ratna sari meturan 1053 2966 14 - unismuh
TRANSCRIPT
“IMPLEMENTASI HUKUM ADAT SASI TERHADAP
KONFLIK TANAH”
(studi kasus pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara)
SKRIPSI
Diajukan Utuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
RATNA SARI METURAN
1053 2966 14
PROGRAM STUDI PENDIDKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Tahun 2019
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan sholatmu
Sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar”
(Al-Baqarah: 153)
“sekali terjun dalam perjalanan jangan pernah mundur sebelum meraihnya,
yakin usaha sampai. Karena sukses itu harus melewati banyak proses, bukan
hanya mengimginkan hasil akhir dan tahu beres tapi harus selalu keep on
progress. Meskipun kenyatannya banyak hambatan dan kamu pun sering
dibuat stres percayalah tidak ada jalan lain untuk meraih sukses selain
melewati yang namanya proses”.
Skripsi ini penulis dedikasikan kepada
kedua orang tua tercinta, Ayahanda
dan Ibunda, ketulusanya dari hati atas doa yang tak pernah putus,
semangat yang tak ternilai. Serta Untuk Orang-Orang
Terdekatku YangTersayang...
ABSTRAK
Ratna Sari Meturan. 2019. “Implementasi Hukum Adat Sasi TerhadapKonflik
Tanah”(Studi Pada Masyarakat Desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara)
skripsi. Program studi pendidikan sosiologi fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, pembimbing H. Nursalam dan
Muhajir.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah bentuk implementasi hukum
adat Sasi terhadap Konflik tanah di desa Kolser, serta menelusuri proses
penyelesaian konflik dengan adat Sasi sehingga mendapatkan jalan keluar
bersama.
Tujuan penelitian ini adalah (i) mengetahui implementasi hukum adat sasi
di desa Kolser(ii) mengetahui bentuk konflik tanah dalam masyarakat suku Kei di
desa Kolser. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk memahami persoalan konflik tanah
yang sering terjadi. Informan ditentukan secara snowball sampling yakni
penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan
jumlahnya secara pasti terkait topik penelitian. Informan yang ditetapkan yaitu
kepala suku dan masyarakat. Tekhnik pengumpulan data yaitu observasi,
wawancara mendalam dan dokumen. Tekhnik analisis data melalui berbagai
tahapan yaitu reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan, sedangkan
tekhnik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber, waktu dan tekhnik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (i) implementasi hukum adat sasi
terhadap konflik tanah pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku
Tenggara, sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi (ii)
masyarakat adat sudah sangat menyatu dengan alamnya sehingga mereka
menghargai alam seperti halnya mereka menghargai diri mereka sendiri, (iii) Sasi
sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku merupakan modal dan model
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat daerah terutama
maluku dan nasional.
Kata kunci: implementasi, hukum adat, konflik tanah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena dengan
rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyususnan proposal penelitian dengan judul Implementasi hukum adat sasi
terhadap Maluku Tenggara).
Tugas akhir ini merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh
mahasiswa dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) dari fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan sosiologi, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dalam penyusunan skripsi ini dari persiapan sampai terselesainya, tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak dengan segala keterbukaan dan kerelaan hati
telah memberikan bimbingan, pengarahan, keterangan dan dorongan semangat
yang begitu berarti. Oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan banyak
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Abd. Rahman Rahim, SE., MM selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar.
2. Erwin Akib, M.Pd., Ph. D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Drs. H. Nurdin, M.Pd selaku ketua program studi pendidikan sosiologi
4. Dr. H. Nursalam. M.Si selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah
membimbing kami dengan perhatian dalam penyusunan skripsi ini
5. Dr. Muhajir, M.Pd selaku dosen pembimbing 2 yang telah membimbing
kami dengan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.
6. Dosen program studi pendidkan sosiologi yang memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat.
7. Staf program studi sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar.
8. Serta orang-orang yang telah memberikan semangat dan motivasinya
selama ini, dan semua pihak yang telah ikut serta memberikan bantuannya
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis,
RATNA SARI METURAN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN
SURAT PERJANJIAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 8
C. Tujuan Penilitian .................................................................................... 8
D. Manfaat Penilitian .................................................................................. 8
E. Defenisi Operasional ............................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 11
A. Penelitian relevan................................................................................... 11
B. Hukum Adat........................................................................................... 11
C. Keutamaan hukum adat sasi .................................................................. 14
D. Manfaat adat sasi ................................................................................... 16
E. Kerangka pikir ....................................................................................... 42
BAB III METODE PENILITIAN ..................................................................... 49
A. Jenis Penilitian ....................................................................................... 49
B. Lokasi Penilitian .................................................................................... 50
C. Informasi Penilitian ............................................................................... 50
D. Fokus Penilitian ..................................................................................... 51
E. Instrumen Penilitian ............................................................................... 52
F. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 52
G. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 53
H. Metode Analisis Data ........................................................................... 55
I. Keabsahan Data ..................................................................................... 58
J. Jadwal penelitian ................................................................................... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 61
A. Deskripsi lokasi penelitian ........................................................................ 61
B. Deskripsi informan .................................................................................... 65
C. Hasil penelitian.......................................................................................... 66
1. Pelaksanaan hukum adat sasi dalam mengatasi konflik tanah pada suku
Kei di kabupaten Maluku Tenggara .................................................... 66
a. Konflik kelompok ......................................................................... 66
b. Konflik individu ............................................................................ 71
c. Penyelesaian konflik tanah ............................................................ 72
2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada
masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara ........................... 82
a. Hukum sasi dalam mengatasi konflik ........................................... 88
D. Pembahasan ............................................................................................... 91
1. Penyelesaian konflik melalui hukum adat sasi.................................... 91
2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada
masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara ........................... 98
BAB V PENUTUP .............................................................................................105
A. Kesimpulan .............................................................................................105
B. Saran ........................................................................................................106
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................108
LAMPIRAN
PERSURATAN
HASIL WAWANCARA
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat adalah kumpulan individu yang satu sisi mau bersatu karena
adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-
masing individu ini mempunyai pembawaan (model dasar) serta hak yang
berbeda, dan semua itu tidak bisa dengan mudah dilebur dalam kehidupan sosial
(Rawls, 1997:11). Namun demikian pengalaman hidup individu berinteraksi
dengan individu lain dalam waktu yang lama akan nilai bersama, sebagai basis
tindakan sosial, jadi pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber
nilai-nilai adat (Koentjaraningrat, 1990). Karena dalam setiap masyarakat
(tradisional) adat dipahami sebagai kerangka kehidupan sosial yang bersifat
holistik dan berkesinambungan secara historis. Demikian pula di kehidupan
masyarakat Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara yang yang membatinkan
praktek adat pada semangat Ain Ni Ain (kebersamaan atau persaudaraan),
sekalipun secara internal perbedaan struktur masyarakatnya di duga berpotensi
konflik.
Perebutan atas pengelolaan sumberdaya alam di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara sering menjadi salah satu penyebab konflik dalam masyarakat
desa dan juga antar desa, seperti juga konflik-konflik yang terjadi di daerah lain di
Indonesia.
Guguan Kepulauan Kei merupakan wilayah administratif Provinsi Maluku
dalam terminologi adat, kepulauan ini di sebut Nuhu Evav atau Tanat Evav (tanah
air), menurut sejarah masyarakat ini terdiri dari dua kelompok yakni penduduk
asli yang dikategorikan sebagai (ren-ren) dan pendatang yang di kategorikan
sebagai (mel-mel). Konsesnsus awal antara dua kelompok inilah yang kemudian
membentuk kebudayaan masyarakat asli Kei yang mencapai perkembangan
puncaknya kurang lebih pada abad ke-16 setelah keberadaan Utan Lor sebagai
kehidupan sosial budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta
Hukum Adat Larwung Ngabal mencapai bentuk akhir. Hal yang unik di
kepulauan Kei pada zaman dulu orang-orang yang datang di tanah Kei diterima
secara adat, dan dilakukan uji kemampuan (biasanya kesaktian, mistis)
terhadapnya. Mereka yang berhasil dengan ujian ini akan diberikan wewenang
peran adat untuk turut memimpin kehidupan politik dan sosial serta budaya dan
melebur menjadi saruan tatanan masyarakat Kei.
Sasi adalah budaya masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan
Pulau Dullah yang digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya.
Berdasarkan fakta sejarah, pernah ada adat Sasi laut yang melarang nelayan dan
warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6 bulan,
masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga sasi
ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa
panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen. Sasi ditandai dengan
pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi. Artinya
terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan
yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat
bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga
keberlangsungan hidup ikan di teluk. Sasi ladang membuat membuat hasil panen
maksimal, karena belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna
Sasi mengalami pergeseran seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan
aset adat (tanah, ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini adat
sasi yang muncul di masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu
untuk memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat
oleh pemerintah, maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus
menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang
belum setuju, maka tanah belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga
setuju. Jika tetap dilakukan pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga
dapat mengenakan adat sasi.
Tanah di kepulauan Kei masih banyak yang dimiliki atas nama marga,
bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut bisa
memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya.
Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika sampai
ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan Sasi. Tanah milik marga
yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain, maupun
pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan tanah ini
biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar
kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut
terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara
adat pelepasan tanah tidak dilakukan. Saat ini, kemunculan Sasi akibat
kepentingan oknum-oknum seolah mengesampingkannya dari kearifan lokal,
tetapi lebih menjadikan Adat Sasi sebagai alat untuk melancarkan apa yang
diinginkan. Sasi dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum,
semakin hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Sasi jembatan dan Jalan
sehingga masyarakat tidak boleh lewat, Sasi Gedung Pemerintah, sehingga
pelayanan pada masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku
Dinas Maluku Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat dalam Sasi tertuang
dalam budaya gotong royong yang disebut Maren.
Saat ini, Sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi,
dimana Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan
hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum Sasi berlaku di masyarakat
sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritual kelahiran,
perkawinan, kematian, dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu
dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelolah sumber daya
alam yang dimiliki. Seperti yang kita ketahui bahwa tabo atau tabu berfungsi
untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan
sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang
yang melanggar tabu.
Terkait latar belakang di atas, maka sangat relevan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Ismail Suardi Wekke dengan judul penelitiannya “Sasi
masjid dan adat: praktik konservasi lingkungan masyarakat minoritas muslim raja
ampat (2015). Dalam penelitian ini menjelaskan pembukaan dan penutupan sasi
dilaksanakan dalam upacara yang di helat di masjid. Semasa penutupan hanya
dilakukan dalam bentuk zikir bersama dan dilaksanakan secara sederhana.
Dilanjutkan dengan doa bersama agar keberkahan alam yang berupa anugerah
tuhan dapat berlimpah ruah untuk kemakmuran manusia.
Sasi ini dilakukan juga di lautan, pelaksanaan Sasi terdiri atas dua jenis yang
disengaja dan Sasi yang tidak disengaja. Kategori Sasi yang disengaja adalah
upacara penentuan pembukaan dan penutupan. Larangan untuk mengambil
sumber daya laut atau hutan disesuaikan dengan masa penetapan yang
diumumkan di masjid. Adapun Sasi yang tidak di sengaja adalah aturan hukum
yang berlaku sepanjang masa untuk perilaku dan perlakuan tertentu. Seperti
larangan menangkap ikan dengan bom dan potas, termasuk penggunaan pukat
harimau terdapat pula kategorisasi yang bersyarat dan Sasi tanpa syarat.
Termasuk cakupan Sasi adalah hasil hutan tertentu seperti kelapa. Sasi
masjid dapat memutuskan untuk sementara waktu melarang memetik buah kelapa
yang kemudian diistilahkan dengan sasi kelapa, sehingga kelapa yang jatuh tidak
boleh dipungut kecuali atas kesepakatan jamaah masjid dan diputuskan melalui
musyawarah.
Ada pula penelitian lain tentang adat Sasi ini, yang dilakukan oleh Judge
(2008), yang menjelaskan “salah satu budaya masyarakat adat di Maluku yang
melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak
lingkungan, budaya itu disebut dengan Sasi. Bila Sasi ini dilaksanakan maka
masyarakat dilarang memetik buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil-
hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah desa.
Penelitian relevan juga dilakukan oleh Ratna Indrawasih (1995) dengan
judul penelitian “Sasi di Maluku; eksploitasi sumber daya alam secara arif”.
Dengan hasil penelitian kearifan masyarakat dalam mengeksploitasi sumberdaya
alam dengan mempraktikkan Sasi maka masyarakat dapat secara teratur
memperoleh kesempatan menikmati kekayaan alam yang ada. Karena dengan Sasi
memberi kesempatan berkembang biak terhadap apa yang mereka peroleh
sehingga kekayaan alam tersebut dapat tetap lestari dan dapat diwariskan pada
generasi selanjutnya.
Kemudian ada pula penelitian yang dilakukan oleh Sakina Safarina dengan
judul “eksistensi hukum adat dalam melindungi pelestarian Sasi ikan lompa di
desa Haruku Kabupaten Maluku Tenggara”. Dengan hasil penelitian upacara Adat
Sasi laut mampu bertindak sebagai pengendali perilaku penduduk, disamping
peranan para petua adat lainnya sehingga secara tidak langsung kelestarian
lingkungan pesisir secara keseluruhan dapat terjaga dan terpelihara dengan baik
dan dalam Sasi terdapat tiga sistem pengaturan lingkungan laut mulai dari
pengaturan pengelolaan, pemeliharaan sampai pada pemanen semuanya diatur
oleh ketentuan Sasi yang dibuat dalam sebuah peraturan.
Kemudian dari penelitian ini juga menunjukkan eksistensi hukum adat,
berisi peraturan yang selamanya mengikat masyarakatnya dalam bentuk kearifan
tradisional dalam menjaga lingkungan alam terutama laut sudah dilakukan sejak
ribuan tahun lalu dan sekitarnya juga terdapat dalam peraturan hukum Nasional
Indonesia.
Penelitian lain juga yang dilakukan oleh Muhammad Basri (2015) dengan
judul “kearifan lokal budaya Sasi Maluku”, yang menunjukkan bahwa budaya
Sasi merupakan budaya yang betul memegang teguh akan kelestarian alam. Hal
ini bisa dilihat dengan dijalankan sungguh-sungguh oleh masyarakat setempat.
Melihat hal ini juga, bahwa masyarakat lebih berperan menjaga kelesatarian alam,
dan sebenarnya yang sering merusak alam adalah orang yang memiliki
kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak yang dia lakukan.
Kehidupan masyarakat Maluku yang kaya akan sumber daya alam baik di
laut maupun di darat masih berlaku hukum adat hal ini terlihat dari adanyaa
kesatuan masyarakat yang teratur yang mempunyai penguasa dan menetap
disuatu wilayah tertentu yang dikenal dengan wilayah petuanan (ulayat).
Kesatuan hukum adat masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam
berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan
perlindungan lingkungan hidup, hal ini terlihat dengan masih sangat
bergantungnya masyarakat adat malukupada ketersediaan lingkungan, kehidupan
masyarakat yang masih bersifat komunal dan masih mempertahankan kearifan
lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun.
Dalam kenyataannya sistem pengelolaan lingkungan secara tradisonal
terbukti mempunyai nilai penting dalam perlindungan dan pelestarian
lingkungan, termasuk dalam konteks sosial dan ekonomi khususnya bagi
masyarakat adat maluku yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil-hasil
perikanan dan pertanian.Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan
pengelolaan sumber daya lingkungan dan perlindungan lingkungan, masyarakat
adat ini dengan pengetahuan/ kearifan lokalnya , dengan kekuatan memegang
hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata
lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dituangkan dalam latar belakang di atas
maka penulis merumuskan beberapa rumusan sebagai landasan untuk perlu diteliti
yaitu:
1. Bagaimana konflik tanah dalam masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku
Tenggara?
2. Bagaimana implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik
tanah pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara?
C. Tujuan Penilitian
Tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai, maka adapun tujuan dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk konflik tanah dalam masyarakat Suku Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
2. Untuk mengetahui implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi
konflik tanah pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
D. Manfaat Penilitian
Dalam hal ini penulis merumuskan dua manfaat peniltian yakni manfaat
praktis dan manfaat teoritis :
1. Manfaat Praktis
a. Untuk dapat mengukur sejauh mana keterlibatan hukum Adat Sasi
yang berlaku di Kabupaten Maluku Tenggara.
b. Untuk dapat mengetahui seberapa jauh pergeseran hukum Adat Sasi
pada era modern di Kepualan Kei Kabubapen Maluku Tenggara.
c. Untuk memberikan informasi bagi masyarakat tentang nilai-nilai
penting Adat Sasi dan menjadi penuntun moral dalam berperilaku
secara baik dan bertanggung jawab dalam membangun relasi
kehidupan dengan alam sebagai suatu komunitas ekologis.
2. Manfaat Teoritis
a. Untuk dapat menjadi bahan masukan kepada pemerintah daerah dalam
hal ini dinas parawisata agar tetap menjaga budaya Sasi di Kabupaten
Maluku Tenggara.
b. Untuk dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.
E. Defenisi Operasional
1. Implementasi adalah suatu penerapan atau tindakan yang dilakukan
berdasarkan rencana yang telah disusun atau dibuat dengan cermat dan
terperinci sebelumnya.
2. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar
presentase target yang dicapai, maka makin tinggi efektifitasnya.
3. Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi
tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol.
4. Hukum Adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungan satu dan yang lainnya, baik itu merupakan
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar
hidup di masyarakat adat kerena dianut dan dipertahankan oleh
anggota masyarakat itu, ataupun yang merupakan keseluruhan
peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan ditetapkan
dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
5. Sasi adalah suatu tradisi masyarakat negeri atau kampung (ras) di
Kepulauan Kei untuk melarang melintasi kawasan dan atau menjaga
hasil-hasil potensi tertentu.
6. Maren adalah bekerja sama yaitu sikap rela menolong, istilah Maren
dipakai guna menjelaskan sikap hidup orang Kei yang telah menjadi
Sikap dasar mereka untuk menolong sesama. Ada kalanya, bentuk-
bentuk pertolongan ini terjadi secara spontan, tanpa adanya undangan
resmi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2009) dalam “Kearifan
Lokal Sasi Kelapa” mengemukakan bahwa kearifan lokal merupakan warisan
nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi,
budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan
adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang
berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai
budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.
