ratna sari meturan 1053 2966 14 - unismuh

127
“IMPLEMENTASI HUKUM ADAT SASI TERHADAP KONFLIK TANAH” (studi kasus pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara) SKRIPSI Diajukan Utuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Oleh RATNA SARI METURAN 1053 2966 14 PROGRAM STUDI PENDIDKAN SOSIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Tahun 2019

Upload: others

Post on 15-Mar-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

“IMPLEMENTASI HUKUM ADAT SASI TERHADAP

KONFLIK TANAH”

(studi kasus pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara)

SKRIPSI

Diajukan Utuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

RATNA SARI METURAN

1053 2966 14

PROGRAM STUDI PENDIDKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Tahun 2019

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan sholatmu

Sebagai penolongmu, sesungguhnya

Allah beserta orang-orang yang sabar”

(Al-Baqarah: 153)

“sekali terjun dalam perjalanan jangan pernah mundur sebelum meraihnya,

yakin usaha sampai. Karena sukses itu harus melewati banyak proses, bukan

hanya mengimginkan hasil akhir dan tahu beres tapi harus selalu keep on

progress. Meskipun kenyatannya banyak hambatan dan kamu pun sering

dibuat stres percayalah tidak ada jalan lain untuk meraih sukses selain

melewati yang namanya proses”.

Skripsi ini penulis dedikasikan kepada

kedua orang tua tercinta, Ayahanda

dan Ibunda, ketulusanya dari hati atas doa yang tak pernah putus,

semangat yang tak ternilai. Serta Untuk Orang-Orang

Terdekatku YangTersayang...

ABSTRAK

Ratna Sari Meturan. 2019. “Implementasi Hukum Adat Sasi TerhadapKonflik

Tanah”(Studi Pada Masyarakat Desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara)

skripsi. Program studi pendidikan sosiologi fakultas keguruan dan ilmu

pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, pembimbing H. Nursalam dan

Muhajir.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bentuk implementasi hukum

adat Sasi terhadap Konflik tanah di desa Kolser, serta menelusuri proses

penyelesaian konflik dengan adat Sasi sehingga mendapatkan jalan keluar

bersama.

Tujuan penelitian ini adalah (i) mengetahui implementasi hukum adat sasi

di desa Kolser(ii) mengetahui bentuk konflik tanah dalam masyarakat suku Kei di

desa Kolser. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan

pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk memahami persoalan konflik tanah

yang sering terjadi. Informan ditentukan secara snowball sampling yakni

penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan

jumlahnya secara pasti terkait topik penelitian. Informan yang ditetapkan yaitu

kepala suku dan masyarakat. Tekhnik pengumpulan data yaitu observasi,

wawancara mendalam dan dokumen. Tekhnik analisis data melalui berbagai

tahapan yaitu reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan, sedangkan

tekhnik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber, waktu dan tekhnik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (i) implementasi hukum adat sasi

terhadap konflik tanah pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku

Tenggara, sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi (ii)

masyarakat adat sudah sangat menyatu dengan alamnya sehingga mereka

menghargai alam seperti halnya mereka menghargai diri mereka sendiri, (iii) Sasi

sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku merupakan modal dan model

pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat daerah terutama

maluku dan nasional.

Kata kunci: implementasi, hukum adat, konflik tanah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena dengan

rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyususnan proposal penelitian dengan judul Implementasi hukum adat sasi

terhadap Maluku Tenggara).

Tugas akhir ini merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh

mahasiswa dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) dari fakultas

keguruan dan ilmu pendidikan sosiologi, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Dalam penyusunan skripsi ini dari persiapan sampai terselesainya, tidak

lepas dari bantuan berbagai pihak dengan segala keterbukaan dan kerelaan hati

telah memberikan bimbingan, pengarahan, keterangan dan dorongan semangat

yang begitu berarti. Oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan banyak

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Abd. Rahman Rahim, SE., MM selaku Rektor Universitas

Muhammadiyah Makassar.

2. Erwin Akib, M.Pd., Ph. D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Drs. H. Nurdin, M.Pd selaku ketua program studi pendidikan sosiologi

4. Dr. H. Nursalam. M.Si selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah

membimbing kami dengan perhatian dalam penyusunan skripsi ini

5. Dr. Muhajir, M.Pd selaku dosen pembimbing 2 yang telah membimbing

kami dengan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dosen program studi pendidkan sosiologi yang memberikan ilmu yang

sangat bermanfaat.

7. Staf program studi sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar.

8. Serta orang-orang yang telah memberikan semangat dan motivasinya

selama ini, dan semua pihak yang telah ikut serta memberikan bantuannya

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis,

RATNA SARI METURAN

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN

SURAT PERJANJIAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 8

C. Tujuan Penilitian .................................................................................... 8

D. Manfaat Penilitian .................................................................................. 8

E. Defenisi Operasional ............................................................................. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 11

A. Penelitian relevan................................................................................... 11

B. Hukum Adat........................................................................................... 11

C. Keutamaan hukum adat sasi .................................................................. 14

D. Manfaat adat sasi ................................................................................... 16

E. Kerangka pikir ....................................................................................... 42

BAB III METODE PENILITIAN ..................................................................... 49

A. Jenis Penilitian ....................................................................................... 49

B. Lokasi Penilitian .................................................................................... 50

C. Informasi Penilitian ............................................................................... 50

D. Fokus Penilitian ..................................................................................... 51

E. Instrumen Penilitian ............................................................................... 52

F. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 52

G. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 53

H. Metode Analisis Data ........................................................................... 55

I. Keabsahan Data ..................................................................................... 58

J. Jadwal penelitian ................................................................................... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 61

A. Deskripsi lokasi penelitian ........................................................................ 61

B. Deskripsi informan .................................................................................... 65

C. Hasil penelitian.......................................................................................... 66

1. Pelaksanaan hukum adat sasi dalam mengatasi konflik tanah pada suku

Kei di kabupaten Maluku Tenggara .................................................... 66

a. Konflik kelompok ......................................................................... 66

b. Konflik individu ............................................................................ 71

c. Penyelesaian konflik tanah ............................................................ 72

2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada

masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara ........................... 82

a. Hukum sasi dalam mengatasi konflik ........................................... 88

D. Pembahasan ............................................................................................... 91

1. Penyelesaian konflik melalui hukum adat sasi.................................... 91

2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada

masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara ........................... 98

BAB V PENUTUP .............................................................................................105

A. Kesimpulan .............................................................................................105

B. Saran ........................................................................................................106

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................108

LAMPIRAN

PERSURATAN

HASIL WAWANCARA

RIWAYAT HIDUP

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat adalah kumpulan individu yang satu sisi mau bersatu karena

adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-

masing individu ini mempunyai pembawaan (model dasar) serta hak yang

berbeda, dan semua itu tidak bisa dengan mudah dilebur dalam kehidupan sosial

(Rawls, 1997:11). Namun demikian pengalaman hidup individu berinteraksi

dengan individu lain dalam waktu yang lama akan nilai bersama, sebagai basis

tindakan sosial, jadi pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber

nilai-nilai adat (Koentjaraningrat, 1990). Karena dalam setiap masyarakat

(tradisional) adat dipahami sebagai kerangka kehidupan sosial yang bersifat

holistik dan berkesinambungan secara historis. Demikian pula di kehidupan

masyarakat Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara yang yang membatinkan

praktek adat pada semangat Ain Ni Ain (kebersamaan atau persaudaraan),

sekalipun secara internal perbedaan struktur masyarakatnya di duga berpotensi

konflik.

Perebutan atas pengelolaan sumberdaya alam di Kepulauan Kei Kabupaten

Maluku Tenggara sering menjadi salah satu penyebab konflik dalam masyarakat

desa dan juga antar desa, seperti juga konflik-konflik yang terjadi di daerah lain di

Indonesia.

Guguan Kepulauan Kei merupakan wilayah administratif Provinsi Maluku

dalam terminologi adat, kepulauan ini di sebut Nuhu Evav atau Tanat Evav (tanah

air), menurut sejarah masyarakat ini terdiri dari dua kelompok yakni penduduk

asli yang dikategorikan sebagai (ren-ren) dan pendatang yang di kategorikan

sebagai (mel-mel). Konsesnsus awal antara dua kelompok inilah yang kemudian

membentuk kebudayaan masyarakat asli Kei yang mencapai perkembangan

puncaknya kurang lebih pada abad ke-16 setelah keberadaan Utan Lor sebagai

kehidupan sosial budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta

Hukum Adat Larwung Ngabal mencapai bentuk akhir. Hal yang unik di

kepulauan Kei pada zaman dulu orang-orang yang datang di tanah Kei diterima

secara adat, dan dilakukan uji kemampuan (biasanya kesaktian, mistis)

terhadapnya. Mereka yang berhasil dengan ujian ini akan diberikan wewenang

peran adat untuk turut memimpin kehidupan politik dan sosial serta budaya dan

melebur menjadi saruan tatanan masyarakat Kei.

Sasi adalah budaya masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan

Pulau Dullah yang digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya.

Berdasarkan fakta sejarah, pernah ada adat Sasi laut yang melarang nelayan dan

warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6 bulan,

masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga sasi

ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa

panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen. Sasi ditandai dengan

pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi. Artinya

terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan

yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat

bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga

keberlangsungan hidup ikan di teluk. Sasi ladang membuat membuat hasil panen

maksimal, karena belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna

Sasi mengalami pergeseran seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan

aset adat (tanah, ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini adat

sasi yang muncul di masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu

untuk memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat

oleh pemerintah, maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus

menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang

belum setuju, maka tanah belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga

setuju. Jika tetap dilakukan pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga

dapat mengenakan adat sasi.

Tanah di kepulauan Kei masih banyak yang dimiliki atas nama marga,

bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut bisa

memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya.

Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika sampai

ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan Sasi. Tanah milik marga

yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain, maupun

pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan tanah ini

biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar

kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut

terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara

adat pelepasan tanah tidak dilakukan. Saat ini, kemunculan Sasi akibat

kepentingan oknum-oknum seolah mengesampingkannya dari kearifan lokal,

tetapi lebih menjadikan Adat Sasi sebagai alat untuk melancarkan apa yang

diinginkan. Sasi dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum,

semakin hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Sasi jembatan dan Jalan

sehingga masyarakat tidak boleh lewat, Sasi Gedung Pemerintah, sehingga

pelayanan pada masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku

Dinas Maluku Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat dalam Sasi tertuang

dalam budaya gotong royong yang disebut Maren.

Saat ini, Sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi,

dimana Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan

hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum Sasi berlaku di masyarakat

sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritual kelahiran,

perkawinan, kematian, dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu

dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelolah sumber daya

alam yang dimiliki. Seperti yang kita ketahui bahwa tabo atau tabu berfungsi

untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan

sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang

yang melanggar tabu.

Terkait latar belakang di atas, maka sangat relevan dengan penelitian yang

telah dilakukan oleh Ismail Suardi Wekke dengan judul penelitiannya “Sasi

masjid dan adat: praktik konservasi lingkungan masyarakat minoritas muslim raja

ampat (2015). Dalam penelitian ini menjelaskan pembukaan dan penutupan sasi

dilaksanakan dalam upacara yang di helat di masjid. Semasa penutupan hanya

dilakukan dalam bentuk zikir bersama dan dilaksanakan secara sederhana.

Dilanjutkan dengan doa bersama agar keberkahan alam yang berupa anugerah

tuhan dapat berlimpah ruah untuk kemakmuran manusia.

Sasi ini dilakukan juga di lautan, pelaksanaan Sasi terdiri atas dua jenis yang

disengaja dan Sasi yang tidak disengaja. Kategori Sasi yang disengaja adalah

upacara penentuan pembukaan dan penutupan. Larangan untuk mengambil

sumber daya laut atau hutan disesuaikan dengan masa penetapan yang

diumumkan di masjid. Adapun Sasi yang tidak di sengaja adalah aturan hukum

yang berlaku sepanjang masa untuk perilaku dan perlakuan tertentu. Seperti

larangan menangkap ikan dengan bom dan potas, termasuk penggunaan pukat

harimau terdapat pula kategorisasi yang bersyarat dan Sasi tanpa syarat.

Termasuk cakupan Sasi adalah hasil hutan tertentu seperti kelapa. Sasi

masjid dapat memutuskan untuk sementara waktu melarang memetik buah kelapa

yang kemudian diistilahkan dengan sasi kelapa, sehingga kelapa yang jatuh tidak

boleh dipungut kecuali atas kesepakatan jamaah masjid dan diputuskan melalui

musyawarah.

Ada pula penelitian lain tentang adat Sasi ini, yang dilakukan oleh Judge

(2008), yang menjelaskan “salah satu budaya masyarakat adat di Maluku yang

melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak

lingkungan, budaya itu disebut dengan Sasi. Bila Sasi ini dilaksanakan maka

masyarakat dilarang memetik buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil-

hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah desa.

Penelitian relevan juga dilakukan oleh Ratna Indrawasih (1995) dengan

judul penelitian “Sasi di Maluku; eksploitasi sumber daya alam secara arif”.

Dengan hasil penelitian kearifan masyarakat dalam mengeksploitasi sumberdaya

alam dengan mempraktikkan Sasi maka masyarakat dapat secara teratur

memperoleh kesempatan menikmati kekayaan alam yang ada. Karena dengan Sasi

memberi kesempatan berkembang biak terhadap apa yang mereka peroleh

sehingga kekayaan alam tersebut dapat tetap lestari dan dapat diwariskan pada

generasi selanjutnya.

Kemudian ada pula penelitian yang dilakukan oleh Sakina Safarina dengan

judul “eksistensi hukum adat dalam melindungi pelestarian Sasi ikan lompa di

desa Haruku Kabupaten Maluku Tenggara”. Dengan hasil penelitian upacara Adat

Sasi laut mampu bertindak sebagai pengendali perilaku penduduk, disamping

peranan para petua adat lainnya sehingga secara tidak langsung kelestarian

lingkungan pesisir secara keseluruhan dapat terjaga dan terpelihara dengan baik

dan dalam Sasi terdapat tiga sistem pengaturan lingkungan laut mulai dari

pengaturan pengelolaan, pemeliharaan sampai pada pemanen semuanya diatur

oleh ketentuan Sasi yang dibuat dalam sebuah peraturan.

Kemudian dari penelitian ini juga menunjukkan eksistensi hukum adat,

berisi peraturan yang selamanya mengikat masyarakatnya dalam bentuk kearifan

tradisional dalam menjaga lingkungan alam terutama laut sudah dilakukan sejak

ribuan tahun lalu dan sekitarnya juga terdapat dalam peraturan hukum Nasional

Indonesia.

Penelitian lain juga yang dilakukan oleh Muhammad Basri (2015) dengan

judul “kearifan lokal budaya Sasi Maluku”, yang menunjukkan bahwa budaya

Sasi merupakan budaya yang betul memegang teguh akan kelestarian alam. Hal

ini bisa dilihat dengan dijalankan sungguh-sungguh oleh masyarakat setempat.

Melihat hal ini juga, bahwa masyarakat lebih berperan menjaga kelesatarian alam,

dan sebenarnya yang sering merusak alam adalah orang yang memiliki

kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak yang dia lakukan.

Kehidupan masyarakat Maluku yang kaya akan sumber daya alam baik di

laut maupun di darat masih berlaku hukum adat hal ini terlihat dari adanyaa

kesatuan masyarakat yang teratur yang mempunyai penguasa dan menetap

disuatu wilayah tertentu yang dikenal dengan wilayah petuanan (ulayat).

Kesatuan hukum adat masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam

berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan

perlindungan lingkungan hidup, hal ini terlihat dengan masih sangat

bergantungnya masyarakat adat malukupada ketersediaan lingkungan, kehidupan

masyarakat yang masih bersifat komunal dan masih mempertahankan kearifan

lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun.

Dalam kenyataannya sistem pengelolaan lingkungan secara tradisonal

terbukti mempunyai nilai penting dalam perlindungan dan pelestarian

lingkungan, termasuk dalam konteks sosial dan ekonomi khususnya bagi

masyarakat adat maluku yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil-hasil

perikanan dan pertanian.Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan

pengelolaan sumber daya lingkungan dan perlindungan lingkungan, masyarakat

adat ini dengan pengetahuan/ kearifan lokalnya , dengan kekuatan memegang

hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata

lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dituangkan dalam latar belakang di atas

maka penulis merumuskan beberapa rumusan sebagai landasan untuk perlu diteliti

yaitu:

1. Bagaimana konflik tanah dalam masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku

Tenggara?

2. Bagaimana implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik

tanah pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara?

C. Tujuan Penilitian

Tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai, maka adapun tujuan dalam

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk konflik tanah dalam masyarakat Suku Kei

Kabupaten Maluku Tenggara.

2. Untuk mengetahui implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi

konflik tanah pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara.

D. Manfaat Penilitian

Dalam hal ini penulis merumuskan dua manfaat peniltian yakni manfaat

praktis dan manfaat teoritis :

1. Manfaat Praktis

a. Untuk dapat mengukur sejauh mana keterlibatan hukum Adat Sasi

yang berlaku di Kabupaten Maluku Tenggara.

b. Untuk dapat mengetahui seberapa jauh pergeseran hukum Adat Sasi

pada era modern di Kepualan Kei Kabubapen Maluku Tenggara.

c. Untuk memberikan informasi bagi masyarakat tentang nilai-nilai

penting Adat Sasi dan menjadi penuntun moral dalam berperilaku

secara baik dan bertanggung jawab dalam membangun relasi

kehidupan dengan alam sebagai suatu komunitas ekologis.

2. Manfaat Teoritis

a. Untuk dapat menjadi bahan masukan kepada pemerintah daerah dalam

hal ini dinas parawisata agar tetap menjaga budaya Sasi di Kabupaten

Maluku Tenggara.

b. Untuk dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

E. Defenisi Operasional

1. Implementasi adalah suatu penerapan atau tindakan yang dilakukan

berdasarkan rencana yang telah disusun atau dibuat dengan cermat dan

terperinci sebelumnya.

2. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar

presentase target yang dicapai, maka makin tinggi efektifitasnya.

3. Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi

tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol.

4. Hukum Adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia

Indonesia dalam hubungan satu dan yang lainnya, baik itu merupakan

keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar

hidup di masyarakat adat kerena dianut dan dipertahankan oleh

anggota masyarakat itu, ataupun yang merupakan keseluruhan

peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan ditetapkan

dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

5. Sasi adalah suatu tradisi masyarakat negeri atau kampung (ras) di

Kepulauan Kei untuk melarang melintasi kawasan dan atau menjaga

hasil-hasil potensi tertentu.

