala pola asuh otoriter orangtua diketahui bahwa 8%
(7orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tergolong sangat rendah; 54%
(48 orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang rendah; 29% (26 orang)
memiliki pola asuh otoriter orangtua yang sedang; dan 9% (8 orang) memiliki
pola asuh otoriter orangtua yang sedang dari data tersebut menunjukkan bahwa
prosentase dari jumlah terbanyak berada pada posisi rendah. Hal ini dikarenakan
sekolah tersebut adalah sekolah yang bernuansa islami, artinya di sekolah tersebut
juga terdapat penanaman nilai-nilai keislaman, selain itu pihak sekolah telah
melakukan upaya prevensi yang meliputi: 1). Terdapat mata pelajaran khusus di
bidang agama islam salah satunya aqidah ahklak yang mana materi yang ada
didalamnya mencakup adab-adab atau aturan dalam berinteraksi dengan orang
lain, diantaranya berbicara dengan tutur kata yang baik, tidak menyakiti perasaan
orang lain, bersikap sopan, menghargai sesama muslim, saling tolong menolong
11
dalam kebaikan, mengucapkan salam ketika bertemu dan mengajarkan juga
konsep islam yaitu dosa dan pahala yang mana perbuatan buruk yang dilakukan
akan mendapatkan dosa dan balasan pahala bagi yang melakukan perbuatan baik,
2). Terdapat mading dan pamflet yang memberikan penjelasan, peringatan dan
informasi mengenai dampak dan bahaya bullying. Selain upaya pencegahan pihak
sekolah telah melakukan upaya penanganan yakni dengan adanya guru BK di
sekolah yang berperan aktif menangani anak-anak yang bermasalah dengan
memanggil anak tersebut untuk diberikan konseling, dengan langkah tersebut
sekolah telah meminimalisir perilaku bullying.
Hasil analisis variabel perilaku bullying diketahui bahwa rerata empirik
sebesar 59,07 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 80 bahwa variabel perilaku
bullying termasuk kedalam kategori rendah. 32,6% (29 orang) memiliki perilaku
bullying yang tergolong sangat rendah; 46% (41 orang) memiliki perilaku bullying
yang tergolong rendah; 18% (16 orang) memiliki perilaku bullying yang
tergolong sedang; dan 3,4% (3 orang) memiliki perilaku bullying yang tergolong
tinggi. Ini menunjukkan bahwa prosentase dari jumlah terbanyak berada pada
posisi rendah
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji t-test dapat diartikan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan perilaku bullying antara remaja putra
dan remaja putri. Prosentase mean yang diperoleh dari kelompok remaja putra
sebesar 63,19 sedangkan dari kelompok remaja putri sebesar 54,45. Seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh Borg (dalam Saifullah, 2016) didapatkan bahwa
kasus bullying lebih banyak dilakukan oleh remaja putra dibandingkan oleh
remaja putri, survei yang telah dilakukan di Malta, menemukan bahwa 15-24 %
remaja putra setiap tahun mengatakan bahwa mereka sering melakukan perilaku
bullying, dibandingkan dengan 8 – 13% remaja putri. Sedangkan 60 % pelaku
bullying remaja putra mengaku lebih sering melakukan perilaku bullying fisik
dibandingkan dengan 30 % remaja putri.
Hal serupa juga mengatakan bahwa sebanyak 83 responden yang dijadikan
sampel didalam penelitianterdapat 31 orang (66,0 %) remaja putra yang terlibat
kasus bullying dan sebanyak 11 orang (30,6 %) adalah remaja putri, dan dari
12
penemuan tersebut disimpulkan bahwa remaja putra lebih banyak terlibat dalam
perilaku bullying dibandingkan dengan remaja putri (Putri, Nauli & Novayelinda,
2015).