Jika melihat evolusi hubungan manusia dengan alam di masa lampau telah
terbentuk suatu hubungan yang harmonis yang disebut pan cosmism di mana
manusia berusaha untuk hidup selaras dengan alam (Hadi, 2009). Dalam
pandangan manusia pada masa itu, alam itu besar dan sakral oleh karena itu harus
dipelihara sehingga tidak terjadi kerusakan alam dan berakibat negatif bagi
manusia itu sendiri. Dalam merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan
pamalipamali atau etika bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir
sebagian besar etnis di Negara ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut
sebagai kearifan lingkungan (Suhartini, 2009).
Fadhil (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa masyarakat Dayak
Meratus memiliki pandangan yang arif terhadap alam yang kemudian diwujudkan
dalam sikap dan perilaku dalam melestarikan hutan. Hal yang sama dikemukakan
oleh Suhartini (2009), bahwa kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika tetapi
sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat
menjadi seperti religi yang mendominasi manusia dalam bersikap dan bertindak
baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban
manusia lebih lanjut. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-
norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-
norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan
berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu dalam
bentuk kearifan lokal.
Hal diatas selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Melissa Justine
Renjaan (2013) dalam “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada Masyarakat Adat
Di Desa Ngilngof Kabupaten Maluku Tenggara” mengatakan bahwa Persepsi
masyarakat dapat diamati dari pengetahuan yang baik tentang sasi kelapa
meskipun terdapat perbedaan antara kaum tua dan kaum muda mengenai asal
muasal sasi kelapa. Masyarakat telah memahami dan menyadari fungsi dan
manfaat sasi kelapa bagi kehidupan mereka. Dalam pandangan masyarakat
banyak nilai sosial dan pelestarian SDA serta manfaat ekonomi yang diperoleh.
Persepsi yang baik tentang tradisi sasi kelapa ini membentuk perilaku masyarakat
yang aktif ikut serta dalam pelaksanaan sasi kelapa, serta taat dan hormat pada
aturan-aturan sasi yang berlaku. Dalam mempertahankan budaya dan tradisisasi
kelapa, masyarakat mendapat tantangan yang tidak sedikit baik dari komunitas itu
sendiri maupun tantangan dari luar. Melestarikan budaya sasi merupakan langkah
yang tepat sebagai bentuk keberlanjutan dalam masyarakat. Rekomendasi dari
penelitian ini yakni perlunya memberikan pengetahuan yang lebih mendalam
kepada generasi muda tentang sasi kelapa dan pengembangan eko-pariwisata
dengan menampilkan budaya sasi.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Renjaan,M.J (2013) dalam
“Kearifan Lokal Sasi Kelapa”, yang menyatakan sasi kelapa adalah salah satu
bagian dari hukum adat Larwul Ngabal yang wajib dihormati, dijunjung dan
dipatuhi. Ada keterikatan antara masyarakat dengan adat istiadat yang sangat
kental. Keharusan memperdulikan keadaan alam sekitar, dalam artian keharusan
cara dan alat kerja yang digunakan agar tidak merusak alam. Narasumber
berpandangan bahwa sasi kelapa merupakan suatu bentuk kearifan budaya
masyarakat adat Kei yang bersifat positif sehingga patut untuk dilestarikan dan
dijaga kelangsungannya dari generasi ke generasi. Fungsi kearifan lokal sasi
kelapa sebagai penanda identitas komunitas masyarakat adat kei dan ohoi
Ngilngof khususnya, mengingat tidak semua ohoi/desa di tanah Kei masih
melaksanakan sasi kelapa. Sebagai sebuah sistem sosial, kearifan lokal sasi kelapa
berfungsi sebagai elemen perekat antar masyarakat. Kearifan lokal sasi kelapa
juga berfungsi sebagai bentuk pelestarian sumber daya alam. Warga masyarakat
hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga sasi kelapa
merupakan cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain
pemahaman tentang fungsi masyarakat memahami manfaat keberadaan sasi
kelapa, baik yang langsung maupun tidak langsung mereka rasakan. Melalui
pemahaman warga dari generasi ke generasi mengenai pengelolaan sumberdaya
alam serta keselarasan hidup dengan alam maka.
B. Hukum Adat
1. Defenisi Hukum Adat
Menurut Wikipedia (2018) hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal
dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara lain seperti Jepang,
Tiongkok dan India. Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan yang tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan dipertahankan
dengan kesadaran hukum masyarakat tersebut. Karena peraturan yang ada dalam
hukum adat tidak tertulis dan tumbuh kembang, hukum adat ini mampu
menyesuaikan diri dan elastis. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang
yang terikat dengan tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.
Menurut Van Vollenhoven (1981) dalam bukunya yang berjudul “orientasi
dalam hukum adat di Indonesia” menjelaskan bahwa hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak memiliki sanksi.
Adapun adat menurut Kandy Dayaram (2012) merupakan tradisi yang dijalankan
sebagai tuntutan sosial. Ketika melaksanakannya mendapatkan ketentraman dan
bagian dari kesepakatan sosial yang mesti dijalankan. Seiring dengan tuntutan
modernitas, pelaksanaan adat merupakan sebuah ketangguhan masyarakat dimana
dengan perjumpaan masyarakat lainnya justru tetap saja berusaha untuk
melaksanakan kegiatan yang dipercayai sebagai bagian dari warisan leluhur.
Menurut Hazairin (1990) Hukum Adat adalah kaidah-kaidah kesusilaan
yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu yang
dibuktikan dengan kepatuhannya terhadap kaidah-kaidah tersebut :
2. Ciri-Ciri Hukum Adat
Berikut ini adalah ciri-ciri hukum adat, antara lain:
1) Lisan, artinya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan
tidak dikodefikasi
2) Tidak sistematis
3) Tidak berbentuk kitab atau buku perundang-undangan
4) Tidak teratur
5) Pengambilan keputusan tidak menggunakan pertimbangan.
3. Unsur-Unsur Hukum Adat
Berikut ini adalah unsur-unsur hukum adat, diantaranya:
1) Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis serta memiliki nilai
sakral
2) Terdapat keputusan kepala adat
3) Adanya sanksi hukum
4) Tidak tertulis
5) Ditaati oleh masyarakat
Menurut Soerodjo Wignjodipoero, S.H (2011) hukum adat memiliki dua
unsur, yakni, unsur kenyataan dan unsur psikologis.
1) Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di
indahkan oleh rakyat.
2) Unsur psikologi, bahwa terdapat keyakinan pada rakyat, bahwa adat
dimaksud memiliki kekuatan hukum.
C. Keutamaan hukum Adat Sasi
Pengelolahan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan
salah satunya adalah untuk mengkonservasi dan mempertahankan sistem ekologis
sumber daya yang ada dengan melibatkan dan memperkuat peran serta
masyarakat dan mendorong masyarakat agar lebih berinisiatif dalam pengelolaan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meningkatkan nilai sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat.
1) Proses hukum adat
Tradisi Sasi tidak terikat waktu dan boleh dilakukan oleh masyarakat
terkait adat kapan saja tergantung kesepakatan. Biasanya dilakukan ketika hasil
sumber daya alam yang dinikmati manusia semakin berkurang, maka tokoh adat
dan tokoh agama akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan
masyarakat dan membahas tentang Adat Sasi untuk mengembalikan potensi
sumber daya alam yang telah berkurang. Setiap pelanggar sasi akan dapat
diberikan sanksi seperti membayar denda adat atau maupun sanksi sosial seperti
dilarang untuk terlibat saat upacara buka sasi dan panen hasil.
2) Adat Sasi
Menurut Lakolo (1988) sasi merupakan Segala pemeliharaan sumber daya
alam di awasi oleh lembaga-lembaga adat seperti raja, kepala soa, saniri, kewang
dan marinyo. Namun yang lebih berperan dalam pemeliharaan sumber daya alam
ini adalah kewang dan anak-anak kewang yang berfungsi sebagai polisi hutan.
Kewang memegang peranan yang penting, karena merupakan salah satu unsur
pemerintahan yang bertugas untuk menjaga lingkungan baik di darat maupun di
laut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan informasi warga desa Ngadi, pernah ada laut yang melarang
nelayan dan warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6
bulan, masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga
ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa
panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen, ditandai dengan
pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan. Artinya
terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan
yang termuat pada memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi
lingkungan.
Manfaat dari Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga keberlangsungan
hidup ikan di teluk. ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena
belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami
pergeseran seiring dengan sentuhan budaya luar dan kepemilikan aset adat (tanah,
ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini yang muncul di
masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh
keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah,
maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum
ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah
belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga setuju. Jika tetap dilakukan
pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga dapat mengenakan. Sebagai
contoh kasus Suku Dinas Pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara, saat ini
terbengkalai terkena. Tanah di pulau Kei masih banyak yang dimiliki atas nama
marga, bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut
bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya.
Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika
sampai ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan. Tanah milik
marga yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain,
maupun pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan
tanah ini biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar
kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut
terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara
adat pelepasan tanah tidak dilakukan. Saat ini, kemunculan akibat kepentingan
oknum-oknum seolah mengesampingkannya dari kearifan lokal, tetapi lebih
menjadikan adat sebagai alat untuk melancarkan apa yang diinginkan.
Dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum, semakin
hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Jembatan dan Jalan sehingga
masyarakat tidak boleh lewat, Gedung Pemerintah, sehingga pelayanan pada
masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku Dinas Maluku
Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat tertuang dalam budaya gotong royong
yang disebut Maren.
Tabel 2.1 data kasus adat sasi di desa Kei
Maluku Tenggara
No Kasus tanah di desa Kei Tahun
1 “sasi” Melawan degradasi lingkungan 27 juli 2010
2 Sengketa tanah di Tual, satu orang tewas 6 september 2011
3 Sengketa tanah berujung aduh jotos di desa
Kei Maluku Tenggara
11 september 2017
4 Sengketa tanah di Malra, satu orang tewas 26 september 2017
5 Status tanah hambat proses sertifikasi di
Malra dan Tual
1 februari 2019
Dari data diatas tentu menunjukkan kasus tanah kerap kali terjadi di
Maluku Tenggara, tidak tanggung-tanggung hal ini bisa terjadi setiap tahunnya
bahkan dalam setahun banyak terjadi kasus yang sama. Adat sasi dianggap
sebagai suatu bentuk intergriras yang mampu menyelesaikan suatu konflik atau
kesalahpahaman yang ada, namun tidak selamanya adat ini berjalan dengan baik,
kerana kadang kedua belah pihak masih saja merasa memiliki hak atas tanah
tersebut.
3) Jenis-Jenis Adat Sasi
Jenis yang berlaku di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, antara
lain:
a. Umum, adalah yang diterapkan oleh seluruh warga desa. Umum
terbagi atas 2, yaitu:
1. Air,
a) Laut: meliputi kawasan pantai dan laut yang termasuk pertuanan desa. Hal
ini berarti segala kandungan laut yang di anggap penting oleh masyarakat
setempat, tergantung pada nilai ekonomis hasil laut tersebut. Yang mula-
mula diatur oleh adalah khusus ikan. Ini pun meliputi jenis ikan tertentu
yang biasanya bergerak berpindah-pindah secara berkelompok seperti ikan
Lompa. Bila satu kelompok telah memasuki satu labuhan maka
masyarakat dilarang untuk menangkapnya. Sejak saat itu mulai berlaku.
Contoh laut, seperti: bialola (sejenis kerang), rumput laut, mutiara, dan
ikan.
b) Sungai/kali: mengatur mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan dikali.
Misalnya pada saat ikan Lompa sudah masuk ke kali, masyarakat dilarang
untuk mengganggu atau menangkapnya. Masyarakat dilarang mencuci
bahan dapur dikali, orang laki-laki dilarang mandi bercampur dengan
orang perempuan, dilarang mencuci pakaian atau bahan cucian apapun
melewati tempat mengambil air minum, perahu bermotor atau jenis Speed
Boat yang masuk ke kali tidak boleh menghidupkan mesinnya, pohon
kayu di tepi kali di sekitar lokasi tidak boleh di tebang kecuali pohon
sagu. Contoh sungai/ kali, seperti: ikan Lompa di pulau Haruku.
2. darat
a) Hutan: meliputi berbagai macam benda yang ada didaratan. Biasanya
adalah tanaman, baik yang ditanam orang ataupun yang tumbuh sendiri.
Tanaman-tanaman tersebut adalah tanaman perkebunan yang memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Contoh hutan, seperti: kelapa, pala, buah-buahan,
rotan, damar dan cengkeh;
b) Binatang: binatang tertentu dilokasi hutannya dilindungi dan diatur
penangkapannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Misalnya: Dapat kita jumpai di negeri (desa) Titawai adanya untuk
melindungi binatang/hewan kusu (kus-kus). Binatang ini sekarang sudah
mulai langka sehubungan dengan pembabatan hutan untuk membuat
kebun atau penebangan kayu untuk berbagai kebutuhan pembangunan.
Seperti diketahui, binatang atau hewan “kusu” ini hidup di pepohonan
tertentu yang sekaligus yang merupakan sumber makanannya seperti
pohon kenari, pohon gondal, pohon beringin, pohon Lenggua, dan lainnya;
c) Pribadi: diberlakukan oleh seseorang kepada sesuatu yang sudah menjadi
miliknya dan dilaporkan kepada pemerintah desa. Pribadi ini hanya
berlaku untuk hutan.
d) Agama: ditetapkan oleh pembuka agama. Ini juga disebut rohani atau
kepercayaan karena berdasarkan kepada kepercayaan. Hal ini berkaitan
dengan kepercayaan atau agama asli yang hidup dalam masyarakat ketika
mereka belum menganut agama resmi seperti Islam dan Kristen.
Kepercayaan erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap
kekuatan roh-roh leluhur, dan kekuatan alam semesta di masa lampau.
Beberapa bentuk nyata dan ini adalah atas labuhan (lautan) yang
dilakukan dalam masa 1-2 bulan. Semula masa laut yang dijadikan
sebagai pertuanan dinyatakan tertutup karena ada orang mati tenggelam
disekitarnya. Demikian pula bila ada orang yang jatuh dari pohon atau
meninggal di hutan maka daerah sekitar hutan dinyatakan oleh dalam
waktu 1-2 bulan juga. Masyarakat percaya bila terjadi kecelakaan di laut
atau di hutan maka untuk sementara waktu roh-roh orang yang meninggal
sedang berkeliaran mencari tempat tinggal sehingga itu untuk sementara
jangan ada orang yang masih hidup menuju kesana karena nanti dapat
celaka atau gangguan lainnya.
e) Negeri/kampong: larangan yang mengatur tentang kehidupan
bermasyarakat antara sesama di dalam desa maupun wilayah tertentu.
Seperti dilarang membuat ribut di malam minggu dan bila ingin membuat
acara di malam hari berupa pesta dan lain-lain harus mendapat izin dari
saniri negeri. Pada hari minggu orang dilarang ke laut atau ke hutan
kecuali ada keperluan penting, tetapi harus mendapat izin dari kewang.
Orang dilarang menjemur atap atau membakar rumput, tempurung, dan
lain-lain di jalan raya dan menjemur pakaian diatas pagar. Perempuan
dilarang memanjat pohon dengan pakaian yang tidak pantas, dan sewaktu
pulang dari kali dilarang memakai kain sebatas dada, dan laki-laki dilarang
memakai kain sarung di siang hari.
D. Manfaat Adat Sasi
Adat Sasi memiliki beragam manfaat secara luas, adapun manfaat utama
dari Adat Sasi yang dapat dirasakan masyarakat adalah dapat memiliki
pendapatan dari hasil hutan yang beragam dan dapat dipanen secara
berkesinambungan, maksimal, serta memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan serta
meredam dan meminimalisir konflik-konflik atau pertikaian antara sesama desa
atau sesama antar agama, serta selain itu juga Adat Sasi menjadi suatu sistem
yang dapat menekan terjadinya pencurian arena Adat Sasi dapat melarang
perseorangan atau kelompok untuk melintasi wilayah atau daerah yang diberikan
tanda oleh pihak-pihak yang berwenang dalam menjalankan adat di Kabupaten
Maluku Tenggara Kepulauan Kei.
E. Tujuan Adat Sasi
Adapun tujuan dari proses pelaksanaan Adat Sasi yaitu :
a) Menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan, sehingga terjadinya pengrusakan sumberdaya alam dan
lingkungan.
b) Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu
yang ditentukan oleh para kalangan tokoh adat dan agama di wilayah
setempat.
c) Menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang
berwawasan lingkungan terhadap generasi selanjutnya.
1. Upaya Buka dan Tutup Adat Sasi
Ditandai dengan upacara tutup yakni pernyataan bahwa larangan itu
mulai berlaku dengan memberikan tanda yaitu berupa kayu yang diikat dengan
pucuk daun kelapa muda dan tanaman pada batas area terlarang, dan pada
akhirnya diadakan upacara buka dengan mengangkat tanda tadi dengan upacara
adat sebagai tanda larangan itu tidak berlaku lagi. Setelah sesudah upacara itu,
barulah si pemilik dapat mengambil hasilnya yang sudah matang. Upacara tutup
dan buka ada 2 macam, yaitu :
a. Upacara tutup dan buka menurut adat. Pelaksanaan upacara tutup dapat
dikemukakan sebagai berikut, biasanya 1 atau 2 hari menjelang upacara,
telah ada pemberitahuan yang dilakukan oleh kepala kewang dan anak-
anak kewang kepada seluruh masyarakat. Dengan demikian masing-
masing orang atau keluarga telah mempersiapkan kebutuhannya selama
masa tutup itu.
1) Upacara tutup .