6. Maren adalah bekerja sama yaitu sikap rela menolong, istilah Maren

dipakai guna menjelaskan sikap hidup orang Kei yang telah menjadi

Sikap dasar mereka untuk menolong sesama. Ada kalanya, bentuk-

bentuk pertolongan ini terjadi secara spontan, tanpa adanya undangan

resmi.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Relevan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2009) dalam “Kearifan

Lokal Sasi Kelapa” mengemukakan bahwa kearifan lokal merupakan warisan

nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi,

budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan

adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang

berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai

budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.

Jika melihat evolusi hubungan manusia dengan alam di masa lampau telah

terbentuk suatu hubungan yang harmonis yang disebut pan cosmism di mana

manusia berusaha untuk hidup selaras dengan alam (Hadi, 2009). Dalam

pandangan manusia pada masa itu, alam itu besar dan sakral oleh karena itu harus

dipelihara sehingga tidak terjadi kerusakan alam dan berakibat negatif bagi

manusia itu sendiri. Dalam merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan

pamalipamali atau etika bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir

sebagian besar etnis di Negara ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut

sebagai kearifan lingkungan (Suhartini, 2009).

Fadhil (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa masyarakat Dayak

Meratus memiliki pandangan yang arif terhadap alam yang kemudian diwujudkan

dalam sikap dan perilaku dalam melestarikan hutan. Hal yang sama dikemukakan

oleh Suhartini (2009), bahwa kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika tetapi

sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat

menjadi seperti religi yang mendominasi manusia dalam bersikap dan bertindak

baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban

manusia lebih lanjut. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-

norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-

norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan

berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu dalam

bentuk kearifan lokal.

Hal diatas selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Melissa Justine

Renjaan (2013) dalam “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada Masyarakat Adat

Di Desa Ngilngof Kabupaten Maluku Tenggara” mengatakan bahwa Persepsi

masyarakat dapat diamati dari pengetahuan yang baik tentang sasi kelapa

meskipun terdapat perbedaan antara kaum tua dan kaum muda mengenai asal

muasal sasi kelapa. Masyarakat telah memahami dan menyadari fungsi dan

manfaat sasi kelapa bagi kehidupan mereka. Dalam pandangan masyarakat

banyak nilai sosial dan pelestarian SDA serta manfaat ekonomi yang diperoleh.

Persepsi yang baik tentang tradisi sasi kelapa ini membentuk perilaku masyarakat

yang aktif ikut serta dalam pelaksanaan sasi kelapa, serta taat dan hormat pada

aturan-aturan sasi yang berlaku. Dalam mempertahankan budaya dan tradisisasi

kelapa, masyarakat mendapat tantangan yang tidak sedikit baik dari komunitas itu

sendiri maupun tantangan dari luar. Melestarikan budaya sasi merupakan langkah

yang tepat sebagai bentuk keberlanjutan dalam masyarakat. Rekomendasi dari

penelitian ini yakni perlunya memberikan pengetahuan yang lebih mendalam

kepada generasi muda tentang sasi kelapa dan pengembangan eko-pariwisata

dengan menampilkan budaya sasi.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Renjaan,M.J (2013) dalam

“Kearifan Lokal Sasi Kelapa”, yang menyatakan sasi kelapa adalah salah satu

bagian dari hukum adat Larwul Ngabal yang wajib dihormati, dijunjung dan

dipatuhi. Ada keterikatan antara masyarakat dengan adat istiadat yang sangat

kental. Keharusan memperdulikan keadaan alam sekitar, dalam artian keharusan

cara dan alat kerja yang digunakan agar tidak merusak alam. Narasumber

berpandangan bahwa sasi kelapa merupakan suatu bentuk kearifan budaya

masyarakat adat Kei yang bersifat positif sehingga patut untuk dilestarikan dan

dijaga kelangsungannya dari generasi ke generasi. Fungsi kearifan lokal sasi

kelapa sebagai penanda identitas komunitas masyarakat adat kei dan ohoi

Ngilngof khususnya, mengingat tidak semua ohoi/desa di tanah Kei masih

melaksanakan sasi kelapa. Sebagai sebuah sistem sosial, kearifan lokal sasi kelapa

berfungsi sebagai elemen perekat antar masyarakat. Kearifan lokal sasi kelapa

juga berfungsi sebagai bentuk pelestarian sumber daya alam. Warga masyarakat

hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga sasi kelapa

merupakan cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain

pemahaman tentang fungsi masyarakat memahami manfaat keberadaan sasi

kelapa, baik yang langsung maupun tidak langsung mereka rasakan. Melalui

pemahaman warga dari generasi ke generasi mengenai pengelolaan sumberdaya

alam serta keselarasan hidup dengan alam maka.

B. Hukum Adat

1. Defenisi Hukum Adat

Menurut Wikipedia (2018) hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal

dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara lain seperti Jepang,

Tiongkok dan India. Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan yang tidak

tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan dipertahankan

dengan kesadaran hukum masyarakat tersebut. Karena peraturan yang ada dalam

hukum adat tidak tertulis dan tumbuh kembang, hukum adat ini mampu

menyesuaikan diri dan elastis. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang

yang terikat dengan tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.

Menurut Van Vollenhoven (1981) dalam bukunya yang berjudul “orientasi

dalam hukum adat di Indonesia” menjelaskan bahwa hukum adat adalah

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak memiliki sanksi.

Adapun adat menurut Kandy Dayaram (2012) merupakan tradisi yang dijalankan

sebagai tuntutan sosial. Ketika melaksanakannya mendapatkan ketentraman dan

bagian dari kesepakatan sosial yang mesti dijalankan. Seiring dengan tuntutan

modernitas, pelaksanaan adat merupakan sebuah ketangguhan masyarakat dimana

dengan perjumpaan masyarakat lainnya justru tetap saja berusaha untuk

melaksanakan kegiatan yang dipercayai sebagai bagian dari warisan leluhur.

Menurut Hazairin (1990) Hukum Adat adalah kaidah-kaidah kesusilaan

yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu yang

dibuktikan dengan kepatuhannya terhadap kaidah-kaidah tersebut :

2. Ciri-Ciri Hukum Adat

Berikut ini adalah ciri-ciri hukum adat, antara lain:

1) Lisan, artinya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan

tidak dikodefikasi

2) Tidak sistematis

3) Tidak berbentuk kitab atau buku perundang-undangan

4) Tidak teratur

5) Pengambilan keputusan tidak menggunakan pertimbangan.

3. Unsur-Unsur Hukum Adat

Berikut ini adalah unsur-unsur hukum adat, diantaranya:

1) Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.

Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis serta memiliki nilai

sakral

2) Terdapat keputusan kepala adat

3) Adanya sanksi hukum

4) Tidak tertulis

5) Ditaati oleh masyarakat

Menurut Soerodjo Wignjodipoero, S.H (2011) hukum adat memiliki dua

unsur, yakni, unsur kenyataan dan unsur psikologis.

1) Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di

indahkan oleh rakyat.

2) Unsur psikologi, bahwa terdapat keyakinan pada rakyat, bahwa adat

dimaksud memiliki kekuatan hukum.

C. Keutamaan hukum Adat Sasi

Pengelolahan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan

salah satunya adalah untuk mengkonservasi dan mempertahankan sistem ekologis

sumber daya yang ada dengan melibatkan dan memperkuat peran serta

masyarakat dan mendorong masyarakat agar lebih berinisiatif dalam pengelolaan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meningkatkan nilai sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat.

1) Proses hukum adat

Tradisi Sasi tidak terikat waktu dan boleh dilakukan oleh masyarakat

terkait adat kapan saja tergantung kesepakatan. Biasanya dilakukan ketika hasil

sumber daya alam yang dinikmati manusia semakin berkurang, maka tokoh adat

dan tokoh agama akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan

masyarakat dan membahas tentang Adat Sasi untuk mengembalikan potensi

sumber daya alam yang telah berkurang. Setiap pelanggar sasi akan dapat

diberikan sanksi seperti membayar denda adat atau maupun sanksi sosial seperti

dilarang untuk terlibat saat upacara buka sasi dan panen hasil.

2) Adat Sasi

Menurut Lakolo (1988) sasi merupakan Segala pemeliharaan sumber daya

alam di awasi oleh lembaga-lembaga adat seperti raja, kepala soa, saniri, kewang

dan marinyo. Namun yang lebih berperan dalam pemeliharaan sumber daya alam

ini adalah kewang dan anak-anak kewang yang berfungsi sebagai polisi hutan.

Kewang memegang peranan yang penting, karena merupakan salah satu unsur

pemerintahan yang bertugas untuk menjaga lingkungan baik di darat maupun di

laut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan informasi warga desa Ngadi, pernah ada laut yang melarang

nelayan dan warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6

bulan, masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga

ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa

panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen, ditandai dengan

pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan. Artinya

terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan

yang termuat pada memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi

lingkungan.

Manfaat dari Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga keberlangsungan

hidup ikan di teluk. ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena

belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami

pergeseran seiring dengan sentuhan budaya luar dan kepemilikan aset adat (tanah,

ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini yang muncul di

masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh

keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah,

maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum

ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah

belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga setuju. Jika tetap dilakukan

pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga dapat mengenakan. Sebagai

contoh kasus Suku Dinas Pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara, saat ini

terbengkalai terkena. Tanah di pulau Kei masih banyak yang dimiliki atas nama

marga, bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut

bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya.

Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika

sampai ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan. Tanah milik

marga yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain,

maupun pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan

tanah ini biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar

kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut

terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara

adat pelepasan tanah tidak dilakukan. Saat ini, kemunculan akibat kepentingan

oknum-oknum seolah mengesampingkannya dari kearifan lokal, tetapi lebih

menjadikan adat sebagai alat untuk melancarkan apa yang diinginkan.

Dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum, semakin

hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Jembatan dan Jalan sehingga

masyarakat tidak boleh lewat, Gedung Pemerintah, sehingga pelayanan pada

masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku Dinas Maluku

Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat tertuang dalam budaya gotong royong

yang disebut Maren.

Tabel 2.1 data kasus adat sasi di desa Kei

Maluku Tenggara

No Kasus tanah di desa Kei Tahun

1 “sasi” Melawan degradasi lingkungan 27 juli 2010

2 Sengketa tanah di Tual, satu orang tewas 6 september 2011

3 Sengketa tanah berujung aduh jotos di desa

Kei Maluku Tenggara

11 september 2017

4 Sengketa tanah di Malra, satu orang tewas 26 september 2017

5 Status tanah hambat proses sertifikasi di

Malra dan Tual

1 februari 2019

Dari data diatas tentu menunjukkan kasus tanah kerap kali terjadi di

Maluku Tenggara, tidak tanggung-tanggung hal ini bisa terjadi setiap tahunnya

bahkan dalam setahun banyak terjadi kasus yang sama. Adat sasi dianggap

sebagai suatu bentuk intergriras yang mampu menyelesaikan suatu konflik atau

kesalahpahaman yang ada, namun tidak selamanya adat ini berjalan dengan baik,

kerana kadang kedua belah pihak masih saja merasa memiliki hak atas tanah

tersebut.

3) Jenis-Jenis Adat Sasi

Jenis yang berlaku di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, antara

lain:

a. Umum, adalah yang diterapkan oleh seluruh warga desa. Umum

terbagi atas 2, yaitu:

1. Air,

a) Laut: meliputi kawasan pantai dan laut yang termasuk pertuanan desa. Hal

ini berarti segala kandungan laut yang di anggap penting oleh masyarakat

setempat, tergantung pada nilai ekonomis hasil laut tersebut. Yang mula-

mula diatur oleh adalah khusus ikan. Ini pun meliputi jenis ikan tertentu

yang biasanya bergerak berpindah-pindah secara berkelompok seperti ikan

Lompa. Bila satu kelompok telah memasuki satu labuhan maka

masyarakat dilarang untuk menangkapnya. Sejak saat itu mulai berlaku.

Contoh laut, seperti: bialola (sejenis kerang), rumput laut, mutiara, dan

ikan.

b) Sungai/kali: mengatur mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan dikali.

Misalnya pada saat ikan Lompa sudah masuk ke kali, masyarakat dilarang

untuk mengganggu atau menangkapnya. Masyarakat dilarang mencuci

bahan dapur dikali, orang laki-laki dilarang mandi bercampur dengan

orang perempuan, dilarang mencuci pakaian atau bahan cucian apapun

melewati tempat mengambil air minum, perahu bermotor atau jenis Speed

Boat yang masuk ke kali tidak boleh menghidupkan mesinnya, pohon

kayu di tepi kali di sekitar lokasi tidak boleh di tebang kecuali pohon

sagu. Contoh sungai/ kali, seperti: ikan Lompa di pulau Haruku.

2. darat

a) Hutan: meliputi berbagai macam benda yang ada didaratan. Biasanya

adalah tanaman, baik yang ditanam orang ataupun yang tumbuh sendiri.

Tanaman-tanaman tersebut adalah tanaman perkebunan yang memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Contoh hutan, seperti: kelapa, pala, buah-buahan,

rotan, damar dan cengkeh;

b) Binatang: binatang tertentu dilokasi hutannya dilindungi dan diatur

penangkapannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Misalnya: Dapat kita jumpai di negeri (desa) Titawai adanya untuk

melindungi binatang/hewan kusu (kus-kus). Binatang ini sekarang sudah

mulai langka sehubungan dengan pembabatan hutan untuk membuat

kebun atau penebangan kayu untuk berbagai kebutuhan pembangunan.

Seperti diketahui, binatang atau hewan “kusu” ini hidup di pepohonan

tertentu yang sekaligus yang merupakan sumber makanannya seperti

pohon kenari, pohon gondal, pohon beringin, pohon Lenggua, dan lainnya;

c) Pribadi: diberlakukan oleh seseorang kepada sesuatu yang sudah menjadi

miliknya dan dilaporkan kepada pemerintah desa. Pribadi ini hanya

berlaku untuk hutan.

d) Agama: ditetapkan oleh pembuka agama. Ini juga disebut rohani atau

kepercayaan karena berdasarkan kepada kepercayaan. Hal ini berkaitan

dengan kepercayaan atau agama asli yang hidup dalam masyarakat ketika

mereka belum menganut agama resmi seperti Islam dan Kristen.

Kepercayaan erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap

kekuatan roh-roh leluhur, dan kekuatan alam semesta di masa lampau.

Beberapa bentuk nyata dan ini adalah atas labuhan (lautan) yang

dilakukan dalam masa 1-2 bulan. Semula masa laut yang dijadikan

sebagai pertuanan dinyatakan tertutup karena ada orang mati tenggelam

disekitarnya. Demikian pula bila ada orang yang jatuh dari pohon atau

meninggal di hutan maka daerah sekitar hutan dinyatakan oleh dalam

waktu 1-2 bulan juga. Masyarakat percaya bila terjadi kecelakaan di laut

atau di hutan maka untuk sementara waktu roh-roh orang yang meninggal

sedang berkeliaran mencari tempat tinggal sehingga itu untuk sementara

jangan ada orang yang masih hidup menuju kesana karena nanti dapat

celaka atau gangguan lainnya.

e) Negeri/kampong: larangan yang mengatur tentang kehidupan

bermasyarakat antara sesama di dalam desa maupun wilayah tertentu.

Seperti dilarang membuat ribut di malam minggu dan bila ingin membuat

acara di malam hari berupa pesta dan lain-lain harus mendapat izin dari

saniri negeri. Pada hari minggu orang dilarang ke laut atau ke hutan

kecuali ada keperluan penting, tetapi harus mendapat izin dari kewang.

Orang dilarang menjemur atap atau membakar rumput, tempurung, dan

lain-lain di jalan raya dan menjemur pakaian diatas pagar. Perempuan

dilarang memanjat pohon dengan pakaian yang tidak pantas, dan sewaktu

pulang dari kali dilarang memakai kain sebatas dada, dan laki-laki dilarang

memakai kain sarung di siang hari.

D. Manfaat Adat Sasi

Adat Sasi memiliki beragam manfaat secara luas, adapun manfaat utama

dari Adat Sasi yang dapat dirasakan masyarakat adalah dapat memiliki

pendapatan dari hasil hutan yang beragam dan dapat dipanen secara

berkesinambungan, maksimal, serta memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan serta

meredam dan meminimalisir konflik-konflik atau pertikaian antara sesama desa

atau sesama antar agama, serta selain itu juga Adat Sasi menjadi suatu sistem

yang dapat menekan terjadinya pencurian arena Adat Sasi dapat melarang

perseorangan atau kelompok untuk melintasi wilayah atau daerah yang diberikan

tanda oleh pihak-pihak yang berwenang dalam menjalankan adat di Kabupaten

Maluku Tenggara Kepulauan Kei.

E. Tujuan Adat Sasi

Adapun tujuan dari proses pelaksanaan Adat Sasi yaitu :

a) Menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan, sehingga terjadinya pengrusakan sumberdaya alam dan

lingkungan.

b) Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu

yang ditentukan oleh para kalangan tokoh adat dan agama di wilayah

setempat.

c) Menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang

berwawasan lingkungan terhadap generasi selanjutnya.

1. Upaya Buka dan Tutup Adat Sasi

Ditandai dengan upacara tutup yakni pernyataan bahwa larangan itu

mulai berlaku dengan memberikan tanda yaitu berupa kayu yang diikat dengan

pucuk daun kelapa muda dan tanaman pada batas area terlarang, dan pada

akhirnya diadakan upacara buka dengan mengangkat tanda tadi dengan upacara

adat sebagai tanda larangan itu tidak berlaku lagi. Setelah sesudah upacara itu,

barulah si pemilik dapat mengambil hasilnya yang sudah matang. Upacara tutup

dan buka ada 2 macam, yaitu :

a. Upacara tutup dan buka menurut adat. Pelaksanaan upacara tutup dapat

dikemukakan sebagai berikut, biasanya 1 atau 2 hari menjelang upacara,

telah ada pemberitahuan yang dilakukan oleh kepala kewang dan anak-

anak kewang kepada seluruh masyarakat. Dengan demikian masing-

masing orang atau keluarga telah mempersiapkan kebutuhannya selama

masa tutup itu.

1) Upacara tutup .

