referat anestesi new
DESCRIPTION
.TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji sukur saya panjatkan kepada Tuhan atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan referat ini yang berjudul Pengelolaan Nyeri dan Analagesia
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Bagian
Ilmu Anastesia.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Hutapea Sp.
An sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis
sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSU UKIatas bimbingan yang kami dapat
selama kepaniteraan klinik ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter
pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang
berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini membawa
manfaat bagi kita semua.
Jakarta, November 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
I.1. KONSEP NYERI.......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FISIOLOGI NYERI..................................................................................... 3
2.2 MEKANISME NYERI ............................................................................... 5
2.2.1 Sensitisasi Perifer ............................................................................... 5
2.2.2 Sensitisasi Sentral .............................................................................. 7
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI) ....................................................... 6
2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY) ........................... 8
2.4.1 Proses Transduksi .............................................................................. 8
2.4.2 Proses Transmisi ................................................................................ 8
2.4.3 Proses Modulasi ................................................................................. 9
2.4.4 Persepsi .............................................................................................. 9
2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK............................................ 10
2.6 KLASIFIKASI NYERI ............................................................................... 11
2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik ...................................................................... 11
2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik ...................................................... 12
2.6.3 Nyeri Viseral ...................................................................................... 13
2.6.4 Nyeri Somatik .................................................................................... 14
2.7 PENILAIAN NYERI .................................................................................. 14
2.8 PENANGANAN NYERI ............................................................................ 21
2.8.1 Farmakologis ...................................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 42
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral................................ 6
Gambar 2.4-1. Pain Pathway............................................................................................. 9
Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale....................................................... 15
Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale................................................................................... 15
Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale............................................................................. 16
Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale............................................................................... 17
Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol...................................................................... 21
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak......................................................................... 22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. KONSEP NYERI
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,
berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut
sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,
defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri
yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut
menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.
1
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi
berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah
penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan
penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu
kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga
maupun lingkungannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FISIOLOGI NYERI
Definisi nyeri berdasarkan International American Chronic Pain Association adalah
pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa
nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun
nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan
jenis kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan
b. Serabut C
3
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman
dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
4
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:
• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa
• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga
meningkatkan kepekaan nyeri
• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme
Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan
itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses
pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan
zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh
jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang
berperan pada proses transduksi dari nyeri.
2.2 MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan
menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
5
2.2.1 Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor
menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor
spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang
dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.
2.2.2 Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
6
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.
Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah
perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit
bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
7
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang
lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan
untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi
inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena
sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.
2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang
nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).
2.4.1 Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
8
2.4.2 Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus
dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri
yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini
mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
2.4.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.
2.4.4 Persepsi
9
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik.
Gambar 2.4-1. Pain Pathway
10
2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan
cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini
akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa
nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin
meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini
menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).
Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan
constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi
COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet,
keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat
inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan
menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang
transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin
penting dalam sensitisasi sentral.
11
2.6 KLASIFIKASI NYERI
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika
cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,
kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan
mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker).
2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang
terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.
Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan
nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami
pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan
patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,
end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan
mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada
lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi
lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala
sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas
cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan
gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.
12
Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit
- Sensasi tajam menusuk
- Dibawa oleh serat A-delta
- Ditandai peningkatan BP, nadi,
dan respirasi
- Kausanya spesifik, dapat
diidentifikasi secara biologis
- Respon pasien:Fokus pada
nyeri, menangis dan mengerang,
cemas
- Tingkah laku menggosok
bagian yang nyeri
- Respon terhadap analgesik :
meredakan nyeri secara efektif
- Lamannya sampai hitungan
bulan
- Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat C
- Fungsi fisiologi bersifat normal
- Kausanya mungkin jelas
mungkin tidak
- Tidak ada keluhan nyeri, depresi
dan kelelahan
- Tidak ada aktifitas fisik sebagai
respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik :
sering kurang meredakan nyeri
2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif
biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan
neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf
aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan
menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang
kurang baik terhadap analgesik opioid.
