prosiding pengembangan pariwisata yang berkelanjutan

300
i PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN: INOVASI, TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL Tim Penyunting: Chandra Eko Wahyudi Utomo Agung Prasetyo Aula Lantai II FISIP 13 Desember 2018 UPT PERCETAKAN DAN PENERBIT UNIVERSITAS JEMBER

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

i

PROSIDING

PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN:

INOVASI, TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL

Tim Penyunting:

Chandra Eko Wahyudi Utomo

Agung Prasetyo

Aula Lantai II FISIP

13 Desember 2018

UPT PERCETAKAN DAN PENERBIT

UNIVERSITAS JEMBER

Page 2: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

ii

PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN:

INOVASI, TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL

Penyunting:

Chandra Eko Wahyudi Utomo

Agung Prasetyo

All rights reserved. Except for the quotation of short passage for the purposes of criticism and

review, no part of this book may be reproduced in any form or by any means, electronic,

mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher

ISBN : 978-602-5617-92-8

Layout and Design Cover

Sie Dekdok

Hak Cipta @ 2019

Published by:

UPT Penerbitan Universitas Jember

bekerja sama dengan

Program Studi Diploma III Usaha Perjalanan Wisata FISIP

Adress Editor:

Jl. Kalimantan 37

Jember 68121

Telp. 0331-330224, Voip. 0319

e-mail: [email protected]

Distributor:

Jember University Press

Jl. Kalimantan, No. 37 Jember

Telp. 0331-330224, Ext. 0319, Fax. 0331-339039

e-mail: [email protected]

Page 3: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

iii

Kata Pengantar

Dewasa ini pariwisata telah dikembangkan secara besar-besaran untuk menjadi

mesin pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut disebabkan karena pariwisata adalah

industri yang unik, yaitu bahwa wisatawan sebagai pelanggan mendatangi produk, sulit

diproteksi dan sulit dibatasi oleh kepentingan apapun, mendatangkan devisa serta

membuka kesempatan kerja yang luas. Pada tahun 2007 tercatat hampir 1 miliar

wisatawan mengunjungi berbagai objek wisata di seluruh penjuru dunia, dengan

pengeluaran lebih dari 750 juta US$, dan menciptakan sekitar 193 juta kesempatan kerja.

Pengembangan pariwisata telah mengalami berbagai proses perubahan yang

disebabkan oleh kondisi eksternal maupun internal. Pengalaman di berbagai negara di

mana pariwisata dikembangkan secara besar-besaran menunjukkan timbulnya berbagai

dampak, seperti menurunnya kualitas kehidupan sosial-budaya dan lingkungan, serta

pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Oleh karenanya muncul tanggapan serius dari

berbagai kalangan terhadap pengembangan kepariwisataan dunia. Badan Turisme Dunia

(WTO) telah mengarahkan bahwa pengembangan pariwisata dunia harus ditujukan pada

peningkatan kualitas hidup baik untuk wisatawan, pelaku bisnis wisata, dan masyarakat

khususnya yang berada di sekitar lokasi objek wisata.

Pada tatanan global, pariwisata dihadapkan pada berbagai tuntutan, seperti;

liberalisasi perdagangan yang memicu persaingan global

standar kualitas profesionalisme

apresiasi masyarakat dunia terhadap hak asasi manusia

perlindungan atas hak-hak pelanggan

pelaksanaan nilai-nilai dalam kode etik pariwisata dunia (the global code of ethic for

tourism)

pembangunan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab

meningkatkan kualitas hidup

Berkaitan dengan berbagai tuntutan tersebut, maka diperlukan keterlibatan secara

koordinatif dari para stakeholder pariwisata dengan mengutamakan prinsip berkelanjutan,

memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya masyarakat

setempat secara terpadu.

Sustainable devolopment (pembangunan berkelanjutan) sekarang dikenal sebagai

sebuah pendekatan esensial untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tanpa

menghabiskan sumberdaya alam dan budaya atau penurunan kualitas lingkungan. Pada

United Conference on Environment and Development yang dikenal dengan Earth Summit

di Rio de Jeinero Juni 1992, menyarankan agar konsep pembangunan berkelanjutan harus

menjadi sebuah idiologi di semua aspek pembangunan, termasuk pariwisata. Badan

Turisme Dunia atau World Tourism Organization (WTO) mengharapkan agar

pengembangan industri pariwisata di mana pun harus berpijak dan diselaraskan pada

pembangunan berkelanjutan.

Page 4: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

iv

Pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi sebuah komitmen dari masyarakat

pariwisata dunia sebagai tanggung jawab dunia pariwisata terhadap kelestarian

lingkungan, karena pengembangan pariwisata diharapkan dapat memberi keuntungan

substansial bagi masyarakat luas yang meliputi:

Pekerjaan dan bisnis baru

Tambahan pendapatan

Pasar baru untuk produk-produk lokal (cindera mata; makanan; kesenian; keunikan)

Memperbaiki infrastruktur dan pelayanan serta fasilitas masyarakat

Alih ilmu, pengetahuan dan teknologi

Kepedulian dan proteksi terhadap lingkungan

Pendidikan dan mobilitas sosial

Menumbuhkan kreativitas

Secara ringkas pengembangan pariwisata harus dapat memberikan dukungan terhadap

upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perlindungan terhadap kebebasan

untuk memilih bidang kehidupan yang dikehendaki dan tumbuhnya kesempatan kerja

serta perlindungan dan perbaikan lingkungan.

Salah aspek bahasan yang dapat memberi kontribusi pada pengembangan

pariwisata berkelanjutan adalah Ekowisata yang merupakan salah satu bentuk dari wisata

minat khusus (special interest). Read (1980) menyatakan bahwa wisata minat khusus

merupakan bentuk perjalanan dimana wisatawan mengunjungi suatu destinasi karena

memiliki kekhususan yang sesuai dengan minatnya. Ditinjau dari aspek kekhususan

kegiatan pariwisata tersebut dapat diasumsikan bahwa bentuk dari wisata minat khusus

menekankan pada:

Motivasi pencarian sesuatu yang unik dan baru untuk memperoleh pengalaman baru,

seperti instrospeksi serta berkomunikasi dengan kelompok masyarakat lain;

Motivasi pencarian pada pengalaman wisata yang berkualitas dan yang memiliki

nilai pelestarian terhadap sumberdaya yang digunakan;

Memperluas wawasan dan kreativitas

Konsekuensinya, penyelenggara wisata minat khusus harus dapat menyajikan

atraksi yang unik dan berkualitas yang mencakup atraksi itu sendiri maupun sarana

pendukung pariwisata lainnya yang berbasis pada prinsip berkelanjutan. Bentuk wisata

minat khusus diantaranya wisata peninggalan (heritage tourism), wisata alam, dan atau

special event. Salah satu bentuk dari special event adalah seni pertunjukan, yaitu karya

dan atau kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dan dapat

ditonton serta dinikmati. Zeppel dan Hall (1992) mengkategorikan seni pertunjukan

sebagai heritage tourism, yaitu bagian dari pariwisata budaya yang menceritakan secara

ringkas kepada pengunjung tentang pentingnya motivasi budaya, semacam karya wisata,

seni pertunjukan, perjalanan budaya, festival, cerita rakyat dan peristiwa budaya lainnya.

Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, daerah-daerah desa-desa di

Nusantara yang memiliki keunikan atau potensi untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata

Page 5: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

v

perlu secara aktif menciptakan kegiatan wisata yang mengandung kepedulian terhadap

kelangsungan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat setempat. Tujuan-tujuan

untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau mempertinggi PAD, harus diselaraskan

dengan tujuan-tujuan pelestarian, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat

setempat.

Seminar Nasional dengan Tema Pengembangan Pariwisata yang Berkaitan: Inovasi,

Teknologi dan Kearifan Lokal pada 13 Desember 2018 di FISIP Universitas Jember

membahas kepariwisataan dari berbagai aspek, baik yang berbasis pada teoritis maupun

praktis. Bahasan yang dihasilkan jika diringkas menghasilkan pemikiran bahwa

pengembangan pariwisata berkelanjutan memerlukan inovasi, kreativitas teknologi, dan

kearifan lokal sebagai basis dari pelibatan masyarakat lokal dan pelestarian aset

kepariwisataan. Tindakan konkrit yang diperlukan dalam upaya mendukung pelestarian

sumber-sumber dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, adalah:

a. Menghindari penggunaan lahan-lahan pertanian maupun perkebunan produktif dan

kawasan konservasi untuk kepentingan pembangunan fasilitas wisata (hotel;

restoran)

b. Memanfaatkan lokasi alamiah untuk pengembangan wisata pendidikan pelestarian

lingkungan (alam; budaya; peninggalan; seni dan tradisi masyarakat setempat)

c. Memanfaatkan peralatan tradisi dan melibatkan masyarakat setempat (pakaian;

keramahtamahan; perilaku; tungku arang/kayu; interior; dekor kayu)

d. Memperkokoh budaya pelayanan—ramah, peduli dan inovatif

e. Partisipasi aktif terhadap program-program pelestarian lingkungan

f. Kerja sama dengan pihak terkait dalam upaya pengelolaan lahan yang selaras dengan

pembangunan berkelanjutan.

Jember, 11 Januari 2019

Tim Prosiding

Page 6: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

vi

Page 7: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

vii

DAFTAR ISI

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik

Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

(Adhiningasih Prabhawati, Sri Wahjuni) ........................................................ 1

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

(Alim Marta Dinata, Anastasia Murdyastuti, Abdul Kholiq Azhari) ........... 19

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah

Kabupaten Banyuwangi (Anastasia Murdyastuti) .......................................... 35

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

(Edy Wahyudi) .................................................................................................... 47

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

(Florentinus Nugro Hardianto) .......................................................................... 65

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Banyuwangi (Galih Wicaksono, Yeni Puspita) ................................ 77

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

(I Ketut Mastika) .................................................................................................. 89

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari

Sektor Pariwisata di Banyuwangi (Indra Perdana Wibisono) ............................ 101

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono

Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility,

Amenities dan Ancillary Service

(Margaretta Andini Nugroho, Rebecha Prananta) ........................................... 123

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah

Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

(Mochamad Edoward Ramadhan, Dedi Dwilaksana, Suhartono,

Djoko Poernomo) .................................................................................................. 135

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat

Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

(Novi Haryati, Rokhani, Choiria Anggraini, Moch. Adi Surahman) .............. 147

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan

Desa Wisata (Nur Kholis, Muhammad Ananda Egy) ........................................ 161

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

(Pairan, Muhammad Via Pratama) .................................................................... 173

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata

Kebangsaan Wonorejo Situbondo (Pramesi Lokaprasidha) ................................ 191

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

(Purwowibowo, Budhy Santoso) ......................................................................... 205

Page 8: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

viii

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda

dengan Konservasi Lingkungan

(Rinto Dwiatmojo, Rini Koen Iswandari) ......................................................... 217

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata

Indonesia (Sri Yuniati, Djoko Susilo) .................................................................... 231

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus

Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

(Sunardi Purwaatmoko, Syech Haryono, Adhiningasih Prabhawati) ............... 243

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke

Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

(Supriono) ............................................................................................................... 259

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat:

Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

(Vistario Febrian Yoseph, Supranoto, Agus Suharsono) .................................... 273

Page 9: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

1

PERTUNJUKAN TARI KLASIK TRADISIONAL GAYA YOGYAKARTA

SEBAGAI DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI KERATON YOGYAKARTA

Adhiningasih Prabhawati1, Sri Wahjuni

2

[email protected]

Abstract

Yogyakarta is one of the main tourist destinations in Indonesia. It is rich of

traditional and cultural arts, so it is known as a cultural city. The richness of

traditional cultural arts can be seen in various attractions or performances in

Yogyakarta. For instance, traditional and classical dance of Yogyakarta is a

traditional heritage art from Mataram kindom which is still preserved by the

Yogyakarta Palace. The classical dance is a high-quality and beautiful artworks with

high philosophical as well as aesthetic values and contains Javanese cultural values.

The performance of traditional and classical dance of Yogyakarta is also a tourist

attraction in the Yogyakarta Palace. Thus, this article will discuss about traditional

and classical dance of Yogyakarta at the Yogyakarta Palace as a cultural tourist

attraction as well as several efforts to attract tourists, so they can come and enjoy

the performance of traditional and classical of Yogyakarta at the Yogyakarta Palace.

Keywords: traditional and classical dance, performance of traditional and classical

dance, cultural tourist attraction

Abstrak

Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata utama di Indonesia dan termasuk

daerah yang sangat kaya dengan seni budaya tradisionalnya sehingga Yogyakarta

dikenal sebagai kota budaya. Kekayaan seni budaya tradisional bisa dilihat dalam

berbagai atraksi atau pertunjukan di Yogyakarta. Seperti seni tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta adalah karya seni warisan adat istiadat dari kerajaan Mataram yang

tetap dilestarikan keberadaannya oleh Keraton Yogyakarta. Tari klasik gaya

Yogyakarta merupakan karya seni yang bermutu tinggi, indah, memiliki nilai

filosofis dan estetika tinggi serta mengandung nilai-nilai kultural Jawa. Pertunjukan

seni tari klasik tradisional gaya Yogyakarta juga sebagai daya tarik wisata budaya di

Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, dalam artikel ini membahas tentang tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta di Keraton Yogyakarta sebagai daya tarik wisata budaya

dan berbagai upaya untuk menarik para wisatawan supaya bisa datang dan

menikmati pertunjukan tari klasik tradisional gaya Yogyakarta di lingkungan

Keraton Yogyakarta.

Kata Kunci: tari klasik tradisional, pertunjukan tari klasik tradisional, daya tarik

wisata budaya

1 Dosen Universitas Jember

2 Dosen Universitas Jember

Page 10: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

2

Pendahuluan

Yogyakarta dikenal sebagai kota

pendidikan, pusat kebudayaan Jawa,

kota perjuangan dan salah satu

daerahtujuan utama pariwisata di

Indonesia hingga saat ini. Para

wisatawan baik dari wisatawan

nusantara dan wisatawan mancanegara

tiap tahun pula berkunjung ke

Yogyakarta. Pada tahun 2017, jumlah

wisatawan nusantara yang berkunjung

ke Yogyakarta yaitu 4,7 juta orang

dan untuk wisatawan mancanegara

jumlahnya tercatat mencapai 397.000

orang selama tahun 2017. Pergerakan

wisatawan yang berkunjung ke

Yogyakarta juga meningkat mencapai

23, 7 juta melebihi target 22, 2 juta

yang sudah ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta

(jogja.tribunnews.com : 2018).

Yogyakarta juga dikenal sebagai

daerah yang memiliki keindahan alam,

peninggalan purbakala, arsitektural

gedung-gedung peninggalan Belanda,

kuliner, heritage keraton (tempat

kediaman Sultan) hingga seni tradisi

hidup dan berkembang di daerah

tersebut. Dengan berbagai pesona seni

budaya tradisionalnya yang indah dan

eksotis maka Yogyakarta ditetapkan

sebagai City of Culture ASEAN atau

Kota Kebudayaan pada tahun 2018.

Predikat ini diberikan oleh Forum

ASEAN Ministers Responsible for

Culture and Arts (AMCA) ke-8 dan

pertemuan ke-14 ASEAN Senior

Officials Meeting Responsible on

Culture and Arts (SOMCA) yang

berlangsung di Yogyakarta

(beritasatu.com : 2018).

Demikian pula, masyarakat

diYogyakarta masih memegang teguh

nilai-nilai kearifan lokal yang berasal

dari Keraton Yogyakarta sebab

Keraton Yogyakarta menjadi cikal

bakal berdirinya Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta sekaligus kiblat

perkembangan kebudayaan Jawa.

Kearifan lokal tersebut terwujud

dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,

acara adat istiadat dan penampilan seni

budaya di Yogyakarta. Seni budaya

yang masih terjaga keaslian dan

keindahannya terdapat di Keraton

Yogyakarta yaitu tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta. Kata “Gaya” atau

dalam bahasa Jawa sering digunakan

dengan istilah gagrag merupakan

suatu corak yang terwujud sepanjang

sejarah karena faktor-faktor kejiwaan,

alam, tradisi, kejiwaan dan sosialnya

(Hadi, 2001 : 10). Gaya dimiliki oleh

setiap kebudayaan, bangsa, zaman,

daerah atau tempat tertentu yang

terbentuknya karena kesatuan faktor-

faktor tersebut senantiasa menjadi ciri

khas dari setiap hasil karya seni

termasuk seni tari. Oleh karena itu,

sebutan tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta memiliki ciri khas

kejiwaan, alam, tradisi, sosial sesuai

dengan daerah atau tempatnya yaitu

Yogyakarta. Seni tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta ini memiliki posisi

yang sangat terhormat di Keraton

Yogyakarta karena karya seni tersebut

merupakan warisan adiluhung (indah

dan tinggi) yang dihasilkan di

lingkungan masyarakat istana, sakral,

bagian dari sebuah tradisi besar (great

tradition) yang serba rumit, canggih,

mempunyai nilai filosofis dan nilai

estetika tinggi, serta mengandung

nilai-nilai kultural Jawa.

Pembentukan dan pelembagaan

seni tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta terjadi setelah berdirinya

Keraton Yogyakarta (Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat) sekitar

tahun 1755 (Dinas Kebudayaan

Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014 :

13). Cikal bakal tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta telah ada sejak

Page 11: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

3

sebelum kerajaan Mataram terpecah

menjadi dua yaitu Yogyakarta dan

Surakarta dalam peristiwa perjanjian

Giyanti. Sultan Hamengku Buwono I

yang memiliki gelar Pangeran

Mangkubumi mendirikan keraton

Yogyakarta sekaligus sebagai raja

yang turut andil dalam

mengembangkan dan mengarahkan

perhatiannya pada tari klasik gaya

Yogyakarta. Hal ini karena beliau

adalah seorang penari yang handal dan

sangat mencintai kesenian selain

berjuang melawan penjajahan.

Keraton Yogyakarta juga berusaha

melegitimasikan pewarisan budaya

seni tari yang berakar dari kerajaan

Mataram ini. Tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta juga berkaitan erat

dengan Joged Mataram yang menjadi

sumber kejiwaan tari klasik gaya

Yogyakarta itu sendiri. Joged Mataram

juga memiliki arti sebagai ilmu atau

filsafat yang menjiwai tari klasik gaya

Yogyakarta yang terdiri dari sawiji

(konsentrasi secara total tanpa harus

menimbulkan ketegangan), greged

(dinamika atau semangat jiwa yang

harus dilakukan dengan suatu

pengendalian diri untuk tidak

mengarah pada kekerasan), sengguh

(percaya diri tanpa harus mengarah

pada arogansi atau kesombongan) dan

ora mingkuh (memiliki kemauan

keras, pantang mundur, penuh

tanggung jawab tetapi harus disertai

dengan usaha membangun disiplin

diri) (Fred Wibowo, 2002 :7).

Pertunjukan tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta juga

merupakan warisan budaya yang

dikembangkan menjadi atraksi

pariwisata dan hal tersebut sudah

dilakukan oleh Sultan Hamengku

Buwono IX. Beliau menghidupkan

kembali pertunjukan seni tradisional

keraton Yogyakarta untuk menarik

wisatawan mancanegara dan

wisatawan nusantara supaya

berkunjung ke keraton Yogyakarta

pada tahun 1973. Beliau juga

mengirim para penari keraton

Yogyakarta ke Eropa pada tahun 1975.

Begitu pula, kantor pariwisata keraton

Yogyakarta juga sudah didirikan pada

tahun 1969. Pada tahun 1987, keraton

Yogyakarta juga menjual karcis

pertunjukan seni tradisional keraton

Yogyakarta kepada para wisatawan

untuk ulang tahun Sultan

Hamengkubuwono IX (Freeland,

2009: 324).

Setelah Sultan Hamengku

Buwono IX wafat maka pelestarian

kebudayaan Keraton Yogyakarta dan

promosi pariwisata dilanjutkan oleh

putranya Sultan Hamengku Buwono X

hingga saat ini. Tanggung jawabnya

berkaitan sebagai duta besar di keraton

Yogyakarta dan mancanegara, hal ini

diikuti lebih banyak pertunjukan tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta

untuk menjamu tamu-tamu penting

seperti Yang Mulia Pangeran Charles

dan Putri Diana dari Inggris dan

mereka diterima pada bulan November

1989 di bangsal Sri Manganti, Keraton

Yogyakarta. Sultan Hamengku

Buwono X juga memainkan perannya

dalam politik budaya mancanegara

dan mengirimkan para penari Keraton

Yogyakarta ke Amerika Serikat terkait

dengan diplomasi kebudayaan dalam

bentuk kerja sama Indonesia dan

Amerika Serikat (KIAS) yaitu suatu

promosi komersial Indonesia pada

tahun 1990 hingga tahun 1991. Proyek

ini juga berhubungan dengan

kebijakan wisatawan termasuk

partisipasi Keraton Yogyakarta dalam

Festival Keraton dan bertujuan untuk

meningkatkan kunjungan wisatawan

ke Yogyakarta terutama ke Keraton

Yogyakarta yang terprogram dalam

kalender event untuk wisatawan.

Festival Keraton memiliki nilai

Page 12: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

4

tambah sebagai acara regular yang

bisa dimasukkan ke dalam kalender

event untuk dipasarkan sebagai daya

tarik wisatawan (Freeland, 2009 :

328). Oleh karena itu, pertunjukan seni

tradisional Keraton Yogyakarta seperti

pertunjukan tari klasik tradisional

klasik gaya Yogyakarta erat

hubungannya dengan pariwisata

budaya.

Berdasarkan penjelasan pada

bagian pendahuluan maka artikel ini

membahas tentang tari klasik gaya

Yogyakarta di Keraton Yogyakarta

sebagai daya tarik wisata budaya dan

berbagai upaya untuk menarik para

wisatawan supaya bisa datang dan

menikmati pertunjukan tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta di

lingkungan Keraton Yogyakarta.

Tinjauan Pustaka

Esensi Kebudayaan, Kesenian dan

Pariwisata Budaya

Kebijakan pariwisata nasional

menetapkan keragaman budaya

sebagai salah satu fokus

pengembangan. Hal ini tertuang dalam

konsideran pertama Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2009 bahwa budaya

adalah salah satu sumber daya

pembangunan pariwisata nasional.

Kebudayaan nasional di Indonesia

yang sangat beragam dan sangat

strategis sebagai basis pengembangan

pariwisata dan hal ini terkait erat

dengan budaya dalam bentuknya yang

tangible dan intangible perlu adanya

pemanfaatan menjadi daya tarik

pariwisata. Keunikan, diversitas dan

keaslian yang tinggi pada unsur-unsur

budaya Indonesia menjadikannya

sebagai daya tarik yang tidak semata-

mata bernilai kultural tetapi juga nilai

ekonomi dan nilai kemanusiaan.

Budaya juga sebagai kekayaan bangsa

yang perlu dilestarikan untuk

kepentingan generasi mendatang

sekaligus sebagai identitas dan jati diri

bangsa dalam pergaulan internasional.

Pengembangan dan

pembangunan pariwisata Indonesia

juga menggunakan konsepsi

pariwisata budaya yang dirumuskan

dalam Undang-Undang Pariwisata

Nomor 09 Tahun 1990. Pariwisata

budaya merupakan salah satu jenis

kepariwisataan yang dikembangkan

bertumpu pada kebudayaan. Seperti

dinyatakan oleh United Nations World

Tourism Organization (Organisasi

Pariwisata Dunia), pariwisata budaya

didefinisikan sebagai pergerakan

wisatawan dengan motivasi budaya

seperti menonton pertunjukan, festival,

mengunjungi situs dan monumen serta

perjalanan religi (UNWTO dalam

Lundia: 2018). Sedangkan

MCKercher dan du Cross (2002 : 4)

mengartikan pariwisata budaya seperti

seni pertunjukan, study tour dan

sejenisnya. Demikian pula,

kebudayaan disini diartikan sebagai

kebudayaan Indonesia yang

berdasarkan Pancasila. Setiap tahapan

dalam kerangka pengembangan

pariwisata tetap harus bertumpu pada

kebudayaan bangsa.

E.B. Taylor dalam Poerwanto

(2010:52) mendefinisikan kata

kebudayaan sebagai keseluruhan yang

kompleks meliputi pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, hukum, moral,

adat dan berbagai kemampuan serta

kebiasaan yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan juga merupakan

perwujudan manusia, menyesuaikan

diri dengan lingkungannya menjadi

pedoman bagi masyarakat melakukan

tata pergaulan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara (Sedarmayanti, 2014 : 15).

Kebudayaan memiliki tujuh unsur

Page 13: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

5

pokok ditinjau dari segi isi yaitu

organisasi sosial, unsur bahasa, sistem

perekonomian, sistem teknologi,

sistem pengetahuan, sistem

kepercayaan dan sistem kesenian. Seni

dan kebudayaan juga mempunyai

kedudukan dalam pengembangan

pariwisata Indonesia yaitu sebagai

pemberi jati diri kepada

masyarakatnya itu sendiri dan sebagai

media pendukung dalam pariwisata

Indonesia. Hal ini juga menjadi acuan

bahwa seluruh segi yang berhubungan

dengan pariwisata seperti arsitektur,

atraksi, promosi, makanan, souvenir,

pola manajemen, etika, organisasi

supaya menggunakan potensi

kebudayaan (Bandem dalam Yoeti,

2016 : 69).

Seni budaya atau kesenian

merupakan ekspresi dari jiwa

seseorang yang terjadi oleh proses

karya dan karsa. Sebagai penampilan

yang ekpresif dari penciptanya, bahwa

kesenian memiliki kaitan erat dengan

unsur-unsur kebudayaan tersebut. I

Made Bandem (2016) mengungkapkan

bahwa kesenian juga memiliki fungsi

yaitu sebagai (1) pemberi hiburan, (2)

sebagai persembahan simbolis, (3)

sebagai pemberi respon fisik, (4)

sebagai penyerasi norma-norma

kehidupan masyarakat, (5) sebagai alat

komunikasi, (6) sebagai kontribusi

dari integrasi kemasyarakatan, (7)

sebagai pemberi keindahan dan

kesenangan, (8) sebagai pengukuhan

institusi sosial dan upacara

keagamaan, (9) sebagai kontribusi

terhadap kelangsungan dan stabilitas

kebudayaan.

Sebagai bagian dari kebudayaan,

kesenian bisa digolongkan menjadi

seni rupa (seni murni, seni patung,

seni lukis, seni kriya dan seni desain),

seni pertunjukan (seni musik, seni

teater, seni pencak silat dan seni tari),

seni sastra (puisi atau prosa) dan seni

multi media (video, film dan rekaman

lainnya). (Bandem dalam Yoeti, 2016 :

66). Dari penggolongan tersebut maka

pertunjukan tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta juga dikategorikan dalam

seni pertunjukan dan merupakan

bagian dari pariwisata budaya. Seperti

yang dinyatakan juga oleh Hauser

(1974), kesenian bisa dibagi menjadi

empat jenis yaitu seni tinggi (highart)

atau seni istana, seni rakyat (folkart),

seni pop (popart) dan seni massa

(massart). Dari keempat jenis

tingkatan seni tersebut, seni tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta

dikategorikan sebagai seni tinggi

(highart) dan tradisi seni pertunjukan

istana.

Sebagaimana dikemukakan oleh

Zeppel dan Hall (1992)

mengkategorikan seni pertunjukan

adalah bagian dari pariwisata budaya.

Seni pertunjukan juga telah menjadi

salah satu atraksi pariwisata yang

menjanjikan di berbagai negara karena

keunikannya dan dampak yang

mengikutinya yaitu bisa

menggerakkan perekonomian rakyat

setempat baik melalui kesenian, ide-

ide dan produk-produk lokal. Seni

pertunjukan seperti seni tradisional

merupakan satu bentuk dari atraksi

wisata dan bisa berupa special event

yang menjadi andalan atau daya tarik

wisata. Seni pertunjukan dalam

konteks pariwisata didasarkan pada

penggalian warisan budaya

masyarakat setempat supaya dapat

melukiskan karakteristik daerah

bersangkutan (Poerwanto dalam Yoeti,

2016 : 244).

Daya Tarik Wisata Budaya

Menurut Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2009 menjelaskan juga

tentang daya tarik wisata yang

diartikan sebagai segala sesuatu yang

memiliki keunikan, nilai dan

Page 14: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

6

kemudahan berupa keanekaragaman

alam, budaya dan hasil buatan

manusia yang menjadi kunjungan

wisatawan. Sedangkan menurut

pendapat dari Oka A. Yoeti, daya tarik

wisata (tourist attraction) adalah

segala sesuatu yang menjadi daya tarik

bagi orang untuk berkunjung ke

tempat tertentu. Sementara itu,

Nyoman S. Pendit (1994) memberikan

definisi daya tarik wisata adalah segala

sesuatu yang bernilai dan menarik

untuk dikunjungi dan dilihat.

Demikian pula, destinasi wisata

budaya juga mempunyai daya tarik

tinggi karena memiliki nilai khusus

dalam bentuk atraksi kesenian,

upacara-upacara adat, nilai-nilai luhur

yang terkandung dalam suatu objek

buah karya manusia pada masa lampau

(Suwantoro, 1997 : 19). Hal lain yang

tidak kalah pentingnya dengan

keberadaan kesenian-kesenian

tradisional yang ada di Indonesia, jika

digarap dengan baik bisa menjadi

atraksi wisata yang menarik

wisatawan untuk berkunjung. Seperti

halnya pagelaran tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta di lingkungan

keraton Yogyakarta merupakan atraksi

seni budaya klasik tradisional yang

memiliki hubungan erat dengan

pariwisata.

Dalam Undang-Undang Nomor

9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan,

daya tarik wisata terdiri dari tiga hal

yaitu (1) ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa berupa alam, flora dan fauna, (2)

hasil karya manusia contohnya

museum, seni dan budaya,

peninggalan sejarah, wisata agro,

petualangan alam, hiburan, taman

rekreasi dan lain-lain, (3) minat

khusus seperti mendaki gunung,

berburu, tempat belanja, goa, tempat

ibadah dan ziarah, rafting, kerajinan,

industri dan lain-lain. Daya tarik

wisata budaya juga merupakan daya

tarik wisata yang dikembangkan

dengan lebih banyak berbasis pada

hasil karya dan hasil cipta manusia

baik yang berupa peningggalan

budaya seperti situs (heritage) maupun

nilai-nilai budaya yang masih hidup

(the living culture) dalam kehidupan

suatu masyarakat bisa berupa adat

istiadat, seni pertunjukan, seni sastra,

seni rupa, ritual atau upacara dan

keunikan yang dimiliki oleh suatu

masyarakat.

Contoh daya tarik wisata budaya

yaitu prosesi sekaten Yogyakarta, seni

pertunjukan tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta di Keraton Yogyakarta,

tradisi larung sesaji di laut dan lain-

lain. Contoh daya tarik alam yaitu

Pantai Parangtritis dan berbagai pantai

di Yogyakarta termasuk Kabupaten

Gunungkidul, Pantai Kuta dan Tanah

Lot di Bali, Dataran Tinggi Dieng

dengan pesona negeri di atas awan,

Gunung Bromo di Jawa Timur dan

lain-lain. Contoh daya tarik wisata

minat khusus seperti ziarah ke makam

raja-raja Mataram dan keluarganya di

Ginirejo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta

(Dinas Pariwisata, 2017 : 46). Selain

itu, ziarah rohani seperti ke makam-

makam Walisongo, makam-makam

Romo atau Pastur, ziarah ke makam-

makam tokoh bangsa, berkunjung ke

desa-desa wisata, belanja di sekitar

jalan Malioboro, Yogyakarta dan lain-

lain (tribunwisata.com : 2017).

Seperti yang dikemukakan

Damanik dan Weber (2016) bahwa

daya tarik wisata yang baik juga

berkaitan dengan otentitas, keunikan

dan orijinalitas serta keragaman.

Otentitas berkaitan dengan dengan

tingkat keantikan atau eksotisme

budaya sebagai daya tarik wisata.

Otentitas adalah kategori nilai yang

memadukan sifat bersahaja, alamiah

dan eksotis. Orijinalitas

mencerminkan kemurnian atau

Page 15: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

7

keaslian yaitu seberapa jauh produk

tidak terkontaminasi atau tidak

mengadopsi nilai yang berbeda dengan

nilai aslinya. Keunikan diartikan

sebagai kombinasi kelangkaan dan

kekhasan yang melekat pada suatu

daya tarik wisata. Keragaman di suatu

destinasi wisata memiliki profit seperti

beragam atau bermacam-macam

atraksi pariwisata yang bisa dinikmati

sekaligus. Selain itu keragaman juga

berpengaruh terhadap pembentukan

citra positif destinasi pariwisata

(Damanik, 2013 : 119).

Daya tarik wisata juga terkait

erat dengan accessibility (aksesibilitas)

dan aminities (fasilitas). Aksesibilitas

artinya kemudahan untuk mencapai

daerah tujuan pariwisata dengan

tersedianya moda transportasi baik

udara, laut maupun darat. Aksesibilitas

sangat mempengaruhi kepuasaan para

calon wisatawan datang berkunjung ke

suatu negara atau daerah tujuan

pariwisata. Fasilitas artinya

ketersediaan berbagai fasilitas yang

dapat memberikan kenyaman dan

kepuasan bagi para wisatawan selama

melakukan perjalanan wisata di suatu

negara atau daerah tujuan pariwisata.

Fasilitas yang dimaksud antara lain

berupa akomodasi/ sarana penginapan,

restoran dan bar, layanan informasi,

pramuwisata, sikap masyarakat

setempat, keamanan, fasilitas umum

yang bersih dan lain-lain (Muljadi,

2016 : 102).

Metode Penelitian

Penelitian tentang Seni

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional

Gaya Yogyakarta Sebagai Daya Tarik

Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

menggunakan penelitian deskriptif

kualitatif. Penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bertujuan membuat

deskripsi atas suatu fenomena sosial/

alam secara sistematis, akurat dan

faktual. Penelitian ini sering juga

digunakan untuk menguji suatu

hipotesis atau untuk menjawab

pertanyaan mengenai berbagai

peristiwa yang sedang terjadi di

masyarakat (Wardiyanta, 2006 : 5).

Sedangkan teknik yang dilakukan

untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini dengan studi

kepustakaan dan observasi. Studi

kepustakaan merupakan suatu teknik

pengumpulan data dengan

menghimpun dan menganalisis

dokumen-dokumen baik dokumen

tertulis, gambar maupun elektronik.

Sedangkan observasi merupakan suatu

teknik atau cara mengumpulkan data

dengan jalan mengadakan pengamatan

terhadap kegiatan yang sedang

berlangsung.

Pembahasan

Seni tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta merupakan seni tradisi

yang lahir, tumbuh dan berkembang di

lingkungan Keraton Yogyakarta. Seni

tari klasik ini patut dilestarikan karena

merupakan warisan tradisi dari

Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram

terpecah menjadi Kesultanan

Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta

sehingga seni tari klasik dibedakan

menjadi dua yaitu seni tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta dan seni

tari klasik tradisional gaya Surakarta.

Tari-tari klasik gaya Yogyakarta ini

diciptakan dan dikembangkan oleh

Sultan Hamengku Buwono I

(Wibowo, 2002 : 1). Tari klasik

dahulu tumbuh dan berkembang hanya

di kalangan keraton dan tidak

sembarang orang boleh menarikan tari

klasik ini. Hal ini yang membedakan

dengan tari-tari tradisional kerakyatan.

Tari-tari tradisi klasik keraton

Yogyakarta mengandung tuntunan

(pendidikan), bersifat adiluhung

(indah dan tinggi), tertata (sesuai

Page 16: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

8

pakem), memiliki nilai-nilai filosofis,

memiliki makna simbolis dan sakral

(Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa

Yogyakarta, 2014 : 7). Selain itu, gaya

tari yang berkembang di istana sangat

canggih dan sangat berbeda dengan

gaya tari kerakyatan yang berkembang

di kalangan rakyat jelata (Soedarsono,

2011: 5). Sebaliknya tari-tarian

tradisional kerakyatan bersifat

sederhana baik dari segi gerak dan rias

busananya serta sering dikaitkan

dengan acara tertentu yang bersifat

sosial.

Seiring dengan berkembangnya

masa, seni tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta mulai keluar dari Keraton

Yogyakarta. Hal tersebut terjadi pada

masa pemerintahan Sultan Hamengku

Buwono VII. Beliau mendukung

putra-putranya Pangeran Tejokusumo,

Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran

Puruboyo untuk mendirikan sekolah

tari gaya Yogyakarta yang bernama

Kridha Beksa Wirama pada tahun

1918. Sekolah ini diperuntukkan bagi

semua warga lingkungan Keraton

Yogyakarta maupun warga di luar

lingkungan Keraton Yogyakarta.

Masyarakat yang berminat untuk

belajar tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta bisa datang dan

mendaftarkan diri di Dalem

Tejokusuman yaitu kediaman

bangsawan yang masih dalam lingkup

Keraton Yogyakarta. Sultan

Hamengku Buwono VII juga

mendukung dan mendorong tumbuh

kembangnya pertunjukan wayang dan

tari sehingga sejak akhir tahun 1918,

pertunjukan seperti itu semakin

meriah. Sultan Hamengku Buwono

VII juga banyak menginspirasi dan

mempelopori karya di bidang seni.

Contoh karya beliau adalah Tari

Bedaya Sumreg, Tari Bedaya Lala dan

Serimpi Dhendhang Sumbawa

(kratonjogja.id.: 2018).

Pada masa pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono VIII, pagelaran

seni tradisional Yogyakarta tetap

dipertahankan sampai tahun 1939

seperti pertunjukan Wayang Wong

Gaya Yogyakarta. Demikian pula,

pertunjukan tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta juga rutin dipentaskan

secara megah dan besar. Tekad Sultan

Hamengku Buwono VIII untuk

mempertahankan penyelenggaraan

upacara kenegaraan (state ritual)

melalui pertunjukan besar seperti

Wayang Wong dan tari-tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta dengan

biaya yang sangat mahal pada

dasarnya adalah sebuah pameran

untuk mendemonstrasikan kekayaan

dan kebesaran Sultan (Soedarsono,

2010 :145). Sebaliknya, pertunjukan

istana pada masa pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono IX dan pada masa

pemerintahan Sultan

Hamengkubuwono X cenderung

ringkas, padat, diselenggarakan dalam

waktu yang jauh lebih singkat, greged

tanpa kehilangan inti dari ceritanya

serta melibatkan para pemain dalam

jumlah yang lebih sedikit. Hal tersebut

artinya biaya produksi seni

pertunjukan istana bisa ditekan jauh

lebih murah daripada sebelumnya.

Tari klasik Gaya Yogyakarta

juga memiliki ragam dan dibagi dalam

beberapa kategori seperti tari tunggal

yaitu Beksan, Serimpi dan Bedhaya.

Sedangkan tari klasik yang hanya

dibawakan oleh seorang penari seperti

tari Klana Raja, Tari Klana Alus dan

Tari Golek. Beksan dibagi menjadi

Beksan Petilan yang dilakukan

berpasangan dan Beksan Sekawanan

yang didukung empat penari dan

kelipatannya. Ada bermacam-macam

Beksan seperti Beksan Panji

Ketawang, Beksan Lawung, Beksan

Anglingkusuma, Beksan Jangerana,

Beksan Lawung Jajar. Beksan Lawung

Page 17: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

9

Ageng adalah tari klasik yang

memiliki posisi istimewa dan khusus

serta tetap dipentaskan untuk

keperluan keraton karena berfungsi

sebagai tari kenegaraan dan dianggap

sebagai wakil dari Sultan saat ada

resepsi perkawinan agung di

Kepatihan.

Gambar 1 :Tari Beksan Lawung Jajar Sumber Foto: Instagram KratonJogja (@kratonjogja)

Tari Bedhaya dibawakan oleh

sembilan penari dan tari ini dianggap

sakral, lebih tua dan memiliki muataan

makna simbolis dan filosofis yang

tinggi. Seperti Bedhaya Sinom,

Bedhaya Tirta Hayuningrat, Bedaya

Semang, Bedhaya Bedah Madiun.

Paska Perjanjian Giyanti, Keraton

Yogyakarta mewarisi Bedhaya Semang

sedangkan Keraton Surakarta

meneruskan Bedhaya Ketawang.

Sedangkan Tari Serimpi merupakan

tarian lemah gemulai yang umumnya

dibawakan oleh lima orang. Ada

berbagai macam tari Serimpi seperti

Serimpi Renggowati, Serimpi Muncar,

Serimpi Pramugari, Serimpi Jebeng,

Serimpi Pandelori. Namun demikian,

diantara tari-tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta tersebut, Serimpi

Renggowati dan Bedhaya Semang

dianggap sakral hanya ditarikan dan

dikeluarkan pada saat-saat tertentu

sajadi Keraton Yogyakarta

(kratonjogja.id: 2018).

Page 18: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

10

Gambar 2 :Tari Bedhaya Tirta Hayuningrat

Sumber Foto: Jogja.Tribunnews.com. 2016. Tari Bedhaya Tirta Hayuningrat Saat Tingalan

Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X. http://jogja.tribunnews.com/2016/05/08/tari-

bedhaya-tirta-hayuningrat-saat-tingalan-jumenengan-dalem-sri-sultan-hb-x.Diakses tanggal 5 Oktober

2018.

Seni pertunjukan tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta tetap dan terus

dilestarikan oleh pihak Keraton

Yogyakarta sekaligus rutin diadakan

di Bangsal Sri Manganti, Keraton

Yogyakarta sejak tahun 1989 yang

merupakan prakarsa dan perintah dari

Sultan Hamengku Buwono X. Hingga

saat ini masih tetap ditampilkan setiap

hari Minggu siang untuk menarik para

wisatawan yang berkunjung keraton

Yogyakarta. Bangsal ini berbentuk

sebuah bangunan pendopo dan

merupakan ruang terbuka dengan

empat tiang sebagai penyangga.Jalan

masuk menuju Bangsal Sri Manganti

di Keraton Yogyakarta mudah untuk

dicapai karena Keraton Yogyakarta

terletak di pusat kota Yogyakarta

sehingga merupakan tujuan utama

bagi para wisatawan yang berkunjung

ke Yogyakarta. Sedangkan berbagai

fasilitas tersedia di sekitar Keraton

Yogyakarta seperti akomodasi atau

sarana penginapan, pramuwisata,

layanan informasi, fasilitas umum,

restoran dan depot.

Gambar 3 : Tari Serimpi Sumber Foto: Instagram KratonJogja (@kratonjogja)

Page 19: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

11

Upaya-Upaya Untuk Menarik

Kunjungan Wisatawan di Keraton

Yogyakarta

a. Promosi

Kegiatan promosi merupakan upaya

memperkenalkan produk pariwisata

baik itu destinasi wisata maupun daya

tarik wisata. Kesinambungan dalam

promosi pariwisata akan semakin

menarik minat para wisatawan untuk

datang berkunjung dan menikmati

produk pariwisata yang ditawarkan.

Kegiatan promosi yang dilakukan oleh

Dinas Pariwisata Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Dinas

Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta antara lain melalui media

cetak, situs website, media sosial,

program paket wisata, festival,

pameran di dalam daerah dan di luar

daerah serta di mancanegara.

Pertunjukan tari klasik tradisional

gayaYogyakarta rutin dilaksanakan di

lingkungan Keraton Yogyakarta

memiliki tujuan untuk melestarikan

seni tradisi klasik tradisional yang

dimiliki Keraton Yogyakarta. Selain

itu, pertunjukan tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta bertujuan untuk

mempromosikan kekayaan kebudayaan

Jawa yang dimiliki oleh Keraton

Yogyakarta ke mancanegara maupun

wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Misi ini juga untuk memberikan

informasi terkait dengan kebudayaan

Jawa di Yogyakarta sekaligus sebagai

program pengembangan kepariwisataan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Oleh karena itu, Dinas Pariwisata dan

Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta juga bekerja

sama dengan pihak Keraton

Yogyakarta, paguyuban-paguyuban

kesenian, biro-biro perjalanan wisata,

hotel-hotel atau tempat penginapan dan

tempat-tempat kuliner membuat Paket

Wisata Keraton Yogyakarta. Paket

Wisata Keraton Yogyakarta yang

ditawarkan memiliki arti penting bagi

wisatawan yaitu menunjukkan bahwa

pertunjukan tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta di Keraton Yogyakarta

memiliki daya tarik wisata budaya.

Tujuan diadakan kegiatan Paket

Wisata Keraton Yogyakarta juga

adalah untuk memperkenalkan

kesenian Jawa klasik gaya Keraton

Yogyakarta kepada para wisatawan

baik wisatawan nusantara maupun

wisatawan mancanegara, memberikan

kesempatan untuk berpentas kepada

paguyuban kesenian, lembaga,

universitas, yayasan, organisasi,

perkumpulan seni yang ada di Daerah

Istimewa Yogyakarta yang khusus

mengelola kesenian Jawa klasik gaya

Yogyakarta (Mataraman),

menunjukkan bahwa Keraton

Yogyakarta sebagai sumber seni klasik

tradisional gaya Yogyakarta yang

bernilai tinggi, mempertimbangkan

bahwa Yogyakarta sebagai salah satu

daerah tujuan wisata utama di

Indonesia (Sutiyono : 2010).

Demikian pula, pertunjukan tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta

yang dikemas dalam paket wisata

Keraton Yogyakarta memiliki tujuan

selain sebagai wisata budaya juga

sebagai wisata edukasi bagi para

wisatawan baik wisatawan asing

maupun wisatawan domestik. Bagi

wisatawan nusantara, pertunjukan tari

klasik gaya Yogyakarta ini ditujukan

kepada semua lapisan masyarakat

terutama generasi muda supaya mereka

mengenal, memahami dan bisa

mempelajarinya karena seni budaya

tradisional ini beragam jenisnya dan

sangat kaya sehingga harus dilestarikan

secara berkelanjutan supaya tidak

mengalami kepunahan. Harapannya

juga supaya generasi muda bisa belajar

tari klasik yang dipertunjukkan

dansebagai media bagi para penggiat

Page 20: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

12

kesenian supaya bisa mementaskan

seni tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta ini sekaligus untuk

memelihara kelestariannya secara

berkelanjutan. Pihak Keraton

Yogyakarta juga bekerja sama dengan

Dinas Pariwisata Yogyakarta dan

paguyuban-paguyuban/ organisasi-

organisasi/ yayasan-yayasan kesenian

yang ada di Yogyakarta untuk

mempromosikan pertunjukan seni tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta di

daerah Yogyakarta dan sekitarnya,

seluruh Indonesia maupun ke

mancanegara.

Hal penting lainnya berkaitan

dengan latar belakang diadakan Paket

Wisata Keraton Yogyakarta yaitu

berorientasi secara kultural dan secara

ekonomis. Secara kultural bahwa

keraton Yogyakarta memiliki peran

penting sebagai akar kultural Jawa dan

tempat untuk melestarikan kebudayaan

Jawa yaitu tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta. Sedangkan secara

ekonomis bahwa kegiatan Paket Wisata

Keraton Yogyakarta bisa memberikan

profit secara ekonomis yaitu

meningkatkan kesejahteraan bagi

semua elemen masyarakat.

Demikian pula, penggunaan

teknologi informasi dan komunikasi

dalam industri pariwisata memberikan

manfaat yang besar bagi kegiatan

promosi pariwisata karena bisa diakses

dimanapun.Adanya ketersediaan situs

website maupun akun yang dimiliki

oleh instansi pemerintah, pengelola

destinasi wisata, biro-biro pariwisata,

para penggiat seni tradisional di media

sosial sangat penting keberadaannya

karena bisa digunakan untuk

mempromosikan destinasi pariwisata

maupun produk pariwisata. Hal ini

tentu saja juga sangat berguna bagi

pengembangan pariwisata itu sendiri

dan bisa memperlancar promosi

pariwisata terutama pariwisata budaya

di Keraton Yogyakarta.

Salah satu strategi promosi

pariwisata yang sering digunakan oleh

pelaku pariwisata seperti pemerintah,

industri pariwisata atau penyedia jasa,

pendukung jasa wisata, masyarakat

lokal, lembaga masyarakat untuk

mengenalkan produk mereka maupun

destinasi wisata yaitu dengan

mengikuti pameran maupun festival.

Seperti Festival Kesenian Yogyakarta

dan Festival Keraton Nusantara.

Keraton Yogyakarta ikut berpartisipasi

dalam Festival Keraton Nusantara XI

yang diadakan di Cirebon, Jawa Barat

pada tanggal 15 September 2017

hingga tanggal 19 September 2017.

Keraton Yogyakarta berkesempatan

menampilkan dua tari klasik tradisional

gaya Yogyakarta yaitu Beksan Sugriwa

– Kiswamuka dan Beksan Janaka –

Suprabawati. Hal tersebut juga

dilakukan Sultan Hamengku Buwono

X dan tim kesenian dari Keraton

Yogyakarta yang berada di Amerika

Serikat untuk mempromosikan seni tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta di

mancanegara. Tim kesenianKeraton

Yogyakarta membawakan tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta seperti

Tari Wayang Topeng Klana

Sewandana Gandrung, Tari Golek

Menak-Umarmaya Umarmadi dan Tari

Bedhaya Sang Amurwabhumi di

Universitas Wesleyan, Connecticut,

Amerika Serikat pada tanggal 5

November 2018 sampai tanggal 12

November 2018 (kratonjogja.id :

2018).

b. Public Relations

Kegiatan yang dilaksanakan oleh

public relations atau humas Keraton

Yogyakarta bertujuan untuk menarik

wisatawan nusantara dan wisatawan

mancanegara supaya bersedia untuk

berkunjung dan menikmati pertunjukan

Page 21: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

13

seni tari klasik tradisional di Keraton

Yogyakarta. Kegiatan public relations

dilakukan dengan cara meningkatkan

kerja sama, memaksimalkan

keberadaan media cetak dan media

elektronik serta media sosial,

mengadakan workshop, lokakarya,

seminar, festival, pameran,

membangun citra Keraton Yogyakarta

sebagai pusat kebudayaan Jawa dan

pusat edukasi seni tradisional Jawa

gaya Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta bekerja sama

dengan Dinas Pariwisata Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta dan

Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta untuk

mempromosikan berbagai macam

kegiatan seni budaya tradisional yang

ada di Keraton Yogyakarta seperti

pertunjukan tari klasik gaya

Yogyakarta ke mancanegara dan

terprogram dalam kalender event.

Kalender event ini memiliki tujuan

untuk memberikan informasi tentang

agenda event wisata yang ada di

Keraton Yogyakarta seperti

pertunjukan seni budaya, musik

tradisional, kuliner, upacara adat dan

lain-lain. Kalender event juga

memberikan informasi tentang

pelaksanaan pertunjukan seni tari

klasik gaya Yogyakarta yang sudah

diagendakan di Keraton Yogyakarta

sepanjang satu tahun. Selain itu, pihak

Keraton Yogyakarta bekerja sama

dengan organisasi/ kelompok/

paguyuban/ sanggar/ yayasan kesenian

tradisional di Yogyakarta seperti

Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta

Mardawa, Yayasan Siswa Among

Beksa, Unit Kegiatan Mahasiswa Seni

Jawa Gaya Yogyakarta Universitas

Gadjah Mada (UKM Swagayugama),

Institut Seni Indonesia (ISI)

Yogyakarta dan Jurusan Pendidikan

Tari, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS)

Universitas Negeri Yogyakarta untuk

berpartisipasi dalam pertunjukan seni

budaya tradisional yang terprogram

dalam Paket Wisata Keraton

Yogyakarta.

Target dari pagelaran seni budaya

klasik tradisional yang terpogram

dalam Paket Wisata Keraton

Yogyakarta adalah para wisatawan baik

itu wisatawan nusantara maupun

wisatawan mancanegara. Selain itu,

target dari pagelaran iniyaitu para

pekerja seni atau seniman yang terlibat

dalam pagelaran seni budaya klasik

tradisional tersebut karena para

seniman ini juga ikut memberikan

kontribusi yang signifikan sebagai

penyokong dan pelestari seni

tradisional klasik gaya Yogyakarta.

Seperti yang dilakukan Paguyuban

Krida Mardawa sebagai salah satu

lembaga kesenian milik Keraton

Yogyakarta membuka kelas tari klasik

gaya Yogyakarta bagi masyarakat.

Lembaga tersebut memberi pelatihan

dan pembinaan tentang tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta kepada

para siswa atau para pesertanya.

Lembaga atau sekolah tari ini dibuka

untuk melestarikan tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta yang

semakin pudar dan menjadi sarana

pembelajaran budi pekerti dan nilai-

nilai perilaku dalam kebudayaan Jawa

seperti kesantunan, keluwesan dan

kesabaran (Tempo.co : 2013).

Pagelaran seni budaya klasik

tradisional di Keraton Yogyakarta

merupakan bagian dari Paket Wisata di

Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan

oleh Tepas atau kantor pariwisata di

keraton Yogyakarta. Dengan adanya

program Paket Wisata Keraton

Yogyakarta tersebut, para wisatawan

yang yang berkunjung ke lingkungan

Keraton Yogyakarta bisa melihat

berbagai macam destinasi wisata

seperti museum batik keraton, museum

kereta keraton, museum Kristal,

Page 22: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

14

museum pameran lukisan dan foto,

museum Sri Sultan Hamengku

Buwono IX, proses pembuatan batik

tulis tradisional yang hidup di

lingkungan keraton, berbagai gamelan

kuno, pertunjukan seni tradisional

klasik gaya Yogyakarta seperti tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta,

Karawitan (penyajian musik tradisional

dengan diiringi gamelan) dan Wayang

Wong gaya Yogyakarta. Pertunjukan

tari klasik tradisional gaya Yogyakarta

bisa disaksikan oleh para wisatawan

baik wisatawan nusantara maupun

wisatawan mancanegara setiap hari

Minggu siang di Bangsal Sri Manganti,

Keraton Yogyakarta.

Selain Tepas (kantor) Pariwisata

di Keraton Yogyakarta juga ada Tepas

Tandha Yekti. TepasTandha Yekti

adalah sebuah divisi di struktur

organisasi Keraton Yogyakarta yang

bertanggung jawab terhadap teknologi

informasi dan dokumentasi.Tepas

Tandha Yekti dibentuk atas perintah

Dawuh Dalem (perintah Sultan) pada

akhir tahun 2012. Sedangkan Gusti

Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri ke-4

Sultan Hamengku Buwono X dari

Keraton Yogyakarta sebagai

Pengageng (kepala Divisi) Tepas

Tandha Yekti. Tepas Tandha Yekti

adalah salah satu divisi termuda dan

secara struktural dan Tepas Tandha

Yektiini berada di ruang lingkup

Keraton Yogyakarta, dibawah

Kawedanan Hageng Punokawan

Panitrapura yang bertanggung jawab

atas administrasi keraton. Tepas

Tandha Yekti memperkerjakan para

abdi dalem Tepas yang diharuskan

sowan (masuk kerja) 4 kali hingga 5

kali dalam seminggu. Selain itu,

Pengageng Tepas Tandha Yekti juga

mengambil beberapa tenaga lepas

untuk membantu kinerja dari Tepas

Tandha Yekti (dailysocial.id : 2017).

Tepas Tandha Yekti sebagai humas dari

Keraton Yogyakarta yang memiliki

tanggung jawab dalam bidang

dokumentasi dan teknologi informasi

memiliki visi yaitu (1) sebagai divisi

teknologi informasi, Tepas Tandha

Yekti bisa membantu divisi lain dalam

transformasi cara kerja yang lebih

efektif dan efisien di Keraton

Yogyakarta; (2) menghadirkan budaya

Jawa yang ada di Keraton Yogyakarta

ke publik dengan lebih baik terutama

untuk para diaspora Jawa yang sudah

tidak pernah kembali tetapi masih

memegang teguh identitas budayanya

melalui internet; (3) mengumpulkan

dan mengarsipkan semua dokumentasi

dan arsip Keraton Yogyakarta yang

mempunyai backup digital dan

memiliki kerja sama dengan institusi

luar negeri yang mempunyai arsip dan

naskah kuno Keraton Yogyakarta

seperti di Belanda dan Inggris; (4)

dengan adanya tepas ini, Keraton

Yogyakarta sudah lebih efisien dan

efektif cara kerjanya karena bisa

melayani publik dengan lebih baik lagi

(dailysocial.id : 2017).

Prioritas dari Tepas Tandha Yekti

adalah mengumpulkan berbagai

pengetahuan tentang Keraton

Yogyakarta yang tersebar dan

diarsipkan dengan baik. Sebagai public

relations atau humas dari Keraton

Yogyakarta, Tepas tandha Yekti juga

sudah mengoptimalkan penggunaan

media sosial di Instagram, Facebook

dan Twitter. Seperti website dari

Keraton Yogyakarta yaitu

https://kratonjogja.id, juga telah

diluncurkan secara resmi pada tanggal

7 Maret 2017 oleh Sultan Hamengku

Buwono X dan bertepatan dengan 28

tahun Sultan Yogyakarta bertahta

(dailysocial.id: 2017). Dengan

demikian, warga Yogyakarta maupun

setiap orang bisa mengakses dengan

mudah berkaitan dengan Keraton

Yogyakarta dan berbagai pertunjukan

Page 23: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

15

seni budaya klasik tradisional gaya

Yogyakarta di Keraton Yogyakarta

seperti tari klasik tradisional Gaya

Yogyakarta, Karawitan, Wayang Wong

gaya Yogyakarta dan sebagainya.

Kesimpulan

Pertunjukan seni budaya

tradisional gaya Yogyakarta seperti tari

klasik tradisional gaya Yogyakarta

dapat dinikmati oleh para wisatawan

baik wisatawan nusantara dan

wisatawan mancanegara ketika

berkunjung di Keraton Yogyakarta

hingga saat ini. Realita ini tentu saja

bisa mengangkat citra pariwisata

budaya terutama di Keraton

Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan

Jawa dan pusat edukasi peradaban

Jawa.Hal ini tidak lepas dari upaya-

upaya yang dilakukan secara terus

menerus dan berkelanjutan seperti

promosi dan public relations baik dari

Keraton Yogyakarta maupun dari

Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Dinas

Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Selain itu, kerja sama dan

kolaborasi dilakukan antara pihak

Keraton Yogyakarta dengan Dinas

Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, Dinas Pariwisata Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, para

penggiat seni atau para seniman dari

berbagai paguyuban maupun organisasi

seni tradisional, biro-biro atau agen-

agen perjalanan wisata, dan pihak-

pihak swasta untuk mengangkat citra

pariwisata budaya di Keraton

Yogyakarta terutama sumber seni

klasik tradisional gaya Yogyakarta

secara berkelanjutan. Demikian pula,

dukungan masyarakat luas juga sangat

diperlukan bagi kelestarian dan

keberlanjutan dari seni klasik

tradisional gaya Yogyakarta seperti

tari-tari klasik tradisional gaya

Yogyakarta dan sebagainya karena

merupakan sumber kekayaan bangsa.

Pertunjukan seni tradisional gaya

Yogyakarta seperti tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta juga

memiliki arti penting dalam sejarah

seni pertunjukan di Yogyakarta.

Dengan demikian, dalam upaya untuk

menjaga kelangsungan hidup tari klasik

tradisional gaya Yogyakarta diperlukan

upaya-upaya atau langkah-langkah

strategis untuk menempatkan kembali

tari tradisi klasik ini sebagai tradisi

yang hidup (living tradition) yang ikut

menyangga fungsi kultural dan fungsi

edukasi bagi kehidupan masyarakat

baik menyangkut aspek-aspek yang

bersifat tangible (jenis, bentuk, teknik)

maupun aspek-aspek intangible

(norma, sistem nilai, filosofi dan etika).

Daftar Pustaka

Damanik, Janianton. 2013. Pariwisata

Indonesia: Antara Peluang Dan

Tantangan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

-------------------------. 2006.

Perencanaan Ekowisata: Dari

Teori ke Aplikasi. Yogyakarta:

Penerbit Andi.

Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. 2014.

Opera Tari Jawa Gaya

Yogyakarta Langen Mandra

Wanara. Yogyakarta: Dinas

Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Dinas Pariwisata Daerah Istimewa

Yogyakarta. 2017. Panduan

Wisata Jogja Istimewa.

Yogyakarta: Dinas Pariwisata

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Freeland, Hughes Felicia. 2009.

Komunitas Yang Mewujud:

Tradisi Tari dan Perubahan di

Page 24: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

16

Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Hadi, Sumandiyo Y. Pasang Surut Tari

Klasik Gaya Yogyakarta:

Pembentukan, Perkembangan,

Mobilitas. Yogyakarta: Lembaga

Penelitian Institut Seni Indonesia

Yogyakarta dan CV Media

Pressindo.

Hauser, A. 1974.The Sosiology of

Art.Terj. Kenneth J. London: The

University of Chicago Press.

McKercher, B and du Cross, H. 2002.

Cultural Tourism: The

Partnership Between Tourism

and Cultural Heritage

Management. New York: The

Haworth Hospitality Press.

Muljadi, A.J. 2016. Kepariwisataan

Dan Perjalanan. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Pendit, S Nyoman. 1994. Ilmu

Pariwisata. Jakarta: Pradnya

Paramita.

Poerwanto, Hari. 2010. Kebudayaan

Dan Lingkungan Dalam

Perspektif Antropologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salinan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 1990

Tentang Kepariwisataan.

Salinan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

Tentang

Kepariwisataan.Sedarmayanti.

2014. Membangun Dan

Mengembangkan Kebudayaan

Dan Industri Pariwisata: Bunga

Rampai Tulisan Pariwisata.

Bandung : PT Refika Aditama.

Soedarsono. 2011. Seni Pertunjukan:

Dari Perspektif Politik, Sosial

dan Ekonomi. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

--------------. 2010. Seni Pertunjukan

Indonesia Di Era Globalisasi.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Sutiyono.2010. Manajemen Seni

Pertunjukan Kraton Yogyakarta

Sebagai Penanggulangan Krisis

Pariwisata Budaya Tahun 38,

Nomor 2.

Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar

Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian

Pariwisata. Yogysakarta:

Penerbit Andi.

Wibowo, Fred. 2002. Tari Klasik Gaya

Yogyakarta. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.

Yoeti, Oka A. 2016. Pariwisata

Budaya: Masalah dan Solusinya.

Jakarta: Balai Pustaka.

Beritasatu.com. 2018.Yogyakarta

Ditetapkan Sebagai Kota

Kebudayaan.http://www.beritasat

u.com/nasional/518466-

yogyakarta-ditetapkan-sebagai-

kota-kebudayaan-asean.html.

Diakses tanggal 28 November

2018.

Dailysocial.id. 2017.Tepas Tandha

Yekti Sebagai Tiang Teknologi

Informasi dan Komunikasi

Keraton

Yogyakarta.https://dailysocial.id/

post/tepas-tandha-yekti-keraton-

yogyakarta/. Diakses tanggal 17

September 2018.

Jogja.Tribunnews.com. 2016. Tari

Bedhaya Tirta Hayuningrat Saat

Tingalan Jumenengan Dalem Sri

Sultan Hamengku Buwono X.

http://jogja.tribunnews.com/2016

Page 25: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

17

/05/08/tari-bedhaya-tirta-

hayuningrat-saat-tingalan-

jumenengan-dalem-sri-sultan-hb-

x. Diakses tanggal 5 Oktober

2018.

---------------------------. 2018.

Kunjungan Wisata DIY Tahun

2017 Meningkat

Signifikan.http://jogja.tribunnews

.com/2018/02/02/kunjungan-

wisata-diy-tahun-2017-

meningkat-signifikan. Diakses

tanggal 5 November 2018.

Kratonjogja.id. 2018. Tari Klasik di

Keraton Yogyakarta.

https://kratonjogja.id/kagungan-

dalem/13/tari-klasik-di-keraton-

yogyakarta.Diakses tanggal 1

Desember 2018.

KratonJogja. 2018. Beksan Lawung.

Instagram: @kratonjogja.

Diakses tanggal 17 Oktober

2018.

--------------. 2018. Serimpi. Instagram:

@kratonjogja. Diakses tanggal

18 Oktober 2018.

Lundia, Ixora. 2018. Mendorong

Pariwisata Budaya

Indonesia.http://validnews.co/Me

ndorong-Pariwisata-Budaya-

Indonesia-Fnm. Diakses tanggal

6 Juni 2018.

Tempo.co. 2013. Keraton Yogya Buka

Lagi Kelas Tari Klasik.

https://travel.tempo.co/read/4648

60/keraton-yogya-buka-lagi-

kelas-tari-klasik. Diakses tanggal

7 Juli 2018.

Tribunwisata.com. 2017. Pengertian

dan Contoh Daya Tarik Wisata

Budaya Alam, Buatan, Minat

Khusus. http://

www.tribunwisata.com/2017/08/

pengertian-contoh-daya-tarik-

wisata-budaya-alam-buatan-

minat-khusus.html?m=1. Diakses

tanggal 1 November 2018.

Page 26: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pertunjukan Tari Klasik Tradisional Gaya Yogyakarta sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Keraton Yogyakarta

18

Page 27: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

19

KOLABORASI PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA PANTAI BOOM

BANYUWANGI

Alim Marta Dinata1, Anastasia Murdyastuti

2, Abdul Kholiq Azhari

3

[email protected]

Abstract

This research aims to describe the stages of the collaboration of developing Boom

Beach Banyuwangi as tourism destination between Banyuwangi Government with PT

Pelabuhan Indonesia III. There were several public problems faced by Banyuwangi

District such as the problems of poverty and the limited local budget that was stated

in 1 trillion, but on the other hand, Banyuwangi District had a promising potential

for tourism. The government of Banyuwangi District faced obstacles in affording to

provide open space area and to build tourism facilities in Boom beach obstacles. The

region of Boom beach had an area of 44.2 hectares which was an area managed by

PT Pelabuhan Indonesia III, so Banyuwangi District Government should collaborate

with PT Pelabuhan Indonesia III to be able to develop Boom Beach. Therefore, this

research focused on the stages of the collaboration of developing Boom Beach

Banyuwangi. This research used descriptive qualitative method. The used data

collection techniques were interview, observation and documentation. The used

informant determination techniques were purposive and snowball techniques. In

addition, the data validity test used observation persistence technique, member

checking, and triangulation. The used data analysis technique was analysis

component of data qualitative namely data collection, data reduction, data

presentation and data verification. The research results covered four things. The

first, the parties joining the collaboration were the Government of Banyuwangi and

PT Pelabuhan Indonesia III. The second, the stages towards an agreement of

collaboration was starting from the identification stage, the initiation stage and

deliberation stage. The third was the nature of the collaboration. The fourth was the

activities types in the implementation of the collaboration. The obstacles in the

implementation stage were not yet fully implemented the construction of tourism

facilities in Boom beach by PT Pelabuhan Indonesia III based on the master-plan,

and there were no regulatory structures in collaboration of developing Boom Beach

as tourism destination.

Keywords: collaboration, developing, tourism destination

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan kolaborasi pengembangan

Boom Beach Banyuwangi sebagai tujuan wisata antara Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi dengan PT Pelabuhan Indonesia III. Ada beberapa masalah publik yang

dihadapi oleh Kabupaten Banyuwangi seperti masalah kemiskinan dan terbatasnya

anggaran daerah yang dinyatakan dalam 1 triliun, tetapi di sisi lain, Kabupaten

Banyuwangi memiliki potensi yang menjanjikan untuk pariwisata. Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi menghadapi kendala dalam menyediakan area ruang terbuka

1 Mahasiswa Universitas Jember

2 Dosen Universitas Jember

3 Dosen Universitas Jember

Page 28: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

20

dan membangun fasilitas pariwisata di pantai Boom. Wilayah Pantai Boom memiliki

luas 44,2 hektar yang merupakan wilayah yang dikelola oleh PT Pelabuhan

Indonesia III, sehingga Pemerintah Kabupaten Banyuwangi harus bekerja sama

dengan PT Pelabuhan Indonesia III untuk dapat mengembangkan Pantai Boom. Oleh

karena itu, penelitian ini difokuskan pada tahap kolaborasi pengembangan Boom

Beach Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.

Teknik penentuan informan yang digunakan adalah teknik purposive dan snowball.

Selain itu, uji validitas data menggunakan teknik observasi kegigihan, pengecekan

anggota, dan triangulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah komponen

analisis data kualitatif yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan

verifikasi data. Hasil penelitian mencakup empat hal. Yang pertama, pihak-pihak

yang bergabung dalam kolaborasi ini adalah Pemerintah Banyuwangi dan PT

Pelabuhan Indonesia III. Kedua, tahap menuju kesepakatan kolaborasi dimulai dari

tahap identifikasi, tahap inisiasi, dan tahap musyawarah. Yang ketiga adalah sifat

kolaborasi. Yang keempat adalah jenis kegiatan dalam implementasi kolaborasi.

Hambatan dalam tahap implementasi belum sepenuhnya melaksanakan

pembangunan fasilitas pariwisata di Pantai Boom oleh PT Pelabuhan Indonesia III

berdasarkan master-plan, dan tidak ada struktur peraturan dalam kolaborasi

pengembangan Pantai Boom sebagai tujuan wisata.

Kata Kunci: kolaborasi, pengembangan, destinasi wisata

Pendahuluan

Pariwisata adalah penyumbang

devisa negara terbesar keempat

dibawah kelapa sawit, batubara dan

karet alam, selain sektor minyak dan

gas bumi, menurut Menteri koordinator

Bidang Kemaritiman Indriono Soesilo.

Beliau beranggapan bahwa, Pariwisata

harus menjadi sektor unggulan untuk

menjadi salah satu penyumbang devisa

negara. Berikut merupakan tabel

sumber-sumber devisa Indonesia yang

memberi sumbangan devisa negara

terbesar tahun 2014.

(http://www.indonesiatimur.co/2015/05

/27/ekspor-anjlok-pemerintah-

berharap-dari-sektor-pariwisata/.

diakses hari kamis, 26 Januari 2016

pukul 10:42)

Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah,

menyebutkan bahwa Pariwisata

merupakan salah satu Urusan Pilihan

bagi Pemerintah Daerah, hal ini

menjadikan pemerintah daerah

mempunyai pilihan dan wewenang

dalam mengatur dan mengelola

pariwisata di daerahnya. Hal ini

sedianya dapat dipilih oleh pemerintah

daerah untuk dapat memanfaatkan dan

mengelola potensi di masing-masing

daerah, tentu dengan mengacu pada

pedoman dan kebijakan di tingkat yang

lebih tinggi agar sesuai dengan konsep

pariwisata nasional.

Salah satu kabupaten yang

mengembangkan pariwisata daerah

adalah Kabupaten Banyuwangi.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

mengatur kegiatan pariwisatanya dalam

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2012

tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten

Banyuwangi. Terdapat aspek-aspek

yang ingin dicapai dalam pembangunan

kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi

sesuai Rencana Kerja Pembangunan

Page 29: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

21

Daerah (RKPD) Kabupaten

Banyuwangi tahun 2015, yaitu:

1. kunjungan wisata domestik;

2. kunjungan wisata mancanegara; dan

3. kontribusi sektor pariwisata

terhadap PDRB.

Sedangkan salah satu

permasalahan yang sedang dihadapi

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

adalah masalah kemiskinan. Berikut

adalah gambaran mengenai tingkat

kemiskinan Kabupaten Banyuwangi:

Gambar 1.1 Prosentase Penduduk Miskin di Kabupaten Banyuwangi (sumber: demografi.banyuwangikab.co.id/index.php/penduduk /miskin)

Selain kemiskinan, Kabupaten

Banyuwangi juga mempunyai masalah

terkait anggaran daerah yang terbatas.

APBD Kabupaten Banyuwangi dalam

beberapa tahun terakhir jumlahnya

diatas 1 triliun rupiah. Dilihat dari

jumlahnya, APBD Kabupaten

Banyuwangi cukup besar dengan angka

melampaui Rp. 1 trilyun. Namun jika

dilihat dari kontribusinya amatlah kecil

dibandingkan total rupiah yang beredar

dalam perekonomian daerah. Untuk itu

harus diimbangi oleh strategi yang

tepat sehingga dapat menstimulasi

pertumbuhan ekonomi. (http://www.

banyuwangikab .go.id /page/

perencanaan/ rpjmd.html. Namun di

sisi lain Kabupaten Banyuwangi

mempunyai potensi yang menjanjikan

di bidang Pariwisata. Kabupaten

Banyuwangi memilih pariwisata

sebagai sektor yang dikembangkan.

Sektor pariwisata dipilih karena sektor

tersebut mempunyai dampak

pengganda (multiplier effect).

Kabupaten Banyuwangi adalah

kabupaten paling ujung di timur Pulau

Jawa, memiliki luas wilayah 5.782,50

km2, wilayah yang luas berupa

pegunungan, dataran tinggi, dataran

rendah dan serta garis pantai yang

panjang menjadikan Kabupaten

Banyuwangi memiliki banyak destinasi

wisata, mulai dari wisata pegunungan,

wisata hutan, air terjun hingga wisata

pantai.

Salah satu titik destinasi

pariwisata yang menjadi fokus

pengembangan pariwisata Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi adalah Pantai

Boom yang terletak di Kelurahan

Mandar, Kecamatan Banyuwangi,

Kabupaten Banyuwangi. Pantai Boom

merupakan salah satu lokasi yang

memiliki garis pantai yang berdekatan

dengan daerah kota. Pantai Boom

berada di sebelah timur wilayah kota

Kabupaten Banyuwangi dan berjarak

kurang dari 1 kilometer dari kota serta

hanya membutuhkan waktu sekitar 10

menit untuk mencapainya.

Page 30: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

22

Pantai Boom dengan luas 44,2

hektare tersebut merupakan aset yang

dikelola PT Pelabuhan Indonesia III.

Setelah melakukan beberapa

identifikasi, Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi melihat bahwa Pantai

Boom mempunyai potensi wisata yang

besar dan berkeinginan untuk

mengembangkan Pantai Boom sebagai

destinasi pariwisata baru. Namun

dengan statusnya yang merupakan

kawasan yang dikelola PT Pelabuhan

Indonesia III, menjadikan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi mempunyai

keterbatasan untuk melakukan

pengembangan di kawasan Pantai

Boom.

Hal tersebut mengharuskan

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

untuk melakukan kolaborasi agar dapat

mengembangkan destinasi pariwisata

Pantai Boom. Akhirnya disepakati nota

kesepahaman atau memorandum of

understading (MoU) antara Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dengan PT

Pelabuhan Indonesia III cabang

Tanjung Wangi tentang Pengembangan

Kawasan Wiasata Pantai Boom

Banyuwangi pada Tahun 2014 nomor:

188/758/129.012/2014 dan nomor

HK.04/03/TWI-2014.

Setelah disepakatinya Nota

Kespakatan tersebut, lahirlah Perjanjian

Kerja Sama Pengelolaan Kawasan

Wisata Pantai Boom antara PT

Pelabuhan Indonesia III Tanjung

Wangi dan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi Nomor:

188/61/429.012/2015 dan Nomor:

HK.0501/04/TWI-2015 yang

ditandatangani pada tanggal 19 Maret

2015 di Benoa, Bali.

Kolaborasi pengembangan

destinasi pariwisata Pantai Boom

merupakan salah satu wujud konsep

governance, dimana terdapat dua pilar

utama governance yaitu pemerintah

dan swasta yang berkolaborasi dalam

melakukan upaya pengembangan

destinasi pariwisata. Morse dan

Stephens (2012:566) berpendapat

bahwa kolaborasi merupakan

pendukung pelaksanaan governance

untuk menekankan kealamian proses

kesepakatan berbagai aktor sosial

(stakeholder) yang tidak hanya dari

pemerintah tetapi juga melibatkan

masyarakat maupun lembaga non-

pemerintah dalam tindakan kolektif

atau kerja sama. Morse dan Stephens

(2012:567) juga menjelaskan terdapat

sejumlah tahapan-tahapan dalam

pelaksanaan collaborative governance

antara lain tahap assessment, initiation,

deliberation dan implementation.

Jika mengacu pada tahap-tahap

pelaksanaan collaborative governance

yang dikembangkan Morse dan

Stephens, maka seharusnya terdapat

struktur pengaturan dalam

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom. Namun dalam kenyataan,

sampai saat ini belum terdapat struktur

pengaturan dalam kegiatan

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom. Namun dengan kondisi

tersebut, upaya pengembangan

destinasi pariwisata Pantai Boom tetap

berjalan dan menghasilkan beberapa

perubahan.

Berawal dari latar belakang

mengenai alasan diperlukannya

kolaborasi pengembangan destinasi

pariwisata Pantai Boom, menariknya

kolaborasi antara Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dengan PT

Pelabuhan Indonesia III dalam

pengembangan destinasi Pantai Boom

serta dengan ragam potensi pariwisata

Pantai Boom yang patut untuk

dikembangkan, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian terkait

bagaimana tahap-tahap kolaborasi

antara Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi dan PT Pelabuhan

Indonesia III dalam pengembangan

Page 31: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

23

destinasi wisata Pantai Boom. Maka

peneliti akan membahas judul

“KOLABORASI

PENGEMBANGAN DESTINASI

PARIWISATA PANTAI BOOM

BANYUWANGI”

Rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah ”bagaimana tahap-

tahap kolaborasi antara Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dan PT

Pelabuhan Indonesia III dalam

kegiatan pengembangan destinasi

wisata Pantai Boom Banyuwangi?”

Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan tahap-tahap

kolaborasi antara Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dan PT

Pelabuhan Indonesia III dalam

kegiatan pengembangan destinasi

wisata Pantai Boom Banyuwangi.

Tinjauan Pustaka

Governance

World Bank ataupun United

Nation Development Program UNDP

(dalam Ismatullah 2010:177-178)

mengembangkan istilah baru, yaitu

governance sebagai pendamping kata

government. Terjadi pergeseran pola

pikir akibat dalam perubahan

government menuju governance, secara

epistimologis, perubahan paradigma

government menuju governance

berwujud pada pergeseran minset dan

orientasi birokrasi sebagai unit

pelaksana dan penyedia layanan bagi

masyarakat, yang semula birokrat

melayani kepentingan kekuasaan

menjadi birokrat yang berorientasi pada

pelayanan publik.

Menurut Rosidi dan Fajriani

(2013:3) perbedaan utama antara

government dan governance adalah

pada bagaimana cara penyelenggaraan

otoritas politik, administrasi dan

ekonomi dalam pengelolaan kegiatan

suatu negara. Konsep government

menunjuk bahwa pemerintah yang

lebih dominan dalam penyelenggaraan

kegiatan otoritas politik, administrasi

dan ekonomi dalam pengelolaan

kegiatan suatu negara. Sedangkan

konsep governance mengandung arti

bagaimana suatu bangsa yang terdiri

dari berbagai pelaku-pelaku yang

berkepentingan (stakeholder) yang

pada dasarnya terdiri dari pemerintah,

masyarakat serta lembaga non

pemerintah mendistribusikan

kekuasaan, mengelola sumber daya dan

berbagai masalah yang dihadapi

masyarakat.

Stakeholder

Istilah stakeholder pertama kali

diperkenalkan oleh Standford Research

Institute (RSI) pada tahun 1963

(Freeman, 1983:31). Freeman

(1983:25) mendefinisikan stakeholder

sebagai “any group or individual who

can effect or be effected by the

achiviement of an organization’s

objective”, bahwa stakeholder

merupakan kelompok maupun individu

yang dapat mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh proses pencapaian

tujuan suatu organisasi.

Grunig dan Hunt (dalam

Rawlins, 2006:3) menjelaskan bahwa

terdapat empat model hubungan yang

dapat mengidentifikasi kerjasama

stakeholder yang sesuai dengan

literatur kerjasama publik antara lain:

1) hubungan enabling; 2) hubungan

fungsional; 3) hubungan normatif dan

4) hubungan campuran.

Kolaborasi

Dalam praktik administrasi

publik, kolaborasi merupakan strategi

baru pelaksanaan governance untuk

melaksanakan pengambilan dan

implementasi kebijakan dengan

Page 32: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

24

mengedepankan konsensus dari

multiple stakeholders yang terdiri dari

pemerintah, lembaga non-pemerintah

serta masyarakat dalam rangka

menyelesaikan permasalahan publik

atau mengelola program publik. Morse

dan Stephens (2012:566) berpendapat

mengenai collaborative governance

yaitu istilah umum yang mencakup

berbagai untaian jalinan keilmuan

administrasi publik termasuk

kolaborasi antar pemerintah, antar

lembaga, kedaerahan, kerjasama lintas

sektor, jaringan pelayanan publik,

pembangunan konsensus dan

keterlibatan publik.

Kolaborasi ini dilaksanakan

dalam rangka untuk membuat atau

mengimplementasikan kebijakan atau

mengelola aset atau program publik.

Terdapat sejumlah tahapan-tahapan

dalam kolaborasi seperti yang

dikembangkan oleh Morse dan

Stephens sebagai berikut.

Tabel 1.1 Tahapan Pelaksanaan Collaborative Governance oleh Morse dan Stephens,

(2012:567)

Assessment Initiation Deliberation Implementation

Is

collaborating

necessary?

Are precondition

in place?

Who are the

stakeholders?

Who might fill key

roles (sponsor,

convener and

facilitatior)?

How to frame the

issue?

How to engage

stakeholder?

Who/what else is

needed?

What kind of process?

How to develop

effective

working group?

What

group rules?

How to invent options

and decide?

How to facilitate

manual learning?

Who will do that?

How to broaden

support?

What kind of

governance structure?

How to monitor

progress?

Sumber: Teaching Collaborative Governance: Phases, Competencies, and Case-Based

Learning. Journal of Public Affairs Education. 37 (1): 71-102. ( 2012)

Tahapan pertama dalam proses

kolaborasi adalah penafsiran

(assessment). Tahap ini membahas

tentang kondisi awal yang

mempengaruhi apakah kolaborasi

diperlukan dan memungkinkan atau

tidak. Tahapan selanjutnya adalah

inisiasi. Tahapan ini mencakup

kegiatan rapat stakeholder,

membangun kelompok kerja dan proses

desain. Tahapan selanjutnya adalah

tahapan musyawarah (Deliberation),

mencakup kegiatan membangun aturan

dasar. Tahapan implementasi

merupakan tahapan terakhir sekaligus

merupakan tahapan yang menentukan

apakah kolaborasi dapat terus

dilangsungkan atau harus diakhiri

ketika dalam proses kerjasama terjadi

suatu permasalahan.

Pengembangan Organisasi

Pengembangan Organisasi

(Organizational Development) (dalam

Siagian, 1995:3) dapat diartikan

sebagai instrument ilmiah untuk

mewujudkan perubahan, yang

Page 33: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

25

Amenitas

Aksesibilitas

Fasilitas Pendukung

Obyek dan Daya Tarik Kelembagaan

Destinasi

Pariwisata

merupakan suatu disiplin ilmiah baru.

Sehingga dapat diartikan juga bahwa

Pengembangan Organisasi merupakan

pendekatan untuk melakukan

perubahan.

Ciri-ciri Pengembangan

Organisasi yang salah satunya adalah

Pengembangan Organisasi harus

berupa kolaborasi antara berbagai

pihak yang akan terkena dampak

perubahan yang akan terjadi. Artinya

keterlibatan dan partisipasi para

anggota organisasi maupun stakeholder

merupakan suatu keharusan mutlak.

Pengembangan Destinasi Pariwisata

Pariwisata adalah berbagai

macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang

disediakan oleh masyarakat,

pengusaha, Pemerintah, dan

Pemerintah Daerah.” (UU Nomor 10

Tahun 2009) Pariwisata Rekreasi atau

Pariwisata Santai.

Dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan disebutkan

bahwa daerah tujuan pariwisata yang

selanjutnya disebut Destinasi

Pariwisata adalah kawasan geografis

yang berada dalam satu atau lebih

wilayah administratif yang di dalamnya

terdapat daya tarik wisata, fasilitas

umum, fasilitas pariwisata,

aksesibilitas, serta masyarakat yang

saling terkait dan melengkapi

terwujudnya kepariwisataan.

Pengembangan pariwisata merupakan

suatu rangkaian upaya untuk

mewujudkan keterpaduan dalam

penggunaan berbagai sumber daya

pariwisata mengintegrasikan segala

bentuk aspek di luar pariwisata yang

berkaitan secara langsung maupun

tidak langsung akan kelangsungan

Namun tidak dipungkiri, pembangunan

dan pengembangan pariwisata juga

membawa dampak negatif bagi

lingkungan.

Gambar 1.2 Ilustrasi Konstruksi Sistem

Destinasi Wisata (sumber: Carter dan Fabricius (dalam Sunaryo,

2013:172)

Carter dan Fabricius (dalam

Sunaryo, 2013:172) berpendapat bahwa

berbagai elemen dasar yang harus

diperhatikan dalam perencanaan

pengembangan sebuah destinasi

pariwisata, paling tidak akan mencakup

aspek-aspek sebagai berikut: 1)

pengembangan atraksi dan daya tarik

wisata; 2) pengembangan amenitas dan

akomodasi wisata; 3) pengembangan

aksesibilitas; dan 4) pengembangan

image (citra wisata).

Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan

metode deskriptif kualitatif. Penelitian

ini mengambil tempat di destinasi

parwisata Pantai Boom yang terdapat

di Kelurahan Mandar, Kecamatan

Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan

Februari-Mei 2016.

Penelitian ini menggunakan

sumber data primer dan sumber data

sekunder dengan teknik pengumpulan

data yaitu wawancara, observasi dan

dokumentasi. Teknik penentuan

Page 34: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

26

informan dilakukan dengan

menggunakan teknik purposive dan

teknik snowball, uji keabsahan data

menggunakan teknik ketekunan

pengamatan, pengcekan anggota dan

triangulasi. Sedangkan teknik analisis

data dengan komponen analisis data

kualitatif yaitu pengumpulan data,

reduksi data, penyajian data dan

verifikasi data.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada perencanaan pengembangan

kawasan Pantai Boom terdapat dua

agenda kegiatan pengembangan, yaitu

pengembangan wisata oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dan

pengembangan wisata oleh pihak PT

Pelabuhan Indonesia III. Pada tahap

awal kegiatan pengembangan kawasan

Pantai Boom diawali oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi, hal tersebut

sesuai dengan penjelasan Soni berikut

ini:

“Sekarang ini adalah sementara

kita membangun pusat makanan,

jalan masuk paving itu dari kita,

taman yang ngatur kita, itu semua

dari dana APBD.” (Soni,

wawancara 25 Januri 2016)

Pada kegiatan kolaborasi

pengembangan destinasi Pantai Boom

antara Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi dan PT Pelabuhan

Indonesia III, terdapat beberapa

tahapan seperti yang dijelaskan oleh

Morse dan Stephe yang antara lain

tahap assessment, tahap initiation,

tahap deliberation dan tahap

implementation.

Tahap Identifikasi (Assessment)

Tahap identifikasi diawali dari

inisiatif Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi yang berkonsentrasi pada

pengembangan pariwisata daerah.

Berawal dari pemikiran Bupati

Banyuwangi yang menginginkan

kawasan Pantai Boom menjadi

kawasan yang lebih bermanfaat.

Inisiatif Bupati Banyuwangi

kemudian disampaikan kepada

Sekretaris Daerah Kabupaten

Banyuwangi sebagai ketua Tim

Koordinasi dan Kerja Sama Daerah

(TKKSD). Bupati Banyuwangi lantas

menugaskan Sekretaris Daerah

Kabupaten Banyuwangi untuk

mengkaji dan mengkoordinasikan

pemikiran Bupati Banyuwangi terkait

pengembangan kawasan Pantai Boom

bersama TKKSD. Berikut merupakan

struktur Tim Koordinasi Kerja Sama

Daerah Kabupaten Banyuwangi.

a. Ketua : Sekretaris Daerah

(Sekda)

b. Wakil : Asisten Adminstrasi

Pemerintahan

Kepala Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah

c. Sekretaris : Kepala Bagian

Pemerintahan

d. Anggota tetap : Badan

Pengelolaan Keuangan dan Aset

Daerah Bagian hukum

e. Anggota tidak tetap : Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata

Berdasarkan hasil wawancara

terhadap Misrawi selaku Kasubbag

Kerjasama dan Tugas Pembantuan

Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten

Banyuwangi, diketahui bahwa hasil

kajian TKKSD sebagai berikut:

1. Kawasan Pantai Boom mempunyai

potensi pariwisata, terletak di dekat

area perkotaan, memiliki

pemandangan bagus, merupakan

kawasan yang mempunyai daya

tarik tinggi mendatangkan

pengunjung;

2. Kawasan Pantai Boom merupakan

aset yang dimiliki PT Pelabuhan

Indonesia III dengan sertifikat Hak

Pengelolaan Nomor

Page 35: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

27

12.37.16.13.5.00001 Tanggal 18

Februari 1999;

3. Mengusahakan kerja sama dengan

PT Pelabuhan Indonesia III dan

para pihak terkait; dan

4. Mengundang seluruh pihak terkait

dalam pertemuan membahas kerja

sama pengembangan kawasan

Pantai Boom Banyuwangi.

Pada tahap assessement ini, telah

dilakukan identifikasi oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi terkait

dibutuhkannya kolaborasi

pengembangan destinasi Pantai Boom.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

telah menentukan para pihak yang akan

terlibat dalam kolaborasi untuk

selanjutnya mengundang para pihak

yang terlibat.

Tahap Inisiasi (Initiation)

Setelah diputuskan untuk bekerja

sama dengan PT Pelabuhan Indonesia

III dan diputuskan beberapa pihak yang

terlibat dalam pengembangan kawasan

Pantai Boom, TKKSD Kabupaten

Banyuwangi selanjutnya mengundang

pihak-pihak yang terlibat untuk

mengadakan pertemuan. Pada

pertemuan tersebut dibahas beberapa

hal, pertama tentang keinginan

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

untuk mengembangkan kawasan Pantai

Boom menjadi Destinasi Pariwisata,

kedua adalah keinginan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi untuk

berkolaborasi dengan PT Pelabuhan

Indonesia III selaku pengelola kawasan

Pantai Boom.

Ketika tahap inisiasi telah

dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dengan

mengundang PT Pelabuhan Indonesia

III dan sejumpah pihak terkait, barulah

pihak PT Pelabuhan Indonesia III

melakukan assessement atau

identifikasi terkait ketertarikan

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

tersebut. Assessement dilakukan oleh

tim khusus yaitu perwakilan PT

Pelabuhan Indonesia III Pusat Surabaya

dan perwakilan PT Pelabuhan

Indonesia III Cabang Tanjung Wangi

Banyuwangi. Berdasarkan hasil

wawancara diketahui bahwa PT

Pelabuhan Indonesia III bersedia

bekerja sama dengan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi untuk

mengembangkan kawasan Pantai

Boom sebagai Destinasi Pariwisata.

Tahap Deliberasi (Deliberation)

Pada tahap ini PT Pelabuhan

Indonesia III telah melaksanakan

identifikasi atau assessement terkait

keinginan Pemerintah kabupaten

Banyuwangi dan telah menghasilkan

beberapa keputusan, antara lain:

1. Menerima ajakan Pemerintah

Kabupaten banyuwangi untuk

bekerja sama dalam

mengembangkan kawasan Pantai

Boom menjadi Destinasi

Pariwisata;

2. PT Pelabuhan Indonesia III

berkeinginan untuk

mengembangkan kawasan Pantai

Boom menjadi Pelabuhan Marina;

3. Menyerahkan urusan kerja sama

selanjutnya kepada anak

perusahaan, yaitu PT Pelindo

Properti Indonesia.

Setelah dirumuskan beberapa

hasil assessment dari pihak PT

Pelabuhan Indonesia III, selanjutnya

PT Pelabuhan Indonesia III

mengundang Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi untuk mengadakan

pertemuan membahas kerja sama

pengembangan Pantai Boom. Pada

tanggal 24 April 2014 disepakati

Memorandum of Understanding

Pengembangan Kawasan Wisata Pantai

Boom Banyuwangi nomor:

Page 36: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

28

188/758/129.012/2014 dan nomor

HK.04/03/TWI-2014.

Setelah disepakati Nota

Kesepakatan tersebut, pembahasan

kedua pihak dilanjutkan untuk urusan

teknis pengembangan kawasan Pantai

Boom dan merumuskan draf Perjanjian

Kerja Sama (PKS). Lebih dari lima kali

pertemuan antara pihak Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi dengan pihak

PT Pelabuhan Indonesia III, pertemuan

bertujuan untuk mengetahui profil

masing-masing pihak, mengetahui

tujuan dan kepentingan masing-masing

pihak serta pembahasan mengenai

bidang-bidang yang akan

dikolaborasikan.

Setelah lebih dari lima kali kedua

pihak bertemu, akhirnya pada hari

kamis tanggal 19 Maret 2015

disepakati draf Perjanjian Kerja Sama

Pengelolaan Kawasan Wisaata Pantai

Boom, antara PT Pelabuhan Indonesia

III dengan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi nomor

188/61/429/012/2015 dan nomor

HK.0501/04/TWI-2015.

Tahap Implementasi (Implementation)

a. Implementasi oleh PT Pelabuhan Indonesia III

Tabel 1.2 Implementasi oleh PT Pelabuhan Indonesia III

No Kewajiban Pelaksanaan Kewajiban

1 Bersama-sama PIHAK KEDUA dapat menyusun

Master Plan pengembangan kawasan Pantai Boom

menjadi kawasan wisata Pantai Boom.

Menyusun master plan yang kemudian

dipresentasikan kepada pihak Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi.

2 Bersama-sama PIHAK KEDUA dapat

mengembangkan dan membangun sarana dan

prasarana dan utilitas fasilitas pendukung di kawasan

wisata Pantai Boom.

membangun sarana dan fasilitas pariwisata

diantaranya pembangunan toilet umum dan

Peningkatan Jalan Hotmix menuju Pantai Boom pada

tahun 2013.

3 Menganggarkan dalam Rencana Kerja Anggaran

Perusahaan (RKAP) untuk pembangunan sarana

prasarana dan utilitas yang dibutuhkan dalam rangka

pengembangan kawasan Pantai Boom sesuai

kesepakatan dalam Master Plan dan ketentuan yang

berlaku.

Menganggarkan dalam Rencana Kerja Anggaran

Perusahaan (RKAP) untuk pembangunan sarana

prasarana dan utilitas di Pantai Boom.

4 Bersama-sama PIHAK KEDUA menjaga kebersihan,

kenyamanan, dan keamanan kawasan wisata Pantai

Boom.

- menyediakan petugas kebersihan

- menyediakan petugas kebersihan (atas persetujuan

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi)

5 Memberikan data dan informasi kepada PIHAK

KEDUA mengenaikawasan Pantai Boom yang

berkaitan dengan perjanjian kerjasama ini.

- memberikan data dan informasi mengenaikawasan

Pantai Boom kepada Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi.

6 Bersama-sama PIHAK KEDUA dapat melaksanakan

kegiatan usaha pariwisata di kawasan Pantai Boom.

- melaksanakan kegiatan ticketing bersama pihak

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

7 Dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia

pengelola kawasan Pantai Boom dan masyarakat

sekitar di bidang pariwisata.

- mengadakan pelatihan tehadap sumber daya

manusia pengelola kawasan Pantai Boom dan

masyarakat sekitar di bidang pariwisata.

8 Memberikan bagi hasil dari hasil kegiatan di kawasan

Pantai Boom kepada PIHAK KEDUA.

- pembagian pendapatan dari kegiatan pengelolaan

setelah dikurangi pajak dan biaya operasional, dibagi

masing-masing pihak sebesar 50%

9 Bersama-sama PIHAK KEDUA melakukan

monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan

kerjasama.

- melaksanakan kegiatan monitoring dengan

menghadirkan perwakilan dari masing-masing pihak

dan bertugas di destinasi wisata Pantai Boom dan

mengadakan rapat evaluasi setiap dua bulan sekali

Page 37: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

29

b. Implementasi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

Tabel 1.3 Implementasi oleh Pemerintah Kabupaten Bnayuwangi

No Kewajiban Pelaksanaan Kewajiban

1 Bersama-sama PIHAK PERTAMA dapat

menyusun Master Plan pengembangan

kawasan Pantai Boom menjadi kawasan wisata

Pantai Boom.

menyusun master plan yang kemudian

dipresentasikan kepada pihak PT Pelabuhan

Indonesia III

2 Bersama-sama PIHAK PERTAMA dapat

mengembangkan dan membangun sarana dan

prasarana dan utilitas fasilitas pendukung di

kawasan wisata Pantai Boom.

membangun sarana dan fasilitas pariwisata

melalui SKPD terkait diantaranya Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Banyuwangi dan

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten

Banyuwangi

3 Menganggarkan dalam APBD untuk

pembangunan sarana prasarana dan utilitas

yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan

kawasan Pantai Boom sesuai kesepakatan

dalam Master Plan dan ketentuan yang berlaku

menganggarkan dalam APBD oleh beberapa

SKPD terkait guna pembangunan sarana

prasarana dan utilitas yang dibutuhkan dalam

rangka pengembangan kawasan Pantai Boom

4 Bersama-sama PIHAK KESATU menjaga

kebersihan, kenyamanan, dan keamanan

kawasan wisata Pantai Boom

- menyediakan petugas kebersihan

- menyediakan petugas kebersihan(atas

persetujuan PT Pelabuhan Indonesia III)

5 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia

pengelola kawasan Pantai Boom dan

masyarakat sekitar di bidang pariwisata

mengadakan pelatihan tehadap sumber daya

manusia pengelola kawasan Pantai Boom dan

masyarakat sekitar di bidang pariwisata

6 Bersama-sama PIHAK KESATU dapat

melaksanakan kegiatan usaha pariwisata di

kawasan Pantai Boom;

melaksanakan kegiatan ticketing bersama pihak

PT Pelabuhan Indonesia III

7 Bersama-sama PIHAK KESATU melakukan

monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan

kerjasama.

- melaksanakan kegiatan monitoring bersama

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dengan

menghadirkan perwakilan dari masing-masing

pihak dan bertugas di destinasi wisata Pantai

Boom

- mengadakan rapat evaluasi setiap dua bulan

sekali

c. Implementasi Berdasarkan Ruang

Lingkup Kerja sama

Selain PT Pelabuhan Indonesia

III dan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi sebagai stakeholders, juga

melibatkan unsur masyarakat sebagai

pelaksana teknis. Namun demikian

tidak terdapat perjanjian khusus dalam

pelibatan masyarakat dalam

pelaksanaan kerja sama tersebut,

masyarakat disini adalah sebagai

pekerja yang membantu kedua pihak

tersebut dalam pelaksanaan kerja sama.

Kolaborasi pengembangan destinasi

pariwisata Pantai Boom tidak lepas dari

ruang lingkup kerja sama dalam

Perjanjian Kerja Sama (PKS)

Pengelolaan Kawasan Pantai Boom.

Berikut implementasi berdasarkam

ruang lingkup kerja sama:

1. Pengelolaan tiket masuk - Dilaksanakan oleh petugas

pariwisata Pantai Boom yang

berjumlah 9 orang dengan

pembagian waktu kerja siang dan

waktu kerja malam

Page 38: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

30

- Lembar tiket dalam bentuk

konvensional, dengan harga Rp.

2000,- untuk sepedah motor dan Rp.

4000,- untuk mobil

2. Pengelolaan jasa parkir kendaraan - Dilaksanakan oleh petugas

pariwisata Pantai Boom yang

berjumlah 8 orang - Bertempat di lahan parkir Pantai

Boom yang dibangun Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi melalui

Dinas Pekerjaan Umum

3. Pengelolaan kegiatan usaha kecil - Penataan PKL yang berjumlah 22

gerai pada satu tempat yang

telah disediakan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi - Mewajibkan PKL dan pengusaha

jasa sewa payung pantai untuk

membayar dana kebersihan sebesar

Rp. 7000,-

4. Pemeliharaan kebersihan dan

pertamanan - Dilaksanakan oleh petugas

pariwisata Pantai Boom Yang

berjumlah 11 orang - Pemeliharaan pertamanan oleh

DKP Kabupaten Banyuwangi

5. Pemeliharaan dan pengamanan

lokasi di kawasan Pantai Boom

- Terdapat 11 petugas kebersihan

sekaligus sebagai petugas

keamanan

- Terdapat 2 petugas keamanan

umum serta 2 orang sebagai

lifeguard

6. Promosi dan pemasaran kawasan

Pantai Boom

- Promosi wisata Pantai Boom

melalui website

www.banyuwangitorism.com oleh

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

- Promosi wisata Pantai Boom

melalui website

www2.pelindo.co.id/ini-kiprah-

banyuwangi-memaksimalkan-

pantai-boom oleh PT Pelabuhan

Indonesia III

d. Implementasi Berdasarkan

Aspek-Aspek Pengembangan

Destinasi Pariwisata

Pengembangan destinasi

pariwisata Pantai Boom tidak terlepas

dari aspek-aspek pengembangan

pariwisata seperti yang dikembangkan

oleh Carter dan Fabricius (dalam

Sunaryo, 2013:172) yang antara lain: 1)

pengembangan atraksi dan daya tarik

wisata; 2) pengembangan amenitas dan

akomodasi wisata; 3) pengembangan

aksesibilitas; dan 4) pengembangan

image (citra wisata).

Tabel 1.4 Kegiatan Kolaborasi Berdasarkan Aspek-Aspek Pengembangan Destinasi

Pariwisata

No Jenis

Pengembangan

Pengembangan yang dilakukan Pelaksana

1. Atraksi dan daya

tarik wisata

- Banyuwangi Jazz Beach Festival;

- Parade gandrung sewu;

- Green recycle fashion week;

- Festival layang-layang;

- Pertunjukan Perkusi dan seni tari

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi

2. Amenitas dan

akomodasi wisata

- Pembuatan setplan penataan area

- Penataan ruang terbuka hijau

- Pembangunan LPJU

- Pembangunan jaringan listrik

- Pembangunan fasilitas toilet

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi

Page 39: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

31

- Pembangunan area parkir

- Pembangunan loss PKL

- Pembangunan musholla

- Pembuatan setplan penataan area

- Peningkatan jalan hotmix

- Pembangunan fasilitas kamar mandi

PT Pelabuhan Indonesia III

3. Aksesibilitas - Pavingisasi jalan

- Pemasangan rambu-rambu lalu lintas

penunjuk arah Pantai Boom

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi

- Peningkatan jalan hotmix PT Pelabuhan Indonesia III

4. Citra wisata - Promosi wisata Pantai Boom melalui

website www.banyuwangitorism.

com

- Pembangunan sarana dan fasilitas

pariwisata

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi

- Promosi wisata Pantai Boom melalui

website www2.pelindo.co.id/ini-kiprah-

banyuwangi-memaksimalkan-pantai-boom

- Pembangunan sarana dan fasilitas

pariwisata

PT Pelabuhan Indonesia III

Kesimpulan

Kolaborasi pengembangan

destinasi pariwisata Pantai Boom

sejauh ini sudah berjalan maksimal.

Kegiatan kolaborasi telah

melaksanakan sebagian besar tahap-

tahap collaborative governance yang

dikembangkan oleh Morse dan

Stephen, yaitu assessement, initiation,

deliberation dan implementation.

Sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai dari penelitian ini yaitu untuk

mendeskripsikan tahap-tahap

kolaborasi pengembangan destinasi

pariwisata Pantai Boom, maka dari

hasil penelitian ini diperoleh

kesimpulan sebagai berikut.

1. Tahap assessement. Telah

dilakukan identifikasi oleh

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

terkait dibutuhkannya kolaborasi

pengembangan destinasi Pantai

Boom. Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi telah menentukan para

pihak yang akan terlibat dalam

kolaborasi.

2. Tahap initiation. TKKSD

Kabupaten Banyuwangi

mengundang pihak-pihak terkait

dalam pertemuan membahas kerja

sama pengembangan kawasan

Pantai Boom Banyuwangi. Pada

tahap ini pihak PT Pelabuhan

Indonesia III mulai melakukan

identifikasi (assessement) terkait

ketertarikan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi tersebut.

3. Tahap deliberation. Pada tahap ini

disepakati Memorandum of

Understanding pengembangan

kawasan wisata Pantai Boom

Banyuwangi nomor:

188/758/129.012/2014 dan nomor

HK.04/03/TWI-2014.

Disepakatinya draf Perjanjian Kerja

Sama Pengelolaan Kawasan

Wisaata Pantai Boom, nomor

188/61/429/012/2015 dan nomor

HK.0501/04/TWI-2015.

4. Tahap implementation. Pelaksanaan

kegiatan sesuai dengan ruang

lingkup dalam Perjanjian Kerja

Sama pasal 3 ayat 2. Pelaksanaan

pengembangan juga sesuai dengan

aspek-aspek perencanaan

pengembangan destinasi pariwisata

yang dikembangkan oleh Carter

dan Fabricius.

Page 40: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

32

Terdapat Hasil kolaborasi

pengembangan destinasi Pantai Boom

pada tahun 2016 antara lain:

1. terbangun kerja sama antara

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi PT Pelabuhan

Indonesia III dan telah dirumuskan

draf kesepakatan bersama dan draf

perjanjian kerja sama;

2. telah menjalankan kegiatan usaha

pariwisata sesuai ruang lingkup

kerja sama di Pantai Boom; dan

3. telah terbangun sarana dan fasilitas

dasar pariwisata di Pantai Boom.

Terdapat dua kendala dalam

pelaksanaan kolaborasi pengembangan

destinasi Pantai Boom antara

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

dan PT Pelabuhan Indonesia III.

Pertama, belum terbentuknya struktur

pengaturan dalam kolaborasi

pengembangan destinasi Pantai Boom.

Kedua, belum sepenuhnya terlaksana

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom sesuai masterplan oleh

PT. Pelabuhan Indonesia III, sejauh ini

kegiatan pembangunan dan penyediaan

sarana dan fasilitas pariwisata sebagian

besar masih dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi.

Saran

Berdasarkan pemahaman

peneliti selama melaksanakan

penelitian, penulisan hasil penelitian

serta kesimpulan yang telah

disampaikan bahwa terdapat kendala

dalam pelaksanaan kolaborasi

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom, yaitu belum

terlaksananya pengembangan destinasi

pariwisata Pantai Boom sesuai master

plan oleh PT Pelabuhan Indonesia III.

Berdasarkan permasalahan tersebut

peneliti dapat memberikan saran agar

pelaksanaan kolaborasi pengembangan

destinasi pariwisata Pantai Boom dapat

terlaksana dengan lancar dan

memberikan kebermanfaatan bersama

bagi seluruh stakeholder. Saran-saran

tersebut meliputi:

1. perlu dibentuk suatu badan usaha

dalam pelaksanaan kolaborasi

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom;

2. perlu dilaksanaan pengembangan

berdasakan masterplan

pengembangan destinasi pariwisata

Pantai Boom oleh PT Pelabuhan

Indonesia III;

3. perlu dirumuskan peraturan dan

terdapat sanksi bagi pihak yang

tidak konsisten dalam menjalankan

kegiatan kolaborasi;

4. perlu mensinergikan rencana

kegiatan kolaborasi, meningkatkan

komunikasi antar stakeholder

terkait sehingga mencapai

keseimbangan kerja.

Daftar Pustaka

A, Yoeti, Oka. 1996, Pengantar Ilmu

Pariwisata Edisi Revisi, Penerbit

Angkasa, Bandung.

Ansell, Chris., Alison Gash. 2007.