Pada malam yang telah ditentukan maka kepala kewang atau kewang besar

yang dibantu oleh anak-anak kewang berpencar keseluruh pelosok desa atau

kampung. Mula-mula teon atau nama asli negeri di tabaos (diteriaki). Anak-anak

kewang langsung membunyikan tahuri atau meniup kerang memperdengarkan

suatu suara yang syahdu namun mengandung mistis. Kepala kewang berteriak si

lo, kemudian anak-anak kewang menjawab mese eee ooo yang artinya tetap. Sejak

malam itu atas dusun-dusun dimulai dimana seluruh tanaman yang ada di dalam

dusun atau lahan dinyatakan dilarang atau dipetik. Saat itu pula kewang dan anak-

anak kewang mulai menjalankan tugas sebagai pengawas hutan. Hutan dan laut

dinyatakan tertutup.

Biasanya berlangsung selama 3 tiga bulan. Selama suasana disekitar

hutan, kebun atau labuhan (laut) harus dijaga agar tetap hening. Penduduk boleh

pergi ketempat-tempat tersebut tetapi semuanya harus berjalan dengan tenang dan

makanan yang diambil harus tidak berlebihan. Untuk buah-buahan yang

sementara kena misalnya walaupun buah tersebut telah jatuh ditanah, orang tidak

boleh mengambilnya. Untuk menangkap ikan, alat tangkap yang dipakai harus

sederhana misalnya kail sehingga tangkapan tidaklah banyak. Menangkap ikan

dengan jaring sama sekali tidak diperkenankan. Jika masa tutup masih

berlangsung dan karena keadaan mendesak misalnya ada keluarga yang terpaksa

harus mengambil sesuatu tanaman dihutan atau dusunnya (misalnya kelapa) maka

yang bersangkutan harus datang minta izin dari kepala kewang. Hari-hari khusus

untuk hal yang demikian itu biasanya jatuh pada hari selasa dan jumat malam.

Bila di setujui, ketika pemilik hendak memetik kelapa tersebut harus diawasi oleh

anak ke-wang.

2) Upacara buka

Upacara buka dilaksanakan dalam rumah baileu atau rumah adat dengan

melantunkan kapata-kapata (nyanyian adat) yang semuanya bermuara pada

pemujaan kepada penguasa langit dan bumi (upu lanite). Menjelang masa buka

maka pada malam hari menjelang pagi kewang, anak-anak kewang dan perangkat

pejabat negeri mengadakan pertemuan. Setelah hari yang disepakati tiba, maka

kewang dan anak-anak kewang berjalan mengelilingi Negeri sambil berteriak

memanggil nama teon atau nama asli Negeri.

Tahuri ditiup kembali dan kewang meneriaki kata pua silo teas toto

mullalo amun hutum yang artinya kini terbuka. Jangan potong atau petik buah-

buahan yang masih muda (belum layak dipetik), bersihkan pohon dan daun dari

seluruh dusun. Ketika masyarakat mendengar teriakan itu bagi mereka adalah

tanda suka cita karena besok mulai penen hasil. Sebagai tanda ucapan terima kasih

kepada pemerintah dan tokoh agama maka biasanya masing-masing keluarga akan

membawa sedikit hasil terbaiknya untuk diberikan kepada raja dan pendeta.

Barang-barang tersebut dikumpulkan didepan rumah adat atau baileu baru diantar

kerumah-rumah pejabat dan tokoh agama tersebut.

F. Sanksi Terhadap Pelanggaran

Sama halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran

adat dilaksanakan oleh penguasa negeri dan arwah leluhur. Sanksi yang paling

berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu adalah sanksi yang diberikan oleh arwah

leluhur, oleh karena itu orang sangat takut melanggar. Bilamana ada orang yang

melanggar yaitu melakukan pengambilan tatanaman atau hasil-hasil laut pada

masa tutup maka hukuman yang diberikan oleh pemerintah negeri yaitu raja dan

perangkat negeri kepada si pelanggar adalah ditangkap, dipertontokan dihadapan

masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik lainnya seperti: cambuk,

dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari tengah-tengah kehidupan

masyarakat. Hukuman itu tidak terlalu berat seperti hukuman yang akan diberikan

oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain: anak sakit-sakitan

secara terus menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga keluarga itu tidak

memiliki seorang keturunanpun. Istilah lokal adalah tutup mataruma.

Pada masa tutup masing-masing orang harus menjaga atau mewaspadai

dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang bertentangan hingga pada akhirnya

mendapat teguran dan hukuman dari kewang serta anak-anak kewang. Sementara

itu suasana di sekitar hutan maupun labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi.

Kewang dan anak-anak kewang akan terus berjalan memeriksa apakah ada yang

melanggar atau tidak. Penduduk Negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau laut

untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan hanya

mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah. Makanan isi kebun dan

ikan hanya diambil untuk keperluan makan saja tidak boleh lebih. Misalnya: isi

kebun dan ikan diambil cukup untuk makan satu hari saja, untuk makan besok

baru diambil lagi, karena hal mendesak harus mengambil hasil (yang sementara,

misalnya kelapa) dari kebunnya maka setelah mendapat izin dari kepala kewang

maka yang bersangkutan di wajibkan untuk menanam sebuah anak pohon kelapa

lagi untuk menggantikan buah kelapa yang telah di petiknya.

Kebiasaan itu masih terus berjalan sampai sekarang walaupun Negeri

telah diganti dengan gereja. Demikian pula halnya ketika masa tutup berjalan dan

karena terpaksa ada seseorang harus ke hutan maka ketika ia berjalan, ia harus

berjalan dengan tenang tidak berisik/membuat gaduh sambil menundukkan

wajahnya ke arah bawah atau tanah. Perempuan yang hendak menuju hutan

dilarang menutupi kepala mereka dengan handuk atau kain yang berwarna putih

karena dianggap warna putih adalah warna yang tajam dan menyilaukan.

Hukum diartikan sebagai sejumlah peraturan yang mengandung larangan

dengan pidana denda. Hukum terbagi menjadi hukum materil yaitu pokok

perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang dapat diterapkan terhadap

orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Reglement.

Sedangkan hukum formal yaitu sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara

kewang mempergunakan wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga

bertujuan untuk melindungi alam dengan segala sesuatu yang ada diatasnya dari

pengrusakan yang terjadi oleh tindakan–tindakan manusia. Dengan kata lain,

menjaga tanda persekutuan tetapi sekaligus juga menjaga atau melindungi negeri

itu sendiri agar dapat di manfaatkan oleh masyarakat tersebut.

Untuk menjaga keselarasan hidup antara manusia dan dengan alam dan

untuk mempertahankan kelestarian maka masyarakat adat Kei sama dengan

masyarakat hukum lainnya mempunyai hukum adat dan lembaga adat yang

bertugas untuk mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan

termasuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan

terhadap tanah-tanah maupun laut yang berada dalam lingkungan persekutuan

bersangkutan.

Lebih lanjut Rahail (1993) menuturkan bahwa kendati pun hukum Larwul

Ngabal tidak atau belum tertulis, namun demikian hukum ini merupakan suatu

hukum positif di seluruh wilayah Kei, karena ada lembaga adat yang

melaksanakannya dan kepada masyarakat yang ternyata atau terbukti melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan hukum Larwul Ngabal akan dikenakan sanksi

atau hukuman. Pelaksanaan hukum adat ini pun sudah berjalan dari sejak dulu dan

masih terus dijalankan hingga kini. Aturan berdasarkan aturan hukum Larwul

Ngabal yang dipatuhi oleh masyarakat adat Kei adalah manifestasi paling nyata

dari hukum adat Larwul Ngabal. Hukum Larwul Ngabal merupakan hukum adat

yang di Maluku dengan perumusan yang paling lengkap. Salah satu perwujudan

dari hukum adat Larwul Ngabal terutama pasal ke tujuh adalah dilaksanakannya

hukum di Kepulauan Kei. Rahail juga menyatakan bahwa hukum di Kei pada

dasarnya merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada pelestarian dan

keseimbangan hubungan alam dengan manusia (ekosistem). Pasal ke tujuh dalam

hukum Larwul Ngabal berbunyi “Hira Ini fo I ni, it did fo it did” yang artinya

milik orang tetap milik mereka milik kita tetap milik kita

2. Teori struktural fungsionalisme (Talcott Parsons)

Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat

skema penting mengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut

dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu

apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan

yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem.

Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi

semua system social, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal

attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki

oleh semua system agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:

Adaptation : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat

beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system

harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan

lingkungan untuk kebutuhannnya.

Goal attainment : pencapainan tujuan sangat penting, dimana sistem harus

bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

Integrastion : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga

antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur

dan mengelola ketiga fungsi (AGL).

Latency : laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara

pola, sebuah system harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola

individu dan kultural.

Lalu bagaimanakah Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita

pelajari bersama. Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan

cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah

lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal Attainment

difungsikan oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan

memobilisasi sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh

sistem sosial, dan laten difungsikan system cultural. Bagaimana system cultural

bekerja? Jawabannya adalah dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan

nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi dengan dua

cara, pertama : masing-masing tingkat yang paling bawah menyediakan

kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas.

Sedangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan

tingkat yang ada dibawahnya.

sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang

meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-baguan

dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan

mengendalikan kecendrungan untuk merubah sistem dari dalam.

b. Partisipasi Masyarakat

1. Pengertian Partisipasi

Kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris (wikipedia) yaitu

“Participation”, take a part, artinya peran serta atau ambil bagian atau kegiatan

bersama-sama dengan orang lain. Partisipasi merupakan keterlibatan mental atau

pikiran dan emosi perasaan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan serta turut

tanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus

menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Partisipasi dalam

konteks pembangunan desa mencakup keikutsertaan atau keterlibatan warga

dalam proses pengambilan keputusan, dan dalam penerapan program yaitu adanya

pembagian keuntungan atau manfaat dari hasil pelaksanaan kegiatan serta

keterlibatan warga dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Partisipasi dalam

pembangunan dipandang sebagai sebuah metodelogi yang mengantarkan pelaku-

pelakunya untuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi, sehingga

dapat menganalisa dan mencari solusi dari masalah yang dihadapi tersebut,

sehingga memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan.

Menurut Verhangen, sebagai suatu kegiatan partisipasi merupakan suatu

bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian

kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi

tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan

mengenai :

1) Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki.

2) Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau

masyarakatnya sendiri.

3) Kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat

dilakukan.

4) Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang

bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan.

Partisipasi adalah sebuah bentuk keterlibatan mental/pikiran dan emosi

atau perasan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk

memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta

turut tanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Keith Davis, 1962) Ada

tiga unsur penting yang dimaksud dalam definisi Keith Davis tentang partisipasi,

yang memerlukan perhatian khusus yaitu (1) bahwa partisipasi atau keikutsertaan

(keterlibatan/peran serta) sesungguhnya merupakan suatu keterikatan mental dan

perasaan, lebih daripada kata-kata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah; (2)

ketersediaan memberi suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok,

ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.

Seseorang menjadi anggota dalam kelompok dengan segala nilainya; (3) unsur

tanggung jawab, unsur ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi

anggota.

Menurut pemahaman umum, partisipasi mensyaratkan adalah akses

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi terhadap upaya

pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Jadi partisipasi

masyarakat mencakup semua aspek interaksi antara masyarakat dan pemerintah.

Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap pengembangan

masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “label baru” yang harus melekat

pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam pengembanganya

seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekan

sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peran

serta, ikut serta keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami,

menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota

masyarakat.

Bedasarkan uraian pendapat diatas, maka yang dimaksud dengan

partisipasi dalam penelitian ini adalah keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam

proses pembuatan keputusan pembangunan, pelaksanaan perencanaan

pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

2. Bentuk Partisipasi

Bentuk partisipasi yang ditunjukkan masyarakat, juga berkaitan dengan

kemauan politik (political will) penguasa untuk memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, Raharjo mengemukakan adanya

tiga variasi bentuk partisipasi, yaitu

1) Partisipasi terbatas,yaitu partisipasi yang hanya digerakkan untuk

kegiatan-kegiatan tertentu demi tercapainya tujuan pembangunan, tetapi

untuk kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi

stabilitas nasional dan kalangan pembangunan dapat di atasi.

2) Partisipasi penuh, artinya partisipasi seluas-luasnya dalam segala aspek

kegiatan pembangunan. Mobilisasi tanpa partisipasi, artinya partisipasi

yang dibangkitkan pemerintah (penguasa), tetapi masyarakat sama sekali

tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan kepentingan pribadi

dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengajukan tuntutan maupun

mempengaruhi jalannya kebijaksanaan pemerintah.

Sejalan dengan pemikiran diatas Hobley mengidentifikasi adanya tujuh

tipe partisipasi yaitu :

a) Partisipasi pasif, Informasi yang dipertukarkan terbatas pada

kalangan profesional diluar kelompok sasaran.

b) Partisipasi informatife, Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk

terlibat dalam kegiatan mempengaruhi

c) Partisipasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi

d) Konsultatif, Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan

bersamaan

e) Partisipasi fungsional, Masyarakat membentuk kelompok untuk

mencapai tujuan proyek

f) Partisipasi interaktif, Masyarakat berperan dalam analisis untuk

perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan

kelembagaan

g) Zelf mobilization (Mandiri), Masyarakat memegang kendali

pemanfaatan sumber daya yang ada

Secara sederhana partisipasi bisa diartikan sebagai keikutsertaan

seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam program pembangunan. Pernyataan

ini mengandung arti seseorang, kelompok atau masyarakat senantiasa dapat

memberikan kontribusi/sumbangan yang sekiranya mampu untuk menunjang

keberhasilan program pembangunan dengan berbagai bentuk atau jenis partisipasi.

Bentuk partisipasi yang dimaksud ialah macamnya sumbangan yang diberikan

seseorang, kelompok atau masyarakat yang berpartisipasi diantaranya bentuk-

bentuk partisipasi: partisipasi buah pikiran, yang diberikan partisipan dalam

pertemuan atau rapat. Kehadiran seseorang dalam pertemuan akan mempengaruhi

bagi masyarakat yang lain agar dapat ikut serta dalam memberikan sumbangsi

pemikiran. Partisipasi tenaga, yang diberikan partisipan dalam berbagai kegiatan

untuk perbaikan atau pembangunan desa pertolongan bagi orang lain. Partisipasi

harta benda, yang diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau

pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain dengan memberikan makanan

atau minuman seadanya tanpa ada timbal balik (jasa).

Dusseldrop (1981) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan

partsipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa:

a) Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat.

b) Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok.

c) Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk

menggerakkan partisipasi masyarakat yang lain.

d) Menggerakkan sumber daya masyarakat.

e) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.

f) Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya

1. Tingkat Partisipasi

Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1994)

mengemukakan adanya lima tingkatan, yaitu:

a) Memberikan informasi

b) Konsultasi yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik

untuk memberikan umpan balik, tetapi tidak terlibat dalam

implementasi ide dan gagasan tersebut.

c) Pengambilan keputusan bersama, dalam arti memberikan dukungan

terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan serta, mengembangkan peluang

yang diperlukan guna pengambilan keputusan.

d) Bertindak bersama, dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan

keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam

pelaksanaan kegiatannya.

e) Memberikan dukungan, dimana kelompok-kelompok local

menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk

mengembangkan agenda kegiatan.

Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan

perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat

terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu

hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar

menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan

masyarakat yang akan diperbaiki mutuhidupnya.

Partisipasi masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan pembangunan

termasuk didalamnya penataan ruang diantaranya karena beberapa hal positif yang

dikandungnya :

a. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dicapai.

b. Dengan partisipasi pelayanan atau service dapat diberikan dengnan biaya

yang rendah.

c. Partisipasi memilki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena

menyangkut kepada harga dirinya.

d. Merupakan fasilitator untuk pembangunan selanjutnya.

e. Mendorong timbulnya rasa tanggung jawab.

Dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat menurut UU No 25 tahun

2004 ialah masyarakat bersama pemerintah merupakan Stakeholder dalam proses

pembangunan. Artinya masyarakat merupakan elemen penting yang sangat

menunjang keberhasilan dari pembangunan tadi, masyarakat diberikan peran yang

cukup sentral.

Di dalam pembangunan agar kiranya masyarakat tadi dapat berpartisipasi

aktif dalam setiap tahapan ataupun proses pembangunan yang telah direncanakan

oleh Pemerintah. Secara konseptual, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap

tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam

pendekatan disiplin keilmuan. Slamet menyatakan bahwa tumbuh dan

berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan

oleh tiga unsur pokok, yaitu:

a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, untuk

berpartisipasi

b. Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi

c. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi

Penyertaan masyarakat sebagai subjek pembangunan adalah suatu upaya

mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Ini berarti masyarakat diberi peluang

untuk berperan aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi setiap

tahap pembangunan yang diprogramkan. Terlebih apabila kita akan melakukan

pendekatan Membangun dengan semangat loyalitas. Masyarakat lokal dengan

pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam

melaksanakan pembangunan, karena masyarakat lokal yang mengetahui apa

permasalahan yang dihadapi serta potensi yang dimiliki oleh daerahnya.

Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan

arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki. Nilai-nilai kedaulatan selayaknya

dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan

individu dan atau golongan.

Menurut Ndraha (1994) upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan

partisipasi masyarakat antara lain :

1. Memberi stimulasi kepada masyarakat dengan mengharapkan timbulnya

respon yang dikehendaki.

2. Menyesuaikan program Pemerintah dengan kebutuhan ( keinginan) yang

telah lama dirasakan oleh masyarakat Desa yang bersangkutan.

3. Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan kebutuhan atau

perlunya perubahan di dalam masyarakat dan dalam diri anggota

masyarkat sedemikian rupa sehingga timbul kesediaan berpartisipasi

Dalam upaya membangkitkan partisipasi masyarakat, komunikasi

mempunyai peranan penting dalam memelihara hubungan secara timbal

balik, di satu pihak pemerintah menyampaikan kebijakan kepada

masyarakat, sedangkan di lain pihak masyarakat menyampaikan gagasan,

keinginan atau kebutuhannya kepada pemerintah.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat

dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu

keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat

keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda,

pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

Angel (dalam Ross,1967:130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam

masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi

kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu :

a. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang

terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Dari kelompok usia

menengah keatas dengan keterkaitan moral kepada nilai dan norma masyarakat

yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi dari pada mereka

yang dari kelompok usia lainnya.

b. Jenis Kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan

bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa

dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus

rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah

bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang

semakin baik.

3) Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.

Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap

lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan

seluruh masyarakat.

4) Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapt dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang

akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan

penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong

seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.

Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung

oleh suasana yang mampu perekonomian.

5) Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya

berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi

seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa

memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang

besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Mengacu pada teori Moslow, teori Rogers dan teori Siagian dalam salam

(2002:21) bahwa orang akan berpartisipasi disebabkan oleh faktor yaitu: faktor

motivasi (moslow 1978), faktor pengetahuan (rogers 1974:37) dan faktor

kepemimpinan (siagian 1992:84).

1) Faktor Motivasi

Dalam konteks untuk meningkatkan kualitas pemukiman bahwa orang

akan termotivasi untuk berpartisipasi apabila kebutuhan dasarnya terpenuhi dalam

pemukiman seperti:

a) Rasa aman

Permukiman bukan hanya sebagai wadah secara fisik saja tetapi

harus berfungsi sebagai kediaman atau tempat berlangsungnya kehidupan

manusia setelah secara fisik permukiman mampu memnuhi fungsi sebagai

tempat teduh dari gangguan alam dan cuaca maka giliran berikutnya harus

memenuhi fungsi sebagai kediaman atau permukiman untuk memperoleh

kesenangan ketentraman hidup serta mampu mengekpresikan kepribadian

penghuninya.

b) Interaksi sosial

Interaksi sosial merupakan perwujudan dari kebutuhan sosial yang

termotif kuat setelah kebutuhan perlindungan dan kearahan sesuai teori

Moslow permukiman harus mewujudkan kebutuhan warganya untuk

melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan sosial yakni disenangi,

dianggap sebagai pribadi yang setia kawan, dan dapat bekerja sama dalam

kelompok masyarakat.

c) Prasarana dan sarana permukiman

Permukiman sebagai wadah yang dapat mewujudkan kebutuhan

mempertahankan hidup permukiman seharusnya memiliki prasarana dan

sarana yang mampu memberikan perlindungan sebagai masyarakatnya

sehingga kebutuhan primernya dapat terpenuhi selain itu prasarana dan

sarana permukiman juga dapat mewujudkan rasa aman.

2) Faktor Pengetahuan

Setelah kebutuhan dasar seseorang terpenuhi, orang akan berupaya untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya yaitu seperti kebutuhan pengetahuan.

Pengetahun adalah hasil dan tahu ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu pengetahun atau kognitif merupakan

“domain yang sangat penting untuk membentuknya tindakan seseorang

(Rogers:1974:37) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru, didalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang

berurutan yakni : a) awarenes (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari

dalam arti mengetahui terlebih dahulu stimulus (objek); b) interest, dimana orang

melalui tertarik pada stimulus; c) evalution, menimbang-nimbang baik tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya; d) trial, dimana orang telah mencoba perilaku baru;

dan e) adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Berdasarkan penelitian Rogers tersebut diatas maka dapatlah bahwa proses

masyarakat untuk tiba pada tingkat partisipasi aktif dalam kegiatan peningkatan

kualitas permukiman secara beruntun adalah; tidak tahu, kurang mengetahui,

mengetahui dan memahami.

Pola dan tingkat partisipasi masyarakat pembangunan sangat ditentukan

oleh pengetahuan terhadap pembangunan tersebut oleh karena itu pengetahuan

merupakan salah satu faktor yang dianggap berpengaruh terhadap partisispasi

masyarakat.

3) Faktor Kepemimpinan

Menurut Siagian (1992:84) faktor yang turut mempengaruhi partisipasi

masyarakat adalah kepemimpinan tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan.

Faktor ini merupakan salah satu penentu keberhasilan tumbuhnya partisipasi

masyarakat karena kepemimpinan inilah yang menstimulasi dan menggerakkan

masyarakat secara tepat dengan jalan menerapkan kemampuannya berkomunikasi

secara baik dan efektif selain itu kepemimpinan toko masyarakat dan aparat

pemerintah dianggap efektif apabila dapat menunjukan kesepakatan bersama

dalam menanggapi kebutuhan aktual masyarakat.

Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan “seseorang mempengaruhi

perilaku orang lain untuk berfikir dan berprilaku dalam rangka kemanusiaan dan

pencapaian tujuan organisasi atau kelompok didalam situasi tertentu macam-

macam kepemimpinan diantaranya

a) Otokratik/otoriter memaksakan mengatur mendikte anggota anggota

sebagai benda harus diladeni sebagai diktator /penguasa mutlak.

b) Demokratik anggota dianggap manusia dan dihormati saran saran

anggota diperhatikan sifat koligial.

c) Petemalistik/kebapakan sifat sebagai bapak mengatur mengambil

prakarsa merencanakan dan melaksanakan sesuai polanya tidak

diktator dan membantu anggota dalam mengambil keputusan dan

merumuskan kebijaksanaan.

Ada ahli yang merinci gaya kepemimpinan lebih lanjut umum perlu

dikemukakan bahwa dalam prakteknya tidak ada gaya kepemimpinan yang paling

baik paling penting adalah dapat menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan

situasi/waktu kemampuan yang dipimpin teman-teman sekerja harapan dan tujuan

kelompok (dengan melibatkan tingkat kedewasaannya) jadi gaya kepemimpinan

cendrung berbeda-beda dan secara umum gaya kepemimpinan terdiri atas :

1) Tipe ditektif komunikasi satu arah peranan anggota dibatasi menunjukan

apa kapan dimana dan bagaimana menjalankan tugas pemecahan masalah

dan pengambilan keputusan oleh pimpinan pelaksana pekerja diawasi

dengan ketat.

2) Tipe konsultatif komunikasi dua arah memberi support pada anggota

dengan keluhan perasaan anggota dalam menentukan keputusan tetap oleh

pimpinan

3) Tipe partisipatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan

seimbang; komunikasi dua arah meningkat anggota banyak didengar

masalah di diskusikan dan anggota diberi hak melaksanakan keputusan

seluruhnya kepada anggota.

3. Prinsip-Prinsip Partisipasi Masyarakat

Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya

kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun

tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan

mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan

untuk jangka yang lebih panjang.

Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam

Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for

International Development (DFID) dalam Monique Sumampouw 2004 adalah:

1) Cakupan, Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang

terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek

pembangunan.

2) Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership), pada dasarnya setiap

orang mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa serta mempunyai

hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses

guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur

masing-masing pihak.

3) Transparansi, semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan

komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga

menimbulkan dialog.

4) Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power/Equal Powership), berbagai

pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan

dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.

5) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility), berbagai pihak

mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena

adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya

dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

6) Pemberdayaan (Empowerment), keterlibatan berbagai pihak tidak lepas

dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga

melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu

pross saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.

E. Kerangka pikir

Sasi adalah tanda larangan yang dipasang pada sesuatu yang menjadi hak

milik seseorang dalam jangka waktu tertentu Sasi adalah suatu jangka waktu

tertentu, dimana orang melarang memetik buah-buahan dan hasil tumbuh-tubuhan

darat, maupun menangkap ikan dari hasil laut. Hubungan antara kepercayaan

masyarakat dan pengertian mengenai kondisi ekologi lingkungan mereka dapat

ditunjukkan melalui pengetahuan yang mereka pelihara.

Selain itu, Sasi dianggap selama ini sebagai tradisi atau kearifan lokal

sangat sakral sehingga hal ini sudah dijadikan kebiasaaan dalam proses kehidupan

sosial masyarakat Kei. Hukum Adat Sasi adalah ketentuan hukum tentang

larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan

tertentu dan dalam jangka waktu tertentu

Gambar 2.2 bagan kerangka pikir

Konflik Pengelolahan Tanah

Hukum Adat Sasi

Penyebab Hukum

Sasi

Proses Efektifitas

Hukum

Hasil dan Temuan

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM ADAT

SASI MASYARAKAT TANAH KEI

KABUPATEN MALUKU TENGGARA

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus,

penggunaan kualitatif dengan pendekatan studi kasus digunakan untuk mengkaji

secara mendalam tinjauan sosiologi hukum Adat Sasi masyarakat Kepulauan

Tanah Kei di Kabupaten Maluku Tenggara.

Penelitian kualitatif digunakan, karena dalam penelitian ini data yang

dihasilkan berupa data deskriptif yang diperoleh dari data-data berupa tulisan,

kata-kata dan dokumen yang berasal dari sumber atau informan yang diteliti dan

dapat dipercaya. Melalui pendekatan ini pengkaji meminta interpretasi subjek

pengkajian, kemudian pengkaji melakukan interpretasi terhadap interpretasi

subjek tersebut sampai mendapatkan makna.

Metode kualitatif ini berupaya menelaah esensi, memberi makna pada

suatu kasus. Alasan lain digunakan pendekatan (metode) kualitatif karena metode

ini untuk memahami realitas sosial sebagai realitas subjektif, memberikan tekanan

terbuka tentang kehidupan sosial. Di samping itu metode penelitian kualitatif ini

digunakan karena dalam melihat studi kasus itu sebagai suatu hal yang suatu

masalah dengan batasan terprinci, memiliki pengambilan data yang mendalam,

dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu

dan tempat dan kasus yang menjadi fokus penelitian, serta intensif dalam hal latar

belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu,

kelompok, lembaga, atau masyarakat.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Maluku Tenggara tanah Kei sebagai lokasi

penelitian, alasan pemilihan lokasi tersebut karena tempat tersebut merupakan

tempat dimana masih di terapkan hukum Adat Sasi ini sebagai sanksi terhadap

masyarakat desa Kei untuk melindungi alam sekitaranya.

2. Waktu peneltian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan mei sampai bulan juni 2019,

dan telah mendapat surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh pihak kampus dan

pemerintah kota Makassar.

C. Informan Penelitian

1. informan

Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu

dan menguasai masalah, serta terlibat lansgung dengan masalah penelitian.

Sehigga informan yang dipilih adalah :

a) Raja : diplih karena berperan dalam proses sasi.

b) Tokoh adat: dalam hal ini dipilih karena tokoh adat merupakan

narasumber yang dapat memberikan informasi terkait hukum adat sasi ini

c) Masyarakat: diharapkan mampu memberikan informasi terkait bagaimana

hukum adat sasi ini di teapkan.

d) Kepala desa: diharapkan dapat memberikan informasi atau data-data

masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap adat sasi ini.

Penelitian kualitatif perlu memperdulikan penciptaan rapport, setidak-

tidaknya hingga ke tingkat cooperation, dan idealnya hingga ke tingkat partisipasi

informan.

2. Tekhnik penentuan informan

Pemilihan informasi sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah

berdasarkan pada asas subyek yang menguasai permasalahan, penelitian kualitatif

tidak dipersoalkan jumlah informan, tetapi bisa tergantung dari tepat tidaknya

pemilihan informasi kunci, dan kompleksitas dari studi kasus yang diteliti.

Dengan demikian, informasi ditentukan dengan snowball sampling, yakni

proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan

jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang

diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah informasi penelitian

dianggap sudah memadai.

D. Fokus penelitian

Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang

berisi pokok masalah yang bersifat umum. Dalam hal ini yang menjadi fokus

penelitian adalah bagaimana hukum Adat Sasi dalam menyelesaikan konflik yang

terjadi pada masyarakat, sehingga dapat diketahui apakah hukum adat ini

berdampak positif atau negatif dan dapat diterima masyarakat setempat maupun

masyarakat pendatang. Selain dari itu, yang menjadi fokus penelitian adalah Adat

Sasi ini dijadikan hukum dalam konflik, dan proses pelaksanaan hukum ini di

dalam masyarakat.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk

mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan,

mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif

dengan tujuan memecahkan suatu persoalan.Yang harus diketahui dalam

instrumen penelitian, instrumen utama adalah peneliti itu sendiri. Berikut adalah

beberapa instrumen dalam penelitian ini:

1. Kamera, yaitu digunakan untuk memotret objek yang berkaitan dengan

kebutuhan penelitian.

2. Alat perekam, yaitu digunakan untuk merekam informasi pada saat

melakukan wawancara dengan informan penelitian.

3. Lembar observasi, yaitu digunakan untuk mencatat informasi atau data

yang diperoleh pada saat wawancara dalam penelitian.

4. Pedoman wawancara, yaitu panduan dalam melakukan kegiatan

wawancara yang terstruktur dan telah ditetapkan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data-data penelitian.

F. Jenis data

Jenis data yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer

dan data sekunder.

a) Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung, seperti hasil dari

wawancara dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran dan alat

pengambilan daat langsug pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.

Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara idividu dan kelompok, hasil

observasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapatkan

data primer dari ketua RT, Ketua RW, tokoh adat Dian pulau.

b) Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung

melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh orang lain). Data sekunder

umumnya berupa bukti, catatan dan laporan historis yang telah tersusun dalam

arsip yang di publikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder peneliti

peroleh ketika sedang mengadakan observasi di pemukiman masyarakat,

didampingi tokoh adat, dan warga untuk mendapatkan data dan informasi terkait

tentang adat hukum sasi ini sendiri.

G. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan yaitu;

tempat pemukiman masyarakat yang sering di belakukan adat sasi ini, untuk itu

dibutuhkan (1) observasi, (2) dokumentasi, (3) wawancara mendalam.

1. Observasi

observasi merupakan pengamatan langsung menggunakan alat indera atau

alat bantu untuk penginderaan suatu subjek atau objek. Dalam hal ini peneliti

terlebih dahulu melakukan observasi ditempat-tempat yang biasanya Adat Sasi ini

diberlakukan, seperti; di laut dan di darat.

2. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara

dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

menggunakan pedoman (guide). Dalam rangka pengumpulan data, peneliti

melakukan wawancara tersruktur maupun tidak terstruktur.

Dalam wawancara mendalam melakukan penggalian secara mendalam

terhadap satu topik yang telah ditentukan (berdasarkan tujuan dan maksud

diadakan wawancara tersebut) dengan menggunakan pertanyaan terbuka.

Penggalian yang dilakukan untuk mengetahui pendapat mereka berdasarkan

perspective responden dalam memandang sebuah permasalahan. Teknik

wawancara ini dilakukan oleh seorang pewawancara dengan mewawancarai satu

orang secara tatap muka (face to face).

3. Dokumentasi

Menurut Arikunto (2006:158) dokumentasi adalah mencari dan

mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat

kabar, majalah, notulen, rapot, agenda dan sebagainya. dokumentasi, digunakan

untuk memperoleh data-data antara lain: (1) data jumlah pelanggaran hukum adat

ssi (2) data pribadi masyarakat atau tokoh adat di tanah Kei. Relevansi

penggunaan dokumentasi dengan permasalahan adalah, dalam rangka peneliti

memperoleh data pelengkap, metode ini digunakan juga untuk mencocokkan

beberapa informasi dengan data yang ada di lapangan.

H. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, sehingga dapat

mudah dipahami, dan temuannya dapat dikonfirmasikan kepada orang lain.

Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan

data yang diperoleh, selanjutnya pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.

Pada tahap analisis data ini hasil dari observsi diperoleh melalui tinjauan

lansgsung dengan menggunakan media dan alat seperti kamera untuk

mengabadikan hal-hal yang diperoleh dari observasi tersebut, kemudian hasil dari

wawancara peneliti menggunakan alat dan media berupa buku catatan, alat tulis,

tape recorder, untuk memudahkan peneliti dalam mengingat hasil wawancara

yang dilakukan. Dan yang terakhir hasil dari dokumentasi tentu saja peneliti

menggunakan kamera sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar melakukan

observasi dan wawancara lansgung terhadap narasumber.

Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-

catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan tentang fenomena

sialriang tersebut di atas. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik

kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang

penganalisis (peneliti) mulai mencari makna makna pekerjaan atau memenuhi

kebutuhan dengan berjaualan seperti ini. Dengan demikian, aktifitas analisis

merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan

merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.

Dalam hal ini teknik analisis data dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Reduksi data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data

diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan

tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama

selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan

data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu

membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus,

membuat partisi, dan menulis memo.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi

data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan

diverivikasi. Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah

penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian

kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara:

melalui seleksi ketat, melalui ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam

suatu pola yang lebih Penyajian data

b. Penyajian data

Miles & Huberman membatasi suatu penyajian sebagai sekumpulan

informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Mereka meyakini bahwa penyajian-penyajian yang lebih

baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid, yang

meliputi: berbagai jenis matrik, grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang

guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk 39

yang padu dan mudah diraih. Dengan demikian seorang penganalisis dapat

melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan

yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang

dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna.

c. Menarik Kesimpulan

Penarikan kesimpulan menurut Miles & Huberman hanyalah sebagian dari

satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga

diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat

pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis (peneliti) selama ia

menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, atau mungkin

menjadi begitu seksama dan menghabiskan tenaga dengan peninjauan kembali

serta tukar pikiran di antara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan

intersubjektif atau juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu

temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang

muncul dari data yang lain harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan

kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Kesimpulan akhir tidak hanya

terjadi pada waktu proses pengumpulan data saja, akan tetapi perlu diverifikasi

agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

I. Keabsahan Data

Kebenaran atau validitas harus diraskan merupakan tuntutan yang terdiri

dari tiga hal menurut Alwasilah (dalam Bachri, 2010:54) yakni: deskriptif,

intrerpretasi, dan teori. Dalam hal ini triangulasi sumber data adalah menggali

kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dsan sumber perolehan

data. Misalnya, selain melakukan wawancara dan observasi, peneliti bisa

menggunakan observasi terlibat, dokumen tertulis arsif, dokumen sejarah, catatan

resmi. Catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Masing-masing cara itu

akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan

memberikan pandangan yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti.

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda

(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini

selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk

memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna

untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi

bersifat reflektif.

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan

melalui sumber lain. Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi

antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori

yang tepat. Murti B., 2006 menyatakan bahwa tujuan umum dilakukan triangulasi

adalah untuk meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif

dari sebuah riset. Dengan demikian triangulasi memiliki arti penting dalam

menjembatani dikotomi riset kualitatif dan kuantitatif, sedangkan menurut Yin

R.K, 2003 menyatakan bahwa pengumpulan data triangulasi (triangulation)

melibatkan observasi, wawancara dan dokumentasi.

J. Jadwal Penelitian

Berikut ini adalah tabel jadwal penelitian:

No.