13
2.6.3 Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh
jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme
otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau
ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan
mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan
distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf
simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus
dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.
Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.
14
2.6.4 Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.
Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri
menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal
menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun,
insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal
biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari
nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai
contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat
nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke
T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai
karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal
dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati
nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk
berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah.
2.7 PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan.
15
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale
16
3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka
5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale
4. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak
ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk
membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.
Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh
penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah
direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS
juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya
realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata
tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas
tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling
kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara
0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target
untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat
17
sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic
penyelamat (rescue analgetic).
Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale
2.8. PENATALAKSANAAN NYERI
1. Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan
nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non
farmakologik.
18
2. Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan
efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan
untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik
opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat
19
disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-
obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada
pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses
modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid
20
OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera
melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.
Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan
produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,
untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu
mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis
prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis
melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang
tersering berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna,
meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.
1.1 Parasetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik,
dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan
nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita
kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena,
efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta
waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas
“aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid
(masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja
dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa
prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan
obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang
berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang memanjang.
21
Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol
Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan
untuk anak-anak dan orang dewasa.
Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat
siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan antipiretik
dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi
aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh beberapa faktor, dimana
diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi di lesi inflamasi. Oleh karena itu
selektifitas akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-clotting
tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang
melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan
menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya menurunkan batas
ambang hipotalamus di pusat termoregulasi.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama
bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini
hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-
inflammatory dan penghambat selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja
seperti aspirin dengan memblok siklooksigenase, dimana didalam lingkungan
inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja
parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak
memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP
dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari
parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.
22
Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme
di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation 40%, sulfation 20-40%
dan N-hydroxylation serta GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya
diekskresikan melalui ginjal.
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal. Parasetamol
dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak mempengaruhi penutupan
ductus arteriosus), tidak seperti efek yang ditimbulkan oleh penggunaan obat
AINS. Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak berhubungan dengan resiko
penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus. Satu-satunya
efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik dan
gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg
perhari.
1.2 Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti
inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic
acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak
menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti
inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat
tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi
nosiseptif dari opioid.
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak
23
(±) – 5 – benzoyl - 2,3 – dihydro - 1H – pyrrolizine – 1 – carboxylic acid,
2 - amino – 2 (hydroxymethyl) - 1,3 – propanediol
Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa
prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim
siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti AINS pada
umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non selektif. Efek
analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan dengan pemberian aspirin,
indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa percobaan di hewan.
Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek analgesianya,
dimana efek anti inflamasinya hampir sama dengan indometasin11,66. Setelah
injeksi intramuskular dan intravena, onset analgesia tercapai dalam waktu 10
menit dengan efek puncak 30 – 60 menit dan durasi analgesia 6 – 8 jam dengan
waktu pemberian intravena > 15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak 100%
dengan semua jalur pemberian baik intravena maupun intramuskular.
Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati.
Obat dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier
sekitar 10%66,68. Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam, yaitu:
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal
poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring,
anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing.
2. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga
mencetuskan agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat meningkat pada
pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien yang
mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena reflek status
24
hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress pembedahan
berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga terjadi purpura,
trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.
3. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual,
muntah, dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
4. Kardiovaskuler
Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope
5. Dermatologi
Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell
6. Neurologi
Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,
halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.
7. Pernafasan
Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk
8. Urogenital
Gagal ginjal akut dan poliuri.
1.3 KETESSE
Larutan Injeksi IM/IV Komposisi: Tiap ampul 2 ml mengandung: Dexketoprofen
trometamol 173,8 mg setara dengan dexketoprofen 50 mg Tiap ml larutan
mengandung: Dexketoprofen trometamol 36,9 mg setara dengan dexketoprofen
25 mg Farmakologi: Dexketoprofen trometamol merupakan garam tromethamine
25
dari S-(+)-2-(3-benzoylphenyl) propionic acid, adalah obat analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik yang termasuk golongan antiinflamasi nonsteroid
(NSAID).
Mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi nonsteroid berhubungan dengan
pengurangan sintesis prostaglandin dengan penghambatan jalur siklooksigenase.
Secara spesifik terjadi penghambatan transformasi asam arakidonat menjadi
endoperoksida siklik, PGG2 dan PGH2 , yang menghasilkan prostaglandin; PGE1
, PGE2 , PGF2α dan PGD2 , dan juga prostasiklin PGI2 dan tromboksan (TxA2
dan TxB2 ) . Selanjutnya, penghambatan sintesis prostaglandin dapat
mempengaruhi mediator inflamasi lain seperti kinin, menyebabkan aksi tak
langsung yang akan memperkuat aksi langsung. Dexketoprofen telah
memperlihatkan penghambatan terhadap aktivitas COX-1 dan COX-2 dalam
percobaan pada manusia dan hewan. Studi klinik yang dilakukan pada beberapa
model nyeri memperlihatkan bahwa dexketoprofen trometamol memiliki aktivitas
analgesik yang efektif. Efek analgesik dapat dicapai dalam waktu 30 menit setelah
pemberian dan puncaknya dapat dicapai dalam waktu 45 menit.
Durasi efek analgesik setelah pemberiann 50 mg dexketoprofen biasanya adalah 8
jam. Studi klinik pada penatalaksanaan nyeri setelah operasi menunjukkan bahwa
penggunaan kombinasi larutan injeksi dexketoprofen trometamol dengan opioid
dapat mengurangi penggunaan opioid secara bermakna. Farmakokinetik: Studi
farmakokinetik yang dilakukan dengan menggunakan dexketoprofen trometamol
pada hewan, menunjukkan kisaran absorpsi yang tinggi untuk obat ini setelah
pemberian peroral atau IM. Ekskresi terutama melalui urin, sebagai
glukorokonjugasi obat yang tidak terurai. Juga ditekankan bahwa tidak ada inversi
dari enansiomer S-(+) ke R-(-), dan proses perubahan tersebut ditemukan dalam
variabel yang luas, tergantung dari spesies hewan uji. Setelah pemberian
dexketoprofen trometamol secara IM pada manusia, Cmax dapat dicapai dalam
waktu 20 menit (berkisar antara 10 sampai 45 menit). Pada dosis tunggal 25
sampai 50 mg menunjukkan AUC yang proposional setelah pemberian secara IM
dan IV.
26
Pada studi farmakokinetik dosis ganda, diketahui bahwa tidak ada perbedaan
Cmax dan AUC antara dosis tunggal dan dosis ganda setelah pemberian terakhir,
hal ini menunjukkan bahwa tidak ada akumulasi obat. Memiliki ikatan protein
plasma yang tinggi (90%) dengan obat lain, dengan nilai volume distribusi rata-
rata dibawah 0,25 L/kg. Waktu paruh distribusi mendekati 0,35 dan waktu paruh
eliminasi berkisar antara 1-2,7 jam. Jalur eliminasi utama untuk dexketoprofen
adalah konjugasi glukoronida diikuti dengan ekskresi melalui ginjal. Hanya
enansiomer S-(+) yang terdapat dalam urin setelah pemberian dexketoprofen
trometamol, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat konversi ke enansiomer R-
(-) pada manusia.
Indikasi: Pengobatan gejala intensitas nyeri akut, pada keadaan dimana
pemberian peroral tidak memungkinkan, seperti nyeri setelah operasi.
Kontraindikasi:
- Pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap dexketoprofen, NSAID lainnya,
atau bahan tambahan yang terdapat di dalam sediaan. - Pasien yang pernah
mengalami serangan asma, bronkospasme, rinitis akut, atau polip nasal, urtikaria
atau edema angioneurotik yang dicetuskan obat lain dengan cara kerja yang
serupa (misalnya aspirin, atau NSAID lainnya). - Pasien dengan riwayat atau
penderita tukak lambung (aktif maupun baru kecurigaan saja), atau dispepsia
kronik, perdarahan lambung atau perdarahan yang lain yang aktif, penyakit
Crohn’s atau kolitis ulserasi, riwayat asma bronkial, gagal jantung berat, disfungsi
ginjal sedang sampai berat (creatinin clearance < 50 ml/menit), kerusakan fungsi
hati yang berat (nilai Child-pugh 10-15). - Pasien dengan haemorrhagic diathesis
dan kelainan koagulasi lainnya, atau pasien yang diterapi dengan antikoagulan. -
Wanita hamil dan menyusui. - Pemberian neuraxial (intratekal atau
epidural)sehubungan dengan kandungan alkohol pada produk.