Collaborative Governance in

Theory and Practice. Oxford

University Press on Behalf of

the Journal of Public

Administration Research and

Theory.JPART 18:543–571.

Freeman, R. Edward., David L. Redd.

1983. Stocholders and

Stakeholder on Corporate

Governance. California:

California Management Review.

Hadinoto, Kusudianto. 1996.

Perencanaan Pengembangan

Destinasi Pariwisata.Jakarta: UI-

Press.

Page 41: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

33

Ismatullah, Dedi. 2010. Akuntasi

Pemerintah. Bandung: CV.

Pustaka Setia.

Morse, Ricardo S., and John B.

Stephens. 2012. Teaching

Collaborative Governance:

Phases, Competencies and Case-

Based Learning. Journal of Public

Affairs Education.JPAE 18(3),

565–584.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

2014. Kaleidoskop

Pembangunan Kabupaten

Banyuwangi. Banyuwangi.

Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi.

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun

2012 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Kabupaten Banyuwangi

Perjanjian Kerjasama Pengelolaan

Kawasan Pantai Boom antara PT

Pelabuhan Indonesia III

(Persero) dengan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi Nomor:

188/61/429.012/2015 dan

Nomor: HK.0501/04/TWI-2015

Pitana, I Gde & Diarta, I Ketut Surya.

2009. Pengantar Ilmu

Pariwisata. Yogyakarta:

Penerbit Andi.

Rawlins, Brad L. 2006. Prioritizing

stakeholders for Public

Relations. Brigham Young

University

Rosidi, Abidarin & Fajriani,

Anggraeni. 2013. Reinventing

governance. Yogyakarta:

STMIK AMIKOM.

Siagian, P. Sondang. 1995. Teori

Pengembangan organisasi.

Jakarta: PT Bumi Aksara.

Soenaryo, Bambang. 2013. Kebijakan

pembangunan Destinasi

Pariwisata. Yogyakarta: Gava

Media.

Universitas Jember. 2012. Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah.

Jember: Jember University

Press.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan

Wahab, Salah. 1996. Manajemen

Kepariwisataan. Jakarta: PT.

Pradnya Paramita. Alih bahasa:

Frans Gromang.

http://www.indonesiatimur.co/2015/05/

27/ekspor-anjlok-pemerintah-

berharap-dari-sektor-pariwisata/

http://www.banyuwangikab.go.id/page/

perencanaan/rpjmd. html

http://demografi.banyuwangikab.co.id/i

ndex.php/penduduk /miskin

http://www.banyuwangitourism.com

WWW2.PELINDO.CO.ID/ INI-KIPRAH-

BANYUWANGI-MEMAKSIMALKAN-

PANTAI-BOOM

Page 42: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Kolaborasi Pengembangan Destinasi Wisata Pantai Boom Banyuwangi

34

Page 43: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

35

STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA OSING DI DESA KEMIREN

KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN BANYUWANGI

Anastasia Murdyastuti1

[email protected]

Abstrak

Osing merupakan budaya masyarakat Banyuwangi yang memiliki keunikan dan daya

tarik karena dijalankan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Osing

dengan nilai-nilai adat dan budayanya sehingga bertahan sampai saat ini tanpa

banyak perubahan. Dalam perkembangannya budaya Osing dihadapkan perubahan

globalisasi sehingga dikawatirkan bisa tergerus dan akan hilang. Upaya

mempertahankan dan mengembangkan budaya Osing dilakukan melalui penetapan

desa Kemiren sebagai desa wisata Osing dan pusat wisata Osing karena memiliki

potensi yang sangat banyak sehingga menarik untuk dikunjungi. Selama ini usaha

pengembangan wisata Osing dilakukan atas kerja sama antar pemerintah daerah

dalam hal ini Dinas Kebuadayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi,

pemerintahan desa melalui BUMDes beserta masyarakat setempat, namun masih

memiliki keterbatasan dari berbagai aspek seperti segi pendanaan, infrastruktur,

akses maupun sarana prasarana. Beberapa strategi yang dijalankan meliputi strategi

pengembangan objek atau atraksi wisata, strategi pengembangan pelayanan dalam

penyediaan sarana pendukung pariwisata, strategi pengembangan promosi dan

pemasaran pariwisata, strategi pengembangan kelembagaan dan kerja sama. Cara

yang dilakukan dengan peningkatkan keunikan dan daya tarik alam dan budaya

dengan pengoptimalan potensi wilayah, pengelolaan objek wisata secara mandiri,

profesional dengan tetap memperhatikan lingkungan serta meningkatkan kualitas

pelayanan pendukung pariwisata, sehingga pariwisata Osing lebih maju, jumlah

kunjungan wisatawan dan pendapatan masyarakat juga meningkat.

Kata Kunci: Strategi, pengembangan, pariwisata, Osing

1 Dosen Universitas Jember

Page 44: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

36

Pendahuluan

Penelitian ini berusaha untuk

melakukan kajian tentang strategi

pengembangan pariwisata di Desa

Kemiren, Kecamatan Glagah,

Kabupaten Banyuwangi.

Strategi pengembangan

pariwisata merupakan langkah bagus

untuk meningkatkan devisa negara dan

ini merupakan langkah strategis

karena sudah didukung potensi yang

ada. Indonesia sebagai negara

memiliki potensi pariwisata yang

banyak dan potensial, pariwisata dapat

dijadikan sebagai kegiatan ekonomi

yang dapat mendatangkan penerimaan

negara dalam waktu yang lebih

singkat dari pada sektor produksi

lainnya, seperti sektor pertanian dan

industri. (Wahab, 1996: 103).

Berdasarkan Peraturan Menteri RI No.

29 Tahun 2015 tentang Rencana

Strategis Kementerian Pariwisata

Tahun 2015-2019 menyatakan bahwa

kontribusi nyata sektor pariwisata

memiliki kondisi yang paling strategis

dalam berbagai kebijakan

pembangunan. Hal ini nampak pada

tahun 2016 terjadi peningkatan PDB

sebesar 4,03 % atau senilai Rp 500, 19

Trilyun, Peningkatan devisa mencapai

Rp 176-184 trilyun dan peningkatan

tenaga kerja sebanyak 12 juta orang.

Untuk mendatangkan

wisatawan yang banyak dan mampu

mendatangkan income harus

memberikan kepuasan wisatawan.

Artinya pengeluaran wisatawan harus

sesuai dengan kenikmatan yang

dirasakan dalam setiap usaha

pengembangan pariwisata. Hal inilah

yang masih menjadi masalah dalam

pengembangan pariwisata karena

pemerintah dihadapkan keterbatasan

kemampuan dalam pengembangan

pariwisata. misalkan adanya akses

yang masih belum bisa menjangkau

lokasi wisata, sarana prasarana yang

belum maksimal dan jaringan

informasi yang belum maksimal atau

bahkan masih ada yang melakukan

tindakan perusakan lingkungan.

Kondisi itulah yang membuat

wisatawan kurang berminat atau tidak

mengetahui potensi wisata yang

mestinya perlu didatangi.

Salah satu daerah yang

mengembangkan pariwisata adalah

Kabupaten Banyuwangi dengan

unggulan pariwisatanya adalah wisata

osing yang berada di Desa Kemiren,

Kecamatan Glagah, Kabupaten

Banyuwangi. Berdasarkan Undang-

Undang No. 6 Tahun 2014 tentang

Desa memberikan kewenangan kepada

desa untuk mengelola desa sesuai

kebutuhan dan kemampuannya. Desa

Kemiren merupakan desa yang

berpenduduk Osing dan

mempertahankan nilai adat osing

sehingga desa Kemiren dikukuhkan

sebagai desa adat Osing. Desa

Kemiren memiliki keunikan berbagai

potensi wisata Osing karena Osing

merupakan budaya banyuwangi yang

ada sejak lama dan dipertahankan

sampai sekarang karena memiliki

nilai-nilai kesakralan yang dianut

secara turun temurun oleh masyarakat

banyuwangi khususnya Desa Kemiren.

Selama ini budaya osing dijalankan

sebagai bagian dari kehidupan sehari-

hari masyarakat osing dengan nilai-

nilai adat dan budayanya, namun

dalam perkembangannya osing

mengalami perubahan seiring

kebutuhan dan tuntutan pariwisata,

dimana budaya osing perlu dikemas

secara menarik sehingga layak

ditonton sebagai hiburan. Selain itu

Desa Kemiren juga memiliki potensi

wilayah yang indah yaitu

pemandangan dan tempat-tempat

wisata yang bisa dijadikan pusat

pariwisata menarik bagi wisatawan

Page 45: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

37

yang layak untuk dikunjungi sehingga

bisa mendatangkan penerimaan desa.

Pengembangan pariwisata Osing

dilakukan oleh pemerintah yaitu Dinas

Pariwisata bersama pemerintahan desa

melalui BUMDes bekerja sama

dengan masyarakat terdiri Pokdarwis,

dan pengusaha. Kolaborasi ini

dilakukan masih dihadapkan

permasalahan yaitu pemerintah selaku

penentu kebijakan namun belum

diimbangi dengan ketersediaan dana,

infrastruktur atau sarana prasarana

yang memadai, di pihak pengusaha

hanya mau terlibat sepanjang

memberikan keuntungan, sedangkan

masyarakat dengan potensi wisata

yang dimiliki belum mampu

mengelola wisata secara maksimal

sehingga belum memberikan jaminan

pendapatan secara rutin dan maksimal.

Padahal untuk mewujudkan Kemiren

sebagai desa osing perlu dilakukan

upaya penyediaan pelayanan

wisatawan secara baik, sarana

prasarana yang memadai, objek wisata

yang menarik serta kebutuhan lainnya

Pengembangan pariwisata osing

yang lebih memadahi diperlukan

strategi yang tepat, karena strategi

merupakan hal penting agar masing-

masing pelaku memiliki cara-cara

tersendiri untuk mendukung

pariwisata Osing bisa berkembang.

Maka kajian staregi perlu dilakukan

agar mampu mewujudkan objek

pariwisata yang memberika kepuasan

wisatawan sekaligus memberikan

income bagi masyarakat dan negara.

Landasan Teori

Pendekatan Teori Administrasi

(Government)

Dalam teori administrasi

dijelaskan bahwa terjadi adanya

distrust kepada negara dan sebaliknya

mengangkat citizen trust sebagai

pendekatan baru. Hal tersebut karena

pemerintah dihadapkan keterbatasan

sehingga perhatian pemerintah

terhadap berbagai masalah semakin

berkurang, padahal perkembangan dan

tuntutan masyarakat semakin komplek

sehingga diperlukan kerja sama

dengan pihak lain, dimana dalam teori

administrasi disebut sebagai orientasi

pada citizen. Dinyatakan oleh Rixed,

2008 dikutip oleh Agus Margono,

2015 bahwa:

“central government agencies

must meet stringent requirements in

terms of being occessible and

obliging. They must be able to

declare the service they offer and

the means by which they do so, and

must give citizens the opportunity

for dialogue and for expressing their

shoul need to be in contact with only

one agency as for as possible. All

citizens with special needs must

have equivalent acces to the service

on offer, and to information about

the public sector”.

Keterbatasan negara tersebut

dalam kontek administrasi negara

menunjukkan bahwa peran negara

sudah harus didesentralisasikan

kewenangannya pada sektor lain yaitu

sektor swasta atau masyarakat sebagai

pelaku di depan dan negara berada di

posisi lebih belakang. Hal inilah yang

perlu dicermati bahwa negara sudah

tidak lagi dominan menentukan

segalanya dan melakukan sendirian

dan mulai memberikan peran pada

yang lain. Dalam pengembangan

pariwisata merupakan tugas negara

dan dengan keterbatasannya maka

perlu didesentralisasikan kepada

swasta dan masyarakat dengan

berbagai strateginya agar dapat

berkembang pesat.

Page 46: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

38

Strategi

Strategi adalah seni memadukan

atau menginteraksikan antar faktor

kunci keberhasilan agar terjadi sinergi

dalam mencapai tujuan. Hal yang

terpenting dari strategi adalah

mengambil tindakan yang berbeda

dengan organisasi lain sebagai pesaing

dalam suatu usaha untuk mencapai

posisi yang lebih unggul sehingga

produknya diminati para pengguna

atau masyarakat. Strategi harus

mendasarkan visi misi organisasi yang

tegas dan mampu memberikan

penjelasan kemana arah organisasi

akan berjalanya itu menuju pada

tujuan yang diinginkan. Untuk itu

diperlukan perumusan strategi yang

matang dengan mempertimbangkan

kendala, tantangan dan hambatan serta

mampu memanfaatkan potensi dengan

peluang yang ada sehingga mencapai

keberhasilan. Strategi sebenarnya

merupakan istilah militer yang artinya

siasat untuk mendeskripsikan cara-

cara untuk mengalahkan lawan.

Strategi dalam organisasi dikutip

sebagai upaya atau tindakan yang

dilakukan organisasi untuk

mengungguli organisasi lainnya

menjadi lebih maju.

Fungsi strategi menurut Sofian

Ansuri (20137) yaitu:

Mengkomunikasikan suatu

maksud (visi) yang ingin dicapai:

1. Menggabungkan kekuatan atau

keunggulan organisasi dengan

peluang di lingkungannya

2. Memanfaatkan kesuksesan yang

didapat sekarang serta

menyelidiki adanya peluang baru

3. Menghasilkan dan mengkaitkan

sumber-sumber daya yang lebih

banyak dari yang digunakan

sekarang

4. Mengkoordinasikan dan

mengarahkan kegiatan atau

aktivitas organisasi kedepan

5. Menanggapi serta bereaksi atas

keadaan yang baru dihadapi

sepanjang waktu.

Manfaat dari strategi adalah

untuk mengoptimalkan sumberdaya

unggulan dalam memaksimalkan

pencapaian sasaran kinerja. Berney

Jay B. dalam LAN 2018 menjelaskan

bahwa kerja strategi adalah suatu pola

alokasi sumberdaya yang

memampukan organisasi memelihara

bahkan meningkatkan kinerja. Staretgi

yang baik yaitu suatu strategi yag

menetralisir ancaman atau tantangan

dan merebut peluang yang ada dengan

memanfaatkan kekuatan yang tersedia

serta meniadakan atau memperbaiki

kelemahan-kelemahan yang masih

ada. Ada 4 strategi utama untuk

pengembangan potensi usaha yaitu:

1. Stability strategy adalah

melanjutkan strategi yang

sebelumnya atau penambahan

perbaikan terhadap pelaksanaan

fungsinya alasannya karena

organisasi telah berhasil dalam

taraf kedewasaan.

2. Retrenchment strategy adalah

strategi penciutan pada umumnya

digunakan untuk mengurangi

produk/jasa organisasi. Alasannya

karena organisasi tidak berjalan

dengan baik, lingkungan semakin

mengancam, mendapat tekanan

dari publik, sehingga peluang

tidak dimanfaatkan dengan baik.

3. Growth strategy adalah strategi

pertumbuhan banyak

dipertimbangkan untuk diterapkan

dengan pertimbangan bahwa

keberhasilan usaha adalah usaha

yang selalu berkembang yaitu bisa

melalui ekspansi dengan

memperluas daerah usaha atau

penjualan produk atau dapat

berupa diversifikasi produk.

Page 47: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

39

4. Combination strategy adalah

strategi dilakukan jika banyak

menghadapi perubahan

lingkungan dengan kecepatan

yang tidak sama, tidak memiliki

potensi masa depan yang sama

serta memiliki arus kas negatif.

Pengembangan

Pengembangan merupakan

usaha yang terencana dari organisasi

untuk meningkatkan pengetahuan,

ketrampilan dan kemampuan.

Pengembangan lebih ditekankan pada

peningkatan pengetahuan intuk

melakukan pekerjaan untuk masa yang

akan datang, yang dilakukan melalui

pendekatan yang terintegrasi dengan

kegiatan lain untuk mengubah perilaku

kerja. (Marihot Tua Efendi Hariandja,

2002: 168).

Pengembangan merupakan

usaha yang dilakukan pemerintah,

badan usaha dan masyarakat melalui

pemberian bimbingan dan bantuan

perkuatan untuk menumbuhkan dan

meningkatkan kemampuan usaha

kecil menjadi usaha yang mandiri.

Pengembangan merupakan setiap

usaha memperbaiki pelaksanaan

pekerjaan yang sekarang maupun yang

akan datang dengan memberikan

informasi mempengaruhi sikap-sikap

atau menambah kecakapan.

Pariwisata

Istilah Pariwisata berasal dari

bahasa sanskerta yang artinya

berputar-putar dari satu tempat ke

tempat lain (tour). Pari artinya

berkali-kali, berputar-putar dan wisata

artinya perjalanan atau bepergian.

Prasiasa (2015:30) menjelaskan bahwa

pariwisata merupakan satu proses

kepergian sementara dari seseorang

atau lebih menuju tempat lain diluar

tempat tinggalnya. Maka pariwisata

menunjukkan sebagai suatu perubahan

tempat tinggal sementara seseorang

diluar tempat tinggalnya karena suatu

alasan dan bukan untuk melakukan

kegiatan yang menghasilkan upah. Hal

tersebut sesuai UU RI No, 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan Bab 1

pasal 1 ayat 4 bahwa pariwisata adalah

keseluruhan kegiatan yang terkait

dengan pariwisata dan bersifat multi

dimensional dan multidisiplin yang

muncul sebagai wujud kebutuhan

setiap orang dan negara serta interaksi

antara wisatawan, pemerintah,

pemerintah daerah dan pengusaha.

Kegiatan tersebut mengarah pada

suatu lokasi yang dituju yaitu objek

wisata yang memiliki daya tarik

tersendiri, dimana wisata meliputi

wisata alam, sosial budaya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif yang bersifat

deskriptif. Fokus dalam penelitian ini

adalah strategi pegembangan

pariwisata di Desa Kemiren,

Kecamatan Glagah Kabupaten

Banyuwangi. Informan dalam

penelitian ini adalah perangkat desa,

tokoh masyarakat pelaku seni dan

masyarakat, sedangkan tehnik

pengumpulan data menggunakan

observasi, wawancara dan

dokumentasi yang dianalisis

menggunakan analisis data interaktif

yaitu pengumpulan data, reduksi data,

penyajian data dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Gambaran Umum Pariwisata Osing

Kabupaten Banyuwangi

terletak di Wilayah provinsi Jawa

Timur yang secara letak geografis

yang berdekatan dengan pulau Bali

Page 48: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

40

sehingga memunculkan peluang bagi

pertumbuhan wisata terutama wisata

kebudayaan yang bertajuk The Sunrise

of Java ini mendapatkan penghargaan

Travel Club Tourism Award (TCTA)

2012 sebagai kota/kabupaten, yang

memiliki komitmen tinggi dalam

mewujudkan tata kelola

pengembangan kepariwisataan yang

bermutu. Banyuwangi mendapat

penghargaan The Most Improved,

karena kabupaten ini konsisten

mengembangkan sektor pariwisata

(Tribunnews.com, 25 Sept 2012).

Upaya untuk pengembangan

kawasan pariwisata yang sesuai

harapan maka pemerintah kabupaten

Banyuwangi menerbitkan Perda No 8

tahun 2012 tentang Rencana Tata

ruang Wilayah Kabupaten

Banyuwangi tahun2012-2032. Pada

perda tersebut diatur ketentuan tentang

Kawasan peruntukan pariwisata yang

memiliki daya tarik wisata budaya;

daya tarik wisata alam; dan daya tarik

wisata buatan. Kawasan peruntukan

pariwisata sebagaimana dimaksud

menetapkan 3 (tiga) objek wisata

andalan dalam Wilayah

Pengembangan Pariwisata (WPP)

sebagai kawasan pariwisata segitiga

berlian (the diamond triangle)

meliputi; WPP I berupa Kawah Ijen;

WPP II berupa Pantai Plengkung; dan

WPP III berupa Pantai Sukamade.

Penentuan WPP tersebut ditetapkan

berdasarkan kondisi geografis

kawasan dan sebaran lokasi objek

wisata. Desa Kemiren letaknya

sangatstrategis karena merupakan jalur

rute menuju wisata Kawah Ijen yang

merupakan objek wisata alam yang

terkenal di mancanegara. Oleh karena

itu letak Desa Kemiren merupakan

bagian dari kawasan/ wilayah

pengembangan pariwisata menuju Ijen

(WPP I).

Menurut Kepala Bidang

Kebudayaan Dinas Pariwisata Setiyo

Puguh Di Kabupaten Banyuwangi

masyarakat Osing tersebar di beberapa

Kecamatan seperti Glagah, Giri,

Kabat, Rogojampi, Songgon,

Singojuruh, Cluring, danGenteng.

Namun penduduk yang masih kuat

menganut adat istiadat dan budaya

khas sebagai satu suku, yang dikenal

sebagai suku Osing (Osing) dari

beberapa kecamatan tersebut yang

masih kental adalah di Kecamatan

Glagah terutama di Desa Kemiren.

Pada tahun 1995 pada saat era

Bupati Purnomo Sidik menetapkan

Desa Kemiren sebagai destinasi

wisata, dan sejak saat itu Desa

Kemiren ditetapkan juga sebagai

kawasan wisata Desa Osing. Sebagai

upaya untuk menjadikan Desa

Kemiren sebagai kawasan wisata

Osing pada saat itu dibangunlah

anjungan wisata yang terletak di utara

desa. Anjungan yang berdiri di atas

lahan 2,5 hektar ini dibangun dengan

biaya Rp 4 miliar. Anjunganini

dikonsep untuk menyajikan miniatur

rumah-rumah khas Osing yang dapat

digunakan untuk mempertontonkan

kesenian warga setempat, dan

memamerkan hasil kebudayaan Osing.

Desa Kemiren yang telah

ditetapkan sebagai Desa Osing

memiliki banyak keistemewaan di

antaranya penggunaan bahasa yang

khas yaitu bahasa Osing, serta

kekhasan kehidupan dan pemukiman

penduduk serta adat-istiadat suku

Osing. Kekhasan ini yang menjadi

modal utama pemerintah daerah

membangun Wisata Osing. Menurut

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas

Pariwisata Setiyo Puguh Wisata Osing

yang sebenarnya adalah wisata budaya

sementara fasilitas rekreasi hanya

merupakan tambahan yang dibangun

sebagai pelengkap. Oleh karena itu

Page 49: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

41

kebijakan pemerintah daerah dalam

mengoptimalkan potensi tersebut yaitu

dengan berupaya melestarikan budaya

Osing tersebut tidak punah.

Desa Kemiren, Kecamatan

Glagah, Kabupaten Banyuwangi

merupakan salah satu desa yang

dikembangkan bidang pariwisatanya,

yaitu osing. Desa Kemiren merupakan

kawasan pusat osing memiliki luas

area 117.052 Ha, dengan ketinggian

144 m diatas permukaan air laut.

Letaknya di 2 Km dari Kota

Kecamatan dan 5 Km dari Kabupaten.

Kebudayaan suku Osing di Kabupaten

Banyuwangi sebagai salah satu produk

utama tujuan wisata di Kabupaten

Banyuwangi. Kemiren sebagai sebuah

suku yang menempati satu wilayah

kabupaten secara penuh, suku Osing

memiliki karakteristik yang berbeda

dibanding suku lainnya, di Jawa

Timur, dibandingkan dengan 9

wilayah kebudayaan lainnya, suku

Osing memiliki percampuran antara

budaya Jawa kuno dan Bali sebagai

akar budayanya.

Potensi yang dimiliki desa

Kemiren sangat banyak sekali dan

sangat unik karena berbeda dengan

potensi daerah lainnya dan dipelihara

terus menerus secara turun temurun

oleh warga masyarakatnya. Potensi

wisata dalam pengertian disini

merupakan semua objek (alam,

budaya, buatan) yang memerlukan

banyak penanganan agar dapat

memberikan nilai daya tarik bagi

wisatawan (Janianton Damanik dan

Helmut F. Weber, 2006 : 11). Lebih

lanjut Cooper dkk (1995: 81)

mengemukakan bahwa terdapat 4

(empat) komponen yang harus dimiliki

oleh sebuah daya tarik wisata, yaitu:

1) Atraksi (attractions), seperti alam

yang menarik, kebudayaan daerah

yang menawan dan seni pertunjukkan.

2) Aksesibilitas (accessibilities)

seperti transportasi lokal dan adanya

terminal. 3) Amenitas atau fasilitas

(amenities) seperti tersedianya

akomodasi, rumah makan, dan agen

perjalanan. 4) Ancillary services yaitu

organisasi kepariwisataan yang

dibutuhkan untuk pelayanan

wisatawan seperti destination

marketing management organization,

conventional and visitor bureau.

Di Desa Kemiren potensi wisata

yang sangat menarik adalah wisata

budaya sementara fasilitas rekreasi

hanya merupakan tambahan yang

dibangun sebagai pelengkap. Terdapat

beberapa kebudayaan dan seni tradisi

yang berkembang dalam suku Osing,

diantaranya kebo-keboan di Alas

Malang, seblang di Oleh Sari, endog-

endogan, janger, kuntulan, angklung,

damar wulan, barong, mocoan pacul

goang, jaranan buto, patrol hingga

gandrung yang lebih populer dari

yang lainnya. Kuatnya budaya dan

tradisi yang dipegang teguh oleh

masyarakat Osing ini menjadi daya

tarik utama yang diandalkan oleh

pemerintah Banyuwangi untuk

menarik wisatawan.

Page 50: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

42

Strategi Pengembangan Pariwisata

Osing di Desa Kemiren, Kecamatan

Glagah, Kabupaten Banyuwangi

Beberapa strategi yang

dijalankan untuk mengembangkan

pariwisata di Desa Kemiren,

Kecamatan Glagah, Kabupaten

Banyuwangi adalah dijalankan dengan

berbagai cara yaitu:

Strategi Pengembangan Objek atau

Atraksi Wisata

Strategi yang dijalankan dalam

pengembangan pariwisata osing

adalah melalui pengembangan objek

dan atraksi wisata, kegiatan ini

dilakukan dengan pertimbangan

memenuhi beberapa hal sebagai

berikut:

1. Meningkatkan keunikan dan daya

tarik alam dan budaya berskala

nasional dan internasional dengan

pengoptimalan potensi wilayah.

2. Meningkatkan Manajemen /

Pengelolaan Objek Wisata secara

Mandiri, Profesional dengan tetap

memperhatikan Lingkungan.

3. Meningkatkan Kualitas Pelayanan

Pendukung Pariwisata.

Sedangkan strategi

pengembangan objek wisata dilakukan

dengan menampilkan jenis atraksi

yang menjadi ciri khas dari lokasi

wisata. Atraksi wisata yang

ditampilkan dilakukan dengan

mengoptimalkan potensi objek wisata

dengan tetap memperhatikan

keseimbangan lingkungan, dan

menciptakan atraksi yang baik yang

meliputi tiga faktor yaitu adanya

Something to see, Something todo

dan Something to buy. Ketiga faktor

tersebut dikoordinasikan dengan cara:

1. Mengkondisikan objek dan

kegiatan dalam lokasi wisata

sebagai atraksi dengan

mempertimbangkan ketiga unsur

diatas, dengan melakukan suatu

perencanaan program perjalanan

dengan pengaturan waktu di

dalam objek wisata sehingga

wisatawan menikmati objek

tersebut secara baik.

2. Atraksi yang disesuaikan dengan

jenis wisatawan sehingga

permintaan atraksi tetap

memperhatikan kesesuaian

dengan kondisi objek wisata.

3. Mempresentasikan atau

menyajikan atraksi secara tepat

kepada wisatawan dengancara

mengatur perspektif ruang yaitu

mengatur posisi objek-objek

wisata dengan menyalurkan

wisatawan ke tempat-tempat yang

memberi kesempatan kepadanya

untuk menikmati objek wisata

sebaik-baiknya.

4. Mengembangkan objek wisata

sebagai objek penangkap

wisatawan (tourist catcher)

sekaligus penahan wisatawan

yaitu dengan memperpanjang

waktu tinggal wisatawan.

Strategi pengembangan

pariwisata tersebut diperlukan fasilitas

penunjang yang merupakan komponen

yang mempengaruhi kegiatan

kepariwisataan sehingga dapat

berjalan lancar, seimbang dan bisa

berkembang. Kehadiran konsumen/

wisatawan juga salah satunya

ditentukan oleh kemudahan-

kemudahan yang dirasakan, seperti

pelayanan yang baik, kemudahan

dalam hal akomodasi dan transportasi.

Dalam pemenuhan kebutuhan dan

penyediaan fasilitas wisata juga

diperlukan upaya menghilangkan hal-

hal yang bersifat formal, kaku dan

menciptakan suasana santai serta

Page 51: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

43

kesan bersih dan aman yang

merupakan aspek penting.

Strategi Pengembangan Pelayanan

Dalam Penyediaan Sarana

Pendukung Pariwisata

Strategi ini dilakukan untuk

memberikan pelayanan secara

maksimal bagi wisatawan dan

pelayanan yang baik bisa dijalankan

jika difasilitasi dengan sarana

pendukung yang memadai sehingga

mampu memberikan pelayanan secara

baik. Pengembangan Pariwisata tidak

akan berarti tanpa adanya dukungan

pelayanan berupa sarana penunjang

yang memadai. Pengembangan sarana

penunjang merupakan komponen yang

mempengaruhi kegiatan

kepariwisataan agar dapat berjalan

lancar dan berkembang. Kehadiran

wisatawan juga ditentukan oleh

kemudahan-kemudahan yang

diciptakan, mulai dari pelayanan yang

baik, kemudahan akomodasi dan

transportasi sampai kepada kesadaran

masyarakat sekitarnya agar wisatawan

merasa nyaman, contohnya:

hotel/fasilitas akomodasi,

warung/restaurant, pusat informasi

pengunjung, prasarana air bersih,

listrik, jaringan jalan. Unsur-unsur

penunjang tersebut perlu dirancang

dengan mempertimbangkan

kesesuaiannya dengan lingkungan

alam dan budaya setempat.

Strategi pengembangan

pelayanan sarana penunjang

pariwisata yang dilakukan

diantaranya:

1. Pengembangan wisata minat

khusus dan membangun

infrastruktur pendukung

pariwisata yang memprioritaskan

kenyamanan para pengunjung.

2. Penerapan kawasan usaha terpadu

(one stop tourism service) adalah

suatu areal yang menyediakan

berbagai kegiatan mencakup

kegiatan usaha dan layanan jasa,

penyediaan sarana dan fasilitas,

atraksi, paket wisata hingga

cendera mata yang dilakukan

secara terpadu. Strategi tersebut

mampu menciptakan di kawasan

kegiatan ekonomi yang lebih

maju, serta peluang usaha dan

kesempatan kerja bagi masyarakat

setempat.

3. Penyebaran informasi pariwisata

ditujukan bagi turis yang pernah

berkunjung untuk memilih

atraksi-atraksi dengan lokasi

objek wisata tertentu (paket

pariwisata).

4. Pengembangan Jalur/ Koridor

Pariwisata yaitu jalur touring

dimana pintu masuk wisatawan

(gateway) dan menikmati paket

wisata apa saja di dalamnya.

Strategi tersebut mampu

memberikan tambahan ianformasi

penting dan kemudahan bagi

wisatawan dalam melakukan

perjalanan wisata, karena dirancang

sesuai kebutuhan dan dan keinginan

bersama baik pelaku wisata maupun

masyarakat dan wisatawan.

Strategi Pengembangan Promosi

Dan Pemasaran Pariwisata

Strategi ini merupakan usaha

pengembangan pasar yaitu pemasaran

produk wisata yang didasarkan pada

konsep pemasaran yang bertanggung

jawab sehingga “terwujud sustainable

marketing”. Strategi ini diarahkan

pada upaya memasarkan produk

wisata secara efisien dan efektif serta

dilakukan secara proaktif untuk

mengetahui keinginan (demand) pasar

dan berupaya menjemput lebih banyak

wisatawan domestik maupun

mancanegara. Pemasaran pariwisata

Page 52: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

44

ini juga diarahkan pada pemasaran

yang terintegrasi dan terkoordinasi

sehingga dapat meraih pasar potensial

secara lebih mantap dan terarah.

Konsep pengembangan pasar

dan pemasaran pariwisata ini

didasarkan pada pemasaran produk

dalam skala kecil namun mengarah

pada pasar yang berkualitas, sehingga

pengembangan pariwisata lebih

mengutamakan unsur kualitas

daripada kuantitas. Hal ini berkaitan

dengan upaya mengelola wisatawan

(visitor management) secara

profesional dan dimaksudkan untuk

meminimalkan dampak negatif pada

lingkungan. Strategi pasar wisatawan

ini yang menjadi target adalah pasar

wisata minat khusus yakni wisata

budaya dan alam. Pengembangan

pariwisata juga dilakukan melalui

pengembangan citra daerah tersebut,

jalur wisata, dan pembangunan

penunjuk arah yang besar menuju ke

tempat-tempat wisata serta

membangun peta/info yang

menggambarkan keberadaan tempat-

tempat wisata sehingga membuat

wisatawan tidak kebingungan.

Strategi Pengembangan

Kelembagaan dan Kerja sama

Strategi pengembangan yang

dilakukan melalui kelembagaan

digalang khususnya pada objek-objek

yang yang perlu dikembangkan, dan

juga pada objek-objek yang memiliki

kedekatan kedalam satu program

bersama osing. Kelembagaan

merupakan salah salah satu crucial

point yang yang menentukan berhasil

tidaknya pengelolaan pengembangan

osing tersebut. Semakin mantap

kelembagaannya semakin tinggi

tingkat pencapaian kinerjanya.

Pembahasan kelembagaan ini

mencakup keterkaitan berbagai pihak

yang terlibat baik itu dari pihak

pemerintah, swasta dan juga

masyarakatnya sehingga tercapai hasil

yang maksimal dalam rangka

pengembangan wisata. Unsur penting

dalam kelembagaan ni adalah adanya

koordinasi dan kerja sama antar pihak-

pihak tersebut sehingga masing-

masing pihak memiliki peran sendiri-

sendiri sesuai dengan bidangnya.

Disinilah diperlukan good will

dari instansi tersebut untuk komitmen,

karena tanpa hal ini kepariwisataan

tidak akan mencapai target optimal.

Dalam kelembagaan kepariwisataan,

pemerintah dapat berperan aktif dalam

menentukan kebijakan, melaksanakan

rencana struktur pengembangan

pariwisata, menentukan anggaran

untuk promosi, menyelenggarakan

program-program pelatihan yang

berkaitan dengan kepariwisataan serta

membuat peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan pengembangan

sektor pariwisata. Pihak swasta dapat

berperan dalam investasi yang

membantu pengembangan objek

wisata terutama dalam hal pendanaan,

atau juga dapat berperan dalam

penyedia sektor jasa yang mendukung

keberadaan objek wisata misalnya

hotel, rumah makan atau agen travel.

Fungsi pihak swasta dalam

pengembangan wisata ini dapat

menciptakan lapangan pekerjaan baru

untuk masyarakat di sekitar objek

wisata. Sedangkan masyarakat dapat

membantu melalui dukungan dan

partisipasinya dalam pengembangan

sektor pariwisata ini.

Kelembagaan dalam

pengembangan pariwisata dan sektor

terkait lainnya didasarkan pada model

kemitraan sehingga dapat melakukan

pengelolaan dan pengembangan

kawasan secara optimal yang bersifat

multi dimensi. Konsep partnership

baik dengan mitra lokal maupun mitra

Page 53: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

45

dari luar dalam pengelolaan dapat

memberikan manfaat terhadap upaya

memelihara dan melestarikan sumber

daya alam dan budaya sehingga

pengembangan pariwisata yang

bertumpu pada aset alam dan budaya

yang dimlilki oleh kawasan tersebut

dapat berlangsung secara harmonis.

Berdasarkan penjelasan diatas

menunjukkan bahwa strategi

pengembangan pariwisata di Desa

Kemiren sudah dapat dikatakan cukup

berhasil dalam pelaksanaannya karena

strategi yang dilakukan dengan cara

peningkatkan keunikan dan daya tarik

alam dan budaya dengan

pengoptimalan potensi wilayah,

pengelolaan objek wisata secara

mandiri, profesional dengan tetap

memperhatikan lingkungan serta

meningkatkan kualitas pelayanan

pendukung pariwisata dan dilakukan

secara terlembaga sehingga pariwisata

osing lebih maju, jumlah kunjungan

wisatawan dan pendapatan masyarakat

juga meningkat sehingga secara

otomatis meningkatkan penerimaan

negara. Hal yang perlu diperhatikan

adalah perlu melibatkan multi

stakeholder yaitu baik pemerintah,

swasta maupun masyarakat secara

berkesinambungan dan bersinergi

yang disesuaikan dengan kondisi dan

persoalan yang adat tanpa

meninggalkan nilai kearifan dan

keunikan lokal dari masyarakat Osing.

Kesimpulan

Pengembangan wisata osing

dilakukan atas kerja sama antar

stakeholder telah berjalan baik.

Keberhasilan tersbeut tidak lepas dari

strategi yang dijalankan yaitu strategi

pengembangan objek atau atraksi

wisata yang berdaya tarik dan

marketable, strategi pengembangan

pelayanan dalam penyediaan sarana

pendukung pariwisata, strategi

pengembangan promosi dan

pemasaran pariwisata, strategi

pengembangan kelembagaan dan kerja

sama. Yang perlu diperhatikan

berkesinambungan dan bersinergi

yang disesuaikan dengan kondisi dan

persoalan yang adat tanpa

meninggalkan nilai kearifan dan

keunikan lokal dari masyarakat Osing.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

perlu memaksimalkan keterlibatan

stakeholder dalam pengembangan

kawasan wisata Osing, dengan

menumbuhkan kesadaran kolektif

menuju Destinasi Manjement Plandan

Tourism Manajemen Plan dalam

pengembangan wisata Osing.

Daftar Pustaka

Andreu, R., Claver, E., danQuer, D.

2010, Entry of Spanish Tourism

Firms into New Businesses,

International Journal of

Contemporary Hospitality

Management, Vol. 22, No. 1,

hal. 7-23.

Berney Jay B. 2018. LAN

Chafid Fandeli, 1997. Dasar-dasar

Manajemen Kepariwisataan

Alam, Yogyakarta: Liberti.

Damanik, Janianton dan Helmut F

Weber, 2006, Perencanaan

Ekowisata: dari Teori ke

Aplikasi.Yogyakarta: Andi Ofset

Hadinoto, 1997. Perencanaan

Pengembangan Destinasi

Pariwisata, PT. Gramedia,

Jakarta

Kusmayadi, Sugiarto E, 2000.

Metodologi Penelitian Dalam

Bidang Kepariwisataan, PT

Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta

Page 54: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Pengembangan Pariwisata Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi

46

Lundberg, D.E., M.H. Stavenga, M.

Krishnamoorthy. 1997. Ekonomi

Pariwisata. dalam: I Wayan

Geriya, Diplomasi Keunggulan

Budaya. PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta..

Margono, Subando Agus (Editor),

2015, Bisnis, Sosial da

Kelembagaan Publik, PPenerit

Gava Media, Yogjakarta.

Marihot Tua Efendi Hariandja, 2002,

MSDM, PT Gramedia

Indonesia,, Jakarta.

Nandi, ….,”Pariwisata dan

Pengembangan Sumberdaya

Manusia, Jurusan Pendidikan

Geografi FPIPS UPI, Jakarta

Prasiasa, D.P Oka, 2015. Wacana

Kontemporer Pariwisata,

Salemba Humanika, Jakarta.

Sunaryo, Bambang, 2013. Kebijakan

Pengembangan Destinasi,

Pariwisata, Grava Media

Jogjakarta.

Sutarto. 2003. “Etnografi Masyarakat

Osing”. Laporan Penelitian.

Surabaya: Dinas P dan K

Provinsi Jawa Timur.

Yoeti, Oka A. 2000. Ekowisata

Pariwisata Berwawasan

Lingkungan Hidup. Jakarta.

Sutarto. 2003. “Etnografi Masyarakat

Osing”. Laporan Penelitian.

Surabaya: Dinas P dan K

Provinsi Jawa Timur.

Wahab, Salah, 1996, Management

Kepariwisataan, PT Pradnya

Pramita, Jakarta. Aliha Bahasa

dari buku: Frans Gromang

Yoeti, Oka A. 2000. Ekowisata

Pariwisata Berwawasan

Lingkungan Hidup. Jakarta.

UU RI No, 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan

Page 55: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

47

PROSES KEBIJAKAN KEPARIWISATAAN BERKELANJUTAN DI

BANYUWANGI

Edy Wahyudi1

[email protected]

Abstract

This study aims to evaluate the impact of using model Single Program Before-After.

The researchers wanted to see a change of circumstances before and after the policy,

the variables used in the analysis of the evaluation policy was as much as five

components namely: the vision, the formulation, implementation, sustainability,

economy and income of the original area. Of respondents is representative of each of

the SKPD is involved in tourism activities. For the components of the vision then

seen that the majority of respondents answer either. To question the level of clarity

vision the majority of respondents answer the obvious. As for ease of translating the

vision of tourism the majority replied easily. As for the vision of tourism include all

stakeholders. The original Regional Reventue (PAD) Banyuwangi has increased

each year.

Keyword: Tourism, Single Program Before-After, tourism policy

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan

model Single Program Before-After. Peneliti hendak melihat perubahan keadaan

sebelum dan sesudah kebijakan, variabel yang digunakan dalam analisis evaluasi

kebijakan adalah sebanyak 5 komponen yaitu: visi, formulasi, implementasi,

keberlanjutan, ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah. Responden merupakan

perwakilan setiap SKPD yang terlibat dalam kegiatan kepariwisataan. Untuk

komponen visi maka terlihat bahwa mayoritas responden menjawab baik. Untuk

pertanyaan tingkat kejelasan visi mayoritas responden menjawab jelas. Sedangkan

untuk kemudahan penerjemahan visi kepariwisataan mayoritas menjawab mudah.

Sedangkan untuk visi kepariwisataan sudah meliputi semua pemangku kepentingan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banyuwangi mengalami peningkatan setiap

tahunnya.

Kata Kunci: Pariwisata, Single Program Before-After, Kebijakan Pariwisata

1 Dosen Universitas Jember

Page 56: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

48

Pendahuluan

Pariwisata adalah isu politik, dan

sangat dipengaruhi oleh ketidakstabilan

politik (Lockhart, 1994). Ini telah

berkembang sejak lama terutama

karena meningkatkan mobilitas

manusia, dan pertumbuhannya telah

terwujud, banyak dampak positif dan

negatif telah terjadi. Lebih banyak

pelancong dan wisatawan yang

bergerak di seluruh dunia semakin kuat

kebutuhannya koordinasi dan peraturan

untuk kepentingan pemangku

kepentingan yang berbeda terlibat

dalam pengembangan pariwisata.

Kebijakan memberikan rencana untuk

bertindak memandu keputusan dan

mencapai hasil yang rasional (Ismet

and Abuhjeeleh, 2016).

Dalam upaya pengembangan

pariwisata di Indonesia, pemerintah

membuat beberapa kebijakan tentang

pariwisata, yaitu: a) Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, b) Undang-undang

Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, c)

Undang- undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, d) Peraturan Pemerintah Nomor

36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam Di Suaka

Margasatwa, Taman Nasional, Taman

Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam,

e) Peraturan Pemerintah Nomor 50

Tahun 2011 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Nasional

tahun 2010-2025, f) Peraturan

Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012

tentang Sertifikasi Kompetensi dan

Sertifikasi Usaha Di Bidang Pariwisata,

g) Peraturan Pemerintah Nomor 34

Tahun 2006 tentang Jalan, h)

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun

2000 tentang Badan Pengembangan

Pariwisata dan Kesenian, i) Instruksi

Presiden Nomor 16 Tahun 2005

tentang Kebijakan pembangunan

Kebudayaan dan Pariwisata, j)

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 51 Tahun 2007 tentang

Pembangunan Kawasan Perdesaan

Berbasis Masyarakat. Adapun

pemerintah Kabupaten Banyuwangi

telah membuat beberapa aturan

berkaitan dengan kepariwisataan

diantaranya sebagai berikut: a)

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2012

Tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten

Banyuwangi, b) Peraturan Bupati

Kabupaten Banyuwangi Nomor 14

Tahun 2014 Tentang Pendaftaran

Usaha Pariwisata, c) Peraturan Bupati

Kabupaten Banyuwangi Nomor 10

Tahun 2016 Tentang Perubahan

Peraturan Bupati Pendaftaran Usaha

Pariwisata. Adapun aturan yang dibuat

oleh Bupati Banyuwangi membuat

semua stakeholder berkaitan

pariwisata dilibatkan dalam

pembangunan kepariwisataan di

Kabupaten Banyuwangi. Didalam

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun 2012

Tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten

Banyuwangi Pasal 11 menjelaskan

pembangunan kepariwisataan

Kabupaten meliputi : a) Industri

pariwisata; b) Destinasi pariwisata, c)

Pemasaran; dan d) Kelembagaan

kepariwisataan. Hal ini terlihat semua

komponen pembangunan

kepariwisataan dilibatkan secara penuh

dan juga akan mendorong kemajuan

pariwisata di Kabupaten Banyuwangi.

Lebih lanjut juga dijelaskan adanya

hubungan antara faktor-faktor yang

menjadi rumusan kebijakan dan

penerapan yang potensial dari

kebijakan pariwisata tersebut (Ismet

and Abuhjeeleh, 2016).

Selain dalam bentuk aturan yang

ada terdapat bentuk kebijakan

kepariwisataan di bawah dalam

Page 57: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

49

pemerintahan Kabupaten Banyuwangi

yaitu berbagai festival yang

dilaksanakan oleh berbagai Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Adapun pelaksanaan Banyuwangi

Festival dari tahun ke tahun semakin

meningkat, berikut tabel perkembangan

Banyuwangi Festival dari tahun ke

tahun.

Tabel 1.1 Jumlah Banyuwangi Festival 2012-2017

No Tahun Jumlah Banyuwangi Festival

1 2012 10 Festival

2 2013 14 Festival

3 2014 18 Festival

4 2015 36 Festival

5 2016 53 Festival

6 2017 72 Festival

7 2018 77 Festival

Sumber : Diolah dari banyuwangikab.go.id

Adapun suatu kebijakan

hendaknya dilakukan evaluasi. Tujuan

evaluasi kebijakan tidak boleh hanya

tentang “menemukan kesalahan” dan

“siapa yang membuat salah”, dan oleh

karenanya menggantung mereka di

kertas untuk dinilai secara politis.

Tujuan utama evaluasi kebijakan

adalah untuk menilai kesenjangan atau

perbedaan antara harapan dan kinerja,

dan kemudian menemukan cara untuk

menutup kesenjangan tersebut. Oleh

karenanya, evaluasi sebaiknya

dilaksanakan secara positif (Nugroho,

2012). Berbagai hal tersebut

merupakan kebijakan yang dilakukan

oleh pemerintah Kabupaten

Banyuwangi dalam mengembangkan

pariwisata di Kabupaten Banyuwangi.

Berbagai kebijakan dalam bidang

kepariwisataan yang dilakukan

merupakan komitmen Pemkab

Banyuwangi dalam meningkatkan

minat berkunjung wisatawan ke

Banyuwangi.

Landasan Teori

Kebijakan Kepariwisataan

Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 tahun 2009

Tentang Kepariwisataan, menyebutkan

pariwisata adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan wisata, termasuk

pengusahaan obyek dan daya tarik

wisata serta usaha-usaha yang

berhubungan dengan penyelenggaraan

pariwisata, dengan demikian pariwisata

meliputi: (1) semua kegiatan yang

berhubungan dengan perjalanan wisata,

(2) Pengusahaan obyek dan daya tarik

wisata, (3) Pengusahaan jasa dan

sarana pariwisata. Pariwisata

melibatkan pergerakan dari satu tempat

ke tempat lain untuk hiburan dan juga

tujuan bisnis (Boyarkina, 2014).

Adapun Dunn (1999:51-52)

menjelaskan mengenai kebijakan

adalah sebagai berikut: Secara

etimologis, istilah kebijakan atau policy

berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta

dan Latin. Akar kata dari bahasa

Yunani dan Sansekerta polis (negara

Page 58: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

50

kota) dan pur (kota) dikembangkan

dalam bahasa latin menjadi polita

(negara) dan akhirnya dalam bahasa

Inggris policie, yang berarti

mengangani masalah-masalah publik

atau administrasi pemerintah.

Merriam-Webster dalam (Ismet

and Abuhjeeleh, 2016) mendefinisikan

kebijakan sebagai metode tindakan

yang defensif ditunjuk dari berbagai

pilihan dan mengingat keadaan yang

ada untuk mengarahkan dan

menentukan keputusan masa depan dan

sekarang. Oleh karena itu, sebuah

kebijakan pariwisata terdiri dari

serangkaian metode yang ada untuk

digunakan dalam membuat keputusan

yang berkaitan dengan pariwisata.

Kebijakan pariwisata adalah

kebijakan publik; berarti itu umumnya

dirumuskan oleh sektor publik. Sektor

publik dalam hal ini meliputi

pemerintah pusat, pemerintah daerah

maupun bisnis publik. Untuk mencapai

tujuan ini, semua sektor terkait dalam

pariwisata perlu dilibatkan dalam

proses merumuskan kebijakan

(Yasarata et al, 2010). Sementara

merumuskan kebijakan pariwisata

merupakan proses yang penting untuk

menghasilkan kebijakan yang mudah

diterapkan, tidak semua kebijakan yang

diformulasikan diterapkan dan ini

dikaitkan dengan berbagai faktor

(Shuraiki, 2002). Kebijakan pariwisata

yang berkelanjutan mensyaratkan

partisipasi dari berbagai sektor

pemerintah termasuk transportasi,

kebijakan perpajakan, akomodasi,

konservasi lingkungan dan

pembangunan sosial yang lainnya

(Yasarata et al, 2010).

Kinerja Kepariwisataan

Menurut William N. Dunn dalam

Nugroho (2012) menyatakan bahwa

proses analisis kebijakan terdiri dari 1)

merumuskan masalah, 2) peramalan

masa depan kebijakan, 3) rekomendasi

kebijakan, 4) pemantauan hasil

kebijakan, dan 5) evaluasi kinerja

kebijakan.

Gambar 1. Konteks Evaluasi Kebijakan

Keempat komponen kebijakan

itulah yang menentukan apakah

kebijakan akan berhasil guna atau

tidak. Namun, konsep dalam konsep

“evaluasi” sendiri selalu terikut konsep

“kinerja” sehingga evaluasi kebijakan

publik pada ketiga wilayah bermakna

“kegiatan pasca”. Pada penelitian ini,

dimensi yang akan dibahas dan

digunakan sebagai pijakan penelitian

Page 59: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

51

ini adalah dimensi kinerja kebijakan

(Nugroho, 2012).

Evaluasi yang ketiga adalah

tentang kinerja kebijakan. Evaluasi ini

paling kritis dan penting karena tujuan

evaluasi adalah untuk membandingkan

antara hasil yang dimaksud dan hasil

yang dilakukan. Kebijakan

dikembangkan untuk mencapai kinerja

tertentu. Kebijakan harus mengarah ke

visi, misi, dan tujuan yang dinyatakan

dalam strategi yang dipilih (Nugroho,

2012).

Dalam hal ukuran kinerja,

masalahnya bahwa “pengevaluasi”

biasanya hanya berhenti pada

“pencapaian kinerja”. Sebagai model

berikut dapat dijelaskan dimensi

penilaian kinerja kebijakan yang lebih

komprehensif yaitu sebagai berikut:

Gambar 2. Model Penilaian Kinerja Kebijakan

Dari model di atas didapatkan

dimensi penilaian kinerja kebijakan

yang berkenaan dengan (Nugroho,

2012) adalah dimensi hasil (selisih

target dan pencapaian), dimensi proses

pencapaian hasil dan pembelajaran,

dimensi sumber daya yang digunakan

(efisiensi dan efektivitas), dimensi

keberadaan dan perkembangan

organisasi, juga dimensi

kepemimpinan dan pembelajarannya.

Model tersebut di atas akan dijadikan

landasan peneliti dalam melakukan

evaluasi kinerja kebijakan sektor

pariwisata Kabupaten Banyuwangi,

sehingga kebijakan kepariwisataan

yang sudah berjalan dapat dilihat

kinerjanya.

Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran

pada penelitian ini dapat dilihat pada

gambar berikut:

Keberlanjutan program

Implementasi kebijakan

kepariwisataan

Formulasi kebijakan kepariwisataan

Identitas kejelasan memahami visi misi

kepariwisataan

Visi Misi RPJMD 2016-2021

Page 60: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

52

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan deskriptif. Penelitian

deskriptif berusaha menggambarkan

suatu gejala sosial. Menurut Bungin

(2007:68), penelitian sosial

menggunakan format deskriptif

kualitatif bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan

berbagai kondisi, situasi, atau

fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi objek

penelitian, dan berupaya menarik

realitas itu ke permukaan sebagai suatu

ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau

gambaran tentang kondisi, situasi,

ataupun fenomena tertentu. Dengan

demikian, penelitian ini akan

menjelaskan gambaran realitas dari

masalah yang akan peneliti elaborasi

dengan menggunakan data-data yang

ada.

Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

terutama pada program- program yang

menjalankan kegiatan Kepariwisataan

di Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Informan Penelitian

Informan adalah orang yang

diperkirakan menguasai dan

memahami data, informasi ataupun

fakta dari suatu objek penelitian

(Bungin, 2007:108). Ia berpendapat

bahwa terdapat dua cara memperoleh

informan penelitian yaitu (1) snowball

sampling dan (2) key person. Dalam

penelitian ini, peneliti akan

memperoleh informasi dari key person.

Lebih lanjut Bungin (2007:77)

mengemukakan untuk memperoleh

informan penelitian melalui key person

digunakan apabila peneliti sudah

memahami informasi awal tentang

objek penelitian maupun informan

penelitian, sehingga ia membutuhkan

key person untuk memulai melakukan

wawancara atau observasi. Adapun

informan kunci dalam penelitian ini

yaitu Kepala Dinas Kebudayaan Dan

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi,

Kepala Badan Perencanaan Dan

Pembangunan Daerah Kabupaten

Banyuwangi, Kepala Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) Pelaksana

Kegiatan Kepariwisataan Di Kabupaten

Banyuwangi, dan Ketua Kelompok

Sadar Wisata (Pokdarwis) atau Desa

Wisata Di Kabupaten Banyuwangi

Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini lebih condong kepada

data-data kualitatif murni dan data-data

kualitatif yang dikuantitatifkan. Data

kualitatif merupakan sumber dari

deskripsi yang luas dan berlandasan

kokoh serta memuat penjelasan tentang

proses- proses yang terjadi dalam

lingkup setempat. Dengan data

kualitatif kita dapat mengikuti dan

memahami alur peristiwa secara

kronologis, menilai sebab-akibat dalam

lingkup pikiran orang-orang setempat

(Miles and Huberman, 1992: 2).

Data-data kualitatif yang

dibutuhkan meliputi data-data hasil

pengamatan dan wawancara mendalam.

Data-data tersebut lebih banyak

menggambarkan lingkup dan

implementasi proses pengembangan

kapasitas dan pemberdayaan

masyarakat serta pandangan-pandangan

masyarakat yang sulit untuk

diungkapkan melalui pengumpulan

data-data kuantitatif. Adapun teknik

pengumpulan data meliputi instrumen,

metode dan prosedur yang berkaitan

dengan proses pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data yang

Page 61: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

53

digunakan dalam penelitian ini

disesuaikan dengan kebutuhan data di

lapangan, yaitu data primer dan data

sekunder. Teknik pengambilan data

yang digunakan adalah wawancara

mendalam, pengamatan / observation,

dan teknik survei / kuesioner.

Data sekunder digunakan untuk

mendukung analisis dan interpretasi

data pada penelitian ini. Data-data

sekunder yang digunakan berupa data

tertulis atau gambar yang berisi

mengenai data-data kepariwisataan,

data-data pendapatan asli daerah, serta

arsip-arsip lain yang terkait dengan

penunjang kepariwisataan dan

pendapatan asli daerah.

Desain Penelitian

Metode analisis kualitatif

digunakan karena penelitian ini

bermaksud untuk mendapatkan

gambaran atau deskripsi mengenai

pelaksanaan proses pengembangan

kapasitas dalam masyarakat, sedangkan

metode kuantitatif digunakan untuk

mengukur sikap dan cara pandang

masyarakat terhadap pendekatan

pembangunan di lingkungannya.

Dalam sebuah penelitian, diperlukan

sebuah kerangka analisis agar dalam

analisis yang dilakukan bisa terarah

dan sesuai dengan tujuan dan sasaran

yang ingin dicapai. Kerangka analisis

adalah dasar analisis atau konsep dari

langkah-langkah penelitian yang terdiri

dari input penelitian, proses analisis

yang digunakan dan harapan berupa

output dari penelitian yang akan

dilakukan.

Metode Analisis

Di dalam penelitian ini, peneliti

akan melakukan evaluasi dampak

dengan menggunakan model Single

Program Before-After. Peneliti hendak

melihat perubahan keadaan sebelum

dan sesudah kebijakan. Adapun

variabel yang digunakan dalam analisis

evaluasi kebijakan adalah:

1) Visi, yaitu:

a. Tingkat kejelasan visi

b. Kemudahan diterjemahkan visi

kepariwisataan

c. Visi kepariwisataan yang dibuat

meliputi semua pemangku

kepentingan

2) Formulasi, yaitu:

a. Dalam membuat kebijakan

kepariwisataan melibatkan semua pemangku kepentingan

b. Dalam membuat kebijakan

kepariwisataan menggunakan teknik

Strength,

Weakness, Opportunity

c. Kesesuaian dengan visi

kepariwisataan

3) Implementasi, yaitu:

a. Kejelasan aktor dalam implementasi

program

b. Metode implementasi bersifat

partisipatori

c. Metode implementasi bersifat top-

down

d. Terdapat monitoring program atau

kebijakan

4) Berkelanjutan, yaitu pendistribusian

biaya dan manfaat yang merata:

a. Feedback/evaluasi/masukan untuk

program ke depan

b. Pergantian aktor atau bertanggung

jawab tidak berpengaruh terhadap

program

c. Kesiapan internal birokrasi dalam

implementasi program berkelanjutan

d. Persepsi interval terhadap program

atau kebijakan

5) Perekonomian Dan PAD, yaitu:

a. Kebijakan kepariwisataan

meningkatkan perekonomian

b. Optimalisasi pajak dan retribusi

yang memberikan kontribusi

signifikan.

Page 62: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

54

Pembahasan

Proses Kebijakan Pariwisata

Berkelanjutan

Berdasarkan observasi dan

wawancara yang dilakukan terhadap

Kepala Badan Perencanaan Dan

Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kabupaten Banyuwangi, Bapak

Suyanto Waspotandyo, beliau

menuturkan bahwa program

peningkatan kepariwisataan daerah

tertuang dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Kabupaten Banyuwangi 2016–2021

dalam Visi misi Bupati. Apabila

dicermati isu-isu strategis

pembangunan ini linear dengan RPJPD

2005–2025 dimana visinya adalah:

Kabupaten Banyuwangi yang religius,

Sejahtera dan Mandiri Berbasis

Agrobisnis dan Ekowisata Terpadu.

Keseriusan pembangunan

ekowisata terpadu nampak dari

penataan ruang wilayah dimana dalam

RPJP dinyatakan: Mewujudkan ruang

kabupaten berbasis pertanian,

bersinergi dengan pengembangan

perikanan, pariwisata, industri,

perdagangan dan jasa, yang berdaya

saing dan berkelanjutan. Hal ini

konsisten dengan arah pembangunan

kepariwisataan dimana pengembangan

ekowisata terpadu memaksimalkan

potensi wisata alam, wisata budaya dan

wisata buatan.

Visi ini match dengan breakdown

misi dimana tertuang salah satu

misinya adalah mewujudkan

Banyuwangi yang mandiri berbasis

ekowisata terpadu. Berdasarkan kondisi

tersebut, maka visi Bupati yang

tertuang dalam RPJMD 2016-2021

adalah Kabupaten Banyuwangi yang

religius, Sejahtera dan Mandiri dan

Berakhlak Mulia, Melalui Peningkatan

Perekonomian dan Kualitas

Sumberdaya Manusia. Perwujudan visi

tersebut tertuang dalam penjelasan pilar

visi dimana penekanan pembangunan

perekonomian dan kualitas SDM

mengacu pada 3 hal utama/ prioritas

yaitu pertanian dalam skala luas,

pariwisata alam dan budaya dan

UMKM sebagai basis perekonomian

masyarakat luas di Banyuwangi.

Kepala Bappeda juga menuturkan

bahwa program pengembangan

kepariwisataan mendukung Misi 2

Kabupaten Banyuwangi dimana

misinya adalah mewujudkan daya saing

ekonomi daerah melalui pertumbuhan

ekonomi yang berkualitas dan

berkelanjutan berbasis potensi

sumberdaya salam dan kearifan lokal.

Keunggulan pengembangan

kepariwisataan di Kabupaten

Banyuwangi menjadi isu strategis

pembangunan kepariwisataan nasional,

dimana proses pengembangannya tidak

didominasi kapital besar, namun

mempu menggerakan ekonomi lokal.

Hal ini tentunya ditopang dengan

program lain yang mampu bersinergi

menunjukkan kinerja yang bagus,

misalnya e-clean goverment,

peningkatan kualitas pelayanan (e-

service) maupun integrasi teknologi

yang semakin memudahkan

pengembangan ekonomi dan kualitas

layanan. Seperti yang menjadi tujuan

dan manfaat penelitian ini, bahwa

penelitian ini penting untuk dilakukan

untuk mengetahui proses perumusan

kebijakan kepariwisataan berkelanjutan

di Kabupaten Banyuwangi, sehingga

mampu meningkatkan perekonomian

dan PAD. Manfaat penelitian ini

sebagai masukan pemerintah daerah

terkait kebijakan pengembangan

kepariwisataan berkelanjutan dan dapat

menjadi role model atau benchmark

daerah/kabupaten lain dalam

mengembangkan kepariwisataan

berkelanjutan. Artinya, daerah lain

memiliki kesempatan mempelajari

Page 63: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

55

secara akademik ilmiah bahwa proses

atau tahapan-tahapan kebijakan yang

diambil melalui sebuah proses yang

benar.

RPJMD Kabupaten Banyuwangi

2016 2021 menegaskan bahwa

pengembangan ecotourism menjadi

basis utama pengembangan

pembangunan ekonomi di Banyuwangi.

Hal ini di dukung dengan penguatan

sektor pertanian peternakan dan usaha

kecil. Hasil penelitian menemukan

fakta bahwa Program pengembangan

ecotourism juga menyentuh tidak

hanya pada pembangunan sarana dan

prasarana saja, namun juga kepada

pembangunan sumberdaya manusia

agar secara mental, masyarakat

banyuwangi siap dikunjungi wisatawan

dan siap menjadi bagian aktif

pembangunan kepariwisataan berbasis

kearifan lokal.

a. Program pengembangan SDM

masyarakat pencari Belerang.

Menurut penuturan Kepala

Bappeda, contoh riil pengembangan

SDM adalah di kawasan Ijen,

dimana para pencari belerang diberi

pelatihan menjadi guide dengan

dibekali kemampuan bahasa inggris

dan bagaimana bersikap ramah

kepada wisatawan. Hal ini

meningkatkan kemampuan soft skill

masyarakat, dimana mereka akan

berpeluang mendapatkan

penghasilan tambahan (secara

ekonomi), dan juga

keramahtamahan menyambut

wisatawan (attitude).

b. Pelatihan manajemen pengelolaan

homestay. Kebijakan Bupati yang

melarang mendirikan hotel di area

wisata memunculkan geliat ekonomi

masyarakat dengan munculnya

homestay atau penginapan murah di

sekitar lokasi wisata. Sebagian besar

lokasi homestay adalah rumah

penduduk lokal yang letaknya

berdekatan dengan objek wisata.

Dinas pariwisata bekerja sama

dengan Asosiasi perhotelan

mengadakan pelatihan manajemen

homestay agar tercipta standardisasi

atau kualitas pelayanan sekelas hotel

yang siap menerima pengunjung

yang ingin menginap di homestay.

Pelatihan tersebut meliputi sarana

dan prasarana minimal yang harus

disediakan homestay, keamanan,

kemudahan mendapatkan informasi,

kemampuan bahasa inggris,

keramahtamahan (hospitality), dan

kebersihan.

c. Responsif pemerintah daerah

menerima permintaan pelatihan dari

warga. Warga lokal diberikan

kesempatan untuk menerima

pelatihan apa saja yang dibutuhkan

untuk pengembangan daerahnya.

Hal ini dilakukan untuk

mempercepat proses komunikasi

kebutuhan masyarakat yang ingin

mengembangkan kemampuan soft

skill maupun hard skill mereka.

Pelatihan pelatihan terkait wirausaha

dan penumbuhan potensi lokal

dilakukan agar masyarakat dapat

memaksimalkan potensi di

daerahnya. Seperti yang dilakukan

dinas perikanan dengan memberikan

pelatihan inovasi makanan hasil laut

dan pengemasannya.

d. Sosialisasi tentang keamanan di

Bangsring kepada pelaku wisata.

Bangsring yang dikembangkan

sebagai wisata diving dan pantainya,

wajib memberikan rasa aman

kepada wisatawan, baik di lahan

parkir (tidak boleh ada hem hilang)

dan kenyamanan saat berwisata. Hal

hal detail juga diperhatikan, semisal

kendaraan bus pernah tidak

diperbolehkan untuk masuk ke area

Bangsring, namun pemerintah

memberikan pemahaman kepada

warga, bahwa tujuan bus masuk

Page 64: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

56

adalah membawa wisatawan,

apabila dilarang akan berdampak

signifikan kepada jumlah

pengunjung. Kepala Bapeda,

Suyanto mengatakan kepada warga

Bangsring “kalo warga masih

menolak bus masuk ke Bangsring

dengan alasan mengganggu, pasti

Bangring sepi, saya yakin itu,

karena para sopir atau travel akan

sounding ke teman teman travel

lainnya dan akan memindahkan

destinasi wisata ke tempat lain, yang

bus bisa masuk”. Penjelasan warga

ini membuat sadar, bahwa hal hal

detail diperhatikan agar sinergitas

pengembangan sarana dan prasarana

mendapat dukungan dengan sikap

terbuka masyarakat terdampak

untuk mengembangkan pariwisata.

e. Pemanfaat dana ADD dan DD untuk

pembangunan desa yang berefek

pada pengembangan value-added

berorientasi kepariwisataan. Sebuah

contoh adalah konsep mengecat

jembatan, harus dengan konsep

warna-warni dan menarik perhatian.

Kegemaran masyarakat berswafoto,

mendorong pemerintah daerah

menginstruksikan untuk mengecat

jembatan dengan konsep ceria

(warna-warni). Jika ini dilakukan di

seluruh jembatan yang ada di setiap

desa, maka akan menimbulkan efek

WOW.

f. Peran Satpol PP yang di daerah lain

sering dibenturkan dengan PKL,

gelandangan dan pengemis, di

Kabupaten Banyuwangi dilakukan

dengan penambahan tugas yang

bersinergi dengan dinas kebersihan

dan dinas kesehatan. Peran Satpol

PP diberdayakan untuk survei

keamanan sungai dari sampah, dan

MCK pinggir sungai. Ada sinergitas

antara satpol PP yang melakukan

pembersihan MCK pinggir sungai

yang liar, sosialisasi dari dinas

kesehatan dan dinas kebersihan.

Leadership/ Kepemimpinan

Peran kepemimpinan apabila

diurai dapat di deteksi dari RPJMD

yang menyebut dengan jelas visi, misi

dan strategi pengembangan

kepariwisataan dengan basis

ecotourism berbasis kearifan lokal.

Peran kepemimpinan secara konsep

perencanaan memiliki peran kuat. Pola

perumusan kebijakan pengembangan

pariwisata diakui pada awalnya

berlangsung top-down. Proses ini

terjadi pada awal kepemimpinan Bupati

periode pertama, dimana SKPD belum

sepenuhnya memahami visi misi dan

strategi Bupati dalam mengembangkan

daerah. Namun dalam proses

selanjutnya, pimpinan di level middle

sudah mampu menyelenggarakan dan

membuat perencanaan pembangunan

termasuk mendesain event ataupun

pengembangan pembangunan.

Monitoring system dilakukan

dengan integrasi aplikasi mulai dari e-

planning hingga e-performance. Pola

pemimpin yang terbuka terhadap

teknologi adalah bukti bahwa upaya

transparan dan terukur dapat dilakukan

di lingkup publik. Tidak banyak kepala

daerah yang concern mengembangkan

daerahnya berbasis teknologi.

Banyuwangi mampu melakukan

keduanya, dimana mengembangkan

kepariwisataan berbasis kearifan lokal,

dan meningkatkan kinerja aparatur

pemerintahan berbasis kinerja dengan

terukur dan update teknologi.

Evaluasi dilakukan dalam

beberapa tahap. Pertama, evaluasi

dilakukan setelah acara, di tiap

penanggung jawab kegiatan. Evaluasi

ini untuk menilai apakah kekurangan

dari event yang akan dilakukan,

bagaimana respon masyarakat atau

wisatawan yang hadir. Termasuk

evaluasi apakah kegiatan/event ini

Page 65: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

57

dapat direkomendasikan untuk

diteruskan pada tahun mendatang

ataukah ditiadakan. Kedua, evaluasi

dilakukan di akhir kegiatan yang

biasanya dilakukan di akhir tahun.

Evaluasi secara keseluruhan ini

dimaksudkan untuk menilai seluruh

event yang telah dilakukan, termasuk

masukan perbaikan event harus

dimodifikasi seperti apa. Pada evaluasi

ini juga menentukan event mana yang

sudah dapat mandiri dilakukan. Banyak

event yang dulunya menjadi program

pemerintah, saat ini sudah dapat

dilakukan masyarakat sendiri, seperti

festival Banjar, Festival Temanggung.

Namun ada juga event yang tidak dapat

dilanjutkan karena kondisi alam yang

tidak pasti, seperti kite surving yang

membutuhkan arus angin yang kuat

tidak dapat dilaksanakan karena

kondisi alam yang tidak

memungkinkan.

Kebijakan Pengembangan

Kepariwisataan Kabupaten

Banyuwangi

Beberapa hal penting yang dapat

disimpulkan bahwa Upgrade Daerah

sebagai Produk adalah:

1. Daerah Bukan hanya sekedar

Masalah Layanan Publik tapi harus

merubah dirinya menjadi Produk

yang perlu di-branding dan

dipromosikan. Sehingga saat ini

dengan adanya

banyuwangimall.com. maka

produk produk UKM masyarakat

Banyuwangi dapat di jual melalui

market place dan dapat diakses di

seluruh dunia. Saat ini

Banyuwangi juga memiliki mall

pelayanan publik yang

mendeferensiasi dirinya dengan

pelayanan satu atap, namun

dengan basis teknologi yang lebih

canggih dan kemudahan layanan

berbasis data yang bagus dan lebih

cepat dalam memberikan layanan.

2. Dengan Anggaran yang terbatas

harus memilih branding mana

yang fokus dan diikuti jaman serta

siap diluncurkan untuk promosi.

Keterbatasan anggaran membuat

daerah harus jeli, mana saja

kegiatan promosi atau branding

yang dapat memberikan efek yang

lebih besar untuk menjadikan

Banyuwangi lebih dikenal. Tidak

mudah mendatangkan wartawan di

awal branding tahun 2011, namun

saat ini hampir setiap hari

Banyuwangi selalu muncul di

media nasional dengan berita

positif, baik pembangunan daerah

maupun pariwisatanya.

3. Promosi Harus Kontinyu dan

Inovatif, sesuai karakteristik

Daerah karena jika tidak akan

terlindas oleh pesaing. Kontinuitas

tersebut nampak dari awal event di

tahun 2013 hanya dengan 13 event,

namun di tahun 2018 ini ada 74

event di Banyuwangi. Basis

kegiatan ini di rencanakan di akhir

tahun sebelumnya, sehingga

menjadi promosi dini bagi daerah

dengan perencanaan yang matang,

yang menampakkan bahwa daerah

memang siap menjadikan seluruh

aset daerah siap jual.

4. Pembentukan Team IT, Team

Promosi, Team Branding dan

Baliho, Team Event (Kreatif).

2018 jika semua event diserahkan

kepada EO (event organizer) tentu

membutuhkan biaya yang sangat

besar. Namun konsep

pemberdayaan masyarakat yang

dilakukan secara kontinyu

membuat semuanya dapat

dilakukan secara mandiri. SKPD

yang mengemban tugas juga sudah

terbiasa, karena sudah terlatih

menjalankan kegiatan dari tahun

ke tahun. Masyarakat sendiri

Page 66: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

58

semakin meningkat kepercayaan,

karena menjadi semacam

persaingan antar desa, bahwa

setiap desa atau kecamatan juga

memiliki potensi wisata yang dapat

dikembangkan, mulai dari wisata

alam, permainan ketangkasan, seni

budaya ataupun wisata kuliner.

5. Fasilitasi Ruang Publik agar

Rakyat ikut Serta Promosi tanpa

APBD. Saat ini dengan

berkembangnya smart kampung

yang lebih luas dalam memberikan

layanan, juga fasilitasi ruang

publik dengan memberikan wifi

gratis di tiap kantor desa ataupun

kecamatan membuat masyarakat

menjadi melek teknologi internet.

Hal ini akan mendekatkan pegawai

instansi pemerintahan dekat

dengan masyarakat dan merasakan

manfaat dari pelayanan publik

tersebut.

6. Seluruh SKPD & Pelaku Parwisata

terlibat dalam Event dan Promosi

Branding. Karena promosi bukan

hanya tanggung jawab

DISBUDPAR. Komitmen bersama

ini menjadi penciri beda kemajuan

daerah Banyuwangi dibanding

daerah lainnya. Tidak semua

daerah mampu melaksanakan

event yang begitu banyak dalam 1

tahun. Hampir semua SKPD

terlibat dalam event tahunan

tersebut.

Strategi branding dan promosi

yang dilakukan oleh Kebupaten

Banyuwangi yaitu menggunakan

strategi rebranding. Rebranding baru

untuk mempromosikan potensi daerah

secara unik, simpel dan mudah diingat.

Rebranding tersebut termuat dalam

time line branding daerah dengan

slogan Sunrise of Java, Diamond

Trianggle, Wisata Ecotourism dan

Banyuwangi Festival. Apabila di

cermati, ada beberapa poin penting

keunggulan bersaing Daerah dengan

Branding & Promosi. Beberapa hal

penting itu antara lain:

1. Branding Produk sesuai selera pasar

dan menunjukan jati diri serta

potensi Daerah. Banyuwangi

berkomitmen menjadikan berbagai

event sebagai pemacu tumbuhnya

iklim kepariwisataan daerah.

semangat pemberdayaan ekonomi

lokal yang dilakukan membuat

banyak tempat wisata di kelola oleh

desa melalui BUMdes sehingga

murah dari sisi tiket masuk, atau

malah gratis masuk dan hanya

dikenakan biaya parkir masuk untuk

sepeda motor dan mobil.

Memadukan berbagai event (tahun

2018 ini lebih dari 70 event digelar

di berbagai penjuru Banyuwangi)

dan mengembangkan potensi wisata

alam dan buatan menjadi branding

daerah yang menarik.

2. Jangan Bangga sudah masuk ke

Media Lokal, bagaimana meski

event & isu kecil berdampak besar

di Media Luar. Efek WOW yang di

ajarkan Hermawan Kartajaya

(Pemerintah daerah pernah

mendatangkan pakar marketing

Hermawan Kartajaya pada tahun

2013) dan menggunakan survei dari

Markplus untuk membantu

memotivasi aparatur pemerintah

agar menjadi marketer handal bagi

daerah dalam mempromosikan

seluruh keunggulan daerah. Saat ini

Banyuwangi sudah menjadi

langganan berita nasional, dengan

image positif, baik dalam aspek

dinamisnya pemerintahan, inovasi

kebijakan, maupun terobosan

pelayanan publik dan

kepariwisataan.

3. Pemilihan Media yang tepat sesuai

Segementasi (Survey Rating) dengan

Tim Survei yang kredibel. Markplus

inc pernah menjadi mitra dalam

Page 67: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

59

survei kepariwisataan. Hal ini

penting dilakukan untuk

menetapkan sasaran prioritas

kepariwisataan dan pemilihan media

pemasaran yang tepat untuk

branding daerah.

4. Pembentukan, Tim IT, Tim

Promosi, Tim Branding dan Baliho,

Tim Event (Kreatif). Semua

dibentuk oleh masing masing

SKPD/ OPD dan apabila kegiatan/

event tersebut dilakukan oleh desa/

masyarakat, maka kegiatan tersebut

juga dimotori oleh masyarakat

sendiri.

5. Fasilitasi Ruang Publik agar Rakyat

ikut Serta Promosi tanpa APBD. Hal

ini menjadi komitmen pemerintah

Banyuwangi bahwa seiring dengan

berjalannya program smart

kampung, maka geliat teknologi

informasi juga merambah sampai ke

pelosok desa. Desa dipicu untuk

kreatif memanfaatkan jaringan

internet. Masyarakat desa

dikenalkan dengan fungsi internet

bagi kebutuhan usaha mereka. Hal

ini diyakini berdampak terhadap

akses pasar yang semakin luas. Saat

ini fasilitasi pemasaran produk

UKM di banyuwangi sudah di

fasilitasi dengan

banyuwangimall.com yang

merupakan market place bagi UKM

dalam memasarkan produknya

Seluruh SKPD & Pelaku Parwisata

terlibat dalam Event dan Promosi

Branding. Karena Promosi Bukan

Hanya Milik DISBUDPAR.

Kebersamaan inilah yang mereduksi

ego sektoral antar SKPD yang

seringkali muncul. Semangat

kebersamaan ini, dan pemanfaatan

anggaran secara fleksibel, namun

akuntabel dan transparan membuat

pengelolaan anggaran menjadi fokus

untuk pengembangan Banyuwangi.

Beberapa hal penting terkait

dengan komitmen dan tekad

pemerintah daerah yang menjadi

orientasi aparatur pemerintah adalah:

1. Tinggalkan kebiasaan dilayani

menjadi melayani, dan jadikan

SKPD Sebagai Tim bukan hanya

sekedar Atasan dan Bawahan.

Budaya baru dengan pemimpin baru

di era Azwar Anas periode pertama

memberikan pola dan budaya kerja

yang baru bahwa saatnya aparatur

pemerintah memberikan pelayanan

yang optimal kepada masyarakat.

Bagaimana orientasi melayani

masyarakat secara lebih mudah

secara prosedur dan tidak terkesan

birokratis. Yang kedua, adalah

menciptakan komitmen kerjasama

antar SKPD, sehingga

konsekuensinya adalah berbagi

anggaran dan bekerja sama.

2. Bangun Ekosistem SKPD Melalui

Event dan Penggunaan TI.

Komitmen pemerintah adalah

efektivitas dan efisiensi, sehingga

penggunaan teknologi Informasi

semacam internet membuat kerja

menjadi lebih mudah, terkoneksi

satu dengan yang lain, yang

implikasinya adalah mempercepat

layanan dan akurasi data. Hal ini

pun dapat menjadi magnet wisata

kebijakan publik, karena berkat

kemampuan kinerja yang bagus,

Banyuwangi sering menjadi

benchmark daerah lain, dan mejadi

destinasi kebijakan publik bagi

daerah lain. Banyak daerah yang

belajar tata kelola pemerintahan dan

strategi branding daerah ke

Banyuwangi. Artinya, bangunan

teknologi informasi yang ada, telah

memberikan dampak nyata

kemajuan pelayanan publik, desa

melek internet, smart kampung yang

berhasil membuat masyarakat

memperoleh kecepatan layanan dan

akurasi data dengan data tunggal,

Page 68: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

60

sehingga tidak ada data yang

simpang siur.

3. Jangan Terlalu Banyak Rapat, ambil

keputusan cepat dalam Grup WA,

BBM & e-mail. Komitmen ini

secara internal menyiratkan bahwa

pimpinan di level menengah dan

tinggi harus mampu menggunakan

handphone android dengan banyak

aplikasi. Aparatur harus paham

teknologi sebelum mereka

mengajari masyarakat memahami

teknologi. Kedua, imbas dari

penggunaan android adalah

komunikasi dapat dilakukan kapan

saja dan dimana saja, sehingga tidak

membutuhkan waktu untuk

berkumpul rapat, yang sebetulnya

dapat diselesaikan melalui

komunikasi via WA. Banyak hal

yang dapat dilakukan dengan

androrid, seperti efisiensi

pengiriman surat menyurat yang

cukup menggunakan e-mail,

sehingga memangkas waktu

pengiriman dan kurir, whattsapp

yang mereduksi waktu harus

melakukan rapat. Ketiga,

pengambilan keputusan menjadi

lebih cepat dengan komunikasi via

WA.

4. Karena Minim Anggaran Kerjakan

tanpa EO. Prinsip efisiensi dan

kemandirian menjadikan

Banyuwangi selalu berbenah dan

meningkatkan kinerja pariwisatanya.

EO-nya adalah aparatur pemerintah

sendiri, EO-nya juga adalah

masyarakat sendiri.

No Item Mean

1 Visi 3,82

Tingkat Kejelasan Visi 4,06

Kemudahan Diterjemahkan Visi 3,82

Visi Meliputi Semua Pemangku Kepentingan 3,59

2 Formulasi 4,20

Pembuatan Melibatkan Semua Pemangku Kepentingan 4,41

Pembuatan Menggunakan Teknik SWOT 4,12

Kesesuaian Dengan Visi 4,06

3 Implementasi 3,87

Kejelasan Aktor Dalam Implementasi 3,77

Metode implementasi bersifat partisipatori 4,12

Metode implementasi bersifat top down 3,59

Terdapat monitoring program atau kebijakan 4,00

4 Keberlanjutan Program 4,14

Feedback/evaluasi/masukan untuk program ke depan 4,18

Pergantian aktor atau bertanggung jawab tidak berpengaruh terhadap program 3,71

Kesiapan internal birokrasi dalam implementasi program berkelanjutan 3,82

Persepsi interval terhadap program atau kebijakan 4,18

Kebijakan Kepariwisataan Meningkatkan Perekonomian 4,82

Sumber: Hasil Olahan Data

5. Tidak ada Masalah yg besar jika

Semua Kekuatan SKPD Bersatu.

Menghilangkan ego sektoral di tiap

SKPD dilakukan dengan

menjalankan kerja sama antar SKPD

pada saat mengadakan event. Hal ini

secara tidak langsung akan

menghidupkan kerja sama antar

SKPD dan menghilangkan ego

sektoral, sekaligus meningkatkan

Page 69: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

61

solidaritas membangun bersama

kabupaten Banyuwangi.

Penganggaran Harus Fokus pada

Rangkaian event dan SKPD

membentuk tim sebagai EO. Semua

event akan diseleksi di level pimpinan

mana yang dianggap layak untuk

masuk event tahunan. Menentukan

kelayakan kegiatan di level pimpinan

juga menentukan besaran anggaran

yang akan dikerjakan.

Kebijakan Pariwisata Berkelanjutan

Dalam Peningkatan Kinerja

Kepariwisataan

Dalam kebijakan pariwisata

berkelanjutan diperlukan keterlibatan

dari semua pemangku kepentingan.

Berikut ini disajikan data hasil

kuisioner mengenai kebijakan

pariwisata berkelanjutan dalam

menunjang peningkatan kinerja

kepariwisataan.

Responden untuk data diatas

sejumlah 17 orang. Responden

merupakan perwakilan setiap SKPD

yang terlibat dalam kegiatan

kepariwisataan. Dari data diatas maka

mayoritas jawaban diatas angka 4 yang

menyatakan bahwa hasil jawaban

sudah baik. Untuk variabel visi maka

terlihat bahwa mayoritas responden

menjawab baik dengan angka rata-rata

3,82. Untuk pertanyaan tingkat

kejelasan visi mayoritas responden

menjawab jelas. Sedangkan untuk

kemudahan penerjemahan visi

kepariwisataan mayoritas menjawab

mudah. Sedangkan untuk visi

kepariwisataan sudah meliputi semua

pemangku kepentingan.

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Proses pembuatan kebijakan

pariwisata berkelanjutan telah

melibatkan semua stakeholder

pariwisata yang ada di Kabupaten

Banyuwangi.

2. Adanya kebijakan pariwisata

berkelanjutan memberikan

peningkatan dalam Pendapatan Asli

Daerah (PAD).

3. PAD dari beberapa sub-sektor

pariwisata mengalami penurunan

seperti wisma pariwisata, hotel

melati satu, hotel bintang satu dan

hotel bintang dua.

Rekomendasi

Adapun rekomendasi dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan pengelolaan homestay

perlu dipertegas dengan aturan dan

klasifikasi yang jelas, termasuk

potensi pajaknya. Persaingan yang

sehat antara homestay dan hotel

konvensional akan menjadi sinergi

pelayanan penginapan di

Banyuwangi.

2. Efek WOW dari banyaknya event

yang ada di Banyuwangi perlu

dikelola secara serius, sehingga

sekecil apapun event itu, setidaknya

memilki perencanaan agar berefek

WOW, dan sampai berapa kali

penyelenggaraan agar dapat mandiri.

3. Pendapatan Asli Daerah sektor

pariwisata mayoritas mengalami

kenaikan setiap tahunnya namun ada

beberapa sub-sektor yang

mengalami penurunan setiap

tahunnya sehingga perlu kerja sama

dengan Perhimpunan Hotel Dan

Restoran Indonesia (PHRI)

Kabupaten Banyuwangi dalam

mendapatkan data tingkat hunian

kamar yang dapat membuat data

pendapatan dapat dihitung dari

tingkat hunian kamar.

4. Objek wisata yang dikelola

BUMDES, tetap perlu mendapat

bantuan soft skill dari pemerintah

terkait tata kelola wisata, seperti

homestay, ticketing, kesiapan warga

Page 70: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

62

dikunjungi wisatawan, kuliner

menjadi bagian terintegrasi agar

layak jual, mendorong objek wisata

tersebut dapat meningkatkan daya

saingnya.

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Boyarkina, A. 2014. Residential

tourism in Northern Cyprus.

Motivation factors of tourists

towards NC.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian

Kualitatif. Jakarta: Kencana

Dunn, William N. 1999. Pengantar

Analisis Kebijakan Publik. (Edisi

Bahasa Indonesia). Yogyakarta :

Gajah Mada University Press.

Ismet, E. And Abuhjeeleh M. 2016.

The analysis of tourism policies by

different governments and their

potential implementation in north

cyprus economy. Journal of

Political Sciences & Public

Affairs. 4(4).

Lockhart, D. 1994. Tourism in northern

cyprus: patterns, policies and

prospects.

Tourism Management 15: 370-379.

Nugroho, Riant, 2012, Public Policy,

Jakarta, PT. Elex Media

Komputindo.

Santosa, Purbayu B. dan Rahayu,

Retno P. 2005. Analisis

Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan

Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya Dalam Upaya

Pelaksanaan Otonomi Daerah Di

Kabupaten Kediri. Dinamika

Pembangunan. 2(1):9-18.

Saragih, Juli Panglima. 2003.

Disentralisasi Fiskal dan

Keuangan Daerah dalam Otonomi.

Jakarta: Ghalia Indonesia

Shuraiki, T. 2002. Tourism policy.

Polityka Gospodarcza 274-283

Siahaan, Marihot P. 2006. Pajak

Daerah dan Otonomi Daerah,

Jakarta, PT. Raja Grafindo

Persada.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian

Kuantitatif dan Kualitatif R&D.

Bandung: Alfabeta Yasarata M,

Altinay L, Burns P, and Okumus

F. 2010. Politics and sustainable

tourism development–can they

co-exist? Voices from north

cyprus.Tourism Management.

31: 345-356.

Peraturan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 Tentang Pemerintahan

Daerah

Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004

tentang Jalan Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Undang-undang Nomor 28

Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun

2010 tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam Di Suaka

Margasatwa, Taman Nasional,

Taman Hutan Raya, dan Taman

Wisata Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Nasional tahun 2010-2025

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun

2012 tentang Sertifikasi

Kompetensi dan Sertifikasi Usaha

Di Bidang Pariwisata

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

2006 tentang Jalan, h) Keputusan

Presiden Nomor 11 Tahun 2000

tentang Badan Pengembangan

Pariwisata dan Kesenian

Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun

2005 tentang Kebijakan

pembangunan Kebudayaan dan

Page 71: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

63

Pariwisata

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 51 Tahun 2007 tentang

Pembangunan Kawasan Perdesaan

Berbasis Masyarakat

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun

2012 Tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Kabupaten Banyuwangi

Peraturan Bupati Kabupaten

Banyuwangi Nomor 14 Tahun

2014 Tentang Pendaftaran Usaha

Pariwisata

Peraturan Bupati Kabupaten

Banyuwangi Nomor 10 Tahun

2016 Tentang Perubahan Peraturan

Bupati Pendaftaran Usaha

Pariwisata.

Page 72: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Proses Kebijakan Kepariwisataan Berkelanjutan di Banyuwangi

64

Page 73: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

65

SISTEM PARIWISATA PEDESAAN DAN PENGEMBANGAN DESA

WISATA

Florentinus Nugro Hardianto1

[email protected]

Abstract

Rural tourism has developed like other types of tourism. One important component in

the rural tourism system is Desa Wisata. Like a system, rural tourism systems have

synergistic components and characteristics. Desa Wisata is rural tourism sub-

systems so that Desa Wisata are not as sub-systems other than rural tourism sub-

systems. Broadly speaking, there are strategic external and internal efforts to

develop Desa Wisata. External efforts are carried out within the framework of the

rural tourism system. Internal efforts are carried out within the framework of the

Desa Wisata system. These two efforts must be carried out simultaneously in synergy

to better guarantee the success of the development of Desa Wisata.

Keywords: rural tourism, tourism system, desa wisata

Abstrak

Pariwisata pedesaan telah berkembang seperti jenis pariwisata lainnya. Sebagai suatu

sistem, sistem pariwisata pedesaan memiliki karakteristik dan komponen yang

sinergis. Salah satu komponen penting dalam sistem pariwisata pedesaan adalah

adanya Desa Wisata. Desa Wisata dalam hal ini adalah sub-sistem pariwisata

pedesaan dan bukan sub-sistem lainnya. Secara umum, ada upaya strategis eksternal

dan internal untuk mengembangkan Desa Wisata. Upaya eksternal dilakukan dalam

kerangka sistem pariwisata pedesaan. Upaya internal dilakukan dalam kerangkan

sistem Desa Wisata. Kedua upaya tersebut harus dilakukan secara simultan dan

sinergis agar dapat lebih menjamin keberhasilan pengembangan Desa Wisata.

Kata Kunci: pariwisata pedesaan, sistem pariwisata, desa wisata

1 Dosen Universitas Sanata Dharma

Page 74: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

66

Pendahuluan

Pariwisata pedesaan (rural

tourism) telah berkembang seperti

jenis pariwisata lainnya. Pariwisata ini

menggunakan sumber daya pedesaan

untuk menarik kunjungan wisatawan.

Harapannya, pariwisata pedesaan

dapat meningkatkan kesejahteraan

berbagai pihak yang terkait di

dalamnya. Kesejahteraan tidak hanya

secara ekonomi tetapi juga secara non-

ekonomi. Secara ekonomi, pariwisata

pedesaan dapat menciptakan

kesempatan kerja, meningkatkan

pendapatan masyarakat setempat, dan

menggerakkan aktivitas ekonomi di

daerah pedesaan. Secara non-ekonomi,

pariwisata pedesaan dapat

meningkatkan kualitas hubungan

sosial, membangun saling pengertian,

memperluas pergaulan, melakukan

alih teknologi, dan lain-lain.

Salah satu komponen penting

dalam sistem pariwisata pedesaan

adalah desa wisata. Desa wisata

menjadi tujuan akhir kunjungan

wisatawan yang ingin menikmati

situasi dan kondisi pariwisata

pedesaan dengan berbagai

keunikannya. Di Indonesia mungkin

sudah ada lebih dari 1000-an desa

wisata yang tersebar dari Sabang

sampai Merauke. Dalam

kenyataannya, ada desa wisata yang

dapat berhasil tumbuh dan

berkembang dengan baik, tetapi ada

juga desa wisata yang sepi pengunjung

atau bahkan ada desa wisata yang

tidak berkembang sesuai harapan. Dua

kondisi perkembangan desa wisata

yang bertolak-belakang tersebut tentu

saja karena dipengaruhi sejumlah

faktor yang tidak selalu mudah untuk

diatasi dengan pendekatan seragam.

Berbagai faktor yang dapat

mempengaruhi perkembangan desa

wisata sangatlah beragam. Ada faktor

internal dan eksternal yang terkait

dengan desa wisata setempat. Faktor

internal misalnya para pengurusnya

sekaligus tim manajemennya. Faktor

eksternal misalnya regulasi

pemerintah daerah yang masih

menyulitkan upaya-upaya

pengembangan desa wisata. Ada juga

faktor geografis, sosiologis, dan

ekonomis di dalamnya. Faktor

geografis misalnya kondisi daerah

dan kemudahan akses ke tempat desa

wisata. Faktor sosiologis misalnya

tingkat penerimaan masyarakat sekitar

desa wisata. Faktor ekonomis

misalnya tingkat profitabilitas,

keberlanjutan usaha, dan efeknya

terhadap kesejahteraan masyarakat di

dalam desa wisata. Tentu saja masih

ada faktor-faktor lain yang turut

mempengaruhi perkembangan desa

wisata. Singkatnya, ada faktor

multidimensi yang bisa mempengaruhi

perkembangan desa wisata sehingga

penting kiranya adanya suatu

pendekatan yang integratif untuk bisa

mengatasinya.

Dalam makalah ini akan dibahas

satu pendekatan integratif untuk

mengembangkan desa wisata.

Pendekatan integratif yang dimaksud

adalah pendekatan sistem pariwisata.

Selanjutnya dalam makalah ini akan

dibahas bagaimana mengembangkan

desa wisata dengan pendekatan sistem

pariwisata. Secara khusus akan

dibahas model sistem pariwisata,

sistem pariwisata pedesaan, dan sub-

sistem desa wisata. Harapannya,

makalah ini dapat memberi

pengetahuan dan pemahaman tentang

desa wisata sebagai suatu sistem

pariwisata. Pada akhirnya, makalah ini

juga diharapkan dapat memberi solusi

alternatif bagaimana mengembangkan

desa wisata dengan menggunakan

pendekatan sistem pariwisata.

Page 75: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

67

Pembahasan

Model Sistem Pariwisata

Sistem pariwisata memiliki sifat-

sifat seperti yang dimiliki suatu sistem

pada umumnya, yakni tatanan

komponen yang masing masing saling

berhubungan, kemudian membentuk

sesuatu yang sifatnya menyeluruh

(Fandeli, 2015). Secara umum sifat

dan perilaku sistem pariwisata

menurut Fandeli (2015) adalah: (1).

Setiap bagian dari sistem juga

didalamnya terdiri atas bagian-bagian

yang masing-masing merupakan

sistem yang lebih kecil atau menjadi

sub-sistem.; (2). Setiap sub-sistem

terdiri atas komponen/elemen.; (3).

Setiap sub-sistem saling berinteraksi

dengan yang lainnya atau setiap

komponen dalam sub-sistem juga

saling berinteraksi.; (4). Setiap

sistem/sub-sistem mempunyai tujuan.

Menurut Hardianto (2017),

secara nyata, ada kesulitan untuk

menunjukkan wujud sistem pariwisata

karena abstrak. Menurutnya, dengan

bantuan suatu model dalam bentuk

gambar/diagram, wujud sistem

pariwisata dapat digambarkan

wujudnya. Gambar 1 di bawah adalah

contoh wujud model sistem

pariwisata.

Gambar 1 menggambarkan

model sistem pariwisata yang

dikemukakan oleh Mill & Morrison

(1992). Model sistem pariwisata

tersebut terdiri dari empat sub-sistem

pariwisata, yaitu destination &

product, marketing, demand &

market, dan travel. Subsistem-

subsistem pariwisata tersebut saling

berkaitan. Hubungan subsistem

pariwisata destination & product-

marketing menciptakan link: the

tourism product yang menunjukkan

pentingnya pengembangan produk

pariwisata. Hubungan marketing-

demand & market menghasilkan link:

the promotion travel yang

mensyaratkan perlunya penanganan

perihal promosi pariwisata agar

tersampaikan secara efektif kepada

calon wisatawan. Hubungan demand

& market-travel menghasilkan link:

the travel purchase yang terkait

perihal ketersediaan dan kemudahan

calon wisatawan untuk membeli

paket-paket perjalanan wisata.

Kemudian hubungan destination &

product- travel mewujudkan link: the

shape of travel yang berkaitan dengan

ketersediaan segala bentuk perjalanan

wisata untuk mencapai destinasi

wisata. Antara satu link dengan link

lainnya tidak berarti terpisah. Suatu

link hanya menunjukkan bahwa

hubungan antara dua sub-sistem

pariwisata membentuk hubungan yang

lebih spesifik. Namun demikian,

semua link sub-sistem pariwisata

tersebut terhubung satu dengan

lainnya sebagai kesatuan sistem

pariwisata.

Page 76: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

68

Gambar 1. Model Sistem Pariwisata Mill & Morrison

(Sumber: Mill & Morrison, 1992)

Fenomena sistem pariwisata

muncul sejak ada kegiatan berwisata

yang pada mulanya kemungkinan

besar dilakukan tanpa disadari oleh

pihak yang berwisata (Hardianto,

2017). Kemunculan sistem pariwisata,

menurut Hardianto (2017) dapat

dijelaskan seperti berikut ini. Pertama-

tama, kegiatan berwisata bisa terjadi

karena beragam sebab. Beragam sebab

ini bisa berupa pull & push factor,

demand & supply side factor, atau

sebab lainnya. Kemudian bersamaan

dengan dilaksanakannya kegiatan

berwisata, terbentuklah sistem

pariwisata. Jika diandaikan bahwa

setiap kegiatan berwisata

meninggalkan jejak, maka sistem

pariwisata merupakan kumpulan jejak

tersebut yang saling berhubungan

langkah demi langkah. Setiap kegiatan

berwisata akan melahirkan sistem

pariwisatanya sendiri-sendiri sesuai

jejak langkah yang terbentuk. Seiring

banyaknya kegiatan berwisata,

terbentuklah sistem pariwisata-sistem

pariwisatanya sendiri-sendiri.

Selanjutnya, berbagai sistem

pariwisata yang terbentuk tersebut

kemudian oleh sejumlah pihak coba

ditangkap fenomenanya dan lalu coba

diformulasikan secara garis besarnya

dalam bentuk gambar/diagram

sehingga diperoleh apa yang disebut

sebagai suatu model sistem pariwisata.

Hasil model sistem pariwisata

merupakan penyederhanaan dan

sekaligus idealisasi fenomena

pariwisata (Hardianto, 2017).

Penyederhanaan berarti bahwa model

sistem pariwisata merupakan bentuk

representasi fenomena kegiatan

Page 77: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

69

berwisata. Dari sisi penyederhanaan

ini, sistem pariwisata merupakan

fenomena yang terbentuk tanpa

sengaja dirancang atau dibuat.

Idealisasi berarti bahwa model sistem

pariwisata dapat digunakan sebagai

pedoman untuk pengembangan

kegiatan berwisata di suatu tempat.

Sebagai idealisasi, sistem pariwisata

sengaja dirancang/dibuat untuk

pengembangan pariwisata daerah

tertentu. Sistem pariwisata secara

sengaja bisa dirancang/dibuat oleh

siapa saja untuk memperbaiki kualitas,

mengatasi masalah, meningkatkan

manfaat, atau mengurangi dampak

negatif kegiatan pariwisata di suatu

destinasi wisata.

Ketika sistem pariwisata sudah

eksis baik secara sengaja maupun

tanpa sengaja, adakah yang bisa

dihasilkan, diakibatkan, dan

diharapkan dari keberadaan sistem

pariwisata tersebut? Ringkasnya

adakah pengaruh dari keberadaan

sistem pariwisata dan jika ada, apakah

pengaruhnya tersebut? Ada dua

pengaruh keberadaan sistem

pariwisata, yakni pengaruh internal

dan eksternal (Hardianto, 2017).

Pengaruh internal mengarah kepada

output yang dihasilkan karena

bekerjanya sistem pariwisata. Menurut

Lopa dan Marecki (1999), output

sistem pariwisata mencakup segala

sesuatu seperti jumlah wisatawan yang

berkunjung ke suatu destinasi wisata,

penerimaan uang yang diterima sektor

bisnis pariwisata, kualitas pengalaman

wisatawan, dan pajak yang dipungut

dari bisnis pariwisata. Pengaruh

eksternal mengarah kepada perubahan

yang terjadi dalam hubungannya

dengan sistem lainnya. Di satu sisi,

sistem pariwisata adalah suatu sistem

yang memiliki subsistem-subsistem,

namun di sisi lain, sistem pariwisata

adalah juga sebagai subsistem atau

bahkan bagian dari subsistem (sub-

subsistem) dari sistem atau subsistem

yang lebih besar lagi. Pengaruh

eksternal berkaitan dengan perubahan

yang terjadi karena keberadaan sistem

pariwisata sebagai subsistem dari

sistem yang lebih besar lagi.

Pengaruh eksternal bisa bersifat

positif atau negatif bagi sistem yang

lebih besar lagi. Jika sistem pariwisata

dapat memberi pengaruh baik secara

internal maupun eksternal, apakah

sistem pariwisata bisa berubah? Jika

bisa berubah, mengapa bisa berubah

dan bagaimana perubahannya? Sistem

pariwisata dapat berubah karena

penyebab internal dan eksternal

(Hardianto, 2017). Penyebab internal

adalah perubahan komponen sistem

pariwisata yang mengakibatkan

perubahan sistem pariwisata.

Penyebab eksternal adalah perubahan

di luar sistem pariwisata yang

mengakibatkan perubahan sistem

pariwisata. Secara parsial, perubahan

internal dan eksternal mempengaruhi

sistem pariwisata. Secara bersamaan,

perubahan internal dan eksternal juga

memberi pengaruh kumulatif kepada

sistem pariwisata. Perubahan internal

dan eksternal menunjukkan bahwa

sistem pariwisata merupakan sistem

yang terbuka (open system) dan

dinamis (dynamic system). Sistem

terbuka berarti sistem yang dapat

menerima pengaruh dari luar sistem

dan sistem yang dinamis berarti sistem

yang dapat mengalami perubahan

secara terus-menerus (Fandeli, 2015).

Perubahan sistem pariwisata bisa

menimbulkan sesuatu hal yang positif

atau negatif bagi sistem pariwisata

yang bersangkutan (Hardianto, 2017).

Hal positif membuat sistem pariwisata

menjadi lebih baik. Hal positif yang

dimaksud adalah berbagai hal yang

dapat menjaga keseimbangan,

membangun, dan mengembangkan

Page 78: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

70

suatu sistem pariwisata. Hal-hal positif

ini misalnya perbaikan teknologi,

perbaikan kapasitas, perbaikan

manajemen, perbaikan kinerja, dan

sejenisnya. Berbagai hal positif

demikian menjadi syarat terjadinya

kemajuan sistem pariwisata.

Sebaliknya hal negatif membuat

sistem pariwisata menjadi lebih buruk.

Hal negatif ini bisa merusak,

mengganggu, menghancurkan, atau

bahkan memusnahkan suatu sistem

pariwisata. Hal-hal negatif ini antara

lain permusuhan, ketidakpercayaan,

penurunan kinerja, perlawanan,

perusakan, dan berbagai hal lain yang

terkait. Mengingat itu, penting

kiranya, para pelaku pariwisata

menjaga dan meningkatkan berbagai

hal yang positif dan di sisi lain

mewaspadai dan mengantisipasi

masuknya berbagai hal negatif yang

kesemuanya mempengaruhi

perkembangan sistem pariwisata

secara langsung maupun tidak

langsung.

Sistem Pariwisata Pedesaan

Selayaknya sebuah sistem,

sistem pariwisata pedesaan memiliki

komponen dan karakteristik sinergis.

Ada banyak komponen yang

membentuk sistem pariwisata

pedesaan. Komponen-komponen ini

bisa dikatakan sebagai pihak-pihak

penting yang membentuk suatu sistem

dan mempengaruhi perkembangan

sistem tersebut. Salah satu model

sistem pariwisata pedesaan adalah

seperti tampak dalam Gambar 2 di

bawah. Gambar 2 menunjukkan model

sistem pariwisata pedesaan dengan

menggunakan tujuh komponen

penting dalam sistem pariwisata

pedesaan. Ketujuh komponen penting

sistem pariwisata pedesaan tersebut

adalah desa wisata, pemerintah,

masyarakat, tansportasi, perhotelan,

konsumen, penyedia perjalanan

wisata, akademisi, dan pihak lain yang

terkait. Dalam praktiknya, jika ada

pihak lain yang terkait, itu bisa

ditambahkan sebagai bagian

komponen sistem pariwisata pedesaan.

Gambar 2. Model Sistem Pariwisata Pedesaan

Page 79: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

71

Di dalam Gambar 2 terlihat jelas

kesalingterhubungan antara komponen

satu dengan komponen lainnya.

Kesalingterhubungan tersebut

menunjukkan bahwa antar-komponen

dalam sistem pariwisata pedesaan itu

tidak bisa dipisahkan. Perkembangan

satu komponen akan mempengarui

perkembangan komponen lainnya.

Sebaliknya, gangguan yang terjadi

dalam satu komponen akan

mengganggu kinerja komponen

lainnya. Sebagai suatu sistem,

pengembangan pariwisata pedesaan

mensyaratkan adanya sinergi semua

pihak yang terkait dalam sistem

pariwisata pedesaan. Tidak ada pihak

yang paling penting. Tidak ada

dominasi pihak tertentu. Tidak ada

juga pihak yang paling inferior. Semua

pihak berkedudukan setara sehingga

dapat dipengaruhi dan mempengaruhi

satu dengan lainnya. Demikianlah

sebaiknya pariwisata pedesaan

berjalan dan bertumbuh dengan

dukungan semua komponen penting

yang dibangun dalam sistem

pariwisata pedesaan.

Sub-Sistem Desa Wisata

Desa wisata sebagai sub-sistem

pariwisata pedesaan berarti bahwa

desa wisata bukan sebagai sub-sistem

lainnya selain sub-sistem pariwisata

pedesaan. Dalam kenyataannya, desa

wisata memang bisa menjadi sub-

sistem lainnya seperti misalnya sub-

sistem pemerintahan desa, sub-sistem

industri retail, atau sub-sistem

masyarakat desa. Desa wisata sebagai

sub-sistem pariwisata pedesaan akan

berbeda implikasinya ketika menjadi

sub-sistem pemerintahan desa.

Berbeda pula implikasinya ketika desa

wisata menjadi sub-sistem industri

retail, atau menjadi sub-sistem

masyarakat desa, atau sub-sistem

lainnya. Implikasi tersebut berkaitan

dengan eksistensi, peranan, kontribusi,

dan tujuan desa wisata sebagai sub-

sistem dalam suatu sistem tertentu.

Ada batasan-batasan tertentu ketika

masuk menjadi bagian dari suatu

sistem. Dalam hal ini, desa wisata

dibatasi ruang lingkupnya sebagai sub-

sistem pariwisata pedesaan.