Pada malam yang telah ditentukan maka kepala kewang atau kewang besar
yang dibantu oleh anak-anak kewang berpencar keseluruh pelosok desa atau
kampung. Mula-mula teon atau nama asli negeri di tabaos (diteriaki). Anak-anak
kewang langsung membunyikan tahuri atau meniup kerang memperdengarkan
suatu suara yang syahdu namun mengandung mistis. Kepala kewang berteriak si
lo, kemudian anak-anak kewang menjawab mese eee ooo yang artinya tetap. Sejak
malam itu atas dusun-dusun dimulai dimana seluruh tanaman yang ada di dalam
dusun atau lahan dinyatakan dilarang atau dipetik. Saat itu pula kewang dan anak-
anak kewang mulai menjalankan tugas sebagai pengawas hutan. Hutan dan laut
dinyatakan tertutup.
Biasanya berlangsung selama 3 tiga bulan. Selama suasana disekitar
hutan, kebun atau labuhan (laut) harus dijaga agar tetap hening. Penduduk boleh
pergi ketempat-tempat tersebut tetapi semuanya harus berjalan dengan tenang dan
makanan yang diambil harus tidak berlebihan. Untuk buah-buahan yang
sementara kena misalnya walaupun buah tersebut telah jatuh ditanah, orang tidak
boleh mengambilnya. Untuk menangkap ikan, alat tangkap yang dipakai harus
sederhana misalnya kail sehingga tangkapan tidaklah banyak. Menangkap ikan
dengan jaring sama sekali tidak diperkenankan. Jika masa tutup masih
berlangsung dan karena keadaan mendesak misalnya ada keluarga yang terpaksa
harus mengambil sesuatu tanaman dihutan atau dusunnya (misalnya kelapa) maka
yang bersangkutan harus datang minta izin dari kepala kewang. Hari-hari khusus
untuk hal yang demikian itu biasanya jatuh pada hari selasa dan jumat malam.
Bila di setujui, ketika pemilik hendak memetik kelapa tersebut harus diawasi oleh
anak ke-wang.
2) Upacara buka
Upacara buka dilaksanakan dalam rumah baileu atau rumah adat dengan
melantunkan kapata-kapata (nyanyian adat) yang semuanya bermuara pada
pemujaan kepada penguasa langit dan bumi (upu lanite). Menjelang masa buka
maka pada malam hari menjelang pagi kewang, anak-anak kewang dan perangkat
pejabat negeri mengadakan pertemuan. Setelah hari yang disepakati tiba, maka
kewang dan anak-anak kewang berjalan mengelilingi Negeri sambil berteriak
memanggil nama teon atau nama asli Negeri.
Tahuri ditiup kembali dan kewang meneriaki kata pua silo teas toto
mullalo amun hutum yang artinya kini terbuka. Jangan potong atau petik buah-
buahan yang masih muda (belum layak dipetik), bersihkan pohon dan daun dari
seluruh dusun. Ketika masyarakat mendengar teriakan itu bagi mereka adalah
tanda suka cita karena besok mulai penen hasil. Sebagai tanda ucapan terima kasih
kepada pemerintah dan tokoh agama maka biasanya masing-masing keluarga akan
membawa sedikit hasil terbaiknya untuk diberikan kepada raja dan pendeta.
Barang-barang tersebut dikumpulkan didepan rumah adat atau baileu baru diantar
kerumah-rumah pejabat dan tokoh agama tersebut.
F. Sanksi Terhadap Pelanggaran
Sama halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran
adat dilaksanakan oleh penguasa negeri dan arwah leluhur. Sanksi yang paling
berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu adalah sanksi yang diberikan oleh arwah
leluhur, oleh karena itu orang sangat takut melanggar. Bilamana ada orang yang
melanggar yaitu melakukan pengambilan tatanaman atau hasil-hasil laut pada
masa tutup maka hukuman yang diberikan oleh pemerintah negeri yaitu raja dan
perangkat negeri kepada si pelanggar adalah ditangkap, dipertontokan dihadapan
masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik lainnya seperti: cambuk,
dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Hukuman itu tidak terlalu berat seperti hukuman yang akan diberikan
oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain: anak sakit-sakitan
secara terus menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga keluarga itu tidak
memiliki seorang keturunanpun. Istilah lokal adalah tutup mataruma.
Pada masa tutup masing-masing orang harus menjaga atau mewaspadai
dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang bertentangan hingga pada akhirnya
mendapat teguran dan hukuman dari kewang serta anak-anak kewang. Sementara
itu suasana di sekitar hutan maupun labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi.
Kewang dan anak-anak kewang akan terus berjalan memeriksa apakah ada yang
melanggar atau tidak. Penduduk Negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau laut
untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan hanya
mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah. Makanan isi kebun dan
ikan hanya diambil untuk keperluan makan saja tidak boleh lebih. Misalnya: isi
kebun dan ikan diambil cukup untuk makan satu hari saja, untuk makan besok
baru diambil lagi, karena hal mendesak harus mengambil hasil (yang sementara,
misalnya kelapa) dari kebunnya maka setelah mendapat izin dari kepala kewang
maka yang bersangkutan di wajibkan untuk menanam sebuah anak pohon kelapa
lagi untuk menggantikan buah kelapa yang telah di petiknya.
Kebiasaan itu masih terus berjalan sampai sekarang walaupun Negeri
telah diganti dengan gereja. Demikian pula halnya ketika masa tutup berjalan dan
karena terpaksa ada seseorang harus ke hutan maka ketika ia berjalan, ia harus
berjalan dengan tenang tidak berisik/membuat gaduh sambil menundukkan
wajahnya ke arah bawah atau tanah. Perempuan yang hendak menuju hutan
dilarang menutupi kepala mereka dengan handuk atau kain yang berwarna putih
karena dianggap warna putih adalah warna yang tajam dan menyilaukan.
Hukum diartikan sebagai sejumlah peraturan yang mengandung larangan
dengan pidana denda. Hukum terbagi menjadi hukum materil yaitu pokok
perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang dapat diterapkan terhadap
orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Reglement.
Sedangkan hukum formal yaitu sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara
kewang mempergunakan wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga
bertujuan untuk melindungi alam dengan segala sesuatu yang ada diatasnya dari
pengrusakan yang terjadi oleh tindakan–tindakan manusia. Dengan kata lain,
menjaga tanda persekutuan tetapi sekaligus juga menjaga atau melindungi negeri
itu sendiri agar dapat di manfaatkan oleh masyarakat tersebut.
Untuk menjaga keselarasan hidup antara manusia dan dengan alam dan
untuk mempertahankan kelestarian maka masyarakat adat Kei sama dengan
masyarakat hukum lainnya mempunyai hukum adat dan lembaga adat yang
bertugas untuk mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan
termasuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
terhadap tanah-tanah maupun laut yang berada dalam lingkungan persekutuan
bersangkutan.
Lebih lanjut Rahail (1993) menuturkan bahwa kendati pun hukum Larwul
Ngabal tidak atau belum tertulis, namun demikian hukum ini merupakan suatu
hukum positif di seluruh wilayah Kei, karena ada lembaga adat yang
melaksanakannya dan kepada masyarakat yang ternyata atau terbukti melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan hukum Larwul Ngabal akan dikenakan sanksi
atau hukuman. Pelaksanaan hukum adat ini pun sudah berjalan dari sejak dulu dan
masih terus dijalankan hingga kini. Aturan berdasarkan aturan hukum Larwul
Ngabal yang dipatuhi oleh masyarakat adat Kei adalah manifestasi paling nyata
dari hukum adat Larwul Ngabal. Hukum Larwul Ngabal merupakan hukum adat
yang di Maluku dengan perumusan yang paling lengkap. Salah satu perwujudan
dari hukum adat Larwul Ngabal terutama pasal ke tujuh adalah dilaksanakannya
hukum di Kepulauan Kei. Rahail juga menyatakan bahwa hukum di Kei pada
dasarnya merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada pelestarian dan
keseimbangan hubungan alam dengan manusia (ekosistem). Pasal ke tujuh dalam
hukum Larwul Ngabal berbunyi “Hira Ini fo I ni, it did fo it did” yang artinya
milik orang tetap milik mereka milik kita tetap milik kita
2. Teori struktural fungsionalisme (Talcott Parsons)
Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat
skema penting mengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut
dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu
apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan
yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem.
Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi
semua system social, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal
attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki
oleh semua system agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:
Adaptation : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat
beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system
harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan
lingkungan untuk kebutuhannnya.
Goal attainment : pencapainan tujuan sangat penting, dimana sistem harus
bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integrastion : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga
antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur
dan mengelola ketiga fungsi (AGL).
Latency : laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara
pola, sebuah system harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola
individu dan kultural.
Lalu bagaimanakah Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita
pelajari bersama. Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan
cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal Attainment
difungsikan oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan
memobilisasi sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh
sistem sosial, dan laten difungsikan system cultural. Bagaimana system cultural
bekerja? Jawabannya adalah dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan
nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi dengan dua
cara, pertama : masing-masing tingkat yang paling bawah menyediakan
kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas.
Sedangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan
tingkat yang ada dibawahnya.
sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-baguan
dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan
mengendalikan kecendrungan untuk merubah sistem dari dalam.
b. Partisipasi Masyarakat
1. Pengertian Partisipasi
Kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris (wikipedia) yaitu
“Participation”, take a part, artinya peran serta atau ambil bagian atau kegiatan
bersama-sama dengan orang lain. Partisipasi merupakan keterlibatan mental atau
pikiran dan emosi perasaan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan serta turut
tanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.
Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus
menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Partisipasi dalam
konteks pembangunan desa mencakup keikutsertaan atau keterlibatan warga
dalam proses pengambilan keputusan, dan dalam penerapan program yaitu adanya
pembagian keuntungan atau manfaat dari hasil pelaksanaan kegiatan serta
keterlibatan warga dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Partisipasi dalam
pembangunan dipandang sebagai sebuah metodelogi yang mengantarkan pelaku-
pelakunya untuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi, sehingga
dapat menganalisa dan mencari solusi dari masalah yang dihadapi tersebut,
sehingga memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan.
Menurut Verhangen, sebagai suatu kegiatan partisipasi merupakan suatu
bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian
kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi
tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan
mengenai :
1) Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki.
2) Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau
masyarakatnya sendiri.
3) Kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat
dilakukan.
4) Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan.
Partisipasi adalah sebuah bentuk keterlibatan mental/pikiran dan emosi
atau perasan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta
turut tanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Keith Davis, 1962) Ada
tiga unsur penting yang dimaksud dalam definisi Keith Davis tentang partisipasi,
yang memerlukan perhatian khusus yaitu (1) bahwa partisipasi atau keikutsertaan
(keterlibatan/peran serta) sesungguhnya merupakan suatu keterikatan mental dan
perasaan, lebih daripada kata-kata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah; (2)
ketersediaan memberi suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok,
ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.
Seseorang menjadi anggota dalam kelompok dengan segala nilainya; (3) unsur
tanggung jawab, unsur ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi
anggota.
Menurut pemahaman umum, partisipasi mensyaratkan adalah akses
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi terhadap upaya
pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Jadi partisipasi
masyarakat mencakup semua aspek interaksi antara masyarakat dan pemerintah.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap pengembangan
masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “label baru” yang harus melekat
pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam pengembanganya
seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekan
sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peran
serta, ikut serta keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami,
menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota
masyarakat.
Bedasarkan uraian pendapat diatas, maka yang dimaksud dengan
partisipasi dalam penelitian ini adalah keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam
proses pembuatan keputusan pembangunan, pelaksanaan perencanaan
pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
2. Bentuk Partisipasi
Bentuk partisipasi yang ditunjukkan masyarakat, juga berkaitan dengan
kemauan politik (political will) penguasa untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, Raharjo mengemukakan adanya
tiga variasi bentuk partisipasi, yaitu
1) Partisipasi terbatas,yaitu partisipasi yang hanya digerakkan untuk
kegiatan-kegiatan tertentu demi tercapainya tujuan pembangunan, tetapi
untuk kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi
stabilitas nasional dan kalangan pembangunan dapat di atasi.
2) Partisipasi penuh, artinya partisipasi seluas-luasnya dalam segala aspek
kegiatan pembangunan. Mobilisasi tanpa partisipasi, artinya partisipasi
yang dibangkitkan pemerintah (penguasa), tetapi masyarakat sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan kepentingan pribadi
dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengajukan tuntutan maupun
mempengaruhi jalannya kebijaksanaan pemerintah.
Sejalan dengan pemikiran diatas Hobley mengidentifikasi adanya tujuh
tipe partisipasi yaitu :
a) Partisipasi pasif, Informasi yang dipertukarkan terbatas pada
kalangan profesional diluar kelompok sasaran.
b) Partisipasi informatife, Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk
terlibat dalam kegiatan mempengaruhi
c) Partisipasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi
d) Konsultatif, Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan
bersamaan
e) Partisipasi fungsional, Masyarakat membentuk kelompok untuk
mencapai tujuan proyek
f) Partisipasi interaktif, Masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan
kelembagaan
g) Zelf mobilization (Mandiri), Masyarakat memegang kendali
pemanfaatan sumber daya yang ada
Secara sederhana partisipasi bisa diartikan sebagai keikutsertaan
seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam program pembangunan. Pernyataan
ini mengandung arti seseorang, kelompok atau masyarakat senantiasa dapat
memberikan kontribusi/sumbangan yang sekiranya mampu untuk menunjang
keberhasilan program pembangunan dengan berbagai bentuk atau jenis partisipasi.
Bentuk partisipasi yang dimaksud ialah macamnya sumbangan yang diberikan
seseorang, kelompok atau masyarakat yang berpartisipasi diantaranya bentuk-
bentuk partisipasi: partisipasi buah pikiran, yang diberikan partisipan dalam
pertemuan atau rapat. Kehadiran seseorang dalam pertemuan akan mempengaruhi
bagi masyarakat yang lain agar dapat ikut serta dalam memberikan sumbangsi
pemikiran. Partisipasi tenaga, yang diberikan partisipan dalam berbagai kegiatan
untuk perbaikan atau pembangunan desa pertolongan bagi orang lain. Partisipasi
harta benda, yang diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau
pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain dengan memberikan makanan
atau minuman seadanya tanpa ada timbal balik (jasa).
Dusseldrop (1981) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan
partsipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa:
a) Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat.
b) Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok.
c) Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk
menggerakkan partisipasi masyarakat yang lain.
d) Menggerakkan sumber daya masyarakat.
e) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.
f) Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya
1. Tingkat Partisipasi
Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1994)
mengemukakan adanya lima tingkatan, yaitu:
a) Memberikan informasi
b) Konsultasi yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik
untuk memberikan umpan balik, tetapi tidak terlibat dalam
implementasi ide dan gagasan tersebut.
c) Pengambilan keputusan bersama, dalam arti memberikan dukungan
terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan serta, mengembangkan peluang
yang diperlukan guna pengambilan keputusan.
d) Bertindak bersama, dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan
keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam
pelaksanaan kegiatannya.
e) Memberikan dukungan, dimana kelompok-kelompok local
menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk
mengembangkan agenda kegiatan.
Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan
perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat
terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu
hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar
menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan
masyarakat yang akan diperbaiki mutuhidupnya.
Partisipasi masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan pembangunan
termasuk didalamnya penataan ruang diantaranya karena beberapa hal positif yang
dikandungnya :
a. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dicapai.
b. Dengan partisipasi pelayanan atau service dapat diberikan dengnan biaya
yang rendah.
c. Partisipasi memilki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena
menyangkut kepada harga dirinya.
d. Merupakan fasilitator untuk pembangunan selanjutnya.
e. Mendorong timbulnya rasa tanggung jawab.
Dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat menurut UU No 25 tahun
2004 ialah masyarakat bersama pemerintah merupakan Stakeholder dalam proses
pembangunan. Artinya masyarakat merupakan elemen penting yang sangat
menunjang keberhasilan dari pembangunan tadi, masyarakat diberikan peran yang
cukup sentral.
Di dalam pembangunan agar kiranya masyarakat tadi dapat berpartisipasi
aktif dalam setiap tahapan ataupun proses pembangunan yang telah direncanakan
oleh Pemerintah. Secara konseptual, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap
tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam
pendekatan disiplin keilmuan. Slamet menyatakan bahwa tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan
oleh tiga unsur pokok, yaitu:
a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, untuk
berpartisipasi
b. Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi
c. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Penyertaan masyarakat sebagai subjek pembangunan adalah suatu upaya
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Ini berarti masyarakat diberi peluang
untuk berperan aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi setiap
tahap pembangunan yang diprogramkan. Terlebih apabila kita akan melakukan
pendekatan Membangun dengan semangat loyalitas. Masyarakat lokal dengan
pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam
melaksanakan pembangunan, karena masyarakat lokal yang mengetahui apa
permasalahan yang dihadapi serta potensi yang dimiliki oleh daerahnya.
Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan
arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki. Nilai-nilai kedaulatan selayaknya
dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan
individu dan atau golongan.
Menurut Ndraha (1994) upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan
partisipasi masyarakat antara lain :
1. Memberi stimulasi kepada masyarakat dengan mengharapkan timbulnya
respon yang dikehendaki.
2. Menyesuaikan program Pemerintah dengan kebutuhan ( keinginan) yang
telah lama dirasakan oleh masyarakat Desa yang bersangkutan.
3. Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan kebutuhan atau
perlunya perubahan di dalam masyarakat dan dalam diri anggota
masyarkat sedemikian rupa sehingga timbul kesediaan berpartisipasi
Dalam upaya membangkitkan partisipasi masyarakat, komunikasi
mempunyai peranan penting dalam memelihara hubungan secara timbal
balik, di satu pihak pemerintah menyampaikan kebijakan kepada
masyarakat, sedangkan di lain pihak masyarakat menyampaikan gagasan,
keinginan atau kebutuhannya kepada pemerintah.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu
keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat
keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Angel (dalam Ross,1967:130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam
masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu :
a. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang
terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Dari kelompok usia
menengah keatas dengan keterkaitan moral kepada nilai dan norma masyarakat
yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi dari pada mereka
yang dari kelompok usia lainnya.
b. Jenis Kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan
bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa
dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus
rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah
bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang
semakin baik.
3) Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.
Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap
lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan
seluruh masyarakat.
4) Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapt dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang
akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan
penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong
seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung
oleh suasana yang mampu perekonomian.
5) Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi
seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa
memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang
besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Mengacu pada teori Moslow, teori Rogers dan teori Siagian dalam salam
(2002:21) bahwa orang akan berpartisipasi disebabkan oleh faktor yaitu: faktor
motivasi (moslow 1978), faktor pengetahuan (rogers 1974:37) dan faktor
kepemimpinan (siagian 1992:84).