Dosis dan cara pemberian: Dosis: 50 mg setiap 8-12 jam. Jika diperlukan,
pemberian dapat diulang setiap 6 jam. Total dosis perhari tidak boleh melebihi
150 mg.
27
KETESSE:
1. injeksi tidak ditujukan untuk pemakaian jangka panjang, dan terapi harus
dibatasi untuk periode simtomatik akut. Pada kasus nyeri setelah operasi.
2. injeksi dapat digunakan bersamaan dengan analgesik golongan opioid untuk
mengimbangi rasa sakit, khususnya pada periode awal setelah operasi dimana
nyeri terasa lebih berat.
Cara pemberian:
injeksi dapat diberikan secara IM maupun IV.
1. IM: KETESSE: injeksi harus diberikan dengan injeksi lambat ke dalam otot.
2. IV infusion: KETESSE injeksi harus dilarutkan dalam 30 sampai 100 ml
larutan NaCl fisiologis, glukosa atau Ringer Laktat. Larutan yang telah diencerkan
tersebut harus diberikan sebagai infus intravena lambat selama 10 sampai 30
menit. Larutan harus terlindung dari cahaya matahari langsung. IV bolus : jika
dibutuhkan, KETESSE: injeksi dapat diberikan secara bolus intravena lambat
tidak kurang dari 15 detik. Pada saat KETESSE: injeksi diberikan baik secara IM
maupun IV bolus, larutan harus diinjeksikan langsung setelah dikeluarkan dari
ampul coklat. Pada pemberian secara infus intravena, larutan harus diencerkan
secara aseptik dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Efek samping: Efek
samping yang pernah dilaporkan: - Biasa terjadi (1-10%) : mual, muntah, nyeri
pada tempat injeksi. - Tidak biasa terjadi (0,1-1%) : anemia, sakit kepala, pusing,
insomnia, mengantuk, pandangan kabur, hipotensi, hot flushes, nyeri perut,
dyspepsia, diare, konstipasi, muntah darah, mulut kering, dermatitis, pruritus,
ruam kulit, keringat berlebihan, reaksi pada tempat injeksi, inflamasi memar atau
pendarahan, demam, lemas, sakit, terasa dingin. - Jarang terjadi (0,01-0,1%) :
hiperglikemia, hipoglikemia, hipertrigliseridamia, paresthesia, tinnitus,
extrasystole, takikardia, hipertensi, edema perifer, thrombophlebitis, superficial,
bradipnea, tukak peptik, perdarahan atau perforasi saluran cerna, anoreksia,
peningkatan enzim hati, gangguan hati, sakit kuning, urtikaria, jerawat, kaku
28
sendi, kram otot, poliuria, sakit ginjal, gangguan menstruasi, gangguan prostatik,
nyeri punggung, sinkop, menggigil, ketonuria, proteinuria. - Sangat jarang terjadi
(< 0,01%) : neutropenia, trombositopenia, bronkospasme, dispnoea, kerusakan
pankreas, kerusakan hati, reaksi kulit mukokutaneus yang berat (sindroma Steven-
Johnson, sindroma Lyell), angioedema, reaksi dermatologi, reaksi fotosensitivitas,
pruritus, kerusakan ginjal (nefritis atau sindroma nefrotik), anafilaksis, edema
pada wajah. Efek samping berikut ini dapat terjadi karena efek samping tersebut
tampak dalam penggunaan NSAID lain dan mungkin berhubungan dengan
inhibitor sintesis prostaglandin: - Meningitis aseptik: yang terutama akan muncul
pada pasien SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau penyakit jaringan ikat tipe
campuran. - Reaksi hematologik: purpura, anemia aplastika dan hemolitik, serta
yang jarang terjadi adalah, agranulositosis dan hipoplasia medullar. Peringatan
dan perhatian: - Belum dipastikan keamanan penggunaan pada anak-anak. - Hati-
hati pada pasien dengan riwayat alergi obat dan asma bronkial. - Pasien dengan
gejala penyakit pada saluran cerna harus dipantau akan gangguan saluran cerna,
khususnya perdarahan saluran cerna. Jika terjadi pendarahan atau tukak
gastrointestinal, terapi harus dihentikan dengan segera. - Seperti NSAID lainnya,
dapat menghambat agregasi platelet dan memperpanjang waktu perdarahan
melalui penghambatan sintesa prostaglandin. Penggunaan bersama dexketoprofen