Desa wisata sebagai sub-sistem

pariwisata pedesaan berarti desa

wisata masuk dalam satu sistem

tertentu, yakni sistem pariwisata

pedesaan. Kehadirannya menjadi

elemen penting bekerjanya sistem

pariwisata pedesaan tersebut. Secara

integratif bersama sub-sistem

pariwisata pedesaan lainnya, desa

wisata dapat memberi kontribusi

positif dalam mendukung keberhasilan

kinerja sistem pariwisata pedesaan

yang dibangun di wilayah desa

setempat. Perannya dapat menjadi

salah satu destinasi wisata yang

menyuguhkan sejumlah sajian

menarik bagi para pengunjung

termasuk para wisatawan. Atraksi-

atraksi dalam bentuk keindahan alam

desa, pertunjukan seni, hasil olahan

kuliner setempat, atau atraksi lainnya

menjadi tersedia dengan adanya desa

wisata. Untuk peran tersebut, desa

wisata memberi kontribusi bagi

perkembangan sistem pariwisata

pedesaan. Meski demikian, desa

wisata tidak mampu berkembang

secara sendirian. Desa wisata juga

membutuhkan dukungan, perhatian,

campur-tangan, saran, kritik, bantuan,

dan evaluasi dari elemen lainnya.

Dalam kerangka model sistem

pariwisata pedesaan seperti dalam

Gambar 2 di atas, desa wisata

termasuk salah satu sub-sistem

pariwisata pedesaan. Subsistem

pariwisata pedesaan lainnya antara

Page 80: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

72

lain pemerintah setempat, komunitas

setempat, dan lainnya. Sebagai sub-

sistem pariwisata pedesaan, desa

wisata dapat berkembang dengan

dukungan sub-sistem pariwisata

pedesaan lainnya karena adanya

hubungan interdependen. Hubungan

interdependen menunjukkan

keterikatan erat satu dengan lainnya

dalam satu sistem pariwisata

pedesaan. Hubungan interdependen

juga dapat dimaknai sebagai hubungan

saling mempengaruhi antara suatu

sub-sistem pariwisata pedesaan

dengan sub-sistem pariwisata

pedesaan lainnya. Implikasi hubungan

interdependen adalah bahwa desa

wisata sebagai suatu sub-sistem

pariwisata pedesaan mustahil

berkembang secara individual.

Sebaliknya, perkembangannya

membutuhkan dukungan sub-sistem

pariwisata pedesaan lainnya.

Gambar 3. Model Sistem Desa Wisata

Sementara itu di posisi yang lain, desa

wisata itu sebenarnya juga merupakan

suatu sistem. Sebagai suatu sistem,

desa wisata terbangun atas sejumlah

komponen penting yang saling

terhubung seperti tampak dalam

Gambar 3 di atas. Gambar 3

merupakan suatu model sistem desa

wisata. Gambar 3 menunjukkan

sejumlah komponen penting dalam

sistem desa wisata seperti pengelola

desa wisata setempat, masyarakat

setempat, komunitas setempat,

pemerintah setempat, perusahaan

setempat, konsumen setempat, umkm

setempat, dan pihak setempat lainnya

yang terkait penting dengan

pengelolaan desa wisata. Sistem desa

wisata tersebut menggambarkan

dengan jelas pihak-pihak penting yang

terkait dalam perkembangan desa

wisata, dan juga adanya integrasi

antar-pihak yang saling terhubung di

dalamnya.

Berdasarkan pada pendekatan

sistem, sejumlah upaya pengembangan

desa wisata hendaknya diarahkan

kepada berbagai upaya agar sistem

desa wisata dapat berjalan dengan

baik. Berjalan dengan baik setidaknya

Page 81: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

73

memiliki dua makna. Makna pertama,

sistem desa wisata berjalan dengan

baik ketika sistem desa wisata pada

akhirnya mampu mendukung

optimalisasi kinerja masing-masing

komponen. Makna kedua, sistem desa

wisata berjalan dengan baik ketika

sistem desa wisata mampu memberi

keuntungan bagi semua komponen di

dalamnya. Dengan kata lain, sistem

desa wisata itu dikatakan berhasil

ketika masing-masing komponen di

dalamnya mampu berkembang secara

optimal dan masing-masing komponen

di dalamnya juga menerima dan

merasakan keuntungan dengan

keberadaannya sebagai sub-sistem

desa wisata. Kedua makna tersebut

perlu terus menjadi perhatian ketika

melakukan berbagai upaya strategis

dalam rangka pengembangan desa

wisata dimanapun.

Secara garis besar, ada dua

upaya strategis yang perlu dilakukan

untuk mengembangkan desa wisata.

Dua upaya strategis ini didasarkan atas

pendekatan sistem pariwisata. Upaya

pertama adalah memastikan bahwa

secara eksternal, desa wisata mampu

bersinergi dengan komponen lainnya

dalam sistem pariwisata pedesaan.

Upaya kedua adalah memastikan

bahwa secara internal, sistem desa

wisata dapat berjalan dengan baik.

Kedua upaya tersebut sama-sama

pentingnya bagi pengembangan desa

wisata. Jika salah satu upaya

diabaikan, hal ini akan berakibat

kepada kegagalan upaya lainnya. Dua

upaya tersebut juga wajib dilakukan

secara bersamaan atau berbarengan

sehingga bergerak secara bersama-

sama dan tidak ada yang belakangan.

Dengan begitu, sinergitas kedua upaya

tersebut diharapkan dapat lebih

menjamin keberhasilan pengembangan

desa wisata.

Upaya Eksternal

Upaya eksternal pengembangan

desa wisata melalui beberapa tahap.

Awalnya, pengelola desa wisata

membangun jejaring dengan

komponen lain yang ada dalam sistem

pariwisata pedesaan. Jejaring ini

hendaknya dibangun secara formal

sehingga secara jelas menerangkan

apa manfaatnya bagi semua pihak

yang terkait. Semua pihak harus saling

menguntungkan sesuai keuntungan

yang telah disepakati semua pihak.

Pihak-pihak yang terkait setidaknya

mencakup pemerintah, perhotelan,

akademisi, konsumen, penyedia

perjalanan wisata, transportasi, dan

pihak lain yang terkait seperti terlihat

dalam Gambar 2 di atas. Pihak-pihak

terkait ini bisa ditambahkan lagi

dengan pihak-pihak eksternal lainnya

yang memang sangat terkait erat

dengan operasionalisasi desa wisata

setempat. Setiap desa wisata tidak

selalu sama dalam mengidentifikasi

pihak-pihak eksternal yang terkait.

Setiap desa wisata mempunyai

keunikannya masing-masing termasuk

keunikan pihak-pihak eksternal yang

terkait.

Setelah terbentuk jejaring

tersebut, pengelola desa wisata dan

pimpinan setiap komponen jejaring

tersebut secara terencana membuat

aktivitas-aktivitas yang bertujuan

untuk menjalin koordinasi secara

intensif. Bentuk-bentuk aktivitasnya

bisa dalam bentuk yang paling formal

sampai paling informal. Bentuk paling

formal antara lain rapat-rapat resmi

manajemen secara periodik harian,

mingguan, bulanan, trimesteran,

semesteran, sampai tahunan. Bentuk-

bentuk aktivitas informal antara lain

silahturahmi, kunjungan pertemanan,

pesta ulang tahun organisasi, dan

pertemuan informal sejenisnya secara

teratur. Dalam sejumlah aktivitas

Page 82: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

74

tersebut, tujuan dan operasional desa

wisata dikoordinasikan secara intensif

dengan tujuan dan operasional semua

komponen sistem pariwisata pedesaan.

Aktivitas-aktivitas sebagai forum

koordinasi demikian hendaknya

semakin hari semakin meningkat

intensitasnya dan kualitasnya.

Upaya Internal

Upaya internal pengembangan

desa wisata mirip dengan upaya

eksternalnya. Hanya saja, dalam upaya

internalnya, pengelola desa wisata

berupaya untuk memastikan bahwa

berbagai komponen dalam sistem desa

wisata dapat berfungsi secara optimal.

Pengelola desa wisata hendaknya

memasukkan semua potensi di

desanya sehingga semua unsur di

desanya bisa berpartisipasi secara aktif

tanpa terkecuali sebagai komponen

penting sistem desa wisata. Komponen

penting di dalamnya antara lain

masyarakat setempat, komunitas

setempat, pemerintah setempat,

perusahaan setempat, konsumen

setempat, UMKM setempat, dan pihak

setempat lainnya yang terkait penting

dengan pengelolaan desa wisata.

Semua komponen penting tersebut

dikelola dengan baik sehingga masing-

masing komponen mampu memberi

kontribusi secara maksimal demi

bekerjanya sistem desa wisata.

Dengan kontribusi maksimal

demikian, setiap komponen dapat

saling bersinergi secara efektif untuk

mengembangkan desa wisata.

Setelah itu, pengelola desa

wisata bersama komponen sistem desa

wisata lainnya aktif melakukan

aktivitas-aktivitas untuk saling

berkoordinasi secara regular. Aktivitas

tersebut bisa formal, informal, atau

keduanya secara bersamaan. Ajang

koordinasi ini bisa berupa rapat

regular, olahraga bersama, gotong-

royong, dan kegiatan sejenis yang

bertujuan semakin mempererat saling

pengertian, saling membantu, atau

saling mengevaluasi antar-komponen

sistem desa wisata. Pastikan juga

bahwa forum koordinasi tersebut

diformalkan meski dalam

pelaksanaannya boleh berjalan secara

alamiah yang cenderung informal.

Pengelola desa wisata juga hendaknya

memastikan bahwa semua komponen

sistem desa wisata mendapatkan

keuntungan sesuai kesepakatan

bersama. Keuntungan di sini bisa

dipadankan dengan pengertian

manfaat, profit, rejeki, kemaslahatan,

kemakmuran, atau kesejahteraan.

Pastikan bahwa semua komponen

dijamin mendapatkan keuntungan dan

bahwa keuntungan tersebut sudah

disepakati dan diterima dengan baik

oleh semua komponen yang terkait.

Pastikan juga bahwa tidak ada satupun

komponen terkait yang tidak

mendapatkan keuntungan.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di

atas, makalah ini memberi kesimpulan

dan saran seperti berikut ini.

Kesimpulan dalam pembahasan ini

adalah bahwa pengembangan desa

wisata dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan sistem

pariwisata. Pengembangan desa wisata

dilakukan dalam kerangka sistem

pariwisata pedesaan dan kerangka

sistem desa wisata. Dalam kerangka

sistem pariwisata pedesaan,

pengembangan desa wisata dilakukan

dengan upaya strategis eksternal.

Dalam kerangka sistem desa wisata,

pengembangan desa wisata dilakukan

dengan upaya strategis internal.

Page 83: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

75

Saran

Saran-saran yang bisa

dikemukakan di sini terkait

pengembangan desa wisata adalah

seperti berikut ini. Mengingat upaya

eksternal dan internal pengembangan

desa wisata tidaklah mudah dilakukan,

pengelola desa wisata idealnya adalah

orang-orang yang profesional. Orang-

orang profesional ini bisa bersumber

dari desa setempat atau gabungan

dengan orang profesional dari luar

desa setempat. Saran selanjutnya

adalah perlu kiranya ada mekanisme

penegakan aturan atau hukum yang

konsisten (rule/law enforcement)

untuk lebih menjamin bekerjanya

berbagai aturan, hukum, atau

kesepakatan dalam sistem desa wisata

yang telah terbangun. Saran terakhir

adalah bahwa perlu ada mekanisme

evaluasi secara regular terkait

perkembangan sistem desa wisata.

Evaluasi ini penting untuk mengukur

perkembangan sistem desa wisata dari

waktu ke waktu sehingga masing-

masing komponen dapat mengetahui

sudah seberapa berkembangkah sistem

desa wisata yang telah dibangun

secara bersama-sama tersebut.

Demikianlah sejumlah hal pokok

terkait pengembangan desa wisata

dengan menggunakan pendekatan

sistem pariwisata. Diharapkan desa

wisata dapat terus berkembang dari

waktu ke waktu baik secara kuantitas

maupun kualitas.

Daftar Pustaka

Fandeli, Chafid. 2015. “Sistem Dalam

Pariwisata”, Materi Kuliah

Sistem Pariwisata, Program

Doktor Kajian Pariwisata,

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Hardianto, Florentinus Nugro. 2017.

Pengembangan Wisata Massal

“Shopping Centres” Berdasarkan

Pendekatan Sistem Pariwisata.

Makalah Seminar Nasional

Sistem Informasi (SENASIF), 14

September 2017. Universitas

Negeri Malang.

Lopa, Joseph M.L. dan Marecki,

Richard F. 1999. “The Critical

Role of Quality in the Tourism

System”, Quality Progress.

Agustus; 32,8.

Mill, R.C., & Morrison, A.M. 1992.

The Tourism System. Englewood

Cliffs. Prentice Hall.

Page 84: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Sistem Pariwisata Pedesaan dan Pengembangan Desa Wisata

76

Page 85: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

77

PENGARUH JUMLAH WISATAWAN DAN PAJAK HOTEL TERHADAP

PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

Galih Wicaksono1, Yeni Puspita

2

[email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana jumlah wisatawan dan

pajak hotel dapat berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten

Banyuwangi pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2016. Jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini data sekunder serta metode regresi linear berganda. Variabel

pada penelitian ini terdapat dua variabel independen, yaitu jumlah wisatawan dan

pajak hotel, sedangkan variabel dependennya adalah pendapatan asli daerah. Hasil

dari penelitian ini adalah bahwa secara parsial dan simultan, jumlah wisatawan dan

pajak hotel berpengaruh signifikan terhadap pendapatan asli daerah.

Kata Kunci: Jumlah Wisatawan, Pajak Hotel, Pendapatan Asli Daerah

Abstract

This study aims to determine that the number of tourists and hotel tax revenue affect

revenue in the Banyuwangi City from 2014 to 2016. The type of data used in this

study is secondary data and multi regression analysis method. Variables used in this

study are independent variables, namely the number of tourists and hotel tax

revenue, while the dependent variable is revenue. The result of this study is confirm

that partially and simultaneously, if the number of tourists and hotel tax revenue

have significant influence to revenue.

Keywords: Number of Tourists, Hotel Tax Revenue, Revenue

1,2

Dosen Universitas Jember

Page 86: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

78

Pendahuluan

Otonomi Daerah diberlakukan di

Indonesia sejak 2001, hal ini membuat

daerah dituntut mencari berbagai

alternatif sumber penerimaan yang

dapat digunakan untuk pengeluaran

atau belanja daerah. Pemberian

wewenang terhadap daerah untuk

memungut pajak dan retribusi daerah

diperlukan adanya landasan hukum

berupa Undang Undang. Sebagai

landasan hukum yang merupakan dasar

hukum pungutan Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah yaitu Undang Undang

No 28 Tahun 2009 yang berlaku sejak

1 Januari 2010. Dalam Upaya

merealisasikan Pelaksanaan Otonomi

Daerah maka sumber pembiayaan

pemerintah daerah tergantung pada

peranan PAD. Sektor pariwisata

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah

melalui pajak hotel, pajak restoran dan

pendapatan yang lainnya.

Kabupaten Banyuwangi adalah

daerah yang saat ini lagi menggiatkan

pariwisata. Sektor pariwisata menjadi

sektor unggulan di Kabupaten

Banyuwangi, dimana sektor ini banyak

memberikan kontribusi terhadap

perekonomian yang mendongkrak

Pendapatan Masyarakat Kabupaten

Banyuwangi. Hal ini sesuai dengan

data Badan Pusat Statistik tercatat

pendapatan per kapita Banyuwangi

melonjak 62 persen dari Rp20,8 juta

(2010) menjadi Rp37,53 juta (2015)

dan diprediksi pendapatan per kapita

pada tahun 2016 bisa menembus Rp38

juta per tahun, bahkan pendapatan per

kapita Kota Blambangan itu sudah

berhasil melampaui sejumlah

kabupaten/kota di Jatim yang

sebelumnya selalu di atas Banyuwangi.

PDRB mengalami kenaikan hampir

75%, sektor restoran mengalami

kenaikan 12% dan Hotel mengalami

kenaikan 18%, dimana kenaikannya

melampaui rata rata pertumbuhan

ekonomi Banyuwangi yang sebesar

7%.

Geliat bisnis dan pariwisata juga

tercemin dari lonjakan penumpang di

Bandara Blimbingsari Banyuwangi

yang mencapai 1.31% dari hanya 7.826

penumpang pada tahun 2011 menjadi

110.234 penumpang di tahun 2015.

Semakin berkembang pesatnya sektor

pariwisata. Hal ini berdampak pula

pada jumlah kunjungan wisatawan

baik domestik maupun mancanegara.

Seperti terlihat pada Gambar 1 di

bawah ini, kunjungan wisatawan tiga

tahun terakhir selalu mengalami

peningkatan, dan menunjukkan tren

yang positif. Hal ini mengindikasikan

bahwa Kabupaten Banyuwangi

menjadi salah satu tujuan destinasi

wisata yang diminati oleh wisatawan,

dan dengan semakin beragamnya

festival yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi,

hal ini menjadi faktor pendukung

kunjungan wisatawan ke Banyuwangi.

Meningkatnya kunjungan

wisatawan baik domestik dan

mancanegara seperti terlihat pada Tabel

1, berdampak pada pendapatan yang

diterima oleh pemerintah daerah,

khususnya penerimaan pajak restoran

dan pajak hotel. Pajak hotel merupakan

salah satu jenis pajak yang dipungut

oleh pemerintah daerah, berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi No 2 Tahun 2011, dimana

objek pajak hotel merupakan pelayanan

yang disediakan hotel, termasuk jasa

penunjang kelengkapan hotel yang

sifatnya memberikan kemudahan dan

kenyamanan termasuk fasilitas

olahraga dan hiburan. Objek pajak

hotel meliputi hotel, motel, losmen,

gubug pariwisata, wisma pariwisata,

pesanggrahan, rumah kos yang

kamarnya lebih dari sepuluh kamar,

serta rumah penginapan.

Page 87: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

79

Gambar 1.

Jumlah Wisatawan di Banyuwangi

Sumber: Banyuwangi dalam Angka (2017)

Sesuai RPJMD Banyuwangi

tahun 2017, Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi menargetkan jumlah

pengunjung atau wisatawan dari dalam

dan luar negeri dari tahun ke tahun

mengalami kenaikan, target wisatawan

tahun 2017 sebesar 13 juta wisatawan

asing, dan 263 juta wisatawan

domestik. Hal ini menjadi modal besar

bagi penerimaan daerah Kabupaten

Banyuwangi. Seperti pada Tabel 1

terlihat bahwa penerimaan pajak hotel

setiap tahunnya selalu mengalami

peningkatan yang signifikan, dan

memberikan kontribusi yang besar

terhadap Penerimaan Asli daerah

Kabupaten Banyuwangi.

Tabel 1. Penerimaan Pajak Hotel dan PAD Kabupaten Banyuwangi

Tahun Penerimaan Pajak Hotel Pendapatan Asli Daerah

2013 736.117.819 183.024.155.839

2014 960.514.090 275.918.234.423

2015 3.367.954.736 346.712.332.423

2016 4.980.913.655 367.939.934.394

2017 5.656.590.953 389.007.903.129 Sumber: Badan Pendapatan Daerah (2017)

Dalam penelitian Leksmana

(2013) bahwa pariwisata memberikan

dampak positif terhadap perekonomian

seperti peningkatan pendapatan

masyarakat daerah dan negara tujuan

wisata, membuat lapangan pekerjaan,

peningkatan infrastruktur dan fasilitas

umum di daerah tujuan wisata.

Peningkatan pendapatan masyarakat

dapat terjadi karena pengeluaran oleh

wisatawan untuk konsumsi, akomodasi,

transportasi, souvenir dan jasa-jasa

lainnya di daerah tujuan wisata akan

menciptakan multiplier effects bagi

sektor-sektor perekonomian lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ronald

Bua Toding (2016), menunjukkan

bahwa potensi sangat besar jauh di atas

nilai realisasi penerimaan pajak hotel,

peningkatan sosialisasi kepada wajib

Page 88: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

80

pajak usaha perhotelan serta bertindak

tegas kepada wajib pajak dan bila

memungkinkan, sediakan fasilitas yang

memudahkan para pemilik hotel untuk

menyetorkan pajak.

Berdasarkan uraian diatas dan

penelitian terdahulu, peneliti ingin

menganalisa seberapa besar pengaruh

jumlah wisatawan dan penerimaan

pajak hotel terhadap PAD Kabupaten

Banyuwangi, sehingga selain dapat

menghitung pengaruhnya, juga dapat

merumuskan kebijakan apa yang dapat

dilakukan untuk mengoptimalkan

penerimaan pajak hotel.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh kunjungan

wisatawan terhadap pendapatan asli

daerah kabupaten Banyuwangi?

2. Bagaimana pengaruh pajak hotel

terhadap Pendapatan Asli Daerah

(PAD) kabupaten Banyuwangi ?

3. Bagaimana pengaruh kunjungan

wisatawan dan pajak hotel terhadap

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten

Banyuwangi?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana

pengaruh kunjungan wisatawan

terhadap PAD Kabupaten

Banyuwangi.

2. Untuk mengetahui bagaimana

Pengaruh Pajak Hotel terhadap

PAD kabupaten Banyuwangi.

3. Untuk mengetahui bagaimana

Pengaruh kunjungan wisatawan dan

pajak hotel terhadap PAD

Kabupaten Banyuwangi.

Tinjauan Pustaka

Kebijakan Otonomi Daerah

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah

kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat

(5) tertulis, “Pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya

kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan pemerintah pusat.

”Penyelenggarakan otonomi daerah

yang luas, nyata dan bertanggungjawab

diperlukan kewenangan dan

kemampuan dalam menggali sumber

keuangan sendiri yang didukung oleh

perimbangan keuangan antara pusat

dan daerah. Dalam hal ini kewenangan

keuangan yang melekat pada setiap

pemerintahan menjadi kewenangan

pemerintah daerah. Dalam menjamin

terselenggaranya otonomi daerah yang

semakin mantap, maka diperlukan

kemampuan untuk meningkatkan

kemampuan keuangan sendiri yakni

dengan upaya peningkatan PAD, baik

dengan meningkatkan penerimaan

sumber PAD yang sudah ada maupun

dengan penggalian sumber PAD yang

baru sesuai dengan ketentuan yang ada

serta memperhatikan kondisi dan

potensi ekonomi masyarakat. Dalam

melaksanakan upaya peningkatan PAD,

perlu diadakan analisis potensi PAD.

Pajak Daerah

Pajak Daerah menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor

34Tahun 2000 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, menyebutkan

bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya

disebut pajak adalah iuran wajib yang

dilakukan oleh orang pribadi atau

badan kepada Daerah tanpa imbalan

langsung yang seimbang, yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku,

yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan Daerah

dan pembangunan daerah.

Page 89: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

81

Pajak Hotel

Pajak Hotel adalah pajak atas

pelayanan hotel. Yang dimaksud

dengan hotel adalah bangunan yang

khusus disediakan bagi orang untuk

dapat menginap/beristirahat,

memperoleh pelayanan, dan/atau

fasilitas lainnya dengan dipungut

bayaran, termasuk bangunan lainnya

yang menyatu, dikelola dan dimiliki

oleh pihak yang sama, kecuali untuk

pertokoan dan perkantoran. Subyek

Pajak Hotel adalah orang pribadi atau

badan yang dapat dikenakan pajak

daerah (Prakosa, 2005).

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah adalah

komponen sumber penerimaan

keuangan Negara disamping

penerimaan lainnya berupa dana

perimbangan, pinjaman daerah dan

lain-lain penerimaan yang sah juga sisa

anggaran tahun sebelumnya yang dapat

ditambahkan sebagai sumber

pendanaan penyelenggaraan

pemerintahan di daerah. Keseluruhan

bagian penerimaan tersebut setiap

tahun tercermin dalam APBD,

meskipun PAD tidak seluruhnya dapat

membiayai APBD. Menurut

Mardiasmo (2002) “Pendapatan asli

daerah adalah penerimaan yang

diperoleh dari sektor pajak daerah,

retribusi daerah hasil perusahaan milik

daerah, hasil pengelolaan kekayaan

daerah yang dipisahkan, dan lain-lain

pendapatan asli daerah.

Adapun sumber-sumber PAD

sebagaimana datur dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal

157, yaitu:

1. Hasil pajak daerah, pajak

merupakan sumber keuangan pokok

bagi daerah-daerah disamping

retribusi daerah. Dengan demikian

ciri-ciri yang menyertai pajak

daerah dapat diikhtisarkan seperti

berikut:

1) Pajak daerah berasal dan pajak

negara yang diserahkan kepada

daerah sebagai pajak daerah;

2) Penyerahan dilakukan

berdasarkan undang-undang;

3) Pajak daerah dipungut oleh

daerah berdasarkan kekuatan

undang-undang dan/atau

peraturan hukum Lainnya;

4) Hasil pungutan pajak daerah

dipergunakan untuk membiayai

penyelenggaraan urusan-urusan

rumah tangga daerah atau untuk

membiayai pengeluaran daerah

sebagai badan hukum publik;

2. Hasil retribusi daerah, sumber

pendapatan daerah yang penting

lainnya adalah retribusi daerah.

Pengertian retribusi daerah adalah

pungutan daerah sebagai

pembayaran atas pemakaian atau

karena memperoleh jasa pekerjaan,

usaha atau milik daerah untuk

kepentingan umum, atau karena jasa

yang diberikan oleh daerah baik

langsung maupun tidak Iangsung.

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan, yaitu kekayaan

daerah yang dilepaskan dan

penguasaan umum yang

dipertanggungjawabkan melalui

anggaran belanja daerah dan

dimaksudkan untuk dikuasai dan

dipertanggungjawabkan sendiri.

4. Lain-lain pendapatan asli daerah

yang sah, yaitu pendapatan asli

daerah yang sah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf d,

meliputi: hasil penjualan kekayaan

daerah yang tidak dipisahkan, jasa

giro, pendapatan bunga, keuntungan

seIisih nilai tukar rupiah terhadap

mata uang asing; dan komisi,

potongan, ataupun bentuk lain

sebagai akibat dan penjualan

Page 90: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

82

dan/atau pengadaan barang dan/atau

jasa oleh daerah.

Metodologi Penelitian

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan

deskriptif kuantitatif, menggunakan

data sekunder dari Badan Pendapatan

Daerah (BAPENDA) Kabupaten

Banyuwangi serta dari Banyuwangi

dalam Angka. Rincian data dalam

penelitian ini meliputi data jumlah

wisatawan dalam negeri dan luar

negeri, realisasi pajak hotel, serta

realisasi pendapatan asli daerah (PAD)

Kabupaten Banyuwangi, pada tahun

2014 sampai dengan 2016.

Variabel Penelitian

Variabel dependen atau terikat

pada penelitian ini adalah pendapatan

asli daerah. Menurut Samudera (2003),

pendapatan asli daerah adalah

penerimaan dari pungutan pajak

daerah, hasil dari perusahaan daerah

dan lainnya yang merupakan sumber

pendapatan asli yang digali dan

dihasilkan oleh daerah, serta

merupakan pendapatan daerah yang

sah. Variabel independen atau

tergantung pada penelitian ini adalah

jumlah wisatawan dan pajak hotel.

Jumlah wisatawan adalah keseluruhan

jumlah pengunjung wisatawan, baik

mancanegara maupun domestik yang

berkunjung di suatu daerah (Aliandi,

2013). Sedangkan pajak hotel adalah

total penerimaan yang berasal dari

pajak yang bersumber dari hotel, kos-

kosan, dan penginapan yang dikenakan

sebagai wajib pajak hotel.

Metode Analisis Data

Metode analisis data

menggunakan pengujian statistik.

Tahapan pengujian dalam penelitian ini

meliputi analisis deskriptif, uji asumsi

klasik yang meliputi uji normalitas, uji

multikolinieritas, dan uji

heteroskedastisitas. Selanjutnya

menggunakan uji koefisien

determinasi, serta uji T dan uji F dalam

analisis statistik.

Hasil Analisis dan Pembahasan

a. Statistik Deskriptif Tabel 2. Statistik Deskriptif

N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Jumlah_Wisatawan 36 21656 38908 60564 49523,22 5084,125 Pajak_Hotel 36 410064427 61343152 471407579 267531550,39 171528926,807 PAD 36 17165312274 15252012987 32417325261 26220430150,03 6347822409,724 Valid N (listwise) 36

Sumber : Data diolah untuk penelitian (2018)

Berdasarkan data pada Tabel 2,

dapat diketahui bahwa jumlah sampel

adalah 36. Untuk variabel jumlah

wisatawan, angka minimum sebesar

38.908 pengunjung, nilai maksimum

sebesar 60.564 pengunjung, serta rata-

rata pengunjung sebesar 49.523,22

pengunjung. Untuk variabel pajak

hotel, angka minimum sebesar Rp

61.343.152, angka maksimum sebesar

Rp 471.407.579, serta rata-rata sebesar

Rp 267.531.550,39. Untuk variabel

pendapatan asli daerah, angka

minimum sebesar Rp 15.252.012.987,

angka maksimum sebesar Rp

32.417.325.261, serta rata-rata sebesar

Rp 26.220.430.150,03.

Page 91: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

83

b. Hasil Pengujian Statistik

1. Uji Normalitas

Bertujuan untuk menguji apakah

model regresi, residual telah

berdistribusi secara normal. Uji

normalitas dapat dilakukan dengan

cara melihat grafik normal p-plot,

serta uji kolmogorov smirnov (Uji

KS).

Gambar 2. Grafik Normal P-Plot

Sumber : Data diolah (2018)

Berdasarkan Gambar 2, dapat

diketahui bahwa titik-titik menyebar

secara diagonal mendekati garis lurus.

Menurut Ghozali (2013), jika data

menyebar disekitar garis diagonal

menunjukan pola distribusi normal,

sehingga dapat dikatakan bahwa model

regresi telah memenuhi asumsi

normalitas.

Tabel 3. Uji Kolmogorov Smirnov

Unstandardized Residual

N 36

Normal Parametersa,b

Mean -,0000009

Std. Deviation 2302404072,94146250

Most Extreme Differences

Absolute ,074

Positive ,061

Negative -,074

Kolmogorov-Smirnov Z ,442

Asymp. Sig. (2-tailed) ,990

Monte Carlo Sig. (2-tailed)

Sig. ,981c

99% Confidence Interval Lower Bound

,977

Upper Bound ,984

Sumber : Data diolah untuk penelitian (2018)

Pada hasil Tabel 3, kolmogorov

smirnov z yaitu 0,442 dengan nilai

signifikansi jauh di atas 0,05, maka

dapat dinyatakan bahwa data

penelitian ini telah terdistribusi secara

Page 92: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

84

normal. Hasil ini konsisten dengan

pengamatan grafik normal p-plot.

2. Uji Multikolinieritas

Diperlukan untuk melihat ada

tidaknya variabel independen yang

memiliki kemiripan dengan

independen yang lain dalam suatu

model. Uji multikolinieritas melihat

pada tolerance dan VIF, dengan

pedoman bahwa apabila nilai

tolerance tidak kurang dari 0,1 , serta

nilai VIF tidak lebih dari 10, sehingga

dapat dikatakan bahwa model regresi

terbebas dari multikolinieritas.

Tabel 4. Uji Multikolinieritas

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

T

Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1

(Constant) 6922571892,557 4168428985,954 1,661 ,106

Jumlah_Wisatawan 223061,157 89682,275 ,179 2,487 ,018 ,773 1,294

Pajak_Hotel 30,842 2,658 ,833 11,603 ,000 ,773 1,294

a. Dependent Variable: PAD Sumber : Data diolah untuk penelitian (2018)

Berdasarkan Tabel 4,

menunjukan bahwa nilai tolerance

semua variabel di atas 0,1 serta VIF

kurang dari 10, yaitu setiap variabel

bebas dari multikolinieritas.

3. Uji Heteroskedastisitas

Bertujuan untuk menguji apakah

model regresi terjadi ketidaksamaan

varian dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain. Salah satu cara untuk

mendeteksi adalah dengan cara melihat

grafik scatterplot sebagai berikut:

Gambar 3. Uji Heteroskedastisitas

Page 93: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

85

Berdasarkan Gambar 2, dapat

dilihat bahwa titik-titik menyebar

secara acak dan tidak membentuk

suatu pola tertentu, sehingga dapat

disimpulkan bahwa semua variabel

bebas dari heteroskedastisitas.

4. Uji t

Bertujuan untuk menguji

signifikansi pengaruh antara variabel

independen terhadap variabel

dependen. Dalam pengujian penelitian

ini menggunakan analisis regresi linier

berganda. Berikut adalah hasil

perhitungan Uji T :

Tabel 5. Uji t

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t

Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 6922571893 4168428986 1,661 ,106

Jumlah_Wisatawan 223061,157 89682,275 ,179 2,487 ,018

Pajak_Hotel 30,842 2,658 ,833 11,603 ,000

a. Dependent Variable: PAD

Sumber : Data diolah untuk penelitian (2018)

Pada Gambar 5, dapat diketahui

signifikansi antara variabel independen

terhadap variabel dependen. Pada

variabel jumlah wisatawan dapat dilihat

bahwa nilai signifikansi sebesar 0,018

lebih kecil dari 0,05, sehingga kita

ketahuijika jumlah wisatawan

berpengaruh signifikan terhadap

pendapatan asli daerah. Lebih lanjut,

pada variabel pajak hotel diketahui

bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari

0,05, sehingga kita ketahui bahwa

pajak hotel berpengaruh signifikan

terhadap pendapatan asli daerah.

5. Uji F

Bertujuan untuk menguji

signifikansi antara variabel independen

secara bersama-sama terhadap variabel

dependen. Dalam pengujian penelitian

ini menggunakan analisis regresi linier

berganda. Berikut adalah hasil

perhitungan Uji F :

Tabel 6. Uji F ANOVA

a

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1

Regression 1224782469060184200000,000

2 612391234530092100000,000

108,921 ,000b

Residual 1855372580284

10770000,000 33 5622341152376

083500,000

Total 1410319727088595000000,000

35

a. Dependent Variable: PAD b. Predictors: (Constant), Pajak_Hotel, Jumlah_Wisatawan

Sumber : Data diolah (2018)

Page 94: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

86

Melihat pada Tabel 6, nilai signifikansi

sebesar 0,00 lebih kecil dari 0,05,

sehingga dapat diketahui bahwa jumlah

wisatawan dan pajak hotel secara

bersama-sama berpengaruh signifikan

terhadap pendapatan asli daerah.

Dengan kata lain, bahwa jumlah

wisatawan dan pajak hotel apabila

semakin meningkat, maka pendapatan

asli daerah juga akan meningkat.

6. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan

untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam

menerangkan variasi variabel

dependen. Penilaian dapat dilakukan

dengan cara melihat dari nilai Adjusted

R Square.

Tabel 7. Koefisien Determinasi

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,932a ,868 ,860 2371147644,576

a. Predictors: (Constant), Pajak_Hotel, Jumlah_Wisatawan b. Dependent Variable: PAD

Sumber : Data diolah untuk penelitian (2018)

Berdasarkan Tabel 7, dapat

diketahui bahwa nilai adjusted R

square sebesar 0,860. Hal ini

mengindikasikan bahwa jumlah

wisatawan dan pajak hotel berpengaruh

sebesar 86 % terhadap pendapatan asli

daerah. Sedangkan sisanya sebesar 14

% dipengaruhi faktor lain diluar

variabel yang diajukan pada penelitian

ini.

Pembahasan

Pengaruh Jumlah Wisatawan

terhadap Pendapatan Asli Daerah

Pada hasil uji statistik dapat

diketahui bahwa jumlah wisatawan

berpengaruh signifikan dan positif

terhadap pendapatan asli daerah. Hal

ini dilihat dari Uji T yang

menghasilkan signifikansi sebesar 0,18.

Angka signifikansi 0,18 lebih kecildari

0,05. Nilai t hitung sebesar 2,487

menunjukan arah positif. Dengan kata

lain, bahwa kenaikan jumlah

wisatawan akan diikuti dengan

meningkatnya pendapatan asli daerah.

Hal ini dikarenakan apabila adanya

wisatawan, maka tentu saja para

wisatawan akan menggunakan fasilitas

yang ada di Kabupaten Banyuwangi,

misalkan seperti hotel, restoran, dan

parkir. Dengan adanya beberapa

pemanfaatan oleh wisatawan atas

beberapa hal tersebut, tentu saja akan

meningkatkan perekonomian warga,

serta diikuti oleh peningkatan

pendapatan asli daerah. Karena jumlah

destinasi di Banyuwangi sangat

menarik wisatawan untuk berkunjung,

jadi tidak hanya ketika ada festival

budaya, sejalan dengan penelitian yang

pernah dilakukan oleh Mufti Baihaqi

(2017) yang mengangkat topik di

jumlah kunjungan wisatawan di NTB

dimana hasilnya menemukan bahwa

variable jumlah wisatawan

berpengaruh pada peningkatan PAD,

karena jumlah wisatawan di NTB

mengindikasikan semakin besar

kegiatan konsumtif dari para wisatawan

yang berkunjung di NTB.

Pengaruh Jumlah Pajak Hotel

terhadap Pendapatan Asli Daerah

Pada hasil uji statistik dapat

diketahui bahwa jumlah pajak hotel

berpengaruh signifikan dan positif

Page 95: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

87

terhadap pemdapatan asli daerah. Hal

ini dilihat dari Uji T yang

menghasilkan signifikansi sebesar 0,00.

Angka signifikansi 0,00 lebih kecil dari

0,05. Nilai t hitung sebesar 11,603

menunjukan arah positif. Dengan kata

lain, bahwa kenaikan jumlah pajak

hotel akan diikuti dengan

meningkatnya pendapatan asli daerah.

Hal ini dikarenakan apabila adanya kas

masuk yang berasal dari pajak hotel,

tentu saja akan meningkatkan

penerimaan pajak hotel, serta akan

meningkatkan pendapata asli daerah.

Sebaliknya, apabila penerimaan pajak

hotel menurun, tentu saja akan

menyebabkan turunnya pendapatan asli

daerah. Hasil ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ronald Bua Toding (2016)

menemukan bahwa potensi sangat

besar jauh di atas nilai realisasi

penerimaan pajak hotel, dan

penerimaan pajak hotel sangat besar

pengaruhnya terhadap peningkatan

PAD, peningkatan sosialisasi kepada

wajib pajak usaha perhotelan serta

bertindak tegas kepada wajib pajak dan

bila memungkinkan, sediakan fasilitas

yang memudahkan para pemilik hotel

untuk menyetorkan pajak. Dan

penelitian yang dilakukan oleh Andre

(2014) menemukan bahwa jumlah hotel

berpengaruh positif terhadap

penerimaan pajak hotel. Dikarenakan

adanya peningkatan pembangunan

hotel di Kota Palembang yang cukup

meningkat di setiap tahunnya

dikarenakan adanya event-event /

pentas yang bersifat nasional dan

nternasional pada tahun 2011 yaitu Sea

Games.

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan

Pajak Hotel terhadap Pendapatan

Asli Daerah

Pada hasil uji statistik dapat

diketahui bahwa jumlah wisatawan dan

pajak hotel secara bersama-sama

berpengaruh signifikan dan positif

terhadap pendapatan asli daerah. Hal

ini dilihat dari Uji F yang

menghasilkan signifikansi sebesar 0,00.

Angka signifikansi 0,00 lebih kecil dari

0,05. Nilai f hitung sebesar 108,921

menunjukan arah positif. Dengan kata

lain, bahwa kenaikan jumlah

wisatawan dan jumlah pajak hotel,

akan meningkatkan pula angka

pendapatan asli daerah. Hal ini

dikarenakan apabila adanya wisatawan

dan naiknya pajak hotel, tentu saja hal

tersebut menyebabkan naiknya

pendapatan asli daerah. Namun apabila

jumlah wisatawan dan pajak hotel

berkurang, maka tentu saja hal tersebut

akan mengakibatkan turunnya

pendapatan asli daerah. Penelitian yang

dilakukan oleh Nadya Tiara, (2013)

menemukan bahwa Hubungan jumlah

hotel dan tingkat okupansi menjadi

indikasi penerimaan pajak hotel, akan

tetapi jumlah wisatawan belum tentu

menjadi tolak ukur terhadap

penerimaan pajak hotel dikarenakan

wisatawan yang berkunjung di Kota

Semarang hanya untuk sekedar transit.

Hal ini dibuktikan rata-rata lama

hunian maksimal hanya 1.7 hari.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang

telah dilakukan, penelitian ini

menghasilkan kesimpulan sebagai

berikut:

1. Secara parsial, jumlah wisatawan

berpengaruh signifikan terhadap

pendapatan asli daerah.

Page 96: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi

88

2. Secara parsial, pajak hotel

berpengaruh signifikan terhadap

pendapatan asli daerah.

3. Secara simultan, jumlah wisatawan

dan pajak hotel berpengaruh

signifikan terhadap pendapatan asli

daerah, dimana pengaruhnya yaitu

sebesar 86 %. Sisanya sebesar 14

% dijelaskan oleh variabel-variabel

lain yang tidak terdapat dalam

model penelitian ini.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang

diberikan, peneliti memberikan saran

sebagai berikut:

1. Untuk Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi, hendaknya selalu

berusaha meningkatkan jumlah

wisatawan yang berkunjung ke

Banyuwangi, misalkan dengan cara

membuat acara-acara yang menarik

dan kreatif, sehingga berpotensi

mendatangkan wisatawan.

2. Untuk Badan Pendapatan Daerah

Banyuwangi, hendaknya berusaha

meningkatkan jumlah pajak hotel,

misalkan dengan cara melakukan

intensifikasi, ekstensifikasi, serta

pemetaan potensi pajak hotel secara

akurat dan cermat.

3. Untuk peneliti selanjutnya,

sebaiknya diteliti lebih lanjut terkait

faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap pendapatan asli daerah,

sehingga akan ditemukan suatu

formula secara lebih detail

mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan peningkatan pendapatan

asli daerah.

Daftar Pustaka

Aliandi, Vidya Dwi Anggitasari, dkk.

2013. Pengaruh Jumlah

Wisatawan, Jumlah Hotel, dan

Tingkat Hunian Hotel terhadap

Penerimaan Pajak Hotel Studi

Kasus Pada Kota Yogyakarta.

Diponegoro Journal of Economics,

Vol 02, No 04. Semarang :

Universitas Diponegoro.

Banyuwangi dalam Angka. 2016.

Ghozali, Imam. 2013. Aplikasi Analisis

Multivariate dengan Program IBM

SPSS. Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponegoro.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

2011. Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi nomor 2 tahun 2011

tentang pajak daerah.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009.

Undang-Undang nomor 28 tahun

2009 tentang pajak daerah dan

retribusi daerah

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

2016. Peraturan Bupati Kabupaten

Banyuwangi nomor 81 tahun 2016

tentang pembayaran dan pelaporan

pajak parkir, pajak hotel, pajak

restoran dan pajak hiburan secara

elektronik

Prakosa .2005. Pajak dan retribusi

Derah, Yogyakarta. UII Press

Ronald Bua Toding. 2016. Analisis

potensi dan Efektivitas

pemungutan Pajak Hotel dalam

Meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah Kota Palangka Raya.

Jurnal EMBA Vol 4 No 1 Maret

2016

Samudera. 2003. Otonomi Keuangan

Daerah Tingkat II. Prima No.4.

Jakarta : LP3ES.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

Page 97: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

89

PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

I Ketut Mastika1

[email protected]

Abstrak

Ekspansi pengembangan industri pariwisata di Bali berdampak adanya alih fungsi

lahan dan minimnya partisipasi masyarakat lokal. Untuk mengangkat peran serta

masyarakat lokal, Yayasan Wisnu LSM di bidang lingkungan di Bali berinisiasi

membentuk Jaringan Ekowisata Desa (JED) dan melakukan pemberdayaan

masyarakat desa agar memiliki kemadirian dalam mengelola potensi ekowisata yang

ada di wilayahnya. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data tentang

nilai-nilai, prinsip-prinsip pengembangan ekowisata berwawasan kearifan lokal.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penyelenggaraan program-program

pemberdayaan sejak tahap enable, empowering dan autonomy, sehingga masyarakat

di desa yang menjadi anggota JED mampu mengembangkan ekowisata desa berbasis

masyarakat lokal berwawasan kearifan lokal.

Kata Kunci: Ekowisata, Pariwisata Berbasis Masyarakat, Kearifan Lokal.

Abstract

The expansion of the tourism industry in Bali, have consequences to over the

function of the land and the lack of participation of local communities. To raise the

role of local communities, foundations of Wisnu the NGOs in the field of environment

in Bali, initiate to form a network of ecotourism village (JED) and doing community

empowerment in order to have the independent to managing of the ecotourism

potential in its territory. In-depth interviews were used to dig up data about values,

principles, and practices of development village ecotourism insightful local wisdom.

The results showed the existence of organizing programs empowerment since stage

enable, empowering, and autonomy, so that people in the village who are members

of JED are able to develop community-based village ecotourism insightful local

wisdom.

Keyword: Ecotourism, Community-Based Tourism, Local Wisdom

1 Dosen Universitas Jember

Page 98: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

90

Pendahuluan

Pengembangan pariwisata

berbasis masyarakat (community based

tourism) merupakan agenda penting

bagi kalangan penggiat ekowisata.

Bentuk wisata alternatif dengan tujuan

pelibatan masyarakat lokal adalah

ekowisata (ecotourism) yang

mengelola potensi keaslian budaya dan

potensi kelestarian alam sebagai aset

pengembangan objek dan atraksi

wisata. Segmentasi wisatawan yang

menjadi sasaran adalah wisatawan

minat khusus (special interest tourism)

memiliki motif wisata aktif

mengunjungi kawasan-kawasan alami

dan keunikan budaya lokal. Jenis

wisatawan ini sering dikenal dengan

“The REAL Travel”), yakni:

Rewarding, Enriching, Adventourism,

dan Learning (PAU-UGM, 1997).

Dalam aktivitas wisata, mereka secara

aktif berinteraksi dengan penduduk

lokal dalam mewujudkan motif

wisatanya.

Berkembangnya konsep dan

praktek penyelenggaraan ekowisata

sebagai bentuk pariwisata alternatif

(antitesa dari mass tourism),

mengisyaratkan adanya kesadaran

dalam masyarakat akan pentingnya

mengedepankan bentuk pariwisata

bertanggung jawab. Pengembang an

pariwisata alternatif tidak saja

dimaknai dan dipahami sebagai

pengembangan produk berorientasi

kepada kepuasan pelanggan (customers

satisfaction), namun juga penyelarasan

produk dan atraksi dengan kelestarian

potensi alam dan budaya lokal sebagai

aset wisata di kawasan wisata yang

dikembangkan. Keberhasilan dalam

menciptakan keselarasan motif wisata

ini merupakan suatu reputasi bagi

pengembang an pariwisata alternatif.

Reputasi dalam konteks

penyelarasan motif wisata tersebut,

merupakan bagian penting dalam

pengembangan destinasi ekowisata

desa. Brand ekowisata desa yang

terbentuk hendaknya memiliki posisi

visual yang lengkap dengan identitas

yang kuat, sehingga brand berperan

efektif sebagai media publikasi dan

pemasaran, serta sebagai identitas

destinasi, juga sebagai ketahanan

nasional. Brand destinasi menunjukkan

identitas produk, secara kuat

mengembangkan citra dan manfaat

positif yang dirasakan oleh masyarakat

maupun pengunjung melalui proses

interaksi ‘layanan dan pengalaman”.

Oleh karena itu, dalam pengembangan

brand identity destinasi wisata, akan

meliputi konten yang melibatkan

banyak aspek, seperti; values dari

community, business etics, community

organizing, net working, legal

standing, regulation (Bungin, 2015).

Merespon gejala pariwisata yang

berdampak negatif bagi kehidupan

masyarakat lokal pedesaan, sebuah

LSM yang bergerak dibidang

lingkungan, yaitu Yayasan Wisnu

membentuk Jaringan Ekowisata Desa

(JED) yang terdiri atas empat desa,

yaitu: (1) Banjar Kiadan; (2) Dukuh

Sibetan; (3) Sekelompok orang di desa

Tenganan; dan (4) Nusa Ceningan. JED

memiliki prinsip-prinsip dalam

menjalankan ekowisata desa, yaitu: 1)

menekankan kepada peranan

masyarakat desa di dalam menyusun

perencanaan, dan pengelolaan

ekowisata di wilayahnya; 2) manfaat

ekonomi yang diperoleh didedikasikan

kepada kegiatan sosial, budaya dan

lingkungan masyarakat setempat; 3)

transparansi dan demokratis sebagai

dasar penguatan kerjasama antar desa

JED; 4) aktivitas kegiatan JED didesain

agar mampu meminimalkan dampak

negatif terhadap lingkungan lokal; dan

5) JED hadir dalam perannya sebagai

jembatan pemahaman silang budaya

melalui fasilitasi komunikasi dan

Page 99: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

91

diskusi antar masyarakat lokal Bali

dengan pengunjung.

Berdasarkan pada pemahaman

dan konteks pembangunan serta

pengembangan destinasi wisata,

pengembangan pariwisata berbasis

masyarakat, ekowisata desa

berwawasan kearifan lokal, maka

permasalahan dalam kajian ini adalah:

“Bagaimana pola pemberdayaan

masyarakat yang diinisiasi Yayasan

Wisnu dan JED, pada enabling,

empowering, dan autonomy sesuai

kriteria kecukupan ekowisata,

mencakup konten identitas brand

ekowisata desa berwawasan kearifan

lokal.”

Tujuan kajian ini meliputi: (1)

untuk memahami pola pemberdayaan

masyarakat dalam membangun

kesadaran dan kemampuan

mengembangkan dan mengelola

ekowisata desa berwawasan kearifan

lokal; (2) memahami pola konstruksi

sosial terhadap realitas desa wisata

ekologis yang berbasis masyarakat dan

berwawasan kearifan lokal.

Definisi ekowisata pertama kali

diperkenalkan akhir tahun 1980-an oleh

Ceballos-Lascurain. Terminologi

digunakan untuk menggambarkan

perjalanan ke lokasi-lokasi alami yang

terpencil untuk tujuan menikmati dan

mempelajari alam serta budaya

masyarakat lokal (Mitchell, 1998;

Furze, 1997, Wall & Ross, 1998).

Ekowisata merupakan model

pembangunan pariwisata berkelanjutan

(sustainable tourism development).

Pengembangan ekowisata melalui desa

wisata ekologis, dapat meredam laju

industri pariwisata massal (mass

tourism), yang potensial mendegradasi

kualitas lingkungan. Fenomena industri

pariwisata kerap mengekploitasi

potensi alam (lahan pertanian) sehingga

berdampak pada alih fungsi lahan yang

semakin meluas (Dipayana & Sunarta,

2015). Potensi munculnya perilaku

hedonis, bergesernya nilai-nilai adat

budaya lokal, dan minimnya pelibatan

masyarakat (Urbanus dan Febianti,

2017).

Tipologi adalah studi atau

klasifikasi sistematis dari berbagai tipe

yang mempunyai karakteristik atau

kualitas bersama. Tipologi ekowisata

Bali berdasarkan aktor utama

penggerak (agent of change) serta

manajemen pengelolaan, meliputi: (1)

Ekowisata yang digerakkan oleh

investor (Ekowisata tipe Investor); (2)

Ekowisata yang digerakkan oleh

masyarakat (Ekowisata tipe

Partisipatif); dan (3) Ekowisata yang

digerakkan oleh pemerintah atau

Ekowisata tipe Pemerintah (Arida,

2014).

Tujuan analisis ekowisata,

Pertama adalah untuk mengidentifikasi

sejauh mana konsep ekowisata yang

digunakan di lokasi pengembangan

ekowisata memenuhi kecukupan

kriteria ideal dalam literatur dan

kebijakan yang ditetapkan oleh institusi

yang berwenang. Kedua, yaitu untuk

mengetahui implikasi pengembangan

ekowisata dalam mempengaruhi citra

ekowisata di lokasi pengembangan

ekowisata. Berdasarkan kedua tujuan

tersebut analisis kecukupan kriteria

ekowisata dapat meliputi lima faktor,

yaitu: (1) tujuan pengelolaan; (2)

partisipasi masyarakat; (3)

pengembangan ekonomi lokal; (4)

produk wisata; dan (5) dampak

minimal terhadap lingkungan (Pratiwi,

2008).

Desa wisata (village tourism)

merupakan model ideal dalam

mewujudkan pengembangan pariwisata

berbasis masyarakat, mendorong peran

serta masyarakat lokal dalam

mengelola destinasi wisata desa.

Kelestarian lingkungan alam di

wilayahnya, keaslian potensi budaya,

Page 100: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

92

keunikan kehidupan masyarakat desa,

pertanian rakyat, dan nilai-nilai

keramahtamahan dalam kehidupan

sehari-hari, penuh kedamaian,

harmonis dengan suasana ekologisnya,

merupakan daya tarik yang luar biasa.

Dalam masyarakat pedesaan, nilai-nilai

kehidupan sosio-kultural diwujudkan,

dijaga, dipelihara sebagai pranata

penting dan dikenal sebagai kearifan

lokal (local wisdom) atau local

indiginous. Di dalam nilai-nilai

kearifan lokal terkandung bentuk-

bentuk mitigasi adaptif bagi

masyarakat dalam mengelola kawasan

ekologis mereka (Stone & Nyaupane,

2016).

Pemahaman tentang pariwisata

berbasis masyarakat (community based

tourism) pada dasarnya berkaitan erat

dengan proses pembangunan pariwisata

berkelanjutan. Artinya, dalam

pembangunan dan pengembangan

pariwisata masyarakat lokal terlibat

secara aktif karena memiliki

pengetahuan dan dianggap sebagai

syarat tercapainya pembangunan

pariwisata berkelanjutan. Pandangan

ini didasarkan pada suatu hipotesis

bahwa masyarakat setempat sudah

mempunyai pengetahuan untuk

berpartisipasi dalam mengelola

sumberdaya yang mereka miliki.

Partisipasi masyarakat hendaknya

diartikan sebagai keterlibatan aktif

masyarakat dalam setiap proses mulai

perencanaan sampai kepada

pemanfaatan hasil-hasil pariwisata.

Jadi, konsep pariwisata berbasis

masyarakat adalah merupakan

perubahan paradigma pembangunan

dari pola top-dawn planning menjadi

buttom-up planning (Pitana, 2002).

Kearifan lokal (local

wisdom/local indigenous) lahir sebagai

usaha manusia dengan menggunakan

akal budinya (kognisi) untuk bertindak

dan bersikap terhadap sesuatu, objek,

atau peristiwa yang terjadi dalam ruang

tertentu (Ridwan, 2007). Dalam

masyarakat pedesaan, nilai-nilai

kehidupan sosio-kultural diwujudkan,

dijaga, dipelihara sebagai pranata

penting dan dikenal sebagai kearifan

lokal (local wisdom) atau local

indiginous. Di dalam nilai-nilai

kearifan lokal terkandung bentuk-

bentuk mitigasi adaptif bagi

masyarakat dalam mengelola kawasan

ekologis mereka (Stone & Nyaupane,

2016).

Pemberdayaan masyarakat

adalah merupakan suatu proses belajar

yang berlangsung secara bertahap,

yaitu: (1) Tahap penyadaran atau

pembentukkan perilaku menuju sadar

dan peduli sehingga membutuhkan

peningkatan kapasitas diri; (2) Tahap

transformasi kemampuan berupa

wawasan pengetahuan, kecakapan, dan

keterampilan agar terbuka wawasan

dan memberikan keterampilan dasar

sehingga dapat mengambil peran dalam

pembangunan; dan (3) Tahap

peningkatan kemampuan intelektual,

sehingga terbentuklah inisiatif dan

kemampuan inovatif menuju pada

kemandirian (Sulistiyani, 2004).

Berkenaan dengan pemaknaan konsep

pemberdayaan masyarakat, inti dari

pemberdayaan adalah meliputi tiga hal,

yaitu: 1) pengembangan (enabling); 2)

penguatan potensi atau daya

(empowering); dan 3) terciptanya

kemandiri an (autonomy). Berdasarkan

pemikiran ini, maka pemberdayaan

tidak saja terjadi pada masyarakat yang

tidak memiliki kemampu an, akan

tetapi pada masyarakat yang memiliki

daya yang masih terbatas, dapat

dikembangkan hingga mencapai

kemandiri an (Winarni, 1998). Strategi

pemberdayaan masyarakat pada

dasarnya mempunyai arah dan

kebijakan yang meliputi: 1) arah

keberpihakan kepada masyarakat; 2)

Page 101: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

93

arah pemantapan dan pendelegasian

wewenang dalam pembangunan yang

mengembangkan peran serta

masyarakat; dan 3) arah modernisasi

melalui penajaman dan pemantapan

struktur sosial, ekonomi, dan budaya

yang bersumber pada peran masyarakat

lokal (Sedarmayanti, 2005).

Dalam pandangan Berger &

Luckmann (1966), bahwa individu

adalah produk dari konstruksi sosial

terhadap realitas melalui proses

institusi, legitimasi, dan sosialisasi.

Dalam tiga proses ini berlangsung pula

tiga proses simultan, yaitu:

eksternalisasi, legitimasi objektivitas,

dan internalisasi. Proses konstruksi

sosial terhadap realitas berawal dari

gagasan konstruktivis (pencipta ide,

gagasan, dan nilai dan berjalan melalui

proses sosial. Ide, gagasan, dan nilai

diinternalisasi ke dalam diri individu

dan keluarga (pribadi yang

terkonstruksi). Eksternalisasi adalah

proses pembentukkan pola, aturan, atau

peran di antara kelompok orang.

Legitimasi dalam proses sosial

objektivitas, memberi alasan yang

rasional terhadap proses pelembagaan.

Sedangkan proses internalisasi ini

dilakukan melalui kegiatan sosialisasi

konstruksi sosial terhadap realitas

terhadap masyarakat. (Bungin, 2015).

Dalam mengonstruksi desa

wisata ekologis, aspek utama yang

diperhatikan adalah nilai kearifan lokal

atau local indigenousity yang berkaitan

dengan aspek sistem kosmologi Hindu

di Bali (Pasek, 2015), yaitu ‘Tri Hita

Karana” (Windia, 2011). Dalam

konteks tri hita karana, wilayah desa

pakraman terbagi atas tiga zone, yakni:

(1) Zone kesucian yang disebut dengan

“Parahyangan”; (2) Zone pemanfaat an

terbatas disebut dengan “Palemahan”;

dan (3) Zone pemanfaatan yang disebut

dengan “Pawongan”. Zona kesucian ini

diperuntukkan bagi pendirian pura

(tempat peribadatan), perlindungan

flora dan fauna sebagai kawasan

konservasi kekayaan desa pakraman.

Zona pemanfaatan terbatas merupakan

zona transisi, dimana wisatawan bisa

melintasi area ini untuk aktivitas

ekowisata dengan sejumlah aturan.

Zona pemanfaatan, yaitu kawasan yang

digunakan sebagai lokasi sarana

akomodasi dan fasilitas ekowisata

untuk kepentingan wisatawan.

Kajian dilaksanakan

menggunakan metode penelitian

kualitatif. Data diperoleh dari informan

yang dipilih secara purposif yaitu

penggagas desa wisata ekologis

(Direktur Yayasan Wisnu Bali) yang

berkedudukan di Kerobokan Denpasar

Selatan dan Direktur Jaringan

Ekowisata Desa (JED), sebagai subjek

penelitian. Wawancara mendalam

(indepth interview) dilakukan dalam

kurun waktu tiga bulan (Oktober s.d.

Desember 2016), untuk menggali latar

belakang pembentukkan jaringan

ekowisata desa (JED). Bagaimana

mereka memaknai (meaning) realitas

nilai filosofi, prinsip, dan praktek

ekowisata desa berbasis kearifan lokal.

Triangulasi dilakukan kepada pelaku

ekowisata di desa (Banjar Kiadan),

sebagai ujung tombak yang memiliki

pengalaman lapangan berinteraksi

dengan pengunjung, memiliki

tanggung jawab mengimplementasikan

nilai-nilai kearifan lokal positif dan

mampu memuaskan para pengunjung.

Wawancara dengan pengunjung asing

yang ditemui secara insidental untuk

memperoleh tanggapan atas

penyelenggaraan desa wisata ekologis

yang mereka rasakan selama

melakukan kunjungan. Data sekunder

dihimpun untuk mengetahui proses-

proses pengembangan ekowisata desa

yang melibatkan stakeholder, seperti

pemerintah desa adat/dinas, pemerintah

Page 102: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

94

daerah, akademisi, pemuda, dan

penduduk lokal.

Hasil dan Pembahasan

Tahap Penyadaran dan

Pembentukan Perilaku Peduli

Ekowisata (Enabling)

Pada tahap penyadaran

masyarakat desa pentingnya kesadaran

membangun pariwisata bagi

masyarakat dan lingkungan, Yayasan

Wisnu dan JED secara kreatif

mengajak peserta diklat berjalan-jalan

ke lokasi mass tourism di Denpasar

Selatan (Kuta) untuk melihat sendiri

siapa pelaku industri pariwisata yang

gemerlap itu. Pendamping menanyakan

kepada peserta diklat bagaimana

mereka melihat pariwisata.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Direktur Yayasan Wisnu (2016),

dialog yang dilakukan dengan

masyarakat, sebagai berikut: “…bayangan anda pariwisata seperti

apa? Jawabannya, pariwisata ya, seperti

“kuta”lah, ada bahasanya pariwisata sama

dengan investor, pariwisata sama dengan

hotel dan restoran begitu, kami ajak jalan-

jalan, pertanyaannya sampai pada kalkulasi

kalau begini model pariwisata apa yang

Anda raih. Kami ajak untuk mencoba

menghitung-hitung, air gimana, tanah,

transport gimana, pembagian keuntungan,

dampak lingkungan, dampak budaya.

Kami diskusikan, akhirnya mereka mulai

paham. Kami runut supply chain-nya,

akhirnya mereka paham konstelasi yang

ada. Inilah proses-proses penyadaran untuk

memahami konstelasi siapa mendapatkan

apa di ruang mereka.”

Secara ideal tujuan

pengembangan ekowisata adalah

pemanfaatan sumberdaya alam untuk

mendukung usaha konservasi melalui

perlindungan, menjaga keberlanjutan

sumberdaya alam yang merupakan aset

wisatanya. Pemahaman mengenai

pelestarian alam sebagai tujuan

pengelolaan ekowisata oleh pihak

Yayasan Wisnu dan menjadi komitmen

pengelola JED serta komunitas adalah

lebih dari sekedar tujuan ritual,

sebagaimana dikatakan Direktur

Yayasan Wisnu (2016), berikut ini: “…pelestarian alam, lebih dari pada

pengamanan bahan-bahan ritual kami,

karena kami juga bergerak dari

keanekaragaman hayati, maka keamanan

kami pada biosafety, keamanan plasma

nuftah, pengamanan genetic juga resources

alamiah, mitigasinya harus detail bahwa

dalam masyarakat sudah ada upaya secara

ritual seperti apa, begitu juga secara sosial

kemasyarakatan seperti apa, masyarakat

sebenarnya sudah mengetahui tinggal

mengasah pemahaman yang lebih hakiki

upaya untuk mengonservasi.”

Berdasarkan paparan di atas

nampak jelas bahwa tujuan pengelolaan

ekowisata desa adalah untuk tujuan

konservasi sumberdaya alam dan

budaya (sesuai kriteria kecukupan

pertama ekowisata), melalui program

pemberdayaan masyarakat,

peningkatan capacity building, dan

community organizing dalam

penyelenggaraan ekowisata di desa

masing-masing.

JED memprakarsai penyusunan

tata ruang wilayah, mitigasi adaptif,

dan zonasi pemanfaatan ruang. Dalam

mengonstruksi desa wisata ekologis,

aspek utama yang diperhatikan adalah

nilai kearifan lokal atau local

indigenousity yang berkaitan dengan

aspek sistem kosmologi Bali dengan

konsep ‘Tri Hita Karana”. Pentingnya

untuk menerapkan sistem kosmologi

Bali dalam pengembangan desa wisata

ekologis dinyata kan oleh Direktur

Yayasan Wisnu (2016), yaitu: “...kami meyakini betul bahwa

sistem kosmologi Bali begitu berkaitan

dengan konsepsi believe dan bagaimana

kita men-treatment diri kita dan

lingkungan. Kalau awig-awig desa kita itu

kan ada yang tertulis dan tidak tertulis, tapi

Page 103: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

95

setelah kita mengajak mereka melihat,

memaknai, memahami apa yang mereka

miliki, mereka menjadi sadar untuk

mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari,

secara individu, sosial, termasuk dalam

praktika desa wisata ekologis.”

Dalam konteks Tri Hita Karana,

wilayah desa pakraman terbagi atas

tiga zone: (1) Zone kesucian disebut

dengan “Parahyangan”; (2) Zone

pemanfaatan terbatas yang disebut

dengan “Palemahan”; dan (3) Zone

pemanfaatan disebut dengan

“Pawongan”. Zona kesucian

diperuntukkan bagi pendirian pura,

perlindungan flora dan fauna sebagai

kawasan konservasi kekayaan desa

Pakraman. Zona pemanfaatan terbatas

merupakan zona transisi, dimana

wisatawan bisa melintasi area ini untuk

aktivitas ekowisata dengan sejumlah

aturan. Zona pemanfaatan, yaitu

kawasan yang digunakan sebagai lokasi

sarana akomodasi dan fasilitas

ekowisata untuk kepentingan

wisatawan.

Tahap Transformasi Pengetahuan

(Empowering)

Terkait dengan pelibatan

masyarakat, Yayasan Wisnu dan JED

mengatakan bahwa pihaknya tidak mau

melibatkan masyarakat hanya secara

artifisial, melainkan melaku kan

perencanaan yang matang mengenai

apa yang tidak diketahui masyarakat,

apa yang diketahui menurut

masyarakat, dan apa yang seharusnya

diketahui oleh masyarakat terkait

ekowisata. Setelah adanya pemantapan

materi pengetahuan ekowisata yang

dibutuh kan, kemudian disiapkan

media komunikasi, edukasi, sosialisasi

yang kondusif dan efektif sesuai

karakteristik masyarakat desa. Setelah

proses penyadaran berjalan dengan

baik, melibatkan kelembagaan

masyarakat di desa, peningkatan

capacity building dan mengadakan

proses community organizing mulai

dari konsep mengajak mereka secara

fisik dan rasional, bagaimana

mengembang kan dan mengelola

kegiatan ekowisata di desanya.

Langkah pelibatan masyarakat tersebut

disampaikan oleh Direktur Yayasan

Wisnu (2016) sebagai berikut: “…pelibatan masyarakat itu ada

stratanya, kami prosesnya community

organizing mulai dari konsep mengajak

mereka secara fisik dan rasional,

narasumber, bercerita (story telling) atau

berkontribusi atas sejarah, eksistensi dan

peran-perannya di komunitas, terus kami

juga libatkan anak muda dari perspektif

perempuan, nah dalam konteks-konteks

tertentu dalam capacity building ada

beberapa pembagian-pembagian tugas

yang dibutuhkan misalnya jadi local guide,

order, kuliner, guest house segala macem.

Nah hal ini kami yakin betul bahwa fungsi-

fungsi tertentu tidak bisa di-handle oleh

semua orang, jadi peran apa, siapa yang

mampu mereka lakukan ya harus

menduduki posisi ini, tapi dukungan

kegiatan ini adalah diinstitusikan masuk ke

dalam kelembagaan. Jadi ini menjadi milik

mereka, jadi mereka terlibat atau tidak

terlibat, mereka justru adalah pemilik.”

Pelibatan masyarakat desa dalam

pengembangan ekowisata sangat urgen

dan harus hati-hati agar tidak terjadi

pelibatan artifisial, selain juga harus

menjaga agar tidak terjadi tindakan

sewenang-wenang yang dapat memicu

kecemburuan dan ketidakpuasan

masyarakat yang mengakibat kan

kontra produktif dengan tujuan

pengembangan ekowisata. Berdasarkan

informasi di atas dapat dipahami bahwa

pelibatan masyarakat di lokasi studi

sudah dilaksanakan sehingga sudah

sesuai dengan unsur kedua dari kriteria

kecukupan ekowisata.

Secara ekonomis sudah

diciptakan atau dikembangkan

kegiatan-kegiatan yang dapat membuka

Page 104: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

96

kesempatan kerja, seperti misalnya;

local guide, tukang masak/kuliner,

pentas seni, homestay atau guest-house,

coffepark. Instrumen-instrumen

ekonomis ini menggerakkan aliran

pendapatan masyarakat, baik secara

individu maupun kelompok sesuai

kapasitas dan skill-nya, serta

penerimaan komunitas untuk

pembiayaan kegiatan komunal yang

bersifat kolektif. Konteks ini

sebagaimana dikatakan Direktur

Yayasan Wisnu (2016), sebagai

berikut: “…kami menjadikan desa mereka

destinasi, maka secara ekonomis sudah di-

create kegiatan-kegiatan kesempatan kerja

seperti local guide, tukang masak, pentas

seni, homestay itu kami sudah menciptakan

lapangan kerja. Kalau ada seperti kopi

organik yang dikemas mereka, itu ada

pengembangan produk souvenir berupa

kemasan kopi organik Kiadan Pelaga, tapi

kemudian pengembangan produk kopi ini

kami tarik pada proses yang lebih besar

yang nantinya juga komunitas ini

mempunyai akses sebagai pemegang

saham dari usaha yang dibangun. Jadi

konsepsi sebenarnya, kalau kita lihat

sebagai opportunity dari komoditas yang

ada itu sebenarnya mereka sangat terbuka

untuk bisa melihat dan berkoordinasi

dengan JED, misalnya ada tamu, sense of

creativity, ada dia yang harus menjemput

bola, tapi kalau kami men-driil mereka

terus kan tidak membangun kreativitas.

Kami sadar bahwa mereka sudah punya

kemauan kami pupuk sedikit sudah bisa

bergerak, kami memakai model pendidikan

orang dewasa, dengan menumbuhkan

partisipasi, kreativitas dan inovasi sesuai

potensi, peluang yang tersedia dan

terbuka.”

Fokus pada pengembangan

ekonomi lokal merupakan misi utama

bagi Yayasan Wisnu dan JED dalam

mengembangkan ekowisata desa.

Sebab pemahaman terhadap

pengembangan ekowisata tidak sebatas

menjadikan penduduk lokal hanya

sebagai objek semata, yang kemudian

minta dibelaskasihani, menghimbau

pelaku pariwisata untuk peduli kepada

kemiskinan mereka, tentu tidak

demikian. Berdasarkan informasi di

atas dapat dipahami bahwa

pengembang an ekonomi masyarakat di

lokasi studi sudah dilaksanakan

sehingga sudah sesuai dengan unsur

ketiga dari kriteria kecukupan

ekowisata.

Tahap Terbentuk Inisiatif dan

Kemampuan Inovatif menuju

Kemandirian (Autonomy)

Direktur Yayasasn Wisnu (2016)

mengungkapkan pandangan beliau

dalam mengembangkan ekowisata desa

(dalam konteks produk dan proses)

sebagai berikut: “…konsep kami dari awal

mengembang kan ekowisata desa itu dari

dua jalur, dari (1) jasa ecotourism/jasa

lingkungan, sosio-kultural yang mereka

emban di desa, dan juga (2) komoditi

sendiri. Di komoditi sendiri adalah kami

ingin mengembangkan konsepsi kopi yang

namanya coffeepark, dari kebun kopi yang

stigmatisnya, petani kopi itu ya seperti itu,

petani yang anaknya tidak bangga padahal

pohon kopi itu adalah pohon yang sangat

magical sekali, bisa menghasilkan buah

yang bisa dinikmati dari berbagai level

kalangan, tukang kebun sampai ‘raja’ yang

paling hebat, politisi yang hebat. Mereka

semua menyukai kopi.”

Dari ungkapan di atas sangat

jelas kelihatan bahwa ekowisata desa

telah memiliki landasan ideal

pemikiran tentang pengembangan

produk ekowisata, yang mengandung

makna pendidikan dimulai dari

edukasi, sosialisasi, training untuk

pengelola serta komunitasnya tentang

mengkreasi penyelenggaraan ekowisata

yang ideal, walaupun disadari

diperlukan proses yang

berkesinambungan sebagai hakekat

proses pembelajaran tiada henti. Dalam

Page 105: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

97

konteks ini, ada sesuatu makna yang

terselip, dan sesungguhnya sangat

urgen, substantif bagi eksistensi

ekowisata. Artinya, produk ekowisata

tidak dimaknai hanya sebagai alat

pemuas kebutuhan pengunjung semata,

tetapi yang jauh lebih mendasar bahwa

produk ekowisata desa itu adalah

manifestasi, simbolisasi, karakterisasi,

ekspresi dari sebuah nilai yang menjadi

inti keyakinan penduduk setempat

(hosts), dimana nilai-nilai (values) ini

kemudian menyatu secara totalitas

dalam aktivitas ekowisata desa.

Ada proses saling memberi dan

menerima, ada proses interpretasi,

saling memahami, saling

mengapresiasi, saling membangun

kecintaan, saling memiliki kepedulian

yang tinggi terhadap alam dan budaya

tentunya. Pada konteks ini makna ideal

dari pengembangan produk ekowisata

desa sudah sangat terpenuhi,

sebagaimana yang ungkapkan Direktur

Yayasan Wisnu (2016) berikut ini: “…kami sengaja mengundang

temen-temen dan turis asing yang kami

datangkan, kami katakan interaksi dan

pertemuan itu sebagai sharing knowledge,

sebenarnya bukan seperti host and guest,

tetapi dia merasa ada sebuah linking

attitude dari sisi mereka bertanya kita

menjawab dan sebaliknya. Dalam konteks

mereka saling bertanya, tetapi kejujuran

menjadi sangat penting, kalau tidak bisa

katakanlah tidak bisa, tanyakan kembali

minta kepada mereka kalau mereka ada

informasi, karena yang datang itu jangan

anda anggap tidak membaca, tidak tahu,

tidak memahami, tidak mempunyai

interest. Jadi ini penting karena mereka

sudah belajar sebelumnya, kadang-kadang

yang datang kesana ahli kopi, jadi kita

pura-pura hebat tapi ternyata yang kita ajak

lebih hebat. itulah menjadi modal besar

anda, kejujuran menjadi sangat penting

sehingga anda tidak menjual kebohongan

dalam konteks komunikasi dan menyadari

penghargaan terhadap tamu.”

Berdasarkan informasi di atas

dapat dipahami pengembangan produk

ekowisata desa berbasis potensi dan

wawasan kearifan lokal di lokasi studi

sudah dilaksanakan sehingga sudah

sesuai dengan unsur keempat dari

kriteria kecukupan ekowisata.

Antisipasi terhadap dampak

negatif yang timbul dari pengembangan

produk dan atraksi ekowisata, Direktur

JED (2016) mengatakan: “…Dalam perspektif ideologis kita

amankan. Kita merevitalisasi konsepsi dan

konstelasi kehidupan masyarakat, nilai,

way of life yang hidup di masyarakat,

sekarang pertahankan dan kembangkan

kemanfaatannya dengan cara-cara kreatif,

inovatif, nilai-nilai substantifnya lestari

dan berkelanjutan.”

Jadi makna untuk

meminimalisasi dampak negatif pada

lingkungan tidak sebatas ansich diukur

pada parameter kuantitatif saja, tetapi

lebih mendalam lagi yaitu

mengantisipasi agar tidak terjadi

pergeseran mindset pelaku ekowisata

dari nilai-nilai, komitmen untuk

menjaga kelestarian alam dan budaya,

dijaga bersama antara penyedia layanan

ekowisata desa dengan pengunjung,

menjaga keberlanjutan budaya interaksi

linkage attitude saling memberi,

menjaga kepedulian lingkungan.

Berdasarkan informasi di atas dapat

dipahami bahwa minimalisasi dampak

lingkungan ekowisata desa berbasis

potensi dan wawasan kearifan lokal di

lokasi studi sudah dilaksanakan

sehingga sudah sesuai dengan unsur

kelima dari kriteria kecukupan

ekowisata.

Pembangunan ekowisata desa di

Bali tidak lepas dari tatanan

penyelenggaraan desa pakraman,

sehingga pariwisata yang dihadirkan

tidak tercabut dari akar sosio-kultural

masyarakat Bali. Sistem kosmologi

Bali dengan konsep Tri Hita Karana

Page 106: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

98

dengan pemilahan atau zonasi wilayah

tata ruang desa yang disebut Tri

Mandala, yakni: (1) hubungan manusia

dengan Sang Pencipta disebut

parahyangan; (2) hubungan manusia

dengan lingkungan disebut palemahan;

dan (3) hubungan manusia dengan

manusia disebut pawongan. Sistem

kosmologi Bali merupakan pola dasar

filosofi yang diimplementasikan ke

dalam konsep fisik Tri Mandala

penjabaran dari konsep filosofi Tri Hita

Karana, merupakan dasar kesadaran

moral dan etika yang harus dipahami

dan dilaksanakan oleh masyarakat desa

dalam mengembangkan ekowisata

desa, sebagaimana ketentuan-ketentuan

yang telah diatur dalam awig-awig

(peraturan) Desa Pakraman. Pola

pengembangan ekowisata desa

mengikuti “Pola Serba Tiga” (Tri ning

Tri).

Pola konstruksi sosial meliputi

tiga aspek utama, yaitu; eksternalisasi,

legitmasi, dan internalisasi. Proses

eksternalisasi ini berjalan dalam waktu

yang relatif lama, setiap desa didorong

untuk mampu mengidentifikasi potensi

dan keunikan, otentisitas, serta

kekhasan produk ekowisata, sekecil

apapun. Sesuai proses pemberdayaan

yang diinisiasi, diedukasi, dan

dimotivasi oleh Yayasan Wisnu dan

JED melalui diklat capacity building,

community organizing, skill layanan

ekowisata desa, maka masyarakat desa

di wilayah JED semakin memahami

potensi dan identitas ekowisata desa.

Dengan demikian, maka semakin

tergugah kesadaran diri

mengembangkan produk ekowisata

desa berwawasan kearifan lokal.

Tahap legitimasi, merupakan

proses pelembagaan (institutionalized)

nilai-nilai sosio-kultural dalam

masyarakat. Legitimasi memberi alasan

yang rasional terhadap pelembagaan

nilai-nilai sosio-kutural yang

disampaikan kepada masyarakat. Pada

ekowisata JED, dalam konteks tipologi

ekowisata, merupakan ekowisata tipe

masyarakat, maka dalam

pengembangan dan pengelolaannya

menggunakan pranata tradisional desa

pakraman. Desa ataupun banjar

pakraman dengan nilai-nilai kearifan

lokal merupakan instrumen bagi pihak

pemegang otoritas pengelolaan

ekowisata desa. Instrumen desa

pakraman ini secara efektif digunakan

untuk mengakumulasikan,

mengkoordinasikan, dan

mensinergikan modal-modal internal

lainnya. Dengan demikian, apabila

masyarakat lokal semakin kaya dan

kuat konektivitas dengan nilai-nilai

kearifan lokal ekowisata desa

pakraman, maka semakin meningkat

kemampuan sharing knowledge

tentang produk, atraksi dan jasa

ekowisata.

Tahap internalisasi merupakan

sebuah proses dimana produk sosial

dapat membuat orang lain menjadi

sebagian daripada produk sosial itu.

Internalisasi adalah proses dimana

suatu produk sosial menjadi diri

sendiri. Dengan demikian, wisatawan

yang berkunjung ke destinasi ekowisata

dimaknai dan dipahami sebagai

sebagian dari produk ekowisata itu

sendiri. Hal ini karena ekowisata juga

dikenal sebagai aktivitas pariwisata

minat khusus (special interest tourism)

yang berbeda dengan mass tourism.

Keberhasilan proses internalisasi

meningkatkan kemampuan masyarakat

dalam sharing knowledge dan

menciptakan linkage attitude antara

masyarakat (Host) dan pengunjung

(Guest) secara harmonis. Berdasarkan

pemahaman yang diperoleh, maka

keberhasilan konstruksi sosial

ekowisata desa berbasis kearifan lokal

ditandai semakin kuatnya kemampuan

sharing knowledge dan linkage attitude

Page 107: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

99

di antara masyarakat lokal dengan

pengunjung.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian

disimpulkan bahwa pengembangan

ekowisata desa berbasis masyarakat

berwawasan kearifan lokal, diwujudkan

melalui pemberdayaan yang meliputi

tahap; enabling, empowering, dan

autonomy, serta memenuhi ketentuan

kriteria kecukupan ekowisata secara

ideal. Proses konstruksi sosial terhadap

realitas pengembangan ekowisata

mengikuti tiga tahap teori konstruksi

sosial, yaitu tahap eksternalisasi,

legitimasi dan internalisasi. Dengan

demikian, bahwa: (1) Pola

pendampingan yang dikembangkan

Yayasan Wisnu dan JED semakin

tergugah kesadaran diri masyarakat

lokal untuk mengembang kan produk

ekowisata desa berwawasan kearifan

lokal; (2) Apabila masyarakat lokal

semakin kaya dan kuat konektivitas

dengan nilai-nilai kearifan lokal

ekowisata desa pakraman, maka

semakin meningkat kemampuan

sharing knowledge tentang produk,

atraksi dan jasa ekowisata; (3)

Keberhasilan konstruksi sosial

ekowisata desa berbasis kearifan lokal

ditandai semakin kuatnya kemampuan

sharing knowledge dan linkage attitude

di antara masyarakat lokal dengan

pengunjung.

Daftar Pustaka

Arida, I N. 2016. Dinamika Ekowisata

Tri Ning Tri di Bali, Denpasar:

Pustaka Larasan bekerjasama

dengan Fakultas Pariwisata

Universitas Udayana.

Berger, P.L. & Luckmann, T. 1966.

The Social Construction of

Reality. A treatise in the

Sociology of Knowledge, New

York: Anchor Books

Bungin, B. 2015. Komunikasi

Pariwisata, Tourism

Communication, Pemasaran dan

Brand Destinasi, Jakarta:

Prenadamedia Group.

Damanik, J. 2013. Pariwisata

Indonesia: Antara Peluang dan

Tantangan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar (Anggota IKAPI).

Dipayana, A. & Sunarta, I N. 2015.

Dampak Pariwisata Terhadap

Alih Fungsi Lahan Di Desa

Tibubeneng Kecamatan Kuta

Utara Kabupaten Badung (Studi

Sosial Budaya), Jurnal Destinasi

Pariwisata, 3(2), ISSN. 2338-

8811.

Furze, B., De Lacy, T., & Birckhead, J.

1997. Culture, conservation and

biodiversity. Chichester: John

Wiley & Sons.

Mitchell, E. G. R. 1998. Community

Integration in Ecotourism: A

Comparative Case Study of Two

Communities in Peru [Thesis].

The University of Guelph,

Canada.

Pusat Antar Universitas (PAU) Studi

Sosial UGM. 1997. Wisata Minat

Khusus: Laporan Ringkas Studi

Rencana Pengembangan Wisata

Minat Khusus. Yogyakarta: PAU

UGM.

Pasek, P. 2015. Kosmologi Hindu Bali,

balicircle.blogspot.co.id/2015/05/

kosmologi-hindu-bali.html.

Pitana,I.G. 2002. Community

Management Dalam

Pembangunan Pariwisata,

Majalah Ilmiah Pariwisata,

Analisis Pariwisata, Vol. 2 No.

2, Denpasar: Universitas

Udayana.

Page 108: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

100

Pratiwi, S. 2008. Model

Pengembangan Institusi

Ekowisata untuk Konflik di

Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak, Desertasi, Bogor:

IPB.

Ridwan, N.A. 2007. Landasan

Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal

Studi Islam dan Budaya. Vol. 5

(1), 27-38.

Sedarmayanti. 2005. Membangun

Kebudayaan dan Pariwisata

(Bunga Rampai Tulisan

Pariwisata). Bandung: Mandar

Maju.

Stone, M.T. & Nyaupane, G.P. 2016.

Ecotourism influence on

community needs and the

functions of protected areas: a

systems thinking approach,

Journal of Ecotourism, 16(3),

222-246, Doi:

10.1080/14724049.2016.

1221959

Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan

Pola - Pola Pemberdayaan.

Yogyakarta: Gava Media

Urbanus, I N. & Febianti. 2017.

Analisis dampak perkembangan

pariwisata terhadap perilaku

konsumtif masyarakat wilayah

Bali Selatan, Jurnal

Kepariwisataan dan Hospitality,

1(2), 118-133.

Wall G. & Ross, S. 1998. Ecotourism

towards congruence between

theory and practice. Waterloo,

Canada: Faculty of

Environmental Studies,

University of Waterloo.

Winarni, T. 1998. Orientasi

Pembangunan Masyarakat Desa

Menyongsong Abad 21, Menuju

Pemberdayaan Pelayanan

Masyarakat, Yogyakarta: Fisipol

UGM, Aditya Media.

Windia, W., Dewi, & Ratna K. 2011.

Tri Hita Karana, Denpasar:

Udayana University Press.

Page 109: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

101

EVALUASI PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TAHUN

2013-2017 DARI SEKTOR PARIWISATA DI BANYUWANGI

Indra Perdana Wibisono1

[email protected]

Abstract

The success of the development of the tourism sector in an area is reflected by the

increasing contribution to Regency Local Revenue. The development of tourism in

Banyuwangi Regency will increase Regency Local Revenue. The implication of

increasing Regency Local Revenue is increasing the economy in Banyuwangi so that

the welfare of the community increases. This study uses qualitative research methods

with a descriptive approach. Banyuwangi Regional Revenue has increased every

year. Based on processed data, the increase in Regency Local Revenue from 2010 to

2017 was 346.6%. This shows a very significant increase in Regency Local Revenue

in the past 7 years. Realization of Regency Local Revenues increases every year. The

Regency Local Revenue target also increases every year. The realization of Regency

Local Revenue from 2013 to 2016 always exceeds the revenue target. Only in 2017

the realization of revenues was lower than the target of revenues.

Keywords: Tourism, Local Government Revenue

Abstrak

Keberhasilan pengembangan sektor pariwisata pada suatu daerah yang direfleksikan

oleh meningkatnya kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan

berkembangnya kepariwisataan di Kabupaten Banyuwangi akan meningkatkan PAD.

Implikasi dari meningkatnya PAD adalah meningkatkan perekonomian di

Banyuwangi sehingga meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendapatan

Asli Daerah (PAD) Banyuwangi mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil olahan data maka kenaikan PAD dari tahun 2010 hingga 2017

sebanyak 346,6%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan PAD yang sangat

signifikan dalam 7 tahun terakhir. Realisasi penerimaan PAD meningkat setiap

tahunnya. Untuk target PAD juga meningkat setiap tahunnya. Adapun realisasi PAD

dari tahun 2013 hingga 2016 selalu melebihi dari target penerimaan. Hanya pada

tahun 2017 realisasi penerimaan lebih rendah dibanding target penerimaan.

Kata Kunci: Pariwisata, Pendapatan Asli Daerah

1 Dosen Universitas Jember

Page 110: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

102

Pendahuluan

Pengembangan sektor

pariwisata sangat dirasakan manfaatnya

dalam bertambahnya devisa maupun

pendapatan asli daerah (PAD).

Keberhasilan pengembangan sektor

pariwisata pada suatu daerah yang

direfleksikan oleh meningkatnya

kontribusi sektor perdagangan, hotel

dan restoran terhadap Pendapatan Asli

Daerah (PAD). Pendapatan asli

daerah merupakan salah satu

sumber pembiayaan pemerintah

daerah yang peranannya sangat

tergantung pada kemampuan dan

kemauan daerah dalam menggali

potensi di daerah. Pendapatan asli

daerah idealnya menjadi sumber utama

pendapatan daerah, karena sumber

pendapatan lain relatif fluktuatif dan

cenderung diluar kontrol

(kewenangan) pemerintah daerah

(Sidik, 2002). Pendapatan asli daerah

juga harus dikelola dengan baik oleh

pemerintah daerah serta

pemanfaatannya benar-benar untuk

pengeluaran yang produktif atau

dapat dirasakan oleh masyarakat,

seperti untuk sektor pendidikan,

pelayanan kesehatan, infrastruktur fisik

kota/kabupaten (Saragih, 2003). Lebih

lanjut dengan berkembangnya

kepariwisataan di Kabupaten

Banyuwangi akan meningkatkan PAD.

Implikasi dari meningkatnya PAD

adalah meningkatkan perekonomian di

Banyuwangi sehingga meningkatnya

kesejahteraan masyarakat. Evaluasi

dalam penerimaan PAD sektor

pariwisata sangatlah penting. Hal

tersebut berguna untuk mendongkrak

penerimaan PAD pada tahun

berikutnya. PAD Kabupaten

Banyuwangi mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Sektor pariwisata

menempati urutan nomor 6 dalam

penerimaan PAD pada tahun 2013

sedangkan tahun 2017 melonjak hingga

nomor 1 dalam penerimaan PAD.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Banyuwangi mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Berikut disajikan data

PAD dari tahun 2010 hingga 2017.

Tabel 1. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2017

No Tahun Jumlah (Miliar Rp)

1 2013 183,02

2 2014 246,64

3 2015 346,71

4 2016 367,94

5 2017 389,01

Hal tersebut menggambarkan

terjadinya peningkatan jumlah

penerimaan PAD di Kabupaten

Banyuwangi. Dari berbagai uraian

tersebut, maka dapat ditarik rumusan

permasalahan adalah evaluasi

penerimaan PAD dari sektor pariwisata

di Kabupaten Banyuwangi.

Berdasarkan rumusan masalah di atas,

maka tujuan dari penelitian ini yaitu

mengetahui evaluasi penerimaan PAD

dari sektor pariwisata di Kabupaten

Banyuwangi.

Landasan Teori

Untuk dapat memiliki keuangan

yang memadai dengan sendirinya

daerah membutuhkan sumber keuangan

yang cukup pula. Dalam hal ini daerah

dapat memperolehnya melalui

beberapa cara, yaitu: 1. Daerah dapat

mengumpulkan dana pajak daerah yang

Page 111: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

103

telah disetujui pemerintah. 2.

Pemerintah Kabupaten/Kota dapat

melakukan pinjaman dan pihak ketiga,

pasar uang barang maupun pemerintah.

3. Ikut ambil bagian dalam pendapatan

pajak sentral yang dipungut oleh

daerah, misalnya sekian persen dari

pajak tersebut. 4. Pemerintah

Kabupaten/Kota dapat meminta

bantuan atau subsidi dari pemerintah

Kabupaten (Josef Riwu Kaho dalam

Santosa dan Rahayu, 2005).

Menurut Marihot, retribusi

daerah adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian

izin tertentu yang khusus disediakan

dan atau diberikan oleh pemerintah

daerah untuk kepentingan orang pribadi

atau badan (Siahaan, 2006). Menurut

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah Retribusi Daerah, Retribusi

Daerah yang selanjutnya disebut

Retribusi, adalah pungutan Daerah

sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin tertentu yang khusus

disediakan dan/atau diberikan oleh

Pemerintah Daerah untuk kepentingan

orang pribadi atau Badan. Beberapa ciri

yang melekat pada retribusi daerah

yang saat ini dipungut di Indonesia,

adalah sebagai berikut: 1). Retribusi

merupakan pungutan yang dipungut

berdasarkan undang-undang dan

peraturan daerah yang berkenaan; 2).

Hasil penerimaan retribusi masuk ke

kas pemerintah daerah; 3). Pihak yang

membayar retribusi mendapatkan

kontra prestasi (balas jasa) secara

langsung dari pemerintah daerah atas

pembayaran yang dilakukannya; 4).

Retribusi terutang apabila ada jasa

yang diselenggarakan oleh pemerintah

daerah yang dinikmati oleh orang atau

badan; 5). Sanksi yang dikenakan pada

retribusi daerah adalah sanksi secara

ekonomis, yaitu jika tidak membayar

retribusi tidak akan memperoleh jasa

yang diselenggarakan oleh pemerintah

(Siahaan, 2006). Sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009, Pasal 108 retribusi daerah dapat

dibagi atas (3) golongan, yaitu:

Pertama, Retribusi Jasa Umum.

Retribusi Jasa Umum adalah retribusi

atas jasa yang disediakan atau

diberikan oleh pemerintah daerah untuk

tujuan

kepentingan dan kemanfaatan umum

serta dapat dinikmati oleh orang

pribadi

atau badan (Siahaan, 2006). Sedang

jenis-jenis Retribusi Jasa Umum, yaitu;

1). Retribusi pelayanan kesehatan, 2).

Retribusi pelayanan persampahan atau

kebersihan, 3). Retribusi biaya cetak

kartu tanda penduduk dan akta catatan

sipil, 4). Retribusi pelayanan

pemakaman dan pengabuan mayat, 5).

Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan

umum, 6). Retribusi pelayanan pasar,

7). Retribusi pengujian

kendaraan bermotor, 8). Retribusi

pemeriksaan alat pemadam kebakaran,

9).

Retribusi penggantian biaya cetak peta,

10). Retribusi penyediaan dan atau

penyedotan kakus, 11). Retribusi

pengolahan limbah cair, 12). Retribusi

pelayanan tera/tera ulang, 13).

Retribusi pelayanan pendidikan, 14).

Retribusi

pengendalian menara telekomunikasi.

Kedua, Retribusi Jasa Usaha. Retribusi

Jasa Usaha adalah merupakan

pelayanan yang disediakan oleh

pemerintah daerah dengan menganut

prinsip komersial karena pelayanan

tersebut belum cukup disediakan oleh

swasta. Sedang jenis-jenis Retribusi

jasa usaha, yaitu; 1). Retribusi

pemakaian kekayaan daerah; 2).

Retribusi pasar grosir dan atau

pertokoan; 3). Retribusi tempat

pelelangan; 4). Retribusi terminal; 5).

Retribusi tempat khusus parkir; 6).

Page 112: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

104

Retribusi tempat penginapan/

pesanggrahan/ villa; 7). Retribusi

rumah potong hewan; 8). Retribusi

pelayanan kepelabuhan; 9). Retribusi

tempat rekreasi dan olahraga; 10).

Retribusi penyeberangan di air; 11).

Retribusi penjualan produksi

usaha daerah.

Ketiga, Retribusi Perizinan Tertentu.

Fungsi perizinan dimaksudkan untuk

mengadakan pembinaan pengaturan,

pengendalian dan pengawasan, maka

pada dasarnya pemberian izin oleh

pemerintah daerah tidak harus dipungut

retribusi. Akan tetapi untuk

melaksanakan fungsi tersebut

pemerintah daerah mungkin masih

mengalami kekurangan biaya yang

tidak selalu dapat dicukupi dari

sumber-sumber penerimaan daerah,

sehingga terhadap perizinan tertentu

masih perlu dipungut retribusi. Sedang

jenis Retribusi Perizinan Tertentu

yaitu; 1). Retribusi izin mendirikan

bangunan; 2). Retribusi izin tempat

penjualan minuman beralkohol; 3).

Retribusi izin gangguan; 4). Retribusi

izin trayek; 5). Retribusi izin usaha

perikanan.

Pada Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, yang dimaksud dengan hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan antara lain bagian laba dari

Badan Usaha Milik Daerah, hasil

kerjasama dengan pihak ketiga. Sedang

dalam pasal 26 ayat (3) Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 Tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah, ditentukan jenis

pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan menurut objek pendapatan

yang mencakup; (1) Bagian laba atas

penyertaan modal pada perusahaan

milik daerah/BUMD; (2) Bagian laba

atas penyertaan modal pada perusahaan

milik pemerintah/BUMN; (3) Bagian

laba atas penyertaan modal pada

perusahaan milik swasta atau kelompok

usaha masyarakat. Adapun Pendapatan

Asli Daerah lainnya yang Sah pada

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah angka

(4) yang dimaksud dengan Lain-lain

Pendapatan Asli Daerah yang Sah

antara lain penerimaan daerah di luar

pajak dan retribusi daerah seperti jasa

giro, hasil penjualan aset daerah. Lain-

lain pendapatan asli daerah yang sah,

apabila dirinci menurut objek

pendapatannya sebagai berikut; (1)

Hasil penjualan aset daerah yang tidak

dipisahkan; (2) Jasa giro; (3)

Pendapatan bunga; (4) Tuntutan ganti

rugi; (5) komisi; (6) Potongan; (7)

Keuntungan selisih kurs; (8)

Pendapatan denda atas keterlambatan

pelaksanaan pekerjaan; (9) Pendapatan

denda pajak dan retribusi; (10)

Pendapatan hasil eksekusi atas

jaminan; (11) Pendapatan atas fasilitas

sosial dan fasilitas umum; (12)

Pendapatan dari penyelenggaraan

pendidikan dan pelatihan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan deskriptif. Penelitian

deskriptif berusaha menggambarkan

suatu gejala sosial. Menurut Bungin

(2007:68), penelitian sosial

menggunakan format deskriptif

kualitatif bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan

berbagai kondisi, situasi, atau

fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi objek

penelitian, dan berupaya menarik

realitas itu ke permukaan sebagai suatu

ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau

gambaran tentang kondisi, situasi,

ataupun fenomena tertentu. Dengan

demikian, penelitian ini akan

menjelaskan gambaran realitas dari

masalah yang akan peneliti elaborasi

Page 113: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

105

dengan menggunakan data-data yang

ada.

Penelitian ini dilakukan di

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Organisasi dalam penelitian ini adalah

Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata,

Badan Perencanaan Dan Pembangunan

Daerah Kabupaten Banyuwangi, Badan

Pendapatan Daerah serta para

stakeholders yang terlibat dalam

kegiatan kepariwisataan dan PAD di

Kabupaten Banyuwangi.

Informan adalah orang yang

diperkirakan menguasai dan memahami

data, informasi ataupun fakta dari suatu

objek penelitian (Bungin, 2007:108). Ia

berpendapat bahwa terdapat dua cara

memperoleh informan penelitian yaitu

(1) snowball sampling dan (2) key

person. Dalam penelitian ini, peneliti

akan memperoleh informasi dari key

person. Lebih lanjut Bungin (2007:77)

mengemukakan untuk memperoleh

informan penelitian melalui key person

digunakan apabila peneliti sudah

memahami informasi awal tentang

objek penelitian maupun informan

penelitian, sehingga ia membutuhkan

key person untuk memulai melakukan

wawancara atau observasi. Adapun

informan kunci dalam penelitian ini

yaitu Kepala Dinas Kebudayaan Dan

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi,

Kepala Badan Perencanaan Dan

Pembangunan Daerah Kabupaten

Banyuwangi, Kepala Badan Pendapatan

Daerah Kabupaten Banyuwangi, dan

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) Pelaksana Kegiatan

Kepariwisataan Di Kabupaten

Banyuwangi.

Data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini lebih condong kepada

data-data kualitatif murni dan data-data

kualitatif yang dikuantitatifkan. Data

kualitatif merupakan sumber dari

deskripsi yang luas dan berlandasan

kokoh serta memuat penjelasan tentang

proses-proses yang terjadi dalam

lingkup setempat. Dengan data

kualitatif kita dapat mengikuti dan

memahami alur peristiwa secara

kronologis, menilai sebab-akibat dalam

lingkup pikiran orang-orang setempat

(Miles and Huberman, 1992: 2). Data-

data yang digunakan berupa data

tertulis atau gambar yang berisi

mengenai data-data kepariwisataan,

data-data pendapatan asli daerah, serta

arsip-arsip lain yang terkait dengan

penunjang kepariwisataan dan

pendapatan asli daerah.

Analisis berarti kategorisasi,

penataan, manipulasi dan peringkasan

data untuk memperolah jawab bagi

pertanyaan penelitian (Kerlinger, 2006:

217), oleh karena itu metode analisis

bisa disebut sebagai cara yang

digunakan untuk mengolah dan

menguji data terhadap pertanyaan

penelitian dengan menggunakan

prosedur tertentu. Metode analisis

deskriptif kualitatif ini digunakan untuk

menggambarkan evaluasi penerimaan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

sektor pariwisata di Banyuwangi.

Pembahasan

Berdasarkan data Tabel 1 maka

kenaikan PAD dari tahun 2013 hingga

2017 sebanyak 346,6%. Hal ini

menunjukkan adanya peningkatan PAD

yang sangat signifikan dalam 5 tahun

terakhir. Berikut ini adalah target dan

realisasi PAD di Kabupaten

Banyuwangi pada tahun 2013 sampai

tahun 2017 disajikan pada data berikut

ini:

Page 114: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

106

Gambar 1. Target Dan Realisasi PAD Kabupaten Banyuwangi

Berdasarkan data pada gambar 1.

terlihat bahwa realisasi penerimaan

PAD meningkat setiap tahunnya.

Untuk target PAD juga meningkat

setiap tahunnya. Adapun realisasi PAD

dari tahun 2013 hingga 2016 selalu

melebihi dari target penerimaan. Hanya

pada tahun 2017 realisasi penerimaan

lebih rendah dibanding target

penerimaan. Adapun data lebih detail

mengenai penerimaan PAD setiap

tahunnya akan disajikan pada gambar

berikut.

Gambar 2. Penerimaan PAD Dalam Bentuk Pajak Daerah Sektor Pariwisata

Berdasarkan data diatas

penerimaan pajak daerah Kabupaten

Banyuwangi dari sektor pariwisata

selalu mengalami kenaikan setiap

tahunnya. Pendapatan dari sektor hotel

meningkat sekitar 668% dari tahun

2013 hingga 2017. Sedangkan

pendapatan dari sektor restoran

mengalami peningkatan mencapai

504% dari tahun 2013 hingga 2017.

Sedangkan sektor hiburan mengalami

kenaikan sebesar 281% dari tahun 2013

hingga 2017.

171,60

225,11

303,24

353,26

460,00

183,02

275,92

346,71 367,94

389,01

2013 2014 2015 2016 2017

Target (Milyar Rupiah) Realisasi (Milyar Rupiah)

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

2013 2014 2015 2016 2017

736,12 960,51

3367,95

4980,91 5656,89

2056,7 2883,73

4892,97

6898,99

12415,09

559,07 785,13 1370,5

1825,71 2130,36

Hotel (Juta Rupiah) Restoran (Juta Rupiah) Hiburan (Juta Rupiah)

Page 115: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

107

Gambar 3. Penerimaan PAD Dalam Bentuk Retribusi Daerah Sektor Pariwisata

Berdasarkan data diatas penerimaan

retribusi daerah dari sektor pariwisata

mengalami peningkatan dari tahun

2013 hingga tahun 2017. Walaupun

beberapa retribusi ada yang mengalami

penurunan tetapi pada tahun 2017

meningkat. Retribusi berasal dari

tempat rekreasi dan olahraga pada

tahun 2014 mengalami penurunan

tetapi pada tahun 2015 sudah

mengalami peningkatan kembali

hingga tahun 2017.

Walaupun jumlah penerimaan asli

daerah baik itu dari pajak daerah dan

retribusi daerah selalu mengalami

peningkatan setiap tahunnya akan

tetapi masih ada item didalam pajak

daerah maupun retribusi daerah yang

belum memenuhi target. Hal itu

menjadikan potensi untuk lebih

meningkatkan PAD yang akan didapat.

Berikut ini disajikan data setiap item

target dan realisasi setiap pendapatan.

Gambar 4. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Bintang Empat (Juta Rupiah)

Pada Gambar 4 terlihat realisasi

penerimaan dari Hotel Bintang 4 hanya

mencapai 50%. Hotel Bintang 4 baru

ada satu yang berdiri sekitar tahun

2017 dengan nama El Royale Hotel &

Resort Banyuwangi. Jadi hanya pada

tahun 2017 PAD dari sektor tersebut

diterima oleh PEMKAB Banyuwangi.

Adapun menurut peneliti target PAD

tidak tercapai karena hotel tersebut

baru try opening pada bulan mei 2017

dengan 52 kamar dan restoran

kemudian soft opening pada bulan juni

2017 sedangkan grand opening pada

bulan agustus 2017. Pada grand

opening, hotel tersebut baru membuka

141,96 64,26 105,38

593,55

1029,04

4

1 8 0 1 2 9

6 0

2 2 1

0 0 0

454,39 469,66

0

200

400

600

800

1000

1200

2013 2014 2015 2016 2017

Tempat Rekreasi Dan Olahraga Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol

Tempat Penginapan / Pesanggarahan / Villa

0 0 0 0

817,044

0 0 0 0

432,047

0

200

400

600

800

1000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 116: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

108

seluruh fasilitas yang ada seperti 152

kamar, 6 villa, restoran, Lounge,

Ballroom Blambangan kapasitas 1000

pax serta 6 meeting room kapasitas 700

orang.

Gambar 5. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Bintang Tiga (Juta Rupiah)

Pada Gambar 5 terlihat realisasi

penerimaan dari Hotel Bintang 3 hanya

mencapai target pada tahun 2015.

Sedangkan pada tahun 2016 dan 2017

realisasi penerimaan tidak mencapai

target. Walaupun tidak mencapai target

penerimaan tetapi jumlah penerimaan

dari Hotel Bintang 3 naik hingga 80%

pada tahun 2017.

Gambar 6. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Bintang Dua (Juta Rupiah)

Pada Gambar 6 terlihat realisasi

penerimaan dari sektor Hotel Bintang 2

terhadap target selalu tercapai dari

tahun 2013 hingga tahun 2015.

Sedangkan pada tahun 2016 hingga

2017 realisasi penerimaan tidak

mencapai target. Realisasi penerimaan

dari tahun 2013 hingga 2015 selalu

mengalami peningkatan. Untuk tahun

2016 hingga 2017 selalu mengalami

penurunan.

0 0

800

2000

2768,412

0 0

1008,303

1591,451

1840,94

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

15 25 30

250

95,188

20,137 25,138

80 67,187 59,575

0

50

100

150

200

250

300

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 117: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

109

Gambar 7. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Bintang Satu (Juta Rupiah)

Pada Gambar 7 terlihat realisasi

penerimaan dari sektor Hotel Bintang 1

terhadap target tidak pernah tercapai

dari tahun 2014 hingga tahun 2017.

Namun pada tahun 2013 realisasi

melebihi target PAD. Realisasi

penerimaan dari tahun 2013 hingga

2015 dan 2017 selalu mengalami

peningkatan dibandingkan tahun

sebelumnya. Untuk tahun 2016

mengalami penurunan dibanding tahun

sebelumnya.

Gambar 8. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Melati Tiga (Juta Rupiah)

Berdasarkan data diatas penerimaan

dari Hotel Melati Tiga secara realisasi

mengalami peningkatan dari tahun

2013 hingga tahun 2016. Pada tahun

2015 penerimaan secara realisasi

mengalami peningkatan yang tajam

melebihi target PAD. Untuk tahun

2017 penerimaan dari Hotel Melati

Tiga mengalami penurunan dibawah

target PAD dan dibanding tahun

sebelumnya (2016).

14

24

40

100

60,939

17,097 17,141

38,381

19,446

58,895

0

20

40

60

80

100

120

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

320 410 420

2000

3092,739

398,361 494,808

1388,095

2393,844 2292,514

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 118: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

110

Gambar 9. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Melati Dua (Juta Rupiah)

Pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa

pada tahun 2013 dan 2014 realisasi

penerimaan dari Hotel Melati Dua

melebihi target PAD yang dibuat.

Namun pada tahun 2015 hingga tahun

2017 realisasi penerimaan dari Hotel

Melati Dua mengalami penurunan dari

target PAD. Meski tidak mencapai

targer PAD pada tahun 2015 hingga

tahun 2017, dari grafik terlihat realisasi

penerimaannya selalu mengalami

peningkatan pada tiap tahunnya.