1) Faktor Motivasi
Dalam konteks untuk meningkatkan kualitas pemukiman bahwa orang
akan termotivasi untuk berpartisipasi apabila kebutuhan dasarnya terpenuhi dalam
pemukiman seperti:
a) Rasa aman
Permukiman bukan hanya sebagai wadah secara fisik saja tetapi
harus berfungsi sebagai kediaman atau tempat berlangsungnya kehidupan
manusia setelah secara fisik permukiman mampu memnuhi fungsi sebagai
tempat teduh dari gangguan alam dan cuaca maka giliran berikutnya harus
memenuhi fungsi sebagai kediaman atau permukiman untuk memperoleh
kesenangan ketentraman hidup serta mampu mengekpresikan kepribadian
penghuninya.
b) Interaksi sosial
Interaksi sosial merupakan perwujudan dari kebutuhan sosial yang
termotif kuat setelah kebutuhan perlindungan dan kearahan sesuai teori
Moslow permukiman harus mewujudkan kebutuhan warganya untuk
melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan sosial yakni disenangi,
dianggap sebagai pribadi yang setia kawan, dan dapat bekerja sama dalam
kelompok masyarakat.
c) Prasarana dan sarana permukiman
Permukiman sebagai wadah yang dapat mewujudkan kebutuhan
mempertahankan hidup permukiman seharusnya memiliki prasarana dan
sarana yang mampu memberikan perlindungan sebagai masyarakatnya
sehingga kebutuhan primernya dapat terpenuhi selain itu prasarana dan
sarana permukiman juga dapat mewujudkan rasa aman.
2) Faktor Pengetahuan
Setelah kebutuhan dasar seseorang terpenuhi, orang akan berupaya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya yaitu seperti kebutuhan pengetahuan.
Pengetahun adalah hasil dan tahu ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu pengetahun atau kognitif merupakan
“domain yang sangat penting untuk membentuknya tindakan seseorang
(Rogers:1974:37) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, didalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang
berurutan yakni : a) awarenes (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui terlebih dahulu stimulus (objek); b) interest, dimana orang
melalui tertarik pada stimulus; c) evalution, menimbang-nimbang baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya; d) trial, dimana orang telah mencoba perilaku baru;
dan e) adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Berdasarkan penelitian Rogers tersebut diatas maka dapatlah bahwa proses
masyarakat untuk tiba pada tingkat partisipasi aktif dalam kegiatan peningkatan
kualitas permukiman secara beruntun adalah; tidak tahu, kurang mengetahui,
mengetahui dan memahami.
Pola dan tingkat partisipasi masyarakat pembangunan sangat ditentukan
oleh pengetahuan terhadap pembangunan tersebut oleh karena itu pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang dianggap berpengaruh terhadap partisispasi
masyarakat.
3) Faktor Kepemimpinan
Menurut Siagian (1992:84) faktor yang turut mempengaruhi partisipasi
masyarakat adalah kepemimpinan tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan.
Faktor ini merupakan salah satu penentu keberhasilan tumbuhnya partisipasi
masyarakat karena kepemimpinan inilah yang menstimulasi dan menggerakkan
masyarakat secara tepat dengan jalan menerapkan kemampuannya berkomunikasi
secara baik dan efektif selain itu kepemimpinan toko masyarakat dan aparat
pemerintah dianggap efektif apabila dapat menunjukan kesepakatan bersama
dalam menanggapi kebutuhan aktual masyarakat.
Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan “seseorang mempengaruhi
perilaku orang lain untuk berfikir dan berprilaku dalam rangka kemanusiaan dan
pencapaian tujuan organisasi atau kelompok didalam situasi tertentu macam-
macam kepemimpinan diantaranya
a) Otokratik/otoriter memaksakan mengatur mendikte anggota anggota
sebagai benda harus diladeni sebagai diktator /penguasa mutlak.
b) Demokratik anggota dianggap manusia dan dihormati saran saran
anggota diperhatikan sifat koligial.
c) Petemalistik/kebapakan sifat sebagai bapak mengatur mengambil
prakarsa merencanakan dan melaksanakan sesuai polanya tidak
diktator dan membantu anggota dalam mengambil keputusan dan
merumuskan kebijaksanaan.
Ada ahli yang merinci gaya kepemimpinan lebih lanjut umum perlu
dikemukakan bahwa dalam prakteknya tidak ada gaya kepemimpinan yang paling
baik paling penting adalah dapat menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan
situasi/waktu kemampuan yang dipimpin teman-teman sekerja harapan dan tujuan
kelompok (dengan melibatkan tingkat kedewasaannya) jadi gaya kepemimpinan
cendrung berbeda-beda dan secara umum gaya kepemimpinan terdiri atas :
1) Tipe ditektif komunikasi satu arah peranan anggota dibatasi menunjukan
apa kapan dimana dan bagaimana menjalankan tugas pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan oleh pimpinan pelaksana pekerja diawasi
dengan ketat.
2) Tipe konsultatif komunikasi dua arah memberi support pada anggota
dengan keluhan perasaan anggota dalam menentukan keputusan tetap oleh
pimpinan
3) Tipe partisipatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
seimbang; komunikasi dua arah meningkat anggota banyak didengar
masalah di diskusikan dan anggota diberi hak melaksanakan keputusan
seluruhnya kepada anggota.
3. Prinsip-Prinsip Partisipasi Masyarakat
Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya
kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan
mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan
untuk jangka yang lebih panjang.
Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam
Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for
International Development (DFID) dalam Monique Sumampouw 2004 adalah:
1) Cakupan, Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang
terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek
pembangunan.
2) Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership), pada dasarnya setiap
orang mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa serta mempunyai
hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses
guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur
masing-masing pihak.
3) Transparansi, semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga
menimbulkan dialog.
4) Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power/Equal Powership), berbagai
pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan
dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
5) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility), berbagai pihak
mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena
adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya
dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
6) Pemberdayaan (Empowerment), keterlibatan berbagai pihak tidak lepas
dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga
melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu
pross saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
E. Kerangka pikir
Sasi adalah tanda larangan yang dipasang pada sesuatu yang menjadi hak
milik seseorang dalam jangka waktu tertentu Sasi adalah suatu jangka waktu
tertentu, dimana orang melarang memetik buah-buahan dan hasil tumbuh-tubuhan
darat, maupun menangkap ikan dari hasil laut. Hubungan antara kepercayaan
masyarakat dan pengertian mengenai kondisi ekologi lingkungan mereka dapat
ditunjukkan melalui pengetahuan yang mereka pelihara.
Selain itu, Sasi dianggap selama ini sebagai tradisi atau kearifan lokal
sangat sakral sehingga hal ini sudah dijadikan kebiasaaan dalam proses kehidupan
sosial masyarakat Kei. Hukum Adat Sasi adalah ketentuan hukum tentang
larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu
Gambar 2.2 bagan kerangka pikir
Konflik Pengelolahan Tanah
Hukum Adat Sasi
Penyebab Hukum
Sasi
Proses Efektifitas
Hukum
Hasil dan Temuan
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM ADAT
SASI MASYARAKAT TANAH KEI
KABUPATEN MALUKU TENGGARA
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus,
penggunaan kualitatif dengan pendekatan studi kasus digunakan untuk mengkaji
secara mendalam tinjauan sosiologi hukum Adat Sasi masyarakat Kepulauan
Tanah Kei di Kabupaten Maluku Tenggara.
Penelitian kualitatif digunakan, karena dalam penelitian ini data yang
dihasilkan berupa data deskriptif yang diperoleh dari data-data berupa tulisan,
kata-kata dan dokumen yang berasal dari sumber atau informan yang diteliti dan
dapat dipercaya. Melalui pendekatan ini pengkaji meminta interpretasi subjek
pengkajian, kemudian pengkaji melakukan interpretasi terhadap interpretasi
subjek tersebut sampai mendapatkan makna.
Metode kualitatif ini berupaya menelaah esensi, memberi makna pada
suatu kasus. Alasan lain digunakan pendekatan (metode) kualitatif karena metode
ini untuk memahami realitas sosial sebagai realitas subjektif, memberikan tekanan
terbuka tentang kehidupan sosial. Di samping itu metode penelitian kualitatif ini
digunakan karena dalam melihat studi kasus itu sebagai suatu hal yang suatu
masalah dengan batasan terprinci, memiliki pengambilan data yang mendalam,
dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu
dan tempat dan kasus yang menjadi fokus penelitian, serta intensif dalam hal latar
belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu,
kelompok, lembaga, atau masyarakat.
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Maluku Tenggara tanah Kei sebagai lokasi
penelitian, alasan pemilihan lokasi tersebut karena tempat tersebut merupakan
tempat dimana masih di terapkan hukum Adat Sasi ini sebagai sanksi terhadap
masyarakat desa Kei untuk melindungi alam sekitaranya.
2. Waktu peneltian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan mei sampai bulan juni 2019,
dan telah mendapat surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh pihak kampus dan
pemerintah kota Makassar.
C. Informan Penelitian
1. informan
Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu
dan menguasai masalah, serta terlibat lansgung dengan masalah penelitian.
Sehigga informan yang dipilih adalah :
a) Raja : diplih karena berperan dalam proses sasi.
b) Tokoh adat: dalam hal ini dipilih karena tokoh adat merupakan
narasumber yang dapat memberikan informasi terkait hukum adat sasi ini
c) Masyarakat: diharapkan mampu memberikan informasi terkait bagaimana
hukum adat sasi ini di teapkan.
d) Kepala desa: diharapkan dapat memberikan informasi atau data-data
masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap adat sasi ini.
Penelitian kualitatif perlu memperdulikan penciptaan rapport, setidak-
tidaknya hingga ke tingkat cooperation, dan idealnya hingga ke tingkat partisipasi
informan.
2. Tekhnik penentuan informan
Pemilihan informasi sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada asas subyek yang menguasai permasalahan, penelitian kualitatif
tidak dipersoalkan jumlah informan, tetapi bisa tergantung dari tepat tidaknya
pemilihan informasi kunci, dan kompleksitas dari studi kasus yang diteliti.
Dengan demikian, informasi ditentukan dengan snowball sampling, yakni
proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan
jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang
diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah informasi penelitian
dianggap sudah memadai.
D. Fokus penelitian
Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang
berisi pokok masalah yang bersifat umum. Dalam hal ini yang menjadi fokus
penelitian adalah bagaimana hukum Adat Sasi dalam menyelesaikan konflik yang
terjadi pada masyarakat, sehingga dapat diketahui apakah hukum adat ini
berdampak positif atau negatif dan dapat diterima masyarakat setempat maupun
masyarakat pendatang. Selain dari itu, yang menjadi fokus penelitian adalah Adat
Sasi ini dijadikan hukum dalam konflik, dan proses pelaksanaan hukum ini di
dalam masyarakat.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk
mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan,
mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif
dengan tujuan memecahkan suatu persoalan.Yang harus diketahui dalam
instrumen penelitian, instrumen utama adalah peneliti itu sendiri. Berikut adalah
beberapa instrumen dalam penelitian ini:
1. Kamera, yaitu digunakan untuk memotret objek yang berkaitan dengan
kebutuhan penelitian.
2. Alat perekam, yaitu digunakan untuk merekam informasi pada saat
melakukan wawancara dengan informan penelitian.
3. Lembar observasi, yaitu digunakan untuk mencatat informasi atau data
yang diperoleh pada saat wawancara dalam penelitian.
4. Pedoman wawancara, yaitu panduan dalam melakukan kegiatan
wawancara yang terstruktur dan telah ditetapkan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data-data penelitian.
F. Jenis data
Jenis data yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer
dan data sekunder.
a) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung, seperti hasil dari
wawancara dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran dan alat
pengambilan daat langsug pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.
Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara idividu dan kelompok, hasil
observasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapatkan
data primer dari ketua RT, Ketua RW, tokoh adat Dian pulau.
b) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh orang lain). Data sekunder
umumnya berupa bukti, catatan dan laporan historis yang telah tersusun dalam
arsip yang di publikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder peneliti
peroleh ketika sedang mengadakan observasi di pemukiman masyarakat,
didampingi tokoh adat, dan warga untuk mendapatkan data dan informasi terkait
tentang adat hukum sasi ini sendiri.
G. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan yaitu;
tempat pemukiman masyarakat yang sering di belakukan adat sasi ini, untuk itu
dibutuhkan (1) observasi, (2) dokumentasi, (3) wawancara mendalam.
1. Observasi
observasi merupakan pengamatan langsung menggunakan alat indera atau
alat bantu untuk penginderaan suatu subjek atau objek. Dalam hal ini peneliti
terlebih dahulu melakukan observasi ditempat-tempat yang biasanya Adat Sasi ini
diberlakukan, seperti; di laut dan di darat.
2. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide). Dalam rangka pengumpulan data, peneliti
melakukan wawancara tersruktur maupun tidak terstruktur.
Dalam wawancara mendalam melakukan penggalian secara mendalam
terhadap satu topik yang telah ditentukan (berdasarkan tujuan dan maksud
diadakan wawancara tersebut) dengan menggunakan pertanyaan terbuka.
Penggalian yang dilakukan untuk mengetahui pendapat mereka berdasarkan
perspective responden dalam memandang sebuah permasalahan. Teknik
wawancara ini dilakukan oleh seorang pewawancara dengan mewawancarai satu
orang secara tatap muka (face to face).
3. Dokumentasi
Menurut Arikunto (2006:158) dokumentasi adalah mencari dan
mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, notulen, rapot, agenda dan sebagainya. dokumentasi, digunakan
untuk memperoleh data-data antara lain: (1) data jumlah pelanggaran hukum adat
ssi (2) data pribadi masyarakat atau tokoh adat di tanah Kei. Relevansi
penggunaan dokumentasi dengan permasalahan adalah, dalam rangka peneliti
memperoleh data pelengkap, metode ini digunakan juga untuk mencocokkan
beberapa informasi dengan data yang ada di lapangan.
H. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, sehingga dapat
mudah dipahami, dan temuannya dapat dikonfirmasikan kepada orang lain.
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan
data yang diperoleh, selanjutnya pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.
Pada tahap analisis data ini hasil dari observsi diperoleh melalui tinjauan
lansgsung dengan menggunakan media dan alat seperti kamera untuk
mengabadikan hal-hal yang diperoleh dari observasi tersebut, kemudian hasil dari
wawancara peneliti menggunakan alat dan media berupa buku catatan, alat tulis,
tape recorder, untuk memudahkan peneliti dalam mengingat hasil wawancara
yang dilakukan. Dan yang terakhir hasil dari dokumentasi tentu saja peneliti
menggunakan kamera sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar melakukan
observasi dan wawancara lansgung terhadap narasumber.
Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-
catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan tentang fenomena
sialriang tersebut di atas. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik
kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang
penganalisis (peneliti) mulai mencari makna makna pekerjaan atau memenuhi
kebutuhan dengan berjaualan seperti ini. Dengan demikian, aktifitas analisis
merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan
merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.
Dalam hal ini teknik analisis data dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Reduksi data
Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data
diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama
selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan
data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu
membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus,
membuat partisi, dan menulis memo.
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi
data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan
diverivikasi. Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah
penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian
kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara:
melalui seleksi ketat, melalui ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam
suatu pola yang lebih Penyajian data
b. Penyajian data
Miles & Huberman membatasi suatu penyajian sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Mereka meyakini bahwa penyajian-penyajian yang lebih
baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid, yang
meliputi: berbagai jenis matrik, grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang
guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk 39
yang padu dan mudah diraih. Dengan demikian seorang penganalisis dapat
melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan
yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang
dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna.
c. Menarik Kesimpulan
Penarikan kesimpulan menurut Miles & Huberman hanyalah sebagian dari
satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga
diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat
pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis (peneliti) selama ia
menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, atau mungkin
menjadi begitu seksama dan menghabiskan tenaga dengan peninjauan kembali
serta tukar pikiran di antara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan
intersubjektif atau juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu
temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang
muncul dari data yang lain harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Kesimpulan akhir tidak hanya
terjadi pada waktu proses pengumpulan data saja, akan tetapi perlu diverifikasi
agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
I. Keabsahan Data
Kebenaran atau validitas harus diraskan merupakan tuntutan yang terdiri
dari tiga hal menurut Alwasilah (dalam Bachri, 2010:54) yakni: deskriptif,
intrerpretasi, dan teori. Dalam hal ini triangulasi sumber data adalah menggali
kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dsan sumber perolehan
data. Misalnya, selain melakukan wawancara dan observasi, peneliti bisa
menggunakan observasi terlibat, dokumen tertulis arsif, dokumen sejarah, catatan
resmi. Catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Masing-masing cara itu
akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan
memberikan pandangan yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti.
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda
(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini
selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk
memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna
untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi
bersifat reflektif.
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lain. Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi
antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori
yang tepat. Murti B., 2006 menyatakan bahwa tujuan umum dilakukan triangulasi
adalah untuk meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif
dari sebuah riset. Dengan demikian triangulasi memiliki arti penting dalam
menjembatani dikotomi riset kualitatif dan kuantitatif, sedangkan menurut Yin
R.K, 2003 menyatakan bahwa pengumpulan data triangulasi (triangulation)
melibatkan observasi, wawancara dan dokumentasi.
J. Jadwal Penelitian
Berikut ini adalah tabel jadwal penelitian:
No.
Kegiatan
Tahun 2019
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
1 Tahap Persiapan
Penelitian
a. Pengajuan judul
b. Bimbingan
proposal
c. Seminar
proposal
d. Perijinan
penelitian
2 Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan
data
b. Analisis data
3 Tahap Penyusunan
Laporan
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1. Sejarah Kota Maluku Tenggara
Terbentuknya Kabupaten Maluku Tenggara berawal dari suatu perjuangan
dan pergulatan yang panjang, dimana proses terbentuknya dilakukan dengan
berbagai bentuk tahapan negosiasi dan diplomasi oleh para pendiri Kabupaten
dengan pemerintah dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Tenggara
merupakan bagian dari Kepulauan Maluku yang dihuni oleh kurang lebih 96.669
jiwa (Maluku Tenggara dalam angka 2011:45) tersebar dalam dua pulau besar
(pulau Kei besar dan pulau Kei kecil) serta beberapa pulau kecil disekitarnya.