trometamol dengan dosis pencegahan heparin bobot molekul rendah pada periode
pasca operasi telah diuji secara klinis dan tidak ada efek pada parameter koagulasi
yang telah ditetapkan. Bagaimanapun, pasien yang menerima terapi lain yang
mempengaruhi haemostasis harus dipantau dengan hati-hati. - Seperti NSAID
lainnya, dapat terjadi peningkatan nitrogen urea dan kreatinin plasma. Seperti
inhibitor sintesis prostaglandin, dapat terjadi efek samping pada sistem renal:
glomerulonefritis, nefritis interstisial, nekrosis papilar ginjal, sindroma nefrotik
dan gagal ginjal akut. - Seperti NSAID lainnya, obat ini dapat meningkatkan
enzim hati (sementara), jika terjadi peningkatan SGPT dan SGOT yang signifikan,
hentikan terapi dengan segera. Hati-hati pada pasien dengan gangguan
hematopoetik, eritematosus lupus sistemik, atau penyakit jaringan ikat tipe
campuran. Seperti NSAID lain, dexketoprofen dapat menutupi gejala penyakit
29
infeksi. - Hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, ginjal atau jantung
dan kondisi lain yang akan menyebabkan retensi cairan. Pada pasien-pasien ini
penggunaan NSAID dapat menimbulkan kemunduran fungsi ginjal dan retensi
cairan. Kehati-hatian juga pada pasien yang mendapat terapi diuretik atau yang
dapat mengalami hipovolemia karena dapat meningkatkan resiko nefrotoksisitas. -
Hati-hati pada pasien usia lanjut, lebih rentan terhadap efek samping: perdarahan
atau perforasi gastrointestinal terjadinya tergantung pada dosis. Pada saat terapi,
kadang dapat menjadi lebih serius dan dapat terjadi tanpa gejala-gejala peringatan
atau sejarah sebelumnya. Pada lansia lebih besar kemungkinannya terkena
kerusakan fungsi kardiovaskular ginjal atau hati, maka fungsi ginjal dan hati harus
dimonitor.
Interaksi Obat: - Tukak dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada
penggunaan bersama NSAID lain, karena adanya efek sinergis. - Dapat terjadi
peningkatan risiko perdarahan dan kerusakan pada mukosa saluran cerna pada
penggunaan bersama obat antikoagulan, heparin di atas dosis profilaksis secara
parenteral, begitu juga dengan ticlopidine. - NSAID dapat meningkatkan kadar
litium dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik, sehingga perlu dilakukan
monitoring. - Pada penggunaan methotrexate diatas 15 mg/minggu atau lebih,
NSAID dapat meningkatkan toksisitas methotrexate terhadap darah, karena
klirens bersihan melalui ginjal menurun. - Dapat terjadi peningkatan toksisitas
hidantoin dan sulfonamida, jika digunakan secara bersamaan dengan NSAID. -
Terjadi penurunan efek antihipertensif dari obat-obat diuretik dan golongan β-
blokers (pastikan tidak ada dehidrasi). - Terjadi peningkatan risiko perdarahan
pada penggunaan bersama dengan pentoksifilin dan obat-obat trombolitik. -
Terjadi peningkatan keracunan sel darah merah (mempengaruhi retikulosit) pada
penggunaan bersama dengan zidovidine. - Terjadi peningkatan efek hipoglikemik
obat-obat golongan sulfonilurea. - Terjadi peningkatan nefrotoksisitas pada
penggunaan siklosporin dan takrolimus oleh NSAID. Selama pengobatan
kombinasi, fungsi ginjal harus dimonitor. - Terjadi peningkatan kadar
dexketoprofen dalam darah pada penggunaan bersama probenesid. - Cardiac
30
glycoside: NSAID dapat meningkatkan kadar glikosida dalam darah. -
Mifepristone: NSAID tidak boleh digunakan dalam 8-12 hari setelah penggunaan
mifepristone. Karena secara teoritis zat inhibitor sintesis prostaglandin dapat
mengubah efikasi mifepristone - Antibiotik quinolone: data pada hewan
menunjukkan quinolone dosis tinggi dengan NSAID dapat meningkatkan risiko
konvulsi.