Gambar 10. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Hotel Melati Satu (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 10

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 realisasi penerimaan dari Hotel

Melati satu tidak mencapai target PAD

yang dibuat. Namun pada tahun 2014

hingga tahun 2015 realisasi penerimaan

dari Hotel Melati Satu mengalami

peningkatan penerimaan dari target

PAD yang dibuat. Pada tahun 2016 dan

2017, realisasi penerimaan dari Hotel

Melati Satu mengalami penurunan dari

target PAD, dan secara realisasi

penerimaan juga mengalami penurunan

meskipun tidak terjadi penurunan yang

signifikan.

30 40

175

250 263,657

36,426 50,67

132,447

198,428

232,121

0

50

100

150

200

250

300

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

320 410 420

2000

3092,739

398,361 494,808

1388,095

2393,844 2292,514

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 119: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

111

Gambar 11. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Losmen/Rumah Penginapan

/Pesanggarahan/Hostel/Rumah Kos (Juta Rupiah)

Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada

tahun 2013 dan 2014 realisasi

penerimaan dari losmen / rumah

penginapan / pesanggarahan / hostel /

rumah kos mengalami peningkatan

melebihi target PAD yang dibuat.

Namun pada tahun 2017 realisasi

penerimaan dari losmen / rumah

penginapan / pesanggarahan / hostel /

rumah kos mengalami penurunan dari

target PAD yang telah dibuat. Meski

tidak mencapai targer PAD pada tahun

2017, namun realisasi pendapatan pada

tahun 2013 hingga tahun 2017 selalu

mengalami peningkatan penerimaan.

Gambar 12. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Wisma Pariwisata (Juta Rupiah)

Pada Gambar 12 terlihat bahwa pada

tahun 2013 tidak ada target yang dibuat

untuk mendapatkan penerimaan dari

Wisma Pariwisata. Pada tahun 2014

telah dibuat target dari penerimaan

Wisma Pariwisata, namun realisasi

penerimaan dari Wisma Pariwisata

tidak mencapai target PAD. Pada tahun

2015 realisasi penerimaan dari Wisma

Pariwisata mengalami peningkatan

yang signifikan melebihi target PAD

yang dibuat. Pada tahun 2016 dan 2017

realisasi penerimaan mengalami

penurunan dari target PAD yang telah

dibuat.

2,4 5

45

150

251,969

5,438 13,97

115,149

178,164

218,48

0

50

100

150

200

250

300

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

0 2

10

50

4,419

0 1,75

22,945

2,155 1,63

0

10

20

30

40

50

60

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 120: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

112

Gambar 13. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Restoran (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 13

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 hingga tahun 2017 realisasi

penerimaan dari restoran dari tahun ke

tahun mengalami peningkatan. Dari

tahun 2013 hingga tahun 2015 realisasi

penerimaan dari restoran mengalami

peningkatan penerimaan dari target

PAD yang dibuat, sedangkan pada

tahun 2016 dan 2017, realisasi

penerimaan dari restoran mengalami

penurunan dari target PAD.

Gambar 14. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Rumah Makan (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 14

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 hingga tahun 2017 realisasi

penerimaan dari restoran dari tahun ke

tahun mengalami peningkatann. Dari

tahun 2013 hingga tahun 2015 realisasi

penerimaan dari restoran mengalami

peningkatan penerimaan dari target

PAD yang dibuat, sedangakan pada

tahun 2016 dan 2017, realisasi

penerimaan dari restoran mengalami

penurunan dari target PAD.

400,64 700

1000

3000

4136,333

671,017 855,308

1940,726

2807,807

3816,908

0

1000

2000

3000

4000

5000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

100 100

150

400 380,46

53,98 92,853

135,114

291,214 323,215

0

100

200

300

400

500

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 121: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

113

Gambar 15. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Cafe (Juta Rupiah)

Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada

tahun 2013 hingga tahun 2015 realisasi

penerimaan dari cafe mengalami

peningkatan dari target PAD yang telah

dibuat. Pada tahun 2016 dan 2017

realisasi penerimaan mengalami

penurunan dari target PAD yang telah

dibuat. Meskipun terjadi penurunan

dari target PAD yang dibuat, realisasi

penerimaan pada tahun 2016 dan 2017

tetap menunjukkan peningkatan

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Gambar 16. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Catering (Juta Rupiah)

Pada Gambar 16 terlihat bahwa pada

tahun 2013 hingga tahun 2016

realisasi penerimaan dari catering

mengalami peningkatan dari target

PAD yang telah dibuat pada setiap

tahunnya. Pada tahun 2017 realisasi

penerimaan mengalami penurunan dari

target PAD yang telah dibuat.

Meskipun terjadi penurunan dari target

PAD yang dibuat pada tahun 2017,

realisasi penerimaan pada tahun 2013

hingga 2017 tetap menunjukkan

peningkatan.

16,2 22 30

300 312,817

21,248 23,533 54,986

194,845

282,459

0

50

100

150

200

250

300

350

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

150 1.250 1.500

3000

10.484,00

1.224 1.855,48

2.646,69 3.454,55

7.825,51

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 122: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

114

Gambar 17. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Warung Makan (Juta

Rupiah)

Berdasarkan Gambar 17

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 hingga tahun 2017 realisasi

penerimaan dari warung makan tidak

ada yang mencapai target PAD yang

telah dibuat. Dari tahun 2013 hingga

tahun 2015 terjadi penurunan realisasi

penerimaan dari warunng makan. Pada

tahun 2016 dan 2017 adanya

peningkatan realisasi penerimaan dari

warung makan meskipun tetap tidak

mencapai target PAD.

Gambar 18. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Pagelaran Kesenian/Musik/Tari

(Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 4.18.

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 terlihat bahwa realisasi

penerimaan dari pagelaran

kesenian/musik/tari nilainya jauh

dibawah target PAD yang telah dibuat.

Pada tahun 2014 hingga 2015,

realisasi penerimaan mendekati target

yang dibuat meskipun tetap dibawah

target dari PAD. Pada tahun 2016

terjadi peningkatan realisasi

penerimaan dari pagelaran

kesenian/musik/tari dari tahun

sebelumya dan nilainya juga melebihi

target yang dibuat, sedangkan pada

tahun 2017 terjadi penurunan realisasi

penerimaan dari tahun 2016 tetapi

tetap mencapai target penerimaan

yang dibuat oleh PAD.

108 108 120

300

187,92

86 56,56

15,45

150,56 167,00

0

50

100

150

200

250

300

350

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

214,968

100 100

130

8,62

98 87,63

99,79

160,81

22,33

0

50

100

150

200

250

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 123: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

115

Gambar 19. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Diskotik (Juta Rupiah)

Pada Gambar 19 terlihat bahwa pada

tahun 2013 PAD tidak

mengalokasikan target atas

penerimaan dari diskotik, tetapi secara

realisasi adanya peningkatan

penerimaan dari diskotik. Pada tahun

2014 hingga 2016, realisasi

penerimaan dari diskotik tidak

mencapai target dari PAD yang buat

dan cenderung jauh dibawah target.

Pada tahun 2017 PAD tidak membuat

target untuk penerimaan dari diskotik

dan secara realisasi tidak ada

penerimaan dari diskotik sehingga

tidak ada target dan realisasi pada

tahun 2017 untuk penerimaan dari

diskotik.

Gambar 20. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Karaoke (Juta Rupiah)

Pada Gambar 20 terlihat bahwa pada

tahun 2013 hingga tahun 2015

realisasi penerimaan dari karaoke

mengalami peningkatan dari target

PAD yang telah dibuat pada setiap

tahunnya, sedangkan pada tahun 2016

terjadi penurunan realisasi penerimaan

dari target yang dibuat meskipun tidak

terjadi penurunan yang signifikan.

Pada tahun 2017 juga terjadi

penurunan realisasi penerimaan dari

target yang dibuat PAD dan penurunan

penerimaan ini sangat signifikan dari

target yang telah dibuat.

0

10 10 10

0,00

7

1,05 1,88

0,00 0,00 0

2

4

6

8

10

12

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

119,452 130 180

287,5

796,03

130 192,79

261,23 274,10

440,73

0

200

400

600

800

1000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 124: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

116

Gambar 21. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Permainan Billyard (Juta Rupiah)

Pada Gambar 21 terlihat bahwa pada

tahun 2013 terjadi peningkatan

realisasi penerimaan permainan

billyard dari target yang telah dibuat.

Hal ini berbanding terbaik pada

realisasi penerimaan dari permainan

billyard pada tahun 2014. Realisasi

penerimaan permainan billyard terjadi

penurunan jauh dibandingkan dari

target PAD yang telah dibuat. Pada

Tahun 2015 dan 2016 tidak ada

realisasi penerimaan dari permainan

billyard, sehingga pada tahun 2017

PAD tidak mengalokasikan target dari

penerimaan permainan billyard dan

secara realisasi tidak ada penerimaan

yang didapat dari permainan billyard.

Gambar 22. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Balap Kendaraan Bermotor (Juta

Rupiah)

Pada Gambar 22 terlihat bahwa pada

tahun 2013 PAD tidak membuat target

atas penerimaan dari balap kendaraan

bermotor, tetapi secara realisasi

adanya peningkatan penerimaan dari

balap kendaraan bermotor. Pada tahun

2014 dan tahun 2015, sedangkkan

pada tahun 2016 terjadi penurunan

realisasi penerimaan dari target yang

dibuat. Pada tahun 2017, PAD tidak

menyusun target atas penerimaan

balap kendaraan bermotor dan secara

realisasi juga tidak ada penerimaan

dari balap kendaraan bermotor.

1,2

25 25 25

0,00

22

1,00 0,00 0,00 0,00 0

5

10

15

20

25

30

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

0

17 17

25

0,00

16

26,55

17,25

5,14

0,00

0

5

10

15

20

25

30

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 125: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

117

Gambar 23. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Pertandingan Olahraga (Juta

Rupiah)

Pada Gambar 23 terlihat bahwa pada

tahun 2013 adanya peningkatan

realisasi penerimaan pertandingan

olahraga dari target PAD yang dibuat.

Pada tahun 2014 terjadi penurunan

realisasi penerimaan pertandingan

olahraga dari target PAD yang dibuat.

Penurunan realisasi penerimaan dari

target yang dibuatt ini terjadi setiap

tahun mulai tahun 2014 hingga 2017.

Gambar 24. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Tempat Rekreasi/Kolam (Juta

Rupiah)

Berdasarkan Gambar 24 terlihat

bahwa pada tahun 2013 hingga tahun

2016 realisasi penerimaan dari tempat

rekreasi/kolam mengalami

peningkatan dari target PAD yang

telah dibuat pada setiap tahunnya.

Pada tahun 2017 realisasi penerimaan

mengalami penurunan dari target PAD

yang telah dibuat. Meskipun pada

tahun 2017 terjadi penurunan realisasi

penerimaan dari target PAD yang

dibuat, tetapi realisasi penerimaan

tempat rekreasi/kolam pada tahun

2013 hingga 2017 tetap menunjukkan

adanya peningkatan.

16,5

90 90

112,5

160,02

68 86,55

67,19 64,32 80,11

0

50

100

150

200

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

18,38

220 302

700

1.749,31

219 351,77

527,53

845,59

1.050,24

0

500

1000

1500

2000

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 126: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

118

Gambar 25. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Tontonan Film Bioskop (Juta

Rupiah)

Pada Gambar 25 terlihat bahwa pada

tahun 2013 dan 2014 PAD tidak

membuat target atas penerimaan dari

tontonan film bioskop, tetapi secara

realisasi adanya peningkatan

penerimaan dari tontonan film bioskop

di tahun 2014. Pada tahun 2015 terjadi

peningkatan realisasi penerimaan dari

target yang dibuat, sedangkan pada

tahun 2016 dan 2017 menunjukkan

adanya penurunan realisasi

penerimaan tontonan film bioskop dari

target PAD yang dibuat.

Gambar 26. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Pameran (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 26

memperlihatkan bahwa dari tahun

2013 hingga tahun 2017 PAD tidak

membuat target atas penerimaan dari

pameran, tetapi secara realisasi adanya

peningkatan penerimaan dari pameran

di tahun 2014, 2015 dan 2016,

sedangkan pada tahun 2017 tidak ada

realisasi penerimaan dari pameran.

0 0

150

250

341,05

0 9,37

183,18 176,40 209,06

0

50

100

150

200

250

300

350

400

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

0 0 0 0 0,00 0

2,50

3,35

5,35

0,00 0

1

2

3

4

5

6

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 127: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

119

Gambar 27. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Sirkus/Akrobat (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 27

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 tidak adanya target dan realisasi

atas penerimaan dari sirkus/acrobat.

Pada tahun 2014 hingga 2017 PAD

membuat target atas penerimaan

sirkus/acrobat tetapi secara realisasi

tidak ada penerimaan dari

sirkus/acrobat di tahun 2014, 2015 dan

2016, sedangkan pada tahun 2017 tidak

ada target yang dibuat atas penerimaan

sirkus/acrobat dan secara tidak adanya

peningkatan secara realisasi

penerimaan dari sirkus/acrobat.

Gambar 28. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Permainan Ketangkasan (Juta

Rupiah)

Berdasarkan Gambar 28

memperlihatkan bahwa pada tahun

2013 tidak adanya target dan realisasi

atas penerimaan dari permainan

ketangkasan. Pada tahun 2014 hingga

2016 terjadi peningkatan realisasi atas

penerimaan dari permainan

ketangkasan dari target yang telah

dibuat PAD, sedangkan pada tahun

2017 terjadi penurunan realisasi

penerimaan dari target PAD. Meskipun

pada tahun 2017 terjadi adanya

penurunan, tetapi dari tahun 2013

hingga 2017 adanya peningkatan

realisasi penerimaan dari permainan

ketangkasan.

0

10 10 10

0,00 0 0,00 0,00 0,00 0,00

0

2

4

6

8

10

12

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

0 15 18

150

429,29

0 24,88

204,15

279,88 299,32

0

100

200

300

400

500

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 128: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

120

Gambar 29. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Panti Pijat Refleksi (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 29

memperlihatkan bahwa dari tahun 2013

hingga tahun 2017 PAD tidak membuat

target atas penerimaan dari panti pijat

refleksi, tetapi secara realisasi adanya

peningkatan penerimaan dari pameran

di tahun 2014 dan 2015, sedangkan

pada tahun 2017 tidak ada realisasi

penerimaan dari pameran.

Gambar 30. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Mandi Uap/Spa (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 30

memperlihatkan bahwa dari tahun 2013

hingga tahun 2016 PAD tidak membuat

target atas penerimaan dari mandi

uap/spa, tetapi secara realisasi adanya

peningkatan penerimaan dari pameran

di tahun 2016, sedangkan pada tahun

2017 terjadi penurunan realisasi

penerimaan mandi uap/spa dari target

yang telah dibuat PAD.

0 0 0 0 0,00 0 0,00

4,95

0,35 0,00

0

1

2

3

4

5

6

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

0 0 0 0

31,77

0 0,00 0,00

9,22

21,32

0

5

10

15

20

25

30

35

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 129: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

121

Gambar 31. Target Dan Realisasi Penerimaan Dari Pusat Kebugaran (Juta Rupiah)

Berdasarkan Gambar 31

memperlihatkan bahwa dari tahun 2013

hingga tahun 2016 PAD tidak membuat

target atas penerimaan dari pusat

kebugaran, tetapi secara realisasi

adanya peningkatan penerimaan dari

pusat kebugaran di tahun 2016,

sedangkan pada tahun 2017 terjadi

penurunan realisasi penerimaan mandi

uap/spa dari target yang telah dibuat

PAD.

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Realisasi penerimaan PAD dari

setiap bidang sektor pariwisata

mayoritas mengalami penurunan.

2. Ada beberapa bidang sektor

pariwisata yang masih bisa

ditingkatkan lagi.

Saran

Adapun saran dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan pengelolaan homestay

perlu dipertegas dengan aturan dan

klasifikasi yang jelas, termasuk

potensi pajaknya. Persaingan yang

sehat antara homestay dan hotel

konvensional akan menjadi sinergi

pelayanan penginapan di

Banyuwangi.

2. Pendapatan Asli Daerah sektor

pariwisata mayoritas mengalami

kenaikan setiap tahunnya namun

ada beberapa sub sektor yang

mengalami penurunan setiap

tahunnya sehingga perlu kerjasama

dengan Perhimpunan Hotel Dan

Restoran Indonesia (PHRI)

Kabupaten Banyuwangi dalam

mendapatkan data tingkat hunian

kamar yang dapat membuat data

pendapatan dapat dihitung dari

tingkat hunian kamar.

3. Objek wisata yang dikelola

bumdes, tetap perlu mendapat

bantuan soft skill dari pemerintah

terkait tatakelola wisata, seperti

homestay, ticketing, kesiapan

warga dikunjungi wisatawan,

kuliner menjadi bagian terintegrasi

agar layak jual, mendorong objek

wisata tersebut dapat

meningkatkan daya saingnya.

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian

Kualitatif. Jakarta: Kencana

Santosa, Purbayu B. dan Rahayu,

Retno P. 2005. Analisis

Pendapatan Asli Daerah (Pad)

Dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya Dalam Upaya

Pelaksanaan Otonomi Daerah Di

Kabupaten Kediri. Dinamika

Pembangunan. Vol. 2 No. 1 / lull

2005: 9 – 18.

0 0 0 0

15,17

0 0,00 0,00

4,55

7,26

02468

10121416

2013 2014 2015 2016 2017

Target Realisasi

Page 130: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2013 – 2017 dari Sektor Pariwisata di Banyuwangi

122

Saragih, Juli Panglima. 2003.

Disentralisasi Fiskal dan

Keuangan Daerah dalam

Otonomi. Jakarta: Ghalia

Indonesia

Siahaan, Marihot P., Pajak Daerah dan

Otonomi Daerah, Jakarta, P.T.

Raja Grafindo Persada, 2006.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian

Kuantitatif dan Kualitatif R&D.

Bandung: Alfabeta

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2009 Tentang

Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah Retribusi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Nasional tahun 2010-2025

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun

2012 tentang Sertifikasi

Kompetensi dan Sertifikasi

Usaha Di Bidang Pariwisata

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

2006 tentang Jalan, h) Keputusan

Presiden Nomor 11 Tahun 2000

tentang Badan Pengembangan

Pariwisata dan Kesenian

Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun

2005 tentang Kebijakan

pembangunan Kebudayaan dan

Pariwisata

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 51 Tahun 2007 tentang

Pembangunan Kawasan

Perdesaan Berbasis Masyarakat

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun

2012 Tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Kabupaten Banyuwangi

Peraturan Bupati Kabupaten

Banyuwangi Nomor 14 Tahun

2014 Tentang Pendaftaran Usaha

Pariwisata

Peraturan Bupati Kabupaten

Banyuwangi Nomor 10 Tahun

2016 Tentang Perubahan

Peraturan Bupati Pendaftaran

Usaha Pariwisata.

Page 131: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

123

PENGEMBANGAN POTENSI DESA WISATA POCANGAN KECAMATAN

SUKOWONO KABUPATEN JEMBER BERDASARKAN ANALISIS 4A:

ATTRACTION, ACCESSIBILITY, AMENITIES DAN ANCILLARY SERVICE

Margaretta Andini Nugroho1, Rebecha Prananta

2

[email protected]

Abstract

Tourism village is a form of rural tourism that utilizes village potential as a main

tourist attraction by involving community participation. Pocangan Village, located in

Sukowono Subdistrict, Jember Regency, is one of the villages that has the potential to

be developed into a tourism village. 4 A's Tourism Component by Cooper, that in

making tourist attractions a tourism component is needed which consists of

attraction, accessibility, amenities and ancillary services. Then, the attraction

possessed by Pocangan is agrotourism, adventure tourism, kahs pocangan culinary,

and batik crafts. For accessibility, Pocangan already has paved roads that are easy

to accessed by vehicles and there are directions that inform the existence of

Pocangan tourism village. Where as the amenities do not yet exist considering that

this tourist village is still in the development stage, but in the near future it will

prepare homestays by utilizing the residents' houses. And for the ancillary service,

Pocangan village has formed a tourism organisation, the namely is Kelompok Sadar

Wisata (POKDARWIS) Tunas Bangsa.

Keyword: Development, Tourism Village, and 4 A's Tourism Component

Abstrak

Desa wisata merupakan suatu bentuk wisata pedesaan yang memanfaatkan potensi

desa sebagai atraksi wisata utamanya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Desa Pocangan yang terletak di Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember adalah

salah satu desa yang memiliki potensi untuk bisa dikembangkan menjadi desa wisata.

Berdasarkan analisis 4A oleh Cooper, bahwa dalam membuat tempat wisata

dibutuhkan komponen pariwisata yang terdiri dari attraction, accessibility, amenities

dan ancillarry service. Maka, attraction yang dimiliki oleh Pocangan yaitu

agrotourism, adventure tourism, kuliner khas pocangan, dan kerajinan batik. Untuk

accesibility, Pocangan sudah memiliki jalan beraspal yang mudah untuk dilalui

kendaraan dan terdapat penunjuk arah yang menginformasikan keberadaan desa

wisata pocangan. Sedangkan untuk amenities belum ada mengingat desa wisata ini

masih dalam tahap pengembangan, namun dalam waktu dekat akan menyiapkan

homestay dengan memanfaatkan rumah warga. Dan untuk ancillary service, desa

pocangan telah membentuk lembaga kepariwisataan yang dinamakan Kelompok

Sadar Wisata (POKDARWIS) Tunas bangsa.

Kata Kunci: Pengembangan, Desa Wisata dan Komponen Pariwisata 4A

1 Dosen Universitas Jember

2 Dosen Universitas Jember

Page 132: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

124

Pendahuluan

Pariwisata merupakan sektor

yang menyumbangkan devisa yang

sangat besar bagi negara Indonesia

adalah hal yang tidak terbantahkan.

Berdasarkan Laporan Kinerja

Kementrian Pariwisata Tahun 2016,

kondisi kepariwisataan nasional secara

makro menunjukkan perkembangan

dan kontribusi yang terus meningkat

dan semakin signifikan yaitu 4,03%

atau senilai Rp. 509,19 triliun, dengan

peningkatan devisa mencapai Rp 176-

184 triliun. Bahkan berdasarkan data

UNWTO pertumbuhan wisatawan

mancanegara Indonesia tahun 2016

tercatat 15,54% yang melebihi rata-rata

dunia 3,9%. Hal ini membuat sektor

pariwisata sebagai penyumbang

terbesar ke-4 devisa nasional setelah

sektor migas, batubara, dan minyak

kelapa sawit (Sumber: WTTC, 2016

dan World Bank, 2016). Dampak

pariwisata terhadap perekonomian

memang sangat besar, namun belum

bisa dirasakan secara global. Terutama

bagi daerah yang bukan merupakan

kawasan pariwisata. Hal inilah yang

menjadi sorotan pemerintah, sehingga

dibuatlah program oleh pemerintah

pusat melalui Kementrian Pariwisata

Kabinet Kerja 2015-2019, yang

menetapkan bahwa program

pengembangan desa wisata menjadi

salah satu agenda prioritas dengan

tujuan setiap daerah memiliki tempat

wisata dengan harapan mampu

meningkatkan perekonomian di setiap

daerah.

Desa Wisata merupakan salah

satu bentuk wisata pedesaan. Wisata

pedesaan merupakan perjalanan yang

berorientasi menikmati suasana

kehidupan pedesaan. Lingkup desa

wisata dapat berupa alam seperti

gunung, persawahan, hutan, tebing,

bentang alam, flora fauna, peninggalan

sejarah, adat istiadat, tradisi, dan karya

arsitektur atau berupa saujana, yaitu

karya budaya (benda) yang menyatu

dengan bentang alam (Arida dan

Pujani, 2017). Pengembangan desa

wisata adalah salah satu jalan keluar

supaya sebuah desa menjadi kreatif dan

produktif dengan memanfaatkan

potensi yang dimiliki desa, baik potensi

alam, budaya dan buatan, dimana

pengelolaan sebuah desa wisata

mengedepankan keterlibatan

masyarakat desa itu sendiri, sehingga

dampak pariwisatanya pun akan

langsung bisa dirasakan oleh

masyarakat. Terutama dampak dalam

bidang perekonomian dan penyerapan

tenaga kerja.

Momentum ini kemudian

dimanfaatkan oleh Desa Pocangan

yang terletak di Kecamatan Sukowono

Kabupaten Jember untuk

dikembangkan sebagai desa wisata. Hal

ini terlihat dengan dibentuknya

Kelompok Sadar Wisata

(POKDARWIS) Tunas Desa di Desa

Pocangan dengan tujuan untuk

mewujudkan Desa Pocangan menjadi

desa wisata. Desa Pocangan itu sendiri

memiliki potensi wisata alam berupa

persawahan, perbukitan, dan aliran

sungai yang indah, wisata budaya

berupa situs purbakala yang memiliki

nilai sejarah dan potensi karya budaya

berupa kerajinan batik dengan motif

yang memiliki kekhasan tersendiri.

Diharapkan dengan merintis usaha

wisata ini mampu meningkatkan taraf

hidup masyarakat Pocangan lebih

sejahtera didalam kondisi yang

semakin sulit dengan semakin besarnya

persaingan dalam mendapatkan

pekerjaan. Sehingga pengembangan

desa wisata tidak saja bertujuan untuk

mendorong masyarakat desa dalam

mengelola potensi alam serta

budayanya secara kreatif sehingga

menghasilkan manfaat ekonomi,

namun lebih daripada itu ia juga

Page 133: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

125

bertujuan untuk menyiapkan

masyarakat dalam menghadapi

persaingan global (Rahman, 2009).

Mengembangkan sebuah desa

menjadi desa wisata adalah hal yang

tidak mudah, terdapat aspek-aspek

yang perlu diperhatikan. Menurut

(Cooper, 2010) sebuah tempat bisa

dikatakan menjadi tempat wisata jika

telah memenuhi komponen 4A

pariwisata, yaitu yang terdiri dari

Attraction, Accessibility, Amenities dan

Ancillary Service.

Berdasarkan penjabaran tersebut,

terdapat beberapa rumusan

permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah Attraction yang

dimiliki oleh Desa Pocangan untuk

dikembangkan menjadi desa

wisata?

2. Bagaimanakah Accessibility yang

dimiliki oleh Desa Pocangan untuk

dikembangkan menjadi desa

wisata?

3. Bagaimanakah Amenities yang

dimiliki oleh Desa Pocangan untuk

dikembangkan menjadi desa

wisata?

4. Bagaimanakah Ancillary Service

yang dimiliki oleh Desa Pocangan

untuk dikembangkan menjadi desa

wisata?

Kajian Pustaka

Pengembangan

Menurut Paturusi (2001),

pengembangan adalah suatu strategi

yang dipergunakan untuk memajukan,

memperbaiki dan meningkatkan

kondisi kepariwisataan suatu objek dan

daya tarik wisata sehingga dapat

dikunjungi wisatawan serta mampu

memberikan manfaat bagi masyarakat

di sekitar objek dan daya tarik wisata

maupun bagi pemerintah. Manfaat dari

pengembangan pariwisata berdasarkan

Joyosuharto (1995) yaitu untuk

menggalakkan ekonomi, memelihara

kepribadian bangsa dan kelestarian

fungsi dan mutu lingkungan hidup,

serta memupuk rasa cinta tanah air dan

bangsa.

Pengembangan pariwisata oleh

Pitana (2005) adalah kegiatan untuk

memajukan suatu tempat atau daerah

yang dianggap perlu ditata sedemikian

rupa baik dengan cara memelihara

yang sudah berkembang atau

menciptakan suatu rangkaian upaya

untuk mewujudkan keterpaduan dalam

penggunaan berbagai sumber daya

pariwisata dengan mengintegrasikan

segala bentuk aspek diluar pariwisata

yang berkaitan secara langsung akan

kelangsungan pengembangan

pariwisata.

Dalam pengembangan pariwisata,

menurut Suwantoro (1996) guna

menunjuang pengembangan pariwisata

di daerah tujuan wisata, meliputi

adanya sumber daya yang dapat

menimbulkan rasa senang, indah,

nyaman dan bersih; adanya aksesbilitas

yang tinggi untuk dapat

mengunjunginya; adanya ciri khusus

yang bersifat langka; adanya sarana

dan prasarana penunjang untuk

melayani wisatawan; adanya objek

wisata alam yang memiliki daya tarik

tinggi; serta objek wisata budaya dalam

bentuk atraksi kesenian, upara adat,

nilai luhur yang terkandung dalam

suatu obyek buah karya manusia pada

masa lampau.

Potensi Wisata

Berdasarkan penjabaran Mariotti

dalam Yoeti (1996), potensi pariwisata

merupakan sesuatu yang dimiliki oleh

suatu wisata yang menjadi daya tarik

bagi wisatawan dan dimiliki oleh setiap

tempat wisata. Potensi wisata adalah

segala sesuatu yang terdapat di daerah

tujuan wisata dan merupakan daya tarik

agar orang-orang mau berkunjung ke

tempat tersebut. Sedangkan Soekardi

Page 134: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

126

(1998) juga menyatakan bahwa potensi

pariwisata adalah segala sesuatu yang

dimiliki oleh suatu daya tarik wisata

dan berguna untuk mengembangkan

industri pariwisata di daerah tersebut.

Suarka (2010) menjelaskan bahwa

potensi wisata adalah segala sesuatu

yang terdapat disuatu daerah yang

dapat dikembangkan menjadi daya

tarik wisata, potensi tersebut dapat

dibagi dua yaitu potensi budaya dan

potensi alamiah. Potensi budaya

meliputi potensi yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat seperti adat

istiadat, mata pencaharian dan

kesenian, sedangkan potensi alamiah

adalah potensi yang berupa potensi

fisik, geografis alam, termasuk jenis

flora dan fauna pada suatu daerah.

Desa Wisata

Menurut Peraturan Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata, desa

wisata adalah suatu bentuk kesatuan

antara akomodasi, atraksi, sarana dan

prasarana pendukung wisata yang

disajikan dalam suatu tatanan

kehidupan masyarakat yang menyatu

dengan tradisi yang berlaku.

Sedangkan Zakaria (2014)

mengemukakan DesayWisata adalah

sebuah area atau daerah pedesaan yang

memiliki daya tarik khusus yang dapat

menajadi daerah tujuan wisata. Di desa

wisata, penduduk masih memegang

tradisi dan budaya yang masih asli.

Serta beberapa aktivitas pendukung

seperti sistem bertani, berkebun serta

makanan tradisional juga berkontribusi

mewarnai keberadaan desa wisata itu

sendiri. Selain faktor tersebut, faktor

lingkunganiyang masih asli dan terjaga

merupakan faktoripenting yang harus

ada disuatu desa wisata.

Menurut Dorobantu dan

Nistoreanu (2012) bahwa desa wisata

merupakan suatu perjalanan untuk

tempat yang terletak dalam lingkungan

pedesaan atau dalam pengaturan luar

kota dan pusat-pusat wisata, serta suatu

bentuk pariwisata dimana motivasi

utama para wisatawan adalah observasi

dan apresiasi terhadap alam dantradisi

lokal yang berhubungan dengan alam

dan harus melindungi dan melestarikan

alam, menggunakan sumber daya lokal,

berkarakter edukasi, menghormati

alam, adanya kesadaran wisatawan dan

masyarakat setempat. Sedangkan

menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR)

desa wisata dalah suatu kawasan

pedesaan yang menawarkan

keseluruhan suasana yang

mencerminkan keaslian pedesaan baik

dari kehidupan sosial ekonomi, sosial

budaya, adat istiadat, keseharian,

memiliki arsitektur bangunan dan

struktur tata ruang desa yang khas, atau

kegiatan perekonomian yang unik dan

menarik serta mempunyai potensi

untuk dikembangkannya berbagai

komponen kepariwisataan, seperti

atraksi, akomodasi, makanan-

minuman, dan kebutuhan wisata

lainnya (Hadiwijoyo, 2012 dalam Sari,

2015).

Konsep 4A

a. Attraction (atraksi)

Yoeti (2002) mendefinisikan

atraksi sebagai sesuatu yang menarik

wisatawan untuk berkunjung pada

daerah tujuan berupa Natural

attraction, cultural attraction, social

attraction, dan built attraction.

Hadiwijoyo (2012) mengartikan atraksi

desa wisata adalah daya tarik berupa

kehidupan keseharian penduduk

setempat beserta kondisi lokasi desa

yang memungkinkan wisatawan

berpartisipasi aktif seperti kursus tari,

bahasa dan lain yang spesifik.

Menurut Edward (1991) attraksi

dibagi menjadi 3 kategori, yaitu; (1)

natural attraction, yaitu atraksi yang

tumbuh dari bentukan dan lingkungan

Page 135: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

127

alami, seperti iklim, pemandangan,

flora dan fauna; (2) cultural attraction,

yaitu atraksi yang berasal dari bentukan

limngkungan dan budaya aktivitas

manusia, seperti sejarah, arkeologi,

religi, dan kehidupan tradisional; (3)

Special types of attraction yaitu daya

tarik yang tidak berhubungan dengan

kedua kategori diatas, tetapi atraksi

yang berasal dari buatan manusia yaitu

theme park,circus, shopping.

Suwena (2010), menyatakan

atraksi wisata atau sumber

kepariwisataan merupakan komponen

yang secara signifikan menarik

kedatangan wisatawan dan dapat

dikembangkan di tempat atraksi wisata

ditemukan (in situ) atau diluar

tempatnya yang asli (ex situ). Atraksi

wisata terbagi menjadi tiga, yaitu; (1)

atraksi wisata alam seperti perbukitan,

perkebunan, gunung, danau, sungai dan

pantai dan, (2) atraksi wisata budaya

seperti kearifan masyarakat, seni dan

kerajinan tangan, masakan khas,

arsitektur rumah tradisional, dan situs

arkeologi, (3) atraksi buatan manusia

seperti wisata olahraga, berbelanja,

pameran, taman bermain, festival dan

konferensi.

b. Accessibility (Aksesbilitas)

Sunaryo (2013) menyatakan

Akesibilitas merupakan sarana dan

infrastruktur yang memberikan

kemudahan kepada wisatawan untuk

bergerak dari satu daerah ke daerah

lain. Faktor-faktor yang penting terkait

dengan aspek aksesibilitas wisata

meliputi petunjuk arah, bandara,

terminal, waktu yang dibutuhkan, biaya

perjalanan, dan frekuensi transportasi

menuju lokasi wisata.

Berdasarkan Soekadijo (2003)

mengungkapkan persyaratan

aksesbilitas terdiri dari akses informasi

dimana fasilitas harus mudah

ditemukan dan mudah dicapai, harus

memiliki akses kondisi jalan yang

dapat diallaui dan ke tempat objek

wisata serta harus ada akhir tempat

suatu perjalanan.

c. Amenity (Amenities / Fasilitas)

Amenities menurut Cooper

(2000) adalah faslitias pendukung yang

dibutuhkan oleh wisatawan di destinasi

wisata, yang meliputi beragam fasilitas

untuk memenuhi kebutuhan

akomodasi, penyediaan makanan dan

minuman, tempat hiburan, tempat

perbelanjaan, bank, rumah sakit,

keamanan dan asuransi. Sedangkan

menurut Warang (2015) adalah fasilitas

pendukung demi kelancaran kegiatan

pariwisata yang juga ditujukan untuk

memberikan kenyamanan kepada

wisatawan. Amenitas bukan terdapat

pada daerah tujuan wisata, namun pada

dasarnya amenitas dibutuhkan pada

saat wisatawan melakukan perjalanan

ke tempat tujuan wisata. Fasilitas

tersebut terdiri dari akomodasi, rumah

makan, pusat informasi wisata, visitor

center, toko cinderamata, pusat

kesehatan, pos keamanan, sarana

komunikasi, Bank, BPW, ketersediaan

air bersih dan listrik.

d. Ancillary

Suagiama (2011) menyatakan

bahwa ancillary adalah keadaan

organisasi yang bertujuan untuk

memfasilitasi dan mendorong

kepariwisataan destinasi bersangkutan.

Beberapa organisasi ansilari antara lain

pihak pemerintah (misal departemen

kepariwisataan, dinas pariwisata),

asosiasi kepariwisataan (antara lain

asosiasi pengusaha perhotelan, bisnis

perjalanan wisata, pemandu wisata dan

lainnya).

Menurut Cooper dkk menyatakan

bahwa ancillary merupakan organisasi

kepariwisataan yang dibutuhkan untuk

pelayanan wisatawan seperti

Page 136: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

128

destination marketing management

prganization, conventional dan visitor

bureau.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang

digunakan adalah penelitian deskriptif

kualitatif, berdasarkan Arikunto

(2003), penelitian deskriptif kualitatif

adalah penelitian yang dimaksudkan

untuk mengumpulkan informasi

mengenai status suatu gejala yang ada

yaitu keadaan gejala menurut apa

adanya pada saat penelitian dilakukan.

Sedangkan data yang digunakan adalah

kualitatif, yang menurut sugiyono

(2001) adalah data yang berbentuk

kata, kalimat, skema dan gambar.

Pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan metode observasi,

wawancara dan dokumentasi.

Observasi dilakukan dengan langsung

mendatangi lokasi penelitian, yaitu

yang terletak di Desa Pocangan

Kecamatan Sukowono Kabupaten

Jember. Observasi dilakukan dengan

tujuan mengidentifikasi potensi-potensi

wisata yang ada di Desa Pocangan.

Untuk wawancara mendalam dilakukan

terhadap anggota POKDARWIS Tunas

Bangsa Desa Pocangan, Kepala Desa

Pocangan dan Ketua Center Batik

Pocangan. Wawancara bertujuan untuk

menggali informasi mengenai

pengembangan desa wisata yang

dilakukan oleh pokdarwis dan lembaga

desa Pocangan. Dokumentasi

digunakan untuk memperkuat hasil

observasi.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Desa Pocangan

Desa Pocangan merupakah salah

satu desa kecil yang merupakan bagian

paling utara dari Kecamatan Sukowono

Kabupaten Jember. Desa Pocangan

sendiri terletak pada 8°01'49.2"S

113°51'01.5"E, kurang lebih 30 KM

dari pusat kota Jember. Adapun Luas

dari Desa Pocangan adalah 240 Ha.

Terdiri dari 2 dusun:

a. Dusun Krajan

b. Dusun Sumber Tengah

Desa Pocangan memiliki batas – batas

daerah, yaitu :

a. Sebelah Utara : Sumber Anom

b. Sebelah Timur : Desa Plerean

c. Sebelah Selatan : Desa Mengen

d. Sebelah Barat : Desa Kemirian

Berdasarkan Badan Pusat

Statistik Kabupaten Jember, jumlah

Penduduk Desa Pocangan adalah 2.419

yang terdiri dari 1.185 laki-laki dan

1.234 perempuan. Sebagian besar dari

mata pencaharian penduduk Desa

Pocangan adalah petani, pedagang dan

pengrajin sangkar burung. Mata

pencaharian yang tersedia masih belum

cukup untuk menopang

keberlangsungan hidup warga desanya,

masih banyak warga desa yang

pengangguran terutama pemuda dan

pemudinya. Oleh karena itu,

pemerintahan Desa Pocangan mencoba

mencari jalan keluar dengan menggali

potensi kekayaan alamnya untuk

meningkatkan kesejahteraan warga

Desa Pocangan. Mengikuti arahan yang

disampaikan oleh Pemerintah

Kabupaten Jember, yang menyatakan

bahwa saat ini Jember sedang

mengembangkan program Satu Desa

Satu Produk dengan menyesuaikan

kearifan lokal dan potensi wisata

setempat, demi terwujud adanya desa

wisata.

Hal ini sesuai dengan program

pemerintah pusat melalui Kementrian

Pariwisata Kabinet Kerja 2015-2019,

yang menetapkan bahwa program

pengembangan desa wisata menjadi

salah satu agenda prioritas. Dengan

memanfaatkan momentum ini, Desa

Page 137: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

129

Pocangan menjadi salah satu yang

tidak ingin menghilangkan kesempatan

yang ada.

Desa Wisata merupakan salah

satu bentuk pedesaan. Wisata pedesaan

merupakan perjalanan yang

berorientasi menikmati suasana

kehidupan pedesaan. Lingkup desa

wisata dapat berupa alam seperti

gunung, persawahan, hutan, tebing,

bentang alam, flora fauna, peninggalan

sejarah, adat istiadat, tradisi, dan karya

arsitektur atau berupa saujana, yaitu

karya budaya (benda) yang menyatu

dengan bentang alam (Arida dan

Pujani, 2017). Desa Pocangan itu

sendiri memiliki potensi wisata alam

berupa persawahan, perbukitan, dan

aliran sungai yang indah, wisata

budaya berupa situs purbakala yang

memiliki nilai sejarah dan potensi

karya budaya berupa kerajinan batik

dengan motif yang memiliki kekhasan

tersendiri. Dengan potensi desa yang

dimiliki tersebut, secara perlahan

Pocangan merintis desanya menjadi

Desa Wisata.

Desa wisata Pocangan

diprakarsai oleh Syarif Hidayatullah

dan Anis yang memperhatikan dan

menyadari bahwa desanya memiliki

potensi wisata yang mampu

mendatangkan wisatawan jika dapat

dikembangkan dan dikelola dengan

baik. Harapannya bahwa dengan

merintis usaha wisata ini mampu

meningkatkan taraf hidup masyarakat

Pocangan lebih sejahtera didalam

kondisi yang semakin sulit dengan

semakin besarnya persaingan dalam

mendapatkan pekerjaan. Sehingga

program pengembangan desa wisata

tidak saja bertujuan untuk mendorong

masyarakat desa dalam mengelola

potensi alam serta budayanya secara

kreatif sehingga menghasilkan manfaat

ekonomi, namun lebih daripada itu ia

juga bertujuan untuk menyiapkan

masyarakat dalam menghadapai

persaingan global (Rahman, 2009). Hal

inilah yang mendorong Bapak Dayat

dan Ibu Anis kemudian membentuk

Kelompok Sadar Wisata

(POKDARWIS) dengan nama

POKDARWIS Tunas Desa yang

melibatkan pemuda pemudi desa untuk

turut merintis Desa Wisata Pocangan

yang diberi nama DEWI PORA (Desa

Wisata Pocangan Outbound dan River

Adventure).

Gambar 1. Lokasi Desa Wisata Pocangan

Sumber : Google Maps, 2018

Page 138: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

130

Potensi Desa Wisata

Hasil Observasi, dokumentasi

dan wawancara yang telah dilakukan di

Desa Pocangan, menunjukkan bahwa

Desa Pocangan memiliki komponen 4A

untuk pengembangan desa wisata,

komponen 4A tersebut dijabarkan

sebagai berikut:

Attraction

a. Agrotourism

Agrotourism menurut Andini

(2013) adalah salah satu bentuk dari

rural tourism yang menawarkan

kegiatan pertanian sebagai daya tarik

wisata serta melibatkan penduduk lokal

dalam perencanaan hingga pengelolaan

kawasan agrowisata. Menurut Jolly dan

Reynolds, agrowisata adalah suatu

bisnis yang dilakukan oleh para petani

yang bekerja di sektor pertanian bagi

kesenangan dan edukasi para

pengunjung.

Potensi Alam yang dapat

dikembangkan menjadi agrowisata

yang ada Desa Pocangan terdiri dari

persawahan, perkebunan, perikanan,

peternakan dan perairan. Potensi

agrowisata yang ada di Desa Pocangan,

dapat dilihat dari luasnya areal

persawahan yang mengelilingi desa

Pocangan dan latar belakang

pencaharian penduduknya adalah

petani. Tanaman yang ditanam di areal

persawahan ini adalah padi, cabai,

tomat, kacang panjang, terong, jagung,

kopi, coklat, pisang, dan durian.

Atraksi yang ditawarkan kepada

pengunjung adalah wisata petik buah

atau petik sayur, dimana pengunjung

bisa memetik buah atau sayur yang

ingin dikonsumsi secara langsung.

Kemudian pengunjung bisa melakukan

foto bersama dengan buah atau sayur

yang sudah dipetik.

Selain itu atraksi yang

ditawarkan adalah edukasi agrowisata,

jadi pengunjung yang datang diberikan

penjelasan atau diberikan informasi

mengenai cara pemilihan bibit, cara

penanaman, proses pengembangbiakan,

hingga sampai proses panen. Edukasi

ini melibatkan petani secara langsung,

dimana pengunjung atau wisatawan

juga turun secara langsung dalam

proses penanaman

.

Gambar 2. Potensi Wisata Alam Persawahan Desa Pocangan

Sumber: Hasil Observasi, 2018

b. Adventure Tourism

Adventure tourism adalah wisata

yang memiliki kegiatan berpetualang

untuk mendapatkan pengalaman yang

bersifat tantangan. Di Desa Pocangan

sendiri ada aliran sungai yang bisa

digunakan untuk kegiatan river

adventure seperti tubing. Selain itu,

Page 139: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

131

kondisi alamnya juga berpotensi untuk

wisata hiking atau penjelajahan sambil

menikmati alam pedesaan yang masih

asri dari Desa Pocangan.

Gambar 3. Atraksi Wisata Tubing Desa Pocangan

Sumber : Hasil observasi, 2018

c. Kuliner Khas Pocangan

Desa Pocangan memiliki makanan

khas yang memiliki keunikan

sendiri, yaitu Jenang grendul yang

dikombinasikan dengan daun

maronngi atau daun kelor, dan

kucur gula jawa. Makanan khas

ini bisa dinikmati ketika

wisatawan datang dan ingin

merasakan kekhasan dari Desa

Pocangan.

d. Batik Pocangan

Desa Pocangan memiliki Cebter

Batik Pocangan, motif khas dari

desa ini adalah motif maronggi

atau motif daun kelor. Pengrajin

batiknya adalah remaja desa dan

ibu-ibu rumah tangga. Kain batik

ini bisa digunakan sebagai oleh-

oleh atau buah tangan untuk

wisatawan dibawa pulang sebagai

kenang-kenangan sudah pernah ke

Desa Pocangan.

Gambar 4. Kegiatan Membatik Oleh Kelompok Ibu dan Remaja Putri Desa Pocangan

Sumber : Hasil Observasi, 2018

Accessibility Kemudahan dalam menuju ke

lokasi Desa Pocangan dapat dilalui

dengan sangat baik, kondisi jalan yang

sudah diaspal dapat dilalui dengan

mudah oleh kendaraan baik yang

beroda dua maupun roda empat.

namun yang menjadi kendala adalah

tidak tidak adanya kendaraan umum

yang bisa digunakan karena tidak

dilalui oleh kendaraan umum.

Page 140: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

132

Gambar 5. Kondisi Aksesbilitas Menuju Desa Wisata Pocangan

Sumber: Hasil Observasi, 2018

Amenities

Desa Pocangan masih belum

memiliki fasilitas yang memadai untuk

wisatawan, namun menurut Bapak

Ahmad sebagai kepala desa Pocangan,

dalam waktu dekat akan

memanfaatkan rumah warga untuk

dijadikan homestay. Dimana homestay

ini akan dimanfaatkan oleh wisatawan.

Ancillary Service

Kelembagaan yang mengelola

dan mengembangkan kegiatan

kepariwisataan di Desa Pocangan ini

ditandai dengan terbentuknya

Kelompok Sadar Wisata

(POKDARWIS) Tunas Bangsa, yang

saat ini beranggotakan 15 orang.

Pokdarwis juga yang bertugas

membuat paket wisata untuk dijual

kepada wisatawan.

Kesimpulan dan Saran

Desa Pocangan memiliki potensi

wisata yang bisa dikembangkan

menjadi desa wisata, untuk

pengembangannya membutuhkan

perhatian yang serius dari lembaga

desa dan pokdarwis dengan lebih

meningkatkan lagi kegiatan

kepariwisataan yang ada di Desa

Pocangan. perlu adanya identifikasi

lebih lanjut mengenai potensi apa saja

yang bisa dikembangkan untuk

menambah atraksi wisata yang sudah

ada, meningkatkan keterlibatan

masyarakat untuk kegiatan pariwisata.

Selain itu lebih meningkatkan promosi

desa wisata kepada masyarakat untuk

meningkatkan kunjungan wisatawan,

promosid apat dilakukan

menggunakan digital marketing

seperti sosial media facebook,

instagram dan website.

Daftar Pustaka

I Nyoman Sukma Arida & LP. Kerti

Pujani. 2017. Kajian Penyusunan

Kriteria-Kriteria Desa Wisata

Sebagai Instrumen Dasar

Pengembangan Desa Wisata.

Jurnal Analisis Pariwisata.

Volume 17 No. 1. Udayana.

Page 141: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

133

Andini N. 2013. Pengorganisasian

Komunitas dalam Pengembangan

Agrowisata di Desa Wisata Studi

Kasus: Desa Wisata

Kembangarum Kabupaten

Sleman. Jurnal Perencanaan

Wilayah dan Kota. 24(3):173-188.

Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur

Penelitian, Suatu Praktek. Jakarta:

Bina Aksara

Cooper, dkk (2010). Tourism,

Principle, and Practice. Prentice

Hall, Hallow.

Dorobantu, M., & Nistoreanu, P.2012.

Rural Tourism and Ecotourism-

the Main Priorities in Sustainable

Development Orientations of

Rural Local Communities in

Romania. Economy

Transdisciplinarity Cognition,

15(1), 259-266.

Hadiwijoyo, Surya Sakti. 2012.

Perencanaan Pariwisata

Perdesaan Berbasis Masyarakat

(Sebuah Pendekatan Konsep).

Yogyakarta : Graha Ilmu

Inskeep, Edward. 1991. Tourism

Planning and Integrated and

Sustainable Development

Approach. New York: Van

Nostrand Reinhold.

Joyosuharto, S.. 2000. Aspek

Ketersediaan dan Tuntutan

Kebutuhan Dalam Pariwisata.

Dasar-dasar maanjemen

Kepariwisataan Alam.

Yogyakarta: CH. Fandeli Liberty.

Paturisi, Samsul A. 2001.

Perencanaan Tata Ruang

Kawasan Pariwisata, Materi

Kuliah Perencanaan Kawasan

pariwisata. Bali: Pascasarjana

Universitas Udayana.

Pitana, I. Gede dan Gayatri, Putu G.

2005. Sosiologi Pariwisata.

Yogyakarya: Andi.

Rahman, A. Faidlal. “Pemberdayaan

Masyarakat Melalui

Pengembangan Desa Wisata

Kembang Arum” (Tesis).

Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada.

Soekadijo. 2000. Anatomi Pariwisata

Memahami Pariwisata Sebagai

Systemic Linkg. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

Suagiama, A Gima. 2011.

Ecotourisma: Pengembangan

Pariwisata Berbasis Konservasi

Alam. Bandung: Guardayana

Intimarta

Suarka, F. M. 2010. “Strategi

Pengembangan Wkowisata di

Desa Jehem Kecamatan Tembuku

Kabuoaten Bangli” (Tesis): Bali:

Pascasarjana Universitas

Udayana.

Sunaryo , Bambang. 2013. Kebijakan

Pembangunan Destinasi

Pariwisata : Konsep dan

aplikasinya di Indonesia.

Yogyakarta: Gava Media.

Suwantoro. 1996. Dasar-dasar

Pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Suwena, I Ketut. 2010. Format

Pariwisata Masa Depan dalam

Pariwisata Berkelanjutan dalam

Pusaran Krisis Global. Denpasar:

Udayana University Press

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian.

Bandung: CV Alfa Beta.

Tri Riska Warang. 2015. “Kajian

Pengembangan Wisata Pantai Di

Sulabesi Kabupaten Kepulauan

Sula Propinsi Maluku Utara”.

(Skripsi). Manado: Program Studi

Perencanaan Wilayah Dan Kota

Page 142: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Potensi Desa Wisata Pocangan Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Berdasarkan Analisis 4A: Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Service

134

Universitas Sam Ratulangi

Manado.

Zakaria, Faris dkk. 2014. “Konsep

Pengembangan Kawasan Desa

Wisata di Desa Bandungan

Kecamatan Pakong Kabupaten

Pamekasan”. Jurnal Teknik

Pomits. Volume 3 Nomor 2. Hal.

C245-C249.

Yoeti, O. A. 1996. Pengantar Ilmu

Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Page 143: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

135

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA SECARA PRESPEKTIF

POTENSI WISATA DAERAH RELIGI KE WISATA DAERAH

BERKEMBANG BUKIT PECARON SITUBONDO JAWA TIMUR

Mochamad Edoward Ramadhan1, Dedi Dwilaksana

2, Suhartono

3, Djoko Poernomo

4

[email protected]

Abstract

Pecaron Hill Religious Tourism is one form of unity and unity of the nation, in terms

of its eastern location, which goes into Klatakan Subdistrict while for the western

part it belongs to the Kendit District Area. In addition, the people around the

Pecaron hill make a living as fishermen. On this occasion researchers with a

superior community service program tried to review Human Resources which would

later be developed from the beginning of religious tourism to fishing tourism,

especially the red snapper inhabitants of the seabed FADs. Studies include tourism

human resources including tourists / tourists (tourist) or as workers (employment)

using a qualitative approach, namely an inductive approach. The results of the study

indicate that management, development and financing of tourist areas require

carrying capacity from many stakeholders (public, private, and society) so that the

process can run smoothly. The success of the development of this area is also greatly

influenced by the conditions of mutual cooperation, maintaining each other's

environment and social aspects and caring for the environment, especially the sea.

Keywords: Tourism, Human Resources, Marine, FADs, Red Snapper

Abstrak

Wisata Religi Bukit Pecaron merupakan salah satu bentuk keutuhan dan pemersatu

bangsa, dari segi letak bagian timur, Kecamatan Klatakan sedangkan untuk bagian

barat masuk ke dalam Wilayah Kecamatan Kendit. Selain itu masyarakat di sekitar

bukit Pecaron bermata pencaharian sebagai nelayan. Pada kesempatan kali ini

peneliti dengan program pengabdian unggulan masyarakat mencoba untuk mengkaji

Sumber Daya Manusia yang nantinya akan dikembangkan dari semula pariwisata

religi menjadi pariwisata pemancingan ikan khususnya kakap merah penghuni

rumpon dasar laut. Kajian meliputi Sumber Daya Manusia pariwisata mencakup

wisatawan/pelaku wisata atau sebagai pekerja menggunakan pendekatan kualitatif,

yaitu pendekatan yang bersifat induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengelolaan, pengembangan dan pembiayaan kawasan wisata memerlukan daya

dukung dari banyak stakesholder (public, private, dan society) sehingga prosesnya

bisa berjalan dengan lancar. Keberhasilan pengembangan kawasan ini juga sangat

dipengaruhi oleh kondisi kegotongroyongan, saling menjaga baik lingkungan dan

aspek sosial serta merawat lingkungan khususnya laut.

Kata Kunci: Pariwisata, Sumber Daya Manusia, Kelautan, Rumpon, Kakap Merah.

1,2,3,4

Dosen Universitas Jember

Page 144: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

136

Pendahuluan

Wisata Religi Bukit Pecaron

merupakan suatu wisata religi yang

cukup terkenal di wilayah Kabupaten

Situbondo Jawa Timur. Dengan

Program Pengabdian Unggulan

Masyarakat, kami mencoba

melakukan pengkajian sumber daya

manusia di sekitar wilayah Pecaron

untuk memberdayakan masyarakat

nelayan yang religius guna membuka

wisata pemancingan dengan

pertambahan pendapatan yang lebih

tinggi daripada wisata religi tanpa

menghapus khas religi di bukit

Pecaron Situbondo. Objek kajian

penelitian adalah dua kelompok

nelayan yaitu Kembangsambi dan

Barokah. Kajian meliputi Sumber

Daya Manusia pariwisata mencakup

wisatawan/pelaku wisata (tourist)

atau sebagai pekerja (employment)

dengan menggunakan pendekatan

kualitatif, yaitu pendekatan yang

bersifat induktif.

Manajemen

Management is attainment of

organizational goals in an effective

and efficient manner through

planning, organizing, leading, and

controlling organizational resources”

(Daft, 2010:4). Management is the

process of planning, organizing,

leading, and controlling the work of

organization members and using all

available organizational resources to

reach stated organizational goals”

(Stoner & Freeman dalam Silalahi,

2002 :4). Berpijak pada dua pendapat

diatas dapat disimpulkan manajemen

merupakan pencapaian tujuan

organisasi dengan cara yang efektif

dan efisien melalui perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan

pengawasan sumberdaya organisasi.

Manajemen Sumber Daya Manusia

Dalam suatu organisasi hal

yang paling penting yang perlu

diperhatikan adalah sumber daya

manuisa yang menjadi pendukung

utama tercapai tujuan organisasi.

Sumber daya manusia menempati

posisi strategis dalam suatu

organisasi, oleh sebab itu sumber

daya manusia harus dimanfaatkan

secara efektif dan efisien sehingga

mempunyai tingkat hasil daya guna

yang tinggi. Manajemen SDM adalah

rangkaian strategis, proses dan

aktivitas yang didesain untuk

menunjang tujuan perusahaan dengan

cara mengintegrasikan kebutuhan

perusahaan dan individunya (Rivai,

2009:1). Manajemen sumber daya

manusia sebagai kebijakan dan

praktik menentukan aspek manusia

atau sumber daya manusia dalam

posisi manajemen, termasuk

merekrut, menyaring, melatih,

memberi penghargaan dan penilaian

(Dessler (2011:5). Manajemen

Sumber Daya Manusia adalah suatu

perencanaan, pengorganisasian,

dalam penggerakan dan pengawasan

atas pengadaan, pengembangan,

kompensasi, pengintegrasian,

pemeliharaan dan pemutusan

hubungan kerja dengan maksud untuk

pencapaian tujuan organisasi

perusahaan secara terpadu (Umar,

2008: 128). Pandangan lain

berpendapat bahwa perencanaan

sumber daya manusia atau

perencanaan tenaga kerja

didefinisikan sebagai proses

menentukan kebutuhan tenaga kerja

dan berarti mempertemukan

kebutuhan tersebut agar

pelaksanaannya berintegrasi dengan

rencana organisasi (Andrew dalam

Mangkunegara, 2013: 4). Dari

beberapa pendapat diatas, dapat

disimpulkan bahwa manajemen

Page 145: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

137

sumber daya manusia merupakan

ilmu dan seni yang di dalamnya

terkandung fungsi – fungsi manajerial

dan operasional. Perencanaan sumber

daya manusia dapat menentukan

kebutuhan tenaga kerja berdasarkan

peramalan, pengembangan,

pengimplementasian, dan

pengontrolan kebutuhan tersebut yang

terintegrasi dengan rencana organisasi

agar terwujud jumlah pegawai,

penempatan pegawai secara tepat dan

bermanfaat secara ekonomis.

Fungsi Manajemen Sumber Daya

Manusia

Perusahaan atau organisasi

dalam bidang sumber daya manusia

tentunya menginginkan agar setiap

saat memiliki sumber daya manusia

yang berkualitas yaitu memenuhi

persyaratan kompetensi untuk

diberdayakan dalam usaha

merealisasi visi dan mencapai tujuan-

tujuan jangka menengah dan jangka

pendek. Guna mencapai tujuan

manajemen sumber daya manusia

yang telah dikemukakan, maka

sumber daya manusia harus

dikembangkan dan dipelihara agar

semua fungsi organisasi dapat

berjalan secara normal. Kegiatan

sumber daya manusia merupakan

bagian proses manajemen sumber

daya manusia yang paling sentral dan

merupakan suatu rangkaian dalam

mencapai tujuan organisasi. Kegiatan

tersebut akan berjalan lancar, apabila

memanfaatkan fungsi. Terdapat 2

kelompok fungsi manajemen sumber

daya manusia.

1. Fungsi manajerial diantaranya

adalah fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan

pengendalian.

2. Fungsi organisasional diantaranya

pengadaan tenaga kerja,

pengembangan, pemberian balas jasa,

pengintegrasian, pemeliharaan dan

pemutusan hubungan kerja (Rivai dan

Segala, 2013:13).

Fungsi Manajerial

Untuk dapat melaksanakan

tugas dan menjalankan perannya

dengan baik dan benar, maka sebuah

manajemen memiliki peran yang

dapat mendukung dan membantu

dalam penerapannya. Dalam

manajemen terdapat 4 (empat) fungsi

atau aktifitas menurut beberapa ahli,

sebagai berikut:

1. Perencanaan

Perencanaan adalah kegiatan

memperkirakan tentang keadaan

tenaga kerja, agar sesuai dengan

kebutuhan organisasi secara efektif

dan efisien dalam membantu

terwujudnya tujuan. As managers

engage in planning, they set goals,

establish strategies for achieving

those goals, and develop plans to

integrate and coordinate activities

(Robbins dan Coulter (2012).

Perencanaan adalah fungsi

manajemen yang mencangkup proses

mendefinisikan sasaran, menetapkan

strategi untuk mencapai sasaran itu,

dan menyusun rencana untuk

mengintegrasikan, mengoordinasikan

sejumlah kegiatan. Bagi manajer

SDM, proses perencanaan berarti

menentukan kemajuan suatu program

SDM yang berguna dalam pencapaian

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

bagi perusahaan.

2. Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah kegiatan

untuk mengatur pegawai dengan

menetapkan pembagian kerja,

hubungan kerja, delegasi wewenang,

Page 146: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

138

integrasi dan koordinasi, dalam

bentuk bagan organisasi. Organisasi

hanya merupakan alat untuk

mencapai tujuan. Organisasi yang

baik akan membantu terwujudnya

tujuan secara efektif.

3. Pengarahan

Pengarahan adalah kegiatan memberi

petunjuk kepada pegawai agar mau

bekerja sama dan bekerja efektif serta

efisien dalam membantu tercapainya

tujuan organisasi. Pengarahan

dilakukan oleh pemimpin yang

dengan kepemimpinannya memberi

arahan kepada pegawai agar

mengerjakan semua tugasnya dengan

baik. Adapun pengadaan merupakan

proses penarikan, seleksi,

penempatan, orientasi dan induksi

untuk mendapatkan pegawai yang

sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Pengadaan yang baik membantu

terwujudnya tujuan.

4. Pengendalian

Pengendalian merupakan kegiatan

mengendalikan pegawai menaati

peraturan organisasi dan bekerja

sesuai dengan rencana. Bila terdapat

penyimpangan diadakan tindakan

perbaikan dan atau penyempurnaan.

Pengendalian pegawai meliputi

kehadiran, kedisiplinan, perilaku

kerja dan menjaga situasi lingkungan

pekerjaan.

Fungsi Operasi

Manajemen operasi adalah area

bisnis yang berfokus pada proses

produksi, serta memastikan

pemeliharaan dan perkembangan

berlangsung secara efektif dan

efesien. Seorang manajer operasi

bertanggung jawab mengelola proses

pengubahan input (dalam bentuk

material, tenaga kerja, dan energi)

menjadi output (dalam bentuk barang

dan jasa). Fungsi operasional dalam

manajemen sumber daya manusia

merupakan dasar pelaksanaan MSDM

yang efektif dan efisien dalam

pencapaian tujuan organisasi atau

perusahaan. Manajemen sumber daya

manusia secara fungsional memiliki

beberapa fungsi yang saling terkait

satu sama lain dan operasional yang

dijalankan oleh manajemen sumber

daya manusia sesuai dengan fungsi

yang dimilikinya. Berdasarkan

pendapat Gaol (2014:65) terdapat 6

fungsi operatif manajemen sumber

daya manusia, yaitu:

1. Pengadaan (Procurement)

Fungsi operasi manajemen SDM yang

pertama adalah pengadaan. Fungsi

pengadaan berhubungan dengan

mendapatkan jenis dan jumlah tenaga

kerja yang penting untuk mencapai

tujuan-tujuan organisasi.

Fungsi ini berkaitan dengan

bagaimana penentuan kebutuhan

sumber daya manusia berikut

perekrutan, penyeleksian dan

penempatan kerja. Pengadaan adalah

proses penarikan, seleksi,

penempatan, orientasi, dan induksi

untuk mendapatkan pegawai yang

sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Pengadaan yang baik akan membantu

terwujudnya tujuan perusahaan.

2. Pengembangan (Development)

Setelah tenaga kerja diperoleh,

mereka harus mengalami

perkembangan. Perkembangan yang

berkaitan dengan peningkatan

keahlian melalui pelatihan, yang

penting bagi kinerja pekerjaan.

Kegiatan ini sangat penting dan terus

berkembang dikarenakan perubahan-

perubahan teknologi, penyesuaian

kembali jabatan, dan meningkatnya

kerumitan tugas-tugas manajerial.

Page 147: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

139

Pengembangan adalah proses

peningkatan keterampilan teknis,

teoritis konseptual, dan moral

pegawai melalui pendidikan dan

pelatihan. Pendidikan dan pelatihan

yang diberikan harus sesuai dengan

kebutuhan pekerjaan masa kini

ataupun masa yang akan datang.

Pengembangan pegawai dilaksanakan

untuk meningkatkan keterampilan

melalui program pelatihan dan

pengembangan yang tepat agar

pegawai dapat melaksanakan

pekerjaannya dengan baik.

3. Kompensasi (Compensation)

Fungsi ini didefinisikan sebagai

pemberian upah yang cukup dan

wajar kepada tenaga kerja atas

kontribusi/jasa mereka terhadap

tujuan-tujuan organisasi. Kompensasi

adalah pemberian jasa langsung

(direct) dan tidak langsung (indirect),

uang atau barang kepada pegawai

sebagai imbalan balas jasa yang

diberikan kepada perusahaan. Prinsip

kompensasi adalah adil dan layak.

Adil maksudnya sesuai dengan

prestasi kerja yang diberikan pegawai

untuk perusahaan, sedangkan layak

diartikan dapat memenuhi primer-nya

serta berpedoman pada batas upah

minimum pemerintah dan

berdasarkan internal dan eksternal

konsistensinya

4. Integrasi/Penyatuan (Integration)

Pengintegrasian adalah kegiatan

untuk mempersatukan kepentingan

perusahaan dan kebutuhan pegawai,

agar terciptanya kerja sama yang baik

dan saling menguntungkan.

Perusahaan memperoleh laba dan

pegawai mendapatkan kebutuhan dari

hasil kerjanya. Walaupun sudah

menerima pegawai, sudah

mengembangkannya, dan sudah

memberikan kompensasi yang

memadai, perusahaan masih

menghadapi masalah yang sulit, yaitu

“integrasi/penyatuan”. Dalam hal ini

pegawai secara individu diminta

mengubah pandangannya,

kebiasaannya, dan sikap lainnya yang

selama ini kurang menguntungkan

bagi perusahaan agar disesuaikan

dengan keinginan serta tujuan

perusahaan.

5. Perawatan /Pemeliharaan

(Maintenance)

Pemeliharaan berarti berusaha untuk

mempertahankan dan meningkatkan

kondisi yang telah ada. Pemeliharaan

adalah kegiatan untuk memelihara

atau meningkatkan kondisi fisik,

mental, dan loyalitas pegawai, agar

mereka tetap mau bekerja sama

sampai pensiun. Pemeliharaan yang

baik dilakukan dengan program

kesejahteraan yang berdasarkan

kebutuhan sebagian besar karyawan

serta berpedeoman kepada internal

dan eksternal.

6. Pemisahan/ Pelepasan/ Pensiun

(Separation)

Apabila fungsi pertama manajemen

SDM adalah untuk melindungi

karyawan, logis apabila fungsi

terakhir harus melepas pegawai

(pensiun). Pemberhentian adalah

putusnya hubungan kerja seseorang

dari suatu perusahaan. Pemberhentian

disebabkan oleh keinginan pegawai,

keinginan perusahaan, kontrak kerja

berakhir, pensiun dan sebab-sebab

lainnya. Dari uraian diatas dapat

dikatakan bahwa pelaksanaan fungsi-

fungsi tersebut diarahkan pada

pemaksimalan dan pemanfaatan

pegawai dalam merealisasikan

pencapaian tujuan dengan

memperhatikan keinginan dari

pegawai. Seorang karyawan tidak

mungkin akan selalu bekerja pada

Page 148: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

140

organisasi tertentu. Pada suatu ketika

paling tidak mereka harus

memutuskan hubungan kerja dengan

cara pensiun. Untuk itu maka tenaga

kerja atau karyawan tersebut harus

kembali ke masyarakat. Organisasi

harus bertanggung jawab dalam

memutuskan hubungan kerja ini

sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang berlaku, dan menjamin warga

masyarakat yang dikembalikan itu

berada dalam keadaan yang sebaik

mungkin. Seorang manajer sumber

daya manusia harus melaksanakan

fungsi ini dengan baik.

Ada beberapa alasan yang

menyebabkan seseorang berhenti atau

putus hubungan kerjanya dengan

perusahaan, ada yang bersifat karena

peraturan perundang-undangan, tapi

ada juga karena keinginan pengusaha,

agar tidak terjadi hal semena-mena

yang dilakukan pengusaha, maka

pemerintah telah mengeluarkan

beberapa kebijakan yang berkaitan

dengan pemberhentian karyawan.

Dalam pengertian ini pemerintah

tidak melarang secara umum untuk

memberhentikan karyawan dari

pekerjaannya. Jangan karena tidak

cocok dengan pendapat perusahaan

atau bertentangan dengan kehendak

atau keinginan pengusaha yang

mengharapkan karyawan terus

bekerja utuk meningkatkan

produksinya, karyawan tersebut

langsung diberhentikan, tanpa melalui

prosedur yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah dan tanpa dijelaskan

alasan-alasannya kepada karyawan.

Oleh karena demikian, untuk

melindungi karyawan dari tindakan

demikian, maka pemerintah telah

mendaptkan kebijakannya sebagai

tertuang di dalam undang-undang No.

13 Tahun 2003 bahwa, pengusaha

dilarang melakukan pemutusan

hubungan kerja dengan alasan:

a. Pekerja berhalangan masuk

karena sakit perut menurut

keterangan dokter selama waktu

tidak melampaui 12 bulan secara

terus menerus.

b. Pekerja berhalangan Negara

sesuai denganketentuan

perundang-undangan yang

berlaku. Pekerjaan mengerjakan

ibadah yang diperintahkan

agamnya.

c. Pekerja menikah Pekerja

mempunyai pertalian darah dan

atau ikatan perkawinan dengan

pekerjan lainnya dalam satu

perusahaan, kecuali telah diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja

bersama.

d. Pekerja mendirikan, mejadi

anggota dan/atau pengurus

serikat pekerja, pekerja

melakukan kegiatan serikat

pekerja di luar jam kerja atau di

dalam jam kerja atas kesepakatan

pengusaha, atau berdasarkan

ketentuan yang diatur dalam

pernjanjian kerja bersama.

e. Pekerja yang mengadukan

pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha

yang melakukan tindakan pidana

kejahatan.

f. Karena perbedaan yang paham,

agama, aliran politik, suku, wana

kulit, golongan, jenis kelami,

kondisi fisik atau status

perkawinan.

g. Pekerjaan dalam keadaan cacat

tetap, sakit akibat kecelakaan

kerja, atau karena hubungan kerja

yang menurut surat keterangan

dokter yang jangka waktu

penyembuhannya belum dapat

dipastikan.

Di samping hal tersebut di atas

yang melarang pengusaha

mengadakan pemutusan hubungan

Page 149: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

141

kerja dengan karyawannya, tapi ada

juga yang membolehkan pengusaha

mengadakan pemutusan kerja dengan

karyawan dengan asalan pekerja telah

melakukan kesalahan berat sebagai

berikut:

a. Melakukan penipuan, pencurian

atau penggelapan dan/atau uang

milik perusahaan. Memberikan

keterangan palsu atau yang

dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan.

b. Mabuk, minum-minuman kerjas

memabukan, memakai atau

mengedarkan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif

lainnya di lingkungan karja.

c. Melakukan perbuatan asusila atau

perjudian di lingkungan karja.

d. Menyerang menganiaya,

mengancam atau mengintimidasi

teman sekerja atau pengusaha di

lingkungan kerja.

e. Membujuk temasn sekerja atau

pengusaha untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundang-

undangan.

f. Dengan ceroboh atau sengaja

merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik

perusahaan yang menimbulkan

rugi bagi perusahaan.

g. Dengan ceroboh atau membiarkan

teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat

kerja.

h. Membongkar atau membocorkan

rahasia perusahaan yang harusnya

dirahasiakan kecuali untuk

kepentingan Negara. Melakukan

perbuatan lainnya di lingkungan

perusahaan yang diancam pidana 5

tahun atau lebih.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan

objek kajian masyarakat nelayan

bukit Pecaron Situbondo.

Pengelompokan Fungsi Operasional

Sistem Managemen Sumber Daya

Manusia setelah dilakukan pelatihan

terkait pembuatan Rumpon Ikan

Kakap Merah dan Pemanenan ikan

yang dijadikan sebagai oleh-oleh dari

wisata pemancingan, kemudian

dibandingkan hasil sebelum

dilakukan program pengabdian

masyarakat dan sesudahnya.

Pembahasan

Kajian Berdasarkan Fungsi

Manajerial

a. Fungsi perencanaan

Perencanaan dibagi menjadi

beberapa aspek meliputi:

1. Aspek Objek Wisata

Obyek wisata yang dihadirkan di

wilayah ini adalah hamparan laut

yang tenang, terumbu karang yang

bisa dilihat di atas perahu yang

berjarak 20 meter dari bibir pantai.Di

sebelah selatan tampak gugusan

Pegunungan Argopuro yang besar.

Di sebelah timur adalah matahari

terbit yang begitu megah dan

sebaliknya di sebelah barat bisa

melihat matahari terbenam di atas

perahu. Selain itu sebagai oleh-oleh

untuk wisatawan adalah hasil

tangkapan ikan-ikan laut di atas

rumpon atau sebuah rekayasa

terumbu karang.

2. Aspek Periklanan

Dari segi iklan, dibuat video

pemandangan bukit Pecaron di

sebuah chanel You tube dan beberapa

media sosial seperti facebook,

Page 150: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

142

whatsapp dan Instagram. Hal ini

dinilai lebih efisien dan tidak

berbiaya tinggi.

3. Aspek Transportasi Darat dan Laut

Transportasi yang dipakai untuk

di darat dengan batas minimal yang

ada menggunakan jenis minibus

dengan jumlah penumpang 5orang

dengan supirnya. Ini dikarenakan

untuk bangku belakang yang ada di

mobil dipakai untuk membawa

peralatan pancing dan barang bawaan

dari wisatawan. Sedangkan untuk

transportasi laut terdiri atas perahu

fiber dan perahu kayu dengan

kapasitas 6 orang dengan

pemandunya.

4. Aspek Penginapan

Penginapan di wilayah Pasir

Putih sangat banyak dan sesuai

dengan budget yang dimiliki

wisatawan. Sebagian wisatawann

jarang yang menginap terkecuali jika

ada wisatawan yang membawa

keluarga dan ingin menikmati

pemandangan di pantai. Tarif

penginapan berkisar antara Rp

200.000-Rp 480.000/malam. Selain

itu ada beberapa rumah nelayan yang

disewakan sebagai home stay dengan

2 buah kamar lengkap dengan kamar

mandinya dengan tarif

Rp.150.000/malam.

5. Aspek Kuliner

Dikarenakan disepanjang

wilayah bukit Pecaron adalah pesisir

maka makanan khasnya adalah ikan

bakar dengan variasi sambal yang

begitu lezat. Wisatawan bisa

mengolah hasil tangkapannya dan

menyantapnya di pinggir pantai di

atas gazebo. Sedangkan untuk

minuman berupa es atau kelapa muda

yang sangat segar.

6. Aspek Poter

Jasa Poter/tukang angkut barang

disini tidak dipungut biaya, para

pemandu wisata dan anggota

kelompoknya ikut membantu

mengangkut barang bawaan

wisatawan dari mobil ke perahu dan

sebaliknya. Jadi disini wisatawan

tidak perlu repot-repot.

7. Aspek Teknologi

Dari segi teknologi, nelayan

yang semula menggunakan perahu

dayung akan beralih menggunakan

perahu bermesin. Oleh sebab itu,

perlu adanya ilmu perawatan mesin

perahu yang terdiri dari perekaman

perawatan mesin bahkan perahu yang

disajikan dalam sebuah lembar tabel

yang harus di isi setelah melakukan

tindakan perawatan. Hal ini untuk

menjaga agar mesin maupun perahu

dalam kondisi sehat, sehingga tidak

ada mesin perahu yang macet di

tengah lautan ketika mengantarkan

wisatawan.

Dari segi kordinat tata letak

rumpon, semula nelayan yang

melakukan penandaan tiga titik dari

puncak gunung, tower BTS dan

menara akan beralih ke penggunaan

GPS MAP dengan penentuan kordinat

yang ada dalam komputer dan bisa

dilakukan tracking dari bibir pantai.

Pemandu wisata tidak lagi mencari

titik dengan tiga titik lain secara

manual dan menghemat waktu untuk

perjalanan laut.

Selanjutnya yang paling peting

adalah pemanfaatan teknologi dalam

menjaga dan melakukan penambahan

rekayasa karang buatan atau yang

dikenal dengan rumpon. Berikut ini

adalah pembahasan dari segi aspek

teknis dalam perencanaan dalam

pembuatan rumpon:

Page 151: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

143

1. Perencanaan pengadaan bahan

rumpon. Bahan rumpon

menggunakan bahan organik berupa

bambu dan blarak kelapa yang di

peroleh di wilayah Pecaron dan

sekitarnya. Hal ini sangat

diperhitungkan karena biaya

pembelian bahan lebih murah

daripada biaya angkat angkut dan

transportasi.

2. Perencanaan proses pembuatan

rumpon. Pembuatan rumpon

dikerjakan swadaya dari anggota

kelompok nelayan. Penyambungan

bambu membentuk sebuah kerangka

yang semula dipaku dan

menyebabkan banyak bambu yang

pecah, dengan hadirnya kegiatan ini

kami telah berhasil menemukan cara

agar bambu tidak pecah yaitu dengan

cara membuat lubang lebih kecil 0.5

mm dari diameter paku kemudian

paku dimasukan di lubang tersebut

sehingga serat dari bambu tidak ada

yang terdistribusi atau menekan

keluar sebagai penyebab dari

pecahnya bambu. Supaya sambungan

kerangka bambu tetap rekat dan tidak

patah untuk tahap terakhir dengan

mengikat sambungan yang ada

pakunya tadi menggunakan tali rafia.

Tali rafia berfungsi untuk

menguatkan sambungan dan tahan

terhadap korosi di dasar laut sehingga

akan memiliki umur yang panjang

serta tidak mudah terurai dan mudah

ditumbuhi oleh kerang sebagai bakal

tumbuhnya karang.

3. Perencanaan proses pengangkutan

rumpon. Dalam pengangkutan

rumpon terbagi menjadi dua yaitu

kerangka dan atap rumpon. Kerangka

rumpon dengan ukuran 2 x 2 x 1.8 m

dan blarak kelapa dinaikan kedalam

perahu ketika air laut pasang.

Kemudian setelah sampai di titik

penurunan rumpon, selanjutnya

perakitan atap, kerangka dan

pemberat rumpon dirakit menyerupai

rumah-rumahan.

4. Perencanaan proses

penenggelaman rumpon. Setelah

rumpon telah dirakit selanjutnya

adalah proses penenggelaman. Pada

tahapan ini yang perlu diperhatikan

adalah arah arus laut. Arah arus laut

dibagi menjadi tiga bagian yaitu

permukaan, tengah dan dasar. Cara

mengukurnya adalah dengan

menurunkan pemberat dan dirasakan

perlahan-lahan. Jika menurunkan

pada kondisi arus kencang yang akan

terjadi adalah rumpon tidak bisa turun

pas di titik target karena terbawa arus

dan terjadi elevasi. Waktu yang tepat

menurunkan rumpon adalah ketika

arus terjadi mati total. Metode

penurunan rumpon ini sangat

memerlukan keahlian dan

pengalaman, jika tidak akan sia-sia

karena rumpon tidak pas di tempat

kita dan bisa ke tempat rumpon

nelayan lainnya

b. Fungsi Pengorganisasian

Terdapat pembagian kerja sebagai

berikut:

a. Penyedia bahan rumpon

b. Tukang pembuat rumpon

c. Tukang pengangkut rumpon

d. Tukang pemeliharaan rumpon

e. Pemandu Wisata pemancing

c. Fungsi pengarahan

Pengarahan yang dilakukan

berupa perintah penugasan dalam

melakukan kerjasama pada semua

pembagian kerja sehingga

pelaksanaan akan berulang terus-

menerus. Yang berhak memberikan

pengarahan adalah ketua kelompok

kepada semua anggota.

Page 152: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

144

d. Fungsi Pengendalian

Pengendalian dilakukan pada kedua

objek yaitu tenaga kerja dan jumlah

banyak rumpon ikan kakap merah di

laut.

Fungsi Organisasional

a. Pengadaan tenaga kerja

Tenaga kerja yang dipakai

dengan mengutamakan peduduk di

sekitar bukit pecaron berkaitan

dengan mata pencaharian:

1. Nelayan.

2. Pegawai BPAP

3. Peternak sapi

4. Juru Parkir

Gambar 2.1 Kordinasi pengarahan kepada nelayan

Gambar 2.2 Rumpon Kakap Merah

Tabel 1. Alokasi Tarif Wisata

No. Alokasi Uang Keterangan

1. Solar Rp 200,000

2. Perawatan perahu/kapal Rp 100,000

3. Perawatan/ penambahan rumpon Rp 100,000

4. Gaji pengantar Rp 100,000

5. Konsumsi Rp 100,000

Page 153: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

145

b. Pengembangan

Pengembangan yang akan

dilakukan adalah pembuatan sistem

pariwisata yang akan memberikan

dampak perekonomian disekitarnya.

c. Pemberian balas jasa

Pemberian upah dilakukan

berdasarkan perhitungan jasa yang

dipungut dari pengantaran wisata

pemancingan berdasarkan jumlah

hari. Sehari dengan upah dari

wisatawan sebesar Rp 600.000,00

dengan rincian sebagai berikut:

Tahapan penggalian informasi terkait

alokasi ongkos jasa wisata

diterangkan dalam gambar 2.1 yang

di hadiri oleh Bapak Supyono dan

Bapak Suyitno. Nelayan yang

diarahkan adalah nelayan perahu

bermesin dan perahu dengan dayung.

Semua nelayan saling bekerja sama

dalam menjalin informasi terkait

kesamaan pembayaran tarif dari

wisatawan. Pengarahan yang

dilakukan selain itu adalah

pengelolaan dan penanggulangan

cuaca bahka sampai teknik

pemanenan ikan.

d. Pengintegrasian

Pengeintergrasian masyarakat

Pecaron berfungsi untuk menjaga dan

merawat rumpon dari para nelayan di

luar area yang mempunyai kebiasaan

mencuri ikan dan memotong

pelampung rumpon.

e. Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan

adalah pemeliharaan kondisi rumpon

yang dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Dikarenakan bahan yang dipakai

untuk rumpon adalah bahan organik

yang terbuat dari bambu dan blarak

kelapa. Gambar 2.2 merupakan hasil

dari pembuatan rumpon ikan khas

pecaron

f. Pemutusan hubungan kerja

Pemutusan hubungan kerja

dilakukan jika pekerja terlibat konflik

yang berkepanjangan dan terlibat

dengan kriminalitas.

Kesimpulan

Dari hasil kegiatan pelatihan

ada beberapa kompetensi yang

dimiliki oleh nelayan yaitu:

1. Kemampuan membuat rumpon

ikan dengan sambungan paku

tanpa ada pemecahan bambu.

2. Kemampuan dalam memprediksi

cuaca dengan aplikasi windy

3. Kemampuan menggunakan alat

GPS MAP dalam menuju kordinat

Rumpon yang dipasang.

4. Kemampuan pengelolaan

pendapatan dalam menjalankan

keberlangsungan wisata

pemandangan laut dan

pemancingan ikan.

5. Rata-rata hasil tangkapan ikan

sebanyak 7 ekor kakap merah

dengan berat 10 kg.

Saran

Dari penelitian ini saran yang

dilakukan adalah harus dilakukan

monitoring dan evaluasi oleh

perguruan tinggi agar tidak terjadi

monopoli yang merugikan oleh semua

nelayan Pecaron.

Daftar Pustaka

Daft, Richard L, 2010. Era Baru

Manajemen, Edisi 9, Buku 2,

Salemba Empat, Jakarta.

A.F Stoner, James dan Edward

Freeman (eds), Manajemen Jilid

Page 154: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia secara Prespektif Potensi Wisata Daerah Religi ke Wisata Daerah Berkembang Bukit Pecaron Situbondo Jawa Timur

146

I, terj. Alexander Sindoro,

Jakarta: PT Prahallindo, 1996.

Rivai, Veithzal. 2011, Manajemen

Sumber Daya Manusia untuk

Perusahaan: dari Teori ke

Praktik, Jakarta : RajaGrafindo

Persada

Husein, Umar. 2008. Metode

Penelitian Untuk Skripsi dan

Tesis Bisnis. Jakarta. PT

Rajagrafindo Persada

Dessler, Gary, 2011. Manajemen

sumber daya manusia. Penerbit

Indeks, Jakarta.

AA. Anwar Prabu Mangkunegara,

2013, Manajemen Sumber Daya

Manusia Perusahaan, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella

Jauvani. 2011. Manajemen

Sumber Daya Manusia untuk

Perusahaan dari Teori ke Praktik.

Jakarta: PT Raja Grafindo

Robbins. Stephen. P., Coulter. Mary.

(2012). Management. Eleventh

Edition. Jakarta: England.

Gaol, CHR. Jimmy L, 2014. A to Z

Human Capital (Manajemen

Sumber Daya Manusia) Konsep,

Teori, dan Pengembangan dalam

Konteks Organisasi Publik dan

Bisnis, PT. Gramedia

Widiasarana, Jakarta.

Page 155: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

147

STRATEGI PENGUATAN ENTREPRENEUR MARKETING PADA

INDUSTRI TENUN IKAT BANDAR KIDUL KEDIRI DI ERA EKONOMI

KREATIF INDONESIA

Novi Haryati1

[email protected]

Abstract

The purpose of this study was to determine the application of Entrepreneur

Marketing (EM) and strategies to strengthen the entrepreneurship in Ikat Weaving

Bandar Kidul Kediri Industry. The method used in the research is descriptive

qualitative by using primary data, semi-structured interviews and observation. The

sampling technique used is total sampling of seven entrepreneurs. Data analysis

using 7 Dimensional Approach of Entreprenenural Marketing and SWOT Analysis.

The results showed that entrepreneurs tend to do traditional business activities.

Employers have been quite proactive in utilizing the internet, and has created some

innovations. Market analysis, competitors, and consumers have been becoming the

main focus in the business, although some entrepreneurs were not yet take advantage

of opportunities well. Resource leveraging shows that all employers have noticed the

importance of human resources in the business and the support of government and

private parties. Some of them have been able to manage the risks satisfactorily and

managing loyal customers in a simple way although they have not yet paid good

attention to value creation of the weaving. SWOT analysis indicates that the industry

is in Strength-Opportunity quadrant. To increase marketing strategies, capabilities

of entrepreneur and optimalization of cooperative performance is a form of

aggressive strategies that must be done.

Keywords: Entrepreneurship, Enterpreneural Marketing, SWOT, Aggressive

Strategies

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aplikasi Entrepreneur Marketing

(EM) dan strategi penguatan entrepreneurship pada Industri Tenun Ikat Bandar

Kidul Kediri. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif melalui data primer

hasil wawancara semiterstruktur dan observasi. Teknik pengambilan sampel

menggunakan total sampling terhadap tujuh pengusaha. Analisis data menggunakan

pendekatan 7 Dimensi Entreprenenural Marketing dan Analisis SWOT. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pengusaha cenderung melakukan kegiatan usaha

secara tradisional. Pengusaha telah cukup proaktif dengan memanfaatkan jaringan

internet, dan telah menciptakan beberapa inovasi. Analisis pasar, kompetitor, dan

konsumen telah dilakukan oleh pengusaha, walaupun belum memanfaatkan peluang

dengan baik. Resource leveraging menunjukkan bahwa keseluruhan pengusaha telah

memperhatikan karyawan dan nilai penting dukungan pihak pemerintah maupun

swasta. Sebagian pengusaha telah mampu memanajemen risiko dengan memuaskan

dan melakukan pengelolaan konsumen loyal secara sederhana, meskipun belum

memperhatikan value creation dengan baik. Analisis SWOT menunjukkan bahwa

1 Universitas Brawijaya

Page 156: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

148

Industri Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri berada pada kuadran Strength-Opportunity,

sehingga peningkatan strategi pemasaran, kapabilitas pengusaha dan pengoptimalan

kinerja koperasi merupakan bentuk Strategi Agresif yang harus dilakukan.

Kata Kunci: Entrepreneurship, Enterpreneur Marketing, SWOT, Strategi Agresif

Pendahuluan

Memasuki era persaingan

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),

Industri kreatif merupakan salah satu

fokus dari pengembangan Ekonomi

Kreatif (EK) nasional tahun 2025.

Pemerintah Republik Indonesia

memaparkan tujuh kategori produk

yang masuk dalam industri kreatif.

Tujuh kategori produk tersebut, yaitu

arsitektur, pakaian, kerajinan,

pengembangan sofware dan hadware

komputer, periklanan, permainan

interaktif, serta penelitian dan

pengembangan (Afiff, 2012).

Industri Tenun Ikat Bandar Kidul

merupakan salah satu industri kerajinan

– Industri Kecil Menengah atau IKM –

yang menghasilkan kain otentik khas

daerah untuk kebutuhan pakaian

masyarakat. Industri ini sejak beberapa

dekade lalu telah menjadi bagian dari

identitas Kota Kediri yang sangat

bernilai. Usaha pelestarian industri ini

telah menginjak generasi kedua (anak

dan menantu generasi pertama).

Meskipun demikian, industri

yang telah bangkit dari pascakrisis

1998/1999, tidak lepas dari sejumlah

permasalahanumum yang sering

dihadapi oleh IKM daerah. Khusus,

Industri Tenun Ikat Bandar Kidul

Kediri, beberapa kendala yang dominan

terjadi adalah: (1) ketidakmampuan

para pengusaha dalam menyediakan

jumlah kain, maupun produk pakaian

jadi yang sesuai dengan jumlah

permintaan pasar karena penggunaan

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM); (2)

harga tenun ikat yang lebih mahal, dan

peminat tenun ikat yang spesifik jika

dibandingkan dengan batik (Andriani

dan Fahminnansih, 2013); (4) masalah

pemasaran; serta (5) modal usaha untuk

pengembangan industri.

Lebih lanjut, seluruh kendala-

kendala umum yang dominan dalam

Industri Tenun Ikat Bandar Kidul

Kediri tidak akan lebih berarti apabila

dikontraskan dengan jiwa atau

semangat wirausaha pemiliknya. Era

EK Indonesia dan MEA menuntut

setiap pengusaha maupun kelompok

pengusaha industri kreatif dalam tubuh

IKM memiliki jiwa dan semangat

kewirausahaan yang tinggi. Hal ini

dikarenakan, ‘kejayaan’ maupun

‘kehancuran’ apapun dari suatu industri

tergantung pada pemilik usahanya.

Segala keputusan yang dijalankan oleh

pengusaha akan berguna demi

perkembangan atau bahkan penurunan

suatu usahanya. Demikian pula untuk

Industri Kreatif Tenun Ikat Bandar

Kidul.

Dengan demikian, penelitian ini

berfokus pada pengembangan dan

strategi penguatan jiwa kewirausahaan

melalui 7 Dimensi Entrepreneur

Marketing (EM). Tulisan ini bertujuan

menghasilkan suatu strategi

khususberdasarkan kondisi Insdustri

Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri dalam

upaya pengaplikasian Entrepreneurial

Marketing sebagai jawaban persoalan

umum terkait dunia Industri Kreatif di

daerah.

Tinjauan Pustaka

Entreprenueral marketing (EM)

merupakan sebuah fungsi pemasaran

yang menitik beratkan pada inovasi dan

Page 157: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

149

perhitungan risiko serta pemanfaatan

kesempatan – biasanya diterjemahkan

dalam bentuk guerilla marketing atau

buzz marketing (American Marketing

Association, dalam Krauss, Harm, &

Fink, 2009). Definisi tersebut juga

dapat dipahami bahwa EM merupakan

suatu bentuk atau proses pemasaran

yang penuh dengan konsep-konsep

kreatif. Krauss, Harm, & Fink (2009)

menambahkan bahwa EM merupakan

sebuah gaya pemasaran yang dibentuk

secara personal oleh pemilik usaha.

Akan tetapi, perlu diingat juga

bahwa EM memiliki sifat touchdown

pada konsumen. Sehingga, EM tidak

bisa menjangkau konsumen secara luas.

Hal ini dikarenakan, EM merupakan

sebuah adaptasi dari teori-teori

traditional marketing yang hanya

digunakan untuk usaha kecil

(Beverland & Lockshin, 2004, dalam

Rezvani & Khazei, 2013).

Lebih lanjut, sifat EM yang

touchdown tersebut oleh Morris, dkk.

(2002) diterjemahkan ke dalam tujuh

dimensi, sebagai berikut:

(1) Proactiveness, cara mendominasi

kompetitor dengan

mengkombinasikan pergerakan

secara aktif dan progresif untuk

mengantisipasi kebutuhan

mendatang melalui penciptaan dan

pengubahan lingkungan (pasar);

(2) Opportunity focus, sebagai suatu

kemampuan perusahaan untuk dapat

menentukan kesempatan yang akan

diambil dan memprediksikan tingkat

keberhasilannya;

(3) Calculated risk taking, perusahaan

dituntut untuk dapat

memperhitungkan segala risiko yang

mungkin terjadi atas pilihan-pilihan,

baik dari segi teknologi atau hal lain

yang digunakan dalam membantu

proses pemasaran;

(4) Innovativeness, adalah sebuah

pengombinasian proses kreatif

melalui pengujicobaan ide-ide baru,

baik kepada konsumen yang telah

ada maupun konsumen baru;

(5) Costumer intensity, perusahaan

dituntut untuk dapat membangun

hubungan baik dan kedekatan yang

intensif kepada konsumen guna

mengembangkan pemasaran yang

telah ada;

(6) Resource leveraging, merupakan

kemampuan perusahaan untuk

melihat potensi-potensi serta cara

menggunakan dan mengontrol

potensi atau sumber daya tersebut

agar dapat membantu proses

pemasaran perusahaan;

(7) Value creation, merupakan kata

kunci dalam EM yang didapatkan

dari transaksi dan hubungan antara

perusahaan dan konsumen. Tugas

utama dari seorang pemasar adalah

dapat mengenali nilai-nilai

konsumen dan mengadopsinya

untuk penciptaanmaupun

pengembangan inovasi produk

perusahaan.

Konsep strategi diistilahkan

sebagai sebuah alat guna mencapai

tujuan. Konsep mengenai strategi ini

terus berkembang. Menurut Rangkuti

(1997), Analisis SWOT merupakan

salah satu analisis untuk menentukan

strategi dalam suatu perusahaan atau

industri. Analisis ini

mengkombinasikan faktor strategi

internal dan eksternal untuk

pengambilan keputusan strategi terbaik

yang dapat digunakan pengusaha dalam

perusahaannya. adapun analisis SWOT

ini dapat dilakukan dengan:

1. Menganalisis faktor strategis

internal dan eksternal

2. Membuat matriks faktor strategi

internal dan matriks faktor strategi

eksternal

3. Membuat matrik ruang

4. Merumuskan strategi umum

5. Menyusun keputusan strategis

Page 158: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

150

6. Mengevaluasi dan mengawasi

strategi

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota

Kediri, tepatnya pada Sentra Tenun Ikat

– Kampung Tenun Ikat – Bandar Kidul

Kediri dengan menggunakan metode

deskriptif. Data yang digunakan adalah

data primer berupa hasil wawancara

semi terstruktur dari responden

sejumlah 7 (tujuh) orang pengusaha.

Teknik pengambilan sampel

menggunakan total samplingatau

keseluruhan sampel dari total populasi.

Analisis data penelitian menggunakan

pendekatan Entreprenenur Marketing

(EM) dan Analisis SWOT untuk

perumusan strategi atau model

penguatan Entrepreneurship Industri

Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri.

Hasil dan Pembahasan

Penerapan Entrepreneur Marketing

pada Tenun Ikat Bandar Kidul Kota

Kediri

Jiwa kewirausahaan memiliki

peranan penting dalam keberhasilan

usaha. Salah satu pendekatan untuk

memahami konsep jiwa kewirausahaan

adalah konsep Enterpreneur Marketing

(EM), meliputi: (1) innovativeness; (2)

proactiveness;(3) opportunity;(4)

resource leveraging;(5) calculating

risk;(6) consumer intensity;dan (7)

value creation.

Analisis pertama dimulai dari

dimensi proactiveness. Berdasarkan

hasil wawancara dan observasi terlihat

bahwa pemerintah melalui Dinas

Perindustrian dan Perdagangan

(Disperindag) serta Dinas UMKM dan

Koperasi memberikan dukungan untuk

promosi produk Tenun Ikat Bandar

(TIB) Kediri melalui berbagai pameran.

Meski telah difasilitasi oleh

pemerintah, para pengrajin membuat

berbagai cara promosi lain secara

mandiri maupun bersama-sama. Salah

satunya, pengrajain TIB AAM Putra

yang menggelar pameran di acara car

free day setiap hari minggu di ruas

Jalan Dhoho Kediri dan melakukan

kerjasama dengan perancang busana

dari Jakarta untuk membuat variasi

produk pameran untuk tingkat nasional

maupun Internasional.

Secara berbeda, pengrajin TIB

Sempurna 2 melakukan promosi

produk dengan melalui kerjasama

dengan beberapa toko busana di daerah

Kota Kediri dan Kabupaten

Tulungagung, Jawa Timur. Lebih dari

Pengrajin TIB Sampurna 2, Pengrajin

TIB Sinar Barokah 1 dan 2 telah

melakukan promosi sampai Pulau

Sulawesi dan Timur Tengah. Akan

tetapi, teknik promosi yang mereka

gunakan masih berupa word of mouth

(WOM). WOM ini dilakukan dengan

cara, semisal ada pelanggang yang

membeli produk TIB Sinar Barokah 1

dan 2 sehingga diteruskan ke orang lain

– biasanya saudara maupun kerabat

terdekat – yang tertarik terhadap

produk dan akhirnya melakukan proses

pemesanan. Selain itu, TIB Sinar

Barokah juga membuka agen penjualan

produk TIB Sinar Barokah di kota

besar lain, seperti Solo dan Surabaya.

Pada dasarnya, cara promosi

yang dilakukan oleh beberapa pengrajin

di atas masuk dalam konsep personal

selling yang bertujuan untuk pemasaran

langsung sehingga dapat menyasar

kepada calon pelanggan. Hal ini juga

dilakukan oleh pengrajin TIB Kodok

Ngorek 2 dengan menerapkannya pada

berbagai acara arisan dan pengajian

masyarakat setempat. Akan tetapi,

selain personal selling, TIB Kodok

Ngorek 2 juga membuka showroom

pribadi di tempat usaha pribadi maupun

usaha bersama, serta event marketing,

Page 159: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

151

seperti pameran. Beberapa pengarajin

juga telah memanfaatkan teknologi

untuk mempromosikan produk mereka.

Pada umumnya, hampir seluruh

pengrajin telah memanfaatkan new

technology untuk membantu

mempromosikan produk mereka.

Tetapi, tidak semua pengrajin

memanfaatkannya secara optimal. TIB

Medali Mas meski telah menggunakan

teknologi baru, seperti blog dan

website,TIB Medali Mas tidak merasa

penggunaan teknologi tersebut cukup

penting. pengusaha TIB Medali Mas

menilai bahwa nama produk dan

showroom “Medali Mas” sudah cukup

dikenal masyarakat secara luas.

Berbeda dengan beberapa pengrajian

lainnya, seperti AAM Putra, Sinar

Barokah 1 dan 2, serta Sempurna 2

yang menggunakan teknologi untuk

mempromosikan produknya melalui

konsep direct marketing berbasis

teknologi, keseluruhan TIB tersebut

menghubungi konsumen melalui

whatsapp, blackbery massanger (bbm),

dan email untuk kegiatan promosi

produk. Pengimplementasian direct

marketing pada TIB Medali Mas hanya

menggunakan saluran telepon rumah

maupun telepon genggam biasa.

Selain pemanfaatan teknologi,

personal selling, direct marketing, dan

event marketing, salah satu pengrajin

juga memanfaatkan iklan televisi,

seperti yang dilakukan oleh TIB Sinar

Barokah 1 dan 2. TIB Sinar Barokah 1

dan 2 pernah beriklan di stasiun televisi

lokal atau regional, yaitu JTV. Selain

televisi, TIB Sinar Barokah juga

sempat beriklan salah satu majalah

yang disponsori oleh Koperasi Jatim.

Berdasarkan beberapa analisis di

atas, pada dasarnya para pengrajin

belum sepenuhnya menggunakan

inovasi-inovasi yang mengadopsi hal-

hal baru untuk mempromosikan

produknya, meski beberapa pengrajin

telah menggunakan teknologi internet.

Penggunaan teknologi internet ini

hanya sebatas personal selling dan

direct marketing. Sehingga, dapat

ditarik kesimpulan bahwa para

pengrajin telah mengadopsi teknologi

baru berupa internet untuk membantu

mempromosikan produk mereka, tetapi

belum mengadopsi cara-cara baru yang

dapat diimplementasikan melalui

pemanfaatan internet tersebut. Melalui

perkataan lain, sejumlah pengrajin

belum mengoptimalkan pemanfaatan

internet. Hal ini berdasarkan definisi

proactivness yang memaparkan bahwa

dimensi proactiveness terpenuhi ketika

individu maupun kelompok secara utuh

mengimplementasikan suatu hal yang

baru untuk dapat memanfaatkan

kesempatan guna memberikan dampak

positif bagi usahanya.

Analisis entreprenurial

marketing berikutnya adalah pada

dimensi kedua, yaitu inovativeness.

Individu maupun kelompok

dikategorikan telah memenuhi aspek

pada dimensi ini ketika mereka mampu

menemukan ide kreatif dan menguji ide

tersebut, serta menambah alur

informasi dan kebaruan perkembangan

produk. Pada analisis ini peneliti hanya

melihat pada aspek promosi produk.

Berdasarkan hasil wawancara dan

observasi yang telah dilakukan oleh

peneliti, ditemukan bahwa secara

umum, adaptasi inovasi pengrajin

Tenun Ikat Bandar terhadap

penggunaan media baru (internet)

masih rendah. Hal tersebut terbukti dari

keseluruhan – delapan – pengrajin yang

diwawancarai oleh peneliti, hanya satu

pengrajin yang mengoptimalkan

penggunaan internet melalui aplikasi

youtube. TIB AAM Putra secara

mandiri membuat video dokumentasi

tentang proses pembuatan tenun ikat

hingga produk jadi kain tenun dengan

beragam motif serta warna. Pengrajin

Page 160: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

152

menjelaskan bahwa dengan

menunjukkan proses pembuatan tenun

ikat akan tercipta sebuah citra produk

yang dihasilkan oleh TIB AAM Putra

merupakan produk home made yang

berkualitas dan berciri khas daerah.

Selain itu, melalui penggunaanyoutube,

pengrajin TIB AAM Putra berasumsi

dapat memberikan deskripsi audio-

visual kepada konsumen loyas maupun

calon konsumen secara utuh. Dengan

demikian, pengrajin TIB AAM Putra

berharap dapat menjangkau lebih luas

dan lebih banyak konsumen. Hal

tersebut terbukti, setelah penayangan

video promosi tersebut, TIB AAM

Putra mendapatkan konsumen baru

yang berasal dari Zimbabwe dan

Jerman. Selain youtube, TIB AAM

Putra juga memanfaatkan media sosial,

seperti instagram dan facebook.

Meski demikian, beberapa

pengrajin lainnya seperti TIB

Sempurna 2 juga menggunakan

facebook untuk promosi produk. TIB

Sempurna 2 memaparkan alasan

penggunaan facebook untuk

mempermudah pemberian visualiasi

kepada calon konsumen atas produk

TIB Sempurna 1 dan 2. Akan tetapi,

selain TIB AAM Putra, pengrajin lain

yang memanfaat instagram untuk

promosi produk adalah TIB Sinar

Barokah 1 dan 2. Walaupun tidak

terlalu aktif, TIB Sinar Barokah 1 dan 2

lebih memilih memanfaatkan teknologi

internet untuk personal selling melalui

aplikasi, seperti whatsapp dan email.

Meski demikian, semua pengrajin

memiliki blog bersama untuk

membantu promosi produk jadi kain

tenun yang terhimpun dalam koperasi

TIB.

Berdasarkan analisis pada

inovativeness, dapat disimpulkan

bahwa hanya sekitar separuh pengrajin

yang memanfaatkan teknologi baru

(internet) dengan beberapa inovasi

promosi melalui penggunaan youtube

dan media sosial, seperti instagram dan

facebook secara relatif optimal.

Sisanya, pengrajin TIB lain belum

dapat memanfaatkan internet dengan

berbagai inovasi secara maksimal untuk

dapat membantu kegiatan promosi

produk-produk TIB.

Analisis berikutnya adalah

analisis EM dimensi ketiga, yaitu

opportunity. Pada dimensi ini, individu

atau kelompok dikategorikan telah

memenuhi EM ketika mereka mampu

melakukan berbagai analisis, seperti

analisis pasar, konsumen, dan produk

serta usaha – segmenting, targeting,

dan positioning (STP). Pada dimensi

ini, analisis pertama dimulai dari TIB

Kodok Ngorek 2. Berdasarkan hasil

wawancara yang telah ditabulasi oleh

peneliti, didapatkan data bahwa TIB

Kodok Ngorek 2 belum mampu

melakukan analisis pasar dengan baik.

Hal ini terbukti dengan pemahaman

pengrajin TIB Kodok Ngorek 2 yang

menganggap bahwa tenun ikat akan

selalu memiliki pangsa pasar. Padahal,

secara keilmuan, semua produk

memiliki kemungkinan besar

kehilangan pangsa pasarnya apabila

tidak dijaga atau selalu dihidupkan oleh

pengusaha itu sendiri. Pengrajin TIB

Kodok Ngorek 2 juga belum mampu

melakukan analisis kompetitor dengan

mengatakan bahwa sesama pengrajin

TIB bukanlah pesaing. Pada analisis

konsumen, TIB Kodok Ngorek 2 juga

tidak sepenuhnya mampu melakukan

analisis konsumen dengan baik. Hal ini

terbukti bahwa TIB hanya bekerja

berdasarkan permintaan dan kebutuhan

konsumen, bukan menawarkan dan

membuat pilihan bagi konsumen. Oleh

karena hal tersebut, maka TIB Kodok

Ngorek 2 juga tidak mampu melakukan

analisis STP.

Sama halnya dengan TIB Kodok

Ngorek 2, TIB Sempurna juga tidak

Page 161: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

153

mampu melakukan analisis pada

dimensi oppurtunity secara memadai.