Dari 73 pulau yang membentuk kabupaten ini, hanya 12 pulau yang dihuni,
sebagian besar (10 pulau) berada diwilayah Kei Kecil (Maluku Tenggara dalam
angka 2011:9).
2. Geografis
Kabupaten Maluku Tenggara dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 1952 tentang Pembubaran Maluku Selatan dan Pembentukan
Daerah Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, dan Undang Undang Nomor 60
Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Daerah Swatantra Tingkat II dalam
Daerah Swatantra Tingkat I Maluku (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1645). Setelah dikeluarkannya Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2007 Maka Kabupaten Maluku Tenggara telah
dimekarkan menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual dengan Letak
Geografis pada koordinat 131° – 133° 5 Bujur Timur dan 5° – 6,5° Lintang
Selatan, dan secara administratif berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Papua Bagian Selatan;
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura;
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tual, Laut Banda dan bagian Utara
Kepulauan
d. Tanimbar; Sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Aru.
Kabupaten Maluku Tenggara setelah pemekaran Kota Tual terbagi atas 6
(Enam) Kecamatan yang meliputi 1 (satu) kelurahan, 86 desa dan 104 dusun
dengan Ibukota Kabupaten adalah Langgur. Luas Wilayah Kabupaten Maluku
Teng Daratan. Kepulauan Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan
Kepulauan yaitu Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil
dengan Luas seluruhnya 465,11 Km2 dan Pulau Kei Besar dengan Luas 545,64
Km2 dan secara Topografi Pulau Kei Kecil lebih datar dengan ketinggian Pulau
Kei Besar berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan
ketinggian rata-rata 500 – 800 M dengan Gunung Dab sebagai Puncak tertinggi,
dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.
Desa-desa pada umumnya tersebar pada ketinggian 0-100 m. Sebaran rata-
rata kedalaman (4 mil dari garis pantai) di Kei Kecil (Nuhu Roa) adalah ≤ 100 m
atau rata-rata slop ≤ 1,5% yaitu di Pulau Kei Kecil Bagian Barat. Untuk Pulau Kei
Besar (Nuhu Yut), sebaran rata-rata kedalaman ≤ 100 m berada di bagian Barat
Laut, sedangkan bagian Barat daya dan bigian Timur kedalaman rata-rata lebih
dari 300 m. Kemiringan daratan Pulau (Island Flat) di Pulau Kei Kecil berkisar
antara 0% - 40 %, sedangkan untuk Pulau Kei Besar kemiringan Daratan Pulau
adalah Curam (15% - 40 %) sampai dengan sangat curam (> 40%).
3. Demografi
Penduduk sangat memegang peranan penting dalam pembangunan daerah
Kabupaten Maluku Tenggara, oleh sebab itu perlu diuraikan beberapa hal penting
dari aspek demografis daerah seperti; Jumlah Penduduk, komposisi penduduk
menurut jenis kelamin, struktur usia, jenis pekerjaan dan pendidikan. Jumlah
penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara selama kurun waktu 2010-2012
menunjukkan perkembangan yang meningkat. Peningkatan tersebut dapat terlihat
dari data : 1. Sensus Penduduk pada Tahun 2010 mencatat jumlah penduduk di
Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 96.441 jiwa dan mengalami peningkatan
pada tahun 2011 menjadi 99.112 jiwa dan meningkat kembali pada tahun 2012
menjadi 101.492 jiwa. 2.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Maluku Tenggara,
pada tahun 2010 mencatat jumlah penduduk sebanyak 128.278 jiwa dan
mengalami peningkatan menjadi 127.683 jiwa pada tahun 2011. Pada tahun 2012
berdasarkan hasil pemuktahiran data jumlah penduduk di Kabupaten Maluku
Tenggara sebanyak 127.592 jiwa. Statistik mendata jumlah penduduk pada tahun
2010 sebanyak 96.442 jiwa dan mengalami kenaikan sebesar 3.450 jiwa (3,45%.
menjadi 99.892 jiwa pada tahun 2012 serta memprediksi akan berjumlah 104.131
jiwa pada tahun 2013. Berdasarkan data Statistik, rata-rata laju pertumbuhan
penduduk Kabupaten Maluku Tenggara periode tahun 2010-2012 sebesar 2,24%.
Pertumbuhan penduduk ini dikarenakan terjadinya fertilitas yang cukup tinggi
(pertumbuhan penduduk alami dan terjadinya migrasi masuk.
Penduduk Kabupaten Maluku Tenggara menurut
Kecamatan dan Jenis Kelamin 2016
Kecamatan
2016
Penduduk Rasio Jenis
Kelamin Laki-Laki Perempuan Total
Kei Kecil 14 199 14 643 28 842 97
Kei Kecil Barat 2 959 2 926 5 885 101
Kei Kecil Timur 3 297 3 340 6 637 99
Hoat Sorbay 3 597 3 770 7 367 95
Manyeuw 2 607 2 626 5 233 99
Kei Kecil Timur
Selatam 2 112 2 217 4 329 95
Kei Besar 7 583 8 050 15 633 94
Kei Besar Utara Timur 4 876 5 014 9 890 97
Kei Besar Selatan 2 605 2 754 5 359 95
Kei Besar Utara Barat 3 669 3 804 7 473 96
Kei Besar Selatan Barat 1 170 1 268 2 438 92
Maluku Tenggara 48 674 50 412 99 086 97
Sumber: Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010
4. Desa Kolser
Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara tersebut berkedudukan di sebagian
wilayah Kecamatan Kei Kecil yang meliputi 8 (delapan) Ohoi dan 1 (satu)
kelurahan sebagai berikut: Ohoi Wearlilir, Ohoi Faan, Ohoi Ohoiluk, Ohoi
Ngayub, Ohoi Kolser, Ohoi Loon, Ohoi Kelanit, Ohoi Ohoingur, dan Kelurahan
Ohoijang Watdek. Ohoi adalah sebutan lain untuk desa di Kabupaten Maluku
Tenggara yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Deskripsi informan
Dalam penelitian ini melibatkan beberapa narasumber yang dipercaya
dapat memberikan informasi terkait adat sasi, informan yang dipiliha adalah
warga asli desa Kolser, ataupun warga pendatang yang telah berdomisili kurang
lebih 10 tahun. Pemilihan informan dilakukan secara teratur, mulai dari kepala
desa, kepala adat, pemerintah setempat, sampai dengan masyarakat sekitar.
Dalam bebetapa jawaban narasumber terkait adat sasi, rata-rata jawaban
mereka hampir sependapat, karena adat Sasi itu sendiri dilakukan secara serentak.
Ketika terjadi ketimpangan sosial dan kepala desa atau pemerintah sudah tidak
bisa mengatasinya maka dilakukan secara hukum yang berjujung pada pengadilan.
Informan diberikan angket berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai adat
Sasi itu sendiri, namun peneliti juga melakukan wawancara langsung untuk
mendapatkaan jawaban yang akurat.
No Nama Umur Pekerjaan Pendidikan terakhir
1 CMK 38 ASN S1
2 FR 62 PNS SMA
3 BR 64 pENSIUAN SMA
4 LNS 34 PNS S1
5 MMM 25 staf S1
C. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Maluku Tenggara, Desa Kolser. Penelitian
ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang memberikan gambaran
dan informasi mengenai implementasi hukum Adat Sasi terhadap konflik tanah
yang terjadi pada desa Kolser tersebut.
Pada bab ini peneliti akan menyajikan data-data hasil penelitian yang
dilakukan di lapangan terkait hukum adat sasi ini, sehingga dapat ditemukan
fakta yang akurat. Peneliti akan melibatakan beberapa informan agar
memudahkan mendapatkan informasi, diantaranya Kepala Suku Desa Kolser.
1. Konflik tanah dalam masyarakat suku Kei desa Kolser,
Kabupaten Maluku Tenggara
a. Konflik kelompok
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di
muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai
meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber
kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat
bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula
mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural
politik dan ekologis.
Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam
secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33
Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut :
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik
serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu
ada dimana-mana. Sengketa dan donflik pertanahan adalah bentuk permasalahan
yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan,
penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik
hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap
sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai
kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win
solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak
mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor
pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan
solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa
dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus
menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan
agraria yang mensejahterakan.
konflik tanah yang sama juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, hasil
penelitian menunjukkan konflik tanah yang melibatkan masyarakat dengan
Perusahaan dan atau pemerintah daerah bersifat struktural maupun horizontal.
Maluku Utara mengandung potensi pertambangan diperhadapkan pada konflik
pembebasan lahan, serta hak masyarakat adat yang tidak terselesaikan. Pola
konflik tanah yang bersifat struktural terjadi hampir disemua wilayah
pertambangan dengan eskalasi serta dinamika yang berbeda.
Kearifan lokal adalah sebuah budaya daerah setempat yang unik dan hanya
terdapat dalam wilayah tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya dan
tidak ada pula catatan sejarahnya. Masyarakat setempat mengetahuinya sebagai
adat budaya yang turun temurun dan selalu ditaati hingga saat ini. Kearifan lokal
menjadi penting karena sifatnya yang ekslusif dan membumi. Seluruh masyarakat
setempat mempercayainya, jika ada yang melanggar mereka percaya akan terjadi
sesuatu yang menimpanya. Begitu juga di Pulau Kei besar dan Kei Kecil.
Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku tenggara ini memiliki adat
budaya lokal dengan nama “SASI” dan Maren (gotong royong warga).
Sasi adalah budaya masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan
Pulau Dullah yang digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya.
Berdasarkan informasi warga desa Ngadi, pernah ada Sasi laut yang melarang
nelayan dan warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6
bulan, masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga
Sasi ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa
panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen. Sasi ditandai
denganpemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi.
Artinya terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap
larangan yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga
bermanfaat bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap
terjaga keberlangsungan hidup ikan di teluk.
Sasi ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh
dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami pergeseran
seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan asset adat (tanah, ladang,
atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini Sasi yang muncul di masyarakat
seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan
sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah, maka seluruh
anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan
atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah belum dapat
digunakan sampai seluruh anggota marga setuju.
Uraian di atas menunjukan sumber dominan konflik terjadi karena
ketidaksesuaian dalam pemberian ganti rugi atas tanah masyarakat. Menurut
Gunanegara:
“ganti rugi hak atas tanah memiliki makna pergantian atas nilai ta-nah
berikut bangunan, tanaman dan atau ben-da lainnya sebagai akibat
pelepasan hak”.
Pada umumnya, konflik terjadi karena adanya perbedaan (pendapat,
ideologi, budaya, dan lainnya) di masyarakat yang kemudian menimbulkan
masalah dan belum ditemukan kesepakatan dalam menyelesaikan masalah
tersebut. Hampir di setiap lapisan masyarakat bisa terjadi konflik, baik dalam
skala kecil maupun skala besar. Konflik berskala kecil misalnya pertengkaran
antar saudara di suatu keluarga, sedangkan konflik berskala besar misalnya
tawuran antar kampung. Salah satu kasus yang pernah terjadi terkait konflik tanah
yaitu Lepas konsesi PTPN dan kampung tua Batam, Konflik lahan antara
masyarakat dengan BUMN, katanya, relatif lebih mudah selesai. “Cerita di
Kampar itu, konflik masyarakat dengan BUMN. Setelah dilihat selama 22 tahun
itu nanam sawit tak pernah keluar sertifikat. Tadi setelah evaluasi, akhirnya
Kementeraian BUMN merelakan untuk menyelesaikan konflik itu,” katanya.
Konflik lahan lain yang dibahas dalam rapat kabinet itu yaitu soal desa-
desa tua di Pulau Batam. Sebelum ada Badan Otorita Batam, katanya, ada 20
kampung tua berdiri di sana. Dalam ketentuan mengatakan, seluruh daerah di
Batam, jadi hak penguasaan Badan Otorita Batam. Kampung-kampung yang ada
sebelumnya, dianggap tak ada.
“Sekarang kesimpulannya keseluruhan kampung tua itu dikeluarkan dari
Badan Otorita Batam. Sudah ada kesepakatan akan legalisiasi dan diberikan
kepada masyarakat. Konflik di Karawang juga sudah selesai. Kemudian yang
terjadi di Pulau Serangan Bali juga selesai,” katanya, seraya bilang penyelesaian
konflik lain tetap lanjut. Mengenai konflik antara masyarakat dengan negara,
seperti dengan kementerian, TNI, pemerintah daerah dan lain-lain, katanya,
penyelesaian memerlukan perlakuan khusus.
“Ini karena dalam UU Keuangan Negara menyatakan, aset negara tak
bisa dieksekusi. Itu yang menyebabkan Konflik dengan instansi banyak tak
mampu selesai. Kecuali tanah dilepaskan oleh institusi. Yang sulit, begitu
sengketa dengan institusi, tanah sudah didaftarkan dan jadi aset negara.
Kita tak bisa selesaikan. Ini perlu penanganan khusus,” katanya.
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa terkadang konflik tanah tidak hanay
terjadi pada sesama masyarakat biasa, namun antara masyarakat dan pemerintah
setempat yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Sehingga harus ditemukan
langkah-langkah untuk penyelesaian masalah tersebut.
Sama halnya dengan kasus konflik tanah yang terjadi di desa Kolser yang
ditipu oleh pemerintah daerah Malra terkait pemasangan Sasi. Dalam kasus ini
tanah yang telah dilakukan pemasangan Sasi masih berstatus sengketa, dan telah
dilakukan sistem jual beli tanpa diketahui kepala desa Kolser dan pihak
pertahanan, menurut salah satu warga setempat menegaskan bahwa;
“kami sudah mendatangi pihak pertahanan dan mereka juga tidak tahu,
dan proses jual beli tanah ini adalah proses kong kali kong. Padahal
waktu itu kami sudah mendatangi pemerintah daerah untuk jangan bayar,
karena masih dalah proses hukum. Tapi pemda tidak dengar , dan mereka
langsung membayar”.
Tentu dalam kasus ini yang dirugikan lagi-lagi masyarakat setempat,
mereka dicurangi oleh pemerintah sendiri guna kepentingan individu yang
dibangun dibelakang mereka.
b. konflik individu
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual ). Konflik ini
terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena
tuntutan tugas yangmelebihi batas kemampuannya.
Ada kasus yang terjadi terkait konflik antar individu yang bahkan
menewaskan 1 orang. Konflik antara pihak keluarga Tanlain dan Maturbongs
hingga kini semakin meruncing. Bahkan puncak dari aksi klaim-mengklaim tanah
tersebut memicu terjadinya aksi penyerangan yang dilakukan oleh pihak
Maturbongs salah satu warga nama Anis Kalanit,SH terekna sabetan senjata
tajam.
Salah satu pihak keluarga Tanlain menegaskan bahwa:
“karena tanah tersebut telah diberikan oleh leluhur atau nenek moyang
Maturbongs kepada kami ada buktinya, sejarah juga mencatat hal tersebut
karena ada bukunya.
Kepemilikan tanah tersebut juga dibuktikan dengan adanya puusan sidang
dipengadilan Negeri Tual yang memenangkan pihaknya tertanggal 27 januai
2015. Namun Maturbongs tidak menerima putusan tersebut malah sebaliknya
membawa massa dari desa Kolser untuk mencabut Sasi (Hawear) yang telah
dipasang diarea tanah yang disengketakan.
c. Penyelesaian konflik tanah
Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan
Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus
yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil
yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat
bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat
tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang
dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada.
Sama halnya pada masyarakat Kolser yang kadangkala menyelseika
konflik tanah ini melalui pengadilan yang biasa disebut naik sidang yang bisa
berlangsung sampai berbulan-bulan lamanya.
Seperti hasil observasi yang ditemukan dilapangan bahwa:
“masih ada masyrakat Kolser yang berada dipengadilan, padahal
kasusnya sudah ada pada tahun sebelumnya”.
Konflik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang mendorong
terjadinya dinamika sosial baik itu politik dan budaya. Konflik bisa terjadi di
mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, baik bersifat vertikal ataupun
horisontal. Konflik dapat berbahaya jika menyebabkan terjadinya kerusuhan
massa yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik itu secara sosial, psikis,
maupun fisik. Banyak sekali jenis konflik yang terjadi misalnya saja, konflik
antar mahasiswa, konflik perebutan lahan, konflik antar suporter sepak bola,
maupun konflik antar partai politik. Konflik merupakan bentuk interaksi sosial
yang terjadi pada perorangan atau kelompok yang berupaya untuk mencapai
tujuannya sendiri dengan mengalahkan atau menundukkan pihak lainnya.
i ) Ajudikas i
Ajudikasi merupakan bentuk akomodasi yang dilakukan lewat jalur
pengadilan. Pengadilan dalam hal ini adalah lembaga hukum yang diakui untuk
menjalankan pemberian keputusan terhadap perkara perdata maupun pidana.
Cara ini dilakukan agar mendapat jalan keluar dari permasalahan yang
terjadi, seperti hasil observasi yang terjadi di Desa Kolser terkait Sasi. Kedua
belah pihak bersikeras mengakui hak kepemilikan tanah tersebut, sehingga
dibutuhkan oyang namanya orang ketiga, yang menjadi orang ketiga dalam hal ini
adalah kepala desa, keetika belum ditemukan solusi maka akan dilakukan lagi
yang namanya naik sidang di pengadilan.
Hasil observasi diatas didukung oleh data wawancara yang didapat
dilapangan terkait penyelesaian konflik tersebut, hal tersebut dipaparkan oleh
salah satu warga yang bernama Christian M Kelawit yang menyatakan bahwa:
“jika terjadi konflik terkait hak kepemilikan tanah, maka dipanggil lah
seseorang yang dituakan atau dianggap sebagai kepala adat, biasanya
mereka dilakukan sidang adat”.
Hal diatas tentu efektif mencegah terjadinya konflik yang berkelanjutan.
ii) kompromi
Kompromi adalah bentuk akomodasi dimana masing-masing kedua belah
pihak saling mengurangi tuntutan yang saling bertentangan agar terjadi
kesepakatan bersama. Kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak. agar
tercapainya perselesaian dari perselisihan yang ada.