Kegiatan

Tahun 2019

Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov

1 Tahap Persiapan

Penelitian

a. Pengajuan judul

b. Bimbingan

proposal

c. Seminar

proposal

d. Perijinan

penelitian

2 Tahap Pelaksanaan

a. Pengumpulan

data

b. Analisis data

3 Tahap Penyusunan

Laporan

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

1. Sejarah Kota Maluku Tenggara

Terbentuknya Kabupaten Maluku Tenggara berawal dari suatu perjuangan

dan pergulatan yang panjang, dimana proses terbentuknya dilakukan dengan

berbagai bentuk tahapan negosiasi dan diplomasi oleh para pendiri Kabupaten

dengan pemerintah dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Tenggara

merupakan bagian dari Kepulauan Maluku yang dihuni oleh kurang lebih 96.669

jiwa (Maluku Tenggara dalam angka 2011:45) tersebar dalam dua pulau besar

(pulau Kei besar dan pulau Kei kecil) serta beberapa pulau kecil disekitarnya.

Dari 73 pulau yang membentuk kabupaten ini, hanya 12 pulau yang dihuni,

sebagian besar (10 pulau) berada diwilayah Kei Kecil (Maluku Tenggara dalam

angka 2011:9).

2. Geografis

Kabupaten Maluku Tenggara dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 35 Tahun 1952 tentang Pembubaran Maluku Selatan dan Pembentukan

Daerah Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, dan Undang Undang Nomor 60

Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Daerah Swatantra Tingkat II dalam

Daerah Swatantra Tingkat I Maluku (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 111,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 1645). Setelah dikeluarkannya Undang

Undang Nomor 31 Tahun 2007 Maka Kabupaten Maluku Tenggara telah

dimekarkan menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual dengan Letak

Geografis pada koordinat 131° – 133° 5 Bujur Timur dan 5° – 6,5° Lintang

Selatan, dan secara administratif berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Papua Bagian Selatan;

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura;

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tual, Laut Banda dan bagian Utara

Kepulauan

d. Tanimbar; Sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Aru.

Kabupaten Maluku Tenggara setelah pemekaran Kota Tual terbagi atas 6

(Enam) Kecamatan yang meliputi 1 (satu) kelurahan, 86 desa dan 104 dusun

dengan Ibukota Kabupaten adalah Langgur. Luas Wilayah Kabupaten Maluku

Teng Daratan. Kepulauan Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan

Kepulauan yaitu Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil

dengan Luas seluruhnya 465,11 Km2 dan Pulau Kei Besar dengan Luas 545,64

Km2 dan secara Topografi Pulau Kei Kecil lebih datar dengan ketinggian Pulau

Kei Besar berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan

ketinggian rata-rata 500 – 800 M dengan Gunung Dab sebagai Puncak tertinggi,

dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.

Desa-desa pada umumnya tersebar pada ketinggian 0-100 m. Sebaran rata-

rata kedalaman (4 mil dari garis pantai) di Kei Kecil (Nuhu Roa) adalah ≤ 100 m

atau rata-rata slop ≤ 1,5% yaitu di Pulau Kei Kecil Bagian Barat. Untuk Pulau Kei

Besar (Nuhu Yut), sebaran rata-rata kedalaman ≤ 100 m berada di bagian Barat

Laut, sedangkan bagian Barat daya dan bigian Timur kedalaman rata-rata lebih

dari 300 m. Kemiringan daratan Pulau (Island Flat) di Pulau Kei Kecil berkisar

antara 0% - 40 %, sedangkan untuk Pulau Kei Besar kemiringan Daratan Pulau

adalah Curam (15% - 40 %) sampai dengan sangat curam (> 40%).

3. Demografi

Penduduk sangat memegang peranan penting dalam pembangunan daerah

Kabupaten Maluku Tenggara, oleh sebab itu perlu diuraikan beberapa hal penting

dari aspek demografis daerah seperti; Jumlah Penduduk, komposisi penduduk

menurut jenis kelamin, struktur usia, jenis pekerjaan dan pendidikan. Jumlah

penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara selama kurun waktu 2010-2012

menunjukkan perkembangan yang meningkat. Peningkatan tersebut dapat terlihat

dari data : 1. Sensus Penduduk pada Tahun 2010 mencatat jumlah penduduk di

Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 96.441 jiwa dan mengalami peningkatan

pada tahun 2011 menjadi 99.112 jiwa dan meningkat kembali pada tahun 2012

menjadi 101.492 jiwa. 2.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Maluku Tenggara,

pada tahun 2010 mencatat jumlah penduduk sebanyak 128.278 jiwa dan

mengalami peningkatan menjadi 127.683 jiwa pada tahun 2011. Pada tahun 2012

berdasarkan hasil pemuktahiran data jumlah penduduk di Kabupaten Maluku

Tenggara sebanyak 127.592 jiwa. Statistik mendata jumlah penduduk pada tahun

2010 sebanyak 96.442 jiwa dan mengalami kenaikan sebesar 3.450 jiwa (3,45%.

menjadi 99.892 jiwa pada tahun 2012 serta memprediksi akan berjumlah 104.131

jiwa pada tahun 2013. Berdasarkan data Statistik, rata-rata laju pertumbuhan

penduduk Kabupaten Maluku Tenggara periode tahun 2010-2012 sebesar 2,24%.

Pertumbuhan penduduk ini dikarenakan terjadinya fertilitas yang cukup tinggi

(pertumbuhan penduduk alami dan terjadinya migrasi masuk.

Penduduk Kabupaten Maluku Tenggara menurut

Kecamatan dan Jenis Kelamin 2016

Kecamatan

2016

Penduduk Rasio Jenis

Kelamin Laki-Laki Perempuan Total

Kei Kecil 14 199 14 643 28 842 97

Kei Kecil Barat 2 959 2 926 5 885 101

Kei Kecil Timur 3 297 3 340 6 637 99

Hoat Sorbay 3 597 3 770 7 367 95

Manyeuw 2 607 2 626 5 233 99

Kei Kecil Timur

Selatam 2 112 2 217 4 329 95

Kei Besar 7 583 8 050 15 633 94

Kei Besar Utara Timur 4 876 5 014 9 890 97

Kei Besar Selatan 2 605 2 754 5 359 95

Kei Besar Utara Barat 3 669 3 804 7 473 96

Kei Besar Selatan Barat 1 170 1 268 2 438 92

Maluku Tenggara 48 674 50 412 99 086 97

Sumber: Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010

4. Desa Kolser

Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara tersebut berkedudukan di sebagian

wilayah Kecamatan Kei Kecil yang meliputi 8 (delapan) Ohoi dan 1 (satu)

kelurahan sebagai berikut: Ohoi Wearlilir, Ohoi Faan, Ohoi Ohoiluk, Ohoi

Ngayub, Ohoi Kolser, Ohoi Loon, Ohoi Kelanit, Ohoi Ohoingur, dan Kelurahan

Ohoijang Watdek. Ohoi adalah sebutan lain untuk desa di Kabupaten Maluku

Tenggara yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Deskripsi informan

Dalam penelitian ini melibatkan beberapa narasumber yang dipercaya

dapat memberikan informasi terkait adat sasi, informan yang dipiliha adalah

warga asli desa Kolser, ataupun warga pendatang yang telah berdomisili kurang

lebih 10 tahun. Pemilihan informan dilakukan secara teratur, mulai dari kepala

desa, kepala adat, pemerintah setempat, sampai dengan masyarakat sekitar.

Dalam bebetapa jawaban narasumber terkait adat sasi, rata-rata jawaban

mereka hampir sependapat, karena adat Sasi itu sendiri dilakukan secara serentak.

Ketika terjadi ketimpangan sosial dan kepala desa atau pemerintah sudah tidak

bisa mengatasinya maka dilakukan secara hukum yang berjujung pada pengadilan.

Informan diberikan angket berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai adat

Sasi itu sendiri, namun peneliti juga melakukan wawancara langsung untuk

mendapatkaan jawaban yang akurat.

No Nama Umur Pekerjaan Pendidikan terakhir

1 CMK 38 ASN S1

2 FR 62 PNS SMA

3 BR 64 pENSIUAN SMA

4 LNS 34 PNS S1

5 MMM 25 staf S1

C. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Maluku Tenggara, Desa Kolser. Penelitian

ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang memberikan gambaran

dan informasi mengenai implementasi hukum Adat Sasi terhadap konflik tanah

yang terjadi pada desa Kolser tersebut.

Pada bab ini peneliti akan menyajikan data-data hasil penelitian yang

dilakukan di lapangan terkait hukum adat sasi ini, sehingga dapat ditemukan

fakta yang akurat. Peneliti akan melibatakan beberapa informan agar

memudahkan mendapatkan informasi, diantaranya Kepala Suku Desa Kolser.

1. Konflik tanah dalam masyarakat suku Kei desa Kolser,

Kabupaten Maluku Tenggara

a. Konflik kelompok

Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di

muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai

meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber

kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat

bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula

mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural

politik dan ekologis.

Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam

secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33

Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut :

”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik

serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu

ada dimana-mana. Sengketa dan donflik pertanahan adalah bentuk permasalahan

yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan,

penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik

hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap

sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai

kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win

solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak

mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor

pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan

solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa

dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus

menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan

agraria yang mensejahterakan.

konflik tanah yang sama juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, hasil

penelitian menunjukkan konflik tanah yang melibatkan masyarakat dengan

Perusahaan dan atau pemerintah daerah bersifat struktural maupun horizontal.

Maluku Utara mengandung potensi pertambangan diperhadapkan pada konflik

pembebasan lahan, serta hak masyarakat adat yang tidak terselesaikan. Pola

konflik tanah yang bersifat struktural terjadi hampir disemua wilayah

pertambangan dengan eskalasi serta dinamika yang berbeda.

Kearifan lokal adalah sebuah budaya daerah setempat yang unik dan hanya

terdapat dalam wilayah tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya dan

tidak ada pula catatan sejarahnya. Masyarakat setempat mengetahuinya sebagai

adat budaya yang turun temurun dan selalu ditaati hingga saat ini. Kearifan lokal

menjadi penting karena sifatnya yang ekslusif dan membumi. Seluruh masyarakat

setempat mempercayainya, jika ada yang melanggar mereka percaya akan terjadi

sesuatu yang menimpanya. Begitu juga di Pulau Kei besar dan Kei Kecil.

Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku tenggara ini memiliki adat

budaya lokal dengan nama “SASI” dan Maren (gotong royong warga).

Sasi adalah budaya masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan

Pulau Dullah yang digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya.

Berdasarkan informasi warga desa Ngadi, pernah ada Sasi laut yang melarang

nelayan dan warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6

bulan, masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga

Sasi ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa

panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen. Sasi ditandai

denganpemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi.

Artinya terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap

larangan yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga

bermanfaat bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap

terjaga keberlangsungan hidup ikan di teluk.

Sasi ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh

dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami pergeseran

seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan asset adat (tanah, ladang,

atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini Sasi yang muncul di masyarakat

seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan

sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah, maka seluruh

anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan

atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah belum dapat

digunakan sampai seluruh anggota marga setuju.

Uraian di atas menunjukan sumber dominan konflik terjadi karena

ketidaksesuaian dalam pemberian ganti rugi atas tanah masyarakat. Menurut

Gunanegara:

“ganti rugi hak atas tanah memiliki makna pergantian atas nilai ta-nah

berikut bangunan, tanaman dan atau ben-da lainnya sebagai akibat

pelepasan hak”.

Pada umumnya, konflik terjadi karena adanya perbedaan (pendapat,

ideologi, budaya, dan lainnya) di masyarakat yang kemudian menimbulkan

masalah dan belum ditemukan kesepakatan dalam menyelesaikan masalah

tersebut. Hampir di setiap lapisan masyarakat bisa terjadi konflik, baik dalam

skala kecil maupun skala besar. Konflik berskala kecil misalnya pertengkaran

antar saudara di suatu keluarga, sedangkan konflik berskala besar misalnya

tawuran antar kampung. Salah satu kasus yang pernah terjadi terkait konflik tanah

yaitu Lepas konsesi PTPN dan kampung tua Batam, Konflik lahan antara

masyarakat dengan BUMN, katanya, relatif lebih mudah selesai. “Cerita di

Kampar itu, konflik masyarakat dengan BUMN. Setelah dilihat selama 22 tahun

itu nanam sawit tak pernah keluar sertifikat. Tadi setelah evaluasi, akhirnya

Kementeraian BUMN merelakan untuk menyelesaikan konflik itu,” katanya.

Konflik lahan lain yang dibahas dalam rapat kabinet itu yaitu soal desa-

desa tua di Pulau Batam. Sebelum ada Badan Otorita Batam, katanya, ada 20

kampung tua berdiri di sana. Dalam ketentuan mengatakan, seluruh daerah di

Batam, jadi hak penguasaan Badan Otorita Batam. Kampung-kampung yang ada

sebelumnya, dianggap tak ada.

“Sekarang kesimpulannya keseluruhan kampung tua itu dikeluarkan dari

Badan Otorita Batam. Sudah ada kesepakatan akan legalisiasi dan diberikan

kepada masyarakat. Konflik di Karawang juga sudah selesai. Kemudian yang

terjadi di Pulau Serangan Bali juga selesai,” katanya, seraya bilang penyelesaian

konflik lain tetap lanjut. Mengenai konflik antara masyarakat dengan negara,

seperti dengan kementerian, TNI, pemerintah daerah dan lain-lain, katanya,

penyelesaian memerlukan perlakuan khusus.

“Ini karena dalam UU Keuangan Negara menyatakan, aset negara tak

bisa dieksekusi. Itu yang menyebabkan Konflik dengan instansi banyak tak

mampu selesai. Kecuali tanah dilepaskan oleh institusi. Yang sulit, begitu

sengketa dengan institusi, tanah sudah didaftarkan dan jadi aset negara.

Kita tak bisa selesaikan. Ini perlu penanganan khusus,” katanya.

Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa terkadang konflik tanah tidak hanay

terjadi pada sesama masyarakat biasa, namun antara masyarakat dan pemerintah

setempat yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Sehingga harus ditemukan

langkah-langkah untuk penyelesaian masalah tersebut.

Sama halnya dengan kasus konflik tanah yang terjadi di desa Kolser yang

ditipu oleh pemerintah daerah Malra terkait pemasangan Sasi. Dalam kasus ini

tanah yang telah dilakukan pemasangan Sasi masih berstatus sengketa, dan telah

dilakukan sistem jual beli tanpa diketahui kepala desa Kolser dan pihak

pertahanan, menurut salah satu warga setempat menegaskan bahwa;

“kami sudah mendatangi pihak pertahanan dan mereka juga tidak tahu,

dan proses jual beli tanah ini adalah proses kong kali kong. Padahal

waktu itu kami sudah mendatangi pemerintah daerah untuk jangan bayar,

karena masih dalah proses hukum. Tapi pemda tidak dengar , dan mereka

langsung membayar”.

Tentu dalam kasus ini yang dirugikan lagi-lagi masyarakat setempat,

mereka dicurangi oleh pemerintah sendiri guna kepentingan individu yang

dibangun dibelakang mereka.

b. konflik individu

Konflik dalam diri individu (conflict within the individual ). Konflik ini

terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena

tuntutan tugas yangmelebihi batas kemampuannya.

Ada kasus yang terjadi terkait konflik antar individu yang bahkan

menewaskan 1 orang. Konflik antara pihak keluarga Tanlain dan Maturbongs

hingga kini semakin meruncing. Bahkan puncak dari aksi klaim-mengklaim tanah

tersebut memicu terjadinya aksi penyerangan yang dilakukan oleh pihak

Maturbongs salah satu warga nama Anis Kalanit,SH terekna sabetan senjata

tajam.

Salah satu pihak keluarga Tanlain menegaskan bahwa:

“karena tanah tersebut telah diberikan oleh leluhur atau nenek moyang

Maturbongs kepada kami ada buktinya, sejarah juga mencatat hal tersebut

karena ada bukunya.

Kepemilikan tanah tersebut juga dibuktikan dengan adanya puusan sidang

dipengadilan Negeri Tual yang memenangkan pihaknya tertanggal 27 januai

2015. Namun Maturbongs tidak menerima putusan tersebut malah sebaliknya

membawa massa dari desa Kolser untuk mencabut Sasi (Hawear) yang telah

dipasang diarea tanah yang disengketakan.

c. Penyelesaian konflik tanah

Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan

Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus

yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil

yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat

bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.

Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat

tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang

dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada.

Sama halnya pada masyarakat Kolser yang kadangkala menyelseika

konflik tanah ini melalui pengadilan yang biasa disebut naik sidang yang bisa

berlangsung sampai berbulan-bulan lamanya.

Seperti hasil observasi yang ditemukan dilapangan bahwa:

“masih ada masyrakat Kolser yang berada dipengadilan, padahal

kasusnya sudah ada pada tahun sebelumnya”.

Konflik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang mendorong

terjadinya dinamika sosial baik itu politik dan budaya. Konflik bisa terjadi di

mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, baik bersifat vertikal ataupun

horisontal. Konflik dapat berbahaya jika menyebabkan terjadinya kerusuhan

massa yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik itu secara sosial, psikis,

maupun fisik. Banyak sekali jenis konflik yang terjadi misalnya saja, konflik

antar mahasiswa, konflik perebutan lahan, konflik antar suporter sepak bola,

maupun konflik antar partai politik. Konflik merupakan bentuk interaksi sosial

yang terjadi pada perorangan atau kelompok yang berupaya untuk mencapai

tujuannya sendiri dengan mengalahkan atau menundukkan pihak lainnya.

i ) Ajudikas i

Ajudikasi merupakan bentuk akomodasi yang dilakukan lewat jalur

pengadilan. Pengadilan dalam hal ini adalah lembaga hukum yang diakui untuk

menjalankan pemberian keputusan terhadap perkara perdata maupun pidana.

Cara ini dilakukan agar mendapat jalan keluar dari permasalahan yang

terjadi, seperti hasil observasi yang terjadi di Desa Kolser terkait Sasi. Kedua

belah pihak bersikeras mengakui hak kepemilikan tanah tersebut, sehingga

dibutuhkan oyang namanya orang ketiga, yang menjadi orang ketiga dalam hal ini

adalah kepala desa, keetika belum ditemukan solusi maka akan dilakukan lagi

yang namanya naik sidang di pengadilan.

Hasil observasi diatas didukung oleh data wawancara yang didapat

dilapangan terkait penyelesaian konflik tersebut, hal tersebut dipaparkan oleh

salah satu warga yang bernama Christian M Kelawit yang menyatakan bahwa:

“jika terjadi konflik terkait hak kepemilikan tanah, maka dipanggil lah

seseorang yang dituakan atau dianggap sebagai kepala adat, biasanya

mereka dilakukan sidang adat”.