Hal tersebut terbukti pada analisis

kompetitor yang dilakukan oleh TIB

Sempurna yang memaparkan bahwa

pengrajin lain bukanlah kompetitor,

akan tetapi pelengkap. Pada analisis

konsumen, TIB Sampurna juga tidak

memaparkan secara rinci karakteristik

konsumen sasaran. TIB Sampurna

hanya memaparkan bahwa mereka

telah memiliki konsumen yang loyal,

sehingga lebih mengutamakan

pemenuhan kebutuhan atau pesanan

mereka. Meski demikian, pada analisis

pasar, TIB Sempurna cukup mampu

menjelaskan bahwa perkembangan

produksi TIB mereka akan terus

menyesuaikan dengan permintaa pasar,

misalnya tentang motif dan pewarnaan

kain tenun. Akan tetapi, untuk memberi

ciri khas produknya, pengrajin TIB

Sampurna akan tetap mempertahankan

“motif dan warna legenda” yang telah

ada sejak generasi pertama.

Berbeda dengan TIB Kodok

Ngorek 2 dan TIB Sampurna, TIB

Medali Mas telah cukup mampu

melakukan analisis pada dimensi

opportunity. Hal tersebut dapat dilihat

pada analisis pasar yang dilakukan oleh

TIB Medali Mas. Pengrajin TIB Medali

Mas telah memperhatikan pasar dengan

cara memproduksi motif dan warna

kain tenun yang beragam, sesuai minat

konsumen. Selain itu, pengrajin TIB

Medali Mas juga melakukan pencatatan

tersendiri untuk segmen-segmen pasar

tertentu, seperti instansi lokal maupun

konsumen perorangan yang loyal.

Selanjutnya, pada analisis konsumen,

TIB Medali Mas menjelaskan bahwa

pengrajin selalu berusaha memberikan

pelayan prima, seperti memberikan

bonus atau diskon khusus, fasilitas

tambahan terhadap produk, seperti

pembungkusan produk untuk kado atau

hadiah, dan kemudahan akses, seperti

penjahitan kain tenun menjadi pakaian

tenun melalui kerja sama dengan

penjahit lokal. Oleh karena hal tersebut,

TIB Medali Mas dapat memosisikan

diri sebagai market leader TIB di

Kediri.

Berikutnya, analisis pada dimensi

opportunity pada TIB Sinar Barokah 1

dan 2. TIB Sinar Barokah 1 dan 2

merupakan satu group, akan tetapi

memiliki analisis pasar yang berbeda.

Sinar Barokah 1 lebih fokus pada

produk sarung goyor dengan tujuan

mempertahankan warisan budaya.

Sedangkan, Sinar Barokah 2 berfokus

pada produksi kain tenun dan

variasinya. Akan tetapi, untuk analisis

kompetitor, kedua TIB ini memiliki

pandangan yang sama. Dikarenakan

TIB Sinar Barokah 1 dan 2 merupakan

perintis, mereka menganggap para

pengrajin TIB lainnya hanya sebagai

pelengkap dan bukan kompetitor.

Analisis kompetitor ini mencerminkan

bahwa Sinar Barokah 1 dan 2 belum

dapat melakukan analisis kompetitor

dengan baik. Meski demikian, Sinar

Barokah 1 dan 2 telah memetakan

konsumen loyalnya. Oleh karena itu,

Sinar Barokah 1 dan 2 sangat

memperhatikan kualitas produk, warna,

dan kualitas jahitan untuk pakaian

tenun.

TIB AAM Putra juga cukup baik

melakukan analisis dalam dimensi

opportunity. Hal tersebut dapat dilihat

dari Analisis Pasar yang dilakukan oleh

TIB AAM Putra, yaitu pasar dalam

negeri dan luar negeri. Dengan

demikian, TIB AAM Putra gencar

melakukan promosi melalui berbagai

event nasional maupun internasional.

Selanjutnya, pada analisis kompetitor,

TIB AAM Putra menjelaskan bahwa,

kompetitor yang dianggap berpotensi

meresahkan adalah produsen kain

sejenis yang menggunakan mesin dan

memproduksi secara masal. Meskipun

Page 162: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

154

demikian, TIB AAM Putra

mengantisipasi hal tersebut dengan

mempertahankan kualitas produk

beserta aneka ragam variasinya bagi

konsumen.

Berdasarkan hasil analisis di atas,

dapat diketahui bahwa hanya ada

beberapa pengrajin TIB yang relatif

mampu melakukan analisis pasar,

produk, dan konsumen secara tepat.

Akan tetapi, hampir semua pengrajin –

kecuali TIB AMM Putra – belum

mampu melakukan analisis kompetitor

secara spesifik. Selain itu, hampir

seluruh pengrajin tidak dapat

melakukan analisis STP karena tidak

terlihat dengan jelas perbedaan antara

satu pengrajin dengan pengrajin

lainnya. Analisis STP tidak hanya

berdarkan harga jual produk atau

segmentasi konsumen saja. Saat ini,

STP yang dilakukan oleh tiap pengrajin

hanya terbatas pada harga jual produk

dan segmentasi konsumen.

Analisis keempat dalam EM

adalah dimensi resource leveraging.

Dimensi resource leveraging berkaitan

dengan pendayagunaan sumberdaya

internal maupun eksternal usaha. Pada

dimensi ini, peneliti menganalisis cara

para pengrajin TIB memanfaatkan

sumberdaya internal dan eksternal

mereka untuk pengembangan usaha.

Setiap pengrajin sebelum

mempekerjakan karyawan baru, mereka

akan memberikan pelatihan terlebih

dahulu – sekitar satu sampai dua

minggu. Selanjutnya, setelah masa

pelatihan selesai, karyawan akan

ditempatkan bada bidang keahlian

tertentu. Secara keseluruhan, para

pengrajin memperhatikan karyawan

mulai dari sistem penggajian sampai

penerapan leksibilitas kerja bagi

karyawan perempuan yang sudah

berumahtangga dengan domisili di luar

Kota Kediri, serta karyawan muda yang

masih bersekolah. Sistem penggajian

yang digunakan oleh para pengrajin

adalah sistem gaji mingguan.

Fleksibilitas kerja yang diberikan

kepada pengrajin adalah dengan

memperbolehkan karyawan membawa

pulang beberapa pekerjaan ke tempat

pribadi masing-masing dan

menyerahkan ketika sudah selesai.

Hampir semua pengrajin sangat

memperhatikan hubungan baik dengan

karyawan, termasuk dalam pemberian

Tunjangan Hari Raya (THR).

Selanjutnya, dimensi kedua

dalam resource leveraging adalah

pemanfaatan potensi eksternal. Secara

umum, semua pengrajin mendapatkan

dukungan eksternal dari berbagai

pihak, seperti pemerintah daerah, bank,

dan beberapa pihak swasta lainnya.

Akan tetapi, pada analisis dimensi ini

pengrajin tidak menjelaskan secara

rinci tentang cara mereka menjalin dan

mengelola hubungan dengan para pihak

eksternal. Sehingga pola pemanfaatan

sumber daya eksternal oleh para

pengrajin tidak dapat dianalisis secara

mendalam. Sebagian besar pengrajin

hanya mengungkapkan bahwa awalnya

mereka yang mencari-cari kerjasama

maupun dukungan dari pihak luar.

Setelah usaha berkembang, merekalah

yang dicari-cari oleh pihak luar terkait

kerja sama pengembangan usaha,

utamanya permodalan finansial. Hal

tersebut sering dilakukan oleh bank-

bank maupun koperasi simpan-pinjam

swasta.

Analisis dimensi entreprenurl

marketing (EM) selanjutnya adalah

calculating risk. Analisis pada dimensi

ini hampir sama dengan analisis pada

opportunity. Analisis pada calculating

risk merupakan analisis implementasi

pada dimensi opportunity. Hal tersebut

seperti yang ditunjukkan oleh TIB

Sempurna 2. TIB Sempurna memilih

mempertahankan produk sarung goyor

asli dan sarung goyor modifikasi tanpa

Page 163: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

155

sambungan tengah. Calculating risk

yang dipertimbangkan oleh TIB

Sempurna adalah bahwa sarung goyor

maupun sarung goyor tanpa sambungan

tengan memiliki keunikan tersendiri

sendiri sehingga akan memiliki pangsa

pasar masing-masing. Selanjutnya, TIB

AAM Putra juga melakukan

calculating risk dengan pertimbangan

opportunity yang dimiliki melalui

variasi produk, seperti sepatu, baju, dan

tas. TIB AAM Putra melihat bahwa ada

peluang pasar yang baik terhadap

variasi produk yang telah

dilakukannya. Demikian juga dengan

TIB Kodok Ngorek 2, pengrajin

mempertimbangkan calculating risk

relatif besar dengan mencoba inovasi

perpaduan teknik tenun dan songket

pada produk barunya. Selama ini,

peneliti menilai, inovasi kombinasi

kain biasa dengan kain songket pada

produk pakaian jadi TIB Kodok

Ngorek 2 relatif lebih beragam dan

sesuai pangsa pasar kawula muda dari

pada TIB lainnya.

Tidak jauh berbeda dengan AAM

Putra, TIB Medali Mas juga melihat

peluang dengan menyediakan fasilitas

dan variasi produk yang hampir sama

dengan AAM Putra. Calculating

riskyang dipertimbangkan oleh TIB

Medali Mas, yaitu bahwa dengan

menyediakan fasilitas dan kemudahan

khusus bagi konsumen terhadap semua

variasi produknya, maka konsumen

akan merasa lebih nyaman dalam

bertransaksi dengan TIB Medali Mas.

TIB Sinar Barokah memiliki

calculating risk yang berbeda dengan

pengrajin lainnya. TIB Sinar Barokah

membaca peluang lain secara unik dan

cukup berani dari pada pengrajin lain.

TIB Sinar Barokah selain fokus pada

pembuatan sarung goyor tempo lampau

– untuk mempertahankan konsumen

loyal dari generasi terdahulu – juga

membuat kain tenun siap jadi untuk

pakaian dan shawl dengan beragam

motif yang lebih modern dan trendy.

Melaui kain tenun tersebut, konsumen

tidak perlu lagi mengkombinasikan

bermacam-macam kain maupun

macam-macam motif tenun hanya

untuk membuat satu baju. Kain tenun

praktis tersebut hanya membutuhkan

pemahaman teknik jahit khusus yang

dapat diajarkan oleh pengrajin TIB

Sinar Barokah.

Pada analisis calculating risk,

secara umum pengrajin telah mampu

menghubungkan antara dimensi

opportunity dengan dimensi calculating

risk. Hal tersebut membantu pengrajin

untuk meminimalisir risiko terhadap

pilihan-pilihan peluang yang diambil

dan dijalankan dalam TIB.

Selanjutnya, dimensi keenam

dalam entrepenur marketing adalah

consumer intensity. Consumer intensity

didefinisikan sebagai sebuah cara

perusahaan membangun dan menjaga

hubungan dengan konsumen. Analisis

dimulai dari TIB Kodok Ngorek 2,

secara umum TIB Kodok Ngorek 2

tidak melakukan pendataan konsumen

secara terperinci, pengrajin hanya

menyimpan data nomor telepon

konsumen. Selain itu, TIB Kodok

Ngorek 2 tidak menyediakan tempat

untuk konsumen dapat memberikan

kritik dan saran. Akan tetapi, untuk

membangun hubungan baik, TIB

Kodok Ngorek 2 berusaha melakukan

pelayanan dengan menyediakan jasa

penjahitan dengan berbagai variasi

model dan menjaga kualitas produk.

Teratif sama dengan TIB Kodok

Ngorek 2, TIB Medali Mas juga tidak

melakukan pendataan dan follow-up

terhadap konsumen secara terperinci

karena beraggapan brand TIB Medali

Mas sudah terkenal. Akan tetapi, TIB

Medali Mas menyediakan ruang untuk

konsumen dapat memberikan kritik dan

saran. TIB Medali Mas menilai

Page 164: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

156

hubungan baik dengan konsumen

adalah prioritas utama. Oleh karena hal

tersebut, TIB Medali Mas berusaha

memberikan pelayanan dan kemudahan

fasilitas bagi para konsumennya. TIB

Medali Mas juga menjadi pelopor TIB

good service.

Selanjutnya, TIB AAM Putra dan

Sempurna 2 ternyata juga tidak

melakukan pendataan konsumen secara

terperinci. Akan tetapi, mereka

melakukan follow-up secara berkala

kepada konsumen melalui berbagai

media sosial, seperti WhatsApp, email,

dan BBM, maupun media elektronik,

seperti telepon genggam dan telepon

rumah. TIB AAM Putra dan Sempurna

2 membangun hubungan dengan

konsumen melalui cara pemberian

kemudahan dan fasilitas tertentu, serta

update info produk terbaru bagi para

konsumen. Selain itu,TIB AAM Putra

juga dengan terbuka memberikan ruang

kritik dan saran untuk para

konsumen.Namun, TIB Sempurna 2

tidak menyediakan tempat atau ruang

khusus untuk konsumen yang ingin

memberikan kritik dan saran.

Alasannya, pengrajin TIB Sempurna 2

telah melakukan quality controlsecara

ketat, termasuk pembedaan barang atau

produk jadi sempurna atau tanpa cacat

(kualitas 1) dan terdapat sedikit cacat

(kualitas 2).

Berbeda halnya dengan yang

telah dilakukan oleh sejumlah TIB lain,

TIB Sinar Barokah 1 dan 2 relatif tidak

melakukan pendataan konsumen

secara terperinci, tidak melakukan

follow-up konsumen secara intens, dan

tidak memberikan ruang khusus pada

konsumen yang ingin mengirimkan

kritik dan saran. Mereka percaya bahwa

selama ini produk mereka sangat

minim komplain dari konsumen.

Berdasarkan paparan di atas,

pada dimensi consumer intensity dapat

ditarik kesimpulan bahwa secara umum

para pengrajin belum mampu

melakukan consumer intensity dengan

baik. Hal tersebut terbukti bahwa tidak

semua sistem pendataan dan follow-up

yang dilakukan oleh para pengrajin

terorganisir dengan baik. Selain itu,

tidak semua pengrajin menyediakan

ruang kritik dan saran khusus atau

secara terbuka. Salah satu alasan yang

paling dominan, selain memang minim

kritik, banyak TIB yang

mempertahankankepercayaan sistem

tradisional, yaitu bahwa kritik atau

saran dapat disampaikan secara

langsung kepada pengrajin, tanpa perlu

tempat atau ruang maupun sistem

khusus untuk kritik dan saran.

Berikutnya, analisis dimensi

value creation pada EM. Value

creation didefiniskan sebagai

pemaduan antara nilai-nilai pada

konsumen dan produk untuk

menciptakan keterkaitan antara

konsumen dengan produk tersebut.

Pada dimensi terakhir ini, hampir

seluruh pengrajin – kecuali TIB AAM

Putra dan TIB Sampurna 2 – tidak

melakukan value creation pada

konsumen. Pada dasarnya,value

creation dapat dilakukan dengan cara

memberikan penjelasan terhadap

makna budaya melalui sebuah cerita

dalam produk-produk TIB. Selain itu,

peneliti juga menemukan bahwa value

creation juga tidak dibentuk, bahkan

dengan cara yang paling sederhana,

yaitu labeling pada produk. Para

pengrajin hanya menggunakan totebag

atau kantong plastik yang bertuliskan

nama dan logo pengrajin pada produk,

namun belum atau bahkan tidak

konsisten dalam penempelan label pada

setiap produk kain atau pakain tenun

khas masing-masing pengrajin.

Parahnya, mereka bersedia memberikan

label tertentu kepada para konsumen

loyal maupun konsumen yang membeli

dalam jumlah besar. Mereka

Page 165: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

157

berkeyakinan bahwa hal tersebut

merupakan salah satu cara bisnis yang

sama-sama menguntungkan kedua

belah pihak. Dengan demikian, mereka

dapat dinilai sangat kurang paham

tentang makna esensial serta ekonomis

suatu label dalam sebuah produk.

Sehingga, dimensi value creation

produk kepada konsumen belum

tercapai dengan sebenarnya.

Strategi Penguatan Entrepreneur

Marketing (EM) pada Tenun Ikat

Bandar (TIB)

Analisis SWOT digunakan oleh

peneliti untuk memetakan kekuatan,

kelemahan, peluang dan tantangan

yang dihadapi oleh keseluruhan

Industri TIB Kediri berdasarkan

permasalahan yang telah didefinisikan

terlebih dahulu dalam EM. Tabel 1 dan

2 merupakan Matriks SWOT Industri

TIB Kediri.

Tabel 1. Matriks Faktor Strategi Internal pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri

No. Keterangan Bobot Rating Skor

Kekuatan (Strength) = 0,60

1. Usaha Tenun Ikat Bandar Kidul merupakan usaha turun menurun (warisan) yang

dilestarikan secara terus menerus. 0,1 4 0,4

2. Industri Tenun Ikat menggunakan ATBM untuk menghasilkan kain, sehingga

memiliki nilai hand made otentik yang bernilai tinggi. 0,1 4 0,4

3. Pengrajin Industri TIB selalu berusaha memacu kreativitas dan inovasi. 0,1 3 0,3

4. Pengusaha TIB telah memberikan akses kemudahan dalam pelayanan kepada

konsumen. 0,05 4 0,2

5. Produksi yang dilakukan sudah berorientasi pasar dan konsumen. 0,025 3 0,075

6.

Adanya bentuk inovasi yang beragam dari penggunaan Tenun Ikat selain sebagai

produk kain, yaitu untuk dasi, shawl, sepatu, sarung goyor sambung tengah maupun

tanpa sambung tengah, dan tas, serta pakaianlain sehingga memberikan pilihan

beragam pada konsumen.

0,05 4 0,2

7.

Para pedagang tenun ikat di sentra Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri telah memiliki

koperasi sebagai bentuk ikatan kebersamaan untuk memajukan usaha dengan

simbiosis mutualisme. 0,025 4 0,1

8. Pengusaha telah memperhatikan kesejahteraan karyawannya dengan sangat baik. 0,05 4 0,2

9. Secara umum, pengusaha telah mampu mengkalkulasikan resiko usahanya. 0,05 4 0,2

10. Pengusaha TIB telah melakukan analisis pasar, konsumen, maupunsegmenting,

targeting, and positioning (STP) untuk usahanya. 0,025 4 0,1

11. Teknik marketing yang digunakan pengusaha TIB relatif beragam, seperti personal

selling, direct marketing, dan event marketing. 0,025 3 0,075

2,25

Kelemahan (Weakness) = 0,40

1. Pengusaha Tenun Ikat menggunakan ATBM, yaitu mesin yang terbuat dari kayu

sehingga tidak bisa digunakan untuk produksi massal. 0,1 3 0,3

2. Tidak semua pengusaha TIB melakukan pendataan motif produk tenun ikat yang

dibuatnya. 0,1 3 0,3

3. Pengusaha TIB belum melakukan value creation pada produk mereka. 0,05 4 0,2

Page 166: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

158

4. Pengusaha belum berani mengunakan merek sendiri saat produksi guna memenuhi

kebutuhan pesanan, misalnya untuk produk sarung goyor. 0,05 2 0,1

5. Kurang optimalnya pemanfaatan teknologi internet sebagai salah satu cara

pemasaran produk TIB. 0,05 4 0,2

6. Para pengusaha belum mengelola konsumen dengan baik, misalnya melalui

pendataan dan follow-up pelanggan. 0,05 4 0,2

1,3

Kekuatan – Kelemahan = 0,95

Tabel 2. Matriks Faktor Strategi Eksternal pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri

No Keterangan Bobot Rating Skor

Peluang (Opportunity) = 0,60

1.

Adanya dukungan dari Pemerintah Kota Kediri berupa diterbitkannya Peraturan

Daerah yang mewajibkan para pejabat PNS maupun Non-PNS di lingkup instansi

publik untuk menggunakan seragam berbahan dasar TIB.

0,1 4 0,4

2. Adanya dukungan dari pihak swasta, berupa kemudahan akses permodalan

kepada para pengusaha TIB. 0,05 4 0,2

3. Adanya Permintaan ekspor kain tenun ikat yang semakin tinggi dari luar negeri

(khususnya di Eropa dan Timur Tengah). 0,1 3 0,3

4. Adanya potensi tinggi pada Industri Fashion terhadap produk Tenun Ikat oleh

kalangan menengah atas. 0,05 3 0,15

5. Adanya potensi tinggi terhadap permintaan berbagai produk sovenir TIB di

lingkup lokal. 0,05 3 0,15

6.

Adanya dukungan pemerintah dalam hal peningkatan kapasitas Industri Tenun

Ikat, baik dari segi peningkatan skill pengusaha, karyawan, maupun dukungan

modal dan peralatan (seperti, pemberian ATBM secara gratis).

0,1 4 0,4

7. Adanya permintaan yang selalu tinggi terhadap produk Sarung Goyor dalam

negeri, khususnya saat bulan-bulan Ramadhan. 0,05 3 0,15

8.

Adanya dukungan pemerintah dalam hal pemasaran, misalnya dengan

memfasilitasi pengusaha TIB untuk melakukan sejumlah pameran di berbagai

tempat (lingkup lokal hingga nasional), melakukan training untuk menghasilkan

produk baru maupun teknik pemasaran baru.

0,1 3 0,3

2,05

Ancaman (Threat)= 0,40

1. Penetapan harga jual yang cukup tinggi terhadap produk TIB, sehingga hanya

dapat dijangku oleh kalangan tertentu dan bukan massal seperti kain batik. 0,05 3 0,15

2. Bentuk dan sistem usaha yang masih tradisional, sehingga sulit untuk bersaing di

pasar internasional. 0,1 4 0,4

3.

Adanya persaingan produk tenun ikat di pasaran dengan kain tenun ikat yang

berasal dari luar pulau (misalnya, Jawa Tengah dan Bali), maupun kain songket

(Lombok).

0,05 3 0,15

4.

Adanya sistem produksi yang lebih canggih dengan berbasis pada mesin cetak

(printing) pada usaha tenun ikat luar Kediri (seperti pada Lombok dan Bali),

sehingga kompetitor mampu memproduksi tenun secara massal.

0,1 4 0,4

Page 167: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

159

5. Adanya pesaing dalam usaha tenun ikat bukan mesin, misalnya pengusaha dari

Bandung, Bali dan Lombok. 0,05 3 0,15

6. Produk kain tenun ikat belum memiliki hak paten, sehingga rentan terhadap

penjiplakan. 0,05 4 0,2

1,45

Peluang – Ancaman = 0,6

Strategi penguatan Entrepreneurship

untuk Industri TIB Kediri guna

Menyongsong Era Indonesia Kreatif

dan MEA

Manajemen Inovasi pada Industri

Tenun Ikat Bandar Kidul perlu memiliki

strategi yang melibatkan sigergisitas 3

tingkatan yaitu individu/pengusaha,

kelompok dan juga perusahaan.

Berdasarkan analisis SWOT yang telah

diterapkan sebelumnya, maka strategi

yang sesuai untuk pengaplikasian

penguatan Industri TIB Kediri adalah

Strategi Agresif (Aggresive Strategy)

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar

1. Hal ini dikarenakan posisi industri

Tenun Ikat Bandar Kidul yang berada

pada kuadran 1. Strategi Agresif

merupakan strategi yang memanfaatkan

kekuatan internal guna memperoleh

peluang eksternal. Adapun Strategi

tersebut adalah:

Gambar 1. Grand Strategy dalam SWOT Tenun Ikat Bandar Kidul

Internal

1) Peningkatan Sumberdaya Manusia,

selain pelatihan pembuatan desain

dan motif tenun, pelatihan

kemampuan berbahasa asing, dan

kemampuan bernegosiasi sangat

diperlukan agar dapat menguasai

pasar nasional dan internasional.

2) Peningkatan dan pengembangan

kreativitas dan inovasi para

pengusaha industri TIB harus

dilakukan misalnya dengan

mengajukan hak paten motif khas

Kota Kediri.

3) Pelestarian Industri Tenun Ikat perlu

dilakukan dengan pembentukan nilai

(value creation) yang juga

merupakan daya tarik dari industri

tenun ikat tersebut.

4) Peningkatkan strategi pemasaran

dapat dilakukan dengan

mengoptimalkan seluruh teknik

pemasaran. Penetrasi pasar perlu

dilakukan di tempat baru, seperti

Membuka Gerai di Pare (kampung

Opportunity

Threat

Weakness Strength

Turn

Around

Strategy

Kuadran II

Defensive

strategy

Kuadran III

Aggresive

Strategy

KuadranI

Diversification strategy

Kuadran IV

0,6

0,95

Page 168: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Strategi Penguatan Entrepreneur Marketing pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul di Era Ekonomi Kreatif Indonesia

160

Inggris) dan di kota lainnya seperti

Surabaya, Mojokerto dan Jombang

dan juga membuka koneksi di luar

negeri.

5) Pengoptimalan penggunaan

teknologi pemasaran dilakukan

dengan memanfaatkan dan

mengoptimalkan penggunaan

internet marketing (e-commerce),

dengan demikian pemahaman terkait

dengan hal tersebut perlu dilakukan

dalam bentuk pelatihan.

Eksternal

1) Pengoptimalan fungsi koperasi

dengan manajemen yang baik.

2) Dukungan dari Pemerintah dan

Swasta yang sudah baik perlu lebih

dioptimalkan terhadap industri ini

dari hulu maupun hilir.

Kesimpulan

Secara umum, para pengrajin

pada Industri Tenun Ikat Bandar Kidul

(TIB) Kediri belum memenuhi seluruh

dimensi Entreprenur Marketing (EM).

Namun demikian, berdasarkan Analisis

SWOT dapat diketahui bahwa Industri

TIB Kediri memiliki kekuatan-

kekuatan tertentu. Pertama, karena

produk kain maupun pakaian tenun

yang dihasilkan merupakan produk

otentik dan menjadi ciri khas daerah,

khususnya Kota Kediri. Kedua, Industri

TIB Kediri merupakan salah satu

bentuk industri kreatif yang

menjanjikan dalam era Ekonomi

Kreatif (EK) Indonesia dan juga

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Berbagai upaya yang perlu dilakukan,

secara internal adalah dengan

pengoptimalan kapasitas sumberdaya,

sedangkan secara eksternal melalui

dukungan dari pemerintah, swasta,

akademisi dan seluruh pihak-pihak

terkait lainnya secara lebih intensif

untuk mempromosikan produk TIB

Kediri pada semua generasi di masa

sekarang dan masa mendatang.

Daftar Pustaka

Afif, F. 2012. Pilar-pilar Ekonomi

Kreatif. Jakarta: Binus University.

Andriani, N dan F. Fahminnansih.

2013. Branding Sentra Kerajinan

Tenun Ikat Bandar Kidul. Jurnal

Kreatevitas Vol. 2 No. 2, Juli 2013.

Krauss, S., Harms, R., dan Fink, M.

2009. Entrepreneurial Marketing:

Moving Beyond Marketing in New

Ventures.Netherland: University of

Liechtenstein.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT

Teknik Membedah Kasus Bisnis:

Reorientasi Konsep Perencanaan

Strategis untuk Menghadapi Abad

21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Rezvani dan Khazei. 2013.

Prioritization of Entrepreneurial

Marketing Dimensions a case of in

higher education institutions by

using entropy. International

Journal of Informations, Business

Management, 5(3), 30, 2013.

Educational Reserach and

Multimedia and Publications

Page 169: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

161

PENGEMBANGAN KOMUNITAS BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK

MEWUJUDKAN DESA WISATA

Nur Kholis1, Muhammad Ananda Egy2

[email protected]

Abstract

This study aims to determine local wisdom-based community workshop in order to

realize a tourist village. this research focuses more on the discussion of local

wisdom. Researchers use qualitative description research that analyzes data

processing and explains a phenomenon. Then draw conclusions. Determination of

informants with purposive sampling. The results of the study show that community

development is applied to increase the capacity and capability of the community in

an effort to realize a tourist village. The use of local wisdom includes local

knowledge, local communities, local culture, and local values/norms that are very

much considered in community development effort. Evidence of the success of

community development is the realization of the sustainable Festival Gravitasi Bumi

agenda. Festival Gravitasi Bumi is a impact happening art. This agenda is able to

attract the attention of local, regional, national and international tourist. Every year

the number of visitors increases. Now Ngrayudan is a village for local, regional,

national and international tourist. The multiplayer effect of the success of these effort

is the increasing welfare of the people in Ngrayudan Village.

Keywords: Community Development, Tourist Village, Local Wisdom

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kerja komunitas berbasis kearifan lokal

dalam rangka mewujudkan desa wisata. Penelitian ini lebih berfokus pada

pembahasan kearifan lokal. Peneliti menggunakan penelitian deskripsi kualitatif yang

menganalisis pengolahan data dan menjelaskan suatu fenomena. Kemudian, tarik

kesimpulan. Penentuan informan dengan purposive sampling. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat diterapkan untuk meningkatkan

kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam upaya mewujudkan desa wisata.

Penggunaan kearifan lokal mencakup pengetahuan lokal, komunitas lokal, budaya

lokal, dan nilai / norma lokal yang sangat dipertimbangkan dalam upaya

pengembangan masyarakat. Bukti keberhasilan pengembangan masyarakat adalah

terwujudnya agenda berkelanjutan Festival Gravitasi Bumi. Festival Gravitasi Bumi

merupakan seni yang berdampak. Agenda ini mampu menarik perhatian wisatawan

lokal, regional, nasional dan internasional. Setiap tahun jumlah pengunjung

meningkat. Sekarang Ngrayudan adalah desa untuk turis lokal, regional, nasional dan

internasional. Efek multiplayer dari keberhasilan upaya ini adalah meningkatnya

kesejahteraan masyarakat di Desa Ngrayudan.

Kata Kunci: Pengembangan Komunitas, Desa Wisata, Kearifan Lokal

1,2

Mahasiswa Universitas Jember

Page 170: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

162

Pendahuluan

Pariwisata merupakan salah

satu sektor potensial yang dapat

menunjang perekonomian dan

kesejahteraan masayarakat. Jika suatu

wilayah mempunyai destinasi wisata

yang terkenal dan menarik wisatawan

dari berbagai tempat, maka

berdampak positif bagi kehidupan

masyarakat. Wakil Gubernur Jawa

Timur mengatakan bahwa sektor

pariwisata cukup menjanjikan. Hal ini

dibuktikan dengan kontribusinya

terhadap PDB mencapai Rp106

triliun. Kedepannya, diharapkan

sektor pariwisata bisa ikut mendorong

hadirnya karya baru seniman yang

kemudian menjadi daya tarik

pariwisata (www.kemenpar.go.id).

Hampir setiap kabupaten atau

kota memunculkan destinasi wisata

yang dijadikan ikon daerahnya. Hal

ini disebabkan telah tumbuh

kesadaran pentingnya

memaksimalkan sektor pariwisata.

Sehingga perlu adanya optimalisasi

pemanfaatan destinasi wisata. Situasi

ini yang sekarang dirasakan oleh

masyarakat dan pemerintah desa

Ngrayudan. Sebagai wilayah yang

mempunyai potensi wisata, mereka

berusaha memaksimalkan.

Upaya pengembangan wisata

tumbuh dari kelompok sadar wisata

(POKDARWIS) desa Ngrayudan.

Mereka menyadari bahwa desa

Ngrayudan memiliki potensi wisata

alam dan budaya. Tempat wisatanya

yaitu selondo. Sedikit demi sedikit

mereka berusaha mengembangkan

wisata di wilayah ini.. Mereka

percaya dengan kolaborasi destinasi

wisata alam dan budaya, akan

menarik perhatian pengunjung lokal

maupun mancanegara.

Usaha meningkatkan

popularitas wisata selondo,

POKDARWIS berinisiatif

mengadakan acara Festival Gravitasi

Bumi. Tidak bisa dipungkiri masih

terdapat berbagai hambatan. Meliputi:

kualitas sumber daya manusia minim,

mindset masyarakat cenderung

pragmatis, dan daya dukung berbagai

stakeholder rendah. Implikasinya

potensi wisata, belum bermanfaat

bagi masyarakat.

Konseptualisasi festival

gravitasi bumi didasarkan pada aspek

kearifan lokal. Kearifan lokal yang

dimaksud meliputi pengetahuan,

kebudayaan, sumber daya, dan

keterampilan masyarakat yang

didukung dengan pengembangan

komunitas masyarakat lokal.

Pengembangan komunitas sebagai

solusi minimnya kapasitas dan

kapabilitas masyarakat di bidang

pariwisata. Dengan konsep ini,

masyarakat berkenan berpartisipasi

mulai dari tahap perencanaan,

pelaksanaan, sampai evaluasi. Mereka

merasa memilki acara festival

gravitasi bumi. Masyarakat dipandang

sebagai subjek, bukan objek. Ide atau

gagasan berasal dari masyarakat.

POKDARWIS sebagai fasilitator.

Jadi paradigma yang digunakan

adalah bottom-up.

Festival Gravitasi Bumi ini

satu-satunya di dunia. Cirinya adalah

dengan menyusun batu di dalam

balancing art, diadakan berbagai

acara kesenian dan tumpengan,

berdoa dan makan bersama. Dengan

demikian, “seni kejadian berdampak”

menguatkan kohesisosial untuk

mengatasi masalah nyata. Festival

gravitasi bumi pertama kali

dilaksanakan tahun 2016. Sekarang

festival gravitasi bumi telah

memasuki tahun ketiganya. Setiap

tahun pengunjungnya meningkat.

Page 171: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

163

Spektrum pngunjungnya bahkan dari

mancanegara. Pada tahun 2018,

festival gravitas bumi mendapatkan

penghargaan tingkat Jawa Timur di

bidang wisata dan budaya.

Manfaat festival gravitasi

bumi yaitu meningkatkan popularitas

selondo sebagai destinasi wisata

unggulan di Kabupaten Ngawi,

menghadirkan lapangan pekerjaan

bagi masyarakat, meningkatkan

pendapatan, dan menunjang

kesejahteraan masyarakat. Hal ini

yang menyebabkan festival gravitasi

bumi dijadikan agenda rutin tahunan.

Berbagai stakeholder merasakan

manfaat keberhasilan pelaksanaan

festival gravitasi bumi. Keberhasilan

pengembangan wisata di Desa

Ngrayudan, menarik peneliti untuk

mengadakan penelitian. Dengan

harapan bisa dijadikan referensi

strategi pengembangan wisata di

daerah lain. Penelitian ini membahas

community development berbasis

kearifan lokal guna mewujudkan desa

wisata. Penelitiaan ini lebih

memfokuskan pembahasan tentang

kearifan lokal. Memang terdapat

berbagai penelitian mengenai kearifan

lokal. Tetapi pasti ada unsur endemik

dari kearifan lokal wilayah satu

dengan wilayah lain. Selain itu

penelitian ini memaparkan dan

mendeskripsikan awal mula

tumbuhnya kesadaran komunitas

lokal bernama Kelompok Sadar

Wisata (POKDARWIS) Ngrayudan

tentang potensi wisata.

POKDARWIS Desa

Ngrayudan bekerjasama dengan

Kraton Ngiyom, menginisiasi

implementasi community development

yang melibatkan masyarakat.

Sehingga masyarakat juga tumbuh

kesadarannya terlibat aktif

memanfaatkan potensi wisata yang

ditujukan untuk mewujudkan desa

wisata.

Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan

garis besar konsep penelitian yang

disusun peneliti untuk mendukung

logika berpikir dalam penelitian.Maka

tinjauan pustaka dijadikan sebagai

acuan dasar. Acuan dasar tersebut

adalah teori atau konsep. Tinjauan

pusataka memiliki beberapa tujuan

untuk menginformasikan kepada

pembaca mengenai hasil penelitian

lain yang berhubungan erat penelitian

saat itu, menghubungkan peneliti

dengan referensi yang ada,dan

mengisi celah-celah penulisan

sebelumnya (Creswel, 2013:40).

Konsep atau teori yang

digunakan disesuaikan dengan

fenomena yang terjadi di lapangan

yang dijadikan dasar analisis dalam

penelitian. Dalam pembahasan ini,

penulis menggunakan konsep

community development

(pengembangan masyarakat), local

wisdom (kearifan lokal), dan desa

wisata.

Pengembangan Masyarakat

(Community Development)

Pengembangan masyarakat

merupakan cara memberdayakan

masyarakat untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat itu sendiri.

Menurut Mayo pengembangan atau

pembangunan merupakan usaha

bersama dan terencana untuk

meningkatkan kualitas kehidupan

manusia (Suharto, 2009:39).

Masyarakat dapat diartikan dalam dua

konsep, yaitu masyarakat sebagai

sebuah “tempat bersama” dan

masyarakat sebagai “kepentingan

bersama” . Masyarakat sebagai

sebuah "tempat bersama", yakni

Page 172: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

164

sebuah wilayah geografi yang sama

(Mayo, 1998:162). Sedangkan

masyarakat sebagai "kepentingan

bersama", yakni kesamaan

kepentingan berdasarkan kebudayaan

dan identitas. Pengembangan

masyarakat juga umumnya diartikan

sebagai pelayanan yang

menggunakan pendekatan-pendekatan

yang lebih bernuansa pemberdayaan

(empowerment).

Model Pengembangan Masyarakat

Model Pengembangan

masyarakat atau yang lebih dikenal

dengan model pemberdayaan

masyarakat penting untuk dipahami

dalam menganalisis suatu masyarakat.

Pengembangan masyarakat

merupakan kegiatan yang tidak hanya

dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat namun juga memiliki soft

skill. Sehingga masyarakat

mempunyai kemampuan

meningkatkan cara memenuhi

kebutuhan mereka seperti kreativitas

dan keinovatifan.

Model pengembangan

masyarakat merupakan metode yang

digunakan dalam pengembangan

masyarakat. ada beberapa model

pengembangan masyarakat, namun

disini Tim Penulis memberikan model

pengembangan masyarakat Jack

Rothman yaitu Three Models of

Community Organization Practice

(Suharto, 2009:42-45).

1. Pengembangan Masyarakat Lokal

Pengembangan Masyarakat

Lokal adalah sebuah model dimana

adanya partisipasi dari masyarakat

lokal. Menurut Rothman (dalam

Suharto, 2009: 43) yaitu proses yang

ditujukan untuk menciptakan

kemajuan sosial dan ekonomi bagi

masyarakat melalui partisipasi aktif

anggota masyarakat itu sendiri.

Pengembangan masyarakat lokal

lebih beriorientasi pada “tujuan

proses” (proces goal) daripada tujuan

tugas atau tujuan hasil (task or

product goal). Setiap anggota

masyarakat bertanggung jawab untuk

menentukan tujuan dan memilih

strategi yang tepat untuk mencapai

tujuan tersebut.

2. Perencanaan Sosial

Perencanaan Sosial secara

sederhana dapat kita artikan adalah

tahap persiapan. Menurut Rothman

Suharto,untuk menentukan keputusan

dan menetapkan tindakan dalam

memecahkan masalah sosial (Suharto,

2009:44). Lebih lanjut menurut

Rothman, Perencanaan Sosial lebih

beriorientasi pada “tujuan tugas”

(Task Goal). Perencanaan Sosial juga

berperspektif bahwa masyarakat

sebagai “konsumen” atau “penerima

pelayanan” (Beneficiaries).

3. Aksi Sosial

Aksi Sosial adalah sebuah

tindakan yang bertujuan untuk

perubahan-perubahan sosial pada

masyarakat. Menurut Rothman tujuan

dan sasaran utama dari aksi sosial

adalah perubahan-perubahan

fundamental dalam kelembagaan dan

struktur masyarakat melalui proses

pendistibusian kekuasaan

(distribution of power), sumber

(distribution of resource) dan

pengambilan keputusan (distribution

of decision making) (Suharto,

2009:44-45).

Pengertian Kearifan Lokal (Local

Wisdom)

Salah satu bagian dari modal

sosial adalah kearifan lokal (local

wisdom). Kearifan lokal terdiri dari

dua kata, kearifan dan lokal. Kearifan

Page 173: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

165

artinya kemampuan seseorang dalam

menggunakan akal pikiran untuk

menyikapi sesuatu kejadian, objek,

atau situasi. Sedangkan lokal

menunjukkan ruang interaksi

sehingga menimbulkan suatu

peristiwa. Secara substansial, kearifan

lokal merupakan nilai dan norma

yang berlaku dalam suatu masyarakat

yang diyakini kebenarannya dan

menjadi acuan dalam bertindak

maupun berperilaku sehari-hari.

Kearifan lokal merupakan

kecerdasan manusia yang dimiliki

oleh kelompok tertentu diperoleh

melalui pengalaman masyarakat

(Rahyono, 2009). Definisi tersebut

menunjukkan bahwa kearifan lokal

sebagai hasil budi dan daya dari

masyarakat tertentu melalui

pengalaman hidup yang khas dan

panjang. Sehingga mengkristalkan

nilai-nilai yang melekat kuat pada

masyarakat tertentu yang tidak

dimiliki oleh massyarakat lain. Oleh

karena itu kearifan lokal erupakan

entitas yang sangat menentukan

harkat dan martabat dalam

komunitasnya (Robertson, 1971:165-

217).

Kearifan lokal lazim

dikonseptualisasi sebagai kebijakan

setempat (local wisdom), pengetahuan

setempat, kecerdasan setempat.

Dalam konteks ini, kearifan lokal

yaitu sikap, pandangan, dan

kemampuan suatu masyarakat dalam

mengelola lingkungan yang

memberikan daya tahan dan daya

tumbuh suatu masyarakat di wilayah

tertentu. Dengan kata lain,kearifan

lokal adalah jawaban kreatif terhadap

segala fenomena yang terdapat pada

lingkungan sekitar ( Saini, 2005). Jadi

Kearifan lokal meliputi kebudayaan

lokal, pengetahuan lokal, sumber

daya lokal,dan nilai-nilai lokal yang

dilakukan melalui proses lokal.

Kelompok Sadar Wisata

(POKDARWIS) Desa Ngrayudan

mendayagunakan kearifan local

dalam menerapkan community

development. Dengan didasarkan

kearifan lokal, maka fase community

development berlangsung secara

efektif. Dalam artian kearifan lokal

memudahkan peningkatan kapsitas

dan kapabilitas masyarakat di desa

Ngrayudan. Selain itu, kearifan lokal

sebagai dasar pelaksanaan festival.

Desa Wisata

Desa wisata adalah suatu

kawasan yang berkaitan dengan

wilayah atau kearifan lokal ( adat

istiadat, budaya, potensi) yang

dikelola sebagai daya tarik wisata

sesuai dengan kemampuannya untuk

kepentingan sosial dan ekonomi

(Hermawan, 2016: 107). Sedangkan

pemaparan lain, desa wisata yaitu

komunitas atau masyarakat yang

terdiri dari para penduduk suatu

daerah terbatas yang saling

berinteraksi secara langsung di bawah

pengelolaan dan memiliki kepedulian

maupun kesadaran bersama sesuai

keterampilan dan kapasitas masing-

masing mendayagunakan potensi

secara kondusif untuk menunjang

tumbuh dan berkembangnya

pariwisata serta terwujudnya Sapta

Pesona, sehingga tercapai

peningkatan pembangunan melalui

sektor pariwisata dan bermanfaat bagi

kesejahteraan masyarakat di wilayah

masing-masing

(http://diparda.gianyarkab.go.id)

Dari pemaparan tersebut dapat

disimpulkan bahwa desa wisata

adalah suatu kawasan yang berpotensi

dan dapat dikelola untuk menarik

wisatawan berkunjung ke tempat

tersebut. Dari wisatawan yang

Page 174: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

166

berlibur, maka mendatangkan

keuntungan ekonomi dan sosial.

Desa Ngrayudan sebagai

wilayah yang mempunyai daya

dukung estetika alam dan budaya

berpotensi menjadi desa wisata.

Dengan kolaborasi alam dan budaya,

maka dapat menumbuhkan daya tarik

wisatawan. Jika desa Ngrayudan

mampu diwujudkan sebagai desa

wisata. Manfaatnya menuunjang

terealisasinya kesejahteraan sosial.

Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan

komponen penting dalam sebuah

penelitian. Metode penelitian

mengarahkan pada ide, aturan, dan

pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ilmiah (Newman, 2014:14).

Metode penelitian berfungsi untuk

sebagai landasan untuk menjawab

rumusan masalah suatu penelitian.

Selain itu metode penelitian berguna

untuk sarana memperoleh, dan

menganalisis data-data ilmiah. Maka

kebenaran ilmiah didapatkan setelh

diuji secara ilmiah dan dapat

dipertanggungjawabkan secara

ilmiah. Apabila sebuah kebenaran

belum melewati dua hal tersebut,

maka diragukan keilmiahannya.

Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif dengan jenis

penelitian studi kasus. Secara umum,

studi kasus merupakan strategi yang

lebih cocok dengan pokok pertanyaan

penelitian berkenaan dengan how atau

why. Peneliti hanya memiliki sedikit

peluang untuk mengontrol peristiwa-

peristiwa yang akan diselidiki, dan

fokus penelitiannya terletak pada

fenomena kontemporer (masa kini) di

dalam konteks kehidupan nyata (Yin,

2006 : 1).

Pengumpulan data dalam

penelitian ini diperoleh secara

langsung melalui observasi atau

pengamatan langsung, wawancara

mendalam, perekaman, pemotretan,

dengan informan yang telah

ditetapkan. Uji validitas data dalam

penelitian ini menggunakan

trianggulasi data (sumber) yaitu

pengumpulan data menggunakan

beberapa sumber data untuk

mengumpulkan data yang sama.

Dengan mencari data yang sama

untuk mencari kebenaran dari

masalah dan mengecek kebenaran

suatu informasi pada waktu dan alat

yang berbeda.

Data yang terkumpul dianalisis

dengan menggunakan analisa model

interaktif menurut Miles dan

Huberman . Tahapannya meliputi:

reduksi data, penyajian data serta

penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Penelitian ini dilakukan di desa

Ngrayudan, Kecamatan Jogorogo,

Kabupaten Ngawi. Waktu penelitian

yaitu 1 bulan, dimulai 6 Juli sampai 6

Agustus 2018.

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Demografi

Menurut Suwarno selaku kepala

desa, di Ngrayudan penduduknya

berjumlah tersebanyak 3500 jiwa.

Masyarakat mayoritas bekerja sebagai

petani. Sedangkan sebagian kecil

berprofesi sebagai pegawai negeri

sipil dan wira usaha. Sebanyak 73%

penduduknya hanya lulus sekolah

dasar. Sisanya melanjutkan sampai di

SMP maupun perguruan tinggi.

Kondisi tersebut berimplikasi

rendahnya kualitas sumber daya

manusia dalam pemanfaatan potensi

wisata. Masyarakat cenderung

berpikir pragmatis. Sehingga potensi

wisata yang dapat meningkatkan

pendapatan dan menunjang

Page 175: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

167

kesejahteraan kurang diperhatikan.

Mereka hanya menjalankan rutinitas

seperti biasa. Tidak mengherankan

jika kondisi perekonomian

masyarakat masih banyak

kekurangan.

Mengetahui belum optimalnya

pemanfaatan potensi wisata,

mendorong munculnya gerakan sosial

baru (new social movement) bernama

kelompok sadar wisata (Pokdarwis)

desa Ngrayudan. Komunitas lokal

tersebut sebagai inisiator menerapkan

community development untuk

meningkatkan kapasitas dan

kapabilitas masyarakat dalam

mengidentifikasi dan memanfaatkan

potensi wisata. Dalam penerapannya

didasarkan pada kearifan lokal di desa

Ngrayudan. Apabila usaha

pengembangan masyarakat yang

dikonseptualisasi sesuai kearifan

lokal berhasil diterapkan, maka

Ngrayudan bisa menjadi desa wisata.

Selain itu, masyarakat dan Pokdarwis

mencoba membuat Festival Gravitasi

Bumi (FGB).

Festival Gravitasi Bumi

sebagai perwujudan usaha untuk

memunculkan khas dan popularitas

desa Ngrayudan. Untuk

merealisasikan Festival Gravitasi

Bumi, Pokdarwis bekerja sama

dengan Kraton Ngiyom, masyarakat,

dan pemerintah desa maupun

kabupaten Ngawi. Di Desa

Ngrayudan terdapat variasi pilihan

destinasi wisata. Festival gravitasi

bumi sebagai upaya untuk

mengenalkan wisata di desa

Ngrayudan.

Gambar I. Peta Wisata Ngrayudan

Page 176: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

168

Penerapan Community Development

POKDARWIS desa

Ngrayudan menerapkan model

community development dari Jack

Rothman yaitu Three Models of

Community Organization Practice.

Pertama, pengembangan masyarakat

local. Setiap anggota masyarakat

bertanggung jawab untuk menentukan

tujuan dan memilih strategi yang tepat

untuk mencapai tujuan tersebut. Hal

ini yang diperhatikan dan diterapkan

oleh POKDARWIS. Mereka

menyadari kapasitas dan kapabilitas

masyarakat di desa Ngrayudan.

Sehingga POKDARWIS bekerjasama

dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat bernama Kraton Ngiyom

untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat lokal. Implikasinya

masyarakat sadar potensi wisata

wilayahnya.

Gambar 2. Fase Pengembangan Masyarakat Lokal

Kedua, perencanaan sosial

secara sederhana diartikan tahap

persiapan. Sebelum memutuskan

mengadakan festival gravitasi bumi,

POKDARWIS bersama masyarakat

mengadakan perencanaan sosial.

Bersama-sama merencanakan dan

mempertimbangkan konsekuensi

dalam penyelenggaraan festival

gravitasi bumi sebagai upaya

mewujudkan desa wisata di

Ngrayudan.

Ketiga, aksi Sosial adalah

sebuah tindakan yang bertujuan untuk

perubahan perubahan sosial pada

masyarakat. Warga Ngrayudan

berusaha mengatasi berbagai masalah

terkait usaha pariwisata yang hendak

dikembangkan. Dulu sampah

berserakan di berbagai sudut.

Sekarang sampah yang dahulu

menjadi ciri Bumi Perkemahan

Selondo kini sudah teratasi. Bumi

Perkemahan Selondo dapat disebut

sebagai tempat wisata rakyat paling

bersih di kawasan ini.

Semua proses tersebut

disesuaikan dengan kearifan lokal di

Desa Ngrayudan. Implikasinya

memudahkan penerapan dan

tercapainya tujuan community

development. Hal ini didasarkan

evaluasi banyaknya kegagalan

penerapan community development

Page 177: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

169

yang kurang memperhatikan aspek

kearifan lokal.

Tahap – Tahap Pemberdayaan

Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat atau

pengembangan masyarakat tentunya

bertahap dalam implementasi pada

masyarakat. Proses belajar dalam

pemberdayaan masyarakat akan

berlangsung secara bertahap. Tahap-

tahap yang harus dilalui adalah:

1. Tahap penyadaran dan

pembentukan perilaku

Tahap ini berupa perilaku

menuju sadar dan peduli sehingga

merasa membutuhkan peningkatan

kapasitas diri. Pada tahap ini pihak

POKDARWIS berusaha menciptakan

prakondisi, supaya dapat memfasilitasi

berlangsungnya proses pemberdayaan

efektif. Sentuhan penyadaran akan

lebih membuka keinginan dan

kesadaran masyarakat tentang

pentingnya optimalisasi pemanfaatan

potensi wisata, dengan demikian akan

dapat berlangsung kesadaran mereka

tentang perlunya memperbaiki kondisi

untuk masa depan lebih baik.

Gambar 3. Fase Penyadaran dan Pembetukan Perilaku

2. Tahap transformasi kemampuan

Tahap ini transformasi berupa

wawasan pengetahuan, kecakapan,

keterampilan agar terbuka wawasan

dan memberikan keterampilan dasar

sehingga dapat mengambil peran

dalam pembangunan. Masyarakat akan

menjalani proses belajar tentang

pengetahuan dan kecakapan

keterampilan yang memiliki relevansi

dengan apa yang menjadi tuntutat

kebutuhan tersebut. keadaan ini akan

menstimulasi terjadinya keterbukaan

wawasan dan menguasai kecakapan

keterampilan dasar yang mereka

butuhkan. Pada tahap ini masyarakat

memberikan partisipasi pada tingkat

yang rendah, yaitu sekedar menjadi

pengikut atau saja, belum mampu

menjadi subjek dalam pengembangan

wisata desa.

3. Tahap Pengayaan / peningkatan

kemampuan intelektual

Tahap ini merupakan tahap

terakhir yaitu pengayaan / peningkatan

kemampuan intelektual, kecakapan

keterampilan. Sehingga terbentuklah

Page 178: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

170

inisiatif dan kemampuan inovatif

untuk mengantarkan pada pada

kemandirian. Kemandirian ditandai

oleh kemampuan masyarakat dalam

membentuk inisiatif, melahirkan

kreasi dan melakukan inovasi dalam

memanfaatkan potensi wisata di desa

Ngrayudan. Apabila masyarakat telah

mencapai tahap ketiga ini, maka

masyarakat dapat secara mandiri

melakukan pembangunan atau

pemeran utama. POKDARWIS dan

Kraton Ngiyom tinggal menjadi

fasilitator saja.

Deskripsi dan Manfaat Festival

Gravitasi Bumi

Festival Gravitasi Bumi adalah

sebuah “Seni Kejadian Berdampak”

(Impact Happening Art) yang

diupayakan oleh Kelompok Sadar

Wisata Ngarayudan bersama dengan

LSM Kraton Ngiyom, dengan

dukungan Pemerintah Kabupaten

Ngawin

Festival Gravitasi Bumi

Seloondo sebagai suatu usaha

mengadakan perubahan budaya terkait

pelestraian lingkungan hidup, kesenian

lokal, pengelolaan sampah dengan

cerdas di tempat wisata alam Seloondo

yang berlokasi di Desa Ngrayudan,

Kecamatan Jogorogo, Kabupaten

Ngawi, Jawa Timur. Hal ini yang

menarik antusias wisatawan lokal,

regional, nasional dan internasional.

Upacara Gravitas Bumi

Seloondo mengumpulkan ribuan

anggota masyarakat ke lokasi wisata

alam dan memastikan tidak ada

sampah sebelum, selama, dan sesudah

kegiatan dilakukan. Hal ini dipastikan

dengan menyiapkan masyarakat

setempat dan menggalang Pasukan

Semut, yaitu relawan pemungut

sampah dari usia anak-anak sampai

dewasa.

Gambar 4. Warga masyarakat yang terlibat dalam festival gravitasi bumi

Bentuk kegiatan festival

gravitasi bumi dikemas dengan

melibatkan peran aktif seluruh warga

desa Ngrayudan sehingga tercipta

kohesi sosial yang kuat, jiwa gotong

royong dan rasa memiliki dan

melestarikan wisata Ngrayudan.

Page 179: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

171

Sekarang warga Ngrayudan

berhasil mengatasi berbagai masalah

terkait usaha pariwisata yang hendak

dikembangkan. Sampah yang dahulu

menjadi ciri Bumi Perkemahan

Selondo kini sudah teratasi, dan Bumi

Perkemahan Selondo mungkin boleh

dikatakan sebagai tempat wisata

rakyat paling bersih di kawasan ini.

Multiplayer effect dari

pelaksanaan festival gravitasi bumi

adalah terbukanya lapangan kerja yang

baru dan meningkatnya pendapatan

masyarakat. Wisatawan berkunjung ke

Selondo tidak hanya waktu

pelaksanaan Festival Gravitasi Bumi.

Hal ini mampu menunjang terealisasi

kesejahteraan masyarakat di Desa

Ngrayudan yang didorong oleh sektor

wisata. Kedepannya diharapkan

festival gravitasi bumi tidak hanya

sebatas event unggulan di Kabupaten

Ngawi, tetapi di Jawa Timur.

Kesimpulan

Festival Gravitasi Bumi (FGB)

merupakan bagian dari upaya

pengembangan wisata desa berbasis

kearifan lokal di Ngrayudan. Solusi

permasalahan minimnya kualitas

sumber daya manusia dan mindset

yang cenderung pragmatis yaitu

implemenatasi community

development (pengembangan

masyarakat). Di Ngrayudan, Kearifan

lokal menjadi komponen vital yang

diperhatiakan dalam penerapan

community development. Keberhasilan

Festival gravitasi bumi bermanfaat

bagi sektor wisata desa dan

meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Sekarang Ngrayudan

menjadi desa kunjungan wisatawan

lokal, regional, nasional, dan

internasional. Multiplayer effect

keberhasilan upaya tersebut yaitu

meningkatnya kesejahteraan

masyarakat di Desa Ngrayudan.

Daftar Pustaka

Creswel, J.W. 2009. Research Desigh:

Qualitative, Quantitative, and

Mixed Methods Aproaches. Sage

Publication.

K.M. Saini. 2005 .“Kearifan Lokal DI

Arus Global”. Pikiran Rakyat.

30 Juni.

Newman, W.L. 2014. Social Research

Methods: Quantitative and

Qualitative Aproachhes 7th

Edition. Edinburgh: Pearson

Education Limited.

Robertson, Roland. 1971. Religion in

Java: Conflict and

Integration.‖ In Sociology of

Religion: Selected Readings.

England: Penguine Book.

Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial

sebagai Kebijakan Publik.

Bandung : Penerbit Alfabeta.

Suharto, Edi. 2009. Membangun

Masyarakat Memberdayakan

Rakyat Kajian Strategis

Pembangunan Kesejahteraan

Sosial dan Pekerjaan Sosial.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Susanti, Fitri. 2013. Model

Pemberdayaan Isteri Nelayan di

PKBM Al-Muttaqin Desa Buko

Kecamatan Wedung Kabupaten

Demak. Semarang: Skripsi

Universitas Negeri Semarang.

Hermawan, Hary. 2016. Dampak

Pengembangan Desa Wisata

Nglanggeran Terhadap Ekonomi

Page 180: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Desa Wisata

172

Masyarakat Lokal. Jurnal

Pariwisata. Vol. 3. No.2

Media Online

www.kemenpar.go.id diakses pada

pukul 12. 15 WIB, 29 November

2018

Page 181: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

173

PENGEMBANGAN DESA WISATA MELALUI BUDIDAYA IKAN NILA

(Studi Pengembangan Komunitas Sadar Wisata di Desa Ponggok Kecamatan

Polanharjo Kabupaten Klaten)

Pairan1, Muhammad Via Pratama [email protected]

Abstract

Ponggok Village is one of the Tourism Villages which is now increasingly in demand

by the community. The process of developing a tourist village can be done in various

ways, one of which is by developin fisheries sector that is collaborated with village-

owned enterprises (BUMDES). The purpose of this study is to describe and narrate

the development of tourism villages through tilapia cultivation. The approach of this

research is qualitative with descriptive study type. Determination of informants using

purposive techniques, data collection using the method of observation, interviews,

and documentation. Data analysis techniques with data reduction, data display, and

conclusion. The data validity technique uses source triangulation. The results of this

study indicate that the fisheries sector managed by tourism conscious groups that

work with BUMDES contributes to developing the tourism sector in Ponggok

Village, the success of the fisheries sector was carried out by means of carrying out

several strategies which were followed up with several stages that led to community

participation and then the role of the BUMDES.

Keywords: community development, Badan Usaha Milik Desa, tourism awareness

groups

Abstrak

Desa Ponggok merupakan salah satu Desa Wisata yang kini semakin banyak diminati

masyarakat. Proses pengembangan desa wisata dapat dilakukan dengan berbagai cara

salah satunya dengan mengembangkan sektor perikanan yang dikolaborasikan

dengan Badan usaha milik desa (BUMDES). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mendiskripsikan dan menarasikan pengembangan desa wisata melalui

pembudidayaan ikan nila. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis

penelitian studi diskriptif. Penentuan informan menggunakan teknik purposive,

pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Teknik analisis data dengan reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.

Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa sektor perikanan yang dikelola oleh kelompok sadar wisata yang

bekerja sama dengan BUMDES berkontribusi dalam mengembangkan sektor

periwisata yang ada di Desa Ponggok, keberhasilan sektor perikanan tersebut

dilakukan dengan cara yakni melakukan beberapa strategi yang ditindak lanjuti

dengan beberapa tahapan yang memunculkan partisipasi masyarakat dan kemudian

adanya peran yang dilakukan oleh BUMDES.

Kata Kunci: pengembangan masyarakat, Badan Usaha Milik Desa, Kelompok sadar

Wisata

1 Dosen Universitas Jember

Page 182: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

174

Pendahuluan

Desa selama ini dikenal sebagai

suatu daerah yang tradisional,

pembangunan yang minim dan identik

dengan masyarakat lokal. Perhatian

pemerintah dalam hal pembangunan

daerah khususnya desa terwujud dalam

undang-undang nomor 6 Tahun 2014

tentang desa. Undang-undang ini

mengatur semua tentang desa, mulai

dari pemerintahan desa, badan usaha

milik desa, pemilihan kepala desa

sampai dengan keuangan desa.

Undang-undang tentang desa ini

bertujuan untuk mengatur dan

memberikan kewenangan kepada desa

dalam pelaksanaan pemerintahan di

level paling bawah (Dpr.go.id, 2018).

Desa Ponggok adalah salah satu

desa yang secara administrasi terletak

di kecamatan polanharjo kabupaten

klaten. Desa yang memiliki luas 0,77

km2 dengan jumlah penduduk 2109

jiwa berdasarkan data monografi desa

Ponggok Tahun 2016. Desa yang kini

menjadi tujuan wisata di kabupaten

klaten membuat desa ini mengalami

peningkatan dalam hal pendapatan,

terutama dari sektor pariwisata. Selain

dari sektor pariwisata desa yang kini

juga menjadi salah satu desa

percontohan ini sering menerima studi

banding dari pemerintahan desa lain

dari seluruh Indonesia.

Setiap Desa tentu memiliki

kelebihan dan potensi yang berbeda-

beda, begitu juga dengan Desa

Ponggok ini, salah satu potensi yang

dimiliki adalah sektor perikanan yang

mana di Desa Ponggok dengan sumber

airnya yang melimpah ini dimanfaatkan

untuk pembudidayaan ikan nila.

Pembudidayaan ikan ini sudah ada

sejak dulu dan hampir setiap RT

memiliki kolam-kolam yang

dimanfaatkan. Terdapat tiga RW yang

membudidayakan ikan nila, yakni RW

1, RW, 3 dan RW 4. Pembudidayaan

ikan di tiga RW ini kini dikelola oleh

Kelompok.

Pengelolaan perikanan di Desa

Ponggok dulunya secara mandiri atau

perorangan, namun mulai tahun 2017

ini diubah pengelolaannya secara

kelompok. Kelompok yang mengelola

perikanan ini adalah kelompok sadar

wisata yang terdapat di Tiga RW yang

melakukan pembudiayaan ikan tadi.

Pengelolaan perikanan secara

kelompok oleh kelompok sadar wisata

ini agar pengelolaan perikanan lebih

terorganisir dan lebih mudah untuk

dikembangkan. Berdasarkan fenomena

yang dipaparkan tersebut maka penulis

ingin mengkaji secara ilmiah dan

meneliti mengenai “Pengembangan

Desa Wisata melalui pembudidayaan

ikan Nila”.

Tinjauan Pustaka

Kelompok sadar wisata yang

mengelola perikanan di Desa Ponggok

tersebut bekerja sama atau

berkolaborasi dengan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDES) Tirta Mandiri.

BUMDES Tirta Mandiri merupakan

BUMDES milik Desa Ponggok yang

didirikan pada tahun 2009 yang diatur

dalam Peraturan Desa Nomor 6 tahun

2009 Tentang Badan Usaha Milik

Desa. Pendirian Bumdes juga diatur

oleh Undang-undang no 6 tahun 2014

tentang Desa.

Kolaborasi yang dilakukan oleh

kelompok sadar wisata dan BUMDES

tersebut bertujuan untuk

mengembangkan sektor perikanan,

meningkatkan PAD, mengembangan

usaha BUMDES, dan juga untuk

menjadikan Desa Pongok lebih maju

dan sejahtera. Kelompok sadar wisata

yang mengelola perikanan dan bekerja

sama dengan BUMDES tersebut

menerapkan konsep “community

development”, dimana terdapat usaha

masyarakat yang diintegrasikan dengan

Page 183: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

175

otoritas pemerintah guna memperbaiki

kondisi sosial, ekonomi, budaya

masyarakat.

Berkat Kolaborasi yang

dilakukan tersebut kini sektor

perikanan yang ada di Desa Ponggok

juga semakin berkembang. Selain juga

dampaknya adalah menjadikan desa

Ponggok semakin mengembangkan

wisata yang ada di Desa. Hasil dari

sektor perikanan yang tersebut selain

dijual ke tengkulak luar, juga

dimanfaatkan untuk produk olahan

yang dijadikan oleh-oleh khas desa

Ponggok, kemudian dijadikan sebagai

ticketing untuk wisata Umbul Ponggok,

dan juga dijadikan sebagai ikan

konsumsi di resto Ponggok Ciblon

yang juga merupakan unit usaha

BUMDES.

Kontribusi sektor perikanan yang

pengelolaanya dikelola oleh kelompok

sadar wisata yang bekerja sama dengan

BUMDES ini mengalami hasil dan

juga manfaat baik bagi kelompok

perikanan, BUMDES, dan juga Desa

Ponggok itu sendiri. Salah satu

kontribusi yang memiliki peran dalam

mengembangkan desa wisata di Desa

Ponggok ini adalah sektor perikanan.

Berjalan tidaknya suatu

komunitas, berhasil atau gagalnya

sebuah komunitas dipengaruhi oleh

kompetensi yang dimiliki oleh anggota

dalam komunitas tersebut. Kompetensi

tersebut diwujudkan dengan adanya

komunitas yang kompeten. Menurut

Ndraha (1987:58) dalam soetomo

terdapat empat komponen yang harus

dimiliki dalam komunitas,

komponennya sebagai berikut: (1)

mampu mengidentifikasi masalah dan

kebutuhan komunitas, (2) mampu

mencapai kesepakatan tentang sasaran

yang hendak dicapai dan skala

prioritasnya, (3) mampu menemukan

dan menyepakati cara dan alat

mencapai sasaran yang telah disepakati

bersama, (4) mampu bekerja sama

secara rasioanal dalam bertindak

mencapai sasaran. Jika dalam sebuah

komunitas memiliki kompetensi seperti

diatas maka bukan hal yang mudah jika

sebuah komunitas bisa berkembang dan

mampu mewujudkan tujuan yang ingin

dicapainya.

Terdapat beberapa startegi atau

tema dalam pelaksanaan community

development, namun secara umum

terdapat tiga tema yang dikenal yaitu:

self help, technical assistance, dan

conflict. Tema self help ini menilai

bahwa masyarakat pada dasarnya

memiliki potensi dan kemampuan

untuk mengembangkan potensinya

dengan kekuatannya sendiri, dengan

begitu peran masyarakat itu sendiri

yang berperan penting dalam proses

community development. Pendekatan

jenis ini lebih mengutamakan proses,

sehingga memang lebih lambat

perubahan yang dirasa jika

dibandingkan dengan tema atau

pendekatan yang lain.

Hubungan antara anggota sangat

dijaga dan dipelihara agar terwujud

komunitas yang harmonis dan juga

terintegrasi dengan baik. Adanya

interaksi yang baik, terdapat rasa

solidaritas dan toleransi antar anggota

komunitas itu tadi bisa diarahkan untuk

menjadi modal sosial yang mempunyai

efek lebih besar jika dimanfaatkan dan

dimaksimalkan dalam community

development tersebut (Soetomo,

2010:125).

Salah satu strategi pembangunan

masyarakat adalah pengelolaan sumber

daya berbasis komunitas, dalam

strategi ini peran masyarakat lebih

dominan. Hal tersebut dikarenakan

masyarakat sebagai subjek perubahan

yang melakukan kontrol dan juga

mengelola sumber daya yang ada

secara produktif. Sistem masyarakat

yang seperti ini mendorongnya untuk

Page 184: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

176

mengembangkan potensi yang ada di

sekitarnya dalam rangka pemenuhan

kebutuhan kehidupannya, baik

kebutuhan inidividu maupun kebutuhan

kolektif dalam bermasyarakat. Sumber

daya disini cakupannya cukup luas

meliputi sumber daya berupa air, tanah,

teknologi, energi dan juga manusia.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan jenis

penelitian deskriptif. Lokasi penelitian

berada di Desa Ponggok, Kecamatan

Polanharjo, Kabupaten Klaten.

Sedangkan penentuan informan

menggunakan teknik purposive sebagai

penentuan informan karena informan

ditentukan sesuai kriteria yang terdiri

dari tujuh informan pokok dan lima

informan tambahan. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode observasi non-

participant, dan wawancara semi

terstruktur serta dokumentasi seperti

literatur, dokumen-dokumen yang

resmi, foto-foto, dan sebagainya.

Teknik analisis data dalam

penelitian ini menggunakan Teknik

analisis data menggunakan Miles dan

Hubberman dalam Idrus (2009: 147)

dengan tiga tahap yaitu pengumpulan

data, reduksi data, dan

kesimpulan/verifikasi data. Untuk

teknik keabsahan data menggunakan

triangulasi sumber data dan metode.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Gambaran umum Badan Usaha

Milik Desa (BUMDES) Tirta

Mandiri

Badan usaha milik desa

(BUMDES) Tirta Mandiri di Desa

Ponggok didirikan pada tahun 2009

yang diatur didalam peraturan desa

nomor 6 tahun 2009 tentang Badan

Usaha Milik Desa. BUMDES dalam

menjalankan kegiatannya dapat

mendirikan unit-unit usaha yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan

potensi yang ada, hal tersebut diatur

dalam peraturan menteri desa

pembangunan daerah tertinggal dan

transmigrasi republik indonesia nomor

4 tahun 2015. Berdasarkan AD-ART

yang dimiliki bahwa BUMDES Tirta

Mandiri memiliki sembilan unit usaha.

Unit-unit usaha yang dikelola sebagian

adalah aset-aset Desa Ponggok yang

dikelola oleh BUMDES. Tujuan

pembentukan BUMDES ini adalah

untuk membantu pemerintah desa

dalam menjalankan pemerintahan

khususnya dalam mengelola aset milik

desa, selain itu tujuan yang lain adalah

untuk meningkatkan Pendapatan Asli

Desa (PAD) dari hasil unit-unit usaha

yang dikelola dan dikembangkan oleh

BUMDES.

Gambaran Umum Komunitas

Perikanan

Salah satu mata pencaharian di

Desa Ponggok adalah dari sektor

perikanan. Pembudidayaan ikan nila

yang sudah ada sejak dulu dengan

sistem sewa kolam dan pengelolaan

secara mandiri. Kolam-kolam yang

didapat dari bantuan Dana Alokasi

Khusus oleh pemerintah Desa Ponggok

melalui BUMDES disewakan kepada

warga yang ingin mempergunakan

untuk pembudidayaan ikan. Sistem

sewa tersebut sudah ada sejak tahun

2011 yang dari sistem sewa tersebut

memunculkan pro dan kontra di

masyarakat. Permasalahan tersebut

yang kemudian ditanggapi oleh

BUMDES dan pemerintah desa untuk

membentuk kelompok sadar wisata

(pokdarwis) di Desa Ponggok.

Pembentukan pokdarwis ini yang nanti

juga sebagai pengelola perikanan

secara kelompok. Pokdarwis yang

dibentuk ini terdapat di tiga RW di

Page 185: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

177

Desa Ponggok, yakni RW 1, RW 3,

dan RW 4. Pengelolaan perikanan yang

berubah menjadi kelompok tersebut

yang kemudian memunculkan

spesialisasi di usaha perikanan yang

dijalankan.

Strategi BUMDES dalam

Pengembangan Komunitas

Perikanan

Badan Usaha Milik Desa Tirta

Mandiri dalam menjalankan unit

usahanya tentu memiliki strategi yang

dijalankan. Strategi antara unit usaha

yang satu dengan unit usaha yang lain

tentu tidak sama. Strategi yang

digunakan tersebut disesuaikan dengan

kemampuan dan juga kebutuhan,

penggunaan strategi tersebut bertujuan

agar proses pelaksanaan pengelolaan

unit usaha yang dijalankan bisa

memperoleh hasil yang maksimal.

Salah satu unit usaha BUMDES adalah

sektor perikanan yang dikelola oleh

Pokdarwis. BUMDES mengelola aset-

aset milik desa berupa tanah kas desa,

tanah bengkok dan aset-aset yang lain

untuk dikelola dan dikembangkan oleh

BUMDES. Dengan pengelolaan berada

di bawah BUMDES maka aset-aset

yang dikelola tersebut bisa lebih

memberikan manfaat baik kepada

masyarakat maupun kepada pemerintah

desa dalam hal Pendapatan Asli Desa

(PAD) selain itu juga dapat

dipertanggungjawabkan oleh

BUMDES selaku pengelola.

Dikarenakan BUMDES sudah

besar dalam arti sudah bagus dalam

pengelolaannya dan memiliki sistem

pembiayaan yang baik, oleh karenanya

untuk pengembangan suatu usaha

dikaitkan dengan BUMDES, sehingga

aset-aset milik desa bisa dikembangkan

menjadi sebuah usaha yang benefit

sosial kemasyarakatan. Dengan

dikembangkan oleh BUMDES tersebut

harapannya manfaatnya bisa dirasakan

masyarakat desa Ponggok dan juga

menjadikan masyarakat lebih berdaya.

Strategi yang diterapkan selanjutnya

adalah mengubah sistem yang sudah

berjalan, dimana yang dulunya

menggunakan sistem sewa kolam kini

mulai digeser dengan mengambil alih

kolam dan pengelolaannya diserahkan

langsung kepada BUMDES untuk

dikelola secara kelompok. Perubahan

sistem ini berpengaruh terhadap

pengelolaan dalam hal ini

pembudidayaan juga, yang kini mulai

mengarah ke corporate sesuai dengan

program dari Desa Ponggok.

Perubahan sistem tersebut juga

memiliki dampak pada unit-unit usaha

yang lain, seperti yang dinyatakan oleh

informan AI bahwa kini setiap RW

memiliki unit usaha yang berbeda-

beda, namun meskipun demikian

BUMDES mencoba

mengkolaborasikan dan

mengintegrasikan unit usaha yang

berbeda di tiap-tiap RW tersebut.

Perubahan sistem yang dilakukan

tersebut kemudian kini terdapat

spesialisasi dalam sektor

pembudidayaan ikan. Spesialiasasi ini

dilakukan melihat kemampuan dan

potensi yang ada tiga RW yang

melakukan pembudidyaan ikan yang

dikelola oleh Pokdarwis. Spesialisasi

tersebut adalah kini RW 1 fokus pada

pembibitan ikan saja, sedangkan untuk

pembesarannya dilakukan di RW 3 dan

RW 4 yang memiliki kemampuan

dalam hal persediaan air yang cukup

untuk proses pembesaran.

BUMDES dalam pengelolaan

unit usaha sektor perikanannya,

dibentuk Pokdarwis untuk mengelola

perikanan yang nanti dari segi

permodalan akan ditanggung oleh

BUMDES, sehingga pokdarwis adalah

dari segi pelaksanaannya di lapangan.

Permodalan tersebut mulai pemenuhan

bibit dibiayai oleh BUMDES,

Page 186: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

178

kemudian pada kebutuhan stok pakan

juga BUMDES yang menyediakan.

Salah satu bentuk pengembangan

komunitas perikanan ini adalah hasil

dari pembudidayaan ikan oleh

Pokdarwis ini sebagian diarahkan ke

Ibu-ibu PKK yang tergabung dalam

UKM-UKM yang membuat olahan

berbahan dasar ikan nila. Produk

olahan UKM oleh ibu PKK tersebut

kemudian dipasarkan di minimarket

dan toko desa selain sebagai tiket untuk

masuk wisata Umbul Ponggok. Dari

hal tersebut terlihat strategi yang

dilakukan oleh BUMDES dalam

pengembangan komunitas perikanan

ini adalah mengintegrasikan usaha

perikanan dengan pariwisata yang ada

di Desa Ponggok

Tahapan Intervensi BUMDES

terhadap Pokdarwis

Intervensi dilakukan adalah untuk

mengubah suatu keadaan atau posisi

kearah keadaan atau posisi yang dinilai

lebih baik. Intervensi dapat ditujukan

kepada individu, kelompok, ataupun

masyarakat. kaitannya dengan

penelitian ini intervensi yang dilakukan

oleh BUMDES Tirta Mandiri ini

sasarannya adalah kelompok perikanan

yang kini dikelola oleh Pokdarwis.

Namun secara histori bukan baru-baru

ini BUMDES melakukan intervensi,

melainkan sudah sejak dulu hanya saja

intensitasnya tidak seperti sekarang ini.

Dalam melakukan sebuah usaha

perubahan tentu memiliki tahapan-

tahapan yang dilakukan, begitu juga

dalam proses intervensi yang dilakukan

BUMDES terhadap kelompok

perikanan di Desa Ponggok.

BUMDES Tirta Mandiri telah

mulai melakukan intervensi terhadap

sektor perikanan pada tahun 2011,

yang pada waktu itu kolam-kolam

milik desa pengelolaanya diserahkan

kepada BUMDES. Dengan

pengelolaan oleh BUMDES tersebut

kemudian dijadikan unit usaha

perkolaman dengan sistem sewa

kolam. kolam-kolam DAK tersebut

yang kemudian dikelola oleh

BUMDES lalu disewakan kepada

warga desa Ponggok per tahunnya.

Seiring dengan perkembanganya

Desa Ponggok membentuk kelompok

perikanan lingkup desa yaitu Pokdakan

Bogoraharjo, kelompok perikanan ini

yang mengakomodir dan

mengorganisasi kelompok perikanan di

Desa Ponggok waktu itu. Namun

karena beberapa masalah seperti

meninggalnya pengurus dan tidak eksis

lagi kelompok perikanan ini, lambat

laun kelompok perikanan bogorahrjo

ini sudah tidak aktif lagi, Singkat cerita

pemerintah desa berinisiatif untuk

membentuk kelompok sadar wisata

yang salah satu fokusnya adalah

pembudidayaan ikan tersebut yang

kemudian menggantikan pokdakan

Bogoraharjo. Salah satu langkah yang

dilakukan dalam interevensi terhadap

kelompok perikanan ini adalah

membantuk kelompok sadar wisata di

tiga RW yang fokus pada pengelolaan

perikanan. Kelompok sadar wisata di

tiga RW ini yang kemudian mengelola

kolam-kolam perikanan yang dulunya

disewakan, dengan dikelola oleh

Pokdarwis maka pengelolan perikanan

ini bukan lagi mandiri melainkan

secara kelompok. Warga yang dulunya

masuk kedalam pokdakan bogoraharjo

kemudian ikut gabung dengan

kelompok sadar wisata yang dibentuk

di tiga RW, yakni RW 1, RW 3, dan

RW 4.

Rencana pembentukan pokdarwis

ini sudah ada sejak dulu bahkan

wacana itu sudah ada sejak awal tahun

2017 dan itu sudah mulai

disosialisasikan kepada warga

khususnya penyewa kolam, bahwa

kolam-kolam yang disewa tersebut

Page 187: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

179

sewaktu-waktu akan diambil alih dan

diserahkan kepada pokdarwis untuk

dikelola oleh pokdarwis secara

kelompok. Dan dengan sosialisasi dan

negosiasi tersebut berbuah kesepakatan

oleh warga. Dan output-nya pada

November 2017 dibentuklah pokdarwis

tersebut. Proses intervensi BUMDES

yang dilakukan tidak hanya sampai

disitu saja, melainkan BUMDES

berupaya meningkatkan produktivitas

dan kualitas hasil perikanan di desa

Ponggok dengan cara menjalin kerja

sama dengan Balai Benih Ikan Janti

untuk peningkatan standarisasi

perikanan dan juga bekerja sama

dengan PT.POKPAN dalam hal

penyediakan stok pakan. Kerja sama

dengan pihak luar tersebut dilakukan

dalam upaya intervensi yang dilakukan

BUMDES terhadap pokdarwis selaku

pengelola perikanan.

Pembentukan Pokdarwis pada

bulan November 2017 memang masih

belum lama dalam mengelola

perikanan, Sehingga hasil yang didapat

juga belum maksimal atau dalam arti

peningkatan yang signifikan belum

terlalu terlihat. Pada tahun pertama

berjalan ini memang adalah proses

pembelajaran bagi Pokdarwis dalam

mengelola perikanan secara kelompok

dengan sistem baru dan secara

terorganisir. Hal serupa juga

dinyatakan oleh informan JM pada

kutipan wawancara pada tanggal 24

Juli, bahwa pada proses belajar ini

adalah proses transfer ilmu, transfer

pengetahuan dan juga sebagai proses

manajemen. Dengan proses belajar ini

nanti dapat diketahui kekurangan-

kekurangan dalam proses

pengembangan komunitas ini yang

nantinya kekurangan tersebut bisa

dicari solusi alternatifnya dan dicari

jalan keluarnya, mungkin masalah

indukan, masalah air atau masalah lain

yang menyangkut perikanan. Kutipan

wawancara informan AP sebelumnya

dikuatkan oleh Informan JM tentang

proses pembelajaran pada proses

intervensi yang dilakukan BUMDES

terhadap kelompok perikanan yang ada

di Desa Ponggok ini.

Peran BUMDES dalam

Pengembangan Komunitas

Suatu strategi intervensi yang

dilakukan oleh BUMDES terhadap

pokdarwis dalam upaya pengembangan

komunitas perikanan ini yang

kemudian memunculkan tahapan-

tahapan dalam pelaksanaannya. Dari

tahapan-tahapan tersebut dan proses

intervensi yang dilakukan itu terdapat

peran-peran yang dilakukan oleh

BUMDES, peran dalam hal ini bisa

mencakup lebih dari satu peran, bisa

juga dalam setiap tahapan memiliki

peran yang dilakukan. BUMDES

dalam upaya intervensinya

menganggarkan biaya sebanyak 400

juta dalam unit usaha perikanan ini.

Anggaran tersebut didapat dari hasil

bersih unit usaha bumdes lainnya yang

kemudian diakumulasikan untuk

kemudian didistribusikan untuk setiap

unit usaha di BUMDES. Setiap unit

usaha memiliki anggaran yang

digunakan untuk menjalankan

usahanya tersebut, dan besaran

anggaran antara unit yg satu dengan

unit yang lain tentu berbeda. Terkait

dengan perikanan ini anggaran 400 juta

untuk setahun bisa dikatakan cukup

besar jika dilihat ini adalah lingkup

desa.

Anggaran dari BUMDES sebesar

400 juta tersebut digunakan untuk

membiayai permodalan perikanan yang

dikelola oleh Pokdarwis, hal tersebut

sesuai dengan pernyataan informan RT

tersebut yang menguatkan pernyataan

YY pada kutipan wawancara

sebelumnya. Dengan pembiayaan

dibebankan pada BUMDES maka

Page 188: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

180

kelompok dalam hal ini pokdarwis

tidak pusing-pusing untuk mencari

modal dan pinjaman lagi, sehingga

mereka hanya fokus pada pelaksanaan

di lapangan saja. Dengan permodalan

dari BUMDES tersebut maka hasilnya

nanti menggunakan sistem bagi hasil

dimana hasil bersih nanti akan dibagi

dua untuk BUMDES dan Pokdarwis.

Peran BUMDES dalam hal ini

adalah memfasilitasi pokdarwis dalam

hal permodalan, dan juga dalam hal

kebijakan juga ikut berkontribusi

karena terdapat kebijakan bahwa

sistem bagi hasil tersebut di bagi sama

rata dari hasil bersih yang didapat yaitu

sebesar 50%-50%. Selain itu juga dari

hasil 50% yang masuk ke pokdarwis

itu masih dibagi lagi, yakni 10% masuk

ke kas RW, 10% lagi masuk kas

pokdarwis, dan baru sisanya yakni 30%

dibagikan untuk anggota pokdarwis.

Pembudidayaan ikan yang

dikelola oleh kelompok sadar wisata

yang bekerja sama dengan BUMDES

ini lebih terjamin berdasarkan informan

JM tersebut yang menyatakan bahwa,

dengan bekerja sama dengan

BUMDES pokdarwis lebih mudah

dalam hal pemasaran hasil karena akan

dibantu oleh BUMDES dalam hal

pemasaran. Selain dalam hal

pemasaran, BUMDES juga menjamin

dalam hal penyediaan pakan, sehingga

para petani ikan yang tergabung dalam

pokdarwis ini tidak kesusahan mencari

pakan di luar. Dari hal tersebut dengan

pakan yang diatur, perencanaan waktu,

pengelolaan kolam yang bagus maka

diharapkan hasil yang diapat lebih

maksimal jika mendapatkan intervensi

dari BUMDES Tirta Mandiri.

Beberapa peran yang dilakukan

BUMDES Tirta Mandiri dalam

kaitannya intervensi terhadap

pokdarwis yang mengelola perikanan

di Desa Ponggok ini, peran yang

selanjutnya adalah BUMDES

memberikan fasilitas berupa pemberian

pelatihan pokdarwis sebanyak dua kali,

pelatihan tersebut diadakan di Jogja.

Pelatihan yang pertama adalah

pelatihan tentang pemijahan ikan di

kabupaten Bantul Jogjakarta,

sedangkan pelatihan yang kedua adalah

di Desa Pentingsari Sleman terkait desa

wisata. Dalam tahapan intervensinya

BUMDES melakukan beberapa peran

yang dilakukan guna mendukung

proses intervensi yang dilakukan.

Pembahasan

Desa Wisata merupakan sebuah

wilayah yang yang didalamnya terdapat

suatu potensi masyarakat baik berupa

adat istiadat, kebiasaan, potensi alam,

makanan dan lain sebagainya yang

dikembangkan untuk menarik minat

atau rasa ingin tahu orang lain di luar

wilayah tersebut untuk berkunjung.

Desa wisata kini sedang gencarnya

digalakan oleh pemerintah, terbukti

dengan jumlah desa wisata di Indonesia

saat ini mencapai 987 Desa Wisata

berdasarkan data Kementrian

kebudayaan dan pariwisata.

Ponggok adalah salah satu desa

wisata yang kini banyak diminati oleh

masyarakat sebagai tujuan wisata. Desa

Ponggok merupakan sebuah Desa yang

terletak di kecamatan Polanharjo,

Kabupaten Klaten. Desa yang

memiliki luas 0,77 km2 terdiri dari

pemukiman, persawahan dan kolam-

kolam perikanan. Kelebihan yang

dimiliki oleh Desa Ponggok ini adalah

potensi air yang melimpah, yang

kemudian dimanfaatkan untuk

pariwisata dan juga budi daya ikan nila.

Pembudidayaan ikan nila di desa

Ponggok menjadi salah satu sektor

yang meningkatkan pertumbuhan

ekonomi karena menjadi salah satu

mata pencaharian warga. Sektor

perikanan yang ada di desa Ponggok

sudah ada sejak dulu, namun memang

Page 189: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

181

maksimal dan berkembang seperti

sekarang ini. Sektor perikanan yang

mempunyai prospek bagus kedepannya

ini didukung dengan potensi yang ada

tersebut menjadikan Ponggok masuk

dalam kawasan Desa Mina Politan di

Kabupaten Klaten. Pengelolaan

perikanan yang dulunya dikelola

mandiri kini pengelolaan perikanan di

Desa Ponggok dikelola oleh Kelompok

Sadar wisata. Pengelolaan oleh sadar

wisata ini terdapat di tiga RW yakni

RW 1, RW 3, dan RW 4.

Pengelolaan secara kelompok ini

agar memudahkan dalam

mengorganisir dan mengembangkan

sektor perikanan yang ada. kelompok

perikanan ini merupakan kumpulan

dari petani-petani ikan yang dulunya

mengelola secara mandiri, sehingga

sedikit banyak mereka sudah memiliki

pengetahuan dan pengalaman dalam

membudidayakan ikan nila. Proses

pengelolaan perikanan ini tidak

dilakukan oleh kelompok sadar wisata

saja, melainkan bekerja sama dengan

lembaga desa yakni Badan Usaha Milik

Desa (BUMDES).

Badan usaha Milik Desa

(BUMDES) merupakan lembaga desa

yang mengelola aset-aset milik desa.

salah satu unit usaha BUMDES adalah

sektor perikanan yang kini bekerja

sama dengan kelompok sadar wisata

sebagai pengelola perikanan. Tahun

2011 BUMDES Tirta Mandiri mulai

menggandeng sektor perikanan ini

menjadi unit usahanya yang dulu masih

menggunakan sistem sewa kolam. Baru

tahun 2017 ini dibentuklah kelompok

sadar wisata untuk mengelola

perikanan yang dikolaborasikan dengan

BUMDES. Kolaborasi antara

BUMDES dan kelompok sadar wisata

yang mengelola perikanan tersebut

bertujuan agar bisa mengembangkan

sektor perikanan, mengembangkan

BUMDES, yang nanti output-nya

adalah mengembangkan pariwisata

Desa Ponggok.

Kolaborasi antara BUMDES dan

Kelompok sadar wisata dalam sektor

perikanan tersebut kemudian

memunculkan sebuah strategi

pengembangan, tahapan

pengembangan dan juga peran dari

BUMDES dalam proses

pengembangannya. Namun dalam hal

ini sebelum masuk pada munculnya

peran tersebut terdapat sebuah

partisipasi masyarakat yang

mendukung keberhasilan dari proses

pengembangan sektor perikanan yang

outputnya adalah semakin

mengembangkan geliat pariwisata di

Desa Ponggok.

Strategi BUMDES dalam

Pengembangan Komunitas

Badan Usaha Milik Desa atau

yang biasa disingkat BUMDES adalah

sebuah lembaga ditingkat Desa.

BUMDES adalah lembaga non

pemerintahan sehingga segala urusan

dan kepengurusanya terpisah dengan

struktur kepengurusan pemerintahan

Desa. Tujuan dari dibentuknya

BUMDES adalah untuk membantu

pemerintah desa dalam upaya

peningkatan kesejahteraan

masyarakatnya, selain untuk upaya

peningkatan kesejahteraan tujuan yang

lain adalah untuk peningkatan

Pendapatan Asli Desa (PAD).

Pembentukan BUMDES tersebut

memiliki payung hukum yang kuat

diantaranya adalah undang-undang

nomor 6 tahun 2014 tentang desa, pasal

87 ayat 1 yang menyatakan bahwa

Desa dapat mendirikan Badan Usaha

milik Desa yang disebut BUMDES.

Undang-undang nomor 6 tahun 2014

tersebut merupakan salah satu payung

hukum dalam pembentukan BUMDES

ini. Dengan begitu setiap Desa dapat

mendirikan Badan Usaha Milik

Page 190: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

182

Desanya sendiri-sendiri berdasarkan

aturan dan ketentuan yang berlaku.

Lebih lanjut lagi dalam pembentukan

BUMDES ini harus disesuaikan

dengan kebutuhan dan potensi yang

dimiliki di wilayahnya, dalam artian

desa yang akan membentuk BUMDES

harus melihat potensi yang ada di

wilayahnya dan juga melihat seberapa

dibutuhkannya BUMDES ini dibentuk.

Desa Ponggok yang kini dikenal

dengan Desa Wisata di wilayah Jawa

Tengah ini telah memiliki BUMDES

yang diberi nama BUMDES Tirta

Mandiri, BUMDES Tirta Mandiri

tersebut dibentuk pada tanggal 15

Desember 2009, pembentukan

BUMDES ini diatur dalam Peraturan

Desa Nomor 6 tahun 2009.

Berdasarkan Anggaran Dasar (AD)

BUMDES Tirta Mandiri, bahwa

BUMDES dalam menjalankan

usahanya memiliki unit-unit usaha

yang dikelola dan dikembangkan

berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

Salah satu unit usaha BUMDES Tirta

Mandiri adalah sektor perikanan.

Perikanan dalam hal ini adalah

pembudidayaan ikan nila, Desa

Ponggok merupakan salah satu desa

Penghasil ikan konsumsi di Kabupaten

Klaten. Sektor perikanan juga

merupakan salah satu mata pencaharian

di Desa Ponggok. Para petani atau

pembudida ikan nila di Desa Ponggok

awalnya bersifat mandiri atau sendiri-

sendiri, pada akhir tahun 2017 ini

dibentuklah kelompok sadar wisata

atau yang biasa disebut Pokdarwis oleh

Pemerintah Desa Ponggok, Pokdarwis

ini yang kemudian mengelola

perikanan di Desa Ponggok khususnya

di tiga RW yang membudidayakan ikan

nila yang dikolaborasikan dengan

BUMDES. Pengelolaan yang awalnya

mandiri dengan dibentuknya Pokdarwis

ini maka pengelolaan perikanan di

Desa Ponggok menjadi kelompok dan

lebih terorganisir.

Pembentukan Pokdarwis yang

mengelola perikanan yang kemudian

dikolaborasikan dengan BUMDES

karena sektor perikanan adalah salah

satu unit usaha milik desa adalah salah

satu strategi yang dilakukan dalam

upaya pengembangan komunitas

perikanan di Desa Ponggok. Hal

tersebut menurut pernyataan dari

Soetomo (2010:79) bahwa community

development adalah suatu proses yang

merupakan usaha masyarakat sendiri

yang diintegrasikan dengan otoritas

pemerintah guna memperbaiki kondisi

sosial ekonomi dan kultural komunitas,

mengintegrasikan komunitas ke dalam

kehidupan nasional dan mendorong

kontribusi komunitas yang lebih

optimal bagi kemajuan nasional.

Pembudidayaan ikan merupakan salah

satu mata pencaharian di Desa

Ponggok, yang kemudian oleh

pemerintah desa dibentuklah

Pokdarwis yang dikolaborasikan

dengan BUMDES, dari hal tersebut

terlihat bahwa ada upaya dari

pemerintah untuk mengintegrasikan

antara usaha masyarakat dengan

kebijakan pemerintah yang ada di

dalam BUMDES.

Intervensi yang dilakukan oleh

BUMDES dalam upaya pengembangan

komunitas perikanan ini adalah juga

mengubah sistem yang ada, kini

BUMDES membuat sistem

pembiayaan dalam pembudidayaan

ikan nila dimana permodalan

Pokdarwis dalam mengelola ikan ini

dibiayai sepenuhnya oleh BUMDES,

pembiayaan disini mulai dari

pembelian bibit, penyediaan stok pakan

dan juga membantu dalam hal

pemasaran hasil perikanan. Yang

dulunya karena sistem mandiri petani

ikan harus berusaha sendiri mencari

relasi bibit, pakan dan pasar, kini

Page 191: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

183

dengan berkolaborasi dengan

BUMDES petani ikan yang tergabung

dalam pokdarwis tersebut sudah

terjamin dalam hal bibit pakan dan

pemasaran karena mendapatkan

pembiayaan dari BUMDES. Dengan

pengelolaan yang kepada kelompok

dengan intervensi BUMDES ini maka

pengembangan komunitas perikanan

ini mengarah kepada sistem corporate

sejalan dengan program desa

corporate farm.

Sistem corporate yang dilakukan

prosenya dari awal pembibitan sudah

diatur dengan bibit yang unggul,

kemudian dari pakan juga diatur

dengan lebih jenis pakan, waktu pakan,

sehingga dengan semua diatur dan

mengarah ke corporate tadi maka

proses pembudidayaan bisa dimonitor

dan dievaluasi kekurangannya. Sistem

corporate ini juga yang kemudian

memunculkan sebuah spesialisasi

dalam sektor perikanan ini, spesialisasi

dalam hal ini adalah pembudidayaan

ikan oleh Pokdarwis ini sekarang

dipetakan. Pembudidayaan yang

semula usaha pembesaran saja

sekarang tidak demikian, pokdarwis

RW 1 kini difokuskan untuk

pembibitan atau pembenihan ikan,

kemudian RW tiga untuk pembesaran

ikan, sedangkan RW 4 pembesaran

ikan dengan memaksimalkan sungai.

Spesialiasi yang dilakukan oleh

BUMDES terhadap komunitas

perikanan dalam upaya pengembangan

komunitas tersebut merupakan sebuah

proses belajar yang diartian sebagai

proses interaksi sosial diantara warga

masyarakat dengan lembaga-lembaga

yang ada yang bertujuan untuk

mengembangkan kemampuan mereka

melalui kegiatan-kegiatan pemecahan

masalah yang sering kali dilakukan

melalui trial and error (tjokrowinoto

dalam soetomo, 2010:411). Upaya

Peningakatan kemampuan yang

dilakukan tersebut tidak dilakukan

melalui pendidikan formal melainkan

melalui interaksi dan partisipasi dalam

proses pengambilan keputusan dan

aktivitas bersama antar anggota

komunitas. Interaksi dan proses belajar

tersebut memunculkan gagasan-

gagasan atau ide-ide yang inovatif

sehingga sekalipun gagasan atau ide itu

gagal bukan menjadi suatu masalah

yang besar. Karena inti dari pandangan

ini adalah memberikan kesempatan

kepada komunitas untuk belajar

memecahkan masalah melalui kegitan-

kegiatan yang mereka lakukan.

Berdasarkan strategi yang

dilakukan BUMDES dalam upaya

pengembangan komunitas perikanan,

seperti pengelolaan aset-aset Desa oleh

BUMDES, mengubah sistem

pengelolaan yang awalnya mandiri

kemudian dikelola oleh Kelompok

Pokdarwis, mensinergikan BUMDES

dan Pokdarwis dalam sebuah

kemitraan, mengintegrasikan program

desa corporate farm kedalam

pengelolaan Unit usaha BUMDES

dalam kaitannya perikanan yang

dikelola oleh Pokdarwis, serta strategi

membuat spesialisasi dalam

pembudidayaan perikanan guna

meningkatkan kualitas dan kapasitas

pokdarwis serta hasil yang ingin yang

ingin dicapai. Berdasarkan strategi-

strategi yang dilakukan oleh BUMDES

terhadap komunitas perikanan dalam

upaya community development ini

BUMDES menggunakan sebuah tema

atau model. Tema atau model dalam

pengembangan komunitas salah

satunya adalah self help, menurut

cristenson dan robinson dalam soetomo

(2010:125) menjelaskan bahwa tema

self help dalam community

development ini lebih mementingkan

peningkatan kapasitas anggota

komunitas, pelaku perubahan dalam ini

hanya berperan sebagai fasilitator di

Page 192: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

184

lapangan. Fasilitator yang bertugas

untuk memberi rangsangan dan juga

dukungan kepada komunitas untuk

mengembangkan kapasitasnya dalam

usaha mencapai tujuan secara mandiri.

Tema ini melihat bahwa masyarakat

adalah sebuah aset yang bisa

dikembangkan, selain itu dalam tema

ini juga pemerintah memiliki kaitan

yang erat dengan masyarakat.

Hubungan yang erat tersebut

mewujudkan adanya sinergi dari

pemerintah dengan potensi yang ada di

masyarakat.

Tahapan Intervensi BUMDES dalam

Pengembangan Komunitas

Upaya pengembangan komunitas

yang dilakukan oleh BUMDES ini

sebenarnya sudah dimulai sejak tahun

2011 lebih tepatnya. Sektor perikanan

yang dulunya mendapatkan bantuan

Dana Alokasi Khusus dari

pemerintahan yang kemudian dari

pemerintah Desa Ponggok

menyerahkan pengelolaanya kepada

BUMDES. Pengelolaan kolam

dibawah BUMDES tersebut yang

kemudian disewakan kepada warga

agar digunakan sebagai tempat

pembudidayaan ikan. Pada tahun 2011

adalah tahun awal bagi BUMDES

karena pada tahun itu adalah tahun

ketiga BUMDES berdiri sehingga

belum memiliki sistem pembiayaan

kepada kelompok perikanan, sehingga

pada waktu itu hanya menggunakan

sistem sewa saja. Perkembangan sistem

sewa yang diberlakukan menimbulkan

sebuah pro dan kontra yang ada pada

masyarakat. Kolam-kolam disewakan

pada warga desa Ponggok namun

karena keterbatasan biaya sehingga

mendatangkan investor dari luar yang

membiayai permodalan mereka,

sehingga warga yang mengelola

perikanan ini bagi hasil dengan

investor. Dengan sistem bagi hasil dan

masuknya investor dari luar tersebut

sehingga manfaatnya sedikit banyak

justru dirasakan oleh pihak luar bukan

dari warga Desa Ponggok sendiri.

Melihat kondisi yang seperti itu

pemerintah desa tidak diam begitu saja,

melainkan mencoba mencari solusi

alternatife untuk mengatasi masalah

tersebut. salah satu upaya yang

dilakukan oleh pemerintah Desa pada

waktu itu adalah membentu kelompok

perikanan lingkup desa yaitu Pokdakan

Bogoraharjo. Dengan pembentukan

kelompok perikanan ini menjadi

inovasi untuk usaha perikanan di Desa

Ponggok, sehingga tidak lagi ada

investor dari luar yang membiayai

perikanan bagi warga Ponggok.

Pokdakan yang tidak lagi aktif dan

eksis tersebut yang kemudian membuat

pemerintah desa dalam hal selaku

pemangku kebijakan harus memikirkan

solusi pemecahan masalahnya.

Berdasarkan realita yang terjadi

berkaitan dengan masalah tersebut

yang kemudian pemerintah desa

mencoba mencari solusi dengan cara

mengadakan musyawarah desa yang

melibatkan perangkat desa, pengurus

BUMDES, tokoh masyarakat dan juga

masyarakat Desa Ponggok.

Musyawarah tersebut dilakukan untuk

membicarakan hal-hal yang berkaitan

dengan Desa Ponggok, salah satunya

adalah masalah sektor perikanan

tersebut, dalam musyawarah tersebut

juga dihadiri oleh para warga yang

menyewa kolam. Musyawarah tersebut

akhirnya mendapatkan sebuah

kesepakatan bahwa pengelolaan kolam

yang awalnya mandiri dengan sistem

sewa akan diserahkan pengelolaanya

kepada Pokdarwis dengan dikelola

secara kelompok. Pokdarwis tersebut

dibentuk di tiga RW di Desa Ponggok

dikolaborasikan dengan BUMDES

dalam pengelolaannya.

Page 193: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

185

Tindak lanjut dari proses

musyawarah sebelumnya yang

menghasilkan kesepakatan

pembentukan Pokdarwis yaitu

sosialisasi tentang perubahan

pengelolan kolam perikanan yang

dikelola mandiri tersebut untuk

diserahkan kepada Pokdarwis yang

nantinya pengelolaan perikanan tidak

lagi bersifat mandiri melainkan

kelompok yang dikelola oleh

Pokdarwis tersebut. Sosialisasi tersebut

mulai dilaksanakan sejak awal tahun

2017 kepada warga Desa Ponggok

terutama warga yang menyewa kolam,

tujuan dari dilakukan sosialisasi ini

adalah untuk menyampaikan arah

pengembangan yang dilakukan, dengan

adanya sosialisasi tersebut dapat

menghasilkan pandangan yang sama

tentang pengembangan komunitas

perikanan yang dilakukan. Menurut

Pendapat dari Isbandi Rukminto Adi

(2007:244) bahwa salah satu tahap

dalam intervensi komunitas adalah

tahap persiapan, dimana dalam tahap

persiapan terdapat dua unsur yakni

persiapan petugas dan persiapan

lapangan. Persiapan yang dilakukan

Oleh BUMDES dalam upaya

pengembangannya adalah persiapan

petugas sebagai pelaksana dan juga

persiapan lapangan dalam hal ini

terkait kolam dan sarana yang lainnya.

Interaksi dan komunikasi kepada

masyarakat selaku komunitas sasaran

menjadi hal yang penting karena akan

berpengaruh terhadap proses atau

tahapan yang selanjutnya.

Proses sosialisasi yang dilakukan

sejak awal tahun 2017 tersebut

kemudian diwujudkan dengan pada

bulan November 2017 Pemerintah

Desa Ponggok membentuk kelompok

sadar wisata yang terdiri dari tiga

pokdarwis di tiga RW. Ketiga

pokdarwis tersebut yang kemudian

mengelola kolam-kolam sekaligus

mengelola perikanan yang ada di Desa

Ponggok. Pokdarwis yang dibentuk

oleh pemerintah Desa Ponggok tersebut

berasal dari warga di tiga RW, tiga RW

tersebut adalah RW 1, RW 3, dan RW

4. Sebagian besar anggota pokdarwis

tersebut adalah yang dulunya petani

ikan yang biasa menyewa kolam

kepada BUMDES, namun ada juga

warga yang dulunya bukan petani ikan

ikut bergabung dengan Pokdarwis ini

dan mengelola perikanan secara

kelompok. Pembentukan Pokdarwis ini

adalah bentuk strategi BUMDES dalam

upaya pengembangan terhadap

kelompok perikanan yang ada di Desa

Ponggok. Terkait strategi tersebut

senada dengan salah satu asas

community development sebagai suatu

perencanaan sosial yaitu mensinergikan

strategi komprehensif pemerintah,

pihak-pihak terkait dan partisipasi

warga (fredian Tonny nasdian

2014:46). Pokdarwis yang terdiri dari

warga dari masing-masing RW tersebut

secara tidak langsung adalah salah satu

bentuk melibatkan warga dalam sebuah

komunitas, yang mana salah satu

tujuannya adalah meningkatkan

partisipasi warga.

Langkah selanjutnya yang

dilakukan oleh BUMDES dalam usaha

intervensi terhadap komunitas

perikanan ini adalah menjalin relasi

kepada pihak luar dalam hal ini adalah

PT.Pokpan dan Balai Benih Ikan Janti.

Pt.Pokpan adalah perusahan pakan asal

Thailand, dengan bekerja sama ini

diharapakan dalam hal penyediaan

pakan bisa terjamin dan tercukupi

selain itu Pt.Pokpan ini juga

menyediakan Indukan yang nantinya

digunakan untuk usaha pembibitan.

Kerja sama yang kedua adalah dengan

Balai Benih Ikan (BBI) Janti, bentuk

kerja samanya selain dalam bibit juga

dalam hal standarisasi perikanan

khususnya mulai dari pembibitan

Page 194: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

186

sampai dengan ikan konsumsi. Kerja

sama tersebut merupakan langkah yang

dilakukan BUMDES dalam upaya

meningkatkan kualitas dan kuantitas

hasil perikanan di Desa Ponggok yang

dikelola oleh Pokdarwis. Dalam tahun

pertamanya ini Pokdarwis Rw satu

mendapatkan Indukan dari Pt.pokpan,

indukan itu nanti yang digunakan untuk

usaha pembibitan oleh Pokdarwis RW

satu.

Strategi pengembangan

komunitas yang dilanjutkan dengan

tahapan intervensi tersebut kemudian

memunculkan partisipasi aktif dari

masyarakat. partisipasi tersebut terlihat

baik dari awal mulai perencanaan

sampai dengan tahap pelaksanaan yang

sedang dilakukan. Partisipasi

masyarkat menjadi salah satu aspek

yang mendukung keberhasilan sebuah

program atau upaya perubahan yang

dilakukan. Melibatkan masyrakat mulai

dari perencanaan dan pelaksanaan,

dilakukan bertujuan agar masyrakat

memiki andil dalam perubahan yang

dilakukan. Partisipasi dalam proses

pelaksaan ini terlihat dari

bergabungnya masyarakat di tiga RW

yang ada kedalam kelompok sadar

wisata.

Antusias warga Desa Ponggok

dalam proses pengembangan

komunitas pembudidaya ikan Nila ini

cukup besar, sehingga proses yang

sedang berjalan ini sudah sedikit

menampakkan hasil. Partisipasi

tersebut sebagai salah satu bentuk

pembangunan bottom-up, dengan

bentuk ini kebutuhan dan potensi

warga bisa lebih digali untuk

dikembangkan. Proses pengembangan

yang memunculkan partisipasi

masyarakat yang mendorong

keberhasilan program ini kemudian

menunjukkan terdapat beberapa peran

yang dilakukan oleh BUMDES dalam

kaitanya pelaku perubahan terhadap

Pokdarwis. Peran-peran tersebut

muncul akibat dari adanya strategi dan

tahapan yang memunculkan partisipasi

masyarakat, yang dari partisipasi

masyarakat tadi mendukung

keberhasilan program yang sedang

dijalankan, dengan begitu secara tidak

langsung akan memunculkan beberapa

peran yang dilakukan oleh BUMDES.