Ketika ada perselisihan yang terjadi, sebaiknya lakukan lah kompromi
untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kompromi harus dilakukan
dengan hati yang tenang sehingga sangat dibutuhkan orang-orang yang
mendampingi.
Observasi di lapangan menunjukkan bahwa, sebagian masyarakat Desa
Kolser masih menggunakan cara ini, mereka tidak langsung adu konflik. Namun
ketika mereka telah berkompromi dan masih belum menemukan jalan keluar,
maka dilakukanlah cara Adjukasi tadi. Hal ini lebih efesien dilakukan.
Salah satu warga pun menjelaskan bahwa:
“biasanya Adat Sasi dilakukan ketika hasil sumber daya alam yang
dinikmati manusia semakin berkurang, maka tokoh adat dan tokoh agama
akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan masyarakat dan
membahas tentang adat ini untuk mengembalikan potensi sumber daya
alam yang telah berkurang”.
Hal ini menunjukkan Sasi telah menjadi bagian dari hukum formal dalam
peraturan adat yang ada. Sehingga setiap pelanggar Sasi akan dapat diberikan
sanksi sosial seperti dilarang untuk terlibat saat upacara buka Sasi dan panen
hasil.
Masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat, memaksa pemerintah
untuk fleksibel dalam menangani berbagai konflik yang bergesekan langsung
dengan masyarakat. Secara umum masyarakat pulau Kei berwatak keras, tetapi
berhati mulia. Selama tidak mengganggu kepentingan mereka yang utama yaitu
Wanita dan Tanah, pendatang tetap diterima dengan baik. Disini sangat jelas
bahwa masyarakat suku Kei dalam mengatasi konflik pasti berpacu pada adat Sasi
dalam penyelesaian konflik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sosial budaya masih sangat kental
dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan
pedoman dalam kehidupannya. Adat tersebut mengatur hubungan antar individu
dalam masyarakat maupun dengan alam sekitar termasuk laut sebagai sumber
pencaharian. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik pelanggaran
pidana maupun perdata diselesaikan melalui mekanisme adat yang ada. Ketaatan
masyarakat kepada hukum adat ini dapat dipahami dalam perspektif sosial budaya
masyarakat Kei yang mengganggap adanya hubungan religius magis dengan alam
sekitarnya. Masyarakat Kei beranggapan penyelesaian terhadap pelanggaran
hukum adat dipercaya akan mengembalikan keseimbangan religius magis dengan
alam tempat mereka menggantungkan penghidupan yang terganggu sebagai akibat
adanya pelanggaran. Penyelesaian pelanggaran terhadap hukum ini telah terjadi
pergeseran seiring munculnya negara modern/hukum modern (positifisme
hukum). Namun harus dipahami penyelesaian sengketa perdata di peradilan
umum bagi bumiputera (pribumi) tunduk pada hukum adat (Pasal 131 Jo. 163 IS).
Hasil observasi yang dilkaukan dilapangan menunjukkan bahwa:
“konflik yang terjadi notabenenya berhubungan dengan hak kepemilikan
tanah, sehingga berujung pada perselisihan anatar kedua belah pihak”.
Seperti yang ditemukan dilapangan ternyata konflik tanah sering pula
berujung pada kematian atau hal-hal lainnya, seperti hasil wawancara yang
dilakukan dengan salah satu warga yang menyatakan bahwa:
“konflik tanah yang terjadi selalu berhubungan dengan luas yang dimilii
perorangan, kadang juga harus dibawa kepengadilan untuk
menyelesaikannya”
hasil observasi dan wawancara diatas didukung oleh hasil dokumen yang
dikutip “Bentuk konflik yang sering terjadi pada masyarakat suku Kei terkait Sasi
yaitu konflik tanah. Salah satu yang pernah terjadi adalah “Konflik Penguasaan
Tanah Di Maluku Utara: Rakyat Versus Penguasa Dan pengusemaha”. Yang
dikutip dari jurnal Husen Alting. Yang didalamnya membahas mengenai;
“tipologi konflik pertanahan yang muncul terkait pemerintah dan
investor vs masyara-kat pemegang hak yang dilatarbelakangi oleh
kecendrungan keberpihakan pemerintah daerah dalam
pemanfaatan/pengelolaan potensi sum-ber daya alam melalui kebijakan
pemberian izin lokasi/izin usaha pertambangan untuk pena-naman
modal yang mengakibatkan beralihnya fungsi tanah pertanian serta
berkurangnya akses rakyat terhadap tanah, apalagi dalam praktek-nya
perolehan tanah untuk kepentingan tidak didasarkan pada prinsip
kesejajaran”
Kutipan diatas terlihat bahwa terjadi Dimensi konflik pertanahan antara
pemegang hak atas tanah yang berhadapan dengan Pemerintah dan pengusaha
cenderung mengalami perubahan sebagai akibat konfigurasi tanah yang selalu
berubah, berdampak pada timbulnya banyak benturan kepentingan yang terus
berkembang dengan beragam modus dan pola, sehingga diperlukan metode
pendekatan penyelesaian sengketa yang dapat memberikan keadilan dan kepastian
hukum bagi masyarakat disatu sisi dan pengusahan disisi lain. Konflik pertanahan
yang terjadi selama ini di Indonesia, cenderung berlangsung lama (per-petuated
conflict), terutama yang melibatkan komunitas adat karena mekanisme litigasi
selalu dijadikan preferensi menyelesaikan konflik tanah. Perusahaan swasta dan
negara lebih me-manfaatkan mekanisme litigasi, yaitu memasukkan konflik tanah
ke pengadilan. Hasilnya peng-adilan sering kali memenangkan perusahaan karena
memiliki dokumen legal yang membuktikan kepemilikan atau hak pengelolaan
atas area tanah. Komunitas adat/petani terkalahkan, karena kelompok ini hanya
memiliki bukti adat se-perti cerita atau surat kesaksian yang tidak dia-kui oleh
pengadilan.
Konfrontasi antarwarga masyarakat juga terjadi karena keterlibatan para
tokoh masyarakat dan atau aparat pemerintah desa yang berpihak digunakan
perusahaan. Konflik yang terjadi merupakan tipe konflik dipermukaan melibatkan
saudara tetangga yang dilatar belakangi komunikasi yang tidak sejalan atas
kepentingan terkait pokok sengketa. Pada konflik tanah yang berakar pada tidak
dihormatinya hak ulayat masyarakat hukum adat, penanganan harus dilakukan
secara lebih komprehensif tidak hanya penyelesaian konflik, akan tetapi Resolusi
Konflik dengan merumuskan strategi untuk menangani sebab-sebab konflik
tersebut melalui rekonseptualisasi hubungan antara Negara, sektor
swasta/perusahaan dan masyarakat hukum adat.
Pelepasan hak atas tanah merupakan pemutusan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan
ganti rugi atas dasar musyawarah. Pelepasan tanah ini hanya dapat dilakukan atas
dasar persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai tehnik
pelaksanaannya maupun besar, serta bentuk ganti rugi yang akan diberikan.
Kegiatan pelepasan hak ini bukan hanya dilakukan untuk kepentingan umum
semata, akan tetapi juga dapat dilakukan untuk kepentingan swasta. perolehan
tanah yang pada satu sisi memberikan kekuasaan kepada pihak lain (perusahaan)
untuk dapat memanfaatkan-nya dalam jangka waktu tertentu melalui cara lain
yang memungkinkan dengan mewujudkan penguatan akses dan posisi tawar
masyarakat yang akan membawa peluang usaha yang lebih sehat dan wajar.
Dalam konflik pertanahan, salah satu akar konflik adalah tidak/kurang
dihargainya hak-hak masyarakat hukum adat disebabkan pengambilalihan tanah
tanpa mempertimbangkan sifat hubungan antara masyarakat hukum adat dengan
tanah tersebut.
Sehingga dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa Konflik pertanahan
yang terjadi di Maluku Utara pada dasarnya disebabkan oleh minimnya
penghormatan terhadap nilai tanah yang diwujudkan melalui ganti rugi serta hak
masyarakat hukum adat yang berwujud konflik struktural maupun horizontal.
Penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi di Maluku Utara dilakukan melalui
jalur litigasi dan non litigasi. Pemilihan mekanisme penyelesaian oleh
masyarakat/perusahaan atas sengketa yang terjadi didasarkan pada pertimbangan
ketersediaan bukti penguasaan, modal dan dukungan Pemerintah. Pilihan hukum
pemerintah/perusahaan melalui meka-nisme litigasi, sedangkan masyarakat lebih
me-nempuh jalur non litigasi, karena penguasaan tanah yang dilakukan secara
turun temurun pembuktiannya melalui hukum adat dan bukan hukum
formal/sertifikat.
Terkait konflik yang terjadi, biasanya mereka melakukan naik sidang
ketika sudah tidak bisa dibicarakan lagi dengan kekeluargaan. Hal ini senada
dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu warga Korsel yang
bernama BR yang mengatakan:
“pelanggaran hukum adat Sasi Hawear Balwirin dihukum dengan denda
yang beratnya ditentukan oleh sidang adat, disesuaikan dengan kerugian
material yang disebabkan pelanggaran”.
Dari hal diatas tentu jelas terlihat bahwa masyarakat desa Kolser masih
sangat berpegang teguh pada yang namanya adat, ketika adat sudah tidak berjalan
dengan baik, mereka menempuh jalur hukum yang diiringi dengan sumpah 7
turunan kepada pelaku yang melakukan Sasi.
Kembali dilakukan wawancara dengan salah satu warga Korsel yang
bernama CMK terkait bagaimana mengatasi konflik tanah apabila terjadi
pemasangan sasi?, berikut pemaparan beliau:
“apabila terjadi pemasangan ssi atau Hawear pada lahan konflik maka,
harus ditelusuri terlbeih dahulu status kepemilikan tanah, kemudian
kembali kepada pemasangan tanda sasi/hawear apakah sudah melalui
prosedur yang benar atau tidak”.
Hal diatas tentu sangat jelas bahwa masyarakat Korsel tidak serta-merta
selalu bersikap frontal apabila ada yang tidak sesuai, mereka mencari terlebih
dahulu dimana letak permasalahnnya, kemudian barulah dilakukan tindak lanjut.
Mereka melakukan pendekatan dengan pemilik tanah konflik, melalui pemerintah
desa/ohoi. Dalam hal ini orang Kai atau raja sebagai kepala rasehap dimana lahan
konflik itu berada, tentunya dengan syarat-syarat adat yang telah ditentukan.
Namun apabila pemasangan Sasi/hawai sudah sesuai namun belum ada
pendekatan secara baik, maka sampai kapanpun sasi/hawai tidak bisa dicabut atau
dilepas.
Hal senada juga disampaikan oleh LNS terkait Sasi ini, dimana beliau
memaparkan :
“hira ni, ntub fo i ni........” artinya apa yang menjadi milikmu adalah
milikmu, janganlah seraka menjadi manusia.
Sasi ini sudah menjadi perbincanagn publik kebanyakan, salah satu media
yang memuat pemberitaan terkait hal ini. Hal ini pernah dibahas oleh Salah satu
statsiun TV yang menerangkan bahwa;
“Puluhan warga dari marga renyaan, renmeua, dan materbong di Desa
Kolser, Maluku Tenggara, Maluku, dengan membawa berbagai senjata
tajam memasang Sasi adat di atas tanah adat seluas 25 hektare, Ahad
(16/5). Aksi ini sebagai bentuk protes atas penjualan tanah tersebut oleh
sejumlah warga dari marga materbong ke Pemerintah Kabupaten Maluku
Tenggara.
Hal ini menjadi fenomenal karena memang adat yang begitu kental dan
terkenal sampai pelosok kota manapun. Hal ini membuat salah satu menteri
kelautan Susi Pudjiastuti yang menyatakan kekagumannya sebagai berikut:
“ ini kearifan yang luar biasa. Apalagi doanya untuk lebih meningkatkan
hasil. Ini orang di luar sana, yang lebih maju (harus) belajar dari bapak-
bapak. Kita yang lebih maju justru lebih serakah. Kita harus belajar dari
bapak-bapak bahwa Sasi, pembatasan itu untuk meningkatkan hasil. Ini
yang sedang saya coba untuk promosikan bahwa menjaga kelestarian
adalah menambah peningkatan hasil bagi masyarakat."
Jadi „Sasi‟ adalah upaya penyetopan penangkapan untuk tujuan menjaga
populasi sumber daya alam tetap tersedia, untuk memenuhi kebutuhan anak-cucu
sekaligus untuk meningkatan pendapatan masyarakat di masa mendatang. pulau
tersebut punya potensi pariwisata yang bagus untuk dikembangkan, mengingat
selain punya keanekaragaman kuliner laut, pulau ini juga dilingkupi beragam
destinasi wisata panati dengan pasir putihnya yang halus.
Narasumber selanjutnya adalah FR yang menatakan pendapat tentang adat
Sasi ini:
“harus ditegakkan adat Sasi ini, namun perlu diingat bahwa Sasi adat Kei
itu bukan satu jenis Sasi untuk semua jenis adat. Tapi masing-masing
menurut fungsi dan maknanya”.
Praktik Sasi sudah jamak dilaksanakan di kepulauan Indonesia Timur,
terbentang dari Kei sampai Merauke. Sasi juga ber makna larangan. Seseorang
bisa saja mengajukan Sasi untuk melindungi hak miliknya. Oleh karena itu, Sasi
dilaksanakan, walaupun itu merupakan hak pribadi dan dengan pengenaan Sasi,
termasuk pemilik kemudian dilarang untuk mengambil apapun dari wilayah yang
diberi status Sasi. Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang
mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap,
namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal
(Fadlun 2006). Dengan demikian Sasi memiliki dimensi temporal dan lambing
(atribut) yang bersama-sama membuat institusi Sasi mengikat.
Sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk
mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan
hukum adat tentang Sasi memuat tiga hal. Pertama adalah Sasi memuat unsur
larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi
kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara
mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut. Kedua, ketentuan
Sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan
lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan Sasi ini ditentukan oleh masyarakat
pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).
2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah
pada masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Dalam sistem pengelolaan lokal, masyarakat mengenal praktek-praktek
pemanfaatan yang beralaskan konsep pemahaman hubungan manusia dengan
alam, sesama dan Penciptanya. Pengelolaan dan pemanfaatan laut diatur dalam
berbagai sistem (seperti sistem sasi) dan berbagai hak (hak milik, hak makan, hak
jaga) serta kewajiban penggunanya, yang menggambarkan nilai-nilai kekerabatan,
kebersamaan, kepedulian, pemeliharaan, dan keberkelanjutan. Sumberdaya laut
tertentu, seperti trochus dan teripang, diatur pemanenannya melalui sistem Sasi,
sementara penyu belimbing (Dermochelys coriacea) atau yang dikenal dalam
istilah lokal sebagai tabob ditangkap pada waktu tertentu dengan cara tertentu dan
oleh kelompok masyarakat tertentu di wilayah Kei Kecil barat (Nu Fit). Tabob
merupakan salah satu sumberdaya laut yang memiliki nilai kultural bagi
kelompok Nu Fit, sementara di sisi scientists penyu belimbing ini diperkirakan
mengalami penurunan akhir-akhir ini dalam jumlah, padahal wilayah perairan Kei
Kecil barat merupakan habitat tujuan migrasi penyu belimbing dewasa.
Sejalan dengan perkembangan penduduk, ekonomi uang, dan pasar
komoditi laut membuat pengeksploitasian sumberdaya laut meningkat tidak hanya
oleh nelayan lokal berskala kecil, tetapi juga oleh perikanan skala besar untuk
komoditi perikanan tropis dengan tujuan pasar regional dan global. Mengingat
sumberdaya laut yang potensial di perairan pulau-pulau kecil di wilayah Kei Kecil
barat, maka peningkatan aktivitas di wilayah perairan ini bila tidak dikelola
dengan semestinya, dapat berdampak pada overeksploitasi, terutama untuk
sumberdaya laut tertentu yang memiliki demand yang tinggi, penggunaan
teknologi tangkap yang destruktif (bahan peledak dan potassium), serta berpotensi
memicu konflik antar pengguna atas wilayah tangkap dan wilayah kelola. Selain
itu, kepentingan atas wilayah perairan antara pengguna lokal, perusahaan, dan
pemerintah serta ilmuwan tidak selamanya sejalan.
Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di
sebut kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga
adat yang berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah
ulayat/petuanan) suatu masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan
dan pengaman lembaga kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan
antara manusia dan lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam
secara terkendali dan bijaksana. Hukum Sasi adalah sejumlah peraturan yang
mengandung larangan dengan pidana denda. Selain itu Sasi juga dapat menjaga
atau melindungi Negeri itu sendiri agar dapat dimanfaatkan oleh masyrakat
tersebut.
Hal ini senada dengan jurnal yang dikutip dari ECSOfiM Vol.1 no.1, 2013
yang menyatakan bahwa;
“efektifitas masyarakat hukum adat yang ada di desa Haruku dalam
menjaga dan melestarikan sumber daya alam diwilahnya dengan baik
membuat desa ini mendapat penghargaan berupa kalpaturu lingkungan
hidup oleh mantan menteri lingkungan hidup”.
Hal di atas tentu menunjukkan bahwa, menjaga dan melestarikan
lingkungan dan adat, bukan hanya akan mempererat tali persaudaraan sesama
masyarakat, namun juga akan menjadi salah satu nilai lebih terhadap desa
tersebut, sehingga tidak ada yang salah ketika tetap menjaga adat masing-masing,
walaupun telah berada pada zaman modernisasi. Usaha untuk mempertahankan
hasil sumber daya alam baik dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan
produksinya menjadi perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia.
Hal ini senada dengan pemaparan yang dijelaskan oleh KR selaku warga
desa Korsel, yang mengatakan:
“berkat Sasi, lingkungan akan tetap terjaga dengan baik. Alampun dapat
pulih kembali karena tidak ada aktifitas manusia dan terhindar dari
pengrusakan. Sementara jika sasi dilakukan dilaut, masyarakat disekitar
wilayah laut yang ditentukan akan mendapatkan keuntungan”.