Hal diatas tentu efektif mencegah terjadinya konflik yang berkelanjutan.

ii) kompromi

Kompromi adalah bentuk akomodasi dimana masing-masing kedua belah

pihak saling mengurangi tuntutan yang saling bertentangan agar terjadi

kesepakatan bersama. Kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak. agar

tercapainya perselesaian dari perselisihan yang ada.

Ketika ada perselisihan yang terjadi, sebaiknya lakukan lah kompromi

untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kompromi harus dilakukan

dengan hati yang tenang sehingga sangat dibutuhkan orang-orang yang

mendampingi.

Observasi di lapangan menunjukkan bahwa, sebagian masyarakat Desa

Kolser masih menggunakan cara ini, mereka tidak langsung adu konflik. Namun

ketika mereka telah berkompromi dan masih belum menemukan jalan keluar,

maka dilakukanlah cara Adjukasi tadi. Hal ini lebih efesien dilakukan.

Salah satu warga pun menjelaskan bahwa:

“biasanya Adat Sasi dilakukan ketika hasil sumber daya alam yang

dinikmati manusia semakin berkurang, maka tokoh adat dan tokoh agama

akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan masyarakat dan

membahas tentang adat ini untuk mengembalikan potensi sumber daya

alam yang telah berkurang”.

Hal ini menunjukkan Sasi telah menjadi bagian dari hukum formal dalam

peraturan adat yang ada. Sehingga setiap pelanggar Sasi akan dapat diberikan

sanksi sosial seperti dilarang untuk terlibat saat upacara buka Sasi dan panen

hasil.

Masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat, memaksa pemerintah

untuk fleksibel dalam menangani berbagai konflik yang bergesekan langsung

dengan masyarakat. Secara umum masyarakat pulau Kei berwatak keras, tetapi

berhati mulia. Selama tidak mengganggu kepentingan mereka yang utama yaitu

Wanita dan Tanah, pendatang tetap diterima dengan baik. Disini sangat jelas

bahwa masyarakat suku Kei dalam mengatasi konflik pasti berpacu pada adat Sasi

dalam penyelesaian konflik.

Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sosial budaya masih sangat kental

dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan

pedoman dalam kehidupannya. Adat tersebut mengatur hubungan antar individu

dalam masyarakat maupun dengan alam sekitar termasuk laut sebagai sumber

pencaharian. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik pelanggaran

pidana maupun perdata diselesaikan melalui mekanisme adat yang ada. Ketaatan

masyarakat kepada hukum adat ini dapat dipahami dalam perspektif sosial budaya

masyarakat Kei yang mengganggap adanya hubungan religius magis dengan alam

sekitarnya. Masyarakat Kei beranggapan penyelesaian terhadap pelanggaran

hukum adat dipercaya akan mengembalikan keseimbangan religius magis dengan

alam tempat mereka menggantungkan penghidupan yang terganggu sebagai akibat

adanya pelanggaran. Penyelesaian pelanggaran terhadap hukum ini telah terjadi

pergeseran seiring munculnya negara modern/hukum modern (positifisme

hukum). Namun harus dipahami penyelesaian sengketa perdata di peradilan

umum bagi bumiputera (pribumi) tunduk pada hukum adat (Pasal 131 Jo. 163 IS).

Hasil observasi yang dilkaukan dilapangan menunjukkan bahwa:

“konflik yang terjadi notabenenya berhubungan dengan hak kepemilikan

tanah, sehingga berujung pada perselisihan anatar kedua belah pihak”.

Seperti yang ditemukan dilapangan ternyata konflik tanah sering pula

berujung pada kematian atau hal-hal lainnya, seperti hasil wawancara yang

dilakukan dengan salah satu warga yang menyatakan bahwa:

“konflik tanah yang terjadi selalu berhubungan dengan luas yang dimilii

perorangan, kadang juga harus dibawa kepengadilan untuk

menyelesaikannya”

hasil observasi dan wawancara diatas didukung oleh hasil dokumen yang

dikutip “Bentuk konflik yang sering terjadi pada masyarakat suku Kei terkait Sasi

yaitu konflik tanah. Salah satu yang pernah terjadi adalah “Konflik Penguasaan

Tanah Di Maluku Utara: Rakyat Versus Penguasa Dan pengusemaha”. Yang

dikutip dari jurnal Husen Alting. Yang didalamnya membahas mengenai;

“tipologi konflik pertanahan yang muncul terkait pemerintah dan

investor vs masyara-kat pemegang hak yang dilatarbelakangi oleh

kecendrungan keberpihakan pemerintah daerah dalam

pemanfaatan/pengelolaan potensi sum-ber daya alam melalui kebijakan

pemberian izin lokasi/izin usaha pertambangan untuk pena-naman

modal yang mengakibatkan beralihnya fungsi tanah pertanian serta

berkurangnya akses rakyat terhadap tanah, apalagi dalam praktek-nya

perolehan tanah untuk kepentingan tidak didasarkan pada prinsip

kesejajaran”

Kutipan diatas terlihat bahwa terjadi Dimensi konflik pertanahan antara

pemegang hak atas tanah yang berhadapan dengan Pemerintah dan pengusaha

cenderung mengalami perubahan sebagai akibat konfigurasi tanah yang selalu

berubah, berdampak pada timbulnya banyak benturan kepentingan yang terus

berkembang dengan beragam modus dan pola, sehingga diperlukan metode

pendekatan penyelesaian sengketa yang dapat memberikan keadilan dan kepastian

hukum bagi masyarakat disatu sisi dan pengusahan disisi lain. Konflik pertanahan

yang terjadi selama ini di Indonesia, cenderung berlangsung lama (per-petuated

conflict), terutama yang melibatkan komunitas adat karena mekanisme litigasi

selalu dijadikan preferensi menyelesaikan konflik tanah. Perusahaan swasta dan

negara lebih me-manfaatkan mekanisme litigasi, yaitu memasukkan konflik tanah

ke pengadilan. Hasilnya peng-adilan sering kali memenangkan perusahaan karena

memiliki dokumen legal yang membuktikan kepemilikan atau hak pengelolaan

atas area tanah. Komunitas adat/petani terkalahkan, karena kelompok ini hanya

memiliki bukti adat se-perti cerita atau surat kesaksian yang tidak dia-kui oleh

pengadilan.

Konfrontasi antarwarga masyarakat juga terjadi karena keterlibatan para

tokoh masyarakat dan atau aparat pemerintah desa yang berpihak digunakan

perusahaan. Konflik yang terjadi merupakan tipe konflik dipermukaan melibatkan

saudara tetangga yang dilatar belakangi komunikasi yang tidak sejalan atas

kepentingan terkait pokok sengketa. Pada konflik tanah yang berakar pada tidak

dihormatinya hak ulayat masyarakat hukum adat, penanganan harus dilakukan

secara lebih komprehensif tidak hanya penyelesaian konflik, akan tetapi Resolusi

Konflik dengan merumuskan strategi untuk menangani sebab-sebab konflik

tersebut melalui rekonseptualisasi hubungan antara Negara, sektor

swasta/perusahaan dan masyarakat hukum adat.

Pelepasan hak atas tanah merupakan pemutusan hubungan hukum antara

pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan

ganti rugi atas dasar musyawarah. Pelepasan tanah ini hanya dapat dilakukan atas

dasar persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai tehnik

pelaksanaannya maupun besar, serta bentuk ganti rugi yang akan diberikan.

Kegiatan pelepasan hak ini bukan hanya dilakukan untuk kepentingan umum

semata, akan tetapi juga dapat dilakukan untuk kepentingan swasta. perolehan

tanah yang pada satu sisi memberikan kekuasaan kepada pihak lain (perusahaan)

untuk dapat memanfaatkan-nya dalam jangka waktu tertentu melalui cara lain

yang memungkinkan dengan mewujudkan penguatan akses dan posisi tawar

masyarakat yang akan membawa peluang usaha yang lebih sehat dan wajar.

Dalam konflik pertanahan, salah satu akar konflik adalah tidak/kurang

dihargainya hak-hak masyarakat hukum adat disebabkan pengambilalihan tanah

tanpa mempertimbangkan sifat hubungan antara masyarakat hukum adat dengan

tanah tersebut.

Sehingga dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa Konflik pertanahan

yang terjadi di Maluku Utara pada dasarnya disebabkan oleh minimnya

penghormatan terhadap nilai tanah yang diwujudkan melalui ganti rugi serta hak

masyarakat hukum adat yang berwujud konflik struktural maupun horizontal.

Penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi di Maluku Utara dilakukan melalui

jalur litigasi dan non litigasi. Pemilihan mekanisme penyelesaian oleh

masyarakat/perusahaan atas sengketa yang terjadi didasarkan pada pertimbangan

ketersediaan bukti penguasaan, modal dan dukungan Pemerintah. Pilihan hukum

pemerintah/perusahaan melalui meka-nisme litigasi, sedangkan masyarakat lebih

me-nempuh jalur non litigasi, karena penguasaan tanah yang dilakukan secara

turun temurun pembuktiannya melalui hukum adat dan bukan hukum

formal/sertifikat.

Terkait konflik yang terjadi, biasanya mereka melakukan naik sidang

ketika sudah tidak bisa dibicarakan lagi dengan kekeluargaan. Hal ini senada

dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu warga Korsel yang

bernama BR yang mengatakan:

“pelanggaran hukum adat Sasi Hawear Balwirin dihukum dengan denda

yang beratnya ditentukan oleh sidang adat, disesuaikan dengan kerugian

material yang disebabkan pelanggaran”.

Dari hal diatas tentu jelas terlihat bahwa masyarakat desa Kolser masih

sangat berpegang teguh pada yang namanya adat, ketika adat sudah tidak berjalan

dengan baik, mereka menempuh jalur hukum yang diiringi dengan sumpah 7

turunan kepada pelaku yang melakukan Sasi.

Kembali dilakukan wawancara dengan salah satu warga Korsel yang

bernama CMK terkait bagaimana mengatasi konflik tanah apabila terjadi

pemasangan sasi?, berikut pemaparan beliau:

“apabila terjadi pemasangan ssi atau Hawear pada lahan konflik maka,

harus ditelusuri terlbeih dahulu status kepemilikan tanah, kemudian

kembali kepada pemasangan tanda sasi/hawear apakah sudah melalui

prosedur yang benar atau tidak”.

Hal diatas tentu sangat jelas bahwa masyarakat Korsel tidak serta-merta

selalu bersikap frontal apabila ada yang tidak sesuai, mereka mencari terlebih

dahulu dimana letak permasalahnnya, kemudian barulah dilakukan tindak lanjut.

Mereka melakukan pendekatan dengan pemilik tanah konflik, melalui pemerintah

desa/ohoi. Dalam hal ini orang Kai atau raja sebagai kepala rasehap dimana lahan

konflik itu berada, tentunya dengan syarat-syarat adat yang telah ditentukan.

Namun apabila pemasangan Sasi/hawai sudah sesuai namun belum ada

pendekatan secara baik, maka sampai kapanpun sasi/hawai tidak bisa dicabut atau

dilepas.

Hal senada juga disampaikan oleh LNS terkait Sasi ini, dimana beliau

memaparkan :

“hira ni, ntub fo i ni........” artinya apa yang menjadi milikmu adalah

milikmu, janganlah seraka menjadi manusia.

Sasi ini sudah menjadi perbincanagn publik kebanyakan, salah satu media

yang memuat pemberitaan terkait hal ini. Hal ini pernah dibahas oleh Salah satu

statsiun TV yang menerangkan bahwa;

“Puluhan warga dari marga renyaan, renmeua, dan materbong di Desa

Kolser, Maluku Tenggara, Maluku, dengan membawa berbagai senjata

tajam memasang Sasi adat di atas tanah adat seluas 25 hektare, Ahad

(16/5). Aksi ini sebagai bentuk protes atas penjualan tanah tersebut oleh

sejumlah warga dari marga materbong ke Pemerintah Kabupaten Maluku

Tenggara.

Hal ini menjadi fenomenal karena memang adat yang begitu kental dan

terkenal sampai pelosok kota manapun. Hal ini membuat salah satu menteri

kelautan Susi Pudjiastuti yang menyatakan kekagumannya sebagai berikut:

“ ini kearifan yang luar biasa. Apalagi doanya untuk lebih meningkatkan

hasil. Ini orang di luar sana, yang lebih maju (harus) belajar dari bapak-

bapak. Kita yang lebih maju justru lebih serakah. Kita harus belajar dari

bapak-bapak bahwa Sasi, pembatasan itu untuk meningkatkan hasil. Ini

yang sedang saya coba untuk promosikan bahwa menjaga kelestarian

adalah menambah peningkatan hasil bagi masyarakat."

Jadi „Sasi‟ adalah upaya penyetopan penangkapan untuk tujuan menjaga

populasi sumber daya alam tetap tersedia, untuk memenuhi kebutuhan anak-cucu

sekaligus untuk meningkatan pendapatan masyarakat di masa mendatang. pulau

tersebut punya potensi pariwisata yang bagus untuk dikembangkan, mengingat

selain punya keanekaragaman kuliner laut, pulau ini juga dilingkupi beragam

destinasi wisata panati dengan pasir putihnya yang halus.

Narasumber selanjutnya adalah FR yang menatakan pendapat tentang adat

Sasi ini:

“harus ditegakkan adat Sasi ini, namun perlu diingat bahwa Sasi adat Kei

itu bukan satu jenis Sasi untuk semua jenis adat. Tapi masing-masing

menurut fungsi dan maknanya”.

Praktik Sasi sudah jamak dilaksanakan di kepulauan Indonesia Timur,

terbentang dari Kei sampai Merauke. Sasi juga ber makna larangan. Seseorang

bisa saja mengajukan Sasi untuk melindungi hak miliknya. Oleh karena itu, Sasi

dilaksanakan, walaupun itu merupakan hak pribadi dan dengan pengenaan Sasi,

termasuk pemilik kemudian dilarang untuk mengambil apapun dari wilayah yang

diberi status Sasi. Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang

mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap,

namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal

(Fadlun 2006). Dengan demikian Sasi memiliki dimensi temporal dan lambing

(atribut) yang bersama-sama membuat institusi Sasi mengikat.

Sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk

mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan

hukum adat tentang Sasi memuat tiga hal. Pertama adalah Sasi memuat unsur

larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi

kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara

mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut. Kedua, ketentuan

Sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan

lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan Sasi ini ditentukan oleh masyarakat

pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).

2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah

pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Dalam sistem pengelolaan lokal, masyarakat mengenal praktek-praktek

pemanfaatan yang beralaskan konsep pemahaman hubungan manusia dengan

alam, sesama dan Penciptanya. Pengelolaan dan pemanfaatan laut diatur dalam

berbagai sistem (seperti sistem sasi) dan berbagai hak (hak milik, hak makan, hak

jaga) serta kewajiban penggunanya, yang menggambarkan nilai-nilai kekerabatan,

kebersamaan, kepedulian, pemeliharaan, dan keberkelanjutan. Sumberdaya laut

tertentu, seperti trochus dan teripang, diatur pemanenannya melalui sistem Sasi,

sementara penyu belimbing (Dermochelys coriacea) atau yang dikenal dalam

istilah lokal sebagai tabob ditangkap pada waktu tertentu dengan cara tertentu dan

oleh kelompok masyarakat tertentu di wilayah Kei Kecil barat (Nu Fit). Tabob

merupakan salah satu sumberdaya laut yang memiliki nilai kultural bagi

kelompok Nu Fit, sementara di sisi scientists penyu belimbing ini diperkirakan

mengalami penurunan akhir-akhir ini dalam jumlah, padahal wilayah perairan Kei

Kecil barat merupakan habitat tujuan migrasi penyu belimbing dewasa.

Sejalan dengan perkembangan penduduk, ekonomi uang, dan pasar

komoditi laut membuat pengeksploitasian sumberdaya laut meningkat tidak hanya

oleh nelayan lokal berskala kecil, tetapi juga oleh perikanan skala besar untuk

komoditi perikanan tropis dengan tujuan pasar regional dan global. Mengingat

sumberdaya laut yang potensial di perairan pulau-pulau kecil di wilayah Kei Kecil

barat, maka peningkatan aktivitas di wilayah perairan ini bila tidak dikelola

dengan semestinya, dapat berdampak pada overeksploitasi, terutama untuk

sumberdaya laut tertentu yang memiliki demand yang tinggi, penggunaan

teknologi tangkap yang destruktif (bahan peledak dan potassium), serta berpotensi

memicu konflik antar pengguna atas wilayah tangkap dan wilayah kelola. Selain

itu, kepentingan atas wilayah perairan antara pengguna lokal, perusahaan, dan

pemerintah serta ilmuwan tidak selamanya sejalan.

Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di

sebut kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga

adat yang berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah

ulayat/petuanan) suatu masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan

dan pengaman lembaga kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan

antara manusia dan lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam

secara terkendali dan bijaksana. Hukum Sasi adalah sejumlah peraturan yang

mengandung larangan dengan pidana denda. Selain itu Sasi juga dapat menjaga

atau melindungi Negeri itu sendiri agar dapat dimanfaatkan oleh masyrakat

tersebut.

Hal ini senada dengan jurnal yang dikutip dari ECSOfiM Vol.1 no.1, 2013

yang menyatakan bahwa;

“efektifitas masyarakat hukum adat yang ada di desa Haruku dalam

menjaga dan melestarikan sumber daya alam diwilahnya dengan baik

membuat desa ini mendapat penghargaan berupa kalpaturu lingkungan

hidup oleh mantan menteri lingkungan hidup”.

Hal di atas tentu menunjukkan bahwa, menjaga dan melestarikan

lingkungan dan adat, bukan hanya akan mempererat tali persaudaraan sesama

masyarakat, namun juga akan menjadi salah satu nilai lebih terhadap desa

tersebut, sehingga tidak ada yang salah ketika tetap menjaga adat masing-masing,

walaupun telah berada pada zaman modernisasi. Usaha untuk mempertahankan

hasil sumber daya alam baik dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan

produksinya menjadi perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia.

Hal ini senada dengan pemaparan yang dijelaskan oleh KR selaku warga

desa Korsel, yang mengatakan:

“berkat Sasi, lingkungan akan tetap terjaga dengan baik. Alampun dapat

pulih kembali karena tidak ada aktifitas manusia dan terhindar dari

pengrusakan. Sementara jika sasi dilakukan dilaut, masyarakat disekitar

wilayah laut yang ditentukan akan mendapatkan keuntungan”.