Peran BUMDES dalam

Pengembangan Komunitas

Setelah adanya strategi yang

kemudian diwujudkan dengan sebuah

tahapan-tahapan, hal yang kemudian

muncul adalah peran. Peran disini

memiliki kaitan yang erat dengan

tahapan yang sebelumnya telah

dibahas. Peran BUMDES dalam

pengembangan komunitas ini

berpengaruh terhadap keberhasilan

proses intervensi yang dilakukan oleh

BUMDES. Proses pengembangan

masyarakat ataupun pemberdayaan

masyarakat, pelaku perubahan tidak

jarang memainkan beberapa peran

sekaligus, tergantung dengan situasi

dan kondisi. Bukan tidak jarang bahwa

setiap tahapan intervensi tersebut

memiliki peran masing-masing. Tidak

terkecuali yang dilakukan oleh

BUMDES Tirta Mandiri dalam

pengembangan komunitas perikanan

ini, juga melakukan beberapa peran

dalam proses intervensinya.

Kerja sama yang dijalin oleh

BUMDES dengan Pt.Pokpan dan Balai

Benih Ikan Janti tersebut merupakan

salah satu bentuk dukungan dari

BUMDES terhadap komunitas

perikanan yang ada di Desa Ponggok.

Pemberian dukungan tersebut yang

dapat memberikan stimulus bagi

pokdarwis agar lebih giat dalam

mengelola perikanan di setiap RW.

Usaha berupa pemberi dukungan itu

yang kemudian memunculkan sebuah

peran yang dilakukan oleh BUMDES

Page 195: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

187

dalam pelaksanaannya, peran yang

dilakukan dalam hal ini adalah peran

fasilitatif. Hal tersebut dikuatkan

pendapat Ife dalam Isbandi Rukminto

Adi (2007:92) bahwa terdapat peran-

peran fasilitatif dalam community

development, terkait usaha yang

dilakukan BUMDES dalam menjalin

kerja sama tersebut masuk kedalam

peran Pemberi Dukungan. Peran ini

melihat bahwa diperlukan usaha untuk

menyediakan dan mengembangkan

dukungan terhadap warga yang mau

terlibat dalam struktur dan aktivitas

komunitas. Lebih lagi dukungan disini

tidak selalu bersifat ekstrinsik, akan

tetapi juga bisa bersifat intrinsik.

Seperti yang sudah dijelaskan

dalam sub bab sebelumnya tentang

strategi BUMDES dalam

pengembangan komunitas, bahwa salah

satu strategi yang dilakukan adalah

membuat spesialisasi terhadap

komunitas perikanan yang ada di Desa

Ponggok. Sebagai pengingat bahwa

spesialisasi yang dilakukan adalah

dengan membuat usaha baru yakni

dalam hal pembibitan yang dilakukan

oleh RW 1, yang kemudian usaha

pembesaranya dilakukan di RW 3 dan

RW 4, lebih lanjut lagi bahwa

spesialisasai dan pembentukan

Pokdarwis masih terhitung baru dalam

pelaksanaannya. Spesialisasi perikanan

dalam proses intervensi BUMDES

adalah sebagai bentuk konkrit dari

BUMDES dalam menjalankan

perannya dalam community

development seperti yang disampaikan

Ife dalam Isbandi Rukminto Adi

(2007:93) yakni peran dalam

mengorganisasi, dalam pelaksanaannya

pelaku perubahan dalam hal ini adalah

BUMDES harus memiliki keterampilan

dalam hal mengorganisasi kelompok,

melihat apa saja yang dibutuhkan oleh

kelompok, serta hal-hal apa yang saja

yang mungkin bisa diwujudkan oleh

kelompok.

Intervensi yang dilakukan

BUMDES terhadap pokdarwis yang

mengelola perikanan ini juga didukung

dengan kebijakan dari BUMDES yang

mana dalam Rancangan Anggaran

Biayanya di anggarkan sebanyak 400

juta untuk tahun 2018 ini yang

dikhususkan untuk sektor perikanan

ini. Anggaran sebanyak itu digunakan

oleh BUMDES untuk permodalan

dalam hal pembelian bibit dan indukan,

serta pembelian pakan. Anggaran yang

cukup besar untuk sekop desa bagi

sebuah unit usaha yang dikelola oleh

BUMDES. Dengan permodalan yang

dibiayai oleh BUMDES tersebut maka

pokdarwis selaku pengelola perikanan

hanya modal “tenaga saja”. Intervensi

yang kaitannya dengan pembiayaan ini

merupakan salah satu bentuk peran

BUMDES dalam upaya pengembangan

komunitas perikanan, sama halnya

dengan yang dijelaskan sebelumnya

tentang kerja sama dengan Pt.Pokpan

dan Balai Benih Ikan Janti, dalam hal

permodalan atau anggaran ini

BUMDES melaksanakan peran

fasilitatif meurut Ife dalam Isbandi

Rukminto Adi (2007:92), peran

tersebut adalah sebagai pemberi

dukungan yang dalam hal ini adalah

bersifat material dalam bentuk

anggaran.

Strategi yang dijalankan

BUMDES dalam upaya intervensi

terhadap Pokdarwis tersebut yang kini

telah membuahkan hasil dan sedikit

banyak bagi perkembangan komunitas

perikanan pada khususnya dan

masyarakat Ponggok umumnya.

Perkembangan yang jelas dirasakan

adalah dalam hal bagi hasil, pokdarwis

dalam mengelola perikanan yang

mendapatkan sistem permodalan dari

BUMDES ini kemudian untuk hasilnya

adalah sistem bagi hasil dengan

Page 196: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

188

BUMDES, dalam kesepakatan awal

dulu ketika rapat bahwa hasil bersih

yang didapatkan akan dibagi dua 50%

untuk BUMDES dan 50% lagi untuk

Pokdarwis. Berdasarkan dengan sistem

pembagian hasil yang disepakati dan

diatur tersebut terlihat bahwa Peran

BUMDES dalam hal ini adalah sebagai

social planner seperti pendapat dari

Zastrow dalam isbandi Rukminto adi

(2007) bahwa sebagai social planner

berperan mengumpulkan fakta-fakta

tentang masalah sosial dan

menganalisis fakta-fakta tersebut serta

menyusun alternatif tindakan yang

rasional dalam menangani masalah

sosial tersebut, sebagai social planner

focus pada keterlibatan dalam tugas-

tugas pengembangan dan

pengimplementasian program.

Kaitannya dengan bagi hasil, bahwa

BUMDES membuat suatu sistem

dimana dengan sistem yang dirancang

dan disepakati tersebut bagi hasil yang

diterapkan sedikit banyak bisa di

dinikmati oleh warga ponggok

khususnya yang tergabung dalam

pokdarwis tersebut, karena dalam

sistem bagi hasil tersebut diatur bahwa

sebagian hasil masuk ke Kas RW dan

kas Pokdarwis.

Proses intervensi yang bertujuan

untuk mengembangkan sektor

perikanan yang ada di Desa Ponggok

yang dilakukan oleh BUMDES

terhadap Kelompok sadar wisata

tersebut memiliki peran dan kontribusi

terhadap sektor pariwisata dan semakin

mengembangkan potensi desa wisata

yang dimiliki oleh Desa Ponggok.

Sektor perikanan juga sebgai

pendorong berhasil atau suksesnya desa

wisata yang ada di Desa ponggok.

Desa wisata merupakan satu

kesatuan yang saling terintegrasi dan

berkaitan, terdapat beberapa hal yang

bisa dikembangkan dan

dikolaborasikan di setiap daerah yang

memiliki potensi yang berbeda-beda.

Desa Ponggok melakukannya dengan

mengintegrasikan sektor perikanan

yang sudah ada untuk dikolaborasikan

dengan BUMDES guna mencapai hasil

maksimal sehingga manfaatnya atau

output-nya juga akan meningkatkan

pariwisata yang ada di Desa Ponggok,

dan semakin mengembangkan Desa

Ponggok menjadi Desa Wisata yang

diakui nasional.

Kesimpulan

Desa wisata merupakan sebuah

kesatuan antara berbagai unsur baik

sosial, ekonomi, budaya, geografis dan

lain sebagainya. Upaya mengembangan

desa wisata dapat dilakukan melalui

salah satu unsur yang dikolaborasikan

dengan unsur lain agar tujuan yakni

mengembangkan desa wisata dapat

tercapai dengan mudah. Desa Ponggok

melakukannya dengan

mengembangkan sektor perikanan yang

dikolaborasikan dengan BUMDES.

Proses pengembangan yang

dilakukan tersebut memiliki strategi

yang dilakukan, berupa mengubah

sistem pengelolaan, sistem

pembiayaan, membuat spesialisasi dan

mengintegrasikan dengan unit usaha

yang lain. Dari strategi yang dijalankan

tersebut terdapat peran yang dilakukan

mulai dari analisis masalah, yang

dilanjutkan dengan musyawarah, hasil

musyawarah tersebut kemudian

ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan

pembentukan kelompok sadar wisata.

Strategi dan tahapan

pengembangan tersebut yang kemudian

memunculkan peran aktif dari

masyarakat dan ikut berpartisipasi

dalam prosesnya. Partisipasi aktif dari

masyarakat inilah yang kemudian

menjadi pendorong atau kunci

keberhasilan dari proses

pengembangan yang dilakukan.

Page 197: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

189

Adanya partisipasi masyrakat yang

mendukung pengembangan itu

kemudian memunculkan peran dari

BUMDES dalam proses

pengembangan yang dilakukan

terhadap kelompok sadar wisata. Peran

yang dilakukan diantaranya, peran

pengorganisasian, peran permodalan,

peran fasilitatif dan peran edukasi.

Seperti yang dijelaskan di awal

bahwa sektor perikanan ini memiliki

kontribusi terhadap sektor pariwisata

yang ada di Desa Ponggok. Sektor

perikanan menjadi pendorong dalam

hal meningkatkan sektor pariwisata dan

semakin mengembangkan desa

Ponggok sebagai Desa Wisata tingkat

nasional.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang

telah dijelaskan diatas, maka perlu

adanya saran terkait pengembangan desa

wisata melalui pembudidayaan ikan nila,

saran tersebut diantaranya:

1. Meningkatkan kerja sama antara

BUMDES dan Pokdarwis sehingga

hasil dan tujuan yang ingin dicapai

bisa maksimal.

2. Melakukan evaluasi terkait

kekurangan selama proses

pengembangan yang dilakukan.

3. Perubahan dari hasil

pengembangan desa wisata melalui

pembudidayaan ikan nila ini bisa

diteliti lebih lanjut untuk

mendapatkan sebuah hasil yang

bisa menjadi sumber penelitian

dengan tema yang sama.

Daftar Pustaka

Adi, I. R. 2007. Intervensi Komunitas

pengembangan masyarakat sebagai

upaya pemberdayaan masyarakat.

Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Edi Suharto, P. 2014. Membangun

Masyarakat Memberdayakan Rakyat.

Bandung: PT Refika Aditama.

Herdiansyah. 2013. wawancara observasi

dan fokus Groups sebagai instrument

penggalian data kualitatif. Jakarta:

Rajawali Press.

Huraerah, A. 2008. Pengorganisasian dan

pengembangan masyarakat. Bandung:

Humaniora.

Moleong, L. J. 2016. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Nasdian, F. T. 2014. Pengembangan

Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Soetomo. 2010. Strategi-Strategi

Pembangunan Masyarakat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Coristya Berlian Ramadana, Heru

Ribawanto, Suwondo. Keberadaan

Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)

Sebagai Penguatan Ekonomi Desa.

Jurnal Administrasi Publik (JAP),

Vol. 1, No. 6, Hal. 1068-1076 | 1068.

Aditya Sigit Purnomo. 2018. Tinjauan

Yuridis Badan Usaha Milik Desa

(Bumdes) Tirta Mandiri Klaten.

Page 198: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Desa Wisata melalui Pembudidayaan Ikan Nila

190

Page 199: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

191

PLURALISME DAN WISATA ALAM SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI

DESA WISATA KEBANGSAAN WONOREJO SITUBONDO

Pramesi Lokaprasidha1

[email protected]

Abstract

The diversity found in Kebangsaan village does not hinder the harmony among the

people. Moreover, it becomes an attraction for tourists who come to visit. Despite

this diversity not only in Kebangsaan village, but what happens here remain a

memorable lesson on every tourist who comes to visit. Travellers who attended

Kebangsaan village visited mostly stopped after visiting Baluran National Park.

Therefore, the village has also become important for the public and tourists can see

the attraction that offers natural beauty, as well as social diversity where God's

creation can be maintained in the presence of harmony and diversity remain intact.

Kebangsaan village has a very strong potential to become a leading tourist

destinations. One thing that stands out is all the diversity inter-religious are highly

conserved, except that this destination is supported by their natural and cultural

attractions are no less beautiful with other tourist destinations.

Keywords: Kebangsaan Village, Pluralism, Tourism Destination, Wonorejo

Abstrak

Keberagaman yang terdapat di Desa Kebangsaan tidak menghalangi kerukunan antar

penduduk. Terlebih lagi ini menjadi sebuah atraksi tersendiri bagi wisatawan yang

datang berkunjung. Walaupun keberagaman ini tidak hanya terdapat di desa

Kebangsaan, namun apa yang terjadi disini tetap menjadi subuah pelajaran yang

berkesan pada setiap wisatawan yang hadir berkunjung. Wisatawan yang hadir

berkunjung ke desa Kebangsaan kebanyakan singgah setelah mengunjungi Taman

Nasional Baluran. Oleh karena itu, desa ini juga menjadi penting karena masyarakat

dan wisatawan dapat melihat atraksi yang menawarkan keindahan alam, serta

keberagaman sosial dimana penciptaan Tuhan bisa terjaga dengan adanya kerukunan

dan keberagaman yang tetap utuh. Desa Wisata Kebangsaan memiliki potensi yang

sangat kuat untuk menjadi destinasi wisata unggulan. Salah satunya yang menonjol

adalah kebhinekaan antar umat beragama yang sangat terjaga, selain itu destinasi ini

didukung oleh adanya atraksi budaya serta alam yang tak kalah indahnya dengan

destinasi wisata yang lain.

Kata Kunci: Desa Kebangsaan, Pluralisme, Destinasi Wisata, Wonorejo

1 Dosen Universitas Jember

Page 200: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

192

Pendahuluan

Pada dasarnya pariwisata

merupakan suatu kebutuhan dasar

manusia. Banyak alasan orang untuk

melakukan wisata, seperti kesehatan,

kesenangan, pendidikan agama,

kebudayaan, hobi, olahraga,

konferensi, seminar, dan lain-lain.

Selanjutnya dalam perkembangannya,

pariwisata saat ini dan masa

mendatang telah tumbuh dan

berkembang menjadi suatu industri

yang berdiri sendiri. Banyak negara

telah memanfaatkan pariwisata untuk

meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya termasuk Indonesia.

Desa Wisata Kebangsaan

merupakan sebuah desa yang terletak

di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten

Situbondo - Jawa Timur. Desa

Kebangsaan ini terpilih sebagai desa

yang diproyeksikan sebagai desa

wisata di kabupaten Situbondo. Desa

Wisata ini juga merupakan desa

penyangga Taman Nasional Baluran.

Desa Wonorejo diresmikan menjadi

Desa Wisata pada tanggal 2 Mei 2015

oleh Bupati Situbondo. Desa ini

terpilih menjadi Desa Wisata

Kebangsaan karena kerukunan umat

beragama, yaitu masyarakatnya yang

terdiri dari berbeda suku, ras serta

keyakinan dapat hidup rukun dan

harmonis.

Desa yang berpenduduk lebih

dari 6.595 jiwa ini memiliki mata

pencaharian sebagai petani, nelayan,

hingga pegawai negeri sipil. Warga

Desa Wonorejo sendiri telah

diberikan penyuluhan oleh pemerintah

daerah Situbondo mengenai pariwisata

guna mengelola dan mengembangkan

Desa Wisata Kebangsaan. Mereka

telah dibekali keterampilan untuk

menjadi guide atau pemandu wisata,

hingga mengembangkan kreativitas

untuk membuka UKM berupa

souvenir untuk wisatawan. Dalam hal

pembangunan desa, masyarakat selalu

bekerja sama dan berkoordinasi

dengan instansi yang terkait sehingga

pembangunan yang dilakukan selalu

berkesinambungan. Selain itu, Desa

Kebangsaan ini juga memiliki

kesenian khas yang ditampilkan

setahun sekali. Kesenian tersebut

antara lain adalah Tumpeng Sewu dan

Petik Laut.

Dari hal ini banyak faktor yang

turut menentukan marketable atau

tidaknya suatu tempat wisata,

termasuk infrastruktur dan lingkungan

budaya setempat. Promosi mengenai

objek wisata juga dapat membuat para

calon wisatawan membandingkan

berbagai pelayanan yang ditawarkan

oleh tempat wisata yang satu dengan

yang lainnya. Selain itu fasilitas jalan

termasuk juga salah satu faktor yang

sangat penting bagi sektor pariwisata.

Aksesibilitas untuk mencapai suatu

objek wisata akan mempengaruhi

wisatawan untuk berkunjung ke

tempat wisata.

Dalam upaya lebih

meningkatkan jumlah pengunjung,

pengelola hendaknya dapat memenuhi

tuntutan keinginan konsumen yang

berubah dan cenderung meningkat

yang akhirnya akan berpengaruh

terhadap keputusan konsumen dalam

melakukan kunjungan. Dari berbagai

pustaka dan wawancara yang

dilakukan dengan pengelola Desa

Wisata Kebangsaan didapatkan,

bahwa belum ada penelitian yang

berkaitan dengan karakteristik

wisatawan dan pengelolaan destinasi

sebagai daya tarik wisata, dalam

memenuhi tuntutan pasar yang selalu

berubah. Maka dari itu perlu dilakukan

penelitian mengenai hal tersebut.

Page 201: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

193

Tinjauan Pustaka

Pemasaran

Pemasaran jasa adalah setiap

tindakan atau kegiatan yang dapat

ditawarkan oleh satu pihak kepada

pihak lain, pada dasarnya tidak

berwujud dan tidak mengakibatkan

kepemilikan apapun. Produksi jasa

mungkin berkaitan dengan produk

fisik ataupun tidak (Kotler 1997).

Sedangkan unsur elemen yang harus

diperhatikan dalan pemasaran jasa

menurut Lupiyoadi (2001) adalah:

1. Produk (product)

Produk adalah keseluruhan konsep

atau proses yang memberikan

sejumlah nilai manfaat kepada

konsumen. Yang perlu

diperhatikan dalam produk adalah

konsumen tidak hanya membeli

produk fisik dari produk itu saja

tetapi membeli manfaat (benefit)

dan nilai (value) dari produk yang

disebut penawaran (supply),

terutama pada produk jasa yang

kita kenal tidak menimbulkan

beralihnya dari penyedia jasa

kepada konsumen.

2. Harga (price)

Strategi penentuan harga (pricing)

sangat signifikan dalam pemberian

nilai (value) kepada konsumen dan

mempengaruhi gambaran (image)

jasa yang ditawarkan, serta

keputusan konsumen untuk

mengambil jasa tersebut. Strategi

penentuan harga jasa juga

berhubungan dengan pendapatan

dan turut mempengaruhi

persediaan atau distribusi. Akan

tetapi, yang paling penting adalah

strategi penentuan harga harus

konsisten dengan strategi

pemasaran secara keseluruhan.

3. Tempat (place)

Place dan services menrupakan

gabungan antara tempat dan

keputusan atas seluruh distribusi,

dalam hal ini berhubungan dengan

bagaimana cara penyampaian jasa

kepada konsumen dan di mana

tempat yang strategis.

Tempat berarti berhubungan

dengan di mana perusahaan harus

bermarkas dan melakukan operasi.

Dalam hal ini ada tiga jenis

interaksi yang mempengaruhi

tempat, yaitu:

Konsumen mendatangi

pemberi jasa

Pemberi jasa mendatangi

konsumen

Pemberi jasa dan konsumen

tidak bertemu.

4. Promosi (promotion)

Beberapa hal yang eperlu

diperhatikan dalam promosi adalah

bauran promosi (promotion mix).

Promotion mix terdiri dari :

Iklan (advertising)

Penjualan ( personel selling)

Sales promotion

Public relation

World of mouth

Direct mail.

Marketer dapat memilih sarana

yang dianggap sesuai untuk

mempromosikan jasa mereka, ada

beberapa faktor yang harus

diperhatikan dalam promosi, yaitu:

a. Identifikasi dahulu target

audience-nya, hal ini

berhubungan dengan

segmentasi pasar.

b. Tentukan tujuan promosi,

apakah untuk

menginformasikan,

mempengaruhi, atau untuk

meningkatkan.

c. Pengembangan pesan yang

disampaikan, hal ini

berhubungan dengan isi pesan

(what to say), struktur pesan

(how to say it logically), gaya

pesan (creating a strong

Page 202: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

194

presence), sumber pesan (how

should develop it).

d. Pemilihan bauran komunikasi,

apakah itu personal

communication atau non-

personal communication.

5. Manusia (people)

Dalam hubungannya dengan

pemasaran jasa, maka people yang

berfungsi sebagai service provider

sangat mempengaruhi kualitas jasa

yang diberikan. Keputusan dalam

people ini berarti berhubungan

dengan seleksi, training, motivasi,

dan manajemen sumber daya

manusia.

Untuk mencapai kualitas yang

terbaik maka pegawai harus dilatih

untuk menyadari pentingnya

pekerjaan mereka, yaitu

memberikan konsumen kepuasan

dalam memenuhi kebutuhannya.

Penting people dalam pemasaran

jasa berkaitan erat dengan internal

marketing. Internal marketing

adalah interaksi atau hubungan

antar setiap karyawan dan

departemen dalam suatu

perusahaan yang dalam hal ini

dapat diposisikan sebagai internal

costumers dan internal supplier.

Tujuan dari adanya hubungan

tersebut adalah untuk mendorong

people dalam kinerja memberikan

kepuasan kepada konsumen.

6. Proses (process)

Proses merupakan gabungan

semua aktivitas, umumnya terdiri

dari prosedur, jadwal pekerjaan,

mekanisme, aktivitas dan hal-hal

rutin, di mana jasa dihasilkan dan

disampaikan kepada konsumen.

Proses daapat dibedakan

menjadi 2 cara yaitu:

Complexity, hal ini

berhubungan dengan langkah-

langkah dan tahap dalam

proses

Divergence, berhubungan

dengan adanya perubahan

dalam langkah atau tahap

proses.

7. Bukti Fisik (physical evidence)

Bukti fisik adalah lingkaran fisik

perusahaan tempat perusahaan

diciptakan dan tempat penyedia

jasa dan konsumen berinteraksi,

ditambah elemen tangible apa saja

yang digunakan untuk

mengkomunikasikan untuk

mendukung peranan jasa itu.

Dalam bisnis jasa, pemasar perlu

menyediakan bukti fisik untuk

dimensi intangible jasa yang

ditawarkan perusahaan, agar

mendukung positioning dan image

serta meningkatkan lingkup

produk (product surround).

Bukti fisik dalam bisnis jasa dapat

dibagi menjadi dua tipe:

Bukti penting (essential

evidence): merupakan

keputusan kunci yang dibuat

penyedia jasa tentang desain

dan lay-out suatu bangunan,

ruang dan lain-lain.

Pereperal evidence:

merupakan nilai tambah yang

apabila berdiri sendiri tidak

akan berarti apa-apa. Jadi

hanya berfungsi sebagai

pelengkap saja, sekalipun

demikian peranannya sangat

penting dalam proses produksi

saja.

Pengelolaan dan Pengembangan

Daya Tarik Wisata

Secara umum, Erickson (2001)

menyatakan bahwa terdapat 6 tahapan

pengembangan program. Tahapan ini

dilakukan untuk destinasi yang belum

teridentifikasi objek dan daya tarik

wisatanya. Langkah-langkah tersebut

adalah:

1. Identifikasi sumberdaya;

Page 203: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

195

2. Penyelidikan terhadap potensi-

potensi yang ada;

3. Membuat rencana program dan

penatalaksanaannya;

4. Pengembangan produk;

5. Marketing dan Komunikasi;

6. Penelitian;

Sementara itu Walker (1996)

dalam buku petunjuknya tentang

urutan-urutan pengembangan

pariwisata pusaka menyajikan

langkah-langkah yang lebih terinci.

Adapun langkah-langkah ini dilakukan

pada destinasi yang objek dan daya

tarik wisatanya telah teridentifikasi.

Langkah-langkah tersebut lebih

berorientasi pada program. Langkah-

langkah yang telah dimodifikasi

tersebut adalah:

1. Menentukan pihak yang terlibat

2. Menentukan tujuan

3. Mengidentifikasi sumberdaya

4. Membangun konsep

pengembangan program

5. Membuat rencana aksi yang

terdiri dari rencana kerja, tata

waktu, dan prioritas

6. Menentukan target pasar

7. Membuat analisis SWOT

(Strength, Weakness, Opportunity,

Threat)

8. Membuat rencana pemasaran

9. Melakukan analisis keuangan

10. Menentukan hal-hal yang boleh

dan tidak boleh dilakukan

11. Menyiapkan rencana pelayanan

wisatawan

12. Membuat rencana konservasi

13. Meluncurkan dan

mempromosikan program

14. Monitor dan evaluasi

perkembangan program

Karakteristik Wisatawan

Keputusan membeli yang

dilakukan oleh konsumen, dipengaruhi

oleh banyak hal. Menurut Etnis (1974)

dalam Alma (1992), pola konsumen

terbentuk karena pengaruh lingkungan

seperti :

1. Kebudayaan (Culture)

Kebudayaan sangat berpengaruh

terhadap nilai-nilai dan pola

perilaku seseorang anggota

kebudayaan tertentu. Kebudayaan

ini diwariskan dari generasi ke

generasi berikutnya. Dengan

demikian selera seorang individu

akan mengikuti pola selera yang

dilakukan oleh nenek moyangnya.

2. Kelas Sosial (Social Class)

Ini merupakan kelompok

masyarakat yang mempunyai

tingkat tertentu yang memiliki

nilai dan sikap yang berbeda dari

kelompok tingkatan lain. Di India

banyak ditemui kelas-kelas sosial.

Di negara kita, sudah tidak ada

kelas-kelas masyarakat demikian,

namun terlihat pola perbedaan

kelas orang-orang terdidik dan

orang-orang yang kurang terdidik,

akan tetapi tidak begitu kentara

dan tidak boleh dipertajam

perbedaan-perbedaan ini.

3. Keluarga (Family)

Keluarga adalah lingkungan

terdekat dengan individu dan

sangat mempengaruhi nilai-nilai

serta perilaku seseorang dan

mengkonsumsi barang tertentu. Di

masyarakat ada keluarga kecil

(nuclear family) yang terdiri dari

ayah, ibu, anak satu atau dua, dan

keluarga besar (extended family)

yang terdiri dari ayah, ibu, anak

banyak, kakek, nenek, keponakan

dan sebagainya yang berdiam di

bawah satu atap. Masyarakat kita

sekarang cenderung membentuk

nuclear family dengan program

Keluarga Berencana, terutama

bagi penduduk yang berdomisili

di kota-kota besar. Pola dan

barang yang dikonsumsi sehari-

hari berbeda jumlah dan mutunya

Page 204: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

196

antara keluarga kecil dan keluarga

besar namun ini sangat tergantung

atas jumlah anggaran belanja

rumah tangga yang tersedia.

4. Klub-klub

Individu sering menerima advis,

pengarahan, pemikiran dari

anggota kelompok ini yang

mempengaruhi mereka.

Menurut Kotler (2005)

konsumen dalam mengambil

keputusan mengikuti “model urutan

tahap” proses keputusan pembelian.

Ada 5 (lima) tahap yang dapat

menampung seluruh cakupan

pertimbangan yang muncul ketika

konsumen menghadapi pembelian,

yaitu:

1. Pengenalan Masalah

Proses pembelian dimulai ketika

pembeli mengenali masalah atau

kebutuhan. Kebutuhan tersebut

dapat dicetuskan oleh rangsangan

internal maupun eksternal.

2. Pencarian Informasi

Konsumen yang terangsang

kebutuhannya akan terdorong

untuk mencari informasi yang

lebih banyak. Kita dapat

membaginya ke dalam dua level

rang sangan. Situasi pencarian

informasi yang lebih ringan

dinamakan penguatan perhatian.

Pada level itu orang hanya

sekedar lebih peka terhadap

informasi produk. Pada level

selanjutnya, orang itu mungkin

masuk ke pencarian informasi

secara aktif. Mencari bahan

bacaan, menelepon teman, dan

mengunjungi toko untuk

mempelajari produk tertentu.

3. Evaluasi Alternatif

Dalam hal ini ada beberapa

konsep dasar yang dapat

membantu proses evaluasi

konsumen. Pertama, konsumen

berusaha memenuhi kebutuhan.

Kedua, konsumen mencari

manfaat tertentu dari solusi

produk. Ketiga, konsumen

memandang masing-masing

produk sebagai kumpulan atribut

dengan kemampuan berbeda-beda

dalam memberikan manfaat yang

digunakan untuk memuaskan

kebutuhan itu.

4. Keputusan Pembelian

Dalam tahap evaluasi, para

konsumen membentuk preferensi

atas merek-merek yang ada di

dalam kumpulan pilihan.

Konsumen tersebut juga dapat

membentuk niat untuk membeli

merek yang paling disukai.

Namun, dua faktor berikut dapat

berada diantara niat pembelian

dan keputusan pembelian.

Pertama, sikap orang lain dan

kedua, faktor situasi yang tidak

terantisipasi.

5. Perilaku Pasca Pembelian

Setelah membeli produk,

konsumen akan mengalami level

kepuasan atau ketidakpuasan

tertentu.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang

digunakan dalam menyusun penulisan

ini adalah dengan menggunakan

metode kualitatif deskriptif. Pola

pendekatan yang dilakukan dalam

memecahkan permasalahan yakni

dengan menggunakan desain

deskriptif-analisis. Melalui

pendekatan studi deskriptif analisis ini

diharapkan dapat memberikan satu

gambaran tentang fenomena yang

terdapat di sekitar fokus permasalahan

dengan diikuti analisa yang bertujuan

untuk memperoleh interpretasi yang

lebih dalam tentang hubungan dari

fenomena yang terjadi.

Objek penelitian adalah

masyarakat Desa Wisata Kebangsaan,

Page 205: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

197

Kecamatan Banyuputih, Kabupaten

Situbondo. Sumber data yang

digunakan dalam penelitian adalah

data primer, selain itu juga

dipergunakan data sekunder sebagai

pelengkap dari data primer yang ada

sebelumnya. Data sekunder

merupakan data yang didapat tidak

secara langsung dari pihak pertama

dan dapat berupa dokumen atau

referensi lainnya.

Adapun unit analisis dalam

penelitian ini adalah pengelolaan dan

pengembangan daya tarik wisata yang

dilakukan oleh masyarakat Desa

Wisata Kebangsaan yang ditinjau dari

dimensi struktural dan kognitif. Hasil

penelitian ini diharapkan mampu

menjadi dasar dalam rangka

peningkatan pengelolaan dan

pengembangan daya tarik wisata guna

meningkatkan jumlah wisatawan

secara signifikan. Penentuan informan

dilakukan secara purposive dengan

menggunakan pertimbangan beberapa

aspek berikut: 1) orang yang turut

mengelola daya Tarik wisata Desa

Kebangsaan, 2) orang yang

bersangkutan mempunyai

pengetahuan yang luas tentang

permasalahan dalam penelitian.

Metode pengumpulan data pada

penelitian ini, adalah sebagai berikut:

yang pertama field research;

penelitian yang dilakukan dengan

turun langsung ke lapangan atau

tempat objek penelitian dilakukan.

Fieldresearch dilakukan dengan cara

sebagai berikut: wawancara, observasi,

dokumentasi. Serta yang kedua adalah

Metode studi kepustakaan. Populasi

dalam penelitian ini adalah masyarakat

Desa Kebangsaan, kecamatan

Banyuputih, kabupaten Situbondo.

Berhubung penelitian ini

menggunakan peninjauan masalah

dengan studi kasus, maka sampel tidak

digunakan. Studi kasus diartikan

sebagai penelitian pada sub populasi

dan diteliti secara mendalam, sehingga

seluruh jumlah populasi menjadi objek

penelitian.

Dalam penelitian ini teknik

analisa data yang digunakan adalah

metode analisa kualitatif yang dimulai

dengan membaca, mempelajari, dan

menelaah data yang dikumpulkan.

Setelah data dikumpulkan maka

diadakan penyusunan, pengolahan dan

interpretasi data untuk diambil

kesimpulan sementara. Penelitian ini

dimaksudkan untuk mendeskripsikan

pengelolaan daya tarik wisata yang

saat ini telah dilakukan oleh

masyarakat Desa Kebangsaan serta

memberikan saran guna memperbaiki

pengelolaan daya tarik wisata tersebut

guna meningkatkan jumlah wisatawan

dan ekonomi masyarakat. Sehubungan

dengan jenis penelitian deskripsi

kualitatif maka analisisnya

menggunakan analisis induktif,

berangkat dari fakta-fakta, peristiwa-

peristiwa khusus kemudian ditarik

generalisasi yang mempunyai sifat

umum atau menarik kesimpulan dari

yang khusus untuk mendapatkan yang

umum. Data-data yang diperoleh di

lapangan dianalisis dengan menempuh

langkah-langkah sebagai berikut:

pertama, Menelaah seluruh data yang

tersedia. Kedua, Menyusun data yang

berkaitan langsung dengan penelitian

secara sistematis, sehingga

memberikan gambaran lebih tajam

tentang hasil pengamatan. Dan yang

terakhir, Interpretasi data.

Agar diperoleh temuan yang

handal, maka peneliti akan melakukan

pengecekan terhadap data yang

dikumpulkan. Dan untuk menetapkan

keabsahan data diperlukan teknik

pemeriksaan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah

kriteria tertentu. Ada empat kriteria

yang digunakan, yaitu derajat

Page 206: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

198

kepercayaan, keteralihan,

kebergantungan dan kepastian.

Kriteria derajat kepercayaan berfungsi:

pertama, melaksanakan pendekatan

sedemikian rupa sehingga tingkat

kepercayaan penemuan dapat dicapai;

kedua, mempertunjukkan derajat

kepercayaan ganda yang sedang

diteliti. Kriteria kedua yaitu

keteralihan berfungsi untuk

menyamakan konteks pengirim dalam

hal ini responden dan informan.

Dalam melakukan hal ini,

penelitian hendaknya dilakukan

dengan mencari dan mengumpulkan

kejadian empiris tentang kesamaan

konteks. Sementara kriteria ketiga

yaitu kriteria kebergantungan

digunakan agar setiap kekeliruan yang

dibuat dalam penelitian ini tidak

mengubah keutuhan kenyataan yang

dipelajari. Juga tidak mengubah

adanya desain yang muncul dari data,

dan bersamaan dengan hal itu tidak

pula mengubah pandangan dan

hipotesis kerja yang dapat

bermunculan. Dalam setiap penelitian

selalu ada persoalan subjektivitas,

yang berarti melenceng dan menuntut

adanya objektivitas, maka kriteria

keempat dapat dijadikan tumpuan

pengalihan pengertian objektivitas dan

subjektivitas menjadi kepastian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dari hal ini banyak faktor yang

turut menentukan marketable atau

tidaknya suatu tempat wisata,

termasuk infrastruktur dan lingkungan

budaya setempat. Promosi mengenai

objek wisata juga dapat membuat para

calon wisatawan membandingkan

berbagai pelayanan yang ditawarkan

oleh tempat wisata yang satu dengan

yang lainnya. Selain itu fasilitas jalan

termasuk juga salah satu faktor yang

sangat penting bagi sektor pariwisata.

Aksesibilitas untuk mencapai suatu

objek wisata akan mempengaruhi

wisatawan untuk berkunjung ke

tempat wisata.

Dalam upaya lebih

meningkatkan jumlah pengunjung,

pengelola hendaknya dapat memenuhi

tuntutan keinginan konsumen yang

berubah dan cenderung meningkat

yang akhirnya akan berpengaruh

terhadap keputusan konsumen dalam

melakukan kunjungan. Dari berbagai

pustaka dan wawancara yang

dilakukan dengan pengelola Desa

Wisata Kebangsaan didapatkan,

bahwa belum ada penelitian yang

berkaitan dengan karakteristik

wisatawan dan pengelolaan destinasi

sebagai daya tarik wisata, dalam

memenuhi tuntutan pasar yang selalu

berubah.

Dalam hal ini peneliti

menggunakan metode wawancara

dengan depth interview terhadap

Kepala Desa Wisata Kebangsaan

Wonorejo, Ketua Karang Taruna Desa

Kebangsaan, serta Koordinator bidang

wisata di Desa Kebangsaan. Dari

beberapa interview peneliti

memperoleh beberapa informasi

terkait wisatawan dan atraksi yang

dimiliki oleh Desa Wisata Kebangsaan

itu sendiri.

Menurut sumber sejarah disaat

itulah di desa ini berasal dari

datangnya dua kelompok, desa

Wonorejo itu ada orang yang

mengatakan mbah siti renggo itu dua

orang laki-laki dan perempuan tapi

bukan suami istri, tapi satu

seperguruan. Melihat dua kelompok

ini, karena orang ini merupakan orang

yang memiliki kekuatan supranatural.

Dua kelompok inilah bisa menjadikan

desa Wonorejo betul-betul menjadi

hutan yang ramai. Jadi wono itu hutan

dan rejo itu ramai. Jadi untuk

kedepannya akan terus ramai. Dan itu

terbukti, hutan tersebut menjadi ramai

Page 207: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

199

dan juga rukun, dan juga tidak lepas

dari campur tangan 2 tokoh

supranatural tadi untuk membimbing,

memberikan arahan, membantu

sampai tertatanya tatanan-tatanan di

ruang tata kelola desa ini. Dapat

dilihat di Desa Wonorejo ini

sepertinya antara perempatan dengan

perempatan itu ada jarak yang sama,

ada sekat-sekat, dan itu memang sudah

di-planning serta ada gambarannya,

dan itu tidak lepas dari campur tangan

2 tokoh tadi. Sehingga sudah tidak

bisa jika Wonorejo ini terdapat

konflik antar agama, karena memang

cikal bakalnya sudah seperti itu, dari

suku yang berbeda dari agama yang

berbeda untuk sama-sama berjuang

membangun dan menciptakan

Wonorejo sampai sekarang ini. Jadi

tidak ada peristiwa pembakaran gereja

itu imbas saja dan pelakunya bukan

orang Wonorejo sendiri. Dan

untungnya masyarakat Wonorejo

tidak tersulut emosi, terutama kaum

nasrani. Justru malah yang membantu

itu orang muslim, jadi di gereja

pantekosta itu kebetulan sekitarnya

muslim dan di sana ada sebuah kayu

yang rencana akan dibuat masjid dan

itu disandarkan di tembok gereja. Pada

waktu kejadian pembakaran gereja itu

terjadi justru yang melerai pertama itu

orang muslim, dan orang muslim

tersebut menegaskan bahwa jika ada

yang membakar gereja berarti mereka

sama saja mereka membakar

saudaramu sendiri, karena di sana ada

kebutuhan-kebutuhan saudara mereka.

Dan yang menjaga juga orang muslim,

jadi tidak ada konflik sepeti itu.

Seandainya ada acara pengajian

para warga mengundang tokoh-tokoh

nasrasni, dari majelisnya sampai

pendetanya juga diundang. Hanya

warga menitip pesan kepada

mubaligh-nya jika mengadakan

perkumpulan antar agama topik yang

diangkat adalah tentang sosial dan

kemanusiaan, sebab tiap agama sudah

diajarkan tentang sosial dan

kemanusiaan. Jika berbicara tentang

akidah dan tauhid pasti akan terjadi

konflik. Jadi lebih baik membicarakan

tentang kemanusiaan, pancasila, dan

sebagainya. Begitupun sebaliknya jika

ada acara natal atau paskah, warga

muslim juga diundang, dan itu

dilakukan secara bergilir dari satu

gereja ke gereja lain. Dan untuk tema

ceramahnya bersifat umum,

maksudnya tidak menyinggung

tentang ketauhidan agama tersebut.

Dan hal tersebut sangat terbina sekali,

bahkan pemudanya yang datang dari

tahun ke tahun yang datang atau bisa

dikatakan sebagai pendatang, dengan

sendirinya akan mengikuti tradisi dan

kebiasaan hormat menghormati dan

saling menghargai antar umat

beragama, walaupun awalnya sangat

anti melihat yang tidak sesuai dengan

akidah-akidahnya dan setelah masuk

Wonorejo mereka mulai mengikuti

dengan sendirinya. Dan di desa inipun

sudah terbiasa melihat anjing yang

berkeliaran di sekitaran masjid,

bahkan makam bhinneka ini campur

muslim dan nasrani. Dan yang

menghibahkan itu adalah tokoh

nasrani, karena ini merupakan

pelajaran bagi generasi muda. Tokoh

nasrani tersebut tidak melihat kamu

dari mana, apa agamamu, dan berasal

dari suku apa, tapi lebih melihat dari

sisi kemanusiaan, sebab agama apapun

pasti membicarakan tentang

kemanusian sehingga dalam suatu

tingkatan kemanusiaan itu diletakkan

yang paling atas. Karena ini sama-

sama manusia, harus saling

menghormati, sama-sama dirawat jika

sudah meninggal. Meskipun makam

bhineka tersebut yang menghibahkan

tokoh nasrani, tapi melihat

perkembangan warga Wonorejo yang

Page 208: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

200

mendominan agama muslim jadi

makam tersebut kebanyakan dihuni

oleh muslim, dan itu tidak menjadi

masalah untuk umat nasrani. Sampai

perkawinan lintas agama tidak ada

masalah, hanya saja bagi pak kadesnya

beberapa persen yang kurang mantap

jika berbicara tentang perkawinan

lintas agama. Perkawinan lintas agama

tersebut sudah banyak dilakukan, tidak

jarang jika yang muslim ikut nasrani

begitupun sebaliknya. Yang jelas tidak

ada pertikaian di keluarga mereka.

Jika berbicara tentang agama memang

harus seperti itu, harus dilarang dan

jangan sampai terjadi perpindahan

agama. karena berbicara dalam

konteks hak, perpindahan agama

tersebut terjadi di Wonorejo. Tapi jika

berbicara dalam konteks agama, tidak

ada kompromi. Dan kebanyakan yang

melakukan perpindahan agama

tersebut ilmu keagamaannya kurang,

sehingga orientasinya semua agama

dianggap sama, sama manakala jika

berbicara tentang kebenaran tetapi jika

secara akidah tidak sama dan dianggap

salah. Dan kunci saat melakukan

perpindahan agama bagi mereka yang

melakukannya adalah saling

menghormati dan tidak sampai terjadi

pertikaian, karena itu merupakan hak

mereka yang berpindah agama.

Masjid besar yang ada di

Wonorejo sekitar 13, sedangkan

gereja ada 3 dan gereja katolik 1 tapi

kecil. Kalau untuk umat hindu tempat

ibadahnya ada hanya saja lebih pribadi

di rumah-rumahnya dan tidak ada pura

umum. Dulunya pura umum ada tapi

karena perpindahan agama tersebut

tidak ada lagi penerusnya. Dan untuk

masyarakat rantauan yang beragama

hindu beraneka ragam, ada yang hindu

dari bali, ada hindu jawa. Sebenarnya

banyak di daerah-daerah lain yang

juga sama seperti Wonorejo yang

komunitasnya majemuk, hanya saja

cara kehidupan sehari-harinya yang

berbeda. Ketika salah satu orang dari

komunitas ada yang bercanda dan

menyinggung tentang agama, biasanya

mereka saling tegur satu sama lain.

Jika teguran tersebut tidak mempan,

maka jalan satunya menggunakan

teguran secara keras.

Yang jelas untuk masalah

kerukunan di desa Wonorejo ini

sangat terjamin dari dulu, dari nenek

moyang, dan hampir tidak pernah

terjadi selisih paham. Malahjaman

dulu Karena terlalu eratnya hubungan

anatar masyarakat, saat terjadi hari

lebaran selalu bergantian. Jika lebaran

muslim, masyarakat yang beragama

lain ikut memberi seperti bingkisan

kepada masyarakat yang berhari raya.

Begitu juga dengan sebaliknya. Dan

itu terjadi di Wonorejo . Yang jelas

jika berbicara tentang agama cukup

simple, karena agama tidak dapat

dibicarakan di sembarang tempat.

Selanjutnya, kegiatan yang biasa

dilakukan oleh pihak karang taruna

adalah misi sosial. Jadi setidaknya

masyarakat itu bisa mengerti bahwa

kegiatan ini termasuk bersih pantai ini

sangat penting buat masa depan kita

semua. Kita dengan biaya kecil saja

juga sudah bisa. Caranya apa? Yaitu

Ngurik-ngurik budaya, jadi

masyarakat itu agar faham bawha

kebiasaan kita ini yang dinilai, jadi

pemahamannya kesana. Banyak sekali

kegiatan-kegiatan yang sebenarnya

unsurnya Have fun saja, dalam

kegiatan temen-temen itu. Intinya

kumpul sama temen-temen. Terus misi

kita untuk wisata itu yang konservasi,

ini kan kadang ada tamu yang

pengennya “nak, jangan ke pandean,

disana kotor”, kita menerima tamu

yang mau kerja sama sama kita, salah

satunya dengan cara turut serta

kegiatan bersih pantai, memungut

sampah bersama-sama secara sukarela.

Page 209: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

201

Dari kegiatan seperti itu nanti kan

budaya konservasi akhirnya menjadi

sesuatu yang asyik gitu, tidak perlu

gengsi kita memungut sampah. Sudah

mulai, kita yang merintis di Pantai

Perengan di Pandean, kadang lihat

sampah sudah mulai diambil sendiri

dan dibuang di tempat sampah. Jadi ini

sistem dari karang taruna sendiri ini

untuk menarik wisatawan dari

kegiatan bakti sosial. Wisatawan

diarahkan untuk belajar, ingin tahu

bahwa ini semuanya penting.

Di kawasan Desa Kebangsaan,

ditemukan arca yang dipercaya

sebagai sejarah peradaban masa lalu.

Ada penemuan arca Dewi Tara, sudah

ada di museum. Banteng yang terkenal

menjadi ikon Baluran itu ceritanya

adalah peliharaan penduduk yang

awalnya tinggal di kawasan Wonorejo.

Peliharaan itu berawal dengan adanya

penggembalaan sapi yang kemudian

menjadi liar dan berkembang menjadi

banteng di baluran itu, cerita rakyat.

Banyak sekali peninggalan-

peninggalan disana, namun

berhubungan dengan konservasi, jadi

tidak sembarang orang bisa masuk.

Beruntung juga, karena pada wilayah

yang dilindungi akhirnya benda-benda

itu masih utuh, beda dengan yang

sudah di wilayah masyarakat mungkin

sudah diambil. Terdapat cerita jika

membawa pulang barang-barang

peninggalan yang terdapat di TN

Baluran bisa sakit (sakit perut), alat-

alat berkehidupan disana, untuk

peralatan memasak dibawa dengan

salah satu orang, karena ada mistisnya,

bisa menderita sakit perut, namun

ketika barang tersebut dikembalikan,

orang tersebut kembali sehat, barang

tersebut berupa lesung. Banyak orang

melihat benda tersebut, namun

dipercaya benda itu dapat berpindah-

pindah, itulah sisi mistisnya. Jika

bercerita mistis banyak hal yang

terjadi di kawasan Baluran, ya itu

dunia lain. Sayangnya ini dipondasi

ya, jika tidak dipondasi disitu sampai

sekarang dipercaya oleh masyarakat

sebagai Sendi Pocel, menurut

narasumber dahulu benda tersebut

adalah Linggayoni tapi di pendam,

Linggayoni itu simbol laki-laki dan

perempuan. Simbol kesuburan, kalau

Lingga itu simbol laki-laki, kalau Yoni

itu simbol perempuan. Bentuknya

kotak tengahnya bolong, itu Yoni,

kalau Linggah bentuknya panjang.

Kalau soal Desa wisata

Kebangsaannya, itu memang yang

ditarik keakrabannya, keragaman, dan

lain sebagainya. Di wilayah kendal itu

yang sangat kelihatan, disana ada

gereja, masjid, bahkan pura itu ada

disana. Lalu yang menjadi menarik

juga, kalau ada kegiatan-kegiatan

selametan dan lain sebagainya,

misalnya tahlilan kadang Nyewu (1000

hari wafat) itu yang hadir juga umat

nasrani, walaupun isinya tahlilan,

sama dengan yang islam, misalkan

yang nasrani ada acara, itu yang islam

juga diundang, tapi yang dilakukan

bersama adalah do’a menurut

keyakinannya masing-masing. Jadi

walaupun berbeda-beda agama, ketika

ada acara-acara seperti itu kita bisa

bergabung tapi do’anya menurut

keyakinan masing-masing. Maulid

Nabi saja undangannya bukan untuk

orang muslim saja, tokoh-tokoh yang

beragama kristen juga diundang.

Sosialnya itu yg ditekankan, walaupun

secara agama tetap Lakum dii nukum

waliyadhiin dalam beribadah ya, untuk

ibadahnya sesuai dengan keyakinan

masing-masing, tapi untuk yang

sifatnya sosial kita bersama-sama,

tidak pandang agama apapun, itu kalau

dalam hal kebangsaannya.

Keberagaman yang terdapat di Desa

Kebangsaan juga menimbulkan

keunikan tersendiri. Hal unik yang

Page 210: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

202

terjadi adalah salah satu rumah

narasumber yang beragama muslim,

dan disampingnya terdapat warga

yang beragama hindu, keduanya

melaksanakan kegiatan agama yang

berbeda dalam waktu yang bersamaan.

Hal tersebut bukan kemudian saling

“islam itu harus begini” tidak, tapi bisa

terjadi hal seperti ini dan disana sama-

sama tokoh, ibarat islam ustadz-nya

kemudian disamping tokohnya nasrani

dan dibelakang itu tokohnya hindu.

Dari hasil penelitian ini dapat

kita lihat bahwa keberagaman yang

terdapat di desa Kebangsaan tidak

menghalangi kerukunan antar

penduduk. Terlebih lagi ini menjadi

sebuah atraksi tersendiri bagi

wisatawan yang datang berkunjung.

Walaupun keberagaman ini tidak

hanya terdapat di desa Kebangsaan,

namun apa yang terjadi disini tetap

menjadi sebuah pelajaran yang

berkesan pada setiap wisatawan yang

hadir berkunjung. Wisatawan yang

hadir berkunjung ke desa Kebangsaan

kebanyakan singgah setelah

mengunjungi Taman Nasional

Baluran. Oleh karena itu, desa ini juga

menjadi penting karena masyarakat

dan wisatawan dapat melihat atraksi

yang menawarkan keindahan alam,

serta keberagaman sosial dimana

penciptaan Tuhan bisa terjaga dengan

adanya kerukunan dan keberagaman

yang tetap utuh.

Interaksi bersama karang taruna Desa Kebangsaan

Pertemuan Karang Taruna Desa Kebangsaan

Page 211: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

203

Rembug Warga Desa Kebangsaan

Gerbang Desa Kebangsaan

Pantai Perengan – Pandean

Page 212: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pluralisme dan Wisata Alam sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Situbondo

204

Pantai Perengan – Pandean

Hasil Olahan Susu Sapi oleh Warga Desa Kebangsaan

Daftar Pustaka

Alma, B. 2004. Manajemen

Pemasaran dan Pemasaran Jasa.

Alfabeta. Bandung.

Kotler, P. 2005. Manajemen

Pemasaran. Indeks Kelompok

Gramedia. Jakarta.

Kotler, P. 1997. Manajemen

Pemasaran: Analisis,

Perencanaan, Implementasi, dan

Kontrol. Prenhallindo. Jakarta.

Lupiyoadi, R. 2001. Manajemen

Pemasaran Jasa. Salemba Empat.

Depok.

Nirwandar, S. 2006. Peran Pariwisata

Dalam Meningkatkan Daya Saing

Ekonomi Nasional. Orasi Ilmiah

pada Acara Wisuda Sarjana VIII,

Dies Natalis XVI dan INagurasi

2006, Gotong Royong, Jakarta 23

Desember 2008

Pitana, I G. dan Surya Diarta, I K.

2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta: Penerbit Andi.

Winardi. 1981. Manajemen Pemasaran

(marketing management). Karya

Nusantara. Bandung.

Page 213: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

205

PARIWISATA BERBASIS HUTAN MANGROVE

Purwowibowo1, Budhy Santoso

2

[email protected]

Abstract

This article describes tourism with the object of mangrove forests. So far, mangrove

forests have only been seen as important ecosystems in coastal community, and

marine life sustainability. While the social function of mangrove forests as a place of

learning through ecotourism has not been explained much. To discuss mangrove

forests as tourist attractions, this study uses qualitative methods, participant

observation, and in-depth interviews with selected informants who are able to

provide data reliably and validly. The results of the study show that mangrove forests

are not only important for coastal and marine ecosystems, but with various resources

within them that can be used as tourist attractions. This tourism model is called

ecotourism which can be a new alternative for tourists who have been saturated with

cultural tourism and beautiful places. This Ecotourism, can provide knowledge and

experience to tourists on the importance of mangrove forest ecosystems for the

environment, coastal, sea, and for the entire life of the coastal communities.

Keywords: Tourism, Mangrove, Ecosystem, Coastal communities, Ecotourism,

Abstrak

Artikel ini menjelaskan tentang pariwisata yang objeknya hutan mangrove. Selama

ini, hutan mangrove hanya dilihat sebagai ekosistem penting dalam kehidupan

pesisir, pantai, dan laut. Sedangkan fungsi sosial hutan mangrove sebagai tempat

pembelajaran melalui eduwisata belum banyak dijelaskan. Guna membahas tentang

hutan mangrove sebagai tempat wisata, penelitian ini menggunakan metode

kualitatif, observasi partisipan, dan wawancara mendalam terhadap informan terpilih

yang mampu memberikan data secara reliabel dan valid. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hutan mangrove bukan hanya penting bagi ekosistem pesisir

dan laut, tetapi dengan berbagai sumber daya yang ada di dalamnya dapat dijadikan

sebagai tempat wisata. Wisata model ini disebut eduwisata yang bisa menjadi

alternatif baru bagi para wisatawan yang selama ini sudah jenuh dengan wisata

budaya dan tempat indah. Eduwisata ini, dapat memberikan ilmu dan pengalaman

kepada wisatawan akan pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi lingkungan,

pesisir, laut, dan bagi seluruh kehidupan masyarakat.

Kata Kunci: Pariwisata, mangrove, ekosistem, penduduk pesisir, eduwisata

1,2

Dosen pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial (FISIP) Universitas Jember

Page 214: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

206

Pendahuluan

Perekonomian suatu daerah dan

masyarakatnya di daerah pesisir

mengalami pasang surut karena

banyak dipengaruhi oleh hasil lautnya.

Perkembangan hasil laut juga

dipengaruhi oleh kondisi dari sumber

daya laut yang ada, yakni terkait

dengan keadaan cuaca maupun

keberadaannya. Masyarakat pesisir

perlu menambah variasi kegiatan agar

fluktuasi hasil laut yang naik-turun

tidak mengakibatkan kemiskinan.

Selama ini, potret masyarakat pesisir

ditandai dengan perumahan kumuh,

kurangnya sanitasi lingkungan,

pengangguran, dan masalah sosial

lainnya.

Di musim panen ikan,

masyarakat pesisir dan para

nelayannya seakan mendapatkan

berkah yang melimpah, penghasilan

banyak, dan mereka mampu membeli

berbagai barang yang terkadang tidak

dibutuhkan, yakni barang kebutuhan

sekunder. Di rumah mereka akan

banyak barang-barang baru yang

dibeli dari toko yang menunjukkan

kondisi kemakmuran mereka. Namun,

di musim paceklik ikan, banyak sekali

warga pesisir yang menjual barang-

barang yang dimiliki untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Kondisi

demikian selalu berulang dalam

kehidupan masyarakat pesisir dan

belum ada upaya untuk melakukan

variasi pekerjaan. Ada usaha untuk

mengembangkan hasil laut berupa

ikan olahan atau hasil laut yang

dikeringkan, tetapi hal ini tetap saja

tergantung dari sumber daya laut yang

dihasilkan.

Kondisi pesisir yang mengalami

kerusakan, terutama mengenai hutan

mangrove juga menambah tekanan

yang lebih besar lagi terhadap

ketersediaan sumber daya laut. Oleh

karena itu, perlu melakukan

konservasi agar hutan mangrove

menjadi pulih kembali dan dapat

menopang pulihnya sumber daya laut.

Mangrove selain kaya akan sumber

daya alam di dalamnya, ternyata

menjadi penyangga ekosistem laut.

Daun mangrove menjadi rantai

pertama dari bahan utama makanan

ikan dan udang yang secara ekologi

dapat menjadi penyedia makanan bagi

rantai makanan ikan yang lebih besar.

Sekarang ini, ikan kecil juga diambil

sehingga lambat laut ikan besar akan

berkurang jumlahnya. Dengan

keberadaan hutan mangrove, maka

rantai makanan di dalam sumber daya

pesisir dan laut akan pulih kembali

dan terjadipembaharuan kembali

sehingga dapat terjaga kelestariannya.

Hutan mangrove bukan hanya

berfungsi ekologis seperti dijelaskan

di atas, sekarang ini banyak

dikembangkan oleh masyarakat terkait

fungsi sosial-ekonomi. Fungsi ini

menjadi penting karena dapat

menopang kehidupan masyarakat

pesisir. Salah satu fungsi tersebut

adalah hutan mangrove dapat

dijadikan tempat pariwisata atau

eduwisata. Pariwisata model ini dapat

dikembangkan dengan memanfaatkan

sumber daya alam terkait hutan

mangrove. Bagi parawisatawan, dapat

menikmati keindahan hutan mangrove

dengan semua ekosistemnya. Di sela

hutan mangrove akan tampak berbagai

jenis ikan dan udang kecil yang bisa

dinikmati keberadaannya oleh

wisatawan. Pemandu wisatanya dapat

menjelaskan tentang ekosistem hutan

mangrove dan fungsi rantai makanan

yang ada. Hal ini sebagai media

pembelajaran bagi para wisatawan

yang selama ini mengenal mangrove

dari bangku sekolah atau kuliah saja.

Selain itu, di dalam hutan mangrove

Page 215: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

207

juga dapat dijadikan tempat istirahat,

diskusi, maupun menikmati suasana

makan di tengah hutan mangrove.

Tinjauan Pustaka

Hutan mangrove berfungsi

sebagai ekosistem dan ekologi penting

yang berkelanjutan (Walters, B. B. et

al., 2008) di wilayah pesisir,

melainkan juga berfungsi sosial yakni

sebagai tempat wisata pendidikan

(Walter, P., 2009). Salah satunya

adalah hutan mangrove sebagai tempat

penelitian bagi para ilmuwan.

Selanjutnya menurut Indrayanti

(2015), pemanfaatan ekosistem hutan

mangrove yang paling memungkinkan

dalam bidang pendidikan dan tidak

akan melakukan perusakan terhadap

ekositemya adalah melakukan

penelitian ilmiah, pendidikan dan

rekreasi dalam mengunjungi serta

mempelajari keseluruhan ekologi

hutan mangrove melalui model

ekoturisme dan eduturisme.

Potensi berwisata model

eduturisme ini lebih mengandalan

kondisi dan potensi ekosistem hutan

mangrove antara lain: adanya zonasi di

wilayah pesisir yang memiliki hutan

mangrovemulai dari pinggir pantai

sampai pinggir laut yang agak dalam.

Selain itu, berbagai macam fauna yang

tinggal di ekosistem hutan mangrove,

yakni berbagai jenis burung, biawak,

buaya, ular, ikan, udang, kerang-

kerangan, keong, kepiting, dan lain

sebagainya(Rangan, 2010). Potensi

lainya dari hutan mangrove di wilayah

pesisir yang dapat dikembangkan

adalah kegiatan lintas alam,

memancing, berlayar, berenang,

pengamatan jenis burung dan atraksi

satwa liar, fotografi, pendidikan,

piknik dan berkemah, serta menikmati

berbagai adat istiadat penduduk lokal

yang hidupnya bergantung pada

keberadaan hutan mangrove

(Wardhani, 2011).

Sebagai penjabaran dari

pengembangan pariwisata hutan

mangrove yang berkelanjutan dengan

model eduwisata merupakan

pengembangan konsep dari

pengelolaan lingkungan pesisir. Hal

ini dapat memberikan nilai tambah

dari keberadaan dan kelestarian hutan

mangrove di wilayah pesisir serta

dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat lokal (Satria, 2009).

Ekowisata berbasis hutan

mangrove di wilayah pesisir lebih

popular disebut dengan ekotourisme

dan sekarang ini menggunakan istilah

yang mulai digemari yakni

edutourisme. Wisata ini pada

hakekatnya merupakan bentuk

pariwisata atau ekotourisme yang para

wisatawannya juga mempunyai

tanggung jawab terhadap kelestarian

lingkungan, khususnya hutan

mangrove di wilayah pesisir,

memberikan manfaat secara sosial-

ekonomi, mempertahankan keutuhan

budaya lokal (Nurdin, 2011). Selain

itu, edutourisme ini mengandung

maksud orang yang melakukan

pariwisata atau eco-traveler

memberikan stimulus bagi masyarakat

lokal untuk melakukan gerakan

konservasi pada masyarakat lokal.

Hutan mangrove sebagai sumber

daya alam berkelanjutan di wilayah

pesisir menjadi potensi penting dari

bertambahya objek dan daya tarik

wisatawan berbasis lingkungan atau

disebut dengan green tourism (Ojeda,

2012). Pariwisata model ini juga

disebut dengan wisata minat khusus,

yang para wisatawannya telah jenuh

dengan wisata budaya sehingga

mencari alternatif baru yang berbasis

ekologi atau lingkungan. Oleh karena

itu, model eduwisata ini dapat

memadukan berbagai sumber daya

Page 216: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

208

alam, lingkungan, dan sumber daya

manusia. Secara langsung

penambahan objek dan daya tarik

wisata ini memberikan alternatif yang

berbeda dengan wisata budaya

sehingga akan menambah kedatangan

wisatawan domestik dan mancanegara.

Secara langsung dapat menambah

devisa negara dan menggerakan

kondisi sosial-ekonomi masyarakat

pesisir khususnya sehingga dapat

menjadi model wisata terpadu dalam

rangka peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat pesisir

(Purwowibowo, 2017).

Metode Penelitian

Kajian dari penelitian ini adalah

dengan metode kualitatif dan datanya

disajikan dalam bentuk deskriptif

kualitatif. Lokasinya berada di dua

kabupaten, yakni wilayah pesisir

Kabupaten Jember dan Banyuwangi.

Sedangkan wilayah pesisir Jember

meliputi hutan mangrove pantai

Getem, Kalimalang, dan Mojomulyo

di Kecamatan Puger. Kemudian,

hutan mangrove Rowo Gabus di

Dusun Ungkalan, Desa Sabrang,

Kecamatan Ambulu, dan hutan

mangrove Pantai Payangan, Dusun

Watu Ulo, Desa Sumber Rejo,

Kecamatan Ambulu. Hutan mangrove

yang ada di Kabupaten Banyuwangi

Mangrove Bedul Ecotourism, Gebang

Kandel Desa Sumberasri, Kecamatan

Purwoharjo, dan hutan mangrove di

wilayah perairan Kili-Kili, Dusun

Tegalpare, Desa Wringinputih,

Kecamatan Muncar, serta hutan

mangrove di wilayah Kawang, Dusun

Kawang, Desa Wringin Putih,

Kecamatan Muncar.

Data dikumpulan

menggunakan metode observasi

partisipan, wawancara mendalam dan

mengumpulkan dokumentasi dari

berbagai sumber. Informan utma

dipilih secara purposive yakni tokoh

masyarakat dan tokoh informal dari

masyarakat pesisir yang menjadi

inisiator terwujudnya kegiatan

konservasi mangrove di wilayah

masing-masing. Selain itu, masyarakat

yang terlibat langsung kegiatan

konservasi hutan mangrove, kepala

dukuh, kepada desa, pengurus

lembaga masyarakat yang melakukan

kegiatan konservasi, sebagai informan

tambahan, untuk memperkuat data dari

informasi yang diperoleh dari

informan utama. Dengan model

triangulasi sumber, maka data yang

diperoleh akan valid dan reliabel

sehingga dapat mendukung analisis

yang dilakukan. Analisisnya

menggunakan model analisis Milles

dan Huberman dengan perspektif

‘human ecology’ dan “green

socialwelfare”.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kondisi Hutan Mangrove Di

Wilayah Pesisir

Hutan mangrove merupakan

bagian penting dari kehidupan

masyarakat pesisir. Secara ekologi

hutan mangrove sebagai sabuk hijau

wilayah pesisir (Purwowibowo, 2017),

karena hutan mangrove menjadi

pelindung alami dari abrasi dan

gelombang air laut. Selain itu, fungsi

ekologi lainnya bahwa hutan

mangrove menjadi penopang utama

dari rantai makanan utama dari sumber

daya alam di wilayah pesisir dan laut.

Sekarang ini, kondisi hutan mangrove

di seluruh Indonesia terus mengalami

penurunan luas, karena banyak

dialihfungsikan menjadi gudang,

perumahan, dan fasilitas umum

lainnya.

Dengan kondisi hutan mangrove

yang terus berkurang, tidak dijaga dan

juga tidak dilestarikan, maka di

Page 217: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

209

wilayah pesisir tidak layak lagi

digunakan sebagai tempat tinggal. Air

laut masuk ke daratan dan terjadi

intrusi air laut, yakni masuknya air

laut ke dalam tanah daratan sehingga

air darat menjadi asin dan wilayah

pesisir tidak subur lagi. Bencana

lainnya bermunculan, bukan hanya

pengaruh perubahan iklim tetapi

bersumber pula dari kerusakan hutan

mangrovenya. Secara ilmiah, para

ilmuwan telah lama menyadari

pentingnya hutan mangrove sebagai

kawasan strategis, namun banyak

warga pesisir belum menyadari

sepenuhnya. Oleh karena itu, perlu

penyadaran warga masyarakat pesisir

agar peduli terhadap keberadaan dan

keberlanjutan hutan mangrove. Hutan

mangrove mempunyai fungsi sangat

penting bagi masyarakat pesisir pada

khususnya dan ekosistem laut dan

pesisir pada umumnya.

Dari sekian banyak hutan

mangrove yang rusak, namun masih

ada beberapa masyarakat pesisir yang

masih peduli dan melakukan

konservasi hutan mangrove, yakni di

wilayah pesisir Kabupaten Jember dan

Banyuwangi. Masyarakat di kedua

wilayah pesisir tersebut masyarakat

pesisirnya masih memelihara dan

melestarikan hutan mangrove. Hutan

mangrove yang rusak direhabilitasi

dan dilakukan konservasi. Dengan

melakukan penanaman kembali hutan

mangrove secara bersama-sama

melalui lembaga sosial lokal, maka

tumbuh kuat kesadaran masyarakat

untuk berpartisipasi dalam kegiatan

rehabilitasi dan konservasi hutan

mangrove di wilayah mereka.

Dukungan masyarakat yang berupa

partisipasi aktif warga pesisir maka

mereka dapat mewujudkan hutan

mangrove. Mereka melakukan

kegiatan rehabilitasi dan konservasi

hutan mangrove melalui lembaga lokal

yang berbasis kearifan lokal.

Berjalannya kegiatan konservasi dan

rehabilitasi hutan mangrove juga tidak

bisa dilepaskan dengan peran penting

pemimpin informal mereka. Dengan

model bottom-up itulah masyarakat

pesisir di kedua wilayah kabupaten

Jember dan Banyuwangi masih

memiliki hutan mangrove yang bisa

dibanggakan. Kondisi inilah yang

dapat dijadikan penambah kegiatan

masyarakat pesisir yakni hutan

mangrove dijadikan tempat wisata

atau eduwisata.

Pariwisata Berbasis Lingkungan

Hutan Mangrove

Perkembangan dalam bidang

kepariwisataan pada saat ini tidak

terbatas pada pariwisata budaya,

melainkan melahirkan juga konsep

pengembangan pariwisata alternatif.

Hal ini, terkait dengan kejenuhan

wisatawan yang telah berulangkali

mengunjungi dan menikmati atraksi

objek wisata budaya. Mereka

menginginkan objek wisata yang

berupa suatu tantangan dalam

menjalani perjalanan wisatanya.

Wisata ini merupakan alternatif yang

tepat dan secara aktif membantu

menjaga keberlangsungan dan

pemanfaatan alam lingkungan secara

berkelanjutan. Wisata alternatif harus

juga memperhatikan segala aspek dari

pariwisata berkelanjutan yaitu;

ekonomi masyarakat, lingkungan dan

sosial-budaya. Pengembangan

pariwisata alternatif berkelanjutan

khususnya ekowisata merupakan

pembangunan kepariwisataan yang

mendukung pelestarian ekologi dan

pemberian manfaat lingkungan yang

layak secara ekonomi, adil, dan

beretika serta bermanfaat bagi

kehidupan seluruh masyarakat pesisir.

Ekowisata merupakan salah

satu produk pariwisata alternatif yang

Page 218: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

210

mempunyai tujuan tertentu atau minat

khusus. Oleh karena itu, wisata ini

mengandalkan keberadaan daya tarik

ekologis yang berkelanjutan. Menurut

Arowosafe (2017), ekowisata adalah

suatu perjalanan yang disertai

tanggung jawab kepada sumber daya

alam dan sangat peduli terhadap

kelestarian dan untuk mencapai

kesejahteraan sosial penduduk lokal.

Dengan demikian jelas bahwa

ekowisata yang berbasis hutan

mangrove merupakan perjalanan

wisata yang berbasiskan alam.

Pariwisata ini, dalam kegiatannya

sangat tergantung kepada alam dan

lingkungan, ekosistem dan kerifan-

kearifan lokal sehingga wisatawan

dapat menikmati perjalanan wisatanya

dan masyarakat lokal dapat meningkat

kehidupan sosial ekonominya.

Dengan demikian, ekowisata

yang berbasis hutan mangrove

ditekankan pada peningkatkan

kehidupan masyarakat lokal. Menurut

Khan (2003) ekowisata memberikan

kesempatan bagi para wisatawan

untuk menikmati keindahan alam dan

untuk mempelajari lebih jauh tentang

pentingnya berbagai ragam mahluk

hidup (biodiversity) yang ada di

dalamnya, terutama terkait hutan

mangrove. Selain itu, dalam wisata

berbasis hutan mangrove, masyarakat

lokal memperoleh manfaat yang besar

dari perkembangan kawasan tersebut.

Kegiatan ekowisata tersebut dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat

dan untuk pelestarian alam yang

dijadikan sebagai objek ekowisata.

Hasilnya dapat menguntungkan secara

sosial dan ekonomi bagi kehidupan

masyarakat setempat dan secara tidak

langsung dapat menambah devisa

negara.

Mehta, H. (2006), menyatakan

bahwa ada enam keuntungan dalam

implementasi kegiatan ekowisata yang

berbasis hutan mangrove yaitu: (1)

memberikan nilai ekonomi tinggi bagi

hutan mangrove sebagai ekosistem

yang sangat penting sehingga dapat

dijadikan sebagai objek wisata; (2)

menghasilkan keuntungan secara

langsung terhadap pelestarian

lingkungan, khususnya hutan

mangrove; (3) memberikan

keuntungan secara langsung dan tidak

langsung bagi para stakeholders,

dengan ekowisata hutan mangrove

dapat membuka berbagai peluang

usaha masyarakat terkait ekowisata

hutan mangrove; (4) membangun

konstituensi masyarakat pesisir untuk

peduli pada usaha melakukan

konservasi hutan mangrove secara

lokal, nasional dan internasional; (5)

mempromosikan penggunaan sumber

daya alam hutan mangrove dan

sumber daya alam lainnya yang

berkelanjutan; dan (6) mengurangi

ancaman dan berkurangnya terhadap

kenekaragaman hayati yang ada di

objek wisata hutan mangrove dan

lingkungan sekitarnya.

Atraksi ekowisata berbasis hutan

mangrove dapat berupa satu jenis

kegiatan wisata atau merupakan

gabungan atau kombinasi kegiatan

wisata seperti; flora dan fauna, marga

satwa, formasi geomorfologi yang

spektakuler dan manifestasi budaya

yang unik yang berhubungan dengan

konteks alam. Hutan mangrove

menyediakan berbagai hal tersebut dan

dapat dijadikan objek dan daya tarik

wisata yang selama ini hanya dianggap

suatu yang tidak penting. Dengan

menjadikan hutan mangrove sebagai

objek wisata, maka dapat menambah

variasi kegiatan masyarakat pesisir

sehingga dapat menambah ketahanan

pendapatan masyarakat, yang selama

ini hanya mengandalkan pada hasil

laut yang fluktuatif, naik-turun

Page 219: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

211

sehingga pendapatan masyarakat

pesisir tidak menentu.

Kesuksesan pengembangan

ekowisata yang berbasis hutan

mangrove sangat ditentukan oleh

peran dari masing-masing pelaku

ekowisata yaitu; industri pariwisata,

wisatawan, masyarakat lokal,

pemerintah dan instansi non

pemerintah, dan akademisi.

Selanjutnya Mehta, H. (2006),

menjelaskan bahwa para pelaku

ekowisata mempunyai peran penting

dalam upaya menjadikan hutan

mangrove sebagai objek dan daya tarik

wisata. Hal ini karena: (1) ekowisata

berbasis hutan mangrove merupakan

industri pariwisata yang peduli

terhadap pentingnya pelestarian alam

dan keberlanjutannya. Model

pariwisata ini dapat mempromosikan

serta menjual program wisata yang

berhubungan dengan flora, fauna, dan

alam lainnya yang ada di dalam hutan

mangrove; (2) wisatawannya

merupakan wisatawan yang peduli

terhadap lingkungan terutama hutan

mangrove; (3) masyarakat lokal yang

dilibatkan akan berpartisipasi aktif

dalam perencanaan, penerapan dan

pengawasan pembangunan, dan

pengevaluasian pembangunan di

bidang kepariwisataan, terutama

ekowisata berbasis hutan mangrove;

(4) pemerintah dalam hal ini sangat

berperan dalam membuat peraturan-

peraturan yang mengatur tentang

pembangunan fasilitas, yang berupa

sarana dan prasarana yang mendukung

ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi

terhadap lingkungan hutan mangrove

secara berlebihan; (5) sedangkan para

akademisi bertugas untuk mengkaji

tentang aksesibilitas pelaksanaan

ekowisata berbasis hutan mangrove

agar implementasi kegiatan ekowisata

model ini mendapatkan keuntungan

yang besar dan dapat menghindari

kerugiannya terhadap keberadaan

hutan mangrove.

Dengan penjelasan tersebut,

pengembangan objek ekowisata

berbasis hutan mangrove harus selalu

berpedoman pada prinsip-prinsip

ekowisata dan pariwisata

berkelanjutan agar tercapai tujuan

pengembangan ekowisata yakni

ekowisata yang berkelanjutan

(sutainable ecotourism), yang

lingkungan hutan mangrove dapat

dilestarikan. Menurut Wood (2002),

prinsip-prinsip dasar pengembangan

ekowisata berbasis hutan mangrove

adalah sebagai berikut: (1)

meminimalisasi dampak-dampak

negatif terhadap alam dan budaya

terkait dengan keberadaan hutan

mangrove; (2) mendidik wisatawan

terhadap pentingnya pelestarian

(conservation) alam dan budaya

sehubungan dengan adanya dan

lestarinya hutan mangrove; (3)

mengutamakan pada kepentingan

bisnis yang peduli lingkungan dan

konservasi dan rehabilitasi hutan

mangrove; (4) menghasilkan

pendapatan yang dipergunakan untuk

pelestarian, khususnya hutan

mangrove dan kelestariannya; (5)

mengutamakan kebutuhan zonasi

pariwisata daerah dan perencanaan

penanganan wisatawan yang didesain

untuk wilayah atau daerah yang masih

alami, terutama terkait dengan potensi

hutan mangrove; (6) mengutamakan

kepentingan untuk studi yang

berkaitan dengan sosial-budaya dan

lingkungan hutan mangrove; (7)

memaksimalkan keuntungan ekonomi

untuk: negara yang bersangkutan,

bisnis dan masyarakat lokal,

khususnya masyarakat yang tinggal

berdekatan dengan destinasi ekowisata

terutama hutan mangrove; (8)

menjamin bahwa pembangunan

ekowisata tidak mengakibatkan

Page 220: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

212

perubahan lingkungan hutan mangrove

dan sekitarnya maupun perubahan

sosial-budaya yang berlebihan; (9)

membangun infrastruktur terkait

dengan objek dan daya tarik wisata

hutan mangrove yang harus ramah

lingkungan dan menyatu dengan

budaya masyarakat setempat.

Menurut Wood (2002), setiap

pengelola ekowisata berbasis hutan

mangrove wajib menerapkan dan

mematuhi prinsip-prinsip dasar

pengembangan ekowisata model ini.

Selain itu, pengelola ekowisata hutan

mangrove juga disarankan untuk

melakukan hal-hal sebagaimana

tersebut di bawah ini agar

pengembangan ekowisata dapat

berhasil lebih optimal dan berkualitas,

yaitu : (1) memberikan informasi

tentang lingkungan dan budaya yang

akan dikunjungi terkait keberadaan

hutan mangrove; (2) memberikan

panduan informasi tertulis mengenai

pakaian yang harus dipakai dan hal-hal

yang boleh dilakukan manakala

mengunjungi atau berada di tengah

hutan mangrove; (3) memberikan pra-

informasi secara singkat kepada

wisatawan sebelum kedatangannya

sehingga jauh hari sudah menyiapkan

yang diperlukan; (4) memberikan

pelayanan dan pemanduan yang

menyeluruh dengan menggunakan

pramu wisata yang paham tentang

ekologi hutan mangrove dan hal lain

yang dapat diinformasikan kepada

wisatawan; (5) memberikan

kesempatan kepada wisatawan untuk

berinteraksi langsung dengan

masyarakat lokal tanpa harus

menganggu kegiatan masyarakat

pesisir; (6) menumbuhkembangkan

pemahaman baik kehidupan sehari-

hari masyarakat dan tradisinya

maupun isu-isu terkini yang muncul

sehubungan dengan pengembangan

ekowisata yang berbasis hutan

mangrove. (7) memberikan

kesempatan kepada lembaga swadaya

masyarakat lokal untuk tumbuh dan

berkembang sehingga dapat

berpartisipasi aktif dalam kegiatan

wisata berbasis hutan mangrove; (8)

menjamin semua objek ekowisata

terkait dengan hutan mangrove yang

dikelola harus transparan dan

accountable bagi semua orang yang

terlibat dan masyarkat luas; (9)

menyediakan akomodasi yang ramah

lingkungan dan bisa menyediakan

tempat yang berupa homestay yang

bersuasana lingkungan pesisir dan

hutan mangrove.

Suatu lingkungan dapat

dijadikan objek dan daya tarik

ekowisata sebagaimana hutan

mangrove manakala objek tersebut

memiliki keunikan, keindahan, dan

nilai yang berupa keanekaragaman

(biodiversity) kekayaan alam, budaya,

dan buatan manusia (UU

Kepariwisataan, 2009: Pasal 1 ayat 5).

Oleh karena itu, suatu objek wisata

yang berupa hutan mangrove

merupakan segala hal yang terdapat di

daerah tujuan wisata sehingga menjadi

daya tarik wisatawan untuk

mengunjunginya. Untuk itu,daya tarik

wisata yang berupa hutan mangrove

merupakan suatu objek harus

dikembangkan dan diperbaiki kondisi

dan sarana maupun prasaranya dan

dimulai dari proses perencanaan,

implementasi kegiatan nantinya, dan

mengurangi dampak negatif dan

berupaya memperbesar dampak positif

dari kegiatan ekowisata tersebut.

Wisata Hutan Mangrove dan

Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Pesisir

Pendapatan devisa negara, di

banyak negara dunia ketiga diperoleh

dari sektor migas, misalnya Brunai

Darussalam, Malaysia, Negara-negara

Page 221: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

213

Afrika, negara-negara Timur Tengah

dan banyak negara di Amerika Latin.

Kondisi ini sangat mengkawatirkan

karena harga minyak mengalami

fluktuasi yang sangat tajam. Di kala

harga tinggi negara-negara tersebut

mendapat devisa yang banyak, namun

ketika harga jatuh maka banyak negara

melakukan penyesuaian anggaran

belanja negaranya. Banyak anggaran

dalam kementerian tertentu mengalami

pemotongan dan bahkan banyak

kegiatan yang dibatalkan karena tidak

tersedia anggaran.

Walaupun lima tahun terakhir

ini, harga minyak merangkak naik,

bukan devisa yang diperoleh dari

penjualan minyaknya, tetapi justru

banyak negara terbebani dengan harga

minyak itu. Harga kebutuhan dasar

ikut naik dan pendapatan masyarakat

mengalami stagnan sehingga daya

belinya menurun drastis. Oleh karena

itu, negara-negara yang selama itu

menggantungkan devisa negaranya

berdasarkan hasil penjualan minyak

harus segera mengambil tindakan agar

pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat terus dapat

diwujudkan. Salah satu dari usaha itu

adalah melakukan deversifikasi usaha

yakni dengan pariwisata. Pariwisata

diakui sebagai industri yang

mempunyai pengaruh berganda

terhadap bidang lain dan tidak

terpengaruh dengan perubahan harga

minyak dunia. Itulah sebabnya perlu

mencari solusi tepat agar

kesejahteraan masyarakat dapat

diwujudkan dengan memperbanyak

bidang terkait dengan pariwisata.

Pariwisata merupakan industri

handal yang berbasis non-migas dan

dapat dijadikan sebagai sektor andalan

(leading sector) dalam menghasilkan

devisa dan menghidupkan

perekonomian masyarakat. Sektor di

luar migas yang dapat terpengaruh

oleh fluktuasi perekonomian global,

tetapi pariwisata justru tidak

terpengaruh oleh perkembangan

ekspor dan harga minyak termasuk

dalam konteks ekonomi global. Oleh

sebab itu itu, beberapa negara di

dunia seperti Amerika, Australia,

Thailand, Singapura, Malaysia, dan

Indonesia sendiri terus berupaya

mengembangkan bidang pariwisata ini

sebagai bidang andalan untuk

mendapatkan devisa negara dan

peningkatan kesejahteraan sosial

masyarakat. Bidang pariwisata yang

berbasis hutan mangrove yang telah

dijelaskan sebelumnya diyakini

merupakan salah satu jenis industri

yang mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi nasional dan

lokal dengan cepat, menyediakan

banyak lapangan kerja, meningkatkan

penghasilan dan standar hidup

masyarakat. Bidang wisata yang

berbasis hutan mangrove ini dapat

menstimulasi bidang-bidang

produktivitas lainnya seperti industri

kerajinan tangan dan cinderamata,

penginapan, transportasi, restoran, dan

lain sebagainya di wilayah pesisir

yang terkait dengan kegiatan

pariwisata (Pendit 2006).

Dalam kenyataannya, industri

pariwisata yang berbasis hutan

mangrove ternyata mempunyai

‘multipliereffects’ terhadap

keberlangsungan bidang lain. Bidang

ekonomi ekonomi, sosial, budaya,

politik, keamanan, dan lingkungan

yang secara bersama-sama

menghasilkan produk layanan jasa

kepariwisataan yang dibutuhkan oleh

para wisatawan yang mengunjungi

hutan mangrove. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa bidang

pariwisata hutan mangrove dapat

menjadi stimulan tumbuh kembangnya

bidang lain di wilayah pesisir.

Sehingga dapat dikatakan bahwa

Page 222: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

214

pariwisata hutan mangrove merupakan

fenomena sosial, ekonomi, budaya,

psikologi, dan geografi yang handal di

dalam menghasilkan devisa negara,

baik langsung maupun tidak langsung

(Boedirachminarni, A. and

Suliswanto, MS.W. (2015). Hal

tersebut dibuktikan oleh pemerintah

Provinsi Bali yang telah

mengembangkan potensi wisatanya,

terutama wisata budaya, dan sekarang

ini mengembangkan wisata hutan

mangrove sehingga Bali menjadi

tempat kunjungan wisatawan dari

masyarakat seluruh dunia. Bahkan,

Provinsi Bali mengandalkan

perekonomian dan pembangunannya

dari bidang pariwisata sehingga

provinsi tersebut tidak bisa dipisahkan

dengan bidang kepariwisataan

(Pramutomo, RM, et al., 2013).

Konsep pembangunan dan

pengembangan pariwisata berbasis

hutan mangrove yang memperhatikan

adanya keseimbangan antara aspek

kelestarian alam dan ekonomi adalah

ekowisata atau eduwisata dan wisata

minat khusus atau alternatif tourism

(Yuliarti, R. & Saputra, D., 2015).

Hal tersebut seiring dengan pergeseran

model berwisata masyarakat dunia

dewasa ini yang sudah mulai jenuh

dengan objek wisata budaya.

Ekowisata dan eduwisata terkait hutan

mangrove muncul sebagai fenomena

berwisata baru yang sesungguhnya

dilandasi dengan pendidikan dan

dikemas dalam bentuk wisata

ecotourism. Oleh karena itu, ekowisata

berbasis hutan mangrove adalah

bentuk baru dari suatu perjalanan

wisata alami dengan berpetualang

untuk menikmati keindahan alam

lingkungan, khususnya lingkungan

hutan mangrove dan masyarakat

sekitarnya. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa ekowisata yang

berbasis hutan mangrove adalah

semua kegiatan wisata yang dilakukan

berbasis alam atau lingkungan pesisir.

Melihat potensi yang dimiliki

oleh kabupaten Jember dan

Banyuwangi yang sangat banyak

terkait dengan ekowisata yang

berbasis hutan mangrove, maka perlu

ada pengembangan sehingga dapat

menambah variasi daya tarik objek

wisata, khususnya berbasis

lingkungan, khususnya hutan

mangrove. Jenis ekowisata atau

eduwisata ini selain dapat

meningkatkan perekonomian

pemerintah pusat, daerah, dan

kabupaten, ternyata mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat.

Di banyak daerah eduwisata berbasis

hutan mangrove melibatkan banyak

masyarakat lokal dan dapat

memberikan peluang kerja bagi

mereka. Menurut Dirjen Pariwisata

Seni Budaya (1999) ekowisata

demikian dapat memberikan peluang

yang sangat besar, untuk

mempromosikan pelestarian

keanekaragaman hayati di Indonesia di

tingkat Internasional, Nasional,

Regional maupun Lokal terkait dengan

hutan mangrove.

Berdasarkan tujuan yang sangat

mulia tersebut maka eduwisata harus

melibatkan seluruh komponen yang

terkait dengan penyelengaraannya.

Semua stakeholder dan pihak terkait

dituntut untuk lebih peka terhadap

masalah lingkungan dan upaya

konservasinya. Untuk itu perlu terus

diperbaiki dan dikembangkan agar

objek dan daya tarik wisata terkait

dengan hutan mangrove terus

bertambah dan pada akhirnya dapat

mendatangkan wisatawan, baik lokal

maupun mancanegara. Melihat kondisi

demikian, pemerintah perlu terus

mengupayakan dan mencari alternatif

terbaik dalam pengembangan wisata

alam atau eduwisata yang berbasis

Page 223: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

215

hutan mangrove di wilayah pesisir

sehingga nantinya dapat memberikan

manfaat sosial, ekonomi, budaya,

pendidikan kepada masyarakat luas

dan juga kepada pemerintah daerah

serta pemerintah pusat.

Kabupaten Jember dan

Banyuwangi juga mempunyai banyak

objek wisata mulai dari budaya

sampai keindahan alam dan

lingkungan, namun sudah banyak yang

dikenal dan dipromosikan sebagai

daya tarik wisata. Namun, hutan

mangrove sebagai potensi wisata

masih perlu dikembangkan dan

dipromosikan sebagai objek dan daya

tarik wisata yang baru. Banyak potensi

yang terkait dengan keberadaan hutan

mangrove telah dikembangkan dari

sisi eduwisata wilayah pesisir

sebagaimana dikembangkan oleh

pemerintah kota dan kabupaten

Probolinggo. Di wilayah pesisir kota

Probolinggo dikembangkan wisata

hutan mangrove dengan melibatkan

stakeholder untuk operasionalnya.

Sudah banyak wisatawan baik dalam

negeri maupun mancanegara yang

berwisata di hutan mangrove dan

menjadikan wahana baru bagi

masyarakat luas.

Kesimpulan

Pariwisata berbasis hutan

mangrove di wilayah Kabupaten

Jember dan Banyuwangi perlu terus

dikembangkan dan dipromosikan.

Selama ini, hutan mangrove hanya

berfungsi ekologi dan ekosistem

pesisir dan laut. Pariwisata dengan

objek dan daya tarik wisata hutan

mangrove dapat menambah variasi

berwisata karena pariwisata jenis ini

menggunakan potensi lokal berupa

hutan mangrove, dan berbagai sumber

daya alam di dalamnya serta kondisi

sosial budaya masyarakat pesisir.

Selain itu, objek wisata berupa hutan

mangrove juga dapat menjadi daya

tarik wisatawan untuk

mengunjunginya dan datang sehingga

dapat menambah pendapat asli daerah

dan sekaligus meningkatkan

pendapatan masyarakat. Hal ini

karena, pariwisata berbasis hutan

mangrove tidak akan terpengaruh

dengan perekonomian global.

Daftar Pustaka

Arowosafe F. C. and Oladeji S.O

2017. Visitors Perception of

Ecotourism Opportunities: A

Strategy for Development of

Marketing Plan in Kainji Lake

National Park, Nigeria.

Environtropica, June 2017, Vol.

14, 28-40 ISSN 1597-815X.

Boedirachminarni, A. and Suliswanto,

MS.W. 2015. The Strategy of

Tourism Business Development

in Malang Regency, East Java,

Indonesia. The Fourth

International Conference on

Entrepreneurship and Business

Management (ICEBM 2015).

Bangkok, Thailand – November

5-6, 2015. ISBN : 978-979-

9234-54-4

Dirjen Pariwisata dan Seni Budaya

2007.

Indrayanti, M. D. dkk. 2015. Penilaian

Jasa Ekosistem Mangrove di

Teluk Blanakan Kabupaten

Subang. Jurnal Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Volume

20. No. 2.

Khan, M. M. and Su, K. D 2003.

Service Quality Expectations of

Travellers Visiting Cheju Island

in Korea. Journal of Ecotourism

. Volume 2, 2003 - Issue 2 .

Pages 114-125 | Published

online: 29 Mar 2010.

Page 224: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pariwisata Berbasis Hutan Mangrove

216

Mehta, H. 2006. Ecotourism and

ecological restoration. Journal

for Nature Conservation.

Volume 14, Issues 3–4, 20

September 2006, Pages 233-236.

https://doi.org/10.1016/j.jnc.200

6.05.009

Ojeda, D. 2012. Green pretexts:

Ecotourism, neoliberal

conservation and land grabbing

in Tayrona National Natural

Park, Colombia. The Journal of

Peasant Studies. Volume 39,

2012 - Issue 2 . Pages 357-

375.https://doi.org/10.1080/0306

6150.2012.658777

Pandit, P. L. 2006. Ragam Teori

Informasi Pusat Dokumentasi

dan Informasi Ilmiah Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jakarta, 19 September 2006.

Pramutomo, RM, et al. 2013.

Perancangan Desain Pengalaman

Turistik Melalui Ecotourism

Rumat Adat Bali Kuno di Desa

Mengesta Kecamatan Penebel

Kabupaten Tabanan Propinsi

Bali. Journal Kawistra. Volume

3 No. 3, 22 Desember 2013

Halaman 227-334.

Purwowibowo dan Soni A. Nulhaqim

2017. Hutan Mangrove Pasar

Banggi Rembang, Rehabilitasi,

Community Development, dan

Pemimpin Informal. Pandiva

Buku. Jogyakarta.

Rangan, J. K. 2010. Inventarisasi

Gastropoda di Lantai Hutan

Mangrove Desa Rap-Rap

Kabupaten Minahasa Selatan,

Sulawesi Utara. Jurnal

Perikanan dan Kelautan Tropis.

Volume 6, No. 1.

Satria, D. 2009 Strategi

Pengembangan Ekowisata

Berbasis Ekonomi Lokal Dalam

Rangka Program Pengentasan

Kemiskinan di Wilayah

Kabupaten Malang. Journal of

Indonesian Applied Economics.

Volume 3. No. 1 p 37-47.

UU Tentang Pariwisata 2009.

Walters, B. B. et al. 2008

Ethnobiology, socio-economics

and management of mangrove

forests: A review. Aquatic

Botany.Volume 89, Issue 2,

August 2008, Pages 220-236

Walter, P. 2009. Local knowledge and

adult learning in environmental

adult education:

community‐based ecotourism in

southern Thailand. International

Journal of Lifelong Education.

Volume 28. Issue 4. Pages 513-

532.

Wardani, M. K. 2011, Kawasan

Konservasi Mangrove: Suatu

Potensi Ekowisata. Jurnal

Kelautan. Vol 4, No 1.

Wood, M.E. 2002. Ecotourism,

PrincipleandPolicies, UNEP.

Yuliarti, R. & Saputra, D. 2015.

Daya Tarik Gelombang Bono

Sebagai Objek Wisata Unggulan

di Kabupaten Pelalawan. Jurnal

Daya Saing. Vol. 1 No. 2.

Page 225: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

217

STUDI KORELASI PENGEMBANGAN DESTINASI

WISATA ALAM TAMAN BORNEO SAMARINDA DENGAN KONSERVASI

LINGKUNGAN

Rinto Dwiatmojo1,

Rini Koen Iswandari

2

[email protected]

Abstract

Research Objectives to find out how the relationship between the development of tourist destinations

with environmental conservation in Samarinda Borneo Park nature tourism. The results showed that

there was a very positive relationship and strong relationship between developments in terms of

infrastructure. Infrastructure carried out with environmental conservation to progress the destination

tourism and for the preservation of the environment around the Samarinda Borneo Park Nature

Tourism destination, which shows a positive and strong number between independent variables (X). N

Namely development with a dependent variable (Y) environmental conservation. Then the relationship

between development and environmental conservation is smaller which shows there is significance.

Keywords: Nature Tourism Destination Development, Environmental Conservation

Abstrak

Tujuan Penelitian untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pengembangan

destinasi wisata dengan pelestarian lingkungan di wisata alam Taman Nasional

Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat

positif dan hubungan yang kuat antara pengembangan dalam hal infrastruktur.

Infrastruktur yang dilakukan dengan konservasi lingkungan untuk memajukan

destinasi pariwisata dan untuk pelestarian lingkungan di sekitar destinasi Wisata

Alam Taman Borneo Samarinda. Yang menunjukkan angka positif dan kuat antara

variabel bebas (X), yaitu pembangunan dengan variabel terikat (Y) pelestarian

lingkungan. Kemudian hubungan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan

lebih kecil yang menunjukkan ada signifikansi.

Kata Kunci: Pengembangan Destinasi Wisata Alam, Konservasi Lingkungan

1,2

Dosen Politeknik Negeri Samarinda

Page 226: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

218

Pendahuluan

Pengembangan merupakan

kebutuhan mendasar untuk

memajukan sesuatu. Tidak adanya

suatu pengembangan maka tidak akan

tercapai pula kemajuan. Sama halnya

pemerintah Kota Samarinda yang

sedang menggerakkan pengembangan-

pengembangan untuk memajukan

pariwisata yang dimilikinya.

Pengembangan yang dilakukan salah

satunya di destinasi wisata alam

Taman Borneo Samarinda di daerah

Samarinda. Destinasi wisata ini juga

sedang melakukan suatu

pengembangan dengan melakukan

pembangunan-pembangunan dan

pengembangan-pengembangan

terhadap destinasi wisata alam Taman

Borneo Samarinda seperti

pengembangan dan pembangunan

yang mencakup segi infrastruktur dan

sarana prasarana seperti lokasi atraksi

utama, jalan, dan pembangunan

pendukung atraksi utama, karena

tempat wisata ini tergolong cukup

popular, maka pemerintah kota

Samarinda dan instansi-instansi

terkait mencanangkan suatu

pengembangan terhadap destinasi

wisata alam Taman Borneo Samarinda

ini lebih intensif lagi. Dari

pengembangan yang dilakukan dalam

mengembangkan destinasi wisata

Taman Borneo Samarinda ini seperti

pengembangan infrastruktur, sarana

dan prasarana.

Pengembangan-pengembangan

yang dilakukan tersebut semata untuk

meningkatkan dan memanfaatkan

potensi yang dimiliki destinasi wisata

alam Taman Borneo Samarinda ini,

akan tetapi pengembangan tersebut

harus merujuk pada permasalahan

mendasar tentang dampak dari adanya

pengembangan-pengembangan yang

tidak memperhatikan keberlangsungan

lingkungan alam di masa mendatang,

padahal keasrian lingkungan

merupakan kunci keberlangsungan

siklus hidup makhluk hidup yang ada

di bumi ini dan di masa mendatang.

Seperti pernyataan adanya

pembangunan dan juga pengembangan

suatu kawasan, maka kata kemajuan

itu akan jauh dari yang diharapkan,

akan tetapi pembangunan dan

pengembangan yang memperhatikan

kaidah-kaidah dasar pengembangan

dan pembangunan berkelanjutan akan

mematahkan stigma buruk tentang

pengembangan yang identik dengan

dampak negatif terhadap lingkungan.

Dari latar belakang masalah

diatas maka akan ditemukan

permasalahan dalam proses

pengembangan destinasi wisata alam

Taman Borneo Samarinda ini. Apakah

pengembangan yang mencakup

infrastruktur seperti pelebaran jalan,

dan bangunan-bangunan pendukung

atraksi utama ini akan menimbulkan

dampak negatif ataupun dampak

positif terhadap hubungannya dengan

konservasi lingkungan alam sekitar.

Dari penjelasan latar belakang

masalah tersebut penulis merumuskan

masalah yaitu bagaimana hubungan

pengembangan infrastruktur dan

sarana prasarana dengan konservasi

lingkungan di destinasi wisata alam

Taman Borneo Samarinda. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana hubungan antara

pengembangan destinasi wisata

dengan konservasi lingkungan di

wisata alam Taman Borneo

Samarinda.

Tinjauan Pustaka

Pariwisata

Pariwisata juga tertuang dalam

undang-undang Nomor 10 tahun 2009

yang menyebutkan bahwa pariwisata

adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan wisata, termasuk

Page 227: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

219

pengusahaan obyek dan daya tarik

wisata serta usaha-usaha yang

berhubungan dengan penyelenggaraan

pariwisata, dengan demikian

pariwisata meliputi:

a. Semua kegiatan yang berhubungan

dengan perjalanan wisata

b. Pengusahaan obyek dan daya tarik

wisata seperti: kawasan wisata,

taman rekreasi, kawasan

peninggalan sejarah, museum,

waduk, pagelaran seni budaya, tata

kehidupan masyarakat atau yang

bersifat alamiah: keindahan alam,

gunung berapi, danau, pantai.

c. Pengusahaan jasa dan sarana

pariwisata yaitu usaha jasa

pariwisata (biro perjalanan wisata,

agen perjalanan wisata,

pramuwisata, konvensi, perjalanan

insentif dan pameran, impresariat,

konsultan pariwisata, informasi

pariwisata), usaha sarana pariwisata

yang terdiri dari akomodasi, rumah

makan, bar, angkutan wisata.

Kepariwisataan

Pengertian Kepariwisataan

Pariwisata adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan wisata,

termasuk pengusahaan objek wisata

dan daya tarik wisata serta usaha-

usaha yang terkait di bidang tersebut

(pasal 1 ayat (3) UU No.10/2009).

Asas-asas Kepariwisataan

Penyelenggaraan

kepariwisataan tetap memperhatikan

dengan sungguh-sungguh asas-asas

pembangunan nasional dengan

mengutamakan asas manfaat, asas

bersama dan kekeluargaan, asas adil

dan merata, asas perkehidupan dalam

keseimbangan dan asas kepercayaan

pada diri sendiri. Tujuan

Penyelenggaraan Kepariwisataan UU

No. 10 tahun 2009 menetapkan tujuan

penyelenggaraan pariwisata, antara

lain sebagai berikut:

(1). Meningkatkan pertumbuhan

ekonomi.

(2). Meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

(3). Menghapus kemiskinan.

(4). Mengatasi pengangguran.

(5). Melestarikan alam, lingkungan,

dan sumberdaya.

(6). Memajukan kebudayaan.

(7). Memupuk rasa cinta tanah air.

(8). Memperkokoh jati diri dan

kesatuan bangsa.

(9). Mempererat persahabatan

bangsa.

Wisata

Dalam undang-undang Nomor

10 tahun 2009 tentang kepariwisataan

menyebutkan bahwa wisata adalah

kegiatan perjalanan atau sebagian dari

kegiatan tersebut yang dilakukan

secara sukarela serta bersifat

sementara untuk menikmati obyek dan

daya tarik wisata. Pengertian wisata

mengandung unsur sementara dan

perjalanan itu seluruhnya atau

sebagian bertujuan untuk menikmati

obyek atau daya tarik wisata. Unsur

yang terpenting dalam kegiatan wisata

adalah tidak bertujuan mencari nafkah,

tetapi apabila di sela-sela kegiatan

mencari nafkah itu juga secara khusus

dilakukan kegiatan wisata, bagian dari

kegiatan tersebut dapat dianggap

sebagai kegiatan wisata.

Wisatawan

“Wisatawan adalah orang-orang

yang melakukan kegiatan wisata”,

pernyataan tersebut tertuang dalam

Undang- undang nomor 10 tahun

2009. Dalam undang-undang nomor

10 tahun 2009 tersebut dapat

diartikan bahwa semua orang yang

melakukan perjalanan wisata

Page 228: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

220

dinamakan wisatawan. Dari Pacific

Area Travel Association memberi

batasan bahwa wisatawan sebagai

orang-orang yang sedang

mengadakan perjalanan dalam

jangka waktu 24 jam dan maksimal

3 bulan didalam suatu negeri yang

bukan negeri dimana biasanya ia

tinggal, mereka ini meliputi:

a.Orang-orang yang sedang

mengadakan perjalanan untuk

bersenang-senang, untuk

keperluan pribadi, untuk

keperluan kesehatan.

b.Orang-orangyang sedang

mengadakan perjalanan untuk

pertemuan,

konferensi, musyawarah atau

sebagai utusan berbagai

badan/organisasi.

c.Orang-orang yang sedang

mengadakan perjalanan dengan

maksud bisnis.

d.Pejabat pemerintahan dan militer

beserta keluarganya yang

ditempatkan dinegara lain tidak

termasuk kategori ini, tetapi bila

mereka mengadakan perjalanan

ke negeri lain, maka dapat

digolongkan wisatawan (Pendit,

2002:38).

Jenis Pariwisata

Seorang wisatawan mengadakan

perjalanan wisata karena didorong

oleh berbagai motif yang tercermin

dalam berbagai macam jenis

pariwisata.Bagi daerah sangat perlu

mempelajari motif ini karena

berhubungan dengan fasilitas yang

perlu disiapkan dan program

promosinya. Spillane (1987:29)

membedakan jenis pariwisata, yaitu:

a. Pariwisata untuk menikmati

perjalanan (pleasuretourism).

b. Pariwisata untuk rekreasi

(recreationtourism).

c. Pariwisata untuk kebudayaan

(culturaltourism),

d. Pariwisata untuk olahraga (sport

tourism).

e. Pariwisata untuk usaha dagang

(business tourism).

f. Pariwisata untuk berkonvensi

(conventiontourism).

Bentuk Pariwisata

Pendit (1994:39)

mengkategorikan bentuk pariwisata

sebagai berikut:

a. Menurut asal wisatawan, pertama-

tama perlu diketahui apakah asal

wisatawan ini dari dalam atau luar

negeri. Kalau asalnya dari dalam

negeri yang berarti hanya pindah

tempat sementara dinamakan

pariwisata domestik/nusantara,

sedangkan jika dari luar negeri

dinamakan pariwisata internasional/

mancanegara.

b. Menurut akibat terhadap neraca

pembayaran, kedatangan wisatawan

asing akanmembawa valuta asing

dan ini berarti memberi efek positif

terhadap neraca pembayaran, ini

disebut pariwisata aktif. Jika

kepergian warga negara keluar

negeri akanmembawa efek negatif

terhadap neraca pembayaran

disebut pariwisata pasif.

c. Menurut jangka waktu. Kedatangan

wisatawan diperhitungkan menurut

lamanya ia tinggal. Hal ini

menimbulkan istilah-istilah

pariwisata jangka panjang dan

jangka pendek. Spillane (1987:33)

menambahkan dengan istilah

pariwisata ekskursi yaitu perjalanan

wisata tidak dari 24 jam dan tidak

menggunakan fasilitas akomodasi.

d. Menurut jumlah wisatawan datang

sendirian atau rombongan maka

timbul istilah pariwisata tunggal

dan pariwisata rombongan.

e. Menurut alat angkut yang

digunakan. Dilihat dari alat angkut

Page 229: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

221

yang digunakan oleh wisatawan,

maka dapat dibagi menjadi

pariwisata laut, pariwisata udara,

pariwisata kereta api, pariwisata

mobil.

Wisata Alam

Wisata alam adalah daya tarik

wisata dimana atraksi utama destinasi

tersebut berasal dari alam. Seperti

definisi Musanef (1996:199) daya

tarik wisata alam adalah objek wisata

yang daya tariknya bersumber pada

keindahan alam dan tata

lingkungannya, baik dalam keadaan

alami maupun setelah ada budidaya

manusia. Wisata alam adalah bentuk

kegiatan yang memanfaatkan potensi

sumber daya alam dan tata

lingkungannya. Kegiatan wisata alam

dimaksud adalah kegiatan rekreasi dan

pariwisata, penelitian, kebudayaan,

dan cinta alam yang dilakukan di

dalam objek wisata alam.

Pengembangan Pariwisata

Yoeti (1997:5) dalam bukunya

yang berjudul “Perencanan dan

Pengembangan Pariwisata”

berpendapat bahwa pengembangan

adalah usaha yang dilakukan secara

sadar dan berencana untuk

memperbaiki produk yang sedang

berjalan atau menambah jenis produk

yang dihasilkan ataupun yang akan

dipasarkan.

Pengembangan sebuah destinasi

wisata dalam hal sarana dan prasarana

dapat membuat wisatawan yang

berkunjung betah untuk melakukan

wisata dan akan datang lagi di

kesempatan selanjutnya. Pada

kesimpulannya pengembangan

memiliki beberapa unsur, yaitu: suatu

proses yang berjalan terus menerus,

mengandung suatu perubahan kearah

lebih baik, dan mempunyai tujuan-

tujuan yang ingin dicapai.

Pengembangan adalah usaha

sadar yang dilakukan untuk mencapai

tujuan yang diinginkan agar lebih

sempurna daripada sebelumnya.