Selain itu bentuk bullying pada laki-laki dan perempuan juga berbeda ,
laki-laki lebih dominan ke bentuk fisik, hal ini terlihat dari hasil wawancara yang
terhadap subjek laki-laki yang menyatakan subjek pernah memukul teman serta
meneriakinya ketika terdapat teman di sekolah yang menantangnya (w.no baris
35-37, hal1) kemudian pada subjek ke dua yang di wawancara juga menyatakan
bahwa ia pernah didorong oleh temannya (w.no baris 67-69, hal 6)
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa anak laki-laki cenderung lebih
agresif, kasar, tidak peka terhadap perasaan oranglain, lebih suka melakukan
tindakan agresif secara fisik, terlihat dari hasil wawancara diatas bahwa anak laki-
laki cenderung mudah melakukan dan menerima bentuk bullying yang bersifat
fisik seperti pukulan.
Dari hasil wawancara peneliti kepada subjek perempuan yang menyatakan
bahwa ia sering mengejek teman yang tidak pintar dikelas (w.no baris 108-114,
hal 12) serta juga pernah menertawakan temannya yang tidak dapat mengerjakan
tugas didepan kelas (w.no baris 147-151,hal 13). Sedangkan subjek lain mengaku
bahwa ia sering menjadi bahan pembicaraan atau digosipkan oleh teman-
temannya yang iri dengannya (w.no baris 149-157, hal 17). Dari hasil wawancara
diatas juga terlihat bahwa remaja perempuan cenderung melakukan bullying
secara verbal. Selain itu juga tampak dari hasil wawancara pada subjek
perempuan ynag berinisial FN yang juga menunjukkan bahwa perilaku bullying
pada perempuan lebih bersifat verbal.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tersebut adalah adanya
hubungan positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan perilaku bullying. Hal
ini menunjukkan bahwa variabel pola asuh otoriter orangtua dapat digunakan
sebagai prediktor untuk mengukur tingkat perilaku bullying. Setiap penelitian
pasti memiliki kelemahan, adapun kelemahan dalam penelitian akan peneliti
masukan ke dalam saran penelitian pada bab selanjutnya.
13
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1) Ada hubungan positif antara pola asuh
otoriter orangtua dengan hubungan perilaku bullying pada remaja, artinya semakin
tinggi perilaku bullying maka semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua dan
sebaliknya. 2) Subjek penelitian memiliki perilaku bullying yang tergolong rendah.
3) Subjek penelitian memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tergolong rendah.
4)Terdapat perbedaan perilaku bullyiing ditinjau dari jenis kelamin. 5) Perilaku
bullying pada laki-laki sebesar 64,47 sedangkan perempuan sebesar 55,64. Jadi
sebagian besar perilaku bullying lebih sering dilakukan oleh laki-laki dibanding
perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan yang diperoleh
penulis selama pelaksanaan penelitian, maka penulis memberikan sumbangan
saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu: Berdasarkan hasil penelitian,
pembahasan, dan kesimpulan yang diperoleh penulis selama pelaksanaan
penelitian, maka penulis memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat
bermanfaat, yaitu:1) bagi siswa, Agar siswa terhindar dari perilaku bullying
karena siswa seharusnya mencontoh kedisplinan serta perilaku-perilaku positif
yang dilakukan oleh orangtua di rumah. 2) bagi orangtua, Agar orang tua dapat
menerapkan pola asuh yang sesuai untuk anak-anaknya, dengan menjalin
komunkasi yang baik dan memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan
pendapatnya, dengan sehingga anak akan terhindar perilaku bullying. 3).bagi
peneliti lain, Jika tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama,
disarankan untuk menambah variabel-variabel lain serta juga dapat memilih
subjek dengan kriteria yang berbeda serta lokasi yang berbeda dari penelitian ini.