Dari pemaparan diatas tentu sangat jelas bahwa, melarang masyarakat
untuk mengeksploitasi suatu wilayah akan memberikan hasil yang lebih di masa
mendatang, bila masyarakat memahami hal ini, dukungan masyarakat terhadap
budaya sasi ini sangat besar dilihat dari masih banyak diantara mereka yang tetap
melaksanakan adat Sasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sama halnya fakta yang ditemukan dilapangan dari hasil observasi
menunjukkan bahwa:
“keikutsertaan masyarakat desa pada setiap pelaksanaan tradisi Sasi,
baik Sasi laut, Sasi kelapa, dan lain sebagaianya”.
Dalam pelaksanannya, Sasi lebih cenderung bersifat hukum bukan tradisi,
dimana Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan
hasil laut dan hasil pertanian. Sasi tidak berhubungan dengan ritual kelahiran,
pernikahan, kematian dan pewarisan. Sasi sebagai salah satu tradisi yang lahir di
Maluku memiliki fungsi yang sangat besar dalam menjaga keberlangsungan
potensi laut agar senantiasa dapat dinikmati.
Seperti yang dikutip dari jurnal NR tentang “warga Kolser ditipu Pemda
Malra, pasang Sasi dan spanduk minta Kejati usut Markus tanah Kolser”. Dalam
hal ini ditegaskan;
“puluhan warga desa Kolser kevamatan Kei Kecil kabupaten Maluku
Tenggara (Malra, sabtu 8 mei 2019) melakukan aksi penanaman sasi adat
(hawear-red) pada batas tanah milik petuanan warga desa Kolser. Sasi
yang ditanam warga berjumlah kuarng ebih 15 buah Sasi yang di pasang
pada depan stadion Maren Ohoijang.........”
Hal ini tentu menimbul rasa kekhawatiran pada warga Kolser, pemasangan
sasi ini pun kebanyakan kaum bapak dan para pemuda yang dilakukan secara
spontanitas, karena mereka mendengar tanah itu sementara bermaslaah dan saat
ini diproses hukum. Sebagai warga negara mereka memiliki kewajiban untuk
mendapatkan hukum itu sebagai panglima, kalau hukum sudah diinjak-injak buat
apa negara hukum itu?. Dikatakan sangat aneh, karena tanah yang dijual oleh
Marga Maturbongs, tanpa diketahui kepalas Desa Kolser dan pihak pertahanan,
mereka sudah mendatangi pihak pertahanan.
Desa Kolser merupakan salah satu bagian dari Kei kecil yang notabenenya
beragama kristen. Di desa ini istilah Sasi pertama kali diperkenalkan pertama kali
oleh gereja kepada masyarakat.
“konsep Sasi sebenarnya dibawa oleh gereja, gereja yang bawa Sasi itu.
Orang raja Ampat tidak kenal Sasi, kenapa? Karena sebenarnya Raja
Ampat itu tidak perlu dilindungi juga orang tidak akan saling korek-korek.
Manusia masih sedikit, hasilnya melimpah, masing-masing suku akan
tinggal dipulau setempat dan tidak akan korek tempat lain”. Ungkap
Bagiyo.
Kehadiran gereja di Raja Ampat merupakan faktor pendukung
penghapusan budaya kabusyang kemudian belakangan diganti menjadi Sangihe
Talaud. Ada hal mendasar kenapa para misionaris saat iu meminta masyarakat
untuk menghilangkan budaya Kabus. Alasan tersebut adalah ketika budaya kabus
dilakukan, dan sebuah daerah dinyatakan pamali/sakral masyarakat justru
menggunakan itu sebagai tempat sembah-sembah nenek moyang.
Terkait hal ini tentu yang berbicara adalah fungsionalis. Dimana perspektif
fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks. Struktur-
struktur yang menjadi bagiannya saling berinteraksi guna membentuk funsgi baru
yang melingkupi keseluruhan sistem. Masyarakat terintegrasi berdasarkan
konsensus diantara para anggotanya karena memiliki kesamaan nilai, norma,
kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Masyarakat cenderung berada dalam
kondisi keseimbangan (equilibrum). Interaksi antara individu atau kelompok kecil
dalam masyarakat, interaksi antar masyarakat berlangsung melalui simbol-simbol
bahasa insyarat dan komunikasi non verbal. Setiap pihak bernegoisasi mengenai
makna suatu simbol, komunikasi.
Masyarakat Korsel awalnya notabenenya beragama islam, namun setelah
umat kristen datang satu persatu kemudian membawa sesuatu yang berbentuk
obat-obatan yang diyakini mampu menyembuhkan segala penyakit, dari situlah
orang-orang kemudian berpindah agama. Namun ada satu hal yang menjadi daya
tarik di desa Kolser ini yaitu, ketika mereka sakit, mereka mendatangi kuburan-
kuburan islam, yang dianggap sebagai nenek moyang yang mendatangkan
kesembuhan bagi mereka.
Dibalik hukum terkait Sasi di desa Kolser, ternyata ada fakta lain yang
ditemukan dilapangan terkait menghargai kaum perempuan. Hal ini terbukti
dengan adanya bagian khusus dari hukum adat masyarakat Kei yang memberikan
indikasi dan memiliki konten yang secara khusus mengekspresikan sebuah
penghargaan dan perlindungan terhadap kaum perempuan. Hukum hanilit
(sebagai bagian dari hukum Larvul Ngabal) tidak hanya mengatur tentang
berbagai pelanggaran terkait pelanggaran moral, tetapi lebih berintikan pada
kedudukan perempuan yang suci dan luhur, karena itu harus dihormati. Konsep
yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang patut dijaga, dihormati
dan dilindungi, yang berimplikasi bahwa dalam institusi perkawinan pun
kelompok pemberi wanita (mangohoi) dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam
hubungan kekerabatan, masyarakat adat Kei lebih menitikberatkan pada hubungan
yang berasal dari garis keturunan ibu sebagai pihak yang melahirkan dan
meneruskan keturunan. Salah satu contoh terkait pengambilan (panen) hasil laut,
maka selain dilakukan oleh masyarakat ohoi (sebagai pemilik), mereka yang
memiliki hubungan atas dasar kekerabatan, teristimewa dari garis keturunan ibu
(dikenal dengan istilah mama dari, nenek dari, isteri dari), juga diberikan akses
dan kesempatan untuk mengambil hasil.
Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
masyarakat adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari Sasi di Maluku
merupakan wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku
dalam pengelolaan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai
modal dasar. Dengan adanya Sasi warga masyarakat adat tidak mengelola
sumberdaya alamnya secara sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada
dapat berdaya guna dan lestari demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat .
Keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari negara kesatuan republik
Indonesia yang di akui hak-hak adat dan sistem hukumnya, termasuk sumber daya
alam yang ada di wilayahnya. Untuk itu masyarakat adat perlu diberikan
kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan suberdaya alam di wilayahnya
sesuai dengan kearifan lokal yang dimilikinya.
a. Hukum Sasi dalam mengatasi konflik
Adat Sasi ditetapkan melalui institusi adat atau PemerintahanTradisional di
desa. Hukum tersebut mencakup pola sanksi atau hukuman yang diberikan kepada
pelanggar hukum. Pola hukuman adalah dalam bentuk denda material dengan
membayar barang antik atau uang, Hukuman fisik berupa kerja paksa di kebun
atau lingkungan desa. sedangkan sanksi sosial berupa pengucilan dari desa.
Ditemukan bahwa warga masyarakat desa sangat patuh terhadap pelaksanaan
hukum adat Sasi. Hal ini karena tidak saja mereka takut terhadap sanksi, tetapi
juga bahwa mereka menyadari bahwa hukum adat Sasi dapat mencegah konflik
antar warga.
Begitu pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang
turut menjaga kelestarian lingkungan hidup serta turut mencegah terjadinya
konflik di Desa Kolser, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara.
Menjadikan pelaksanaan Hukum Adat Sasi sebagai suatu bentuk manajemen
konflik dan pelestarian lingkungan hidup.
Ketaatan terhadap aturan yang telah ditentukan dalam Hukum Adat Sasi
merupakan suatu kesadaran dalam diri masyarakat Desa Kolser. Mereka selain
takut terhadap hukuman yang ada, baik itu hukuman fisik, denda materi dan
sanksi sosial maupun karma atau kutukan yang nanti diterima apabila melanggar
Hukum Adat Sasi tersebut, mereka juga sadar sepenuhnya bahwa hukum adat
tersebut melindungi mereka atau mengatur mereka agar tidak bertengkar akibat
berebutan hasillaut maupun darat, apalagi mereka hidup berdampingan dan secara
identitas mereka berbeda Agama yaitu Kristen Protestan, Muslim dan Kristen
Katolik. Hal ini telah terbukti dan teruji disaat Kepulauan Kei pada tahun 1999
terkena imbas konflik yang bernuansa Agama di Provinsi Maluku, ternyata di
Desa Kolser sama sekali tidak terjadi, bahkan dari desa-desa tetangga maupun
dari Kota Tual yang datang mengungsi untuk mencari perlindungan baik dari
pihak Kristen maupun Muslim.
Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum
Adat Sasi di Desa Korsel sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
desa tersebut dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dan tersedia di
desanya. Kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan Hukum. Adat tersebut membuat
masyarakat terhindar dari konflik atau pertengkaran dan perkelahian diantara
mereka, karena tidak ada yang merasa cemburu akibat yang lain memonopoli
pengelolaan sumberdaya alam untuk kekayaan sendiri juga tidak ada yang
mencuri hasil alam milik bersama baik di laut maupun di darat dan juga tidak ada
yang mencuri hasil alam berupa kebun tetangga, karena adanya aturan hukum adat
yang mengikat. Jadi yang paling penting dalam mencegah konflik di tengah-
tengah masyarakat, yaitu dengan mengupayakan rasa keadilan bagi segenap warga
masyarakat tersebut.
Larwul Ngabal merupakan hukum adat di Maluku dengan perumusan
yang paling lengkap. Hukum tersebut terdiri atas tujuh pepatah, yang masing-
masing secara rinci berisi sanksi dan larangan khusus. Penduduk Kei menanggapi
hukum ini dengan sangat serius, dan percaya bahwa hukuman yang terkandung
adalah kembali kepada penganiayaan di masa lampau. Kebanyakan orang dewasa
dapat mengkutip ayat secara kata demi kata dan suka membahas berbagai
ketentuan yang terkandung didalamnya. Setiap pelanggaran pada pelaksanaan
Sasi tersebut akan mendapatkan hukuman sesuai dengan sanksi adat yang telah
disepakati bersama dan tertulis akan dijelaskan pada uraian sanksi adat.
Rahail (1993) menyebutkan bahwa hukum sasi di Kei pada dasarnya
merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada asas pelestarian dan
keseimbangan hubungan alam dengan (ekosistem). Asas ini berakar pada bait
pertama dari tuturan falsafah yang mendasari hukum adat Larwul Ngabal, yaitu
“it dok fo ohoi itmian fo nuhu” (kita mendiami atau menempati kampung/desa di
mana kita hidup dan makan dari alam dan tanahnya). Dasar filosofis ini
menekankan adanya hubungan antara kehidupan manusia dengan alam. Alam
adalah bagian integral dari manusia (dalam hal ini masyarakat adat). Kehancuran
alam berarti kehancuran manusia. Oleh karena itu, pengelolaan alam demi
kehidupan manusia dan keseimbangan itu sendiri adalah hal yang mendasar untuk
mengatasi maksud-maksud jahat, keserakahan dan sifat mementingkan diri sendiri
dan asas lestari ini merupakan salah satu dasar utama kehidupan masyarakat adat
di Kei (Evav). Sasi mengajarkan kepada kita agar saling menghargai dan
menghormati, mengakui hak kepemilikkan orang lain dan tidak mengingini
barang milik orang lain dengan cara mencuri. Sejak dahulu kehidupan masyarakat
Kei dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam baik di darat maupun
di laut dilakukan secara bersama-sama. Ini dibuktikan dengan adanya budaya
maren (gotong royong).
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tekait imolementasi hukum
Adat Sasi terjadap konflik tanah yang terjadi di Desa Kolser, yang notabenenya
adat ini memang sangat kental dan dipegang erat oleh masyarakat setempat, maka
dalam ruang lingkup tersebut, ada dua hal yang menjadi fokus dalam penelitian
ini adalah bagaiamana bentuk implementasi pelaksanaan hukum adat ini?
1. Penyelesaian Konflik Melalui Hukum Adat Sasi
Pada sistem penguasaan atas sumberdaya dusun secara bersama ini, semua
keluarga atau individu yang termasuk dalam rumpun atau kelompok soa tersebut
memiliki hak mengelola dan menggarap lahan serta sumberdaya alam lainnya
yang menjadi hak milik bersama. Hak menggarap lahan diperoleh atas persetujuan
anggota mata rumah serta izin dari kepala soa. Masyarakat Allang yang bukan
termasuk dalam kelompok mata rumah/rumah tau boleh masuk kedalam wilayah
dusun, namun hanya terbatas pada hak akses untuk menikmati keindahan dan
melakukan kegiatan penelitian. Jika berkaitan dengan pembukaan ladang, maka
harus melalui izin resmi dari kepala mata rumah/kepala soa sebagai pemimpin
dalam suatu mata rumah.
Dalam pengelolaannya, walaupun tidak ditanami oleh sipemilik dengan
jenis tanaman apapun, maka lahan tersebut tetap menjadi miliknya oleh karena
telah diketahui oleh seluruh anggota masyarakat dan biasanya diberi tanda batas
berupa tanaman jenis pohon tertentu. Hal ini dikarenakan dia merupakan orang
pertama dalam melakukan pengelolaan pada kawasan hutan yang sebelumnya
telah menjadi hak milik bersama suatu mata rumah tertentu. Hak miliknya dapat
diwariskan kepada anak dan istrinya secara turun temurun.
Sanksi berat berupa kesakitan yang berkepanjangan, lumpuh, bisu, dan
penyakit-penyakit kulit lainnya yang datang secara tiba-tiba. Contoh kasusnya
adalah seorang warga pernah mencuri hasil dusun untuk kebutuhan ekonomi.
Beberapa hari kemudian yang bersangkutan mengalami kelumpuhan pada bagian
tangan dan tidak bisa digerakkan. Kemudian anggota keluarga yang bersangkutan
melaporkan kejadian ini kepada pendeta dan akhirnya dilakukan doa di gereja.
Doa yang dilakukan di gereja harus dibarengi dengan pengakuan kesalahan oleh si
pelaku dihadapan jemaat untuk diampuni. Beberapa hari kemudian yang
bersangkutan sudah bisa menggerakkan tangan dan dapat beraktivitas kembali
seperti sedia kala.
Sanksi ringan berupa penyitaan terhadap hasil-hasil dusun yang diambil
dari lokasi yang di sasi serta benda-benda berupa alat berladang atau parang dan
lain lain sebagai bukti di pengadilan, menyita dusun milik si pelaku (jika si pelaku
memiliki dusun) untuk sementara waktu hingga keluarnya putusan pengadilan
gereja. Salah satu contoh pelanggaran yang dijatuhi sanksi ringan adalah salah 48
seorang warga kedapatan memasuki hutan pada hari minggu dengan membawa
buah pala hasil pengambilan dari dusun miliknya yang sedang di sasi, kemudian
yang bersangkutan ditangkap dan diadili di dalam gereja. Yang bersangkutan
diberikan sanksi ringan dengan menyita buah pala yang diambil dari dusun yang
sedang di Sasi, dusun si pelanggar juga disita dalam waktu tertentu sampai si
pelanggar bertobat dan merasa malu karena cemohan warga, yang bersangkutan
kemudian didoakan di gereja dan diampuni. Kepatuhan seseorang terhadap aturan
dapat diperlemah atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan
tersebut.
Memang diakui bahwa diwaktu dahulu para leluhur memiliki pengetahuan
yang jelas tentang proses perkembangan atau lingkaran pertumbuhan tanaman-
tanaman sehingga penentuan waktu tutup Sasi bagi mereka adalah cocok bila
dikaitkan dengan masa buka sasi. Tanam-tanaman dalam batas waktu tertentu
diberikan kesempatan untuk memulihkan kondisinya demikian pula sumber-
sumber alam di laut. Namun saat ini oleh karena pertumbuhan penduduk yang
semakin pesat dimana kebutuhan hidup yang semakin tinggi membuat manusia
mulai melakukan penekanan secara terus-menerus kepada tanah dan sumber-
sumber alamnya.
Dalam penyelesaian konflik yang trejadi, teori hukum adat memandang
bahwa Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga
masyarakat adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat
(kepala adat)yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan
hukum, atau dalamhal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang
bertugas mengadilisengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena
kesewenangan ataukurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran
tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang
berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-
keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan
saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan
mengenai suatu sengketa yangresmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada
musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang
hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan tersebut.
Jika seseorang tertangkap tangan melakukan pencurian atas hasil kebun
orang lain dihutan maka si pencuri tersebut harus menyerahkan parangnya kepada
kepala kewang. Selanjutnya ia diantar oleh kepala Kewang ke negeri untuk
diperiksa. Demikian pula jika kewang mencurigai seseorang yang pulang dari
hutan sambil menjinjing sesuatu maka kewang berhak memeriksa atiting (bakul)
orang tersebut.
Secara substansial, setiap kebudayaan daerah memiliki eksistensinya
masing-masing, dalam arti “hak kultural” sendiri. Pada kondisi keankeragaman
budaya itu, reformasi hukum menghadapi hambatan pula, yakni problem
perlindungan hak-hak kultural oleh hukum. Masyarakat kebudayaan dan hukum
memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Suatu masyarakat yang tidak memiliki
variasi kebudayaan, maka tidak banyak menuntut kebudayaan hukum yang
banyak, sebaliknya semakin banyak kebudayaan dalam masyarakat semakin
banyak hukum.
Didalam masyarakat ada yang dikatakan norma, dimana perspektif
masyarakat telah mengarahkan perhatian kita pada norma-norma sosial. oleh
karena dalam norma inilah masyarakat berhadapan dengan individu sebagai unsur
luar dan unsur yang membatasi perilaku mereka. Norma-norma, aturan prosedural
dan aturan perilaku dalam kehidupan sosial pada hakikatnya adalah bersifat
kemasyarakatan. Artinya, bukan saja karena norma-norma itu berkaitan dengan
kehidupan sosial, tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah merupkan hasil
dari kehidupan bermasyrakat.
Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat
bagi masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung
ketentuan yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam
sasi mengenal pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang
diaturnya. Di Maluku masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di
wilayah pesisir memiliki sistem „Sasi‟ atau larangan memanen atau mengambil
dari alam (di laut atau didarat) sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu.
Sasi sebagai upaya perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya
alam hayati. Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan
terjadi peningkatan populasi sumber daya alam hayati.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak semua norma-norma dapat dinyatakan
secara lisan. Sekalipun kita punya suatu daftar lengkap tentang norma-norma lisan
yang dikenal (pepatah-pepatah verbal); masih terdapat norma-norma yang tidak
dinyatakan secara verbal, aturan-aturan kelakuan yang tidak disadari, dan
sebagainya. Biasanya orang sadar terhadap norma, baru setelah terjadi
pelanggaran terhadapnya. Anggota perkumpulan sosial tidak akan dapat
memberikan daftar lisan atau tertulis dari semua norma-norma yang berlaku
dalam perkumpulannya itu, tetapi mereka dapat mengenali indikatornya.
Dalam pandangan Durkheim, bahwa pengaruh kesadaran kolektif terhadap
ketergantungan individualisme nampak semakin meningkat dalam masyarakat
organik. Sekalipun demikian, kesadaran bersama bukan berarti terancam musnah
seluruhnya.
Sosiolog biasanya membedakan norma dan nilai moral. Norma
mencerminkan peraturan moral yang langsung mengatur individu (dapat ditaati
atau dilanggar. Jika disangkutpautkan dengan adat sasi maka jelas terlihat bahwa
sebagian masyarakat desa Korsel kadang tak percaya dengan adat ini. Banyak
masyarakat pendatang yang mengartikan adat sasi sebagai bentuk adat yang tidak
diengahkan. Namun pada kenyataannya adat sasi sangat dipegang erat oleh
masyrakat desa Kolser.
Sesuatu yang menarik dari watak dominan manusia yakni lebih dari satu
kemungkinan, pertama, bisa jadi memang ada tindakan sosial manusia yang
merupakan reprsentasi masing-masing, misalnya; ada salah seorang warga Korsel
yang tidak memperhatikan dari struktur adat Sasi yang ada, karena
menganggapmya sebagai sesuatu hal tabu, namun ada pula anggota lainnya yang
justru sangat mengemban adat-adat yang ada, guna melestarikan budaya yang
sudah sejak dulu ada. Kedua, tidak menutup kemungkinan satu individu memiliki
watak yang sama.
Dalam watak dominasi lingkungan, tidak heran jika dalam masyarakat
terlembaga tradisi-tradisi atau ritualisme. Selain untuk menghibur ketidakpastian
(uncertainity), ia juga merupakan cara manusia untuk menghormati alam. Alam
terletak dalam setiap diri kita, oleh karena itu, alam merupakan bagian hiidup
manusia. Sama halnya adat-istiadat yang telah dibangun sejak dulu kala yang
menjadi bagian dari kehidupan manusia, seharusnya dilesatraikan, sebagai bentuk
wujud penghormatan dengan nenek moyang, dan menjadi pembeda dari derah-
daerah lain yang memiliki adat yang berbeda.
Penyelesaian hukum adat Sasi dilakukan sebagai bentuk tradisi yang
sakral pada masyrakat Korsel, dan menjadi jalan keluar setiap perselisihan yang
ada terkait tanah, tumbuhan, rumah, laut, dan sebagainya. Sehingga dengan hal ini
dapat diketahui siapa yang menjadi benar dan salah. Adat SAasi bisa dilakukan
berhari-hari bahkan bertahun-tahun sekalipun. Hal ini pun disertai dengan naik
sidang diikuti sumpah yang dilakukan.
Sasi salah satu hukum adat yang seharusnya diperhatikan dan diterapkan
dalam penataan pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan. Sasi
memiliki nilai-nilai kebaikan, kebijaksanaan, dan keseimbangan antara alam dan
manusia. Penerapan Sasi dalam pembangunan dapat berjalan tanpa menciderai
lingkungan sekitarnya.
2. Implementasi hukum Adat Sasi dalam mengatasi konflik tanah pada
masyarakat Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara
a. Implementasi hukum adat sasi
Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal
dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara
berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua
kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling
terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam
di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat
terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan
ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran
bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan
bijaksana demi kepentingan bersama.
Pelaksanaan Sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga
adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing Soa (marga). Lembaga adat
dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari
datukdatuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban
mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat Sasi dan menjatuhkan
sanksi kepada masyarakat yang melanggar. Pelaksanaan Sasi dimulai dengan
dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan di
Sasi. Lewat rapat kewang inilah ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang
tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya,
selama tutup Sasi, tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak
habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali
(masa buka Sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua
penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar.
Ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi
dan setelah itu, tanda dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang
pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi.
Peran lembaga adat Sasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
ketepatan pemerintah Negeri, lembaga kewang dan gereja dalam mengatur
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Ketepatan yang
dimaksud adalah rumusan aturan yang dapat memperjelas transfer hak
kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya dusun, pengaturan batas yurisdiksi,
aturan repsentasi yang adil antar para pihak dan peran aturan sasi dalam
pengelolaan sumberdaya dusun serta kepastian bentuk hak yang jelas dan diakui
oleh anggota masyarakat yang lain dalam implementasinya.
Ketaatan terhadap aturan yang telah ditentukan dalam Hukum Adat Sasi
merupakan suatu kesadaran dalam diri masyarakat Desa Kolser. Mereka selain
takut terhadap hukuman yang ada, baik itu hukuman fisik, denda materi dan
sanksi sosial maupun karma atau kutukan yang nanti diterima apabila melanggar
Hukum Adat Sasi tersebut, mereka juga sadar sepenuhnya bahwa hukum adat
tersebut melindungi mereka atau mengatur mereka agar tidak bertengkar akibat
berebutan hasil laut maupun darat, apalagi mereka hidup berdampingan dan secara
identitas mereka berbeda Agama yaitu Kristen Protestan, Muslim dan Kristen
Katolik.
Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya
kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari
masingmasing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk
hak penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di
lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata
rumah, sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun
didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka
kepastian bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik
dan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk
haknya tergolong rendah. Peran yang dimaksud adalah tingkat partisipasi,
kepercayaan, pemahaman dan kepatuhan warga masyarakat yang diukur
berdasarkan kategori masyarakat yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan
sasi negeri dan sasi gereja yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja.
Hal terkait disampaikan oleh Cristiani yang menyatakan waktu
pelaksanaan Sasi tidak terikat oleh waktu. Biasanya dilakukan ketika hasil sumber
daya alam yang dinikmati manusia semakin berkurang maka tokoh adat dan tokoh
agama akan mengambil keputusan untuk duduk bersama dengan masyarakat dan
membahas tentang adat sasi untuk mengembalikan potensi sumber daya alam
yang telah berkurang,
Melarang masyarakat untuk mengeksploitasi suatu wilayah memang
terkesan seperti memberikan kerugian pada masyarakat di sekitarnya. Namun
menurut Krisitian, justru dengan adanya Sasi masyarakat akan diuntungkan.
Karena lokasi-lokasi yang ditentukan bersama tersebut nantinya akan memberikan
hasil yang lebih di masa mendatang. Bila masyarakat memahami ini maka mereka
akan mendukung tradisi Sasi. "Dukungan masyarakat terhadap budaya Sasi ini
sangat besar. Hal itu dilihat dari bagaiman masyarakat yang memiliki hal ulayat
lokasi sasi mendukung proses yang dilakukan dan ikut terlibat dalam pengawasan
lokasi sasi tersebut.
Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya
kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-
masing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk hak
penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di lapangan
serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah,
sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun didukung
dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian
bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik dan
pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk
haknya tergolong rendah. Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah
atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena
itu, penting untuk meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi
aturan.
Ada hal yang menarik yang terjadi di desa Korsel ini, yaitu ketika
seseorang melakukan kesalahan, misalnya menabrak seseorang baik itu disengaja
maupun tidak, dan orang tersebut meninggal, maka hal yang dilakukan pemangku
adat atau masyarakat sekitar adalah membakar hidup-hidup orang tersebut dengan
kendaraan yang ia gunakan.
Hal ini senada dengan jawaban narasumber terkait konekuensi yang
diterima seseorang ketika melakukan kesalahan,.
“jika individu yang melakukan sesuai dengan tata cara adat maka sah-sah
saja. Namun apabila terjadi penyimpangan maka konsekuensi akan
ditanggung oleh individu tersebut”. Ungkap CMK.
Biasanya orang sadar terhadap norma,baru setelah terjadi pelanggaran
terhadapnya. Anggota suatu perkumpulan sosialtidak akan dapat memberikan
daftar lisan atau tertulis dari semua norma-norma yang berlaku dalam
perkupulannya itu. Pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang semula tidak
begitu disadari orang, akan dapat memawa akibat dipertanyakannya kembali hal-
hal yang semula dianggap wajar. Oleh karenanya adalah penting bahwa analisa
sosiologis terhadap norma-norma sosial tidak hanya dibatasi pada hal-hal yang
secara jelas dinyatakan, tetapi juga hal-hal yang bersifat ideal.
Masyarakat adat Maluku dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari
struktur pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam
proses pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons
secara positif oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk
berkreasi sesuai potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan
pembangunan harus terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang
mempunyai hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut
diakui eksistensinya. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat maluku yang
tidak terlepas dari hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya
alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian
atas sumber daya hayati dan ekosistemnya. Salah satu bentuk pengelolaan dan
perlindungan atas lingkungan hidup oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.
Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber
daya alam yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan
prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga
didukung oleh kebijakan adat sebagai bentuk pengetahuan lokal yang secara
turun-temurun sudah mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus
memperhatikan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan.
Untuk itu perlu adanya suatu manajemen atau pengaturan lebih jauh dalam
mengelola dan memanfaatkan hasil alam baik di laut maupun di darat dengan
kembali melihat nilai-nilai budaya lokal atau kearifan budaya lokal yang telah
diwariskan secara turun-temurun. Seperti yang ada pada masyarakat Maluku yaitu
yang dikenal sebagai hukumAdat Sasi.
b. Teori tentang konflik
Konflik merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, meski tidak
harus, kehadirannya amat mungkin terjadi pada masyarakat dimanapun juga.
Konflik muncul pada hubungan antara dua orang atau dua kelompok manakala
perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lain, sehingga salah satu atau
keduanya terganggu. Sejalan dengan pendapat Agus Hardjana tersebut juga
dikemukakan oleh Johnson bahwa konflik merupakan bagian dari dinamika sosia
ldalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Sasi adalah suatu Hukum Adat
yang tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu pada beberapa Desa di
Maluku.
Huliselan mengatakan bahwa Sasi dapat diidentifikasikan sebagai
pengekangan ataupun larangan terhadap suatu benda yang dijaga atau diawasi
agar tidak diambil atau dirusakkan oleh manusia. Sasi juga dapat diartikan sebagai
larangan dan pembatasan kepada seseorang untuk mengambil beda yang dijaga
sebelum saatnya. Sasi juga dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil
hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu
dan populasi sumber daya alam hayati (hewan maupun nabati) alam tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil peneltian di lapangan bahwa:
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi hukum adat Sasi
terhadap konflik tanah pada masyarakat desa Kolser Kabupaten Maluku Tenggara
yaitu:
a. Sasi memang lebih cenderung bersifat hukum adat bukan tradisi, dimana
Sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan
hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum Sasi berlaku di
masyarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan
dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian, dan pewarisan, melainkan
lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan
masyarakat dalam mengelolah sumber daya alam yang dimiliki.
b. Adat sasi juga merupakan sebuah perintah larangan untuk mengambil
hasil baik hasil pertanian maupun hasil kelautan sebelum waktu yang
ditentukan. Hal ini dilakukan agar ketika datang waktu panen atau waktu
diperbolehkan mengambil hasil pertanian atau kelautan dapat dipanen
bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja
keras yang mereka lakukan. Budaya sasi, yang masih terpelihara sampai
dengan saat ini adalah salah satu wujud nyata pengelolaan sumberdaya
alam berbasis lingkungan. Selain itu perilaku-perilaku masyarakat adat
yang masih terpelihara sampai dengan saat ini pun masih nampak.
Selanjutnya dilarang orang membuat keributan di hutan pada saat pohon
sedang berbunga, karena menurut masyarakat setempat hal tersebut akan
mengganggu proses pembuahan dan bunga akan berguguran. Hal ini
menandakan betapa masyarakat adat sudah sangat menyatu dengan
alamnya sehingga mereka menghargai alam seperti halnya mereka
menghargai diri mereka sendiri.
c. Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku merupakan modal
dan model pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat
daerah terutama maluku dan nasional, dimana Penggunaan sumber daya
alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian
lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
B. Saran
1. Kepada Pemerintah Pusat agar dapat memberikan peluang yang lebih
besar kepada bertumbuh dan berkembangnya nilai-nilai atau kearifan
budaya lokal dalam masyarakat Indonesia.
2. Kaum Akademisi di perguruan tinggi yang ada dan tersebat di seluruh
Indonesia, agar turut berpatisipasi aktif mengembangkankearifan nilai-
nilai lokal yang ada di daerah-daerah sebagai suatu bentuk kajian ilmiah
yang dapat bermanfaat bagi peningkatan IImu Pengetahuan.
3. Diharapkan kepada kepala suku/adat agar lebih mempertegas tindak
penyalahgunaan adat sasi yang terjadi dilingkungan sekitar.
4. Untuk anak milenial , diharapkan dapat mengikuti dan memahami makna
dari adat Sasi, sehingga mampu menjaga adat-istiadat yang sudah ada
sejak dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Saleh, “Sasi Di Maluku”,, Http://Amrullah Saleh.Blog.Com, Diakses
Tanggal 24 Januari 2018.
Basri,Muhammad. 2015, “Kearifan Lokal Budaya Sasi Maluku”. Unhas,
Makassar.
Dayaram, Kandy Dan David Pick. “Entangled Between Tradition And Modernity:
The Experiences Of Bhutanese Working Women”.Dalam Society And
Business Review, Vol. 7, No. 2, 2012.
Davis. Keith. 1962. Human Relation Of Work. Mc. Graw. Hill Book. Tokyo
Hazairin, 1990, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat
Di Bali Dan Lombok, Junasco, Denpasar.
Indrawati, Ratna. 1995. Sasi Di Maluku; Eksploitasi Sumber Daya Alam Secara
Arif. Jakarta
Lokolo,” Hukum Sasi Di Maluku ( Suatu Potret Bina Mulia Lingkungan Pedesaan
Yang Dicari Pemerintah)” Orasi Ilmiah Pada Dies Natalis Universitas
Pattimura, Tahun 1988, Hal.4
Nursalam. 2016. Sosiologi Pengantar Masyarakat Indonesia. Writing Revolution.
Makassar.
Richard. Crutchfield. D. Krech Dan Egerton Ballachey, ”Individual In Society”,
Seperti Dikutip Oleh Zusanna. E. Risambessy, Skripsi Unpatti, Ambon,
2001.
Soekanto, Soerjono, ”Pengantar Penelitian Hukum”, Cet.3, Ui-Press, Jakarta,
1986.
Renjaan Mj. “Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada Masyarakat Adat Di Desa
Ngilngof Kabupaten Maluku Tenggara.” Jurnal Ilmu Lingkungan 2013
Rahail Jp. “Hukum Adat Suku Kei-Evav Maluku Tenggara”.
Http;//M4741blogspot.Wordpes.Com, 4 Oktober 2012
Pasalbessy. “Kumpulan Materi Hukum Sasi Dan Peraturan Kewang Di Beberapa
Negeri Di Kepulauan Ambon Dan Lease.” Tesis Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, 1988.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta. Djambata
J. Daniel. Mueller, ”Mengukur Sikap Sosial Pegangan Praktisi Untuk Peneliti
Dan Praktisi.” Seperti Dikutip Oleh Zusanna. E. Risambessy, Skripsi
Unpatti, Ambon, 2001.
Judge. Peranan Hukum Adat Sasi Laut Dalam Melindungi Kelestarian
Lingkungan Di Desa Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian
Barat. Universitas Indonusa Esa Unggul. Jakarta.
Kissya Elisa, ”Sasi Aman Haru-Ukui”,. Cet .1, Sejati, Jakarta, 1993.
Sasi, “Nilai-Nilai Luhur Dan Kepribadian Masyarakat Maluku”,
Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Maluku, Balai
Rehabilitasi Dan Konservasi Tanah Wilayah Xi, Ambon, 1996.
Rangkuti, Fraddy. 2015. Teknk Membeda Kasus Bisnis Analisis Swot. Gramedia
Pustaka Utama.
Safarina, Sakina. 2013. Eksistensi Hukum Adat Dalam Melindungi Pelestarian
Ikan Lompa Di Desa Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal. Esco.Fim
Vol 1.
Suardi, Ismail. 2015. Sasi Masjid Dan Adat: Praktik Konservasi Lingkungan
Masyarakat Minoritas Muslim Raja Ampat. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Sorong.
Sunyoto, Danang. 2011. Analisis Regresi Dan Uji Hipotesis. Planet Pustaka.
Yogyakarta.
Rahail, J.P. 1993. Larwul Ngaba. Hukum Adat Kei: Bertahan Menghadapi Arus
Perubahan. Seri Pustaka Khasanah Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Sejai.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uzair Fauzan Dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan, Dasardasar Filsafat
Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam
Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan Dari Rawls, John.
1997. A Theory Of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts.
Van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia (Terjemahan),
Jambatan-Lipi 1981
Wignjodipoero, Soerojo. 2011. Rangkuman Hukum Adat Bab 1 Dan Bab 2.
Wikipedia. 2018, Pengertian Hukum.
Gambar 1.7 wawancara dengan kepala desa Kolser
Gambar 1.8 melakukan perbincangan hangat dengan kepala desa
Gambar 1.9 wawancara dengan salah satu warga
Gambar 1.10 wawancara dengan salah satu warga desa Kolser