Pengembangan pariwisata pasa suatu

destinasi wisata harus memenuhi tiga

kriteria:

a. Something to see adalah wisata

tersebut harus memiliki sesuatu yang

bisa dilihat atau dijadikan tontonan

oleh pengunjung wisata. Dengan kata

lain obyek tersebut harus memiliki

daya tarik khusus yang mampu

menyedot minat wisatawan untuk

berkunjung.

b. Something to do adalah agar

wisatawan yang dapat

melakukan wisata disana bisa

melakukan sesuatu yang

berguna dalam rangka memberi

perasaan senang dan memberi

kepuasaan bagi wisatawan.

c. Something to buy adalah fasilitas

untuk wisatawan berbelanja

yang pada umumnya adalah ciri

khas atau icon dari daerah

tersebut sehingga bisa dijadikan

sebagai oleh-oleh. (Yoeti, 1985;

164)

9. Insfrastruktur Infrastruktur merujuk pada sistem

fisik yang menyediakan

transportasi, pengairan, drainase,

bangunan-bangunan gedung dan

fasilitas publik lain yang

dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia dalam

lingkup sosial dan ekonomi. (Grigg,

1983 dalam Kodoati, 2005: 9).

Sarana dan Prasarana

Agar suatu destinasi dapat

dijadikan menjadi suatu destinasi yang

baik, maka faktor utama sebagai

penunjangnya adalah kelengkapan dari

Page 230: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

222

sarana dan prasarana destinasi wisata

tersebut. Karena sarana dan prasarana

juga sangat diperlukan dalam

mendukung pengembangan suatu

destinasi wisata.

Sarana kepariwisataan menurut

Yoeti adalah perusahaan-perusahaan

yang memberikan pelayanan kepada

wisatawan, baik secara langsung

maupun tidang langsung dan hidup

serta kehidupannya tergantung pada

kedatangan wisatawan. (Yoeti, 1984:

184), sarana kepariwisataan tersebut

adalah perusahaan akomodasi,

perusahaan transportasi, rumah makan,

Restaurant , toko penjual cideramata

khas dari destinasi wisata tersebut

yang sebgaian besar mendapat

penghasilan dari penjualan barang-

barang cindera mata khas destinasi

tersebut (Yoeti, 1984; 185).Yoeti

(1985:181) juga menambahkan,

“Prasarana kepariwisataan adalah

semua fasilitas yang memungkinkan

agar sarana kepariwisataan dapat

hidup dan berkembang sehingga dapat

memberikan pelayanan untuk

memuaskan kebutuhan wisatawan

yang beraneka ragam”. Prasarana

tersebut antara lain: perhubungan

(jalan raya, rel kereta api, pelabuhan

udara dan laut, terminal), instalasi

pembangkit listrik dan instalasi air

bersih, baik itu berupa pusat informasi

ataupun kantor pemandu wisata dan

juga pom bensin.

Konservasi Lingkungan

Menurut Sunu (2001:2)

menambahkan definisi lingkungan

adalah sekeliling tempat organisasi

beroperasi, termasuk udara, air, tanah,

sumber daya alam, flora, fauna,

manusia dan hubungan diantaranya.

Sunu (2001:2) Lingkungan juga

memiliki aspek untuk dioperasikan

atau dikelola oleh manusia. Aspek

tersebut antara lain adalah aspek

lingkungan untuk kegiatan, produk

atau jasa sebuah organisasi yang dapat

berinteraksi dengan lingkungan.

Aspek lingkungan yang penting adalah

aspek lingkungan yang memiliki atau

dapat memiliki dampak penting

terhadap lingkungan. Dalam bukunya,

Sukmana (2003:20) mengemukakan

pendapat yang erat kaitannya dengan

konservasi lingkungan, bahwa

pengelolaan lingkungan hidup adalah

upaya terpadu untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup yang meliputi

kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,

pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan, dan

pengendalian lingkungan hidup.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan

pelestarian fungsi lingkungan hidup

adalah rangkaian upaya untuk

memelihara kelangsungan daya

dukung dan daya tampung lingkungan

hidup. Daya dukung lingkungan

hidup, yaitu kemampuan lingkungan

hidup untuk mendukung

perikehidupan manusia dan makhluk

hidup lainnya.

Metode Penelitian

Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di

destinasi wisata alam kebun raya

Samarinda. Alasan melakukan

penelitian di tempat tersebut karena

destinasi wisata alam kebun raya

samarinda merupakan destinasi wisata

yang berbasis wisata alam yang

tergolong populer di Samarinda yang

belum semuanya mengalami

pembangunan-pembangunan secara

penuh.

Populasi dan Sampel

Teknik Pengambilan Sampel

Metode penarikan sampel/

pengambilan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini

Page 231: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

223

adalah random sampling dimana

peneliti memberikan kesempatan

yang sama pada anggota sampel

(probability sampling)

Ukuran Sampel

Cuplikan sampel (unit analisis)

setidaknya diambil berdasarkan

ukuran sampel minimal dari

jumlah anggota populasi yang

sangat besar.

Teknik Pengumpulan Data

Observasi, Wawancara

Kuesioner Dokumentasi

Variabel dan Indikator Penelitian

a. Variabel Independent (bebas)

Adalah variabel yang nilai-

nilainya tidak tergantung pada

variabel lainnya, biasanya

disimbolkan dengan X. Dalam

penelitian ini variabel independent

(bebas) adalah Pengembangan

dengan indikator antara lain :

Infrastruktur

Pengairan terhadap ragam

keperluan di lokasi utama.

bangunan-bangunan gedung

di lokasi utama.

Sarana Prasarana

Pembangunan tempat

penjualan makanan dan

minuman.

Perhubungan (Renovasi jalan

menuju destinasi wisata).

b. Variabel Dependent (terikat)

Variabel yang nilai-nilainya

terikat pada variabel lainnya, biasanya

disimbolkan dengan Y. Variabel itu

merupakan variabel yang diramalkan

atau diterangkan nilainya, dan dalam

penelitian ini variabel dependent

(variabel terikat) adalah Konservasi

Lingkungan.

1. Definisi Konseptual

a. Infrastruktur

Merupakan pendukung utama

fungsi-fungsi sistem sosial dan

ekonomi dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat serta dapat

didefinisikan sebagai fasilitas-

fasilitas atau unsur-unsur dasar

serta aset fisik yang dibangun dan

yang dibutuhkan untuk

berfungsinya sistem sosial dan

sistem ekonomi masyarakat. Di

dalam penelitian ini terdapat 2

(dua) indikator: Bangunan-

bangunan gedung di lokasi utama

destinasi wisata serta penyediaan

air lokasi utama destinasi wisata.

b. Sarana dan Prasarana

Prasarana kepariwisataan adalah

semua fasilitas yang

memungkinkan agar sarana

kepariwisataan dapat hidup dan

berkembang sehingga dapat

memberikan pelayanan untuk

memuaskan kebutuhan wisatawan

yang beraneka ragam. Terdapat 2

indikator dari penilitian ini yaitu:

Perhubungan (renovasi jalan)

serta bangunan rumah makan dan

bangunan penjualan cinderamata.

2. Definisi Operasional Berdasarkan pada variable dan

konsep-konsep di atas, maka

definisi operasional dalam

penelitian ini digunakan untuk

mengukur setiap variable-variabel

yang diteliti, yaitu variable X dan

Variabel Y.

a. Indikator Infrastruktur

1) Pembangunan bangunan-

bangunan di lokasi utama

destinasi wisata diukur dengan

pemilihan letak lokasi

bagunan.

2) Penyediaan air di lokasi

Utama destinasi wisata diukur

dengan pembuatan saluran air.

b. Indikator Pengembangan

Sarana dan Prasarana

Page 232: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

224

1) Pembangunan tempat

penjualan makanan diukur

dengan pemilihan letak

tempat penjualan tersebut.

2) Perhubungan (renovasi

jalan) diukur dengan

seberapa besar dampak

perluasan jalan.

c. Indikator Konservasi

1) Kelestarian alam diukur

dengan pemeliharaan

berkelanjutan.

2) Keanekaragaman biologis

diukur dengan perlindungan

terhadap kelestarian hidup

keanekaragaman biologis

yang ada di sekitar

lingkungan destinasi wisata.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis

menggunakan analisis korelasi product

moment, menurut Arikunto

(2006:271), korelasi product moment

digunakan untuk menentukan

hubungan antara dua gejala interval

seperti nilai matematika dan IPA.

Korelasi Product Moment

Keterangan:

rxy = korelasi antara variable x dengan

y

x = x-x

Y = Y-Y

X= skor rata-rata dari X

Y= skor rata-rata dari Y

Langkah-langkah hipotesis:

a. Menentukan hipotesis

Ho : b = 0, artinya masing-masing

variabel bebas tidak mempunyai

hubungan yang signifikan

terhadap variabel terikat.

Ha : b ≠ 0, artinya masing-masing

variabel bebas mempunyai

hubunganyang signifikan terhadap

variabel terikat.

b. Menentukan besarnya angka t

hitung dengan menggunakan

program SPSS 18.0.

c. Menghitung besarnya angka t

tabel dengan ketentuan taraf

signifikan sebesar 0,05 dan derajat

kebebasan (dk) = n – 2.

d. Menentukan kesimpulan tentang

uji hipotesisnya sebagai berikut:

Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak

dan Ha diterima.

Jika t hitung < t tabel maka Ho

diterima dan Ha ditolak.

Skala Likert

Dalam penelitian ini skala Likert

digunakan untuk pengukuran

Pengembangan Insfrastruktur dan

Sarana Prasarana:

a. Sangat setuju, diberi skor 4

b. setuju, diberi skor 3

c. kurang setuju, diberi skor 2

d. sangat tidak setuju, diberi skor 1

Hasil dan Pembahasan

Teknik analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

Corelasi Product Moment yaitu

keterkaitan yang melibatkan 2 (dua)

variable. Analisis ini digunakan untuk

mengetahui hubungan dari suatu

variabel dependen terhadap variabelin

dependen. Perhitungan data dalam

penelitian ini menggunakan program

SPSS 18.0 yang membantu dalam

pengujian model yang telah

ditentukan, mencari nilai korelasi dari

tiap-tiap variabel serta pengujian

hipotesis secara parsial maupun

bersama-bersama, hasil analisis dalam

penelitian ini di lihat sebagai berikut :

Page 233: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

225

Uji Korelasi Produk Momen

Berdasarkan output Dari hasil

perhitungan menggunankan SPSS 18.0

diatas diketahui nilai signifikan dari

output antara Pengembangan Destinasi

Wisata (X) yang meliputi

infrastruktur, sarana dan prasarana

dengan Konservasi Lingkungan (Y)

dari tabel hasil perhitungan ditemukan

bahwa significance (2-tailed) atau

hasil signifikasi adalah “0,000” yang

apabila dibandingkan dengan level of

significance = 0,05 adalah lebih

kecil dari taraf signifikan yang

menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara pengembangan

dengan konservasi lingkungan.

Berdasarkan nilai dari output

diatas diketahui bahwa nilai pearson

correlation yang dihubungkan antara

masing-masing variabel yang bernilai

0,604**

adalah bernilai positif

sehingga terdapat keterkaitan antara

kedua variabel independen dan

dependen, ini berarti terdapat korelasi

yang positif dan kuat antara variabel

independent (X) yaitu pengembangan

yang meliputi infrastruktur, sarana dan

prasarana dengan variabel dependent

(Y) yaitu konservasi lingkungan.

Tabel 1.1. Uji Statistik Correlations

Correlations

Pengembangan Konservasi

Pengembangan Pearson Correlation 1 ,604**

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

Konservasi Pearson Correlation ,604**

1

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Menentukan Hipotesis Nihil (Ho) dan

Hipotesis Alternatif (Ha)

1) Ho = 1 = 0, variabel

Pengembangan Destinasi Wisata

yang meliputi infrastruktur, sarana

dan prasarana tidak ada hubungan

secara signifikan terhadap

Konservasi Lingkungan di Wisata

Kebun Raya Samarinda Kota

Samarinda.

Kesimpulan Ho:

Hasil perhitungan diketahui level of

significance = 0,05 dan diperoleh

signifikasi sebesar 0.000 dan

dibandingkan dengan level signifikan

0,05 dari hasil 0,000 < 0,05 maka Ho

ditolak karena variabel Pengembangan

Destinasi Wisata terdapat hubungan

secara signifikan dengan Konservasi

Lingkungan Wisata Alam Kebun Raya

Samarinda di Kota Samarinda.

2) Ha = 1 0, variabel

Pengembangan Destinasi Wisata

ada hubungan secara signifikan

dengan Konservasi Lingkungan di

Wisata Alam Kebun Raya

Samarinda

Kesimpulan Ha:

Hasil perhitungan diketahui level of

significance = 0,05 dan diperoleh

signifikasi sebesar 0.000 dan

dibandingkan dengan level signifikan

0,05 dari hasil 0,000 < 0,05 maka Ha

diterima dan variabel Pengembangan

Destinasi Wisata memiliki hubungan

secara signifikan terhadap Konservasi

Lingkungan Wisata Alam Kebun Raya

Samarinda.

Page 234: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

226

Dari pernyataan-pernyataan

hasil output perhitungan menggunakan

product moment dan hasil dari

kesimpulan hipotesis diatas

menghasilkan hasil yang menunjukkan

adanya hubungan positif antara

pengembangan-pengembangan yang

dilakukan di destinasi wisata alam

Kebun Raya Samarinda, seperti dalam

hal infrastruktur, sarana dan prasarana

dengan konservasi lingkungan. Hal

tersebut memang demikian, pada

dasarnya wisata alam adalah wisata

yang berbasis alam yang sangat

berhubungan erat dengan lingkungan.

Pengembangan yang dilakukan di

semua wisata alam haruslah sinkron

dengan lingkungan alamiah karena

atraksi wisata utama dari wisata jenis

ini adalah keasrian khas alam yang

dimiliki suatu daerah.

Tanpa adanya keterikatan

dengan alam berarti suatu destinasi

wisata tidak bisa dikatakan sebagai

destinasi wisata alam, itu mengartikan

apabila alam rusak, maka rusak pula

atraksi wisata alam tersebut. Banyak

sekali kejadian yang salah untuk

proses pengembangan untuk

memajukan destinasi wisata alam di

daerah-daerah lain. Mereka hanya

sebatas membangun, memperindah

sisi eksternalnya suatu destinasi wisata

alam saja untuk kebutuhan wisatawan

tanpa mempedulikan sisi internal yang

sangat penting untuk kebutuhan suatu

destinasi wisata alam kedepannya

yaitu lingkungan alam.

Dalam pengembangan tersebut

mereka hanya bercermin dari

peradaban modern yang semua aspek

berbau modern tanpa memperhatikan

dasar alamiah. Dengan membangun

bermacam gedung industri tanpa pola

keamanan, kenyamanan dan

kesejahteraan terhadap manusia secara

tidak langsung hal tersebut akan

terlihat condong ke perilaku ekonomi

kapitalis tanpa memperdulikan

lingkungan sekitar. Pengembangan

seperti ini dengan tidak sadar

membawa kearah kemunduran

disegala aspek, hanya memperoleh

kemajuan instant diawalnya setelah

tindakan dari suatu perencanaan

pengembangan yang dilakukan,

khususnya dalam penelitian ini adalah

pengembangan terhadap destinasi

wisata alam.

Dimasa jangka panjang bukan

kemajuan yang diperoleh melainkan

semakin mengalami kemerosotan dan

rencana untuk memajukan wisata alam

adalah hal yang sangat jauh dari yang

diharapkan karena lignkungan alamiah

yang merupakan elemen penting dari

destinasi wisata telah rusak.

Pengembangan memanglah

sangat dibutuhkan dalam hal kemajuan

untuk segala aspek yang diusahakan.

Pembangunan tidak semata hanya

membangun dan mengembangkan.

Bahwasanya pengembangan yang

dibutuhkan dalam pengembangan

destinasi wisata alam adalah

pengembangan yang tetap

mempedulikan habitat keasrian

lingkungan destinasi wisata alam ke

depannya ataupun pengembangan

berkelanjutan yang erat kaitannya

dengan konservasi lingkungan.

Dengan itu kemajuan akan diperoleh

dalam hal ini adalah kemajuan

destinasi wisata alam Kebun Raya

Samarinda tanpa mengorbankan

habitat keasrian lingkungan alam

sekitar destinasi wisata tersebut. Tanpa

pengembangan berwawasan

lingkungan maka akan terjadi

kerusakan lingkungan yang akan

menjadi semakin parah dengan waktu.

Menjaga kemampuan lingkungan

untuk mendukung pengembangan

merupakan usaha untuk mencapai

pembangunan jangka panjang yang

mencakup jangka waktu antar

Page 235: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

227

generasi, yaitu pengembangan dengan

tetap mengedepankan kelestarian

lingkungan alamiah atau konservasi

lingkungan ataupun sering kita dengar

pembangunan berkelanjutan.

Dengan mencakup jangka waktu

antar generasi, dalam proses

pengembangan tidaklah untuk kita

saja, melainkan untuk anak cucu di

generasi mendatang. Untuk mencapai

itu semua pengembangan haruslah

berwawasan lingkungan dengan

menggunakan sumberdaya secara

bijaksana agar berdaya guna lebih bagi

manusia dan habitat alamiah

lingkungan untuk masa sekarang dan

masa yang akan datang. “Dan kami

hamparkan bumi itu dan Kami

letakkan padamu gunung-gunung yang

kokoh dan Kami tumbuhkan padanya

segala macam tanaman yang indah

dipandang mata” (QS 50:7).

Kekayaan di bumi ini sudah semuanya

tersedia untuk manusia dan

memberikan kesejahteraan termasuk

alam yang dikelola oleh manusia

dalam hal ini adalah destinasi wisata

alam dengan mengandalkan atraksi

wisata berupa kekayaan alam, akan

tetapi pengelolaan tersebut haruslah

selaras dengan kelestarian habitat

alamiah alam dan perilaku semacam

itu secara tidak langsung adalah suatu

bentuk ucapan terimakasih kepada

Tuhan yang telah melimpahkan itu

semua untuk kita kelola dan kita

konsumsi. “Hai sekalian manusia,

makanlah yang halal lagi baik dari

apa yang terdapat dibumi…” (QS

2:168). “Dan janganlah kamu

membuat kerusakan di muka bumi

sesudah (Allah)

memperbaikinya…..”(QS 7:56).

Dari penelitian yang telah penulis

lakukan, sudah tergambar jelas

bahwasannya pembangunan dan

pengembangan yang dilakukan di

destinasi Wisata Alam Posong di

kabupaten Temanggung yang berupa

infrastruktur, sarana dan prasana

sudah memperhatikan konservasi

lingkungan alam sekitar destinasi

wisata. Seperti halnya pembangunan-

pembangunan fasilitas utama seperti

gazebo, musholla dan fasilitas yang

ada di sekitar destinasi utama juga

memperhatikan keasrian lingkungan

dengan tidak menebang pohon-pohon

dan menggusur habitat hewan khas

tempat ini, yaitu habitat burung

Blekok yang mendiami tempat di kaki

gunung Sindoro yang sekaligus

menjadi atraksi tambahan.

Dilihat dari sarana prasarana

yang mendukung destinasi utama di

sisi eksternal seperti sarana dan

prasarana, sebagai contoh pelebaran

jalan yang dilakukan sebagai

kelancaran wisatawan untuk menuju

destinasi juga memperhatikan

konservasi lingkungan, dimana dalam

proses pelebaran aksesbilitas jalan

tersebut tidak ada yang menjadi

korban dari pelebaran ini, termasuk

lahan milik penduduk dan tanaman-

tanaman asli tempat ini, bisa dilihat di

sepanjang jalan menuju destinasi

Wisata Alam Kebun Raya Samarinda

masih terdapat pohon pinus yang

berjajar rata sepanjang jalan. Di

sepanjang jalan ini tidak ada satupun

lahan pertanian milik penduduk yang

tergusur.Untuk pengembangan

berkelanjutan juga terdapat

pengelolaan dengan menanam bunga-

bunga khas daerah pegunungan dan

pohon pinus di sekitar destinasi wisata

agar tetap tercipta siklus baru untuk

keasrian lingkungan alaminya. Jadi,

pengembangan destinasi Wisata alam

Kebun Raya Samarinda memang

sangat memperhatikan konservasi

lingkungan dengan tidak semata-mata

membangun tanpa memperhatikan

keasrian alam sekitar destinasi wisata

Page 236: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

228

ini, dengan tetap mengedepankan

pembangunan dan pengembangan

berwawasan lingkungan di tengah

hiruk pikuk pembangunan yang

mengorbankan kelestarian lingkungan

alamnya.

Kesimpulan

Terdapat hubungan yang sangat

positif dan hubungan yang kuat antara

pengembangan-pengembangan dari

segi infrastruktur, sarana dan

prasarana yang dilakukan dengan

konservasi lingkungan untuk

kemajuan destinasi wisata dan untuk

kelestarian lingkungan sekitar

destinasi Wisata Alam Kebun Raya

Samarinda, dilihat dari hasil penelitian

yang menunjukkan angka positif dari

perhitungan yang menggunakan alat

bantu hitung SPSS 18.0, dimana

pearson correlation menunjukkan

angka “,604” yang bernilai positif,

nilai tersebut menunjukkan adanya

hubungan yang positif dan kuat antara

variabel independent (X) yaitu

pengembangan yang memiliki

indikator infrastruktur, sarana dan

prasarana dengan variabel dependent

(Y) yaitu konservasi lingkungan.

Kemudian dari tabel hasil perhitungan

ditemukan bahwa sig. (2-tailed) atau

hasil signifikasi adalah “,000” yang

apabila dibandingkan dengan level of

significance = 0,05 adalah lebih

kecil yang menunjukkan terdapat

signifikasi hubungan antara

pengembangan dengan konservasi

lingkungan. Sehingga hipotesis Ho

ditolak dan Ha diterima karena

terdapat hubungan yang signifikan

antara pengembangan destinasi wisata

alam Kebun Raya Samarinda dengan

konservasi lingkungan. Sehingga

apabila pengembangan destinasi

wisata alam Kebun Raya Samarinda

mengalami peningkatan maka diikuti

pula oleh peningkatan konservasi

lingkungan.

Saran

Perlu adanya kerjasama antara

instansi yang tidak secara langsung

terkait dengan pariwisata namun

mempunyai hubungan erat dengan

kelestarian lingkungan. Bahwasannya

pengembangan Destinasi Wisata Alam

Kebun Raya Samarinda tidak hanya

melakukan pengembangan untuk

mengembangkan destinasi wisatanya

akan tetapi pengembangan tersebut

berpedoman juga terhadap

keberlanjutan keasrian lokal di masa

mendatang dikarenakan jenis destinasi

wisata ini adalah Wisata Alam yang

sangat erat kaitannya dengan keasrian

lokal untuk atraksi wisata utamanya.

Maka dari itu gap antara instansi-

instansi tersebut harus dibuang agar

tercipta suatu kerja sama yang saling

membangun alam yang berdaya guna

bagi manusia dan bumi tanpa merusak

keasrian alam tersebut dimasa

mendatang, di penghuni generasi yang

akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, Deni. 2013. Metode

Penelitian Kuantitatif.

Bandung. PT Remaja

Rosdakarta

Fandeli, Chafid. 1995. Dasar-Dasar

Manajemen Kepariwisataan.

Yogyakarta. Liberty.

Hasan, Ali. 2009. Marketing.

Yogyakarta. Medpress

, Ali. 2013. Marketing dan

Kasus-kasus Pilihan. Yogyakarta.

CAPS

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Metode

Kuantitatif Teori dan Aplikasi

Untuk Bisnis dan

Page 237: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

229

Ekonomi.Yogyakarta. AMP

YKPN

Musanef. 1996. Manajemen Usaha

Pariwisata. Jakarta. Gunung Agung.

Pendit, Nyoman S. 2002. Ilmu

Pariwisata “ sebuah pengantar

perdana”. Jakarta. PT Pradnya

Paramita

Pitana , I Gde dan Gayatri. 2005.

Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta.

Andi.

, I Gde dan Diarta. 2009.

Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta.Andi.

Sihite, Richard. 2000. Tourism

Industry ( Kepariwisataan). Surabaya.

SIC

Siregar, Syofian. 2013. Metode

Penelitian Kuantitatif dan

SPSS. Jakarta. Kencana

Prenada.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian

Manajemen. Bandung. CV

Alfabeta.

. 2013. Metode Penelitian

Kuantitatif,Kualitatif, Dan

R&D. Bandung. CV Alfabeta.

Sudjana. 1996. Metode Statistik.

Bandung. Tarsito.

Sunyoto, Danang. 2011. Metode

Penelitian Ekonomi. Yogyakarta.

CAPS

Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar –

Dasar Pariwisata. Yogyakarta. Andi

Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi

Pemasaran. Yogyakarta.Andi.

Wahab, Salah Pd.D. 1997. Pemasaran

Pariwisata. Jakarta. PT Pradnya

Paramita.

Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu

Pariwisata. Bandung. Angkasa.

Page 238: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Studi Korelasi Pengembangan Destinasi Wisata Alam Taman Borneo Samarinda dengan Konservasi Lingkungan

230

Page 239: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

231

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA SEBAGAI PENDUKUNG

INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA

Sri Yuniati1, Djoko Susilo

2

[email protected]

Abstract

Tourism is one of dominant sectors in increasing state income. This condition urges

Indonesian government to increase quality of human resources development (HRD)

in tourism sector. The existence of HRD plays important roles to enhance tourism by

becoming the motor wheel of tourism industry sustainability, the main actor that

creating core tourism product and the one of determinant factor in tourism industry

competitiveness. Nevertheless, HRD in tourism has not received serious attention

from the government. The government policy was still focused on new the destination

development, infrastructure, and accommodation, whereas the development of HRD

quality has not received any attention.It is needed to increase HRD quality through

education, formal and informal training such as a training for foreign language, tour

guide, labor force training in the field of tourism, and certification of business in

tourism. Those system and mechanism must be well designed by the government as a

response to the challenge in fulfilling the HRD at present and the next.

Keywords: human resources development, tourism industry

Abstrak

Pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan yang mampu meningkatkan devisa

negara. Kondisi ini menuntut pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia (SDM) yang profesional dan terampil di bidang pariwisata.

Keberadaan SDM mempunyai peran penting dalam menunjang pariwisata, yaitu

sebagai motor penggerak kelangsungan industri pariwisata, pelaku utama yang

menciptakan produk inti pariwisata, dan sebagai salah satu faktor penentu daya saing

industri pariwisata. Namun keberadaan SDM di bidang pariwisata belum

mendapatkan perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Kebijakan pemerintah

terkait pariwisata selama ini masih bertumpu pada pengembangan destinasi wisata

baru, infrastruktur, dan akomodasi, sementara pengembangan kualitas SDM belum

mendapatkan perhatian. Padahal keberadaan industri pariwisata tidak dapat

dilepaskan dari keberadaan SDM pariwisata sebagai faktor pendukung. Untuk itu,

diperlukan peningkatan kualitas SDM di bidang pariwisata melalui pendidikan dan

pelatihan baik formal maupun non formal seperti penguasaan bahasa asing, pelatihan

tour guide, pelatihan tenaga kerja di bidang kepariwisataan, dan sertifikasi usaha di

bidang kepariwisataan lainnya. Sistem dan mekanisme tersebut harus didesain secara

baik oleh pemerintah agar dapat menjawab tantangan kebutuhan SDM pariwisata di

masa kini dan mendatang.

Kata Kunci: pengembangan sumber daya manusia, industri pariwisata

1,2

Dosen Universitas Jember

Page 240: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

232

Pendahuluan

Sektor pariwisata memiliki

peran strategis dalam menciptakan

nilai tambah bagi perekonomian

Indonesia. Tahun 2017 sektor

pariwisata memberikan sumbangan

bagi devisa negara sebesar 205,04

triliun yang diperoleh dari peningkatan

jumlah wisatawan mancanegara dan

peningkatan rata-rata pengeluaran

wisatawan per kunjungan. Sejalan

dengan hal itu posisi daya saing

pariwisata Indonesia berdasarkan

penilaian WEF (World Economic

Forum) mengalami peningkatan

signifikan menjadi rangking 42 dunia

(Kemenpar, 2017). Peningkatan

pendapatan dari sektor pariwisata juga

diikuti dengan penyerapan banyak

tenaga kerja. Terdapat kurang lebih 12

juta orang yang bekerja di sektor

pariwisata pada tahun 2016, sehingga

sektor ini juga berperan dalam

menanggulangi kemiskinan dan

peningkatan lapangan kerja.

Sebagai negara kepulauan

terbesar, Indonesia menyimpan

potensi pariwisata yang dapat

dikembangkan menjadi destinasi

pariwisata yang menarik dan menjadi

tujuan utama wisata dunia. Wilayah-

wilayah potensial yang dapat

dikembangkan antara lain: Sumatera

seperti Toba, Nias; Kalimantan seperti

Tanjung Putting, Derawan; Sulawesi

seperti Toraja, Wakatobi; Papua

seperti Biak, Asmat; dan Nusa

Tenggara seperti Tambora, Kelimutu,

Komodo. Potensi ini dapat

dikembangkan untuk menarik jumlah

kunjungan wisatawan utamanya

wisatawan mancanegara. Namun

potensi di wilayah tersebut belum

didukung oleh faktor infrastruktur dan

fasilitas pendukung wisata. Umumnya

destinasi pariwisata Indonesia masih

terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali

sehingga jumlah kunjungan wisatawan

di Jawa dan Bali masih paling tinggi

dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Dalam rangka meningkatkan

pembangunan pariwisata Indonesia,

pemerintah telah membuat kebijakan

untuk meningkatkan ketersediaan

infrastruktur, akomodasi, dan sarana

fisik lainnya. Namun pengembangan

sarana dan prasarana fisik tersebut

belum diimbangi dengan penyediaan

SDM yang profesional dan terampil di

bidang pariwisata. Seperti diketahui

pariwisata merupakan organisasi yang

tidak hanya berbasis fisik tetapi

sekaligus berbasis jasa sehingga

pariwisata sangat bergantung pada

keberadaan SDM. Sumber daya

manusia pariwisata merupakan

individu/pelaku industri pariwisata

yang secara langsung atau tidak

langsung terlibat dalam sektor

pariwisata. Diberlakukannya

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

berdampak pada lalu lintas orang antar

negara-negara Asia Tenggara semakin

tinggi termasuk antar SDM di bidang

pariwisata. Dibandingkan negara-

negara lain seperti Thailand dan

Malaysia, kualitas SDM pariwisata di

Indonesia masih tertinggal. Untuk itu,

diperlukan peningkatan kompetensi

SDM pariwisata agar pembangunan

pariwisata Indonesia dapat dilakukan

secara optimal.

Tulisan ini mencoba

menganalisis keberadaan SDM

sebagai faktor kunci dalam

pengembangan pariwisata Indonesia.

Kajian ini akan dilengkapi dengan

upaya peningkatan kualitas SDM yang

bisa dilakukan agar SDM di bidang

pariwisata memiliki kompetensi yang

sesuai dengan kebutuhan industri

pariwisata.

Page 241: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

233

Tinjauan Pustaka

Industri Pariwisata

Pariwisata merupakan sektor

yang sangat kompleks karena

melibatkan beberapa aspek. Pariwisata

dapat didefinisikan sebagai aktivitas,

pelayanan dan produk hasil industri

yang mampu menciptakan

pengalaman perjalanan bagi

wisatawan (Mulyadi, 2009). Menurut

UU No.10 Tahun 2009, pariwisata

adalah berbagai macam kegiatan

wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah,

dan pemerintah daerah. Menurut Yoeti (2008), pariwisata

sebagai suatu industri masih

diperdebatkan diantara para pakar.

Batasan pariwisata sebagai suatu

industri diberikan secara terbatas. Ide

memberikan istilah industri pariwisata

(tourism industry) lebih banyak

bertujuan memberikan daya tarik supaya

pariwisata dapat dianggap sebagai

sesuatu yang berarti bagi perekonomian

suatu negara, terutama pada negara-

negara sedang berkembang (Suwena &

Widyatmaja, 2017).

Terdapat lima unsur yang sangat

pentingdalam industri pariwisata

(Badrudin, 2001) yaitu:

1. Daya tarik

Daya tarik dapat digolongkan

menjadi site attractions dan event

attractions. Site atrractions

merupakan daya tarik fisik yang

permanen dengan lokasi yang tetap

seperti tempat-tempat wisata,

sedangkan event attractions

merupakan daya tarik yang bersifat

sementara dimana lokasinya dapat

berubah atau berpindah seperti

pertunjukan kesenian.

2. Fasilitas

Fasilitas merupakan perlengkapan

yang dibutuhkan wisatawan selama

tinggal di tempat tujuan wisata,

seperti penginapan, tempat makan,

toko souvenir, pemandu wisata dan

sebagainya.

3. Infrastruktur

Daya tarik dan fasilitas juga harus

didukung oleh infrastruktur.

Pemenuhan infrastruktur

merupakan cara untuk menciptakan

suasana yang nyaman bagi

wisatawan dan dapat menunjang

pengembangan industri pariwisata.

4. Transportasi

Transportasi akan menentukan

jarak dan waktu dalam sebuah

perjalanan wisata. Oleh karena itu

transportasi merupakan unsur

utama langsung untuk menunjang

industri pariwisata.

5. Keramahtamahan

Wisatawan yang berada dalam

lingkungan baru membutuhkan

kepastian jaminan keamanan

apalagi bagi wisatawan asing.

Karenanya kebutuhan akan

keamanan termasuk

keramahtamahan SDM pariwisata

menjadi unsur yang penting supaya

wisatawan nyaman selama

perjalanan wisata.

Senada dengan Badrudin, Suwena dan Widyatmaja (2017)

menjelaskan tentang ciri-ciri industri

pariwisata meliputi:

1. Service Industry Pariwisata disebut sebagai industri

jasa karena masing-masing

perusahaan yang membentuk industri

pariwisata adalah perusahaan jasa

(service industry) yang masing-

masing bekerja sama menghasilkan

produk yang dibutuhkan wisatawan

selama dalam perjalanan wisata yang

dilakukan pada suatu daerah tujuan

wisata. Atas dasar itulah pariwisata

dapat disebut sebagai industri jasa.

Adapun faktor-faktor produksinya

adalah kekayaan alam, modal, tenaga

kerja, keterampilan.

Page 242: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

234

2. Labor intensive

Industri pariwisata mampu

menumbuhkan dan menciptakan

kesempatan kerja, baik langsung

maupun tidak langsung karena

terkait dengan keperluan manusia

yang melakukan perjalanan wisata.

Oleh sebab itu, sektor pariwisata

tergolong dan berpeluang sebagai

kegiatan padat karya. Mulai dari

usaha jasa pariwisata, usaha objek

dan daya tarik wisata (alam,

budaya, maupun minat khusus)

sampai dengan usaha sarana

pariwisata (akomodasi, restoran,

dan kawasan) secara langsung

menciptakan lapangan kerja yang

tidak kecil jumlahnya. Dengan

demikian industri pariwisata yang

ada pada suatu wilayah atau daerah

memberikan dampak positif

terhadap pengentasan kemiskinan

dan pengangguran pada wilayah

yang bersangkutan.

3. Capital intensive

Untuk membangun sarana dan

prasarana industri pariwisata

diperlukan modal yang besar untuk

investasi, akan tetapi di lain pihak

pengembalian modal yang

diinvestasikan itu relatif lama

dibandingkan dengan industri

manufaktur lainnya.

4. Sensitive

Industri perjalanan itu sangat peka

sekali terhadap keadaan sosial,

politik, keamanan (security), dan

kenyamanan (comportably). Kita

mengetahui wisatawan adalah

orang-orang yang mencari

kesenangan pada suatu destinasi,

sehingga dengan adanya situasi

politik, kondisi sosial keamanan

yang stabil, baik di negara asal

wisatawan maupun di negara yang

akan dikunjungi, biasanya menjadi

faktor penentu bagi wisatawan,

apakah akan melakukan perjalanan

wisata atau tidak.

5. Seasonal

Permintaan akan perjalanan wisata

juga ditentukan oleh musim ramai

(peak season) atau musim sepi (off

season). Adanya fluktuasi naik atau

turunnya permintaan untuk

berkunjung pada suatu daerah

tujuan wisata (DTW) tertentu,

merupakan masalah yang sering

dihadapi industri pariwisata.

6. Quick yielding industry

Dengan mengembangkan

pariwisata sebagai industri, devisa

(foreign exchanges) akan lebih

cepat bila dibandingkan dengan

kegiatan ekspor yang dilakukan

secara konvensional. Hal ini bisa

dilihat dari sejak wisatawan

menginjakkan kakinya di negara

yang dikunjungi, karena saat itu

wisatawan harus membayar semua

kebutuhannya, mulai dari

akomodasi, hotel, makanan dan

minuman, transportasi, souvernir,

dan lain-lain.

Dalam rangka pembangunan

industri pariwisata di Indonesia tidak

dapat dilepaskan dari semua aspek

kehidupan masyarakat baik ideologi,

politik, ekonomi, sosial budaya, dan

hankam. Untuk itu diperlukan suatu

strategi melalui kebijakan dan

langkah-langkah yang harus

dilaksanakan secara terus-menerus.

Kebijakan ini dapat dijadikan sebagai

suatu pedoman dalam

penyelenggaraan kepariwisataan di

Indonesia. Kebijakan tersebut antara

lain: menjadikan pariwisata sebagai

penghasil devisa utama; menjadikan

pariwisata sebagai pendorong

pembangunan; peningkatan sumber

daya manusia bidang pariwisata;

peningkatan kemitraan masyarakat,

swasta dan media massa; dan

Page 243: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

235

peningkatan kerja sama lintas sektoral

(Muljadi, 2009).

Pengembangan Sumber Daya

Manusia

Sumber daya manusia (SDM)

pariwisata adalah tenaga kerja yang

pekerjaannya terkait secara langsung

dan tidak langsung dengan kegiatan

kepariwisataan (Wiryanto, 2017).

Kualitas SDM pariwisata secara

langsung akan menentukan mutu

produk dan pelayanan wisata. Artinya,

pengembangan kualitas SDM menjadi

salah satu kunci untuk memenangkan

persaingan global yang semakin

kompetitif (Kusworo & Damanik,

2002).

Pengembangan sumber daya

manusia merupakan penyiapan

individu untuk memikul tanggung

jawab yang berbeda atau yang lebih

tinggi di dalam organisasi.

Pengembangan biasanya berhubungan

dengan peningkatan kemampuan

intelektual atau emosional yang

diperlukan untuk menunaikan

pekerjaan yang lebih baik (Simamora,

2004). Tujuan pengembangan SDM

adalah untuk meningkatkan kualitas

profesionalisme dan keterampilan

SDM dalam melaksanakan tugas dan

fungsinya secara optimal (Hasibuan,

2008).

Bentuk pengembangan SDM

dikelompokkan atas pengembangan

formal, pengembangan secara

informal, dan pengembangan

pengalaman kerja (Hasibuan, 2008;

Alwiyah, 2017).

1. Pengembangan formal dilakukan

dengan mengikuti pendidikan atau

pelatihan, baik yang dilakukan

organisasi maupun yang

dilaksanakan oleh lembaga-

lembaga pendidikan atau pelatihan.

2. Pengembangan secara informal

dilakukan atas keinginan dan usaha

sendiri dengan melatih dan

mengembangkan dirinya dengan

mempelajari hal-hal yang ada

hubungannya dengan pekerjaan

atau jabatan.

3. Pengembangan pengalaman kerja,

dimaksudkan untuk meningkatkan

pengetahuan teknis maupun

keterampilan kerja. Pendekatan

secara informal dan pengalaman

kerja dapat dilakukan secara

bersama-sama dalam bentuk

magang dan latihan di tempat kerja.

Strategi pengembangan sumber

daya manusia antara lain melalui

kegiatan pendidikan dan pelatihan

(Krisdianto & Nurhajati, 2017).

Pendidikan bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan kerja,

dalam arti pengembangan bersifat

formal dan berkaitan dengan karir,

sehingga jangka waktunya panjang.

Sementara pelatihan bertujuan untuk

mengembangkan individu dalam

bentuk peningkatan keterampilan,

pengetahuan dan sikap dengan jangka

waktu singkat.

Strategi pengembangan SDM

pariwisata juga dapat dilakukan

melalui peningkatan kemampuan

SDM dalam kewirausahaan di bidang

kepariwisataan, serta meningkatkan

kualitas dan kuantitas lembaga

pendidikan kepariwisataan yang

terakreditasi (Wiryanto, 2017).

Melalui pengembangan SDM

diharapkan dapat meningkatkan

kecakapan SDM pariwisata sehingga

dapat melaksanakan tugas-tugasnya

secara lebih efisien dan produktif.

Pembahasan

Perkembangan dan Permasalahan

Industri Pariwisata Indonesia

Industri pariwisata telah lama

dijadikan sebagai sektor komoditi

unggulan sebagai pendukung

Page 244: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

236

pembangunan di banyak negara, tak

terkecuali di Indonesia. Hal ini antara

lain disebabkan sektor pariwisata

mampu meningkatkan pendapatan

negara, mampu meningkatkan

penyerapan tenaga kerja, dapat

membuka pasar baru bagi produk hasil

pertanian, hasil kerajinan, dan jasa.

Industri pariwisata secara sederhana

dapat diartikan sebagai suatu proses

kegiatan ekonomi di bidang

kepariwisataan berupa jasa atau

produk yang berbeda satu dengan

lainnya untuk memenuhi kebutuhan

wisatawan (Hakim, 2010). Industri

pariwisata melibatkan banyak pelaku,

baik dari pihak pemerintah, dunia

usaha, maupun masyarakat luas.

Di Indonesia, industri pariwisata

mengalami perkembangan signifikan

dalam beberapa tahun terakhir. Data

Kementerian pariwisata (2017)

menunjukkan pertumbuhan kunjungan

wisatawan mancanegara ke Indonesia

pada tahun 2017 adalah sebesar

14.039.799 orang (16,77%),

mengalami peningkatan apabila

dibandingkan tahun 2016.

Pertumbuhan tersebut lebih tinggi

dibandingkan dengan negara-negara

lain di kawasan ASEAN seperti

Thailand (5,08%), Singapura (6,42%)

dan Malaysia (-1,52%), namun lebih

rendah apabila dibandingkan dengan

Vietnam (29,06%).

Gambar 1. Pertumbuhan Kunjungan Wisman ke Indonesia (Sumber: Kemenpar, 2017)

Untuk meningkatkan

pembangunan kepariwisataan

Indonesia, pemerintah telah

mengambil langkah-langkah strategis,

diantaranya adalah pengembangan

sepuluh destinasi pariwisata prioritas,

pelaksanaan calendar of event,

peningkatan kapasitas dan

profesionalisme SDM pariwisata, dan

pemanfaatan aplikasi digital untuk

meningkatkan kualitas dukungan

manajemen. Strategi ini memberikan

pengakuan bagi pariwisata Indonesia

berupa penghargaan yang diterima

pemerintah antara lain: 1) Indonesia

menjadi Top-20 fastest growing travel

destination in the world; 2) Indonesia

mendapat 27 penghargaan Branding

Wonderful Indonesia di 13 negara; 3)

Strategi Branding Wonderful

Indonesia untuk penetrasi online

mendapat peringkat ke 47

(mengalahkan Thailand (68) dan

Malaysia (85) menurut WEF tahun

2017 (Kemenpar, 2017).

Page 245: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

237

Terlepas dari berbagai prestasi

yang diperoleh, namun masih terdapat

berbagai permasalahan yang dihadapi

sektor pariwisata Indonesia. Terdapat

beberapa permasalahan yang dihadapi

industri pariwisata Indonesia yaitu:

1) Promosi dan publikasi

Promosi dan publikasi

merupakan salah satu permasalahan

yang dihadapi pariwisata Indonesia,

baik di dalam negeri maupun di luar

negeri. Hal ini berbanding terbalik

dengan negara-negara tetangga seperti

Singapura, Malaysia, Thailand.

Anggaran promosi pariwisata negara-

negara tersebut sangat besar sehingga

mampu memberikan kontribusi

maksimal bagi pertumbuhan ekonomi.

Untuk mendongkrak perkembangan

pariwisata Indonesia, sejak tahun 2015

pemerintah telah meningkatkan

anggaran promosi 4 kali lipat

dibandingkan tahun sebelumnya.

Kenaikan anggaran untuk promosi dan

publikasi ini diharapkan dapat

berdampak pada perkembangan

pariwisata Indonesia sehingga dapat

meningkatkan kontribusi pariwisata

pada pendapatan negara.

2) Infrastruktur

Infrastruktur utama dan

pendukung sektor pariwisata di

Indonesia seperti transportasi, listrik,

air bersih, dan infrastruktur lainnya di

sebagian daerah tujuan wisata masih

rendah. Padahal infrastruktur

merupakan salah satu yang

menentukan bergerak atau tidaknya

sektor pariwisata. Kelemahan ini

berdampak pada aksesibilitas dan

mahalnya biaya ke destinasi wisata

tujuan. Oleh karena itu infrastruktur

harus menjadi skala prioritas yang

harus disiapkan oleh pemerintah

apabila ingin meningkatkan kunjungan

wisatawan ke Indonesia.

3) Kualitas SDM

Pariwisata merupakan service

industry, hospitality industry, dan

image industry sehingga peranan

kualitas SDM sangat penting agar

mampu memberikan kepuasan kepada

wisatawan, baik dalam bentuk

pelayanan pada industri pariwisata

maupun sikap masyarakat lokal (host)

yang ada di daerah tujuan wisata

(Anom, 2013). Kualitas layanan SDM

dan kualitas SDM pariwisata

Indonesia masih tergolong rendah. Hal

ini tidak terlepas dari tingkat

kesadaran penduduk terhadap manfaat

pariwisata. Kualitas SDM juga masih

rendah terutama terkait kemampuan

berbahasa asing para pelaku/pekerja

pariwisata. Hal ini diakui oleh

Kementerian Pariwisata dalam

Laporan Kinerja Kementerian Tahun

2017 bahwa salah satu permasalahan

yang dihadapi oleh kepariwisataan

Indonesia adalah kapasitas dan

profesionalisme SDM (Kemenpar,

2017). Di sinilah dibutuhkan peran

pemerintah dalam peningkatan

kualitas SDM sehingga memberikan

manfaat bagi pariwisata Indonesia.

Mendasarkan pada

perkembangan dan beberapa

permasalahan yang masih dihadapi

industri pariwisata Indonesia maka

pemerintah harus didorong untuk

membuat regulasi atau kebijakan.

Kebijakan ini tidak hanya mencakup

pada pengembangan destinasi

pariwisata tetapi juga kebijakan terkait

pembangunan SDM pariwisata yang

berkualitas. Adanya kebijakan ini

diharapkan dapat memacu

peningkatan pariwisata Indonesia

sehingga sektor ini tidak hanya

mampu memberikan kontribusi

maksimal dalam meningkatkan

perekonomian negara tetapi termasuk

penyerapan tenaga kerja.

Page 246: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

238

Sumber Daya Manusia Sebagai

Faktor Pendukung Pariwisata

Sumber daya manusia

merupakan hal yang penting dalam

sebuah organisasi, karena SDM

menjadi pendukung utama tercapainya

tujuan organisasi (Nandi, 2008).

Karenanya SDM harus digerakkan

secara efektif dan efisien agar

mencapai daya guna yang tinggi.

Pengertian SDM dapat dibedakan

secara makro dan mikro. Secara

makro, SDM adalah semua manusia

sebagai penduduk atau warga negara

suatu negara atau dalam batas wilayah

tertentu yang sudah memasuki usia

angkatan kerja, baik yang sudah

maupun belum memperoleh pekerjaan

(lapangan kerja). Sementara dalam

pengertian dalam arti mikro, SDM

adalah manusia atau orang yang

bekerja atau menjadi anggota suatu

organisasi yang disebut personil,

pegawai, karyawan, pekerja, tenaga

kerja (Nawawi, 2003: 17). Seiring dengan pertumbuhan

sektor pariwisata Indonesia, kebutuhan

SDM pariwisata mengalami

peningkatan. Pada tahun 2016

pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang

bekerja di sektor pariwisata mencapai

12,28% dari keseluruhan jumlah

tenaga kerja secara nasional. Jumlah

ini mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2015 yang

tumbuh sebesar 10,36% (BPS, 2018).

Namun pertumbuhan SDM pariwisata

belum diimbangi dengan kualitas

SDM. Padahal dalam industri

pariwisata, produk yang dihasilkan

antara lain adalah jasa, oleh karena itu

penekanannya pada segi pelayanan

yang disesuaikan dengan kebutuhan

wisatawan. Kualitas pelayanan

merupakan indikator utama yang

menunjukkan tingkat profesionalitas

SDM.

Menurut Warsitaningsih (2002)

dalam Setiawan (2016),

pengembangan pengetahuan SDM

pariwisata ditekankan pada 3 hal

pokok:

1. Pengembangan pengetahuan

tentang tata cara pelayanan yang

berkaitan dengan variasi kegiatan

pariwisata, misalnya pelayanan di

hotel, berbeda dengan pelayanan di

tempat rekreasi atau dalam

perjalanan wisata.

2. Pengembangan pengetahuan

tentang peralatan dan perlengkapan

yang diperlukan dalam bidang

pelayanan.

3. Pengembangan SDM yang

berkaitan dengan pengembangan

sikap, perilaku, sopan santun dan

sebagainya.

Sasaran dari peningkatan SDM

pariwisata adalah peningkatan kualitas

pelayanan untuk wisatawan baik

mancanegara maupun domestik.

Kualitas pelayanan yang baik terhadap

wisatawan diharapkan memberikan

kesan yang baik dan menimbulkan

keinginan wisatawan untuk kembali

berkunjung. Sasaran tersebut juga

berdampak pada meningkatnya daya

saing SDM pariwisata Indonesia

terutama pasca diberlakukannya

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Seperti diketahui dalam MEA terdapat

beberapa jenis pekerjaan di sektor

pariwisata yang telah disepakati.

Beberapa sektor pekerjaan tersebut

sebagaimana ditampilkan pada tabel di

bawah ini.

Page 247: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

239

Tabel 1. Job Titles yang Disepakati dalam MEA

Sumber: Kemenpar, 2017

Kesepakatan ini membawa

konsekuensi pada tingginya

persaingan antar SDM diantara

negara-negara ASEAN dalam

memasuki pasar kerja di sektor

pariwisata. Di sinilah dibutuhkan

sebuah strategi untuk meningkatkan

daya saing SDM pariwisata Indonesia.

Salah satu yang sudah dilakukan

pemerintah adalah melalui sertifikasi

SDM yang dilakukan oleh Lembaga

Sertifikasi Profesi (LSP). Namun

sampai saat ini, baru sebagian kecil

SDM pariwisata yang telah

disertifikasi apabila dibandingkan

dengan jumlah SDM pariwisata yang

tersedia.

Tabel 2. Beberapa Bidang yang Disertifikasi

Bidang yang Disertifikasi Capaian

Hotel dan Restoran 40.000

Biro Perjalanan Wisata 2.000

Spa 9.400

Mice 300

Kepemanduan Wisata 5.600

Tour Leader 200

Sumber: Kemenpar, 2017.

Berdasarkan Tabel 2 dapat

dikemukakan bahwa jumlah tenaga

kerja yang disertifikasi sebagian besar

adalah SDM di bidang perhotelan,

sementara SDM di bidang lainnya

jumlahnya sangat kecil seperti di

bidang Mice dan Tour Leader. Hal ini

menunjukkan bahwa program

sertifikasi yang dilaksanakan

pemerintah, dalam hal Kementerian

Pariwisata baru menjangkau bidang-

bidang tertentu. Kondisi ini

disebabkan banyaknya kebutuhan

untuk sertifikasi pada SDM yang

ditujukan pada bidang hotel dan

restoran. Pemerintah masih perlu

menetapkan langkah strategis lainnya

guna meningkatkan kualitas SDM di

sektor pariwisata terutama bidang-

Page 248: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

240

bidang kerja lainnya yang terkait

pariwisata.

Upaya Peningkatan Kualitas

Sumber Daya Manusia

Melihat peluang dan tantangan

yang dihadapi terkait SDM pariwisata,

maka beberapa langkah strategis perlu

dilakukan. Beberapa langkah strategis

yang dilakukan adalah:

1. Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya

bertujuan untuk meningkatkan dan

mengembangkan potensi diri

seseorang agar memiliki kemampuan.

Dalam rangka meningkatkan kualitas

SDM pariwisata, maka pendidikan

formal kepariwisataan menjadi

penting. Sebab SDM khususnya di

daerah pada umumnya tidak memiliki

pendidikan formal kepariwisataan.

Kondisi ini tentunya dapat

menghambat perkembangan

pariwisata di daerah. Pendidikan

kepariwisataan ini terutama ditujukan

bagi SDM yang ada di Dinas

Pariwisata atau SDM di industri

pariwisata yang berada di daerah

melalui pendidikan lanjutan, misalnya

Diploma Pariwisata, Sarjana

Pariwisata. Pengembangan SDM

melalui pendidikan juga berkaitan

dengan pengembangan sikap, perilaku,

sopan santun, dan sebagainya. Ketiga

komponen tersebut harus selalu

ditingkatkan oleh SDM pariwisata

karena setiap saat komponen tersebut

akan selalu berubah dan mengarah

pada kemajuan. Dengan demikian

pendidikan yang didukung oleh sikap,

perilaku, sopan santun akan

mempengaruhi daya serap dan

pemenuhan kebutuhan SDM pada

industri pariwisata.

2. Pelatihan

Seperti halnya pendidikan,

pelatihan dimaksudkan untuk

peningkatan kemampuan dan

keterampilan bagi SDM pariwisata.

Sistem dan mekanisme pelatihan perlu

didesain secara baik, sehingga dapat

menjawab tantangan kebutuhan

kepariwisataan di masa yang akan

datang, khususnya tuntutan

menciptakan SDM yang memiliki

keunggulan kompetitif dan

profesional. Menurut Simamora

(2004), jenis-jenis pelatihan yang

dapat diselenggarakan antara lain: a)

Pelatihan Keahlian (Skill Training),

merupakan pelatihan yang umumnya

dilakukan di sebuah organisasi.

Pelatihan ini ditujukan bagi SDM

yang berhubungan dengan industri

pariwisata. Program pelatihannya

relatif sederhana dan kebutuhan atau

kekurangan yang dimiliki SDM

pariwisata diidentifikasi melalui

penilaian yang cermat; b) Pelatihan

Ulang (Retraining) adalah bagian dari

pelatihan keahlian. Pelatihan ulang

berupaya memberikan keahlian

dibutuhkan SDM pariwisata untuk

menghadapi tuntutan industri

pariwisata yang berubah-ubah; c)

Pelatihan Kreativitas (Creativity

Training) berlandaskan pada asumsi

bahwa kreativitas dapat dipelajari.

Ada beberapa cara untuk mengajarkan

kreativitas pada SDM pariwisata yang

semuanya bertujuan untuk membantu

dalam memecahkan masalah yang

dihadapi SDM di bidang pariwisata

dengan kiat-kiat baru.

3. Sertifikasi profesi

Sertifikasi profesi dimaksudkan

untuk menjamin SDM pariwisata

memiliki kompetensi dibidangnya.

Sertifikasi dilakukan oleh lembaga

yang kredibel seperti Lembaga

Sertifikasi Profesi (LSP) bidang

Page 249: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

241

pariwisata. Selama ini Kemenpar telah

melakukan sertifikasi pada sebagian

tenaga kerja di sektor pariwisata,

namun belum menjangkau seluruh

tenaga kerja di industri pariwisata.

Menurut Kemenpar (2017),

dalam melaksanakan sertifikasi

terhadap SDM pariwisata terdapat

beberapa kendala baik dari industri

pariwisata maupun LSP sendiri.

Kendala tersebut yaitu belum semua

LSP memiliki skema yang dibutuhkan

untuk melakukan sertifikasi di bidang

tertentu, jumlah LSP yang masih

terbatas, terbatasnya waktu

pelaksanaan sertifikasi kompetensi,

keterlambatan waktu pelaksanaan

karena kendala peserta. Dalam hal ini

Kemenpar telah melakukan terobosan

dengan membuka pelaksanaan

sertifikasi profesi di beberapa kota

tertentu. Peningkatan jumlah SDM

yang bersertifikat diharapkan dapat

meningkatkan kompetensi tenaga

kerja sektor pariwisata.

Kesimpulan

Dalam pengembangan industri

pariwisata dibutuhkan dukungan SDM

yang profesional dan terampil. SDM

berperan penting dalam mengelola

kegiatan kepariwisataan termasuk

menyediakan barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan wisatawan.

Peningkatan kompetensi SDM

pariwisata menjadi faktor kunci yang

harus dikelola secara baik. Pemerintah

melalui Kementerian Pariwisata

bekerjasama dengan Lembaga

Sertifikasi Profesi (LSP) telah

melakukan langkah strategis untuk

meningkatkan profesionalitas SDM

pariwisata. Namun langkah tersebut

baru menjangkau sebagian SDM

pariwisata utamanya di bidang

perhotelan. Untuk itu lebih

meningkatkan kualitas SDM

pariwisata dapat dilakukan melalui

berbagai pendidikan atau pelatihan

baik formal maupun non formal.

Pelatihan diberikan kepada SDM yang

terlibat langsung ataupun tidak

langsung dalam sektor pariwisata.

Daftar Pustaka

Alwiyah. 2017. ASEAN yang

Berkelanjutan melalui

Pembangunan SDM, Penguatan

UMKM, dan Pariwisata. Pusat

Studi ASEAN Universitas

Wiraraja Sumenep.

Anom, I. Putu. 2013. Potensi

Kepariwisataan Provinsi Nusa

Tenggara Timur (Studi Kasus di

Kawasan Pariwisata

Komodo).Jurnal Analisis

Pariwisata, Vol. 13 No. 1.

Badrudin, Rudy. 2001. Menggali

Sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD) Daerah Istimewa

Yogyakarta Melalui

Pengembangan Industri

Pariwisata.Jurnal Kompak, No.

3, hal. 384-403.

Hakim, Lukmanul. 2010. Industri

Pariwisata dan Pembangunan

Nasional. Jurnal Among

Makarti, Vol.3 No.5. Juli 2010.

Handoyo, Sapto. 2003. Peningkatan

Kualitas Sumber Daya Manusia

Pariwisata Abad XXI. Media

Wisata, Vol.2 No.1, hal. 11-17.

Hasibuan, Malayu, S.P. 2008.

Manajemen Sumber Daya

Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Krisdianto, B & Nurhajati. 2017.

Pengaruh Pengembangan

Sumber Daya Manusia dan

Motivasi Terhadap Kinerja

Pegawai Dinas Pariwisata Kota

Batu. JIMMU, Vol.2 No. 2, hal.

85-97.

Page 250: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai Pendukung Industri Pariwisata Indonesia

242

Kementerian Pariwisata. 2017.

Laporan Akuntabilitas Kinerja

Kementerian Pariwisata Tahun

2017. Jakarta.

Kusworo, H.A. & Damanik, J. 2002.

Pengembangan SDM Pariwisata

Daerah: Agenda Kebijakan

untuk Pembuat Kebijakan.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Vol. 6 No. 1, hal. 105-

119.

Muljadi. 2009. Kepariwisataan dan

Perjalanan. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Nandi. 2008. Pariwisata dan

Pengembangan Sumber Daya

Manusia. Jurnal Pendidikan

Geografi (Gea), Vol.8 No.1, hal.

33-42.

Nawawi, Hadari. 2003. Manajemen

Sumber Daya Manusia untuk

Bisnis yang Kompetitif.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Setiawan, Rony Ika. 2016.

Pengembangan Sumber Daya

Manusia di Bidang Pariwisata:

Perspektif Potensi Wisata

Daerah Berkembang. Jurnal

Penelitian Manajemen Terapan

(PENATARAN), Vol. 1 No. 1,

hal. 23-35.

Simamora, H. 2004.Manajemen

Sumber Daya Manusia (Edisi

Pertama). Yogyakarta: STIE

YKPN.

Suwena, I Ketut & Widyatmaja,

I.G.N. 2017. Pengetahuan

Dasar Ilmu Pariwisata.

Denpasar: Pustaka Larasan.

Wiryanto, Wisber. 2017. Kajian

Kebijakan Pengembangan

Kompetensi Sumber Daya

Manusia Sektor Pariwisata Era

Reformasi Birokrasi. Prosiding

Seminardan Call Paper, FISIP

Universitas Muhammadiyah

Sidoarjo.

Page 251: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

243

BRANDING DAN STRATEGI PEMASARAN: PERBANDINGAN BEBERAPA

STUDI KASUS PEMASARAN DAERAH TUJUAN WISATA

Sunardi Purwaatmoko1, Syech Haryono

2, Adhiningasih Prabhawati

3

[email protected]

Abstract

A good strategy of branding and marketing is needed for the sucess of developing tourism

destinations. In the promotion of tourism destinations, four aspects should be considerred

namely, destination branding, destination image, destination positioning and destination

marketing. The more perfect in identifying and implementing the four aspects the more

sucessful the marketing of the tourism destinations will be. According to case studies carried

out in some areas of study, it can be concluded that the building of brand image and market

promotion will get great sucess when the building of the brand image and market promotion

strategy have been operated in line with theoritical framework in literatures. In contrast to

this, three case studies conducted in UK, UK and USA compared, and in Latvia explain the

failure of making destination brand and marketing in line with theory due to many different

reasons. The case study in UK highlights inadequacies in the web-based promotion of food-

related tourism initiatives in the UK, due in part to the fragmented infrastructure for

regional tourism development and promotion in the UK. A comparison of UK and USA

alliances indicates that the domain of the latter are more constrained by the social,

economic, and political environment in which they operate. Prescriptions for local tourism

marketing alliances should not be made without understanding the needs of stakeholders and

the constraints of their environments. The case study in Latvia, as several steps according to

the theoretical model have been carried out. However, there are some problems that

obstruct a successful strategy development process. The main problems revealed are lack of

coordination and collaboration among involved institutions, lack of financial resources, and

lack of political will and inadequate involvement of experts.

Keywords: Branding, image, marketing, tourism destination

Abstrak

Pembentukan branding dan pemasaran yang baik sangat diperlukan untuk mencapai

keberhasilan dalam pembangunan daerah wisata. Terdapat empat aspek penting yang

perlu dilakukan, yaitu destination branding, destination image, destination

positioning dan destination marketing. Menurut studi kasus yang dilaksanakan di

beberapa daerah dapat disimpulkan bahwa pembangunan brand image dan promosi

membuahkan hasil yang maksimal jika dalam membangun brand image dan promosi

pasar dilakukan sesuai dengan kerangka pemikiran teoritis berdasarkan literatur.

Berbeda dengan temuan-temuan itu, tiga temuan studi kasus di Inggris, Inggris dan

Amerika Serikat (dua kasus yang diperbandingkan) dan di Latvia, menjelaskan

kegagalan dalam membangun brand dan pemasaran tujuan wisata disebabkan oleh

beberapa alasan yang berbeda-beda. Studi kasus di Inggris menjelaskan kegagalan

promosi yang berbasis pada website pada pariwisata yang berhubungan dengan

makanan disebabkan karena adanya kondisi infrastruktur yang terfragmentasi. Kasus

yang kedua, dengan membandingkan aliansi-aliansi promosi yang ada di Amerika

Serikat dan Inggris, menunjukkan bahwa aliansi-aliansi pemasaran di di Amerika

Serikat lebih banya mengalami kendala-kendala sosial, ekonomi, dan lingkungan

dimana kegiatan itu beroperasi. Penelitian itu menyarankan dalam membangun

1,2,3

Lecturer in Jember University

Page 252: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

244

baranding dan pemasaran daerah wisata lokal, aliansi-aliansi pemasaran seharusnya

tidak dibuat jika tidak memahami kepentingan-kepentingan dari stakeholder dan

kendala-kendala lingkungan. Sedangkan studi kasus yang terakhir di Latvia

menunjukkan bahwa kegagalan dalam membangun branding dan promosi

disebabkan oleh ketidakadaan kolaborasi dan koordinasi diantara lembaga-lembaga

yang terlibat, kejarangan biaya finansial, dan ketidakadaan political will (kemauan

politik) dan keterlibatan para ahli.

Kata Kunci: merek, citra, pemasaran, destinasi wisata

Pendahuluan

Salah satu alasan mengapa

pariwisata secara ekonomi begitu

penting secara ekonomi adalah bahwa

sektor itu merupakan industri padat

karya (labor intensive). Tenaga kerja

dalam industri pariwisata terutama

terkonsentrasi dalam sektor jasa dan

sektor jasa cenderung less automated

dalam arti bahwa sektor itu tidak

banyak memerlukan keterampilan

khusus. Dengan demikian tenaga kerja

yang bekerja pada sektor itu tidak

memerlukan modal yang besar. Oleh

sebab itu travel dan tourisme akan

dapat memainkan peranan penting

dalam menyediakan kesempatan kerja

bagi kelompok penduduk setempat

yang menghadapi kesulitan besar

dalam memperoleh pekerjaan.

Di samping sektor pariwisata

mampu menciptakan pekerjaan, sektor

tourisme juga merupakan sektor

penting yang mampu meningkatkan

pendapatan daerah. Dalam arti luas,

tourisme meliputi pengeluaran-

pengeluaran yang digunakan untuk

membeli barang dan jasa oleh para

pengunjung, Travellers Check,

transportasi, penginapan, atraksi,

makanan, minuman, entertainment,

souvenir, rental mobil, taksi, ojek, agen

travel. Menurut Vanhove (2005)

pariwisata juga berpengaruh besar

dalam membangkitkan bisnis mikro.

Manfaat bisnis mikro yang timbul

sebagai akibat pariwisata adalah uang

yang didapatkan oleh binis mikro

cenderung beredar di dalam komunitas

local. Mikro bisnis juga merupakan

elemen yang vital dalam menciptakan

lapangan kerja di daerah-daerah

pedesaan dan daerah-daerah yang

kurang berkembang. Perlu diketahui

bahwa di banyak negara berkembang

munculnya bisnis pariwisata adalah

sebuah kesempatan untuk menjadi

wiraswastawan.

Poin yang penting untuk

mendapat perhatian adalah bahwa

kemajuan ekonomi nasional diukur

dengan jumlah yang merupakan jumlah

total aliran pendapatan dari tangan ke

tangan. Para ahli ekonomi telah banyak

mengetahui bahwa peningkatan

investasi baik publik maupun privat

dalam ekonomi meningkatkan

pendapatan nasional yang jumlahnya

lebih besar dari jumlah investasi yang

ditanamkan. Para ahli ekonomi

menggunakan istilah multiplied amount

(jumlah yang berlipat lipat) karena

ketika investasi itu berpindah-pindah

ke tangan orang lain, investasi awal itu

dikeluarkan kembali dan menghasilkan

putaran pengeluaran yang baru.

Pendeknya, peningkatan investasi baik

investasi itu dilakukan oleh sektor

swasta maupun pemerintah (publik)

akan mengakibatkan multiplier effect.

Sebuah contoh dari multiplier

effect dalam sektor pariwisata dapat

dijelaskan sebagai berikut: Aning

tinggal di suatu hotel yang dimiliki

Page 253: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

245

oleh Ana satu malam dan membayar

Rp 500.000,00 Ana membelanjakan

uang itu untuk membayar Warno,

seorang pekerja hotel. Warno

menggunakan sebagian uangnya untuk

membayar Wardi, seorang

penyembelih hewan ternak. Wardi

membeli roti dari Tini seorang pembuat

roti. Uang pertama yang dibelanjakan

pemilik hotel itu, Ana, terus beredar

dalam hubungan perekonomian yang

menghasilkan aktivitas-aktivitas

ekonomi yang jika diukur dengan uang,

jumlah aktivitas itu lebih dari

Rp500.000,00 uang yang dikeluarkan

oleh Aning sebagai jasa menginap di

hotel.

Efek positif terhadap pendapatan

nasional inilah yang menyebabkan

mengapa setiap pemerintah/negara

berusaha untuk mengembangkan sektor

wisata. Di samping alasan sudah

dijelaskan sebelumnya bahwa salah

satu alasan mengapa pariwisata secara

ekonomi begitu penting untuk

meningkatkan pendapatan nasional

terdapat alasan lain yang menjadikan

sektor pariwisata sebagai pelung untuk

meningkatkan jumlah tenaga kerja

sebab sektor pariwisata terkonsentrasi

dalam sektor jasa yang tidak

memerlukan keterampilan khusus.

Sektor pariwisata akan dapat

menyediakan kesempatan kerja bagi

penduduk lokal yang pada umumnya

mereka kesulitan mendapatkan

pekerjaan.

Walaupun sektor pariwisata

berpotensi besar dalam menyediakan

kesempatan pekerjaan bagi penduduk

lokal, tidaklah begitu mudah untuk

mengembangkan dan mempromosikan

daerah-daerah tujuan wisata. Studi

kasus di lapangan menunjukkan bahwa

walaupun pembentukan branding dan

promosi daerah tujuan wisata dalam

banyak kasus telah dilakukan di

beberapa negara atau beberapa daerah,

akan tetapi hasilnya bervariasi. Sebagai

contoh misalnya terdapat beberapa

daerah yang telah berhasil dalam

mengembangkan dan mempromosikan

daerah tujuan wisata yakni, daerah-

daerah tujuan wisata berbasis

agroedutourism di Lawang Kabupaten

Malang, Eco-Homestay di desa

Sidomulyo, Kecamatan Silo,

Kabupaten Jember kecamatan Silo

kabupaten Jember, dan pengembangan

daerah wisata Kotagede sebagai

Cultural Heritage di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Sedangkan daerah-daerah

tujuan wisata yang lain mengalami

kegagalan dalam mempromosikan

daerah wisata yang mereka

kembangkan. Misalnya aliansi

pemasaran yang terjadi di Inggris dan

Amerika, perkembangan strategi

branding nasional di Latvia, dan

pengembangan food tourism di daerah-

daerah pedesaan di Inggris.

Masalah yang akan

dikembangkan di dalam tulisan ini

adalah pertama, bagaimana teori baku

dalam membentuk branding dan

mempromosikan daerah tujuan wisata;

dan masalah kedua adalah mengapa

beberapa daerah mengalami

keberhasilan dalam promosi daerah

tujuan wisata sedangkan daerah yang

lain mengalami kegagalan. Untuk

menjawab pertanyaan yang pertama

dalam tulisan ini disajikan seperangkat

model teori tentang branding

berdasarkan literatur dan untuk

menjawab pertanyaan yang kedua

penulis akan menyajikan beberapa

kasus keberhasilan dan kegagalan

dalam melakukan branding dan

promosi daerah tujuan wisata.

Page 254: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

246

Tinjauan Pustaka

Tahap-Tahap dalam Menjalankan

Strategi Pemasaran Berdasarkan

Teori

Kesadaran pemerintah terhadap

nilai ekonomi sektor pariwisata

terhadap masyarakat telah merangsang

pemerintah untuk memikul tanggung

jawab untuk dapat mengembangkan

DMO (Destination Marketing

Organization). Pemasaran industri

pariwisata memerlukan sebuah institusi

yang digunakan untuk mempromosikan

objek-objek wisata yang akan

ditawarkan. Lembaga yang

bertanggung jawab melaksanakan

promosi tujuan wisata itu dinamakan

DMO yang dibentuk oleh pemerintah

baik pada tingkat nasional, provinsi

maupun kabupaten. Tujuan utama

DMO adalah memasarkan tujuan

wisata. Wiraswastawan industri

pariwisata dapat menjadi katalisator

dalam merangsang kerja sama dalam

promosi tujuan wisata. Akan tetapi

menurut Pyke (2004), upaya mereka

dalam melakukan promosi tidak akan

berhasil dengan baik tanpa bantuan

pemerintah melalui DMO. Istilah DMO

digunakan secara berbeda-beda di

berbagai negara, agencies (Latvian

Tourism Development Agency),

authorities (The Gambia Tourism

Authority), boards (British Virgin

Islands Tourist Board), bureaux

(Hawaii Visitors Bureau, centres (Le

Centre Gabonais de Promotion

Touristique), commissions (Australian

Tourist Commission), companies (NYC

and Company), corporations (Virginia

Tourism Corporation), councils

(Swedish Travel &Tourism Council),

departments (Dubai Department of

Tourism and Commerce Marketing),

ministries (Israel Ministry of Tourism).

Walaupun upaya

mempertahankan daya kompetisi ini

merupakan tantangan yang signifikan

bagi banyak tujuan wisata, akan tetapi

studi yang membahas topik itu sangat

terbatas. Untuk menciptakan daya

kompetisi objek wisata, Pyke (2004)

menjelaskan terdapat empat tanggung

jawab utama, yaitu: (1). Meningkatkan

image tujuan wisata; (2). meningkatkan

keuntungan yang dihasilkan dari

industri wisata; (3). mengurangi

kecenderungan kunjungan wisata

musiman, dan; (4). meyakinkan

pembiayaan jangka panjang.

Sedangkan tiga tanggung jawab

yang lain menurut penjelasan Pyke

(2004) adalah koordinasi industri,

memonitor standar kualitas, dan

memelihara hubungan dengan

masyarakat. Pertama, industri

coordination. Karena tujuan wisata

bersifat multi-atribut, pada umumnya

tantangan yang dihadapi DMO adalah

banyaknya supplier yang membuat

produk tujuan wisata. Salah satu peran

penting DMO adalah mengembangkan

pendekatan kohesif diantara para

stakeholder untuk meningkatkan daya

kompetisi daerah tujuan wisata. Oleh

sebab itu, antara pemerintah dan

pemangku kepentingan perlu

memanfaatkan bersama sumber-sumber

yang ada untuk menciptakan dampak

yang lebih besar terhadap pasar.

Kedua, monitoring service and quality

standards. Ciri utama pariwisata

sebagai industri pelayanan yang

menghendaki kepastian dalam standar

kualitas. Ketiga, enhancing community

relations. Tujuan DMO tidak selalu

jelas bagi anggota masyarakat tuan

rumah, termasuk para operator

pariwisata lokal. Oleh sebab itu DMO

seharusnya dapat mengidentifikasi

sejauh mana masyarakat setempat

memahami tujuan dan peran DMO.

Banyak orang yang tidak mengetahui

bahwa pariwisata dapat merangsang

penciptaan tenaga kerja baru. Mereka

Page 255: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

247

beranggapan bahwa DMO hanya

memberikan pelayanan pada para

operator pariwisata lokal. Oleh sebab

itu, penduduk masyarakat lokal perlu

diberi penjelasan bahwa sektor

pariwisata bukan hanya

menguntungkan para operator

pariwisata akan tetapi juga warga

masyarakat lokal. Tujuannya adalah

agar supaya warga masyarakat lokal

tidak ragu-ragu dalam mendukung

pengembangan pariwisata.

Ada beberapa tahap yang dilalui

dalam menjalankan strategi pemasaran

daerah tujuan wisata, destination

branding, destination image,

destination positioning dan destination

marketing. Dari sudut pandang pasar,

brand adalah sebuah nama dan/atau

simbol (seperti logo, trademark, atau

desain paket) yang dimaksudkan untuk

mengidentifikasi barang-barang atau

jasa-jasa baik yang dimiliki oleh

seorang penjual atau sekelompok orang

penjual, dan untuk membedakan

barang-barang yang dimaksud dari para

pesaingnya. Dalam pandangan Pyke

(2004), brand mempunyai makna yang

lebih dalam. Brand lebih dari hanya

sekedar simbol sederhana yang

disajikan kepada publik. Brand itu

harus mewakili sesuatu, janji untuk

konsumen, dan oleh sebab itu lebih dari

hanya sekedar logo. Brand juga

melibatkan sebuah “image” atau tipe

asosiasi yang ada dalam pikiran ketika

konsumen berpikir tentang “brand”.

Dengan demikian brand mewakili

identitas produsen sedangkan image

(citra) muncul dalam pikiran konsumen

ketika melihat, membaca atau

mendengar brand yang dimaksud.

Komunikasi melalui advertensi

dan promosi dapat membuat konsumen

memilih brand yang ada walaupun

terdapat berbagai alternatif barang dan

jasa yang lain. Oleh sebab itu menurut

Hackley (2005) komunikasi melalui

advertensi adalah merupakan

komponen yang esensial dalam

memasarkan brand. Keunggulan

kompetitif yang tidak dapat

dipertahankan dengan cara-cara lain

dapat diperoleh melalui penciptaan

branding. Melalui karya yang dibuat

dengan penuh kehati-hatian dan

strategi-strategi komunikasi yang

kreatif organisasi-organisasi dapat

menciptakan keunikan, perbedaan dan

sebagai akibatnya penetapan harga

premium dan pembelian oleh

konsumen yang berulang. Tujuan

pembentukan brand adalah

membangun identitas yang unik dan

mudah diingat oleh pasar atau

konsumen secara luas.

Arti penting dari pembentukan

image dalam pemasaran industri

pariwisata adalah bahwa pada

umumnya marketing tujuan wisata

berkaitan erat dengan penjualan citra

yang ada dalam alam mimpi bagi calon

pengunjung, karena ekspektasi dari

pelayanan industri jasa dalam bidang

pariwisata dapat dilihat secara nyata

setelah mengadakan kunjungan. Oleh

sebab itu para pemasar objek wisata

diharapkan dapat memahami bahwa

persepsi yang ada dalam pikiran

konsumen sama dengan kenyataan

yang dilihat. Perbedaan antara alam

yang ada dalam citra seseorang sebagai

calon pengunjung dengan alam nyata

atau derah tujuan wisata yang

sebenarnya akan mengakibatkan

kekecewaan bagi pengunjung apabila

dalam kenyataannya daerah tujuan

wisata menampilkan sebuah kenyataan

yang lebih buruk dari apa yang dilihat

dalam alam citra.

Citra tujuan wisata adalah

merupakan sekumpulan asosiasi brand

yang ada dalam pikiran konsumen.

Asosiasi-asosiasi brand itu mungkin

ditanggapi oleh konsumen secara

kognitif, afektif, konatif atau kombinasi

Page 256: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

248

dari ketiganya. Mereka mungkin telah

mengetahui citra atau image tujuan

wisata itu melalui sumber-sumber

organik seperti kunjungan yang pernah

dilakukan sebelumnya atau sumber

yang berupa rayuan untuk datang ke

tujuan wisata seperti advertensi. Citra

konsumen yang bersifat konatif analog

dengan tingkah laku. Citra konatif

mungkin dianggap sebagai

kemungkinan untuk mengunjungi

tujuan wisata dalam periode waktu

yang ditentukan.

Tahap berikutnya adalah

destination potitioning (penentuan

posisi tujuan wisata). Dalam

mengembangkan identitas brand untuk

mendapatkan brand image yang

diinginkan diperlukan penentuan posisi

identitas brand yang efektif agar dapat

memperoleh brand image yang

diperlukan pasar. Oleh sebab itu,

penentuan posisi identitas brand adalah

merupakan hubungan antara citra

tujuan wisata yang diinginkan dan

bayangan atau citra yang aktual yang

ada dalam pikiran konsumen.

Konsumen dalam industri pariwisata

dihadapkan pada banyak pilihan tujuan

wisata yang akan yang akan dikunjungi

konsumen. Biasanya mereka hanya

akan mempertimbangkan jumlah objek

wisata yang terbatas dalam proses

menentukan kedatangan menuju

tujuan-tujuan wisata. Oleh sebab itu

DMO perlu membuat sebuah model

destination positioning yang

mempunyai keunggulan kompetitif.

Penentuan posisi tujuan wisata yang

efektif akan menjadi sumber

keunggulan dari daerah-daerah tujuan

pariwisata. Komponen utama dari

penentuan posisi daerah tujuan wisata

adalah nama brand, dan simbol-simbol

seperti logo dan slogan.

Terakhir adalah memasarkan

produk pariwisata. Orientasi pasar

menghendaki cara berpikir organisasi

pasar yang bersifat beorientasi ke

dalam-dan luar (outward-inward).

Dalam sektor pariwisata hal ini berarti

pertama perlu mengantisipasi

kebutuhan para pengunjung, dan

kemudian mengembangkan produk dan

jasa untuk memenuhi kebutuhan

mereka. DMO biasanya menggunakan

pendekatan inward-outward thinking

dengan mencoba untuk mendapatkan

pasar atau konsumen yang tertarik pada

produk-produk yang ada di daerah

tujuan wisata. Dalam promosi produk

pariwisata harus mencocokkan antara

sumber-sumber yang ada di daerah

wisata dengan kebutuhan pengunjung.

Inilah yang mejadi fokus perhatian

dalam akivitas pemasaran DMO.

Berdasarkan pemikiran di atas,

langkah-langkah yang ditempuh dalam

pemasaran adalah: 1. Analisis situasi,

menyatukan audit sumber, dan analisis

lingkungan, 2. Analisis competitive

positioning, 3. Menentukan tujuan dan

strategi, 4. Rencana tindakan.

Semua tujuan komunikasi pasar

adalah untuk meningkatkan brand

equity yang berbasis pada kepentingan

konsumen. Integrated Marketing

Communication (IMC) menyajikan

pendekatan baru dalam pemasaran.

Ajaran kunci dari IMC adalah

pengembangan hubungan dengan

customer yang menguntungkan, Cross-

Functional Process and Stakeholder

Relationships, hubungan yang efektif

dengan pemangku kepentingan, dan

pesan-pesan yang sinergis.

Salah satu tujuan marketing

adalah meningkatkan kesetiaan

terhadap brand. Alasan mengapa harus

merangsang hubungan dengan

customer adalah bahwa hal itu akan

lebih menguntungkan dalam jangka

panjang jika diabandingkan dengan

transaksi yang terjadi hanya satu kali,

karena biaya untuk mendekati customer

baru akan memakan biaya yang lebih

Page 257: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

249

tinggi jika dibandingkan dengan biaya

mempertahankan hubungan baik

dengan customer lama. Marketing

dengan cara memelihara hubungan

yang baik adalah merupakan upaya

untuk membangun hubungan jangka

panjang dengan customer.

Cross-Functional Process and

Stakeholder Relationships. Tanggung

jawab terhadap manajemen brand

daerah wisata tidak hanya berada di

pundak DMO tetapi juga–pemangku

kepentingan. Oleh sebab itu hubungan

lintas-fungsional diantara mereka perlu

dikembangkan.

Tantangan paling berat yang

dihadapi DMO adalah menghadapi

para pemangku kepentingan dalam

rangka merangsang koordinasi dengan

semua pemangku kepentingan yang

mempunyai vested interest dan yang

akan berhubungan langsung dengan

para pengunjung. Apa yang diperlukan

bagi semua pemangku kepentingan

adalah pemahaman mereka terhadap

identitas brand, citra brand, dan

strategi penentuan brand. Semakin para

pemangku kepentingan itu memahami

tujuan rasional yang bedada di

belakang strategi-strategi penentuan

brand wisata, semakin efektif mereka

dapat mengintegrasikan pemasaran

yang mereka miliki dan semakin efektif

hubungan mereka dengan customer.

Purposeful Dialogue and

Message Synergy adalah merupakan

elemen-elemen campuran yang penting

untuk dicermati dalam melakukan

promosi dalam bentuk komunikasi

pemasaran (marketing communication).

Dalam komunikasi pemasaran

dipelukan adanya dialog yang terfokus

dengan pasar yang menjadi target

pemasaran. Tujuan dari komunikasi

pasar adalah meningkatkan asosiasi-

asosiasi brand dan posisi pasar. DMO

menggunakan alat promosi agar dapat

“menarik” pelanggan dan/atau

“mendorong” konsumen mengunjungi

daerah tujuan wisata melalui para

perantara travel.

Promosi melalui advertisement

akan dapat membantu keberhasilan

komunikasi pemasaran model

Purposeful Dialogue and Message

Synergy. Promosi melalui advertensi

berperan untuk merangsang citra brand

(brand image) ke dalam pemikiran para

pelanggan sedemikian rupa sehingga

mereka berkeinginan untuk datang

berkunjung. Di samping itu, seksi

hubungan masyarakat (publik relation)

juga dapat membantu untuk

mengembangkan kesan-kesan menarik

tentang daerah-daerah tujuan wisata.

Hal ini melibatkan upaya untuk

membuat pengumuman yang positif

yang dilakukan oleh DMO.

Metode Penelitian

Dalam menjelaskan berbagai

kasus yang terjadi di berbagai daerah

tujuan wisata, peneliti akan berusaha

untuk membandingkan beberapa kasus

yang melalui studi pustaka.

Menjelaskan teori pembentukan

branding dan strategi promosi

berdasarkan literatur yang ada. Dan

selanjutnya menganalisis hasil-hasil

penelitian yang sudah dilakukan di

beberapa daerah wisata dan

mengidentifikasi sebab-sebab

terjadinya keberhasilan atau kegagalan

dalam melakukan branding dan

promosi daerah tujuan wisata. Dan

terakhir, menarik sebuah kesimpulan

yang dapat menjelaskan beberapa

faktor yang menyebabkan keberhasilan

dan kegagalan dalam melakukan

branding dan promosi daerah tujuan

wisata.

Page 258: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

250

Beberapa Studi Kasus di Lapangan

Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, hal yang sangat penting

dilakukan untuk mencapai keberhasilan

dalam melakukan promosi wisata

adalah, kerja sama yang baik antara

DMO dengan para pemangku

kepentingan (stakeholders).

Keberhasilan pengembangan daerah

tujuan wisata memerlukan strategi

pemasaran yang unggul yang dapat

dinilai secara kualitatif. Elemen-elemen

yang perlu diutamakan dalam promosi

wisata menyangkut beberapa aspek

yakni, destination branding,

destination image, destination

positioning dan destination marketing.

Semakin sempurna dalam

mengidentifikasi dan implementasi

empat aspek itu semakin berhasil usaha

untuk memasarkan tujuan wisata.

Dalam studi kasus tentang

strategi promosi daerah tujuan wisata

yang dilaksanakan di berbagai daerah

tujuan wisata ditemukan hasil survey

lapangan yang bervariasi. Dalam

penelitian lain yang berjudul

“Reconstruing place image: A case

study of its role in destination market

research”, Shelby dan Morgan (2004)

berargumen bahwa perkembangan teori

mutakhir tentang image daerah tujuan

wisata sangat bermanfaat dalam

menuntun para pemasar daerah wisata.

Morgan dan Shelby berusaha untuk

merekonstruksi image daerah tujuan

wisata dengan menggunakan model

teori mutakhir yang menjelaskan

berbagai aspek strategi branding dan

pemasaran sebagaimana dijelaskan

dalam teori yang menyangkut aspek-

aspek destination branding, destination

image, destination positioning dan

destination marketing. Dalam

tulisannya dia menyimpulkan bahwa

adopsi pendekatan yang lebih

terintegrasi untuk melakukan praktik

pemasaran sangat penting dilakukan di

semua daerah wisata. Kesimpulan yang

diambil oleh Shelby dan Morgan

menunjukkan suatu bukti bahwa

keberhasilan dalam melakukan strategi

pemasaran dan branding daerah tujuan

wisata diperlukan langkah-langkah

yang integratif dari semua aspek yang

berhubungan dengan strategi

pembentukan branding dan pemasaran.

Studi Nuansa et, al. (2014)

melihat kecocokan konsep destination

branding dengan model-model promosi

turisme berdasarkan beberapa literatur

di Malang. Dalam penelitian ini mereka

berusaha untuk membandingkan antara

konsep-konsep destination branding

dengan model strategi pemasaran derah

wisata yang telah dilakukan oleh

beberapa peneliti. Dalam penelitian

yang mereka lakukan ditemukan bahwa

video adalah merupakan media yang

paling cocok digunakan untuk promosi

turisme di Malang. Video dapat

memperlihatkan objektivitas fakta dan

membuatnya lebih mudah

mengasosiasi pemikiran penonton

terhadap daerah tujuan wisata.

Berdasarkan hasil penelitian itu mereka

berpandangan bahwa media video

dapat digunakan sebagai model

promosi yang paling efektif untuk

mempengaruhi atau membangkitkan

keinginan dari calon pengunjung untuk

datang ke daerah tujuan wisata. Hal ini

merupakan kesempatan berpromosi

melalui media itu; dan diharapkan

dapat menjadi contoh model promosi

turisme di Malang.

Abdullah et. al. (2014) dalam

penelitiannya tentang Eco-Homestay di

Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo,

Kabupaten Jember menemukan bahwa

Eco-Homestay dalam pariwisata

berbasis konservasi di daerah pedesaan

dapat dicapai karena komunitas

penduduk Silo mampu mengendalikan

struktur pembangunan yang

terintegrasi, struktur organisasional,

Page 259: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

251

struktur finansial, strategi pemasaran,

strategi operasional dan pembangunan

fisik. Penelitian ini bukan hanya

menekankan pada strategi pemasaran

akan tetapi juga menekankan pada

aspek-aspek pembangunan lain yang

menjadi pendukung keberhasilan

pemasaran daerah tujuan wisata.

Temuan yang berharga dari penelitian

ini adalah bahwa strategi pemasaran

daerah tujuan wisata dapat dilakukan

dengan tingkat keberhasilan yang

maksimal ketika aspek-aspek

pembangunan daerah tujuan wisata

yang lain seperti struktur pembangunan

fisik, struktur pembangunan organisasi

masyarakat dan struktur pembangunan

finansial.

Sedangkan menurut Nisa et, al.

(2014) berusaha untuk

mengidentifikasi potensi aktivitas

petani organik sebagai ketertarikan

objek wisata agroedutourismdi daerah

Lawang, kabupaten Malang, Jawa

Timur. Mereka menemukan bahwa

pembangunan objek wisata berbasis

agroedutourism telah membawa

manfaat pembelajaran antara petani dan

murid dalam menciptakan aktivitas

kewirausahaan yang dapat dilihat

melalui pencapaian prestasi yang

diperoleh oleh ekopreneur yang dapat

diukur dari dimensi sistem pasar yang

efektif dan keuntungan riil yang dapat

diperoleh dari upaya pengembangan

agro-ecosystem yang sehat dan hasil-

hasilnya. Kolaborasi antara petani dan

murid sekolah dapat memperbaiki

ketertarikan objek wisata dan lama

berkunjung bagi para wisatawan, 80%

dari kelompok tani dikunjungi para

wisatawan secara teratur antara 5 – 10

kali setiap bulan oleh para pengunjung

potensial seperti kelompok-kelompok

tani dari daerah lain, pasangan keluarga

suami-isteri, pegawai staf depatemen

pertanian dan murid sekolah.

Keberhasilan objek wisata di Lawang

terkait dengan kapasitas masyarakat

dalam mengembangkan objek wisata,

partisipasi masyarakat, kepemimpinan,

dan sumber-sumber, jaringan sosial dan

kekuatan yang dimiliki komunitas

tersebut.

Hasil penelitian Nisa et. al.

(2014) menunjukkan bahwa strategi

branding yang dilakukan oleh DMO

telah berhasil dalam menciptakan

branding objek wisata berbasis

agroedutourism. Keberhasilan mereka

dalam menciptakan branding dapat

dilihat ketika kolaborasi antara petani

dan murid sekolah dapat memperbaiki

ketertarikan objek wisata dan lama

berkunjung bagi para wisatawan, 80%

dari kelompok tani dikunjungi para

wisatawan secara teratur antara 5 – 10

kali setiap bulan oleh para pengunjung

potensial seperti kelompok-kelompok

tani dari daerah lain, pasangan keluarga

suami-isteri, pegawai staf departemen

pertanian dan murid sekolah.

Penciptaan branding daerah tujuan

wisata Lawang sebagai

Agroedutourism telah mampu menarik

sejumlah wisatawan dari luar daerah

yang ingin mempelajari model kerja

sama antara petani dengan para murid

sekolah dalam menciptakan aktivitas

kewirausahaan. Model kerja sama

dalam menciptakan kewirausahaan

yang spesifik inilah yang merupakan

ciri utama daerah tujuan wisata

Lawang. Citra Lawang sebagai pusat

kegiatan kewirausahaan yang

melibatkan antara petani dan murid

sekolah telah menjadi Brand yeng

mewakili sesuatu model kerja sama

antara murid sekolah dengan petani,

yang memberikan janji untuk

konsumen, dan oleh sebab itu model

kerja sama untuk menciptakan

kewirausahaan ini maknanya lebih

lebih dalam dari pada hanya sekedar

logo. Brand juga melibatkan sebuah

“image” atau tipe asosiasi yang ada

Page 260: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

252

dalam pikiran ketika konsumen

berpikir tentang “brand”. Dengan

demikian brand mewakili identitas

produsen sedangkan image (citra)

muncul dalam pikiran konsumen ketika

melihat, membaca atau mendengar

brand yang dimaksud.

Kasus yang terjadi di Daerah

Istimewa Yogyakarta melibatkan

Rencana pengembangan warisan

budaya di Yogyakarta yang

mengintegrasikan aspek-aspek politik,

teknokrasi, dan partisipasi masyarakat

lokal. Komunitas masyarakat lokal

difasilitasi oleh pemerintah dan NGO

(Non-Government Organnizations)

dalam mengembangkan rencana

pembangunan objek wisata warisan

budaya di Yogyakarta. Dalam

penelitian mereka yang berjudul

“Kulture Development Planning in the

Special Region of Yogyakarta

(Management Planning of Cultural

Heritage in Kotagede District based on

Community Empowerment

Conservation Model )“, Suryanti et. al

(2014) menemukan bahwa terdapat

proses yang unik yang melibatkan

kombinasi kolaboratif antara aktor-

aktor politik, teknokrat dan partisipasi

masyarakat lokal yang dianalisis

dengan model pendekatan

partisipatory, top down dan bottom up.

Penelitian Suryanti et. al tidak

membahas secara spesifik tentang

brand Kotagede sebagai Cultural

Heritage di daerah Istimewa

Yogyakarta. Akan tetapi hasil

penelitian Suryanti et. al. menunjukkan

bahwa brand Kotagede sebagai

Cultural Heritage yang sudah lama

terpatri di dalam citra para pengunjung

atau wisatawan telah terwujud dengan

baik sebagai brand yang mampu

menarik wisatawan. Hal ini disebabkan

karena dalam mempertahankan brand

Kotagede sebagai Cultural Heritage

telah dibangun oleh pemerintah daerah

dengan melibatkan Komunitas

masyarakat lokal difasilitasi oleh

pemerintah dan NGO (Non-

Government Organnizations) dalam

mengembangkan rencana

pembangunan objek wisata warisan

budaya di Yogyakarta. Dengan

demikian dapat dimaknai bahwa

keberhasilan Daerah Istimewa

Yogyakarta dalam mempertahankan

brand Kotagede sebagai Cultural

Heritage tidak terlepas dari keterlibatan

kombinasi kolaboratif antara aktor-

aktor politik, teknokrat, dan partisipasi

masyarakat lokal. Dengan demikian,

penelitian ini menjelaskan variabel

independen kolaborasi aktor-aktor

politik, teknokrat, dan partisipasi

masyarakat lokal yang berpengaruh

positif terhadap brand Cultural

Heritage Kotagede sebagai variabel

dependen.

Jika dalam peneltian-penelitian

terdahulu dapat menjelaskan pengaruh

positif dari brand ditinjau dari berbagai

aspek, maka empat penelitian di bawah

ini menjelaskan berbagai aspek yang

berpengaruh negatif terhadap

penciptaan brand. Steven dan Derek

(2004) meneliti penggunaan World

Wide Web (WWW) dalam

mempromosikan food tourism di

daerah-daerah pedesaan.

Mereka

mengemukakan argumen bahwa di

daerah-daerah pedesaan cenderung

tempatnya kurang spesifik jika

dibandingkan dengan daerah-daerah

perkotaan, sering berpenduduk jarang,

dengan aktivitas-aktivitas yang

terpisah, pemandangan-pemandangan

alam yang berbeda dan persepsi yang

bervariasi tentang “pedesaan”. Akan

tetapi daerah-daerah pedesaan biasanya

berhubungan erat dengan pertanian dan

makanan dan merupakan suatu daerah

pertumbuhan pariwisata. Nampaknya

masuk akal mempromosikan identitas-

identitas daerah-daerah pedesaan

Page 261: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

253

melalui citra atu image yang

berhubungan dengan makanan dan

minuman. Akan tetapi perkembangan

brand akan tergantung pada sejumlah

persyaratan yang mungkin bersifat

elusive. Paper ini meneliti hubungan

timbal balik antara makanan dan

turisme sebagai fondasi untuk

membangun sebuah brand daerah

pedesaan, dan penggunaan website

dalam mempromosikan identitas

pedesaan itu.

Penelitian ini menemukan

bahwa ketidak cocokan penerapan

promosi turisme yang berbasis pada

website dalam memasarkan produk

dengan makanan di daerah pedesaan di

Inggris. Walaupun dapat dianggap

masuk akal untuk mempromosikan

identitas-identitas daerah-daerah

pedesaan melalui citra atau image yang

berhubungan dengan makanan dan

minuman, akan tetapi mereka telah

gagal dalam membentuk brand. Hal ini

disebabkan karena kondisi infrastruktur

yang terfragmentasi. Barangkali kasus

yang terjadi di Malang dapat menjadi

pengalaman yang mernarik untuk

diterapkan di daerah-daerah pedesaan

di Inggris. Dalam kasus di Malang,

Jawa Timur, media Video yang dapat

memperlihatkan objektifitas fakta dan

membuatnya lebih mudah

mengasosiasi pemikiran penonton

terhadap daerah tujuan wisata.

Berdasarkan hasil penelitian mereka

berpandangan bahwa media video

dapat digunakan sebagai model

promosi yang paling efektif untuk

mempengaruhi atau membangkitkan

keinginan dari calon pengunjung untuk

datang ke derah tujuan wisata.

Dalam penelitian di AS dan UK,

Palmer dan Bejou (2004) menjelaskan

bahwa pemasaran daerah tujuan wisata

melibatkan banyak pemangku

kepentingan dan penawaran produk

wisata yang kompleks. Kompleksitas

produk wisata dan saling

ketergantungan diantara pemangku

kepentingan telah mengakibatkan

terciptanya aliansi-aliansi pemasaran

turisme lokal. Palmer dan Bejou

menggunakan sebuah model untuk

menjelaskan motivasi dari sebuah

aliansi. Perbandingan antara kasus

aliansi yang terjadi di Inggris dan

Amerika menunjukkan bahwa di

Amerika aliansi lebih banyak

mengalami kendala lingkungan sosial,

ekonomi dan politik. Palmer dan Bejou

akhirnya mengajukan preskripsi

dengan mengatakan bahwa seharusnya

aliansi-aliansi pemasaran pariwisata

lokal itu tidak dibentuk jika tidak dapat

memahami kepentingan-kepentingan

stakeholder dan kendala-kendala

sosial, ekonomi dan politik. Aliansi-

aliansi pemasaran pariwisata lokal yang

terbentuk di luar DMO (Destination

Marketing Organization) hanya

cenderung menjadi penghalang bagi

kepentingan-kepentingan stakeholders

karena aliansi-aliansi pemasaran

pariwisata lokal itu tidak mau

mengidentifikasi dan mangakomodasi

kepentingan-kepentingan pemangku

kepentingan lokal.

Penelitian tentang branding dan

promosi pariwisata yang ketiga

diadakan di Latvia. Iveta dan Lidija

(2004) berusaha untuk meneliti tentang

perkembangan strategi branding

nasional di Latvia. Dari hasil penelitian

yang mereka lakukan di Latvia, kedua

peneliti itu mengatakan bahwa di

negara itu tidak ada strategi branding

yang didefinisikan dengan jelas

sebagaimana layaknya langkah-langkah

strategis berdasarkan teori. Temuan

penelitian utama yang dapat terungkap

adalah kurangnya koordinasi dan

kolaborasi diantara lembaga-lembaga

yang terlibat dalam promosi sehingga

upaya dalam melakukan strategi

Page 262: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

254

branding nasional di Latvia mengalami

kegagalan.

Dipandang dari pendekatan

community building, studi Shone et. al.

(2008) yang menitik beratkan pada

analisis perubahan implementasi

kebijakan di New Zealand yang pro-

kekuatan swasta yang terstruktur dalam

ideologi neo-liberalisme menuju

kebijakan yang lebih berpihak pada

kepentingan rakyat semakin jelas

menunjukkan bahwa kehadiran

pemerintah sebagai dimensi kekuatan

eksternal dalam pembangunan

kapasitas masyarakat lokal pada sektor

tourisme mempunyai kontribusi

penting dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat yang

berkesinambungan. Hal ini secara

implisit mengindikasikan bahwa di

New Zealand peranan kapasitas

masyarakat lokal dalam sektor tourisme

lebih kecil jika dibandingkan dengan

peran pemerintah karena kapasitas

internal masyarakat lokal tidak mampu

secara mandiri menciptakan

kesejahteraan masyarakat yang

berkesinambungan. Temuan Shone, et.

al. ini dapat dijadikan dasar bagi

pengembangan pariwisata di negara–

negara berkembang dimana di negara-

negara itu peran pemerintah dalam

mengakselerasi pembangunan sektor

pariwisata sangat sentral. Tanpa peran

pemerintah sektor pariwisata tidak akan

berkembang dengan baik, bahkan jika

hal itu terjadi di negara maju. Kasus di

New Zealand dapat dijadikan sebagai

contoh kasus untuk megara maju.

Kesimpulan

Dari beberapa studi kasus di

lapangan dapat ditemukan bahwa

pembentukan branding dan promosi

daerah tujuan wisata akan memperoleh

tingkat keberhasilan yang tinggi jika

branding dan strategi pemasaran

dijalankan searah dengan teori-teori

yang ada dan sesuai dengan kondisi

dan situasi lapangan yang menjadi

daerah penelitian. Studi Nuansa et, al.

melihat kecocokan konsep destination

branding dengan model-model promosi

pariwisata berdasarkan literatur. Media

video dapat digunakan sebagai model

promosi yang paling efektif untuk

mempengaruhi atau membangkitkan

keinginan dari calon pengunjung untuk

datang ke daerah tujuan wisata.

Abdullah et. al. bukan hanya

menekankan pada strategi pemasaran

akan tetapi juga menekankan pada

aspek-aspek pembangunan lain yang

menjadi pendukung keberhasilan

pemasaran daerah tujuan wisata yakni,

aspek-aspek pembangunan daerah

tujuan wisata yang lain seperti struktur

pembangunan fisik, struktur

pembangunan organisasi masyarakat,

dan struktur pembangunan finansial.

Sedangkan menurut Nisa et, al.

menjelaskan bahwa strategi branding

yang dilakukan oleh DMO telah

berhasil dalam menciptakan branding

objek wisata berbasis agroedutourism.

Citra Lawang sebagai pusat kegiatan

kewirausahaan yang melibatkan antara

petani dan murid sekolah telah menjadi

Brand yeng mewakili sesuatu model

kerja sama antara murid sekolah

dengan petani, yang memberikan janji

untuk konsumen, dan oleh sebab itu

model kerja sama untuk menciptakan

kewirausahaan ini maknanya lebih

dalam dari pada hanya sekedar logo.

Brand juga melibatkan sebuah “image”

atau tipe asosiasi yang ada dalam

pikiran ketika konsumen berpikir

tentang “brand”. Dengan demikian

brand mewakili identitas produsen

sedangkan image (citra) muncul dalam

pikiran konsumen ketika melihat,

membaca atau mendengar brand yang

dimaksud.

Penelitian Suryanti et. al tidak

membahas secara spesifik tentang

Page 263: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

255

brand Kotagede sebagai Cultural

Heritage di daerah Istimewa

Yogyakarta. Akan tetapi hasil

penelitian Suryanti et. al. menunjukkan

bahwa brand Kotagede sebagai

Cultural Heritage yang sudah lama

terpatri di dalam citra para pengunjung

atau wisatawan telah terwujud dengan

baik sebagai brand yang mampu

menarik wisatawan ketika terjadi

kombinasi kolaboratif antara aktor-

aktor politik, teknokrat dan partisipasi

masyarakat lokal. Dengan demikian,

penelitian ini menjelaskan variabel

independen kolaborasi aktor-aktor

politik, teknokrat, dan partisipasi

masyarakat lokal yang berpengaruh

positif terhadap brand Cultural

Heritage Kotagede sebagai variabel

dependen.

Jika dalam peneltian-penelitian

terdahulu dapat menjelaskan

keberhasilan dalam membangun dan

mempromosikan brand, maka empat

penelitian di bawah ini menjelaskan

menjelaskan kasus yang sebaliknya.

Steven dan Derek meneliti penggunaan

World Wide Web (WWW) dalam

mempromosikan food tourism di

daerah-daerah pedesaan.

Walaupun

dapat dianggap masuk akal untuk

mempromosikan identitas-identitas

daerah-daerah pedesaan melalui citra

atau image yang berhubungan dengan

makanan dan minuman, akan tetapi

mereka telah gagal dalam membentuk

brand. Hal ini disebabkan karena

kondisi infrastruktur yang

terfragmentasi. Barangkali kasus yang

terjadi di Malang dapat menjadi

pengalaman yang menarik untuk

diterapkan di daerah-daerah pedesaan

di Inggris. Dalam kasus di Malang,

Jawa Timur, video dapat digunakan

sebagai model promosi yang paling

efektif untuk mempengaruhi atau

membangkitkan keinginan dari calon

pengunjung untuk datang ke derah

tujuan wisata.

Palmer dan Bejou menggunakan

sebuah model untuk menjelaskan

motivasi dari sebuah aliansi.

Perbandingan antara kasus aliansi yang

terjadi di Inggris dan Amerika

menunjukkan bahwa di Amerika aliansi

lebih banyak mengalami kendala

lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

Palmer dan Bejou akhirnya

mengajukan preskripsi dengan

mengatakan bahwa seharusnya aliansi-

aliansi pemasaran pariwisata lokal itu

tidak dibentuk jika tidak dapat

memahami kepentingan-kepentingan

stakeholder dan kendala-kendala

sosial, ekonomi dan politik. Aliansi-

aliansi pemasaran pariwisata lokal yang

terbentuk di luar DMO (Destination

Marketing Organization) hanya

cenderung menjadi penghalang bagi

kepentingan-kepentingan stakeholders

karena aliansi-aliansi pemasaran

pariwisata lokal itu tidak mau

mengidentifikasi dan mangakomodasi

kepentingan-kepentingan pemangku

kepentingan lokal.

Penelitian tentang branding dan

promosi pariwisata yang ketiga

diadakan di Latvia. Iveta dan Lidija

berusaha untuk meneliti tentang

perkembangan strategi branding

nasional di Latvia. Dari hasil penelitian

yang mereka lakukan di Latvia, kedua

peneliti itu mengatakan bahwa di

negara itu tidak ada strategi branding

yang didefinisikan dengan jelas

sebagaimana layaknya langkah-langkah

strategis berdasarkan teori. Temuan

penelitian utama yang dapat terungkap

adalah kurangnya koordinasi dan

kolaborasi diantara lembaga-lembaga

yang terlibat dalam promosi sehingga

upaya dalam melakukan strategi

branding nasional di Latvia mengalami

kegagalan.

Page 264: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

256

Terakhir, temuan Shone, et. al.

dapat dijadikan dasar bagi

pengembangan pariwisata di negara–

negara berkembang dimana di negara-

negara itu peran pemerintah dalam

mengakselerasi pembangunan sektor

turisme sangat sentral. Tanpa peran

pemerintah sektor pariwisata tidak akan

berkembang dengan baik, bahkan jika

hal itu terjadi di negara maju. Kasus di

New Zealand dapat dijadikan sebagai

contoh kasus untuk negara maju.