PERSANTUNAN
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Mama
tercinta Aminah dan Abi tercinta Muhammad Yunus Babher yang telah senantiasa
mendoakan tanpa lelah untuk penulis. Suamiku Ali Baladraf serta ketiga
Saudaraku Sarah, Amira dan Fahira yang selalu memberikan semangat tiada henti
14
serta sahabatku yang selalu mendukung penulis. Serta ibu Dra. Juliani
Prasetyaningrum, M.Si., Psi. yang telah memberikan semangat dan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A. N. (2015). Hubungan Antara Inferioritas Dan Perilaku Bullying
Remaja Di SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu (Skripsi tidak
dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Damantari. (2011). Perilaku Bullying Pada Remaja di Sekolah Ditinjau dari Jenis
Kelamin (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah, Surakarta.
Efobi, A., & Nwokolo, C. (2014). Relationship beetwen parenting styles and
tendency to bullying behaviour among adolescents. Journal of Education
and Human Development, 3(1), 507-521. Diunduh dari
www.aripd.org/jehd
Evangelista, K. D., Mendoza, R. A., & Malabanan. M. G. A. (2014). Parental
authority and its effects on the agression of children. Journal of Education,
Arts and Sciences, 1(3), 78-80. Diunduh dari www.apjeas.apjmr.com
Fatchurahman, M., & Praktiko, H. (2012). Kepercayaan diri, kematangan emosi,
pola asuh orangtua demokratis dan kenakalan remaja. Jurnal Psikologi
Indonesia, 1(2), 77-87
Halimah, A., Khumas, A.,& Zainuddin, K. (2015). Persepsi pada bystander
terhadap intensitas bullying pada siswa SMP. Jurnal Psikologi, 42(2), 129-
140
Hassan, N. C., & Ee. (2015). Relationship beetwen bully’s behaviour and
parenting styles amongst elementary school students. Journal of Education
and Training, 1(1), 1-12. Diunduh dari http://www.injet.upm.edu.my
Hertinjung, W. S., & Karyani, U. (2015). Profil pelaku dan korban bullying di
sekolah dasar (University Reaserach Coloqium). Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Laila, N. Q. (2015). Pemikiran pendidikan moral albert bandura. Jurnal
Pendidikan, 3(1), 21-36
15
Levianti. (2008). Konformitas dan bullying pada siswa. Jurnal Psikologi, 6(1), 1-9
Maya, N. (2015). Fenomena cyberbullying di kalangan pelajar. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 4(3), 443-450
Nikivorou, M., Georgiou, S., & Stavrinides, P. (2013). Attachment to parents and
peers as a parameter of bullying and victimization. Journal of
Criminology, 9, 1-9. doi:10.1155/.org.2013.484871
Nurhayanti, R., Novotasari, D., & Natalia. (2013). Tipe pola asuh orang tua yang
berhubungan dengan perilaku bullying di SMA Kabupaten Semarang.
Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(1), 49-59
Prameswari, N. L. D.A. (2014). Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dan
Ketakutan Akan Kegagalan dengan Motivasi Berprestasi (Skripsi tidak
dipublikasikan). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Putri, H. N., Nauli, F. A., & Novayelinda, R. (2015). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku bullying pada remaja. Jurnal JOM, 2(2),
1149-1159
Saifullah, F. (2016). Hubungan antara konsep diri dengan bullying pada siswa-
siswi smp. Journal Psikologi, 4(2), 200-204
Santrock, J. W. (2005). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: PT. Gelora
Aksara Pratama.
Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suastini, N. (2011). Hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan
agresivitas remaja. Jurnal JP3, 1(1), 97-108
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Tindakan Komprehensif. Bandung:
ALFABETA.
Tis’ina, N. A., & Suroso. (2015). Pola asuh otoriter, konformitas dan perilaku
school bullying. Jurnal Psikologi Indonesia, 4(2), 153-161
Yahaya, A., Ramli, J., Hashim, S., Ibrahim, M., & Rahman, R. (2009). Teachers
and students perception towards bullying in Batu Pahat District secondary
school. European of Social Sciences, 11(4), 543-658. Diunduh dari
https://www.researchgate.net