Dari pemaparan diatas tentu sangat jelas bahwa, melarang masyarakat

untuk mengeksploitasi suatu wilayah akan memberikan hasil yang lebih di masa

mendatang, bila masyarakat memahami hal ini, dukungan masyarakat terhadap

budaya sasi ini sangat besar dilihat dari masih banyak diantara mereka yang tetap

melaksanakan adat Sasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sama halnya fakta yang ditemukan dilapangan dari hasil observasi

menunjukkan bahwa:

“keikutsertaan masyarakat desa pada setiap pelaksanaan tradisi Sasi,

baik Sasi laut, Sasi kelapa, dan lain sebagaianya”.

Dalam pelaksanannya, Sasi lebih cenderung bersifat hukum bukan tradisi,

dimana Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan

hasil laut dan hasil pertanian. Sasi tidak berhubungan dengan ritual kelahiran,

pernikahan, kematian dan pewarisan. Sasi sebagai salah satu tradisi yang lahir di

Maluku memiliki fungsi yang sangat besar dalam menjaga keberlangsungan

potensi laut agar senantiasa dapat dinikmati.

Seperti yang dikutip dari jurnal NR tentang “warga Kolser ditipu Pemda

Malra, pasang Sasi dan spanduk minta Kejati usut Markus tanah Kolser”. Dalam

hal ini ditegaskan;

“puluhan warga desa Kolser kevamatan Kei Kecil kabupaten Maluku

Tenggara (Malra, sabtu 8 mei 2019) melakukan aksi penanaman sasi adat

(hawear-red) pada batas tanah milik petuanan warga desa Kolser. Sasi

yang ditanam warga berjumlah kuarng ebih 15 buah Sasi yang di pasang

pada depan stadion Maren Ohoijang.........”

Hal ini tentu menimbul rasa kekhawatiran pada warga Kolser, pemasangan

sasi ini pun kebanyakan kaum bapak dan para pemuda yang dilakukan secara

spontanitas, karena mereka mendengar tanah itu sementara bermaslaah dan saat

ini diproses hukum. Sebagai warga negara mereka memiliki kewajiban untuk

mendapatkan hukum itu sebagai panglima, kalau hukum sudah diinjak-injak buat

apa negara hukum itu?. Dikatakan sangat aneh, karena tanah yang dijual oleh

Marga Maturbongs, tanpa diketahui kepalas Desa Kolser dan pihak pertahanan,

mereka sudah mendatangi pihak pertahanan.

Desa Kolser merupakan salah satu bagian dari Kei kecil yang notabenenya

beragama kristen. Di desa ini istilah Sasi pertama kali diperkenalkan pertama kali

oleh gereja kepada masyarakat.

“konsep Sasi sebenarnya dibawa oleh gereja, gereja yang bawa Sasi itu.

Orang raja Ampat tidak kenal Sasi, kenapa? Karena sebenarnya Raja

Ampat itu tidak perlu dilindungi juga orang tidak akan saling korek-korek.

Manusia masih sedikit, hasilnya melimpah, masing-masing suku akan

tinggal dipulau setempat dan tidak akan korek tempat lain”. Ungkap

Bagiyo.

Kehadiran gereja di Raja Ampat merupakan faktor pendukung

penghapusan budaya kabusyang kemudian belakangan diganti menjadi Sangihe

Talaud. Ada hal mendasar kenapa para misionaris saat iu meminta masyarakat

untuk menghilangkan budaya Kabus. Alasan tersebut adalah ketika budaya kabus

dilakukan, dan sebuah daerah dinyatakan pamali/sakral masyarakat justru

menggunakan itu sebagai tempat sembah-sembah nenek moyang.

Terkait hal ini tentu yang berbicara adalah fungsionalis. Dimana perspektif

fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks. Struktur-

struktur yang menjadi bagiannya saling berinteraksi guna membentuk funsgi baru

yang melingkupi keseluruhan sistem. Masyarakat terintegrasi berdasarkan

konsensus diantara para anggotanya karena memiliki kesamaan nilai, norma,

kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Masyarakat cenderung berada dalam

kondisi keseimbangan (equilibrum). Interaksi antara individu atau kelompok kecil

dalam masyarakat, interaksi antar masyarakat berlangsung melalui simbol-simbol

bahasa insyarat dan komunikasi non verbal. Setiap pihak bernegoisasi mengenai

makna suatu simbol, komunikasi.

Masyarakat Korsel awalnya notabenenya beragama islam, namun setelah

umat kristen datang satu persatu kemudian membawa sesuatu yang berbentuk

obat-obatan yang diyakini mampu menyembuhkan segala penyakit, dari situlah

orang-orang kemudian berpindah agama. Namun ada satu hal yang menjadi daya

tarik di desa Kolser ini yaitu, ketika mereka sakit, mereka mendatangi kuburan-

kuburan islam, yang dianggap sebagai nenek moyang yang mendatangkan

kesembuhan bagi mereka.

Dibalik hukum terkait Sasi di desa Kolser, ternyata ada fakta lain yang

ditemukan dilapangan terkait menghargai kaum perempuan. Hal ini terbukti

dengan adanya bagian khusus dari hukum adat masyarakat Kei yang memberikan

indikasi dan memiliki konten yang secara khusus mengekspresikan sebuah

penghargaan dan perlindungan terhadap kaum perempuan. Hukum hanilit

(sebagai bagian dari hukum Larvul Ngabal) tidak hanya mengatur tentang

berbagai pelanggaran terkait pelanggaran moral, tetapi lebih berintikan pada

kedudukan perempuan yang suci dan luhur, karena itu harus dihormati. Konsep

yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang patut dijaga, dihormati

dan dilindungi, yang berimplikasi bahwa dalam institusi perkawinan pun

kelompok pemberi wanita (mangohoi) dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam

hubungan kekerabatan, masyarakat adat Kei lebih menitikberatkan pada hubungan

yang berasal dari garis keturunan ibu sebagai pihak yang melahirkan dan

meneruskan keturunan. Salah satu contoh terkait pengambilan (panen) hasil laut,

maka selain dilakukan oleh masyarakat ohoi (sebagai pemilik), mereka yang

memiliki hubungan atas dasar kekerabatan, teristimewa dari garis keturunan ibu

(dikenal dengan istilah mama dari, nenek dari, isteri dari), juga diberikan akses

dan kesempatan untuk mengambil hasil.

Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup

masyarakat adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari Sasi di Maluku

merupakan wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku

dalam pengelolaan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai

modal dasar. Dengan adanya Sasi warga masyarakat adat tidak mengelola

sumberdaya alamnya secara sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada

dapat berdaya guna dan lestari demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat .

Keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari negara kesatuan republik

Indonesia yang di akui hak-hak adat dan sistem hukumnya, termasuk sumber daya

alam yang ada di wilayahnya. Untuk itu masyarakat adat perlu diberikan

kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan suberdaya alam di wilayahnya

sesuai dengan kearifan lokal yang dimilikinya.

a. Hukum Sasi dalam mengatasi konflik

Adat Sasi ditetapkan melalui institusi adat atau PemerintahanTradisional di

desa. Hukum tersebut mencakup pola sanksi atau hukuman yang diberikan kepada

pelanggar hukum. Pola hukuman adalah dalam bentuk denda material dengan

membayar barang antik atau uang, Hukuman fisik berupa kerja paksa di kebun

atau lingkungan desa. sedangkan sanksi sosial berupa pengucilan dari desa.

Ditemukan bahwa warga masyarakat desa sangat patuh terhadap pelaksanaan

hukum adat Sasi. Hal ini karena tidak saja mereka takut terhadap sanksi, tetapi

juga bahwa mereka menyadari bahwa hukum adat Sasi dapat mencegah konflik

antar warga.

Begitu pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang

turut menjaga kelestarian lingkungan hidup serta turut mencegah terjadinya

konflik di Desa Kolser, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara.

Menjadikan pelaksanaan Hukum Adat Sasi sebagai suatu bentuk manajemen

konflik dan pelestarian lingkungan hidup.

Ketaatan terhadap aturan yang telah ditentukan dalam Hukum Adat Sasi

merupakan suatu kesadaran dalam diri masyarakat Desa Kolser. Mereka selain

takut terhadap hukuman yang ada, baik itu hukuman fisik, denda materi dan

sanksi sosial maupun karma atau kutukan yang nanti diterima apabila melanggar

Hukum Adat Sasi tersebut, mereka juga sadar sepenuhnya bahwa hukum adat

tersebut melindungi mereka atau mengatur mereka agar tidak bertengkar akibat

berebutan hasillaut maupun darat, apalagi mereka hidup berdampingan dan secara

identitas mereka berbeda Agama yaitu Kristen Protestan, Muslim dan Kristen

Katolik. Hal ini telah terbukti dan teruji disaat Kepulauan Kei pada tahun 1999

terkena imbas konflik yang bernuansa Agama di Provinsi Maluku, ternyata di

Desa Kolser sama sekali tidak terjadi, bahkan dari desa-desa tetangga maupun

dari Kota Tual yang datang mengungsi untuk mencari perlindungan baik dari

pihak Kristen maupun Muslim.

Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum

Adat Sasi di Desa Korsel sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat

desa tersebut dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dan tersedia di

desanya. Kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan Hukum. Adat tersebut membuat

masyarakat terhindar dari konflik atau pertengkaran dan perkelahian diantara

mereka, karena tidak ada yang merasa cemburu akibat yang lain memonopoli

pengelolaan sumberdaya alam untuk kekayaan sendiri juga tidak ada yang

mencuri hasil alam milik bersama baik di laut maupun di darat dan juga tidak ada

yang mencuri hasil alam berupa kebun tetangga, karena adanya aturan hukum adat

yang mengikat. Jadi yang paling penting dalam mencegah konflik di tengah-

tengah masyarakat, yaitu dengan mengupayakan rasa keadilan bagi segenap warga

masyarakat tersebut.

Larwul Ngabal merupakan hukum adat di Maluku dengan perumusan

yang paling lengkap. Hukum tersebut terdiri atas tujuh pepatah, yang masing-

masing secara rinci berisi sanksi dan larangan khusus. Penduduk Kei menanggapi

hukum ini dengan sangat serius, dan percaya bahwa hukuman yang terkandung

adalah kembali kepada penganiayaan di masa lampau. Kebanyakan orang dewasa

dapat mengkutip ayat secara kata demi kata dan suka membahas berbagai

ketentuan yang terkandung didalamnya. Setiap pelanggaran pada pelaksanaan

Sasi tersebut akan mendapatkan hukuman sesuai dengan sanksi adat yang telah

disepakati bersama dan tertulis akan dijelaskan pada uraian sanksi adat.

Rahail (1993) menyebutkan bahwa hukum sasi di Kei pada dasarnya

merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada asas pelestarian dan

keseimbangan hubungan alam dengan (ekosistem). Asas ini berakar pada bait

pertama dari tuturan falsafah yang mendasari hukum adat Larwul Ngabal, yaitu

“it dok fo ohoi itmian fo nuhu” (kita mendiami atau menempati kampung/desa di

mana kita hidup dan makan dari alam dan tanahnya). Dasar filosofis ini

menekankan adanya hubungan antara kehidupan manusia dengan alam. Alam

adalah bagian integral dari manusia (dalam hal ini masyarakat adat). Kehancuran

alam berarti kehancuran manusia. Oleh karena itu, pengelolaan alam demi

kehidupan manusia dan keseimbangan itu sendiri adalah hal yang mendasar untuk

mengatasi maksud-maksud jahat, keserakahan dan sifat mementingkan diri sendiri

dan asas lestari ini merupakan salah satu dasar utama kehidupan masyarakat adat

di Kei (Evav). Sasi mengajarkan kepada kita agar saling menghargai dan

menghormati, mengakui hak kepemilikkan orang lain dan tidak mengingini

barang milik orang lain dengan cara mencuri. Sejak dahulu kehidupan masyarakat

Kei dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam baik di darat maupun

di laut dilakukan secara bersama-sama. Ini dibuktikan dengan adanya budaya

maren (gotong royong).

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tekait imolementasi hukum

Adat Sasi terjadap konflik tanah yang terjadi di Desa Kolser, yang notabenenya

adat ini memang sangat kental dan dipegang erat oleh masyarakat setempat, maka

dalam ruang lingkup tersebut, ada dua hal yang menjadi fokus dalam penelitian

ini adalah bagaiamana bentuk implementasi pelaksanaan hukum adat ini?

1. Penyelesaian Konflik Melalui Hukum Adat Sasi

Pada sistem penguasaan atas sumberdaya dusun secara bersama ini, semua

keluarga atau individu yang termasuk dalam rumpun atau kelompok soa tersebut

memiliki hak mengelola dan menggarap lahan serta sumberdaya alam lainnya

yang menjadi hak milik bersama. Hak menggarap lahan diperoleh atas persetujuan

anggota mata rumah serta izin dari kepala soa. Masyarakat Allang yang bukan

termasuk dalam kelompok mata rumah/rumah tau boleh masuk kedalam wilayah

dusun, namun hanya terbatas pada hak akses untuk menikmati keindahan dan

melakukan kegiatan penelitian. Jika berkaitan dengan pembukaan ladang, maka

harus melalui izin resmi dari kepala mata rumah/kepala soa sebagai pemimpin

dalam suatu mata rumah.

Dalam pengelolaannya, walaupun tidak ditanami oleh sipemilik dengan

jenis tanaman apapun, maka lahan tersebut tetap menjadi miliknya oleh karena

telah diketahui oleh seluruh anggota masyarakat dan biasanya diberi tanda batas

berupa tanaman jenis pohon tertentu. Hal ini dikarenakan dia merupakan orang

pertama dalam melakukan pengelolaan pada kawasan hutan yang sebelumnya

telah menjadi hak milik bersama suatu mata rumah tertentu. Hak miliknya dapat

diwariskan kepada anak dan istrinya secara turun temurun.

Sanksi berat berupa kesakitan yang berkepanjangan, lumpuh, bisu, dan

penyakit-penyakit kulit lainnya yang datang secara tiba-tiba. Contoh kasusnya

adalah seorang warga pernah mencuri hasil dusun untuk kebutuhan ekonomi.

Beberapa hari kemudian yang bersangkutan mengalami kelumpuhan pada bagian

tangan dan tidak bisa digerakkan. Kemudian anggota keluarga yang bersangkutan

melaporkan kejadian ini kepada pendeta dan akhirnya dilakukan doa di gereja.

Doa yang dilakukan di gereja harus dibarengi dengan pengakuan kesalahan oleh si

pelaku dihadapan jemaat untuk diampuni. Beberapa hari kemudian yang

bersangkutan sudah bisa menggerakkan tangan dan dapat beraktivitas kembali

seperti sedia kala.

Sanksi ringan berupa penyitaan terhadap hasil-hasil dusun yang diambil

dari lokasi yang di sasi serta benda-benda berupa alat berladang atau parang dan

lain lain sebagai bukti di pengadilan, menyita dusun milik si pelaku (jika si pelaku

memiliki dusun) untuk sementara waktu hingga keluarnya putusan pengadilan

gereja. Salah satu contoh pelanggaran yang dijatuhi sanksi ringan adalah salah 48

seorang warga kedapatan memasuki hutan pada hari minggu dengan membawa

buah pala hasil pengambilan dari dusun miliknya yang sedang di sasi, kemudian

yang bersangkutan ditangkap dan diadili di dalam gereja. Yang bersangkutan

diberikan sanksi ringan dengan menyita buah pala yang diambil dari dusun yang

sedang di Sasi, dusun si pelanggar juga disita dalam waktu tertentu sampai si

pelanggar bertobat dan merasa malu karena cemohan warga, yang bersangkutan

kemudian didoakan di gereja dan diampuni. Kepatuhan seseorang terhadap aturan

dapat diperlemah atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan

tersebut.

Memang diakui bahwa diwaktu dahulu para leluhur memiliki pengetahuan

yang jelas tentang proses perkembangan atau lingkaran pertumbuhan tanaman-

tanaman sehingga penentuan waktu tutup Sasi bagi mereka adalah cocok bila

dikaitkan dengan masa buka sasi. Tanam-tanaman dalam batas waktu tertentu

diberikan kesempatan untuk memulihkan kondisinya demikian pula sumber-

sumber alam di laut. Namun saat ini oleh karena pertumbuhan penduduk yang

semakin pesat dimana kebutuhan hidup yang semakin tinggi membuat manusia

mulai melakukan penekanan secara terus-menerus kepada tanah dan sumber-

sumber alamnya.

Dalam penyelesaian konflik yang trejadi, teori hukum adat memandang

bahwa Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga

masyarakat adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat

(kepala adat)yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan

hukum, atau dalamhal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang

bertugas mengadilisengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena

kesewenangan ataukurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan

hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran

tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang

berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-

keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan

saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan

mengenai suatu sengketa yangresmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada

musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang

hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota

persekutuan tersebut.

Jika seseorang tertangkap tangan melakukan pencurian atas hasil kebun

orang lain dihutan maka si pencuri tersebut harus menyerahkan parangnya kepada

kepala kewang. Selanjutnya ia diantar oleh kepala Kewang ke negeri untuk

diperiksa. Demikian pula jika kewang mencurigai seseorang yang pulang dari

hutan sambil menjinjing sesuatu maka kewang berhak memeriksa atiting (bakul)

orang tersebut.

Secara substansial, setiap kebudayaan daerah memiliki eksistensinya

masing-masing, dalam arti “hak kultural” sendiri. Pada kondisi keankeragaman

budaya itu, reformasi hukum menghadapi hambatan pula, yakni problem

perlindungan hak-hak kultural oleh hukum. Masyarakat kebudayaan dan hukum

memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Suatu masyarakat yang tidak memiliki

variasi kebudayaan, maka tidak banyak menuntut kebudayaan hukum yang

banyak, sebaliknya semakin banyak kebudayaan dalam masyarakat semakin

banyak hukum.

Didalam masyarakat ada yang dikatakan norma, dimana perspektif

masyarakat telah mengarahkan perhatian kita pada norma-norma sosial. oleh

karena dalam norma inilah masyarakat berhadapan dengan individu sebagai unsur

luar dan unsur yang membatasi perilaku mereka. Norma-norma, aturan prosedural

dan aturan perilaku dalam kehidupan sosial pada hakikatnya adalah bersifat

kemasyarakatan. Artinya, bukan saja karena norma-norma itu berkaitan dengan

kehidupan sosial, tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah merupkan hasil

dari kehidupan bermasyrakat.

Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat

bagi masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung

ketentuan yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam

sasi mengenal pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang

diaturnya. Di Maluku masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di

wilayah pesisir memiliki sistem „Sasi‟ atau larangan memanen atau mengambil

dari alam (di laut atau didarat) sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu.

Sasi sebagai upaya perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya

alam hayati. Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan

terjadi peningkatan populasi sumber daya alam hayati.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak semua norma-norma dapat dinyatakan

secara lisan. Sekalipun kita punya suatu daftar lengkap tentang norma-norma lisan

yang dikenal (pepatah-pepatah verbal); masih terdapat norma-norma yang tidak

dinyatakan secara verbal, aturan-aturan kelakuan yang tidak disadari, dan

sebagainya. Biasanya orang sadar terhadap norma, baru setelah terjadi

pelanggaran terhadapnya. Anggota perkumpulan sosial tidak akan dapat

memberikan daftar lisan atau tertulis dari semua norma-norma yang berlaku

dalam perkumpulannya itu, tetapi mereka dapat mengenali indikatornya.

Dalam pandangan Durkheim, bahwa pengaruh kesadaran kolektif terhadap

ketergantungan individualisme nampak semakin meningkat dalam masyarakat

organik. Sekalipun demikian, kesadaran bersama bukan berarti terancam musnah

seluruhnya.

Sosiolog biasanya membedakan norma dan nilai moral. Norma

mencerminkan peraturan moral yang langsung mengatur individu (dapat ditaati

atau dilanggar. Jika disangkutpautkan dengan adat sasi maka jelas terlihat bahwa

sebagian masyarakat desa Korsel kadang tak percaya dengan adat ini. Banyak

masyarakat pendatang yang mengartikan adat sasi sebagai bentuk adat yang tidak

diengahkan. Namun pada kenyataannya adat sasi sangat dipegang erat oleh

masyrakat desa Kolser.

Sesuatu yang menarik dari watak dominan manusia yakni lebih dari satu

kemungkinan, pertama, bisa jadi memang ada tindakan sosial manusia yang

merupakan reprsentasi masing-masing, misalnya; ada salah seorang warga Korsel

yang tidak memperhatikan dari struktur adat Sasi yang ada, karena

menganggapmya sebagai sesuatu hal tabu, namun ada pula anggota lainnya yang

justru sangat mengemban adat-adat yang ada, guna melestarikan budaya yang

sudah sejak dulu ada. Kedua, tidak menutup kemungkinan satu individu memiliki

watak yang sama.

Dalam watak dominasi lingkungan, tidak heran jika dalam masyarakat

terlembaga tradisi-tradisi atau ritualisme. Selain untuk menghibur ketidakpastian

(uncertainity), ia juga merupakan cara manusia untuk menghormati alam. Alam

terletak dalam setiap diri kita, oleh karena itu, alam merupakan bagian hiidup

manusia. Sama halnya adat-istiadat yang telah dibangun sejak dulu kala yang

menjadi bagian dari kehidupan manusia, seharusnya dilesatraikan, sebagai bentuk

wujud penghormatan dengan nenek moyang, dan menjadi pembeda dari derah-

daerah lain yang memiliki adat yang berbeda.

Penyelesaian hukum adat Sasi dilakukan sebagai bentuk tradisi yang

sakral pada masyrakat Korsel, dan menjadi jalan keluar setiap perselisihan yang

ada terkait tanah, tumbuhan, rumah, laut, dan sebagainya. Sehingga dengan hal ini

dapat diketahui siapa yang menjadi benar dan salah. Adat SAasi bisa dilakukan

berhari-hari bahkan bertahun-tahun sekalipun. Hal ini pun disertai dengan naik

sidang diikuti sumpah yang dilakukan.

Sasi salah satu hukum adat yang seharusnya diperhatikan dan diterapkan

dalam penataan pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan. Sasi

memiliki nilai-nilai kebaikan, kebijaksanaan, dan keseimbangan antara alam dan

manusia. Penerapan Sasi dalam pembangunan dapat berjalan tanpa menciderai

lingkungan sekitarnya.

2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada

masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara

a. Implementasi hukum adat sasi

Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal

dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara

berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua

kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling

terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam

di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat

terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan

ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran

bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan

bijaksana demi kepentingan bersama.

Pelaksanaan Sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga

adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing Soa (marga). Lembaga adat

dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari

datukdatuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban

mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat Sasi dan menjatuhkan

sanksi kepada masyarakat yang melanggar. Pelaksanaan Sasi dimulai dengan

dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan di

Sasi. Lewat rapat kewang inilah ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang

tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya,

selama tutup Sasi, tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak

habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali

(masa buka Sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua

penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar.

Ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi

dan setelah itu, tanda dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang

pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi.

Peran lembaga adat Sasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

ketepatan pemerintah Negeri, lembaga kewang dan gereja dalam mengatur

penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Ketepatan yang

dimaksud adalah rumusan aturan yang dapat memperjelas transfer hak

kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya dusun, pengaturan batas yurisdiksi,

aturan repsentasi yang adil antar para pihak dan peran aturan sasi dalam

pengelolaan sumberdaya dusun serta kepastian bentuk hak yang jelas dan diakui

oleh anggota masyarakat yang lain dalam implementasinya.

Ketaatan terhadap aturan yang telah ditentukan dalam Hukum Adat Sasi

merupakan suatu kesadaran dalam diri masyarakat Desa Kolser. Mereka selain

takut terhadap hukuman yang ada, baik itu hukuman fisik, denda materi dan

sanksi sosial maupun karma atau kutukan yang nanti diterima apabila melanggar

Hukum Adat Sasi tersebut, mereka juga sadar sepenuhnya bahwa hukum adat

tersebut melindungi mereka atau mengatur mereka agar tidak bertengkar akibat

berebutan hasil laut maupun darat, apalagi mereka hidup berdampingan dan secara

identitas mereka berbeda Agama yaitu Kristen Protestan, Muslim dan Kristen

Katolik.

Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya

kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari

masingmasing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk

hak penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di

lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata

rumah, sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun

didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka

kepastian bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik

dan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk

haknya tergolong rendah. Peran yang dimaksud adalah tingkat partisipasi,

kepercayaan, pemahaman dan kepatuhan warga masyarakat yang diukur

berdasarkan kategori masyarakat yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan

sasi negeri dan sasi gereja yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja.

Hal terkait disampaikan oleh Cristiani yang menyatakan waktu

pelaksanaan Sasi tidak terikat oleh waktu. Biasanya dilakukan ketika hasil sumber

daya alam yang dinikmati manusia semakin berkurang maka tokoh adat dan tokoh

agama akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan masyarakat dan

membahas tentang adat sasi untuk mengembalikan potensi sumber daya alam

yang telah berkurang,

Melarang masyarakat untuk mengeksploitasi suatu wilayah memang

terkesan seperti memberikan kerugian pada masyarakat di sekitarnya. Namun

menurut Krisitian, justru dengan adanya Sasi masyarakat akan diuntungkan.

Karena lokasi-lokasi yang ditentukan bersama tersebut nantinya akan memberikan

hasil yang lebih di masa mendatang. Bila masyarakat memahami ini maka mereka

akan mendukung tradisi Sasi. "Dukungan masyarakat terhadap budaya Sasi ini

sangat besar. Hal itu dilihat dari bagaiman masyarakat yang memiliki hal ulayat

lokasi sasi mendukung proses yang dilakukan dan ikut terlibat dalam pengawasan

lokasi sasi tersebut.

Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya

kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-

masing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk hak

penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di lapangan

serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah,

sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun didukung

dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian

bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik dan

pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk

haknya tergolong rendah. Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah

atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena

itu, penting untuk meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi

aturan.

Ada hal yang menarik yang terjadi di desa Korsel ini, yaitu ketika

seseorang melakukan kesalahan, misalnya menabrak seseorang baik itu disengaja

maupun tidak, dan orang tersebut meninggal, maka hal yang dilakukan pemangku

adat atau masyarakat sekitar adalah membakar hidup-hidup orang tersebut dengan

kendaraan yang ia gunakan.

Hal ini senada dengan jawaban narasumber terkait konekuensi yang

diterima seseorang ketika melakukan kesalahan,.

“jika individu yang melakukan sesuai dengan tata cara adat maka sah-sah

saja. Namun apabila terjadi penyimpangan maka konsekuensi akan

ditanggung oleh individu tersebut”. Ungkap CMK.

Biasanya orang sadar terhadap norma,baru setelah terjadi pelanggaran

terhadapnya. Anggota suatu perkumpulan sosialtidak akan dapat memberikan

daftar lisan atau tertulis dari semua norma-norma yang berlaku dalam

perkupulannya itu. Pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang semula tidak

begitu disadari orang, akan dapat memawa akibat dipertanyakannya kembali hal-

hal yang semula dianggap wajar. Oleh karenanya adalah penting bahwa analisa

sosiologis terhadap norma-norma sosial tidak hanya dibatasi pada hal-hal yang

secara jelas dinyatakan, tetapi juga hal-hal yang bersifat ideal.

Masyarakat adat Maluku dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari

struktur pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam

proses pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons

secara positif oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk

berkreasi sesuai potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan

pembangunan harus terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang

mempunyai hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut

diakui eksistensinya. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat maluku yang

tidak terlepas dari hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya

alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian

atas sumber daya hayati dan ekosistemnya. Salah satu bentuk pengelolaan dan

perlindungan atas lingkungan hidup oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.

Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber

daya alam yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan

prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga

didukung oleh kebijakan adat sebagai bentuk pengetahuan lokal yang secara

turun-temurun sudah mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus

memperhatikan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan.

Untuk itu perlu adanya suatu manajemen atau pengaturan lebih jauh dalam

mengelola dan memanfaatkan hasil alam baik di laut maupun di darat dengan

kembali melihat nilai-nilai budaya lokal atau kearifan budaya lokal yang telah

diwariskan secara turun-temurun. Seperti yang ada pada masyarakat Maluku yaitu

yang dikenal sebagai hukumAdat Sasi.

b. Teori tentang konflik

Konflik merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, meski tidak

harus, kehadirannya amat mungkin terjadi pada masyarakat dimanapun juga.

Konflik muncul pada hubungan antara dua orang atau dua kelompok manakala

perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lain, sehingga salah satu atau

keduanya terganggu. Sejalan dengan pendapat Agus Hardjana tersebut juga

dikemukakan oleh Johnson bahwa konflik merupakan bagian dari dinamika sosia

ldalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Sasi adalah suatu Hukum Adat

yang tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu pada beberapa Desa di

Maluku.

Huliselan mengatakan bahwa Sasi dapat diidentifikasikan sebagai

pengekangan ataupun larangan terhadap suatu benda yang dijaga atau diawasi

agar tidak diambil atau dirusakkan oleh manusia. Sasi juga dapat diartikan sebagai

larangan dan pembatasan kepada seseorang untuk mengambil beda yang dijaga

sebelum saatnya. Sasi juga dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil

hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu

dan populasi sumber daya alam hayati (hewan maupun nabati) alam tersebut.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil peneltian di lapangan bahwa:

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi hukum adat Sasi

terhadap konflik tanah pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara

yaitu:

a. Sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi, dimana

Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan

hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum Sasi berlaku di

masyarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan

dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian, dan pewarisan, melainkan

lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan

masyarakat dalam mengelolah sumber daya alam yang dimiliki.

b. Adat sasi juga merupakan sebuah perintah larangan untuk mengambil

hasil baik hasil pertanian maupun hasil kelautan sebelum waktu yang

ditentukan. Hal ini dilakukan agar ketika datang waktu panen atau waktu

diperbolehkan mengambil hasil pertanian atau kelautan dapat dipanen

bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja

keras yang mereka lakukan. Budaya sasi, yang masih terpelihara sampai

dengan saat ini adalah salah satu wujud nyata pengelolaan sumberdaya

alam berbasis lingkungan. Selain itu perilaku-perilaku masyarakat adat

yang masih terpelihara sampai dengan saat ini pun masih nampak.

Selanjutnya dilarang orang membuat keributan di hutan pada saat pohon

sedang berbunga, karena menurut masyarakat setempat hal tersebut akan

mengganggu proses pembuahan dan bunga akan berguguran. Hal ini

menandakan betapa masyarakat adat sudah sangat menyatu dengan

alamnya sehingga mereka menghargai alam seperti halnya mereka

menghargai diri mereka sendiri.

c. Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku merupakan modal

dan model pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat

daerah terutama maluku dan nasional, dimana Penggunaan sumber daya

alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan

hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program

pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian

lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah Pusat agar dapat memberikan peluang yang lebih

besar kepada bertumbuh dan berkembangnya nilai-nilai atau kearifan

budaya lokal dalam masyarakat Indonesia.

2. Kaum Akademisi di perguruan tinggi yang ada dan tersebat di seluruh

Indonesia, agar turut berpatisipasi aktif mengembangkankearifan nilai-

nilai lokal yang ada di daerah-daerah sebagai suatu bentuk kajian ilmiah

yang dapat bermanfaat bagi peningkatan IImu Pengetahuan.

3. Diharapkan kepada kepala suku/adat agar lebih mempertegas tindak

penyalahgunaan adat sasi yang terjadi dilingkungan sekitar.

4. Untuk anak milenial , diharapkan dapat mengikuti dan memahami makna

dari adat Sasi, sehingga mampu menjaga adat-istiadat yang sudah ada

sejak dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah Saleh, “Sasi Di Maluku”,, Http://Amrullah Saleh.Blog.Com, Diakses

Tanggal 24 Januari 2018.

Basri,Muhammad. 2015, “Kearifan Lokal Budaya Sasi Maluku”. Unhas,

Makassar.

Dayaram, Kandy Dan David Pick. “Entangled Between Tradition And Modernity:

The Experiences Of Bhutanese Working Women”.Dalam Society And

Business Review, Vol. 7, No. 2, 2012.

Davis. Keith. 1962. Human Relation Of Work. Mc. Graw. Hill Book. Tokyo

Hazairin, 1990, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat

Di Bali Dan Lombok, Junasco, Denpasar.

Indrawati, Ratna. 1995. Sasi Di Maluku; Eksploitasi Sumber Daya Alam Secara

Arif. Jakarta

Lokolo,” Hukum Sasi Di Maluku ( Suatu Potret Bina Mulia Lingkungan Pedesaan

Yang Dicari Pemerintah)” Orasi Ilmiah Pada Dies Natalis Universitas

Pattimura, Tahun 1988, Hal.4

Nursalam. 2016. Sosiologi Pengantar Masyarakat Indonesia. Writing Revolution.

Makassar.

Richard. Crutchfield. D. Krech Dan Egerton Ballachey, ”Individual In Society”,

Seperti Dikutip Oleh Zusanna. E. Risambessy, Skripsi Unpatti, Ambon,

2001.

Soekanto, Soerjono, ”Pengantar Penelitian Hukum”, Cet.3, Ui-Press, Jakarta,

1986.

Renjaan Mj. “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada Masyarakat Adat Di Desa

Ngilngof Kabupaten Maluku Tenggara.” Jurnal Ilmu Lingkungan 2013

Rahail Jp. “Hukum Adat Suku Kei-Evav Maluku Tenggara”.

Http;//M4741blogspot.Wordpes.Com, 4 Oktober 2012

Pasalbessy. “Kumpulan Materi Hukum Sasi Dan Peraturan Kewang Di Beberapa

Negeri Di Kepulauan Ambon Dan Lease.” Tesis Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro, Semarang, 1988.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta. Djambata

J. Daniel. Mueller, ”Mengukur Sikap Sosial Pegangan Praktisi Untuk Peneliti

Dan Praktisi.” Seperti Dikutip Oleh Zusanna. E. Risambessy, Skripsi

Unpatti, Ambon, 2001.

Judge. Peranan Hukum Adat Sasi Laut Dalam Melindungi Kelestarian

Lingkungan Di Desa Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian

Barat. Universitas Indonusa Esa Unggul. Jakarta.

Kissya Elisa, ”Sasi Aman Haru-Ukui”,. Cet .1, Sejati, Jakarta, 1993.

Sasi, “Nilai-Nilai Luhur Dan Kepribadian Masyarakat Maluku”,

Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Maluku, Balai

Rehabilitasi Dan Konservasi Tanah Wilayah Xi, Ambon, 1996.

Rangkuti, Fraddy. 2015. Teknk Membeda Kasus Bisnis Analisis Swot. Gramedia

Pustaka Utama.

Safarina, Sakina. 2013. Eksistensi Hukum Adat Dalam Melindungi Pelestarian

Ikan Lompa Di Desa Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal. Esco.Fim

Vol 1.

Suardi, Ismail. 2015. Sasi Masjid Dan Adat: Praktik Konservasi Lingkungan

Masyarakat Minoritas Muslim Raja Ampat. Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri Sorong.

Sunyoto, Danang. 2011. Analisis Regresi Dan Uji Hipotesis. Planet Pustaka.

Yogyakarta.

Rahail, J.P. 1993. Larwul Ngaba. Hukum Adat Kei: Bertahan Menghadapi Arus

Perubahan. Seri Pustaka Khasanah Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Sejai.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Uzair Fauzan Dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan, Dasardasar Filsafat

Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam

Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan Dari Rawls, John.

1997. A Theory Of Justice, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts.

Van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia (Terjemahan),

Jambatan-Lipi 1981

Wignjodipoero, Soerojo. 2011. Rangkuman Hukum Adat Bab 1 Dan Bab 2.

Wikipedia. 2018, Pengertian Hukum.

L

A

M

P

I

R

A

N

D

O

K

U

M

E

N

T

A

S

I

Gambar 1.1 masyarakat sedang melakukan sasi tanah

Gambar 1.2 upacara pelaksanaan sasi tanah

Gambar 1.3 wawancara dengan tokoh adat suku Kai

Gambar 1.4 narasumber memberikan informasi

Gambar 1.5 wawancara dengan bapak Raja desa Kolser

Gambar 1.6 narasumber memberikan narasumber

Gambar 1.7 wawancara dengan kepala desa Kolser

Gambar 1.8 melakukan perbincangan hangat dengan kepala desa

Gambar 1.9 wawancara dengan salah satu warga

Gambar 1.10 wawancara dengan salah satu warga desa Kolser

Gambar 1.10 wawancara dengan ibu rumah tangga

Gambar 2.1 wawancara dengan pegawai dinas di desa Kolser