Daftar Pustaka

Aref et. al. , Dimensions of Community

Capacity Building: A review of its

Implications in Tourism

Development, Marsland Press,

Journal of American Science

2010;6(1).

Aref et. al., al, Tourism Development

in Local Communities: As a

Community Development Approach,

Marsland Press, Journal of

American Science, 2010;6(1).

Aref et. al. , Community Capacity

Building for Tourism Development,

Journal of Human Ecology, 27(1):

21-25 (2009), University Putra,

Malaysia.

Asbullah, Alvan Sidiq et. al. , Eco-

Homestay: Development Concept

On Rural Tourism-Based

Conservation Model (Study Case of

Sidomulyo Village, Silo District,

Jember Regency), Journal of

Indonesian Tourism and

Development Studies, Vol. 1 No. 3

Edisi September 2014, Website:

jitode.ub.ac.id

Edgel, David L, 1990, International

Tourism Policy, Van Nostrand

Reinhold, New York.

Iveta, Endziņa; Lidija, Luņeva,

Development of a national branding

strategy: The case of Latvia, Place

Branding, Volume 1, Number 1,

November 2004, Palgrave

Macmillan

Hackley, Chris, 2005, Advertising and

Promotion Communicating Brands,

SAGE Publikations1 Oliver’s

Yard55 City RoadLondon EC1Y

1SP.

Nuansa, Chanira, et. al., Designing

Promotion Strategy of Malang

Raya’s Tourism Destination

Branding through Audio Visual

Media, Journal of Indonesian

Tourism and Development Studies,

Vol. 2 No. 3, September 2014,

Website: jitode.ub.ac.id

Pike, Steven, 2004, Destination

Marketing Organization, p. 19,

ELSEVIER, Amsterdam – Boston –

Heidelberg – London – New York –

Oxford-Paris – San Diego – San

Francisco – Singapore – Sydney .

Palmer, Adrian; Bejou, David, (2004),

Tourism destination marketing

alliances,

https://doi.org/10.1016/0160-

7383(95)00010-4

Selby, Martin; Morgan, Nigel J,

(2004), Reconstruing place image:

A case study of its role in

destination market research,

https://doi.org/10.1016/0261-

5177(96)00020-9

Steven, Boyne; Derek, Hall, Place

promotion through food and

tourism: Rural branding and the

role of websites, Place Branding,

Volume 1, Number 1, November

2004, Palgrave Macmillan

Suryanti, Eko, et.al., Culture

Development Planning in the

Special Region of

Yogyakarta(Management lanning of

Cultural Heritage in Kotagede

Page 265: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

257

District based on Community

Empowerment Conservation

Model), Journal of Indonesian

Tourism and Development Studies,

Vol. 2 No. 3, September 2014,

Website: jitode.ub.ac.id

Nisa, Ayu Raisa Khairun et. al.,

Agroedutourism and

Ecopreneurship Activities on the

Organic Farming Practices in

Lawang, Malang Regency, East

Java, Indonesia, Journal of

Indonesian Tourism and

Development Studies, Vol. 2 No. 3,

September 2014, Website:

jitode.ub.ac.id

Shone, Michael C. et. al., Tourism,

Publik Policy and Regional

Development: A Turn from Neo-

liberalism to the New Regionalism,

Published online: 28 Oct 2008,

http://www.tandfonline.com/action/s

howcitformats?doi=10.1080/269094

0802408011

Vanhove, Norbert, 2005,The

Economics of Tourism Destinations,

Amsterdam Boston Heidelberg

London New York OxfordParis San

Diego San Francisco Singapore

Sydney Tokyo.

Page 266: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Branding dan Strategi Pemasaran: Perbandingan Beberapa Studi Kasus Pemasaran Daerah Tujuan Wisata

258

Page 267: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

255

ANALISIS DISTRIBUSI DAN TUJUAN KUNJUNGAN WISATAWAN

MANCANEGARA KE INDONESIA

(Studi pada Batam, Bali, dan DKI Jakarta)

Supriono1

[email protected]

Abstract

Indonesia must be able to equalize foreign tourist arrivals, so that visits are not only

focused on certain places. The hope is that all tourist attractions in Indonesia are

able to get international tourist arrivals of the same quantity as other tourist

destinations. This study aims to identify the destinations of foreign tourists visiting

Indonesia and their distribution salura. The research locations are Batam, Bali and

DKI Jakarta. Using qualitative research methods with descriptive analysis. Retrieval

of data by in-depth interview (In Depth Interview) on tourism stakeholders

(Government, Foreign Tourists, and Tourism Bureau). The results of the study show

that the destinations of foreign tourists visiting Indonesia are in the context of

business and pure vacation. Between Batam, Bali, and DKI Jakarta, has a

difference.The majority of foreign tourists visiting Batam are in the context of Sport

Tourism, Leisure Tourism, and Recreational Tourism, Bali in the context of MICE,

Tourism Events, and Marine Tourism.

Keyword : Tourism, Destination Motivation, Distribution Channel, and Tourist

Abstrak

Indonesia harus mampu memeratakan kedatangan turis asing, sehingga kunjungan

tidak hanya terfokus pada tempat-tempat tertentu. Harapannya adalah semua tempat

wisata di Indonesia mampu mendapatkan kunjungan wisatawan mancanegara dengan

kuantitas yang sama dengan destinasi wisata lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi tujuan wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dan saluran

distribusinya. Lokasi penelitian adalah Batam, Bali dan DKI Jakarta. Menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Pengambilan data dengan

wawancara mendalam (In Depth Interview) pada pemangku kepentingan pariwisata

(Pemerintah, Wisatawan Mancanegara, dan Biro Pariwisata). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tujuan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia

adalah dalam konteks bisnis dan liburan murni. Antara Batam, Bali, dan DKI Jakarta,

memiliki perbedaan. Mayoritas wisatawan asing yang berkunjung ke Batam berada

dalam konteks Sport Tourism, Leisure Tourism, dan Recreational Tourism, Bali

dalam konteks MICE, Acara Wisata, dan Wisata Bahari, Jakarta hanya bisnis dan

wisata MICE.

Kata Kunci: Pariwisata, Tujuan (motivasi) berkunjung, Saluran Distribusi,

Wisatawan Mancanegara

1 Dosen Universitas Brawijaya

Page 268: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

256

Pendahuluan

Pariwisata sangat berarti bagi

Indonesia karena menjadi satu di antara

sekian banyak sumber pemasukan

devisa negara (Subiyantoro dan

Andreani, 2003). Walaupun sumbangan

tersebut tidak sebesar sektor yang lain

seperti migas, batubara dan sektor

lainnya, akan tetapi Pariwisata terus

mengalami peningkatan secara periodik

dari tahun ke tahun. Tercatat dalam

statistik Kemenparekraf dari tahun

2009 yang hanya menyumbang sekitar

6.297,99 juta U$, terus mengalami

kenaikan setiap tahun sampai pada

akhir tahun 2013 tercatat menyumbang

10.054,32 juta U$.

Selain itu, prospek pariwisata di

Indonesia semakin menunjukkan peran

dalam kontribusi perekonomian suatu

daerah sehingga memberikan kontribusi

pada perekonomian nasional. Maka dari

itu Pemerintah Indonesia mengarahkan

pembangunan kepariwisataan menjadi

salah satu sektor andalan perekonomian

nasional yang mampu menggerakkan

sektor-sektor ekonomi lain guna

menyediakan lapangan pekerjaan,

meningkatkan pendapatan masyarakat,

dan perolehan devisa. Hal ini

mengingat Indonesia memiliki sumber

daya yang sangat melimpah berupa

destinasi dan atraksi wisata (Setiawan,

2015). Tidak hanya devisa,

perekonomian masyarakat akan terus

meningkat dengan keberadaan kegiatan

pariwisata tersebut karena wisatawan

mancanegara mengeluarkan banyak

uang untuk belanja (Yoety, 2008).

Jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara secara kumulatif tahun

2017 meningkat sebesar 16,77 persen

dibandingkan dengan 2016 (Kemenpar,

2017).

Grafik 1. Kunjungan Wisatawan

Mancanegara Per Pasar Tahun 2016 Sumber: Laporan Kinerja Kementerian

Pariwisata, 2016

Gambar grafik tersebut dapat

menunjukkan bahwa persentase

kunjungan wisatawan mancanegara dari

14 pasar utama tahun 2016. Dilihat

bahwa pasar penyumbang wisatawan

mancanegara ke Indonesia terbesar

pada tahun 2016 adalah Eropa, sebesar

13,68 persen, diikuti oleh Singapura

12,25 persen, Tiongkok 12,08 persen,

Malaysia 10,19 persen, Australia 9,96

persen, Jepang 4,27 persen, India 3,13

persen, Timur Tengah 2 persen, Taiwan

1,74 persen, Filipina 1,24 persen,

Thailand 82 persen dan Hongkong 0,7

persen serta sebesar 22,60 persen

adalah kunjungan wisatawan

mancanegara dari pasar lainnya di luar

14 pasar utama. Berikut dapat disajikan

juga mengenai pintu masuk wisatawan

mancanegara untuk datang ke

Indonesia.

Page 269: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

257

Grafik 2. Kunjungan Wisatawan

Mancanegara Per Pintu Masuk tahun

2016 Sumber : Laporan Kinerja Kementerian

Pariwisata, 2016

Indonesia selama ini memang

berhasil di bidang Promosi dan jaringan

komunikasi, tetapi tidak untuk

pemerataan kunjungan wisatawan

mancanegara ke setiap wilayah di

Indonesia. Hal ini terbukti berdasarkan

gambar di atas yang menyebutkan

bahwa kunjungan berdasarkan pintu

masuk wisatawan mancanegara untuk

datang ke Indonesia hanya

disumbangkan oleh 3 besar pintu

masuk, yaitu Ngurah Rai (Bali) sebesar

40,63 persen, Soekarno Hatta (Jakarta)

21,65 persen, dan Batam sebesar 12,56

persen. 3 daerah tersebut (yang

kemudian ditetapkan sebagai tiga

kawasan GREAT) menjadi destinasi

yang paling dikunjungi oleh wisawatan

mancanegara dengan berbagai profil

dan tujuan wisatawan tersebut.

Promosi, jaringan informasi dan

teknologi komunikasi antar insan

pariwisata memang diperlukan dalam

kegiatan pariwisata (Kracht and Wang,

2009). Namun kegiatan lain yang tidak

kalah penting untuk diperhatikan dalam

Kepariwisataan di Indonesia adalah

saluran distribusi. Dengan

memperhatikan saluran distribusi

berarti terbentuk kegiatan yang efektif,

karena dapat berfungsi sebagai

pemasaran yang menghubungkan

antara wisatawan dengan destinasi

wisata (Gartner and Bachri, 1994).

Kajian ini dibuat untuk

mengetahui adanya tujuan (motivasi)

kunjungan wisatawan mancanegara di

Indonesia pada kawasan 3 Great

tersebut. Data kunjungan wisatawan

mancanegara ke Indonesia antara lain

menggambarkan tingkat perkembangan

wisatawan mancanegara dan

penyebaran distribusi wisatawan

mancanegara dalam mengunjungi

kawasan 3 Great tersebut.

Tinjauan Pustaka

Pariwisata

Pariwisata adalah kegiatan

perpindahan manusia secara individu

maupun golongan dari satu ke tempat

ke tempat yang lain dalam rangka

untuk kepentingan berupa sosial,

budaya, ekonomi, politik, agama,

kesehatan, dan sebagainya (Suwantoro,

2002). Sedangkan menurut WTO

(1999) Pariwisata adalah kegiatan

manusia yang meninggalkan

lingkungan kesehariannya untuk

melakukan perjalanan dan bersifat

sementara.

Distribusi

Menurut Gregory et al. (2005):

Saluran distribusi pada dasarnya

dibentuk untuk mempermudah proses

pertukaran antara produsen dengan

konsumen. Sedangkan yang dimaksud

dengan pertukaran adalah kegiatan

transaksi jual beli dan pengiriman

antara produsen dengan konsumen.

Saluran distribusi ini merupakan suatu

struktur yang menggambarkan

alternatif saluran yang dipilih oleh

setiap bisnis dan menggambarkan

situasi pemasaran yang berbeda oleh

berbagai kegiatan bisnis.

Page 270: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

258

Sedangkan Stanton and Walker

(1991):

“A distribution channel consist of the

set of people and firms involved in the

flow of title to a product as it moves

from producer to ultimate consumer or

business user”

Suatu aliran distribusi adalah

sekumpulan dari orang-orang dan

perusahaan yang melakukan

pemindahan produk dari produsen

kepada konsumen atau pengguna

bisnis. Artinya dalam saluran distribusi

tidak hanya terdiri dari perusahaan-

perusahaan, akan tetapi manusia

sebagai individu pun dapat masuk

menjadi bagian saluran distribusi.

Dari definisi-definisi tersebut di

atas dapat disimpulkan unsur-unsur dari

saluran distribusi, yaitu:

1. Saluran distribusi merupakan jalur

yang dipakai untuk memindahkan

produk dari produsen melalui suatu

lembaga atau perorangan kepada

konsumen.

2. Saluran mengalihkan kepemilikan

produk baik secara langsung

maupun tidak langsung.

3. Saluran distribusi merupakan suatu

kesatuan dan melaksanakan sistem

kegiatan (fungsi) yang lengkap

dalam menyalurkan produk.

Fungsi-fungsi Saluran Distribusi

Sebuah saluran pemasaran

melakukan tugas memindahkan barang

atau jasa dari produsen ke konsumen. la

mengatasi sepanjang waktu, tempat dan

kepemilikan yang memisahkan barang

dan jasa dari calon pemakainya.

Anggota saluran pemasaran

melaksanakan sejumlah fungsi utama

sebagai berikut:

1) Informasi

Pengumpulan dan penyebaran

informasi riset pemasaran

mengenai pelanggan, pesaing dan

pelaku lain, serta kekuatan dalam

lingkungan pemasaran yang

potensial pada saat ini.

2) Promosi

Pengembangan dan penyebaran

komunikasi persuasif mengenai

penawaran yang dirancang untuk

menarik pelanggan.

3) Negosiasi

Usaha untuk mencapai persetujuan

akhir mengenai harga, dan syarat

lain sehingga transfer kepemilikan

dapat dilakukan.

4) Pemesanan

Komunikasi terbaik dari anggota

saluran pemasaran dengan

produsen mengenai minat untuk

membeli.

5) Pembiayaan

Perolehan dan alokasi dana yang

dibutuhkan untuk membiayai

persediaan pada tingkat saluran

pemasaran yang berbeda.

6) Pengambilan risiko

Asumsi risiko yang berhubungan

dengan pelaksanaan fungsi saluran

pemasaran tersebut.

7) Pemilikan fisik

Kesinambungan penyimpanan dan

pergerakan produk fisik dari bahan

mentah sampai ke pelanggan akhir.

8) Pembayaran

Pembeli membayar tagihannya

kepada penjual lewat bank dan

institusi keuangan lainnya.

9) Hak milik

Transfer kepemilikan sebenarnya

dari satu organisasi atau orang ke

organisasi atau orang yang lain.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Saluran Distribusi

Para pelaku saluran distribusi

harus mempertimbangkan berbagai

macam faktor yang sangat berpengaruh

dalam pemilihan saluran distribusinya.

Pemilihan saluran distribusi yang

efektif akan mampu mendorong

Page 271: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

259

peningkatan penjualan yang

diharapkan, sehingga kelangsungan

hidup perusahaan dapat terjamin.

Menurut Lubis (2004) faktor-faktor

yang mempengaruhi pemilihan saluran

distribusi adalah:

1. Pertimbangan Pasar (Market

Consideration).

Saluran distribusi sangat

dipengaruhi oleh pola pembelian

konsumen, oleh karena itu keadaan

pasar merupakan faktor penentu

dalam pemilihan saluran tersebut.

Beberapa faktor keadaan pasar yang

harus diperhatikan oleh saluran

distribusi adalah:

a) Konsumen atau pasar industri

Apabila pasarnya berupa pasar

industri, maka pengecer jarang atau

bahkan tidak pernah digunakan

dalam saluran ini. Jika pasarnya

berupa konsumen dan pasar industri,

perusahaan akan menggunakan lebih

dari satu saluran.

b) Jumlah pembeli potensial

Jika jumlah konsumen relatif

kecil dalam pasarnya, maka

perusahaan dapat mengadakan

penjualan secara langsung kepada

pemakai.

c) Konsentrasi pasar secara

geografis

Secara geografis, pasar dapat

dibagi ke dalam beberapa

konsentrasi seperti: industri tekstil,

industri kertas, dan sebagainya.

Untuk daerah konsentrasi yang

mempunyai tingkat kepadatan yang

tinggi maka perusahaan dapat

menggunakan distributor industri.

d) Jumlah pesanan

Volume penjualan dari sebuah

perusahaan akan sangat berpengaruh

terhadap saluran yang dipakainya.

Jika volume yang dibeli oleh

pemakai industri tidak begitu besar,

atau relatif kecil, maka perusahaan

dapat menggunakan distributor

industri.

e) Kebiasaan membeli dari

konsumen akhir dan pemakai

industri sangat berpengaruh pula

terhadap kebijaksanaan dalam

penyaluran. Termasuk dalam

kebiasaan membeli ini, antara lain:

Kemauan untuk membelanjakan

uangnya, tertariknya pada pembelian

dengan kredit karena lebih senang

melakukan pembelian yang tidak

berkali-kali, dan tertariknya pada

pelayanan penjual.

2. Pertimbangan Barang

Beberapa faktor yang harus

dipertimbangkan dari segi barang ini

antara lain:

a) Nilai unit

Jika nilai unit dari barang

yang dijual relatif rendah, maka

produsen cenderung untuk

menggunakan saluran distribusi

yang panjang. Tetapi sebaliknya,

jika nilai unitnya relatif tinggi,

maka saluran distribusinya

pendek atau langsung.

b) Besar dan berat barang

Manajemen harus

mempertimbangkan ongkos

angkut dalam hubungannya

dengan nilai barang secara

keseluruhan, dimana besar dan

berat barang sangat menentukan.

Jika ongkos angkut terlalu besar

dibandingkan dengan nilai

barangnya, sehingga terdapat

beban yang berta bagi

perusahaan, maka sebagian

beban tersebut dapat dialihkan

kepada perantara. Jadi, perantara

dapat menanggung sebagian dari

ongkos angkut.

c) Mudah rusaknya barang

Jika barang yang yang

dijual mudah rusak, maka

perusahaan tidak perlu

menggunakan perantara. Jika

Page 272: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

260

ingin menggunakan maka harus

dipilih perantara yang memiliki

fasilitas penyimpanan yang

cukup baik.

d) Sifat teknis

Beberapa jenis barang

industri seperti instalasi,

biasanya disalurkan secara

langsung kepada pemakai

industri. Dalam hal ini produsen

harus mempunyai penjual yang

dapat menerangkan berbagai

masalah teknis penggunaan dan

pemeliharaannya. Mereka juga

harus dapat memberikan

pelayanan, baik sebelum,

maupun sesudah penjualan.

Pekerjaan semacam ini jarang

sekali bahkan tidak pernah

dilakukan oleh pedagang

besar/grosir.

e) Barang standar dan pesanan

Jika barang yang dijual

berupa barang standar, maka

dipelihara sejumlah persediaan

pada penyalur. Demikian

sebaliknya, kalau barang dijual

berdasarkan pesanan, maka

penyalur tidak perlu memelihara

persediaan.

f) Luasnya product line

Jika perusahaan hanya

membuat satu macam barang

saja, maka penggunaan

pedagang besar sebagai penyalur

adalah baik. Tetapi, jika macam

barangnya banyak, maka

perusahaan dapat menjual

langsung kepada pengecer.

3. Pertimbangan perusahaan

Dari segi perusahaan beberapa

faktor yang perlu dipertimbangkan

adalah:

a) Sumber pembelanjaan

Penggunaan saluran

distribusi langsung atau yang

pendek biasanya memerlukan

jumlah dana yang lebih besar.

Oleh karena itu saluran distribusi

pendek ini kebanyakan hanya

dilakukan oleh perusahaan yang

kuat di bidang keuangannya.

Perusahaan yang tidak kuat

kondisi keuangannya akan

cenderung menggunakan saluran

distribusi yang lebih panjang.

b) Pengalaman dan kemampuan

manajemen

Biasanya perusahaan yang

menjual barang baru, atau ingin

memasuki pasaran baru, lebih

suka menggunakan perantara.

Hal ini disebabkan karena

umumnya cara perantara sudah

mempunyai pengalaman,

sehingga manajemen dapat

mengambil pelajaran dari

mereka.

c) Pengawasan saluran

Faktor pengawasan saluran

kadang-kadang menjadi pusat

perhatian produsen dalam

kebijaksanaan saluran

distribusinya. Pengawasan akan

lebih mudah dilakukan jika

saluran distribusinya pendek.

Jadi yang ingin mengawasi

penyaluran barangnya

cenderung memilih saluran yang

pendek walaupun ongkosnya

tinggi.

d) Pelayanan yang diberikan oleh

penjual

Jika produsen ingin

memberikan pelayanan yang

lebih baik, seperti membangun

ruang peragaan, mencarikan

pembeli untuk perantara, maka

akan banyak perantara yang

bersedia menjadi penyalurnya.

4. Pertimbangan Perantara

Dari segi perantara beberapa

faktor yang pertu dipertimbangkan

adalah:

Page 273: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

261

a) Pelayanan yang diberikan oleh

perantara

Jika perantara ingin

memberikan pelayanan yang

lebih baik, misalnya dengan

menyediakan fasilitas

penyimpanan, maka produsen

akan bersedia menggunakannya

sebagai penyalur.

b) Kegunaan perantara

Perantara akan digunakan

sebagai penyalur, apabila ia dapat

membawa barang produsen

dalam persaingan, dan selalu

mempunyai inisiatif untuk

memberikan usul tentang barang

baru.

c) Sikap perantara terhadap

kebijaksanaan produsen

Kalau perantara bersedia

menerima risiko yang dibebankan

oleh produsen, misalnya risiko

turunnya harga, maka produsen

memilihnya sebagai penyalur.

Hal ini dapat memperingan

tanggung jawab produsen dalam

menghadapi berbagai macam

risiko.

d) Volume penjual

Menawarkan barangnya

dalam volume yang besar untuk

jangka waktu yang lama.

e) Ongkos

Jika ongkos dalam

penyaluran barang dapat lebih

ringan dengan digunakannya

perantara, maka hal ini dapat

dilaksanakan terus.

Metode Penelitian

Pendekatan kualitatif dipandang

merupakan pendekatan yang paling

sesuai dalam penelitian ini karena

kurangnya teori-teori yang tersedia

dalam pengembangan strategi distribusi

kepariwisataan di Indonesia. Penelitian

ini didasarkan pada data-data yang

diperoleh melalui wawancara

mandalam (in-depth interview) dengan

stakeholder pariwisata yang meliputi

pengambil kebijakan kepariwisataan

pada level nasional, representasi travel

agen untuk pariwisata di Indonesia, dan

representasi bisnis yang relevan dengan

pariwisata guna menggali pandangan-

pandangan mereka terhadap potensi-

potensi dan peta-peta perjalanan di

Indonesia. Sebagaimana diungkap oleh

Lu dan Nepal (2009:9) melalui content

analysis study terhadap Jurnal of

Sustainable Tourism dalam rentang

waktu publikasi selama 15 tahun mulai

tahun 1993 sampai dengan tahun 2007,

ditemukan bahwa 41% penelitian

dalam rentang waktu tersebut dilakukan

melalui pendekatan kualitatif. Wilayah

penelitian dilaksanakan di seluruh

wilayah destinasi pariwisata di

Indonesia. Sampel wilayah yang

ditentukan adalah Jakarta, Batam dan

Bali dengan alasan sebagai acuan

memperhatikan wilayah Indonesia yang

mendapatkan kunjungan wisatawan

mancanegara terbanyak

Pembahasan

Great Batam

Kawasan Great Batam memiliki

tingkat penetrasi sebesar 39,19 persen

dengan tingkat optimalisasi “Rendah”.

Wisatawan mancanegara untuk masuk

pada kawasan ini terdapat

pemberlakuan kebijakan bebas visa di

pintu masuk Great Batam. Berdasarkan

kebijakan yang telah diterapkan

terbukti berhasil serta memberikan

pengaruh sebesar 1,65 persen terhadap

tingkat kunjungan wisatawan

mancanegara yang masuk melalui pintu

masuk Great Batam tersebut. Hal

tersebut menunjukkan adanya potensi

wisata Kota Batam yang mampu

menarik minat wisatawan untuk

berkunjung. Sehingga Kota Batam

menempati jumlah wisatawan terbesar

Page 274: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

262

ketiga di Indonesia. Dengan demikian

jumlah wisatawan mancanegara yang

telah berkunjung ke Kota Batam selama

satu periode penuh pada tahun 2012

mencapai 1.219.608 orang atau

meningkat sebesar 5,00 persen

dibanding dengan tahun sebelumnya

(Dinas Pariwisata, 2012).

Industri pariwisata memiliki

gambaran yang berbeda pada

wisatawan tersebut, dari liburan ideal

karena wisatawan merupakan jenis

yang heterogen. Berikut penjelasan

mengenai profil kelompok wisatawan

mancanegara yang datang ke Batam:

Gambar 1. Profil Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang datang ke Batam Sumber: Purwianti dan Lukito, 2012

Berdasarkan data di atas tersebut

menunjukkan jenis wisatawan yang

dimiliki cukup heterogen. Profil yang

dimiliki oleh wisatawan mancanegara

yang berkunjung ke Batam dibagi

dalam beberapa Cluster.

Cluster 1 (Sport Tourism)

Pada Cluster 1 wisatawan

mancanegara yang mendominasi datang

ke Batam lebih dari 5 kali, menginap

lebih dari 5 hari yang dimana biasanya

wisatawan mancanegara tersebut

berkunjung pada waktu weekend dan

libur panjang. Pintu masuk yang dilalui

oleh wisatawan mancanegara adalah

pelabuhan Batam Center. Wisatawan

mancanegara ke Batam menginap di

hotel bintang 4 atau di resort,

transportasi yang digunakan adalah

menyewa mobil, menurut wisatawan

harga di Batam adalah cukup beralasan,

Batam bagus dalam akomodasi,

menurut pandangan wisatawan

mancanegara bahwa fasilitas

transportasinya tidak terlalu buruk,

Page 275: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

263

alasan mengadakan perjalanan adalah

melihat sesuatu yang beda dan pergi ke

tempat yang belum pernah dikunjungi,

memilih Batam karena penduduk yang

ramah, hal yang menarik untuk di

kunjungi adalah water sport activities

seperti Jet Sky, tempat golf serta tempat

tempat hiburan malam yang memang

banyak bertebaran di sekitar kota

Batam. Area pariwisata yang harus di

tingkatkan adalah Accessibility. Dilihat

dari demografi dan geografi responden

kelompok 1 atau cluster 1 didominasi

olehwisatawan mancanegara yang

berasal dari Singapura, dan negara

negara lain seperti Jepang, Amerika

dan didominasi oleh laki-laki dari usia

31- 40 tahun dan lebih dari 41 tahun,

dengan status sudah menikah, bekerja

sebagai business manager/ executive

dan tingkat pengeluaran selama di

batam lebih dari 1001 USD.

Cluster 2 (Leisure Tourism)

Cluster 2 didominasi oleh

wisatawan mancanegara yang pernah

berkunjungan ke Batam antara 3 - 5

kali, menginap dibatam 3-5 hari,

terakhir datang pada bulan yang lalu,

biasanya wisatawan mancanegara

datang pada waktu weekend atau pada

saat liburan, berkunjung bersama teman

atau keluarga. Pintu masuk yang dilalui

adalah melalui pelabuhan Batam

Center, menginap di Hotel bintang 3,

bintang 4, maupun resort, transportasi

yang digunakan adalah Taxi atau

menyewa mobil. Menurut wisatawan

harga di Batam adalah pasti terjangkau

(murah) dan cukup beralasan, Batam

bagus dalam akomodasi, menurut

pandangan wisatawan mancanegara

bahwa fasilitas transportasinya tidak

terlalu buruk, alasan mengadakan

perjalanan adalah untuk melepaskan

diri dari rutinitas. Memilih Batam

karena di Batam ada berbagai hal untuk

dilihat dan dilakukan, yang menarik

untuk di kunjungi adalah shopping

center. Area pariwisata yang harus

ditingkatkan adalah transportasi.

Dilihat dari demografi dan geografi

responden Cluster 2 yaitu oleh

wisatawan mancanegara yang berasal

dari Singapura, dan didominasi oleh

laki-laki dan perempuan dari usia 21-

30 tahun dan 31-40 tahun, dengan

status masih single dan sudah menikah,

bekerja sebagai business manager/

executive, professional, dan

clerical/technical sales dan tingkat

pengeluaran selama di Batam lebih dari

501 - 1000 USD.

Cluster 3 (Recreational Tourism)

Cluster 3 didominasi oleh

wisatawan mancanegara yang pernah

datang ke Batam kurang dari 3 kali,,

menginap di Batam kurang dari 3 hari,

terakhir datang pada minggu ini,

biasanya wisatawan mancanegara

datang pada waktu weekend, weekday,

atau pada saat liburan, berkunjung

bersama teman, sendirian, atau bersama

kelompok tour, lewat pelabuhan Batam

Center. Wisatawan mancanegara

menginap di hotel bintang 4 atau

bintang 3, transpotasi yang digunakan

adalah Taxi atau bus, menurut

wisatawan harga di Batam adalah

merupakan harga yang wajar. Batam

bagus dalam kebersihan, sarana

transportasinya tidak terlalu buruk,

alasan mengadakan perjalanan adalah

untuk bersenang-senang, memilih

Batam karena direkomendasikan oleh

teman atau penduduk yang ramah, yang

menarik untuk di kunjungi adalah

shopping center atau berjalan-jalan

melihat kota Batam, area pariwisata

yang harus di tingkatkan adalah

transportasi. Dilihat dari demografi dan

geografi responden Cluster 3 yaitu

didominasi oleh wisatawan

mancanegara yang berasal Malaysia

dan Singapura, dan didominasi oleh

Page 276: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

264

laki-laki dan perempuan dari usia < 20

tahun, 21-30 tahun, dan 31-40 tahun.

Dengan status sudah menikah, bekerja

sebagai professional, student,

government officer, clerical/technical

sales, house wife, dan lainnya dan

tingkat pengeluaran selama di batam

kurang dari 500 USD.

Great Bali

Kawasan pada Great Bali

merupakan yang memiliki tingkat

penetrasi paling tinggi sebesar 87,48

persen dengan tingkat optimalisasi

“Sangat Tinggi”. Pintu masuk kawasan

Great Bali tersebut mengenai

pemberlakuan kebijakan Bebas Visa

Kunjungan menunjukkan keberhasilan.

Pengaruh yang dimiliki terhadap

kebijakan tersebut sebesar 9,97 persen

terhadap tingkat kunjungan wisatawan

mancanegara yang masuk melalui pintu

masuk Great Bali tersebut. Adanya

kebijakan yang dapat memudahkan

para wisatawan mancanegara untuk

datang ke Indonesia menjadi daya tarik

tersendiri bagi wisatawan tersebut. Hal

ini wisatawan mancanegara yang

berkunjung ke Bali merasakan bahwa

daerah tersebut menjadi destinasi yang

memberikan kenyamanan sehingga

menimbulkan ketertarikan untuk

berkunjung kembali. Selain itu juga

terdapat saluran distribusi yang

didalamnya mewadahi produk wisata

dan menawarkan kepada wisatawan

mancanegara.

Pulau Bali yang menjadi kawasan

3 Great menjadi ikon Indonesia

semakin diminati oleh pasar global

mengenai sektor pariwisatanya. Hal ini

tentunya saluran distribusi menjadi

peran penting pada daerah tersebut.

Saluran distribusi yang berperan aktif

dalam menawarkan produk wisata yang

ada di Bali seperti travel agent dan juga

Pemerintah Bali dalam melakukan

branding. Usaha yang dilakukan

tersebut akan mempermudah wisatawan

dalam melakukan perjalanan wisata

serta bagi produsen atau industri

pariwisata yang ada di Bali, seperti

hotel, objek wisata, restaurant, dan

transportasi selama ada di daerah

tersebut. Tentunya akan memberikan

dampak yang signifikan dalam

pendapatan masyarakat dan juga daerah

Bali.

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa travel agent di Bali tidak terlalu

sering digunakan oleh wisatawan

mancanegara yang berasal dari

beberapa negara, seperti Australia yang

lebih memilih melakukan perjalanan

tanpa menggunakan travel agent.

Karakteristik tersebut berbeda dengan

wisatawan bagi negara Cina dan Jepang

yang berpergian ke objek wisata atau

kebutuhan selama ada di Bali yang

selalu berkelompok dengan teman atau

keluarganya sehingga membutuhkan

travel agent.

Tujuan wisatawan mancanegara

dalam mengunjungi ke Bali terdapat

berbagai karakteristik. Bali tidak hanya

menyediakan sebagai sektor pariwisata

namun juga fasilitas untuk berbisnis.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa

kedua poin tersebut dapat menjadi daya

tarik bagi wisatawan mancanegara

dalam melakukan urusan bisnis dan

sekaligus berwisata. Pemerintah Bali

dalam merancang daerah tersebut

memang menjadi tujuan pembangunan

daerahnya. Terbukti kunjungan

wisatawan mancanegara ke Bali

terfokuskan dan menumpuk di Bali

Selatan, sehingga penyebaran di daerah

Bali saja juga tidak merata.

Rencananya Pemerintah Bali

melakukan segera pembangunan

infrastruktur untuk mempermudah

penyebaran wisatawan mancanegara

yang akan didistribusikan ke seluruh

daerah Bali. Pemerintah Bali terus

melakukan upaya antara lain dengan

Page 277: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

265

melaksanakan pembangunan beberapa

ruas jalan Tol, seperti Kuta-Soka-Seririt

pada tahun 2017. Usaha yang dilakukan

dinilai akan mampu mendorong

penyebaran wisatawan mancanegara ke

9 Kabupaten di Bali Utara.

Wisatawan mancanegara yang

menjadikan Bali sebagai destinasi yang

favorit adalah Australia. Pengaruh yang

diberlakukan mengenai kebijakan

Bebas Visa Kunjungan menyebabkan

semakin bertambahnya wisatawan

mancanegara asal Australia. Selain

diuntungkan karena secara geografis

berdekatan dengan Bali, namun karena

keindahan dan destinasi yang

berkualitas tersebut menjadi daya tarik

tersendiri bagi wisatawan mancanegara

tersebut.

Gambar 2. Perkembangan Outbound Pasar Australia terhadap Bali Sumber: Puslitbang Kebijakan Kepariwisataan, 2015

Berdasarkan gambar di atas

membuktikan bahwa perkembangan

outbound Australia terhadap Bali jika

dilihat dari angka tersebut.

Kecenderungan warga Australia untuk

melakukan perjalanan wisata keluar

negeri terus menunjukkan peningkatan

setiap tahunnya meskipun pertumbuhan

tidak sebesar tahun sebelumnya.

Menurut hasil penelitian

menunjukkan bahwa setelah adanya

kebijakan Bebas Visa Kunjungan Bali

menjadi daya tarik yang tinggi dimana

pasar yang melakukan kunjungan ke

Bali seperti Pasar Asia Pasifik, Pasar

Eropa, Pasar Amerika, serta Pasar

Afrika dan Timur Tengah. Bali sebagai

kawasan 3 Great yang dimana sebagai

daerah tujuan wisata utama, kekayaan

dan keindahan alam, serta keunikan

seni budaya menjadi daya tarik utama,

sehingga Bali memiliki julukan pulau

Dewata karena memiliki ciri khas yang

dipengaruhi oleh agama Hindu. Sektor

pariwisata menjadi andalan bukan

hanya oleh Pemerintah Bali, tetapi

seluruh lapisan masyarakat banyak

berharap dari sektor jasa ini. Faktor

yang menyebabkan Bali sebagai daerah

tujuan wisata andalan di Indonesia,

didukang juga oleh sarana dan

prasarana pariwisata yang sangat

memadai.

Faktor tersebut berupa

keunggulan objek alam, objek budaya,

serta sarana dan prasarana. Dukungan

Page 278: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

266

dari sarana dan prasarana yang sangat

memadai dan high class menjadi

penting dalam kegiatan pariwisata di

Bali. Sehingga aktivitas wisatawan

mancanegara untuk berkunjung ke Bali

meliputi:

1. MICE and Event Tourism, seperti

pertemuan dan forum bisnis,

insentif, dan konferensi

2. Marine Tourism (Wisata Bahari),

seperti selancar (surfing), berjemur

(sunbathing), parasailing, pesiar

(cruising), menyelam (diving) dan

snorkelling.

Great Jakarta

Terkait kawasan Great Jakarta

memiliki tingkat penetrasi sebesar

49,71 persen dengan tingkat

optimalisasi “Sedang”. Pintu masuk

kawasan ini memberlakukan kebijakan

dari Kementerian Pariwisata yaitu

Bebas Visa Kunjungan berhasil

memberikan pengaruh sebesar 5,26

persen terhadap tingkat kunjungan

wisatawan mancanegara yang masuk

melalui pintu masuk Great Jakarta.

Terdapat sepuluh negara yang menjadi

pengunjung terbanyak ke Kota Jakarta

pada tahun 2016, yaitu Malaysia

dengan 27.244 kunjungan, Tiongkok

sebanyak 26.279 kunjungan, Jepang

sebanyak 16.295 kunjungan, Singapura

sebanyak 16.160 kunjungan, Saudi

Arabia sebanyak 11.507 kunjungan,

Korea Selatan sebanyak 8.138

kunjungan, India sebanyak 7.388

kunjungan, Amerika sebanyak 6.660

kunjungan, Australia 5.683 kunjungan,

dan Belanda sebanyak 5.667

kunjungan. Secara total keseluruhan

tersebut berjumlah 131.021 kunjungan,

yang berarti menacapai 67,63 persen

dari keseluruhan kunjungan ke Kota

Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa

sepuluh negara tersebut sangat penting

peranannya karena menjadi fokus atau

pasar utama kepariwisataan asing Kota

Jakarta.

Tabel 1. Wisatawan Mancanegara yang

Mengunjungi DKI Jakarta Menurut Pintu

Masuk

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016

Dilihat dari data di atas yang memiliki

peran strategis dari ke tiga pintu masuk

utama wisatawan berkunjung ke Jakarta

adalah Bandara Soekarno-Hatta.

Bandara yang sudah memiliki kelas

internasional tersebut memang menjadi

bandara transit ketika wisatawan baik

nusantara dan mancanegara yang akan

berkunjung ke daerah lain yang dimana

melewati jalur ke arah Jakarta. Selain

itu juga diketahui bahwa memang

Jakarta sebagai pusat pembangunan dan

industri sehingga yang berkunjung ke

Jakarta bertujuan untuk kepentingan

bisnis. Berarti di Jakarta wisatawan

mancanegara memiliki jenis dan

aktivitas yang dihabiskan oleh

wisatawan mancanegara tersebut di

Jakarta hanya berupa MICE (Meeting,

Incentive, Convention, and Exhibition)

and Event Tourism. Diakui oleh

Pemerintah Jakarta mengenai sarana

dan prasarana yang difasilitasi oleh

Pemerintah Jakarta sebagai pemeran

pembangunan di daerah tersebut

Page 279: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

267

sebagai pusat daya tarik untuk

wisatawan berkunjung ke Jakarta.

Terdapat banyak fasilitas mewah yang

disediakan dari pemerintah untuk

wisatawan mancanegara. Fasilitas

infrastruktur tersebut sangat memadai

untuk kebutuhan aktivitas MICE and

Event Tourism seperti Jakarta

Convention Center, Balai Sidang

Senayan dan lain sebagainya. Hal ini

memang karakteristik yang ada di

daerah Jakarta berkategorikan sebagai

daerah atau kota megapolitan yang

sedang pesat mengenai pembangunan

infrastruktur serta sebagai kota tersibuk

di Indonesia.

Selain itu, jenis wisatawan yang

datang berkunjung ke DKI Jakarta juga

bervariasi. Pihak swasta berpendapat

bahwa tingginya jumlah kunjungan

wisatawan mancanegara di DKI Jakarta

tidak semua menetapkan bahwa

destinasi akhir mereka adalah DKI

Jakarta. Wisatawan mancanegara bisa

saja sekedar transit di bandara DKI

Jakarta sebelum melanjutkan ke daerah

lain yang merupakan tujuan awal

wisatawan tersebut. Hal tersebut

dikarenakan memang pihak swasta juga

berpendapat bahwa wisatawan

mancanegara tersebut tidak

menggunakan jasa yang ada untuk

berpariwisata di DKI Jakarta, pihak

swasta bahkan menyatakan di DKI

Jakarta tidak ada city tour untuk

wisatawan mancanegara.

Pariwisata Jakarta memang

belum menjadi sektor unggulan bagi

perekonomian Jakarta. Hal ini dapat

dilihat Jakarta sangat bergantung pada

sektor industri. Namun pariwisata di

Jakarta sudah mulai berkembang

meskipun ada beberapa aspek yang

harus dibenahi, seperti SOP pariwisata.

SOP di destinasi wisata belum

terbangun dengan baik. Berbeda

dengan Thailand sudah mempunyai

SOP yang baku bagi semua elemen

pada pariwisata. Namun, senagai

bentuk upaya Pemerintah DKI Jakarta

dalam menarik kedatangan wisatawan

Jakarta dengan menyelenggarakan even

internasional, salah satunya yang sudah

terlaksana adalah Jakarta Marathon

2015. Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Provinsi Jakarta juga

menambah berbagai even baik berskala

nasional hingga internasional. Even

internasional diharapkan mampu

menjadi sarana promosi wisata yang

efektif sehingga dapat meningkatkan

minat untuk berkunjung ke Jakarta.

Jakarta sebagai ibukota negara

Indonesia tentu dari segi amenitas lebih

layak dibandingkan dengan daerah lain

di Pulau Jawa. Namun di daerah

Sukabumi sendiri pada November 2015

telah dilaksanakan World Rafting

Championship yang melibatkan 1100

pelaku dari seluruh dunia.

Terselenggaranya juga even Jakarta

seperti Jakarta Fashion Week yang

digelar di Jakarta beberapa tahun

sebelumnya juga sangat potensial untuk

meriah kunjungan wisatawan

mancanegara ke Jakarta. Dampak dari

adanya Jakarta Fashion Week menjadi

ajang pertemuan dan terjadinya

transaksi antara pembeli dan penjual

bidang fesyen. Adanya aktivitas

tersebut tentu akan memberikan

dampak yang positif bagi Indonesia

khususnya Jakarta sehingga dapat

mengenalkan produk khas Indonesia,

serta meningkatkan pendapatan baik

bagi masyarakat hingga pemerintah

daerah.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, maka

kesimpulan yang disusun oleh peneliti

adalah sebagai berikut:

1. Masing – masing wilayah di

Indonesia memiliki potensi yang

berbeda-beda antara satu dengan

lainnya;

Page 280: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Analisis Distribusi dan Tujuan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia (Studi pada Batam, Bali dan DKI Jakarta)

268

2. Tujuan atau motivasi Wisatawan

Mancanegara ke setiap wilayah di

Indonesia juga memiliki perbedaan.

Wisatawan mancanegara berkunjung

ke Batam karena alasan adalah

dalam rangka Sport Tourism,

Leisure Tourism, dan Recreational

Tourism. Bali dalam rangka MICE,

Event Tourism, dan Marine Tourism.

Jakarta MICE dan Event Tourism.

Saran

Saran yang disusun oleh penulis

dalam penelitian ini adalah:

1. Pemerintah Indonesia harus

memberdayakan masing – masing

keunggulan setiap wilayah agar

dikenal oleh wisatawan

mancanegara;

2. Terus mendukung dan

memperkenalkan wilayah yang

belum terekspos dan belum dikenal

masyarakat dunia, agar para

wisatawan mancanegara tertarik ke

wilayah tersebut, sehingga terjadi

pemerataan kunjungan (selama ini

hanya di Batam, Bali, DKI Jakarta).

Daftar Pustaka

Gartner, W.C. and Bachri, T. 1994,

“Tour operators’ role in the

tourism distribution system: an

Indonesian case study”, Journal of

International Consumer

Marketing, Vol. 6 Nos 3/4,.

Kotler, P. dan G, Armstrong. 2001.

Prinsip-Prinsip Pemasaran, Alih

bahasa Damos Sihombing jilid 2

Edisi 8, Erlangga. Jakarta.

Jiaying Lu dan Sanjay K. Nepal.2009.

Sustainable Tourism Research: An

Analysis of Papers Published in

The Journal of Sustainable

Tourism.USA: Journal of

Sustainable Tourism Vol. 17, No.

1, January 2009, 5–16.

Lubis, Nurbaity A. 2004. Peranan

Saluran Distribusi Dalam

Pemasaran Produk dan Jasa,

Fakultas Ekonomi Jurusan

Manajemen, Hasil Penelitian

Universitas Sumatera Utara.

Medan.

Purwianti, Lily., Lukito, Y.R.D. 2014.

Analisis Pengaruh City Branding

Kota Batam terhadap Brand

Atitude (Studi kasus pada

stakeholder di Kota Batam).

Batam: Fakultas Ekonomi,

Universitas Internasional Batam.

Setiawan, Iwan. 2015. Potensi

Destinasi Wisata di Indonesia

Menuju Kemandirian Ekonomi.

PROSIDING SEMINAR

NASIONAL MULTI DISIPLIN

ILMU & CALL FOR PAPERS

UNISBANK (SENDI_U) Kajian

Multi Disiplin Ilmu untuk

Mewujudkan Poros Maritim dalam

Pembangunan Ekonomi Berbasis

Kesejahteraan Rakyat ISBN: 978-

979-3649-81-8.UPI. Bandung.

Stanton, W.J. and Bruce J. Walker.

1991. Fundamentals of Marketing.

McGraw-Hill. New York.

Subiyantoro, Edi dan Andreani,

Fransisca. 2003. Analisis Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Harga

Saham (Kasus Perusahaan Jasa

Perhotelan yang Terdaftar di Pasar

Modal Indonesia). Jurnal

Manajemen & Kewirausahaan Vol.

5, No. 2, September 2003: 171 -

180

Suwantoro, Gamal 2002. Dasar-Dasar

Pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Offset.

Yoety, A. ,Oka. 2008. Ekonomi

Pariwisata: Introduksi, Informasi,

dan Aplikasi. Kompas. Jakarta.

Page 281: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

273

DAMPAK PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA TERHADAP

PENDAPATAN MASYARAKAT: STUDI KASUS AREA WISATA PULO

MERAH KABUPATEN BANYUWANGI

Vistario Febrian Yoseph1, Supranoto

2, Agus Suharsono

3

[email protected]

Abstract

This study aimed to describe the impact of the tourist destination development on the

Pulo Merah residents’ income, especially those in the developing area of the Pulo

Merah. Pulo Merahwas developed by Banyuwangi District in partnership with

Perhutani. The cooperation was stipulated in the agreement number 01 / MCC /

DIV-WIS and AGRI / 2014.Tourism Department designated groups of people (known

as Pokmas) in Pulo Merah as executor in the field. One of the goals of the

development of the Pulo Merah described in the agreement was to increase the

income of the parties. This research used descriptive research with quantitative

approach. Data collection techniques applied in the study included documentation,

questionnaires, and interviews. The selection of research respondents was by

accidental sampling. Data were analyzed by calculating revenue per day. The days

in January were divided into four categories, namely weekdays (Monday-Friday),

Saturdays, Sundays, and holidays on a normal day. After the revenue in January was

calculated, the resultant figure was subtracted by the income tax or rent cost. Based

on the resultant calculation, the income levels were classified into a number of

categories, including low, medium, high, and very high. The results obtained in this

study revealed that low income was evident in the rental of surfboards, traders

Soveri, lodging class C, and all labors at tourism department. Class-C lodging was

belonged to the category of low income because it was far from Pulo Merah and

cheaper. Moderate income level was obtained by the shop owners and class-B

lodging owner. High income level was attained by class-A lodging owner because

this type of lodging was the closest lodging to the Pulo Merah. Lastly, the very high

income level was characteristics of coconut traders and those renting a place to

relax.

Keywords: development policy, tourism-destination, income level

Abstrak

Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan dampak pengembangan destinasi wisata

Pulo Merah terhadap pendapatan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di area

pengembangan. Pulo Merah dikembangkan sebagai destinasi wisata oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi bekerjasama dengan Perum Perhutani. Kerjasama ini

dituangkan ke dalam Dokumen Kerja sama Nomor 01 / MCC / DIV-WIS and AGRI

/ 2014. Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi mendorong terbentuknya kelompok

masyarakat (Pokmas) di Pulo Merah sebagai eksekutor program di lapangan. Salah

satu tujuan pengembangan destinasi wisata Pulo Merah yang tertulis di Dokumen

Kerjasama adalah untuk meningkatkan pendapatan kedua belah pihak. Penelitian ini

merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, kuesioner, 1 Mahasiswa Universitas Jember

2,3 Dosen Universitas Jember

Page 282: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

274

dan wawancara. Responden penelitian dipilih dengan memakai teknik aksidental.

Data yang terkumpul dianalisis dengan menghitung penghasilan per hari. Untuk itu,

hari-hari pada saat pelaksanaan pengumpulan data (Januari) dibagi ke dalam empat

kategori, yaitu hari kerja (Senin-Jumat), Sabtu, Minggu, dan hari-libur-yang-jatuh-

pada-hari-kerja. Sesudah penghasilan bulan Januari selesai dihitung, angka resultan

dikurangi dengan pajak penghasilan atau biaya sewa. Berdasarkan perhitungasn

tersebut, tingkat pendapatan masyarakat diklasifikasikan ke dalam kategori rendah,

sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah yang bekerja menyewakan papan

seluncur (surfboards), pedagang souvenir, penginapan kelas C, dan semua pekerja di

dinas pariwisata. Penginapan Kelas C termasuk ke dalam kategori pendapatan rendah

karena lokasi penginapan tersebut jauh dari Pulo Merah sehingga tidak banyak

tamunya biaya sewanya juga murah. Tingkat penghasilan menengah dicapai oleh

pemilik toko dan pemilik penginapan kelas-B. Pendapatan tinggi dicapai oleh

pemilik penginapan kelas A yang lokasinya memang paling dekat dengan Pulo

Merah. Terakhir, yang memperoleh pendapatan sangat tinggi adalah para pedagang

coklat dan mereka yang menyewakan “tempat santai” berdurasi pendek.

Kata Kunci: kebijakan pengembangan, destinasi wisata, tingkat pendapatan

Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis dan mendiskripsikan

pendapatan masyarakat sebagai

dampak pengembangan destinasi

wisata Pulo Merah. Akhir-akhir ini

Kabupaten Banyuwangi sedang gencar

melakukan pembangunan maupun

pengembangan disektor pariwisata.

Letak Kabupaten Banyuwangi yang

bersebrangan dengan pulau Bali dan

letak geografis Kabupaten Banyuwangi

yang memiliki gunung dan garis pantai

yang cukup panjang membuat

Kabupaten Banyuwangi sangat

potensial untuk dilakukan

pengembangan destinasi wisata.

Secara geografis Kabupaten

Banyuwangi terletak di ujung timur

Pulau Jawa. Wilayah daratnya terdiri

atas dataran tinggi yang berupa

pegunungan, sedangkan wilayah laut

Kabupaten Banyuwangi memiliki garis

pantai sepanjang 175,8 km berbatasan

langsung dengan Samudra Hindia di

bagian selatan, dan di sebelah timur

berbatasan langsung dengan Selat Bali.

Kondisi Kabupaten Banyuwangi yang

memiliki dataran tinggi dan garis

pantai yang panjang, sehingga

Kabupaten Banyuwangi memiliki

destinasi wisata yang beragam di sektor

darat maupun sektor laut. Di

Banyuwangi, bukan hanya terdapat

destinasi wisata alam, tetapi juga

destinasi wisata buatan. Berikut adalah

daftar destinasi wisata di Banyuwangi

beserta bayaknya.

Tabel 1. Jumlah Wisatawan di Kabupaten

Banyuwangi, Januari 2014 – Juni 2016.

No Nama Objek Wisata Jumlah Pengunjung

WinusA WimanB

1. Alam Indah Lestari 52.992 -

2. Atanta 79.936 -

3. Desa Wisata Using 77.444 -

4. Pantai Grajakan 50.897 -

5. Gumuk Kantong Indah 11.341 -

6. Kaliklatak - 471

7. Kawah Ijen 152.450 24.789

8. Ekowisata Bedul 46.752 -

9. Makam Datuk Abd Bausir 168.548 -

10. Mirah Fantasi 78.650 107

11. PA Kalong Indah 5.144 -

12. Pancoran 135.423 -

13. Pemandian Taman Suruh 111.131 -

14. TN. Alas Purwo 151.002 3.035

15. Sukamade 89.241 2.558

16. Umbul Bening 120.116 -

17. Umbul Pule 110.436 -

18. Watudodol 55.190 -

19. Rowo Bayu 3.423 -

20. Perkebunan Kendeng Lembu 1.842 -

21. Antogan Indah 14.301 -

Page 283: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

275

22. Situs Umpak Songo 75.232 -

23. Pemandian Mendut Hijau 14.773 -

24. X Bandeng Adventura 6.003 -

25. Pulo Merah 480.893 7.266

26. Tamansari 39.387 -

Jumlah 2.132.78

8

38266

Keterangan:

A: Winus = Wisatawan Nusantara

B: Wisman = Wisatawan Mancanegara

Sumber: Dinas Pariwisata Banyuwang (data

diolah)

Tabel diatas menunjukkan bahwa

Pulo Merah adalah destinasi wisata

yang paling banyak dikunjungi yaitu

sebanyak 488.159 pengunjung. Pulo

Merah terletak di Desa Sumberagung

Kecamatan Pesanggaran,

dikembangkan sebagai area wisata

berdasarkan Perjanjian Kerjasama

Pengelolaan dan Pengembangan Wan

Wisata Pulo Merah dengan nomor:

01/PKS/DIV-WIS&AGRI/2014 antara

Perhutani sebagai pihak pertama

dengan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi sebagai pihak kedua.

Pengembangan destinasi wisata

tentu akan memberikan dampak.

Menurut Wahab (1988:13) peningkatan

jumlah kunjungan, hari-hari libur atau

besarnya pembelanjaan wisatawan

akan mendatangkan dampak pada

bidang-bidang ekonomi, sosial,

pemerintah, dan lingkungan hidup.

Dalam pengembangan Pulo Merah

dampak ekonomi adalah dampak yang

paling dirasakan masyarakat. Dampak

ekonomi ini muncul dalam bentuk

terbukanya lapangan pekerjaan baru

yang dapat dimaksimalkan masyarakat

untuk memperoleh atau menambah

pendapatan.

Salah satu tujuan

pengembangan Pulo Merah adalah

meningkatkan pendapatan para pihak

dan masyarakat sekitar. Hal ini antara

lain dirasakan langsung oleh kelompok

masyarakat (Pokmas) sekitar yang

ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi melalui Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan sebagai pelaksana di

lapangan. Dikembangkannya Pulo

Merah juga mengakibatkan masyarakat

sekitar yang kebanyakan berprofesi

sebagai nelayan, petani, dan pegawai

tambang memiliki pekerjaan baru

ataupun pekerjaan tambahan yang

berkaitan dengan pengembangan Pulo

Merah.

Meskipun baru sejak Januari

2014 Pulo Merah mulai dikembangkan

di Banyuwangi tetapi dampaknya dapat

dirasakan masyarakat di sekitar area

pengembangan Pulo Merah, terutama

dalam hal terbukanya lapangan

pekerjaan dan pada gilirannya

menambah pendapatan masyarakat.

Aktivitas ekonomi baru tumbuh, seperti

warung makan, pedagang kelapa muda,

penyewaan tempat bersantai,

penyewaan penginapan, penyewaan

papan selancar, pedagang sovenir,

penjaga loket, petugas kebersihan,

penjaga loket, tukang parkir, dan

penjaga pantai

Tinjauan Pustaka

Otonomi Daerah

Otonomi Daerah diatur dalam

UU No. 32 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Didalam UU

tersebut antaralain disebutkan bahwa

yang dimaksud otonomi daerah adalah

hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Secara etimologis

konsep otonomi daerah berasal dari dua

kata, yaitu auto yang berarti sendiri dan

nomein yang berarti peraturan atau

undang-undang. Maka autonomy

berarti mengatur sendiri atau

memerintah sendiri, atau dalam arti

yang luas adalah hak untuk mengatur

Page 284: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

276

dan mengurus rumah tangga daerah

sendiri.

Daerah otonom yang selanjutnya

disebut daerah adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Pemerintah daerah

adalah kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah

yang memimpin pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah otonom.

Sedangkan pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraan urusanpemerintahan

oleh pemerintah daerah dan dewan

perwakilan rakyat daerah menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Gambar 1. Pembagian Urusan Pemerintahan

(Sumber: UU No 23 Tahun 2014)

Otonomi daerah mengakibatkan

pembagian urusan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-undang Republik

Indonesia No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, terdapat 3

urusan pemerintah yaitu urusan

pemerintahan absolut, urusan

pemerintahan konkuren, dan urusan

pemerintahan umum. Apabila

digambarkan akan nampak seperti

Gambar 1. Urusan pemerintahan

absolut adalah urusan pemerintahan

yang sepenuhnya menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Urusan pemerintahan

konkuren adalah urusan pemerintahan

yang dibagi antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah. Sedangkan

urusan pemerintahan umum adalah

urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan. Urusan-urusan

pemerintahan kongkuren yang

diserahkan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah inilah yang

menjadi dasar pelaksanaan otonomi

daerah.

Potensi Daerah

Potensi adalah sesuatu yang

sudah ada tetapi belum dapat diperoleh

sepenuhnya. Menurut Mahmudi

(2010:48) potensi adalah sesuatu yang

sebenartnya sudah ada, hanya belum

didapat atau diperoleh di tangan. Untuk

mendapatnya diperlukan usaha-usaha

atau tindakan-tindakan khusus.

Gambar 2. Peta Potensi Daerah

(Sumber: Mahmudi, 2010:4)

Page 285: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

277

Mahmudi menjelaskan bahwa

Kuadaran I adalah kondisi yang ideal,

yakni pemerintah memiliki potensi

pendapatan yang tinggi serta

kemampuan mengelola potensi tersebut

juga tinggi. Pada kondisi ini yang perlu

dilakukan adalah menjaga sumber

pendapatan untuk kesinambungan

fiskal antar generasi. Dengan

kemampuan mengelola yang tinggi

tidak berarti potensi yang ada harus

dieksploitasi seluruhnya saat ini hingga

mengakibatkan generasi berikutnya

tidak lagi menikmati potensi

pendapatan tersebut. Hal ini khususnya

terkait dengan potensi ekonomi dari

sumber daya alam yang tidak

diperbarui, seperti tambang.

Kuadaran II adalah kondisi

pemerintah yang memiliki potensi

pendapatan yang tinggi tetapi tidak

mempunyai kemampuan untuk

mengelola potensi tersebut secara

memadai. Kondisi ini pada umumnya

dialami oleh pemerintahan di negara-

negara berkembang, termasuk

Indonesia. Kondisi pada kuadran II ini

merupakan kondisi yang cukup rawan

karena akan menjadi ajang kepentingan

banyak pihak, termasuk pihak asing

untuk berebut memanfaatkan

(eksploitasi) potensi besar yang tidak

terkelola dengan baik. Oleh karenanya

pada kondisi kuadran II ini diperlukan

semangat nasionalisme ekonomi, yakni

semangat untuk melindungi dan

memanfaatkan potensi ekonomi untuk

kepentingan bangsa dan kesejahteraan

masyarakat.

Kuadran III adalh kondisi

pemerintahan yang memiliki potensi

yang rendah tetapi pada dasarnya

mempunyai kapasitas untuk mengelola

yang tinggi. Pada kondisi ini strategi

yang dapat dilakukan adalah

melakukan ekstensifikasi atau ekspansi.

Misalnya, suatu pemerintahan tidak

memiliki potensi hutan, tetapi dengan

adanya daya dukung sumber daya

manusia dan sarana prasarana yang

dimiliki mampu mengolah hasil hutan

menjadi produk yang berkualitas

tinggi, misalnya furniture kualitas

ekspor. Meskipun pemerintah setempat

tidak memiliki hutan, pemerintah

tersebut dapat melakukan ekspansi

dengan memanfaatkan potensi hasil

hutan dari daerah lain untuk diolah

menjadi produk yang memiliki

ekonomi lebih tinggi.

Kuadran IV adalah kondisi paling

buruk yang perlu dihindari, yaitu

potensi yang dimiliki rendahdan

kemampuan mengelola pendapatan

juga rendah. Pada kondisi kuadran IV

ini perlu dilakukan strategi peningkatan

kualitas sumber dya manusia melalui

program pendidikan dan pelatihan

(edukasi) sehingga memiliki kapasitas

mengelola potensi pendapatan secara

lebih baik.

Menurut peta potensi daerah

yang disampaikan Mahmudi, sektor

pariwisata di Kabupaten Banyuwangi

termasuk ke dalam kuadran ke II

karena Banyuwangi memiliki banyak

tempat-tempat wisata yang alami

ataupun buatan. Oleh karena itu jika

tidak dikelola dengan benar dan dengan

lembaga pengelola yang benar pula,

maka akan rawan dieksploitasi secara

berlebih dan akan menyebabkan

kerusakan lingkungan.

Pengembangan Destinasi Wisata

Menurut UU kepariwisataan No.

10 tahun 2009 tentang kepariwisataan,

pariwisata adalah berbagai kegiatan

wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah

dan pemerintah daerah. Pada

hakikatnya berpariwisata adalah suatu

proses kepergian sementara dari

seseorang atau lebih menuju tempat

lain diluar tempat tinggalnya.

Page 286: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

278

Dorongan kepergianya adalah karena

berbagai kepentingan, baik karena

kepentingan ekonomi, sosial,

kebudayaan, politik, agama, kesehatan

maupun kepentingan lain seperti karena

sekedar ingin tahu, menambah

pengalaman ataupun untuk belajar

(Suwartono, 1997:3).

Sedangkan destniasi merupakan

suatu kawasan spesifik yang dipilih

oleh seorang pengunjung, ia dapat

tinggal selama waktu tertentu

(Hadinoto, 1996:15). Kata “destinasi”

dapat membingungkan juga karena

digunakan untuk suatu kawasan

terencana, yang sebagian atau

seluruhnya dilengkapi (self-contained)

dengan amnesti dan produk pelayanan

wisata, fasilitas rekreasi, restoran,

hotel, atraksi, liburan dan took

pengecer yang dibutuhkan pengunjung.

Di dalam Undang-Undang No. 10

tahun 2009 tentang Kepariwisataan

pasal 1 (4) disebutkan bahwa usaha

kepariwisataan adalah keseluruhan

kegiatan yang terkait dengan pariwisata

dan bersifat multidimensi serta

multidisiplin yang muncul sebagai

wujud kebutuhan setiap orang dan

negara serta interaksi antara wisatawan

dan masyarakat setempat, sesame

wisatawan, pemerintah, pemerintah

daerah, dan pengusaha.

Menurut Pendit (1994)

pariwisata dapat dibedakan menurut

motif wisatawan untuk mengunjungi

suatu tempat. Jenis-jenis pariwisata

tersebut adalah sebagai berikut.

1. Wisata Budaya adalah perjalanan

wisata yang dilakukan atas dasar

keinginan untuk memperluas

pandangan hidup seseorang

dengan jalan mengadakan

kujungan atau peninjauan ke

tempat lain atau keluar negeri,

mempelajari keadaan rakyat,

kebiasaan adat istiadat mereka,

cara hidup mereka, budaya dan

seni mereka. Seiring perjalanan

serupa ini disatukan dengan

kesempatan-kesempatan

mengambil bagian dalam kegiatan-

kegiatan budaya seperti eksposisi

seni (seni tari, seni drama, seni

musik, dan seni suara) atau

kegiatan yang bermotif

kesejarahan dan sebagiannya.

2. Wisata maritim atau bahari adalah

jenis wisata yang dikaitkan dengan

kegiatan olah raga di air (di danau,

pantai, teluk atau laut) seperti

memancing, berlayar, menyelam

sambil melakukan pemotretan,

kompetisi berselancar, balapan

mendayung, melihat pemandangan

indah bawah laut yang semuanya

ini banyak dilakukan di negara-

negara maritim.

3. Wisata cagar alam adalah jenis

wisata yang tujuannya adalah

tempat-tempat yang kelestariannya

dilindungi oleh undang-undang,

seperti cagar alam, taman lindung

dan masih banyak lagi yang

lainnya.

4. Wisata konvensi adalah jenis

wisata yang berkaitan dengan

tempat-tempat yang biasanya

digunakan untuk acara pertemuan-

pertemuan penting.

5. Wisata pertanian (agrowisata)

adalah jenis wisata yang tujuannya

adalah tempat-tempat pertanian

seperti perkebunan area

persawahan.

6. Wisata buru adalah jenis wisata

yang cocok untuk area wisata yang

memiliki daerah atau hutan untuk

aktivitas berburu.

7. Wisata ziarah adalah jenis wisata

yang kaitannya dengan

keagamaan, sejarah, adat istiadat

dan kepercayaan umat atau

kelompok dalam masyarakat.

Wisata ziarah banyak dilakukan

Page 287: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

279

oleh perorangan atau rombongan

ke tempat-tempat suci.

Kerangka pengembangan

destinasi wisata menurut Cooper Dkk

(dalam Sunaryo, 2013:159) paling

tidak harus mencakup komponen-

komponen utama sebagai berikut.

a. Objek dan Daya Tarik (Atraction),

yang mencakup: daya tarik yang

bisa berbasis utama pada

kelayakan alam, budaya, maupun

buatan/artifisial atau yang sering

disebut sebagai minat khusus

(special interest).

b. Aksesbilitas (Accessibility), yang

mencakup dukungan sistem

transportasi yang meliputi: rute

atau jalur transportasi, fasilitas

terminal, bandara, pelabuhan dan

moda transportasi lain.

c. Amenitas (Amenities), yang

mencakup fasilitas penunjang dan

pendukung wisata yang meliputi:

akomodasi, rumah makan (foot

and baverage), retail, toko

cinderamata, fasilitas penukaran

uang, biro perjalanan, pusat

informasi wisata, dan fasilitas

kenyamanan lainnya.

d. Fasilitas Pendukung (Ancillary

Services), yaitu ketersediaan

fasilitas pendukung yang

digunakan oleh wisatawan, seperti

bank, telekomunikasi, pos, rumah

sakit, dan sebagainya.

e. Kelembagaan (Institutions), yaitu

terkait dengan keberadaan dan

peran masing-masing unsur dalam

mendukung terlaksananya kegiatan

pariwisata termasuk masyarakat

sebagai tuan rumah (host).

Gambar 3. Ilustrasi Konstruksi Sistem Destinasi

Wisata

(Sumber: Cooper dkk dalam Sunaryo, 2013:160).

Kebijakan Publik

Menurut Suharto (2008:2)

kebijakan adalah suatu perangkat

pedoman yang memberikan arah

terhadap pelaksanaan strategi-strategi

pembangunan. Fungsi kebijakan disini

adalah untuk memberikan rumusan

mengenai berbagai pilihan tindakan

dan prioritas yang diwujudkan dalam

program-program pelayanan sosial

yang efektif untuk mencapai tujuan

pembangunan. Sedangkan menurut

Yehezkel (dalam Abidin 2012:3)secara

harfiah, ilmu kebijakan merupakan

terjemahan langsung dari katapolicy

science. Beberapa penulis besar dalam

ilmu ini seperti Wiliam Dunn, Charless

Jones, dan Lee Friedman menggunakan

istilah public policy dan public policy

analysis dalam pengertian yang tidak

berbeda. Istilah kebijaksanaan atau

kebijakan yang diterjemahkan dari kata

policy memang biasanya dikaitkan

dengan keputusan pemerintah karena

pemerintahlah yang mempunyai

wewenang atau kekuasaan untuk

mengarahkan masyarakat dan

bertanggung jawab melayani

kepentingan umum. Kata policy secara

etimologis berasal dari kala polis dari

bahasa Yunani (Greek) yang berarti

negara atau kota. Dalam bahasa latin,

kata ini berubah menjadi politia yang

berarti negara. Masuk dalam bahasa

Inggris lama, kata tersebut menjadi

policie yang pengertiannya berkaitan

Page 288: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

280

dengan urusan pemerintah atau

administrasi pemerintah (Dunn dalam

Abidin, 2012:4). Sementara itu Dye

(dalam Abidin, 2012:5) menjelaskan

kebijakan sebagai pilihan pemerintah

untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu.

Pengertian publik dalam

rangkaian kata public policy memiliki

tiga konotasi yaitu pemerintah,

masyarakat, dan umum. Hal ini dapat

dilihat dalam dimensi subjek, objek,

dan lingkungan dari kebijakan.

Sehingga salah satu ciri kebijakan

adalah apa yang pemerintah lakukan

atau tidak lakukan. Kebijakan dari

pemerintahlah yang dapat dianggap

sebagai kebijakan yang resmi, sehingga

mempunyai kewenangan yang dapat

memaksa masyarakat untuk

mematuhinya.

Gambar 4. Pemahaman Dasar Proses Kebijakan

(Sumber: Nugroho, 2014:185)

Gambar di atas menjelaskan

proses pembuatan kebijakan public

dengan uraian sebagai berikut

(Nugroho, 2014:185-186).

1. Isu kebijakan: Disebut isu apabila

bersifat strategis, yakni bersifat

mendasar, yang menyangkut

banyak orang atau bahkan

keselamatan bersama, (biasanya)

berjangka panjang, tidak bisa

diselesaikan perorangan, dan

memang harus diselesaikan.

2. Perumusan kebijakan: Isu

kebijakan publik ini kemudian

menggerakkan pemerintah untuk

merumuskan kebijakan publik

dalam rangka menyelesaikan

masalah tersebut. Rumusan

kebijakan ini akan menjadi hukum

bagi seluruh negara dan warganya

termasuk pemimpin negara.

3. Implementasi kebijakan: Setelah

dirumuskan, kebijakan publik ini

kemudian dilaksanakan bersama-

sama dengan masyarakat.

4. Evaluasi kebijakan: Dalam proses

perumusan, pelaksanaan, dan

pasca pelaksanaan, diperlukan

tindakan evaluasi sebagai sebuah

siklus baru untuk dinilai apakah

kebijakan tersebut sudah

dirumuskan dengan baik dan benar

dan diimplementasikan dengan

baik dan benar pula.

Menurut Abidin (2012:25)

sebagai sebuah sistem yang terdiri dari

subsistem atau elemen, komposisi dari

kebijakan dapat diikuti dari dua

perspektif. Yaitu dari proses kebijakan

dan struktur kebijakan. Proses

kebijakan terdapat tahap-tahap

identifikasi masalah dan tujuan,

formulasi kebijakan, implementasi, dan

evaluasi kebijakan seperti gambar 2.5.

Sedangkan Melalui struktur kebijakan

terdapat lima unsur kebijakan, yaitu

tujuan kebijakan, masalah, tuntutan,

dampak, dan sarana atau alat kebijakan.

Unsur kebijakan yang pertama

adalah tujuan kebijakan. Telah

dipahami bahwa suatu kebijakan dibuat

karena ada tujuan yang ingin dicapai.

Tanpa ada tujuan, tidak perlu ada

kebijakan. Namun demikian, tidak

semua kebijakan mempunyai uraian

yang sama tentang tujuan itu.

Perbedaannya tidak hanya sekedar pada

jangka waktu pencapaian tujuan yang

dimaksud, tetapi juga pada posisi,

gambaran, orientasi dan dukungannya.

Kebijakan yang baik mempunyai

tujuan yang baik. Tujuan yang baik itu

sekurang-kurangnya memenuhi empat

kriteria, yaitu diinginkan untuk dicapai,

Page 289: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

281

rasional atau realistis, jelas, dan

berorientasi ke depan.

Unsur kedua dalam studi

kebijakan adalah masalah. Masalah

merupakan unsur yang sangat penting

dalam kebijakan. Kesalahan dalam

menentukan masalah yang tepat, dapat

menimbulkan kegagalan total dalam

proses kebijakan. Tidak ada artinya

suatu cara atau metode yang baik untuk

pemecahan suatu masalah kebijakan

jika pemecahannya dilakukan terhadap

masalah yang tidak benar. Dengan kata

lain dapat dikatakan jika suatu masalah

telah dapat diidentifikasi secara tepat,

berarti sebagian pekerjaan dapat

dianggap sudah dikuasai.

Unsur ketiga dari kebijakan

publik adalah tuntutan. Sudah diketahui

bahwa partisipasi merupakan indikasi

dari masyarkat maju (Huntington

dalam Abidin, 2012:28). Partisipasi

dapat berbentuk dukungan, tuntutan,

dan tantangan atau kritik. Seperti

halnya partisipasi pada umumnya

tuntutan dapat bersifat moderat atau

radikal bergantung pada urgensi dari

tuntutan, gerahnya masyarakat, dan

sikap pemerintah dalam menanggapi

tuntutan tersebut. Tuntutan muncul

karena salah satu dari dua sebab.

Pertama, karena terabaikannya

kepentingan suatu golongan dalam

proses perumusan kebijakan sehingga

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

dirasakan tidak memenuhi atau

merugikan kepentingan mereka. Ini

terjadi karena mereka tidak mempunyai

akses dalam proses perumusan

kebijakan atau karena kalah dalam

persaingan antarberbagai kekuatan

sekalipun jumlah mereka mungkin

cukup banyak dalam masyarakat.

Kedua, karena munculnya kebutuhan

baru setelah suatu tujuan tercapai atau

suatu masalah terpecahkan. Contohnya

tuntutan terhadap sekolah tingkat

pertama (SLTP) muncul karena

beberapa sekolah dasar (SD) berhasil

melepas lulusannya. Seterusnya,

muncul tuntutan terhadap sekolah

lanjut tingkat atas (SLTA) hingga

perguruan tinggi (PT) begitu

seterusnya.

Unsur keempat dari suatu

kebijakan adalah sarana atau alat

kebijakan. Suatu kebijakan

diimplementasikan dengan

menggunakan sarana yang dimaksud.

Beberapa dari sarana ini dapat

disebutkan antara lain kekuasaan,

insentif, pengembangan kemampuan,

simbolis, dan perubahan dari kebijakan

itu sendiri. Unsur kelima dari suatu

kebijakan adalah dampak. Dampak

merupakan tujuan lainnya yang muncul

sebagai pengaruh dari pencapaian suatu

tujuan. Impact atau dampak adalah

akibat-akibat dan konsekuensi-

konsekuensi yang ditimbulkan atas

suatu hal.

Dampak kebijakan menurut

Islamy (2000:115) adalah akibat-akibat

dan konsekuensi-konsekuensi yang

ditimbulkan dengan dilaksanakan

kebijakan-kebijakan publik. Sedangkan

menurut Dunn (2000:596) dampak

kebijakan adalah perubahan aktual

dalam perilaku atau sikap yang

merupakan akibat dari keluaran

kebijakan. Dampak secara visual dapat

ditunjukkan jika seseorang melempar

batu ke dalam kolam yang airnya

tenang. Pengaruh dari jatuhnya batu

akan menimbulkan riak air yang

semakin meluas di sekitar tempat

jatuhnya batu.

Pendapatan

Pendapatan Nasional

Ada dua pengertian tentang

pendapatan nasional. Yang pertama

istilah pendapatan Nasional

dimaksutkan untuk menyatakan nilai

barang dan jasa yang dihasilkan dalam

Page 290: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

282

suatu negara. Pengertian yang ke dua

Pendapatan Nasioanl adalah jumlah

pendapatan yang diterima oleh faktor-

faktor produksi yang digunakan untuk

memproduksikan barang dan jasa

dalam suatu tahun tertentu (Sukirno,

2012:36). Dalam sistem perhitungan

pendapatan nasional jumlah

pendapatan itu dinamakan Produk

Nasional Neto pada harga faktor atau

secara ringkas disebut “Pendapatan

Nasional”. Menurut Sukirno (2012:33)

ada 3 cara yang dapat digunakan untuk

menghitung pendapatan nasional, yaitu

sebagai berikut.

Cara perhitungan 1: cara pengeluaran

Perhitungan pendapatan nasional

dengan cara pengeluaran membedakan

pengeluaran ke atas barang dan jasa

yang dihasilkan dalam perekonomian

kepada 4 komponen, yaitu konsumsi

rumah tangga, pengeluaran pemerintah,

pembentukan modal sektor swasta

(investasi) dan ekspor neto (ekspor

dikurangi impor).

Y = Pendapatan Nasional

G = Pengeluaran Pemerintah

C = Konsumsi Rumah Tangga

X = ekspor

I = Investasi

M = Impor

Cara perhitungan ke 2: cara produk

neto

Produk neto berarti nilai tambah

yang diciptakan dalam suatu proses

produksi. Dengan demikian cara ke dua

untuk menghitung pendapatan nasional

ini adalah cara menghitung dengan

menjumlahkan nilai tambah yang

terwujud oleh perusahaan-perusahaan

di berbagai lapangan usaha dalam

perekonomian.

Y = Pendapatan Nasional

P1 = Harga barang ke 1

Pn = Harga barang ke n

Q1 = Jenis barang ke 1

Qn = Jenis barang ke n

P2

= Harga barang ke 2

Q2

= Jenis barang ke 2

Cara yang ke 3: cara pendapatan

Apabila faktor-faktor produksi

digunakan untuk mewujudkan barang

dan jasa akan diperoleh berbagai jenis

pendapatan seperti tanah dan harta

tetap lainnya memperoleh sewa, tenaga

kerja memperoleh gaji dan upah, modal

memperoleh bunga, dan keahlian

keusahawanan memperoleh

keuntungan. Dengan menjumlahkan

pendapatan-pendapatan tersebut akan

diperoleh suatu nilai pendapatan

nasional lain yang berbeda dengan

yang diperoleh dalam perhitungan

pendapatan nasional dengan kedua cara

lainnya. Perhitungan pendapatan

nasional dengan cara pendapatan pada

umumnya menggolongkan pendapatan

yang diterima faktor-faktor produksi.

Y = Pendapatan nasional

r = Pendapatan dari upah, gaji, dan lainnya

w = Pendapatan bersih dari sewa

i = Pendapatan dari bunga

p = Pendapatan dari keuntungan perusahaan

dan usaha perorangan

Pendapatan Pribadi dan Pendapatan

Disposibel

Menurut Sukirno (2012:47)

pendapatan pribadi dapat diartikan

sebagai semua jenis pendapatan,

termasuk pendapatan yang diperoleh

tanpa memberikan suatu kegiatan

apapun, yang diterima oleh penduduk

suatu negara. Selain pendapatan

pribadi, dikenal juga istilah pendapatan

Page 291: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

283

disposibel. Menurut Sukirno (2012:49)

apabila pendapatan pribadi dikurangi

oleh pajak yang harus dibayar oleh para

penerima pendapatan, nilai yang tersisa

dinamakan pendapatan disposibel.

Dengan demikian pada hakikatnya

pendapatan disposibel adalah

pendapatan yang dapat digunakan oleh

penerimanya, yaitu semua rumah

tangga yang ada adalam perekonomian,

untuk membeli barang-barang dan jasa-

jasa yang mereka ingini. Tetapi

biasanya tidak semua pendapatan

disposibel digunakan untuk tujuan

konsumsi, sebagian darinya ditabung

dan sebagian lainnya digunakan untuk

membayar bunga untuk pinjaman yang

digunakan untuk membeli barang-

barang secara mencicil.

Sukirmo (2014:47) menyatakan

bahwa untuk memudakan mengingat

hubungan diantara pendapatan

disposibel (Yd) dengan pendapatan

pribadi (Yp) dan pajak (T) serta

pendapatan disposibel (Yd) dengan

konsumsi (C) dan tabungan (S), maka

di bawah ini dinyatakan formula

(rumus) sebagai berikut. 1. Yd = Yp – T

2. Yd = C + S

Dalam penelitian ini, pendapatan yang

ingin diketahui peneliti adalah

pendapatan pribadi tiap-tiap

perorangan yang bekerja di dalam

kawasan Pulo Merah.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis

penelitian deskriptif kuantitatif.

Penelitian ini dilakukan pada bulan

Januari 2016 dan berlokasi di destinasi

wisata Pulo Merah. Populasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

seluruh masyarakat yang bekerja di

area Pulo Merah. Sampel penelitian

dipilih menggunakan teknik aksidental.

Data yang digunakan dikumpulkan

dengan teknik observasi, kuesioner,

dan wawancara.

Definisi Operasional

Pendapatan yang di ukur

didalam penelitian ini adalah

pendapatan disposibel. Pendapatan

disposibel menurut Sukirno (2012:49)

adalah pendapatan pribadi dikurangi

pajak yang harus dibayar oleh para

penerima pendapatan. Dengan

demikian pendapatan disposibel dapat

dicari dengan mengetahui pendapatan

pribadi dan pajak yang dibayarkan.

1. Pendapatan pribadi

Pendapatan pribadi yang dimaksudkan

adalah seluruh pendapatan yang

didapat akibat dari aktivitas produktif

di Pulo Merah pada bulan Januari

2016.

2. Pajak

Sejumlah uang yang dibayarkan kepada

pemerintah daerah dan atau pemerintah

desa dan atau lembaga penarik pajak

atau iuran dan atau preman atas apa-

apa saja yang dikenakan biaya pajak,

biaya keamanan atau ijin usaha di Pulo

Merah.

Dari pendapatan dan pajak yang

didefinisikan secara opererasional oleh

peneliti di atas, dijadikan sebagai dasar

untuk menyusun item-item instrumen

yang dapat berupa pernyataan atau

pertanyaan.

Dalam penelitian ini, untuk

mengetahui tingkat pendapatan

masyarakat Desa Sumberagung yang

bekerja di Pulo Merah peneliti

menggunakan dasar sebagai berikut

(Sumber BPS tahun 2008 dalam ridwan-

belitung.blogspot.co.id/2009/10/keterkaitan-

tingkat-pendidikan-dan.html?m=1).

1. Golongan pendapatan rendah

adalah jika pendapatan rata-

rata kurang dari Rp

1.500.000,00 per bulan.

Page 292: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

284

2. Golongan pendapatan sedang

adalah jika pendapatan rata-

rata antara Rp 1.500.000,00 –

Rp 2.500.000,00 per bulan.

3. Golongan pendapatan tingi adalah

jika pendapatan rata-rata antara Rp

2.500.000,00 – Rp 3.500.000,00

per bulan.

4. Golongan pendapatan sangat tinggi

adalah jika pendapatan rata-rata

lebih dari Rp 3.500.000,00 per

bulan.

Tingkat pendapatan diatas adalah

tingkat pendapatan yang dikeluarkan

BPS pada tahun 2008, sehingga tidak

cocok digunakan pada tahun 2016.

Agar tingkat pendapatan tersebut cocok

digunakan pada tahun 2016 maka perlu

adanya penyesuaian. Penyesuaian yang

digunakan peneliti adalah

membandingkan harga emas/ gram.

Pada tahun 2008 harga emas/ gram

adalah Rp 280.046,00 (sumber:

hargaemasindonesia.blogspot.co.id/201

1/04/pergerakan-harga-emas-12-tahun

terakhir.html?m=) sedangkan pada

tahun 2015 harga emas/ gram adalah

Rp 478.083,00

(sumber:www.seputarforex.com/data/h

arga_emas_hari_ini/). Maka

pendapatan rendah pada tahun 2015

dapat dicari dengan cara harga emas

tahun 2015 (Rp 478.083) dibagi

dengan harga emas tahun 2011 (Rp

280.046) dikalikan dengan batas

golongan pendapatan rendah pada

tahun 2008. Untuk golongan

pendapatan sedang, tinggi dan sangat

tinggi dilakukan cara yang sama, maka

akan muncul tingkat pendapatan

sebagai berikut.

1. Golongan pendapatan rendah

adalah jika pendapatan rata-rata

kurang dari Rp 2.561.000,00 per

bulan.

2. Golongan pendapatan sedang

adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp 2.561.000,00 – Rp

4.268,000,00 per bulan.

3. Golongan pendapatan tingi adalah

jika pendapatan rata-r ata antara

Rp 4.268,000,00 – Rp

5.975.000,00 per bulan.

4. Golongan pendapatan sangat tinggi

adalah jika pendapatan rata-rata

lebih dari Rp 5.975.000,00 per

bulan.

Demikian penjelasan definisi

operasional dalam penelitian ini.Atas

penjelasan di atas variabel pendapatan

di dalam penelitian ini diukur pada

skala ordinal.

Teknik Penyajian dan Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik

penyajian dan analisis data disajikan

sebagai berikut.

1. Menghitung pendapatan perhari

Pendapatan perbulan dapat

diketahui dengan menjumlahkan total

pendapatan perharinya sebanyak

jumlah hari yang ada ditiap bulan.

Akan tetapi banyaknya hari libur juga

berpengaruh terhadap banyaknya

wisatawan yang berkunjung.

Banyaknya wisatawan yang

berkunjung tentu saja mengakibatkan

pendapatan masyarakat yang bekerja di

Pulo Merah juga bertambah. Oleh

sebab itu agar lebih pasti

perhitungannya, peneliti

mengelompokkan hari-hari ke dalam

kelompok berikut.

a. Hari biasa (hari Senin-Jum’at)

(1) Hari Senin tanggal 4 Januari

2016

(2) Hari Selasa tanggal 5 Januari

2016

(3) Hari Rabu tanggal 13 Januari

2016

(4) Hari Kamis tanggal 21 Januari

2016

(5) Hari Jum’at tanggal 29 Januari

2016

Page 293: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

285

b. Hari Sabtu

(1) Tanggal 2 Januari 2016

(2) Tanggal 30 Januari 2016

c. Hari Minggu.

(1) Tanggal 3 Januari 2016

(2) Tanggal 17 Januari 2016

d. Hari libur di hari biasa (hari libur

dihari Senin-Jum’at).

Hari Jum’at tanggal 1 Januari 2016

Atas pembagian hari di atas maka

bisa dihitung pendapatan masyarakat

pada bulan Januari 2016.

2. Mengetahui pendapatan disposibel

masyarakat

Pendapatan disposibel adalah

hasil dari pendapatan pribadi dikurangi

dengan pajak yang dibayarkan. Dengan

demikian pendapatan disposibel dapat

diketahui dengan perhitungan sebagai

berikut.

Yd = Pendapatan disposibel

Yp = Pendapatan Pribadi

T = Biaya pajak, biaya keamanan

atau ijinusaha di Pulo Merah

3. Menentukan tingkat pendapatan

Jika pendapatan dapat diketahui,

maka peneliti harus menentukan

dimana letak tingkatan pendapatan

tersebut. Tingkatan pendapatan yang

digunakan adalah tingkat pendapatan

yang sebelumnya dimodifikasi dan

dijelaskan pada sub bab definisi

operasional variabel. Tingkat

pendapatan tersebut digolongkan

sebagai berikut (Sumber

BPStahun2008dalamridwanbelitung.blogspot.c

o.id/2009/10/keterkaitan-tingkat-

pendidikandan.html?m=1 (yang telah

disesuaikan)).

1. Golongan pendapatan rendah

adalah jika pendapatan rata-rata

kurang dari Rp 2.561.000,00 per

bulan.

2. Golongan pendapatan sedang

adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp 2.561.000,00 – Rp

4.268,000,00 per bulan.

3. Golongan pendapatan tingi adalah

jika pendapatan rata-rata antara Rp

4.268,000,00 – Rp 5.975.000,00

per bulan.

4. Golongan pendapatan sangat tinggi

adalah jika pendapatan rata-rata

lebih dari Rp 5.975.000,00 per

bulan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Deskripsi Lokasi Penelitian

Kabupaten Banyuwangi

merupakan salah satu kabupaten dalam

Provinsi Jawa Timur yang terletak di

bagian timur Pulau Jawa. Secara

astronomis Kabupaten Banyuwangi

terletak diantara 111053’ – 114038’

bujur timur dan 70043’ – 8046’ lintang

selatan. Secara geografis Kabupaten

Banyuwangi di sebelah utara

berbatasan dengan kabupaten

Situbondo, di sebelah selatan

berbatasan dengan Samudra Indonesia,

di sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Bondowoso dan di sebelah

timur berbatasan dengan Selat Bali.

Kepariwisataan Kabupaten

Banyuwangi

Banyuwangi memiliki garis

pantai yang cukup panjang serta

dataran tinggi dan gunung, hal ini

mengakibatkan banyak potensi

pariwisata yang dimiliki Banyuwangi.

Tidak hanya destinasi wisata alam,

Banyuwangi juga memiliki bebrbagai

macam destinasi wisata terdiri dari

wisata buatan, wisata kota, wisata adat

budaya, wisata religi dan wisata kuline.

Page 294: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

286

Berikut ini adalah berbagai wisata yang

terdapat di Banuwangi.

1. Wisata Alam

a. Wisata pantai

b. Wisata gunung

c. Wisata air terjun

d. Wisata perkebunan

e. Wisata tamannasional

2. Wisata Buatan

3. Wisata Kota

4. Wisata Adat Budaya

5. Wisata Religi

Pengembangan kepariwisatan di

Banyuwangi mengacu kepada Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan

(RIPK) Kabupaten Banyuwangi Nomor

13 Tahun 2012 dan Rencana Strategis

(Renstra) Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Potensi pariwisata Banyuwangi cukup

menjanjikan mengingat jumlah yang

banyak dan bermacam-macam

jenisnya.Mahmudi (2010:48)

mengelompokkan potensi kedalam

empat kuadran, sedangkan untuk

pariwisata Banyuwangi masuk pada

kuadran pertama yaitu kondisi dimana

potensi yang dimiliki tinggi dan

kemampuan mengolahnya tinggi pula.

Karena pontensi yang dimiliki tinggi

dan kemampuan mengolahnya juga

tinggi maka usaha yang dilakukan oleh

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

adalah promosi dan ekspansi.

Untuk kegiatan Promosi Dispar

telah melakukan banyak usah salah

satunya dengan memunculkan jargon

“Banyuwangi The Sunrise Of Java”

dan "Triangle Diamond”. Istilah

Triangle Diamond adalah istilah yang

biasa digunakan untuk menyebut tiga

wisata unggulan yang ada di

Banyuwangi, yaitu Kawah Ijen, Pantai

Pelengkung, dan Sukamade. Ketiga

destinasi wisata tersebut juga menjadi

pusat dari Wilayah Pengembangan

Wisata (WPP) yang ada disekitarnya.

1. WPP 1, pusatnya adalah Kawah

Ijen. Objek dan daya tarik

pendukung wisatanya adalah

sebagai berikut.

1. Mirah Fantasi 2. Air Terjun Lider

3. Desa Wisata Using 4. Pondok Indah

5. Alam Indah Lestari 6. Perkebunan Kalibendo

7. Agrowisata Kaliklatak 8. Pantai Boom

9. Pemandian Taman Suruh 10. Antogan Pesona

11. Pantai Watu Dodol 12. Pemandian Kalongan

13. Pantai Cacalan 14. Air terjun Antogan

15. Kalongan Outbound 16. Pantai Kampe

17. Gunung Ijen 18. Bayu Lor

19. Pulau Tabuhan 20. Pulau Santen

21. Perkebunan Kali Selogiri 22. Wana Wisata Watu

Dodol

23. Air Terjun Jambe Rowo 24. Wana Wisata Rawa

Bayu

25. Air Terjun Selo Giri 26.

2. WPP 2, pusatnya adalah Pantai

Pelengkung. Objek dan daya tarik

pendukung wisatanya adalah

sebagai berikut.

1. TN. Alas Purwo 2. Pantai Blimbingsari

3. Mangrove Bedu 4. Pantai Pancur

5. Pancoran 6. Pantai Kayu Aking

7. Pantai Ngagelan 8. Gladis

9. Pantai Muncar 10. Tanjung

Sembulungan

11. Gumuk Kantong 12. Wisata Goa Istana

13. Pantai Trianggulasih 14. Pantai teluk Pang-

pang

15. Pantai Grajagan 16. Pantai Bomo

17. Wana Wisata Grajagan 18. Feeding Ground

Sadengan

3. WPP 3, pusatnya adalah

Sukamade. Objek dan daya tarik

pendukung wisatanya adalah

sebagai berikut.

1. Margo Utomo

Home Stay

2. Air Terjun

Wonorejo

3. Agro Wisata

Kendeng Lembu

4. Agro Kalisepanjang

5. Atlata 6. Pulo Merah

7. Agro Malangsari 8. TN. Meru Betiri

9. Gumuk Klasi 10. Trebasala

11. Umbul Pule 12. Umbul Bening

13. Panjai Teluk Hijau 14. Pantai Lampon

15. Air Terjun Jeding 16. Tirto Kemanten

17. Pantai Pancer 18. Pemandian Jatirono

Page 295: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

287

Tujuan dari dikelompokkannya

destinasi wisata berdasarkan WPP

adalah untuk menghubungkan pusat-

pusat dari tiap-tiap WPP serta

memudahkan mengatur sarana atraksi

dan transportasi yang ada. Selain itu,

juga untuk memudahkan para pelaku

usaha wisata untuk mengembangkan

usahanya.

Surat Perjanjian Kerjasama

Pengelolaan dan Pengembangan Wana

Wisata Pulo Merah bernomer:

01/PKS/DIV-WIS&AGRI/2014.

Dalam perjanjian tersebut dijelaskan

bahwa pihak kesatu adalah Perhutani

dan pihak kedua adalah Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi.Menurut

Cooper dkk (dalam Sunaryo 159-160)

pengembangan destinasi wisata paling

tidak harus mencakup komponen-

komponen obyek dan daya tarik,

aksesbilitas, amenitas, fasilitas

pendukung, dan kelembagaan.

Dalam Pemengembangan Pulo

Merah ada 4 Stakeholder yang terlibat,

yaitu Perhutani, Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi, BUMDes Gangga Jaya,

dan Pokmas. Masing-masing

Stakeholder tersebut memiliki peran

yang berbeda satu dengan yang

lainnya.

Tabel 2. Peran Stakeholder Dalam

Pengembangan Destinasi Wisata Pulo

Merah

Stakeholder Peran

Perhutani Pemilik lahan dan juga investor

dalam pengembangan Pulo

Merah, merancang denah

pengembangan Pulo Merah

berdasarkan rekomendasi Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata,

dan juga Pokmas.

Dinas

Kebudayaan

dan Pariwisata

Kabupaten

Banyuwangi

Ada 2 peran yang dimiliki

Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, yaitu Promosi dan

pelatihan mengenai menjamu

wisatawan.

BUMDes

Gangga Jaya

BUMDes Gangga Jaya

berperan melindungi unit-unit

usaha yang dilakukan Pokmas.

Pokmas Sebagai Pelaksana Lapangan,

Pokmas bertugas menyediakan

faktor-faktor penunjang suatu

destinasi wisata seperti

penginapan, warung-warung,

dan lain-lainya.

Sumber: Analisis hasil wawancara

Dalam pengembangan destinasi

wisata Pulo Merah ada beberapa pihak

yang terlibat, yaitu Dinas Pariwisata,

Perhutani, BUMDes Gangga Jaya, dan

Kelompok Masyarakat (Pokmas) Pulo

Merah. Pulo Merah dikembangkan oleh

Dinas Pariwisata dan Perhutani, Pulo

Merah menjadi salah satu cabang usaha

BUMDes, Pokmas sebagai pelaksana

lapangan. Hal ini mengakibatkan

adanya pembagian hasil dari total

pendapatan yang didapat. Berikut

adalah pembagian pendapatan antara

Perhutani, Dinas Pariwisata, dan

BUMDes Gangga Jaya.

Gambar 5. Pembagian Hasil Pendapatan

Pulo Merah

Dari total 30% yang diperoleh

BUMDes Gangga Jaya hanya 2% yang

masuk ke kas BUMDes dan sisanya

sebesar 28% menjadi milik Pokmas.

Kebijakan pengembangan Pulo

Merah tentu memberikan dampak bagi

pihak-pihak yang terlibat dalam

pengembangannya seperti Pemerintah

Daerah, Pemerintah Desa, Perhutani,

dan juga masyarakat sekitar yang ada

di Pulo Merah. Dampak kebijakan

menurut Islamy (2000:115) adalah

akibat-akibat atau konsekuensi-

konsekuensi yang ditimbulkan dengan

dilaksanakannya kebijakan-kebijakan

publik. Sedangkan menurut Wahab

(1998:13-15) peningkatan jumlah

Page 296: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

288

kunjungan, hari-hari libur atau

besarnya pembelanjaan oleh wisatawan

akan mendatangkan dampak pada

bidang ekonomi, sosial, pemerintahan,

dan lingkungan hidup. Dampak yang

paling terasa dalam pengembangan

destinasi wisata Pulo Merah adalah

dampak ekonomi karena Pulo Merah

masih baru dikembangkan 2 tahun.

Berikut adalah dampak ekonomi yang

timbul akibat berdirinya Pulo Merah.

1. Meningkatnya pendapatan bagi para

pihak yang terlibat dalam

pengembangan destinasi wisata Pulo

Merah. Setelah dikembangkan

dan dijadikan sebagai destinasi

wisata, Pulo Merah memberikan

pendapatan

2. Munculnya peluang usaha yang

berkaitan dengan pariwisata

seperti penginapan, oleh-oleh khas

dan souvenir.

3. Mengurangi pengangguran.

4. Mengakibatkan warga memiliki

pekerjaan lebih dari satu.

Pendapatan Masyarakat

Sebelum Pokmas Pulo Merah di

bentuk, kebanyakan para anggota

Pokmas adalah pekerja tambang ilegal,

tambang resmi, nelayan, dan

pengangguran. Sedangkan setelah

pengembangan Pulo Merah muncul

lapangan pekerjaan baru akibat

pengembangan Pulo Merah. Lapangan

pekerjaan tersebut antara lain:

1. Warung

2. Pedagang kelapa Muda dan

penyawaan tempat bersantai di

pinggir Pantai

3. Sewa penginapan

4. Penyewaan papa selancar

5. Pedagang sovenir

6. Penjaga loket

7. Petugas kebersihan

8. Penjaga toilet

9. Tukang parkir

10. Penjaga pantai

Dari sepuluh lapangan pekerjaan

yang muncul akibat dari

pengembangan Pulo Merah,

dikelompokkan menjadi dua golongan

berdasarkan sumber pendapatannya.

Yaitu pendapatan dari usaha dan

pendapatan dari upah. Pendapatan hasil

usaha terdiri dari lapangan pekerjaan

warung, pedagang kelapa muda dan

penyewaan tempat bersantai, sewa

penginapan, penyewaan papan

selancar, dan pedagang sovenir.

Pendapatan hasil dari upah terdiri dari

lapangan pekerjaan penjaga loket,

petugas kebersihan, penjaga toilet,

tukang parkir, dan penjaga pantai.

Berikut adalah pendapatan yang

diperoleh masyarakat sebagai dampak

pengembangan Pulo Merah.

1. Pendapatan pemilik warung

Gambar 6. Prosentasependapatan Warung

[A]pada bulan Januari 2016

Gambar 7. Prosentasependapatan Warung

[B]pada bulan Januari 2016

Gambar 8. Prosentasependapatan Warung

[C] pada bulan Januari 2016

Page 297: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

289

2. Pendapatan pedagang kelapa muda

dan penyewaan tempat bersantai di

pinggir pantai

Gambar 9. Prosentase pendapatan

Pedagang Kelapa Muda dan Penyewaan

Tempat Bersantai di Pinggir Pantai [A]

Gambar 10. Prosentase pendapatan

Pedagang Kelapa Muda dan Penyewaan

Tempat Bersantai di Pinggir Pantai [B]

Gambar 11. Prosentase pendapatan

Pedagang Kelapa Muda dan Penyewaan

Tempat Bersantai di Pinggir Pantai[C]

3. Pendapatan pemilik penginapan

Gambar 12. Prosentase pendapatan Pemilik

Penginapan [A]

Gambar 13. Prosentase pendapatan Pemilik

Penginapan [B]

Gambar 14. Prosentase pendapatan Pemilik

Penginapan [C]

4. Penyewaan Papan Selancar

Gambar 15. Prosentase pendapatan Pemilik

Penyewaan Papan Selancar

5. Pedagang Sovenir

Gambar 16. Prosentase pendapatan

Kelompok lain yang

mendapatkan pekerjaan dan karena itu

pendapatan setelah dikembangkannya

Pulo Merah sebagai destinasi wisata

adalah penjaga loket, petugas

kebersihan, penjaga pantai, tukang

parkir, dan penjaga toilet. Mereka rata-

rata mendapatkan upah sebesar Rp

850.000 per bulan.

Page 298: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

290

Kesimpulan

Pengembangan Destinasi Wisata

Pulo Merah memberikan dampak bagi

masyarakat. Dampak yang paling

terlihat adalah berkembang atau

munculnya lapangan pekerjaan baru.

Dari penelitian yang telah dilakukan,

dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Kebijakan pengembangan Destinasi

Wisata Pulo Merah memberikan

tambahan pendapatan bagi

masyarakat. Tambahan pendapatan

yang diperoleh masyarakat

dikarenakan pengembangan Pulo

Merah memberikan lapangan

pekerjaan bagi masyarakat.

2. Pengembangan Destinasi Wisata

Pulo Merah memberikan lapangan

pekerjaan bagi masyarakat sekitar.

Lapangan pekerjaan tersebut adalah

warung makan, pedagang kelapa

muda dan penyewaan tempat

bersantai di tepi pantai, penginapan,

penyewaan papan selancar,

pedagang sovenir, penjaga toilet,

petugas kebersihan, penjaga loket,

dan tukang parkir.

3. Semua lapangan pekerjaan yang

disebutkan sebelumnya

dikelompokkan dalam dua

kelompok yaitu tenaga kerja

pariwisata dan usaha-usaha

penunjang pariwisata. Tenaga kerja

pariwisata terdiri dari penjaga toilet,

petugas kebersihan, penjaga loket,

penjaga pantai, dan tukang parkir.

Usaha-usaha penunjang pariwisata

terdiri dari warung makan, pedagang

kelapa muda dan penyewaan tempat

bersantai di tepi pantai, penginapan,

penyewaan papan selancar, dan

pedagang sovenir.

4. Dalam bulan januari 2016 rata-rata

pendapatan pemilik warung adalah

Rp 3.356.700. Rata-rata pendapatan

pedagang kelapa muda dan

penyewaan tempat bersantai di

pinggir pantai adalah Rp 5.896.300.

Rata-rata pendapatan pemilik

penginapan Rp 3.383.300. Rata-rata

pendapatan pemilik usaha

penyewaan papan selancar Rp

1.845.000. Rata-rata pendapatan

pedagang souvenir Rp 376.000.

5. Pendapatan tenaga kerja pariwisata

(penjaga toilet, petugas kebersihan,

penjaga loket, penjaga pantai, dan

penjaga toilet) dalam bulan januari

2016 memperoleh pendapatan

sebesar Rp 850.000.

6. Pendapatan yang dijelaskan diatas

memberikan tambahan pendapatan

bagi masyarakat. Sebab sebelum

adanya pengembangan Pulo Merah

masyarakat yang terlibat merupakan

pengangguran. Selain

pengangguran, masyarakat di sekitar

Pulo Merah juga berprofesi sebagai

pegawai tambang dan nelayan.

Khusus pegawai tambang dan

nelayan, pengembangan Pulo Merah

memberikan pekerjaan sampingan

bagi mereka dan mengakibatkan

mereka memiliki lebih dari satu

pekerjaan.

Saran Pemberian upah kepada para

pekerja yang ada di Destinasi Wisata

Pulo Merah tidak tentu setiap bulannya.

Hal ini terjadi karena pemberian upah

pekerja diambilkan dari 28%

pembagian hasil pendapatan yang

didapatkan oleh Pokmas. Seharusnya

gaji para pegawai disisihkan terlebih

dahulu sebelum pendapatan dibagi

kepada para pihak. Sehingga para

pekerja seperti tukang sapu, penjaga

tiket, penjaga toilet, penjaga pantai, dan

tukang parkir mendapatkan gaji yang

sesuai dengan Upah Minimum

Regional Kabupaten Banyuwangi.

Page 299: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

291

Daftar Pustaka

Abidin, Said Zainal. 2011. Kebijakan

Publik, Jakarta: Salemba

Humanika.

Bratakusuma, Supriadi dan Dadang.

2001. Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah. Jakarta:

PT Gramedian Pustaka Utama.

Daniel, Moehar. 2005. Metode

Penelitian Sosial Ekonomi.Jakarta:

Bumi Aksara

Dunn, William. 2000. Pengantar

Analisis Kebijakan Publik edisi

kedua. Yogyakarta: Gadja Mada

University Press.

Hadinoto, K. 1996. Perencanaan

Pengembangan Destinasi Wisata.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Kasiram, Moh. 2008. Metodologi

penelitian. Malang:UIN Malang

Pers.

Mahmudi. 2010. Manajemen

Keuangan Daerah. Jakarta:

ERLANGGA.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan

Manajemen Keuangan Daerah :

Serial Otonomi Daerah.

Yogyakarta: ANDI.

Margono, S. 2004. Metodologi

Penelitian Pendidikan. Jakarta:

Rineka Cipta

Muhamad. 2008. Metodologi

Penelitian Ekonomi Islam:

Pendekatan Kuantitatif, Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Muluk, K. 2007. Menggugat

Partisipasi Publik Dalam

Pemerintahan Daerah. Malang:

Banyumedia publishing.

Napitupulu, P. 2007. Menakar Urgensi

Otonomi Daerah: Solusi Atas

Ancaman Disintegrasi. Bandung:

PT ALUMNI.

Sanusi, B. 2004, Pengantar Ekonomi

Pembangunan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Singarimbun, Masri dan Sofian

Effendi. 1995. Metode Penelitian

Survei. Jakarta: PT. Pustaka

LP3ES Indonesia.

Sukirno, S. 2006. Ekonomi

Pembangunan: Proses, Masalah

dan Dasar Kebijakan. Jakarta:

Kencana.

Sukirno, S. 2012. Makroekonomi.

Jakarta: Rajawali Pers.

Sunaryo, B. 2013, Kebijakan

Pembangunan Destinasi

Pariwisata: konsep dan

aplikasinya di Indonesia.

Yogyakarta: Gava Media.

Supranto. 1992. Teknik Sampling:

Untuk Survei dan Eksperimen.

Jakarta: Rineka Cipta

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady.

2009, MetodologiPenelitian Sosial,

Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Otonomi Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan.

Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 13 Tahun

2012 tentang RIPK (Rencana

Induk Pengembangan

Kepariwisataan) Kabupaten

Banyuwangi.

RENSTRA (Rencana Strategis) Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Banyuwangi.

Media Online

hargaemasindonesia.blogspot.co.id/201

1/04/pergerakan-harga-emas-12-

tahun-terakhir.html?m=)

Page 300: PROSIDING PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN

Dampak Pengembangan Destinasi Wisata terhadap Pendapatan Masyarakat: Studi Kasus Area Wisata Pulo Merah Kabupaten Banyuwangi

292