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait
kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan
opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad
yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah
satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih
standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin
menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem
limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid
endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid
dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin
memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat
reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin
menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat
mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi.
Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan
dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis
yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi
31
terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada
terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara
obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol,
morfin solutio.
Mekanisme kerja obat untuk nyeri
3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu
yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti
pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien
yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-
gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila
diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek
32
samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan
dengan antagonis opioid murni.
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian
ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah
terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan
kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat
golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di
saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah
analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit
lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk
neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca
bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan
trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas
antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit
dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya
diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang
berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah
digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi
medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
33
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek
analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons
adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis
alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang
disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini
adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
3. Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah
metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan
modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini
mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai
adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk
stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur,
aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-
serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi
serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat
dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan
tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat
nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah
tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh.
Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal.
Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh
34
individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri
dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik
lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya
diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan
untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri
punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi
tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,
lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot,
dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh
darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah
cidera traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena
meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan
menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan
prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin
mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta
35
perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik
dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang
mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa
persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang
lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup
relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback.
Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu
relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-
nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian
menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga
bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke
bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik
36
tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan
parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut
jantung, tekanan darah dan gelombang otak.
37
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan
suatu kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang
pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for
Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.
Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang
lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,
OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai
hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah
berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai
metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri
pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan
dan keadaan ekonomi pasien.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Karin L, Neil K et al .Pain Experience and Pain Management Among
HospitalizedCancer Patients.1989;63:593-598.
2. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa
Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE,
editor. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ;
2006. p. 359-412.
4. Massieh Moayedi ,Karen D. Davis. Theories of pain: from specificity to gate
control.2013.109.5-12.
5. Patel N. Physiology Of Pain.2010.3.13-17.
6. Steeds E. Anatomy and Pyhsiology Of Pain.2009.27.507-512.
7. Raymond S. Sinatra, Oscar A. de Leon-Cassasola, Brian Ginsberg, Eugene R.
Viscusi.Pain Physiology And Phamracology.2009.1.1-11.
8. K.Venugopa, M.Swam.World Anethesia tutorial Of The Week.2010.1-5.
9. Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
10. American Geriatrics Society (AGS). (2009). Pharmacological Management of
Persistent Pain in Older Persons. J Am Geriatr Soc, 57, 1331-1346. Available
at http://www.americangeriatrics.org/files/documents/2009_Guideline.pdf.
11. Dworkin RH, Jensen MP, Gammaitoni AR et al (2007) Symptom profiles
differ in patients with neuropathic versus non-neuropathic pain. J Pain 8(2):
118–26.
12. Farrar JT, Young JP, Jr., LaMoreaux L et al (2001) Clinical importance of
changes in chronic pain intensity measured on an 11-point numerical pain rating
scale. Pain 94(2): 149–58. Diunduh dari
www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf
www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf
www.who.int/medicines/areas/.../6_1_Update. pdf
pionas.pom.go.id/sites/default/files/obat_baru/Kettesse.pdf
39